Perempuan Kedua (BAB XI) - Once upon a time in Osaka

4
0
Deskripsi

I don't know what else to say beside I Love You....

post-image-639e0182839ce.jpg

Prilly masih dengan imajinasinya melamuni sang jantan yang sejak beberapa waktu tadi masih berkeluh kesah padanya. Menceritakan kisah menyebalkan yang Ia alami malam ini karena masa lalu sang istri yang kembali datang. Katanya, pria sialan itu selalu mengganggu hubungannya dengan sang istri bahkan sejak sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Katanya juga, dia dengan percaya dirinya terang-terangan mengajak sang istri untuk kembali.

Jujur saja, sejak pria disampingnya ini bercerita, focus dirinya bukan pada apa yang Reza ceritakan tapi justru pada wajah sang lelaki dan suara candunya. Prilly menikmati setiap bait yang Reza kumandangkan sekalipun kalimat yang dia keluarkan adalah tentang wanita yang sudah dinikahinya 6 tahun lalu. Sekalipun kata yang Reza lontarkan adalah curhatan kecemburuannya pada lelaki lain dimasa lalu sang istri.

Meski begitu, Prilly tetap menikmati cerita demi cerita, keluhan demi keluhan dan detik demi detik yang sejak dua jam tadi mereka lewati. Bagi Prilly mendengar suara Reza saja efeknya dapat membuatnya sebegitu bahagianya.

Aneh memang tapi inilah faktanya.

Mendengarkan sang kekasih yang menceritakan tentang istrinya tak membuat Prilly cemburu, tapi justru yang prilly rasakan saat ini sama seperti sedang menenggak obat-obatan terlarang, mendengar bait perbait dari bibir Reza membuat Prilly kecanduan. Ia mencintai suara pria itu.

Sampai sebegitunya...

Dua jam tadi, ketika Prilly yang baru saja akan bersih-bersih sekembalinya dari Mall dengan Anya dan Ricky, tiba-tiba saja Ia mendengar bell dipintunya berdering. Prilly agak kaget karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam namun kenapa masih ada tamu yang datang.

Ketika Ia membuka pintu rumahnya, mata Prilly membelalak kaget melihat pria tampan itu sudah berdiri didepan pintu rumahnya dengan wajahnya yang terlihat masam. Ia bahkan tak pernah membayangkan jika tamu malam ini adalah Reza.

Prilly baru mengerti kehadiran Reza kesini setelah akhirnya sang pria mau menceritakan alasan kedatangannya.

Wajah tampan seorang Reza Rahadian dengan berewok tipis yang menghiasi wajahnya. Bulu mata Panjang dan mata beningnya. Bibir kemerahan dan suaranya yang begitu sexy terdengar membuat Prilly kembali melebarkan senyumannya dan lamunannya pun kian meninggi.

Ya Tuhan, kenapa Ia bisa begitu mencintai sosok ini, sosok yang sudah mengikat janji dengan wanita lain.

Sudah berkali-kali Prilly jatuh cinta, tapi baru kali ini perasaannya setulus ini pada seorang pria. Bahkan Ia tak pernah berekspektasi apapun. Bahkan Ia tak pernah mengharapkan apapun. Ia hanya menikmati cintanya pada pria itu sementara emosi-emosi lain yang dirasakannya sudah Ia pendam dalam-dalam. Apalagi jika rasa itu menyangkut Hanum dan Alana, tak ada alasan baginya untuk mencemburui mereka berdua.

Meskipun begitu, kadang sesekali egonya pernah mencoba untuk menggodanya agar dirinya memberontak meminta hak. Tapi kemudian ketika Prilly menyadari dimana posisinya berada dalam hidup Reza, Ia pun kembali mengalah.

Dan bodohnya, itu bukan menjadi masalah untuknya.

Prilly tak tahu apakah ini bisa dikatakan sebagai pujian baginya karena Ia adalah seorang perempuan kedua yang tak berniat bersaing dengan istri sahnya.

Reza menyadari tatapan mata Prilly padanya mulai berbeda, kemudian Reza pun menghentikan pembicaraan dan balas menatap mata lawan bicaranya. Mereka melempar pandang selama beberapa detik, Reza berusaha membuat wanita cantik ini tersadar jika Ia sudah tak lagi bersuara.

"Kamu kenapa sih, kok ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Reza "Bosen ya denger aku cerita?" Reza yang duduk disebelah kiri Prilly mengubah posisi tubuhnya ke arah Prilly, menatap mata cokelat itu dengan penuh tanya.

Apakah sejak tadi sang wanita benar-benar mendengarkan ceritanya?

"Enggak kok, Mas. Aku tuh cuma seneng aja denger kamu cerita kayak gini..." jawab Prilly dengan senyum manjanya, dilingkarkannya kedua tangan mulusnya pada leher Reza. Mereka kini duduk berhadapan disatu sofa yang sama "Suara kamu bikin candu..." lanjut Prilly lagi dengan nada menggoda.

Reza balas merangkul pinggang Prilly dengan kedua tangannya lalu memajukan wajah tampannya pada wajah Prilly, menyentuh bibir sang kekasih dengan satu kecupan.

"Oh ya?" ujar Reza dengan nakalnya.

"Iya.." balas Prilly "Bisa nggak sih kamu tuh jangan terlalu ganteng? Aku tuh pusing kalau nanti ada yang naksir sama kamu juga.." canda Prilly pura-pura cemberut.

Reza tertawa lepas mendengar celotehan Prilly yang konyol "Harusnya aku yang bilang gitu ke kamu, kamu jangan terlalu cantik nanti banyak yang naksir!" jawab Reza lagi "Kalau aku sih udah tua, udah punya buntut, mana ada lagi yang mau.." lanjutnya.

"Loh, buktinya aku mau..." celetuk Prilly.

"Hahaha...oh iya yaaa, lupa aku..." mereka tertawa Bersama, menertawakan hal yang sebenarnya yang tak patut ditertawakan.

"Mas, mendingan kamu pulang ya..." ujar Prilly "Mbak Hanum pasti khawatir banget kamu pergi kayak gini, lagian ini juga udah mau jam dua pagi..." pinta Prilly dengan sangat lembut, Ia tak ingin Reza tersinggung dengan ucapannya.

"Kamu mau aku pulang aja?" tanya Reza.

"Ya aku sih mau nya kamu disini, tapi keadaannya kan lain, Mas. Mas Reza kesini kan karena lagi emosi dan ninggalin Mbak Hanum juga karena lagi emosi..." jelas Prilly. Diusapnya wajah tampan itu penuh sayang.

"Aku nggak suka cara Hanum memperlakukan aku di depan Denny dan teman-temannya, aku ngerasa nggak dihargain sebagai suami, Prill." Air muka Reza kembali keruh.

"Mas, aku yakin, Mbak Hanum nggak ada niat sedikitpun untuk tidak menghargai Mas Reza." Jelas Prilly "Mas Reza begini karena Mas Reza terlalu mencintai Mbak Hanum dan takut Mbak Hanum dimilikin orang lain dan itu wajar kok..." lanjut Prilly lagi.

"Kamu kok jadi belain Hanum sih..."

"Hei, aku nggak belain siapa-siapa disini, aku cuma nggak mau Mas Reza mengambil keputusan karena Mas Reza lagi emosi. Aku percaya Mbak Hanum sangat mencintai Mas Reza, masalah Mbak Hanum dengan masa lalunya itu hanya ketakutan Mas Reza aja dan soal teman-temannya itu bisa didiskusikan baik-baik kok..." jelas Prilly Panjang lebar "Mas sadar nggak, andai aja Mbak Hanum tahu kalau sebenarnya yang mendua itu Mas Reza, kira-kira bagaimana reaksinya? Bukan Denny yang harus Mas Reza takutkan dalam hubungan kalian, tapi aku. Aku orang ketiganya disini Mas..." ujar Prilly lagi mengingatkan posisi mereka yang sebenarnya lebih patut dicurigai.

"Kamu kok gitu sih ngomongnya?" Reza memeluk Prilly penuh sayang, kini justru Ia yang merasa bersalah pada sang kekasih karena sudah membahas masalah ini pada Prilly "Jangan ngomong kayak gitu lagi ah..."

"Aku cuma mengingatkan aja, justru disini yang punya dosa itu kita Mas, bukan Mbak Hanum..." jelasnya lagi masih dalam pelukan Reza.

Prilly mendengar Reza menarik nafasnya "Maaf aku harusnya nggak cerita masalah rumah tanggaku ke kamu.." katanya lembut.

"Aku justru senang Mas Reza cerita ke aku..." jawab Prilly "Itu tandanya Mas Reza percaya sama aku..." lanjutnya dengan senyumnya yang tulus.

Reza melepas pelukannya ditubuh Prilly, menatap mata cokelat itu penuh kagum. Pantas saja Ia begitu menggilai wanita didepannya ini, bukan hanya cantik dan dewasa, Prilly juga sosok yang sangat pengertian.

"Kamu nggak cemburu aku cerita soal Hanum ke kamu?"

"Bohong kalau aku bilang aku nggak cemburu sama Mbak Hanum, posisi Mbak Hanum adalah posisi yang paling aku inginkan saat ini tapi aku sadar aku ini siapa dan posisiku disini sebagai apa karena itu aku nggak akan nuntut lebih sama kamu..." jawabnya tersenyum.

Ah, gadis ini...

"I love you..." diciuminya lagi bibir tipis Prilly penuh sayang "I don't know what else to say beside i love you..." katanya.

"I love you too, Mas. Kita kayak gini aja aku udah bahagia kok..." balas Prilly "Kamu pulang ya, Mbak Hanum pasti udah nunggu. Kalian omongin ini baik-baik berdua, jangan pakai emosi..." saran Prilly pada Reza.

Reza tersenyum mendengar ucapan gadis cantik itu kemudian dikecupnya kening sang kekasih "Thank you for listening to me..." ujarnya.

"Aku senang bisa ada untuk kamu disaat kamu butuhkan..." balas Prilly tersenyum.

"Ya udah, aku balik ya. Maaf udah ganggu kamu tengah malam begini. Kamu istirahat ya." Reza berdiri dari sofa tempatnya duduk kemudian mengambil jas yang tadi Ia taruh di pinggir sofa.

"Kamu hati-hati di jalan ya, Mas. Jangan marah-marah lagi. Selesaiin semuanya dengan kepala dingin..." Prilly ikut bangun dari duduknya lalu mengantar Reza ke depan pintu.

"Iya, Bye..." Reza kembali mengecup kening Prilly penuh sayang seraya berjalan menuju mobil miliknya yang Ia parkir di halaman depan rumah Prilly.

***

Langit masih gelap, jam kini sudah menujukan pukul 02.17 sabtu pagi ketika Reza sampai ke rumahnya. Suasana ruang tamu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam yang berjalan, menggantung di dinding ruang tv rumah Reza dan Hanum. Malam ini Alana dan Mbak Yum menginap dirumah Opa Papi sesuai dengan rencana mereka beberapa hari sebelumnya, karena Sabtu ini Hanum harus menuntaskan janjinya kepada para klien untuk meeting pukul sembilan nanti.

Reza membuka kenop pintu kamarnya dengan hati-hati, berjalan memasuki ruang pribadinya dan Hanum tanpa suara, tak ingin membangunkan sang istri yang sepertinya sudah terlelap.

Reza menatap punggung sang istri yang tidur membelakanginya seraya mengganti pakaiannya. Syukurlah Hanum sudah tidur, Reza sempat khawatir Hanum masih terjaga karena menunggunya pulang sementara pagi ini sang istri harus bekerja lembur.

Selesai mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya, Reza pun naik ke atas ranjang miliknya. Mendekati tubuh Hanum yang masih terlelap kemudian mendekapnya dengan lembut dari belakang sambil mencium pelipis kiri Hanum.

Wanita berparas ayu itu menggeliat, agak kaget jetika mendapati sang suami yang sudah kembali dan memeluk tubuhnya dengan erat. Mata mengantuknya Ia picingkan sebelum akhirnya terbangun dari tidurnya lalu menyapa Reza dengan pelan.

"Kamu pulang jam berapa, Mas?" tanya Hanum sangat lembut dengan suara parau, tubuhnya Ia putar ke arah Reza menatap wajah tampan sang suami yang beberapa jam tadi sempat membuatnya ketakutan karena emosi.

"Baru aja kok. Maaf ya kamu kebangun.." ujar Reza, nada suaranya penuh penyesalan. Jika dipikir-pikir sikap dan kata-katanya pada Hanum tadi malam sungguh keterlaluan. Selama Ia mengenal Hanum, tak pernah sekalipun Ia mengeluarkan kalimat keras seperti tadi.

"Aku yang minta maaf, aku ketiduran waktu nungguin kamu.." ujar Hanum merasa tak enak. Hanum bangun dari tidurnya lalu menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang sementara itu Reza duduk disampingnya dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Kamu tidur lagi aja.. pagi ini kan kamu harus meeting.." suruh Reza dengan lembut.

"Kamu masih marah sama aku?" akhirnya Ia kembali ke topik yang tadi sempat tertunda "Aku minta maaf soal apa yang terjadi di acara Sheila tadi, aku sama sekali..."

"Udah... lupain aja ya..." Reza memeluk tubuh sang istri, mendekapnya menenangkan "Aku yang salah karena emosi tadi. Maaf tadi aku bicara yang enggak-enggak sama kamu.." jelas Reza mengakui sikap berlebihannya saat dipesta tadi.

"Aku yang salah Mas, aku nggak kasih tahu kamu kalau ada Denny...." Hanum kembali tersedu "Aku benar-benar takut waktu tadi kamu pergi..." ucapnya dalam pelukan Reza.

"Bukan sepenuhnya salah kamu, aku yang salah. Aku yang kayak anak kecil. Harusnya tadi aku nggak ninggalin kamu gitu aja. Maafin aku ya, sayang..." ucap Reza dengan tulus.

Hanum terisak, jujur Ia lega mendengar ucapan sang suami. Ia lega karena pertengkaran ini tidak berlangsung lama dan berlarut-larut.

"Ya udah kita tidur aja ya, pagi kan kamu harus pergi lagi.." Reza tersenyum.

"Iya..." jawab Hanum "Tadi Kamu pergi kemana sih, Mas? Aku khawatir banget sama kamu..." tanya Hanum seraya merebahkan tubuhnya dan Reza ke ranjang.

Reza tak langsung menjawab, Ia sedikit membenarkan posisi bantal dikepalanya lalu membawa tubuh Hanum ke dalam pelukannya.

"Aku tadi ke Bean & Brew Coffee, ngopi aja sambil nenangin diri.." jawab Reza berbohong.

"Mas, janji ya sama aku, lain kali kalau kamu marah atau kita ada masalah jangan pergi-pergi kayak tadi. Aku khawatir banget.." Hanum menatap mata Reza, kepalanya Ia rebahkan di lengan kiri sang suami sambil memeluk erat tubuh pria 35 tahun itu.

"Iya sayang..." kata Reza seraya menenangkan sang istri, wanita kedua yang keningnya Ia kecup malam ini.

***

See the line where the sky meets the sea? It calls me
And no one knows, how far it goes
If the wind in my sail on the sea stays behind me
One day I'll know, if I go there's just no telling how far I'll go

Oh oh oh, oh, oh oh oh oh, oh oh oh, oh oh
Oh oh oh, oh, oh oh oh oh, oh oh oh, oh oh

Suara indah Alessia Cara mengalun dari audio didalam mobil yang sedang Reza kendarai bersama sang putri, terdengar Alana ikut berdendang dengan suara mungilnya mengikuti lagu dari original soundtrack Moana yang sedang digemari akhir-akhir ini. Gadis cilik berusia lima tahun itu mengenakan pakaian berwarna pink dengan rambut hitamnya yang Ia gerai. Sangat menggemaskan.

Kepalanya Ia goyang-goyangkan mengikuti irama lagu berbahasa Inggris itu sambil mengayunkan kaki mungilnya yang tak sampai berpijak ke lantai mobil. Matahari terlihat cerah secerah hati keduanya, jam sudah menunjukan angka satu ketika Reza menjemput sang putri dari rumah Opa Papi sementara Hanum sang istri harus menghadiri meeting dari pagi tadi.

Hari ini adalah hari kencan ayah dan anak yang sangat jarang Reza lakukan bersama Alana dan hari ini adalah waktu yang ingin mereka habiskan Bersama hanya sekedar untuk ngemall seharian ini.

Reza sengaja tak mengajak Mbak Yum ikut karena tiba-tiba saja terlintas sebuah ide gila dikepalanya sebelum tadi kakinya Ia injakan di rumah sang mertua.

Reza melihat Alana dengan penuh senyum sambil menunggu panggilan telepon di AirPods yang sedang Ia gunakan ditelinganya terangkat.

"Hallo..." sapa Reza pelan ketika panggilan teleponnya itu mendapat sambutan oleh seseorang yang sedang Ia hubungi "Aku udah mau sampe ya, aku tunggu di Foek Lam Resto.." ujar Reza lagi "Iya, ya udah kamu hati-hati.. call me when you arrive... bye.." dimatikannya panggilan telephonenya dengan segera seraya melepas AirPods ditelinganya.

"Itu Bunda ya?" tanya Alana yang masih asik menikmati lagu How Far I'll Go dari pemutar musik didalam mobil.

Reza tak menjawab, hanya melemparkan senyumnya kemudian mengelus kepala sang putri penuh sayang.

"Kita makan dulu ya? Alana kan belum makan siang tadi kata Mbak Yum." Ajak Reza ketika mobil yang dikendarainya mulai memasuki parkiran Mall Kelapa Gading 3.

"Oke. Tapi Alana mau dimsum ya Ayah.." pintanya menyebutkan salah satu makanan favoritnya "Yang waktu itu kita makan sama Bunda.." katanya lagi meminta menu dari salah satu restorant Chinese kesukaan sang Bunda.

"Iya, sayang..." balas Reza seraya memarkirkan mobilnya.

***

Menu yang Reza dan Alana pesan mulai berdatangan, Dimsum, Xiao Lao Bao, Lumpia Steam, Cheong fan udang dan lainnya sudah tertata di meja. Mata Alana membesar melihat banyaknya makanan kesukaannya yang di pesan sang Ayah. Alana sangat mirip seperti dirinya, sangat menggemari Chinese food dan tidak rewel soal menu makanan.

"Waahh... banyak banget.." ujar Alana excited "Terima kasih ya Ayah... ini kan makanan kesukaannya Alana semua..." ujar sang putri kegirangan.

"Sama-sama sayangnya Ayah... tapi harus habis ya.." goda Reza sambil mencubit gemas pipi Alana.

"Haaahhhh... masa Alana semua yang makan?" jawabnya agak terkejut mendengar kata-kata sang ayah. Reza tertawa mendengar ucapan putri tunggalnya itu.

"Nanti ayah bantuin kok..." katanya tersenyum.

"Habis ini Alana boleh nggak makan ice cream sama beli mainan?" tanya Alana yang duduk di samping Reza. Mereka mengambil meja tepat di pojok ruangan yang agak tersembunyi.

"Boleh dong..." balas Reza.

"Assiikkkk... Terima kasih ya Ayaahhhh..." diciuminya pipi Reza penuh sayang "Alana seneng banget pergi sama Ayah..." senyum diwajah sang putri terpancar membuat hati Reza ikut berbunga merasakan betapa excitednya Alana untuk sekedar pergi makan dengannya.

"Hmm... Alana, kalau Ayah ajak teman ayah makan disini, Alana keberatan nggak?" tiba-tiba Reza membuka pembicaraan.

Alana yang bersiap mengambil dimsum dari piring didepannya seketika menghentikan kegiatannya sambil menatap Reza penuh tanya "Emangnya siapa?" tanya Alana dengan kening berkerut.

Reza tak langsung menjawab, Ia terlihat memutar otaknya untuk memberikan jawaban apa pada sang putri "Hmm... ada teman ayah, Alana pernah ketemu kok..." balas Reza dengan lembut.

"Om Dave?" Alana menyebut nama Dave, asisten manager dikantor yang memang sudah dikenal akrab oleh Alana maupun Hanum.

"Bukan..." jawab Reza.

"Hmm.... Om Oka? atau Om Ernest?" Alana kembali menyebut sahabat-sahabat sang ayah yang memang familiar baginya.

"Nanti Alana lihat sendiri ya..." jawab Reza melemparkan senyumnya.

"Siapa sih ayah?" Alana penasaran.

"Ya udah Alana makan dulu aja..." suruh Reza yang dibalas anggukan oleh sang putri.

***

Mall Kelapa Gading 3 terlihat begitu riuh dan penuh oleh pengunjung, jalan menuju ke tempat ini tidak sebentar. Bukan hanya karena macetnya Utara Jakarta, juga karena Ia datang dengan terburu-buru karena ajakan yang Ia terima secara mendadak. Tadinya Sabtu ini Ia tak berniat untuk pergi kemanapun, Ia hanya ingin menghabiskan waktu istirahatnya dirumah saja karena rencananya besok Ia harus mengunjungi sang Mama jadi sabtu ini ingin digunakannya untuk bermalas-malasan.

Tapi ketika sedang asik menikmati waktu santainya dirumah, ponsel miliknya berdering. Begitu dilihat siapa yang menelepon, Ia begitu terkejut membaca nama yang tertera dilayar. Sosok yang sangat jarang menghubunginya disaat waktu weekend kecuali ketika mereka ada tugas dinas bersama atau ketika mereka ada lembur.

Ia sempat tertegun selama beberapa detik karena jujur saja Ia was-was apakah yang meneleponnya ini benar-benar kekasihnya?

Setelah lima kali berdering, Prilly akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon itu dengan yakin.

Sedetik kemudian suara diujung telepon sana pun terdengar dan sang penelepon memintanya untuk menemuinya di salah satu Mall besar di Jakarta Utara. Awalnya Prilly ragu karena seharusnya weekend adalah waktu sang pria dengan keluarganya.

Tapi kemudian pria itu memberikan alasan yang membuatnya percaya dan akhirnya Prilly pun benar-benar menemui sang pria disini. Walaupun sepanjang perjalanan kesini Prilly masih terus bertanya-tanya dengan ajakan sang pria, tapi dalam hati Prilly ada rasa bahagia yang membuncah karena pada akhirnya Ia bisa bertemu sang kekasih selain dikantor dan dirumahnya.

Prilly berjalan dengan penuh semangat, wajah sumringahnya bahkan terasa pada orang disekitarnya yang Ia temui. Wajah cantik itu begitu tak sabar untuk menikmati waktu malam minggunya bersama Reza seperti kebanyakan pasangan kekasih lainnya.

"Aku udah di Ground Floor ya..." Prilly menelepon Reza memberitahukan kebedaraannya yang sudah dekat.

"Aku dimeja agak ke sudut ya, kamu langsung masuk aja..." balas sang pria ditelepon.

Setelah menelepon Reza, Prilly melihat sebuah nama didepan restoran yang Reza beritahukan melalui whatsapp beberapa saat tadi :

Foek Lam Restaurat..

Sebuah restaurant Chinese Food yang cukup ternama yang menjadi favorit Reza dan keluarganya. Siang ini restaurant tersebut dipadati pengunjung yang kebanyakan memang orang keturunan tionghoa. Ramainya pengunjung disini sudah bisa membuktikan jika restaurant ini memang begitu digemari.

Prilly melangkahkan kakinya memasuki tempat itu kemudian seorang pelayan menghampirinya dan menyapa Prilly dengan ramah untuk menanyakan apakah Prilly telah melakukan reservasi. Setelah Prilly menjelaskan maksud kedatangannya sang pelayan pun mengangguk kemudian meninggalkan Prilly kembali ke meja depan dan Prilly pun melanjutkan langkahnya mencari meja yang tadi Reza beritahukan.

Ketika Prilly masuk ke dalam restaurant, Prilly tersenyum senang ketika dari jarak yang cukup jauh Ia mendapati seorang pria yang tadi memintanya untuk datang sedang duduk membelakanginya disudut sana . Reza dengan kaus polo putihnya berada di ujung sana sedang menikmati hidangan dimejanya.

Namun senyum bahagia itu lenyap tatkala Prilly menyadari bahwa Reza tidak sendirian. Jantung Prilly nyaris saja lepas dari porosnya ketika melihat sosok mungil yang duduk disamping sang kekasih sedang memakan beberapa hidangan dihadapannya.

Alana Raina Rahadian.

What the hell is this???

Setelah melihat pemandangan itu dengan tanpa berfikir dua kali Prilly pun memutar balik tubuhnya menuju keluar restoran sambil mengambil handphone di tas chanelnya yang Ia pakai kemudian menelepon Reza dengan segera.

"Mas, temuin aku di luar resto. Sekarang!" suruh Prilly dengan nada kesal.

Prilly benci ini, Reza benar-benar keterlaluan. Kenapa Ia mengundang dirinya jika dia sedang bersama sang putri?

Apa sih yang ada dipikiran Reza saat ini?

"Sayang, hei kamu kok nggak masuk sih?" suara pria itu terdengar beberapa menit setelah Prilly menelepon.

Mereka berdua berdiri di luar restoran, kemudian ditatapnya mata Reza dengan ketusnya. Prilly berusaha untuk menahan rasa kesalnya pada sang kekasih agar tidak menarik perhatian orang-orang disana.

"Kamu apa-apaan sih, Mas?" Prilly membuka percakapan "Kamu udah gila ya minta aku datang sementara kamu lagi sama anak kamu?" omelnya menahan nada suaranya agar tidak terlalu keras.

"Aku cuma sama Alana aja kok, Hanum nggak ikut makanya aku ngajak kamu..." jawab Reza masih tak mengerti jika ini adalah sebuah hal terkonyol yang dia lakukan.

"Astaga Mas, masa kamu ngajak aku makan sama Alana? Kamu nggak mikirin gimana perasaan Alana kamu ngajak perempuan lain makan sama kalian?" omelnya lagi "Mas... kamu tuh... astaga..." Prilly berusaha meredam emosinya. Ia benar-benar tak mengerti jalan pikiran sang kekasih.

Ini sama saja menyuruhnya bunuh diri.

"Sayang, Alana nggak akan ngerti. Alana kan tahu kamu teman aku." Reza masih saja memberikan alasan konyol akan keputusannya.

"Massss... aku nggak suka!" akhirnya Prilly mengeluarkan protesnya "Ini nggak bener, Mas. Kamu lagi sama Alana buat apa ngajak aku ketemu? Kamu berharap apa dengan mempertemukan aku dan anak kamu?" balas Prilly lagi.

"Aku pengen Alana terbiasa melihat kamu.." Reza kembali memberi alasan.

"Kamu nggak mikir apa gimana seandainya Alana cerita ke Mbak Hanum kalau tadi kamu ngajak perempuan lain makan bareng kalian? Gimana kalau Alana bilang ke Bunda nya soal aku? Kamu mau kasih alasan apa?" Prilly menjelaskan lagi agar Reza bisa berfikir jika mengajaknya makan Bersama sang putri adalah keputusan berbodoh.

"Aku pengen ketemu kamu, sayang..."

"Ya tapi nggak gini caranya, Mas!" tolak Prilly "Ini sama aja kita bunuh diri!" lanjut Prilly lagi, emosi.

Reza terdiam.

"Mungkin Alana masih kecil dimata kamu, Mas. Tapi Alana tuh udah ngerti apa yang dia lihat!" kata Prilly lagi.

"Sayang aku minta maaf... aku nggak berfikir sampai kesitu.." jawab Reza.

"Mas, aku bukannya nggak senang ketemu sama kamu. Tapi aku mohon, disaat kamu lagi sama keluarga kamu, tolong fokus sama mereka. Fokus sama Mbak Hanum, fokus sama Alana. Jangan libatkan aku!" Pinta Prilly dengan tulus.

Lagi-lagi Ia dibuat kagum oleh wanita wajah cantik di hadapannya ini. Bagaimana bisa ada wanita sepengertian ini didunia? Dan betapa beruntungnya Ia bisa mendapatkan seorang Prilly.

Reza tersenyum mendengar ucapan sang kekasih kemudian menggenggam jemari Prilly dengan sangat lembut.

"Maafin aku ya..." ujar Reza karena pemikiran bodohnya ini nyaris membahayakan hubungan terlarang mereka "Aku nggak mikir sampai sejauh itu..." lanjutnya lagi.

"Ya udah lah, kamu masuk aja..." suruh Prilly.

"Terus kamu mau kemana?" tanya Reza.

"Udah tanggung disini, aku mau ke salon aja kayaknya..." jelas wanita cantik itu tersenyum.

"Kamu beneran nggak apa-apa kan?" jujur Reza merasa tak enak hati karena sudah membuat Prilly datang jauh-jauh tapi akhirnya harus pergi sendiri.

"Iya, I'm okay. Udah sana kamu masuk aja. Kasian Alana udah nunggu tuh..." suruh Prilly lagi.

"Sekali lagi maafin aku ya sayang, Kamu hati-hati nanti pulangnya..." Reza kembali mengelus jemari Prilly seperti enggan untuk melepaskannya.

"Iya, Mas. Ya udah aku pergi ya... bye.." pamit wanita 27 tahun itu pergi meninggalkan Reza di depan restoran.

***

Setelah bayangan tubuh Prilly menghilang dari penglihatannya, Reza kembali ke dalam restaurant untuk menemani sang putri yang masih menikmati hidangan kesukaannya yang lain.

Melihat Reza kembali, Alana pun menoleh pada sang ayah yang kini sudah duduk kembali disampingnya.

Dengan masih mengunyah Lumpia Steam dimulutnya Alana menanyakan tentang kepergian sang ayah beberapa saat tadi.

"Ayah abis dari mana sih?" Tanya Alana heran karena tadi sang ayah tiba-tiba saja pergi.

"Maaf ya sayang tadi ada teman ayah jadi ayah nemuin sebentar..." jawab Reza yang tak sepenuhnya berbohong.

"Mana temennya? Kok nggak masuk kesini?" Mata Alana celingukan mencari sosok yang sang ayah sebut teman.

"Sudah pergi tadi..." jawab Reza lagi.

"Emang siapa sih temen ayah?" Alana kembali bertanya dengan kritisnya.

"Alana nggak kenal kok... udah ya makanannya dihabisin katanya habis ini mau beli ice cream..." rayu Reza tersenyum berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

***

Handphone Prilly sudah berdering sejak 30 menit tadi, sebenarnya Prilly yang sedang berada di dalam kamar mandi sudah mendengarnya hanya saja Ia masih sibuk dengan aktifitasnya didalam sana jadilah handphone keluaran Apple itu tak Ia gubris. Lima menit kemudian Prilly keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah, masih membawa handuk kecil sembari mengeringkan rambut cokelatnya. Tanktop putih dan celana pendek yang menempel ditubuhnya membuat badannya yang putih mulus tereskpose begitu indah.

Prilly mendekati meja kecil disamping tempat tidurnya, mengecek layar handphonenya yang sejak tadi berdering. Ada 4 panggilan tak terjawab di layarnya bertuliskan sebuah nama...

Refal.

Kening Prilly berkerut, tumben pria ini menghubunginya hingga berkali-kali seperti ini?

Tak butuh waktu lama Prilly pun mengambil ponselnya dan kemudian menelepon balik sang pria tampan.

Suara tersambung terdengar diujung sana dan dalam beberapa detik, pria yang ditelepon itu mengangkat panggilan Prilly.

"Finally..." ujar Refal dengan nada lega.

"Sorry fal, tadi nggak keangkat teleponnya, aku habis mandi. Baru banget balik nyalon.." Prilly menjelaskan, duduk dikursi meja riasnya

"It's okay.." ujar Refal "By the way, are you free tonight?" tanya Refal dibalik telepon sana.

"Iya, free kok. Kenapa, Fal?" tanya Prilly dengan lembut.

"Aku boleh mampir ke rumah nggak? Ini aku lagi di tebet sih, rumah kamu di TMII situ kan?" tanya Refal.

Prilly agak kaget mendengar permintaan sang pria, pasalnya setelah enam bulan lebih mereka berpisah, ini adalah pertemuan mereka yang kedua tapi Refal sudah menawarkan dirinya untuk main ke rumah.

"Itu juga kalau kamu nggak keberatan sih..." lanjut Refal, takut Prilly keberatan dengan permintannya.

Prilly tak langsung mengiyakan, Ia sempat berfikir beberapa saat. Kebetulan malam ini Ia memang butuh teman untuk mengobrol. Setelah rencananya dengan Reza yang gagal siang tadi, jujur saja moodnya agak sedikit rusak. Tapi Ia tak bisa mengeluh soal itu pada Reza secara langsung karena bagaimana pun Ia hanya wanita simpanan yang sang pria sembunyikan. Karena itu dengan adanya teman mengobrol dirumah, setidaknya Ia jadi tidak begitu kesepian.

"Boleh?" Refal kembali bertanya diujung sana.

Tidak masalah bukan, mengundang teman ke rumahnya sendiri?

"Ya udah dateng aja, nanti aku send alamatnya ya..." jawab Prilly tersenyum.

"Yes!!" suara girang Refal terdengar "Do you need something? Kamu mau nitip sesuatu nggak?" tanya Refal menawarkan.

"No need, Fal. Barusan aku bikin Fettucini kok, nanti kamu sekalian aja makan disini ya..." tawar Prilly mengajak Refal mencicipi salah satu masakan andalannya.

"Serius? Kamu masak?" Refal terkejut.

"Ih, kok gitu reaksinya? Kamu nggak percaya aku bisa masak?"

"Hahaha... nggak nyangka aja, cewek kayak kamu bisa masak..." ujar Refal tergelak.

"Cewek kayak aku? Cewek kayak gimana tuh maksudnya?" Kemudian Prilly duduk dipinggiran ranjangnya sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah.

"Ya cewek kayak kamu, cantik, cerdas, mapan, sibuk..." puji Refal sedikit menggombal.

"Hahaha... bisa aja deh..." kata Prilly lagi "Nanti telepon aja ya kalau udah didepan rumah.." minta Prilly.

"Oke. Eh tapi, nggak ada yang marah kan kalau aku ke rumah kamu?" tanya Refal basa basi.

"Enggak lah, siapa juga yang mau marah..." ujar Prilly mengindikasikan bahwa Ia sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun.

"Good. Oke, aku otw ya, see you there.."

"See you, Fal. Hati-hati ya..." balasnya lembut dengan senyum yang menghiasi wajah cantik gadis berdarah Amerika itu.

***

Jalanan Jakarta menuju cibubur di minggu malam masih sangat padat, sudah hampir setengah jam lalu Hanum menunggu untuk keluar tol Cibubur menuju ke rumahnya. Kawasan Bumi Perkemahan Cibubur sangat ramai, sepertinya sedang ada event besar disana yang membuat jalanan menjadi begitu riuh.

Sudah lewat waktu maghrib ketika pada akhirnya mobil yang Hanum kendarai berhasil keluar tol dan masuk berkendara di jalan Alternatif Cibubur, namun kemudian jalanan kembali dipadati oleh mobil-mobil dari Jakarta maupun luar Jakarta.

Hanum melirik ke kiri tubuhnya ketika mendengar ponselnya berdering dan tertera nama sang suami dilayarnya. Prilly mengetuk pelan pada samsung earbuds yang masih menempel di telinga kirinya dan dengan cepat mengangkat panggilan telepon sang suami.

"Assalamualaikum Mas..." jawab Hanum sambil menyetir mobil menuju rumahnya.

"Waalaikumsalam, kamu dimana sayang?" tanya Reza diujung sana, Hanum dapat mendengar suara Alana yang sepertinya sedang menonton televisi.

"Udah mau sampe kok ini udah ngelewatin Hanamasa.." jawab Hanum melaporkan posisinya pada Reza "Kamu sampe rumah jam berapa?" tanya Hanum.

"Jam tujuh tadi, aku kira kamu udah dirumah.." jawab Reza.

"Iya maaf ya Mas, aku pikir juga bakalan cepet meetingnya ternyata aku sama Marsha lanjut makan di luar, diajakin sama client. Mau nolak juga nggak enak.." katanya lagi.

"Ya udah nggak apa-apa, aku cuma khawatir aja kamu belum pulang sampe sekarang..." jelas Reza.

"Alana rewel nggak, Mas?" tanya Hanum lagi khawatir.

"Enggak kok, aman seharian sama aku. Tuh anaknya juga lagi nonton kartun.." Reza melirik pada sang putri yang sedang mengoceh bersama Mbak Yum sembari menonton kartun.

"Alhamdulillah, aku kepikiran sama Alana dari tadi...."

"Anteng kok dia.." jawab Reza "Ya udah kamu hati-hati ya.."

"Iya. Aku sebentar lagi sampe kok.." ujar Hanum.

***

"Bunda udah mau sampe ya Ayah?" Alana yang mengetahui ayahnya baru saja berbicara dengan sang Bunda pun bertanya tentang keberadaan Bundanya. Reza yang masih sibuk menatap layar handphonenya seketika melirik ke arah sang putri yang berada di depan ruang tv.

"Iya sayang, sebentar lagi Bunda sampai kok..." jawab Reza tersenyum masih menggenggam ponsel ditangannya bersiap untuk menghubungi seseorang yang sejak tadi belum membalas pesan whatsappnya.

"Mbak, saya titip Alana ya. Saya harus ngehubungin orang kantor sebentar..." Reza bangun dari duduknya dikursi meja makan.

"Baik Pak.." jawab pengasuh Alana yang sudah mengurus Alana dari sejak Alana baru lahir.

Reza berjalan menuju pintu halaman belakang, spot favoritnya setiap kali Ia mengerjakan sesuatu ataupun sekedar untuk diam-diam menelepon Prilly. Reza berdiri menghadap kolam renang outdoor di halaman belakang rumahnya. Menempelkan ponsel keluaran Amerika itu ditelinganya, menunggu panggilan teleponnya diujung sana dijawab oleh wanita yang sudah beberapa bulan ini menjalin hubungan dengannya.

Sejak tadi Prilly belum juga membalas pesan darinya bahkan ditelepon beberapa kali pun tak juga mendapat jawaban. Hingga jam menunjukan pukul setengah delapan malam sang wanita belum juga mengabarinya, padahal seharian ini Reza terus memikirkannya. Ia masih merasa bersalah dan tak enak hati karena kebodohannya tadi siang. Reza takut Prilly marah dan tersinggung.

Panggilan telepon Reza belum juga terangkat, hingga tiga kali Reza mengulang menelepon sang kekasih, panggilan telepon itu masih sama berakhir dengan suara operator. Reza mulai tak tenang, belum pernah Prilly seperti ini sebelumnya, lama tak membalas pesannya, lama tak mengangkat teleponnya. Prilly tahu Reza sangat tidak menyukai hal ini tapi kenapa Prilly tak juga menghubunginya?

Kemana wanita satu ini? Apa yang dia lakukan?

Pikiran-pikiran cemas mulai berdatangan satu persatu ke dalam kepala suami RaiHanum ini.

BRENGSEK!

Otaknya jadi berfikir kemana-mana, Ia tidak bisa tidak mencemaskan sang kekasih.

Apakah Prilly marah?

Apakah Prilly enggan bicara dengannya karena peristwa tadi siang?

"Yeaayyy...Bunda pulaaanggg..." beberapa saat kemudian Reza mendengar suara Alana yang menyambut sang Bunda yang baru saja datang. Sementara itu Prilly belum juga membalas pesan-pesan dari Reza.

Shit! Reza memaki udara, kesal dengan keadaan.

Dengan terpaksa, Reza kembali masuk ke dalam rumah untuk menyambut sang istri yang baru saja tiba. Dimasukannya ponselnya ke dalam saku celana pendeknya. Mempersiapkan wajah sumringahnya untuk Ia tunjukan pada Hanum. Berusaha menyirkan pikirannya tentang Prilly meskipun bukan hal yang mudah bagi Reza.

***

Flashback.
Osaka, Desember 2016.

Suara musik di dalam club berdentum menggema dengan kuatnya menghiasi seluruh ruangan. Suara riuh pengunjung, hentakan tubuh dan kaki mereka serta bau alkohol pun ikut menyeruak di antara ramainya suasana di gay bar yang sudah beberapa kali Prilly dan Refal kunjungi selama mereka di Osaka. Setelah pertemuan konyol pertama mereka disini, mereka justru jadi menyukai tempat ini. Meskipun mayoritas dari orang-orang yang datang kesini adalah gay, Prilly dan Refal mengakui bar ini cukup nyaman. Terlebih lagi tempatnya tak begitu jauh dari hotel tempat mereka menginap.

Kepala Prilly sudah mulai agak pening karena alkohol yang ia konsumsi. Sudah lebih dari enam shots Liquor Prilly tenggak malam ini dan kini Ia mulai merasakan tubuhnya terhuyung.

Prilly merasakan pandangan matanya mulai kabur dan kepalanya berdenyut kuat karena pengaruh minuman keras yang Ia minum. Melihat tubuh Prilly yang seperti akan jatuh, Refal dengan reflek memeluk sang gadis dengan sigap.

"Hey, are You okay?" Tanya Refal setengah berteriak.

Prilly menggeleng masih dalam pelukan Refal, wangi Burberry Brit Men menyeruak kepenciuman Prilly, membuat pikirannya yang sedang tak seratus persen sadar jadi berimajinasi kemana-mana.

Prilly berbisik pada Refal dari lantai dansa dengan suaranya yang agak parau "I think i'm drunk..." bisik Prilly dengan suara yang cukup kencang karena musik yang beradu dengan suara manusia "I need water..." kata Prilly lagi sambil mengisyaratkan untuk kembali ke meja bar karena kepalanya yang mulai tak bisa Ia kontrol.

Refal mengerti maksud Prilly kemudian memapah gadis cantik itu untuk duduk dikursi bar "Water please..." teriak Refal pada waitress di dalam bar meminta air minum untuk Prilly.

"Kita balik ke hotel aja ya?" ajak Refal mengkhawatirkan keadaan Prilly yang terlihat tidak baik-baik saja.

Seorang Waitress menyerahkan segelas air dingin kepada Refal dan disodorkannya air mineral itu pada Prilly.

Prilly meminum air dalam gelas yang Refal berikan kemudian Ia menggeleng pelan, tidak menyetujui usul sang pria untuk kembali ke hotel saat ini karena Ia masih ingin menikmati malam terakhirnya di Osaka.

"I think i drank too much..." balas Prilly sambil tertawa kecil dan memijat-mijat pelipisnya yang berdenyut "Efeknya baru terasa sekarang..." lanjutnya terkekeh dengan lucunya karena menyadari dirinya yang kalah oleh alkohol.

Melihat Prilly yang terlihat kurang sehat, Refal kemudian ikut duduk disampingnya dan membantu Prilly memijat kepala gadis cantik itu dengan lembut. Prilly terlonjak ketika merasakan tangan kekar itu membantu memijat kepalanya dengan sangat perhatian.

Prilly melirik ke arah Refal, Ia bahkan dapat merasakan kecemasan diwajah yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya itu.

Prilly menikmati perlakuan Refal padanya, menikmati ketampanan pria berwajah timur tengah yang sudah satu minggu ini menemani liburannya selama di Osaka, menikmati setiap pijatan tangan Refal dikepalanya.

"Fal..." panggil Prilly masih dengan menatap wajah pria 28 tahun itu.

"Iya?"

"I'll go back to US tomorrow..." Prilly buka suara.

"I know. You told me yesteday." jawab Refal yang masih fokus memijat kepala Prilly dengan penuh perhatian.

"Is there nothing you want to do before I go?" pancing Prilly.

Prilly menggigit bibir bawahnya dengan masih menatap mata Refal dengan pernuh makna.

Mendengar ucapan sang gadis, seketika Refal menghentikan kegiatannya dan balas menatap mata Prilly yang masih belum menurunkan pandangannya. Selama beberapa detik mereka hanya saling tatap satu sama lain tanpa suara dan tanpa kata. Mata cokelat itu seperti memohon sesuatu pada Refal dan tanpa mengeluarkan sepatah katapun mata indah itu sudah menjabarkan segalanya.

Refal tersenyum lembut pada Prilly, Ia memutar tubuh Prilly untuk menghadap kearahnya hingga keduanya saling berhadapan. Diiringi dentum musik yang bergaung-gaung, tanpa menjawab pertanyaan Prilly dengan kata-kata, dengan cepat Refal pun memajukan wajahnya kemudian menarik tubuh Prilly mendekat kearahnya.

Dua detik setelahnya Refal sudah mendaratkan ciuman dibibir gadis blasteran Sunda-Amerika itu.

Prilly dapat merasakan sensasi mint dari bibir sang pria yang kini semakin dalam melumat bibir tipisnya. Ada sedikit rasa vodka yang juga Ia kecap dari saliva yang saling mereka tukar. Selama satu menit bibir mereka bertaut saling beradu lidah dan mencampur hasrat lalu kemudian, dengan kesadaran penuh Prilly melingkarkan kedua tangan putihnya ke leher Refal. Semakin melekatkan dadanya pada dada bidang sang pria yang baru dikenalnya satu minggu ini.

Libido keduanya sudah memuncak dan nyaris meledak. Nafas mereka terengah-engah dengan kuatnya, sementara itu cuaca dingin dibulan Desember kala itu tak justru menghalangi keringat keduanya yang mulai turun dari pelipis.

Refal tak lagi ragu dan malu-malu mengekspresikan emosinya, Ia mulai menyentuh bagian-bagian tubuh Prilly dengan lembut, membuat bibir Prilly melenguh pelan. Penuh nafsu.

"Take us home, Fal..." pinta Prilly dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Alkohol, udara dingin dan nafsu saling bercampur dan sudah mengusai keduanya, maka Refal hanya mengangguk mengiyakan permintaan Prilly.

Perasaan yang sudah mereka tahan selama enam hari ini akhirnya dapat mereka lepaskan malam ini juga. Berawal dari sebuah ciuman kemudian akhirnya membawa mereka dalam sebuah malam perpisahan yang begitu panas dan panjang. Sebuah perpisahan yang mereka kira benar-benar akan menjadi perpisahan selamanya.

Mereka sama sekali tak pernah menyangka jika perkenalan mereka satu minggu lalu dapat membawa mereka berdua dalam sebuah keintiman. Meskipun Refal mengakui sejak pertama kali bertemu dengan Prilly, dirinya sudah merasa tertarik pada gadis itu. Namun Refal masih menjaga dan menahan dirinya. Selama menemani Prilly disini, Refal memposisikan dirinya sebagai teman untuk gadis cantik ini. Bahkan pikiran-pikiran nakalnya tentang Prilly Ia buang jauh-jauh.

Tapi ucapan Prilly tadi seperti membobol pertahanan hasratnya pada gadis itu, Refal menganggap itu adalah sebuah permohonan langsung padanya yang tentu saja Refal sambut dengan tangan terbuka. Refal bukan manusia kolot dan keintimannya dengan Prilly pun bukan yang pertama baginya, sama seperti Prilly.

Karena bagi Prilly malam bersama Refal di Osaka sama seperti malam-malamnya dengan para pria yang juga pernah mencicipi tidur dengan dirinya.

Flashback end.

Prilly dan Refal duduk di satu sofa yang sama di ruang tv setelah menyelesaikan makan malamnya dengan Fettucini Creamy Mushroom buatan Prilly. Sudah satu jam mereka mengobrol dan mengenang pertemuan mereka saat di Osaka beberapa bulan lalu.

Mereka duduk berhadapan, Prilly memangku bantal sofa berwarna cream untuk menutupi tubuh bawahnya sementara itu Refal tertawa mendengar ocehan Prilly yang begitu menarik baginya. Menaruh siku tangan kanannya ke atas kepala sofa sambil menatap Prilly yang masih mengenang pertemuan mereka di Osaka tahun lalu.

Refal ingat bagaimana awal pertemuan mereka, bagaimana hari-hari yang mereka lalui, bagaimana dirinya yang menjadi tukang foto dadakan untuk gadis ini dan terlebih lagi perpisahan mereka yang begitu Refal kenang bahkan hingga kini. Malam perpisahan yang membuat winter di Osaka menjadi begitu hangat.

Bahkan pertemuan singkat mereka, begitu membekas dihati Refal.

"Pagi itu, saat aku lihat kamu sudah nggak dikamar, aku sempet panik, Prill..." cerita Refal "Aku sempat dateng ke hotel tempat kamu menginap tapi kamu sudah check out. Jujur, saat itu aku berharap kamu nggak pergi begitu aja. Seenggaknya, kalau aku tahu nomor dan alamat kamu di US kita masih bisa berkomunikasi terus..." jelas Refal yang menyesali kebodohannya karena bangun terlalu siang dan Prilly sudah pergi dari negara itu untuk kembali ke Amerika.

"Bu i'm glad now we are here..." senyum Refal seraya meraih jemari Prilly dengan lembut "Tolong jangan pergi lagi kayak dulu, tanpa berpamitan." lanjutnya pelan.

Prilly tersenyum mendengar curahan hati Refal, tak menyangka kalau dirinya dihargain sampai sebegitunya oleh pria ini.

"Tuhkan kamu masih gombal kayak dulu..." canda Prilly mencoba mengubah suasana yang mulai terasa canggung.

"Aku serius..." jawab Refal "Aku kehilangan kamu waktu itu..."

"Okay.. but i'm here now...." ujar Prilly tersenyum "Terima kasih ya waktu itu kamu udah mau dengan suka rela nemenin liburan aku..." sambung Prilly.

"Sama-sama... bukan cuma kamu kok yang happy saat itu, aku juga..." balas Refal lagi.

Entah kenapa suasana menjadi begitu canggung saat ini, entah karena Prilly menyadari jika pria didepannya itu terang-terangan menunjukan ketertarikan padanya atau karena Prilly menyadari bahwa dirinya sebenarnya sudah tidak 'sendiri'.

"Eh, kopinya mau aku buatin lagi nggak?" tanya Prilly mencoba untuk kabur dari situasi saat ini "Aku ambilin ya..." Prilly bersiap untuk pergi dari sana namun Refal menahan tangan sang gadis dengan cepat.

Refal terbangun dari sofa, tubuh tegapnya kini saling berhadapan begitu dekat dengan tubuh Prilly yang mungil.

Prilly terdiam, dia merasakan tangannya di genggam oleh tangan kekar sang pria. Prilly sempat membeku beberapa saat bahkan tak mampu menepis genggaman tangan pria itu di jemari lentiknya.

"Aku nggak mau nyesel lagi kayak waktu itu, kali ini aku bakalan terus terang sama kamu kalau aku tertarik sama kamu... a lot..." ucap Refal jujur dan panjang, menatap manik mata sang gadis.

Prilly hanya diam membeku, tak tahu harus menjawab apa atas pernyataan Refal kali ini.

Ini terlalu mengejutkan baginya...

Selama beberapa saat mata itu hanya saling memandang, Prilly tak mampu membalas apapun yang pria itu utarakan.

Hingga sekelebat bayangan wajah tampan menari-nari dikepala Prilly, dan bodohnya karena bayangan yang muncul itu Prilly pun jadi berandai-andai.

Andai saja Refal adalah Reza pastinya tanpa berfikir dua kali, Ia akan mengatakan IYA tanpa ragu.

Andaikan Refal adalah Reza, pasti hubungan mereka akan berjalan dengan mudah dan normal seperti kebanyakan orang.

Andaikan Refal adalah Reza pastinya Prilly tak perlu menyembunyikan hubungan mereka dari siapapun dan tak harus menjalin kasih secara diam-diam dari dunia.

Andaikan Refal adalah Reza....

"I am into you...." akhirnya kata itu pun terlontar dari bibir Refal dan sepersekian detik tubuh pria itu sudah mendekat dan menarik Prilly seraya mendaratkan ciuman dibibirnya dengan tanpa permisi.

Prilly terlalu terkejut untuk menghindari bibir Refal, Ia sempat merasakan sentuhan dibibirnya selama sekitar tiga detik hingga sampai dirinya tersadar bahwa pria didepannya ini bukanlah pria yang Prilly inginkan.

DIA BUKAN REZA.

Kemudian dengan sedikit kasar, Prilly mendorong Refal dan memutuskan ciuman dibibir mereka. Prilly mundur beberapa langkah dengan mata berkaca-kaca, menyiratkan penyesalan akan apa yang terjadi diantara keduanya beberapa detik tadi.

"Sorry, Fal...." ujar Prilly "Aku nggak bisa..." tolak Prilly dengan lantangnya.

Refal membatu, tak menyangka mendapatkan penolakan dari wanita yang pernah satu ranjang dengannya dulu.

"Kenapa?" tanya Refal akhirnya, menginginkan penjelasan dari penolakannya.

"Aku nggak bisa, maaf..." jawab Prilly lagi dengan lirih.

"Apa kamu sudah punya hubungan dengan orang lain?" tebak Refal, penasaran.

Mata Prilly membelalak "No, bukan itu.... it just.... " Prilly terbata, bingung harus mencari alasan apa untuk penolakan yang Ia lakukan pada Refal "I just.. can't.... sorry..." sambungnya dengan gugup.

Refal yang berdiri satu meter didepan Prilly pun tersenyum getir.

"Okay.... " balas Refal pelan "Aku ngerti..." katanya lagi tak ingin memaksakan kehendaknya kali ini.

"I'm so sorry..." ucap Prilly dengan suara pelan.

Refal tersenyum seraya kembali duduk di sofa "Don't worry, i'm okay... we're okay..." balasnya dengan ikhlas.

***

Sudah satu setengah jam Team Humas and Marketing meeting bersama membahas mengenai advertisement baru yang akan mereka buat bulan depan. Ruang meeting tak terlalu ramai kali ini, hanya ada Bu Julia, James, Reza, Prilly, Rena, Dave, Desy, Pak Bernard dan dua staf lain. Team Humas duduk dikiri meja meeting bersebelahan dengan James sedangkan Team Marketing di sebelah kanannya. Di meja berukuran 3x4 meter itu penuh dengan proposal dan beberapa laptop serta gadget para peserta meeting termasuk Prilly dan Reza.

Project kali ini masih dalam tahap scripting atau proses penulisan naskah dalam pembuatan video iklan yang akan dibuat oleh Dentsu Indonesia nantinya. Brand dalam hal ini perusaHan tempat Prilly bekerja sebagai client dari Dentsu Indonesia sedang membahas mengenai apa saja yang bisa dicapai dengan dibuatnya iklan baru ini yang rencananya akan mulai mengudara di awal tahun 2018 nanti.

Selain bentuk media promosi brand baru, video advertisement ini dibuat rencananya sebagai penyambutan tahun baru 2018 nanti. Hari ini Team sedang merencanakan ide dan konsep iklan seperti apa yang mereka akan kemukakan di meeting yang akan datang bersama Agency dalam hal ini adalah pihak Dentsu Indonesia. Sebagai bagian dari PR & Marketing Department, tentunya Prilly dan Reza wajib ikut serta dalam project kali ini. Terlebih lagi Prilly yang pernah berasal dari Maybelline New York pastinya mempunyai lebih banyak referensi untuk mereka.

"Oke, jadi kita harus moving fast ya di project kali ini. Saya sudah dapat pressure dari atas, project ini harus finish di Oktober nanti..." Bu Julia menyelesaikan presentasinya.

"I need you guys to be active for tomorrow's meeting with Dentsu, they need to know what exactly we want with this TVC.." sahut James sebagai Advertising Manager Maybelline Southeast Asia "This TVC not only for Indonesian's market but for the whole Southeast Asia. Jakarta branch should be proud for this opportunity.." lanjut James lagi.

"Saya harap semua bisa memberikan kerja keras terbaiknya kali ini. Because our reputation goes with it!" tambah Bu Julia menekankan betapa pentingnya pembuatan Advertisement kali ini "And for the next meeting, I will leave it to Prilly. I think you can handle it!" sambung Bu Julia menunjuk Prilly yang duduk disebelah James.

"Sure she can, Juls. She's our MVP!" timpal Pak Bernard.

"Right... apart from that, Prilly knows the creative director very well..." ujar Bu Julia "So you guys two can hangout together...." goda Bu Julia sambil mengedipkan matanya pada Prilly, seolah ingin memberikan isyarat kalau Prilly dan sang creative director punya hubungan khusus.

Mendengar ucapan Bu Julia, Reza dan Rena melirik penuh tanya pada Prilly. Reza yang duduk di depan Prilly menatap gadis cantik itu dengan kening berkerut dan jutaan tanya akan penyataan Bu Julia barusan. Entah apa yang Bu Julia maksud, tapi jelas itu sangat mengusik pikiran Reza saat ini.

Reza tidak tahu mengenai hal ini dan apa maksud dari kata-kata kenal dekat yang Bu Julia katakan tadi? Apakah creative director Dentsu adalah sahabat Prilly? Sejak kapan mereka kenal dekat? Apakah dia perempuan atau dia laki-laki? Dan pertanyaan-pertanyaan ricuh lain yang mulai mengelilingi kepala Reza.

Pria itu masih menatap sang gadis dalam diamnya, berharap Prilly dapat memberikan Reza ketenangan dengan membalas tatapannya, tapi nyatanya gadis itu justru asik tersenyum dengan begitu tenangnya pada Bu Julia.

"Don't worry, you can count on me..." balas Prilly dengan bangga karena mendapat kepercayaan dari atasan untuk memimpin kegiatan lusa nanti tanpa mengetahui jika laki-laki yang sudah menjalin hubungan dengannya selama beberapa bulan ini sedang gelisah saat ini.

"Ah, right! and maybe because You knew him very well it will be our advantage also...." James menimpali seraya melirik Prilly disampingnya, wajah tampan pria bule itu memperlihatkan rasa bangga pada Prilly dan itu semakin membuat gelisah pria yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka.

"That's right! Who knows the production cost could be lower because you knew the creative director personally, right?" canda Pak Bernard ikut menimpali tentang hubungan Prilly dan Refal, sang creative director dari pihak Dentsu.

"Hahaha... i hope it will helps, Pak..." Prilly tertawa dan disambut tawa staf lain yang berada di dalam ruangan kecuali, Reza.

***

Knock! Knock!

Suara pintu ruangan diketuk dari luar, Hanum yang sedang mengerjakan revisi-revisi design di Mac silvernya menoleh pada asal suara. Dia tidak boleh lembur kali ini, sabtu kemarin sudah cukup menyita waktunya dan keluarganya dan minggu ini semua urusan kantor harus bisa selesai di weekdays, Batinnya.

"Masuk..." suruh Hanum dan menghentikan kerjaannya.

Beberapa saat kemudian masuklah seseorang berwajah cantik yang sudah Hanum kenal dekat, Marsha, mengenakan blazer hitam dengan rambutnya yang Ia kuncir satu masuk ke dalam ruangan milik Hanum dengan senyum mengembang.

"Sorry ganggu, lo lagi sibuk banget ya?" tanya Marsha seraya duduk di kursi tepat didepan Hanum.

"Banyak revisian Cha, pusing deh gue kalau kayak gini..." balas Hanum mengeluhkan pekerjaannya akhir-akhir ini yang sudah lebih sibuk dari sebelumnya.

"Lunch dulu aja yuk, nanti dilanjutin lagi kerjanya.." ujar Marsha mengajak Hanum makan siang "Gue tadi nggak sarapan nih, jadi laper banget.." katanya lagi.

"Boleh sih, gue juga lumayan laper..." jawab Hanum mengiyakan.

"Oke deh..." sahutnya senang "By the way Han, Reza nggak kenapa-kenapa kan ya sabtu kemaren? Jujur aja gue rada nggak enak sama lo berdua..." Marsha membuka percakapan soal apa yang terjadi di sabtu malam kemarin karena Marsha merasa sikap Reza selama di pesta terasa agak canggung.

Hanum menghela nafasnya sambil menatap sang sahabat yang sudah menemaninya sejak dari awal kuliah itu, Marsha memang selalu paling mengerti dirinya dan selalu paling peka soal apa yang terjadi pada Hanum.

"Did something happen when you came home that night?" tanya Marsha lagi, Marsha menyadari perubahan sikap Reza setelah mendengarkan candaan Sheila dan Denny malam itu "You can tell me, Han..." sambungnya.

"Lo emang paling ngertiin gue ya, Cha..." Hanum bersuara "Padahal gue sebenarnya nggak mau cerita masalah itu ke elo..." lanjut Hanum.

"Reza marah ya sama lo?" tembak Marsha tanpa ragu.

Hanum mengangguk sedih, jujur saja meskipun masalah itu sudah selesai tapi kejadian perginya Reza malam itu agak mengusik Hanum dan membuat Hanum menjadi paranoid.

"Han, i'm so sorry..." Marsha menggenggam jemari Hanum di atas meja "Gue jadi nggak enak sama lo dan Reza..." katanya dengan nada menyesal.

"Bukan salah lo kok, Cha. Gue yang salah karena gue nggak kasih tahu Mas Reza kalau ada Denny malam itu..." cerita Hanum.

"Kita juga salah Han, gue, Sheila terlebih lagi Denny karena bercandaan kita bikin suami lo jadi tersinggung!" keluh Marsha.

"Udahlah Cha, nggak apa-apa. lagian Mas Reza juga udah nggak kenapa-kenapa kok. Cuma kita emang sempat debat aja sedikit..." kata Hanum menenangkan sang sahabat.

"Kayaknya Gue harus ngomong sama Sheila dan Denny juga deh soal ini, mereka nggak bisa kayak gitu terus depan Reza..." usul Marsha.

"Cha, nggak usah. Udah nggak usah diperpanjang, gue nggak mau ribut-ribut..." ujar Hanum.

"Tapi Sheila harus tahu, Han. Jangan sampe Reza jadi nggak nyaman kalau kita ada acara lagi nantinya..."

"Iya, cuma gue sama Mas Reza udah nggak kenapa-kenapa kok, beneran deh Cha..." kata Hanum lagi.

"Udah pokoknya gue janji sama lo, kejadian ini nggak akan terjadi lagi. Tolong sampein maaf gue ke suami lo ya.."

"Iyah, udah ah katanya tadi laper mau makan. Yuk!" Hanum berdiri dari kursi kerjanya dan mengajak Marsha unntuk meninggalkan percakapan mereka tadi.

"Sekali lagi, maafin gue ya Han..." ujar Marsha ketika mereka berjalan keluar ruangan seraya menggandeng lengan Hanum dengan penuh sayang.

"Iyaaaa Chaa... udah ah... kayak apaan aja..." balas Hanum seiring mereka berjalan menuju lantai bawah untuk lunch.

***

Meeting selesai pukul 14:21 WIB, James, Bu Julia dan Pak Bernard sudah lebih dulu keluar meeting room sejak beberapa waktu lalu. Sementara sisanya termasuk Prilly dan Reza masih di dalam ruangan membereskan proposal dan dokumen-dokumen yang tadi mereka jadikan bahan meeting.

Di kiri table meeting, Prilly dan Rena sedang merapihkan barang bawaannya sementara itu Reza, Dave dan beberapa staff yang berada di kanannya juga masih sibuk dengan kegiatannya. Rena sempat ikut heboh karena ucapan Bu Julia tadi dan terus menerus mendesak Prilly untuk menceritakan siapa yang Bu Julia maksud tadi.

"Siapa sih, Prill? Kok lo pake rahasia-rahasiaan segala sama gue!" celoteh Rena tak sabaran mendengarkan cerita sang sahabat.

"Apaan sih berisik deh lo ah..." tolak Prilly, enggan membahas masalah Refal disini, terlebih lagi didepan Reza.

"Gue kan kepo, Prill. Selama ini lo kan nggak pernah keliatan deket sama cowok, terus tiba-tiba Bu Julia bilang gitu. Lagian kenapa sih mesti rahasia-rahasian segala?" Rena dengan suaranya yang tidak pelan itu masih merengek pada Prilly.

"Iya, nanti gue ceritain tapi nggak sekaranglah, Bawel banget sih.." omel Prily sebal seraya menekan tombol shutdown di laptop miliknya yang masih berada diatas meja.

Ditengah obrolan Rena dan Prilly, seorang pria tampan yang berdiri tak jauh dari mereka beberapa kali melirik Prilly secara diam-diam, ingin rasanya Reza menimpali percakapan Prilly dan Rena diujung sana.

Reza masih menyimpan rasa penasarannya sejak meeting tadi perihal ucapan Bu Julia mengenai kedekatan Prilly dengan salah satu staff Dentsu indonesia. Sejak tadi isi kepala Reza hanya berputar dipertanyaan yang itu-itu saja dan rasa penasarannya sudah nyaris meletup keluar dan harus Ia luapkan saat ini juga.

"Kamu... beneran kenal dekat sama creative directornya Dentsu, Prill?" Pertanyaan itu terdengar seperti tembakan yang tepat mengenai jantung Prilly. Prilly yang masih sibuk membereskan barang-barangnya di meja rapat bersama Rena sempat menghentikan kegiatannya sebelum pada akhirnya menoleh pada sosok tampan yang baru saja mengeluarkan suara baritonnya.

Sosok itu berjarak sekitar tiga meter dari tempat Prilly berdiri, menatapnya dengan pandangan penuh rasa penasaran. Prilly ingin sekali menjawab pertanyaan tadi dengan nada ketus, sayang saja disana masih ada beberapa staff termasuk Rena dan Dave.

"Lumayan.." jawab Prilly singkat dengan sangat malas menjawab sang kekasih.

"Asik dong ya kalau kenal dekat sama creative directornya? Project kita pasti bisa lebih cepat selesai..." kalimat tersebut mengalun bagaikan sindiran dipendengaran Prilly. Reza sang pemilik suara masih belum juga mau berhenti mengoceh.

Sungguh, Prilly enggan untuk menjawabnya karena itu Ia hanya membalas ucapan Reza dengan melemparkan senyum terpaksanya dengan tatapan kesal pada Reza.

Apa-apaan sih Mas Reza? Batin Prilly protes.

"Oh ya Prill, ada yang ingin saya bicarakan. Tolong jangan pergi dulu ya..." pinta Reza lagi ketika dilihatnya Prilly sudah selesai membereskan barang-barang miliknya.

"Ada apa ya, Mas?" tanya Prilly cuek, jantungnya serasa mau copot mendengar permintaan Reza barusan. Tak biasanya Reza seperti ini.

Tak seharusnya Reza bersikap seperti ini didepan teman-teman kantornya.

Reza berjalan mendekati Prilly yang berada di seberang meja tempatnya berdiri, Rena yang masih berada disamping Prilly pun terheran-heran melihat Reza yang tiba-tiba saja datang menghampiri sang sahabat.

"Sorry ya, Ren Ada yang mau saya bicarakan sama Prilly, Biasalah ada sedikit trouble disalah satu store..." kata Reza berbohong dengan santai dan percaya diri didepan mereka.

"Oh... oke, Mas. Prill, gue balik ke ruangan duluan ya..." pamit Rena dengan santai sambil menenteng iPad dan beberapa proposal dikedua tangannya.

"Iya... nanti gue nyusul ya..." jawab Prilly berusaha menutupi rasa gugupnya.

"Barang-barang lo ada yang mau gue bawain sekalian nggak?"

"Enggak usah nanti gue aja yang bawa..." jawab Prilly lagi dengan senyum terpaksa.

"Oh oke kalo gitu, gue duluan ya. Mas Reza, Mas Dave... duluan yaaa semua.." pamit Rena dengan ramahnya pada staf yang masih berada di ruang meeting.

Begitu Rena pergi, Prilly menatap Reza beberapa saat kemudian kembali fokus merapihkan barang bawannya termasuk laptop putih dan dokumen-dokumen yang tadi Ia taruh dimeja, bersiap untuk pergi dari ruang meeting.

"Ada apa ya, Mas?" tanya Prilly akhirnya, nada suaranya datar dan berusaha menutupi rasa kesalnya pada Reza. Reza melirik sebentar ke arah dimana Dave dan bawahannya berada, mewanti-wanti dirinya agar jangan sampai ada yang mendengar percakapannya dengan sang wanita. Kemudian setelah dirasanya aman, Reza mendekatkan posisi tubuhnya pada Prilly kemudian berbisik pelan dengan senyum yang Ia palsukan agar staf lain tidak melihat amarah dari wajahnya.

"Maksud Bu Julia tadi apa?" tanya Reza dengan sinis tapi wajahnya Ia buat seceria mungkin agar tak ada yang tahu jika sebenarnya Ia sedang menahan emosinya.

"Yang mana?" ujar Prilly balik bertanya, air mukanya terlihat tidak nyaman dengan posisi mereka saat ini.

"Soal Kamu kenal dekat sama creative directornya Dentsu.." bisik Reza lagi, kini Prilly bahkan dapat mendengar nada ketus dalam suara sang pria.

"Mas serius kita mau bahas itu disini?" mata Prilly memantau kesekitarnya, mewaspadai staf lain takut kalau-kalau ada yang menguping percakapan mereka saat itu.

"Jawab aja maksudnya kenal dekat itu apa? Dia siapa? Kamu nggak pernah cerita!" Reza kembali mencecar Prilly dengan suara yang sangat pelan tapi dapat Prilly dengar dengan jelas kata perkatanya.

Prilly tak menjawab pertanyaan sang kekasih, matanya justru sibuk membaca keadaan disekeliling ruangan, gesture tubuh gadis itu jelas sekali memperlihatkan ketidaknyamanan. Ia panik dan takut kalau-kalau ada yang mendengarkan apa yang sedang Reza perdebatkan saat ini.

Oh, Tuhan... Mas Reza kenapa sih? Prilly membatin.

"Mas, apaan sih? Kita masih dikantor. Nanti yang lain denger!" balas Prilly dengan cepat, Prilly sungguh sangat was-was dengan sikap aneh Reza hari ini.

"Jawab aja, dia siapa?" Reza masih juga belum menyadari sikap cerobohnya.

"Dia cuma temen, Mas! Nanti kita bicara lagi, tapi nggak disini. Enggak lucu bahas kayak ginian didepan staff lain." ujar Prilly dengan ketus "Mas Dave dan yang lainnya saya duluan yaa.." pamit Prilly, bersiap untuk meninggalkan Reza dan menghindari perdebatan konyol dengan Reza disana.

"Oke, Prill. Thanks yaa... see you on thursday!" jawab Dave dan beberapa staf yang melihat Prilly berpamitan.

"Saya duluan, Mas..." pamit Prilly pada Reza dengan senyum yang dibuat-buat, Reza tak mejawab salam Prilly, tatapan matanya menandakan ketidakpuasan pada jawaban Prilly akan pertanyaannya tadi.

Tapi Prilly tak perduli, Ia harus bisa mengontrol situasi semacam ini karena kadang Reza sering kali tak dapat menjaga emosi dan perasaannya didepan orang-orang. Itu yang sering membuat Prilly takut dan tak nyaman.

Karena sudah jelas kalau hubungan mereka bukan untuk diketahui banyak orang dan Prilly hanya ingin mereka berdua untuk bisa menjaga kerahasiaan hubungan ini dengan baik.

Itu saja.

***

"Aku nggak suka ya Mas Reza bersikap kayak tadi didepan orang kantor!" Prilly bersuara mengutarakan kekesalannya pada sang kekasih dijalan mereka menuju rumah Prilly.

Jalanan Jakarta mulai basah karena diguyur hujan yang cukup deras, membuat suasana macet yang setiap hari mereka lalui menjadi semakin parah, entah pukul berapa mereka akan sampai ke rumah Prilly ini saja mereka baru memasuki tol Semanggi.

"Mas kan bisa nanya soal itu baik-baik ke aku, bukan kayak tadi!" protes Prilly lagi, Ia benar-benar tidak suka dengan cara Reza yang bisa saja membuat teman-teman satu kantor mereka curiga.

"Kamu kok nggak pernah cerita soal dia ke aku?" Reza ikut bersuara dengan nada tingginya "Aku bahkan nggak pernah tahu kalau kamu punya teman dekat selain Anya dan Junot!" lanjut Reza sambil menyetir.

"Ya karena aku sama Refal baru ketemu lagi kemarin-kemarin ini, Mas. Itupun karena urusan kerjaan..." jelas Prilly.

"Oh... jadi namanya Refal, benar cowok dong ya berarti?" sindir Reza, melirik sekilas pada Prilly dengan tatapan sinisnya.

"Maksud Mas Reza apa ya?" Prilly merasa tersinggung dengan nada bicara Reza tadi.

"Sedekat apa sih kamu sama si Refal itu sampai Bu Julia bisa bilang seperti itu?" tanya sang pria "Apa katanya? You guys two can hangout together? Asik banget dong ya kerja sambil hangout.." sindirnya lagi, menirukan ucapan Bu Julia saat meeting tadi.

"Aku nggak tahu ya kenapa hal sepele seperti ini bisa bikin kamu semarah ini, salah aku dimana sih?" Prilly tak mengerti dengan alasan Reza marah padanya, karena bagi Prilly dia tidak melakukan kesalahan apapun terkait dengan Refal.

Kecuali dimalam itu yang tak Reza tahu...

"Salah kamu karena kamu nggak pernah cerita ke aku soal orang ini, aku merasa aku nggak tahu apapun soal kamu..." protes Reza.

"Mas, aku nggak cerita ke kamu ya karena emang nggak ada hal penting yang harus diceritain. Dia bukan siapa-siapa juga, cuma temen yang aku kenal waktu aku travelling ke Osaka beberapa bulan lalu. Itu aja. Kenapa sih harus diributin?" jelas Prilly tak mau kalah dengan argumennya.

"Terus dia siapa? mantan kamu?" tanya Reza kemudian.

"He is just a friend, Mas. A FRIEND." jawab Prilly memberikan penekanan dikata FRIEND agar Reza mengerti bahwa hubungannya dengan Refal hanya sebatas itu. Tidak lebih.

"A friend atau a 'CLOSEST FRIEND'? That's a different ya..." sindirnya lagi.

"Astagaaa..." Prilly menghela nafasnya menahan kesal "Whatever ya Mas kamu mau mikir gimana soal aku dan Refal! but you have to remember one thing, please stop acting suspicious in front of our friends, terutama orang-orang kantor. Mas Reza tuh harus ingat posisi aku disini sebagai apa!" ujar Prilly kembali mengingatkan agar Reza bisa menjaga sikapnya dan tidak terbawa emosi.

"Aku nggak tahu ya gimana hubungan kamu dan dia sebenarnya sampai Bu Julia bisa bilang seperti itu di depan kita semua..." Reza masih tak mau mengalah "Tapi yang jelas kamu dan si Refal itu jelas ada sesuatu..."

"Kamu nggak percaya sama aku?" tanya Prilly kaget.

"Gimana aku mau percaya kalau kamu aja nggak jujur kayak gini..." sanggah Reza "Jangan-jangan akhir akhir ini kamu susah dihubungin juga karena kamu sibuk sama si Refal itu!" Tuding Reza dengan nada geram.

"Mas, aku udah ceritain semuanya soal Refal, sejujur-jujurnya..." balas Prilly. Perdebatan ini mulai terlihat seperti jalan ditempat.

"Yakin kamu udah jujur?" sinis Reza lagi.

"Apa lagi sih yang mau kamu tahu? Tanyain aja. Aku bakalan jawab semuanya, tanpa terkecuali.." tantang Prilly "Come on, just ask!" ujar Prilly lagi tak takut sedikitpun.

Reza menoleh kekiri tubuhnya, sekilas Ia dapat melihat mata cokelat itu mulai berkaca-kaca. Ada kecemasan didalamnya yang entah mengartikan apa.

"Sudah pernah ngapain aja kamu sama dia?" pertanyaan itu terlontar begitu ringannya dari mulut Reza, pertanyaan yang membuat Prilly merasa tertampar. Pertanyaan yang jujur membuat Prilly terperangah tak percaya bisa keluar dari mulut sang kekasih. Pertanyaan yang seharusnya tak perlu ditanyakan jika Reza memang mencintainya.

Prilly menyeringai sinis mendengar pertanyaan sang kekasih "Are you serious asking me this stupid question, Mas???" Prilly malah balik bertanya.

"Iya, aku serius. Aku mau tahu seberapa dekat kamu sama cowok bernama Refal itu!" balas Reza menantang.

Prilly kembali tertawa dengan sinis, miris dengan sikap dan ucapan Reza yang begitu menyakitkan untuknya.

"I can't believe, you asking me this..." katanya mulai malas menanggapi Reza.

"Kenapa? Kalau memang kalian nggak ada apa-apa ya tinggal jawab aja. Simple!" Reza masih juga tak mengerti jika semua percakapannya dengan Prilly hari ini benar-benar merendahkan Prilly dan membuatnya sakit hati.

"Fine, i 'll tell you if you want to know all the past in my life..." suara Prilly mulai tersendat, jujur Ia sedang menahan tangisnya saat ini, baginya pertanyaan semacam ini seharusnya tidak keluar dari mulut pria yang mengaku mencintainya.

"Yes, I slept with him once before I met you!!" aku Prilly dengan tegas dan jelas "PUAS, MAS?" lanjutnya lagi, kali ini dengan nada tinggi diselingi tangis.

Sedetik kemudian air mata itu pun kembali jatuh, entah sudah yang ke berapa kalinya dalam beberapa bulan ini sejak Prilly mengenal sosok Reza, selalu pria inilah yang dapat dengan mudah membuatnya menangis.

Persetan dengan perdebatan sialan itu!

Dan karena tak ingin melihat bagaimana reaksi Reza setelah mendengarkan pengakuannya tadi, Prilly pun memalingkan wajah cantiknya ke arah kaca jendela mobil disebelah kirinya seraya memandangi jalanan malam Jakarta yang macet dan masih dibasahi hujan.

Karena setelah jawaban Prilly tadi, tak ada lagi suara diantara keduanya.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Perempuan Kedua (Bab XII) ~ First Dissension
10
0
Backsound Bab ini by:Raissa Anggiani - Losing us.If you really love me, you will not embarrass me in front of them….Like and komen yaaa terima kasih🙏
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan