
“Sedang apa kalian?” ulangnya, bertanya dengan wajah bingung.
“Eh anu, anu...” aku gelagapan menjawab. Astaga, aku benci sekali harus gugup saat berhadapan dengan pacar Syifa ini. Namun Aram santai saja, dia berdiri dan menghadapi Paderi.
“Tidak, kami hanya sedang mengamati biawak di semak belukar sebelah sana.”
“Kau hendak menipuku lagi ya, seolah aku terlihat bodoh?”
“Sedang apa kalian?” ulangnya, bertanya dengan wajah bingung.
“Eh anu, anu...” aku gelagapan menjawab. Astaga, aku benci sekali harus gugup saat berhadapan dengan pacar Syifa ini. Namun Aram santai saja, dia berdiri dan menghadapi Paderi.
“Tidak, kami hanya sedang mengamati biawak di semak belukar sebelah sana.”
“Kau hendak menipuku lagi ya, seolah aku terlihat bodoh?”
“Oh tentu tidak, kecuali kau sudah sedemikian bodohnya sampai tak becus menjahili orang lain.”
Kulihat wajah Paderi untuk beberapa saat tersinggung, tapi dia sepertinya tidak mau membahas masalah itu, jadi dia berkata dengan dingin.
“Minggir kau.”
“Astaga apa yang mau kau lakukan? Kau mau melihat biawak itu juga? Sebaiknya jangan, terlalu berbahaya. Nanti matamu bisa buta kena air liurnya.”
“Heh, minggir kubilang, dasar kau kebanyakan bicara.”
Paderi genap mendorong Aram ke samping. Dia lalu berjongkok, memeriksa kendaraannya.
“Lari Az. LARI!!!”
Kurasa Paderi belum melihat gembok itu saat Aram berteriak. Tapi sekarang urusan ini jelas baginya. Aram baru saja cari gara-gara dengannya dan sebagaimana seorang lelaki, Paderi tentu saja ingin menyelesaikan ini dengan adu jotos. Sedangkan di Quart School, berkelahi sesama murid adalah pelanggaran serius.
Makanya kami lari.
“WOY BERANDALAN KALIAN INI!” teriak Paderi.
Aram sudah berlari menerobos parkiran. Dia menuju ke kantin. Larinya kencang sekali, aku nyaris tak bisa menyusulnya. Wajar sih, kuingat dulu Aram pernah cerita bahwa dalam latihan silat merpati, salah satu menunya adalah berlari. Jadi Aram sangat terlatih untuk ini. Tapi aku juga punya jurus lain, the power of kepepet. Paderi mengejar dengan cepat juga di belakangku, mengharuskan aku berlari secepat kilat menyusul Aram.
“BERHENTI WOY BERHENTI!”
“Ini adalah ide paling gila yang pernah kau lakukan, Ram.”
“Makanya aku mengajak kau Az. Sebagai mantan murid perguruan Silat Merpati, kau pasti juga terlatih berlari. Setidaknya sedikit.”
Iya kawan, aku memang pernah ikut silat merpati itu, tapi hanya sebentar. Ah tapi bukan itu poinnya. Saat ini kami sedang dikejar Paderi yang berlari bak kereta api.
“Ini kita mau kemana, Ram?”
“Ke kantin Az.”
“Ke kantin?” ngos-ngosan aku bertanya sambil berlari, sambil dikejar pula.
“Iya, aku sudah punya rencana, percayalah.”
Kurasa rencana Aram bukan sesuatu yang tepat. Apalagi nilai matematikanya tidak pernah bagus. Orang yang nilai matematikanya tidak bagus, tidak bisa diandalkan untuk membuat rencana, soalnya dia tidak presisi. Begitu menurutku. Jadi di pintu masuk kantin, aku memutuskan berpisah dengan Aram. Dia terus berlari ke kantin, aku berbelok menuju koridor.
“Hei Az, kau mau kemana. Cepat ikuti aku!”
“LARI RAM!”
Menurut hematku sendiri kawan, melarikan diri ke kantin, bukan ide bagus sebab di sana banyak orang. Makin banyak orang yang melihat adegan ini artinya makin banyak saksi mata. Makin kami dapat masalah.
“Kita akan selesaikan masalah kita nanti, Azka!” teriak Paderi. Dia berhenti di pintu masuk kantin, menunjuk ke arahku dan kembali berlari mengejar Aram.
Mereka berdua masuk ke area kantin. Diam-diam aku penasaran, apa yang direncanakan Aram. Jadi aku memutuskan mengendap ke kantin. Astaga, Aram sudah melompati pagar belakang sekolah. Paderi menyusulnya. Astaga, kalau mereka pergi ke halaman belakang sekolah, hanya ada satu artinya.
Mereka hendak berkelahi di sana. Lekas-lekas aku menyusul Aram.
Terlambat, saat aku sampai, Paderi sudah memiting Aram, menjatuhkannya ke tanah, dan menindihnya seperti yang sering kulihat di pertandingan gulat.
Paderi menengok ke arahku dengan pandangan seram.
“Terlambat Humadi Azka. Aku sudah menyelesaikan kawanmu. Sebentar lagi aku akan menyelesaikan kau pula.”
Aku gentar. Keputusan yang salah rupanya telah kubuat. Aku tidak mau berkelahi, tapi Paderi sepertinya benar-benar marah.
Tiba-tiba.…
BRAK!
BUKKK!
BUKKKKK!
Kejadiannya berlangsung sangat cepat. Aram dengan gerakan yang sangat gesit, bangun dari tindihan Paderi, melepaskan diri, dan menggunakan gerakan silatnya. Sekali Aram memakai gerakan itu, Paderi tak akan bisa menandinginya. Dalam sekejap, keadaan berbalik. Kini Aram yang menindih tubuh Paderi sambil mencekik lehernya.
“Keputusan yang benar-benar salah,” gumamnya.
“Kau yang membuat keputusan salah. Apa yang kau lakukan heh, lepaskan aku dasar kurang ajar.”
“Siapa yang kurang ajar di sini heh? Aku atau kau? Jangan pikir aku tidak tahu tingkah apa saja yang sudah kau buat untuk menyerangku. Aku tahu semuanya.” Aram berkata lagi.
“Apa katamu?”
“Aku tahu semua perbuatan yang kau lakukan, menggembosi ban sepeda motorku, meracuni kopiku, memasukkan biawak dalam tasku.”
“Yang terakhir itu kau bohong!”
“Berarti sisanya adalah kebenaran. Dengar Paderi Tamtama, tida ada gunanya bagimu mengisengi Aram. Lebih baik kau gunakan hidupmu dengan lebih baik daripada harus menuruti perintah Nadia dan Okta!”
Melihat Aram meneriaki Paderi sambil mencekiknya, entah kenapa membuatku puas. Sepertinya ini yang dinamakan balas dendam.
“Kau gila!”
“DIAM KAU!”
Saat itulah dewan guru mulai berdatangan. Kabar perkelahian Paderi dan Aram sepertinya sudah menyebar kemana-mana. Firasatku jadi semakin buruk, kawan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
