
Dan kita tiba di titik terakhir. Ini ujung dari rangkaian kisahnya Humadi Azka. Apa yang dia dapat? Entahlah. Apakah dia berhasil mendapatkan pengganti dari Syifa? Ah sudahlah, jangan menyebut nama itu lagi, sebab ceritanya akan menyedihkan. Dalam kisah inilah Azka berpisah dengan Syifa, selamanya, dalam artian, benar-benar selamanya. Apa yang akan dia lakukan setelahnya? Lalu apa pula yang dia lakukan bersama Sofia di negeri Jiran? Sepertinya mereka memulai petualangan baru!
Buku ini adalah...
Mozaik 1
Selayang Pandang UBM Sekarang
Hari ini, awal semester 7, di gerobak pentol Paman Jhon.
“Kau sudah mengajukan KRS, Vor?” itu Asep yang bertanya di sela-sela isapan bihun.
“Belum Sep, mungkin siang ini. Tadi sistem Simari agak down,” sahut Trevor. Simari adalah nama website pusat milik UBM. Semua kegiatan akademik mahasiswa bisa dilakukan lewat website itu, online.
“Kalau kau, Ko?” kali ini Asep bertanya pada Niko.
“Aku sudah mengajukan. Tadi pagi, sebelum aku berangkat ke kampus.” Niko menyahut santai.
“Ah,” Asep berseru, “mata kuliah apa saja yang kau ambil, Ko?”
“Analisis Pembangunan Daerah, Komunikasi Publik, dan apa ya, aku lupa Sep. Pokoknya ada empat mata kuliah yang aku ambil.”
“Eh sebentar,” aku menyela, sebenarnya tadi tidak berniat nimbrung, “kenapa bisa sebanyak itu, Ko?”
Niko nyengir, “ah tidak kok Az. Beberapa cuma mata kuliah pilihan. Tidak wajib. Tapi karena kadung mengambil semester 7, kenapa tidak kuambil saja sekalian.”
Aku manggut-manggut. Wajar juga. Niko sebenarnya adalah mahasiswa cerdas. Namun dosen sering pilih kasih memberi nilai padanya. Sehingga ada satu dua matkul di semester 5 kemarin, yang tidak lulus ditempuhnya. Terpaksalah dia mengulang di semester 7.
“Azka sih enak, semester ini tinggal mengurus skripsi saja lagi.” Asep menyahut lagi, agak sengit.
Nah itulah kawan, sebabnya aku tidak terlalu tertarik nimbrung pembicaraan. Sedikit banyak, aku merasa teman-temanku yang tergabung dalam Ciye-ciye-ciye Grup itu, iri padaku. Semester 7 ini, aku tinggal mengurus skripsi. Mereka masih luntang-lantung kuliah. Beda kasus dengan Niko, Asep gagal di beberapa mata kuliah, gara-gara kurang beruntung. Mohon kata beruntung itu disikapi secara bijaksana.
Trevor menghabiskan makanannya, kemudian berdiri. “Sudahlah Sep,” ujar Trevor, “kita sebagai teman Azka yang baik, seharusnya senang atas kecepatan studinya. Lebih cepat Azka lulus, lebih cepat dia kawin, lebih cepat pula kau bisa makan-makan.”
Aku mendengus tertahan. Trevor terkekeh.
“Woy, kau mau kemana, Vor?” Asep meneriaki Trevor yang sudah berjalan duluan.
“Mau ke bagian akademik. Aku mau konsul dengan dosen pembimbingku. Siapa tahu beliau punya solusi. Bingung aku memilih mata kuliah.”
“Ikut Vor,” sahutku. Kebetulan aku juga harus ke bagian akademik hari ini. Ada urusan. Berhubungan dengan skripsiku.
Mau tidak mau, Asep dan Niko mengekor langkah kami. Buru-buru bayar pada Paman Jhon.
Kami melangkah ke gedung baru FIS. Biar ceritanya tambah greget, kami jalan kaki ke sana. Hari masih pagi. Udara masih segar. Malah agak berangin hari ini. Kemeja Trevor yang sengaja tak dikancingkan, berkibar-kibar tertiup angin.
Kami sampai di gedung baru FIS. Karena ini adalah hari pertama, banyak orang terburu-buru. Beberapa dosen nampak melangkah menuju parkiran. Berpapasan jalan dengan kami.
“Pagi Pak,” aku memberi sapaan. Beberapa dosen itu, adalah dosen Jurusan Administrasi, dan aku selalu berusaha ramah pada para dosen itu. Mereka mengangkat tangan. Mengangguk.
“Pagi, Azka.”
Masuk ke gedung baru, berjalan menuju lift, kami kembali berpapasan dengan seseorang yang aku kenal. Kak Kurnia.
“Pagi Azka,” beliau menyapaku lebih dulu, mengenali. Aku mengangguk. “Pagi kak.”
“Gimana kabar skripsimu?”
“Sudah dalam tahap penyusunan Kak. Sesekali dikonsultasikan dengan Pak Thom.”
“Bagus itu Az. Turuti saja apa petunjuk-petunjuk Pak Thom, beliau itu pasti ingin membantumu mendapatkan yang terbaik.”
“Siap kak.”
Kak Kurnia berlalu. Kami melanjutkan perjalanan. Sampai di depan lift, lagi-lagi, aku berpapasan dengan seseorang. Malik Ibrahim. Tentu kalian tidak akan lupa dengannya-kan kawan?
“Apa kabar Az,” dia menyorongkan tangan, segera kusambut, kami bersalaman.
“Kabar baik Him.”
Kami berbasa-basi mengenai skripsi. Kami berada di jalur yang sama. Aku dan Ibrahim, di luar dugaan seakan bersaing untuk menjadi mahasiswa FIS terbaik di angkatan kami. Tapi aku menang telak melawannya di satu bidang. Tulis menulis. Aku sudah sering memenangkan lomba.
“Masih suka mengikuti lomba dan event menulis esai, Az?”
Aku menggeleng, “ini semester yang sibuk, Him. Aku akan konsentrasi pada skripsi. Kau juga begitu-kan?”
Ibrahim menepuk bahuku. Tertawa kecil. Berjalan menjauh. Trevor melambai-lambai. Menyuruhku bergegas masuk lift. Pintu lift-nya hampir tertutup.
“Astaga, kau terlalu banyak basa-basi, Az.” Trevor tertawa kecil.
“Wajar saja, Vor. Ini adalah masa keemasan Azka. Dia adalah bintang terang milik UBM sekarang.”
“Kau ada-ada saja, Ko.” Aku menyahut. Tertawa juga. Ada-ada saja. Apanya yang bintang terang, bintang yang mati-matian ingin meledak mungkin.
“Eh tapi…”
Tidak. Tidak ada yang tahu, apa yang hendak dikatakan Asep. Sebab semua mulut mereka menganga saat pintu lift terbuka di lantai 2. Ada seseorang di depan sana. SoSofia Nur Iman. Trevor bahkan menggumam pelan tertahan. “Oh shit” bisa kudengar keluar dari mulutnya.
Sementara, aku tidak mau terjebak dalam situasi kagok. Segera kusapa dia. “Pagi, Mbak Fia yang terhormat.”
Dia tersenyum mendengar sapaanku. Sejak dahulu, memang begitu caraku menyapa Sofia. Sudah terprogram.
“Pagi Tuan Azka yang cerdas. Kamu mau kemana?”
“Ke bagian akademik,” sahutku sambil menunjuk ruangan yang aku dan Trevor tuju, yang memang ada di lantai 2.
“Oh ini pasti soal skripsi. Ya sudah. Aku duluan. Mau pulang sehabis mengurus KRS.” Kami berempat keluar lift, Sofia dan The Big Five-nya masuk. Masih bisa kudengar Trevor sedang bergumam pelan tertahan. Seperti mengumpat.
Ah sebenarnya kawan, ceritanya sudah berjalin panjang sekali. Sepertinya kau harus membacanya dari awal. Nanti kita ketemu lagi di bagian pertengahan cerita.
Mozaik 2
Cinta yang Terpendam Bak Manisan Mempelam
Dua tahun sebelum itu.
Awal pagi semester 3, di lorong dekat ruang A yang legendaris. Tempat nongkrong favorit Ciye-ciye-ciye Grup. Aku dan Trevor datang nyaris bersamaan. Tidak lama kemudian Asep dan Niko juga datang. Jam menunjuk pukul 07.26. Masih cukup awal untuk kuliah yang akan dimulai pukul 8.30. Kami berempat mengisi waktu dengan mengobrol.
“Berapa mata kuliah yang kau ambil semester ini Az?” Trevor yang mula-mula bertanya.
“Delapan,” sahutku singkat, sembari merapikan tali sepatu.
Trevor manggut-manggut. “SKS maksimal berarti ya?”
“Iya Vor. Kau sendiri juga begitu-kan?”
Semester 3 menjadi titik yang cukup menyenangkan bagi kami secara akademik. Kami sudah bisa menyesuaikan diri dengan rutinitas perkuliahan dan mulai mengejar nilai-nilai yang bagus. Frasa “menyesuaikan diri” itu boleh diuraikan menjadi sudah pandai menjilat dan menarik perhatian dosen. Alhasil, nilai kami berempat bisa naik. Meski aku tidak mengetahui berapa tepatnya nilai IP yang diraih teman-temanku (karena semuanya menutup rapat-rapat nilainya), aku bisa tebak kami sama. Hanya tertinggal sedikit dari Mr. Jo si Ketua Kelas, yang nilainya sempurna. IP 4.
Ah kenapa aku jadi mengobrolkan soal nilai ya?
Kembali ke topik obrolan kami yang acak. Kali ini Niko yang bertanya. “Az, bagaimana Persma-mu itu sekarang?”
“Hubunganku dengan Persma sudah khatam, Ko. Aku berhenti. Keluar. Aku ingin fokus kuliah saja dulu. Fokus belajar.”
“Berarti hubungan dengan doi-mu itu juga khatam toh, Az?” Asep menyela. Menyeringai. Aku mendengus. Kenapa dia harus menyinggung bagian itu. Tapi itulah Asep Berlian Purnama.
“Ah mengenai itu… Sebenarnya hubunganku dengan teman-teman di Persma masih terjalin kok, Sep. Kemarin-kemarin saja aku diundang untuk datang saat mereka mengadakan acara masak-masak. Jadi hubungan pertemanan masih terjalin, yang terputus itu cuma hubungan kerja.”
Astaga, sungguh itu jawaban yang berbelit-belit.
Tapi ya, aku mau bilang apa lagi. Sedih sebenarnya, meninggalkan Persma. Memutus hubungan dengan organisasi itu, sama dengan memutus banyak kesempatan bertemu dan berkontak dengan Shafa. Si gadis berkacamata partner kerjaku yang bikin aku senewen. Tapi bertahan di Persma-pun cuma makan hati, hanya bisa melihat Shafa dekat-dekat dengan Kak Arif dan Kak Aldo.
Sejurus dengan itu…
“Pagi, Tuan Azka yang cerdas,” sebuah suara menyapaku.
Aku mengangkat kepala. Dia sudah berdiri di depan kami. Mata bertemu mata. Dia adalah SoSofia Nur Iman. Aku mengangguk, “pagi Mbak Fia yang terhormat.”
“Mau tanya dong Az,” katanya.
“Ada apa? Bukankah ini hari pertama kuliah. Kurasa tidak ada tugas.” Aku menyernit kening.
“Eh, bukan pertanyaan semacam itu. Hanya pertanyaan iseng, kenapa kalian berempat senang sekali duduk di sini? Di kursi di lorong ini. Setiap hari. Sepanjang tahun.”
Aku menepuk bahu Trevor. Menyuruhnya menjawab. Tapi Trevor terlanjur kena demam panggung. Padahal dia adalah pemimpin kami.
“Tidak ada alasan yang kuat, Mbak Fia. Hanya ya, di sini, koneksi internetnya bagus.”
“Wah curang berarti kalian. Coba di sekre tuh Az, jelek sekali koneksi internetnya,” Sofia merendahkan suaranya. Berbisik. Aku terkekeh kecil. Aku tahu itu. Makanya dulu aku tidak mau nongkrong di sekre.
“Ya sudah. Aku mau ke sekre dulu. Ada yang harus kulakukan.”
“Ngapain? Jangan bilang Persma sudah memulai programnya hari ini?”
“Ya kamu tahu lah Az, bagaimana disiplinnya Pimred kita itu. Aku duluan Az, kalau ada waktu, mampir lagi ke sekre. Ngobrol bareng-bareng.”
Aku melambaikan tangan. Sofia berjalan menjauh. Apa yang tersisa setelah itu, adalah deheman dari Trevor.
“Hei, kenapa kau tidak coba berbicara dengannya, Vor.” Aku membisikinya pelan.
“Astaga Az, jangan bercanda.”
“Eh ada apa Az?” Asep bertanya. Ingin tahu.
Wajah Trevor merah padam saat kuungkap dengan hati-hati pada Asep dan Niko bahwa teman kami yang satu itu, suka dengan SoSofia Nur Iman. Sebenarnya itu bukan hal yang salah, maksudku, Sofia itu adalah tipikal wanita cantik yang bisa membuat pria mana saja, bertekuk lutut. Tapi Trevor terlalu malu untuk mengakuinya. Sekarang masalahnya lain. Setelah Asep tahu, dia pasti ingin mengorek semuanya. Dalam-dalam.
“Bagaimana bisa Vor?”
“Apa sih, Sep.” Trevor mulai menyergah.
“Astaga, wajahmu memerah. Sudahlah. Mengaku saja.” Asep tertawa.
“Sejak kapan kau suka dengannya, Vor? Kok adem ayem saja saat melihat dia ngobrol dengan Azka?” Niko ikut mengorek.
Trevor diserang dari dua sisi. Tidak bisa lagi berkelit. “Baiklah, nanti aku ceritakan apa yang mau kalian dengar. Tapi, plis, jangan di sini. Terlalu terbuka. Sembari waktu yang tepat itu datang, tolong juga, kalian jangan bertanya macam-macam.” Trevor bilang begitu sambil mengacak-acak rambutnya.
Akhirnya, demi mengorek informasi dari Trevor, sehabis kuliah kami mengajaknya, atau tepatnya lagi, memaksanya ke perpustakaan pusat UBM. Di sana sunyi. Hei, dimana lagi kau akan menemukan tempat sunyi, sepi namun nyaman seperti perpustakaan di negeri ini, kawan?
Diiringi tatapan mendesak penuh ingin tahu, dari Asep dan Niko, Trevor mulai bercerita.
“Aku mengenal Sofia sejak tahu aku, dia, kami dan kita semua satu kelas. Kebetulan pula, salah satu teman akrabnya Sofia, yang sering jalan bareng berlima dengannya itu, adalah teman satu sekolahku. Jadi ya, begitulah.
Aku tidak tahu persis, kapan, mengapa atau bagaimana aku bisa suka dengan Sofia. Tapi kalian bisa lihat, dia cantik, elegan, dan penampilannya saat memakai kacamata itu, astaga. Kalian tahu bukan, aku paling suka dengan gadis yang memakai kacamata. Itu menambah derajat kecantikannya di mataku. Jadi ya, aku suka memandanginya diam-diam. Hanya segitu saja, itulah batas hubunganku dengan Sofia.”
Trevor menutup ceritanya yang singkat itu sambil mengusap bagian atas bibirnya yang berkeringat. Aku tahu dia sedang tidak nyaman, dan kami semua juga tahu, Trevor bukan orang yang pandai bercerita.
“Kau tidak berniat mendekati dia lebih intens, Vor? Maksudku, mengajak dia ngobrol barangkali? Kulihat tadi, Sofia tidak canggung mengobrol dengan Azka. Itu artinya dia ramah dan terbuka saja.”
“Sofia adalah orang yang ramah, kau benar tentang itu, Ko,” Trevor menyahut, sengit, “tapi kau lupa satu fakta. Obrolan hanya bisa terjadi jika keduanya punya kesamaan. Misalnya, Azka dan Sofia pernah sama-sama ikut Persma. Jadi mereka bisa ngobrol. Nah aku, aku tidak punya ide untuk mencocokkan topik pembicaraan dengan Sofia.”
“Tapi kau unggul segalanya dari segi fisik Vor. Lihat, badan tegap bukan buatan, tampan rupawan, berkelas. Kau cocok dengan Sofia itu,” sahut Asep. Aku tertawa. Akhirnya Asep menyinggung soal itu. Dia memang paling inferior kalau sudah menyangkut masalah fisik.
Trevor geleng-geleng kepala, “kau salah menangkap maksudku, Sep. Kubilang sekali lagi, bahwa yang susah itu, adalah menyesuaikan frekuensi. Mencari kesamaan untuk mengobrol. Bukan masalah fisik.”
“Kau benar-benar tidak mau menjalin hubungan yang lebih jauh dengan Sofia, Vor?” aku akhirnya ikut bertanya.
“Ah tak terbayangkan olehku, Az.”
“Aku bisa membantumu, Vor,” tawarku.
Trevor yang tadi menunduk, mengangkat wajahnya lagi. “Kau serius Az?”
Aku mengangguk. “Tentu saja.”
“Padahal kau juga punya kesempatan besar untuk bisa PDKT dengan Sofia Az.”
Aku menggeleng. Buru-buru menepis bayangan tentang itu. “Aku tidak tertarik dengannya, Vor. Kami hanya berteman. Tapi kalau kau ingin mencoba mencari jalan yang lebih jauh untuk mengenal Sofia, kukira pertemananku dengannya, akan membantumu.”
Mozaik 3
Karpet Merah Untuk Trevor
Jujur saja kawan, ada yang ingin kulihat bila kedekatan Sofia dengan Trevor benar-benar terwujud. Aku ingin lihat betapa gugupnya Trevor saat berdekatan dengan Sofia. Karena aku tahu persis, temanku yang satu itu, adalah seorang penggugup.
Makanya aku membantunya. Kau kira aku teman apa?
Asep dan Niko juga sepakat mendukung Trevor agar bisa bersatu dengan Sofia. Hanya saja, mereka tidak punya jalan untuk mewujudkan dukungan mereka. Hanya aku yang punya, dan aku perlu mencari waktu dan momen yang tepat.
Namun mencari momen yang tepat itu, sangat susah kawan.
Seperti yang Trevor bilang, yang sulit dalam mendekati Sofia itu, adalah mencari kesamaan frekuensi ngobrol dengannya. Aku memang terkadang bisa mencocokkan frekuensi dengan Sofia, hanya dengan Sofia seorang. Tapi aku tidak pernah punya ide untuk mencocokkan obrolan, jika Sofia duduk di tengah-tengah The Big Five-nya itu.
Walau bagaimanapun, aku adalah orang udik, dan bisa kurasakan ujung-ujung sepatu The Big Five melotot ke arahku setiap aku mencari kesempatan masuk ke circle mereka.
“Jadi gimana Az? Adakah progres maju? Adakah tanda-tanda?”
Bukan, bukan Trevor yang baru saja bertanya. Trevor justru menghela nafas mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang diajukan oleh Asep. Kami berani membahas ini, karena sekarang kami sedang terhubung via telepon, di rumah masing-masing. Bukan di lorong ruang A yang legendaris. Ah ya kawan, berkat inisiasiku, kini Ciye-ciye-ciye Grup punya waktu khusus untuk mengobrol di akhir pekan.
“Belum Sep,” sahutku, selaku jembatan penghubung, “aku masih belum menemukan titik terang. Trevor benar, susah menyesuaikan frekuensi dengan mereka.”
“Mereka?” Niko bertanya, keheranan.
Segera kujelaskan soal tatapan The Big Five padaku. Termasuk soal ujung sepatu mereka itu. Trevor menghela nafas lagi. “Sudah kubilang, susah mencari frekuensi yang sama dengan dia, Az. Level kita beda dengannya.”
“Bukan begitu Vor. Aku tidak kesulitan mencari frekuensi dengan Sofia. Tapi aku tidak bisa mencocokkan diri dengan teman-temannya. Masalahnya adalah Sofia lebih sering berada di tengah teman-temannya, ketimbang sendirian.”
“Jika Sofia bisa dipisahkan dari teman-temannya, apakah kau bisa menjalankan operasi ini Az?” Asep bertanya lagi.
“Kemungkinan besar begitu. Seperti saat aku masih ada di persma.”
“Bersiap melakukan penculikan, Ko.”
“Woy, woy. Apa yang kalian rencanakan,” Trevor berteriak-teriak. Kami tertawa bersama. Semua tahu, Asep hanya bercanda.
“Kita akan tunggu waktu tepat, Vor. Kita tunggu Tuhan berpihak pada kita.”
“Kuharap kau tidak menganggap ini terlalu serius, Az.” Trevor menyahut. Seolah-olah aku sedang bercanda sambil membawa-bawa Tuhan.
Sebaliknya, aku tidak sedang bercanda. Membawa-bawa Tuhan adalah sesuatu yang harus dilakukan jika mau sukses. Aku sudah membuktikan hal itu, belasan kali. Kali ini pun ampuh.
Sekitar satu setengah bulan waktu kuliah berjalan. Akhirnya Tuhan menghamparkan karpet merah untuk Trevor.
Siang itu, kami masuk di mata kuliah Pengantar Kebijakan Publik. Ada jadwal pergantian dosen hari ini. Jangan heran kawan, acara pergantian dosen di tengah-tengah perkuliahan adalah sesuatu yang lumrah ditemui di FIS UBM. Kadang ini menimbulkan masalah tersendiri. Misalnya hari ini, Ibu Dosen pemegang matkul ini sebelumnya, adalah seorang pragmatis yang suka ceramah, sedangkan Bapak Dosen yang baru ini, mau langsung turun ke praktik, padahal pemahaman kami belum optimal.
“Saya rasa inilah saatnya kalian belajar langsung dari lingkungan,” ujar Bapak Dosen itu dengan wajah keras, “saya akan bagikan tugas pada kalian. Tugas ini berbentuk analisis penerimaan dan feedback masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal kalian, menyangkut kebijakan yang diterapkan pemerintah. Agar tidak membatasi kreativitas kalian, saya tidak akan membatasi kebijakan pemerintah macam apa yang ingin kalian pilih, atau bagaimana kalian mengolah tugasnya. Kembangkan kreativitas kalian. Ketua kelas, tolong nanti dibantu membagi kelompoknya.”
“Siap Pak.”
Sudah kubilang tidak ada enaknya menjadi ketua kelas.
Awal malam, aku, Trevor, Asep dan Sofia berkumpul di salah satu kafe santai di tengah kota. Bagaimana bisa Sofia terjebak di antara kami bertiga? Itulah karpet merah dari Tuhan untuk Trevor. Kasihan Niko, dia terpelacat ke kelompok lain yang bukan circle pertemanannya. Atas hal itu, kurasa Niko berhak menyalahkan Tuhan.
Kembali ke pertemuan kami. Malam itu, Sofia memakai jaket berwarna kuning dengan jilbab berwarna krim. Tidak perlu memoles wajahnya terlalu maksimal, Sofia sudah terlihat cantik. Kulihat, Trevor mulai gugup.
“Astaga, kukira tugas kita itu akan sangat sulit, tapi kurasa dengan tim yang kupunya di sini, sepertinya pekerjaan kita akan jadi lebih mudah.” Aku memulai pembicaraan. Tadi, aku menunjuk diriku sendiri, secara aklamasi menjadi pemimpin tim.
“Tentu saja, Tuan Azka yang cerdas. Jujur saja, aku tadinya sempat cemas mendengar tugas ini. Tapi begitu tahu aku tergabung di tim-mu, aku rasa aku bisa bernafas lega,” Sofia mulai mencerocos. Sudah kubilang, tidak susah mencocokkan frekuensi dengannya.
“Tapi kamu juga harus kerja, Mbak Fia.”
Sofia tertawa kecil. Aku melotot ke arah Trevor, mengisyaratkan bahwa inilah saatnya. Kau harus bicara Vor. Kau harus beranikan dirimu. Tidak ada gunanya Tuhan menghamparkan karpet merah jika kau tidak berani berjalan di atasnya.
“Ya, kurasa aku cukup beruntung tergabung dengan kalian berdua. Dua orang yang jago wawancara. Azka, dan… Sofia.”
Ekspresi Trevor sewaktu menyebut nama Sofia terlihat sangat lucu. Bahkan Sofia sendiri terkekeh melihatnya.
Kontak awal yang bagus Vor.
Sayangnya, aku malas menceritakan jalan diskusi kami malam itu. Kurasa kawan juga tidak akan tertarik mendengar cerita diskusi kami mengenai sesuatu yang tidak kawan pahami, kan? Jadi baiklah. Cukup sampai di situ saja dulu ceritanya.
Mozaik 4
Gebrakan Baru di Hidup Azka
Kau mau tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi antara Trevor dengan Sofia kawan? Bersabarlah sejenak. Cerita di sana akan kita skip dahulu. Sekarang aku akan fokus pada sebuah pesan singkat namun agung yang masuk ke dalam penampang Whatsapp-ku.
“Assalamualaikum Azka, ini aku Haikal, ketua HIMA Administrasi FIS UBM (HIMA-A). Ada yang mau kubicarakan denganmu. Bisa kau datang ke sekre HIMA-A besok sore?”
Terkejut-kejut aku. Ketua HIMA-A meminta bertemu denganku lewat sebuah pesan pendek? Apa yang dia rencanakan? Hati kecilku segera meminta diriku sendiri untuk waspada pada dua hal. Yang pertama, pada penipuan berkedok Ketua HIMA-A, yang kedua, waspada kalau-kalau ketua HIMA-A berencana membujuk aku ikut dalam kepengurusan mereka. Waktu itu, semester 3, memang jadi momen perekrutan pengurus baru. Jika opsi kedua yang terjadi, aku sudah siap untuk menolak mentah-mentah.
Untungnya dua kewaspadaanku tidak terjadi. Kak Haikal, sang Ketua HIMA-A dan seorang pengurus benar-benar menemuiku di Sekre untuk membicarakan sesuatu. Sesuatu apa? Untuk itu, Kak Haikal membuka laptopnya, membuka folder kotak masuk email, dan menunjukkan sesuatu padaku.
Terbelalak aku membacanya.
“UNDANGAN LOMBA PENULISAN ESAI DI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG”
“Apa maksudnya ini, Kak?”
Kak Haikal mematikan laptopnya dan mulai bicara. “Jadi begini Az, kami baru terima undangan itu tadi malam. Setelah kukoordinasikan dengan Ibu Ketua Prodi, beliau ingin kita berpartisipasi dalam lomba tersebut, dan berusaha memenangkannya. Kami dari HIMA-A tentu saja tidak ingin mengecewakan Ibu Ketua Prodi, namun sayang sekali, kami tidak memiliki orang yang cukup “expert” dalam hal kepenulisan. Begitu kira-kira masalahnya, Az.”
Aku manggut-manggut. Mulai mengerti arah pembicaraan. Kak Haikal melanjutkan setelah meneguk air mineral.
“Jadi, tadi pagi, setelah berkoordinasi dengan para ketua angkatan, kami mendengar tentang dirimu, Azka. Katanya kau punya basis di bidang kepenulisan, katanya kau pernah bergabung di Persma FIS meski tidak lagi aktif. Jadi di sinilah kau sekarang. Aku, mewakili HIMA-A, ingin sekali agar kau mengambil undangan dan kesempatan ini Az. Wakililah UBM dalam lomba ini sebagai mahasiswa FIS. Bagaimana Az?”
Aku tidak langsung menjawab. Secepat kilat mencoba berpikir. Pertama, aku tidak berpengalaman mengikuti lomba semacam ini. Maka ini adalah lomba pertamaku. Kedua, aku tidak asing dengan makhluk bernama esai ini, karena dosenku beberapa kali membagikan tugas berjenis esai. Bisa kubilang makhluk bernama esai ini tidak sulit untuk dijinakkan, jadi kurasa aku bisa menanganinya. Ditambah dengan hasrat dari Ibu Ketua Prodi, serta tatapan Kak Haikal yang penuh harap itu, aku akhirnya mengangguk.
“Ya, aku bersedia kak.”
“Benarkah Az?” Kak Haikal menatapku dengan tidak percaya.
“Iya Kak. Namun bolehkah aku mengetahui apa tema lomba esai tersebut, dan bagaimana cara pendaftarannya?”
“Ah iya,” Kak Haikal menepuk dahi kemudian kembali menyalakan laptopnya, “temanya berkaitan dengan bidang studi kita Az, good governance, itulah temanya. Sementara untuk pendaftarannya, kau tak usah risau. Biar HIMA-A yang mengurusnya. Kau fokus buat esainya saja.”
“Sepakat kak.”
Lalu tanpa memberitahu siapapun, sore itu juga, aku mulai mengumpulkan referensi. Deadline pengerjaan esai yang kupunya, adalah 10 hari.
Good Governance adalah salah satu pahaman paradigma yang ada di dalam disiplin ilmu administrasi. Oleh karena itu, pada awalnya, aku ingin mengambil referensi dari sumber yang paling komprehensif. Buku-buku teks berbahasa Inggris pemberian Pak Thom. Di sana lengkap membahas soal paradigma administrasi. Namun karena membaca buku-buku itu sama seperti menggadaikan separuh otak pada kegilaan, kuurungkan niatku itu.
Akhirnya kucoba membaca referensi dari buku-buku yang ada di perpustakaan. Kuperdalam pengetahuanku tentang good governance. Supaya kau mengerti kawan, good governance itu bisa digambarkan singkat begini, jika negara ingin maju, maka perlu ada sinergitas segitiga di dalamnya, yaitu, antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Jika satu saja tidak maksimal, maka sebuah negara tidak akan maju.
Melihat tema, sebenarnya banyak sekali yang bisa diangkat dan diulas. Misalnya bagaimana pemerintah yang sekarang tidak becus menangani masyarakat, atau bagaimana pemerintah sekarang malah bertindak layaknya swasta, sibuk mencari keuntungan di sana-sini. Tapi aku tidak ingin mengangkat tema semacam itu. Selain tidak bermutu, tema-tema itu juga penuh resiko aku bakal kehilangan kepala.
Dari mencari referensi, aku masuk ke tahap berikutnya, yaitu menangkap fenomena sekitar. Ini titik awal yang bagus. Karena sebagai seorang mahasiswa, kita tidak dituntut untuk terus mengacu pada teori, namun harus lebih banyak memunculkan gagasan praktis yang bisa dipakai di lapangan. (Kalimatku barusan sepertinya bisa dimasukkan dalam buku berjudul Tiga Serampai Tata Cara Menulis Esai).
Berhari-hari kulamunkan apa gagasan esaiku di warung kopi Paman Asad. Setelah melewati analisis pikiran yang tajam, aku akhirnya menyadari bahwa ada semacam pola yang hidup di antara orang Melayu udik. Mereka banyak tidak percaya pada pemerintah. Bagi mereka pemerintah tidaklah becus. Pada akhirnya, ketidakpercayaan mereka itu berdampak pada kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan.
Sebuah kegagalan Good Governance.
Harus kuakui, itu adalah sebuah gagasan yang brilian dan jarang diperhatikan orang. Namun akupun tahu, bahwa gagasanku itu sebenarnya lemah. Aku tidak bisa menulis hanya berlandaskan kepada pengamatan sekilas saja. Bisa ditertawakan nanti. Oke baiklah, aku sudah dapatkan kerangka teorinya, aku sudah dapat fenomenanya. Sekarang, waktunya kembali ke referensi dan mencari “pembenaran” untuk fenomena yang kusoroti.
Kutemukan teori pembenarannya. Teori konstelasi sosial. Walau sebenarnya teori itu lebih layak dipakai di ilmu sosiologi, antropologi, dan sejarah. Tidak masalah. Biar kuberitahu satu rahasia kecil kawan, terkadang dalam menulis, yang terpenting adalah bagaimana cara meyakinkan orang bahwa apa yang kita tulis itu adalah benar.
Aku dapat kerangkanya, aku dapat fenomenanya, aku dapat landasan teori yang dapat membenarkan fenomenanya, sekarang waktunya menulis. Kulihat kalender. Ternyata deadline-nya sudah berkurang jadi 2 hari saja lagi. Tidak masalah. Dalam menulis pula, hanya ada satu kunci. Menulis saja. Jangan berpikir benar atau salah, bagus atau tidak. Sisanya biarkan kata-kata itu berangkai menjadi satu hal yang menakjubkan.
Itulah kesaktian sebuah kata-kata.
Esai itu selesai dengan menakjubkan. Seminggu kemudian hasilnya keluar. Apa hasilnya kawan?
Aku dinyatakan sebagai pemenang. Aku memenangkan lomba esai nasional di UNNES. Esaiku yang penuh semangat itu memenangkan sebuah penghargaan. Itulah awal dari aku bisa meletakkan batu langkahku. Meretas jalan. Menjadi bintang terang UBM.
Mozaik 5
Kak Kurnia dan Grup Diskusi
Sesi bergembira setelah kemenanganku di lomba esai UNNES berakhir dengan cepat. Sebagai mahasiswa, tentu saja masa perkuliahan eloknya diisi dengan effort yang maha dahsyat sesuai amanat pendidikan.
Sementara itu, proyek kerja kelompok kami, Kelompok yang di dalamnya tergabung aku, Trevor, Sofia, dan Asep berjalan dengan baik pula. Aku dan Sofia mengambil lebih banyak porsi wawancara dengan penduduk, sementara Trevor dan Asep lebih banyak mencatat, kemudian manggut-manggut. Sok mengerti. Sesekali aku suruh Trevor berpasangan wawancara dengan Sofia. Di luar dugaan, Trevor bisa tampil cukup elegan, meski dia hanya menanyakan hal-hal standar, seperti “siapa nama bapak?” atau “Bapak tinggal dimana?”. Setelah itu Sofia mengambil alih semuanya.
Sementara itu, di luar dugaan, grup diskusi yang awalnya hanya ulah iseng Pak Thom mengumpulkan mahasiswa yang sefrekuensi dengan beliau, kini berkembang jadi grup diskusi yang sangat berbobot.
Minggu-minggu pertama, hanya aku dan Kak Kurnia yang mengikuti grup tersebut. Blingsatan kami disuruh Pak Thom membaca ini dan itu, membuat ini dan itu. Ini seperti menambahkan tugas pada rutinitas kuliahku, tapi tak apalah. Untuk sementara ini aku memutuskan bertahan. Alasannya, Pak Thom punya pukauan ilmu pengetahuan yang sangat memikat.
Minggu-minggu kedua, grup diskusi berkembang jadi lebih banyak pesertanya. Kak Kurnia mengajak teman-temannya untuk bergabung dalam grup tersebut. Aku sebenarnya juga diminta oleh Pak Thom mengajak teman-temanku, tapi ketika kucoba mengajak Trevor, Asep dan Niko, mereka menggeleng cepat. Wajah mereka seperti ketakutan. Mirip seperti orang yang mau dijeploskan dalam penjara. Alhasil tetap akulah satu-satunya mahasiswa termuda di dalam grup diskusi tersebut.
Minggu selanjutnya, Pak Thom mengajak anak-anak muridnya dari program studi magister. Grup diskusi itu kian berkembang, ada sampai delapan belas pesertanya. Di antara kedelapan belas orang itu, tetap aku yang paling muda.
Ada godaan-godaan yang tersembunyi di balik grup diskusi ini kawan. Dengan bergabungnya aku ke dalam grup ini, aku mendapatkan banyak keuntungan. Aku jadi mendapatkan ilmu baru, aku mendapatkan rekan-rekan diskusi baru yang jelas lebih berbobot. Itu juga memaksa aku untuk menyesuaikan cara kerjaku yang biasanya serba tanggung, serba tak selesai, dan serba terburu-buru sehingga salah. Aku dipaksa untuk meningkatkan kemampuanku kawan, dan itu tidak mudah.
“Terjemahkan buku ini, besok sudah harus selesai. Kurnia akan mengurus pembagian babnya.” Pak Thom memberi instruksi lewat grup chat kami.
“Siap Pak,” begitu Kak Kurnia menyahuti, dan berbagai “siap Pak” lainnya segera melompat-lompat keluar di grup chat.
Buku yang dimaksud oleh Pak Thom, tentu saja sebuah buku berbahasa Inggris, dan kalau kalian ingat bagaimana pengandaian yang kulakukan di semester lalu, maka tugas menerjemahkan buku itu adalah tugas yang sangat sulit.
Karena Pak Thom tidak mau menerima sekedar sebuah tugas penerjemahan bebas. Tidak bisa kita menerjemahkan tugas beliau ini dengan semena-mena meng-copas-nya ke google translate. Beliau meminta kita menerjemahkannya ala-ala penerjemah buku luar negeri. Harus diterjemahkan dengan kata-kata sendiri.
Pukul lima sore, mahasiswa magister selesai mengerjakan tugasnya, mereka mengumpul tugas ke grup.
Pukul tujuh malam, Kak Kurnia dan teman-temannya juga selesai mengerjakan terjemahan itu.
Adapun aku, sampai pukul sepuluh malam, masih belum selesai-selesai. Panas mataku menatap layar komputer. Namun aku berniat untuk menyelesaikan tugas ini. Aku tidak akan menyerah.
Pukul dua belas malam, tugasku selesai. Penerjemahannya beres. Kukumpullah tugasku ke grup chat.
Pukul tiga subuh, Pak Thom mengirimi pesan lagi.
“Tolong bab yang baru saja kalian terjemahkan, tolong kalian pahami, buat slide presentasi, malam esok kita bertemu. Kalian presentasikan masing-masing bab tersebut.”
Aku terperangah saat membaca pesan di waktu subuh. Diam-diam kukeluar, memastikan apakah matahari sudah terbit dari barat atau belum.
Mozaik 6
Azka Bicara Di Depan PascaSarjana
Soal mengerjakan slide presentasi itu aku kembali tertinggal.
Pukul enam subuh, mahasiswa pascasarjana selesai mengerjakan tugasnya. Mereka langsung mengumpul tugas di grup chat. Terpana aku. Apakah mahasiswa pascasarjana itu tidak tidur semalaman atau bagaimana? Sungguh gelap misterinya bagiku.
Pukul sembilan pagi, Kak Kurnia dan kawan-kawannya juga selesai mengerjakan tugas. Mereka mengumpulkan ke grup chat. Sekali lagi aku terpana, astaga, sekali lagi aku tertinggal. Karena jangankan membuat slide presentasi, paham materinya saja aku belum.
Pukul enam sore, sudah sangat terlambat, akhirnya aku mengumpulkan tugas itu ke grup chat. Begitu tugasku terkirim, tiga menit berselang, di grup chat satunya, mahasiswa pascasarjana gempar.
“Bagus betul slide presentasi bikinanmu, Azka.”
(Mengenai grup chat itu, kalau kawan bingung, biar kujelaskan. Kami membuat dua grup chat. Satu yang yang ada Pak Thom-nya, satu lagi tanpa Pak Thom. Kalau kami ingin berdiskusi antara kami saja, maka kami akan pakai grup chat yang tidak ada Pak Thom-nya. Adapun di grup yang ada Pak Thom, itu hanya untuk mengumpul tugas dan keperluan Pak Thom. Kami melakukan itu, tentu saja untuk satu tujuan, agar jika saat kami berdiskusi dan ada yang kelepasan mengeluarkan kalimat tergibah-gibahkan, kami tidak celaka. Sebab jika kalimat tergibah-gibahkan itu kedengaran Pak Thom, satu saja, bisa di-black list kami jadi Mahasiswa).
Kembali ke slide presentasi. Aku memang membuatnya dengan seksama dan sepenuh hati.
“Dimana kau bikin slide itu Az? Di website apa?”
“Eh aku bikin sendiri Kak. Pakai tools Power Point.”
“Wow, harus kuakui kamu berbakat Az.” Salah satu mahasiswa pascasarjana memujiku.
“Yeah, kamu rajin sekali. Aku saja membuat pakai template yang sudah ada di website.”
“Aku sama,” Kak Kurnia membalas, disertai dengan emot tertawa berderet sepuluh.
Aku membatin, tentu saja slide presentasiku itu bagus. Aku menghabiskan satu semester penuh untuk menekuni kelas presentasi di Quart School, di bawah bimbingan Ibu Indah.
Itu satu keunggulanku. Satu lagi akan menyusul malam nanti, saat kami presentasi.
Lewat layar aplikasi meeting online, bisa kulihat Pak Thom sedang terkantuk-kantuk mendengarkan presentasi dari salah satu mahasiswa pascasarjana. Memang mahasiswa itu sangat menguasai materi yang dia sampaikan, tapi dia hanya membaca slide yang ada.
Hanya membaca.
Lima belas menit mahasiswa itu terus membaca, tak selesai-selesai, membosankan. Pak Thom menguap. Ingin sekali sepertinya beliau mencak-mencak, namun urung beliau lakukan. Mungkin beliau khawatir, kalau beliau marah-marah, maka mahasiswa akan kena mental, lalu keluar dari grup diskusi. Itu akan membuat grup diskusi menjadi berkurang penghuninya. Kalau itu terjadi, beliau juga yang rugi.
Hal yang sama terjadi pada mahasiswa kedua
Mahasiswa ketiga
Mahasiswa keempat
Semuanya sama.
Ketika aku yang maju berikutnya, semua orang tercengang. Aku sendiri sudah membikin slide khusus yang tidak banyak teks-nya, sehingga aku mau tidak mau harus menjelaskan panjang lebar. Aku menguasai materi, jungkir balik aku mempelajari bab yang ditugaskan Pak Thom. Aku juga menguasai cara presentasi yang baik, karena itu yang diajarkan di Quart School dulu.
“Nah begini seharusnya kalian presentasi itu. Jangan membaca saja. Kalau cuma membaca begitu, burung bangau pun bisa.”
Mozaik 7
Kamu Tidak Hanya Sekedar Tuan Azka yang Cerdas
Hari ini, masuk kuliah Pengantar Kebijakan Publik, lagi.
Wajah Pak Thom sedari masuk tadi, sudah ditekuk. Terlihat sekali bahwa hari ini beliau tidak bersahabat. Aku merinding membayangkan. Padahal hari ini adalah hari dimana setiap kelompok melaporkan progres perkembangan tugasnya. Jika mood Pak Thom sudah buruk sejak awal, bisa-bisa yang terjadi adalah pembantaian.
“Jo,” beliau berseru. Mr. Jo segera mendatangi beliau di depan kelas. Kami semua menyimak apa yang akan terjadi.
“Ada sesuatu yang kamu lupa siapkan, Jo.” Suara Pak Thom berat sekali.
“Mohon maaf, apa itu Pak?” suara Jo sebaliknya, gemetaran. Pasti dalam hatinya sedang berpikir keras, apa yang dia lupakan. Dia sudah menyiapkan mic dan proyektor. Buku absen juga sudah dibagikan pada mahasiswa. Seharusnya Pak Thom hanya tinggal mencolokkan laptop MAC beliau yang mahal itu, dan memulai perkuliahan.
“Kamu lupa menyiapkan kopi, Jo.”
Kami terperangah.
“Baik Pak, akan segera saya siapkan,” Jo dengan gelagapan bergegas keluar dari kelas, menuju kedai kopi kecil di depan kampus FIS. Menurutku pribadi, permintaan Pak Thom itu, agak lucu. Tapi mana berani aku tertawa.
“Kita akan mulai pelaporan per-kelompok setelah kopi saya siap. Mohon maaf semuanya, saya perlu kopi pagi ini, mengantuk sekali rasanya setelah mempelajari tentang Game Theory semalaman. Benar bukan, Azka?”
Di ujung kalimatnya, Pak Thom menatap tajam padaku. Aku gelagapan juga.
“Iya Pak. Game Theory benar-benar melelahkan untuk dipahami,” sahutku sekenanya. Semoga aku tidak salah bicara. Seisi kelas menatapku bingung. Ada hubungan apa aku dengan Pak Thom? Pasti mereka bertanya-tanya.
“Tapi saya berhasil memahaminya Azka, ada banyak kemajuan setelah membaca buku semalaman.”
“Berarti sesi diskusi berikutnya bisa sangat menarik, Pak.” Aku menyahut lagi. Ragu-ragu.
“Tentu saja,” sahut Pak Thom lagi, mulai sumringah, “riset kita mendapat banyak kemajuan. Ah ini kopi saya datang.”
Jo tergopoh-gopoh membawa secangkir kopi. Pak Thom duduk, menyeruput kopi, lalu mempersilahkan kelompok pertama untuk melaporkan progres pekerjaannya.
Sayangnya mood Pak Thom yang sempat membaik tadi, kembali memburuk setelah mendengar laporan dari kelompok 1. Wajah beliau terlihat gusar. “Saya beri kalian waktu satu minggu, dan kalian hanya bisa mewawancarai 4 orang? Itupun cuma orang tua, kakek-nenek kalian di rumah. Bukan itu yang saya harapkan.”
Ketua kelompok 1 itu nampaknya gemetar. Tapi dia berusaha tenang. “Mohon maaf Pak, sebenarnya kami sudah mencoba mendatangi beberapa rumah warga, meminta wawancara, tapi mereka menolak. Kami sudah berusaha keras Pak.” Ketua kelompok 1 membela diri.
“Bukan yang seperti itu yang saya inginkan. Kalian tidak harus datang rumah ke rumah. Seharusnya kalian bisa lebih kreatif. Kalian bisa datangi pusat-pusat keramaian. Kalian bisa datang masjid, mushola, atau pasar. Ajak mereka ngobrol, tanya-tanya. Begitu seharusnya. Bukankah kalian sudah jadi mahasiswa?”
Gemetar ketua kelompok 1. Habis kata pembelaan dirinya.
Pak Thom berdiri. Menatap kami semua. “Apakah ada dari kelompok lain, yang laporannya mirip dengan kelompok 1 barusan? Jika ada, maka sudah. Tidak perlu pelaporan. Kalian perbaiki dulu kerjaan kalian itu. Paham?”
Kami semua ragu-ragu mengangguk.
“Azka, kamu boleh maju sekarang. Laporkan bagaimana progres tim-mu. Saya harap tidak seburuk kelompok 1 barusan.” Pak Thom berucap sambil duduk kembali. Aku menghela nafas. Baiklah, masuk di tim riset Pak Thom membuat beliau mengenaliku dengan baik. Aku tidak boleh mengecewakan beliau. Lagipula, timku bekerja dengan baik.
Dengan gamblang aku menjelaskan proses pekerjaan kami. Riset tim-ku bergantung sekali pada warung kopi, karena tempat itu adalah laboratorium administrasi di tengah masyarakat Melayu udik. Dari warung kopi kami mendapatkan banyak sekali informasi. Total 3 warung kopi yang aku, Asep, Trevor dan Sofia datangi, lebih dari 10 informan kami wawancarai. Hasilnya akurat. Pak Thom tersenyum mendengar hal itu.
“Nah itu maksud saya, mahasiswa sekalian. Masyarakat Indonesia memang agak sulit diwawancarai secara langsung. Tapi jika kita bisa mencari metode kreatif, bertanya pada mereka, tanpa mereka merasa diwawancarai, seperti yang dilakukan tim Azka. Mereka boleh kalian jadikan contoh. Ingat ya, perbaiki tugas kalian. Kita akan bertemu lagi minggu depan. Jika progres kalian tidak banyak berkembang, kalian layak khawatir.”
Pak Thom menghabiskan kopi, kemudian keluar dari ruangan. Para mahasiswa menghela nafas. Tugas dari Pak Thom seperti mencekik mereka.
Aku, dan Ciye-ciye-ciye grup kembali ke lorong dekat Ruang A yang legendaris. Sebenarnya mata kuliah Pak Thom adalah mata kuliah satu-satunya hari ini. Tapi kami berempat sama-sama malas pulang. Duduk sejenak di di lorong favorit kami sambil menyerap WIFI gratis dari kampus, sepertinya adalah kegiatan yang bermanfaat.
“Bukan main Az, sepertinya antara kau dan Pak Thom sudah terjalin relasi yang bagus.” Seperti biasa, yang pertama nyinyir adalah Asep.
“Hanya karena aku tergabung dalam tim riset beliau Sep. Jika kau juga ingin dikenal oleh beliau, ikut saja dengan tim itu. Aku bisa mendaftarkanmu.”
“Daftarkan Az, daftarkan asuransi kejiwaannya sekalian,” Trevor menyeringai.
“Tidak lucu,” Asep memasang wajah cemberut.
“Selain itu, kelompok kalian juga sangat padu Az, astaga. Coba lihat tuh tim-ku. Semuanya malas-malasan.” Niko mengeluh sambil menunjuk mahasiswa yang sedang bergerombol di kedai kopi.
“Sabar ya Ko,” aku menyeringai juga.
“Ah ya, aku ikhlas deh. Demi Trevor mendapatkan jalan cinta. Oh ya, ngomong-ngomong, bagaimana hubungan Trevor dengan…”
“Ushhhh!” Trevor berseru keras, sambil mengisyaratkan agar Niko diam dengan jari di bibirnya.
Kau juga mau tahu kawan? Kelompok kami itu memang sempurna untuk Trevor dan Sofia. Tiga kali kami membuat janji temu, tiga kali pula Sofia dan Trevor datang lebih dulu. Maklum aku dan Asep rumahnya agak jauh dari pusat kota. Mustahil dalam tiga keadaan itu, mereka tidak mengobrol. Selain itu, aku juga sering memasangkan mereka untuk wawancara bersama.
“Ada ngobrol-kan?” Niko bertanya, dengan suara yang lebih pelan.
“Ada dong, ngobrol asyik malah.”
“Sembarangan kau Sep,” sela Trevor.
“Eh dia ke sini tuh,” Niko berucap lagi, bersamaan dengan itu, Sofia muncul dari lorong bundar. Tangannya membawa kresek berisi pentol goreng. Dia pasti baru saja datang dari SBC.
“Hai, sudah kuduga, kalian berempat duduk di sini.”
Sofia lebih dulu menyapa. Trevor mulai merasa tidak nyaman.
“Dimana lagi kami akan duduk. Di sini adalah tempat favorit kami, Mbak Fia yang terhormat.”
“Oh iya Az, terima kasih ya, berkat cara-cara kamu, kelompok kita selamat dari amarah Pak Thom.”
“Kamu terlalu memuji Mbak Fia.”
“Hei, aku tidak bercanda. Ini diantara kita saja ya,” Sofia mendekat, berbisik, meski agak keras untuk didengar empat temanku yang lain, “Persma telah kehilangan anggota terbaik dan potensial ketika kamu keluar Az. Melihat caramu menangani tugas kita ini, aku yakin, kamu bukan sekedar Tuan Azka yang cerdas saja. Kamu juga praktis dan taktis.”
“Kamu terlalu berlebihan, Mbak Fia. Jangan lupakan Asep, juga Trevor. Dan ada kamu juga. Ini pekerjaan kelompok kita.”
“Oh iya, ada Trevor juga,” Sofia menyeringai ke arah Trevor.
“Kamu mau kemana, Mbak Fia?” aku mengalihkan pembicaraan setelah melihat ekspresi Trevor yang serba salah itu.
“Mau ke sekre, biasalah. Kamu mau ikut Az? Siapa tahu mau daftar jadi calong anggota lagi?”
“Tidak terima kasih.” Aku menggeleng kuat-kuat.
Selepas Sofia berlalu, Trevor juga balik kanan. “Aku mau ke SBC saja,” katanya.
Asep membisikiku, “Trevor sepertinya cemburu denganmu Az.”
Mozaik 8
Sendok Trevor
Hari ini kami menyelesaikan rangkaian tugas yang diberikan Pak Thom. Selesai penelitiannya maksudku. Kami menyudahi wawancara di rumah kepala desa dengan gemilang.
Kawan tidak perlu bingung bagaimana kami bisa berurusan dengan kepala desa. Tentu saja kami meminta waktu secara khusus untuk wawancara dengan beliau. Pernyataan yang beliau berikan, sangat membantu memberi sudut pandang lain. Bila masyarakat secara alamiah menjelek-jelekkan pemerintah, kepala desa berada di pihak lain, pro pemerintah, sebab jika tidak pro, bisa timbul masalah di desa itu.
“Mau kemana kita sehabis ini, Tuan Azka yang cerdas?” Sofia mensejajari langkah denganku. Sementara Trevor dan Asep masih mengemasi barang-barang.
“Bagaimana kalau kita makan siang?” tawarku. Sedikit menyeringai ke arah Trevor. Ini masih bagian dari strategi pendekatan Trevor dengan Sofia.
“Serius Az? Makan siang dimana?”
“Di warung makan dekat sini saja. Ya anggap sebagai selebrasi karena kita bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik.”
“Kau traktiran Az?”
“Sembarangan kau Sep, mana cukup uangku traktiran,” aku melotot pada Asep. Asep mengedipkan mata. Oh rupanya dia sedang menjalankan taktik. Bagus sekali.
“Yahh, kalau tidak gratis, aku tidak maulah Az. Mending pulang. Lumayan uangnya bisa buat beli bensin.”
Aku pura-pura menghela nafas kecewa lalu menengok ke arah Trevor. “Bagaimana denganmu, Vor?”
“Eh aku,” Trevor tergagap, tapi segera menyesuaikan diri, “kalau Sofia ikut, aku ikut.” Ucapan Trevor itu memang tidak sempurna, tapi bisa kulihat matanya berbinar. Tanda-tanda baik.
“Boleh deh, aku ikut. Anggap saja ini self reward untuk diriku.”
“Tepat sekali itu, Mbak Fia.”
Kami beranjak dari rumah kepala desa. Mencari warung makan. Untuk pilihan tempat, Trevor dan Sofia menyerahkannya padaku. Jadi aku harus bisa pintar-pintar memilih tempat. Salah sedikit, bisa habis uangku meladeni dua orang yang berasal dari keluarga menengah ke atas itu.
Akhirnya ketemu. RUMAH MAKAN SEDERHANA.
Ya kawan, aku tidak bergurau. Itulah nama tempatnya. Di depannya terbentang spanduk, bertulis sedia ayam lalapan: 13.000/porsi. Opsi yang bagus. Kami bertiga segera memesan dan mencari tempat duduk. Entah kebetulan atau memang disengaja oleh Trevor, dia duduk bersebelahan dengan Sofia.
“Great job team,” aku membuka percakapan dengan bersemangat, “tugas kita selesai. Pak Thom pasti puas dengan hasil kerja kita.”
Sofia tersenyum, “aku harap begitu. Ini adalah kerja keras untuk kita. Kita berhak dapat yang terbaik. Apalagi kalau aku ingat bagaimana Trevor terbata-bata mewawancarai kepala desa tadi, hehe.”
Selera humor Vor. Kau sudah memenangi selera humornya.
“Ah wawancara,” Trevor menggaruk rambutnya, “aku tidak akan pernah terbiasa dengan wawancara. Selalu gugup. Tapi aku berusaha melakukan yang terbaik. Lagipula, aku belajar banyak dari Sofia. Orang-orang Persma memang hebat sekali wawancaranya.”
“Kalau yang itu aku sepakat Vor.” Aku menyahuti.
“Ya mau bagaimana lagi, wawancara adalah kewajiban kami di Persma.”
“Mungkin seharusnya aku ikut Persma,” sahut Trevor lagi. Aku terkekeh. Jujur saja kawan, agak aneh melihat Trevor tiba-tiba lancar ngobrol dengan Sofia. Lebih aneh lagi mendengar Trevor ingin masuk Persma. Tak akan sanggup kau Vor, bisa-bisa kau mengeliminasikan diri, bahkan sebelum pelantikan. Mana tahan kau berurusan dengan pimred yang tidak disiplin itu.
“Seharusnya kamu masuk ke Persma, Vor. Anggota pria di Persma sudah menyusut. Tinggal 5 orang. Kasihan sekali. Apalagi setelah Tuan Azka yang cerdas ini keluar. Meninggalkan Persma. Tidak seru lagi.”
Sebenarnya aku ingin menyahut, tapi makanan keburu datang dan aku sudah lapar. Jadi kutunda dulu, dan lebih baik aku fokus ke makanan yang ada di meja sekarang. Trevor dan Sofia masih membicarakan beberapa hal.
Malam hari tiba. Tak sabar rasanya aku bawa cerita hari ini ke hadapan Ciye-ciye-ciye Grup. Kami segera terhubung di telepon.
“Sebelumnya, pertama-tama, aku ingin ucapkan selamat dulu kepada Trevor nih Az, kepada yang hatinya sedang berbunga-bunga.” Itu Niko yang mulai berbicara. Aku agak terkejut. Darimana dia tahu?
“Hush, ternyata kau mulut ember juga, Ko. Seharusnya tadi aku tidak cerita padamu.” Trevor menyahut dengan suara bersungut-sungut. Seketika jalan cerita jadi jelas dan terang bagiku.
“Jadi bagaimana acara makan siangnya? Lancar?” Asep yang bertanya.
“Lancar dong Sep. Kurasa bukan hanya acara makan siangnya yang lancar, PDKT Trevor juga lancar.”
“Wah asyik, bentar lagi ada yang traktiran karena jadian.”
“Hush, ngomong apa sih kalian. Tidak perlu berlebihan.” Trevor masih menyahut dengan nada bersungut-sungut. Seperti mengajak berkelahi.
“Sudah Vor. Mengaku saja. Kau berencana menembak gadis itu dalam waktu dekat, iyakan?”
“Kurasa itu keputusan yang layak diujicoba Vor,” aku menyahut, “aku bisa melihat kalian sudah mulai dekat. Sofia sudah mulai berani memainkan candaan. Dia sepertinya tertarik mengenalmu lebih jauh.”
“Benarkah begitu Az?”
“Trevor terdengar bersemangat Az,” sela Niko. Setelah dua sahutannya, sahutan ketiga Trevor ini memang berbeda nadanya.
“Ya sudah, tembak saja sudah Vor. Mumpung jinak-jinak merpati. Daripada ntar jinak-jinak tapi pergi.”
“Ish kalian ini.” Trevor kembali bersungut-sungut.
Mozaik 9
Akhirnya Vor!
Dua hari setelah riset kami kunyatakan selesai. Kehidupanku kembali seperti semula. Berangkat kuliah, duduk santai di lorong dekat Ruang A, masuk kelas, ke SBC dan tidur di masjid. Selain aku, Asep juga punya ritme kehidupan kampus yang sama. Ya, aku sedikit menyesalkan sih, hidupku menjadi datar sejak aku keluar dari Persma.
Tapi biar aku keluar, itu bukan berarti aku berhenti berteman dengan kolegaku di Persma. Seperti yang pernah kubilang, hubungan pertemananku dengan mereka masih terjalin, walau tidak terlalu erat lagi.
Di semester ini, sudah beberapa kali aku mengunjungi sekre. Kesemuanya karena kebetulan. Misalnya, saat aku lewat di depan sekre, tiba-tiba hujan mengguyur. Mau tidak mau aku masuk untuk berteduh. Kebetulan bukan? Apa? Menurut kawan itu terlalu kebetulan untuk dijadikan contoh? Lalu kebetulan macam apa yang kawan mau?
Setiap aku ke sekre, aku selalu disambut dengan hangat. Kak Aldo bilang padaku, bahwa aku diposisikan sebagai alumni yang terhormat. Bila aku ke sekre, dan di sana ada Kak Ari atau Kak Febri, mereka juga menyapaku, mengajakku berdiskusi. Asyik sekali. Oh iya, juga Kak Kurnia. Beliau juga sangat lihai dalam diskusi. Singkatnya aku masih menikmati pertemananku di Persma.
Hari ini aku ke sekre lagi. Tapi kali ini, bukan karena kebetulan. Tapi karena ajakan Sofia.
“Pokoknya jangan banyak tanya. Habis kelas ini, langsung ke sekre, ada yang mau kuceritakan.” Dia berujar seperti itu sambil melotot galak. Urung kubertanya macam-macam. Diiringi tatapan bingung dari Ciye-ciye-ciye Grup, aku berjalan menuju sekre.
“Hmm, sepertinya bau-bau bakal balik kucing ke Persma nih,” seloroh Asep. Aku tak menyahut. Terus berjalan. Terus bertanya. Apa yang mau diceritakan oleh Sofia.
Saat aku sampai di sekre, hanya ada Sofia seorang. Dia bergegas menyuruhku masuk. Aku masih heran. “Apa yang sebenarnya ingin kamu rencanakan, Mbak Fia?”
“Sudah, tenang saja kamu Az. Aku janji tidak aneh-aneh. Aku cuma ingin bercerita, memberitahumu sesuatu. Tapi ini amat rahasia, dan sekre ini hanya kosong dalam setengah jam ke depan. Itulah waktu yang kupunya.”
“Baiklah teruskan,” sahutku, mulai rileks.
“Aku langsung saja ya Az, teman baikmu, Trevor nembak aku tadi malam.”
Terperanjat aku mendengar kata-kata Sofia. “Trevor... Nembak kamu?” tanyaku terbata-bata, “serius?”
“Iya Az. Jadi tadi malam, dia ngajakin aku ketemuan di salah satu kafe di pinggir kota, sempat bingung juga aku, kenapa Trevor tiba-tiba ngajakin nongkrong. Tapi ya, aku iyakan saja. Ternyata di kafe itu, Trevor nembak. Dia bilang suka padaku dan dia minta aku menerima dia. Sungguh malam yang sangat berwarna bagiku Az.”
“Lalu kamu terima?” tanyaku lagi, mengejar keterangan.
“Hehe, iya Az,” Sofia setengah menutup wajahnya dengan tangan, malu-malu, “menurut kamu, apakah aku tidak salah?”
Aku mengangkat bahu, “kamu tidak salah pilih. Trevor itu memang suka denganmu. Dia orang yang menyenangkan. Lagipula dia ganteng. Cocok denganmu.”
“Nah kalau soal itu, kamu benar Az. Dia ganteng. Suka aku lihatnya.”
“Ciye Sofia. Selamat ya, sudah jadian. Wah ini kalau kubilangi ke Ciye-ciye-ciye Grup, bisa heboh mereka.”
“Siapa itu Ciye-ciye-ciye Grup?” alis Sofia setengah terangkat, matanya setengah melotot.
“Itu teman-temanku yang sering duduk di lorong dekat Ruang A. Tidak lain Trevor sendiri, Asep dan Niko.”
“Jadi Trevor belum bilang ke kalian?”
“Belum tuh. Nanti malam deh kami bongkar. Ada lagi yang mau kamu ceritakan?” sahutku cepat.
Sofia menggeleng, pipinya masih bersemu merah.
“Ya sudah. Aku mau ke masjid. Shalat Zhuhur. Lagipula, terlalu lama di sini denganmu, tidak baik juga. Bisa dimarahi Trevor nanti. Hehe.”
“Ish Tuan Azka yang cerdas.”
Aku bergegas meninggalkan Sofia yang masih tersipu-sipu malu itu. Hatiku setengah mendongkol. Trevor tidak bilang-bilang pada kami bahwa dia sudah meneMbak Fia. Padahal sepagian ini dia duduk bersama kami, Ciye-ciye-ciye Grup. Dia malah sibuk bercanda soal Asep yang jika dimasukkan dalam botol maka akan larut ke mana.
Ketika aku balik ke kampus setelah shalat Zhuhur, aku melihat sesuatu. Nun di ujung lorong sana. Trevor dan Sofia sedang ngobrol berdua. Lekas kuambil kamera.
CEKREK!!
Awas kau Vor. Malam ini kau tidak akan bisa berkelit lagi.
Akulah yang menginisiasi kegiatan teleponan itu. Jadi mudah saja bagiku untuk membelokkan jadwalnya. Kuminta agar Ciye-ciye-ciye Grup berkumpul malam ini. Trevor, Asep dan Niko segera menyetujuinya.
Panggilan segera terhubung.
“Hai Vor. Bagaimana nih, PDKT-nya, lancar jaya kan?” Asep kali ini yang membuka percakapan.
“Ngajakin Sofia nongkrong jadi, Vor?” sambar Niko. Sepertinya dia tahu lebih dulu dari aku.
“Apaan sih, kalian ini sepertinya terlalu pengen ditraktir. Tidak baik begitu. Kau lupa apa Bapak Dosen, Sep, jadi Kapitalis itu tidak baik. Bisa lupa dunia nanti.” Trevor masih menyahut sambil bersungut-sungut. Aku mendengarnya, tertawa kecil. Setelah ini habis kau, Vor.
“Iya Vor, benar,” ini aku menyahut, “jadi kapitalis bisa menyebabkan lupa dunia. Demikian juga kalau sedang jatuh cinta. Juga bisa lupa dunia.”
Kuyakin sekarang Trevor sedang garuk-garuk kepala. “Kau sepertinya sudah terpengaruh kapitalis juga Az.”
“Hei, aku bicara benar Vor. Hanya para pecinta yang tidak bilang-bilang ke teman-temannya kalau dia sudah jadian dengan orang yang dicintainya. Mengaku kau Vor!?”
“Apa yang kau bicarakan Az. Jangan mengada-ngada.”
Masih hendak mengelak rupanya. “Sebentar, aku kirim fotonya,” sahutku. Kuyakin Trevor sedang gelagapan.
“Nah, ini bukti kuat!”
“Otentik!” Asep dan Niko menyahut bergantian. Suara mereka antusias.
“Foto itu tidak membuktikan apa-apa Az, sudahlah. Tidak perlu mengambil kesimpulan sesaat.”
Aku jadi kesal. Trevor masih belum mengaku juga.
“Vor, dengarkan aku. Jika kau tetap tidak mau mengaku, detik ini juga aku akan menghubungi Sofia dan bilang padanya bahwa hubungan kalian hanya hubungan sesaat dan mengada-ngada.”
Seketika Trevor menghamba-hamba.
Aku terkekeh-kekeh kecil. Aku menikmati momen-momen seperti ini.
“Selamat ya Vor. Semoga langgeng sampai pelaminan.”
“Kenapa kau tidak memberitahu kami tadi pagi, Vor.” Asep menyahut. Malam ini dia yang bersungut-sungut.
Mozaik 10
Pasangan Paling Couple Goal
Setelah malam itu, akhirnya Trevor mau tidak mau mengaku. Dia tidak bisa menyembunyikan hubungan asmaranya dengan Sofia. Wong mereka datang ke kampus saja boncengan kok!
Aku, Niko dan Asep diam-diam mengatur rencana untuk memergoki Trevor dan Sofia. Kami sengaja menunggu di dekat lorong Ruang A itu. Aku yakin Trevor dan Sofia akan lewat di situ. Kami memang akan kuliah di Ruang A itu hari ini.
Benar saja. Sofia dan Trevor muncul dari lorong bundar. Mereka berjalan bersisian. Mengobrol. Tangan Trevor terlihat bergerak-gerak. Itu seperti gerakan yang elegan, tapi aku tebak, Trevor sebenarnya sedang gugup.
“Ciye, ciye, ciye. Trevor.”
Belum apa-apa, Asep sudah bersiul-siul menegur Trevor. Trevor mendongak dan dia jelas terkejut melihat kami sudah ada di lorong itu.
“Lho, kalian sudah datang. Ini masih sangat pagi. Jam berapa kau berangkat dari rumah, Sep?”
Asep menyeringai.
“Mungkin dia bahkan tidak tidur semalaman demi menyiapkan ini semua,” Niko yang menjelaskan.
Trevor menggelengkan kepalanya. Pasti heran dengan kelakuan teman-temannya. “Kalian ini terlalu berlebihan. Dasar.”
“Tidak perlu malu dan salah tingkah begitu Vor. Kami semua senang melihatmu dengan Sofia. Lagipula itu adalah kesepakatan kita bukan?”
Trevor menatapku dengan tidak senang. Ups, seharusnya aku tidak mengungkit soal kesepakatan kami itu.
“Kesepakatan apa Azka?” Sofia yang menyahut. Aku segera menyadari bahwa Sofia tidak lagi memanggilku dengan panggilan Tuan, mungkin ingin menjaga perasaan Trevor. Aku memutuskan untuk bersikap biasa.
“Tidak perlu kamu pikirkan, Sofia.”
“Jelaskan padaku!” Sofia menatap dengan wajah menuntut.
Aku menghela nafas. Trevor makin geleng-geleng kepala. Tapi apa boleh buat Vor. Tatapan Sofia itu tidak bisa dibantah. “Kamu harus tahu Sofia, Trevor sudah naksir denganmu sejak pertama bertemu. Tapi dia malu mengakuinya. Jadi kami mengatur kesepakatan, kami akan membantu Trevor mendekatimu. Dan kami sudah lihat hasilnya.”
Sofia manggut-manggut. “Oh jadi kamu sudah lama, kenapa tidak bilang-bilang.” Dia menatap Trevor. Trevor menepuk-nepuk bahu Sofia. “Sudah, ayo kita masuk kelas saja. Tidak perlu diperpanjang lagi.”
Sofia menurut. Ciye-ciye-ciye Grup mengekor Trevor ke dalam kelas.
Hari ini bisa kubilang menjadi hari Trevor dan Sofia. Karena mereka berdua adalah dua orang insan yang memenuhi kriteria atas sebagai sepasang kekasih, tak pelak, Trevor dan Sofia dicap sebagai pasangan paling couple goal di UBM. Aku turut bertepuk tangan ketika Alex meneriakkan hal itu.
Oh jadi begini rasanya menciyekan orang lain. Hei, aku juga pernah berada di situasi yang sama dengan Trevor, aku pernah disebut-sebut sebagai pasangan paling couple goal ketika menjalani hubungan dengan Shiela dahulu. Meski hanya sebatas pacaran pura-pura. Sedangkan Trevor pacaran seriusan.
“Selamat ya Vor,” Mr. Jo mendatangi Trevor yang duduk bersampingan dengan Sofia. Mr. Jo menggenggam telapak tangan Trevor dengan erat. Itu tanda apresiasinya. Tapi Asep punya tafsir yang berbeda.
“Sepertinya Mr. Jo cemburu.”
Hmmm....
Entah kenapa setelah sepanjang hari itu berjalan, aku merasa jenuh dan agak jijik melihat orang-orang yang terus menyalami Trevor seolah dia kedapatan malam Lailatul Qadr. Jadi setelah sesi kuliah yang cukup panjang, aku memutuskan untuk ke sekre. Tidak ada niatan yang neko-neko. Jika ada Kak Ari, Kak Febri atau Kak Kurnia, kurasa aku bisa mengobrol dengan mereka. Tapi yang kutemui justru dia.
Shafa Aulia.
Astaga. Ini jadi semacam obat yang tidak aku sangka. Setelah lelah melihat Trevor yang kedapatan Malam Lailatul Qadr, kurasa berbincang dengan Shafa bisa menjadi penawar. Hei, walau bagaimanapun, sensasi embun itu masih ada kawan. Aku buka pintu sekre sambil menggaruk rambut. Semoga tidak terlihat salah tingkah.
“Hai,” sapaku. Dia mendengar, lalu mengangkat kepalanya.
“Eh, Azka. Masuk. Pas banget. Kukira di sini bakal suntuk.”
Merasa dapat lampu hijau, aku mengambil duduk di sebelahnya, tapi agak berjarak.
“Lama tidak jumpa Shaf.”
“Hehe, iya Az. Rasanya sejak kamu keluar dari Persma kita tidak pernah ngobrol lagi ya?”
“Sepertinya begitu Shaf. Bagaimana kabar kamu akhir-akhir ini?”
“Alhamdulillah aku baik.”
Aku mengangguk-angguk. Dia tidak menanyakan kabarku balik kah? Baiklah tak apa. Aku akan bermonolog saja. “Ini hari yang agak buruk.”
“Eh kenapa?”
“Sofia, Sofia kawan editor kita, jadian dengan seorang teman akrabku. Dan hari ini seisi kelas heboh meneriakkan mereka sebagai pasangan paling couple goal.”
“Lalu apa yang buruk? Apa jangan-jangan kamu cemburu dengan temanmu itu?”
Aku tersentak. “Tidak Shaf. Bukan begitu, aku lelah melihat teman-teman sekelasku melebih-lebihkan semuanya. Seolah peristiwa ini sangat heboh begitu. Mereka terus bersalaman, sampai aku bosan sekali melihatnya.”
“Oh kirain,” Shafa terkekeh, “soalnya kamu terlihat akrab begitu dengan Sofia.”
“Eh masa iya?”
Aku memandangi dengan selidik. Padahal yang kusuka itu kan kamu, Shaf.
“Iya, cukup dengarkan bagaimana kalian saling menyapa, yang satu manggil ‘Mbak Fia yang terhormat’, yang satunya manggil ‘Tuan Azka yang cerdas’. Astaga, aku saja iri dengan cara kalian memanggil satu sama lain.”
Aku tersentak. Rupanya semua ini berakar cukup panjang.
Mozaik 11
Curhatan di Rumah Niko
Bangun pagi hari ini, aku disambut oleh dering telepon. Dering telepon yang nyaris membuatku terkejut setengah mati. Pak Thom! Ragu-ragu kuangkat. Apa yang diinginkan Pak Thom dariku pagi-pagi begini. Semoga bukan satu hal yang merepotkan.
“Selamat pagi, Azka.” Suara beliau yang berat terdengar dari speaker.
“Selamat pagi Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Sebelumnya saya minta maaf karena mengganggumu di pagi-pagi begini. Saya memerlukan sedikit bantuan.”
“Iya Pak?”
“Jadi begini Azka. Ada anggota tim peneliti dari Jakarta yang menghubungi saya tadi malam. Katanya minta foto dokumentasi FIS UBM. Detailnya tidak bisa saya ceritakan lebih jauh. Tapi saya minta bantuanmu. Bisakah kau mengambilkan foto-foto dokumentasi FIS UBM tersebut. Saya sedang berada di luar daerah soalnya.”
Astaga merepotkan juga. Entah apa tujuan foto dokumentasi itu. Tapi ini adalah permintaan dosen. Tidak bisa kubantah. Mau tidak mau kusanggupi permintaan Pak Thom.
“Syukurlah. Saya tadi sempat bingung meminta tolong kemana. Kurnia sedang sibuk juga hari ini, katanya ada acara keluarga. Ya sudah, saya tunggu foto-foto itu, pukul 12 siang ya Azka.”
Aku mengangguk-angguk. Bertanya berapa jumlah foto yang diperlukan, dan seperti apa konsepnya. Pak Thom menjelaskan. Aku kembali mengangguk-angguk.
Hari itu adalah hari Sabtu. Kampus libur. Kampus sunyi. Aku rasa tugas ini terlalu riskan untuk kupikul sendirian. Malu-malu kuakui kawan, rasanya agak merinding juga masuk ke FIS yang sunyi itu sendirian. Kalian sering mendengar cerita soal hantu yang masuk ke dalam foto bukan?
Jadi aku mengajak Niko. Alasannya sederhana, rumahnya adalah yang paling dekat dengan kampus. Karena pada dasarnya dia adalah orang baik, Niko menyanggupi. “Tapi jemput aku, tidak ada kendaraan di rumah nih,” itu syarat yang diberikannya.
Hari itu, selain memikirkan tugas yang diberikan Pak Thom, aku juga terpikirkan kalimat yang diucapkan Shafa tempo hari di sekre. Mungkinkah aku secara tidak sadar menyukai Sofia, dan secara tidak sadar pula, cemburu pada hubungan Sofia dengan Trevor. Sesaat kupikirkan, agak menggelikan juga ternyata.
Aku rasa aku pernah menyukai Sofia. Tapi itu pas awal-awal mengenal dia. Aku terpikat oleh pesonanya yang luar biasa. Namun makin mengenalnya, rasanya makin hambar. Melihat model bajunya, melihat kendaraannya, melihat model tasnya, melihat model sepatunya, melihat handphone apa yang dipakainya (handphone produksi perusahaan Steve Jobs, keluaran terbaru), aku segera menyimpulkan satu hal.
Menyukai Sofia adalah gagasan buruk.
Tapi jelas pula ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang salah ketika aku melihat Trevor dan Sofia berjalan beriringan. Ada sesuatu yang salah ketika aku melihat Trevor pelan-pelan menepuk pundak Sofia. Ada yang salah ketika aku melihat mereka makan berdua di kantin.
Astaga. Apa yang sebenarnya aku pikirkan, dasar pikiran sesat.
Sementara itu, sesi pemotretan berjalan lancar. Meski pikiran dan hatiku terus bertanya-tanya, aku berusaha profesional. Pekerjaan dan perasaan harus diletakkan di tempat yang berbeda.
Masalah baru muncul saat aku dan Niko hendak pulang. Di gerbang FIS (yang berwarna jingga), kami berpapasan dengan pasangan paling couple goals itu. Aku agak terkejut. Orang yang memenuhi pikiranku, berada di hadapanku sekarang.
“Azka, Niko?” Trevor menyapa kami, juga agak terkejut.
“Kalian ngapain ke kampus?” Sofia ikut bertanya.
“Eh anu... eh itu... apa...” aku gelagapan. Hei kenapa tiba-tiba aku kehilangan kemampuanku untuk berbicara.
Beruntung Niko di belakangku, sigap menyelamatkan keadaan. “Ada sedikit tugas pribadi dari Pak Thom pada Azka. Sedangkan aku, diminta Azka menemani dia ke kampus.”
“Oh seperti itu rupanya. Kukira kamu mau ikut Persma lagi Az, hehe.” Sofia terkekeh. Trevor terkekeh juga. Tapi dalam artian yang berbeda. Wajahnya menyiratkan rasa syukur.
Aku buru-buru meninggalkan tempat itu.
“Hei, apa yang terjadi Az? Kau tadi kenapa?”
Jelas sekali Niko bertanya. Aku tadi gagap luar biasa. Satu hal yang tidak pernah terjadi bila berhadapan dengan Sofia. Biasanya aku rileks saja. Kalau Asep beda cerita. Biar dia gagap sambil berdiri dengan satu kaki macam burung bangau di hadapan Sofia, kami tidak heran.
Kurasa beban pemikiranku tadi membawa dampak cukup besar.
“Panjang ceritanya, Ko.”
“Oh ya sudah, kalau memang privasi, tidak masalah Az. Simpan saja.”
Tidak. Kurasa kali ini aku tidak akan menyimpannya.
“Sebenarnya aku mau saja menceritakannya, Ko. Rasanya ini juga membebani pikiranku. Tapi kita cari tempat yang lebih tertutup. Aku tidak mau Trevor dan Sofia tiba-tiba muncul.”
“Di rumahku mau Az?”
“Boleh juga.”
Kami segera meluncur ke rumah Niko.
Mozaik 12
Berutang Satu Tiket Pesawat Terbang
“Ini Az, kopi. Semoga kau doyan ya.”
Niko keluar dari rumah membawa dua cangkir kopi yang mengepul. Kami duduk di teras rumahnya yang cukup luas.
“Seharusnya kau tidak perlu repot-repot, Ko.”
“Tidak apa Az. Tak perlu dipikirkan. Jadi apa tadi yang kau ingin ceritakan?”
Aku menarik nafas. Sebenarnya aku bingung, hendak bercerita darimana. Kurasa ada baiknya dimulai dengan pertanyaan. “Ko, bagaimana menurutmu, hubungan Trevor dengan Sofia?”
“Hubungan mereka berjalan baik kurasa. Trevor terlihat senang karena bisa mendapatkan Sofia. Dan kurasa itu bagus sekali. Meski beberapa kali kulihat Trevor agak gugup ketika bersama dengan gadis yang kuakui cantik itu.”
“Trevor gugup?” ulangku.
“Iya Az.”
Baiklah, kusimpan fakta itu dalam kantong. Lanjut ke pertanyaan berikutnya.
“Aku merasa aneh ketika melihat hubungan mereka berdua Ko.”
“Eh aneh kenapa?”
“Entah. Aku merasa jengah. Astaga, agak susah mendeskripsikan kata jengah itu.”
“Kau cemburu?” Niko dengan cepat menyimpulkan. Sudah kubilang kalau dia adalah orang yang cerdas. Tapi aku buru-buru menggeleng. Gengsi.
“Tidak, aku tidak patut untuk cemburu. Siapa aku. Dilihat oleh ujung sepatu Sofia saja aku sudah merasa sadar diri. Aku beda kelas dengan Trevor.”
Niko menghela nafas. “Yang kayak gini Az, enaknya diobrolkan dengan Asep juga, hehe.”
Aku ikut terkekeh.
“Tidak masalah Az, jangan merasa rendah diri. Dan jangan gengsi untuk mengakui seandainya kau memang cemburu.”
“Hei, aku tidak cemburu.” Aku berseru.
“Kan seandainya Az.”
“Tidak Ko, aku tidak cemburu. Aku tidak pantas cemburu. Aku tidak cocok untuk cemburu dengan hubungan dua orang paling couple goals itu.”
Niko terdiam sejenak. “Ya sudah Az, mungkin mudahnya begini saja. Kau kehilangan teman mengobrol yang asyik. Ya anggap saja begitu. Kau kan sering tuh ngobrol dengan Sofia. Ya walau aku tidak pernah merasakan sensasi ngobrol akrab dengan gadis itu, kupikir sensasinya menyenangkan.”
Aku manggut-manggut. Itu kesimpulan yang masuk akal.
Namun masalah tidak berakhir sampai di situ saja. Nampaknya Niko benar, aku terlalu gengsi untuk mengaku bahwa aku cemburu. Tapi setiap kusadari aku cemburu dengan hubungan Trevor-Sofia, ada sensasi menggelikan dalam hati yang muncul.
Seorang anak kampung Melayu Udik cemburu dengan pasangan paling couple goals di FIS UBM? Menggelikan bukan kawan?
Hari Senin, aku kembali masuk kuliah. Berjalan sendirian di lorong. Ketika satu tepukan mampir ke pundakku. Aku tidak terkejut. Derap-derap langkah mendahului tepukan itu, meyakinkanku bahwa itu bukan makhluk astral.
“Ada apa, Vor?” aku menoleh ke belakang, Trevor ada di sana, tapi dia hanya sendirian. Tidak ada Sofia. Kemana ya gadis itu?
“Aku mau bicara Az, bisa kita berhenti sebentar?”
Heran aku dengan kelakuan Trevor. Apakah ini masalah kecemburuan? Astaga. Bisa kacau kalau Trevor membahas masalah itu.
“Makasih ya Az, berkat kau, aku bisa menjalin hubungan dengan gadis cantik itu. Tak terbayang Az rasanya.”
Dalam beberapa kondisi, Trevor bisa bertindak sportif.
“Sama-sama Vor. Itu sudah kesepakatan kita bukan?”
“Iya Az, tapi hari ini apa yang kubicarakan ada di luar kesepakatan. Anggap saja rasa terima kasihku, kau boleh minta satu permintaan. Apapun itu.”
Aku menyernit heran. “Macam jin saja, Vor.”
“Aku serius Az.”
Aku balik menepuk bahunya, tersenyum bijaksana (bagaimana senyum bijaksana itu?) “kau simpan saja Vor. Aku tidak mengharapkan imbalan apa-apa kok.”
“Tapi Az...”
“Sudah Vor. Tidak perlu.”
“Hei. Jangan seperti itu Az. Jangan bebani aku dengan hutang budi.”
“Siapa yang berhutang budi Vor. Tidak ada. Lagipula kau Trevor dan aku adalah Azka. Tidak ada budi di sini.”
Trevor mau tidak mau terkekeh kecil dengan humorku itu. “Ya sudah. Kusimpan saja dulu. Nanti kalau kau perlu bantuan, bilang saja ya Az. Akan kubantu. Meski itu artinya membelikan tiket pesawat terbang sekalipun.”
“Ada-ada saja kau, Vor. Baiklah. Aku simpan itu sebagai kartu truf.”
Kami meneruskan langkah ke lorong dekat ruang A. Kejutan lain menunggu di sana. Sofia berdiri di hadapan Asep dan Niko.
“Nah itu Trevor-nya.” Asep langsung menunjuk ke arah Trevor begitu kami sampai.
Trevor garuk-garuk kepala. “Eh Sofia. Maaf. Tadi saat aku mau ke rumahmu, kata ibumu, kamu sudah berangkat. Jadi ya tidak kujemput.”
“Tidak masalah Vor. Hari ini aku memang berangkat agak pagi. Ada urusan di Persma.”
“Persma, sepagi ini?” aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Iya Az. Makin sibuk saja dengan Persma. Oh ya, kamu sudah sarapan, Vor?” Sofia kembali mengalihkan pandangan pada Trevor. Kekasihnya.
“Eh sudah.”
“Aku belum. Temani aku nyari sarapan ke SBC yuk. Masih setengah jam dari jadwal masuk kelas.”
“Baiklah. Yuk.”
Kemudian mereka beranjak dari tempat itu. Berdua saja. Kembali ada sensasi aneh dan menggelikan mampir di hatiku. Hei, kenapa? Apakah aku benar-benar cemburu? Ah kurasa tidak, lebih baik memakai hipotesis Niko. Aku cuma kehilangan teman ngobrol. Seandainya Sofia tidak jadian dengan Trevor, mungkin dia akan mengajakku. Ya mungkin karena itu aku kecewa.
Lagipula cemburu? Anak Melayu udik macam aku mau menaruh hati pada Sofia? Hush, buang jauh-jauh. Tak ada kesempatan. Nah kawan, itulah sempalan awal dari satu jenis rasa, yang akan mewarnai hidupku sampai bertahun-tahun ke depan.
Mozaik 13
Yang Couple Goal pun Berakhir Juga
Kawan bertanya, berapa lama hubungan Trevor dengan Sofia terjalin? Sampai ke pelaminan-kah?
Maka jawabannya, adalah tidak kawan. Hubungan mereka cuma sebentar. Paling cuma satu bulan sejak mereka jadian. Mengapa hubungan mereka bisa berakhir, padahal mereka adalah pasangan paling couple goal? Ah jangan tanya aku kawan. Cinta selalu misterius.
Keretakan hubungan mereka sudah bisa dicium sejak Trevor sedikit mengeluh di hadapan kami, Ciye-ciye Grup, satu minggu sebelum mereka resmi mengakhiri hubungan. Semua bermula dari satu pujian yang meluncur dari mulut Asep. Ya kawan tahu sendiri, bagaimana tabiat mulut temanku yang berasal dari Sunda itu.
“Hubungan kami tidak sehebat yang terlihat, Sep. Aku saja banyak tertekan akhir-akhir ini.” Trevor menunduk ke bawah. Suaranya bernada suram.
“Hei ada apa, Vor?” aku memutuskan untuk bertanya.
“Tidak mudah Az, tidak mudah menyesuaikan hidup dengan gadis cantik yang dikagumi semua orang semacam Sofia.”
“Tapi kau sendiri juga ganteng Vor. Aku akui itu.” Asep menyela.
“Tidak sesederhana itu Sep. Bagaimana ya, susah menjelaskannya.”
“Kau masih sering gugup Vor?” Niko ikut menanyai.
Trevor menjentikkan jari. Snap. “Nah itu, benar. Aku masih sering gugup. Aku belum bisa beradaptasi dengan Sofia. Aku tidak se-gentle yang kalian kira.”
Aku menepuk-nepuk pundak Trevor. Kebetulan akulah yang duduk tepat bersebelahan dengannya. Di sebelah kiri. Di kanannya adalah Niko. “Itu bukan masalah besar Vor. Itu cuma masalah adaptasi. Nanti kalau kau sudah terbiasa, tidak akan ada lagi gugup itu.”
“Sekali lagi masalah tidak segampang itu Az.”
“Ada masalah lain lagi? Sepertinya kau terlalu banyak mikir Vor. Kalau aku ya, dapat gadis cantik macam Sofia itu, tenang hidupku. Tak akan aku mikir yang lain.”
“Salah Sep. Salah besar,” Trevor menggeleng kuat-kuat, “semuanya tidak semanis yang terlihat. Memiliki gadis secantik Sofia di sampingku, membuatku memikirkan banyak hal. Dia adalah orang yang aktif. Ke sana kemari. Punya banyak kegiatan. Punya banyak kenalan. Kenalannya itu termasuk pria-pria yang ganteng, bawa mobil. Bagaimana aku tidak memikirkan hal itu. Tentu aku cemburu. Selain aku yang cemburu, yang cemburu padaku juga banyak. Terkadang aku merasa ada orang-orang yang menatapku dengan buas saat aku jalan-jalan berdua dengan Sofia. Itu membuatku tertekan.”
Sebenarnya kami hendak mengucapkan kalimat-kalimat penghiburan untuk Trevor. Tapi dosen keburu muncul di ujung lorong. Hari ini kelas di Ruang B. Kami mengemasi barang-barang, dosen lewat, kami mengekor beliau di belakang.
Handphone-ku bergetar. Ada pesan masuk. Kubuka sambil terus berjalan. Pesan dari Sofia. Lho kok? “Jika kamu tidak sibuk sore ini, temui aku di Sekre. Aku perlu bantuanmu, Tuan Azka yang cerdas.”
Tanpa sadar aku tersenyum. Itu untuk pertama kalinya sejak jadian dengan Trevor, Sofia kembali memanggilku Tuan Azka yang cerdas. Walau dia memanggil karena ada maunya.
Kita langsung lompat ke adegan berikutnya saja ya kawan.
Suasana sekre Persma sore itu nampak sepi. Sepertinya Sofia sengaja meminta bantuanku, tanpa seorangpun yang lain tahu. Kira-kira bantuan semacam apa itu?
Sofia sudah duduk di dalam ketika aku tiba. Dia menyuruhku segera masuk.
“Ada apa, Mbak Fia yang terhormat? Apa yang bisa kubantu?” tanpa basa-basi. Aku mengambil duduk di depannya.
“Bukan bantuan yang serius kok, aku cuma mau bercerita, dan aku ingin kamu mendengarkan. Bisa begitu Az?”
“Eh tumben kamu cerita ke aku.”
“Habisnya. Ini ada sangkut pautnya dengan temanmu, Trevor.”
Aku manggut-manggut. Sepertinya ini bakal menarik.
“Kuakui Az, kawanmu Trevor itu adalah orang baik, ganteng, dan dia juga perhatian padaku. Tapi entah kenapa, aku masih merasa aneh dengan dia. Bukan dianya yang aneh ya, tapi perasaan aku ke dia. Sebelum ini, dia itu cuma orang biasa bagiku, dan tahu-tahu secepat kilat, langsung jadian. Jadi ya, aku merasa agak aneh begitu saat kami menghabiskan waktu sama-sama. Ya jujur sih, kemarin-kemarin pas menerima perasaannya, aku cuma naksir dia karena dia ganteng. Dah itu aja. Tapi sekarang kegegabahanku itu sepertinya jadi bumerang. Mungkin sebenarnya aku tidak cocok dengan Trevor. Rasa aneh itu terus membayang di kepalaku. Sebenarnya aku ingin mengakhiri hubungan ini, tapi masa iya hubungan berakhir tanpa masalah? Mungkin sebenarnya aku terlalu naif dalam memilih cinta Az. Aku terlalu naif dalam memilih orang dan memaknai cinta.”
Sofia menutup kalimat ceritanya dengan cukup filosofis. Aku sebenarnya agak terkejut juga, karena hari ini mendengarkan keluhan pasangan paling couple goals dari kedua belah pihak.
“Apakah aku harus memberimu saran?” pelan-pelan kutanya Sofia.
“Bukan saran sih Az. Aku ingin kamu memberi pandangan.”
Baiklah. Aku akan memberi Sofia pandangan. Sesuai dengan apa yang kuyakini, bahwa hubungan yang toxic tidak baik untuk diteruskan. Jadi mungkin ada baiknya untuk dia mengkhatamkan hubungan dia dengan Trevor. Kurasa pandanganku itu sedikit tidak fair karena aku sendiri kurang suka dengan hubungan mereka.
Tapi aku tidak cemburu kok.
Gengsi.
Apa hasilnya kawan? Seperti yang bisa kawan duga. Kalimat Trevor, satu minggu kemudian menjadi wujud dari pandanganku.
“Kami putus. Putus secara baik-baik. Karena masing-masing tidak bisa menjalani hubungan ini lebih lama.”
“Sofia yang mengkhatamkan?” aku bertanya.
“Bukan, aku.”
Tersentak aku oleh kalimat Trevor itu. Kok bisa?
Mozaik 14
Sesuatu yang Tumbuh
Hari ini, sehari setelah peristiwa Trevor putusan dengan Sofia, aku dipanggil oleh Mbak Fia yang terhormat itu, agar datang menemuinya di sekre. Aku bersiap-siap, karena kurasa itu akan merepotkan.
Pukul 3 sore, aku menemuinya di sekre. Kuliah sudah selesai. Sekre sunyi. Nampaknya Sofia memang memilih saat-saat yang sunyi ini untuk bertemu denganku.
“Jadi, apa yang bisa kubantu?”
Sofia mendongak menatapku. Wajah kami bertemu sekilas, namun aku segera memfokuskan pandangan ke dinding. Astaga, padahal ini sudah pukul 3 sore, kami sudah kuliah seharian, penampilan sudah belepotan, tapi Sofia tetap saja kemilau dan berkilau.
“Duduk dulu Az, jangan tegang begitu. Aku bukan mau menginterogasi kok.”
Aku menghela nafas. Duduk. Perlahan-lahan menatap Sofia, dengan tatapan meminta penjelasan.
“Aku ingin curhat. Berbagi sedikit kisah. Karena kamu sudah mendengarkan sedikit curhatan aku kemarin-kemarin, jadi aku ingin kamu mendengar kelanjutannya.”
“Ini soal Trevor?” aku mendahului.
Sofia mengangguk. “Akhirnya hubungan kami berakhir. Tidak apa-apa. Aku tidak sedih. Aku cuma sedikit kecewa. Kenapa Trevor sendiri yang mengakhiri hubungan ini. Padahal-kan yang naif itu aku. Padahal-kan yang sewajarnya memutuskan adalah aku.”
“Soal itu aku juga tidak tahu pasti, Sofia. Trevor tidak menceritakan apa-apa soal alasan dia mengakhiri hubungan denganmu.”
“Dia bilang padaku,” kata Sofia lagi, menyahut cepat, “persoalan klasik. Dia cemburu melihat aku yang terlalu aktif. Berteman ke sana kemari. Ya sudah, karena aku memang berniat mengakhiri hubungan ini juga, aku terima keputusannya.”
“Kalau begitu masalah sudah klop, Mbak Fia.”
“Tidak. Belum Az. Aku masih menyimpan sejuta pertanyaan dalam pikiranku tentang Trevor.”
“Kalau kamu mengharapkan aku bisa menjawabnya, maka akan kukatakan langsung saja, aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak tahu apa-apa tentang Trevor.”
Aku teringat, Trevor lebih sering curhat dengan Niko ketimbang denganku.
“Az, apakah hubungan kami ini hanya rekayasa Trevor saja?” Sofia menatapku tiba-tiba dengan tajam. Menyelidik. Itu pertanyaan serius. Aku menelan ludah.
Aku berusaha menghindari tatapannya. Bukan karena aku ingin berbohong, tapi aku tidak kuat dengan sensasi yang ditimbulkan olehnya. “Aku tidak tahu, Trevor itu orangnya tertutup, Mbak Fia. Dia jarang menceritakan apa yang sedang dipikirkannya.”
“Kemarin-kemarin, kamu sempat menyinggung soal kesepakatan. Apa maksudnya itu?!” sekarang Sofia berseru-seru. Dia sepertinya marah.
Aku mencoba menenangkannya. “Iya, kemarin-kemarin aku memang mengatur kesepakatan dengan Trevor. Kami, Ciye-ciye-ciye Grup, ingin menyatukan kalian berdua.”
“Nah itu masalahnya Az. Hubungan kami telah direkayasa oleh kesepakatan kalian itu.”
“Astaga Sofia, bukan. Bukan seperti itu. Trevor itu memang menyukaimu. Dia mengakuinya. Tapi dia tidak tahu bagaimana jalan agar bisa PDKT. Berhubung kita berteman di organisasi yang sama, aku bermaksud mendekatkan kalian. Jadi kesepakatan kami itu membantu Trevor, bukan malah merekayasa semuanya.”
Mozaik 15
Duet Azka-Sofia Mengguncangkan UBM
Aku pernah mengenal beberapa perempuan cantik yang gengsian. Untuk mengungkapkan maksud dan tujuan mereka, perlu seribu kata basa-basi, belok sana belok sini. Ujungnya yang dimaksud tidak mengerti, dan yang punya maksud ngambek, dan menyalahkan semua pria di dunia sama saja.
Ah tidak, aku hanya bercanda. Aku cuma mau bilang, SoSofia bukan cewek semacam itu.
“Halo, Tuan Azka yang cerdas,” sapanya di lorong. Dia langsung mensejajarkan langkah denganku.
“Iya, Mbak Fia yang terhormat, ada apa?”
“Mau nulis esai lagi gak? Kolaborasi sama aku.”
Langsung heran aku di detik pertama. Apa kata SoSofia tadi? Kolaborasi menulis esai? Yang benar saja.
“Kenapa kamu tidak ada angin tidak ada hujan, mengajakku nulis, Mbak Fia.”
“Ya, aku juga pengen menang seperti kamu kemarin, Az. Keren. Keren sekali.”
Sial, aku berdecak dalam hati, dia memujiku.
“Baiklah, ayo. Mumpung aku juga tidak terlalu sibuk. Esainya seperti apa? Boleh dijelaskan?”
Aku berucap, aku berlagak, di depan SoSofia, seolah aku adalah seorang penulis esai yang profesional dan berpengalaman. Salah sendiri, rasa percaya diriku meningkat drastis, setelah dia bilang aku keren tadi.
“Ayo kita ke sekre, dan kita bicarakan di situ.”
“Baiklah, ayo.”
Di sekre, SoSofia menjelaskan duduk permasalahannya, esai macam apa yang hendak digarap. Rupanya dia, mewakili persma mendapatkan undangan untuk ikut kompetisi esai di perguruan tinggi tetangga. Masalahnya, kompetisi itu berlevelkan internasional, dan harus ditulis dalam bahasa Inggris.
Bahasa Inggris...
Inggris....
Griss....
Risss....
Berdengung-dengung kata itu dalam kepalaku, lalu detik berikutnya aku sadar, ini bukan sebuah keputusan yang baik.
“Ini adalah keputusan yang nekat, Sofia.”
“Hihi,” dia malah tertawa, cekikikan, “kamu baru tahu ya Az, aku ini memang orang yang nekat.”
“Aku mundur dari rencana ini, Sofia.”
“Loh kok mundur. Janganlah Az. Aku janji bakal membantu, aku tidak hanya numpang nama. Aku janji.” SoSofia bahkan mengulurkan jari kelingkingnya, mengajakku berjanji.
“Ini bahasa Inggris, Sofia. Aku tidak bisa. Terus terang, kemampuan bahasa Inggrisku, sangat jelek.”
“Biar aku yang urus bahasa Inggrisnya itu.”
“Materinya juga susah, Sofia. Tentang pemberdayaan ikan lele ini, mana aku mengerti.”
“Aku akan bantu kamu mempelajarinya.”
“Deadline-nya terlalu mepet, Sofia.”
Kali ini SoSofia tersenyum lebar. Alamak, aku salah memasang alasan di depan orang yang salah. SoSofia adalah seorang editor persma. Dia bisa bekerja secara militan. Jangankan deadline dua minggu, deadline dua jam pun digasnya. Aku tak berkutik.
“Aku janji akan bantu kamu, Az. Sebaliknya, nanti jika kita menang, biar kamu yang mendapatkan pujian tertingginya. Aku jadi pemeran pembantu saja. Yang terpenting, aku dapat pengalaman, dan sertifikatnya.”
Begitulah kawan, polemik kehidupan di universitas. Sertifikat kadang penting sekali. Pernahkah aku menceritakan soal temanku Asep yang rela bepergian dari rumahnya, pukul tiga pagi hanya demi sebuah sertifikat.
Akhirnya aku setuju.
Akhirnya kami menang.
Ha! Kami memenangkan sebuah esai internasional yang ditulis dengan bahasa Inggris. Aku dan SoSofia harus berkolaborasi, bolak balik berkomunikasi, menyatukan ide dan gagasan tentang bagaimana ternak lele bisa jadi sumber devisa negara, tapi semua usaha itu tidak percuma.
Kami menang.
Dari sini aku mulai merintis karier akademikku, sebagai sang bintang terang dari UBM. Dari sini pula, aku menyadari bahwa SoSofia, adalah semacam pintu yang akan menjerumuskan aku dalam petualangan ganjil penuh keberuntungan.
Mozaik 16
Bintang Paling Terang di UBM
Ah seminar lagi. Acara yang mengumpulkan ratusan orang mahasiswa pemuja sertifikat, yang rela bersesakan. Kami ditampung di ruangan besar yang disebut Lecture Theater. Ruangan itu adalah ruangan paling besar, sekaligus paling dibanggakan di FIS UBM. Mengapa jadi paling dibanggakan, sebab ruangan lain, buruknya minta ampun. Mungkin lain kali akan kuceritakan soal buruknya kualitas fasilitas ruangan di FIS, topik itu pernah diliput oleh kawan-kawan persma dan berujung pada ancaman pembredelan.
Apapun itu, kawan, kuliah di universitas manapun, itu selalu menyimpan dinamika. Tidak ada tempat yang benar-benar sempurna untuk kuliah, selama kita masih menginjakkan kaki kita di dunia ini.
Kembali ke ruang seminar.
“Sep bisa ke sana sedikit tidak, sesak sekali nih kursinya.”
“Vor, kau itu duduk sendirian.”
“Iya, tapi sesak sekali aku melihat kau duduk di situ, Sep.”
“Tak ada hubungannya, Vor.”
“Sudah, sudah kalian ini. Ayo kita dengarkan penjelasan narasumber di depan. Kita sudah susah payah mendaftar acara seminar ini.” Niko mencoba menawar suasana, dan gagal.
“Bagaimana kalau kita main tebak-tebakan. Kira-kira berapa kali narasumber akan batuk saat menyampaikan materinya,” usulku. Mereka bertiga kompak menengok.
“Apa maksudmu, Az?”
“Ya tebak-tebakan iseng saja. Juga supaya kita memperhatikan apa yang beliau bicarakan.”
“Ide bagus,” sahut Trevor, “aku tebak beliau akan batuk tiga kali.”
“Aku lima,” sambut Asep.
“Kutebak beliau batuk sekali saja,” kata Niko.
“Aku akan menang tebakan ini,” sahut Trevor, “yang menang tebakan boleh jadian dengan Sofia ya.”
Hadiah taruhan macam apa itu? Aku menyernit. Itu modus Trevor saja. Dan itu hanya manis di ucapan. Dia tidak berani lagi dekat-dekat dengan SoSofia sekarang. Tiap berdekatan dengan SoSofia, dia seperti terkena angin duduk.
Sebenarnya seminar ini tidak terlalu penting bagi kami. Sebab ini adalah seminar untuk mahasiswa semester 2. Sementara kami sudah semester 6. Ini adalah seminar untuk mahasiswa jurusan Bisnis. Sedangkan kami adalah mahasiswa administrasi. Tidak nyambung bukan? Tapi poinnya menggiurkan, lima puluh jumlahnya. Jadi kami sedikit main akal-akalan dan aku melobi Leonardo biar bisa ikut.
Siapa sangka kemudian, narasumber yang tadi coba kami tebak-tebak apakah dia akan batuk atau tidak, ternyata adalah Pak Thom. Aku terkejut untuk itu. Makin terkejut saat melihat materi yang akan beliau bawakan adalah tentang The Game Theory. Itu kan materi dari buku yang kami pelajari di grup diskusi. Begitu beliau berdiri memulai sesi pemaparan materi, mendadak aku yang merasa tenggorokanku kering.
Beliau berdiri, memandang ke arah para mahasiswa, dan ternyata untung tak dapat ditolak, malang tak dapat dielakkan, beliau mengenaliku. Beliau langsung melambaikan tangan.
“Azka, bagus sekali kau datang. Maju kau ke sini.”
Langsung gemetar aku. Namun Pak Thom tidak sedang bercanda, aku benar-benar disuruh maju.
“Bantu bapak menjelaskan tentang Game Theory,” ujar Pak Thom, hangat dan akrab, “namun sebelum itu, mahasiswa sekalian,” Pak Thom menggemakan suara beliau, “perkenalkan, ini mahasiswa saya, kami telah berkolaborasi mempelajari Game Theory ini. Dia Azka, dan dia patut kalian contoh. Dia akan merintis jalannya menjadi bintang terang milik UBM.”
Kontan aku terbatuk-batuk.
Kurasa sekarang di bangku sana, Ciye-ciye-ciye Grup akan menghitung batukku. Bukan lagi batuk Pak Thom.
Mozaik 17
Awal Azka Menjadi Penulis
Gara-gara kemenangan kami di lomba esai internasional itu, aku dan SoSofia jadi buah bibir di UBM. Tambahkan lagi aku yang berbicara di forum seminar publik kemarin itu. Kini nama Azka kerap disebut-sebut dengan hormat oleh para dosen sebagai opsi teratas,untuk digunakan sebagai tumbal penelitian.
Terlepas dari itu baik atau buruk, gara-gara kerja sama esai kami yang cukup gila itu, aku dan SoSofia menjadi lebih dekat. Gadis itu bukan lagi anggota The Big Five yang jangankan mengajaknya ngobrol, dekat-dekat dengannya saja aku tak berani. Seakan ada tabir yang menghalangi. Kini tabir itu telah terangkat, dan kami tak jarang mengobrol sambil berkeliling kampus, karena datang berbarengan. Ah soal datang berbarengan itu kawan, harus kuakui, kulakukan dengan sengaja.
“Dulu, kudengar kamu mau jadi seorang penulis, Az?”
Itu salah satu topik yang paling kuingat dari obrolan isengku dengan SoSofia saat kami jalan-jalan keliling kampung FIS.
“Itu bukan dulu, Mbak Fia yang terhormat. Sampai sekarang, keinginan itu masih tertanam kuat dalam hatiku. Aku ingin menjadi seorang penulis.”
“Penulis apa tepatnya?”
“Penulis novel.”
“Wah itu kedengaran hebat, Tuan Azka yang cerdas. Lalu apa saja yang sudah kamu lakukan, maksudku, langkah-langkah untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.”
Kali ini aku menggeleng suram. Apanya yang langkah-langkah. Satu gerakan kecil saja aku tak ada bergerak untuk mewujudkan naskahku itu jadi sebuah novel yang dibaca banyak orang. Malu aku mengaku di depan sidang pembaca, tapi kawan, lihatlah aku. Lelaki kampung Melayu udik yang miskin, yang rumahnya terpencil nun jauh di pesisir. Mimpi menerbitkan novel masih jadi sebuah utopia bagiku.
“Hei, kok wajahmu tiba-tib tertekuk begitu?”
“Tidak apa-apa, Mbak Fia yang terhormat.”
“Kamu sudah pernah ditolak oleh penerbit ya?”
Aku menggeleng lagi, kali ini diiringi dengan jawaban singkat, “belum.”
“Hei, kenapa kamu mendadak lesu begitu?”
Salah lagi.
“Tidak apa-apa, Mbak Fia. Bisakah kita tidak usah membicarakan hal ini.”
Tiba-tiba saja aku merasa malas membicarakan soal novelku.
“Katakan padaku Az,” SoSofia sepertinya tidak peduli, “sudah berapa novel yang kamu tulis?”
“Delapan belas, atau mungkin sembilan belas.”
“Astaga, itu jumlah yang banyak sekali.”
Ingin sekali kusahuti pada SoSofia, bahwa itu hanya naskah. Aku menulis untuk kesenanganku semata. Dan terutama, untuk mengabadikan seseorang yang telah pergi, meninggalkanku, nun jauh ke sana.
Namun SoSofia justru berpikiran lain.
“Kenapa kamu tidak mencoba untuk mengajukan naskah itu ke penerbit?”
Karena SoSofia tidak henti-hentinya bertanya, aku memutuskan untuk menjawab dengan kepala tegak, “karena naskah itu sendiri tidak layak untuk dibaca, Sofia.”
“Tapi delapan belas, itu jumlah yang banyak, Az. Kenapa kamu tidak coba salah satu, ajukan ke penerbit. Kalau ditolak, dianggap tidak pantas, coba lagi dengan naskah yang lain. Kamu punya delapan belas kemungkinan. Dalam disiplin ilmu probabilitas, kamu berkemungkinan besar untuk berhasil.”
Terpana aku. Lupa aku kalau SoSofia adalah orang yang pintar.
“Baiklah, baiklah. Mungkin nanti akan kucoba.”
“Jangan pakai kata mungkin, Az. Kata mungkin itu hanya dipakai oleh orang-orang yang gagal dalam hidupnya. Orang yang berhasil tidak memakai kata mungkin, mereka memakai kata mencoba, lalu gagal, lalu mencoba lagi.”
Makin terpana aku, SoSofia bicara meninggi, macam pembicara motivasi.
“Ada satu penerbit mayor di pusat kota Az, kamu bisa coba menyodorkan naskah pada mereka. Hanya coba saja, Az.”
Nah kawan, apa peraturan dalam buku ini? Yap, sekali SoSofia sudah membujukku ke dalam sebuah ide-ide muskil, ada saja keberuntungan yang akan menaungi langkahku ke depannya.
Petualanganku menjadi seorang penulis, dimulai dari sini.
Mozaik 18
Bagaimana Rasanya Jadi Penulis, Az?
Menjadi penulis, kawan, kurasa adalah salah satu pekerjaan paling idealis di negara ini. Mungkin sebanding dengan orang-orang yang hendak jadi kaya hanya dengan berkhayal. Sungguh perbandingan yang liar bukan? Apa boleh buat, kawan, negeri ini memang agak kurang peduli lagi dengan para penulis buku.
Tak percaya? Tengoklah, berapa banyak buku bajakan yang beredar bebas di negeri ini.
Namun aku sendiri tidak ambil pusing dengan hal itu. Aku menulis untuk kesenanganku sendiri. Saat menulis aku seolah menemukan duniaku sendiri, maka aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri pula di situ.
Banyak orang mengetahui soal hobiku menulis itu. Termasuk sobatku Lia. Dia adalah editor paling handal untuk naskah-naskah yang kutulis. Lia juga sangat lahap membaca tulisan-tulisanku dan memujinya. Aku senang sekali. Namun sekarang, Lia sudah sibuk dengan pekerjaannya sendiri, jadi dia tidak lagi kulibatkan dalam kegiatan menulisku.
“Maaf ya Az. Kalau kamu mau, kirimkan saja novelmu itu. Nanti kubaca kalau aku ada waktu.”
Frasa ada waktu itu, membuat aku merasa Lia sudah tidak lagi bisa diandalkan.
Dari lingkaran pergaulan sehari-hariku di UBM, Ciye-Ciye-Grup, juga tahu tentang hobi menulisku. Namun mereka tidak bisa diharapkan untuk mendukung kegiatanku itu. Paling yang membaca cuma Niko, itupun cuma sedikit-sedikit. Sepertinya membaca novel bukan gayanya. Adapun Asep, katanya hanya mau membaca apabila aku memasukkan genre cerita dewasa dalam ceritaku.
Mana mungkin aku akan memasukkan genre itu, wahai sidang pembacaku yang budiman.
Aku sering menghabiskan lebih dari sembilan jam hanya untuk menulis dalam sehari. Aku mendedikasikan diriku untuk kegiatan ini sepenuhnya. Biasanya, formula yang kuberikan dalam pekerjaanku ini adalah, satu chapter kutulis selesai, aku akan mengambil istirahat lima belas menit, apa yang kulakukan? Aku membaca novel lain buat inspirasi. Setelah itu aku lanjut menulis lagi. Secara keseluruhan, pengaturan waktuku itu, sudah mirip macam orang kerja rodi. Bayangkan, aku sudah melakukan itu selama tiga tahun terakhir. Bosan? Sudah pasti. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan meninggalkan pekerjaanku itu.
(Tunggu, rasanya aku pernah mendengar kalimat itu dalam sebuah film, maafkan aku, semoga tidak terkena pasal hak cipta).
Sekitar dua tahun yang lalu, aku sempat berharap menemukan dimensi baru dalam kegiatan menulisku saat bertemu dengan Shafa di persma. Kukira, gadis itu akan menjadi orang yang sangat sesuai untuk kegiatan menulisku. Secara dia juga suka menulis. Kupikir, akhirnya aku menemukan orang yang hebat sebagai partner. Aku akan menemukan editor sekaligus pembaca untuk naskah, sekaligus aku bisa jadi editor dan pembaca juga, bergantian. Bahkan kami sempat merencanakan ingin menulis novel bersama.
Sayang, semua berakhir tanpa kejelasan. Shafa sepertinya bukan orang yang tepat untukku. Hubunganku dengannya menghambar, PDKT-ku terpental, dan aku memutuskan menjauh.
Setelah itu, aku kembali menulis, menulis dan terus menulis.
Aku tidak pernah memikirkan bahwa aku akan menyodorkan naskahku ke penerbit. Sejujurnya aku pesimis terhadap masa depanku sebagai seorang penulis.
Lalu datanglah SoSofia, menyodorkan ide gila itu padaku.
Sebelum semua salah paham dan salah sangka, aku tegaskan, aku dan SoSofia bukan partner setara. Aku dan dia hanya bertemu sesekali, kami hanya berbicara sesekali. Kalau bicara soal dukung mendukung aku, SoSofia juga tidak terlalu peduli soal kegiatan menulisku.
Gadis itu diciptakan untuk hal lain. Dia diciptakan untuk menyodorkan hal-hal gila.
Mozaik 19
Penerbit Pertama
Usulan yang diajukan SoSofia itu awalnya aku anggap remeh temeh belaka. Lagipula, naskahku itu menurutku masih jauh dari kata layak untuk dibaca. Jadi buat apa? Tetapi, semakin ke sini, semakin kupikir, SoSofia benar juga.
Apa salahnya aku mencoba?
Akhirnya, antara disengaja atau tidak, aku mulai menelusuri tata cara menerbitkan buku. Kupelajari prosedur penerbitan di penerbit ternama. Penerbit toplah pokoknya. Paling top se-Indonesia. Ini hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya, Kawan. Terus terang, aku belum pernah berpikir untuk menerbitkan naskahku.
Setelah kubaca-baca, rupanya prosedur penerbitan buku di penerbit mayor itu adalah proses yang susah-susah gampang. Sebagian mengandalkan kemampuan sekuat tenaga membuat naskah yang bagus, sebagian lainnya mengandalkan keberuntungan agar naskah itu lolos dari tangan editor dan redaktur.
Baiklah, kalau soal keberuntungan itu, aku berani beradu.
Kusiapkan salah satu naskah yang kuanggap terbaik. Ceritanya tentang seorang pria, yang tanggung kehendaknya, amatir kemampuannya, ingin mendaki gunung, lalu dia jatuh tertungging. Kusunting lagi dengan baik, lalu kumasukkan dalam surel, dan kukirimkan pada penerbit.
Semua online, kawan. Karena ini zaman serba online, kalau kata Paman Asad. (Sekilas info, Paman Asad itu penjaga warung kopi di kampungku). Eh apa, kawan, ceritaku tadi kurang bermutu? Menurutku itu naskah terbaik yang pernah kutulis. Kalau tak percaya, bacalah sendiri nanti.
Seminggu setelah kukirimkan secara online tadi, surelku mendapatkan balasan dari penerbit. Mereka menggunakan pilihan kata yang sangat sopan, tertata dengan rapi, dan memenuhi standar Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sesempurna-sempurnanya. Wajar saja, mereka adalah penerbit terbaik di Indonesia.
Dalam surel balasan itu, tak berbelit-belit mereka bilang, naskahku ditolak.
Selamat, Azka.
“Ada apa, Az? Kok wajah kamu seperti habis ditolak cewek begitu? Eh, atau aku benar?”
Siapa yang menyapa begitu? Tentu saja SoSofia. Kami bertemu lagi di lorong. Bagai telah disurati oleh takdir. Kali ini, itu membuatku jengkel, kawan.
“Jangan menggangguku, Sofia.”
“Hei, aku serius.”
Aku terus berjalan. Aku tidak mau berurusan dengan SoSofia dulu. Aku tidak ingin mencoba-coba peruntungan lagi.
“Tuan Azka yang cerdas, kamu tidak berbakat menyembunyikan perasaan. Siapa yang baru saja menolakmu heh? Shafa?”
Heran aku, bagaimana SoSofia bisa menyebutkan nama. Lekas-lekas kutangkis. “Delapan huruf, Mbak Fia yang terhormat, penerbit.”
SoSofia terkesiap, “eh kamu benar-benar mengirimkan naskahmu ke penerbit?”
“Iya, aku mencobanya tadi malam.”
“Sukses?”
“Sudah jelas, kamu bahkan bisa menebaknya dari awal tadi.”
“Ah itu baru kesempatan pertama Az. Ayo coba lagi.”
Inilah yang kumaksud dengan SoSofia yang suka menjerumuskan aku untuk beradu keberuntungan.
“Tidak hari ini, Mbak Fia.”
“Az,” dia membentangkan tangan, menjegal langkahku, “aku serius. Kamu punya delapan belas naskah, berarti minimal harus delapan belas kali mencoba.”
“Ada apa sebenarnya kamu ini, Mbak Fia. Kenapa kamu yang begitu bersemangat.”
Kali ini SoSofia terpaku sebentar. Bukan karena tidak bisa menjawab pertanyaanku, melainkan karena di depan situ, Ciye-Ciye-Ciye Grup sedang duduk. SoSofia tidak mau berurusan dengan David, eh salah, maksudku, dengan Trevor.
Mozaik 20
Skripsi Azka Tuntas
Di sela-sela kesibukanku menulis, skripsiku berhasil kutuntaskan. Tentu saja, kawan, setelah bolak-balik berkonsultasi dengan Pak Thom, berkali-kali turun ke lapangan, memeriksa data-data, aku berhasil menyelesaikan tugas akhirku sebagai seorang mahasiswa.
Jelas sekali, sebanyak apapun novel yang telah kutulis, aku tetap tercatat sebagai mahasiswa di UBM. Aku harus menyelesaikan tugas akhirku, agar aku bisa lulus, agar aku bisa jadi sarjana. Sebelum usai semester tujuhku, akhirnya skripsiku selesai. Hal itu ditandai dengan perkataan Pak Thom yang di telingaku terdengar seperti mandat seorang suhu kuil Shaolin hendak mewariskan pesan berharga untuk muridnya.
“Skripsimu sudah bagus, Azka. Minggu depan kamu boleh maju untuk ujian. Lekas kamu siapkan semua persyaratannya, secepatnya kamu lengkapi semua berkasnya.”
“Siap Pak, beribu-ribu terima kasih, Pak.”
Pak Thom menyeringai. Beliau juga tahu, aku adalah seorang penulis.
Keberhasilanku menyelesaikan skripsi itu, kurayakan bersama-sama Ciye-Ciye-Ciye Grup di salah satu kafe di pinggiran kota. Niko, Asep dan Trevor, mereka semua datang. Datang dengan tatapan iri.
“Enak betul kau, Az. Sudah boleh maju, sudah boleh ujian. Tahu-tahu nanti kau lulus, dapat kerja, lalu menikah, dan punya anak berderet.”
“Kejauhan kau itu Sep,” aku melambaikan tangan, “apanya yang punya istri, punya pacar saja aku tidak.”
“Eh kau masih jomblo kah Az? Kukira kau jadian dengan siapa itu namanya, SoSofia?”
“Ehem,” Niko lekas berdehem, menyelamatkan suasana. Asep kalau sedang bercanda, suka tidak tahu tempat dan waktu.
“Jadi Az, mau kemana kau setelah ini?”
“Tentu saja setelah ini aku pulang ke rumah lalu mandi, Ko.” Aku menyeringai. Niko tertawa. “Bukan begitu, maksudku, Az. Maksudku karier. Kamu mau kemana sehabis ini? Setelah lulus dari UBM.”
“Kerja di perusahaanku saja, Az. Aku yakin kau bisa jadi budak korporat yang potensial.”
“Jangan Az, jangan kerja di swasta. Tak pasti masa depan. Mending jadi PNS,” Asep lekas menepis kalimat Trevor. Jadi PNS, seperti resolusi tertinggi hidup Asep.
“Aku tidak berminat jadi PNS, Sep. Maaf. Kita berbeda prinsip untuk yang satu ini.”
“Tidak apa, Az. Malah bagus,” tukas Asep, “berkurang sainganku untuk tes nanti.”
Logika Asep ada benarnya. Niko melempar opsi lain. “Atau barangkali kamu mau melanjutkan pendidikan, Az? Kuliah S2, lalu mengajar di UBM, jadi dosen.”
“Nah itu juga bagus Az, bisa jadi asisten Pak Thom kau. Ah atau malah pengganti Pak Thom sekalian.”
“Tapi Az,” sahut Asep lagi, kalau kau jadi dosen, itu artinya PNS juga, Az. Kau menyalahi prinsip kau nanti.”
“Kelihatan betul, Sep. Kau sedang mengurangi saingan.”
“Jelas, Ko. Azka ini kalau memasuki pertandingan, dia ini bakal menang. Dia pilih tanding. Dia tidak terkalahkan.”
Aku sendiri menghela nafas. Ini tidak jadi perayaan. Aku justru menemukan pertanyaan besar.
Apa yang akan kulakukan setelah lulus dari UBM?
Mozaik 20
Penerbit Kedua
Kembali ke obrolan isengku dengan SoSofia di lorong. Aku melontarkan pertanyaan, yang sebenarnya iseng saja, dan akhirnya mengarah lagi pada SoSofia yang menawariku ide-ide nekat penuh taruhan keberuntungan.
“Mau jadi apa kamu setelah lulus dari UBM, Mbak Fia yang Terhormat?”
“Aku, entahlah Az. Aku belum memutuskan. Antara kuliah ke luar negeri melanjutkan studi, atau mencari pekerjaan saja.”
Dengarkan kawan, betapa enaknya seorang SoSofia Nur Iman mengoceh soal kuliah ke luar negeri . Penulis novel motivasi yang berapi-api, pasti tersindir habis-habisan di sini.
Hanya masalah waktu saja, sampai SoSofia kemudian menyinggung soal itu. Pertanyaan yang mematikan. “Kamu sendiri mau apa setelah lulus, Tuan Azka yang cerdas?”
Kujawab tidak tahu, ada lagi kalimatnya menyusul. “Coba menerbitkan naskahmu itu saja, Az. Coba dulu.”
“Tidak adakah hal lain yang bisa kamu katakan, Mbak Fia?”
“Oh tentu ada, kamu juga bisa mencoba melanjutkan studimu. Kamu bisa lanjut S2, di luar daerah atau bahkan luar negeri, lalu pulang ke UBM dan jadi dosen di sini.”
“Itu opsi yang agak aneh menurutku, Sofia.”
“Loh kok aneh?”
“Karena itu jauh panggang dari api. Sejak semester 1, tak pernah terpikir olehku, untuk kuliah S2.”
Sebab yang kupikirkan hanya bagaimana mencari pengganti Syifa.
“Ah begini saja, Tuan Azka yang cerdas, begini saja. Kamu ajukan dulu novel kamu itu ke penerbit, lalu sambil mencoba-coba, kamu bisa berburu beasiswa. Nanti kamu bisa jadi penulis terkenal, sekaligus kuliah ke luar negeri, bagaimana, keren bukan?”
Aku menggeleng. Ada-ada saja, SoSofia ini. Ada sih aku ingin mencoba menerbitkan sekali lagi. Mencoba di penerbit yang lebih minor, tapi tidak terlalu kecil juga. Penerbit itu punya kantor di kota-kota besar di Indonesia. Aku sudah pelajari prosedurnya. Okelah saran SoSofia soal penerbitan itu, kuanggap membantu mendorongku lebih produktif. Namun, soal kuliah di luar negeri, sepertinya itu agak mustahil.
Aku tak ada bayangan bisa kuliah ke luar negeri. Bahasa Inggrisku saja masih belepotan.
Kau tahu apa yang terjadi berikutnya, kawan? Yap, dua-duanya terbukti. Dan yang paling mengejutkan justru, SoSofia tetap ada di sana, menawarkan opsi-opsi gila.
Mozaik 22
Sayang Sekali Azka
Hari ini aku naik ke rektorat UBM. Ada sesuatu yang harus kuurus. Jangan bertanya lebih jauh kawan.
Rektorat UBM adalah salah satu gedung yang paling jarang aku masuki di universitas ini. Siapa pula yang mau masuk ke gedung ini? Memangnya aku mau menemui rektor? Tapi hari ini, beda ceritanya.
“Humadi Azka, dengan nilai sebagus ini, kamu punya prospek masa depan yang cerah. Apakah setelah ini kamu akan melanjutkan ke tingkat magister?”
Petugas administratif rektorat yang tadi menyelesaikan urusanku kini mengajakku berbincang. Semua gara-gara transkrip nilaiku yang kata sebagian orang memukau. Menanggapi pujian dari beliau, aku hanya bisa mengangguk-angguk tanggung.
“Entahlah Pak. Saya masih belum memikirkan tentang itu.”
“Sayang sekali jika nilai ini didiamkan begitu saja, Azka. Kamu bisa mengambil jurusan magister administrasi di UBM, atau barangkali di universitas di Jawa sana. Jika kamu bisa menuntaskan studi hingga S2, kamu bisa jadi aset akademik bagus bagi UBM.”
Aku terkekeh. Ternyata setelah panjang-panjang memuji dan memberi saran, mereka ingin memanfaatkan aku. Dasar tidak berperasaan.
“Akan saya pikirkan tentang itu Pak.” Aku cepat-cepat merapikan semua berkas yang tadi kubawa. Lalu buru-buru pamit.
“Baiklah. Semoga sukses Azka.”
Aku keluar dari ruangan beliau.
Sejujurnya aku ingin santai sejenak. Mungkin menepi setahun dua tahun. Mengasah kemampuan menulisku. Sama sekali tak terpikir bagiku untuk meneruskan pendidikan ke jenjang S2. Cukup di UBM saja, aku menghadapi tekanan demi tekanan.
Sayang sekali, ada banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusanku itu.
Malam harinya, teleponku berdering. Pak Thom. Aku garuk-garuk kepala. Setengah berdecak. Apa lagi yang beliau rencanakan. Jangan-jangan aku akan diminta jadi anggota staf beliau seperti Kak Kurnia. Ragu-ragu kuangkat telepon beliau.
“Malam Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Malam Azka. Saya sedang terpikirkan mengenai skripsi yang kemarin kau angkat itu. Rasanya saya ingin meneruskannya menjadi sebuah penelitian. Bisakah besok kau datang ke ruangan saya untuk membicarakannya?”
Tuh kan. Setiap hal yang datang dari Pak Thom selalu merepotkan. Tapi aku tidak punya banyak pilihan. Segera kusanggupi.
Aku datang ke ruangan Pak Thom, salah satu ruangan terbaik di Gedung Baru FIS. Pukul 9 tepat. Tidak terlambat satu detik pun. Ketika aku membuka pintu, Pak Thom sedang santai menyeruput kopi. Melihat aku masuk, beliau menentengkan cangkirnya.
“Pagi Azka. Mari minum kopi dulu.”
“Pagi Pak. Terima kasih.”
“Mau saya pesankan kopi dulu?”
Aku menggeleng, “maaf Pak, saya bukannya ingin menolak. Hanya saja saya tidak terbiasa minum kopi.”
“Kau ini Az. Banyak sekali kebiasaan yang bertolak belakang dari saya. Saya merokok, kau tidak. Saya suka kopi, kau tidak. Lalu apa yang biasa kau lakukan saat bersantai?”
“Saya biasa bersantai sambil membaca novel Pak.”
Pak Thom tertawa kecil. “Yang satu itu kita juga bertolak belakang, Azka. Baiklah, nanti kita cari kesamaan agar kita bisa bersantai sejenak. Mungkin kita bisa berkemah di gunung. Tapi nanti saja itu kita bicarakan. Mari kita bahas soal skripsimu.”
Aku mengangguk. Padahal tadi siap menyahuti bahwa berkemah di gunung juga bertolak belakang dengan kebiasaanku.
Kami segera membahas soal skripsi. Pak Thom benar-benar serius ingin menindaklanjuti penelitian yang telah aku lakukan untuk skripsi. Aku bersiap-siap kebagian repot. Tapi rupanya Pak Thom punya rencana lain.
“Tidak Azka. Kali ini kau punya bagian lain. Serahkan saja penelitian ini pada saya dan Kurnia. Kami akan menindaklanjuti penelitianmu. Kau cukup beri izin. Nanti jika tembus jurnal internasional, saya pastikan kau akan kebagian untung juga.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak?” sahutku. Nyaris tidak percaya. Tidak biasanya Pak Thom tidak membuatku repot.
Pak Thom mengaduk-ngaduk isi lacinya sejenak. Mencari sesuatu. “Ini urusan kau Az,” beliau mengeluarkan sebuah amplop putih.
“Apa ini Pak?”
“Ini adalah informasi tawaran beasiswa dari Utara University. Untuk tingkat magister. Ada alur pendaftarannya di sana. Saya ingin kau masuk ke universitas itu Azka.”
Aku ternganga tak percaya.
“Utara University adalah tempat saya kuliah magister. Saya lulus di sana. Universitasnya bagus. Saya berani rekomendasikan. Saya yakin kau pantas mendapatkan kesempatan untuk kuliah di sana. Segera siapkan semuanya. Bergeraklah menggapai kesempatan.”
Gemetar aku menerima amplop putih itu.
“Bicarakan juga dengan orang terdekatmu, Azka.” Demikian pesan dari Pak Thom ketika aku meninggalkan ruangan beliau.
Utara University itu bukan universitas sembarangan. Letaknya saja di Malaysia sana. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui peluang beasiswa kuliah di sana. Sekarang peluang itu ada di depan mataku. Aku hanya tinggal belajar dan ikut tes.
Tapi, bukannya tadi aku ingin bersantai?
Bingung dengan pilihan ini, aku memutuskan menemui Ibu Qotrun Nada. Beliau adalah salah satu orang terdekatku. Aku ingin berbagi cerita. Siapa tahu Ibu bisa memberiku jalan keluar.
“Masya Allah Az. Kamu harus ambil kesempatan besar ini. Pokoknya ibu doakan jalan lapang membentang di depan kamu demi meraih beasiswa ini.”
“Tapi Bu, Azka ingin bersantai.”
“Hush, ini adalah kesempatan emas Az. Jangan disia-siakan. Kamu ingat peribahasanya, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”
Aku rasa negara ini agak tidak adil dalam soal peribahasa.
Mozaik 23
Bujukan dari Ciye-ciye-ciye Grup
Kau tahu kawan, aku masih bingung. Menyambut tawaran beasiswa itu atau tidak.
Kau boleh pula mengatakan aku “agak gila” kawan. Semua orang di sekelilingku yang telah tahu bahwa aku mendapatkan tawaran beasiswa di Utara University, langsung mendukung. Sedangkan aku sendiri ragu-ragu. Kenapa kesempatan emas itu harus dilewatkan, demikian alasan mereka.
Tapi kawan, kau tidak perlu repot-repot mengataiku gila, karena Ciye-ciye-ciye Grup telah mengatakannya lebih dulu.
“Kau, mau menolak tawaran itu? Kau gila Az!”
Nah apa kataku. Kata-kata itu terlontar dari mulut Asep Berlian Purnama ketika kami terhubung lewat telepon. Aku sengaja mengajak mereka bertemu via suara, karena ingin minta saran dari mereka.
“Kurasa sebaliknya Sep,” sahutku setenang mungkin, “aku sangat waras. Aku memilih untuk berpikir-pikir dulu. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.”
“Apalagi yang kau pikirkan Az. Kau sudah berada di jalur yang tepat. Kereta yang tepat. Kau bahkan sudah punya rutenya. Kau tinggal naik. Duduk nyaman.”
Di sela-sela kemuntab-annya, Asep memasang teori yang amat menarik.
Aku menghela nafas. “Pergi kuliah ke luar negeri tidak segampang yang terlihat Sep. Berpisah dengan banyak orang. Pergi ke lingkungan baru. Beradaptasi. Tambahkan menghadapi perkuliahan magister, itu pasti susah dan merepotkan. Padahal-kan aku ingin bersantai sejenak.”
“Astaga. Sejak kapan Azka berubah jadi... Pemalas. Padahal kan kau sendiri adalah orang paling rajin yang kukenal. Gila kerja. Bahkan bisa menyelesaikan 7 pekerjaan sekaligus. Apa yang terjadi Az?”
Asep masih marah-marah. Kubiarkan saja. Tidak kuanggap serius. Lagipula memang ini tujuanku mengobrol dengan Ciye-ciye-ciye Grup. Dengan mereka aku bisa mengadu argumenku. Kalau dengan Ibu Qotrun, mana berani aku.
“Aku setuju dengan Asep, Az. Sebaiknya kau memang harus mengambil tawaran ini. Kesempatan emas. Kesempatan emas tidak datang dua kali,” itu suara Niko.
“Tetap saja Ko. Aku masih merasa berat menjalankannya.”
“Ah aku tahu. Kau tidak mau berpisah dengan doi yang ada di sini. Benar bukan Az?”
Alamak. Asep menjuruskan obrolan ke situ. Buru-buru aku mencari alasan untuk menutup pembicaraan. Asep bisa dengan kreatif menghubungkan hal ini dengan Sofia, dan jika nama Sofia disebut, maka urusan ini bisa jadi runyam.
Meski malu-malu kuakui, keberadaan gadis itu, juga turut mempengaruhi keputusanku saat ini.
Pagi hari. Aku kembali ke kampus. Sekarang ada urusan dengan dekanat. Tapi bukan itu poin pentingnya. Saat turun ke lantai satu, aku berpapasan dengan Kak Kurnia. Asisten pribadi Pak Thom.
“Eh Azka, bagaimana tawaran beasiswa dari Pak Thom? Sudah kamu pertimbangkan baik-baik?”
Astaga, kenapa Kak Kurnia ingin membahas soal ini sih.
“Eh iya kak. Tapi aku masih berpikir-pikir.”
“Ambil saja Az. Tidak usah pikir panjang. Ini tawaran yang besar. Jangan disia-siakan. Kamu beruntung. Aku saja saat lulus tidak ditawari apa-apa oleh Pak Thom. Malah diangkat jadi asisten pribadi. Disuruh ini itu. Nah kamu sekarang ditawari beasiswa keluar negeri. Kamu tidak boleh menyia-nyiakannya.”
Panjang lebar Kak Kurnia menceramahiku pagi-pagi. Mengulang kata-kata yang sedari kemarin bosan kudengar. Tapi aku agak bersimpati pada keluhan beliau yang terakhir. Kasihan juga Kak Kurnia, diangkat jadi asisten. Disuruh-suruh.
“Baik kak. Nanti aku pertimbangkan lagi.”
“Pastikan kamu mengambil keputusan yang benar ya Az.”
“Iya kak.”
“Ya sudah, aku mau lanjut kerja dulu.”
Kemudian Kak Kurnia melangkah masuk lift. Aku melanjutkan perjalanan. Ada janji dengan Ciye-ciye-ciye Grup di gerobak pentol Paman Jhon. Aku bergegas ke SBC.
Tapi saat aku sampai, hanya ada Trevor di sana.
“Lho kok cuma kau Vor? Mana Asep dan Niko?”
“Belum sampai mungkin Az. Duduk dulu.” Trevor mengangsurkan kursi plastik. Paman Jhon bertanya aku mau makan apa. Kulihat Trevor belum memesan, jadi aku juga menunda pesanan. Sampai Niko dan Asep sampai.
“Kau sebaiknya memang menerima beasiswa itu Az.” Trevor lamat-lamat bicara. Heran juga aku. Kemarin-kemarin Trevor tak berminat membahas soal ini. Malam tadi dia juga cuma diam.
“Alasannya Vor?”
“Ya aku setuju dengan Asep, sayang sekali jika kau melewatkan kesempatan ini. Kesempatan emas.”
“Aku tidak melihatnya seperti itu Vor. Yang kulihat itu justru tumpukan kesibukan dan rutinitas yang merepotkan.”
“Ah jangan berpikir begitu Az. Tidak baik. Sama saja kau negative thinking. Kau seharusnya berpikir yang baik-baik. Misal, kau bayangkan begini. Saat kau lulus nanti, kembali ke Indonesia, kau adalah Humadi Azka, bintang terang UBM, magister lulusan luar negeri. Kau jadi orang hebat Az. Kau kerlingi mata saja, gadis-gadis pulau Borneo ini bisa jatuh hati padamu. Wah jangan-jangan Sofia pun jatuh hati padamu Az.”
Terperanjat aku karena nama Sofia disebut. Sekuat tenaga, aku yakinkan diriku, agar tidak salah tingkah.
Mozaik 24
Akhirnya Aku Setuju
Rupanya aku memang orang yang perlu diyakinkan kawan. Ungkapan itu juga sepertinya kontradiktif, karena aku benar-benar susah diyakinkan. Perlu sosok kunci untuk meyakinkan aku untuk benar-benar mengambil beasiswa yang ditawarkan Pak Thom itu.
Orang itu adalah Sofia.
Hari H pendaftaran beasiswa dan tes semakin dekat. Aku masih belum yakin apakah mengambil tawaran ini atau tidak. Ini sungguh sebuah keputusan yang sulit kawan. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Sofia, entah apa hubungannya hal ini dengan dia, tapi dia jelas meloncat-loncat saking senangnya, saat kukabari lewat telepon.
“Itu kesempatan yang sangat bagus, Tuan Azka yang cerdas. Kamu harus mengambilnya. Ini cocok sekali untukmu.”
“Tapi aku masih punya banyak kebimbangan Mbak Fia yang terhormat. Kuliah di luar negeri itu bukan hal yang enteng.”
“Sepertinya kamu terlalu banyak berpikir Az. Sudah, ikuti saja kataku ini. Kamu harus mengambil kesempatan ini. Tidak boleh tidak.”
Sembarangan saja dia bicara.
“Bagaimana kalau kita ketemu di satu tempat, nongkrong santai, Mbak Fia?” tawarku nekat.
“Eh kenapa kamu tiba-tiba mengajakku nongkrong?”
“Sekalian aku jelaskan padamu, apa-apa saja yang ada di dalam pikiranku ini. Kamu harus tahu bahwa semua yang kupikirkan ini logis, kuliah di luar negeri itu tidak semudah kelihatannya.”
“Aku curiga. Jangan-jangan kamu menyiapkan Trevor di sana. Aku tidak mau Az.”
“Aku jamin tidak ada Trevor. Hanya kita berdua.”
Bisa kudengar Sofia bergumam sambil menutup telepon. Kurasa dia bilang aku ini gila. Ya dan kurasa kegilaanku sudah bertambah. Aku nekat mengajak Sofia jalan berdua. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu.
Percaya atau tidak kawan, hari itu adalah kali pertama bagiku mengajak seorang Sofia nongkrong berdua saja di kafe, di pusat kota. Percaya atau tidak pula, itu menegaskan bahwa hubungan pertemanan di antara kami berdua memang terjalin erat.
Aku berusaha tenang. Bersiap-siap menyambut kedatangan Sofia. Karena aku tidak bisa menduga, se-memukau apa nanti dia saat datang.
Sofia benar-benar datang. Dan dia benar-benar memukau. Melihat dandanannya hari ini, aku berujar pelan dalam hati, “pantas saja Trevor angkat tangan dengan gadis ini.
“Hai Az, kuharap kamu belum lama menunggu?” sapanya. Menyempurnakan duduk di depanku. Lalu secara simultan aku menggeser posisi duduk. Agar tidak terlalu menghadap Sofia. Meja itu bundar.
“Hei, kenapa kamu tiba-tiba menggeser posisi duduk? Ada yang salah?” Sofia melotot.
“Eh tidak, Mbak Fia yang terhormat. Hanya saja, apa kamu selalu tampil anggun seperti ini setiap keluar rumah?”
Sofia terkekeh mendengar kalimatku barusan. “Tadi pagi kamu mengajak aku keluar, nongkrong. Sekarang kamu memuji penampilanku. Tuan Azka yang cerdas, sepertinya beasiswa itu membuatmu jadi sinting. Kurasa ini gejala serius.”
Aku ikut terkekeh. Selera humor Sofia bagus juga.
“Tidak ada masalah kan? Lagipula penampilanmu hari ini memang patut dipuji. Kamu bisa membuat siapa yang tidak kuat jadi sempoyongan, Mbak Fia yang terhormat.”
“Sudah, sudah,” Sofia menaruh tangannya ke atas meja, mengetuk meja, “mari kita obrolkan sesuatu yang lebih serius. Terutama soal beasiswa kamu itu Az. Astaga, apa yang sebenarnya kamu pikirkan, kamu punya...”
“Ke luar negeri itu tidak semudah kedengarannya, Mbak Fia. Ada banyak hal yang kupikirkan. Adaptasi lingkungan, adaptasi pembelajaran, kesibukan baru, rutinitas baru, gaya bahasa, gaya makanan, gaya hidup. Macam-macam. Tidak semudah itu.”
Sofia menggeleng-gelengkan kepalanya. Berdecak. “Semua alasan yang kamu pakai itu tipis sekali Az. Cukup butuh satu kunci untuk mengatasi semua itu.”
“Apa itu?”
“Jalani saja semuanya.”
“Sungguh itu tidak mudah.”
“Tapi jika kamu menolaknya, apakah itu akan jadi jalan yang mudah Az? Bayangkan, jika kamu menolak kesempatan ini, kamu boleh jadi mengecewakan banyak orang. Mengecewakan Pak Thom, Kak Kurnia, teman-temanmu, bahkan aku juga akan kecewa jika kamu tidak mengambil kesempatan ini.”
Aku menarik nafas. Lamat-lamat memandang wajah Sofia. Hanya sekilas dan sedetik.
“Aku merasa sendirian dalam urusan ini, Mbak Fia. Mungkin hal itu yang agak mengganjal.”
“Maksudmu?”
“Ya, aku sendirian dalam mengurus beasiswa ini. Tidak berteman. Kamu sendiri tahu bukan, tiga setengah tahun terakhirku di UBM, segala sesuatu selalu kulalui bersama Trevor, Niko dan Asep. Mereka teman-teman terbaikku. Aku tidak bisa memutuskan sesuatu tanpa mereka.”
“Kalau begitu, aku akan menemanimu dalam urusan ini. Kapan tanggal pendaftarannya Az, ayo aku temani kamu ke sana. Aku akan temani kamu tes, aku akan temani kamu belajar jika perlu.”
“Kamu serius, Sofia?”
Tentu saja aku heran dengan Sofia. Tapi dia mengangguk mantap. “Tentu saja, karena aku bakal sangat kecewa jika kamu melewatkan kesempatan ini.”
Mozaik 25
Bismillah, Soal yang membelit Perut Lagi
Hari H tes.
Sebagaimana yang telah kulihat dalam surat panduan tes mendaftar ke Utara University yang telah diberikan Pak Thom kepadaku, aku tahu bahwa tes ke Utara University akan mengandungi dua macam tes. Yaitu tes akademis dan tes kepribadian. Dua-duanya dilakukan secara tertulis. Tidak ada wawancara. Menurutku ini cukup unik.
Sofia sebagaimana janjinya, benar-benar membantuku datang ke tempat tes tersebut. Wajahnya tersenyum-senyum. Kerudungnya berwarna biru laut. Dandadannya modis bukan main.
“Kamu sudah belajar, bukan? Tuan Azka yang cerdas.”
Aku setengah mengangguk, setengah lagi menggeleng.
“Lho kok kamu seperti ragu begitu? Jangan pernah ragu, Az.”
Bagaimana aku tidak ragu kawan. Tes ini mengandungi misteri. Aku sama sekali tidak tahu soal macam apa yang akan diujikan, tidak ada kisi-kisi, tidak ada bocoran materi apapun. Saat kucoba mencari informasi soal kisi-kisi, yang keluar malah artikel dengan judul menakjubkan:
UTARA UNIVERSITY, SATU-SATUNYA UNIVERSITAS DI ASIA TENGGARA YANG TIDAK PERNAH MEMBOCORKAN MODEL SOAL UJIAN MASUKNYA
Luar biasa bukan kawan.
Ketika kuceritakan hal itu pada Sofia, dia malah tersenyum-senyum. “Itu berarti kamu tidak salah pilih kuliah di sini nantinya, berarti Utara benar-benar bukan tempat yang sembarangan.”
Aku menghela nafas. Aku gugup. Bahkan dibanding melihat dandanan Sofia hari ini, aku jauh lebih merisaukan ujian tes masuk itu.
Ketika kami sampai di lokasi tes, ada belasan orang yang memadati halaman. Ruangan berkaca gelap itu masih terkunci. Masih 15 menit sebelum jadwal tes dimulai. Tes ini benar-benar serius. Segala detailnya membuat aku semakin tertekan.
“Kuhitung-hitung, cuma ada sembilan belas orang yang ada Az, itupun mungkin sebagiannya, seperti aku, hanya mengantar. Berarti saingan kamu tidak banyak.”
“Iya, di sini Mbak Fia. Tapi kalau diakumulasikan ke seluruh Indonesia, jumlahnya tetap banyak.”
Sofia manggut-manggut. Benar juga sih.
Akhirnya pintu ruangan terbuka.
“Tuh, ayo masuk Az. Jawab semua pertanyaan dengan baik. Libas semuanya, Oke?”
“Kamu terlalu bersemangat, Mbak Fia.”
“Hei, tunjukkan pada mereka, bahwa kamu adalah Tuan Azka yang cerdas, bintang terang milik UBM. Jangan ragu, aku ada di sini. Mendukungmu.”
Diiringi dengan senyum dari Sofia, aku masuk ke ruang tes, bersama belasan orang yang tadi duduk di halaman. Kam segera berhadapan dengan komputer. Seorang pria berpakaian formal, dengan jas hitam menjelaskan prosedur tesnya pada kami.
“Selamat datang, calon-calon cendikiawan bangsa. Saya, Anton, akan membantu menjelaskan prosedur tes pada kalian hari ini. Sesuai prosedur resmi dari Utara University, tes masuk ke Utara adalah dengan melewati dua macam tes. Tes akademis dan tes kepribadian. Keduanya akan kalian jawab dengan komputer yang kalian hadapi masing-masing.
Tes akademis berisikan 20 soal. Bentuknya pilihan ganda. Pilihlah apa yang menurut kalian benar, kemudian cantumkan alasan kalian di kolom yang telah tersedia. Saya ingatkan, bahwa yang demikian itulah, prosedur di Utara University.
Tes kepribadian juga berisi 20 soal. Bentuknya juga pilihan ganda. Pilihlah apa yang menurut kalian paling mewakili diri kalian. Setiap kalian memilih satu jawaban, sistem komputer akan memberi satu pertanyaan susulan yang berhubungan dengan pertanyaan tersebut. Saya ingatkan bahwa yang demikian itulah, prosedur di Utara University.
Jawablah dengan tenang, dan meyakinkan. Sebab impian kalian bergantung pada kemampuan kalian menyelesaikan tes ini. Hasil tes akademis akan dibagikan di tempat ini, satu bulan dari sekarang, tapi hasil tes kepribadian, tidak akan diumumkan. Saya ingatkan sekali lagi, bahwa yang demikian itulah, prosedur di Utara University.”
Tentu sedikit banyak peserta tes merasa lucu dengan kalimat-kalimat Pak Anton barusan. Beliau tersenyum-senyum saja. Meminta kami menyalakan komputer. Langsung disambut dengan soal.
“Silakan dijawab. Saya akan meninggalkan ruangan ini. Kalian tidak perlu diingatkan bukan? Bahwa mencontek tidak ada dalam prosedur di Utara University.”
Semua mata jeri dengan kalimat gertakan Pak Anton yang nadanya kuat sekali itu.
Aku perlahan membaca. Lalu perlahan ada sesuatu yang berubah. De javu melanda diriku. Aku pernah melihat soal-soal model begini. Di sebuah ruangan bercat jingga, nyaris 4 tahun yang lalu. Oh ini benar-benar sebuah situasi yang mirip.
Seperti UTBK, perlahan soal-soal itu membelit perutku.
Bismillah, aku mulai mengerjakan.
Mozaik 26
Ragu, sangat Ragu
Aku benar-benar pesimis kawan.
Aku tidak menjawab semua pertanyaan dengan meyakinkan. Beberapa soal tes akademis itu malah aku jawab dengan alasan yang dilogikakan saja. Padahal kita sama tahu kawan, dunia akademis adalah dunia yang empiris. Segala sesuatu harus ada dalil. Susah bagiku untuk “melawan” ribuan peserta dengan argumen seadanya.
Keraguanku itu ternyata telah diperkirakan oleh Pak Thom. Hari ini, saat kebetulan aku menghadap ke ruangan beliau, beliau mengajakku mengobrol tentang hal ini. Opsi cadangan.
“Saya punya kenalan di Pascasarjana UI, bila kau gagal dalam tes beasiswa di Utara, saya akan mendaftarkan kau ke sana.”
Aku tidak berani menatap Pak Thom yang pasti sedang menghembuskan asap rokok itu. Perasaanku tidak enak.
“Saya rasa, saya tidak perlu dibantu sampai seperti itu Pak. Saya jadi tidak enak hati.” Aku berujar pelan.
“Tidak apa-apa. Saya sangat menyayangkan bila penelitianmu yang sudah sangat bagus itu, harus terhenti di sini. Kau harus lanjutkan Azka. Bila kau terus melanjutkan perjalanan ini, siapa tahu di masa depan, UBM, Bumi Melayu atau bahkan Indonesia bisa memiliki cendikiawan yang bersinar.”
“Tapi pak...”
“Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai seorang dosen Az, mencoba mencari bibit baru cendikiawan untuk negeri ini.”
Selaan Pak Thom yang terakhir bernada cukup keras. Aku menunduk. Tidak berani lagi berbicara. Kak Kurnia yang sedang mengetik sesuatu di meja kerjanya, terhenti sejenak.
“Atau kau tidak suka Jakarta? Mungkin kau mau ke UGM? Saya juga punya kenalan di sana. Tapi beasiswanya lebih susah untuk tembus.”
Aku masih diam.
“Sekali saya tegaskan, Azka. Saya ingin menolongmu. Saya ingin kau melanjutkan perjalanan. Sebab saya tahu, kau berjalan di jalan yang benar. Beda dengan Kurnia. Orientasinya adalah uang.”
Kak Kurnia tergelak di seberang meja sana.
“Terima kasih Pak. Saya pikir saya akan pikir-pikir lagi setelah mengetahui hasil tes Utara University. Saya permisi Pak.”
Aku meninggalkan ruangan Pak Thom. Daripada aku semakin merasa tidak enak hati.
Sebenarnya kenapa aku harus kuliah S2? Bukankah ujung-ujungnya juga bakal bekerja juga?
Aku membaringkan diri di atas tempat tidur. Di kamarku.
Tiba-tiba detik-detik alam semesta melambat. Perlahan tapi pasti, sesuatu terbentuk, tepat berdiri di depan pintu. Dia Syifa? Aku mengucek-ngucek mata. Tidak. Kurasa aku sedang berhalusinasi.
“Aku bukan halusinasi Az,” katanya, tersenyum kecil kepadaku. Aku terperangah. Apa-apaan ini?
“Apa yang kamu lakukan di sini Syif? Bagaimana kamu bisa ada di sini?”
“Kamu tidak senang bertemu denganku?”
Aku membenarkan posisi duduk, “tentu saja aku senang.”
“Aku datang untuk meyakinkan kamu Az. Kamu harus mengambil kesempatan ini, dan kamu harus yakin kamu bisa melaluinya.”
“Aku kira tidak semudah itu Syif, walau kamu sekalipun yang mengatakannya.”
“Hei, jangan salah. Aku adalah orang yang paling mengenal siapa Azka. Jadi aku tahu persis, Azka pasti bisa melewati ini semua.”
Terperangah aku dibuatnya. Walau bagaimanapun, itu adalah suara Syifa. Dan Syifa selalu bisa menghadirkan sesuatu yang ganjil bagiku.
“Kamu harus janji kamu akan yakin bisa melewati ini semua Az?”
Aku mengangguk.
Sama seperti saat dia muncul, perlahan-lahan Syifa di hadapanku kembali menghilang. Detik-detik alam semesta melambat. Otomatislah aku mencegahnya.
“Hei, kamu mau kemana Syif?”
“Aku datang untuk meyakinkan kamu. Cuma itu.”
“Jangan pergi Syif.”
“Kamu harus tetap semangat Az.”
“Syif,” aku berusaha menggapai-gapai tangannya. Tak berhasil.
“Kamu harus sabar bila menemui halangan di depan.”
“Syif, jangan pergi.”
“Aku tidak pergi Az. Aku akan selalu ada di hatimu. Bahkan jika tubuhku habis dimakan tanah, aku tidak akan pernah pergi.”
Bayangan Syifa genap dimakan cahaya.
Aku terbangun. Sebagaimana kuduga, itu tadi hanya mimpi. Tapi kenapa Syifa harus datang ke mimpiku?
Mozaik 27
Telepon Paling Mengejutkan Sepanjang Sejarah
Tercatat, tanggal 8 April 2021. Hari Kamis.
Sebenarnya aku agak senewen kawan, senewen dengan hasil tes yang meragukan untuk mendapatkan beasiswa S2 ke Utara University tersebut. Makin dekat dengan hari pengumuman hasil tes, aku semakin gugup. Meski sebenarnya pengumumannya adalah tanggal 10 April. Masih dua hari dari sekarang.
Itu adalah hari-hari penuh tanda tanya. Hari-hari dimana bagian otakku yang impulsif terus membayangkan kemungkinan terburuk. Aku memang tidak terlalu menginginkan beasiswa itu pada awalnya, tapi sekarang, terlalu sayang untuk dilewatkan.
Berkali-kali, setiap hari, aku mondar-mandir, membayangkan bakal seperti apa hasil tes, sebuah perbuatan sia-sia. Malam-malam terkadang aku tidak bisa tidur. Beasiswa itu penting. Karier akademikku bergantung pada beasiswa itu, dan yang lebih kupikirkan lagi, adalah banyak orang yang menggantungkan harapannya padaku. Agar aku bisa meraih beasiswa itu. Mulai dari Pak Thom, Ibu Qotrun Nada, Ciye-ciye-ciye Grup, dan yang kuakui paling takut kukecewakan, Sofia.
Ah ya, gadis itu sangat baik. Dia membantuku mengurus beasiswa, mendampingiku belajar, diskusi, mencari informasi, bahkan sampai mengantarku ke ruang tes. Entah apa yang direncanakannya, yang jelas, dengan semua bantuannya itu, aku takut sekali mengecewakannya.
Tanggal 8 April 2021. Handphone-ku berbunyi di pagi hari. Ringtone singkat. Itu bunyi pesan masuk dari Sofia. Iya kawan, semenjak terlibat dalam rencana beasiswaku itu, aku merasa perlu membunyikan notifikasi untuk Sofia, jadi sekarang ada empat notifikasi pesan yang masuk dengan ringtone ke handphone-ku.
“Ada apa Sofia?” ketikku di keyboard. Membalas pesan “hari ini sibuk-kah Az?” darinya.
“Kita jalan-jalan yuk. Nongkrong dimana gitu. Meredakan stress kamu. Hehe.”
“Aku tidak stress, Mbak Fia yang terhormat,” balasku dengan wajah setengah kesal.
“Ayolah, Tuan Azka yang cerdas. Aku tahu, kamu sedang dag-dig-dug menantikan hasil tes itu. Mari kita rileks-kan diri sejenak. Mumpung aku lagi free nih. Kapan lagi kita bisa nongkrong bersama.”
“Baiklah. Kamu tentukan tempatnya, nanti aku ke sana.”
Aku mengalah. Kuharap ini adalah cara Tuhan ingin memberikanku sedikit rasa tenang untuk berpikir. Dengan bertemu Sofia, siapa tahu, semuanya jadi lebih rileks.
Sofia menyebutkan tempat. Aku kenal tempat itu, kafe yang cukup mahal. Astaga, seharusnya aku ingat, bahwa sepandai-pandainya aku menyesuaikan topik pembicaraan dengan Sofia, dompetku tetap tidak bisa menyesuaikan diri dengannya. Tapi karena sudah kadung kusanggupi, ya sudahlah.
Saat aku tiba, Sofia sudah duduk di dalam kafe itu. Aku bisa melihatnya dari luar. Saat aku hendak memesan, Sofia melambaikan tangan. Mengisyaratkan agar aku langsung duduk di sana. Sambil menunjuk minumannya.
Aku tidak paham. Tapi segera kudekati dia.
“Tidak perlu memesan minuman, Tuan Azka yang cerdas. Tuh, aku sudah pesankan untukmu.” Sofia menunjuk minuman di sebelahnya, aku menatap gelas minuman kopi itu dengan membatin. Bagi dompetku ini kabar baik, tapi untuk diriku sendiri, ini kabar buruk. Aku semakin berhutang budi, aku semakin merasa takut mengecewakan kamu, Sofia. Oh Tuhan, bisakah Engkau carikan topik yang tidak perlu melibatkan rasa takutku itu. Apa saja, yang lain.
Doaku itu terbang ke hadirat Tuhan Yang Maha Tinggi. Tunggulah
Baiklah, saatnya tampil logis dan biasa saja.
“Sebenarnya aku terkejut, kamu mengajakku nongkrong, itu adalah kejutan besar hari ini, Mbak Fia.”
Sofia terkekeh, “ biasa saja Az, anggap saja aku lagi free dan ingin ngobrol denganmu. Lagipula, jika kamu sudah kuliah ke Malaysia sana, kita mungkin saja tidak bisa nongkrong lagi.”
“Tumben free, Persma tidak ada kegiatan, Persma sedang libur ya?”
“Eh bukan seperti itu Az, mana pernah Persma kita itu libur,” Sofia terkekeh lagi, memamerkan senyumnya yang mekar, cantik, “maksudku, aku yang sedang free. Editor sedang santai di minggu-minggu awal Bulan April ini. Persma lebih fokus melakukan kunjungan dan kegiatan amal.”
“Oh astaga. Itu artinya Persma malah tambah sibuk,” aku menepuk dahi.
“Begitulah Az. Oh iya, sebenarnya aku punya kabar gembira untuk dibagi ke kamu,” nada suara Sofia berubah jadi antusias.
“Katakan saja Mbak Fia.”
“Jadi begini Az, kemarin, setelah bersusah payah mati-matian, mengatur waktu, meminta bimbingan ke sana kemari, aku akhirnya....”
Kalimat Sofia terpotong karena dia melihat handphone yang kutaruh di atas meja, tiba-tiba berbunyi. Pakai nada dering, karena itu bukan panggilan WA. Itu panggilan seluler. Nama yang tertera di sana, Mawar Alvera.
Aku menyernit kening. Sofia juga. Dia pasti bertanya-tanya, siapa Mawar Alvera itu. “Angkat saja dulu Az, siapa tahu penting.”
Aku menurut. Kuangkat. Siapa sangka, ternyata telepon dari Mawar itu adalah cara Tuhan menjawab doaku di atas. Dan Tuhan melakukannya dengan cara yang paling tidak terduga.
“Assalamualaikum, Ar.”
“Az, darurat Az.” Mawar berseru dari speaker telepon dengan suara panik. Aku menyernit kening lagi. Ada apa. Bahkan Mawar tidak menjawab salamku. Tidakkah dia tahu kalau Imran-Sei pernah bilang bahwa orang yang tidak menjawab salam, akan masuk neraka.
“Ada apa Ar, berbicaralah dengan tenang.”
“Kamu juga sebaiknya siap-siap untuk menenangkan dirimu Az,” peringatan Mawar ini semakin membuatku bingung, apa yang terjadi, “sebenarnya mereka tidak mau memberitahumu tentang ini, tapi aku rasa kamu berhak tahu Az…”
“Ini tentang Syifa, Ar? Apakah dia menikah? Atau semacamnya.” Aku memotong kalimat Mawar. Rasanya aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Jika Syifa benar menikah, maka itu bukan masalah. Aku sudah mendengar dia tunangan, nyaris setahun yang lalu, dan sejak itu aku sudah belajar untuk tidak peduli lagi pada gadis itu. Dia sudah punya masa depannya sendiri. Aku tidak akan panik hanya karena hal itu.
“Az, dengarkan aku dulu,” Mawar berseru lagi, kali ini suaranya sedikit parau, “kamu benar, ini berhubungan dengan Syifa. Tapi ini bukan kabar soal dia menikah atau semacamnya. Ini kabar buruk…”
“Ada apa Ar, langsung saja,” aku memotong lagi.
“Syifa sakit Az. Sakit parah. Sudah satu minggu dia dirawat di Rumah Sakit, RSUD Pontianak. Menurut tim dokter, penyakitnya sudah sampai di stadium akhir. Kecil kemungkinan bisa disembuhkan.”
“Astaga Ar, kamu jangan bercanda,” ujung-ujung sarafku langsung gemetar.
Mawar meneruskan kalimat dengan sedikit tergugu, “aku menghubungimu hari ini, karena dua alasan Az, satu, kamu berhak tahu, dua, Syifa sendiri yang bilang tadi malam. Dia ingin sekali bertemu dengan kamu Az, untuk yang terakhir kalinya.”
“Ar, kamu jangan bercanda.” Aku memotong lagi, semakin gemetar, “memangnya Syifa sakit apa? Penyakit apa yang diidapnya?”
Mawar berdecak di seberang sana. “Az, jangan terlalu banyak memotong. Aku tidak tahu detail penyakitnya, tapi yang jelas, Syifa tidak punya banyak waktu. Syifa bisa pergi kapan saja. Cepatlah datang Az, Syifa ingin sekali bertemu denganmu.”
Telepon Mawar ditutup. Aku semakin gemetar. Patah-patah kembali duduk. Wajahku sudah pasti memucat. Sofia yang duduk di hadapanku, sedari tadi menahan diri untuk bertanya.
“Maaf Sofia. Ini urusan yang serius. Aku harus pergi sekarang. Maaf, aku tidak bisa banyak menjelaskan. Yang jelas, seorang temanku sedang sekarat di RSUD Pontianak sana, dan dia ingin bertemu denganku sebelum dia mati. Aku harus segera pergi.”
Sofia mengangguk.
Lalu dengan tergopoh-gopoh, aku pergi dari kafe.
Mawar benar. Aku harus menenangkan diri. Tapi bagaimana bisa aku tenang. Syifa sakit dan sedang terbaring sekarat? Mana mungkin aku bisa tenang. Aku lebih suka mendengar kabar Syifa menikah ketimbang kabar ini. Astaga. Kenapa Mawar tidak memberitahuku lebih awal. Aduh bagaimana sekarang, aku harus cepat tiba ke Pontianak sana. Aku harus memesan tiket pesawat.
Saatnya memanfaatkan kartu truf-ku. Trevor. Kemarin-kemarin dia berjanji akan membalas budi baikku, termasuk jika aku minta belikan tiket pesawat terbang sekalipun. Saatnya aku menyambut tawarannya itu.
Aku merogoh handphone, mencari nomor Trevor. Setelah itu memesan taksi ke bandara.
Mozaik 28
Kamu Masih Sering Mampir di Hatiku
Aku gemetar ketika masuk ke dalam taksi kawan.
Sungguh itu kabar yang sangat mengejutkan. Syifa terbaring sekarat di rumah sakit? Sebagian dari hatiku tersayat mengetahui dan membayangkannya.
Sungguh Syifa masih ada di hatiku. Dia masih sering mampir.
Hei, bagaimanapun, dia pernah menjadi pemilik hatiku. Dia tahu jalan ke hatiku, dan dia bisa kembali kapan saja. Syifa adalah gadis yang hebat. Semenjak dia pindah ke Pontianak, nyaris 4 tahun yang lalu, tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan posisinya dalam hidupku. Tidak Shafa, tidak Lia dan tidak pula Sofia. Aku justru cenderung lebih membangun tembok untuk siapapun yang berusaha masuk ke hatiku, dan memilih fokus ke hal-hal lain.
Makanya sampai sekarang, Syifa masih berkesan di hatiku.
Aku ingat-ingat lagi, saat pertama kali bertemu dengannya, nyaris 6 tahun lalu di perpustakaan Quart School. Sensasi malu-malu, terpesona, semuanya bersatu di situ.
Ada banyak ingatan tentang Syifa yang segera berdesakan memasuki pikiranku.
Aku ingat ketika dia malu-malu mendatangiku, di hari Mid Test Bahasa Inggris di semester 3, menawariku ikut makan siang bersamanya. Tawaran yang dengan gilanya aku tolak.
Aku ingat pula saat dia mengkhawatirkan kondisiku sesaat setelah pulang dari Lomba Nasional. Saat itu aku terjaring razia.
Jangan lupa pula saat dia meminta saran denganku soal giginya yang retak, saat dia minta aku tidak menebar pesonaku, saat dia diam-diam cemburu melihat aku dekat dengan Shiela. Ah Syifa, kamu selalu punya porsi yang spesial dalam hidupku.
Sebuah telepon masuk menyela khayalanku sejenak. Dari Ciye-ciye-ciye Grup. Kami segera tergabung dalam telepon grup.
“Apa yang terjadi Az?”
“Hei, ada apa sebenarnya Az?”
“Kau tidak kenapa-kenapa bukan Az?”
Seruan-seruan itu berebutan masuk begitu aku mengaktifkan speaker. Aku menghela nafas, “aku minta maaf, tidak bisa menjelaskan panjang lebar dulu. Yang jelas, sesuatu yang buruk telah terjadi di Pontianak sana, dan aku harus segera datang. Kalian tidak perlu cemas, aku baik-baik saja. Dan oh ya Vor, apakah tiketnya sudah siap?”
“Sudah Az, sudah aku kirimkan e-ticket-nya ke alamat emailmu.”
Aku menghela nafas lagi. Kali ini untuk kabar baik. “Terima kasih banyak Vor. Uangmu akan segera kuganti.”
“Tidak masalah Az. Selesaikan saja dulu masalahmu. Siapa tahu uangnya lebih kau perlukan di perjalanan nanti.”
“Terima kasih banyak Vor.”
“Sama-sama Az.”
“Hati-hati Az.” Asep dan Niko berucap berbarengan.
Aku menutup telepon secara sepihak. Bandara sudah dekat.
***
“Kamu yakin mau pulang sekarang? Nanggung lho Az, bentar lagi Magrib.”
“Gapapa Syif, soalnya tadi aku janji pulang tidak terlalu larut.”
“Ya kali aja kan Az. Shalat Magrib dulu di sini, atau mau sekalian makan malam, hehe.”
“Makin ngerepotin ada Syif.”
Syifa tertawa kecil. Alasan sebenarnya kenapa aku menolak Shalat Magrib di rumahnya hari itu, karena Shalat Ashar-nya saja, yang mana aku mengimami dia, itu sudah membuatku setengah sinting karena sensasinya. Apalagi shalat Magrib. Tidak, aku tidak akan sanggup.
“Ya sudah. Hati-hati di jalan Az. Makasih sudah mau datang hari ini. Sudah mati-matian mengajari aku, walau akunya sendiri belum ngerti-ngerti.”
“Ah tidak ada masalah Syif. Kamu akan ngerti pada waktunya. Karena sebenarnya matematika itu adalah perkara mudah.”
Syifa tertawa kecil lagi.
Aku melambaikan tangan. Pulang.
***
Astaga, seandainya tahu bakal begini Syif, aku tidak akan menolak ajakanmu hari itu. Seharusnya aku menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu. Tapi sudah terlambat untuk menyesali yang itu. Sudah tertinggal jauh di belakang. Baiklah, tidak apa. Setidaknya, kuharap aku tidak terlambat datang ke RSUD Pontianak.
Saat turun di Bandara Internasional Supadio, hatiku kebat-kebit tak keruan. Lekas kucari handphone dan nomor Mawar.
“Ar, aku sudah di Pontianak sekarang. Sebentar lagi tiba di RSUD. Syifa baik-baik saja kan?”
Terdengar jeda cukup lama di seberang sana, membuat hatiku semakin dag-dig-dug. Aduh semoga aku belum terlambat.
“Iya Az, datang saja kemari. Nanti aku tunggu di ruangan resepsionis. Syifa masih ada di ICU. Kondisinya tidak terlalu baik, tapi dia masih bernafas.”
Alhamdulillah. Aku mengelus dada. Setidaknya aku belum terlambat.
“Baiklah Ar. Aku segera ke sana.”
“Siap Az. Aku tunggu.”
Sebelum menyimpan handphone, aku sempatkan mengecek WA. Ada satu pesan masuk, dari Sofia.
“Hati-hati di jalan, Tuan Azka yang cerdas.”
Aku acuhkan pesan itu. Biarkan saja bercentang biru.
Mozaik 29
Jangan Pergi
Sesuai kata-katanya, Mawar menungguku di bagian resepsionis RSUD Pontianak. Malah ada dua orang di sana. Selain Mawar, ada juga Tante Shimala. Aku segera mengenali mereka, mereka tidak banyak berubah.
Begitu melihatku datang, Tante Shimala menangis tersedu-sedu. Beliau memegang bahuku, mengelus-elusnya. “Kamu datang Azka,” ulang beliau beberapa kali.
“Iya tante, aku datang. Aku ingin memastikan Syifa baik-baik saja.” Aku coba berucap dengan tenang.
“Seandainya tante tahu lebih awal soal hubungan kalian Az, seandainya tante mengambil langkah yang benar, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Tante tahu kamu adalah orang baik.” Tante Shimala masih berucap sambil menangis.
Adegan itu pasti tambah panjang andai Mawar tidak menginterupsi. “Sudah tante. Jangan menangis di sini. Tidak baik. Tante diperhatikan banyak orang. Lebih baik kita antar Azka ke kamar Syifa segera. Dia sudah datang jauh-jauh, dan yang lebih penting, Syifa sudah menunggu.”
“Iya Ar.”
Aku mempersilahkan Mawar jalan duluan sementara aku menuntun Tante Shimala yang berjalan tertatih-tatih. Bisa kurasakan beliau gemetar. Pasti ini tidak mudah bagi beliau.
“Tante, boleh Azka tahu, Syifa sebenarnya sakit apa? Kok mendadak begini? Apakah dia punya riwayat penyakit kronis sebelumnya? Karena setahu Azka, Syifa tidak pernah punya riwayat penyakit?”
“Tidak Az, ini berlangsung begitu cepat,” Tante Shimala berjalan dengan bertumpu padaku, bercerita dengan suara serak, “satu bulan yang lalu Syifa jatuh sakit, dan semuanya langsung memburuk. Satu minggu yang lalu, kami memasukkan Syifa ke RSUD ini, dan ternyata dokter memvonisnya berada di stadium akhir.”
“Sebenarnya Syifa mengidap penyakit apa tante? Kok sampai stadium akhir?”
“Kebocoran usus kecil, komplikasi di hati dan lambung. Ya mirip-mirip seperti itulah.”
Aku mengusap wajah. Seserius itu? Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Syifa?
“Apakah sebelum itu, Syifa ada menunjukkan gejala bahwa dia mengidap penyakit serius, Tante?”
Mawar di depanku berdecak. “Sudah Az, berhenti bertanya. Kamu malah membuat Tante Shimala semakin sedih. Nanti kamu akan lihat sendiri, bagaimana keadaan Syifa. Sebentar lagi kita sampai.”
Pintu lift yang kami naiki terbuka. Langkah-langkah kaki mengantarku ke depan ruangan ini. ICU. Kebetulan, kami langsung berpapasan dengan rombongan dokter, suster dan seorang pria parubaya yang segera kukenali sebagai Om Sastra, ayahnya Syifa.
“Emm, mbak, mohon maaf, sekali lagi saya ingatkan, untuk menjenguk pasien, hanya diperbolehkan satu orang, dengan jangka waktu lima menit. Lebih dari itu, dikhawatirkan akan mengganggu pasien itu sendiri.” Suster menegur Mawar yang hendak membuka kenop pintu.
“Iya Sus,” Mawar balas tersenyum, “saya hanya membukakan kenopnya. Az, silakan, kamu masuk.”
“Eh aku?” sahutku sedikit tergagap. Tidak pernah terbiasa berhadapan dengan orang sakit.
“Ayo cepat Az, kamu masuk saja. Temui Syifa. Kamu masih mengenalinya-kan? Tidak perlu sungkan. Syifa tidak pernah berubah. Yang di dalam sana, adalah gadis yang dulu pernah mengisi hatimu.”
Mawar mengucapkan hal itu dengan jelas dan terang. Di hadapan Suster, di hadapan Tante Shimala dan Om Sastra. Baiklah. Aku akan masuk. Lagipula memang ini tujuanku datang.
Suasana ruangan ICU kamar Syifa sangat sendu bagiku. Aku masuk dengan menunduk. Tidak berani menatap langsung sosok orang yang terbaring di ranjang di hadapanku. Bunyi-bunyi alat medis yang biasanya hanya kudengar di film, kini merasuk ke telinga. Bau rumah sakit makin pekat menggantung di langit-langit. Aku memaksakan kakiku mendekat ke bibir ranjang. Gemetar.
Akhirnya dari jarak sedekat ini, aku bisa melihatnya.
Kondisi Syifa sangat memprihatinkan. Wajahnya kurus. Tubuhnya yang dulu kurus, sekarang nampaknya tinggal tulang saja, ditutup selimut. Belalai plastik terhubung ke hidung, leher dan lengannya. Macam-macam warna. Tak paham aku. Mata dia terpejam. Rambutnya kusut. Andai saja situasi lebih baik, aku pasti ingat bahwa ini adalah kali kedua aku melihat Syifa tanpa penutup kepala. Tapi aku tidak bisa menatapnya terlalu lama.
Mataku sudah berair.
Apa yang sebenarnya terjadi, Syif.
“Siapa yang datang?” tiba-tiba suara yang lemah, namun dalam terdengar di ruangan itu. Itu bukan aku. Suaranya teramat pelan. Itu suara Syifa. Matanya membuka.
“Ini aku Syif. Azka. Kata Mawar, kamu ingin sekali bertemu denganku.” Aku berusaha keras untuk berucap dengan tenang, tidak sesenggukan.
“Azka, kamu benar-benar datang? Sungguh?”
Semula aku agak heran. Syifa seperti tidak melihat aku. Padahal matanya terbuka. Tapi aku segera menyadari satu hal. Dalam beberapa kondisi (terutama kondisi di dalam novel), orang yang sudah sakit parah, tidak bisa melihat lagi. Meski matanya masih terbuka.
“Iya Syif, aku di sini. Aku datang untukmu.” Aku menyentuhkan jemariku pelan ke jemarinya. Syifa tersenyum. “Kamu benar-benar Azka. Senang rasanya kamu benar-benar datang Az. Aku sudah menunggu sejak kemarin.”
Aku mengelus jemari-jemarinya. Syifa terlihat semakin sumringah. Senyumnya itu membuatku lebih berani menatapnya. Setidaknya sekarang Syifa sudah mirip dengan Syifa yang dulu kukenal. Syifaku dari Quart School. Meski kondisinya memprihatinkan. “Iya Syif. Kamu tahu-kan, aku tidak akan pernah menolak, apapun permintaanmu.”
“Makasih Az, sungguh terima kasih.”
Mawar mengetuk ke arah kaca. Memberi isyarat. Waktu kunjunganku telah melewati batas yang ditetapkan rumah sakit. Aku mengangguk.
“Syif, aku keluar dulu ya. Dokter bilang kamu harus banyak beristirahat. Kamu jangan khawatir, aku tidak akan pulang sampai kamu baik-baik saja dan sembuh,” ucapku perlahan.
“Az, jangan pergi.” Syifa tiba-tiba bersuara agak keras. Dan itu membuat alat-alat medis yang tertancap di dinding berbunyi.
“Syif, kamu tenang saja. Aku cuma mau keluar dari kamar ini. Waktu kunjungan yang ditetapkan dokter sudah habis. Aku tidak kemana-mana kok.”
“Jangan pergi Az. Jangan tinggalkan aku. Tetaplah di sini.”
“Aku hanya ingin kamu beristirahat Syif,” entah kenapa kemudian aku mendekat dan berbisik di telinganya.
“Tidak Az. Kamu tidak perlu mendengar apa kata dokter. Waktuku juga sudah tidak banyak lagi.”
Aku terhenyak.
Tapi aku tidak lama berada di ruangan itu. Syifa dengan sendirinya, tertidur.
Aku keluar dari kamar. Bergabung dengan Mawar dan yang lainnya. Langsung dihadiahi tatapan sentimen dari Om Sastra. Aku menghela nafas. Entah apa salahku, tapi aku memang merasa ayahnya Syifa itu menaruh perhatian khusus padaku, dalam artian buruk.
“Harusnya kamu tidak berada di sana terlalu lama, Azka,” ujar beliau. Aku menunduk. Serba salah.
“Sudahlah Pak,” Tante Shimala menyela, “Azka sudah jauh-jauh datang, hanya demi memenuhi keinginan Syifa. Kita seharusnya berterima kasih.”
“Ya, andai situasinya lebih baik, saya ingin ngobrol sedikit denganmu, Azka. Tapi ya, nanti saja. Saya mau cari makan dulu. Tolong jaga Syifa ya, Bu, Mawar.”
Om Sastra melangkah menjauh.
Segera setelah Om Sastra pergi, kami terlibat pembicaraan serius. Bermula dari aku, yang bersikeras, masih ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Syifa.
“Tidak ada lagi Az, tim dokter sudah mengusahakan yang terbaik. Dan inilah hasilnya. Stadium akhir.” Mawar menjawab, agak sebal.
“Tidak bisakah dilakukan semacam operasi untuk menyelamatkannya?” aku bertanya lagi.
Kali ini Tante Shimala yang menggeleng sedih. “Sayang sekali, itu tidak bisa dilakukan, Azka. Sebenarnya operasi terhadap ususnya masih mungkin dilakukan. Tapi, hati dan lambung Syifa sudah terlanjur rusak. Itu yang tak bisa diselamatkan lagi. Jadi operasi akan berujung kesia-siaan saja.”
Aku menangis. Tidak bisa menahan perasaan. Rasanya malaikat maut sudah mendarat dengan pesawat di Bandara Internasional Supadio Pontianak. Siap naik taksi menuju Rumah sakit ini. Menjalankan tugasnya.
Mozaik 30
Forever
Pukul 5 pagi, hari Jum’at, tanggal 9 April 2021. Masih di RSUD Pontianak, Kalimantan Barat.
Tadi malam, menurut dokter yang menanganinya, kondisi Syifa semakin kritis. Sehingga kami harus bergantian menjaganya sepanjang malam. Tante Shimala yang bersikeras, jika putrinya itu memang harus pergi selamanya, maka harus ada yang menjaga di sisinya.
Nah, baru saja adzan subuh berkumandang, pertanda bahwa giliran akulah yang berjaga. Kami hanya tahu kondisi Syifa dari alat-alat medis yang berbunyi tak keruan itu. Tapi saat aku masuk ke kamarnya, Syifa bergerak.
“Itu kamu lagi, Az?”
Suaranya begitu lemah. Ujung-ujung jemarinya bergerak-gerak. Aku segera menyentuh ujung-ujung jemari itu. Tersenyum pilu. “Iya Syif, ini aku. Aku akan menjagamu.”
“Senang mendengarnya Az. Rasanya aku sudah cukup tidur. Di sini suntuk sekali Az. Aku ingin mengobrol denganmu.”
Aku mengusap mata, tersentuh dengan kata-kata Syifa. “Iya Syif, aku akan menemanimu.”
“Apa kabar kamu Az? Apa yang sudah kamu lakukan, sejak terakhir kita ketemu, hmm... empat tahun yang lalu.”
Bicara Syifa tidak selancar kelihatannya, putus-putus. Tapi aku berusaha mengerti setiap kalimatnya. Aku memutuskan bercerita sedikit.
“Aku kuliah Syif. Di UBM, Universitas terbesar di Bumi Melayu. Aku telah berhasil membangun karier akademik yang cemerlang. Satu bulan yang lalu aku dinyatakan lulus dan sekarang sedang mencoba mencari beasiswa S2 ke Malaysia. Kukira begitu singkatnya.”
Syifa terlihat tersenyum. “Senang aku mendengarnya Az. Begitulah Azka yang kukenal. Penuh semangat, cerdas, tangkas, mampu mengatasi segala macam rintangan, hingga jadi juara.”
“Itu berkat kamu juga Syif. Semua jalan yang mengantarkan aku ke UBM, itu bermula dari kamu.”
“Sungguh Az?” untuk pertama kalinya sejak aku masuk ke ruangan itu, Syifa menunjukkan deretan giginya dalam senyum. Itu membius kesadaran dan memanah perasaanku. Syifa selalu menakjubkan.
“Iya Syif. Berkat kamu. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk membuatmu terkesan.”
“Sungguh aku terkesan Az.”
Aku tidak lagi menjawab. Memandangi Syifa dengan penuh takzim. Mata jernihnya, rambut hitamnya, senyum dengan deretan gigi rapi itu. Aduh, aku sungguh terpesona olehnya.
“Az, lalu bagaimana dengan urusan hati dan perasaanmu?”
“Eh aku apa?” sahutku, agak terkejut, karena tidak menyangka Syifa akan menanyakan hal semacam itu. Syifa tidak mengulang pertanyaan, dia hanya tersenyum.
“Aku masih menyukaimu, Syif. Aku masih menyukaimu. Hanya kamu.”
“Bahkan sampai aku meninggalkanmu dulu, kamu masih tidak membenciku, Az?”
“Aku tidak pernah membencimu, Syif,” sahutku, meyakinkan.
Syifa tersenyum lagi. “Semoga begitu Az. Beberapa tahun ini, ada hal-hal yang berjalan di luar kendaliku. Aku tidak bisa mengaturnya. Aku merasa sangat bersalah jika tingkahku, itu sampai... melukaimu, Az.”
“Tidak apa-apa, Syif. Tidak perlu dipikirkan. Lagipula aku selalu memaafkanmu.”
“Sungguh aku beruntung.” Syifa tersenyum lagi, “Az,” katanya penuh penekanan, “sekarang aku sudah berada di bawah kendaliku sendiri. Aku ingin bilang bahwa, aku juga suka denganmu.”
Aku gemetar mendengar kalimatnya barusan. Apalagi aku sedang menggenggam jemarinya. “Syif, kamu seriusan?” sahutku, nyaris tidak bisa menyembunyikan rasa senang.
“Tapi sepertinya rasa itu terlambat datang Az. Maaf. Tapi ada yang datang lebih cepat.”
“Apa maksudmu, Syif,” aku mengejar konteks kalimatnya. Tidak sepenuhnya sadar kalau tubuh Syifa sudah mulai berubah.
“Az,” kali ini suara Syifa menyusut, “tuntun aku menyebut kalimat Syahadat. Kamu memang bukan suamiku, tapi kamu satu-satunya orang yang ada di ruangan ini sekarang. Kumohon Az.”
Kesadaranku perlahan runtuh. Apa kata Syifa. Apakah dia serius. Tapi Syifa tidak perlu bilang apa-apa. Alat-alat medis yang berbunyi tak keruan itu ikut menunjukkan perubahan pada tubuh Syifa.
Malaikat maut itu telah hadir di ruangan ini.
Aku tak punya pilihan lain. Kubacakan Syahadat. Syifa mengikuti, dengan tersenyum. Tak berselang menit, nadinya berhenti berdenyut. Ruhnya telah pergi meninggalkan jasad. Aku yang memegangi pergelangan tangannya, bisa merasakan perubahan.
Syifa telah tiada.
Air mataku perlahan berjatuhan. Aku masih belum bergerak dari depan jasad Syifa. Tidak salah lagi. Ini benar-benar nyata terjadi. Orang yang paling kucinta, sudah pergi meninggalkan dunia ini.
Inna lil lahi wa inna ilaihi rajiun
Susah payah aku menyampaikan kabar duka. Membangunkan Mawar, Om Sastra dan Tante Shimala (yang segera histerius begitu tahu Syifa telah pergi selamanya).
“Tante sebenarnya telah siap Az, Tante sudah siap sejak vonis stadium empat itu diberikan dokter. Tante sudah siap. Tapi sekarang, saat semuanya benar-benar terjadi, Tante tetap tidak bisa menerima ini begitu saja.” Tante Shimala menangis histeris sambil memelukku. Aku juga menangis. Sementara Mawar dan Om Sastra segera menghubungi pihak rumah sakit, mengurus pemulangan jenazah.
“Sudah tante, tante yang sabar ya. Insya Allah Syifa meninggal dalam keadaan baik, husnul khatimah. Apalagi Syifa meninggal di hari Jum’at, Azka sendiri tadi yang membimbingnya mengucap syahadat.”
Tante Shimala makin histeris. Di sela-sela tangisnya itu, Tante Shimala sempat berbisik, “terima kasih Azka.”
Mozaik 31
Rahasia yang Dipegang Mawar
Selepas Shalat Jum’at, di rumah duka, kediaman Muliyana Sastrawijaya.
Jenazah Syifa telah selesai diurus. Sudah dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Siap dibawa ke pemakaman, TPU Pontianak. Aku hadir di sana. Membantu Om Sastra, meski aku bukan siapa-siapa. Om Sastra, meski terlihat sentimen denganku, tapi beliau tidak bisa apa-apa. Tidak banyak anggota keluarga yang mau membantu, entah kenapa.
Aku juga ikut mengantarkan peti mati ke TPU. Mendekat ke liang kubur yang telah digali. Matahari sedang panas-panasnya memanggang bumi. Beruntung, lokasi makam Syifa cukup strategis, ada sebatang pohon yang cukup rindang di dekat situ. Rimbun daunnya cukup menutupi sebagian peziarah.
“Az, bantu om turun ya, menyambut peti di bawah,” bisik Om Sastra, aku memang berada di belakang beliau. Sebenarnya kalau bukan Syifa, aku ogah turun ke dalam liang kubur itu. Tapi ya sudahlah, karena ini adalah orang yang sangat kucinta, maka aku rela ikut turun.
Adegan pemakaman berakhir pukul setengah tiga sore hari waktu Pontianak. Semua peziarah bubar kembali ke rumah masing-masing. Aku yang terakhir berdiri di samping makam. Talqin sudah dilakukan. Tapi rasanya aku masih ingin meninggalkan pesan-pesan terakhir untuk Syifa.
“Syif,” perlahan aku berlutut, mengelus gundukan tanah merah yang kini di bawahnya sudah ada jasad Syifa, tertanam di sana selamanya, “semua sudah berakhir ya. Kita ternyata memang tidak berjodoh, dan ternyata begini cara Tuhan mengatakannya. Aku memang sedih, sedih sekali setelah kamu pergi. Tapi aku berjanji, aku tidak akan membiarkan kesedihanku ini memberatkanmu di sana. Aku akan mengirimimu doa terbaik dari sini, aku akan kirim alfatihah dan bacaan-bacaan. Meski tidak jelas bisa sampai atau tidak, yang penting aku coba. Jaga dirimu baik-baik di sana, Syif. Semoga Tuhan memudahkan jalan untukmu, masuk surga. Ke tempat terbaik. Tempat yang layak untuk wanita berparas bidadari, Nur Syifa Muliyana. Aku izin pamit Syif, nanti jika ada waktu luang, aku akan mampir ke sini.”
Aku berbalik. Dan betapa terkejutnya aku, karena Om Sastra masih berdiri di sana. Astaga, berarti tadi beliau mendengar semua kalimatku. Kukira beliau sudah pulang lebih dulu. Beliau menatapku nanar.
“Ada apa, Om?” aku bertanya, ragu-ragu, menundukkan kepala.
“Tidak apa-apa. Maafkan kesalahpahaman saya selama ini, Azka. Ayo, kita pulang.”
“Eh, tapi aku mau langsung ke bandara, Om, aku sudah memesan tiket.” Sebenarnya aku hanya setengah beralasan. Aku masih segan dengan Om Sastra.
“Ayolah Azka. Tidak apa-apa. Nanti saya yang uruskan tiket untuk perjalanan pulangmu. Ibu tidak akan membiarkanmu pulang tanpa berpamitan. Saya tahu ini bukan waktu yang bagus untuk saling mengenal, tapi kau tidak usah takut dengan saya, Humadi Azka.” Di ujung kalimatnya, Om Sastra tersenyum tipis.
Baiklah, aku menurut. Ikut naik ke mobil Om Sastra.
“Terima kasih, sudah datang jauh-jauh dari Banjarmasin untuk Syifa, Azka.”
Suara Om Sastra masih terdengar berat dan penuh ancaman, aku menarik nafas, berusaha menyesuaikan pembicaraan. Toh aku sudah biasa bicara dengan Pak Thom, pasti aku bisa juga bicara dengan Om Sastra.
“Tidak masalah Om. Aku pasti akan sangat menyesal jika tidak datang. Setidaknya aku bisa melihat Syifa untuk terakhir kalinya.”
“Oh ya Azka, kau harus tahu, Syifa sering membicarakan tentang dirimu, sekitar sebulan terakhir. Saat dia sakit. Dia sering teringat tentangmu. Puncaknya, sebelum dia masuk rumah sakit, dia minta Mawar menghubungimu, memintamu datang ke Pontianak.”
Setelah itu hanya diam. Aku tidak bisa menyesuaikan diri. Masih terasa segan. Om Sastra bersiul-siul sepanjang jalan sebagai gantinya.
Kediaman Muliyana Sastrawijaya telah dibersihkan. Tanda-tanda rumah duka sudah diturunkan, dan rumah itu sudah kembali jadi rumah pada umumnya. Om Sastra masuk ke dalam. Aku ragu-ragu mengikuti. Di teras, ada Mawar yang duduk sambil memegang handphone. Perlahan kudekati dia. Mumpung kemari, ada yang ingin kutanyakan. Meski sudah terlambat, meski Mawar belum tentu tahu.
Apa salahnya mencoba bukan?
“Kamu ingin tahu, kenapa Syifa berubah 180 derajat sesudah pindah kemari, kamu yakin Az?” Mawar mengulang pertanyaanku sambil meletakkan handphone-nya.
“Iya Ar, walau itu sudah terlambat, tapi tidak ada salahnya, bukan?”
Mawar menggeleng sambil tersenyum lucu. “Memang tidak salah Az, tapi ceritanya panjang. Berjalin sampai kematian Syifa. Ya, sebenarnya, kematian adalah ujung dari perubahan Syifa selama ini.”
Aku makin penasaran. “Ceritakan saja, Ar.”
“Baiklah Az,” Mawar mencopot kacamatanya, “ini sebenarnya rahasia Syifa. Tapi karena kamu tadi ikut turun ke liang lahat, aku akan ceritakan. Mungkin kamu ingat, saat kamu mengirimi Syifa klip religi. Syifa semangat sekali menceritakan soal kebaikanmu itu padaku dulu.”
“Ah ya, aku ingat.”
“Mungkin kamu masih ingat, bagaimana pembawaan Syifa saat itu padamu Az? Itulah kali terakhir, Syifa menjadi Syifa yang kamu kenal. Selebihnya, semua berbeda.”
Aku berusaha mengingat-ingat. Ah kurasa Mawar benar. Syifa memang mulai berubah sejak aku kirimi dia klip religi itu.
“Apa yang terjadi Ar? Apakah klip yang aku kirim mengandung sebuah kutukan?” Pertanyaanku membuat Mawar tertawa sejenak.
“Ya tidaklah Az. Ini tidak berhubungan dengan kamu atau klip religimu.”
“Maksudmu, Syifa berubah itu bukan salahku?” kejarku, sumringah.
“Iya.”
“Lanjutkan Ar.”
“Jadi begini Az, kamu tahu bukan, Syifa itu cantik, supel, ramah dalam pergaulan. Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Termasuk para pria yang segera jadi pengagum rahasia Syifa. Ada banyak pria yang coba mendekati Syifa di tempat kerjanya. Syifa yang cerita ke aku. Nah kamu mungkin tahu, Syifa itu memang ramah, tapi dia sulit jatuh hati. Jadi, tidak ada satupun dari penggemar rahasianya itu, yang berhasil menjalin hubungan serius dengannya. Syifa terus menolak. Baik halus, atau terang-terangan. Beberapa dibloknya secara paksa.”
Mawar berhenti sejenak, menghela nafas, cerita ini sepertinya masih panjang,
“Masalahnya, para pria adalah makhluk yang bandel. Ditolak sekali dua kali, bukan masalah. Beberapa dari pengagum rahasia Syifa itu, terus mendekatinya, meski Syifa terus menolak. Nah, tidak semua pria itu penyabar seperti kamu Az, selalu memakai jalan baik, berdoa, terus menolong Syifa. Tidak. Tidak semua pengagum Syifa adalah pria baik-baik. Ada satu, satu orang yang nekat. Dia sepertinya digelapkan oleh cinta, berusaha mendapatkan Syifa dengan segala cara. Termasuk dengan cara licik. Dia pakai pelet.”
Aku ternganga. Mawar serius? Pelet?
“Iya Az. Tidak usah heran. Kota kami, Pontianak, adalah kota multietnis. Kami hidup berdampingan dengan orang Dayak. Tidak sulit melakukan praktik semacam pelet begitu. Singkatnya, Syifa terkena. Dia tiba-tiba lengket dengan pria tersebut.”
Mawar berhenti lagi, menghela nafas,
“Itu adalah masa-masa sulit Az. Syifa terbutakan oleh cinta. Menomorsatukan prianya itu. Mungkin kamu juga sempat mendapatkan masalah dari hubungannya dengan pria yang memakai pelet itu. Yang jelas, saat berhubungan dengan pria itu, Syifa benar-benar berubah. Dia bahkan tidak sama lagi dengan Syifa yang aku kenal.”
Aku manggut-manggut. Semua mulai logis. Pelet memang ampuh.
“Pria itu hampir menikah dengan Syifa. Namun takdir berkata lain. Syifa mulai menyadari ada yang salah dari hubungannya dengan pria itu. Syifa sempat cerita padaku, bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya di periode itu. Coba kamu tebak, apa itu Az?”
“Mana mungkin aku bisa menebak, Ar.”
“Kamu Az, kamu yang mengganggu pikirannya. Syifa cerita padaku, bahwa dia menjadi sering teringat denganmu. Entah apa dan bagaimana ceritanya kemudian, yang jelas, Syifa berhasil menemukan kesadaran dan tidak lagi terbutakan. Dia lepas dari pengaruh pelet itu, dan menyatakan hubungannya dengan si pria itu, khatam. Sayangnya, masalah tidak khatam di sana. Masalah justru baru dimulai.”
Sungguh rangkaian cerita yang tidak terduga. Mawar meneruskan. Tapi sebelumnya dia memberiku sebuah peringatan, “bagian selanjutnya ini, sebagian adalah prediksiku ya Az, jadi jangan dianggap terlalu serius. Belum tentu benar.”
“Baiklah Ar.”
“Pria itu gelap mata. Dia ingin mendapatkan Syifa dengan segala cara. Atau jika dia tidak dapat, maka tidak boleh ada yang dapat. Jika dia bisa mengirimi pelet untuk mendapat hati Syifa, maka dia juga bisa mengirimi santet untuk membunuh Syifa secara perlahan. Dan kamu lihat bukan, Syifa benar-benar meninggal dunia. Aku punya beberapa bukti, yang menunjukkan bahwa Syifa meninggal, sepenuhnya tidak wajar. Tapi tidak bisa kujelaskan. Terlalu ngawur. Cukup kamu sadari, bahwa Syifa itu sebenarnya sehat-sehat saja, dia peduli dengan tubuhnya, lalu tiba-tiba dia divonis stadium empat. Tidak masuk akal bukan?”
Aku manggut-manggut. Tragis sekali cerita ini.
Mozaik 32
Pulang ke Banjarmasin
Sepanjang Mawar bercerita, aku manggut-manggut. Terkadang terhenyak, kaget dengan kenyataan cerita. Tapi setelah cerita itu selesai, aku bisa mengerti secara keseluruhan. Rupanya begitu. Ternyata begitu, Syifa berubah tidak atas kehendaknya sendiri. Tidak sepenuhnya.
“Jadi begitu ya, terima kasih sudah menceritakannya, Ar.”
“Sama-sama Az. Tolong kamu maafkan Syifa ya, jika kelakuannya saat itu ada yang membuatmu sakit hati.”
“Kurasa sekarang pun aku masih sakit hati. Aku benar-benar sedih melihat Syifa pergi duluan.”
Mawar menepuk bahuku, beberapa kali, “jangan sedih soal itu Az. Setidaknya, dalam hari-hari terakhirnya, Syifa mencintai orang yang tepat.”
“Eh siapa?”
“Ya iyalah, kamu Az. Dia suka denganmu.”
Aku terperanjat. Jadi kalimat Syifa di rumah sakit kemarin itu, bukan sekedar mengigau?
“Tidak Az. Syifa itu suka denganmu. Kalau tidak, mana mungkin dia repot-repot memintaku memanggilmu datang ke Pontianak. Syifa tahu umurnya tidak panjang, jadi dia ingin sekali bertemu denganmu untuk yang terakhir kali.”
Aku menghela nafas. “Baiklah Ar, kurasa fakta itu bisa membuatku pulang dengan tenang ke Banjarmasin.”
“Iya Az. Kuharap kamu bisa menemukan pengganti Syifa.”
Ingin sekali kusahuti lagi kalimat Mawar itu, tapi Tante Shimala dan Om Sastra muncul lebih dulu.
“Makasih banyak ya, Azka, kamu sudah mau datang ke sini. Meluangkan waktu. Terima kasih juga sudah membantu semua prosesi pemakamannya. Kamu sungguh pria yang tegar.” Tante Shimala memelukku.
“Tidak apa Tante, ini adalah hari-hari yang berat untuk kita semua.”
“Oh ya Azka,” ujar Om Sastra sambil membuka handphone, “saya sudah membelikan tiket untukmu. Bisa saya kirim e-ticket nya ini ke emailmu?”
“Oh bisa Om.” Aku bergegas membuka handphone, menunjukkan emailku.
“Makasih Om,” ujarku setelah proses transfer e-ticket selesai.
“Sama-sama. Anggap saja biaya perjalanan untukmu. Sekali lagi terima kasih juga, karena sudah datang, Humadi Azka.”
“Iya Om.”
“Kamu mau pulang sekarang Az?”
Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan Mawar. “Tentu saja Ar, masih ada banyak urusan yang harus kulakukan di Banjarmasin. Terutama sekali urusan beasiswa.”
“Kamu mendaftar beasiswa, Azka?” Om Sastra bertanya. Aku mengangguk. “Iya Om, beasiswa S2. Doakan Azka ya, Om, Tante.”
“Aamiin. Semoga jalanmu ke depan lancar, Azka.”
“Aamiin, Om.”
Adegan di teras Kediaman Muliyana Sastrawijaya sore itu adalah adegan perpisahan. Agak patah-patah aku mencium tangan Om Sastra, berpamitan. Tante Shimala memelukku sekali lagi. Kali ini berbisik pelan.
“Tidak baik bila didengan Om Sastra, tapi Tante akan selalu menganggap kamu sebagai anggota keluarga ini, Azka.”
“Makasih Tante.”
“Hati-hati, Az.” Mawar melambaikan tangan.
Aku melambai juga. Siap pulang.
Kau tahu kawan, akhirnya rasa sedih itu datang. Perlahan, merayap. Kesedihan yang luar biasa. Tadi, sepanjang prosesi pemakaman, sepanjang mendengarkan cerita Mawar, selama berada di hadapan Om Sastra dan Tante Shimala, aku berusaha tegar. Tapi sekarang tidak. Aku mulai menangis sesenggukan.
Kau tahu kawan, terkadang aku masih percaya dengan sistem jodoh. Terkadang aku masih berharap pada Syifa. Bahwa sejauh apapun dia pergi, karena dia jodohku, dia akan kembali lagi padaku. Tapi sekarang, Syifa sudah pergi terlalu jauh. Kami telah dibatasi oleh kematian. Tidak ada lagi konsep jodoh yang berlaku.
Kembali terbayang, bagaimana wajah Syifa saat tersenyum. Wajah Syifa saat melambai menyapaku setiap lewat di lokal 4 di Quart School dulu, wajah Syifa saat menyambutku di rumahnya, saat menghidangkan makanan, saat menyuruhku maju sebagai imamnya. Aku kembali menangis. Juga teringat wajah Syifa sesaat sebelum menghadapi kematian. Menyedihkan. Senyumnya memang tidak berubah. Bahkan setelah ruhnya lepas dari jasad, Syifa tetap tersenyum. Dia menghadapi kematian dengan damai.
Aku terus menangis sepanjang jalan. Baru bisa menenangkan diri sewaktu mobil mulai merapat ke Bandara Supadio. Sayangnya aku tidak punya banyak pilihan. Aku harus belajar menerima bahwa Syifa sudah pergi selamanya. Sewaktu pesawat bersiap-siap lepas landas, rasanya aku bisa melihat wajah Syifa di atas awan. Mengerling senyum padaku sambil berucap, “Makasih sudah datang Az. Hati-hati di jalan. Nanti kita ketemu lagi.”
Aku menghela nafas. Mataku berair lagi. Dengan cara dikuat-kuatkan, aku melambai ke awan.
Selamat tinggal, Syifa. Selamat jalan untukmu.
Begitu tiba di Bandara, pesawat mendarat dan aku boleh mengaktifkan handphone lagi, aku memutuskan mengabari beberapa orang. Ibu Qotrun dan Lia.
Sayangnya mereka sudah tahu kabar tersebut. Ibu Qotrun sempat berucap beberapa patah kata penghiburan. Aku menutup telepon, tidak berniat membahas itu lebih lanjut. Aku cuma ingin mengabarkan, kalau mereka sudah tahu, ya sudahlah.
Tiba-tiba, sewaktu aku hendak menyimpan handphone ke dalam tas (ya aku selalu membawa tas kecil tiap bepergian), handphone itu berbunyi lagi. Panggilan masuk. Dari Sofia.
“Halo Az. Bagaimana kabar temanmu itu sekarang? Apakah dia sudah mendingan?”
Aku menghela nafas. “Tidak Sofia. Aku sudah pulang. Semuanya sudah berakhir.”
Aku menutup telepon segera. Kurasa Sofia terkaget-kaget di sana.
Mozaik 33
Pemulihan dan Kejutan
Kuakui kawan, hari-hari setelah kepulanganku dari Pontianak adalah hari-hari yang sangat berat. Seakan-akan awan kesedihan bergelantungan dimana-mana. Aku kembali menderita semacam sindrom yang pernah kualami saat kepindahan Syifa dahulu.
Sekali lagi, aku melihat setiap wanita yang melintas di depan mataku, sebagai Syifa. Syifa, Syifa dan Syifa. Dimana-mana ada Syifa. Walau aku tahu, itu hanya bayangan imajinasiku belaka.
Sering pula aku memandangi pekarangan rumahku yang gelap di malam hari. Teringat pada Syifa. Jika aku cukup gila, maka aku akan berdoa seperti ini, “Syif, tolong tampakkan dirimu dong, aku rindu.” Ah ya kawan, cinta bisa membuat sesuatu yang menyeramkan jadi indah tak terperi.
Selain itu juga, semenjak kepulanganku, mendadak semua orang begitu peduli denganku. Misalnya hari ini, Ciye-ciye-ciye Grup memaksaku untuk nongkrong di salah satu kafe di pinggiran kota. Trevor yang menginisiasi. Bahkan mereka mentraktirku minum.
“Ayo diminum Az, kami patungan kok membayar ini. Jadi tidak dibebankan pada satu orang,” Asep menyorongkan gelas kopi padaku. Aku menerima, dan mulai minum.
“Jadi, dia sakit apa Az?” Niko perlahan bertanya. Mereka sudah kuberitahu bahwa Syifa sudah meninggal.
“Komplikasi di saluran pencernaan.”
Niko manggut-manggut. Setelah itu pembicaraan kembali macet. Entahlah, aku kehilangan selera untuk ngobrol dengan teman-teman terdekatku itu.
“Sudahlah Az, kita baiknya kembali ke ajaran agama. Kau harus bersyukur. Paling tidak kau sempat bertemu dengannya. Mengucapkan kata-kata terakhir. Kurasa kau akan lebih sedih jika tidak sempat pergi ke sana.”
Aku manggut-manggut ke arah Trevor. “Kau benar Vor. Aku bersyukur masih sempat diberi kesempatan. Tapi ya, proses ini tidak mudah. Aku perlu waktu.”
“Bagaimana kalau kita liburan Az? Kita pergi ke Gunung. Mendaki. Atau kita ke pantai. Mungkin itu bisa membuatmu terhibur.” Niko kembali menyarankan.
“Ya Az,” sambut Asep, “lumayan kalau ke pantai bisa cuci mata. Banyak yang bening-bening di sana.”
Trevor segera memukul mulut Asep. “Sembarangan kau Sep. Pilih-pilih dong dengan kalimat. Lihat keadaan Azka sekarang bagaimana. Kalau aku sih, lebih mending ke gunung. Kita bikin persembahan untuk dewa. Lumayan Asep bisa kita kurbankan.”
“Woy!”
Trevor terkekeh. Aku ikut tertawa kecil.
“Kurasa aku tidak perlu liburan seperti itu, Vor. Cukup menjalankan rutinitas saja. Nanti lama-lama aku bakal terbiasa juga kok.” Aku menyahut lagi.
“Oh baiklah Az. Yang penting kau jangan terlalu larut dalam kesedihan. Tidak baik. Kau masih punya kehidupan.”
“Benar Az,” sahut Niko, “kau juga masih punya kesempatan mengurus beasiswa.”
Aku terhenyak. Ini tanggal 11. Sedangkan hasil beasiswa dibagikan tanggal 10. Astaga. Gara-gara kesedihan, aku sampai lupa soal itu. Aduh bagaimana ya.
“Ada apa Az?” Trevor bertanya melihat gelagat kepanikanku.
“Pengumuman beasiswaku sudah terlewat Vor. Aku lupa. Pengumumannya kemarin. Apakah kalian ada tahu informasinya?”
Ciye-ciye-ciye Grup kompak menggeleng.
“Kan kau tidak mengurus beasiswa itu dengan kami Az. Seingatku kau malah dengan si gadis itu. Siapa namanya... Sofia?” di ujung kalimatnya, Asep mengerling pada Trevor.
Oh iya. Kalimat Asep itu mengingatkan aku pada satu hal. Sofia. Dia pasti tahu sesuatu. Aku bergegas meminum gelas kopiku, lalu beranjak berdiri.
“Lho mau kemana Az?”
“Mau mencari Sofia. Kurasa dia tahu sesuatu tentang beasiswaku.”
Trevor manggut-manggut. Kemudian membukakan jalan. “Oh iya, silakan Az.”
“Maaf ya, aku harus mengurus ini dulu. Jadwal kita jadi terganggu. Tapi terima kasih atas minumannya.” Aku buru-buru keluar dari kafe.
Sebenarnya aku cukup beruntung karena memiliki Ciye-ciye-ciye Grup. Mereka terlihat peduli sekali denganku. Bahkan sampai mengesampingkan persoalan pribadi. Kurasa tadi Trevor sebenarnya cemburu, karena urusanku ada sangkut pautnya dengan Sofia, tapi dia tidak bereaksi. Temanku itu, berjiwa besar.
Aku segera mencari nomor WA Sofia. Beruntung, dia sedang online. Pembicaraan segera terhubung.
“Halo Sofia.”
“Halo Az. Ada apa?”
Aku langsung ke inti pembicaraan. Sayangnya, Sofia tidak memberi kabar baik.
“Aku tidak tahu juga Az. Maaf. Kemarin aku sibuk soalnya, jadi tidak sempat ke sana. Maaf ya Az.”
“Ah tidak ada masalah, Mbak Fia yang terhormat.”
Bisa kudengar Sofia terkekeh sewaktu kupanggil dia begitu, “kurasa kamu sudah mulai pulih Az, karena bisa memanggilku begitu. Oh ya, mengenai beasiswa, kamu mau kutemani-kah. Barangkali kamu mau mengecek ke tempat pendaftarannya itu.”
“Jika kamu tidak sibuk, boleh juga.”
“Baiklah. Kita bertemu di depan UBM. Sampai jumpa Az.”
Aku menghela nafas. Baiklah, urusan Syifa bisa kupinggirkan sejenak.
Sofia menepati kata-katanya. Dia benar-benar menungguku di gerbang masuk UBM. Dia memakai jilbab warna abu-abu dengan pakaian berwarna gelap. Begitu aku sampai, dia melambai-lambaikan tangan.
“Kamu tidak bawa motor?” tanyaku, membuka helm.
“Eh tidak. Aku nebeng kamu aja ya Az. Tidak apa-apa kan?”
Lalu tanpa menunggu persetujuanku, Sofia meloncat ke atas kendaraanku. Seharusnya ini bisa jadi momen yang menyenangkan kawan, tidak setiap saat aku bisa membonceng Sofia. Salah satu mahasiswa paling cantik di FIS UBM. Tapi dengan keadaan berkabung seperti sekarang, bagiku ini lebih seperti ujian ketimbang anugerah. Ya Tuhan.
Kami menuju ke bagian administratif pendaftaran. Sofia dengan skill berbicaranya yang lebih lancar, segera bertanya mengenai dimana melihat pengumuman kelulusan. Petugas administratif dengan senang hati menunjukkan website yang bisa diakses.
“Coba lihat pelan-pelan Az,” Sofia menyorongkan jarinya, menyeleksi apakah ada namaku di antara belasan nama yang lolos.
Jariku ikut bergerak. Dan seketika terhenti di baris terbawah. Yang baru saja terbuka saat diklik oleh Sofia. Sofia sendiri langsung memegangi mulutnya, nyaris histeris.
Tidak salah lagi. Di baris terbawah itu, mantap tertulis namaku.
HUMADI AZKA.
“KYAAAAAKKK!!! Kamu lulus Az!” Sofia akhirnya tidak bisa menyembunyikan rasa euforianya. Aku bergegas sujud syukur. Ini adalah kabar terbaik setelah dua hari yang lalu aku menerima kabar terburuk.
“Selamat ya Az,” Sofia nyaris memelukku karena saking histerisnya. Untung aku sempat menahan bahunya. Bila Sofia sampai memelukku, bisa-bisa gawat urusannya. Bisa semaput aku.
“Ini berkat kamu juga, Mbak Fia.” Aku tersenyum. Satu bebanku telah hilang. Aku tidak mengecewakan siapapun. Aku lulus. Hei agak susah dipercaya kawan.
Aku, Humadi Azka, anak kampung Melayu udik, mendapat beasiswa untuk kuliah tingkat master di Utara University. SUNGGUH ITU KABAR BAIK!!
“Maaf Mas dan Mbak, yang dinyatakan lulus, tolong segera melengkapi persyaratan administratif sebelum tanggal 13 ya.” Pegawai administratif menyela gelombang euforia aku dan Sofia.
Aku mengangguk mengiyakan.
Mozaik 34
Semoga Kita Bertemu Lagi dalam Waktu Dekat
Kabar gembira itu menyebar ke segala penjuru dengan cepat. Aku sendiri yang menyebarkannya.
Pulang dari tempat pengumuman, aku langsung menghubungi Ciye-ciye-ciye Grup. Panggilan kami segera terhubung. “Aku lulus. Ko, Vor, Sep, aku lulus tes. Aku dapat beasiswa magister ke Utara University itu.” Suaraku pasti meledak-ledak di speaker mereka masing-masing.
“Puji Tuhan Az. Tuh kan, kau pasti lolos, asal kau mendaftar. Selamat.”
“Apa kubilang Az, untunglah kau mengambil kesempatan ini. Kalau tidak kau bisa menyesal,” itu sahutan Asep.
Adapun Trevor berdehem-dehem. “Selamat ya Az, beneran meneruskan jejak Pak Thom dia nih.
“Terima kasih semuanya.”
Tidak banyak obrolan dengan Ciye-ciye-ciye Grup. Aku memutus panggilan. Langsung menghubungi orang berikutnya. Ibu Qotrun Nada. Beliau kemarin tahu aku ragu mendaftar, sekarang Ibu harus tahu kalau aku lolos.
“Alhamdullilah Az. Ibu turut senang mendengarnya. Ini kabar terbaik yang Ibu dengar dari kamu. Akhirnya Ibu bisa melihat anak didik Ibu kuliah di luar negeri. Alhamdulillah. Semangat ya Azka. Kamu harus tuntaskan ini.” Suara Ibu Qotrun terdengar tidak kalah bersemangatnya. Aku menutup telepon setelah bilang terima kasih dan Ibu mendoakan aku.
Tinggal memberitahu Pak Thom dan Kak Kurnia. Mereka juga berhak tahu. Tapi aku tidak berani menelepon langsung Pak Thom. Takut mengganggu waktu beliau, meski secara teknis beliau sering mengganggu waktuku.
Aku layangkan chat pada Kak Kurnia. Bertanya kapan Kak Kurnia ada agenda diskusi dengan Pak Thom.
“Malam ini ada Az, pukul 10 malam.”
Aku mengepalkan tangan. Sempurna.
“Undang Azka ikut Kak. Ada yang mau Azka sampaikan pada Pak Thom.”
Beruntungnya lagi, Kak Kurnia yang biasanya kepo berlebihan membalas singkat saja. “Baiklah. Nanti aku undang.”
Pak Thom dikenal sebagai dosen yang suka berdiskusi dengan mahasiswanya. Beliau biasanya berdiskusi pula dengan Kak Kurnia, nyaris setiap hari. Untuk media, biasanya digunakan video conference. Aku pernah diundang, beberapa kali. Hanya jika keberadaanku diperlukan atau aku termasuk tim riset. Jadi malam ini kedatanganku tidak terduga.
“Lho Azka, kenapa kau ada di room saya?” Pak Thom bertanya, kaget. Suara beliau berat. “Kurnia, kenapa kau mengundang Azka?” tanya beliau lagi.
“Azka yang minta Pak. Saya kurang tahu kenapa Azka memintanya. Mungkin Azka sendiri bisa menjelaskan.”
“Baik, Azka. Sekarang jelaskan pada saya.” Suara Pak Thom nampaknya masih mengintimidasi. Yang tidak sering berurusan dengan beliau, mentalnya bisa langsung tergulung. Tapi aku tidak. Aku pantang mundur.
“Eh iya Pak,” suaraku lancar, “maaf sebelumnya. Azka cuma mampir sebentar Pak. Mau menyampaikan kabar gembira. Hari ini pengumuman tes beasiswa Utara University. Azka ikut, dan Azka dinyatakan lulus pak.”
Untuk sekilas, tidak terdengar suara sahutan. Namun kemudian Pak Thom, dengan intonasi suara yang susah kudeskripsikan berkata, “Selamat Azka. Tidak sia-sia saya menyuruhmu mendaftar beasiswa itu. Semoga sukses.”
“Siap Pak. Terima kasih.”
Pesawat yang akan mengantarku terbang ke negeri tetangga baru berangkat pukul 10 pagi, tapi Ciye-ciye-ciye Grup sudah datang ke rumahku sejak pukul 5 subuh. Mereka bersepakat mengantarku ke bandara. Trevor membawa mobilnya. Mereka bersemangat. “Aku bahkan tidak tidur semalaman,” cetus Asep. Bersemangat sekali dia.
Aku terharu. Teman-temanku sungguh baik.
“Ingat ya Az, belajar yang rajin di sana. Jaga semangat, jaga kesehatan,” Trevor merepet-repet sambil menyetir. Heran aku.
“Trevor benar Az. Semangat dan kesehatan itu sangat penting untukmu di sana.” Niko ikut menyahut.
“Kalau mau semangat dan sehat, secepatnya cari cewek cantik di sana Az,” nah kalau yang itu Asep yang menyahut. Aku tersenyum masam.
Ciye-ciye-ciye Grup tertawa-tawa.
“Berapa lama kuliah magister itu Az?”
“Kurasa dua tahun saja, Vor.”
“Dua tahun bukan waktu yang singkat Az. Itu berarti kita tidak bisa ngobrol dan nongkrong selama dua tahun. Kurasa grup ini akan kehilanganmu, Az.”
“Hei ayolah Vor. Jangan meratap-ratap seperti orang mati bini begitu.” Aku tertawa ke arahnya. Trevor melotot.
“Kita masih terhubung via telepon grup. Iya kan Az?” Niko bersuara. Aku mengangguk.
“Iya, sampai nanti Azka dapat pacar cewek cantik dan akhirnya melupakan kita di sana.”
“Hush, kau ini Sep.”
Ngomong-ngomong soal cewek cantik, ternyata aku tidak perlu menunggu sampai ke Malaysia. Di lobi bandara, ternyata ada seorang cewek cantik yang telah menungguku. SoSofia Nur Iman. Trevor yang ada di sana, terlihat salah tingkah.
“Kamu ngapain ke sini, Mbak Fia yang terhormat?” aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Pipi Sofia memerah, bahkan sebelum dia berbicara, kami berhadap-hadapan. Sudutnya sempurna. “Tentu saja mengantar kamu, Tuan Azka yang cerdas, temanku yang akan berangkat ke Malaysia.” Sofia tidak bisa menyelesaikan kalimat. Menutup mulutnya, malu-malu.
Aku hanya bisa nyengir lebar. Bilang terima kasih atas bantuan Sofia selama mengurus beasiswa itu. Bilang bahwa beasiswa ini bisa kudapat berkat bantuan darinya. Saat itulah kejadian paling mengejutkan terjadi.
Sofia memelukku.
Tanpa tedeng aling-aling.
Aku bisa merasakan tangannya mendekap punggungku dengan erat.
“Semoga kita bertemu lagi dalam waktu dekat, Tuan Azka yang cerdas.”
Sofia sesenggukan. Ciye-ciye-ciye grup terpana.
Mozaik 35
Kampus Utara University
Mari aku coba mendeskripsikan seperti apa kampus Utara University.
Kampus Utara adalah salah satu kampus terbesar di Malaysia, bahkan mungkin di Asia Tenggara. Kampus ini memiliki 27 gedung yang besar-besar. Masing-masing gedung untuk satu departemen atau fakultas. Setiap gedung dibangun berlantai empat sampai lima. Pembangunan gedung-gedung itu, juga dibuat artistik. Dibuat berbentuk huruf U. Untuk menjelajahi seluruh Utara, memerlukan waktu lebih dari dua jam. Perlu satu hari penuh jika ingin melihat seluruh ruangannya.
Kampus Utara berdiri sejak tahun 1929. Didirikan oleh pemerintah Inggris. Nama pendirinya, sekaligus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah kampus ini adalah Sir Thomas “Utara” Maguire Belgington. Nama yang luar biasa bukan, kawan? Engkau bisa merasakan aura beliau hanya dari membaca nama beliau.
Sir Thomas ingin membangun sebuah institusi pendidikan terbaik yang bisa dinikmati mahasiswa-mahasiswa Inggris dan orang-orang di negeri jajahan Britania Raya. Oleh karena itu, saat mendirikan Kampus Utara, beliau memanggil semua ahli segala macam ilmu dari penjuru Inggris, termasuk Oxford dan Cambridge buat datang ke Universitas baru yang beliau dirikan. Itulah Universitas Utara.
Setelah Malaysia merdeka, universitas ini terus melanjutkan cita-citanya. Menjadi perguruan tinggi terkemuka di Asia Tenggara dan dunia. Letak Utara University yang tepat di jalur perdagangan dunia, selat Malaka, membuat kampus ini menjadi universitas multietnis, multiras dan antar bangsa.
Aku sendiri memilih masuk di jurusan kesejarahan. Sebuah jurusan yang nyaris membuatku meloncat girang sewaktu melihat namanya. Hei sudah lama aku berkeinginan mendalami ilmu sejarah dengan sebenar-benarnya, dan sekarang aku bisa mewujudkannya. Langsung di Utara University. Dibimbing oleh pengajar-pengajar terbaik. Luar biasa kawan. Luar biasa.
Hari ini aku ada jadwal kelas pukul 8 pagi. Dan aku sudah sampai di Utara sejak pukul 7. Aku tidak mau terlambat. Di sini standar yang dibuat, berdasarkan standar Eropa Barat. Tidak ada istilah jam karet seperti di Indonesia. Parahnya lagi bila terlambat, itu akan mempertaruhkan harkat dan martabat bangsa. Mana mau aku melakukan hal itu.
Meski negaraku jahat sekalipun pada bangsanya.
Salah satu pengajar yang paling sering masuk ke kelasku adalah Prof. Thompson. Aku menyebutkan beliau bukan karena beliau yang paling disegani, atau paling cemerlang karier akademiknya. Tidak. Masih banyak profesor lain di Utara yang lebih hebat ketimbang Profesor Thompson. Tapi sebagai seorang mahasiswa sejarah, aku terpukau dengan beliau.
Prof. Thompson mengaku bahwa dirinya adalah kelahiran Singapura. Menghabiskan masa kecil di sana, kemudian pindah ke Inggris. Beliau mengantongi ijazah Oxford, Cambridge, Edinburgh University, sampai Haalam University. Karier akademik beliau mempunyai banyak cabang. Beliau diakui memiliki kepakaran di bidang ekonomi, sosiologi, psikologi sosial, antropologi sosial budaya, politik, hubungan internasional, sampai perbandingan agama.
Kau tahu apa yang membuat beliau hebat kawan? Tak satupun dari gelar beliau yang berderet panjang itu, yang menyatakan bahwa beliau adalah ahli ilmu sejarah. Tidak ada. Kami heran sewaktu bertemu dengan beliau, seseorang memberanikan diri bertanya, sembari meminta maaf jika itu pertanyaan lancang. Tapi beliau tersenyum, menjelaskan.
“Setiap mendengar ada pertanyaan semodel ini, saya selalu teringat percakapan saya dengan senior saya di Haalam. Prof. Alan Topkins. Beliau ahli ilmu sejarah. Sejak studi bachelor-nya tidak pernah melenceng dari sejarah. Tapi beliau mengaku tidak puas. Pendidikan beliau tidak banyak mendukung penelitian yang beliau lakukan.
Prof. Alan Topkins bilang begini:
“Thompson, untuk belajar sejarah, kau tidak boleh jadi ahli sejarah. Kau harus jadi ahli ekonomi, politik, sosiologi, psikologi, antropologi atau bahkan ahli musik. Karena saat kita meneliti tentang sejarah, itulah yang kita hadapi. Bukan sejarah. Tapi cerita-cerita, hubungan masyarakat, hubungan dagang sampai peperangan. Bagaimana kau bisa menguraikan semua itu tanpa jadi ahli di semua bidang itu”
Kata-kata Prof. Alan melekat di benak saya. Jadi saya selalu berusaha belajar cabang ilmu baru. Terus memperkaya wawasan saya. Tentang apapun. karena saya tahu, itu akan berguna untuk meneliti tentang sejarah.”
Kami bertepuk tangan. Sungguh luar biasa kata-kata dari Prof. Thompson hari itu. Aku bahkan langsung terinspirasi.
Oh ya kawan, setelah berlelah dan berpusing ria di kelas, ada waktunya untuk bersantai di Utara. Caranya adalah dengan mendatangi kantin Utara. Terletak di cekungan huruf U, di ujung kampus.
Meski dicap sebagai “kantin”, bangunannya juga bertingkat dan disediakan berbagai macam pilihan makanan. Semua dikelola dengan modern.
Kampus Utara University benar-benar luas, luar biasa.
Mozaik 36
Tentang Betapa Tertinggalnya Pendidikan Negeri Kita
Sejak masih di UBM, kawan, aku, tanpa mandat dari presiden, tanpa sepengetahuan menteri BUMN, tanpa persetujuan dari BKKBN, telah mendaulat diriku sebagai seorang life observer. Aku adalah seorang pengamat studi perilaku, dan jika life observer dijadikan sebagai jurusan di universitas, maka aku akan mengambil konsentrasi pengamatan perilaku mahasiswa.
Aku sudah melakukannya sejak masih di UBM, jika kawan masih ingat, bagaimana aku menggambarkan perilaku teman sekelasku di reguler A, dan kesimpulanku yang mengarah pada, aku sebagai orang udik terancam dikucilkan dari circle pergaulan.
Nah ini satu lagi hasil pengamatanku, tapi kali ini, beda tempat. Ini tempatnya lebih prestisius, Utara University.
Apabila kelasku yang diisi kurang lebih dua puluhan orang itu, digambarkan sebagai rantai makanan, maka pria yang duduk di pojok depan, serius dalam menyimak itu, adalah burung elangnya. Dia adalah pemangsa puncaknya.
Dialah Smith. Orang Inggris. Usia 28 tahun. Pekerjaan, pegawai museum di Belanda. Pengalaman kerja, pegawai museum di Inggris. Melihat background pekerjaannya saja, siapapun ciut. Dia adaah sinuhun, pemegang sabuk tertinggi perguruan ilmu sejarah di Utara.
Sebagaimana orang yang berada di puncak, dia dingin terhadap siapapun. Dia hanya bicara kalau ada perlu. Tidak seperti mahasiswa-mahasiswa lain dari negara berkembang, yang saat memasuki sesi diskusi menjadi ketar-ketir sebab takut ditanya oleh dosen, Smith tidak. Dia diam saja. Malah saat dia buka suara, dosen yang ketar-ketir, sebab pertanyaan halus, sederhana, namun dalam. Tak jarang, pengajar yang tak banyak bacaannya mati tercekik oleh pertanyaan Smith.
Oleh karena sikapnya yang seperti itu, Smith tidak punya banyak teman, dia cenderung berjarak dengan siapapun, tapi dia tidak peduli. Dia fokus pada tujuannya sendiri. Meski tidak punya teman, Smith seperti santai saja. Dia telah belajar pada guru terbaik dalam hal ini, individualisme Barat.
Lain Smith, lagi Tun Bakhtiar. Beliau (usianya sudah mencapai 30 tahun, jadi eloklah kupanggil dengan kata ganti beliau) adalah tuan rumah. Ibarat rantai makanan, Tun Bakhtiar ini adalah ular. Liar, licin, lincah, susah ditangkap, dan mematikan. Klasifikasinya sempurna. Beliau adalah guru sejarah di salah satu sekolah swasta terbaik di Malaysia. Saat ini beliau dikirim ke Utara untuk memperdalam ilmu sejarahnya. Beliau adalah satu-satunya orang di kelas kami yang berani menghadapi Smith satu lawan satu saat sesi diskusi. Namun, beda dengan Smith, Tun Bakhtiar adalah orang yang ramah. Ya, ramah. Ramahnya untuk mempelajari kelemahan teman-teman sekelas, lalu itu dipakai untuk mengalahkan mereka. Tun Bakhtiar adalah orang yang dilahirkan untuk berkompetisi, maka dia tidak akan segan melakukan apa saja. Itu yang kumaksud sebagai ular.
Tersebut lagi nama mahasiswa pascasarjana lainnya. Namanya Richards. Dia blasteran Melayu-Barat, Baratnya barat mana? Tak hirau. Kalimantan Barat pun boleh jadi. Wajahnya ganteng, fisiknya oke, dia memelihara jambul, dan berkacamata sopan. Secara garis besar, Richards berbakat jadi buaya darat, dan itulah yang dia lakukan. Dia hobi gonta ganti pasangan. Baginya pasangan ibarat selera makan. Sesekali bisa berganti, secara tiba-tiba, tidak terduga, dan kapan saja. Ah membicarakan Richards, tidak bisa tidak membicarakan dua orang cecunguk yang mengekornya kemana-mana, mereka adalah Anwar Sadad, Banu Monaf, dan Sopwan. Eh ada tiga rupanya. Harap maklum kawan, nama-nama mereka yang membuat lidahku ingin keseleo itu, membuatku cepat lupa dengan mereka.
Richards dan dua temannya (eh maksudku tiga) adalah katak di dalam kelas. Mereka banyak bicara, tapi bodoh. Sebagaimana lagak pria playboy pada umumnya, Richards pandai bicara, tapi kosong isinya. Ketika kelas memasuki sesi diskusi, Smith diam, Tun Bakhtiar menyiapkan bahan diskusi yang bisa menjatuhkan siapa saja, sementara Richards dan ketiga kawannya, megap-megap mengikuti diskusi. Mereka bertanya, tapi kerap pertanyaan mereka tidak pantas ditanyakan di majelis ilmu tinggi macam itu. Namun mereka tetap rajin belajar. Itu yang membuat aku salut.
Nah lantas, bagaimana posisiku dalam rantai makanan di kelas itu?
Aku adalah anemon laut.
Loh?
Iya kawan, kawan benar. Tidak nyambung. Aku ibarat sebuah entitas yang tiba-tiba nongol di kelas itu, tak tahu bagaimana caranya. Aku berbeda dengan yang lain, sebab aku dibesarkan di lingkungan yang teramat berbeda.
Kawan yang lain berdiskusi, aku diam.
Kalau Richards dan cecunguknya masih berani bertanya dalam sesi diskusi, aku tidak berani sama sekali. Kukira itu adalah pengaruh pendidikan semenjak di masa pengasuhan anak-anak.
Sebenarnya aku ingin sekali ikut aktif dalam sesi diskusi itu, dan sebenarnya aku bisa. Sebab aku adalah bintang terang UBM. Aku punya kapasitas untuk bersaing. Semua itu bisa kucapai dengan satu syarat. Aku harus bekerja keras. Masalahnya adalah, aku tidak punya alasan untuk berjuang.
Ya, aku berusaha keras untuk siapa? Semua pencapaian itu mau kupersembahkan untuk siapa?
Untuk Syifa? Bukankah dia sudah pergi selamanya?
Seketika saat pulang kuliah, pergi ke kontrakan, aku menengok ke langit dan melihat Ibu Qotrun tersenyum.
Seketika aku ingat lagi apa alasanku untuk berjuang.
Mari kita bertarung sekali lagi, Azka.
Mozaik 37
Lho, Kamu?
Sebenarnya kuliah di Utara sangat menyenangkan. Aku bisa memuaskan naluri akademisku dengan sangat-sangat luar biasa. Utara University memberiku jalan untuk menempuh studi di bidang yang sangat aku sukai. Kesejarahan.
Profesor di kelas sering mengajak kami diskusi, dan setiap diskusi, aku selalu berusaha keras untuk terlibat. Terkadang argumenku bahkan lebih tajam dari mereka-mereka, mahasiswa kesejarahan murni.
“Unbelievable, Azka. You sure sound convincing,” puji Prof. Thompson. Beliau adalah salah satu profesor favoritku di Utara University. Semua lancar, jika jalurnya benar, hanya sekitar 1 tahun 2 bulan lagi aku bisa keluar dan menjadi seorang Magister Humaniora.
Tapi ada satu masalah. Aku kesepian.
Utara University tidak sama dengan Universitas Bumi Melayu. Tidak ada Ciye-ciye-ciye Grup di sini. Aku tidak punya teman-teman akrab karena nyaris semua teman sekelasku adalah orang-orang sibuk. Kuliah magister nampaknya memang difokuskan kebanyakan orang untuk mencari ilmu, bukan mencari teman. Setiap orang berjalan sendiri-sendiri. Jika ingin memiliki teman jalan, maka itu adalah pasangan. Ah itu opsi yang sama sulitnya bagiku.
Jadilah aku di Utara sendirian.
Seringkali, aku merasa teman-teman sekelasku seakan menjaga jarak dariku. Beberapa diantaranya menyapaku dengan segan. Aku menghela nafas. Ini bukan gayaku sebenarnya.
Seringkali pula aku berjalan ke kantin sendirian. Mencari makan siang. Sering aku merenung sambil makan nasi lemak khas Malaysia. Hei, di kampus sebesar ini, aku tetap sendirian. Tidak ada satupun orang yang bisa diajak mengobrol. Tambahkan aku adalah seorang introvert, susah mencari koneksi.
Lupakan sejenak. Nasi lemak ini sedap kawan.
Satu-satunya hiburanku selama di Utara, kurang lebih 2 bulan ini adalah pertemuan seminggu sekali di ruang telepon dengan Ciye-ciye-ciye Grup. Mereka terkadang bertanya bagaimana mengurus skripsi denganku.
“Jadi bagaimana kuliah di Malaysia, Az? Seru?” Niko bertanya. Dia selalu ingin tahu.
“Lancar, Ko. Seru. Aku bisa melihat taraf pendidikan di sini, jauh unggul dari Indonesia.”
“Ha, kau sekarang tahu apa yang dibilang Pak Thom ternyata benar.”
“Yoi, Azka-kan reinkarnasi Pak Thom.”
Aku tersedak. Humor Asep tidak lucu.
“Apa yang paling berasa beda Az?” Niko bertanya lagi.
“Masalah gebetan dong, di sini kan Azka punya banyak doi,” Asep lagi-lagi yang menyahut. Aku tersenyum masam. Humornya benar-benar dark malam ini.
“Ah jangan bicara gebetan-lah. Aku sedih mendengarnya.”
“Eh kenapa Vor?” aku reflek bertanya.
“Sofia diwisuda. Dia ternyata lulus berbarengan dengan kau Az. Dan Trevor baru menyadari itu sekarang,” Asep kembali mencerocos.
Dari seberang telepon aku manggut-manggut. Sofia tidak pernah bilang dia menulis skripsi juga?
“Ah ya, kini aku sendirian di UBM. Tidak seru lagi Az.”
Lupakan pula kata-kata Trevor itu. Sejauh apapun definisi “sendirian” yang dikoarkannya, setidaknya di UBM dia masih bersama dengan Asep dan Niko. Nah aku. Di Utara, benar-benar sendirian.
Hari ini sama saja.
Aku menyusuri lorong. Menuju kelas yang telah diatur untuk hari ini. Aku tidak berharap apapun. Pikiranku fokus dengan jurnal yang kubaca tadi malam. Hari ini, jika Prof. Thompson melontarkan diskusi lagi, aku siap meladeni beliau.
Namun, aku lupa satu hal. Tuhan bekerja di luar kehendak manusia. Setelah dua bulan penuh kebosanan itu, hari ini, Tuhan memberiku jawaban baru. Jawaban itu tepat berada di ujung lorong sana. Seorang wanita.
Terpana aku ketika menatapnya. Bukan karena dia cantik (walau dia memang salah satu wanita paling cantik yang pernah kutemui seumur hidupku), aku terpana, karena aku amat mengenal wanita itu. Dia tersenyum ke arahku. Melambaikan tangan. “Hai Azka!” katanya.
Cepat-cepat aku mendatanginya. Saat tiba di depannya, tanpa tedeng aling-aling, aku pelototi dia dari ujung jilbab ke ujung sepatu. Tidak salah lagi.
“Lho, kok kamu ada di sini... Sofia?”
Dia tersenyum manis. “Kejutan untuk Azka. Hehehe. Walau ya agak sulit menemukanmu. Perlu lebih dari dua bulan bagiku berkeliling Utara.”
Aku masih sulit mempercayai apa yang ada di depanku sekarang. SoSofia Nur Iman. Temanku di Persma. Temanku berburu beasiswa. Kini berada di Utara University.
“Bagaimana bisa kamu ada di sini, Mbak Fia yang terhormat.” Aku mengulang pertanyaan. Masih dengan wajah tak percaya.
Sofia tersenyum lagi. “Panjang ceritanya Az. Nanti habis kelas, kita cerita sama-sama.”
Sofia berlalu sambil mempererat pegangan pada tas yang dipanggulnya. Kemudian dia berlalu, bergegas. Aku melambaikan tangan. Kurasa Sofia akan senang bertemu denganku di kantin nanti.
Kau tahu kawan, hari itu kuliahku tidak keruan rasanya. Rasanya ingin cepat-cepat keluar dari kelas. Semua argumen dari bertumpuk-tumpuk jurnal yang telah kubaca, menghilang seketika, berganti dengan pesona Sofia. Astaga, cinta memang berada di luar logika.
Akhirnya, kelas berakhir (dengan sedikit gerutuan dariku), dan aku bisa cepat-cepat menuju kantin. Seperti yang pernah kubilang, kantin Utara, sangatlah luas. Tapi aku bisa menemukan Sofia di sini. Kekuatan intuisi.
Dia duduk di sebelah sana.
“Jadi bagaimana ceritanya hingga kamu bisa sampai ke sini, Mbak Fia yang terhormat?” aku mulai bertanya setelah kami memesan dan berbasa-basi. Usah kau tanyakan bagaimana kami berbasa-basi, kawan. Romantis pokoknya (kurasa kawan malah makin ingin tahu).
Sofia memesan Nasi Lemak dan menyeruput jus jeruk. Cuaca di Utara sedang tidak menentu, hari ini panas terik.
“Panjang ceritanya, hehe.” Sofia malah terkekeh.
“Maka ceritalah. Kamu ada di depanku sekarang, aku berhak bertanya.”
“Iya, iya Tuan Azka yang cerdas. Sebenarnya, ini adalah kejutan untukmu.” Di ujung kalimatnya Sofia menatap lurus ke arahku. Membuat suasana agak canggung. Jujur saja kawan, nyaris 4 tahun mengenal Sofia, aku masih belum terbiasa betul berada di dekatnya.
“Kejutan untukku?” ulangku.
“Iya. Ketika kamu bilang mau mencoba daftar beasiswa ke Utara, aku memutuskan, aku juga harus bisa masuk di kampus yang sama denganmu. Tapi kalau aku ceritakan rencanaku padamu, sepertinya itu tidak seru. Jadi ya, aku simpan saja sebagai kejutan. Senang sekali melihat wajah tak percayamu tadi pagi Az.”
Astaga, Sofia. “Tampaknya kamu benar-benar mengejar aku, Mbak Fia yang terhormat.” Aku balas terkekeh. Enak saja, Sofia sengaja menggodaku.
“Terdengar seperti itu ya Az, tapi sebenarnya tidak kok,” Sofia menjawab santai, “asal kamu tahu, kuliah bersama Tuan Azka yang cerdas, adalah cara tercepat untuk lulus.”
“Sial, kamu memanfaatkanku rupanya.”
Kami tertawa bersama.
Mozaik 38
Sarapan yang Bermakna
Sebelum berpisah hari itu, aku menyempatkan diri untuk menanyakan dimana Sofia tinggal selama kuliah di Utara. Sofia menyebut alamat, namun dengan embel-embel, “nah karena kamu sudah tahu dimana aku meng-kos, mulai besok, jemput aku ya Az. Hehe.”
Dia masih berniat menggodaku. Tapi tidak masalah, aku tidak keberatan. Alamat kontrakan Sofia berada searah dengan perjalananku ke Kampus Utara. Lagipula, sebagai pemegang beasiswa Utara, aku dibekali sebuah sepeda motor (walaupun hanya sepeda motor bekas).
Pagi-pagi, aku sudah membunyikan klakson di depan kontrakan Sofia. Membuat penghuninya keluar sambil mengucek mata.
“Astaga, Azka. Apa yang kamu lakukan di situ?!”
“Apa lagi, bukankah kita sudah sepakat. Kamu kan kemarin minta dijemput. Ayo!” aku ikut menyahuti dengan setengah berteriak.
Sofia mendekat, membukakan pagar. “Kamu mau masuk dulu Az? Kamu ini datang terlalu pagi. Aku saja belum mandi.”
Aku terhenyak, belum mandi saja, kamu sudah berkilauan seperti ini, Sofia? Astaga.
“Memangnya boleh?”
“Iya tidak apa-apa. Tapi kamu jangan melakukan hal yang aneh-aneh ya, aku punya jurus tendangan yang bisa menghancurkan benda masa depanmu itu jika kamu macam-macam yang aneh-aneh.”
Aku terkekeh. Baiklah, aku mengekor Sofia masuk ke dalam kontrakannya. Kontrakan yang cukup besar. Sofia mempersilahkan aku duduk di kursi ruang tamu, sementara dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sekali lagi, Sofia mengingatkan tentang jurus yang bisa menghancurkan masa depanku itu. Aku mengangguk saja. Aku tidak akan macam-macam, Sofia.
Tuhan tidak akan segan mencabut beasiswaku jika aku berani macam-macam.
Aku menunggu di ruang tamu hampir 30 menit. Lima belas menit pertama untuk bunyi-bunyi guyuran air di telingaku, dan lima belas menit berikutnya untuk aroma-aroma yang merasuk ke indra penciumanku. Sepertinya saat aku sampai tadi, Sofia baru saja bangun. Belum sempat melakukan apa-apa, demikian kesimpulanku.
“Astaga Az, bahkan sepertinya kamu tidak bergerak-gerak dalam 30 menit ini ya,” Sofia mendatangiku lagi. Sambil terkekeh.
Jujur saja, menerima kekehan Sofia, di pagi hari, tepat setelah dia berdandan, bisa menggoyahkan iman siapa saja. Aku sampai tidak sadar kalau dia membawa dua piring nasi goreng di tangannya.
“Hei, kenapa kamu bengong begitu Az, nih sarapan dulu. Maaf ya, cuma ada nasi goreng.”
Aku masih tertegun. Terbius oleh penampilan Sofia. Bajunya berwarna biru gelap, celananya jeans, freshbody, jilbabnya warna biru laut, cerah. Tambahkan bibir simetrisnya yang berwarna merah, merekah senyum. Astaga, istighfar Azka, jangan kehilangan kewarasanmu.
“Hei Az,” Sofia menepuk lututku, “jangan bengong.”
“Eh maaf.” Lalu aku patah-patah menerima piring berisi nasi goreng dari tangannya.
“kamu kenapa sih Az?” Sofia bertanya menyelidik.
“Kamu cantik, Mbak Fia.” Aku berucap dengan jelas dan terang. Tanpa ragu-ragu.
Sofia terkekeh lagi mendengar kalimatku. “Basi Az, sudah terlalu banyak yang bilang begitu. Walau menurutku, masih banyak cewek yang lebih cantik dari aku di luar sana, mari kita makan. Nanti kamu telat masuk kelas.”
Sungguh kawan, sarapan pagi itu, adalah sarapan paling bermakna yang pernah kulakukan sepanjang petualangan asmaraku. Walau menu makanannya hanya nasi goreng. Mainstream sekali. Entah kenapa, jika ada adegan sarapan semacam ini, menunya selalu nasi goreng.
Kutanyakan hal itu pada Sofia, begini katanya. “Ya mau bagaimana lagi Az, nasi goreng itu adalah menu paling praktis. Mengolahnya juga sebentar, rasanya cocok di lidah kebanyakan orang. Selain itu, kalau sudah bikin nasi goreng, tidak repot lagi mikir apa sayurnya, apa kuahnya, tidak. Dihidangkan nasi goreng dengan telur orak-arik seperti ini saja, orang tidak bakal protes, ya kan?”
“Kamu terdengar seperti profesor, Mbak Fia. Teori yang masuk akal sekali.”
“Hei, lihat dulu dong, ini SoSofia Nur Iman, mahasiswa UBM yang lulus hanya dalam waktu 3,5 tahun saja.”
“Iya. Mungkin sebentar lagi aku harus memanggilmu, Mbak Fia yang cerdas.”
Ruang tamu kontrakan Sofia hari itu, penuh dengan kehangatan.
Karena aku tidak mau terlalu banyak berpanjang lebar lagi soal kejadian pagi itu, anggap saja kami tiba di kampus dengan selamat kawan. Lagipula, kalau aku terlalu banyak bercerita tentang Sofia, nanti kawan bisa menyangka aku suka dengan gadis itu.
Hei, apakah benar aku suka dengan gadis itu?
Kami berpisah di lorong. Arah kelas yang kami tempuh berbeda. Sebelum berpisah, Aku iseng berpesan pada Sofia, sambil terkekeh. “Nanti kita ketemu di kantin. Jangan mulai memesan tanpa aku.”
Sofia mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.
Entahlah kawan, apakah aku menyukai gadis itu?
Mozaik 39
Seseorang yang Tersenyum Ketika Duduk di Sampingmu
Jujur saja kawan, pertemuanku dengan Sofia di lorong Utara University untuk pertama kali itu, adalah titik balik kehidupanku selama menempuh studi master.
Saat pertama kali tiba di sini, aku pikir aku akan menghabiskan dua tahun jangka waktu studiku secara sendirian, hanya berteman dengan buku, tidak ada teman yang menghiraukan. Satu bulan pertamaku di Malaysia, membuktikan bayanganku itu. Tapi aku siap untuk menghabiskan waktu sendirian (meski itu menguras banyak kewarasan).
Setelah bertemu Sofia, semua itu berubah. Kini aku punya teman. Teman ngobrol, teman bercanda, teman diskusi dan teman ke sana kemari. Sofia cukup supel untuk diajak bergaul. Mungkin dia merasakan hal yang sama denganku, yaitu terasing di negara orang.
Aku cukup sering menjemputnya untuk berangkat kuliah. Ada tiga waktu kami yang cocok dalam seminggu. Pulangnya pun sering bareng. 4 kali dalam seminggu. Makan di kantin, nyaris setiap hari kami bertemu. Hari ini termasuk.
“Kamu belum memesan?” aku menegur Sofia yang sedang asyik memainkan ponsel.
“Belum,” dia meletakkan ponselnya, kemudian mendongak ke arahku, “karena ada seseorang yang melarangku memesan, sebelum dia memesan.”
Aku tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahnya. “Ya sudah, ayo kita pesan.” Aku melambaikan tangan pada pelayan. Hei kantin di Utara punya pelayannya lho kawan. Sudah kubilang, pendidikan di negara kita memang tertinggal.
“Tumben.”
“Eh apa nya?” aku menyahut, heran.
“Biasanya kamu duduk di depanku, bukan di sebelahku.”
Ups, astaga. Sofia ternyata peka terhadap detail. Sebenarnya yang dia katakan itu benar kawan, biasanya aku memang duduk di depannya, berhadapan. Bukan di sebelahnya seperti hari ini.
“Beberapa orang menyebut ini gerakan psikologi, beberapa orang pula, tidak sadar ketika melakukan hal ini. Para pria akan duduk di depan temannya, dan para pria akan duduk di sebelah orang-orang yang dekat baginya. Yang sudah masuk dalam circle kehidupannya.”
Sofia tersenyum tipis. “Aku tahu kamu mengarang-ngarang kalimat barusan Az. Tapi tidak apa. Makasih sudah memasukkanku ke dalam circle kehidupanmu.”
“Sama-sama. Nah ayo kita makan.”
Apa, kawan bilang sikapku tadi elegan? Sebenarnya aku sangat gugup kawan. Sedikit bertaruh untuk duduk di sebelah Sofia. Juga setengah bertaruh untuk bilang secara implisit bahwa Sofia sudah kuanggap spesial.
“Oh ya, apakah hari ini Tuan Azka yang cerdas, sibuk?”
“Tidak.”
“Temani aku ke perpustakaan bisa Az? Aku ada tugas dari dosen. Bingung bagaimana cari buku referensinya.”
“Kamu mau minta temani, minta bantu cari referensi, atau malah minta bantu kerjakan tugasnya?”
“Ketiga-tiganya. Alhamdulillah Azka ngerti. Hehe.” Sofia tertawa cengengesan tidak bersalah.
Aku pura-pura berdecak kesal. “Sialan. Seharusnya aku tidak mengarang-ngarang kalimat barusan.”
Sebenarnya aku ada perkuliahan hari ini, pukul 3 sore. Tapi kuiyakan ajakan Sofia menemaninya ke perpustakaan. Masih ada dua jam, masih sempat bagiku untuk mengejar kelas.
“Jadi buku seperti apa yang kamu cari, Sofia?” aku bertanya padanya, begitu masuk ke perpustakaan Utara University.
Sofia celingukan ke rak-rak yang berjejer di kiri dan kanan kami. “Ya buku yang sesuai dengan studiku. Sastra Jurnalistik.”
Ah itu, kawan sudah mendengar, jurusan apa yang diambil Sofia di Utara. Dia memang beda jurusan denganku.
Sebagai penggemar dan kutu perpustakaan sejak kecil, tidak sulit bagiku untuk “menari” di perpustakaan ini. Tinggal cek database katalog, lihat nomor bukunya, dan cari di rak. Masalahnya, Sofia belum tentu setuju dengan buku yang kutemukan.
“Kenapa bahasa Inggris semua,” protesnya ketika aku membawa setumpuk buku ke hadapannya.
“Kamu lupa apa kata Pak Thom, buku referensi yang paling bagus itu adalah yang berbahasa Inggris.”
“Agak menyesal jadinya aku minta ditemani oleh anak murid kesayangan Pak Thom ini.”
Aku terkekeh. Sofia selalu penuh humor. Aku mengajaknya duduk. “Lebih baik kita selesaikan tugasmu itu segera. Aku ada kelas tepat pukul 3 nanti.”
Sofia mengangguk. Tidak lagi melucu. Sesi diskusi kamipun dimulai.
1,5 jam berlalu, tidak terasa.
“Baiklah, aku mau masuk kelas dulu ya, Mbak Fia.” Aku bergegas merapikan alat-alat tulis, memasukkannya ke dalam tas. “Maaf, tidak bisa mengantarmu pulang.”
Sofia juga berdiri. “Tidak apa-apa Az. Sebelum itu, mari aku antar kamu ke kelas.”
“Eh, tidak usah, Mbak Fia. Kamu langsung pulang saja. Tidak perlu repot-repot.”
Bukan apa-apa kawan, jarak antara perpustakaan Utara dengan kelasku cukup jauh, apalagi ditempuh dengan berjalan kaki. Mungkin sekitar 300 meter lebih. Aku tidak mau merepotkan Sofia, apalagi dia sudah lelah berpikir dengan tugasnya.
“Tidak apa-apa Az, kamu juga sudah repot-repot membantuku mengerjakan tugas. Ayo Az, nanti kamu telat.”
Tiba-tiba Sofia yang menjadi sangat bersemangat.
“Sepertinya kamu baru saja kerasukan roh penunggu perpustakaan ini. Atau barangkali roh Julius Caesar.”
Sofia tidak menjawab. Dia berjalan dengan riang. Tidak terlihat lelah. Senyumnya masih merekah, meski sisa-sisa make-up di wajahnya sudah mulai memudar setelah seharian beraktivitas. Tidak masalah. Itu sudah cukup. Beberapa orang, teman sekelasku, ternganga melihatku menyusuri lorong dengan seorang gadis.
Sampai di pintu, aku masuk kelas, Sofia melambaikan tangan, “semangat kuliahnya, Tuan Azka yang cerdas.” Kemudian dia jalan terus. Ke depan kampus, menunggu mobil angkutan umum.
Mozaik 40
Ruangan Prof. Thompson
Waktu terus melaju untuk studiku di Utara Malaysia. Tidak terasa, sudah hampir 6 bulan aku kuliah master. Pekerjaan akademikku sudah mulai membaik. Aku kian menyatu. Aku sudah bisa menampilkan siapa Azka yang sesungguhnya.
Hei, setertinggal apapun pendidikan di negaraku, Azka tetap Azka, apalagi ini di bidang kesukaanku. Banyak mahasiswa lain yang tercengang melihat kecerdasanku. Ah jangankan mahasiswa, Prof. Thompson saja takjub.
Apa rahasianya kawan?
Tentu saja, sebagian rahasia itu adalah belajar, belajar seperti tidak ada hari esok. Sebagian lainnya, rahasia yang lebih dalam. Aku bisa seperti ini, karena ada Sofia di hidupku. Tak bisa kupungkiri bahwa aku mati-matian belajar, demi membuat dia semakin terkesan.
Siang ini, untuk pertama kalinya, aku dipanggil ke ruangan Prof. Thompson. Beliau bilang mau bertemu denganku, untuk mengobrolkan sesuatu. Heran juga aku sebenarnya. Apa yang diinginkan seorang Profesor jebolan Haalam University.
“Izin masuk, prof. Selamat siang.”
Aku menggeser pintu ruangan beliau yang megah. Tempat duduk prof. Thompson tepat berada di tengah-tengah ruangan. Di samping kiri dan kanan tempat duduk beliau, adalah bertumpuk-tumpuk buku. Bisa kubayangkan, Prof. Thompson akan mencomot sebuah buku di sana jika beliau bosan, lalu habis membacanya dalam 15 menit. Eh apakah aku terlalu berlebihan?
“Silakan masuk, Humadi Azka. Mohon maaf, karena di ruangan saya ini tidak ada tempat duduk. Kamu boleh berdiri di sana, saya janji ini hanya untuk beberapa menit.”
“Tidak apa-apa Prof. Saya biasa berdiri.”
“Terima kasih sudah datang. Kita langsung ke intinya saja ya. Saya perhatikan kamu adalah salah satu mahasiswa master di kelas saya, yang boleh dikatakan cukup menonjol. Saya selalu terkesan dengan orang sepertimu ini Azka. Saya hari ini memanggilmu untuk menawarimu sesuatu. Ini adalah undangan riset. Saya tahu, kamu masih mahasiswa master. Sebenarnya tidak mencukupi syarat sebagai pembantu riset, yang minimal mahasiswa doktoral. Tapi tidak apa. Anggap saja saya sedang mengujimu. Menguji apakah rasa terkesan saya, memang pantas untuk kamu miliki.”
Prof. Thompson merogoh ke dalam laci mejanya. Mengeluarkan undangan riset yang dia maksud. Menjelaskan kembali. Aku tidak mau memotong. Biarkan saja beliau berbicara sampai selesai.
“Ah ini dia. Sebenarnya ini adalah undangan yang berawal dari rasa kepenasaranan teman saya, dan karena saya adalah seorang peneliti sejarah, dia berharap saya bisa menjawab pertanyaannya itu dengan perspektif ilmu sejarah. Nah, untuk tugasmu, adalah sebagai peninjau awal. Kamu adalah orang pertama yang akan mencoba riset ini. Buatlah artikel, terserah kamu artikel berbentuk seperti apa, yang berhubungan dengan pertanyaan teman saya itu. Ya anggap saja, kamu memberikan brainstorming untuk saya. Memang dalam dunia riset, apa yang kamu lakukan itu, tidak dihitung penelitian, dan tidak akan disebut setelah penelitian ini rampung, tapi anggap saja, saya akan respek denganmu, jika kamu berhasil menyelesaikan tugas ini. Bagaimana Azka?”
“Boleh saya tahu, apa pertanyaan teman anda itu, Prof?”
“Ah ini pertanyaannya, ‘mengapa negara Skandinavia bisa makmur sejahtera, padahal mereka jauh dari pusat peradaban, baik kuno maupun modern?’. Teman saya minta penjelasan dari perspektif sejarah, jadi harap kamu jangan bilang soal angka harapan hidup, kedamaian, atau pendidikan, ya Azka.”
“Siap prof. Akan saya usahakan. Kapan batas terakhir saya mengerjakan tugas ini, mengingat tugas-tugas lainnya yang juga harus saya kerjakan.”
Prof. Thompson tersenyum arif, “ah bisa kamu selesaikan akhir pekan ini. Senin, artikelnya sudah ada di meja saya dalam bentuk hardcopy. Sebagai kompensasi, saya anggap kamu sudah mengerjakan semua tugas kuliah yang saya berikan.”
Aku tersenyum lebar. Aku senang dengan ide Prof. Thompson itu. Bahkan jika tidak segan dengan beliau, rasanya aku mau keluar dari ruangan Profesor sambil berjingkrak-jingkrak.
Sebenarnya Prof. Thompson sedikit banyak masih meremehkan kemampuanku. Jelas sekali, beliau memberi penugasan itu untuk mengetes seberapa jauh kemampuanku. Maka aku akan berikan yang terbaik. Aku punya teorinya. Aku akan lakukan sebisaku. Lagipula, dengan kekuatan dari kebahagiaan, apa yang bisa menghentikanku?
Detik itu juga, Tuhan membungkam kesombonganku.
Keluar dari ruangan Profesor, aku lekas membuka WA, mencoba menghubungi Sofia. Tapi entah kenapa, tanganku tergerak untuk mengecek penampang SW terlebih dahulu. Dan disitulah kesalahanku.
Aku membuka SW milik Sofia. Dan di sana, terlihat dia sedang berjalan, mengobrol, dengan kamera menyorot seorang pria yang berjalan di depannya. Mereka nampak mengobrol asyik. Segera kupastikan bahwa ini bukan konten video dari platform joget-joget itu. Ini adalah video yang direkam Sofia sendiri. Asli. Otentik.
Mau tidak mau, hatiku bertanya, Siapa pria itu, wahai Sofia.
Bisa kurasakan Tuhan sedang bersungut-sungut, rasakan akibat kesombonganmu itu.
Mozaik 41
Akhirnya Sofia Punya Pacar (Lagi)
Tidak setiap saat ada perayaan hari jadi kampus. Karena memang hanya sekali dalam setahun. Maka untuk menghormati para founding father kampus Utara, aku menyisihkan sejenak waktuku, istirahat sebentar dari mengerjakan tugas Prof. Thompson, dan berniat pergi ke acara tersebut.
Itu alasan sekundernya. Alasan primernya, tentu saja, aku ingin keluar di acara tersebut, bersama Sofia. Gadis itu pasti ingin melihat perayaan pesta hari jadi kampus, dan dia pasti mengajakku, karena aku satu-satunya teman akrabnya di Utara.
Sayangnya, aku salah di kesimpulan kedua. Sampai H-30 menit, tidak ada satupun ajakan atau barangkali pesan pendek dari Sofia untukku. Heran aku dibuatnya. Tentu saja aku ingat soal SW-nya tempo hari, tapi aku tidak mau menarik kesimpulan langsung ke arah itu. Terlalu gegabah.
Malam itu, aku memutuskan berangkat ke pesta perayaan Hari Jadi kampus, seorang diri saja. Tak apalah. Anggap saja refreshing setelah beberapa hari tenggelam dalam rutinitas yang ilmiah.
Sialnya lagi, malam itu seharusnya aku tidak perlu datang.
Pesta perayaan hari jadi kampus berlangsung sangat meriah. Ribuan orang hadir. Terutama mahasiswa tingkat sarjana. Ada banyak stand makanan, spot-spot foto, tersedia di seluruh penjuru kampus. Namun puncak acara tentu saja ada di lapangan besar di belakang gedung direktur kampus.
Acara konser!!
Sebenarnya aku tidak menyukai musik. Aku tidak suka kebisingan. Namun entah kenapa malam itu, kakiku berjalan ke arah lapangan besar. Mungkin pengaruh kuasa Tuhan. Bukankah sudah kubilang kalau ceritaku selalu melibatkan kuasa Tuhan di dalamnya?
Di sanalah, di pinggir lapangan besar, aku bertemu dengan, Sofia. Kentara betul kalau dia sedang jalan-jalan dengan pria yang ada di belakangnya. Dia agak terkejut melihatku.
“Oh hai Az, tak kusangka kamu ada di sini. Kukira kutu perpustakaan tidak doyan menonton konser. Apa kabar Az? Sudah beberapa hari kita tidak bertemu.”
Sofia segera menyembunyikan perasaan terkejutnya. Sebaiknya aku juga demikian. Segera kusambar pembicaraan.
“Eh tidak. Kabarku baik, Mbak Fia. Agak sibuk tepatnya. Ada pekerjaan dari Prof. Thompson. Jadi hari ini, aku ke sini untuk menenangkan diri.”
“Ide yang bagus Az. Aku duluan ya. Yuk Di.” Sofia menarik tangan pria yang sejak tadi berdiri di belakangnya, menatap tajam ke arahku. Setelah itu Sofia berlalu.
Astaga, sepertinya semuanya benar terjadi.
Acara konser malam itu tidak lagi karuan bagiku.
Semakin hari, aku berusaha semakin menyibukkan diri dengan riset yang diminta Profesor Thompson. Aku sudah punya alat analisis yang pasti sesuai dengan apa yang beliau inginkan. Aku bekerja cepat. Membaca dan menekuni buku-buku berbahasa Inggris yang memuat sejarah Swedia dan Norwegia. Dua negara yang amat penting dalam menjawab pertanyaan titipan profesor. Ah ya, pekerjaan itu membuatku sedikit melupakan tentang Sofia.
Namun, ya, hanya sedikit.
Rutinitas tidak bisa berdusta. Sofia sekarang bukan lagi Sofia yang awal kukenal. Dia tidak lagi minta dijemput. Tidak lagi mau pulang bareng. Tidak lagi ada makan siang di kantin (ini aku yang menghindar, dengan alasan sibuk). Pendeknya, hidupku kembali ke siklus yang dulu kujalani sebelum tahu Sofia kuliah master di Utara University.
Lalu sampailah pada hari dimana Sofia meneleponku. Perhatikanlah kalimat-kalimat di bawah ini kawan, dimana kalimat dariku, selalu bercetak miring.
“Az.”
“Iya, ada apa, Mbak Fia?”
“Kabar baik.”
“Ada apa, kamu dapat pujian dari Profesor?”
“Bukan.”
“Kamu dapat vocher makanan gratis di kantin?”
“Bukan Az. Kamu buruk dalam menebak.”
“Karena menebak itu bukan kebiasaanku, Mbak Fia.”
“Kamu ingat pria yang bersamaku di malam konser itu?”
“Iya, ingat. Kenapa?”
“Namanya Ahmedi.”
“Lalu?”
“Kami jadian.”
“Ha?”
“Iya Az. Tak kusangka dia mengutarakan perasaannya padaku. Hei, luar biasa. Sudah lama aku tidak merasa sebahagia ini. Pria sebaik dia ternyata menaruh perasaan denganku.”
“Oh. Aku turut senang untukmu.”
“Iya. Makasih Az, kamu orang pertama yang kuberitahu. Hehe.”
“Iya.”
“Dia mahasiswa sejurusan denganku lho Az.”
“Oh ya, bagus. Berarti sekarang kamu punya orang yang bisa diandalkan di sana.”
“Iyap. Astaga, senang sekali aku Az.”
“Nikmatilah, Mbak Fia. Maaf, aku harus memotong telepon ini. Aku sedang berusaha menyelesaikan artikel yang diminta Prof. Thompson.”
“Oh ya sudah. Tapi aku senang sekali Az.”
Aku menutup telepon, melemparnya sembarangan sampai handphone-ku itu jatuh ke bawah meja. Rasanya setan ada di depanku sekarang, menatapku lamat-lamat dan bilang,
“Jadi bagaimana dengan urusan perasaanmu sendiri, Azka?”
Sampai Jumpa Lagi>>>>
(7 chapter tersisa)
Bagian Terakhir Ditulis Pada
Rabu, 13 Februari 2023
Pukul 22.30
WITA
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
