
Apa artinya Cinta? Apa artinya penderitaan? Apakah hidup ini adil?
Allary Azra hanyalah pemuda biasa. Dia seorang pedagang martabak dengan sejuta masa lalu yang kelam. Lantas apa yang menyebabkan pemuda tanggung seperti dirinya nekat melibatkan diri dalam sebuah ekspedisi mendaki gunung tertinggi di dunia.
Inilah petualangan Allary Azra, bersama-sama Sang ketua rombongan yang kharismatik, gadis periang dan pemberani, seorang pemuda tanggung misterius yang jago berkelahi, dan seorang warga lokal...
1
Obrolan Santai di Bihana
Pahadaru Visala. Sebuah gugusan gunung tertinggi di dunia. Bagaimana tidak, tujuh dari delapan puncak tertinggi di dunia ada di tempat ini. Pahadaru Visala tidak dimiliki negara manapun, gugusan pegunungan ini, adalah tempat yang merdeka. Di tempat inilah, cerita kita akan bermula.
Meski sepenuhnya berupa gugusan pegunungan yang menjulang hingga delapan kilometer ke atas langit, daerah Pegunungan Pahadaru tidak sepenuhnya kosong. Ada sekitar 800 orang yang mendiami lereng-lerengnya. Orang-orang Padaharu, itulah sebutan yang cocok untuk mereka. Mereka adalah orang-orang merdeka, semerdeka tempat tinggal mereka.
Orang-orang Pahadaru hidup dengan sederhana. Iklim gunung yang bersalju membuat mereka harus beradaptasi dengan kerasnya hidup. Mereka hidup berkelompok, seratus hingga seratus lima puluh kepala keluarga, membentuk satu perkampungan di salah satu sudut lereng. Ada sekitar 6 perkampungan di Pahadaru, kesemuanya dipimpin oleh seorang kepala desa. Jarak antara satu kampung dengan kampung lainnya, terlalu jauh untuk sekedar berjalan santai. Warga antarkampung baru bisa bertemu bila ada upacara akbar, seperti menghormati dewa gunung atau semacamnya.
Tiga dari enam kampung di Pahadaru Visala berada di lereng Sarsa. Gunung tertinggi di antara semua gunung yang ada di sana. Bukan tanpa sebab lebih banyak perkampungan di lereng Sarsa, sebab gunung yang satu itu adalah objek wisata yang amat menarik. Pusat keramaian. Jadi banyak orang ingin tinggal di sana. Oleh karena Sarsa merupakan lereng terpadat dibanding yang lainnya, maka Sarsa memiliki beberapa hal yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di Pegunungan Pahadaru.
Salah satunya adalah Bihana. Pasar pagi.
Pasar pagi di lereng Sarsa adalah hal yang istimewa. Hanya terjadi seminggu sekali. Hanya buka dari pukul 6 pagi sampai 10 siang. Ada banyak orang berjualan. Lebih banyak lagi yang datang berkunjung. Pembeli. Berbelanja.
Bihana diadakan di antara pertemuan dua kampung terbesar di lereng Sarsa. Mencapainya mudah. Tinggal menuruni sedikit lereng yang landai kalau lewat atas, tinggal sedikit mendaki jika lewat bawah. Bahkan sudah ada akses jalan setapak yang bisa dilintasi mobil untuk sampai di Bihana. Pendek kata, pasar ini cukup besar.
Berupa-rupa pedagang ada di Bihana. Ada pedagang baju, ada pedagang yang membawa daging sapi, pedagang yang menjajakan peralatan rumah tangga, sampai penjual ikan. Khusus yang terakhir, biasanya yang paling banyak pembelinya. Maklum, ikan adalah komoditas langka di Bihana. Orang-orang Pahadaru harus menunggu seminggu sekali untuk bisa makan ikan, dan itupun hanya sedikit. Harga ikan mahal, diimpor jauh dari negeri tetangga. Dan tentu saja di Bihana juga ada kedai kopi.
Pendek kata, pemandangan Bihana tidak banyak berbeda dengan pasar yang kita lihat di Asia Selatan atau Asia Tenggara sana. Yang membedakan cuma cuaca yang amat dingin, semilir angin gunung serta banyak pemandangan batuan cadas berwarna coklat kehitaman. Sesekali turun salju.
Hari ini di Bihana.
Sebuah mobil bak terbuka (yang agak butut) merapat ke tepi Bihana. Turun seorang pria. Perawakannya tidak bisa dibilang tinggi, tidak pula pendek. Tidak kekar perkasa, namun terlihat mantap dan teguh. Dia membawa sebuah tas besar yang bahkan terlihat lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Tapi pria itu tersenyum. Dia juga terlihat masih muda. Usianya bisa ditaksir, belum sampai 30 tahun. Dari senyumnya kita tahu satu hal, dia orang Asia Tenggara. Dia segera berbaur dengan keramaian pasar.
Keramaian pasar tetap berjalan sebagaimana biasanya. Orang-orang sibuk menawar di tempat penjual ikan. Orang-orang lain asyik mengobrol di warung kopi. Toh wisatawan sudah sering berkunjung ke Bihana. Pria bertas besar itu juga pasti salah satunya.
Pria wisatawan itu berhenti di tempat penjual daging. Dia jongkok, memilih daging yang tergeletak di bawah. Daging yang murah. Seandainya ini adalah acara televisi, maka kamera akan meng-close up wajah pria wisatawan ini tepat saat dia berjongkok.
Maka akan muncul tagline namanya
ALLARY AZRA
“Berapa harga daging ini, Sir?” ucap Allary dengan logat Inggris yang fasih.
Pedagang itu menyebutkan harga. Cukup murah.
“Aku akan beli 3 potong, Sir.”
“Cukup banyak mister,” si pedagang terkaget-kaget. Daging ini harus diletakkan di lemari pendingin, kemana wisatawan ini akan menyimpannya. Jelas itu jadi satu pertanyaan.
“Beberapa keperluan saya Sir, sepertinya akan berguna selama saya ada di sini. Terima kasih.”
2
Membeli Ikan
Kita beralih ke salah satu perkampungan yang ada di lereng Sarsa. Tepat di sisi tenggara. Kampung itu disebut Eutasaga. Kampung yang paling terkenal dari enam buah kampung yang ada di pegunungan Pahadaru.
Apa pasal?
Sejak zaman penjajahan, sejak pendakian gunung mulai ramai, sejak orang-orang barat pertama kali menaklukkan Sarsa, pendakian gunung tertinggi di dunia itu semakin mendapat peminatnya. Setiap orang yang datang ingin mendaki Sarsa, pasti akan mencari guide atau penunjuk jalan. Nah, sebagian besar guide Sarsa berdiam di Kampung ini. Di Eustasaga.
Hari ini di Eustasaga, kamera disorot ke salah satu rumah yang ada di sana. Rumah berdinding kayu yang tidak terlalu besar. Seorang pria muda, ditaksir berusia 26 tahun, persis keluar rumah.
“Tunggu, kancho (sebutan untuk adik laki-laki dalam bahasa lokal Pahadaru), aku minta belikan ikan dua potong. Untuk makan malam kita nanti,” ujar suara di dalam rumah. Pria tadi, tidak jadi menutup pintu, berdecak kesal.
Kamera menyorot wajahnya, bayangkan ini memang acara televisi, maka tagline namanya akan muncul.
TURGUY AMARTEY
“Kenapa harus membeli ikan lagi, Bahani?” Turguy berdecak kesal sambil berteriak ke dalam rumah. Membalas teriakan sebelumnya.
“Astaga belikan saja, apa susahnya, Turguy.”
“Uangnya, Bahani?”
“Astaga, kau baru saja turun gunung bukan, kau punya uangnya.”
Turguy tambah berdecak. Dia harus membeli ikan, dan dia juga yang bayar. Kakak perempuannya itu betul-betul seenaknya. Padahal uang hasil turun gunung kemarin, tidaklah seberapa. Sedangkan ikan, ampun harganya mahal sekali.
Sepanjang jalan, Turguy terus menggerutu.
Tujuannya hari ini adalah Bihana. Bagi orang Pahadaru sepertinya, pasar pagi di lereng gunung itu adalah penyambung hidup selama seminggu. Seberapa banyak yang bisa dimakan dalam seminggu, tergantung seberapa banyak belanja di Bihana hari ini.
Turguy turun ke lereng bawah dengan berjalan kaki. Bihana dari desanya tidak terlalu jauh juga. Hanya lima belas menit. Lumayan juga untuk meregangkan kaki. Lagipula, tidak ada kendaraan bermotor yang bisa dipakai di Eustasaga. Soal gerutuannya tadi terurai oleh pemandangan indah yang dilaluinya menuju Bihana.
Turguy memang punya uang yang cukup banyak hari ini. Dia lepas gajian. Ah persetan dengan ikan yang dipesan sang kakak, lebih baik dia membereskan keperluannya terlebih dahulu. Turguy berlari kecil turun lereng. Kali ini dia bersemangat.
Aku datang, warung kopi!
3
Matahari Pagi di Raxual
Sekarang kita pergi, beranjak sekitar 400 kilometer ke barat dari Bihana. Perjalanan yang cukup panjang tentu saja. Melewati banyak tempat. Seandainya memakai mobil, kita akan bertemu pemandangan yang indah. Luar biasa. Melihat barisan pegunungan Padaharu menghilang di belakang, dan kita mulai masuk ke sebuah wilayah yang diakui, bernegara.
Raxual, India. Sebuah gedung putih berlantai tiga. Di atap-atap gedung itu bertulis, besar dan hitam.
“U3I”
Masuk ke dalam gedung, lewat pintu kaca yang ada tulisan “push”. Seorang wanita muda sedang berdiri di depan resepsionis. Belepotan menerangkan dengan bahasa Inggris yang agak lucu. Logatnya sedikit mirip dengan suara-suara riuh saling tawar yang tadi kita dengar di Bihana.
“Aku ingin menemui Mr. Zulkifli,” ucapnya sambil membuka buku notes yang ada di tangannya.
“Maaf nona, tapi mustahil menemui beliau tanpa janji temu. Itu sudah prosedur.”
“Aku mohon, ini penting sekali,” wanita itu memberi penekanan, memasang wajah memelas. Sayangnya resepsionis sudah terlatih menghadapi wajah semacam itu.
“Maaf nona, sekali lagi, saya bilang, itu sudah prosedur. Saya tidak berhak melanggar prosedur.”
“Ayolah, jadi kamu tidak mau membantuku, ini penting sekali.” Wanita itu mulai meninggikan suara. Resepsionis tersenyum arif.
“Bila itu penting, kenapa anda tidak membuat janji temu sejak awal?”
“Eh anu...” wanita muda itu skakmat di tempat. Tidak bisa lagi berargumen.
Seorang pria tegap ikut merapat ke resepsionis. Pria itu berusia setengah baya dan memakai jas berwarna hitam. Tampangnya mengesankan ras Kaukasia.
“Saya ingin bertemu dengan Mr. Zulkifli, apakah beliau ada di ruangan?”
Telinga wanita yang tadi skakmat, seketika menegak. Dia menjaga posisi agar bisa menguping tanpa terlihat menguping. Para wanita sangat ahli melakukan hal-hal semacam itu.
Resepsionis dengan gamblang menjelaskan dimana posisi letak ruangan Mr. Zulkifli. Tepat sekali. Diam-diam, sambil berpura-pura pergi ke toilet di bawah tangga, wanita muda itu mengekor pria Kaukasia berjas. Senyum kemenangan terukir di wajahnya.
Kamera menyorotnya, close-up. Muncul tagline namanya:
SELVI ANATASHA
Pria berjas itu naik sampai ke lantai tiga. Selvi Anatasha terus mengikutinya. Menjaga jarak. Pura-pura tidak sedang mengekor. Begitu si pria masuk ke salah satu ruangan, yang bermotif batik di sebagian pintunya, Selvi Anatasha segera menandai ruangan itu, kemudian berlalu sejenak. Dia akan menunggu sampai pria berjas itu menyelesaikan urusan di dalam. Baru dia yang masuk untuk menemui Mr. Zulkifli.
Berkat kegesitan dan tata cara yang hampir tidak tahu sopan santun, Selvi Anatasha akhirnya benar-benar masuk ke ruangan Mr. Zulkifli. Pria itu pasti sangat terkejut melihat ada wanita muda yang masuk ruangannya begitu saja.
Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam, yang jelas ada pembicaraan. Pintu ditutup. Pembicaraan cukup lama. Lima belas menit kemudian, Selvi Anatasha keluar dengan wajah tertunduk. Dia menghela nafas.
Kusut masai wajahnya menggambarkan kusut masai pula isi otaknya. Kusut masai isi otaknya pasti berhubungan dengan kusut masai apa yang direncanakannya. Apapun yang direncanakannya, itu pasti kusut gara-gara Mr. Zulkifli.
“Aku tidak akan menyerah. Akan kutunjukkan bahwa aku tidak mudah menyerah. Aku akan menunggu di sini. Sampai dia mau mencari solusinya,” wanita itu merempet-rempet, mengomel, sambil menyilangkan tangan. Duduk di kursi panjang di lorong. Bersandar.
Ber-huft pelan.
Dia nampaknya akan menunggu lama.
4
Atmosfer Pagi di Kota Besar
Sekitar 10 kilometer dari Bihana, dari lereng pegunungan Pahadaru, ada sebuah kota besar yang dihuni ribuan manusia. Kota ini secara teknis adalah bagian dari negara tetangga. Tapi secara administratif, digunakan untuk menghubungkan enam desa di Pegunungan Pahadaru, dengan dunia luas.
Fungsi itu menyebabkan kota ini memiliki banyak fasilitas yang kerap digunakan oleh orang Pahadaru. Misalnya puskesmas, sekolah, bahkan pusat perbelanjaan. Kata kerap itu harap disikapi dengan bijaksana. Oleh karena dekatnya dan fungsinya bagi orang-orang Pahadaru yang sangat strategis, banyak sekali turis dan wisatawan yang salah sangka mengira bahwa kota ini adalah The Capital of Pahadaru District, alias Ibukota provinsi Pahadaru. Termasuk salah satu tokoh utama kita yang sedang duduk di dalam taksi.
Dia seorang pria. Berambut pirang dengan mata biru. Usianya pasti masih muda, dia kelihatan segar. Jendela taksi dia buka, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk. Dia ingin menikmati sensasi atmosfer pagi hari di Ibukota ini.
“Berapa lama lagi kita akan sampai di tujuan, Pak Supir?” tanyanya, setelah bosan lima belas makan angin sepoi-sepoi. Jendela taksi kembali ditutup.
“Kemungkinan 30 menit lagi, tuan muda.”
“Tiga puluh menit? Anda jangan bercanda,” tiba-tiba pria berambut pirang itu menyergah dengan kalimat sengit, “jarak antara Ibukota dengan Eutasaga hanya 10 kilometer. Apanya yang 30 menit?”
Pak Supir nampak menghela nafas. Untunglah tadi penumpang ini mau membayar mahal. Jadi dia harus menghadapi rentetan kata-kata sengit itu dengan sabar.
“Anda salah memilih hari, Mister. Ini adalah hari dimana Bihana digelar. Jalanan pagi ke lereng Sarsa akan padat, pasar pagi, pedagang dan pembeli berkeliaran. Kita beruntung bila bisa sampai di sana dalam 30 menit.”
Si pria pirang itu, mau tidak mau, terdiam.
“Oh ya, dan satu lagi, tolong jangan bilang bahwa ini Ibukota Pahadaru. Itu salah kaprah tuan muda. Enam kampung di lereng Pahadaru tidak terikat dengan negara manapun. Kota ini hanya penghubung. Bukan ibukota. Hal-hal seperti ini sangat sensitif. Tolong jangan kau singgung di hadapan orang Pahadaru.”
“Seperti anda?” pria pirang itu menaikkan alis, sekilas nampak menantang.
“Well, aku bukan orang Pahadaru. Tapi aku amat menghargai tradisi mereka. Jadi sebaiknya kau juga demikian.”
Pria pirang itu menghela nafas. Tidak menyahut. Tidak berkomentar. Belum lima belas menit dia duduk di dalam taksi, dan pak supir itu sudah menasehatinya macam-macam. Padahal dia hanya berkomentar sedikit tadi, itupun mengomentari betapa lambatnya taksi ini bergerak.
Seandainya di Barat sana, dia mungkin sudah menantang supir ini berkelahi. Kurang ajar sekali. Kabar baiknya, dia tidak perlu melakukan itu. Kabar buruknya, masih ada lima belas menit ke depan, terjebak di tempat yang sama dengan supir taksi ini.
Si pria pirang membuang wajah ke jendela lagi. Kamera meng-closeup wajahnya dari depan, muncul tagline namanya, sementara ini cuma nama samaran.
MISTER LATINO
5
Dikejar Preman
Kita kembali ke keramaian Bihana. Pukul 8 pagi. Bihana mencapai puncaknya. Orang-orang berdatangan, dari atas maupun bawah lereng.
Allary dengan hati-hati memasukkan daging segar yang tadi dibelinya, ke dalam kantong kresek, lalu memasukkannya ke dalam tas besar yang dibawanya.
“Oke, berikutnya, aku akan membeli sayuran,” Allary berbisik pelan pada dirinya sendiri.
Tempat pedagang sayuran terpisah cukup jauh dari tempat penjual daging. Allary harus ikut berdesakan dengan para pengunjung pasar, menyusuri lorong pasar yang sempit. Tas besarnya beberapa kali menyerempet orang-orang yang lewat. Allary bergegas minta maaf. Beralasan, dia tidak sengaja.
Sayur, sebagaimana ikan, adalah komoditas yang diminati di Bihana. Tempat pedagang sayur ramai pembeli. Pedagang itu membawa berbagai rupa sayur, daun-daunan, umbi-umbian, rempah, cabai (ya orang Pahadaru suka makan cabai, pedas) dan sebagainya.
Allary terpaksa berdesakan lagi. Dia memilih beberapa jenis dedaunan hijau. Sepertinya ini adalah tanaman lokal di pegunungan Pahadaru. Dia tidak pernah lihat, tapi tidak masalah. Selama warnanya hijau dan berbau harum sedap, bisa saja digunakan, gumam Allary dalam hati. Allary membeli satu gulungan kecil dedaunan hijau berbau harum itu. Membayar harga tanpa tawar menawar.
“Terima kasih madame,” seru Allary. Pedagang itu tersenyum.
Oke, Allary sudah mendapatkan potongan daging segar dan satu gulungan kecil dedaunan. Bahan-bahannya sudah sempurna. Dia harus mencari penginapan sekarang. Sembari berharap penginapan itu cukup layak untuk menampungnya. Selain itu, Allary juga harus segera menemukan seseorang. Ya dia datang jauh-jauh ke lereng Pahadaru, untuk mencari seseorang.
Tepat saat Allary meninggalkan tempat pedagang sayur, saat dua orang berbadan besar menyibak kerumunan. Berjalan mantap ke arah Allary.
Salah satu diantaranya lekas menyambar bahu Allary. Membuat langkah pemuda itu tertahan. Allary lekas berbalik badan. Dua orang itu memasang wajah seram. Allary segera menduga bahwa orang-orang ini tidak berniat baik.
“Ada yang bisa saya bantu, tuan-tuan?” tanya Allary, dengan bahasa Inggris yang fasih. Dia pernah menghabiskan enam bulan di London. Aksen Inggrisnya kental sekali.
“Tumro pasha dinuho!!!” seru salah satu orang di hadapan Allary. Sayangnya Allary tidak memahami bahasa apa yang dipakai orang itu. Dia masih mencoba tersenyum, menanggapi dengan bahasa Inggris yang santun, “apakah anda bisa berbahasa Inggris? Bantuan apa yang bisa saya berikan?”
“Kami minta uang...” ucap orang satunya, nampaknya lebih mengerti bahasa Inggris.
“Uang? Untuk apa?” Allary terkaget-kaget.
“Pajak wisatawan. Setiap orang asing yang masuk tempat ini harus membayar. Kami adalah petugas keamanan pasar.”
“Sebentar tuan,” Allary berusaha menenangkan diri, “sepengetahuan saya, pasar ini terbuka untuk umum. Malah sudah sering ditulis review-nya oleh para turis.”
“Tumro pasha dinuho!!!” orang satunya kembali berseru. Tidak sabaran. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Allary mengambil langkah mundur secara perlahan. Dia sudah bisa mencium apa yang terjadi. Hei, sebagai orang Indonesia, dia kenal betul dengan praktik pungutan liar. “Maaf tuan-tuan, saya tidak punya uang lebih. Semoga hari anda menyenangkan.”
“Tumro pasha dinuho!!!”
Allary genap mengambil langkah seribu. Lari. Menghindari masalah. Belum genap dua jam dia ada di lereng Pahadaru. Dia tidak mau memancing keributan.
Namun, kedua orang besar itu malah ikut mengejarnya. Satu orang masih berseru dengan suara keras, “Tumro pasha dinuho!!!” yang sama sekali Allary tidak paham apa maksudnya. Allary menepuk dahinya. Dia benar-benar dalam masalah.
Dia berlarian, menyibak lorong, di antara pengunjung. Berbelok ke lorong lain. Mengambil langkah zig zag, berharap dua orang yang mengejarnya kehilangan jejak. Selang beberapa kali putaran lari, Allary coba menengok ke belakang.
“Tumro pasha dinuho!!!”
Seruan itu masih terdengar. Orang-orang itu masih mengejarnya. Lari mereka juga cepat. “Astaga tuan-tuan. Saya hanya wisatawan, saya tidak membawa banyak uang. Saya bukan pekerja perusahaan, pegawai pemerintah apalagi bandar narkoba, demi Tuhan bukan tuan-tuan.”
“Tumro pasha dinuho!!!”
Allary menepuk wajah lagi. Dua orang besar itu tidak mau mendengarkannya.
6
Kedai Kopi di Bihana
Sementara Allary dikejar-kejar dua orang berbadan kekar dan sibuk berteriak “Tumro pasha dinuho!!!”, sementara Allary sibuk menyelamatkan diri, sementara semua kejadian itu berada di sektor timur pasar, Turguy baru saja turun dari lereng lewat barat.
Sembari turun lereng, Turguy kembali mendaftar apa saja yang harus dibelinya dari Bihana hari ini. Baju, sepatu, juga celana. Hal-hal semacam itu diperlukannya, sudah lama Turguy tidak membeli pakaian baru. Persetan-lah dengan ikan titipan kakaknya.
Karena apa-apa yang hendak dibelinya, bukan komoditas panas di Bihana, Turguy memutuskan untuk santai saja. Dia akan minum kopi dulu. Kedai kopi di Bihana, terletak di sektor barat. Tepat sepelemparan batu setelah Turguy menginjak Bihana.
“TURGUY!”
“HOI TURGUY!!”
“Turguy sang Parvatarohi,”
Seruan-seruan terdengar begitu Turguy mendekat ke kedai kopi. Penghuni kedai itu sama setiap minggunya. Turguy bukan salah satunya. Dia terkadang absen dari kedai kopi Bihana, karena urusan pekerjaan. Tapi Turguy adalah orang yang pandai bicara, berbual dan bercerita. Kombinasi antara kemampuannya bicara, ceritanya yang memikat dan kehadirannya yang tidak sering, adalah daya pikat tersendiri bagi majelis kedai kopi.
“Apa kabar teman-teman,” Turguy melambaikan tangan, berbasa-basi.
“Kabar baik,” sahut seseorang, segera mengajak Turguy bersalaman, mempersilahkannya duduk. “Kau mau minum apa, Turguy?”
“Tidak perlu repot-repot memesankan untukku, Edru. Aku akan memesan sendiri.”
“Tampaknya kau baru saja gajian, Turguy?”
“Ah kau benar sekali, Saleku. Aku baru saja gajian,” Turguy tersenyum mengembang.
“Sara,” Turguy memanggil pria paruh baya pengelola kedai kopi itu, “tolong buatkan kopi untukku.”
“Siap Turguy,” sahut pria paruh baya itu. Namanya bukan Sara. Sara adalah panggilan untuk pria yang lebih tua di lereng Pahadaru. Tak lama kemudian kopi Turguy terhidang. Sementara Edru dan Salemu, yang duduk di kiri dan kanannya, sepertinya sudah tidak sabar.
“Ayolah Turguy, cepat bercerita.”
“Eh apa yang harus aku ceritakan, Edru.” Turguy terkekeh.
“Ayolah, kau tahu bukan. Kau tadi baru saja bilang, kau baru gajian, dua minggu absen dari kedai. Tentu saja kau bekerja. Dan pekerjaanmu selalu membawa cerita yang menarik.”
Turguy tertawa lepas. Edru memang penikmat ceritanya. Dia selalu mendesak Turguy untuk bercerita setiap Turguy kembali dari pekerjaannya.
Turguy kemudian menceritakan beberapa hal. Tandas setengah gelas kopi. Cerita berakhir. Mata Edru mengerjap-ngerjap. Antusias.
“Cerita yang amat mendebarkan, Turguy.”
“Hei Edru, kenapa kau tidak ikut Turguy saja saat dia bekerja.”
“Eh?” Edru gelagapan mendengar kalimat Salemu.
“Ya kau ikuti Turguy. Siapa tahu kau mendapat cerita menarik versimu sendiri. Sekalian jalan-jalan.”
“Memangnya boleh, Turguy?”
Turguy tertawa lebar. “Memangnya kau mau mempertaruhkan nyawamu bersamaku, Edru?”
Edru menggeleng tegas.
Turguy tertawa lagi.
7
Allary Bertemu Turguy
Lima belas putaran. Tidak kurang tidak lebih. Sebanyak itulah Allary mengelilingi Bihana. Menghindari kejaran dua pria besar yang berteriak marah-marah karena tidak diberi uang.
“Astaga, stamina mereka besar juga,” Allary bergumam, sejenak mengamati ke belakang.
“Tumro pasha dinuho!!!”
DUGGG! “Ah!” Allary berteriak spontan. Dia tersandung batu, perlu beberapa saat untuk menyeimbangkan tubuh, beberapa saat yang kemudian dimanfaatkan dua pria besar untuk memotong jarak.
HAP!! Salah satu dari dua pria besar itu mencoba menangkap tasnya, tapi Allary berhasil meloncat, menghindar. Beberapa orang mengaduh. Terkena senggolan tas besar Allary.
“Maafkan aku tuan,” seru Allary sekenanya. Terus berlari. Sayangnya Allary tidak punya tujuan sembunyi. Dia hanya terus berputar-putar berkeliling pasar. Staminanya memang besar, Allary sudah sering bertarung lari dengan para satpol PP di Indonesia, dan dia selalu lolos. Tapi dua orang di belakangnya ini, punya ketangguhan yang berbeda.
Sementara itu, di kedai kopi. Turguy menyudahi tegukan cangkir kopi terakhirnya lalu bangkit berdiri. Sudah setengah jam dia singgah di kedai, dia harus lanjut, berbelanja.
“Hei Turguy, kenapa tergesa-gesa,” Edru bergegas menahan langkah Turguy.
“Maaf Edru, Salemu, kurasa aku harus berbelanja. Biar aku yang bayar kopi kalian. Hitung saja Sara.”
“Baiklah Turguy. Terima kasih,” Edru tersenyum lebar. Turguy mengeluarkan lembaran uang. Kemudian lanjut berjalan ke tempat penjual baju. Dia ingin membeli jaket. Pekerjaannya mengharuskan dia untuk mencari pelindung tubuh dari dingin.
BUKKKKKK!!!!
Persis saat Turguy keluar dari kedai, saat itulah Allary muncul dari arah kiri. Turguy muncul agak mendadak. Allary tidak sempat lagi menghindar. Dia menabrak Turguy.
“Astaga, maafkan aku, Mister.” Allary buru-buru membantu Turguy berdiri. Turguy tadi sampai jatuh berlutut.
“Mister tidak apa-apa? Sungguh maafkan aku,” ulang Allary lagi.
“Aku tidak apa-apa, My Friend,” sahut Turguy sambil menepuk lututnya.
“Tumro pasha dinuho!!!”
Astaga, Allary ingin sekali mengecek lebih lanjut apakah orang yang ditabraknya ini benar-benar tidak apa-apa, tapi waktunya sendiri sempit.
“Syukurlah kalau anda baik-baik saja mister. Sekali lagi saya minta maaf. Ingin sekali saya ngobrol, tapi waktu saya sempit. Semoga kita bertemu lagi.”
Allary cepat-cepat tancap gas. Lari lagi. Sudah masuk putaran ke-18. Turguy melihat dua orang besar melengos mengejar Allary. Dia tahu dua orang itu siapa, para preman pasar. Sempat terbesit ide untuk menolong Allary, tapi dia urung. Turguy tidak mau berurusan dengan para preman itu.
Turguy meneruskan perjalanan ke tempat penjual baju.
Allary memasuki putaran ke-20. Kelak dia akan mencatat dalam buku hariannya tentang apa yang dipelajarinya dari orang Padaharu. Tidak lain soal stamina. Dua orang besar itu tidak melepaskannya, bahkan setelah dua puluh putaran. Sungguh luar biasa.
Sementara Turguy, yang dengan cepat berada di tempat penjual sepatu, masih mengamati Allary diam-diam. “Dia itu cukup menarik juga. Punya stamina. Punya tekad. Kurasa tak kurang dari dua puluh putaran pasar ini dia kelilingi.”
Memasuki putaran ke-22, tepat saat Allary mulai ngos-ngosan, kedua orang besar yang mengejarnya, tidak lagi terlihat di pandangan. Allary menghela nafas lega. Akhirnya. Dia memperlambat langkahnya. Mengatur nafas. Saatnya dia kembali mengatur rencana awalnya. Mencari penginapan.
“Hai My Friend,” tiba-tiba sebuah suara memanggil Allary. Terdengar seperti orang yang baru saja ditabraknya tadi. Allary berbalik. Orang ini, yakni Turguy, di mata Allary nampak seperti orang lokal. Apa pula yang diinginkannya? Apa jangan-jangan orang lokal yang baru ditabraknya ini akan berteriak hal yang sama, “Tumro pasha dinuho!!!”
Allary bersiap-siap lari lagi.
“Tenang My Friend. Aku tidak bermaksud jahat. Kau pasti wisatawan.”
“Benar sekali,” sahut Allary.
“Maaf sudah membuat citra Bihana buruk. Jangan pikirkan dua orang besar tadi. Kebiasaan mereka kumat. Mereka preman kambuhan.”
Allary garuk-garuk kepala.
“Ah ya, bagaimana kalau kita minum-minum dulu. Sepertinya kau lelah habis berlari.”
“Eh tapi mister...”
“Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Ayo ikut aku, kita ngobrol sambil minum kopi,” Turguy menepuk pundak Allary, menunjuk ke arah kedai, kepalanya sedang menyusun rencana baru.
Akhirnya, bersama-sama Turguy, Allary duduk di kedai kopi yang tak sampai setengah jam yang lalu baru saja menjadi latar cerita kita. Tidak ada Edru dan Salemu. Keduanya sudah pulang. Si pria paruh baya pemilik kedai sempat heran, mengapa Turguy kembali ke kedainya, tapi dia segera bungkam.
Turguy memesan dua buah kopi. Alasannya masih sama. Memperbaiki citra Bihana di mata wisatawan setelah dua orang besar tadi merusaknya. Allary yang memang ngos-ngosan, meminum kopi tanpa ragu lagi.
“Terima kasih banyak atas kebaikanmu, Mister.”
“Ah tidak masalah,” Turguy tertawa lepas, “oh ya My Friend, ngomong-ngomong, apa maksud kedatanganmu ke tempat ini, ada yang bisa kubantu?”
“Eh sebenarnya aku...”
“Ingin mendaki Sarsa?” Turguy menyempurnakan kalimat, bahkan sebelum Allary menyelesaikannya. Entah bagaimana mereka tiba-tiba jadi akur.
“Eh bukan, bukan seperti itu mister. Aku ke sini ingin mencari seseorang.”
“Siapa?”
“Ah itu, mungkin Mister tidak kenal.”
“Ah apa salahnya aku tahu. Ayolah My Friend, hanya ada 6 perkampungan di sini, mungkin ada 800-an orang, tapi rasanya aku kenal separuhnya. Katakan saja, siapa tahu aku kenal.”
“Namanya Profesor Nyoman.”
“Profesor?” ulang Turguy sambil mendelikkan mata, “kau berniat mencari orang pintar di lereng Pahadaru? Kurasa itu tidak mungkin Mister. Di sini tidak ada orang secerdas itu. Bahkan kampung kami tidak punya sekolah. Kecuali...”
“Kecuali?” kejar Allary.
“Ah ya, aku ingat satu nama. Pernah tergabung satu ekspedisi denganku beberapa tahun lepas. Namanya Nyoman Asdawirya, orangnya memang pintar. Dia bilang mengajar di Pahadaru University.”
“Kurasa dialah orang yang aku cari, dimana aku bisa menemukannya, dimana itu Pahadaru University.” seru Allary.
“Itu terletak di kota besar, di Ibukota, My Friend. Sepuluh kilometer dari sini.”
Astaga, Allary segera teringat dengan dompetnya yang sudah pas-pasan. Dia tidak ingin tarif taksi yang mahal lagi.
“Kau mau kutemani ke sana?” tawar Turguy tiba-tiba.
Allary memandangi orang yang notabene baru ditemuinya itu dengan sangat heran.
“Hei, aku serius.”
Allary masih heran. Masa iya, ada orang sebaik itu.
8
Taksi Butut Menuju Pahadaru University
Turguy serius. Sangat serius. Setelah minuman Allary tandas, mereka langsung beranjak ke jalan besar. Mengenai urusan bayar membayar di kedai kopi, Turguy pula yang menanggung. Mengenai biaya taksi, sepertinya Turguy juga yang menanggung.
Hei seperti yang dia bilang, dia baru saja gajian.
“Kalau kita beruntung, kita tidak perlu menunggu terlalu lama di sini, My Friend.”
“Eh tunggu,” Allary merapatkan langkah, “apa ini benar-benar tidak masalah mister? Astaga aku benar-benar merasa tidak enak hati.”
Turguy menggeleng. “Tidak ada masalah My Friend. Aku juga merasa tidak enak hati melihat kau tadi harus berlarian keliling Bihana dengan terbirit-birit.”
Allary terdiam. Hidupnya panjang. Tapi dia tidak pernah menemui orang sebaik orang lokal yang bahkan dia belum tahu namanya ini (ya mereka memang belum berkenalan. Kita lebih dulu tahu nama mereka ketimbang mereka sendiri). Apapun itu, menurut Allary, orang ini pasti punya maksud dan tujuan tertentu.
Ah tidak baik berburuk sangka. Ibunya tidak pernah mengajarinya tentang berburuk sangka, demikian Allary mengusir dugaan negatif dari otaknya.
Turguy tak hirau. Kini dia sibuk melambai pada mobil yang lewat ke arah Timur. Berharap salah satu diantara mereka ada yang singgah.
Setelah beberapa belas kali melambaikan tangan, akhirnya ada mobil yang singgah. Sebuah mobil bak terbuka yang kosong muatan. Dari bangku sopir melongok kepala. Turguy tersenyum lebar.
“Tepat sekali kau muncul, Edru.”
“Hendak kemana gerangan kau, Turguy?” sahut teman Turguy yang tadi kita temui di kedai kopi itu.
“Ah mau mengantar dia,” Turguy menunjuk pada Allary, “ke Ibukota. Kau mau memberi tumpangan?”
Edru menunjuk ke belakang, ke bak terbuka, “asal kalian mau duduk di sana, silakan saja.”
“Kau tidak keberatan, My Friend?” tanya Turguy pada Allary. Allary lekas menggeleng. Bak itu nampak bersih saja.
Allary dan Turguy lekas naik ke atas bak terbuka tersebut.
Mobil melaju ke Ibukota.
Sepanjang jalan menuju Ibukota, Allary sudah disuguhi pemandangan keren. Barisan lereng-lereng pegunungan perlahan menghilang, digantikan kawasan padat penduduk. Beberapa bangunan terlihat amat mirip dengan candi-candi yang sering dilihatnya di tanah airnya, Indonesia. Allary tidak berbicara, dia hanya menikmati pemandangan. Sebagian jiwanya masih merasa canggung dengan orang lokal yang baru ditemuinya itu.
“Oh ya My Friend,” Turguy tiba-tiba memecah kesunyian sekaligus konsentrasinya menatap pemandangan.
“Ada apa?” sahut Allary.
“Aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Turguy Amartey. Dan kau?” Akhirnya Turguy mengulurkan tangan.
“Aku Allary Azra,” Allary menyambut jabatan tangan Turguy.
“Allary? Nama yang hebat. Aku tidak bisa menebak asal negaramu.”
“Aku berasal dari Indonesia,” jelas Allary, tersenyum. Sudah sering orang salah atau tidak bisa menebak asal negaranya. Kombinasi ejaan nama dan bahasa Inggrisnya yang masih, sudah cukup untuk mengaburkan kewarganegaraannya.
“Indonesia? Itu negara yang hebat. Rasanya aku pernah ke sana beberapa kali. Aku pernah ke...”
Kalimat Turguy terpotong oleh bunyi decit rem, diikuti gerakan mobil yang secara tidak sopan berputar 90 derajat. Allary terkejut, gesit berpegangan.
“Astaga Edru, kau sama sekali tidak berubah.”
Yang disebut namanya, tertawa lebar di bangku supir, “kita sampai di Pahadaru University.”
****
“Terima kasih atas tumpangannya, Edru.” Turguy dan Allary melompat turun dari mobil bak terbuka.
“Kau mau tumpangan pulang juga, Turguy?”
“Mungkin tidak, aku tahu urusanmu di Ibukota ini cukup panjang, Edru. Nanti aku pulang menumpang mobil lain saja.”
“Oh ya sudah. Semoga urusan kalian menyenangkan.” Edru melambaikan tangan, mobilnya melaju lagi.
Allary dan Turguy berjalan memasuki Pahadaru University. Universitas ini bukan untuk orang Pahadaru, tapi diberi nama kehormatan untuk mengagungkan keberadaannya, sebagai salah satu universitas terbesar di Asia Selatan. Allary tak habis pikir melihat bangunan-bangunan serba kekar namun artistik, menjulang di dalamnya.
Sayangnya, di gerbang masuk saja, mereka berdua sudah dapat masalah. Satpam menatap mereka dengan pandangan tidak suka.
“Apa keperluan kalian datang kemari?” tanyanya dengan suara berat. Kumisnya naik turun.
“Aku mengantar seseorang yang ingin menemui Profesor Nyoman Asdawirya. Katanya kenalan lama. Apakah kami bisa menemui Profesor?” kata Turguy dengan sopan.
Satpam itu masih melotot, “Profesor sedang tidak dapat ditemui. Beliau sibuk,” sahut si satpam, acuh tak acuh.
“Sibuk?”
“Ya. Beliau ada penelitian penting.”
“Tapi kurasa Profesor akan punya sedikit waktu untuk menemui kenalannya yang datang dari negeri yang jauh ini,” Turguy berkeras. Satpam makin melotot ke arahnya.
“Tidak bisa, sudah kubilang, Profesor tidak bisa ditemui.”
“Ayolah mister satpam yang baik, setidaknya anda telepon staf Profesor. Katakan bahwa ada tamu penting yang ingin bertemu. Dari negeri yang jauh. Dari Indonesia. Namanya Allary Azra.”
“Kurasa itu tidak akan mengubah apapun.”
“Astaga mister. Coba saja dulu. Cuma menelepon, apa susahnya. Demi Sarsa aku tidak akan pergi sebelum kau mencoba meneleponnya.”
Gertakan terakhir Turguy mengena. Satpam mengalah. Mengambil telepon genggam. Bergerak memencet tuts. Berbicara sebentar.
“Baiklah. Akan saya sampaikan.”
Allary harap-harap cemas. Apa hasil pembicaraan mereka. Ternyata satpam membuka sebagian gerbang. Berarti tanda-tanda positif.
“Sulit kupercaya, tapi Profesor mengizinkan kalian masuk. Beliau ada di gedung F, gedung keenam dari gerbang ini, lantai 3. Tanyakan saja di sana, dimana ruangan Profesor Nyoman Asdawirya.”
9
Nostalgia Orang Tua
“Eh kau tidak ikut, Mr. Turguy?” Allary melihat Turguy balik kanan begitu sampai di depan Gedung F.
“Tidak, kau saja Allary. Aku tidak pantas bertemu dengan orang pintar macam Profesor Nyoman Asdawirya itu.”
Allary buru-buru menahan langkah Turguy. “Hei, setidaknya temani aku. Aku perlu kau yang sama-sama warga lokal sini.”
Turguy balik tertawa, “logikamu terbalik, Allary. Kau yang mengenal beliau. Sementara aku tidak. Baik, ya sudah. Semoga pertemuanmu dengan Profesor lancar.”
Allary tersenyum. Baiklah.
“Terima kasih banyak sudah membantuku, ehm, Turguy,” Allary mulai memanggil orang lokal itu tanpa embel-embel mister lagi, Turguy memang kelewat akrab dengannya, “aku berhutang budi denganmu,” sambung Allary.
Demi mendengar kata hutang budi itulah, Turguy membalik badan lagi. Pancinganku mengena, yes. Sorai Turguy dalam hati.
“Well Allary, bila nanti kau jadi mendaki Sarsa, hubungi aku ya. Jangan cari guide lain. Mari ukir perjalanan paling berkesan bersama Turguy Amartey. Harga tetap, tidak bisa ditawar-tawar.” Turguy berpromosi dengan lancar.
Allary terkesima. Seketika dia paham apa motif Turguy membantunya sampai ke mari.
“Jangan lupa My Friend. Cari aku di Eustaga. Turguy sang Parvatarohi siap mengantarmu ke puncak Sarsa.”
Turguy melambaikan tangan. Lalu lenyap dari pandangan. Tinggallah Allary disergap rasa gugup yang aneh.
Hei bagaimana jika Profesor Nyoman Asdawirya yang sedari tadi mereka bicarakan, bukan Profesor Nyoman yang Allary cari. Perlahan Allary membayangkan betapa memalukan momen bila nanti dia masuk ke ruangan profesor itu, dan ternyata dia salah orang. Apalagi Profesor sengaja meluangkan waktu untuk menemuinya. Astaga. Apa yang bisa dia ucapkan untuk memohon maaf nantinya. Tapi Allary tidak bisa berpikir terlalu lama. Profesor pasti sudah menunggunya di dalam. Dan Allary juga tahu, orang-orang penting seperti itu, tidak suka menunggu.
Allary masuk ke gedung, sambil mengingat nasehat lama ibunya. Jangan takut, selama kamu sering berbuat kebaikan, pertolongan akan selalu datang dari tempat yang tidak kamu sangka-sangka. Allary berharap dia cukup baik agar tertolong dari momen memalukan bila dia salah orang nantinya.
Gedung F itu cukup besar. Tidak ada resepsionis di dalamnya. Tepatnya, resepsionisnya sedang tidak ada di tempat. Allary meneruskan langkah ke tangga. Mencari ruangan seperti petunjuk Pak Satpam. Sampailah dia bertemu dengan ruangan berplakat:
Prof. Nyoman Asdawirya
Allary menahan nafas, mengetuk. “Selamat pagi, boleh saya masuk, profesor?” ucap Allary sesopan mungkin. Dia kenyang dengan dunia akademis, jadi tahu adab masuk ke ruangan seorang profesor.
“Silakan masuk,” sahut suara di dalam.
Allary pelan-pelan membuka pintu. Perlahan mengekspos sisi ruangan. Ruangan yang cukup bersahaja. Meja besar, ber-AC, rak-rak buku. Ruangan seorang Profesor.
“Mohon maaf sebelumnya, apabila saya mengganggu waktu kerja Profesor,” ucap Allary, menunduk dalam-dalam. Memandang hanya sekilas. Berusaha mengenali. Apakah ini Profesor Nyoman yang dia cari. Allary lupa bagaimana wajahnya. Rasanya terakhir kali dia bertemu dengan Profesor Nyoman, itu nyaris 20 tahun yang lalu. Wajah mungkin sudah berubah.
“Tidak apa-apa. Silakan duduk.” Profesor menyahut, menatap wajah Allary dalam-dalam. Menunjuk tempat duduk. Allary patah-patah duduk.
Allary terdiam. Jadi profesor-lah yang lebih dulu bicara.
“Jujur saja, saya terkejut ketika staf saya memberitahu ada yang ingin bertemu, penting katanya, lalu menyebut-nyebut nama Allary Azra. Nama Allary itu tidak asing untuk saya. Izinkan saya memastikan, apakah kamu adalah putra dari Allary Herman?”
“Benar Prof.”
“Ha, kabar baik,” ucap Profesor dengan nada ceria, nada suara yang membuat Allary berani mengangkat kepalanya, sedikit.
“Selamat datang di Pahadaru University, Nak. Kenapa ayahmu tidak bilang-bilang kalau putranya akan mengunjungiku di sini?”
“Mungkin ayah hanya lupa, Profesor.” Allary masih menyahut pendek dan terbata-bata. Dia segan dengan aura wibawa profesor. Nada suara Allary membuat Profesor Nyoman tertawa.
“Hei ayolah Nak, tidak usah gugup begitu. Aku mengenalmu, amat mengenalmu. Kamu adalah Allary Azra. Yang dulu selalu bergelayut di pinggangku bila aku datang berkunjung. Kau ingat masa-masa itu, Nak?”
Allary menggeleng. Dia tidak pernah berniat menyimpan kenangan masa lalunya.
“Ah kamu memang masih kecil waktu itu. Rasanya baru 4 tahun. Setiap aku datang, kamu pasti membujukku untuk bercerita, mendongeng, membacakan buku-buku bergambar. Kamu juga senang sekali bila kuberi coklat atau mainan kecil.”
Allary salah tingkah, profesor lebih lancar bernostalgia dibanding dirinya.
“Masa-masa yang memang sudah tertinggal jauh di belakang. Berapa umurmu sekarang? 24? Apa kabarmu sekarang Nak? Apakah kamu mengikuti langkah ayahmu, jadi akademisi?”
Allary menggeleng. “Saya tidak punya bakat seperti ayah, profesor.”
“Ah begitu. Tidak apa. Manusia punya jalan masing-masing. Ngomong-ngomong, kamu lulusan kampus mana, jurusan apa?”
“Saya lulus di UI prof, jurusan ilmu sejarah.”
“Tidak mengejutkan, Nak. Sejarah, memang bidangmu sejak dulu. Kuingat dulu kamu senang sekali bila aku bercerita tentang raja-raja.”
Allary tersenyum getir. Sayangnya bidang ilmu itu tidak bersesuaian dengan jalan hidupnya. Juga pekerjaannya.
“Baiklah,” Profesor berdehem, “kurasa kita sudahi nostalgia ini, aku yakin sekali, kamu datang menemuiku, bukan sekedar untuk bernostalgia, ayo Nak, sekarang giliranmu bercerita.”
Ruangan lengang sejenak. Menunggu Allary mengungkap tujuan besarnya.
10
U3I, Uni Tiga Negara
Allary dengan hati-hati mengungkapkan tujuan besarnya. Dia menceritakan dengan lengkap, keberangkatannya dari London, saran dari sang ayah, sampai bagaimana dia menemukan Profesor. Allary pada dasarnya senang saja bercerita. Allary hanya menutupi satu hal, alasan atau motif yang melatarbelakangi tujuan besarnya. Profesor ternganga mendengarnya.
“Kamu, ingin mendaki sampai ke puncak Sarsa? Kamu serius Nak?”
“Sangat serius, profesor.”
Profesor tersenyum, “hebat, ambisius, karakter yang sudah lama ingin kutemui dalam diri orang Indonesia. Baiklah, aku senang mendengar tujuanmu itu Nak, tapi aku masih belum melihat apa korelasi antara tujuanmu itu, dengan kedatanganmu ke sini. Apa yang bisa kubantu Nak, kamu tidak berharap aku menemanimu mendaki bukan? Aku terlalu ringkih.” Di ujung kalimatnya, Profesor tertawa kecil.
Allary menunduk, garuk-garuk kepala. Entahlah, bantuan macam apa yang dia inginkan. Dia jelas tidak meminta profesor menemaninya, atau membiayai perjalanannya. Hal-hal semacam itu terlalu merepotkan. Sebenarnya, mungkin, dia hanya ingin informasi. Ya, informasi. Profesor dengan segenap pengetahuannya, pasti tahu sesuatu yang bisa membantunya.
Allary menyampaikan hal itu pada Profesor.
“Baiklah Nak, kalau kamu ingin informasi, mungkin aku punya informasi. Tapi ini akan jadi penjelasan yang sedikit panjang. Maukah kamu mendengarkannya?”
Allary lekas mengangguk.
“Memasuki milenium baru, harga rempah-rempah di pasar dunia sering tidak stabil. Terkadang rendah sangat, terkadang tinggi sangat. Hal ini disebabkan oleh ulah negara pelanggan rempah yang sering seenaknya saja menetapkan harga, sesuai kehendak mereka. Negara pelanggan rempah itu bisa berlaku seenaknya sebab mereka punya kuasa. Mereka negara-negara kuat.
Jika kamu cermat, ulah negara-negara yang seenaknya mengontrol harga itu, suatu saat akan menjurus pada satu hal, penjajahan ekonomi. Ini jelas gejala serius. Gara-gara rempah-rempah, dunia bisa terjerumus pada sesuatu yang disebut Soekarno, neo-imperialisme.
India, sebagai salah satu negara penghasil rempah terbesar di dunia, khawatir dengan kemungkinan neo-imperialisme ini. Dari kekhawatiran India ini, lahir sebuah organisasi internasional baru yang menggemparkan dunia.
Tiga tahun lalu, bapak presiden India merasa perlu melindungi negara dan arus ekspor rempah-rempah negaranya agar tidak terjerumus pada permainan negara-negara kuat. Apa idenya, ya India akhirnya menggandeng satu negara kuat sebagai bodyguard, pengendali harga rempah-rempah India di pasar dunia. Negara itu adalah Inggris.
Kerja sama itu di atas kertas, menguntungkan kedua belah pihak. India mendapat harga rempah-rempah yang stabil, yaitu harga yang ditetapkan Inggris. Sedangkan Inggris mendapat keuntungang berupa hak ekspor 30% dari seluruh hasil rempah-rempah. Itu bukan monopoli, itu jumlah yang kecil.
Nah satu tahun berjalan, kerja sama bilateral itu menarik perhatian banyak pihak. Termasuk salah satunya, Indonesia, negara kita. Kita tentu mafhum, Indonesia juga salah satu negara ekspor rempah terbesar di dunia. Indonesia juga ingin menghindari neo-imperialisme.
Tepat satu tahun lalu, Indonesia diterima dalam kerja sama India-Inggris. Ketiga negara itu bergabung jadi satu organisasi internasional, U3I. Berkat organisasi ini, ketiga negara berhasil menikmati keuntungan ekspor rempah yang luar biasa.
Nah aku tiba di ujung penjelasanku, satu tahun berjalan, (You-Three-Ai) berniat memperluas kerja samanya. Tidak sebatas dalam perdagangan rempah saja. Kerja sama diperluas hingga ke bidang pengembangan teknologi, militer, pertahanan negara, ekspor minyak dan macam-macam lagi. Salah satunya, yang baru kudengar beberapa bulan lalu. U3I, berniat memberi kesempatan bagi orang Indonesia mana saja, yang ingin mengambil tawaran mendaki Sarsa untuk bahan dokumentasi yang mendalam. Nah demikian Nak. Perlu kutegaskan sekali lagi, U3I memberi kesempatan padamu, mendaki Sarsa. Kurasa itulah informasi yang bisa kuberikan padamu.”
Allary terdiam sejenak. Mencermati penjelasan dari profesor. Alangkah berlimpahnya informasi yang diberikan oleh profesor Nyoman Asdawirya. Dan kalimat terakhir profesor itu benar-benar memberinya harapan.
“Dimana aku bisa menemui orang-orang dari U3I itu, prof?”
“Ah itu, mereka punya banyak kantor. Yang paling dekat dengan kita sekarang, ada Raxual, perbatasan Bihar. India. Kira-kira 400 kilometer dari tempat kita saat ini.”
Allary terhenyak. 400 kilometer? Bagaimana dia bisa ke sana. Datang ke sini saja, harus diantar temannya Turguy.
“Aku minta maaf Nak, sepertinya aku hanya bisa membantumu sampai di sini. Sebentar lagi aku harus bertemu dengan rekan sesama peneliti,” profesor Nyoman mendahuluinya bicara. Sebentar kemudian, terdengar suara dering telepon. Telepon kantor di ruangan Profesor. Beliau bergegas mengangkatnya. Bicara. Sepertinya itu rekan sesama peneliti yang tadi dibilang oleh profesor.
Allary menunduk. Baiklah. Setidaknya dia sudah dapat informasi. U3I, akan dia simpan nama itu baik-baik. Esok-esok dia akan mencari cara pergi ke sana. Jalan kaki bila perlu. Tuhan selalu punya solusi.
Tapi Allary ternyata tidak perlu menunggu lama untuk mendapat solusi. Selesai dengan gagang teleponnya, profesor menengok ke arahnya dengan gembira.
“Kamu memang bertuah Nak. Tak disangka, Profesor Danilo, rekan sesama penelitiku itu, malah meminta bertemu di Raxual, di kantor U3I.”
“Jadi profesor?” tanya Allary, memastikan.
“Kamu boleh ikut dengan mobilku. Ayo kita berangkat.”
Allary tak kepalang gembiranya.
11
Allary Bertemu Selvi
Allary kini bisa duduk dengan tenang di dalam mobil sedan Profesor. Mereka berdua duduk di bangku kedua. Bangku pertama hanya diisi supir pribadi profesor, yang tadi dikenalkan sebagai Johanes.
Allary sempat bingung, bagaimana dia bisa mengisi obrolan sepanjang jalan ke Raxual dengan Profesor, mengingat profesor sepertinya senang mengobrol. Waktu tempuh mereka kurang lebih 5 jam.
Beruntungnya Allary tidak perlu memikirkan bahan obrolan. Profesor mendahuluinya. “Kamu istirahat saja Nak, aku tahu kamu baru saja menempuh perjalanan jauh dari London sana. Nanti bila sampai di Raxual, aku bangunkan. Kebetulan, aku tidak bisa menemanimu mengobrol. Aku harus membaca beberapa jurnal penelitian ini.”
Kebetulan yang menyenangkan. Allary bersorak dalam hati, lekas menguap dan tertidur. Profesor benar. Dia memang lelah.
Mobil melaju dengan mantap. Menuju Raxual. Tak terasa, lima jam berlalu.
“Bangun nak, kita sudah sampai,” Profesor pelan-pelan menepuk bahu Allary. Allary segera bangun. Tidak mengulet, tidak mengantuk. Langsung segar.
“Terima kasih profesor.”
“Ayo kita langsung masuk saja.”
Gedung U3I, terbentang di depan mata mereka. Besar, kekar, berwarna putih, bertingkat-tingkat. Melihat gedung itu, Allary teringat pabrik produsen otomotif yang sering dia lihat di Indonesia.
Mereka tiba di meja resepsionis. Dua wanita muda yang menjaga meja itu segera mengangguk hormat menyambut Profesor Nyoman. Beliau telah dikenali disini.
“Saya ada janji dengan Profesor Danilo,”
“Oh iya profesor. Prof. Danilo sudah menunggu anda di ruangan departemen penelitian.”
“Oh, terima kasih. Satu lagi, apakah Zulkifli ada di ruangan?”
Wanita muda itu mengangguk, “ada prof, walau sebenarnya hari ini adalah hari libur beliau.”
“Ah ya itu,” sahut profesor dengan nada riang, “aku tadi sempat khawatir dia libur. Ini kenalanku dari Indonesia. Dia ada urusan dengan Mr. Zulkifli. Tolong antarkan dia ke ruangan.”
“Siap prof.”
Begitu resepsionis itu mengangguk, profesor menepuk pundak Allary pelan, “nah kurasa kita harus berpisah di sini, Nak. Kamu bisa temui Zulkifli. Bilang saja rekomendasi dariku secara langsung. Dia akan mengurus tujuan besarmu itu. Semoga urusanmu lancar, Allary Azra.”
Allary mengangguk, “terima kasih, profesor.”
“Mari saya tunjukan jalannya, tuan.”
“Oh mari nona,” Allary tergagap, lalu mengikuti langkah wanita penjaga resepsionis itu.
Allary diantar lewat lift. Langsung ke lantai 3. Menuju ruangan Mr. Zulkifli yang berpintu motif batik.
Ketika lewat di lorong, ada sebuah scene yang sangat menarik.
Seperti yang kita tahu, bahwa di lorong dekat pintu Mr. Zulkifli itu, beberapa saat yang lalu, dan sampai Allary tiba di sana, masih duduk seorang wanita muda yang tadi menyelinap ke ruangan Mr. Zulkifli. Dia adalah Selvi Anatasha.
Selvi agak kaget melihat seorang pria diantar resepsionis ke ruangan Mr. Zulkifli. Sebelum masuk, Allary sempat bersitatap sejenak dengan Selvi. Sitatap yang sangat sebentar, tapi sangat berarti untuk cerita ini.
Itulah pertemuan kedua dalam cerita ini.
12
Pintu Batik Ruangan Mr. Zulkifli
Resepsionis mengetuk pintu dengan motif batik itu pelan-pelan sambil berucap, “permisi Mr. Zulkifli, ada yang mau menemui anda, kenalannya Profesor Nyoman Asdawirya.”
Allary agak kaget diperkenalkan sebagai kenalan profesor. Pintu batik itu punya plakat di depannya. “Departemen Sosial Budaya”. Di bawahnya bertulis, “Zulkifli”. Terdengar suara orang menyahut dari dalam. “Silakan masuk.”
Allary menghela nafas. Resepsionis itu membukakan pintu. Nampak ruangan putih yang tidak terlalu besar di dalam sana. Tidak banyak perabotan seperti ruangan Prof. Nyoman sebelumnya. Seorang pria paruh baya yang botak, memakai baju kaos, duduk di tengah ruangan. Di belakang meja. Patah-patah Allary mendatangi pria itu. Resepsionis undur diri.
“Silakan masuk, Allary Azra. Aku sudah mendapat kabar dari Profesor Nyoman. Mari duduk, mari kita lihat, solusi apa yang bisa aku berikan untukmu.”
“Maaf sudah mengganggu waktu anda yang berharga, mister,” ucap Allary, pelan-pelan duduk.
“Well, kamu ingin mendaki Sarsa ya, sungguh ambisi yang luar biasa,” ucap Mr. Zulkifli mengawali percakapan.
“Benar mister, saya ingin mendaki ke puncak Sarsa.”
“Well, kamu tahu bahwa ambisimu itu membawa pertaruhan yang besar juga?”
“Sadar mister.”
Mr. Zulkifli menatap Allary tajam-tajam, “anak muda, aku percaya dengan rekomendasi Profesor Nyoman. Aku percaya latar belakangmu baik, dan kamu bukan penipu.”
Allary mengangguk. Sedikit kesal dalam hati, masa iya dia disamakan dengan penipu.
“Tapi anak muda, aku tidak bisa serta merta mempercayaimu, dan memberimu kesempatan begitu saja. Aku akan mencari tahu, apakah kamu memiliki kemampuan untuk kesempatan ini. Mari kita mulai dengan pertanyaan pertama, apa kamu punya pengalaman mendaki gunung?”
Allary menggeleng. Dia tidak pernah berurusan dengan pendakian gunung. Mr. Zulkifli menepuk dahinya. “Astaga, bagaimana kamu bisa berani-beraninya bilang mau mendaki Sarsa sedangkan kamu tidak punya pengalaman? Kamu harus tahu anak muda, Sarsa adalah gunung tertinggi di dunia. Sekaligus gunung yang sangat sulit untuk didaki. Pendaki profesional saja banyak yang tidak beruntung. Bagaimana aku bisa percaya padamu?”
Allary menggaruk kepala lagi. Dia memang tidak punya pengalaman. Tapi dia punya satu hal yang sangat kuat. Tekad. Tekadnya sangat kuat. Bahkan bila semua tekad para pendaki di dunia ini dikumpulkan, tekadnya jauh lebih besar.
Namun, tentu saja urusan tekad ini tidak bisa dibicarakan di sini.
“Saya berjanji tidak akan mengecewakan bila diberi kesempatan, mister.”
Mr. Zulkifli tersenyum kecil, “aku sudah mendengar kalimat semacam itu, puluhan bahkan ratusan kali sejak menjabat jadi kepala departemen di sini. Tapi kenyataannya, sampai hari ini, belum ada utusan U3I, yang pernah berhasil sampai ke puncak. Kami sudah rugi puluhan ribu dolar. Akankah kami bertaruh dengan seorang pemuda yang bahkan tidak punya pengalaman mendaki? Kurasa tidak.”
“Saya mohon Mister,” Allary seketika berdiri, membungkuk, “saya benar-benar mengharapkan bantuan anda. Jika tidak, saya akan pulang ke Indonesia dengan tangan kosong.”
Mr. Zulkifli menghela nafas.
13
Rekan Satu Tim
Suasana ruangan Mr. Zulkifli sejenak lengang. Allary bingung hendak meyakinkan dengan cara apa lagi. Dia ingin sekali mewujudkan impiannya, dia harus mewujudkan ambisinya. Dia harus buktikan dirinya.
Namun di sisi lain, kata-kata Mr. Zulkifli tadi juga sangat masuk akal. U3I tidak akan menyerahkan kesempatan, bertaruh ribuan dolar pada amatir yang tidak punya pengalaman mendaki gunung. Itu gagasan buruk, juga berbahaya. Salah-salah, nyawa Allary sendiri yang jadi taruhannya.
Allary menghela nafas. Semoga masih ada keajaiban.
Mr. Zulkifli masih menatapnya tajam-tajam. Seperti ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya. Dua tiga menit berlalu, masih tanpa hasil. Sampai akhirnya, Mr. Zulkifli akhirnya menghela nafas lagi.
“Baiklah,” ucap Mr. Zulkifli perlahan, Allary harap-harap cemas, semoga masih ada kabar baik, “seperti yang kubilang, mempertaruhkan ribuan dolar padamu, yang tidak berpengalaman, adalah taruhan yang sangat berbahaya. Rasanya aku tidak bisa menyerahkan kesempatan padamu.”
Allary menelan ludah. Habis sudah kesempatannya.
“Tetapi,” sambung Mr. Zulkifli tiba-tiba, “aku sangat menghormati Profesor Nyoman Asdawirya. Aku tidak bisa menolak rekomendasinya begitu saja. Jadi aku mengambil jalan tengah. Dengarkan baik-baik, Nak.”
Allary mengangguk. Semoga itu kabar baik.
“Aku punya solusi yang cukup menarik untukmu, Nak. Begini, kamu boleh maju ke misi pendakian ini, dibiayai oleh U3I, dengan beberapa syarat. Pertama, kamu harus punya tim yang berisi setidaknya empat orang. Kedua, kamu harus mencari guide perjalanan dengan bayaran yang seefisien mungkin, dan yang ketiga, yang terpenting, kamu harus memastikan, diantara empat orang anggota tim-mu itu, ada seorang pendaki gunung. Bagaimana anak muda?”
Allary menelan ludah lagi. Syarat-syarat yang sungguh berat dan cenderung tidak masuk akal. Darimana dia bisa mendapatkan seorang rekan yang jago mendaki gunung? Di Pahadaru, dia tidak kenal siapapun.
“Kalau kamu bersedia, silakan mulai mencari dari sekarang. Tiga hari lagi, datanglah kemari. Bawa anggota tim-mu, aku akan uruskan perizinan perjalananmu. Bila kamu tidak mendapat anggota sampai hari itu tiba, maka katakan bye-bye. Aku tidak bisa lagi mencarikan solusi untukmu. Bagaimana, anak muda?”
“Baiklah,” Allary berucap dengan bergetar, “saya terima mister. Akan saya coba peruntungan saya.”
Mr. Zulkifli berucap sambil tersenyum, “baguslah, aku senang mendengarnya. Dengan begini, saya tidak mengecewakan Profesor. Selamat mencoba peruntunganmu.”
“Saya permisi, mister.”
Allary pamit, membuka pintu dan keluar. Rasanya beban berat sekarang terpasang di pundaknya. Lebih berat dari tasnya yang sekarang dibawanya. Saat Allary meninggalkan lorong, sepasang mata menatap punggung Allary lekat-lekat.
Keluar dari gedung U3I, Allary bingung bagaimana cara dia kembali ke Pahadaru. Mula-mula, dia pergi ke parkiran tempat tadi dia dan Profesor Nyoman turun. Itu langkah cerdas, harap-harap Profesor Nyoman belum pergi, sehingga dia bisa memohon untuk menumpang lagi.
Tetapi, sampai di sana, mobil Profesor sudah tidak ada lagi di tempatnya. Beliau pasti sudah berangkat. Allary berdecak sebal dalam hatinya. Apakah dia benar-benar harus kembali ke Ibukota dengan berjalan kaki?
Untungnya tidak. Seseorang tiba-tiba meneriakinya dengan kata “hei!” membuat Allary menoleh. Di sana berdiri seorang gadis. Siapa dia?
“Tunggu,” ujar gadis itu sambil berlari kecil menghampirinya.
“Ada apa, nona?” Allary segera mengenali gadis ini sebagai wanita yang tadi duduk di lorong lantai 3. Dengan kata lain, gadis ini adalah Selvi Anatasha.
“Maaf, apakah tadi kamu menemui Mr. Zulkifli?”
“Benar,” sahut Allary.
“Apakah kamu juga datang ke sini untuk pendakian Sarsa?”
“Benar,” sahut Allary lagi.
Lamat-lamat Allary bisa melihat, bola mata gadis di depannya ini membulat. Sepertinya bersemangat. Tapi Allary masih belum bisa menebak-nebak apa yang dimau oleh gadis ini.
“Apakah kamu sudah punya rombongan?”
“Belum.”
Bola mata gadis itu semakin membesar, baginya kesempatan ada di depan mata. “Bolehkah aku ikut dengan rombonganmu?”
“Eh maksudmu?” Allary garuk-garuk kepala.
“Ikut rombonganmu. Aku juga ingin mendaki. Tadinya aku juga ingin meminta bantuan Mr. Zulkifli, tapi beliau tidak bersedia mengabulkan permintaanku. Dengan izinmu, aku ingin ikut rombonganmu. Izinkan aku melengkapi tim-mu. Aku yakin aku punya keahlian yang bisa membantumu.”
“Kamu berpengalaman mendaki gunung?” tanya Allary pelan. Gadis ini nampak tangguh. Siapa tahu dia sudah kenyang pengalaman mendaki. Lagipula hei, wanita mana yang bernyali mendaki gunung tertinggi di dunia tanpa pengalaman sedikitpun.
Namun Selvi menggeleng. “Sayangnya tidak.”
“Baiklah, kalau begitu sepertinya aku tidak bisa membawamu dalam timku. Mr. Zulkifli mensyaratkan perjalanan baru bisa dilakukan, jika tim-ku memiliki orang yang bisa mendaki gunung. Jadi aku mencari orang yang berpengalaman. Maaf nona.”
Allary hendak berlalu, tapi tentu saja Selvi tidak serta merta membiarkannya.
“Tolonglah aku. Atas dasar kemanusiaan, aku mohon. Aku yakin kamu adalah orang yang baik. Kamu akan mengizinkanku ikut di tim. Aku janji akan banyak membantu di perjalanan. Tolonglah, jangan gagalkan impianku mendaki puncak dunia.”
Kalimat terakhir itu diucapkan Selvi dengan nada begitu memelas. Allary tersentak. Bukan oleh nada suaranya atau kalimatnya. Tapi mimik wajah Selvi saat mengucapkannya. Ada power yang terselip dalam kalimat itu. Allary bisa merasakan bahwa gadis ini, membawa ambisi yang sama kuat dengan ambisinya.
Baiklah. Mungkin tidak ada salahnya.
“Baiklah, aku menerimamu dalam timku.”
Selvi nyaris bersorak mendengarnya.
14
Panggil Aku Vivi
Siang itu, Allary pulang ke Ibukota setelah mendapat dua hal. Pertama dia mendapat anggota tim pertamanya, yang kedua, dia mendapat tumpangan. Selvi ternyata punya mobil sendiri. Ah syukurlah, paling tidak Allary tidak jadi berjalan kaki ke Ibukota. Jarak 400 kilometer tak terbayang jauhnya.
“Terima kasih sudah menerimaku di tim, Allary.” ucap gadis yang saat ini mengemudikan mobil, Allary duduk di bangku sebelahnya. Mereka sudah berkenalan.
“Sama-sama, Miss Selvi. Senang menerimamu bergabung di tim. Walau aku masih...”
“Vivi, panggil aku Vivi, Allary. Tidak perlu formal. Bukan sok akrab sih, tapi bukankah kita memang harus mengakrabkan diri secepat mungkin.” Gadis itu memotong kalimat Allary. Sedari tadi dia memang memperkenalkan diri sebagai “Vivi”. Allary saja yang berkeras memanggilnya “Miss Selvi”.
“Baiklah, Vivi,” Allary akhirnya mengalah. Oleh karenanya, sampai cerita ini berakhir, kita akan memanggil gadis bernama Selvi Anatasha itu dengan panggilan “Vivi”. “Harus aku katakan, bahwa kemungkinan tim ini bubar sebelum pendakian, amat sangat besar.” Allary menyelesaikan kalimatnya.
“Hei kenapa?”
“Mr. Zulkifli tidak memberiku izin mendaki secara langsung. Dia minta aku mengumpulkan satu tim berisi empat orang, salah satunya harus pendaki profesional. Kalau aku tidak bisa memenuhi syarat itu, perjalanan ini bisa batal.”
Vivi manggut-manggut. “Syarat yang cukup berat. Dengan adanya aku di sini, berarti kita hanya perlu satu orang pendaki profesional bukan? Satunya adalah guide.”
“Iya, dan masalahnya adalah, mencari seorang pendaki profesional tidak semudah membalik telapak tangan.” Allary menyahut agak kesal, gadis ini menggampangkan masalahnya.
Kemudian Vivi diam. Dia menyadari kekesalan di balik konteks kalimat Allary.
“Kuharap aku bisa menemukan satu orang pendaki profesional itu begitu tiba di lereng Pahadaru.” Allary akhirnya menimpali kalimatnya sendiri.
“Eh bagaimana dengan guide? Apakah kamu sudah memikirkannya juga?”
Ah masalah guide, Allary mengusap wajah. Dia segera teringat pada Turguy. Kenalan barunya di pasar pagi. Sebelum berpisah, tadi Turguy terang-terangan menyebut dia adalah seorang guide pendakian gunung.
“Masalah guide bisa kuurus. Aku lebih fokus memikirkan mencari pendaki profesional itu.”
“Siapa tahu sambil mencari guide kita bisa mencari kenalan untuk diajak ikut di tim, Allary,” Vivi mengusul lagi. Kembali dengan suaranya yang riang.
Allary mengangguk. Optimis.
Mobil terus melaju ke Ibukota. Mulai meninggalkan perbatasan India. Masuk ke daerah yang merdeka, tidak berdaulat pada negara manapun. Lereng Pahadaru.
15
Kunjungan Tak Terduga ke Eutasaga
Sejenak kita tinggalkan Allary dan Vivi yang tengah melaju ke Ibukota. Sejenak biarkan mereka melaju pulang sejauh 230 kilometer lagi.
Sekarang kita kembali ke satu tokoh kita yang tadi duduk menumpang taksi menuju lereng Pahadaru. Si Mister Latino.
Sepagian, setelah melewati sepuluh kilometer yang entah kenapa terasa seperti 50 kilometer, setelah mendengarkan ocehan supir taksi yang berkali-kali menceramahinya. Setelah ber-puhhhh berkali-kali, menahan kesabaran. Akhirnya taksi mengerem di depan pasar pagi yang sudah bubar.
“Dimana kita sekarang?” tanya Mister Latino.
“Di depan Bihana, tuan muda. Ini adalah pasar pagi paling terkemuka di seluruh lereng Pahadaru.”
Mister Latino menyernit, tidak jadi membuka pintu. “bukankah tadi saya meminta diantar ke Eutasaga. Kenapa anda mengantar saya kemari?” Dari nada suaranya, jelas sekali, dia gusar.
“Dari sini, Eutasaga bisa ditempuh dengan jalan kaki, hanya 15 menit, Tuan Muda.”
“Maaf, bukannya tadi saya mengatakan tujuan saya adalah Eutasaga. Kenapa kita berhenti di sini? Kenapa saya harus jalan kaki?” Mister Latino makin gusar. Hei di bagian dunia mana kalian menemukan supir taksi yang tidak menurunkan penumpang di tempat tujuan dan malah menyuruh penumpangnya jalan kaki.
“Iya saya tahu Tuan Muda. Saya tadinya hanya menawarkan anda menikmati kebiasaan orang asli Pahadaru. Ah itu sangat menyehatkan. Membuat awet muda. Oh ya ngomong-ngomong apakah Tuan muda sudah berkeluarga?”
BRAKKKK!!!
Tidak, Mister Latino tidak memukul. Dia hanya pelan-pelan turun, saat supir taksi mengoceh tanpa henti, kemudian membanting pintu dengan keras ketika menutupnya.
“Hei, apa yang kau laku...”
“Uangnya kutaruh di bangku. Perjalanan cukup sampai di sini.”
“Hei dasar tidak sopan!” Supir taksi itu tiba-tiba berseru.
“Apa katamu?!” Mister Latino berbalik, mengeluarkan tatapan mata tajam menusuk, khas sekali tatapan antagonis kejam di film-film, membuat kecut siapa saja.
“Eh tidak. Terima kasih tuan muda.”
Mister Latino pergi meninggalkan supir taksi sok asyik itu. Bisa-bisanya ada orang mengajak berbasi-basi orang asing yang baru dikenalnya seperti berbasa-basi dengan sepupu. Menurut Mister Latino, hal semacam itu konyol sekali. Basa-basi juga ada tempatnya.
Dia memutuskan tidak memperpanjang masalah. Berjalan kaki mendaki lereng landai. Ada beberapa pejalan kaki yang nampak turun dari atas. Dia bisa bertanya pada mereka tentang arah Eustaga. Itu jauh lebih baik.
Lima belas menit. Itulah waktu yang diperlukannya untuk mendaki naik ke Eutasaga. Salah satu kampung terbesar di lereng Sarsa. Begitu memastikan dia sudah berada di kampung Eutasaga, Mister Latino segera melakukan pencarian yang lebih spesifik.
Jadi begini, dia datang jauh-jauh dari negerinya, dari Eropa Barat sana, untuk melakukan misi pendakian yang hebat. Dan sekarang dia tiba di Eutasaga untuk menemui seorang guide yang direkomendasikan temannya, seorang penjelajah, beberapa bulan sebelumnya.
Guide itu bernama Turguy Amartey. Guide yang ramah jika diperlukan, sigap saat diperlukan, dan tutup mulut tergantung situasi. Guide semacam itulah yang dia cari!
Sementara itu, Turguy sendiri berada dalam situasi kurang baik. Gara-gara perkara ikan, dia cekcok mulut dengan kakak perempuannya. Masalahnya tentu saja soal ikan.
“Kau serius tidak membelikanku ikan, Kancho!” Kakak Turguy menyalak macam tak ada hari esok.
“Apa boleh buat, Bahani, ikannya sudah ludes sewaktu aku ke sana.” Turguy mengangkat bahu, bersikap seolah tak berdosa.
“Karena kau tidak langsung ke sana! Coba kau ke sana lebih awal. Bukan malah duduk minum kopi bersama Edru dan Salemu!”
Astaga, darimana kakaknya tahu semua itu. Turguy menelan ludah.
“Bahani, itu cuma ikan. Perkara ikan saja Bahani tidak perlu sampai marah begitu bukan?” Turguy berucap, menenangkan dengan bahasa yang lembut.
Kakaknya malah meledak, “perkara ikan saja kau bilang. Dengar ya Kancho, ikan adalah makanan paling dicari di Bihana. Makanan paling mewah. Kita hanya mungkin makan ikan seminggu sekali. Itu makanan yang istimewa. Dan kau bilang ini hanya soal perkara ikan saja?”
Turguy tersenyum kecut, kakaknya tahu bahwa ikan adalah makanan mewah, makanan istimewa, tapi kakaknya seperti tidak mau tahu soal harga. Harga yang kelewat mahal. Dan Turguy harus membelinya dengan uangnya? Yang benar saja. Mana Turguy mau.
“Maafkan aku, Bahani. Nanti bila aku ada rezeki lebih, aku belikan Bahani ikan. Aku janji,” sahut Turguy akhirnya. Tidak ada pilihan lain. Dia hanya bisa minta maaf. Atau kalau tidak, bisa-bisa dia diusir dari rumah selama seminggu.
“Enak saja kau, Kancho. Kemarin-kemarin itu kau sudah punya rezeki lebih, dan apa, kau tetap tidak mau membelikan ikan untukku.”
“Ya siapa tahu nanti ada rezeki yang lebih besar lagi, Bahani,” tawar Turguy lagi, tersenyum tanggung.
TOKK... TOK... TOKK...
Suara ketukan terdengar di depan pintu Turguy. Bagi kita yang sudah mencermati cerita, dengan mudah menebak siapa yang mengetuk itu. Tapi tentu saja, Turguy tidak tahu. Turguy hanya tahu satu hal, siapapun yang mengetuk pintunya, biasanya adalah ladang bisnis.
“Rezekiku datang, Bahani. Ingat, setelah ini, aku akan membelikanmu ikan,” sahut Turguy, bergegas membukakan pintu. Selama ini, siapapun yang mengetuk pintu rumahnya, biasanya adalah para pendaki yang sedang mencari guide.
“Enak saja dia bicara. Lihat saja, nanti malam dia tidak dapat jatah makan,” kakak perempuan Turguy itu masih mengomel di dapur. Turguy tidak lagi mendengar.
16
Pembicaraan Tengah Malam
yang Gagal
Allary dan Vivi sudah sampai di lereng Pegunungan Pahadaru. Sempat terjadi perdebatan tadi, karena Vivi ingin pulang ke rumah, namun Allary mengusulkan agar mereka terus saja dulu ke Eutasaga.
“Ini belum terlalu malam. Apa salahnya kita coba malam ini? Lagipula, waktu kita amat terbatas.” Ucapan Allary terasa sulit dibantah. Vivi menurut, meneruskan perjalanan sepuluh kilometer ke Eutasaga.
Sayang, sekali lagi mereka datang di saat yang tidak tepat. Turguy sedang berada di luar rumah. Dia tidak diizinkan masuk ke dalam rumah. Buntut dari perselisihan ikan dengan kakaknya tadi siang. Perselisihan diperburuk dengan Turguy yang menolak tawaran Mister Latino, (yang menurut kakaknya amat menggiurkan).
“Tadi pagi kau tidak membelikanku ikan, sekarang kau menolak rezeki. Lupakan ranjang empuk untukmu malam ini, Turguy!”
Turguy hanya bisa geleng-geleng kepala. Berharap kakaknya tidak serius, berharap kakaknya hanya sedang terserang mood yang buruk. Ternyata tidak. Kakaknya serius. Dia benar-benar terjebak di luar rumah malam ini.
Dari jauh-jauh, mengikuti alamat rumah Turguy yang tadi diberikannya, Allary bisa melihat Turguy yang terduduk di luar rumah. Kedinginan.
“Mr. Turguy!” seru Allary, melambaikan tangan.
Turguy tersentak, kaget sementara, tapi segera mengenali Allary. “My Friend. Luar biasa. Pertemuan yang tidak pernah kusangka.”
“Senang bisa menemuimu di sini, Mr. Turguy.” Allary kini tidak lagi canggung menjabat tangan Turguy.
“Cukup panggil aku Turguy, my friend. Oh ya, bagaimana pertemuanmu dengan Profesor Nyoman? Ah dan hei, sekarang kau membawa seorang gadis. Astaga, My Friend Allary, luar biasa,” Turguy melambaikan tangan ke arah Vivi.
“Lancar Turguy. Sekarang kami ada di sini. Dan kenapa kau ada di luar?” Allary akhirnya bertanya, keheranan. Turguy jelas terlihat kedinginan.
Turguy menggeleng masam, “panjang ceritanya My Friend. Ah tapi kurasa aku bisa izin masuk ke dalam rumah pada Bahani, demi tamu-tamuku ini agar tidak kedinginan. Tunggu sebentar Allary.”
Kemudian Allary dan Vivi harus melihat adegan mengenaskan itu. Turguy mencoba mengetuk, beberapa kali, semakin kali semakin keras. Dan ketika ketukan berada di puncaknya, barulah pintu terbuka. Kakak perempuan Turguy keluar dengan wajah masam, Turguy mencoba menjelaskan. Kakak perempuannya itu tidak mau mengerti. Adegan berakhir dengan percakapan yang mengenaskan.
“Ayolah Bahani, kamu tentu tidak akan membiarkan tamu-tamuku kedinginan di luar bukan?”
“Aku tidak peduli.”
BRAKKKKK!!!! Pintu rumah berdegum dengan keras.
“Astaga Bahani, coba dengarkan aku, kalau aku tidak memuliakan tamu-tamuku ini, rusak bisnisku Bahani. Tolonglah.”
“Bisnismu urusanmu.”
“Astaga,” Turguy menepuk dahinya. Mood kakaknya benar-benar buruk malam ini. Ragu-ragu Turguy berbalik badan pada Allary dan Vivi, tamu-tamunya.
“Maafkan aku, sepertinya kita harus berdiri kedinginan di sini, My Friend.”
“Tidak masalah Turguy,” sahut Allary.
Turguy segera gembira lagi, dia tahu sekarang waktunya membahas soal bisnis. “Oke, mari kita bicarakan soal pendakian. Aku bisa tebak hanya masalah itu yang membuatmu mencariku untuk kedua kalinya, benar bukan, My Friend?”
Allary mengangguk, benar sekali. “Tapi kami memiliki sedikit kesepakatan khusus.”
“Oh boleh, tidak ada masalah. Ceritakan padaku,” Turguy bersuara riang. Lebih banyak kesepakatan, lebih banyak uang untuknya.
Allary segera menceritakan segala hal yang dilaluinya sejak berpisah dengan Turguy di Pahadaru University, sampai mengurus tetek bengek kesempatan di kantor U3I di Raxual. Makin banyak Allary bercerita, makin muram ekspresi wajah Turguy.
“Bagaimana, Turguy, apakah kau mau menjadi guide kami? Kami memang memerlukan satu orang lagi. Aku akan berusaha mencarinya mulai besok. Yang terpenting masalah guide dulu. Aku ingin memas...”
“My Friend, maaf aku langsung memotong ke intinya saja. Aku menolak kesepakatan kalian. Maaf. Aku tidak bisa menjalin bisnis dengan kalian. Aku tidak bisa, Allary.”
Allary terkejut, Vivi heran. Kenapa tiba-tiba ekspresi Turguy berubah?
“Kalau saja, kalau saja kalian tidak melibatkan U3I dalam kesepakatan ini, aku dengan senang hati menyanggupi. Aku bahkan bisa mencarikan kekurangan orang itu. Mudah saja. Tapi U3I? Aku tidak sudi bekerja sama dengan mereka lagi.”
Allary tentu saja bingung dengan perangai Turguy yang tiba-tiba berubah seperti sapi menolak kawin itu.
“Hei ada apa Turguy, ada apa dengan U3I?”
Turguy nampak berusaha untuk tetap terkendali, meski terlihat bahwa dia marah. “U3I adalah organisasi yang merepotkan, My Friend. Mereka pelit. Suka-sukanya saja memberi upah untuk guide. Begitu ekspedisinya gagal, guide-nya yang disalahkan. Aku sudah dua kali menjadi guide bagi utusan mereka. Dua-duanya berakhir tidak memuaskan. Aku memutuskan untuk menolak setiap tawaran U3I. Maaf, aku harus mengatakan itu.”
Allary menghela nafas mendengar jawaban Turguy. Satu orang pendaki profesional belum didapat, kini guide juga menolak diajak. Astaga, situasinya benar-benar rumit.
17
Temaram Bintang di Langit Ibukota
Allary dan Vivi berpandangan sejenak. Bagaimana sekarang. Allary memutuskan bahwa dia harus membujuk Turguy. Dia belum boleh menyerah.
“Ayolah Turguy. Pertimbangkan lagi. Aku jamin, aku bukan seperti utusan-utusan U3I yang telah lewat. Aku berbeda. Pendakianku akan sampai ke puncak. Kau akan terlibat dalam petualangan spektakuler.”
“Kau punya pengalaman mendaki, My Friend?”
Allary terpaksa menggeleng.
“Ah apalagi kalau begitu. Kau malah akan merepotkan guide-mu sendiri.”
Hei, Allary mulai terpancing emosi.
“Ayolah Turguy. Kau jangan bercanda. Aku ingat sekali, tadi pagi, bantuanmu yang tulus mengantarku bertemu Profesor Nyoman, dan sekarang kau menolak permintaan kami. Ayolah, dimana kebaikan-kebaikanmu tadi pagi?”
Turguy berdecak. Astaga, kenapa pula orang ini harus mengungkit kebaikannya tadi pagi. Iya dia tahu, dia melakukan semua itu atas dasar marketing. Tapi siapa pula yang menduga kalau Allary akan bawa-bawa U3I. Kalau tahu begitu, lebih baik Turguy tidak terlibat sama sekali.
“Maafkan aku My Friend. Aku benar-benar tidak bisa mengambil tawaranmu. U3I benar-benar buruk dalam bisnis.”
Allary bersiap untuk memuntahkan kalimat yang pedas, namun Vivi buru-buru menarik pundaknya. Berbisik, “sudahlah Allary, kita mengalah. Kita pulang dulu. Tidak baik berdebat malam-malam begini.”
“Hei tapi...”
“Percaya denganku Allary,” kali ini kata-kata Vivi yang terdengar meyakinkan.
“Baiklah,” Allary menghela nafas sejenak, “kami pamit dulu untuk malam ini Turguy. Besar harapanku, kau pertimbangkan kembali tawaranku itu besok-besok.”
“Kurasa tetap tidak. Tapi baiklah. Hei sebagai gantinya aku tawari kalian tempat bermalam, bagaimana?”
“Terima kasih, kami bisa mengurus diri sendiri,” sahut Vivi cepat-cepat. Bisa kacau kalau Allary terpancing lagi meneruskan perang mulut itu.
“Maafkan aku, Vivi. Sungguh aku tidak menyangka dia bakal menolak seperti itu. Padahal tadi pagi, dia baik sekali denganku.”
“Sudahlah, Allary. Kita datang di saat yang tidak tepat. Ini malam hari, pikirannya barangkali sudah lelah, tidak lagi berpikir jernih. Tambah lagi dia bertengkar dengan kakaknya. Barangkali besok-besok dia berubah pikiran.”
Allary tersenyum mendengar kalimat Vivi itu. Rekan setimnya itu ternyata berpikir panjang.
“Oh ya, ngomong-ngomong,” ujar Allary sambil menengok sekitar, malam sudah semakin gelap, “kamu punya ide dimana kita bisa bermalam. Jujur saja, aku tidak punya cukup uang untuk membayar penginapan.”
“Ah itu soal mudah Allary. Kamu bisa menginap di rumahku bila kamu mau.”
Mata Allary membulat. Gadis ini punya rumah di sekitar sini? Bagaimana dia bisa lupa akan hal ini.
“Sepertinya aku lupa memperkenalkan diri padamu Allary. Aku adalah warga lokal, ya meski rumahku ada di Ibukota.”
“Ibukota ya, baiklah. Kalau kamu mengizinkan, aku mau saja menginap di rumahmu, Vivi.”
Mereka berjalan beriringan. Kembali ke mobil. Kembali ke Ibukota. Vivi mengemudi dengan lincah. Jalanan sudah lengang, tapi juga gelap. Perlu kemampuan ekstra untuk mengemudi di jalan seperti itu.
Sepuluh menit kemudian, mereka sampai di rumah Vivi. Rumah berpondasi beton di Ibukota. Rumah yang cukup besar.
“Ayo masuk Allary, aku akan carikan selimut dan bantal.”
Ragu-ragu Allary masuk ke ruang tamu rumah gadis yang baru dikenalnya. Sebenarnya Allary agak canggung. Dia baru kenal dengan gadis itu, tapi gadis itu sudah berani mengajaknya ke rumah. Menginap. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa?
“Rumah yang besar, Vivi.” Allary coba memuji ketika gadis itu kembali ke ruang tamu, menenteng selimut dan bantal.
“Rumah ayahku, Allary. Beliau sudah tidur. Besok-besok kamu bisa berkenalan dengan ayahku. Sudah, lebih baik kamu tidur. Ini selimut dan bantal. Kamu tidak keberatan bukan, tidur tanpa tempat tidur yang nyaman?”
Allary menggeleng. Menerima selimut dan bantal itu. Tersenyum canggung. Tidak masalah dengan tempat tidur yang nyaman. Separuh hidupnya, dia tidak pernah tidur di ranjang yang empuk. Ini sudah cukup nyaman baginya.
Vivi meninggalkannya di ruang tamu. Gadis itu masuk ke dalam kamarnya. Kemudian lampu ruang tamu kembali dimatikan. Meski gelap, Allary masih bisa mengenali ruang tamu di rumah itu. Tidak banyak perabotan. Tidak ada meja dan sofa. Jadi dia harus tidur di lantai. Tapi itu juga tidak masalah.
Hanya saja Allary belum berniat tidur meski jarum jam sudah menunjuk pukul 24 kurang sedikit. Banyak hal berkelabat di dalam pikirannya. Soal pendaki profesional. Soal guide. Termasuk soal ambisinya mendaki Sarsa.
“Oh bintang,” Allary berbisik pelan sambil mendekat ke jendela, seolah bisa bicara dengan bintang, “apakah aku bisa mewujudkan impianku, berdiri di atas puncak dunia?”
Oh Tuhan, hidupnya telah berjalin panjang sekali.
18
Hari Kedua
Pagi hari menjelang di Ibukota.
Allary sudah bangun sejak pukul 4 subuh tadi. Padahal dia tidur lewat tengah malam. Apa boleh buat. Itu memang waktu tidur yang sangat tidak ideal untuk kesehatan, namun Allary sudah terbiasa. Terbiasa bangun pukul 4 subuh.
Hanya saja, kali ini dia bangun di Ibukota. Nun jauh di negara lain. Kali ini tidak ada yang bisa dia lakukan. Allary hanya diam, duduk merenung menunggu pagi datang. Ada banyak hal yang bisa direnungkan.
Vivi terdengar bangun sekitar pukul setengah enam pagi. Lampu ruang tamu dinyalakan lagi, dan Vivi melangkah ke luar kamar.
“Eh, astaga. Kamu sudah bangun, Allary?” Vivi agak terkejut melihat Allary sudah duduk lurus di ruang tamu.
“Iya Vivi,” Allary menoleh ke arah gadis itu, “aku terbiasa bangun pagi-pagi.”
“Jam berapa kamu bangun?”
“Pukul empat subuh.”
“Astaga. Kamu pasti seorang pekerja keras.”
“Terima kasih. Oh ya, apakah kamu punya kamar mandi?” Allary bertanya, teringat bahwa dia terbiasa mengguyur badan dengan air yang segar. Kebiasaan yang diajarkan ibunya.
“Oh tentu. Kamar mandi ada di ujung ruangan, di bawah tangga. Silakan.”
“Terima kasih,”
Lima belas menit menghabiskan waktu di kamar mandi, Allary kini sudah merasa segar. Sisa-sisa perenungannya tadi malam, dia rasakan sudah terlarut bersama guyuran air ke bawah tubuhnya. Ya Allary tidak boleh pantang mundur menghadapi tantangan Mr. Zulkifli.
Selepas mandi, Allary melangkah ke dapur. Instingnya menunjukan jalan, mengikuti bau lezat yang menguar ke sekeliling rumah. Allary kenal bau ini, Vivi pasti sedang membuat sesuatu yang berbahan dasar telur.
“Sudah selesai mandi, Allary?” tanya Vivi begitu Allary muncul di pintu dapur.
“Sudah, terima kasih. Ngomong-ngomong apa yang kamu masak?”
“Omelet. Kuharap kamu suka.”
Allary mengangguk. Tersenyum simpul. Dugaannya benar bukan? Masakah telur. Allary terlatih mengenai bau telur. Pekerjaannya sehari-hari.
“Oh tidak ada masalah. Dulu aku makan omelet saja, dua bulan berturut-turut saat aku tinggal di London.”
“Kamu pernah tinggal di London?” mata Vivi dengan cepat membulat.
Ups. Allary salah bicara. Tidak seharusnya dia menyinggung soal London. “Tidak perlu dipikirkan, lebih baik kita memikirkan cara memenuhi persyaratan yang diajukan Mr. Zulkifli. Bila tidak, pendakian ini bisa gagal. Kita hanya punya waktu dua hari saja.”
“Mari kita bicarakan di meja makan,” ucap Vivi menata omelet di piring.
Breakfest hari itu amat mengesankan bagi Allary. Sederhana saja, hanya omelet, dengan kombinasi berbagai macam racikan sayur dan roti, tambahkan dengan suasana pegunungan dan keceriaan Vivi yang sepagi ini sudah terpancar, luar biasa.
19
Diplomasi Rahasia
“Menurutku Allary, langkah pertama yang harus kita coba, adalah membujuk kembali temanmu bernama Turguy Amartey itu untuk menjadi guide kita.”
Vivi memulai pembicaraan sambil memotong roti segiempatnya kecil-kecil, kemudian menyendoknya bersama potongan omelet. Agaknya itu cara memakan omelet di lereng Pahadaru. Allary agak terkejut, terkejut untuk dua hal, cara makan Vivi, dan usulannya.
“Menurutku, itu adalah ide yang buruk. Dia sudah menolak mentah-mentah. Buang-buang waktu saja kita meyakinkannya.”
“Hei jangann begitu,” sela Vivi tiba-tiba berseru agak kencang, “tadi malam, dia menolak hanya karena dia lelah. Pegang kata-kataku. Dia hanya lelah.”
“Entahlah, tapi rasanya aku tidak setuju denganmu, Vivi.”
“Percayalah Allary, Turguy adalah pilihan paling tepat bagi kita saat ini. Dia cukup ramah. Susah mencari orang Pahadaru seramah itu. Lebih baik kita yakinkan dia, daripada kita memulai membujuk orang dari nol.”
Tiba-tiba Allary tersentak. Kalimat Vivi itu memberikan inspirasi baginya.
“Baiklah, Vivi. Rasanya aku punya cara untuk membujuk Turguy. Mari kita ke sana.”
“Habiskan dulu makananmu, Allary.”
Habis omelet, Allary dan Vivi segera naik ke mobil, kembali ke kampung Eutasaga. Pukul 7 pagi, kampung itu masih terasa gelap. Matahari masih belum bisa merayap mengalahkan tingginya Sarsa, puncak dunia.
Rumah Turguy nampak sepi. Allary ragu-ragu mengetuk. Dua tiga ketukan tidak mendapat respon, Allary menaikkan levelnya jadi gedoran. Dua tiga gedoran, barulah terdengar bunyi sahutan dari dalam.
“Sebentar, sebentar.”
Lalu keluarlah Turguy, dalam kondisi yang memberi kasihan siapapun yang melihatnya. Matanya cekung, mengantuk, wajahnya pucat, belepotan. Bajunya sekenanya saja dipakai. Apa yang terjadi?
Rupa-rupanya, persoalan ikan berbuntut panjang!
Melihat Allary datang, bertambah masam wajah Turguy. “Astaga, kau lagi. Harus aku katakan berapa kali lagi, aku menolak tawaran apapun dari U3I.”
Allary terkekeh kecil. Sudah dia bilang bukan? Turguy tidak akan berubah pikiran. Allary maju, menjabat tangan Turguy.
“Kau sudah sarapan pagi, My Friend?” tanya Allary dengan intonasi tidak kalah ramah dengan saat Turguy menawarinya kopi di Bihana kemarin pagi.
“Eh belum,” Turguy terkaget-kaget.
“Izinkan aku membuatkan sarapan untukmu My Friend. Sarapan yang sungguh spesial.”
“Eh apa-apaan maksudmu, Allary?”
“Ayolah Turguy. Izinkan aku meminjam dapur, wajan dan peralatan dapurmu. Aku akan buatkan makanan lezat khas Indonesia. Kujamin kau tak akan menyesal.”
Turguy tidak punya banyak pilihan. Nada suara Allary terdengar memerintah. Tidak bisa ditolak. Dia membiarkan Allary masuk ke dapur. Berharap kakaknya belum bangun. Atau kalau tidak, masalahnya bisa bertambah gawat. Turguy menyusul Allary ke dapur.
Vivi yang juga penasaran dengan apa yang dipikirkan Allary, ikut ke dapur.
Rumah Turguy masih sepi. Allary dengan cepat tiba di dapur, menarik wajan, memanaskannya, mengisinya dengan minyak. Kemudian Allary mengeluarkan berbagai macam bend dari dalam tasnya.
Ada sayuran yang kemarin dia beli dari Bihana, ada telur juga, dan yang paling menarik perhatian, sesuatu berbentuk bulat seperti adonan tepung di dalam toples. Allary mengeluarkan dua bulatan kecil. Dimulailah adegan yang membuat dua orang di depan Allary tidak berkedip sedikitpun.
Allary melempar-lempar adonan itu ke atas meja dapur. Membanting-bantingnya. Membuat adonan itu melebar tak masuk akal. Dari yang awalnya lebih kecil dari sekepalan tangan, menjadi berdiameter setengah meter. Hei, itu sungguh menakjubkan bagi orang-orang asing yang tidak pernah menyaksikan adegan semacam itu.
Bagi orang Indonesia, tentu tidak asing dengan adonan apa yang sedang dibuat oleh Allary. Yap, Allary sedang membuat martabak telur. Pelan-pelan dia memecahkan telur, menuangkan ke atas adonan lebar tadi, memotong sayuran, mencampurnya, melipat-lipatnya. Terakhir, adonan itu dimasukkan ke wajan yang telah panas.
Bau sedap segera menguar ke segala penjuru.
“Ini namanya martabak, My Friend. Di negeriku, makanan ini sering dinikmati saat waktu senggang. Sangat lezat dan harganya terjangkau. Memang seharusnya aku memasaknya dengan wajan tipis, tapi dengan wajan tebal-pun tidak masalah. Semoga kau suka.”
Allary menata martabak itu di atas piring. Membaginya menjadi enam, membawanya ke meja makan. Mengajak Turguy ikut serta.
“Cobalah My Friend.” Allary menyuguhkan martabak tepat di depan Turguy. Wajah Turguy seperti campuran ekspresi dari terkejut, tergiur dan juga curiga.
“Kau tidak berniat meracuniku bukan?”
“Astaga Turguy, mana mungkin,” Allary menepuk dahi, “ini makanan lezat, kau bahkan melihat sendiri bagaimana aku membuatnya.”
“Kau tidak bercanda bukan?”
“Baiklah, aku akan duluan mencobanya.” Allary mencoba satu, mengunyah, tak sampai semenit, sepotong martabak itu sudah masuk ke perut Allary.
“Yap, seperti kubilang,” kata Allary sambil mengusap mulutnya, “ini memang seharusnya dimasak dengan wajan yang lebih datar agar rasa lezatnya sempurna. Tapi tidak masalah. Ini sudah cukup standar. Ayolah coba Turguy.”
Allary berusaha keras meyakinkan Turguy. Diplomasinya bergantung pada martabak itu. Dia harus bisa meyakinkan Turguy untuk memakan martabak itu, lalu setelah itu Turguy akan berubah pikiran. Ya, makanan lezat memang seringkali membuat orang jadi lupa dengan dirinya sendiri.
Allary pernah mempraktikkannya dengan dosennya.
20
Satu Anggukan yang Berarti Banyak
“Bagaimana jadinya, Turguy?” Akhirnya Allary tiba pada pertanyaan utamanya. Turguy masih asyik mengunyah. Lima menit barusan, Turguy yang ragu-ragu mengambil satu potongan martabak, ragu-ragu menggigit, mengunyah. Lima menit berlalu, dan dia sekarang sudah mencomot empat potong martabak. Turguy keenakan.
“Bagaimana jadinya, Turguy?” ulang Allary. Turguy tidak menggubris. Masih sibuk mengunyah martabak.
“Hei Turguy, jawablah pertanyaan Allary. Setiap detik boleh jadi berharga bagi kami.” Vivi ikut mendesak.
Turguy akhirnya menjawab dengan mulut masih penuh, “tunggu sebentar, aku ingin menghabiskan makanan lezat ini dulu.”
Sayangnya jawaban Turguy akan datang terlambat. Masalah tidak selesai sesederhana itu.
“Hei bau lezat apa ini, apa yang kau lakukan, Kancho. Kau berniat memberiku kejutan ya?”
Oh tidak, kakaknya sudah bangun. Batin Turguy berdebar-debar dibuatnya. Astaga bagaimana ini berikutnya? Bisa-bisa dia dimarahi karena membawa orang asing ke dapur. Ah jangan-jangan sehabis ini dia akan diusir dari rumah.
Allary dan Vivi kompak berdecak, urusan ini menjadi tambah rumit karena Turguy tidak kunjung menjawab. Namun Allary coba menenangkan diri. Anggap saja kakaknya Turguy yang akan datang itu, adalah pelanggan lainnya, pelanggan baru yang akan segera terpuaskan oleh kelezatan martabaknya.
“Hei, siapa mereka ini, Kancho?” kakaknya Turguy tiba di hadapan mereka semua.
“Eh anu... anu Bahani,” Turguy gelagapan menjawab, panas dingin. Mood kakaknya nampaknya belum membaik. Wajahnya rusuh, seperti ingin berkelahi.
“Cobalah martabak ini, Sister,” Allary tanpa basa-basi menyorongkan piring berisi dua potong martabak tersisa yang belum dimakan Turguy.
“Apa ini, siapa kalian?” kakaknya Turguy balik menatap Allary dengan seram.
“Kami tamu-tamu dari negeri yang jauh, Sister. Cobalah makanan yang kami bawa ini. Sister tidak akan menyesal.”
“Aku serius, siapa kalian?”
Turguy mundur beberapa langkah. Kakaknya bisa mengamuk sebentar lagi. Allary tetap mengumbar senyum. Tidak, dia tidak takut. Hanya sekali dia gugup dan takut melayani pelanggan. Seorang wanita paruh baya yang naik mobil sedan merah. Selebihnya, dia tidak pernah gentar.
“Kami tamu-tamu Turguy, Sister. Ayolah, aku sudah membuat makanan ini. Cobalah. Mumpung masih hangat.”
“Kalian masuk rumah ini tanpa izin. Keluar sekarang.” Kakak Turguy itu mulai menatap dengan galak.
“Coba sepotong dulu, Sister. Setelah itu kami pergi.”
“Sebenarnya makanan apa ini?”
“Sejenis adonan tepung dengan telur, Bahani. Cobalah dulu Bahani, ini lezat sekali.” Turguy ikut membujuk. Dia takut terusir dari rumah.
Kakak Turguy akhirnya mengalah, mencomot satu potong. Lagipula memang makanan ini yang menguar bau lezat ke seluruh penjuru rumah mereka. Lama-lama kakak Turguy itu penasaran, apakah makanan itu seenak baunya.”
Kakak Turguy mulai mengunyah. Semenit, dua menit. Waktu berjalan lambat. Vivi dan Turguy menunggu dengan deg-degan. Cuma Allary yang tenang. Dia yakin sekali martabaknya bisa menggoyahkan kemarahan Kakaknya Turguy itu.
HAP! Kakak Turguy mengambil gerakan tak terduga. Mengambil potongan martabak yang kedua. Allary tersenyum senang. Martabaknya memegang kendali.
“Hei, aku akui, kau ada benarnya, mister. Makanan ini lumayan enak. Tak pernah aku memakan makanan semacam ini.”
“Terima kasih, Sister. Semoga Sister berkenan mengizinkan kami diam di rumah ini sebentar lagi. Ada yang mau kami bicarakan dengan Turguy.”
“Well baiklah. Kesalahan kalian, masuk ke rumah orang tanpa izin, kumaafkan. Lagipula sedari kemarin aku mau makan sesuatu yang lezat, tapi Turguy dengan sialannya tidak membeli ikan di Bihana. Makanan ini kurasa adalah pengganti yang sepadan.”
Turguy tersenyum senang. Kesalahannya sepertinya akan dimaafkan oleh sang kakak.
“Baiklah, terima kasih sister. Turguy, ini kita buat mudah saja. Bagaimana dengan tawaran kami? Apakah setelah mencicipi martabak buatanku, kau mau jadi guide kami?”
“Oh jadi kalian juga para calon pendaki yang mencari guide?” tanya kakak Turguy, disambut anggukan oleh Allary.
“Kancho, kau harus terima tawarannya. Ingat, kau harus membelikanku ikan sehabis ini.” Kakak Turguy melotot.
“Kalau kau mau, Turguy. Aku bisa membikin martabak ini lagi, sebagai makanan, di sepanjang jalan nanti. Oh ya, martabak yang lebih spesial. Martabak jumbo spesial. Rasa lezatnya berkali-kali lipat” Allary mendaratkan serangan pamungkas.
Skakmat-lah Turguy.
Pelan-pelan dia mengangguk.
Demi melihat itu, Allary bersorak.
21
Win-win Solution
“Kau serius bukan, Turguy?” Allary pelan-pelan bertanya, setelah kakak perempuan Turguy itu beranjak dari tempat itu.
Turguy menghela nafas sejenak, berucap pelan-pelan, “sebenarnya ini adalah keputusan yang amat berat, My friend. Pendakian Sarsa, selalu melibatkan pertaruhan nyawa. Tentu itu adalah harga yang amat mahal bagi kami. Apalagi sekarang aku harus mendampingi orang-orang yang tidak berpengalaman dalam pendakian. Keputusan ini benar-benar berat.”
Vivi harap-harap cemas, apakah artinya Turguy akan menarik kembali keputusannya? Allary berharap sebaliknya. Dia merasa cukup yakin, martabaknya bisa memenangkan diplomasi ini.
“Well, tapi di atas semua itu. Martabak atau apapun makanan yang hari ini kau buat, My Friend, memang harus aku akui, adalah salah satu makanan paling enak yang pernah aku makan. Aku salut denganmu. Kau membuktikan dirimu pantang menyerah dan punya cara-cara unik untuk membujukku. Jadi kuputuskan, aku akan menemani kalian ke puncak Sarsa. Atas izin dari dewa gunung, AKU AKAN MENJADI GUIDE untuk kalian.”
Allary mengepalkan tangannya kuat-kuat. Yes, diplomasinya berhasil. Martabaknya berhasil memenangkan pertempuran. Berikutnya adalah adegan yang cukup menyesakkan dimana Allary memeluk Turguy kuat-kuat karena senang dengan keputusan orang Pahadaru itu.
“Itu berarti kita tinggal membereskan satu hal lagi, Allary,” ucap Vivi di tengah kesukariaan Allary.
“Eh ada lagi yang belum beres?” Turguy bertanya, heran. “Apa?”
“Ah itu,” Allary segera menguasai dirinya, kembali duduk ke kursinya, “jadi begini, Turguy. Sebenarnya ekspedisi pendakian kami ini, belum disetujui sepenuhnya oleh U3I. Kami harus memenuhi beberapa syarat. Diantaranya, tim pendakian ini harus berisi 4 orang dan harus membawa seorang pendaki profesional.”
Turguy manggut-manggut, “oh aku paham maksud U3I. Kalian bukan pendaki profesional. Jadilah ada syarat semacam itu. Baiklah. Apakah kalian sudah mendapatkan siapa orang profesional itu.”
Allary segera menjelaskan bahwa mereka belum menemukan orang itu. Dia bahkan tidak punya ide untuk mencari orang semacam itu dimana. Allary menjelaskan pula, bahwa dia berharap Turguy punya kenalan yang bisa diajak. Seorang pendaki profesional.
Turguy tersenyum. Dia dapat ide. Dia teringat kejadian kemarin. Sebelum Allary dan Vivi datang menemuinya tengah malam buta, dia lebih dulu bertemu dengan seorang pria yang berasal dari Spanyol. Si mister Latino. Kemarin Turguy terpaksa menolak Mister Latino itu lantaran bayaran yang ditawarkannya terlalu murah, dan orang itu cuma sendirian. Hari ini, Turguy bisa mengubah strategi. Dia bisa mengajak Mister Latino masuk ke dalam tim Allary, dan dengan itu, dia mendapat uang lebih. Sungguh ide yang sangat bagus.
“Ah kurasa aku bisa membantumu Allary.”
“Kau punya kenalan yang bisa diajak?” tanya Allary berbinar-binar.
“Yap. Seorang pria Spanyol yang kemarin hendak membayarku jadi guide. Tapi dia kemarin datang tanpa tim. Aku tidak bisa menerimanya. Tapi sekarang, kurasa dia bisa masuk ke tim-mu. Dia seorang pendaki profesional. Kalau kau bersedia menerimanya di dala...”
“Aku bersedia,” potong Allary cepat-cepat.
“Baiklah. Akan kutelepon dia. Semoga dia belum pergi terlalu jauh. Kemarin dia sangat berharap aku berubah pikiran.”
Turguy mengambil telepon genggam. Itu sebenarnya adalah sesuatu yang amat langka di Pegunungan Pahadaru. Hanya beberapa orang yang memiliki akses telepon di sana. Turguy salah satunya. Karena dia seorang guide gunung yang terkenal hingga ke mancanegara. Turguy menyimpan satu telepon genggam dengan akses negara India.
Turguy minta izin bicara sebentar di telepon. Allary sempat mendengar Turguy bilang, “kemari, aku ada kabar baik,” selebihnya tidak begitu jelas. Kemampuan menguping Allary dalam bahasa Inggris, tidak sepenuhnya baik.
“Kita akan tunggu dia datang. Kurasa sebentar saja. Katanya dia menginap di salah satu penginapan rumah penduduk.”
Ah ya soal itu, di Eutasaga, sudah lumrah rumah penduduk lokal, merangkap jadi tempat penginapan. Tentu saja, siapapun yang hendak menginap harus membayar. Turguy juga pernah menyarankan agar rumahnya disulap jadi penginapan, tapi kakak perempuannya itu tidak setuju.
Tunggu punya tunggu, tepat setelah Turguy meninggalkan Allary dan Vivi di ruang makan untuk “urusan ke belakang”, orang itu muncul di pintu. Allary haqqul yakin, orang inilah yang dimaksud Turguy. Kelihatan benar, bau Spanyolnya. Tak ragu, Allary mengajak orang itu masuk.
“Siapa anda ini? Saya ingin bertemu Mr. Turguy,” katanya, dengan aksen Inggris Spanyol.
“Oh ya, tenang saja, amigo,” kata Allary percaya diri, “Turguy memanggilmu pun, karena ada sangkut pautnya dengan aku.”
“Siapa anda? Jangan seenaknya ya?” suara Mr. Latino membesar.
“Namaku Allary Azra. Duduklah sebentar. Turguy akan segera datang.”
Allary diam setelah itu. Demikian juga Mr. Latino. Tidak lama kemudian, Turguy muncul kembali dari belakang.
“Ah anda sudah datang rupanya. Buat diri anda nyaman mister.”
“Well,” ujar orang itu, si mister Latino, “aku tidak tahu apa hubungan dua orang asing ini,” (dia menunjuk Allary), “tapi saya sangat berharap anda ingin memberi kabar baik, dengan memanggil saya kemari.”
Turguy manggu-manggut, “tentu saja. Tentu saja, saya memiliki kabar baik. Anda tahu bukan, kemarin saya menolak anda atas masalah biaya. Nah sekarang dua orang ini, namanya Allary dan Vivi, akan menawarkan solusi win-win solution. Bagaimana?”
“Win-win solution? Bagaimana maksud anda?”
“Jadi, Allary dan Vivi ini telah membayar saya untuk menjadi guide mereka. Tapi mereka masih kekurangan satu orang. Seorang pendaki profesional. Saya kira, posisi itu tepat sekali untuk anda.”
“Saya akan ikut dengan tim mereka?”
“Bagaimana mister?” Allary ikut mendekat.
Mister Latino itu memalingkan wajah, berpikir sejenak. Tanpa dia sadari, kamera telah meng-close-up wajahnya. Muncullah tagline nama Mister Latino itu.
FELIX NORTON.
Felix memikirkan beberapa pertimbangan dengan cepat. Dia tahu bahwa salah satu dari dua orang asing di hadapannya sekarang (maksudnya Allary), adalah orang ramah sok akrab, orang model begini adalah yang paling tidak diharapkannya ada di dalam lingkup pergaulannya. Mempertimbangkan itu, Felix sebenarnya merasa tidak suka dengan tawaran yang diajukan oleh Turguy. Tapi mempertimbangkan lagi, biaya dan usaha yang telah dia keluarkan demi sampai di tempat ini tidak sedikit, sehingga bila pulang dengan tangan hampa akan terasa sangat sia-sia, maka Felix akhirnya memutuskan.
“Baiklah, saya sepakat. Silakan ditentukan kapan kita mulai pendakiannya.”
Sekali lagi Allary bersorak girang. Timnya telah lengkap. Tapi Allary sungguh tidak menyangka bila terbentuknya tim itu, akan menciptakan cerita yang luar biasa.
22
Kamera dan Buku Tugas
Pukul 9 pagi di rumah Turguy. Setelah semua kesepakatan itu beres, Allary memutuskan untuk langsung pergi ke Raxual. Mengonfirmasi pada Mr. Zulkifli, bahwa dia sudah mendapat rombongan, dan rombongannya telah siap melakukan pendakian.
“Raxual, apa yang akan kita lakukan di sana?” Felix langsung bertanya dengan alis terangkat.
“Ah panjang penjelasannya, My Friend,” sahut Allary. Terikut kebiasaan Turguy memanggil sembarang orang dengan sebutan “My Friend”.
“Saya tidak ikut bila tidak ada tujuan yang jelas.”
“Ayolah, tujuan kita jelas sekali. Aku perlu meyakinkan Mr. Zulkifli untuk menyetujui rencana perjalanan ini. Kemarin beliau mensyaratkan padaku untuk membawa...”
“Ya sudah, lakukan semau anda. Yang penting kita lekas berangkat.”
Felix tidak banyak berkomentar. Tidak ketika naik ke mobil Vivi, tidak saat duduk di dalam mobil, dan tidak pula saat mobil mulai berjalan. Sepanjang jalan dia hanya berdiam diri. Allary mencoba mengajaknya berbicara beberapa kali, tapi sahutannya hanya “ya”, “tidak” atau “bisa jadi”. Allary memutuskan tidak berpanjang mulut pada orang Latino itu.
Lima jam perjalanan dari Ibukota ke Raxual.
Singkat cerita, Allary mengajak ketiga rekan barunya naik ke gedung U3I, naik ke lantai tiga. Menemui Mr. Zulkifli.
“Jadi ini gedung U3I, sungguh gedung yang besar. Gedung kantor walikota dari Ibukota saja kalah besar. Tapi mereka tetap saja pelit dengan uang. Mereka memang keterlaluan.” Turguy menggerutu. Allary tersenyum geli. Kalau saja Turguy bersuara sedikit lebih keras, dia bisa berurusan dengan satpam yang berjaga di depan pintu.
Lalu setelah itu kejadiannya akan serupa dengan Allary saat diuber-uber dua preman pasar Bihana.
Mereka tiba di ruangan Mr. Zulkifli. Pria paruh baya itu menerima kedatangan Allary dengan sedikit terkejut.
“Kedatanganmu mengejutkan sekali, anak muda. Kau benar-benar serius ingin mendaki gunung.” Mr. Zulkifli geleng-geleng kepala.
“Saya sangat serius, mister.” Allary mengepalkan tangan, “hari ini saya kembali ke ruangan anda, memenuhi semua syarat.”
“Hmmm,” Mr Zulkifli berpikir sambil memegangi dagu, menatap orang-orang yang dibawa Allary satu persatu. “Tiga orang ya, satu orang guide, dan satu orang pendaki profesional. Yang mana yang merupakan guide, Allary?”
“Saya mister,” Turguy menyahut. Sedikit emosional.
“Siapa nama anda?”
“Turguy Amartey.”
“Apa saja pengalaman pendakianmu, Mr. Turguy Amartey?”
“Dua belas kali pendakian Sarsa, delapan kali pendakian H3 (salah satu gunung lain di Pahadaru), enam kali pendakian Erusaga,”
Mr. Zulkifli tertegun mendengar kata Turguy yang terakhir, “pendakian Erusaga, Mister?”
Turguy mengangguk.
“Erusaga adalah salah satu gunung dengan medan paling berbahaya di Pegunungan Pahadaru. Guide yang berani ke sana, pasti sangat berpengalaman. Baiklah, aku percaya. Lalu siapa yang menjadi pendaki profesional? Jangan bilang guide kalian ini sekaligus pendaki profesionalnya.”
“Dia mister,” Allary menunjuk pada Felix. Membuat Mr. Zulkifli menatap lamat-lamat ke arah pria Latino.
“Siapa namamu, Mister?”
“Felix Norton.”
“Apa pengalamanmu?”
“Pendakian Kilimanjarao tahun lalu, pendakian H3 beberapa tahun sebelumnya.”
“Kau serius, cuma itu?”
“Saya punya ini,” Felix menunjukkan semacam kartu anggota kelompok pendakian se-Eropa Barat.
“Menakjubkan.”
Mr. Zulkifli menggosok-gosok tangannya. Melangkah ke satu-satunya lemari yang ada di ruangannya. Mengeluarkan sebuah koper hitam besar. Ada logo U3I di atasnya.
“Sudah cukup lama sejak terakhir koper ini keluar dari tempatnya. Semoga kali ini koper dan segala isinya, berada di tangan yang tepat.”
Allary menerima koper itu dengan hati-hati.
“Apa yang harus saya lakukan dengan koper ini, Mister?”
“Ada buku panduannya. Sudah saya siapkan di dalam koper itu. Juga uang saku untuk kalian. Well, kalian sudah boleh mendaki tiga hari lagi. U3I akan mengurusi izin pendakian kalian. Kalian siapkan diri saja.”
Allary bergetar, semangat. Perjalanan yang diimpikannya akan dimulai sebentar lagi. “Terima kasih mister, saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan.”
Wajah mister Zulkifli sedikit jengkel, “itulah yang kami harapkan. Ini adalah ekspedisi mahal. Pastikan dokumentasi yang kalian dapatkan, benar-benar bagus dan lengkap. Kalian tidak boleh menampakkan diri di kantor ini bila kalian tidak bisa membawakah foto puncak Sarsa.”
Foto? Dokumentasi? Allary segera mengerti apa yang akan mereka kerjakan sepanjang ekspedisi ini.
23
Bandara Paling Berbahaya di Dunia
Pagi hari menjelang di Eutasaga. Rombongan Allary mempersiapkan diri untuk pendakian Puncak Dunia. Rumah Turguy dijadikan basecamp sementara, karena persiapan mereka lumayan panjang.
Karena Allary dan Vivi sama sekali tidak mengerti tentang pendakian gunung, Turguy terpaksa mengajari mereka beberapa teknik dan detail pendakian gunung, sedangkan Felix membeli beberapa peralatan yang dibutuhkan.
“Ini adalah jalur pendakian yang akan kita tempuh,” Turguy mencoret-coret kertas, menjelaskan pada Allary, Vivi dan Felix. Ini adalah tugasnya sebagai guide. “Dari Eutasaga, kita harus turun lagi ke Ibukota, mencari penerbangan ke Kota Pasar. Itu adalah kota tertinggi di dunia, terletak di ketinggian lebih dari 4000 meter. Sekaligus jadi tempat persiapan kita selanjutnya.
Dari Kota Pasar, kita akan menuju Base Camp, tempat dimana kalian harus beradaptasi dengan udara gunung, Base Camp ada di ketinggian 5000 meter.
Dari Base Camp, kita akan naik ke Air Terjun Es. Itu adalah objek wisata tertinggi di dunia bagi wisatawan, tapi kita akan mendakinya. Itu sekaligus jadi tantangan terbesar bagi kita selama pendakian.
Bila kita selamat dari Air Terjun Es, kita akan bertemu dengan Camp 1. Itu adalah rangkaian pertama dari empat camp peristirahatan di Sarsa.
Dari Camp 1, kita akan bertemu dengan Lembah Es dan Hidung Monster. Dua tempat yang menakjubkan sekaligus menantang, karena suhu dingin dan angin yang begitu deras. Terkadang diselingi dengan badai yang dahsyat.
Dari dua tempat itu, Camp 2 dan Camp 3 adalah tempat peristirahatan berikutnya. Tidak ada yang istimewa dari kedua tempat itu, tapi kita akan beristirahat cukup lama, sekitar setengah hari di masing-masing tempat. Kalian perlu tenaga yang cukup untuk terus mendaki.
Jika perjalanan lancar, dalam lima hari pendakian, kita bisa sampai ke Camp keempat. Camp yang paling banyak orang beristirahat di sana. Karena perjalanan akan semakin melelahkan ke atas.
Dari Camp 4, kita akan meluncur ke Last Camp. Sebenarnya sebutan Last Camp itu agak keliru, karena tempat itu bukan Camp, melainkan tempat singgah sementara, hanya untuk mengisi persediaan oksigen.
Persediaan oksigen akan sangat diperlukan untuk menghadapi Zona kematian, atau Death Zone. Ini adalah tempat paling mematikan di lereng Pahadaru. Sekaligus jadi ujian terberat bagi kalian berdua, (Turguy menunjuk pada Allary dan Vivi). Syukur bila kita bisa selamat di Death Zone, dan menurut pengalamanku, kita seharusnya bisa selamat. Asal bekerja sama satu sama lain.”
Sehabis melewati Zona Kematian, jalur pendakian akan menjadi lebih mudah sekaligus menantang. Kita akan bertemu dengan Tangga Surga, jalur pendakian dimana batu-batuan benar-benar tersusun seperti tangga. Ujung dari Tangga Surga itulah Sarsa.
Itulah puncak dunia.”
Turguy mengakhiri penjelasannya. Agak rumit bagi Allary untuk menyimak semuanya. Ada banyak nama tempat dan istilah yang harus segera dia ingat dan kuasai. Tapi Allary seharusnya tidak perlu khawatir, ada Turguy di timnya yang bisa mengingatkan titik-titik perjalanan mereka.
“Hei pesawat ini hampir mendarat,” seru Vivi sambil melihat ke jendela. Ya, sedari tadi, Turguy menjelaskan dari atas pesawat kecil yang membawa mereka dari Ibukota ke Kota Pasar.
Turguy tersenyum melihat lintasan bandara mulai terlihat. “Ayo, sebaiknya kita bersiap-siap.”
“Bersiap-siap untuk apa?” Allary bertanya keheranan. Terlambat. Bahkan Turguy sudah sigap mencari pegangan. Tiba-tiba pesawat berguncang hebat, seolah hendak terbalik, miring ke kiri dan ke kanan, sebelum berdebum nyaring ke atas tanah.
“Apa-apaan ini Turguy?!” Allary berseru panik saat hidung pesawat nyaris menabrak tanah.
Turguy hanya terkekeh. Sengaja tadi, dia tidak memberitahu Allary soal bandara hebat ini. Ya ini adalah bandara dengan lintasan pacu terpendek di dunia. Ini adalah bandara paling berbahaya. Pahadaru Visala Airport. Semua guncangan, manuver dan gedebum yang tadi dirasakan rombongan adalah satu paket komplet dari bandara hebat ini.
Turguy tertawa-tawa, Vivi gemetar. Hanya Felix yang nampak biasa saja.
“Selamat datang di Kota Pasar, My Friend,” ucap Turguy dengan nada gembira.
24
Kota Pasar
“Astaga, tempat ini benar-benar menyejukkan.” Allary turun dari pesawat, membentangkan tangan. Kota Pasar, itulah sebutan untuk sebuah kota kecil yang terpencil di Pegunungan Pahadaru.
Bagaimana bisa sebuah kota kecil yang indah itu berada nun jauh di 4000 kilometer di atas gunung Sarsa. Panjang sekali ceritanya. Yang jelas, ada ikut campur pemerintah India di dalamnya, menginginkan ada kota transit bagi para pendaki dan wisatawan di atas gunung. Terlalu jauh bolak-balik langsung ke Ibukota di kaki gunung.
“Mau kemana kita sekarang, Turguy?” Allary coba bertanya. Mereka masing-masing membawa tas besar.
“Kita ke rumah keluargaku terlebih dahulu. Aku harus mengurus sesuatu di sana.”
“Rumah keluargamu? Dimana?”
“Di kota ini. Ayo, lebih baik kita bergegas.”
Kota Pasar benar-benar terpencil dari dunia luar. Kota itu bahkan tidak punya angkutan umum. Semua kegiatan yang ditempuh oleh masyarakat, dilakukan dengan berjalan kaki. Ada banyak hewan juga berkeliaran. Hewan-hewan yang belum pernah dilihat oleh Allary.
“Hewan apa itu?” Allary berbisik pada Vivi yang berjalan tepat di sebelahnya.
“Thulogari,” ujar Vivi, “artinya sapi besar.”
“Hei bentuknya benar-benar eksotik. Aku belum pernah melihat hewan semacam itu. Apakah hewan itu salah satu spesies dari sapi juga?”
“Iya Allary, sapi besar adalah hasil persilangan antara sapi lokal India dengan sapi besar dari daratan Pahadaru. Jadilah Sapi Besar atau Thulogari, begitulah.”
Allary manggut-manggut, “orang-orang yang berdiam di lereng gunung ini ternyata hebat-hebat. Bisa menyilangkan hewan secara alamiah.”
“Hei tentu saja,” Turguy menyahuti dari depan, “suku-ku memiliki pemahaman yang luar biasa tentang pegunungan. Perkawinan silang antara Sapi India dengan Sapi Besar Pahadaru dilakukan untuk mengambil keuntungan dari kedua hewan tersebut. Sapi besar Pahadaru memiliki tenaga yang kuat, tapi mereka liar, sapi India memiliki sifat jinak, tapi bukan hewan angkutan. Persilangan kedua hewan itu menghasilkan Thulogari, seekor hewan yang jinak dan memiliki tenaga kelewat besar. Nanti kita akan bertemu lebih banyak Thulogari di tempat kediaman keluargaku. Dia memiliki banyak ternak Thulogari. Kita juga akan memakai hewan itu untuk angkutan kita ke atas nanti.”
Allary tersenyum puas. Belum apa-apa, petualangannya sudah sangat menarik.
25
Paman Burguji dan Pangsit Roro
Rumah keluarga yang dibilang Turguy itu ternyata terletak di pinggiran kota. Berbatasan langsung dengan hamparan padang rumput di kaki gunung. Sekitar 3 kilometer dari Bandara tempat mereka mendarat tadi. Agak melelahkan membawa tas sebesar tubuh manusia sejauh itu dengan berjalan kaki.
Namun Allary sungguh bersemangat. Oleh karena semangatnya itu, perjalanan 3 kilometer tidak terasa sama sekali.
Rumah itu cukup besar. Setidaknya lebih besar dari rumah Turguy yang pernah mereka lihat sebelumnya, juga lebih besar dari sebagian rumah di Eutasaga.
“Ini rumah Paman Burguji,” Turguy menjelaskan dengan senang hati, “dia keluarga jauhku. Dia orang kaya. Mungkin salah satu yang terkaya Kota Pasar. Beliau punya ternah Thulogari, ribuan ekor jumlahnya. Merumput di sana setiap hari.” Turguy menunjuk padang rumput hijau di kaki gunung.
“Apa yang sebenarnya kita cari ke sini?” Itu suara Felix. Kalimat pertama yang dia keluarkan sejak pulang dari Raxual. Allary sempat terkejut mengetahui bahwa Mister Latino yang ikut di rombongannya itu, ternyata pendiam sekali orangnya.
“Ah itu,” sahut Turguy, “tentu saja mencari tambahan orang. Bantuan gratis. Masalah utama tim ini, tentu saja karena Allary dan Vivi tidak punya pengalaman mendaki gunung. Kita perlu tambahan orang, untuk membantu di perjalanan. Terutama untuk melewati Air Terjun Es. Salah sedikit, bisa berujung pada pertaruhan nyawa.”
Felix diam lagi. Sorot matanya mengatakan, ya lakukan sajalah apa yang kalian mau. Sementara sorot mata Turguy menyiratkan bahwa dia menyembunyikan sesuatu.
“Tunggulah di sini,” Turguy menghentikan langkah sejenak di teras rumah besar itu, “aku hanya akan bicara sebentar dengan Paman Burguji. Semoga saja sepupu-sepupuku tidak sedang sibuk, sehingga kita bisa minta bantuan mereka.”
Kemudiann Turguy masuk ke dalam. Meninggalkan Allary dan yang lainnya. Duduk di kursi tamu di teras. Lima belas menit waktu berlalu, barulah Turguy keluar bersama seorang lelaki paruh baya bertelanjang dada. Tubuh orang itu besar dan gempal, juga hitam terpanggang sinar matahari. Sorot matanya khas seorang penggembala ternak. Sorot mata yang mampu menundukkan binatang. Pria itu memperkenalkan diri sebagai “Burguji”.
Turguy sendiri mengekor di belakang pria paruh baya itu dengan wajah rusuh. Allary sempat mengamati sejenak, menebak-nebak, tapi tidak berhasil. Pria yang tadi memperkenalkan diri sebagai Burguji sudah menjabat tangannya erat-erat.
“Saya Allary Azra, Paman,” ujar Allary tersenyum, coba memakai bahasa Inggris terbaiknya. Semoga pria paruh baya itu mengerti bahasanya.
“Duduklah sebentar, ada yang harus saya bicarakan dengan kalian. Wahai tamu-tamuku.” Paman Burguji menarik satu kursi yang kosong, duduk di atasnya, sampai kursi itu berderit menahan beban berat.
Vivi bertanya-tanya, apa yang ingin dibicarakan pria ini? Pria paling kaya di Kota Pasar. Allary juga bertanya serupa, tapi dia berusaha untuk tidak menebak-nebak. Berusaha semuanya tampak normal saja. Tersenyum.
Lima menit berselang, tanpa suara...
“Maaf Paman, kira-kira apa yang mau kita bicarakan?” Vivi memecah keheningan. Akhirnya dia tidak tahan untuk tidak bertanya. Paman Burguji tersenyum lagi.
“Tunggu sebentar, tidak enak bicara tan...” (omongan Paman Burguji terhenti sejenak ketika seorang wanita muda keluar dari rumah menggotong nampan dengan toples dan teh hangat mengepul di atasnya, “nah ini, tidak enak bicara tanpa makanan. Terima kasih anakku.”
“Sama-sama ayah.”
Allary tertegun melihat adegan itu semua. Apa yang sebenarnya terjadi. Dan hei, kenapa Turguy diam saja sejak tadi. Malah seperti gelisah begitu wajahnya.
“Mari, cicipi pangsit Roro ini. Ini adalah makanan khas dari Kota Pasar. Dan juga cicipi teh hijau-nya. Langsung diimpor dari daratan China sana. Ayo mari, tidak perlu malu-malu.”
Paman Burguji membukakan tutup toples dan menghidangkan satu persatu gelas ke hadapan satu persatu tamunya. Bau-bau teh hijau yang menyejukkan merasuk ke hidung.
26
Jimat Hilang di Kampung Hijau
“Aku takut, apa yang akan kita bicarakan ini mempengaruhi rencana perjalanan kalian ke depannya,” Paman Burguji pelan-pelan memulai pembicaraan. Setelah memastikan ketiga tamunya mencicipi pangsit Roro dan minuman yang dia hidangkan. Allary yang tadi menikmati kelezatan pangsit Roro, melupakan kelezatannya, fokus pada apa-apa yang akan disampaikan pria paruh baya di depannya.
“Ada masalah internal yang sedang terjadi di lereng Pahadaru. Ini berhubungan dengan jimat sakti kepala suku pertama. Jimat itu adalah pelindung Pahadaru, simbol ikatan kami dengan Dewa Gunung, benda yang sangat berharga. Nah saat ini, walau beritanya masih berupa desas-desus, jimat itu dikabarkan hilang.”
“Hilang?” Allary yang dari tadi paling menyimak, kelepasan bicara.
“Ya itulah yang sempat kudengar tadi. Jimat itu disimpan di Kampung Hijau, kampung tertinggi di Sarsa. Desas-desus ini akan segera menyebar ke seluruh lereng. Menimbulkan keributan. Aku sebagai salah satu tokoh di sini, harus segera menangani masalah ini sebelum berlarut-larut.”
“Hubungannya dengan kami?” Felix menyahut, bertanya. Dengan cepat. Tanpa basa-basi.
“Ah itu, baiklah. Tadinya aku mencoba menjelaskan latar belakangnya dulu supaya kalian paham. Aku tahu betapa kerasnya usaha yang kalian buat, betapa banyak hal yang kalian korbankan untuk mewujudkan pendakian ini. Aku ingin mengharga perjuangan kalian...”
“Jangan bertele-tele, mister.” Felix menginterupsi lagi. Dengan nada acuh tak acuh.
“Aku membutuhkan Turguy. Dia harus mengurus masalah ini ke Kampung Hijau. Mengusut desas-desusnya sampai tuntas. Berhubung dia sekarang adalah guide perjalanan kalian, aku kira urusan ini akan mengganggu rencana perjalanan kalian sendiri. Bukannya merendahkan kalian, aku harus katakan, jimat itu berkali-kali lebih penting bagi kami, orang-orang Pahadaru.”
Vivi terdiam mendengar penjelasan Paman Burguji. Mendengar kalimat terakhir dari pria paruh baya itu, bagi Vivi seperti mendengar kabar yang benar-benar buruk. Apakah itu artinya ambisinya akan terhenti di sini.
Sementara Allary buru-buru mencegah Felix bicara. Bisa bahaya kalau orang itu menyahut lagi dengan kata-kata acuh tak acuh seperti tadi. Ini jelas urusan sensitif. Allary memberi isyarat, biar dia yang bicara.
“Maaf sebelumnya paman. Paman benar sekali mengenai pengorbanan, hal-hal yang tak mudah kami lalui hingga sampai ke sini. Saya kira paman juga paham bahwa kami tidak akan membiarkan Turguy pergi begitu saja. Walau bagaimanapun kami sudah membayarnya. Oleh karena itu, saya minta dicarikan solusi lain. Misalnya ada orang lain saja yang dikirim ke Kampung Hijau, mengecek desas-desus itu. Bukan Turguy. Kami sangat berharap perjalanan kami tetap dilanjutkan.”
Allary memandang ke arah Vivi sambil mengangguk. Isyarat matanya bilang ke Vivi, tenang saja. Aku tidak akan membiarkan perjalanan kita ke sini, berakhir sia-sia. Felix juga memandang ke arah Allary, isyarat matanya bilang begini, bertele-tele sekali kalimatmu itu. Tak bermutu!
Paman Burguji menghela nafas, “aku sudah bilang, ini berat untuk kalian. Tolong mengertilah. Seandainya ini hanya urusan orang sakit, orang meninggal atau orang hilang, tentunya aku akan mengirim anak-anakku saja ke Kampung Hijau untuk mengeceknya. Tapi tidak. Ini urusan sakral. Turguy harus turun tangan. Dia punya kedudukan istimewa di sukunya.”
Allary kena counter attack. Tangan-tangannya mengepal.
“Maafkan aku, anak muda. Aku tahu ini berat bagi kalian. Tapi ini demi jimat kami yang sakral itu. Tolong hormati kepercayaan kami. Bukan maksudku sama sekali untuk menghalangi rencana kalian menggapai puncak dunia.”
Astaga. Dua kata terakhir. Dua kata terakhir itu menggetarkan Allary. Tangan-tangannya mengepal semakin kuat. Tidak, dia tidak akan membiarkan semua ini berakhir begitu saja. Dia harus sampai ke Puncak Dunia.
“Kalau memang...” Allary berkata dengan suara bergetar, “kalau memang Turguy harus pergi ke Kampung Hijau, kami akan ikut dengannya. Lagipula cuma memastikan desas-desus bukan? Bila terbukti tidak benar, Turguy bisa mengirimkan kabar, kemudian melanjutkan perjalanan dengan kami,” Allary menyempurnakan kalimatnya.
Vivi, Felix, Turguy dan Paman Burguji, sama terkejutnya.
“Tapi, Kampung Hijau tidak berada di jalur pendakian. Kalian harus memutar jalur, itu menghabiskan sehari penuh.” Paman Burguji bersuara, ragu-ragu.
“Memutar jalur lebih baik daripada pulang.” Allary menyahut mantap.
“Kau tidak mengerti, Allary. Masalahnya tidak sesederhana mengecek desas-desus.” Turguy untuk pertama kalinya berseru. Ragu-ragu. Merasa bersalah.
“Kau juga tidak mengerti Turguy. Bila perjalanan dibatalkan disini, masalahnya bagi kami juga tidak sesederhana itu. Pokoknya kami ikut kau ke Kampung Hijau itu, lalu setelah itu kita teruskan perjalanan ke Puncak Dunia.”
“Kukira itu keputusan yang baik. Win-win Solution,” sahut Paman Burguji menengahi, “tapi bagaimana dengan anggota tim-mu yang lain?”
“Aku kira, keputusan Allary itu adalah keputusan yang baik,” ujar Vivi akhirnya. Dia juga sama berambisinya dengan Allary dalam memanjat puncak dunia.
Felix mengangkat bahu saat ditanya. Sorot matanya bilang, “ya aku setuju saja, lakukanlah sesuka kalian.”
Keputusan telah diambil.
27
Kesaktian Jimat Orang Pahadaru
“Turguy, bereskan masalah ini sebaik mungkin. Temui Murguy di Kampung Hijau. Pastikan kalian berdua berkomunikasi dan bekerja sama. Dan oh ya, bila desas-desus ini benar, kau juga harus mengambil keputusan dengan cara yang benar pula. Kau mengerti tentang ini bukan, Turguy?”
Paman Burguji berpesan panjang lebar pada Turguy. Wajah guide Allary itu seperti belum yakin dengan keputusan yang telah diambil ini. Huft baiklah, Turguy menarik nafas sejenak, Allary mungkin benar, masalahnya bagi mereka bukan sekedar pembatalan perjalanan saja. Mungkin pilihan ini yang terbaik.
“Bisa ceritakan padaku tentang jimat itu sekarang, Turguy? Apa sebenarnya benda itu, dan apa gunanya?”
Allary bertanya, mereka baru saja mulai berjalan lagi ke Kampung Hijau. Memotong jalur pendakian, seperti kata Paman Burguji, Kampung Hijau tidak termasuk dalam jalur pendakian ke puncak Sarsa.
“Ceritanya akan sangat panjang, Allary. Aku tidak bisa menceritakannya sekarang.” Turguy menyahut, masih dengan wajah yang rusuh. Banyak hal berkelabat dalam pikirannya.
“Setidaknya jelaskan padaku, mengapa kau yang harus turun tangan dalam masalah ini, bukan anak-anak Paman Burguji itu, atau orang lain, atau siapalah itu.”
“Setiap suku memiliki struktur di dalamnya Allary. Dalam struktur itu, ada orang-orang yang tugasnya mengurusi benda-benda sakral. Nah dalam sukuku, akulah yang bertanggung jawab mengurusi benda itu.”
“Menjaganya?”
“Bukan, lebih tepatnya, mengawasi dari jauh. Penjagaan dan perawatan dilakukan di Kampung Hijau, oleh sepupuku yang ada di sana. Namanya Murguy.”
Orang yang tadi sempat disebutkan oleh Paman Burguji, pikir Allary.
“Semoga jimat itu tidak hilang, atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan itu membuat keadaan bertambah rumit.” Turguy mengeluh tertahan, bergumam pelan, tapi Allary sempat mendengarkan.
“Apakah jimat itu mengandung suatu kutukan tertentu?”
“Iya. Oleh karena kedudukannya sebagai penghubung kami dengan Dewa Gunung. Bila jimat itu hilang, hubungan kami dengan Dewa Gunung akan terputus dan itu berakibat buruk pada dunia. Pada Pegunungan Pahadaru.”
“Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Turguy. Jika jimat itu hilang, rencana kita juga akan berantakan,” Vivi yang dari tadi menguping, ikut berbicara. Felix juga menguping tapi dia hanya diam, tidak berkomentar.
Sepanjang jalan menuju Kampung Hijau, Turguy beberapa kali berpapasan dengan pejalan kaki. Bertanya ala kadarnya tentang kabar Jimat Suci. Beberapa di antara orang yang ditanya, membenarkan kabar tersebut.
Turguy makin panik.
“Bila jimat itu sakral, bisakah jimat itu mengabulkan permohonan tertentu, Turguy?”
“Eh apa yang barusan kau tanyakan, Allary?”
“Eh tidak, hanya pertanyaan iseng. Baiklah, maafkan aku. Aku cuma bermaksud membuat percakapan, mengisi perjalanan sehingga jadi lebih menyenangkan.” Allary garuk-garuk kepala. Merasa bersalah.
“Jimat itu sangat sakti, Allary,” Turguy akhirnya memutuskan untuk menceritakan sedikit, Allary sepertinya penasaran dengan hal ini, “jimat itu bisa mengendalikan cuaca, mengendalikan manusia, mengendalikan musim, dan bila jimat itu tidak dipelihara dengan baik, jimat itu akan mendatangkan malapetaka.”
“Mengendalikan cuaca dan musim?” Allary bertanya lagi, tertahan, kelepasan lagi dia bicara.
“Ya Allary, mengendalikan cuaca dan musim. Jimat itu bisa membuat seluruh lapisan es di Pegunungan Pahadaru ini, menjadi padang rumput.”
“Sakti sekali,” Vivi ikut bergumam.
28
Kutukan demi Kutukan
“Turguy, syukurlah kau datang,” seru seorang warga, pria berusia 30-an tahun, menjabat erat-erat tangan Turguy, “kukira tadi kami harus mengirim utusan untuk mendatangimu di Eutasaga. Syukurlah kau datang, tepat waktu, Turguy.” Pria itu menggenggam tangan Turguy kuat-kuat. Ekspresinya sangat lega.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Burugi? Jimat itu benar-benar hilang?” tanya Turguy.
“Iya, keadaannya benar-benar gawat, Turguy. Jimat itu hilang tadi pagi, dan sekarang, baru pukul 12 siang, kutukannya sudah bermunculan.”
“Kutukan, Burugi?” tanya Turguy memastikan, alisnya terangkat. Vivi yang berada di belakang, memandang jeri. Kutukan? Sepertinya bukan sesuatu yang bagus.
“Ah aku tidak tahu detailnya Turguy. Yang jelas, tadi, sebelum turun ke sini, aku mendengar, Turusi, warga Kampung Hijau pingsan tidak sadarkan diri, dengan perut kembung dan kejang-kejang. Mengerikan sekali Turguy.”
“Kau mengeceknya sendiri?”
“Eh tidak,” orang bernama Burugi itu tergagap, “aku dengar cerita dari Paman Etrusi.”
“Astaga,” Turguy menepuk dahinya, ternyata cuma desas-desus, tapi dia harus segera mengecek semuanya, “aku akan menemui Murguy. Secepat mungkin.”
“Kau benar Turguy. Ya sudah, semoga usahamu berhasil. Selamatkan kami dari murka dewa gunung, Turguy. Aku tidak mau bernasib seperti Turusi. Baiklah, untuk sementara aku akan mengungsi ke Kota Pasar. Tak tahan aku berada di Kampung Hijau.”
Orang bernama Burugi itu meneruskan langkahnya, cepat-cepat. Seperti ketakutan. Allary dan Vivi kompak geleng-geleng kepala. “Seserius itukah, Turguy?” Allary bertanya.
“Aku belum tahu Allary, tapi kita harus bergegas. Aku tidak bisa mempercayai kata-kata mereka begitu saja. Sudah jadi tabiat manusia, melebih-lebihkan cerita. Aku harus menemui Murguy. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa dipercaya dalam urusan ini.”
“Kalau begitu, ayo kita bergegas,” pungkas Allary.
Meski mereka mempercepat langkah, nyatanya Turguy masih sering dihadang oleh orang-orang yang panik. Bercerita pendek tentang kutukan yang telah menyebar dimana-mana.
“Turusi kejang-kejang, dia bahkan kehilangan kemampuan mengangkat tangan. Perutnya terus mengembung.”
“Paman Etrusi yang bercerita sesumbar, siang tadi mendadak tidak bisa berjalan, kakinya membengkak.”
“Elgosi, putra Paman Etrusi, yang hendak mencarikan obat untuk ayahnya, jatuh terjungkal, tangannya terkilir. Persendiannya sampai bergeser.”
“Astaga Turguy, kutukan benar-benar datang. Coba kau rasakan baik-baik semilir angin gunung ini, badai akan datang Turguy, badai yang dahsyat. Selamatkan kami dari murka dewa Gunung, tolong kami Turguy.”
Empat orang, ya ada empat orang yang bercerita sepanjang jalan Turguy menuju ke Kampung Hijau. Wajah-wajah ketakutan, suara-suara panik, tangan-tangan yang gemetar, ekspresi yang memohon harap. Membuat siapapun merinding. Urusan Jimat Suci Pahadaru itu berbuntut panjang.
Turguy tidak bicara lagi. Dia terus melangkah. Bahkan tidak sempat memperkenalkan bagaimana asrinya Kampung Hijau pada Allary. Sudah setengah berlari saat memasuki kampung. Allary dan yang lain mengikuti Turguy dari belakang.
Turguy mulai memasuki permukiman yang cukup padat. Sekali lagi, beberapa orang menyalaminya, berterima kasih atas kedatangannya, kembali mengumbar soal kutukan, soal badai yang akan segera datang. Turguy menyibak tangan. Dia tidak punya waktu mendengarkan keluhan setiap orang. Dia harus menemui Murguy.
Masalah ini benar-benar harus dijelaskan duduk perkaranya secara tuntas.
29
Perjalanan Ini Harus Dihentikan
Turguy dan Murguy. Bukan kebetulan nama mereka hampir sama. Mereka berdua memegang peranan penting dalam kehidupan di lereng Pahadaru.
Sementara Turguy adalah pengawas dari jauh, memantau sekali setiap bulan dari Eutasaga sana, Murguy adalah warga asli Kampung Hijau. Tugasnya lebih berat dari Turguy. Mengawasi jimat suci setiap minggu. Merawatnya. Jimat itu sendiri diletakkan di Kuil Suci, di sebelah barat Kampung Hijau.
Oleh karena pentingnya kedudukan Murguy di Kampung Hijau dan di tengah orang Pahadaru, Turguy berusaha menemuinya. Dalam situasi simpang siur begini, penjelasan dari mulut Murguy, adalah penjelasan mutlak yang harus dia dengarkan.
Murguy ada di rumahnya. Dia tidak panik. Berpikir dingin. Mengumpulkan para pemuka desa. Tadi dia memang memikirkan alternatif memberitahu orang Pahadaru yang ada di tempat lain, Kota Pasar, Eutasaga atau bahkan sampai ke Ibukota sana. Ya, jimat suci hilang. Itu situasi yang tidak dikehendaki siapapun. Hanya saja Murguy tadi mewanti agar pengumuman dilakukan secara perlahan, bertahap.
Orang-orang mana mendengarkan. Semua orang panik. Sibuk merisaukan amarah Dewa Gunung. Tambah pusing Murguy.
“Kita benar-benar harus mengambil tindakan, Murguy.” Seorang pria bersuara, mereka saat ini sedang duduk melingkar. 12 orang. Termasuk Murguy. Mereka mendiskusikan langkah yang harus diambil. Yang tadi bicara adalah kepala kampung Hijau. Tuan Asagosi.
“Aku tahu itu, Tuan. Aku tahu. Tindakan. Tapi apa? Kita bahkan tidak tahu apakah jimat itu hilang secara gaib, dicuri atau malah hilang karena keteledoran kita?” Murguy berdecak.
“Tenanglah sedikit, Murguy.” Seseorang yang duduk paling dekat dengannya, menepuk-nepuk bahu Murguy. “Benar Murguy, tenanglah, kami di sini tidak menyalahkanmu kok.” Orang di sebelahnya ikut menenangkan. Kalimat itu benar. Murguy memang ditimpa rasa bersalah.
“Andai saja Kak Turguy ada di sini. Ah seharusnya aku mengutus orang ke Eutasaga, menemui Kak Turguy. Memberitahunya tentang kejadian ini.” Murguy mengusap kepalanya lagi.
“Tenanglah Murguy,” Kepala Kampung Hijau kali ini bicara, “ada beberapa orang yang melihat Turguy sedang dalam perjalanan menuju kemari. Kita bisa menunggunya sampai. Tidak perlu menyusul ke Eutasaga.”
“Baiklah, kita tunggu Kak Turguy saja kalau begitu,” sahut Murguy.
Kepala kampung menginstruksikan kepada beberapa orang yang ada di luar ruangan, untuk mencari Turguy dan mengajaknya langsung ke lokasi pertemuan ke-12 orang tersebut.
Akhirnya Turguy datang, beserta tiga orang temannya itu. Kepala Kampung tidak sempat bertanya. Saat Turguy memulai bombardir Murguy dengan pertanyaan.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Murguy? Apakah jimat itu hilang? Apakah jimat itu dicuri? Kapan terjadinya? Apa yang kau lakukan selama ini? Bagaimana bisa jimat itu hilang? Dan apakah benar, kutukan-kutukan itu sudah mulai bermunculan?”
Murguy menghela nafas. “Aku bisa jelaskan, Kak Turguy,” ujarnya pelan. Masih merasa bersalah.
“Aku tahu, mungkin dalam hal ini, aku salah. Aku tidak kompeten dalam bekerja. Tapi hei, insiden hilangnya jimat itu benar-benar aneh. Kejadiannya tadi pagi, saat aku mengeceknya di Kuil Suci, jimat suci sudah tidak ada. Hilang, raib.”
“Siapa yang mencurinya?” Turguy bertanya, memotong. Tidak sabaran.
“Pertanyaan itu tidak tepat, Turguy,” kepala kampung mengintervensi. Kasihan dengan Murguy yang jadi objek tuduhan, “Kampung Hijau dijaga dengan ketat. Tidak ada wisatawan yang berkunjung dalam 3x24 jam terakhir. Itu berarti jimatnya tidak dicuri. Mana ada warga kampung yang berani-beraninya mengusik jimat itu. Tidak masuk akal Turguy.”
“Lalu bagaimana bisa jimat itu hilang. Ah mungkin saja ada penyusup.”
“Itu juga tidak mungkin Turguy. Bila benar penyusup, tentu dia sudah pergi. Dan bila jimat itu sudah dibawa pergi keluar dari Kampung Hijau, seharusnya kita di sini sudah tidak berbentuk lagi. Ini sudah lewat enam jam, dan kita semua masih bersantai, mengobrol.” Kepala Kampung menjelaskan, panjang lebar.
“Hei, bagaimana bisa hal itu berhubungan?” Allary tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Tolong diam dulu Allary,” Turguy mendesis.
“Hei aku lupa bertanya, siapa mereka Turguy?” Kepala Kampung balas bertanya.
“Sudah-sudah, tidak perlu bertengkar,” Murguy menyela, “jimat itu hilang, iya hilang, tapi jimat itu tidak pergi jauh. Karena sampai saat ini, Kampung Hijau masih bertahan. Jika saja jimat itu dibawa pergi dari sini, berdasarkan ketentuan Dewa, kampung kita ini sudah pasti hancur lebur bukan? Kesimpulannya, kita hanya perlu mencarinya. Kak Turguy ada di sini sekarang. Kita bisa minta bantuannya melacak dimana Jimat Suci kita itu berada.”
“Ah kau benar juga, Murguy. Turguy memiliki kaitan yang erat dengan jimat itu bukan? Kau mau membantu kami bukan, Turguy?” tanya kepala kampung.
Turguy mengangguk. Bagaimana dia bisa menolak. Jimat suci yang dikeramatkan orang Pahadaru benar-benar hilang. Itu masalah serius. Bukan lagi desas-desus. Turguy mengepalkan tangan. Baiklah, saatnya bertindak tegas.
“Aku bersedia, Murguy, aku bersedia membantu mencari jimat itu. Tentu saja.”
“Eh tapi Turguy...” Allary berucap tertahan.
“Maafkan aku, Allary. Tapi sepertinya perjalanan ini, tidak bisa kulanjutkan.”
Hening sejenak.
Saat itu, setelah beberapa kali keberuntungan memihak kelompok Allary, sekarang keberuntungan menjauhi mereka.
30
Karena Aku adalah Ketua
Rombongan Ini
Turguy tidak memberi waktu Allary untuk menanggapi. Dia langsung balik kanan, berdiskusi dengan Murguy, berencana membagi orang-orang untuk mencari ke seluruh penjuru kampung.
Allary termangu. Di sini, Allary sempat melihat alasan mengapa Turguy dibutuhkan dalam pencarian ini. Pemuda guide kelompoknya itu, duduk sejenak, memejamkan mata, berkonsentrasi.
“Jimat itu berada di sebuah tempat yang sangat tertutup, tidak jauh dari sini.” Turguy membuka mata, langsung memberikan instruksi. Serupa dia adalah orang sakti. Mungkin itulah berkat Turguy menjadi kepercayaan sukunya.
“Beberapa orang pergi, turun gunung, ke sisi lembah. Beberapa tolong cek di jalan-jalan sebelah timur. Sebagian lainnya ke barat. Cepat, cepatlah. Setiap detik amat berharga bagi kita dalam menangkal kutukan.”
Kepala Kampung dengan gesit membagikan tugas pada 12 orang yang masih duduk menunggu di ruangan itu. Menunggu tugas. Begitu tugas dibagikan, mereka langsung gesit bergerak.
“Kita juga bisa membantu,” cetus Allary tiba-tiba. Kepala Kampung, Turguy, Murguy dan orang-orang kampung sudah sibuk dengan tugas masing-masing.
“Apa kau bilang, Allary?”
“Kita bisa membantu mereka.”
“Kenapa kita harus membantu mereka. Kamu masih berharap perjalanan ini dilanjutkan? Kurasa tidak Allary, Turguy benar, bagi sukunya, urusan ini sangat rumit.”
Vivi mencoba memberi saran, tapi Allary tidak mendengarkan. Pikirannya sedang berkelabat menimbang. Ambisinya ke puncak dunia, dana yang diberikan U3I, usaha yang sudah mereka lakukan sampai di sini, tidak, tegas Allary dalam pikirannya. Meski perjalanan mereka berakhir di sini sekalipun, Allary tidak mau perjalanan ini berakhir sia-sia.
Pasti masih ada yang bisa dilakukan.
Allary cepat melangkah keluar ruangan. Vivi menyusulnya, terburu-buru. Tersuruk-suruk membawa kamera di lehernya.
“Hei, mau kemana kamu, Allary?”
“Turguy bilang, kuil sucinya ada di Kampung Hijau. Aku akan ke sana. Aku akan membantu mereka mencari jimat itu.”
Hei, apa yang dipikirkan Allary?
“Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir sia-sia, Vivi. Kadang, saat terburuk, saat dimana perjuangan kita akan berakhir, kita masih bisa memperbaikinya. Melakukan sesuatu. Lagipula Turguy sudah sedemikian baiknya untuk kita, aku akan membantunya.”
Vivi terpana. Pemuda di depannya ini bukan sekedar pemuda keras kepala biasa. Allary adalah orang yang berprinsip. Seketika, Vivi mengangguk. Terkesan pada Allary. “Aku ikut Allary. Aku akan ikut membantu. Kamu benar, Turguy sudah sedemikian baiknya untuk kita.”
Lalu tanpa mempedulikan apa yang terjadi pada Mister Latino, Allary dan Vivi melangkah menuju Kuil Suci.
Sejujurnya, Kampung Hijau adalah tempat yang eksotik. Disebut Kampung Hijau karena memang kampung ini serba hijau. Rumah-rumah bercat hijau, sampai ke atapnya berwarna hijau. Rerumputan pendek menghampari batas-batas kampung. Udara sejuk, matahari terbit dengan hangat, semilir angin gunung yang sejuk. Kampung Hijau luar biasa.
Vivi mengambil beberapa foto.
Sementara Allary mengamati sisi-sisi jalan. Siapa tahu jimat itu tercecer. Allary jelas lupa dengan kalimat Turguy tadi.
Mereka tiba di Kuil Suci. Bangunan berukuran 4x4 meter. Berdinding kayu, juga bercat hijau. Kuil itu berisi beberapa buah patung, patung Dewa Gunung yang perkasa.
“Kalian teman-teman Turguy tadi bukan?” sebuah suara menginterupsi. Allary dan Vivi yang tadi berniat masuk ke Kuil Suci, menoleh ke belakang.
Oh ternyata dia adalah Kepala Kampung.
“Benar Sir.”
“Apa yang kalian lakukan di sini?” Kepala kampung bertanya.
“Eh, kami ingin membantu Turguy, Sir.” Allary menjawab ragu-ragu.
“Terima kasih atas tawaran kebaikan hati kalian,” Kepala Kampung tersenyum arif, “tapi demi kebaikan kalian sendiri, sebaiknya kalian tidak ikut terlibat dalam hal ini. Jimat Suci itu sangat sakral. Salah-salah, kalian bisa kena kutukan.”
Allary ikut tersenyum. Tersenyum lucu. Masa iya kebaikan dibalas dengan kutukan. Tidak ada logikanya di situ. Ibunya selalu mengajarkan padanya, bahwa kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan pula.
“Kami hanya ingin membantu, mister. Membantu Turguy, teman kami.”
Wajah kepala kampung mulai jengkel, “kau tidak perlu mendramatisir, anak muda. Aku tahu kalian adalah para penjelajah yang menyewa Turguy sebagai guide. Kalian tidak perlu terlibat terlalu jauh. Lagipula kenapa kalian harus terlibat?”
“Karena aku, adalah ketua rombongan ini, mister.” Allary menyahut, bergetar. Kepala Kampung ikut bergetar mendengarnya. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang kuat di dalam diri anak muda di depannya ini.
Kepala Kampung tidak punya pilihan lain, dia terpaksa menyilakan Allary ikut campur.
31
Sakit yang Aneh
Sementara itu, Turguy dan Murguy pergi ke rumah Turusi. Salah satu orang yang dikatakan terkena kutukan akibat hilangnya Jimat Suci. Tadinya Turguy ingin fokus mencari jimat yang hilang itu dulu, namun selentingan kabar mengatakan bahwa sakitnya Turusi semakin parah. Turguy terpaksa mengecek ke sana. Pencarian dilakukan orang-orang lain.
“Turguy, tolong selamatkan aku,” Turusi mengerang ketika Turguy sampai ke kamarnya. Kondisi orang itu mengenaskan. Perutnya membengkak, tangannya tidak bisa terangkat, wajahnya pucat. Turguy geleng-geleng kepala.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Turusi?” Murguy mengusap tangan Turusi, yang terasa kaku seperti sebatang kayu.
“Aku juga tidak tahu, Murguy. Tadi pagi saat aku ingin keluar rumah, tiba-tiba saja tubuhku terasa panas, kepalaku berkunang-kunang, kemudian aku pingsan. Saat siuman, ini yang terjadi. Aku sungguh takut. Jangan-jangan ini benar-benar kutukan.”
Turguy ikut mengusap kaki Turusi. Juga keras seperti kayu. Dia bingung. Hei, dia tahu bahwa jimat suci bisa memanggil kutukan, namun dia sendiri tidak pernah berurusan dengan kutukan yang benar-benar nyata.
“Tolong aku Turguy.” Turusi memelas.
Turguy berbisik-bisik dengan Murguy, bagaimana ini, bagaimana mereka bisa mengobati sakit yang aneh seperti ini.
Alhasil, demi menenangkan Turusi, Turguy mengusap dan memijat kaki Turusi. Ya hanya itu yang bisa dia lakukan. Toh dia hanya pengawas jimat, dia tidak bisa mengangkat kutukan dari jimat itu. “Tenanglah Turusi. Aku akan menyembuhkanmu,”
“Hei memangnya kau bisa menyembuhkannya, Turguy?” Murguy berbisik lagi, Turguy menggeleng pelan. “Aku hanya berusaha menghiburnya. Berharaplah, jimat itu segera dikembalikan ke Kuil Suci.”
“Ah semoga,” Murguy mengusap wajah.
Ajaibnya, setelah beberapa saat dipijat oleh Turguy, Turusi berangsur tenang. Dia tertidur. Turguy menghentikan aktivitasnya. Paling tidak sekarang Turusi tidak lagi ketakutan.
“Well, kita bisa kembali mencari jimat itu sekarang, Murguy.”
“Kau tidak mau menjenguk Paman Etrusi atau Elgosi, Turguy?”
Turguy memasang wajah nyengir. “Kau bercanda Murguy, aku bahkan tidak bisa melakukan apapun untuk mereka. Lebih baik kita fokus mencari jimat itu. Harap-harap setelah itu kutukannya akan diangkat oleh Dewa Gunung.”
“Eh Turguy, bagaimana dengan teman-teman pendakianmu itu? Kau tidak bilang apa-apa pada mereka.”
Turguy menghentikan langkah. Tiba-tiba merasa bersalah pada Allary. Ah maafkan aku, Allary. Aku juga tidak menyangka, masalah seperti ini, akan datang. Kuharap Allary mengerti.
32
Situasi Makin Tak Terkendali
Sementara itu, proses pencarian jimat suci belum menemui titik terang. Kepala Kampung menambah lagi tim pencari, turun hingga ke Kota Pasar. Mereka juga sudah menutup bandara Pahadaru Visala Airport. Tidak ada yang boleh keluar dari Pahadaru sebelum semua urusan ini jelas.
Allary dan Vivi tidak berputus asa ikut mencari jimat itu. Mereka menyusuri kuil suci. Allary mencoba mengamati jejak, seperti yang pernah dia pelajari di novel detektif. Tapi gagal. Nihil jejak.
Di situasi lainnya, para korban yang terkena kutukan, kondisinya makin mengenaskan. Paman Etrusi dan Elgosi putranya, tidak bisa bangun dari tempat tidur. Tangan dan kaki mereka membengkak. Besar sekali, seperti ditiup balon.
Di saat dua korban itu belum sembuh, dua orang lain terkena juga. Paman Elgoji dan anaknya, Rugini, kecelakaan saat turun gunung. Terjun bebas ke jurang. Terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Kabar itu disebar secara perlahan saja, tidak boleh menggemparkan siapa-siapa.
Hanya Turusi yang kondisinya bagus. Selepas dipijat Turguy, dia bilang rasa sakit di perutnya sudah mendingan. Itu adalah kabar yang menggembirakan. Turguy dan Murguy bisa lebih fokus mencari jimat itu.
“Hei Turguy, apakah kau yakin, jimat itu belum meninggalkan Kampung Hijau?” Murguy bertanya ketika mereka menyusuri jalan ke perbatasan kampung. Berdiri, memandang ke kejauhan.
Turguy menggeleng, “kurasa tidak Murguy. Kampung ini menjadi buktinya. Tidak ada bencana yang datang. Jimat itu masih tersembunyi di satu tempat.”
“Tapi dimana Turguy? Kita sudah mencari kemana-mana. Sudah bertanya ke orang-orang sekitar. Nihil hasil. Lagipula siapa pula orang Pahadaru yang cukup bodoh mencuri jimat suci itu. Tidak masuk akal.”
“Lebih baik bila kita kembali ke Balai Pertemuan, Murguy.” Turguy menepuk bahu temannya itu, mengajaknya beranjak pergi, “semoga di sana ada kabar baik yang menanti.”
Murguy mengangguk. Semoga tim pencari yang dikirim Kepala Kampung, menemukan jimat itu. Atau minimal menemukan petunjuk. Itu bisa jadi kabar yang sangat baik.
Kembali ke tempat Allary dan Vivi. Gadis itu mulai lelah berjongkok dan berdiri secara simultan, memeriksa jejak dan tanah. Beda sekali dengan Allary yang sangat bersemangat. Vivi merasa kagum dengan stamina yang dikeluarkan orang yang tadi mengaku sebagai kepala rombongan mereka.
“Ada baiknya kamu kembali ke tempat pertemuan tadi, Vivi. Kamu sepertinya sudah lelah. Kamu bisa istirahat di sana. Kuharap Felix ada juga di sana.”
“Bagaimana denganmu, Allary?”
“Aku akan mencari sebentar lagi. Mungkin aku akan mencari ke arah sana.” Allary menunjuk ke arah belakang kuil itu.
“Baiklah.” Vivi menurut, pergi.
Turguy dan Murguy kembali ke Balai pertemuan bersamaan dengan Vivi. Turguy kaget, mengapa mereka, para rombongan mendakinya, tidak pulang.
“Allary memutuskan untuk membantu mencari jimat itu, Turguy.” Vivi memberi penjelasan saat ditanya. Turguy sempurna menganga.
“Dia... membantu... mencari jimat itu?” ulangnya terbata-bata. Murguy juga kaget. Apa hubungan Allary dengan jimat mereka.
“Iya Turguy, dia bilang dia senang bisa membantu orang yang telah membantunya sampai sejauh ini.”
“Astaga,” Turguy menepuk dahi, “dimana dia sekarang?”
“Tadi dia bilang akan mencari ke belakang Kuil suci.”
“Aku harus menyusulnya ke sana,” ucap Turguy mantap.
Tapi langkah Turguy terhenti, oleh kedatangan Kepala Kampung dan anggota rombongan tim pencari. “Ah kebetulan sekali kau ada di sini, Turguy. Kami akan melaporkan apa yang kami dapat, dengarkanlah.”
Satu demi satu perwakilan tim pencari melapor. Dari segala penjuru. Kesimpulannya hanya satu, pencariannya masih buntu. Jimat Suci itu belum ditemukan.
“Bagaimana ini sekarang?” Turguy geleng-geleng kepala.
Murguy juga bingung.
33
Arahan Kepala Kampung
Kepala kampung berkali-kali mengusap wajah. Situasi makin tidak menentu. Jimat belum ditemukan, kutukan semakin lama semakin bermunculan. Bagaimana sekarang?
Kepala Kampung tahu bahwa saat ini, keputusan ada di tangannya. Masalahnya sekarang, keputusan apa yang harus dia ambil.
Segera setelah Turguy mendengar semua laporan dari tim pencari, dia dan Murguy meluncur ke tempat Allary. Masalah tim pencari, itu biarlah kepala kampung yang mengurusnya. Dia harus mengurus masalah Allary dulu. Orang itu tidak boleh terlibat terlalu jauh. Bisa gawat kalau dia juga sampai kena kutukan. Allary masih tercatat sebagai pendaki utusan U3I. Jika dia sampai terkena kutukan, dan hal itu terdengar di Raxual, reputasi Pegunungan Pahadaru akan tercoreng.
Turguy tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi.
Sementara, di tempat berbeda, di sebelah utara kuil, Allary sedang sibuk-sibuk mengamati tanah yang bersalju. Sebentar-sebentar mencongkel tanah, nihil. Allary terus mencari. Walau dia tidak tahu bagaimana bentuk jimat itu persisnya.
Matahari melewati atas kepala, ketika salju putih kecil mulai turun dari langit di Kampung Hijau. Saat itulah, Turguy dan Murguy tiba di tempat Allary mencari.
“Hentikan Allary, hentikan sebelum terjadi sesuatu yang buruk.” Turguy berseru, meneriaki Allary.
“Aku hanya membantu, Turguy. Hanya ingin membantu.”
“Aku tahu itu Allary, tapi tolong hentikan. Cukup sudah bantuanmu. Aku tidak ingin kau terlibat lebih jauh dari ini. Itu malah akan membahayakan dirimu sendiri.”
“Tapi Turguy...”
“Tidak Allary. Ini adalah masalah internal orang Pahadaru. Kami tidak akan membiarkan ada orang lain. Terlalu berbahaya. Kau dengar, jimat itu bisa mendatangkan kutukan, Allary.”
Demi melihat wajah Turguy yang keras dan mantap, Allary tidak lagi membantah.
“Bicara soal kutukan, Turguy,” Murguy yang bersuara, “salju yang mulai turun ini, apakah artinya badai akan segera datang.”
“Eh?” Turguy ikut menadahkan tangannya ke langit, menyambut butiran salju yang berjatuhan. Masih kecil-kecil, tapi udara dingin mulai terasa.
“Kau benar Murguy, astaga. Apakah ini artinya jimat suci telah dibawa keluar dari Kampung Hijau.”
“Kurasa kita harus segera kembali ke kampung, memperingatkan Kepala Kampung tentang hal ini,” usul Murguy.
Turguy mengangguk. Di tengah kepanikannya, tentu saja Turguy tidak melupakan Allary.
“Kau ikut pulang dengan kami, Allary.”
“Eh?”
“Kau harus ikut. Aku tidak bisa membiarkanmu terlibat lebih jauh lagi.” Suara Turguy sangat tegas dan sulit untuk dibantah. Allary menurut, ikut mengekor langkah kedua orang Pahadaru itu.
Sementara itu, salju yang turun di Kampung Hijau tentu juga menjadi perhatian kepala kampung dan anggota tim pencari yang sedang berkumpul di balai pertemuan. Tadinya kepala kampung ingin memperluas lagi area pencarian, tapi perjalanan diurungkan melihat salju ini mulai turun. Semakin lama semakin banyak.
“Apakah ini pertanda badai akan segera datang, kepala Kampung?” tanya seorang dari anggota tim pencari.
“Badai? Apa yang harus kita lakukan?” mulai terdengar bisik-bisik cemas. Kepala Kampung menghela nafas.
“Baiklah. Semuanya, dengarkan aku. 6 orang tetap bertahan di tempat ini, kita akan mulai mencari turun ke Kota Pasar. Atau bahkan ke Eutasaga. Sisanya, sisa anggota tim pencari, pulang ke rumah masing-masing. Peringatkan keluarga kita, tentang badai yang akan segera datang. Berlindunglah di rumah masing-masing. Semoga dewa gunung masih memberi keselamatan bagi kita semua.”
Pertemuan di balai segera bubar. Kepala kampung dan 6 orang itu langsung bergerak cepat turun ke Kota Pasar. Sisanya, dengan wajah cemas, pulang ke rumah masing-masing. Mempersiapkan diri dari bencana dahsyat akibat kutukan jimat suci.
Apakah mereka bisa bertahan?
34
Langit akan Runtuh di Atas Kepala Kita
Isu-isu soal kutukan jimat suci, memang boleh jadi hanya isapan jempol belaka yang diiringi oleh beberapa macam kebetulan. Tapi badai besar yang sedang bergerak menuju Kampung Hijau, adalah kenyataan.
Langit di sebelah tenggara, tepat berasal dari arah persimpangan lereng Sarsa dan H3, berwarna sangat gelap. Semilir angin semakin lama semakin kuat. Titik-titik salju yang tadinya kecil, sekarang mulai turun menggumpal, besar-besar.
Kepala kampung dan enam orang anggota tim pencari, sama-sama memasang wajah cemas melihat pergerakan awan itu. Mereka belum setengah jalan ke Kota Pasar, keadaan bisa semakin gawat jika badai datang menyergap mereka sebelum mereka masuk kota. Benar-benar gawat.
“Bagaimana ini, kepala kampung?” tanya salah seorang dari anggota tim pencari, menggigit bibir. Dia benar-benar cemas.
“Terus berjalan,” tegas kepala kampung, tapi suaranya sendiri tidak betul-betul terdengar tegas.
“Bagaimana jika kita tidak sampai ke Kota Pasar tepat waktu, kepala kampung?”
“Astaga, setidaknya dengan terus berjalan, berhenti bertanya dan berkonsentrasi, jarak kita ke sana semakin dekat. Bila kita berdiam di sini, panik, kita akan tertimbun salju.”
Enam anggota tim pencari terpaksa menurut. Tidak berani bertanya-tanya lagi. Walau mereka masih panik. Awan hitam, eh tidak, langit hitam itu berarak makin dekat.
Di tempat berbeda, Allary, Turguy dan Murguy juga tergopoh-gopoh berjalan. Berusaha masuk kampung secepat mungkin. Gerakan langit yang menghitam itu, juga membuat Turguy dan Murguy gentar.
Sekedar informasi, Allary tadi terlalu bersemangat mencari jimat, sehingga dia tidak sadar sudah berjalan terlalu jauh ke utara, keluar dari tapal batas Kampung Hijau. Jarak mereka ke kampung lumayan jauh.
“Langit sepertinya benar-benar marah, Turguy.” Murguy berucap sambil memandangi langit yang berarak hitam itu. Menggigit bibir. Cemas. Seumur hidupnya belum pernah melihat aura langit semengerikan ini. Badai pasti akan datang.
“Aku tahu itu, Murguy. Berhentilah berkata yang tidak-tidak, atau dewa gunung akan semakin marah.” Turguy berdecak. Dia juga sama takutnya.
Sementara perasaan Allary begitu campur aduk. Di satu sisi, dia merasa tidak enak, karena tidak diperbolehkan membantu. Di sisi lain, dia juga merasa teramat takut. Dia tidak pernah melihat langit menghitam mengerikan seperti ini. Semakin mengerikan karena mereka sekarang berada di ketinggian 4000 meter lebih. Seperti inikah mengerikannya pendakian gunung? Pantas Mr. Zulkifli mewanti-wantinya soal pendaki profesional.
“Astaga langit seperti sebentar lagi akan runtuh Tur...”
“Murguy, berhenti berkata yang tidak-tidak!” Turguy tidak hanya berdecak, tapi sudah menyalak.
Di tempat lain lagi, di balai pertemuan. Vivi juga mengkerut di sudut ruangan. Takut sekali melihat langit hitam seperti itu. Sepanjang dia hidup, sepanjang dia tahu akan sesuatu, rasanya tidak pernah dia melihat langit semengerikan itu.
Felix, ya si Mister Latino ternyata tidak beranjak kemana-mana. Dia masih menunggu di balai pertemuan. Diam saja. Diam saja saat tim pencari melaporkan situasi, diam saja saat Kepala Kampung tadi memberi arahan, diam saja saat melihat langit serba hitam seperti ini.
“Felix,” Vivi mendekat ke arahnya sekarang, “apa yang harus kita lakukan? Lihat langitnya. Mengerikan sekali.” Suara Vivi hampir bercampur isakan.
“Aku tidak tahu,” sahut Felix singkat, kembali asyik mengamati langit.
Langit yang tadi menghitam di antara lereng Sarsa dan H3, sudah bergerak pelan, maju. Sekarang, sebentar lagi, akan tepat berada di atas Kampung Hijau. Sempurna menutupi kampung asri itu, dalam ketakutan.
Para warga, terutama ibu dan anak-anak kecil panik tidak terkira. Untungnya mereka tetap berada di rumah masing-masing. Taat pada Kepala Kampung. Lagipula apa yang bisa mereka lakukan di luar rumah. Rumah adalah tempat berlindung terbaik.
Hanya saja, apakah rumah mereka kuat menahan amukan badai itu? Ataukah nanti seisi kampung hijau akan terbang ditiup badai, tercerai berai. Beberapa orang lelaki dewasa yang memikirkan kemungkinan itu, menggigit bibir. Gelisah, takut dan berdebar-debar.
Langit hitam telah sempurna berada di atas Kampung Hijau.
Beberapa orang tua, yang telah berumur panjang, memberi kesaksian, bahwa badai terdahsyat yang pernah mereka saksikan, hanya menyelimuti separuh langit dengan warna hitam pekat semacam itu. Sekarang, langit hitam pekat di semua penjuru. Efeknya pasti lebih dahsyat lagi.
Tapi apakah benar?
Tidak, tidak ada yang tahu kenyataan sesungguhnya. Langit hitam itu justru tidak datang karena kutukan. Langit hitam itu datang untuk menyambut sebuah urusan.
Petir menyambar membelah langit. Saat itulah di utara Kampung Hijau, muncul sesuatu, sesuatu yang telah diramalkan. Itulah yang disambut oleh Langit Hitam.
35
Tangan Terkutuk dari Masa Lalu
Petir itu terlihat amat menakutkan. Bagai sebuah utas tali raksasa jatuh menyambar dari atas langit. Orang-orang, warga Kampung Hijau yang berlindung di rumah masing-masing saja, jeri melihatnya. Apalagi mereka yang berada di luar rumah. Mereka termasuk kepala kampung, enam orang tim pencari, Turguy, Murguy, serta Allary.
Kepala Kampung dan enam tim pencari sekarang sudah tidak lagi fokus berjalan turun ke Kota Pasar. Mereka hanya berpikir untuk menyelamatkan diri, mencari tempat berteduh terdekat. Gua-gua yang mungkin bisa dipakai sementara. Badai nampaknya semakin dekat. Petir menyilaukan mata itu adalah pertandanya.
“Bagaimana ini, kepala kampung,” seorang dari rombongan mereka berseru lagi, panik. Badannya sampai gemetar.
“Diamlah, fokus.” Kepala Kampung balas berseru, ketus.
“Fokus dengan apa, kepala kampung?”
Kepala kampung menelan ludah. Dia juga tidak tahu. Dia juga sama gemetarnya.
Rombongan Allary juga berada dalam masalah serius. Dalam ketakutannya, Turguy dan Murguy sekarang berlari-lari, meninggalkan Allary yang tergopoh-gopoh mengikuti mereka. Turguy dan Murguy adalah para pendaki profesional. Mereka mahir mendaki, naik turun gunung. Allary tidak. Nafasnya tersengal-sengal.
“Hei, kalian berdua. Tunggulah aku.” Allary berseru, tertahan. Ekspedisi ini benar-benar memerlukan energi yang ekstra.
Turguy dan Murguy mana mendengarkan. Mereka lebih fokus dengan diri sendiri. Menyelamatkan diri. semilir angin kini sudah berganti dengan hembusan. Semakin lama semakin kuat. Petir berkilat-kilat. Menyambar sembarang tempat di langit. Membuat bunyi yang dahsyat.
“Badai itu benar-benar datang, Turguy.” Murguy berteriak ketakutan. Memegangi lengan Turguy.
“Diamlah Murguy, tetap fokus.”
“Fokus terhadap apa, Turguy?”
Turguy berdecak kesal. Dia juga ketakutan. Tidak perlulah ditambah dengan mengurusi ketakutan orang lain.
Allary juga gemetar. Dia merasa seperti langit akan runtuh. Seumur hidup, di Indonesia, dia tidak pernah berhadapan dengan langit hitam macam begini. Kalian paham bukan, bukan awan yang berwarna hitam, melainkan langit. Hitam pekat. Menakutkan.
“Aduh!” Allary kali ini reflek berteriak. Dia tersandung sesuatu. Terjatuh ke tanah bersalju. berdebum.
Turguy dan Murguy reflek pula menoleh. Astaga, Allary, kenapa harus sampai terjatuh. Semoga dia hany terjatuh biasa, bukan semaput. Bisa tambah runyam kalau dia semaput.
“Kau tidak apa-apa Allary?” Turguy mengulurkan tangan.
Allary bangkit, menepuk-nepuk bahu dan pahanya yang belepotan salju. Tapi dia baik-baik saja.
“Ada yang sakit?” tanya Murguy.
“Eh tidak, aku cuma tersandung sesuatu. Mungkin semacam ranting pohon. Aku tidak apa-apa.”
“Oh syukurlah. Kukira tadi kau semaput,” Turguy menyeringai.
“Hei kau tersandung apa, Allary?” Murguy bertanya lagi. Merasa agak aneh. Tidak ada pepohonan yang cukup tinggi di Kampung Hijau, tidak pula di lereng Pahadaru. Jadi Allary tersandung apa?
“Ah kurasa dahan, ranting atau batu. Ya semacam itu. Tidak perlu dipikirkan. Hei, kurasa benda hitam di sana.” Allary menunjuk.
Turguy dan Murguy sama-sama menatap ke arah benda hitam itu. Benda itu pasti setengah terkubur ke bawah tanah. Yang terlihat cuma atasnya yang menyerupai batang tanaman mati. Tapi hei, sekali lagi, tidak ada pohon di lereng Pahadaru. Jadi apa itu?
Turguy dan Murguy sama-sama mendekat. Benda hitam itu perlahan menjadi jelas. Semakin jelas, semakin Turguy gemetar melihatnya. Tidak mungkin. Turguy tahu benda apa yang tertancap mirip batang tanaman itu. Turguy tahu persis.
“Ini bukan batang tanaman mati, Murguy. Astaga, aku nyaris tidak percaya apa yang kulihat.”
“Hei, bukannya itu...” Murguy berseru, tertahan. Ikut mengenali benda itu.
Turguy dengan hati-hati, menggali tanah di sekeliling benda itu menancap, pelan-pelan dan hati-hati, mengeluarkan benda hitam itu sepenuhnya. Petir sempurna menyambar kaki langit.
“Tidak salah lagi, ini adalah Tangan Terkutuk dari Masa Lalu, Hariyo Gaurun Hand.”
Ya, itulah benda yang kemunculannya, disambut Langit Hitam. Setelah itu, langit sempurna memancarkan air. Hanya air, tanpa angin, tanpa ketakutan. Air yang amat menenangkan. Turguy mengajak dua temannya mencari tempat berteduh.
36
Hariyo Gaurund Hand
Ini adalah kisah lama...
Kisah yang sudah lama dilupakan...
Kisah yang lama sudah ditutupi...
Kisah yang sudah lama dianggap tabu...
Hingga benda itu kembali muncul, setelah sekian lama menghilang, setelah sekian lama raib.
Ini adalah kisah tentang Tangan Terkutuk dari Kampung Hijau, Hariyo Gaurun Hand.
Alkisah dahulu sekali, saat dunia masih belum semodern sekarang, saat manusia masih bepergian dengan menunggang kuda atau naik perahu layar, orang-orang Pahadaru yang mendiami Kampung Hijau hidup berdampingan dengan makhluk setengah mitos, Raksasa Hi’um. Dia adalah monster salju.
Keberadaan Raksasa Hi’um tidak pernah bisa dibuktikan dengan pasti. Hanya lewat cerita-cerita. Lewat pengalaman sambil lalu. Banyak yang menganggapnya adalah sosok yang dilebih-lebihkan. Dan tak sedikit pula yang menganggapnya sosok yang benar-benar ada.
Setidaknya bukti-bukti keberadaan Raksasa Hi’um terus dibacakan, diceritakan, diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagian untuk menakut-nakuti anak-anak nakal, orang-orang pendek akal, atau orang-orang yang berbuat nekat di lereng Pahadaru.
Banyak orang percaya, bahwa Raksasa Hi’um adalah wujud penjaga Pegunungan Pahadaru. Dia sering muncul dalam bentuk siluet bayangan, jejak kaki, cakaran di pohon, atau auman suara. Mengingat tidak ada hewan buas lain di Pegunungan luas itu, toh jadi pertanyaan, siapa yang meninggalkan cakaran atau auman itu?
Ketika dunia mulai menggeliat mengenal peradaban, orang-orang Pahadaru, terutama yang berada di Kampung Hijau, sekali pernah dikejutkan penemuan aneh. Penemuan yang amat menggemparkan. Mungkin akan setara menggemparkannya dengan penemuan alien (jika itu benar-benar ada). Temuan itu adalah sepotong tangan, tangan yang besar. Kemungkinan besar tangan itu terpotong sampai siku saja, tapi besarnya, tiga kali lipat tangan manusia biasa. Sangat mengherankan bagi orang Kampung Hijau di masa itu.
Orang tua-tua percaya, bahwa potongan tangan itu, adalah bagian tubuh dari Raksasa Hi’um, yang entah bagaimana caranya, bisa ada di sana. Segera bermunculan banyak cerita mulut. Kita tidak perlu mendengarkan terlalu banyak cerita mulut tak jelas, yang terpenting adalah potongan tangan itu diproses oleh orang tua-tua di Kampung Hijau, diawetkan dan dijadikan semacam artefak kuno legendaris. Tempat penemuan potongan tangan itu dijadikan kuil dan sang artefak disimpan disana.
Telah lama orang Kampung Hijau percaya bahwa Raksasa Hi’um adalah penghubung kami dengan Dewa Gunung, jadi artefak itu jadi sangat luar biasa. Artefak yang disimpan di Kuil Suci itu dianggap sebagai pelindung Kampung Hijau, atau disebut juga Hariyo Gaurun Hand.
Ratusan tahun lalu, ketika orang-orang Eropa modern menjejakkan kaki di seantero dunia, tak terkecuali di Pegunungan Pahadaru. Orang-orang Eropa pada dasarnya serba tahu, namun mereka skeptis. Dua kombinasi itu, membuat mereka jadi orang-orang pintar. Tak terkecuali menyoal Raksasa Hi’um ini.
Orang Eropa sangat skeptis tentang keberadaan mitos tak jelas Raksasa Hi’um yang jelas tidak bisa dibuktikan dengan cara ilmiah. Tapi mereka juga tidak bisa menampik bahwa Hariyo Gaurun Hand ada di sana, sebagai bukti tak terbantahkan. Bukti yang amat kuat.
Hanya ada satu cara membuktikannya. Mereka berniat meminjam Hariyo Gaurun Hand untuk diuji sampel di laboratorium. Sesuatu yang tidak dipahami oleh tetua Kampung Hijau di masa itu. Para Tetua hanya mengerti satu hal, orang Eropa hendak mengambil artefak suci milik kampung ini, dan tentu saja para tetua menolak menyerahkannya.
Orang Eropa tidak pernah kehabisan akal. Mereka membujuk, merayu, mengiming-imingi. Kalimat “demi kemajuan ilmu pengetahuan” mereka khotbahkan panjang lebar. Para tetua tetap menolak menyerahkan artefak suci, Hariyo Gaurun Hand pada orang Eropa. Mulailah dari sana, terjadi kesalahpahaman, ketidakrukunan, tidak lama kemudian saling serang antara orang Pahadaru dengan orang Eropa.
Tentu saja orang Pahadaru kalah. Kami tidak punya apa-apa untuk melawan. Bila keadaan terus begini, para tetua menyadari satu hal, ada kemungkinan, Hariyo Gaurun Hand akan direbut paksa oleh orang Eropa. Para Tetua mulai memikirkan apa caranya agar bisa menyelamatkan jimat suci pelindung Kampung Hijau itu. Menyembunyikannya, jelas tidak. Karena orang Eropa akan dengan mudah menggeledah seisi kampung untuk mencari benda itu. Pada akhirnya Tetua punya akal.
Dengan izin Dewa Gunung, para tetua memotong sepertiga jari kelingking dari Hariyo Gaurun Hand, menyembunyikannya dalam segumpal kain, menjadikannya kalung. Harapannya, bila suatu saat Hariyo Gaurun Hand benar-benar tidak bisa mereka pertahankan, masih ada sisa-sisa kecil peninggalannya yang bisa dijadikan jimat pelindung. Para Tetua yakin sekali dengan hal ini.
Dan mereka benar. Orang Eropa akhirnya datang dengan nekat. Merebut Hariyo Gaurun Hand. Membawa senjata. Mengalahkan semua orang yang berniat melawan. Hari itu menjadi kelam bagi orang Pahadaru, jimat suci mereka, Hariyo Gaurun Hand direbut paksa oleh orang Eropa.
Hanya saja, keadaan tidak berlangsung lama, di utara Kampung Hijau, satu pleton pasukan Eropa yang membawa Hariyo Gaurun Hand itu, tiba-tiba diserang fenomena menakutkan. Tidak ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Yang pasti, keesokan harinya, semua orang di Kampung Hijau geger, melihat orang-orang Eropa mati bergelimpangan, dengan otak terburai keluar. Semua orang di sana (konon ada 25 orang, yang jadi mayat), habis tak bersisa.
Para Tetua sangat senang. Hariyo Gaurun Hand membuktikan tuahnya. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat keberadaannya. Namun ketika para Tetua mencoba mencari dimana jimat suci itu berada di antara tumpukan mayat itu, nihil hasilnya.
Hariyo Gaurun Hand menghilang. Tidak ada yang tahu kemana perginya jimat suci kami itu, sejak hari itu.
Para Tetua, dengan bijaksana, meminta agar warga kampung semua, mengevaluasi diri yang telah gagal melindungi jimat berharga itu. Mungkin Raksasa Hi’um telah mengambil tangannya kembali, karena kami tidak bisa menghargainya. Sejak saat itu, yang kami miliki, hanya tinggal potongan sepertiga jari kelingking dari Hariyo Gaurun Hand. Tetua meminta kami menjaganya betul-betul, seperti menjaga nyawa. Dan ada baiknya mengenai Hariyo Gaurun Hand, tidak perlu diceritakan lagi ke generasi selanjutnya.
Turguy menutup cerita dengan menghela nafas. Allary mengerjap-ngerjapkan mata mendengar cerita yang cukup panjang itu.
37
Jimat Suci di Tempat Tak Terduga
“Lalu bagaimana bisa, artefak kalian yang telah lama hilang itu, berada di sini sekarang?” Allary bertanya, dengan serius.
Turguy dan Murguy terdiam. Sejujurnya mereka tidak tahu jawaban pastinya kenapa. Sudah lama Hariyo Gaurun Hand dilupakan. Usaha-usaha mencarinya telah lama dihentikan, lalu bagaimana bisa benda itu muncul begitu saja?
Hujan di luar masih turun dengan deras. Turguy, Murguy dan Allary beruntung menemukan pondok yang cukup kokoh untuk berteduh. Turguy dengan hati-hati menyelimuti Hariyo Gaurun Hand dengan jaket yang dipakainya. Penuh penghormatan.
“Entah apa yang akan dikatakan Kepala Kampung kalau dia tahu kita pulang membawa artefak yang telah lama hilang ini.”
“Hei Turguy, aku teringat sesuatu, soal ramalan itu...” Murguy bersuara dengan semangat, sebelum kemudian terdiam lagi. Seolah ragu-ragu mengucapkannya.
“Tidak perlu membahas ramalan tidak jelas, Murguy,” Turguy berseru.
“Tidak, tidak. Ceritakan saja. Aku akan mendengar,” tukas Allary, antusias.
“Para tetua meramalkan bahwa suatu hari nanti Hariyo Gaurun Hand akan muncul lagi, di hari itu, langit akan berwarna hitam pekat, petir menyambar-nyambar, hujan akan turun deras, tapi suasana akan terasa sangat damai. Dan orang yang menemukannya akan...”
“Cukup Murguy, jangan membuat Allary cemas dengan hal-hal yang tidak berguna.”
“Eh ada apa sebenarnya Turguy, ada apa dengan orang yang menemukannya? Itu berarti aku bukan?”
“Sudah, sudah. Kita tidak boleh membahas soal ramalan itu, Allary. Hidupmu masih panjang. Jangan sampai kau ketakutan seumur hidup dengan ramalan tidak jelas.”
“Hei, aku jadi semakin penasaran.”
“Sudah Allary,” Turguy berseru tegas, “ayo kita pulang. Aku harus segera memberitahu Kepala Kampung tentang penemuan artefak ini.”
Allary teringat sesuatu, “lalu bagaimana soal jimat yang hilang itu?”
“Kurasa hal itu juga harus dibahas, tapi aku yakin sekali, semua orang akan senang melihat artefak ini kembali. Apa gunanya mencari potongan sepertiga jari kelingking jika kita menemukan bagian tangan sisanya. Kurasa Dewa Gunung sekalipun akan senang.”
Menarik sekali logika Turguy sudah setara dengan para dewa.
Saat mereka hendak berdiri, tiba-tiba saja, sesuatu terjatuh dari tas kecil yang dibawa Turguy sedari mereka dari Eutasaga. Sesuatu jatuh. Sesuatu yang sedari tadi memanggil setiap kepanikan.
“Bukankah itu...” Murguy berucap tertahan lagi. Kali ini sambil menutup mulut dengan tangannya. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
“Ini adalah jimat suci itu bukan?” Allary asal menebak, Murguy memungut benda itu. Mengamatinya. “Tidak salah lagi,” ujar Murguy.
Kontan saja mereka berdua menatap ke arah Turguy. Meminta penjelasan.
“Hei, aku tidak bercanda. Aku tidak tahu menahu bagaimana jimat itu bisa ada di tasku. Ini lelucon. Lelucon yang benar-benar tidak lucu. Aku bersumpah, aku tidak tahu menahu soal jimat ini. Aku bersumpah.”
Itulah lelucon dari para dewa.
Allary menepuk-nepuk bahu Turguy. “Aku percaya denganmu my friend. Tapi ini benar-benar keajaiban bukan?”
“Ah sekarang semua masuk akal, Turguy. Jimat itu ada di sebuah ruangan tertutup yang sempit. Jimat itu ternyata ada di tasmu. Semua teror dan kutukan sampai badai datang, itu karena jimat itu kau bawa keluar dari desa.” Murguy tersenyum geli.
“Ah sudah. Mari kita bawa dua benda ini ke hadapan kepala kampung. Dua jimat sakti Pahadaru, telah kembali. Ini jelas kabar baik.”
Hujan perlahan-lahan reda.
Di tempat lain, Kepala Kampung dan enam orang rombongan pencari, keluar dari gua. Memutuskan untuk kembali ke Kampung Hijau.
“Kurasa sesuatu telah terjadi. Apapun itu, kurasa ada kabar baik,” entah bagaimana kemudian, Kepala Kampung merasa ada sesuatu yang baik sedang terjadi. Dia tersenyum pada keenam anggota rombongan pencari.
38
Mari Kita Lanjutkan Perjalanan
Kampung Hijau gempar. Sangat gempar.
Turguy, Murguy, dan Allary tiba bersamaan dengan Kepala kampung beserta enam anggota tim pencari. Tepat di saat kepala kampung ingin melaporkan bahwa pencarian mereka nihil hasil, saat itulah Turguy menunjukkan apa yang didapat oleh dia dan dua temannya.
Kontan saja, seluruh mata menatap takjub, terkejut, dan sebagian besar orang bingung. Apa itu? Potongan tangan macam apa itu? Terlihat menjijikan. Maklum, hanya beberapa orang yang mengetahui tentang Hariyo Gaurun Hand, hanya para petinggi kampung dan orang-orang yang berkepentingan.
“Jadi kau temukan pusaka sakti yang telah lama hilang ini di tumpukan salju, dan kau malah menemukan jimat kita yang hilang di dalam tasmu? Sungguh ajaib sekali, Turguy.” Kepala Kampung berucap dengan nada sangat gembira.
“Sungguh kedua-duanya adalah kejadian yang tidak pernah kusangka, tuan kepala. Mengenai Hariyo Gaurun Hand, ia muncul sendirinya di atas tanah bersalju, adapun tentang jimat suci, itu juga tidak aku menahu, mengapa dan bagaimana jimat itu ada dalam tasku.”
Kepala kampung mengamati Hariyo Gaurun Hand dengan saksama. “Aku belum pernah melihat benda ini, dan tidak pernah berharap bisa melihatnya. Tapi ini nyata, sungguh nyata. Sesuai deskripsi tetua.”
Turguy mendekat, kemudian berlutut di hadapan kepala kampung, (yang masih asyik mengamati Hariyo Gaurun Hand), “maafkan aku Tuan kepala. Andai aku mengecek dulu dalam tasku, mungkin keributan dan kepanikan ini tidak akan terjadi.”
“Saya berani bersaksi bahwa Turguy tidak terlibat dan tidak tahu menahu soal jimat itu, bagaimana bisa berada di dalam tasnya. Aku bersamanya sejak di Eutasaga,” Allary ikut bersuara.
“Ah ya, aku juga berani bersaksi kemarin malam, jimat itu masih ada di kuil suci. Sangat tidak masuk akal bagaimana jimat itu ada di dalam tas Turguy.” Murguy ikut bersaksi.
Kepala Kampung tertawa keras. “Hei astaga, kalian tidak perlu seserius itu. Aku percaya dengan Turguy, aku percaya dengan kalian semua. Dengan adanya Hariyo Gaurun Hand di hadapan kita sekarang, masalah kehilangan kalung jimat itu jadi urusan yang remeh saya. Kalian tidak perlu membesar-besarkan masalah remeh. Anggap saja, jimat itu sengaja menghilang, memberi pertanda, kemudian masuk ke dalam tas Turguy. Hei itu masuk akal bukan?”
Sungguh kesimpulan yang canggih dari kepala kampung, pikir Allary.
“Lebih dari itu,” Kepala kampung melanjutkan, “aku sungguh berterima kasih kepada tamu kita, temannya Turguy yang tadinya ingin mendaki, yang sudah bersusah payah membantu kami mencari jimat suci.”
“Sebenarnya, dialah yang pertama kali menemukan Hariyo Gaurun Hand,” Murguy menyela.
“Oh begitu,” mata kepala kampung berpijar antusias. Orang ini, pasti bukan orang biasa, pikirnya. “Turguy, boleh aku memberimu saran?”
“Ada apa tuan kepala?”
“Kau lanjutkanlah perjalanan mendaki dengan dia. Pastikan dia melihat puncak Sarsa.”
“Eh tapi tuan kepala..?”
“Tapi apa Turguy?”
“Eh, setelah semua ini apakah perjalanan masih bisa dilanjutkan?” Allary berbinar.
“Eh aku, tidak, eh bagaimana ini tuan Kepala?” Turguy merasa serba salah.
“Lanjutkanlah perjalanan esok pagi Turguy. Kalian masih keburu mengejar waktu ke Base Camp. Lagipula, urusan di Kampung Hijau sudah selesai bukan?”
Turguy tidak punya pilihan lain lagi, selain mengangguk.
39
Menuju Base Camp
Matahari terbit di Kampung Hijau. Hari kedua pendakian. Kampung Hijau telah mengeluarkan pesonanya yang sesungguhnya, setelah semua kepanikan kemarin, terlupakan. Turguy, Murguy dan Kepala Kampung sudah mengembalikan Hariyo Gaurun Hand ke Kuil Suci. Upacara kecil-kecilan. Akhirnya semua orang bisa tenang.
Pukul setengah lima pagi, Allary sudah bangun. Mereka menumpang di rumah Murguy. Setelah menyegarkan tubuh sebentar, juga keperluan lain, Allary berinisiatif untuk keluar dari rumah, melihat pemandangan.
Dan Allary langsung terpesona.
Hei siapa pula yang tidak terpesona. Lihatlah Kampung Hijau sekarang. Kampung ini tidak tertutupi oleh pegunungan Pahadaru, semburat fajar merah terlihat di nun jauh di Timur sana. Fajar merah itu memancari Kampung Hijau, yang sesuai namanya, berwarna serba hijau. Allary sebentar melupakan banyak masalah yang ada di kepalanya dengan pemandangan semacam itu. Allary menikmati pemandangan sampai pukul enam pagi.
Pertemuan kecil dilakukan di Balai yang kemarin menjadi pusat cerita. Allary, Turguy, Vivi dan tentu saja Mister Latino yang pendiam, Felix Norton sudah siap berangkat. Ada juga Kepala Kampung dan Murguy. Semua nampak gembira.
“Semangat sekali kau Turguy,” Murguy tersenyum melihat Turguy yang melemas-lemaskan kakinya.
“Sebuah kehormatan untuk bisa meneruskan perjalanan dengan orang-orang yang setia kawan, seperti mereka.” Turguy berucap tanpa ragu-ragu.
Kepala Kampung menghampiri Allary, menepuk-nepuk bahunya. Matanya berkaca-kaca. “Murguy sudah cerita semuanya. Tentang kesungguhanmu membantu mencari jimat yang hilang, tentang bagaimana kau yang menemukan Hariyo Gaurun Hand untuk kami, sungguh kampung ini berhutang budi padamu, Allary.”
Allary tersenyum juga. Selalu senang membantu orang dan membuat orang senang dengan bantuannya.
“Sebagai sebuah tanda balas budi, aku akan mengirimkan enam orang pemuda dari Kampung Hijau untuk membantu ekspedisimu ke atas. Ini adalah musim rawan. Kau perlu banyak bantuan saat ingin melalui Air Terjun Es.”
“Terima kasih atas kebaikan anda.”
“Jangan sungkan, dan untuk Turguy,” Kepala kampung berpaling ke arah Turguy, yang segera keheranan. Apa lagi urusan kepala kampung dengannya.
Murguy mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya, menyerahkannya kepada Kepala Kampung, dan kepala kampung menyerahkannya pada Turguy. Turguy sangat tahu, benda apa itu.
“Ini jimat suci kita bukan?”
“Iya, kau simpan saja, Turguy.”
Turguy tersentak kaget, apa yang dipikirkan Kepala Kampung, “jangan sembarangan, tuan kepala. Kalau aku membawa jimat ini keluar kampung, bisa-bisa terjadi kutukan lagi.”
“Ah tidak Turguy. Kami sudah memiliki Hariyo Gaurun Hand. Itulah penjaga sejati kampung ini. Kau bawa saja jimat suci itu. Siapa tahu berguna di perjalanan.”
Mau tidak mau Turguy menerima jimat suci itu, menyimpannya dengan hati-hati ke dalam tas.
Perjalanan panjang rombongan Allary segera dimulai kembali.
“Dia bukan pemuda biasa,” gumam kepala kampung ketika melepas mereka di gerbang kampungnya. Jalan terhampar menuju ke Base Camp Sarsa.
“Aku sungguh tidak percaya kau bersedia melanjutkan perjalanan ini, Allary.” Turguy bergumam di perjalanan, dia berjalan bersisian dengan Allary di paling depan. Vivi tepat di belakang mereka. Enam orang yang kemarin menjadi anggota tim pencari, ikut di belakang Vivi sebagai tambahan bantuan. Sementara Felix menjaga di paling belakang. Begitulah formasi pendakian mereka.
“Hei, aku juga sungguh tidak menyangka Turguy. Tapi tak apa, syukurlah perjalanan kita bisa dilanjutkan.”
“Aku sungguh tidak menyangka kita bisa menemukan Hariyo Gaurun Hand itu.”
“Hei sudahlah Turguy,” Allary menepuk-nepuk bahu Turguy, “kita tidak perlu membahas masalah itu lagi, bukankah cerita tentang itu adalah hal yang tabu di sini.”
“Ah kau benar juga Allary. Baiklah, kita bicarakan hal lain, seperti, benarkah kau berasal dari Indonesia?”
Allary mengangguk meyakinkan, “tentu saja Turguy. Indonesia, negeri dengan wisata terindah di dunia.” Allary tertawa kecil.
“Kalau masalah itu rasanya aku setuju denganmu, Allary.”
“Eh?” Allary tersentak kaget.
“Aku tidak asing dengan negerimu itu Allary. Panoramanya yang sangat indah. Aku pernah berkunjung ke Indonesia, beberapa kali. Di antaranya mengunjungi Bali dan Pulau Komodo (Turguy menyebutnya Komodo Island). Tempat yang eksotik.”
Allary manggut-manggut.
“Dua kunjungan itu membuatku sangat terkesan dengan negaramu. Sebuah negara yang besar, negara yang sangat ramah. Oh ya, aku bisa mempraktikkan sedikit bahasamu, “apa kabar” (bukannya How are you),”
Allary manggut-manggut lagi. Lalu entah energi darimana, mereka berdua tertawa. “Bagus Turguy, bagus sekali.” Kemudian mereka berdua melakukan “high five”.
“Hei kalian berdua,” sahut Vivi dari belakang, “kurasa sebaiknya kalian menghemat topik pembicaraan. Jangan sampai kalian kehabisan topik sebelum sampai di puncak.”
Allary dan Turguy tak hirau, melakukan high five lagi.
Semoga kami bisa sampai di Base Camp sebelum matahari terbenam, doa Turguy dalam hati.
40
Acara di Base Camp
Karena memotong jalur sejak awal, rombongan Allary (mulai sekarang harus dipatenkan disebut begitu sebab Allary adalah pimpinan rombongan, esok-esok Turguy akan memanggil Allary dengan embel-embel ketua), melenceng dari jadwal pula.
Jarak Base Camp Sarsa dengan Kota Pasar sebenarnya hanya setengah hari perjalanan, tapi rombongan Allary harus menempuh perjalanan sehari penuh untuk sampai di sana. Melewati medan yang jarang dilewati manusia. Untunglah medan itu tidak terlalu sukar didaki.
Beruntungnya, perkiraan Turguy tepat waktu, mereka sampai di gerbang Base Camp saat matahari siap bersembunyi di peraduannya. Allary, Turguy dan Felix bahu membahu memasang tenda untuk mereka bermalam malam ini. Allary juga menata perapian di depan tenda. Ada banyak wisatawan lain di sekeliling mereka. Area itu cukup luas. Sekitar satu hektar lahan membentang luas dan datar. Base Camp Sarsa.
“Kita bisa menetap di sini selama beberapa hari di sini jika kalian mau. Fungsi utama Base Camp adalah membiasakan tubuh pendaki dengan suasana pegunungan yang sebenarnya,” jelas Turguy saat mereka mendirikan tenda.
“Apakah itu tidak masalah? Kurasa kita sudah tertinggal jadwal?” Allary menyela.
“Kukira benar itu Allary. Tapi kita masih di jalur yang benar. Kita masih bisa beristirahat di Base Camp ini selama satu atau dua hari. Ya itu cuma saranku. Kau ketuanya, Allary.”
Allary tersenyum. Malam sudah turun. Setelah ini dia harus menyiapkan makan malam. Sejak kemarin mereka hanya makan seadanya, menumpang-numpang. Setelah melewati semua adegan menakutkan di Kampung Hijau kemarin, rasanya sudah sewajarnya, rombongannya makan sesuatu yang istimewa.
Allary memanaskan wajan tipis (yang dibeli dengan uang Turguy di Ibukota), mengeluarkan adonan, memotong daging dan sayur. Memecah telur. Mulai mengolah martabak. Di atas api perapian. Dengan sedikit kontrol yang gemilang, Allary bisa mengatasinya. Tiga tangkup martabak telor istimewa sebagai santapa makan malam mereka.
“Hei, ini lebih enak dari apa yang aku makan di Eutasaga,” Turguy memasang wajah berbinar. Sebenarnya sejak tadi dia sudah berbinar. Sejak Allary bilang akan memasak martabak lezat untuknya.
“Yang ini kubuat dengan bahan yang lebih lengkap ketimbang saat di Eutasaga. Kalau di Indonesia, ini akan dihargai lebih mahal.”
“Hei, ini ada potongan daging?” Turguy mengunyah dengan penuh penghayatan.
“Benar, itu daging.”
“Ini membuat setiap gigitannya semakin enak,” komentar Turguy lagi.
Sebenarnya tidak semua orang di rombongan Allary yang menikmati hidangan martabak. Tentu saja, selain Turguy, Vivi dan keenam orang anggota tim pencari, masih ada Felix. Ya mister Latino sama sekali tidak mau mencicipi martabak buatan Allary. Dia malah sibuk memanggang sosis.
“Ssst, Ketua, nampaknya Felix masih belum mau mencicipi martabak buatanmu,” bisik Turguy.
“Nanti dia akan mencicipinya. Mungkin sekarang dia sedang tidak nafsu makan. Atau dia adalah orang yang pemalu.”
Setelah selesai makan malam, beberapa orang, terutama enam orang anggota tambahan, pamit pergi beristirahat lebih dulu. Felix dan Vivi juga sempat hendak berpamitan duluan, Allary mencegahnya.
“Tolong kalian bertiga jangan kemana-mana dulu. Ada yang mau kubicarakan.”
“Ada apa?” Felix bertanya, suaranya acuh tak acuh.
“Mari kita bercerita.”
“Bercerita Allary?” Vivi ikut bertanya. Nadanya bingung.
“Yap,” PLOKK! Allary menepuk tangannya, sekarang Allary sudah terlihat seperti pemimpin yang kharismatik, “Turguy bilang, bahwa Base Camp adalah tempat kita membiasakan diri. Kukira, tubuh kita sudah cukup membiasakan diri dengan gunung dalam dua hari terakhir, terutama saat di Kampung Hijau. Tapi kita belum membiasakan diri sebagai sebuah tim. Malam ini, aku mau kita saling mengenal satu sama lain. Mari kita bercerita.”
Vivi menyernit kening, apa yang dipikirkan Allary?
Astaga, baru kupanggil ketua sekali saja, dia sudah berlagak, decak Turguy dalam hati.
Merepotkan sekali!!
41
Cerita di Perapian
“Kau tidak berniat mendramatisir bukan, Allary?” Turguy bertanya, kembali menggunakan kata “Allary” bukan “ketua”, takutnya Allary terkena post power syndrome.
“Tidak Turguy. Ini penting bagi kita, saling mengakrabkan diri satu sama lain. Dan cara terbaiknya adalah dengan bercerita tentang diri kita. Kau mau mencobanya lebih dulu, Turguy?”
Turguy berdecak lagi. Tapi nada suara Allary itu susah dibantah. “Baiklah ketua, entah apa yang harus kuceritakan, karena aku tidak pandai dalam bercerita,” Turguy mengusap wajah sejenak, “namaku Turguy, Turguy Amartey. Usiaku 28 tahun. Seorang pendaki gunung dan guide Sarsa yang berpengalaman. Kedudukanku di suku-ku cukup disegani pula. Seperti yang kalian lihat, aku adalah pengawas pemeliharaan jimat suci, atau sekarang Hariyo Gaurun Hand.
“Well, satu rahasia yang mungkin belum kalian ketahui, adalah aku bukan sepenuhnya orang Pahadaru. Amartey pada namaku itu merujuk pada kakek buyutku yang datang dari Inggris ratusan tahun lalu. Aku mewarisi darah Eropa, mungkin karena itu pula, aku bisa menguasai bahasa Inggris lebih baik dari guide lain. Oh ya satu lagi, sebagai pendaki Sarsa yang berpengalaman, aku tahu banyak tempat tersembunyi dan rute-rute yang tidak diketahui orang lain. Mungkin begitu saja, ceritaku, ketua.” Ceritanya selesai, Turguy mengusap wajah lagi.
Astaga, dia hanya membanggakan dirinya dalam ceritanya, kritik Felix dalam hati. Sementara Allary menggosok-gosokkan tangan, antusias.
“Baiklah, Vivi berikutnya.”
“Eh aku?”
“Silakan.” Sekali lagi, nada suara Allary tidak bisa dibantah.
“Namaku Vivi, maaf, aku lebih suka dipanggil demikian, sebab nama asliku panjang dan berbelit-belit cara pengucapannya. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, tapi mungkin kalian berhak tahu fakta ini, aku bukan sepenuhnya orang lokal Pahadaru.”
“Lho bukannya kamu punya rumah di Ibukota, dan pembawaanmu khas lokal sekali,” Allary menginterupsi.
“Kau salah menilainya kalau begitu ketua,” Turguy terkekeh, “aku tahu, Vivi. Sejak awal aku sudah menduga kamu bukan orang asli Pahadaru. Kamu tidak tahu apa-apa soal pendakian, bahasa lokalmu kaku, dan kamu dapat bantuan dari U3I, jelas sudah.”
“Benar Turguy, U3I bukan sembarangan memberi dana bantuan.”
“Hei bukannya kamu ikut di pendakian ini karena kamu ikut di rombonganku, mencukupi syarat,” Allary protes, tidak mengerti.
“Kamu benar soal itu Allary, cuma kamu jangan lupa, saat kamu tiba di lantai 3, diantar resepsionis, aku sudah ada di sana. Duduk berjam-jam, menunggu.”
Allary manggut-manggut. Masuk akal sudah.
“Kamu pernah ke Indonesia, Vivi?” Turguy bertanya.
“Belum, aku belum pernah ke sana. Ayahku orang Indonesia, seorang pegawai kedutaan di India. Ibuku adalah orang Pahadaru. Setelah ayah pensiun, beliau memutuskan untuk tidak pulang lagi ke Indonesia, menetap di Ibukota saja. Jadi ya, aku tidak pernah ke Indonesia.”
“Berarti kamu kalah denganku,” Turguy terkekeh lagi
Allary juga terkekeh. Tapi bukan menertawakan Vivi. Strateginya mengakrabkan rombongan berjalan baik. Tinggal satu orang. Felix Norton.
“Aku akan bercerita jika aku mau bercerita. Harap jangan menganggapku aneh karena sepanjang perjalanan, aku banyak berdiam diri.” Felix menangkis cepat-cepat begitu Allary menatap ke arahnya.
Felix beranjak, kabur. Allary memasang wajah masam. Sialan. Padahal tadi Allary membuat kegiatan bercerita ini agar Felix bisa menyatu dengan rombongannya.
“Well, baiklah. Kalau Mr. Latino tidak mau cerita, lebih baik kita pergi tidur.” Allary pura-pura menguap.
“Hei kamu belum cerita tentang dirimu, Allary,” Vivi berseru, melotot.
“Dia benar ketua. Tidak adil jika kau tidak bercerita.”
“Hei, aku hanya seorang penjual martabak, apa yang harus aku ceritakan?” Allary menangkis, tapi dia salah. Dia tidak sehebat Felix dalam hal itu.
Vivi memintanya membenarkan posisi duduk. Turguy melarangnya beranjak. Sempurna. Mereka berniat membongkar cerita dari Allary. Hidup atau mati. (Eh sepertinya itu berlebihan).
“Mari kita mulai dari namamu itu, Allary. Aku punya banyak teman orang Indonesia, tapi aku tidak pernah menemui ada nama seunik milikmu. Namamu itu bergaya barat.”
“Hoo, dia benar, ketua. Jangan-jangan kau juga punya darah barat seperti aku,” Turguy bersemangat sekali.
Allary menggeleng, “sama sekali tidak ada. Nama ini hanya sekedar warisan. Ayah dan kakekku namanya juga sama, Allary itu jadi semacam nama keluarga di keluargaku.”
“Lalu bagaimana soal pernah tinggal di London, kamu bilang begitu saat sarapan di rumahku.”
Allary menepuk dahi. Kenapa Vivi harus ingat soal itu.
“Ayahku seorang dosen di London. Tenaga pengajar. Jadi aku sempat ke sana, menemui beliau. Tinggal selama enam bulan, tapi aku tidak kerasan.”
“Hei tunggu,” sela Turguy, “ayahmu seorang dosen di London sana, dan kau malah menjadi penjual martabak? Entah kenapa itu tidak masuk di logikaku.”
“Logikaku juga sama,” Vivi mendukung. Allary kian terpojok.
“Nantilah itu aku ceritakan. Panjang sekali soalnya. Ini sudah malam. Sudah waktunya kita tidur.”
Ya, malam itu, mereka memang hanya menceritakan sempalan kecil kehidupan mereka (Felix malah tidak bercerita sedikitpun). Malam itu di depan api unggun, hanya sedikit yang terceritakan, tapi nantinya sepanjang perjalanan, semakin banyak hal yang akan terceritakan.
42
Air Terjun Es yang Luar Biasa
Sebelum mereka semua tidur malam itu, ketika Allary hendak beranjak ke peraduan, sekitar pukul 12 malam lebih sedikit (Allary tidak bisa mengetahui detail sebab dia tidak membawa jam), ada sedikit kejadian yang menarik.
Enam orang yang diminta Kepala Kampung Hijau untuk membantu rombongannnya, datang menghadap ke tenda. Allary keheranan. Bukannya tadi mereka sudah tidur?
“Ada apa?”
“Kami minta izin berangkat ke Air Terjun Es, memasang persiapan di sana. Jadi besok tuan-tuan dan nona tinggal mendaki saja lagi.” (Oh ya, tadi sudah diputuskan bahwa mereka tidak akan menunda perjalanan, langsung berangkat dari Base Camp besok pagi).
“Kalian pergi ke sana? Di tengah malam buta begini?” tanya Allary dengan wajah tidak percaya.
“Mereka perlu memasang persiapan, ketua,” Turguy mencoba menjelaskan, “Air Terjun Es adalah tempat yang ekstrim untuk mendaki. Salah satu medan sulit. Jadi perlu persiapan, tali-tali pengaman. Sudah jadi kebiasaan bagi tim pembantu untuk memasang persiapan, minimal satu malam sebelum pendakian dilakukan.”
“Kalian mau ke sana? Ini tengah malam buta, lho?” Allary masih mengulang pertanyaannya. Penuh penekanan. “Kalian tidak gila bukan?” sambung Allary lagi.
“Tidak ketua, ini demi kebaikan kalian, supaya perjalanan bisa dilanjutkan tanpa hambatan.” Satu orang memberanikan diri menjawab.
Allary menggeleng, “tidak kawan. Perjalanan tengah malam buta itu berbahaya untuk kalian. Kembalilah ke tenda. Kita bisa memasang segala macam tali persiapan itu besok pagi.”
“Hei tapi ketua, persiapan itu tidak sebentar. Butuh waktu. Jika dipasang besok, perjalanan kita bisa tertunda beberapa jam.”
“Tidak masalah. Kuputuskan perjalanan dilanjutkan besok pagi, untuk kami ataupun untuk kalian.”
Untuk sejenak, Allary terlihat seperti orang yang amat berwibawa. Enam orang tim pembantu menurut, kembali ke tenda. Tidur.
Air Terjun Es, mungkin adalah tempat terindah di kawasan Pahadaru, atau paling tidak di Gunung Sarsa. Tentu saja, karena inilah satu-satunya tempat tertinggi yang dibolehkan dicapai oleh pengunjung biasa, dan bukan pendaki gunung.
Air Terjun Es, bukan seperti air terjun biasa. Tidak ada air di sana. Yang adalah dinding terjal setinggi lebih dari 16 meter, dan lebar mencapai 8 meter. Mengapa tempat ini disebut Air Terjun adalah karena dari atas, setiap beberapa menit sampai jam sekali, turunlah longsoran salju akibat badai di atas gunung. Longsoran salju yang terjatuh dari ketinggian 16 meter, tentu saja sesuatu yang amat menakjubkan. Para wisatawan berdiri sekitar 8 meter di luar pagar tempat jatuhan Air Terjun demi alasan keamanan.
Air Terjun Es sangat berbahaya. Bayangkan saja bila ada orang yang kebetulan berada di bawah jatuhan salju itu, tepat saat saljunya jatuh. Tentu dia akan tertimbun. Terkubur hidup-hidup. Mengerikan bukan?
Nah selain dimanfaatkan sebagai tempat wisata, Air Terjun Es adalah jalur utama pendakian Sarsa dari jalur barat dan tenggara. Setiap pendaki yang lewat jalur itu harus memanjat dinding Air Terjun Es.
Caranya adalah, satu orang tim bantuan, dari Pahadaru akan memanjat cadas batu di bagian paling pinggir Air Terjun. Itu satu-satunya titik aman. Ya orang pertama akan naik tanpa alat pengaman apapun. Naik ke atas, memasang tali temali, barulah orang kedua, ketiga dan seterusnya, ikut naik dengan tali. Itu adalah cara ekstrim memanjat gunung. Salah sedikit bisa celaka. Itulah sebabnya Air Terjun Es selalu memakan korban setiap tahunnya.
43
Para Wisatawan dan Dua Pendaki
Allary tidak ikut memasang peralatan. Itu jadi urusan Turguy dan enam orang tim bantuan dari Kampung Hijau. Allary mana paham urusan tali temali macam begitu. Lebih-lebih lagi urusan itu akan mempengaruhi keselamatan mereka saat mendaki. Lebih baik diserahkan pada yang ahli, jadi Allary mengisi waktunya menunggu, dengan mengobrol dengan beberapa wisatawan yang datang ke Air Terjun Es.
“Saya James, berasal dari Kolombia,” ujar wisatawan yang disalami Allary. Sifat Allary yang ramah membuat pria di depannya ini mau menyebutkan identitas. Tahu bagaimana susahnya beramah tamah dengan bule bukan?
“Ah Kolombia, negeri yang indah di Amerika Latin,” seloroh Allary seolah pernah tinggal di negara tersebut selama beberapa tahun. “Bagaimana kondisi di sana sekarang? Saya dengar beberapa tahun lalu, sempat terjadi perang saudara.”
“Itu cuma bentrokan kecil-kecilan. Bukan perang saudara. Media kemudian membesar-besarkannya. Sengaja. Tapi sekarang keadaan sudah jauh lebih aman.”
Allary manggut-manggut. Kemudian dia mengajak James untuk berbincang sedikit tentang sejarah negaranya. Allary mendeskripsikan dengan akurat. Dia pernah kuliah di jurusan Ilmu sejarah pada suatu masa yang silam.
“Obrolan yang menarik, anda nampaknya tahu banyak tentang sejarah berdirinya sebuah negeri,” seseorang menyela pembicaraan Allary dan James dari belakang. Allary menoleh. Seorang pria berambut pirang bermata biru tadi bicara.
Mereka bersalaman.
“Saya Molowski, dari Ukraina,” katanya memperkenalkan diri. Allary balik memperkenalkan diri.
“Ukraina,” ujar Allary, “negeri di Eropa Timur dengan sejarah yang panjang.” Kemudian Allary mendeskripsikan hal-hal yang diketahuinya tentang Ukraina. Serangan Mongol di Kiev, intrik-intrik dengan Ke-tsar-an Rusia, intrik-intrik dengan Ottoman sampai ineksasi Ukraina ke dalam kuasa komunis.
“Wah, keilmuan anda dalam hal sejarah, luar biasa juga,” puji Molowski.
“Terima kasih,” ucap Allary dengan rasa senang. Bukan senang dipuji, lebih ke rasa senang karena berhasil mempraktekkan ilmu sejarahnya pada orang lain. Itu ilmu yang bermanfaat. Sejarah, mengajari orang tentang masa lalu.
Karena Allary adalah pembelajar masa lalu yang baik.
“Ketua, persiapan kita sudah selesai,” Turguy berseru dari kejauhan. Allary melambaikan tangan. Menyorongkan tangan, salam perpisahan dengan James dan Molowski.
“Wow, jadi anda seorang pendaki juga?”
“Benar, bagaimana dengan anda?” Allary bertanya pada Molowski.
“Saya juga pendaki. Semoga kita bertemu lagi di Camp 1 atau Camp 2. Saya rasa kita bisa mengobrol dengan lebih menyenangkan lagi.”
“Terima kasih, saya duluan.” Allary beranjak. Mendatangi anggota timnya yang sudah menunggu di bawah cadas batu dengan tali terjuntai.
44
Ada yang Terjatuh di Air Terjun Es
“Apakah tali ini cukup aman?” Allary berkali-kali bertanya, berkali-kali menelan ludah. Naik ke atas tebing curam setinggi belasan meter hanya dengan seutas tali, bagi seorang yang belum pernah mendaki, tentu saja cukup mendebarkan.
“Aman ketua, ini adalah prosedur standar. Kau jangan risaukan talinya. Tali itu lebih kuat dari yang kau kira.”
Allary terdiam melihat ke atas. Belum juga memanjat. Rasa khawatir masih berputar dalam pikirannya.
“Perlukah aku yang mencoba naik lebih dulu, ketua?” tawar Turguy.
“Kurasa itu lebih baik.”
“Baiklah. Ingat ya, urutannya begini, begitu aku naik, disusul Allary, kemudian Vivi dan yang terakhir Felix. Harap semuanya tetap waspada, karena tempat ini amat berbahaya.”
Tanpa sengaja, kata-kata Turguy itu tambah menggentarkan Allary.
Tidak ambil tempo, Turguy naik lebih dulu. Memanjat tali, sambil sesekali bertumpu pada dinding tebing yang curam itu. Dia gesit. Dia seorang guide. Bagi Turguy, memanjat Air Terjun Es ini hanya ibarat kegiatan di akhir pekan. Sudah rutin dia lakukan.
Turguy berhasil sampai ke atas dengan selamat. Melambai-lambai pada Allary dan yang lain di bawah. Baiklah, ini giliranku, mantap Allary dalam hati. Mulai meraih tali. Memanjat.
Dengan tubuhnya yang tidak terlalu besar dan gempal, Allary cukup mudah memanjat. Dia hanya tidak terbiasa. Beberapa kali hampir terpeleset, namun segera bertumpu pada dinding tebing cadas itu. Vivi memandangi Allary memanjat dengan cemas. Bukan mengkhawatirkan Allary, tapi cemas memikirkan bagaimana dia nanti memanjat.
“Hebat ketua, kau bisa memanjat dengan amat baik. Kurasa kau sering melatih dirimu sebagai olahragawan.” Turguy mengulurkan tangan begitu Allary sampai ke atas.
“Ah tidak juga Turguy. Aku hanya mencoba yang terbaik. Sejujurnya aku juga sempat takut tadi,” Allary garuk-garuk kepala.
Berikutnya giliran Vivi.
Turguy dari atas berkali-kali berteriak, mengingatkan agar berhati-hati. Terus berucap soal Air Terjun Es yang menjadi salah satu tempat yang berbahaya di lereng Sarsa. Vivi mendongkol mendengar semua peringatan itu. “Aku juga tahu itu, Turguy. Jangan kira aku tidak tahu. Toh aku juga orang lokal.”
Di luar dugaan, Vivi bisa memanjat dengan baik. Bahkan lebih gesit dari Allary. Gerakan tangannya ringkas dan tangkas. Dengan cepat dia mencapai setengah jalan. Sesekali bertumpu ke dinding tebing. Vivi menghela nafas.
“Tetap berhati-hati. Jangan lengah, Vivi.” Allary ikut berseru. Vivi berdecak. Hei entah kenapa semua orang meremehkan kemampuannya. Hanya karena dia adalah wanita.
“ARHHHHH”
Adegan itu terjadi begitu cepat. Baru saja Turguy hendak memperingatkan lagi tentang berhati-hati di Air Terjun Es, terdengar bunyi pekikan dari bawah. Suara perempuan. Suara Vivi.
Naas bagi gadis lokal Pahadaru blasteran Indonesia itu, Allary benar. Jangan lengah. Ketika dia sibuk berdecak, Vivi tanpa sengaja melepaskan pegangannya dari utas tali yang dia panjat. Vivi terjatuh. Kakinya menghantam dinding tebing. Membuatnya berteriak. Allary melihat kejadian itu panik seketika.
“ASTAGA VIVI!”
Terlambat. Allary tidak punya cara untuk turun ke bawah, menyelamatkan Vivi. Gadis itu terjatuh dari ketinggian hampir sepuluh meter. Cukup untuk membuatnya cidera serius.
HAPPPP!!
Di detik-detik yang amat menegangkan itu, Felix bertindak tepat waktu. Dia berpengalaman. Begitu melihat Vivi terjatuh, dia melilitkan ujung tali ke badannya, naik mendaki cadas, lalu menyambut tubuh Vivi di udara.
Detik-detik penyelamatan yang mengagumkan.
Allary, Turguy dan enam orang yang sudah tiba di atas, melihat kejadian itu dengan mata terkesima. Lalu mereka sadar apa yang harus mereka lakukan. Felix menjatuhkan dirinya. Mereka harus menyelamatkannya dengan cara menarik tali yang ujungnya melingkar di tubuh Felix.
Sekuat tenaga Allary, Turguy dan enam orang itu menarik tubuh Felix dan Vivi ke atas. Untungnya Turguy benar. Tali ini cukup kuat. Begitu melihat dua temannya bisa sampai ke atas dengan selamat, Allary menghela nafas berkali-kali.
“Syukurlah kalian berdua selamat.”
45
Melanjutkan Perjalanan
Felix tersengal-sengal begitu sampai di atas. Dia memulihkan diri, duduk di salah satu batu besar yang ada di atas tebing itu. Beberapa orang dari tim bantuan memuji-muji aksinya yang terbilang nekat itu. Felix hanya menanggapi dengan tersenyum tawar.
Sementara Allary dan Turguy dengan gesit memeriksa Vivi, terutama kakinya yang katanya tadi sempat terbentur. Begitu Vivi menyingkai celananya, terlihat di bagian lutut, membiru. Seperti terbentur.
“Sakit?” tanya Allary.
Vivi mengangguk, menggigit bibir. Rasa sakitnya baru terasa sekarang. Tadi sepanjang Felix menyelamatkannya, Vivi terlalu terkesima dengan aksi pria Latino itu. Sungguh luar biasa.
“Turguy, bagaimana kita mengobatinya?” Allary mengeluarkan satu kotak P3K yang telah dipersiapkan oleh U3I. Tapi Allary tidak tahu bagaimana cara menggunakan obat-obatan.
Beruntungnya Turguy sudah ahli dalam hal ini. Dia mengompres luka memar Vivi itu dengan butiran es yang mudah ditemukan di hamparan Air Terjun Es. Lima belas menit kemudian, Vivi sudah bisa tersenyum.
“Bagaimana, Vivi? Apakah sudah mendingan?”
“Aku baik-baik saja, Allary,” sahut Vivi, “aku jauh lebih tangguh dari yang kamu duga.”
“Baguslah, berarti kita tidak ada masalah di sini. Bagaimana selanjutnya Turguy?”
“Terserah padamu saja ketua. Kalau kau mau melanjutkan perjalanan, Camp 1 sudah tidak jauh dari sini. Dan aku memang merekomendasikan kita harus sampai di sana hari ini. Kita tidak sembarang berhenti di jalur pendakian. Cuaca bisa berubah-ubah tak menentu.”
“Kamu bisa berjalan, Vivi?”
“Haruskah kukatakan sekali lagi. Aku ini lebih tangguh dari yang kau kira, Allary. Lihat... ADUHH!!”
Baru saja Vivi hendak mencoba berdiri, membuktikan pada Allary. Lututnya pasti berdenyut, Vivi tidak bisa berdiri sempurna, nyaris tersungkur ke tanah. Beruntung sebelum lututnya yang cidera itu menghantam tanah, Allary lebih dulu sigap menyambar. Kembali mendudukkan Vivi ke atas batu.
“Kamu yakin sekarang?”
“Kurasa memang perlu waktu bagi kakiku untuk sembuh kembali. Tapi aku tidak mau merepotkan perjalanan ini.”
Turguy menggeleng. “Sama sekali tidak. Kita bisa lanjutkan perjalanan. Minta saja satu orang untuk menggendongmu.”
“Ha, ide bagus. Bagaimana kalau kita minta Felix saja yang melakukannya.”
“Hei, kenapa harus Felix?” Vivi tiba-tiba berseru. Berusaha sekuat mungkin untuk nampak normal. Walau sekalipun, pipinya benar-benar bersemu merah.
“Aku tidak mau. Kau saja yang melakukannya,” kata Felix ketika ditawari. Suaranya masih seperti semula. Acuh tak acuh.
Allary dan Turguy berpandangan. Sayangnya, seperti kata Turguy, mereka tidak punya banyak pilihan. Perjalanan harus dilanjutkan. Terpaksalah, Allary yang menggendong Vivi. Dikatakan terpaksa sebab Allary bukan orang yang kuat membawa beban.
“Maaf merepotkanmu, Allary.”
Dan jujur saja, kalimat Vivi yang diucapkannya dengan jarak sedekat itu, mengundang sensasi ganjil bagi Allary Azra.
46
Kisah-kisah Penjelajahan
Mereka akhirnya sampai di Camp 1 sebelum malam menjelang. Sampai di sana, Vivi yang sudah bisa berjalan perlahan dibantu oleh Allary, langsung beristirahat, duduk mengurut betisnya kanannya. Bukan betis yang sakit, sebab yang tadi terbentur adalah lutut kirinya. Kaki kanannya itu sakit karena terlalu pegal menopang berat badannya.
Allary juga merasa letih. Semangatnya hari ini tidak setebal kemarin-kemarin. Pendakian ini mulai menunjukkan sisi beratnya. Selain itu Allary juga menghabiskan banyak energi menggendong Vivi sepanjang jalan. Dia meminta maaf pada Turguy dan yang lainnya, karena tidak bisa ikut memasang kemah.
“Ah tidak masalah Ketua. Bahkan mungkin malam ini kita tidak perlu berkemah sama sekali.”
“Bagaimana bisa begitu?” tanya Allary cepat.
“Kau lihat langitnya ketua. Cukup cerah. Termasuk di arah tenggara itu. Persimpangan antara puncak Sarsa dengan H3, juga nampak cerah. Atas izin ketua, kita bisa tidur mengandalkan sleeping bag saja malam ini.”
“Kurasa itu pilihan yang bagus. Kurasa semua orang sudah lelah sejak insiden di Air Terjun Es.”
“Benar sekali ketua.”
Karena tidak menyiapkan tenda, Allary meminta Turguy dan yang lain menyiapkan api unggun saja sebagai penghangat badan. Mereka saat ini berada di ketinggian 5000 meter lebih, suhunya bukan main dinginnya. Turguy menyanggupi, dengan syarat tidak ada sesi bercerita tentang diri sendiri lagi malam ini.
Allary nyengir lucu.
Hari perlahan-lahan mulai berubah jadi malam. Enam orang yang tergabung di tim bantuan, minta izin tidur lebih awal setelah makan malam. Allary mempersilakan. Turguy bilang mereka akan kembali ke Kampung Hijau besok, pagi-pagi sekali.
“Mereka akan kembali ke Kampung Hijau?” ulang Allary.
“Benar ketua. Tugas tim pembantu hanya membantu kita melewati Air Terjun Es. Selebihnya adalah urusan guide.”
Allary manggut-manggut.
Malam itu seorang bergabung dengan mereka di perapian. Dia adalah Molowski, pendaki yang ditemui Allary di Air Terjun Es tadi siang.
“Senang bisa bertemu denganmu di sini, Orang Indonesia yang jenius.”
“Kau tidak perlu memujiku begitu,” kata Allary menyorongkan tangan. Mereka bersalaman akrab, seperti dua orang yang sudah lama saling kenal.
“Habisnya, kau lancar sekali bicara sejarah. Oh ya, bagaimana keadaan temanmu yang kecelakaan tadi pagi? Apakah dia baik-baik saja?”
Oh iya, Allary melupakan Vivi. Segera dia minta Turguy mengecek keadaan gadis itu.
“Semoga dia baik-baik saja. Cuma lututnya yang luka lebam. Terbentur tebing. Tadi dia juga masih bisa berjalan.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Oh ya, kau datang dengan rombonganmu juga ke sini?” Allary bertanya lagi.
“Tidak. Aku tidak datang dengan rombongan. Hanya aku dan seorang guide.”
“Kau berani sekali.”
Molowski nyengir lebar, “terima kasih sudah balik memujiku, Allary. Tidak, itu bukan keberanian. Aku hanya ingin meniru apa yang dilakukan oleh penakluk pertama gunung ini, Sir Thomas Ermundu, yang hanya datang ke puncak bersama guide lokalnya.”
“Ah bicara mengenai Sir Thomas Ermundu, aku jadi ingat sejarah panjang penamaan gunung ini.”
“Kau mulai bicara soal sejarah lagi,” Molowski tertawa.
“Hei aku serius. Menurutku penamaan gunung ini sedikit tidak adil pada awalnya. Masa iya, gunung ini dinamai Gunung Gourgoun, padahal yang pertama kali menaklukkannya, adalah Sir Thomas Ermundu. Untung saja nama itu kemudian diganti jadi Sarsa. Sesuai dengan kearifan lokal Pahadaru.”
“Kurasa penamaan Gunung Gourgoun, itu bukan tanpa alasan. Dan itu adil sekali.”
Bukan, itu bukan Allary yang bersuara. Bukan pula Molowski. Melainkan seorang pria berambut pirang bermata biru, yang sepanjang jalan hanya diam. Dialah Felix Norton. Allary tersenyum. Senang sekali bisa memancing Felix untuk bicara.
“Coba jelaskan padaku, dimana keadilan itu?”
Felix mulai menjelaskan, “Sir George Gourgoun, adalah orang pertama yang memperkenalkan sistem pengukuran trigonometri untuk mengukur tinggi gunung. Dia melakukan pengukuran dengan akurat, meski tidak pernah naik ke puncak gunung yang kini disebut sebagai Sarsa ini. Dia memiliki jasa besar dalam memberi ukuran resmi untuk Sarsa. Lagipula, saat Sir Thomas Ermundu naik ke puncak Sarsa, dia dengan bangga bilang pada dunia, bahwa dia telah sampai di puncak Gunung Gourgoun.”
Allary bertepuk tangan. “Bagus sekali Felix. Pengetahuan sejarahmu lumayan juga.”
Felix mendengus. Tiba-tiba dia sadar bahwa dia sudah terjebak di dalam perangkap Allary.
“Jangan bilang tadi kau cuma pura-pura bodoh, ketua.”
Allary terkekeh-kekeh.
47
Makhluk Penunggu Gunung Es
Malam mulai beranjak tua. Molowski menyadari waktu terus berjalan. Mungkin Allary dan yang lain perlu istirahat. Molowski memutuskan untuk pamit.
“Terima kasih sudah mampir untuk berbincang, Molowski.” Allary menjabat tangan pria Ukraina itu sekali lagi. Molowski tersenyum.
“Tentu Allary. Bila kau masih menetap di Camp 1 sampai besok malam, silakan berkunjung ke tendaku. Kita bisa mengobrol di sana sepanjang malam.”
“Ah menarik sekali. Semoga kita bisa berbincang lagi, Molowski.”
Molowski balik kanan ke tendanya. Allary senang bisa menambah teman lagi di perjalanan. Molowski pergi, Turguy dan Vivi datang. Tepatnya Turguy memapah Vivi yang setengah terpincang.
“Kamu seharusnya beristirahat, Vivi,” ujar Allary segera setelah Vivi duduk.
“Aku bosan Allary. Mungkin bergabung dengan kalian akan membuat suasana jadi lebih menyenangkan. Kakiku ini berdenyut setiap saat, aku perlu penghibur suasana.”
“Oh boleh saja.” Allary mengangguk.
“Ngomong-ngomong, apa yang sedang kalian bicarakan?”
“Tentang penjelajahan,” sahut Allary sambil menoleh ke arah Felix. Mister Latino itu kembali ke mode awal dia. Serba bisu.
“Ah tidak menarik. Bisa kita ganti topik jadi lebih menarik, seperti membicarakan mitos-mitos monster.”
Semua yang ada di situ, terkejut mendengar kata-kata Vivi. “Mitos-mitos monster? Kamu jangan asal pilih topik, Vivi.”
“Hei, aku serius. Setiap tempat pasti ada penunggunya, ada mitos-mitos menyeramkan. Hutan-hutan, lautan, apalagi gunung tertinggi di dunia seperti ini. Kamu pernah dengar kisah-kisah dari pegunungan Himalaya, Allary?” Vivi melempar tanya.
Allary mengangguk, “bicara Himalaya, berarti membicarakan tentang yeti.”
“Tepat. Kisah-kisah yeti selalu menyelimuti Pegunungan Himalaya. Aku yakin di Pegunungan Pahadaru, juga ada cerita seperti itu.”
“Benarkah Turguy?” Kini Allary ikut terpancing antusiasme Vivi. Dia menatap meminta jawaban pada Turguy.
Turguy menghela nafas. “Kentara betul kamu bukan orang lokal Pahadaru, Vivi. Atau setidaknya, kamu tidak dibesarkan di sini.”
“Eh bukan, bukan seperti itu, Turguy. Aku lahir dan besar di Ibukota. Ayahku sama sekali tidak pernah menceritakan soal ini padaku, padahal, cerita-cerita beredar di sekelilingku. Pamanku seorang pendaki gunung sering menceritakannya. Aku penasaran. Mumpung ada kamu, ceritakanlah Turguy.”
“Berarti kamu sudah pernah dengar nama Raksasa Hi’um sebelum ini.”
“Ah iya, Raksasa Hi’um, makhluk penunggu gunung es. Aku pernah mendengar nama itu beberapa kali dari pamanku,” sahut Vivi antusias.
“Hei, bukannya nama itu pernah kau ceritakan padaku beberapa hari yang lalu, Turguy.” Allary ikut menyahut.
“Eh, Turguy sudah bercerita padamu, Allary? Wah curang.”
Turguy menjadi serba salah. Dia terpojok oleh dua orang yang begitu bersemangat membahas soal makhluk penunggu gunung es.
“Pertama-tama Vivi, Allary, dengarkan aku,” Turguy belepotan memulai kalimat, “bukannya aku tidak mau bercerita soal itu. Tapi tolong pertimbangkan hal ini. Bukan hal bijak membicarakan soal Raksasa Hi’um di tempat seperti ini. Malam hari, gelap, di tengah-tengah lereng, dengan semilir angin gunung. Bahkan orang dengan mental paling tangguh sekalipun, bisa ciut dibuatnya.”
Allary dan Vivi ber-yahhh kecewa. Felix menyahut dengan acuh tak acuh, “baguslah. Lebih baik tidak diceritakan, daripada aku mendengar kisah-kisah tak masuk akal begitu.” Pelan saja suaranya, tapi terdengar oleh Turguy.
“Hei, apa maksudmu, Mister Latino?!” Turguy menyalak keras. Terkejut Allary dibuatnya.
“Cerita tentang makhluk itu sama sekali tidak ilmiah. Aku pernah membaca soal penyelidikan tangan Raksasa Hi’um beberapa tahun yang lalu. Kesimpulan DNA, makhluk itu adalah beruang coklat yang tersesat jauh dari habitatnya, kemudian berevolusi.”
“Hei benarkah itu Turguy?”
Turguy menggeleng kuat-kuat, “tentu saja tidak, ketua. Kesimpulan penelitian itu mengada-ngada. Mereka bahkan tidak pernah mengambil DNA Raksasa Hi’um. Raksasa Hi’um bukan beruang, ia adalah makhluk penunggu gunung es.”
“Kau tidak bisa membuktikan itu.”
“Oh aku bisa membuktikannya. Aku berkali-kali bertemu dengan Raksasa Hi’um.”
“Ceritakanlah Turguy,” Vivi mengambil kesempatan untuk mendesak lagi.
Diiringi tatapan tak percaya dari Felix, akhirnya Turguy membuat keputusan. “Baiklah, demi menjawab ketidakpercayaan Mr. Latino, akan kuceritakan. Semoga tidur kalian tetap nyenyak setelah ini.”
48
Cerita-Cerita Seram
Berceritalah Turguy Amartey.
“Lima tahun lalu, usiaku masih belum genap 23 tahun saat itu. Seorang pendaki gunung dan mulai dikenal sebagai guide bagi pendaki gunung Sarsa. Pada satu ketika, aku menerima tawaran pendakian dari rombongan asal Cekoslowakia. Seorang pendaki tunggal. Dia berani membayar mahal untuk perjalanan itu. Meski pendakian tunggal selalu lebih berat dari pendakian tim, saat itu, aku yang sudah merasa diriku berpengalaman, menyambar tawaran tersebut.
Selama 23 tahun usiaku, sudah belasan kali aku pulang pergi, bolak balik ke puncak Sarsa. Jadi saat membimbing pendaki asal Cekoslowakia itu aku tidak menemukan kesulitan berarti. Kami naik ke Kota Pasar, terus ke Base Camp, Camp 1, Camp 2, Camp 3 sampai ke Camp 4. Tidak ada masalah sama sekali. Semua lancar. Termasuk saat melewati Air Terjun Es. Pendaki Cekoslowakia itu, aku lupa siapa namanya, yang jelas dia adalah seorang pendaki yang sama tangguhnya.
Tapi, ternyata, masalah kami yang sesungguhnya baru datang saat kami sampai di Death Zone. Zona kematian yang memang menjadi alarm merah bagi siapapun pendakinya, (termasuk kalian, ujar Turguy menasehati dengan hati-hati). Kami terjebak dalam sebuah amukan badai yang sangat dahsyat. Cuaca berubah tidak menentu. Situasi kami tidak menguntungkan.
Lalu tragedi itu terjadi. Pendaki asal Cekoslowakia yang menyewaku, si pendaki yang tangguh itu terserang radang dingin. Dia sesak nafas. Segera, sebisa mungkin, aku menyelamatkannya. Namun naas, jiwanya tidak tertolong. Dia meninggal di Death Zone.
Itulah kali pertama aku membiarkan ada penyewaku mati di tengah jalan secara mengenaskan. Aku terpukul, benar-benar terpukul. Apalagi dia hanya pendaki tunggal. Itu artinya tidak ada yang tahu tentang kematiannya selain aku. Aku sungguh sedih dan berduka atas kematian pendaki Cekoslowakia itu. Namun, aku juga tidak punya pilihan lain. Aku terpaksa menguburkannya di Death Zone. Setelah beberapa kata ratapan, aku pulang. Pulang dengan tangan hampa.
Perjalanan pulang itu berlalu dengan cepat. Aku tiba di Camp 2 sebelum malam, dan aku berniat berkemah di situ. Camp 2 malam itu terasa lebih sepi dari biasanya, tapi aku rasa tidak masalah.
Malam itu adalah malam yang akan kuingat persis. Malam tanpa gemintang, malam tanpa badai, malam tanpa semilir angin gunung. Malam yang cukup anomali. Mulanya, aku tidak terlalu hirau dengan semua itu, malah aku ingin cepat-cepat tidur. Pukul 9 malam aku sudah mendengkur di tenda.
Pukul 2 malam, aku terbangun. Memang terbangun secara tidak sengaja. Aku mencoba untuk tidur kembali. Dan saat itulah, semuanya mulai terasa menyeramkan.
Mulanya terdengar bunyi gedegum kaki melangkah dengan sangat keras. Mungkin seperti hempasan kaki gajah bila kalian pernah mendengar gajah melangkah. Keras sekali, sampai tanah terasa bergetar. Aku bertanya-tanya, hewan apakah itu?
Aku masih tidak ambil hirau. Siapa tahu aku hanya berhalusinasi karena terlalu lelah. Aku berusaha untuk tidak menghiraukan getaran tanah dan langkah kaki itu, kembali untuk tidur.
Sejurus kemudian, terdengar suara grasak-grusuk yang amat mengganggu, suara seperti sesuatu menggores batu, dan suara seperti sesuatu merobek tenda. Aku terperanjat. Sempurna bangun. Hei apa yang terjadi. Lekas aku keluar dari tenda.
Ternyata tenda milik seorang pendaki di Camp 2 robek. Mereka ribut, siapa yang merobek tenda mereka. Guide mereka terlihat bingung. Sekali lagi, aku tidak mau ikut campur. Biarkan saja mereka mengurus masalah mereka sendiri. Aku mencoba untuk kembali tidur.
Teror malam itu belum berakhir. Saat aku baru saja mendapatkan kembali rasa mengantuk untuk tidur lagi, kembali ada suara yang mengusik. Suara yang sangat aneh. Antara suara itu menggeram atau memanggil. Pokoknya aneh sekali. Suaranya diiringi oleh bunyi langkah kaki yang amat keras tadi dan sesekali suara gemerincing seolah batu sedang bergesekan dengan besi. Benar-benar aneh.
Aku ini percaya dengan takhayul. Jadi kali ini aku mengambil senter dan pisau lipat yang selalu kubawa. Aku keluar dari tenda, untuk mengecek. Suara apa itu sebenarnya. Apa jangan-jangan orang Cekoslowakia tadi bangkit, dan arwahnya bergentayangan meminta uangnya dikembalikan. Itu adalah bayangan yang amat mengerikan.
Hal pertama yang aku temui ketika keluar tenda, adalah sebuah jejak kaki yang amat besar. Saking besarnya, dua tanganku muat dalam jejak kaki itu. Aku tercengang. Juga penasaran. Jejak kaki itu mengular panjang. Aku segera mengikutinya. Jejak itu turun menuju lembah, jalur ke Camp 1. Aku terus mengikuti. Senter kupegang erat-erat. Juga pisau lipat yang terselip di pinggang, sesekali kuraba. Kupastikan jika ada yang menyerang, aku dengan sekali tarikan, akan menghunus pisau ini untuk melawan.
Di sudut lembah itulah. Di atas sebuah batu besar. Malam itu gelap. Langit tidak ada gemintang. Sosoknya yang berbulu serba putih, dan lebih besar ukurannya dari binatang manapun, terlihat olehku. Ia duduk membelakangiku. Punggungnya putih. Cakar di tangannya panjang. Ia duduk dengan santainya. Aku tetap terpaku selama setengah menit. Tidak bisa berkata apa-apa.
Itulah Raksasa Hi’um, sang penunggu gunung es dengan tubuh tertutup bulu serba putih. Tinggi tubuhnya sekitar tiga meter. Aku tidak berani mengusiknya. Cukup sudah aku tahu bahwa makhluk legenda yang diceritakan suku-ku malam itu telah menampakkan dirinya. Aku hanya berharap, dia tidak memalingkan wajahnya saat aku masih ada di belakangnya sekarang. Kurasa mentalku belum siap untuk bersitatap dengannya.
Dengan hati-hati, aku pergi dari tempat itu. Kembali ke tenda. Berusaha untuk tidur.”
Turguy menyudahi ceritanya.
49
Disana! Aku Melihatnya Disana!
Sejujurnya Turguy bukan pencerita cerita seram yang ahli. Dia tidak bisa mendramatisir bagian-bagian yang benar-benar seram dari ceritanya. Namun, dengan kombinasi gelapnya malam itu, semilir angin malam dan suasana yang sama dengan latar cerita, sudah cukup untuk membuat Allary dan Vivi merinding dibuatnya.
“Ada lagi cerita lain selain yang itu, Turguy?” Allary setengah mendesak begitu Turguy menyelesaikan ceritanya.
“Masih banyak cerita untuk besok, ketua. Untuk malam ini, sebaiknya kita bersiap-siap tidur saja. Kalian yang belum pernah mendaki gunung, memerlukan waktu untuk terbiasa tidur dalam sleeping bag.”
Allary mau tidak mau beranjak beristirahat juga.
Sebelum tidur, sempat terjadi insiden kecil antara Vivi dengan Turguy. Penyebabnya adalah Vivi yang protes (setengah merepet-repet) karena malam ini mereka tidak tidur di tenda.
“Ayolah nona, cobalah dulu tidur di dalam sleeping beg. Apa salahnya?”
“Dingin Turguy. Mana bisa tidur aku.”
“Cobalah dulu. Kamu juga belum pernah toh mencoba tidur di dalam sleeping beg?”
“Tidak bisa Turguy. Tidak bisakah kita mendirikan tenda sebentar.”
“TIDAK BISA!” Turguy tiba-tiba berseru dengan emosional, “nanti sepanjang jalan ke puncak, tidak setiap saat kau bisa tidur di dalam tenda. Jadi mau tidak mau kau harus mencoba tidur di dalam sleeping beg. JANGAN MANJA DENGAN FASILITAS!”
Vivi tersentak mendapat bentakan semacam itu dari Turguy. Dia tidak menyangka kalau Turguy bisa seemosional itu. Dia kehilangan kata-katanya.
“Sudahlah Vivi,” ini Allary yang berucap, tegas, “mari kita tidur. Cobalah. Ini masih ada ruangan di sela-sela aku dan Felix.”
Vivi mau tidak mau menurut. Tapi wajahnya tidak terlihat kusut lagi. Tidak lama kemudian dia mendengkur di dalam sleeping beg.
“Kau memang seorang ketua yang kharismatik, Allary,” Turguy tiba-tiba menyembul dari dalam sleeping beg.
“Tidur Turguy.”
Malam itu, serupa seperti kisah Turguy di Camp 2, Allary juga tidak tidur dengan nyenyak. Dia merasa ada sesuatu yang berkeliaran di sekelilingnya. Beberapa kali Allary menggeliat, berguling-guling. Tapi dia tidak bisa membuka matanya. Dia terlampau lelah.
Pukul 2 malam, saat keadaan alam sempurna mencapai masa sunyinya, Allary sempurna terbangun. Hawa di sekelilingnya terasa begitu panas. Allary membuka sleeping beg-nya. Memutuskan untuk berdiri sejenak.
Turguy benar, tidur dalam sleeping beg perlu penyesuaian. Allary membatin.
Allary memandangi sekitar. Mencoba menikmati pemandangan Pahadaru di malam buta. Beberapa tenda milik wisatawan lain terlihat terang benderang dengan sinar senter. Tapi semuanya sama, semua orang sedang terlelap. Tidak ada yang begadang atau menghabiskan waktu di perapian. Termasuk tenda Molowski. Allary tidak punya teman untuk mengobrol. Ya sudahlah, tidak ada yang menarik. Lebih baik dia tidur lagi.
Saat itu, tepat saat Allary hendak menidurkan kembali dirinya, dia melihat ke arah belakang. Belakang posisi tidurnya. Di sana ada lembah yang lumayan luas terhampar ke bawah.
Di sanalah. Di malam yang gelap, sosoknya terlihat dengan jelas. Dengan tubuh ditutupi bulu serba putih. Allary sempurna terpaku melihat sosok itu.
Raksasa Hi’um. Dia berusaha bergerak, membangunkan Turguy.
“Astaga ketu...a. Se...pertinya i...ni.. belum pagi benar,” Turguy menggeliat karena dibangunkan.
“Penting Turguy. Bangunlah, aku melihat Raksasa Hi’um. Bangun Turguy.”
“Eh astaga. Raksasa Hi’um?” Turguy langsung terbangun, langsung tegak punggungnya, duduk.
“Iya Turguy, aku sungguh melihatnya. Kau lihatlah.”
Turguy tanpa mengingat apa-apa lagi langsung keluar dari sleeping beg. Melihat dengan terburu-buru. Tapi sayang, saat Turguy hendak melihat ke sana, makhluk itu sudah menghilang. Sayang sekali. Turguy memasang wajah kecewa.
“Mana ketua?”
“Di sana, Turguy, aku melihatnya di sana tadi!” Allary berseru mantap menunjuk ke kejauhan lembah.
“Kurasa tadi kau terbawa ceritaku, lalu mengigau sambil berhalusinasi, ketua. Kembalilah tidur.”
“Hei, aku sungguh-sungguh Turguy.”
Terlambat. Turguy sudah terlanjur masuk ke dalam sleeping beg nya.
Ah mana mungkin Raksasa Hi’um menampakkan diri secara sengaja pada orang asing.
50
Kesepakatan Tim Paling Absurd di Dunia
Pagi hari menjelang.
Allary memulai pagi hari itu dengan biasa saja. Seperti tidak terjadi apa-apa tadi malam. Dia legowo hati menerima hipotesis Turguy. Mungkin dia memang berhalusinasi, terbawa suasana cerita Turguy tadi malam sehingga merasa seolah melihat Raksasa Hi’um.
Ah ya, sekedar halusinasi. Allary meneruskan memasak martabak. Harumnya menguar ke seisi Camp 1.
Yang dilanda rasa penasaran luar biasa justru Turguy. Pagi-pagi buta itu juga, dia diam-diam turun ke lembah yang kata Allary dia melihat Raksasa Hi’um di sana tadi malam. Turguy berusaha mencari jejak-jejak keberadaan Raksasa Hi’um di sana. Namun dia tidak menemukannya.
Sudah kubilang, monster penunggu gunung itu tidak akan sembarang menampakkan diri pada orang asing, Turguy membatin. Saat kembali ke wilayah mereka, Turguy berpapasan dengan Felix yang pagi itu tumben-tumbenan bertanya.
“Dari mana kau?”
“Eh aku habis dari lembah. Memastikan sesuatu,” Turguy menjawab tergagap, kaget juga ditanya oleh Felix.
“Apa?”
Astaga, tatapan Felix dan nada bicaranya itu menuntut penjelasan. Ada apa dengannya. Turguy segera menjelaskan apa yang dia lakukan. Memastikan jejak Raksasa Hi’um yang dilihat Allary tadi malam. Felix tersenyum kecut mendengar penjelasan Turguy.
Makan pagi hari itu berlangsung biasa saja. Pada awalnya. Allary sama sekali tidak berniat membahas masalah tadi malam, dia malah asyik mengobrol dengan Vivi soal resep martabak dan cara membuatnya. Allary sama sekali tidak pelit membagi resep rahasia dengan gadis itu. Vivi mengangguk-angguk.
“Well, jadi tadi malam kau melihat makhluk itu, ketua?”
Semua tersentak. Satu, terkejut karena pertanyaan itu akhirnya ditanyakan, dua, lebih terkejut karena Felix yang menanyakannya. Ya, Felix yang menanyakannya.
Allary mengusap wajah, “astaga Felix, kau membahas soal itu juga akhirnya. Ya, walau kata Turguy aku hanya berhalusinasi, tapi aku cukup yakin apa yang kulihat tadi malam benar-benar Raksasa Hi’um, sebagaimana yang diceritakan Turguy.”
Mata Vivi langsung berpijar antusias.
“Itu benar-benar cuma halusinasi ketua. Tadi pagi-pagi sekali, aku sudah mencoba turun lembah, mengecek langsung. Tidak ada jejak kaki, atau semacamnya. Tidak ada bukti bahwa Raksasa Hi’um ada di sana, tadi malam.”
“Oh ya sudah, mungkin kau benar, Turguy,” Allary mengangkat bahu.
Felix tersenyum licik, “baguslah, berarti makhluk itu memang mitos belaka.”
“Hei,” Turguy langsung tersulut, “hanya karena Allary cuma berhalusinasi, bukan berarti makhluk itu tidak ada. Aku sudah cerita bukan, tadi malam. Aku sendiri pernah melihat makhluk itu. Jelas dan nyata.”
“Bila Allary hanya berhalusinasi, bisa jadi kau juga berhalusinasi pada waktu itu.” Felix mengangkat bahu.
“ITU BEDA CERITANYA!” Merah padam wajah Turguy.
“Apa bedanya. Sama-sama di malam hari, sama-sama...”
“TUTUP MULUTMU!!!” Turguy semakin marah. Allary memutuskan untuk turun tangan, menenangkan. Dia merangkul bahu Turguy, memintanya duduk kembali.
“Tenanglah Turguy. Felix, tolong jangan memperpanjang perdebatan ini. Hormati kepercayaan masing-masing.”
“Tetap saja ketua, halusinasi tetap halusinasi.”
“KAU BENAR-BENAR KETERLALUAN. DASAR ANAK....”
Kali ini Allary harus menutup mulut Turguy, sebelum dia berkata-kata kasar. Bisa-bisa pecah perkelahian nanti. “Sudah, tenang kalian berdua. Baik, di sini ada dua pendapat yang berseberangan, dan kukira jika kita tidak menyelesaikannya, ini akan jadi masalah bagi pendakian kita. Tenanglah, aku punya solusinya. Kalian berdua tenang dulu, maukah kalian mendengarkan aku?”
Turguy dan Felix mengangguk, masih dengan tatapan tajam satu sama lain. Sedangkan Allary benar-benar terlihat kharismatik.
“Well, dalam hal ini sebenarnya aku condong ke arah Turguy, aku sempat melihat makhluk itu tadi malam. Namun, aku yakin Felix tidak akan percaya sampai dia bisa melihat makhluk itu dengan mata kepalanya sendiri. Jadi mari kita mulai saja, ekspedisi pencarian Raksasa Hi’um.”
“KAU GILA KETUA!” Felix dan Turguy menyahut berbarengan.
“Kurasa itulah solusi terbaik saat ini. Turguy pasti tahu dimana saja makhluk itu sering menampakkan diri. Kita bisa ke sana. Semoga saja Felix bisa melihatnya. Kalau tidak begitu, aku yakin dia akan keras kepala mengatakan semua ini mitos, sampai ke puncak sana.”
“Aku setuju Allary. Aku setuju sekali dengan idemu itu.” Vivi berseru, bersemangat.
Itulah tim paling aneh di dunia.
51
Jejak Kaki di Lembah Es
Setelah perdebatan lumayan sengit di Camp 1, rombongan Allary meneruskan perjalanan. Kali ini perjalananmereka memiliki orientasi khusus. Mereka akan mencari Raksasa Hi’um, sang penunggu gunung es.
“Perhatikan jalan kalian dengan saksama. Lihat dengan baik, kita mencari tanda-tanda, walau sekecil apapun itu.” Allary memberikan instruksi.
Alhasil, sepanjang perjalanan, mereka sibuk memperhatikan detail-detail kecil, jejak-jejak kaki, goresan-goresan di batu besar, juga, bahkan sesekali turun ke lembah yang sebenarnya tidak termasuk jalur pendakian. Perjalanan mereka melambat.
“Kau serius dengan ide ini, ketua. Kau mencoba mencari sesuatu yang tidak ada. Sungguh suatu kesia-siaan.”
Karena perjalanan ini tidak membuat hasil apa-apa dalam waktu 3 jam, akhirnya Felix mengeluarkan kalimat provokatifnya lagi. Turguy bergetar marah mendengar kalimat itu. Allary buru-buru menengahi.
“Sabarlah Felix. Kita sedang berusaha mencarinya. Membuktikan bahwa ia ada, bukan membuktikan bahwa ia tidak ada. Bukankah ketiadaan itu tidak bisa dibuktikan?”
Allary mengeluarkan kalimat pintar yang tidak disangka oleh Felix. Allary tahu, bahwa sebagai orang Eropa, Felix termasuk orang yang sulit mempercayai sesuatu tanpa bukti ilmiah. Orang-orang seperti ini, terkadang sangat merepotkan.
“Tapi ini menghambat tujuan utamaku datang ke Pahadaru, ketua.” Felix menyanggah lagi.
“Memangnya apa tujuan utamamu datang ke sini?” Allary balik bertanya.
“Mencari petualangan dan sensasi alam liar.”
“Nah kau akan mendapatkan sensasi petualangan paling liar dalam pencarian Raksasa Hi’um ini. Percayalah denganku.”
Sial. Dia menjebakku dalam permainan kata-kata, decak Felix dalam hati. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Sedangkan Turguy lebih banyak diam sepanjang jalan ini. Perasaannya campur aduk semenjak Allary mengumumkan bahwa mereka akan memulai ekspedisi pencarian Raksasa Hi’um.
Apa yang dirasakan Turguy?
Sebagian perasaannya marah, karena Felix dianggap menghina keberadaan Raksasa Hi’um, makhluk mistis yang dikeramatkan sebagai penunggu gunung es oleh sukunya.
Sebagian lagi perasaannya heran, bingung dan tidak enak rasa dengan Allary lantaran tekad kuat sang ketua itu untuk membuktikan keberadaan Raksasa Hi’um.
Ini berkaitan dengan sebuah cerita.
Menurut legenda yang telah dituturkan dari mulut ke mulut oleh Tetua Kampung Hijau, Raksasa Hi’um tidak bisa dilihat oleh sembarang orang. Raksasa Hi’um berbeda dengan makhluk cryptid yang lain. Yang bisa melihatnya hanya orang-orang lokal. Bila ada orang-orang asing yang coba-coba ikut campur dalam urusan Raksasa Hi’um ini, mereka bisa celaka.
Di sisi lain, Turguy melihat Allary sebagai sebuah pengecualian. Ketua rombongannya itu amat ganjil. Pertama, dialah yang berhasil menemukan Hariyo Gaurun Hand, meski secara tidak langsung. Kemudian dia, maksudnya Allary juga melihat Raksasa Hi’um. Bila itu benar, Allary adalah seseorang yang unik. Sebuah pengecualian.
Jadi siapa sebenarnya Allary Azra itu?
Meski perjalanan mereka lambat, rombongan Allary berhasil sampai di Lembah Es sebelum matahari tepat berada di atas kepala. Lembah Es adalah sebuah tempat yang sangat indah, karena semua hal yang ada di sana, nyaris tertutup es.
“Tempat ini adalah salah satu tempat paling unik di Pahadaru, atau bahkan di dunia. Di tempat ini, meski tersentuh sinar matahari, salju bisa terbentuk menjadi gumpalan es padat. Bahkan tanah di lembah ini, setengahnya berlapis dengan es. Makanya disebut sebagai Lembah Es.”
Allary dan yang lainnya manggut-manggut mendengar penjelasan Turguy itu.
“Kita tidak boleh berlama-lama di tempat ini, sebab suhunya benar-benar dingin. Ikuti patok-patok itu, patok menunjukkan tanah yang tidak dilapisi es. Hanya beberapa jalan sepetak. Sisanya, tanah di lembah ini berlapis lapisan es yang sangat licin untuk diinjak. Bisa membahayakan.”
Allary tidak habis memandangi keindahan lembah yang sedang dilaluinya. Sesekali matanya memandang ke kejauhan. Masih mencari jejak-jejak Raksasa Hi’um.
Lembah Es, seperti namanya, hanya terlihat es dan salju sejauh mata memandang. Sebagai lembah di sebuah pegunungan, tanahnya relatif menurun, sehingga lumayan sulit untuk dilalui. Rombongan Allary berpatokan pada patok-patok hitam yang tertancap di tanah. Itu adalah jalur yang sudah dibuatkan pemerintah India untuk memudahkan para pendaki.
“EHHH!” Vivi terpekik, dia tergelincir.
HAPPP!
Dengan gesit sekali lagi Felix menangkap gadis lokal Pahadaru itu sebelum dia meluncur jatuh ke jantung lembah. Membantunya berdiri. Vivi menghela nafas. Allary dan Turguy menyaksikan adegan itu dengan campur aduk.
“Hati-hati, Vivi.”
“Eh iya, aku tahu. Terima kasih, Felix.” Vivi berusaha berucap dengan sempurna, tapi pipinya memerah. Dua kali dia diselamatkan oleh pria Latino itu dengan amat dramatis. Itu sudah lebih dari berkesan bagi seorang gadis.
“Hei, aku rasa melihat sesuatu di sebelah sana.” Tiba-tiba Allary berteriak. Menunjuk ke arah barat. Lalu dia berlari menuju ke situ.
“HEI! Hati-hati Allary. Di situ tanahnya berlapis es, super licin,” Turguy meneriaki. Allary tidak peduli. Dia dengan terampil bisa menghindar dari tanah yang licin. Pandangannya mengarah ke depan. Tidak salah lagi, dia melihat sesuatu.
SEBUAH JEJAK KAKI!
Sebuah jejak kaki yang amat jelas terukir di atas tanah berlapis es itu. Jejak kaki yang amat besar, sehingga dua kaki Allary muat di dalamnya. Allary memanggil Felix, Vivi dan Turguy mendekat, tak lupa mengingatkan untuk berhati-hati.
“Ini jelas sebuah penemuan yang luar biasa, ketua. Otentik.”
“Ini sama sekali tidak membuktikan apapun.”
“Aku merinding melihatnya.”
Allary tersenyum simpul. Apapun tanggapan mereka, ini jelas membuat petualangan mereka, semakin menarik.
52
Orang-orang Bodoh Bertongkat
Gara-gara menemukan dua jejak kaki di sekitar Lembah Es, perjalanan rombongan Allary kembali melambat, atau semakin melambat.
Allary dengan penuh semangat berusaha mencari jejak-jejak lain yang dipercayanya semakin mendekatkan mereka dengan penemuan Raksasa Hi’um. Turguy yang belum hilang rasa terkejutnya gara-gara penemuan jejak kaki itu, tidak banyak berkomentar.
Beberapa kali berputar di antara tumpukan es yang mengkristal, dua kali Vivi nyaris terjatuh, namun Allary dan yang lain, tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Raksasa Hi’um di tempat itu. Felix kali ini benar, jejak barusan, tidak membuktikan apa-apa.
Mereka kembali ke jalur pendakian.
Hari menjelang sore, sekitar pukul 3 sore, saat rombongan Allary berpapasan dengan satu rombongan lainnya. Ada dua orang guide Pahadaru di dalam rombongan itu, dan dua orang pria bule, yang dari baunya bisa dikenali sebagai orang Inggris.
Sebagai ketua rombongan yang ramah, Allary memperkenalkan diri dan rombongannya. Dua orang Inggris itu memperkenalkan diri sebagai James dan Lescott. Turguy segera mengenali dua orang guide yang dibawa orang Inggris itu. Mereka bertukar kabar tentang kemungkinan badai. Sementara itu, obrolan Allary dengan dua orang Inggris, jauh lebih menarik.
“Jadi, bagaimana perjalanan kalian sampai ke sini?” James bertanya, membuka cakap.
“Lumayan. Lumayan untuk sebuah perjalanan pertama.”
“Ini pendakian pertamamu?” Lescott yang bertanya.
“Iya.”
“Berani juga kalian ya.”
Vivi menyikut Allary. Ingin bilang, itu bukan hal yang bagus untuk dibicarakan.
“Apakah ada masalah yang kalian lalui untuk sampai di sini?”
“Ah tidak banyak. Walau amatir, kami bisa beradaptasi dengan baik.”
James dan Lescott tersenyum lucu, “kalian tangguh juga.”
“Tentu, dan sekarang kami sedang melakukan misi berbahaya mencari Raksasa Hi’um.”
Vivi reflek menginjak kaki Allary. Jangan ceritakan soal itu, bodoh! itulah yang ingin dikatakannya.
“Raksasa apa?” James bertanya, menyernit kening.
Lescott membisiki temannya sejenak, sebelum Allary sempat menjelaskan.
“Hoo, kalian pasti orang-orang yang sangat tekun,” Lescott pura-pura memuji, masih dengan tersenyum lucu. Atau tepatnya lagi, tersenyum mengejek.
“Hei, aku dengar mencari jejak makhluk itu, lebih mudah dilakukan di dekat Hidung Monster.” James balas menyahut.
“Hidung Monster?” giliran Allary yang bertanya, menyernit kening.
“Benar sekali, Hidung Monster. Tanyakan saja pada guide-mu itu. Hidung Monster. Itulah nama tempatnya. Namanya saja sudah menyiratkan betapa menyeramkannya tempat itu.”
Allary mengangguk-angguk. Rombongan Inggris memisahkan diri dengan mereka, jalan duluan. Berbisik-bisik mengejek Allary dan yang lainnya.
Di ujung Lembah Es, Allary kembali berpapasan dengan satu rombongan. Kali ini dengan orang yang dia kenal. Molowski, si orang Ukraina. Sebenarnya Molowski jalan jauh lebih lambat dari Allary, tapi dia bisa menyusul. Heran dia bisa menemui Allary dan yang lain di ujung Lembah Es. Seharusnya mereka sampai di Camp 2.
“Hei, kenapa kalian masih ada di sini?” Molowski bertanya, keheranan juga.
“Kami memutuskan untuk mengubah sedikit rute perjalanan,” sahut Allary. Belajar lebih bijak setelah tadi diinjak oleh Vivi.
Molowski semakin heran, “ada apa?”
Allary menceritakan semuanya panjang lebar. Karena dia merasa berteman dengan Molowski yang sudah dua kali mengobrol panjang lebar dengannya, Allary berterus terang saja.
Kontan Molowski tertawa. Tertawa terbahak-bahak. Lebar-lebar.
“Hei, kenapa? Apa yang salah?”
“Kau, kau lucu sekali, Allary,” Molowski menunjuk tepat ke hidung Allary, “kukira kemarin, kau adalah orang cerdas karena bisa menguraikan berbagai macam kisah sejarah dunia. Tapi ternyata kalian hanyalah orang primitif dungu yang juga bodoh. Percaya pada takhayul semacam itu. Dasar orang-orang bodoh bertongkat.”
Molowski masih tertawa terbahak-bahak. Rentetan kata-katanya itu membuat Turguy dan Felix naik darah.
53
Nanti Malam di Hidung Monster
Masih terdengar tawa Molowski di kejauhan. Turguy marah karena dihina soal takhayul, Felix kesal karena dianggap sebagai orang bodoh. Untungnya, Allary menahan dua orang itu, kalau tidak, mungkin sudah terjadi pertumpahan darah.
“Lepaskan aku ketua, aku ingin menghajarnya.”
“Untuk kali ini aku setuju dengan Turguy, ketua.”
Allary membentangkan tangannya, menahan langkah dua orang itu. “Sudah-sudah. Kita perlu taktik. Bukan bertengkar. Tenanglah. Kita perlu berpikir.”
Untungnya Felix dan Turguy menurut. Mereka kini duduk beristirahat di ujung Lembah Es. Ada empat batu besar yang kebetulan bisa diduduki di sana. Allary bermaksud menyusun taktik baru. Sebab dengan pergerakan mereka yang begini, jejak Raksasa Hi’um tak didapat, justru perjalanan mereka yang terhambat.
Segera Allary menyampaikan apa yang mengganjal di kepalanya itu pada Turguy.
“Sebenarnya ketua, bila kau memang berniat mencari dan bertemu dengan Raksasa Hi’um, ada cara ekstrem yang bisa ditempuh untuk itu,” ujar Turguy, nada bicaranya seperti terpaksa berucap.
Tentu saja Allary berminat, semakin menantang, semakin dia bersemangat menemukan jejak-jejak monster penunggu gunung es itu. “Katakan padaku, Turguy.”
“Kita harus berkeliaran di malam hari. Kita harus mencarinya di malam hari. Kalau siang, kecil kemungkinan bisa bertemu.”
Allary, dan juga Vivi, merinding mendengar usulan Turguy. Memang benar ekstrem. Memangnya ada orang yang mau berkeliaran di rimba gelap Gunung Sarsa hanya untuk mencari monster.
“Aku suka ide itu, Turguy.” Allary malah tersenyum.
“Hei, aku hanya menyebutkan. Aku sama sekali tidak merekomendasikan cara itu.”
“Apa salahnya kita coba. Resiko apa yang akan kita hadapi?”
Turguy berpikir sejenak, “tidak terlalu signifikan sih, bila malam itu cerah, berbintang, maka hanya udara dingin yang jadi masalah. Juga rasa lelah.”
Allary manggut-manggut. Tapi Vivi yang wajahnya agak cemas, mencengkram pahanya sendiri. “Aku tidak sepakat Allary, itu terdengar berbahaya.”
“Tidak apa-apa, Vivi. Selama kita berhati-hati, saling menjaga satu sama lain, serta tahu saatnya beristirahat, kurasa kita aman saja. Lagipula ini adalah kesempatan besar, menikmati sisi petualangan yang mendebarkan.” Allary benar-benar termakan rasa penasarannya sendiri.
“Aku tetap takut, Allary.”
“Ada Felix yang bisa menjagamu.”
“Jangan seenaknya ambil keputusan ketua. Bukan berarti aku setuju dengan idemu barusan.”
Allary menghela nafas, “ayolah Felix. Kita ambil kesempatan ini. Kau tidak rela bukan, tadi dikata-katai sebagai orang bodoh bertongkat?”
Cih, sekarang dia pandai mengungkit-ungkit, Felix berdecak dalam hati. Mengingat hal itu, hatinya terasa mendidih. Akhirnya dia mengangguk. Demi membuktikan bahwa dia bukan orang bodoh bertongkat.
Atau malah ikut ide Allary, justru membuktikan dia sebenarnya bodoh juga?
“Oke, dua orang setuju. Bagaimana, Turguy.” Allary menatap penuh harap dengan Turguy. Itu membuat Turguy tidak punya banyak pilihan selain mengangguk mengiyakan.
“Baiklah, bila kalian memang menginginkan perjalanan malam itu, maka kita harus pergi beristirahat lebih cepat. Kurasa kita bisa tidur di tempat ini. Nanti malam, baru kita bangun. Bagaimana.”
“Sepakat,” sahut Allary, sepihak, “nanti malam kita meluncur ke Hidung Monster.”
“Hidung Monster?” Turguy menyernit kening. Darimana pula Allary mendapat ide mencari hingga ke tempat itu.
Allary segera menjelaskan soal James dan Lescott yang memberitahunya. Turguy meragukan kebenaran berita itu, Hidung Monster adalah tempat yang seram, berada di luar jalur pendakian.
“Nama yang bagus. Kita boleh ke sana nanti malam,” Felix tiba-tiba menyahut.
“Astaga, apa yang sebenarnya kalian cari ke sana.”
“Tentu saja, Raksasa Hi’um, serta petualangan maha dahsyat.”
Nyatanya Allary benar. Beberapa jam lagi, mereka akan dibawa ke dalam sebuah petualangan maha dahsyat yang tidak pernah dialami atau diperkirakan pendaki manapun sebelumnya.
54
Penampakan Malam
Malam itu, pukul 9 malam. Rombongan Allary sempurna terbangun setelah tidur beberapa jam. Sesuai rencana mereka. Pencarian malam akan dilakukan. Persiapan harus dilakukan dengan sangat matang. Sebab, seperti kata Turguy, ekspedisi ini berbahaya.
“Senter, siapkan senter. Pastikan baterainya terisi sampai penuh.”
“Oksigen, pastikan oksigen berada di dekat jangkauan kita.”
“Mungkin aku harus mengeluarkan tongkat ini, untuk berjaga-jaga.” Allary mengeluarkan sebuah tongkat yang bisa dipanjang pendekkan dari dalam tasnya.
Semua orang yang ada di rombongan malam itu berdebar. Suara desau angin malam, sensasi gelap, serta rimba Gunung Sarsa yang misterius, adalah sebuah kombinasi yang tepat untuk menghadirkan suasana penjelajahan paling luar biasa.
“Kau serius ingin mencari ke Hidung Monster, ketua?” Turguy bertanya.
“Tentu saja.”
“Baiklah, aku akan menjelaskan beberapa hal, maukah kalian mendengarkan?”
“Cepatlah, aku kedinginan,” Vivi berdecak. Memeluk tubuh.
“Baiklah. Pertama, soal Hidung Monster. Tempat itu tidak main-main dinamai. Itu adalah tempat yang mengerikan. Merupakan salah satu persimpangan antara Sarsa dengan Gunung H1. Bukan tempat pendakian. Aku pernah lewat sana beberapa kali. Tempatnya tidak terlalu dingin, tidak licin, tidak rentan badai, tapi ada sensasi ganjil setiap sampai di sana. Sebab, di sana bukan wilayah kekuasaan manusia.
Kedua, sebagai orang yang paling tahu tentang Pahadaru di antara kita semua, aku harus memperingatkan kalian. Perjalanan malam ini harus dibatasi. Kita tidak boleh berkeliaran lebih dari pukul 12 malam. Aku tidak mau ambil resiko.”
“Penjelasanmu, membuat perjalanan malam ini, menjadi semakin menakutkan, Turguy.”
“Kuharap kamu bukan orang yang mudah takut, Vivi.”
“Hei, aku tidak pernah takut. Aku bukan penakut.”
“Baiklah, lebih baik kita mulai berjalan,” Allary memutus perdebatan. Menyorong senter. “Turguy, tunjukkan jalannya.”
“Baik ketua.”
Turguy membelok dari jalur pendakian, gesit membanting senter ke sana kemari mencari jalan yang aman menuju Hidung Monster. Jalur pendakian normal, mereka belok kanan. Jalan gelap sekali.
“Aku tidak tahu kalau lereng gunung di malam hari semenakutkan ini,” ucap Allary. Dia mengekor jalan Turguy. Vivi di belakangnya, Felix di paling belakang.
“Itu karena kau tidak pernah naik gunung, ketua.”
“Memangnya kau pernah naik gunung di malam hari, Felix?”
“Sering. Bahkan aku sering turun gunung di malam hari.”
“Ini berbeda, Felix,” Turguy menyela, “berhati-hatilah. Jalur ini berbahaya. Bahkan untuk pendaki paling profesional sekalipun. Itu di depan kita, ada jalan sempit yang diapit dua tebing. Kita harus lewat di sana dengan ekstra hati-hati.”
Dua tebing itu adalah persilangan antara Sarsa dengan H1. Persilangan dua gunung yang berbeda di Pegunungan Pahadaru. Jalur ini secara teknis berada di lereng Gunung H1, jadi rombongan Allary, secara teknis pula, meninggalkan Sarsa, dan masuk ke H1. Dari jalur ini, siapapun yang melewatinya, akan menjauhi Sarsa sejenak. Di jalur ini pula, ada satu bagian tebing Sarsa yang menjorok ke luar. Dari jauh, itu terlihat seperti hidung. Jadi dinamailah, Hidung Monster.
“Hei, berhenti sejenak, Turguy,” baru sejenak berjalan di celah tebing, Allary menepuk-nepuk bahu Turguy, “rasanya aku melihat sesuatu di sana tadi,” Allary menunjuk ke belakang.
“Ada apa ketua?”
“Aku melihat jejak. Kita harus kembali untuk mengeceknya.”
Karena memang itulah tujuan ekspedisi mereka malam itu, Turguy putar balik sejenak. Mengecek tempat yang ditunjuk Allary. Dan di situlah, penemuan pertama mereka malam itu, genap tercetak.
SEBUAH JEJAK.
Turguy dan Felix yang lebih lihai dalam bidang pendakian, penjelajahan dan pramuka, segera memastikan bahwa jejak itu masih jejak yang baru.
“Jejak ini benar-benar berukuran raksasa. Makhluk apapun itu, pasti berbahaya.” Vivi memucat melihat jejak raksasa itu.
“Jejaknya sama persis seperti yang kita temukan di Lembah Es, ketua.” Turguy mengukur-ukur dengan tangannya.
“Kurasa tadi dia memang ada di sini, dia tidak jauh dari kita,” ujar Allary tertahan.
Adapun Felix menatap jejak itu dengan tatapan ragu campur waspada. “Kurasa ada beruang salju yang berkeliaran di sekitar sini. Kita harus waspada.”
“Kau masih tidak percaya dengan Raksasa Hi’um walau sudah melihat jejak ini, Latino?” Turguy mendidih marah lagi.
“Aku tidak menampik keberadaan jejak ini, Turguy. Jangan salah sangka begitu. Aku cuma bilang kita harus waspada terhadap beruang salju.”
“Itu berarti kau hendak mengatakan bahwa Raksasa Hi’um itu tidak ada.”
“ITU DIA!!!” Allary tiba-tiba terpekik, menunjuk ke ujung jalan. Di saat Turguy dan Felix sibuk hendak bertengkar, Allary menyorongkan senter, melihat sekitar. Dia tadi yakin sekali bahwa Raksasa putih itu berada tidak jauh dari sana.
Dan dia menemukannya.
Makhluk itu berdiri di ujung jalan. Seolah termangu melihat mereka. Hanya saja, Allary belum melihat wajahnya.
RAKSASA HI’UM
Kontan dengan pekikannya, Allary langsung berlari mengejar ke sana.
“Hei, tunggu ketua!” Turguy ikut terpekik, melihat ketuanya tunggang langgang di dalam gelap. Vivi mencegah Felix ikut mengejar, sebab itu berbahaya. Selain itu, Vivi juga takut.
Tapi Allary tidak sempat mengejar. Raksasa itu sudah menghilang. Allary hanya bisa meraba tempatnya tadi berdiri. Sepasang jejak yang masih hangat.
“Kau benar-benar melihatnya, ketua.” Turguy berkata dengan bergetar.
“Hei, tentu saja, Turguy.”
“Beruang salju, ketua?” Felix sudah menyusul bersama Vivi yang beringsut pelan karena nyalinya ciut.
“Tidak Felix, kali ini benar-benar monster penunggu gunung es. Tidak ada beruang salju yang nyasar sampai ke tempat ini.”
“Bisa saja ketua. Para ahli teori evolusi bisa saja memberikan keterangan tentang itu,” Felix bersikeras.
“Tidak Felix, ini bukan tentang beruang atau teori evolusi. Kau salah membidangi ilmu. Kau seharusnya belajar cryptozologi. Yang kulihat tadi benar-benar makhluk berbulu putih yang besar. Postur pundaknya besar. Tidak, tidak ada beruang yang seperti itu.”
Felix tidak bergeming.
“Baiklah Felix, demi kata-katamu itu, malam ini aku bersumpah, akan mengantarkanmu ke hadapan Raksasa Hi’um itu sendiri.”
55
Sebuah Gua
Sayangnya, penampakan yang dilihat Allary malam itu, adalah yang terakhir. Setidaknya yang terakhir sampai batas waktu yang dijatahkan Turguy. Pukul 12 malam.
Cuaca mulai mendingin. Sebenarnya sejak pukul sembilan tadi, cuaca sudah dingin. Angin gunung bertiup, siapa saja yang tidak tahan, pasti menggigil. Sensasi petualangan agaknya mengusir rasa dingin untuk sementara, hanya sementara. Sedikit demi sedikit, hawa dingin menyusup ke tubuh empat rombongan Allary. Vivi mulai kedinginan.
“Tenang, Vivi. Sebentar lagi kita akan beristirahat.” Allary menghibur.
“Dingin Allary... dingin sekali...”
“Iya, kita akan mencari tempat berteduh. Turguy cepatlah!”
Turguy menyahut seadanya. Dia juga sudah lelah. Dia sorong menyorongkan senter. Meski dia jarang lewat medan ini, dia tahu bahwa di jalan bertebing ini pasti ada gua yang bisa dipakai untuk berteduh sejenak.
Adapun Felix, meski tidak percaya dengan keberadaan Raksasa Hi’um, dia waspada penuh. Menanti serangan beruang salju.
Pukul 12 lewat sedikit, akhirnya Turguy menemukan tempat yang tepat. Gua yang cukup layak untuk ditempati. Turguy meminta izin untuk mengecek gua itu terlebih dahulu. Lima belas menit, Turguy keluar lagi.
“Aman ketua. Silakan masuk.”
“Syukurlah, ayo masuk, kamu sudah kedinginan bukan, Vivi?”
Vivi mengangguk. Dia langsung masuk. Langsung bersiap tidur. Dia kelelahan. Allary, Turguy dan Felix juga langsung tertidur. Bahkan tidak sempat memasang sleeping bag.
Gua itu cukup hangat. Terhindar dari badai salju dan semilir angin. Juga cukup kering dan tidak terlihat ada ancaman binatang buas. (Memangnya ada binatang buas di lereng Pahadaru?).
Rombongan Allary semuanya terlelap. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah itu.
Pukul satu malam, lebih sedikit. Vivi terbangun. Badai salju mengamuk dengan ganas di luar. Vivi menghela nafas, syukurlah mereka tidak terlambat, sudah berada di dalam tempat yang nyaman.
ROOOOOOAAAAARRR!!!!
Vivi langsung tercekat, kontan merinding mendengar suara auman yang membelah angkasa. Suara apa itu? Mengerikan sekali. Vivi langsung gemetar.
ROAAAAARRRR!!!
Suara itu kembali terdengar. Baru terdengar. Suara apa itu? Vivi membatin. Suara yang menyeramkan. Seperti auman binatang buas. Tapi bukankah tadi Turguy bilang bahwa tidak ada binatang buas di Pegunungan Pahadaru.
ROAAAAAARRRR!!
Vivi tidak kuat. Mendengar suara itu terus menerus, dia kontan membangunkan Allary.
“Ada apa, Vivi? Kurasa ini belum pagi,” Allary menyahut malas, mengantuk.
“Sssstttt, dengarkan,” Vivi menaruh tangan di bibir. Suasana hening sejenak.
ROAAAAAARRRRRR!!!!
Suara itu kembali terdengar. Sangat jelas. Allary langsung tegak duduk. Merasa terkejut, berdebar, dan juga penasaran.
“Suara apa itu gerangan?” Allary bertanya sendiri.
“Aku tidak tahu, Allary. Cepatlah bangunkan Turguy, kita harus waspada. Jangan-jangan ada binatang buas dekat dengan kita sekarang.” Suara Vivi bergetar.
56
Pintu Gerbang Dunia Lain
ROOOOOAAAAARRRRRR!!!!!
Suara itu kembali membelah memekakkan telinga. Suara itu teramat keras. Suaranya teramat seram. Lebih seram daripada suara auman harimau sekalipun. Allary cepat membangunkan Turguy.
“Suara apa ketua? Dari tadi aku tidak mendengar apa-apa?” Turguy, sama seperti Allary saat dibangunkan, mengucek mata. Tubuhnya masih sangat lelah.
“Duduklah dulu, tenang. Aku dan Vivi sudah mendengar suara itu berkali-kali, jujur, suara itu membuatku merinding.”
“Sepertinya kau berhalus...”
ROOOOOOOAAAAARRRR!!!!!
Suara auman memotong kalimat yang akan keluar dari mulut Turguy. Membuat bulu kudung Allary merinding. “Astaga Turguy, itu suaranya.”
“Suara yang teramat keras. Apakah itu datang dari luar, atau dari dalam?” Turguy bergumam, menoleh ke dalam dan keluar.
“Kurasa dari dalam, Turguy. Suara itu amat keras. Seperti menggema.”
“Biar aku cek sebentar ke luar, Allary.”
“Aku ikut.”
Turguy buru-buru mencegah, “kau tetap di sini, ketua. Jaga Vivi. Bila ada serangan yang datang dari dalam, segera bangunkan Felix. Kau harus ingat, ini adalah jam-jam dimana kekuatan manusia tidak ada apa-apanya.”
Allary mengangguk. Menyambar tongkat yang tadi dikeluarkannya. Turguy keluar sebentar. Badai salju nampak masih mengamuk di luar sana.
Sebenarnya Turguy berkeliaran di luar tidak terlalu lama. Hanya sekitar 10 menit. Tapi bagi Allary, itu adalah detik-detik yang amat lambat. Tubuhnya waspada penuh. Masalahnya adalah, dia tidak tahu persis, apa yang dihadapinya. Suara auman itu berada di luar pengetahuannya.
ROOOOOOOAAAAARRRR!!!!!
Suara itu kembali terdengar. Tepat saat Turguy datang lagi. Tubuhnya belepotan salju, gemetaran. Dingin sekali. Wajahnya juga murung. “Suara itu datang dari dalam, ketua. Aku sudah mengecek keluar. Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran siapapun, sejauh radius 50 meter.”
“Berarti suara itu datang dari dalam gua?” Allary menyorongkan senternya ke dalam gua yang gelap. Sepertinya gua itu panjang. Mereka hanya istirahat di mulut gua saja.
“Kemungkinan besarnya begitu.”
“Bagaimana sekarang, Turguy?”
Turguy nyengir, “kenapa bertanya padaku. Kau ketuanya Allary. Menurutmu apa yang akan kita lakukan?”
“Kurasa kita harus mencari tahu asal suaranya. Aku rasa aku tidak akan bisa tidur sebelum mengetahui makhluk apa yang bersuara itu.”
“Kau yakin tidak akan menyesal membuat keputusan itu, ketua? Makhluk yang mungkin kita temui, adalah makhluk yang tidak pernah disebutkan manusia manapun.”
“Bagaimana menurutmu, Vivi?” Allary berpaling ke gadis rekan setimnya yang terlihat paling ketakutan itu.
“Aku jujur, kali ini takut dengan suara itu, tapi aku sependapat dengan Allary. Aku juga penasaran.”
“Baiklah. Bagaimana Turguy? Bersediakah kau membimbing perjalanan ini?”
Turguy garuk-garuk kepala. Dia juga sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang jalur gua ini. Tapi menurut Allary, itu justru membuat semuanya tambah menarik. Mereka segera membangunkan Felix, yang setengah hati mau diajak.
Allary dan Turguy segera mempersiapkan perjalanan. Mereka mempersiapkan segalanya, lebih dari perjalanan mereka sebelumnya menuju Hidung Monster. Sebab boleh jadi perjalanan ini lebih berbahaya. Turguy bahkan menyiapkan sebuah pisau belati pendek, dia selipkan di pinggang kiri.
Gua itu nampaknya panjang sekali. Seperti tidak ada ujungnya. Anehnya, gua itu nampak kering, bersih dan lurus. Tidak ada stalagtit, stalagmit ataupun kelelawar. Lagipula kelelawar mana yang mau bersarang di Pegunungan Pahadaru.
Satu jam sudah Allary dan yang lain menyusuri gua itu. Allary berjalan dengan Turguy, sementara Vivi dan Felix berdampingan di belakangnya. Sesekali terdengar bunyi raungan, yang semakin keras dan semakin keras. Vivi merapatkan diri pada Felix, secara tidak sadar. Dia takut.
“Hei, aku pernah dengar sebuah cerita tentang sesuatu yang agak mirip dengan gua ini,” Vivi tiba-tiba bersuara.
“Apa itu?”
“Turguy, kau pernah dengar cerita tentang Negeri Orang Gunung?” Vivi berucap dengan bergetar.
“Negeri Orang Gunung?” Allary nampak tertarik.
“Ya, aku pernah dengar,” Turguy menyahut pelan, “legenda tentang orang-orang yang memilih tinggal tertutup di dalam perut gunung. Mereka tidak tersentuh peradaban.”
“Sepertinya menarik,” Allary menggosok tangan, “bisakah kita bertemu dengan mereka?”
Turguy menggeleng, “maaf ketua. Untuk yang satu ini, aku bahkan tidak bisa memastikan mereka ada atau tidak.”
“Baik Raksasa Hi’um ataupun Negeri Orang Gunung, itu sama-sama mitos tak berdasar.”
ROOOOOOOOOOOOOOAAAAAAAAAAARRRRRRR!!!!!
Seakan menyahuti suara Felix, suara auman terdengar semakin keras.
“Ini sepertinya bukan suara singa ataupun beruang.” Felix menggosok tangan ke bahunya. Sepotong demi sepotong ketakutan mulai menghampiri mereka. Petualangan di gua ini memang amat ganjil.
Pukul 2 dinihari. Hampir dua jam setelah Allary dan yang lain menyusuri gua. Sampailah mereka di satu persimpangan. Hanya ada dua belokan, kiri dan kanan. Allary menengok pada Turguy.
“Kemana kita, Turguy?”
“Jangan tanya aku, Allary. Aku tidak kenal wilayah ini. Coba tanya Felix.”
“Eh kenapa aku?”
“Seingatku, kau adalah satu-satunya pendaki profesional di rombongan ini.”
Felix berdecak. Kenapa pula dia harus terlibat dalam urusan ini. Dia mencoba menerapkan ilmu yang dia miliki. Sesekali, saat suara auman itu terdengar, Felix segera menempelkan telinganya ke tanah. Mencoba mencari tahu asal suaranya.
“Sepertinya dari sisi kiri,” ujar Felix setelah pengamatannya selesai.
“Baiklah, kalau begitu kita ke kiri. Siapkan peralatan kalian. Siapa tahu ada bahaya di depan sana.”
Allary, Turguy dan Felix mengambil semua yang mereka miliki untuk melawan bahaya. Sesuai insting, mereka mengurung Vivi untuk melindunginya. Allary di samping, Turguy di depan, Felix di belakang. Masing-masing memegang tongkat, belati dan yang lain (tidak ada yang tahu apa yang dipersiapkan Felix).
Suara raungan makin keras terdengar.
ROOOOOOOAAAAARRRRROOOOOOOAAAAARRRRROOOOOOOAAAAARRRR!!!!!
Sampailah mereka di satu titik yang membuat mereka harus berhenti. Sebuah batu besar menghalang jalan. Batu yang sangat besar. Menutup jalan dengan sempurna. Bahkan tidak ada celah untuk sekecil semut.
Allary dan Turguy berusaha menggeser batu itu sekuat tenaga. Tapi batu itu tidak bergeser. Felix melihat tanah di situ dengan saksama, senter diletakkan di kepalanya.
“Tidak salah lagi. Wilayah ini tidak pernah disentuh manusia modern sebelumnya. Akan jadi kejutan bagi ilmuwan Eropa jika tahu tempat ini ada.”
Felix kembali menempelkan telinganya ke batu besar. Mendengarkan dengan saksama. Suara itu berbunyi semakin keras. Auman yang amat misterius.
“Bagaimana kesimpulanmu, Felix?”
“Apapun yang ada di balik batu besar ini, ia jelas tidak suka diganggu. Kita tidak bisa mengusiknya.”
“Kau benar.”
“Lalu bagaimana sekarang, ketua?”
“Bukannya gua ini bercabang dua? Kita bisa mencoba cabang satunya. Cabang kanan.”
“Apa yang coba kita cari ke sana? Suara apapun itu, mereka jelas datang dari balik batu besar ini. Tidak ada apa-apa di ujung satunya.” Felix berdecak sebal.
“Apa salahnya, Felix. Apa salahnya.”
57
Negeri Orang Gunung yang
Legendaris
Meski Felix terang-terangan menyebut bahwa tidak ada apa-apa di cabang gua satunya, Allary, Vivi beserta Turguy sama penasarannya tentang cabang kanan gua tersebut. Alhasil, Felix kalah suara mufakat.
Butuh 20 menit bagi rombongan Allary untuk kembali ke persimpangan yang tadi mereka lewati. Semakin menjauh dari batu besar itu, bunyi-bunyi auman yang mengerikan itu makin mengecil hingga tidak terdengar. Nampaknya Felix benar, apapun yang bersuara itu, ia tersembunyi di balik batu besar. Tidak mau diganggu siapapun.
“Bisa kita berhenti sejenak.”
“Ada apa Felix?” Allary bertanya, heran dengan Felix. Ada apa dengan Mr. Latino? Dia berlutut, memeriksa tanah yang mereka pijak dengan menggunakan senter. Memeriksa dengan begitu saksama.
“Tidak salah lagi, jalan ini sudah sering dilalui manusia. Beda dengan simpangan yang di kiri tadi.”
Untuk ukuran yang sejak awal pendiam, Felix sekarang nampak lebih sok.
“Jadi kenapa kalau begitu, Felix.”
“Artinya kita harus lebih waspada ketua. Bisa saja ada orang yang menyerang kita di sekitar sini.”
“Mengenai waspada, kita memang harus waspada. Ini tempat yang asing. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Kita lihat apa yang ada di ujung terowongan ini.”
Bicara soal ujung terowongan, Vivi tiba-tiba berteriak. Menunjuk ke arah yang jauh di depan. “Lihat!!”
Di arah telunjuk Vivi, nun jauh di depan, terlihat sebuah cahaya yang amat terang. Cahaya itu kontras karena mereka saat ini ada di kegelapan.
“Itu cahaya kehidupan.” Allary bergegas berlari menyongsong cahaya tersebut.
“Hei, tunggu!” Turguy terpekik, melihat Allary yang kontan berlari, ikut berlari juga. Demikian juga Vivi dan Felix. Mereka berempat berlarian tunggang langgang.
Langkah Allary sempurna tertahan. Dia sudah tiba di sumber cahaya, di ujung terowongan, dan dia langsung disuguhi sebuah pemandangan menakjubkan. Sesuatu yang tidak pernah dia lihat seumur hidupnya.
Ujung dari terowongan gua itu bermuara pada sebuah ruangan besar. Bukan hanya besar. Tapi sangat besar. Sangat luas. Langit-langit ruangan yang sangat tinggi, ruangan itu berdinding batu, dengan gaya bundar spiral yang menyempir ke atas.
Ruangan itu tepat berada di perut gunung Sarsa. Di tiap dindingnya ada ratusan bahkan ribuan pintu yang terhubung dengan ruangan-ruangan. Pintu-pintu itu menyebar sampai ke langit-langit paling atas. Setiap pintu dihubungkan dengan tangga yang diatur berundak-undak mengikuti pola spiral ruangan bundar besar itu.
Ruangan bundar besar itu juga memiliki dasar yang amat jauh dari tempat Allary berpijak sekarang. Jadi saat Allary dan yang lain menengokkan kepala ke bawah, mereka bisa melihat banyak sekali pintu-pintu di bagian bawah. Ruangan bundar besar itu amat terang. Diterangi oleh nyala 1000 buah lilin.
Ada banyak orang terlihat berkeliaran di tiap pintu. Keluar masuk. Beberapa naik ke atas. Beberapa turun ke bawah. Di bawah nampak lebih banyak kerumunan orang.
Sementara suasana di dalam ruangan bundar besar itu amat tenang, amat menyenangkan. Di sini sama sekali tidak terasa dinginnya udara Pegunungan Pahadaru. Pun udara terasa sangat segar.
Allary, Vivi dan Felix mungkin sudah sering melihat banyak bangunan menakjubkan di dunia luar sana. Ada Burj Khalifa, Colosseum, Piramida Agung Giza hingga Candi Borobudur dan Menara Eiffel. Tapi tak satupun bangunan di dunia luar sana, yang bisa menandingi pesona ruangan bundar berdinding batu dengan ribuan pintu itu. Ruangan itu seperti berada di dunia yang jauh berbeda. Berbeda dimensi.
Itulah Negeri Orang Gunung yang legendaris.
Susah dipercaya, Allary dan kawan-kawan sampai di sana.
58
Negeri Kami, Ogenaputai
“Tempat ini, tempat apa ini, Turguy?” Allary bertanya-tanya. Mulutnya setengah ternganga melihat keagungan Negeri Orang Gunung.
“Aku rasa inilah Negeri Orang Gunung yang legendaris itu, Allary.” Ini Vivi yang menyahut.
“Tempat ini amat menakjubkan,” bahkan Felix yang biasanya cuek dan dingin, ikut terpesona dengan keagungan tempat ini. Adapun Turguy, dia diam saja.
Sementara Allary dan rombongannya terpesona dengan tempat yang menakjubkan itu, ada dua orang yang mendatangi mereka. Satu berbadan tambun dan berwajah ganas. Satunya lagi berbadan kecil, kurus, penampilannya bersih.
“Selamat datang tuan-tuan, ada yang bisa kubantu,” ujar orang dengan penampilan bersih itu. Kalimatnya selugas penampilannya.
“Eh, kami para pendaki gunung, kami tersesat sampai di sini,” Allary tergagap, asal menjawab, agak jeri melihat ekspresi orang satunya. Yang berwajah ganas itu.
“Tersesat? Sangat tidak biasa. Sangat tidak biasa, ada yang tersesat sampai ke sini. Gua kami ada di luar jalur pendakian.”
Orang berpenampilan bersih itu menatap Allary dengan pandangan tajam. Allary menoleh pada Turguy, meminta bantuan.
“Kami tersesat karena mencoba mencari jejak Raksasa Hi’um. Semuanya tidak direncanakan. Awalnya kami hanya bermalam di mulut gua. Tapi tepat tengah malam tadi, bunyi-bunyi aneh terdengar, kami berusaha mencari sumbernya ke dalam gua. Langkah demi langkah membawa kami sampai ke mari.” Turguy mencoba memberi penjelasan.
Orang berpenampilan bersih itu mengangguk-angguk. “Baiklah, semoga kalian tidak berbohong ketika bilang hendak mencari jejak Raksasa Hi’um, satu pertanyaan saja, apakah kalian percaya akan keberadaan makhluk itu?”
“Kami percaya, sangat percaya.” Turguy menyahut mantap, Allary buru-buru menutup mulut Felix. Bila Mr. Latino kembali menyuarakan teori-teori ilmiahnya, urusan mereka bisa gawat. Mendengar jawaban Turguy, orang berpenampilan bersih itu tersenyum. Menggeser posisi berdirinya, seolah membukakan jalan untuk rombongan Allary.
“Baiklah. Siapapun orang yang mempercayai keberadaan Raksasa Hi’um, masih merupakan saudara kami. Namaku Ne, sebagai penanggungjawab kehidupan di sini, aku ucapkan selamat datang pada kalian. Selamat datang di negeri kami. Ogenaputai.”
“Negeri kalian amat indah,” Allary tak ragu lagi mendaratkan pujian.
“Terima kasih. Bila kalian tidak keberatan, mari ikuti aku.”
Kalimat Ne mengandungi sesuatu aura perintah yang tidak bisa ditolak. Allary dan rombongan mengekor langkah Ne dan temannya yang bertampang seram itu menuruni tangga spiral.
Sambil berjalan, Allary tak habis-habisnya mengagumi arsitektur tempat itu. Rupa-rupanya, setelah dilihat dari dekat, setiap pintu yang terpahat di dinding batu itu, adalah sebuah rumah tempat tinggal bagi satu keluarga. Menakjubkan. Berarti ada ribuan keluarga yang tinggal di tempat ini.
“Maaf menyela sebelumnya, Tuan Ne. Aku mau bertanya, kira-kira anda mau membawa kami kemana?” Allary bertanya setelah mereka berjalan-jalan selama 15 menit dan belum nampak akan berhenti. Bukannya Allary tidak menikmati jalan-jalan mereka ini. Dia hanya takut. Bukan sekali dua toh, dia mendengar di luar sana ada beberapa suku primitif yang menjadi kanibal. Jangan-jangan penghuni tempat ini juga demikian? Kan tidak ada jaminan. Begitu pikir Allary.
Ne tertawa, “tenanglah. Aku membawa kalian menuju jamuan makan yang telah disiapkan. Aku akan membawa kalian ke Ogenaputi, pusat Negeri Ogenaputai, di sana Tuan Oge sudah menunggu. Jadi bukan ke tempat pesta kanibal kok.”
Allary garuk-garuk kepala. Bertambah dua keheranannya tentang tempat ini, satu, mengenai istilah-istilah yang baru diucapkan Ne. Dua untuk cara Ne membaca pikirannya.
Tempat ini benar-benar mengagumkan.
59
Makanan yang Unik
15 menit lagi berjalan hingga ke dasar gunung. Ke ujung tangga spiral. Ke lantai paling bawah. Bagian dari ruangan yang paling besar.
Tepat di tengah-tengah ruangan, sebuah meja besar telah disiapkan. Di atasnya ditata makanan di atas piring-piring berwarna perak, gelas kaca yang artistik. Meja itu berbentu segiempat memanjang. Enam buah kursi ditata di sisi-sisinya, salah satu kursi itu amat megah, berlapis dengan emas. Di atas kursi itu, mendudukkan dirinya, seorang pria paruh baya dengan tinggi hampir tiga meter, dengan baju yang amat megah.
Allary segera tahu dengan siapa dia berhadapan.
Dialah Raja Negeri Orang Gunung. Tuan Oge, sang penguasa Ogenaputai. Sesampainya di hadapan kursi emas itu, Allary dan rombongan membungkukkan badan, memberi hormat. Tuan Oge tersenyum, menerima penghormatan yang memang pantas dia terima itu.
“Terima kasih tamu-tamuku. Selamat datang. Senang sekali akhirnya aku bisa menyambut orang-orang dari dunia luar berkunjung. Siapa namamu, Nak?” Tuan Oge menunjuk Allary yang berdiri paling dekat dengan tahtanya.
“Namaku Allary tuan, Allary Azra.”
Baiklah Allary, ini adalah kunjungan impianku. Ada banyak sekali yang ingin kubicarakan dengan kalian. Tapi itu urusan nanti saja kita ceritanya, silakan kalian menikmati jamuan makanku terlebih dahulu.”
Makanan yang amat menggiurkan dan unik sudah tersusun rapi di atas meja. Ada tiga variasi makanan yang disajikan. Ada potongan daging yang dipotong berbentuk dadu, disirami dengan saus warna kuning. Ada bola-bola daging yang digoreng hingga kecoklatan warnanya, dan ada piring-piring berisi potongan buah berwarna hijau mirip semangka. Sebagai minuman, ada beberapa botol besar berisi air berwarna hitam yang siap dituang ke cangkir artistik. Allary dan rombongan lagi-lagi harus takjub melihat sajian makanan yang amat luar biasa itu.
“Mari, silakan mencicipi makanan ini. Aku jamin, kalian tidak akan menemukan makanan-makanan semacam ini, di dunia luar sana.” Ne tiba-tiba muncul. Ne lalu dengan elegan mengambilkan potongan daging dadu, bola-bola daging dan buah, ke piring Allary.
Allary ragu-ragu mencicipi. Di gigitan pertama, dia sudah terburai dengan kelezatan makanan sajian Negeri Orang Gunung ini. Rasanya benar-benar menakjubkan.
“Ini terbuat dari apa?” Allary menanyakan soal daging yang dipotong dadu. Dia makan tepat bersebelahan dengan Ne. Mudah baginya bertanya.
“Oh ini terbuat dari daging domba gunung yang masih muda. Dipotong di usia terbaik. Disirami dengan saus Wallasi, rempah-rempah yang diambil langsung dari dasar Gunung Sarsa.”
“Rasanya tidak ada duanya,” kata Allary berkomentar, “kalau yang ini terbuat dari apa?” kadung bertanya, Allary menunjuk ke bola daging lagi. Takut juga kalau-kalau dia tak sengaja makan daging babi.
Ne tersenyum, dengan senang hati menjelaskan, “ini Bubutagai. Dibuat dari daging domba gemuk. Mengandungi lemak, namun lemaknya dicairkan dalam proses memasaknya. Sehingga saat ini, makanan ini nol lemaknya.”
“Sangat lezat,” komentar Allary.
“Kalau ini namanya buah Putugai. Semangka Hijau. Bertahun-tahun yang lalu, tetua Negeri ini membawa bibit semangka yang sama dengan yang tumbuh di dunia luar sana, lalu mengembangkan variasi khas dari negeri ini. Cobalah mencicipi.”
“Seperti rasa semangka yang tumbuh di Jepang sana,” kali ini Felix yang berkomentar, wajahnya seperti sok tau.
Ne tertawa kecil, menuangkan air untuk Allary, sambil menjelaskan. “Cobalah minuman teh ini. Kujamin kau tidak akan kecewa. Minuman ini dibuat dari Teh batu. Tanaman herbal menyehatkan yang tumbuh di sela-sela batu. Sementara airnya diambil dari embun-embun gunung di langit-langit. Sangat menyegarkan.”
“Sangat menyegarkan,” komentar Allary sambil menegak minuman itu. Rasanya memang luar biasa.
Allary, Vivi dan bahkan Felix benar-benar terpukau dengan rasa makanan yang betul-betul lezat di Negeri Orang Gunung. Sebenarnya, makanan-makanan lezat itu memanggil lidah mereka untuk terus makan, tapi demi melihat Tuan Oge yang seperti menunggu ingin mendengar kisahnya, Allary menyudahi makan lebih cepat.
Siap bercerita.
60
Dunia yang Dikuasai Orang-orang
Serakah
“Tamu-tamuku yang terhormat, aku merasa senang kalian mampir sebagai tamuku hari ini. Aku mau bertanya dulu, bagaimana pendapat kalian tentang negeriku?”
Tuan Oge duduk di atas tahta berlapis emas miliknya. Sebenarnya aneh sekali melihat beliau (dalam hal ini kita harus memakai kata “beliau” untuk menyebut Tuan Oge, demi menghormati beliau) bisa berbahasa Inggris. Tapi itu bisa ditanyakan Allary nanti-nanti. Yang terpenting baginya adalah menjawab pertanyaan itu.
“Negeri tuan amat menakjubkan. Bangunan, suasana, makanan, semuanya menakjubkan. Ini tidak pernah terlintas di dalam pikiran saya, Tuan.”
Tuan Oge tertawa lebar. “Terima kasih, Allary. Negeri ini dinamai oleh tetua sebagai Ogenaputai. Aku adalah Oge di sini, aku adalah raja. Apakah kau ingin tahu bagaimana negeri semenakjubkan ini bisa dibangun, wahai Allary?”
Allary mengangguk. Dengan senang hati dia mendengarkan. Nampaknya Tuan Oge sebagai seorang raja, menderita Megalomania tingkat parah.
“Baiklah. Aku akan cerita. Namun sebelum itu, aku ingin mendengar cerita tentang dunia luar terlebih dahulu. Bagaimana menurutmu, Allary?”
Allary memulai cerita tentang dunia dengan garuk-garuk kepala. Dia bingung mau bercerita tentang apa. Tapi baiklah, dia cerita saja apa yang terlintas di pikirannya.
“Dunia di luar sana sedang berada di dalam keadaan yang buruk, tuan. Sangat buruk. Dunia secara sekilas berada di jalan yang benar. Setiap bagian dunia dibagi-bagi menjadi negara-negara kecil, yang diatur oleh sebuah sistem pemerintahan. Ada kerja sama internasional. Semuanya mengejar kemajuan.
Tapi secara keseluruhan, dunia hanya dipegang oleh segelintir orang. Orang-orang yang serakah. Orang-orang yang tidak pernah berpikir tentang kepentingan orang banyak. Mereka hanya memikirkan bagaimana memperkaya diri sendiri. Keberadaan mereka benar-benar kuat menancap. Tidak bisa digoyahkan.
Orang-orang itu duduk di puncak strata dunia. Namun tidak banyak orang yang tahu tentang mereka. Orang-orang serakah itu bersembunyi di balik bayangan. Mereka adalah pemain wayang di balik lampu.
Negara-negara kecil sepenuhnya bergantung pada orang-orang serakah ini, semua kehidupan negara kecil ada di tangan mereka. Sementara negara-negara besar, takut akan pengaruh mereka.
Merekalah sang penguasa dunia.”
Allary menyudahi ceritanya. Tuan Oge geleng-geleng kepala.
“Astaga Allary. Ceritamu sungguh mengerikan.”
“Maafkan jika cerita saya kurang berkenan, Tuan.”
“Tidak apa-apa. Kau sudah menjelaskan dengan gamblang. Situasi seperti ceritamu itu, sebenarnya sudah diramalkan oleh para tetua kami jauh-jauh hari. Ya, situasi seperti itu sudah diramalkan.”
Allary mengangguk-angguk.
“Baiklah. Sekarang aku akan menepati janjiku. Giliranku bercerita. Ini berhubungan dengan ramalan yang kukatakan tadi. Jadi, dahulu sekali, ketika dunia ini belum disentuh peradaban yang maju, daerah yang kini menjadi Negeri Orang Gunung, hidup berdampingan dengan dunia luar. Ya, dahulu sekali, negeri ini terbuka dengan dunia. Namun, beberapa ratus tahun kemudian berjalan, para tetua negeri yang bijak, mencium gerakan peradaban yang berbeda. Para tetua melihat bahwa arah gerak peradaban manusia, akan membahayakan bagi peradaban kami. Lalu mereka, para tetua memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal.
Demi menyelamatkan peradaban Negeri Orang Gunung, para tetua memerintah para pengrajin, pemahat dan orang pandai bijak untuk melubangi gunung, membuat tempat tinggal yang amat menakjubkan. Tempat itulah ini sekarang, Ogenaputai. Negeri Orang Gunung.
Tempat ini melindungi kami, rakyat kami, dari peradaban dunia. Selama ribuan tahun, negeri ini menghidupi rakyatnya sendiri, membangun peradaban sendiri, tanpa sekalipun melihat pada dunia luar. Tidak, kami tidak pernah berhubungan dengan dunia. Tempat ini tidak pernah diketahui, dan kami juga tidak peduli dengan dunia luar. Hasilnya? Teknologi kami maju, rakyat kami maju, negeri ini tumbuh menjadi negeri yang menakjubkan.
Tiga puluh tahun yang lalu, aku diangkat menjadi Oge baru menggantikan ayahku, menjadi raja di Negeri Orang Gunung. Semua keputusan berada di tanganku. Aku memegang kelangsungan hidup di Ogenaputai ini.
Nah tamuku, beberapa tahun ini, aku memikirkan sesuatu yang tak kalah radikal dengan pemikiran radikal dengan tetua di zaman dahulu. Aku menyadari satu hal. Kita, aku sebagai Oge, rakyatku di Negeri Orang Gunung, kalian para tamuku maupun orang-orang di luar sana, semuanya pada dasarnya sama. Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama membutuhkan. Kita seharusnya bisa hidup berdampingan. Seharusnya manusia bisa menerima kami, rakyat Ogenaputai, dan kami juga seharusnya bisa menerima kalian sebagai bagian dari warga dunia luar. Aku sebenarnya ingin membuka negeri ini pada dunia luar. Namun, namun, penjelasan darimu membuatku berpikir ulang.”
“Maafkan, bila penjelasan saya membuat anda tidak nyaman, Tuan Oge.”
Tuan Oge tertawa-tawa lagi. “Tidak masalah, Allary. Tidak masalah. Terima kasih sudah membawa cerita tentang dunia padaku. Setidaknya ini bisa jadi masukan bagiku. Baiklah, kita bicarakan hal lain saja. Jadi kalian datang ke Sarsa untuk melakukan apa?”
“Kami adalah para pendaki gunung. Sebenarnya kami tersesat saat hendak mencari Raksasa Hi’um, sehingga kami sampai di tempat Tuan Oge ini, ke Negeri Orang Gunung.”
“Hoo, kalian beruntung sekali. Kalian juga beruntung karena saat kalian sampai di sini, akulah yang jadi Oge di Ogenaputai. Kalau tidak, kalian bisa kena bantai.” Tuan Oge tersenyum misterius.
Allary menelan ludah.
“Baiklah, aku rasa sudah cukup cerita kita. Sebagai rasa terima kasih, karena kalian telah mengunjungi dan membawakan cerita yang amat menarik ke sini, aku ingin menawarkan satu bantuan gratis.”
“Eh, anda tidak perlu repot-repot, Tuan Oge. Sungguh tidak perlu.”
“Ah kau tidak perlu menolak, Allary. Sebagai rombongn pendaki, kalian perlu sampai ke puncak dengan cepat. Mari aku bantu. Aku tahu jalan pintas untuk kalian.”
Tuan Oge beranjak dari tahtanya. Kini tampaklah seberapa besar postur tubuh beliau. Sungguh membuat segan siapa saja.
61
Jalan Pintas
“Ne, siapkan perjalanan. Aku mau mengantar tamu-tamuku ini ke atas. Langsung ke pintu jalan pintas kita di Camp 4. Tolong ajak Osezha juga. Cepatlah. Kita perlu bergegas.”
“Baik, tuan.”
Ne mengangguk. Allary melihat pemandangan menakjubkan lainnya. Bagaimana rantai komando bergulir di Ogenaputai. Sesaat setelah Tuan Oge memberi perintah pada Ne, bagai kartu domino yang rebah, semua orang yang terlibat, bergegas melaksanakannya.
Semenit kemudian, Ne telah siap dengan tas punggung kecil. Bersama dengannya, ikut seorang gadis muda, ditaksir berusia 22 tahunan. Dialah Osezha. Dia adalah permata bagi Negeri Orang Gunung.
“Baik, tuan-tuan. Mari kita mulai berjalan.”
Allary merasa perjalanan mereka di Negeri Orang Gunung berakhir begitu cepat. Mungkinkah karena penjelasannya tadi menyinggung perasaan Tuan Oge. Untuk itu, Allary meminta maaf beberapa kali. Namun Tuan Oge menepisnya dengan tersenyum. “Tidak perlu dipikirkan tamu-tamuku. Tidak perlu dipikirkan.”
Allary berjalan di sebelah Tuan Oge. Di belakang mereka ada Ne dan Osezha, di belakangnya lagi Turguy dan Vivi, sedangkan paling belakang, Felix. Mereka bertiga (anggota rombongan Allary) lebih sibuk menikmati Negeri Orang Gunung dari jarak yang lebih dekat. Pintu-pintu yang tadi mereka lihat dari jauh, sekarang bisa mereka tengok ke dalam. Rupanya di dalam pintu itu, ada lorong panjang yang menghubungkan dengan lorong-lorong lain. Heran Vivi melihat ke dalam situ.
“Negeri ini sangat luas. Kalian perlu lebih dari satu tahun untuk mengelilingi Negeri Orang Gunung secara keseluruhan,” Ne dengan senang hati menjelaskan.
“Ne itu adalah putraku. Osezha adalah adik Ne. Aku hanya punya dua orang anak. Aku bersyukur mereka tumbuh besar. Ne sangat terampil dalam urusan pemerintahan. Sementara Osezha amat pintar dalam urusan teknologi. Saat aku pergi nanti, Ne akan menjadi Oge menggantikan aku. Kupikir masa depan mereka cerah, aku meninggalkan masa depan Ogenaputai di tangan yang tepat.”
Allary mengangguk-angguk.
“Oh ya, ngomong-ngomong bagaimana pendapatmu tentang masa depan dunia luar, Allary?”
Allary tersentak. Lagi-lagi ini adalah pertanyaan tes untuknya. Allary bukan peramal, dan dia juga bukan seorang penjilat. Dia akan menjawab sesuai apa-apa yang pernah dibacanya.
“Seperti yang tadi saya ceritakan, Tuan. Wilayah-wilayah dunia luar terbagi menjadi negara-negara. Sistem negara-bangsa dianut lebih dari 200 negara. Setiap negara memiliki kepentingan masing-masing. Tidak jarang antar satu kepentingan dengan kepentingan lain bergesekan, menjadi percikan. Satu percikan bergabung dengan percikan lain menjadi konflik kepentingan. Konflik itu, jika menyeret beberapa negara akan menciptakan peperangan. Perang, di skala dunia saat ini, menjadi sangat krusial, karena perang bisa serupa dengan percikan api membakar ilalang. Langsung menjalar ke segala arah. Sebuah perang bisa meluas menjadi perang besar. Perang yang melibatkan puluhan negara.”
Tuan Oge menatap Allary dengan jeri. “Lagi-lagi kau memberiku gambaran yang amat mengerikan, Allary.”
“Saya hanya mencoba menjelaskan apa yang terlintas di pikiran saya, Tuan. Namun, ada dampak baik, seandainya perang skala besar meletus. Perang besar bisa menghancurkan sistem. Seperti halnya Perang Dunia I dan II menghancurkan sistem penjajahan. Di atas Perang Besar, konsep Negara-bangsa bisa dihancurkan, lalu dunia akan mencari konsep yang lebih baik, dan semoga terhindar dari orang-orang yang serakah.”
Tuan Oge kali ini mengangguk-angguk. “Nah itu baru kabar baik, Allary. Mungkin aku harus menunggu saat itu. Saat dimana dunia sedang mencari sistem yang lebih baik, mungkin saat itulah, Ogenaputai bisa membuka diri pada dunia luar.”
Allary mengangguk-angguk juga. Takzim pada kalimat Tuan Oge.
Sementara di belakang, Ne dan Osezha berbisik-bisik dengan bahasa yang tidak dipahami oleh Allary dan kawan-kawan. Seandainya bisa dinarasikan, mungkin begini kata-kata mereka.
“Pemuda itu menakjubkan ya kak,” ucap Osezha.
“Oh ya, kenapa begitu menurutmu?” sahut Ne.
“Lihat, dia bercakap-cakap dengan lancar sekali dengan ayah. Dia juga memiliki pengetahuan yang luas.”
“Ah kamu menyukainya pada pandangan pertama, rupanya.”
Osezha tersenyum-senyum.
62
Tiba di Camp 4, Lembah Selatan
Perjalanan ke puncak Ogenaputai amat mengagumkan dan mengasyikkan. Sepanjang jalan, Tuan Oge banyak bercerita pada Allary tentang berbagai macam hal. Tentang bagaimana rakyatnya memelihara domba. Tentang bagaimana cara tanaman di negaranya bisa tumbuh, dan bagaimana teknologi di negara mereka bisa diciptakan. Allary dengan senang hati mendengarkan penjelasan Tuan Oge. Stamina Raja Ogenaputai itu amat mengagumkan. Lebih dari seribu anak tangga didakinya, beliau sama sekali tidak kelelahan. Bahkan Allary yang jauh lebih muda, hampir tak kuat meladeni Tuan Oge. Staminanya terkuras.
“Sebentar lagi, sebentar lagi kita akan sampai di pintu keluar.” Tuan Oge mencoba memberi informasi.
Tuan Oge tidak mengada-ada. Perlahan tapi pasti, tangga spiral itu perlahan menyusut. Semakin lama, semakin mengecil. Ujung tangga itu, adalah sebuah pintu yang mengarah ke atas. Tuan Oge berhenti tepat di depan pintu tersebut.
“Inilah batas pertemuan kita, Allary dan tamu-tamuku. Terima kasih banyak atas kunjungan kalian. Aku, sebagai Oge, senang bisa menyambut kalian dan mendengar cerita-cerita tentang dunia luar. Itu memberiku pengetahuan baru. Sungguh aku tidak salah ketika menyuruh Ne menjemput rombongan pencari Raksasa Hi’um itu ke Ogenaputi.” Allary terheran-heran. Bagaimana Tuan Oge mengetahui hal tersebut.
“Baiklah. Itu adalah pintunya. Ketika kalian membuka pintu itu, kalian akan sampai ke dekat Camp 4, di Lembah Selatan. Selamat tinggal Allary.”
“Terima kasih, Tuan Oge.” Allary memberi penghormatan. Turguy, Felix, dan Vivi turut membungkuk.
“Kurasa aku tidak perlu memberitahumu untuk tidak berpanjang mulut tentang Negeri kami ini, Allary.” Tuan Oge melambaikan tangan. Sungguh dia adalah raja yang ramah.
Allary membuka pintu itu, Turguy segera mengenali lokasi itu. Tuan Oge sama sekali tidak mengada-ngada. Begitu mereka keluar, mereka segera melihat pucuk-pucuk tenda dan kemah para pendaki. Mereka benar-benar tiba di Camp 4. Di Lembah Selatan. Mereka semakin dekat dengan puncak.
Di tempat lain, sudah dekat dengan Camp 4, James dan Lescott, dua orang yang sempat mengejek Allary di Lembah Es, tidak bisa menahan diri untuk tidak menertawakan rombongan Allary sepanjang jalan.
“Orang-orang dungu itu dengan wajah meyakinkan bilang bahwa dia hendak mencari Raksasa Hi’um. Sudah jelas itu adalah makhluk mitos yang tidak nyata.” Lescott tergelak.
“Dan dia percaya sekali saat kusarankan mencari ke Hidung Monster. Oh alangkah malangnya mereka. Para pendaki amatir itu tidak akan tahu betapa berbahayanya Hidung Monster.” James menyahuti, ikut tergelak. Seperti itulah yang mereka lakukan sepanjang jalan.
Sekarang bayangkan, dengan posisi menertawakan rombongan Allary begitu, saat tiba di Camp 4, bayangkan betapa terkejutnya James dan Lescott ketika melihat rombongan Allary sudah duduk santai di perapian. Sibuk membakar sosis.
“Hei bagaimana bisa,” Lescott memekik perlahan. Bagaimana bisa orang-orang dungu ini bisa sampai di Camp 4 lebih cepat daripada mereka? Dia bertanya-tanya.
James dan Lescott sebenarnya ingin pura-pura tidak peduli pada Allary dan rombongan, tapi terlambat. Allary sudah melambai pada mereka. Tersenyum lebar.
“Hai My Friend. Terima kasih banyak atas saranmu waktu itu.”
Cih, James berdecak berkali-kali dalam hatinya.
“Bagaimana bisa kalian sampai di sini lebih cepat dari kami. Kalian lewat mana?” Lescott tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Lain kali, kalau kau ingin sampai lebih cepat, ada baiknya kau mencoba berburu Raksasa Hi’um juga.” Turguy yang menyahuti. Terkekeh. Wajah Lescott langsung masam, dua orang Inggris itu berlalu dengan menunduk. Malu, merah padam.
Allary dan yang lain tidak membahas masalah itu lebih lanjut. Mereka membakar sosis di perapian. Sesekali masih membahas soal Ogenaputai yang baru mereka lalui. Negeri yang amat menakjubkan.
“Makanan mereka juga lezat,” Felix malam ini jauh lebih ramah, tersenyum lebar. Sosis-sosis ini juga pemberian dari Felix. Agaknya mengunjungi Negeri Orang Gunung membuat Mister Latino sedikit melunak.
“Andai saja kau memberitahuku lebih awal tentang sosis-sosis ini, mungkin aku bisa membuat makanan yang tak kalah lezat.”
Saat ini jaraknya dengan puncak tak lebih dari 2000 meter lagi. Tinggal sedikit. Hanya perlu dua hari perjalanan. Tapi apakah perjalanan Allary akan berakhir begitu saja? Tentu saja tidak. Perjalanan Allary belum berakhir. Jika saja ini sebuah acara TV, kisah perjalanan Allary masih tersisa tiga episode lagi. Perjalanan masih panjang.
63
Kisah Orang Myanmar
Temaram bintang menyinari Camp 4 di Lembah selatan. Pukul 10 malam, Felix dan Vivi pamit lebih dulu, tenda mereka telah didirikan. Allary mengangguk, mempersilahkan.
“Kalau kau mau duluan juga, silahkan saja, Turguy,” Allary yang memandangi perapian memerintah pada Turguy.
Turguy sendiri merasa ada sesuatu yang aneh dari ketuanya sekarang. Lihat, di saat Vivi atau bahkan Felix merasa sangat senang, mengulang-ulang cerita tentang Ogenaputai, menyebut-nyebut soal kemungkinan pendakian mereka yang sebentar lagi sampai di puncak, Allary lain.
Ketuanya itu tampak lesu. Seperti ada yang dia pikirkan.
“Apa yang kau pikirkan, ketua?” akhirnya Turguy tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Eh, tidak ada Turguy. Aku hanya sedang menikmati pemandangan nyala api ini.”
“Jelas sekali sahutanmu itu tidak pada tempatnya, ketua. Jelas ada yang kau pikirkan. Apakah kau memikirkan soal Ogenaputai? Soal ceritamu pada Tuan Oge?”
Allary menggeleng.
“Atau kau malah memikirkan soal Osezha?”
Allary tetap menggeleng. Tidak terlihat salah tingkah. Berarti memang bukan soal Osezha. Lalu apa? Turguy tidak tahu jawabannya.
“Well,” Allary berdiri, “kalau kau mau istirahat, duluan saja Turguy.”
“Kau mau kemana, ketua?” Turguy heran melihat Allary yang hendak beranjak dari tempat itu.
“Mau kemana kau ketua?”
“Mau menyegarkan diriku dulu.”
Setelah itu Allary berjalan lurus ke depan. Menyisir tenda-tenda pendaki lain. Apa yang dipikirkan ketuanya itu. Mana ada menyegarkan diri di jam malam begini. Turguy cukup mafhum bahwa dia hanya guide, dia tidak mau ikut campur dengan masalah pribadi Allary selaku kliennya. Turguy memutuskan untuk menunggu saja di perapian.
Sejatinya kitapun belum tahu apa yang dipikirkan oleh ketua rombongan kharismatik itu. Belum. Allary terus berjalan, melihat-lihat tenda. Terkadang melambai ke penghuni perapian lain. Menyapa.
Sampailah matanya, tertegun menatap salah satu perapian yang masih menyala dan ramai. Rombongan yang menarik perhatian. Bukan karena ada wanita cantik di sana. Memang ada wanita di sana, tapi dia sedang menangis. Menangis tanda-tanda kesusahan. Karena Allary pada dasarnya adalah seorang yang tidak tega-an, jadi dia cepat-cepat menghampiri rombongan itu.
“Permisi Sir, Ma’am. Ada apa ini? Apakah ada yang bisa saya bantu?”
Ketika Allary mendekat, seorang pria gempal berusia 30-an berdiri. Mereka saling berhadapan. Saling mengenali. Ternyata mereka sama-sama berasal dari Asia Tenggara. Itu terlihat dari wajah mereka.
“Siapa anda?” tanya orang gempal itu.
“Saya Allary Azra. Seorang pendaki dari Indonesia. Tenda saya sebelah sana. Saya dengar tadi wanita itu menangis. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu.” Allary mengulurkan tangan. Bila benar tebakannya, orang ini orang Asia Tenggara, seharusnya tidak sulit mengajaknya beramah tamah.
Orang gempal itu menyambar tangan Allary, “saya Ming Aun. Kami rombongan dari Myanmar. Saat ini kami sedang dalam kesusahan yang teramat sangat.”
“Teramat sangat? Ada apa sir? Ada yang bisa saya bantu?” Allary sekali lagi menawarkan bantuan.
“Terima kasih tawaranmu. Tapi saya tidak yakin, apakah anda bisa membantu dalam urusan ini.”
“Ada apa sebenarnya?”
“Duduklah, saya akan beritahu.”
Allary menurut, lalu duduk.
“Teman seperjalanan kami terpisah dari rombongan. Sampai ini tidak ada kabar beritanya.” Ming Aun menghela nafas tertahan. Matanya berkaca-kaca. Allary agak terkejut mendengar kalimatnya. Masalah mereka serius.
“Lalu apakah kalian sudah mencarinya?”
“Sebenarnya kami ingin sekali turun gunung mencarinya. Tapi guide kami menolak. Alasannya, dia hanya disewa untuk mendaki, bukan untuk mencari orang hilang.”
“Hei, mana boleh begitu.” Allary reflek berseru. Guide rombongan itu mendekat.
“Saya tidak bercanda Mister,” guide itu bicara, “lagipula orang itu terpisah atas kecerobohannya sendiri. Saya tidak bertanggung jawab dengan itu. Mencarinya sekarang-pun sudah sia-sia. Dia pasti sudah mati kedinginan. Saya sudah meminta mereka mengikhlaskan. Memang berat, tapi ayolah, ini sudah lumrah dalam pendakian gunung. Teman kalian itu sudah pergi. Mustahil bertahan di lereng Sarsa, tanpa bantuan apa-apa.”
Lutut Allary lemas terasa, mendengar kalimat guide itu. Oh kasihan sekali nasib orang Myanmar yang terpisah dari rombongannya itu. Dia pasti sedang terduduk, sendirian, kedinginan, menunggu kematian, begitu menyedihkan. Tidak, Allary tidak tahan membayangkan.
Dia harus membantu mereka. Allary seketika memantapkan keputusan dalam hatinya.
64
Keputusan Gila
“Izinkan aku membantumu, Mister.” Akhirnya keluar kalimat tawaran dari Allary.
“Terima kasih atas tawaranmu, tapi saya sendiri masih bingung dengan solusi masalah ini.” Ming Aun menyahut.
Allary menggigit bibir, keputusannya harus disampaikan. Detik demi detik amat berharga. “Saya akan membantu kalian. Saya hanya melihat satu solusi saat ini, yaitu turun gunung. Saya punya guide. Mungkin guide saya bisa membantu menunjukkan jalan. Saya akan membantu kalian mencari teman kalian itu. Saya janji.”
Tersentak Ming Aun mendengar kalimat Allary tersebut. Kalimat yang sulit dipercaya. Ada orang asing yang mau membantu mereka, turun gunung? Tidak mungkin.
“Anda jangan bercanda dalam hal ini, Mister.”
“Saya serius.” Allary mengeluarkan wajah paling meyakinkan.
“Itu keputusan yang gila. Bagaimana dengan rombongan anda? Bagaimana dengan perjalanan anda? Tidak mister. Jangan melakukan hal-hal gila seperti ini. Saya tidak bisa menerimanya.” Ming Aun berkata dengan tak kalah tegas. Sorot matanya benar-benar meyakini bahwa Allary adalah orang gila.
“Mengenai rombongan saya itu, biar saya urus Mister. Yang terpenting teman anda dulu. Teman anda itu perlu diselamatkan. Ini urusan yang serius. Berkaitan dengan nyawa.”
“Dan kalau anda pikir bisa mencarinya sekarang, anda juga mempertaruhkan nyawa anda mister,” Guide perjalanan ikut nimbrung percakapan.
Allary berdecak. Dia benar-benar harus mengambil keputusan dengan cepat, tapi kata-kata guide itu juga benar. Dia ingat peringatan Turguy. Sebentar lagi pukul 12 malam. Dia tidak bisa nekat turun, atau nyawanya juga melayang.
Astaga keputusan ini benar-benar sulit.
“Baiklah. Besok. Kita akan turun besok. Bagaimana mister?”
“Saya tetap tidak bisa membiarkan anda menghancurkan perjalanan anda sendiri mister. Ini sesuatu yang gila.”
“Lebih gila jika kalian membiarkan teman kalian itu mati sia-sia. Besok. Saya janji.” Allary menyahut dengan sengit. Dia dan Ming Aun nampaknya akan terus berdebat sampai tengah malam, andai wanita yang tadi menangis di awal, tidak menyela.
“Ming Aun, biarkan dia. Biarkan dia ingin membantu kita. Mungkin dia adalah kebaikan yang dikirim Tuhan untuk kita. Jangan kau tolak kebaikan Tuhan.”
Allary tersentuh mendengar kalimat wanita itu. Wanita itu mendekat, menyambar tangan Allary, menciumnya. Allary tersentak. Kejadian itu berlangsung sangat cepat.
“Sungguh terima kasih atas bantuanmu, sungguh terima kasih. Kamu adalah orang berhati malaikat.” Wanita itu menangis tersedu-sedu. Allary semakin tersentuh.
“Mister Allary,” ini Ming Aun lagi yang bicara, “saya sangat gembira dan berterima kasih atas kesediaan dan tawaranmu. Sungguh sebuah berkah tak terkira bagi kami. Tapi sekali lagi, saya kira anda harus bicara dengan rombongan anda terlebih dahulu.”
Allary mengangguk. “Sebentar, akan saya bicarakan dengan mereka. Besok pagi bersiap-siaplah turun gunung.” Allary berbalik ke tenda. Keputusannya mantap sekali. Seolah rombongannya tidak akan menentang apapun keputusannya.
65
Membujuk Turguy
Malam itu juga, Allary membicarakan hal ini dengan rombongannya. Yang mula-mula dia ajak bicara adalah Turguy. Karena Turguy adalah guide yang dibutuhkan untuk turun gunung. Beruntungnya, saat Allary kembali ke perapian, Turguy masih menunggu di sana. Malah Turguy melihat semua adegan Allary di tempat orang Myanmar, meski dia tidak mendengar apa-apa yang mereka ucapkan di sana.
“Apa yang terjadi ketua?” Turguy langsung bertanya. Allary tidak langsung menjawab. Dia harus mengatur kata-kata agar bisa membujuk Turguy.
“Aku baru saja kembali dari tenda orang-orang Myanmar.”
“Oh jadi mereka orang Myanmar, aku melihat adeganmu dari kejauhan. Ada apa dengan mereka? Nampaknya dipenuhi kesedihan.”
“Iya,” Allary membuang nafas, seolah ingin mengatakan sesuatu yang sangat berat, “mereka kehilangan salah satu anggota rombongan. Satu orang terpisah, dan hilang.”
Turguy manggut-manggut, “oh, itu biasa saja.”
Allary tercekat, sebegitu biasanya tanggapan Turguy. “Hei Turguy, ini masalah yang serius. Mereka kehilangan satu anggota rombongannya. Hilang tak tahu dimana, entah masih hidup atau sudah mati,” Allary menjawab dengan emosional.
“Iya dan aku bilang itu sudah biasa, ketua. Jika kau cukup familiar dengan dunia pendakian gunung, maka kau akan tahu bahwa kehilangan teman adalah salah satu resikonya.”
“Tidakkah kau bisa membayangkan, Turguy. Saat ini salah satu anggota rombongan mereka sedang duduk memeluk lutut, kedinginan di tengah salju, menunggu kematian. Astaga, alangkah kasihannya.”
“Tidak perlu terlalu emosional ketua. Lagipula dia bukan rombongan kita. Bukan urusan kita.”
“Turguy, dengarkan aku. Situasi paling menyedihkan di dunia ini yang bisa dialami manusia, adalah saat dia terjebak, mendekati kematian dan sama sekali tidak ada yang mau menolongnya. Astaga Turguy. Tidakkah kau kasihan dengannya?”
Turguy menggeleng. “Lagipula kenapa kau terlalu peduli dengan masalah mereka, ketua.”
“Karena aku bertekad menolong mereka. Dan aku ingin kau ikut membantuku.”
Turguy sempurna terkejut, tersentak, matanya membulat melotot, mulutnya sempurna ternganga.
“Kau gila ketua, kau GILA!” Di ujung kalimatnya, Turguy berteriak menyergah pada Allary.
Allary menurunkan tangan Turguy yang tadi menunjuk-nunjuk ke wajahnya. Allary sangat tenang. Dia tidak terpancing emosi. Allary sudah tahu bahwa keadaannya bakal begini.
“Turguy, aku minta padamu. Pikirkanlah. Aku mohon. Orang-orang Myanmar itu perlu bantuanmu untuk mencari teman mereka yang hilang. Hanya kau yang bisa membantu mereka. Hanya kau yang punya pengetahuan tentang rute pendakian dan rute turun.”
“Kenapa harus aku, ketua. Bukannya rombongan Myanmar itu punya guide juga.”
“Guidenya menolak untuk turun, Turguy. Guide mereka hanya disewa untuk naik, bukan untuk turun.”
“Kalau begitu aku juga berhak menolak dengan alasan serupa ketua.”
Allary berdecak. Ternyata bujukan berhati nuraninya gagal. Allary tidak menyerah begitu saja. “Aku akan buatkan kau makanan yang enak, Turguy.”
“Aku menolak, ketua. Kita lanjutkan perjalanan kita saja.”
“Aku akan buatkan kau martabak dengan sosis bakar.”
“Astaga. Kenapa denganmu. Dengarkan aku, kenapa kau mau nekat turun mencari orang yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dirimu, Allary?”
Turguy mulai menyergah dengan nama, bukan lagi dengan sebutan ketua. Itu tandanya dia benar-benar kesal.
“Karena aku tidak akan membiarkan orang Myanmar yang hilang itu, mati sia-sia.”
“Kau tidak ada hubungannya dengan orang itu.”
“Tetap saja. Aku tidak sanggup. Aku tidak sanggup membayangkannya mati mengenaskan. Paling tidak dia harus mendapatkan penguburan yang layak.”
Turguy mengacak-acak rambutnya. Berusaha tenang. Berusaha berpikir jernih. Ini tengah malam di lereng Sarsa. Tubuhnya juga sudah lelah. Jangan sampai dia membuat keputusan konyol.
“Allary, dengarkan aku. Aku ingin membuat kesepakatan. Baiklah, aku bersedia turun. Tapi hanya turun. Aku menolak melanjutkan perjalanan setelah itu. Tidak ada diskusi lagi mengenai hal ini. Aku hanya bersedia turun.”
Turguy berharap dengan tawarannya itu, Allary mau berubah pikiran. Hanya orang gila yang mau membatalkan pendakiannya sendiri demi orang lain.
“Aku bersedia, Turguy. Aku bersedia.”
Ternganga Turguy. Memang benar tadi dia mengata-ngatai ketuanya gila.
“Kau jangan bercanda, ketua. Bagaimana dengan Felix dan Vivi? Bagaimana dengan U3I?”
“Aku sudah pikirkan, Turguy. Rombongan Myanmar itu punya guide. Felix dan Vivi bisa melanjutkan perjalanan bersama guide itu. Sehingga ekspedisi U3I bisa dilanjutkan.”
“Tapi bagaimana dengan impianmu mendaki Sarsa, Allary?”
“Yang terpenting adalah menyelamatkan orang itu dulu, Turguy.”
Tersentuh Turguy mendengar kalimat terakhir Allary itu. Dia tidak punya pilihan selain mengangguk setuju. Diam-diam hatinya berujar.
Pantas saja, kau dipilih oleh semesta untuk menemukan kembali Ogenaputai dan Hariyo Gaurun Hand, ketua.
66
Turun Gunung
Pagi menjelang.
“Kau gila ketua, kau benar-benar gila!” Belepotan wajah Felix dengan sosis bakar pagi ini. Naik darahnya mendengar rencana Allary yang mau turun gunung.
Turguy tersenyum kecil, “kau tidak perlu repot-repot mengata-ngatai ketua kita. Aku sudah puas memaki dia tadi malam, tapi dia tidak bergeming. Dia tetap dengan rencananya.”
“Kau gila, gila Allary. Bagaimana dengan kami, bagaimana dengan U3I? Kau menyia-nyiakan uang mereka.” Felix masih marah.
“Aku tidak gila, Felix,” Allary menepuk bahu Mister Latino itu dengan penuh respek. “Aku sudah mempertimbangkannya panjang lebar. Aku punya rencana.”
Allary segera menjelaskan apa rencananya. Bahwa Felix dan Vivi masih bisa meneruskan perjalanan bersama guide orang Myanmar, dan dengan begitu misi dari U3I tidak terlantarkan. Mendengar itu, Felix sedikit tenang. Sementara Vivi, diam saja.
“Berarti kita berpisah di sini, ketua? Lalu apa yang akan kau lakukan setelah pencarian ini selesai?”
“Kau tidak perlu pikirkan itu, Felix. Aku akan pulang kembali ke Ibukota. Turguy akan dengan senang hati menemaniku pulang. Ya kau benar, kita akan berpisah di sini. Aku merasa terhormat sempat mengenal kalian semua.”
“Kau, kau benar-benar gila ketua.”
“Aku perlu membantu mereka, Felix. Membantu mereka jauh lebih penting. Ibuku selalu memintaku untuk berbuat baik, tak peduli dengan siapapun.”
Selesai makan pagi, Allary mengajak rombongannya ke tempat orang Myanmar. Menemui Mister Ming Aun. Menyampaikan keputusannya.
“Saya siap turun gunung, saya dan guide saya telah bersepakat membantu anda,” ucap Allary tanpa ragu.
Ming Aun kehilangan kata-kata. Guide mereka, mengambil alih pembicaraan. “Lalu bagaimana denganku?”
“Kau akan menemani temanku ke atas. Mereka harus melanjutkan perjalanan. Sementara ini biar aku, guideku yang bernama Turguy, dan rombongan Myanmar yang turun. Kurasa dengan kerja sama kalian, pengetahuan Turguy dan sedikit keberuntungan, kita masih bisa menemukan teman kalian.”
“Hei, Allary. Kamu belum menjelaskan apa tugasku. Apa bagianku?” tiba-tiba sebuah suara menyela. Suara perempuan. Itu Vivi yang bicara. Allary menatapnya dengan heran.
“Apa maksudmu, Vi? Bukankah sudah jelas tadi aku bilang bahwa kamu dan Felix akan ikut ke puncak. Hanya aku dan Turguy yang akan turun gunung.”
“Tidak bisa begitu, Allary. Kamulah yang membawaku ke sini. Maka aku akan ikut denganmu.”
Bukan main senang Allary mendengar keputusan Vivi tersebut.
Ming Aun, kali ini tidak bisa menahan diri. Dia dengan gemetar, berlutut, memeluk lutut Allary. Pria paruh baya itu menangis tersedu-sedu.
“Puji Tuhan yang telah memberimu hati sebaik malaikat, anak muda. Puji Tuhan. Semoga Tuhan pula yang akan membalas kebaikanmu ini. Sungguh, bila saja aku bisa memberikan nyawaku padamu hari ini, aku akan memberikannya. Terima kasih banyak, Mr. Allary.”
“Berdiri mister,” Allary menepuk-nepuk bahu Ming Aun, “ayo kita bersiap-siap. Teman kalian mungkin sekarang sedang menunggu anda datang.”
Saat Allary dan Ming Aun bahu membahu menyiapkan tenda, Felix tiba-tiba mendekat. Wajahnya seperti serba salah. “Ketua,” dia berujar pelan, “aku ikut denganmu.”
Terbelalak Allary mendengar kata-kata Felix. Benarkah Mister Latino mengatakan itu secara sadar? Bukankah sejak awal Felix lebih terlihat seperti orang yang berambisi dan tidak peduli dengan sesama? Apakah benar dia tidak sedang melantur?
“Kau tidak bercanda, Felix?”
“Aku serius ketua. Aku akan melihat akhir dari idealisme-mu itu. Aku ingin ikut. Izinkan aku ikut.”
Allary tersenyum senang. “Syukurlah, aku tidak jadi kehilangan rombonganku yang berharga.”
Tapi tidak ada waktu untuk mengurai rasa haru itu. Turguy sudah menggaris sesuatu di atas tanah dengan menggunakan ranting kering. Dia menjelaskan rute pencarian mereka. Seputar Camp 4, lalu ke Camp 3 dan ke Camp 2. Bila tidak baru turun ke Camp 1.
“Jika benar teman kalian itu hilang di Camp 3, kemungkinan dia masih berada di area ini,” Turguy menggambar garis di atas tanah.
“Baiklah, ayo kita berangkat,” Allary berseru. Perjalanan turun gunung mereka, segera dimulai.
67
Percobaan Pertama
Rombongan gabungan Allary dan Ming Aun, mulai melakukan pencarian. Turun dari Camp 4. Mereka menelusuri jalan yang umum dilalui oleh pendaki. Allary mencoba bertanya beberapa kali dengan rombongan pendaki lain yang lewat.
“Tidak, tidak. Kami tidak melihat ada orang sekarat, dan kami tidak berharap akan melihatnya.” Seorang anggota rombongan berwajah mongoloid menjawab pertanyaan Allary.
“Oh baiklah, terima kasih informasinya.” Allary melambaikan tangan.
Hampir semua rombongan yang ditanya Allary menjawab dengan jawaban yang sama. Beberapa malah ada yang mencibir. Mengata-ngatai Allary gila.
“Orang yang terjebak selama semalaman di tengah badai salju? Mana ada yang selamat. Sia-sia saja usaha kalian, dasar orang-orang gila!”
Allary masa bodoh dengan ejekan-ejekan itu. Dia terus mengamati, memasang telinga, memanjangkan leher, menengok ke tempat-tempat sampai yang terpencil. Bahkan usaha Allary melakukan pencarian, terkesan lebih keras daripada Ming Aun sendiri.
Mereka sampai di Camp 3 dengan relatif cepat. Sebelum matahari sampai di atas kepala. Turguy menghentikan rombongan pencari sementara. Mereka harus mengatur strategi semula.
“Dengar semuanya,” Turguy berbicara, dia sepertinya sudah terkena post power syndrome, “kita sudah sampai di Camp 3. Setelah ini, jika kita turun lagi, maka kita akan melewati daerah strategis ini,” Turguy kembali menggambar di atas tanah bersalju, “kita sudah bertanya pada rombongan sekitar, dan tidak ada yang melihat teman kalian itu. Dia pasti sangat lemah saat ini. Dia ternyata tidak kemana-mana. Jadi, saat lewat di daerah strategis ini, kita harus berhati-hati sekali. Kita harus tajamkan pencarian. Kita akan perluas areanya juga. Bahkan ada kemungkinan nanti kita membagi kelompok jadi dua bagian. Jadi kalian bersiap-siaplah.”
“Bagaimana jika dia tidak ditemukan?”
“Hush, kau tidak perlu berbicara seperti itu, Felix.” Turguy menyergah. Felix mengangkat bahu. Dia kan cuma membicarakan satu kemungkinan.
“Bila kita tidak menemukannya di Camp 2, kita akan meneruskan perjalanan ke Camp 1, kita tidak akan mundur.” Allary menyahut dengan amat mantap.
Perjalanan di Camp 3 tidak terlalu mulus. Mereka harus melewati salah satu rintangan berat, Batu Besar Sarsa. Karena Allary dan Ming Aun, serta rombongan Myanmar tidak pandai tali temali, Turguy-lah yang harus membereskan urusan tali temali itu. Agak susah memasang pengaman sendirian.
“Woy Felix, tolong bantu aku, jangan bengong saja.” Turguy meneriaki Felix yang juga hanya sibuk menonton.
“Kenapa aku harus terlibat dalam urusan ini?” Felix mengangkat bahu.
“Ayolah Mister Latino, hanya kau yang bisa membantuku di sini. Hanya kau pendaki profesional di rombongan kita.”
“Kau merepotkan sekali, Turguy.”
“Bantulah dia, Felix. Seandainya saja Turguy mengizinkan aku untuk membantu, maka aku akan membantu. Tapi sayangnya tidak boleh,” kali ini giliran Allary yang mengangkat bahu.
Felix melangkah dengan berat hati. “enak saja kau ketua. Jangan pikir kau bisa memerintahku.”
Meski berdecak, Felix nyatanya benar-benar mematuhi perintah Allary.
“Entah apa yang bisa saya lakukan untuk menebus kebaikan anda dan rombongan anda hari ini, Mister Allary.” Ming Aun menghela nafas.
Allary tersenyum, dia ingat sekali kalimat ampuh untuk menjawab kalimat Ming Aun itu, kalimat yang sama, yang pernah diucapkan ibunya. Tapi itu nanti saja. Dia tidak menjawab.
“Seandainya saya berhak menulis nama anda dalam buku sejarah, Mister Allary, mungkin nama anda setara dengan Aun San Su Kyi.”
Dibandingkan dengan tokoh legendaris Myanmar itu, Allary tertawa kecil. Ming Aun bisa saja menyanjungnya.
68
Pertolongan Pertama
Kombinasi antara pengetahuan Turguy, keahlian Felix serta keteguhan hati Allary Azra sungguh menakjubkan. Mereka berhasil melewati medan menurun dari Camp 3 menuju Camp 2, yang mana jalur itu lumayan sulit.
Felix, meskipun sering merepet-repet, berdecak, berseru kesal ketika Turguy menyuruhnya, nyatanya dia tidak berkutik. Felix ikut memasang tali temali jika dibutuhkan, membantu rombongan Ming Aun turun, dan terutama sekali, menolong Vivi yang hampir jatuh.
Pukul 1 siang. Turguy menghentikan rombongan sejenak di tengah jalan menuju Camp 3. Dia mengajak semuanya duduk melingkar. Nampaknya ingin membicarakan strategi baru lagi.
“Dengar, kita sudah turun sejauh ini. Sebentar lagi adalah Camp 2. Seharusnya ini adalah tempat yang strategis untuk pencarian kita. Teman kalian itu seharusnya bisa ditemukan di sekitar sini. Tapi nyatanya nihil. Jangankan orangnya, jejaknya saja tidak ketemu,” Turguy berbicara, setengah putus asa.
“Lalu bagaimana sekarang, Turguy?” Allary bertanya.
“Ini pukul 1 siang. Jika teman kalian menghilang kemarin sore, itu berarti sudah hampir 24 jam dia terlantar di lereng Sarsa ini. Aku benci mengatakannya, tapi ada kabar buruk. Setelah ini, kita harus memperluas lagi area pencarian, temukan benda, petunjuk, jejak, ataupun bercak darah.”
“Maksudmu Turguy?”
“Ada kemungkinan yang kita cari bukan orang, tapi mayat.” Turguy merinding, dia mencoba mengatakannya sehalus mungkin. Ming Aun dan rombongannya menunduk.
“Astaga Turguy.”
“Maafkan aku, ketua. Itulah kemungkinan terburuk yang bisa jadi kenyataan. Kita harus bersiap-siap.”
“Temanmu benar mister Allary,” sahut Ming Aun, “teman kami yang hilang itu kemungkinan besar tidak akan selamat. Kami sudah siap menerima kenyataan itu.”
Tidak, Allary menggeleng dalam hati, aku merasa orang itu masih hidup.
“Ayo kita lanjutkan pencarian kita, Mister Ming Aun, Turguy.”
“Baik ketua.”
Perjalanan mereka berikutnya juga memburuk. Alam tidak berpihak pada mereka. Sore itu juga, salju mulai turun.
“Kalau sampai turun badai, habislah kita,” Felix berdecak lagi.
“Semoga tidak, Felix. Semoga tidak,” Turguy menyedekapkan tangan ke badan. Dingin. Sejujurnya Turguy mengkhawatirkan Allary dan Vivi, mereka berdua belum pernah berurusan dengan dinginnya pegunungan. Bisa gawat kalau salah satu dari mereka kolaps.
Salju turun semakin intens. Temperatur mulai turun. Kini setiap Allary bernafas, keluar uap putih. Allary tahu cuaca memburuk. Sepertinya dia harus meminta Turguy untuk menghentikan pencarian sementara, tapi bagaimana jika orang yang mereka cari masih hidup? Oh sungguh badai inilah yang akan membunuhnya kalau begitu.
“Ming...”
BUKKKKK!
Salah seorang anggota rombongan Myanmar, berseru pelan memanggil Ming Aun di depannya, sebelum jatuh ke tanah. Memegangi dadanya. Nafas orang itu tercekat. Semua orang segera membantunya.
“Astaga, inilah masalah kita berikutnya,” Turguy garuk-garuk kepala, “apakah anda masih menyimpan tabung oksigen darurat, mister Ming Aun?”
Ming Aun menggeleng, “tabungnya sudah kami pakai di perjalanan sebelumnya.”
“Astaga, bagaimana ini sekarang.”
“Ming Aun... sesak rasanya....” orang yang memegangi dada itu berucap pelan dengan nafas tersendat-sendat.
“Pakai ini,” tiba-tiba sebuah tangan menyodorkan tabung oksigen. Tangan Allary.
“Hei Mister Allary, bukannya ini tabung oksigen punyamu? Bagaimana kalau nanti...”
Ming Aun benar, itu adalah tabung oksigen milik Allary. Felix yang membelinya di Ibukota sebelum mereka berangkat ke Kota Pasar. Memberikan tabung oksigen milik sendiri pada orang lain, adalah pertaruhan nyawa paling nyata di lereng Pahadaru. Namun Allary tidak ambil pusing.
“Ambillah Ming Aun. Jangan memikirkan yang nanti-nanti.”
Ming Aun tidak punya pilihan lain. Membuka tabung itu, menyodorkannya pada temannya. Berkat itu, teman mereka yang sekarat berhasil diselamatkan.
“Bagaimana rasanya sekarang Sin?” tanya Ming Aun.
“Sudah lumayan lega Ming Aun. Terima kasih, terima kasih banyak, Allary.”
“Baiklah. Kita sebaiknya lewatkan dulu adegan dramatiknya. Kita sedang berada dalam masalah serius. Badai ini bisa melumpuhkan kita kapan saja. Sebaiknya kita mencari tempat berteduh.” Turguy cepat berdiri, memberi instruksi. Semua orang menurut. Pelan-pelan orang bernama Sin itu didudukkan dan dibantu berjalan oleh Ming Aun.
Sayangnya, mereka semua sedang berada di jalur sulit. Tidak ada tempat berteduh sejauh mata memandang. Beruntung, salju tidak turun semakin deras. Tapi itu masih kabar buruk. Tiba-tiba...
BUKKKKK!
Sekali lagi bunyi keras menghantam tanah terdengar. Satu anggota rombongan Myanmar, lagi-lagi kolaps. Tersengal-sengal.
“Astaga Man, kau tidak apa-apa. Bertahanlah, Man.” Ming Aun berusaha memberikan bantuan pertama. Tapi itu tidak berarti banyak. Man bahkan terlihat lebih kesakitan daripada Sin.
“Se...sa....k. Mi...ng ....A....u...” ujarnya terbata-bata.
Allary tak ambil tempo, tak berpikir panjang, menatap Turguy dengan jenis tatapan memerintah, lalu berkata, “Turguy, berikan tabung oksigen milikmu.”
Turguy menurut. Sekali lagi, satu anggota rombongan Myanmar itu terselamatkan.
“Tidak bisakah kita mencari tempat berteduh, Turguy?”
“Bukannya tidak bisa, Felix. Hanya saja di daerah ini memang sulit mencari tempat berteduh.”
“Astaga, kita benar-benar dalam kesulitan. Dalam keadaan semacam ini, sangat mungkin kejadian buruk berikutnya bisa terjadi.”
“Kau jangan berkata yang tidak-tidak, Felix.”
Namun nyatanya Felix hanya berkata sesuai fakta. Iklim Pahadaru memburuk dengan begitu cepat. Ganas menyambar siapa saja yang tidak berpengalaman dan nekat. Yang tidak kuat fisiknya tidak akan bertahan.
BUUUUUKKKK!
Dan akhirnya bunyi itu kembali terdengar. Kali ini sangat keras. Turguy dan Felix kompak menengok ke belakang. Ming Aun sudah sempurna terkapar di atas salju.
69
Jangan Mati, Allary!
Kondisi Ming Aun memprihatinkan. Dia juga tersengal-sengal, nafasnya putus-putus. Sin dan Man, serta wanita yang kemarin menangis di rombongan Myanmar berusaha menolongnya. Salah seorang dari mereka, memberi nafas buatan. Tapi itu tidak membantu banyak.
“Kita perlu tabung oksigen lagi, ketua.”
“Tapi bukankah punya kita sudah habis, eh, tunggu dulu...” kata-kata Allary terputus, dia teringat sesuatu, menatap ke arah Felix. Mister Latino segera sadar apa yang diinginkan Allary. Dia menggeleng kuat-kuat.
“Tidak, aku tidak akan memberikan tabung oksigenku. Perjalanan kita ke bawah masih panjang. Tabung ini masih dibutuhkan.”
“Tabung itu dibutuhkan sekarang, Felix.” Allary berseru, membujuk. Felix tidak bergeming.
“Kau boleh berbuat semaunya dengan tabung oksigen milikmu dan milik Turguy, ketua. Tapi tidak dengan punyaku. Aku berhak mempertahankannya, aku pemilik tabung oksigen ini, dan aku akan menyimpannya untuk menyelamatkan nyawaku nanti.”
Allary berdecak, “dengarkan aku Felix, aku tidak mau berdebat di depan orang sekarat. Aku tidak mau. Jadi serahkan tabungmu itu. Urusan nanti, biar aku yang urus. Aku adalah ketua rombongan ini.”
“Aku tidak mau.”
“Serahkan, Felix!” Allary berseru galak. Tatapannya memancarkan rasa takut bagi siapa saja. Rupanya Allary benar-benar bisa jadi tegas di saat yang dibutuhkan.
Felix patah-patah menyerahkan tabung oksigennya itu untuk menyelamatkan Ming Aun. Dalam hatinya dia bertekad, akan membuat perhitungan dengan ketua rombongannya yang dia anggap berpikiran pendek itu.
Ming Aun selamat, tapi kekhawatiran Felix kemudian jadi kenyataan.
Sekitar dua ratus meter dari Camp 2, Allary mulai merasakan gejala itu. Gejala yang sering dialami pendaki amatir ketika pertama mendaki gunung. Kaki-kakinya mulai kram. Otot-otot tubuhnya kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal. Wajar saja sebenarnya, Allary nyaris tidak beristirahat sejak dari Ogenaputai. Hanya kekuatan tekad mencari orang Myanmar itulah yang memaksa tubuhnya untuk terus bergerak. Terus baik-baik saja.
Hanya saja, tubuhnya perlahan takluk pada kekuatan alam Gunung Sarsa.
“Turguy, entah kenapa, suhunya terasa lebih dingin daripada sebelum-sebelumnya...” Allary bicara terpatah-patah. Turguy segera berbalik mengecek kondisi ketuanya itu.
“Kau baik-baik saja, ketua?”
“Dia terlihat lebih pucat,” Ming Aun mengamati wajah Allary yang kini bersedekap memeluk diri. Allary mungkin masih berdiri. Tapi tubuhnya semakin memburuk.
“Kau baik-baik saja, ketua?” Turguy sekali lagi bertanya.
“Aku... baik... baik saja, Turguy.” Allary menjawab, tapi jelas sekali suaranya berlawanan dengan kalimatnya.
“Felix, kau gendong ketua.”
“Eh kenapa aku yang harus melakukannya?”
“Kalau tidak, ketua tidak bisa berjalan.”
“Aku tidak mau melakukannya. Kau saja yang lakukan.”
Turguy berdecak. Felix benar-benar tidak bisa diharapkan. Pelan-pelan Turguy menaikkan Allary ke pundaknya, dia menggendong Allary. Kasihan juga dengan ketuanya. Semoga tidak perlu pingsan.
“Turguy, suhunya semakin dingin,” Allary pelan berkata. Tangannya mencengkeram pundak Turguy. Rombongan terus berjalan. Allary diam-diam merasa kesakitan. Semakin sakit dia rasa, semakin erat dia mencengkeram bahu Turguy.
“Allary kau baik-baik saja?” sesekali Turguy bertanya. Tapi Allary menjawab dengan kata yang lebih mirip meracau.
Akhirnya, Allary tiba di batasnya. Dia kehilangan kesadaran. Roboh di punggung Turguy, tanpa aba-aba. Turguy terkejut, kehilangan keseimbangan. Mereka berdua terjatuh ke tanah.
“ALLARY!” semua sempurna terpekik, kecuali Felix.
Turguy dengan cepat bangkit, mengecek tubuh ketuanya. “Tubuhnya kaku. Sepertinya dia terkena penyakit dingin. Otot-ototnya juga kram. Astaga, ini serius.”
Vivi mendekat, tanpa pikir panjang mengeluarkan tabung oksigennya. Tapi tabung kecil itu tidak banyak membantu. Oksigen itu segera habis, sedangkan Allary belum tertolong. Dia memegangi dadanya. Kesakitan.
“Astaga, bagaimana ini,” Vivi panik.
“Itulah, seharusnya aku tidak menyerahkan tabung oksigen milikku. Seharusnya kita bisa menyelamatkan Allary sekarang,” Felix mendekat, malah merepet-repet.
“Diamlah Felix. Kalau memang tidak mau membantu, setidaknya diamlah.” Turguy jengkel.
Ming Aun yang merasa bahwa ini sebagian adalah salahnya, dengan gesit menyuruh Sin dan Man lari ke Camp 2. “Segera cari tabung oksigen di sana. Aku tidak peduli kalau kalian harus merampok sekalipun. Kita harus menyelamatkan nyawa orang yang menyelamatkan nyawa kita.”
Sin dan Man segera berlari tunggang langgang. Allary memegangi dadanya, masih mengaduh kesakitan. Vivi mencoba memeluknya, menghangatkan tubuh Allary. Entah kenapa gadis itu terpikir melakukannya, entahlah.
“Bertahanlah Allary. Bertahanlah. Kamu lebih kuat dari yang kau kira. Kamu harus bertahan. Kamu adalah ketua rombongan ini.”
“Sudahlah Vivi. Hentikan saja, ocehanmu itu tidak ada gunanya.”
“Demikian juga dengan ocehanmu itu, Felix!” Turguy memukul Felix. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu Sin dan Man kembali membawa tabung oksigen dari Camp 2. Itu adalah saat-saat yang kritis bagi Allary. Ming Aun menggigit bibirnya. Cemas.
“Allary, kumohon jangan mati!” Vivi secara sadar atau tidak, berseru dengan penuh perasaan.
“Hentikanlah, Vivi. Ocehanmu itu tidak akan membantu. Dia butuh bantuan oksigen. Bukan ratapan, tangis dan air mata.” Felix kembali bersuara meski sudah dipukul Turguy. Ingin sekali Turguy memukul kepala Felix dengan tongkat golf kalau ada.
“DIAM KAU, FELIX!” Vivi berseru kasar. Membuat semua orang terkejut bukan main.
Sementara itu kondisi Allary makin mengenaskan. Dia sudah berada di ambang batas kesadarannya.
70
Armadillo Salju
“Astaga, kemana Sin dan Man. Kenapa mereka lama sekali.” Ming Aun berkali-kali menggigit bibirnya. Dia gelisah melihat Allary sedang bertaruh nyawa.
Sementara Vivi terus mengelus, memeluk, mencoba menghangatkan Allary dengan segala cara yang dia bisa. Tapi dia tidak berhasil. Tubuh ketuanya itu perlahan takluk dengan ketangguhan alam. Apalagi ini memang merupakan perjalanan pertamanya mendaki gunung. Tubuh Allary tidak terbiasa.
Perubahan tubuh Allary itu tentu saja dirasakan oleh Vivi. Dia sempurna memeluk Allary sekarang. Vivi panik. Dia tidak mau Allary tewas di pelukannya. Dengan susah payah, Vivi mengangkat tubuh Allary, mencoba berbisik di telinganya.
“Allary, kamu adalah orang yang baik. Kamu harus bertahan. Kamu adalah orang berhati emas. Kamu adalah orang yang berharga di dunia ini. Jangan pergi. Kamu dengar aku, ALLARY AZRA!!” Vivi memekik. Memecah kesunyian di Pegunungan Pahadaru.
Turguy sudah lebih dulu membungkam mulut Felix sebelum dia sempat berkata macam-macam.
Dan itulah detik-detik penuh keajaiban.
Entah bagaimana caranya, Allary mendengar kata-kata Vivi. Ya, dia bereaksi terhadap kalimat-kalimat yang diucapkan Vivi barusan. Allary perlahan bergerak. Tubuhnya bergerak. Nafasnya perlahan normal. Kemudian dengan ajaib pula, Allary membuka matanya. Berucap pelan.
“Itulah kalimat yang paling ingin aku dengar.”
Vivi tersentak, melepas pelukan. Turguy dan Ming Aun juga langsung mendekat.
“Allary, kamu sudah sadar?” Vivi mengecek.
Allary membuka matanya. “Iya Vi. Aku sudah sadar. Terima kasih sudah menganggap aku orang baik, terima kasih sudah bilang aku ini berharga.”
“Astaga Allary, kamu baik-baik saja?” Vivi reflek memeluk Allary lagi.
“Aku baik-baik saja. Aku merasa baikan.” Allary patah-patah berhasil duduk. Terperangah Felix, Turguy dan Ming Aun. Allary berhasil pulih tanpa oksigen tambahan? Yang benar saja. Bagaimana bisa.
Itulah yang mereka belum tahu. Kesadaran Allary saat itu memang nampak seperti keajaiban. Namun sejatinya itu adalah sebuah kejadian berantai yang terjadi di masa lalu. Sebuah pertanyaan yang datang bertubi-tubi ke dalam hidup seorang Allary Azra. Nanti kita akan dengarkan kisahnya.
Lima belas menit. Waktu yang diperlukan Allary untuk menenangkan diri, memulihkan kembali tenaga. Waktu yang sama yang diperlukan Sin dan Man untuk akhirnya tiba kembali di tempat Allary tadi terkapar. Mereka baru datang dari Camp 2. Membawa 4 tabung oksigen cadangan yang baru. Tentu saja mereka tercengang melihat Allary yang sudah pulih, tidak kurang suatu apa.
Bagaimana bisa?
“Baiklah,” Allary berdiri, “karena anggota kita kembali lengkap, ayo kita lanjutkan pencarian.”
Semua orang kembali tercengang.
“Apa katamu Allary? Kamu baru saja pulih. Sebaiknya kita beristirahat dulu.” Vivi coba membujuk.
“Ya ketua. Vivi benar. Kita bisa bersantai di sini sejenak. Badainya juga sudah lumayan reda.”
“Anda baru saja bertaruh nyawa lho, Mister Allary.” Ming Aun turut membujuk, tapi Allary bergeming.
“Aku sudah merasakan rasa sakit, rasa takut, rasa cemas, ketika menghadapi kematian. Sungguh menakutkan dan menyakitkan. Beruntung, aku masih punya kalian untuk menguatkanku. Tapi orang itu, teman kalian yang hilang, dia tidak punya siapa-siapa saat ini. Aku tidak bisa diam saja memikirkannya.”
Alhasil, pencarian kembali dilanjutkan. Lagipula siapa yang bisa menentang kalimat Allary? Tidak, tidak Turguy, tidak Vivi, tidak Ming Aun, tidak pula Felix yang berkepala batu itu. Lagipula, Allary memang sudah pulih betul.
Lihatlah, sekarang dia sudah bisa berlari-lari menerjang salju tebal. Tak kurang suatu apa. Yang tidak melihat adegan sebelumnya pasti tidak menyangka, belum 30 menit yang lalu, Allary bertaruh nyawa.
“Efek pelukanmu tadi kurasa benar-benar ampuh, Vivi.” Turguy geleng-geleng kepala melihat ketuanya mencari dengan semangat berlipat-lipat.
Tapi itulah faktanya. Di dunia ini, tidak ada yang tidak bisa kita dapatkan dengan semangat yang berlipat-lipat, tekad yang bersungguh-sungguh, serta hati emas yang dimiliki Allary Azra.
Mendekati Camp 2, sekitar 50 meter di depannya, Allary yang berjalan paling depan, berseru karena melihat sesuatu berwarna. Awalnya dia kira itu hanya batu. Tapi setelah didekati lagi, nampaknya lain. Bukan batu. Ia bergerak. Seperti seekor armadillo salju (andai hewan itu ada).
Allary mendekat. Perlahan menyentuh sesuatu berwarna hitam itu. Sebuah jaket yang telah mengeras karena dingin.
TIDAK SALAH LAGI. INI MANUSIA!
Allary, Turguy dan Felix segera membalikkan tubuhnya yang memang kaku bergulung macam armadillo. Sementara Ming Aun mengenali orang itu. Sin dan Man berseru tertahan.
Tidak salah lagi. Itulah teman mereka yang hilang.
Orang itu telah ditemukan.
71
Sulit Dipercaya
“Cepat bantu dia, Turguy.” Allary memerintah. Dia sekaligus mencegah Felix berkata macam-macam, “periksa nadinya, Turguy. pastikan apakah dia masih hidup atau sudah...”
“Tubuhnya dingin dan kaku, ketua. Akan kucoba mencari titik nadinya.” Turguy berseru tak kalah panik. Mereka mencoba mendudukkan orang itu. Tubuhnya sudah kaku, sedingin es.
Allary harap-harap cemas. Hampir 24 jam orang ini berkutat melawan dingin. Apakah masih ada harapan dia masih hidup. Turguy berusaha keras mencari tanda-tanda kehidupan pada orang ini, tapi Allary tidak yakin ada harapan.
“Sulit kupercaya, nadinya masih berdenyut, walaupun lemah sekali.”
“BERARTI DIA MASIH HIDUP!” Allary kali ini berteriak penuh semangat. “Ming Aun dan Felix tolong dirikan kemah, Vivi nyalakan perapian, Sin dan Man tolong kalian cari selimut atau sesuatu yang lain. KITA MASIH BISA MENYELAMATKAN TEMAN KALIAN INI!” Allary memerintah dengan sungguh-sungguh. Semuanya langsung gesit melakukan perintah Allary. Turguy dan Allary segera mengangkat orang itu ke dekat perapian begitu semua disiapkan.
“Apakah dia perlu oksigen tambahan,” wanita Myanmar yang kemarin menangis (Oshin namanya), mendekat sambil membawa tabung oksigen.
“Belum perlu madame, kita harus menghangatkan tubuhnya dulu. Dia terkena hipotermia tingkat gawat. Tolong pegangkan dia sebentar, ketua. Aku akan mengambil sesuatu yang bisa membantu.”
Turguy beranjak mengambil tasnya. Mencari-cari sesuatu. Allary menunggu dengan penasaran. Apakah Turguy akan memakai ritual magis untuk menyelamatkan orang Myanmar teman Ming Aun ini? Memakai jimat suci Kampung Hijau tempo hari barangkali.
Ternyata tidak. Turguy kembali membawa jarum suntik.
“Seharusnya aku tidak diperbolehkan melakukan prosedur ini pada tingkat hipotermia separah ini. Namun, kalau dibiarkan saja, orang ini cepat atau lambat akan mati. Jadi kurasa, lebih baik kita mencoba sesuatu. Bukan begitu, ketua?”
“Lakukan saja, Turguy.”
Turguy menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Siapa sangka dia punya keahlian paramedik.
“Apa yang kau suntikkan itu, Mr. Turguy?” Ming Aun yang sudah berada di dekat situ, bertanya.
“Suntikan penyelamat. Orang Pahadaru telah menemukan ramuan yang bisa menghangatkan tubuh dalam sekejap. Ini sangat berguna menolong penderita hipotermia dalam pendakian. Namun, aku tidak yakin itu akan bekerja pada teman kalian. Hipotermianya di tingkat gawat. Aku hanya berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Setidaknya aku mencoba.”
Ming Aun tersenyum mendengar penjelasan panjang lebar Turguy. Tapi matanya basah. Dia menyekanya dengan punggung tangan.
Allary dan rombongan memutuskan untuk menunggu. Turguy menjangkakan 15 menit untuk ramuan itu bereaksi. Itu adalah 15 menit paling menegangkan. Lima belas menit bertarung dengan kematian.
Allary sungguh berharap ada kabar gembira. Dan benar. Benar-benar kabar gembira. Lewat lima belas menit, jemari orang itu bergerak. Bergerak-gerak. Tubuhnya ikut bergerak-gerak. Allary, Turguy dan Ming Aun tak berkedip melihat keajaiban baru saja datang.
Orang itu benar-benar masih hidup.
“S... s..... ak..... s....k....l....i” orang itu bersuara amat pelan, patah-patah. Allary segera paham maksudnya. Dia menyambar tabung oksigen. Menyerahkannya pada orang itu.
Habis tiga tabung oksigen, dan sekali suntikan lagi dari Turguy, mulai ada tanda-tanda baik. Orang itu mampu membuka matanya. Mencoba mengenali siapa yang ada di sekelilingnya.
“Kau kah itu, Ming Aun?” matanya mengerjap-ngerjap.
Ming Aun mengangguk. “Benar. Inilah aku. Kami semua datang, Man Nyi.”
Ah ya, nama orang yang baru selamat dari kematian itu, adalah Man Nyi. Warga asli Myanmar. Betapa senangnya Allary melihat orang itu bisa bicara lagi. Mengenali teman-temannya. Itu berarti Man Nyi benar-benar selamat.
72
Seseorang Harus Turun Gunung
Allary mengajak Turguy, Felix dan Vivi meninggalkan rombongan Ming Aun untuk sementara. Biarkan mereka mengurus teman mereka dulu.
“Sementara itu, biarlah kita memasak untuk makan malam dulu,” cetus Allary. Hari memang sudah beranjak malam.
Sebagai tanda rasa syukur karena semua pencarian mereka berhasil, Allary membuat sesuatu yang spesial malam ini. Martabak bakar. Sebagai orang yang telah berkecimpung di dalam usaha martabak selama belasan tahun, Allary tahu betul bagaimana caranya berkreasi. Felix menyumbangkan sosisnya. Namun Mr. Latino diam saja.
Allary masak lumayan banyak. 4 tangkup martabak versi jumbo. Sebagian akan dia bagi dengan rombongan Ming Aun. Sementara itu, Turguy dengan senang hati langsung menyisihkan setengah porsi martabak untuk dirinya sendiri.
“JANGAN KAU MAKAN SENDIRI SAJA, TURGUY!” Vivi melotot ke arahnya. Turguy hanya tertawa. Habisnya, baunya enak sekali. Bahkan Felix malu-malu akan mengakui hal itu.
Makan malam rombongan Allary malam itu penuh dengan keceriaan. Mulai dari Turguy yang tanpa tedeng aling-aling memakan martabak bagiannya Vivi, sampai Felix yang malu-malu mulai menggigit martabak bakar itu. Rasanya memang enak. Allary tersenyum. Syukurlah, akhirnya temannya orang Latino itu mau mencicipi martabak buatannya.
“Lalu bagaimana dengan rencanamu sekarang, ketua?” Turguy bertanya di sela-sela kunyahan.
“Apa maksudmu Turguy?”
“Ya rencanamu setelah menolong mereka. Bukankah tugasmu sudah selesai?”
“Bukankah sudah jelas. Aku sudah bilang di Camp 4, kita akan turun. Iya kan?”
Turguy garuk-garuk kepala. Tidak bukan begitu maksudnya. Astaga, bagaimana ya cara menjelaskannya tanpa membuat malu dirinya sendiri.
“Ehm, apakah kau tidak merasa sayang dengan perjalananmu. Kau sudah sejauh Camp 4 lho, ketua.”
Allary terdiam. Dia paham arah pembicaraan ini. Tak lama kemudian senyumnya mengembang. “Kau bermaksud memberiku kesempatan kedua, Turguy?”
“Ehm, kurasa iya,” Turguy semakin menggaruk kepalanya, yang tidak gatal, “orang sebaik kau, ketua, layak diberi kesempatan kedua. Kau berhak melihat Puncak Dunia dengan matamu sendiri. Well, walaupun ini merugikan bagiku, tapi melihat pengorbananmu menolong orang-orang Myanmar itu, kukira apa yang kulakukan ini, tidak seberapa.”
Allary mengusap wajah berkali-kali. Berucap terima kasih. “Kau baik sekali padaku, Turguy. Tapi ada satu hal yang membuatku ragu untuk melanjutkan perjalanan.”
“Apa ketua?”
“Mereka,” Allary menunjuk pada orang Myanmar itu, “aku kasihan dengan mereka. Bila kita meneruskan perjalanan, lalu bagaimana dengan mereka.”
Tersentak Turguy oleh kalimat Allary barusan. Ketuanya sudah diberi kesempatan kedua, tapi dia menolak, dan malah memikirkan orang lain. Sungguh makhluk seperti Allary ini sudah sangat langka di dunia.
“Boleh aku bicara sebentar denganmu di belakang tenda, ketua.” Felix tiba-tiba menyela. Sedari tadi dia hanya diam. Sedari siang tadi dia hanya diam. Ada apa ini. Turguy mencium gelagat tidak beres. Dia harus mengawasi Felix. Tapi Allary buru-buru menyuruh Turguy agar duduk kembali.
Mereka beranjak ke belakang tenda.
“Nah ada apa, Felix?”
“Turguy benar sekali ketua. Kau layak mendapat kesempatan kedua. Itu adalah hal yang harus kau ambil.”
Allary tersenyum. “Tapi kau lihat rombongan Myanmar itu, Felix. Bila aku meneruskan perjalanan, lalu bagaimana dengan mereka? Mereka tidak punya penunjuk jalan untuk pulang.”
“Bagaimana kalau seseorang mengantar mereka. Dan itu bukan kau.”
“Siapa Felix?” Allary bertanya, berdecak, heran juga, kenapa kalimat Felix tidak terdengar seperti biasanya. Tapi siapa juga yang mau mengantar Ming Aun dan rombongan kalau bukan dirinya dan Turguy. Guide mereka sudah pulang lebih dulu. Minta bantuan orang juga rasanya tidak mungkin.
“Aku, ketua.”
Terbelalak mata Allary. “Kau, Felix. Apakah aku tidak salah dengar.”
Felix menggeleng. Inilah keputusan yang membuatnya terdiam sepanjang hari. Dia sangat kagum dengan ketuanya yang mau melakukan apapun untuk menolong orang itu. “Tidak ketua. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Inilah keputusan terbaik. Dengan begini, kau dan Vivi bisa melanjutkan perjalanan.”
“Astaga Felix. Jangan berpikir begitu dulu. Lalu bagaimana denganmu?”
“Mungkin kali ini aku tidak punya kesempatan. Entahlah. Tapi aku ingin belajar berbuat baik sepertimu, ketua. Anggap saja itu sebagai permintaan maaf atas pertengkaran kita beberapa jam yang lalu.”
Allary kehabisan kata-kata. Di depannya terpancar cahaya kebaikan yang tak tertandingi. Felix benar-benar berniat baik menolong rombongan Ming Aun. Dia tidak bisa mencegahnya. Memang sulit dipercaya, Felix yang selama ini kaku, cuek, ilmiah dan temperamental itu kini mau berbuat kebaikan. Tapi bukankah di mata kebaikan, kita semua ini sama?
73
Melanjutkan Perjalanan Tanpa Felix
Tidak ada yang bisa mengalahkan pemandangan mengharukan di lereng Pahadaru, lereng Gunung Sarsa pada pagi itu. Man Nyi, orang hilang yang berhasil selamat dari rombongan orang Myanmar, kini menangis terharu memeluk kaki Allary.
“Terima kasih mister. Sungguh terima kasih banyak. Entah bagaimana saya bisa membalas kebaikan anda.” Dia menelungkupkan wajahnya sampai terbenam ke tanah bersalju. Allary dengan bijak berlutut, menarik bahu Man Nyi.
“Saya sangat senang anda baik-baik saja. Itu saja bagi saya sudah cukup.”
“Saya sudah mendengar semuanya dari Ming Aun. Anda bertaruh nyawa menyelamatkan saya. Padahal anda bukan kenalan saya, bukan keluarga saya, bukan pula saudara setanah air dengan saya. Tapi anda menyelamatkan saya.” Man Nyi masih menangis. Kali ini sambil memukul tanah bersalju.
“Sudah mister. Jangan berterima kasih terlalu berlebihan atas sebuah kewajiban. Menolong sesama.”
Percuma, makin Allary berkata, makin Man Nyi histeris. Allary mengisyaratkan pada Ming Aun agar menangani temannya itu. Takutnya dia kenapa-kenapa jika terlalu banyak bergerak.
“Sudah Man Nyi. Kau sudah cukup berterima kasih. Mister Allary memang orang yang sangat murah hati. Dia adalah malaikat penolongmu,” Ming Aun menarik bahu Man Nyi agar berdiri, “tapi kau tidak boleh menyakiti dirimu sendiri dengan bergerak terlalu banyak.”
“Tolong jangan mencegah aku berterima kasih pada orang yang telah menyelamatkan nyawaku, Ming Aun.”
“Iya, dan kau sudah melakukannya. Esok-esok, jika Tuhan mengizinkan, kau akan bisa membalas jasa Allary. Kau akan gantian membantunya. Sungguh, begitulah dunia ini bekerja.”
Man Nyi menurut. Dia bangkit dari “persujudannya”, menyeka matanya yang banjir air mata. “Demi Tuhan yang menguasai surga, Mister Allary. Jika tiba waktunya kelak, aku siap bertempur mempertaruhkan nyawaku untuk membelamu. Dimanapun itu. Aku berjanji.”
Allary garuk-garuk kepala. Dia rasa kalimat terakhir itu sudah terlalu dramatis.
“Apa rencanamu setelah ini, Mister Allary?” Ming Aun bertanya setelah Man Nyi tenang.
“Ah awalnya aku ingin mengantar kalian sampai ke Ibukota dengan selamat. Tapi Turguy menawariku kesempatan kedua. Nampaknya kami akan berbalik ke puncak.”
“Ah itu kabar yang sangat baik,” Ming Aun menyahut antusias. Sebagian jiwanya lega karena dengan begitu dia tidak terlalu berhutang budi pada Allary. Namun Oishin menyikut Ming Aun, bilang soal bagaimana mereka turun ke bawah jika Allary tidak ada.
Ming Aun menatap balik Oishin. Diam saja, itu biar aku yang urus. Begitulah maksud Ming Aun. Allary juga cepat membaca keadaan.
“Kalian tidak perlu khawatir soal turun gunung. Aku sudah punya solusinya. Kebetulan tadi, temanku, Felix telah mengatur kesepakatan. Dia bersedia menemani kalian untuk turun gunung. Dia pendaki profesional, jadi kurasa kalian tidak perlu khawatir.”
“Astaga, tapi kami tidak ingin merepotkan kalian lagi, sudah terlalu banyak...”
“Ketua benar, Mister Ming Aun. Sisanya serahkan saja padaku. Kalian tidak usah khawatir,” Felix yang tak jauh dari situ, menyahut. Ming Aun skakmat. Dia tidak bisa menolak di bawah tatapan Felix itu.
Turguy dan Vivi sebenarnya terkejut mendengar kalimat Felix. Rupanya itu yang tadi mereka bicarakan di belakang tenda. Vivi ingin bertanya, kenapa, tapi dia urungkan. Nantilah itu bisa ditanyakan di sepanjang jalan. Sementara Turguy diam-diam menarik nafas lega. Setidaknya jumlah rombongannya yang menebar masalah, telah berkurang.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan,” cetusnya, lebih riang dari Allary sendiri.
74
Jangan Murung, Vivi
Tak pelak, kehilangan Felix adalah sebuah kerugian besar bagi rombongan Allary. Meski dia menjengkelkan, bodo amat dan bisa melakukan hal tak terduga yang membuat siapapun kesal dengannya, tetap saja, Felix adalah seorang pendaki gunung profesional. Entah apa yang dikatakan Mr. Zulkifli dari U3I, ketika tahu akan semua ini.
Ah setidaknya beliau tidak bisa melihat mereka dari Raxual sana. Allary menarik nafas.
Allary sebenarnya juga berat sekali merestui keinginan Felix. Tapi mau bagaimana lagi, apa yang ditawarkan Felix adalah solusi yang sangat baik. Harus ada yang mengantar rombongan Ming Aun sampai ke Kota Pasar dengan selamat.
“Pastikan kau menunggu kami di sana, Felix.” Allary berpesan dengan hati-hati pada Felix. Allary berharap masih bisa berjumpa dengan Felix selepas pendakian nanti.
Setengah jalan dari Camp 2.
“Hei, kulihat-lihat, dari tadi kamu nampak murung, Vivi. Ada apa?” Allary bertanya, sebagai ketua rombongan yang baik.
“Aku tidak apa-apa, Allary. Aku hanya sedikit... lelah.”
“Kalau begitu kita beristirahat sebentar. Boleh begitu Turguy?”
“Tidak perlu Allary.”
“Tapi kamu letih bukan?”
“Hentikan saja, ketua. Vivi sedang kehilangan motivasi terbesarnya untuk mendaki. Kau tidak bisa melakukan apapun.”
Allary menyernit. Apanya yang kehilangan motivasi. Motivasinya malah naik berlipat-lipat. Lihatlah di atas sana. Puncak Sarsa. Tegak dan menantang. Allary sangat bersemangat. Kenapa Vivi malah lesu.
“Eh atau begini saja. Kalau kamu ada masalah, ceritakan saja. Akan kudengarkan.” Allary mencoba menawar lagi, tersenyum bijaksana.
“Sudahlah ketua, hentikan saja. Vivi kehilangan motivasi dalam bentuk manusia. Dia kehilangan Felix Norton. Kau tidak bisa melakukan apa-apa, Allary.”
Tahu-tahu kemudian, Allary merapat ke sisi Turguy, mereka berbisik-bisik.
“Eh maksudmu, Vivi naksir dengan Felix.”
“Kau tidak menyadarinya, ketua?”
Allary menggeleng.
“Padahal tanda-tandanya sudah terlihat sejak awal pendakian.”
“Astaga, benarkah?”
“Iya. Sepertinya indera kepekaanmu harus dilatih lagi, ketua.”
“Sepertinya kau benar Turguy.”
“BERHENTILAH BERGOSIP KALIAN BERDUA!” Vivi melotot, Allary dan Turguy menyambut dengan tawa berderai.
Allary kembali mendekati Vivi. “Ayolah Vivi, jangan terlalu sedih. Turguy bisa menceritakan beberapa kisah tentang Gunung Sarsa. Itu akan membuatmu menjadi sedikit lebih baik.”
“Oh ya, benar sekali itu, Vivi. Aku bisa mulai dengan legenda Batu Besar. Dahulu kala di sana dianggap sebagai...”
“HENTIKAN OCEHANMU, TURGUY!”
Allary dan Vivi kembali tertawa berderai-derai.
Sementara di tempat lain, Felix melanjutkan perjalanan dengan rombongan Ming Aun. Dia menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Dan benar-benar secara harfiah. Dia adalah seorang penunjuk jalan. Hanya seorang penunjuk jalan. Oleh karena itu, beberapa kali pertanyaan Ming Aun, tidak dia tanggapi.
“Dengar aku, Mister Felix. Aku tahu, kau tidak seramah Mister Allary. Tapi justru itu, kenapa kau mau repot-repot menolongku. Menolong kami.”
“Aku hanya berusaha berbuat baik, Mister. Hanya mencoba berbuat baik.”
Kemudian Felix fokus dengan jalanan bersalju. Ming Aun lamat-lamat memandang pria berdarah Latin itu. Umurnya sudah kepala 4 lebih, pengalaman hidupnya sudah kaya. Jadi Ming Aun tahu persis, ada sesuatu yang disembunyikan Felix. Sebuah pertanyaan. Tapi apa?
Dia sama sekali tidak tahu.
75
Badai di Dekat Batu Besar
“Batu Besar, atau bahasa kami Thulo Dhua, adalah sebuah titik di dekat Camp 3, yang harus dilalui oleh para pendaki menuju Puncak. Tempat ini salah satu tempat yang berbahaya, tapi juga paling unik di seantero Sarsa.”
“Kenapa unik, Turguy?”
“Lihatlah tempat ini, ketua. Ketuk-ketuk dengan kakimu. Kau akan tahu bahwa tempat yang kau injak, lebih keras dari tempat-tempat lain yang sebelumnya kita lalui.”
Allary menuruti saran Turguy. Dia mengetuk-ngetuk tanah dengan kakinya. Turguy benar, keras. Strukturnya sangat keras. Mengapa bisa begitu?
“Itulah keunikan Thulo Dhua. Tempat ini keseluruhan adalah sebuah batu. Batu yang sangat besar. Paling besar di dunia.”
“Menakjubkan, Turguy. Jangan lupa mengambil foto tempat ini, Vivi.”
Vivi mengangguk. Gadis itu dengan cepat sudah melupakan rasa murungnya.
“Aku juga harus mengingatkanmu untuk berhati-hati di wilayah ini, ketua. Thulo Dhua, merupakan tempat yang berbahaya. Guide yang tidak berpengalaman bisa salah menapakkan kaki, lalu kemudian jatuh.”
“Kemana?”
“Jurang di bawah sana.” Turguy menunjuk.
Allary memandang ngeri.
“Bagaimana bisa batu ini bisa berada di tempat ini, Turguy?”
“Ah kalau itu panjang ceritanya, ketua. Semuanya berjalin dengan cerita dari mulut ke mulut. Batu itu diangkat oleh makhluk yang besar, raksasa benua. Dia adalah perwujudan sang Dewa Gunung sendiri. Dahulu sekali, Raksasa Benua meletakkan...”
“Aku tidak tertarik mendengar cerita mitos hari ini, Turguy,” Vivi menyela dengan nada bosan.
Turguy tersenyum masam, padahal dia tadi sudah bersemangat ingin bercerita.
“Cuaca mulai dingin, Turguy.” Allary menengadahkan tangan ke udara.
“Astaga, alangkah seringnya badai terjadi di lereng Pahadaru.” Vivi mengeluh.
Turguy melihat-lihat ke sekeliling. Memang ada warna hitam di langit sebelah selatan. Turguy terlihat gugup begitu melihat awan hitam itu.
“Astaga, kita harus bergegas mencari tempat berteduh.”
“Eh,” Allary ikut terkejut. Tak biasanya. Mereka sudah mulai terbiasa menghadapi badai kecil. Apalagi dilihat dari bentuk awannya, hanya awan kecil. Apa salahnya.
“Ayo cepat ketua.”
“Baik, Turguy.”
Allary dan Vivi mengikuti langkah cepat Turguy. Sesekali menengok ke arah awan hitam itu. Vivi bahkan menyempatkan diri untuk memotret. Allary ingin bertanya, tapi urung. Dia percaya pada Turguy, guide-nya. Turguy jauh lebih mengetahui tentang Sarsa, lebih baik darinya.
76
Awan Hitam dari Selatan
Dengan cara-cara yang terburu-buru, Turguy mencari tempat untuk berteduh. Bukan tempat yang ideal.
“Setidaknya kita bisa berteduh sementara di sini. Mulut ceruk ini mengarah ke utara, kita aman sementara.” Turguy mengajak mereka masuk. Hanya ceruk kecil dan sempit. Allary dan Vivi bahkan nyaris tidak bisa duduk di dalamnya.
Wajah Turguy terlihat cemas. Allary bertanya-tanya, ada apa?
“Turguy, aku tahu menghadapi badai memang buruk bagi orang-orang amatir seperti aku dan Allary. Namun, aku tetap saja heran. Padahal-kan kita sudah pernah menghadapi badai, lalu kenapa kamu terlihat terburu-buru, terlihat berlebihan sekali. Seolah badai ini adalah badai paling berbahaya dalam sejarah.”
Turguy mencoba menenangkan diri sejenak, kemudian berucap pelan-pelan. “Oke baiklah, aku minta maaf, aku sama sekali tidak bermaksud meremehkan kemampuan kalian. Tapi memang ada dua hal yang harus kalian tahu soal badai ini.”
“Apa itu, Turguy?”
“Pertama, kamu salah ketika bilang aku berlebihan. Aku sama sekali tidak berlebihan. Kedua, tapi kamu benar ketika bilang kita sedang berhadapan dengan badai paling berbahaya di gunung ini.”
“Kau serius, Turguy?” Allary bertanya, padahal itu hanya awan kecil, bukan?
Sayangnya Allary salah. Dia tidak tahu apa-apa tentang Pegunungan Pahadaru.
“Mengenai hal ini, aku punya ceritanya. Apakah kalian mau mendengarkan?”
“Ceritakan, Turguy.”
Turguy menengok ke Vivi, gadis itu tidak suka kalau dia terlalu banyak cerita. Vivi mengangkat bahu. Dia tidak punya pilihan selain mendengarkan kata-kata Turguy.
“Ini cerita lama,” Turguy beranjak, duduk dengan nyaman.
Dulu sekali, ketika pendakian Gunung Sarsa, masih belum ramai diketahui oleh orang, ada beberapa orang Eropa yang coba mendaki gunung ini. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman. Sudah sering mendaki gunung-gunung yang tinggi. Catatan-catatan tentang pendakian sukses mereka, dikenali dunia internasional.
Pendakian Gunung Gourgon, begitulah catatan mereka menjelaskan, mereka mempersiapkan pendakian itu, hanya sekitar 18 bulan setelah Sir Thomas Ermundu, menaklukkan puncak Gunung Gourgon untuk pertama kalinya. Beberapa orang Eropa itu, empat orang, mempersiapkan diri betul-betul. Mereka punya alat-alat canggih yang didatangkan langsung dari Eropa. Mereka bahkan tinggal dari Eutasaga selama berbulan-bulan, menyesuaikan diri.
Persiapan mereka sempurna. Maka perjalanan mereka kemungkinan juga akan sempurna. Empat orang dan satu orang lokal sebagai guide. Hanya saja, orang-orang Eropa itu tidak tahu apa-apa tentang Sarsa atau Gunung Gourgon saat itu. Mereka hanya sok tahu.
Perjalanan mereka lancar pada awalnya. Base Camp, Camp 1 dan Camp 2 dilewati. Orang Eropa itu menunjukkan pengalamannya. Bahkan guide mereka tidak bisa mengimbangi kemampuan empat orang Eropa itu. Badai demi badai juga berhasil mereka terobos.
Lalu sampailah mereka di Camp 3. Saat itulah semua mulai berubah. Perubahan itu diawali dengan munculnya awan kecil dari arah Selatan.
Allary dan Vivi kontan merinding mendengar kalimat Turguy yang terakhir itu.
Mereka meremehkan keberadaan awan kecil itu. Toh mereka sudah melewati badai-badai yang lebih mengerikan daripada awan kecil itu. Jadi mereka santai saja. Dan itulah kesalahan terbesar mereka.
Awan kecil itu menggulung mereka. Orang-orang Eropa itu terbirit-birit lari mencari tempat berlindung. Badai sangat dahsyat. Awan kecil itu membawa angin kencang, udara yang amat dingin, salju yang tebal. Orang-orang Eropa itu tidak bisa bertahan lama. Tidak jauh dari Camp 3, mereka meregang nyawa. Tewas.
Apa yang terjadi? Bagaimana bisa orang-orang berpengalaman itu tewas. Lalu bagaimana bisa awan kecil yang tidak begitu penting itu bisa menyebabkan badai sedahsyat itu. Tidak ada yang tahu. Tapi dunia cukup beruntung, guide orang-orang Eropa itu, berhasil selamat. Dia bercerita pada dunia soal badai besar paling dahsyat tersebut.
Kawan-kawanku, jika kamu sekalian melihat awan hitam di arah selatan saat naik ke atas pundak Sarsa maka berhati-hatilah. Atau bukan, segeralah berlindung. Segeralah mengingat nama yang Kuasa. Sebab kalian mendapatkan bencana yang sangat buruk. Itu adalah tanda badai terbesar. Jangan coba melawan, kecuali kawan-kawan punya nyawa sembilan.
Begitulah. Awan hitam dari selatan, selalu jadi legenda paling menakutkan di lereng Gunung Sarsa selama bertahun-tahun. Membuat siapa saja jeri, siapa saja takut.
Bertahun-tahun kemudian, orang-orang Eropa yang terkenal nekat datang lagi ke Pegunungan Pahadaru. Mereka berniat melakukan penelitian terhadap Awan Hitam dari selatan itu. Dengan mengorbankan tenaga, waktu, uang dan bahkan nyawa yang tidak sedikit, mereka berhasil mempelajari siklus kemunculan badai terhebat itu.
Badai itu hanya mengamuk di periode-periode tertentu dalam enam bulan sekali. Sir Thomas Ermundu, dan beberapa orang yang beruntung mendaki Sarsa bukan di periode itu, tidak akan melihat mengerikannya teror yang dibawa Awan Hitam dari selatan tersebut. Hingga kini, periode-periode yang ditetapkan orang Eropa itu, masih jadi panduan umum keamanan mendaki di Jalur ini.
“Dan kita mendaki tepat di periode dimana badai itu akan mengamuk?” Vivi tidak bisa menahan diri, bertanya. Suaranya cemas, wajahnya memucat.
“Sebetulnya tidak. Kita seharusnya masih punya waktu hingga satu bulan. Akupun tidak mau menerima tawaran kalian jika tahu bakal begini.”
“Kita benar-benar tidak beruntung,” ujar Allary. Melihat keluar. Perlahan-lahan awan kecil dari selatan itu, melebar, berubah jadi awan hitam raksasa.
77
Bagai Meniti di Atas Lantai Es
“Bagaimana sekarang, Turguy?” Allary bertanya setelah melihat-lihat keadaan langit. Jujur itu menakutkan. Sama menakutkannya saat kejadian kutukan di Kampung Hijau. Hanya saja kali ini mereka berhadapan dengan badai sungguhan. Bukan kutukan.
“Aku tidak punya pilihan selain menunggu di dalam ceruk ini sampai semuanya berlalu, dan berharaplah kita semua selamat.” Turguy memeluk diri sendiri. Mulai kedinginan. Hembusan angin dingin mulai terasa, padahal mereka berdiri di mulut gua, yang menghadap Utara. Tetap saja angin dingin itu mampu mencapai mereka.
“Bagaimana kalau ada salah satu dari kita yang kedinginan, lalu terkena hipotermia?”
“Tenanglah ketua. Kita punya oksigen persediaan bukan? Aku juga masih menyimpan suntikan pereda dingin yang kemarin kugunakan untuk menolong orang Myanmar itu.”
“Oh ya, terbuat dari apa ramuan itu, Turguy? Dan apa khasiatnya?” Allary bertanya, memutuskan menukar topik dengan sesuatu yang lain.
“Bahan rahasia,” Turguy tersenyum misterius, “ramuan itu adalah senjata andalanku dalam menolong rombonganku. Salah satu hal mengapa aku menjadi guide terbaik di kawasan Eutasaga.”
Allary menepuk dahi. Dia salah bertanya. Turguy malah membanggakan dirinya sendiri.
“Badai itu datang,” Vivi berseru, setengah menjerit. Lalu dengan mengerikan dan tanpa ampun amukan angin dan salju turun dari awan hitam raksasa di atas langit.
Allary, Vivi dan Turguy harus merapatkan diri, serapat-rapatnya dengan dinding ceruk nan sempit itu untuk menghindar dari amukan badai yang seakan menjilat anggota tubuh mereka yang keluar dari ceruk. Astaga, saking dahsyatnya, ceruk itu bergoyang.
“Sekarang aku paham kenapa kau tadi begitu ketakutan, Turguy. Badai ini benar-benar, MENCEKAM!” Allary berseru. Kaki-kakinya gemetaran. Jika di tempat asalnya, di Indonesia, badai sederas ini bisa membuat orang-orang melakukan shalat ramai-ramai meminta pertolongan Tuhan.
Namun Turguy santai saja. Iya dia memang ikut merapatkan diri ke dinding ceruk, tapi dia tidak terlihat gemetar. Tidak tampak komat-kamit. Benar-benar, seolah biasa saja.
“Kenapa kamu terlihat santai sekali, Turguy.” Vivi bertanya, dengan gemetar.
“Kenapa aku harus takut?” Turguy bertanya balik. Jujur saat itu, wajahnya terlihat, menjengkelkan.
“Badai ini mengerikan, Turguy. Saraf-sarafku sampai tegang.”
“Aku sudah jadi guide selama belasan tahun, Vivi. Aku berkali-kali menyaksikan badai semacam ini. Dan ini, untuk ukuran Awan Hitam dari Selatan, ini adalah badai yang biasa saja. Badai paling dahsyat yang pernah kusaksikan, menggulung desaku menjadi puing-puing. Bak terkena tsunami.”
Merinding Allary membayangkannya.
“Bertahanlah, badai ini akan segera berlalu. Awan Hitam dari Selatan memang membawa badai yang dahsyat, tapi durasinya jarang melebihi satu jam.”
Allary dan Vivi menghela nafas. Berarti satu jam lagi mereka harus terjebak dalam kondisi mencekam seperti ini. Astaga. Entah apa yang akan dikatakan Felix dalam kondisi seperti ini.
Turguy benar lagi. Satu jam setelah amukannya, badai itu berangsur reda. Meninggalkan salju setinggi enam inchi di atas tanah. Turguy beranjak keluar, mengecek situasi. Setelah semua diperkirakan aman, Turguy menyuruh Allary dan Vivi untuk keluar dari ceruk.
“Berhati-hatilah, jalanan ini berbahaya. Tapi aku yakin kalian ingin melanjutkan perjalanan, ketimbang terjebak di dalam ceruk sempit itu sepanjang malam.”
“Tentu saja, meski itu artinya berjalan meniti di atas lantai es.” Allary berucap optimis.
78
Badai yang Mengejek
Allary, Vivi dan Turguy tiba di Camp 4 siang keesokan harinya. Perjalanan mereka dipercepat. Mereka hanya menghabiskan setangkup martabak di Camp 3, ketika Allary memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
“Sebaiknya kita menyelesaikan perjalanan secepat mungkin. Aku tidak mau ambil resiko menghadapi badai semacam itu lagi.” Allary bertitah.
Perjalanan mereka ke Camp 4 disambut dengan langit yang cerah. Turguy amat bersyukur akan hal itu. Setidaknya mereka tidak berurusan dengan Awan Hitam dari Selatan itu lagi. Atau belum.
“Berikutnya apa yang akan kita lakukan, ketua?” Turguy bertanya sambil mengunyah sepotong martabak.
“Berapa jarak ke Camp berikutnya?”
“Last Camp. Itu adalah titik pemberhentian terakhir sebelum memasuki Death Zone. Jaraknya kira-kira 8 jam perjalanan dari sini.”
“Bagaimana dengan medannya?” Allary bertanya lagi, semakin spesifik. Berkeliaran di Sarsa selama beberapa hari mengajarinya bagaimana membuat keputusan yang baik sebagai ketua.
“Tidak terlalu berat. Tapi tidak juga terlalu mulus.”
“Aku serahkan keputusan akhirnya padamu, Turguy. Tapi kalau kau minta pendapatku, aku akan meminta perjalanan ini dilanjutkan.”
Turguy mengangguk. Allary nampak semakin bijak. Dia pantas jadi ketua rombongan ini.
“Baiklah kalau begitu, perjalanan ini kita lanjutkan.” Turguy berdiri, menyudahi makan martabaknya.
“Baiklah. Bersiaplah, Vivi.”
Gadis itu terkejut. Dia baru saja mengunyah sepotong martabak lagi untuk mengganjal perut.
Cuaca di lereng Sarsa hari itu panas tak terkira. Bahkan mungkin yang paling panas sejak Allary mulai mendaki. Allary tidak perlu membiasakan diri, dia berasal dari daerah tropis, dia sudah terbiasa dengan panas. Justru Turguy yang khawatir.
“Ada sesuatu yang aneh terjadi di sini,” Turguy bergumam pelan. Tidak terdengar oleh Allary. Dia melihat-lihat keadaan sekitar. Mungkinkah, mungkinkah ini adalah pertanda buruk?
Matahari mulai condong ke sisi barat. Tapi pertanda buruk itu muncul di arah selatan. Ya, arah selatan. Vivi yang pertama kali menyadari hal tersebut. Menarik lengan Allary. Berbisik.
“Allary, awan itu...”
Allary tersentak. Hei, awan itu... Cepat Allary menepuk bahu Turguy. Menunjuk ke arah selatan. Turguy langsung pucat seperti melihat hantu.
“Kita harus bergerak cepat, ketua. Last Camp tidak jauh dari sini. Semoga kita bisa sampai di sana, sebelum badainya datang pada kita.”
“Kau tidak takut bukan, Turguy?” Vivi bertanya.
Turguy menggeleng. “Aku mengkhawatirkan kalian.”
“Apakah badai itu sering datang dalam waktu singkat seperti ini, Turguy?”
Turguy menggeleng lagi, “biasanya tidak. Awan itu seharusnya datang sekali setiap beberapa periode saja. Tidak, ini sebuah anomali. Dan aku khawatir, sesuatu memang sedang terjadi. Alam sepertinya memilih kalian dengan cara yang unik.”
Sayang sekali, mereka tidak sampai ke Last Camp ketika awan itu mulai menyelimuti kepala mereka. Turguy berdecak. Bisa kacau kalau begini.
“Jalan lebih cepat, ketua. Kita harus mencapai Last Camp. Berharaplah kita bisa berlindung di sana bersama para pendaki lainnya.”
79
Last Camp Hancur Jadi Bubur
Desau angin dingin mulai terdengar dari kejauhan. Semakin lama semakin dekat. Turguy dan Allary berusaha berlari secepat mungkin ke Last Camp. Vivi bahkan harus digendong agar dia tidak tertinggal. Allary menunjukkan kembali stamina yang pernah dikeluarkannya di Bihana, sementara Turguy memang seorang pendaki.
Suasana di Last Camp sendiri juga sangat mencekam.
Meski merupakan Camp untuk pendaki, Last Camp berada di tempat terbuka. Hanya di sebelah timurnya saja, ada tebing yang melindungi para pendaki yang sedang beristirahat.
Semua orang bisa melihat awan hitam bergerak dari selatan menuju ke atas kepala mereka semua. Para pendaki banyak yang memandang dengan heran. Awan apa yang sedemikian besar itu? Apakah akan datang badai yang dahsyat?
Sementara para guide Pahadaru, semuanya mengkerut. Masing-masing dari mereka tentu saja sudah tahu legenda Awan Hitam dari selatan.
“Tuan-tuan, kita harus meninggalkan tempat ini, dan mencari perlindungan yang lebih baik.” Salah seorang guide muda, mengajak 4 orang anggota rombongannya untuk menjauh dari Last Camp.
Tapi mereka yang ingin mencari tempat berlindung, tidak punya banyak pilihan.
“LEBIH CEPAT, ALLARY!” Turguy berseru, suara deru angin semakin keras terdengar dari kejauhan.
Mereka akhirnya menjejakkan kaki di pintu masuk Last Camp, untuk melihat bagaimana seorang yang ada di sana, keheranan dan ketakutan dengan awan hitam di atas kepala.
“Kemana kita bisa berlindung, Turguy?” Allary bertanya, suaranya tertahan. Hei, di sini cuma ada tanah lapang. Bagaimana bisa mereka berlindung di sini.
Turguy menggigit bibir. Salju sudah mulai turun. Awan hitam di atas sudah mulai berputar. Gawat, waktu mereka sempit. Melihat gerombolan orang di Last Camp, Turguy serupa melihat ladang pembantaian.
“Bagaimana sekarang, Turguy?” Allary mendesak.
Ayo berpikir, berpikir cepat. Semilir angin dingin mulai berhembus. Mulai terasa. Badai sudah datang.
“TURGUY! BAGAIMANA SEKARANG!?” Allary berteriak. Dia panik. Suasana mulai menakutkan.
Turguy menggigit bibirnya lagi. “Aku hanya punya ide gila, ketua.”
“Katakan, Turguy.”
“Tapi ini bisa membuat kalian terbunuh.”
Allary menelan ludah. Vivi mengkerut ketakutan. Kenapa harus membicarakan pertaruhan nyawa di saat begini. “Katakan apa rencanamu, Turguy?”
“Kita tidak akan berhenti di Last Camp ini. Kita akan meneruskan perjalanan. Di atas sana, di sebelah tebing-tebing itu, rasanya aku ingat ada satu buah ceruk yang bisa digunakan untuk berteduh.”
“Oh ide bagus. Tunggu apa lagi. Ayo kita meluncur, TURGUY!”
Tanpa menunggu Turguy, Allary yang menggendong Vivi sudah lari tunggang langgang.
“Bagaimana kalau kita mati di sini, Allary?” Vivi berbisik di bahu Allary.
“Demi Tuhan, demi segala yang suci, aku tidak akan membiarkan kalian mati sebelum aku mati lebih dulu,” Allary menjawab mantap.
“Kamu lihat di sana Allary. Ada banyak orang panik. Semua orang hendak mencari tempat berlindung. Aku tidak tahu banyak tentang gunung ini, tapi aku kira tidak banyak tempat ceruk untuk berlindung. Bagaimana kalau tidak kebagian?”
“Aku berjanji kita akan dapat ceruk untuk berlindung, menghangatkan diri.”
Allary sebenarnya masih mengatakan beberapa hal. Tapi tidak terdengar, karena suara desau badai semakin deras. Turguy menyusul di belakang. Berteriak.
“KAU BISA MELIHAT ARAH JALAN, ALLARY?!” Turguy berseru, jarak pandang mereka memang sempit. Allary mengangguk, menyahut dengan berteriak juga. Dia masih bisa melihat tebingnya.
“Ikuti aku, ketua!” Turguy terpekik di ujung kalimatnya. Kakinya tanpa sengaja menyandung sesuatu. Nyaris terjatuh. Untung Turguy bisa menjaga keseimbangan.
Di balik tebing batu yang melindungi Last Camp dari arah Timur, Allary, Vivi dan Turguy berhasil menemukan ceruk sempit. Turguy segera meminta mereka masuk ke sana. Semuanya kedinginan. Turguy menyalakan senter. Mereka berhasil masuk ke ceruk itu, sepenuhnya. Tidak seperti sebelumnya.
“Kau tidak kedinginan bukan, ketua?” Turguy bertanya.
“Agaknya begitu, Turguy. Di sini memang dingin sekali.”
“Sebentar ketua, aku akan menyelamatkanmu.”
Turguy mengambil suntikan. Sejenak kemudian menyuntik pada Allary. Vivi juga ditanya, dan dia menjawab dengan nada yang sama. Jadi Vivi juga mendapat suntikan.
“Ah sekarang menjadi lebih hangat, Turguy.” Allary menghela nafas lega. Dia bisa merasa hangat di sekujur tubuhnya. Dia jadi tahu apa yang dirasakan oleh Man Nyi. Benar-benar sebuah ramuan yang manjur.
“Aku akan menyelamatkan kalian.”
“Terima kasih Turguy. Oh ya, ngomong-ngomong, bagaimana dengan mereka yang ada di Camp terbuka itu?”
Turguy menggeleng sedih. “Aku tidak tahu soal itu ketua, mungkin saat mereka sudah hancur seperti bubur.”
Allary menatap keluar dengan sedih. Apakah dia harus keluar, mengecek keadaan orang-orang. Naluri baiknya terpanggil. Tapi Vivi buru-buru menarik lengan Allary. Menatapnya. Kamu jangan kemana-mana, Allary. “Kami lebih membutuhkanmu di sini, Allary.”
80
Hei, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Allary hanya bisa duduk memeluk lutut. Kedinginan. Vivi juga demikian, hanya Turguy yang masih terlihat biasa. Menatap keluar, mengamati angin yang berhembus sangat deras. Karena mulut gua itu menghadap ke Barat, sebagian butir-butir salju itu masuk ke dalam gua. Dingin.
“Turguy, aku tidak mengerti, kenapa cuaca bisa berubah menjadi sedemikian buruk, sedemikian cepat.” Vivi memeluk lutut, berseru dengan cemas.
Turguy yang melihat ke mulut gua, menjawab dengan ragu, “aku juga tidak tahu. Ini adalah sebuah anomali. Awan Hitam dari Selatan tidak pernah muncul dua kali dalam sehari.”
“Mungkin ini adalah kehendak Alam,” ujar Allary. Dia berusaha menenangkan Vivi dengan menepuk-nepuk bahu gadis itu. Allary tidak berani berbuat lebih jauh, “kita akan keluar dari situasi ini. Sebentar lagi. Kita hanya perlu menenangkan diri sampai badai ini reda.”
“Bagaimana kalau badainya datang lagi?”
“Maka kita akan mencari tempat bernaung lagi.”
“Kalau kita tidak mendapat tempat bernaung?”
“Tenanglah Vivi,” Turguy ikut bersuara, “aku tidak akan membiarkan kalian mati sia-sia. Percayalah.”
Pelan-pelan air mata Vivi meleleh. Allary melihatnya, tersenyum bijaksana. “Menangislah, bila kamu merasa itu bisa membuatmu lebih tenang.”
120 menit penuh ketegangan, ketakutan dan kecemasan. Allary dan Turguy bahkan sempat tiarap di dalam ceruk itu, menghindari kibasan angin yang bertiup ke arah mereka. Akhirnya, setelah melewati semua itu, badainya reda lagi.
Allary, Vivi dan Turguy keluar dari gua.
Turguy mengarahkan kaki untuk melanjutkan perjalanan. Namun Allary melangkah ke sisi sebaliknya.
“Hei, mau kemana kau, ketua?” Turguy berseru.
“Aku mau kembali ke Last Camp. Setidaknya aku harus mengecek kondisi mereka di sana.”
Turguy geleng-geleng kepala. Dia membalikkan langkah, mengikuti ketuanya. Tidak mungkin mencegah keinginan Allary. Lebih baik mengikutinya. Mereka melangkah kembali ke Last Camp. Dan langsung disuguhi pemandangan yang mengerikan.
Last Camp tertimbun salju setebal lebih dari 5 inchi. Tenda-tenda tertimbun. Hanya tertinggal patok-patok tertingginya saja. Jangan tanya kemana orang-orangnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali di Last Camp.
Allary menggeleng sedih.
“Apa yang terjadi di sini, Turguy?”
“Badai itu, telah menunjukkan sisi terburuknya.” Turguy bersuara tertahan. Melihat Last Camp yang seketika menjadi kuburan massal, amat mengerikan.
“Padahal-kan seharusnya kita mengisi oksigen, beristirahat dengan tenang, mengisi tenaga juga. Bukan begitu, Turguy?” Vivi mendekat.
Turguy menghela nafas. Dia juga tidak menduga bakal terjadi hal seperti ini.
“Bagaimana perjalanan kita selanjutnya, ketua?”
“Aku ingin melanjutkan perjalanan.” Allary menyahut mantap.
81
Tiba di Death Zone
Turguy, tanpa sepengetahuan Allary, memungut tiga buah tabung berisi oksigen di Last Camp. Toh pemiliknya, sudah mati. Begitulah pikir Turguy. Lagipula rombongan Allary harus bersiap-siap, menghadapi Death Zone.
Sungguh, seandainya Allary tahu akan hal itu, dia akan memarahi Turguy.
Pukul 4 sore, di Last Camp. Karena Allary memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, Turguy memutuskan untuk menyampaikan beberapa hal.
“Seharusnya kita bermalam di sini. Dan baru dinihari nanti baru naik ke puncak,” Turguy menjelaskan, menggambar di atas salju.
“Aku tidak mau membuang-buang waktuku lagi Turguy. Melihat badai semacam itu, aku jadi takut bermalam di tempat ini.”
“Pertimbanganmu itu aku maklumi ketua. Sungguh itu adalah pertimbangan yang baik. Jadi aku akan menawarkan beberapa alternatif solusi.”
“Lanjutkan Turguy.”
“Saat ini posisi kita ada di Last Camp. Jarak kita dengan Tangga Surga hanya sekitar 4 jam perjalanan, dan jarak antara Tangga Surga dengan Puncak Sarsa tak lebih dari setengah jam perjalanan. Tapi kita jelas tidak bisa menyelesaikan perjalanan hari ini juga. Kita tidak punya waktu. 9 jam pulang pergi, kita tidak punya waktu.”
“Jadi bagaimana, Turguy?”
“Kita harus tetap bermalam. Di sebuah tempat...”
“Tapi bukan di tempat terbuka begini, Turguy,” Allary menyela lagi. Dia menatap ke arah Vivi. Diam-diam, Allary merasa khawatir dengan keselamatan gadis itu. Jauh lebih khawatir daripada dengan keselamatannya sendiri.
“Aku tahu masalah itu, ketua. Untungnya kau bersama denganku, aku tahu jalan keluarnya. Dengan kondisi badai seperti ini, satu-satunya tempat yang aman, adalah gua, ceruk atau semacam itulah. Tempat yang nyaman untuk bermalam. Karena aku mengenal jalur pendakian Sarsa serupa melihat telapak tangan, aku tahu tempat seperti itu ada di depan. Ada sebuah gua yang nyaman di dekat Death Zone. Di sini,” Turguy menggambar di atas tanah bersalju.
Allary menatap Turguy, wajahnya nampak meyakinkan, Allary menatap ke arah gambar itu, tidak tampak meyakinkan.
“Berapa jam perjalanan ke sana, Turguy?”
“Kurang dari dua jam.”
“Baiklah, kalau begitu, ayo kita bergegas.” Allary menghampiri Vivi, mengulurkan tangan, “kuharap kamu tidak keberatan tidur di dalam gua, Vivi.”
Vivi mengangguk. Tidak ada masalah. Seandainya Allary mau mendengar, Vivi bisa menceritakan riwayat hidupnya yang heroik dan bisa dibuat acara televisi.
Perjalanan mereka dilanjutkan, dengan perasaan cemas kalau-kalau Awan Hitam dari Selatan muncul lagi.
Gua yang dimaksud Turguy lumayan bersih. Agak melenceng dari jalur pendakian. Berada di bawah tebing batu. Tambahkan lagi, gua itu punya lorong yang dalam, sehingga mereka tidak perlu tidur di mulut gua.
Allary dan Turguy bekerja sama membersihkan gua seadanya. Menyalakan perapian, menghangatkan diri. Menyusun sleeping bag.
Turguy benar. Gua itu amat dekat dengan Death Zone. Area paling berbahaya di Gunung Sarsa. Bahkan dari kejauhan, Allary bisa melihat bagaimana aura dari Death Zone, memanggil kematian. Memancarkan kengerian. Tanah lapang seluas lebih dari dua hektar itu nampak ganjil.
“Kita harus tidur lebih awal malam ini, Ketua.” Turguy memperingatkan sambil makan martabak.
“Aku rasa aku tidak bisa tidur, Turguy. Siapa tahu ada binatang yang akan keluar dari dalam lubang-lubang. Mengancam keselamatan salah satu di antara kita.”
“Biar aku yang berjaga. Aku sudah terbiasa begadang.”
“Kau yakin?”
“Iya.” Turguy mengangguk mantap, karena ada yang harus kulakukan malam ini, ketua. Turguy menatap ke arah luar dengan perasaan tak menentu.
82
Berhati-hatilah dengan Death Zone
Dinihari. Benar-benar dinihari. Pukul 1 malam, saat Turguy mengguncang tubuh ketuanya, membangunkan Allary. Allary dengan cepat merespon. Segera bersiap-siap. Tidak ada waktu untuk menggeliat, mengumpulkan kesadaran, nanti saja itu.
Allary dan Vivi merapatkan jaket tebal mereka. Suhu di dalam gua turun beberapa derajat dari yang tadi malam. Apalagi di luar sana. Turguy juga sudah siap dengan jaket tebal, memegangi senter.
“Bagaimana dengan cuaca, Turguy? Apakah ada tanda-tanda akan turun badai lagi?” Allary bertanya saat keluar dari mulut gua.
“Tidak ada ketua. Bintang-bintang berpijar terang. Termasuk bintang-bintang di sebelah timur itu. Tetua kami percaya, bila bintang itu berpijar terang, maka esok hari akan panas terik.”
Sebenarnya Turguy berbohong. Dia tidak mau ketuanya khawatir. Karena sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa bila dihadapkan dengan Awan Hitam dari Selatan itu lagi. Tapi setidaknya aku tahu apa yang harus dilakukan bila awan itu datang lagi. Turguy sudah mempersiapkannya sepanjang malam.
“Kalau begitu, ayo kita jalan, Turguy. Vivi.”
Semuanya mengangguk. Perjalanan kembali dilanjutkan. Dengan mengucap nama Tuhan dan berharap pada lindungan-Nya, Allary memasuki Death Zone.
Asal usul Death Zone sebenarnya cukup konyol. Daerah ini disebut zona kematian, justru karena manusia sendiri yang menyebabkan kematian itu, dengan cara yang konyol.
Jadi, setelah melewati Last Camp, yang sesuai namanya merupakan Camp terakhir menuju puncak Sarsa, pendaki diberi dua pilihan. Melanjutkan perjalanan dini hari ke puncak, tiba di puncak menjelang pagi, dan turun kembali saat sore menjelang. Atau menuju puncak pada pagi hari, tiba di puncak nyaris sore hari, dan pulang menjelang malam.
Dua pilihan itu menghadapkan siapa saja pada satu kemungkinan yang sama, mereka akan melalui daerah Death Zone pada waktu gelap. Jadi manusia sendirilah yang membuat keputusan.
Beruntungnya rombongan Allary sudah pernah menghadapi perjalanan malam begini saat memburu Raksasa Hi’um di Hidung Monster, jadi Allary dan Vivi tidak terlalu terpengaruh.
“Aku tahu kalian sudah cukup terbiasa dengan cuaca malam dan angin dingin Sarsa, kalian harus tetap hati-hati. Kita sekarang berada tepat di Death Zone.” Turguy memperingati mereka dengan hati-hati. Allary dan Vivi sama mengangguk.
“Selama tidak ada badai yang datang, aku bisa tenang, Turguy.”
“Aku rasa badai sudah mereda, Allary. Tenang saja.”
“Syukurlah. Sekarang semangatku berlipat-lipat. Sebentar lagi, aku akan sampai di Puncak Dunia.”
“Semangat yang bagus, ketua.”
“Diam-diam aku merindukan kehadiran dia,” Vivi bergumam pelan. Semua orang mendengar. Semua orang serentak menghadap ke arahnya.
“Dia?” tanya Allary cepat.
“Pasti maksudmu, Felix Norton.” Turguy menimpali.
Vivi terkekeh kecil, malu-malu. “Kuharap dia sampai di Kota Pasar dengan selamat, dan semoga kita bisa bertemu dengan dia lagi.”
“Semoga,” sahut Allary lagi, “semoga dia mendengarkan kata-kataku untuk menunggu di Kota Pasar. Kalau tidak, kita tidak akan bisa bertemu dengan dia lagi.”
“Semoga bukan itu yang terjadi.”
“Jadi kau memang menyukainya, Vivi?” Turguy kembali bertanya, menimpali.
Vivi kali ini terdiam. Ekspresi wajahnya memang tidak begitu kelihatan malam itu. Tapi jelas wajahnya bersemu merah. Sementara Allary ikut tersentak.
“Menyukai adalah kata yang berat, Turguy. Aku akan berhati-hati memakainya. Kamu tanya aku menyukainya atau tidak, maka jawabanku sekarang, adalah tidak. Tapi jika kamu bertanya apakah aku akan menyukainya nanti, maka jawabanku, mungkin ya.”
Allary diam-diam membuat dua kesimpulan. Pertama, waktu tengah malam adalah saat terbaik mengorek perasaan seseorang. Adapun kesimpulan kedua, disimpan Allary dalam hatinya. Rapat-rapat. Tidak ada yang boleh tahu rahasianya.
Atau belum.
83
Dua Orang Sekarat
Pukul 4 pagi. Suhu mulai berubah lagi.
Allary yang paling waspada, adalah yang paling cepat menyadari perubahan temperatur itu. Dia lekas menanyakan hal itu pada Turguy.
“Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk, ketua,” Turguy melihat ke arah selatan. “Tidak ada tanda-tanda akan terjadi badai, tidak ada awan hitam di selatan.”
Turguy benar. Arah selatan bersih, penuh gemintang.
Perjalanan dilanjutkan. Kali ini giliran Vivi yang mendapat masalah.
“Allary, kenapa di depan sana ada banyak pohon kelapa?” Vivi bersuara lemah.
Eh? Allary berbalik, memeriksa keadaan Vivi. Mana ada pohon kelapa di depan, mana ada pohon kelapa di seluruh Pegunungan Pahadaru. Turguy segera menyadari satu hal, Vivi sedang berhalusinasi.
Turguy ikut mengecek. Vivi sudah terduduk di tanah, memeluk tubuhnya. Wajahnya pucat.
“Kau tidak apa-apa, Vivi?” Allary bertanya. Membantu memegangi agar Vivi bisa duduk lurus. Badan Vivi bergetar hebat.
“Turguy, ambil suntikanmu.” Allary bertitah, sementara dia sendiri mengambil tabung oksigen. “Bertahanlah, kami akan menyelamatkanmu.”
“Dingin, Allary...” Vivi berucap lemah.
“Bertahanlah, Vivi.”
Allary dan Turguy bahu membahu menyelamatkan Vivi, satu menyuntik, satunya memasangkan alat bantu oksigen. Sementara itu temperatur semakin dingin. Lewat satu suntikan, yang amat tergesa-gesa diambil Turguy, Vivi membaik. Tapi kondisinya masih lemah.
“Kamu bisa berdiri, Vivi?”
BUKKKK! Tidak perlu menjawab. Vivi memang tidak bisa berdiri, kakinya lemah, dia terduduk lagi.
“Angkat dia, Allary. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus sampai di tempat yang aman sebelum kau ikut terserang hipotermia.”
Allary menurut, lekas mengangkat Vivi ke pundaknya. Untungnya tubuh ketua itu sudah mulai terbiasa dengan hawa dingin, jadi Allary masih bisa bertahan. Tapi tidak selamanya. Allary bisa terserang radang dingin kapan saja. Batin Turguy.
“Maaf merepotkanmu, Allary.”
“Aku tidak apa-apa, aku lebih mengkhawatirkan kondisimu.” Allary menyahut.
Perjalanan mereka kembali berlanjut. Sedikit lagi mereka mencapai ujung dari Death Zone.
“Kau tahu ketua, seandainya saja ini adalah siang hari, dan ini bukan zona kematian, Death Zone adalah tempat yang indah. Tebing-tebing yang tinggi itu, saat memancarkan sinar matahari pagi, tidak terperi indahnya.”
“Oh ya?”
“Yap, dan beberapa pendaki yang berpengalaman, mempertaruhkan nyawa mereka untuk pemandangan semacam itu.”
Pandangan Allary berseri-seri.
“Tapi tentu saja, aku tidak akan membiarkan dua orang amatir seperti kalian mengambil resiko sebesar itu.”
Allary tersenyum masam. Turguy terkekeh.
“Habis dari sini, kemana kita, Turguy?” Allary mengalihkan pembicaraan.
“Kita akan mendaki tebing-tebing itu. Itu adalah jalan masuk menuju puncak dunia.”
“Mendaki tebing-tebing itu?” ulang Allary, agak sulit membayangkan bagaimana dia mendaki tebing terjal seperti itu? Bukannya keahliannya tidak seberapa?
“Tenang ketua. Tebing-tebing itu telah dibuat menjadi tangga-tangga permanen yang artistik. Tebing-tebing itu dinamakan Tangga Surga. Karena jalannya mengarah ke atas, seperti mendaki ke Surga.”
Allary tidak mendengarkan sepenuhnya. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. Tiba-tiba pula, rasa dingin mencekat sampai ke lehernya. Allary berhenti sejenak.
“Boleh kamu turun sebentar, Vivi.”
“Eh ada apa, Allary?”
Turguy juga lekas berbalik.
“Turunlah, seben... tar.” Allary terbata di ujung kalimatnya. Tidak, dia tidak boleh tumbang. Tidak lagi. Dia tidak mau membuat semua orang khawatir. Tapi rasa dingin itu mencekiknya sampai ke leher. Allary sempurna sesak nafas.
“Astaga, ketua. Kau terkena radang dingin lagi.” Turguy lekas melepas tasnya, “bertahanlah ketua. Aku akan menyelamatkanmu.”
Sementara Vivi langsung gesit juga, (lupa dengan dirinya yang juga baru pulih), membongkar tas Allary, mencari tabung oksigen. Allary sudah terduduk, memegangi dadanya. Sesak sekali rasanya. Sampai dia tidak bisa bicara lagi.
“Bertahanlah, Allary,” Vivi menggigit bibir, menyodorkan tabung oksigen.
“Hei dimana suntikan itu kuletakkan, astaga, jangan bercanda.” Turguy berteriak sendiri sambil meremas rambut. Keadaan berbalik genting hanya dalam sekejap mata.
84
Kesakitan, atau Kesaktian?
Turguy dengan penuh emosi, melemparkan seisi tasnya ke atas salju. Tumpah ruah. Dia segera memilah-milah. Barang bawaannya tidak banyak, tapi yang diperlukannya tidak ada. Kemana? Kemana suntikan itu? Jangan katakan kalau suntikan itu sudah habis? Astaga, Turguy meremas kepala lagi. Melihat ke arah Allary.
Allary sudah menghabiskan dua tabung oksigen cadangan. Itu artinya sudah habis pula persediaan mereka. Namun kondisi ketua rombongan itu masih memprihatinkan.
Baiklah, Turguy harus mencoba cara lain. Dia berbalik ke belakang Allary, memijat punggung ketuanya itu pelan-pelan. Vivi mendelik, apa yang kau lakukan, Turguy?
“Kontrol saja oksigennya, Vivi. Aku akan coba menyelamatkan ketua dengan memijat pemanas tubuhnya. Semoga ini berhasil.”
Turguy tidak bercanda. Dia adalah orang lokal Pahadaru, dia tahu berbagai cara untuk menyelamatkan partner perjalanannya, dari kedinginan dan kematian. Meski tidak semua orang dapat penyelamatan serupa darinya.
Vivi kali ini bukan hanya menyodorkan oksigen, tapi kembali memeluk Allary. Membisikkan kata-kata, kalimat ratapan. Hei, itu berhasil saat di Camp 2 kemarin. Siapa tahu sekarang berhasil lagi.
“Maafkan aku, ketua. Suntikannya tidak ada. Tapi aku akan menyelamatkanmu, aku janji.”
“AKHHHH!” Allary melolong kesakitan, Turguy mengenai salah satu titik sarafnya. Tapi itulah yang dibutuhkan Allary sekarang, menyalakan titik pemanas di tubuhnya. Dan hanya Turguy yang bisa melakukannya.
“Bertahanlah, Allary. Kamu tahu bukan, kamu jauh lebih kuat dari yang kamu duga.”
Allary menggigit bibir. Baiklah, dia tidak akan berteriak lagi.
Turguy nyaris menyelesaikan pemijatan, Allary sudah nampak lebih tenang, namun kali ini masalah baru muncul lagi. Vivi mulai kedinginan, suhu turun drastis lagi. Pukul 5 pagi. Vivi mulai meracau, melepaskan pelukan dari Allary, dan memeluk tubuhnya.
“Astaga kamu jangan tumbang juga dong, Vivi.” Turguy berdecak.
“Maafkan aku Turguy, tapi di sini rasanya sangat dingin. Aku kehilangan nafasku. Tolong Allary, Turguy.”
“Hei, tidak. Tidak bisa seperti itu. Astaga kalian berdua.” Turguy melepas pijatannya, tubuh Allary mendingin lagi. Ambruk lagi. Ambruk bersamaan dengan Vivi.
Oh tidak. Ini benar-benar gawat, Turguy berdecak dalam hati. Sesuatu harus dia lakukan. Sesuatu harus dilakukan. Tapi apa? Seharusnya keadaan bisa lebih terkendali andai dia masih punya ramuan untuk disuntikkan. Sayangnya ramuan itu sudah habis.
Sebenarnya aku masih bisa menyelamatkan mereka dengan pijatan pada titik panas tubuh, tapi itu butuh waktu. Satu orang bisa meregang nyawa saat aku memijat yang satunya. Batin Turguy bergolak. Tapi demi melihat wajah Allary yang kesakitan, Turguy tahu, dia tidak punya jalan lain.
Hanya itu, itulah satu-satunya jalan.
Turguy pelan-pelan meraih jimatnya. Jimat Suci Kampung Hijau yang diberikan Kepala Kampung. Dia harus melakukan itu. Pilihan terakhir. Menyelamatkan Allary, agaknya lebih penting daripada mempertahankan tradisi.
Turguy mulai menggosok jimat itu. Seperti Aladin menggosok lampu ajaib. Samar-samar, Vivi melihat semua itu.
Tidak lama setelah Turguy menggosok jimat itu, terjadi anomali cuaca. Desau angin menghilang, digantikan hening yang mencekam. Suhu yang dingin menusuk tulang, tiba-tiba hilang, kini terasa lebih hangat. Samar-samar kemudian, terasa ada yang memeluk mereka. Memeluk mereka bertiga. Apa itu?
Tidak, tidak ada yang tahu. Vivi langsung pingsan karena mentalnya tidak kuat menanggung penglihatan akan makhluk itu. Yang bisa dirasakannya hanya pelukan yang hangat, kuat dan berbulu.
Berbulu?
Ya, berbulu.
Karena Turguy baru saja memanggil Raksasa Hi’um untuk menyelamatkan mereka semua.
85
Seseorang yang Mengejar ke Puncak
Pahadaru Visala Airport.
Sementara Allary, Vivi dan Turguy bertaruh nyawa di Death Zone, Felix menghadapi perjalanan yang cukup mudah dan menyenangkan. Cuaca di bawah lumayan bersahabat untuknya, dan untuk rombongan orang Myanmar yang dituntunnya.
Ming Aun, Sin, Man dan Man Nyi tahu diri untuk tidak memaksa Felix bicara. Sebab memang ada orang yang tidak suka diganggu dalam kesendiriannya.
Habis dari Base Camp, saat Awan Hitam bertiup dari selatan menuju puncak, Felix dan rombongan barunya sudah mencapai Base Camp. Mereka terhindar dari badai besar itu tepat waktu.
“Semoga Allary dan yang lainnya, tidak kenapa-kenapa.” Felix bergumam sendiri sambil melihat ke langit. Dia tahu itu adalah badai yang besar. Badai yang sangat dahsyat. Sebagai pendaki gunung profesional, dia tahu betul akan hal itu.
“Semoga teman-temanmu baik-baik saja di atas sana, Mister,” kata Ming Aun saat makan malam ketiga mereka.
“Sedikit lagi kalian akan sampai di Kota Pasar. Tugasku adalah mengantar kalian sampai ke Bandara di sana.”
Ming Aun mengangguk, Felix selalu taktis. Dia terlihat seperti manusia yang tidak punya emosi, tapi sekali lagi Ming Aun berusaha paham akan hal itu.
“Terima kasih banyak, Mister.” Ming Aun kembali mengangguk takzim, “kalau boleh aku tahu, apa rencana apa yang anda punya setelah mengantar kami ke Bandara?”
Felix menarik nafas, “aku akan menyusul mereka ke atas.”
“Anda tidak bercanda?”
Felix menggeleng mantap. Itulah keputusannya. Persis setelah dia memastikan rombongan Myanmar itu aman duduk di dalam pesawat kecil (meski pesawat itu agak tidak aman), Felix akan langsung putar arah. Dia akan mengejar rombongan Allary ke puncak.
Felix tidak mengambil keputusan yang sembrono. Dia sudah memikirkannya matang-matang. Dia telah mengenali jalur, dia memiliki pengalaman mendaki, dan yang terpenting, dia ingin menuntaskan pendakian ini bersama ketua rombongannya itu. Entahlah, keyakinan itu menancap di hati Felix Norton.
Sementara Ming Aun, agaknya kesulitan mencerna keputusan Felix. Mereka minimal tertinggal 3 hari perjalanan dari Allary Azra. Kemungkinan menyusul ke puncak adalah keputusan mustahil, walau yang mengejar, berlari secara gila-gilaan sekalipun. Ingin dia mencegah Felix, namun segan melihat kemantapan wajah pemuda Latin tersebut.
Ming Aun hanya bisa menitip doa selamat. Doa agar Felix diselamatkan dari bahaya.
Pahadaru Visala Airport, pukul 1 siang.
Ming Aun memeluk Felix erat-erat. Bilang terima kasih atas segenap bantuannya. Felix seperti biasa hanya memasang wajah batu. Mengangguk-angguk biasa. Sin dan Man serta Oishin juga menyampaikan terima kasihnya. Tapi tentu saja yang paling mengharukan, adalah Man Nyi. Orang yang diselamatkan Allary.
“Terima kasih, terima kasih, sungguh terima kasih Mister Felix.”
Felix hanya memasang senyum sambil menepuk-nepuk bahu Man Nyi.
Man Nyi menunduk, berlutut, “tolong sampaikan pada temanmu, Allary Azra, aku berhutang nyawa pada kalian. Aku akan siap membayar hutang nyawaku ini dengan nyawa, kapanpun kalian membutuhkan. Jika kalian ingin menghubungiku, atau ingin mampir ke Myanmar, ini kartu namaku.”
“Terima kasih,” Felix menerima kartu nama itu, membacanya sekilas, “silakan naik.”
“Anda benar-benar tidak ikut dengan kami, Mister?” tanya Ming Aun, memastikan untuk terakhir kali.
Felix menggeleng.
“Aku benar-benar harus menyusulnya ke puncak. Ketua akan sangat senang mendengar kabar bahwa kalian sudah sampai ke sini dengan selamat.”
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Semoga kau selamat dalam perjalanan.”
“Kalian juga.”
Kemudian turbin mulai berputar, pesawat mulai terangkat. Rombongan Ming Aun terbang menjauh dari bandara. Felix menatap pesawat itu sampai hilang dari pandangan.
“Baiklah, selanjutnya giliranku.” Felix menggigit bibir, memantapkan tekad. Di depannya terhampar area pendakian maha luas. Tapi dia tidak ciut. Memangnya apa yang bisa menghalangi langkahnya. Tidak ada.
Dia pernah terjebak dalam hujan badai petir dengan tornado di tempat asalnya. Dia juga pernah dicegat belasan orang bersenjata. Dia pernah diikat sampai kelaparan berhari-hari. Namun semua itu, tidak bisa menghalangi langkahnya.
Aku tetap bisa mengatasi, apapun itu rintangannya, mantap Felix dalam hatinya.
Felix akan mulai dengan mendaki jalan setapak menuju Base Camp. Lalu lanjut ke Camp 1. Bila tidak ada rintangan, dia akan tiba di gua, di Hidung Monster, sebelum tengah malam. Ya, satu alasan kenapa dia mantap hendak ke puncak, karena dia tahu jalan pintas. Dia akan menuju ke Ogenaputai. Minta izin pada Tuan Oge, melintas.
Felix berhenti sejenak untuk minum minuman berenergi.
86
Panorama Tangga Surga
Pukul 6 kurang beberapa menit, di batas akhir Death Zone. Matahari pagi sudah muncul di timur sana.
“Allary, bangun,” Turguy menepuk bahu ketuanya yang belum siuman. Seolah Allary hanya tertidur saja.
Namun benar, Allary benar-benar bangun. Seolah-olah tadi dia hanya tertidur. Bukan pingsan karena radang dingin dan sesak nafas. Turguy kemudian melakukan hal yang sama pada Vivi, sampai akhirnya mereka berdua terbangun.
“Apa yang terjadi, Turguy?” Allary duduk, mengerjap-ngerjap matanya. Yang terakhir dia ingat, adalah pelukan hangat dari Vivi. Selebihnya dia lupa. Entah apa. Vivi ingin menanyakan hal yang sama, tapi Turguy sudah mengambil kembali tasnya.
“Baguslah bila kalian sudah bangun. Kita harus bergegas. Kita sudah melenceng dari jadwal. Jangan sampai kita tidak menemukan tempat berteduh begitu malam gelap.”
Allary mengangguk. Lekas mengambil tasnya. Mereka melanjutkan perjalanan ke Tangga Surga. Panorama yang sungguh luar biasa segera menyambut Allary dan rombongan. Sebuah panorama yang tiada bandingnya, pantas bila tempat ini disebut sebagai Tangga Surga.
“Bagaimana sejarah tempat ini, Turguy?” Allary bertanya-tanya.
“Kau nampaknya tertarik sekali dengan hal-hal berbau sejarah, ketua.”
Allary mengangguk, bukankah wajar, karena adalah lulusan ilmu sejarah? Dia mendesak Turguy menceritakan perihal Tangga Surga ini.
“Tangga permanen ini baru dibangun belasan tahun ke belakang. Dibangun oleh pemerintah setempat, sebagai tanda keperkasaan Sarsa dan penghormatan kepada puncak dunia. Siapa saja yang ingin mencapai puncak Sarsa, maka dia harus melewati tangga ini. Warna putih melambangkan kesucian niat, kesucian tempat dan kesucian para dewa.
Kau pasti bertanya-tanya, saat tangga permanen ini belum dibangun, para pendaki naik ke puncak lewat apa? Maka jawabannya adalah lewat tebing ini juga. Hanya saja belum ada tangga permanen. Jadi mereka benar-benar harus mendaki di atas tebing terjal. Ada ribuan orang yang sempat merasakan harus mendaki tebing, bertaruh nyawa. Termasuk penakluk pertama gunung Sarsa.”
“Sir Thomas Ermundu.”
“Tepat sekali. Selain karena faktor penghormatan, tangga ini dibangun atas dasar keselamatan para pengunjung. Para pendaki. Sebelum tangga permanen ini dibangun, ratusan orang meregang nyawa saat mendaki di tebing terjal ini. Andai tanpa tangga ini, mungkin tempat ini adalah tempat paling berbahaya di puncak gunung. Sungguh tidak menyenangkan bukan, saat kau sudah sedemikian dekat dengan impianmu mencapai puncak dunia, impianmu itu malah kandas, karena tempatnya berbahaya.”
Tiba-tiba Allary terdiam. Seolah ada sesuatu yang sekejap lewat di pikirannya. Vivi mengambil alih pembicaraan.
“Ssstt, Turguy,” Vivi berbisik, “kamu mungkin bisa mengelabui Allary, atau mengalihkan pembicaraan, atau memang Allary-nya tidak tahu. Tapi kamu tidak bisa mengelabuiku. Samar-samar aku bisa melihat apa yang kamu lakukan di tengah badai beberapa jam lalu. Menggosok jimat, anomali cuaca, apa yang terjadi Turguy? Apa yang kamu lakukan?”
Turguy menelan ludah, sungguh, gadis ini tahu?
“Ah kau hanya berfatamorgana gara-gara kedinginan, Vivi.”
“Turguy, jangan coba-coba mengalihkan topik.” Vivi menatap dengan tatapan mengancam.
“Astaga Vivi, sudahlah. Yang terpenting kalian selamat. Lagipula aku lapar. Kau punya makanan, ketua?” Turguy lekas menepuk bahu Allary. Itu juga sekaligus menyadarkan Allary dari lamunannya. Vivi mau tidak mau teralihkan. Perutnya juga lapar.
“Kamu punya makanan, Allary?”
“Eh?” Allary tersentak. Kaget.
“Kurasa kau tidak punya ya ketua. Bagaimana kau sempat membuat makanan, kalau dari dinihari tadi, kita terus berjalan.”
Allary terdiam sejenak, “sebenarnya aku punya sisa martabak makan malam kita. Kalau kalian mau, ini cukup untuk mengganjal perut,” Allary mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya.
“Hei, kabar baik,” Turguy dengan senang hati mencomot satu martabak.
“Hei, aku juga mau,” Vivi ikut mengambil. Martabak itu sudah dingin, tapi belum basi. Masih bisa dinikmati. Mereka berhenti sejenak, menikmati martabak.
“Maaf, jika itu kurang layak dinikmati.” Allary menggaruk-garuk rambutnya. Seharusnya tadi dia memasakkan mereka, bukan menyodorkan makanan sisa.
Namun baik Vivi maupun Turguy makan dengan lahap. “Tidak apa-apa, Allary. Ini saja sudah cukup enak.” Vivi menoleh ke arah Allary, sambil tersenyum. Allary lekas membalik badan, pura-pura melihat ke arah pegunungan terbuka. Mulutnya berucap pelan, oh betapa aku merindukanmu, Mama.
87
Sesuatu yang Tersembunyi di Hati Allary
Sejauh ini kita tidak tahu apa yang sebenarnya disimpan oleh Allary, ketua rombongan kita. Kita hanya tahu bahwa dia pendaki amatir yang ambisius. Kita hanya tahu bahwa dia jenis orang baik, yang rela melakukan apapun, tanpa pikir panjang. Dia jelas manusia langka. Tapi selebihnya, kita tidak tahu sama sekali.
Kalau dipikir lagi, rasanya agak sulit memikirkan ada pendaki amatir yang dengan ambisiusnya berani menapakkan kaki sampai ke Tangga Surga. Hanya belasan meter lagi dari titik tertinggi di muka bumi. Pendaki amatir lain mungkin bakal mundur teratur, cukup tahu diri untuk tidak membahayakan diri sendiri, untuk pendakian semacam itu.
Allary lain. Mungkin dalam perjalanannya ini dia berkali-kali dihadang bahaya. Dua kali hampir meregang nyawa. Tapi sedikitpun dia tidak mundur. Sekalipun tidak pernah dia bilang akan menyerah atau merengek minta diantar pulang. Dia selalu bilang dengan mantap, Perjalanan dilanjutkan.
Jadi apa sebenarnya motivasi Allary?
Sebelum ini, kita tidak pernah tahu. Tapi setelah ini, mungkin kita akan tahu segalanya.
Turguy di depan masih mengoceh soal beberapa hal. Mereka juga bertemu dengan beberapa anggota rombongan lain. Turguy bercakap sesama guide. Sementara Allary, mendekat pada Vivi.
“Terima kasih, sudah menyelamatkan nyawaku dua kali, Vivi.”
“Eh,” Vivi terkejut mendengar kalimat Allary yang tidak biasa, “aku tidak melakukan apapun, Allary. Turguy-lah yang menyelamatkan nyawamu.”
Tapi efek pelukanmu, benar-benar menyelamatkanku, Vivi.
Hangatnya pelukan gadis lokal Pahadaru teman seperjalanannya itu, mengingatkan Allary pada sesuatu. Aku kembali merasakan hangatnya pelukan Mama. Aku juga kembali merasakan sensasi itu. Ah tidak, Allary lekas menggelengkan kepalanya sendiri. Menepis semua ingatan yang silih berganti hendak muncul di kepalanya.
Tidak, Allary tidak boleh membiarkan semua itu menguasai dirinya. Tapi, di sini, di Puncak Dunia...
Hei, bukankah ini yang diinginkan orang itu? Astaga, aku bahkan tidak mendapat apa-apa, walau sampai di sini. Suara itu kembali datang, Allary sekali lagi menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tingkahnya menarik perhatian Vivi.
“Kamu kenapa, Allary?”
“Eh?” giliran Allary yang terkejut mendengar pertanyaan Vivi, “aku tidak apa-apa, Vivi.”
“Sepertinya ada yang sedang kamu pikirkan, Allary.”
“Sudah, aku tidak apa-apa. Hanya memikirkan martabak,” Allary berkelit. Itu bukan keahliannya. Vivi menatapnya.
Turguy bergabung dengan mereka, “kenapa ketua? Hei jangan bilang kau tidak mendengarkan penjelasanku barusan. Astaga, kau menyia-nyiakan penjelasanku, ketua.”
Menyia-nyiakan? Pertanyaan itu kembali mengguncang batin Allary.
“Kau kenapa sebenarnya, ketua?”
Allary menghela nafas sejenak, “tidak apa-apa, Turguy. Hanya saja, kita sudah dekat dengan tujuan kita, Puncak Dunia, tapi aku tidak merasakan apa-apa.”
Turguy menyernit. Kenapa dengan ketuanya.
“Kau pasti mengigau, ketua. Kau berhalusinasi. Ini aku ada mendapat oksigen cadangan dari temanku sesama guide,” Turguy menyodorkan tabung.
“Aku tidak apa-apa, Turguy. Aku bisa bernafas dengan normal.Tidak Turguy. Aku tidak masalah. Aku hanya bertanya-tanya, apakah aku pantas hidup di dunia ini.”
“Kau keracunan makanan,” Turguy menduga sembarangan. “Oh astaga...” kalimat Turguy terpotong, dia melihatnya. Ada kristal jatuh dari mata Allary. Ketuanya itu menangis. Beban berat yang tadi hanya selintas lalu, kini benar-benar berdiri nyata di hadapannya. Allary tidak bisa lagi berkelit.
“Aku tidak apa-apa, Turguy. Aku tidak apa-apa.” Allary menyapu air matanya. Berusaha tetap tenang. Dia tidak boleh terlihat seperti apa yang terjadi beberapa bulan lalu. Tidak boleh.
Turguy, yang awalnya mengira ketuanya hanya meracau, mengigau, berhalusinasi, kini terdiam. Dia bisa membaca keadaan. Turguy sudah belasan tahun menjadi guide, dia tahu setiap orang pasti punya motivasi yang kuat untuk mendaki. Tapi khusus untuk ketuanya ini, motivasi Allary sepertinya juga serupa beban yang sangat berat, yang harus dipanggulnya.
Jika “beban” itu bisa diutarakan, maka akan menjadi sebuah cerita panjang nan berliku. Turguy sama sekali tidak bisa menebak akan ke arah mana ini akan menuju. Dia hanya bisa menepuk-nepuk punggung Allary, menenangkannya.
Vivi bingung hendak melakukan apa.
“Aku tahu, aku hanya seorang guide, penunjuk jalan untuk mendaki. Aku bukan ahli jiwa atau apapun itu. Tapi jika kau ingin bercerita untuk menenangkan dirimu, aku siap mendengarkan.” Turguy menawarkan diri sambil tersenyum.
Allary menatap guidenya itu lamat-lamat. Beban berat itu terasa bercokol di dadanya. Tidak tergoyahkan lagi. Namun haruskah dia menceritakan semua itu?
Allary menghela nafas. Bayangan-bayangan itu mulai berkelebat lagi. Bayangan Mama, bayangan Ayah, bayangan dia, bayangan-bayangan dari masa lalu kelam sang penjual martabak. Ah itu bukan masa lalu. Semua baru memburuk dalam hitungan bulan.
Allary menarik nafas dalam-dalam. Baiklah. Dia memilih bercerita.
88
Namaku Allary Azra
Latar belakang, sebuah sekolah. Kira-kira hampir 22 tahun yang lalu.
Panggung berdiri megah. Bangku-bangku ditata. Pita-pita bergantung. Mikrofon berdiri gagah di tiang penyangganya. Orang-orang berkumpul. Wajah mereka semringah.
Hari apa ini?
Ini adalah hari kenaikan kelas.
Sambutan kepala sekolah memulai acara hari itu, seorang bapak-bapak berkepala botak bicara, lima belas menit cukup. Disambung sambutan komite sekolah, kemudian ketua panitia dan macam-macam lagi, tak kurang enam orang memberikan sambutan hari itu. Penonton mulai bosan mendengar kata-kata. Mereka menantikan sesuatu yang lain.
Selepas sambutan, tampillah pentas seni. Para penari berbaju warna-warni muncul di atas panggung. Penonton yang sebagian besar adalah orang tua siswa tersenyum, melihat penampilan itu. Mereka yang anaknya tampil di sana, menunjuk ke arah panggung. Sebagian lainnya mengambil kamera video.
Tapi acara pentas seni itu tetap membosankan bagi para siswa yang lebih kecil, mereka tidak menanti acara joget-joget macam begitu. Mereka menantikan sesuatu yang lain.
Termasuk seorang anak kecil bercelana merah dengan atasan putih. Rambutnya hari ini disisir klimis. Dia memandangi dengan tidak sabar ke arah panggung.
Kapan mereka akan mengumumkan hal itu? Hatinya bertanya-tanya.
Lepas tiga tarian, berikutnya ada lagu-lagu, orang-orang menyanyi. Siswa-siswa kecil itu juga tidak berminat melihat itu. Sebagian bercanda dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Tidak peduli dengan panggung.
Tapi siswa berambut klimis itu tetap menatap ke arah panggung. Matanya menyirat tidak sabar. Astaga kapan mereka mengumumkan hal itu?
Akhirnya pukul 10, diumumkanlah hal itu. Bukan acara inti dari acara kenaikan kelas dan perpisahan. Tapi acara inilah yang paling dinanti. Apalagi kalau bukan pembacaan ranking 1 sampai 3 dan pemberian hadiah. Siswa berambut klimis itu mendekat ke panggung, seolah takut tertinggal informasi.
Yang pertama dibacakan, adalah kelas 1. Dia tidak peduli
Yang kedua dibacakan, kelas 2. Dia juga tidak peduli. Emblem di lengannya bertulis, kelas 3. Sehabis ini, sehabis ini kelasnya. Semoga namaku ada, semoga namaku ada. Demikian doa siswa berambut klimis itu.
“Dan juara pertama kelas 3 dengan total nilai 1049, adalah...” sorak pembawa acara.
Siswa berambut klimis itu bersorak kegirangan, settelah selesai pembawa acara membacakan pengumuman ranking di kelas 3. Akhirnya. Sesuai prediksinya. Dia belajar keras sepanjang malam. Dia dan dua juara lainnya, dipanggil ke depan panggung. Mereka akan diberi hadiah.
“Orang tua siswa yang juara, dipersilakan naik ke panggung juga. Silahkan.”
Seorang wanita berusia kira-kira 35 tahun mendekati siswa berambut klimis. Dia menepuk-nepuk bahu anak itu, tersenyum penuh penghargaan. Siswa berambut klimis itu juga berseri-seri.
Mereka semua difoto.
“Kamu hebat, anak mama selalu yang paling hebat,” ujar wanita itu pada si siswa berambut klimis. Nampak sekali bahwa mereka adalah ibu dan anak.
“Aku ingin membuat Mama bangga,” katanya dengan wajah berseri.
“Mama sudah bangga. Ayo kita beli es krim.”
“Horee! Boleh aku membeli dua?”
“Kamu boleh membeli berapa saja kamu mau,” ujar wanita itu penuh pengertian.
Itulah awal ceritanya. Kau harus tahu, bahwa siswa berambut klimis itu adalah aku, dan wanita itu adalah Mama. Mama-ku, wanita terhebat di dunia.
Perkenalkan, namaku Allary Azra.
89
Nasehat Emas
Mama mengajakku singgah di toko es krim sebelum pulang ke rumah. Aku menyambut ajakan Mama dengan sukacita. Ini adalah hariku, aku pantas merayakannya.
“Pilihlah es krim kesukaanmu, Allary.”
“Aku bebas memilih, Mama?” mataku mengerjap-ngerjap, gembira.
Mama mengangguk, “pilihlah sesukamu, anak kesayangan Mama.”
Andai bukan di tempat umum, aku ingin meloncat bersorak ke udara. Aku membuka peti es. Menatap macam-macam es krim yang dibungkus berbagai macam warna. Nampak semuanya sedap. Yang mana yang harus kuambil?
“Boleh aku beli yang itu, Mama?” aku menunjuk satu es krim berbungkus besar, yang agak mahal kelihatannya.
“Oh tentu,” Mama mengambilkannya, dua.
“Dua, Mama?”
“Hari ini adalah hari kemenangan Allary. Kenapa tidak?”
Sekali lagi aku ingin bersorak. Mama benar-benar baik. Eh sebenarnya Mama selalu baik padaku. Mama sangat menyayangiku. Apalagi aku adalah anak tunggal di keluarga.
“Makasih banyak, Mama.”
“Sama-sama. Kamu juga sudah belajar dengan rajin, kamu layak dapat hadiah.”
“Semester depan Allary akan buktikan Allary bisa lebih baik lagi.”
Mama mengelus kepalaku. Bergegas ke kasir, membayar. Bila lama-lama, eskrim itu bisa meleleh. Kami pulang naik bus dalam kota. Jarak sekolahku agak jauh dari rumah. Setiap hari aku diantar oleh Mama naik bis. Kata Mama, bila nanti aku sudah cukup dewasa, aku baru boleh naik bis sendiri.
Turun di salah satu halte bis, aku yang sudah tidak sabar lagi untuk sampai ke rumah, terhenti langkah di depan Mama. Eh kenapa Mama tiba-tiba berhenti.
Seorang pengemis duduk bersandar di tiang halte. Aku masih ingat sekali bagaimana ekspresi pengemis itu. Kehausan, itulah yang langsung bisa kutangkap dari ekspresinya.
“Kasihani saya, nyonya. Saya kehausan. Sudah dua hari belum makan dan minum apa-apa.” katanya menadahkan tangan ke hadapan Mama.
Setelah itu, adalah kejadian yang tidak bisa aku lupakan juga. Mama merogoh ke kantong kresek yang di dalamnya ada es krim yang aku beli. Hei. Aku ingin sekali protes ketika mama mengambil satu bungkus eskrim yang tadi aku beli.
“Ini pak, maaf saya kebetulan baru beli es krim. Jadi cuma es krim yang saya punya.” Mama menyerahkan sekantong besar es krim itu pada sang pengemis.
Pengemis itu mengucapkan ribuan terima kasih. Mama menarik tanganku. “Ayo kita pulang Allary.”
Aku terpaksa ikut tarikan Mama. Setengah hatiku protes. Hei itu adalah es krim milikku. Mama tadi membelikanku untuk aku, bukan untuk pengemis itu. Hatiku terus protes, sampai kami tiba di ambang pintu. Mama membuka pintu rumah. Aku terdiam.
Pokoknya aku tidak mau masuk. Aku protes.
“Ayo masuk Allary. Nanti es krim-mu mencair.”
Aku menggeleng.
“Hei kenapa anak Mama tiba-tiba jadi murung begitu.”
Aku tetap menggeleng.
“Hei, Allary,” Mama berseru, menepuk bahuku.
“Kenapa Mama memberikan es krim milikku ke pengemis tadi?” akhirnya aku bersuara.
Mama tersenyum simpul. Memegang bahuku. “Kamu marah gara-gara es krim tadi Mama berikan ke pengemis ya, Allary?”
Mau tidak mau aku mengangguk.
“Itu kan hanya es krim, sayang.”
“Tapi tadi Mama membelikannya untukku. Untuk merayakan kemenanganku. Bukan untuk pengemis itu.”
“Tapi kamu lihat bukan, kasihan pengemis tadi kehausan.”
“Harusnya Mama kasih dia uang saja.”
“Sudahlah, Allary. Nanti kita beli lagi ya.”
“Aku mau beli sekarang,” aku mulai merajuk, menangis.
“Iya, nanti Mama belikan. Sekarang kamu makan apa yang ada dulu ya,” Mama tersenyum lagi.
“Memangnya kenapa Mama memberikan es krim pada pengemis itu. Bukankah Mama tidak mengenalnya. Tidak berhutang padanya. Toh kalau Mama tidak memberinya, Mama tidak masalah juga kan?” aku masih merajuk.
Mama membelai rambutku, merapikannya, kemudian menyapu air mataku. “Dengar ya Allary. Mungkin kamu tidak paham sekarang, tapi setidaknya kamu tahu akan hal ini. Maukah kamu mendengarkan kata-kata Mama?”
Aku mengangguk.
“Mama hanya ingin berbuat baik. Berbuat baik itu adalah hal yang menakjubkan. Ketika kita berbuat baik, sejatinya kita sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Tuhan akan menyayangi orang yang sering berkomunikasi dengan-Nya. Tuhan senang dengan orang yang senang berbuat baik. Berbuat baik, dan Tuhan yang akan membalasnya. Percayalah, jika kamu terus berbuat baik, keajaiban akan datang. Segala permintaanmu akan terwujud dengan cara yang tidak kamu sangka-sangka. Jadi maukah Allary berbuat baik juga? Bukankah Allary juga ingin keinginan Allary diijabah dengan Tuhan?”
Aku mau tidak mau mengangguk.
Itulah nasehat emas dari Mama. Mantra hidupku selama bertahun-tahun. Berbuat baik.
90
Ulang Tahun Paling Meriah
Waktu melesat cepat sejak hari itu.
Kejadian hari itu dengan cepat pula terlupakan. Mama, keesokan harinya tidak lagi mengungkit soal aku yang merajuk meminta es krim dan aku juga tidak lagi minta. Bagiku yang masih kecil saat itu, hanya memahami satu hal, aku tidak mau terlalu merepotkan Mama.
Karena Mama adalah orang yang paling kusayangi di dunia ini, dan Mama juga yang paling menyayangiku. Aku adalah anak yang spesial, aku adalah anak kebanggaan Mama.
Esok aku ulang tahun, ulang tahun yang kesembilan. Mama tentu saja tidak melupakan hari ulang tahunku, dan Mama juga tidak berniat menyembunyikan rencananya dariku. (Tidak seperti teman-teman sekelasku yang saat ulang tahun malah sibuk melempar tepung dan telur).
Mama selalu bilang, “sesuatu yang spesial akan selalu spesial. Tidak perlu disembunyikan.” Kemudian Mama tersenyum. Aku tidak mengerti arti senyumnya itu, tapi aku tahu, tahun ini pun, Mama akan kembali merayakan hari ulang tahunku. Dengan meriah.
“Ayo Allary, kita segera berangkat,” Mama melambai, mobil sudah dipanaskan. Mama mengajakku pergi belanja ke pusat perbelanjaan, persiapan untuk besok.
“Boleh aku memilih kado untukku hari ini?” Aku bertanya dengan mata berbinar. Mama mengangguk, mengelus kepalaku. “Tentu saja, kamu boleh membeli kado. Tapi ingat ya, pilih kado yang berguna untuk sekolah atau untuk Allary belajar.”
“Baik Mama.”
“Hai Allary, kita siap berangkat,” seseorang menyapaku ketika aku membuka pintu mobil. Seorang wanita muda berumur 23 tahun. Dia adalah Tante Sri. Adik ibu paling bungsu.
“Lho Tante Sri ikut ke Mall?” Aku bertanya.
“Iya, Mama kamu meminta bantuan tante untuk belanja. Katanya banyak yang akan dibeli. Besokkan Allary ulang tahun.”
“Jadi ulang tahunku besok akan meriah, Mama?” aku bertanya lagi, semakin berbinar-binar. Bukannya tahun-tahun kemarin ulang tahunku tidak meriah, tapi biasanya yang berbelanja cukup aku dan Mama. Itu juga biasanya cuma sekedar makan-makan kecil dan kado seadanya.
“Iya Allary,” Mama menyahut sambil memasang safety belt, “tahun ini ulang tahun Allary akan lebih meriah dari biasanya. Allary suka bukan?”
Aku bersorak kencang di dalam mobil. Sampai-sampai Tante Sri menegurku. “Berisik tahu.”
“Tidak apa-apa Sri, Mama ingin ulang tahun kali ini benar-benar berkesan untuk anak kesayangan Mama.”
Aku benar-benar tidak sabar lagi ingin merayakan ulang tahunku tahun ini.
Mama menepati kata-katanya. Mama membelikan banyak peralatan pesta. Balon-balon, bahkan Mama memesan kue yang lezat untuk besok. Dan coba tebak, apa kado yang diberikan Mama untukku.
Tidak, tidak, sebaiknya jangan ditebak sekarang. Nanti saja.
Kami tiba di rumah. Mama segera menyiapkan semuanya. Dibantu Tante Sri. Mulai menggantung balon-balon. Menggantungkan pita-pita. Saat aku ingin ikut membantu, Tante Sri menatap sok galak.
“Kamu tidak perlu ikut-ikutan Allary. Yang ulang tahun, cukup duduk melihat saja.”
Mama ikut tertawa melihat wajah cemberutku. “Kamu duduk saja ya, Allary. Biar Mama dan Sri yang siapkan. Besok adalah hari yang istimewa bagimu.”
Asyik sekali, asyik sekali melihat semua persiapan ulang tahunku yang ke-9. Pokoknya tahun depan, aku ingin meminta agar ulang tahunku minimal semeriah ini lagi.
Atau tidak sama sekali.
91
Nyala Api
Kediaman Keluarga Herman, tepat pukul 3 sore.
Dekorasi pesta ulang tahun telah selesai sepenuhnya. Tepat dengan itu, kue ulang tahunnya, datang. Besar sekali kotaknya. Mama menerimanya dengan hati-hati, meletakkannya di atas meja. Membukanya.
Terciumlah bau coklat dan bau krim ke seisi ruangan. Aroma yang sangat enak. Perlahan-lahan Mama mengangkat kue itu ke atas meja. Menatanya agar tampak rapi. Mama juga menjilat sedikit potongan krim yang jatuh di dalam kotak. “Ini enak sekali Allary,” Mama tersenyum ke arahku yang memandangnya dengan rasa penasaran.
“Mama, boleh aku mencicipi?”
“Nanti ya, tunggu acara. Nanti kuenya tidak sempurna kalau dipotong lebih dulu.”
Aku ber-yahhh kecewa, tapi ya sudahlah. Toh nanti aku akan mencicipinya. Aku coba bersabar. Walau bau kue itu sungguh-sungguh menggugah selera.
“Sri, tolong ambilkan lilin ulang tahun di lantai atas,” Mama berseru pada Tante Sri yang dari tadi duduk di sofa. Bengong. Atau tepatnya pura-pura bengong. Aku tahu Tante Sri dari tadi juga ngiler mencium bau kue ulang tahunku ini.
“Baik.” Tante Sri lekas lari ke lantai atas. Sesuai perintah Mama.
Setelah itu pelan-pelan Mama menata lilinnya ke atas kue ulang tahunku. Angka sembilan dengan sembilan lilin kecil mengelilinginya. Menakjubkan.
“Bagus tidak, Allary?” Mama bertanya.
“Tentu saja Ma.”
“Apa harapan kamu untuk tahun ini, Allary?”
“Aku ingin ulang tahunku tahun depan semeriah ini lagi, Ma.” Tanpa ragu aku menjawab, dengan senyum mengembang. Mama mengacak-acak rambutku sambil tertawa.
“Bagus sekali harapanmu, Allary. Nikmatilah dulu hari ini. Karena belum tentu tahun depan kamu bisa merayakan ulang tahun macam tahun ini.”
“Eh kenapa Ma?” tanyaku cepat-cepat, kali ini tanpa keceriaan.
“Karena ulang tahunmu tahun depan bisa lebih meriah lagi dari ini.”
“HOREEE!” Mama bisa saja memainkan rasa penasaranku, kata hatiku sambil bersorak.
Pukul 15.30 semua persiapan sudah dimatangkan. Tinggal menunggu tamu undangan, teman-teman sekolahku, datang setengah jam lagi.
“Allary kamu duduk di sini ya, kalau ada teman kamu yang datang, suruh aja masuk.”
“Eh Mama mau kemana?”
“Mama tidak kemana-mana. Cuma mau ke toilet sebentar.” Mama mengacak rambutku sekali lagi. Mama memang senang melakukan itu, itulah tanda sayang beliau padaku.
“Ssst, Allary.”
Aku menoleh, itu Tante Sri yang memanggil. Mama sudah beranjak ke ruang belakang.
“Kenapa?” aku bertanya.
“Kamu mau mencicipi kuenya? Astaga baunya lezat sekali.”
Aku menatap Tante Sri dengan wajah separuh kesal. Tuh kan, Tante juga ngiler dengan kueku yang aromanya lezat itu.
“Nanti saja,” sahutku, “kata Mama harus nunggu acara dimulai dulu. Ada nyanyian potong kue. Kalau kuenya dipotong sebelum itu, tidak sempurna jadinya.”
Tante Sri mendekat, “yeee, kita bisa ambil bagian bawahnya dan tidak ketahuan lho, Allary. Kamu mau?” tawar Tante Sri lagi.
“Tidak mau. Nanti kalau dimarahi Mama, aku tidak tanggung jawab,”
“Yeee, Allary tidak bisa diajak bersekongkol rupanya,” Tante memasang wajah mendongkol sekarang.
“Nanti aku sisakan bagian untuk Tante kalau sudah dipotong,” kataku.
Tapi ternyata tidak. Tidak satu suap pun kue itu sempat kumakan. Tidak satupun lilin yang sempat kutiup. Tidak satupun hadiah sempat kubuka. Urusan ulang tahunku hari itu, benar-benar berakhir kacau.
BUUUUUUUUMMMMMM!!!
“ASTAGA, ALLARY AWAS!”
Tiba-tiba, dengan sangat mengejutkan, terdengar bunyi suara ledakan, dari arah dapur. Api dengan cepat menjalar sampai ke ruang tamu, berceceran api. Tante Sri dengan sigap menarikku berlindung ke balik sofa yang membelakangi jendela.
“Astagfirullah. Api. Astaga, Allary cepat kamu pergi dari sini,” Tante Sri bergegas membuka gerendel jendela. Membukanya lebar-lebar. “Ayo cepat naik, kita harus menyelamatkan diri Allary.”
“Tapi ulang tahunku...” aku memandang ke seisi ruangan yang tadinya berdekorasi indah sekarang perlahan dilalap api.
“Tidak ada waktu untuk berpikir. Cepat lompat atau kita akan terpanggang. Tante akan menyusul di belakangmu.” Tante mencoba tersenyum di sela kepanikannya, menenangkan aku.
Aku sempurna melompat. Tidak terlalu tinggi. Jatuh di halaman samping rumah yang ditumbuhi rumput hijau.
Tante Sri juga meloncat dari jendela. Kemudian terdengar bunyi ledakan yang lebih dahsyat lagi.
“ALLARY, BERGULING!!” Seru Tante Sri, dan sebelum nyala api itu sempat menjilat tubuh kami berdua, Tante sudah memelukku dan menggulingkan tubuhku menghindar. Tante Sri adalah anggota kelompok pecinta alam. Tubuhnya memang kuat.
Dua kali ledakan itu tentu saja menarik perhatian tetangga. Apalagi melihat asap hitamnya membumbung tinggi ke angkasa.
“Kamu baik-baik saja, Allary?” Tante Sri, melepas kerudungnya yang sempat dijilat api, lalu menatapku lamat-lamat.
“Ma... Mama...” aku terbata-bata menatap ke arah rumahku yang sudah sempurna terbakar hebat. Mulut Tante Sri menganga lebar, baru menyadari satu hal itu.
Sirine pemadam kebakaran terdengar sahut-sahutan.
Hari itu, aku tidak jadi merayakan ulang tahun kesembilan. Dan benar, ulang tahun kesepuluhku nanti memang akan berbeda dengan ulang tahunku kali ini. Sebab ulang tahun kesepuluh dan yang selanjutnya, seumur hidupku, akan kurayakan tanpa Mama.
Umurku sembilan tahun saat aku kehilangan orang paling menyayangiku di dunia.
92
Mama Belum Pergi...
“Allary, kamu mau KEMANA!” Tante Sri dengan cepat menangkap tanganku, mencengkramnya sangat erat. Membuatku kesakitan.
“Lepaskan Allary, Tante!” aku menggeliat, mencoba melepas pegangan Tante Sri, tapi pegangan Tante jauh lebih kuat.
“KAMU MAU KEMANA!”
Aku tidak menjawab. Mata Tante Sri menatapku nanar. Aku masih bersikeras melepaskan pegangan. Aku ingin menghambur ke dalam kobaran api itu. Aku tahu Mama masih ada di dalam rumah ketika ledakan terjadi. Bila aku tidak bisa menyelamatkan Mama, aku rela terbakar di sana bersama Mama.
Tapi tentu saja, Tante Sri tidak membiarkan aku begitu saja. “Berbahaya Allary. Jangan ke sana.”
“Tapi Ma...ma,” aku masih mencoba melepaskan pegangan. Tante memegangiku makin kuat.
“Mama kamu selamat Allary. Percayalah. Biarkan para pemadam kebakaran, para petugas melakukan tugasnya. Kalau kamu ke sana, kamu hanya akan menghalangi mereka, membahayakan dirimu sendiri.”
“Aku mau menyelamatkan Mama.” Aku masih bersikeras. Berusaha menyelamatkan diri. Tante Sri semakin kuat memegangiku. Tapi tenaganya akhirnya melemah.
Ada satu momen dimana cengkramannya melemah. Aku berhasil melepaskan diri. Lekas berlari ke arah rumahku yang masih terbakar hebat, asap hitam membumbung tinggi ke atas.
“ALLARY, JANGAN KE SANA!” Tante Sri berteriak. Tapi aku tidak peduli. Aku terus menerjang ke depan. Kurasa di belakangku, Tante Sri sedang berusaha mengejar, jadi aku berusaha berlari lebih cepat.
BUUUUUKKKK!
Sesuatu mengenai belakang tubuhku, rasanya sakit, tapi dengan cepat aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Tante Sri membuatku pingsan.
Ketika aku membuka mata lagi, langit sudah memerah. Langit terbuka tepat di atasku. Aku dimana. Oh ayolah, tolong katakan yang tadi itu cuma mimpi.
“Allary, kamu sudah bangun? Ohh syukurlah ya Tuhan,” seseorang memelukku. Tentu saja aku mengenalnya. Dia ayahku. Allary Herman. “Ayah takut sekali kamu kenapa-kenapa Allary. Syukurlah, ayah tidak kehilangan semuanya. Masih ada yang bisa diselamatkan.”
Maksud ayah? Aku berusaha duduk. Hei ini halaman samping rumah tetanggaku. Tak jauh dariku, Tante Sri duduk, menangis sesenggukan.
“Kamu tenang dulu ya, Allary.” Ayah menatap mataku lamat-lamat. Isyarat itu menenangkan diriku, walau ayah lebih seperti mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Mama, dimana Mama?” aku akhirnya memberanikan diri menanyakan hal itu.
“Allary, kamu yakin ingin tahu?” Ayah menatapku lagi, lamat-lamat.
Aku mengangguk. Ayah malah menggeleng.
“Mama sudah tiada, Allary. Maaf, Ayah sungguh minta maaf. Ayah tidak ada di sana. Ayah tidak bisa menyelamatkan Mama.”
Aku tersentak. Sangat terkejut. “Maksud ayah...” aku mencoba mengonfimasi, berharap itu hanya sedikit lelucon dari ayah. Tapi itu bukan lelucon. Ayah mengangguk atas kalimatku.
Anggukan yang membuatku histeris bukan main.
“MAMA BELUM PERGI!!!” Teriakanku membelah langit. Tapi tetap saja, Mama tidak akan kembali.
“Allary tenanglah.” Ayah berusaha memegang pundakku, tapi aku menepisnya. Maaf ayah, tapi hari ini, sepertinya Allary ingin sendiri.
Aku melangkah menuju puing-puing. Sebagian masih ada bara apinya. Aku pernah mendapat pelajaran soal ini di sekolah. Amat sangat berbahaya melangkah menuju lokasi kebakaran, bara-bara panas bisa saja masih tersisa. Aku melangkah hati-hati. Ada satu benda yang amat menarik perhatianku.
Potongan piala yang kudapat beberapa hari yang lalu. Setengah bagiannya hangus. Sedangkan tubuh Mama? Mungkin sudah hangus keseluruhan. Aku hanya bisa menangis memeluk potongan piala itu.
Tante Sri mendekat. Masih tersisa isak tangisnya terdengar. Dia tidak bicara melainkan langsung memelukku dari belakang. Aku menangis dalam pelukannya. Demikian juga Tante Sri.
Hari-hari berikutnya aku tahu, Tante Sri telah meneguhkan dirinya untuk menjadi pelindungku, sepenuhnya menggantikan peran Mama.
93
Pemulihan
Sore itu juga, ayahku, Allary Herman mencari tempat yang bisa menampung kami sekurang-kurangnya 3 hari. Ayah mencari kontrakan murah di pinggir kota. Lewat beberapa kontak dan kenalannya, sebelum matahari terbenam, kontrakan untuk kami bermalam sudah ditemukan. Tante Sri sebenarnya menawarkan kami untuk tinggal di rumah Nenek saja (ibunya Tante Sri, yang artinya juga ibu dari Mama, nenekku) tapi ayah menolak menginap di sana.
“Untuk sementara biar kami menyewa kontrakan saja, Sri. Terima kasih atas tawarannya. Lagipula ini hanya untuk beberapa malam saja. Mulai esok, aku akan mencoba memikirkan bagaimana membangun rumah baru yang nyaman untuk Allary.”
Satu, ayah adalah orang kaya. Beliau dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta. Dua, Tante Sri tahu betul bagaimana tabiat ayah. Usia pernikahan ayah dan Mama sudah belasan tahun. Cukup bagi Tante untuk mengerti bagaimana ayah sangat keras kepala dan tidak mau merepotkan siapapun.
Sedangkan aku, masih memikirkan tentang Mama. Ayah memang bilang, tunggu sampai pemeriksaan petugas selesai baru mengambil kesimpulan. Tapi kupikir itu sia-sia. Mama sudah tiada. Astaga sakit sekali rasanya. Mama adalah pelindung, orang yang paling menyayanginya.
“Aku akan merindukan Mama,” kataku sambil tidur memeluk piala yang setengah terbakar malam itu.
***
“Ini rumah baru kita, Allary.” Ayah membukakan pintunya, memperlihatkan seisi ruangan. Bukan rumah yang besar. Tidak sebesar rumahku yang sebelumnya, rumah yang pernah kutinggali bersama Mama.
“Kamu tidak senang, Allary?” Ayah menatap wajahku yang sedikitpun tidak tersenyum.
“Allary kangen Mama,” kataku pelan. Senyum ayah hilang, bibirnya menekuk ke bawah. Ayah mengelus bahuku pelan, “ayah juga Allary. Ayah juga. Mama kamu adalah pahlawan. Wanita terhebat yang pernah ayah temui.”
Aku menangis terisak.
“Ayo Allary. Sebaiknya kita mengecek kamarmu. Kamu pasti akan senang.” Ayah mencoba melawan kesedihan, menarik tanganku, masuk ke dalam rumah.
Aku masih diam, tidak berbicara sepatah katapun. Seandainya Mama ada di sini.
“Nah ini kamarmu, Allary.” Ayah sekali lagi membukakan pintu ruangan. Kamar bercat warna merah. Warna kesukaanku. Tapi aku tetap merasa kosong.
Mama.
“Ayo, lihatlah kamarmu. Ayah tinggal sebentar ya. Ayah harus membereskan peralatan di mobil pikap itu.”
Aku menurut, masuk ke kamar. Menangis sesenggukan lagi.
***
Sore hari menjelang. Aku tak berniat keluar dari kamar. Hari-hari selepas kepergian Mama, adalah hari-hari yang berat. Apalagi Mama meninggal secara mengenaskan. Jasadnya tidak ditemukan lagi. Hangus. Bercampur dengan abu bangunan. Aku sempat mencuri dengar percakapan ayah dengan petugas pemadam dan polisi. Aku menangis mendengar kabar itu.
KREEEKKK. Bunyi pintu terbuka. Aku lupa menguncinya tadi. Seseorang masuk. Mengucapkan salam.
“Selamat sore, Allary.”
Aku kenal dia. Tante Sri.
“Ada apa?” sahutku singkat.
“Kamu apa kabar?”
“Buruk,” sahutku lagi.
“Well, tidak apa-apa. Tante juga sedih. Mama kamu, adalah kakak yang hebat, artinya Mama yang super untuk kamu. Tante sangat sedih. Tapi kita tidak bisa membiarkan kesedihan berlarut-larut bukan?”
“Aku kangen Mama.”
“Tante juga. Tapi Tante berusaha menguatkan diri. Hidup ini harus terus berlanjut.”
“Mana bisa seperti itu!” aku menyergah, emosiku lepas, “Tante tidak mengerti perasaanku, makanya Tante bisa bilang semudah itu!!”
Tante buru-buru menangkapi tanganku yang hendak mengibas-ngibas ke udara, “tenanglah Allary. Kamu benar, Tante tidak mengerti. Iya, Tante belum pernah merasakan kehilangan seorang Ibu. Kamu tahu sendiri, Nenek kita masih hidup. Ini memang susah, susah dimengerti, susah diterima. Tapi hidup akan terus berlanjut. Hidup akan dengan ganas menggilas kita.”
Aku terpana. Kata-kata Tante Sri menyihir pikiranku. Sebagai seorang sarjana, wawasan Tante memang lebih luas dari aku.
“Kamu tahu, Tante pernah membaca di suatu buku, bahwa setiap fase hidup kita akan dihadang oleh rintangan-rintangan yang berat sekali. Kamu tahu bagaimana cara mengatasi rintangan itu?” Tante Sri bertanya. Setengah retoris. Aku menggeleng. Tak tahu aku apa jawabannya.
“Mama kamu tahu sekali apa kuncinya, cara mengatasi rintangan itu. Adalah dengan terus berbuat baik. Berbuat baik dan berbuat baik. Karena dengan berbuat baik, Tuhan akan berpihak pada kita. Tuhan akan membantu kita mengatasi rintangan. Memangnya apa yang tidak bisa kita hadapi bila sang Pencipta membantu kita?”
Aku terpana. Teringat kembali nasihat emas Mama itu. Soal berbuat baik.
“Nah sekarang, apakah Allary mau makan? Tante dengar dari ayahmu, kamu belum makan sejak tadi malam?”
Aku mengangguk. Bukan untuk mau makan, tapi untuk pembenaran bahwa aku memang tidak makan sejak tadi malam.
“Aku tidak lapar.”
“Bohong,” kata Tante sambil tersenyum, “kamu pasti lapar. Tante buatkan makanan yang enak ya.”
Aku tak bisa menolak. Tante Sri sudah melangkah ke dapur. Setengah jam kemudian beliau datang lagi dengan nampan. Semangkuk sup hangat mengepul dan sepiring nasi telah siap. Pelan-pelan Tante meletakkannya di dekat tempat tidur.
“Allary makan ya,” kata Tante sambil menuangkan kuah sup ke atas nasi. “Ini enak lho.”
“Aku tidak selera makan,” sahutku lagi.
“Mau Tante suapin?”
Tante Sri langsung menyodorkan sendok ke arah mulutku. Dia tersenyum menatapku. “Ayo makan, Allary, aaaa buka mulut.”
Mau tak mau, aku membuka mulut.
Sup hangat bikinan Tante Sri lumayan menggugah selera. Tambahkan senyumannya setiap menyuapkan nasi ke mulutku. Aku merasakan kehangatan keluarga.
Entah bagaimana aku merasa, Mama hidup lagi dalam diri Tante Sri.
94
Tumbuh dalam Didikan Tante Sri
Sejak hari itu, Tante Sri tinggal di rumahku. Ayah yang meminta. Ayah tidak punya banyak waktu untuk mengurusku di rumah. Pekerjaan ayah sebagai dosen amat sibuk. Terkadang beliau turun dari rumah sebelum aku bangun dan datang saat aku sudah tidur. Hari-hariku dihabiskan bersama Tante Sri.
Tante Sri ternyata amat terampil dalam memasak. Setiap hari, nyaris menu makananku terus berubah. Itu membuatku tidak bosan. Agak mengherankan bagiku saat itu, karena dulu Tante Sri yang kukenal adalah gadis tomboy yang usil. Mana bisa Tante Sri memasak.
“Kamu salah kalau begitu, Allary. Justru memasak adalah hobiku sejak kecil.”
Aku tidak ambil pusing lagi, yang penting makanan ini terasa enak. Walau tidak seenak masakan Mama.
Tante mengajariku untuk menyisihkan sedikit uang jajan untuk diinfakkan ke masjid atau panti asuhan setiap bulannya.
“Walau cuma sedikit, itu amat berharga bagi mereka, Allary. Mereka akan senang menerima bantuanmu. Dan membuat orang senang itu satu perbuatan baik, bukan?”
Aku mengangguk. Menyisihkan dua ribu rupiah setiap hari. Jika ditotal memang tidak seberapa, tapi Tante mensiasatinya dengan baik. Uangku itu dibiarkan dalam bentuk pecahan kecil, dimasukkan dalam amplop lalu diserahkan di akhir bulan. Siapapun yang menerimanya, melihat amplop tebal itu akan tersenyum gembira sambil berucap terima kasih.
“Nah satu lagi orang yang kamu bikin senang, Allary. Itu artinya makin banyak jatah pertolongan Tuhan yang akan datang untukmu.” Tante mengulang nasehat itu padaku di perjalanan pulang dari masjid.
“Apa tidak salah kita berharap macam begitu pada Tuhan, Tante?” aku bertanya balik. Umurku sudah cukup untuk mengerti hal begituan.
“Hei apa salahnya berharap pada Tuhan? Bukankah Tuhan menyuruh kita berharap hanya kepada-Nya. Kalau tidak berharap pada Tuhan, kemana lagi kita harus berharap?”
Aku tersenyum. Tante Sri juga bisa religius jika diperlukan.
Tante Sri juga membantu aku belajar. Ayahku memang dosen, tapi beliau tidak pernah punya waktu untuk mengajariku macam-macam. Hanya sambil lewat. Paling cuma membelikanku buku-buku. Tante Sri-lah yang membantuku belajar.
“Biar begini-begini, dulu saat masih sekolah, Tante sering mendapat ranking lho.”
Tante Sri juga merancang ulang tahunku yang kesepuluh. Momen ini yang membuatku menangis untuk pertama kali bukan gara-gara Mama. Bayangkan, Tante Sri membuatkan kue ulang tahun kesepuluhku dengan tangannya sendiri, kemudian menata lilinnya. Susah payah Tante membuatkan semua itu padaku. Lalu Tante bilang padaku dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan Tante, belum bisa membuatkan pesta yang spesial untukmu, Allary.”
Aku terisak-isak memeluk Tanteku itu. Betapa aku berterima kasih pada Tanteku itu. Aku berhutang budi pada Tanteku itu. Beliaulah yang menjagaku.
Sampai aku melesat lulus SMP.
95
Tante Menjagaku Sepenuhnya
Acara kenaikan kelas, kelas delapan SMP. Aku terus belajar. Berkat Tante Sri, berkat semua bantuannya itu, aku berhasil menjaga prestasi belajarku. Sejujurnya, kalau aku mau mengakui, prestasiku meningkat pesat semenjak belajar di bawah bimbingan Tante Sri. Tante ibarat guru privat bagiku.
Saat SD, aku hanya sesekali mendapat piala juara 1. Di SMP, aku selalu mengunci ranking. Tak ada satupun temanku yang bisa menyamai kecerdasanku.
Setiap ada acara kenaikan kelas, Tante Sri pulalah yang naik ke atas panggung, mengambilkan hadiah untukku. Tante Sri benar-benar menggantikan Mama, sesekali aku teringat akan Mama, tapi hidup bertahun-tahun tanpa Mama, aku mau tak mau harus membiasakan diri. Mama seolah hidup kembali dalam wujud Tante Sri.
Hari ini agak beda. Aku naik ke kelas sembilan. Tapi hari ini bukan Tante Sri yang datang ke sekolah. Melainkan ayahku. Allary Herman. Ayah sendiri yang meminta agar beliau yang datang ke sekolah. Mewakiliku nanti mengambil hadiah.
Aku bingung, entah kenapa hari ini, ayahku yang sibuk itu yang datang. Ada apa. Tapi tidak apalah. Aku senang senang saja. Berarti ini adalah saatnya aku membuktikan pada ayah bahwa aku cerdas.
Ayah menerima piala juara 1-ku dengan wajah gembira. Ketika turun dari panggung, ayah mengajakku ke belakang. Apa lagi yang beliau mau lakukan.
“Selamat ya, Allary. Kamu sekali lagi membuktikan kecerdasan kamu.” Beliau tersenyum menatapku. Penuh penghargaan.
“Makasih Yah,” kataku.
***
“Bagaimana raport-mu semester ini, Allary?” Tante Sri menyambutku di pintu rumah dengan senyuman. Aku mengacungkan jempol.
“Nilaimu bagus dong, ayo kita rayakan.” Tante mengajakku masuk. Bau lezat masakan Tante Sri menguar sampai keluar ruangan.
“Tante masak apa?”
“Kesukaan Allary. Nasi kuning dengan ikan gabus.”
“Hei sejak kapan Allary suka makan nasi kuning?” aku bertanya, setengah tertawa.
“Ah sudahlah. Kamu suka bukan dengan masakan Tante?”
Aku mengangguk. Tante Sri selalu jago memasak.
Malam itu, kejutan lain menanti. Ayah pulang untuk makan malam. Satu hal yang juga sungguh tidak biasa. Ayah biasa pulang larut, atau bahkan tidak pulang sama sekali, menginap di kontrakan, menginap di rumah temannya, atau tidur di ruangannya di kampus.
“Allary, bagaimana pendapatmu tentang masakan Tante Sri?” ayah bertanya di sela-sela suapan. Mulutku yang penuh tidak bisa menjawab, jadi aku hanya mengacungkan jempol.
“Kamu selalu hebat dalam memasak, Sri. Ah tidak, kau bahkan hebat dalam mengurus Allary. Aku berhutang padamu. Aku sadar, sejak ibunya tiada, aku sendiri jarang memberikan perhatian khusus untuk anakku satu-satunya itu.” Ayah menghela nafas.
“Ah tidak apa-apa Mas. Aku sudah berjanji pada kakakku, Mamanya Allary, aku akan menjaga Allary sepenuhnya.”
“Aku bisa mempercayakan Allary sepenuhnya padamu, Sri.” Kalimat ayah terdengar sungguh-sungguh. Apa maksudnya itu? Tante Sri juga menatap ayah dengan heran. Apa maksudnya?
Keesokan harinya, barulah semuanya jelas. Saat aku hendak membukakan pintu kamarku, ada secarik kertas, sebuah amplop, terselip di daun pintu. Aku yakin sekali, kemarin malam surat itu belum ada di situ. Aku tidak pernah iseng menyelipkan surat di daun pintu. Tidak pernah.
Surat itu berisi sebuah pesan. Pesan singkat. Namun jelas.
AYAH PERGI, ALLARY. MAAFKAN AYAH. KAMU JAGA DIRI BAIK-BAIK. HORMATI TANTE SRI.
Terpana aku membaca surat itu. Seakan sebuah acara televisi, aku berlari, secepat mungkin ke kamar Ayah. Membukanya, hanya untuk terpana sekali lagi. Kamar ayah sudah bersih. Koper besar yang biasa dipakai ayah bepergian, yang ayah letakkan di atas lemari, tidak ada di tempat.
Lututku lemas. Kemana ayah pergi? Dan kenapa?
96
Kerja Keras, Sekeras Batu Karang
Aku tidak mengerti. Tidak mengerti sama sekali apa maksud ayah dengan surat terselip di daun pintu, dan koper besar yang tidak ada di tempat. Ayahnya pergi, minggat dari rumah, tanpa sedikitpun tanda-tanda. Tanpa kata-kata perpisahan. Bahkan tidak sedikitpun mengatakan. Mengungkit-ungkit.
Aku tidak bisa mengerti.
Bunyi derap-derap langkah terdengar mendekat. Tante Sri. Sekali lagi, beliau tidak bilang apa-apa. Langsung memelukku. Meski aku sudah bukan anak kecil lagi, aku tetap terisak dalam pelukannya.
“Tante minta maaf Allary. Nampaknya kabar pertama yang kamu dapat setelah bangun tidur adalah kabar buruk,” katanya, sesenggukan.
“Ayah pergi kemana, Tante?” kataku, bertanya. Menggigit bibir.
Tante Sri menggeleng. “Tante tidak tahu, Allary. Pagi-pagi sekali, saat Tante bangun, Tante menemukan surat ini, surat yang sama seperti yang kamu pegang, terselip di daun pintu.”
Aku masih menangis. Bagiku, hari itu, aku serupa jadi seorang anak yatim piatu. Kehilangan Mama, dan sekarang ditinggal pergi ayah. Tanpa kejelasan. Aku tidak pernah tahu, mengapa dan kemana ayah pergi, setidaknya sampai beberapa tahun ke depan. Sedangkan bagi Tante Sri, hari itu, (sebagaimana diakuinya) adalah hari-hari yang berat. Sebab dia mendapat tanggung jawab menjaga dan membesarkan aku.
Untuk ukuran wanita berusia 28 tahun, itu bukan hal mudah. Tapi Tante telah menetapkan pilihannya.
“Ini adalah saat-saat yang sulit, Allary. Saat-saat dimana kita harus saling menguatkan. Tante akan mengusahakan yang terbaik untukmu, dan kamu harus mengusahakan yang terbaik untuk Tante,” bisik Tante Sri saat melepas pelukannya, menatap wajahku lamat-lamat, “kita juga harus terus berbuat baik, lebih banyak dan lebih banyak. Mama kamu tahu akan hal itu. Agar Tuhan selalu berada di sisi kita, selalu menolong kita.”
Aku mengangguk. Babak baru kehidupan kami dimulai.
Jika dahulu semua uang masuk di rumah ini datang dari Ayah, sekarang tidak lagi. Dulu aku hanya perlu duduk santai, membaca buku, mengerjakan tugas, dan Tante Sri juga cuma santai mengajariku dan mengurus rumah, sekarang tidak. Kami berdua harus saling bantu untuk bertahan hidup.
Tante Sri tidak pernah kehabisan kejutan. Dia ternyata punya keahlian membuat jajanan tradisional. Yang paling membuat aku bersorak, ternyata Tante Sri bisa membuat Kerak Telor. Hei, itu makanan legendaris yang sudah jarang ditemukan.
“Sejak kapan Tante mempelajari membuat semua makanan ini?”
“Ya sejak kecil dong, Allary.” Tante tersenyum-senyum melihat wajah antusiasku.
“Bukannya Tante Sri yang kukenal itu adalah seseorang yang tomboy, mahasiswi pecinta alam. Yang kerjaannya naik gunung, berpetualang, begitu?” tak terasa aku mencerocos. Kali ini Tante Sri tertawa kecil.
“Semua yang kamu bilang itu benar, Allary. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan memasak, membuat kue, iyakan?”
Aku garuk-garuk kepala. Bukannya hubungannya jelas, Tante Sri adalah gadis tomboy pecinta alam, tidak dekat-dekat dengan dapur. Ingin kuutarakan kalimatku, tapi tidak menemukan cara yang pas. Ternyata Tante Sri lebih dulu membaca pikiranku.
“Iya Tante tahu apa yang kamu pikirkan. Hanya karena Tante tomboy tidak serta merta Tante tidak bisa memasak. Itu sama seperti hanya karena memasak identik dengan perempuan, bukan berarti lelaki tidak boleh pandai memasak.”
Aku manggut-manggut. Baiklah, detail itu tidak penting. Tapi Tante Sri nampak ingin membahas itu lebih jauh lagi, setelah menuangkan kerak telornya ke dalam wajan panas, sambil mengangkat sendok, Tante Sri berkata pelan.
“Kamu mau tahu, Allary? Stereotip gender terkadang membingungkan. Nanti saat kamu sudah belajar lebih banyak, kamu akan tahu banyak hal tentang hal ini di luar sana. Ada yang konservatif, bilang lelaki harus jadi pemimpin dan perempuan bawahan, bla-bla-bla. Sebaliknya ada golongan yang feminis, mengatakan tentang kesetaraan gender. Bla-bla-bla. Macam-macam, berdebat. Apa pelajaran yang bisa kamu ambil dari itu semua, Allary? Tante rasa cuma satu, lakukan apa yang kamu suka, selama itu tidak berbenturan dengan aturan. Batasnya adalah aturan. Bukan stereotip gender.”
Terkesima aku mendengar penjelasan Tante Sri. Dia masih ingin melanjutkan penjelasannya.
“Aturan itu berbagai macam pula bentuknya. Ada yang percaya hukum, ada percaya ideologi, dan yang paling tepat, percaya pada agama. Selama tidak bertentangan dengan agama, sah-sah saja kita lakukan. Walau ada beberapa orang yang bilang agama itu tidak diperlukan lagi.”
“Hei siapa yang bilang begitu?” aku terloncat, bertanya atas pertanyaan kontroversial itu. Tante Sri tersenyum lagi.
“Sudahlah. Jangan kamu pikirkan. Nanti pembicaraan kita akan meluas sampai ke perbandingan agama. Cukup kamu tahu kalau Tantemu ini pintar.”
Aku tahu itu, aku mengangguk. Tante Sri tidak hanya pintar, tapi juga pekerja keras. Bekerja keras bagai karang, sudah jadi prinsip hidupnya. Mungkin itulah yang dia pelajari dari mahasiswa pecinta alam.
97
Allary Sang Sales Marketing
Tante Sri kini punya agenda baru. Bangun setiap pukul 3 pagi untuk menyiapkan aneka jajanan tradisional untuk dijual. Katanya untuk menyambung hidup kami berdua. Aku yang masih SMP kelas 9 waktu garuk-garuk kepala saat memergoki Tante Sri pukul 3.41 menit. Detail sekali yang kuingat.
“Kita perlu uang untuk melanjutkan hidup, Allary. Apalagi setelah ini kamu akan masuk SMA. Tentu perlu modal yang lebih besar bukan?”
Aku mau tidak mau mengangguk.
Siangnya nanti, Tante Sri akan mengangkut jajanan tradisionalnya itu berkeliling komplek perumahan. Juga dititipkan di warung-warung kopi. Beruntungnya di wilayah tempat kami tinggal, Jakarta masih belum terlalu modern. Masih ada warung kopi yang tersisa. Tante akan pulang sebelum adzan Zhuhur untuk menyiapkan makan siang untukku.
Satu minggu, dua minggu, satu bulan rutinitas Tante Sri itu berjalan. Aku akhirnya, mau tidak mau, merasa tidak enak hati. Hei bukankah waktu kami berjanji untuk saling berusaha satu sama lain. Aku benar-benar tidak melakukan apapun ketika Tante berusaha mati-matian.
Akhirnya apa yang aku pikirkan, aku sampaikan pada Tante, dalam satu sesi makan malam, sekitar dua bulan setelah Tante mulai berjualan kue jajanan itu.
“Allary ingin membantu, Allary tidak tega melihat Tante berjuang sendirian,” kataku, menunduk.
Tante Sri terkejut mendengar kalimatku, tapi kemudian beliau berusaha menguasai diri. “Tante senang sekali, kamu punya rasa empati yang kuat dalam dirimu, Allary. Itu bagus sekali. Tapi kita harus lihat keadaan, kamu masih sekolah. Sedangkan usaha Tante dijalankan tepat saat jam sekolahmu. Bagaimana kamu membantu?” Tante tersenyum simpul. Dalam beberapa kondisi aku sudah menganggap Tante Sri sebagai ibuku sendiri.
“Apa saja. Apa saja. Apa saja yang bisa Allary lakukan, akan Allary lakukan. Allary akan tetap membantu,” kataku, bersikeras. Walau aku tidak tahu caranya.
“Kalau begitu, kamu bisa bantu dengan belajar lebih giat lagi.”
Aku menggeleng, enggan termakan oleh kalimat palsu dan klise itu, “bukan, bukan dengan cara itu. Aku ingin sesuatu yang nyata.”
Tante kembali tersenyum penuh penghargaan. “Baiklah. Nanti kita pikirkan caranya, Allary. Sekarang waktunya kita makan.” Tante Sri kembali tersenyum simpul. Menyendok nasi dengan lahap.
Malam itu aku berpikir keras, bagaimana aku bisa membantu Tante Sri. Sekuat yang aku bisa. Lewat tengah malam, akhirnya aku bisa tersenyum. Aku akhirnya tahu caranya.
Keesokan harinya di sekolah.
“Apa? Aku harus membeli kue? Sejak kapan kau berjualan kue, Allary?”
“Sejak besok,” kataku singkat, berdiri dengan tatapan mengancam. Aku setengah serius.
“Tapi aku tidak doyan jajan kue, Allary. Lebih sedap pentol goreng.”
“Ayolah. Kalian hanya perlu mencobanya satu kali, setelah itu kalian akan ketagihan.” Aku bersuara lagi. Karena aku adalah orang yang dihormati di kelas, lima belas orang teman sekelasku, terpaksa mengangguk.
Esok harinya kubawakan mereka kue bikinan Tante Sri. Persis 15 buah. Seperti jumlah mereka. Kusuruh mereka membeli satu persatu. Karena harganya cuma seribu rupiah, akhirnya mereka mau.
“Eh ini tidak buruk juga, Allary.”
“Tentu.”
Kuhadiahi mereka dengan tatapan penghargaan. Teman-temanku tersenyum. Soal tatapan penghargaan itu, Tante Sri yang mengajariku, tadi pagi. Tepat saat aku bilang hendak berjualan kue di sekolah.
“Kamu serius, Allary?” Tante Sri menatapku tidak percaya.
“Sudah kubilang aku akan membantu Tante, bagaimanapun caranya.”
“Baiklah, ya sudah. Niat kamu baik sekali. Tante sungguh terima kasih. Berapa banyak yang mau kamu bawa untuk dijual?”
“Lima belas.”
Tante segera membungkuskannya dalam toples kecil yang muat kumasukkan dalam tas. Saat aku hendak melangkah keluar, Tante menahan langkahku.
Saat itulah Tante mengajariku soal tatapan penuh penghargaan. Kunci menarik konsumen. Tatapan penuh penghargaan itu juga yang membuat usaha Tante Sri tetap lestari selama lebih dari dua bulan. Itu lumayan baik untuk sebuah usaha jajanan tradisional
Berkat tatapan penuh penghargaan itu juga, esok dan esoknya, daganganku laris manis diuber pembeli. Bukan hanya teman sekelas, tapi juga siswa kelas lain dan para guru.
“Hei, ibu kenal kue ini, ini buatan Sri.” Salah satu guruku bersuara ketika mencicipi kue yang kujual, tepat di depan wajahku. Mau tak mau, aku mengangguk. “Ibu benar,” sahutku singkat.
“Kau tahu Nak, Ibu sering tidak kebagian kue ini kalau Sri jualan di komplek. Berebut dengan pelanggan lain. Senang bisa membeli langsung di sini. Besok ibu pesan sepuluh buah ya.”
Aku mengangguk. Senang sekali. Langsung kuhadiahi guruku itu dengan tatapan penuh penghargaan.
98
Hari Ketika Tante Sri Jatuh Cinta
Hari ini aku pulang sekolah dengan tergopoh-gopoh. Pukul 11 siang. Dia terpaksa bolos sekolah untuk pertama kalinya. Tidak memperhitungkan lagi persoalan gurunya yang akan marah atau bagaimana. Itu bisa diuruskan nanti. Ada hal lain yang harus dia urus terlebih dahulu.
Jam istirahat kedua, ada selentingan kabar yang menyebutkan bahwa Tante Sri kecelakaan dan masuk rumah sakit. Tambahkan kabar itu didapat dari tetangga sebelah rumahku, seorang tukang ojek senior. Itu sudah cukup membuatku panik tujuh keliling.
Bergegas mencari angkot. Melempar receh. Meluncur ke rumah sakit umum daerah. Aku langsung menuju UGD. Sibuk menanya ke sana kemari, mencari nama Sri Hayati, nama tante. Akhirnya aku menemukannya. Salah satu sudut kamar yang berdinding kain tipis. Seorang pria berdiri depan kain tipis itu. Siapa dia? Apa benar, Tante Sri ada di sana? Ah tak apa, aku harus lebih dulu mendatanginya.
“Permisi mas, apakah ada pasien bernama Sri Hayati di sini?” aku beringsut, bertanya sopan.
“Benar. Dia di dalam,” kata pria itu, menunjuk tirai kain tipis di depannya, “kamu siapanya?”
“Nama saya Allary Azra, dan Sri Hayati adalah tante saya.” Aku berusaha berucap dengan tenang. Semoga tidak parah. Tak terbayangkan hidupku jika Tante Sri kena insiden. Aku tak sanggup membayangkan.
Pria itu mengusap wajah, “oh keluarga korban. Syukurlah. Kukira tadi aku bakal kelimpungan mencari pihak keluarga.”
Pihak keluarga? Hatiku rasanya diremas-remas. Bukannya kata-kata seperti itu biasanya keluar di kasus-kasus kematian, kecelakaan naas dan pembunuhan? Aku menelan ludah. Tak henti-hentinya berdoa.
“Apakah Tante Sri baik-baik saja?” akhirnya aku bertanya, ragu-ragu. Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Tapi aku yakin wajah khawatirku sudah mewakili lebih dari sejuta pertanyaan.
Pria itu menepuk-nepuk bahuku, “tenanglah, Allary. Tantemu tidak apa-apa. Tadi dia hanya terjatuh dari sepeda motornya. Tidak serius. Eh kau mau kemana...”
Pria itu berseru tertahan. Aku hendak menyingkai tirai kain. Ingin memastikan Tante Sri baik-baik saja. Namun tangan pria itu bergerak lebih cepat. Mencegat tanganku.
“Sabar dulu. Dokter sedang melakukan pemeriksaan tubuh di dalam. Sebentar lagi, kamu bisa menemui tantemu.” Pria itu kembali berucap dengan nada ramah menyenangkan.
Lewat sepuluh menit, akhirnya seorang dokter wanita keluar dari balik kain. Pria itu lekas menghampiri si dokter. Seperti dalam acara TV, bertanya apakah kondisi Tante Sri baik-baik saja.
“Sri baik-baik saja. Dia hanya menderita memar kecil di bagian lutut dan siku. Seharusnya sebentar lagi dia bisa berjalan dengan normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Untuk obatnya, bagaimana, dokter?”
“Saya sudah berikan obat penahan sakit. Saya rasa sore ini dia sudah boleh pulang.”
Pria itu menarik nafas lega. Aku apalagi.
“Silakan kalau kalian ingin menemui pasien,” Ibu Dokter memberikan jalan. Aku tanpa ba-bi-bu langsung menyingkai tirai, menghambur ke pelukan Tante Sri. Tante yang langsung kaget melihatku datang.
“Oh astaga Allary. Kamu datang ke sini. Alangkah cepatnya.”
“Aku mencemaskan Tante,” aku sudah menangis sesenggukan. Tidak, ini tidak berlebihan. Tante adalah satu-satunya tempatku pulang di dunia ini.
“Kamu baik-baik saja, mbak?” pria tadi juga mendekat, menatap ke arah aku dan Tante Sri.
“Aku baik-baik saja, mas. Terima kasih sudah menolongku tadi. Maaf jadi merepotkan.”
Pria itu nyengir sembarangan. “Tidak apa-apa mbak. Oh ya, kalau boleh saya tahu, kenapa mbak tadi tiba-tiba terjatuh di depan kedai saya? Mbak ada keluhan?”
“Oh tidak,” Tante Sri buru-buru menggeleng. “Tadi aku hanya kelelahan. Mengantuk.”
“Oh syukurlah kalau begitu. Saya lega, mbak tidak kenapa-kenapa.”
Tante Sri tersenyum untuk pertama kalinya pada pria itu.
“Oh iya, perkenalkan, nama saya, Adam. Adam Surya Syaputra.” Pria itu garuk-garuk kepala lagi. Nampak kikuk memperkenalkan diri.
“Oh iya. Aku Sri. Terima kasih banyak sekali lagi karena sudah menolongku. Kalau boleh aku minta satu pertolongan lagi?”
“Katakan saja.”
“Bisa tolong bantu mengurus kepulanganku? Aku mau pulang ke rumah secepat mungkin. Allary belum makan siang.” Tante menunjuk ke arahku.
“Eh Tante tidak perlu memasak hari ini. Tante harus istirahat.” Aku menyahut cepat. Tapi Tante Sri menggeleng. Dia tetap ingin pulang. Karena kami sendiri tidak punya banyak uang untuk berobat.
Siang itu juga, Tante Sri dibawa pulang. Pria bernama Adam banyak membantu. Memanggilkan taksi. Menggotong Tante Sri ke dalam mobil, sampai menggotong Tante Sri ke rumah. Tante sendiri tidak kuat berjalan. Kakinya tidak bisa bertumpu dengan baik. Aku mana kuat memanggul Tante Sri sendirian.
“Apakah ada lagi yang bisa saya bantu mbak?” Mas Adam bertanya lagi, Tante sudah duduk dengan tenang di sofa.
Tante menggeleng. “Aku sudah baik-baik saja. Sekali lagi terima kasih, Adam. Aku berhutang budi padamu.”
Mas Adam kembali tersenyum kikuk. Minta diri, pulang.
Diam-diam Tante Sri kulihat tersenyum. Tapi hanya sekilas. Melihat aku memandanginya, Tante bertanya, “apakah kamu lapar, Allary?”
“Eh tidak,” aku garuk-garuk kepala juga, sebenarnya perutku keroncongan, tapi mana tega aku menagih pada Tante dengan kondisinya sekarang. “Tante istirahat saja dulu. Sebentar, Allary ambilkan bantal.”
Aku beranjak ke kamar, mengambil bantal.
Tante Sri menurut. Rebahan, beristirahat.
99
Penjual Kue vs Penjual Martabak
Dua hari berturut-turut, Tante Sri tidak berjualan. Sebagian karena aku mencegahnya. Aku tidak mau Tante memaksakan diri dengan kondisi lutut dan siku yang memar itu. Aku tidak mau Tante kenapa-kenapa. Meski awalnya Tante bertanya padaku, bagaimana jika kita kelaparan, tapi aku berhasil meyakinkan Tante agar tidak memaksakan diri.
Dan akhirnya Tante mau menurut.
Dan ketika tangan Tante beristirahat, saat itulah aku tahu bahwa perekonomian di rumah ini, sepenuhnya bergantung pada kelihaian tangan Tante Sri.
Hari kedua Tante Sri istirahat. Aku pulang sekolah dengan perut keroncongan. Lapar melilit. Tante Sri masih tiduran di kamarnya. Pagi tadi dia bilang persendiannya ngilu semua. Minta maaf karena tidak bisa mengurusi kebutuhanku. Awalnya aku nyengir saja. Sekarang aku ketempelan getahnya.
Di rumah tidak ada apa-apa untuk dimakan.
Huft, aku membuka pintu dengan wajah ditekuk. Namun baru saja aku melangkah ke ruang tengah, saat bau sedap itu mengular. Memenuhi hidung. Bau ini, apakah Tante Sri memaksakan diri buat memasak? Buru-buru aku mengeceknya.
Ternyata tidak. Tante Sri justru sedang duduk di meja makan. Menikmati sepiring martabak yang dibungkus dengan pembungkus nasi. Hei, Tante membuat martabak? Atau malah membelinya?
“Oh hai Allary. Kamu sudah pulang. Kenapa tidak mengucap salam?” Tante Sri melambai dari meja makan. Aku termenung di depan pintu. Semenit kemudian garuk-garuk kepala.
“Eh anu, kukira Tante sedang tidur,” jawabku ngasal comot jawaban. Tante Sri mengangguk. “Ya sudah, ayo gabung. Mumpung martabaknya panas.”
“Tante beli martabak?” tanyaku hati-hati. Mengambil piring berikut nasinya di meja makan.
Tante Sri setengah tertawa menjelaskan, “oh tentu saja tidak, Allary. Sudah dua hari kita tidak berjualan, mana Tante punya uang untuk beli martabak.”
“Lalu Tante membuatnya? Bagaimana? Bukankah tidak ada bahannya di dapur?” aku bertanya lagi, penasaran.
“Juga tidak Allary. Kamu buruk dalam bermain tebak-tebakan. Lagipula dengan sendi yang nyeri seperti ini, bagaimana Tante bisa membuat martabak?” Tante Sri terkekeh lagi. Aku semakin penasaran.
“Lalu bagaimana?”
“Sudahlah Allary. Yang penting kamu makan dulu. Nanti martabaknya dingin. Lagipula baunya sedap bukan?”
Aku menurut. Mulai menyuap nasi. Meski otakku masih penasaran. Setidaknya Tante benar, bau martabak ini tidak kalah dengan rasanya. Sambil aku makan, Tante (yang sudah selesai) baru menjelaskan dengan sempurna.
“Kamu ingat pria bernama Adam kemarin?”
“Yang menolong Tante di rumah sakit-kan?”
“Yap. Dialah yang memberikan martabak ini pada Tante. Lalu jadi menu makan siang kita.”
Aku melongo. Kenapa Mas Adam tiba-tiba mengantarkan martabak ke rumah ini? Apa hubungannya dengan Mas Adam?
“Dia sempat bilang bahwa dia adalah penjual martabak di sisi barat kota kita. Usahanya juga punya cabang dekat terminal. Nah di dekat usaha cabangnya itu, kemarin Tante terjatuh dari motor. Sepertinya Mas Adam tidak enak hati.”
Aku manggut-manggut. Penjelasan Tante Sri bisa kumengerti. Lagipula, masa bodo lah apa yang direncanakan Mas Adam, martabak ini memang lezat.
“Baiklah, setelah makan siang itu, maukah kamu menolong Tante, Allary?”
“Eh ada apa? Eh maksudku, tentu saja aku mau.”
“Kamu ke minimarket. Beli beberapa belanjaan. Nanti Tante kasihkan daftarnya. Tolong ya Allary, Tante belum berani keluar rumah. Takut kondisi tubuh belum kuat.”
Aku mengangguk. Aku tak akan membiarkan Tante Sri kenapa-kenapa lagi. Setelah makan, aku menerima daftar belanjaan darinya, daftar belanjaan yang membuatku terheran-heran.
“Kita mau jualan besok?” aku bertanya.
“Iya Allary, benar sekali.”
“Tapi apakah Tante sudah sehat?”
“Kalau nunggu Tante benar-benar sehat kita bisa mati kelaparan, Allary.”
“Tapi Tante...”
“Sudah Allary. Tante baik-baik saja.”
Aku tak kuasa lagi menahan Tante Sri agar tetap beristirahat. Mulai malam itu, beliau kembali ke pekerjaannya. Jadi penjaja kue tradisional. Otomatis, aku juga kembali jadi sales marketing produk bikinan Tante Sri.
Dua hari setelah Tante Sri mulai berjualan. Pulang sekolah, aku disambut Tante Sri dengan sebuah permintaan.
“Eh apa? Aku mengantar bungkusan kue ini pada Mas Adam? Dia memesan, Tante?”
“Tidak, Allary, “ Tante berdecak pelan, “tapi kita berhutang budi pada dia atas martabaknya. Kita harus membalas budinya, setidaknya kita kirimi dia kue bikinan Tante. Tolong kamu antarkan. Tante masih kurang siap naik sepeda motor.”
Sekali lagi, aku tidak menolak permintaan Tante Sri. Tante menitipkan alamat, bungkusan kue dan uang receh untuk naik angkot. Aku meluncur ke jalanan Jakarta.
Jalanan yang ramai. Setelah bersesak-sesakan dalam angkot, aku tiba di sisi barat kota. Tepat di satu kedai martabak bertulis, “Martabak Kang Adam.” Aku tidak perlu bertanya lagi, ini pasti kedai martabak milik pria itu.
“Oh, hai Allary. Apa kabar,” Kang Adam (aku mulai memanggilnya seperti nama kedai martabaknya), melihat kedatanganku, melambai sambil memotong martabak pesanan pelanggannya.
“Baik mas,” aku mendekat, mengangguk. Kang Adam tertawa. “Jangan dipanggil mas, kikuk rasanya aku. Panggil kang saja,” dia tertawa lebih lebar, memverifikasi.
“Oh baik Kang.”
“Nah gitu lebih baik. Oh ya, apa kabar Sri? Tantemu baik-baik saja bukan?”
“Alhamdulillah, Tante sudah sehat, Kang. Sudah bisa jualan kue.”
“Syukurlah. Tapi hei, dia sudah berjualan. Alangkah uletnya dia bekerja.” Kang Adam tertawa lagi. Pelanggannya sudah bubar semua. Tinggal aku saja.
“Iya Kang. Dan ini, Tante ada titipan. Katanya harus diserahkan pada Kang Adam.”
“Apa itu?” Kang Adam turut melihat kantong kresek hitam yang kubawa.
“Ini kue bikinan Tante Sri. Bingkisan untuk Kang Adam.”
“Oalah. Dia membuatkanku kue, aku tersanjung,” untuk sejenak kulihat Kang Adam tidak bisa mengendalikan dirinya, “mari, mari kita cicipi Allary.”
“Eh,” aku tersentak, segera memutar otak untuk menolak, Tante Sri bilang tadi, aku tidak boleh berhutang budi. Jadi kurasa aku harus cepat-cepat pulang.
“Maaf kang, aku langsung pulang saja. Mau istirahat sebentar. Baru pulang dari sekolah tadi, langsung ke sini.”
“Oh astaga. Kau pasti lelah, Allary. Ya sudah. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Sampaikan pada Sri ya. Dan sampaikan juga, salamku padanya.” Aku mengangguk, tersenyum basa-basi kemudian balik kanan. Itulah awal hubungan Kang Adam dengan Tante Sri. Hubungan yang akan terus membesar ke depan.
100
Kedekatan Tante Sri dan Kang Adam
Siapa sangka, siapa sangka setelah semua insiden kecelakaan yang membuatku panik, waktu dua hari Tante Sri beristirahat, Tante Sri yang berusaha kuat menahan rasa sakit di siku dan lututnya. Justru muncul berkah sendiri bagi Tante Sri.
Aku memang belum cukup besar untuk mengerti semuanya. Tapi setidaknya aku sudah banyak membaca. Tidak hanya buku-buku tebal, ensiklopedia, tapi juga novel-novel cinta. Aku sekarang tahu, ada sesuatu yang berbeda.
Dari adegan mengkhawatirkan, wajah-wajah kikuk, suara-suara yang terpatah-patah, sampai suasana serba canggung. Kemudian berkembang jadi saling kirim-kiriman makanan. Kemudian Kang Adam memberanikan diri datang ke rumah sesekali. Membawakan sendiri martabak.
Aku sekarang tahu, ada sesuatu yang spesial, antara Kang Adam dengan Tante Sri. Jika aku tidak salah, maka aku senang sekali. Akhirnya Tante Sri bisa punya kepingan cerita lain kehidupan selain hanya mengurus hidupku, keponakannya.
Aku tidak bercanda ketika aku merasa lega, saat tahu mereka menjalin hubungan. Akhirnya Tante Sri, di usianya yang ke-29 tahun, ada tanda-tanda mau punya pasangan hidup.
Hari ini, Minggu. Sudah dari pukul 5 pagi, Tante Sri sibuk berdandan. Aku tahu persis hari ini hari apa. Kang Adam mengajaknya jalan-jalan. Mereka bakal keluar berdua. Aku turut senang dengan Tanteku itu.
Kang Adam sengaja menutup kedainya yang “luar biasa” ramai itu satu hari penuh demi bisa jalan-jalan dengan Tante Sri. Tante juga meliburkan dagangannya. Ini adalah hari yang spesial bagi mereka.
“Allary, maaf ya, kamu hanya jaga rumah hari ini.” Kang Adam garuk-garuk kepala, duduk di sebelahku yang sedang nonton TV di ruang tengah. Tante Sri masih di kamar, berdandan.
“Ah tidak apa-apa Kang. Biasa saja. Lagipula aku memang sedang malas kemana-mana.”
“Oh ya? Kalau begitu kabar baik. Kamu jaga rumah ditemani tiga tangkup martabak ini, bagaimana?” Tahu-tahu kemudian di tangan Kang Adam muncul satu bungkus kresek berbau harum. Aku menerimanya dengan senang hati.
KREEEEKKKKK
Bunyi pintu kamar Tante Sri terdengar. Akhirnya tante keluar.
Kang Adam sudah terpana pada pandangan pertama.
“Oh kamu sudah datang, Adam? Sudah lama menunggu?”
“Eh tidak,” Kang Adam berdiri, sikap kikuknya kembali terlihat, “baru saja datang.”
“Allary, kenapa kamu tidak ambilkan air untuk Kang Adam.”
“Eh?”
“Tidak usah repot-repot Sri. Lagipula aku ingin cepat berangkat. Nanti kita terjebak macet.” Kang Adam menyela. Sambil tersenyum ke arah Tante.
Tante manggut-manggut. “Ya sudah. Aku sudah siap berangkat kapan saja.”
“Ayo kalau begitu.”
“Allary, kamu jaga rumah baik-baik ya. Kalau meninggalkan rumah, jangan lupa dikunci. Kalau ada apa-apa, jangan ragu minta bantuan tetangga.”
Aku mengacungkan jempol. Siap Tante.
Aku jelas tidak tahu apa-apa saja yang dilakukan Tante dan Kang Adam di luar sana. Aku cuma tahu mereka jalan-jalan kemana. Ke Puncak. Sisanya tidak tahu.
Pukul 9 malam, ketika aku beranjak hendak tidur, Tante belum juga pulang. Karena tidak punya perangkat elektronik untuk menghubunginya, aku hanya bisa berdoa dia selamat. Kukunci pintu dan beranjak tidur.
Tapi sayangnya aku tidak bisa tidur. Terpikir keselamatan Tante Sri. Ada apa? Semoga beliau tidak kenapa-kenapa. Ah bukannya ada Kang Adam. Ya semoga Kang Adam ada di sana menolongnya jika Tante Sri kenapa-kenapa.
Pukul 9 malam lewat 45 menit, jam di dinding kamarku menunjuk waktu. Terdengar suara deru mobil. Ah itu mobil Kang Adam. Sempat terlintas pikiran, aku keluar menyambut Tante Sri, tapi kurasa Tante merasa aku sudah tidur. Mungkin lebih baik begitu.
Tiba-tiba terdengar suara samar-samar terdengar dari luar. Menyelinap dari dinding kamarku yang tipis. Aku segera menajamkan telingaku, menangkap pembicaraan.
“Aku amat mencintaimu, Sri. Aku ingin menikah denganmu.” Itu suara Kang Adam. Aku tahu persis. Senang sekali aku mendengar kata-kata itu.
Tapi kemudian, kata-kata Tante Sri terdengar berat, “aku tidak bisa, Adam. Aku sungguh tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa, Sri. Kenapa tidak? Apakah aku bukan pria yang baik untukmu?”
“Kamu sangat baik, Adam. Kamu sangat baik. Tapi aku tidak bisa. Aku masih punya tanggung jawab hidup yang harus kujaga.”
“Siapa? Keponakanmu, Allary?”
Hei mereka membicarakan diriku. Aku semakin menajamkan telinga.
“Iya. Dia telah ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya. Hanya aku satu-satunya keluarga dia yang tersisa. Aku harus menjaganya. Aku harus memastikan dia bisa punya masa depan yang bahagia. Hal itu tidak bisa kulakukan, jika aku menikah.”
“Kamu masih bisa melakukan itu, Sri. Kamu masih bisa. Kita menikah. Dan Allary masih bisa ikut dengan kita.”
“Masalah tidak semudah itu, Adam. Masalah tidak semudah itu.”
“Aku mohon Sri.”
“Kita bicarakan ini lain kali saja, ya Adam. Kita bisa membahas ini saat siang hari, saat otak kita tidak terlalu lelah. Karena jujur saat ini aku hanya berpikir untuk istirahat.”
101
Bagian dari Hidup Anak Manusia
Pagi itu, Tante Sri sudah siap di meja makan, menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Kami sama-sama hendak berangkat. Aku sekolah, Tante berjualan. Sebagian pikiranku, masih melayang-layang pada percakapan Tante dan Kang Adam tadi malam.
“Allary, selamat pagi. Ayo duduk.”
“Terima kasih Tante,” aku mengangguk.
Aku duduk, mengambil centong nasi. Mulai makan. Sudahlah, aku tidak perlu membicarakan soal itu. Biarkan Tante yang mengurusnya. Ternyata kemudian malah Tante yang mulai berbicara.
“Kamu sudah besar, Allary. Gagah sekali. Sebentar lagi kamu akan lulus SMP. Sudah setahun sejak ayahmu pergi, sudah hampir enam tahun sejak kebakaran itu, kamu sudah besar, tumbuh, Mama kamu pasti bangga.”
Mendengar nama Mama disebut, aku tersentuh. Bingung hendak menyahut apa.
“Hidup kita setahun belakangan memang terasa lebih berat ya, Allary. Dan mungkin ke depannya, kita harus berjuang lebih keras lagi. Sebentar lagi kamu akan masuk SMA, kita harus membeli kendaraan baru untukmu.”
Kali ini aku genap tersedak, gelagapan mencari air minum. “Tante tidak usah repot memikirkan membeli kendaraan. Allary bisa naik angkot ke SMA manapun.”
Tante Sri tersenyum, “bukan, bukan begitu cara menikmati masa SMA, Allary. Kita punya tabungan, sebentar lagi, Tante akan belikan sepeda motor baru untukmu.”
“Tante tidak usah repot-repot.” Aku terisak.
“Hei, seharusnya kamu gembira, Allary. Bukan menangis,” Tante menjulurkan tisu.
“Aku tidak mau merepotkan Tante terus menerus. Aku sanggup kok, hidup seadanya.”
“Tante senang jika kamu bisa hidup seadanya, bersyukur. Terus berbuat baik. Tante senang. Tapi sesekali, bolehlah kita menyenangkan diri kita. Kalau Allary bisa naik sepeda motor ke sekolah, Allary pasti lebih senang. Menyenangkan diri sendiri, itu adalah bagian dari hidup anak manusia, Allary.”
“Kalau begitu, Tante juga harus membahagiakan diri Tante,” entah darimana aku mendapat keberanian berucap. Tante saja heran.
“Hei, Tante bahagia, Allary. Bisa membantumu di sini, menjagamu. Ini juga termasuk berbuat baik bukan? Tuhan terus berada di sini, di sisi kita. Kita terus ditolong oleh Tuhan.”
“Aku mendengar percakapan Tante dengan Kang Adam, tadi malam,” ucapku serius.
Tante sempurna memasang wajah terkejut. “Astaga, kamu mendengarnya, Allary?”
“Iya, semuanya. Tante seharusnya bisa bahagia. Allary seharusnya tidak perlu merepotkan Tante terus menerus.”
“Allary,” Tante berucap lembut, “sifatmu yang tidak suka merepotkan orang lain itu, jelas diturunkan dari Mama kamu. Bagus Allary. Tapi, masalah ini, tidak semudah kelihatannya.”
Karena sudah terlanjur membahasnya, sekalian saja aku membujuk Tante Sri. “Tante bisa memikirkan ajakan Kang Adam, tanpa harus memikirkan Allary. Allary bahagia sekali jika bisa melihat Tante Sri menikah.”
“Allary...”
“Sudah cukup lama Tante mengorbankan hidup, waktu, kebahagiaan Tante, semuanya, hanya karena untuk membahagiakan Allary. Sekarang giliran Tante yang bahagia. Percayalah, Allary baik-baik saja. Allary akan beradaptasi. Semua akan baik-baik saja.”
Tante tak sanggup lagi berbicara. Menangis sesenggukan.
102
Pernikahan Makanan
Urusan pernikahan ini ternyata berjalan demikian cepat. Tiga malam setelah aku mencuri dengar percakapan Tante Sri dengan Kang Adam, kunjungan berikutnya dari pria penjual martabak itu adalah malam ini.
Dan Kang Adam tidak datang sendirian. Dia membawa seorang pria tua berambut putih (namun masih tegap berjalan). Aku membukakan pintu. Tante Sri nampak syok kali ini menerima kunjungan Kang Adam. Patah-patah mempersilakan tamu-tamu duduk di sofa ruang tamu.
“Maaf atas kunjungan kami yang agak mengejutkan ini, Sri.” Kang Adam sambil duduk, setelah membantu pria berambut putih itu duduk. Aku tetap berdiri di ruang tamu, diminta Tante Sri menemaninya menyambut dua tamu mengejutkan itu.
“Walau sebenarnya aku selalu menerima dengan senang hati kunjunganmu, Adam,” Tante Sri mengatur nafas, “jujur saja, kunjunganmu kali ini memang mengejutkan.”
“Iya Sri,” Kang Adam menggosok-gosokkan kedua belah tangannya, wajahnya nampak gugup, “Aku memang harus melakukan ini, urusan ini harus kupertegas, agar aku bisa menunjukkan keseriusanku.”
“Eh urusan apa, Adam? Kamu jangan membuatku lebih terkejut lagi,” Tante Sri menutup bagian mulutnya dengan tangan, juga nampak gugup. Pertanyaan itu tidak berguna. Baik aku maupun Tante Sri sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
Kang Adam berdehem-dehem dulu sebelum bicara. “Baiklah, aku akan memulainya, Sri. Pertama-tama, perkenalkan, ini Paman Yahya, beliau adik ayahku, sekaligus keluarga satu-satunya yang aku punya di dunia ini.”
Paman Yahya menganggukkan kepala, menyapa kami berdua. Aku balas mengangguk.
“Kami datang hari ini untuk mempertegas semuanya, Sri. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku menyukaimu Sri. Aku amat mencintaimu. Hari ini bersama Paman Yahya, aku dengan tulus datang ke sini ingin melamarmu jadi istriku. Maukah kamu menikah denganku, Sri?”
Tante Sri sempurna terpana dengan kalimat itu. Langsung menutup wajahnya yang memerah. Salah tingkah. Hening sejenak selama beberapa menit. Tante berusaha menguasai dirinya.
“Sudah kubilang, Adam. Urusannya tidak semudah itu. Urusannya tidak semudah itu.”
“Apa lagi yang kamu pikirkan Sri. Jika kamu merasa ada sesuatu yang kurang dariku, katakan. Aku akan berusaha perbaiki. Tapi izinkan aku berada di sampingmu. Menyatukan hidup denganmu, Sri.” Kang Adam bersuara lagi. Kali ini intonasinya sempurna. Sepertinya Kang Adam sudah melatih kalimat itu selama beberapa hari.
“Aku tidak bisa Adam, maaf. Aku sungguh tidak bisa. Alasannya, sama seperti yang aku katakan padamu, tiga hari yang lalu.”
“Sri. Aku janji. Aku tahu rasanya hidup tanpa ayah dan ibu ada di sisiku selama bertahun-tahun. Aku hidup menumpang dengan Paman Yahya. Aku tahu persis. Jadi aku berjanji, aku akan melindungi Allary juga. Dia akan jadi bagian keluarga kita, aku janji Sri.”
“Adam benar, Nak.” Ini Paman Yahya, pria berambut putih itu yang bicara, “dia tahu persis rasanya menjadi Allary. Dia akan berusaha melindungi keponakan kesayanganmu itu. Terimalah dia Nak. Kamu tahu, di agama kita, bila datang seorang lelaki melamarmu, dan tidak ada alasan atau cacat tertentu yang memberatkan hidupmu nanti, kamu tidak layak menolaknya. Apalagi jika kamu memang mencintainya juga.”
Kata-kata Paman Yahya menyihir seisi rumah. Kang Adam terdiam, Tante Sri juga terdiam. Nampak terkejut. Ingin sekali aku berkomentar, tapi aku takut salah bicara, malah membuat keadaan semakin runyam.
Lima belas menit yang menegangkan berlalu. Akhirnya Tante Sri bersuara, sambil menyeka air matanya. “Baiklah Adam. Sungguh terima kasih atas kesungguhanmu. Terima kasih atas ikrarmu mau membela keluargaku. Terima kasih. Pamanmu benar, Adam. Aku tidak layak menolakmu. Apalagi aku juga... cinta... padamu.”
Lepas sudah semua ketegangan. Berganti dengan rona-rona bahagia. Malam itu adalah malam yang tak bisa kulupakan. Ketika Kang Adam langsung sujud syukur lalu hendak memeluk Tante Sri, namun Paman Yahya berdehem, mengingatkan.
Malam itu aku diam-diam memimpikan semoga nanti saat aku melamar seorang wanita, aku bisa meniru Kang Adam.
Pesta pernikahannya pun tidak kalah meriah. Banyak sekali tamu undangan yang datang. Bagaimana tidak, Kang Adam mengundang siapa saja yang sempat singgah di gerobak martabaknya untuk datang ke hari pernikahannya dengan Tante. Pernikahan yang jadi topik pembicaraan banyak kalangan.
Pernikahan makanan, begitu sebagian orang usil menyebut acara pernikahan Kang Adam dengan Tante Sri. Sebutan itu barangkali ada benarnya. Bagaimana tidak, Kang Adam adalah seorang penjual martabak, sedangkan Tante Sri adalah penjual kue jajanan tradisional.
“Aku berjanji akan selalu melindungi, menjaga, membela dan mencintaimu, Sri,” ucap Kang Adam lirih setelah ijab kabul dilakukan. Kini mereka sudah resmi jadi sepasang suami istri.
103
Hidupku Setelah Mereka Menikah
“Aku pulang,” aku berseru ke seisi penjuru rumah, pelan-pelan membuka pintu yang sebelumnya terkunci, untuk kesekian kalinya, hanya untuk mendapati bahwa rumah ini kosong.
Aku langsung ke kamar. Jam di kamarku menunjukkan pukul 3 sore. Aku baru pulang sekolah. Ada pembelajaran tambahan menjelang ujian nasional sehingga jam pulang kami diundur. Karena perutku lapar melilit, aku hanya berganti baju dan melepas celana panjang. Langsung melangkah menuju meja makan.
Tidak ada siapa-siapa di rumah. Tidak ada lagi bau lezat masakan Tante Sri yang matang di atas wajan. Aku buka lemari makanan. Ada beberapa potong martabak dan osengan sayur. Ya sudahlah, mungkin ini menu makan siangku.
Karena lapar, aku tidak banyak berpikir saat makan. Semuanya terasa lezat saja. Tapi pelan-pelan, setelah perutku terisi, aku memandang sedih ke kursi di depanku. Yang kosong.
Aku jadi sedih. Aku kesepian.
Tante Sri dan Kang Adam pasti sedang berjualan di kedai Kang Adam sana. Mereka berdua bekerja keras demi merampungkan impian pertama mereka.
Jadi, tepat setelah selesai makan malam pertama mereka malam itu, ya di malam pertama setelah mereka menikah, aku, Tante Sri dan Kang Adam makan bareng di meja makan di rumahku. Kang Adam menanyakan pada Tante, apa rencana terdekatnya sekarang. Tante tanpa ragu menjawab, membelikan aku sepeda motor. Aku berusaha meyakinkan Tante untuk tidak usah repot-repot, tapi Kang Adam terlanjur mendengarnya.
“Baiklah, pokoknya kamu serahkan saja padaku, Allary. Bulan depan kita akan membeli motor.”
Aku tidak bisa lagi berkata-kata. Hanya bisa memasang wajah gembira.
Dan inilah imbasnya. Tante dan Kang Adam harus bekerja keras. Membuka kedai pukul 2 siang dan tutup pukul 10 malam. Lebih sering meninggalkan aku sendirian di rumah. Sementara usaha dagang Tante Sri ditinggal sementara, mereka fokus menjual martabak saja dulu.
Aku menghela nafas lagi. Ini adalah bagian-bagian yang sulit. Melalui hari dengan menonton TV, membaca buku-buku, mengerjakan PR dan tidur. Monoton. Belakangan aku malah jarang bertemu dengan Tante Sri. Karena gerobak Kang Adam ada di bagian barat kota, jika terlalu malam, mereka bermalam di rumah Kang Adam. Bukan di rumah ini.
Rumah ini jadi sepi.
Padahal dulu, setiap aku pulang sekolah, Tante Sri selalu menyambutku, menanyakan ada kabar apa dari sekolah, kemudian menghidangkan makanan. Sekarang? Tidak lagi.
Masalah lainya, sejak Tante berhenti berjualan kue tradisional, uang sakuku ikut berkurang. Semua modal dipusatkan pada penjualan martabak. Terkadang aku segan meminta pada Kang Adam. Aku hanya menerima uang seadanya. Terkadang pula, aku hanya membawa sebotol air minum untuk mengisi perut sepanjang hari.
Ah sudahlah. Apa kata Mama? Saat-saat seperti ini aku harus bersama dengan Tuhan, dan satu-satunya cara agar Tuhan mau membersamai aku, adalah dengan berbuat baik. Jika Tuhan sudah bersama denganku, apa lagi yang harus kuharap?
Terdengar religius sekali bukan?
Jadi, dengan uang jajanku yang sedikit itu, aku berusaha mengaturnya agar bisa berbuat baik. Aku menyisihkan sedikit. (Namun oleh karena uangnya memang sedikit, maka arti “sedikit” di sini, hampir keseluruhan). Aku belikan buku-buku, alat tulis, aku berikan ke anak yatim di panti asuhan. Tante Sri yang bilang.
“Jika kamu menyedekahkan uang dalam amplop pada mereka, manfaatnya hanya bertahan tergantung apa yang mereka beli. Namun jika kamu membelikan uang itu buku dan alat tulis untuk mereka belajar, manfaatnya akan jauh lebih lama. Abadi.”
Sejak itu aku selalu membelikan buku dan alat tulis untuk panti asuhan. Setiap bulannya. Semampuku.
104
Kesulitan Keuangan
Akhirnya aku masuk SMA. Bertahun jalan ke depan, aku akan sadar bahwa ini adalah periode paling datar dalam hidupku.
Tante Sri menepati janjinya. Dia dan Kang Adam bekerja sangat keras, siang dan malam, menyisihkan uang, pelan-pelan menabung, sampai akhirnya bisa membelikan aku sepeda motor. Bukan sepeda motor baru sih, tapi bodi sepeda motor buatan Honda itu tetap mengkilat saat aku menunggangnya. Susah payah aku berterima kasih pada Tante Sri dan Kang Adam.
Dan beliau hanya berpesan singkat. Bunyi pesan yang klasik dan nyaris diucapkan semua orang tua di dunia ini. “Sama-sama Allary. Berjanjilah, kamu akan belajar dengan baik juga.”
Aku mengangguk.
SMA tempatku bersekolah bukan SMA terbesar di kota. Bukan pula yang terbaik. Bila ada dinas pendidikan Kota Jakarta mengeluarkan ranking SMA terbaik se-provinsi, kurasa SMA-ku itu hanya ada di bagian tengah-tengah. Medioker, bahasa sepakbolanya.
Tante Sri sendiri yang mendaftarkanku di SMA tersebut, atas persetujuan Kang Adam. Alasannya juga sudah beliau katakan padaku sebelum namaku terdaftar di sana.
“Allary, Tante sudah mendaftarkan kamu di SMAN 23 Jakarta. Kamu tidak keberatan, bukan?” Begitulah Tante Sri membuka percakapan saat makan malam. Aku dan Kang Adam bergabung di meja makan.
Aku mengangguk. Aku cukup mengenal sekolah itu. Tidak ada masalah. Tapi Kang Adam yang nampak keberatan.
“Kenapa di sana, sayang? Kenapa Allary tidak didaftarkan di SMAN 4 atau SMAN 7, yang lebih favorit.” Begitu Kang Adam protes.
“Aku bukannya tidak menghargai intelektualitas Allary, mas. Aku paham betul kualitas Allary. Tapi kalau masuk SMAN favorit, kita bisa kesulitan. Kamu tahu sendiri, keuangan kita kadang tidak stabil.”
“Lho kenapa malah memikirkan soal keuangan? Bukannya sekolah zaman sekarang sudah gratis? Hak asasi?” Kang Adam masih protes.
“Sayangnya perkaranya tidak segampang itu mas. Pemerintah bisa menyediakan sekolah, bangku-bangku, fasilitas, semua itu gratis. Tapi tidak semuanya dalam proses pembelajaran bisa ditanggung pemerintah. Biaya buku referensi, biaya praktik, belum lagi pungutan liar di sana sini.”
Kang Adam terkekeh sambil menggelengkan kepala. “Ya sudah. Aku memang tidak berpikir sampai sejauh itu. Kamu jauh lebih baik dalam urusan analisis macam begitu, sayang.”
“Kamu tidak keberatan bukan, Allary?”
Aku lagi-lagi hanya menggeleng. Bisa dibelikan sepeda motor saja aku sudah sangat senang.
Entah gara-gara semua murid pintar masuk di SMA favorit, atau kemampuanku di atas rata-rata, dengan cepat, di SMAN 23 aku mampu menunjukkan determinasi. Aku unggul jauh dari segala aspek pelajaran dari setiap teman-temanku.
Mungkin itu berkat didikan dari Tante Sri selagi aku masih kecil. Beliau mendidik aku agar mencintai belajar. Mencintai pelajaran. Mencintai ilmu. Sehingga sampai sekarang, saat termenung sendirian di rumah, saat tidak bisa tidur di malam hari, aku mengisinya dengan membaca buku. Aku menyerap banyak ilmu.
Hanya ada satu masalah dari periode awal SMA-ku. Masalah sepele, namun juga penting.
Yaitu soal uang. Yap, lagi-lagi soal uang.
Sebagai siswa SMA, pengeluaranku agak lebih banyak ketimbang saat aku masih SMP. Dulu pas SMP, aku cuma perlu naik angkot sekali, bayar 2000 rupiah, karena jarak sekolahnya hanya 700 meter. Jika malas naik angkot atau ingin berhemat, cukup bangun lebih pagi da jalan kaki ke sekolah. Masih mungkin dilakukan.
Sekarang lain. Aku harus pergi sejauh kurang lebih 20 kilometer. Memang naik sepeda motor berkecepatan 120 km/jam, jarak sejauh itu bukan masalah besar. Tapi biaya yang dikeluarkan jelas lebih besar dari naik angkot sejauh 700 meter bukan?
Biar kugambarkan status keuanganku. Saat SMP, Tante membekaliku uang 10.000 rupiah. Ambil dua ribu untuk bayar angkot. Masih ada delapan ribu untuk dibelanjakan. Beli jajanan aneka warna. Dengan jam sekolah tak lebih dari pukul 2 siang, masih keburu mengejar makan siang di rumah. Tidak terlalu lapar.
Sekarang, aku naik ke SMA, uang sakuku memang naik. lima belas ribu rupiah. Perhari. Itu bukan jumlah yang banyak. Setiap dua kali sehari, sepeda motorku perlu minum. Bensin seharga sembilan ribu rupiah (nyaris, karena pedagang eceran menaikkan harga sesuka hati). Itu artinya jatah dua hariku (30.000 rupiah, dipotong dengan uang bensin) hanya menyisa 20.000 rupiah, atau dengan kata lain 10.000 perhari. Dengan jam pulang di atas pukul 4 sore, katakan kawan, dimana aku bisa membeli makan siang murah di Jakarta?
Itulah yang membuatku pusing tujuh keliling. Harus berhemat luar biasa. Keadaan itu berlangsung selama 3 bulan. Sampai terjadi sebuah perubahan. Perubahan yang sebenarnya tidak sengaja.
Hari itu Tante Sri cuti dari mengurus gerobak. Kang Adam mengangguk. Beberapa hari ini, Tante memang seperti tidak enak badan. Mungkin efek hamil muda. Nah karena seharian Tante ada di rumah, semua aktivitasku hari itu, terpantau olehnya. Kalau kuhitung-hitung, sudah cukup lama, Tante tidak menghabiskan waktu di rumah, bersamaku.
“Allary, Tante baru sadar, kamu nampak lebih kurus,” tegur Tante Sri saat menyiapkan makanan untukku, pukul 4 sore.
“Eh iyakah, baguslah kalau kurus, Tante,” aku menyeringai lebar. Lebih fokus ke nasi yang mengepul. Sudah lama aku tidak makan masakan panas dari Tante Sri.
“Bukan begitu, Allary. Kamu terlihat kurang sehat. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu makan yang cukup di sekolah?”
Aku menelan ludah. Oh tidak, kenapa Tante membahas masalah ini sih.
“Aku baik-baik saja, Tante. Tidak usah dikhawatirkan.”
“Allary, kamu jangan berbohong dengan Tante,” Tante Sri menatap mataku dalam-dalam. Yahh, aku terpaksa menyerah. Di depan Tante Sri, sepertinya aku tidak bisa menyembunyikan apa-apa. Dia sudah seperti Mama bagiku. Terpaksalah aku menceritakan soal kondisi keuanganku. Habis cerita, hening sejenak.
“Maaf ya, Allary. Ini gara-gara Tante rupanya.” Tante Sri berucap pelan sambil memencet pinggir matanya. Ada kristal bening yang terbentuk di situ. Air mata.
“Allary baik-baik saja kok, Tante. Tante tenang saja.”
“Tidak,” Tante menggeleng, kuat-kuat, “kamu berhak dapat sesuatu yang lebih baik. Oke. Karena Tante tidak bisa mencari solusinya, nanti Tante obrolkan dengan Paman kamu.”
“Eh tidak perlu repot-repot, Tante. Kasihan Kang Adam nanti.”
“Jangan bilang begitu Allary. Jangan bilang begitu atas sebuah kewajiban.”
Aku tidak punya cara lain untuk mengelak. Hanya bisa membiarkan Tante membicarakannya dengan Kang Adam. Semoga itu tidak terlalu merepotkan beliau nanti.
105
Ide Kang Adam
Makan pagi hari berikutnya, agak istimewa. Sebab Kang Adam, yang biasa sarapan agak siang, kini duduk di meja makan, bersama Tante Sri, makan bersamaku yang akan berangkat sekolah.
Aku menelan ludah. Ini tanda-tanda yang cukup jelas. Tante pasti sudah membicarakan semuanya dengan Kang Adam tadi malam. Solusi macam apa yang akan beliau keluarkan?
“Baiklah Allary, aku sudah mendengar semua cerita dari Tante Sri, kenapa kamu tidak pernah cerita kalau uang sakumu kurang, kamu tahu, seandainya saja kamu bilang, aku akan tambahkan, berapapun!” Bariton suara Kang Adam, terdengar menggetarkan. Mentalku tertekan.
“Allary tidak mau merepotkan siapapun,” jawabku, lemah.
“Kamu seharusnya tahu Allary. Kami ini ingin kamu mendapatkan yang terbaik. Kami akan melakukan apapun agar kamu bisa hidup layak. Meski itu artinya aku harus menjual gerobakku sekalipun. Kamu dengar hah!” Suara Kang Adam makin naik. Sekarang sudah setengah berseru marah. Tangannya bergerak-gerak. Kurasa berikutnya Kang Adam akan menggetuk meja. Aku menelan ludah. Astaga, apakah masalahnya seserius itu?
Tegang beberapa menit. Kang Adam terlihat melotot. Aku mengkerut. Tapi ketegangan itu segera berlalu. Kang Adam tertawa keras. Sampai tawanya memenuhi meja makan. Heran aku dibuatnya.
“Astaga, kamu nampaknya salah, sayang. Aku cukup berbakat untuk memarahi seseorang,” Kang Adam masih tertawa. Aku makin heran. Jadi tadi Kang Adam cuma bercanda.
“Iya Allary. Aku cuma bercanda. Mari kita lanjutkan makan.”
Makan berlanjut sejenak. Kang Adam mulai berbicara lagi setelah beberapa suapan.
“Aku bergabung di meja makan hari ini, untuk dua kabar, Allary. Kabar baik dan kabar buruk. Kau mau dengar kabar yang mana dulu?”
“Yang buruk dulu Kang,” kataku menjawab mantap. Tak perlu heran bagaimana aku memanggil Kang Adam yang sekarang terhitung pamanku itu. Sudah terbiasa.
“Kabar buruknya, setelah aku menghitung ulang sistem keuanganku, aku tetap tidak menemukan celah untuk memberimu uang saku berlebih. Sayang sekali, Allary.”
Aku menelan ludah. Itu memang kabar buruk. Tapi aku sudah bersiap-siap mendengar kabar itu.
“Kabar baiknya, Mas.” Tante Sri mendesak, mungkin Tante Sri merasa aku kecewa.
“Kabar baiknya, tetap ada cara lain. Seperti kata peribahasa, selalu ada jalan lain bagi orang-orang yang bekerja keras. Kamu mau bekerja keras, Allary?”
Aku mengangguk lagi. Tak bisa menebak arah pembicaraan.
“Baiklah, begini idenya. Kamu tahu kan, aku punya satu kedai martabak tepat di pertigaan dekat rumah kita itu. Kamu bisa ikut bekerja di situ Allary. Idealnya, kedai itu hanya buka sampai pukul 10 malam. Nah mulai besok, kamu bantu di sana, uang yang masuk di atas pukul 10 malam, sampai setengah sebelas malam, jadi uangmu. Bagaimana Allary?”
“Itu pertaruhan yang berbahaya, Mas,” Tante Sri menyela. Aku menyimpulkan, Tante juga belum diberitahu sejak malam tadi.
“Iya, aku tahu sayang. Aku tahu. Tapi cuma itu caranya. Aku yakin, kalau Allary mau bekerja keras, dia pasti bisa mengumpulkan uang yang dia perlukan.”
“Tapi mas?”
“Aku siap Kang,” aku menyambar cepat, tidak akan membiarkan Tante dan Kang Adam berdebat, selain itu aku juga senang saja dengan tawaran dari Kang Adam.
“Apa yang akan dikerjakan Allary di sana, Mas?” Tante Sri masih mau bertanya.
“Ya mengerjakan apa yang bisa dia lakukan. Membantu Indra berjualan, membungkuskan, menemaninya ngobrol, mencari uang kembalian. Ya semacam itu. Pekerjaan ringan saja. Bagaimana sayang, bagaimana menurutmu, Allary?” Kang Adam bergantian menatap aku dan menatap Tante Sri.
Aku sudah mengangguk lebih cepat. Sebelum Tante Sri sempat membantah macam-macam.
“Syukurlah. Semoga kamu bisa mendapat sesuatu yang berharga dari menjual martabak.”
Kang Adam tersenyum simpul, menyelesaikan sarapan.
106
Pedagang Martabak Cilik Pt. 1
Sore hari itu, setelah menyelesaikan PR, makan siang dan beristirahat sebentar, aku kembali berangkat. Kali ini untuk menunaikan kesepakatanku dengan Kang Adam. Membantu salah satu kedai dan gerobak martabaknya yang terletak di perempatan. Kedai itu dikelola seorang pria muda bernama Indra. Aku tak kenal siapa Indra itu, tapi kukira Kang Adam sudah mengaturnya, agar kami bisa mengenali satu sama lain.
“Ingat ya Allary, jika kamu merasa tidak kuat dengan angin malam, lekas pulang. Nanti kita cari cara lain untuk menambah uang sakumu.” Tante Sri tak henti-hentinya mengingatkan aku saat hendak berangkat. Tante hari ini juga diam di rumah saja. Kang Adam melarangnya untuk berdagang karena dikhawatirkan tidak baik untuk bayi yang sedang dikandungnya.
“Iya Tante. Allary akan berusaha dulu. Lagipula, bagi Allary ini tidak sekedar menambah uang saku. Allary ingin sekalian belajar berdagang,” sahutku, mencium tangan Tante, berpamitan.
“Semoga dagangannya hari ini lancar kalau begitu,” ucap Tante Sri. Aku melambaikan tangan, langsung berangkat.
Ketika aku sampai di kedai perempatan jalan, pembeli sudah banyak merubung gerobak martabak milik Indra. Aku segera merapat ke sana. Indra ternyata adalah seorang pria berusia 25 tahun-an, yang bertubuh agak gendut. Mendengarku memperkenalkan diri sebagai Allary, dia langsug berucap dengan gembira.
“Oh kamu Allary ya, bagus, bagus. Tolong bantu saya mencatat pesanan pembeli ya, saya suka lupa soalnya.”
Aku mengangguk. Untungnya aku membawa tas kecil yang kuisi dengan satu buah buku tulis. Aku gesit mencatat satu persatu pesanan pembeli. Setelah kulihat-lihat lagi, ada sampai 18 pesanan yang kucatat saat itu. Kalau Mas Indra (aku harus memanggilnya begitu sebab dia lebih tua dari aku), sendirian saja yang mengurusnya, agak kelimpungan juga dia.
Aku tak hanya mencatat pesanan. Tapi juga menyerahkannya pada pembeli dan mencarikan uang kembalian. Sementara Mas Indra hanya fokus membuat, menggoreng dan membalik serta memotong martabak. Untuk urusan itu, bisa kulihat, tangannya amat terampil.
Aku datang pukul setengah lima sore, dan baru bisa duduk santai pukul setengah enam. Saat pembeli sudah mulai lengang. Mas Indra berbaik hati membuatkan teh hangat. Mengajakku mengobrol.
“Untung saja ada kau, Allary. Aku jujur saja, sering kerepotan mengurus pesanan, martabak dan uang kembalian sekaligus. Terima kasih ya.”
“Sama-sama Mas.”
“Oh ya, aku juga sudah diberitahu oleh Kang Adam, katanya mulai hari ini kamu mau bekerja di sini. Bagaimana sistemnya?”
Aku segera menjelaskan sistem pembagian seperti yang dijelaskan Kang Adam. Mas Indra terkejut mendengar penjelasanku.
“Kang Adam serius? Sangat jarang sekali ada pembeli di atas pukul 10 malam.”
Aku ikut terkejut. Sangat jarang sekali. Itu bentuk kata yang keterlaluan. Namun, bukankah itu pertanda bahwa pekerjaanku ini bakal sulit mendapatkan uang tambahan. Ingin kumerepet-repet, tapi aku segera teringat satu hal.
Yahh setidaknya aku di sini menolong Mas Indra. Menolong itu adalah sebuah perbuatan baik. Aku yakin Tuhan ada di sini dan akan menolongku, sebab aku sudah berbuat baik. Aku yakini itu, dan lanjut bekerja.
Gelombang pembeli hari itu, fluktuatif. Tidak menentu. Pukul 8 sampai 9 malam, gelombang pembeli mencapai puncaknya. Sampai aku kerepotan mencatat satu persatu pesanan pembeli. Tangan Mas Indra bergerak lincah di potongan-potongan martabak. Dia memanaskan dua buah kompor, agar bisa membuat lebih banyak.
Pukul 21.30 sampai 22.00 juga lumayan ramai. Meski tidak seramai yang sebelumnya. Berdasarkan hasil observasi singkatku, target market martabak Kang Adam sebagian besar adalah kalangan anak-anak muda, sampai rerata usia 30 tahun. Bila ada pembeli yang berumur di atas itu, maka bisa dipastikan dia akan membeli banyak, sebab membelikan keluarganya.
Pukul 10 malam. Waktu yang dijanjikan Kang Adam tiba.
“Hutf, Allary. Ini jam kamu kan? Baiklah, aku temani kamu sampai pukul setengah sebelas. Habis itu kita tutup kedai, oke.”
“Oke Mas.”
“Santai saja Allary. Seperti yang kubilang, sangat jarang sekali ada pembeli di jam segini.” Mas Indra beranjak duduk sambil meneguk sisa tehnya yang sudah mendingin.
Aku membantu mengelap kaca etalase. Hatiku sebenarnya agak kecewa. Aku sudah lelah-lelah malam ini, apakah tidak mendapat uang sereceh pun? Kucoba untuk menahan diri, bersabar. Terus mengelap kaca.
Saat itulah, dari arah timur, bak sebuah plot twist dari Tuhan, merapat sebuah mobil hitam. Berhenti tepat di depan kedai kami. Mas Indra yang dari tadi menghisap rokok dalam-dalam, langsung bersiap siaga. Seseorang keluar. Berjas. Setelannya mahal.
“Selamat malam Pak, ada yang bisa saya bantu?” kata Mas Indra terpatah-patah.
“Oh iya. Ini kedai martabak Kang Adam bukan?” kata orang itu, suaranya berat, posturnya tegap. Dia seperti seorang yang punya jabatan tinggi di kepolisian.
“Eh iya benar Pak. Tapi ini hanya cabangnya. Kedai Kang Adam yang Asli ada di bagian barat kota. Di sana Kang Adam sendiri yang menjalankan,” Mas Indra menerangkan, menyebut alamat.
“Tapi produknya sama bukan?”
“Oh sama Pak. Insya Allah kualitasnya sama.”
“Oh baguslah. Saya pesan dua martabak spesial. Tolong buatkan ya.”
Kata-kata bapak bersetelan bagus ini bagai sebuah instrumen nyanyian di telingaku. Itu kabar baik, sungguh kabar baik. Dua porsi martabak spesial dihargai tiga puluh ribu rupiah, lumayan sekali untuk menambah uang sakuku.
Itulah kali pertama aku terjun dalam usaha perdagangan martabak. Meski belum resmi, aku sekarang adalah seorang penjual martabak cilik, termuda di dunia. Usiaku saat itu bahkan belum genap tujuh belas tahun.
107
Andalas, Seorang Teman
Tentu saja aku punya teman. Aku bukan anak kurang pergaulan yang susah diajak ngobrol kalau bertemu dengan orang lain. Aku bahkan selalu berusaha supel ketika bertemu dengan orang. Menyapa, meladeni obrolan siapapun yang ingin mengajakku berbicara.
Yang jadi masalah, selama SMP, hampir tidak ada yang tertarik mengajakku berteman. Saat itu, aku belum tahu, kenapa.
Saat SMP, aku punya teman namanya Chandra. Dia nyaris satu-satunya temanku selama SMP. Aku kenal Chandra di dalam angkot, berteman dengannya pun seringnya di dalam angkot. Aku ingat sekali kalimat yang sering diulang-ulang Chandra setiap bertemu denganku.
“Ha, kalau tidak aku, kemungkinan kau pulang jalan kaki, Allary. Angkot ini, aku tadi yang bilang setop buat kau.” Kalimat itu diiringi dengan tawanya yang terdengar berat.
Setelah itu biasanya, Pak Supir angkot dengan baik hati menyela, “sudahlah, berhenti berbual terus, Chandra. Nanti kau tambah gemuk.”
Dan setelah itu Chandra akan tersenyum masam. Yang dikatakan Pak Supir memang benar. Dia gemuk dan suka berbual. Namun berkat itu juga, aku sering kecipratan berkah. Chandra bisa mentraktirku makan di kantin, hanya agar ada yang mendengar bualannya. Aku senang atas traktirannya, tapi aku muak mendengarnya berbual. Tapi mau bagaimana lagi, itulah temanku.
Selepas lulus SMP, aku berpisah dengan Chandra. Dia melanjutkan sekolah ke salah satu SMA terfavorit, sedangkan aku ke SMA 23. Praktis, lingkaran pertemananku kembali restart ke angka nol.
Di SMA aku mulai paham. Setiap orang punya circle. Mereka berteman atas dasar sebuah persamaan. Misalnya para cewek yang suka menggosip, akan berteman dengan para penggosip. Yang suka makan yang pedas, akan berkumpul bersama para penyuka pedas. Yang suka nongkrong di kafe, akan berkumpul bersama sesamanya. Yang suka main game online juga.
Masalahnya, tidak ada yang membuat circle khusus para pembaca buku, dan tidak ada yang mau ikut. Jadi aku lagi-lagi sendirian. Aku tak bisa menyamakan sesuatu dengan circle lain di luar sana. Kehidupan SMA-ku menjadi tidak gemerlap.
Sampai datang suatu hari.
Hari ini, telah lewat satu bulan aku bekerja, membantu Mas Indra berdagang. Aku bersyukur, keberadaanku ternyata cukup membantu pekerjaan Mas Indra. Bila tidak ada pekerjaan maka aku (sesuai kata Kang Adam) hanya perlu menemani Mas Indra, mengobrol santai. Begitu juga malam ini.
“Allary, kelas berapa kau sekarang?”
“Kelas 10, Mas.”
“Kelas berapa itu?” Mas Indra menyernit kening, eh aku salah bicara kah?
“Maksudku kelas 1 SMA, Mas.” Aku memperbaiki.
“Hoo, 1 SMA ya, nah begitukan jelas. Aku tidak pernah familiar dengan penyebutan kelas dengan nomor sampai 12 itu, Allary.” Mas Indra manggut-manggut, “ngomong-ngomong, sudah punya pacar belum nih?” sambung Mas Indra lagi. Kali ini tersenyum menyeringai.
Aku menelan ludah, menggeleng. “Aku tidak punya pacar, Mas.” Lagipula masih terlalu kecil bagiku untuk pacaran.
“Ah masa nih?” Mas Indra masih tersenyum, beliau berusaha memojokkan aku rupanya, aku mantap menggeleng. “Iya mas. Aku belum punya pacar. Lagipula bagaimana aku punya pacar jika sehari-hari aku sibuk ke sini, bekerja.”
Mas Indra akhirnya tertawa terbahak-bahak.
“Astaga Allary, sungguh jawaban yang bernas. Andai adikku menjawab begitu juga.”
“Eh adik Mas?” aku tergagap, kelepasan bertanya.
“Ah iya Allary. Adikku itu tergila-gila dengan wanita. Baru kelas satu SMA, sudah belasan mantannya.”
Jujur aku bukan penggosip. Jadi aku tidak tertarik dengan detail belasan itu. Namun aku cukup tertarik dengan kalimat kelas satu SMA.
“Adik Mas, kelas satu? Di SMA mana?”
“SMA 23.”
“Lho, itukan SMA-ku.”
“Oh iyakah,” Mas Indra ikut terkejut, “wah jangan-jangan kau mengenal adikku itu.”
“Siapa namanya?”
“Andalas.”
Hei itu teman sekelasku. Dia memang dijuluki sebagai Playboy di kalangan penggosip.
Sekonyong-konyong, bak direncanakan, orang yang disebut Mas Indra tiba-tiba nongol. Andalas. Aku mengangguk ke arahnya. Ekspresinya agak terkejut.
“Lho Allary, kau ada di sini? Ngapain.”
“Aku sekarang kerja di sini,” sahutku.
“Oh ya.”
“Iya, ada yang bisa kubantu, Andalas?” tanyaku lagi, berdiri. Siapa tahu Andalas hendak membeli martabak dari kedaiku.
“Eh tidak. Aku cuma mau mengecek Mas Indra. Kata ayah coba lihat, apa yang dia lakukan. Sudah satu bulan pulang larut. Jangan-jangan dia menyeleweng dari istrinya.”
“Enak saja kau Andalas,” sela Mas Indra, intonasinya santai, bahkan cenderung tertawa, “aku ini setia pada istriku. Tidak seperti kau dengan pacar-pacarmu yang entah sudah berapa jumlahnya itu.”
“Hush, jangan bahas itu di sini,” Andalas menyela juga, cepat-cepat. Mas Indra tertawa.
“Ya sudah. Kapan mas pulang?” tanya Andalas.
“Setengah sebelas. Seperti biasa.”
“Baiklah. Aku duluan, Allary.”
Kemudian Andalas cepat-cepat memutar gas sepeda motornya. Ngacir. Mas Indra masih tertawa-tawa.
Esok-esok, gara-gara pertemuan singkat itu, aku jadi akrab dengan Andalas.
108
Martabak untuk Andalas
Kau tahu apa rahasia paling ampuh dalam berteman? Saling memelihara aib. Itu salah satunya. Aku membuktikan sendiri. Keesokan harinya setelah bertemu denganku di gerobak, Andalas datang menemuiku di parkiran. Tergopoh-gopoh.
“Allary! Tunggu!” katanya berseru dari kejauhan. Aku baru memasang jaket.
“Ada apa?” tanyaku begitu dia berdiri di depanku. Masih dengan napas tersengal-sengal.
“Sebanyak apa yang diceritakan oleh Mas Indra, Kakakku tadi malam, pada kau?” dia balik bertanya.
Eh, aku agak heran, pertanyaan macam apa itu. “Tidak terlalu banyak. Dari ceritanya aku jadi tahu kau adalah adiknya.” Aku menjawab, dengan alis naik satu, karena heran.
“Bagaimana soal kehidupan asmaraku. Dia ada cerita tentang apa?”
“Eh Mas Indra cuma bilang kau hobi ganti-ganti pasangan.”
Andalas mengacak rambutnya, seolah itu adalah hal yang buruk, “astaga. Tolong jangan beritahu pada siapa-siapa soal itu ya, Allary. Kumohon.”
“Hei, bukannya isu soal kau yang jadi playboy itu sudah tersiar ke seluruh sekolah.”
“Itu cuma isu, Allary. Aku bisa dengan gampang membual melawan isu. Tapi kalau yang bilang itu adalah kau, orang yang terhitung pintar, bisa kacau. Bisa dikira fakta nanti. Bisa tamat petualanganku.”
Giliran aku yang mengacak rambut. Astaga, pelik sekali logika Andalas. Tapi baiklah, bagaimanapun logikanya, itu urusan dia. Aku hanya tinggal menganggukkan kepala, mengiyakan permintaannya.
“Janji ya, Allary.”
“Iya. Ada lagi yang mau kau minta? Aku mau pulang, mau siap-siap membuka gerobak.”
“Ya sudah. Itu saja. Terima kasih Allary. Kuharap kau bisa menaati janjimu.”
Sekali lagi aku geleng-geleng kepala. Heran dengan logika Andalas.
Pukul setengah lima, setelah makan, mengerjakan tugas dan beristirahat sebentar, aku kembali turun ke gerobak. Hari ini Tante Sri juga berdagang. Katanya kondisi tubuhnya sudah stabil.
Saat aku sampai di kedai martabak di dekat perempatan jalan, bukannya Mas Indra yang kujumpai, malah Kang Adam sendiri. Jelas aku terkejut.
“Loh, kok malah Kang Adam yang jaga di sini? Mana Mas Indra?” tanyaku begitu sampai. Suasana kedai masih sepi, tapi Kang Adam terlihat begitu sibuk menggoreng martabak. Sudah berpuluh bungkus. Jadi ada apa?
“Ha, iya Allary. Ada perubahan mendadak. Tiba-tiba Mas Indra ada urusan penting. Jadi dia tidak bisa jaga kedai hari ini. Aku belum sempat mencari penggantinya.”
“Jadi bagaimana Kang? Kenapa Kang Adam malah ada di sini?”
“Ah ya, mau bagaimana lagi. Saat ini cuma ini solusi yang bisa aku pikirkan. Aku akan buatkan beberapa tumpang martabak. Sudah kubungkus. Nanti bila ada pembeli, kau jual saja apa yang ada, Allary. Bila sudah habis, ya sudah. Kamu tinggal pulang. Untuk hari ini, begitu dulu. Besok-besok kita cari solusi lain.”
Aku mengangguk. Tidak punya pilihan lain bukan?
Kang Adam membekaliku berjualan hari itu dengan 100 bungkus martabak. Semuanya martabak biasa. Kang Adam berpesan, bahwa 90 bungkus untuk modal, sisanya boleh aku ambil. Aku cukup senang dengan pembagian begitu. Soalnya dengan begitu aku dapat 10 bungkus, itu jauh lebih banyak. Bila malam-malam biasanya, dengan Mas Indra, paling banyak, aku kebagian 7 bungkus.
Pukul 9 malam. Tinggal dua bungkus yang tersisa. Itu berarti ada 98 bungkus martabak yang telah terjual. Tidak perlu heran, sebab Kang Adam memang pembuat martabak yang terkenal di seantero Jakarta. Banyak sekali peminat martabaknya. Tadi saja, aku benar-benar kerepotan melayani pembeli.
Pukul 9 lewat 12 menit. Sebuah kendaraan merapat ke gerobak. Aku berharap inilah pembeli terakhir. Ternyata bukan. Dia adalah Andalas.
“Ada yang bisa kubantu, Andalas?” kataku menyambut wajahnya yang amat kuyu.
“Ah malam-malam yang buruk, untukku. Allary.”
“Eh ada apa?” tanyaku, seperti kubilang, aku tidak pernah menolak diajak mengobrol.
“Ah cuma pertengkaran kecil Allary. Biasalah. Dalam hubungan pasti ada pertengkaran bukan? Bumbu-bumbu.”
“Oh jadi kau sedang bertengkar dengan wanitamu?”
Andalas tertawa. Teman sekelasku yang satu ini, postur tubuhnya tinggi, putih, tampan. Sangat mereferensikan julukannya. Saat Andalas tertawa, gigi putihnya menampakkan diri, menambah nilai jual dirinya.
Pantas saja, dia disukai banyak wanita.
“Kau benar Allary. Cuma ya, entah kenapa pertengkaran kali ini lebih serius dari pertengkaran sebelumnya.”
“Memangnya ada apa?”
“Astaga, haruskah aku bercerita lagi padamu.”
“Eh, tidak perlu. Maaf kalau itu mengganggumu,” kataku, menggaruk kepala.
“Tidak apa-apa Allary. Dia marah, karena katanya aku kurang memperhatikannya. Astaga, ada-ada saja. Apa kurangnya yang aku lakukan untuknya, aku menemaninya jalan-jalan, hampir setiap hari.”
Aku ingin terkekeh. Tidak jelas sekali karakter percintaanmu, Andalas.
“Ya sudah. Cuma masalah perhatian. Masalah kecil itu.”
“Hei mana bisa disebut masalah kecil,” Andalas protes.
“Kau hanya perlu berikan dia ini.” Aku mengambilkan sebungkus martabak, memberikannya pada Andalas.
“Apa maksudmu dengan ini, Allary. Aku sudah tidak punya uang saku hari ini.” Andalas menyergah.
“Ambil saja kalau begitu.”
Andalas terperangah. “Kenapa kau malah memberiku martabak, Allary? Ini kan barang daganganmu.”
“Kenapa tidak. Andalas, ibuku selalu bilang untuk berbuat baik pada sesama. Kurasa malam ini, aku ingin berbuat baik padamu. Ambillah.”
Andalas mau tidak mau mengambil martabak itu.
109
Berbagi Gerobak
Urusan hari itu, ternyata berbuntut panjang dan berdampak besar pada hidupku. Tidak usah menunggu lama. Keesokan harinya, domino peristiwa, satu persatu, mulai berputar.
“Aku pulang,” kataku sambil membuka pintu. Terdengar sahutan, “masuk Allary,” dari dalam. Itu tanda Tante Sri ada di rumah lagi hari ini. Sebenarnya tidak perlu disahutpun aku sudah tahu beliau ada di rumah hari ini. Pintu yang tidak digembok, sandal beliau yang teronggok di rak, sampai bau sedap yang menguar ini. Tante pasti ada di rumah.
Pertama-tama aku menuju kamar, berganti baju. Baru menuju dapur. Mendatangi Tanteku. Tempatku terkejut kemudian.
Di dapur ada bertumpuk-tumpuk martabak yang siap dijual. Sudah dibungkus rapi dengan kertas pembungkus nasi. Heran sekali aku? Apa yang terjadi? Apakah ada pesanan?
“Ini martabak-martabak yang akan kamu jual hari ini, Allary.” Tante menjelaskan ketika aku mendekat. Eh aku jual? Apakah itu artinya Mas Indra lagi-lagi tidak masuk kerja hari ini? Lalu kenapa harus dibuat di rumah. Kenapa tidak seperti kemarin, Kang Adam yang membuat di tempatnya.
“Mas Adam ingin produksi martabak hari ini di kedai yang kamu jaga, harus lebih banyak, Allary. Soalnya banyak pembeli yang menginginkan martabak ini. Karena Indra tidak masuk kerja, jadi ya, Tante ya membuatnya di rumah. Nanti kamu angkut pakai sepeda motor ya?”
Aku mengangguk, tidak ada masalah dengan itu, tapi, “kenapa Mas Indra lagi-lagi tidak masuk kerja?” tanyaku.
“Ah kalau itu, Tante kurang tahu. Mungkin kamu bisa tanyakan pada pamanmu.”
Aku mengangguk. Tidak bertanya lagi. Mempersiapkan karung gantung (ya begitu biasanya kami menyebutnya) untuk membawa martabak-martabak ini ke kedai. Total yang dibuat Tante Sri di rumah, setelah kuhitung-hitung, ada 150 bungkus. Astaga, malam ini pasti ramai.
Sesampainya di kedai, aku juga terkejut, karena Kang Adam di sana juga. Sama, juga membuat martabak. Hanya saja ini martabaknya dimasukkan dalam kotak makanan. Bukan bungkus nasi. Itu tandanya martabak ini lebih mahal.
“Oh Allary, sebentar. Kubantu menurunkan karung itu.”
Kami berdua menurunkan 150 potong martabak yang kubawa dari rumah. Menatanya di etalase.
“Kenapa banyak sekali martabak yang disiapkan, Kang?” tanyaku di sela-sela menyusun martabak.
“Ini malam kamis, Allary. Biasanya, malam ini ramai. Dan juga, beberapa pembeli kemarin mencari martabak spesial. Jadi aku siapkan juga hari ini.”
“Mas Indra masih tidak masuk kerja hari ini, Kang?” aku bertanya lagi.
Kang Adam kali ini menjawab dengan berbeda. Dia meletakkan sementara kotak makanan yang tadi mau disusunnya. Wajahnya serius. “Mas Indra kemungkinan tidak akan bekerja untuk kita lagi, Allary.”
“Lho kenapa Kang? Kang Adam memecatnya? Apakah Mas Indra ada bikin kesalahan?” tanpa sadar aku mencecar pertanyaan.
“Bukan, bukan seperti itu, Allary. Mas Indra sudah pindah keluar daerah.”
“Kenapa tidak bilang-bilang?” aku masih bertanya.
“Ah sudah, Allary. Tidak perlu dipikirkan. Yang terpenting, aku menitipkan kedai ini padamu hari ini. Mungkin baru esok atau lusa aku bisa mencarikan pegawai baru. Untuk sementara, begitu saja ya dulu, cara kerjanya, Allary?”
Aku mengangguk saja. Biarkan Kang Adam mengaturnya.
Ternyata bukan hanya urusan Mas Indra yang berlanjut hari itu. Urusanku dengan Andalas juga. Malam itu, sekitar pukul 8 lewat sedikit, tepat sebelum gelombang pembeli terdahsyat menyerbu kedaiku, Andalas datang.
“Ada yang bisa kubantu, Andalas?” aku sekali lagi bertanya seperti kemarin-kemarin. Wajah teman sekelasku itu hari ini tampak lebih cerah. Ada apa. Dia menepuk bahuku.
“Malam ini aku yang akan membantumu, Allary.”
“Eh?” aku terkejut. Andalas selalu membuatku terkejut.
“Aku sudah dengar bahwa Mas Indra berhenti bekerja. Aku tahu malam ini kau pasti kerepotan. Aku akan membantu. Anggap saja sedikit balas budi, karena berkat martabak kau kemarin itu, hubunganku berhasil diselamatkan.”
Aku masih terpaku heran. Lebih ke heran karena Andalas kali ini mengkhawatirkan hubungan percintaannya, tidak seperti biasanya. Tapi aku tidak punya waktu banyak. Pembeli sudah datang satu persatu. Dan Andalas benar, aku memang kerepotan.
Akhirnya aku mengangguk. “Baiklah, aku memang butuh bantuanmu, Andalas.”
“Siap, Allary. Sebut apa yang bisa kubantu?”
“Tolong kau catat pesanan setiap pelanggan yang datang dari sebelah kiri, carikan pesanannya. Bungkus nasi untuk martabak biasa, berkotak untuk martabak spesial. Taruh uangnya di sini.”
“Oh jadi kita berbagi sisi.”
“Benar.”
“Dan kau mempercayaiku memegang uang?”
“Tentu, kenapa tidak?”
“Kau memang teman yang layak dipercaya, Allary.” Andalas menepuk bahuku lagi. Setelah itu kami bekerja sama mengelola dua sisi. Aku di kanan, Andalas di kiri. Kombinasi yang bagus. Pembeli puas karena dilayani dengan cepat. Sebelum pukul 10 malam, semua martabak sudah ludes terjual.
Andalas duduk di kursi, terkekeh pelan. “Kurasa besok-besok, kita bisa berbagi gerobak, Allary.”
110
Pedagang Martabak Cilik Pt. 2
Dua hari aku dan Andalas berbagi gerobak. Bekerja sama menjual martabak. Sebagai bayarannya, aku membagi sebagian uang, yang seharusnya jadi uang sakuku, untuk Andalas. Dia makin senang.
Alhasil pertemanan kami makin akrab. Andalas seperti teman lamaku yang hilang.
Dua hari setelah kami mulai nyaman bekerja sama di gerobak, Tante Sri mengajakku bicara di meja makan. Sejak awal, wajah Tante Sri hari ini sudah serius. Apalagi yang mau dibicarakan oleh beliau.
“Dua hari ini, kamu mengajak teman kamu membantumu di kedai, Allary?” Tante rupanya langsung ke topik utama. Tak ada basa-basi. Memang, aku paham, emosi Tante dalam beberapa hari ini juga tidak stabil, efek kehamilannya.
Aku menjawab dengan anggukan. Toh itu benar bukan? Aku memang bekerja sama dengan Andalas.
“Kamu mengajaknya atau bagaimana, Allary?”
Kujelaskan soal bagaimana Andalas merasa berhutang budi sehingga mau membantuku. Tak lupa kujelaska bahwa Andalas juga kuberi uang lelah.
“Oh begitu rupanya.
“Sebenarnya tindakan kamu itu tidak salah, Allary. Cuma kata Mas Adam, tidak enak dengan keluarga Indra, kalau tiba-tiba si Andalas, adiknya Indra, bekerja di situ, dengan jobdesc yang tidak jelas.”
“Maaf kalau begitu, Tante,” aku menundukkan kepala, “Allary tidak bermaksud apa-apa. Awalnya juga cuma tidak enak hati menolak kebaikan Andalas, tapi kemudian, Allary merasa seru berteman dengan Andalas.”
Tante manggut-manggut. “Well, tidak apa-apa Allary. Cuma Tante ingin Andalas punya jobdesc yang lebih jelas. Bukan sekedar berbagi gerobak denganmu.”
“Eh bagaimana caranya, Tante?”
Tante Sri tersenyum, “untuk itulah hari ini kamu Tante panggil. Kita akan membicarakannya. Kalau perlu hari ini kita tidak perlu berjualan di kedai dekat perempatan itu.”
“Eh?”
“Pertama-tama, kamu harus tahu, bahwa sampai hari ini, Mas Adam belum menemukan siapa pengganti yang cocok dari Indra untuk menjalankan kedai di perempatan itu.”
Aku mengangguk. Sudah bisa menebak soal itu.
“Jadi, kami, maksud Tante, Tante dan Mas Adam sudah bicara, diskusi, dan kami ingin mengambil jalan yang cukup berisiko namun menjanjikan. Idenya adalah, kamu sendiri yang menjalankan kedai di perempatan itu, Allary.”
“Allary?” ulangku. Aku? Maksudnya apa? Bukankah dari tiga hari yang lalu, memang aku yang menjalankan kedai itu, seorang diri.
“Iya, kamu Allary. Tapi bukan seperti tiga hari yang lalu. Sekarang kamu harus berpartisipasi aktif. Bukan hanya sekedar menjualkan martabak yang telah dibungkus. Kamu akan terjun langsung. Kamu akan menjadi penjual martabak yang sebenarnya. Apakah kamu bersedia, Allary?”
“Maksud Tante, aku akan membuat martabak dan menjualnya. Dengan tanganku sendiri?” sahutku memperjelas.
“Tepat sekali.”
“Tapi Allary sama sekali tidak bisa membuat martabak. Bagaimana jika nanti martabaknya tidak enak. Martabak Kang Adam bisa ternoda dong, kualitasnya.”
Tante kembali tersenyum, “oleh karena itulah, Tante bilang ini adalah taruhan yang berisiko, namun menjanjikan. Jika kamu bisa mengerjakannya, kamu tidak hanya akan bisa mendapat uang saku, namun juga sebuah usaha untuk sumber kehidupan kamu.”
Aku tersenyum. Itu adalah solusi yang luar biasa.
Alhasil setelah makan siang, aku dan Tante Sri langsung belajar membuat martabak. Terutama di bagian membuat tepung luar yang membungkus martabak. Prosesnya amat menakjubkan. Sayangnya tidak boleh kuceritakan sebab itu adalah rahasia bisnis Kang Adam.
Setidaknya ada empat jenis martabak yang kubuat hari itu. Martabak biasa, yang diisi sebutir telur, dengan daun bawang. Ada satu atau dua buah potongan daging ayam terselip. Dihargai Kang Adam biasanya, 12 ribu rupiah.
Ada juga martabak spesial. Masih sama dengan martabak biasa, namun isinya lebih banyak potongan daging ayam. Hebat sekali. Oleh Kang Adam, martabak spesial ini dihargai 18 ribu rupiah.
Ada juga martabak jumbo. Sesuai namanya, martabak ini ukurannya lebih besar. Nyaris dua kali lipat martabak spesial, dengan isi yang sama, komposisinya. Tentunya lebih banyak lagi daun bawang, potongan daging ayam, dan dua butir telur yang dibuat. Martabak jumbo dihargai 35 ribu oleh Kang Adam.
Yang terakhir, martabak jumbo spesial. Martabak ini adalah yang paling spesial. Isinya ada daun bawang, potongan daging sapi. Ya, daging sapi. Ukurannya sama dengan martabak jumbo, dengan lebih banyak kandungan telur. Dihargai hingga 50 ribu rupiah oleh Kang Adam. Aku diajari membuat keempat jenis martabak itu sampai malam menjelang. Nyaris saja hidungku lebih sering bekerja ketimbang tangan. Soalnya sangat lezat.
“Ingat Allary, yang paling penting dari membuat martabak, adalah bagaimana kamu membanting adonan kulit martabak. Pembeli harus terpesona saat kamu membentuk adonan kulit itu. Itulah kemampuan khas seorang penjual martabak,” Tante Sri berpesan dengan hati-hati.
Itulah saat dimana aku resmi menjadi seorang pedagang martabak.
111
Mengatur Keuangan
Keesokan harinya. Hari pertama aku menjadi penjual martabak.
Aku datang ke gerobak pukul 4 sore, hanya untuk terkejut melihat Andalas sudah ada di sana.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku heran. Membuatku heran sepertinya sudah jadi hobi Andalas.
“Tentu saja membantumu, Allary,” dia beranjak dari kursi, mendatangiku, “kau tidak masalah bukan, kalau aku membantumu lagi, berjualan. Lumayan juga sebagai tambahan uang sakuku.”
Aku menggeleng, tentu saja aku tidak keberatan Andalas membantu. Malah aku berhutang padanya. Namun, “biasanya kau datang pas malam. Bukan sore hari begini. Bukannya kau biasanya ngapel dulu ke rumah pacarmu,” sahutku.
“Ah soal itu,” kata Andalas tenang, “aku baru tahu kalau mencari uang lebih menyenangkan ketimbang pacaran. Jadi ya, mulai hari ini, aku memutuskan untuk fokus mencari uang saja.”
“Dengan membantuku di gerobak?”
“Persis,” Andalas mengangguk meyakinkan, seolah aku mengizinkan dia bertindak sesuai polahnya. “Kita bisa berbagi gerobak bukan, Allary? Eh tunggu, kau tidak datang membawa bungkusan martabak seperti hari-hari yang lalu? Kenapa?”
Akhirnya Andalas bertanya. Ya aku memang tidak membawa bungkusan martabak. Tapi aku membawa beberapa buah toples. Kukeluarkan toples-toples itu. Isinya ada potongan daging ayam, potongan daun bawang, adonan kulit martabak, dan telur satu rak. Andalas segera paham.
“Kau akan membuat martabak sendiri hari ini, Allary?”
“Persis.”
“Hei kenapa? Memangnya kau bisa?”
Aku berdecak, “kau jangan meremehkan kemampuanku, Andalas. Aku sudah belajar. Ternyata membuat martabak tidak sesusah yang terlihat. Asal tekniknya benar dan kita ulet menjalankannya, bisa saja.”
“Menurutku itu taruhan yang berisiko, Allary.”
“Ha? Kau tak percaya. Baik, tunggu sebentar. “
Aku melangkah, memanaskan penggorengan. Membuka toples berisi adonan kulit martabak, mengambil satu gumpalan. Lalu seperti yang diajarkan Tante Sri, aku memukul-mukulkan, membanting dan melempar adonan ke atas meja.
Itulah proses menempa. Melihat teknik tanganku, Andalas terpesona.
Langkah selanjutnya mudah, tinggal pecahkan telur, tambahkan penyedap rasa dan irisan daun bawang serta sedikit potongan dagin ayam. Lalu lipat dan letakkan di penggorengan.
“Nampaknya kau harus merasakan dulu martabak buatanku baru kau percaya,” kataku, menyeringai pada Andalas.
Martabak selesai, aku potong-potong, dan aku hidangkan pada Andalas. Dia tanpa ragu mengambil sepotong.
“Baiklah. Tidak buruk Allary, untuk seorang yang baru belajar membuat martabak ini.” Andalas bergumam. Sebenarnya dia keenakan. Aku bisa membaca ekspresi wajahnya.
Huh akui saja, Andalas!
“Oh ya, Allary,” ucap Andalas lagi, “kalau kau yang menjalankan kedai ini sekarang, lalu bagaimana denganku? Apa yang harus aku lakukan? Masih bolehkah aku membantumu? Lalu bagaimana status kepemilikan usaha ini?”
Aku mengambil duduk di depan Andalas. Mencomot satu potong martabak, lalu mulai menjelaskan.
“Status kepemilikan kedai ini, pindah sepenuhnya ke tanganku, kata Tante Sri. Jadi mulai hari ini, seluruh perputaran modal di kedai ini, aku yang tangani. Untuk pekerjaanmu, kau akan membantuku menangani pelanggan. Mulai dari mencatat pesanan, menyerahkan pesanan, sampai mencarikan uang kembalian. Adapun untuk bayarannya, setiap martabak yang terjual di atas jam 10 malam, adalah bagianmu, dan kau juga dapat komisi 500 perak, setiap martabak yang kujual. Bagaimana?”
Andalas berpikir sejenak.
“Hmm, baiklah Allary. Hitung-hitung aku membantumu, lumayan juga dapat uang saku tambahan.”
Aku diam-diam menghela nafas lega. Andalas mau menerima tawaranku. Itu adalah bagian dari penjelasan Tante Sri tadi malam, sebelum aku tidur, setelah selesai belajar membuat martabak. Selain mengajariku soal pembagian keuntungan dengan Andalas, Tante juga mengajariku mengelola keuangan.
“Allary, jika kau bisa mencapai omset hingga 100 ribu di hari senin, tolong hemat uang itu untuk uang jajan sampai senin berikutnya. Hanya itulah jatah uang jajanmu. Omset hari lain, dari Selasa sampai Minggu, bolehlah ditabung.
Coba bayangkan, jika memperkirakan kamu dapat omset rata-rata 600 ribu perminggu, itu artinya kamu bisa mengumpulkan 2 juta rupiah dalam satu bulan, 2 juta rupiah bersih. Terus tabung, hingga kamu lulus SMA. Dengan jangka waktu dua tahun saja, kamu sudah bisa mengumpulkan uang hampir 50 juta rupiah. Uang sebanyak itu bisa kamu gunakan untuk kuliah atau memulai usaha.”
Begitu pesan beliau. Singkat, namun amat menentukan hidupku ke depannya.
112
Aku Harus Kuliah?
“Apa? Aku harus kuliah?”
Itulah kalimat pertanyaan yang menggantung di ruang tamu rumahku malam ini. Waktu telah melesat cepat. Sekarang aku harus terperangkap dalam pembicaraan serius dengan Tante Sri dan Kang Adam, soal kuliah. Astaga, seharusnya tadi aku langsung menghindar saja begitu Kang Adam mengatakan bahwa dia libur berjualan hari ini.
Itu adalah sesuatu yang sangat jarang dilakukannya. Harusnya aku tahu, kalau itu adalah tanda-tanda Kang Adam mau membicarakan perkara besar.
Soal kuliah.
Bukannya aku tidak ingin, bukan. Aku masih cinta dunia akademisi. Aku masih punya minat menekuni puluhan buku setiap minggunya. Namun menimbang bagaimana aku menangani usaha perdagangan martabakku dalam dua tahun ini, kuliah adalah sesuatu yang layak dipertimbangkan ulang, untuk ditolak.
Dua tahun ini, kedai di perempatan, yang kukontrol sepenuhnya, bersama Andalas, bergerak stabil. Keuangannya stabil, pembelinya juga stabil. Hei, kurasa hanya dengan berdagang martabak saja, aku sudah bisa memelihara hidupku ke depannya. Tidak perlu kuliah.
Orang kuliah saja banyak yang pengangguran.
“Kuliah itu penting, Allary.” Tante Sri kembali bersuara, “kamu benar, kamu sudah punya kesempatan, jalan untuk maju ke depan, kamu punya kedai, punya jalur usaha. Tapi hanya satu. Kuliah akan membantumu menemukan jalur lain, jalan lain, lebih banyak kesempatan.”
Aku terdiam. Masygul hendak menyahut apa.
“Tante kamu benar, Allary. Lihatlah aku, pamanmu ini, sekarang memang sudah punya usaha, bahkan usaha itu berkembang sampai punya banyak cabang. Tapi kamu tahu, apa penyesalan terbesar aku sampai hari ini, saat aku menolak bangku kuliah. Sungguh aku menyesal sekali. Andai aku kuliah dulu itu, mungkin sekarang di belakang namaku sudah ada huruf S nya.” Kang Adam nyengir.
“Selain itu kamu juga punya kesempatannya, Allary. Sejak dua tahun yang lalu, Tante sudah mengingatkanmu bukan? Menabung, Tante bahkan ikut mengawasi tabungan kamu. Semuanya untuk saat ini. Ambillah Allary, ambil kesempatan itu, maka akan terbuka banyak kesempatan lain. Kamu jangan lupa, bahwa ada jutaan orang di negeri ini, yang menangis karena tidak menikmati bangku kuliah.”
“Dimana aku harus mendaftar?” akhirnya aku bertanya.
“Universitas Indonesia.” Tante Sri yang menjawab.
Aku ternganga. Aku harus kuliah di UI? Serius? Anak pedagang martabak kuliah di UI? Ide sinetron yang amat menjanjikan.
Malam itu pembicaraan berakhir tanpa ada kesimpulan. Aku memutuskan pergi ke kedai, mengecek pekerjaan Andalas. Tadi aku buatkan dia lebih dulu, 100 bungkus martabak. Ketika aku sampai di sana, dia sedang kipas-kipas dengan sobekan kardus. Tidak ada apa-apa lagi di etalase.
“Secepat itu habisnya, Andalas?” tanyaku, keheranan. Sekali lagi, Andalas membuatku heran.
“Ya, tadi ada ibu-ibu dengan setelan bagus memborong 70 bungkus. Sepertinya untuk acara.”
“Astaga, hari yang beruntung.” Aku duduk, menarik kursi.
“Ah ya, apa setelah ini kau akan buat martabaknya lagi, Allary? Ini baru pukul 9 malam, kurang seperempat.”
Aku menggeleng, malas membuat martabak setelah pembicaraan dengan Tante Sri dan Kang Adam tadi. “Biar saja Andalas. Yang tadi itu sudah cukup.”
“Hei, kau kenapa, Allary? Kenapa tampak murung? Apa yang dibicarakan Kang Adam tadi?” tanya Andalas, ingin tahu.
“Bukan apa-apa. Apapun itu, kau akan tetap bekerja besok,” sahutku. Andalas tertawa. Menyeringai. “Oh aku tahu, kau disuruh Kang Adam nikah ya, dengan anak kenalannya? Wah kalau cantik, langsung terima saja, Allary.”
Aku menyikut Andalas. Orang bingung kenapa dia malah jadikan olokan.
“Memangnya kenapa kalau cantik. Sepertinya kau sudah terlalu terobsesi dengan wanita cantik, Andalas.”
Andalas duduk takzim, “dengarkan aku, Allary. Cantik itu adalah sebuah standar. Bahagia itu juga sebuah standar. Bedanya apa? Bahagia itu standarnya kita sendiri yang ciptakan. Kalau cantik itu, dibantu dengan standar yang dibuat orang banyak. Kamu mau pilih wanita yang cantik menurutmu (atau jelek) atau menurut standar orang banyak, ya terserah. Tapi ingat, kau hidup bersama standar orang banyak. Kalau kau tidak kuat dengan prinsipmu, siap-siap hidupmu tidak bahagia. Jadi aku lebih suka mencari wanita cantik. Kesimpulannya adalah, wanita cantik memang tidak menjamin hidupmu bahagia, tapi wanita cantik bisa membukakan lebih banyak kesempatan bagimu untuk bahagia.”
Aku terdiam. Bukan, bukan untuk teori ngaco dari Andalas. Itu tidak perlu dipikirkan. Namun jika aku mengganti kata “cantik” dengan kata “kuliah” serta kata “bahagia” dengan kata “sukses”, maka akan tercipta kalimat yang cemerlang. Andalas telah memberiku pencerahan. Untuk itulah aku berterima kasih padanya. Kujabat tangannya. Dia malah kepedean.
“Sama-sama, Allary. Nanti kalau kau ada masalah di ranjang, aku bisa memberi saran lain.”
Segera kusuruh dia membereskan kedai. Dagangan habis, lebih baik kedai ini ditutup.
Malam itu juga, setelah pulang dari kedai, setelah mendengarkan kalimat Andalas versi yang sudah kuganti, akhirnya aku menerima keputusan Tante Sri dan Kang Adam. Kuliah di UI. Itu adalah satu hal yang akan mengubah hidupku selamanya.
Tante, demi mendengar jawabanku, menatapku dengan penuh penghargaan, “inilah tugas terakhir Tante, Allary. Mengantarmu ke gerbang sarjana.”
113
Kampus UI, Masa Ospek dan Petinju
Hari pertamaku masuk UI, yang juga merupakan hari pertama masa ospek adalah hari yang penuh kejutan.
Pertama, aku terkejut setengah mati saat Andalas muncul di depan rumah, berteriak-teriak meminta izin nebeng. Kutanya dia mau kemana? Lalu Andalas menjawab mantap.
“Ya ke UI-lah. Aku kan juga seorang mahasiswa baru.”
Giliran aku yang terbelalak. Andalas selalu memiliki cara untuk membuat aku terheran-heran.
“Kau juga mendaftar kuliah, Andalas?”
“Hei kawan, bukan cuma kau yang mau sukses bukan? Kau ingat kata-kataku beberapa malam yang lewat kan, Allary?” Andalas memutar bola matanya, seperti mengejek.
Sial, ternyata Andalas juga paham konteks kalimatnya kemarin malam. Andalas pintar juga ya.
“Sudahlah,” kataku pada akhirnya, menghidupkan sepeda motor. Lalu tanpa permisi Andalas naik ke tempat duduk belakang sepeda motorku. Ya, kami meluncur ke kampus. Hari pertama ospek.
Dan juga merupakan hari yang cukup sial.
Pukul 7.24 pagi. Aku yakin sekali, arlojiku hari itu berjalan sesuai fungsinya. Tidak terlambat satu menitpun. Dan aku yakin persis, bahwa aku tidak sedang rabun. Pukul 7.24 pagi. Sedangkan batas akhir jam masuk, adalah pukul 7.30 pagi. Itu artinya kami aman. Tidak terlambat.
Tapi nasib berkata lain.
Saat kami sampai, dua orang kakak tingkat, panitia ospek sudah menyalak nyaring pada kami. “KALIAN TERLAMBAT!!! CEPAT MAJU KE DEPAN!”
Aku dan Andalas saling berpandangan. Sama herannya. Apa kami terlambat? Kurasa tidak. Jamnya juga tepat. Apa yang salah. Memang sudah banyak orang berbaris di lapangan besar itu. Dan kami digiring (atau tepatnya dipaksa, diseret-seret) menuju ke depan.
Mahasiswa lainnya yang berpandangan. Kakak tingkat yang lain juga. Hei ada apa dengan dua mahasiswa sial ini? Mereka langsung dimarahi di hari pertama, tepat di depan semua orang yang sedang berbaris. Alangkah memalukannya. Andai Andalas menonton dari barisan sana, dia pasti susah payah menahan tawa. Sayang, dia dan aku menjadi pesakitan di sini.
“KALIAN TAHU APA KESALAHAN KALIAN!!!” Kakak yang tadi menyeret kami berdua, kembali meneriaki kami dengan keras. Sampai semua yang mendengar terlihat jeri. Apalagi aku dan Andalas yang sedang dimarahi.
“KALIAN TAHU HAH?!!! CEPAT JAWAB!”
“Eh ampun kak, ampun.” Tanpa sadar aku yang menjawab. Saat itulah aku sadar bahwa ternyata mentalku lemah. Sejak kecil aku selalu dilindungi oleh Mama, oleh Tante Sri. Aku tidak pernah dibentak. Jadi aku tidak akan pernah terbiasa.
“BARU HARI PERTAMA, SUDAH BIKIN MALU!” Kakak panitia itu kembali membentak kami dengan suara keras. Andalas ikut ciut di bawah tatapan marah kakak pembimbing itu.
“JAWAB WOY!” Kakak pembimbing itu mendorong kami berdua hingga terduduk. Mentalku hancur. Dibentak, dipermalukan. Astaga ini mengerikan. Andalas di sebelahku nampak bergetar.
“Kalian itu laki-laki. Harusnya jawab yang tegas. Jangan seperti anak perempuan. JANGAN SEPERTI PEREMPUAN, KALIAN DENGAR!!!”
Nah, kalimatnya yang terakhir itu, memberikan efek tak terduga. Andalas yang sedari tadi bergetar, tiba-tiba bangkit, lalu dengan gerakan yang super cepat, bak seekor harimau menerkam mangsanya. Memukul kakak panitia yang dari tadi berteriak marah itu. Tak terelakkan.
BUKKKK!!!
“Aku rela dimarahi, rela dihukum. Tapi jangan pernah samakan aku dengan anak perempuan. KAU DENGAR ITU!!!” Andalas berseru, tak kalah seram. Temanku itu memang bertubuh tinggi dan atletis. Tinjunya tadi membuat kakak panitia terlempar satu meter ke belakang.
“WOY JANGAN MAIN PUKUL DONG! MAHASISWA BARU TAK TAHU DIRI!” Seseorang dari barisan panitia berteriak, dia nampak ditahan oleh beberapa rekannya. Wajahnya memerah. Marah menggelegak.
“Kalau berani, maju ke sini,” Andalas berseru datar, menantang.
“KURANG AJAR!”
Terlepas sudah kemarahan beberapa panitia. Acara ospek itu sempurna rusuh. Satu orang hendak meninju Andalas, namun Andalas bisa menghindar dengan baik. Dia meloncat ke belakang. Tepat saat itu, muncul seseorang dari kerumunan barisan mahasiswa baru. Berseru tenang.
“Berhenti!”
Dan suaranya benar-benar membuat siapa saja yang marah pada Andalas saat itu, berhenti. Atau teralihkan.
“Siapa pula kau? Jangan menambah keributan ya, kembali ke barisan kau.”
Mahasiswa baru yang satu itu, maju dengan santai. “Sudahlah. Kenapa harus diperpanjang. Mereka berdua tidak terlambat, lihat.” Dia menunjuk kami berdua, lalu menunjuk jam.
“Diam kau, tak usah sok tahu.”
“Apanya yang sok tahu kak, coba lihat ini. Baru pukul 7 lewat 31 menit. Itu artinya satu menit lewat dari batas waktu keterlambatan. Sedangkan kalian sudah bertengkar di depan selama lima menit lebih. Artinya pula, mereka berdua tidak datang terlambat.”
“Kau mau cari gara-gara juga ya!!” Kakak panitia itu mengarahkan tinju pada si mahasiswa yang baru maju.
BUKKKK!!!
Tahu-tahu kakak panitia terjungkal. Mahasiswa baru itu, melayangkan tinju juga. Lebih cepat. Lebih akurat.
“Aku tidak suka cari keributan. Aku cuma menegaskan bahwa mereka tidak terlambat. Dengan kata lain, kalian sengaja mengarang kesalahan mereka hanya untuk menunjukkan dominasi. Ayo, aku memang tidak suka berkelahi, tapi kukira hari ini aku ada di pihak yang benar.” Mahasiswa itu memasang kuda-kuda.
Untungnya masalah hari itu tidak berubah jadi pertumpahan darah. Urusan berakhir di ruangan dekan. Dua kakak panitia, kami bertiga (aku, Andalas dan si mahasiswa tenang) serta dua orang mahasiswa baru sebagai saksi, dipanggil. Menjelaskan semuanya.
Akhirnya setelah beberapa kali ada debat yang sengit, terutama karena Andalas yang memulai keributan, bapak dekan yang terhormat memutuskan, bahwa kami, para mahasiswa baru tidak salah. Aku, Andalas dan si mahasiswa yang tenang itu, menghela nafas lega.
Di ruangan dekan pula, si mahasiswa tenang, memperkenalkan dirinya sebagai Thahir.
Sejak itu, aku, Andalas dan Thahir tidak terpisahkan sebagai kawan erat.
114
Kembali ke Cerita Utama
Tangga Surga, Gunung Sarsa, Pegunungan Pahadaru, sekitar pukul 10 siang.
“Ceritamu panjang sekali, ketua,” Turguy mulai menyela. Allary sudah bercerita selama satu jam nonstop. Atau bahkan lebih. Turguy tidak masalah untuk mendengarkan, tapi waktu yang jadi masalah mereka. Mereka tidak bisa berlama-lama di puncak gunung tertinggi di dunia.
“Sabar, Turguy,” kata Allary, berdecak, “ceritanya memang berjalin panjang. Mama, Tante Sri, Kang Adam, hingga Andalas dan Thahir. Semua itu berhubungan. Aku tidak bisa meninggalkan satu bagian, nanti kau tidak paham.”
“Sejauh ini aku paham, ketua. Kau ditinggal pergi orang-orang terbaikmu. Kau jelas orang yang tangguh, bisa bertahan dan terus tumbuh dari situasi seburuk itu. Tapi aku belum menemukan hubungan dengan anggapanmu bahwa perjalananmu ini sia-sia. Aku belum ketemu.”
“Itu karena ceritaku belum sampai ke intinya, Turguy. Inti permasalahan dari hidupku justru baru datang ketika aku masuk di UI. Saat itulah semuanya mulai jadi masalah.”
“Aku mulai bisa meraba-raba kemana arah ceritamu, ketua.”
“Boleh aku lanjut bercerita, Turguy?” Allary mendesak.
“Boleh, tapi kita harus sambil berjalan. Kita tidak bisa duduk-duduk saja di sini selama 2 jam. Aku bahkan tidak tahu kapan Awan Hitam dari Selatan itu akan datang lagi. Apakah kau bisa melanjutkan cerita sambil berjalan, Ketua?”
“Oh tentu,” sahut Allary. Mulai nyaman bercerita. Karena baginya, mengenang semua kejadian itu saja sudah membuatnya senang, apalagi jika dia bisa mengubah keadaannya menjadi lebih baik.
Turguy melihat ke arah langit, memperkirakan posisi matahari. Arloji Allary mati sejak di Death Zone. “Semoga ceritamu selesai dalam satu jam berikutnya, ketua.”
“Setengah jam juga cukup, Turguy.”
“Lanjutkan Allary, aku ingin tahu kelanjutannya,” Vivi di belakang, tiba-tiba mendesak.
Allary menghela nafas. Baiklah, dia akan lanjut bercerita.
115
Jatuh Cinta, pada Pandangan Paling
Pertama
“Allary, kau pernah jatuh cinta?” entah ada angin apa tiba-tiba siang ini, Thahir menanyakan hal itu padaku. Kami sedang istirahat makan siang di kantin. Mungkin Thahir kesulitan mencari topik percapakan yang lain.
“Haruskah aku menjawab pertanyaan itu?” sahutku, menyendok kuah soto.
“Tidak juga. Tapi hanya saja di sini, di antara kita bertiga, cuma kau yang kehidupan asmaranya tertutup. Misterius. Coba lihat aku dan Andalas, kami punya pasangan. Bagaimana denganmu, Allary?” Thahir masih mencoba bertanya, sekarang nadanya setengah mendesak.
Aku berdecak. Yang dibilang Thahir itu benar. Dia dan Andalas sama-sama punya pacar. Thahir berpasangan dengan seorang mahasiswi asal Semarang, namanya Aisya. Sedangkan Andalas, ah sudah, tak usah kujelaskan. Dia playboy. Pemain liar di dunia percintaan.
Hanya aku yang masih jomblo.
“Astaga, sudahlah Thahir, kenapa kita tidak membahas hal lain saja. Misalnya soal soto hangat ini,” kataku, menyahuti. Berharap dengan jawaban ini, Thahir bisa menganggap aku tidak nyaman dengan pembicaraan dan berhenti menanyaiku soal itu.
“Sudahlah, kalau Allary tidak berniat untuk cerita, lebih aku yang cerita.” Andalas nyengir di sebelahku.
Lalu kemudian Andalas bercerita dengan berapi-api soal bagaimana hubungannya dengan seorang gadis bernama Bunga. Bagaimana gagah dan romantiknya saat dia mengungkapkan rasa, bagaimana dia merasa beruntung mendapatkan hati Bunga. Beberapa saat kemudian, Thahir menutupkan tangannya ke mulut Andalas.
“Sudah. Aku muak mendengar ceritamu itu,” kata Thahir. Andalas nyengir lagi.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Urusan cinta ini dalam hidupku jauh lebih sulit.
Aku tumbuh dengan kasih sayang yang maksimal dari Tante Sri. Aku selalu merasa cukup dengan itu. Memiliki Tante Sri dan Kang Adam selama ini sebagai keluargaku, itu cukup bagiku. Aku belum pernah jatuh cinta. Padahal umurku sudah dekat 17 tahun. Aku memang amatir dalam hal ini, terkadang itu memalukan untuk diceritakan. Untungnya hari itu, Thahir tidak lagi mengungkit soal cinta-cintaan.
Di UI, aku dan Thahir satu kelas dan satu jurusan. Ilmu Sejarah. Thahir masuk di situ karena dia tidak lulus di jurusan pertama yang diingininya, jadi guru sejarah. Sedangkan aku, memang merasa jurusan itu sesuai dengan minatku.
Selain kuliah, tentu saja aku juga berjualan martabak. Kabar baiknya Andalas sekarang sudah berhenti bekerja denganku. Dia disuruh oleh orang tuanya untuk fokus kuliah. Atau bagi Andalas fokus mencari korban-korban baru.
Semasa SMA, aku pulang pukul 4 sore, tergopoh-gopoh datang ke gerobak, tak sempat beristirahat, hanya sempat makan di rumah. Sekarang malah lebih sibuk lagi.
Tante Sri sampai harus memasukkan nasi ke dalam rantang untuk bekalku. Aku baru bisa makan di sela-sela mengolah martabak. Selain makan, aku juga membawa laptop. Aku harus mengerjakan tugas sambil berjualan. Hidupku benar-benar sibuk.
Mana sempat aku jatuh cinta? Jika setiap hari aku sibuk berjualan, mengerjakan tugas, membawa laptop di sela gerobak martabak. Luar biasa. Pulang pukul sebelas malam, langsung tertidur, untuk bangun pukul 5 pagi. Kuliah lagi. Siklusnya selalu begitu.
Sekitar 2 bulan aku kuliah, akhirnya datang warna baru dalam hidupku. Tuhan memberikan sesuatu yang berbeda. Untuk mewarnai hidup Allary Azra.
Hari itu, hujan gerimis mengguyur kota. Gerimis tipis-tipis ketika aku mulai membuka kedai. Meski hari ini hujan, aku tetap optimis. martabak yang hangat di tengah udara dingin, sungguh kombinasi yang sangat tepat.
Setengah jam berlalu, tidak ada pembeli. Aku sudah memasak beberapa martabak, memasukkannya dalam kotak. Menata etalase. Orang-orang mulai memadati jalanan protokol. Gerimis semakin tipis. Ah akhirnya, kata hatiku menghela nafas lega.
Lalu singgahlah seorang pembeli. Seorang wanita muda yang naik motor matic. Aku tersenyum, pembeli pertamaku hari ini. Dia membuka helm, sorot matanya seketika seperti terkejut. Aku tidak bisa melihat ekspresi penuh wajahnya, karena dia memakai masker.
“Loh, Allary?!” dia berseru tertahan. Dia menyebut namaku, hatiku langsung bertanya-tanya. “Ternyata kamu berjualan martabak ya?”
“Iya, ini kedaiku. Eh maaf, aku tidak mengenalmu kalau memakai masker begitu.” Aku menyahut lagi, garuk-garuk kepala.
“Oh iya,” gadis itu membuka maskernya, dan aku langsung terbelalak kaget. Oh, aku mengenal gadis ini. “Anita?” seruku tertahan.
116
Anita, Gadis Bermata Cemerlang
“Baru tahu aku, ternyata teman sekelasku ada yang jago bikin martabak,” katanya sambil menunggu pesanan martabaknya masak. Dia? Siapa? Ya siapa lagi, gadis yang tadi, Anita.
“Eh, jago? Tidak, aku tidak jago,” sahutku, berusaha tetap tenang. Hei ada apa dengan tubuhku. Wajahku tiba-tiba terasa panas.
“Jangan merendah, Allary. Ini kedai martabak Kang Adam, pembuat martabak terbaik di Jakarta, dan kau bekerja padanya. Hei bukankah itu artinya kau juga jago.”
Aku berdecak. Kenapa gadis ini tidak asyik memainkan ponsel saja, seperti manusia kebanyakan, kenapa malah mengajakku ngobrol. Sekarang wajahku terasa lebih panas daripada wajan tempat martabak sekarang dimasak.
Anita itu teman sekelasku. Dia juga seorang mahasiswi jurusan ilmu sejarah. Dia mahasiswi yang populer. Tidak di kelas, tapi di seantero fakultas. Bukan tanpa alasan, Anita sangat cantik. Setidaknya itu menurutku yang tidak biasa bersentuhan dengan dunia percintaan, kalau mau gambaran yang lebih detail, mungkin Andalas bisa memberikannya nanti.
Aku berusaha menyelesaikan pesanan martabaknya secepat mungkin. Rasanya langit-langit kedai ini hendak runtuh menimpaku. Cepat-cepat aku potong, cepat-cepat aku bungkus. Satu buah martabak jumbo spesial. Martabak paling mahal yang dijual di kedaiku.
“Ini, Anita,” panggilku, sekarang gadis itu malah asyik main handphone. Hei kenapa dia harus main hape saat aku memanggilnya, hei kenapa pula aku harus mempermasalahkan hal itu. Karena kuanggap Anita tidak mendengar, aku dekati dia.
“Ini, Anita. Pesananmu sudah jadi,” kataku, menjulurkan pesanan martabaknya.
“Eh sudah ya, Allary.” Dia mendongak. Dan saat itulah, tanpa terhindarkan lagi, mataku bersitatap dengan matanya. Sebuah kilatan listrik dipercikkan oleh matanya, menjalar ke mataku, masuk ke saraf, dan tiba di hati. Menciptakan sebuah sensasi baru nan ganjil.
Love at the first sight. Cinta pada pandangan yang pertama.
“Berapa, Allary?”
“Lima puluh ribu,” jawabku. Memang begitu harganya.
“Ada diskon tidak nih, untuk teman?”
Oh Tuhan, dia menganggapku teman? Padahal kami tidak pernah menyapa selama ini di kampus. Aku harus apa?
“Eh potongan harga?” aku tergagap, berpikir cepat, ayolah Allary, dia hanya pelanggan biasa. Tidak perlu mendramatisir. “Baiklah, untuk pembelian pertama saja ya.”
“Asyik,” sorainya, “jadi berapa aku membayar, Allary?”
“Cukup 35 ribu saja deh. Tapi jangan bilang ke siapa-siapa ya,” akhirnya aku bisa mengucapkan kalimat dengan sempurna.
Anita menyerahkan uang pas, aku menerimanya. Kemudian melambaikan tangan, beranjak pergi. Gerimis sudah teduh sepenuhnya.
Hei, ada apa dengan gadis itu? Tiba-tiba aku bertanya pada hatiku sendiri. Perasaan berdebar, perasaan sengatan listrik itu, perasaan luar biasa, ada apa dengan gadis itu. Kenapa dengan dia? Hatiku terus bertanya-tanya.
Hei, 17 tahun hidupku, aku tidak pernah gagap, kikuk atau salah tingkah begitu di depan seorang gadis. Lalu kenapa dengan Anita? Apa yang berbeda dengan dia?
Entahlah, tapi itulah Anita. Dia adalah cinta pertamaku, sekaligus cinta terakhirku, sampai hari ini.
Anita, seorang gadis bermata cemerlang.
Aku mencoba menenangkan diri, meski aku sudah tidak semangat lagi mengurusi kedai hari ini.
117
Cinta Bak Manisan Mempelam
“Hei, kenapa kau selalu duduk di sini, akhir-akhir ini, Allary? Malas pulang?” Thahir bertanya. Dia memergokiku duduk di kursi taman belakang Fakultas Ilmu Budaya saat pulang kuliah. Dia tidak salah, aku jarang sekali duduk santai setelah kuliah selesai, selalu terburu-buru. Dan dia juga benar, aku memang malas pulang.
Malas karena satu alasan.
Dari bangku kursi taman belakang ini, tempat parkir mahasiswa FIB hanya sepelemparan batu saja. Dipisahkan oleh pagar kawat berduri yang rimbun dililit dedaunan. Hanya saja, ada beberapa celah yang terbuka. Tidak cukup untuk meloloskan diri, bolos, tapi cukup untuk mengintip. Dan itulah yang kulakukan.
Ya, aku mengintip.
Beberapa hari yang lalu, setelah menyadari bahwa rasa percik listrik yang kurasakan saat bersitatap dengan Anita, berbuntut panjang, aku menemukan tempat ini. Aku menyadari bahwa Anita meletakkan sepeda motornya tepat di sela-sela rimbun daun yang terlihat dari kursi taman belakang FIB ini. Jadi aku diam-diam mengintipnya dari sini. Jauh lebih aman daripada bermain curi-curi pandang di kelas.
Ya Andalas boleh saja bilang (kalau dia tahu, tapi dia tidak akan pernah tahu, aku jamin) caraku ini amatir dan pengecut, tapi apa boleh buat? Tujuh belas tahun aku tak pernah jatuh cinta pada seorang wanita, masa iya aku langsung main terobos macam Andalas? Tidak bisa seperti itu.
“Hei, Allary, kau tidak menjawab pertanyaanku,” Thahir menegur lagi. Aku tersadar kalau dia masih berdiri di depanku. Tak bisa tidak kuladeni, sebab dia bisa menebak yang tidak-tidak nanti.
“Tidak apa-apa kok. Cuma sekedar ingin santai saja.”
“Mana ada Allary, mahasiswa yang punya kedai martabak tersohor di kota, ingin santai-santai. Tak ada itu dalam kamus kau, Allary.”
Cih, aku berdecak sebal. Baiklah, hari ini sebaiknya aku pulang saja. Terpaksa melewatkan satu kesempatan emas menatap Anita dari kejauhan. Daripada kuteruskan lalu Thahir bisa menebak jalan pikiranku.
Untungnya dua hari berikutnya berlalu tanpa ada gangguan lagi dari Thahir. Dia pulang bareng Aisya, tak sempat mengecek ke bangku belakang. Baguslah, aku bisa menikmatinya.
Menikmati?
Ya, lihat dari bangku taman yang nyaman ini, tak sampai selemparan batu di depan sana, Anita sedang memasang helm. Aku bisa melihatnya wajahnya dengan jelas, jilbab pink yang dia pakai, baju dan celana yang dia pakai, Anita selalu tampil elegan, mengesankan bahwa dia tahu selera fashion.
Kadang aku berandai-andai, aku bisa datang ke sana, mengobrol sepatah dua patah kata, bertanya dimana rumahnya, atau lebih baik lagi, mengajaknya pulang bareng. Astaga, khayalan bisa melebar kemana-mana kalau dibiarkan.
Dua minggu setelah aku mengenal Anita di kedai martabakku, akhirnya pembicaraan itu, muncul ke permukaan.
“Kau suka dengan Anita ya, Allary?”
Aku ternganga. Tersedak. Kuah sup panas tersangkut di tenggorokanku. Membuatku gelagapan mencari air minum. Terkejut bukan main mendengar pertanyaan Thahir menohokku tanpa preambule. Bagaimana bisa dia menebak.
“Apa yang kau bicarakan Thahir. Astaga, jangan mengada-ngada.”
“Sebenarnya aku dan Andalas melakukan eksperimen kecil terhadap kau dua hari terakhir. Dan kami mengambil kesimpulan bahwa kau menyukai Anita.”
“Hei bagaimana bisa kesimpulan semacam itu bisa muncul.”
“Gampang, Allary. Berawal dari kebiasaan kau yang tak biasa duduk bersantai di kursi taman belakang FIB itu. Jelas, seperti yang kubilang juga, Allary tidak mungkin bersantai, tanpa suatu sebab. Karena aku penasaran, aku menanyakannya pada Andalas, pakar percintaan,”
“Dan menurut pakar, hanya cinta yang bisa membuat kebiasaan baru yang aneh-aneh,” Andalas memotong kalimat Thahir sambil tersenyum jumawa, sebab disebut pakar.
“Kemudian aku dan Andalas,” sambung Thahir, “menyusuri parkiran, melihat dimana sebenarnya titik yang kau amati setiap hari di taman belakang itu. Akhirnya ketemu. Kursi taman belakang itu tepat menghadap ke tempat dimana Anita sering meletakkan sepeda motor.” Thahir menyelesaikan penjelasannya.
“Sungguh, itu kesimpulan yang terlalu terburu-buru,” sahutku, berusaha sekuat mungkin agar tidak salah tingkah.
“Astaga Allary, itu kesimpulan yang kuat,” Thahir membantah.
“Deduksi yang kau pakai itu terbengkok, seharusnya hal itu tidak...”
“Berhubungan,” potong Andalas sengit, “sudahlah Allary, akui saja. Apa susahnya. Toh kalau kau suka dengan Anita, itu bukan aib. Itu wajar, apalagi gadis itu cantik dan memesona. Justru kalau kau bilang tidak tertarik dengan gadis secantik itu, nah itu baru sebuah aib. Kau bisa jadi tertuduh gay.”
Thahir tertawa, “nah itu baru kesimpulan yang terburu-buru, Allary.”
“Hei, tapi aku serius, jangan mengambil kesimpulan begitu hanya gara-gara aku sering duduk di kursi taman belakang,” aku masih coba membantah. Tapi tentu saja Andalas dengan pengalaman cintanya yang sejibun, tidak bisa dibodohi.
“Sudahlah Allary, makin kau membantah, makin terlihat sebaliknya. Itu benar. Thahir catat baik-baik, teman kita ini jatuh cinta dengan Anita.”
“Siap,” sahut Thahir bersemangat, “sudah didekati belum nih, Allary? Masa iya cuma dipandangi dari jauh.”
Aku diam, sediam-diamnya.
“Tapi, kalau aku boleh memberi saran, pendekatan yang kau ambil sudah benar, Allary.”
“Eh kok bisa begitu, Andalas?” Thahir menyahuti.
“Anita itu bukan gadis sembarangan. Aku pernah mencoba mendekatinya, gagal. Ditolak mentah-mentah. Sepertinya dia punya selera yang amat tinggi. Untuk sementara, apa yang Allary lakukan, itu sudah benar. Mengambil ancang-ancang, mengukur jalan, sebelum mendekat dan menembak. Sudah benar.”
Sekali lagi Andalas tersenyum jumawa, merasa dirinya pakar cinta.
118
PDKT Jalur Martabak
“Bagaimana, Allary?”
“Bagaimana apa?” aku balik bertanya pada Thahir, kami sedang berjalan menyusuri jalan menuju FIB di satu pagi, sekitar seminggu setelah Andalas menjadi pakar percintaan.
“Ya PDKT kau dengan Anita lah, ada kemajuan?”
Aku mengeluh dalam hati. Kalau tahu situasinyat tambah rumit setelah mengaku, kurasa aku tidak akan pernah mengaku aku suka dengan Anita. Yahh, aku memang mengaku, tepat seminggu yang lalu, setelah interogasi habis-habisan dari Thahir dan Andalas.
“Tidak ada Thahir. Tidak ada kemajuan.”
“Astaga. Jadi selama satu minggu ini kau hanya memandanginya setiap jam pulang dari taman belakang FIB itu?”
Aku mengangguk.
“Tidakkah kau ingin melakukan sesuatu yang lebih dari itu, Allary.”
“Memangnya kenapa aku harus melakukannya, Thahir?”
Thahir kehilangan kata-kata. Yang bisa keluar dari mulutnya hanya decakan.
Iya aku tahu, terkadang memang ada saat-saat dimana aku merasa, hei seharusnya aku bisa melakukan sesuatu yang lebih dari ini, lebih dari sekedar memandanginya dari jauh. Tapi buru-buru aku menarik diri. Memangnya apa gunanya aku melakukan hal tersebut, apa Andalas menyebutnya, ah ya, PDKT.
Bukannya tak mau.
Lebih tepatnya mungkin aku tidak tahu caranya.
“Caranya mudah, Allary,” Thahir kembali menimpali kalimatku, sekarang dia mendapat kembali momentum untuk menyahuti, “sesekali ajaklah dia mengobrol. Ah seharusnya kemarin-kemarin saat dia pertama kali membeli martabak, kau bisa ajak dia mengobrol, tanya, bagaimana pendapatnya tentang martabak... Hei Allary, aku belum selesai!”
Thahir berseru, aku sudah lebih dulu mempercepat langkah. Sementara ini usulan Thahir itu tidak banyak membantu. Apa pula gunanya menanyai Anita tentang martabak buatanku, toh dia sendiri tahu bahwa aku menjual martabak Kang Adam, martabak terbaik di kota.
Sampai hari ini, PDKT-ku pada Anita, masih buntu. Tidak terlihat secercah pun titik terang.
Sore harinya, aku kembali membuka kedai. Segera setelah kedai buka, aku langsung menyalakan penggorengan, menempa beberapa adonan. Aku harus membuat beberapa buah martabak terlebih dahulu. Sebab setelah itu aku harus mengejar beberapa tugas kuliah yang belum sempat kukerjakan.
Bismillah.
Sebenarnya ini bukan urusan yang merepotkan. Karena aku sudah terbiasa.
Syukurnya lagi, hari itu kedai tidak terlalu ramai. Sampai satu jam aku mengerjakan tugas, tidak ada yang datang membeli. Jadi aku bisa fokus sementara mengerjakan esai yang diminta oleh dosen. Sampai bunyi itu datang.
Membuatku berdebar.
Sudah lebih dari dua minggu aku duduk mengamati Anita dari kursi taman belakang FIB. Jadi aku hafal bunyi ritme sepeda motor matic-nya seperti apa. Tidak salah lagi, bunyi yang barusan.
Anita singgah lagi di kedaiku.
“Hai, Allary,” sapanya, merapat ke etalase kaca. Aku berdiri, menyambutnya. Mencoba patah-patah tersenyum, dia hanya pembeli biasa, sekuat tenaga kuyakinkan diriku demikian.
“Hai Anita, mau pesan apa?”
“Martabak jumbo spesial dong.” Senyumnya terkembang. Aku menelan ludah. Berusaha baik-baik saja, padahal tidak baik-baik saja.
“Oh boleh, tunggu sebentar ya.” Aku mengambil martabak yang tadi sudah kumasak lebih dulu, Anita melihat hal itu, berseru tiba-tiba.
“Eh itu martabak apa?”
“Jumbo spesial kan?”
“Eh aku mau yang panas, boleh?”
Aku mengangguk. Beberapa pelanggan tidak masalah dengan martabak yang dingin, tapi beberapa lainnya sensitif. Baiklah, aku mengangguk. “Tunggu sebentar ya,”
“Baiklah.” Anita duduk di kursi pembeli.
Sekuat apapun aku meyakinkan diriku bahwa Anita hanyalah pembeli biasa, hatiku tetap bertekad membuatkan sesuatu yang terbaik untuknya. Dengan hati-hati aku menempa adonan, dengan hati-hati menuangkan isi, bahkan aku melipat ujung-ujung martabak dengan teliti.
“Eh Allary, kamu sedang mengerjakan apa?”
“Apa? Bukankah aku sedang membuatkan martabak pesananmu?”
“Eh bukan,” Anita menyahut lagi dengan senyum terkembang, “maksudku dengan laptopmu yang terbuka di sana.”
“Oh. Itu, aku sedang mengerjakan tugas esai dari Pak Setiabudi.”
“Hei, esai itu ya. Aku pusing tujuh keliling. Boleh aku lihat, Allary.”
“Perlu aku ingatkan bahwa kamu datang ke sini untuk membeli martabak, bukan untuk mencontek,” sahutku, dengan nada riang, berniat bercanda.
“Bukan, aku tidak berniat mencontek, Allary,” Anita menggeleng, “aku cuma ingin mencari inspirasi.”
Lalu dia merapat ke arah laptopku. Untung bagiku, aku baru menulis lima alenia. Jadi Anita tidak bisa mencontek terlalu banyak. Tapi dia tetap membaca tulisanku itu dengan saksama. Itu terlihat dari wajahnya.
Aku menyelesaikan pesanan Anita, memasukkannya dalam kotak, lalu mendekat. Astaga, baru pertama kali ini aku mendekat pada gadis yang selama dua minggu terakhir selalu kuamati diam-diam.
“Astaga, apa yang kau baca? Serius sekali,” kataku, masih mencoba bercanda. Anita mendongak, aku cepat-cepat mengalihkan pandangan ke tuts keyboard.
“Esaimu ini menarik sekali, Allary. Ternyata kamu tidak hanya ahli dalam membuat martabak.”
Aku mengangkat bahu, “biasa saja. Aku hanya mencoba yang terbaik saja.”
“Astaga, kalau tahu begini, kenapa tidak dari dulu kita berteman, Allary. Kan enak punya teman yang bisa diajak berbagi inspirasi.”
Kalimat Anita itu sungguh menggetarkan. Aku berusaha senormal mungkin, “ini martabakmu.” Fokus menyerahkan kotak martabak ke tangannya.
Anita kembali tersenyum, “ini uangnya Allary. Pas kan, 50 ribu?”
“Iya. Terima kasih sudah mampir, Anita.”
“Mungkin lain kali, aku akan mampir lagi, Allary.”
119
Mulai Tercium
“Hei, kenapa kau senyum-senyum sendiri, Allary?” Thahir yang beberapa hari ini selalu ingin tahu, kembali bertanya padaku pagi ini. Aku berdecak, kenapa pula aku harus bertemu dengan Thahir pagi hari ini.
Jadi hari ini, aku memang tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum-senyum. Sebabnya, tepat saat aku tiba di parkiran tadi, aku berpapasan dengan Anita yang juga baru datang. Anita sampai melambai menyapaku, “Hai Allary,” kubalas dengan, “selamat pagi Anita. Aku duluan ya.”
Hei, itu kalimat sempurna nan ceria yang pertama bisa kuucapkan pada Anita. Celakanya, tepat setelah aku memasuki belokan ke gedung FIB, Thahir memergokiku di sana. Tersenyum jahil.
“Kau lagi-lagi tidak menjawab pertanyaanku, Allary.” Karena merasa dicueki, Thahir kembali bersuara, aku tetap tidak menjawab. Hanya meletakkan jari telunjuk di depan bibir.
Urusan ini sensitif, jangan sampai banyak orang tahu. Apalagi Andalas. Sebaiknya urusan ini disimpan baik-baik, seperti halnya aku mengendap-endap memperhatikan Anita di kursi taman belakang tempo hari.
Thahir mengangkat bahu. Kurasa begitulah cara dia mengatakan, baiklah.
Sayangnya urusan ini tidak bisa disembunyikan seperti saat aku duduk mengendap-endap di kursi taman belakang.
Pulang dari kampus, di lorong gedung FIB menuju parkiran, aku kembali bertemu dengan Anita. Dia berjalan tepat di depanku. Itu satu ketumbenan, kukira Anita sudah pulang, jadi aku tidak menunggunya di kursi belakang taman.
Semula aku sempat ragu-ragu ingin menyapanya. Sempat maju mundur ingin menyapanya atau tidak, tapi akhirnya, dengan dorongan yang kuat dari dalam diri, akhirnya aku mencoba mengeluarkan sapaan.
“Hai Anita.”
Dia menoleh ke belakang, dengan wajahnya yang kemilau itu, tertegun sejenak, “eh Allary.”
“Bagaimana martabak yang kamu beli kemarin?”
“Oh, enak Allary. Namanya juga martabak jualan Kang Adam.”
“Tapi kan yang membuatnya aku, bukan Kang Adam,” aku mencoba menyahut, berusaha tetap tenang.
“Iya Allary. Tapi aku tahu, Kang Adam adalah seorang pedagang yang hebat. Dia terkenal, produknya terkenal, jadi dia tidak akan sembarang memilih pegawai. Rasa martabakmu tidak kalah dengan buatan Kang Adam,”
Kuanggap itu setengah pujian.
“Oh ya Allary,” Anita bicara lagi, “ngomong-ngomong, gimana ceritanya sehingga kamu bisa menjadi pegawai kedai martabak Kang Adam?”
“Loh memang apa salahnya?”
“Bukan, bukan begitu maksudku, Allary. Maksudku, eh bagaimana ya, ya sudah, tidak jadi Allary. Hehe.”
Hening sejenak.
“Aku keluarga Kang Adam. Jika itu yang kamu mau tahu,” akhirnya aku yang bersuara, merasa bersalah melihat Anita kesulitan menemukan kalimat.
“Wah, kamu keluarga orang terkenal berarti, Allary.”
Aku tersentak, tertawa dalam hati. Lucu juga lelucon Anita, “iya, begitulah,” sahutku lagi. Kehilangan momentum. Terutama karena kombinasi antara Anita yang cantik dan humornya yang lucu itu terasa membiusku.
“Jadi sehabis ini, kamu membuka gerobak lagi?”
“Tentu.”
“Kamu tidak lelah, Allary?”
“Aku sudah terbiasa,” kami saling bersahutan, tanpa kusadari aku sudah berjalan bersisian dengan Anita. Tak terasa kami tiba di ujung lorong.
“Hoo, berarti kamu seorang pekerja keras, Allary. Ya sudah, terima kasih atas obrolan singkatnya, aku duluan ya. Semangat untukmu.”
Kemudian Anita berbelok ke kiri, ke kantin. Mungkin dia tidak langsung pulang. Malang bagiku, tepat di belokan menuju parkiran, Andalas dan Thahir sudah menunggu di sana. Tersenyum nakal. Tentu saja mereka memergokiku tadi.
Alamak.
***
Semester 1 dengan cepat tertinggal di belakang, bahkan sekarang semester 2 sudah berakhir. Kami sedang siap-siap naik ke semester 3.
Ada dua hal yang perlu kuceritakan singkat di sini. Yang pertama, prestasi akademikku selama dua semester cenderung rata-rata air. Meski semasa SMA aku dikenali sebagai siswa yang lumayan pintar, namun di kampus terhormat ini, aku kalah bersaing. Ada dua orang super cerdas dalam kelasku, yaitu Irfan dan Wanda. Dua-duanya mengungguliku dalam prestasi akademik saat semester satu. Mungkin karena aku tidak hanya fokus mengurus kuliah, namun juga kedai, sehingga pikiranku tidak bisa kugunakan sepenuhnya untuk belajar.
Tapi tak apalah, tanpa berjualan, darimana pula aku dapat uang?
Di sisi lain, hubunganku dengan Anita juga rata-rata air. Jika sedang beruntung, kami bisa saling bertukar sapa. Anita kerap melempar pertanyaan pendek basa-basi seperti “hari ini jualan martabak ya?” atau “hari ini kedainya buka sampai jam berapa?” atau “bagaimana jualan tadi malam, lancar?”.
Ya hanya sesekali. Sering juga Anita berlalu di depanku seolah aku tidak ada di tempat. Ya seperti itu.
Namun ada sesuatu yang berbeda dengan semester dua. Berkat aku belajar lebih giat dan lebih panjang menulis tugas-tugas, nilaiku membaik. Bahkan saat aku membandingkan kabar angin tentang nilai Irfan dan Wanda, ternyata aku bisa unggul dari mereka. Oh kabar yang sangat baik.
Bagaimana caraku merayakannya? Tentu saja dengan berbuat baik. Bismillah, hari itu kuniatkan, siapapun yang datang ke kedaiku paling awal, berhak dapat satu bungkus martabak jumbo spesial secara gratis. Bonus.
Niat itu kupancang baik-baik.
Dan, entah beruntung atau tidak, entah sudah diskenario atau bagaimana, yang pertama kali datang ke kedaiku justru Anita.
Ya, Anita.
Dia menyapa. Aku mendatanginya, menanyakan martabak apa yang dia pesan, dan dia menjawab, sesuai kebiasaannya. Itu artinya martabak jumbo spesial.
Dengan gesit aku membuatkan martabak, membantingkan adonan. Sampai Anita harus menegurku, “sepertinya kamu semangat sekali, Allary.”
Oh dia jelas tidak tahu kalau sebongkah semangat duduk depanku sekarang. Aku diam saja, tidak menjawab. Terus memasak martabak jumbo spesial itu.
Setelah selesai, baru kumasukkan dalam kotak makanan, lalu kubungkus kantong kresek. Plus dengan satu bonus yang tadi kupancang di awal. Anita jelas keheranan.
“Eh kok dua, Allary. Aku kan cuma pesan satu.”
“Eh tidak apa-apa,” sahutku kikuk, “bawa aja. Itu bonus untuk kamu.”
“Tumben sekali kamu memberiku bonus, Allary.”
“Ya tidak apa-apalah sesekali.” Tolong jangan tanya kenapa.
“Oh ya sudah. Terima kasih kalau begitu, Allary. Ini uangnya.” Anita menyerahkan uang senilai satu kotak martabak yang dia pesan, lalu beranjak pergi. Sebelum dia duduk di sepeda motornya, aku sempat berseru memanggil.
“Sering-seringlah datang ke sini, Anita.”
“Loh kok harus sering-sering?” tanyanya, heran.
“Ya kalau kamu sering datang, aku sering dapat uang, jadi aku cepat kaya.”
Anita tersenyum mendengar kalimatku itu, “sepertinya ini bukan bonus. Tapi taktik marketingmu, Allary.”
Aku melambaikan tangan.
120
Penjual Martabak Menjalin Cinta
Terlepas dari bagaimana aku memancang niat baik, dan itu malah jatuh ke tangan Anita, martabak bonus yang kuberikan padanya kemarin-kemarin itu, adalah sebuah pertanda nyata dalam kemajuan kedekatan kami.
Kini, beberapa pagi, aku mulai berani menunggu kedatangan Anita di parkiran, kemudian seolah tidak sengaja, berjalan ke arahnya, menyapanya, dan mengajaknya mengobrol. Itu suatu kemajuan.
Topik pembicaraan yang kami ambil pun semakin beragam. Anita secara sadar atau tidak, mulai bertanya tentang bagaimana caraku belajar, caraku mengerjakan tugas, tentang apa yang kumakan (dia anggap itu berkolerasi dengan kecerdasanku), jam tidurku dan macam-macam lagi. Aku dengan senang hati menjawab, senang mendapatkan topik yang terus mengalir.
Namun, aku tidak pernah berhasil mencoba berbasa-basi balik ke kehidupan Anita. Aku tidak pernah berani bertanya soal jam berapa dia tidur tadi malam, atau semacamnya. Setiap aku mencoba melakukannya, suaraku tersendat, merasa segan pada gadis super cantik itu.
Anita adalah bunga di kelas, bunga milik FIB yang dikagumi di seantero universitas. Kedekatanku perlahan dengannya, membuat sebagian orang mendelik iri padaku. Hanya saja, sekarang aku sendiri hanya bisa cukup menikmati kedekatan sebatas ini.
Sampai batas hari yang ditentukan. Sebuah peristiwa berikutnya siap digulirkan dalam skenario Tuhan.
Hari ini aku gelisah menengok jam di dinding. Seolah jarum detik di situ berdetak sangat pelan. Jarum panjangnya menunjuk ke angka 8, sedangkan jarum pendeknya hampir mendekati angka 5.
Astaga, itu berarti jadwal kuliah matkul Sejarah Kebudayaan Kuno ini, telah melenceng hampir satu jam. Aku hampir tidak sabar. Entah kenapa hari ini dosennya, Profesor Santoso semangat sekali bercerita tentang kebudayaan mesoamerika. Sebenarnya itu adalah materi yang amat menarik, salah satu kesukaanku. Hanya saja, aku harus segera membuka kedai, pelanggan pasti sudah menunggu.
Beberapa temanku, termasuk Thahir juga nampak tidak sabar.
Akhirnya, saat jarum jam panjang genap menunjuk ke angka 12, Prof. Santoso mengakhiri perkuliahan. Lengkap dengan embel-embel, “wah waktu berjala tak terasa bila kita sedang membahas peradaban kuno. Baiklah, selamat sore semuanya.”
Tak ambil tempo, aku langsung menuju ke parkiran, pikiranku tertuju sempurna ke gerobak dan kedaiku. Sudah telat buka hampir setengah jam, aku tidak boleh menundanya lagi.
Tepat saat aku siap memutar gas, sebuah suara memanggilku, “Allary!” katanya berseru nyaring. Aku kenal suara itu. Anita. Astaga, ada apa lagi ini.
Anita mendekat, “ehm, Allary. Boleh aku minta tolong sedikit, Allary?”
“Iya ada apa?” aku menyahut cepat.
“Jadi begini, gara-gara ceramah Prof. Santoso, aku ketinggalan jemputanku yang biasa. Sekarang Papa sudah berangkat ke luar kota, jadi...”
Aku tahu, aku segera tahu arah pembicaraan, kupotong kalimat Anita dengan bertanya, “dimana rumahmu?”
Anita menyebutkan alamat. Aku menepuk dahi, reflek. Alamat rumahnya ada di sisi lain kota. Pulang pergi ke sana akan makan waktu satu jam. Meski ini Anita yang minta, kedai dan gerobak martabak adalah urusan lain.
“Maaf Anita, bukannya aku tidak mau menolongmu, tapi waktuku juga terbatas. Aku harus segera membuka kedai. Ini juga sudah lewat setengah jam. Jika tidak, pelanggan bisa kecewa. Ehm, bagaimana kalau kamu naik ojek online saja?”
Anita menggeleng, “aku punya pengalaman yang buruk dengan ojek online, Allary. Atau begini saja, aku ikut denganmu ke kedaimu saja, bagaimana? Nanti aku tunggu Mama menjemput di situ.”
“Memangnya kamu mau menunggu di kedaiku?”
“Ya daripada aku menunggu sampai gelap di kampus ini sendirian, seram.”
Ya sudah. Aku juga tidak tega membiarkan Anita tertinggal di kampus sendirian. Bisa terjadi yang tidak-tidak. Akhirnya aku mengangguk. “Naiklah,” kataku padanya.
Dan hari itu, genaplah Anita duduk di boncengan sepeda motorku. Beberapa bulan yang lalu, saat pertama menyukainya, aku tidak pernah membayangkan bisa membonceng gadis ini, begitu dekat, begitu intens.
Sesampainya di kedai, betapa terkejutnya aku, sudah banyak pelanggan yang mengantri dan ada seorang pria yang dengan gesit membanting adonan martabak di belakang penggorengan. Anita berbisik padaku, “Allary, bukannya itu, Kang Adam?”
Aku mengangguk. Itu memang Kang Adam.
Mungkin sejak tadi, Kang Adam telah bersiap memasang ekspresi kecewa, atau mungkin kesal denganku, tapi begitu melihat aku datang membawa seorang gadis, yaitu Anita, Kang Adam langsung memasang senyum nakal. Aku mendekat, menunduk, malu telah merepotkan beliau.
“Maafkan aku, Kang.”
Kang Adam menggelengkan kepala, berdecak pelan, “kukira tadi kau kemana Allary, kedai tak kunjung buka, pelanggan yang gelisah, sampai-sampai beberapa bertanya ke gerobak kerak telorku (Kang Adam sekarang bisnis kerak telor), menanyakan dimana Allary. Hei, rupanya penjual martabakku yang satu ini, sedang menjalin cinta.”
Aku makin menunduk. “Sekali lagi maafkan aku, Kang. Sebenarnya ada penjelasan yang lebih masuk akal untuk yang satu ini.”
Kang Adam tertawa, “hei santai saja, Allary. Aku cuma penjual martabak, bukan polisi. Tidak perlu takut. Lagipula aku senang, akhirnya kamu menunjukkan tanda kedekatan dengan seorang gadis. Itu tanda yang bagus.”
“Eh bukan seperti itu, Kang.”
“Ah sudahlah, Allary. Habis ini apa rencanamu?”
“Eh aku, tentu saja ingin menjaga kedai ini. Seperti biasa.”
“Dan gadismu itu?”
“Dia ingin menunggu jemputan di kedai ini juga.”
“Ya sudah, kalau begitu kutinggal kau di sini ya, layani pelanggan dengan baik. Jangan sampai mereka kabur ke gerobakku lagi.”
“Siap Kang.”
Nun di sana, Anita tertunduk, malu dan serba salah.
121
Seorang Ibu dari Anggota Dewan
Aku mempersilahkan Anita duduk menunggu, kusiapkan kursi yang nyaman untuknya, kuseduhkan teh hangat dan kubuatkan martabak jenis biasa untuknya. Anita sedikit tersenyum melihat makanan yang kuhidangkan.
“Maafkan aku, Allary. Gara-gara aku, kamu jadi dimarahi.”
Aku tertawa kecil. “Buatlah dirimu nyaman, Anita. Aku mau melayani pelanggan dulu ya,” aku balik kanan, kembali mendekat ke etalase. Melayani beberapa pelanggan yang gelisah pesanannya belum kubuatkan.
Selang setengah jam, barulah semua pelanggan yang gelisah itu balik kanan satu persatu dapat pesanan. Akhirnya, aku bisa dapat kesempatan mengobrol dengan gadis yang aku suka. Oh ayolah, ini eksklusif, jadi aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan.
Anita menengok ke arah luar, mendung mulai berarak di langit, musim penghujan membuat cuaca sulit ditebak. Kulihat Anita tidak menyentuh makanan yang kuhidangkan. Wajahnya tampak murung.
“Ada apa?” tanyaku mendekat.
“Eh tidak apa-apa Allary. Aku cuma menikmati pemandangan.”
“Martabaknya tidak enak ya?” kucoba untuk bertanya lagi.
“Tidak kok, Allary. Aku cuma, merasa tidak enak denganmu.”
“Kenapa? Makanlah Anita. Tidak perlu sungkan. Ini bukan taktik promosiku kok. Buatlah dirimu nyaman, walau aku tahu tempat ini tidak senyaman rumah kamu.”
“Eh aku tidak apa-apa, Allary. Justru kamu izinkan menunggu di sini sementara, aku sungguh berterima kasih. Hanya saja, gara-gara aku, kamu tadi jadi dimarahi.”
Suara Anita perlahan mengecil. Dia semakin berhati-hati. Aku tersenyum. “Tidak perlu dipikirkan, Anita. Lagipula kamu dengar bukan, apa kata Kang Adam tadi, dia hanya penjual martabak, bukan polisi.”
“Tetap saja, Allary.”
“Tidak apa-apa, Anita. Ayo makan. Aku akan menemanimu ngobrol agar tidak suntuk. Silakan kamu tanya apa saja, aku akan jawab tuntas.”
Senyum Anita mulai mengembang. “Serius nih, aku boleh tanya apa saja?”
“Silakan.”
Lalu Anita mulai bertanya.
Entah keberuntungan atau apa, tak lama kemudian hujan turun membasahi jalan. Hujan yang cukup deras. Tidak ada pembeli yang datang ke kedai, itu artinya tidak ada yang memotong pembicaraanku dengan Anita.
Sesudah shalat Maghrib, aku sempat menanyakan sesuatu yang sedikit pribadi pada Anita, untuk pertama kalinya. “Anita, boleh aku tahu, Mama kamu kerja apa? Jadi harus selarut ini pulangnya.”
“Mama itu anggota dewan, Allary. Beliau sibuk. Sebenarnya amat tidak biasa beliau yang menjemputku. Biasanya juga, aku memakai kendaraan sendiri. Cuma ya, hari ini kebetulan.”
“Mungkin suratan takdir sehingga kamu harus mampir ke sini.”
“Bisa saja kamu, Allary,” Anita meninju bahuku pelan. Mulai berani memainkan kontak fisik.
“Berarti Mama kamu termasuk orang hebat, Anita. Oh ya, pukul berapa Mama kamu sampai ke sini?”
“Sekitar pukul 8 malam. Kamu tidak keberatan bukan, Allary?”
“Keberatan apa?”
“Ya Keberatan aku diam menunggu di sini, satu jam lagi.”
Aku tertawa renyah, “sama sekali tidak.” Malah aku ingin menghabiskan lebih banyak lagi waktu denganmu, Anita.
“Terima kasih, Allary. Hari ini aku banyak belajar darimu. Aku berhutang padamu.”
“Tidak perlu dramatis, Anita. Aku tidak melakukan apa-apa. Cuma menghidangkan martabak biasa, dan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”
“Oh ya, Allary, sejak kapan kamu berjualan martabak begini?”
“Sejak kelas 2 SMA. Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Berarti sudah tiga tahun. Kamu adalah seorang pekerja keras, Allary.”
“Dan kamu adalah orang yang pandai memuji, Anita,” sahutku, Anita tersenyum masam.
“Dan kuakui, kamu selalu membalas. Tetaplah jadi seperti ini, Allary. Kamu membuatku kagum dengan kerja kerasmu itu.”
Seketika lantai yang kupijak terasa bergoyang-goyang. Anita memuji dengan telak kali ini. Segera kuyakinkan diri agar tidak salah tingkah.
Pukul 8 malam, sebuah mobil jenis sedan merapat ke kedaiku. Anita berdiri. Aku segera paham kalau itu adalah mobil jemputannya, mobil ibunya. Melihat penampilan mobil yang mengkilap itu, aku menelan ludah. Anita pasti berasal dari keluarga berada. Hei apa kata Anita tadi, oh ya, Mamanya adalah anggota dewan. Sebaiknya aku berhati-hati dengan orang-orang seperti ini.
Seorang wanita paruh baya yang memakai blazer warna hitam turun dari mobil. Aku berdiri, menyambut. Anita juga, tersenyum melambai pada Mamanya. “Entah bagaimana kamu bisa main ke sini, Anita. Tapi kamu baik-baik saja bukan?” suara Mamanya Anita terdengar khawatir.
“Anita baik-baik saja, Mama. Ini kedai milik teman sekelas Anita. Namanya Allary.” Anita menunjuk ke arahku. Aku tersenyum tanggung.
“Malam, tante.” Aku menyapa seadanya.
“Malam. Terima kasih ya, sudah menjaga anak tante. Ayo kita pulang, Anita.”
Sebelum mamanya sempurna menarik tangannya, aku menyempatkan menarik satu bungkusan di rak bawah gerobak, yang tadi diam-diam kusiapkan untuk Anita.
“Apa ini, Allary?” dia menerima bungkusan itu dengan keheranan.
“Martabak jumbo spesial, bawalah. Berikan juga pada mama kamu. Anggap saja, salam kenal dari Allary.”
Anita tersenyum, “baiklah. Walau aku termakan satu lagi trik marketing Allary, makasih ya.”
“Sama-sama.”
Diam-diam aku berdoa dalam hati, semoga pertemuanku hari ini dengan Anita, bukan yang terakhir.
122
Rumah Megah di Barat Ibukota
Ada sebuah ironi yang diderita seorang pedagang martabak. Ironi yang mungkin juga diderita oleh sebagian besar pedagang jajanan apapun. Yaitu ketika kami semua, para pedagang jajanan, menghadapi hari Minggu.
Bagi sebagian orang, tentu saja, hari Minggu adalah hari libur. Hari melepas penat dan stress selama satu pekan. Mungkin dengan berkunjung ke tempat wisata, jalan-jalan ke mall, atau beristirahat seharian di rumah. Apapun itu, liburan menjadi satu kata yang pasti.
Nah kata libur itu tidak ada dalam kamus kami para pedagang jajanan. Terutama pedagang martabak. Benar, aku bisa saja libur semau aku, tapi kantongku akan jadi taruhannya. Libur artinya tidak dapat uang. Jadi demi dapat uang, biar hari Minggu sekalipun, aku harus tetap berdagang.
Malah lebih awal. Aku sudah harus buka gerobak dan kedai pukul 12 siang. Karena banyak pelanggan tidak terduga yang bisa datang. Aku sering mengingat, bahwa hari Minggu kedai pasti lebih ramai dari biasanya. Bahkan daganganku bisa ludes sebelum malam menjelang.
Nah hari ini sama. Bedanya hari ini aku benar-benar terkejut.
Sebuah mobil merapat ke kedai martabakku. Sebenarnya itu juga bukan hal yang istimewa. Sudah tak terhitung banyaknya mobil yang singgah di gerobakku. Bahkan ketika mobil ambulans datang ke kedaiku, aku juga tidak heran. Martabak adalah makanan sejuta umat. Siapa saja berhak memakan dan menikmatinya.
Hanya saja kali ini beda. Aku benar-benar terkejut, karena dari plat nomornya, dari warnanya merahnya yang mengkilat, dari model mobil itu, aku segera tahu mobil siapa yang singgah ini.
Mamanya Anita.
Beliau turun dengan gaya yang tegap. Setelan beliau sungguh menekan mentalku. Beliau berdiri di depan etalase. Aku menghela nafas. Baiklah, seperti yang diajarkan Kang Adam, sambutlah pembelimu dengan sebaik mungkin.
“Selamat datang, tante. Ada yang bisa saya bantu?” kataku, dengan intonasi yang normal.
“Selamat siang, Allary ya, nama kamu?”
“Benar Tante.”
“Tante ke sini mau minta maaf. Beberapa hari yang lalu, saat menjemput Anita ke sini, Tante menyangka yang tidak-tidak pada kamu. Hari ini Tante sudah menerima cerita dari Anita, dan Tante kira, sekarang Tante berhutang satu terima kasih untukmu.” Intonasi Tante, eh maksudku Mamanya Anita.
“Tidak apa-apa, Tante. Kalau begitu Allary juga berhutang satu permintaan maaf pada Tante.”
“Eh untuk apa?”
“Untuk membonceng Anita. Maaf jika itu lancang.”
“Tidak apa-apa. Oh ya, perkenalkan nama Tante, Zarra. Kamu boleh panggil begitu.”
“Oh iya, terima kasih Tante Zarra.”
Hening sejenak.
“Oh iya satu lagi, terima kasih atas martabak pemberianmu kemarin. Anita juga cerita bahwa kamu mengelola kedai ini sendirian. Kamu seseorang yang berdedikasi terhadap pekerjaan.”
Ah kacau, sekarang Mamanya ikut-ikutan memujiku.
“Oh sama-sama Tante. Itulah pekerjaan Allary.”
“Boleh Tante pesan lagi hari ini?”
“Oh boleh Tante. Tunggu sebentar.”
Aku segera mengambil adonan martabak, membantingnya ke meja, membentuknya, mengisinya dan meletakkannya ke penggorengan. Berusaha tetap tersenyum. Tante Zarra duduk menunggu, bersantai sejenak.
Dengan secepat mungkin, satu porsi martabak jumbo spesial sudah tersedia. Aku segera bungkus dengan kotak makanan.
“Ini Tante. Maaf jika membuat Tante lama menunggu.”
Tante Zarra yang sedang asyik memainkan hape, mendongak, tersenyum, menerima bungkusan martabak itu. “Terima kasih Allary. Sama sekali tidak lama. Berapa ini, Allary?”
“Tiga puluh lima ribu, Tante.”
“Bukannya harganya lima puluh?”
Eh, aku jadi salah tingkah, kepergok memasang diskon. Tapi dengan cepat aku berhasil mendapat akal, “ah tidak apa-apalah sesekali diskon untuk Tante, pembelian pertama.”
“Oalah. Terima kasih kalau begitu, Allary.” Tante kembali memasang senyum, mengeluarkan uang pas.
Satu potongan kalimat terakhir yang sangat manis, meluncur dari mulut Tante Zarra ketika beliau hendak berangkat. Beliau berucap dengan nada senang, “nanti, sesekali main ke rumah ya, Allary. Anggap saja, sebagai balas budi Tante nanti di sana.”
Aku menggaruk kepala, salah tingkah lagi.
Tentu saja aku tahu dimana rumah Anita. Setiap orang yang pernah jatuh cinta pasti pernah merasakan kemampuan observasi tingkat tinggi seperi yang kulakukan. Ya, bagi orang yang sedang jatuh cinta, bukankah mudah saja mengumpulkan berbagai informasi tentang cintanya?
Jadi, begitu menerima undangan dari Tante Zarra, ibunya Anita, mulai berpikir, untuk memberanikan diri mengunjungi rumah gadis cantik yang kutaksir itu. Apa salahnya mencoba bukan? Akhirnya pada satu malam Senin yang cerah, aku bulatkan tekad untuk berkunjung ke rumah Anita.
Rumah terbesar di kawasan barat Ibukota.
Begitu melihat potongan rumahnya yang megah, bertingkat tiga, dan luas sekali areanya itu, aku segera tahu, keluarganya Anita sangatlah kaya. Melihat rumahnya yang megah itu, sejujurnya aku ciut. Merasa tarik ulur antara ingin maju atau tidak.
Namun akhirnya bagian dari diriku yang terdalam bilang, maju saja, apa salahnya bukan?
Aku coba mendekat ke pagar rumah Anita yang bercat putih dan tinggi. Mengetuk. Ada satpam tak jauh dari situ. Satpam itu mendatangiku dan menyapa dengan suara yang menggetarkan.
“Mas ada keperluan apa ya?”
“Eh, mau, mengunjungi Anita, apakah dia ada ada rumah?” susah payah aku menyempurnakan kalimat.
“Boleh saya lihat KTP anda?” satpam itu masih memasang wajah yang tegas. Meski keheranan, aku menurut, mengeluarkan KTP. Satpam menerima, lalu meraih hapenya. Menelepon. Samar-samar, kudengar dia bicara soal, “ada seorang pria bernama Allary Azra ingin berkunjung, menemui Anita. Apakah dibolehkan?” ya semacam itulah.
Tidak lama setelah itu, akhirnya satpam membukakan pagar. Sepertinya aku diizinkan masuk. Satpam itu juga mengembalikan KTP-ku sambil berujar, “maaf ya Mas, yang tadi itu sudah prosedur. Silakan bawa masuk saja motornya.”
Aku masuk. Meletakkan sepeda motor di tempat yang sudah disediakan. Makin aku mendekat, makin terlihat megah rumahnya Anita ini. Tak habis pikir aku melihatnya. Sebagai pelengkap, Anita berdiri di depan pintu, menatap tajam ke arahku dengan wajah digalak-galakkan.
“Sial sekali pria ini ya, berani-beraninya datang ke rumahku.” Anita menggelengkan kepalanya, mendengar kalimatnya langkahku jadi tertahan. Apakah Anita tidak senang dengan kunjunganku? Tapi sekejap kemudian, Anita sudah terkekeh.
“Aku cuma bercanda, Allary. Tentu saja kamu boleh masuk. Biar kutebak, bungkusan di tanganmu itu, pasti martabak.”
“Iya. Ini martabak super spesial. Aku akan menyerahkannya pada Mama kamu.”
“Loh kok ke Mama?”
“Karena Mama kamulah yang mengundangku datang ke sini. Kamu mana pernah.” Aku balas terkekeh. Anita tersenyum kesal, “dasar kamu ya, Allary. Ya sudah ayo masuk. Kalo kamu mau langsung menyerahkan martabak itu pada Mama, mama ada kok, di ruang tengah”
Anita mengisyaratkan agar aku mengikuti langkahnya.
Akhir dari kunjunganku malam itu, cukup menyenangkan. Ujungnya, Tante Zarra menyilakan aku untuk berkunjung kapan saja. Tentu saja aku senang mendengar kesempatan itu.
123
Turguy, Berhentilah Menyela
“Aku benar-benar tidak mengerti, ketua.” Lagi-lagi Turguy menyela cerita Allary, ekspresinya seperti tidak sabar.
“Tidak mengerti bagaimana, Turguy?”
“Coba pikirkan baik-baik, Ketua. Aku memang mengerti arah pembicaraan ini. Motivasimu yang sangat kuat dan juga nekat itu pasti datang dari kisah cintamu dengan gadis itu. Siapa tadi namanya? Anita ya?”
“Iya Turguy.”
“Dan aku bisa menebak bahwa di ujung kisahmu nanti, cintamu pasti ditolak. Hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal, yang menjadikan kau menjadi orang nekat mendaki puncak dunia, ketua.”
“Lagi-lagi jalan pemikiranmu benar, Turguy.”
“Tapi aku benar-benar tidak mengerti, ketua. Sepanjang tadi kau cerita, aku bisa menangkap kesan bahwa gadis itu amat baik padamu, kalian cukup akrab. Keluarganya juga terbuka dan menerima keberadaanmu. Seharusnya dengan dua alasan itu saja, di atas kertas, kisah cintamu harusnya lancar dan berakhir happy ending.”
Allary menggeleng sambil tersenyum masam. Sayangnya dunia yang kejam tidak pernah bisa digambarkan di atas kertas.
“Sebentar lagi kita akan sampai di bagian itu. Sebuah antiklimaks hubunganku dengan Anita. Kuharap kau tidak lagi memotong ceritaku, Turguy.”
“Tunggu, ketua. Izinkan aku menebak. Jangan-jangan halangan yang membuat hubungan kalian tidak klop, justru datang dari keluargamu sendiri. Dari Tante Sri dan Kang Adam itu.”
“Tidak, aku rasa tidak seperti itu, Turguy,” Vivi menyela, matanya mencirat penasaran, “aku rasa Tante Sri akan menyetujui, apapun demi kebaikan Allary.”
“Berhentilah menebak-nebak, kalian berdua,” aku menyahut sambil mengusap wajah. Teringat kejadian hari itu, hari-hari itu. Tiba-tiba aku membayangkan, apa ya, yang terjadi, jika ternyata halangan itu datang dari keluargaku? Sepertinya masalah tidak akan berakhir serunyam dengan keluarga Anita.
“Jadi apa yang sebenarnya terjadi, Allary?” Vivi kembali bertanya, matanya masih penasaran.
“Baiklah, akan kuceritakan, seperti kataku, ini bagian antiklimaks. Maaf jika nanti ada cerita yang bolong-bolong. Sebab, aku tak terlalu suka mengingat tiap kejadian di hari-hari itu.”
Turguy dan Vivi mengangguk bagai burung beo. Allary meneruskan cerita sambil berjalan, sementara itu, mereka tinggal berjarak beberapa meter lagi dari puncak.
Inilah puncak sekaligus antiklimaks cerita Allary.
124
Menjadi Antiklimaks Begitu Cepat
Entah bagaimana menyebut hubunganku dengan Anita.
Kami jelas berteman. Kami bahkan akrab. Anita sering datang ke gerobakku, beralasan memesan martabak, tapi kami malah ngobrol berjam-jam. Sebagai gantinya, setiap beberapa periode yang tak menentu, aku datang ke rumah Anita. Berbincang dengan Tante Zarra yang selalu senang menerima kedatanganku. Lebih-lebih karena aku selalu datang membawa martabak super spesial.
Aku dan Anita jelas bukan sekedar teman. Tapi hubungan kami juga tidak resmi. Tidak ada status apapun diantara kami.
“Jangan bilang kalian hanya berteman jika bisa saling membonceng tanpa risih begitu, Allary,” Andalas mendelik saat mendengar jawaban atas pertanyaan, Allary kau ada hubungan apa dengan Anita. Mulanya Thahir yang lebih tertarik mengetahui hubunganku dengan gadis itu, tapi makin ke sini, Andalas juga sangat tertarik.
Atau lebih tepatnya, iri.
Hari ini dari kelas mata kuliah Peradaban Abad Pertengahan, (yang sialnya kembali diampu oleh Profesor Santoso) kami kembali pulang telat. Aku dan Anita berjalan beriringan keluar dari kelas, dan aku tahu, ujungnya bakal seperti kejadian tempo hari (di kelas peradaban kuno), jadi aku lekas menawari Anita tumpangan.
“Wah baik sekali kamu, Allary. Sepertinya aku bakal makan martabak gratis lagi nih.”
“Dasar kamu ya,” aku menyenggol bahunya. Anita tertawa renyah. Thahir dan Andalas berdiri di ujung lorong, melongok. Aku tersenyum geli, mengangkat bahu lalu melambaikan tangan.
“Aku duluan ya, udah keburu membuka gerobak,” kataku seadanya pada dua temanku.
“Apakah hari ini kamu akan terlambat lagi membuka gerobak, Allary?” tanya Anita setelah kami melaju di jalan raya.
Aku menggeleng, sekarang aku bisa membuka gerobak semau aku, sesuai kebutuhan.
“Oh syukurlah. Jadi hari ini, aku tidak perlu menemukan Kang Adam sedang mendelik marah karena menangkap basah kita berdua datang ke kedai, seperti tempo hari.”
“Aman, aman Anita. Tenang saja.”
Paling kalau ada Kang Adam, kita disuruh cepat nikah saja, Anita. Ups.
Kami sampai di kedai sekaligus gerobakku. Aku menepikan sepeda motor. Anita melangkah turun, langsung membuka kain selimut kaca etalase. Kemudian tanpa kuminta, dia langsung mengelap kacanya.
Ah ini satu berita baru.
Jadi semenjak semester 6, Anita menjadi lebih sering diantar jemput oleh ibunya. Dari kacamata seseorang yang sedang jatuh cinta, aku menafsirkan itu sebagai kiat dari Anita agar bisa mampir di gerobakku lebih sering. Sebab dia harus menunggu jemputan dari ibunya. Anita datang ke gerobakku tiga kali dalam seminggu. Awalnya cuma duduk-duduk santai, kemudian mulai berani melakukan sesuatu di gerobak, mengelap, membantu membungkus martabak, menerima uang kembalian, apalagi Anita bilang dia tidak tega melihatku kelimpungan melayani pelanggan. Ujungnya, yahh bisa ditebak, kerja samaku dulu dengan Andalas kini terulang. Hanya saja kali ini aku berbagi gerobak dengan Anita.
Entah kenapa itu menjadi sangat keren dan mendebarkan.
Pernah sekali, tangan Anita (yang putih, mulus dan bersih bercahaya itu), terkena percikan minyak panas. Membuat dia menjerit.
“Eh Anita, ada apa? Kamu baik-baik saja?” aku yang panik, reflek menggapai tangannya. Terlihat merah.
“Tidak apa-apa, Allary. Cuma kepercik.”
“Sakit?”
Dia mengangguk pelan.
Aku lekas menariknya menuju kran air tempat aku sering membasuh peralatan. Aku ingat, menangani luka bakar adalah dengan membasuhnya di air yang mengalir. Anita meringis saat air menyapu tangannya yang memerah.
“Tahan sebentar. Dengan dibasuh begini, seharusnya lukanya nanti tidak terlalu parah.”
Anita menggigit bibir, menahan sakit. Tapi lima menit kemudian dia sudah lebih baikan. Setelah memastikan Anita baik-baik saja, aku langsung kembali ke depan gerobak. Pelanggan sudah berteriak-teriak hendak membeli.
“Maaf sudah membuatmu panik, Allary.” Dia kembali merapat ke etalase, namun kali ini aku buru-buru mencegah. “Untuk malam ini, kamu duduk saja ya. Aku tidak mau kamu terluka.”
Anita menunduk. Mengangguk.
“Aku juga minta maaf,” ucapku, membuatnya mendongak lagi, bertanya, “kenapa?”
“Karena aku sudah lancang memegangi tanganmu.”
“Astaga, tidak perlu dipikirkan, Allary. Lagipula tadi itu keadaan darurat. Terima kasih sudah membuatku merasa lebih baik.”
Malam harinya, ketika Tante Zarra tiba di gerobak, menjemput Anita, wajah beliau cerah. Jauh berbeda dari yang pertama beliau menjemput Anita ke gerobakku.
“Terima kasih sudah menjaga Anita ya, Allary.”
“Sama-sama, Tante.” Aku berdiri, menyambut kedatangan beliau yang terhormat. Anita beranjak mendatangi Mamanya.
“Kamu tidak diapa-apakan oleh Allary kan, Anita?” Tante Zarra melihat ke arah Anita, aku paham konteksnya bercanda, jadi Anita menyahut dengan bercanda pula.
“Mana ada Ma. Jangankan mengapa-apakan, menyentuh telapak tanganku saja, Allary tak berani, Ma.” Anita terkekeh pelan.
Aku tersenyum masam, yang Anita katakan, itu benar adanya. Tante Zarra ikut terkekeh. “Baiklah, kalau begitu Tante bisa menitipkan Anita ke Allary jika nanti terjadi sesuatu.”
“Eh jangan begitu dong Ma, aku kan bukan barang titipan.”
Kami bertiga kompak tertawa.
Begitulah. Aku dan Anita mempertahankan hubungan tanpa status namun intim begitu sampai kami hampir diwisuda. Selama itu, karena kami sekelas, aku dan Anita saling bahu membahu, saling membantu bila ada kesulitan dalam perkuliahan. Jadi saat hendak wisuda pun, kami kompak. Berbarengan.
Di puncak karier akademisku itu, sempat terbesit keinginan dalam hatiku, untuk melamar Anita setelah aku lulus. Hei itu keputusan yang masuk akal bukan?
Aku punya pekerjaan tetap, meski cuma berjualan martabak, tapi pekerjaan itu membuat aku jadi berkecukupan. Aku yakin bisa menafkahi keluargaku sendiri. Dari sisi Anita, aku kira dia sudah menerimaku dalam hidupnya. Dari sisi keluargaku, Tante Sri tidak akan menolak keputusanku, apalagi Anita datang dari keluarga terhormat. Dan dari sisi keluarga Anita, Tante Zarra sepertinya sudah menganggap aku sebagai bagian dari keluarganya.
Berdasarkan semua hipotesis itu, aku merasa jalanku untuk memiliki Anita sepenuhnya sebagai kekasih terbuka amat lebar. Inilah saatnya menuju puncak. Tapi siapa sangka pula, sesaat setelah melewati itu semua, antiklimaks cerita datang demikian cepat.
Aku masih ingat semua detail cerita tersebut.
125
Puncak Dunia
Aku dan Anita, meski tak pernah kusebutkan, tentu saja juga sering berhubungan lewat pesan-pesan pribadi, whatsapp. Kami bertukar informasi, berbagi cerita atau hanya sekedar saling menyapa. Lewat hubungan yang intens itu, bagiku, mustahil kami tidak saling mengetahui rasa suka satu sama lain.
Hari ini, seminggu selepas wisuda, adalah puncaknya. Anita memberiku kabar tersebut, melalui pesan singkat. Saat itu aku sedang ada di kamar, libur mengurus kedai dan gerobak.
“Allary. Aku dilamar seseorang, anak teman Mama di dewan.”
Campur aduk perasaanku membaca pesan singkatnya itu, gemetar aku membalas, dengan kalimat klise nan bohong, “oh ya, bagus dong. Orang terkenal melamar kamu.”
“Bagus apanya, Allary. Aku tidak menyukai pria itu. Dia terlalu tua, selisih umur kami terlalu jauh.”
“Memangnya berapa umurnya?”
“28 tahun. Aku saat ini baru 22, itu berarti selisihnya lebih lima tahun. Aku sungguh tidak suka, Allary.”
“Memangnya pria seperti apa yang kamu suka?” entah kenapa tiba-tiba aku bertanya begitu.
“Yang bijaksana, cerdas, wajahnya tidak usah terlalu tampan, yang terpenting aku senang melihat wajahnya setiap hari, dan yang terpenting, pria itu bisa memasak.”
Tercekat aku membaca pesannya itu.
“Kenapa kamu ingin pria yang bisa memasak?” tanyaku lagi.
“Karena pria semacam itu, menurutku bisa diandalkan. Dia bisa melengkapi keluarga, entahlah, tapi ketika melihat Allary membuat martabak di gerobak, aku menjadi terpikirkan kriteria itu.”
Hatiku terasa dirogoh tangan yang dingin. Apakah ini sebuah pertanda? Hatiku bertanya-tanya.
Malam itu, setelah semua pembicaraan, setelah aku mendoakan dan menenangkan Anita bahwa masih ada jalan keluar, aku segera berhitung dengan situasi.
Bila Anita ingin aku melamarnya, maka aku harus menyiapkan segala sesuatunya. Yang pertama, adalah masalah uang. Aku segera merogoh semua tabungan yang aku punya.
Sebenarnya tabunganku selama empat tahun terakhir, jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebabnya adalah aku sering membobol tabungan untuk sekedar membuatkan martabak super spesial untuk Tante Zarra. Setelah aku memecah 3 celenganku di lemari (aku tidak menyimpan uang di bank, dan ini adalah ajaran Tante Sri), terkumpullah uang 50 juta rupiah. Kukira ini adalah uang yang cukup untuk meyakinkan keluarga Anita.
Keesokan malamnya aku berangkat. Untuk misi yang agung, melamar Anita. Umurku saat itu juga baru 22 tahun. Sepanjang hari aku terus berusaha berbuat baik, kali ini aku sungguh berharap Tuhan berada di sisiku, menolongku menuntaskan niatan suci.
Ya, aku tahu ini mendadak. Aku bahkan tidak memberitahu Tante Sri dan Kang Adam. Malam itu aku datang ke rumah Anita, yang sebesar istana, untuk melamarnya. Sebuah perbuatan yang gila.
“Mas Allary!” satpam rumah Anita menyapa saat aku merapat ke pagar, yang segera dibukakan.
“Malam pak, saya mau ketemu Anita. Apakah dia ada di rumah?”
“Oh tentu. Silakan masuk Mas Allary.”
Aku tersenyum, memasukkan sepeda motor. Satpam rumah Anita itu memang ramah padaku. Bagaimana tidak, setiap aku datang ke sana, aku selalu memberikan sebungkus martabak untuk satpam tersebut.
Anita menyambut aku di depan pintu. Seakan tahu aku akan datang. Matanya penuh tanda tanya. “Tumben datang tidak bilang-bilang, Allary,” katanya ketika aku berdiri di depannya.
“Aku ingin bertemu dengan Tante Zarra, mama kamu.”
“Eh ada apa?”
“Demi sebuah jalan keluar, Anita,” kataku, berjalan berlalu, aku sempat melihat wajahnya bersemu merah di tengah kegelapan.
Aku mendatangi ruang depan, ada Tante Zarra di sana. Sedang menonton televisi. Aku mengucap salam, kemudian minta izin berbicara empat mata. “Penting Tante,” kataku tegas.
Akhirnya Tante mengajakku ke teras belakang, duduk di sana sambil menatap bintang-bintang malam.
“Nah kamu mau membicarakan apa, Allary?” kata beliau akhirnya. Aku menghela nafas, inilah detik-detik terpentingnya.
“Allary... ingin melamar... Anita, anak Tante,” kataku, mencoba setenang mungkin, walau masih kebat-kebit.
Kuamati ekspresi Tante Zarra tidak berubah, tidak terkejut, tidak tersentak, tidak pula ingin marah atau kecewa. Tidak. Tante Zarra tenang sekali, dan bait kata beliau berikutnya, membuktikannya.
“Tante sudah menduga, hari ini akan datang, Allary. Dengan segala perkembangan hubungan kamu dengan Anita, Tante tahu hari ini akan datang.” Tante Zarra menghela nafasnya juga, sejenak, pembicaraan ini memang berat.
“Kamu adalah teman paling akrab Anita selama kuliah, Anita sendiri yang mengakui itu, dan Tante juga melihatnya. Dari beberapa sisi, tentu saja kamu adalah pria yang baik, hebat, dan seperti kata Tante dulu, berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan. Di sisi lain, Anita juga nampak menyukaimu. Dia beberapa kali, terang-terangan memuji kamu sambil bercerita pada Tante. Kalian pasti akan punya cerita menarik jika bersatu dalam satu ikatan suci pernikahan. Tante, Anita dan segenap keluarga ini, merasa amat senang mendapat lamaran dari kamu, Allary.”
Aku nyaris semaput.
“Namun,” kali ini suara Tante Zarra berubah jadi berat menyeramkan, “sebelum sampai di situ, kita harus saling instropeksi diri dulu. Kita harus saling menyadari posisi. Allary, kamu adalah pria yang berdedikasi tinggi, tapi sejarah membuktikan keluarga ini memerlukan sesuatu yang lebih dari itu. Anita adalah anak Tante satu-satunya, permata keluarga ini. Dia patut mendapatkan bingkai terbaik, pendamping yang terbaik, yang artinya, juga lebih baik dari kamu. Kemarin, Tante mendapati hal serupa dari anak teman Tante. Sebuah lamaran untuk Anita. Pria yang hebat, berdedikasi tinggi, punya prospek karier yang amat cerah. Sebentar lagi, mungkin dia akan jadi menteri. Dia akan berada di jajaran elite negeri ini. Tante rasa bila ini sebuah perlombaan, pria itu layak menang. Dia berada di level yang berbeda. Bersama dengannya, Anita bisa menggapai puncak dunia.”
Tentu saja, tentu saja, aku memahami penjelasan Tante Zarra itu. Meski penjelasan itu panjang, berbelit-belit, tentu saja aku paham. Aku telah ditolak. Aku kalah bersaing dengan pria itu. Entah siapa namanya, entah apa yang pernah dia lakukan untuk Anita, entah bagaimana Tante bisa-bisanya mengatakan aku kalah start, padahal aku menang start selama 4 tahun.
Tetap saja, artinya hanya satu. Aku ditolak.
Malam itu, susah payah aku berpamitan tanpa meneteskan air mata. Padahal semua tetes air kesedihan itu sudah tiba di pelupuk mataku. Aku ditolak. Lebih buruk, dihina dan dicampakkan.
Malam itu, satu-satunya kesempatan dimana mantra sakti yang diajarkan Mama, tidak berlaku.
126
Tiga Pertanyaan, Tiga Jawaban
Pukul 11 siang, di Puncak Dunia.
Sembari terus bercerita, Allary, Turguy dan Vivi sudah berada di ujung Tangga Surga. Persis ketika mereka meninggalkan anak tangga terakhir, mereka bertiga kini tiba di Puncak Dunia. Puncak Gunung Sarsa, Puncak Tertinggi di Pegunungan Pahadaru.
“Kau benar ketua, kisahmu berakhir sangat menyedihkan di beberapa alenia terakhir.” Turguy menyahuti Allary akhirnya. Dari tadi, ketuanya itu sudah dua kali mengusap matanya yang berair.
“Ya, makanya sudah kubilang, kisahnya berubah antiklimaks begitu cepat.”
“Yahh baiklah, sebenarnya kau bisa menceritakannya lebih baik. Kurasa kau menyingkat beberapa bagian di akhir.” Tanpa sengaja Turguy menempatkan dirinya jadi tukang kritik.
“Begitulah adanya cerita Turguy. Aku tidak menambah, tidak pula mengurangi. Memang ada beberapa bagian yang kupercepat, karena waktu kita juga tidak banyak, Turguy.”
“Sekali kau benar, ketua. Itu alasan yang bagus. Tapi ceritamu menjadi tidak dramatis sama sekali.”
Allary sedikit tersenyum mendengar kritikan Turguy, “ayolah, apalagi yang harus kudramatisir, Turguy. Tapi baiklah, jika ceritaku kurang dramatis di akhirnya, anggap saja, itu karena aku tidak suka mengingat detail-detail paling pahit dari hidupku itu.”
Turguy terdiam. Alasan Allary sekali lagi amat masuk akal.
“Turguy, apakah sekarang kita berada di Puncak Dunia?” Allary bertanya lagi.
Turguy mengangguk, “benar sekali ketua. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan Sir George Gourgoun pada gunung ini, kita berada di ketinggian 8.848 meter di atas permukaan air laut. Itu adalah titik tertinggi di dunia. Yang lebih tinggi dari kita sekarang, hanya langit. Setidaknya sampai 15 menit ke depan.”
Allary terdiam. Puncak Gunung Sarsa, berukuran cukup luas. Ada beberapa orang rombongan pendaki yang sekarang juga sampai ke puncak, berbagi tempat dengan mereka.
Pemandangan di atas sana sungguh menakjubkan. Jika saja Allary menghadapkan wajahnya ke Selatan, maka dia bisa melihat Kampung Hijau, Kota Pasar, Eutasaga, Ibukota atau bahkan kota-kota industrial di India sana. Bila Allary menengokkan wajah ke utara, dia akan melihat Dataran Tinggi Maohai, atau bahkan tembok-tembok istana Kaisar Tiongkok. Sungguh pemandangan yang tak ada duanya. Tapi Allary tidak memandangi itu semua.
Ketua rombongan itu justru tepekur duduk menatap tanah. Vivi asyik mengambil foto, jepret sana-sini. Apa yang dipikirkan Allary? Sebuah pertanyaan.
Ayah, aku sudah sampai di tempat ini. Mana jawaban yang ayah katakan ada di sini? Aku tidak melihat apa-apa. Perjalanan ini sia-sia belaka.
Sejenak dalam kepala Allary ada semacam scene film cepat tentang petualangannya di London 6 bulan yang lalu.
Allary menghela nafas. Dia tetap tidak bisa merasakan apa-apa. Anita sudah lepas dari tangannya, sepenuhnya. Hari ini, hari tepat Allary menggapai puncak dunia, adalah hari pernikahan Anita dengan anak teman Tante Zarra. Allary menghela nafas lagi, sesenggukan.
Tentu saja Turguy melihat hal itu.
“Hei, ayolah ketua, jangan hanya gara-gara mengingat semua ceritamu barusan, perjalanan ini kehilangan kemegahannya. Kau sekarang sampai di tujuan awalmu ketika menemuiku di Eutasaga. Kau sampai di Puncak Dunia. Aku berani taruhan, belum ada orang Indonesia yang sampai di sini, sebelum dirimu.”
Allary tersenyum tawar. Itu hanya kalimat hiburan, tidak ada kebenarannya begitu.
“Kau salah Turguy,” Allary menimpali dengan suara rendah, “kau salah jika mengira aku baru mengingat kembali semuanya. Tidak, aku tidak pernah melupakan semua itu. Semua terus membayang di benakku, selama berbulan-bulan. Kegagalanku, kata-kata merendahkan dari Tante Zarra, semua itu terus terbayang di benakku, Turguy!” Allary terlepas emosinya, memukul tanah dengan keras. Turguy bergegas menenangkan, mereka tidak boleh menjadi pusat perhatian di sini.
“Tenanglah Ketua. Tenanglah. Baik, aku minta maaf atas kalimat-kalimatku yang mungkin tidak banyak membantu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku hanya guide-mu, ketua. Aku bukan guru spiritual. Aku tidak bisa memberi nasihat.”
“Turguy, apa arti cinta? Apa arti penderitaan? Lalu apakah hidupku ini adil?” Allary bertanya lagi, tidak memedulikan ekspresi Turguy. Dia sudah gelisah sejak tadi. Akhirnya, pertanyaan besarnya, keluar.
Turguy bingung hendak menjawab apa. Dia tidak pernah menemukan orang semacam Allary ini dalam jobdesc pekerjaannya. Bahkan membayangkan pun tidak. Jadi Turguy hanya bisa tersenyum dan meminta maaf.
“Sekali lagi harus kukatakan, ketua. Aku hanya guide. Jika kau perlu nasihat, seharusnya kau bertanya pada guru spiritual.”
Allary terdiam. Jalan pikirannya benar-benar buntu. Turguy tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan ketuanya itu, menenangkan diri sejenak. Mungkin dengan begitu, Allary bisa berpikir lebih jernih.
Lima belas menit berlalu. Hampir jatuh tempo batas maksimal mereka di titik tertinggi dunia. Allary belum juga mau beranjak. Turguy mulai khawatir. Dia harus bagaimana sekarang. Akhirnya Vivi mendekati ketua rombongannya itu. Menegur. “Allary,” panggilnya.
Allary menoleh ke belakang, “iya Vivi?”
“Kita sudah di batas tempo maksimal ada di sini, ayo kita turun.”
“Kalian duluan saja, aku tidak akan turun sebelum menemukan jawaban tertentu atas masalahku. Di sini,” Allary menjawab tegas.
Vivi segera menangkap kesungguhan dalam diri Allary sekarang, tersenyum. “Baiklah Allary, karena Turguy tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu itu, izinkan aku yang menjawabnya, boleh?”
“Kau bisa menjawabnya, Vivi?”
“Mungkin sedikit saja, Allary. Tapi siapa tahu bisa membawa keceriaanmu kembali. Anggap saja, aku juga banyak belajar dari pengalaman.”
“Katakan padaku, Vivi.”
“Ketiga-tiga pertanyaan kamu itu, adalah pertanyaan yang umum bagi manusia. Setiap orang boleh jadi pernah menanyakan hal yang sama. Nah untukmu, mungkin kamu mendapat pengalaman yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga pertanyaan-pertanyaan itu terus membebanimu.”
“Kau benar sekali, Vivi.”
“Baiklah Allary, begini. Apa arti cinta? Menurutku, berdasarkan ceritamu tadi, arti cinta bagimu berubah demikian cepat di akhir-akhir. Cintamu pada Anita di awal-awal, adalah ketulusan. Sedangkan cintamu di akhir-akhir, adalah keinginan untuk memiliki. Menurutku dua hal ini amat bertolak belakang. Cinta memang memiliki banyak wujud dan arti, tapi kukira, arti cinta yang pertama bagimu, itulah yang benar.
Allary, apa arti penderitaan? Bagimu, dari ceritamu, boleh jadi arti penderitaan tidak begitu penting. Bagimu yang terpenting adalah bagaimana kamu berdamai dengan sang waktu. Lihatlah, bagaimana kamu tumbuh setelah kehilangan ibu, bagaimana kamu tumbuh setelah ayahmu pergi, bagaimana kamu tumbuh mandiri sebagai penjual martabak, kamu mampu berdamai dengan sang waktu. Itulah pula arti mantra sakti ibumu itu. Berdamai dengan waktu, itulah arti penderitaan untukmu.
Allary, kamu bertanya-tanya, apakah hidup ini adil? Apakah kamu, yang telah merasakan sakit yang bertubi-tubi datang sejak kecil, akan terus dirundung sakit demi sakit yang tidak ada habisnya? Apakah hidup yang seperti itu, adil? Menurutku, jawabannya adalah ya, Allary. Hidup ini adil.”
“Hei bagaimana bisa begitu?” Allary menyergah.
“Karena adil itu bukan setara. Dewasa ini banyak sekali orang yang keliru, menafsirkan adil itu sebagai setara. Saat kamu melakukan A, kamu dapat A. Tidak, itu bukan adil. Itu kesetaraan. Keadilan itu adalah ketika kamu melakukan A, bisa saja kamu dapat B, karena kamu tidak sanggup memikul A. Bisa saja terjadi. Itulah keadilan.
Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya Allary, setelah penolakan super menyakitkan dari Tante Zarra itu, wajar jika kamu mengira hidup ini tidak adil. Wajar. Tapi jangan terlalu larut. Ingatlah satu hal, keadilan ada di tangan Tuhan yang berkuasa atas manusia, agar mendapat keadilan yang terbaik, kamu harus mendekat dengan Tuhan. Kamu tahu caranya, bukan, Allary?”
Allary terpana.
“Aku tahu, hari ini kamu boleh sedih. Boleh merasa hampa. Tapi, melihat kamu kemarin-kemarin bersikeras menolong penduduk Kampung Hijau, bersikeras bertaruh nyawa menolong orang-orang Myanmar, aku tahu, kamu adalah orang yang hebat, Allary. Kamu pasti punya daya timbang di hadapan kekuatan sang waktu, di sisi Tuhan. Jangan pernah berhenti berbuat baik, Allary.”
Kata-kata Vivi itu sempurna menyihir Allary.
127
Turun ke Utara
“Ketua,” panggil Turguy. Allary belum menyahut, dia mengusap pelupuk matanya dengan punggung tangan. Karena Allary tidak menyahut, Turguy beralih ke Vivi.
“Ketua baik-baik saja?” tanyanya ke Vivi.
“Aku yakin Allary baik-baik saja, Turguy. Dia hanya butuh waktu”
“Tapi waktu kita tidak banyak,” Turguy agak khawatir, batas waktunya tinggal sebentar lagi.
“Aku membutuhkan waktu untuk pulih, Turguy. Tapi kau tenang saja. Sebentar lagi. Hanya sebentar lagi.” Allary akhirnya bersuara.
“Cepatlah, ketua.” Turguy berdecak.
Allary beranjak dari duduknya, bukan untuk berdiri, tapi untuk berjongkok, tangannya menggali tanah bersalju di Puncak Sarsa. Turguy yang melihat hal itu, kontan menegur.
“Hei apa yang kau lakukan ketua.”
“Melakukan sesuatu yang penting,” sahut Allary. Intonasinya tegas. Seperti pertama kali dia mengatakan bahwa dialah ketua rombongan ini.
“Hei, aku bisa dimarahi tetua kampung Hijau dan Eutasaga bila ketahuan mengizinkan pendaki mengotori lereng Pahadaru.”
“Tenanglah, Turguy. Aku tidak akan mengotori apapun. Aku janji.”
Lubang kecil yang digali Allary tidak dalam. Hanya muat dua kepalan tangan manusia. Kemudian Allary tepekur sebentar menghadap lubang kecil itu. Matanya terpejam. Semenit kemudian, dia sudah menutup kembali lubang kecil tadi. Tentu saja Turguy heran.
“Apa yang kau lakukan, ketua?”
“Aku menanamkan harapanku di Puncak Dunia, Turguy. Harapanku. Harapan untuk mendapatkan Anita. Semua sudah tertanam di tempat yang seharusnya. Vivi benar, biar sang waktu dan keadilan Tuhan yang mengatur ke depannya, bila gadis itu memang ditakdirkan untukku, dia akan kembali lagi kepadaku.”
“Sungguh kalimat yang indah, Allary.”
“Ya sudah. Lebih baik kita bergegas, kalau tidak, bisa-bisa salah satu dari kita mengigau karena kekurangan oksigen.”
Turguy cemas, karena dia memang bertanggung jawab menjamin keselamatan rombongannya, sebagai guide. Mereka bersiap-siap turun gunung saat mendengar kabar berikutnya.
Saat mereka hendak turun dari puncak, Turguy mendengar bisik-bisik dari pendaki lain yang berpapasan dengan mereka. Beberapa orang berbicara tentang badai yang mengamuk dahsyat di bawah. Turguy semakin cemas.
“Badai kalian bilang?” lekas Turguy menanyai rombongan yang berpapasan dengan mereka.
“Benar, Turguy,” guide rombongan itu, kenalan Turguy yang menjawab, rombongan itu berasal dari Brazil, “badai yang cukup dahsyat. Untungnya, kami semua berhasil bertahan dan lolos.”
“Awan Hitam dari Selatan kah?”
“Benar, mengamuk dahsyat sekali, Turguy. Entah bagaimana dengan perjalanan pulang nanti.”
Turguy menepuk dahinya. Badai itu bisa jadi masalah baru bagi Allary dan Vivi. Mereka sekali lagi, bukan pendaki profesional. Mereka hanya beruntung berhasil lepas dari Awan Hitam dari Selatan pada perjalanan mendaki, tapi tidak tentu berhasil lolos lagi di perjalanan pulang.
Itu masalah yang serius. Allary yang menyimak pembicaraan itu, segera mengerti. “Bagaimana Turguy? Apakah kita harus bertahan di sini?”
“Bertahan juga bukan pilihan yang baik, ketua. Kalian tidak akan bertahan lebih dari lima menit lagi. Tubuh kalian punya batasnya.”
“Aku rasa, ada solusi yang bisa kita ambil dalam hal ini, Turguy.” Vivi tiba-tiba bersuara, sementara rombongan Brazil tadi berlalu.
“Katakan, Vivi,” pinta Allary.
“Aku tahu, ada dua jalur mainstream untuk mencapai puncak Sarsa, jalur Tenggara-Selatan, yang kita lalui saat ini, dan jalur Utara. Bila kita tidak bisa turun lewat jalur Tenggara-Selatan, kita bisa mencoba lewat jalur sebaliknya.”
“Tidak bisa begitu juga, Vivi. Kalau kita seenaknya lewat Jalur Utara, kita bisa bermasalah dengan Pemerintah China.” Allary mengingat pembicaraannya dengan Turguy beberapa hari yang lalu.
Vivi tersenyum simpul, “aku tahu. Tapi itu jika kita juga pendaki mainstream. Tapi di sini kita punya Turguy. Guide yang tahu jalan-jalan pintas. Kamu tahu bagaimana cara menyelamatkan kami di Utara bukan, Turguy?”
Turguy cepat berpikir. Sepertinya itu adalah solusi terbaik saat ini.
128
Pintu Kamar yang Tertutup
Kembali ke kisahku. Kisah tersebut belum tuntas. Masih ada satu peristiwa besar dalam hidupku, setelah penolakan Tante Zarra atas lamaranku pada Anita.
Seperti yang pernah kubilang, aku baru satu kali jatuh cinta. Yaitu pada Anita seorang. Hanya dia yang pernah menghiasi hatiku, dan kini, dia pula yang menghancurkannya. Eh atau tepatnya, keluarganya.
Kalimat-kalimat yang diucapkan Tante Zarra kemarin malam benar-benar membuat duniaku seakan runtuh. Malam itu, selepas pulang, kutemukan rumahku dalam keadaan kosong. Tante Sri menginap di rumah Kang Adam. Baguslah, aku menghela nafas lega. Setidaknya tidak ada yang menyambut kedatanganku di rumah ini.
Aku langsung masuk ke kamar, mengunci pintunya.
Tidak, aku tidak menangis. Yang kurasa bukan cuma kesedihan, tapi juga kekesalan, kemarahan dan kekecewaan. Malam itu, di bawah tatapan langit-langit kamarku, aku mengutuki dunia. Entah kenapa dunia ini begitu materialistis. Kalau memang harta yang selalu jadi ukuran, lalu apakah orang-orang sepertiku memang tidak punya kesempatan? Aku benci dengan dunia ini.
Dan kemudian mulai menyalahkan Tuhan.
Satu hari penuh keesokan harinya, aku tetap mengurung diri di kamar. Tidak nafsu makan. Tante Sri yang datang pagi itu, mengetuk kamar pukul 9 pagi, karena di luar kebiasaanku tidak keluar kamar di atas pukul 8 pagi.
“Allary, kamu di dalam,” katanya sambil mengetuk. Pintunya aku kunci.
“Iya, Allary di dalam.”
“Ada apa? Kamu belum makan pagi kan?”
“Nanti saja Tante. Allary sedang malas,” kataku menyahuti, sama sekali tidak bangun dari tempat tidur. Apalagi membukakan pintu.
“Loh kok, ada apa Allary? Kamu sakit?” Ketukan di pintu semakin keras.
“Allary baik-baik saja, Tante. Nanti Allary makan. Allary masih kenyang.”
“Oh ya sudah, kalau begitu Tante mau ke pasar dulu. Kamu jaga dirimu ya, Allary.”
Aku tidak menyahut lagi. Kembali menenggelamkan wajah di balik bantal. Tidak, aku tidak menangis.
Aku hanya ingin merutuk. Tapi tidak bisa juga. Tidak ada yang salah dalam hal ini.
Pukul sebelas siang, Tante Sri pulang dari pasar. Aku tahu, hanya masalah waktu sampai beliau memaksa masuk ke dalam kamarku. Aku bisa menebak, setelah beliau pulang dari pasar, Tante Sri akan mengecek ke lemari makanan, kemudian mengecek rice cooker, lalu akan menyimpulkan bahwa aku belum makan sama sekali sejak kemarin malam.
Tapi serius, aku tidak lapar. Tubuhku terlalu kenyang dengan pendapat Tante Zarra soal Puncak Dunia.
Setengah jam kemudian, dugaanku terbukti benar. Tante menggedor kamarku. “Allary buka!” beliau berseru, dengan nada yang lumayan tinggi.
“Ada apa Tante?” akhirnya aku duduk di pinggir tempat tidur, duduk, belum berdiri.
“Tante mau bicara. Buka pintu kamarmu, Allary.”
Perintah Tante Sri mau tidak mau aku laksanakan. Aku tidak pernah membantahnya, karena aku berhutang banyak hal pada Tante Sri. Ketika pintu sempurna terbuka, akhirnya Tante bisa melihat kondisiku. Dengan mata berkantung, wajah murung, serta tubuh yang loyo, Tante Sri tentu saja terpelongo.
“Apa yang terjadi denganmu, Allary? Apakah kamu sakit.” Tante Sri dengan cepat memeriksa keningku, mengecek suhu tubuh.
“Allary tidak apa-apa, Tante.”
“Kamu ada masalah apa, Allary.”
“Eh tidak ada masalah apa-apa, Tante. Allary tidak apa-apa.”
“Kamu jangan bohong,” sergah Tante Sri, menatap mataku dalam-dalam, “Tante amat mengenalmu, Allary. Allary bukan yang seperti ini. 22 tahun usia kamu, tak pernah kamu mengurung diri di kamar dan tidak makan seperti ini. Kamu ada masalah apa?”
“Tidak ada apa-apa Tante,” aku berkeras membantah.
“Bagaimana bisa tidak. Sudah, kalau kamu ada masalah, jangan dipendam sendiri. Biar Tante mendengarnya. Ayo kita masuk.”
Tante mengajakku masuk lagi ke kamar. Duduk di tepian tempat tidur. Aku menunduk. Haruskah aku menceritakan semuanya pada Tante Sri? Sepertinya agak memalukan.
“Ini tentang gadis itu ya,” Tante memecah kesunyian. Dengan langsung bertanya ke bagian itu.
“Eh apanya, Tante? Gadis siapa?”
“Kamu tidak usah mengelak, Allary. Gadis itu, yang sering kamu ajak ke gerobak. Siapa namanya, Anita ya? Nah ada masalah apa kamu dengannya, Allary?”
“Tidak ada apa-apa, Tante. Tidak ada apa-apa.”
“Kamu buruk dalam menghindar, Allary. Dua puluh dua tahun usiamu, kamu memang belum pernah bersinggungan dengan dunia itu bukan, dunia percintaan. Hanya itu yang bisa membuat kamu murung seperti ini. Itu mudah ditebak.”
Aku menghela nafas dalam-dalam. “Baiklah. Allary akan cerita. Tapi setelah itu, Tante juga harus menceritakan sesuatu pada Allary.”
“Baiklah Allary, entah apa yang ingin kamu dengar. Tapi tidak apa, kita bereskan masalahmu dulu, setelah itu, kamu makan.”
129
Antara Jakarta dan London
Hening sejenak, setelah aku selesai bercerita pada Tante Sri. Kuamati wajah beliau amat simpatik.
“Allary,” kata beliau akhirnya, “Tante turut prihatin atas apa yang kamu alami. Sungguh tragis. Akan tetapi, sebenarnya ada cara lain, seharusnya kamu ceritakan dulu ke Tante, ke Kang Adam, kita bicarakan baik-baik, mungkin jika begitu, akan beda ceritanya.”
Aku mengangkat bahu. Sepertinya ceritanya akan sama saja, karena pucuk masalahnya bukan pada kami, tapi pada Tante Zarra.
“Mau bagaimana lagi, Tante. Sudah begitu jalan ceritanya. Tidak bisa diubah. Walau Allary ingin sekali mengubahnya.”
Tante menepuk-nepuk bahuku. “Iya, pasti berat sekali menerima kenyataan ini, tapi apa mau dikata. Satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah berbuat baik, menutup lembaran lama itu, dan membuka lembaran baru.”
Aku menggeleng, tidak semudah itu melakukannya.
“Ayo Allary, kamu boleh sedih, tapi kamu tidak boleh melupakan kesehatan kamu. Ayo makan.”
Aku menggeleng lagi. Tidak selera. “Aku ingin mendengar cerita dari Tante.”
“Cerita apa, Allary?” Tante balik bertanya, heran.
“Soal ayah. Ayah Allary. Kenapa ayah pergi begitu saja. Pasti ada alasannya bukan? Setelah 13 tahun berlalu, bukankah sudah saatnya Allary mendengar ceritanya sepenuhnya.”
Tante Sri terkejut. Ekspresinya seperti orang yang sedang ditodong pistol. Aku sudah menyiapkan pertanyaan ini begitu lama. Karena sejak aku kuliah, aku banyak mengecek riwayat akademis ayah di kampus. Tidak ada satupun alasan yang masuk akal, kenapa ayah pergi, 13 tahun yang lalu.
Aku menyimpulkan, ayah tidak akan pergi tanpa alasan. Dan aku yakin sekali, Tante Sri tahu sesuatu. Bertahun-tahun aku menyimpan pertanyaan ini, akhirnya hari ini aku bisa memaksa Tante Sri untuk menceritakannya.
“Ayahmu itu, ayahmu itu, ayahmu,” kata Tante Sri berulang-ulang, gugup.
“Sudah waktunya Allary mendengar cerita yang sebenarnya.” Aku mendesak.
Tante mengusap wajahnya. Dia berkeringat. “Kamu yakin ingin mendengar cerita ini, Allary? Bukankah kondisimu sendiri juga tidak stabil saat ini? Lebih baik kita tunda dulu urusan ini, dan mari kita makan.”
“Aku mohon ceritakanlah, Tante. Aku ingin sekali mendengarnya. Aku tidak akan menyentuh makanan sebelum mendengar semua kebenaran tentang ayah. Sudah waktunya Allary tahu.”
Tante akhirnya mengalah. “Baiklah, Allary. Dengarkan baik-baik. Kisah yang sudah terkubur selama belasan tahun. Kamu benar, ayahmu pergi karena suatu alasan. Alasan yang kalau dipikir-pikir, itu adalah kesalahan Tante.”
“Kesalahan Tante?” aku bertanya heran.
“Iya. Di malam di mana ayah kamu pergi, ayahmu melakukan sesuatu. Dia meniatkan sesuatu. Ayahmu melamar Tante untuk menikah dengannya. Sebuah lawakan yang tidak lucu menurut Tante.”
“Ayah, melamar Tante? Tiga belas tahun yang lalu?” aku bertanya lagi, Tante Sri menjawab dengan anggukan, “benar Allary. Ayahmu bilang, dia jatuh cinta dengan Tante. Dia bilang dia merasa sosok Mama kamu, hidup kembali dalam diri Tante.”
“Dan Tante menolaknya?”
“Iya, Allary. Tante menolaknya. Alasan ayahmu bagi Tante tidak realistis. Lagipula, Tante merasa tidak sanggup menggantikan Mama kamu. Tidak akan bisa. Jadi malam itu Tante terpaksa menolak.
Ayahmu memohon. Dia bilang tidak bisa hidup dengan ada Tante di rumahnya, tanpa ada ikatan suci. Malam itu juga kami membicarakannya baik-baik. Tapi tidak menemukan jalan keluar. Jadilah ayahmu mengambil keputusannya sendiri. Dia pergi. Meninggalkan kita berdua, menatap keganasan hidup.”
Aku manggut-manggut. Rupanya begitu ceritanya. Sejujurnya aku terkejut. Ternyata Ayah pernah melamar Tante Sri.
“Dimana Ayah sekarang, Tante?”
“Kamu tidak perlu mengetahui hal itu, Allary.”
“Aku mohon Tante. Aku ingin menemui ayah.”
“Kamu mau menemuinya?”
Aku mengangguk, “Allary merasa butuh pergantian suasana, Tante. Di sini rasanya sempit dan menyesakkan.”
“Ayahmu katanya pergi ke London, Allary. Berkeliling bumi dari sini.”
“Aku akan mencarinya,” tekadku tiba-tiba keluar.
“Hei, jangan bertindak yang tidak-tidak, Allary.”
“Allary mohon, Tante. Allary minta izin pergi, menemui ayah. Aku punya modal untuk ke sana. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya.”
“Allary,” kata Tante, memegangi bahuku, “London bukan jarak yang dekat, kamu tidak bisa pergi begitu saja.”
“Aku mengerti Tante, tapi aku sudah membuat keputusan. Aku cuma mau minta izin. Entah nanti aku pergi diam-diampun tidak ada masalah.” Mataku berkaca-kaca.
130
Mencari di Tengah Ramai Kota London
Hari itu sebuah keputusan besar telah kubuat.
Tanpa diketahui oleh Tante Sri, di tengah semua pemikiran yang campur aduk dalam kepala, aku berangkat ke London. Membawa semua uang yang tadinya akan kupakai untuk melamar Anita.
Aku memutuskan untuk berangkat ke London. Melihat dunia, mencari suasana baru, sekaligus mencari ayahku. Semoga dengan cara itu, aku bisa menenangkan diri dan melupakan perkataan Tante Zarra. Walau hanya sedikit.
Pertama-tama aku mengontak Thahir. Minta dia mencarikan tiket pesawat. Thahir sering bepergian. Dia lebih berpengalaman mengurus hal tiket dibandingkan aku yang tidak pernah sama sekali. Mulanya dia terkejut saat kubilang aku mau ke London.
“Apa? Kau serius? Mendadak sekali kau mau ke London, Allary? Ada acara apa di sana?” tanyanya saat aku meneleponnya.
“Jangan banyak tanya dulu, Thahir. Nanti aku ceritakan. Nanti. Yang terpenting sekarang, bantu aku.”
Thahir tidak banyak cakap lagi, selang lima belas menit kemudian, masuklah e-ticket ke emailku. Lengkap dengan pesan, siap dalam lima belas menit, paduka raja.
Astaga, Thahir malah mendramatisir.
Hal yang kupikirkan di atas burung besi di atas awan, adalah bagaimana mencari ayahku di antara hiruk pikuk orang di Kota London. Ada lebih dari 4 juta orang di London, (itu adalah angka di zaman revolusi Prancis, jadi aman jika aku mengatakan jumlahnya telah naik berkali-kali lipat), bagaimana aku menemukan beliau. Tante, dari ceritanya hanya mengatakan bahwa ayah tinggal di London.
Aku segera berpikir, merangkai dugaan. Pertama, ayah adalah seorang akademisi yang cemerlang. Di Jakarta, dulu dia adalah dosen tetap bergelar magister. Kurasa pindah ke London tidak akan mencegah ayah menempuh profesi yang sama. Baiklah, semoga ayah tidak mengganti namanya menjadi lain, aku akan mencarinya ke universitas-universitas besar yang ada di Ibukota Inggris.
Turun dari Bandara di London, aku mantap berujar ke taksi, Imperial College, tujuanku yang pertama.
Saat itu, Imperial College, adalah sebuah kampus yang sangat prestisius. Keprestisiuannya boleh jadi cuma kalah dengan dua universitas legendaris, Oxford dan Cambridge.
Saat aku tiba di gerbang, aku diminta memperlihatkan dokumen imigrasi yang kupunya. Kentara betul mungkin, kalau aku bukan orang Inggris. Ketika petugas keamanan itu membaca dokumen yang kupunya, orang itu terkejut.
“Nama anda, Allary Azra?” tanyanya, kurang lebih begitu arti kalimat yang dia ucapkan.
Aku mengangguk.
“Nama anda unik. Dan secara unik pula, mirip dengan salah satu nama pengajar di sini.”
Pengajar, hatiku nyaris bersorak.
“Oh maaf pak, boleh saya tahu siapa nama pengajar itu?”
“Profesor Allary Herman. Dia seorang akademisi asal Indonesia juga. Apakah anda mengenalnya?”
“Oh saya tersanjung, nama saya ada sama dengan seorang pengajar di universitas besar macam begini. Tapi saya rasa itu tadi kebetulan.”
“Hoo baiklah. Silakan masuk anak muda. Semoga anda menikmati kunjungan anda ke Imperial College.”
Petugas keamanan itu membukakan pintu gerbang. Berkat potongan informasi itu, aku bisa menemukan jalan terang. Berikutnya mudah saja, tinggal bertanya ke bagian informasi, dan dengan sedikit keberuntungan, aku tiba di depan ruangan Profesor Allary Herman.
Astaga, setelah 13 tahun berlalu, akhirnya aku berdiri di depan ruangan ayahku. Aku mengetuk. Lalu terdengar seruan dari dalam. “Silakan masuk.”
Coba tebak apa yang terjadi berikutnya? Tidak ada. Tidak ada sesuatu yang dramatis. Tidak ada. Ketika aku masuk, berdiri depan meja, dengan ayahku di belakangnya, duduk di kursi besar, memakai jas berwarna cokelat, ayah mengenaliku dari atas ke bawah.
“Allary, kau yang datang rupanya,” ucap ayah dengan datar.
Aku tertawa canggung. Aku tahu, sejak dulu ayah memang begitu. Sejak dari Jakarta, sejak aku kecil, aku sudah tahu kalau Ayah itu bukan orang yang bisa mengeluarkan emosinya dengan meluap-luap. Ayah selalu tenang.
“Silakan duduk, Allary.” Ayah menunjuk sebuah kursi di depannya.
Kami bercakap-cakap santai. Ayah bertanya tentang apa kabarku, apa saja yang telah kulakukan selama ini, dan menyuruhku bercerita tentang kabar Tante Sri. Aku ceritakan semuanya secara tuntas.
“Oh jadi kau melamar seorang gadis, menarik sekali, Allary,” ayah baru berseru dengan nada yang lebih antusias saat masuk ke bagian itu.
“Iya, tapi ditolak oleh keluarganya.”
“Oh astaga. Ditolak. Sesuatu yang amat buruk yang tak pernah diharapkan manusia manapun. Ayah juga pernah merasakan ditolak. Bukan main pahit rasanya.”
“Oleh Tante Sri?”
“Jadi Sri sudah cerita ya?” ekspresi ayah agak berubah, kujawab dengan anggukan, “yahh, harus ayah akui, Allary, Tante Sri memiliki banyak kesamaan dengan Mama, jadi ayah kira, sebenarnya dia bisa menjadi ibu yang cocok untukmu.”
Aku juga mengangguk untuk bagian itu, aku sudah menganggap Tante Sri sebagai Ibuku sendiri. Karena dialah yang sehari-hari mengurus diriku.
“Ya sudah Allary. Tak perlu kau bilang pun, ayah tahu kalau kau sedih. Tidak apa. Tinggallah sementara di kota London ini. Percayalah, kota ini bisa menawar kesedihan. Ayah sendiri yang membuktikannya.”
Aku terdiam.
Itulah hari pertamaku di London. Aku tinggal di Ibukota Inggris itu selama enam bulan. Tanpa pernah berani mengutarakan keinginanku yang sebenarnya ketika tiba di sini.
Ingin bertanya tentang betapa tidak adilnya dunia ini.
131
Negeri Orang Gunung, Sekali Lagi
Sementara Allary terus bercerita, sementara rombongan berisi tiga orang itu telah sampai di Puncak Dunia, sementara mereka kini meneruskan perjalanan memutar ke Utara, jangan lupakan sisi lain cerita ini. Seseorang mampir di Negeri Orang Gunung, tepat saat matahari pagi menyapa lereng Sarsa.
Dialah Felix Norton. Dia tiba di pintu gerbang Ogenaputai, setelah berlarian selama dua hari dua malam tanpa istirahat.
“Akhirnya aku sampai,” kata Felix, bergumam sendiri. Dia menghabiskan dua kaleng minuman berenergi. Sesuatu yang sudah dia siapkan sejak dari Ibukota.
Rencana Felix adalah mencari Ne, atau siapapun yang bersedia mengantarnya ke jalan pintas rahasia ke Camp 4. Tapi jika tidak ada satupun orang bersedia, dia akan coba jalan sendiri. Tidak sopan di negeri orang? Sayang sekali itu tidak ada dalam kamus Felix Norton.
Sayangnya, atau untungnya, dia tidak hanya menemukan Ne, tapi Tuan Oge sekaligus, dan mereka tidak usah ditemui, mereka menyambutnya di gerbang masuk.
Heran Felix dibuatnya. Bagaimana bisa Tuan Oge menemuinya di sini?
“Selamat datang orang baik dari dunia luar.”
Makin heran Felix dibuatnya. Bagaimana bisa Tuan Oge mengetahui apa yang terjadi di dunia luar. Kali ini Felix memasang insting waspada. Tuan Oge tertawa.
“Tenanglah Felix Norton. Aku sama sekali tidak berniat membuatmu bingung. Sebenarnya jawabannya mudah saja. Kami, orang-orang Ogenaputai, memiliki kemampuan khusus untuk membaca pikiran orang lain.”
Mendengar penjelasan itu, Felix menelan ludah, jangan sampai dia berpikir yang tidak-tidak terhadap Tuan Oge.
“Aku melihat semuanya, aksi kalian menolong orang-orang asing yang sebenarnya tidak kalian kenal, pertaruhan nyawa Allary Azra, serta ketulusan kau dalam mengantar mereka sampai ke bawah dengan selamat. Sungguh kalian adalah orang-orang yang menakjubkan.”
“Terima kasih, Tuan Oge,” Felix berucap singkat. Untuk apa? Toh Tuan Oge sudah bisa membaca seluruh isi kepalanya.
“Nah Felix, sebenarnya demi keramahtamahan, aku ingin mengajakmu makan-makan, tapi aku tahu kau pasti sangat terburu-buru sekarang. Kau ingin mengejar rombongan Allary lewat jalan pintas di Ogenaputai, bukan?”
“Benar Tuan Oge.”
“Sayangnya, sedikit nasihat gratis untukmu, Felix. Kau sebaiknya tidak perlu repot-repot mengejar ke Puncak. Kau tidak akan menemukan rombongan Allary di sana.”
Felix terkejut mendengar saran itu, “kenapa begitu Tuan? Apakah mereka sudah mati. Tolong jangan katakan begitu.”
Tuan Oge menggeleng, “tidak, tidak seperti itu. Mereka saat ini masih hidup. Tapi mereka sudah lewat dari puncak. Kau masih ingin menemui mereka.”
Felix mengangguk.
“Baiklah, mari ikut aku. Ne, tunjukkan jalannya. Kita menuju ke Jalur Punggung Utara.”
“Siap.”
Felix bertanya-tanya. Banyak pertanyaan bermunculan dari pikirannya. Kenapa mereka malah menuju Jalur Punggung Utara? Apa yang dilakukan Allary di sana?
“Mengenai kenapa, sebaiknya kau tanyakan langsung pada mereka, ya, Felix.” Tuan Oge sudah menjawab satu pertanyaannya. Felix tertegun. Tuan Oge kembali membaca pikirannya.
Tuan Oge membawa Felix menuju salah satu ruangan di terowongan berpintu batu. Itu jalur yang amat panjang. Felix jadi mengira-ngira bahwa setiap pintu di dinding batu itu, di dalamnya ada terowongan-terowongan yang membentuk labirin rumit yang tiada berujung.
“Ini jalur pintas. Di ujung terowongan ini, adalah Hai Tsu. Base Camp di Jalur Punggung Utara. Kau bisa menunggu rombongan Allary dengan aman di sana.”
Felix mengangguk. Tuan Oge baik hati sekali menjelaskan padanya. Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan dalam pikirannya. Tidak tahan dia tak bertanya. Meski dia yakin Tuan Oge sudah bisa membaca pikirannya, Felix tetap minta izin untuk bertanya.
“Silakan tanyakan, Felix. Walau aku sudah tahu apa jawabannya.” Tuan Oge tertawa.
“Baik Tuan. Kenapa anda sebagai kepala negeri ini, sebuah wilayah yang selama ribuan tahun menyembunyikan diri dari dunia, malah membuka diri pada kami. Apa istimewanya kami?”
Tuan Oge terdiam sebentar, lalu berkata dengan suara berat. “Baiklah, Felix. Seperti kataku, aku sudah tahu apa jawabannya. Tapi dalam hal ini, aku tidak mau menjawabnya dengan gamblang. Tentu ada alasan kenapa kami membuka diri. Kalau tidak ada alasan itu, tentu kalian sudah bernasib sama dengan jutaan orang yang coba mencari jejak negeri kami. Hilang dari peradaban.” Felix merinding membayangkan itu. Sesuai tebakannya, orang Ogenaputai “menghukum” siapa saja yang berhasil menemukan diri mereka.
“Lalu kemana aku harus bertanya, Tuan?”
“Pada guide-mu. Turguy. Nanti saat ketemu dengannya, coba tanya. Kenapa dia sampai mendapat gelar sebagai Pahlawan Ogenaputai, langsung dariku.”
Felix manggut-manggut. Itulah rahasia terakhir perjalanan Allary. Sebuah rahasia yang dipegang oleh guide mereka. Turguy Amartey.
132
Jalur Punggung Utara
Sebenarnya ini adalah pengetahuan dasar bagi pendaki mana saja yang ingin mendaki ke Puncak Gunung Sarsa. Ke Puncak Dunia. Namun karena Allary dan Vivi termasuk pendaki yang amatir, Turguy harus menjelaskan pada mereka sekali lagi.
“Jadi ketua, ada dua jalur utama atau mainstream yang sering dilalui oleh para pendaki untuk sampai di Puncak Gunung Sarsa. Yang pertama, jalur punggung Tenggara-Selatan, yang dicapai dari India. Yang kedua, jalur punggung Utara, yang diakses lewat negara China. Jadi keduanya melibatkan dua negara yang berbeda di kedua sisi.”
“Nah, bila dibandingkan dengan jalur punggung Tenggara-Selatan, jalur Punggung Utara, atau Jalur Utara ini lebih sepi dari pendaki. Sebab, jalur ini memang tidak dikenali. Sir Thomas Ermundu, penakluk pertama gunung ini juga naik lewat selatan, dan banyak orang ingin mengikuti jejaknya, lewat selatan juga. Di samping itu, perizinan di China juga agak susah diurusnya. Ribet. Beda dengan di India.
Akan tetapi, biarpun sepi, jalur Utara juga memiliki banyak tempat menarik. Misalnya North Camp, yang juga merupakan salah satu titik datar terluas di Pegunungan Pahadaru. Juga ada Tiga Tangga Timur, sebuah jalur tebing berundak-undak yang amat legendaris bagi pertapa-pertapa dari daratan Maohai. Itu tempat yang amat disucikan. Ada pula Air Terjun Rongsuai, yang tepat berada di dekat Base Camp Jalur Punggung Utara. Amat menarik. Kita akan melewati tempat itu satu persatu.”
“Kau pernah lewat sini bukan, Turguy?” Vivi bertanya. Turguy terdengar berdecak. Pertanyaan yang sungguh tidak nyambung dengan penjelasannya.
“Tentu saja pernah. Tapi kebanyakan bukan untuk mengantar guide. Melainkan hanya untuk sekedar berpetualang.” Suara Turguy masih nampak bersemangat. Dia masih coba membanggakan dirinya sendiri.
“Turguy,” panggil Allary, sejak tadi wajah ketua rombongan itu nampak berpikir keras.
“Ada apa, ketua?”
“Apakah aman bagi kita untuk melewati jalur ini? Bukankah kau pernah bilang bahwa berbahaya berurusan dengan orang-orang China di perbatasan?” akhirnya Allary menanyakan itu. Ya, sebagai ketua rombongan, tentu dia mencemaskan rombongannya.
“Aku tahu resiko itu, ketua. Aku tahu persis. Tapi ini adalah jalan terbaik untuk menjaga kalian berdua tetap selamat. Tanpa lewat sini, tubuh kalian bisa sudah habis dilahap badai yang dibawa Awan Hitam dari Selatan.”
“Turguy, kau tidak menjawab pertanyaanku,” desak Allary.
“Baiklah ketua. Kau benar. Kita memang mengambil taruhan dengan melewati jalur Utara tanpa izin pemerintah China. Tapi kita tidak akan kena masalah selama kita tidak bertemu dengan petugasnya.”
“Aku masih belum mengerti, Turguy.”
“Pos penjagaan pemerintah ada di Base Camp, tepat di samping Air Terjun Rongsuai. Kita hanya akan mampir sebentar di sana, sebelum melarikan diri lewat jalan pintas.” Suara Turguy nampak optimis.
“Jalan pintas?” Allary keheranan.
“Karena itulah aku percaya padamu, Turguy.” Vivi ikut menyahut antusias.
“Iya ketua. Jalan pintas. Seperti kata Vivi, aku mengetahui sudut-sudut Pegunungan Pahadaru lebih baik dari siapapun. Aku tahu jalan pintas. Sebenarnya aku tidak akan mengambil pilihan ini. Tapi mengingat nyawa kalian adalah taruhannya, aku rasa aku tidak punya pilihan lain. Kita akan mampir sebentar saja di Base Camp, lalu kabur diam-diam lewat jalan pintas.”
“Dan kemana jalan pintas itu akan berujung?”
“Kalau itu sabar dulu ketua. Pokoknya kau akan menikmati perjalanan ini,” Turguy bersuara lagi, antusias. Karena dari tadi, dia sibuk membanggakan dirinya sendiri.
133
Penampakan Mengerikan di North Camp
Allary dan Vivi tercengang, tak habis pikir dan tak habis memuji pemandangan yang mereka lalui saat menuruni gunung lewat Jalur Punggung Utara. Memang, panorama di jalur ini lebih memukau ketimbang Jalur Tenggara-Selatan. Banyak gunung-gunung besar lain berdiri di sisi-sisi mereka. Salju-salju yang lebih tebal, udara segar, serta di bawah sana, terlihat dengan samar-samar dari kejauhan, Dataran Tinggi Maohai yang memang melegenda.
“Tidak heran jika kalian terpesona, ketua. Jalur Punggung Utara memang menawarkan pemandangan yang jauh lebih indah ketimbang Jalur Tenggara-Selatan. Seandainya saja, pemerintah China tidak ribet dengan perizinan, Jalur ini pasti bisa bersaing dengan Jalur Tenggara-Selatan. Jalur Tenggara-Selatan dengan sisi historisnya, Jalur Utara dengan panorama indahnya.” Turguy menjelaskan dengan runtut dan lengkap.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu hari, sepuluh jam, akhirnya Allary dan rombongan tiba di North Camp, atau yang jika dihitung dari bawah, adalah Camp keempat di Jalur Utara. Sebenarnya jarak antara North Camp dengan puncak tidak terlalu jauh, hanya lima jam, namun karena Allary bukan pendaki berpengalaman, Turguy memperingatkannya untuk berhati-hati sekali.
Karena menuruni gunung lebih berisiko ketimbang mendaki.
Tidak banyak rombongan pendaki yang ada di North Camp. Bahkan bisa dihitung dengan jari ada berapa tenda di sana. Turguy tidak ambil tempo, langsung menyiapkan tenda juga untuk malam ini, guna menghangatkan tubuh, Allary membantu menyalakan perapian. Allary juga, memasak martabak. Dan berkat cerita-cerita yang diceritakannya, kali ini sesi memasak martabak adalah sesi yang buruk bagi Allary.
Ditambah dengan Turguy yang kemudian bertanya macam-macam. Seperti “jadi bagaimana hubunganmu dengan gadis itu sekarang, ketua?”
Tersedak Allary makan martabak.
“Kenapa kita harus membahas hal itu lagi, Turguy,” ini Vivi yang menyela. Dia memasang wajah kesal pada Turguy. Allary sudah membaik sepanjang siang tadi, kenapa Turguy bisa-bisanya mengungkit soal itu lagi.
Vivi sekali lagi menatap Turguy dengan tatapan kesal.
Turguy mengangkat bahu, ya maafkan aku. Itu isyarat yang dipasangnya.
“Sudahlah, aku sudah lumayan baik sekarang,” Allary menyahut, “adapun mengenai pertanyaanmu itu, Turguy, aku tidak tahu kabar mengenai Anita sekarang. Dari London, aku langsung ke sini, aku tidak pernah lagi pulang ke Indonesia, Turguy.”
Turguy manggut-manggut, setelah itu diam. Lebih baik dia tidak bicara lagi daripada Vivi nanti menimpuknya dengan sepatu. Sementara itu, Vivi mengambil alih pembicaraan, bertanya tentang resep-resep martabak. Allary menjelaskan sebatas yang bisa dia jelaskan. Tentu saja ada rahasia perusahaan yang harus Allary sembunyikan.
Malam itu, mereka tidur dengan tenang. Termasuk Allary yang telah melewati sesi emosional dalam dua hari terakhir. Allary memang orang yang mudah untuk menyesuaikan diri.
Pukul dua malam, Allary terbangun. Tiba-tiba rasa ingin buang air kecil tidak tertahankan mendatangi dirinya. Dia meraba-raba dimana meletakkan senter dengan baterai yang sudah dia isi tadi sebelum tidur. Raba sana raba sini, akhirnya ketemu.
Suasana North Camp pukul 2 malam amat sangat sepi. Tenda-tenda gelap, tadi Turguy sempat bilang bahwa memang beginilah tradisi para pendaki Jalur Utara, tidur di Tenda yang gelap. Allary keluar sebentar. Menyingkir ke arah jalan turun, bermaksud menyelesaikan hajatnya.
Allary, meskipun hanya seorang penjual martabak, meski bukan pendaki profesional, dia amat pemberani. Bukan pemberani dalam berkelahi, tapi setidaknya, Allary berani bergerak dalam gelap. Itu masalah lebih dari 5% populasi manusia di bumi. Sebagai buktinya, Allary sering melintasi area pemakaman umum yang angker itu saat pulang malam dari kedai martabaknya. Dia tidak gentar. Mungkin itu juga karena dia tidak pernah bertemu makhluk yang tidak-tidak.
Namun, keberanian Allary tidak berguna malam itu.
Entah karena penasaran, atau memang sudah ditakdirkan, malam itu, setelah selesai dengan keperluannya buang air kecil, Allary memainkan senternya. Menyoroti jalan yang besok dia akan tempuh. Dan betapa terkejutnya dia, saat cahayanya menyorot ke arah tanah, sekitar 5 meter di depannya, ada jejak raksasa.
Jejak itu muncul lagi!
Didorong oleh rasa penasaran dan kenekatan, Allary menghampiri jejak itu. Sendirian. Jejak itu, Allary segera mengukurinya dengan kepalan tangannya. Dua kepal tangannya muat pada satu jejak kaki kiri makhluk itu.
Tidak salah lagi, itu jejak Raksasa Hi’um. Setelah sekian hari urusan makhluk itu terlupakan, Allary kembali memikirkannya.
Ketika Allary ingin berdiri dari posisi jongkoknya, kejutan lain menantinya. Kejadian itu begitu cepat. Ketika Allary berdiri, bahkan sebelum dia sempat mengarahkan senter ke depannya, makhluk itu sudah berdiri di sana.
Ya, tepat di depan mata Allary. Tak kurang dari satu meter. Bukan membelakangi, tapi menghadap. Ya, kali ini, Allary menghadapi Raksasa Hi’um dengan matanya sendiri. Senternya langsung terjatuh ke tanah. Allary terkesima. Meski dalam gelap, dia masih bisa melihat detail makhluk itu. Bulu-bulunya yang putih, wajahnya yang mirip gorila namun bertaring panjang, sorot matanya yang bisa Allary rasaka menatapnya dengan tajam. Makhluk itu mengangkat tangannya, seperti hendak menyentuh Allary, namun sebelum sempat jari-jari cakar tajam itu menyentuhnya, Allary sudah kehilangan kesadaran. Malam itu, keberanian Allary tidak ada gunanya sama sekali.
Setelah menandai keberadaannya, makhluk itu segera pergi.
134
Uye Mero Pavirahaho
Pagi hari menjelang di North Camp. Vivi mengulet di pembaringannya, kemudian bergegas keluar dari tenda. Mengecek ke tenda Allary dan Turguy (tentu saja mereka tidur di tenda terpisah). Siapa tahu, dua orang pria itu belum bangun karena kelelahan.
Lho mana Allary? Vivi langsung bertanya-tanya, ketika melihat Turguy tidur sendirian dalam tenda. Vivi membangunkan guide perjalanan mereka itu, memberikan Turguy kesempatan mengulet sejenak, kemudian berbalik ke tendanya, beres-beres.
Selang beberapa menit, giliran Turguy yang menengok ke tenda Vivi. Wajahnya terlihat heran. “Vivi, kau melihat ketua Allary? Kemana dia?”
Vivi juga memasang wajah heran. “Kukira kau tahu kemana dia pergi, Turguy.”
“Aku tidak tahu, bukankah kau yang bangun duluan?”
“Tapi ketika aku membangunkanmu, Allary sudah tidak ada di tempat.”
“Mungkin ketua sedang melemaskan kaki sambil mencari udara segar,” Turguy menduga-duga.
“Ya sudah. Semoga itu benar, aku mau beres-beres tenda, sambil menunggu Allary.”
Kemudian Turguy dan Vivi sibuk membereskan tenda masing-masing. Lewat sepuluh menit setelah mereka bangun, setelah tenda selesai dibereskan, Allary juga belum muncul batang hidungnya. Vivi mulai cemas lagi.
Sementara Turguy duduk menghadap perapian padam dengan hati medumel. Perutnya lapar. Seharusnya, jika Allary ada di sini, mereka bisa sarapan dengan martabak.
“Turguy, apa tidak lebih baik kita mencari keberadaan Allary. Ini sudah cukup lama. Aku takut dia kenapa-kenapa,” ucap Vivi.
“Astaga, kenapa kau harus cemas, ketua itu mungkin pendaki amatir, tapi dia orang cerdas. Dia tidak akan melakukan hal yang berbahaya. Yahh, meski cerita tentang orang yang depresi lalu terjun ke bawah jurang saat pendakian gunung, bukan hal yang jarang aku dengar.”
“Jangan berkata yang tidak-tidak, Turguy!”
Turguy terkekeh. Dia memang sengaja menggoda Vivi. Hari ini, dua anggota rombongan Allary telah kembali ke sifatnya masing-masing.
Akhirnya lewat setengah jam sejak Vivi bangun. Berarti setengah jam pula, Allary tidak diketahui batang hidungnya. Meski seandainya mereka tahu, Allary sudah pingsan sejak pukul dua dinihari tadi.
Vivi bagaimanapun, masih gelisah karena Allary menghilang, kembali membujuk Turguy untuk segera melakukan pencarian. Turguy sebenarnya menganggap ini tidak serius, dia masih yakin, ketuanya hanya berjalan-jalan sebentar. Mungkin ketuanya itu sedang perlu waktu untuk sendiri. Tapi melihat bagaimana Vivi demikian gelisah, akhirnya Turguy mengalah.
“Ayo kita cari ketua,” kata Turguy akhirnya.
Karena Allary pingsan tidak terlalu jauh dari North Camp, tidak sulit bagi Turguy menemukannya kemudian. Yang susah itu membangunkannya. Apalagi Vivi, yang demi melihat Allary ditemukan pingsan, panik tujuh keliling. Rasanya tak perlu diceritakan lagi, bagaimana Vivi meratap-ratap soal “jangan mati Allary.”
Kabar baik, Allary segera sadar.
“Aku... melihat... makhluk itu... Turguy,” ucap Allary lemah. Itulah kalimat pertama yang dia ucapkan setelah siuman dari pingsan. Turguy berusaha mendudukkan ketuanya itu. Membuatnya merasa lebih baik. Setelah Allary melewati masa kritis, barulah Turguy bertanya.
“Apa yang kau lihat, ketua?”
“Makhluk itu, Raksasa Hi’um.”
“Kau melihat makhluk itu, ketua? Kau serius?!” Turguy tanpa sadar sudah setengah berteriak pada Allary.
“Iya Turguy. Aku melihatnya. Bertatap wajah dengannya. Wajah yang seperti gorilla, bertaring panjang. Mengerikan. Kurasa aku langsung pingsan saat itu.”
Raksasa Hi’um kembali menampakkan dirinya pada orang asing? Batin Turguy bertanya-tanya. Mau tidak mau pertanyaan-pertanyaan lain kembali bermunculan dalam benaknya. Apa yang menjadikan Allary begitu spesial? Sampai Raksasa Hi’um menampakkan diri padanya. Bersitatap. Astaga.
“Oh ya, Turguy,” Allary berbicara lagi sambil mengurut lehernya, “samar-samar aku juga mendengar Raksasa Hi’um itu mengatakan sesuatu padaku.”
Turguy makin terhenyak.
“Eh, makhluk itu bisa bicara ya?” Vivi bertanya, juga antusias. Sampai lupa, Allary baru pulih dari pingsan.
“Aku hanya mendengar samar-samar. Makanya aku bertanya pada Turguy, apakah makhluk itu bisa bicara, atau aku hanya berhalusinasi karena saking takutnya.”
“Raksasa Hi’um bisa bicara,” sahut Turguy, suaranya berat, “apa katanya, ketua?”
“Dia bilang sesuatu, rasanya terdengar seperti Uye Mero Pavirahaho. Ya, begitu. Aku yakin aku tidak salah dengar,” ucap Allary.
Turguy benar-benar tersentak. Itu bahasa orang Pahadaru. Tentu saja dia mengerti artinya apa.
135
Wajah yang Pucat Seperti Hantu
“Apa artinya, Turguy? Apa arti kalimat itu?”
Turguy gemetar, meski sekuat tenaga dia menyembunyikan rasa gemetarnya. Kenapa dia seperti itu? Entahlah, kita belum tahu.
“Turguy, kau baik-baik saja?” Allary kembali bertanya, melambaikan tangan di depan wajah Turguy. Pertanyaannya tadi belum dijawab.
“Aku tidak tahu, ketua. Aku tidak tahu.” Turguy menggeleng cepat-cepat. Ekspresinya seperti baru melihat hantu.
“Kau yakin, Turguy? Hei, apakah kau baik-baik saja?” Allary kembali bertanya, wajah Turguy sekarang sudah memucat. Ada apa? Allary bertanya dalam hati. Apakah Turguy mengetahui sesuatu tentang kalimat itu?
“Aku baik-baik saja ketua. Aku baik-baik saja.” Lagi-lagi Turguy menjawab cepat-cepat.
“Tidak, kau jelas tidak sedang baik-baik saja. Ada apa Turguy? Apa arti kalimat itu? Sepertinya kau terguncang olehnya?” Allary mengejar bertanya, penasaran.
“Uye Mero Pavirahaho,” ini Vivi yang berbicara, “rasanya aku pernah mendengar kalimat itu di suatu tempat.
Sekarang kejaran rasa penasaran Allary beralih pada Vivi, mengingat gadis itu juga punya darah Pahadaru dalam dirinya. “Apa artinya, Vivi?”
“Mero Pavirahaho, aku pernah mendengar kalimat itu diucapkan dalam sebuah festival di lereng Pahadaru. Festival apa namanya itu Turguy? Yang mengumpulkan banyak orang itu?”
“Pahadaka Pavirahaho,” Turguy menjawab singkat, ya itulah namanya. Festival untuk dewa gunung. Saat-saat dimana seluruh orang Pahadaru berkumpul di satu tempat.
“Ah ya, aku pernah menghadiri festival itu sekali. Sangat ramai orang di sana. Setiap orang yang berpapasan akan bercakap-cakap sebentar, lalu bilang Mero Pavirahaho. Aku yakin sekali. Kurasa artinya keluargaku atau semacamnya, Allary.”
Allary manggut-manggut. Kembali beralih pada Turguy, meminta penjelasan. Namun lagi-lagi Turguy menggeleng cepat, wajahnya masih pucat.
“Aku tidak tahu Allary, kumohon jangan memaksaku memikirkan hal yang tidak bisa kupikirkan. Kumohon Allary,” akhirnya suara Turguy keluar, terdengar memelas.
Allary berhenti bertanya, mungkin hal ini amat sensitif bagi Turguy. Memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah, kalau begitu ayo kita lanjutkan perjalanan.”
“Siap ketua.”
136
Legenda Tiga Tangga di Timur
Rombongan Allary kembali melanjutkan perjalanan. Turguy menjadwalkan hari ini mereka bisa mencapai Tiga Tangga di Timur, salah satu tempat paling terkenal di Jalur Punggung Utara. Allary yang merupakan lulusan jurusan sejarah, langsung penasaran akan asal usul tempat yang terbilang sangat unik itu.
“Panjang ceritanya, ketua.” Turguy menerangkan, dia sudah pulih, sejak Allary berjanji untuk tidak bertanya macam-macam soal Raksasa Hi’um lagi.
“Ceritalah Turguy, sambil berjalan, mengisi perjalanan kita. Siapa tahu itu membuat perjalanan kita jauh lebih menyenangkan.”
“Aku mau saja, ketua. Tapi terakhir kali aku bercerita, ada seseorang yang melotot ke arahku saat aku mengoceh,” Turguy melirik kepada Vivi.
“Ceritalah Turguy. Aku izinkan,” timpal Vivi.
“Baiklah,” kata Turguy sambil menghela nafas. Begini kira-kira cerita dari Turguy.
***
Tiga Tangga dari Timur, bukan tempat sembarangan. Berbeda dengan Camp-camp, atau barangkali Air Terjun Es di Jalur Tenggara-Selatan, yang merupakan tempat wisata. Tiga Tangga di Timur adalah tempat sakral yang dikeramatkan di punggung Utara Gunung Sarsa.
Memang, sejak dahulu, Punggung Utara Sarsa lebih dekat secara budaya dengan Dataran Tinggi Maohai, ketimbang dengan Punggung Tenggara-Selatan. Dataran Tinggi Maohai sendiri, adalah kantong terbesar agama Budha di Negara China. Berpenduduk sekitar 5 juta orang, dataran tinggi itu terasa religius,
Dataran tinggi Maohai, meski secara administratif berada di bawah pemerintah China, cenderung mendapat otonomi daerah tingkat tinggi. Sehingga secara budaya, mereka juga memiliki ciri yang sangat khas.
Kira-kira begitu pengantar ceritanya.
Nah, ribuan tahun yang lalu, Dataran Tinggi Maohai pernah ditimpa sebuah wabah penyakit yang sangat dahsyat. Gelombang kematian menyapu setiap pintu rumah penduduk. Bangkai manusia bergelimpangan, orang sakit berkeliaran, kondisi saat itu sangat mengerikan. Kondisinya diperparah oleh konflik yang saat itu terjadi antara Dataran Maohai dengan kekaisaran Tiongkok.
Berkat konflik itu, Kaisar menolak membantu Dataran Tinggi Maohai dan membiarkan mereka mencari solusi sendiri. Sayang sekali, mencari solusi bukan hal yang mudah dilakukan. Kematian terus terjadi dimana-mana. Para tetua dan pemuka agama budha semakin khawatir dengan keselamatan warganya.
Setelah sepuluh hari wabah dahsyat itu mengamuk, diambil satu kesepakatan, yaitu membuat persembahan untuk Dewa Gunung. Dipilihlah tiga biksu untuk naik ke Puncak Sarsa, melalukan persembahan. Mereka bukan biksu sembarangan, mereka biksu yang amat dihormati.
Biksu itu masing-masing bernama Lao (si kuat), Rao (si jujur) dan Nao (si beruntung). Ketiganya memiliki tuah masing-masing. Mereka kemudian berangkat ke Puncak Sarsa.
Sayang seribu sayang, mereka bertiga bernasib sial. Belum sampai ke puncak ketika badai datang, cuaca buruk menghadang. Ketiga biksu yang tidak disiapkan untuk menghadapi bencana alam, terjebak kedinginan. Namun justru saat itulah, momen legendaris mereka tercipta.
Mereka bertiga kedinginan. Hanya bisa pasrah menghadapi kematian masing-masing. Yang pertama mati, adalah Rao, biksu paling jujur. Dia tumbang dalam keadaan tertelungkup. Wajahnya tersenyum.
Kedua biksu yang tersisa tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan menangisi kepergian teman mereka pun mereka tidak bisa. Tidak lama kemudian, Lao ikut meregang nyawa. Dia tewas dalam keadaan menghadap ke angkasa. Wajahnya marah. Tidak ada yang tahu kenapa.
Nao, ya hanya Nao yang tersisa. Dia tahu, bahwa dia masih bisa bertahan selama ini karena keberuntungan yang dianugerahi pada dirinya. Tapi itu tidak bisa menyelamatkannya selamanya. Selama dia tidak bisa kemana-mana, hanya masalah waktu saja.
Lima menit kemudian, Nao juga meninggal. Dalam keadaan duduk, dengan wajah menyesal.
Kembali ke Dataran Tinggi Maohai. Keajaiban terjadi. Setelah mereka berkabung atas meninggalnya ketiga biksu (yang tidak kembali dalam sepuluh hari, sehingga dinyatakan meninggal), wabah penyakit yang menerpa mereka berangsur pergi juga.
Sejak itu, janji kehidupan yang lebih baik, tiba di Dataran Tinggi Maohai. Kehidupan mereka kembali bergeliat. Kaisar Tiongkok yang entah bagaimana kemudian melunak, meminta maaf, mengajak Dataran Tinggi Maohai kembali bersatu dengan Kekaisaran maha luas. Tetua menyanggupi, mereka suka kedamaian.
Setelah itu, mungkin demi menebus kesalahannya menelantarkan Dataran Tinggi Maohai selama wabah, kaisar berniat membangun sesuatu di Punggung Utara gunung Sarsa. Tepat di tempat ketiga biksu (jasadnya) ditemukan meregang nyawa. Membeku. Kaisar membangun tiga buah tangga, undakan yang ujungnya seolah mengarah ke langit.
Itulah penghormatan Kaisar pada Tiga biksu legendaris yang tewas diamuk badai. Tempat itulah yang kini dikenal sebagai Tiga Tangga dari Timur.
Turguy mengakhiri ceritanya. Seperti yang dia bilang, dia tidak pandai bercerita. Namun itu tidak masalah, Allary sangat antusias mendengar cerita itu.
“Berarti tiga tangga itu masing-masing melambaikan kekuatan, kejujuran dan keberuntungan?”
“Benar sekali ketua. Dan jangan salah, ada pesan tersembunyi dari urutan kematian tiga biksu itu. Pesan yang membuat cerita ini menjadi sangat legendaris.”
“Jelaskan padaku,” pinta Allary.
“Yang pertama tewas adalah Rao, kejujuran. Kejujuran pulalah yang biasanya pertama kali hilang dari diri manusia. Dia mati dalam keadaan tertelungkup, melambangkan kejujuran biasanya dikhianati dari belakang. Tapi tak masalah, orang jujur meninggal dalam keadaan tersenyum.
Yang kedua, Lao, si kuat. Tanpa kejujuran, hanya masalah waktu sampai seseorang, sekuat apapun, untuk mati mengenaskan. Dia mati dalam keadaan telentang, orang kuat namun tidak jujur, biasanya disingkirkan secara terang-terangan. Itulah yang membuatnya mati dalam keadaan marah.
Yang terakhir, Nao, orang paling beruntung. Namun apa, tanpa kejujuran dan kekuatan, keberuntungan hanya akan duduk pasrah kemudian mati dalam keadaan menyesal.”
“Sungguh cerita yang menakjubkan, Turguy.”
137
Seseorang yang Menunggu di Base Camp
“Terowongan ini memang panjang sekali, ya?” Felix akhirnya bertanya pada Ne. Mereka sudah enam jam menyusuri terowongan panjang itu. Tuan Oge tadi berpisah di tengah jalan, bilang ada urusan, kemudian menghilang di salah satu pintu batu yang ada di samping jalan terowongan itu.
“Terowongan ini berliku di dalam perut gunung, beberapa kali putaran, dibuat untuk menjamin kestabilan dalam terowongan, agar tahan gempa,” kata Ne, menjelaskan. Meski pengetahuan semacam itu, tidak masuk akal bagi Felix, semua itu bisa terjadi di Negeri Orang Gunung.
“Ada berapa banyak terowongan di dalam gunung ini?”
Ne tersenyum takzim, Felix tadi bertanya dengan nada setengah memaksa, “kau jadi banyak bertanya, ya. Padahal dalam kunjungan pertamamu bersama Allary dan Turguy, kau lebih banyak diam.”
“Apa salahnya bukan?”
“Well, baiklah. Aku tidak bisa menerangkan terlalu banyak. Yang jelas, terowongan ini adalah sebuah jalur rahasia yang menghubungkan negeri kami dengan beberapa tempat di dunia luar.”
“Kalian berhubungan dengan dunia luar?”
“Ya, dalam beberapa kondisi tertentu,” sahut Ne lagi.
“Aku kira kalian menutup diri sepenuhnya dari dunia luar.”
“Tentu tidak. Selalu ada kondisi khusus. Untuk lebih jelasnya, kau bisa minta Turguy yang bercerita.”
Sekali lagi Felix bertanya, namun ini dia tahan dalam otaknya. Apa hubungannya dengan Turguy? Saat mengantarnya tadi, Tuan Oge juga menyuruhnya bertanya pada Turguy.
Apa sebenarnya rahasia yang dipegang oleh guide-nya itu?
****
Sementara itu, orang yang dibicarakan, sudah hampir sampai ke Base Camp jalur punggung Utara. Dari kejauhan, Allary sudah bisa melihat keindahan Air Terjun Rongsuai. Air terjun paling indah di Lereng Utara.
“Sungguh air terjun yang menakjubkan, Turguy.” Allary memuji tanpa ragu. Padahal dia tidak mengerti sama sekali soal keindahan atau estetika alam.
“Apakah air terjun itu juga terbuat dari es seperti air terjun yang kita lihat tempo hari?” tanya Vivi.
Turguy menggeleng sebagai jawaban.
“Rongsuai, dalam bahasa lokal artinya keajaiban yang memancar. Dinamai begitu karena air terjun ini benar-benar terbuat dari air yang memancar dari balik timbunan es. Dari sebuah sungai di bawah tanah.”
“Sungai di bawah tanah?” Allary semakin penasaran. “Bagaimana bisa sebuah sungai ada di pegunungan terjal batu bersalju seperti Pahadaru?” Allary mengejar pertanyaan.
“Tidak ada yang tahu dimana sungai itu bermuara, ketua. Tapi yang jelas, ujungnya adalah Dataran Tinggi Maohai. Dialirkan lewat bawah tanah.”
“Itu pasti sebuah penemuan yang memukau dunia seandainya diteliti,” Vivi menimpali.
“Tentu saja,” sahut Turguy cepat, “sayangnya eksplorasi tempat ini dilarang sepenuhnya oleh Pemerintah China. Tidak boleh ada penelitian, demi menghormati tradisi Maohai.”
Allary dan Vivi manggut-manggut mendengar penjelasan tersebut.
Rombongan Allary tiba di Base Camp saat malam sudah beranjak tinggi. Pengalaman yang sudah bertambah membuat Turguy berani membawa rombongannya itu sampai melewati batas waktu pendakian. Sampai di Base Camp, mereka langsung menggelar sleeping bag.
“Esok-esok saja kita pikirkan bagaimana cara lolos dari penjagaan petugas. Malam ini kita tidur dulu,” Allary memberi instruksi sebelum tidur karena kelelahan.
Nun jauh di lereng, Felix (yang sudah sampai dua hari sebelumnya) juga beristirahat dalam sleeping bag, sembari bersembunyi.
Siap menunggu kabar gembira di hari esok.
138
Baku Hantam di Basecamp
Sayangnya, keesokan harinya, urusan itu berubah menjadi kapiran, tepat pagi-pagi sekali. Penyebabnya, para petugas yang menjaga Base Camp itu, melakukan inspeksi yang tak terduga. Berkeliling Base Camp, mengecek satu persatu. Makin sial bagi Allary dan rombongan, karena mereka hanya tidur di sleeping bag, tidak sempat mengantisipasi apa-apa.
Begitu bangun, mereka langsung kena todongan senjata api. Tentu saja mereka bertiga terkejut. Vivi bahkan mengkerut ketakutan, Vivi tidak pernah terbiasa oleh senjata api.
“Sabar dulu, mister,” Allary mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan diri, ah sial bahkan aku tidak sempat membasuh muka setelah bangun tadi, decak hatinya. “Ada apa ini?” Allary mencoba berbicara dengan tenang, dengan aksen Inggris yang terkontrol.
“Siapa kalian ini?! Cepat keluarkan kartu identitas kalian!!” seorang petugas yang berseragam hitam, berdiri bersama rekannya yang menodongkan senjata api, menanyai Allary, berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak jelas.
“Mister, kami ini para pendaki gunung. Sama seperti mereka semua.” Allary menunjuk sekitar, masih berusaha mengatur nafas, “saya mohon turunkan senjata anda, anda menakuti teman saya, mister. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Saya yakin ini hanya salah paham,” kata Allary.
“Buktikan kalau kalian bukan penyusup!” orang yang memegang senjata api ikut mengancam, mengeratkan pegangannya pada pelatuk. Siap menarik tuas itu, sekali tarik saja, nyawa Allary bisa lunas.
Turguy ikut maju menjelaskan situasi. Dia maju dengan wajah yang diyakinkan-yakinkan. “Mister, turunkan senjata anda. Lihat, anda menakuti pendaki yang lain. Kami tidak ingin mencari kekerasan, kita bisa menjelaskan duduk permasalahannya dengan baik.”
“Anda, orang lokal?” tanya orang berseragam yang tak memegang senjata. Turguy mengangguk, “benar, saya guide mereka. Nama saya, Turguy Amartey. Silakan cek buku pegangan kalian. Nama saya ada di sana, guide yang terpercaya.”
Petugas itu mengalah. Meraih tas kecil di punggung mereka, mengeluarkan sebuah buku kecil yang tebal. Allary geleng-geleng kepala. Pantas China selalu maju terdepan di dunia.
Turguy berbalik ke sisi Allary. Mencolek tangan ketuanya itu. Memberi kode untuk segera mengambil langkah seribu. Allary mengangguk, segera paham. Rupanya Turguy hanya sekedar ingin mengulur waktu. Baiklah, waktunya mereka lari sekarang.
“JANGAN BERGERAK!” petugas yang memegang senjata api kembali bersiaga melihat tawanan mereka hendak melarikan diri. Senjata api kembali teracung. Turguy menelan ludah. Kenapa mereka tidak beruntung pagi ini.
Petugas berseragam yang tidak bersenjata telah selesai memeriksa buku kecilnya. Menatap tajam pada Turguy. “Anda guide dari selatan. Bagaimana bisa kalian masuk ke Utara. Kalian adalah penyusup. Atas nama pemerintah kami harus menangkap kalian, dan membawa kalian ke kantor pusat imigrasi.”
“CEPAT JALAN!” petugas yang memegang senapan menyalak lebih keras. Allary dan Turguy saling berpandangan. Nampaknya mereka menemui jalan buntu.
BUKKKKK!!
Tiba-tiba saja terdengar bunyi benturan yang amat keras. Sesuatu berwarna hitam tiba-tiba saja jatuh dari udara, langsung tepat ke kepala orang yang memegang senapan.
“Buka jalan!”
Tiba-tiba juga terdengar suara derap kaki diiringi pekikan dari belakang Allary dan Turguy. Mereka berdua langsung membuka jalan. Sebelum si petugas berseragam di depan mereka sempat bereaksi, seseorang yang memakai jaket hitam sudah menerjang maju, menendang dada si petugas sekeras-kerasnya. Terdengar bunyi gedegum, dan si petugas terlempar sejauh dua meter. Langsung tidak sadarkan diri.
Allary dan Turguy tertegun. Hebat sekali aksi orang ini. Siapa dia. Sebelum sempat dikenali, orang itu sudah berteriak, “ayo cepat lari!!!”
Allary segera menggendong Vivi yang sudah terpaku sejak tadi, cepat mengikuti Turguy yang berlari lintang pukang ke arah Air Terjun Rongsuai.
Siapa orang itu?
139
Rombongan Allary Bersatu Kembali
Tidak, tidak ada yang sempat bertanya siapa orang yang memakai jaket hitam, memakai masker, dan hebat bertarung itu. Tidak. Turguy, Allary, Vivi dan orang itu langsung lari lintang pukang. Hanya masalah waktu sampai para petugas lainnya datang ke lokasi, dan membuat keadaan semakin rumit.
“Kemana kita lari, Turguy?”
“Langsung ke Air Terjun Rongsuai, ketua. Langsung ke jalur pelarian kita.”
“Cepatlah, waktu kita tidak banyak,” sahut si jaket hitam.
DORRRR!!!
“AHHH!” Vivi terpekik, berteriak. Semua orang terkejut mendengar bunyi letusan senapan itu. Allary, Turguy dan si jaket hitam dengan gesit melompat, menghindar. Tembakannya berhasil mereka hindari.
“Darimana datangnya tembakan itu?”
“Tidak perlu dihiraukan, jalan terus,” instruksi si jaket hitam. Turguy berlari paling depan sambil memegangi kepala.
“MENUNDUK!”
“DOOOORRRR!”
Tembakan itu kembali meleset. Si penembak yang mengambil titik di balik tebing mendecak. Kenapa tiba-tiba si jaket hitam melihat gerakannya dan berteriak memperingati. Gagal lagi.
Situasi rombongan Allary belum membaik. Di depan mereka, menghadang belasan petugas berseragam gelap yang entah darimana datangnya. Yang jelas, bunyi deru helikopter terdengar dari kejauhan.
“Sial, kenapa urusannya jadi begini,” Allary berdecak, tangannya memegangi erat kaki Vivi. Sementara Vivi menggenggam erat-erat bahu Allary, cengkramannya menyalurkan rasa cemas.
Turguy sendiri tercenung melihat belasan petugas itu tengah bersiap menangkapnya. Tidak ada jalan keluar, kecuali menyerah atau berkelahi.
Jangan bilang, sesuatu yang terjadi 7 tahun lalu akan terulang lagi hari ini. Tolong jangan bilang begitu. Hatinya tanpa sadar berdoa. Hari itu, seandainya Allary tidak sibuk memikirkan cara untuk lolos, dia bisa melihat, untuk pertama kalinya, wajah Turguy ketakutan.
“Turguy, dimana letak terowongan rahasianya?” kali ini si jaket hitam yang bertanya.
“Tepat di belakang tebing menuju Air Terjun Rongsuai. Sayangnya jalan sudah ditutup oleh mereka.”
“Serahkan urusan mereka padaku,” kata si jaket hitam, maju selangkah ke depan. Namun Turguy buru-buru mencekal lengannya.
“Kumohon, jangan berkelahi. Jangan mempertaruhkan nyawamu hanya demi meloloskan diri. Astaga, tolong jangan.”
Si jaket hitam melepas jaketnya, menunjukkan tubuhnya yang atletis. Melepas maskernya. Membuat Turguy dan Vivi yang tidak menyangka, terkejut.
“Loh, Felix?”
“Bagaimana kau bisa berada di sini?” Turguy ikut bertanya. Hanya Allary yang tetap tenang. Dia sudah menebak sejak tadi.
“Nanti aku ceritakan. Yang jelas, kita harus segera melewati hadangan mereka.”
“Felix, kumohon jangan...”
“Turguy, terima kasih sudah mengkhawatirkan aku. Tapi jika kau pikir kejadian 7 tahun lalu akan terulang, kau salah. Aku jauh lebih terampil dalam berkelahi. Biar aku bereskan mereka, agar kita bisa lewat.”
Kali ini tidak ambil tempo, Felix langsung menerjang ke depan. Belasan orang yang menghadang jalan mereka segera bersiap-siap untuk melawan.
Hari itu, Turguy, Allary, dan Vivi sama-sama terkesima melihat keahlian Felix. Mister Latino itu ternyata sangat hebat dalam berkelahi. Bak sedang bermain dalam film laga yang sudah diatur agar dia yang menang. Tendangan demi tendangan melayang. Tidak lama kemudian, semua orang di sana, sudah tumbang di bawah kaki Felix.
Turguy tertegun. Luar biasa. Allary tersenyum, hari ini, rombongannya telah komplit kembali. Dia hanya perlu memberi komando sebagai ketua.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Allary menunjuk ke depan.
140
Rahasia yang Dipegang Turguy
Allary, Vivi (yang sudah diturunkan dari pundak Allary, berjalan sendiri), dan Turguy berjalan beriringan. Melangkahi tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Korban-korban Felix.
“Kau tidak membunuh mereka, bukan?”
Felix menggeleng, “tidak, tapi nasib mereka bergantung di tangan mereka sendiri. Jika mereka bisa bertahan, mereka akan tetap hidup.”
“Sejak kapan kau bisa berkelahi macam begini, Mister Latino? Aku tak pernah menduganya.”
“Aku juga punya beberapa hal yang tak pernah kuduga darimu, Turguy,” Felix menyahuti.
“Sesuatu yang tak terduga, tentang aku?” Turguy bertanya, menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. “Apa maksudmu, Felix?”
Allary lekas memisahkan dua orang yang nampak saling bersitegang itu. Mengingatkan bahwa mereka harus cepat melarikan diri dari tempat itu. “Ayo tunjukkan jalannya pada kami, Turguy.”
Turguy mengangguk. Kembali berjalan di paling depan.
Mereka tiba di depan Air Terjun Rongsuai yang amat megah itu. Allary semakin terkagum-kagum melihat air terjun yang amat luar biasa. Tidak berlebihan memang, Air Terjun Rongsuai mungkin adalah salah satu air terjun paling indah sekaligus paling misterius di dunia. Bayangkan saja, di atas air terjun itu tidak ada sungai. Aliran air yang turun ke bawah justru muncul dari dalam tebingnya. Seperti air bawah tanah. Air terjun itu juga berujung ke dalam tanah. Jadi airnya kembali masuk ke perut gunung. Air yang sesekali dibungkus dengan butiran salju muncul dari dalam tanah dan masuk ke dalam tanah. Mengagumkan bukan?
“Pererat jaket tebal kalian. Hati-hati basah.” Turguy memperingati, sambil berdiri sejenak di depan air terjun. Dia nampak berhitung dengan situasi.
“Apa yang akan kau lakukan, Turguy?” Allary akhirnya bertanya, penasaran.
“Lihat saja, ketua. Kuharap kau tahan dengan dinginnya.”
Lalu tanpa ambil tempo lagi, Turguy masuk ke dalam air terjun. Seolah di balik guyuran air deras itu ada ruangan. Tubuhnya menembus air, pantas saja Turguy menyuruh mengeratkan jaket. Kalau tidak, mereka bisa basah.
“Haruskan kita ikut, Allary?”
Allary mengangguk pada Vivi sebagai jawaban.
Dengan sedikit berdebar, Allary ikut menyibak air terjun, bukan main dinginnya air dari Air Terjun Rongsuai ini. Di balik air terjun itu hanya ada ruangan sempit berukuran 1,5 meter persegi. Turguy berdiri menghadap dinding. Menunggu semua orang menyeberang ke dalam air terjun. Felix yang terakhir.
“Hanya ada dinding di sini, Turguy?”
“Sabarlah sedikit, ketua. Apakah semua orang sudah masuk?”
“Ya, sudah,” Felix menyahut sambil membersihkan celananya yang kotor terkena percikan salju.
“Oke, baiklah. Saatnya kita masuk ke ruangan rahasia. Sebelumnya, harus kukatakan bahwa ruangan ini adalah daerah Ogenaputai, daerah ini kepunyaan Tuan Oge. Hanya karena kalian tempo hari diterima dalam jamuan, aku berani membawa kalian kemari. Harap sikapi dengan bijaksana, apapun yang kalian lihat setelah ini, ya.”
Selesai dengan kalimatnya, Turguy tiba-tiba, secara simultan, mengusap dinding batu itu. Secara tiba-tiba pula, dinding batu tadi bergetar hebat. Kemudian bergeser. Serupa menunjukkan jalan rahasia yang sering Allary lihat di film-film. Benar sekali, sebuah terowongan panjang terbentang di sana.
“Ayo masuk. Inilah jalur pelarian kita.”
Begitu semua orang masuk, Turguy mengetuk dinding batu tiga kali, lalu dengan ajaib, batu tadi kembali ke posisinya semula. “Kini tidak ada lagi yang bisa menemukan kita. Kita bisa berjalan dengan nyaman.”
Allary tak sepenuhnya mendengar. Dia terlalu takjub dengan apa yang dia lihat. Bisa dibilang sebuah keajaiban, tapi itu nyata. Seperti masuk ke dalam negeri dongeng.
Mereka kembali berjalan, terus berjalan.
“Kemana ujung terowongan ini, Turguy?” Ini Vivi yang bertanya.
“Kampung Hijau.”
“Kampung Hijau?” Allary berseru tertahan, “maksudmu kita akan menyeberang perut gunung lewat terowongan ini?”
“Tepat sekali. Karena kalian memegang izin Pemerintah India, izin U3I, maka kalian harus pulang ke sana juga. Inilah jalannya.”
“Luar biasa, Turguy. Luar biasa.”
Hanya Felix yang tidak heran. Kemarin-kemarin dia juga dibawa Turguy melintasi terowongan yang panjang. Secara teknis, dari Hidung Monster ke North Base Camp. Tiba-tiba pertanyaan itu mengganggu pikirannya lagi.
“Ini pasti jadi perjalanan yang panjang bukan, Turguy?”
“benar. Ada apa, Felix?”
“Lebih baik kita isi dengan bercerita.”
“Ide yang bagus,” sahut Allary, “kau bisa mulai dengan bercerita bagaimana kau bisa sampai di sini, Felix. Bukankah seharusnya kau pulang ke Ibukota setelah selesai mengantar Ming Aun dan teman-temannya.”
“Aku cuma mengantar mereka sampai Kota Pasar, kemudian berbalik arah, kembali ke Ogenaputai, minta bantuan Tuan Oge dan Ne, lalu diantar ke North Base Camp. Cerita selesai.”
Allary tertawa mendengar gaya cerita Felix yang kebut-kebut dicampur kesal itu. “Ceritamu buruk sekali.”
“Ada cerita yang jauh lebih baik, ketua. Kalau kau mau dengar.”
“Oh ya, cerita apa?”
“Cerita tentang guide kita yang terhormat ini.” Felix menunjuk pada Turguy. Membuat si empunya nama berbalik ke belakang.
“Ada apa denganku?”
“Saat menyusuri terowongan bersama Ne kemarin, aku sempat berbincang dengannya. Tentang mengapa orang Gunung membuka dirinya pada kita. Ne bilang, karena ada rahasia yang dipegang Turguy.”
Turguy tercekat. Astaga, kenapa pula Ne harus menyinggung masalah itu.
“Kau memegang rahasia, Turguy? Hei jangan-jangan itu berhubungan dengan ucapan Raksasa Hi’um kemarin juga,” Allary ikut merecoki, bertanya.
“Tidak ada rahasia apapun, astaga,” akhirnya Turguy menyahut, dengan kesal, “Felix, kau terlalu mendengarkan Ne, dan kau ketua, kau hanya berhalusinasi kemarin.”
Allary menggeleng, “tidak Turguy, melihat penjelasanku kemarin tentang ucapan makhluk itu bisa membuatmu pucat seperti habis melihat hantu, aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi di sini.”
“Astaga, tidak. Tidak ada apa-apa, ketua. Percayalah.”
“Sayangnya aku tidak, Turguy,” Felix menimpali, “kau jelas sedang coba berkelit. Tapi tak masalah. Tanpa kau beritahupun, aku sudah bisa mengambil kesimpulan. Dengan melihatmu bisa memeragakan trik membuka dinding batu barusan, jelas sudah semunya. Apa rahasia itu, aku sudah tahu. Jujurlah Turguy, kau sebenarnya bukan Orang Pahadaru bukan? Kau adalah Orang Gunung. Kau adalah warga Ogenaputai.” Felix menyelesaikan kalimatnya. Turguy memasang ekspresi seolah dia tidak ada di sana.
141
Gadis yang Ingin Tahu Segalanya
Baiklah, karena tidak ada pilihan lain, lebih baik kita mulai saja cerita ini, dari sebuah negeri yang jauh. Negeri yang diterangi seribu buah lilin. Negeri dimana pintu-pintu rumahnya dipahat di dinding batu. Negeri yang tidak pernah dijilat sinar matahari. Selamat datang di Negeri Dongeng, di Ogenaputai, Negeri Orang Gunung yang legendaris.
Seperti yang diceritakan Tuan Oge di depan, Ogenaputai tidak pernah membuka diri pada dunia luar, semua orang di dalamnya tumbuh tanpa pernah melihat bahwa ada dunia luas yang amat menakjubkan di luar sana. Keadaan itu berlangsung hingga bergenerasi ke generasi.
Apakah pernah ada orang Ogenaputai yang penasaran akan adanya dunia lain dibalik dinding-dinding batu yang mengurung negeri mereka itu? Tentu. Ada beberapa orang di setiap generasi yang penasaran, coba bertanya, coba mencari tahu, ada apa dibalik dinding-dinding batu. Apa yang akan terjadi jika mereka menyusuri terowongan masuk Ogenaputai ke arah luar. Apa yang akan mereka lihat?
Setiap generasi memiliki orang-orang seperti itu. Namun hampir semua orang yang pernah penasaran, segera menahan rasa penasarannya, ketika ingin mencari lebih jauh. Ada banyak dongeng yang berseliweran. Bilang bahwa di luar dinding batu Ogenaputai itu adalah alam yang amat mengerikan. Ada naga berkeliaran. Angin badai mengamuk dengan dahsyat. Tidak ada kesempatan hidup di dunia yang seperti itu, sebuah kesimpulan mudah yang diterima nyaris semua orang yang pernah penasaran dan ingin mencari tahu tentang dunia luar.
Ya, nyaris semua orang. Kecuali segelintir kecil. Satu dua orang, tetap penasaran. Mencari tahu. Salah satunya, adalah Gorezha. Seorang gadis muda berusia 24 tahun, yang selalu bertanya-tanya tentang dunia luar.
Gorezha tak pernah mempan ditakut-takuti. Dia selalu penasaran. Setiap cerita dongeng diceritakan ulang padanya, dia justru semakin ingin melihatnya. Melihat bagaimana bentuk naga itu, bagaimana bentuk badai itu. Karena rasa ingin tahunya pula, Gorezha berkali-kali menyelinap ke terowongan masuk Ogenaputai. Berkali-kali dia ditangkap oleh Penyelenggara Kehidupan (jabatan yang sama dengan yang disandang Ne sekarang), ditegur, dinasehati.
Namun Gorezha tak pernah dengar.
Hari ini dia kembali tertangkap basah, menyelinap keluar untuk yang keempat kalinya. Penyelenggara Kehidupan, Tore, tak lagi menasehati, tapi memarahinya.
“Susah sekali kau diatur, Gorezha. Kenapa kau tidak bisa duduk tenang di kamarmu, bersantai, atau mengerjakan pekerjaan rumah, bukannya malah menyelinap keluar terowongan ini.” Wajah Tore merah padam. Berusaha menahan amarah yang lebih mengerikan lagi agar tidak keluar.
Lazimnya, orang yang ingn menyelinap keluar adalah sebuah pelanggaran besar di Ogenaputai. Pelakunya bisa diseret ke hadapan Tuan Oge dan dihukum keras. Namun Tore masih mengampuni Gorezha, tidak melaporkannya pada Tuan Oge, karena satu alasan.
Gorezha adalah putri kecil Tuan Oge sendiri. Dia dihormati di sini. Tore tidak mau membuat malu junjungannya dengan melaporkan tingkah Gorezha. Meski sebenarnya Tuan Oge sendiri, sudah tahu bagaimana tingkah Gorezha.
Gorezha memberengut. Dia tidak ambil hati dengan kemarahan Tore, dia hanya kesal, dia lagi-lagi tak bisa menyelinap pergi keluar. Tunggu saja, suatu hari nanti, aku akan benar-benar melihat dunia luar. Tekad Gorezha dalam hati.
Gorezha tidak berbohong. Dia benar-benar terus berusaha. Mencari waktu dimana semua orang lengah. Akhirnya, di suatu dinihari yang sunyi, Gorezha melakukan percobaan penyelinapan kelimanya. Kali ini benar-benar tidak ada yang mengetahui. Semua orang sedang tertidur, termasuk Tore. Tepat di dinihari itulah, Gorezha akhirnya melihat dunia luar. Dia tepat keluar di gua Hidung Monster. Pintu masuk Negeri Orang Gunung.
***
Gorezha adalah seorang gadis yang tangguh. Meski seumur hidupnya dia hanya hidup di dalam dinding batu yang mengurung negerinya, dia tidak takut dengan ancaman apapun yang menghadangnya di dunia luar.
Sensasi pertama yang dirasakan Gorezha ketika sampai di dunia luar, adalah terkejut. Ya, dunia luar terlihat begitu indah. Tidak ada badai, tidak ada naga. Yang dilihat oleh matanya, justru benda-benda kecil yang berkelap-kelip di atas kepala. Bintang-bintang di langit. Gorezha terkejut melihat benda-benda yang menakjubkan itu.
Gorezha menuruni lereng. Meski ini adalah pertama kalinya dia berhadapan dengan dunia yang tak dikenalnya, dia amat cepat beradaptasi. Semua ini sudah dia simulasikan dalam pikirannya sejak lama. Gorezha lancar sekali turun lereng. Sebelum matahari terbit, dia sudah sampai di Eutasaga.
Ah saat pertama kali bertemu dengan matahari, adalah saat-saat terbaik baik Gorezha dalam petualangan pertamanya ini. Melihat sinar jingga perlahan naik merayap ke langit, keluar dari balik benda-benda besar yang kelak dia tahu sebagai Pegunungan Pahadaru. Gorezha begitu takjub dengan sinar itu. Matahari, dunia luar, amat menakjubkan.
Setelah puas menikmati matahari, Gorezha mengikuti beberapa orang manusia turun ke lereng dasar. Ke Bihana. Gorezha ingin sekali menegur, tapi dia masih segan. Takut dikira apa-apa. Tak apalah, paling tidak dia tahu bahwa dibalik dinding-dinding batu yang mengurung negerinya, ada banyak manusia lain yang hidup. Di dunia luar.
Ketika sampai di Bihana, barulah Gorezha mendapatkan masalah. Pembawaannya, bajunya, penampilannya, sampai wajahnya yang begitu kontras dengan orang-orang lain di sekitarnya, menarik perhatian para preman yang menjaga Bihana. Apalagi melihat tingkah Gorezha yang tampak aneh, mereka semakin tertarik. Segera mendatangi Gorezha untuk meneriakinya.
“Tumro pasha dinuho!!!”
Gorezha bukan main terkejut melihat dua orang berwajah marah mendatanginya. Dengan kemampuan istimewa telepati orang Ogenaputai, Gorezha segera tahu dua orang ini berniat mencelakainya. Dia bergegas lari tunggang langgang. Dua orang itu mengikutinya dari belakang. Sibuk berteriak
“Tumro pasha dinuho!!!”
142
Pria yang Pemberani
Gorezha melarikan diri beberapa putaran mengelilingi Bihana. Berusaha menyelinap diantara orang-orang yang menatapnya dengan bingung, menghindari kejaran dua orang berandalan yang hendak melakukan hal yang tidak-tidak padanya.
“Tumro pasha dinuho!!!”
Beruntungnya, tentu saja, tepat sesaat setelah Gorezha merasa kehabisan tenaga, tepat saat Gorezha merasa akan menyerah, seseorang menyelamatkannya. Seorang pria tegap berdiri gagah di depannya, melindunginya. Menyuruh dua berandalan itu pergi. Setelah mereka pergi, pria tegap itu berbalik pada Gorezha, tersenyum canggung. Seketika terbius dengan kecantikan Gorezha.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya.
Gorezha mengangguk sebagai jawaban.
Meski memiliki kecantikan yang bisa membuat siapa saja gemetar melihatnya, Gorezha tak sanggup menghalangi pria itu memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Sebaiknya kita bicarakan di tempat yang lebih nyaman. Sepertinya kamu bukan berasal dari daerah sekitar sini. Mari ikut aku, namaku Urguji,” kata pria itu memperkenalkan diri.
Gorezha malu-malu menerima uluran tangan pria itu, memperkenalkan diri sebagai Gorezha, lalu seperti kerbau yang dicocok hidung ikut dengan pria itu ke suatu tempat di belakang pasar.
Sebuah tempat seperti balai pertemuan yang sering dia lihat di Ogenaputai. Bangunan itu tidak berdinding, hanya berlantai kayu dan beratap daun kering. Itu adalah bangunan sakral bagi Urguji. Balai pertemuan para pendaki. Dia adalah ketua perkumpulan pendaki di Gunung Sarsa, dia berkuasa atas tempat ini.
“Naiklah nona. Di sini aman. Maaf karena dua orang tadi mengejarmu. Mereka hanya orang-orang yang tidak punya kerjaan.” Urguji mencoba nyengir.
Lewat kemampuannya bertelepati, Gorezha dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan bahasa yang dipakai Urguji. Dia segera bisa mencocokkan obrolan.
“Terima kasih sudah menyelamatkan saya. Saya tidak menyangka akan dapat sambutan seperti itu tadi.”
“Ah sambutan? Sudah kuduga, kamu bukan orang lokal Pahadaru. Maaf Nona, darimana asalmu?”
Gorezha bungkam. Tidak bisa menjawab. Tak mungkin dia bilang Ogenaputai. Orang ini pasti akan menganggapnya gila karena mengaku tinggal di perut gunung.
“Apakah anda dari negeri yang jauh di Eropa sana, atau barangkali Karibia, atau Kanada, atau New Zealand?” Urguji bertanya, menyebutkan kemungkinan negara, wawasannya luas karena sering mengobrol dengan berbagai macam orang.
Gorezha menggeleng. Dia tidak mungkin mengaku berasal dari salah satu negara yang disebutkan oleh pria ini. Nanti malah ketahuan dia berbohong.
“Kalau kamu tidak mau menyebutkan, tak mengapa nona. Tidak masalah. Selamat datang di Lereng Gunung Sarsa. Salah satu bagian dari Pegunungan Pahadaru.”
Pahadaru? Sarsa? Jadi begitu mereka menamai gunung yang mereka tempati sebagai Ogenaputai.
“Apakah anda percaya dengan keajaiban, tuan?” Gorezha akhirnya pelan bertanya.
“Keajaiban? Tentu saja aku percaya,” sahut Urguji, antusias.
Dalam hal ini untungnya Gorezha tidak salah orang. Urguji memang menyenangi keajaiban, petualangan ke tempat-tempat ganjil, makhluk-makhluk misterius, dunia mistis. Itu semua kesenangan Urguji. Saking gandrungnya dia akan hal itu, dia sering menjelajahi sudut-sudut Sarsa yang jarang disentuh manusia.
Urguji dikenal sebagai pria pemimpi. Dia punya banyak sekali cerita unik yang tidak bisa didengar dari pendaki gunung Sarsa lainnya. Sebagian cerita itu adalah hasil nyata pengalamannya, sebagian lainnya merupakan imajinasinya yang liar. Gara-gara senang berimajinasi, orang sering menganggap Urguji senang berbual saja.
Meski senang berbual, pemimpi atau apapun itu, Urguji amat dihormati di sukunya. Posisinya penting. Seorang kepala pendaki. Dialah yang mengajari anak-anak muda Pahadaru tentang pendakian gunung. Karena dewasa ini usaha guide semakin ramai, orang seperti Urguji juga sangat diperlukan. Urguji juga dikenal pemberani. Ada rombongan orang yang hilang di lereng Sarsa, sampaikan saja pada Urguji, dia pasti akan mencarinya sampai ketemu. Dia tak takut menghadapi badai, menghadapi gelap malam, atau bahkan monster sekalipun.
Hari itu, ketika Gorezha mulai menceritakan negeri asalnya, Urguji tidak menertawakan, apalagi menganggap Gorezha gila. Dia justru amat tertarik dengan keterangan dan cerita Gorezha.
Urguji ingin mengunjungi Negeri Orang Gunung dalam cerita Gorezha.
143
Tamu Tak Diundang
Ada tiga situasi umum dimana orang-orang yang tinggal di Ogenaputai akan berkumpul, membentuk gerombolan secara masif, mencapai ribuan orang. Hanya tiga situasi, yang umum. Yaitu acara perkawinan, ada kematian, dan pengangkatan Oge baru. Namun itu adalah situasi yang umum. Ada satu lagi situasi yang membuat semua orang berkumpul, situasi khusus.
Yaitu, ditemukannya penyusup.
Ya, kehidupan di Negeri Orang Gunung itu memang terasing dari dunia luar. Tapi bukan berarti manusia di luar sana tidak bisa menemukan keberadaan negeri megah itu. Ada lusinan kali terjadi penyusupan sepanjang sejarah Ogenaputai. Setiap penyusup itu pasti akan tertangkap sesaat setelah dia memasuki pintu masuk terowongan. Karena orang Ogenaputai bisa membaca pikiran, telepati. Mudah saja bagi mereka menemukan penyusup.
Setiap penyusup, sepanjang sejarah negeri ini, dipastikan berujung tragis. Semua Oge yang menemukan penyusup, selalu menghukumnya setimpal. Kematian di tiang gantungan, lalu membuang jasadnya ke jurang yang dalam, langsung masuk ke perut bumi yang diisi magma yang menggelegak.
Hari ini, Ogenaputai kembali kedatangan seorang penyusup. Urguji.
Ya, Urguji. Pria pemberani dari Pahadaru. Dengan kombinasi antara cerita memikat dari Gorezha dan jiwa petualangnya, tak sulit bagi Urguji untuk menemukan Ogenaputai. Sayang, dia hanya bisa menikmati keindahan negeri yang agung itu dalam lima belas detik. Tore sudah datang, menangkapnya. Urguji melawan, tapi Tore membawa anak buah. Secepat kilat meringkus Urguji dan membawanya ke hadapan Tuan Oge.
Seketika vonis itu dijatuhkan. Urguji akan dihukum mati di tiang gantung. Sebagaimana penyusup lainnya.
Gorezha tentu saja, segera tahu bahwa orang yang ditangkap dan dijatuhi hukuman itu adalah Urguji, pria baik hati yang dikenalnya di dunia luar, segera mendatangi tempat eksekusi.
“Jangan bunuh dia, ayah. AKU MOHON!” Gorezha langsung berseru, membuat semua orang memandang ke arahnya. Sebagian membukakan jalan untuk sang putri.
“Apa yang kau pikirkan, Gorezha. Aku tahu dia temanmu, aku tahu dia yang kau temui di dunia luar. Kau tahu, urusanku denganmu akan kuselesaikan setelah ini, Gorezha. Jangan ikut campur dengan yang satu ini.”
Gorezha tajam menatap Tuan Oge, ayahnya. Sorot mata ayahnya itu begitu tegas. Hukuman sudah mantap dijatuhkan. Dia bisa membaca pikiran ayahnya. Tapi dia tidak akan membiarkan Urguji dijatuhi hukuman. Ini sebagian adalah salahnya. Karena dia, Urguji sampai ditangkap.
“Ayah tidak boleh membunuh dia,” kata Gorezha, tatapannya tajam. Dia mengambil pisau yang melekat di pinggangnya. Ditunjukkannya pisau itu pada sang ayah.
“Kau jangan coba-coba melakukan itu, Gorezha.”
“Ampuni dia. Atau ayah akan kehilangan aku juga di sini.”
“Gorezha, turunkan pisau itu!” kali ini Tuan Oge berseru marah. Martabatnya turun di hadapan rakyatnya karena dia tak bisa mengontrol anaknya sendiri.
“Aku serius, ayah.”
“Gorezha, dengar,” Tuan Oge kali ini berlutut, memegang pundak anak gadisnya, “ini adalah bagian tradisi kita. Tidak ada yang boleh tahu tentang Ogenaputai. Kalau aku mengampuninya, maka dia akan menjadi penyusup pertama yang mendapat pengampunan, sekaligus melihat Ogenaputai secara utuh. Itu melanggar adat tradisi Gorezha, tolong mengertilah.”
“Bagus sekali ayah, dan aku akan menjadi orang pertama dalam sejarah negeri ini yang mati bunuh diri kalau sampai dia dihukum gantung. Itu juga akan mencoreng tradisi bukan?”
Tuan Oge kehilangan akal untuk membujuk anaknya. Dia tahu sekali, betapa keras kepalanya Gorezha. Nampaknya dia tidak punya pilihan lain selain mengampuni orang ini. Tiba-tiba terlintas sebuah ide dalam kepalanya. Bukan untuk membujuk Gorezha, lupakan itu, setidaknya dia masih bisa merahasiakan keberadaan Ogenaputai dari dunia luar. Tuan Oge melangkah ke arah Urguji yang sedari tadi menunduk. Dia terharu melihat Gorezha, mau berkorban begitu besar untuknya.
Mengapa Gorezha mau membela Urguji sampai segitu besar, dan apa ide dari Tuan Oge?
Satu jawabannya, cinta.
Ya, jelas sekali, Gorezha mencintai Urguji. Mereka bertemu beberapa kali sebelum Urguji tertangkap. Mereka saling bertukar cerita, bertukar canda dan bertukar senyum. Gorezha terpesona dengan pria di depan matanya itu. Urguji di mata Gorezha adalah seorang pria pemberani, gagah namun bersedia mendengarkan apapun yang dia katakan. Gorezha benar-benar terkesan dengan pribadi pria semacam itu.
Lalu bagaimana dengan Urguji sendiri? Oh jangan ditanya.
Urguji juga menyukai Gorezha pada pandangan pertama. Gadis pemberani, enerjik, dan berpengetahuan luas. Jangan lupa juga bahwa Gorezha memiliki paras yang amat menawan. Wajahnya yang tak pernah dijilat matahari begitu bersinar. Kedatangannya ke Negeri Orang Gunung secara diam-diam pun tak pelak karena dua alasan. Karena, selain penasaran, Urguji juga rindu dengan Gorezha.
Tentu saja Tuan Oge tahu, bisa membaca pikiran Urguji dan Gorezha. Putrinya dan si penyusup ini telah terikat cinta yang besar. Maka, bila cinta itu cukup kuat untuk memberanikan Gorezha berkorban diri, maka cinta itu pasti juga cukup kuat untuk menahan Urguji tetap di sini.
Ya, itulah siasat Tuan Oge. Dia memutuskan bahwa Gorezha dan Urguji akan menikah, dan sesuai tradisi, Urguji tidak boleh lagi meninggalkan Ogenaputai, buat selama-lamanya.
144
Kelahiran Anak
Urguji memang orang luar. Tak setetespun darahnya adalah orang Ogenaputai. Namun Gorezha begitu mencintainya. Urguji, demi cintanya yang juga besar pada Gorezha, akhirnya merelakan dirinya tinggal di Negeri Orang Gunung. Dari seorang pendaki, Urguji berubah jadi seorang petani.
Urguji juga cepat akrab dengan penduduk sekitar. Bukan karena dia sekarang adalah menantu Tuan Oge, suami Gorezha, namun karena Urguji memang supel dalam bergaul. Kebiasaannya berbual, ternyata berguna untuk menyatukan diri dengan warga asli Ogenaputai.
Orang-orang Ogenaputai memang awalnya menjaga jarak dari Urguji yang dianggap sebagai penyusup, orang asing. Namun mereka tidak berkutik melihat perangai Urguji yang elok bukan buatan, tangannya yang ringan, serta perilakunya yang membumi. Hei, lagipula siapa yang bisa membenci orang yang dicintai Gorezha. Putri Tuan Oge itu adalah permata Ogenaputai, kesayangan semua orang. Cintanya juga cinta semua orang.
Hanya ada dua orang yang terlihat membenci Urguji dan tidak senang dengan keberadaannya. Mereka berdua itu tidak lain, Tore dan Tuan Oge sendiri.
Tore, adalah putra tertua Tuan Oge. Seorang pelaksana kehidupan di Ogenaputai, bawahan langsung ayahnya dalam struktur. Secara prosedural, dia adalah calon terkuat untuk menggantikan ayahnya sebagai Oge di masa depan. Namun kedatangan Urguji mengubah segalanya.
Memang, Urguji tidak mewarisi apapun kelak. Dia bukan keturunan langsung, tambahan, dia orang luar pula. Orang asing. Namun di mata orang Ogenaputai, hanya dalam beberapa bulan, Urguji menjadi lebih populer dibanding Tore. Bukan apa-apa, Urguji lebih ramah dan berbaur, ketimbang Tore yang kaku dan berjarak dari rakyatnya.
Sementara itu, Tuan Oge, masih belum sepenuhnya ikhlas melihat ada orang asing menerobos masuk ke negerinya, menjadi rakyatnya, bahkan mengawini putrinya. Dia menganggap itu melanggar tradisi sakral Negeri Orang Gunung. Dalam peraturan, sah baginya sebagai Oge untuk menghabisi Urguji di tiang gantungan, namun dia tidak tega dengan Gorezha. Apa kata anak gadisnya itu jika pria yang dicintainya, disingkirkan begitu saja.
Karena punya pemikiran yang sama, Tuan Oge dan Tore, dua anak beranak itu, mengatur siasat untuk menyingkirkan Urguji. Secara halus. Tanpa terlihat mereka sudah mengusirnya. Namun karena terlalu lama mengatur siasat, mereka kehabisan waktu. Gorezha terlanjur mengandung. Urguji mempunyai anak. Seorang ahli waris. Bukan main gusar Tuan Oge dan Tore dengan fakta tersebut.
Karena khawatir akan keselamatan Gorezha saat mengandung, Tuan Oge memutuskan untuk menunda rencananya. Sampai anak itu lahir. Anak Gorezha dan Urguji itu ketika lahir dinamai Turguzhi, namun kelak dia akan lebih dikenal sebagai Turguy Amartey.
145
Menyingkirkan Urguji
Setelah Turguzhi menikmati beberapa hari kasih sayang dari sang ayah, akhirnya Tuan Oge kembali menjalankan rencananya untuk menyingkirkan menantunya. Sebagai langkah pertama, dia memanggil Tore.
“Hari yang kita tunggu-tunggu telah tiba, Tore. Hari ini kita akan menyingkirkan orang asing itu selamanya dari negeri kita.” Tuan Oge membuka cakap saat Tore tiba di hadapannya. Tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka berdua, sehingga mereka bebas bercakap-cakap apa saja.
“Kalau boleh saya tahu, bagaimana rencana Tuan Oge dalam hal ini?”
“Oh kali ini kita pakai cara yang mudah saja, Tore. Kau ajak Urguji naik ke Lembah Selatan di dunia luar. Kemudian bunuh dia di sana.”
“Semudah itu, Tuan?”
“Ya, semudah itu.”
“Lalu apa kata Gorezha nanti?”
“Kau tinggal bilang bahwa Urguji mati karena terjebak badai. Sedkit mengarang-ngarang cerita, maka semuanya beres.” Tuan Oge tersenyum simpul, diikuti oleh Tore. Tuan Oge benar, ternyata hari yang mereka nantikan sudah datang.
Tidak susah bagi Tore mengajak Urguji naik ke Lembah Selatan. Itu adalah tempat yang menghubungkan titik puncak Ogenaputai dengan dunia luar, lereng Sarsa. Tempat yang sama, yang pernah dilalui rombongan Allary dalam perjalanannya.
Urguji sendiri, yang sudah amat rindu dengan dunia luar, menyambut baik ajakan Tore. Tak sedikitpun dia curiga. Sepanjang jalan, Urguji berbual, menceritakan kisah-kisah petualangannya di masa silam pada Tore.
Berceritalah sepuas hatimu, orang asing. Selepas ini kau akan kuhabisi. Tore membatin.
Ketika mereka tiba di pintu gerbang Lembah Selatan, tepat di langkah yang pertama, tak ambil tempo, Tore langsung menyergap Urguji dari belakang. Urguji jelas tidak siap dengan serangan itu. Dia sama sekali tak menduganya. Tore mendapatkan lehernya, menjatuhkan Urguji telungkup ke tanah.
“Apa yang kau lakukan, Tore? Apa maksudmu dengan ini? Lepaskan aku!” Urguji mendesis.
“Diam kau, orang asing!” Tore menyergah balik. Tak kalah ganas.
Seketika Urguji langsung paham kemana arah perbuatan Tore ini. Orang asing, ya, Urguji sangat sadar posisinya di Ogenaputai. Dia masih orang asing. Tak terkecuali bagi Tuan Oge, ayah mertuanya sendiri.
“Katakan padaku, bahwa Tuan Oge yang memerintahkanmu melakukan ini, Tore!” Urguji berteriak lagi. Padahal setengah wajahnya sudah melesat masuk ke dalam salju. Tapi dia coba bertahan. Sekuat tenaganya.
“Aku diperintah langsung oleh peraturan tradisi Ogenaputai, orang asing harus dihabisi. Kau seharusnya sudah mati sejak berbulan-bulan yang lalu. Hanya gara-gara Gorezha, semua itu jadi tertunda.”
Urguji tercekat, Gorezha. Hei, apa yang akan dilakukan mereka pada istrinya jika dia mati di sini. Urguji tidak mau berprasangka, tapi dia rasa sesuatu yang tak kalah buruk.
“Aku tidak akan mati,” katanya, tekad kuat menancap segera dalam diri Urguji, dia harus bertahan demi Gorezha.
“Apa katamu?! Aku tidak dengar?!!!”
Sembari berteriak, Tore menenggelamkan kepala Urguji yang telah dia cekik, ke dalam timbunan salju. Tore tersenyum puas, dia bisa melampiaskan semua amarah kesumatnya pada Urguji.
“Aku tidak boleh mati di sini. DEMI GOREZHA!!”
Tiba-tiba saja, Urguji mendapat momentum. Dia menggeliat, berguling, membuat tubuh Tore yang sedari tadi menduduki tubuhnya terjatuh. Secepat kilat Urguji bangkit, lalu membalikkan keadaan, balik mencekik Tore yang terjatuh telentang.
“Nah Tore, kira-kira jika aku membunuhmu di sini, kebencian Tuan Oge padaku akan semakin menjadi-jadi?” Urguji tersenyum puas.
“Diam kau, ini belum berakhir,” Tore menggeliat, kemudian bangkit, menerkam balik Urguji. Pria itu tidak tinggal diam, mengeluarkan sedikit teknik bela diri yang dikuasainya, memukul Tore hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Kini mereka berdua berhadap-hadapan. Urguji kembali tersenyum.
“Baiklah Tore, hanya di antara kita saja. Peraturannya amat memberatkanku sebenarnya. Kau boleh membunuhku, sedangkan aku tak boleh membunuhmu. Tapi tak apa, demi Gorezha, aku akan coba melumpuhkanmu di sini. Ayo maju, Tore. Akan kubuktikan bahwa aku tak hanya pandai berbual,” Urguji sudah memasang kuda-kudanya. Mantap.
Hari itu, di atas salju di sudut Lembah Selatan, dua teknik beladiri saling beradu, satu dari Pahadaru, satu dari Ogenaputai. Hasilnya? Tidak diketahui dengan pasti, namun yang pasti, baik Tore maupun Urguji, tidak pernah kembali ke Ogenaputai sejak hari itu.
146
Turguzhi, Anak Kesayangan
Sehari setelah kejadian itu, Ogenaputai gempar.
Tuan Oge panik, Gorezha khawatir, otomatis seluruh warga Ogenaputai, ikut panik dibuatnya. Penyebabnya adalah Urguji hilang. Sudah satu hari penuh, Gorezha bertanya-tanya, kemana gerangan suaminya itu. Tentunya dia tidak tahu kalau Urguji telah masuk perangkap yang dibuat ayah dan kakaknya.
Sementara Tuan Oge juga panik, anaknya, Tore juga tidak balik ke Ogenaputai. Apa yang terjadi? Tuan Oge tidak mungkin mengecek ke Lembah Selatan sekarang, karena itu bisa menimbulkan kecurigaan Gorezha atau orang lain. Namun, tanpa harus ke sana pun, Tuan Oge sudah tahu apa kesimpulannya. Pasti terjadi sesuatu yang buruk.
Untuk sekedar menutupi kecurigaan Gorezha, Tuan Oge mengirimkan tim pencari orang hilang. Dua rombongan dipecah, satu mencari ke bagian bawah Ogenaputai, satunya lagi ke bagian atas, sampai ke Lembah Selatan. Khusus untuk rombongan yang mencari ke atas, Tuan Oge berpesan agar mereka juga memperhatikan jejak putranya, Tore.
Selama tiga hari berikutnya, Ogenaputai diselimuti dalam kabut kesedihan. Gorezha hanya menangis di kamarnya. Dia sangat sedih karena Urguji hilang. Padahal bayi mereka sudah lahir, janji kehidupan yang lebih baik sudah terlihat. Kenapa Urguji malah hilang.
Pada hari keempat, Tuan Oge menyuruh anak bungsunya, Gui untuk mengecek keadaan Gorezha. Sekedar cerita, Gui adalah seorang pemuda tanggung berusia 21 tahun, dia lebih muda tiga tahun dibanding kakaknya Gorezha.
Sesampainya Gui di kediaman Gorezha, dia disambut oleh kejutan. Gorezha tidak ada di sana. Hanya terdengar tangis Turguzhi di langit-langit ruangan itu. Gui berusaha menenangkan bayi itu dengan memberinya minum susu.
Kemana kakak pergi? Gui bertanya-tanya sambil menggendong Turguzhi. Matanya menyapu seisi ruangan. Ruangan itu polosan. Tidak ada tempat bersembunyi. Lagipula untuk apa kakaknya bersembunyi di saat bayinya menangis. Gui segera menyimpulkan sesuatu yang buruk kembali terjadi. Tak ambil tempo lagi, masih dengan menggendong Turguzhi, Gui melapor pada Tuan Oge.
“Gorezha... menghilang?” mata Tuan Oge sempurna melotot, terkejut.
Gui mengangguk. Kembali menenangkan Turguzhi yang tidak hentinya menangis.
“Bagaimana bisa?”
“Tidak tahu ayah, yang pasti kakak tidak ada di kediamannya. Hanya ada Turguzhi yang terus menangis.”
Tuan Oge mengusap wajahnya. Baiklah, jangan mengambil kesimpulan mendadak, lebih baik mengecek langsung ke sana. Tuan Oge bergegas pergi. Gui kebingungan menenangkan Turguzhi.
Namun sesampainya Tua Oge di sana, di kediaman Gorezha, yang beliau lihat hanyalah kehampaan. Tidak ada apa-apa di sana. Kosong melompong. Tuan Oge mengusap kepalanya kali ini. Bingung. Maksud hatinya kemarin, hanya mengusir Urguji, kenapa Gorezha ikut menghilang. Segera dia mengontak tim pencari Urguji untuk menemukan jejak Gorezha juga.
Hari itu Turguzhi terus menangis. Meski neneknya (Ibu Gorezha) berusaha menenangkannya. Sepertinya Turguzhi tahu bahwa itu adalah hari kesedihannya. Hari itu, genap sudah baginya. Baik Urguji, ayahnya maupun Gorezha, ibunya, keduanya menghilang. Tak pernah ditemukan lagi.
Tuan Oge banyak menerima kritik dari bawahannya karena hilangnya Urguji, Tore dan Gorezha dianggap sebagai kelalaiannya. Beberapa orang yang lebih pintar, bahkan menuduh Tuan Oge-lah aktor dibalik itu semua, meski Tuan Oge berusaha keras untuk menghapus semua ingatannya soal itu.
Sementara itu, Turguzhi tumbuh di bawah pemeliharaan neneknya. Bayi Gorezha itu, seperti ayah dan ibunya, dicintai oleh segenap rakyat Negeri Orang Gunung. Anak itu amat istimewa. Karena sesuai jalur pewarisan tahta Oge, anak Gorezha memiliki hak menjadi Oge berikutnya, menggantikan kakeknya.
Hal itu jualah yang coba dicegah oleh Tuan Oge. Dia masih tidak terima ada darah daging orang asing, yang dianggapnya haram, berada di Ogenaputai. Barang sedetik pun, dia tidak terima. Dalam senyap, Tuan Oge kemudian beroperasi.
147
Tumbuh di Bawah Pengawasan Tuan Oge
Hari ketujuh belas, Siklus Cahaya Redup. Itu bertepatan dengan tanggal 12 April di kalender yang dipakai di dunia luar. Itu juga merupakan hari yang spesial di Ogenaputai. Terutama sekali bagi keluarga Tuan Oge. Gui menikah.
Gui sekarang berusia 22 tahun. Gagah bukan buatan. Jas hitam bersulam emas yang dia kenakan bersinar diterpa sinar seribu lilin yang menerangi seisi Ogenaputai. Pendampingnya, seorang gadis lokal bernama Nurushi. Belajar dari kesalahan kakaknya, Gui memilih pasangan dengan cermat.
Tak pelak, di hari pernikahannya itu, Gui telah menetapkan masa depan baru untuk dirinya sendiri.
Saat ini dia, setelah Tore dan Gorezha menghilang tak tahu kemana, adalah orang paling penting kedua di Ogenaputai, setelah Tuan Oge. Bahkan Gui bisa saja naik jadi Tuan Oge baru sepeninggal ayahnya, jika para tetua sepakat mengangkatnya dan mengabaikan hak waris putra Gorezha, Turguzhi.
Seandainya Gui mau, tentu mudah bagi dia jadi Oge baru. Sebab menyingkirkan Turguzhi masih jadi tujuan utama ayahnya. Sudah beberapa kali dia menugasi orang-orang kepercayaannya untuk menyerang Turguzhi. Karena sadar Turguzhi berada dalam ancaman bahaya setiap saat, Gui meningkatkan penjagaannya.
Suatu hari, terbilang sepuluh bulan setelah pernikahannya dengan Nurushi, Gui meminta izin membawa Turguzhi ke rumahnya. Ibunya, nenek Turguzhi, heran dengan permintaan Gui itu.
“Kenapa kamu mau membawanya?”
“Karena jalan terbaik mengawasi anak ini adalah dengan meletakkan sedekat mungkin denganku.”
“Kamu pasti mengkhawatirkan soal para penyerang itu lagi,” nenek Turguzhi membatin, “tenang saja. Mereka sudah dihukum, bukan? Biarkan anak ini tetap di sini.”
Gui menggeleng. Dia tidak bisa membiarkan Turguzhi lebih lama lagi di rumah Tuan Oge. Apalagi dia merasa ibunya, neneknya Turguzhi, berusaha melindungi suaminya dari tuduhan bersalah.
“Dia akan lebih aman tinggal bersama kami, Ibu. Lagipula, sebentar lagi, Nurushi akan melahirkan. Turguzhi akan punya teman bermain. Benar bukan, Turguzhi?”
Turguzhi tertawa. Tertawa anak berusia 1 tahun lebih sedikit sangat menggemaskan. Membuat neneknya tidak punya pilihan lain.
Gui tidak hanya mengambil alih hak pengasuhan atas Turguzhi, dia melangkah lebih jauh. Di hari kelahiran anaknya, anak kandungnya, di bawah tatapan mata seribuan orang Ogenaputai, Gui mengumumkan bahwa baik Turguzhi maupun Ne adalah anaknya, hak warisnya. “Siapapun yang berani mengganggu dan membahayakan salah satu dari mereka, akan berurusan denganku,” ucap Gui dengan mantap.
Nun di kejauhan, Tuan Oge benar-benar geram dengan apa yang dilakukan anaknya. Dia masih percaya bahwa Turguzhi adalah anak haram, yang tidak pantas ada di Ogenaputai. Namun dengan “deklarasi” yang dilakukan Gui itu, makin susah baginya untuk melaksanakan rencana menyingkirkan Turguzhi. Salah langkah sedikit saja, yang ada malah Gui nanti ikut pergi. Tuan Oge tidak mau itu terjadi, bisa kacau Ogenaputai jika dia mati tanpa satupun putra penerus.
Atau lebih parah, cucu yang tak diakuinya itulah yang akan jadi Oge baru.
Seiring berjalannya waktu, Tuan Oge yang sudah berusia 78 tahun itu, mulai sakit-sakitan. Bahkan sakitnya kali ini lebih parah dari sakit-sakit sebelumnya yang pernah dideritanya dalam hidup. Tuan Oge berada di ujung nafasnya.
Malam itu, banyak orang berkumpul di kediaman Tuan Oge. Sebagian Tetua juga sudah datang. Mereka duduk-duduk di ruang depan, mulai mendiskusikan siapa yang akan diangkat menjadi Oge baru setelah ini. Apakah Gui, atau Turguzhi. Beberapa bisik-bisik mengenai darah Turguzhi yang tidak murni sesekali juga terdengar.
Sementara itu di ruang kamar, Tuan Oge yang dirawat sang istri, tengah berbicara serius dengan Gui. Tuan Oge, dengan nafas tersendat-sendat mengamanatkan sesuatu pada putra bungsunya itu.
“Usiaku sudah di ambang batas. Sekeras apapun aku membantah, tak lama lagi aku akan meninggalkan dunia ini. Aku adalah Oge di negeri ini. Jika aku mati, itu artinya kalian akan memilih Oge baru. Aku harap itu kau, Gui. Kau harus jadi Oge menggantikan diriku. Kau adalah pewarisku. Kau harus menjaga kehormatan Ogenaputai, menjaganya dari intervensi orang asing, menjaga kehormatan darahnya dari... bocah itu.”
Di ujung nafasnya, Tuan Oge masih tidak menerima keberadaan cucunya. Gui menghela nafas. Menyusun kata-kata sejenak. Dia sudah punya rencana dalam otaknya.
“Aku menyanggupi permintaan ayah, untuk jadi Oge baru. Kukira itu adalah opsi terbaik saat ini. Aku berjanji akan membela kehormatan negeri ini. Namun untuk urusan Turguzhi, aku tidak akan menyingkirkannya. Dia adalah anakku sekarang, dan aku menyayanginya, sepenuh hati.”
“Kau tidak bisa membiarkan tumbuh besar di Ogenaputai, dia adalah pencoreng adat istiadat.” Tuan Oge menyela marah, sebelum terbatuk-batuk karena memaksakan diri.
“Ayah tenang saja. Tidak akan ada pencoreng tradisi. Dia akan menjadi warga negeri ini yang terhormat. Bahkan mungkin lebih. Suatu hari nanti dia bisa jadi orang besar. Seperti negeri ini yang akan jadi negeri besar.”
“Negeri yang besar? Apa maksudmu?”
“Aku punya rencana besar untuk negeri ini, ayah. Dengan menjadi Tuan Oge, aku bisa menjalankannya.”
Sayangnya ayahnya Gui tidak sempat mendengar rencana apa yang dimaksud anaknya itu. Dia tutup usia tepat saat Gui masih berbicara. Tuan Oge lama, telah meninggal. Gui segera memanggil para tetua yang ada di ruangan depan.
148
Tuan Oge Baru yang Visioner
Harus diakui bahwa Gui, yang jadi Tuan Oge baru adalah orang cerdas bukan buatan. Sebenarnya soal kecerdasan, itu sudah terlihat jauh-jauh hari. Gui adalah yang paling cerdas di antara tiga bersaudara. Yang baru-baru ini mencuat adalah visinya. Siapa sangka, Tuan Oge baru ini sangat visioner.
Sehari setelah dia diangkat, dalam rapat pertamanya bersama Tetua Ogenaputai, Gui sang Oge baru mengajukan sebuah usulan radikal yang membuat mata semua peserta rapat (yang mayoritas sudah tua-tua itu) melotot ke arahnya.
“Apa kau bilang, hubungan diplomatik?”
“Benar, kalian tidak salah dengar, hubungan diplomatik. Karena aku tahu, membuka Ogenaputai seluruhnya dengan dunia luar, itu masih terlalu radikal untuk saat ini. Jadi cukup dengan hubungan diplomatik saja dulu.” Tuan Oge berucap dengan tenang.
“Apa kau gila!” salah satu Tetua yang duduk di ujung kursi sebelah sana, tidak bisa menahan emosi. Tuan Oge mengangkat tangan. Menyuruhnya duduk kembali.
“Tenanglah, tidak perlu marah-marah. Lagipula saya adalah Oge di sini. Mari kita bicarakan dengan lebih lembut. Hubungan diplomatik itu bukan hal yang buruk. Sekitar seribu langkah kaki di selatan negeri kita, ada komunitas orang-orang Pahadaru yang hidup damai. Di sebelah utara, dengan jarak yang kurang lebih sama, ada komunitas Dataran Tinggi Maohai, mereka penjaga aliran suci dari nenek moyang. Kita bisa menjalin hubungan diplomatik dengan mereka. Mereka bukan orang-orang yang berbahaya.”
Gui sang Oge baru menguasai keadaan dengan tutur katanya yang tenang, dan berwawasan. Dia mengetahui letak dan kondisi wilayah yang disebutkannya dari cerita-cerita Urguji, ya, Urguji yang senang berbual. Lalu dengan visinya yang kuat, Gui bercita-cita untuk bisa berdiri bersama-sama negara-negara itu. Menakjubkan sekali baginya. Tentu saja ide itu bukan ide yang mudah diterima. Para tetua sebentar lagi pasti mengungkit soal tradisi.
“Harap Tuan Oge mengerti, kondisinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negeri ini punya akar tradisi yang kuat. Apa kata rakyat negeri kita jika Tuan ingin membuka diri pada dunia luar.”
Gui tersenyum, menyahut, “rakyat telah setuju. Aku sudah melakukan dengar pendapat. Sebagian besar sangat penasaran dengan ide melihat dunia luar. Jika anda-anda semua, mau menyingkirkan sedikit saja rasa fanatik terhadap tradisi itu, maka anda-anda semua akan melihat bahwa kebanyakan rakyat negeri kita amat memimpikan perubahan. Ya, saya tahu, perubahannya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tidak. Perlu waktu tahunan barangkali. Oleh karena itu, saya ingin memulainya dengan sesuatu yang mudah, hubungan diplomatik.”
Para Tetua mulai mengangguk-angguk, termakan kata-kata Gui sang Oge baru yang berkharisma.
Setelah ide itu disampaikan di sidang pertama, meski beberapa masih belum setuju, masih kekeuh berpegang pada tradisi, Tuan Oge baru mulai menjalankan rencananya. Sehari setelah ide itu dia sampaikan, Gui sudah mengirimkan dua rombongan perwakilan. Satu ke selatan, menemui kepala desa Eutasaga, satu ke utara, menemui pemimpin agama Dataran Tingg Maohai.
Syukurnya lagi, respon yang diterima utusan Tuan Oge sangat positif. Urguji benar bahwa orang-orang Pahadaru itu ramah-ramah, tentunya jika bertemu dengan orang yang tepat. Adapun pemimpin agama di Dataran Tinggi Maohai, malah mengundang Tuan Oge sendiri untuk datang, mengunjungi mereka.
Dalam kunjungan pertamanya, Tuan Oge yang baru, takjub dengan keindahan dunia luar yang menurutnya memiliki udara dingin. Namun suhu sedingin itu, ditambah dengan salju sejauh mata terhampar, memanggil sensasi petualangan yang hebat. Urguji lagi-lagi benar, dunia luar memiliki pesona yang tak kalah hebat dengan Ogenaputai.
149
Siapa Aku Sebenarnya?
Tahun demi tahun berlalu, usaha diplomatik Tuan Oge berjalan mulus dan berkembang pesat. Tuan Oge aktif mengunjungi daerah-daerah terpencil, memenuhi undangan dari anak suku Pahadaru yang terpisah-pisah di berbagai tempat. Namun untuk sementara ini, usaha diplomatiknya hanya dibatasi pada kunjungan ke luar, belum ada utusan negara lain yang diizinkan untuk masuk Ogenaputai. Tetua yang memegang teguh tradisi terpaksa setuju dengan ketentuan itu.
Tahun demi tahu berlalu, perjalanan Tuan Oge juga semakin jauh dan luas. Baru-baru ini, Tuan Oge telah mendengar bahwa di Selatan negerinya, ada sebuah negara besar nan modern bernama India. Sedang di utara, tak kalah hebat, ada sebuah negara adidaya bernama China. Tuan Oge bertekad dalam hati untuk mengunjungi negeri-negeri itu suatu hari nanti jika ada kesempatan.
Sementara itu, dua putra Tuan Oge, Turguzhi dan Ne juga tumbuh, berkembang dengan cepat. Mereka hanya berselisih usia setahun, sehingga mudah cocok satu sama lain.
Turguzhi mewarisi sifat-sifat ayahnya yang selalu ingin bertualang. Usianya baru 7 tahun, namun dia sudah menjelajah seisi Ogenaputai, dia mengenali sudut-sudut negeri itu lebih dari siapapun.
Sementara itu, Ne adalah anak yang tenang namun cerdas. Dia menerima pelajaran-pelajaran dari Para Tetua, semacam sekolah di Ogenaputai, dengan cepat. Pelajaran yang seharusnya diselesaikan dalam dua tahun, diselesaikan Ne dalam dua bulan.
Namun tentu saja yang paling menarik dari cerita masa kecil mereka ini, adalah sifat ingin tahu yang dimiliki Turguzhi. Dia mewarisi sifat itu dari ibunya.
Turguzhi dengan cepat menyadari statusnya di Ogenaputai. Secara fisik, dia sedikit berbeda. Kulitnya lebih gelap, postur tubuhnya agak jangkung untuk orang Ogenaputai, lingkar kepalanya juga besar, dan rambutnya juga agak keriting. Dia berbeda dengan Ne. Dia bertanya-tanya. Suatu hari, dia menghadap Tuan Oge, ayahnya, untuk bertanya hal itu. Lagi.
“Duduklah dulu, Turguzhi. Bukankah kita sudah sering membicarakan hal ini sebelumnya,” ucap Tuan Oge, sedikit gugup. Belakangan, Turguzhi memang sering melontarkan pertanyaan itu. Tentang asal usul dirinya, dan kenapa dia berbeda dengan orang Ogenaputai lain pada umumnya?
“Aku ingin tahu, ayah. Kenapa aku berbeda dari mereka. Aku bahkan berbeda dibanding dengan adikku, Ne. Terlalu berbeda. Apa yang salah, ayah?”
Tuan Oge mengusap wajah. Setiap Turguzhi memanggilnya “ayah” dia selalu teringat dengan Gorezha dan Urguji. Apakah anak ini harus tahu siapa dirinya dan bagaimana masa lalunya. Dengan segenap visinya yang cemerlang, Tuan Oge mencoba tersenyum pada Turguzhi dan bilang,
“Kamu masih terlalu muda untuk mengetahui semua ini, Turguzhi. Memang benar, kamu berbeda, tapi kamu tidak dibedakan. Bagiku kamu adalah anakku, kamu adalah warga Ogenaputai.”
Hanya saja, tentu jawaban semacam itu tidak akan membuat Turguzhi puas. Persis seperti ibunya, selain terus membujuk Tuan Oge untuk bercerita, Turguzhi juga mulai mencari tahu ke sana kemari. Bertanya-tanya, siapa dirinya.
Dan tentu semua orang Ogenaputai tahu siapa dirinya sebenarnya. Kecuali anak-anak dan orang-orang pikun, semua pasti ingat tentang pernikahan Urguji dengan Gorezha, kemudian kelahiran anak mereka. Turguzhi.
Memang perlu waktu berbilang tahun bagi Turguzhi untuk mengerti, tapi akhirnya dia paham. Tepat setelah dia genap berusia 10 tahun, setelah mendesak Tuan Oge berkali-kali, ribuan kali mungkin, akhirnya Tuan Oge sadar, urusan ini sudah tidak bisa lagi ditunda. Dia harus menceritakan siapa Turguzhi sebenarnya.
“Kamu bukan anakku, Turguzhi. Aku mengadopsimu tepat sebelum Ne lahir. Tapi bukan berarti kita tidak terikat hubungan darah. Aku adalah adik ibumu. Ibumu bernama Gorezha, seorang wanita paling cantik yang pernah lahir di Ogenaputai ini. Sedangkah ayahmu adalah pria penjelajah yang keren, namanya Urguji.”
Turguzhi manggut-manggut, dia sudah mendengar beberapa detail dari Tetua Ogenaputai yang pernah ditemuinya. Kali ini dia hanya mengonfirmasi kebenarannya. “Ayahku itu sudah tiada ya?” Turguzhi hati-hati bertanya.
“Iya, bisa dikatakan begitu. Ayahmu menghilang sekitar sembilan tahun yang lalu. Saat itu kamu baru saja lahir, sedangkan aku bahkan belum menikah. Tidak ada yang pernah melihat Urguji lagi sejak saat itu?”
“Kemana ayahku pergi?”
Tuan Oge menggeleng prihatin, “tidak ada yang tahu, Nak. Tidak ada yang tahu. Tapi, hari dimana ayahmu terakhir kali terlihat, juga adalah hari dimana kakakku, yang artinya pamanmu, Tore, terakhir kali terlihat. Dia juga menghilang.”
“Pamanku menghilang juga? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah itu kebetulan?”
“Sayangnya tidak ada yang tahu, Nak. Rahasia tertutup rapat sejak saat itu.
“Aku pernah mendengar dari mulut tetua, katanya ayahku adalah pelanggar tradisi. Apa maksudnya itu? Apakah itu berhubungan dengan menghilangnya dia?” Lihatlah betapa cepatnya Turguzhi menganalisisi.
“Itu benar, ayahmu dicap sebagai pelanggar tradisi oleh Tuan Oge sebelumnya, yaitu ayahku, yang artinya kakekmu.”
“Kakek membenci ayah?”
“Bisa dikatakan demikian.”
“Kenapa?”
Gui mengusap wajah sejenak, baiklah, sekaranglah saatnya, mengungkap satu rahasia. Dia pegangi bahu Turguzhi, lalu Tuan Oge berucap dengan lirih.
“Ini yang harus kamu tahu, ayahmu itu bukan orang Ogenaputai. Dia adalah orang asing, orang luar. Dia adalah orang luar pertama yang diizinkan masuk dalam sejarah negeri kita.”
“Ayah adalah orang luar? Apa maksudnya itu?”
“Dengar ya, Nak. Dunia kita yang dibatasi dinding batu kokoh ini hanya sejemput debu kecil dari dunia yang luas sekali. Dibalik negeri ini, adalah dunia luar yang dipenuhi manusia, sama seperti kita. Bedanya, negeri kita hanya ribuan orang, di dunia luar ada jutaan orang. Negeri kita dibatasi oleh dinding batu, dunia luar sana dibatasi langit yang biru. Di negeri kita, semua orang berjalan dengan kakinya, di dunia luar, orang berjalan menaiki benda berputar yang memungkinkan mereka bergerak seribu kali lebih cepat. Ayahmu berasal dari dunia itu.”
Turguzhi terpana mendengar penjelasan Tuan Oge. Dunia luar? Dia tidak pernah tahu ada tempat yang lebih luas dan menakjubkan di luar dinding batu Ogenaputai.
“Apakah ayahku masih hidup di dunia luar sana?” tanya Turguzhi akhirnya.
“Aku tidak tahu Nak, tapi boleh jadi ya,”
“Ah syukurlah. Suatu hari nanti aku akan mencari ayahku dan melihat dunia luar.”
Tuan Oge tertawa dan mengelus-elus rambut Turguzhi. “Kamu adalah anak yang hebat, Turguzhi. Boleh jadi suatu saat nanti kamu akan melihat dunia luar yang lebih hebat daripada Ogenaputai ini.”
Dan perkataan Tuan Oge itu kelak, benar-benar akan terwujud.
150
Utusan dari Dataran Tinggi Maohai
Hari ini, ruang pertemuan baru Tuan Oge kedatangan tamu istimewa. Orang asing, bukan orang Ogenaputai. Tepatnya mereka adalah orang-orang dari Dataran Tinggi Maohai yang sedang ditimpa masalah. Masalah yang cukup serius.
Pemimpin tertinggi masyarakat Maohai sakit keras. Sebagai tanda hubungan diplomatik, dua orang utusan dari Negeri Maohai mengabarkan pada Tuan Oge. Sekaligus mencari solusinya. Siapa tahu, Tuan Oge dengan pengetahuan mereka yang berbeda dengan dunia luar, mengetahui sesuatu.
“Separah apa sakitnya?” Tuan Oge hati-hati bertanya.
“Parah tuan yang terhormat. Beliau hanya bisa berbaring sepanjang hari. Perutnya kian hari kian membuncit, padahal makannya beliau sedikit sekali. Heran kami. Ini satu bentuk penyakit yang belum kami tahu dan belum pernah kami lihat. Mungkin ini semacam kutukan, tuan.”
“Kutukan?”
“Ya tuan, kutukan. Kami melihat pertanda kedatangan makhluk misterius beberapa kali semenjak beliau sakit. Kami rasa beliau melakukan sebuah kesalahan, namun beliau tidak mau mengakuinya. Mungkin makhluk itu menandai keberadaannya. Boleh jadi utusan dewa.”
Tuan Oge menggeleng-gelengkan kepalanya, dia membatin. Bukan atas kutukan, tapi atas kelancangan orang-orang Maohai ini, menganalisis penyakit pemimpinnya.
“Baiklah. Sebentar. Aku akan memanggilkan untuk kalian, seseorang yang berguna.” Kemudian Tuan Oge memerintahkan pada ajudan pribadinya untuk memanggil seseorang bernama Shenrai.
Shenrai adalah seorang tabib. Dia mewarisi sebuah keahlian turun temurun. Shinrai sejak dari zaman kakek nenek moyangnya, adalah tabib terpercaya di Ogenaputai. Shinrai pasti tahu sesuatu soal penyakit yang diderita oleh pemimpin orang Maohai itu.
Begitu Shinrai masuk, Tuan Oge mempersilakan utusan orang Maohai untuk menjelaskan kembali bagaimana penyakit pemimpin mereka. Panjang lebar kembali sang utusan bercerita, sesekali menganalisis seenaknya di sana-sini. Shinrai termenung sejenak begitu cerita selesai. Dia sedang menganalisis. Tentu dengan pengalamannya yang sejibun, dia layak dipercaya.
“Penyakit perut batu.”
“Perut batu, Shinrai?” Tuan Oge mengulangi.
“Benar tuanku. Penyakit perut batu. Ini penyakit yang cukup langka.”
“Kau pernah mengobati penyakit semacam ini, Shinrai.”
Tabib itu menggeleng, “belum pernah, seperti yang tuan tahu, di negeri kita belum terdengar ada orang yang terkena penyakit ini.”
“Apakah penyakit ini muncul karena kutukan?” sang utusan bertanya.
“Menurut buku yang pernah kubaca, (ya tentu saja orang Ogenaputai punya buku, mereka tulis dari serat-serat tanaman yang ditanam jauh di perut bumi), penyakit ini disebabkan oleh pola makan tidak teratur, yang disepelekan, diiringi dengan hidup yang tidak sehat, pergerakan yang jarang dilakukan, serta keracunan. Belum pernah aku mendengar soal kutukan, tapi jika langit berkehendak, bisa saja terjadi.”
Dua utusan berpandangan. Bukan kutukan? Syukurlah kalau begitu.
“Kau tahu obatnya, Shinrai, atau bagaimana cara mengobatinya?”
“Untuk yang satu ini, Tuan, aku tidak punya pengalaman mengobati secara langsung. Tapi obat penyakit perut batu pernah ditulis dalam buku yang kuwarisi dari zaman kakek buyutku. Aku yakin aku pernah membacanya, dan aku bisa membuatkan ramuannya.”
“Kabar baik, Shinrai. Itu adalah kabar yang sangat baik. Ramuan. Bagaimana pendapat anda-anda semua?” Tatapan Tuan Oge beralih pada dua utusan yang saling berpandangan.
“Kami hanya bisa berucap banyak terima kasih pada Tuan Oge. Senang mengetahui kunjungan kami ke sini tidak berakhir dengan sia-sia.”
Tuan Oge tersenyum simpul. Sanjungan kecil yang cukup menyenangkan.
“Kami akan mengambil obat ramuan itu pada kunjungan kami yang berikutnya, Tuan Oge.”
“Tidak perlu,” Tuan Oge mengangkat tangan, membuat dua utusan yang tadi hendak berdiri, kembali duduk. “Aku akan mengantarkannya ke negeri kalian,” sambung Tuan Oge.
“Tidak, tidak perlu Tuan. Tuan tidak perlu repot-repot seperti itu.”
“Tidak masalah,” timpal Tuan Oge, “lagipula sudah lama aku tidak melakukan kunjungan diplomati ke negeri kalian.”
Dua utusan itu pelan-pelan mengangguk. Pembicaraan mereka selesai setelah beberapa patah kata terima kasih lagi. Shinrai pamit dari sana, mulai mengerjakan ramuan yang diperintahkan Tuan Oge. Sementara Tuan Oge tersenyum sendiri ketika semua orang keluar dari ruang pertemuan. Dia puas sekali dengan pertemuan kali ini.
“Akhirnya tiba, akhirnya aku bisa mengajak kalian melihat dunia luar,” Tuan Oge bergumam sendiri, sambil tersenyum.
151
Negeri yang Ditutupi Kabut
Tuan Oge benar-benar sengaja mengantarkan sendiri ramuan obat untuk menawar penyakit Pemimpin Maohai. Selain karena alasan diplomatik, Tuan Oge juga ingin mengajak dua putranya ikut serta. Turguzhi dan Ne, begitu diberitahu, bersorak kegirangan.
Inilah harinya, hari dimana dua putra Tuan Oge, keluar dari Ogenaputai dan pergi melihat dunia.
Mereka keluar lewat terowongan. Itu adalah jalur perjalanan yang sengaja dibuat atas perintah Tuan Oge. Terowongan membelah gunung. Sehingga apabila hendak ke Negeri Maohai, Tuan Oge tidak perlu naik turun gunung lagi. Jalur pintasan yang sama, dibuat juga ke arah Kampung Hijau bertahun-tahun setelahnya.
Turguzhi tidak bisa menahan dirinya ketika melihat bagaimana pemandangan dunia luar yang memesona matanya. Pemandangan pegunungan Pahadaru, putih, dingin dan tinggi perkasa.
“Itukah langit yang berwarna biru yang sering Tuan Oge katakan?” tanya Turguzhi, menunjuk ke atas.
“Benar sekali.”
“Seberapa tingginya?”
“Ah aku tidak tahu, Nak. Fokuskan dirimu bukan pada tingginya, tapi pada ketakjubanmu.”
“Tuan benar, ini menakjubkan.”
“Bertahun-tahun lalu, ibumu lebih dulu melihat ini semua, lebih awal dari siapapun.”
“Ibuku?”
“Ya, Nak. Ibumu adalah sang pelopor, ibumu adalah orang pertama yang melihat dunia luar.”
Turguzhi mengerjap-ngerjapkan mata.
Mereka tiba di Dataran Tinggi Maohai. Ketakjuban Turguzhi dan Ne makin menjadi-jadi. Dataran Tinggi Maohai ditutupi kabut tipis, menyembunyikan kehidupan di dalamnya dalam misteri. Rumah-rumah mereka dibuat dari kayu, simetri bentuknya semuanya. Pemandangan di Dataran Tinggi Maohai seperti di Negeri Dongeng bagi Turguzhi dan Ne yang baru melihatnya.
“Kalian boleh kagum, kalian boleh jadi takjub. Kalian boleh jadi menganggap tempat ini sebagai bagian negeri dongeng, tapi kalian harus ingat satu hal,” Tuan Oge tersenyum mengamati ekspresi anak-anaknya, “jangan membandingkan satu tempat dengan tempat lain. Boleh jadi bagi mereka tempat kita jauh lebih hebat. Semuanya punya kelebihan masing-masing.”
Ne dan Turguzhi manggut-manggut. Setengah tidak mengerti.
Mereka bertiga merapat ke kediaman Pemimpin Maohai. Di sana, sudah ada beberapa pembesar yang segera menyambut kedatangan Tuan Oge. Mereka menyalami Tuan Oge erat-erat, tanda persahabatan. Setelah bercakap-cakap sedikit, Tuan Oge langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
“Sesuai petunjuk pemakaian ramuan ini oleh Shinrai, minumlah ketika matahari telah melampaui tinggi Gunung Sarsa, dan minum kembali ketika matahari sudah tidak kelihatan di tepi barat. Semoga penyakit beliau segera sembuh. Demikian pesan Shinrai.”
Putra pemimpin Maohai, Dai Shailong menerima petunjuk itu dan berjanji akan melaksanakannya sebaik mungkin.
“Ini bukan kutukan, kan, Tuan Oge?”
“Sesuai kata Shinrai, tidak ada kutukan dalam kasus ini. Kecuali jika langit menghendaki.”
“Apakah kali ini langit menghendakinya, Tuan?”
Tuan Oge tersenyum, “aku tidak tahu soal itu, Dai. Yang jelas, kau amalkan saja dulu resep obat ramuan pemberian Shinrai. Jika ini memang sebuah kutukan, maka semoga langit mengangkat kutukan ini berkat perantaraan ramuan itu.”
“Terima kasih banyak, Tuan Oge.”
“Oh iya Dai, perkenalkan dua orang putraku, Ne dan Turguzhi. Suatu saat nanti kau mungkin akan mengenal mereka sebagai Oge baru Negeri Orang Gunung.”
Turguzhi, Ne dan Dai Shailong saling bersalaman.
Sayangnya kunjungan ke Negeri Maohai tidak bisa dilakukan berlama-lama. Tuan Oge punya banyak urusan. Setelah mengenalkan dua putranya, rombongan itu pamit pada Dai Shailong yang sekali mengucapkan terima kasih banyak.
Turguzhi mengaku semakin terkesan karena bertemu dengan orang-orang baik di Negeri Maohai. Sudah negerinya menakjubkan, perangai orang-orangnya juga menakjubkan. Tuan Oge menimpali bahwa kombinasi semacam itu juga bisa ditemukan Turguzhi di sebuah negara yang jauh di Timur sana.
Sementara Ne lebih fokus mencari persamaan dan asal-usul Negeri Maohai. “Apakah mereka sama seperti kita?” tanyanya.
“Tidak, jelas mereka berbeda. Beda garis keturunan, beda asal, beda nenek moyang. Tapi jelas ada persamaan, sama-sama manusia, sama-sama mempercayai keberadaan zat yang kuasa, sama-sama menjunjung tradisi. Nak, singkirkan hal-hal yang berbeda itu, dan carilah persamaan. Satu persamaan saja bisa menghormati seribu perbedaan.” Demikian Tuan Oge berpesan.
Masalah menghadang mereka di tapal batas Negeri Maohai. Dari balik kabut, terlihat segerombol orang. Dilihat dari posisi tubuhnya, mereka tengah menunggu rombongan Tuan Oge lewat. Satu orang berdiri di paling depan, Tuan Oge mengenalnya. Li Juanjuang. Putra pertama Pemimpin Maohai.
“Tangkap para pencuri itu!!!” Li berseru, menyuruh gerombolannya menerjang ke arah rombongan Tuan Oge.
152
Kosnpirasi dari Dataran Tinggi Maohai
Tuan Oge, Ne dan Turguzhi pergi ke Negeri Maohai hanya membawa dua orang pengiring. Mereka jelas kalah jumlah melawan puluhan orang bergerombol yang dibawa putra sulung pemimpin Maohai. Karena tidak mau ada perselisihan, Tuan Oge memerintahkan rombongannya untuk tidak melawan dan menurut pada Li. Mereka berlima dibawa ke Balai Pertemuan Maohai.
Tuan Oge sudah dikenali banyak orang di Negeri Maohai berkat kunjungan-kunjungan diplomatik yang sering beliau lakukan ke sana. Karena itu, melihat Tuan Oge dan rombongannya dibawa bak tawanan perang, jelas mengagetkan bagi orang-orang yang melihatnya. Kabar mulut segera menyebar. Dai Shailong bergegas menyusul ke Balai Pertemuan begitu mendengar kabar tersebut. Dia tepat sampai ketika Tuan Oge dan anak-anaknya serta pengiringnya, diborgol oleh Li.
“Apa yang kau lakukan Li?!” Dai menyergah kakaknya. Wajahnya merah padam.
“Tuan Oge ditahan dengan dugaan serius. Mencuri jimat suci dari Kuil Salju.” Li membalas datar. Dai, Ne, Turguzhi dan para pengiring, semua terkejut. Tuduhan macam itu?
“Kau mengigau Li. Tuan Oge datang untuk membawakan obat ramuan kesembuhan ayah kita. Beliau cuma datang ke kediaman ayah. Tidak ada ke kuil salju. Kau jangan mengada-ada ya, jangan membuat malu negeri kita di depan tamu terhormat.”
“Apa boleh buat saudaraku. Aku menerima laporan dari Shuzuli dan Tuguni, baru saja. Mereka juga warga kita yang terhormat, mereka berani bersumpah atas nama langit, bahwa Tuan Oge atau salah satu rombongannya telah mencuri jimat suci.”
“Omong kosong,” desis Dai Shailong, “panggil Shuzuli dan Tuguni kemari, cepat!” Satu orang lari tunggang langgang menerima perintah Dai Shailong. Memang Dai dan Li adalah penanggung jawab kehidupan di Negeri Maohai sementara ayah mereka sakit.
“Silakan saja, tapi aku akan memulai penggeledahan sekarang. Begitu barang bukti didapatkan kehadiran saksi akan sangat membantu proses pengadilan.”
“Omong kosong, Li! Berhenti.”
Sayangnya, sebanyak apapun Dai Shailong menyergah, dia tetap tidak bisa menghentikan Li. Tanpa penghormatan sama sekali, Li dan seorang pengikutnya menggeledahi kantong-kantong yang dibawa Tuan Oge dan rombongannya. Setengah jam berlalu. Penggeledahan dilakukan menyeluruh. Setengah jam pula, dua saksi penting tadi sudah dipanggil dan datang.
Sayangnya barang yang diduga dicuri, jimat suci, justru tidak ditemukan dalam penggeledahan tersebut. Li berusaha keras menyembunyikan rasa terkejutnya, mungkin bercampur malu juga.
“Bagaimana, sebaiknya tuduhanmu benar, Li. Atau kau benar-benar berada dalam masalah.”
Membaca ekspresi Li, semua orang juga tahu bahwa jimat itu tidak terbukti ada di kantong-kantong rombongan Orang Gunung.
“Aku datang ke sini untuk urusan damai, anak muda. Untuk membantu kalian. Bukan untuk mencuri. Kau bisa pegang kata-kataku, kami Orang Gunung, memiliki prinsip yang terhormat,” Tuan Oge tersenyum. Berbicara dengan lembut.
“Tidak, tidak semudah itu, kau bicara Pak Tua!” Li menyergah. Dai Shailong menyergap kakaknya, membungkam mulut yang seperti hendak berkata kasar. Nyaris mereka berdua ribut. Malah Tuan Oge yang menengahi.
“Tenang dulu. Anak muda. Dai, kau juga tenang. Mari kita selesaikan masalah ini baik-baik. Kau menuduhku mencuri atas dasar kesaksian dua orang ini. Mari kita dengar kesaksian mereka terlebih dahulu.”
Dua orang yang didatangkan, Shuzuli dan Tuguni memulai persaksiannya. Mereka sama menyatakan bahwa mereka melihat Tuan Oge mengambil jimat suci di kuil salju sebelum meninggalkan Negeri Maohai. Kesaksian itu mereka tutup dengan kalimat, “kami bersumpah atas nama langit.”
Tuan Oge tersenyum, dia sudah bisa membaca pikiran dua saksi itu. Seandainya dia utarakan, masalah bisa selesai, namun dengan baku hantam. Tuan Oge tidak mau. Dia tersenyum arif.
“Begitu rupanya. Meski aku sangat yakin, aku tidak melakukan hal tersebut, namun jelas ada yang salah di sini. Bagaimana menurutmu, Dai?”
“Aku harus meminta maaf sedalam-dalamnya pada Tuan Oge atas ketidakhormatan ini.”
“Ah tidak masalah. Tapi bisakah kalian melepaskan ikatan borgol ini? Rasanya sesak sekali.”
Baru saja Dai hendak melepas ikatan borgol, ketika Li menyela dengan tajam, “tidak bisa! Kau tidak bisa bebas begitu saja, Pak Tua. Kau pasti menyembunyikan jimat suci kami di satu tempat.”
“Astaga, berhenti bicara melantur, Li. Tuan Oge tidak membawa jimat itu. Lagipula tidak etis memperlakukan beliau begini. Tuan Oge adalah tamu diplomatik negeri kita.”
“Aku tidak peduli. Aku adalah kepala keamanan di sini. Aku punya tanggung jawab untuk memastikan keamanan di negeri ini. Aku berhak menahannya.”
“Astaga,” Dai Shailong menepuk dahinya. Dia tidak bisa mencegah orang-orang kepercayaan Li membawa Tuan Oge dan rombongan ke ruang tahanan. Sementara ini, Dai mengirim salah satu kepercayaannya, untuk mengecek ke Kuil Salju. Mengecek kebenarannya.
Karena jelas ada sesuatu yang salah di sini, batin Dai.
153
Bangkitnya Kekuatan Turguzhi
Li memperlakukan Tuan Oge seperti tahanan politik yang telah melanggar perbatasan dan menyatakan perang pada negaranya. Beserta dua anak dan dua pengiringnya, Tuan Oge digiring ke ruang tahanan. Li memastikan sendiri kalau ruang tahanan itu dikunci dengan sebaik-baiknya.
Sementara itu, Dai Shailong yang telah menerima laporan dari kepercayaannya setelah mengecek ke kuil salju, menemui Tuan Oge di ruang tahanan dengan perasaan bersalah. Apalagi melihat ruangan itu sengaja dibuat mengenaskan oleh Li.
“Sungguh maafkan aku atas kejadian ini Tuan, aku yakinkan anda bahwa ini hanya kesalahpahaman.”
“Kau tak usah merasa bersalah, Dai. Aku yakin sekali kau benar, ini hanya tentang kesalahpahaman.” Tuan Oge berbicara lewat jeruji yang agak renggang.
“Entah apa yang direncanakan oleh kakakku itu, Tuan. Tapi sialnya, dia benar. Jimat suci itu memang tidak ada di Kuil Salju. Tidak ditemukan. Hanya masalah waktu sampai seisi negeri tahu, dan jika itu terjadi pembebasan anda...”
“Tenanglah, Dai.” Tuan Oge tersenyum, memotong. “Lebih baik kita memikirkan bagaimana meluruskannya. Pertama-tama, aku akan mengatakan sekali lagi, kami tidak bersalah atas hilangnya jimat suci itu. Mungkin kami hanya sedang berada dalam situasi yang tidak tepat.”
“Aku percaya itu, Tuan. Aku percaya.”
Tuan Oge kembali tersenyum. “Langkah berikutnya, adalah kau periksa para saksi yang diajukan Li itu, Dai. Siapa tahu mereka menyembunyikan sesuatu.”
“Tapi Tuan, mereka berani bersumpah...”
“Coba saja dulu. Siapa tahu bukan? Dewasa ini dunia semakin aneh. Sumpah bisa berharga murah jika dihadapkan dengan kekuasaan.”
Dai Shailong berhenti bicara. Dia mengangguk, menurut pada Tuan Oge, kemudian pamit. Dia bertekad untuk menyelidiki hal ini sampai tuntas.
Sementara Ne dan Turguzhi yang baru pertama kali menempati sel tahanan, gelisah bukan main. Tuan Oge menenangkan mereka dengan mengusap bahu keduanya, menepuk-nepuk. “Kita hanya sementara saja di sini, Nak. Jika kita memang tidak bersalah, sebentar lagi kita akan dibebaskan.”
Baik Ne maupun Turguzhi menatap Tuan Oge dengan mata berkaca-kaca.
Sayangnya sampai malam tiba, situasi bukannya makin baik, malah makin buruk. Jimat suci tidak kunjung ditemukan. Malahan beritanya sudah menyebar ke segala penjuru Maohai. Teori pencurian oleh Tuan Oge ramai diperbincangkan. Sementara usaha Dai mengusut para saksi berujung buntu. Dua orang itu bersikeras bahwa mereka memang benar melihat Tuan Oge mencuri jimat.
Malam itu di ruang tahanan, terjadi perdebatan antara Li dengan Dai Shailong. Ujung pangkalnya adalah Dai meminta kepada Li untuk memperlakukan Tuan Oge dengan sedikit hormat dan mengeluarkannya dari ruang tahanan.
“Setidaknya biarkan beliau tidur di kamar yang lebih nyaman, Li. Barangkali di kediaman salah satu penduduk.”
“Tidak bisa, pencuri tidak akan diperlakukan hormat. Kau tidak mungkin lupa dengan aturan umum Maohai bukan?”
“Tapi beliau tidak terbukti mencuri, Li. Mereka tidak terbukti mencuri.” Dai Shailong mulai menyergah. Sudah dari tadi siang dia gusar dengan sang kakak yang sok mengatur itu.
“Berhentilah membela penjahat, saudaraku. Atau kau akan dituduh bekerja sama lalu dibuang dari Maohai. Mau kau?”
Tangan-tangan Dai Shailong sempurna mengepal. Andai tidak di depan Tuan Oge dan banyak orang, dia sudah meninju mulut Li. Kakaknya itu memang dikenal menjengkelkan dan berambisi untuk jadi pemimpin baru.
“Biarkan mereka tidur di ruang tahanan. Mari kita semua beristirahat. Besok kita bisa memikirkan hukuman apa yang layak mereka dapat.”
Li bersama orang-orangnya balik kanan, keluar dari Ruang Tahanan. Dai mau tidak mau terima keadaan. Dengan lirih dia meminta maaf lagi pada Tuan Oge. Dan sekali lagi, Tuan Oge bilang dia baik-baik saja.
Malam itu sungguh malam yang tak terduga bagi rombongan Ogenaputai. Tuan Oge yang terhormat harus menghabiskan satu malam di ruang tahanan. Namun kejadian paling tak terduga, justru terjadi di tengah malam.
Turguzhi yang tengah tidur nyenyak tiba-tiba terbangun dengan keringat bercucuran, nafasnya terengah-engah, dadanya naik turun. Tangannya yang gemetar, tak sengaja menyenggol Ne yang tengah tidur pulas. Membuat Ne terbangun, terperanjat kaget melihat Turguzhi.
“Astaga, apa yang terjadi denganmu?” Ne langsung bangun, panik.
“Aku tidak apa-apa,” sahut Turguzhi lirih, berusaha menenangkan diri, “aku merasakan sesuatu yang aneh.”
“Kau kenapa, apa ada yang sakit? Biar aku bangunkan ayah.”
“Jangan, tidak perlu,” sahut Turguzhi, “aku baik-baik saja.”
“Sebenarnya apa yang terjadi?”
“Aku merasakan jimat itu berbicara padaku.”
Ruang tahanan itu hening, yang terdengar hanya helaan nafas putus-putus dari Turguzhi.
Bersambung>>>>
(9 chapter tersisa)
Bagian terakhir ditulis pada
Hari Sabtu, 31 Juli 2021
Pukul 14.08
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
