Mozaik 70 : Aram Mengamuk

0
0
Deskripsi

“Woy setop, setop!” 

Pak Dahri Ariyanto yang paling awal tiba, beliau hendak memanjat pagar pembatas kantin dengan halaman belakang, tapi sepertinya beliau agak ragu-ragu. 

“Pak Hadi, hentikan mereka.”

“Woy setop, setop!” 

Pak Dahri Ariyanto yang paling awal tiba, beliau hendak memanjat pagar pembatas kantin dengan halaman belakang, tapi sepertinya beliau agak ragu-ragu. 

“Pak Hadi, hentikan mereka.”

“Eh saya tidak bisa memanjat pagar ini. Kita sebaiknya memutar....”

“SETOP!”

Pak Farhan yang tak kalah tangkasnya ikut menyusul ke lokasi dan langsung melompati pagar pembatas dengan elegan. Beliau langsung melerai Aram dan Paderi yang sedang berguling-guling mencekik leher masing-masing.

Kini pergelangan tangan mereka berdua yang dipegangi erat-erat oleh Pak Farhan. Aram sempat hendak memberontak melepaskan diri, tapi Pak Farhan menghardiknya. “Diam, kalian harus mempertanggung jawabkan perbuatan kalian.”

Aku yang berdiri tak sampai lima meter dari sana, melihat semuanya, dan aku merasa kelu. Aram kini benar-benar berada dalam masalah. Berkelahi adalah sebuah perbuatan yang sangat tercela, noda hitam di peraturan Quart School. Sanksi yang paling ringan adalah turun kelas secara paksa. Kurasa Aram pun bisa merasakan besarnya ancaman hukuman yang sedang mengintainya, jadi dia pun jadi diam. Tidak berani berkata apa-apa lagi. 

Pak Farhan menyeret mereka melewati pagar pembatas, kembali ke sisi kantin. Di sana Bu Hartini sudah menunggu dengan tatapan tajamnya. 

“Memalukan,” aku bisa mendengar kata-kata beliau, “kalian berdua merusak reputasi sekolah ini sebagai tempat yang kondusif yang menyenangkan untuk belajar. Kalian berdua ikut saya, kita selesaikan masalah ini.”

Kata-kata Bu Hartini ini jauh lebih kuat ketimbang cekalan tangan Pak Farhan tadi. Kini Aram dan Paderi tak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Bu Hartini. Aku diam-diam juga mengikuti mereka. 

Itu artinya aku juga menyetorkan diri pada masalah. Bu Hartini dalam situasi seperti ini punya intuisi yang kuat sekali, seolah beliau punya indera keenam, beliau dengan cepat menoleh ke belakang dan mengetahui keberadaanku. 

“Humadi Azka, kenapa kau berdiri di sana?”

Aku menelan ludah. Paderi ikut menoleh lalu menunjuk ke arahku. 

“Dia Bu, dia juga cari masalah denganku tadi. Dia dan Aram bekerja sama.”

“Kau yang cari gara-gara lebih dulu!” Aram berseru nyaring. 

“KALIAN BERTIGA IKUT SAYA KE KANTOR!” Bu Hartini berteriak lebih nyaring, bagai halilintar di siang bolong. Aku pun terpaksa mengikuti langkah mereka. Seketika beratnya ancaman sanksi yang disandang Aram dan Paderi juga terasa di pundakku. 

Oh Tuhan, aku tidak mau turun kelas secara paksa. Dapat ranking 3 saja sudah cukup buruk. 

Kami pun digiring masuk ke ruangan Bu Hartini sebagai seorang pesakitan. Rasanya aku seperti seorang tahanan yang ingin diinterogasi sekarang. Semua jadi semakin rumit. 

“Duduk.”

Aram, aku di tengah dan Paderi duduk berjejer di depan Bu Hartini. 

“Saya tidak mau bertele-tele, siapa yang salah dalam hal ini?” tanya beliau dingin. 

“Dia!” Aram dan Paderi saling tunjuk. 

“Saya beri satu kesempatan lagi, jawab dengan terang dan jelas, siapa yang salah, atau kalian lebih suka mengikuti cara saya.”

“DIA!” Aram dan Paderi kembali saling tunjuk. Rasanya pekak telingaku mendengar mereka berteriak di sebelahku. 

Bu Hartini mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam laci. “Saya ingin mendengar duduk permasalahannya dulu sebelum memutuskan hukuman untuk kalian berdua. Saya mengenal kalian berdua. Atau bertiga dengan Humadi Azka. Kau, Paderi Tamtama, teman Nadia dan Okta, murid lokal 5. Sementara itu, kau Faddil Al-Aram dan Humadi Azka, murid badung lokal 4.”

Bisa kulihat nafas Aram naik turun. Tentu saja dia tidak terima klaim sepihak yang sangat tidak adil itu. Padahal secara alur kejadian, Paderilah yang memulai lebih dulu. Dia yang murid nakal. Aku juga tidak terima. Masa iya aku dianggap murid nakal juga. 

“Saya ingin mendengar dari kau dulu, Paderi Tamtama. Karena kesaksian murid badung biasanya tidak bisa dipertanggungjawabkan.”

“Itu adalah tanggapan yang benar-benar tidak adil.”

“Kau belum saya izinkan berbicara, Faddil Al-Aram. Silahkan Paderi, ceritakan kronologinya.”

Paderi memperbaiki posisi duduknya. 

“Sebenarnya kejadiannya singkat saja Bu. Saya memergoki mereka berdua sedang memasangkan gembok kecil di sepeda motor saya. Gembok itu bisa membuat sepeda motor saya tidak bisa digerakkan sama sekali, dan saya tidak bisa pulang. Saya sebenarnya terkejut saat memergoki mereka, tapi melihat tampang Aram ini yang selalu saja mengejek saya, tidak jujur, saya marah dan lantas mengejar mereka. Lalu kami terlibat cekcok di halaman belakang. Semua berujung pada dia yang mencekik leher saya hingga saya tidak bisa bernafas.”

“Astaga, apa yang kau pikirkan, Faddil Al-Aram. Kau bukan hanya mencari masalah, kau juga mencoba membunuh seseorang. Harusnya kau berurusan dengan polisi sekarang.”

“Ibu, dengan segala hormat,” ujar Aram. Aku bisa merasakan Aram susah payah mengendalikan kalimatnya agar tetap berintonasi tenang dan terkontrol, “semua cerita Paderi tadi benar, kecuali di bagian awal. Faktanya adalah, dialah yang lebih dulu mencari masalah dengan saya, dia berulang kali melakukan keisengan, meracuni kopi saya, mengempesi ban sepeda motor saya, dan beberapa keisengan lainnya. Saya hanya membalas keisengannya semata.”

“Benarkah demikian, Paderi Tamtama?”

“Sama sekali tidak Bu,” Paderi menjawab tenang, tentu saja sebab keadaan sudah setengah berpihak pada dirinya. “Ibu jangan percaya dengan berandal seperti dia.”

“Kau yang berandalan. Kau, Nadia dan Okta adalah geng sialan yang harus diberi pelajaran serius.”

Kesalahan Aram, melepas tuduhan pada Nadia dan Okta di hadapan Bu Hartini. Beliau sontak tak terima, anak murid kesayangannya dituduh macam begitu.

“Kau akan saya keluarkan dari sekolah ini, Faddil Al-Aram.”

“APA BU!” Aram berteriak. Terkejut sekali dia. “Saya dikeluarkan? SAYA SALAH APA BU?” Aram berdiri. Tangannya mengibas ke sana kemari. 

“Duduk,” ujar Bu Hartini dingin.

“Sudah jelas. Kau melakukan pelanggaran besar dalam peraturan Quart School. Kau berkelahi, menyimpan dendam kesumat, dan mencoba membunuh seseorang. Orang seperti kau kalau ada di sini, akan membahayakan murid-murid lainnya.”

“Tidak bisa Bu. Ini perlakuan yang sangat tidak adil. Saya tidak salah apa-apa Bu. SAYA TIDAK SALAH APA-APA!”

BRAK! 

Aram kelepasan emosinya. Kini dia memukul meja di depan Bu Hartini. Pernahkah kalian melihat kelakuan yang lebih kurang ajar dari itu, kawan?

“Kurang ajar, berandal terkutuk!” Bu Hartini juga kelepasan bicara. Kini suasana tenang di kantin pecah. Guru-guru lainnya mulai celingukan memastikan apa yang terjadi di ruangan Bu Hartini.

“Saya tidak mau menerima keputusan itu. Saya tetap murid Quart School. Ibu tidak bisa mengeluarkan saya hanya karena ibu membenci saya.”

Aram sudah bersiap meninggalkan ruangan saat Bu Hartini mengambil sapu hendak mengejarnya. Aram pun berlarian keluar dari kantor. Aku dan Paderi yang secara teknis bermusuhan, sama ternganga. Melihat adegan unik, murid dikejar-kejar gurunya memakai sapu. 

“KEMBALI KAU, FADDIL AL-ARAM!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mozaik 71 : Bersembunyi di Kamar Mandi
0
0
Siapa pernah menyangka kawan, hari itu keadaan di Quart School benar-benar berubah jadi kacau balau. Pertama, Bu Hartini gagal menemukan Aram yang melarikan diri begitu cepat. Entah kemana dia pergi. Sebagai seorang pesilat, Aram juga sangat terlatih dalam situasi mempertahankan dirinya. Dia punya banyak akal.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan