
Sebuah cerita tentang sosok perempuan merah muda dan warna hitam yang sempat hadir di dalam hidupnya.
Langkah-langkahku semakin memendek. Paling tidak, aku terus berlari. Detak jantungku meningkat. Pernapasan aerobik atau anaerobik? Masa bodoh. Aku berusaha bernapas lewat mulut, tanpa peduli selebar apa bibirku terbuka, yang penting aku bisa bertahan dan terus berlari. Lama-kelamaan, penglihatanku menjadi buram. Namun, aku masih mampu melihat, meski samar, sosok-sosok yang berlari di depan. Di kiri kananku, orang-orang berteriak. Angin berhembus menerpa tubuhku ketika satu dua orang melaju dari belakang, mendahuluiku tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka memang memikirkan diri sendiri. Atau seperti aku, yang memikirkan seseorang?
Aku memikirkan perempuan merah muda.
Dia pencinta warna feminin itu. Dengan matanya, dia melihat dunia melalui pink tinted glass. Dunia ini indah, menyenangkan, penuh harapan. Dengan imajinasinya, awan-awan sewarna dadu bagai gulali menyelimuti langit. Dengan ponselnya, bulan memantulkan cahaya merah muda, bukan putih ataupun abu-abu. Dia memiliki berbagai benda berwarna merah muda. Dari seprai di kamar hingga sepeda motor untuk pergi ke pasar. Dari pulpen untuk mencatat belanjaan sampai setelan untuk ke kondangan.
“Dulu, orang-orang bilang merah muda cuma untuk anak kecil atau remaja,” katanya kepadaku. “Sekarang siapa saja bisa memakai warna merah muda, kan? Syukurlah.”
Tapi, aku tidak harus memakainya juga, kan?
Aku masih ingat, sewaktu kelas 3 SD, aku dan teman-temanku berlarian ke kantin ketika jam istirahat walaupun kami membawa bekal dari rumah. Saat kukeluarkan kotak nasiku dari tas bekal hitam, teman-temanku sontak tertawa. Mereka berteriak-teriak, “Kotak makan banci!” Tawa mereka seakan tidak akan berhenti kalau saja perut mereka tidak kesakitan. Aku tetap menghabiskan makanan di dalam kotak bekal itu. Tentu saja, dalam keadaan malu, aku tidak sanggup mengabaikan perutku yang lapar.
Sepulang sekolah, aku berderap masuk ke dalam rumah dan melemparkan tas bekalku ke dinding.
Perempuan merah muda bertanya kenapa aku bersikap seperti itu.
“Jangan bikin aku diledekin satu sekolah!”
Aku berlari ke lantai dua, menutup pintu. Aku mendorong meja belajar hingga pintu susah dibuka. Kamarku tidak memiliki kunci, itu masalahnya. Dia meminta masuk, tapi aku abaikan. Aku duduk diam saja di dalam selimut.
Namun, aku tidak bisa marah lama-lama jika perutku sudah mulai minta diisi. Aku turun ke bawah. Makanan sudah tersedia di meja makan. Tanpa ada yang berkata-kata, aku duduk dan makan dalam diam. Dia menonton televisi di ruang keluarga. Saat aku berjalan ke kamar, dia meraihku. Aku dipeluknya erat-erat sambil dia meminta maaf.
Seharusnya aku yang meminta maaf. Sering kali aku dibiarkan tidak mengucapkan kata itu.
“Maaf.”
Sering kali pula aku menyalahkan dirinya untuk berbagai hal dalam diri dan hidupku. Salah satunya tentang bentuk tubuhku. Sejak kecil, aku sangat suka makan. Dia juga suka memasak berbagai macam makanan, bereksperimen dengan berbagai resep. Aku dengan senang hati mencicipi semua makanannya. Bukan sekadar mencicip, aku melahap. Lidahku hanya kenal dua istilah: “bisa dimakan” dan “tidak bisa dimakan”. Percobaannya yang gagal pun bersedia aku habiskan.
Akibatnya, kami menggendut bersama. Terlebih aku dalam masa pertumbuhan. Membesar dan terus melebar. Tanpa bisa kucegah, bentuk tubuhku jadi sumber alasan teman-teman sekolah merundungku. Namun, aku tidak bisa melawan karena aku juga dipanggil banci. Kata-kata mereka melekat di benakku.
Aku berusaha melepas celaan itu dengan bersikap maskulin seperti anak laki-laki lain. Ketika SMA, aku masuk klub sepak bola. Tubuhku yang besar membuatku dipilih sebagai kiper cadangan. Perempuan merah muda juga ikut bersemangat dan senang aku lolos seleksi anggota. Dia membeli sepatu bola, tetapi yang dibelikannya sepatu berwarna merah muda. Saat itu, aku tidak mengerti kenapa dia begitu jahat dan masih tidak mengerti warna itu bukan untuk anak laki-laki. Aku mengamuk berhari-hari. Sepatu itu kulempar hingga mengenai pelipisnya. Namun, aku tidak minta maaf. Dia memelukku erat-erat sambil mengucapkan kata maaf. Aku batal masuk klub karena tidak punya sepatu yang pantas.
Semenjak itu, aku tidak membiarkannya membelikanku pakaian. Aku sudah cukup besar untuk memilih sendiri. Dan aku memilih warna hitam. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku bukan anak emo yang gemar mendengarkan musik depresi, aku hanya tidak mau memakai merah muda. Lagi pula, hitam punya efek menyamarkan tubuh yang besar.
Aku pun menjauh dari perempuan merah muda. Selepas SMA, aku memilih universitas di pulau seberang hingga mendapatkan pekerjaan pertama. Dia kutinggalkan sendirian bersama rumah bercat merah muda dan segala perabotan di dalamnya. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Namun, hidup merantau tidak selalu mudah. Ketika aku mengalami kesulitan, aku menyalahkannya. Sampai aku menemukan pelarian. Secara harfiah.
Aku jadi suka berlari. Aku berlari dan terus berlari. Tubuhku memang tidak serta-merta menjadi langsing, tapi aku merasa lebih ringan. Mentalku juga terasa ringan. Selagi berlari, aku bisa memikirkan banyak hal tentang hidup. Pencerahan pun datang kepadaku meski terlambat. Akhirnya, aku sadar jati diriku. Aku pun sudah dewasa, sudah sepatutnya bertanggung jawab atas masalah hidupku sendiri.
Aku tidak menyalahkannya lagi.
Aku pulang ke rumah penuh kenangan itu. Meskipun ada kenangan buruk, kenangan indah lebih banyak. Dan rumah itu menjadi saksi betapa dia menerima perubahanku dengan pelukan erat. Aku tidak lagi hitam.
Namun, dia turut berubah. Perempuan merah muda itu jauh lebih kurus dari terakhir kali kulihat melalui video call. Dia sakit semenjak aku merantau. Kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Namun, dia tidak membiarkan aku tahu penyakitnya sudah di stadium akhir.
Apa yang kulakukan?
Saat ini, aku terus berlari dan berlari. Entah di mana ujung, yang pasti di hadapanku. Aku tidak perlu menjadi pelari tercepat, aku hanya perlu menyelesaikan maraton pertamaku ini. Kuabaikan kakiku yang bergetar, aku harus terus melangkah demi sosok yang menunggu ceritaku di rumah.
Dan… finish!
Aku berlutut sambil menangis. Aku ciumi pita merah muda yang tersemat di lengan kaos pink yang kukenakan.
“Dulu, orang-orang bilang merah muda cuma untuk perempuan,” kataku kepadanya. “Sekarang siapa saja bisa memakai warna merah muda, kan? Syukurlah.”
Orang-orang menyelamatiku. Seorang kameramen TV lokal menyorot wajahku. Reporter di sebelahnya berbicara, tetapi aku tidak terlalu mendengar. Tubuhku sangat lelah.
“Sudah banyak sumbangan yang masuk untuk biaya operasi kanker payudara ibu dari…,” kata reporter itu.
Semoga cukup untuk membawanya ke rumah sakit terbaik dan ditangani dokter-dokter terhebat.
“Bilang sesuatu, Mbak,” kata si reporter kemudian.
Aku menarik napas sebelum berkata, “Mama, selamat ulang tahun. Maaf, cuma ini yang bisa Pinkan lakukan buat Mama.”
Aku memberikan kecupan jarak jauh untuk sang perempuan merah muda.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
