
Salah satu anak dari keluarga Matulessy tiba-tiba saja menghilang, kemana dan ada apa dibalik menghilangnya sang anak? Baca selengkapnya hanya di Karyakarsa!
Every sin has a reason…

- Prilly Latuconsina sbg Ni Luh Prilly Maharani
- Reza Rahadian sbg Rezano Matulessy
- Nicholas Saputra sbg Nicholas Matulessy
- Michelle Ziudith sbg Michelle Matulessy
- Sandrinna Michelle sbg Sandrinna Matulessy
- Rio Dewanto sbg dr. Rio Dewantoro
- Gabriella Desta sbg Ida Ayu Desta Indriani
Cerita dalam fanfiction ini...
Prilly berlari menuruni perbukitan berusaha untuk kabur dari sesuatu, berlari dan berlari tanpa henti. Meskipun tanpa menoleh ke belakang Ia tahu seseorang sedang mengejarnya, Ia tahu seseorang ada di belakang sana. Pepohonan dikanan dan kirinya semakin lama terasa semakin tinggi, rasanya seperti Ia sudah seharian melangkahkan kakinya disana tapi belum juga tiba di tujuan yang Prilly inginkan. Suasana kala itu sedikit mendung, kilat menyambar tanpa ada hujan. Binatang didalam hutan yang Prilly lewati seperti bersahut-sahutan tanpa henti, seperti menyambut kedatangannya kesana.
Prilly sendiri tak tahu dimana Ia saat ini, Ia hanya mengikuti kemana kaki ini berlari membawanya. Ia berfikir untuk berhenti tapi tidak bisa. Kaki ini tak mau berhenti. Kaki ini tak bisa di ajak kompromi.
Prilly merasa pohon-pohon pinus di kanan dan kirinya semakin lama semakin rindang, semakin lama semakin mendekati dirinya seperti akan menghimpitnya. Prilly tak melihat seorangpun di hutan ini tapi entah kenapa Ia merasa ada mata yang selalu memandangnya kemanapun Ia berlari.
Ingin rasanya Prilly menangis lalu berteriak meminta tolong, tetapi bibirnya kelu tak dapat mengeluarkan sepatah katapun sedangkan jalanan di depannya seperti tak berujung, hanya gelap yang dapat Prilly lihat.
Air mata mengalir begitu derasnya, turun ke pipi merah muda Prilly yang mulus. Tanpa suara Ia menangis. Tak pernah Prilly merasakan ketakutan yang seperti ini.
Kenapa? Kenapa ini terjadi? Mau dibawa kemana tubuh ini? Kenapa Ia tak dapat berhenti?
Kaki mungil wanita cantik berambut hitam itu masih terus melangkah menuruni bukit yang Ia sendiri tak tahu dimana, mata-mata di balik pepohonan masih setia mengintainya, memperhatikan gerak gerik Prilly. Dan ketika di depan jalan di ujung sana Prilly seperti melihat sebuah cahaya terang, Ia merasakan sesuatu menyentuh pundaknya, sebuah tangan pucat yang dingin dan suara yang berbisik tepat di telinganya:
"Prill....."
***
SATU BULAN SEBELUM PERNIKAHAN.
MAIN HOUSE OF MATULESSY, SEMINYAK BALI – KAMAR PRIBADI REZA : 02.07 AM.
Prilly terbangun dari tidurnya, peluh mengalir begitu deras ke sekujur tubuhnya, nafasnya memburu dan terengah-engah seperti habis berlari berkilo-kilo jauhnya. Prilly mengusap wajah cantiknya yang sudah basah oleh keringat dan air mata, merapikan rambut panjang hitamnya yang acak-acakan.
"Mimpi buruk lagi?" suara bariton menyapa. Prilly mengangguk pelan.
"Mimpi yang sama?" tanya suara itu lagi di samping kanannya. Prilly kembali mengangguk.
"Jangan terlalu banyak pikiran, sayang. Nanti kamu sakit." Reza tunangannya memeluk Prilly yang masih tanpa kata. Ia terbangun hampir setiap malam karena mimpi buruk yang selalu berulang.
"Mau kubuatin janji temu sama Dr.Raline?" tanya Reza menyebut nama psikolog keluarganya.
"Nggak usah. Kamu nggak usah khawatir, kayaknya aku terlalu banyak mikirin kerjaan." jawab Prilly akhirnya.
"Bulan depan kita mau nikah, kamu harus jaga kondisi. Aku nggak mau kamu sakit..." Reza mengusap pipi Prilly dengan lembut. Gadis cantik itu mengangguk seraya tersenyum.
"Maaf ya udah bikin kamu kebangun.." ujar Prilly merasa tak enak. Karena dirinya, Reza selalu terganggu jadwal tidurnya.
"It's okay, kita tidur lagi aja ya. Ok?" ajak Reza menutupi tubuh mungil Prilly yang di balut gaun hitam tipis dengan selimut.
~~~~
MAIN HOUSE OF MATULESSY – RUANG MAKAN : 7.10 PM.
"Belum ada kabar juga dari Nicho?" tanya Reza di meja makan saat mereka makan malam keesokan harinya. Di meja makan itu semua anak keluarga Matulessy berkumpul. Hanya satu yang sudah lama ini tak menampakkan batang hidungnya.
Nicholas Matulessy, putra sulung keluarga itu.
"Kayak nggak kenal Bang Nicho aja, dia kan hobi menghilang, palingan sekarang dia lagi sama cewek-cewek barunya dibelahan benua lain." ujar Michelle, anak ketiga keluarga Matulessy. Di meja itu selain Reza dan Prilly, juga ada adik-adik Reza lainnya.
Michelle dan Sandrinna si bungsu.
"Bang Nicho nggak pernah kayak gini sebelumnya!" Sandrinna memprotes ucapan Michelle. Sandrinna tahu benar, sang kakak meskipun jarang pulang ke rumah tapi tak pernah sekalipun melupakan ulang tahunnya yang sudah lewat 3 hari lalu.
"Udah beberapa hari ini Bang Nicho nggak bisa dihubungin, bahkan dia sampe nggak inget sama ulang tahunku!" Protes Sandrinna lagi, mata si bungsu berkaca-kaca, ingin rasanya Sandrinna menangis. Entah dimana keberadaan anak tertua keluarga Matulessy itu saat ini.
"Nanti juga Bang Nicho pulang, San, mungkin dia mau kasih kamu surprise.." hibur Michelle lagi,
"Tapi Bang Nicho nggak pernah kayak gini, Kak! Perasaanku nggak enak. Bang Reza, Apa nggak kita laporin aja ke polisi?" rengek Sandrinna pada kakak keduanya. Prilly melirik Sandrinna, melihat kepanikan di wajah gadis yang baru beranjak 17 tahun itu.
"San, Nicho pasti pulang. Kamu inget kan dulu dia juga pernah kayak gini? Ngilang nggak ada kabar ternyata liburan sama pacar barunya. Nicho cuma lagi nggak mau di ganggu aja." Reza memberi pengertian pada sang adik, lagi pula untuk apa melaporkan pria dewasa yang hobby bersenang-senang itu ke polisi? Mengingat sikap Nicho yang sering menghilang dan kembali semaunya seperti sebelumnya.
"Kalau terjadi sesuatu sama Bang Nicho gimana, Bang? Apa kalian nggak ada yang khawatir sama Bang Nicho???" Sandrinna masih tak terima dengan pernyataan kedua kakaknya.
"Bukan gitu, San..."
"Bang, gimana kalau Bang Nicho di culik? Gimana kalau dia dalam bahaya?" lanjut Sandrinna panik.
Michelle memutar bola matanya, sebal dengan reaksi berlebihan sang adik padahal ini baru empat hari Nicho tak ada kabar, bahkan dia pernah menghilang lebih lama dari ini.
"Oh come on, San! Jangan kayak anak kecil deh. Kamu pikir Bang Nicho suka kalau terus-terusan kamu ganggu kayak gini? Dia juga butuh privasi. Kamu harus terbiasa tanpa Bang Nicho, dia juga punya kehidupan sendiri nggak harus ngurusin kamu terus seumur hidup!" omel Michelle pada sang adik.
"Chell!" Prilly memprotes ucapan Michelle yang sangat keterlaluan. Sandrinna sangat dekat dengan Nicho dan Sandrinna lah yang paling merasa kehilangan dengan ketiadaan sang kakak.
Sandrinna menatap mata cokelat Michelle penuh kebencian, dadanya naik turun menahan marah dengan ucapan kakak perempuannya.
"Kalau mama sama papa masih ada, mereka pasti udah ngelaporin ke polisi, kalian emang nggak pernah perduli sama keluarga ini cuma mikirin urusan kalian sendiri!" teriak Sandrinna berdiri dari kursinya, melempar serbet ke atas meja lalu berlari meninggalkan meja makan.
"San!" panggil Reza pada Sandrinna yang tetap tak memperdulikan teriakan Abang keduanya itu.
"Jangan kayak gitu Chell, maklumin aja Sandrinna kan masih anak-anak, dia cuma kecewa sama Nicho karena tahun ini Nicho ngelupain ulang tahunnya" ujar Reza.
"Iya maklumin aja lah, Chell..." timpal Prilly. Prilly sangat menyayangi si Bungsu. Prilly cukup dekat dengan Sandrinna.
"Dia itu Drama Queen! Sukanya nyari perhatian!" jawab Michelle ketus.
"Dia adik kamu..." sahut Reza.
"Emang abang percaya omongan Sandrinna? Abang percaya kalo Bang Nicho diculiklah atau apalah? Percaya gitu??? Kalau emang abang percaya kenapa abang nggak ngelaporin Bang Nicho ke polisi dari kemarin-kemarin???" tantang Michelle.
"Chell, udahlah..." Prilly sang calon kakak Ipar sekaligus teman semasa dikampusnya dulu berusaha mencegah perdebatan antara kakak beradik tersebut.
"Prill, lo percaya sama Sandrinna?" tanya Michelle yang seumuran dengan Prilly.
Prilly tak menjawab. Sesungguhnya Prilly enggan membahas soal Nicho karena Prilly enggan menyebut nama calon kakak iparnya itu.
"See? Nggak ada yang percaya kan?" ujar Michelle lagi "Lo sama Bang Reza juga pasti punya pikiran yang sama kan kayak gue??"
Prilly dan Reza terdiam.
"Kalian tuh jangan terlalu manjain Sandrinna, dia emang adik kita tapi dia bukan anak kecil lagi. Dia udah 17 tahun. Dia harus bisa nerima kenyataan kalau nggak semua yang dia mau bisa dia dapetin. Nggak semua perhatian Bang nicho harus tertuju cuma untuk dia. Bang Nicho juga punya kehidupannya sendiri. Jadi nggak perlu di dikte terus-terusan kayak gini!" terang Michelle lagi.
Prilly berdiri dari kursi makannya, Ia lebih baik mengecek keadaan Sandrinna daripada mendengar ocehan Michelle.
"Biar aku yang ngomong sama Sandrinna. Kalian terusin aja makan malamnya." Ujar Prilly, dikecupnya pipi Reza sekilas lalu pergi dari meja makan berukuran besar itu.
~~~~
Knock! Knock!
"San!" panggil Prilly pelan di depan pintu kamar sang bungsu "Kakak boleh masuk?" tanya Prilly lagi, suaranya sangat amat lembut.
Tak berapa lama, pintu kamar Sandrinna terbuka, gadis berambut cokelat sebahu itu berdiri di ambang pintu dengan mata sembabnya.
"Nobody trust me, Kak!" keluh Sandrinna seraya memeluk Prilly dan menangis sejadinya. Si bungsu terisak kuat, seperti seseorang yang baru saja mendapat kabar duka.
Prilly mengusap-usap punggung Sandrinna, mencoba menenangkan tangisnya seraya berjalan masuk ke dalam kamar gadis remaja itu.
Mereka terduduk di pinggir ranjang sang gadis.
"I had a dream about him, a bad dream..." curhatnya.
Prilly menghela nafasnya, mengusap lembut jemari lentik calon adik iparnya itu.
"Bang Nicho tuh nggak pernah kayak gini sebelumnya. Sesibuk apa pun bang Nicho selalu inget ulang tahun aku, bahkan meskipun Bang Nicho lagi sama pacar-pacarnya itu Bang Nicho selalu angkat telepon aku kak!" cerita Sandrinna soal kecemasan dan kecurigaan hatinya tentang menghilangnya sang kakak beberapa hari terakhir ini.
"San, kakak tahu kamu kangen dan khawatir sama Nicho. Tapi kamu nggak boleh mikir yang enggak-enggak, siapa tahu Nicho emang lagi pengen sendiri. Selama ini Nicho udah ngurusin kalian semua kan, ngurusin kamu sejak Papa sama Mama meninggal. Ini saatnya Nicho ngurus dirinya sendiri. Biarin dia nikmatin hidupnya...." jelas gadis 28 tahun itu mencoba membuat si bungsu mengerti.
Sandrinna terlihat berfikir dengan kata-kata sang calon kakak ipar. Memang benar, setelah kedua orang tuanya meninggal dua tahun lalu Nicho lah yang banyak mengurus mereka dibantu oleh Reza. Meskipun Nicho jarang pulang ke rumah ini, Nicho selalu bertanggung jawab pada keluarganya terutama pada kedua adik perempuannya.
Apakah benar Nicho mulai lelah dan ingin kembali mengambil kebebasannya seperti dulu?
"Aku tahu kak, tapi seenggaknya laporin dulu lah ke polisi, bisa kan? Kalau emang ternyata Bang Nicho baik-baik saja aku jadi tenang, nggak masalah kalo dia nggak pulang yang penting aku tahu kabar Bang Nicho..." pinta Sandrinna.
"Kakak nggak punya hak untuk ngelaporin soal ini, San, Kakak belum menjadi bagian keluarga kalian..." jawab Prilly.
"Kalau bukan Kak Prilly siapa lagi? Kak Michelle sama Bang Reza pasti juga nolak. cuma kak Prilly yang bisa nolongin aku.." rengek Sandrinna setengah memelas.
Prilly menatap Sandrinna penuh penyesalan.
"Maaf San, bukannya Kakak nggak mau, tapi kakak bener-bener nggak bisa...." tolak Prilly.
Sandrinna menghela nafasnya, kecewa.
"Padahal aku kira Kak Prilly peduli sama Bang Nicho, kakak kan lumayan deket sama Bang Nicho..." ucap Sandrinna membuat Prilly sedikit terlonjak kaget.
"Maksudnya?" tanya Prilly.
"Iya Kak Prilly kan lumayan deket sama Bang Nicho, kalian sering ngobrol kan? Aku sering lihat kakak ngobrol di guest house sama Bang Nicho waktu kakak belum pindah kesini..." jawab Sandrinna dengan polosnya.
Rumah keluarga Matulessy memang memiliki sebuah guest house di belakang rumah utama yang biasa dipakai untuk para tamu yang menginap disana. Enam bulan lalu Reza meminta Prilly untuk tinggal di Guest House milik keluarganya dan seminggu yang lalu Reza memintanya untuk pindah ke rumah utama karena tak lama lagi mereka akan menikah dan Prilly akan menjadi bagian dari keluarga mereka.
"Kakak sama Bang Nicho nggak deket kok, kita cuma ngobrol untuk pembukaan art galeri punya kakak." sanggah Prilly, enggan dikaitkan dengan sang kakak ipar "Tapi meskipun kakak dan Bang Nicho ngga deket, bukan berarti kakak nggak peduli. Kakak peduli sama Bang Nicho sama kayak kakak peduli ke kamu, Michelle atau Bang Reza." jelasnya lagi.
Sandrinna mengangguk "Iya, Aku tahu..." katanya pelan.
"Udah jangan terlalu dipikirin ya, kamu kan udah kelas tiga udah mulai banyak ujian. Bang Nicho pasti cuma lagi pengen main aja jadi sedikit ngelupain adik kesayangannya ini.Siapa tahu minggu ini dia pulang." hibur Prilly seraya memeluk penuh sayang gadis cantik itu.
Sandrinna tersenyum, Ia berharap apa yang Prilly katakan benar terjadi, Ia berharap sang kakak baik baik saja di luar sana dan hanya sedikit melupakannya adik tercintanya.
~~~~
MOVENPICK CAFE - JIMBARAN BALI.
"Sebenarnya lo ngajak gue kesini untuk ngobrol atau untuk ngelamun sih, Prill?" Desta, sahabat sekaligus investor dan manager di galeri seni miliknya protes karena sejak setengah jam mereka berada di cafe ini Prilly lebih banyak bengong dan terdiam. Prilly hanya mengaduk-aduk minuman yang Ia pesan 15 menit yang lalu tanpa di minumnya sedikitpun, pandangannya menerawang dan pikirannya melayang entah kemana.
"Sorry, kenapa Ta?" Prilly tersadar dari lamunannya.
"Tuhkan bener, lo ngelamun dari tadi!" ujar Desta lagi sambil menyeruput ice cappucino dihadapannya.
"Sorry sorry, gue lagi pusing banget Ta akhir-akhir ini..." jawab Prilly setelah jiwanya kembali ke bumi.
"Lo kenapa?Ada yang mau lo ceritain?" tanya Desta, khawatir dengan kondisi Prilly yang terlihat tidak baik-baik saja.
Prilly menggeleng "I'm fine, Ta. Cuma pusing aja mikirin kerjaan, mikirin persiapan pernikahan gue ditambah soal Nicho..." jawabnya.
"Tuh orang belom balik juga emangnya???" Desta tahu sudah hampir satu minggu ini pria 36 tahun itu tak ada kabar sama sekali.
Prilly menggeleng "Sandrinna minta gue buat ngelaporin ke polisi.."
"Kok elo? Kenapa nggak Reza aja?"
"Reza bilang Nicho paling cuma lagi males pulang aja kayak biasanya. Jadi Reza males ngebesar-besarin hal nggak penting kayak gini, makanya Sandrinna minta bantuan gue yang laporin ke polisi karena dia pikir Nicho diculik atau apa lah..." curhat Prilly bingung.
"Yaelaahh, siapa juga yang mau nyulik Nicho?? Yang ada dia kali yang sering nyulik cewek-cewek terus dibawa ke villanya!" sindir Desta dengan malasnya mengingat Nicho yang sudah sangat Desta kenal luar dan dalam sejak bertahun-tahun lalu.
"Jangan ngomong gitu ah, Ta!" Prilly tak suka dengan ucapan sang sahabat, takut didengar orang-orang.
"Emang iya kan? Dia kan hobbynya party di villa rahasianya itu sama cewek-cewek!" omel Desta, sebal mengingat peristwa satu tahun lalu dengan pria itu.
Keluarga Desta dan keluarga Matulessy sudah bersahabat dalam bisnis sejak Desta masih kanak-kanak, jadi tak heran jika dia dan Nicho pun jadi sering bertemu dari mulai acara keluarga maupun event bisnis. Bahkan satu tahun belakangan ini sebenarnya mereka sempat dekat. Desta pernah beberapa kali menghabiskan malamnya bersama pria 36 tahun itu di villa pribadi milik Nicho. Jujur saja tadinya Desta sempat berharap lebih dengan hubungannya dengan pria tampan itu tapi ketika dengan mata kepalanya sendiri Desta memergoki Nicho tidur dengan banyak wanita, Desta pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mundur. Ia sungguh membenci sulung dari keluarga Matulessy itu dengan sepenuh hatinya. Terlebih lagi ketika Prilly menceritakan apa yang pria sialan itu lakukan pada sahabatnya beberapa bulan lalu. Makin menjadilah kebenciannya.
Prilly tak membalas atau pun membantah ucapan sang sahabat karena memang begitulah faktanya. Pria itu punya sebuah villa pribadi yang tak diketahui oleh saudara-saudaranya yang biasa dia pakai untuk membawa gadis-gadis yang dikencaninya.
"Bulan depan lo sama Reza kan mau nikah, gue doain deh semoga tuh orang tetap ngilang sampe lo selesai nikah biar dia nggak ngerecokin pernikahan lo sama Reza!" Desta kembali menyeruput minuman favoritnya yang masih setengah cup lagi tanpa mengetahui kalau sang sahabat juga diam-diam mengaminkan doanya "By the way, Reza udah tahu soal itu?" lanjut Desta.
Prilly mendelik dengan wajah cemasnya. Sejujurnya Ia tak suka membahas soal ini pada siapa pun bahkan pada Desta sekali pun.
"Reza masih belum tahu kalau Nicho juga suka sama lo??" tanya Desta lagi.
"Ta..." ujar Prilly "Jangan bahas soal itu disini..." pinta Prilly lagi. Wajah ketakutannya begitu jelas terlihat setiap kali Ia membicarakan topik yang satu itu. Risih.
"Gue yakin, Nicho sengaja menghilang cuma mau nyari perhatian lo doank. Dia pasti sakit hati setelah lo tolak mentah-mentah waktu itu. Gue harap tuh orang nggak akan dateng lagi ke hidup lo!" ujar Desta jujur "Semoga tuh orang nggak akan muncul tiba-tiba deh pas lo sama Reza nikah nanti..."
"Lagian lo kenapa sih nggak mau ngasih tahu Reza soal kelakuan kakaknya yang brengsek itu?" tanya Desta "Tuh orang udah kurang ajar sama tunangan adeknya, kalo jadi lo sih udah gue aduin ke Reza!" lanjut Desta menggebu-gebu seperti meluapkan dendam kesumatnya pada Nicho.
"Gue nggak mau ngerusak hubungan Nicho sama Reza, gue nggak mau bikin mereka jadi ribut karena hal sepele!" jawab Prilly bijak.
Selama ini Prilly mencoba melupakan itu semua, melupakan persoalannya dengan Nicho dan pernyataan cintanya pada dirinya. Prilly sengaja ingin menguburnya rapat-rapat berusaha menyimpan itu semua dari Reza dan adik-adik iparnya karena ia tak ingin hubungan keluarga mereka rusak karena ulah pria itu.
Prilly jadi ingat pertengkarannya dengan Nicho ketika Nicho mengungkapkan perasaanya untuk pertama kalinya 3 bulan yang lalu. Malam itu mereka berdua sedang berbincang-bincang mengenai Art Gallery yang akan Prilly buka di kawasan Denpasar. Sudah beberapa bulan ini Nicho dan Prilly memang banyak berinteraksi karena pria itu lah yang merekomendasikan para seniman-seniman Bali untuk mengisi Gallery-nya nanti. Mereka berbincang di balkon guest house yang saat itu masih Prilly tempati di kediaman keluarga Matulessy. Kebetulan malam itu Reza dan Michelle sedang meeting di Singapore dan entah kenapa percakapan yang tadinya hanya seputar Gallery beralih menjadi topik yang lebih pribadi.
*FLASHBACK*
4 BULAN SEBELUM PERNIKAHAN.
GUEST HOUSE OF MATULESSY - SEMINYAK, BALI. FRONT BALCONY : 10.17 PM
"Apa yang kamu suka dari Reza?" Nicho tiba-tiba saja mengubah topik obrolan mereka, membuat Prilly terkejut. Dia menoleh dan saling tatap dengan Nicho yang duduk di kursi sebelah kirinya.
"Kenapa?" Prilly balik bertanya, agak ketus.
"Nggak apa-apa cuma pengen tahu aja, apa kelebihan Reza dibanding aku?" tanya Nicho serius.
"Seriously?" Mata Prilly membelalak tak percaya dengan pendengarannya barusan.
Apa-apaan pria ini??
"Aku tanya apa yang bikin kamu lebih milih Reza dari pada aku?" ulangnya "Kalau kamu mau harta dan jabatan, aku punya sama banyaknya dengan Reza. Soal wajah Aku juga nggak kalah ganteng dari dia. Lalu kalau soal ranjang... you know right, that i am better than him in bed. So... apa yang kamu cari dari adikku? Karena aku merasa punya semua yang kamu butuhin, Prill!" jelas Nicho dengan percaya dirinya, mata pria tampan itu memerah karena alkohol yang sudah ditengaknya sejak dua jam tadi mereka mengobrol disana.
"I think you drunk! Udah malem, mendingan kamu balik ke rumah sekarang!" Prilly beranjak dari kursi balkon dan bersiap masuk ke dalam kamarnya di guest house itu.
"Please don't go..." Nicho menahan lengan Prilly, tak membiarkannya pergi dari hadapannya barang selangkah pun. gadis itu pun menghentikan langkahnya. Entah kenapa kakinya mendadak kaku tidak dapat digerakan.
"I can give you everything you want more than my brother gave you, please cancel your marriage with him, Prill..." pinta Nicho serius.
Nicho pasti sudah gila....
Sungguh, jika Nicho hanya sekedar melucu, Prilly merasa hal seperti ini tidak pantas di jadikan lelucon. Nicho sedang berada di kediaman keluarganya, bagaimana bisa pria itu dengan entengnya mengatakan hal semacam itu pada calon adik iparnya!
"I love you, Prill.." suara lembut nan memelas Nicho menggema di udara malam yang dingin membuat jantung Prilly melemah. Rasanya darahnya seketika turun dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya.
Mereka berhadapan satu sama lain ditemani suara rintik hujan yang terdengar sayup-sayup jatuh ke atas atap.
Tubuh Prilly meremang ketika tangan pria itu mulai menyentuh kulitnya. Nicho menyentuh pundaknya yang sedang terpampang bebas malam itu karena pakaian yang Prilly kenakan tak menutupi bagian pundak dan punggungnya dan itu membuat Prilly menyesal mengenakannya.
"Prill..." Nicho kembali mengusap pundak wanita 28 tahun itu dengan lembut "I want you... more..." sementara itu Prilly masih diam tak mampu berkata-kata.
"Please...." mohon Nicho memelas.
Prilly menghentakan pundaknya dengan marah "I think you should go!" Usirnya "I assume you never said that to me. I hope this conversation will end here. You need to know that I love Reza unconditionally. Not because of his wealth, not because of his face or sex. I love Reza because the way he is. That's all." jelas Prilly memberanikan dirinya untuk menatap Nicho dan wajah tampannya yang sedikit kemerahan karena agak mabuk.
"Aku serius..." Nicho meraih paksa wajah Prilly dengan suaranya yang parau.
"For God's sake, Nicho, I'm your brother's fiancé!" ditepisnya dengan kasar tangan Nicho yang menyentuh wajah mulusnya.
Nicho menertawakan ucapan sang gadis, seperti meledek kata-katanya.
"I DON'T CARE!" tembak Nicho langsung di depan wajah cantik Prilly "Have you forgot what we...."
"That was a mistake!!!" bentak Prilly menyerobot ucapan Nicho dengan cepat.
"Sayang... please..."
"Don't call me like that, it's only for Reza!" omel Prilly tak suka Nicho memanggilnya dengan sebutan sayang "Sebaiknya kamu pergi dari sini dan JANGAN pernah deketin aku lagi, ngerti?" ancam Prilly dengan serius...
*FLASHBACK END*
~~~
2 MINGGU SEBELUM PERNIKAHAN.
MAIN HOUSE OF MATULESSY - MAIN LIVING ROOM : 5.11 PM.
Mobil mewah yang dikendarai Prilly berhenti di depan pintu utama kediaman Matulessy, ketika keluar dari mobil mewahnya itu Ia melihat sudah banyak polisi lalu lalang di rumah mewah bergaya eropa klasik itu. Jantung Prilly berdetak sangat cepat, seperti genderang yang di tabuh berkali kali tanpa henti.
Prilly melangkah memasuki ruang utama kastil megah itu, wajahnya memperlihatkan kekhawatiran dan perasaannya tidak karuan. Kenapa banyak polisi disini? Apa yang terjadi?
Prilly menyapu pandangannya ke segala arah dan ketika memasuki ruang tamu, dilihatnya anak-anak keluarga Matulessy sudah ramai berkumpul disana. Pandangan Prilly tertuju pada Reza dan Sandrinna. Prilly dapat melihat keterkejutan di wajah sang kekasih, pria berambut ikal itu terduduk dengan raut sedih di wajahnya.
Sedangkan Sandrinna, menangis meraung-raung di pelukan Michelle. Suara tangisnya memenuhi ruang keluarga yang luas itu. Beberapa polisi mengerubungi mereka bertiga sedangkan polisi yang lainnya menanyai para pekerja di rumah itu.
Dada Prilly sesak dan jantungnya berdebar begitu kencang...
"Za..." panggil Prilly mendekati Reza di ruang tamu, pria itu menengadah dari duduknya, menatap wajah Prilly dengan mata yang basah "Ada apa?" lanjutnya.
"Nicho..." ujar Reza bersuara dengan suaranya yang parau.
"Nicho kenapa?"
"Mereka nemuin jasad Nicho..."
Deg.
"Nicho meninggal..."
Tubuh Prilly lunglai, mendadak persendiannya seperti meleleh mendengar kabar buruk ini.
"Prill..." Reza menangkap tubuh mungil Prilly yang nyaris jatuh kemudian membawanya duduk di sofa "Are you okay?"
Prilly menggeleng pelan, kepalanya terlalu sakit mendapatkan kabar ini. Ia seperti tersambar petir mendengarnya, bagaimana bisa...
Prilly tak dapat berkata-kata. Tak ada yang dapat Prilly utarakan. Ia tercekat. Tak mampu bersuara. Tidak pula demi menenangkan keluarga kekasihnya. Yang dapat Prilly lakukan hanya memeluk Reza dengan erat, menatap Sandrinna dan Michelle yang menangis bersamaan di ujung sofa.
Mereka... menemukan... jasad Nicho...
***
RUANG JENAZAH - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, Denpasar - Bali.
Setelah mendapatkan kabar duka dari pihak kepolisian, Reza dan yang lainnya bergegas menuju RSUP Prof Ngoerah yang berlokasi di daerah Denpasar. Pihak kepolisian meminta keluarga untuk mengidentifikasi jenazah tersebut apakah benar Nicholas Matulessy.
Reza, Prilly dan kedua adiknya memasuki ruangan rumah sakit menuju ruang jenazah. Sepanjang perjalanan menuju tempat duka tersebut, Prilly tak pernah melepas genggaman tangannya pada Reza. Kepalanya pening dan jantungnya berdegup kuat. Sementara itu Sandrinna dan Michelle tak putus menangis sejak tadi. Sandrinna berharap kalau ini semua hanya mimpi belaka, Ia berharap jenazah yang nanti akan mereka lihat bukan jenazah sang kakak.
Sesampainya didepan kamar jenazah, seseorang bertubuh tinggi tegap dan bermata agak sipit datang mendekati mereka semua. Pria tampan berwajah oriental itu mengenakan snelli putih khas dokter . Begitu melihat Reza dan keluarganya, sang pria tersenyum ramah seraya menyalami mereka.
"Malam Pak Reza..." sapa sang pria dengan hormat seraya mengulurkan tangannya, seperti sudah mengenal Reza dengan baik.
"Selamat malam dr.Rio." balas Reza menyalami pria bernama Rio yang adalah dokter forensic yang akan menangani kasus sang kakak "Maaf merepotkan malam-malam begini." lanjut Reza lagi meminta salah satu petinggi kepolisian dan kedokteran itu untuk mengambil kasus Nicho.
"Sudah menjadi tugas saya...." jawab dr.Rio ramah.
"Terima kasih. Saya percayakan semua pada dokter Rio.." balas Reza lagi.
"Saya menerima informasi mengenai penemuan jenazah tersebut pagi ini dan setelah diselidiki dapat dipastikan jika jenazah tersebut adalah Nicholas Matulessy, kakak Anda. Mungkin untuk dapat lebih memastikannya anda dan keluarga dapat mengidentifikasi jenazahnya langsung.." jelas Rio, meminta Reza untuk mengidentifikasi jenazah yang diduga adalah Nicho.
Reza mengangguk "Boleh saya lihat sekarang?" tanya Reza.
"Baik, silahkan Pak Reza..." dr.Rio menyuruh pihak rumah sakit untuk membuka kamar jenazah di depan mereka.
Reza melirik Prilly yang berjalan disamping kirinya yang sedari tadi masih menggandeng lengannya, Reza dapat merasakan tangan Prilly begitu dingin. Gadis cantik ini pasti merasakan hal yang sama dengan dirinya, takut dan juga cemas, apalagi ini kali pertamanya melakukan identifikasi jenazah.
"Sayang, kamu yakin mau lihat ini?" Reza menggenggam jemari Prilly mencoba menenangkan sang kekasih, Reza takut calon istrinya itu tak kuasa dengan apa yang akan mereka saksikan.
Prilly mengangguk yakin. Bagaimana pun Prilly harus memastikan jika jasad yang polisi temukan benar adalah Nicho.
"San, Chell, kalian juga yakin mau lihat ini?" Reza melirik pada kedua adiknya yang berada disamping kanannya ketika mereka berempat sudah masuk ke dalam kamar jenazah.
Sandrinna dan Michelle menggangguk berbarengan masih dengan sesegukannya.
"Pak Reza, silahkan." dr.Rio menyuruh mereka mendekat pada seonggok jenazah yang berada diatas meja otopsi di dalam ruangan itu. Jasad itu masih tertutup oleh kain putih, dari jarak beberapa meter mereka bahkan sudah dapat mencium bau danur yang cukup menyengat dihidung. Prilly tak kuasa dengan baunya hingga dengan cepat menutup hidungnya dengan tangan kanannya meskipun sebenarnya Ia sudah menggunakan masker.
dr. Rio mendekati meja otopsi dan dengan perlahan membuka kain yang menutup jenazah tersebut, ketika dibuka, jantung mereka nyaris saja keluar dari tempatnya saking kagetnya.
Disana diatas meja berbahan stainless sesosok tubuh laki-laki terpampang didepan mata mereka, kulitnya sudah mulai membusuk berwarna pucat pasi dan tubuhnya sudah bengkak karena sudah lama berada didalam air. Danur keluar dengan banyaknya diatas meja otopsi hingga menimbulkan bau yang tidak sedap membuat Reza dan yang lainnya merasakan mual yang teramat.
Prilly mencengkram lengan kiri Reza dengan kencang, berusaha menahan agar tidak memuntahkan isi perutnya didepan mereka semua karena mual yang sudah teramat akibat keterkejutannya melihat jasad dihadapannya. Dengan cepat Prilly memalingkan wajahnya dari pandangan mengerikan yang baru saja ia lihat untuk pertama kali dihidupnya itu.
"Bang Nichoooooo!!!" Sandrinna menjerit meraung-raung karena ia mengenali sosok yang sudah menjadi mayat busuk itu adalah kakak kesayangannya yang sudah hilang hampir dua minggu ini. Sandrinna mengenali Nicho hanya dengan sekali lihat, padahal jasad sang kakak sudah membusuk parah.
"Ini bukan Bang Nicho kan Bang?" tangis Michelle, tak percaya dengan mata penglihatannya seraya memeluk Sandrinna yang ada disampingnya "Nggak mungkin Bang Nicho ninggalin kita, Bang..." rengek Michelle sesegukan. dr.Rio menutup jenazah Nicho dengan cepat, tak ingin keluarganya melihat tubuh membusuk itu lebih lama.
Keduanya sesegukan begitu histeris sementara itu Reza hanya mematung menyaksikan pemandangan mengenaskan itu, tak mampu berkata-kata.
"This is all your fault!" jerit Sandrinna histeris pada kakak keduanya.
"San, don't say that, honey...." Prilly mencoba menenangkan calon adik iparnya itu.
"Kalau aja Bang Reza mau ngelaporin ke polisi dari awal, pasti semuanya nggak akan jadi kayak begini!" tangis Sandrinna lagi.
"San, stop it....." Michelle yang masih menangis membantu Prilly menenangkan sang bungsu.
"Kalian semua emang nggak ada yang peduli sama Bang Nicho, aku benci kalian semuaaa! Benciiii!" Sandrinna berlari keluar ruang jenazah dengan tangis yang menjadi-jadi.
"San!!" Michelle mengekori sang adik penuh cemas.
Sementara itu Reza masih mematung tak tahu harus melakukan apa saat ini, dia terlalu shock untuk bereaksi ataupun merespon kehisterisan sang adik. Dalam 2 tahun ini mereka sudah kehilangan 3 orang keluarganya sekaligus, kini hanya Reza lah sosok yang dituakan di keluarga mereka.
"Pak Reza.." panggil dokter patologi forensic berusia 38 tahun itu mencoba menyadarkan Reza dari lamunannya tapi Reza tetap tak bergeming. Matanya masih terpaku pada jenazah yang sudah tertutup kain putih didepannya.
"Sayang,..." ujar Prilly ikut membantu membuat ruh Reza kembali ke bumi.
Pria 32 tahun itu tersadar kemudian mengusap wajahnya yang terlihat panik dan pucat pasi "Are you okay?" tanya Prilly cemas melihat sang tunangan yang tak mengeluarkan suara sejak tadi.
Reza mengangguk.
"Jika anda mengizinkan, kami akan mengotopsi lebih lanjut jenazahnya agar kami dapat lebih jauh mengetahui penyebab kematian Pak Nicho." saran dr.Rio.
Prilly melirik sang calon suami "Za..." diusapnya bahu kanan Reza dengan lembut.
"Ya, dr.Rio. Saya mohon bantuannya." jawab Reza yakin "Dan jika proses otopsi selesai saya mohon untuk mengabari saya terlebih dahulu." lanjut Reza yang sudah mengenal pejabat-pejabat kepolisian di Bali sejak orang tuanya masih ada.
Nama keluarga Matulessy bukanlah nama yang asing bagi pengusaha atau pun para pejabat tinggi di Bali. Keluarga mereka adalah pebisnis ternama di kawasan Jimbaran dan sejak kedua orang tua Reza meninggal, Reza dan Nicho lah yang mengurus perusahaan keluarga mereka yang bergerak dibidang property.
"Baik, Pak Reza!" jawab dr.Rio penuh hormat.
"dr. Rio, saya harap kabar mengenai Nicho tidak sampai keluar ke media. Saya tidak ingin keluarga kami menjadi gosip media dan spekulasi jelek publik." pinta Reza mengenai meninggalnya sang kakak yang masih menjadi misteri.
"Saya dan team akan mengusahakan agar berita ini tidak keluar ke media." balas pria bernama lengkap Kombes.Pol. Dr. dr. Rio Dewantoro, M.H,.Sp.FM itu yang bertugas sebagai Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian di Bali.
***
MAIN HOUSE OF MATULESSY - KAMAR REZA : 00.32 AM.
Reza memandangi Prilly yang berdiri di balkon kamarnya. Udara malam yang dingin tak membuat gadis itu mau beralih dari sana. Setelah mendapatkan kabar tentang kematian Nicho, Prilly memang lebih banyak diam dan melamun.
Jasad Nicho ditemukan di kawasan Pecatu, Uluwatu. Jasadnya tersangkut diantara karang-karang di sekitar kawasan Padang Beach. Siang itu ada turis luar yang ingin mengunjungi tempat itu, Padang Beach memang belum seramai pantai lainnya dikawasan Pecatu, jadi ada beberapa turis yang memang menyukai lokasi yang sepi lebih memilih mengunjungi pantai itu. Terlebih lagi para turis Australia itu menginap di Villa yang tak begitu jauh dari lokasi. Ketika hendak berjemur di pantai, mereka melihat sesuatu yang awalnya mereka kira adalah tumpukan ranting-ranting pohon dan sampah. Namun ketika didekati ternyata itu adalah sosok mayat dengan posisi telungkup.
Tubuhnya sudah membusuk dan membengkak sangat parah. Tanpa pikir panjang, sang turis pun melaporkan kejadian itu pada pihak yang berwajib dan setelah diselidiki ternyata jasad itu adalah jasad Nicholas Matulessy yang sudah hampir 2 minggu ini tak terlihat batang hidungnya.
Polisi sempat menginterogasi Reza dan adik-adiknya, kenapa mereka tidak melaporkan kehilangan sanak saudara mereka kendati mereka tahu sang kakak sudah hilang lebih dari seminggu. Namum Reza memberikan alasan jika Nicho memang sering kali pergi tanpa memberikan kabar dan nanti akan kembali dengan sendirinya, karena itulah Reza tidak melaporkannya.
Prilly masih ingat tatapan kebencian dan duka dari Sandrinna ketika Reza menjawab pertanyaan polisi saat itu, karena gadis remaja itulah yang sudah berkali-kali meminta Reza untuk melaporkan hilangnya Nicho namun tidak pernah dianggap serius oleh sang kakak, dan ketika firasat Sandrinna terbukti, semuanya sudah sangat terlambat.
Reza menatap figure sang kekasih yang berdiri membelakanginya. Gadis berdarah campuran itu termenung menatap langit malam yang tanpa bintang. Tubuh indahnya berbalut oversize piyama lingerie putih berbahan satin membuat lekuk tubuh Prilly terpajang begitu indahnya. Kulitnya yang mulus khas wanita kaukasian dan rambut kecokelatannya yang tergerai terkena angin malam membuat Reza semakin menggagumi sosok cantik itu. Reza dan Prilly sudah menjalin hubungan setahun terakhir ini dan 3 bulan lalu akhirnya Reza memutuskan untuk melamar dan menikahi sang kekasih.
Prilly adalah mantan karyawan di salah satu resort yang saat itu Reza pegang, sebuah Resort mewah di kawasan Nusa Dua, Bali. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sang gadis, ia tak pernah mencintai seseorang sebesar ini sebelumnya ditambah lagi kehidupan Prilly yang membuat Reza semakin bersimpati. Gadis itu hidup sendiri sejak remaja. Ibunya yang warga negara Australi pergi meninggalkannya ketika usianya baru menginjak 3 bulan dan sang ayah meninggal karena sakit ketika Prilly berusia 19 tahun. Prilly bekerja serabutan hingga membiayai kuliahnya hingga selesai dan hidup mandiri. Itulah mengapa Reza semakin menganggumi gadis muda itu.
Reza berjalan mendekati Prilly dari belakang, membawa sweater untuk melindungi tubuh sang kekasih dari udara dingin. Dipakaikannya sweater itu seraya memeluk calon istrinya itu dengan lembut.
"hei..." bisik Reza lembut "Sudah tengah malam, kamu nggak mau masuk?" Reza mengecup tengkuk leher Prilly seraya berbisik ditelinganya.
Prilly tak langsung menjawab, mata gadis cantik itu menerawang ke depan tepat ke arah halaman belakang kediaman Matulessy yang terdapat sebuah guest house yang dulu Ia pernah tempati.
"Nanti kamu sakit..." lanjut Reza lagi, peduli.
Prilly berbalik perlahan seraya menghadap sang pria dengan senyumnya yang penuh rasa cemas.
"Aku nggak bisa tidur..." jawab Prilly lembut.
"Kamu masih mimpiin hal yang sama?" tanya Reza.
Prilly mengangguk mengiyakan.
"Lebih baik kamu konsul sama Dr. Raline, aku buatin janji ya sama beliau?" tawar Reza peduli.
Prilly menggeleng "Nggak perlu, sayang..." ujar Prilly pelan.
Beberapa detik setelahnya Prilly tiba-tiba mengaduh pelan, Ia merasakan kepalanya berdenyut dan pandangannya berkunang-kunang. Sudah beberapa minggu ini sakit kepalanya sering sekali menyerang secara tiba-tiba seperti hari ini.
"Sayang?" Reza menangkap tubuh lunglai Prilly yang hampir terjatuh "Are you okay?"
Prilly menggeleng "Biasalah. Migrain." jawabnya mencoba untuk tidak membuat Reza cemas dengan keadaannya. Sudah terlalu banyak hal yang Reza urus, Ia tidak ingin membebaninya lagi dengan rasa sakitnya ini.
"Sayang kamu tuh terlalu banyak kegiatan. Ngurusin kantor, gallery, belum lagi pernikahan kita. Aku kan udah bilang gallery itu biar Desta aja yang pegang, kamu nggak perlu bolak-balik kesana setiap hari. Kamu kan bukan lagi karyawan dikeluarga ini. Sebentar lagi kamu bakalan jadi istri aku, Prill." Reza mengingatkan Prilly jika saat ini wanita bertubuh mungil itu akan menjadi bagian dari keluarga Matulessy bukan lagi karyawan di Matulessy Cliff Resort tempat Prilly bekerja dahulu.
Prilly mengangguk dan melempar senyum cantiknya. Rambut panjangnya bergoyang-goyang tertiup angin.
"I know..." jawab Prilly dengan lembut "Tapi kamu tahukan gallery itu impian aku dari dulu dan aku enjoy ngejalaninnya." jelasnya lagi.
"Tapi jangan sampai jadi beban buat kamu, aku nggak mau kamu sakit..." ujarnya seraya mendekap tubuh sang kekasih penuh rasa khawatir.
Prilly tersenyum "Iya... kamu nggak usah khawatir" katanya "Sandrinna... baik-baik aja kan?" tanya Prilly tiba-tiba teringat si bungsu.
Sandrinna adalah orang yang paling terpukul mendengar berita kematian Nicho bahkan hingga kini gadis 17 tahun itu belum mau bertemu siapapun membuat Prilly khawatir.
"Dia masih belum mau ketemu aku...." jawab Reza sedih "Sandrinna benar, harusnya aku lebih peka, meskipun Nicho jarang pulang ke rumah ini tapi Nicho nggak pernah sekalipun lupa ulang tahun Sandrinna." katanya lagi.
"It's not your fault, sayang." Prilly berusaha menenangkan Reza.
"dr. Rio bilang Nicho sudah meninggal lebih dari satu minggu...." jelas Reza tentang kematian Nicho yang mengenaskan.
"dr.Rio bilang apa lagi tadi?" tanya Prilly penasaran.
"Lusa hasil otopsinya keluar, kita akan tahu hasilnya nanti apakah kematian Nicho ini disengaja atau nggak..." jawab Reza.
"Di sengaja? Maksudnya?"
"Maksudnya alasan Nicho meninggal apakah karena kecelakaan atau... ada yang sengaja nyelakain.." balas Reza penasaran dengan hasil otopsi dari dr.Rio.
"Maksud kamu... Nicho... di bunuh?" tanya Prilly terbata.
"Semoga bukan..." jawab Reza penuh harap "I was so stupid, harusnya saat itu aku lebih peduli lagi sama Nicho. Papa Mama sudah nggak ada dan Nicho yang seharusnya bisa aku andalkan untuk ngegantiin Papa juga ikut pergi ninggalin kita semua." Reza menyalahkan dirinya sendiri.
"No no sayang, please don't say that. It's not your fault at all.." Prilly menggenggam tangan Reza penuh sayang "Semua ini udah jalannya, nggak ada yang perlu kamu sesalin." hibur Prilly.
"Sandrinna bakalan benci banget sama aku, Prill..." keluh Reza, takut hubungannya dengan sang adik tak bisa membaik setelah ini.
"Soal Sandrinna kasih dia waktu untuk sendiri, untuk berduka. Nanti disaat dia udah bisa nerima ini semua, dia pasti akan kembali normal." saran Prilly dengan bijaksana "Nicho kapan akan dimakamin?" lanjutnya.
"Setelah aku tahu apa penyebab kematian Nicho.." balas Reza.
"Apa... nggak sebaiknya kita tunda pernikahan kita, Za?" Prilly memberi usul mengingat pernikahan mereka tinggal beberapa minggu lagi.
"Nggak, nggak. Aku nggak mau pernikahan kita ditunda." Tolak Reza.
"Tapi apa pantas kalau disaat keluarga kamu sedang berkabung dan masalah Nicho belum ada kejelasan, kita malah bikin pesta?" tanya Prilly.
Reza menghela nafasnya dengan berat, Ia benar-benar nyaris lupa bahwa acara pernikahan mereka tingga sebentar lagi sedangkan masalah Nicho belum selesai.
"Maaf ya gara-gara masalah ini, jadi ngengganggu acara kita.." Reza memeluk sang tunangan penuh penyesalan "Maaf aku jadi melibatkan kamu dalam urusan keluargaku.."
"Kamu kok gitu ngomongnya? Keluarga kamu kan keluarga aku juga, Za. Lagian kan nggak masalah kalau pestanya kita mundurin sampai semuanya tenang dulu." Jelas Prilly.
"Pernikahan kita akan tetap sesuai jadwal.." jawab Reza.
"Oke, tapi, bagaimana kalau untuk resepsinya kita mundurin beberapa bulan? Seenggaknya sampai semuanya tenang." tawar Prilly.
Reza menatap Prilly "Kamu yakin mau nunda resepsinya?".
Prilly mengangguk yakin "Yang paling penting kan acara pemberkatannya bukan pestanya." Jelas Prilly yang akan melakukan acara pemberkatan nikah di Gereja Katolik Santo Silvester Pecatu Dreamland.
Reza menatap wajah cantik berparas blasteran itu penuh sayang dan kagum. Betapa beruntungnya dia memiliki Prilly disaat seperti ini. Jika saja Prilly tak ada bersamanya, entah apakah Reza sanggup menerima ini semua atau tidak. Kecelakaan pesawat kedua orang tuanya dua tahun lalu sudah membuat Reza merasa hancur dan kesepian, tapi sejak mengenal dan dekat dengan Prilly, gadis cantik itu kembali mengisi kekosongan dihatinya.
"I'm so lucky to have you..." kata Reza bersyukur "Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu disini..." ucap pria 32 tahun itu penuh syukur.
"Aku yang beruntung punya kamu dihidup aku, kamu sama keluarga kamu mau nerima orang kayak aku dikeluarga ini..." ucap Prilly tak kalah bersyukurnya karena Reza dan adik-adiknya dapat menerima Prilly dengan begitu baik. Even Michelle yang di awal terkesan jutek dan sinis, kini justru memperlakukan Prilly seperti teman seusianya.
Reza tersenyum penuh arti, menatap mata cokelat sang gadis penuh dengan cinta kemudian dikecupnya bibir pink tunangannya itu cukup lama. Tangan Prilly merengkuh pinggang Reza seraya membalas ciumannya yang cukup intense tepat didepan balkon kamarnya.
SHIT!
Tubuh Reza meremang, berdosakah Ia jika diwaktu berduka ini Ia menginginkan yang lebih dari Prilly?
Mereka berciuman semakin panas, rasanya ketegangan yang Reza rasakan beberapa minggu ini seketika terasa begitu ringan.
Reza makin merapatkan tubuhnya dan tubuh Prilly seraya mengulum bibir tipis tunangannya itu penuh nafsu hingga tanpa sadar tangan nakal Reza sudah mulai menggerayangi tubuh bagian belakang gadis itu membuat sang gadis perlahan melepaskan bibirnya dari bibir sang kekasih.
"Sayang, aku ngantuk..." ujar Wanita cantik itu sambil tersenyum dan mengelus lembut pipi Reza.
Prilly tahu sang pria menginginkan yang lebih malam ini tapi masalahnya, Prilly sedang tak bisa memberikan apa yang Reza mau saat ini. Suasana hatinya sedang tidak mendukung.
Reza tertawa kecil, menertawakan kebodohan dirinya karena berfikir yang tidak-tidak disaat keluarganya sedang berduka.
"Oke, Let's go to sleep.." balas Reza mengecup kening mulus sang tunangan seraya berjalan masuk ke dalam kamar pribadi mereka.
~~~~
2 HARI KEMUDIAN - MAIN HOUSE OF MATULESSY, SEMINYAK-BALI.
"Pak, kita puter balik ya. Ada dokumen penting yang ketinggalan." Reza memerintahkan sopir pribadinya untuk kembali ke rumah megahnya begitu Ia sadar dokumen penting yang ia butuhkan tidak ada didalam tas kerjanya.
"Baik, Pak Reza." Balas sang sopir mengiyakan. Untung saja mereka belum begitu jauh dari rumah jadi tidak akan memakan waktu lama untuk mengambil berkas-berkas itu.
Mobil yang ditumpangi Reza mulai memasuki kediaman keluarga Matulessy yang besar. Dari depan gerbang saja rumah bergaya modern itu sudah terlihat begitu megah. Di sekeliling pagarnya terdapat tanaman boxwood yang dibentuk menyesuaikan pagar rumah, ketika memasuki halaman rumah terdapat sebuah taman dengan hiasan air mancur dan dikelilingi dengan bunga lantana berwarna ungu.
Mercedez Benz-A-Class hitam milik Reza berhenti di depan lobby depan rumahnya, pria bertinggi 177cm itu keluar dan memasuki rumah kediaman keluarganya.
Di ruang makan, Reza melihat sang adik Michelle duduk sembari menikmati sandwich ditangannya. Keninga Michelle mengernyit heran melihat Reza kembali ke rumah padahal baru beberapa saat tadi dia berpamitan untuk meeting diluar.
"Loh, kok balik lagi, Bang?" Michelle menyapa sang kakak, tak melanjutkan makannya.
Reza mendekati Michelle seraya mengusap pelan kepala anak ketiga keluarga Matulessy itu.
"Iya, ada berkas yang ketinggalan." Kata Reza.
"Ohh.."
"Sandrinna masih belum mau keluar kamar?" tanya Reza melirik ke lantai atas, ke kamar sang adik.
"Belum, even sama aku juga dia belum mau ngomong banyak.." jelas Michelle tentang kondisi Sandrinna pasca ditemukannya jenazah Nicho dua hari lalu.
"Maaf ya, kalau Abang bikin kalian harus mengalami ini semua..." ujar Reza sedih, Ia heran akan takdir keluarganya yang berturur-turut dirundung duka dalam dua tahun terakhir ini.
"It's not your fault, Bang. Semua yang terjadi bukan salah Bang Reza, abang nggak perlu minta maaf." Kata Michelle bijak "Soal Sandrinna, Abang nggak usah khawatir. Biar Michelle nanti yang jelasin semuanya. Yang kehilangan bang Nicho kan bukan cuma dia, kita semua kehilangan Bang Nicho..." lanjutnya.
Reza tersenyum mendengar ucapan Michelle yang sedikit membuatnya tenang.
"Bang, hasil otopsi Bang Nicho kapan keluar?" tanya Michelle kemudian.
"Harusnya hari ini, nanti kalau ada kabar dari dokter Rio akan abang kabarin ya.." jawab Reza.
"Menurut Bang Reza, bang Nicho meninggal karena apa?" selidik Michelle "Bukan... dibunuh... kan?"
Dada Reza serasa ditonjok dengan benda tumpul ketika mendengar pertanyaan sang adik barusan, entah apa jawaban yang tepat untuk Ia berikan pada Michelle, Ia pun tak tahu.
"Kenapa kamu bisa berfikir kalau Nicho dibunuh?" Reza kaget Michelle punya pemikiran seperti itu.
"I don't know, aku cuma ngerasa aneh aja..." jawabnya ngasal.
"Jangan menyimpulkan yang belum pasti, apalagi kalau sampai adik kamu denger..." saran Reza pada gadis 28 tahun itu.
"Oke. Sorry..."
"Untuk beberapa hari ini kamu nggak usah ke kantor dulu ya, biar Abang sama Prilly yang urus kerjaan di kantor. Abang titip Sandrinna.." pinta Reza.
Michelle mengangguk dan kembali melanjutkan makannya.
"Abang ke kamar dulu..." pamitnya pada sang adik dan berjalan menaiki tangga menuju kamar pribadinya.
***
PRILLY's ART GALLERRY – DENPASAR, BALI.
"Gimana? Udah keluar hasil otopsinya?" Desta berhambur menghampiri Prilly ketika melihat sang gadis memasuki kantornya.
Prilly menaruh tas miliknya ke atas meja kerjanya kemudian duduk di kursi kebesarannya dengan helaan nafasnya yang berat, seperti menyimpan beban jutaan kilo di atas tubuhnya.
"Gimanaaa? Apa kata polisi?" Desta Kembali tak sabaran. Kemarin Prilly mengabari Desta tentang penemuan jenazah Nicho di Padang beach Pecatu dan reaksi gadis itu lebih heboh dari pada keluar Matulessy. Desta tak menyangka, doanya agar Nicho menghilang dan tidak kembali benar-benar dikabulkan oleh Tuhan.
"Hasilnya keluar hari ini, gue juga belum dikabarin sama Reza.." jelas Prilly.
"Menurut lo, Nicho kenapa?"
"Ya mana gue tahu!" jawab Prilly ketus, sahabatnya ini terdengar excited setiap kali membahas soal kematian Nicho. Heran.
"Ya feeling lo gimana? Aneh aja sih kalau tiba-tiba Nicho meninggal kayak gini. Menurut gue dia dibunuh deh, Prill..." tembak Desta sok yakin.
"Ta, jangan mulai deh, nggak usah ngomong yang enggak-enggak kayak gitu. Kalau ada yang denger nanti jadi bahan gossip..." omel Prilly, tak suka dengan ocehan sahabatnya.
"Ya kan gue cuma nebak-nebak aja, lo kan tahu sendiri dia banyak musuhnya. Udah berapa banyak coba cewek-cewek yang jadi korban Nicho selama ini?" Desta masih lanjut bergosip.
Astaga, wanita satu ini benar-benar.
"Termasuk elo dong kalau gitu?" tuduh Prilly, sebal.
"Hah, maksud lo?"
"Ya lo kan salah satu korban Nicho juga, dulu..." bongkar Prilly mengingatkan Desta akan kedekatannya dengan Nicho beberapa tahun silam.
Mata Desta membelalak kaget mendengarkan tuduhan Prilly padanya "Lo gila ya?" omelnya marah "Ngapain juga gue ngebunuh Nicho? Gila lo, Prill!"
"Ya makanya nggak usah sembarangan ngomong ini itu lah, hasil otopsinya aja kan belum keluar lo malah asal nebak ini itu!" balas Prilly penuh penekanan.
"Iya iya, sorry. Gue kan cuma penasaran aja..." ujar Desta merasa tak enak hati tentang kata-katanya mengenai Nicho barusan.
***
Reza masih mencari berkas miliknya di dalam kamarnya, Ia sudah mencari dokumen itu dari mulai ruang kerja dan kamarnya tapi tak juga menemukan benda penting itu. Siang ini Ia ada meeting dengan investor asal Swiss untuk membicarakan pembangunan hotel baru dikawasan Ubud Selatan dan dokumen penting itu entah terselip dimana.
Kasus Nicho membuat ingatan Reza menjadi buruk, kenapa pula Ia bisa lupa dimana menaruh dokumen itu?
Kemudian Reza memasuki walk-in closet miliknya, membuka laci-laci disana satu persatu berharap Ia menemukan berkas itu disana. Setelah berkutat sekitar 5 menit menggeledah setiap laci Ia tak juga menemukan apa yang Ia cari.
Sial kenapa Ia bisa lupa dengan berkas sepenting itu?
Reza terdiam dan berfikir, dimana terakhir kali Ia simpan dokumennya karena seingat dirinya Ia tak pernah mengeluarkan benda itu dari tas kerjanya dan selalu....
WAIT.
Reza teringat sesuatu, Ia ingat beberapa minggu lalu setelah meeting dengan pihak contractor hotelnya Ia masuk kesini dan mengganti tas kerjanya....
Ya, Ia mengganti tas kerjanya dengan tas kerja baru. Astaga pantas saja berkas itu tidak ketemu, Reza baru ingat jika tas kerja yang saat ini Ia pakai adalah tas baru pemberian Prilly dan dokumen itu ada di dalam tas lamanya.
Reza membuka lemari berukuran besar yang berada didalam walk-in closet miliknya, mencoba mencari dimana tas kerja itu berada. Ia menengadahkan kepalanya ke rak paling atas lalu melihat tas miliknya yang Ia cari ada di antara 2 tas milik Prilly.
Dengan terburu-buru Reza menarik tas berbahan kulit itu hingga membuat 2 tas diatas dan bawahnya jatuh ke lantai.
"Shit!" maki Reza kesal karena lemari dan lantai walk-in closetnya jadi berantakan karena ulah cerobohnya.
Reza berjongkok membereskan tas-tas yang tadi terjatuh. Beberapa barang milik calon istrinya itu keluar berantakan dari dalam sebuah tas mewah berwarna putih: Alat make up, botol parfum, kaca mata, jam tangan...
Wait....
Wait...
Tangan Reza berhenti ketika dilihatnya sebuah jam tangan muncuat dari dalam tas sang kekasih, Jam tangan bermerk Hublot berwarna cokelat keemasan berbahan kulit asli, Jam tangan yang sangat mirip seperti jam tangan milik sang kakak yang pernah Reza berikan sebagai hadiah ulang tahun Nicho beberapa tahun lalu.
Kenapa, jam tangan ini ada di tas Prilly?
Seketika pikiran-pikiran buruk menyerbu kepala Reza, ia tak ingin memikirkan hal negatif tentang Prilly, tapi.... hati Reza berkata Ia harus menggeledah lagi isi tas milik tunangannya itu, hati kecilnya menyuruhnya melakukan itu...
Perlahan dikeluarkannya seluruh isi didalam tas Chanel Diamond Forever Classic berwarna putih milik tunangannya itu dan betapa terkejutnya Reza ketika Ia menemukan sebuah pouch cokelat berbahan kulit asli berisi keycard berwarna emas bertuliskan Suluban Cliff Bali Villa.
Keycard adalah sebuah kunci elektrik berbentuk kartu seukuran kartu ATM yang sering digunakan oleh hotel atau villa-villa mewah sebagai kunci. Hotel atau Villa yang sudah menggunakan pintu elektrik biasanya memberikan keycard ini kepada pemiliknya.
Reza termenung melihat keycard ditangannya, Villa siapa ini? Bagaimana ini bisa ada di dalam tas Prilly?
Dan bagaimana bisa jam tangan Nicho ada di dalam tas sang kekasih??
Oh Tuhan ada apa ini???
Jantung Reza berdetak kuat mendapati ini semua lalu seketika kepalanya dipenuhi oleh pikiran-pikiran buruk tentang kematian misterius Nicho. Otak dan hatinya berkecamuk.
Apakah ini hanya kebetulan belaka? Tapi, jam tangan ini....?
Reza melirik pada tas Chanel yang tadi digeledahnya, memperhatikan dengan seksama tas berbahan nilon dengan lapisan berlian putih itu. Mata Reza membelalak ketika dilihatnya ada sebuah bercak merah pada pinggiran tas mewah itu. Tubuh Reza lemas seketika.
Tidak. Tidak mungkin!
Reza mencoba menghilangkan pikiran-pikiran jahatnya dari otaknya yang semakin lama semakin liar membuat skenarionya sendiri, ini pasti hanya kebetulan kan? Ini pasti bukan apa-apa kan?
Ketika sedang tenggelam dalam lamunan buruknya tiba-tiba saja ponsel disaku celananya berdering membuat Reza sedikit terlonjak. Reza berdiri masih memegangi tas yang baru pertama kali dilihatnya itu.
Incoming calls dr. Rio...
Sebuah nama yang sudah Reza tunggu-tunggu pun akhirnya menghubunginya diwaktu yang sangat tepat, dengan cepat diangkatnya telepon dari dokter forensic itu.
"Hallo..."
"Selamat pagi Pak Reza..." balas suara di seberang sana "Saya ingin memberitahukan jika hasil otopsinya sudah keluar." lanjut dr.Rio lagi.
Finally...
"Jadi... bagaimana hasilnya, dok?" tanya Reza dengan terbata, Ia berharap semua pikiran buruknya tidak terjadi.
Diujung sana dokter Rio menjelaskan panjang lebar tentang hasil otopsi jenazah sang kakak yang membuat Reza membelalak dan nyaris pingsan. Ini semua bukan kebetulan semata. Apa yang Reza temukan di dalam tas Prilly adalah sebuah jawaban...
"....Jika anda ingin membuka kasus ini saya dan team siap membantu..." dr.Rio menawarkan bantuannya.
Reza terdiam beberapa saat, memikirkan apa langkah yang harus Ia tempuh? Reza butuh sebuah penjelasan sebelum melakukan tindakan selanjutnya, Ia butuh penjelasan sedetail-detailnya dari mulut sang kekasih secara langsung.
"Dokter Rio, ada yang harus saya urus terlebih dahulu. Nanti siang saya akan menghubungi anda kembali..." balas Reza dengan perasaan hancur "Sebelum saya menghubungi anda, tolong keep dulu berita ini jangan sampai keluar..." lanjut Reza lagi.
"Oke. Saya tunggu teleponnya siang ini..." jawab dokter Rio menuruti perintah Reza.
Reza memasukan semua barang-barang milik Prilly ke dalam tasnya lagi kemudian menelepon sang kekasih dengan perasaan campur aduk.
"Hallo, kamu dimana?" tanya Reza datar ketika teleponnya sudah tersambung.
"Di galeri, kenapa sayang?" ujar Prilly, menjawab dengan polosnya.
"Tunggu disana aku jemput sekarang ada yang mau aku omongin.." ujarnya seraya berjalan keluar kamar sembari membawa tas Chanel milik sang kekasih.
Tuhan, tolong hamba. Semoga semua pikiran buruk dikepala hamba saat ini bukan yang sebenarnya terjadi. Hamba mohon. Ujar Reza membatin.
***
PRILLY's ART GALLERY, DENPASAR BALI.
"Hai, sayang..." Prilly masuk ke dalam mobil yang Reza kendarai, mencium pipi kanan dan kiri sang kekasih dengan senyumnya yang merekah. Pria disamping Prilly tak membalas sapaannya, hanya diam dan mengemudikan mobilnya keluar dari parkiran Art Gallerynya.
"Kamu nggak ke kantor?" tanya sang gadis seraya memakai seatbelt ketika perlahan Mercedez hitam milik Reza mulai menjauh dari tempat itu.
Reza tak menjawab, masih serius mengemudikan mobilnya sendiri tanpa supir. Prilly menatap ke arah kanannya, sedikit heran dengan ekspresi dan aura dari wajah Reza yang tak seperti biasanya.
"Tumben kamu nggak pake supir?" tanya Prilly lagi melemparkan pertanyaan yang juga tak dijawab pria itu.
Reza masih membisu Ia justru malah menambah kecepatan mobilnya ketika mereka mulai menjauh dari Art Gallery milik sang tunangan.
Prilly merasa ganjil ketika mobil yang dikendarainya berbelok ke arah lain lurus ke jalan Bypass Ngurah Rai arah Jimbaran padahal jika akan kembali ke rumahnya di kawasan Seminyak seharusnya Ia putar balik menuju Jl, Simpang Dewa Ruci lalu lurus melewati Mc Donalds Sunset Star.
"Sayang, kita mau kemana sih?" tanya Prilly untuk kesekian kalinya tak mengetahui apa yang sebenarnya sedang Reza sembunyikan.
"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat, kamu duduk aja dengan tenang." Akhirnya pria itu bersuara.
Kening Prilly mengeryit heran.
"Ya kemana? Katanya tadi mau ada yang kamu omongin?" ujar Prilly mulai curiga dengan gerak gerik Reza hari ini yang tak seperti biasanya.
Reza kembali menambah kecepatan mobilnya, membuat adrenalin Prilly meningkat drastis.
"Sayang?" suara Prilly mulai terdengar cemas, ada yang tidak beres dengan pria disampingnya ini. Reza tak pernah seperti ini. Jarang sekali Ia bepergian tanpa supir apalagi dengan kecepatan mengemudi seperti ini.
"What's going on?" gadis disampingnya mulai cemas karena Reza tak juga menjawab pertanyaannya tetapi justru malah kembali menambah kecepatan mobilnya "Sayang kamu jangan bikin aku takut deh, ini kita mau kemana sih?" Prilly merengkuh seatbelt yang melingkari tubuhnya, ketakutan dengan kecepatan mobil yang Reza kendarai.
"Ke tempat yang mungkin sering kamu kunjungin tanpa sepengetahuanku.." balas Reza kemudian melirik tajam kearah Prilly.
Tatapan mata Reza yang seperti ini tak pernah Prilly lihat sebelumnya...
"Maksudnya??"
"Suluban.Cliff.Villa." eja Reza penuh penekanan membuat tenggorokan Prilly tercekat hingga tak sanggup berkata-kata "Familiar dengan tempat itu?" lanjut sang pria lagi.
Wajah Prilly memucat, matanya mulai berair tapi sekuat mungkin Ia tahan agar air matanya tak tumpah saat ini.
"Za..."
"Jelasin sama aku apa maksud ini semua?" Reza melempar dengan kasar tas Chanel putih milik Prilly yang ada bercak merah yang Reza duga sebagai darah sang kakak.
Mata Prilly membesar, jantungnya hampir lepas dari porosnya ketika melihat barang-barang di dalam tas itu berhamburan di atas pangkuannya.
Reza... tahu semuanya?
"Sayang... aku..." Prilly terbata, kepalanya pening dan perutnya seketika merasakan mual yang teramat.
"Kamu punya waktu beberapa menit lagi untuk berfikir dan ngejelasin sama aku kenapa jam tangan Nicho ada di tas kamu, Kenapa kamu punya Villa yang sama sekali nggak pernah aku tahu, dan kenapa...." Reza berhenti sejenak, berat sekali rasanya meneruskan kalimat selanjutnya "Kenapa... ada bercak darah.. di tas itu.." akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Reza.
"Itu darah siapa..?" suara Reza nyaris tak terdengar saking sulitnya Ia mengeluarkan satu pertanyaan itu pada sang kekasih.
"Aku bisa jelasin semuanya..." air mata sudah menggenang dipelupuk mata sang gadis, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Oh iya tentu, kamu harus jelasin sama aku SEMUANYA." Balas Reza sinis "Tapi nggak disini, nanti ditempat yang akan kita tuju."
Prilly tak berani membalas kata-kata terakhir Reza, hanya air matanya yang tumpah dengan sendirinya tatkala Ia sudah menahan sekuatnya untuk tidak jatuh disini. Ia hanya mengikuti kemana mobil ini membawanya dengan kecepatan penuh.
***
SULUBAN CLIFF BALI VILLA, PECATU, ULUWATU-BALI.
Reza memarkirkan mobilnya tepat di depan halaman Villa bernuansa grey ini. Demi apapun Reza tak pernah mengetahui tentang Villa ini. Iya tak pernah tahu jika Prilly memiliki sebuah Villa tanpa sepengetahuannya.
Mereka berjalan menuju halaman depan Villa, terdapat sebuah garasi yang terbuka sedikit pintunya, mata Reza membelalak karena Ia mengenali mobil didalam garasi itu.
Mobil Nicho...
"Go ahead, ayo bicara di dalam..." ajak Reza dengan dinginnya menyuruh Prilly membuka kunci Villa yang dipasangi pintu otomatis "Kamu punya kuncinya kan?" sindir Reza pada sang kekasih.
"Za, please...aku nggak bisa masuk kesini lagi!" tolak sang gadis sambil menangis, langkah kakinya terhenti didepan pintu itu.
"Why? Kamu takut aku tahu semuanya soal kamu dan Nicho?"
"Ini semua nggak seperti yang kamu pikir, Za!" sanggah Prilly dengan suara lantangnya.
Reza menatap mata sang gadis "Kalau begitu ayo masuk, atau kamu mau kita bicara disini biar semua orang denger?" ancam Reza yang membuat prilly gentar.
Prilly menangis tersedu, dengan tangan yang gemetar dia membuka pintunya dengan keycard yang Ia miliki kemudian masuk perlahan ke dalam tempat yang ingin Ia lupakan dalam ingatannya itu.
Mereka memasuki sebuah living room yang masih juga bernuansa grey dari mulai cat dindingnya hingga furniture yang menghiasinya.
Grey adalah warna kesukaan Nicho...
Prilly mematung ketika Ia menatap ruangan dapur, tak berani langkahkan kakinya lebih jauh bahkan hanya sekedar mendekati ruangan itu.
"Semua yang ada disini benar-benar seperti selera Nicho.." celetuk Reza ketika sang pria selesai menjelajahi ruang utama yang berada dikiri Prilly, sementara itu Prilly hanya diam tak bergeming di tengah living room.
Ia meremas-remas jari tangannya yang sudah dingin karena gugup luar biasa. Ia tak menyangka saat ini benar-benar datang.
"Ini bukan Villaku, Za." Prilly menjelaskan "Ini Villa pribadi Nicho yang kamu nggak tahu.." katanya lagi, membuka percakapan. Prilly ingin ini semua cepat berakhir, sungguh Ia tak ingin berlama-lama berada ditempat ini.
"...yang aku nggak tahu tapi kamu tahu? Wow." Sarkas Reza, kini mereka berdiri berhadapan "Lalu apa lagi yang aku nggak tahu soal kalian?" lanjut Reza penasaran.
Prilly tak menjawab, gadis cantik itu mencoba meraih tangan sang kekasih, tapi pria didepannya itu justru mundur menjauhinya enggan untuk Prilly sentuh.
Hati Prilly seperti tersayat-sayat melihat sikap sinis dan dingin pria yang biasanya terasa sangat hangat padanya itu.
"Please... aku akan jelasin semuanya..." air mata gadis itu kembali jatuh.
"I'm all ears..." tantang Reza sambil melipat kedua tangan didadanya dengan tatapan penuh curiga dan marah "Speak..." suruh Reza terdengar begitu datar.
"Aku nggak punya hubungan apa pun sama Nicho, Aku ke sini karena Nicho minta aku dateng..." buka Prilly pada akhirnya membahas topik yang sudah Reza nantikan sejak tadi. Ia sudah siap mendengarkan hal terburuk yang akan wanita ini utarakan, Reza sudah siap.
"Lalu...?"
Prilly menarik nafasnya, mencoba menyusun kata-kata yang bisa Reza terima "It happened so fast..." ujar Prilly lagi.
Reza menatap manik mata Prilly penuh selidik "Kamu... nggak terlibat dengan kematian Nicho kan?"
Prilly menangis tersedu, dadanya naik turun karena isaknya yang tak mau berhenti.
"SAY IT!" bentak Reza dengan kencang, membuat tubuh Prilly terlonjak ke belakang. Selama beberapa tahun ini mengenal sosok Reza, ia tak pernah sekalipun bicara dengan nada tinggi padanya.
"Aku nggak sengaja, demi Tuhan!"
"Oh my God..." akhirnya gadis itu mengakui dosa yang disembunyikannya selama beberapa minggu ini "What did you do?" rasanya Reza ingin membenturkan kepalanya saat itu juga, tak sanggup untuk mendengar pengkuan sang tunangan lebih banyak lagi.
"What did you do, Prill??" ulang Reza tak menyangka jika wanita yang akan dinikahinya dua minggu lagi adalah dalang dari kematian sang kakak.
"Sayang please, kita bicara ditempat lain ya? Aku nggak bisa disini lama-lama, please..." Prilly terlalu takut menginjakan kakinya disana.
"Kenapa? Karena di tempat ini kamu ngebunuh Nicho? Iya kan?" tuding Reza pada akhirnya "Disini kan kamu bunuh kakakku?" air muka Reza seperti kesetanan, bersiap menerkam Prilly saat itu juga.
"I'm sorry I didn't tell you..." Prilly terisak, ia berusaha mendekati Reza tapi pria malah mundur beberapa langkah.
"You killed my brother and threw his body into the sea..." Reza menjabarkan perlakuan sang kekasih pada kakak tertuanya "...Then you pretend you haven't done anything, still living in my house, sleeping in my room, having sex with me and even... we're getting married in two weeks? Jesus Christ!!" Reza mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
"Who are you, Prill???" Reza benar-benar tak menyangka jika manusia yang paling ia cintai dan paling ia percaya justru yang menusuknya paling dalam.
"Aku terpaksa nyembunyiin semuanya, aku takut, Za. Aku takut kamu benci sama aku..."
"Of course I will hate you! YOU KILLED MY BROTHER!" jerit Reza marah, kebencian sudah menguasai hati dan pikirannya. Jika saja bukan Prilly mungkin Ia sudah menghabisi manusia dihadapannya itu saat ini juga.
"Sayang...." rengek Prilly lagi, Prilly bingung harus menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Reza. Pria itu terlalu emosi untuk di ajak bicara baik-baik bahkan Reza selalu menjauh setiap kali Prilly mencoba mendekati sang kekasih "Kita bicarain ini baik-baik ya?" ujarnya kembali berusaha meraih lengan Reza.
"Baik-baik kamu bilang? Kamu gila???" bentaknya "Setelah apa yang kamu lakuin ke Nicho kamu pikir semua akan baik-baik aja, Prill? GILA KAMU!" maki Reza lagi.
"Sayang...."
"Oh, don't call me like that! You don't have the right to call me that!" sentak pria 32 tahun itu dengan pandangan jijiknya "Lebih baik kamu jelasin semua ini ke polisi!" ancam Reza.
Mata Prilly membesar.
"Sayang please, don't do that. Please..." Prilly memohon, memelas agar sang kekasih tak melaporkannya kepada polisi "Aku terpaksa ngelakuin semua itu, Za..." rengeknya lagi. Prilly ketakutan.
Reza terdiam, kemudian menatap wajah cantik Prilly yang sudah banjir dengan air mata. Ia mencoba menahan amarah yang sudah merajai hati dan pikirannya. Ia berusaha menjaga agar air matanya juga tak tumpah, tapi melihat wajah cantik itu, melihat mata hazelnya yang biasa menatapnya penuh cinta membuat air mata Reza ikut mengalir juga di wajah tampannya.
"Kenapa kamu ngelakuin itu, Prill? Kenapa?" nada suara Reza melembut, hari ini untuk pertama kalinya Reza membuat gadis yang dicintainya itu menangis "Ada apa antara kamu dan Nicho sampai ini semua terjadi?" tanyanya lagi.
Prilly masih sesegukan, terisak hingga sulit untuk bernafas. Rasa cemas dan takut kehilangan memenuhi pikiran dan hatinya saat ini. Ia masih mencoba mengatur dadanya yang penuh sesak karena tangisnya dan membuatnya jadi sulit untuk bicara.
"Why...?" ulang Reza pelan, ingin tahu alasan Prilly hingga tega melakukan ini pada kakaknya.
Prilly menarik nafasnya dalam-dalam seraya menatap mata elang sang pria, memberanikan diri untuk menceritakan versinya kepada sang kekasih.
"He tried to raped me that night...." Aku Prilly pelan, Reza nyaris tak dapat mendengarnya.
"Apa?"
Prilly mendekati Reza "Nicho mau memperkosa aku malam itu!!" teriak Prilly lantang tanpa ragu seraya menatap bola mata Reza yang berdiri hanya beberapa meter di depannya.
Hati Reza mencelos mendengar pengakuan Prilly padanya.
"Don't lie to me!" Reza masih tak percaya.
"See, bahkan kamu pun nggak percaya..." tangis Prilly pasrah.
"Nggak mungkin Nicho ngelakuin itu ke kamu!" sanggah pria tampan itu lagi "Nggak mungkin!"
"Selama ini aku nggak pernah cerita ke kamu kalau sebenarnya Nicho juga cinta sama aku..." buka Prilly lagi.
"What???"
"Iya, dia punya perasaan sama aku, Za. Dia udah berkali-kali bilang ke aku kalau dia cinta sama aku dan berkali-kali juga aku nolak dia!" cerita Prilly.
"Kamu nggak pernah cerita sama aku..."
"Karena aku nggak mau merusak hubungan kamu dan Nicho, bagaimana pun juga Nicho kakak kamu!" terangnya bijak "Berkali-kali dia berusaha untuk ngedekatin aku terutama setiap kali kamu dan Michelle pergi keluar kota, terutama sejak dia ngebantu aku untuk pembukaan galeri." Katanya lagi.
Reza masih mendengarkan alasan yang sang gadis punya.
"Sampai akhirnya malam itu, saat kamu dan Michelle pergi ke Jakarta, tiba-tiba Nicho telepon dan minta aku untuk datang kesini. Dia ngancem aku kalau aku nggak dateng, dia akan bunuh diri!" jelas Prilly "Aku takut dan panik karena itu aku ikutin kemauan dia dengan datang kesini. Tapi ternyata keputusanku salah dateng kesini..."
Jantung Reza berdegup kencang "Sesampainya aku disini dia maksa aku untuk nerima cintanya dan batalin pernikahan sama kamu, dia bahkan ngancem untuk ngerusak pernikahan kita kalau aku nggak nerima cintanya." Prilly bercerita dengan menggebu-gebu "Aku marah dan aku nolak dia lagi malam itu bahkan aku ngancem dia kalau aku akan kasih tahu kamu semua kelakuan dia selama ini!"
"Tapi kamu tahu apa yang dia lakuin?" tanya Prilly "Dia menyeret aku ke kamar dan mencoba untuk memperkosa aku!" lanjut Prilly menahan emosi mengingat kejadian malam mengerikan itu.
"Aku berusaha untuk pergi dari Nicho, pergi dari sini berkali-kali meskipun aku harus berjuang sendirian malam itu. Tapi tenagaku kalah dari dia, Za. Aku nggak bisa semudah itu lepas. Karena itu begitu ada celah sedikit aku manfaatin untuk membela diri. Aku lari ke luar kamar tapi Nicho menangkap aku didapur, aku panik dan saat itu cuma itu satu-satunya jalan untuk aku menyelamatkan diriku. Aku pukul kepala Nicho pake botol wine..." pandangan Prilly mulai kabur, menceritakan ini pada pria yang ia cintai bagaikan menelanjangi tubuhnya didepan public. Memalukan.
"Terus kamu buang mayatnya ke laut? Gitu?" Reza melanjutkan.
Gadis itu mengangguk pelan "Aku terpaksa..."
"Seharusnya kamu bisa telepon aku malam itu, kamu bisa cerita semuanya tanpa harus ngelakuin itu."
"Aku panik, Za!" jerit Prilly "Aku panik..."
Reza terdiam. Dilemma menggerogotinya pikirannya saat ini. Jujur saja pengakuan Prilly barusan membuat goyah imannya. Tapi ketika Reza mengingat lagi apa yang dokter Rio jelaskan tadi pagi di telepon, mendadak amarah itu kembali datang.
"Kamu tahu Prill? Pagi ini hasil otopsinya sudah keluar." buka Reza "Dan dokter Rio bilang kalau Nicho meninggal karena tenggelam bukan karena hantaman dikepalanya. Lebih tepatnya, saat dia ditenggelamin Nicho masih dalam keadaan hidup.."
"Apa???" Prilly terkejut.
"Iya, ketika kamu pukul Nicho dan membuang Nicho ke laut, sebenarnya Nicho masih hidup..."
"Za, demi Tuhan aku sama sekali nggak tahu soal itu, malam itu aku pikir Nicho udah nggak ada. Aku panik dan ketakutan hingga terbersit ide itu dikepalaku..." aku Prilly lagi.
"Aku tahu Nicho salah, tapi kamu nggak berhak nyakitin dia!"
"Aku cuma membela diri, Za!" sanggah Prilly tak mau sepenuhnya disalahkan.
"Kamu ngebuang Nicho ke laut, itu pembunuhan berencana, Prill." Tuding Reza dengan pandangan bencinya "Kamu nggak punya hak untuk mengambil nyawa Nicho..."
"Aku nggak ada maksud kayak gitu..." Prilly menangis, menghentikan ceritanya "Kalau malam itu aku nggak ngelakuin hal itu, Nicho bisa nyakitin aku, Za..." curhat Prilly di hadapan sang kekasih.
Dada Prilly seperti ingin meledak menceritakan ini pada Reza, terlebih lagi melihat sikap Reza yang begitu acuh padanya seolah-olah Prilly adalah sosok asing yang membuatnya takut dan jijik.
"Seharusnya kamu nggak melakukan hal itu, Prill..." kata Reza lagi.
"Meskipun dia berusaha memperkosaku?" tanya Prilly tak percaya dengan kalimat yang Reza lontarkan padanya.
Apa menurut Reza, lebih baik dirinya yang disakiti oleh kakaknya?
"Kamu bisa langsung ngelaporin ke polisi atau telepon aku malam itu. Tapi kenapa kamu lebih memilih membuang tubuhnya ke laut dan menyimpan rahasia ini rapat-rapat?" ujar Reza "Itu bikin kamu nggak lebih dari seorang pembunuh..." lanjut Reza dengan suara dingin dan tatapan marahnya.
"Kamu ngebunuh kakakku..." tuding Reza.
"Za, maafin aku, aku mohon..." Prilly kembali terisak, Ia merasa hal buruk akan menimpanya saat ini. Prilly merasa hubungannya dengan Reza benar-benar sudah hancur dan mungkin saja Reza siap melaporkannya pada pihak berwajib.
"Za...." Prilly mendekati Reza, meraih tangan Reza meminta pengampunan dari anak kedua keluarga Matulessy itu. Reza mematung, tak lagi menghindari Prilly. Membiarkan jemari lentik sang kekasih menggenggam jemari kekar miliknya.
"Maafin aku..." isak Prilly dengan suara lembut penuh rasa takut.
Reza tak menjawab, Ia terlihat berfikir sejenak tentang tindakan apa yang harus Reza lakukan pada tunangannya itu. Disatu sisi Ia membenci Prilly karena kesalahan besar yang dilakukannya, dan di sisi lainnya Prilly adalah sosok yang juga Ia cintai.
"Please..." rengek Prilly masih memegang jemari Reza dengan kedua tangannya penuh rasa harap dan iba.
Reza kemudian menatap wajah Prilly langsung ke matanya tanpa keraguan sedikitpun "Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatan kamu..." akhirnya Reza memutuskan "Stay here, I'll call the police!" Reza mengambil handphone dari saku celana bahannya bersiap menelepon dr.Rio.
"No, please... Za..." Prilly mencoba mencegah Reza, tangisnya pecah dan tumpah ruah. Ia tahu Ia salah, tapi Ia tak mau dipenjara. Ia tidak boleh di penjara.
"I'm sorry.." Reza meminta maaf dan menolak permintaan Prilly yang mengemis untuk diampuni "Tunggu disini." Suruh Reza meminta Prilly agar tidak pergi kemanapun.
Tapi Prilly tak menyerah begitu saja, Ia panik dan takut jikalau Reza benar-benar akan melaporkannya ke polisi saat ini juga.
"Za, aku mohon jangan lakuin itu.." Prilly mengekori langkah Reza dari belakang "Aku nggak bisa dipenjara, Za!"
"You deserve to be in jail..." balas Reza sambil menekan nomor telepon dokter Rio hingga terdengar nada sambung.
"I'M PREGNANT!" jerit Prilly pada akhirnya.
Reza menoleh pada Prilly yang ada dibelakang tubuhnya "Kamu bilang apa?"
"Aku hamil, Za. Anak kamu." Jelas Pilly "Ini yang membuat aku terpaksa melakukan itu ke Nicho, karena kalau nggak, aku bisa kehilangan bayi ini malam itu."
Oh, Tuhan...
Tubuh Reza lemas seketika. Berita yang seharusnya membahagiakan justru harus Ia dengar ditengah kabar duka seperti ini.
Apa yang harus Ia lakukan saat ini?
"Tolong, ampunin aku kali ini, Za. Demi anak kita..." Prilly mendekati Reza mencoba membuat Reza memikirkan jembali keputusannya untuk melaporkan Prilly pada pihak berwajib.
Reza tak mampu berkata-kata, sungguh Ia sangat mencintai gadis didepannya itu dengan segenap jiwa tapi Nicho adalah keluarganya. Kakak kandungnya. Adik mana yang bisa membiarkan pembunuh kakaknya lolos begitu saja?
"Hallo, dokter Rio..." tubuh Prilly lunglai mengetahui sang kekasih tetap memilih untuk menghubungi dokter forensic yang bertugas di kepolisian itu.
Prilly menangis kejer, hancur sudah hidupnya. Kini ia harus membesarkan bayinya didalam jeruji besi.
"Hallo Pak Reza, jadi bagaimana keputusan anda?" tanya dokter Rio dibalik telepon itu.
Reza menatap Prilly yang ada beberapa meter dihadapannya kemudian melanjutkan percakapannya dengan penjabat tinggi Kepolisian Forensic Bali itu.
"Saya ingin kasus kakak saya ditutup sebagai kasus kecelakaan..." pinta Reza, manik mata Prilly membesar mendengar keputusan sang tunangan.
"Anda yakin?" tanya dokter Rio mencari kepastian dari jawaban sang pengusaha kaya raya itu.
"Ya, saya yakin. Saya harap informasi ini tidak akan keluar kemana pun." balas Reza.
Dokter Rio terdiam beberapa saat, apakah keputusan Reza ini benar-benar atas keinginan Reza sendiri atau ada yang mengintimidasi pria itu?
Kemudian dokter Rio menghela nafasnya, mengikhlaskan keputusan Reza.
"Baiklah, jika itu keputusan anda. Saya akan menutup kasus ini sebagai kasus kecelakaan biasa.." dokter Rio menuruti permintaan Reza, anak kedua dari sang Raja Property Bali itu.
"Terima kasih untuk bantuannya. Selamat siang dokter Rio..." Reza menutup teleponnya.
"Za..." Prilly tak menyangka Reza benar-benar tidak jadi melaporkannya pada polisi.
Reza menatap wajah cantik yang penuh kekhawatiran didepannya itu, kini Reza dapat melihat rasa lega dari gurat wajahnya. Semoga saja keputusan Reza siang ini tidak akan disesalinya nanti. Ia sadar Prilly salah karena sudah melakukan kejahatan seberat ini terhadap kakaknya, tapi Reza juga dapat mengerti alasan yang membuat tunangannya melakukan hal itu, ditambah lagi Reza tak mungkin memenjarakan Prilly disaat dirinya sedang mengandung calon anaknya. Reza mencintai gadis ini dengan segenap jiwanya, memang tidak mudah untuk melupakan kejadian ini.
"Aku nggak membenarkan apa sudah kamu lakukan ke Nicho" kata Reza "Tapi aku bisa mengerti posisi kamu saat itu hanya untuk membela diri." ujarnya lagi dengan suaranya yang begitu lembut.
Air mata Prilly jatuh ke pipi putihnya...
"Dan aku nggak mungkin membiarkan ibu dari calon anakku dipenjara dalam keadaan hamil." Reza berjalan mendekati Prilly "Kejadian ini hanya kamu, aku dan dokter Rio yang tahu..." ujar Reza pada sosok didepannya mengisyatkan bahwa Reza dan dokter Rio akan merahasiakan hasil otopsi jasad Nicho yang sebenarnya.
Prilly menangis bahagia kemudian berhambur kepelukan Reza dengan tangisnya, penuh rasa lega. Dia tidak akan kehilangan pria ini dan tidak juga dipenjara.
"Terima kasih... terima kasih.... " ucapnya penuh rasa syukur yang teramat.
***
THE WEDDING.
GEREJA KATOLIK SANTO SILVESTER PECATU DREAMLAND.
Setelah keputusan Reza yang menutup kasus Nicho sebagai kecelakaan biasa, mereka pun memakamkan jenazah Nicho dua hari setelahnya. Sandrinna dan Michelle masih belum dapat menerima alasan kematian sang kakak disebut karena tenggelam saat surving, kedua gadis cantik itu merasa penyebab kematian Nicho karena disengaja. Tapi polisi dan hasil otopsi mengatakan sebaliknya jadi mau tak mau mereka harus merelakan sang kakak untuk segera dimakamkan dan kasusnya segera ditutup tanpa ada campur tangan media.
Dan hari ini, saat yang Prilly nanti-nantikan pun tiba. Pernikahannya dengan Reza, pria yang sangat Ia cintai dan selalu dapat Prilly andalkan. Ia masih merasa ini seperti mimpi. Berada didepan altar dan mengadakan acara pemberkatan nikah dengan Reza sebagai pendamping hidupnya.
Praise lord, karena takdir masih sangat berpihak baik padanya.
Setelah dosa besar yang Prilly lakukan pada keluarga ini, Ia masih bisa mendapatkan pengampunan dan menikahi anak kedua dari keluarga Matulessy. Nasibnya benar-benar beruntung.
Prilly menoleh pada sosok tampan yang mengenakan jas disamping kirinya. Wajah tampan itu terlihat sumringah tak kalah bahagia dari dirinya. Sebentar lagi, mereka akan saling mengucapkan janji didepan Tuhan untuk selalu sehidup semati sebagai suami-istri dan setelah itu Ia akan menjadi bagian dari keluarga ini.
Pastor mulai membacakan firman-firman Allah dari Al-kitab, mengumandangkan lagu puji-pujian bersama para tamu yang datang ke Gereja ini. Prilly dan Reza menikmati setiap bait yang sang pastor kumandangkan dan setiap syair yang para tamu nyanyikan.
Tuhan itu baik. Ujar Prilly dalam hati penuh kebahagiaan yang sulit Ia ukur. 8 bulan setelah ini akan lahir sosok mungil dari rahimnya yang nanti akan memanggilnya 'Ibu'.
"Untuk mengikrarkan pernikahan kudus ini silahkan kalian saling berjabat tangan kanan dan menyatakan kesepakatan kalian dihadapan Allah dan Gerejanya.." Pastor mulai meminta Reza dan Prilly untuk membuat janji pernikahan.
Reza dan Prilly saling berhadapan dan bertatapan satu sama lain seraya menjabat tangan kanan mereka.
"Saya Rezano Matulessy memilih engkau Ni Luh Prilly Maharani menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, diwaktu sehat dan sakit, dalam suka dan duka. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya." Ucap Reza dengan sungguh-sungguh.
"Saya Ni Luh Prilly Maharani memilih engkau Rezano Matulessy menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, diwaktu sehat dan sakit, dalam suka dan duka. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya." Prilly menyambut janji Reza.
"Atas nama Gereja Allah dihadapan para saksi dan umat Allah yang hadir disini, saya menegaskan bahwa perkawinan yang telah diresmikan ini adalah perkawinan Katolik yang sah. Semoga bagi kalian berdua sakramen ini menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan. Yang dipersatukan Allah janganlah diceraikan manusia. Marilah memuji Tuhan." Pastor mengesahkan janji nikah Reza dan Prilly dengan penuh khidmat.
"Syukur kepada Allah!" ucap para tamu dan jemaat yang hadir secara serentak.
Prilly melemparkan senyum bahagianya pada Reza kemudian sang Pastor memberkati cincin milik keduanya sebelum akhirnya mereka saling mengenakan cincin pernikahan itu di jari masing-masing yang menandakan jika mereka telah sah sebagai suami dan istri.
"I love you..." bisik Reza tanpa suara ketika Ia mengecup kening dan bibir sang mempelai wanita penuh cinta.
***
2 JAM SETELAH PEMBERKATAN NIKAH.
Sanak keluarga dan kerabat dekat Reza dan Prilly bergantian menyalami mereka didepan altar, saling mengabadikan moment itu dengan berfoto penuh tawa dan canda. Untuk seketika mereka semua melupakan masa berkabung yang mereka rasakan 2 minggu sebelum ini. Tak banyak tamu yang mereka undang hari ini, hanya sahabat dan kerabat dekat saja yang Reza dan Prilly undang.
"Selamat untuk pernikahannya Pak Reza dan Ibu Prilly..." pria tampan dengan jas abu-abunya menghampiri dan menyalami Reza dan Prilly.
Wajah ceria Prilly berubah tegang ketika melihat pria tampan berwajah oriental itu hadir di acara pernikahannya. Melihat pria ini membuat kebohongan dan dosa-dosa Prilly seperti jembali ter-rewind dibenak gadis itu.
"Dokter Rio, terima kasih Sudah datang." Reza menyalami dokter Rio dengan ramahnya.
"Terima kasih dok, sudah menyempatkan hadir.." Prilly dengan gaun putihnya yang indah berakting setenang mungkin didepan pria ini, pria yang tahu akan rahasia terkelamnya.
"Semoga langgeng dan awet ya sampai kakek nenek, Tuhan memberkati." Ujar dokter Rio mendoakan.
"Amin, terima kasih dokter." Balas Reza.
"Ngomong-ngomong, saya hanya ingin memastikan sekali lagi..." dokter Rio berbisik sangat pelan "Apa anda yakin tidak ingin membuka kasus ini lagi? Karena jika anda membukanya lagi, saya bisa menemukan siapa pendosanya." ucapnya seraya melirik Prilly dengan senyum tersembunyi, membuat tangan Prilly tremor seketika.
Apa-apaan pria ini?
Reza membalas ucapan dokter Rio dengan senyumannya yang tulus kemudian berbisik pelan ditelinga sang dokter "Kakak saya meninggal karena tenggelam saat surving, itu saja yang harus diingat, dok." Reza merangkul pinggang Prilly didepan dokter Rio, mengisyaratkan bahwa Ia yakin dengan keputusannya untuk menutup kasus kematian Nicho sebagai kasus kecelakaan semata.
Prilly melirik sang suami dengan penuh haru dan bangga, ia memang tidak pernah salah memilih pria ini sebagai pendamping hidupnya.
Dokter Rio mengangguk dan menyunggingkan senyumnya "Baiklah jika itu yang anda inginkan. Sekali lagi selamat untuk kalian berdua." Dokter Rio berpamitan.
Mereka melihat kepergian sang dokter dengan perasaan lega, ditatapnya wajah tampan Reza dari samping, penuh rasa bangga dan Bahagia.
"Terima kasih untuk kesempatan kedua yang kamu kasih ke aku, Za..." air mata Prilly menetes haru.
"Hei..." Reza menghapus bulir bening dipipi sang istri dengan penuh sayang "Hari ini terakhir kalinya kita ngebahas soal itu. Aku akan simpan rahasia ini sampe aku mati." Janji Reza dengan tulusnya kemudian mendekap tubuh kecil sang istri dengan penuh sayang.

***
EPILOG 1 - THE TRUTH.
4 BULAN SEBELUM PERNIKAHAN.
GUEST HOUSE OF MATULESSY - SEMINYAK, BALI. FRONT BALCONY : 10.17 PM
"I love you, Prill.." suara lembut nan memelas Nicho menggema di udara malam yang dingin membuat jantung Prilly melemah. Rasanya darahnya seketika turun dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya.
Mereka berhadapan satu sama lain ditemani suara rintik hujan yang terdengar sayup-sayup jatuh ke atas atap.
Tubuh Prilly meremang ketika tangan pria itu mulai menyentuh kulitnya. Nicho menyentuh pundaknya yang sedang terpampang bebas malam itu karena pakaian yang Prilly kenakan tak menutupi bagian pundak dan punggungnya dan itu membuat Prilly menyesal mengenakannya.
"Prill..." Nicho kembali mengusap pundak wanita 28 tahun itu dengan lembut "I want you... more..." Prilly masih diam tak mampu berkata-kata.
"Please...." mohon Nicho memelas.
Prilly menghentakan pundaknya dengan marah "I think you should go!" Usirnya "I assume you never said that to me. I hope this conversation will end here. You need to know that I love Reza unconditionally. Not because of his wealth, not because of his face or sex. I love Reza because the way he is. That's all." jelas Prilly memberanikan dirinya untuk menatap Nicho dan wajah tampannya yang sedikit kemerahan karena agak mabuk.
"Aku serius..." Nicho meraih paksa wajah Prilly dengan suaranya yang parau.
"For God's sake Nicho, I'm your brother's fiancé!" ditepisnya dengan kasar tangan Nicho yang menyentuh wajah mulusnya.
Nicho menertawakan ucapan sang gadis, seperti meledek kata-katanya.
"I DON'T CARE!" tembak Nicho langsung di depan wajah cantik Prilly "Have you forgot what we...."
"That was a mistake!!!" bentak Prilly menyerobot ucapan Nicho dengan cepat.
"Sayang... please..."
"Don't call me like that, it's only for Reza!" omel Prilly tak suka Nicho memanggilnya dengan sebutan sayang "Sebaiknya kamu pergi dari sini dan JANGAN pernah deketin aku lagi, ngerti?" ancam Prilly dengan serius.
"I know you want me too!" teriak Nicho dengan yakinnya "You can't lie to me, Prill!" lanjutnya lagi.
Prilly menoleh Kembali menghadap pria 36 tahun itu "Jangan sok nebak-nebak isi hati orang!" bantahnya marah.
"Reza terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai jarang ada dirumah akhir-akhir ini." Nicho kembali memprovokasi "Aku tahu kamu kesepian, Prill. Ciuman kita waktu itu adalah buktinya."
"SHUT UP!" bentak Prilly "Itu nggak berarti apapun buatku, Nic. Itu Cuma kesalahan kecil yang aku lakuin sama kamu!" sangkal Prilly lagi, marah.
Minggu lalu ketika mereka berdua berada di galeri sampai tengah malam, Nicho mencium bibir Prilly secara tiba-tiba dan bodohnya Ia tidak menolak ataupun marah dengan perlakuan pria itu padanya saat itu.
Entah kenapa...
"No, it's not a mistake..." ucap Nicho dengan yakin kemudian dengan cepat menarik pinggang Prilly ke arahnya, mencium bibir gadis cantik itu tanpa aba-aba.
Prilly terkejut dengan perlakuan calon kakak Iparnya itu tapi ia tak sempat untuk menghindar hingga Prilly kembali merasakan kecupan dibibir tipisnya selama beberapa detik. Prilly mencoba untuk lepas dari dekapan sang pria tapi tenaga Nicho lebih kuat darinya.
"Nicho!!" Prilly mendorong tubuh Nicho dan melepas paksa bibir pria itu dari bibirnya tapi Nicho tak peduli, dalam sekejab pria tampan itu kembali memaksa Prilly dan mencium bibirnya lebih dalam dari sebelumnya.
Prilly memukul dada dan punggung Nicho berkali-kali tapi sang ipar tak juga mau melepaskan dirinya tapi perlakuannya justru semakin menggila dan intense. Hingga entah setan mana yang menggoda imannya, setelah beberapa menit mencoba untuk menghindar pada akhirnya Prilly pun menyerah dan membalas ciuman pria tampan itu setelahnya.
Mereka saling mengulum, saling hisap dengan penuh nafsu.
Nicho benar, Reza terlalu sibuk hingga jarang menemaninya dirumah ini dan Nicho juga benar, Ia memang kesepian akhir-akhir ini.
Prilly merapatkan tubuhnya pada tubuh sang calon kakak Ipar dan kemudian melingkarkan kedua tangannya pada leher Nicho. Melihat sikap Prilly yang sudah mulai menikmati pelakuannya, Nicho seperti mendapatkan angin surga.
"Should i stop this?" tanya Nicho dengan suara paraunya disela-sela ciuman mereka. Prilly menggeleng meminta Nicho untuk tidak menghentikan perbuatan nakalnya.
Nicho tersenyum merasakan kemenangan luar biasa malam ini, akhirnya Ia bisa mendapatkan wanita yang sudah memikatnya beberapa bulan ini. Maka dengan bahasa tubuh sang gadis barusan, Nicho pun memberanikan dirinya melangkah lebih jauh dengan membopong tubuh kecil Prilly ke dalam guest house milik keluarganya tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.
***
EPILOG 2 - THE TRUTH
1 BULAN SEBELUM PERNIKAHAN REZA & PRILLY.
SULUBAN CLIFF BALI VILLA – 7.11 PM.

"Kamu mau kemana?" Nicho terheran melihat sang kekasih yang sudah beberapa bulan ini menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi dengannya itu seperti bersiap untuk pergi dari Villa tempat mereka biasa bertemu. Pria itu memperhatikan sang gadis yang berusia delapan tahun lebih muda darinya itu sedang merapihkan pakaiannya sehabis mandi tadi.
"Prill?" Nicho terduduk diranjangnya, kembali mempertanyakan kegiatan yang sedang Prilly lakukan saat ini.
"Aku harus pulang." Jawab Prilly pada akhirnya sambil memakai kembali baju kerja yang tadi siang Ia kenakan ketika berpamitan pada Reza dan adik-adiknya.
"Ini baru jam 7 loh, kamu udah mau pulang?" protes Nicho tak setuju dengan kepergian Prilly yang terlalu cepat "Akhir-akhir ini kamu udah jarang dateng kesini, udah jarang ngeluangin waktu buat aku!" lanjut Nicho lagi.
Prilly menoleh pada sang pria yang adalah kakak dari calon suaminya.
"Please jangan mulai lagi, Nic. Kamu tahu kan aku udah mulai susah pergi terlalu lama sekarang!" balas Prilly sambil merapihkan dandannya didepan cermin meja rias "Bulan depan aku nikah sama Reza, aku udah mulai sibuk nyiapin ini itu." Lanjutnya lagi.
"Tapi malam ini Reza lagi di Jakarta, kenapa kamu harus pulang kesana?" protes Nicho "Lagian kenapa sih kamu harus nikah sama Reza? Kamu kan nggak pernah cinta sama dia!" Nicho turun dari ranjang yang dia tempati, mendekati Prilly.
"Nic, udahlah nggak usah mulai drama-drama kayak gini deh." Prilly mulai malas jika pria ini mulai berakting seperti pria yang paling tersakiti "Dari awal kita berhubungan kamu udah tahu kan resikonya?" Prilly mengingatkan akan statusnya dengan Nicho yang hanya sebagai 'teman tidur' semata.
"Iya itu dulu! Tapi sekarang semua udah beda, Prill. Aku beneran cinta sama kamu!" Nicho memeluk Prilly dari belakang, membuat gadis 28 tahun itu risih dibuatnya.
"Oh, come in Nic, nggak usah akting seolah-olah kamu jadi pihak yang paling tersakiti lah. Kamu juga kayak gini kan sama perempuan-perempuan itu?" Prilly melepaskan pelukan Nicho dipinggangnya lalu memakai anting di kanan dan kiri telinganya.
"Itu dulu sebelum aku berhubungan sama kamu!" jelas Nicho "Aku jatuh cinta sama kamu, Prill." Nicho menatap mata Prilly lewat cermin yang membingkai pantulan tubuh keduanya.
Prilly menghadap Nicho seraya menyentuh kedua pipi pria itu dengan lembut "Aku harus pulang..." katanya santai.
Nicho menepis sentuhan Prilly dengan wajah cemberutnya lalu masuk ke dalam kamar mandi di dalam ruang kamarnya, mengoceh dari dalam sana soal hubungannya dan Prilly selama beberapa bulan ini.
"Aku dateng lagi minggu depan, kalau Reza sama Michelle ke Surabaya..." teriak Prilly pada Nicho yang masih berada di dalam kamar mandi.
Nicho tak menyahuti ucapan Prilly hanya bunyi suara keran air yang terhenti yang dapat Prilly dengar.
"Nic?" panggil Prilly disela kegiatan make up-nya.
Pasti dia ngambek lagi... batin Prilly.
Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka dengan kasar, terdengar bunyi benturan daun pintu berbahan kaca itu dengan keras hingga membuat Prilly menoleh pada asal suara yang berada di sudut kiri ruang kamar utama di Villa itu.
"Ini apa, Prill???" Nicho dengan wajah terkejutnya keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada mengacungkan sebuah benda yang membuat Prilly membelalakan matanya "Kamu hamil????" tanya Nicho memperlihatkan sebuah testpack ditangannya yang menunjukan garis 2.
Prilly panik kemudian berjalan secepat kilat ke arah Nicho dan merebut testpack yang tadi baru saja digunakannya.
"Apaan sih!" ujar Prilly marah.
Bodoh sekali, kenapa Prilly tidak membuang testpack itu tadi?
"Prill, jujur sama aku, kamu hamil??" ulang Nicho mencoba meminta jawaban yang pasti.
"Bukan urusan kamu!" katanya dengan ketus kemudian kembali merapihkan dandannya di depan cermin tanpa memperdulikan keterkejutan Nicho.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu hamil? Kenapa kamu sembunyiin ini?" tanya Nicho heran, Nicho merasa jika Prilly sengaja menyembunyikan kehamilannya dari Nicho.
Prilly diam tak menjawab apapun, Ia merasa tak perlu memberikan Nicho jawaban apapun.
"Itu anak aku kan, Prill???" tembak Nicho dengan yakin membuat sang gadis kembali menoleh ke arahnya dengan tatapan tidak suka.
"Jangan ngaco, ini bukan anak kamu!" sanggah Prilly dengan cepat.
"Jangan bohong, Prill!" Nicho tak percaya.
"Ini anak Reza!" balas Prilly dengan lantang.
Nicho tertawa keras mendengar jawaban sang kekasih, merasa jawaban dari bibir gadis itu terdengar seperti lelucon ditelinganya.
"Kapan terakhir kali kalian having sex? Karena seingat aku selama tiga bulan ini hampir setiap minggu kamu disini sama aku, bukan sama Reza!" jelas Nicho memberikan alasan paling logis.
"Shut up!" Prilly menatap mata sang pria dengan marah "Ini BUKAN anak kamu. Ngerti?"
"You lie!" balas Nicho tetap tidak mempercayai ucapan wanita didepannya ini "Reza nggak pernah bisa muasin kamu di ranjang..." sindir Nicho yang membuat emosi Prilly semakin meninggi.
Mata sang gadis mulai memerah menahan amarah yang teramat mendengar sindirin dari pria didepannya ini, rahangnya mengeras menahan kesal mendengarkan fakta yang Nicho sampaikan.
"Reza nggak pernah bisa muasin kamu selama ini, nggak sekalipun, Prill." Ledeknya lagi.
"Nicho.. shut up..."
"Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai dia nggak pernah bisa bikin kamu orgasme setiap kali kalian having sex. Jadi bagaimana bisa anak yang kamu kandung itu anak Reza?" tawa Nicho sinis.
"I hate you!" Prilly benci setiap kali Nicho mendendangkan dongeng kebenaran padanya, ya Prilly membencinya karena semua kalimat yang keluar dari bibir pria itu adalah fakta yang menyakitkan.
"No, you love me." Nicho menggenggam tangan Prilly dengan erat "Karena itu kamu selalu meneriakkan namaku setiap kali kamu orgasme. Kamu cinta sama aku, karena itu kamu ada disini." Lanjut Nicho dengan percaya dirinya.
"Aku cinta sama Reza, bukan sama kamu!" sanggah Prilly marah melepaskan tangan pria yang mencengkramnya.
"Anak yang kamu kandung itu anak aku!" tembak Nicho lagi "Batalin pernikahan kamu sama Reza dan nikah sama aku, Prill. Aku punya segalanya, aku bisa ngebahagian kamu lahir dan batin. Nggak kayak Reza!" Nicho Kembali menggoda.
"Kamu gila!" oceh Prilly "Semua yang terjadi diantara kita hanya untuk have fun, Nic! Kamu tahu itu!"
"Semua yang terjadi diantara kita atas dasar cinta." tuding Nicho lagi "Setiap kali kita having sex, aku bisa ngerasain itu dari kamu!" ujar Nicho lagi.
"Aku nggak pernah cinta sama kamu!" Prilly masih menyangkal "Dan anak yang ada dikandunganku ini anak Reza bukan anak kamu!" jawab Prilly dengan penuh penekanan.
Nicho terdiam. Menahan ketidaksetujuannya tanpa kata karena Nicho yakin anak yang Prilly kandung adalah buah cintanya dengan sang gadis.
"Kamu udah keterlaluan. Kalau kayak gini aku nggak mau ketemu kamu lagi." Ujar Prilly "Ini terakhir kalinya aku datang kesini dan jangan pernah ngedeketin aku lagi setelah ini. It's over!" Prilly mengambil tas chanel miliknya dari atas meja rias kemudian memasukan barang-barangnya yang tergeletak diatas meja rias itu dengan sembarangan tanpa melihat-lihat lagi apa saja yang ia masukan ke dalam tas mewahnya itu lalu setelahnya berjalan keluar kamar dengan bersungut-sungut bersiap pergi dari Villa itu.
"Aku akan bilang sama Reza soal hubungan kita dan aku akan bilang kalau kamu mengandung anakku!" ancaman Nicho sukses membuat Prilly menghentikan langkahnya. Kakinya seperti terpaku dilantai Villa, membatu karena terlalu takut dengan apa yang akan Nicho lakukan saat ini. Gadis itu membalikan badannya ke arah pintu kamar yang terbuka dimana Nicho berdiri hanya dengan menggunakan celana pendek birunya.
Ditatapnya wajah Nicho yang terlihat sedang tidak bercanda saat ini.
Pria itu berdiri dengan memegang sebuah ponsel keluaran terbaru, mengancam Prilly dengan gesture seperti siap menelepon Reza untuk membeberkan aibnya pada sang calon suami yang juga adik kandung pria itu.
"Don't you dare...." Ujar Prilly masih mematung dari jarak beberapa meter diluar kamar.
"Kamu yang bilang sama Reza atau aku yang kasih tahu semua sama dia sedetail-detailnya?" ancam Nicho seraya bersiap menekan tombol dial untuk menelepon sang adik.
"Nicho jangan gila kamu!" Prilly panik, menaruh tas mewah pemberian pria itu di atas meja dapur dan berjalan menghampiri Nicho dengan marah.
"Aku serius, Prill."
"Nicho No, don't do that to me..." Prilly memohon "Aku cinta sama adik kamu, Nic. Please jangan hancurin apa yang sudah aku bangun dengan susah payah!" mohon Prilly, Ia mencoba mengambil ponsel milik kekasih gelapnya itu dari tangan Nicho tapi tubuh tinggi sang pria membuat Prilly kesulitan untuk merebutnya.
"Batalin pernikahan kamu sama adikku dan nikah sama aku!" tawar Nicho dengan raut wajah seius.
"Nicho..."
"Atau aku telepon Reza sekarang dan aku kasih tahu dia semuanya..." Nicho Kembali mengancam.
Jantung Prilly berdegub kencang, Ia tahu pria ini tidak main-main. Ia tahu jika Prilly tidak menghentikan Nicho, pria ini akan menghancurkan hubungannya dengan Reza.
"Gimme your phone!!!" pinta Prilly marah sambil mencoba merebut ponselnya.
"I will call him now..." Nicho bersiap menekan panggilan keluar tapi dengan cepat Prilly meraih tangan sang pria, mencoba merebut ponselnya dan menghentikan ulah nekat pria itu.
"Siniin hapenya, Nic! Nicho!" Prilly yang kalah tinggi dari pria itu kesulitan mengambil benda itu dari Nicho, Nicho semakin mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar Prilly tak dapat merebut ponsel miliknya hingga tubuh kekarnya itu menabrak meja dapur dan membuat tas chanel yang Prilly taruh disana tersenggol dan jatuh ke lantai dapur membuat isinya keluar berantakan.
"Nicho! Siniin hapenya! Please! Nicho!!!!" Nicho berjalan menghindari Prilly mengelilingi meja dapur seraya mencoba untuk menghubungi Reza, sang adik. Hati Prilly memanas ketika dilihatnya kali ini Nicho sungguh-sungguh akan menekan nomor telepon Reza dengan ponsel ditangannya itu.
"Aku nggak akan ngebiarin kamu nikah sama dia!" ujar Nicho yang berusaha menghindari dan membelakangi Prilly masih dengan memegang ponsel ditangannya. Prilly mengekori sang pria yang kini sudah berada tepat didepan meja dapur berbahan marmer itu. Meja itu berlapis marmer Travertine Cream berwarna hitam, terdapat keranjang kecil berisi buah-buahan, tempat pisau dan sendok, gelas-gelas untuk para tamu, pajangan berbahan keramik, vas bunga berbahan kristal serta dua botol wine merah.

PRANK!
Dari belakang, Prilly yang panik dan emosi dengan sikap sang pria akhirnya mengambil satu botol wine merah kemudian dipukulnya ke kepala Nicho hingga ponselnya terlepas dan tubuh Nicho jatuh tersungkur dengan kepala yang penuh darah.
Jantung Prilly berdegup kuat melihat laki-laki yang selama tiga bulan ini satu ranjang dengannya itu jatuh tak berdaya didepannya. Wine merah dari botol itu tumpah kemana-mana membuat lantai dan tubuh Nicho merah karena warnanya.
Selama beberapa detik setelah kejadian itu Prilly sempat mematung, tangan dan kakinya kelu hanya untuk sekedar bergerak. Tak menyangka ia bisa melakukan hal mengerikan ini pada pria itu. Wajahnya memancarkan kepanikan melihat tubuh Nicho yang sudah berdarah-darah bercampur dengan wine merah.
"Ngghhhh..." Nicho bersuara mengaduh pelan kesakitan, membuat lamunan Prilly buyar dan sadar sesadar-sadarnya.
Prilly menatap tubuh kekar Nicho yang Sudah tak berdaya dengan tatapan dingin, suara hatinya menyuruhnya untuk menghentikan ini semua tapi setan dalam kepalanya menyuruhnya yang sebaliknya.
"Nggghhh..." suara kesakitan Nicho kembali terdengar menandakan pria itu masih hidup.
Prilly menatap tajam pada tubuh yang sudah tersungkur di lantai dapur itu kemudian dengan tekatnya yang bulat ia mengambil sebuah vas bunga berbahan kristal di atas meja tak jauh dari posisinya berdiri dan tanpa iba dilemparkannya vas kristal itu tepat ke kepala belakang Nicho hingga menyisakan suara hantaman yang keras antara kerangka kepala dan vas bunga dan setelahnya Nicho tak lagi mengaduh.
"Enggak ada yang boleh ngehancurin hubunganku sama Reza, nggak juga kamu, Nic!" ujar Prilly tanpa penyesalan kemudian dengan terburu-buru membereskan barang-barang miliknya yang tadi jatuh berhamburan tak jauh dari tubuh Nicho yang sudah tak sadarkan diri.
Prilly mengambil dan memasukan barang-barang itu ke dalam tas miliknya dengan tergesa,-gesa, Ia harus segera pergi dari ini. Bahkan Ia tak sadar jika tas putih mahalnya itu juga ikut terkena percikan darah Nicho dan cepretan wine merah dipinggirnya.
Ketika Prilly bersiap meninggalkan tubuh Nicho disana, tiba-tiba Ia teringat sesuatu.
Jika ia membiarkan tubuh pria itu tergeletak begitu saja, itu sama saja bunuh diri dan Ia terang-terangan meninggalkan bukti paling sempurna. Prilly mengurungkan niatnya untuk keluar dari Villa kemudian mengunci Villa milik Nicho dan kembali ke dapur ke tempat dimana tubuh pria itu tergeletak.
Diperhatikannya ke sekeliling ruangan seraya memutar otak bagaimana caranya menyingkirkan tubuh Nicho agar tidak meninggalkan jejak di Villa ini?
Dan ketika matanya menyapu ke sekeliling villa mewah itu, Prilly menghentikan pandangannya pada satu titik yang menarik perhatiannya. Halaman belakang Villa ini yang langsung menghadap laut lepas.

Dalam hitungan detik, Prilly sudah menemukan ide jahat dikepalanya kemudian dengan cepat menaruh tas miliknya di atas sofa dan menghampiri tubuh Nicho yang sudah tak bergerak.
Dengan penuh perjuangan dan sekuat tenaganya, Prilly menyeret tubuh tak berdaya Nicho menuju halaman belakang Villa.
Disana di halaman belakang terdapat sebuah kolam renang kaca dengan pemandangan laut yang indah. View yang menjadi favorit Prilly setiap kali datang ke Villa ini setidaknya satu kali dalam seminggu untuk bercinta dengan pria 36 tahun itu.
Prilly ingat setiap kenangan dan jejak yang dia dan Nicho buat disini, setiap helaan nafas dan desahan yang mereka torehkan di Villa terpencil dan tak diketahui oleh keluarga Matulessy. Setiap kebebasan yang Prilly rasakan setiap kali Ia dan Nicho menyatukan tubuhnya. Setiap adegan sex gila yang mereka coba yang tak pernah Ia rasakan sebelumnya, bahkan tidak juga dengan Reza sang tunangan. Nicho membuat fantasi yang selama ini tak Prilly rasakan dapat terpenuhi, pria itu dapat memuaskan hasratnya berkali-kali dalam satu malam.
Prilly ingat itu semua.
Tapi, anehnya Ia tak pernah bisa mencintai Nicho seperti Ia mencintai Reza. Prilly ingin tetap memiliki Reza tapi tetap juga bisa bercinta dengan sang kakak ipar.
Egois kan?
Karena itu selama tiga bulan ini mereka menjalin hubungan tak pernah terlintas dalam benak Prilly untuk membawa hubungannya dengan Nicho lebih dari sekedar ranjang. Prilly hanya membutuhkan pria itu untuk memuaskannya, itu saja.
Malam di Villa Kawasan Suluban, Uluwatu ini sangat sunyi. Didaerah sini jarak dari satu Villa ke Villa lainnya dibatasi oleh tebing dan hutan, halaman belakang Villa-villa dikawasan ini langsung menghadap ke laut lepas. Dikirinya ada Uluwatu dan Suluban beach sementara di kanannya ada Thomas dan Padang beach yang cenderung lebih sepi dari dua pantai lainnya.
Nafas Prilly memburu, ia terengah-engah kelelahan menyeret tubuh pria bertinggi 180cm itu menuju halaman belakang, jika saja bukan karena tekatnya yang kuat Prilly pasti tak sanggup melakukan ini semua.
Prilly tiba tepat dibibir tebing, sejenak Ia mengatur nafasnya sebelum membulatkan niatnya untuk melempar tubuh Nicho ke jurang. Prilly berjongkok dan menatap wajah Nicho yang sudah berdarah-darah itu dengan tanpa penyesalan, mengusap pipi sang pria berpura-pura bersimpati.
"Andai aja kamu nggak terlalu banyak nuntut, Nic, ini semua nggak perlu terjadi." Bisik Prilly pelan berbicara pada tubuh Nicho yang sudah tak bergerak "Andai aja kamu nggak ngancem aku kayak tadi, kita masih bisa berhubungan dengan baik bahkan setelah aku menikah sama Reza..." lanjut Prilly yang berniat tetap melanjutkan perselingkuhannya bahkan setelah Ia menikahi anak kedua keluarga Matulessy itu.
"Bye Nicho and don't come back.." ujarnya.
Tapi ketika Prilly akan mendorong tubuh itu ke jurang, tiba-tiba saja mata Nicho terbuka tepat menatap ke arahnya hingga membuat mereka saling bertatapan.
Pupil mata Prilly membesar, terkejut melihat pria yang Ia kira sudah mati itu tiba-tiba membuka matanya seraya berbisik pelan "Prill..." ujarnya nyaris tak terdengar.
Jantung Prilly nyaris lepas mendengar Nicho memanggil namanya seperti meminta tolong, lalu tanpa membatalkan niatnya ditendangnya tubuh Nicho yang masih bernyawa itu dengan sekuat tenaga hingga jatuh ke dalam jurang dan beberapa detik setelahnya Prilly dapat mendengar debur air dari lautan dibawah sana, menandakan tubuh sang pria sudah jatuh ke dalam lautan luas dan menyisakan sunyi di malam itu.
Setelah membuang jasad Nicho, Prilly membereskan seluruh Villa berserta isinya. Menghapus CCTV yang ada disana, membersihkan darah Nicho yang tercecer di dapur dan halaman belakang Villa, merapihkan kamar tidur dan membawa sampah serta barang-barang miliknya dari villa itu. Mencoba menghapus jejak dan bukti keberadaannya disana serapih mungkin. Tidak ada yang boleh tahu tentang hubungan terlaranganya dengan Nicho, tidak ada yang boleh tahu jika sebenarnya Ia dan pria itu sudah menjalin hubungan selama tiga bulan ini. Ia harus membuat seolah-olah Nicho lah yang mengejar-ngejarnya dan Prilly tidak pernah menanggapi pria itu sama sekali.
Ketika dia rasa Villa ini sudah bersih sempurna, Prilly mengambil ponsel milik Nicho dan membuka kunci layarnya yang sudah Prilly hafal, kemudian menghapus seluruh bukti chat, panggilan telepon dan seluruh isi galeri handphonenya hingga tak sedikitpun jejak dirinya tertinggal secara digital, kemudian dibawanya pergi ponsel tersebut untuk Prilly buang jauh dari Villa.
Prilly menatap pintu Villa dari luar, mematikan lampunya seolah tak ada yang datang ke tempat ini selain Nicho lalu pergi dengan mobil BMW miliknya dan meninggalkan tempat mengerikan itu secepatnya.
Ketika baru keluar meninggalkan villa, ditengah perjalanan ponsel Prilly berdering dan nama Reza tertera di layar ponselnya.
"Hallo...." Prilly mengangkat telepon sang kekasih dengan tenang.
"Hai, sayang. Kamu dimana?" tanya Reza diujung sana.
"Ehhmmm... mmm.. aku dijalan baru aja pulang dari Galeri." jawabnya berbohong.
"Tumben malam banget."
"Iya, banyak yang harus aku urus.." katanya lagi.
"Aku pulang besok ya sama Michelle..." Reza memberikan info padanya.
"Iya sayang, aku tunggu ya, aku udah kangen sama kamu..." katanya berakting semanis mungkin setelah ia membunuh kakak dari calon suaminya itu.
"I miss you too, see you tomorrow." Ucap Reza dengan lembut "Hati-hati nyetirnya.."
"Iya. I miss you more, sayang. See you..." tutup Prilly dan mematikan panggilan teleponnya dengan cepat. Prilly melirik pada jok sebelah kirinya, tergeletak ponsel milik Nicho disampingnya.
Mobil yang Prilly kendarai terus melaju membelah langit malam yang begitu sunyi, Prilly melirik jam ditangannya yang menunjukan pukul 22.17 malam. Ketika Prilly melewati Jalan Labuansait yang sepi saat malam hari, Prilly menghentikan mobilnya tepat di tepi jembatan kemudian membuka kaca mobilnya untuk membuang ponsel milik Nicho ke bawah jembatan.
Dan mobil Prilly pun kembali melaju dan menjauh tempat itu.
Prilly menghela nafasnya mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Apa yang terjadi malam ini akan ia kubur rapat-rapat.
Sebuah lagu dari radio dimobilnya mengalun menemani Prilly mengendarai mobil menuju kediaman keluarga Matulessy, sambil bersenandung pelan Prilly mengelus-elus perutnya yang belum membesar seraya berbicara pada janin yang menjadi saksi kejahatan ibunya malam ini.
"Kamu nggak bisa memilih orang tua kamu, sayang. Tapi, Ibu bisa memilihkan ayah terbaik untuk kamu. Ayah Reza." ujarnya bicara pada sang jabang bayi ditengah kesunyian malam jalan Labuansait.
Dosa ini akan ia simpan sendiri hingga Ia mati.
THE END.
SINNER Copyright © May 2023 | PENYALIN ILUSI - B891212 | All Rights Reserved.
Akhirnya selesaaiii terima kasih udah baca jangan lupa like dan komen yaw biar akoh semangat nulisnya hehehe. Semoga sukaaaa sama FF ini yaa 😙 see you di FF selanjutnya!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
