Perempuan Kedua (Bab XIII) - Crazy of Love

20
12
Deskripsi

Malam ini untuk pertama kalinya, Ia benar-benar membenci Reza.

.

Backsound Bab ini by:

Arash Buana ft Raissa Anggiani : If You Could See Me Crying In My Room

Jangan lupa komen dan Like setelah membaca yaaaa.. 

Suara Isyana kembali mengalun untuk kedua kalinya, menyanyikan lagu-lagu yang terdengar familiar ditelinga Reza. Panggung dan suasana ballroom riuh rendah dengan suara manusia-manusia 'berderajat tinggi' yang sedang bertukar kata. Tertawa dan berbincang. Kebanyakan dari mereka sibuk membicarakan bisnis yang mereka punya ataupun memamerkan apa saja yang sudah mereka dan keluarga mereka dapatkan selama hidup didunia. Ini bukan suatu hal yang mengherankan, karena setiap kali para konglomerat ini berkumpul, uang dan kejayaan adalah santapan utama obrolan mereka.

Disudut salah satu meja tamu, Reza yang sedari tadi melirik berkali-kali pada meja yang Prilly dan keluarganya tempati, masih juga tak mendapatkan kabar dari sang wanita. Sudah hampir dua puluh menit sejak Prilly dan Ibunya pergi dari meja mereka hingga kini gadis cantik itu belum juga kembali ke tempatnya. Reza penasaran, sebenarnya kemana perginya sang wanita? Dia tidak mungkin meninggalkan acara kan? Karena Reza tak melihatnya menuju pintu keluar sejak tadi.

Untungnya Hanum yang masih asik bercengkrama dengan para sahabatnya tak menyadari, jika mata dan pikiran sang suami sedang tak bersama mereka saat ini.

Dalam kecemasannya, Reza bahkan tak bisa mengeluarkan handphone-nya untuk sekedar menanyakan dimana sang kekasih berada. Lagi pula percuma, gadis itu pasti tidak akan mengangkat teleponnya.

Tak berapa lama dalam rasa penasarannya, akhirnya Reza melihat sosok yang sejak tadi Ia cari. Matanya menangkap sosok cantik itu dengan tergesa berjalan menuju pintu keluar ballroom. Pupil mata Reza membesar, semakin penasaran akan kemana kekasih gelapnya itu pergi. Ia tak mungkin meninggalkan resepsi pernikahan saudaranya sendiri sebelum acaranya selesai bukan?

Maka dengan rasa kekhawatirannya yang sudah menggunung, Reza dengan nekat meminta izin kepada Hanum. Berbisik pelan ditelinga sang istri untuk dapat meninggalkan gedung.

"Sayang, aku keluar sebentar ya?" bisiknya.

"Kamu mau kemana?"

"Mulutku nggak enak banget, aku mau ngerokok sebentar." katanya berbohong.

"Enggak bisa nanti aja?" tanya Hanum berharap Reza membatalkan keinginannya.

"Enggak lama kok, sebentar aja. Ya?" tanpa mendengar jawaban Hanum, Reza pun berdiri dari duduknya. Mengelus pundak sang istri berniat untuk menenangkannya.

"Jangan lama-lama.." katanya pelan kemudian mendapatkan anggukan dari Reza.

Tanpa babibu lagi, Reza melesat melangkah pergi. Setengah berlari menuju pintu keluar ballroom, Reza mengeluarkan ponsel pintarnya, menekan nomor yang sudah Ia hapal diluar kepala.

Nomor Prilly.

Telepon tersambung tapi Prilly tak mengangkatnya. Reza kembali mencoba tapi gadis itu tetap tak mengangkatnya. Ia mencari-cari Prilly dari jauh, berharap gadis itu belum turun dari lantai Ballroom. Mendekati pintu keluar, Reza pun mengirim pesan melalui iMessage pada sang gadis.

Prill, angkat telepon aku atau aku tanya langsung sama Mama kamu, kemana kamu pergi.

Pesan terkirim.

Dan tertera dua centang biru dalam pesannya, menandakan Prilly sudah membacanya tapi tak dia balas. Dengan segera, Reza kembali menelepon, ketika langkahnya sudah berada diluar ballroom, disana tepat di depan lift nomor tiga, Reza melihat sosok itu. Berdiri sedang menunggu lift yang belum terbuka sambil menatap layar handphone yang sedang Prilly pegang. Dengan cepat, Reza berlari menghampiri sang gadis sebelum Ia masuk ke dalam lift dan pergi dari hadapannya.

"Kamu mau kemana?" Reza kini sudah berada disamping Prilly, dengan nafasnya yang sedikit tersengal karena Ia berlari.

Prilly terkejut melihat pria yang sedang tak ingin dia temui justru kini ada disampingnya. Ia menoleh kekiri tubuhnya tak memperdulikan pertanyaan Reza.

Ngapain lagi sih nih orang? Batin Prilly, sebal.

Reza tidak tahu saja apa yang barusan sang gadis alami, Ia sedang tidak baik-baik saja dan malas harus kembali berdebat dengan Reza yang mudah tersulut dan terprovokasi emosi.

"Prill...?" ucapan Reza terpotong ketika bunyi pintu lift terdengar. Beberapa orang keluar dari lift dan membelah posisi berdiri mereka dengan berjalan ditengan keduanya. Sedetik kemudian, Prily masuk ke dalam lift. Masih tidak memperdulikan Reza yang juga masih mengekorinya.

Pintu lift menutup. Sialnya hanya ada mereka berdua didalam sana, membuat suara tidak nyaman kembali menyambangi Prilly.

Sial.

Reza melirik pada sang gadis, matanya membesar ketika melihat wajah dan mata gadis itu sembab. Dengan refleks, Reza menyentuh pundak Prilly, mengarahkan tubuh gadis cantik itu agar dapat Ia lihat dengan jelas mata sembabnya itu.

"Kamu habis nangis?" tanya Reza, sedikit mengguncang tubuh mungil Prilly.

"Bukan urusan kamu!" Prilly melepaskan tangan Reza dengan kasar yang sedang mencengkram pundaknya "Kamu ngapain sih ngikutin aku?" tanya Prilly dengan ketusnya, kemudian memberi mereka jarak agar tak berdiri terlalu dekat.

"Aku khawatir! Bisa nggak sih kalau aku telepon tuh langsung diangkat?" omel Reza.

See? Berbincang dengan pria ini hanya akan menambah emosinya saja.

"Mas kita tuh lagi diruang publik, disana ada keluarga kamu! Tolong bersikap sewajarnya jangan seenaknya kayak gini!" katanya marah.

"Aku cuma khawatir sama kamu, aku nanya baik-baik.." jelas Reza.

"Kamu bukan nanya, kamu memprovokasi aku!" omel Prilly lagi "Berapa kali aku bilang sama kamu, jaga sikap kamu jaga sikap kamu, tapi lagi-lagi kamu kayak gini!" protesnya masih dengan nada marah.

"Kamu berubah tahu nggak!" tembak Reza kesal "Sejak kamu ketemu sama cowok itu, kamu bener-bener berubah!" Reza kembali memojokan Prilly yang sedang pusing, membuat emosi sang gadis kembali naik.

"Bisa nggak sih kamu nggak usah bawa-bawa Refal dalam hubungan kita?" bentak Prilly "Semua yang terjadi sama kita ini nggak ada hubungannya sama dia, Mas!" jelasnya marah.

"Jelas ada lah, kalau bukan karena sikap kamu ke dia yang terlalu intim, aku nggak akan seperti ini!" Reza kembali menyulut amarah Prilly..

"Kamu masih nggak paham kenapa aku kayak gini?" tanya Prilly, mereka saling menatap "Semua bukan karena Refal, tapi karena kamu sendiri Mas! Kamu bikin aku takut!" jelas Prilly panjang, Reza dapat melihat dua tetes air mata turun ke pipi gadis cantik itu yang kemudian dengan cepat Prilly basuh dengan tangannya.

"Aku nggak ada maksud kayak gitu.." ujar Reza "Aku nggak ada maksud bikin kamu takut..."

Prilly membuang mukanya, tak mau Reza melihatnya menangis.

"Kamu lupa posisi aku disini sebagai apa?" Prilly kembali bersuara "Hubungan kita bukan seperti kebanyakan orang, Mas! Kamu punya istri!!" bentak Prilly mengingatkan sang kekasih.

Reza seperti tertampar mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Prilly barusan. Ia berusaha mengatur emosinya, tak tega melihat sang kekasih mengeluarkan air matanya tepat didepan dirinya.

"Ini bukan soal Refal, Ini tentang kamu dan aku. Aku tuh capek harus kamu curigain terus menerus, aku takut sikap emosional kamu yang kayak gini bikin hubungan kita jadi diketahui orang lain. Kamu ngerti nggak sih?" kali ini Prilly benar-benar menangis, Ia tak bisa menahannya.

"Aku cuma takut kehilangan kamu, Prill.." ucap Reza dengan lembut. Reza mengatur jaraknya dengan Prilly, berusaha kembali mendekatinya didalam lift.

"Justru sikap kamu yang kayak gini bikin kamu akan kehilangan aku.." balas Prilly.

"Prill, please..." rengek Reza berusaha untuk menyentuh jemari Prilly tapi kemudian Prilly tepis dengan kasar.

"Tolong dengerin aku baik-baik, Mas. " ujar Prilly serius "Kalau sekali lagi kamu ngancem aku kayak tadi, kali ini kamu benar-benar akan kehilangan aku!" ujar Prilly dengan tegas.

Reza terdiam. Tak mampu berkata-kata mendengar ucapan sang kekasih. Jujur saja Ia memang sangat sulit mengontrol perasaannya setiap kali melihat Prilly dengan pria manapun terlebih lagi ini Refal, laki-laki yang Ia ketahui memang pernah punya masa lalu dengan sang kekasih dan membuat rasa cemas dan cemburunya menjadi berkali-kali lipat.

Ting!

Suara lift terbuka, Reza masih membatu sementara Prilly bersiap untuk beranjak keluar dari sana.

"Lebih baik kamu kembali ke istri kamu sekarang, aku lagi pengen sendiri!" ujar Prilly kemudian keluar dari lift dan pergi meninggalkan Reza tanpa menoleh sedikitpun.

***

"Loh, udah ngerokoknya?" Hanum terkejut melihat sang suami yang sudah kembali ke meja mereka.

Reza duduk di kursi miliknya, lalu tersenyum pada sang istri penuh dengan kelembutan "Aku nggak jadi ngerokok, aku lupa koreknya aku tinggal dilaci kantor." ujarnya berbohong.

"Oh..." Hanum mengangguk-angguk mengerti.

"Han, nanti malem kalian aja ya yang pergi ke after party-nya Sheila. Gue capek banget pengen balik ke kamar aja." Marsha tiba-tiba bersuara "Nanti anak-anak biar sama gue, lo sama Reza have fun aja!" usul Marsha tersenyum meledek.

"Lo serius?" Hanum kaget dengan keputusan Marsha.

"Iya nggak apa-apa kalian aja yang pergi, salamin aja sama Sheila. Bilang aja gue tepar banget." jelas Marsha lagi.

Hanum terlihat berfikir dengan keputusan sang sahabat.

"Lagian kasian anak-anak, kayaknya udah mulai ngantuk mereka.." lanjut Marsha melirik Jizzy dan Alana yang memang sudah mulai terlihat sayu karena ini sudah jam tidurnya.

"Beneran nggak apa-apa Alana sama lo?" tanya Hanum ragu.

"Ya nggak apa-apa lah, tadi siang kan Mas Reza udah jagain Jizzy." jawab Marsha "You guys have fun dan nggak usah mikirin anak-anak. Mereka aman sama gue!" ucapnya lagi.

Hanum melirik Reza, mencari jawaban dari sang suami "Gimana, Mas?"

"Aku sih terserah kamu aja, aku nggak masalah.." balas Reza.

"Kalian kan udah lama nggak jalan berduaan, ini waktunya kalian seneng-seneng berdua. Pacaran lagi. Siapa tahu nanti Alana dapet adek..." goda Marsha, iseng.

Hanum dan Reza tertawa.

"Ya udah kalau gitu. Thanks ya, Cha!" jawab Hanum.

"No problem.." balas sahabat terdekat Hanum itu dengan santai.

***

Suasana after party pernikahan Sheila dan Vidi begitu riuh oleh tawa dan suara musik yang bergema diseluruh ruangan. Sheila sengaja mengadakan after party khusus untuk berkumpul dengan saudara dan sahabat-sahabatnya. Tak begitu banyak yang mereka undang ke acara ini, hanya sekitar 20 puluhan orang saja. Sheila menyewa sebuah Bar & Lounge di Hotel tempatnya mengadakan pernikahan.

Musik dengan beat yang kuat masih menemani sekawanan manusia yang sedang asik berbincang disebuah sofa dengan cahaya remang. Prilly bergabung dengan Shiela, Vidi, Denny, Dian, Putri dan Abi disebuah sofa tak jauh dari meja bar. Sheila mengenalkan Prilly pada sahabat-sahabatnya sebagai sepupunya yang berusia lebih muda darinya delapan tahun itu. Ditengah tawa dan percakapan mereka, tiba-tiba saja seseorang datang menghampiri mereka dan menyapa dengan ramahnya.

"Hai... sorry ya gue telat..." Hanum dan Reza yang datang sambil bergandengan dengan mesra itu menyapa semua yang ada di sofa, sekilas mata Prilly sempat melirik Reza sebelum akhirnya Ia buang jauh-jauh pandangannya ke arah lain, berpura-pura meminum alkohol di gelas yang sedang Ia pegang ditangannya.

"Ngapain dulu sih? lama banget.." kata Sheila berpura-pura kesal, kemudian memberikan ruang untuk Hanum dan Reza duduk bersama mereka di sofa yang lumayan besar itu.

"Biasalah, nidurin Alana dulu..." jawab Hanum sambil menaruh tubuhnya di sofa tepat disamping Sheila.

"Iya tadi sekalian nitipin Alana ke Marsha dulu..." sahut Reza, mata pria itu sengaja mengamati Prilly untuk melihat reaksi sang gadis.

"Widihhh, jadi nih Alana punya adek..." ledek Dian yang disambut riuh suara tawa teman-teman Hanum lainnya, kecuali Prilly tentu saja. Gadis itu yang kebetulan duduk di sofa paling pojok, masih berpura-pura tak acuh.

"Aminnnn..." ucap Hanum "Oh iya, Marsha titip salam. Dia tepar banget katanya jadi nggak bisa dateng.." jelas Hanum lagi.

"Yah, gimana sih nggak lengkap dong kita.." rengek Sheila sedikit kecewa.

"Marsha nggak lo paksa untuk jagain anak-anak biar lo sama Reza bisa berduaan kan, Han?" goda Putri terkekeh.

"Niatnya sih gitu yah, eh ternyata dia udah inisiatif duluan..." Hanum tertawa.

"Ih, jahat.." sahut Dian ikut tergelak.

"Hahaha... bercandaaa..." ujar Hanum lagi "Hai, Prill..." Hanum menoleh pada Prilly yang duduk disamping Abimana.

"Mbak..." sapanya dengan senyum dipaksa, malas dengan pria yang duduk disamping Hanum.

Astagaa, Ia benci suasana seperti ini, canggung! Ia merasa seperti penjahat yang sedang menyimpan kejahatan dari mereka semua.

Prilly gelisah.

"Eh, kamu sama Reza satu kantor kan ya?" tanya Sheila tiba-tiba, membuat lamunan Prilly buyar dan membuatnya menjadi semakin canggung.

"Eh, Iya, Kak..." jawab Prilly pelan ditengah suara musik yang mengalun.

"Ohhh... sering ketemu dong?" tanya Sheila lagi.

"Enggak juga sih, paling ketemu kalau kita ada meeting project aja. Ya kan, Mas Reza?" Prilly menoleh ke arah Reza yang sedari tadi memperhatikannya secara diam-diam, padahal jelas-jelas disampingnya ada Mbak Hanum.

Reza terlonjak kaget begitu namanya Prilly mention, kemudian dengan sok santai Ia tersenyum seraya menjawab "Iya, kita beda divisi dan lantai soalnya." Reza sedikit gelagapan.

"Prilly gimana sih kalo dikantor, Za?" Sheila tanpa tedeng aling-aling bertanya pada Reza "Pasti banyak yang naksir ya?" lanjut Sheila lagi.

Reza tersenyum kemudian mengarahkan pandangannya pada Prilly seolah mengejek dengan mengajaknya bercanda "Hmm... gimana yaa?" Katanya menggantung ucapannya.

Prilly menatap Reza penuh selidik menantikan jawaban apa yang akan pria itu utarakan didepan sepupunya ini.

"She's an MVP di kantor kita" buka Reza memuji Prilly tanpa berbohong.

"Wow, gurl!" ucap Sheila dengan kagum.

"Prilly cepet sih adaptasi dikantor, meskipun lama di US tapi mudah berbaur. Makanya temennya banyak, apalagi temen cowoknya. Ya kan, Prill?"

Oke. Prilly mulai merasa terintimidasi dengan ucapan Reza kali ini.

"Wajah lah, Mas. Orang cantik gini!" Puji Hanum tersenyum pada Prilly dan dibalas kembali dengan senyuman canggung.

"Siapa dulu kakak sepupunya!" Sahut Sheila bangga "Za, Prilly ada pacar kan?" Pertanyaan Sheila kali ini semakin intim, membuat Prilly dan Reza dagdigdug tak karuan.

Tapi dasar Reza, aktingnya sebagai pria baik hati selalu saja mampu menipu banyak orang.

Reza tertawa, entah karena bagi dirinya ini suatu hal yang lucu atau pria itu sedang merendahkan gadis itu.

"Setau saya sih ada yaa..." jawab Reza membenarkan "Siapa namanya, Prill? Kasih tahu dong ke Sheila..." Ledek Reza lagi, seolah-olah ingin menelanjangi sang kekasih dihadapan banyak orang.

Entah apa maksud dari ucapannya tadi yang jelas Prilly tidak menyukainya.

"Bukannya Mas Reza tahu? Kenapa nggak Mas Reza aja yang kasih tahu mereka..." tantang Prilly.

SHE HATE HIM.

"Ah, tapi Prilly sih banyak pacarnya!" Lagi, Reza memprovokasi "Kalau sekarang, nggak tahu lagi sama yang mana..." lanjutnya berusaha melucu "Yang dikantor atau diluar kantor..." Reza tersenyum mengejek ke arah Prilly.

Seriously???

"Wuih keren sepupu gue!" Puji Sheila bangga.

"Enggak apa-apa ya Prill, mumpung masih muda. Pacaran aja sepuasnya!" sahut Vidi memberi usul.

"Bener banget tuh kata laki gue, selama itu bukan suami orang sih terserah mau pacaran sama siapa aja. Ya kan, Prill?" Sheila menaikan alisnya melirik Prily.

Prilly hanya tersenyum kaku. Ia tahu kakak sepupunya bukan bermaksud untuk menyindir dirinya yang memang sedang menjalin hubungan dengan suami dari sahabatnya, tapi entah mengapa, kalimat Sheila barusan membuat energi Prilly menjadi turun drastis.

"Eh, ngegames yuk, Sheil?" terima kasih pada Abi, ditengah perbincangan yang rikuh itu, pria itu mengubah topik obrolan. Mereka semua menoleh ke arah Abi, penasaran dengan apa yang Abi usulkan.

"Boleh tuh.." Vidi menanggapi "Games apaan?"

"Truth or Dare aja, seru deh kayaknya.." mata Abi menyapu ke sekeliling, melihat tanggapan dan reaksi teman-temannya.

"Boleh juga tuh.." sahut Denny.

"Aduhh,, jangan aneh-aneh deh.." celetuk Dian agak tak setuju dengan saran teman-temannya.

"Asik sih kayaknya... sekalian ajakin yang lain aja gimana?" Sheila mengusulkan dengan semangat "Kamu ikutan ya, Prill?" tanya Sheila meminta adik sepupunya untuk berpartisipasi.

Prilly hanya mengangguk pasrah, mau menolak pun tak akan mungkin bisa.

"Oke, gue panggil yang lain deh..." Sheila berdiri dari sofa lalu berteriak memanggil sahabat dan saudara-saudaranya yang lain untuk berkumpul di meja mereka "Guys, sini dong semuanya kumpul dulu! Kita mau ngegames nih!" ajak Sheila dengan suara lantang.

Tanpa banyak tanya, tamu-tamu yang mayoritas adalah teman-teman dekat Sheila pun berkumpul di meja mereka. Ada sekitar 20 orang disana termasuk Sheila dan Vidi. Abi dan Denny membantu membereskan meja yang tadi mereka pakai untuk menaruh minuman dan rokok. Disingkirkannya semua yang ada dimeja hingga tersisa satu botol alkohol kosong untuk mereka gunakan sebagai alat bermain games.

Mereka semua berdiri mengelilingi meja itu, ditengahnya sebuah botol siap mereka gunakan.

"Jadi gini, kita akan main Truth or Dare, gue akan puter botolnya sekali dan kalau botolnya berhenti tepat menghadap ke arah salah satu dari kalian itu berarti orang yang kepilih harus milih antara: Truth atau Dare. Kalau kalian pilih Truth tapi kalian nggak mau menjawab dengan jujur kalian wajib minum 5 shots sekaligus!" jelas Sheila bersemangat "Tapi kalau kalian pilih Dare, kalian WAJIB ngelakuin apapun yang gue dan Vidi minta. Setuju?"

"SETUJUUU!" teriak para tamu disekeliling meja.

"Oke Bi, bawa minumannya kesini!" Abi mengambil sebuah nampan berisi 20 shots vodka yang akan mereka gunakan untuk bermain.

"Ready nih!" ujar Abi menaruh nampan tersebut di meja sebelahnya.

"Oke, gue mulai ya..." Sheila kemudian memutarnya. Terdengar suara gesekan botol dan meja kaca dari putaran yang Sheila lakukan, hingga tak disangka putaran pertama Sheila tepat berhenti menghadap pada tubuh Denny.

"DENNYYYY!" Sheila dan Vidi berteriak kegirangan, seperti sudah menantikan moment ini terjadi. Pria yang pernah membuat Reza cemburu setengah mati itu pun terkesiap.

"Yang lain aja lah..." ujar Denny ogah-ogahan, padahal tadi Ia salah satu yang setuju dengan permainan ini. Prilly memperhatikan pria tampan berbalut kemeja putih itu dengan seksama. Wajar saja Reza khawatir dan cemburu sampai sebegitunya pada Denny, pria ini memang setampan itu rupanya.

"Oh come on, maan... nggak asik lo!" ledek Abimana.

"Ayo lah, Den!" Putri ikut menyemangati "Kalau lo takut ya pilih truth aja..." usul teman satu kampusnya itu.

"DENNY! DENNY! DENNY!" teriak orang-orang disana menyemangati sang pria, Prilly tersenyum kecil melihat respon Denny yang merasa tak enak hati tapi juga terpaksa harus menjalankan permainan ini.

"Oke. Oke." Katanya pada akhirnya.

"Nah gitu donggg..." Vidi menepuk bahu Denny dengan senang "Oke. Truth or Dare?" tanyanya kemudian.

"Truth!" jawab Denny tanpa ragu.

"Yaaahh nggak seru lo ah!" celetuk Abimana.

"Yakin nih truth?" Sheila menanyakan.

"Iya buruan..."

"Oke. Lo harus jawab pertanyaan gue terua lo peluk orang yang lo pilih.." ujar Sheila curang.

"Eh, enggak bisa gitu dong! Kan gue pilih truth bukan dare, kalau gitu sih namanya lo nantang gue!" Denny protes.

"Ya kan gue maunya lo jawab pertanyaan gue pake gesture! Nggak apa-apa dong?" Sheila tak mau kalah. Denny memutar matanya dengan malas, mau tak mau Denny harus menuruti sang pengantin baru ini.

"OKE SHEIL, OKE. Buat lo ama Vidi nih yah!" ujar Denny pasrah "Jangan aneh-aneh pertanyaannya!"

Sheila dan Vidi terkekeh geli melihat raut muka Denny yang terlihat grogi tapi tetap ingin bersikap sebagai teman yang baik.

"Oke, siapa cewek disini yang menurut lo paling cantik dan menarik perhatian lo, lo HARUS JAWAB JUJUR dan nggak boleh main aman!" tanya Sheila "Satu lagi, Gue tahu gue cantik tapi lo juga nggak boleh milih gue..." canda Sheila sambil tertawa meledek.

"Rese lo!" ujar Denny sebal.

"Go now and pick one girl, Den! Dan inget HARUS JUJUR!" suruh Sheila lagi.

Reza merapatkan rangkulannya pada Hanum, menatap Denny dengan sikap sinisnya untuk menunjukan kepemilikan. Reza sangat yakin laki-laki ini pasti akan memilih istrinya, karena itu sebelum Denny membuat ulah, Reza sengaja memperingatkan sang pria dengan harapan jika mantan dari istrinya itu akan menjadi lebih tahu diri.

Dan Prilly melihat itu, melihat bagaimana Reza memproteksi Hanum dari mantannya.

Denny menyapu pandangannya ke sekeliling para tamu yang ada disana lalu tersenyum pada seseorang yang memang sudah menjadi targetnya, karena menurut Denny dia memang cantik dan menarik perhatiannya sejak tadi.

Denny keluar dari kerumunan, berjalan kebelakang mereka semua dan berhenti disatu tubuh indah yang ada didepannya.

"I choose her..." Denny memeluk tubuh Prilly dengan segan, membuat gadis itu sedikit terlonjak tak menyangka pria tampan itu bisa memilih dirinya. Tangan Denny bersentuhan dengan kulit putih Prilly yang bagai porcelain, bahkan parfume mahal pria pun itu ikut terendus oleh Prilly.

Sementara itu didepan mereka berdua, tepat diseberang meja, seseorang menatap mereka berdua dengan mata membelalak, dongkol.

DENNY BANGSAT! Makinya dalam hati.

Bukan hanya Reza, bahkan Hanum, Sheila dan yang lainnya pun terkejut dengan pilihan Denny. Karena tadinya Sheila pikir Denny akan nekat memilih Hanum.

"Yaahh Denny main aman, nggak seru!" ledek Sheila seperti biasa.

"Heh, gue udah jujur ya, Sheil." sanggah Denny, Ia memang merasa tertarik dengan Prilly malam ini.

Prilly menahan senyumnya mendengar komentar sang sepupu dan jawaban Denny tentangnya karena Prilly mengerti apa maksud dari percakapan keduanya.

"Sorry ya, Prill..." Denny melepaskan pelukannya sambil mengusap lembut pundak Prilly yang tereskpose mulus.

Don't touch her! Maki Reza dalam hatinya.

"E-i-iya Mas, nggak apa-apa kok..." Prilly tak tahu harus merespon apa selain tersenyum canggung pada sang pria.

"Oke, kita lanjut nih ya?" tawar Abimana, mengusulkan permainan itu dilanjutkan.

"LANJUUTTTT!" teriak mereka semua.

"Okeee lanjutttt!!" Sheila kembali memutar botol alkoholnya, diiringi sorai dan tepuk tangan mereka semua kecuali Reza. Permainan itu berjalan begitu saja, beberapa orang terkena giliran satu persatu. Daffa sang sepupu, Irene teman SMA Sheila, Dian dan kini giliran Abimana. Pria nyentrik dengan rambutnya yang sedikit gondrong itu memilih Dare dan gilanya Sheila menyuruh Abimana untuk melakukan Pole Dance dengan sexy.

"Wah, gila lu pada!" Abimana protes yang diselingi tawa mereka semua.

"Go Abi go!" Putri dan Dian menyoraki dengan tawa pecahnya.

Tanpa banyak memprotes, Abimana maju ke arah mini stage. Ada sebuah tiang disamping panggung yang Ia jadikan tempat untuk bergoyang dengan sexy ala stripper professional. Semua terbahak. Tak kuasa menahan tawa tingkah konyol sang sahabat yang memang paling gila dari mereka semua. Prilly menyaksikan kegilaan Abimana tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang sedang membidiknya dengan tajam karena menyimpan rasa kesal akan kejadian beberapa saat tadi.

Reza dengan mata elangnya justru sibuk dengan hatinya sendiri, ingin marah tapi tentu saja itu tidak mungkin dia lakukan dan mau tak mau hanya bisa mengubur amarahnya dalam diam.

"Abi lucu banget ya, Mas? Emang dari dulu dia tuh paling gila diantara kita!" suara dan rangkulan Hanum dipinggang Reza membuyarkan atensinya pada sosok didepannya lalu menanggapi ucapan sang istri hanya dengan anggukan palsu.

"Udaah yaaaaa guys...!" Abi menghentikan tariannya dengan bangga dan tawa lebarnya kemudian melangkah kembali menuju meja pemainan.

"Abimana Aryasatya, everyone! Tepuk tangan duluu dongg!" ujar Sheila bangga.

"Enggak salah gue minta lo pole dance, Bi. Ternyata lo pro banget ya?" ledek Sheila terbahak.

"Apa sih yang gue nggak bisa, Sheil?" ujar pria itu bangga.

"Oke, hands down deh buat lo!" Sheila membuat gesture hormat dengan kedua tangannya, merasa puas dengan aksi yang Abi berikan untuk mereka "Oke, lanjut yaaa...?" tanya Sheila.

Prilly tertawa senang, ternyata seru juga permainan ini!

"Satu, dua, go!!!" Sheila memutar kembali botolnya dan beberapa detik kemudian, botol itu berhenti tepat ke arah sang adik sepupu, Prilly.

SHIT!

"Owww!!" suara riuh heboh bergema begitu Prilly mendapatkan tantangan pertama.

Sheila mengalihkan tatapannya pada sosok didepannya dengan pandangan yang nakal "Akhirnya...." ujar Sheila terdengar begitu senang karena kini adik sepupunya lah yang mendapat giliran "Truth or Dare?" tanyanya tanpa basa basi.

Prilly terlihat berfikir sejenak, Ia harus berhati-hati dalam memilih karena jika Prilly salah pilih bisa-bisa Ia terkena tulah atas pilihannya.

"Dare!" jawab Prilly dengan yakin. Ia takut jika harus berkata jujur jadi lebih baik Ia melakukan sebuah tantangan, bukan?

Reza menatap Prilly, tak menyangka dengan pilihan yang Prilly ambil.

"Oke, so..." Sheila berfikir, mengusap-usap tangannya dengan penuh semangat. Ini harus bisa dimanfaatkan dengan sebaiknya.

"Prill, telepon satu orang yang lagi dekat sama kamu saat ini dan bilang I love you sama orang itu, TAPI harus di loudspeaker karena kita semua mau denger!" pinta Prilly.

WHAT???!!

Reza dan Prilly membelalak secara bersamaan, terperangah dengan tantangan yang Sheila ajukan padanya.

Siaaaall! Apa yang harus Prilly lakukan saat ini? Sangat tidak mungkin Prilly menelepon Reza dan mengatakan hal itu padanya kan? Itu sama saja Ia bunuh diri.

"Prilly! Prilly! Prilly!" teman-teman Sheila dan sepupu-sepupu Prilly menyoraki, penasaran siapa orang yang akan Prilly telepon.

"Kayaknya udah tidur juga deh orangnya..." Prilly beralasan.

"Oh, Come one! Dicoba dulu, ayo dongg!" paksa Sheila merajuk.

"Aku minum aja deh, Kak...!" nego Prilly.

"Oh nggak bisa dong, kamu kan pilih Dare, jadi harus dilakuin dong tantangannya!" tolak Sheila "Ayo donggg...!" paksa Sheila lagi.

Matilah...

Prilly mengecek Reza sekilas, penasaran dengan tanggapan sang pria akan kebingungannya saat ini. Reza melemparkan tatapan cemasnya, memelas dengan pandangan matanya agar Prilly tak melakukan permintaan sang sepupu.

"Ayo, Prill!" Vidi ikut mengompori.

Jangan...

Prilly kembali gugup, berfikir sekuat tenaga akan apa yang harus Ia lakukan untuk tidak membuat permainan ini menjadi garing.

"Fine, tapi sebentar aja ya.." pupil mata Reza membesar, tangannya mulai terasa dingin.

Apa Prilly sudah gilaa???

Prilly mengambil handphone dari tas tentengnya, kemudian menekan sebuah nama yang sudah familiar untuknya. Sementara itu didepannya Reza menantikan dengan cemas, seharusnya tadi Ia tak usah membawa handphonenya kesini dan menaruhnya dikamar hotel saja.

Bodoh!

"Hallo..." suara bariton terdengar melalui speakerphone yang Prilly aktifkan tadi.

"Hallo, Fal..." sapa Prilly pada seseorang dibalik telepon yang ternyata adalah Refal.

Reza nyaris saja memaki ketika mendengar nama yang Prilly ucapkan barusan, tak menyangka sang gadis malah menelepon pria yang jelas-jelas sudah membuat Reza uring-uringan akhir-akhir ini. Perasaan cemasnya kini berubah menjadi murka.

Kenapa harus Refal sih?

"Hei, lagi dimana? Belum tidur?" Refal memberondong pertanyaan pada Prilly, tak menyangka jika Prilly akan meneleponnya ditengah malam seperti ini. Hal yang nyaris tak pernah Prilly lakukan sebelumnya.

"Hmm... aku lagi ditempat sepupu. Sorry aku ganggu, kamu udah tidur ya?" Prilly tak enak hati menelepon pria itu malam-malam begini.

"Oh, enggak kok, nggak ganggu. Malah aku seneng kamu telepon..." darah Reza berdesir, Ia berusaha mengontrol rasa cemburunya yang sudah diujung kepala "Ada apa, Prill? Are you okay?"

Teman dan saudara-saudara Sheila yang berada disana menahan suaranya berusaha agar tidak berisik dan terdengar oleh Refal.

"Oh, enggak kok nggak apa-apa. Sorry aku telepon malem-malem, aku cuma mau bilang sesuatu sama kamu..." ujar Prilly dengan jujur.

Don't do that, Prill.... suara hati Reza memohon.

"Ada apa?" tanya Refal.

Prilly menjeda pembicaraannya untuk menarik nafasnya dalam-dalam dan menyiapkan dirinya untuk mengatakan hal yang sangat berbahaya ini...

"I love you..." ujar Prilly nyaris tak terdengar.

"Hah?" Refal terkesiap dibalik telepon sana "Sorry, kamu bilang apa tadi?" Refal tak yakin dengan pendengarannya sendiri dan meminta gadis cantik yang sudah lama Ia taksir itu untuk mengulang ucapannya.

Prilly memantau sekeliling, menelaah reaksi manusia-manusia disekitarnya terutama reaksi seseorang yang masih bergelayut mesra dengan istrinya.

Prilly menutup matanya seraya menggigit bibirnya dengan kikuk, malu dengan apa yang akan Ia lontarkan untuk kedua kalinya.

"I said, i love you..." katanya lagi kali ini dengan volume suaranya yang lebih keras dan disambut sorakan kegirangan dari penonton dikanan dan kirinya.

FUCK! Amuk Reza dalam hati.

"I love you too..." jawab Refal tertawa kecil.

Oh, Tuhan...

"CIIEEEEEEE!!!" spontan suara ledekan kembali terdengar secara serentak dan dengan cepat Prilly menonaktifkan speakerphonenya.

"Udah ya? Udah cukup kan?" tanya Prilly masih tidak mematikan panggilan teleponnya dengan Refal.

"Oke, goodjob!" Sheila tepuk tangan dengan puas "Thank you, Prilly."

Prilly mengangguk dengan gugup.

"Kak, aku kesana dulu ya..." Prilly mengisyaratkan untuk menyelesaikan panggilan teleponnya dengan Refal, menjauh sebentar dari kawanan pesta.

"Oke.." Sheila mengizinkan.

Prilly menjauh dari mereka dan berjalan menuju meja bar untuk melanjutkan pembicarannya dengan Refal. Mata Reza ikut mengekori dengan rasa penasaran yang tinggi. Ingin rasanya dia menghampiri Prilly dan meluapkan amarahnya secara langsung andai saja tangan Hanum tidak sedang merangkulnya saat ini.

"Fal, Sorry yang tadi..." ujar Prilly tak enak hati pada teman travelingnya itu.

"It's okay, aku tahu kok kamu nggak serius...." ujar Refal, Prilly terdiam "Emang tadi disuruh ngapain sih?" tanyanya kemudian.

"Kita lagi main Truth or Dare, terus aku disuruh telepon orang yang sekarang lagi deket sama aku dan bilang i love you, aku bingung harus telepon siapa, yang aku inget cuma kamu makanya aku telepon kamu. Sorry..." jelas Prilly panjang lebar, terdengar suara tertawa samar ditelepon yang Prilly yakini itu adalah suara tawa Refal.

"Aku jadi nggak enak sama kamu..." katanya dengan nada manjanya.

"Enggak apa-apa lagi, justru aku senang jadi option pertama kamu untuk ditelepon.." ujarnya "Itu artinya kamu nganggap aku salah satu orang yang deket sama kamu.." lanjut Refal dengan rasa bangganya.

"Kamu nggak marah kan?" tanya Prilly.

"Enggak lah, kenapa harus marah?"

"Yang tadi aku ucapin ke kamu..." Prilly takut Refal menganggap perkataannya tadi dengan serius.

"Nggak usah dijadiin beban, aku tahu kok itu cuma untuk games..." balas Refal dengan lembut, jujur Prilly lega mendengarnya.

"Tapi kamu tahu kan jawaban yang aku kasih tadi itu serius?" aku Refal dengan jujur.

"Aku tahu kok..."

"Really? How?" Refal penasaran.

"Aku bisa ngerasain aja..." ujarnya.

"Hebat udah bisa ngerasain apa yang aku rasain..." goda Refal "Aku bisa tidur nyenyak nih malam ini abis dengerin kalimat tadi..." katanya lagi tanpa malu-malu.

"Apaan sih, Fal. Lebay deh..." balas Prilly menahan senyumnya.

Ia tahu Refal pasti sangat senang dianggap dekat olehnya apalagi mendengarkan tiga kata yang selalu Refal harapkan darinya sejak beberapa waktu lalu. Maklum saja, pria itu kan memang menaruh hati padanya sejak lama.

"Hmm... ya udah, aku balik kesana dulu ya, enggak enak sama yang lain..." pamit Prilly berniat menutup teleponnya.

"Oke. Have fun ya dan nggak usah dijadiin beban..." Refal menawarkan.

"Iya. Bye.."

Prilly menutup teleponnya dengan lega. Inilah yang Ia sukai dari Refal, tutur katanya yang lembut, pembawaannya yang santai membuat Prilly nyaman berteman dengan pria itu.

Prilly melangkahkan kakinya mendekati kerumunan yang saat ini sedang heboh. Sorakan-sorakan dan teriakan mereka mengalahkan ramainya suasana saat Prilly menelepon Refal tadi. Entah apa yang sedang terjadi disana, Prilly belum bisa melihatnya dengan jelas. Yang dapat Prilly dengar hanya suara kehebohan para penonton seperti sedang menikmati sebuah sajian paling seru abad ini.

Prilly jadi penasaran kali ini siapa yang menjadi korbannya?

Sambil menyelidik dengan mata minusnya, Prilly pun membelah keramaian.

Dan ketika kumpulan manusia itu membuka jalan untuknya, Prilly pun pada akhirnya dapat melihat dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi ditengah sana.

Gadis itu membatu.

Bulu-bulu halus diseluruh kulitnya yang mulus itu meremang. Matanya tak mampu membuang pandangan dari tontonan yang kini telah terpampang nyata didepannya. Prilly merasa irama jantungnya mulai berdetak tak karuan, jika saja Ia tak sadar bahwa semua itu terjadi karena rasa terkejutnya saat ini, mungkin saja Prilly mengira dirinya sedang terkena Aritmia.

Disana didepan puluhan teman Sheila dan saudaranya, Prilly menyaksikan dengan gamblangnya Reza dan seorang wanita yang dia sebut ISTRI, sedang berciuman begitu mesra.

Ralat. Bukan hanya mesra tapi juga PANAS.

Hati Prilly mencelos.

Prilly bahkan tak sanggup untuk bereaksi. Mungkin jika saja ada yang sadar akan respon yang Prilly buat saat ini, orang itu pasti juga bisa merasakan seberapa shocked dirinya melihat semua ini didepan matanya sendiri.

Oke. Hanum memang istri sah Reza dan dialah sang pelakornya dan Ia tak punya hak untuk protez. TAPI, bukan hal seperti ini yang harus Prilly lihat malam ini. Bukan adegan seperti ini!

Tak hanya itu saja, sorak sorai yang menggema disekitar Prilly membuat adegan panas ini terasa semakin menjadi-jadi. Mereka seolah merestui perbuatan tak senonoh didepannya. Tubuh gadis cantik itu bergetar, berusaha menopang fisiknya yang mungil agar tidak jatuh terkapar.

Prilly sudah tak bersemangat mengikuti permainan ini, tubuhnya memang disana namun jiwanya sudah pergi didetik Reza dan Hanum saling melumat. Harusnya tadi Ia lebih lama saja bicara dengan Refal, dengan begitu Ia tak akan melihat adegan asusila Reza dengan istrinya.

"Oke udah 1 menit!" Sheila menekan stopwatchnya "Heyyyy...Udah dong udah.. nanti lanjut lagi dikamar..." ledek Sheila dan teman-teman lainnya karena Reza dan Hanum tak juga melepas ciumannya

"Sorry, sorry... kebawa suasana.." balas Reza seraya merangkul pinggang Hanum dengan mesra, tertawa tanpa dosa kemudian memamerkan deretan gigi putihnya pada Prilly seperti meledek sang wanita membalaskan dendam sebelumnya.

"Aduhhh jadi kangen sama istri nih gue..." Abimana menyahuti dan disambut gelak tawa yang lain.

"Den, biasa aja dong mukanya..." Dian yang ada disamping Denny menyenggol pria itu dengan wajah yang sama masamnya dengan Prilly saat ini.

"Apaan sih!" sanggah Denny marah.

Pria itu sudah enggan melanjutkan permainan yang sudah berjalan selama satu jam itu.

"Sheil, udahan ah, jadi makin kemana-mana nih game!" protes Denny.

"Oke, oke.... Udahan aja kali yaaa udah lama juga kita main" Sheila yang tahu situasi hati sang sahabat mengiyakan untuk menyudahi permainannya "Thank you Hanum & Reza, thank you untuk semua yang udah berpartisipasi malam ini. You guys enjoy the party dan silahkan mabok sampe pagiiiiiiii!" canda Sheila membubarkan massa.

Prilly bernafas lega, finally.

Satu persatu kumpulan manusia itu pun mulai membubarkan diri, ada yang kembali menikmati musik, ada yang bergoyang dilantai dansa, ada yang sekeder duduk-duduk di Bar seperti yang sedang Prilly lakukan saat ini.

"Kak, kita balik duluan yaa!" tiba-tiba dua remaja berusia dua puluhan menghampiri Sheila dan Prilly di Bar.

"Kok udahan? Baru jam segini!" ujar Sheila.

"Iya, ngantuk banget nih.." ujar pria bernama Daffa yang adalah adik sepupu Sheila dan Prilly.

"Yakin? Prilly aja masih disini..." kata Sheila lagi.

"Iya, lagian tadi mama pesen jangan sampe pagi katanya..." timpal Shenna, sepupunya yang lainnya yang adalah kakak dari Daffa.

"Oh, ya udah kalau gitu.."

"Thank you ya Kak, seru banget malam ini!" Daffa dan Shenina menyalami mereka satu persatu dengan kecupan dipipi "Bye Kak Sheila, Kak Prilly!" pujinya kemudian beranjak pergi dari tempat itu.

"Prill, aku ke toilet dulu ya..." Sheila berpamitan tak lama setelah Daffa dan Shenna pergi. Prilly mengangguk menyetuji kemudian kembali duduk dikursi Bar, sibuk dengan handphone ditangannya dan segelas alkohol didepannya.

"Prill..." tak berapa lama seseorang memanggilnya dengan lembut membuyarkan lamunannya.

Prilly mendongakan kepalanya pada asal suara lalu seketika tersenyum ramah melihat siapa yang menyapanya saat ini, berpura-pura tak terjadi apapun sebelumnya. Untung saja Ia pandai berakting bak seorang pemenang Oscar didepan mereka semua.

"Eh, Mas Denny..." balas Prilly.

"Boleh saya duduk disini?" tanya Denny meminta persetujuan gadis cantik itu.

"Oh, boleh dong."

Denny duduk tepat disamping kiri Prilly, jarak mereka cukup dekat dan setiap kali mereka berbincang, keduanya harus sedikit memajukan wajahnya karena hingar bingar musik yang cukup kencang meredam suara keduanya.

"Kamu di Maybelline kan ya? Maybelline yang di Thamrin itu kan?" tanya Denny mengkonfirmasi tempat kerja Prilly.

"Iya betul, memangnya kenapa Mas? Mas Denny sendiri dimana kantornya?" Prilly balik bertanya.

"Loh, saya di Dentsu Indonesia. Bukannya kami sedang ada project akhir tahun ya dengan Maybelline?" jelas Denny "Kalau nggak salah yang menghandle project ini Refal kan? Kamu kenal?" tanya Denny.

Mata Prilly membesar, tak percaya jika Denny juga bekerja di Dentsu Indonesia, perusahaan dimana Refal bekerja.

"No way! Mas Denny di Dentsu Indonesia???" Prilly menutup mulutnya tak percaya "Wait.... Denny Sumargo? Shareholdernya Dentsu itu Mas Denny ya????" jerit Prilly antusias. Tak menyangka Ia dapat berkenalan langsung dengan salah satu orang penting didunia periklanan Indonesia.

"That's me..." ujar Denny bangga.

"Ya ampunnn...nggak nyangka bisa kenal sama bos besar Dentsu!" puji Prilly dengan kagum.

"Bisa aja deh..."

Dari lantai dansa, Reza yang juga sedang menikmati musik bersama Hanum menangkap pemandangan tak menyenangkan itu untuk keberapa kalinya dimalam ini: Prilly dan Denny yang sedang asik mengobrol sambil tertawa-tawa tanpa malu.

Moment ini kembali membangkitkan ego Reza, tak cukup membuat dirinya cemburu dengan menelepon Refal didepan hidungnya, kini Prilly pun harus berinteraksi sedekat itu dengan lelaki yang menjadi musuhnya selama bertahun-tahun? Apakah Prilly lupa dengan semua ceritanya tentang Denny? Lalu kenapa sekarang justru Prilly lah yang membuat Reza kembali membenci pria kaya raya itu?

Dan Entah apa yang ada dipikiran Denny ketika tadi memilih Prilly? Dari sekian banyak sahabat-sahabat Sheila kenapa harus sepupu Sheila?

Dan kenapa harus Prilly?

Reza seperti ditantang secara tak langsung oleh pria itu, seolah Denny tahu jika Prilly dan Hanum adalah dua wanita special dalam hidupnya.

Sesekali sambil mengobrol dengan Denny, mata Prilly beberapa kali menyelidik pada dua sosok yang sedang berdansa dengan mesranya, Reza dan Hanum. Beberapa kali pula setiap kali mata mereka bertabrakan, Reza dengan sengaja semakin mempererat pelukannya pada tubuh Hanum dan berakting menjadi sejuta kali lebih mesra pada istrinya. Setiap kali pria itu memanas-manasi Prilly dengan tingkah menyebalkannya, setiap kali itu pula Prilly dengan cepat membuang penglihatannya dengan berpura-pura menikmati obrolannya dengan Denny.

Meskipun sejujurnya sejak tadi hati dan pikirannya sudah tak lagi disana.

"By the way, next time mungkin kita bisa lunch atau dinner bareng? Siapa tahu di project selanjutnya bisa kerja sama lagi..." usul Denny dengan sikap ramahnya.

"That's a good idea..." jawab Prilly menyetujui.

"Ini kartu nama saya" Denny menyodorkan sebuah kartu nama pada Prilly yang kemudian disambut dengan cepat oleh sang gadis.

"And this is mine..." ujar Prilly balas memberikan kartu namanya juga.

Sialnya adegan yang Reza anggap tidak menyenangkan itu terlihat oleh matanya, kali ini emosinya dan rasa cemburunya kembali menggila. Ditengah perasaan yang tak tersalurkan sejak beberapa jam tadi, Reza pun dengan sikap kekanakannya kembali mengintimidasi emosi sang kekasih yang diyakininya dapat membalas rasa sakit hatinya.

Reza mengelus wajah manis Hanum dengan mesra dan didetik berikutnya tanpa aba-aba, ditariknya wajah cantik sang istri ke dalam ciumannya. Menikmati bibir ranum Hanum dengan bergairah lebih dari sebelumnya. Hanum terkejut dengan perlakuan Reza padanya namun ketika merasakan bibir suaminya yang begitu lembut melucuti birai miliknya penuh dengan hasrat, hatinya pun ikut menggelora. Hanum merangkul tubuh sang suami dengan merapatkan dadanya pada dada bidang Reza. Menyuguhkan ciuman panas yang sebenarnya sudah lama tak Hanum dapatkan dari sang suami.

Mereka bergumul dengan tanpa malu tanpa memperdulikan orang-orang yang ada disekitar mereka seolah memperlakukan arena dansa seperti ruangan pribadi keduanya. Entah sudah berapa lama adegan itu tersaji, namun tepat ketika tangan Reza mulai sedikit menjamahi bagian belakang tubuh Hanum dengan nakalnya, pandangan Prilly menangkap itu semua.

Matanya terpaku untuk yang kedua kalinya malam ini pada adegan yang sama tapi jelas dengan intensitas yang berbeda, kali ini apa yang Reza dan Hanum lakukan tak hanya sekedar sebuah permainan tetapi menjadi ajang balas dendam Reza untuk Prilly yang berkali-kali membuatnya cemburu.

Didetik ini Prilly dapat merasakan perasaan yang sebelumnya Ia coba buang jauh-jauh.

Cemburu.

Ya, malam ini untuk pertama kalinya rasa itu datang. Rasa cemburunya pada istri sah yang Prilly rasakan kali ini nyata adanya dan jika ditanya seberapa sakitnya? Bahkan Prilly tak mampu menggambarkan.

Terlalu sakit hingga Ia merasakan seluruh tulang persendiannya linu. Terlalu sakit hingga Ia merasakan darahnya turun dari kepala hingga ke ujung kakinya. Terlalu sakit hingga Prilly merasakan lambungnya bergolak hebat dan memberikan efek mual yang luar biasa.

Prilly masih tak berkedip menatap tajam pada sosok pria yang malam ini meluluhlantahkan pertahanannya. Ia tak pernah secemburu ini sebelumnya. Ia selalu menahan perasaan itu setiap kali melihat Reza dan Hanum berdua, tapi malam ini ketika Prilly menyaksikan sendiri secara langsung kemesraan mereka yang dengan sengaja Reza suguhkan untuknya, ternyata Prilly menyadari bahwa dirinya tak sekuat yang Ia kira.

Mereka masih menyajikan adegan tak senonoh itu dari jarak 10 meter didepannya, ditemani oleh musik yang memekakan telinga dan lampu remang di tempat ini. Mereka berciuman sangat lama, bahkan ketika Prilly masih sibuk dengan emosinya, bibir mereka pun masih saja saling mengulum. Reza menyentuh wajah sang istri penuh nafsu, menikmati setiap detiknya dengan hasrat yang menggebu-gebu.

Please get a room!! Batinnya berkata muak.

Prilly merasakan matanya mulai berkabut, tertutup oleh cairan yang nyaris saja meluncur keluar tapi Ia tahan sekuatnya di depan Denny yang masih saja mengoceh. Pria yang pernah memproklamirkan rasa cinta padanya, malam ini justru dengan sengaja mendemonstrasikan kemesraannya bersama sang istri untuk sekedar membalas keegoisannya.

"Mas, Saya permisi ke toilet ya.." Prilly memotong ucapan Denny dengan dongeng bisnisnya karena Ia mulai merasakan rasa mual yang luar biasa yang tak mampu Ia tahan, Prilly takut jika isi perutnya yang kebanyakan adalah cairan beralkohol itu tumpah ke tubuh sang perlente.

"Oh, okay. Mau dianter?" tanya Denny

"Enggak usah, saya sekalian balik ke kamar aja kayaknya, soalnya agak pusing. Nanti tolong pamitin ya sama Kak Sheila dan Kak Vidi." pinta Prilly terburu-buru. Ia tak sepenuhnya berbohong, karena jujur saja kepalanya memang mulai terasa pening saat ini.

"Oke, nanti saya sampein. Selamat istirahat!" ujar Denny lagi.

Prilly membalasnya dengan senyum kecil kemudian segera beranjak dari kursi bar dan berjalan cepat menuju pintu keluar Bar & Lounge.

***
Demi Tuhan seumur hidupnya Prilly tak pernah membenci siapapun, Ia tak tahu bagaimana rasanya membenci orang lain. Bahkan ketika mantan kekasihnya dulu berjuta-juta kali menyakitinya saja Prilly tak pernah benar-benar melontarkan kata benci. Hanya sakit hati dan kecewa yang Prilly rasakan. Karena bagi Prilly, seperti Cinta, Benci adalah sebuah kata yang begitu sakral yang tak bisa sembarang Ia utarakan begitu saja pada orang lain.

Tapi malam ini akhirnya Prilly benar-benar merasakannya, merasakan dengan sangat jelas kata yang selalu ingin Prilly hindari. Perasaan yang justru muncul pada orang yang sebenarnya Prilly cintai.

Malam ini untuk pertama kalinya Ia benar-benar membenci Reza.

Benar kata pepatah, benci dan cinta hanya setipis helaian rambut.

Sepanjang langkah kakinya menuju kamar hotel yang sudah disediakan oleh sang sepupu, Prilly berusaha dengan sangat keras untuk menahan air matanya agar tidak jatuh lebih dulu. Didalam kepalanya masih tergambar dengan nyata dan detail adegan per adegan yang tadi Reza dan Hanum suguhkan didepan matanya.

Bagaimana pria itu mencium istrinya, menarik bibir bawah Hanum yang sexy, menjamahi perlahan bokong sang istri penuh gairah, merapatkan tubuh kekarnya pada dada ranum istrinya...

FUUCCK!

Prilly sudah berusaha dengan kuat agar bayangan kotor itu pergi dari pikirannya tapi nyatanya hingga pintu lift terbuka dilantai tujuannya, apa yang Ia lihat tadi masih menempel begitu jahatnya.

Dengan tergesa Prilly membuka pintu kamarnya dan menutupnya dengan sembarangan hingga terdengar gema dari daun pintu yang tertutup.

Prilly melepas high heelsnya dan melempar tas tangan yang Ia bawa kesembarang arah kemudian dengan tergesa masuk ke dalam kamar mandi yang tak jauh dari pintu kamarnya, berjongkok didepan toilet dan memuntahkan seluruh isi perutnya tanpa bisa Ia tahan lagi.

Ia merasakan asam lambungnya mendadak naik, mungkin rasa cemas, cemburu, marah dan sakit hatinya lah yang membuat penyakit lamanya kembali datang. Thanks to Reza, seharian ini Ia bahkan sampai lupa untuk mengisi perutnya. Jika diingat-ingat Ia hanya memakan Oatmeal dipagi hari.

Rambut kecokelatannya yang Ia gerai sudah acak-acakan. Make up yang tadi Prilly poles ke wajahnya sudah memudar dan Ia tak peduli itu, yang Prilly pedulikan adalah bahwa saat ini Ia harus mengeluarkan rasa sakit hatinya ini dengan memuntahkan isi perutnya.

Prilly akhirnya berhenti setelah sekitar 30 detik Ia membuang isi lambungnya ke toilet. Berusaha menata nafasnya yang tak beraturan. Matanya memerah dan mengeluarkan air mata, entah karena habis muntah atau efek yang bercampur dengan rasa sakit hatinya.

Setelah dirasa perutnya telah kosong. Prilly bangun dari duduknya kemudian membasuh mulut dan wajahnya yang sudah terlihat berantakan. Ia menatap wajah cantiknya didepan cermin toilet, mengutuki pria yang membuatnya jatuh cinta tapi mati-matian ingin membuatnya tersiksa.

Bodoh!

Dirinya yang seperti ini adalah gambaran sesungguhnya bahwa betapa naif Ia. Membiarkan laki-laki itu meminta paksa cinta padanya kemudian menghempaskannya begitu saja. Kenapa Ia bisa secinta ini pada Reza? Merelakan dirinya menjadi orang ketiga diantara dia dan istrinya yang begitu baik.

Memang manusia itu makhluk paling munafik.

Ketika bahagia, Ia tak ingat akan dosa, tapi ketika sedang terluka Ia merasa dirinya adalah korban yang paling menyedihkan.

Prilly sudah tahu Reza beristri tapi dengan sengaja Ia menutup mata dan hatinya lalu sekarang saat Prilly melihat kemesraan keduanya secara kasat mata, Ia merasa seperti makhluk yang paling tersakiti.

Munafik bukan?

Setelah membasuh wajahnya yang kacau, Prilly berjalan gontai menuju ranjang putihnya yang besar. Mengambil tasnya yang tergeletak dilantai kemudian terduduk diranjang temporarinya. Merenungi apa yang telah terjadi, bahwa hari ini Ia telah memetik buah dari pohon yang pernah Ia tanam.

Ibunya sudah mengetahui hubungannya dengan Reza lalu pria itu dengan bertubi-tubi menyayatkan pisau ke tubuhnya yang sedang terluka. Prilly tak yakin apakah Ia sanggup meneruskan hubungan ini?

Cinta macam apa ini? Prilly pun tak mengerti. Ia pikir setelah hubungannya yang toxic beberapa tahun lalu kandas, Ia tak akan kembali merasakan cinta yang seperti ini. Tapi ternyata Ia justru merasa seperti masuk kembali ke lubang yang sama dan mungkin lebih parah dari sebelumnya.

Tapi jujur, meskipun sakit dan bertubi-tubi terluka, Ia seperti kecanduan. Kadang manusia tak menyadari bukan hanya cinta yang membuat candu tapi rasa sakit pun sama. Itulah yang menyebabkan hubungan seperti ini sulit untuk dihentikan.

Ting!

Notifikasi di handphone Prilly berbunyi, pikirannya yang sedang kalut seketika terdistraksi oleh suara pesan masuk di iMessagenya. Prilly mengambil handphone di dalam tas tangan yang tadi Ia bawa-bawa lalu melihat sebuah nama yang membuat kebenciannya malam ini meletup-letup.

Reza mengirimkan sebuah pesan singkat yang membuat amarah dan emosinya yang tadi sudah tinggi menjadi semakin menggila.

How it feels?

Tulis Reza dipesan yang Ia kirimkan pada Prilly. Amarah Prilly meradang menatap layar ponselnya, membaca pertanyaan sindiran yang Reza tujukan untuk sang kekasih tentang bagaimana kondisi hatinya saat ini setelah apa yang Prilly lihat beberapa saat tadi.

Gila. Bahkan tak pernah terlintas sedikitpun di kepala Prilly untuk membalas rasa cemburu dan sakit hatinya pada laki-laki itu, tapi bisa-bisanya Reza terpikir untuk menjadi pemeran antagonis dihubungannya sendiri?

Selama beberapa detik Prilly membaca pesan itu berulang-ulang, hingga butiran air mata meluncur dengan hebat jatuh ke pipinya. Sejahat itukah seorang Adipati Reza Nataprawira hingga dapat berbuat sejauh ini padanya?

"AAANNJJIIINGGGGGGGGG!!!!" Prilly melempar handphonenya ke dinding dengan murka.

Berteriak, menangis, meraung sejadinya di dalam kamar hotelnya. Menahan jeritannya seraya membenamkan wajahnya ke atas bantal untuk meredam suara kesakitannya. Memaki dalam kedapnya kamar hotel dengan apa yang sudah terjadi satu hari ini.

Ia membenci pria itu, Ia benar-benar membencinya.

***

"Marsha belum turun, sayang?" tanya Reza ditengah sarapan mereka di restoran tempat mereka menginap.

"Jizzy masih minta berenang, dari tadi diajakin naik nggak mau." jawab Hanum yang sedang menyuapi Alana yang duduk disamping kirinya.

"Alana juga masih mau berenang, Bunda..." rengek sang gadis.

"Kan tadi sudah. Inget kan kata dokter apa? Jangan terlalu lama main air..." Hanum mengingatkan sang putri yang mempunyai asthma dan harus selalu dikontrol agar tidak kambuh.

"Iya, Bun.." katanya menurut sambil mengunyah omelet yang sang Bunda suapi.

Pagi itu suasana restoran cukup ramai, maklum saja selain karena ini hari minggu juga karena hotel bintang lima ini memang berada dipusat kota Jakarta. Tamu-tamu yang semalam Sheila undang yang terdiri dari saudara dan teman dekatnya semua menginap disini. After party semalam selesai sekitar pukul empat pagi, tapi Reza dan Hanum kembali ke kamarnya tak lama setelah Prilly pergi dari tempat pesta.

Sebenarnya Reza masih sangat mengantuk pagi ini, tapi sang putri yang bangun sekitar pukul tujuh pagi itu merengek mengetuk pintu kamar ayah dan Bundanya untuk minta berenang di kolam renang hotel. Jadilah Reza dan Hanum terpaksa membuka matanya dan menemani Alana berenang meskipun mereka baru saja terlelap sekitar empat jam.

"Sayang, itu Prilly!" Hanum berbisik ketika melihat gadis cantik berkuncir satu dengan piyama satinnya itu memasuki restoran yang sama dengan mereka.

Reza menoleh pada arah yang Hanum tunjuk, memperhatikan dengan seksama sang gadis yang semalam baru saja perang dingin dengannya itu.

"Ajak breakfast bareng aja kali ya?" usul Hanum membuat Reza mau tak mau mengiyakan, karena jujur saja dalam hatinya Ia juga sangat ingin makan bersama dengan gadis cantik itu. Ada rasa puas tersendiri ketika melihat Prilly marah atau cemburu saat gadis itu melihatnya sedang bersama sang istri, karena Reza yakin Prilly pasti merasakan keduanya.

"Prill! Sini!" panggil Hanum sambil melambaikan tangan pada gadis berkulit putih itu, Prilly terkejut dan menghentikan langkahnya menuju meja buffet. Lagi-lagi Ia harus kembali bertemu dengan manusia yang paling ingin Ia hindari saat ini.

Tapi apa mau dikata? Prilly tak bisa memberikan alasan pada Hanum untuk menolak ajakannya. Toh ini hanya breakfast bareng.

Prilly kembali berakting, tersenyum begitu ramah seraya menghampiri keluarga bahagia itu dimejanya.

"Morning..." sapanya dengan tenang, seolah tak ada yang terjadi pada dirinya tadi malam.

"Morning tante Barbie..." Alana balas menyapa Prilly begitu riang dengan mulutnya yang penuh dengan omelet. Gadis cantik itu mengelus rambut hitam Alana yang masih basah sehabis berenang.

Reza menatap Prilly dengan menyelidik iya sangat yakin kalau sesuatu telah terjadi pada gadis itu tadi malam.

"Mau sarapan juga?" tanya Hanum masih sambil menyuapi Alana.

"Iya nih..."

"Disini aja duduknya bareng kita, kamu sendirian kan?" tanya Hanum sekaligus menawarkan tempat duduk.

Hanum sungguh tak ada maksud apapun dengan mengajak gadis selingkuhan suaminya itu makan bersama, Ia hanya ingin membuat Prilly merasa kesepian dengan tak makan sendirian, karena Hanum sudah menganggap sepupu dari sahabatnya itu seperti seorang adik.

"Iya sendiri. Ya udah, Saya ambil makanan dulu ya, Mbak.." ujar Prilly.

Gadis dua puluh tujuh tahun itu pun berjalan menuju meja buffet, banyak berbagai menu sarapan yang disediakan hotel ini. Dari menu sarapan ala Indonesia seperti nasi goreng dan bubur ayam, hingga menu sarapan ala western seperti Croissant dan Cereal. Prilly mengambil mangkuk putih berukuran 5.5 inchi untuk Ia gunakan menampung cereal pilihannya, menu sarapan yang selalu Ia makan hampir setiap pagi. Ada tiga cereal yang dihidangkan dimeja itu: Oat, Corn dan Chocolate. Prilly memilih Corn dan menuangkannya dengan susu putih dingin, setelah itu mengambil segelas air mineral dan kembali menuju meja Hanum dan Reza.

Prilly mengambil tempat disamping Reza, berhadapan dengan Hanum dan Alana yang duduk didepannya.

"Sarapannya itu aja, Prill?" tanya Hanum melihat menu sarapan gadis didepannya itu yang hanya cereal.

"Iya mbak, udah biasa begini.." katanya datar, sambil menyuap cereal ke mulutnya.

"Kenyang tuh kayak gitu?" Reza melirik pada mangkuk cereal Prilly, nada suaranya terdengar seperti orang yang sok peduli. Tapi itu justru membuat Prilly merasa muak.

"Kenyang. Kenapa nggak kenyang?" Prilly menoleh pada Reza, memberanikan diri menatap mata pria itu didepan sang istri, pria yang semalam habis-habisan membuatnya cemburu.

"Tante lagi diet ya?" Alana tiba-tiba saja nyeletuk, membuat Prilly mengalihkan pandangannya pada gadis kecil berambut hitam panjang itu sambil tertawa.

"Ih, Alana kok tau-tauan soal diet?" goda Prilly gemas.

Oke, Prilly memang membenci ayah dari gadis ini tapi jujur saja, Ia sangat menyukai Alana dan tak akan pernah bisa tidak menyukainya dengan alasan apapun.

"Iyah nih sok tahu deh anak kecil..." Hanum ikut tertawa mendengar ocehan sang putri.

"Alana tahu lah, kan Bunda juga suka diet..." ceplosnya lagi.

Hanum dan Prilly tertawa mendengar kepolosan gadis enam tahun ini. Alana memang sedetail itu, meskipun usianya baru enam tahun tapi Ia selalu mengingat apapun yang Ia lihat ataupun yang Ia dengar.

"Yang lain belum pada turun ya, Mbak?" Prilly basa basi mencari topik pembicaraan sambil celingukan seolah mencari orang-orang yang semalam ada di acara sang sepupu termasuk sepupunya sendiri.

"Kayaknya masih pada tidur kali ya, semalam katanya mereka sampai jam empatan.." jawab Hanum menjelaskan.

"Ohh... pantes.. "

"Semalam kamu balik jam berapa, Prill?" tanya Hanum.

"Jam setengah duaan kayaknya yah, saya juga kurang inget." jawab Prilly.

"Oh, berarti nggak lama kamu balik kita juga balik. Saya sama mas Reza jam duaan balik ke kamar.." Hanum menjelaskan hal yang sebenarnya tak ingin Prilly tahu.

"Ohh..."

"Iya, mumpung Alana lagi dititipin di kamar sebelah jadi kita balik ke kamar lebih cepet..." sumpah, Prilly tidak ingin melibatkan laki-laki ini dalam percakapannya dan Hanum, tapi kenapa dia harus ikut berkomentar sih? Membuat level kekesalannya pada pria itu semakin meningkat.

Prilly menyeringai, mengejak kalimat yang Reza lontarkan tadi.

"Bunda, Alana mau cereal kayak tante Prilly dong.." potong Alana merengek pada sang Bunda.

"Dihabisin nggak? Alana sudah makan omelet sama buah loh tadi." cemas Bundanya.

"Dihabisin, Bun.. please..." mohonnya lagi.

"Oke. Tapi janji harus habis ya.." ujar Hanum

"Iya Bun, tapi Alana yang buat cerealnya ya?"

"Oke." Hanum menyetujui kemudian beranjak dari kursi mereka menuju meja dimana cereal disajikan.

Reza dan Prilly ditinggal berdua di meja yang sama, duduk bersebelahan dengan tanpa suara. Berusaha menahan rasa dongkolnya pada pria disampingnya ini. Pria yang Ia cintai sekaligus Ia benci.

"Gimana tidurnya semalam, nyenyak?" ditengah dinginnya suasana diantara mereka, Prilly tiba-tiba saja bersuara dengan nada sarkasnya mengingat pembicaraan Reza dan Hanum semalam perihal rencana mereka untuk memberikan Alana adik. Entah kenapa Prilly jadi terbayang adegan sex apa saja yang mungkin sudah Reza dan Hanum lakukan tadi malam dikamar hotel ini.

Reza menoleh ke samping kanannya dengan tak percaya dengan apa yang baru saja Prilly tanyakan, apakah harus mereka mulai lagi perang yang semalam belum selesai?

"Owh, sangat! Kamu sendiri gimana tidurnya, nyenyak?" Reza membalikan pertanyaan masih dengan menatap wajah tanpa make up Prilly yang begitu cantik "Kalau aku lihat kayaknya kamu nggak bisa tidur ya? Tuh matanya sembab gitu. Kenapa? Cemburu ngeliat aku sama Hanum semalam?" tembak Reza tanpa mau berhenti.

Prilly menghentikan makannya, kemudian menatap Reza dengan kening berkerut.

Reza balas menatap Prilly tanpa rasa takut kemudian kembali melakukan intimidasi dengan kata-katanya yang tajam.

"Apa yang kamu rasain semalam, itu yang aku rasain setiap kali ngeliat kamu dan Refal berduaan.." bisik Reza, suaranya pelan tapi terdengar begitu menyayat ditelinga Prilly membuat gadis disampingnya itu pada akhirnya bereaksi secara spontan, mengambil segelas air miliknya kemudian Ia tumpahkan ke dada Reza yang dilapisi kaus putih.

"Shit!" Reza spontan memundurkan duduknya berusaha menghindari siraman air dari gelas yang Prilly pegang, namun tak berhasil "Apa-apaan sih, Prill?" omel Reza berbisik pelan, seraya memantau ke arah sang istri dan sang anak yang masih sibuk dimeja buffet, takut kalau mereka melihat tingkah mereka saat ini.

Prilly berdiri dari kursinya kemudian menatap Reza dengan tajam "Ini yang mau aku lakuin dari semalam tapi nggak punya kesempatan!" katanya, lalu pergi meninggalkan Reza dan makanan yang tak Ia habiskan.

Persetan dengan baju Reza yang basah atau apa yang akan Hanum pikirkan nanti. Ia sungguh tak sanggup satu meja dengan pria itu, tidak untuk hari ini.

"Loh, Prilly kemana, Mas?" Hanum dan Alana yang kembali ke meja mereka dengan semangkuk cereal itu pun terheran melihat kursi Prilly telah kosong.

"Hmm... balik ke kamar katanya... " Reza berbohong, kemudian pura-pura melanjutkan sarapannya.

"Baju kamu kenapa basah?" Hanum melihat kaus yang Reza pakai basah dibagian dadanya.

"Oh, ini tadi tumpah nggak sengaja kesenggol.." bohongnya, menutupi drama yang melibatkan dirinya dan Prilly barusan.

***

House of Yuen - Fairmont Jakarta, 17.45 WIB.

"Ini hasil editing yang kemarin aku bilang, Prill. Sebelum nanti aku bawa ke depan Bu Julia dan yang lainnya, aku mau kamu nonton lebih dulu. Kalau ada yang menurut kamu perlu aku revisi, bisa aku edit lagi dengan segera jadi minggu depan pas presentasi evaluasi nggak terlalu banyak revisinya. Siapa tahu kalau kamu udah approved, Bu Julia juga akan langsung Approved jadi team aku..." Refal menghentikan bicaranya begitu menyadari sosok yang sedang Ia ajak bicara ini sedang tak fokus dengan apa yang mereka perbincangkan.

Refal menatap sang gadis dengan penasaran, ada apa dengan Prilly beberapa hari ini? Entah kenapa Refal merasa Prilly tidak fokus belakangan ini seperti ada yang sedang dia pikirkan. Sambil menatap wajah cantiknya yang terlihat sedang melamun, Refal menyentuh bahu Prilly dengan lembutnya mengembalikan jiwanya ke dalam tubuh sang gadis.

"Prill..." panggil Refal dengan lembut "Are you okay?" tanyanya lagi.

Prilly tersadar, sedikit gelagapan karena panggilan dan sentuhan pria tampan itu yang membuyarkan renungannya. Sengan wajah terkejutnya Prilly melemparkan senyum manisnya pada pria 29 tahun itu.

"Sorry, sorry gimana, Fal?" tanya Prilly gagap.

Refal tersenyum maklum, kemudian meraih jemari Prilly dengan penuh perhatian.

"Are you okay?" tanyanya lembut "Aku perhatiin kamu tuh nggak fokus dari tadi.." lanjutnya khawatir.

Prilly kaget dengan pertanyaan sang pria seolah Ia tahu bahwa Prilly memang sedang mengalami banyak drama dalam hidupnya. Setelah kejadian di acara pernikahan Sheila beberapa waktu lalu, Prilly jadi lebih sering sakit kepala. Sudah beberapa hari ini sang Mama terus-terusan menghubunginya menanyakan tentang hubungannya dengan Reza apakah sudah Ia akhiri atau belum? Belum lagi Reza yang juga masih belum berhenti bersikap posesif dan apa yang Reza perbuat padanya malam itu masih membayangi pikiran Prilly.

Apakah Prilly masih dendam? Mungkin saja begitu.

"Aku nggak apa-apa kok..." jawab Prilly berbohong.

"Are you sure?" Refal menekankan.

Prilly mengangguk "I'm okay..." jawabnya meyakinkan.

"Kalau kamu lagi ada masalah atau mau sekedar cerita, aku siap dengerin.." Refal menawarkan.

"Fal, aku nggak apa-apa. Kita lanjut lagi ya yang tadi, soal..." ucapan Prilly terpotong karena bunyi notifikasi iMessage dihandphonenya. Prilly melihat nama yang tertera di layar ponselnya, kemudian dengan cepat mengambil ponsel keluaran Apple yang tadi Ia taruh di atas meja tepat dihadapannya "Sebentar ya, Fal.." ujarnya tergesa mengangkat iPhone miliknya agar Refal tak melihat siapa yang mengirimi Prilly pesan.

Kamu dimana?

Kita harus bicara, Prill.

Tulis isi pesan yang ternyata dari sang kekasih yang sudah satu bulanan ini sedang perang dingin dengannya. Prilly hanya membaca pesan tersebut tanpa membalasnya, kemudian menaruh kembali ponselnya itu di sebelah kirinya.

"Sorry..." ujar Prilly merasa tak enak hati "Jadi sampe mana tadi?" tanya Prilly dengan serius.

"So, ini hasil video yang sudah aku edit dan mau aku kasih lihat ke kamu dulu sebelum aku presentasikan ke Bu Julia minggu depan, kalau ada yang mau kamu rev..."

Handphone Prilly kembali berbunyi...

Untuk kedua kalinya ucapan Refal lagi-lagi terpotong karena suara ponsel Prilly yang berdering karena ada panggilan masuk. Prilly menoleh pada telepon genggam miliknya yang Ia taruh agak jauh dari Refal.

Tertera nama sang Mama di layar berukuran 5.5 inchi itu.

"Diangkat dulu aja, Prill. Takutnya penting..." saran Refal dengan sabarnya.

"Sebentar ya.." balas Prilly agak tak enak hati.

"Santai aja..." ujar Refal tersenyum.

Sedetik kemudian Prilly mengangkat telepon dari sang mama.

"Ya, Mam.." sapanya pelan.

"Kamu dimana?" tanya Ibunya dengan ketus, pertanyaan yang sama yang Reza tanyakan via pesan tadi.

"Kakak lagi diluar, Mam..."

"Sama siapa? Sama laki-laki itu??!!" tuding sang Mama.

"Mam, Kakak lagi sama teman. Lagi meeting!" jawab Prilly meralat tuduhan sang Ibu.

"Gimana hubungan kamu sama si Reza itu? Kalian sudah putus kan?" tanya Mama Ully to the point.

Astaga. Prilly ingin menghindari percakapan dengan Reza tapi kenapa justru sang Ibu yang kembali mengangkat topik yang malas Prilly bahas?

"Mam, kakak lagi meeting. Nanti Kakak telepon balik ya..." Prilly masih menahan kesalnya, tak enak jika didengar Refal.

"Dengar ya Kak, Mama nggak mau tahu kamu harus segera selesaikan masalah kamu sama laki-laki itu, kalau Mama tahu kamu masih berhubungan sama dia, Mama akan temuin dia secara langsung!" ancam Ibunya lagi.

Prilly tersentak, dadanya kembali terasa sesak. Ia sungguh lelah dengan drama percintaannya. Tak cukup ancaman dari Reza, kini Ia pun harus mendapatkan hal yang serupa dari sang Ibu.

Prilly menarik nafasnya yang mulai terasa berat.

"Mam, please. We'll talk later okay? I'm on meeting right now.." bisiknya pelan masih dengan nada lembutnya.

Refal melirik kecil ke arah Prilly, sejujurnya Ia penasaran dengan pembicaraan Prilly dan sang Mama yang terlihat cukup menegangkan.

"Denger ya Kak, Mama akan terus ngawasin kamu dan laki-laki itu! Mama nggak mau kamu melakukan hal yang bikin malu nama keluarga. Paham, Kak?" Prilly tak menjawab, reflek mematikan panggilan telepon sang Mama dengan lesu.

Hamba lelah ya Tuhan, tolong berikan Hamba masalah satu persatu saja, jangan sekaligus seperti ini. Hamba tidak kuat. Batin Prilly mengeluh.

Setelah teleponnya dengan sang Ibu terhenti, Prilly kembali termenung. Terlalu banyak hal yang mengerubungi isi pikiran dan batinnya saat ini. Tanpa terasa, cairan bening itu pun akhirnya terjatuh tepat didepan Refal yang sedari tadi memang masih mengamati Prilly dan keribetannya.

"Prill... kenapa? Hei...." Refal menatap Prilly yang kini telah terisak. Sudah tak kuat harus berakting baik-baik saja. Hatinya sedang rapuh dan butuh ketenangan. Tapi apa yang Ia dapatkan dari dua manusia yang paling dekat dengannya?

Hanya tekanan dan ancaman.

"Aku capek, Fal. Aku capek banget..." keluh Prilly sambil menangis, dadanya naik turun tersedu.

"Hei... Come here, come here..." Refal mengulurkan pelukannya penuh perhatian "It's okay, cry if you want to cry. it's okay to be not okay..." Refal tak lagi bertanya-tanya, yang pria itu lakukan hanya menampung kesedihan gadis yang Ia sayangi itu dengan pelukannya yang tulus seraya mengusap lembut punggungnya yang rapuh.

Hal yang paling sulit dilakukan adalah berkata kalau kita baik-baik saja padahal kenyataannya tidak.

***

Mobil yang Refal kendarai berhenti tepat di depan halaman rumah Prilly yang sudah sepi, jam menunjukan pukul 22.07 WIB saat ini. Setelah selesai meeting dan sedikit chitchat disalah satu restoran dikawasan Jakarta sore tadi, Refal sengaja berinisiatif mengantar gadis cantik itu untuk pulang. Untungnya beberapa hari terakhir ini Prilly memang jarang membawa mobil sendiri karena pikirannya yang sedang tidak baik-baik saja membuatnya sulit untuk berkonsentrasi saat melakukan apapun.

Suara deru mesin mobil masih terdengar ketika Refal memarkirkan mobilnya didepan pagar rumah Prilly. Refal menoleh kekiri tubuhnya dimana Prilly duduk, kemudian mengambil jemari lentik gadis dua puluh tujuh tahun itu dengan sangat lembut. Prilly memang tak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tadi dan apa penyebab jatuhnya air matanya, tapi Refal tahu gadis disampingnya ini sedang dirundung masalah yang cukup membebaninya. Maka dengan lembutnya tutur sikap sang pria, Refal pun kembali berucap.

"Kalau kamu butuh teman untuk sekedar berbicara, aku siap kapan pun. Jangan sungkan untuk ngehubungin aku ya?" Refal menawarkan tanpa memaksakan diri, Ia tak akan bertanya kenapa dan ada apa dengan Prilly. Ia hanya ingin gadis itu tahu jika ada seseorang yang akan selalu memperdulikannya meskipun sang gadis sudah menolak cintanya.

Prilly tersenyum, menggenggam balik jemari Refal, merasa bersyukur diantara gempuran masalah yang menghimpitnya, masih ada pria ini yang bahkan tak harus berlaga bak pahlawan didepannya tapi sudah dapat membuatnya merasa nyaman.

"Maaf aku jadi ngerepotin kamu hari ini.." ujar Prilly lembut "Aku malu kamu harus ngeliat aku kayak tadi..." lanjutnya perihal tangisannya yang tadi spontan Prilly suarakan didepan Refal.

"Nggak apa-apa. Justru bagus kamu bisa ngeluarin semuanya tadi. Kalau ada apa-apa jangan dipendem, nanti kamu sakit..." Refal menyentuh pipi kanan Prilly dengan lembut.

Prilly tersenyum, menatap mata sang pria dan senyuman tampan laki-laki yang belum lama Ia kenal tapi sudah sebesar ini mengerti dirinya.

"Aku udah nolak kamu..." ucap Prilly.

"Maksudnya?"

"Aku udah nolak kamu waktu itu, tapi kenapa kamu masih peduli sama aku, Fal?" Prilly heran, kenapa Ia tak bisa merasakan jatuh cinta pada pria baik hati ini? Kenapa laki-laki yang membuatnya tergila-gila justru malah laki-laki dengan ego tinggi seperti Reza? Ia tak habis pikir pada dirinya sendiri.

"Aku nggak masalah kamu tolak. Aku cuma pengen bisa tetap dekat aja sama kamu, even itu cuma sebagai teman kamu. It doesn't matter for me..." hati Prilly meleleh.

Bagaimana bisa ia tak jatuh cinta pada pria ini??

Knock! Knock! Knock! Knock! Knock!

Suara ketukan bertubi-tubi dari arah kiri dimana Prilly duduk terdengar, mengagetkan mereka berdua yang masih berada didalam mobil. Prilly menoleh pada kaca yang diketuk dengan kasarnya oleh seseorang dan begitu melihat pelaku pengetukan itu, jantung Prilly hampir saja lepas dari tempatnya. Matanya tak mempercayai siapa yang saat ini sedang berdiri diluar mobil menantikan dirinya untuk keluar.

Mas Reza.

Pria itu dengan wajah bersungut-sungut menatap marah ke dalam mobil yang Prilly dan Refal tumpangi. Prilly dapat melihat gurat emosinya yang Prilly tahu karena Reza melihatnya sedang bersama Refal saat ini. Bahkan Prilly terlalu lemas untuk merespon gedoran paksa Reza diluar mobil yang dengan tak sabaran menyuruh Prilly keluar dari kendaraan itu. Refal yang berada disamping Prilly pun ikut menoleh ke kiri kaca mobilnya, samar-samar Ia dapat mengenali laki-laki yang sedang berada diluar sana.

"Prill, keluar!" suruh Reza meminta sang gadis untuk membuka pintunya masih dengan mengetuk kaca mobilnya.

Prilly tak menyangka Reza akan berbuat sejauh ini bahkan didepan Refal? Lalu apa yang sekarang harus dia katakan pada pria disampingnya ini? Apa ia harus mengatakan pada Refal kalau sebenarnya Ia dan Reza mempunyai affair? Dan Reza lah alasan dirinya menolak cinta Refal?

"Open the door!" Reza mencoba membuka pintu mobil tapi gagal karena Refal masih menguncinya dari dalam.

Prilly dengan mata berkaca-kaca menoleh memelas pada Refal "Nggak apa-apa, buka aja pintunya..." ujarnya kemudian.

"Kamu yakin?" Refal terkejut dengan permintaan sang gadis yang kemudian dibalas dengan anggukan lemah.

Ceklek!

Suara kunci mobil yang terbuka pun terdengar dan tanpa pikir panjang ataupun tanpa memperdulikan nama baik Prilly didepan Refal, Reza membuka pintu mobil keluaran Jepang itu dengan kasar.

"Turun!" pinta Reza, diraihnya tangan Prilly untuk memaksanya keluar dari mobil Refal.

"Apa-apaan sih, jangan kasar ya sama perempuan!" Refal menahan tangan Reza yang berniat mengajak Prilly pergi dari mobilnya.

"Ini urusan saya dan Prilly, bukan urusan Anda!" tekan Reza dengan percaya dirinya. Reza tak lagi peduli dengan siapa Ia berhadapan saat ini. Kecemburuannya sudah diubun-ubun hingga nekat memproklamirkan kedekatannya dengan Prilly.

"Prill?" Refal menatap Prilly, mencari persetujuan pada gadis itu apakah dia benar-benar dengan suka rela ikut dengan Reza atau hanya karena takut pada pria itu?

Prilly tersenyum dipaksa dan Refal dapat melihat air mata sudah menumpuk dipelupuk matanya yang sudah siap dia tumpahkan.

Sedetik kemudian Prilly memberanikan dirinya menghadap Reza. Menatap wajah laki-laki tiga puluh lima tahun itu dengan tatapan serius.

"Aku harus ngomong sama Refal sebentar, Mas.." Prilly meminta izin.

"Aku mau kamu turun dari mobil ini, sekarang!" ucapnya dengan otoriter.

"Mas, Please! Let me talk to him just for a second!" pinta Prilly memaksa, menatap mata sang kekasih dengan tatapan memelas.

Reza melepaskan cengkraman tangannya pada Prilly kemudian menoleh ke arah Refal dengan tatapan tidak suka.

"Lima menit..!" Reza memberikan Prilly waktu.

Prilly mengangguk menyetujui, kemudian pria beristri itu pun sedikit menjauh dari kendaraan yang Prilly dan Refal tumpangi.

Didalam kendaraan roda empat itu, tatapan mata Refal pada Prilly sudah mengartikan segalanya dan tangisan Prilly dihadapannya saat ini pun sudah menjelaskan semuanya.

"Aku nggak mau ikut campur urusan kamu sama dia.." Refal membuka suara "Tapi kamu tahukan kalau ini salah, Prill?" pertanyaan Refal menandai jika Refal sudah mengerti ada hubungan apa antara Prilly dan teman satu kantornya yang bernama Reza itu.

"Aku tahu, Fal..."

"Kamu berhak dapat laki-laki yang jauh lebih baik dari dia..." harap Refal, Ia tak peduli jika pria itu bukan dirinya tapi Refal juga berharap pria itu bukan orang seperti Reza.

"Aku cinta sama Mas Reza, Fal..." pengakuan Prilly dengan jatuhnya air mata gadis cantik ini sudah menggambarkan sedalam apa hubungan Prilly dengan laki-laki tadi. Refal tak tahu harus menanggapi ucapan Prilly dengan kalimat apalagi? Ia terlalu terkejut dengan kenyataan pahit yang diterimanya malam ini. Akhirnya Refal tahu alasan kenapa selama ini Reza terkesan begitu sinis setiap kali bertemu dengan dirinya dikantor.

"Prill..."

"Aku harap ini nggak akan ngerusak hubungan pertemanan maupun hubungan professional kita, Fal.." ujar Prilly dengan sedih "Aku tahu mungkin ini kedengarannya egois, tapi aku nggak mau kehilangan kamu sebagai teman..." lanjutnya dalam isak tangisnya.

"Kamu tahu kan kalau aku tertarik sama kamu?" tanya Refal.

Prilly mengangguk "And I'm flattered..." balasnya.

"Buat aku Ini nggak akan merubah apapun, aku bukan tipe orang yang suka ngurusin urusan orang lain. Jadi kamu nggak perlu khawatir..." jelas Refal dengan yakin "Tapi kalau dia nyakitin kamu, aku nggak akan diem gitu aja..." janjinya dengan nada marah.

"Thank you...." Ujar Prilly "Aku boleh masuk ya?"

"Dia nggak akan ngapa-ngapain kamu kan?" Refal melirikan pandangannya keluar mobil, dari pintu yang sedikit terbuka Ia dapat melihat sekilas pria itu masih berdiri menunggu Prilly.

Prilly menggeleng "I can handle him. Don't worry!" katanya yakin.

"Call me if something happen, okay?" pinta Refal lagi. Pria itu benar-benar takut Reza akan melakukan hal-hal buruk pada Prilly.

"Okay. Makasih ya udah nganterin aku pulang..." pamit Prilly, kemudian gadis cantik itu pun akhirnya keluar dari mobil berwarna hitam itu untuk menuju ke halaman rumahnya.

Refal merasa hatinya begitu sakit. Entah karena Ia tahu kenyataan jika wanita yang Ia sayangi sudah memiliki kekasih atau karena Ia tahu jika kekasih Prilly adalah suami orang?

Dari dalam mobilnya Refal dapat melihat dua sejoli yang kini sedang berjalan menuju pintu rumah Prilly, sedikit berdebat entah membicarakan apa Refal tak tahu karena Ia lebih memilih pergi dari sana dengan secepatnya.

"Pantes ya kamu susah dihubungin seharian ini, ditelepon nggak diangkat bahkan pesan aku pun nggak kamu balas. Ternyata kamu habis ngedate sama tuh orang!" Reza yang sejak dari depan rumah mengoceh, kembali menyuarakan emosinya ketika akhirnya mereka berdua sudah berada di dalam ruang tamu.

"Hey! Aku bicara sama kamu!" Reza menarik lengan kiri Prilly karena sejak tadi sang kekasih hanya diam seribu bahasa dan tidak menggubrisnya "Bisa nggak kita bicara baik-baik?" tanya Reza dengan nada tinggi.

"Ini yang kamu bilang bicara baik-baik?" ujar Prilly "Dateng kerumah orang tanpa permisi, gedor-gedor kaca mobil orang tanpa etika, narik-narik aku dengan kasar kayak gini di depan orang lain. Ini yang kamu bilang bicara baik-baik?" protes Prilly menjabarkan satu persatu kesalahan Reza yang dilakukannya satu waktu sekaligus.

"Kalau kamu balas pesan aku, aku juga nggak akan seperti ini..." Reza menyalahkan "Kamu yang susah dihubungi, terus aku harus diam aja? Sudah satu bulan lebih kita kayak gini. Terus mau sampai kapan?" oceh Reza, komplain soal silent treatment yang sang gadis berikan.

"Udah dua orang, Mas..." Prilly buka suara.

"Maksud kamu?"

"Udah dua orang yang tahu hubungan kita..." buka Prilly. Ia Lelah menyimpan dan memikirkannya sendirian sementara Reza sibuk dengan kecemburuannya sendiri hingga menyakiti orang lain.

Reza terkejut, masih belum tahu cerita yang akan Prilly dongengkan malam ini.

"Mamah udah tahu hubungan kita..." katanya dengan sedih "Dan sekarang Refal..." lanjutnya.

Mendengar ucapan Prilly, Reza tersentak dan seperti biasa pria itu diam tanpa memberikan solusi.

Mereka hanya saling menatap.

"Terus besok siapa lagi? Rena? Bu Julia? MBAK HANUM??" Prilly menyebutkan nama-nama penting yang Prilly takutkan mengetahui hubungan gelapnya dengan Reza dan menekan kalimat terakhirnya.

"Kapan Mama tahu soal kita?" tanya Reza dengan kaget.

"Di resepsi pernikahan Kak Sheila, waktu kamu MAKSA untuk ngomong sama aku..." jawab Prilly, Ia sengaja menekan kata Maksa agar Reza sadar itu terjadi karena kesalahannya.

"Kenapa kamu nggak cerita sama aku..."

"Karena saat itu kamu sibuk bikin aku cemburu sampai lupa kalau aku juga bisa sakit hati..." katanya mengatakan apa yang Ia rasa beberapa waktu lalu.

"Kamu yang mancing aku untuk ngelakuin itu!"

"Wow...." Prilly tak menyangka, pria ini kembali menyalahkannya akan keegoisannya sendiri.

"Hubungan kamu dan Refal yang memicu ini semua, bahkan malam ini aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri!" Reza Kembali memojokan Prilly yang sudah mulai pening dengan himpitan masalah dihidupnya "Belum lagi soal Denny..."

"SERIOUSLY??? MAS DENNY?? Bahkan sekarang kamu bawa-bawa Mas Denny?" serobot Prilly, tak menyangka Reza memention seseorang yang bahkan sama sekali tak Prilly kenal dekat. Setelah pertemuannya di pesta beberapa hari lalu, Ia bahkan belum berkomunikasi lagi dengan Denny "Dan memangnya apa yang udah kamu liat antara aku sama Refal tadi? Did i kissed him? Did i having sex with him????" tanya Prilly dengan nada tinggi.

"Aku cuma minta kamu jauhin dia, sesimple itu..." kata Reza, masih belum juga mau mengalah.

"Jadi semua ini kesalahan aku?" tanya Prilly sinis.

"Iya, salah kamu dan cowok itu!" tunjuk Reza.

Prilly menggeleng tak percaya, pria ini yang sudah membeberkan hubungannya pada dua orang sekaligus justru malah menyalahkan dirinya?

Luar biasa.

"Mama nyuruh aku untuk jauhin kamu!" tembak Prilly tak peduli dengan tanggapan Reza "Kalau enggak, Mama yang akan ngomong sendiri sama kamu." Jujurnya lagi.

Reza terbelalak dan lagi-lagi hanya membisu.

"Bisa kamu jelasin semuanya sama Mama, Mas?" tantang Prilly "Dengan resiko Mbak Hanum akan tahu tentang hubungan ini dan pastinya kamu akan kehilangan aku. Selamanya.."

Reza tak menjawab dan hanya diam seribu bahasa. Ia sadar Ia belum sanggup kehilangan mereka bertiga..

PENGECUT.

"Enggak bisa kan?" Prilly mencemooh diamnya Reza "Jadi nggak akan ada yang namanya solusi dan bicara baik-baik seperti yang kamu bilang, kalau kamu sendiri masih bersikap posesif dan cemburuan kayak gini!" Prilly beranjak meninggalkan Reza menuju ke lantai dua, Ia terlalu malas untuk memperpanjang obrolan mereka yang tak akan ada akhirnya, tetapi belum selesai Prilly melangkah, dengan sigap Reza sudah kembali mencegahnya untuk pergi.

"Jangan menghindar lagi masalah kita belum selesai, Prill!" cegahnya menarik lengan Prilly agar tak kembali melangkah pergi.

"AKU CAPEK, MAS!!" Prilly terisak, tenaganya sudah habis untuk melawan Reza selama satu bulan ini "Capek dengan sikap kamu yang kayak gini. Curigaan, cemburuan, ngekang dan selalu sinis setiap kali aku hanya sekedar bicara sama cowok lain. Bahkan Mas Denny pun kamu permasalahin sampai harus banget ya CIUMAN sama istri kamu didepan aku hanya untuk ngebales rasa cemburu kamu?" keluhnya panjang lebar mengeluarkan amarahnya yang sudah Prilly pendam.

"Kamu pikir aku suka cemburu kayak gini?" Reza balas meninggi "Aku juga capek harus selalu ngerasa insecure setiap kali melihat kamu yang terlalu intim sama Refal, Denny atau entah siapa lagi laki-laki diluar sana!" aku Reza.

"Kalau gitu percuma kita jalanin hubungan ini kalau ujung-ujungnya semua orang akan kamu curigain...." ucap Prilly "Untuk apa?" lanjutnya.

"Kalau kamu bisa menjaga sikap kamu ke Refal atau cowok lain, hubungan ini akan baik-baik aja..."

Prilly tertawa sarkas.

"Egois ya kamu, Mas. Disini aku harus MAU membagi KAMU dengan ISTRI KAMU tapi kamu nggak ngijinin aku untuk berinteraksi dengan cowok lain bahkan hanya untuk sekedar berteman? Wow!!!" Prilly menepuk kedua tangannya.

Mereka saling diam beberapa detik, mencoba mengutarakan apa yang seharusnya mereka utarakan tapi masih terkunci dikerongkongan.

"Aku nggak bisa ngejalanin hubungan yang nggak fair kayak gini. Aku nggak bisa ambil resiko itu, aku terlalu takut Mas. Terlalu banyak yang aku pertaruhkan disini..." jelas Prilly pada akhirnya.

"Maksud kamu apa sih?" jantung Reza bedebar, Ia berharap Prilly tak mengambil keputusan secara sepihak disaat emosi.

"Aku nggak bisa ngejalanin ini..."

"Prill, don't..."

Prilly menatap manik mata sang kekasih penuh dengan air mata, Ia harus mengambil keputusan saat ini juga. Harus!

"Kita udahan aja ya, Mas..." akhirnya satu kalimat paling menyakitan itu terlontar dari mulut Prilly dengan uraian air mata yang semakin deras mengalir dari pelupuk matanya.

Reza membatu. Terlalu terkejut untuk menjawab ucapan sang kekasih yang sudah tiga bulanan ini menjalin hubungan dengannya....

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Perempuan Kedua (Bab XIV) - The Day After Tonight
1
0
It's not even your responsibillity to take care of me!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan