[Free Draft] Selimut Padang Pasir (Trilogi Penjelajah 3)

0
0
Deskripsi

Apa artinya cinta? Apa artinya penderitaan? Apakah hidup ini adil?

Selvi Anatasha, atau panggilan akrabnya, Vivi, hanyalah seorang gadis biasa. Ya, itu yang terlihat pada awalnya. Dia terlihat seperti gadis lugu nan baik hati yang menyenangkan teman-temannya. Namun siapa sangka, Vivi punya masa lalu yang kelam, masa lalu itu berjalin dengan masa kini, dan kini menyeretnya ke dalam sebuah petualangan. Bukan sekedar petualangan. Melainkan petualangan besar, mengelilingi Afrika. 
Inilah kisah petualangan...

1
Pertemuan Dua Teman Lama


Sebuah mobil berplat nomor H, sedang melintas dengan kecepatan sedang di jalanan Ibukota. Jalanan sudah mulai lengang, ini sudah pukul 22.00 WIB. Ada dua orang yang sedang duduk di dalam mobil itu, dua-duanya adalah pria, dan dua-duanya duduk di kursi depan. Di dalam mobil inilah, kisah kita akan bermula. 
“Wajahmu nampak penasaran, kawan,” ujar si pengemudi, menyapa pria di sebelahnya, setelah beberapa saat hanya diam saja. 
“Dan kau terlihat lelah, Thahir.” Pria di sebelahnya menimpali. Membuat si pengemudi yang dipanggil Thahir itu terkekeh. “Kalau masalah lelah, seharusnya kau juga lelah. Kau adalah anggota klub dengan jarak tempuh terjauh. Pagi-pagi harus berangkat dari Banjarmasin, mendarat di Jakarta. Besok pagi pulang lagi ke Banjarmasin. Berapa jarak yang kau tempuh, kurasa hampir seribu kilometer pulang pergi. Astaga. Kau tidak lelah, Allary?”
Ah akhirnya kita mengetahui siapa dua orang yang duduk di dalam mobil berplat nomor H itu. Mereka adalah dua sekawan lama, tokoh utama kita bersama teman kuliahnya, Allary Azra dan Thahir. Hendak kemana mereka?
“Kau jangan risau soal itu, Thahir. Aku cukup istirahat. Tidur seharian di hotel. Malam ini aku siap.”
“Sebentar, sebentar. Kau tidak meremehkan aku, bukan? Malam ini bukan sekedar pertarungan eksebisi seperti biasanya, Allary. Malam ini adalah final. Pertarungan paling sengit sepanjang berdirinya klub.”
Allary melambaikan tangan, “tidak perlu berlebihan. Bagiku ini hanya pertarungan biasa. Hanya saja, aku sudah lama tidak melawan kau. Itu saja. Hanya itu saja.”
“Ya dan kau sudah lama tidak melawan petarung terkuat di klub.”
Allary terkekeh. Baiklah, sebelum Thahir tersinggung, dia membalikkan topik. “Bagaimana kabar si kecil?”
“Ah, dia baik-baik saja. Sakitnya sudah berangsur sembuh. Makanya hari ini aku berani masuk kerja.”
“Dia di Jakarta?”
“Tidak,” Thahir menggeleng, “Taufan dan Aisya masih di Semarang. Mungkin mereka akan tinggal di sana saja, menetap.”
Allary menyernit kening. Taufan itu adalah anak laki-laki Thahir. Usianya masih 4 tahun. Sedangkan Aisya, jika kita semua tidak lupa, adalah pasangan, istri dari Thahir. Beberapa hari yang lalu, Allary mendengar kabar bahwa Taufan sakit, dibawa ke Semarang, ke tempat neneknya untuk dirawat. Thahir terpaksa bolak-balik Semarang-Jakarta untuk bekerja. Thahir sendiri mengeluhkan, itu perjalanan yang melelahkan. Dan sekarang dia bilang bahwa anak istrinya akan menetap di Semarang. Bagaimana ceritanya itu? Maksudnya Thahir ingin bolak-balik kerja ke Jakarta selamanya?
“Tentu saja tidak, Allary. Aku akan pindah kerja. Aku akan cari pekerjaan di Semarang saja. Aku tidak kuat berpisah lama-lama dengan keluargaku.”
“Lalu soal klub kita? Apakah itu artinya kau akan keluar juga?”
“Oh kalau yang itu jelas tidak.”
“Jadi maksudmu, kau akan bolak-balik Semarang-Jakarta hanya untuk bertinju. Alangkah melelahkannya.”
Thahir terkekeh lagi, “sudah kubilang, kau jauh lebih lelah, Allary. Bolak-balik Banjarmasin-Jakarta hanya untuk bertinju.”
Allary terdiam. Skakmat.
“Kau sendiri, tidak adakah niatan untuk tinggal di Jakarta saja, Allary?”
Thahir tiba-tiba bertanya. Allary tidak menjawab dengan ucapan. Hanya gelengan pelan saja. Karena pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sensitif. Kalau bukan Thahir, rasanya tidak akan ada yang berani bertanya begitu pada Allary.
“Kau masih punya kerabat bukan, di sini. Tante Sri dan Kang Adam. Dua orang paling menyayangimu. Mereka pasti senang kalau kau pulang, Allary. Aku masih sering mampir di kedai martabak Kang Adam, dia dan Tante Sri selalu menyinggung soal kau, setiap aku mampir.”
“Kau tahu kalau aku tidak bisa pulang ke sini, Thahir. Kau tahu persis soal itu.”
“Ayolah, apa sebenarnya penghalangmu? Gadis itu? Dia bahkan tidak ada lagi di Jakarta sini, kawan. Kau tahu persis tentang hal itu.”
“Tetap saja, Thahir. Kota ini membangkitkan banyak kenangan.”
“Tapi Allary...”
“Sudahlah, kenapa kita harus membahas soal ini.”
“Kau sendiri yang memancing untuk membahas tentang keluarga, Allary. Masih bagus tak kutanya langsung soal pasangan. Bisa-bisa nanti kau malah meninju hidungku.” Thahir tertawa, sementara Allary hanya bisa tersenyum masam.
Separuh jiwanya menyumpah pada kota Jakarta ini.


2
Klub Banteng Merah


Klub petarung. Itu bukan gagasan baru. Puluhan orang, dari berbagai kalangan, berkumpul untuk melakukan pertandingan. Bertinju. Beberapa buah novel sudah memakai gagasan tersebut. Tapi rasanya, tidak ada yang seperti Klub Banteng Merah.
Klub Banteng Merah adalah sebuah klub informal. Isinya adalah kumpulan petarung-petarung terlatih. Mereka sangat ahli dalam bertinju. Anggota klub kebanyakan berasal dari masyarakat biasa, para pegawai kantor, manajer-manajer menengah di perusahaan menengah pula, bahkan para kuli angkut di pasar-pasar tradisional. Tidak, klub ini tidak menerima anggota dari kepolisian, tentara, pejabat negara atau anggota partai. Tidak diterima. Seleksi anggota dilakukan secara ketat. 
Untuk apa?
Karena Klub Banteng Merah memiliki prinsip: “dari orang biasa, untuk melindungi orang lemah dan tertindas”. Mereka adalah ksatria di balik bayangan. Ada ribut-ribut di pasar, para petugas pamong praja semena-mena menggusur pedagang, panggil mereka, mereka bereskan petugasnya. Ada kakek-kakek tertangkap basah mencuri mangga karena lapar, kemudian dihukum berat, turun Klub Banteng Merah, menyerang, mengancam, menegakkan keadilan. 
Akan tetapi kegiatan-kegiatan “gelap” macam begitu hanya dilakukan oleh segelintir orang dalam klub. Kebanyakan orang malas berurusan dengan hukum. Lebih seru bertarung, berlatih, pertandingan eksebisi. 
Allary bergabung dengan klub, empat tahun yang lalu, karena diajak oleh Thahir. Prinsip klub membuat Allary terpesona. Thahir sendiri telah menjadi petarung di klub Banteng Merah sejak lama. Bahkan sejak usianya belasan. Dia telah diakui sebagai salah satu petarung terbaik di klub. Tidak ada yang berani menantang Thahir hanya untuk sekedar coba-coba. Kalau tidak, kepala bisa benjol membiru, dan harus mencari alasan seperti terbentur pintu saat pulang ke rumah. 
Satu tahun yang lalu, Thahir mengusulkan sebuah kompetisi. Semua anggota klub bertanding untuk mencari tahu, siapa petarung nomor 1 di klub. Usulan itu disetujui oleh Reyhan, pemimpin klub dan mulai ditandingkan sebulan kemudian. Saking banyaknya anggota klub, satu tahun berjalan, barulah kompetisi itu mengerucutkan para calon juaranya.
Adalah Thahir, yang masuk ke final setelah di semifinal dia menyingkirkan Joko, kuli angkut di pasar lima, yang berbadan kekar. Thahir punya ciri khas pukulan yang super cepat. Dia lincah sekali ketika bermain pukulan. Joko, meskipun punya tubuh kekar berotot sama sekali tidak cocok melawan pukulan kilat Thahir.
Sementara itu, Reyhan, sang pemimpin klub, orang yang difavoritkan jadi juara, justru kalah secara mengejutkan dari Allary. Ya, Allary yang baru empat tahun bergabung, berhasil mengalahkan seorang veteran. Itu pertarungan yang mengesankan. Allary berhasil meng-KO Reyhan dalam pertandingan tiga ronde langsung, khas klub petarung. 
Jadilah malam ini Allary dan Thahir akan bertanding di final.
Mobil Thahir masuk ke area klub. Sebuah komplek pergudangan di selatan ibukota. Dari luar, siapapun yang tidak tahu menahu soal klub banteng merah ini, akan menyangka ini gedung lapangan indoor untuk badminton. Padahal di dalamnya adalah markas klub petarung. 
“Selamat datang, Allary, Thahir,” Reyhan menyambut mereka,  di pintu masuk. Ini malam yang istimewa, pemimpin klub sendiri yang menyambut kedatangan sang calon juara.
“Selamat malam, Reyhan.”
“Selamat malam,” Allary menjabat tangan pria berusia 30 tahun itu. 
“Kau nampak segar sekali, Allary. Padahal harus menempuh perjalanan pulang pergi ke Banjarmasin, jarak yang jauh. Sedangkan Thahir, lihatlah, kusut masai wajahnya, sepulang kerja. Hei Thahir, kalau kau mau beristirahat sejenak, tidak apa. Aku bisa mengundurkan jadwalnya sampai setengah jam.”
Thahir menggeleng mantap sambil menggulung kemeja, “tidak perlu, Reyhan. Aku sangat siap. Bahkan aku sudah menunggu pertandingan ini sejak bangun tidur. Pertandingan ini adalah hiburan bagiku.”
“Bagaimana, Allary?”
“Aku ikut dengan Thahir saja. Kapanpun dia mau, aku siap.”
Reyhan mengusap rambut, membukakan jalan. “Baiklah, kalau begitu kalian bisa segera bersiap-siap untuk naik ke ring. Astaga, kalian terlihat begitu akrab. Aku tidak yakin nanti kalian akan bisa memukul satu sama lain.”
Allary dan Thahir tidak mendengarkan. Bergegas menaiki ring. Atmosfer pertarungan terasa kuat sekali di udara.


3
Sebuah Telepon Penting


Sebenarnya adalah hal yang menarik, untuk mencari tahu, kenapa Allary, seorang pedagang martabak di Pulau Borneo, seseorang yang baik-baik, malah ikut, bergabung ke sebuah klub tinju ekslusif di kota Jakarta. 
Ya, mungkin benar, klub itu punya prinsip yang menarik. Sebuah prinsip yang barangkali sangat cocok dengan jiwanya Allary Azra, senang menebar kebaikan. Namun tetap ada kejanggalan. Kenapa Allary mau-maunya saja, bolak-balik, sebulan sekali ke kota, yang bahkan pernah dia bilang, sangat dibencinya.
Ya, Allary membenci kota Jakarta. Karena semua sudut kota ini, selalu membangkitkan kenangannya akan Anita. Tak peduli apakah gadis itu masih diam di sana, atau sudah pergi selamanya.
Lalu bagaimana proses Allary bergabung ke klub petarung itu? Nah ini menarik juga.
Satu minggu setelah pulang dari Amazonia, membawa sedikit uang saku, (pemberian Profesor Joao, sisanya diambil oleh Vivi untuk biaya ayahnya berobat), Allary segera menyambung hidupnya kembali. Berjualan martabak lagi. Kiosnya yang lama tutup, dibuka lagi. Pelanggannya bergeliat lagi. 
Pagi hari membersihkan kios, siang hari membuka kios. Sampai malam hari kiosnya ramai, sampai nanti, pukul 11 malam, Allary menutup kios, berjalan pulang ke rumahnya. Itulah rutinitas seorang penjual martabak. Apalagi yang diharapkannya?
Nah, ternyata, di malam-malam yang gelap, setelah dia pulang dari kios dan gerobak martabaknya, Allary terpikirkan akan sesuatu. Petualangannya di Amazonia sungguh membekas. 
Di ujung petualangannya itu, rombongan Allary bersumpah akan saling memanggil jika ada peluang berpetualang lagi. Itu mengasyikkan, kenapa tidak? Hanya saja, petualangan di Amazonia, membawa pengetahuan baru bagi Allary. Bahwa petualangan bukan sekedar berjalan-jalan, melihat alam, menengok tempat-tempat yang tersembunyi nan eksotis. Tidak.
Petualangannya di Amazonia, justru banyak diwarnai pertarungan, pertempuran, pertukaran pukulan, tembakan, hingga darah yang berceceran. Itu petualangan yang sungguh berbahaya. Felix berkali-kali luka parah. Dia sendiri, juga terkena tusukan pisau saat pertempuran Santiago. Allary meraba bekas luka itu. Bekas luka yang masih terasa nyeri kadang-kadang.
Sekarang pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin petualangan berikutnya tidak penuh dengan bahaya juga? Siapa yang akan melindungi kelompoknya jika dalam petualangan mereka berikutnya, menemui bahaya, penyerang, atau bahkan peperangan? Masa iya Allary harus terus bergantung pada Felix, membiarkan pemuda itu bertarung, mempertaruhkan nyawanya. Martabat Allary sebagai ketua rombongan tercoreng kalau terus begitu situasinya. Harusnya dialah, sebagai ketua rombongan, yang membela dan melindungi teman-temannya. 
Hanya saja dia tidak bisa bertarung
Berangkat dari pemikiran itu, Allary mulai belajar, latihan fisik. Berbagai cara dia tempuh. Mulai dari latihan rutin di gym, sampai mencoba ikut perguruan silat lokal di Banjarmasin. Hanya saja, semua usahanya itu, berujung pada situasi tubuh yang panas, kepala yang berputar-putar, dan perut yang mual. Allary tidak pernah tahan untuk melatih fisiknya dengan model latihan rutin begitu.
Dalam beberapa kesempatan, dia bermimpi bisa menemukan buku Villio seperti punya Felix dan belajar dari situ. Sepertinya akan menyenangkan.
Empat bulan setelah pulang dari Amazonia, setelah rutin mencoba latihan fisik, Allary memutuskan untuk berhenti. Fokus ke martabak saja. Sampai telepon itu, datang. 
Pagi hari. Allary belum berangkat ke kios, bahkan belum sarapan pagi ketika teleponnya bergetar. Ada panggilan masuk. Nomor tak dikenali. Sebenarnya Allary malas berurusan dengan nomor yang tidak ada di dalam kontaknya. Satu dua panggilan diacuhkannya. Tapi panggilan pagi itu, diulang sampai 10 kali. Itu pasti serius. Terpaksalah Allary mengangkatnya.
“Halo,” sapa Allary ramah.
“Allary, kau di sana?”
“Eh iya, ini siapa?” tanya Allary. Orang ini mengenalnya? Siapa? Kenapa nada suaranya terdengar panik.
“Ini aku Thahir.”
Thahir? Telepon dari Jakarta. Nyaris saja Allary matikan, dia benci sekali berhubungan dengan kota Jakarta. Tapi suara Thahir lebih dulu menyela. Berseru. “Tolong jangan ditutup dulu, Allary. Aku mau bicara. Ada sebuah informasi penting yang harus kau dengarkan. Ini adalah telepon penting.”
Allary menghela nafas. “Bicaralah, Thahir.”


4
Gadis Itu Lari dari Jakarta


“Allary, bukan main susahnya menghubungi nomormu. Bahkan, Tante Sri sekalipun, setelah kupaksa baru mau memberikan nomormu. Bilang soal nomormu rahasia-lah, kau nanti marah kalau nomormu dihubungi orang-lah. Astaga kawan, kenapa kau jadi seperti ini.”
Allary berdecak, “Thahir, jika kau berbicara, tiga kata saja, yang berhubungan dengan kenapa aku tidak menerima telepon, aku akan memutus nomor ini, dan kau tidak akan bisa menghubungiku lagi. Kita langsung ke intinya saja. Ada apa? Katamu, ada hal yang penting.”
Terdengar bunyi menepuk dahi dari seberang sisi telepon. “Baiklah, aku akan memberitahumu, sesuatu soal gadis itu. Kau harus mendengarkannya, demi persahabatan kita, tolong jangan tutup teleponnya sampai aku mengucapkan salam.”
“Cepat ke intinya saja, Thahir? Memangnya kenapa dengan Anita? Dia menikah bukan?”
“Sayangnya bukan begitu ceritanya, kawan.”
“Eh lalu? Bukankah katanya ada pria putra teman ibunya yang melamarnya?” Allary terkaget-kaget dengan fakta itu.
“Itulah kau, pergi dari Jakarta sebelum sempat mencari tahu, pergi dari Jakarta seperti orang mati ditinggal kawin, padahal semua belum terjadi, padahal semua itu tidak pernah terjadi.”
“Maksudmu, Anita tidak jadi menikah? Jadi sampai hari ini dia masih single?” terasa ada harapan di ujung kalimat Allary itu.
Thahir menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah dia berkomunikasi langsung dengan Allary, “seandainya kau ada di sini waktu itu, mungkin situasinya bisa lebih baik, Allary. Hanya saja kau tidak ada. Lebih parah, kau tidak pernah bertanya, mencari tahu. Kau menutup pintunya rapat-rapat. Itu sudah berlalu satu tahun 4 bulan.”
“Apa kabar Anita, Thahir?”
“Itulah tepatnya yang hendak kubicarakan denganmu, hari ini.”
“Cepat ceritakan.” Allary mendesak.
“Sabarlah kawan, kau sebaiknya tenangkan dirimu. Karena yang kubawa ini bukan kabar baik.”
Bukan kabar baik? Allary terdiam sejenak. Berarti ini kabar buruk? Astaga, dia tidak ingin mendengar lebih banyak kabar buruk lagi tentang Anita. Tapi Thahir sudah terlanjur cerita. Terpaksalah dilanjutkan.
“Persis setelah kegagalanmu melamarnya, Anita sakit keras. Aku tahu dari Aisya. Anita masuk rumah sakit. Kondisi fisiknya benar-benar menurun. Dia depresi, kawan. Dia depresi karena dia sebenarnya suka denganmu. Dia hanya mengharapkanmu menjadi bagian dari hidupnya. Dia menolak perjodohan itu, sekeras apapun ibunya, memaksanya.”
“Astaga, Anita,” mulut Allary mengatup. Rahangnya mengeras. Sebetik rasa sesal sudah muncul di hatinya.
“Itu belum bagian terburuknya. Anita dirawat di rumah sakit selama hampir 3 bulan. Dia tidak pernah berhasil mendapatkan kesehatannya kembali. Dia ingin mencarimu, mencari Allary. Tapi sayangnya, jejakmu hilang bak ditelan bumi. Satu tahun dia terus menantikanmu. Kau tidak muncul-muncul. Akhirnya ibunya kembali mendesaknya, untuk menikah. Dengan siapapun itu, anak konglomerat, manager bank, atau apalah. Anita tidak mau. Dia siap menentang keputusan keluarganya, demi seorang lelaki yang tidak diketahui keberadaannya.”
“Astaga.” 
“Tadi pagi, aku mendapat kabar baru. Kabar buruk. Anita menghilang. Dia kabur dari rumah. Dia tidak kuat lagi melawan tekanan. Dia sempat menemuiku, menanyakan tentang kau, tapi apa mau kujawab, aku memang tidak tahu keberadaanmu.”
“Jadi sekarang, dimana dia, dimana Anita? Biar aku cari dia, aku akan temui dia.” Allary menyahut, tidak sabaran.
Thahir sekali lagi geleng-geleng kepala. “Dia lari kawan, ke Malaysia. Menghindari semua tekanan. Nah, kau adalah orang pertama setelah aku, yang mengetahui tentang ini. Apa yang mau kau lakukan?”
Allary gemetar. Dia tahu dia harus mengambil keputusan itu.  


5
Malaysia, Negeri Jiran


Semua orang bisa membayangkan, bahwa menjadi seorang penjual martabak, apalagi pedagang martabak yang laris manis macam Allary, itu bukan hal buruk. Malahan itu adalah pekerjaan yang amat menjanjikan. 
Di balik penampilannya yang sederhana, hanya memakai jaket dan celana kain lusuh setiap kali berjualan, atau kemeja yang ketinggalan trend (bukan ketinggalan zaman ya), Allary adalah orang kaya. Hitunglah jika sehari Allary meraup untung 300.000 saja, dan itu adalah jumlah yang kecil, maka uang yang diterima Allary dala sebulan, sudah cukup untuk menggolongkannya sebagai kelas menengah.
Jadi jangan kaget jika dia tiba-tiba ada di negeri jiran, Malaysia, dengan setelan yang sangat keren. 
“Aku belum pernah berurusan dengan orang senekat kau, Allary.” Thahir di sebelahnya bergumam. Mereka sedang naik taksi. Ke pusat kota Kualalumpur.
“Kalau sudah menyoal Anita, aku bahkan terkadang lupa berpikir,” Allary balas bergumam, “dulu saat hendak melamarnya, tak sedikitpun aku berencana. Semua serba nekat.”
“Kau melamarnya tanpa uang mas kawin? Pantas saja keluarganya menolak,” Thahir tertawa lebar.
“Bukan begitu, aku sangat siap. Aku punya modal saat itu.” Allary mendengus, tersenyum masam.
“Oh ya, berapa jumlah yang kau tawarkan?”
“Lima puluh juta.”
Terkaget-kaget Thahir mendengar nominal itu. “Kau menawarkan uang sebanyak itu,dan kau tetap ditolak? Astaga, berapa  sebenarnya uang yang diinginkan keluarga kaya raya itu?”
“Jangan dipertegas.”
“Eh bukan, bukan seperti itu, kawan.” Thahir buru-buru mengontrol kalimatnya, melihat Allary tiba-tiba murung, “maksudku adalah, itu jumlah yang besar. Seharusnya kau diterima. Aku melamar Aisya dengan nominal yang bahkan tak sampai setengah dari kau, Allary. Dan diterima.”
“Sudah kubilang jangan dipertegas,” Allary bersuara lagi, kali ini setengah kesal. Astaga, jangan membanding-bandingkan kisahnya dengan Thahir-Aisya. Yang satu pasangan yang cocok satu sama lain, sementara Allary dan Anita, itu jauh panggang dari api.
Thahir garuk-garuk kepala. Serba salah. Taksi terus meluncur.
Pagi tadi, di pembicaraan telepon yang sama, Allary menyampaikan rencana nekatnya. Dia membujuh Thahir menemaninya ke Malaysia, mencari Anita. Mulanya Thahir mengelak, bilang tak punya uang, tapi Allary bergeming, dia punya banyak, dia hanya butuh teman ke sana. Atas nama persahabatan mereka bertahun-tahun, akhirnya Thahir setuju.
Mencari keberadaan Anita bukan hal mudah. Bahkan sejak Allary tiba di Jakarta, semua sudah tidak mudah. Allary tanpa tedeng aling-aling, muncul di depan rumah Tante Zarra, dengan wajah keras, bertanya dimana keberadaan Anita.
Tante Zarra menatap sosok Allary lamat-lamat. Sosok yang tidak hanya membuat rencananya menjodohkan Anita dengan pria terhormat gagal total, tapi juga membuat dia harus berpisah dengan anak tersayangnya itu. Jauh di dalam hatinya, Tante Zarra menyimpan kebencian pada Allary. Ah jangankan kita, Thahir saja tahu soal itu.
“Dia ibunya Anita ya?” Thahir bertanya, Allary masuk mobil di Jakarta.
“Iya.”
“Dia terlihat membencimu.”
Allary mengangguk, “aku tahu. Aku sudah membuat semua rencananya berantakan. Tapi aku akan menebusnya. Aku sudah janji ke beliau. Aku akan menemukan Anita, kemudian melamarnya sekali lagi.”
“Kau sama sekali tidak berubah kalau sudah menyangkut soal Anita, Allary.” Thahir bergumam pelan. Dan dia benar, Allary, setelah petualangan itu, memang bertambah kharismatik, tambah hebat, tapi kalau menyangkut Anita, Allary tidak pernah berubah.


6
Ruang Inap RSUD


Pencarian Anita di Malaysia pun dimulai. Menurut keterangan Tante Zarra, saat ini Anita berada di Kualalumpur. Menumpang di rumah salah seorang kerabat jauh mereka. Allary mendatangi rumah yang dimaksud, bertanya baik-baik, tapi malah kena usir.
“PERGI! Kami tidak berurusan dengan siapapun yang mencari Anita. PERGI!”
Kira-kira begitu seruan empunya rumah jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Allary berusaha menjelaskan baik-baik kalau dia adalah orang yang dicari Anita selama ini, dan dia akan membawa Anita pulang ke Indonesia. 
“PERGI! Kubilang, PERGI!”
Allary terpaksa kembali ke penginapan dengan menekuk wajah. Thahir yang melihat semuanya dari dalam mobil menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. “Sabarlah, kawan. Aku yakin, sebentar lagi kita akan menemukan gadis itu. Bersabarlah. Cinta sejati memang memerlukan perjuangan.”
Makin kecut senyum Allary mendengar kata-kata Thahir.
“Kita mau kemana lagi setelah ini?” 
“Menurutmu kemana?” Allary balik bertanya.
“Loh kenapa kau malah bertanya padaku. Ini perjalananmu, Allary. Kau yang hendak mencari Anita. Bukan aku.”
Allary menggeleng. “Kau saja yang pikirkan mau kemana. Semua kebuntuan ini membuatku pusing.”
Sekali lagi Thahir menepuk-nepuk bahu Allary. “Sabar kawanku. Kau akan menemukannya nanti. Sosok cinta sejati pasti akan menemui pasangannya. Ada-ada saja jalannya. Kau pegang kata-kataku.”
“Astaga Thahir. Kau malah terdengar seperti Andalas. Arahkan mobil ke penginapan saja. Aku mau istirahat. Mungkin nanti aku akan menghubungi Tante Zarra lagi.”
“Nah itu terdengar lebih baik. Jangan kau tanya aku, kalau terserah aku, nanti mobil ini kuarahkan ke Menara Petronas saja sekalian,” Thahir tertawa lagi.
Mereka memutar mobil menuju penginapan. Hari sudah mulai gelap. Allary mungkin benar, lebih baik pencarian ini dilanjutkan besok, setelah istirahat sejenak. 
Namun Thahir juga benar, cinta sejati benar-benar ada-ada saja jalannya.
Saat roda mobil mereka melewati jalanan protokol yang ramai, mata Thahir tiba-tiba tertuju pada sebuah baliho. Bukan baliho promosi. Bukan pula baliho tentang politik. Itu baliho tentang informasi. 
Sebuah seminar internasional yang akan diadakan di Utara University. Bukan seminarnya itu yang menarik perhatian Thahir. Bukan pula nama universitasnya. Bukan pula para pematerinya. Tapi moderatornya.
Demi mengenali wajah moderator yang terpampang di baliho itu, Thahir menginjak rem. Membuat Allar berseru. “ASTAGA THAHIR, ADA APA!”
“Lihat itu, Allary.” Thahir menunjuk ke arah baliho, “kau tentu mengenali, siapa yang jadi moderatornya itu bukan?”
Ternganga Allary. “Itu... itu.... Anita bukan?”  
“Ya kawan, kau benar. Itu Anita.”
“Dimana Utara University itu?” 
“Aku tidak tahu, tapi kita bisa mencarinya lewat maps.”
“Bergegas. Aku akan buka maps-nya. Kau putar mobil ini menuju Utara University. Kita akan ke sana, malam ini juga.”
Thahir menepuk dahi. Lihatlah, sekarang Allary bersemangat sekali. Lupa kalau beberapa menit sebelumnya lesu tak bertenaga.  Tapi begitulah Allary. Kalau sudah soal Anita, Allary bahkan terkadang lupa, siapa dirinya.
Itulah cinta dari kedudukannya sebagai perasaan.
Sayangnya mereka tidak akan pernah menemukan Anita malam itu. Juga malam-malam selanjutnya. Urusan di Malaysia berubah jadi gawat dan kapiran. 
Ending cerita mereka di Malaysia adalah, Allary dipulangkan ke Indonesia, menaiki sebuah pesawat khusus, pesawat pribadi yang tak memerlukan tiket. Sesampainya di Jakarta, dia langsung dirujuk ke rumah sakit umum terdekat. 
Urusan ini benar-benar kapiran. Allary nyaris kehilangan nyawanya!


7
Kami Dipukuli


Seorang pria berkemeja biru, berkacamata, dan sepatu hitam yang mengkilat, keluar dari pesawat jet. Seorang perawat bergegas mendorong sebuah ranjang beroda keluar dari rumah sakit. Pria itu, bersama-sama Thahir bergerak cepat, mengikuti perawat masuk ke dalam mobil ambulan. Begitu semuanya naik, supir langsung tancap gas, sirine dibunyikan.
Wajah-wajah di ambulan begitu panik tertahan. Memang tidak ada yang berseru-seru, atau berteriak. Tapi semua mimik wajah mereka menggambarkan hal yang sama, khawatir. Bahkan perawat yang sudah terbiasa menghadapi situasi darurat, ikut khawatir. Pasien yang terbaring di ranjang itu, kondisinya buruk sekali.
Pasien yang terbaring itu tidak lain tidak bukan, adalah Allary.
Ini adalah kali kedua Allary dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi yang mengenaskan. 
“Maaf mas, anda mau membawa ambulan ini ke rumah sakit mana?”
“Langsung ke Rumah Sakit Pusat Jakarta, Pak.” Supir menyahut seadanya, fokus pada jalan raya. Menyuruh orang menyingkir. Masih ada saja yang mau main-main dengan ambulan.
“Baiklah, terima kasih. Di sana fasilitasnya cukup memadai. Semoga Allary bisa diselamatkan.”
“Maafkan saya, om. Saya tidak bisa melindunginya.” Thahir yang duduk berseberangan dengan pria itu, berucap sambil menunduk. Dia amat menyesal.
“Nanti di rumah sakit kita bicarakan lebih jauh ya, Nak. Sekarang lebih baik kita fokus pada Allary dulu.” Pria berkacamata itu menyahut mantap. Meski dia sendiri nampak harus menenangkan dirinya.
Sekali lagi, berkat cepatnya pergerakan pria itu dan Thahir yang berniat menyelamatkan Allary, tokoh utama kita itu berhasil diselamatkan. Setelah melewati segala macam prosedur pertolongan, pihak Rumah Sakit Pusat Jakarta, menyatakan Allary telah melewati fase kritis. Dia tidak kurang satu apa. Hanya luka jahitan, itu tidak gawat, mengingat ada jauh lebih banyak hal yang mungkin akan terjadi.
Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Nah, percakapan Thahir dengan orang berkacamata bersetelan rapi itu, bisa jadi memuat penjelasan tentang itu.
“Jadi siapa sebenarnya yang menyerang kalian?” tanya pria itu, setelah mempersilahkan Thahir mengunyah satu suapan.
Thahir mengambil air. Dia lebih haus ketimbang lapar. Sejak di Malaysia, tidak setetes airpun dia minum. Selama delapan jam. Situasi panik mengalihkan perhatiannya.
Thahir menjawab pertanyaan pria itu dengan gelengan. “Saya tidak tahu, om. Sungguh. Semua berlangsung begitu cepat.”
“Ceritakan padaku kronologinya.”
Thahir mengambil secangkir air lagi, lalu mulai berkisah.
“Singkat saja ya, om. Sore itu, Allary mengajak saya pergi ke Utara University. Kami berputar tujuan. Pukul 7 malam, kami makan malam di resto pinggir jalan, saat itu belum ada yang mencurigakan. Begitu juga saat kami mulai berjalan. Tidak ada yang mencurigakan. Aku tidak merasa ada yang menguntit, dan saya kira jika pun ada, itu adalah orang suruhan om.”
Orang itu tertawa masam.
“Saat kami melintas di salah satu kawasan perkampungan, sekitar 10 kilometer di selatan Utara University, mobil itu datang. Dari depan. Menghadang mobil kami. Saya keluar dari mobil, mengecek situasi. Ternyata semua berubah begitu cepat. Mereka adalah tukang pukul, preman atau semacamnya. Di tengah gelap, gerakan mereka begitu taktis. Saya bukan tandingan mereka. Apalagi mereka keroyokan. Saya hanya seorang diri. Saya tidak mungkin bertahan. Mereka ke dalam mobil, menggebuki Allary tanpa ampun. Saya sudah tidak berdaya saat itu. Mungkin jika om tidak datang membantu, kami sudah tewas di tempat.”
Pria berkacamata itu menghela nafas. “Kenapa kalian datang ke Malaysia?”
Thahir tidak menjawab. Sehingga pria itu kembali menebak-nebak.
“Soal gadis itu lagi ya?”
Thahir menelan ludah. Bagaimana bisa pria ini tahu soal rahasia Allary yang satu itu?
“Baiklah, kita lupakan sejenak soal gadis itu. Itu urusan Allary. Aku tidak berniat ikut campur soal itu. Kita fokus ke penyerang kalian itu saja. Apakah mungkin mereka adalah orang-orang yang benci pada Klub Banteng Merah, mengingat kau adalah anggota tetap di situ?”
Thahir menelan ludah lagi. Bagaimana pula pria ini tahu soal klb tinjunya?
“Karena tugasku adalah mencari tahu segala sesuatu. Apakah tadi aku lupa memperkenalkan jabatanku? Baiklah, mari kita mulai dari awal. Namaku Allary Lukman. Panggil saja Lukman. Aku adalah adik Allary Herman, ayah Allary. Pekerjaanku adalah Kepala divisi intelejen negara. Kau tahu bukan soal itu?”
Thahir terhenyak. Kehilangan kata-kata. Dia tahu kalau orang ini adalah pamannya Allary, tapi dia tidak tahu kalau Allary punya keluarga yang jadi mata-mata elite negara.


8
Aku Ingin Berubah, Thahir


“Saya kira tidak, om. Kami selalu menyelesaikan masalah sebelum semuanya tercerai berai. Sebelum semuanya meluas. Tidak akan ada masalah yang tersisa setelah semuanya dibereskan. Itu adalah kode etik Klub Banteng Merah.”
“Lalu siapa yang menyerang kalian itu?” 
“Saya tidak tahu, om. Seharusnya om bisa tahu lebih banyak dari saya. Om bisa menggunakan koneksi, lalu dengan mudah mencari tahu fakta bukan?”
Pak Lukman terdiam. Temannya Allary ini hebat juga. Tidak hanya tinjunya, mulutnya juga.
Pembicaraan dan makan malam mereka, disela oleh sekali dan dua kali panggilan telepon. Pak Lukman sibuk sekali. Thahir memutuskan untuk terus makan saja. Namun, sebelum dia menghabiskan seluruh makanannya, Pak Lukman sudah berseru lagi.
“Bergegas, Thahir. Kita harus mengecek keadaan Allary. Perawat baru saja menghubungiku. Dia sudah siuman.”
Demi mendengar itu, Thahir segera menyingkirkan sendok. Segera berdiri.
Ya, Pak Lukman-lah yang menyelamatkan mereka di Malaysia malam itu. Pak Lukman, seorang intelejen, memantau gerakan keponakannya di negeri jiran, dan datang di saat yang tepat untuk memberikan bantuan. Pak Lukman bahkan membawa pesawat pribadi untuk melarikan Allary ke rumah sakit. Pria yang keren dan terus terang itu, menyarankan agar mereka dibawa ke Jakarta saja. Jauh dari wilayah musuh.
Ini adalah pertemuan kesekian antara Allary dan om-nya itu. Bukan dalam artian banyak, melainkan dalam artian sedikit.
“Kamu baik-baik saja, Nak?” 
Allary mengangguk, “aku baik-baik saja, om. Terima kasih sudah menyelamatkan kami. Ada dimana kita sekarang? Kualalumpur?”
“Kamu di Jakarta Nak. Om yang membawa kamu ke sini memakai pesawat tadi. Kondisimu amat buruk.”
“Eh? APA!? JAKARTA!?” Allary langsung berteriak, histeris. Hanya denyutan lukanya yang mampu membuatnya berhenti.
“Tenanglah Nak, ini keputusan terbaik. Kita harus menyembuhkanmu. Tempat terbaiknya, tentu di negeri sendiri. Bukan di tempat musuh.”
“Tapi om, tujuan kami ke Malaysia belum tercapai... ukh!”
Pak Lukman menenangkan Allary. Menempelkan telunjuk di depan bibir. Menyuruh Allary diam. Itu sugesti yang amat mengagumkan.
“Iya. Om tahu. Ini soal gadis itu bukan? Kamu bisa mencarinya nanti-nanti, Azra. Kondisimu sendiri saat ini masih kritis. Kamu tidak perlu memikirkannya. Kamu juga tidak mungkin berkeliaran di Malaysia, jika musuh berkeliaran juga, mengintai akan mencelakaimu.”
Allary terdiam mendengar kalimat itu. Ekspresinya kemudian, seperti orang yang baru teringat akan sesuatu. “Om, boleh biarkan aku bicara dengan Thahir dulu. Sesuatu yang penting.”
“Kau tidak berpikir untuk melarikan diri dari rumah sakit ini kan? Jangan berbuat nekat.”
Allary menggeleng, “bukan om. Hanya pembicaraan biasa. Antar sahabat, pada sahabatnya.”
Pak Lukman tidak punya banyak pilihan terpaksa membiarkan dua sahabat itu berbicara.
Thahir mendekat. Meski dia heran, apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Allary.
“Aku tahu, siapa yang menyerang kita, Thahir.” Allary berucap, lirih sekali. Langsung membuat Thahir terkejut.
“Siapa?”
“Orang-orang suruhan. Orang-orang yang tidak ingin aku bertemu dengan Anita.”
Thahir semakin terkejut. Bagaimana Allary bisa tahu?
“Mereka memberitahu identitas mereka. Sebelum mereka melumpuhkan aku. Tante Zarra serius. Dia tidak menyukaiku.”
“Baiklah Allary. Kalau begitu, sekarang, apa rencanamu?”
Allary melihat ke luar ruangan, melewati kaca, seolah menerawang. “Aku tahu, saat ini, aku tidak mungkin bisa menemui Anita. Tidak. Orang-orang itu sangat tangguh. Tapi sebaliknya, aku yakin Anita tidak akan kemana-mana. Dia akan menungguku. Jadi aku rasa, sekarang yang paling tepat bagiku, adalah memperkuat diriku sendiri. Aku ingin bertambah kuat, Thahir. Tolong ajari aku, supaya aku bisa bertarung sehebat dirimu.”
Thahir terperangah dengan niatan Allary itu.


9
Kau Tidak Bisa Masuk ke Sana Begitu Saja

“Apa yang ingin kau rencanakan, Allary?” Thahir mengusap wajah setelah termenung beberapa saat.
“Aku ingin belajar berkelahi, Thahir. Aku ingin bisa membela diriku sendiri.”
“Tapi itu bukan sesuatu yang main-main, kawan.”
Dua sekawan itu saling tatap. Thahir telah mengenal Allary selama beberapa tahun, dia mengenal temannya itu sebagai orang yang keras kepala.
“Aku sudah mencoba melatih diriku, Thahir. Selalu gagal. Aku coba berlatih di gym, mengolah tubuh, gagal. Aku coba ikut perguruan silat, juga gagal. Tolong bantu aku melatih diriku. Apakah kau punya metode yang sesuai?”
Thahir menggeleng sambil menggigit bibirnya. “Entahlah Allary, aku tidak begitu yakin.”
“Aku mohon, Thahir. Aku tahu kau hebat dalam hal ini. Aku melihatnya sendiri tadi malam. Gaya bertarungmu, mengingatkan aku pada partner petualanganku. Kuat, cepat dan efektif.”
Thahir kembali mengusap wajahnya. Allary menggandakan serangan. Susah payah mengangkat bajunya, menunjukkan bekas luka tusukan pisau yang kemarin-kemarin, dia dapat di Santiago.
“Ini akibat aku tidak bisa bertarung. Kami terjebak dalam situasi hidup dan mati di kota Santiago. Ini akibat petualanganku. Aku yakin, aku akan mendapatkan luka-luka semacam ini lagi, jika aku tidak bisa menjaga diriku.”
Thahir tidak punya pilihan lain. Dia menganggukkan kepala. “Baiklah, Allary. Aku akan mengajakmu ke tempat latihanku. Aku janji. Kau bisa pegang kata-kataku. Begitu kau dinyatakan sehat dan bisa keluar dari rumah sakit.”
Allary mengangguk senang. Itulah tonggak pertama, Allary menjadi anggota klub Banteng Merah.
Saat pertama kali datang ke klub, Allary hanya bisa ternganga-nganga, terpesona, melihat interior gedung markas klub, melihat-lihat aktivitas di dalamnya. Thahir dengan tenang mengajaknya melangkah ke markas. 
“Nah sementara, kau lihat-lihat saja dulu. Menyesuaikan diri. Berkenalan dengan anggota-anggota klub. Kau beruntung kawan, aku yang jadi temanmu ini, adalah anggota tetap di klub ini. Jadi aku bisa leluasa mengajak orang lain masuk ke klub ini.” 
“Ini menakjubkan, Thahir. Apa tadi namanya?”
“Klub Banteng Merah. Ini adalah klub para petinju. Kau bisa ikut berlatih di sini. Bukan berlatih dengan teori, tapi dengan tinju. Langsung praktek. Aku yakin itu akan jauh lebih efektif. Selain itu, selalu menyenangkan melihat orang-orang saling pukul.”
Allary tertawa. 
Bersama Thahir, Allary diajak bergabung dengan teman-temannya di Klub. Ada Jonathan, seorang preman pasar. Ada Joko yang bertubuh besar, seorang kuli panggul. Dan tentu saja, Reyhan, sang pemimpin klub.
“Hampir semua orang di klub ini adalah orang biasa, kawan. Kau tidak perlu gugup atau canggung. Orang biasa dalam artian, ya hanya masyarakat biasa. Jonathan itu misalnya, dia seorang preman pasar. Atau Joko, dia seorang kuli panggul. Paling banter, ya hanya Reyhan, yang menjabat sebagai manajer pemasaran di salah satu perusahaan.”
“Tempat ini menakjubkan, Thahir.” Allary tidak bisa menutupi kekagumannya.
Sedetik kemudian, terdengar bunyi pengumuman lewat pengeras suara. Nama Thahir dipanggil. Begitu juga Jonathan. Thahir tersenyum. 
“Nah kawan, kau bisa duduk di kursi ini, menunggu. Sementara itu, aku akan mencoba melemaskan otot-ototku. Kau bisa menikmati pertarungan kami terlebih dahulu.”
Thahir naik ke atas arena. Menggulung kemeja lengan panjangnya. Sementara Jonathan melepas jaketnya. Mereka akan segera bertarung.
Melihat Thahir saling tinju dengan Jonathan, Allary semakin terpesona. Dia tahu bahwa dia telah memilih tempat yang tepat.


10
Babak Belur


Demi niatannya, belajar beladiri, dan pesona dari klub tinju, Allary rela pulang pergi setiap bulannya, dari Banjarmasin, ke Jakarta. Satu kali dalam sebulan, itu adalah jumlah yang kecil untuk hitungan kedatangan seorang anggota ke klub. Thahir saja, paling sedikit datang ke klub, seminggu tiga kali.
“Apakah kau tidak lelah bolak-balik ke Jakarta sekali sebulan seperti ini, kawan?” Thahir menanyai Allary saat mereka bertemu. Ini kunjungan ketiga Allary ke klub. Masih belum bertarung.
“Tidak, aku sangat bersemangat. Klub-mu sangat menakjubkan. Aku jatuh cinta dengan klub itu saat pertama kali melihatnya.”
Thahir terkekeh, “bisa-bisanya kau bilang jatuh cinta. Padahal kau sendiri belum pernah bertarung. Seandainya kau nanti sudah mencicipi arena pertarungan itu, bisa-bisa kau bilang ingin menikahi klub. Itu gila, Allary.”
Allary ikut tertawa, “mana ada. Itu kau yang mengarang kalimat. Kau yang gila, Thahir.”
“Omong-omong, kenapa kau tidak menetap di Jakarta saja, kawan? Kau tahu, rumah lamamu itu, sampai hari ini masih terawat. Dijaga oleh Tante Sri. Tidak adakah niatanmu untuk itu. Coba pikirkan baik-baik. Kalau kau tinggal di sini...”
“Aku tidak bisa, Thahir. Aku tidak ingin lagi tinggal di Jakarta ini.”
“Hei kenapa tidak? Jangan bilang kau dibayangi oleh kenangan buruk.”
“Bukan begitu, aku punya kedai dan pelanggan setia di Banjarmasin sana. Mana bisa aku tinggalkan begitu saja.”
“Ah itu hanya alasan klasik. Kau tahu persis itu.”
Allary memutuskan untuk mengalihkan topik, “sudahlah, beritahu aku kapan jadwalku untuk bertarung. Aku sudah tidak sabar.”
“Astaga,” Thahir menepuk dahinya, “kau bersemangat sekali, sabar kawan. Dulu aku harus menunggu enam bulan untuk mendapatkan pertarungan pertamaku.”
“Waktu itu usiamu baru sebelas tahun mungkin,” Allary menyahut, jengkel. Tanpa sadar, pembicaraan mereka mengantar mereka sampai ke dekat meja pendaftaran. Reyhan mendengar pembicaraan itu. Langsung menimpali.
“Hei, kalau kau ingin bertarung, kenapa kau tidak pernah bilang.”
“Apakah aku boleh bertarung malam ini?” Allary bertanya, antusias.
“Tentu saja, kenapa tidak?”
“Hei, hei. Kau tidak bisa seenaknya memberi panggung, dia masih harus melakukan pembiasaan, latihan-latihan kecil. Lagipula Allary juga masih cidera. Luka-lukanya tidak sembuh benar.”
“Aku baik-baik saja, Thahir,” Allary balas menyela, dengan nada mantap.
Reyhan bertepuk tangan. “Baiklah. Kita lakukan pertandingan untuk Allary malam ini. Aku sendiri yang akan melawannya.”
“Woy kau tidak boleh melakukan hal itu, Reyhan. Dia anak baru. Kau tidak bisa serta merta...”
“Kau terlalu meremehkan dia, Thahir. Anak ini potensial. Aku bisa melihatnya. Aku seorang manajer pemasaran. Aku bisa melihat potensi seseorang. Lagipula aku tidak main keras kok. Hanya pukulan-pukulan ringan. Pemanasan saja. Ayo,” Reyhan tidak ambil tempo langsung mengajak Allary merapat ke dekat ring pertandingan. 
Pengeras suara dinyalakan. Memberitahukan kepada segenap anggota klub bahwa malam ini ada pertandingan antara Allary, si anak baru, dengan Reyhan, pemimpin klub. Thahir menghela nafas. Beberapa anggota yang lain juga bisik-bisik.
Alangkah konyolnya, anak baru akan melawan Reyhan? Punya nyali darimana dia? Begitu bunyi bisik-bisik mereka. 
Benar saja. Meskipun Reyhan bilang dia hanya melakukan pukulan pemanasan, dia tetap saja seorang petarung. Dia begitu bernafsu melumpuhkan lawannya. Dua tiga pukulan kemudian, Allary langsung kena sikat. Terbanting ke sudut ring. Tak berdaya. Thahir panik, hendak membawa temannya ke ruang perawatan. 
Allary tidak kehilangan kesadaran. Seluruh tubuhnya boleh saja ngilu, kena pukulan-pukulan yang kuat. Tapi seluruh semangatnya berkobar-kobar. Terpacu. Dia memang kalah dari Reyhan malam itu, tapi dia sama sekali tidak takut atau menyesal.
Reyhan mengulurkan tangan padanya, membantu dia berdiri. “Kau baik-baik saja, anak baru?”
“Pertarungan yang hebat. Aku sangat bersemangat.” Allary menyambut uluran tangan itu.
“Kau baik-baik saja, Allary? Ayo kutemani ke ruang perawatan.”
“Bicara apa kau, Thahir,” Reyhan menyahut, jengkel, “temanmu itu baik-baik saja. Dia hanya belum terbiasa. Lebih dari itu, aku sudah melihat potensinya. Jika dilatih dengan benar, dia bisa jadi petarung terhebat yang dimiliki klub ini.”


11
Allary Berkembang Pesat


Pertandingan pertama melawan Reyhan, Allary tersungkur.
Pertandingan kedua, melawan Jonathan, Allary tersungkur lagi.
Pertandingan ketiga, melawan Joko, Allary kembali tersungkur.
Pertandingan keempat, melawan Thahir, meski sudah berusaha keras, Thahir menurunkan tensi pertandingan, Allary tetap tidak bisa mengalahkan temannya itu.
Meski terus kalah, Allary tetap berkembang. Dia banyak belajar dari kesalahan. Saat melawan Reyhan, dia hanya bertahan beberapa menit. Melawan Jonathan, dia bertahan lima belas menit. Melawan Thahir, bisa bertahan dan menyarangkan beberapa pukulan.
“Cukup menarik, kawan. Pukulanmu tadi sudah serius. Aku merasakan sakitnya.” Thahir membantu Allary berdiri. Pelipisnya berdarah. Tim perawat bergegas memberi bantuan medis. 
“Rasanya aku tidak sia-sia bolak-balik ke sini setiap bulan, Thahir. Hebat sekali rasanya. Semangat terpacu berkali-kali lipat.”
“Sebentar lagi kau akan bilang soal jatuh cinta, Allary.” Thahir terkekeh.
Allary terengah-engah. Pelipisnya berdenyut sakit. Tapi dia belum ingin menyerah. Setelah prosedur pertolongan pertama beres, luka di pelipisnya sudah dibungkus, dia berdiri. Mengajak Thahir ke arena latihan 2. Berlatih.
“Astaga, kau baru saja terluka di pelipis. Baru saja terbanting keluar dari ring. Dan kau sudah mengajakku bertarung lagi?”
“Hanya latihan, Thahir. Hanya latihan. Ajari aku mendaratkan tinju. Jangan sehabis ini kau meninjuku lagi.”
Thahir melambai-lambai. “Baiklah, kawan. Akan kubantu kau berlatih. Jangan-jangan dua bulan setelah ini, kau sudah sangat terampil bertarung, bisa mengalahkanku.”
Ya, itulah rahasia perkembangan Allary. Latihan. Latihan keras. Dia selalu meminta pertolongan Thahir, membantunya melatih pukulan, gerakan, trik-trik bertinju. Tubuhnya lelah, tapi semangatnya menyala-nyala. Allary kini paham, latihan-latihan sebelumnya, di gym, di tempat perguruan silat, tidak cocok karena dia tidak pernah bersemangat menjalaninya. Tidak serius. 
Dengan semangat yang menyala-nyala, Allary kini bisa pulang pergi ke Banjarmasin, tanpa harus terbantai kelelahan, atau jatuh sakit. 
Satu tahun penuh diisi dengan latihan keras.
Allary mulai tumbuh menjadi seorang petarung yang serius. Semua orang memperhitungkannya. Wahyu, salah satu petarung, satpam kantor bank, baru-baru ini berhasil dipukulnya keluar ring. Itulah kali pertama, Allary berhasil mengalahkan seorang musuh.
“Luar biasa, Allary. Luar biasa,” Reyhan berseru. 
“Kau tidak apa-apa, kawan?” Thahir ikut mendatangi, mengecek. Allary memutar-mutar bahunya, dia baik-baik saja. Hanya bajunya yang berlumuran keringat. Sisanya dia tidak kurang suatu apa.
“Bukan main, Allary. Kau mau kudaftarkan melawan Jonathan untuk bulan depan? Kurasa pertarungan kalian akan menarik.” Reyhan menyeringai.
“Hei, hei, kurasa itu tidak adil,” Thahir yang berseru.
Namun Allary malah menyahut datar, “daftarkan untuk malam ini. Aku siap bertarung dengannya.”
“Kau serius? Aku bisa mengaturnya, kalau kau mau,” tantang Reyhan.
“Kenapa tidak?” Allary mengangkat bahu. Dia sedang bersemangat sekarang. Satu lawan lagi, tidak masalah.
Akhirnya, meski dicegah oleh Thahir, Allary kembali naik ke ring arena. Jonathan naik di seberangnya. Siap bertarung. Pengeras suara segera mengumumkan. Pertarungan kedua: Allary vs Jonathan.
Jonathan adalah petarung yang tinggi besar. Tingginya sampai dua meter. Penampilannya sangat intimidatif. Reputasinya sebagai preman pasar, ditakuti banyak orang. Tapi Allary tidak gentar. Dia melemaskan otot-ototnya.
Pertarungan dimulai.
Jonathan langsung bergerak, menerjang. Tinjunya mengarah ke wajah Allary. Tapi Allary lebih gesit, menunduk, berguling lalu bangkit dan balik mengirimkan tinju ke dagu Jonathan. 
Itu adalah serangan yang mematikan. Itu adalah sebuah pesan. Untuk seluruh anggota klub. Bahwa petarung terkuat di klub, telah menampakkan dirinya.


12
Dua Legenda Klub


Allary dan Thahir sudah sama-sama berdiri di atas ring. Ini pertarungan final mereka. Allary menggulung kemeja abu-abu yang dia kenakan. Sedangkan Thahir melepas kemejanya, dia akan bertarung hanya mengenakan kaos oblong warna hitam.
Pengeras suara diturunkan. Reyhan meraih mikrofon. Ini pertandingan final. Dia akan memberikan kata-kata sambutan. Ruangan klub dipadati oleh banyak sekali anggota. Nyaris seluruh orang yang pernah masuk di Klub Banteng Merah hadir malam itu. Wajah-wajah antusias. 
“Saudara-saudaraku, sebentar lagi kita akan menyaksikan pertarungan dua orang terbaik di klub ini. Malam pertandingan final. Di sisi utara, ada Thahir. Wajahnya mungkin lemas, kusut masai, tapi kita sama-sama tahu, dia adalah anggota senior di klub. Thahir dikenali dengan gerakannya yang gesit, kecepatan pukulannya yang sulit dihindari dan jangan lupa, dia punya kemampuan bertarung yang amat mengagumkan. Di sisi selatan, kita punya penantang baru. Petarung baru. Anak baru. Baru empat tahun dia bergabung di klub, ah susah dipercaya, jangankan Jonathan, aku saja tersungkur dibuatnya. Dialah Allary. Seorang petarung yang pantang menyerah. Kalau kuamati ya, saudara-saudara, kemampuan bertinju Allary memang masih di bawah Thahir. Kecepatan dan kegesitannya juga inferior dibandingkan lawannya itu. Tapi Allary punya sisi lain. Dia tangguh. 25 pukulan? Dia bisa menerima sejumlah itu tanpa terjatuh. Pukulannya juga sangat bertenaga. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang amat menarik....”
“AYOLAH REY, MULAI SAJA PERTARUNGANNYA!” salah seorang dari kerumunan orang berseru. Dia adalah Jonathan. Reyhan menyeringai. “Baiklah. PERTARUNGAN DIMULAI!!”
Allary dan Thahir yang berdiri di ring, sama-sama tersenyum. Ini adalah pertarungan yang sudah mereka nanti-nantikan.
BUKKKKK!
Thahir yang pertama kali bergerak, menggerakkan tinjunya, mengincar bahu kanan Allary. Hanya saja tinjunya tadi hanya tinju yang biasa, standar. Dengan mudah Allary menangkisnya.
BUKKKKK!!!
Allary balas menyerang. Kena. Pertahanan Thahir terbuka. Perutnya terkena telak oleh gerak tinju Allary. Seperti kata Reyhan, tinju milik Allary itu mungkin bukan yang paling cepat. Tapi powernya cukup kuat untuk membuat Thahir memasang wajah masam. Kesakitan.
“Gerakan yang bagus, Allary.”
“Kau sama sekali tidak serius, Thahir. Jangan meremehkanku. Jangan mengalah hanya karena aku adalah sahabatmu. Asal kau tahu, aku sangat bernafsu untuk mengalahkanmu sejak di Banjarmasin.”
Thahir menyeringai. “Kau jangan terlalu percaya diri, kawan. Aku hanya mengulur waktu. Pemanasan. Kau tahu, terkadang memberi lawan sedikit kesenangan akan meningkatkan kemungkinan aku untuk menang.”
“Kau tidak akan mendapatkan hal itu!” Allary menggerakkan tinju lagi. Mengincar bahu. Tapi Thahir gesit, menghindar. 
“Baiklah. Sekarang giliranku.”
BUKKKKK! BUKKKKK! BUKKKKK! BUKKKKK! BUKKKKK! BUKKKKK! 
Allary terhempas ke pinggir ring. Andai tidak ada tali-tali di sana, dia bisa terpelanting ke luar arena. Sementara Thahir masih berdiri di tengah ring. Wajahnya tersenyum meremehkan. Itu tadi serangan tinju super cepatnya. Allary tidak memiliki kesempatan menghindar sedikitpun.
“Bagaimana kawan? Masih mau melanjutkan pertarungan?”
“Tentu saja.” Allary lekas menerjang ke tengah.
Deskripsi Reyhan tadi agaknya memang akurat. Lihatlah, kemampuan mereka berdua memang tepat seperti yang diucapkannya. Thahir berkali-kali mengeluarkan serangan yang tak bisa diantisipasi Allary saking cepatnya, tapi Allary sendiri tidak pernah bisa ditumbangkan, meski sudah terkena pukulan berkali-kali.
Pertarungan mereka tidak akan berlangsung sebentar.


13
Sebuah Tempat Terlarang untuk Didatangi


Sementara Allary dan Thahir, dua sekawan itu sibuk bertinju, bernafsu menjatuhkan, menginginkan kemenangan di pertarungan final mereka itu, di Ibukota, nun jauh di sana, kejadian lainnya terjadi.
Kejadian ini juga melibatkan dua sekawan. Sekilas awalnya, kejadian ini memang tidak berhubungan dengan Allary dan Thahir, namun seiring waktu berjalan, dua sekawan ini akan berkelindan cerita dengan tokoh utama kita.
Rumah Vivi di ibukota distrik Pahadaru. Hari ini dia kedatangan seorang tamu. Seorang gadis. Dilihat dari raut wajah, dan bagaimana mereka saling memanggil nama, sepertinya dua orang gadis yang kini duduk di ruang tamu itu, adalah dua sahabat juga.
“Ayolah Vivi, temani aku. Sudah lama kita tidak bepergian bersama.”
Vivi menggeleng, “aku tidak bisa Brittany. Kamu tahu persis, aku tidak bisa.”
“Ayolah, apa yang membuat kamu menolak?” Brittany berpindah duduk, kini mengambil posisi di samping Vivi. “Peristiwa itu masih membuatmu trauma?”
“Kamu tahu persis soal itu, Brittany.”
“Vivi, kejadian itu sudah lewat berbelas tahun. Mereka pasti sudah melupakanmu, sudah menghapus namamu dari daftar mereka. Kamu kini hidup tenang bukan?”
Vivi masih menggeleng, semakin mantap, “aku tidak bisa, Brittany. Kamu tahu persis.”
“Vivi, dengarkan aku. Kamu sudah melakukan banyak hal hebat. Terakhir kudengar, kamu baru kembali dari Amerika Selatan. Hei, kaki-kakimu sudah menapak ke tempat yang lebih jauh dari yang kubayangkan. Dan saat kamu pergi, tidak ada yang terjadi bukan? Kamu masih selamat bukan? Nah jika di Amerika Selatan, kamu baik-baik saja. Maka kurasa di Mesir, kamu juga pasti baik-baik saja.”
Ah Brittany. Sahabat baik Vivi itu memang bukan orang yang mudah menyerah. Dia keras kepala. Tidak, tidak hanya itu. Dia juga bisa membuat orang menuruti kekeraskepalaannya. Ibarat kata, Brittany mengajak seseorang ke neraka, dia bisa membuat orang itu yakin untuk mengikutinya ke neraka. Dalam situasi tertentu, mempunyai sahabat seperti ini, bukan hal yang menguntungkan.
Brittany mengajak Vivi melancong ke Mesir. Menemaninya. Bukan sebuah perjalanan bertajuk petualangan, bukan. Hanya perjalanan biasa. Perjalanan wisata. Melihat piramida. Melihat jejak kerajaan Fir’aun Mesir. Biasanya Vivi selalu terpengaruh oleh Brittany, tapi kali ini dia berkelit mati-matian. 
“Itu berbeda, Brit. Itu berbeda. Sangat berbeda,” Vivi menyahuti lagi, dengan nada lemah. Dia mengeluarkan panggilan “Brit”. Itu adalah panggilan yang spesial. Hanya dipakai di situasi-situasi khusus.
“Ayolah Vi, ayolah. Apa yang berbeda coba?” Brittany tentu juga punya panggilan khasnya untuk Vivi. Yap, panggilan itu sama dengan cara Allary memanggil Vivi. Dua huruf di depan nama panggilannya. 
“Amerika Selatan itu jaraknya setengah keliling bumi dari Libya, Brit. Sedangkan Mesir, hanya ratusan kilometer. Lewat perjalanan darat, pakai unta juga bisa. Kamu tahu persis. Aku tidak akan ke sana. Tolong jangan bujuk aku. Aku tahu persis itu adalah tempat yang tidak boleh didatangi,” Vivi berseru. Emosional.
Brittany mengendurkan wajahnya demi melihat Vivi seperti sedang memarahinya. Dia dengan tangannya, menepuk-nepuk bahu Vivi. Menenangkannya.
“Tidak perlu emosi, Vi. Kamu tidak perlu takut. Maafkan aku. Maaf aku sudah menyenggol kembali bagian yang tak menyenangkan itu. Tapi kamu tahu persis juga, aku akan selalu melindungimu. Kamu tidak perlu takut. Kejadian itu terjadi padamu, karena saat itu aku tidak ada di sana. Sekarang situasinya jauh berbeda. Kamu juga sudah cukup besar untuk melawan mereka bukan?”
Vivi menghela nafas. Brittany tidak pernah menyerah. Dia benar-benar keras kepala.


14
Sandal yang Masih Basah


Pada akhirnya, Brittany berhasil mengajak Vivi ke Mesir. Yap, berkat kekeraskepalaannya. Mereka merencanakan perjalanan 20 hari, menengok kekayaan wisata negeri Fir’aun tersebut. 
Untuk keperluan akomodasi, Brittany menyewa sebuah hotel di dekat Sungai Nil. Hotel berbintang terbaik di Mesir. Brittany juga memesan kamar paling atas, paling luas dan yang terbaik untuknya dan Vivi. Ya, mereka berbagi kamar. Karena Vivi masih menyimpan banyak kekhawatiran.
Lihat saja bagaimana nanar matanya saat menatap sungai Nil. Pemandangan dari lantai 5 hotel ini sungguh menawan, tapi apa yang ada di mata Vivi itu terlihat seperti perasaan khawatir. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Vivi? Belum diketahui dengan pasti.
Hari pertama mereka melancong ke Piramida Khufu. Piramida terbesar di Mesir. Meski harus bersesakan dengan wisatawan lain, Brittany pulang ke hotel dengan riang gembira. Dia tertawa-tawa sambil mematut-matut mana foto terbaik yang bisa dipasang di sosial media. Maklum wanita.
Vivi lain. Sepulang dari melancong hari ini, dia kembali ke kamar. Saat Brittany sibuk mematut foto terbaik, dia malah berdiri di depan jendela besar, matanya awas menatap ke kejauhan sana. 
“Ada apa, Vi? Kamu tidak terlihat senang hari ini.” Brittany mendekat. 
“Aku tahu ada sesuatu yang sedang terjadi di sini, Brit. Aku bisa merasakannya. Ada mata dan mata yang menatap, mengawasi gerak-gerikku. Bersiap untuk menangkapku.”
“Ah itu hanya perasaanmu saja. Aku bersamamu sepanjang hari. Tidak ada apa-apa yang kurasakan.”
Vivi menggeleng. Tidak menjawab. Brittany tahu persis, keadaan mereka berbeda. 
“Ayolah Vi. Kita sedang berjalan-jalan. Berwisata. Jangan kamu murung begini. Tidak seru jadinya. Ayolah. Kamu sudah sering berjalan-jalan ke tempat jauh, sampai ke Amerika Selatan. Tidak ada yang terjadi bukan? Maksudku hal-hal buruk. Kamu ditangkap. Tidak ada bukan?”
Vivi menggeleng lagi. Itu hal yang berbeda. Lagipula, omong kosong mereka tidak menghadapi bahaya dalam perjalanan di Amerika Selatan itu. Allary dan Felix, dua teman seperjalanannya, sama-sama masuk rumah sakit. Satu di Piura, satu lagi di Santiago.
“Mungkin kamu perlu tidur. Menenangkan diri. Mungkin boleh jadi besok mood kamu lebih baik.” Akhirnya hanya itu yang bisa diucapkan oleh Brittany.
Tapi itu salah. Mood Vivi tidak juga membaik. 
Besoknya, mereka mengunjungi kawasan Piramida Giza, melihat-lihat patung Sphinx. Pulangnya, Brittany mematut foto yang bagus di sosmed, Vivi kembali merenungi di balik jendela. Wajahnya memancarkan kekhawatiran.
Besoknya lagi, mereka mengunjungi tepi Laut Merah. Kejadiannya sama lagi. Vivi pulang dengan wajah khawatir. Tidak ada perubahan.
Empat hari di Mesir, Vivi sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang berwisata. Dia lebih terlihat seperti orang yang sedang menunggu eksekusi pembunuhan. Tatapan mata yang memancarkan kekhawatiran, sekaligus putus asa. 
Di hari kelima, Brittany memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk menghibur sahabatnya itu. 
“Vi, ayo ikut aku.”
“Mau kemana pula kita?”
“Mencari pemandian air panas. Baru setelah itu kita makan-makan. Kulihat kamu sama sekali tidak bisa bersantai dalam empat hari belakangan. Kamu tidak seperti orang yang sedang berwisata. Maka ada baiknya sekarang kita merilekskan dirimu.”
Vivi menggeleng. “Aku tidak perlu melakukan itu, Brit. Aku mau tidur saja.”
“Ayolah Vi. Tidak ada salahnya bukan? Hanya ke pemandian air panas. Kulihat tiga petak dari hotel sini, ada pemandian air panas. Lumayan bagi kita menyegarkan badan. Setelah itu kita makan di restoran depan hotel. Hanya itu kok. Tidak lebih.”
“Benar ya, tidak lebih?”
“Iya, aku janji.”
Vivi akhirnya mengangguk. Brittany mungkin benar. Dia perlu merilekskan diri. Mereka sedang berwisata. Jadi tidak ada salahnya. Lagipula, Vivi memang ingin mencicipi makanan Mesir. Sudah lama sekali rasanya. 
Sayangnya, Vivi tidak sempat mencicipi makanan apapun. Di pemandian air panas, Vivi meminta untuk mandi sendiri. Dia perlu menenangkan dirinya. Brittany setuju, segera menyewa dua tempat. Sedikit senang karena Vivi akhirnya menunjukkan sedikit keriangan.
Hanya saja keriangan itu kemudian berubah menjadi kepanikan, karena Vivi tidak kunjung keluar dari tempat pemandiannya. Setengah jam tidak ada sahutan, Brittany memutuskan memanggil orang untuk mendobrak. 
Dilihatnya yang tertinggal hanya sepasang sandal yang basah. Vivi, temannya telah raib. Tidak ada di pemandian air panas. Tidak ada di setiap sudut. 
Vivi telah menghilang.
Itulah inti kisah ini. Vivi menghilang. Itulah yang akan memutar roda cerita ini. Tidak lama lagi, cerita akan berkelindan sepanjang jarak antara Mesir ke Libya.


15
Telepon Panik Berikutnya


Malam itu, setelah pertarungan finalnya dengan Thahir, Allary bisa pulang ke hotel dengan wajah yang gembira. Hasil pertarungan memihak dirinya. Thahir terjungkal oleh pukulannya. Tanpa trik, tanpa keberuntungan, Allary mengalahkan sahabatnya dalam pertarungan yang adil. Memang mengejutkan, Reyhan saja sampai lupa mengatup mulut beberapa menit. 
Thahir, petarung paling efektif di klub, dikalahkan oleh anak baru. Tapi Thahir menerima kekalahan itu dengan sportif. Seusai terjungkal dibuat tinju Allary, dia bangkit dan memberi pelukan pada sahabatnya.
“Pertarungan yang hebat, kawan. Aku tidak pernah sesemangat itu sebelumnya. Kau pantas menang.”
“Terima kasih, Thahir.”
Sebaliknya, di Mesir, Brittany sedang panik. Tanggal yang sama. Malam yang sama. Vivi menghilang. Brittany bergegas menghubungi pihak berwajib. Investigasi segera dilakukan. Sampai tengah malam polisi mencoba sekuat tenaga, mencari petunjuk, bukti-bukti. Tapi nihil. Untuk sementara, polisi menyimpulkan bahwa gadis bernama Vivi itu diculik oleh kelompok sindikat kejahatan yang lihai.
Gemetar Brittany dibuatnya.
Astaga, inilah yang selalu dikhawatirkan oleh Vivi namun selalu dibantah olehnya. Kejahatan. Vivi tahu persis. Masa lalu gadis itu penuh lika-liku yang panjang. Dia tahu persis juga soal itu. Dan malam ini, di Mesir, kejahatan itu kembali datang.
Brittany pulang ke hotel dengan menggigit bibir. Dia merasa sangat bersalah. Seharusnya dia tidak memaksa Vivi bepergian ke Mesir. Tidak seharusnya dia meremehkan ketakutan yang dirasakan Vivi. Tidak seharusnya, dia dengan kekeraskepalaannya merasa terlalu yakin.
Sekarang apa? Sesuatu benar-benar terjadi. Kekhawatiran Vivi benar-benar terbukti. Sekarang dimana sahabatnya itu. Tidak, pulang ke hotel malam itu, Brittany sama sekali tidak punya ide. Kemana dia harus mencari sahabatnya? Negara Mesir ini sangat luas. Brittany perlu banyak bantuan. 
Dia harus mencari Vivi. Itulah tekad yang tertanam dalam hatinya. Sama seperti kekeraskepalaannya, tekad Brittany itu akan terus tertanam sampai ujung cerita. Dia tidak akan pernah menyerah. Dia akan menemukan temannya itu. Apapun caranya.
Ketika sampai di hotel, Brittany segera berkemas. Barang-barang miliknya dan milik Vivi dia masukkan ke dalam tas. Sambil berkemas, pikiran Brittany terus berputar. Bagaimana cara dia untuk bisa menemukan Vivi. Secepat mungkin. 
Esok siangnya di Jakarta. Allary juga sedang berkemas. Dia akan pulang ke Banjarmasin. Tiket untuk keberangkatan pukul 11 pagi. Sebenarnya dia ingin berangkat pagi-pagi tapi Reyhan mencegahnya. Mereka ingin merayakan kemenangan Allary di klub. Pesta digelar. Reyhan sambil terkekeh bilang kini Allary adalah anggota kehormatan di klub Banteng Merah.
Selesai berkemas, Allary naik taksi ke bandara. Thahir masuk kerja, tidak bisa mengantarnya. Allary bilang tidak apa. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. 
Saat di dalam taksi itulah, teleponnya berbunyi. Allary menengok layar. Nomor tak dikenal, dengan kode +988. Kode negara mana itu. Allary mengusap wajah. Dia tak menghiraukan panggilan. Membisukan nada dering. Tapi suara getar ponselnya terus mengganggu. Allary diamkan sampai sepuluh kali. Nomor itu terus mencoba menghubungi. Itu berarti orang penting. Akhirnya Allary memutuskan mengangkatnya.
“Hello,” sahut Allary lebih dahulu, mencoba melemaskan otot-otot bahasa Inggrisnya. Sudah lama dia tidak memakainya.
“Hello Mr. Allary. Saya Rajapatnam. Mr. Rajapatnam Olashuud. Atau mungkin anda mengenal saya sebagai ayah dari Selvi Anatasha.” Orang itu, terdengar seperti orang tua, berbicara dengan bahasa Inggris yang tak kalah fasih. Meski irama Indianya ikut terbawa di setiap kalimatnya.
Mr. Rajapatnam? Allary tak mengenal nama itu. Tapi Selvi Anatasha? Itu adalah nama asli Vivi. Allary jelas tertarik dengan urusan yang dibawa orang ini.
“Ada apa ya, Mister? Ada yang bisa saya bantu?” tawar Allary.
“Bisa anda datang ke Mesir sekarang, Mister Allary.” 
Allary menyernit kening. Datang ke Mesir? Untuk apa?
“Saya ingin meminta bantuan anda, Mr. Allary. Saya dengar dari Selvi, anda tidak pernah menolak permintaan tolong dari siapapun.”
Allary tidak segera menjawab. Apakah benar orang yang sedang bicara ini adalah ayah Vivi? Atau jangan-jangan ini adalah tipuan olok-olok. 
“Anak saya hilang, Mister Allary,” ujar suara di telepon itu, terdengar lesu dan putus asa, “Selvi menghilang di Mesir tadi malam. Saya sangat khawatir. Saya harus segera menemukannya. Tapi saya tidak mungkin mencarinya ke sana kemari dengan tubuh tua ini. Selvi mengenal anda dengan baik, saya yakin anda mau menolong orang tua ini mencari Selvi. Kau mau menolong bukan, Mr. Allary?”
Allary menelan ludah. Ayolah. Panggilan ini menggetarkan jiwanya.
“Jika anda setuju, saya akan kirimkan e-ticket. Anda tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Anda hanya perlu menyumbangkan tenaga anda.”
Persis sebelum telepon ditutup Allary sudah menyetujui. Pikirnya mudah saja. Jika ini benar-benar terjadi, maka petualangan berikutnya mungkin sudah menanti di depan sana. Tapi jika ini hanya sekedar tipu-tipu, dia bisa mencoba menggunakan tinjunya untuk melawan penjahat. Lagipula dia tidak rugi apa-apa.


15
Panggilan Petualangan Berikutnya


Burung besar itu sekarang mengudara dengan gagah. Allary telah naik di dalamnya. Penerbangan menuju Mesir. Orang bernama Rajapatnam itu tidak bercanda ketika bilang akan mengirimkan e-ticket.
Di dalam pesawat, sambil melihat gumpalan awan dari balik jendela, Allary merenung. Ya, pesawat ini akan menuju ke sebuah negara yang belum pernah dilihatnya. Lebih dari itu, Vivi menghilang. Seberapa serius kah itu? Entah. Allary belum bisa membayangkan. Otaknya justru sibuk memikirkan kemungkinan bahwa dia sebenarnya sedang ditipu. 
Tapi ayolah, penipu mana yang mau mengirimkan e-ticket. Perjalanan ini membingungkan, dan Allary mau-mau saja duduk diam di dalam pesawat ini sekarang.
Marilah berharap ini benar. Meski itu adalah kabar buruk. Apa yang akan terjadi berikutnya? Allary hanya bisa berpikir tentang petualangan. Ya, ini akan jadi petualangannya berikutnya. Meski akan sangat berbeda.
Sementara itu di Mesir, Brittany menangis di bawah kaki Mr. Rajapatnam. Ayah Vivi itu dipanggilnya sembilan jam yang lalu. Mengabarkan bahwa anaknya, Vivi menghilang dengan sangat misterius. 
“Sudahlah Nak, kamu tidak perlu menangis. Tidak perlu.”
“Tapi Mister. Ini salah saya. Ini salah saya. Gara-gara saya, Vivi hilang. Seharusnya aku mendengarkan kata-katanya, mendengarkan kata-kata anda. Seharusnya saya tidak mengajak Vivi datang ke Mesir. Seharusnya saya tahu kalau...”
“Sudah Nak. Menangisi itu sekarang, tidak akan mengubah keadaan. Kamu tenangkan dirimu. Daripada membuang energi untuk menangis, lebih baik kita segera memikirkan cara untuk menemukan Selvi. Aku tahu, dimanapun dia sekarang, dia sangat memerlukan kita.”
“Saya sudah lapor polisi. Tapi sampai sekarang, mereka tidak memberikan kabar perkembangan. Apa yang harus saya lakukan, Mister.” Brittany masih menangis, tersedu-sedu. 
Mr. Rajapatnam menunduk, menyelaraskan diri dengan Brittany, menepuk bahunya. “Dengarkan aku. Dalam hal ini kamu tahu bukan, kita sedang berhadapan dengan siapa? Kamu tahu persis kalau polisi tidak akan banyak membantu. Kamu yang menyelamatkan Vivi, membawanya padaku, belasan tahun yang lalu. Kamu tahu siapa yang kita lawan. Maka kamu juga tahu, kita hanya punya satu pilihan. Kita harus mencari Vivi, dengan tangan kita sendiri.”
“Aku akan menghubungi agen-agenku, sekarang juga.”
“Agen-agenmu itu tidak akan banyak membantu. Kita harus mencarinya. Dengan tangan-tangan dan kaki-kaki sendiri. Ah, kamu tahu Nak. Seandainya saja kaki-kakiku ini masih setangguh yang dulu, aku sendirilah yang akan mencarinya. Sampai ke ujung dunia sekalipun. Hanya saja kakiku ini sudah tidak kuat.”
“Tidak perlu Pak. Biar saya yang lakukan. Saya akan mencari dan menemukan Vivi. Saya janji. Sebentar lagi saya akan berangkat.”
Mr. Rajapatnam sekali lagi memegangi bahu Brittany, menepuk-nepuknya. Untuk seorang yang baru saja kehilangan anaknya, Mr. Rajapatnam terlihat cukup tenang. 
“Kamu harus tunggu di sini. Kamu tidak boleh pergi sendirian. Bisa-bisa kamu juga menjadi korban penculikan, dan masalah menjadi semakin runyam. Kamu boleh pergi, dan kamu memang harus pergi. Tapi harus dengan seorang partner. Seorang pria yang aku percayai. Dia temannya Vivi. Sebentar lagi dia akan tiba. Kamu tunggu saja.”
Brittany menyernit kening. Vivi punya teman pria? Sejak kapan?


16
Kunjungan Seminggu di Ibukota


Di atas pesawat juga, Allary mengingat kembali pertemuannya dengan Mr. Rajapatnam. Itu nyaris empat setengah tahun yang lalu. 
Mr. Rajapatnam, ayah Vivi adalah pribadi yang tak kalah menarik dengan Felix Norton ataupun Andalas, orang-orang yang dikenal baik oleh Allary. Mister Rajapatnam adalah seorang pensiunan perang. Seorang mantan tentara. Sebagai orang yang pernah bertugas di misi-misi kemanusiaan, memerangi ketidakadilan, beliau adalah orang yang sangat tegas. Sekali beliau bilang A, maka beliau akan kerjakan A. Tidak ada yang bisa membantahnya. 
Namun sebagai imbangannya, Mr. Rajapatnam juga merupakan orang yang terus terang. Beliau jujur dan apa adanya. Beliau tidak pernah ingkar janji. Beliau juga sangat sederhana. Allary bisa menemukan semua sifat itu karena dia pernah tinggal di rumah Vivi selama satu minggu. 
Di situlah mereka berkenalan.
“Jadi namamu, Allary Azra? Orang Indonesia?”
Itulah kata-kata pertama yang diucapkan oleh Mr. Rajapatnam pada Allary. Mereka duduk santai, di ruang depan yang tak ada kursinya itu. Mereka duduk lesehan. Vivi menghidangkan teh. Selebihnya, membiarkan Allary mengenal ayahnya. 
“Benar Mister. Saya Allary, dari Indonesia.”
“Istri saya orang Indonesia. Aminaa namanya. Orang Jawa. Dia pasti sangat senang jika bisa melihat kau berkunjung. Sayang sekali, dia sudah meninggal bertahun-tahun yang lewat.”
Allary manggut-manggut. Vivi sudah pernah cerita, dia berdarah setengah Indonesia. Dari ibu bernama Aminaa itulah pasti darah Indonesia didapatkan oleh Vivi.
“Saya senang bisa berkenalan dengan anda, Mister.”
“Silakan diminum, Nak.”
Kemudian mereka membicarakan pendakian yang baru Allary lakukan. Pendakian ke Puncak Sarsa. 
“Sungguh itu pendakian yang hebat Nak. Kalian tidak menemukan masalah sepanjang perjalanan?”
“Masalah selalu ada, Mister. Hanya tinggal apakah kami bisa mengatasinya atau tidak. Ada beberapa kali pertaruhan nyawa. Tapi kami bisa mengatasinya.”
“Vivi baik-baik saja? Dia tidak terluka bukan?”
Allary menelan ludah. Aura ketegasan dari Mr. Rajapatnam langsung menyeruak keluar dari dalam diri mantan tentara itu. Itulah kali pertama Allary merasakannya. Tapi dia segera bisa menguasai dirinya. Allary sudah berhadapan dengan seorang Tuan Oge, pemimpin negara besar. Dia tidak akan kecut lagi.
“Iya Mister. Saya adalah pemimpin rombongan. Sayalah pelindung mereka. Saya bertanggung jawab atas mereka.”
“Termasuk saat putriku jatuh dari tebing es itu?”
Allary menelan ludah lagi. Astaga, Mr. Rajapatnam benar-benar seseorang yang berterus terang. Dua kali sudah dia bilang semuanya blak-blakan.
“Iya Mister. Saya akui untuk yang satu itu, saya tidak bisa berbuat banyak. Tapi setidaknya Vivi pulang ke rumah dengan selamat.”
“Kamu benar, Nak.”
Mr. Rajapatnam tersenyum. Itulah keunikan pria pensiunan tentara itu.


17
Allary Tiba di Mesir


Allary tiba di bandara. Mister Rajapatnam sendirilah yang telah menunggunya di sana. Segera mengajaknya masuk ke dalam taksi. Melihat pria tua pensiunan tentara itu di sini, sudah mengonfirmasi pada Allary, bahwa semua kabar itu bukan sekedar kabar main-main. 
Vivi benar-benar hilang. Ini bukan sekedar tipuan.
“Bagaimana bisa Vivi menghilang, kemana dia, apa yang sebenarnya menimpanya, mister?” Allary segera bertanya begitu mereka duduk di dalam taksi yang nyaman. 
“Semua ini terjadi karena temannya Selvi mengajaknya pergi ke Mesir, lima hari yang lalu.”
“Mengapa Vivi dan temannya itu datang ke Mesir. Jauh sekali, apa urusan mereka.”
“Kata Brittany, temannya Selvi itu, mereka hanya berjalan-jalan. Melancong. Tapi ya, seharusnya dia lebih pandai memilih tempat. Tak seharusnya Mesir, kurasa lebih baik jika mereka ke Indonesia saja. Benarkan, Nak?”
“Saya rasa pendapat anda benar, Mister. Ini adalah kejadian yang pasti sulit diterima oleh anda.”
Mister Rajapatnam mengalihkan pandangannya ke langit-langit. Menyandarkan punggung, menghela nafas. Secara keseluruhan, pria tua itu sudah menurun kondisinya sejak Allary terakhir kali bertemu dengannya, empat tahun yang lalu.
“Sejujurnya Nak, aku selalu bersiap dengan keadaan ini. Entah darimana, aku selalu punya firasat bahwa Selvi suatu saat nanti akan meninggalkan aku. Tapi kau benar, ini tetap kejadian yang sulit untuk kuterima. Kau harus tahu, bukan main jengkelnya aku dengan temannya Selvi, si Brittany itu.”
Bersiap untuk keadaan ini? Firasat? Dalam hatinya Allary sedikit banyak respek dengan mental Mister Rajapatnam yang sangat tangguh. Tapi dia juga heran, bagaimana bisa seorang ayah memasang firasat seperti itu pada anaknya sendiri? Ah sepertinya urusan itu terlalu sensitif untuk ditanyakan. Allary memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
“Jadi, bagaimana cara kita mencari Vivi? Saya baru saja tiba, saya tidak tahu petunjuk apa-apa. Apakah kita harus lapor polisi?”
Mr. Rajapatnam menggeleng, “tidak perlu Nak. Kami sudah melakukan itu.”
“Kami?”
“Ya, Brittany sudah melaporkan kejadian ini ke polisi. Detail lainnya akan kita bahas setibanya di hotel. Brittany sudah menunggu di sana. Kita akan membahas rencana pencarian Selvi di sana.”
Allary mengangguk. Tidak lagi bertanya. Mobil terus melaju menuju hotel yang dimaksud.
Itu hotel yang bagus, minimalis tapi elegan. Brittany sengaja menyewa hotel baru, hotel yang lebih kecil, tapi juga lebih tersembunyi. Atas rekomendasi Mr. Rajapatnam pula, Brittany menyewa kamar di lantai yang paling atas. 
Allary membantu Mr. Rajapatnam untuk naik ke lift. Pria pensiunan tentara itu masuk lift sambil tertawa. Membuat Allary heran.
“Tidak Nak. Aku hanya tertawa ketika menyadari betapa berubahnya fisikku selama enam tahun belakangan. Dulu, aku berkuda, melompati parit, berendam di dalam sungai, menerobos hutan, mengangkat senjata, menembaki ratusan orang, aku sangat tangguh. Sekarang, bahkan untuk naik lift saja aku harus dibantu oleh orang lain. Maaf merepotkanmu Nak, tapi aku rasa aku harus berpegangan. Guncangan di lift ini membuat lututku lemas.”
Allary balas tertawa, “tidak masalah, Mister. Meskipun saya tidak mengerti, mengapa anda menyewa kamar di ketinggian seperti ini, saat anda sendiri tidak kuat naik lift.”
“Brittany yang menyewanya. Aku yang merekomendasikan. Kita perlu tempat yang aman untuk berbicara.”
“Apakah ini berarti kita sedang berurusan dengan kelompok yang berbahaya?” tanya Allary mempertimbangkan bagaimana Mr. Rajapatnam berjaga-jaga.
“Nanti kau akan tahu. Sebentar lagi. Itu dia kamar yang disewa Brittany. 605. Ayo Nak, bergegas. Kita harus segera membuat rencana.”
Allary mempercepat langkahnya. Sementara Mr. Rajapatnam, susah dipercaya, kembali bisa berjalan normal di atas kaki-kakinya.


18
Pembicaraan Segitiga


Ruangan itu juga tidak besar. Hampir dua pertiga ruangan kamar diisi oleh kasur berkualitas sedang. Sepertiga sisanya, diisi oleh sofa kecil yang muat diduduki dua orang dan sebuah meja rias. Ketika kamar dibuka, gadis itu terlihat sedang mengamati jalanan kota Kairo dari jendela yang terbuka. 
“Mr. Rajapatnam,” Brittany berseru begitu mendengar suara pintu dibuka. Tadi dia sudah menyerahi satu kunci pada ayah Vivi itu. “Oh jadi itu orang yang akan membantu kita?” pandangan Brittany beralih pada Allary yang berjalan mengekor Mr. Rajapatnam.
“Benar. Ini adalah Allary Azra. Teman seperjalanan Selvi. Orang yang dua kali memimpin Selvi dalam rombongannya, berpetualang.”
“Anda situasinya lebih baik, kurasa akan menyenangkan mengobrol denganmu barang sebentar, Mr. Azra. Tapi mari....”
“Allary, bukan Azra. Panggil saja Allary,” sahut Allary cepat-cepat. Brittany mengulum senyum, menyambung kalimat, “baik maafkan aku. Mister Allary, dan kalian berdua silakan duduk. Maaf jika perabotan di kamar ini kurang memadai,” ujar Brittany lagi sambil mengambil kursi lipat.
Kini mereka bertiga, duduk berhadap-hadapan. Allary dan Mr. Rajapatnam di sofa, Brittany di kursi lipat. Siap membicarakan masalah mereka.
“Baiklah Allary, seperti yang sebelumnya kukatakan, kau harus tahu terlebih dahulu situasinya. Jadi, Selvi menghilang kemarin malam, saat berada di pemandian air panas, tanpa sedikitpun petunjuk. Kira-kira itulah yang terjadi.”
“Menghilang begitu saja? Tanpa petunjuk apapun? Apakah anda yakin begitu, mister?”
“Nyatanya begitu, Mr. Allary,” ini Brittany yang menyahut, “aku ada di sana saat kejadian. Tepatnya di kamar sebelahnya. Pemandian air panas itu punya sekat kamar. Vivi menghilang begitu saja. Tanpa ada petunjuk sedikitpun, tanpa ada suara teriakan, tanpa bercak darah, sedangkan pakaian, tas tangan dan ponselnya, semua lenyap begitu saja. Saat aku tiba di sana, memeriksa, yang ada hanya sandal yang masih basah. Itu satu-satunya yang tersisa.”
Allary mengerjap-ngerjapkan mata. Sungguh begitu peristiwanya? Aneh sekali jika tidak ditemukan jejak, dan tidak ada suara yang mencurigakan. Masa iya Vivi diculik oleh makhluk halus? Ah itu hanya terjadi di Indonesia sepertinya.
“Bagaimana dengan kepolisian? Kalian sudah memanggil polisi bukan? Mereka pasti bisa menggelar penyelidikan, kemudian pasti ditemukan petunjuk-petunjuk.”
Brittany menggeleng suram, “sayangnya polisi juga tidak menemukan apapun. Tepat setelah Vivi menghilang, aku langsung memanggil polisi. Semalaman mereka menggelar penyelidikan, namun hasilnya nihil.”
“Tidak mungkin,” rahang Allary mengeras, “bagaimana bisa tidak ditemukan petunjuk. Apakah kelompok penculiknya ini sangat lihai?”
“Kalau soal itu aku tidak tahu, Mr. Allary.”
“Lalu, lalu bagaimana kita hendak mencarinya, jika polisi saja tidak bisa menemukan satupun petunjuk?”
Akhirnya Mr. Rajapatnam kembali bicara, sorot matanya serius, “Allary, dengarkan aku. Aku tahu, situasinya seperti sangat rumit. Tidak ada petunjuk. Semuanya buntu. Polisi hendak menutup kasus ini. Tapi aku tidak bisa tinggal diam. Yang menghilang itu adalah putriku. Aku tidak akan menyerah dalam mencarinya. Sayangnya, aku tidak punya fisik yang kuat lagi. Aku perlu bantuan. Aku perlu orang lain yang bisa melakukan pencarian itu untukku. Dan aku percaya, kaulah orangnya Nak.”
“Saya?” 
“Benar,” Mr. Rajapatnam menepuk bahu Allary, “kau adalah orang baik. Lebih dari itu, kau bersedia untuk berkorban untuk menolong orang. Selvi pernah cerita tentang bagaimana heroiknya kau menyelamatkan orang Myanmar di Pegunungan Pahadaru. Bagaimana kau menyelamatkan seorang wisatawan di Hutan Amazonia. Nah untuk orang yang tak kau kenali saja, kau rela berkorban. Sekarang temanmu menghilang, tanpa jejak, orang lain sudah putus asa, tapi aku yakin kau belum, Allary Azra. Selvi sangat  membutuhkanmu saat ini, membutuhkan pertolonganmu, kebaikanmu. Semuanya. Maukah kau menolongnya Allary.”
Tak perlu ditanya, Allary sudah menganggukkan kepala. “Tentu saja.”
“Nah sekarang, kita menuju ke fakta selanjutnya, urusan ini tidak sederhana. Karena itulah aku tidak percaya begitu saja dengan polisi. Selvi tidak diculik oleh kelompok biasa, penculik amatiran. Tidak. Kita akan berurusan dengan sebuah kelompok yang hebat. Brittany tahu persis soal itu. Nah, maukah kau berpartisipasi, Allary?”
“Pasti, apapun taruhannya, aku akan mencari dan menemukan Vivi.”
“Nah kalimat seperti itulah yang mau kudengar. Kau juga dengar, Brittany? Dialah teman seperjalananmu. Kalian harus bisa menemukan Selvi. Tak peduli, sebesar apapun resikonya.”


19
Seorang Teman dari Jauh


Mr. Rajapatnam kembali ke bandara hari itu juga dengan diantar oleh Allary dan Brittany. Beliau benar-benar menunjukkan hal yang berbeda, jika mau dibandingkan dengan orang tua-orang tua lainnya dalam keadaan seperti ini.
Orang tua lain barangkali akan histeris, panik, meratap-ratap, tidak akan mau makan, tidak akan tidur, sampai anaknya ditemukan. Mister Rajapatnam lain. Dia malah sempat-sempatnya tertidur di dalam mobil yang membawanya ke bandara, seolah tidak ada beban.
Melihat wajah damai orang itu ketika tidur, Allary segera menarik kesimpulan bahwa beliau sebagai seorang tentara telah melewati lebih banyak lagi situasi krisis yang tidak menyenangkan, sehingga masalah ini bisa dikontrolnya. Betapa tangguhnya mental Mr. Rajapatnam. 
Tidak banyak pembicaraan yang terjadi sampai Mr. Rajapatnam kembali ke pesawat. Beliau hanya berpesan agar Allary dan Brittany bersungguh-sungguh untuk mencari putrinya. Meskipun itu adalah pesan bernada harap dan permintaan, Allary bisa menangkap ada sebuah pesan ancaman yang tak main-main terselip di sana.
Pulang dari bandara, mereka naik mobil Brittany kembali ke hotel. Kini genaplah Allary terjebak bersama seorang gadis yang belum dia kenali sepenuhnya.
Oh ya, mengenai penampilan, Brittany adalah seorang gadis yang cukup menawan. Kulitnya putih, matanya biru, rambutnya pirang. Aksen bahasanya Inggris kental. Rambutnya dia kuncir kuda. Hari ini dia memakai setelan rok mini dengan stocking warna hitam. Astaga, penampilan gadis ini cukup untuk membuat Allary merasa tak karuan.
“Jadi kita akan mulai mencari, kemana?” tanya Allary di perjalanan.
“Sebentar, sebelum kita mulai melakukan pencarian, aku ingin memberimu satu peringatan kecil. Ini bukan pencarian biasa. Ini bukan pencarian yang main-main.”
“Tentu. Aku sudah siap untuk itu. Oh ya, aku teringat satu hal, aku harus menelepon seseorang. Bisakah aku mendapatkan kartu seluler Mesir?”
Brittany mengangguk. Dia segera mencari toko yang menjual kartu seluler. Allary turun, bermaksud membeli, tapi Brittany keburu menyerobot, “tidak, biar aku yang membayarnya.” Kemudian gadis itu mengeluarkan sejumlah uang.
Allary membiarkan gadis itu membayar. Dia lebih fokus memasang kartu seluler ini. Allary harus menelepon seseorang. Seseorang yang hanya bisa dihubungi dengan kartu seluler. 
Felix Norton.
Ya, selain karena mereka adalah teman seperjalanan, dia juga membutuhkan Felix untuk menemaninya bertarung. Allary kira perjalanannya nanti akan penuh dengan pertarungan. Kelompok yang bisa menculik tanpa menimbulkan jejak, pastilah kelompok kejahatan yang cukup terampil. Tidak menutup kemungkinan, mereka adalah mafia.
Allary menekan tombol-tombol di layar ponselnya. Memanggil sebuah nomor yang telah dia hafalkan di luar kepala. Kemudian terdengar nada sambung.
Tuuuutt tuuuuuttt tuuuutttt
Nomor itu tidak aktif!
Allary kesal dibuatnya. Dia kembali mengecek nomornya. Benar, dia tidak silap dalam menekan tombol. Baiklah, mari coba sekali lagi. Kembali terdengar nada sambung.
Tuuuutt tuuuuuttt tuuuutttt
Tuuuutt tuuuuuttt tuuuutttt
Nomor itu benar-benar tidak aktif!
Allary tidak bisa menahan diri untuk berdecak kesal. Astaga, kemana pula Felix di saat seperti ini. Jangan bilang dia sudah mengganti nomornya tanpa berkabar. Kalau begitu adanya, maka habislah, hilang sudah koneksi berharganya.
“Ada apa?” Brittany bertanya melihat Allary yang sedang kesal.
“Temanku, dia tidak aktif.”
“Siapa temanmu itu? Apakah dia juga akan membantu kita?”
“Seharusnya iya,” sahut Allary, sambil mengecek nomor itu sekali lagi. 
“Mungkin sebaiknya kamu tidak perlu mengajak orang lain lagi ke dalam situasi ini. Jangan malah memperumit suasana.”
“Kita membutuhkan dia,” Allary menyahut cepat-cepat, “dia teman Vivi juga. Teman seperjalanan kami selama mendaki Sarsa dan menjelajah Amazonia. Dia pasti akan dengan senang hati membantu. Sayangnya, dia tidak bisa kuhubungi.”
“Mungkin hanya faktor sinyal. Kamu bisa mencoba lagi di hotel. Mungkin di sana sinyal seluler lebih stabil.”
Allary mengangguk. Sepertinya itu adalah solusi yang baik untuk saat ini. Lebih dari itu, lihatlah, percakapannya dengan Brittany, canggung sekali. 
Allary menghela nafas. Sepertinya perjalanannya kali ini akan berbeda sekali.


20
Kabar dari Negeri Matador


Nun jauh di Spanyol sana.
Ya, cerita akan berpindah sejenak pada tokoh utama yang lainnya. Sudah menjadi rumusan bagi cerita ini untuk melibatkan empat orang tokoh. Satu orang ketua rombongan yang kharismatik, satu orang yang jago berkelahi, satu orang penunjuk jalan, dan seorang lain yang menyimpan pertanyaan.
Itu rumus utamanya. Nah mari sekarang kita fokus pada tokoh ini. Felix Norton.
Sedikit bercerita pasca berakhirnya ekspedisi mereka di Amazonia, sementara Allary dan Vivi pulang ke negerinya masing-masing, Felix memutuskan untuk pergi ke Cajamarca, mendatangi teman lamanya, Rubilicio dan tinggal sementara di sana. Sampai keadaan di Spanyol menjadi aman. Menunggu sampai Dacosta melemah, barulah Felix bisa merasa aman kembali ke Spanyol.
Mulanya Aguero (yang dipanggil datang dari Cusco) tidak percaya kalau Dacosta dan kelompoknya akan melemah. Menurut Aguero, dengan kekuatan sebesar Dacosta sekarang, mustahil kekuatannya runtuh begitu saja, tanpa suatu sebab. 
Namun ternyata, Aguero salah. Hanya dua bulan Felix tinggal di Cajamarca, saat saluran rahasia mereka (ya, Rubilicio punya saluran informasi rahasia yang bisa mengetahui keadaan di Spanyol secara update), mengabari bahwa kekuasaan Dacosta melemah. Pemimpin mafia terbesar di Eropa Barat itu tiba-tiba masuk rumah sakit. Dia terkena penyakit diabetes yang langsung memburuk. Membuatnya drop. Dropnya sang ketua, membuat seisi organisasi ikut terkena dampaknya.
Oleh karena Dacosta tidak bisa lagi fokus mengurusi organisasinya, dia lebih sering terbaring di ranjang rumah sakit, semua urusan kemudian diserahkan pada Amancio. Tangan kanan kepercayaan Dacosta. 
Pergantian kepemimpinan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Felix. Bukan berarti dia takut dengan Dacosta, tapi harus diakui pengaruh pria gaek berusia 51 tahun itu sangat kuat. Sekali saja dia bilang serang, seluruh pasukan dunia hitam di Eropa Barat bisa menyerang di bawah komandonya. Mengerikan. Amancio tidak punya pengaruh sebesar itu. Dia tidak takut dengan Amancio. Inilah waktu baginya untuk pulang ke Spanyol. Hidup baik-baik.
Felix kembali ke pekerjaan yang dulu dia tinggalkan. Menjadi seorang doorman. Juga pelayan restoran cepat saji. Felix merangkap pekerjaan, demi bisa bertahan di antara gemerlap kehidupan di kota Madrid. 
Pagi sampai pukul 2 siang jadi doorman. Pukul 4 sore sampai 10 malam menjadi pelayan restoran. Habis pulang ke kontrakan, terbantai dia kelelahan. Tapi dibandingkan dengan kehidupannya yang dulu, ini jauh lebih menenangkan.
Lalu apakah Amancio dan organisasi Dacosta mengetahui keberadaannya? Oh jangan ditanya. Felix sama sekali tidak bersembunyi. Dia tidak takut dengan Amancio, jadi di hari pertama dia tiba di Spanyol, Amancio sudah tahu keberadaannya.
Hanya saja, jika ditanya, apakah Amancio berani mengusiknya? Nah itu soal lain. Nyatanya Amancio tidak berani melawan Felix. Mereka sempat bertarung sebentar di malam kedua Felix tiba di Spanyol. Sepulang Felix dari restoran cepat saji. 
Hasilnya, Amancio terbanting lima meter oleh tendangan terbang yang diperagakan oleh Felix. Mana berani lagi dia melawan. 
Itulah faktanya. Organisasi hitam terbesar di Eropa Barat, Caballeros de Madrid, memang sedang menciut. Entah nanti jika Dacosta mati, mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja sampai kata selamat tinggal terucap, karena sekarang saja, organisasi-organisasi hitam lainnya, sudah siap menunggu kesempatan, menusuk Dacosta dan menumpas Caballeros de Madrid,  sampai ke akar-akarnya.
Di setiap sudut dunia pasti ada orang jahat, dan di kota-kota besar, orang jahat cenderung berkumpul dengan sesamanya. Membentuk organisasi. Begitulah peraturan sederhana untuk cerita ini.


21
Telepon yang Tidak Diangkat


Pukul 2 siang di Madrid Spanyol. Ya mungkin lebih-lebih sedikit. Felix yang baru pulang dari pekerjaannya sebagai doorman, tertidur kelelahan. Tambahkan teleponnya tertinggal di meja depan. Dia sama sekali tidak mendengar suara apapun. 
Karena itulah, dia tidak mengangkat telepon Allary. 
Felix juga tidak segera membuka telepon, karena baterai ponselnya itu habis. Dia harus men-charger-nya. Pukul empat sore, tanpa mengecek ponselnya, dia kembali berangkat untuk bekerja di restoran cepat saji.
Hari itu berjalan sebagaimana mestinya bagi Felix. Dia bekerja dengan lancar, kemudian pulang ke rumah pukul sepuluh malam. Tepat saat itulah masalah kembali datang.
Bukan soal Allary. Tapi soal Amancio. Tiba-tiba saja orang itu menghadang jalannya lagi, hari ini. Setelah empat tahun lewat. Ada apa?
WUSHHHHH
Felix tidak ambil tempo, segera berlari, menendang ke depan. Amancio berkelit dengan cara melompat ke samping. Kalau urusan berkelit, menghindar, Amancio memang jago. 
“Astaga, alangkah kasarnya kau, Felix. Aku tidak menyebutkan bahwa aku ingin menantangmu bertarung. Tidak. Aku ingin bicara.”
“Tidak ada pembicaraan apapun denganmu, selain tipu muslihat.” Felix bersiaga dengan tinju dan tendangan. Siap bergerak melumpuhkan Amancio. 
“Kau selalu berburuk sangka, selalu kasar, cobalah kita bicara sejenak. Aku punya berita yang layak kau dengar.”
BUKKKK!!
BUKKKK!!
BUKKK!!!
Satu serangan Felix berhasil ditangkis Amancio, tapi dia gagal menghindari serangan yang kedua. Amancio dipukul mundur. Dia terduduk sambil memegangi perutnya yang terkena tendangan kaki Felix.
“Kau memang berkembang sangat pesat ya, Felix Norton. Dari seorang petarung nomor satu di kelompok, sekarang menjadi buronan nomor satu. Benar-benar perkembangan pesat.”
“Kau tidak akan bisa menangkapku, tidak tanpa luka parah atau bahkan kau akan mati sebelum bisa menangkapku. Kujamin.”
Amancio tertawa. “Ancamanmu klasik sekali, Felix. Membosankan. Aku tidak suka mengulang-ulang fakta itu. Iya aku tahu aku tidak bisa mengalahkanmu, tapi tidak selamanya harus mengalahkanmu dalam pertarungan untuk menyakiti kau  secara langsung bukan?”
Felix tiba-tiba disergap rasa yang tidak enak. Apa yang baru saja dikatakan Amancio? Mereka punya rencana baru? Muslihat baru? Tidak, tidak akan berhasil. Siapapun pembunuh bayarannya, akan berpikir dua kali ketika diperintahkan menyerangnya
“Apa maksudmu, Amancio?”
“Aku tidak akan menjelaskan. Kau terlanjur meninju perutku.”
“Kurang ajar kau,” Felix kalap melihat wajah Amancio yang sedang mengejeknya, berusaha maju, menendang. Tapi Amancio berhasil berkelit. 
“Kau buruk ketika kau marah, Felix.”
“BERITAHU AKU ATAU KAU AKAN KUHABISI!” 
Amancio kembali menghindari tendangan Felix yang membabibuta itu. “Tidak, aku tidak akan menjelaskannya. Kau sudah menolak kesempatan membicarakannya baik-baik.”
“Kurang ajar kau, Amancio!”
BUKKKKK!!
Felix meningkatkan kecepatan, berhasil menendang perut Amancio sekali lagi, membuat lawannya itu termundur. Memasang ekspresi kesakitan, tapi hanya sebentar. Amancio kemudian tersenyum licik.
“Dengarkan aku, dan camkan ini Felix. Tunggu saja tanggal mainnya. Kau terlalu meremehkan aku. Kau barangkali lupa, sehingga perlu diingatkan, seberapa kuat Caballeros de Madrid. Tunggu saja tanggal mainnya.”
Kemudian Amancio menghilang dari kejauhan. Apa maksud semua ini? Felix bertanya-tanya


22
Teman Akrab Vivi


Mereka kembali ke hotel di kota Kairo, Mesir. Wajah Allary sedikit tertekuk karena Felix tak bisa dihubungi. Mereka kembali ke lantai enam, ke kamar yang dipesan Brittany. Sebenarnya Allary agak heran, hei, jangan bilang kalau dia harus istirahat di kamar yang sama, malam ini. 
“Nanti aku pesankan kau kamar, tenang saja.” Brittany menjawab pendek saat Allary bertanya di dalam lift. Sejauh ini sifat yang ditunjukkan Brittany ke Allary memang agak kaku, dan itu membuat Allary merasa tidak nyaman. 
“Namamu Brittany kan?” 
“Iya, kenapa?”
“Tidak apa-apa. Sejak kapan kamu berteman dengan Vivi?” Allary bertanya lagi. Dia, sebagaimana yang kita ingat, sebenarnya adalah orang yang mudah akrab dengan orang lain. Tapi sifat Brittany ini, seperti meng-counter-attack  sifat akrab Allary tersebut.
“Mungkin seharusnya aku yang bertanya begitu. Aku sudah mengenal Vivi sejak usia belasan. Sedangkan kau, kurasa baru-baru saja akrab.”
Allary garuk-garuk kepala. “Baiklah, kamu benar. Maafkan aku.”
“Aku tahu, kau ingin mengakrabkan diri. Aku tahu, itu wajar. Tapi saat ini aku masih terguncang. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk bersikap kasar.” Brittany menyahuti.
“Baiklah. Mungkin selepas tidur malam ini, kau menjadi lebih tenang.”
“Tentu. Aku sudah lelah sekali. Ini untuk kunci kamarmu. Kamarnya di lantai yang sama. Kau cari saja ya, kepalaku sudah berputar-putar.” Brittany menyerahkan kunci begitu pintu lift terbuka. Jalannya keluar lift sedikit terhuyung-huyung. Maklumlah, Brittany nyaris belum tidur selama 40 jam terakhir.
“Mau kuantar ke kamar?” tawar Allary. Brittany menggeleng, “terima kasih, tapi untuk malam ini, kita mengurus diri masing-masing saja.”
Brittany melangkah menjauh. Allary hanya bisa menatapnya. Naluri kepemimpinannya merasakan hal itu. Brittany tidak begitu percaya dengan dia. Itu adalah satu masalah. Tidak boleh bagi rekan seperjalanan tidak percaya satu sama lain. Huft, Allary menghela nafas, baiklah, mungkin Brittany hanya kelelahan. Dia akan lebih baik besok pagi. Mungkin saja.
Allary melangkah ke kamarnya. Istirahat. Malam itu, tidak terjadi apa-apa. 
Keesokan paginya. Allary bangun pagi, seperti kebiasaannya, segera keluar hotel. Kesempatan di Mesir tidak boleh dia sia-siakan. Menghirup udara segar keagamaan dari suasana Timur Tengah. 
Pulang dari masjid, Allary berpapasan dengan Brittany di depan hotel. Wajah gadis itu sudah lebih segar. Ada senyum samar ketika mereka bersitatap.
“Hai, kamu mau kemana?” Allary coba bertanya, kikuk.
“Mencari sarapan, di restoran di depan itu. Kau mau ikut?”
“Sepertinya tidak, aku tidak membawa banyak uang. Kurasa berhemat lebih baik.”
“Tidak apa-apa. Biar aku yang bayar. Ayo.”
Ajakan dari Brittany itu memunculkan pertanyaan baru bagi Allary, apakah gadis ini adalah orang kaya? Dia baru ingat soal kamar hotel yang disewanya itu, jangan-jangan Brittany juga yang bayar.
“Iya, aku yang bayar. Semua biaya perjalanan ini, aku yang tanggung. Itu adalah tanggung jawabku setelah temanku menghilang.”
“Astaga,” Allary tak bisa membantah rasa terkejutnya.
“Kenapa?”
“Kau sepertinya gadis yang kaya raya.”
“Kita tidak perlu membahas soal itu. Nanti mood-ku rusak lagi. Ingat ya, aku masih belum mempercayaimu sepenuhnya.”
Allary menepuk dahi. Dia kira tadi, Brittany sudah menjinak, ternyata belum.
Mereka mulai makan. Allary sekarang diam saja. Cukup tahu diri, lebih baik diam daripada membuat suasana makin buruk. Mereka makan nasi dengan bumbu rempah yang kuat. Allary tak tahu apa nama makanannya ini, tapi rasanya lezat. Apalagi baginya itu gratis.
“Jadi sejak kapan kau berteman dengan Vivi?”
Tidak, itu bukan pertanyaan Allary. Brittany yang bertanya. Allary sedikit kaget dengan pertanyaan itu. 
“Sekitar empat setengah tahun yang lalu. Saat pendakian pertama kami, ke Puncak Sarsa.”
“Oh iya, kau teman seperjalanan Vivi itu. Tapi kukira kau tidak terlalu akrab dengannya.”
“Kurasa cukup akrab.”
Brittany tersenyum sinis, “baiklah, kalau begitu coba kau gambarkan, apa yang kau bayangkan tentang Vivi?”
“Vivi itu seorang gadis yang periang, ramah, selalu ingin tahu. Selain itu dia juga keras kepala dan ceroboh.”
“Kuakui deskripsimu lumayan akurat.”
“Aku adalah ketua rombongan. Sudah tugasku untuk mengenali setiap anggota rombonganku.”
“Kau dengarkan yang ini baik-baik ya,” tiba-tiba Brittany menatap Allary, intonasi kalimatnya menjadi serius, “kau sama sekali tidak mengenal Vivi. Pencarian ini akan membuktikannya, bahwa Vivi yang kau kenal, ternyata sangat berbeda dengan Vivi yang sebenarnya. Perjalanan kita akan membuatmu mengenal sisi lain dari Selvi Anatasha. Jadi apakah kau siap?”


23
Sehari di Mesir


Pulang dari restoran, mereka berencana kembali ke hotel dan berkemas. Meski sebenarnya Allary bahkan tidak tahu harus kemana sekarang. Hendak bertanya tujuan ke Brittany, rasanya masih segan. Gadis ini memang luar biasa. 
Namun mereka belum sempat berkemas. Belum sampai ke hotel. Bahkan belum sampai ke lift ketika kejadian itu datang. 
Seorang kakek-kakek, berusia tujuh puluhan, terjatuh di trotoar. Orang-orang yang melihatnya segera menolong. Allary, sebagai orang baik, segera mendatanginya juga. 
Kakek itu menceracau panik dalam bahasa setempat, bahasa Arab Mesir yang tidak dimengerti Allary. Untuk mengetahui apa yang terjadi, Allary memanggil Brittany. 
“Apa kata kakek itu?”
“Dari yang kupahami, dia kecopetan.” Brittany coba menyimak kalimat si kakek. Beberapa orang, setelah memastikan kakek itu baik-baik saja, kembali melanjutkan aktivitasnya. Tinggallah Allary dan Brittany di sana.
Pada zaman itu, pencopetan di jalan raya, masih lazim terjadi di negara Mesir. Seperti prinsip cerita ini, di setiap sudut dunia, pasti ada orang jahat. Dan di setiap kota, orang-orang jahat cenderung berkerumun. 
“Allary, ayo kita lanjutkan berkemasnya.”
Allary mengangkat tangannya, meminta waktu sejenak. “Coba kau tanyakan, apakah kakek ini melihat siapa copetnya?”
“Astaga, apa yang kau rencanakan.”
“Ayolah, lakukan saja.”
Brittany mengalah, bertanya sesuai petunjuk Allary. Kakek itu memberikan deskripsi akurat. Pencopet itu memakai topi warna merah, jaket biru, dan celana jeans. Dia lari ke arah timur. Allary mengangguk, berdiri.
Inilah pertunjukannya.
Brittany buru-buru berdiri juga. Dia bisa membaca pikiran Allary. Dia tahu apa yang akan Allary lakukan. Buru-buru dia mencegah.
“Kau tidak perlu repot-repot mencari pencopet itu, Allary. Tidak perlu.”
“Kamu tunggu saja di sini, aku akan segera kembali.”
Allary tidak lagi menghiraukan seruan Brittany, segera berlari ke timur, matanya menyisir sisi jalan. Mencari pencopet itu. 
Itulah kali pertama Brittany melihat naluri kebaikan seorang Allary Azra.
Allary berlari dengan cepat. Staminanya telah teruji dengan pertarungan di klubnya. Bukan soal sulit baginya untuk mengejar pencopet itu begitu dia mengetahui ciri-cirinya.
“Berhenti!” 
Allary berhasil memotong jalan orang itu. Topi, jaket dan celananya tepat dengan deskripsi kakek tadi. 
Orang itu berseru dengan bahasa Arab yang tidak Allary pahami. Tapi dari sorot matanya, Allary tahu kalau orang ini sedang marah. Petarung terlatih sepertinya sudah tahu bagaimana cara menghadapi orang ini.
“Kembalikan dompet yang kau curi,” ancam Allary. Orang itu sepertinya paham bahasa Inggris. Tersenyum cuek.
“Tidak akan. Aku mengambilnya, ini hakku sekarang.”
Orang itu sudah mengonfirmasi. Teranglah kalau Allary memang berhadapan dengan pencopet tersebut. Saatnya bertarung. Allary tidak akan segan-segan lagi.
“Ayo maju, aku akan mengambilnya lagi darimu untuk kukembalikan ke orang yang tepat.”
Orang itu menerjang dalam keadaan marah. Tinjunya mengarah pada Allary.
BUKKKKKK!!!!
Allary melumpuhkan orang itu dengan tinjunya. Dompetnya itu tercecer di jalan. Allary lekas mengambilnya kemudian melarikan diri sebelum semua menjadi runyam.
Kakek itu pasti akan senang mendapatkan kabar bahwa dompetnya sudah kembali. Persetan dengan si pencopet tadi. Brittany sudah menunggunya dengan wajah tidak senang.


24
Masjid Ibnu Thulun


“Kenapa kau harus menolong kakek ini?” Brittany bertanya pada Allary setelah beberapa ucapan terima kasih dari kakek tersebut, Ali nama kakek itu.
“Kenapa tidak?” Allary bertanya balik.
“Yahh, seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Apalagi berurusan dengan pencopet. Jangan sampai nanti kita malah difitnah dan terseret urusan sampai ke polisi.”
“Tidak akan,” Allary melambaikan tangan, “aku hanya berbuat baik. Perbuatan baik tidak akan dibalas dengan kejahatan. Aku percaya dengan itu.”
Terdiam Brittany oleh jawaban Allary itu. Itu bukan jawaban yang asing bagi dirinya yang sudah berkeliling banyak negara. Itu jawaban yang naif. Tapi ketika Allary yang mengucapkannya, prinsip kebaikan itu menjadi lain power-nya.
“Coba kamu tanyakan, kakek Ali itu mau kemana?”
Brittany coba menanyakannya. “Masjid Ibnu Thulun,” itulah jawaban dari sang kakek. 
“Itu masih di Kairo bukan?” 
“Benar.”
“Dan tujuan kita?”
“Tripoli, Libya.”
Allary agak kaget mendengar nama tempat tujuan mereka. Tapi itu nantilah dibahas. Dia membantu kakek Ali berdiri. “Mari, kami antar kakek ke Masjid itu.”
“Hei, jangan seenaknya!” Brittany langsung berseru.
“Ayolah, jangan membuat keadaan menjadi rumit, Brittany. Kita hanya perlu menolong kakek ini, sampai ke Masjid dengan selamat. Setelah itu kita akan langsung meneruskan perjalanan.”
“Baiklah. Asal kakek itu mau menunggu kita berkemas sebentar.”
Begitu tahu kalau dirinya akan diantar ke Masjid Ibnu Thulun, mata kakek itu berkaca-kaca. 
Mereka mengantarkan kakek itu ke tujuannya. Brittany tidak banyak protes lagi selama kakek itu masih duduk di dalam mobil. Begitu kakek itu diturunkan, barulah Brittany berbicara.
“Itu tadi masjid yang indah ya?”
Tidak, dia memutuskan untuk tidak mengusik hal-hal prinsipil dari Allary. Tidak. Lebih baik membahas soal lain. Dan itu tidak salah, Masjid Ibnu Thulun memang memiliki arsitektur yang lumayan bagus.
“Oh tentu. Bangunan masjid itu dibangun sekitar abad ke 9, kalau aku tidak salah dalam mengingatnya. Diberi nama masjid Ibnu Thulun karena dibangun oleh Keluarga Dinasti Thuluniyah.”
“Dinasti? Hei tunggu, ada berapa kerajaan Islam yang sempat berkuasa di Mesir ini?”
“Hmmm, mari kuingat. Kalau aku tidak salah, ada tiga dinasti yang kuat. Dua lainnya dinasti kecil. Jadi total ada lima dinasti.”
Brittany manggut-manggut. Ini fakta baru baginya. Tak pernah terbayang di benaknya untuk mengeksplor tempat-tempat berbau Islam di Mesir. Agak susah membayangkannya.
“Kukira hanya ada satu. Yang membangun Universitas Al-Azhar itu.”
“Ah ya, Universitas Al-Azhar. Itu dibangun oleh Dinasti Fatimiyah. Dinasti ketiga yang berkuasa di Mesir setelah Ahmad bin Thulun dan Kafur Al-Ikhsyid.”
“Kamu tahu banyak tentang negara ini ya.” 
Allary menggeleng. Dia hanya kebetulan tahu, karena sejarah adalah bagian dari kegemarannya. 
“Kalau dinasti terakhir yang berkuasa?”
“Mamluk namanya. Mereka memenangi pertempuran Ain Jalut melawan Bangsa Mongol.”
Brittany menyernit, “bangsa Mongol? Genghis Khan itu?”
“Benar. Tepatnya mereka menang melawan pasukan Hulagu.”
“Pasukan yang sama dengan yang menyerang kerajaan Islam di Baghdad?” 
Benar, Brittany benar lagi. Gadis itu sepertinya juga menguasai sejarah. Luar biasa. Itu adalah fakta yang membanggakan bagi orang Islam. Pasukan Mamluk yang dipimpin oleh Qutuz mampu mengalahkan pasukan Hulagu Khan di Ain Jalut. Waktu itu pasukan Mongol terkenal tak pernah kalah. Pasukan Islam mengalahkan mereka tahun 1260 masehi.
“Kisah yang hebat, Allary.”
“Terima kasih. Apa artinya ini kita sudah berteman?”
Brittany tertawa. “Belum. Aku belum bisa percaya sepenuhnya denganmu.”
Allary menepuk dahi. Astaga, gadis ini benar-benar keras kepala.


25
Gadis Kecil di Johannesburg


Kisah ini mungkin hanya potongan yang kecil. Sangat kecil. Mungkin kisah ini akan berakhir hanya dalam beberapa kalimat atau paragraf. Tapi kisah ini sangat penting. Kisah ini adalah potongan demi potongan yang bisa menjelaskan pada kita tentang latar belakang besar dari kisah yang besar pula.
Mari kita mulai kisah kita dari kota Johannesburg, Afrika Selatan. 
Latar belakangnya, sebuah keluarga kecil penuh tawa. Ayah, pemimpin keluarga itu adalah seorang polisi lalu lintas. Ibu, figur wanita dewasa di keluarga itu adalah seorang perawat di rumah sakit. Dan terakhir seorang anak gadis berusia 9 tahun yang lucu, namanya, Aamori. Melihat bola matanya yang bulat menggemaskan itu, siapapun yang sedang marah, akan reda kemarahannya.
Ayah Aamori, Tuan Nelson (entah terinspirasi dari Nelson Mandela atau bagaimana, kita tidak perlu membahasnya), adalah figur yang menyayangi keluarganya. Tubuhnya besar, suaranya tegas khas seorang polisi. Tuan Nelson adalah polisi yang tidak mau ditemui oleh pelanggar lalu lintas manapun di Kota Johannesburg. Tidak ada yang mau bertemu, karena mereka pasti habis dibabat oleh ketegasan Tuan Nelson.
Ibu Aamori, Nyonya Jasmooth, seorang wanita yang hangat, murah senyum dan tutur katanya sangat lembut. Beliau adalah wanita berhati malaikat. Profesinya sebagai seorang perawat memang menuntut Nyonya Jasmooth untuk bertutur kata ramah dan sopan. 
Sekilas, keluarga Aamori adalah keluarga yang sangat menyenangkan. Sayang sekali tidak. Baik Tuan Nelson dan Nyonya Aamori sangat sibuk. Jarang ada di rumah. Tuan Nelson adalah polisi berdedikasi tinggi, sering menginap di kantornya. Nyonya Jasmooth sering pulang larut malam setelah memastikan semua perban pasien tidak kusut masai. Aamori, si kecil, permata berharga milik keluarga itu, adalah gadis yang kesepian. 
Pernah satu hari, Tuan Nelson mengambil libur. Dia mengajak Aamori berjalan ke pusat perbelanjaan, mengajak anaknya itu bermain-main di taman bermain. Mengajaknya makan-makan di sebuah restoran dengan makanan yang enak. Dan lihat bagaimana ekspresi Aamori ketika dia sedang ceria. Menggemaskan siapa saja yang melihatnya. Tuan Nelson membatin dalam hati. Dia seharusnya bisa membuat anaknya senang seperti ini, lebih sering.
Lebih sering.
Dan lebih sering.
Sayangnya kesempatannya selalu habis sebelum digunakan.
Pernah juga Nyonya Jasmooth mengajak Aamori untuk melihat gemintang malam di halaman rumah. Saat itu Aamori yang baru kelas 4 SD, ada tugas sekolah dari gurunya, disuruh mengamati bintang-bintang. Nyonya Jasmooth sengaja pulang lebih dini untuk menikmati waktu-waktunya dengan putri kecilnya.
“Mama, apa fungsi bintang-bintang ini? Cahaya mereka terlalu kecil. Tak bisa menerangi bumi seperti halnya matahari dan bulan. Tak peduli seberapa banyak pun mereka.”
“Aamori anakku, bintang adalah kitab Tuhan di langit. Bintang itu memang tidak bisa memberikan cahaya bagi kita. Tapi bintang bisa memberikan hal lain. Petunjuk-petunjuk. Aamori anakku, hari ini, ribuan nelayan yang sedang melaut, menggunakan petunjuk dari bintang untuk mengendalikan arah perahunya. Bintang mengajari kita, bahwa sesuatu yang kecil pun sangat berarti.”
“Tapi bu, kalau siang hari mereka semua hilang, tertutupi oleh matahari.”
“Benar. Mereka memang suka mengalah. Tapi itu tidak pernah membuat mereka hilang. Malam hari mereka kembali lagi, datang lagi. Begitu terus selama ribuan tahun. Karena mereka tidak pernah mengeluh, tidak pernah mengadu pada siapapun. Mereka konsentrasi dengan nyala mereka sendiri.”
Aamori tersenyum, puas karena bisa menikmati waktu bersama ibunya.


26
Sebuah Ramalan


Masih sedikit bercerita tentang Aamori. Sesungguhnya dia punya beberapa rahasia. Dia tidak pernah menceritakan semua ini pada orang tuanya. Satu, karena baik Tuan Nelson maupun Nyonya Jasmooth adalah orang yang sibuk. Kedua, karena Aamori menganggap dirinya sebagai bintang. Dia akan tetap bersinar jika tidak pernah mengadu, tidak pernah berkeluh kesah.
Pertama, Aamori punya seorang teman, orang bule, namanya Anatasha. Teman sekolah Aamori. Bersama Anatasha-lah Aamori tumbuh, bermain-main dan mengeksplor dunia. Anatasha suka memiliki ide yang aneh. Mari kita daftar apa saja ide aneh nyeleneh yang pernah dikatakan Anatasha.
Bermalam di pos penjaga tambang tua yang telah lama ditinggalkan, pernah. Sampai ribut orang sekampung mencari dia dan Aamori.
Menumpang taksi sampai ujung selatan Afrika, pernah. Sampai dinyatakan hilang dia dan Aamori.
Memanjat sebuah gedung konstruksi yang belum selesai dibangun, sengaja duduk-duduk di ketinggian 10 meter kemudian terjatuh, pernah. Sampai patah tangan dibuatnya.
Anatasha adalah orang yang periang, tidak kenal takut, keras kepala dan selalu ingin tahu. Tidak ada apapun yang bisa menghentikan rasa penasarannya. Parahnya, dia begitu cocok dengan Aamori. Bersama Anatasha, Aamori membentuk semacam duet yang tak lekang oleh waktu. Mereka adalah sahabat.
Aamori tidak pernah mengatakan apapun yang dia lakukan dengan Anatasha, pada kedua orang tuanya. Tidak pernah. Karena takut dimarahi.
Dua lainnya adalah ramalan dan ramalan. Ya, Aamori pernah mendapatkan dua buah ramalan. Ramalan pertama datang dari seorang dukun dari pedalaman Afrika. Aamori bertemu dengan dukun itu gara-gara perjalanan eksplorasinya bersama Anatasha.
Ramalan dukun itu berbunyi, “kau adalah seorang gadis yang nanti, akan menginjakkan kaki di sebuah negeri yang sangat dingin. Negeri yang tidak pernah kau bayangkan. Negeri itu sangat dingin sampai sungai-sungainya membeku.”
Ramalan itu berarti, Aamori akan berjalan sangat jauh suatu hari nanti. Demikian teori ngaco dari Anatasha. Tapi Aamori menerima dugaan itu, karena itu cukup menyenangkan. Aamori suka bertualang. Tapi, ramalan kedua, sungguh tidak menyenangkan.
Ramalan kedua datang dari orang gila. Yahh, meski perkataan orang gila tidak bisa dipegang begitu saja, tapi nyatanya, ucapan orang gila yang ditemui Aamori di pinggiran Johannesburg ini, akan membekas seumur hidupnya. Orang gila itu bilang.
“Kesakitan, kecemasan, ketakutan, penderitaan, pelarian. Itu akan mengelilingi hidupmu.”
Sungguh ramalan yang sangat tidak menyenangkan bukan? 
Tapi, saat tahun berjalan belasan, saat Aamori beranjak dewasa, dia akan tahu, betapa kedua ramalan itu benar-benar mewarnai hidupnya.


27
Urusan Ini Harus Kutunda


Di Spanyol, Felix pulang ke rumah kontrakannya dengan keadaan bingung. Di dalam kepalanya berputar kata-kata yang tadi diucapkan oleh Amancio. Apa sebenarnya yang dimaksud orang itu? Menyakitinya dengan cara lain. Itu jelas alarm bahaya, tapi Felix sama sekali tidak bisa menduga, cara apa yang hendak digunakan oleh Dacosta.
Pulang ke rumah, barulah dia sempat mengecek ponselnya. Felix memang jarang memakai ponsel. Dia hanya memakainya jika ada perlu saja. Nah betapa terkejutnya dia saat mengecek, ada 4 kali panggilan dari nomor tak dikenal, plus satu pesan pendek.
“Vivi menghilang, cepat hubungi aku begitu kau membaca pesan ini, dari Allary, ketua rombongan.”
Tertegun Felix membaca pesan ini. Allary yang mengiriminya pesan dan menelepon empat kali. Tapi hei, ini bukan nomor Allary. Kodenya menunjukkan itu bukan nomor telepon Indonesia. Felix mengingat-ingat sebentar. Tidak, dia tidak bisa menebak. Dia akhirnya memutuskan menggunakan mesin pencari.
Ketemu. Kode negara Mesir. 
“Apa yang Allary lakukan di Mesir?” Felix tiba-tiba bergumam sendiri. Dia kembali mengalihkan layar ke isi pesan yang tadi ditulis Allary. Pesan itu ditulis dalam bahasa Inggris yang jelas. Vivi hilang, apa maksudnya dengan itu.
Felix menekan tombol panggil, kemudian terdengar nada tunggu dan...
Nomor itu sudah tidak aktif!
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Felix sekarang berdecak sebal. Pesan singkat itu sempurna mengambil alih pikirannya. Jika benar Vivi menghilang, mungkin itu adalah urusan yang gawat. 
Felix mencoba membuka portal berita internasional, mencari berita Asia Selatan, mencari berita orang hilang, tidak ada, nihil.
“Apakah dia hilang di Mesir, sehingga Allary memakai kode nomor telepon Mesir.” Felix masih bergumam sendiri, membangun hipotesis. Jarinya yang agak panik menekan lagi portal berita Mesir. Tetap nihil. Tidak ada berita orang hilang. 
“Apakah ini hanya tipuan,” Felix bertanya-tanya. Tidak, ini nyata. Naluriku bisa merasakannya, alam bawah sadarnya membantah. 
Felix bangkit, berkeliling sendiri di kamarnya. Gelisah. Mencoba kembali menekan nomor yang dipakai Allary, memanggil. Sia-sia. Nomor itu sudah tidak aktif lagi. Keadaan Felix saat ini seperti seorang anak kecil yang diceritakan rasa sebuah makanan, tapi tidak pernah dibiarkan mencicipi makanan itu. Gelisah. 
Akhirnya, Felix mengambil keputusan. Dia membuka daftar kontaknya. Memanggil Rubilicio. Dia harus bergerak cepat. Semoga Rubi masih terjaga di jam larut begini. 
“Hallo Felix, ada apa? Kenapa kau menelepon di waktu yang tak biasa begini?” suara di seberang menyahut dengan mengantuk.
“Keadaan darurat, Rubi. Bisakah kau membantuku, belikan aku satu tiket pesawat dari Spanyol menuju Mesir atas nama orang ketiga?”
“Kenapa kau tidak pesan sendiri saja.”
“Tidak bisa, aku tidak boleh membiarkan Dacosta tahu aku meninggalkan Spanyol.”
“Astaga, tapi dia kan sudah melemah, seharusnya kau...”
“Aku mohon bantuanmu, Rubi. Aku mohon,” sahut Felix, melunak, tapi suaranya terdengar mendesak.
“Baik. Baiklah. Akan kuurus. Setengah jam lagi e-ticket akan masuk ke e-mailmu. Kau tunggu saja. Entah apa lagi yang mau kau rencanakan, pergi ke Mesir. Entah apa, Felix. Astaga. Bukankah lebih baik kalau kau duduk santai di Spanyol sambil melihat kemunduran Dacosta.”
“Nanti aku cerita, tapi yang jelas, ini berhubungan dengan Allary.”
Rubi tertawa pelan, “ya, aku bisa menebak. Apalagi yang bisa membuatmu kalap kalau bukan orang itu. Kurasa respekmu padanya, lebih tinggi dari respekmu padaku dan Aguero.”
“Terima kasih bantuanmu, Rubi.” Felix sudah menutup telepon. Dia harus bersiap. Mumpung malam hari. Semoga Dacosta dan Amancio sudah tidur, sehingga tidak tahu kalau dia pergi lagi meninggalkan Spanyol. 
Urusan Dacosta itu, termasuk ancaman Amancio, bisa diurus belakangan. Sekarang dia harus menemukan Allary terlebih dahulu. Dia harus tahu apa yang terjadi. 
Felix mulai bergerak.


28
Memetakan Perjalanan


“Jadi kemana sebenarnya tujuan kita?” tanya Allary. Di dalam mobil kini hanya ada dia dan Brittany. Mereka sudah menurunkan Kakek Ali di depan Masjid Ibnu Thulun. 
“Libya. Kota Tripoli. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu, beberapa saat lalu.” Brittany menyahut. Terdengar agak dongkol.
“Iya aku tahu, tapi kamu sama sekali tidak menjelaskan kenapa kita harus ke sana, apa yang kita cari, atau apalah itu. Perjalanan ini sangat gelap untukku. Aku tidak tahu apa-apa.” Allary menyahut, tidak kalah kesal.
Untuk Allary, rasanya kita bisa memahaminya. Sebelum ini, dia adalah seorang ketua rombongan, sosok pemimpin yang mengarahkan perjalanan mau ke mana, apa yang dituju juga biasanya sudah diketahui dari awal. Sekarang, Allary hanya tahu kalau Vivi menghilang. Sisanya, tidak tahu. Makanya dia kesal. Dia tidak bisa jadi pemimpin di sini.
“Maaf, tapi aku tidak bisa banyak berpanjang mulut. Yang jelas kita akan mengunjungi sebuah tempat di kota Tripoli. Tempat yang berhubungan dengan Vivi.”
“Apa hubungan Vivi dengan Tripoli? Agak susah bagiku untuk mengaitkannya.”
“Ah sebenarnya tidak terlalu susah.”
“Jarak antara Tripoli dan Ibukota Pahadaru itu jauh sekali. Hampir setengah keliling bumi kurasa. Bagaimana aku mengaitkannya.”
Brittany tetap konsentrasi menyetir, sambil menjawab, sambil sesekali tersenyum tipis, “kalau kau mau tahu, kisah ini bisa saja berjalin lebih panjang, sampai ke Cape Town di Afrika Selatan sana.”
Ternganga Allary. Itu serius? Mereka akan menjelajah sampai ke Cape Town? Kalau Allary mengecek dengan maps, maka jarak antara Kairo ke Cape Town, itu adalah tak kurang dari 10.000 kilometer, butuh tujuh hari yang panjang untuk sampai ke sana. 
“Kau serius? Lalu apa hubungan Vivi dengan Cape Town?”
“Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa berpanjang mulut.”
Allary berdecak kecil. Dia betul-betul kesal dengan gadis bernama Brittany ini. Tidak ada satupun tanda kalau gadis ini mempercayainya. Bagaimana bisa mereka jadi rekan seperjalanan yang baik jika mereka tidak saling percaya satu sama lain?
“Aku tahu bagaimana perasaanmu,” Brittany bersuara lagi, “kau mungkin kesal denganku. Tapi apa boleh buat. Jalan yang saat ini kita lewati, bersinggungan langsung dengan masa lalu Vivi. Kisah masa lalu itu boleh jadi sensitif baginya dan tidak boleh sembarang orang mengetahuinya. Termasuk kau. Jadi aku tidak bisa memberitahumu.”
“Lalu apa peranku di sini? Sebagai bodyguard?” 
Brittany tertawa kecil, kemudian mengeluarkan sebuah alat. Alat itu mirip gagang pisau. Di ujungnya ada dua keping benda tipis yang memancarkan arus listrik. “Jangan menganggapku sebagai gadis yang lemah, oke.”
Allary menatap alat itu dengan jeri. Alat itu lebih mirip alat interogasi daripada alat pelindung diri.
“Anggap saja kau adalah wakil dari Mr. Rajapatnam dalam pencarian ini. Yahh, harus kuakui, kalau tak mengingat aku menghormati beliau, aku akan bekerja sendiri dalam pencarian ini.”
“Kau benar-benar seorang gadis yang berterus terang.”
“Yahh, kuanggap itu pujian. Oh ya, kau juga bisa menganggapku sebagai teman ngobrol. Kalau kau tidak keberatan, aku senang sekali mendengar kisah-kisah tentang sejarah masa lalu itu. Bagian-bagian yang menarik, selalu kudengarkan dengan antusias.”
Allary menghela nafas. Ini bukan jenis petualangan yang akan dia bayangkan.


29
Sekolah Berasrama di Kota Tripoli


Mereka sampai di Tripoli menjelang sore keesokan harinya. Brittany menyetir dengan santai. Tambahkan, mereka banyak beristirahat. Sekali di perbatasan Libya, Brittany sempat menerima panggilan telepon dan menurut Allary itu agak menarik percakapannya.
“....”
“Ya, jadi bagaimana? Apakah tempat itu masih terawat?”
“....”
“Sudah kuduga. Tapi apakah tempat itu masih dipakai? Tidak lagi kan?” 
“....”
“Ha, ya. Sejak empat tahun yang lalu. Ya, itu tanggal kehancuran mereka. Tapi mereka tidak benar-benar hancur. Mereka hanya menunggu saat yang tepat. Kalian sudah menyisir tempat itu?”
“....”
“Oh ya sudah. Kami akan tiba sebelum malam. Kalian pastikan tidak ada orang di sana, saat aku tiba. Aku tidak mau ada musuh yang tiba-tiba menyergap saat kami berkunjung.”
“....”
“Terima kasih.”
Kemudian Brittany menutup telepon. Allary memandangi ke arahnya tanpa berkedip. Sangat penasaran. Brittany pasti sedang mengatur sesuatu.
“Ada yang salah?” Brittany menoleh pada Allary.
“Tidak, kecuali aku hanya penasaran, kamu baru saja bicara dengan siapa?”
Brittany menggeleng, “aku tidak bisa menjelaskan. Silahkan kau simpulkan sendiri. Tambahan faktanya nanti kujelaskan begitu kita tiba di tujuan pertama kita.”
Malam menjelang ketika Brittany membelokkan mobil ke sebuah bangunan berpagar jaring besi di tepi pantai Mediterania. Dari kejauhan, bangunan itu nampak cukup besar, berlantai dua, cukup tinggi, namun tidak terlihat berpenghuni. Brittany masuk dengan cara menabrak pagar besi bagian samping.
“Hei, astaga. Tak bisakah kamu memilih cara masuk yang lebih sopan,” Allary berseru. Lebih karena kaget daripada kesal. Brittany hanya tertawa kosong. “Ayo kita turun,” ajaknya begitu mobil berhenti sempurna.
Mereka tiba di depan bangunan tua itu. Ada plakat dalam bahasa Arab di dindingnya, tapi Allary tidak bisa membacanya. 
“Bangunan apa ini?”
“Ini sekolah berasrama. Di sinilah, aku pertama kali bertemu dengan Vivi.”
“Kau apa?”
“Ya, kau sudah mendengarnya. Ayo kita masuk.” Brittany membuka pintu kemudian menyalakan senter. Suasana di dalamnya gelap sekali.
Allary bergegas menyusul, dengan beragam tanda tanya. Apa kata Brittany tadi? Dia dan Vivi bertemu di sini? Kenapa Vivi sampai ada di tempat ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Lalu apa yang mereka cari?
“Petunjuk. Kita mencari petunjuk.” Brittany menyahut, menanggapi banyaknya pertanyaan Allary.
“Apa tepatnya itu? Bukankah tadi kamu bilang tempat ini sudah ditinggalkan empat tahun. Apa yang kita cari?”
Brittany tidak menjawab. Terus berjalan. Tangannya bergerak lincah di dinding, dan tidak lama kemudian.
TEKKKK
Lampunya menyala, dan terlihatlah seisi ruangan. Allary semakin heran. Tempat ini benar-benar masih terawat. Dinding-dindingnya masih bagus, tidak ada sarang laba-laba, atau kesan berdebu. Tidak ada sama sekali.
“Jangan tertipu dengan tampilannya. Tempat ini adalah salah satu tempat paling terkutuk di muka bumi.” Brittany bersuara lagi, kali ini konsentrasi menatap lantai. 
Terkutuk? Allary benar-benar tidak paham.
Mereka terus melangkah. Kali ini Brittany membuka satu ruangan  yang bisa dibuka. Sepertinya itu adalah ruangan makan. Ada beberapa meja makan bundar di dalamnya. 
“Bisakah kau bilang apa yang kau cari, supaya aku bisa membantumu.” Allary mendesak, melihat Brittany melihat permukaan meja makan dengan seksama. 
“Aku mencari petunjuk. Sayangnya, petunjuk itu berhubungan dengan masa lalu Vivi, sehingga aku tidak bisa berpanjang mulut.”
“Tapi bukankah kamu bilang, tempat ini sudah lama ditinggalkan? Apa yang kamu cari di sini? Petunjuk yang tertinggal?”
Brittany menggeleng, melemparkan cahaya senter ke ujung lorong. “Di situ. Kau lihat baik-baik. Ada apa di sana.”
Allary menajamkan penglihatan. Hei itu, jejak kaki. Terlihat masih baru.
“Tempat ini belum lama ditinggalkan, Allary. Belum. Masih ada orang di sini.”
Allary jadi merinding.


30
Aksi Brittany


“Jangan bilang kau sudah tahu semua ini?” Allary berbisik, naluri bahayanya meningkat seketika, begitu tahu kalau masih ada jejak kaki segar di ruangan makan ini. 
“Aku tidak tahu, tapi ini mudah ditebak,” Brittany menyahut santai. Memainkan senternya ke segala penjuru. 
“Bukankah seharusnya kita waspada, atau menyusun rencana. Sepertinya kita datang ke sarang musuh.”
Brittany tersenyum tawar di tengah gelap. “Bukan, ini bukan sarang musuh. Ini hanya tempat singgah. Tapi ya, tentu saja aku sudah punya renana. Makanya aku datang ke sini.”
“Bagus,” Allary mengepalkan tinju, “beritahu aku rencanamu, akan kujatuhkan mereka dengan tinjuku.”
“Tidak perlu, Allary. Kau cukup diam dan melihat saja. Walau ya, kukira kau mungkin tidak bisa melihatnya.”
“HEI, KAU MEMATIKAN SENTERNYA!” Allary berseru protes. 
Brittany ber-hush pelan, menyuruhnya diam. Dari kejauhan terdengar bunyi langkah kaki. Apakah itu musuh mereka? Hasrat Allary untuk bertarung langsung terpacu. Baiklah, dia akan menghajar beberapa musuh. Dari bunyi langkah kaki itu, musuh mereka lebih dari satu orang. Brittany tidak mungkin menangani semua orang itu sendirian.
“Mereka datang dari sana!” Brittany berseru. Kemudian terdengar sesuatu telah dilempar. Apa itu? Allary tidak tahu. Terlalu gelap untuk melihat. Tiba-tiba terdengar bunyi orang mengerang kesakitan.  
Kemudian ruangan kembali bercahaya. Brittany menyalakan kembali senternya. Dia menyorotkan senter ke arah dinding. Ada sakelar di sana. “Nyalakan lampunya, Allary. Mari kita lihat ada berapa ikan yang berhasil kita tangkap.”
Allary dengan rasa penasaran yang tinggi, menuruti perintah Brittany. Setelah lampu dinyalakan, nampaklah ada tigaorang dewasa, tergeletak di dekat pintu belakang ruang makan. Brittany terlihat tersenyum puas, mengambil alat setrum dari tasnya, berjalan mendekati tiga orang itu.
“Tangkapan yang sempurna bukan, Allary?”
“Hati-hati, Brittany. Siapa tahu mereka masih bisa menyerang,” Allary bergegas menghampiri Brittany. 
“Tidak akan. Efek setrum itu cukup untuk melumpuhkan mereka sementara. Setidaknya sampai proses interogasi selesai. Lagipula jika mereka masih bisa melawan, aku tidak akan segan menggunakan alat ini.” 
Brittany denga alat setrum di tangan, berlutut di dekat wajah salah seorang tawanannya. Dengan alat setrum terhujam ke leher korbannya, Brittany mulai bicara.
“Kalian yang menculik temanku, bukan? Dimana kalian menyembunyikannya? JAWAB!”
“Ka... mi.... ti...dak... ta....hu... a...pa....a...pa.” 
“Omong kosong!” Kemudian Brittany tanpa ampun menghujamkan alat setrum itu pada tawanannya. Pria itu mengerang kesakitan sebelum tertelungkup tak bergerak lagi. 
Brittany beralih pada tawanan lain di sebelahnya. Masih dengan alat setrum di tangan. “Sekarang kau tahu apa yang akan kuperbuat jika kau tidak mau mengaku bukan? Cepat jawab pertanyaanku, dimana kalian menyembunyikan temanku.”
“Sumpah... kami... tidak... tahu... apa-apa.... kami.... bahkan... tidak.... tahu.... siapa yang.... kau maksud.”
Alat setrum kembali terhujam. Brittany terlihat kejam sekali. Tanpa ampun. Jeri Allary melihat aksi gadis ini. Dia kini beralih ke tawanan selanjutnya.
“Jawab aku!” desaknya.
“Maroko,” kata orang itu cepat-cepat. Takut sekali melihat alat setrum itu. 
Brittany akhirnya tersenyum senang. “Nah begitu, kau harus katakan informasi padaku, kalau tidak ingin berakhir mengenaskan. Omong kosong kalau kalian tidak mengenal aku. Akulah yang menyebabkan tempat ini tutup empat tahun lalu. Sekarang dimana tepatnya temanku ditahan? JAWAB!”
“Aku tidak bisa menjawab lebih dari itu. Ampun.” Orang itu memelas. Wajahnya sungguh patut dikasihani. Tapi Brittany tanpa ampun menghujaminya dengan alat setrum. 
“Maroko. Itu sungguh informasi yang tidak memuaskan. Tapi apa boleh buat. Lebih baik pulang dengan sepotong informasi, daripada tidak ada sama sekali.”
Brittany balik kanan. Urusan ini sudah selesai.

31
Perjalanan Malam Membelah Afrika Utara


Setelah melumpuhkan ketiga orang itu, dan mendapatkan informasi terkait Maroko, Brittany segera mengajak Allary pergi. Mereka langsung naik mobil dan melaju ke barat, ke arah Maroko. Kali ini Brittany mengemudi dengan kecepatan tinggi. Suasana malam, mengiringi roda mobil mereka yang terus melaju.
“Allary, kamu mau tidur atau begadang, malam ini?” Brittany tiba-tiba bertanya pada Allary. Itu pertanyaan yang tak pernah dibayangkan oleh Allary. 
“Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang itu.”
“Aku punya obat ini.” Brittany tiba-tiba mengeluarkan sekeping pil dari dalam tasnya. Allary menyernit kening, pil apa itu?
“Ini pil penahan tidur. Efektif sekali. Sekali saja kau telan pil ini, kau akan terjaga selama 24 jam.”
Allary semakin heran. Brittany sepertinya membawa banyak benda-benda tak terduga dan aneh dari dalam tasnya. Pil yang bisa membuat orang terjaga selama 24 jam, pilihan yang cukup menarik. Tanpa aba-aba, Brittany langsung membuka bungkusan pil itu dan menelannya satu.
“Aku butuh terjaga sampai kita tiba di Maroko. Kau tidak perlu banyak tanya. Segera putuskan, atau kau mau tidur saja? Cepatlah.”
Allary akhirnya memilih untuk ikut menelan satu buah pil juga. Penasaran juga, apakah dia benar-benar akan terjaga selama 24 jam? Brittany menyunggingkan senyum begitu Allary menelan pil miliknya. Seolah Allary masuk ke dalam perangkapnya.
“Bagus, sekarang kau bisa menemaniku ngobrol. Perjalanan ini akan membosankan jika tidak diisi dengan obrolan.”
“Sudah kuduga, kau memang menjebakku.”
Brittany terkekeh kecil.
“Baiklah, apa yang mau kita obrolkan? Kamu bahkan tidak percaya padaku.”
“Kau bisa menceritakan soal sejarah lagi padaku. Itu seru.”
“Sejarah apa lagi yang mau kamu dengarkan?”
“Bagaimana kalau kita mulai dengan sejarah Islam di Afrika Utara. Ada berapa dinasti yang sempat berkuasa di tempat ini?”
Allary coba meluruskan kaki sebentar. Semenit sejak obat itu masuk ke perutnya, efek itu benar-benar terasa. Denyut jantungnya terpacu, seperti saat dia sedang bertarung di atas ring di klub. Sensasi yang bagus. Ini pengalaman baru baginya.
Allary mulai bercerita. Kita ringkas saja untuk sejarahnya. Ada dua dinasti yang sempat berkuasa di Afrika Utara. Dinasti Idrisiyah dan Dinasti Aghlabiyah. Dinasti Idrisiyah didirikan di Maroko, sedangkan Dinasti Aghlabiyah didirikan di Aljazair dan Tunisia. Kira-kira begitu. 
Pusing nanti kalau kita terlalu banyak membahas soal sejarah.
“Jadi alat apa yang tadi kamu lemparkan di tengah gelap tadi itu?” Allary balik bertanya setelah semua kisah itu selesai. 
“Benda apa?”
“Yang membuat tiga orang tadi lumpuh seketika. Aku tahu kamu melempar sesuatu.”
Brittany sedikit kaget. Ternyata Allary punya indra yang cukup peka. “Hanya perangkap kecil, seperti ini.” Brittany mengeluarkan sesuatu lagi dari dalam tas tangannya. Benda kali ini kecil saja, berbentuk lingkaran, berdiameter 5 sentimeter. 
“Perangkap kecil yang akurat.”
“Kau benar, siapa saja yang menginjak perangkap ini, akan lumpuh. Perangkap ini menjalarkan listrik yang bisa melumpuhkan kaki hingga leher.”
“Tas kamu itu ternyata penuh dengan benda yang berbahaya ya.”
“Aku selalu siap untuk setiap keadaan.”
Allary terdiam. Brittany, gadis ini, pasti bukan orang biasa. Alat setrum, perangkap kecil, pil anti ngantuk, astaga, gadis di sebelahnya ini benar-benar menyimpan teka-teki. 
“Kau tidak perlu memikirkan tentang aku, apalagi berusaha menebak-nebak. Tidak ada gunanya. Lebih baik nikmati saja pemandangan malam di Afrika Utara.”
Allary menarik nafas. Baiklah, mungkin seiring perjalanan nanti, dia akan lebih banyak tahu tentang Brittany.


32
Kantor Imigrasi Maroko


Mereka, Allary dan Brittany tiba di perbatasan Maroko sekitar pukul 7 malam waktu setempat. Baik Allary maupun Brittany benar-benar terjaga sepanjang malam, gara-gara memakan pil tersebut. Jangankan mengantuk, sekedar menguap pun tidak. Tapi kalau masalah lelah, Allary mulai merasakannya.
“Kau masih kuat berjalan?” Begitulah Brittany bertanya ketika mereka berhenti di salah satu sudut jalan protokol di dekat Zouj Bighal, perbatasan negara antara Maroko dengan Aljazair. 
“Tentu, aku mungkin lelah, tapi aku rasa masih siap untuk bepergian satu hari lagi.”
“Kau orang yang cukup tangguh,” Brittany menyahuti, bukan pujian, hanya basa-basi. Allary pun tahu itu. 
Mata Allary awas mengawasi sekitar. Kenapa mereka berhenti di sini? Apa yang akan mereka lakukan? Zouj Bighal? Allary tidak mengerti artinya. Brittany menjelaskan kemudian tanpa ditanya.
“Ini pos perbatasan. Kita turun sebentar. Pertama, untuk mengurus perizinan kita masuk ke Maroko, yang kedua untuk urusan interogasi. Kau mau ikut atau menunggu di mobil?”
Tak perlu ditawari, Allary sudah turun dari mobil. 
Ada tiga orang petugas yang berjaga. Brittany meminta dokumen perjalanan Allary, untuk diserahkan ke petugas. Urusan administrasi berakhir dengan cepat. Hanya lima menit. Tidak ada masalah, petugas mempersilahkan mobil mereka lanjut berjalan.
Brittany memasukkan kembali dokumen perjalanannya, kemudian mengeluarkan semacam kartu pengenal. Dia mendekat lagi ke pos petugas. Allary yang berdiri tak sampai satu meter di belakang Brittany, bisa mendengar keseluruhan pembicaraan.
“Apa maksud anda?” petugas itu keheranan melihat tingkah Brittany mengeluarkan kartu. “Anda sudah boleh jalan.”
“Urusan kami belum selesai, mister,” Brittany menatap petugas itu dengan serius. 
“Urusan apa lagi?”
“Kami sedang mencari orang. Teman kami ditangkap oleh sindikat kejahatan dan dibawa ke Maroko. Saya bermaksud mengecek dokumen perjalanan mereka.”
“Anda sedang bercanda? Anda ingin mencari komplotan sindikat kejahatan di kantor imigrasi? Bagaimana mungkin kami memilikinya?”
Allary ikut mendekat, berbisik pada Brittany, “kurasa mereka benar, mana mungkin kita mencari catatan sindikat kejahatan di kantor imigrasi, mereka tidak akan lewat sini, lebih baik menyusup ketimbang lewat jalur resmi bukan?”
“Kau salah Allary,” Brittany balik berbisik, “justru lebih mudah jika lewat jalur resmi. Bila mereka nekat menyelundup, menyusup, itu akan jadi banyak masalah bagi mereka. Mereka bisa berurusan dengan polisi atau bahkan intelejen. Lebih mudah lewat jalur resmi. Hanya perlu membereskan petugas imigrasi, setelah itu mereka bisa melenggang masuk tanpa kecurigaan siapapun.”
“Tapi bagaimana caranya?”
“Apalagi, tentu saja dengan menyuap petugas, Allary. Astaga, kau tidak perlu heran dengan praktik suap. Dunia ini bisa dibeli dengan uang jika kau punya cukup uang untuk membelinya.”
Terdiam Allary dibuatnya. Brittany kembali ke petugas imigrasi. “Izinkan saya memeriksa catatan perjalanannya.”
Petugas itu mengalah. Memberikan buku catatan mereka yang tebalnya lima senti itu. Brittany membacanya dengan cepat. Allary ikut melihat. Hari ini, hanya ada tiga orang yang lewat di perbatasan Zouj Bighal. Brittany berdecak sebal, sementara petugas itu tersenyum puas.
“Bagaimana? Sudah dapat hasil dari dugaan konyol anda tadi?”
“Anda jangan main-main dengan saya ya,” Brittany balik menatap dengan tatapan mengancam, tangannya bergerak cepat merogoh tasnya. Mengeluarkan alat setrum. Menodongkannya ke petugas. “Saya tahu mereka lewat di sini. Anda menyembunyikan catatan perjalanannya. Berapa mereka menyuap anda, heh?”
Petugas itu agak jeri dengan alat setrum yang ditodongkan Brittany tapi dia berusaha menjaga raut wajahnya agar tidak terlihat terintimidasi. “Anda bisa kena pasal berlapis jika nekat menyerang kami, petugas imigrasi.”
“Sayangnya, dalam kasus ini saya berhak melakukannya. Coba lihat ini, baca kartu ini baik-baik. Anda akan tahu, bahkan kepala negara kalian sendiri pun, tidak bisa mencegah saya dari mendapatkan informasi. Ayo cepat katakan, atau kalian lebih suka aku melakukannya dengan cara sulit.
Petugas nampak membaca kartu itu sejenak, dan kemudian ekspresinya semakin ketakutan. Sampai akhirnya buka mulut.
“Mereka menuju Marrakesh.”
“Berapa orang jumlahnya?”
“Enam, empat pria, dua wanita.”
“Apakah wanita yang bersama mereka, adalah wanita muda?”
“Benar, wanita muda.”
“Saya ingin melihat catatan perjalanan wanita itu. Kalian menyimpannya bukan?”
Patah-patah petugas membuka buku lima senti tadi, ke bagian belakang. Ada tulisan coret-coret di sana. Satu yang terbaca dengan jelas.
“AAMORI.”
Brittany tersenyum.


33
Masjid Hassan II


“Nah, mudah sekali bukan, untuk mendapatkan informasi?” Brittany tertawa kecil ketika mereka sudah di dalam mobil, sudah melaju melewati Zouj Bighal. 
“Yahh mudah, kecuali di bagian interogasinya. Tidak semua orang memiliki kartu yang tadi kamu tunjukkan, sepertinya itu kartu yang sangat ampuh.”
Brittany kali ini sungguhan tertawa. “Well, kau benar juga. Kartu ini memang membawa banyak keuntungan.”
“Itu kartu apa?”
“Maaf kalau soal itu, aku tidak bisa berpanjang mulut. Cukup kau tahu bahwa di dalam tasku ini, ada banyak sekali benda aneh tak terduga yang ajaib.”
“Baiklah. Aku akan berhenti bertanya tentang itu. Sekarang kita mau kemana? Marrakesh? Apa yang akan kita lakukan di sana?”
Brittany tercenung sejenak kemudian tergesa-gesa mengambil teleponnya. Brittany sepertinya akan menelepon seseorang. Allary memutuskan untuk tidak mengganggu. Tapi dia harus sekali lagi, mendengarkan percakapan aneh tapi menarik dari mulut Brittany.
“Halo, ya, aku sudah melewati Zouj Bighal. Perbatasan Maroko. Sejauh ini positif. Mereka memang lewat di sana.”
“....”
“Tidak masalah. Sekarang kami akan menuju ke selatan.”
“....”
“Kalian kembali ke Zouj Bighal, awasi keadaan, tapi jangan mencolok. Jangan juga melibatkan petugas imigrasi. Kalian bekerja sendiri saja. Pastikan tidak ada seekor cicakpun yang bisa lolos dari pengawasan kalian.”
“....”
“Suruh sebagian tim untuk berjaga di pintu perbatasan lain. Jangan biarkan ada celah untuk keluar di timur Maroko.”
“....”
“Bagus. Aku akan mengabari lagi, jika ada perkembangan.”
BENAR-BENAR SEBUAH PERCAKAPAN YANG MENARIK!
Sayangnya Brittany membiarkan Allary menatap heran ke arahnya tanpa penjelasan. Dia menyimpan teleponnya dan kembali fokus mengemudi. Sejauh yang bisa Allary simpulkan, sepertinya gadis ini memiliki tim lain yang bekerja untuk membantunya dari kejauhan. Gadis ini cukup terencana juga.
“Kau mau kemana?”
“Eh kenapa bertanya padaku?” Allary sedikit kaget dengan pertanyaan kejutan Brittany.
“Yahh, barangkali ada tempat di Maroko yang mau kau datangi. Tempat yang bagus barangkali.”
“Ada sih. Tapi memangnya kau tertarik mengunjungi tempat itu?”
Brittany mengangkat bahu. “Boleh jadi, kenapa tidak kan? Kita bisa mengunjungi beberapa tempat sebelum meninggalkan Maroko bukan?”
“Bukannya kita hendak ke Marrakesh?”
“Buat apa, kita tidak akan menemukan mereka di Marrakesh. Sejauh ini kita hanya menemukan jejaknya, bukan orangnya. Terlalu susah untuk mencari orang di Marrakesh. Jadi lebih baik kita mengunjungi satu dua tempat terlebih dahulu, sebelum meninggalkan Maroko.”
Allary mengangguk, “baiklah. Kalau begitu kita ke Cassablanca. Aku selalu ingin mengunjungi Masjid Hassan II sejak mendengar cerita tentang masjid itu.”
“Apa yang menarik di sana?”
“Masjid itu separuh berdiri di atas air. Di atas Samudera Atlantik.”
“Masjid itu terapung?”
“separuhnya.”
“Menarik sekali,” Brittany terlihat puas, “pilihan sejarawan sepertimu, selalu bagus ya. Baiklah. Ayo kita ke Cassablanca.”


34
Sedikit Penggeledahan di Mesir


Sebenarnya pihak Allary juga punya seorang pencari informasi hebat yang bisa menginterogasi orang sampai buka mulut. Sayangnya Allary sampai sekarang belum tahu kalau orang itu sudah bergerak mencari informasi.
Orang itu adalah Felix.
Ya, Allary mana tahu kalau Felix ternyata sudah bergerak, bahkan sudah tiba di Mesir. Semenjak gagal menghubungi temannya itu, Allary tidak pernah lagi mengecek nomor telepon selulernya. Lagipula nomor itu sudah tidak aktif lagi sejak dia keluar dari Mesir. Jadi Allary membuangnya.
Sementara itu Felix terus bergerak. Berkat bantuan Rubilicio, Felix berhasil sampai di Mesir tanpa sepengetahuan Dacosta. Atau sebenarnya mereka tahu namun diam saja? Bisa juga begitu, sebab Amancio hanya tertawa-tawa dari Madrid sana. 
Setibanya di bandaran dan mendapatkan taksi, Felix kembali membuka telepon genggamnya. Memencet nomor telepon.
“Hallo, Aguero. Kau bisa mendengar suaraku?”
Nun jauh di Cusco sana, Aguero menerima telepon sambil mengucek matanya. Kebiasaan Aguero, mengantuk, tak peduli kondisinya.
“Ada apa, Felix?”
“Aku perlu bantuan kecil darimu? Aku sedang di Mesir sekarang.”
Terkejut Aguero, “astaga, apa yang kau lakukan di Mesir, dan bantuan apa yang bisa kuberikan pada kau di sana. Jauh sekali jarak kita.”
“Justru itu, kau bisa menyelidiki semuanya dengan lebih baik. Aku tahu kau punya banyak jaringan informasi, mata-mata.”
“Astaga, jangan bilang kau mau meminta bantuan gratis. Tidak bisa teman, tidak bisa.”
Felix berdecak. Aguero masih saja bercanda di situasi seperti ini. Setelah didesak beberapa kali, akhirnya Aguero mau mengalah. “Baik, baiklah. Akan kulakukan untukmu. Tapi hanya sekali ini saja ya. Jika begini terus, bisa bangkrut usahaku kau buat. Ya sudah, aku harus mencari apa?”
“Ada seorang gadis yang menghilang. Kemungkinan besar dia diculik oleh sindikat kejahatan. Kemungkinan dia hilang di Mesir.  Nama gadis itu, Selvi Anatasha.”
Aguero nampak mencatat. “Baiklah, Selvi Anatasha. Sebentar, aku hubungi kepolisian Mesir.”
“Hei, jangan menghubungi kepolisian,” Felix berseru spontan. Untungnya mereka berbicara dengan bahasa Spanyol, supir taksi hanya kaget karena Felix tiba-tiba berteriak. Seandainya supir tahu pembicaraan mereka yang ala mafia itu, bisa kacau nantinya.
“Lalu siapa yang harus kuhubungi?”
“Jaringanmu. Mata-mata, atau siapalah. Aku tidak akan menghubungimu hanya untuk mencari informasi di kepolisian. Kalau yang itu, aku juga bisa. Kau carikan informasi di tempat yang tak mungkin aku dapatkan. Paham?”
Aguero menepuk dahi. “Selain mau yang gratisan, kau juga sangat cerewet, Felix. Kalau bukan karena kita berteman, sudah kumasukkan ke dalam daftar hitam kau.”
“Cepat beraksi, Aguero. Setiap menit boleh jadi sangat berarti untuk keselamatan temanku itu.” Felix mendesak. Tapi itu justru membuat Aguero tergelak.
“Apakah dia akan menjadi The Next Aurora, Felix?”
“Tutup mulutmu, Aguero!”
Aguero semakin tergelak.
Felix menutup telepon. Dengan bahasa Inggris, dia meminta agar mobil diarahkan ke kepolisian Mesir. Jika dugaannya benar, dan Allary yang menangani kasus ini, sepertinya kasusnya akan terdaftar di kepolisian. Pasti ada informasi yang tersedia di sana. Informasi awal. Itu sangat penting bagi Felix. Setelah itu kemudian mungkin, dia akan menggeledah kantor imigrasi juga, untuk mengetahui tujuan Allary setelah berangkat dari Mesir. 
Baiklah, saatnya mulai menggeledah.


34
Petualangan Felix di Negeri Mesir


Tidak sulit bagi Felix untuk bertemu dengan polisi Mesir. Dia menjelaskan duduk perkaranya, bahwa dia ingin melihat berkas kejadian hilangnya gadis bernama Selvi Anatasha. Untuk keperluan itu, Felix dibawa ke ruangan kerja divisi kejahatan, dimana di sana ada dua orang polisi yang berjaga dengan setengah mengantuk.
Wajar, Felix datang di waktu yang tidak tepat, pukul 11 malam waktu Mesir.
“Jadi anda ingin mengetahui informasi mengenai hilangnya Selvi Anatasha?”
“Benar mister.”
“Maaf sebelumnya, anda siapanya korban?”
“Saya temannya.”
Polisi itu langsung menyipitkan mata, “maaf kalau begitu anda tidak akan mengetahui informasi. Kami tidak bisa memberitahu anda. Terlalu banyak penipu yang mengaku sebagai teman korban penculikan.”
Felix mengepalkan tangan. Berusaha menenangkan diri. Dia sudah tahu ini akan terjadi. Dia juga sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. 
BUKKKK!
BUKKKK!!
Dua pukulan kilat, cukup untuk membuat dua petugas tadi terjungkal, langsung pingsan. Tangan Felix bergerak cepat. Dilihatnya beberapa kertas berkas yang ada di meja. Matanya memindai sekejap dan langsung dia ambil berkas yang diperlukannya. Felix memperbaiki posisi dua polisi yang dibuatnya pingsan itu, agar seolah sedang tertidur di mejanya. Kemudian dia keluar dari jendela.
Urusan di kantor polisi sudah selesai. Felix memanggil taksi. Dia belum bisa mengetahui kemana Allary bergerak. Dia harus menunggu laporan dari Aguero. Dia membaca berkas yang diperolehnya sejenak. Berkas hilangnya Selvi Anatasha. Hilang di pemandian umum bla bla, tanpa jejak bla bla, sekarang dinyatakan selesai bla bla. 
Tunggu, dinyatakan selesai? Jangan bilang polisi telah menyerah dalam menyelidiki kasus ini. Itu sungguh ganjil. Baiklah, dia harus menunggu laporan dari Aguero sebelum memutuskan, kantor imigrasi mana yang harus dia datangi untuk melacak keberadaan Allary. Setidaknya dari berkas ini dia tahu, Vivi benar hilang di Mesir.
Lewat tengah malam, saat Felix sudah bersiap merebahkan diri sejenak, Aguero meneleponnya. Felix bergegas mengangkat telepon. 
“Bukan kabar baik yang kubawa. Kujamin.” 
“Ya, katakan saja. Informasi apa yang kau dapatkan?”
“Kau tidak sedang berhadapan dengan kelompok kejahatan biasa. Mereka amat hati-hati dalam menghapus bukti. Amat terampil dalam bergerak.”
“Ya, lalu?”
“Mereka sedang bergerak menuju selatan, ke arah Ghana. Aku tidak tahu persis dimana, jangan tanya.”
“Baiklah. Tapi siapa mereka ini? Mafia dari negara mana?”
Aguero menggeleng-gelengkan kepalanya, “tidak, aku tidak tahu. Penculikan ini dilakukan sebuah kelompok yang terstruktur. Kemungkinan yang mendapat tugas menculik, adalah substruktur dari organisasi itu. Aku tidak bisa menebak organisasi apa. Karena mereka benar-benar pandai menghapus jejak.”
“Apalagi informasi yang kau dapatkan?”
“Mereka sudah memantau gadismu itu sejak lama, Felix.”
“Sejak lama? Maksudmu ini berkaitan dengan masa lalu atau semacamnya?”
“Aku tidak tahu. Tapi ada indikasi demikian. Sisanya kau cari sendiri saja.”
“Hei tunggu,” buru-buru Felix mencegah, Aguero terdengar hendak menutup telepon, “tetaplah bersiaga. Aku masih membutuhkanmu beberapa hari ke depan.”
Berdecaklah si Aguero. “Astaga, seharusnya kau memang kumasukkan dalam daftar hitam, Felix. Hanya gara-gara gadismu itu, aku harus bekerja secara gratis.”
“Sudahlah Aguero. Tolonglah bantu aku. Nanti kau kubantu juga. Dan berhentilah bilang soal “gadisku”. Omong kosong tentang semua itu.”
“Baiklah, baiklah. Seorang bujang tak beristri seperti kau, sepertinya memang cerewet sekali. Akan kukabari kau jika ada perkembangan.”
“Nah itu yang mau kudengar.”
“Baik. Sampai ketemu lagi bujang tak beristri yang cerewet.”
“AGUERO!”
Terlambat, Aguero sudah menutup telepon, tak mendengar gerutuan marah Felix.


35
Jaket yang Tertinggal di Halte Bus


Harus diakui oleh Brittany, dia tidak habis-habis mengagumi arsitektur Masjid Hassan II yang ada di Pantai Atlantik kota Cassablanca itu. Meskipun dia tidak beribadah di tempat seperti itu, Masjid Hassan II tetap memancarkan gaya bangunan yang memukau di mata Brittany. 
“Masjid yang tadi sungguh luar biasa. Aku merasakan kedamaian ketika berada di dalamnya,” kata Brittany di perjalanan. Mereka sudah meluncur menuju tujuan berikutnya, Negeri Sahara Barat. 
“Masjid itu dibangun oleh sang raja, Hassan II yang ingin merasakan sensasi sujud di atas air. Kupikir itu memang salah satu masjid terbaik, secara arsitektur.”
“Sepakat.” Brittany menyahut dengan ceria. 
“Well, apa rencana kita berikutnya?”
Brittany tidak menyahut. Diam. Mau menjawab apa? Entahlah, sebenarnya dia juga bingung. Perjalanan ini stagnan. “Berharap saja, kita punya petunjuk baru setibanya nanti di pintu perbatasan Maroko dengan Sahara Barat.”
“Kita akan menginterogasi petugas imigrasi lagi?” Allary menebak-nebak, dijawab Brittany dengan anggukan. 
Namun ternyata, cerita menghendaki lain. Mereka tak sampai ke pintu perbatasan untuk menemukan petunjuk. Saat pagi hari mulai menyinari kota Cassablanca, Brittany tiba-tiba menginjak rem mendadak, tepat di depan sebuah halte bus. Membuat Allary reflek terlempar ke depan, nyaris menghantam bagian depan mobil.
“Astaga, apa yang kamu pikirkan, Brittany?” Allary memegangi kepalanya. Gerak refleknya memicu sakit kepala karena terguncang.
“Aku melihat sesuatu. Aku akan turun untuk memeriksanya. Kau tunggu di sini saja.”
Kemudian Brittany turun, mendekati tempat duduk halte. Dari dalam mobil Allary mengamati. Rupanya Brittany mengambil selembar kain yang tersangkut di bangku halte tersebut. Dari kejauhan, itu nampak seperti pakaian seseorang. Tunggu dulu, rasanya Allary familiar dengan benda itu.
Brittany dengan hati-hati, membawa kain pakaian itu masuk mobil, dia langsung memacu mobil dengan perlahan, sambil mengambil teleponnya. Sekali lagi, Allary berurusan dengan telepon aneh dan bikin penasaran yang dilakukan oleh teman seperjalanannya itu.
“Halo, kalian bisa mendengarku, dimana posisi kalian sekarang?”
“...”
“Saat ini aku di Cassablanca. Apa ada salah satu dari kalian yang sedang ada di dekat sana?”
“....”
“Bagus. Dengarkan aku, suruh beberapa orang segera datang ke halte dekat Masjid Hassan II. Aku baru saja menemukan petunjuk di sini. Aku ingin kalian memeriksa tempat ini, sampai tuntas. Siapa tahu ada petunjuk tersisa.”
“....”
“Untuk saat ini, tidak ada. Aku akan pergi, terus ke selatan. Berkabar jika kalian mendapatkan petunjuk baru.”
“....”
Brittany menutup telepon. Kembali fokus menyetir, meskipun terlihat sekali bahwa dia tidak bisa fokus. “Kau pernah melihat jaket ini di satu tempat, Allary?”
“Itu jaket Vivi ya? Rasanya aku pernah melihatnya saat kami bertualang di Amazonia.” Allary coba menebak. 
“Entahlah, tapi aku punya firasat kuat kalau ini adalah jaket milik Vivi. Warna dan motifnya sama persis. Meski aku sama sekali tidak punya ide, mengapa jaket ini bisa sampai ada di halte bus di Cassablanca sini.”
“Dan kamu menyuruh orang-orangmu untuk mencari petunjuk?”
Brittany tertawa kecil. “Kau menebak sangat jauh, Allary. Sepertinya aku harus waspada. Kau bisa menghubungkan fakta dengan sangat cepat.”
“Menghubungkannya tidak terlalu sulit mengingat aku sudah tiga kali mendengarmu menelepon seseorang.”
“Baiklah, baiklah. Kau benar. Aku harus menyelidiki mengapa jaket yang mirip dengan milik Vivi ini ada di halte bus. Harusnya aku lakukan sendiri, tapi kita tidak punya waktu. Jadi kita harus membagi tugas-tugas itu pada orang lain. Itu prinsip lama bukan?”
“Semoga bukan pertanda buruk,” sahut Allary hati-hati, Brittany menganggukkan kepala, dan mengamini ucapan Allary dalam hati. 
Ya, semoga Vivi baik-baik saja.


36
Bergerak ke Maroko


Di kamarnya, di dalam hotel di dekat Sungai Nil, Felix membentangkan sebuah peta. Peta berbentuk kertas panjang, ukurannya kira-kira 4 kali kertas A4. Itu peta benua Afrika, dicetak ulang dari atlas Collunar, atlas andalan Felix. 
Felix menandai beberapa tempat. Tempatnya berdiri saat ini, adalah kota Kairo, Mesir. Dia tandai dengan silangan besar. Tempat yang diberitahukan Aguero adalah Ghana. Jaraknya sangat jauh di barat Mesir. Jaraknya tak kurang 7 ribu kilometer. Felix menggunakan penggaris, menggambar garis lurus, sekaligus menghitung skalanya.
“Perlu waktu empat hari lebih untuk sampai ke sana. Itupun jika jalan di sana, tidak mengalami perubahan dengan apa yang ditulis dalam peta.” Felix menimbang-nimbang. 
Felix mondar-mandir di kamar itu. Rasanya terlalu cepat untuk pergi ke Ghana. Sangat jauh. Jika Allary mengikuti jalur yang sama, mungkin dia akan singgah di beberapa tempat. Seharusnya aku menemukan beberapa petunjuk lain. Tapi sulit untuk menebak arah perjalanan Allary. Felix tidak bisa menebak-nebak.
“Ah sudah, sebaiknya aku segera bergerak, Allary juga pasti sedang bergerak.” Akhirnya Felix memutuskan. Dia mengemasi barang-barang, dengan hati-hati menyelipkan telepon genggamnya. Itu benda terpenting, karena Aguero bisa mengabarinya kapan saja.
Felix melangkah ke lobi hotel. Ini hotel internasional, siaga 24 jam. Sudah ada resepsionis yang menjaga, terkantuk-kantuk. Felix langsung mengutarakan niatnya untuk segera berangkat, meninggalkan hotel. Ekspresi si resepsionis seperti kesal. Mulanya Felix cuma mengira kalau itu gara-gara jam kerja shift malam yang tak berperasaan.
Tapi nona muda penjaga meja resepsionis itu kelepasan bicara. “Ini kali kedua ada orang check-out tengah malam dalam seminggu. Astaga, ada apa dengan mereka ini.”
Felix segera tertarik dengan urusan ini. “Dua kali, nona? Kalau boleh saya tahu, kenapa?”
“Eh, maaf, anda mendengarnya. Tidak perlu anda pikirkan, tuan. Silakan, urusan administratif anda sudah kami selesaikan.”
“Oh tidak apa. Saya yakin pekerjaan malam hari begini, sangat berat bagi anda, nona. Apalagi dengan suasana sepi seperti ini.”
Wajah resepsionis itu langsung sedikit ceria. “Anda benar, mister.  Pekerjaan ini benar-benar membuat saya tertekan.”
“Ah ya, maafkan saya. Saya jadi merepotkan anda. Saya harus check-out karena klien saya sudah menunggu di Libya. Saya harus berangkat sekarang juga. Anda lihat, pekerjaan kita sama-sama berat.” Felix memasang wajah bersahabat.
“Anda sepertinya pekerja keras mister. Lebih keras daripada saya.”
“Jadi tamu sebelumnya juga seorang pekerja keras?”
“Bukan, kalau yang itu wanita. Agak aneh. Dia keluar begitu saja. Mana temannya dinyatakan hilang oleh kepolisian.”
Telinga Felix langsung berdiri. Wanita yang hilang? Jangan-jangan?
“Astaga, memang nona, orang-orang zaman sekarang, nyaris aneh-aneh semua.”
Resepsionis itu semakin ceria. Tertawa karena humor Felix. “Anda benar, Mister. Astaga.”
“Jadi boleh saya tahu, siapa gadis nyentrik tersebut.”
“Dia seorang perempuan Eropa. Mirip seperti anda. Namanya Brittany.”
Brittany? Felix mencatat baik-baik nama itu di dalam kepalanya. 
“Baiklah nona. Sebelum saya terlalu banyak bertanya, sebaiknya saya pergi. Terima kasih sudah berbincang.”
Resepsionis itu melambaikan tangannya. Felix telah mengorek informasi dengan baik. Memang, waktu dinihari lebih efektif untuk menginterogasi. Orang terkadang tak sadar seberapa berharga informasi yang dia berikan. 
Felix memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan barat. Sepertinya Allary tak mungkin pergi ke Sudan. Dia pasti menyusur pantai utara Afrika, oleh karena tempat itu jauh lebih ramai dan menarik. Felix akan mengecek ke kantor imigrasi untuk membenarkan dugaannya.
Pukul dua dinihari. Dengan sedikit kongkalingkong dari Rubilicio dan Aguero, Felix berhasil mendapatkan mobil, dan sekarang keluar dari kantor imigrasi Mesir. Dia berhasil mendapatkan data Allary. Positif, Allary tercatat meninggalkan Mesir dan menuju ke Barat. Dugaan Felix lagi-lagi benar.
Satu hal yang menarik. Allary bergerak bersama seorang gadis. Yaitu Brittany. Nama yang sama dengan yang disebutkan resepsionis.
“Sepertinya itu temannya Vivi. Tapi dalam urusan ini, aku tidak boleh sembarang percaya. Sebaiknya kukirimkan datanya pada Aguero.” Felix bergumam lagi, sambil mengeluarkan ponselnya. Siap menelepon Aguero dan siap dibentak-bentak karena menelepon di tengah malam buta.


37
Sarapan Pagi yang Bermakna


Kembali ke Allary dan Brittany. Seusai mengamankan jaket yang diduga milik Vivi itu, mereka memutuskan untuk sebentar mengesampingkan urusan itu terlebih dahulu. 
“Bagaimana kalau kita mencari sarapan yang enak. Perutku sudah lapar.”
“Kau saja. Aku akan berhenti di salah satu rumah makan jika kau ingin makan.”
“Hei, kenapa, kamu tidak mau sarapan bersamaku?” Allary bertanya.
“Aku tidak lapar.” Brittany menyahut singkat.
“Ayolah, jangan bilang kamu juga punya pil penahan lapar di dalam tasmu,” Allary terkekeh di ujung kalimatnya. Membuat Brittany ikut tertawa.
Kebetulan, Brittany melihat ada satu rumah makan yang buka di seberang jalan. Dia mengerem mobil, berhenti.
“Kamu saja. Aku akan menunggu di mobil. Atau lebih baik jika makanannya kau bungkus. Kita perlu bergerak cepat.”
Allary mengangguk, memutuskan mengalah. Mungkin Brittany benar, lebih baik makanannya dibungkus. Jadi Brittany juga bisa makan. Allary segera turun dari mobil. Melangkah ke arah rumah makan. 
Urusan di rumah makan selesai dalam lima menit. Allary kembali ke mobil dengan bungkusan besar. Begitu Allary naik, Brittany langsung tancap gas. 
“Apa yang kamu beli?”
“Oh ini, B’stilla. Makanan khas Maroko kurasa. Mau coba?”
Brittany menggeleng, “tidak, terima kasih. Aku fokus menyetir. Aku sudah pernah makan B’stilla.”
Namun Allary tidak menyerah. Dia membuka bungkusan besar itu. Dia membeli enam buah B’stilla untuk mengganjal perut. Dengan perasaan sedikit dongkol karena terus menerus diabaikan oleh Brittany, tidak mendapatkan rasa percaya, mendorong Allary untuk berbuat “nekat”.
“Buka mulutmu Brittany.”
“EH!”
Brittany reflek menginjak rem. Melihat tangan kanan Allary yang memegang B’stilla, hanya berjarak sepersekian senti dari mulutnya. Allary baru saja hendak menyuapinya. Itu membuat Brittany kagok.
“Baiklah. Aku akan berhenti sejenak untuk makan B’stilla itu. Kemarikan.”
Allary menyerahkan B’stilla ke tangan Brittany. Allary berharap itu membuat hubungan dia dan Brittany menjadi lebih baik. 
Habis makan B’stilla, Brittany kembali fokus menyetir. Kali ini perhatiannya benar-benar terfokus pada jalan. Allary juga tidak berniat mengganggunya. Setidaknya sampai dia selesai mengisi perut. Ternyata, malah Brittany yang berbicara.
“Kau makan B’stilla itu dengan sangat lahap ya, Allary.”
“Eh?” Allary menyahut, agak terkejut, potongan B’stilla terakhir sudah digigitnya sebagian. “Maaf, tapi aku memang lapar.”
“Tidak apa-apa, Allary. B’stilla memang makanan yang istimewa. Wajar bila kau suka.”
“Ah ya, aku bisa mempertimbangkan untuk meniru dan memodifikasi makanan ini untuk kujual di Indonesia.”
Brittany tiba-tiba merasa tertarik untuk bertanya soal personal. “Oh ya, jadi di Indonesia sana, kau adalah seorang pedagang?”
“Benar. Pedagang martabak tepatnya.”
Brittany manggut-manggut. “Martabak ya, aku tahu. Itu juga makanan yang lezat. Jajanan murah meriah.”
“Kamu nampaknya tahu banyak tentang negara-negara di dunia. Kamu sudah pernah ke Indonesia ya?”
“Tentu. Hampir separuh dunia sudah kupijak.”
Kini Allary yang manggut-manggut. Potongan cerita yang penting untuk membangun hipotesis, siapa sebenarnya Brittany ini.


38
Tujuan Berikutnya di Seberang Sahara


“Jadi kita mau kemana sekarang?”
“Astaga, bisakah kau berhenti bertanya tentang tujuan kita.” 
“Hei apa salahnya,” Allary mengangkat bahu, berucap mengabaikan wajah kebas Brittany, “aku berhak tahu kemana tujuan kita.”
Brittany geleng-geleng, “kau memang nampak seperti sosok pemimpin, Allary. Kharismatik dan selalu hendak tampil, mendominasi. Tapi maaf, dalam perjalanan kali ini, kau hanya anggota. Kau tidak bisa mengatur-ngatur aku.”
Gadis ini benar-benar keras kepala, batin Allary. 
“Kita sedang menuju ke selatan. Ke perbatasan Maroko dengan Sahara Barat. Kita akan menggeledah pos imigrasi sekali lagi. Hanya itu yang bisa kukatakan, maaf. Semoga itu cukup untuk menjawab rasa penasaranmu.”
Allary terpaksa puas dengan jawaban tersebut.
Sesampainya di pos perbatasan, keheranan demi keheranan Allary semakin bertambah. Brittany menepikan mobil sebelum sampai di gerbang pos penjagaan. Ada seorang pria berjas bagus mendatangi mobil mereka. Tergopoh-gopoh. Entah muncul darimana pria itu.
“Lapor, nona.”
“Ya, silakan.” Brittany membuka kaca mobilnya. Tapi tidak membukakan pintu mobil, tidak pula keluar. 
“Saya sudah menanyai petugas di pos imigrasi. Penyelundup yang anda cari tidak menuju ke Sahara Barat. Mereka membelah jalan ke Aljazair. Kemudian, saya juga sudah mendapatkan laporan dari Aljazair, penggeledahan perbatasan selatan juga sudah dilakukan. Penyelundup sedang bergerak ke Mauritania. Kemungkinan mereka akan terus bergerak ke selatan, menuju Mali dan Ghana. Tapi itu masih kemungkinan. Kami belum menyelidiki sejauh itu.”
Brittany manggut-manggut. “Baiklah. Kalau begitu kami akan langsung memotong jalur saja. Langsung ke Mali. Terima kasih atas kerja kalian yang sangat cepat.”
“Sama-sama Nona,” pria berjas hitam itu mengangguk hormat. “Kami akan terus memantau perbatasan. Kami sudah membagi orang-orang. Kalau perlu sampai ke Afrika Selatan kami awasi.”
“Bagus sekali. Aku tahu kalian akan bekerja dengan baik. Terima kasih banyak. Aku akan menghubungi lagi jika ada yang kubutuhkan.”
“Siap nona. Kalau begitu saya akan kembali bekerja.”
Baru saja pria itu genap balik kanan, saat Brittany kembali memanggilnya. “Hei tunggu.”
“Iya Nona?”
Brittany mengulurkan jaket yang tadi didapatnya di halte bus, sudah dia bungkus dengan hati-hati, “tolong bawa jaket ini ke lab pemeriksaan. Periksa dengan cermat. Aku curiga, jaket ini akan banyak berhubungan dengan orang yang sedang kami cari. Siapa tahu ada petunjuk baru.”
“Siap nona. Laksanakan. Ada lagi yang bisa saya lakukan.”
“Sekarang cukup. Terima kasih banyak atas bantuannya.”
Pria itu balik kanan. Brittany menutup kaca mobil, roda mobilnya bergerak lagi. “Kita punya tujuan baru, Allary. Dan sebaiknya kau persiapkan diri kau. Sebab, tujuan kita berikutnya, ada di seberang gurun sahara.”
“Jadi itu, orang yang kau telepon dengan bahasa-bahasa taktis sejak kemarin?” Allary lebih tertarik untuk membahas soal pria berjas tadi.
“Kalau soal yang itu, tak perlu kau pusingkan, Allary. Itu bukan urusanmu. Cukup kau tahu kalau mereka, adalah orang-orang yang berguna untuk mempermudah perjalanan kita. Lagipula, lebih baik mengerjakan semua ini bersama banyak orang bukan, ketimbang hanya kita berdua.”
Allary menghela nafas. Mobil terus melaju. Astaga, urusan menebak-nebak siapa Brittany ini, bukannya semakin terang, justru semakin rumit.


39
Dia Bukan Gadis Baik-baik


Kita kembali ke Felix yang sedang membawa mobilnya menerobos malam hari buta ke arah Barat. Felix memacu mobil secepat mungkin. Targetnya, sebelum pagi menjelang, dia sudah bisa menyeberang ke Libya. 
“Astaga, tunggu dulu, untuk sampai di Libya, aku harus punya dokumen perjalanan yang sah, tapi aku juga tidak boleh menunjukkan identitas asliku,” Felix lagi-lagi bergumam sendirian. Memang, orang-orang pendiam, akan jauh lebih banyak berbicara, saat dia sendirian. 
Ya, Felix memikirkan kemungkinan itu. Di satu sisi dia harus melalui pintu imigrasi Libya tanpa kekerasan. Felix tidak mau terus-terusan meninju, walaupun dia sebenarnya bisa membungkam petugas imigrasi di sana. Itu artinya dia harus masuk baik-baik, menunjukkan identitas dan catatan perjalanannya. Tapi di sisi lainnya, dia tidak bisa melakukan itu. Ada kemungkinan pemerintah dan pihak berwenang di Mesir sedang memburunya. Dia tidak boleh membiarkan jejaknya terbaca.
Pilihannya kembali jatuh pada Aguero. Saatnya menelepon temannya itu, sekaligus menyampaikan beberapa update terkini. Punya teman yang berkecimpung di dunia hitam, terkadang adalah sebuah keuntungan tersendiri. Aguero salah satunya. Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas pemalsuan lebih dari dua ribu identitas orang, setiap bulannya di setiap belahan dunia. 
Felix memasang alat komunikasi, sambil fokus menyetir dengan kecepatan tinggi.
“Halo, Aguero.”
“Ha, Felix. Aku sudah menunggu teleponmu. Aku tahu kau akan menggangguku lagi.”
Huft, Felix menghela nafas, sedikit lega karena tidak disambut Aguero dengan makian seperti biasanya.
“Aku butuh bantuanmu lagi, Aguero.”
“Ya, sebutkan saja. Karena setelah ini kau akan berhutang budi menumpuk padaku.”
“Aku perlu masuk ke Libya, dengan damai dan baik-baik, tanpa harus menunjukkan identitas asliku. Kau bisa membantuku bukan? Sedikit pemalsuan dokumen adalah keahlianmu.”
“Tentu saja Felix,”di ujung sana, Aguero sedang menyeringai. Itu bisa diurus. Gampang. Berapa lama lagi kau akan sampai di pintu imigrasi? Lima belas? Sepuluh menit?”
“Masih dua jam lagi,” Felix menyahut. 
“Ah kalau begitu beres. Lima menit lagi aku bereskan urusan perjalananmu itu.”
“Terima kasih, Aguero.” Felix menghela nafas lagi. Tumben sekali, Aguero tidak cerewet. 
“Ada lagi yang bisa kubantu?”
Felix teringat soal nama gadis yang katanya sedang bepergian bersama Allary ke barat, yaitu Brittany. Segera Felix sampaikan nama itu, agar bisa dicari oleh jaringan Aguero.
“Brittany ya, hmmm, tunggu sebentar,” di seberang sana, Aguero bergumam menggantung, kemudian terdengar bunyi tuts keyboard komputer. “Rasanya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sebentar, ini langsung kucari di pusat data milikku.”
Felix menunggu beberapa saat, sampai Aguero berucap lagi, seperti kaget. “Hei ini dia datanya.”
“Jadi bagaimana? Siapa dia?”
“Sayangnya, data yang kumiliki tidak lengkap. Kalau memang benar ini Brittany yang kau maksud, maka sebaiknya kau waspada, Felix.”
Berdiri bulu roma Felix mendengar kalimat Aguero. “Ada apa? Siapa dia? Apakah dia adalah orang yang berbahaya?”
“Sebentar, aku akan kirimkan langsung datanya ke e-mail kau. Bisa nanti kau yang cek sendiri, timbang sendiri, bagaimana menurutmu. Tapi kau harus ingat, ini data yang belum lengkap.”
“Kalau begitu lengkapi datanya, Aguero. Pakai seluruh informanmu untuk mencari tahu tentang gadis itu.”
Terdengar suara tertawa kecil di telepon, “astaga Felix. Urusan Selvi Anatasha itu saja kau belum selesaikan. Sekarang mau berpindah pada gadis ini pula? Sejak kapan kau jadi playboy heh?”
“Bukan waktunya untuk bercanda, Aguero. Cari saja datanya. Gadis ini sepertinya terlibat juga dalam hilangnya Selvi Anatasha. Dia terlihat terakhir kali bersama Allary meninggalkan Mesir menuju ke barat.”
“Baiklah Felix. Akan kucari tahu lagi. Pastikan kau baca data yang kukirimkan ya.”
“Ya sehabis ini langsung aku cek.”
Felix menutup telepon, menepikan mobilnya sebentar untuk membuka dan membaca e-mail. Terbukalah data yang dikirim oleh Aguero. Data tentang seseorang bernama Brittany. Data itu belum lengkap tapi sudah cukup untuk mengejutkan Felix. 
“Data ini mengerikan. Brittany itu sepertinya bukan gadis baik-baik. Semoga bukan dia yang bersama Allary. Ah tidak, aku harus pastikan sendiri. Jangan-jangan benar, dialah yang bersama Allary. Astaga, urusan ini menjadi rumit.” Felix menepuk dahi di ujung kalimatnya.


40
Pertarungan Pertama di Maroko


Pukul tujuh, malam keesokan harinya, mobil yang dikendarai Felix akhirnya tiba di Zouj Bighal, Maroko. Gerbang perbatasan yang kemarin-kemarin disinggahi oleh Allary. Felix turun dengan tenang untuk mengurus dokumen perlintasan. Dia yakin sekali dokumen hasil pemalsuan Aguero ini sekali lagi akan ampuh menipu petugas imigrasi. Di Libya sukses, harusnya di Maroko juga sukses.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sebenarnya petugas imigrasi tidak masalah. Dengan wajah bosan, setengah frustasi dengan pekerjaan, sudah membubuhkan cap legalitas agar Felix dan mobilnya bisa melintas, tapi sekonyong-konyong, orang yang duduk di bangku sebelah sana, justru yang menyela. Tiba-tiba mendekat pada Felix dan bilang dengan tegas, “tunggu sebentar.”
“Eh ada apa?” Felix yang hendak memasukkan kembali dokumen “palsu”-nya tercekat. 
“Keluarkan kembali dokumenmu itu.”
“Ini.” Felix kembali mengeluarkan dokumennya dengan hati mendongkol. “Ada apa Tuan? Bukankah petugas sudah mengesahkan dokumen ini.”
Orang itu memperhatikan sejenak, kemudian ganti menatap Felix dengan tajam. “Jangan biarkan dia lewat. Dokumen orang ini, palsu.”
Terkejut Felix mendengar kata-kata orang ini. Orang ini tidak memakai seragam. Pembawaannya tidak nampak seperti pejabat pemerintah ataupun tentara. Tapi dia bisa dengan cepat mengetahui “pemalsuan” dokumen yang telah dia lakukan. Astaga.
“Hei, anda tidak bisa melakukan ini, mister. Petugas imigrasi sudah mengesahkan dokumen saya. Anda tidak bisa serta merta menuduh saya memalsukan dokumen.” Felix agak tersinggung dengan kenyataan ini. 
“Sayangnya saya bisa. Silakan putar balik, Tuan. Atau anda mau kami amankan.”
Felix segera bersiaga. “Siapa kau? Kau tidak punya wewenang menangkapku di negeri merdeka ini. Lihat bahkan petugas imigrasi yang berwenang di sini, tidak mengatakan tuduhan seperti yang anda katakan. Anda jangan sembarangan ya.”
Orang itu malah tersenyum, “anda terlihat gugup, tuan. Sepertinya anda bukan sekedar pemalsu dokumen, anda sepertinya adalah penjahat yang serius. Mari ikut saya, kita jalani prosedur interogasi di ruangan yang lebih nyaman.”
Orang itu mengeluarkan pistol. Dengan cepat menguasai keadaan. Petugas imigrasi menyingkir dari meja. Ciut melihat keadaan tiba-tiba berubah jadi menegangkan. Felix semakin waspada. Melihat moncong pistol itu, dia tahu, gerakan sekejap, bisa memegang nasibnya. 
“Siapa kau sebenarnya? Ini sungguh perbuatan tak menyenangkan. Anda menuduh, kemudian mengancam saya dengan pistol. Anda tidak pernah diajari tentang HAM ya?”
Orang itu masih tersenyum. Dia sama sekali tidak terpancing dengan kalimat provokatif dari Felix. Mendengar kata HAM disebut, dia malah tersenyum sini. “Baiklah. Kalau begitu, atas nama dewan keamanan PBB, aku berhak untuk menginterogasimu.”
Felix tercekat. Dewan Keamanan? Astaga, jangan bercanda. Baiklah, sebaiknya dia mengakhiri semuanya sebelum terlanjur rumit. Jangan sampai orang ini membawa pasukan pula. 
BUKKKK!
DORRRR!
Suara pistol meletus di ruangan. Tapi mengarah ke atap. Pria yang mengaku dari dewan keamanan itu sudah keburu menerima tendangan mematikan dari Felix. Gerakan tokoh kita jauh lebih cepat dan gesit. Kemudian yang lebih penting, serangannya mematikan. Satu tendangannya itu, tidak hanya membuat orang di depannya roboh ke tanah. Tapi juga mematahkan tulang rusuknya.
Felix bergegas menguasai keadaan. Dengan cepat dia menduduki musuhnya agar tidak bergerak. Tangan kanannya memegangi leher musuh, siap mencekik. Pistol segera direbut tangan kirinya, dia todongkan ke arah petugas imigrasi. 
“Kau berlutut. Tangan di atas. Jangan berani memanggil bantuan. Cepat lakukan!”
Petugas imigrasi terlanjur ciut, segera mengikuti instruksi dari Felix. 
DORRR!
Felix tanpa ragu menarik pelatuk. Menyasar kepala petugas imigrasi. Dia tewas seketika. Tempat itu sepi. Tapi akan segera ramai karena suara letusan pistol akan segera terdengar ke segala penjuru. Felix segera fokus pada tawanan yang sedang dia duduki. Pistol mengacung.
“Aku hanya berikan kau satu kesempatan untuk mengaku. Siapa kau sebenarnya? Omong kosong soal dewan keamanan. Mana ada pasukan dewan keamanan menjaga di pos perbatasan. Memangnya ada urusan yang sangat serius. Jawab, siapa kau sebenarnya?”
“Kau benar-benar penjahat besar ya. Kau tidak akan bebas dari jeratan kami.”
“Jawaban yang salah.”
DOOOOR!! Felix sudah bergerak menarik pelatuk. Menghabisi musuhnya tanpa ampun.


41
Pembicaraan Rahasia Brittany


Sebelum memasuki Gurun Sahara, Allary sempat meminta Brittany berhenti sejenak di perbatasan Aljazair. Alasan Allary sakit perut, dan memang itu benar. Allary mendadak kebelet. Brittany sempat bingung dimana hendak berhenti.
“Cari saja masjid. Di sana pasti ada toilet.” Allary berseru, sedikit panik karena isi perutnya hampir keluar.
“Baiklah. Rasanya aku melihat tanda lalu lintas penanda masjid di depan sana. Bertahan sebentar Allary. Aku tidak mau ada yang pup di dalam mobilku.”
“Tentu saja!”
“Astaga, kau jadi pemarah kalau sedang terdesak ya,” Brittany tertawa-tawa, Allary melotot. 
Mereka berhenti di salah satu masjid. Allary bergegas, bagai dikejar setan, langsung menuju toilet. Saat itulah, bak diatur skenario, ponsel Brittany berbunyi. Mungkin karena Allary saat ini tidak duduk di sebelahnya, Brittany menyalakan loudspeaker. Dia menyahuti telepon sambil bersandar.
“Halo nona.”
“Ya, silahkan laporkan. Ada berita apa?”
“Berita buruk, Nona.”
Brittany yang sedang bersandar, langsung meluruskan punggung. “Apa katamu? Berita buruk? Ada apa memangnya?”
“Ada orang yang mengikuti kalian.”
“Orang?” Brittany langsung memasang waspada, sebelah tangannya bahkan sudah merogoh ke tas. Mengambil alat setrum. 
“Siapa dia? Dimana posisinya sekarang?”
“Kami belum tahu siapa dia, nona. Tapi dari dokumen yang sempat terdata, namanya Oliver Kuhn, warga negara Jerman. Posisi terakhirnya, di Maroko.”
“Aku sudah berada di Aljazair sekarang. Sepertinya orang itu jauh tertinggal di belakang. Hei tunggu, namanya tadi Kuhn kau bilang?”
Suara di telepon membenarkan.
“Dia hanya sendirian? Atau Kuhn itu nama pemimpinnya?”
“Kami belum tahu, Nona. Tapi sejauh ini, kami hanya menemukan dia seorang. Bisa saja ada komplotannya.”
Brittany segera berhitung situasi. Jika orang itu bisa mengikutinya sampai ke sini, membawa komplotan besar, itu bisa jadi masalah bagi misi pencariannya bersama Allary.
“Kalian pantau terus pergerakannya. Beritahu aku dimana posisi update-nya dalam beberapa jam ke depan. Gunakan tenaga seluruh pasukan. Kalau perlu, panggil pasukan tambahan.”
“Siap nona. Saya sudah mengontak beberapa tambahan pasukan. Besok pagi mereka akan tiba di Afrika. Kami akan berusaha keras menemukannya. Saya hanya khawatir dia lebih dulu menemukan kalian, daripada kami menemukannya.”
“Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah siap... tunggu sebentar.” Brittany buru-buru mematikan loudspeaker, Allary sudah keluar dari toilet. 
Dari kejauhan, melihat Brittany menelepon, Allary geleng-geleng kepala. Percakapan misteri itu lagi. Allary memutuskan untuk memperlambat berjalannya. Tidak ada gunanya dia mencoba bertanya dan penasaran atas telepon itu. 
“Kau sudah selesai dengan urusanmu?” tanya Brittany setelah Allary sampai. Dia sampai berbarengan dengan Brittany selesai menelepon.
“Ya,” Allary mengangguk, “dan kamu kulihat juga telah selesai dengan urusanmu.”
“Ah benar. Ada telepon lagi. Update terbaru.”
“Baiklah. Ayo kita lanjutkan perjalanan.”
“Eh kamu tidak tertarik untuk menanyakan soal telepon yang kuterima?”
Allary mengangkat bahu, tersenyum lucu, “untuk apa. Kamu juga tidak akan memberitahuku.”
Brittany ikut tersenyum, “terima kasih sudah mengerti, Allary.” Di dalam hatinya, Brittany membatin, memang lebih baik, dia tidak memberitah Allary soal telepon tadi.


42
Turun dari Mobil


Suasana panas benua Afrika semakin terasa oleh Allary. Semakin mobil mereka mengarah ke selatan, semakin jauh mereka masuk ke area gurun terbesar di dunia, Sahara. Meskipun yang mereka lewati ibarat kata hanya pinggirnya, sensasi panasnya tetap terasa. 
“Apakah kita akan menemukan Vivi?” 
Sebuah pertanyaan yang cukup mengejutkan, terlontar dari mulut Allary siang itu. Mereka baru saja melintasi perbatasan negeri Aljazair dan sedang meluncur ke pusat negeri Mali.
“Tentu, kenapa tidak?” Brittany menjawab pendek, mengangkat bahu. 
“Entahlah. Aku merasa perjalanan ini sama sekali belum membuahkan titik terang.”
“Hei, jangan pesimistis begitu. Kita semakin dekat dengan tujuan kita. Kita semakin dekat dengan kelompok itu, sindikat kejahatan yang menculik Vivi. Setiap putaran roda ini membawa kita semakin dekat dengan mereka. Kau harus percaya itu.”
“Entahlah. Kita bahkan tidak terlihat sedang mengikuti jejak mereka.”
Brittany menoleh ke samping. Hari panas menyengat. Dia mengingat lokasi ini. Ini adalah jalan menuju ke suatu “tempat”. Sebuah tempat yang bersinggungan dengan masa lalu. Mungkin lebih baik jika menjawab pertanyaan Allary di sana.
“Maksudku, lihatlah, aku tidak tahu kita mau kemana, aku tidak tahu siapa yang kita cari, aku tidak tahu siapa yang kita hadapi, aku tidak bisa menebak-nebak. Aku cuma mendengar percakapanmu di telepon, beberapa kali. Kamu jelas memiliki banyak kaki tangan. Itu hebat. Tapi maaf, dengan menganggap jaket yang kita temukan di Maroko itu sebagai petunjuk palsu, atau kebetulan, maka perjalanan kita ini tidak ada gunanya. Aku bahkan sempat terpikir, kenapa kamu tidak menggerakkan agen-agenmu itu untuk langsung melacak kelompok penculik itu. Dengan kapasitas mereka menjangkau ke berbagai negara, sepertinya itu adalah pekerjaan mudah saja.” 
Merasa tak ditanggapi, Allary mengoceh panjang lebar. Dia kini setengah mendongkol. Coba lihat Brittany ini. Santai sekali sikapnya. Tidak terlihat seperti orang yang sedang panik mencari sahabatnya. Sama sekali tidak. Ah seandainya Allary punya lebih banyak informasi tentang kasus penculikan Vivi ini, dia akan bergerak sendiri. Allary tidak bisa diam saja.
“Sudah selesai mengocehnya?” 
Allary menghela nafas. Astaga, gadis ini malah memancing sumbu kemarahannya. Sahutan pendek itu seakan menantangnya untuk berkelahi. Tapi Allary memutuskan menahan diri. Menghela nafas lagi. Tenanglah. “Ya, sudah.”
“Aku minta maaf Allary. Kau boleh menganggap demikian, semua ocehanmu itu sah-sah saja. Kau benar soal aku punya kaki tangan. Hanya saja kau tidak tahu apa-apa tentang siapa yang sedang kita hadapi. Aku tidak bisa bertindak sembarangan. Salah sedikit, aku bisa memicu perang kawasan.”
Ternganga Allary. Urusan ini semakin rumit. Tapi perang kawasan? Seserius itukah?
“Bagaimana bisa?”
“Dengarkan aku Allary. Sebentar lagi, aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Barangkali di sana, kau bisa menerima penjelasan dengan lebih baik. Barangkali dengan menengok tempat itu, kau akan lebih mengerti. Tapi tolong, sehabis itu, kau berhenti bertanya. Berhenti menganggap aku tidak melakukan apa-apa. Menganggap aku tidak peduli dengan Vivi. Karena itu salah. Ketahuilah, aku adalah orang yang paling peduli dengannya.”
Mata Brittany berkaca-kaca. Allary memutuskan untuk tutup mulut daripada nanti salah bicara. 
Mereka terus berkendara, mobil melaju terus ke arah selatan. Terkadang mereka melalui bongkahan batu gurun yang cukup besar. Terkadang pula, mereka selintas-selintas melihat ada perkampungan. 
Brittany kemudian, demi membawa Allary ke sebuah tempat yang dia katakan tadi, membelokkan mobil ke jalanan kecil berpasir. Itu menyebabkan mobil mereka bergoyang. Sejenak kemudian, mobilnya macet. 
“Ah, sepertinya mobil ini tidak bisa dipaksakan melaju di jalanan berpasir.” Brittany berdecak sebal sambil melihat ke luar. Pasir setinggi mata kaki menutupi jalanan. Suasana sangat panas. Khas gurun pasir.
“Allary,” panggil Brittany dari luar, “sepertinya kita tidak punya pilihan lain, kita harus meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Tidak jauh kok. Hanya sekitar setengah kilometer. Apakah kau keberatan?”
Allary menggeleng, segera turun dari mobil.
Mereka berjalan ke arah perkampungan lokal.


43
Tempat Apa Ini?


Allary dan Brittany memasuki perkampungan lokal itu. Pemandangan khas benua Afrika terlihat dengan jelas. Warga lokal, anak-anak riang menyapa mereka berdua. Allary dan Brittany dianggap wisatawan. Beberapa bahkan melambaikan tangan. Warga desa itu ramah. Allary sesekali membalas lambaian tangan.
“Jangan terlalu berbaur. Kita hanya sebentar di sini,” Brittany menegur Allary yang terkesan terlalu ramah itu.
“Kita mau kemana?”
“Kau lihat saja nanti.”
Mereka terus berjalan, sampai ke ujung perkampungan. Ada sebuah oase kecil di sana. Di dekat oase itu ada sebuah bangunan besar mirip gudang yang tidak terpakai lagi. Pagar besinya membuat bangunan itu nampak kontras dengan bangunan rumah warga kampung. Brittany mengeluarkan alat setrumnya.
“Bersiap siaga. Tempat ini memang sudah lama ditinggalkan, tapi bisa saja masih ada serangan kejutan.”
Tak perlu disuruh, sedari tadi Allary sudah sangat waspada. 
Tempat apa ini? Brittany tidak mau menjawab ketika ditanya. Fokus melihat tanda-tanda keberadaan. Tapi nihil. Tidak ada jejak kaki, atau tanda keberadaan lainnya. 
“Baiklah. Sepertinya tempat ini aman. Kita akan melihat ke dalam. Kau sudah siap bukan?”
“Memangnya apa yang akan kita lihat?”
“Sesuatu yang “mengerikan”. Pastikan mentalmu siap melihatnya.”
Allary mengangkat bahu, “asalkan itu bukan makhluk halus yang tiba-tiba menampakkan diri, aku siap.” 
“Baguslah. Ayo.”
Brittany mendorong pintu besi. Tidak bisa. Terkunci. Tapi kuncinya sudah berkarat. Tidak ada pilihan lain selain mendobrak. Bersama Allary, Brittany menendang pintu itu, terbuka.
Ruangan di dalam gudang itu bersekat-sekat. Ada banyak sekat dinding mirip di toilet modern begitu. Selebihnya, pemandangan di sana lebih terasa seperti memualkan daripada mengerikan.
Ada darah berceceran di lantai dekat pintu masuk. Di sisi lain, ada noda darah besar menggenang. Bau amis menusuk hidung. Sampai Allary hendak muntah. Brittany tersenyum puas. “Bagaimana? Sudah kubilang untuk mempersiapkan mentalmu bukan?”
“Tempat apa ini?” Allary mengulang pertanyaan. Susah payah. Setiap dia membuka mulut, Allary langsung mual. 
“Seperti yang kau lihat, ini tempat penjagalan. Ayo kutemani kau melihat-lihat isi ruangan.”
Tanpa persetujuan, Brittany mengajak Allary melangkah masuk. Gadis itu nampaknya sudah terlatih mengabaikan bau amis yang menyengat ini. Mereka melewati area bersekat-sekat. Mendekat. Kali ini, Allary benar-benar muntah.
Di dalam ruangan bersekat-sekat itu, ternyata ada banyak “benda” yang mengejutkan. Seperti potongan tangan, kaki, lidah, mata, rambut, bahkan organ dalam seperti jantung dan usus kecil. 
“Ruangan yang menyenangkan bukan?”
“Kau pasti bercanda,” Allary menahan ucapan, susah payah agar tidak muntah lagi. Potongan organ ini, benar-benar pemandangan paling mengerikan yang pernah dia lihat.
“Seandainya malam hari, tentu tempat ini lebih mengerikan lagi bukan?” Brittany menyeringai, masih mencoba untuk bergurau.
“Astaga, apa yang kau pikirkan.”
“Kau mau melihat lebih dekat. Ayo. Kalau beruntung, kita mungkin bisa melihat fosil manusia secara langsung.”
Allary bergidik, cepat-cepat menggeleng. “Tempat apa ini sebenarnya?”
“Kau mau kujelaskan di dalam sini, di antara semua “benda” eksotis ini? Atau di luar saja.”
Tentu saja Allary memilih opsi di luar. Sampai gelagapan dia menarik nafas, udara segar (meski panas, tentu saja lebih baik dari udara di dalam). 
“Tempat ini, termasuk isinya, adalah milik organisasi yang menculik Vivi.”
Merinding Allary mendengar kalimat itu. Musuh mereka semengerikan itu? Astaga, bagaimana nasib Vivi kalau begini.
“Ya, musuh kita memang mengerikan. Mereka senang sekali berpesta dengan darah, membanjiri markas dengan darah korban mereka. Sekarang kau mengerti bukan, bagaimana buasnya mereka, bagaimana berbahayanya mereka.”
“Lalu bagaimana dengan Vivi?”
“Kau tenang saja. Vivi akan baik-baik saja, karena dia amat berbeda. Aku tahu persis urusan ini. Vivi, organisasi pemilik rumah jagal ini. Kisahnya sudah berjalin panjang sejak belasan tahun silam. Dulu aku juga yang menolong Vivi dari mereka. Jadi aku tahu betul mereka tidak akan mencelakai Vivi. Vivi adalah orang yang penting bagi mereka.”
Allary merinding. Urusannya menjadi semakin rumit.


44
Mister Atkinson


Felix kembali mengendarai mobil dengan sangat nyaman di daratan Maroko. Kejadian di gerbang perbatasan sudah dia bereskan dengan baik. Ayolah, dia adalah mantan “pemain” di dunia hitam, dia tahu betul apa yang harus dilakukan. Menghilangkan jejak, membungkam semua saksi, bahkan membuyarkan seluruh rekaman CCTV. Tidak, tidak ada yang akan ada yang bisa menghubungkan kejadian di gerbang perbatasan Zouj Bighal itu dengan dirinya. 
Tidak ada.
Felix tidak lagi memikirkan tentang resiko dia ketahuan atau tidak. Itu tidak terlalu penting. Pertanyaan besar yang berputar di kepalanya saat ini adalah: 
SIAPA?
Ya, siapa orang yang tadi menyergapnya di pos penjagaan itu. Orang itu nampak tenang. Auranya mengendalikan. Dan yang lebih penting, dia bisa mengetahui pemalsuan dokumen yang dilakukan Felix hanya dalam sekejap.
“Ah aku harus menelepon Aguero lagi.” Felix bergumam sambil tersenyum. Dia sudah berulang kali meminta pertolongan Aguero dalam seminggu ini. Pasti Aguero meminta bayaran yang mahal. Ah tidak masalah, Felix bisa meminjam uang Rubilicio kalau uang bayarannya kurang. Itu akan jadi perputaran uang tiga sahabat. 
Baru saja Felix hendak meraih ponselnya, ternyata ponsel itu berbunyi lebih dulu. Aguero meneleponnya. Kebetulan sekali, hatinya bergumam. Segera diangkatnya telepon itu.
“Halo Aguero? Ada apa?”
“Update, Felix. Anak buahku telah mengerjakan pelengkapan data gadis bernama Brittany itu. Kini datanya sudah mencapai 80%.”
Felix tersenyum. “Nah ini kabar baik, Aguero. Terima kasih.”
“Simpan terima kasihmu itu, akan kutukar dengan uang di akhir perjalananmu nanti. Anak buahku harus bekerja lembur untuk menyempurnakan data itu, kau tahu.”
“Ah ya, maafkan aku. Nanti akan kulunasi.”
“Bagus. Datanya sudah kukirimkan via e-mail. Kau bisa cek sendiri.”
Felix berdecak, dia sedang menyetir. Malas sekali membuka e-mail. “Tidak bisakah kau bacakan sebagian data itu padaku sekarang? Aku sedang di perjalanan. Malas sekali menepi hanya untuk membaca e-mail.”
“Astaga, kau masih saja merepotkan. Tapi baiklah. Akan kubacakan. Brittany, memiliki dua kewarganegaraan. Secara resmi merupakan warga India. Tapi dia punya identitas pula sebagai warga negara Inggris. Dia kemungkinan masih menyembunyikan beberapa identitas lagi. Dia punya organisasi besar. Dia punya agen-agen berpengalaman yang bisa bekerja lintas negara.”
“Sebentar, dia mafia? Atau pemimpin kelompok kejahatan, seperti Dacosta?” Felix memotong.
“Belum, belum bisa kupastikan. Tapi dari informasi yang kudapatkan, belum tercatat dia melakukan suatu aktivitas yang jahat.”
“Sepertinya dia pandai menyembunyikan catatan kejahatannya.”
“Aku juga menduga seperti itu. Dia sempat berurusan dengan beberapa orang, dengan berbagai urusan. Sebagian orang yang pernah berurusan dengannya, mati.”
Felix mengusap wajah. “Astaga. Dan orang itu saat ini sedang bersama dengan Allary?”
“Kalau itu aku tidak tahu. Kau hanya menyuruhku menyelidiki tentang Brittany, gadis yang ada dalam database-ku.”
“Baiklah. Kau benar. Dengar, sekarang aku punya tugas baru untukmu. Ada satu orang lagi yang harus kau cari identitasnya.”
“Siapa?”
“Namanya Mr. Atkinson. Entah ini nama asli atau palsu. Yang jelas, aku menemukan kartu nama bertulis Atkinson di dalam jasnya. Dia orang yang berbahaya. Sempat mengetahui pemalsuan dokumen yang kau lakukan.”
Kaget Aguero. Ada orang yang bisa mengetahui trik tipuannya? “Orang itu pasti bukan orang sembarangan, Felix. Apalagi dia tahu trik tipuanku. Tapi bagaimana aku mencari datanya? Di dunia ini pasti ada banyak sekali orang bernama Atkinson.”
“Kau bisa mulai dari database-mu tentang Brittany. Siapa tahu, kedua orang itu berhubungan.”
“Baiklah. Akan kulakukan.”
Felix menutup telepon setelah mengucapkan terima kasih. Aguero bilang akan mengabari secepatnya jika mendapatkan informasi.


45
Nama Itu, Mafia Sahara


Entah angin darimana, saat lewat di Marrakesh, Felix tiba-tiba merasa ingin singgah untuk makan siang. Sebelum ini dia selalu memesan makan di restoran, dengan drivethru, atau kalau tidak, maka dia makan di hotel. Hari ini dia merasa ingin makan siang di tempat yang terbuka.
Tidak ada salahnya bukan, keluar untuk makan-makan sejenak. 
Felix singgah di salah satu rumah makan di Marrakesh. Bukan restoran mewah. Hanya rumah makan biasa dengan daftar menu yang terjangkau. Mereka sepertinya menyediakan makanan lokal yang enak. Itulah alasan Felix memilih rumah makan ini.
Itu rumah makan yang berbeda dengan Allary. Beda tempat, beda daerah, tapi makanan yang dipesan sama. Felix juga memesan B’stilla. Sengaja, karena dia tidak terlalu cocok dengan makanan berat seperti nasi. B’stilla, daging yang dibungkus dengan roti, adalah pilihan yang cocok.
Sembari mengunyah, Felix menikmati desau angin Afrika. Dia juga sengaja memilih duduk di luar, agar bisa merasakan sensasi alam langsung. Merasakan sensasi petualangan yang sesungguhnya. Sesuatu yang telah dia impikan sejak masih jadi bocah ingusan di Spanyol sana.
Tiba-tiba saja, ponselnya berbunyi. B’stilla yang baru dia kunyah setengah, harus diletakkan kembali. Siapa tahu itu penting. Siapa tahu Aguero perlu memberitahunya update informasi. Ternyata bukan. Itu adalah nomor tak dikenal.
Siapa pula sekarang? Felix memutuskan untuk mengangkatnya. Sebuah suara ramah langsung menyapa telinganya.
“Halo, Mr. Felix.”
Suara itu ramah, sekaligus terdengar tegas. Sekali mendengar saja dia sudah bisa membayangkan kalau orang yang sedang berbicara di telepon ini, adalah orang yang tegap, tinggi besar dan menakutkan. Tapi tentu saja, Felix tidak akan gentar.
“Siapa ini?”
“Mr. Felix, anda tidak perlu tahu siapa saya. Yang harus anda tahu, hanya fakta bahwa saat ini anda berada dalam target Mafia Sahara.”
Setelah itu telepon dimatikan. Tak peduli berapa kali Felix ber-halo halo. Tidak terdengar suara apa-apa lagi. Orang itu benar-benar mengganggu sesi makan penuh petualangannya. Tunggu dulu, siapa itu Mafia Sahara?
Sebagai orang yang pernah berkecimpung di dunia hitam juga, Felix kenal betul dengan kelompok mafia. Sekali saja kata mafia disebut, maka gawat sudah. Tapi hei, telepon barusan, benar-benar seperti sebuah gurauan. Orang itu meneleponnya, berbicara beberapa patah kata, lalu mengancamnya dengan bilang mafia. 
Sepertinya itu adalah perbuatan orang iseng. 
Walaupun begitu, akhirnya Felix mengontak Aguero. Lewat pesan singkat. Dia menyuruh Aguero melacak sinyal telepon dari nomor yang baru saja masuk ke ponselnya. Aguero punya teknologi canggih untuk melacak darimana telepon dilakukan. 
“Beri aku dua puluh menit,” begitu bunyi pesan balasan Aguero.
Dua puluh menit menunggu, Felix kembali melanjutkan sesi makan B’stilla yang sempat terpotong. Rasa kelezatan roti lapis khas Maroko sedikit mengusir bayangan pikirannya tentang Mafia Sahara. Lagipula mafia, astaga, jangan bercanda. 
Lepas dua puluh menit, saat Felix sudah bersiap naik ke mobil, Aguero mengiriminya pesan. Identitas penelepon itu.
“Sinyalnya terlacak berasal dari Srilanka. Persis seperti kode nomor negaranya.”
Nah benarkan? Ini tidak lebih dari perbuatan orang iseng. Tidak perlu dianggap serius. Felix masuk kembali ke mobil, meneruskan perjalan. Dia tidak akan membiarkan nomor telepon iseng mengganggunya mencari Allary. 
Kecuali, orang yang menelepon itu, tahu namanya.
Astaga.


46
Cerita-cerita Malam


Allary dan Brittany memutuskan untuk mendirikan tenda di tepi gurun Sahara. Di tepi perkampungan kecil di Maroko. Ada beberapa hal yang terjadi siang tadi.
Misalnya, kini mereka sudah berganti mobil. Entah darimana kemudian, mobil Brittany yang amblas di tanah berpasir, telah digantikan dengan mobil jeep yang tangguh di segala medan. Allary agak terkejut, tapi Brittany sama sekali tidak. Dia santai sekali. Tertawa-tawa melihat ekspresi keheranan Allary.
“Ayolah, kamu tidak usah heran. Aku sudah mengganti mobil kita. Menyesuaikan medan.”
Astaga, Allary masih tidak terbiasa dengan gadis yang bisa melakukan segalanya seperti Brittany.
Tadi siang, mereka juga membeli makanan untuk dimakan nanti malam. Brittany, dengan anehnya juga membeli kayu bakar dan pemantik api. Saat Allary hendak bertanya, Brittany menyuruhnya diam.
“Nanti. Lihat saja, nanti malam kau akan paham, Allary.”
Allary memutuskan berhenti bertanya. Brittany selalu penuh dengan kejutan. 
Ternyata malam ini mereka akan bermalam di padang terbuka. Di tengah-tengah gurun pasir. Brittany terkekeh sambil mengeluarkan peralatan dari dalam mobil. Terselip dua tenda otomatis di sana. Tenda otomatis. Itu juga teknologi yang baru dilihat Allary. Biasanya mereka harus mencari pasak dan tiang dulu untuk mendirikan tenda. 
“Nah karena inilah aku membeli kayu bakar. Kita perlu menghangatkan diri dan memasak makanan. Keduanya memerlukan api. Karena kita akan camping di alam bebas. Kuharap kau tidak keberatan, Allary.”
Andai saja, bukan Allary, bukan seorang yang telah terlatih menjadi seorang ketua rombongan, mungkin sudah geleng-geleng kepala melihat kelakuan Brittany. Gadis ini seenaknya saja memutuskan. Untunglah Allary sudah terbiasa.
“Ya, lakukan saja. Sudah lama aku tidak tidur di dalam tenda.”
“Kuharap kau tidak kesulitan tidur nanti malam.”
Allary tertawa, ada-ada saja. 
“Hei, daripada kau bengong, lebih baik bantu aku menyalakan kayu bakar.”
Allary sekali lagi menurut tanpa banyak bertanya.
Enam menit, api unggun untuk penerangan mereka sudah tersedia. Mudah saja bagi Allary. Karena dia memang sudah terbiasa. 
“Hei, cepat sekali kau membuat apinya. Kau ikut kursus pramuka ya sewaktu sekolah menengah.”
Allary menggeleng sebagai jawaban, mulutnya sibuk meniup api agar membesar.
“Lalu? Kau seorang pedagang jajanan yang memerlukan tungku api sebagai penyalanya ya?”
Allary menggeleng lagi. Kali ini diiringi oleh senyuman yang lucu.
“Hei, jangan tertawa begitu. Tidak lucu.”
“Kau lupa satu hal nona Brittany yang tahu segalanya,” Allary masih tersenyum geli, “aku adalah seorang petualang. Satu bulan penuh kami pernah tidur di dalam hutan yang gelap. Menyalakan api unggun di saat seperti itu, adalah sebuah kebiasaan.”
Brittany menepuk dahi. Astaga, dia lupa soal fakta tersebut. “Baiklah. Maafkan aku, Allary. Aku lupa.”
“Tidak apa-apa. Bukan detail yang penting juga. Nah sekarang apakah kau ingin memasak sesuatu dengan api ini?”
“Oh iya. Aku ingin membuat sandwich roti bakar. Aku bawa pemanggang di dalam mobil. Kalau kau tidak keberatan, tolong panaskan pemanggangnya dulu.”
Allary mengangguk. Baiklah, saatnya membuat gadis ini semakin takjub. Allary tidak ingin dianggap sebelah mata. Dia tidak hanya mengambilkan panggangan. Dari dalam tasnya, dia mengambil rempah-rempah, daging dan lainnya yang biasa dia masukkan ke dalam martabak. Dia akan membuat sandwich isi martabak. Mari buat Brittany semakin terheran-heran.
Dan itu berhasil. Hanya dalam 15 menit, belum selesai Brittany beres-beres di tenda, bau lezat itu sudah menguar ke segala penjuru. Membuat Brittany lekas-lekas keluar dari tendanya.
“Hei sekarang kau malah memasak. Bukankah tadi aku hanya menyuruhmu memanaskan panggangannya.”
“Apa salahnya aku sekalian membuatkan makanannya.”
Wajah Brittany tertekuk sejenak. “Tapi aku ingin makan sesuatu yang istimewa malam ini.”
“Kamu cobalah dulu makanan bikinanku ini. Hanya karena aku yang membuatnya, bukan berarti itu tidak istimewa.”
Apa boleh buat, dengan hati setengah dongkol, Brittany mencomot roti panggang bikinan Allary itu. Baunya memang lezat tercium, tapi ini bukan bau yang diinginkan Brittany. Tadi dia ingin membuat roti bakar khas yang sering dibuatkan ibunya. Diisi dengan padanan coklat dan keju. Tapi pria ini malah membuat semua rotinya jadi asal-asalan.
Awas saja kalau tidak enak, dongkol Brittany dalam hati.
Namun tentu saja, jangan pernah meremehkan Allary. Selama bertahun-tahun tangannya akrab dengan dapur, dengan alat memasak. Bertahun-tahun dia berurusan dengan pembuatan makanan.
Dia tahu bagaimana cara membuat makanan menjadi enak.
Akhir dari malam itu, Brittany dengan tersipu-sipu bilang, “makananmu ini enak, Allary.”


47
Allary Tidur dengan Pertanyaan


Malam hari semakin larut. Sesi makan malam sudah tertinggal di belakang. Selesai makan malam, tidak ada lagi yang berniat untuk bercerita lagi. Brittany minta perapian tetap dinyalakan untuk menghangatkan tempat itu. Allary tidak banyak menanggapi, langsung melangkah ke tenda bagiannya yang disediakan oleh Brittany. 
Sayangnya, malam itu, Allary tidak bisa tidur dengan nyenyak. Persis sebelum dia merebahkan diri dengan nyaman ke tempat tidur, dia mendengar grasak-grusuk di tenda Brittany.
Seperti ada orang yang mendekat! Allary segera bersiaga. Sebenarnya dia ingin langsung mengecek ke sana, tapi dia khawatir kalau Brittany tiba-tiba memarahinya karena ikut campur. Lagipula gadis itu lebih dari cukup untuk menjaga dirinya. Allary hanya mengawasi dari kejauhan. Dia membuka celah jendela di tendanya, cukup untuk mencuri dengar.
“Iya nona. Kami sudah mencari ke semua negara yang ada di kawasan utara benua Afrika. Kami sudah menggeledah kantor imigrasi, catatan kepolisian sampai transaksi elektronik berhasil kami dapatkan. Tidak ada. Seluruh Afrika Utara bersih dari jejak mereka. Jejak mereka tidak kami temukan dimanapun.”
Brittany terlihat tertegun. Dia duduk di pintu tenda. 
“Apakah tidak ada kemungkinan mereka menyembunyikan semua jejaknya?”
“Kami sudah mencoba sekuat tenaga. Tapi sejauh ini seluruh kawasan ini sudah bersih. Kami akan terus mencari dan mencari. Apakah nona punya instruksi lain?”
“Kalian sudah mengecek sekolah berasrama itu?” 
“Sudah nona. Kami sudah menggeledah setiap inchinya. Kami menanyai orang-orang yang terkait dengan sekolah itu. Kami mengawasi sekolah itu setiap detik. Tidak ada yang mencurigakan di sana, sejak nona meninggalkan tempat itu.”
“Orang-orang yang kusisakan untuk kalian interogasi?”
“Mereka tidak mau buka mulut walau sudah kami potong tangannya, nona. Mereka sepertinya sudah disumpah.”
Brittany terlihat berpikir semakin keras. “Bagaimana dengan jaket yang kutemukan? Ada jejak di sana?”
“Tidak ada, nona. Bahkan peneliti yang bertugas, menyimpulkan kalau jaket itu sudah berada di tempat yang sama, selama bertahun-tahun. Terkena panas dan hujan.” 
Brittany mengusap rambutnya. “Bagaimana mungkin bisa begitu. Coba kalian periksa ulang lagi. Sekali lagi, lagi dan lagi. Aku yakin sekali kalau itu adalah jaket milik orang yang sedang kucari.”
“Baik nona. Kami akan catat permintaan anda. Ada lagi yang bisa kami lakukan untuk anda?”
“Periksa juga pabrik penjegalan di Mali. Awasi terus. Siapa tahu mereka akan kembali ke sana lagi.”
“Baik nona. Akan kami lakukan.”
“Satu lagi. Apakah kalian sudah menemukan siapa pembunuh keji agen kita?”
“Maafkan saya nona. Tapi untuk yang satu itu, kami belum temukan. Pembunuhnya amat kejam. Juga sangat ahli dalam menutup jejaknya.”
Brittany mengepalkan tangan, “temukan pembunuh itu. Apapun harganya. Turunkan semua ahli forensik kita. Semua detektif kita. Aku yakin, jika kita bisa menemukan pembunuh itu, aku yakin kita akan menemukan titik terang.”
Sekarang urusannya jadi menarik. Apa Brittany bilang, pembunuh? Hebat sekali. Allary harus waspada. Bisa saja pembunuh itu sedang mengawasi mereka. Boleh jadi itu adalah orang yang berbahaya untuk mereka. Allary harus bersiap-siap.
Percakapan Brittany berakhir setelah satu dua patah kata. Setelah itu dia menyuruh agennya untuk balik kanan. Sementara dia mengacak-acak rambutnya. Siapapun pembunuh itu, siapapun musuh mereka sekarang, nampaknya mereka jauh lebih berbahaya dari yang dulu.
“Agenku seharusnya tidak pernah gagal. Tidak pernah. Mereka pasti sekarang lebih licin.” Brittany bergumam lemah. 
Itulah yang membuat Allary tidak bisa tidur nyenyak. Terlalu banyak pertanyaan memadati kepalanya. Tentang Brittany, tentang pembunuh, tentang musuh mereka. Semua serba tak tertebak, semua serba misteri.


48
Brittany dan Agen Internasional


Pagi hari menjelang. Tentu saja Allary bangun sebelum matahari terbit. Dia terbiasa bangun saat semburat fajar belum nampak di ufuk timur, sebelum pukul lima pagi, tak peduli di bagian negara manapun dia berada. 
Di Mali pun sama. Bahkan pagi ini Allary menyempat diri untuk berlari-lari sejenak sambil menunggu hari terang. Brittany nampaknya masih tidur di tenda. Allary berolahraga sambil menghirup dalam-dalam udara gurun yang sangat khas.
“Ini adalah sesuatu yang menakjubkan.” Allary bergumam. Menikmati udara gurun di pagi hari, terasa sangat nikmat. Sangat menakjubkan. Tak terasa tiga puluh menit Allary berkeliling. 
Saat dia kembali, dari arah belakang tenda Brittany, sehingga tak terlihat dari depan, dia kembali mendengar percakapan Brittany. Hanya saja kali ini lewat telepon saja. Sekali lagi, sebuah percakapan misterius.
“...”
“Aku tidak punya waktu berbasa-basi Carlos. Aku butuh bantuanmu.”
“....”
“Aku punya kasus. Orang hilang di Afrika Utara. Temanku. Dia diincar oleh kelompok sindikat tertentu.”
“....”
“Aku tidak bisa mengatakannya. Toh tugasmu bukan itu. Kau kutugaskan untuk sesuatu yang lebih berat. Kau adalah agen internasional terbaik.”
Agen internasional? Telinga Allary berdiri. 
“....”
“Kau tahu, aku sudah bekerja dengan seluruh anak buah yang kupunya. Agen yang kupunya, untuk mencari temanku. Tapi dalam pencarian itu, salah satu agenku dibunuh. Dibunuh tanpa jejak. Aku yakin, pembunuh itu ada kaitannya dengan kelompok yang telah menculik temanku itu. Kau cari pembunuh itu. Sampai dapat. Bisa?”
“....”
“Sayangnya tidak ada. Makanya aku menyuruhmu melakukannya. Gunakan semua kemampuan yang kau punya. Gunakan semua sumberdaya yang kau punya. Aku akan pastikan membayarmu mahal.”
“....”
Allary bergegas balik kanan. Seolah tidak terjadi apa-apa. Urung membahas soal agen internasional itu. Brittany sepertinya masih menyimpan banyak sekali rahasia.


49
Kota Timbuktu


Tidak ada yang terlalu istimewa untuk diceritakan di sesi sarapan pagi mereka hari itu. Brittany ganti memasakkan sarapan setelah mendapatkan roti dari para agennya. Allary memuji masakan Brittany itu sebagai makanan yang lezat, makan dengan lahap. 
Setelah itu mereka berangkat. 
Dengan mobil barunya, rute padang pasir yang seharusnya cukup berat, bisa dilewati dengan baik oleh Brittany. Mobil melaju dengan mantap. Melewati karang-karang pasir, sesekali terlihat kumpulan rumah. Perkampungan. Jalan yang mereka lewati tidak beraspal. Nampaknya hanya terbuat dari pasir kuning yang telah mengeras. Untungnya iklim di sini sangat kering, sehingga mereka tidak perlu berurusan dengan pasir lunak saat diguyur air. Itu sangat merepotkan
“Sekarang kita kemana?”
“Timbuktu,” jawab Brittany.
Mata Allary mengerjap-ngerjap. Dia tahu kota itu. Timbuktu. Kota yang bersejarah. Seorang pesohor Islam lahir di sana. 
“Apa yang hendak kita cari di Timbuktu?”
“Beberapa petunjuk. Tadi pagi, salah satu agenku melaporkan sesuatu. Ada beberapa orang yang mencurigakan sedang bergerak di kota itu. Kita harus mengeceknya sendiri.”
“Lalu soal pembunuh yang kejam dan tak berperasaan itu?”
Brittany nampak terkejut, “kau menguping percakapanku tadi malam ya?”
“Ya dan tidak. Tepatnya tak sengaja.” Allary mengangkat bahu.
“Baiklah. Kau benar. Tadi malam aku dan agen-agenku membicarakan tentang seorang pembunuh. Sepertinya dia adalah bagian dari musuh kita. Orang-orang yang telah menculik Vivi.”
“Tidak heran, mengingat gudang jagal yang kemarin kamu tunjukkan, benar-benar mengerikan. Kamu yakin Vivi tidak apa-apa? Mungkin kita perlu mempercepat pencarian ini?”
Brittany menggeleng. “Sudah kubilang sejak kemarin bukan, tidak perlu. Kau tidak perlu cemas. Aku punya rencana.”
“Bukannya begitu,” Allary berdecak sebal, Brittany masih saja santai, “jika kita memang berurusan dengan seorang musuh kejam yang tak kenal ampun, seharusnya saat ini Vivi ada dalam bahaya.”
“Sudah kubilang, Allary. Sejak kemarin sudah kubilang. Ini adalah kali terakhir aku menjawab pertanyaanmu ya. Vivi tidak apa-apa. Aku yakin. Mereka tidak akan menghabisinya. Nyawa Vivi lebih dari sekedar berharga bagi mereka. Aku tahu persis kisahnya itu.”
“Mungkin aku perlu mendengar sepotong kisah dari masa lalu itu untuk menenangkan pikiranku,” akhirnya Allary mendesak. Dia tahu ada bagian yang hilang. Bagian yang disembunyikan Brittany. Jika Brittany tidak mau menjelaskan siapa dia dan Allary tak berhak memaksanya bercerita tentang dirinya, setidaknya Allary ingin mendengar kisah tentang Vivi. Potongan kisah masa lalu yang sejak kemarin disebut Brittany itu nampak amat penting.
Brittany menggeleng, “maaf, tidak bisa Allary. Itu adalah bagian yang sensitif. Itu masa lalu orang. Kau tidak bisa seenaknya masuk ke bagian itu.”
“Kalau begitu, selamanya aku tidak bisa tenang.”
Brittany tidak menggubris lagi. Tidak berniat melanjutkan percakapan sensitif. Fokus menyetir. Kota Timbuktu sudah terlihat dari kejauhan. 
“Hei Allary, kalau aku tidak salah, kota ini adalah kota asal seorang petualang muslim terkenal. Ah siapa namanya, aku lupa?”
“Ibnu Battutah,” Allary menjawab pendek.
“Ah iya, Ibnu Battutah. Katanya dia lahir di Timbuktu, kemudian di saat dia besar, dia mengembara sampai ke China sana. Astaga, jauh sekali. Bahkan kurasa perjalanan kita tidak ada seujung kuku dari perjalanan dia.”
Allary tersenyum tawar. Brittany lebih dari ahli membelokkan percakapan. Tapi itu memang benar. Ibnu Battutah telah menempuh sejauh lebih dari 120.000 kilometer, dalam petualangan 28 tahun. Beliau seorang petualang legendaris. Meski namanya kalah harum dibandingkan Marco Polo, nyatanya petualangan Ibnu Battutah lebih jauh ketimbang kompatriotnya asal Italia itu.
“Allary, bisa kau ceritakan sedikit tentang Ibnu Battutah?” Pinta Brittany.


50
Sebuah Petunjuk Baru


Allary bercerita dengan penuh semangat tentang Ibnu Battutah. Petualangan beliau sangat menginspirasi. Nyaris setengah keliling dunia beliau jelajahi selama 28 tahun itu. Termasuk mengunjungi Indonesia di akhir perjalanannya. 
Brittany mendengarkan dengan antusias. Sesekali mengangguk-angguk. Baguslah, Allary tidak lagi mengungkit soal masa lalu Vivi. Belum saatnya dia membahas soal itu. Atau tepatnya, bukan haknya untuk menceritakan itu semua.
Mereka terus membelah jalanan kota Timbuktu. Aktivitas pagi hari menggeliat di kota yang sederhana di tengah gurun pasir tersebut. Allary turut memperhatikan aktivitas warga kota. Brittany menjalankan mobil dengan kecepatan lambat, sembari mengamati sekitar juga. Petunjuk agennya tadi malam, orang-orang mencurigakan itu berkeliaran di barat kota. Jadi ke sanalah mobilnya diarahkan Brittany.
“Kita mencari apa? Aku bisa membantumu.” Allary menawarkan diri. 
“Aku juga tidak tahu persis apa yang kucari, Allary. Tapi cobalah untuk memperhatikan bangunan-bangunan. Jika mereka benar di sini tadi malam, maka mereka pasti memiliki tempat untuk bersinggah. Kita bisa mencarinya. Di kawasan ini, kawasan barat kota.”
“Mungkin kita bisa mulai dari rumah itu,” Allary menunjuk salah satu rumah di ujung jalan, terlihat terpisah dari rumah yang lainnya.
“Ah brilian, Allary. Mari kita periksa.”
Rumah-rumah orang di kota ini rapat. Terbuat dari semen kasar dan pasir yang kokoh. Tapi rumah yang satu ini agak menarik perhatian. Letaknya berjauhan dari rumah-rumah lainnya. Tambahkan, dari dekat, suasana rumah itu sangat sepi. Seperti sudah lama tidak didiami orang. Jika penjahat memang ingin singgah, di tempat seperti inilah mereka bisa melakukannya.
Allary dan Brittany turun dari mobil. Mereka memakai keahlian masing-masing. Allary dengan pengamatannya, Brittany dengan kemampuan detektif dan alat-alat canggihnya. Mereka berkeliling rumah itu dari sisi yang berbeda. Brittany ke kiri, Allary ke kanan. Rumah yang cukup besar.
Mereka bertemu kembali di bagian belakang. 
“Ada jejak ban mobil di sisi kiri itu, Allary. Jejak mobil yang masih baru. Sepertinya hanya satu atau dua jam sebelum kita tiba.”
“Dan aku mendapatkan informasi bahwa rumah ini sudah lama tidak dihuni. Begitu kata seorang warga lokal yang tadi sempat kutanya,” Allary melaporkan.
Brittany memegangi dagunya. Berpikir. “Rumah yang sudah lama tidak dihuni, jejak mobil yang tidak lama sebelum kita, juga laporan dari agenku. Semuanya cocok. Mari kita cek bagian dalamnya. Siapa tahu masih ada petunjuk yang tertinggal untuk kita.”
Mereka kembali ke depan. Brittany coba membuka kenop pintu. Mendorongnya dengan bahu. Sayangnya pintu tidak bergerak. “Terkunci. Sepertinya kita tidak bisa masuk dari pintu depan.”
“Mari kita coba dari belakang.”
“Ya, ayo.”
Namun sekali lagi, pintu belakang juga macet. Brittany mengusap wajah. Bingung.
“Aku bisa mendobraknya jika kau mau,” tawar Allary. Tapi Brittany menggeleng. “Tidak perlu. Sepertinya hipotesis kita terlalu amatir. Rumah ini memang terkunci. Tidak ada bekas kalau rumah ini pernah dibuka dengan paksa. Sia-sia saja kita mencoba.”
“Lalu bagaimana sekarang?”
“Sebaiknya kita meneruskan perjalanan. Aku akan menelepon agenku di mobil.”
Saat itulah mata Allary menangkap salah satu sudut halaman belakang rumah tersebut. Ada tempat sampah di situ. Tentu saja tempat sampahnya itu sudah usang, lama tidak digunakan. Tapi apa salahnya mencoba. “Tunggu sebentar, Brittany. Aku akan mengecek tempat sampah itu.”
“Hei untuk apa?”
“Aku pernah lihat di film, penjahat biasanya meninggalkan bukti di tempat sampah.”
Brittany menyeringai. Allary terkadang lugu juga ya. Dia percaya pula dengan film.
Namun dalam kasus ini, ternyata Allary yang benar. Ada sesuatu di dalam tempat sampah usang itu. Sebuah sepatu. Jika dibandingkan dengan sampah-sampah lain di dalamnya, sepatu itu jelas baru saja dibuang. 
Allary melambaikan tangan pada Brittany. Mengajaknya mendekat.


51
Sepatu Vivi


“Itu sepatu bukan?” Brittany menyernit kening. Wajahnya bingung. Allary tersenyum simpul, sepertinya Brittany belum memahami arah petunjuk ini. 
“Ya, itu sepatu.”
“Dan sepertinya baru saja dibuang. Dibandingkan sampah lainnya yang kusam, membusuk, sepatu ini jelas barang baru.”
“Ya, kamu benar lagi.”
“Lalu apa Allary?” akhirnya Brittany menyergah, tidak sabaran. 
Allary tersenyum, itu berarti dia memegang percakapan kali ini. Setelah sekian panjang cerita, baru kali ini dia merasa kembali jadi pemimpin rombongan.
“Ini sepatu Vivi. Sepatu yang sering dipakainya. Aku mengenalinya. Dalam dua penjelajahan bersama timku, Vivi selalu membawa sepatu ini di kakinya. Dia selalu memakainya. Aku tidak mungkin salah ingat.”
Brittany tidak nampak terkejut. Ekspresi wajahnya lebih terlihat sangsi ketimbang terkejut. “Aku tidak yakin, Allary. Ini terlalu kebetulan.”
“Tapi hei, kita tidak bisa mengabaikan petunjuk ini bukan? Kamu juga tidak bisa mengabaikan ingatanku.”
Brittany menghela nafas. Merogoh ke tasnya, mengambil sarung tangan kemudian mengambil sepatu itu dengan hati-hati. “Entahlah Allary. Tapi ini terlalu kebetulan. Kita tiba di sini, kemudian menemukan sepatu. Seolah-olah sepatu ini sengaja diletakkan. Seolah-olah ini adalah petunjuk palsu.”
“Saranku,” kata Allary, “lebih baik kamu panggil agenmu. Bawa sepatu ini ke lab forensik. Periksa, seperti halnya kamu menyuruh jaket Vivi diperiksa.”
“Ini umpan Allary. Aku merasakannya, aku bisa merasakannya.”
“Apa salahnya kamu memeriksanya bukan? Ayolah Brittany. Aku yakin sekali ini adalah sepatu milik Vivi. Kamu harus percaya denganku.”
Akhirnya Brittany mengalah. Meraih teleponnya. Meminta agennya segera datang ke tempat mereka berada sekarang. Lima belas menit, itulah tempo yang diberikan Brittany. Sementara menunggu, Allary sekali lagi memeriksa sekeliling rumah. Siapa tahu ada celah yang bisa dimasuki. Sayangnya tidak ada. Kedua pintunya terkunci, sedangkan jendelanya terlalu tinggi untuk dijangkau.
Agen Brittany datang. Mengambil “barang bukti”. Brittany memintanya memeriksa, membawa sepatu itu ke lab forensik. 
“Periksa semua jejak, semua petunjuk, sidik jari. Identifikasi.”
Agen itu mengangguk mantap.
“Eh tunggu kawan,” Allary memanggil ketika sang agen hendak pergi, dia kembali berbalik, Allary sepertinya hendak menitipkan sebuah pesan.
“Katakan pada ahli di lab forensik, lakukan yang terbaik, karena aku yakin sekali itu adalah sepatu milik temanku.”
“SIAP!”
“Terima kasih.”
Urusan mereka di Timbuktu selesai sampai di sini.


52
Peringatan Aguero


Satu hari penuh Felix berkendara menyusuri Maroko. Dia belum tahu harus kemana, dia juga bingung harus mencari informasi darimana. Jadi dia terus menyetir saja. 
Jika melihat dari peta, Felix saat ini sedang menuju ke selatan. Ke negara Sahara Barat. Dari sana, Felix bisa menyisir pantai barat Afrika, melihat-lihat negara semacam Mauritania, Senegal dan lain-lain. Tapi semoga saja tidak sampai perlu melintas di negara-negara tersebut, Aguero sudah memberikan update. 
Ya, update, hal yang paling ditunggu oleh Felix. Sepanjang hari,  Aguero tidak mengabarinya apa-apa. Mungkin dia masih sibuk mengerjakan pencarian informasi. Aguero pasti sedang bekerja. Felix sangat percaya pada temannya itu.
Malam hari menjelang. Felix tiba di bagian paling selatan Maroko. Dari kejauhan sudah nampak pintu perbatasan menuju Sahara Barat. Tapi dia memutuskan berhenti dulu. Lebih baik malam ini dia tetap menginap di Maroko saja. Negeri ini cukup makmur. Pasti masih ada penginapan layak yang bisa menerima tamu. Felix melihat-lihat sekitar.
Sekitar 500 meter dari gerbang perbatasan, akhirnya Felix menemukan penginapan. Kabar baik, penginapan ini punya fasilitas pemandian yang bagus. Felix bisa merilekskan diri di sana. Malam ini sebaiknya dia relaksasi terlebih dahulu. 
Setelah relaksasi, setelah Felix kembali ke kamar yang dia sewa, tepat saat itu ponselnya berdering. Telepon dari Aguero. Felix segera menyambar telepon. 
Akhirnya ada update.
“Bagaimana Aguero?”
Suara di seberang telepon langsung tergelak. “Astaga, alangkah tak sabarannya kau Felix. Tidak adakah basa-basi dulu untuk kawanmu yang kau repotkan sepanjang hari ini? Ucapan selamat malam mungkin?”
Felix mendengus. Tabiat Aguero kambuh lagi. Baiklah, tidak ada salahnya, “selamat malam, Aguero.”
“Nah begitu lebih baik. Selamat malam Felix. Kau pasti sudah menunggu sepanjang hari bukan?”
“Kau tahu persis.”
“Baiklah. Aku dan anak buahku sudah bekerja keras. Kami mengolah seluruh informasi yang kau berikan, dan kami menemukan beberapa hal menarik untuk kau ketahui. Walau di beberapa bagian, masih gelap.”
“Cepat jelaskan.”
Aguero tertawa lagi, “tunggu dulu Felix. Sabar. Ada baiknya kau duduk dulu. Kau sedang menelepon sambil berdiri bukan? Duduklah, tenangkan dirimu. Karena boleh jadi laporanku kali ini agak dan mengejutkan.”
Felix menurut, “baiklah. Aku sudah duduk.”
“Nah bagus,” suara Aguero terdengar begitu riang, “setidaknya aku punya tiga informasi malam ini, Felix. Ketiganya belum tentu terkait satu sama lain, jadi aku akan menjelaskannya secara terpisah. Aku tidak akan merincikannya di telepon. Semua data sudah kukirim di e-mail. Jadi aku hanya menjelaskan garis besarnya saja.”
“Lanjutkan, Aguero.”
“Yang pertama, tentang Mr. Atkinson. Kami memeriksa database tentang Brittany. Mencocokkan satu persatu. Dan kami menemukannya. Atkinson ini adalah salah seorang anggota organisasinya. Bahkan dia bukan pesuruh biasa. Dia pejabat penting di organisasi. Spesialisasinya memang penyelundupan. Dia jago sekali menangkap penyelundup.”
“Dia sengaja menungguku di Maroko?”
“Kemungkinan tidak. Dia hanya disiagakan di sana, untuk berjaga-jaga. Kurasa kalian hanya kebetulan bertemu.”
“Jadi Brittany dalam database kau ini, apakah sama dengan Brittany yang bersama Allary?”
Aguero berdecak, “aku tidak tahu Felix. Aku tidak bisa memastikan tanpa melihat langsung. Lagipula kau tidak menyuruhku mencocokkan mereka berdua bukan?”
“Baiklah. Setelah ini kau coba cari kecocokan tersebut.”
“Ya ya ya, tugas baru, bayaran baru lagi berarti.”
Felix tersenyum masam, “lanjutkan Aguero. Kau belum selesai dengan laporanmu.”
“Oh iya, kau benar. Baiklah. Yang kedua. Tentang Mafia Sahara. Aku memutukan meninjau ulang, tidak mengabaikan sinyal telepon itu walau lokasinya sangat mengecoh. Aku mencoba menelusuri jejak-jejak kejahatan di Afrika, dan aku menemukan mereka.”
Felix terkesiap. Bulu kuduknya merinding, “maksudmu?”
“Ya, mereka memang ada. Mereka nyata, bukan sekedar lelucon dan yang terpenting, mereka sangat berbahaya. Mereka menguasai dunia hitam di seluruh Afrika. Mereka yang terkuat di benua itu. Kekuasaan mereka berkali-kali lipat milik Dacosta.”
Felix menelan ludah. 
“Kenapa mereka mengincarku? Rasanya aku tidak pernah berhubungan dengan mereka. Bagaimana bisa.”
“Kau jangan tanya aku. Itu masalahmu. Aku hanya memperingatkan.”
Felix meremas rambutnya. Ini jadi sulit. 
“Baiklah. Apa update yang terakhir.”
“Kabar terakhir ini boleh jadi yang paling serius,” Aguero berkata, lirih.
“Apa?”
“Ada orang yang mengejarmu.”
Makin terkejut Felix. “Ada orang yang mengejarku? Jangan bercanda kau.”
“Aku serius, aku memantau seluruh jejak perjalananmu lewat dokumen yang kau bawa itu. Jadi aku bisa tahu ada yang mengikuti jejakmu. Orang itu misterius sekali. Aku belum bisa memastikan identitasnya, tapi kau harus hati-hati. Cepat atau lambat, dia akan menemukanmu. Cepat atau lambat, kalian akan bertarung.”
“Dia hanya seorang diri?”
“Sejauh yang kulihat, dia hanya seorang diri.”
“Bagus. Aku akan menanganinya. Itu tidak perlu dicemaskan.”
“Hati-hati Felix. Pertarunganmu di sana, boleh jadi jauh lebih berbahaya dari pertarungan kita selama ini.”
Felix tertawa. Sejak kapan Aguero mulai mencemaskan dirinya?


53
Felix Versus Carlos


Sebelum merebahkan diri di tempat tidur, Felix sempat merenungkan peringatan Aguero. Ada orang yang mengejarnya. Siapa? Apakah itu adalah orang dari Mafia Sahara, atau dari anak buah Brittany itu. Ataukah dari dua-duanya? Felix belum bisa memastikan. Dia hanya yakin akan satu hal.
Siapapun itu, orang itu akan belajar untuk tidak berurusan dengan Felix Norton.
Malam itu, sampai sesi sarapan, semua masih berjalan baik-baik saja. Felix makan dengan nyaman. Setelah sarapan, dia segera menyelesaikan urusan administrasi, kemudian melanjutkan perjalanan. 
Di dekat perbatasan Sahara Barat-lah, serangan itu akhirnya datang. 
BUMMMM!
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan. Felix bergegas menekan rem. Ada tembakan artileri berat yang baru saja ditembakkan, tepat di depan mobilnya. Felix memundurkan kendaraan, saat dia menyadari hal berikutnya.
Felix bergegas membuka pintu mobil, berguling ke arah batu karang.
BUMMMM! Kembali terdengar bunyi ledakan. Kali ini dekat sekali dengan mobilnya Felix. Hanya soal waktu sampai mobilnya ikut terkena ledakan. Felix mencoba mengamati dari mana tembakan itu dikeluarkan. 
BUMMMMM!!
Akhirnya mobil yang dikendarai Felix benar-benar meledak. Membuat Felix harus berlindung ke balik batu karang pasir. “Siapa yang menembak itu, keluarlah, PENGECUT!”
Teriakan provokasi Felix itu terdengar ke segala penjuru. Kemudian dari seberang sana, keluarlah seorang pria, mengenakan jas coklat, berdasi, tapi semua penampilan rapinya itu, luntur oleh senjata yang ada di tangannya. Bazooka.
Orang itu tersenyum. “Keluarlah kau hei, aku malas sekali menghancurkan batu karang itu, satu persatu.”
Felix keluar, mereka berhadapan. 
BUMMMM!
Felix gesit meloncat. Bagai seekor jaguar, segera meloncat ke samping, sekali meloncat Felix bisa mencapai jarak 3 meter. 
“Letakkan senjata berbahayamu itu sialan! Kau tidak berani menghadapiku dengan tangan kosong heh?”
Orang itu tetap tersenyum. Kembali membidik dengan bazooka miliknya. Hanya beberapa tembakan lagi, pelurunya akan habis. Dia harus membereskan musuhnya segera.
BUMMMM!!
Felix meloncat lagi. Namun kali ini sebelum Felix sempat mendarat di posisi baru, orang itu sudah menembak lagi. 
BUMMMMM!
Kali ini Felix hanya bisa memasang pose menangkis dengan tangan menyilang di wajah. Untungnya dia bisa lolos dari ledakan maut. Meski sedikit lengannya perih, terkena luka bakar. 
“Tinggal satu peluru lagi, sial.”
“Lawan aku dengan tangan kosong dan letakkan senjata itu, sialan!” Felix berseru lagi, marah. Bila musuh tetap memegang senjata berat itu, peluang menangnya akan kecil sekali.
“Kau pikir aku cukup bodoh untuk melawanmu dengan tangan kosong? Tidak. Aku tahu siapa kau. Felix Norton. Petarung terkuat dari Spanyol.”
“Dan siapa kau?” mata Felix waspada, kakinya siap meloncat. Satu tembakan lagi, dia harus meloncat mundur ke belakang bila perlu.
“Namaku Carlos.” 
“Nama yang buruk, tapi baiklah, akan kuingat sebagai lawan yang pernah kukalahkan.”
“APA KATAMU!”
“Nama yang buruk,” Felix mengulangi lagi, provokasi nama selalu ampuh.
“Kurang ajar kau.”
Felix tersenyum. Dia berhasil memprovokasi musuhnya. Carlos terpancing oleh amarahnya. Membuang senjata berat, kemudian maju, merangsek ke depan, dengan pisau terhunus.
Pertarungan mereka sebenarnya, baru dimulai.


54
Pertarungan Felix


Kelabat pisau berdesing di atas kepala Felix. Untunglah dia sempat menunduk, kalau tidak pisau itu sudah bersarang di dahinya. Serangan orang bernama Carlos itu sangat cepat, orang ini jelas bukan petarung kacangan, Felix membatin.
BUKKKKK!
Felix menendang tangan Carlos, membuat pisaunya terlempar ke arah kiri. Sebelum orang itu sempat bereaksi, Felix segera menendang dengan kaki kirinya. Membuat orang itu terjungkal jauh dari pisau miliknya. Felix memasang kuda-kuda dengan tangguh.
“Kau memang seorang petarung yang hebat, gerakanmu sangat cepat.”
“Kau curang. Membuang senjata berat dan menyerangku dengan pisau. Pertarungan semacam itu, tidak asyik, kau tahu?”
Carlos bangun, menyeka peluh di dahinya. Merogoh sesuatu di dalam jasnya. Felix mengawasi musuhnya. Sepertinya orang itu masih menyimpan senjata lain. Felix bersiaga.
Carlos mengeluarkan senjata baru. Itu senjata yang sama dengan yang dimiliki oleh Brittany. Alat setrum seukuran telapak tangan. Alat itu mampu memancarkan percikan listrik. Dengan alat itulah Carlos kembali menyerang Felix.
Felix mencoba menendang ke arah Carlos, tapi kali ini Carlos mampu menghindar, meloncat ke samping, membuat tendangan Felix hanya mengenai angin. Di saat yang sama, secepat kilat, Carlos menghujamkan alat setrum itu ke dada Felix. Seketika membuat Felix mengerang kesakitan. Begitu Felix berhasil dilengahkan, dia dengan mudah ditendang ke belakang.
“Astaga, apakah hanya itu kemampuan yang kau punya? Kau tidak setangguh yang kukira rupanya.”
“DIAM KAU!” Felix menyergah. Dia masih kesakitan. Tapi perlahan mencobaa bangun. Belum juga dia genap berdiri, Carlos menerjang ke depan, menendang Felix lagi. Membuatnya terjungkal lagi. 
Kemudian tanpa ampun, Carlos menghujamkan alat setrum itu pada Felix yang telah dikunci gerakannya. Alat setrum itu membuat Felix berkali-kali menjerit kesakitan. Matanya memerah. Dia benar-benar marah dengan perlakuan musuhnya. 
BUKKK!
Felix mencoba mendaratkan tinju. Tapi di bawah alat setrum itu, pukulan Felix tidak ada artinya. Felix nyaris pingsan. Astaga, orang ini sangat kuat. Siapa sebenarnya dia.


55
Meloloskan Diri


Andai saja, andai saja yang bertarung itu adalah orang biasa, bukan Felix, maka orang itu pasti sudah mati tak berdaya. Untungnya Felix memiliki senjata rahasia terakhir untuk meloloskan diri. 
Dulu, Guru Sergio mengajarinya teknik “ledakan” energi untuk meloloskan diri. Teknik ini adalah teknik terlarang, jadi hanya boleh digunakan dalam situasi yang terdesak. Dulu Guru Sergio sangat hati-hati dalam mengajarinya, dan sangat menekankan agar dia tidak menggunakan teknik ini, kecuali dalam saat yang benar-benar genting.
Maaf Guru, tapi sepertinya inilah saatnya. Felix menutup matanya. Mengumpulkan energi. 
BUMMMM!
Terdengar bunyi gedegum yang keras disertai dengan ledakan angin yang luar biasa kuat. Carlos tak menduga serangan energi sekuat itu, terpelanting. Felix segera bangkit berdiri. Dia merasa sangat bertenaga.
Ya, mekanisme kerja ledakan energi yang diajarkan Guru Sergio, bukan berarti memancarkan energi yang tersisa dalam tubuh, sehingga setelah semua energi itu dikeluarkan, tubuh akan melemas. Tidak, konsepnya tidak seperti itu. Energi yang baru saja dipancarkan Felix adalah energi kehidupan miliknya sendiri. Dia memaksa energi kehidupan itu untuk bekerja secara maksimal. Sehingga setelah dia mengeluarkan teknik itu, selain efek ledakan energi yang luar biasa kuat, Felix juga akan merasa sangat bertenaga. Berkali-kali lipat lebih kuat.
“Mari kita selesaikan pertarungan ini, jelek.” Felix memasang kuda-kuda. Tidak menunggu Carlos bangkit dan sadar sepenuhnya, Felix langsung menerjang. Kakinya menendang ke arah Carlos. Musuhnya itu menyilangkan tangan untuk menangkis sambil berjongkok.
BUKKKKKK!
Sayangnya, tendangan Felix berkali-kali lipat lebih kuat kali ini. Carlos tidak bisa menangkisnya. Dia kembali terbanting ke belakang. Alat setrum yang tadi dipegangnya pun terlepas. Felix menendang alat itu jauh-jauh, kemudian menindih lawannya, dengan kaki. Menginjak.
“Teknik apa itu tadi? Setelah kau menggunakannya, kau menjadi kuat sekali. Petarung terkuat di Spanyol memang mengerikan ya.”
“Waktumu sudah habis, Carlos.” Felix menguatkan injakannya. “Sekarang kutanya kau, pastikan kau menjawab dengan baik. Siapa yang menyuruhmu heh?”
Carlos menyeringai. “Kau pikir, dengan posisi saat ini, kau di atas, keterlaluan menginjakku, kau bisa membuatku bicara. Aku tidak takut denganmu.”
“Jawaban yang salah.” Felix benar-benar menginjak dada Carlos dengan keras. Membuat korbannya itu mengerang kesakitan. “Kau seharusnya takut, jelek. Jika kau tidak menjawab, aku akan membuatmu menghadapi akhir hidup terburuk yang tak terbayangkan.”
“Aku tidak takut.”
“Kau seharusnya takut.” 
Carlos mengerang kesakitan. Tapi ekspresi menyeringainya itu tidak hilang. Dia benar-benar tidak takut sedikitpun. Felix mengomel sebal dalam hati. Kalau begini, tawanannya tidak akan mengaku. Tawanannya itu pasti sudah disumpah untuk setia. 
“Baiklah kalau kau memang tidak mau bicara, berarti aku tidak membutuhkan kau lagi. Selamat tinggal.” 
Carlos menjerit pilu. Dadanya diinjak sekuatnya oleh Felix. Injakan super yang langsung meretakkan tulang. Carlos menemui ajalnya di tempat itu. Felix bukan penjahat kacangan. Dia tidak pernah segan membunuh jika diperlukan.
Setelah lawannya dipastikan mati, Felix segera menggeledah jas miliknya. Menggeledah bajunya. Nihil bukti. Tapi ketika menggeledah celana, Felix menemukan ponsel milik orang itu. Nah mungkin saja ada bukti digital yang bisa dilacak dari ponsel ini. Felix segera mengantonginya.
ARGGHH!
Tiba-tiba Felix terjatuh, memegangi dadanya. Denyut jantungnya bercepatan. Sakit sekali. Sakit sekali. Astaga, inikah efek dari teknik terlarang milik gurunya? Felix memutuskan, dengan sisa tenaganya untuk menyingkir dari tempat itu. Bersembunyi sejenak. Dia harus menenangkan dirinya. Untuk sementara dia tidak akan bisa bertarung. Bersembunyi adalah pilihan yang baik.


56
Di Tempat Persembunyian


Ada sebuah ceruk batu di dekat lokasi pertarungan mereka, dengan bersusah payah, Felix berhasil mendatangi tempat itu dan masuk ke dalamnya. Untuk saat ini, sepertinya bersembunyi di dalam ceruk batu ini, adalah pilihan terbaik. Setelah duduk, Felix langsung kehilangan kesadarannya. Waktu berlalu begitu cepat setelah itu.
Saat Felix pingsan, di luar, ada beberapa orang yang datang ke lokasi pertarungan mereka, mengurus mayat Carlos. Membereskan semuanya. Tapi tak seorangpun, yang mengecek ke ceruk batu, meski ada bukti-bukti bahwa musuh mereka lari ke situ. Mungkin orang-orang yang datang belakangan itu, mafhum, bahwa mereka tidak akan bisa melawan siapapun orang yang sedang bersembunyi di dalam ceruk itu. Bahkan Carlos, salah satu orang terkuat di organisasi, bisa diratakan orang itu.
Benar-benar musuh yang mengerikan. 
Sementara itu, ketika Felix mengembalikan kesadarannya, dia melihat kalau hari sudah malam. Pelan-pelan Felix mencoba untuk berdiri, tenaganya sudah mulai pulih. Dia hanya merasa lebih lemas. Hanya kurang makan. Bukan masalah besar. Dia pernah bertarung saat tidak makan tiga hari. Masalahnya sekarang adalah, dia tidak punya tunggangan. Tidak ada transportasi. 
Felix bergegas mencari teleponnya. Mencoba menghubungi Aguero. Tapi sesaat setelah memeriksa teleponnya, Felix berdecak. Teleponnya kehabisan baterai. Sial, lalu bagaimana dia bisa menghubungi bantuan. 
Felix kemudian teringat tadi dia mengambil ponsel milik Carlos. Dia merogoh saku satunya, mengambil ponsel itu. Ah syukur, masih ada baterainya. Felix memencet nomor, untung dia hafal nomor Aguero di luar kepala. Semoga Aguero mau menerima telepon ini, walau dari nomor tak dikenal.
“Ya halo?” itulah sahutan Aguero.
“Aguero, ini aku, Felix. Aku meneleponmu dari telepon lain. Teleponku habis baterai. Kau bisa menolongku? Aku butuh transportasi.”
“Sebentar, sebentar,” Aguero menyela, tajam, “aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja Bung. Apalagi urusanku dengan Felix, itu urusan yang penting. Aku tidak bisa percaya. Maaf.”
“Hei astaga, ayolah Aguero. Kau harus menolongku. Bagaimana agar kau bisa percaya? Perlukah kuceritakan semua cerita rahasiamu? Rahasia-rahasia terdalam yang memalukan. Aku bisa mulai dengan cerita...”
“STOP!” Aguero berseru. “Aku punya cara yang lebih bermartabat. Tunggulah sebentar.”
Kemudian saluran telepon terputus. Aguero yang memutus sepihak. Felix berdecak. Apa boleh buat. Aguero memang boleh curiga. Sebaiknya biarkan saja dia memastikan dengan caranya sendiri.
Sembari menunggu, Felix mencoba mengecek ponsel milik Carlos itu. Mulai dari riwayat teleponnya. Sayangnya tidak ada jejak tersisa. Bersih. Hanya ada satu riwayat telepon yang tercatat, yaitu telepon yang dia lakukan dengan Aguero beberapa detik lalu.
Dari riwayat telepon, Felix beralih ke riwayat pesan singkat, kemudian aplikasi perpesanan. Nihil. Tidak ada bukti yang tersisa. Media sosial, juga tidak ada petunjuk. Hanya foto-foto keren Carlos dengan latar berbagai negara. Orang itu nampaknya suka bertualang.
Karena tidak berhasil menemukan petunjuk di sana, Felix beralih ke aplikasi email dan drive cloud. Apakah dua aplikasi itu juga tidak meninggalkan jejak? 
Felix harus kecele. Email, yang seharusnya jadi aplikasi penting, juga bersih dari jejak dan petunjuk. Sama sekali tidak ada. Carlos nampaknya adalah agen berpengalaman. Dia sudah bersiap seandainya handphone-nya jatuh ke tangan musuh.
Harapan terakhir ada di drive cloud. Aplikasi penyimpanan eksternal. Seharusnya di penyimpanan ada sesuatu yang mencurigakan. Felix menghela nafas. Banyak sekali folder di dalamnya. Dia harus membuka satu persatu. Menelusurinya. Membuka satu persatu file.
Hingga jarinya berhenti di satu file. File yang betul-betul mencurigakan. File itu berbentuk tabel. Seperti sebuah laporan penilaian. Ada banyak nama di dalamnya. Felix tidak terlalu ambil pusing. Tapi di bagian tanda tangan, sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.
Nama orang itu, yang menandatangani dokumen. Brittany. Felix menghela nafas. Aguero harus melihat dokumen ini. Harus. Felix tidak sabar menunggu telepon balik dari temannya itu.


57
Siang yang Menyengat


Kembali ke mobil Allary dan Brittany yang kini sudah meninggalkan kota Timbuktu. Allary melihat kompas yang terganting di dashboard mobil. Mereka sekarang menuju ke arah timur. Itu berarti mereka akan lebih lama lagi berada di antara gurun pasir ini. 
Padahal jika perjalanan ini menurut kehendak Allary, maka Allary akan memerintahkan untuk terus ke selatan. Di selatan Mali, mereka hanya perlu menerobos negara Burkina Faso, untuk kemudian sampai di Ghana. Itu sudah termasuk daerah Khatulistiwa, sudah lumayan sejuk udaranya. Tapi ya, mungkin Brittany punya rencana lain.
Dan Allary sama sekali tidak bisa menebak rencana apalagi yang ada di kepala gadis itu. 
“Kita mau menuju ke Niger ya?” Allary akhirnya bertanya setelah mengamati maps. 
Brittany menjawab dengan anggukan. “Benar, kita menuju Niger.”
“Apa yang kita cari di sana?”
“Petunjuk lainnya yang tersisa.”
“Petunjuk seperti apa itu tepatnya? Hei, sampai hari ini aku masih bingung bagaimana kamu bisa mendapatkan informasi.”
“Makanya, aku selalu memintamu untuk tidak perlu repot-repot memikirkannya. Sudah, ikuti saja aku beraksi.”
Allary menggeleng, tidak bisa seperti. Dia penasaran. Lagipula perjalanan ini menjadi janggal jika dia tidak tahu darimana saja Brittany mendapatkan informasi. Masa iya gadis ini selalu sekonyong-konyong mendapatkan informasi. Sungguh tidak menyenangkan.
“Aku harus tahu, aku harus tahu.” 
“Astaga, susah sekali meredakan rasa penasaranmu ya, Allary. Baiklah. Sebenarnya mudah saja. Kau ingat bukan jejak ban yang kita lihat di Timbuktu. Aku sudah meminta agenku untuk melacaknya. Mereka memvisualisasikan mobil tersebut, membaca arah gerakannya, kemudian dibantu dengan sedikit teknologi CCTV di sudut-sudut jalan, kita mulai melacak...”
Pembicaraan terpotong, telepon Brittany berbunyi. Sebuah telepon misterius. Lagi.
“....”
Brittany seketika pucat mendengar kabar di telepon itu. Dia perlu mengatur nafas sejenak. “Pembunuh itu beraksi lagi?”
“....”
“Astaga, jangan kau ceritakan lebih banyak. Jijik aku membayangkan kondisi Carlos yang berdarah-darah. Lalu dimana sekarang penjahat itu?”
“.....”
“Kacau sekali. Bagaimana bisa Carlos dikalahkan. Dia adalah agen terbaik, petarung handal. Kabar apalagi yang bisa kau laporkan?”
“.....”
“Termasuk telepon genggamnya?”
“....”
Brittany mengusap wajahnya yang berkeringat dingin seketika. “Baiklah. Terima kasih sudah mengabari. Aku akan pikirkan bagaimana menemukan pembunuh itu. Secepatnya.”
“....”
“Bagus, terus kabari aku soal update.”
“....”
Kabar itu benar-benar buruk. Bahkan Allary yang duduk di sebelah Brittany bisa merasakannya. Kecemasan, kebingungan dan ketakutan. Ya, Allary bisa merasakan ketakutan memancar dari gadis yang duduk di sampingnya. Hendak bertanya, tapi segan. Kalau-kalau Brittany malah menyuruhnya untuk tidak menduga macam-macam. Tapi Allary bisa menangkap garis besarnya. Ada pembunuh yang sangat jago, yang sedang menguntit mereka. Seorang pembunuh yang tidak bisa dikalahkan oleh agen terbaik miliknya. 
Sekuat apa penjahat itu? Allary jadi tertantang untuk melawannya.
Brittany menggenggam setir mobilnya kuat-kuat. “Kita dalam bahaya besar, Allary. Bersiap-siaplah.”


58
Brittany yang Dehidrasi


Jalan menuju negara Niger benar-benar panas. Di sisi kiri dan kanan hanya pasir sejauh mata memandang. Beberapa kali terlihat padang sabana, namun sama saja, sama-sama kering. 
Allary membuka tasnya, dia butuh minum. Cuaca ini panas ini membuat tenggorokannya terasa sangat kering. Air dingin bisa menyejukkannya. Allary tidak minum terlalu banyak. Secukupnya saja. Setelah itu dia menoleh pada Brittany yang duduk mengemudi. Wajah gadis itu pucat. 
“Mau minum, Brittany?”
Namun Brittany menolak tawaran Allary dengan gelengan. “Kita harus fokus, Pembunuh itu sudah dekat dengan kita.”
“Hei ayolah, kamu terlihat pucat. Jangan sampai kamu kekurangan air. Ayolah, cuacanya panas sekali.”
Brittany tetap menggeleng. “Untuk sekarang, aku tidak butuh, Allary. Kuatkan sabuk pengamanmu, kita akan sedikit ngebut.”
Mobil melesat semakin kencang di tengah panas yang mendera. Andai saja ada termometer pengukur suhu, sepertinya suhu udara saat itu sudah menembus angka 50 derajat celsius. Membuka kaca mobil tidak membantu. Angin gurun justru membawa hawa panas semakin menjadi-jadi.
Brittany sebenarnya juga kepanasan. Dia juga haus. Cuma, hanya saja, pikirannya tidak terfokus pada hawa panas ini. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Penjahat yang telah berhasil menghabisi dua agennya. Pasti dia bukan penjahat sembarangan. Mungkin saja bagian dari mafia. 
Sayangnya, tubuh Brittany tidak bisa terus dipaksa. Tubuhnya yang kepanasan, mulai merasa dehidrasi dan akhirnya kehilangan fokus. 
“ASTAGA ALLARY, PEGANGAN!!!”
Berdecit-decit bunyi rem diinjak oleh Brittany, sekuat tenaga dia mencoba mengendalikan mobil agar tidak oleng. Membuat mobilnya terbelok ke samping jalanan. Keluar jalur, masuk ke pasir. Untungnya kedua orang di dalam mobil selamat. Tidak kurang suatu apa.
Allary menghela nafas, nyaris saja mereka kecelakaan.
“Astaga, ada apa, Brittany?”
Yang ditanya sedang berusaha mengatur nafas, tersengal. “Maafkan aku Allary. Seperti aku kurang fokus sehingga mobil kita terlempar. Baru saja aku melihat ada batu karang di depan sana. Aku bermaksud menghindarinya, tapi tidak bisa.”
“Kamu berhalusinasi. Tidak ada batu karang di manapun.” Allary menengok ke belakang. Brittany juga. Sejenak menghela nafas. Untunglah, mereka tidak kecelakaan serius.
“Untunglah. Sekali lagi maafkan aku, Allary.”
“Kamu kekurangan air. Tubuhmu dehidrasi. Minumlah dulu barang seteguk.” Allary sekali lagi menawarkan botol minumnya. Tapi Brittany bergeming. Langsung menginjak pedal gas, mobil mereka kembali ke jalanan. Brittany yang baru saja pulih dari syok, malah menginjak gas sampai batasnya sambil menyeringai. “Pegangan lagi, Allary. Kita benar-benar harus bergegas sekarang.”
Allary tak perlu diperintahkan dua kali, langsung berpegangan di sabuk pengamannya. 
Rupanya seorang Brittany yang keras kepala itu tidak bisa dinasehati sedikitpun sebelum dia sendiri yang terjungkal. Setelah tadi nyaris kecelakaan, namun dia tidak sedikitpun mendengarkan perkataan Allary, memilih cuek dengan kondisi tubuhnya, beberapa kilometer menyetir, akhirnya Brittany kena batunya.
Ironisnya batu itu harus ditanggung berdua dengan Allary. 
Tepat setelah mereka terburu-buru melintas perbatasan, masuk ke Niger, sekali lagi Brittany mengerem mendadak, membuat bunyi decit panjang, dan sekali ini, mobil mereka benar-benar terguling, membentuk sudut 90 derajat.
CITTTTTTT!!
Allary berpegangan kuat-kuat. Brittany langsung jatuh pingsan.


59
Pingsan


Allary juga sempat kehilangan kontrol atas kesadarannya. Tapi tidak lama. Dia segera sadar, dan hal pertama yang dia pikirkan adalah Brittany. Gadis itu tergolek tak berdaya. Pelipisnya terluka. Allary meninju bagian pintu mobil sebelah kanan yang mengarah ke atas. Sampai terpelanting pintu itu dibuat tinju Allary.
“Astaga, Brittany. Bertahanlah. Kamu mendengarku bukan? Hei, Brittany.”
Gadis itu tidak menjawab. Dia genap kehilangan kesadarannya. Allary menggendongnya, keluar dari mobil, membawanya tersuruk-suruk. Astaga, sejauh mata memandang tidak ada pohon atau sesuatu yang bisa dipakai untuk bernaung. Allary menggigit bibir. 
Bagaimana ini?
Di saat Allary bingung itu, lewatlah sebuah mobil jeep lainnya. Allary ragu-ragu ingin melambai ke mobil itu, ingin meminta bantuan. Tapi apakah orang mau membantu mereka? Allary dan Brittany ada di negeri antah berantah sekarang. Ah sudah, yang terpenting lakukan dulu.
Allary akhirnya melambai. Mobil jeep itu berhenti. Pengemudinya adalah seorang pria tua, bergamis. Dia mendekat, kemudian bertanya dengan bahasa lokal yang tak Allary mengerti.
“Anda bisa berbahasa Inggris? Teman saya ini memerlukan bantuan? Apakah anda bisa menolong kami?” Allary menunjuk ke arah Brittany yang masih tergolek pingsan sementara cuaca di luar sangat panas.
“Naik ke mobil saya.” Pria itu berucap pendek kemudian bergegas ke mobilnya. Membukakan pintu. Allary tersenyum lega. Untungnya, di sudut dunia manapun, selalu ada orang baik untuk menolong orang baik.
“Terima kasih, Mister.” 
Allary bergegas menaikkan Brittany ke dalam mobil. Urusan mobil mereka yang terbalik itu, itu bisa diurus nanti-nanti. 
“Temanmu itu sepertinya perlu pertolongan medis,” ucap pria itu. Allary mengangguk membenarkan, “apakah ada pusat medis di sekitar sini, mister?”
Sayangnya lelaki itu menggeleng, “tidak ada nak. Rumah sakit terdekat jaraknya lebih dari 100 kilometer. Ini negara miskin.”
“Lalu bagaimana dengan teman saya ini, mister?”
“Kita akan pergi ke rumah saya. Nanti di sana saya panggilkan tabib tradisional untuk mengobati temanmu itu.”
Allary kembali mengelus dada. Terharu atas pertolongan pria ini. “Saya Allary, mister. Teman saya ini namanya Brittany.” Allary memperkenalkan diri. Pria tua itu tersenyum lagi. Jenis senyum yang meneduhkan. Senyum yang bijak, penuh kearifan hidup.
“Saya Yasir. Seorang imigran Arab yang terdampar hidup di Niger.”
“Saya senang sekali bisa bertemu dengan anda, Mister. Anda telah menyelamatkan nyawa teman saya. Saya kira, lima menit lagi berada di bawah sinar matahari yang terik itu, sayapun akan pingsan.”
“Ya, kamu benar nak. Panas di negara ini memang keterlaluan. Iklim gurun membuat siapa saja yang tidak terbiasa, pasti akan pingsan. Dehidrasi. Sepertinya temanmu juga begitu.”
Allary mengangguk, membenarkan. Pas hendak terguling, terlihat betul kalau Brittany tadi dehidrasi. Hanya saja Brittany terus menolak saat hendak disuguhi minuman.
Mobil mereka lima menit kemudian sampai di sebuah rumah. Rumah yang sederhana, terpencil pula. Di kanan kiri depan belakang, hanya terlihat padang pasir. Tandus. 
Allary menggotong Brittany dengan cepat. Mr. Yasir juga dengan cepat menuntun ke dalam rumahnya. Meski rumah itu hanya rumah yang sederhana. 
“Tadi saya sudah telepon tabib. Sebentar lagi akan datang. Berdoa saja nak, semoga temanmu tidak kenapa-kenapa.”
“Aamiin mister.” Allary mengusap wajahnya.


60
Kita Harus Bergegas


Tabib yang dimaksud oleh Mr. Yasir sungguh mengherankan Allary. Soalnya tak pernah dia berhadapan dengan orang semacam itu. 
Orang itu berpakaian serba putih. Bajunya kemeja lengan panjang, celananya panjang kain, juga memakai penutup kepala, semacam topi atau apalah itu. Semuanya berwarna putih. Selain warnanya yang mencolok, seluruh pakaian orang itu nampak lusuh dan kotor. 
Namun berbanding terbalik dengan penampilannya yang “buruk”, pembawaan orang ini, kalimat-kalimatnya, ekspresinya, intonasi suaranya, semuanya amat menyenangkan. Hanya dengan beberapa patah kata, dia berhasil menenangkan Allary yang amat khawatir, kalau Brittany sampai kenapa-kenapa. 
“Tenang, temanmu ini hanya kelelahan. Sebentar lagi dia akan bangun. Kamu tenang saja ya, teman.” Orang itu bicara sambil tersenyum lebar, memamerkan giginya yang kuning. Melihat ekspresi itu, Allary geli sendiri. Melihat ekspresi itu perasaan khawatirnya terasa terangkat sebagian.
“Bagaimana, Aamir?” Mr. Yasir turut bertanya. 
“Seperti yang kubilang, Yasir. Sebentar lagi. Aku sudah memijat titik sarafnya, membangunkan kesadarannya kembali. Setelah dia bangun, hal pertama yang akan dia tagih adalah dia pasti ingin minum. Tapi tolong jangan kasih dia air terlalu banyak. Itu bisa membuat kondisinya memburuk lagi.”
Allary dan Mr. Yasir mendengarkan dengan saksama.
Brittany betul-betul bangun seperti kata Tabib Aamir. Dia juga langsung menagih minum. Brittany tidak peduli dengan wajah Allary yang begitu sumringah melihat dia bisa bangun lagi. Juga tidak peduli dengan dua orang asing aneh yang kini duduk di sisi kiri dan kanannya. Brittany hanya ingin minum.
Allary menyodorinya botol air. Sambil tersenyum, Allary bilang, “jangan terlalu banyak. Kamu tidak boleh minum terlalu banyak.”
“Eh tapi...” Brittany mengelus lehernya, menunjukkan kalau tenggorokannya saat ini benar-benar kering. 
“Nona muda. Kamu baru saja pulih dari pingsan. Kondisimu tidak stabil. Kamu hanya boleh minum seteguk demi seteguk. Kalau tidak, jantungmu jadi taruhannya.”
Kecut Brittany mendengar peringatan itu.
Setelah merasa baikan, setelah minum beberapa teguk, Brittany segera bangkit. Mengisyaratkan Allary agar segera ikut dengannya. Ekspresi cemas kembali mampir di wajah Brittany.
“Kita harus segera berangkat, Allary. Setiap waktu boleh jadi berharga bagi kita.”
“Eh?”
“Hei, kau baru siuman dari pingsan, nona muda. Tidak berapa menit yang lalu, kau membuat teman lelakimu itu panik setengah mati. Kondisimu masih belum stabil. Mr. Aamir selaku tabib di sini, aku yakin juga tidak akan mengizinkanmu bergegas pergi.”
Mr. Aamir mengangguk, “Yasir benar nona. Kamu masih belum siap untuk berjalan-jalan. Tubuhmu masih lemah.”
Brittany membungkukkan badannya. “Saya mengucapkan banyak terima kasih pada kalian berdua. Aku berhutang budi pada kalian. Sebut saja nominal uang yang kalian minta untuk pertolongan kecil ini, akan kubayar. Tapi kami benar-benar harus bergegas.”
Mr. Yasir tersenyum bijak lagi, “kau tidak perlu memikirkan soal biaya. Kami di sini ikhlas menolongmu. Kami hanya mencemaskan keselamatanmu. Kau baru saja pulih...”
“Saya harus pergi, mister. Anda tidak tahu apa yang sedang kami hadapi. Jadi tolong jangan ikut campur.” Brittany memotong, kemudian menyahut dengan tajam. Itu semua membuat Allary tidak enak hati. Mister Yasir sudah mau repot menolong mereka. 
“Brittany, tenanglah dulu.”
“Tidak bisa, kita harus segera pergi. Setiap detik sangat berharga. Sudah kubilang bukan?”
Allary mengusap wajah. Serba salah, dan Brittany benar-benar keras kepala.


61
Ajaran Kebaikan Allary


“Kamu tidak seharusnya bersikap sekeras tadi, Brittany,” di dalam mobil Allary bersuara, amat menyayangkan sikap Brittany yang seperti orang tidak tahu terima kasih.
“Sudah kubilang kita harus buru-buru, Allary. Penjahat itu bisa saja sedang berada di belakang kita. Siap menikam. Aku tidak tanggung jawab kalau kau mati tertusuk pisau.”
“Kamu pikir aku akan percaya dengan alasan itu begitu saja, alasan yang begitu tipis,” Allary berkata dingin, membuat Brittany menatap tajam ke arahnya.
“Apa maksudmu, Allary?”
“Aku bisa melihatnya, kamu tidak nyaman dengan kebaikan orang itu. Kamu sepertinya tidak suka dengan orang-orang yang menolong kita tadi.”
Brittany menyapu keringat di dahinya. Tidak segera menjawab. Allary ternyata bisa menebak jalan pikirannya. Sebelum menjawab, Brittany minum sejenak. Tidak ingin lagi terdehidrasi.
“Jawab aku, Brittany.” Allary mendesak. Intonasinya begitu mantap.
“Kau harus tahu Allary, dalam situasi kita, siapa saja bisa berubah jadi musuh. Setiap orang bisa tiba-tiba menangkap kita, mengikat kemudian menyandera kita. Kau harus camkan soal itu.”
Allary menggeleng, “kamu salah Brittany. Tidak semua orang memiliki niat jahat seperti itu. Aku yakin sekali kalau orang-orang yang menolong kita tadi, adalah orang-orang baik. Lihat, Mr. Yasir bahkan berbaik hati memperbaiki mobil kita.”
“Kau terlalu naif, Allary.”
“Hei, itu bukan naif. Kamu saja yang terlalu skeptis. Tidak semua orang jahat di dunia ini.”
“Bukan seperti itu. Aku hanya bilang kalau dalam situasi seperti ini, berisiko untuk percaya pada seseorang. Aku tidak bilang semua orang jahat. Aku hanya waspada pada setiap kemungkinan. Termasuk pada kau. Kau harus ingat, sampai sekarang pun, aku tidak percaya padamu.”
“Dengarkan aku, Brittany. Ibuku pernah bilang, kalau orang yang senang berbuat baik, akan selalu bertemu dengan orang baik pula. Aku yakin sekali itu, jadi aku berusaha keras untuk selalu berbuat baik, sehingga aku juga akan ditolong oleh orang-orang baik.”
Brittany mengangkat bahu. Tidak lagi mau melanjutkan debat.
Allary justru menatapnya lamat-lamat. Jenis tatapan menganalisa, bukan tatapan terpesona. Sekitar lima menit kemudian, Brittany membiarkan Allary menatap ke arahnya, sampai batas risihnya.
“Apa lagi yang mau kau debatkan, Allary. Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku malas melanjutkan debat. Mungkin kita memang berbeda prinsip. Mungkin saja karena perbedaan prinsip itu kita akan berpisah di jalan nantinya.”
Allary menggeleng, “bukan itu maksudku, Brittany. Kamu terlihat ketakutan.”
“Sudah kubilang bukan? Aku memang takut, ancaman penjahat itu benar-benar membayang di pelupuk mataku.”
Allary menggeleng lagi, “bukan seperti itu. Ada hal lain yang membebani pikiranmu. Aku bisa melihatnya. Ada apa sebenarnya Brittany? Apa yang kamu sembunyikan?”
Sial, Brittany menggigit bibir. Allary benar-benar menelanjangi pikirannya. Apakah dia harus bercerita pada pria ini? Apakah Allary bisa dipercaya? Brittany mengusap luka di pelipisnya yang diperban. Mungkin pria ini memang bisa dipercaya. Sedikit saja.
“Aku takut, aku bingung,” keluh Brittany.
“Tentang?”
“Tentang pencarian ini. Semua petunjuk terasa buntu. Betul-betul buntu. Aku takut tidak menemukan Vivi lagi. Aku mencemaskan dia. Aku takut Allary.” Suara Brittany terdengar berat saat dia bicara. 
“Kita akan menemukan dia.”
Suara Allary yang baru saja keluar, terdengar amat berwibawa. Terdengar amat bertenaga. Seakan membawa keyakinan pada siapapun yang mendengarnya. Yahh, itulah kemampuan asli Allary, kemampuan mempengaruhi dan memimpin.
Brittany menoleh, sedikit kaget, “bagaimana kau bisa seyakin itu?”
“Karena pasti ada hal-hal ajaib yang akan terjadi pada orang-orang yang senang berbuat baik. Aku selalu percaya akan itu.”
Brittany menelan ludah. Itu benar-benar sebuah kalimat yang menakjubkan.


62
Petunjuk Baru di Arah Ghana


Kita tahu betul, bagaimana prinsip hidup Allary, karena telah mengenalnya dalam dua petualangannya sebelumnya. Kita juga tahu persis, bagaimana prinsip kebaikan miliknya itu, benar-benar bekerja secara misterius. 
Sebelum sampai di ibukota Niger, Kota Niamey, Brittany kembali menerima telepon dari anak buahnya. Jangan heran dengan bagaimana baterai ponselnya bisa terus terisi. Mobil ini punya daya pengisian otomatis yang baik. 
“....” 
“Kalian dapat informasi terkini? Cepat katakan.”
“....”
“Kenapa kalian terdengar ragu-ragu begitu. Seharusnya kalian memastikan dulu semua informasi, sebelum menyerahkannya padaku. Kalian bisa mulai menginterogasinya. Tanyai dia. Baru setelah semua terang, beritahu aku.”
“....”
“Ya sudah. Dimana kalian menahannya? Dimana lokasi kalian sekarang?”
“....”
Kaget Brittany, “Accra? Itu di Ghana. Aku saat ini ada di Niger. Jarak kita lebih dari 1000 kilometer. Bagaimana bisa aku pergi ke sana?”
“.....”
“Itu kalau aku mengemudi sambil kesetanan. Astaga, sejak kapan kau mulai mengatur-ngaturku heh?”
“.....”
Brittany menghela nafas, “baiklah. Kami akan putar arah. Lebih baik mencoba daripada buta sama sekali. Sementara menunggu kedatanganku, bisa kalian coba menginterogasinya, cari tentang kelemahannya. Kalau perlu cari informasi tentang keluarganya dan coba ancam dia dengan itu. Setiap taktik interogasi. Kalan paham?” Brittany menegaskan intonasi di ujung kalimat.
“....”
Lalu, setelah Brittany mematikan telepon, dengan gaya yang sangat keren, dia memutar balikkan arah mobilnya. Sedikit guncangan membuat Allary gelagapan mencari pegangan. Brittany terkekeh. Harus dia akui, bahwa ucapan Allary semenit yang lalu jadi kenyataan. 
Petunjuk telah datang ke hadapan mereka.
“Pegangan kuat-kuat, Allary. Kita punya tujuan baru.”
“Mau kemana kita? Kenapa tadi terdengar seperti seorang tahanan yang tertangkap?”
“Kau benar, kita punya petunjuk baru. Orang-orangku berhasil menangkap musuh kita.”
“Apakah itu artinya Vivi akan segera ditemukan?”
Brittany menggeleng. Sepertinya belum. Orang yang berhasil ditangkap anak buahnya itu boleh jadi tidak berhubungan langsung dengan tertangkapnya Vivi. Namun, jika dia benar berhubungan dengan pembunuh Carlos dan Atkinson, maka setidaknya itu akan memberikan titik terang pada penyelidikan mereka. 
Sementara Allary duduk membatin, siapapun musuh mereka sekarang, dia cukup yakin kalau mantra pemberian ibunya masih cukup ampuh untuk menghadapi semua itu.


63
Rencana Baru untuk Felix


Pembicaraan di dalam batu koral pasir itu berlangsung panjang. Felix dan Aguero membahas banyak hal. Keberadaan dokumen penilaian yang berisi nama-nama mencurigakan dan ditandatangi oleh orang bernama Brittany, benar-benar mengubah arah haluan rencana Felix.
“Dua puluh orang, nampaknya mereka ini adalah para pejabat yang penting dalam organisasi. Nama-nama ini benar-benar berguna untuk kita memetakan organisasi yang sedang kita hadapi, Felix.” 
“Urusan analisis itu nanti-nanti saja, Aguero. Mungkin itu akan membantu urusan kau. Tapi aku memerlukan informasi yang bersifat teknis, sesegera mungkin. Agar aku bisa cepat bergerak.”
Aguero terdiam di ujung telepon, “semua ini masih serba tidak pasti, Felix. Bahkan kita tidak bisa memastikan apakah orang bernama Brittany ini benar terlibat dalam insiden hilangnya gadismu itu bukan?”
“Orang itu sudah mengirimkan seorang pembunuh bayaran untuk menyerangku, serta sempat menahan perjalananku di Maroko. Apakah itu tidak membuktikan kalau dia memang terlibat.”
Aguero menggeleng, “tidak semudah itu. Bagaimana dengan keberadaan Mafia Sahara yang meneleponmu kemarin itu. Mereka juga tidak bisa dikesampingkan bukan. Hasil risetku menunjukkan bahwa antara Brittany dengan Mafia itu, tidak ada hubungan apa-apa.”
“Aku yakin dia adalah anggota dari kelompok mafia itu. Pasti.” Felix mendesis.
“Tidak semudah itu teman,” Aguero tertawa, “kita punya banyak sekali informasi di sini. Tumpang tindih. Boleh kuluruskan terlebih dahulu semuanya? Aku tahu kau bukan tipe orang berkepala dingin.”
Felix berdecak. Baiklah, dia harus membiarkan Aguero memaparkan analisisnya.
“Ada tiga hal yang terlihat di sini. Kita asumsikan saja, ketiganya tidak berkaitan satu sama lain, oke? Karena sebelum semua fakta jelas, kita tidak bisa menarik kesimpulan bahwa satu hal berhubungan dengan yang lain. Boleh jadi kesimpulan sementara macam itu, bias dengan asumsi dan perasaan. Nah tiga hal itu adalah, hilangnya temanmu, gadis bernama Brittany itu, dan yang terakhir, soal Mafia Sahara. Sampai sini kau bisa memahaminya?”
“Ya, lanjutkan.”
“Kita tidak punya terlalu banyak informasi mengenai hal pertama dan ketiga. Kita lebih banyak mendapatkan informasi mengenai hal kedua. Benar bukan?”
“Bisakah kita langsung menghubungkannya saja, Brittany adalah Mafia Sahara, dan merekalah yang telah menculik Vivi. Sekali tepuk, kita bisa membereskan mereka sekaligus.
Aguero terkekeh, “sudah kubilang jangan sembarangan membuat kesimpulan sebelum semua faktanya lengkap. Kita bisa menyingkirkan dua hal yang tidak kita ketahui itu dulu. Kita tidak akan menyentuhnya sampai kita menemukan lebih banyak fakta. Kita akan menganalisis soal Brittany ini dulu. Ingat ya, ini tidak berhubungan dengan hal pertama dan ketiga. Oke?”
“Baiklah, lanjutkan.”
“Brittany, kita sudah tahu, orang yang ada di database-ku adalah Brittany yang sama dengan yang sedang bersama dengan sahabatmu itu. Kita sudah tahu kalau dia memiliki sebuah organisasi yang besar. Kau berhasil mengantongi nama-nama pentolan di kelompok tersebut. Kita juga tahu kalau orang itu telah mengirimkan dua orang untuk menghentikan langkahmu. Nah, kita punya hipotesis baru bukan?”
“Ha? Apa itu?”
“Brittany itu mengetahui tentangmu, dan dia mengincarmu.”
“Kalau begitu aku akan mencarinya dan menanyainya. Dimana titik koordinatnya sekarang?”
“Aku belum tahu. Kita belum bisa menebak, sebab, sepertinya orang ini bergerak independen. Dia tidak sedikitpun membawa anak buah bersamanya. Itu membuat pelacakan dirinya menjadi sulit.”
“Apa motifnya menyerangku, Aguero? Apa yang membuat dia mengincarku?”
Suara Aguero terdiam. Felix telah sampai di pertanyaan besarnya.


64
Dacosta Terlibat


Aguero lama terdiam. Ada sekitar lima menit tidak terdengar bunyi sahutan dari seberang telepon. Felix sampai mengira kalau sinyalnya gangguan. Beberapa kali coba diguncangkannya telepon, untuk menormalkan sinyal kembali. Sia-sia. Suara Aguero tetap tidak terdengar.
“Aguero, kau masih di sana? Halo, halo.”
“Ya, aku masih di sini, Felix.”
“Kau punya jawaban atas pertanyaanku, Aguero? Kenapa gadis itu mengincarku? Ada apa di balik semua gerakannya itu?”
Aguero melanjutkan percakapan dengan sedikit gemetar. “Kau yakin ingin tahu, Felix?”
“Jelas sekali. Apa kaitanku dengannya? Apa yang dia mau dariku?”
“Aku tidak tahu pasti, Felix. Tapi aku punya dugaan. Sebuah dugaan yang kuat. Meskipun fakta ini tidak saling berhubungan satu sama lain.”
“Ya, katakan saja.”
Terdengar bunyi helaan nafas Aguero dari seberang sana. “Brittany menyerangmu, bukan atas kepentingan diri dan organisasinya. Itu adalah suruhan orang lain.”
“Ada orang lain yang menyuruhnya?”
“Iya. Ada orang yang hendak kau celaka. Ada orang lain yang hendak kau binasa.”
Felix menelan ludah. Terdengar menakutkan? Apalagi ditambah dengan intonasi suara Aguero yang jago melebih-lebihkan. “Siapa itu, Aguero? Jelaskan padaku.”
“Dacosta.”
Satu kata yang pendek, namun memiliki pengaruh yang amat kuat bagi siapa saja. Terutama bagi Felix yang seumur hidupnya selalu dibayangi oleh organisasi hitam super kuat itu. 
“Apa maksudmu? Dacosta terlibat?”
“Aku menemukan jejaknya. Jejak digital. Amancio mengirimkan instruksi pada seseorang untuk “menyerangmu”. Meskipun alur instruksi itu ditutupi, kita bisa menghubungkan kejadian. Sehari setelah instruksi itu terbaca oleh sistemku, perjalanan kau di Maroko dicegat. Itu terlalu kebetulan untuk dibilang tidak berhubungan.”
Felix menggeram. Rahangnya mengeras. Kalau Dacosta terlibat, itu akan membuat keadaan menjadi semakin gawat.
“Beritahu aku, dimana lokasi gadis itu. Aku akan segera mengurusnya.” 
“Aku sudah bilang Felix, aku tidak tahu. Gadis itu lebih dari pandai untuk menyembunyikan jejak. Dia sama berpengalamannya denganmu. Dia sangat licin.”
“Aguero, kau dengarkan aku baik-baik. Pastikan kau menemukan gadis itu. Detik pertama begitu lokasinya ditemukan, kau hubungi aku. Ingat, detik pertama, bukan detik kedua atau ketiga. Aku akan segera mendatanginya. Jika memang dia berhubungan dengan Dacosta, boleh jadi, Allary juga dalam bahaya.”
Aguero berseru gelagapan, “hei, tunggu. Jangan panik begitu, teman. Aku baru menjelaskan dugaan. Bukan berarti itu fakta seratus persen, terbukti kebenarannya. Tidak. Ini boleh jadi tidak terbukti, dan dugaanku ini salah.”
“Aku sungguh berharap demikian juga. Cuma, penjelasanmu tadi, terlalu masuk akal untuk menjadi sebuah kesalahan. Ingat aku, detik pertama. Aku akan segera bergerak. Waktunya menelepon Rubilicio. Aku memerlukan mobil.”
“Baiklah teman,” Aguero mengalah, temannya itu jelas sedang panik, tidak berpikir logis. “Aku akan mengurusnya, sesuai permintaanmu. Ada lagi yang kau inginkan?”
“Oh ya, aku ingin kau menemukan salah satu anak buahnya yang ada di laporan itu. Aku perlu menemui anak buahnya, siapa tahu mereka punya informasi.”
“Baik. Kau bosnya.”
Felix bergegas. Benar-benar bergegas. Sembari menelepon Rubi, dia sudah mulai berlari, menyusuri jalan, menuju perbatasan Sahara Barat. Urusan ini benar gawat jika Dacosta terbukti terlibat di dalamnya.


65
Interogasi di Ghana


“Santailah sedikit, Brittany. Tidak perlu terlalu terburu-buru begitu.” Allary menegur Brittany yang duduk mengemudi di sebelahnya. Wajah Brittany super serius. Sejak tadi dia menginjak gas. Setelah meminum pil anti ngantuk di Niger, sekarang Brittany tidak sedikitpun menurunkan kecepatan. Dia ngebut dengan kecepatan sangat tinggi.
“Aku tidak mau mobil ini tiba-tiba terbalik. Itu membahayakan nyawa kita berdua,” Allary berseru lagi, karena teguran pertamanya tidak digubris. Dan seruan keduanya ini juga tidak digubris. 
“Astaga Brittany, kau benar-benar tidak mendengar kata-kataku.” Allary berdecak kesal.
“ALLARY, BISAKAH KAU DIAM!!” Brittany tiba-tiba berteriak. Mukanya memerah. Dia mengomel. “Aku sedang fokus. Kita harus sampai di Accra secepat mungkin. Jangan sampai orang yang ditahan di sana, melarikan diri. Jadi waktu kita sangat berharga.”
“Tapi...”
“Iya aku tahu. Mobil ini tidak akan terbalik, kita akan baik-baik saja, asalkan kau berhenti menegur dan mengajakku bicara. Biarkan aku fokus.”
Allary ber-huft pelan. Baiklah. Dia tidak akan mengganggu Brittany lagi. Lebih baik dia tidur. Allary tidak meminum obat anti ngantuk. 
Singkat saja cerita, mereka tiba di kota Accra. Brittany langsung membuka koordinat. Agak sulit baginya untuk melihat koordinat sambil menyetir, jadilah dia menoleh pada Allary. Ya, Allary yang sejak di Niger, diam saja.
“Allary, bisa kau bantu aku memegangi ponsel. Lihat titik koordinat tahanan ini.”
Allary mengangkat bahu, menerima ponsel, melihat titik koordinat di maps. “Belok kanan, kemudian belok kiri di dekat toko daging.”
Brittany tersenyum tawar. Nah, beginikan lebih baik. Susah baginya melakukan tiga pekerjaan sekaligus. Tiga? Ya, karena selain menyetir dan memegang koordinat, Brittany juga harus memikirkan bagaimana cara menginterogasi tahanan mereka.  
Saatnya dia mengetahui siapa sebenarnya musuh mereka? Siapa orang tangguh yang berhasil mengalahkan Carlos dan Atkinson dengan begitu mudah?
Mereka berbelok ke sebuah gedung. Gedung itu hanya gedung biasa diantara gedung lainnya di kota Accra. Seorang pemuda berjas hitam mengangguk hormat ketika mobil Brittany merapat di halaman gedung. Kemudian pemuda berjas itu menghampiri mobil Brittany dengan jalan yang tegap.
“Nona Brittany, anda sudah ditunggu di dalam. Tahanan diamankan di basement gedung.”
“Bagus. Apakah area ini sudah diamankan?”
“Sudah nona. Seluruh area ini bersih sejak tahanan diamankan.”
“Bagus Joe. Terima kasih. Aku masuk ke dalam dulu.”
“Siap nona.”
Orang bernama Joe itu membungkuk. Allary yang mengamati sekilas, langsung bisa mengidentifikasi kalau Joe adalah seorang petarung yang hebat.
Brittany dan Allary langsung menuruni tangga, ke basement gedung. Tempat itu sederhana. Tidak banyak perabotan. Hanya ada sebuah meja di ujung ruangan, ada teko air dan tiga buah cangkir di meja itu. Di tengah ruangan, duduk di kursi, sang pesakitan. Tahanan itu. Sementara ada tujuh orang anak buah Brittany yang berjaga di ruangan. Semua memakai kacamata dan jas warna hitam. Serasi dan kompak.
Inilah pertama kali Allary berhadapan dengan anak buah Brittany. 
Kondisi tahanan itu buruk. Bibirnya membengkak. Hidungnya mengucurkan darah, pelipisnya lebam. Sepertinya dia telah ditinju puluhan kali. Brittany mendekat. Seorang anak buahnya juga maju. Allary juga mendekat.
Kini Brittany berhadapan dengan tahanan itu. Wajahnya bersih, rambutnya coklat. Kulitnya putih, khas orang Eropa. Secara keseluruhan, tahanan yang mereka tangkap, cukup tampan. Tapi Brittany melihatnya dengan tatapan jijik.


66
Interogasi Mengerikan


“Kami sudah mencoba berbagai cara untuk membuatnya bicara. Namun gagal. Dia terus bungkam, nona. Kami serahkan dia pada nona.” Anak buah Brittany menjelaskan. Brittany mengeluarkan alat setrum dari tasnya. Maju selangkah. “Mari kita mulai dengan alat ajaib ini.” 
Tahanan itu jelas melihat Brittany berdiri di depannya, mengintimidasi dengan alat setrum di tangan. Dia reflek menggigit bibir. Brittany mendekatkan alat setrum itu.
“BICARA!” serunya sekali. Tahanan itu menggeleng. Gelengan yang menyebabkan dia harus menerima terjangan alat setrum. Brittany tidak ada ampun. Perut orang itu kena sasaran alat setrumnya. Namun hal yang membuat Allary kagum, orang itu sama sekali tidak berteriak. Tidak terlihat kesakitan.
Sungguh orang yang tangguh.
“Kau ingin membuat ini jadi sulit ya. BICARA!!” Suara Brittany meninggi. Kesal melihat tahanan itu, jangankan buka mulut untuk informasi, untuk menjerit pun tidak.
“Ambilkan air dan kain,” Brittany memberikan perintah. Air dalam teko dan sehelai kain segera dihadirkan. Brittany menutupkan kain itu ke wajah si tahanan. Memaksanya mendongak. Kemudian mulai mengguyur wajah yang ditutupi kain itu, dengan air. Allary jeri melihat cara interogasi yang kejam itu. Tahanan gelagapan. Terdengar suara seperti orang sedang berkumur. 
Brittany menghentikan guyuran air dan membuka kainnya. “BICARA!!!” Brittany menyalak nyaring. Orang itu tetap menggeleng. Mulutnya terkunci.
“Kau benar-benar tidak berguna.” Brittany mendesis. Kemudian dia menuangkan air dalam teko ke seluruh bagian tubuh pria itu. Basah kuyup. Brittany menyalakan kembali alat setrumnya. Menyeringai kejam.
“Kau tahu, air adalah penghantar listrik. Sekali saja kuhujamkan alat ini pada kau dalam keadaan basah kuyup begitu, kau akan langsung tamat. Sekarang kau punya kesempatan terakhir, BICARA!!!!”
“CUIIIIHHH” 
Bukannya bicara, orang itu malah meludah. Nyaris kena sepatu Brittany. Untungnya dia cukup jago menghindar. Melompat. Gerakan tak terpuji itu benar-benar menyulut amarah Brittany. Sepenuhnya. 
“TAMATLAH KAU!”
“Brittany!” 
Di detik yang amat kritis, tepat sebelum alat setrum mulai bergerak, Allary datang dari belakang, menangkap tangan Brittany. “Hentikan. Jangan lakukan itu. Kamu tidak akan dapat informasi dengan cara itu. Kamu hanya akan membunuhnya.”
Brittany berbalik pada Allary, tatapannya sungguh mengerikan. Beda sekali dengan Brittany yang dikenal Allary dalam perjalanan. “Jangan menghalangiku. Dia tidak berguna. Lebih baik dia mati.”
“Jangan,” Allary menangkap tangan Brittany, semakin kuat, “kumohon jangan. Dia punya nyawa yang berharga. Lagipula tidak ada bedanya kau ampuni dia ataupun kau bunuh. Dia tidak akan bicara. Jadi lebih baik kau ampuni dia.” 
“Jangan menghalangiku, Allary!”
Allary malah menarik Brittany agar mundur. Mengeratkan pegangan. “Dinginkan kepalamu, Brittany. Kumohon. Ayo kita keluar sejenak. Barangkali nanti dia akan bicara.”
Itulah kehebatan kalimat Allary. Selalu mengandung kekuatan yang memaksa orang menaatinya. Brittany mengikuti langkah Allary. Melangkah keluar dari basement.
Di luar dugaan, saat Brittany menjejakkan kaki di tangga, tiba-tiba saja, orang itu, si tahanan, berteriak. 
“Sia-sia saja kalian melakukan semua ini. Sebentar lagi, kalian akan habis di tangan pembunuh. Dia adalah orang yang hebat. Petarung yang amat ditakuti. Dia adalah petarung terkuat di Eropa Barat. Kau tahu itu.” 
Brittany dan Allary serempak berbalik. Apa tadi dia bilang? Dia buka mulut? Petarung terkuat di Eropa Barat? Itu terdengar familiar untuk Allary.


67
Berlibur Sejenak


“Apa katamu tadi?!!” Brittany berbalik dengan wajah sangat marah. Orang itu akhirnya buka mulut, namun menghina dan mengancamnya, itu adalah perbuatan keterlaluan. 
“BRITTANY, tahan langkahmu!” Allary ikut berseru. Kali ini dia tidak hanya memegangi tangan, bahkan sudah setengah memeluk untuk menghentikan langkah gadis yang teramat marah ini. Dengan alat setrum di tangan, Brittany bisa melunaskan nyawa orang itu kapan saja. Allary tidak akan tega membiarkan hal itu terjadi. 
“Lepaskan aku, ALLARY!”
“Tidak,” Allary berkata tegas, “aku tidak akan membiarkan kau mendekat dan membunuhnya. Itu salah. Izinkan aku membantu. Aku akan coba berbicara dengannya. Aku mungkin punya cara untuk membuatnya buka mulut tanpa kekerasan.”
Brittany tidak mendengarkan, terus menggeliat. Matanya memerah. Urat-urat tangannya muncul semua. 
“Brittany, kau harus tenang. Masih ada cara baik untuk menyelesaikan ini semua. Kau harus izinkan aku mencobanya.”
“Lepaskan aku, Allary!”
Allary menoleh ke salah satu anak buah Brittany yang terpaku melihat bos mereka dipasung oleh Allary. Mereka berada dalam posisi serba salah. Allary meneriaki mereka. 
“Hei, kalian, kemarilah. Tolong pegangi nona kalian ini sebentar. Aku ingin bicara dengan tahanan itu. Barangkali aku punya cara untuk mendapatkan informasi tambahan darinya.”
Sulit dipercaya, anak buah Brittany itu patah-patah mendekat, kemudian menggantikan Allary memegangi Brittany agar tidak lepas. Itu membuat Brittany semakin gusar. 
“Astaga, kalian. Kuperintahkan kalian untuk melepaskanku!” 
“Kau jangan biarkan dia sampai lepas, oke?” Allary memberi kode perintah. Itu adalah kalimat yang amat bertenaga. Tatapan mata Allary benar-benar mempengaruhi. Hanya dalam sekali tatap, dia berhasil membuat anak buah Brittany berada dalam kendalinya. 
Brittany pun merasakannya. Aura mengendalikan yang amat sangat kuat dari Allary Azra. Pria itu cukup mengesankan. Mungkin dengan kemampuannya mengendalikan, dia bisa membuat tahanan buka mulut, batin Brittany. Demi pemikiran itu, Brittany berangsur tenang. 
Allary mendekat ke tahanan itu. 
“Kau, apa yang tadi kau maksud dengan petarung terkuat di Eropa Barat?”
“Kau tidak perlu tahu,” sahut orang itu dingin. Itu sudah kenyataan yang sulit dipercaya. Meskipun dia masih menolak memberi informasi, tapi dia menanggapi kalimat Allary dengan kalimat juga, bukan dengan geraman, ludahan atau diam. 
“Oh jelas, aku perlu tahu. Gadis itu adalah temannya dari temanku. Jadi sekarang aku juga berteman dengannya. Aku berhak tahu bahaya apapun yang hendak menyerang temanku.”
“Kau tidak perlu tahu,” ujar orang itu lagi. Kemudian kepalanya menunduk.
Allary berlutut di depan orang itu, mencoba menatap wajahnya. “Petarung terkuat di Eropa Barat. Itu bukan julukan yang asing bagiku. Apakah petarung itu yang membunuh anak buah Brittany di perjalanan?”
“Ya, tentu saja.”
“Kenapa bisa begitu? Kenapa dia membunuh anak buah Brittany?”
“Karena memang itu targetnya. Kami menggunakan petarung terbaik untuk mengalahkan gadis itu. Jika kau juga terlibat, maka kau juga akan masuk dalam target.”
Di atas sana, Brittany membatin. Sekarang orang itu bicara dengan lancar. Hebat sekali kemampuan Allary. 
“Katakan padaku, dimana sekarang petarung itu?”
“Kau tidak perlu tahu. Namun, cepat atau lambat, kalian akan bertemu dengannya. Kau dengar itu nona! Cepat atau lambat kalian akan habis olehnya. Dia tidak terkalahkan. Bahkan petarung kalian yang paling kuat, Carlos, bisa dihajarnya dengan sangat mudah.”
“Aku tidak percaya dengan kata-katamu. Aku kenal siapa petarung terkuat yang kau maksud itu. Dia tidak akan melakukan itu, dia tidak akan membunuh dan menyerang kami. Tidak akan.”
Tahanan itu malah menyeringai, “oh ya, berarti kau tahu persis apa yang bisa dia lakukan. Sebaiknya kau bersiap-siap.”
Allary menggeleng, kemudian memanggil salah satu anak buah Brittany. Bertanya kemana orang ini akan dipindahkan setelah prosedur pemeriksaan.
“Dia akan dipindahkan ke ruang tahanan, Mr. Allary.”
“Pindahkan dia sekarang. Dia tidak bisa memberikan banyak informasi lagi.”
“Baiklah.”
“Tolong jangan sakiti dia hingga tiba di ruang tahanan. Aku akan mengajak Brittany mendinginkan kepala.”
“Siap Mister.”
Allary naik ke undakan tangga, mendekati Brittany kemudian mengajaknya keluar. “Kita perlu udara segar, Brittany. Semua informasi yang dia berikan, membuat kepalaku sakit. Mungkin kita bisa berlibur sejenak, di dekat sini ada pantai bukan?”
Brittany menelan ludah. Pantai? Entah kenapa dia tiba-tiba jadi sangat ingin berenang.


68
Pantai Emas


Allary tidak hanya mengambil alih situasi di ruang interogasi. Dia sekalian mengambil alih kendali atas mobil. Ketika sampai di mobil, dia langsung duduk di kursi pengemudi. Membuat Brittany terkaget sejenak.
“Apa yang kau lakukan, Allary?”
“Kepalamu sedang panas. Biar aku yang menyetir. Aku akan membawamu ke tempat dimana kau bisa sedikit rileks.”
Brittany lagi-lagi hanya bisa mengalah. Duduk ke kursi penumpang di sebelah Allary. Allary segera memacu mobil dengan kecepatan sedang. Mencari lokasi yang bagus. Accra sebenarnya adalah kota di tepi pantai, jadi menyusuri jalanan kota ini saja, sudah terasa suasana pantainya.
“Kau pernah ke Ghana sebelumnya, Allary?”
Allary menggeleng, belum pernah.
“Tapi kenapa kau bisa menyetir dengan mantap, pembawaanmu begitu tenang. Seolah kau sudah hafal betul daerah ini.”
Allary mengangkat bahu, “aku hanya mengikuti intuisiku, Brittany. Intuisi seorang petualang. Kita akan mencari pantai. Setelah itu kau bisa sedikit bersantai. Urusan tahanan tadi tidak perlu dipikirkan lagi. Dia juga tidak memberikan informasi berguna apapun.”
“Tapi soal pembunuh itu...”
“Sssttt!” Allary meletakkan tangan di bibir. Isyarat agar hal itu tidak dibahas lagi.
Ghana sendiri adalah tempat yang menarik. Negara ini cukup maju dibandingkan negara Afrika lainnya. Dibandingkan tetangganya di Afrika tengah sana, Ghana adalah kelas menengah. Sejak dahulu kala, Ghana dikenal sebagai penghasil emas. Julukan mereka di zaman penjajahan adalah Gold Coast. Pantai Emas. Meski saat ini produksi emas mereka tidak semasif zaman dahulu. Sekarang Ghana juga dikenal sebagai produsen coklat. Yang patut dicatat juga, Ghana adalah negara Afrika kulit hitam pertama, yang meraih kemerdekaan yaitu dari Inggris pada tahun 1957. Semua fakta sejarah itu membuat Brittany merasa lebih baik.
“Kau selalu pandai dalam menceritakan sejarah, Allary.”
“Terima kasih. Nah kita sampai. Pantai Labadi. Dari yang pernah kudengar, ini adalah pantai tersibuk di Ghana. Mari kita masuk dan merasakan airnya.” Allary mengajak Brittany turun sambil tersenyum. Brittany menyambut dengan senyum tanggung.
“Mari, Allary.”
Mereka tidak berenang hari itu. Pantai terlalu ramai. Brittany bilang dia tidak terbiasa berenang di tengah terlalu banyak orang. Namun sebagai gantinya, mereka bisa melihat sunset. Matahari terbenam yang begitu indah. Baik Allary maupun Brittany tersenyum takjub ke arah matahari.
“Allary,” Brittany mendekat, merapatkan diri ke Allary, itu membuat Allary menoleh. “Ada apa?”
“Katamu tadi, kamu mengenal pembunuh itu, orang yang disebut tahanan sebagai petarung terkuat di Eropa Barat. Siapa dia, Allary?”
Allary menggeleng, “kamu tidak perlu memikirkannya. Lagipula aku tidak percaya dengan kata-kata orang itu. Dia mungkin hanya sedang memanipulasi. Mengacaukan konsentrasi kita, mengacaukan fokus kita.”
“Tidak apa, Allary. Katakan saja. Jika kamu mengenalnya, mungkin boleh jadi kita bisa memburunya. Kita bisa menangkapnya sebelum dia mencelakai kita, atau mencelakai yang lain.”
Allary menggeleng lagi, semakin kuat, “aku tidak bisa mengatakannya. Apalagi kalau kamu sampai ingin menangkapnya. AKu tidak bisa mengatakannya.”
“Hei, memangnya kenapa?”
“Dia temanku. Teman seperjalanan. Dia ikut denganku dalam dua kali perjalanan, ke Puncak Sarsa dan ke Amazonia. Namun dia juga merupakan mantan anak buah dari mafia terhebat di Spanyol. Dialah yang dijuluki petarung terkuat itu.”
Terkejut Brittany mendengarnya. Apakah itu tidak salah? Seorang Allary memiliki teman semacam itu? Siapa sebenarnya Allary ini? Seorang petualang atau apa? Brittany seketika bertanya-tanya.
“Sudah, aku yakin dia tidak terlibat. Tahanan itu mungkin cuma sembarang mencomot nama untuk menakuti, atau mengacaukan fokus kita. Aku yakin sekali temanku itu tidak terlibat.”
“Siapa nama temanmu itu, Allary?”
“Felix. Namanya Felix Norton.”
Brittany diam. Ingatannya mencatat baik-baik nama itu. Felix Norton. Dia akan menyelidikinya setelah ini. Mustahil semua ini hanya sembarang comot. Pasti ada motif di baliknya.


69
Tembakan di Perbatasan


Sementara namanya dipakai secara seenaknya oleh tahanan yang ditangkap Brittany, Felix terus melaju. Arahnya ke selatan. Titik koordinat terakhir yang diberikan Aguero adalah Ghana. Sementara ini dia akan terus melaju, menyusuri pantai barat Afrika, hingga sampai ke sana. Itu terdengar lebih baik ketimbang memotong jalan lewat Mauritania, sebab iklim di sana panas. Felix tidak mau merepotkan dirinya dengan gurun pasir.
Di perbatasan Sahara Barat, dia tidak mengalami banyak masalah. Dokumen “palsu” dari Aguero bisa menipu petugas imigrasi dengan baik. Pun di perbatasan Senegal, Guinea, sampai terus ke Liberia. Itu perjalanan yang berat. Hampir dua hari untuk melewatinya. Namun juga sekaligus perjalanan yang seru.
Sampai di perbatasan Pantai Gading, barulah Felix dihadang oleh masalah. Masalah yang sama seperti yang dihadapinya di perbatasan Maroko. Ada orang yang mengenali dokumen palsu miliknya. Tampilan orang berjas dan berkacamata itu sudah cukup bagi Felix untuk mengenali.
Orang ini adalah anak buahnya Brittany.
Felix mengambil kembali dokumen palsunya, memasukkan ke dalam tas, kemudian tanpa ampun meninju orang itu sampai terjungkal. Matanya berkilat, waspada.
Orang itu bersenjata, dia mengeluarkan pistol dari saku jasnya. Menembak. Felix dengan gesit melompat, berguling di atas meja panjang di pos pemeriksaan. Para petugas imigrasi mendekat. Pun juga beberapa orang lainnya yang berjas hitam berdatangan, setelah mendengar suara tembakan. 
Belasan senapan teracung ke arahnya sekarang. Felix menelan ludah, berdecak, dia tidak pernah suka bertarung menghadapi senjata api. Tidak seru, juga tidak bisa dia imbangi. 
“TEMBAK!!!” Satu orang berseru. Membuat semua senapan yang telah teracung, memuntahkan peluru. Felix melompat ke jendela dengan amat anggun, kemudian keluar dari pos imigrasi itu. Kaca jendelanya hancur kena tembakan peluru. Felix memutuskan untuk berlindung di balik dinding beton. Situasinya memburuk. Seharusnya dia bisa memperpendek jarak. Pertarungan jarak jauh tidak akan menguntungkan baginya yang tidak bersenjata. 
Akhirnya Felix memutuskan untuk kembali ke dalam mobil, melarikan diri, menarik diri dari perbatasan. Para petugas imigrasi menurunkan senjata begitu mobil Felix menghilang dari jarak tembak mereka.
“Huft, astaga, mereka semua nekat. Memakai tembakan tidak pernah seru. Aku tidak akan bisa melewati perbatasan jika mereka terus menjaga seperti itu.”
Felix memutuskan untuk menghubungi Aguero. Meminta update. Siapa tahu ada anak buah Brittany yang bisa dia culik di Liberia sini.


70
Beraksi


“Aguero, kau mendengarku?”
“Ah Felix. Sudah dua hari ya berjalan. Maaf ya, aku tidak mengabarimu update apapun. Ada kasus lain di Chile yang harus kuurus. Kasus yang mendesak. Ada apa teman?”
“Update, Aguero.”
“Belum ada update, Felix. Aku sudah bilang bukan, urusan di Chile menyedot perhatianku sepenuhnya.”
Felix berdecak, astaga, jalannya sekarang buntu, dan Aguero tidak memberinya update apapun. Jangan bilang dia harus merangsek lagi ke gerbang perbatasan dan main tembak-tembakan dengan prajurit yang ada di sana.
“Sekarang, bisakah kau mengerjakan sesuatu untukku?” Felix memohon, suaranya dihaluskan. Dia memutuskan mengalah, tidak ingin debat dengan Aguero.
“Aku sedang melakukannya, Felix. Aku sedang bergerak, menghubungkan data-data milik Brittany dengan data-data yang dimiliki Dacosta. Tapi sampai sekarang belum ketemu benang merahnya.”
“Seberapa susah?”
“Sangat susah,” Aguero bersungguh-sungguh. Ini seperti mencocokkan ribuan data. Harus memeriksa satu persatu. Apalagi tentang Dacosta, kau tahu sendiri, ada banyak data haram tentang mereka.”
“Berapa lama lagi kau bisa menyelesaikannya, Aguero?”
Terdiam sejenak di telepon, Aguero sepertinya sedang berhitung dengan jarinya, “sepertinya lusa, Felix. Itupun aku tidak menjamin seratus persen.”
Felix menepuk dahi. “Lusa? Itu terlalu lama, Aguero. Dengar, saat ini perjalananku tertahan. Aku tidak bisa masuk ke Pantai Gading karena ada banyak sekali orang bersenjata yang berjaga di perbatasan. Aku hanya berputar-putar. Tidak punya ide untuk menghadapi mereka. Tadinya kupikir kau bisa memberiku update. Bisakah kau bekerja lebih cepat, Aguero?” 
Felix tidak sadar lagi kalau dia sudah setengah mengomel. 
“Baiklah. Aku bisa. Hanya saja kita butuh trigger data. Ya, semacam kata kunci untuk mempersingkat pencocokan data.”
“Aku akan menemukannya untukmu. Apakah ada anak buah Brittany yang berlokasi di Liberia?”
“Sebentar, aku lihat database.”
Hening sejenak.
“Ada, aku akan kirimkan lokasinya.”
“Bagus,” Felix mengepalkan tangan. “Aku akan dapatkan informasi untukmu, Aguero. Aku pastikan itu. Saatnya beraksi.”


71
Penangkapan


Felix sebenarnya tak habis pikir. Sehebat apa sebenarnya organisasi yang dipimpin dan dimiliki gadis bernama Brittany itu? Super besar. Dia bertemu anak buah gadis itu di banyak tempat. Sejak dari Maroko, sampai ke Liberia. Luas area cakupan kekuasaan gadis itu jauh lebih besar dari Dacosta di Spanyol bahkan. 
Meskipun terlihat berkuasa, memiliki anak buah yang menyebar lintas negara, Aguero sempat bilang bahwa Brittany tidak memiliki nama apapun di dunia hitam. Dia dan organisasinya tidak pernah melakukan hal ilegal, tidak pernah melakukan kejahatan. Patut dicatat, Aguero melakukan analisis menggunakan database-nya yang memang dikhususkan untuk dunia hitam. Ada banyak data yang tersembunyi yang ikut dianalisis. Fakta itu tambah membuat heran Felix.
Jadi organisasi apa sebenarnya yang ada di bawah kendali Brittany itu? Ah jangan-jangan itu benar-benar semacam satuan resmi dari pemerintah atau badan internasional. Atkinson, musuh pertamanya di Maroko menyebut soal Dewan Keamanan PBB. Fakta-fakta itu semakin membuat bingung. Maka Felix bertekad, untuk meringkus salah satu anak buah Brittany dan membuatnya bicara. Mereka perlu trigger data untuk analisis.
Felix mengikuti dengan saksama, arah lokasi petunjuk yang dikirimkan oleh Aguero. Arahnya menuju ke sebuah bandara. Bandara Internasional Roberts. Sekilas dari kejauhan, Felix bisa melihatnya, ada beberapa orang berjas hitam di sana. Itu penampilan khas anak buah Brittany. 
Mereka sampai mengawasi tempat ini. Kurasa mereka mengantisipasi segala titik. Benar-benar orang yang berbahaya. Ada sekitar tiga orang berjas hitam di area bandara ini. 
Felix seharusnya mencari cara agar dia bisa menangkap salah satu dari tiga orang itu tanpa menimbulkan keributan. Namun karena dia sudah tidak sabar lagi untuk beraksi, jadilah Felix memarkirkan mobilnya di salah satu lobi gedung, kemudian sekonyong-konyong keluar. Dengan penampilan yang mencolok. 
Hanya butuh sekali menampakkan diri, maka mereka akan mengikutiku. Setelah itu kupancing mereka ke tempat yang lebih sepi. Semoga saja tidak ada dari mereka yang membawa pistol.
Felix menjalankan rencananya. Keluar dari mobil, dengan tanpa penyamaran apapun, sekali saja dia menampakkan diri di keramaian, orang-orang itu akan mengenalinya. Baiklah, dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga.
LARI!!
Felix benar, mereka mengenalinya langsung berlari mengejar. Lima meter pertama, Felix terpaksa lari sambil menengok ke belakang. Memastikan tidak ada dari mereka yang berlari sambil memegang pistol. Syukurnya tidak ada. Hanya seruan dan teriakan lantang, memintanya berhenti.
“STOOOOOP!”
Kalian semua telah termakan umpanku. 
Felix membawa mereka ke lokasi yang lebih sepi. Di dekat mobilnya terparkir, dia menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang, tiga orang berjas hitam sempurna berdiri mengepungnya, mereka semua tersenyum senang melihat mangsanya terkurung.
“Terima kasih sudah menampakkan diri, sehingga kami tidak perlu repot-repot mencarimu, Mister.” 
“Kau dinyatakan Bos bersalah karena telah melakukan pembunuhan terhadap Atkinson dan Mr. Carlos. Kau jangan melawan, kami memiliki surat perintah untuk membunuhmu di tempat jika perlu.”
Felix menyeringai. “Justru itu. Aku memang ingin mengetahui lebih banyak tentang Nona Brittany kalian itu.”
Tiga orang itu nampak kaget, nama bos mereka disebut tanpa samaran. 
“Kalian jangan terkejut begitu. Sebagai musuh, tentu saja aku banyak melakukan riset terhadap organisasi kalian, termasuk soal bos kalian itu.”
“Kau akan kami tangkap, perjalananmu berakhir di sini,” salah satu dari mereka bersuara, dan ketiganya kompak mengeluarkan alat setrum. Sepertinya itu adalah senjata khas organisasi Brittany. 
Felix memasang kuda-kuda, layaknya seorang petinju. Tidak, dia tidak perlu membunuh di sini. Tidak perlu menambah rumit semuanya. Dia hanya perlu melumpuhkan ketiga orang ini dan membawa pergi salah satunya.
Setelah itu semua beres.
Secara logika saja, apabila Felix bisa menang melawan Carlos, salah satu orang paling kuat di organisasi, kroco organisasi macam tiga orang ini, mudah saja baginya. Alat setrum itu makin mempermudah kerjanya. Sekali dia merebut alat itu, dia bisa melumpuhkan ketiga orang itu, sekali tepuk.
Felix memastikan satu orang yang hendak diculiknya terikat dengan kuat, disetrum hingga pingsan, kemudian memasukkannya ke mobil. Setelah itu Felix pergi dari tempat itu. Tanpa dia duga, salah satu agen yang tertinggal, masih sadar, langsung menelepon bosnya.


72
Nona Brittany Bukan Orang Jahat


Felix membawa sanderanya ke sebuah gudang tak terpakai di utara Liberia. Sekalian dia melihat apakah di perbatasan utara Liberia dengan Guinea, juga diketatkan penjagaan. Felix tidak mau berurusan dengan senjata api, lebih baik menghindari daripada kerepotan menghindar.
Sejauh yang diamatinya kemudian, jalur utara ini aman. Jadi sepertinya dia harus berputar untuk sampai ke Ghana. Mungkin ke Burkina Faso terlebih dahulu, kemudian ke Niger, baru turun ke selatan. Meski itu artinya 61 jam perjalanan, lebih dari 2 hari perjalanan. 
Felix juga, sambil menunggu sanderanya bangun, menghabiskan waktu untuk mengisi perutnya. 
Tepat pukul 7 malam, sandera yang telah dia dudukkan di kursi, diikat kaki dan tangannya sehingga tidak bisa bergerak, serta disumbat mulutnya, terbangun. Itu nyaris 4 jam setelah dia pingsan. Setruman benar-benar cara yang efektif untuk menyakiti orang lain, batin Felix. 
Felix segera mendekat, melihat dari dekat bagaimana sanderanya itu, pemuda berusia tak lebih dari 30 tahun, meronta-ronta ingin dilepaskan. 
“Teman,” Felix memegangi bahu orang itu dari samping, “kau tidak perlu meronta begitu. Aku tidak akan mencelakakanmu. Aku hanya ingin mengajakmu bicara. Ini juga demi meluruskan kesalahpahaman di antara kita. Jadi kau mau bersepakat? Aku akan mencabut sumbat mulutmu itu, tapi kau harus menanggapi dengan tenang pertanyaanku, oke?”
Orang itu mengangguk. Felix segera membukakan sumbat mulutnya. Namun ternyata dia tidak bersepakat, dia meronta, berteriak-teriak minta dilepaskan. Mengancam Felix soal Brittany yang akan mencarinya sampai ke neraka. Felix berlutut santai di depan orang itu sambil mengeluarkan pertanyaan pertamanya.
“Siapa sebenarnya bos kalian itu? Apakah dia mafia? Atau bos perusaahan, atau bos teroris, heh?”
CUIH!
Felix reflek menghindar. Menyeringai melihat cipratan ludah di lantai. Astaga, dia lupa, bahwa meski sudah melumpuhkan kaki dan tangan, sanderanya masih punya mulut untuk melawan.
“Jawablah baik-baik teman.”
“Jangan samakan Nona Brittany dengan orang jahat semacam itu. Nona Brittany bukan penjahat. Kaulah penjahat yang dicari dan dikejar Nona Brittany.”
“Hei, aku juga bukan penjahat,” sergah Felix, sedikit kaget. 
“Omong kosong. Kau sudah membunuh dua orang kami sebelum ini. Dan boleh jadi bertambah jadi tiga.”
Felix menyeringai, masih duduk berlutut, “kau salah teman. Aku bukan membunuh mereka. Aku hanya membela diri. Merekalah yang memulai masalah denganku duluan. Satu orang menuduhku memalsukan dokumen, sementara yang satunya menyerangku dengan bazooka. Aku hanya membela diri.”
“Omong kosong.”
Felix tertawa, “ayolah teman. Coba kau pikir baik-baik. Mereka duluan menyerangku. Aku cuma membela diri. Kebetulan saja aku jago berkelahi dan mereka tidak, sehingga aku bisa mengalahkan mereka. Mengenai membunuh, ah kalau tidak kubunuh, maka aku yang akan terbunuh. Sekali lagi, aku hanya membela diri. Jadi sebenarnya apa masalah kalian denganku?”
Orang itu menatap Felix dengan tajam, matanya berkilat-kilat. “Kau adalah orang jahat yang dikirim komplotan mafia jahat Eropa untuk menyerang Nona Brittany dan menghambat misinya.”
“Ah rupanya begitu anggapan kalian. Eh tunggu dulu, apa maksudmu mafia Eropa?” Felix bertanya, menyelidik.
“Sudah cukup. Kau bunuh saja aku. Aku muak melihat orang pura-pura suci seperti kau.” Orang itu tiba-tiba menyergah kasar. Felix terkejut. Kata Mafia Eropa itu, sepertinya mencurigakan. Aguero harus tahu.


73
Kabar Itu Sampai Ke Telinganya


Kembali ke Ghana. 
Seusai puas menikmati angin pantai yang perlahan mulai mendingin di Pantai Labadi Kota Accra, Allary mengajak Brittany mencari penginapan. Namun Brittany menolak. 
“Aku akan terus bergerak, Allary. Aku tidak bisa diam saja sampai pembunuh yang menguntit perjalanan kita itu bisa kuringkus.”
“Jadi apa rencanamu?”
“Aku akan terus berada di dalam mobil, meneruskan perjalanan ke selatan sambil mengumpulkan seluruh kekuatan yang ada. Informasi yang tersedia. Pokoknya semuanya, aku akan mengerahkannya untuk menangkap pembunuh itu.”
Allary mengangkat bahu, baiklah terserah Brittany saja. Itu berarti pula, gadis ini akan meminum pil anti ngantuk itu sekali lagi malam ini. 
Allary menemani Brittany sampai pukul 9 malam itu. Sepanjang jalan Brittany lebih asyik dengan teleponnya, mobil yang dikendarainya melaju dengan kecepatan sedang. Yang membuat Allary sedikit terganggu, adalah keputusan Brittany yang satu itu.
Tidak lain dan tidak bukan, memasukkan nama Felix Norton ke dalam daftar buruannya. 
“Jangan kamu lakukan hal itu,” cegah Allary segera setelah Brittany mengucapkan nama Felix. 
“Maafkan aku, Allary. Tapi boleh jadi penilaianmu terhadap orang itu bias karena kau terlanjur berteman. Jika dia memang berstatus sebagai mantan anggota mafia, aku harus membaca datanya. Aku harus mengumpulkan informasi tentangnya. Harus.”
“Aku yakin sekali dia tidak terlibat dalam hal ini,” Allary berkeras, hatinya kesal, kenapa juga tadi dia menyebutkan soal identitas Felix. Sekarang semuanya menjadi runyam. 
“Aku pinjam ponselmu sebentar, Allary.” 
“Eh buat apa?”
“Tentu saja untuk mendapatkan nomor telepon temanmu itu. Melacak keberadaannya, sangat mudah lewat nomor telepon itu.”
Allary menggeleng kuat-kuat. Dia tidak akan membiarkan Brittany mengikuti terlalu banyak petunjuk yang salah, Allary masih yakin kalau ini semua adalah umpan. 
“Ayolah,” Brittany membujuk, “aku pinjam sebentar saja. Atau begini, jika sinyal teleponnya menunjukkan kalau dia sedang ada di negerinya, dan bukannya di Afrika, aku akan menarik tuduhanku. Bagaimana?” 
Allary mau tidak mau akhirnya menyerahkan telepon. Semoga dengan begini, Brittany mau berhenti mencurigai Felix. Bisa kacau kalau sampai gadis ini, beserta seluruh anak buahnya itu bentrok dengan Felix. Itu pasti akan jadi pertarungan yang dahsyat.
Brittany menyalin nomor Felix ke ponselnya, kemudian menjalankan sebuah program aplikasi yang tidak pernah dilihat oleh Allary sebelumnya. 
“Tentu saja, karena ini adalah aplikasi peretasan dan pelacakan. Tidak semua orang boleh menggunakannya, dan tidak banyak orang yang boleh menggunakannya secara legal seperti aku.”
Allary manggut-manggut sambil harap cemas. Semoga Felix benar-benar sedang ada di Spanyol.
Aplikasi mulai bereaksi. Berproses. Lima menit menunggu, sampai akhirnya terdengar bunyi berdenting yang menandakan proses selesai. 
“Oh tidak, Allary,” Brittany terkejut melihat hasil pelacakan nomor. Apalagi Allary. Nomor Felix terlacak di Afrika. Bukan Spanyol. Tinju Allary mengepal. Apa artinya semua ini?
“Liberia, itu tidak jauh dari Ghana.” Allary bergumam. 
“Kau benar, Allary. Nah sekarang siapa yang kalah dalam taruhan kita?”
“Kita tidak pernah bertaruh, Brittany.”
“Ya, kita nyaris bertaruh, Allary. Bertaruh nyawa. Kita akan membereskan pembunuh itu terlebih dahulu, sebelum mencari Vivi lebih lanjut. Aku akan menghubungi semua anak buahku untuk bersiap-siap.”
Belum lagi Brittany sempat membuka menu panggilan di layar ponsel, saat satu panggilan masuk lebih dulu. Anak buahnya. Brittany segera mengangkat, mendengarkan seruan panik. 
“Bicara, ada apa sebenarnya!?” Brittany berseru-seru.
“Gawat nona. Pembunuh itu telah berbuat nekat. Dia menculik Andreshi. Membawanya kabur naik mobil. Kami sudah berkeliling di sekitar bandara, tapi nihil jejak.”
“Kalian sempat mengambil gambar pembunuh itu? Lebih mudah mencarinya jika mengenali wajah.”
“Ya Nona, CCTV bandara sempat menangkap wajah orang itu.”
“Bagus,” Brittany mengepalkan tangan, “dengar, kirimkan segera foto dan laporan ini ke bagian pencarian. Sebentar lagi aku akan menyuruh mereka bergerak. Semoga orang itu masih ada di Liberia.”
“Siap Nona.”
“Oh ya, kirimkan juga foto orang itu padaku. Aku ingin melihatnya.”


74
Kau Lihat Baik-baik, Allary


“Apakah dia terlihat seperti temanmu dari Spanyol itu?” Brittany menunjukkan foto, potongan rekaman CCTV yang telah dikirimkan oleh anak buahnya barusan. Foto itu tidak terlalu jelas. 
Allary menggeleng, “aku tidak bisa memastikan.”
“Well, aku memang tidak pernah melihat secara langsung temanmu itu. Tapi aku bisa merasakan, foto ini akan membawa kita ke petunjuk yang lebih terang. Divisi pencarian sedang bekerja. Mereka juga akan mencocokkan foto ini dengan data-data tentang Felix Norton.”
“Kuharap tidak ada kaitannya,” sahut Allary suram. Brittany tersenyum kecil, “aku berharap kau tidak terlalu kaget jika semua ini terbukti benar.”
“Maka perjalanan ke sana akan membuktikan semuanya salah.”
Brittany menggeleng cepat, “kau membelakangi fakta, demi membela temanmu. Kata-katamu bias informasi. Mana bisa aku percaya dengan apapun keteranganmu, Allary. Apalagi, setiap informasi yang dikirim kepadaku, menuntun ke kesimpulanku, bukan kesimpulanmu.”
Kemudian mereka berdua diam. Brittany tidak bersuara saat memutar setir, balik arah, ke utara, menuju Liberia. Tak lupa dia meminum obat anti ngantuk itu, sambil menawarkannya pada Allary.
“Tidak,” Allary mengibaskan tangan, menolak, “aku ingin beristirahat malam ini. Kurasa tubuhku belum kuat untuk tidak tidur berhari-hari.”
“Baiklah.” Brittany memasukkan kembali botol pil miliknya ke dalam tas.
“Seharusnya kamu juga beristirahat dengan cukup. Tidak baik untuk memaksakan tubuh sampai berhari-hari tidak tidur.” 
Brittany tertawa, “kau tidak perlu mencemaskan aku. Aku sudah sering tidak tidur selama berhari-hari, aku sudah menjalankan banyak misi ke daerah-daerah yang sangat jauh. Pil ini selalu jadi teman yang baik. Walau ya, terima kasih sudah mengkhawatirkan kondisiku.”
Allary justru tersenyum masam. Bukan itu sebenarnya maksudnya. Maksudnya adalah, seharusnya Brittany tidak perlu minum pil itu, beristirahat dan tidak perlu juga melanjutkan perjalanan malam ini. Tidak perlu datang ke lokasi Felix. 
“Kita justru semakin jauh dari Vivi kalau begini, Brittany. Kamu menyadari hal itu?”
“Iya. Aku akan membereskan soal Vivi itu setelah ini. Setelah meringkus pembunuh yang beberapa hari menyesaki pikiranku.” Brittany berucap tanpa dosa. 
Allary menyadari dirinya tidak akan bisa memenangkan debat dengan gadis ini, memutuskan untuk meluruskan punggung sejenak, peregangan, sebelum akhirnya terlelap. Mereka mungkin baru akan sampai di Liberia besok pagi. Semoga Brittany membangunkannya. Allary harus beraksi besok, terlepas dari Felix yang diduga itu adalah Felix yang benar temannya, atau bukan.
Namun, semoga saja tidak.


75
Data Kita Sudah Diketahui


Orang yang sejak tadi diomongkan oleh Allary dan Brittany, yakni Felix, masih berusaha menginterogasi anak buah Brittany yang telah dia tangkap, sanderanya. Penampilan wajah sanderanya itu sudah compang-camping tak karuan. Lebam, hidung dan bibir berdarah, bahkan ada potongan gigi di lantai. Felix nampaknya sudah melakukan cara-cara yang “keras” untuk menyuruhnya bicara. 
“Kau serius tidak mau mengatakan dimana Nonamu itu sekarang?”
Orang itu bungkam. Felix berjalan-jalan mengitari kursi sanderanya. 
“Jawablah teman, aku tidak berniat buruk dengan nonamu. Hanya saja, temanku saat ini sedang bersama dengannya. Aku hanya ingin bertemu dengan temanku. Hanya itu. Nah apakah kau mau memberitahuku dimana nonamu sekarang?”
Orang itu masih bungkam, menggeleng.
“Ayolah, aku tahu kau tahu dimana lokasinya. Mudah saja bagimu untuk melacaknya. Kalian terhubung dalam sebuah jaringan aplikasi bukan? Organisasi sebesar milik Brittany yang meliputi banyak negara pasti punya sistem jaringan yang memungkinkan anggotanya tahu lokasi satu sama lain dengan cepat. Jadi kau mau memberitahuku, atau tidak?”
Orang itu tetap menggeleng. 
BUKKKKKK!
Felix menendang sandera itu tanpa ampun di bagian perutnya. Membuat dia, beserta kursinya melayang terbang. Namun sandera itu bahkan tidak bersuara kesakitan. Felix memasang wajah seram. “Kau tahu, aku sudah kehabisan kesabaran sekarang. Cepat beritahu aku.” Felix mencekal leher orang itu.
Dengan darah memancar di mulut, orang itu berbicara lemah, “bunuh saja aku di sini, maka semakin mengerikanlah pembalasan yang akan kau terima dari Nona Brittany.”
“Aku tidak takut. Jika Brittany memang sehebat yang kubayangkan, aku justru senang, akhirnya aku punya lawan yang sepadan.” 
“Kau tidak akan....”
Suara sandera terputus. Felix telah melumpuhkannya dengan alat setrum. Sandera kehilangan kesadaran. Felix berdiri, hendak beranjak. Tidak ada lagi informasi yang bisa didapatnya.
Saat Felix hendak masuk ke mobil, Aguero menghubunginya. Suaranya terdengar seperti orang yang sedang kebelet BAB berdiri mengantre ke kamar kecil. Tergesa-gesa.
“Felix, kau bisa mendengarku.”
“Ya, sangat jelas,” Felix sebaliknya, menyahut santai. Setelah mendapati sandera yang ditangkapnya susah payah sama sekali tidak membantu, Aguero pasti hendak memberi petunjuk lain. 
“Kau belum kehilangan kepalamu bukan?”
“Eh apa yang kau maksud?” Felix langsung terkejut.
“Tidak ada sekompi pasukan yang sedang mengepungmu dengan senjata teracung bukan?”
Felix membenarkan duduknya, “ada apa Aguero? Kenapa kau terlihat begitu panik. Aku dalam keadaan baik. Aku baru saja menginterogasi anak buah Brittany yang kau infokan, di Liberia. Sayangnya tidak banyak...”
“Darurat Felix! DARURAT! SISTEMKU DIRETAS!” Aguero berseru-seru.
Felix mencerna kalimat itu sejenak. Diretas? Ah siapa pula yang hendak meretas sistem milik penjahat. Bukankah lebih menguntungkan meretas sistem milik pemerintah?
“Siapa yang melakukannya, Aguero? Dan kenapa kau terdengar begitu panik?”
“Ada orang yang sedang menyelidiki tentang kau. Dia, ah tidak, terlalu rumit untuk meretas timku seorang diri, mereka, telah mengobrak-abrik sistemku, untuk menemukan data tentang dirimu.”
Felix mulai serius mendengar hal itu, “lalu apa dampaknya? Bukankah kau tidak punya banyak data tentang aku?”
“Astaga, kau tidak mengerti. Sekali sistemku diretas, bahkan panggilan telepon kita ini, bisa mereka dengar. Mereka benar-benar serius dalam menghadapi kau, Felix.”
“Mereka, maksudmu, Brittany dan organisasi besarnya itu?”
“Benar sekali. Siapa lagi kalau bukan mereka.”
Felix diam sejenak, memperhatikan sekitar, “kondisi di sini masih aman, Aguero. Aku belum menemukan gangguan apapun.”
“Mereka pasti sedang memprosesnya. Itu perlu waktu. Tapi aku tahu, waktunya amat sempit. Kita harus mengatur rencana baru.”
“Jangan di sini, Aguero. Nanti kena retas! Kau terlalu khawatir sampai tidak bisa berpikir jernih.” Felix berseru, kesal. Pelan-pelan dia mulai merasakan, situasi menjadi genting.


76
Bersembunyi


Lewat manakah Aguero dan Felix kemudian menjalin komunikasi? Soal itu, Aguero tidak pernah kekurangan solusi. Setelah Felix bilang mereka tidak boleh melanjutkan mengatur rencana lewat jaringan telepon ini, terjadilah konsolidasi baru di kota Cuzco sana. 
Aguero memanggil anak buahnya yang kompeten dalam memperbaiki kerusakan sistem yang telah diretas. Itu akan membuat semua aktivitas organisasinya lewat sistem akan terganggu. Tapi itu tidak akan mengganggu banyak hal. Aguero telah terbiasa mengatur anak buahnya untuk berkonsolidasi tanpa media elektronik alias langsung menerima perintah, dari mulut ke mulut. Berkat pesan berantai, tak sampai satu jam, pesan dari Aguero tentang keberadaan Felix sudah diketahui oleh Rubilicio. 
Demi mengetahui temannya sedang terancam bahaya di Afrika sana, Rubi segera mengirimkan seseorang, anak buah kepercayaannya dalam mengurus bisnis, untuk turun langsung ke Afrika, menolong Felix. 
Lewat orang kepercayaan Felix itulah, instruksi Aguero akan dialirkan. Begitu cara canggih Aguero dalam mengakali peretasan sistemnya.
Felix sendiri, di Liberia langsung memutuskan untuk bersembunyi. Nalurinya mengatakan kalau musuh yang dihadapinya ini sangat besar dan sangat berbahaya. Dia bersembunyi bukan karena dia takut, tapi karena dia ingin memantau kembali kekuatan musuhnya. Sembari menunggu kabar terbaru dari Aguero. 
Di saat itulah, anak buah kepercayaan Rubi, namanya Thomas, (orang Inggris), mendatangi Felix di tempat persembunyiannya. Hanya dalam sembilan jam, ketiga sahabat itu berhasil tersambung kembali, tanpa disadari pihak musuh.
Thomas segera memberikan telepon miliknya, agar Aguero dan Felix bisa kembali terhubung.
“Apa rencana kita berikutnya, Aguero?” Felix segera bertanya begitu telepon terhubung.
“Bersembunyi,” sahut Aguero pendek. 
“Bersembunyi?” menyernit dahi Felix dibuatnya. Sejak kapan Aguero berpikir dia akan terus bersembunyi? Dia bukan seorang pengecut.
“Kau dengarkan aku baik-baik. Ada detail penting yang tadi tak sempat kuberitahukan padamu. Gara-gara soal peretasan, tak sempat kujelaskan.”
“Kalau begitu cepat jelaskan.” Felix mendesak.
“Kemarin, aku mendapatkan laporan dari anak buahku, bahwa salah satu anggota tim pencari informasiku di Afrika, ditangkap oleh organisasi Brittanny. Kemungkinan orang yang ditangkap itulah yang membocorkan tentang kau, Felix.”
“Apa katamu? Seharusnya kau bisa membuatnya bungkam tentang informasi tentangku, Aguero. Kau seharusnya bisa melindungi data privasiku.” Felix menyergah, tidak sabaran.
“Iya aku tahu, aku minta maaf untuk yang satu itu,” Aguero melemahkan suaranya, “aku sudah berusaha. Tapi penangkapan itu berada di luar prediksiku, dan Brittany pasti akan melakukan apapun untuk membuat tahanannya buka suara. Pemerasan informasi dari sandera, interogasi, itu adalah yang wajar bukan?”
Felix menghela nafas. Itu kabar yang gawat. Kalau musuh memiliki sandera, mereka bisa melakukan hal yang tak terduga. Akhirnya setelah hening beberapa saat, Felix menyahuti, “lalu apa strategi selanjutnya, Aguero. Kita tidak bisa bergerak sembarangan sementara lawan punya sandera dari pihak kita. Mereka bisa melacak kita.”
Aguero terdengar menghela nafas, “sebenarnya itu sudah terjadi, Felix. Mereka sudah meretas sistemku. Perlu waktu untuk membereskan ini semua. Beri aku waktu, maka aku akan mencoba sebaik mungkin. Nah sementara itu, sementara semuanya belum jelas, sebaiknya kau bersembunyi dulu, Felix. Kau bisa melakukannya?”
“Baiklah, kurasa aku bisa memahami itu. Asal kau pastikan bisa membereskan ini semua.”
“Pasti. Dalam satu dua hari, aku janji. Bahkan aku akan merencanakan serangan balik pada Brittany jika diperlukan.”
Mendengar kata serangan balik itu, Felix berseru, “hei kau jangan melakukan serangan balik tanpa aku. Aku harus terlibat.”
Aguero tertawa. “Baiklah, Felix.”


77
Serangan Balik yang Mengejutkan


Sementara itu, Allary dan Brittany masih mengendarai mobil dengan kecepatan mantap menuju Liberia. Sudah bulat tekad Brittany untuk menangkap pembunuh itu, apapun yang terjadi. Oleh karena didorong oleh tekadnya itu, Brittany mengonsumsi dua butir pil anti-ngantuk sekaligus. Matanya memerah. Tubuhnya terdorong sepenuhnya ke level maksimal. 
Sedangkan Allary duduk di sebelahnya, tertidur. Tertidur ayam. Allary masih bisa terbangun kalau Brittany tiba-tiba menabrak jalanan berbatu atau jalan berlubang. 
Pukul 2 malam, mobil Brittany dengan kecepatan maksimal telah sampai di perbatasan Pantai Gading. Anak buahnya berjaga di pos. Berdiri menghormat begitu Brittany tiba di sana. Allary ikut terbangun. 
“Lapor Nona, sampai detik ini, pos ini masih aman. Baru ada satu kali percobaan penerobosan. Kami berhasil menanganinya. Orang itu kembali ke Liberia, dan sepertinya masih tertahan di sana.”
Brittany tersenyum penuh respek. “Kerja bagus. Pertahankan kerja kalian. Aku akan segera membereskan orang itu. Kalian tetap jaga perbatasan. Perketat pintu masuk Pantai Gading dari berbagai penjuru.”
“Siap Nona. Saya sudah menyebar banyak peleton pasukan ke pintu-pintu perbatasan. Setiap jengkal dijaga 24 jam. Orang itu tidak akan bisa masuk ke perbatasan.”
“Kabari aku jika ada update.”
Kepala peleton pasukan itu mengangguk, kemudian membukakan pintu perbatasan. Brittany melintas, Allary menguap. Dia masih ngantuk, tapi pembicaraan Brittany tadi terlalu menarik untuk dilewatkan.
“Bagaimana update informasi di Liberia, Brittany? Apa ada informasi yang kulewatkan.”
Brittany menggeleng, “tidak. Belum ada update dari mereka. Sepertinya tim pencari masih berusaha keras. Pembunuh itu, buruan kita, adalah orang yang lihai. Jika dia bisa membunuh Carlos, agen terbaikku, dia pasti juga cukup lihai menyembunyikan diri.”
Allary mengangguk membenarkan. “Lalu apa rencana kita?”
“Aku akan mencarinya sendiri. Anak buahku sudah memberikan lokasi pertemuan. Aku akan mengatur rencana berikutnya setelah tiba di lokasi itu.”
“Kau tidak berniat mengajak peleton pasukanmu di perbatasan Pantai Gading itu? Mereka terlihat cukup terampil. Sepertinya, mereka adalah pasukanmu yang terbaik ya?”
Brittany tertegun. Allary lagi-lagi bisa menebak kemampuan pasukannya hanya dengan melihat postur, bentuk fisik. Allary benar-benar seorang petarung handal. Tebakan Allary benar, peleton penjaga perbatasan Pantai Gading adalah pasukan Brittany yang kuat. Bahkan salah satu yang paling kuat. Namun pasukan itu tidak dilibatkan Brittany dalam penyergapan, biarlah mereka tetap di perbatasan.
“Kau tidak berniat untuk tidur lagi, Allary?”
“Aku tidak mengantuk, Brittany. Sangat segar. Apalagi melihat kau begitu bersemangat di sebelahku ini.”
Brittany tertawa kecil. “Tidak jelas kau sedang memuji atau mengkritik, Allary.”
“Anggap saja pujian.”
Allary dan Brittany sama sekali tidak menyadari, bahwa di antara celah rumah penduduk di jalanan yang sunyi, ada sesuatu yang mengincar mereka. Sebuah senjata api berselongsong panjang sedang teracung ke arah mobil mereka. Siap menarik pelatuk.
DORRR!!
“ALLARY ADA TEMBAKAN, MENUNDUK!” Brittany berteriak, langsung menghentikan mobilnya, menunduk. Sementara Allary tidak perlu diperingati, sudah lebih dulu menyembunyikan kepalanya di antara kursi mobil. 
DORRR!!!
Tembakan kedua dilepaskan, mengenai bodi mobil. Membuat Brittany berdecak. Astaga, siapa pula yang berusaha menembak mereka. Situasi berubah jadi kapiran. 
“Aku akan menghubungi pasukan bantuan. Astaga, semoga mobilku ini bisa bertahan.”
“Biar aku yang tangani,” Allary hendak beranjak, tapi Brittany mencekal tangannya. Mengisyaratkan Allary tidak perlu keluar, berbahaya menghadapi penembak yang tidak terlihat di tengah malam begini.
Serangan balasan dari musuh mereka, sudah sampai.


78
Petarung yang Jago di Dalam Gelap


Jarak mereka, dari gerbang perbatasan Pantai Gading - Liberia, tidak terlalu jauh. Tak sampai lima belas menit, pasukan bantuan yang diminta Brittany langsung berdatangan. Mereka adalah peleton pasukan penjaga perbatasan Pantai Gading, peleton pasukan yang tadi disebut Allary sebagai yang paling jago diantara pasukan Brittany yang lain.
Meskipun harus berjibaku di tengah kegelapan, peleton pasukan terkuat itu, menang jumlah, berhasil mengatasi sang penembak jitu dalam kegelapan. Mudah bagi mereka, tinggal melacak arah peluru kemudian meringkus orang itu. Kepala peleton melapor pada Brittany, sehingga Brittany dan Allary keluar dari mobil. 
Penembak itu telah diringkus. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Kepalanya ditutupi semacam bungkus yang membuat hanya matanya saja yang terlihat. Seperti ninja. Melihat penampilan itu dari jauh, enam sampai tujuh langkah, Brittany langsung tertegun.
“Bukankah dia...”
Tepat saat itulah, pria ninja menggeliat, meronta, kemudian dengan sedikit keahlian beladiri yang amat mengagumkan, dia menendang senter yang dipegangi peleton pasukan, senternya sampai hancur, tidak berfungsi lagi. Kini hanya gelap yang menyelimuti mereka.
“Kita salah memilih lawan, Allary. Bertahanlah kalian semua.”
BUKKK!
Terlambat. Orang itu sudah bergerak, sejenak kemudian, di dalam gelap terdengar suara teriakan perempuan.
“NONA BRITTANY!”
Sia-sia. Teriakan dari kepala peleton memang terdengar, tapi apa, dia sama sekali tidak berbuat apa-apa. Hendak menembak, terlalu beresiko. Jangan-jangan nanti tembakannya malah nyasar ke kepala Brittany.
BUKKKKK!!
“AKHH!”
“KOMANDAN!” 
Kali ini terdengar bunyi erangan kesakitan dari kepala peleton dan kemudian disahuti oleh anak buahnya yang sama tidak bisa berbuat apa-apa juga. Ada yang bergegas mencari senter cadangan, tapi tidak lama yang terdengar hanya suara pukulan disertai erangan. Enam kali pukulan. Berarti seluruh anggota pasukan bantuan, telah tumbang. Mereka salah perhitungan. Mereka salah memilih lawan. Musuh mereka sangat kuat.
Tinggal Allary yang masih berdiri. Dan mungkin cuma dia yang bisa melihat sekilas pergerakan musuhnya sejak tadi. Allary juga terlatih bertarung dalam gelap, meski hanya dalam simulasi. Reyhan dan Thahir sering menantangnya dengan lampu dimatikan. Simulasi itu pula yang membuat Allary yakin, lawannya ini bukan orang remeh. 
Dia bergerak dengan mendengarkan suara. Seperti seekor kelelawar. Itu artinya aku tidak boleh membuat suara yang mencurigakan. 
Allary berhitung situasi. Dengan dia yang bisa melihat pergerakan orang ini sedikit, mungkin ada baiknya dia yang menyerang ketimbang nanti dia yang diserang dalam gelap, dengan kecepatan. Dia tidak akan punya kesempatan jika begitu.
Allary meloncat, melenting dan menerjang ke arah orang itu. Siap dengan tinju. Sayangnya musuh bisa melihat gerakannya dan menangkap tinju kanannya. Secepat yang dia bisa, Allary ganti mengarahkan tinju kirinya, dan kembali berhasil ditangkis. Kini kedua tangannya dikunci dengan erat oleh sang musuh. 
BUKKK!
Posisinya terbuka. Dengan menggunakan kaki, musuhnya berhasil menendang Allary. Kena telak. Allary melenguh. Sebagai anggota klub petinju, dia memang tidak pernah terbiasa menggunakan kaki saat pertarungan. Lagipula itu tidak terhormat.
Seusai menendang, orang itu mundur dua langkah, melepaskan tinju, mungkin dia berharap Allary kalah dalam satu serangan. Namun tentu saja tidak. Allary jauh lebih tangguh. Dia anggota klub yang paling tangguh di antara yang lainnya.
Begitu tinjunya dilepas, Allary langsung merangsek ke depan. Dua tinjunya langsung beraksi, bersilangan. Mendarat di perut dan bahu. Allary tidak memberi ruang bagi musuhnya untuk bereaksi. Langsung mendaratkan tinju-tinju lain di pelipis dan bagian leher. Tanpa ampun.
“Tangguh,” lenguh orang itu dengan suara serak. Dia bisa bahasa Inggris namun aksennya aneh sekali.
“Jangan pikir cuma kau yang bisa bertarung dalam gelap.” Allary balas menyahut.
“Kalau begitu, aku harus mengakhiri pertarungan ini dengan cepat, sebelum kau bisa mengalahkanku.”
Orang itu mengeluarkan sesuatu. Seperti sebuah senjata tajam. Allary menelan ludah. Nah sekarang, situasinya, benar-benar genting.


79
Situasi di Rumah Sakit


Seandainya saja, seandainya orang itu tidak mengeluarkan pisau, tidak menggunakan senjata tajam, mungkin malam itu, Allary bia menang. Menerima pukulan demi pukulan bisa ditahannya, tapi kalau soal sabetan pisau, itu perkara lain. Butuh kekebalan untuk menangkisnya. Allary tak berdaya dalam gelap. Dia tersungkur. Paha dan lengannya terasa berdenyut-denyut. Musuhnya itu tidak mencoba membunuhnya, hanya ingin dia lumpuh sehingga tidak bisa mengejar. Allary pingsan.
“NONA BRITTANY!” 
Kepala Peleton yang pertama kali terbangun dari pingsan, bergegas mencari pencahayaan, senter dari ponselnya, melihat keadaan sekitar. Musuh mereka sudah melarikan diri, namun setidaknya, anggota pasukannya masih lengkap. Nah, ketika kepala peleton itu mengarahkan senter pada Allary, dia genap berteriak. Allary jatuh bersimbah darah. 
Brittany bangun, dan demi melihat Allary jatuh bersimbah darah begitu, tak tega dia. Bergegas dia meneriaki pasukannya untuk mengevakuasi Allary. Dibantu dengan kepala peleton, Brittany membawa Allary ke mobilnya. Darah mengalir dari luka Allary. Brittany bergegas naik, dan menyalakan mobil. Beruntung, meskipun bodi mobil bolong dan penyok, kaca mobil pecah sebagian, mobil milik Brittany itu masih bisa menyala. 
“Kau, telepon rumah sakit, bilang mereka untuk menyiapkan kamar terbaik. Rumah sakit mana yang terdekat?” 
Kepala peleton dengan cepat pula membuka ponselnya. Melihat informasi. “Liberia Medika Center Hospital, Nona.”
“Berapa jauh jaraknya?”
“Setengah jam perjalanan.”
“Bagus, kita ke sana sekarang juga. Suruh anak buahmu untuk mengosongkan jalan. Kita perlu cepat. Kita harus menyelamatkannya.”
“Dia masih bernafas, Nona?” Kepala peleton prihatin melihat kondisi Allary yang compang camping.
Brittany mengangguk. Dia tadi sempat mengecek nadi Allary. Mash berdenyut. Allary masih hidup, jadi mereka harus mengusahakan yang terbaik untuk menolongnya. Brittany menggigit bibir. Aku harus menyelamatkannya. Allary pasti telah bertarung untuk melindungi kami semua. Bertaruh nyawa. Maka, aku tidak akan membiarkan siapapun yang telah mempertaruhkan nyawa untuk melindungiku, mati sia-sia. Brittany menelan ludah.
Kepala Peleton tidak lagi bertanya. Langsung memacu mobil secepat mungkin. 
Liberia Medika Center Hospital. 
Singkat kata, Allary tertolong. Dokter sempat mengoceh soal “andai terlambat sebentar saja, mungkin teman kalian tidak tertolong.” Ditambahkan dengan komentar, “dia hampir kehabisan darah.” 
Brittany tidak peduli detail itu. Dia langsung menarik nafas lega. Setidaknya nyawa Allary bisa dia tolong.


80
Petunjuk yang Tertinggal di Senapan


Tentu saja Brittany telah berjaga-jaga sepenuhnya. Gedung Liberia Medika Center Hospital ini diawasi oleh belasan anak buah kepercayaannya. Mereka menyamar di setiap sudut, dan di kamar Allary, Brittany ditemani oleh kepala peleton. Semua bersiap atas segala kemungkinan.
“Sudah lama anda tidak sesiaga ini, Nona Brittany.” Kepala peleton bergumam, dia berdiri tepat di belakang Brittany yang sedang berdiri menatap ke arah jendela.
“Semua kejadian ini, semua ketakutan ini, sangat beralasan. Kau tahu.” 
“Maaf jika saya lancang. Tapi saya tidak tahu apa yang saat ini anda takutkan.”
“Peristiwa ini berkesinambungan, kapten,” Brittany tersenyum mengejek, “aku yakin sekali, orang yang tadi menyerang kita, ada kaitannya dengan pembunuhan terhadap Carlos. Malah aku yakin sekali, itulah orangnya. Andai saja aku sempat mendengar Allary mengobrol dengan orang itu, mungkin ada petunjuk di sana.”
“Baiklah, saya akan meminta pasukan untuk semakin berhati-hati.” 
Brittany manggut-manggut. “Terima kasih. Oh ya, apakah ada jejak atau petunjuk kemana musuh kita melarikan diri?”
Kapten menggeleng, “tidak ada Nona. Saya sudah menyuruh salah satu anggota pasukan untuk meneliti jejak atau petunjuk. Nihil. Orang itu berhasil menghapus semuanya.”
“Tidak ada benda-benda yang tertinggal?”
“Tidak ada nona, eh...”
Tiba-tiba kalimat Kapten terpotong, dia seperti teringat sesuatu. Brittany menantikan kalimat sambungannya. “Apa, kapten?”
“Senapan itu, senapan milik orang itu, kami sempat menjatuhkannya. Sepertinya senapan itu masih tertinggal di tempatnya.”
“KALAU BEGITU CEPAT AMBIL!” Brittany reflek meneriaki. Kapten terkesiap. Langsung meraih teleponnnya. Membuat Brittany gemas. 
“Tidak perlu menghubungi anak buahmu, kapten. Langsung saja. Kau saja yang langsung mengambilnya. Cepat. Ini perintahku!” 
Kapten peleton pasukan langsung lari kalang kabut seperti orang kebelet ke kamar mandi. Brittany menghela nafas. Semoga benda itu masih berada di sana. 
Setelah kapten itu terlihat meninggalkan gerbang rumah sakit, Brittany meraih ponselnya. Mengirimkan pesan singkat, sebagai penjelas instruksi. 
“Setelah kau ambil benda itu, langsung kau serahkan ke divisi forensik. Jangan buang waktu. Aku ingin sebelum matahari terbit, sudah ada update yang masuk.” 
Klik send. Terkirim.
Brittany lamat-lamat menguap. Ngantuk perlahan datang. Tubuhnya lelah. Pil anti ngantuk itu tak kuat untuk menahan ngantuk dan lelah yang ditanggung oleh tubuhnya. Tidak lama kemudian, kepalanya ikut berdenyut. Brittany memutuskan mencari tikar atau alas lantai. Mungkin dia bisa tidur sejenak sambil menunggu update saat pagi datang.
Dua jam berjalan. 
Kapten peleton ragu-ragu membangunkan nona-nya yang tertidur lelap di lantai rumah sakit. Brittany bangun, mengerjapkan mata. Astaga, rasanya dia tidur nyenyak sekali. Begitu kesadarannya terkumpul lima menit kemudian, Brittany segera kembali ke sikap tegasnya. 
“Update kapten.”
“Ada baiknya Nona Brittany membasuh muka dulu agar segar. Supaya semua informasi yang saya sampaikan ini, bisa dicerna oleh Nona dengan baik.”
Brittany menurut, membasuh wajah. Kapten peleton duduk di sana, dekat jendela. Sebuah bungkusan tas menggantung di belakangnya. Begitu Brittany mendekat, dia buka bungkusan tas itu.
Sebuah senapan adalah isinya.
“Ini dia senapan milik orang itu. Sudah diperiksa di bagian forensik dan analisis data.”
“Bagus. Aku akan ambil senapan ini. Sepertinya akan berguna dalam perjalanan. Baik, kita langsung ke update. Cepat sampaikan semuanya padaku.”
“Baik, Nona,” Kapten meluruskan duduknya, “pertama, kabar baik. Senapan ini memang milik orang itu. Bagian forensik sudah mencocokkan dengan data seluruh pasukanku, tidak ada yang cocok. Ada sidik jarinya juga. Kami segera mengidentifikasi orang itu.”
“Bagus. Bisakah jejaknya dilacak dari hasil identifikasi itu?”
“Belum Nona, setidaknya belum bisa sekarang. Tim analisis masih bekerja. Tadi saya sempat bertanya langsung pada mereka. Mereka mencocokkan data identifikasi orang itu, dengan data orang bernama Felix Norton itu. Saya minta maaf jika saya lancang bergerak sendiri tanpa izin dari Nona. Tapi tim analisis mengabari saya, bahwa data pemilik senapan ini berbeda, dengan data Felix Norton. Jauh sekali bedanya.”


81
Kita Telah Salah Memilih Jejak, Brittany


Brittany terkejut, sangat terkejut, atau terlalu terkejut malah mendengar informasi itu. Informasi itu seolah mengoyak separuh keyakinannya. Untuk itu, Brittany harus memastikan dengan menelepon bagian analisis. 
“Ya Nona, kami sudah memeriksa datanya. Baru saja kami mutakhirkan. Pemilik senapan yang menyerang rombongan anda di Liberia itu sudah nyaris bisa diidentifikasi orangnya.”
“Siapa dia?”
“Kelelawar padang pasir, Boujogar.” 
Boujogar, nama julukan, dia adalah seorang pembunuh bayaran yang terlatih. Petarung, polisi, petugas keamanan, badan intelejen, semua orang mengenalnya, namun tidak satu orangpun bisa menangkapnya. Dia amat bebas. 
“Kalian yakin?”
“Seperti kata saya, Boujogar, 90% sudah dipastikan.” Suara anggota tim analisis terdengar meyakinkan sekali. 
Brittany menghela nafas. Boujogar, kalau orang itu terlibat dalam kegiatan kelompok Brittany, maka itu jelas bukan kabar baik. Apakah Boujogar itu ada kaitannya dengan Felix Norton? Brittany harus memastikan hal itu. 
“Boujogar, saya dengar pembunuh bayaran itu sedang berafiliasi dengan kelompok tertentu,” Kapten peleton pasukan menambahkan informasi, “dari informasi yang terakhir saya punya Nona, dia bekerja sama dengan Mafia Sahara.”
Telinga Brittany berdiri mendengar dua kata terakhir. Sebagai orang yang kenyang bolak-balik berkeliaran di Afrika, nama itu adalah hantu baginya. Akhirnya ada yang menyebut nama itu, musuh besar itu. Brittany membatin.
“Kapten, dengarkan aku. Aku punya tugas baru untukmu. Sekarang juga, kau cari seluruh data tentang Boujogar dan Mafia Sahara. Identifikasi semuanya. Koordinasi juga dengan tim analisis, cocokkan dengan data-data Felix Norton. Situasi sekarang menjadi lebih buruk.”
Kapten peleton mengangguk, balik kanan. Brittany menghempaskan diri ke kursi. Mengusap wajah. Gara-gara Boujogar ini, arah perjalanannya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. 
Jangan-jangan, pembunuh bayaran yang menyerang Carlos, itu bukan Felix Norton, melainkan Boujogar. Mafia Sahara selalu hebat dalam memanipulasi data. Ah, ini menjadi semakin rumit. Brittany mengacak rambutnya.
“Brittany...” 
Tiba-tiba terdengar suara seruan dari belakang. Brittany langsung berbalik, itu suara Allary. Allary sudah bangun. 
“Kau sudah sadar, Allary? Apakah masih ada yang sakit? Kau baik-baik saja?”
Allary tidak menjawab, tangannya menggapai lengan Brittany. Isyarat matanya meminta Brittany mendengarkan kata-katanya. Suara Allary begitu pelan terdengar.
“Kita sudah salah pilih jalur, Brittany.”
Brittany mendekatkan telinganya ke Allary, mencoba mendengarkan dengan lebih saksama. “Apa maksudmu, Allary.”
“Orang itu, orang yang menyerang kita, bukan Felix, dan dia sama sekali tidak terkait dengan Felix. Kau harus percaya denganku.” Suara Allary terdengar begitu meyakinkan.
“Bagaimana kau bisa yakin begitu, Allary? Apakah orang itu meninggalkan sebuah petunjuk? Atau kau sempat melihat sesuatu.”
“Kau harus percaya dengan....”
Kalimat Allary terpotong. Ekspresinya terlihat kesakitan. Brittany yang saat ini tidak berjarak lebih dari sejengkal dengan Allary, bisa melihat seluruh ekspresi itu. Brittany jadi panik. “Kau kenapa, Allary?”
“.....”
Suara Allary tidak keluar lagi, hanya ada erangan tak berbunyi. Brittany berubah jadi panik, bergegas menelepon pihak perawat. Harus diakui, di antara keras kepalanya, Brittany amat peduli dengan teman seperjalanannya itu.


82
Racun yang Baru Bereaksi


Perawat segera datang, lekas pula memeriksa belalai-belalai plastik, selang infus, serta luka perban yang terbalut di tubuh Allary. Sementara si empunya tubuh, sudah kehilangan kesadaran. Genap pingsan. 
Brittany menunggu hasil pemeriksaan dengan menggigit bibir. Khawatir bukan main. 
“Bagaimana, kondisi teman saya? Apakah dia baik-baik saja?”
Seusai memeriksa tubuh Allary keseluruhan, perawat itu terlihat bingung. Kondisi orang ini buruk, turun drastis, secara mengejutkan. Tapi mengapa? Nah itu menjadi pertanyaannya.
“Perawat, teman saya kenapa? Tadi dia mendadak parau tidak bisa bersuara. Apakah dia baik-baik saja?”
“Saya rasa dokter lah yang harus memeriksa lebih seksama, agar tidak diragukan lagi.” Kemudian perawat itu pergi begitu saja. Tergopoh-gopoh, lari sepanjang lorong. Brittany menjadi bingung. Apa yang terjadi? Hei, perawat itu nampak gugup. Brittany semakin kalut. Semoga Allary baik-baik saja.
Situasi di kamar Allary di Liberia Medika Center bagi itu kalang kabut. Brittany menyuruh anak buahnya untuk mencari dokter. Kalau perlu dokter terbaik di rumah sakit. Seret dokter itu ke ruangan ini, sukarela ataupun terpaksa. Bahkan, kalau saja Brittany tidak terkontrol sedikit saja, mungkin dia akan menodong dokter dengan pistol. 
Aku tidak akan membiarkan orang yang telah menolongku, mati sia-sia. Brittany membatin lagi.
Akhirnya, meski dengan sedikit terpaksa, dokter terbaik di Liberia Medika Center datang memeriksa Allary. Bahkan memasang alat pacu jantung, karena kondisi Allary terus menurun. Setengah jam lamanya, dokter memeriksa. Sampailah ke sebuah kesimpulan.
“Teman anda ini, terkena racun. Racun itulah yang membuat sistem kerja tubuhnya, lumpuh.”
“Racun?” Brittany langsung tersentak, merangsek maju, “kenapa sebelumnya tidak diberitahukan? Kenapa kalian tidak cepat memberikan penangkal saat dia pertama kali dimasukkan ke kamar ini. Seingat saya dokter bahkan tidak menyinggung soal....”
“Racun itu baru saja bekerja, nona. Tenanglah.”
“Bagaimana saya bisa tenang, gara-gara pekerjaan kalian yang tidak....”
“Nona, dengarkan saya dulu,” dokter itu kembali berkata dengan lembut, sementara tiga anak buah Brittany yang tadi menyeret dokter ke ruangan itu, jeri melihat bos mereka hendak murka. 
Setelah Brittany agak tenang (meski matanya masih berkilat-kilat marah), dokter kembali melanjutkan penjelasannya. “Harap jangan dipotong lagi ya, penjelasan saya, Nona. Saya jamin, tidak ada kesalahan di sini. Racun itu baru saja bereaksi. Ini jenis racun yang tidak biasa. Baru bereaksi setelah 2 atau 3 jam setelah masuk ke dalam tubuh. Makanya kami kecolongan sebelumnya. Saat pasien pertama masuk, kami tidak bisa mengidentifikasi keberadaan racun itu. Kuat dugaan saya, bahwa racun itu dimasukkan lewat luka tusukan yang diderita pasien. Sekarang racunnya sedang bekerja sepenuhnya. Melumpuhkan organ-organ pasien.”
“Dia bisa diselamatkan bukan, dokter?”
“Ah mengenai hal itu,” dokter mengambil sikap berdiri yang sangat profesional, “saya tidak bisa menjamin. Kita sedang berurusan dengan jenis racun yang tidak biasa. Racun yang boleh jadi belum pernah kami temui dan belum ada penawarnya. Tapi saya bisa janji, kami akan berusaha sekeras mungkin, untuk menemukan penawarnya.”
“Saya minta data soal racunnya. Nanti saya dan anak buah saya akan membantu mencari tahu bagaimana cara membuat penawarnya,” Brittany berkata tegas, disertai tiga anak buahnya yang mengangguk kompak.
Dokter juga mengangguk, “baiklah. Nanti akan saya atur soal itu. Datanya bisa diambil di laboratorium.” 
“Terima kasih, dokter. Saya memohon sekali bantuan anda.”
“Saya mengerti, nona. Namun izinkan saya memberi peringatan kecil, agar nanti tidak terjadi kericuhan seperti ini lagi di Liberia Medika Center.”
Brittany garuk kepala, menunduk, merasa bersalah, “maaf, tadi saya terbawa emosi, Dokter.”
“Ya saya paham. Maka sekarang, untuk menghindari hal serupa, tolong anda persiapkan rencana rumah sakit cadangan yang lebih besar, kalau-kalau kita perlu merujuk pasien ke rumah sakit lain.”
Brittany menggigit bibir lagi. Ini benar-benar buruk. Wajah Allary di sana, pelan-pelan terlihat membiru.


83
Nama Dukun di Pedalaman Afrika


Kita akan melihat seberapa besar, seberapa kaya dan seberapa hebat organisasi yang dijalankan Brittany sehabis ini.
Pukul 8 pagi, setengah jam setelah kondisi tubuhnya dinyatakan turun drastis, tubuh Allary terlihat semakin mengkhawatirkan. Brittany tak tega melihat perubahan yang terjadi di tubuh teman seperjalanannya, memutuskan untuk menunggu di luar ruangan, sementara Allary ditunggui seorang perawat yang telah disabotase oleh Brittany. 
Pukul 08.05, Brittany tidak tahan lagi, langsung menghubungi tim forensiknya. Meminta update terkini tentang racun yang sedang mereka teliti. 
“Kami telah mengidentifikasi soal racun ini. Namun butuh waktu untuk membuat penawarnya, Nona.” 
“Berapa lama waktu yang kalian butuhkan?”
“Paling cepat, pukul 4 sore nanti.”
“Astaga, tidak bisakah lebih cepat, bukankah kalian telah dibekali dengan teknologi paling mutakhir.” Brittany mendesak, mengungkit-ungkit.
“Tidak bisa Nona. Tetap perlu waktu hingga enam jam. Itulah waktu tercepatnya. Pengolahan bahan kimia tidak bisa dipercepat begitu saja.”
Brittany memutus nomor telepon. Kemudian dia berjalan ke arah lorong. Dia hendak mencari dokter yang tadi menangani Allary. Sekaligus mencari informasi ke bagian laboratorium. Seorang anak buahnya, menemani berjalan. Wajah Brittany kebas dan dingin, namun jauh di hatinya, dia sebenarnya sangat khawatir. 
Sesampainya di laboratorium, Brittany juga tidak mendapatkan kabar baik. Penawar racun itu barangkali baru bisa selesai besok. Brittany mengacak rambutnya, menjadikannya semakin terlihat kusut masai. Seorang petugas lab mencoba menenangkannya. Bilang bahwa dokter baru saja naik ke atas untuk mengecek kondisi Allary. Demi mendengar berita itu, Brittany bergegas naik juga ke lantai atas, menyusul sang dokter. 
Ruangan rawat inap Allary sendu. Perubahan di tubuhnya kian terlihat. Dokter sedang memeriksa dengan seksama. Di ruangan itu, juga ada Kapten peleton. Dia segera kembali ke rumah sakit begitu menyerahkan tugasnya ke anak buahnya. Mungkin dia merasa Brittany akan lepas kendali jika tidak diawasi. 
Kondisi bos mereka itu memang tampak mengkhawatirkan beberapa hari belakangan, mengkhawatirkan secara mental dan psikis. 
“Bagaimana dokter? Apakah teman saya baik-baik saja? Apakah ada tanda-tanda baik?”
Dokter menggeleng pelan. “Belum ada tanda-tanda. Yahh, seperti saya bilang, ada baiknya anda mulai mencari rumah sakit yang lebih besar untuk menangani racun yang ada di tubuh teman anda ini.”
“Tapi dokter, bagaimana kalau dia tidak bertahan?” Brittany mengucapkan perkataan barusan dengan kelu. Ya, itulah yang dia takutkan, kalau-kalau Allary tidak bertahan lama lagi.
Namun Dokter memberikan kabar baik, sedikit kabar baik. “Saya baru saja melakukan pemeriksaan terhadap tubuh teman anda itu. Fisiknya kuat, sangat kuat malah. Jika mengikuti asumsi kekuatan tubuhnya yang seperti itu, dia masih bertahan lima sampai enam jam ke depan. Batas kritis racunnya mungkin baru besok pagi. Jadi dia masih punya kesempatan.”
“Kalau begitu kami masih bisa menunggu penawar racun selesai?”
Dokter menggeleng kali ini, “mungkin juga tidak, Nona. Tapi lebih baik mengusahakan yang terbaik. Teman anda layak mendapatkannya. Meski tubuhnya bertahan, dia pasti sedang kesakitan.”
Ya, sepertinya Allary memang kesakitan, Brittany menatap prihatin, “baiklah, kemana kami harus melarikannya? Maroko? Aljazair? Mesir?”
“Sebenarnya saya merekomendasikan Mesir. Cuma jaraknya terlalu jauh.”
“Saya bisa urus itu,” timpal Brittany sengit, “kalau begitu kita urus segera pemindahan pasien ke rumah sakit lain.” 
“Baik, akan saya bantu prosesnya.” Entah kenapa di kalimat terakhir, dokter terlihat sangat lega. Seolah beban tercabut dari pundaknya. 
Suasana di kamar kembali ricuh, Brittany berseru-seru pada anak buahnya yang tiga orang (empat dengan Kapten peleton), agar memindahkan ranjang Allary segera. Saat itulah Kapten Peleton bersuara.
“Saya punya ide lain, Nona Brittany. Mungkin ada cara lain untuk menyelamatkan teman anda, tanpa bantuan rumah sakit.” 
Kalimat itu langsung membuat kepala Brittany terdongak, “oh ya, bagaimana, kapten?”
“Di Afrika Tengah, ada seorang dukun sakti. Dia ahli sekali dalam menangani permasalahan yang ada sangkut pautnya dengan racun. Saya pernah berurusan dengannya dua kali. Pengobatannya ampuh dan tidak bertele-tele. Nama dukun itu, Mabugou.
Brittany terdiam. Dia tahu nama itu. Dukun sakti di pedalaman Afrika Tengah. Dia pernah berurusan dengannya sebelumnya.


84
Minggir Kalian Semua


“Maaf jika saran saya kurang berkenan, Nona Brittany.” Kapten Peleton sekali lagi berucap hati-hati, dia tahu dalam beberapa jam belakangan, sudah dua kali dia berbuat lancang dengan bosnya itu. 
“Aku akan telepon pilot pesawat jet pribadiku. Kuharap dengan kecepatan pesawat itu, kita akan sampai ke Afrika Tengah dalam tiga jam. Kapten, dan kalian bertiga, bersiap-siaplah untuk membantuku. Begitu surat izin keluar diberikan dokter, dan pesawat jet pribadi sudah mendarat, kita akan langsung terbang.”
Kapten dan tiga orang anak buahnya langsung mengangguk hormat pada Brittany. 
Itulah sedikit gambaran betapa besar, betapa kaya dan betapa hebatnya organisasi yang dipimpin oleh gadis itu. Mereka punya pesawat jet pribadi yang siap membawa Brittany ke mana saja, dengan cepat. Meski, dalam hidupnya, jarang sekali Brittany mau menggunakan fasilitas pesawat pribadi itu. 
Lima belas menit kemudian, pukul 08.30, ketika kesibukan rumah sakit tengah menggeliat, pesawat jet pribadi milik Brittany tiba di atas atap rumah sakit. Teknologinya sangat canggih, memungkinkan untuk mendarat darurat di udara. “Kita bergerak, Kapten.” Brittany bergerak, membuka pintu kamar, mulai mendorong ranjang rumah sakit keluar. 
Dokter yang baru tiba di lorong, terkejut melihat ada pesawat jet yang terparkir di udara. Apalagi saat Brittany mengatakan bahwa itu adalah pesawat jet miliknya.
“Kami akan membawa pasien ini ke tempat lain, dokter. Terima kasih atas bantuannya. Segala urusan administratif akan diurus oleh anak buah saya. Saya harus pergi. Mari Kapten, bantu mendorongkan ranjang ini keluar.”
Dokter terpana.
Adegan dimana Brittany menaikkan Allary beserta ranjang pasiennya ke pesawat menjadi pemandangan yang menarik perhatian seisi rumah sakit. Jarang-jarang hal itu terjadi. Brittany sendiri tidak ambil pusing dengan mata dan mata yang sedang takjub itu. Dia fokus menaikkan Allary ke dalam pesawat.
Siap terbang ke Afrika Tengah. “Kecepatan penuh, pilot. Aku harus tiba di Afrika Tengah sebelum tiga jam. Ini terkait dengan keselamatan temanku.”
Pilot mengangguk, tidak banyak tanya.
Jarak antara Liberia dengan Afrika Tengah membentang lebih dari seribu kilometer. Perlu satu hari penuh untuk sampai ke sana. Namun dengan pesawat pribadi ini waktu itu bisa dipangkas. Brittany memerintahkan untuk mendaratkan pesawat langsung di halaman Dukun Mabogou. Brittany, ditemani dengan Kapten dan tiga anak buah segera bahu membahu menurunkan Allary beserta ranjang rumah sakitnya.
Rumah Dukun Mabogou terlihat ramai. Tentu saja, ada banyak orang yang mendatangi rumahnya, untuk berobat. Dia adalah dukun terkenal. Brittany turun, mendekat kemudian menyuruh orang-orang yang ada di sini menyingkir dari jalannya. 
“Ini darurat,” Brittany menyalak, membuat semua orang menatap ke arahnya, bukan untuk memberi jalan. Hei mereka juga punya urusan darurat masing-masing. Tidak ada yang boleh menyerobot. Semua harus mematuhi antrean.
“Kapten, suruh mereka semua menyingkir.” 
“Eh tapi nona...”
“Ah sudah, kau juga tidak bisa diharapkan.” Brittany langsung mengambil senapan, mengacungkannya ke arah kerumunan orang yang menghalangi jalannya. Membuat orang-orang ketakutan melihatnya. Beberapa orang bahkan sontak mengangkat tangan. 
“Jangan main tembak di sini, Nona. Jangan mencari keributan,” sahut seorang pria, dan itu makin membuat Brittany kesal. 
“Makanya bukakan jalan.”
“Harap taati antrian, nona muda. Anda di sini bukan presiden, tidak bisa seenaknya.”
Brittany jengkel bukan main, mengeluarkan sesuatu. Sebuah kartu yang dulu juga pernah dia tunjukkan di hadapan Allary. “Atas nama dewan keamanan, aku harus masuk. Temanku perlu diselamatkan atas nama misi kemanusiaan. Aku berhak menembak siapapun yang menghalangi. Sekali lagi, atas nama dewan keamanan.”
Brittany benar-benar tidak main-main.


85
Kesaktian Mabogou


Mabogou sang dukun sakti keluar dari rumahnya untuk melihat ada ribut-ribut apa di depan. Dia langsung menyuruh orang-orang agar tenang, tapi tetap saja, orang-orang ribut semua. Apalagi Brittany, setiap ada orang yang hendak menyindir kelakuannya memotong antrean, dia langsung menodongkan senapan. 
“Ada apa sebenarnya ini?” tanya Mabogou. 
“Nona muda ini menyerobot antrean. Dia seharusnya antre yang rapi,” pria yang sedari tadi paling keras kepala menyuruh Brittany mengantre, menyahut.
“Nona muda, taatlah dengan aturan, patuhi antrian. Tidak hanya kau yang mengantri untuk berobat di sini.” Mabogou akhirnya bicara, dengan bahasa Inggris yang lancar.
Brittany meletakkan senapannya, kemudian menangkupkan tangan di depan Mabogou. “Saya minta maaf jika saya memancing keributan di sini, Tuan Mabogou yang terhormat. Saya tidak punya pilihan lain. Teman saya ini harus cepat ditolong.”
“Iya aku tahu, nona. Aku pasti akan menolongmu, tapi patuhilah antrian. Bahkan kalau kau mau tahu, ada yang sudah menunggu selama satu hari penuh di sini, dan belum dapat giliran. Memang panjang antriannya. Tapi ya mau bagaimana lagi.”
“Tidak bisa Tuan Mabogou,” sahut Brittany sengit, “teman saya ini perlu ditolong cepat. Perlu penanganan cepat. Dia terkena racun. Mungkin batas waktu hidupnya hanya hitungan jam lagi. Kami akan terlambat jika menunggu antrian.”
Mabogou terdiam sejenak. Wajah gadis muda di depannya ini pernah dia lihat sebelumnya. Namun bukan itu yang paling menarik perhatiannya. Gadis ini terlihat pandai sekali mempengaruhi orang lain. Kemudian Mabogou melihat ke arah antrian yang begitu panjang, sementara orang yang terbaring di ranjang yang dibawa si gadis, yang tidak lain adalah Allary, kondisinya terlihat sangat memprihatinkan.
“Ah ini bakal susah sekali, Nona. Sekali saja ada yang menyerobot antrian, orang lain pun akan melakukannya juga. Nanti kericuhan akan terjadi di sini.”
“Saya jamin tidak akan kericuhan, Tuan,” sambar Brittany, “saya bawa pasukan, saya bisa membantu menertibkan kericuhan jika muncul. Tuan tolong teman saya ini dulu.” 
“Ah bagaimana ya, tetap saja Nona. Aturan adalah aturan.”
Brittany kali ini duduk berlutut, memohon, serupa seorang pengemis. “Saya mohon Tuan. Teman saya ini perlu diselamatkan. Saya tidak akan membiarkan dia mati sia-sia. Dia orang yang amat baik, dia mengajari saya untuk berbuat baik, selalu berbuat baik.”
Mabogou semakin termenung dengan kalimat-kalimat Brittany itu. Entah gadis ini memang benar, atau dia memang pandai mengarang alasan untuk memberitahunya, akhirnya Mabogou mengangguk. “Baiklah, kalian boleh masuk. Tapi pastikan tidak ada kericuhan setelah aku membiarkan kalian menyerobot antrian.”
“Siap Tuan. Itu bukan masalah. Kapten!”
“Siap Nona!”
“Kawal orang-orang yang ada di luar. Tangani mereka.”
“Siap Nona!”
“Nah anda bisa percaya dengan dia, Tuan. Boleh kita segera masuk? Setiap detik boleh jadi berharga bagi teman saya.”
Ruangan pengobatan Mabogou adalah sebuah ruangan yang hebat. Seulas permadani lembut berwarna merah melapisi lantainya. Ada empat buah lilin yang dipasang di empat sisi ruangan berukuran 5x5 meter itu. Sementara di dindingnya berjejer botol-botol berwarna-warni. Setiap botol punya label tersendiri. Itulah ramuan-ramuan yang dikumpulkan Mabogou dari segala pojokan Sahara. Ruangan itu amat hebat, karena Mabogou juga berjanji, bahwa siapa saja yang masuk ke ruangannya untuk berobat, pasti akan sembuh. 
Mabogou mempersilahkan Brittany mendorong ranjang Allary ke tengah ruangan. Permadani lembut itu harus tergilas oleh roda ranjang rumah sakit. Kemudian akhirnya, Mabogou mulai bekerja. 
“Dia terkena racun apa? Apakah digigit ular? Atau tertusuk duri pohon, atau salah makan?”
Brittany menggeleng, “bukan Tuan Mabogou, dia terkena racun dari pertarungan. Ada seorang musuh yang memasukkan racun itu ke tubuhnya dengan cara menusuknya.”
“Hoo,” Tuan Mabogou manggut-manggut, sejurus kemudian memeriksa luka Allary yang telah diperban, “kalau begitu ini pasti racun jenis campuran. Musuh dalam pertarungan selalu kejam. Tidak pernah membiarkan kita bertahan lama.”
“Tuan Mabogou benar sekali. Oh ya, saya bawa komposisi racunnya yang telah diperiksa di laboratorium rumah sakit, jika Tuan ingin melihatnya.”
“Tidak perlu, nona muda,” Mabogou langsung menepis kertas itu dari tangan Brittany. “Aku akan menyelamatkan temanmu ini. Aku tahu penawar racunnya, dan aku punya. Sebentar.”
Tuan Mabogou berdiri, mengambil sebuah botol berisi cairan warna ungu, menuangkannya dengan hati-hati ke teko kecil. “Aku terpaksa membuka perbannya. Kuharap itu bukan masalah. Kita harus menuangkan minyak ini langsung ke tempat masuknya racun. Seperti itulah efektifnya.”
“Lanjutkan, lakukan apa yang terbaik menurut Tuan Mabogou.”
Dan pertunjukannya pun dimulai.


86
Pesan-pesan dari Tuan Mabogou


Brittany sedikit banyak takjub dan terpana dengan cara pengobatan yang dilakukan Tuan Mabogou. Minyak berwarna ungu yang pelan-pelan dituangkan oleh beliau ke luka Allary itu, pastilah ramuan penawar racun. Lihat, ramuan yang di laboratorium baru bisa dibuat dalam enam jam, Tuan Mabogou bahkan sepertinya sudah memiliki sejak bertahun-tahun.
“Kita tunggu reaksinya sebentar,” Tuan Mabogou selesai menuangkan minyak ke dua luka yang dialami Allary. Kemudian beliau mundur beberapa langkah. Sejurus kemudian, tubuh Allary yang sejak dibawa dari Liberia, terlihat dingin, kaku, tanpa gerakan, seketika mulai bergerak. Mulanya hanya gerakan kecil, seperti orang terkejut. Namun selang beberapa belas detik, itu mulai terlihat seperti orang yang meronta kesakitan.
“Tuan Mabogou!” Brittany berseru, sedikit khawatir melihat Allary menggeliat. Namun Tuan Mabogou terlihat santai sekali. “Tenang saja, nona. Itu adalah tanda kalau ramuanku mulai bereaksi. Kita tunggu sebentar lagi. Jika dia sudah tenang, aku akan mulai proses berikutnya.”
“Masih ada proses berikutnya?”
“Tentu saja.”
Brittany manggut-manggut. Bersamaan dengan itu, Allary mulai tenang. Namun dia masih belum sadar. Tuan Mabogou kembali mendekat dengan teko kecil di tangannya. 
“Atas izinmu aku akan membuka mulutnya dan memasukkan ramuan ini ke dalam perutnya. Apakah kau izinkan?”
Heran Brittany, tapi karena dia ingin Allary lekas sembuh, tentu saja dia izinkan. Setelah mendapat izin, Tuan Mabogou langsung membuka mulut Allary sekuat yang dia bisa, kemudian menuangkan minyak itu ke mulut Allary. Sedikit belepotan, Brittany membantu membersihkan wajah Allary dengan tisu. Kemudian Tuan Mabogou menyuruh Brittany untuk mundur beberapa langkah. 
“Kita akan lihat reaksinya.” Tuan Mabogou tersenyum, sementara Brittany sangat tegang.
Beberapa detik kemudian, Allary kembali bereaksi. Kejang-kejang, kemudian sejurus dengan itu, dia bangkit dan memuntahkan seisi perutnya. Beruntung di bawah, Tuan Mabogou ternyata sudah menyediakan satu buah ember. Kita lewatkan adegan menjijikkan itu. Setelah muntah, Allary kembali terbaring, pingsan.
“Apa yang terjadi, Tuan Mabogou?”
“Tenanglah. Temanmu sudah tertolong. Dia baru saja memuntahkan seluruh racun yang ada di tubuhnya.”
“Benarkah?”
“Ya, aku memberinya ramuan untuk mengeluarkan racun dari tubuh. Bukan penawar. Sekarang tubuhnya sudah bersih.”
Demi mendengar itu, Brittany langsung berlutut di hadapan Tuan Mabogou, mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Bahkan Brittany bilang dia akan membayar sebesar apapun Tuan Mabogou menginginkan bayaran. Tuan Mabogou malah menggeleng, menyuruh Brittany kembali duduk. 
“Aku senang bisa menolong temanmu ini. Bisa menolongnya adalah sebuah kehormatan bagiku.”
“Maksud Tuan?”
“Ya, dibayar atau tidak bukan masalah bagiku. Aku tergerak menolongnya, karena dia sangatlah unik.”
Brittany garuk-garuk kepala. Dia tidak mengerti.
“Nona muda, setiap orang di dunia ini punya keistimewaan. Tapi tidak banyak diantara mereka yang punya keistimewaan seperti pria ini. Temanmu punya aura kebaikan yang memancar dari tubuhnya. Dia adalah tipikal orang yang akan melakukan apapun untuk menolong orang lain. Orang semacam itu selalu berhak mendapatkan balas budi yang sama dari dunia ini. Makanya aku menolongnya.”
Terdiam Brittany. Tuan Mabogou bisa melihat aura seseorang. Hebat.
“Sebaiknya kau lebih mendengarkan dia dalam perjalanan, Nona muda.”
“Eh maksud anda?” Brittany semakin bingung. Kenapa dari tadi Tuan Mabogou terus berbicara dengan cara yang tidak langsung dia paham.
Tuan Mabogou menepuk-nepuk bahu Brittany. “Aku mengenalmu, Nona muda. Kau sama sekali tidak berubah sejak kita terakhir bertemu. Keras kepala, ambisius. Bagus sekali. Tapi dalam beberapa hal, dalam beberapa kasus, dalam beberapa bentuk perjalanan, kau perlu mendengarkan orang yang punya aura kebaikan, seperti dia. Temanmu itu bisa membimbingmu kepada tujuanmu.”
Ternganga Brittany. Sekarang dia dapat nasehat gratis.


87
Konsolidasi Strategi Baru Bersama Allary


Tuan Mabogou mempersilahkan Brittany membawa Allary keluar dari ruangan pengobatannya. Semua proses telah selesai, dan meski harus melewati momen yang menjijikkan, racun itu berhasil dikeluarkan lewat muntahan. 
Brittany hendak mengeluarkan uang dari sakunya, namun sekali lagi Tuan Mabogou menolaknya. Dia bilang, dia sudah sangat senang bisa menolong orang baik seperti Allary, temannya Brittany itu. Ketika Brittany hendak mendorong ranjang dorong Allary ke arah pesawat, Tuan Mabogou mencegah.
“Sebaiknya dia tidak perlu kalian bawa jauh dulu. Jangan bawa dia naik ke pesawat. Bawa pakai mobil saja.”
Brittany menoleh, mengangguk, baiklah kalau begitu. “Kapten, ambil mobil di bagasi pesawat. Dan kalian bertiga, bantu menaikkan Allary ke mobil,” Brittany taktis memberi perintah. Semua segera dilaksanakan. 
Allary dimasukkan ke dalam mobil. Dan di dalam mobil itu pula, dengan keajaiban yang tersisa, Allary terbangun. Demi melihat itu, Brittany histeris hendak memeluk Allary. 
“Syukurnya kau kembali sadar, Allary.” 
Allary garuk-garuk kepala. Memangnya tadi dia kenapa? Allary bahkan tidak merasakan apa-apa. 
“Tadi kau pingsan, Allary. Kau keracunan. Musuh kita memasukkan racun ke dalam tubuhmu. Untungnya tadi kau bisa diselamatkan.”
“Eh benarkah, maaf kalau begitu, aku merepotkanmu.”
“Tidak apa-apa, Allary.” 
“Sekarang kita hendak ke mana?”
“Kita bersantai saja, sambil memulihkan dirimu. Kita sekarang berada di Afrika Tengah.”
Allary manggut-manggut. Brittany masih menatapnya, membekas. 
“Ada apa, kenapa kau terus memandangiku begitu?”
“Kau tidak kenapa-kenapa bukan, Allary? Masih ada yang sakit?”
Allary menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia baik-baik saja. Dia sama sekali tidak menyadari kalau ada campur tangan kesaktian Mabogou dalam kesembuhannya. Tapi dia akan segera tahu. Kapten Peleton yang memberitahunya, bercerita panjang lebar tentang Tuan Mabogou.
Setelah itu, Allary menepuk-nepuk bahu Brittany penuh respek. “Terima kasih banyak sudah menolongku, Brittany.”
“Sama-sama. Anggap saja, balas budiku terhadap kau, Allary.”
Kapten Peleton geleng-geleng. Allary ini benar-benar bukan pria biasa. Brittany, bosnya, tidak pernah basa-basi, tidak pernah beramah tamah semacam ini pada seseorang. Allary ini benar-benar tidak biasa.
“Eh kau lapar, Allary? Hari sudah beranjak siang, tapi kita belum sarapan? Bagaimana menurutmu kalau kita mencari sarapan di dekat sini?”
“Baiklah. Aku ikut saja. Terima kasih.”
Brittany menyuruh Kapten Peleton mencari tempat makan di dekat-dekat sana.


88
Orang Paling Kaya di Negeri Ini, Miskin


Kapten Peleton yang menyopiri mobil Brittany selain merupakan anggota organisasi yang berdedikasi tinggi, tapi dia juga seorang prajurit yang bertanggung jawab, punya banyak pengalaman. Mudah saja baginya menemukan sebuah persinggahan, tempat makan yang enak di kawasan paling miskin di benua Afrika. 
“Well, tidak buruk untuk ukuran Afrika Tengah,” komentar Brittany sambil mengangkat bahu, kemudian menoleh pada Allary, “kau tidak keberatan bukan?”
“Sama sekali tidak. Yang penting bisa mengganjal perut yang lapar.”
“Kapten bisa memesankan kita menu yang enak.”
Kapten peleton mengangguk. Segera memesankan. Pesanan tersaji tidak lama kemudian. Hanya menu makanan yang sederhana. Khas Afrika Tengah. Wajar saja, Afrika Tengah adalah salah satu wilayah paling miskin di dunia.
“Kuharap kau tidak keberatan, dengan makanannya, Allary.”
Allary malah tertawa kecil. “Kamu terlalu mengkhawatirkan aku, Brittany. Aku bukan anak kecil.”
“Baiklah. Maaf, aku hanya khawatir dengan kondisimu. Belum satu jam yang lewat, kau berada dalam situasi hidup dan mati.”
“Aku sehat, Brittany.”
“Kalau begitu mari kita duduk. Oh ya, aku ingin mengingatkan, kita sebaiknya hormat dengan mereka yang kurang beruntung. Negeri ini amat miskin.”
“Salah satu negara yang terus berkutat dengan kelaparan dan perang,” timpal Allary.
“Kita juga mengingat, bahwa orang paling kaya di negeri ini, lebih miskin daripada orang-orang dari kelas menengah di negara kita.”
Allary mengangguk, melanjutkan makan. 
Sambil makan, Brittany menerima beberapa buah telepon. Itu membuat dia tidak konsentrasi dengan makanannya. Ketika Allary sudah menghabiskan makanan, Brittany bahkan tak sampai separuh. Dia sibuk. Terima telepon sana sini. Kapten peleton yang duduk semeja dengan mereka, juga diam saja. Allary menunggu dengan sabar. Sampai Brittany menyelesaikan makannya. Setelah itu dia baru mengajak Brittany bicara. Allary tahu, Brittany pasti menerima telepon-telepon penting. 
“Ada update terbaru?”
“Ya, ini tentang buronan kita, Felix Norton. Jejaknya hilang. Kurasa kita memerlukan lebih banyak waktu untuk mencarinya kembali.”
“Kurasa itu kabar yang ingin kudengar. Dia tidak terlibat. Kita tidak perlu membuang waktu untuk mencari informasi tentangnya.”
Brittany mengangguk, “ya, ada beberapa hal yang memang harus dilakukan selain mengurus orang bernama Felix itu. Juga, orang yang menyerang kita tadi malam, sepertinya tidak ada sangkut pautnya dengan Felix Norton.”
“Lalu siapa dia? Siapa sebenarnya musuh kita?”
Brittany menggeleng, “tidak, kita belum tahu. Kau ada ide untuk mencari tahu informasi baru bagaimana?”
Allary terdiam sejenak. Berpikir. “Hei, kemarin kau melacak sinyal telepon Felix Norton dengan begitu mudah. Bagaimana kalau kamu coba lakukan hal yang sama dengan nomor Vivi.”
“Hei, itu adalah ide yang baik. Baik, akan kucoba.”
Brittany merogoh ponselnya. Membuka aplikasi pelacak nomor itu. Memasukkan nomor Vivi. Aplikasi bergerak-gerak, memproses. Namun kemudian aplikasi itu menampakkan tanda sinyal. Aplikasi gagal!
“Apa yang terjadi, Brittany?”
Brittany menggosok-gosok rambutnya, sedikit bingung. Tapi itu adalah yang sering dia lihat. Aplikasi gagal menemukan sinyal telepon. Mungkin baterai telepon Vivi sudah habis sejak lama. Sudah lewat berhari-hari, “teleponnya pasti mati.”
“Lalu bagaimana?”
“Kita masih bisa lacak hal lain dari telepon itu. Selain nomor telepon. Sebentar.”
Brittany memasukkan nomor lainnya. Sepertinya itu adalah IMEI telepon Vivi. 
“Kau selalu bersedia, Brittany.”
“Tentu. Aku selalu siap siaga setiap saat,” Brittany tertawa kecil. 
Aplikasi kembali berputar, berproses. Sejurus kemudian, mengeluarkan titik koordinat. Allary terlonjak senang. 
“Tapi kita tidak boleh senang, Allary. Boleh jadi telepon ini hanya tergeletak di jalanan, sehabis dibuang oleh penculiknya.”

89
Jejak Baru di Tanzania


“Dimana titik koordinat itu tepatnya?” Allary kembali bertanya setelah habis rasa gembiranya melihat jejak baru. 
Tangan Brittany gesit menyalin letak koordinat yang ditunjukkan dengan huruf-huruf navigator, ke aplikasi peta. Aplikasi segera menunjukkan tempat yang dimaksud. Lengkap dengan lokasi detail dan gambar tiga dimensi.
“Tanzania,” ucap Allary, sedikit terkejut. Tanzania? Negara di timur Afrika. Jauh sekali dari tempat mereka sekarang. 
“Hampir empat ribu kilometer, lebih dari 2 hari perjalanan kalau naik mobil. Sepertinya itu petualangan yang menarik, bukan, Allary?” Brittany membaca informasi yang tertera di aplikasi. Tersenyum tipis. Allary tidak, dia risau.
“Kita tidak bisa membuang waktu untuk sampai di sana, Brittany? Siapa tahu di sana, Vivi sudah tergolek lemas.”
Brittany tidak setuju, menggeleng, “atau yang kita temui justru cuma handphone-nya. Sudah kubilang, bisa saja mereka meninggalkan handphone-nya di pinggir jalan.”
“Apapun itu kita tidak boleh buang-buang waktu. Kalau perlu, sore ini juga, kita akan terbang ke Tanzania.” Allary mendesak, wajahnya serius sekali.
“Tenanglah, Allary. Kau lupa, empat jam yang lalu, kau masih terbaring di Liberia Medika Center, beribu kilometer dari sini, sekarang kita makan pagi menjelang siang di Afrika Tengah. Kurang dari empat jam. Sampai ke Tanzania sebelum sore bukan masalah bagiku.”
“Eh iya, bagaimana kita sampai di sini sebenarnya?”
“Nona Brittany menerjunkan pesawat jet pribadi kesayangannya untuk membawa Tuan Allary ke sini.”
“Tidak ada yang bertanya padamu, Kapten.” Brittany menoleh kesal. Namun Allary terlanjur terkesima. “Kau punya pesawat pribadi? Astaga, kau tidak bilang kau sangat kaya.”
Brittany malah tersenyum lucu, “kau yang tidak pernah bertanya, Allary. Ya sudah, kau habiskan dulu makanmu. Setelah itu aku akan panggil pilot. Dia sepertinya memarkir pesawat di bandara.”
Allary bergegas menghabiskan makanannya. Namun dia teringat satu hal lagi. “Boleh aku bertanya satu hal, Brittany?”
“Apa?”
“Kenapa kau mengubah alur perjalanan?”
“Hei, memangnya salah ya?”
Allary menelan makannya sejenak, menjawab, “tidak, bukan begitu, hanya saja, kemarin kau bersikeras hendak menguber penjahat itu, menguber Felix Norton yang kau yakini adalah penjahat besar di balik ini semua. Penjahat yang sebenarnya temanku, yang entah bagaimana ada di Afrika sekarang.”
“Nanti aku ceritakan di perjalanan. Tolong jangan kau bahas-bahas lagi soal itu, kecuali aku yang memulai membahasnya. Konsentrasi dengan makanmu saja dulu.”
Kapten peleton ada di situ, mati-matian menahan diri agar tidak berkomentar ember, membocorkan bagaimana sekarang Nona Brittany begitu menghargai Allary Azra. 
Allary meraih cangkir, dia nyaris tersedak. 
 

90
Pesawat yang Terbakar


Setelah makanan Allary habis, mereka pun siap berangkat. Brittany membayar tanpa menawar, bahkan memberi sedikit uang tips. Pemilik tempat makan menerima uang itu dengan penuh sukacita. 
“Melihat senyum orang itu, aku bisa merasakan seolah dia akan bersyukur atas uangku itu selama sepekan,” Brittany tertawa kecil saat meninggalkan warung itu. 
“Itulah kekuatan sebuah kebaikan, Brittany.” Allary menimpali, nampaknya gadis ini mulai menghayati ajaran kebaikan yang kemarin-kemarin diucapkan oleh Allary.
Taksi yang dipesan oleh Brittany datang. Mereka langsung naik menuju ke bandara. Di sana, pesawat jet pribadi Brittany sudah menunggu. Bila mengikut jadwal, seharusnya sore ini juga, mereka bisa sampai ke Tanzania. 
Namun nasib berkata lain. 
Radius lima kilometer dari bandara, tanda-tanda buruk sudah nampak. Jalan menuju ke bandara ditutup oleh otoritas keamana Afrika Tengah. Prajurit bersenapan bersiaga penuh di jalan. Brittany terpaksa turun. Bertanya dengan bahasa seadanya, “memangnya ada apa ini?”
“Keadaan darurat. Bandara ditutup untuk umum.”
“Keadaan darurat, ada apa?”
“Ada kebakaran di bandara.”
Brittany menyernit kening. Kebakaran di bandara? Sangat tidak sering. “Kebakaran apa?”
“Sudah-sudah, masyarakat umum tidak boleh ikut campur. Akses ke bandara ditutup, kecuali untuk yang berkepentingan.”
“SAYA BERKEPENTINGAN!!” Brittany menyergah. “Pesawat saya terparkir di bandara sekarang. Saya harus lewat.”
Percuma, biarpun Brittany sudah menyergah dengan wajah marah, prajurit bersenjata itu tidak bergeming. Mobil taksi tidak diperbolehkan lewat. Prajurit itu boleh jadi menyangka Brittany hanya sedang berbual. Hei, lagipula bagaimana bisa pemilik sebuah pesawat harus naik taksi ke bandara. Tidak ada logika di situ.
Brittany naik kembali ke taksi. Wajahnya kesal bukan main, bahkan dia setengah membanting pintu taksi. Supir tak hirau dengan tindakan Brittany, dia sudah ketakutan sejak melihat prajurit bersenjata menghalangi jalannya.
Tahun-tahun itu, konflik antar kelompok masih sering terjadi di Afrika Tengah. Meskipun sudah menggeliat secara ekonomi, tetap saja daerah itu rawan konflik regional, perang-perang kecil sering terjadi. Tak heran, warga lokal, masyarakat umum, banyak yang trauma. 
“Ada apa?” tanya Allary. 
“Kita tidak bisa pergi ke bandara. Jalanan diblokir. Katanya ada kebakaran di area bandara.”
“Kebakaran, sangat tidak biasa,” sahut Allary.
“Itulah yang kukatakan barusan,” Brittany masih mendongkol.
“Ya sudah, kita tunggu saja.”
Brittany melipat tangan di dada. Masih kesal. Bagaimana sekarang dia bisa ke bandara. Kebakaran itu pasti memakan waktu yang lama, pemadaman dan penertiban. Brittany meraih ponsel. Mencoba menghubungi kapten. Siapa tahu kapten bisa memintakan akses baginya untuk lewat. Baru saja dia meraih teleponnya, justru kabar buruk yang datang lebih dulu.
Kapten meneleponnya. 
“Keadaan darurat, Nona Brittany.” Terdengar suara gaduh bercampur dengan suara sirine di belakang suara kapten. Brittany berusaha berkonsentrasi mendengarkan.
“Laporkan, kapten.”
“Pesawat anda, terbakar habis. Maaf saya memberikan kabar buruk pada anda, nona.”
Brittany genap ternganga. Apa maksudnya semua ini. Pesawatnya terbakar. “Kau jangan bercanda denganku, kapten.”
“Maaf, saya tidak bercanda nona. Saya minta maaf.”
Brittany membanting telepon. Membuat Allary dan supir taksi terkejut. Telepon itu jatuh ke lantai taksi. Allary memungutnya. Sekali lagi menoleh pada Brittany. “Sabarlah. Ada apa sebenarnya?”
“Keadaan darurat, Allary. Kita harus segera menerobos ke bandara. Kapten bilang pesawatku terbakar.”
Terkejut Allary mendengar kabar tersebut. Brittany mengepalkan tangan. “Segera pergi, tancapkan gas taksimu, pak supir. Aku tak peduli dengan apapun yang diucapkan tentara itu. Atas nama dewan keamanan, kuperintahkan kau untuk mengantarku ke bandara sekarang juga.”
Pak Supir patah-patah menginjak gas, injakan penuh, membuat para prajurit terkaget-kaget, tidak punya pilihan lain selain memberikan jalan. Ketimbang ringsek ditabrak mobil. Prajurit yang tadi menahan Brittany menyumpah-nyumpah. 
Brittany tidak ambil peduli. Semoga kabar itu bohong. Kehilangan pesawat itu bukan hanya akan menghambat perjalanannya ke Tanzania, namun juga memberikan pukulan kerugian yang teramat besar pada organisasinya.


91
Mata-mata dan Jenderal Musuh


Sementara itu di tempat yang berbeda. Kita akan berkenalan dengan tokoh antagonis utama di dalam cerita ini. 
“Semua perintah tuan sudah dilaksanakan, pesawat itu telah terbakar. Target sedang bergerak ke arah bandara. Siap masuk ke dalam jebakan.”
Terdengar suara orang dari sebuah alat telekomunikasi unik di atas meja. Alat itu sepertinya adalah alat komunikasi khusus, bukan telepon, radio atau walkie tolkie. Bentuknya seperti radio khusus kapal angkatan laut. Sementara di kursi dekat meja itu duduk sosok besar. Seluruh badannya tersembunyi dalam gelap. Dia adalah bos besar. 
“Bagus sekali. Pasukan sudah siap?”
“Sudah tuan. Lima puluh tukang pukul terbaik telah disebar di sekitar area bandara. Akses ke bandara juga telah ditutup oleh tentara. Tapi ada kabar kurang baik, tuan.”
“Ada apa?”
“Para tentara tidak mau ikut campur. Mereka tidak mau terlibat dengan anggota dewan keamanan. Jadi pasukan bantuan tidak akan ada buat kita.”
Bos besar terdiam sejenak. “Tidak apa-apa. Lima puluh orang sudah cukup. Perkuat pertahanan, perkuat kewaspadaan. Jangan sampai gagal.”
“Siap Tuan. Semua pasukan kita sudah siap. Kami akan terus meningkatkan pertahanan. Begitu target masuk ke dalam jebakan, mereka tidak akan bisa keluar lagi. Setidaknya dalam keadaan hidup-hidup.”
“Bagaimana dengan pasukan bantuan untuk target? Apakah dia membawa anak buahnya?”
“Negatif tuan. Semenjak tiba di Afrika Tengah, anggota dewan keamanan tidak berkomunikasi dengan anak buahnya.”
Bos besar telah menutup alat komunikasi. Sudah cukup dia mendengarnya. Rencananya lancar. Harusnya sekarang dia bisa menghabisi dua orang sialan yang mengobrak-abrik rencananya. Dulu, orang itu mengganggunya, sekarang pun demikian. Tidak bisa dimaafkan. Tambah insiden Boujogar kemarin. Nampaknya dia tidak bisa meremehkan musuhnya kali ini. Kalau ada orang yang bisa mengimbangi Boujogar, dia tidak bisa menganggapnya remeh. Lima puluh orang, adalah jumlah yang baik untuk membalas dendam.
Bos besar tersenyum kejam.
Dalam hitungan menit, setelah berhasil menerobos barikade di bandara, Brittany, Allary dan supir taksi sampai di bandara. Bandara dipenuhi oleh mobil-mobil pemadam kebakaran. Supir taksi segera balik kanan begitu mendapatkan uang (dan uang tips) dari Brittany. 
Mereka segera turun, menyibak kerumunan orang. Sampai di area pesawat yang terbakar. Pesawat itu sudah tidak berbentuk. Namun Brittany masih bisa mengenali, bahwa pesawat ini, memang pesawatnya. Dia terduduk, berlutut di bawah kepingan pesawatnya yang masih tersisa.
“Sepertinya ada yang diam-diam membenci kita, Brittany. Mungkin dialah musuh besar kita yang sebenarnya.”
“Kau benar, Allary. Merekalah musuh besar kita. Sebentar lagi aku akan menyiapkan serangan balasan. Aku tidak akan membiarkan mereka merajalela, memegang permainan. Aku akan mengalahkan mereka. Benar-benar mengalahkan mereka.”
“Nona Brittany,” sebuah suara datang menyapa. Itu suara kapten. Allary dan Brittany menoleh ke belakang. Kapten berdiri dengan wajah merasa bersalah. Tertunduk, tidak berani menatap langsung bosnya.
Brittany sebaliknya, merasa heran. “Apa yang kau lakukan di sini, kapten? Bukankah kau seharusnya... oh astaga, menyingkir Allary!” Brittany langsung berteriak, merasakan sesuatu yang aneh. 
Baru saja dia menyadari satu hal. Bukankah kapten itu seharusnya berada di tempat lain, melakukan tugas lain. Bukan malah ada di bandara. Dia tadi menyuruh kapten untuk mengurus ketibaannya di Tanzania. Lalu kenapa Kapten ada di sini.
Hanya ada satu jawabannya.
Kapten itu, bukan anak buahnya, melainkan mata-mata musuh.


92
Aksi Pertama Allary


“Maafkan aku, nona Brittany, tapi, riwayat kalian sudah habis sampai di sini.” Kapten tersenyum licik. Brittany langsung berguling menjauh, kemudian berdiri. Langsung meraih senjata setrumnya di dalam tas. Bersiaga. Allary juga segera memasang kuda-kuda. 
“Kau mengkhianatiku untuk mereka? Keputusan yang salah, kapten.”
Kapten tertawa-tawa. “Aku tidak pernah setia pada kau, Nona Brittany. Yahh, walau harus kuakui cukup menyenangkan menjadi anggotamu.”
“Kurang ajar kau,” Brittany mendesis, “aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia setelah ini. Tidak ada tempat lari untukmu.”
Tawa kapten semakin keras. “Lucu sekali. Karena kalianlah yang tidak punya tempat lari. Kalian tidak punya hari esok. Inilah akhir dari riwayat Nona Brittany dan temannya. SEMUANYA, BERSIAPLAH!”
Seketika, setelah Kapten berteriak, muncul banyak orang dari segenap sudut bandara. Beberapa adalah pegawai bandara. Sebagian lainnya malah pemadam kebakaran. Mereka mengambil posisi membentuk lingkaran, mengepung Allary dan Brittany. Itulah lima puluh orang yang akan diperintahkan menghabisi mereka berdua.
“Kurasa ini akan menjadi pertarungan yang serius, kapten...UKH!”
“Brittany!” Allary reflek menjerit, Brittany sudah roboh kena tinjunya kapten. 
“Kau dan alat setrum itu akan merepotkan jika tidak dibereskan lebih dulu, Nona Brittany.”
Brittany tidak menyahut lagi, pingsan.
Tidak menunggu, kapten langsung menerjang ke arah Allary. Menghantamkan tinjunya. Allary sudah siap. Ini akan jadi pertarungan pertamanya di alam terbuka, dalam keadaan terbuka dan tahu sama tahu dengan musuhnya.
BUKKK!
Tinju kapten berhasil ditangkap olehnya. Setelah itu Allary langsung balas menyarangkan tinju ke perut kapten. Membuat kapten meringis menerima pukulan itu. Melihat lawannya lengah, Allary kembali menyerang, pukulannya kena wajah. Setelah menyarangkan dua pukulan, Allary menggenapinya dengan satu pukulan telak ke dada lawannya.
Kapten terpelanting ke belakang. Itu memprovokasi lima puluh orang yang berjaga di belakangnya. Mereka langsung maju, menerjang. Allary langsung bersiap. Dia sudah tahu ini bakal jadi pertarungan terbuka.
BUKKK!! BUKKK! BUK!
Allary langsung maju. Tidak menunggu lawannya datang, langsung menerjang dengan tinju-tinjunya. Satu dua tiga pukulan bersarang ke tubuh lawannya. Tiga lawannya langsung terjungkal dengan wajah lebam. 
Allary tersenyum tawar. Nampaknya musuh-musuh ini tidak sekuat yang dia duga. Dia sudah mengukur kekuatan musuh-musuhnya.
BUKKK!!
BUKKK!
Lengah, serangan langsung datang dari bagian belakang. Allary tak sempat menghindar. Dia segera bangun, menyingkir sebelum dikeroyok. Mencari tempat kosong. Bisa gawat kalau dia terkepung.
Tiga tumbang, 47 orang lagi. Baiklah, dia harus memberikan perlawanan serius. Tidak boleh ada ampun lagi kali ini.
Allary langsung maju. Menghindari satu pukulan musuh, kemudian meninju wajah orang di depannya. Langsung tumbang. Satu pukulan lain mengenai di perutnya, namun Allary berhasil menahannya, dan meninju balik orang itu. Dua orang kembali menyerang dari belakang, namun Allary menunduk, menghindari lagi dan meninju balas. 
Allary sangat gesit, sangat kuat, sangat tangguh. Pukulan-pukulannya susah untuk ditangkis. Sekali pukul, musuhnya pasti terkapar. Sama sekali tidak memberi ampun. Itu teknik yang dipelajarinya dari perkumpulan Banteng Merah. Sebaliknya, Allary juga memiliki ketangguhan fisik di atas rata-rata. Sembilan pukulan mengenai di tubuhnya, tak sedikitpun dia bisa dirobohkan.
Musuh-musuhnya mulai mengeluh. Bertanya-tanya tentang musuh mereka yang tidak bisa dirobohkan. Jumlah mereka hanya tinggal 30 orang lagi.


93
Semua Kekuatan


Pertarungan mulai sengit. Musuh-musuhnya memperketat kewaspadaan sekaligus memperkuat semangat juangnya. Allary menatap ke sekeliling. Tetap kokoh dengan kuda-kudanya, tinjunya siaga. 
Serangan datang! Musuh langsung menyerang, depan dan belakang. Allary menunduk, menghindar, menyarangkan satu pukulan pada musuh di depannya. Satu pukulan sempat bersarang di punggungnya, sebelum dia sempat berbalik, menghantam satu lagi musuh. 
Gelombang demi gelombang musuh terus berdatangan. Ke-30 orang anak buah bos besar yang tersisa, melawan dengan tangguh. Mereka yang terjungkal di awal, berhasil bangkit lagi, kembali menyerang. Lama-lama, stamina Allary terkuras juga. 
Beberapa kali pukulan musuh terkena telak ke tubuhnya. Beberapa kali pula dia harus mengerang menahan rasa sakit. Musuh kian gencar mengeroyoknya. Allary berusaha keras memberikan perlawanan sepadan. Lima belas menit kena keroyokan musuh-musuhnya, Allary mulai kewalahan.
Sekali momen, dimana akhirnya, Allary terjungkal, terbanting ke belakang. Pelipisnya lebam terkena pukulan, membuat penglihatannya ikut buyar. Dia lengah. Perutnya harus menanggung akibat. 
“Ukh,” Allary berusaha bangun. Sepersekian detik setelah dia terbanting, Allary langsung berguling ke belakang. Menghindari serangan musuh yang berikutnya. Kepalanya sedikit pusing akibat terlalu jauh berguling. 
Mereka benar-benar tanpa ampun. Aku harus mengerahkan kemampuan terbaikku, Allary menetapkan tekad dalam hatinya. Dia harus serius kali ini. Seserius saat dia menghadapi Thahir di pertandingan final hari itu.
Saatnya menunjukkan kemampuan terbaiknya. 
Musuh-musuhnya kembali berdatangan. Allary kali ini berdiri kokoh, menangkis serangan musuh-musuhnya. Namun anehnya, dia sama sekali tidak balas menyerang. Dia hanya menangkis dan sesekali harus menerima serangan yang luput dari tangkisannya. Dia menggigit bibir, menahan sakit. Tidak apa. Dia punya ketangguhan fisik di atas rata-rata untuk menahan sakit. Allary mencoba bertahan selama lima belas menit. Tanpa balas menyerang. Mengapa?
Sekali lagi, Allary harus terguling ke belakang setelah terjungkal. Dia berusaha bangkit sekali lagi. 
“Baiklah. Aku sudah tahu pola serangan kalian. Sekarang giliranku menyerang,” ucap Allary menyeringai. Kali ini, Allary menyiapkan tinju-tinju yang terkepal. 
“SATU!” Allary menyerang dengan satu serangan mematikan ke arah musuh terdekatnya. Musuh itu langsung roboh.
“DUA!” Allary kembali berteriak, menghitung, kemudian menyerang dengan memukul. Satu musuh lagi dilumpuhkan.
“TIGA!” Allary menghindar dari semua pukulan, sangat cepat dan gesit, kemudian menyerang, dua pukulan sekaligus dia gunakan. Makin banyak musuh yang tumbang.
“EMPAT!”
Makin besar angkanya, makin kuat teknik Allary. Tinjunya berkelabat cepat sekali, meninju musuh-musuhnya yang berada dalam jangkauannya. 
“LIMA!”
Allary menyelesaikan pertarungan. Semua musuh berhasil dia jangkau. Semuanya jatuh dengan darah mengalir di bekas pukulan Allary. Itulah teknik bertarung Klub Banteng Merah. Tadi Allary sengaja menerima seluruh pukulan musuh demi menganalisis gerakan mereka. Dalam rangkaian serangannya satu sampai lima, dia berhasil menghindar berkat analisis yang cermat dan cepat. Dipadukan dengan teknik bertinju yang efektif dan efisien.
Thahir selalu bilang, kekuatan bertinju seseorang di Klub, adalah refleksi dari masa lalunya. Allary adalah orang yang cerdas dan kuat menerima segala cobaan, maka itulah gaya bertarungnya. Dengan menerima segala pukulan lawan, kemudian menganalisisnya. 
Di tempat lain, Kapten yang terkapar setengah pingsan, juga telah diringkus oleh Brittany yang sudah siuman. Alat setrum menghujam ke arahnya.


94
Interogasi Kapten


“Kamu baik-baik saja, Brittany?” Allary berlari tergopoh-gopoh ke arah Brittany begitu pertarungannya selesai. Agak lucu sebenarnya, karena Allary lah yang seharusnya ditanya. Tapi ya, begitulah Allary. Selalu mencemaskan orang lain.
Brittany mendongak. Melihat wajah Allary yang lebam, kemudian tersenyum menunduk. Gadis itu salah tingkah. “Aku baik-baik saja, Allary. Kamu yang sedang tidak baik-baik saja.”
“Ah ini biasa saja. Mengingat ada banyak hal yang lebih buruk bisa terjadi di pertarungan tadi. Aku hanya lebam sedikit.”
“Ya sudah. Kalau kamu baik-baik saja, kita bisa pergi dari sini dengan cepat. Aku sudah menelepon anak buahku untuk menyediakan mobil. Mereka juga akan segera menyiapkan tempat pertemuan. Aku perlu mengorek semua informasi dari kapten sialan ini.”
“Kau tidak tahu.... AKHHH!” Kapten tadi sempat bersuara sebelum Brittany menyetrumnya sampai tidak bisa bergerak lagi.  “Diam kau, belum waktunya kau untuk bicara.”
Mobil merapat ke lokasi mereka, ke bandara. Allary dan Brittany membopong kapten yang pingsan itu ke mobil. Supirnya adalah anak buah Brittany yang lain. Allary sebenarnya agak sangsi, siapa tahu ada pengkhianat lagi di antara anak buah Brittany. Namun Brittany mengisyaratkan kalau dia sangat percaya dengan anak buahnya yang satu ini.
“Kau sudah siapkan ruangan untuk pertemuan?”
“Sudah nona. Hanya sekitar lima kilometer dari bandara. Kita akan sampai dalam sepuluh menit.”
“Bagus.”
“Kami juga telah mengamankan area ruangan pertemuan serta melakukan pemeriksaan terhadap anggota organisasi kita. Semuanya bersih.”
“Bagus. Tapi untuk yang satu itu, aku minta kalian melakukan satu kali lagi pemeriksaan. Jangan sampai ada yang terlewat.”
“Siap Nona.”
Mereka sampai di ruangan pertemuan yang dimaksud Brittany tepat sesuai jadwal. Sebuah gedung sederhana di barat Bandara. Allary bersama si supir menggotong Kapten yang masih tidak sadarkan diri. Brittany membawanya ke ruangan kosong di dalam gedung itu. Hanya ada satu kursi di ruangan itu. Ruangan interogasi.
“Bangunkan dia,” perintah Brittany. Anak buahnya mengangguk. Sementara menunggu kapten terbangun, Brittany menghampiri Allary. Brittany ingin memastikan kondisi pria itu. Allary sekali lagi bilang dia baik-baik saja.
“Ini cuma lebam, Brittany. Kamu tidak perlu khawatir. Astaga, sejak kapan kamu mengkhawatirkan aku?” Allary tertawa-tawa. 
“Ini salahku,” sahut Brittany, “gara-gara aku, kau jadi harus bertarung lagi. Ini kali kedua kau membahayakan diri untuk menyelamatkan dan melindungi aku.”
Allary mengangkat bahu. Bukankah itu kewajibannya? Menolong orang lain. Sebelum mereka berbantahan lagi, nama Brittany dipanggil. Kapten telah sadar. Siap untuk diinterogasi. Atau lebih tepatnya, siap untuk tidak menjawab.
“Sebaiknya kau bekerja sama denganku, Kapten. Atau kau tahu akibatnya.” Brittany mencoba mengancam. Sudah dua kali pertanyaannya tidak dijawab. 
“Aku tidak takut denganmu, Nona Brittany.”
“Oh kau layak takut.” Brittany menyeringai.
“Memangnya apa yang bisa kau lakukan. Kau mau membunuhku lalu memotong-motong tubuhku? Silakan.”
“Itu cara yang kuno, Kapten. Aku bisa menyerang orang yang kau sayangi, keluargamu. Aku bisa menemukan mereka dan membawanya kemari agar kau mau bicara.”
“Aku tidak takut.” Kapten tidak bergeming.
“Kau harus takut!” Brittany berseru dengan suara tinggi, “kau harus bicara, kalau tidak, aku akan menghabisi keluargamu, seluruhnya.”
“Lakukan saja! Aku tidak takut!” Kapten tidak kalah sangar, menyahut, “lagipula aku tidak punya keluarga.”
Brittany mendengus kesal. Kapten ini menguji kesabarannya. Dia seperti tidak punya rasa takut atau cemas. Bagaimana dia bisa mengorek informasi kalau begini.
Brittany memegangi kepala kapten, menatapkan matanya dengan tatapan paling seram, paling serius. “Dengar ya kapten, kau tahu betapa mengerikannya organisasi yang kumiliki bukan? Kau tidak sadar berhadapan dengan siapa hah?”
Kapten tidak bergeming, menggelengkan kepala, “kau salah, nona. Kaulah yang tidak tahu seberapa besar organisasi yang sedang kau hadapi. Organisasi yang jauh lebih besar dan berbahaya ketimbang organisasimu.”
“Omong kosong!” Brittany berseru marah. Organisasinya baru saja dihina, dia tidak terima. Tapi kapten tersenyum licik. Dia tahu, itulah kebenarannya. “Ya, itu benar. Kau lihat, sejak dulu sampai sekarang, kau tidak pernah bisa mengalahkan organisasi tempatku bekerja, sekuat apapun agen-agen yang kau punya.”
Brittany memukul tiang beton. Kapten itu benar-benar sialan.


95
Jalur Baru, tapi ke Kongo


Kali ini Brittany tidak memperbolehkan Allary untuk ikut menginterogasi, meskipun Allary sempat menawarkan diri. “Kau tidak perlu ikut campur kali ini, Allary. Dia terlalu berbahaya.” Akhirnya, kapten dibawa pergi ke ruangan lain gedung itu, untuk dieksekusi. Allary sekali lagi tak kuasa membantah atau mencegah perintah Brittany itu.
“Orang itu sangat licik, dia berhasil mengelabuiku selama bertahun-tahun. Orang seperti itu tidak layak untuk diampuni. Tidak ada yang tahu perbuatan licik apa lagi yang bisa dia buat seandainya dia dibiarkan hidup.” Brittany mengeluarkan pembelaan ketika Allary berusaha mencegah eksekusi. Padahal menurut Allary, kapten masih punya hak untuk hidup.
“Hidup ini keras, Allary. Kau terkadang tidak boleh punya ampun pada orang lain, karena orang lain pun terkadang tidak akan punya ampun terhadap kau. Itulah yang selalu kuyakini.”
“Memakan atau dimakan. Seperti hukum rimba,” Allary bergumam, sinisme.
“Terdengar begitu mengerikan, tapi memang begitulah realitasnya.” Brittany menimpali. Allary tahu pembicaraan macam ini tidak banyak berguna. Brittany mirip seperti Felix. Mereka adalah orang yang menghadapi dunia yang tak kenal ampun. 
Kabar buruknya, sekarang, dengan kemampuannya bertinju, Allary juga telah masuk ke dunia yang sama. Akankah dia bertahan?
“Jadi, mau kemana kita sehabis ini?” akhirnya Allary bertanya, menukar topik.
“Tentu saja Tanzania. Kita tidak mengubah tujuan. Kita mungkin hanya mengubah rute dan waktu tempuh.”
Manggut-manggut Allary, itu masuk akal. Dugaannya, mereka akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil, karena resiko kecelakaan dengan mobil lebih kecil dan bisa diantisipasi, ketimbang kecelakaan dengan pesawat.
Dan kedua dugaan Allary itu dibenarkan oleh Brittany.
“Musuh kita adalah orang yang nekat, Allary. Mereka adalah Mafia Sahara. Perjalanan darat bisa jadi pilihan baik. Paling-paling yang kita hadapi adalah ban kempes.”
“Yahh, atau resiko kaca berhamburan dihujani peluru.”
“Itu cukup menyenangkan,” Brittany tersenyum geli sampai menampakkan deretan giginya.
Mobil baru mereka segera datang. Ah itu bukan mobil, itu lebih terlihat seperti truk, dengan body yang besar. Brittany berseru senang sambil berdiri ketika mobil itu datang. “Nah inilah kendaraan kita, Allary. Kendaraan ini akan sangat menguntungkan kita. Tidak sembarangan orang bisa menghentikan kita tanpa resiko ringsek tertabrak sekarang.”
Allary mengikuti Brittany berdiri. Kemudian mereka segera masuk ke dalam truk itu. Perjalanan harus dilanjutkan. Mereka tidak boleh membuang waktu lagi. 
“Berangkat!” teriak Brittany sambil menginjak gas dalam-dalam. Suara truk menderu mengiringi perjalanan mereka. Ke Tanzania. 
Tentu saja, perjalanan mereka diiringi dengan obrolan-obrolan ringan di dalam mobil. Mereka hanya berdua. Tanpa mengobrol, suasana akan sangat membosankan. Biar tidak bosan, Allary mencomot topik yang paling aktual.
“Mafia Sahara, itu sebenarnya siapa mereka?”
Brittany genap menoleh. Akhirnya Allary menanyakan soal itu. “Mereka musuh kita. Merekalah yang terlibat dalam penculikan Vivi.”
“Seberapa berbahayanya mereka?”
“Sangat berbahaya.”
“Maaf, tapi tadi kapten bilang kita, dan organisasimu tidak akan bisa menanganinya. Apakah itu benar?”
Astaga, benar-benar pertanyaan yang tidak menyenangkan, batin Brittany. Dia tidak pernah suka menerima kenyataan ini, tapi...
“Ya, itu memang benar. Aku menghabiskan banyak waktu untuk melawan dan mengalahkan mereka, namun tidak pernah berhasil. Mereka selalu lolos.”
“Itu kabar buruk,” Allary membenarkan posisi duduknya. Siapa tahu sehabis ini dia perlu tidur sejenak, “apakah kita akan menang melawan mereka kali ini?”
“Bisa ya, atau tidak,” wajah Brittany semakin “mendung”.
“Semoga kita bisa. Aku akan membantumu, Brittany.”
“Terima kasih, Allary. Tapi dalam kasus menyelamatkan Vivi kali ini, aku tidak bodoh. Aku tidak akan berusaha mengalahkan mafia. Aku hanya ingin menyelamatkan temanku. Begitu kita bisa mengambil Vivi dari mereka, kita tidak perlu memperpanjang urusan.”
“Ah seharusnya kau membiarkan aku menginterogasi kapten tadi, lihat, aku bisa mengorek seluruh informasi darimu dengan begitu mudah.” Allary terkekeh kecil. Brittany menimpuk bahu Allary yang tidak terluka.
Mulai ada chemistry yang tumbuh di antara dua orang di dalam mobil itu.


96
Orang Pingsan


“Oh ya Allary, aku boleh bertanya satu hal? Tapi ini agak pribadi.”
“Bukan tentang percintaan bukan?” 
Brittany menggeleng, tentu saja bukan, kalau urusan itu, dia sendiri pun tidak beres. “Ini tentang teknik bertarungmu. Kau belajar darimana?”
Terdiam Allary dibuatnya. Itu topik yang sama sensitifnya. Karena Thahir dan Reyhan selalu mewanti-wanti agar tidak ada yang membocorkan identitas klub di luar anggotanya. 
“Dari sebuah tempat latihan di Jakarta.”
“Perguruan beladiri?” 
Allary menggeleng, bukan tentu saja. Klubnya bukan sebuah perguruan. Tidak ada guru di sana. Hanya ada instruktur. Itupun hanya sesekali saja datang, diundang. “Bukan. Maaf, aku tidak bisa memberitahumu. Itu rahasia.”
“Hoo, semacam klub beladiri rahasia.”
“Berhentilah menebak-nebak, Brittany.”
Gadis berambut pirang itu malah semakin menjadi. Dia meraih ponselnya, mencari sesuatu. Informasi. Allary bisa menebak, dia pasti sedang mencari tahu tentang klub-nya. Sia-sia saja. Klubnya tidak akan pernah ada di mesin pencari. Atau kalaupun ada, itu tidak akan bisa jadi petunjuk untuk dihubungkan dengan dirinya.
“Klub Banteng Merah. Allary, status keanggotaan A. Ha, ini bukan?” Brittany menunjukkan ponsel dan hasil pencariannya. Membuat Allary seketika tercengang. Bagaimana bisa gadis ini membongkar tentang klubnya, sampai status keanggotaannya sekaligus. Begitu cepat pula.
“Aku ini agen dewan keamanan. Organisasiku bergerak di bawah kendali Dewan Keamanan Internasional. Kami punya banyak relasi, cara untuk mendapatkan informasi, alternatif solusi, semua ada dalam database. Mudah saja mencarinya.”
Allary terdiam. Jangan-jangan urusannya dengan Anita juga ada di database Dewan Keamanan Internasional.
“Kemampuan bertarungmu hebat, Allary. Pantas saja mendapat status keanggotaan yang tinggi.”
“Jangan memujiku, Brittany. Aku hanya petarung biasa.” Allary waspada. Jangan sampai dia membocorkan lebih banyak informasi tentang klubnya.
“Hei aku serius. Dengan kemampuan seperti tadi, kau bisa menang melawan agen terbaik yang kupunya. Ketahanan fisikmu pasti luar biasa. Bagaimana kau melatihnya, Allary?”
Allary makin bingung. Brittany ingin ganti mengorek informasi dari aku? “Kenapa kau bertanya begitu?”
“Ya, siapa tahu aku bisa menerapkan metode latihannya pada anak buahku. Ketahanan tubuh semacam itu, benar-benar berguna.”
“Maaf, aku tidak bisa membocorkannya, dan aku yakin anak buahmu pasti tidak akan bisa mengikutinya juga.”
Ya, mana mungkin ada yang tahan harus kehilangan kedua orang tua di usia muda, kemudian berjualan martabak, dan terakhir ditolak, dihina dan dicampakkan saat hendak melamar kekasih hati. Itu semua adalah latihan ketangguhan bagi Allary.
Namun Brittany masih bisa belajar satu hal dari Allary.
Tepat saat mereka hendak masuk ke perbatasan Zaire, Allary melihat insiden itu. Ada seorang kakek jatuh pingsan di pinggir jalan. Dari posisi duduk, menjadi terkapar. Sepertinya kelelahan. 
Allary bergegas meminta Brittany berhenti, meskipun Brittany seperti tidak mau. 
Allary mendesak, bersikeras. Kakek itu pasti butuh pertolongan.
Nah itu juga merupakan salah satu resep ketangguhan Allary. Hatinya yang baik dan penolong.


97
Rute Berputar ke Kongo


Allary dan Brittany sama-sama turun dari truk. Bedanya, Allary langsung berlari mendekati si kakek yang tadi dilihatnya terkapar, sementara Brittany begitu waspada. Dia tidak serta merta percaya dengan kakek itu. Semua terlalu kebetulan. 
“Kakek tidak apa-apa?” tanya Allary. kakek itu terlihat terengah-engah. Sepertinya dia kelelahan. 
“Kakek masih bisa bernafas?” tanya Allary lagi, dalam bahasa Inggris. Entah si kakek itu mengerti atau tidak. 
Dan ternyata kakek itu mengerti. “Aku mau ke... Kongo.” ucapnya, tersengal-sengal. Nafasnya tidak teratur. Tapi bahasa Inggrisnya bisa Allary pahami. Itu membuat Brittany semakin curiga. Orang pedalaman Afrika bisa berbahasa Inggris? Mencurigakan bukan?
“Bertahanlah, kami akan menolongmu, Mister. Kakek masih bisa berdiri?”
“Seluruh persendianku rasanya mati. Tidak bisa digerakkan. Aku sudah berjalan dari Bangui dalam dua hari. Tidak sampai-sampai. Aku sudah terlalu lelah.”
“Eh kakek mau kemana? Kongo tepatnya di kota apa?”
“Perbatasan. Ada keluargaku yang berjaga di sana.”
“Kami bisa mengantar kakek. Mari ikut dengan truk kami.”
“Sungguh? Kalian mau mengantar? Kalian ini siapa?”
“Kami adalah orang-orang baik,” sahut Allary. Tidak ambil tempo, langsung memasukkan kakek itu ke dalam bak truk. Sementara Allary dan Brittany kembali ke kursi depan. Gadis partner perjalanan Allary itu sudah siap memprotes semua kebaikan yang dilakukan Allary. Menurutnya itu terlalu naif.
Lagipula, Allary sudah dua kali melakukan kebaikan naif itu di depan matanya. Brittany geregetan.
“Aku memaafkanmu untuk tindakanmu menolong seorang kakek di Mesir, itu masih bisa dihitung kebaikan. Tapi yang ini, aku benar-benar tidak bisa menerimanya. Bisa saja dia adalah mata-mata, Allary. Situasi kita sedang tidak kondusif di sini, kau tahu?”
“Yahh, aku menganggap ini sebagai perbedaan pandangan saja, Brittany. Kau dan lingkunganmu yang keras itu, tidak akan mengerti tentang kebaikan yang baru saja kulakukan.”
“Dia bisa saja adalah mata-mata. Di tengah situasi seperti ini, kenaifanmu bisa saja dimanfaatkan, Allary.”
“Itu hanya dugaanmu, Brittany. Tapi yang nyata adalah dia perlu bantuan. Dia kesusahan. Aku akan selalu menolong orang yang kesusahan.”
“Kalau dia ternyata benar mata-mata, dan ketika sampai di Kongo, puluhan prajurit bersenjata telah menunggu kita, menjebak, bagaimana?”
Allary angkat bahu, menjawab santai, “kita akan melawannya.”
“Itu naif, Allary.”
Allary menggeleng, “itu bukan naif. Itu keyakinan. Aku yakin kita akan menang, berapapun pasukan yang menjebak kita.”
“Bagaimana kau bisa seyakin itu, tidak masuk akal.” Brittany menyergah, mereka kembali berdebat.
“Karena Tuhan, akan selalu bersama dan berpihak kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Kalimat yang terakhir itu mengandungi power yang luar biasa. Kalimat itu hanya bisa muncul dari seorang pembelajar sejati macam Allary. Orang yang telah membuktikan, telah berkali-kali Tuhan menyelamatkan nyawanya yang telah berada di ujung tanduk, gara-gara kebaikan yang dilakukannya. 
Brittany kehilangan kata-kata untuk berdebat. Dia setengah terpaksa mengarahkan rute ke Kongo. Mereka akan mengambil jalan memutar. 
Semoga saja, Allary benar. Hatinya berbisik pelan.


98
Ban Kempes


Sesuai dengan perintah dan niat Allary, mereka putar rute ke Kongo. Berkat rute itu pula, artinya mereka harus melipir ke selatan terlebih dahulu. Rute yang agak merepotkan.
Sesampainya mereka di perbatasan Kongo dan Afrika Tengah, rupanya di sana sudah ada tiga orang anak buah Brittany yang menunggu. Bersiaga di pos perbatasan bersama para petugas imigrasi Kongo. Sebagai bagian dari Dewan Keamanan Internasional, mudah saja bagi Brittany untuk mengirimkan anak buahnya berbaur dengan kesatuan pemerintah lokal.
Brittany turun, langsung menemui anak buahnya. Dengan pose menghormat, anak buahnya itu memberikan laporan. “Area ini telah dibersihkan, nona. Tidak ada satupun musuh yang bisa bersembunyi dari proses scanning yang kami lakukan.”
“Bagus, tapi tetap perketat penjagaan. Ada berapa orang yang kalian siagakan di sini?”
“Dua puluh lima, nona. Sisanya yang tidak Nona lihat berkamuflase di sekitar tempat ini.”
“Bagus sekali. Aku hanya mampir sebentar di tempat ini. Setelah urusanku selesai, kalian juga bubarkan pertahanan di tempat ini, paham?”
“Paham nona.”
Sementara Brittany memberikan arahan pada anak buahnya, Allary berusaha membantu si kakek yang dia temui di jalan tadi, untuk melangkah ke pos pemeriksaan imigrasi. 
“Kakek benar punya kenalan yang berjaga di sini? Atau saya perlu antar kakek sampai ke rumah?” tawar Allary lagi. Kakek menggeleng dan bilang bahwa sampai di sini saja sudah cukup. 
Seorang pemuda, petugas imigrasi langsung mengenali kakek tua yang dibantu Allary berjalan itu, sebagai pamannya. Ah kabar baik, bisik hati Allary, ternyata kakek ini berkata dengan jujur, bukan sedang menjadi mata-mata. Allary segera menyerahkan si kakek pada keponakannya itu dan mendapatkan ucapan terima kasih. 
“Maaf sudah merepotkan mister. Paman saya ini memang senang berjalan-jalan. Sampai terlalu jauh terkadang, tidak ingat dengan usianya yang sudah uzur.”
“Kau jangan meremehkanku, Kennedy. Dulu aku berjalan kaki sampai ke Libya, dan kau masih menangis saat terjatuh di lantai.”
“Iya paman. Tapi itu kan dulu. Ya sudah, sekarang kita pulang ke rumah ya. Sekali lagi terima kasih, mister.”
Petugas imigrasi itu langsung membawa si kakek beranjak pergi. Allary mengulum senyum senang. Selalu menyenangkan menolong orang lain yang sedang kesusahan. 
Tepat setelah kakek itu hilang dari pandangan mata, giliran Brittany yang datang. Berucap pada Allary soal perjalanan yang akan dilanjutkan.
“Ya tentu. Kita bisa melanjutkan perjalanan sekarang.” Allary mengangguk. 
Mereka langsung berjalan kembali ke truk. Beberapa anak buah Brittany memberinya hormat ketika dia berlalu di hadapan mereka. Allary mengamati anak buah Brittany itu, lumayan tangguh dalam pertarungan. Itu penilaian singkatnya.
“Kenapa kau tidak mengajak mereka ikut serta dalam perjalanan. Mereka pasti akan berguna jika ada penyerangan tiba-tiba pada truk kita.”
“Ah itu, nanti kujelaskan di dalam mobil setelah kita... eh?!”
Brittany tiba-tiba berseru. Lekas Allary mensejajari langkahnya. Heran. “Ada apa?”
“Coba lihat itu!” Brittany menunjuk ke arah truknya. 
Empat ban belakang truk, telah kempes. Itu jelas ulah seseorang, sengaja. Allary ikut kaget. 
“Siapa yang melakukan ini?” tanyanya. Brittany menggeleng.
“Jangan-jangan ada mata-mata lainnya yang mengawasi kita dari jauh.” 
Brittany kembali menggeleng. Tempat ini sudah dibersihkan oleh anak buahnya. Tidak akan mata-mata musuh. 
Kecuali...
“SI KAKEK!” Brittany tiba-tiba berseru marah. Marah sekali. Jangan-jangan si kakek lah yang telah melakukan ini semua.


99
Ban Kempes Jadi Acara yang Panjang


Brittany sebenarnya kesal. Sangat kesal. Hendak sekali dia menumpahkan seluruh rasa kesalnya itu pada Allary, karena lantaran Allary dan seluruh kebaikannya lah, semua bisa jadi seperti ini. Tapi dia tidak bisa melakukan itu. Dia segan dengan Allary. Jadilah dia menendang-nendang ban mobil yang telah kempes itu. 
“Sabar, Brittany. Bukankah kamu sudah memanggil bantuan. Kita bisa duduk sebentar di sini, menunggu. Sedikit santai. Paling cuma lima belas menit.” Akhirnya Allary pula yang menenangkan Brittany. Itu membuat Brittany semakin cemberut. 
Ya, setelah menyadari bannya kempes dan perjalanan mereka ke Tanzania tidak mungkin bisa dilanjutkan, Brittany langsun memerintahkan anak buahnya untuk mencari tukang reparasi ban. Bannya itu harus segera diperbaiki, dipompa, tambah angin atau kalau bocor harus segera ditambal. 
Pokoknya segera.
Di tengah kegelisahan dan mondar-mandirnya Brittany, ponselnya berbunyi. Brittany gesit mengangkatnya, berharap ada kabar baik. Ternyata malah sebaliknya.
“Maaf Nona. Kami tidak bisa menemukan tempat untuk memperbaiki kerusakan ban kendaraan nona. Setidaknya dengan jenis truk seperti yang nona kendarai itu. Jenis yang khusus, tidak bisa diganti di Kongo sini.”
Brittany genap menepuk jidat. Masih lewat sambungan telepon yang sama, dia memberikan perintah. “Kalau begitu, carikan aku mobil. Aku perlu berganti transportasi. Mobil yang bagus, yang bisa melintas antar negara tanpa masalah lagi. Kalian paham? Dalam lima belas menit sudah harus ada kabar baik.”
Pasti anak buahnya di sana terbirit-birit menuruti perintah Nona Brittany.
Selama beberapa menit setelah menerima telepon dan kabar buruk itu, Brittany kembali mondar-mandir. Terkadang menendang-nendang pasir. Dia betul-betul kesal. Rencananya berantakan. Allary yang duduk di dekat situ, lesehan di tanah, kembali menegurnya.
“Tenanglah Brittany. Hemat tenaga. Duduklah dulu.”
“Tidak bisa, Allary. Kita kehabisan waktu.”
“Ya, dan kau mondar-mandir di sana menghabiskan tenaga.”
Brittany meremas rambutnya. Sangat kesal.
Lima belas menit, waktu yang diminta Brittany, akhirnya berlalu. Dia mengangkat telepon lagi. Harapannya ada kabar baik harus kembali bertepuk sebelah tangan. Nyatanya kembali kabar buruk. Dan Brittany nampaknya akan benar-benar kehabisan waktu.
“Sungguh saya minta maaf, saya sudah berusaha menghubungi seluruh koneksi kita, Nona Brittany. Namun kita memang tidak punya akses ke negara Kongo, sehingga tidak ada koneksi di sana.”
“Maksudmu?”
“Tidak ada mobil organisasi kita yang bisa digunakan di sana.”
“Kalau begitu kirimkan mobil dari negara lain. Titik mana yang paling dekat.”
“Bangui, nona.”
Terperangah Brittany. Bangui? Ibukota Afrika Tengah? “Itu berarti aku harus menunggu lebih dari dua jam?”
“Karena itulah saya meminta maaf, nona. Mobil terbaik hanya bisa dikirimkan dari Bangui. Itu titik yang paling dekat.”
“Kalau begitu kirimkan sekarang!” Brittany menyergah. Nyaris saja membanting teleponnya.
Urusan ban kempes ini berbuntut panjang.


100
Hutan Hujan Terbesar Kedua di Dunia


Mungkin banyak dari kita mengidentikkan benua Afrika dengan gurun yang tandus, kehidupan yang miskin, penduduknya yang berkulit hitam (tidak bermaksud rasis, hanya menyebutkan fakta), serta iklimnya yang panas. 
Banyak dari kita mungkin terkejut (atau sedikit terkejut) mendengar fakta bahwa hutan hujan terbesar kedua di dunia, ada di Afrika. Ya, Afrika adalah paru-paru dunia, sama seperti Amazonia dan Indonesia. Agak mengejutkan bukan? Karena itu tadi, Afrika memang lebih identik dengan iklimnya yang panas dan gurun pasir yang membentang. 
Padahal kita tahu bahwa satwa liar paling banyak hidup di Afrika. Di kawasan hutan hujannya yang membentang sejak Republik Afrika Tengah sampai ke selatannya, kecuali Gurun Kalahari. Dengan kata lain, kawasan hutan hujan juga meliputi kawasan Kongo. Negara yang saat ini dipijak oleh Allary dan Brittany. 
Ke sanalah Allary mengajak Brittany menenangkan diri. Tepi hutan hujan. Mereka mengambil duduk di atas rerumputan. Brittany sebenarnya masih hendak protes, tapi Allary lekas menyuruhnya untuk diam.
“Sebentar saja. Coba kamu nikmati suasananya sebentar saja. Kamu akan sadar, menikmati pemandangan hutan ini, jauh lebih baik ketimbang hanya sekedar mengomel.”
Brittany akhirnya menurut. 
“Pesona hutan selalu menenangkan. Percayalah denganku.” Allary meyakinkan Brittany. Lima menit kemudian, tanpa berkata-kata, hanya menghirup bau kesegaran hutan hujan, akhirnya Brittany berangsur tenang.
“Dalam beberapa situasi, kau bisa menjadi tidak terduga, Allary.” 
“Allary Azra memang penuh dengan kejutan,” canda Allary.
“Ucapanmu tadi, seperti kau pernah merasakan hidup di dalam hutan saja.”
“Memangnya kau pernah?” Allary balik bertanya, sorot matanya menantang. Lebih baik mungkin menjauhkan Brittany dari topik sensitif tentang ban bocor itu.
“Tentu saja. Saat umurku belasan, aku sudah menyeberangi hutan hujan ini, sampai ke Gurun Kalahari sana, menjalankan misi, membahayakan nyawa.”
“Kamu jelas seorang petualang,” Allary coba memuji. 
Brittany tersipu oleh pujiannya itu.
“Kau sendiri pernah menjelajah hutan, Allary? Atau kau hanya sekedar mengkhayalkannya? Kulihat kau adalah orang yang pandai mengkhayal.”
“Sembarangan kau.”
Brittany terkekeh kecil. Sekarang dia sudah lupa dengan pertengkaran mereka beberapa detik yang lalu. “Ceritakanlah,” tantangnya, membuat Allary bersila. 
“Ini,” Allary merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah foto. Dia dan Vivi ada di sana, berfoto dengan latar belakang hutan lebat Amazonia. Sungai lebarnya itu tidak bisa berbohong.
“Itu di Amazonia? Sungguhan?”
“Tentu. Hutan hujan terbesar di dunia.”
“Aku juga ingin pergi ke sana,” timpal Brittany tidak mau kalah, “tapi aku belum mendapatkan izin akses dari pemerintah. Kudengar izin akses Amazonia ditutup oleh kementerian riset. Tidak boleh ada turis yang datang ke sana sejak empat tahun yang lalu?”
“Oh ya?” Allary hanya pura-pura bodoh di sini. Dia tahu soal itu, karena sebab rombongannya jualah penutupan Amazonia itu terlaksana. 
“Kau tidak tahu soal itu?”
“Tentu saja aku tahu. Agak kebetulan juga, penutupan itu dilakukan persis empat tahun yang lalu.”
Brittany ikut terkejut. Dia kembali berpikir. “Jangan-jangan...”
“Kau tidak perlu memikirkannya lebih jauh, Brittany.”
“Kalian yang melakukan pengusutan besar-besaran terhadap kasus pertambangan liar itu. Yang membongkar seluruh bobrok pemerintah?”
Allary mengangkat bahu. Brittany segera sadar, dia mendapatkan partner yang lebih dari biasa, dalam penelusuran ini.


101
Sekarang Giliran Kau Bergerak, Felix


Kita biarkan dulu Allary dan Brittany menikmati udara hutan hujan yang sejuk dan sepoi-sepoi di Kongo sana. Sementara ini, kita akan beralih pada satu tokoh kita yang lain, tokoh kita yang sedang bersembunyi. Dia tidak lain adalah Felix Norton. 
Felix saat ini sedang bersembunyi di Nigeria. 
Jadi setelah Aguero mendeteksi bahwa musuh mereka, yakni Brittany telah masuk ke jaringan komunikasi milik kelompok Aguero, diapun menyimpulkan bahwa terlalu berbahaya bagi Felix untuk berkeliaran saat ini. Dengan bantuan Rubi kemudian, Felix dipindahkan secara diam-diam ke Nigeria. Bagaimana caranya? Tidak ada yang tahu, sebab Rubilicio, orang terkaya di Cusco, melakukannya dalam senyap.
Scene: Sebuah rumah besar di Nigeria. Ini hari ketiga Felix bersembunyi. Rumah itu cukup besar, namun Felix sudah terlanjur bosan. Meskipun Rubilicio telah menugaskan salah satu anak buahnya, Juan untuk menemani Felix di rumah itu. Juan bisa berbahasa Spanyol, jadi diharapkan bisa segera nyambung dengan Felix. Namun nyatanya tidak demikian.
“Juan, sudah adakah bosmu menelepon, memberikan kabar, atau membolehkan aku keluar dari rumah ini?”
“Belum tuan. Belum ada. Nanti kalau bos sudah mengabari, pasti saya serahkan teleponnya pada tuan. Tuan Felix tenang saja.”
“Tapi aku bosan di sini, Juan. Bisakah kau teleponkan Aguero untukku. Aku perlu bicara. Siapa tahu sekarang aku sudah bisa bergerak lagi.”
Juan mengangguk. Meraih telepon di sakunya, kemudian menelepon Rubilicio. Dari situ nanti telepon baru disambungkan ke Aguero. Ribet sih, tapi tidak terlacak.
Sayangnya telepon itu tulalit. 
“Bos tidak bisa dihubungi, Tuan Felix. Teleponnya tulalit.”
“Astaga,” Felix berdecak.
“Maafkan saya tuan, tapi itu artinya Tuan Felix diminta menunggu sedikit lebih lama lagi. Tuan harap bersabar.”
Felix makin kesal. Andai tidak mengingat kalau Aguerolah mata dan telinganya di perjalanan ini, sudah dari kemarin Felix beraksi lagi. Bergerak. Mana mau dia terjebak di dalam rumah ini. Hanya saja dia tidak tahu harus kemana tanpa petunjuk dari Aguero. Felix menyandarkan diri di kursi. 
“Detik demi detik boleh jadi sangat berharga untuk menyelamatkan temanku, Juan. Seharusnya bosmu tahu soal itu.”
Juan mengangguk, “saya yakin bos tahu. Dia hanya melakukan yang terbaik untuk memastikan tuan selamat di perjalanan.”
“Heh, Aguero terlalu meremehkanku. Aku bisa saja memukuli seratus lima puluh orang, tanpa harus terluka sedikitpun. Tak perlu tangan, kakiku saja sudah cukup.”
“Tuan pasti sangat jago dalam berkelahi. Ngomong-ngomong dimana dulu tuan belajar beladiri?”
“Ah itu, di negeri asalku, di Spanyol. Aku belajar dari guru yang terbaik. Namanya Sergio. Guru Sergio.”
Manggut-manggut Juan. “Saya pernah mendengar nama itu dulu, sebelum meninggalkan Spanyol. Ahli beladiri jalanan.”
“Ya, street martial art.”
“Katanya, di sana kita bisa menjadi lihai beladiri, dalam waktu singkat. Benarkah itu, Tuan?”
“Benar.”
“Apa rahasianya?”
“Yang jelas aku tidak akan memberitahumu, karena itu adalah rahasia.”
Juan menepuk jidat, “benar juga, tuan.”
Saat mereka masih asyik mengobrol tentang praktik street martial art, telepon Juan berbunyi. Tertulis, panggilan dari Bos Rubilicio. Demi mengetahui siapa yang menelepon Juan, Felix segera bersiap. Semoga ini adalah panggilan tugas untuknya. Semoga waktu untuk beraksi sudah tiba.


102
Update Tiga Hari ke Belakang


“Ini telepon untuk anda, Tuan Felix.”
Felix tidak ambil tempo. Langsung menyerobot telepon itu. Suara Rubilicio terdengar dari seberang sana, seperti biasa, tenang dan terkendali. “Aguero ingin bicara, Felix. Ada beberapa update yang berhasil kami dapatkan dalam tiga hari ini.”
“Sudah seharusnya begitu. Segera sambungkan aku dengannya.”
Terdengar nada sambung, kemudian berbicaralah Aguero. 
“Hai Felix. Apa kabar? Bagaimana liburanmu? Kuharap kau menikmati Nigeria.”
Felix langsung berdecak kesal. Astaga, bagaimana dia bisa lupa soal tabiat Aguero. Tidak pernah serius, bahkan dalam keadaan genting sekalipun. 
“Aku butuh informasi sekarang, Aguero. Aku butuh informasi,” tegas Felix, “jadi jangan membuang-buang waktuku.”
Aguero di seberang sana tertawa. “Hei siapa yang membuang-buang waktu? Sabarlah Felix. Sepertinya kau tidak menikmati liburanmu ya? Ah jangan-jangan kau sudah tidak tidur sejak kemarin malam? Terus menunggu informasi.”
“Astaga, maka cepat berikan padaku, Aguero. Kemana aku harus pergi kali ini?”
“Sabar Felix. Aku akan menjelaskan update informasi apa saja yang kudapatkan dalam tiga hari ini. Ada banyak perkembangan, yang bisa saja membuat kau terkejut bukan main.”
“Hei ada apa?”
“Ini menyangkut tentang ketuamu, Allary Azra.”
“Ya, ada apa dengannya? Kau menemukan jejaknya bukan?”
“Lebih buruk.”
“Lebih buruk?” ulang Felix dengan intonasi khawatir. Apa yang terjadi pada Allary? “Dia kenapa, Aguero?”
Bisa terdengar oleh Felix, Aguero baru saja tertawa lagi. “Nah itu kata-kata yang jauh lebih baik, Felix. Daripada kau mengomel tidak jelas.”
“Jangan bercanda dengan nama ketua, Aguero.”
“Dia sekarat, sempat sekarat.”
Felix terperangah. Aguero tidak sedang bercanda bukan?
“Tidak, aku sangat serius. Ketuamu sempat sekarat. Dua hari yang lalu, dia dan Brittany terlibat pertarungan serius dengan seseorang bernama Boujogar. Jika kau mengingat masa lalu kita sebagai anak buah Pak Tua Dacosta, kau pasti ingat siapa Boujogar ini bukan?”
“Petarung kelelewar. Dia berbahaya. Terutama dalam gelap.”
“Tepat sekali,” Aguero menjentikkan jarinya. “Ketuamu tidak beruntung. Harus melawannya di malam hari. Alhasil, dia sempat terluka, kemudian dilarikan ke rumah sakit.”
Boujogar adalah musuh yang hebat. Di dalam gelap, Felix sendiri tidak yakin bisa mengalahkannya. Apalagi Allary yang setahu Felix, bertarungpun tidak bisa. “Lanjutkan, Aguero.”
“Gawatnya lagi, ketuamu terkena racun. Boujogar memasukkan racun pada senjatanya. Racun itu tidak ada penawarnya. Pihak rumah sakitpun angkat tangan.”
Felix makin khawatir mendengarnya. “Kali ini kau bercanda keterlaluan, Aguero.”
“Hei, aku tidak bercanda. Aku menghabiskan waktu empat jam untuk membongkar aplikasi milik Liberia Medika Center Hospital. Nama Allary Azra terdaftar di sana. Itu benar-benar terjadi.”
“Lalu sekarang, dimana ketua?”
“Oleh Brittany, dia dibawa ke Afrika Selatan. Ada dukun sakti bernama Mabogou di sana. Karena pihak rumah sakit angkat tangan, dukun bertindak.”
“Kabar baiknya?”
“Ah ya, kabar baik. Allary ketuamu itu sembuh, diobati oleh dukun Mabogou. Saat mereka hendak meninggalkan Afrika Tengah, tiba-tiba sekompi pasukan datang menyergap mereka.”
“Astaga, ketua pasti tidak bisa bertahan. Apakah Brittany jago beladiri?”
Tertawa Aguero di seberang sana, “apanya yang Brittany. Ketuamu itu yang jago beladiri. Dia berhasil menghabisi sekompi pasukan dengan tangan kosong. Kalau kau lihat rekaman CCTV-nya, kurasa kau sekalipun akan takut jika melawannya.”
Apakah itu serius? 
“Nantilah kuurus detail itu. Sekarang mereka ada di mana?”
“Kongo. Mereka ada di Kongo sekarang.”
Felix bersorak dalam hati, akhirnya ada petunjuk.
“Tapi,” Aguero menyela sorakannya, “aku tidak berharap kau langsung ke Kongo. Melainkan singgah terlebih dahulu ke bandara yang ada di Afrika Tengah.”
“Untuk apa?”
“Mengecek sebuah detail.”
“Baiklah. Aku akan segera bergerak.”
“Bagus. Mobilmu sedang dalam perjalanan. Tunggulah, mungkin lima belas menit lagi akan sampai. Berhati-hatilah Felix. Boleh jadi di jalan nanti kau akan bertemu musuh.”


103
Ada Mata yang Mengawasimu


Entah detail seperti apa yang dimaksud oleh Aguero. Felix mengambil nafas. Dia sudah ada di mobil yang nyaman. Sedang meluncur menuju Kongo lewat jalur Afrika Tengah. Tadi Aguero sama sekali tidak memberitahunya, soal detail apa yang akan ditemuinya di Afrika Tengah. Aguero hanya mengatakan satu kata, bandara. 
Ah, Aguero pasti hendak mengejutkanku. Sudah biasa tabiatnya semacam itu, Felix kembali berkonsentrasi. Jaraknya dengan tujuan sangat jauh. Dua ribu kilometer, kalau melihat maps. Butuh lebih dari satu hari perjalanan berkecepatan tinggi untuk sampai di sana.
Felix hanya berhenti untuk mengisi bahan bakar sebanyak tiga kali, di Nigeria sekali, di Kamerun sekali, dan di perbatasan Afrika Tengah sekali. Di perhentian ketiga itu, dia nyaris harus mendorong mobilnya. Stasiun pengisian bahan bakar adalah hal langka di Afrika Tengah sana. Namun selebihnya, tidak ada masalah sama sekali.
Termasuk soal tidur. Felix memang tidak mengonsumsi obat anti ngantuk seperti yang dimiliki Brittany dan jelas dia tidak punya. Namun dia segar. Sangat segar. Dia siap merangsek ke Afrika Tengah. Tiba di Kota Bangui. Segera mencari bandara yang dimaksud oleh Aguero. 
Setelah mobilnya terparkir sempurna di bandara, Felix langsung turun. Mengecek. Felix turun tanpa samaran apapun. Dia hanya memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya. Sisanya tidak ada samaran. Orang awam yang pernah mengenalnya pun tidak akan ragu kalau itu Felix Norton.
Bandara sedang dalam keadaan kacau. Banyak petugas berseragam lalu lalang. Sebagian adalah kalangan militer. Sebagian lagi adalah tim medis. Mereka mengangkut banyak orang di dalam tandu. 
Hei jangan-jangan, ah tidak, tidak mungkin. Felix segera menepis kemungkinan itu. Mana mungkin korban perkelahian jalanan dievakuasi ke rumah sakit. Aneh sekali.
Felix langsung menuju ke tempat yang dimaksud oleh Aguero. Namun tidak bisa. Langkahnya ditahan petugas bandara karena dianggap tidak memiliki akses. Felix hanya bisa melihat tempat itu dari kejauhan. Beberapa kali coba berdebat dengan petugas, namun sia-sia. Akhirnya Felix menelepon Aguero lagi. (Tadi Aguero sudah bilang kalau jalur meneleponnya aman, jadi mereka bisa bicara langsung tanpa penghubung lagi). 
“Aku tidak bisa mendekati area yang kau maksud, Aguero. Petugas bandara tidak memperbolehkan. Di sini terlalu ramai. Aku tidak bisa masuk secara paksa.”
“Astaga. Padahal aku berharap kau melihatnya secara langsung. Kau benar-benar tidak bisa ke sana?”
“Iya. Aku ditahan oleh petugas. Tidak bisa. Tidak ada pilihan. Bisakah kau ceritakan langsung saja padaku.”
“Baiklah. Apa boleh buat. Tapi ini akan kurang dramatis. Begini, Felix. Di bandara itu, sempat terjadi sesuatu. Insiden kebakaran pesawat. Bukan pesawat biasa. Melainkan pesawat jet pribadi milik Brittany. Pesawat itu dibakar secara sengaja, oleh seseorang.”
“Dibakar sengaja? Oleh siapa?”
“Ah itu pertanyaan yang menarik. Ya, oleh siapa? Tentu saja pihak musuh yang tidak senang dengan mereka. Nah ini dia poin pentingnya. Brittany itu bukan musuhmu. Sepertinya kita salah paham, walau aku belum yakin seratus persen.”
“Jangan sampai kau membaca petunjuk yang salah, Aguero. Bisa saja itu umpan bukan? Brittany adalah lawan yang licik.”
“Aku tahu, aku tahu itu, makanya aku sudah menyelidiknya secara mendalam. Insiden pesawat itu adalah peristiwa berantai. Dimulai dari penyerangan Boujogar, dan diakhiri dengan pengepungan sekompi pasukan. Brittany is underattacking, dia di bawah serangan orang. Siapa dia? Siapa mereka? Tidak lain dan tidak bukan, Mafia Sahara.”
Felix terdiam. Mafia Sahara. Nama itu lagi. Akhirnya Aguero berhasil menyambungkan fakta-faktanya ke mereka. 
“Baiklah, Mafia Sahara. Itu kabar yang menarik. Tapi kau jelas tidak boleh mengesampingkan Brittany. Dia menyerangku. Kalau dia memang bukan musuh, lalu kenapa dia mengirimkan pembunuh untuk mengejarku?”
“Ya, sudah kukatakan, ada salah paham diantara kita dengannya. Kau bisa menemuinya dan Allary di Kongo untuk meluruskan kesalahpahaman ini... eh tunggu sebentar.”
Terdengar bunyi pesan masuk di seberang. Sepertinya Aguero menerima informasi baru. Kemudian dengan suara sedikit panik dia bicara lagi. “Felix, kau tidak pakai penyamaran saat turun tadi?”
“Tidak. Aku rasa tidak perlu menyamar. Bukankah tidak ada siapapun yang mengenaliku di sini?”
“Satu langkah yang keliru, kawan.” Aguero ber-fuhh keras, “kau harus hati-hati, ada banyak mata-mata musuh yang sedang mengawasi. Mafia Sahara, itu sangat berbahaya. Kau ada di wilayah kekuasaan mereka sekarang. Kau harus hati-hati.”
Felix ikut ber-fuhhh, kenapa Aguero malah mengkhawatirkanya.


104
Allary dan Felix, Nyaris Saja


Kembali sejenak ke tempat Brittany dan Allary. Sudah tiga jam mereka menunggu kedatangan mobil baru yang harus diantar dari Bangui. Untungnya makin ke sini, Brittany berangsur menjadi lebih tenang. Membuat suasana juga jadi lebih nyaman. Brittany mulai terhanyut dengan topik pembicaraan yang dibawakan Allary Azra, yang kita tahu, memang jago dalam beramah tamah dengan orang.
Hari sudah beranjak, malam nyaris menjelang. Karena merasa mobil itu masih lambat sampainya, Allary mengajak Brittany untuk bersiap-siap membuat api unggun. 
“Ada baiknya kita bersiap-siap membuat api unggun dan bersiap menyambut malam di tempat ini, Brittany.”
Dan kata-kata itu membuat Brittany langsung terdiam. Tunggu dulu, apa kata Allary, “bersiap-siap?”
“Ya, kita harus menyiapkan kayu bakar, menyiapkan tempat, atau bila perlu menyiapkan bahan makanan untuk dimasak malam ini. Semuanya perlu persiapan yang tidak sebentar.”
“Tidak sebentar?”
“Hei, kau mengulang-ulang kalimatku sejak tadi. Ada apa?” Allary tersenyum lucu. Brittany lekas menyuruhnya diam, dia sedang berpikir. 
“Eh aku benar bukan? Menyiapkan perapian itu perlu waktu. Mengumpulkan kayu bakar, membuat api, kemudian membakar kumpulan kayu-kayu yang telah terkumpulkan...”
Brittany genap meloncat sambil berseru. “Ya Allary, itu dia! Itu dia strategi musuh kita!”
Allary terkejut mendengar Brittany tiba-tiba berteriak. Dia juga tidak mengerti. Apa maksud Brittany. “Strategi musuh kita? Apa maksudmu?”
Brittany langsung menarik lengan Allary, mengajaknya masuk ke truk. “Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Allary. Kita harus pergi dari sini.”
“Hei, memangnya kenapa?”
“Musuh kita sedang bergerak. Semua ini, adalah strategi mereka. Kita harus cepat meninggalkan tempat ini. Astaga, semoga kita belum kehabisan waktu. Kita sudah membuang banyak di antaranya.”
“Tapi bukannya truk itu bannya kempes? Bagaimana kita meninggalkan tempat ini?” Allary masih bertanya-tanya.
“Biar aku yang urus.” Brittany sudah naik di kursi pengemudi, langsung menyalakan truk dan menginjak pedal gasnya kuat-kuat. Kendaraan besar itu menderu kencang. Dua roda belakangnya yang kempes, dipaksa berputar oleh Brittany.
Lewat telepon, Brittany menyatakan pada anak buahnya, agar lokasi pengiriman mobil dipindahkan. Dia akan kirimkan lokasi yang baru secepatnya. Lalu, masih dengan truk yang setengah oleng itu, Brittany bermaksud cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Kami berdua sudah dijebak. Sebentar lagi pasti akan muncul pasukan musuh dari sini. Aku tidak mau melibatkan Allary lagi, sungguh aku tidak mau Allary terlibat lagi.  
***
“Aku tidak mau ketua sampai terlibat perkelahian, Aguero. Makanya aku tidak mau menampakkan diriku di depannya. Biarlah aku menjaga dari belakang. Lebih penting sekarang untuk memberikan pukulan balasan pada Mafia Sahara itu. Aku akan tunjukkan apa bahayanya berurusan dengan petarung terbaik di Spanyol.”
Itu Felix sedang bicara dengan Aguero lewat telepon. Mereka baru saja membicarakan tentang kemungkinan Felix menemui Allary setibanya di Kongo. Felix malah menolak kemungkinan itu dan memilih menjaga dari belakang. 
“Lalu kenapa aku harus repot-repot mencarikan datanya untukmu?”
“Karena aku perlu mengikuti jejak mereka. Tanpa bantuanmu, mustahil aku menemukan jejak, Aguero.”
“Kau memang kawan yang merepotkan, Felix.”
“Dan kau adalah kawan yang mau kurepotkan, Aguero. Sudah, beri titik koordinat terakhir Allary di Kongo. Aku akan ke sana, tapi dengan menjaga jarak. Aku hanya perlu memastikan apakah dia ada dalam bahaya, atau tidak. Kalau beruntung, aku juga bisa mengorek informasi dari Brittany.”
Aguero mengirimkan satu titik koordinat. Tempat persis yang disinggahi Allary dan Brittany sebelumnya. Tempat yang kata Brittany sebentar lagi akan diserang musuh. Tanpa sadar, Aguero telah mengirim temannya itu, ke pertarungan besar pertama Felix di cerita ini.


105
Pertarungan Besar


“Ya Bos. Kami sudah menjebak target agar tidak lolos. Mereka tidak akan bisa lari lagi dari pasukan kita. Dengan ban truk yang telah dikempeskan, mereka tidak akan lolos.”
“Berapa orang yang kau kirimkan ke sana?”
“Tujuh puluh orang.”
“Kau pastikan baik-baik kali ini mereka tidak akan lolos. Lumpuhkan petarung sialan yang mengalahkan pasukan kita di Afrika Tengah itu. Bawa dia hidup-hidup kepadaku.”
“Siap Tuan.”
Seperti yang terlihat, pertarungan besar sudah berada di depan mata.
***
Felix datang ke lokasi koordinat Allary dan Brittany, hanya untuk menemukan jejak-jejak ban, serta langkah kaki di rerumputan. Dia segera meraih teleponnya lagi, mengabari Aguero kalau Allary sudah pergi.
“Ah iya, maafkan aku kalau begitu. Data itu terakhir ku-update sekitar pukul tiga sore. Mungkin sekarang mereka sudah pergi.”
“Ya, kurasa perginya tidak akan jauh. Dilihat dari jejak bannya, mereka pakai truk ke sini.”
“Susul saja, kurasa mereka tidak akan pergi terlalu jauh. Kendaraan berat seperti truk kalah jauh dibanding mobil yang kau pakai sekarang.”
“Aku juga berpikir.... musuh telah datang.” Perhatian Felix segera teralihkan pada deru mobil-mobil yang membanjiri tempat itu. Tepi hutan hujan. Mobil-mobil itu langsung berbaris, mengepungnya. Dari dalamnya berloncatan banyak orang. Ada sepuluh buah mobil. Aguero juga mendengar suara deru itu, langsung panik.
“Kau baik-baik saja di sana?”
“Ya, musuh telah datang. Kurasa Brittany pergi dari sini karena tahu musuh akan mengepung tempat ini. Kurasa ada tujuh puluh orang sedang mengepungku sekarang.”
“Astaga, maaf jika aku malah menuntunmu menuju tempat yang merepotkan, Felix.”
Felix tersenyum. Ini tidak merepotkan. Sejujurnya inilah yang dia tunggu-tunggu. Sebuah pertarungan besar. “Aku akan menghadapi mereka dulu, Aguero. Nanti kukabari hasilnya. Sudah lama aku tidak melemaskan otot-otot kakiku.”
Felix menutup telepon kemudian dengan hati-hati menyimpannya di saku celana. Bersamaan dengan itu, terdengar pekik komando “SERANG!” dari barisan musuh yang mengepung.
Felix maju dengan gagah berani. Dia meloncat ke arah pasukan yang ada di depannya, kemudian menghadiahkan tendangan itu. Kena telak ke satu wajah prajurit.
Pertarungan skala besar itu telah dimulai.
BUUKKKK! BUKKKK! BUKKKKK!
Felix dengan kecepatan tinggi langsung menendang wajah demi wajah orang di sekitarnya. Tendangan itu sangat kuat, orang yang terkena langsung kehilangan kesadaran. Tidak sulit bagi Felix menangani masalah ini. Selama dia bisa menghindar, musuhnya tidak akan bisa menang melawannya.
Dan kabar baiknya, musuh-musuhnya itu banyak yang terkejut mendapati gaya bertarungnya yang unik. Banyak yang terpesona, melamun, kemudian mendapat giliran kena tendang.
“HEI KALIAN! SERIUSLAH DALAM BERTARUNG! LUMPUHKAN ORANG ITU!”
“Oh jadi, dia pemimpin pasukan. Ini akan sangat menarik.” Felix bergumam, mulai mengarahkan serangan agar bisa menyerang pemimpin pasukannya.

106
Menelanjangi Kedok Musuh


Musuh-musuh yang kini dihadapinya, seperti bukan masalah berarti baginya. Wajar saja, Felix adalah seorang petarung yang sangat berbakat. Dia menguasai teknik khusus seni beladiri jalanan. Bisa melumpuhkan musuhnya kapan saja, hanya dengan satu serangan mematikan yang tidak sopan.
“Akhh!”
“HEI, TIDAK BOLEH MENYERANG BELAKANG KEPALA!” 
Seorang prajurit yang tengah mengepungnya meneriaki Felix. Protes atas tindakannya menendang kepala belakang musuh dengan keras. Felix hanya tersenyum hambar. Seni beladiri jalanan tidak mengenal sopan santu ataupun adab. Seni beladiri jalanan hanya peduli dengan melumpuhkan.
“Salah sendiri, kalian lengah,” balas Felix dengan senyum mengejek. Sementara itu, dia sangat fokus. Saking fokusnya, Felix seperti bisa melihat gerakan yang datang dari belakangnya. 
Baiklah, sepertinya sudah cukup bermain-mainnya, Felix kembali mengarahkan perhatian ke arah pemimpin pasukan musuh. Sekuat tenaga dia berusaha menyerang si pemimpin itu. Namun, prajurit di sekelilingnya, tentu saja tidak membiarkan begitu saja Felix yang hendak menyerang komandannya.
“Kalian hanya menghalangi jalanku,” Felix mendesis sambil mengeluarkan tendangan andalannya. Si pemimpin pasukan, sang komandan, yang berdiri tidak jauh dari situ, turut melihat anak buahnya dilumpuhkan satu persatu dengan cara yang kejam. 
Komandan itu demi melihat nafsu membunuh yang amat mengerikan tergambar di mata Felix, dia memerintahkan anak buahnya menghindar. Biar dia saja yang menghadapi petarung yang satu ini.
Komandan pasukan yang mengepung Felix adalah salah satu elite di jajaran petarung yang dipunya Mafia Sahara. Namanya Amed. Dia adalah salah satu mantan tentara yang kemudian memutuskan meninggalkan tugasnya demi bergabung dengan mafia. Sebagai mantan tentara, dia punya kemampuan bertarung yang jauh lebih baik. Felix bisa merasakan hal tersebut.
“Kuharap kau bisa memberiku perlawanan sepadan,” ucap Felix menantang. Komandan Amed tersenyum ke arah Felix, seperti meremehkan kemampuannya. “Aku adalah mantan petarung terbaik di resimen tempatku dulu bertugas, aku sudah menghadapi banyak musuh yang berbahaya saat kau masih bersekolah di taman kanak-kanak, anak muda. Jangan kau remehkan aku.”
“Sebaliknya,” sahut Felix bergetar, marah, “kau masih lari terbirit-terbirit melarikan diri luka-luka dari daerah musuh di saat aku menghabisi musuh pertamaku.”
“Kau benar-benar cari masalah.”
Lalu keduanya saling menyerang. Komandan Amed melarang anak buahnya ikut campur kali ini. Dia ingin bertukar pukulan dengan Felix. 
Serangan pertama Komandan Amed mengenai bahu Felix. Sebuah pukulan bertenaga yang cukup cepat. Felix tidak menduga. Dia harus mundur ke belakang untuk mengatur kembali situasi.
“Yang satu ini bukan musuh yang sembarangan. Sebaiknya aku berhati-hati.” Felix terengah-engah memegangi bahunya.
“Ayo maju.”
Felix menyeringai, segera menerjang ke depan. Menyerang dengan jurus andalannya, tendangan meloncat. BUKKK! Komandan Amed berhasil menangkis, kaki Felix erat sekali di dekat kepalanya. Dia menangkap kaki itu, kemudian melemparnya. Felix dua kali terkena serangan telak. Ini situasi yang tidak diingininya. 
Baiklah, saatnya serius. Felix segera bangkit. Kembali menyerang. kakinya berkelabat cepat dalam menendang. Sementara komandan Amed juga berkelabat menangkis. Beradu kecepatan dalam menangkis dan menyerang.
“Kau cukup merepotkan, tentara tua.”
“Akan kuajari kau agar lebih sopan. Sekali lagi kau jatuh, aku tidak akan memberi ampun. Seluruh anak buahku siap menghajar kau.”
“Kalau begitu aku tidak akan jatuh lagi.”
“Sombong...”
BUKKK!
Dan Felix langsung menyarangkan tendangan. Telak sekali. Belum sempat Komandan Amed menyelesaikan kalimatnya. Felix menyeringai melihat komandan itu terlempar ke tanah, memegangi dadanya. Dia juga tahu kalau musuhnya itu pasti ingin protes soal tata krama dalam pertarungan, tapi itu tidak ada artinya di hadapan seorang petarung jalanan sejati.
Musuhnya sudah terkapar, saatnya menelanjangi kedok musuhnya selebar mungkin.


107
Brittany Benar-benar Orang Baik


“Hei kalian semua,” Felix menyalak nyaring pada anggota pasukan yang masih tersisa. Dia saat ini berdiri tepat di samping Komandan Amed yang terkapar setengah tidak sadarkan diri. Satu buah kakinya sudah sekali menginjak dada komandan Amed, membuat pria paruh baya itu menjerit kesakitan. Felix harus mengintimidasi pasukan yang masih tersisa di sekitar tempat itu. “Jangan ikut campur urusanku kalau mau komandan kalian ini masih bisa bicara. Aku tidak akan segan-segan dengan dia. PAHAM!”
Semua orang di situ terdiam. 
Felix menunduk, satu kakinya masih menginjak ke dada (ini sebuah tindakan yang sangat tidak sopan), kemudian mengajak komandan Amed bicara.
“Siapa yang menyuruhmu melakukan ini? Jawab!”
“Apa maksudmu?” 
Felix menggeleng, mengeratkan pijakannya, Komandan Amed menjerit tertahan, “jawaban yang salah, Pak Tua. Kuulangi sekali lagi, siapa yang menyuruhmu melakukan ini?!”
Komandan menggeleng. Tidak mau menjawab. Namun itu sudah diprediksi oleh Felix. “Kau benar-benar tidak berguna, Pak Tua.”
BUKKK!!!
Sekali tendangan di wajah, Komandan Amed langsung pingsan. Felix berjongkok, mengecek baju dan celana. Mencari alat telekomunikasi. Bila Komandan Amed tidak mau bicara, sedangkan dia tidak punya waktu untuk interogasi yang berbelit-belit, lebih baik mengorek informasi dari perangkat elektronik miliknya. Itu tidak kalah efektif.
Apalagi ada Aguero di pihaknya, yang bisa mengeceknya. Felix mengambil telepon milik Komandan Amed, kemudian berlalu dari tempat itu, memakai mobilnya. Di dalam mobil, dia sempat mengirimkan foto handphone komandan Amed, pada Aguero. 
“Foto apa ini, Felix?”
“Benda milik musuh. Pasti sangat menarik jika kau bisa menganalisisnya.”
“Astaga, kau berharap aku bisa membuka data handphone itu hanya lewat gambar? Mana bisa seperti itu, Felix. Ini adalah kisah di dalam novel. Bukan film fiksi ilmiah.”
Felix menepuk dahi. “Lalu bagaimana? Mana mungkin aku mengirimkannya pada kau di Chile sana bukan?”
“Masih ada cara lain. Kau kirimkan lewat anak buahku. Saat ini ada satu anak buahku di Rwanda. Sedang melakukan tugas. Kau bisa menyerahkannya di sana.”
Felix berdecak. “Bagaimana bisa aku ke sana, Aguero. Aku saat ini ada di Kongo. Rwanda ribuan kilometer dari tempatku. Aku tidak akan membuang waktu.”
“Ayolah Felix. Apa salahnya, kau juga sekalian mengikuti jejak. Allary dan Brittany saat ini sedang menuju Tanzania.”
“Ha, itu lebih masuk akal. Seharusnya kau bilang itu lebih dulu padaku, Aguero.”
“Kau yang terlalu cepat memotong penjelasanku, tidak pernah sabaran.” Aguero mendebat.
“Baiklah. Aku akan segera ke Rwanda.”
Dari telepon terdengar dengusan nafas Aguero, dia seperti tertawa kecil. “Tumben kau tidak meminta informasi dariku, Felix.”
“Memangnya kau ada informasi apa?”
“Ya, kau tidak akan suka mendengarnya. Ini tentang Brittany.”
“Ada apa?”
Aguero menyampaikan informasi yang dia dapatkan dari menjelajahi data Brittany sepanjang hari. “Dia benar-benar bukan orang jahat, Felix. Dia adalah kepala satuan elite dari Dewan Keamanan. Dia memimpin semacam organisasi rahasia.”
“Lalu soal catatan kejahatannya yang kau temukan tempo hari?”
“Itu kamuflase. Dia bisa mengelabui para penjahat dengan pengalihan data. Tapi aku sudah memastikan kali ini. Kita bisa mencoret Brittany dari daftar musuh kita dan mulai fokus pada Mafia Sahara.”
Ah ya, nama itu lagi. “Kurasa handphone yang kubawa ini akan memberikan banyak informasi yang berguna sekali untuk mengungkap soal mafia itu.”
Aguero berdecak di seberang sana. “Astaga Felix. Dalam dua minggu kau tidak membuatku keluar rumah. Terus bekerja di balik komputer. Mau sampai kapan kau menjebakku dalam pekerjaan ini? Dua bulan?”
“Sampai temanku, Vivi itu, ketemu.”
“Astaga, tapi baiklah. Demi the next Aurora-mu itu akan kulakukan.”
Felix ganti berdecak.


108
Tanda-tanda Kematian


Brittany berusaha sekuat tenaga untuk memacu truk yang kempes bannya itu meninggalkan Kongo. Setidaknya meninggalkan tempat penyerangan di perbatasan. Allary yang berada di dalam truk, berpegangan kuat-kuat, takut kalau tiba-tiba truk ini terbalik gara-gara bannya tidak mendukung. 
“Mau kemana kita, Brittany?”
“Yang jelas meninggalkan perbatasan. Aku tahu kalau ada orang yang akan menyerang kita, jika kita terlalu lama di sana.”
“Lalu, dengan kondisi ban seperti sekarang, memangnya apa yang bisa kita lakukan jika mereka tiba-tiba mengejar kita.”
Allary benar, kecepatan mereka saat ini bisa dibilang hanya 5 kilometer per jam. Susah payah truk itu merangkak. Brittany menggeleng. “Yang jelas mereka belum mengejar kita, Allary. Tetaplah fokus pada fakta itu.”
Allary mengangguk. Tidak ingin memperparah kondisi dengan berdebat.
“Tiba-tiba telepon Brittany berbunyi. Gadis itu malah menyerahkannya pada Allary. Menyuruhnya yang bicara. “Aku perlu konsentrasi,” ujarnya. Allary terpaksa mengangkat telepon itu dengan ramah. Anak buah Brittany sempat menanyakan dimana keberadaan bos mereka, tapi Brittany meyakinkan anak buahnya bahwa itu adalah Allary dan dia sedang bersama-sama dengannya.
“Pasukan di perbatasan berhasil dilumpuhkan. Anda dan Nona Brittany tidak perlu cemas lagi.”
“Ah kabar baik,” sahut Allary dengan nada senang. “Kalian berhasil melumpuhkannya?”
“Bukan tuan.”
“Lalu, mereka menarik diri?”
“Bukan pula, ada seorang petarung hebat yang mengalahkan mereka, seorang diri.”
Brittany yang duduk di sebelah Allary terheran-heran. “Petarung lain, siapa?”
“Kami tidak tahu, Tuan. Tidak ada satu orang pun yang berani mendekat, melihat kemampuan bertarungnya dari jauh saja, kami tidak mau ikut campur.”
“Hei tapi siapa dia?”
“Ya barangkali berbahaya. Allary, sampaikan pesanku padanya. Suruh dia menyelidiki lebih lanjut tentang siapa orang itu. Siapa pula orang asing yang mau terlibat dalam urusan Mafia Sahara. Aku khawatir, dia malah kompatriot sang mafia saja.”
Allary menyampaikan pesan Brittany kemudian anak buahnya itu menutup telepon karena sudah mengerti arahan. Brittany sekarang bisa menarik nafas lega. Setidaknya dia bisa mengendarai truk dengan sedikit lebih santai. 
“Berikan teleponnya padaku,” pinta Brittany. Kemudian dia menekan tuts. Menelepon anak buahnya yang lain. Kali ini urusan mengganti ban. Anak buahnya itu segera memberikan kabar, bahwa mereka akan menunggu di salah satu tempat. Brittany mengangguk, lalu menutup telepon.
“Perjalanan kita akan lancar setelah aku mengganti ban itu, Allary. Aku rasa aku harus berterima kasih pada siapapun yang telah menghadang pasukan penyerang itu untuk kita. Barangkali kau benar, terkadang, berbuat baik menimbulkan efek-efek yang baik pula.”
Allary mengangguk. Dia salut dengan cara Brittany menarik kesimpulan. Gadis ini mulai menganggap penting kebaikan. Namun ada satu kesimpulan lagi bagi Allary. Sepertinya dia tahu siapa petarung yang menyapu habis pasukan penyerang itu. Mungkin saja. Ya, mungkin saja, dia adalah temannya, Felix Norton. Bukankah dia sedang ada di Afrika juga sekarang.
Acara mengganti ban berjalan lancar. Mereka menggantinya di sebuah bangunan mirip bengkel khas Indonesia, hanya saja dengan tambahan suasana khas padang pasir. Prosesnya juga tidak berlangsung lama. Tukang reparasinya handal sekali.
Yang mengejutkan, justru kertas yang ditemukan Allary saat berjalan-jalan tak jauh dari tempat itu. Ya, Allary sempat berjalan-jalan, menyegarkan diri. Saat dia mendapati sebuah kertas ditempel di batang pohon berduri. Kertas itu baru saja di sana. Bertulis merah darah.
TANZANIA
DEATH
Allary dilanda firasat buruk sekali.


109
Hei, Kalian Tidak Boleh Membawanya


Allary memutuskan untuk tidak memberitahu Brittany tentang peringatan yang baru saja diterimanya. Satu, dia tidak yakin soal apakah itu peringatan atau hanya sebuah kebetulan yang iseng, dua, dia tidak mau membuat Brittany menjadi lebih khawatir lagi.
Jadilah Brittany dengan bersiul-siul senang mengajak Allary untuk meneruskan perjalanan. Mereka masih di Kongo sekarang. Masih perlu sehari semalam untuk sampai di Tanzania. Brittany kembali meraih tasnya, mengambil pil anti ngantuk. 
“Ini adalah pil terakhirku, Allary.” Brittany menenteng pil itu, memandanginya. Allary-pun bertanya, “ada apa?”
“Ini kali kedua aku menghabiskan satu stok pil anti ngantukku dalam satu ekspedisi. Kurasa kau bisa menebak kali pertamanya kapan?”
“Pasti berhubungan dengan masa lalu yang tidak boleh kuketahui.”
“Kau pintar dalam menebak.”
Perjalanan mereka ke Tanzania berjalan datar dan membosankan. Mereka meninggalkan perbatasan Kongo dan masuk ke Rwanda menjelang malam. Tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilihat. Allary yang mengantuk, pamit tidur.
“Aku tidak bisa menemanimu.”
“Tidurlah. Kurasa malam ini tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Kamu bisa tidur dengan nyenyak, Allary.”
Allary mengangguk, mencoba memperbaiki posisi duduknya, membuatnya jadi lebih nyaman. Tidur. Dia sudah mengantuk. Brittany terus berkonsentrasi dalam menyetir. Dia semangat, dia berharap sekali, ada petunjuk yang bisa dijadikan titik terang dalam masalahnya kali ini. 
Sayangnya yang menanti mereka di perjalanan bukan kabar baik. 
Pertengahan malam, saat melewati titik tersunyi di negeri Rwanda, tiba-tiba saja, Brittany dikejutkan dengan bunyi letusan pistol.
DORRRR!
Menyusul kemudian, bunyi ban meletus, DUMMM! 
Dan genap, truk yang dikendalikan olehnya, oleng. Allary ikut terkaget-kaget. “ADA APA INI, BRITTANY!”
“BERSIAP ALLARY! ADA SERANGAN!”
DORRR!
Allary lebih dulu menyambar Brittany, menariknya agar menunduk. Peluru menyasar kaca depan. Membuat pecahan kaca berhamburan ke arah mereka. 
“Astaga, apa itu?”
“Sesuatu yang benar-benar buruk,” sahut Brittany. Allary segera membuka pintu mobil, bermaksud turun. Tapi Brittany mencegah. “Jangan terburu-buru, Allary. Siapa tahu di luar sana musuh yang tidak kita ketahui, sudah menunggu.”
“Aku akan keluar untuk membereskannya.”
“Tidak semudah itu.” Brittany mencengkeram kuat tangan Allary. Di sini, akhirnya secara tersurat, Allary melihat betapa Brittany mencemaskan keselamatannya. Dengan wajah gagah, Allary menyisihkan cengkeraman tangan Brittany.
“Aku akan baik-baik saja. Aku janji. Aku akan lawan mereka. Kita tidak akan menang kalau hanya bertahan di sini.”
Brittany akhirnya tidak punya pilihan lain. Membiarkan Allary turun dalam keadaan yang waspada. Suasana benar-benar gelap. Siapakah musuh yang sedang menghadang langkah mereka? Allary tidak bisa menebak. Tapi dia telah menerima peringatan itu. Allary akan hati-hati.
BUKKKK!
Hanya sepersekian detik setelah Allary melangkah keluar. Sekelabat bayangan menyerangnya. Serangan datang dari belakang, langsung ke pusat kesadaran Allary, belakang kepala. Allary langsung tersungkur. 
Siapa yang menyerang? Tidak lain, petarung dalam gelap, Boujogar. Dia sudah bergerak melaksanakan perintah Mafia Sahara. Sikat habis. Jangan biarkan agen Dewan Keamanan itu, melaksanakan rencananya.
Boujogar bersama-sama anak buahnya melumpuhkan Brittany kemudian membawanya ke tempat lain. Sebelum meninggalkan tempat itu, tak lupa Boujogar memukuli Allary tanpa ampun. Allary yang pingsan itu, mana bisa melawan.


110
Nyaris Mati


Allary terbangun pagi harinya di Rwanda, dengan tubuh yang terasa remuk. Dia coba menggerakkan kaki dan tangannya. Agak susah, tapi masih bisa. Meski seluruh tubuhnya ngilu minta ampun, Allary cukup lega, setidaknya tidak ada cidera berat sampai patah tulang dialaminya. Diapun mencoba bangkit.
“Brittany pasti berada dalam bahaya sekarang. Aku harus menolongnya, sekarang juga.” Allary berusaha bangun dengan menggapai pintu truk yang terbuka. Setelah bisa berdiri dengan susah payah, dia berusaha masuk lagi ke dalam truk. Seluruh tekad dan keinginannya untuk menolong orang, dikuatkannya, menjadi kekuatan penyembuhnya. 
Di dalam truk, Allary sempat menemukan ponsel milik Brittany. Sepertinya benda itu sengaja ditinggal oleh para penculiknya tadi malam. Astaga, siapa mereka dan kemana mereka membawa Brittany? Allary sungguh tidak tahu.
Tapi, dia tidak memerlukan dugaan yang lebih banyak. Sebuah petunjuk terselip di kursi penumpang truk. Secarik kertas. Sekali lagi ditulis dengan warna merah darah.
LAKE BISAR
TANZANIA
“Kurasa ke sanalah, mereka membawa Brittany.”
Allary berusaha meraih ponsel Brittany, ternyata ponsel itu kehabisan baterai. Saat Allary hendak mengisi ponsel itu dengan perbekalan safepower yang dia bawa, ternyata kabelnya tidak cocok. Allary berdecak. 
“Seandainya ponsel ini bisa kunyalakan, setidaknya aku bisa mengontak anak buah Brittany. Kalau begini, aku harus beraksi seorang diri.” Allary memegangi lengannya yang terasa sangat ngilu. Dia tidak akan bisa menyetir jika tangannya ngilu begini.
PUHHH, setidaknya matahari telah terbit di timur. Allary berharap ada bantuan yang bisa membawanya ke Tanzania. 
Bantuan itu datang, dari seorang supir taksi. (Atau mungkin juga orang lain yang menyamar jadi supir taksi). Sementara, anggap saja, supir taksi itu menemukan sebuah mobil truk yang terlantar, nyaris hancur, dan mengecek ke dalam.
“Tolong saya, mister. Tolong antarkan saya ke Tanzania.” Allary berucap dengan nada yang amat memohon. Supir taksi itu, entah kenapa pula, setuju.
Allary tahu dia akan segera berperang. Dia coba berkonsentrasi untuk memulihkan dirinya.


111
Petarung di Tepi Kematian


Supir taksi baik hati itu menurunkan Allary tepat di tepi Danau Bisar. Itu adalah satu-satunya danau besar di Tanzania yang tidak dijaga oleh pemerintah, dalam artian danau itu ditelantarkan. Setelah Allary turun dengan selamat, sang supir segera pamit undur diri. Sebenarnya Allary agak heran dengan kebaikan Pak Supir itu, namun dia selalu ingat formula terbaik dalam hidup, tolonglah orang lain, jika ingin ditolong oleh orang lain. Allary sedikit tersenyum mengingat hal tersebut. 
Setelah itu dia harus kembali fokus. 
Danau Bisar tidak terlalu besar. Setidaknya tidak sebanding dengan ukuran Danau Tangayika atau Danau Victoria jika mau dibandingkan. Danau itu hanya seperempat ukuran jika dibandingkan dengan danau terbesar di Afrika tersebut.
Sekeliling Danau Bisar dikelilingi pepohonan yang rindang. Sisi timur danau itu, yaitu sisi Allary berdiri sekarang menghadap langsung ke jalanan. Sementara di sisi barat, di seberang sana, ada sebuah pondok. Ah itu tidak cocok hanya disebut pondok karena sangat besar, namun agaknya juga tidak cocok disebut rumah karena rumah sebagus itu harus terisolir dari keramaian. 
Allary lekas bersembunyi di balik pepohonan. Dia mengintai pondok besar itu dari kejauhan. Jarak tepian ke satu tepian seberang cukup jauh. Allary tidak bisa melihat dengan detail, tapi dia yakin, jika musuh memang membawa Brittany ke Danau Bisar, pondok itu pasti jadi markas mereka di sini.
“Aku harus mengecek pondok itu.” Allary memasang tekad. Namun dia juga getir, sebab dia tidak punya apa-apa sekarang. Dia tidak bisa memprediksi ada berapa banyak pasukan yang tengah menunggunya di dalam pondok itu. 
Tapi Brittany. Ah Allary tahu dia harus bergerak cepat. 
Pelan-pelan, sambil mengendap-endap di sela pepohonan, Allary mulai bergerak mendekati pondok besar itu. Berusaha agar tidak diketahui. Meski sebenarnya itu sia-sia. Tempat itu sudah dikuasai Mafia Sahara. Mereka telah menaruh kamera pengintai dimana-mana. Gerakan Allary segera diketahui, dan memang itu yang diharapkan. 
Pasukan besar telah menunggunya di dalam pondok itu. Siap menghabisinya, dengan cara paling menyakitkan. Perintah bos besar sangat jelas, pukuli dia, sampai tidak berbentuk lagi. Seratus orang terb aik telah disediakan.
Lalu lampu kemudian dimatikan.
“Taktik,” ujar Allary, dia berhasil merangsek hingga ke pintu pondok tanpa penjagaan sedikitpun. Hanya saja, kemudian, setelah dia berhasil masuk ke ruangan gelap di dalam pondok itu, pintunya langsung tertutup. Mengurung Allary dalam kegelapan total. 
Inilah yang dimaksud Allary sebagai taktik. Musuh telah mengantisipasi kemampuannya yang bisa menganalisis kemampuan lawan. Tanpa analisis, Allary tidak akan bisa menyerang, tidak akan ada peluangnya untuk menggunakan jurus hitungan satu sampai lima yang ampuh itu. 
Sementara Boujogar telah menunggunya. 
“SERANGG!!!!”
Allary berusaha menggunakan kemampuan bertinjunya. Namun, di tengah gelap, ditambah dengan kondisinya yang sudah payah, dia tidak bisa banyak memberikan perlawanan. Seketika Allary terdesak. Dia terlempar jauh ke lorong belakang pondok setelah berkali-kali menerima pukulan lawannya. Ketangguhan tubuhnya, nyaris mencapai batas.
Lalu kemudian Boujogar menendangnya keluar. Allary terlempar ke arah jembatan di tepi danau. 
“Tempat terang,” Allary berusaha bangkit. Ini adalah kesempatannya menyerang balik.
BUKKKK!
Boujogar sudah menghajarnya duluan. Allary kembali terpental. Nyaris tercebur. Untungnya tidak. Darah mengalir dari hidungnya. Allary tersengal-sengal. Mereka sengaja merencanakan semua ini. 
Dia sama sekali tidak punya kesempatan. 
Allary sekarang adalah petarung di tepi kematian.


112
Akhirnya, Felix


Allary sudah tidak berdaya. Dia tersengal, berusaha berdiri, namun tidak bisa. Matanya nanar, pandangannya berputar. Dia menggigit bibir. Sementara itu Boujogar sudah berdiri di hadapannya. 
“Bangun. Kau masih belum memberikanku perlawanan yang sepadan,” Boujogar berucap, lebih seperti mengejek ketimbang menantang. Sudah jelas, Allary sudah nyaris tidak bisa bertarung lagi saat ini. 
“Kau lemah sekali.” 
BUKKKK!
Satu tendangan lagi ke badan Allary. Tokoh utama kita lagi-lagi terpental. Nyaris masuk ke dalam danau. Boujogar menahannya. “Bos tidak memerintahkan menenggelamkanmu. Dia ingin kau hancur tak terbentuk.”
Allary menelan ludah. Bos mereka tidak kena ampun. Nampaknya dia tidak punya kesempatan. Datang sendirian ke sini, adalah pilihan konyol. 
Saat itulah, saat itulah terjadi sesuatu yang hebat. Sesuatu yang seharusnya sudah terjadi sejak awal cerita. Sebuah suara mengawali kedatangannya. Itu suara orang menjerit. Suara itu pula yang menghentikan Boujogar dari memukul Allary. Dia menoleh ke belakang.
“Apa yang baru saja terjadi?”
“Ada seseorang yang merangsek lewat pintu depan, Tuan.” Anak buah Boujogar melapor. 
“Seseorang? Maksudmu satu orang?”
“Iya. Tapi sepertinya dia adalah orang yang berbahaya. Data mengindikasi dia adalah orang yang sama, dengan yang melumpuhkan sekompi pasukan kita di Kongo tempo hari lalu.”
Kongo? Allary ikut terkejut. Ah itu pertanda baik. Semoga dugaannya benar. Semoga itu benar-benar bala bantuan untuknya. 
“Kalian urus yang satu ini,” Boujogar membanting Allary yang tak berdaya ke lantai titian, kemudian beranjak. “Biar aku yang hadapi petarung tak sopan itu. Bos besar akan suka jika aku membawakan kepala dua orang yang telah mengobrak-abrik rencananya.”
Boujogar masuk lagi ke ruangan gelap lewat pintu belakang. Sebagai petarung di dalam gelap, ini adalah kesukaannya. Namun kali ini dia salah besar. Musuhnya bukan sembarang orang. Yang terjadi tiga detik kemudian, Boujogar terbanting keluar dari pintu. 
Boujogar ikut terlempar ke titian. 
Pintu belakang terbuka, dan petarung yang sedari tadi dimaksud pun, menampakkan dirinya.
“Felix Norton.” Allary dan Boujogar sama-sama mengucapkan nama itu. Sementara Felix memasang sorot mata sangat marah pada Boujogar. 
“Sebaiknya kau tidak menyakiti ketuaku. Karena aku akan membuatmu merasakan sakit yang sama.”
“Jangan sok kuat kau!”
BUKKKKK!
Felix lebih dulu menyerang. Dengan sekali tendang, kali ini Boujogar terlempar nun jauh ke ujung titian. Kemudian terdengar bunyi orang tercebur.
Seketika anak buah Boujogar kalang kabut menyelamatkan pemimpin mereka. Keadaan menjadi kacau balau. Felix segera menarik tangan Allary. 
“Kau bisa berjalan, ketua?” Felix bertanya di tengah kekacauan.
“Senang sekali bisa melihatmu kembali, Felix.”
“Ya, ayo kita lari dari tempat ini. Mari.” Felix langsung menaikkan Allary ke punggungnya. Mereka lekas melarikan diri. Felix membungkam siapa saja yang coba menghalangi jalannya. 
“Tunggu Felix,” Allary berseru lemah, “ada seorang teman lagi yang harus kuselamatkan di pondok ini.”
“Gadis itu bukan? Brittany kah namanya?”
“Eh benar, bagaimana kau tahu?” 
“Dia sudah selamat. Kau tenang saja. Kita harus cepat.”
Allary terdiam. Felix membawanya keluar dari pondok. Tepat di rimbun dedaunan pohon, tersamar sebuah mobil taksi. Itu mobil taksi yang sama, dengan yang membawa Allary ke tepi Danau Bisar. Sampai plat nomornya pun sama persis. Allary mulai paham apa yang terjadi. Di dalam mobil taksi itu, sudah ada Brittany, pingsan tidak sadarkan diri. 
“Kita jalan sekarang. Ke tempat rahasia yang telah diberitahukan Aguero.”
“Siap mister Felix.”


113
Beristirahat Sejenak


Felix dan supir taksi membawa Allary dan Brittany ke sebuah tempat rahasia. Sebuah rumah peristirahatan yang nyaman di Afrika Timur. Itu tempat sudah disewa oleh Rubilicio dan sudah diamankan oleh Aguero. Mafia Sahara tidak akan bisa mencapai tempat itu. Setidaknya tidak dengan mudah.
Di sanalah Allary dan Brittany akan dipulihkan. Felix telah menyiapkan segalanya. Termasuk meminta Aguero menyediakan dokter di tempat tersebut. Permintaan itu dipenuhi oleh Aguero. Seorang dokter diterbangkan dari Arab Saudi. 
Namun bagaimana sebenarnya Felix mengetahui ini semua?
Ah sebaiknya nanti saja cerita tentang itu. Tunggu sampai Allary dan Brittany pulih terlebih dahulu. Felix memutuskan untuk fokus pada pemeriksaan medis temannya itu. Kabar baiknya, Allary selamat.
“Tidak ada cidera serius, Dokter? Semacam patah atau keretakan tulang?”
Dokter menggeleng, bahasa Inggrisnya fasih karena dokter itu memang orang Inggris, “tidak ada. Kondisinya memang buruk. Sekujur tubuhnya lebam, tapi tidak ada yang sampai ke tulang. Cuma luka memar biasa. Teman anda itu pasti orang dengan daya tahan yang luar biasa.”
Felix tersenyum geli mendengar pendapat dokter. Dia ingat dulu Allary dengan begitu mudah bisa bangkit dari pingsan saat terkena radang dingin di lereng Sarsa. Keadaan Allary sekarang bukan hal yang luar biasa. 
Tapi syukurlah. 
Brittany juga baik-baik saja. Tidak ada luka yang serius dideritanya. Dia hanya dibuat pingsan dengan menggunakan semacam obat tertentu yang bisa menghilangkan kesadaran. Dokter memastikan mereka hanya perlu istirahat. Felix mengangguk.
Sesi pemeriksaan pun berakhir.
Allary baru sadar tiga jam kemudian. Felix berjaga di ruangan itu sepanjang waktu, jadi mereka langsung bisa mengobrol. Allary tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena berhasil bertemu lagi dengan Felix.
“Terima kasih sudah menyelamatkanku tadi, Felix. Untunglah kau datang tepat waktu.”
“Tidak apa, ketua. Anggap saja aku sedang mencoba membayar satu hutang budiku atas kejadian di Santiago. Kuharap kau baik-baik saja.”
Allary mencoba duduk. Felix tidak mencegahnya. Cuma mendekat. “Yahh, aku baik-baik saja. Hanya agak lelah. Seharusnya aku bisa menghajar mereka, tapi Boujogar itu...”
“Sudahlah, ketua. Tidak perlu dibahas. Yang terpenting kita semua selamat sekarang.”
“Oh ya,” Allary sontak memandangi keadaan sekitarnya. “Ada dimana kita sekarang?”
“Di salah satu bangunan milik temanku. Mungkin kau masih ingat, Rubilio, orang paling kaya di Cusco. Tempat ini miliknya. Kita aman di sini, sampai kau dan Brittany itu bisa pulih kembali.”
Allary manggut-manggut, kemudian melempar pandangan ke arah Brittany yang masih tidak sadarkan diri. Felix bisa membaca pikiran ketuanya itu sekarang. “Dia baik-baik saja. Kelompok Mafia Sahara sama sekali tidak mencelakakannya. Hanya, dia harus menerima suntikan obat bius dosis tinggi yang menyebabkan dia hilang kesadaran. Selebihnya dia baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu. Satu pertanyaan lagi, Felix. Bagaimana kau bisa menemukan kami dengan begitu cepat? Bukankah kemarin kudengar ada orang yang bertarung di perbatasan Kongo. Itu pasti kau. Bagaimana sekarang kau bisa menemukan kami begitu cepat?”
Felix tersenyum simpul. “Penjelasannya mudah saja, ketua. Karena aku mendapatkan banyak bantuan. Termasuk soal supir taksi yang mengantarmu ke Bisar Lake. Semua itu rencanaku. Aku sudah memperhitungkannya baik-baik.”
Allary menggeleng. Dia tidak puas hanya dengan penjelasan itu.


114
Terima Kasih, Tapi Tidak Kerja Sama


Baiklah . Untuk memahami secara keseluruhan bagaimana Felix bisa menemukan Allary dan bahkan menaruh supir taksi sebagai mata-mata, sebaiknya kita mundur sejenak, sedikit saja, ke adegan dimana Felix tiba di Rwanda. Di tempat agen Aguero, dimana Felix akan menyerahkan ponsel milik Komandan Amed. 
“Ya, aku sudah serahkan ponselnya pada agenmu itu, Aguero. Semoga ada banyak informasi yang bisa kita gali di sana.”
“Ya, semoga.” Aguero menimpali. 
“Kau ada kabar baru untukku, Aguero? Tentang pergerakan Allary dan Brittany?”
“Mereka lurus saja dari Rwanda, nampaknya langsung ke Tanzania.”
“Apa yang mereka lakukan di sana?”
“Mencari musuh mereka, apa lagi?”
“Baiklah. Aku akan mengikuti jejak mereka. Bisakah kau kirimkan koordinat mereka sekarang, Aguero?”
Terdengar decakan sebal di seberang, diikuti omelan. “Astaga, kau pikir aku ini bekerja dengan cara apa, Felix? Mana bisa aku mengirimkan koordinat tepat setiap saat. Aku juga hanya mengikuti jejak, bukan melacak menggunakan alat penyadap atau satelit. Aku mengikuti jejak mereka dengan bantuan anak buahku. Kau paham?”
Astaga, Felix mengusap-usap rambutnya, Aguero bertingkah lagi. “Kau tidak perlu menjelaskan padaku soal itu, Aguero. Yang kutanyakan hanya ada atau tidak. Kau tinggal jawab.”
“Tidak ada,” sahut Aguero cepat. 
“Nah begitu lebih baik. Aku akan cari sendiri. Baiklah ponsel itu kuserahkan pada anak buahmu, aku akan melanjutkan perjalanan.” Felix menutup pembicaraan, langsung memacu mobilnya, berpacu dengan waktunya.
Nah, Felix terus menyusuri jalanan Rwanda, sampai di tempat penyergapan mobil Brittany. Felix tiba dinihari. Tentu saja dia menemukan Allary yang tidak sadarkan diri. Dia turun dengan penyamaran terbaiknya, tidak menolong Allary karena itu akan menarik perhatian, Felix turun untuk memeriksa. Dialah yang pertama menemukan tulisan Bisar Lake itu. Dia segera tahu apa yang diinginkan musuh.
Penjebakan dan penghukuman yang kejam terhadap Allary. Felix memutuskan membantu, dengan caranya sendiri. Dia tidak memperbaiki posisi Allary sedikitpun, tapi langsung berlalu. Menelepon Aguero. 
Kemudian Aguero mengatur semua rencana. Termasuk mengirimkan supir taksi itu, juga sebagai pemantau awal. Begitu Allary masuk dan perhatian semua orang tertuju padanya, Felix (juga dengan bantuan Aguero), melumpuhkan semua kamera pengawas, dan masuk ke dalam pondok. 
Yang pertama dicarinya adalah Brittany. Setelah gadis itu ditemukan, barulah Felix bergerak menolong Allary.
“Sisanya sudah kau ketahui, ketua.” Felix mengakhiri ceritanya. Allary manggut-manggut lagi. 
“Terima kasih sudah datang untuk menyelamatkan aku, Felix.”
“Sama-sama, ketua. Aku senang kita bisa berjumpa lagi, setelah sekian lama. Maaf, saat di Spanyol aku tidak mengangkat teleponmu karena saat itu aku sedang sibuk. Saat hendak kutelepon balik, nomormu sudah tidak aktif.”
“Ah itu, aku memakai operator Mesir. Saat meninggalkan Mesir, aku buang kartunya. Lupakan soal itu, apa rencanamu setelah ini?”
“Tentu saja menyelamatkan Vivi. Aku sudah datang jauh-jauh dari Spanyol. Aku tidak akan membiarkan kelompok mafia itu terlalu banyak berbuat yang tidak-tidak.”
Tiba-tiba terdengar suara sahutan yang serak. “Tidak, kau tidak boleh ikut campur. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu, tapi kau tidak boleh terlibat. Sama sekali tidak boleh.”
Orang itu menunjuk-nunjuk ke arah Felix, matanya berkilat menandakan kemarahan. Allary dan Felix terkejut menatap ke arahnya. Dia adalah Brittany.


115
Serangan Dadakan


Brittany berusaha bangun. Meskipun dokter sudah menghalanginya. Allary mendekat, ikut mencegah. Bangun terlalu dini tidak baik untuk kesehatan tubuh Brittany saat ini. Tapi tatapan nanar matanya itu tidak bisa ditundukkan.
“Aku tidak setuju kau ikut campur, Felix Norton.”
“Brittany dengarlah dulu. Tenang. Kamu masih tidak fit. Sebaiknya beristirahat.” Allary masih mencoba meminta Brittany untuk kembali berbaring.
“Aku tidak akan membiarkan kau ikut campur dalam urusan ini. Urusan teman terbaikku.”
Allary membisikinya, “hei, bukankah kita sudah sepakat, Felix Norton ini bukan orang jahat. Dia menyelamatkan kita dua kali.”
Brittany menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak akan membiarkan dia ikut, terlepas dari dia baik atau tidak. Dia sudah membunuh dua agen kepercayaanku.”
Felix menghela nafas. Teringat kembali soal bagaimana dia menyerang Atkinson dan Carlos. Dia tahu, itu bukan salahnya, itu hanya salah paham. Mereka saling mencurigai kemarin-kemarin. 
“Aku harap kita bisa berdamai, nona Brittany.” Felix mencoba mengulurkan tangan. Brittany menampiknya dengan cepat. “Kau sudah membunuh mereka, dan membuntuti perjalanan kami sepanjang waktu. Hanya karena kalian berteman, bukan berarti aku percaya denganmu.”
“Hei, bukan salahku aku membunuh mereka. Merekalah yang pertama menyerangku.” Felix akhirnya mulai jengkel, kebaikan hatinya ditolak mentah-mentah. Allary kembali menyuruh Brittany untuk istirahat saja.
“Kita akan bicarakan lebih serius setelah kamu sembuh, Brittany. Aku yakin ada solusi terbaik untuk masalah ini. Kalau menurut pendapatku, Felix memang dibutuhkan dalam tim kita. Dia adalah petarung yang hebat.”
“Tidak ada yang meminta pendapatmu, Allary. Dan kau bukan ketua rombongan. Jangan sembarangan membuat keputusan. Aku yang berhak.”
Allary skakmat. Felix menyernit kening. Perempuan ini pasti sangat merepotkan. Allary sang ketua rombongan berhasil dikendalikannya. 
Perdebatan mereka berhenti karena sebuah ketukan di pintu.
“BUKA!” 
Terdengar suara menyalak dari luar. Dari lantai satu. Felix menengok ke arah jendela. Mereka saat ini duduk di lantai dua. Dari sini terlihat ada banyak prajurit musuh telah bersiap. Yang menggedor tidak lain adalah komandan Amed. Yahh, Felix masih mengenalinya.
“Ada apa, Felix?”
“Ada serangan, ketua. Mafia Sahara sudah menemukan tempat kita.”
“Ada berapa orang di luar?”
Felix menghitung sebentar, “sekitar 20 orang.”
“Sangat sedikit.”
“Tapi kemungkinan mereka sudah bersiap, mereka sudah tahu kemampuan kita.”
“Bagus, kita bisa memukuli mereka dengan lebih menantang.”
Felix menggeleng. “Tidak, kau di sini saja. Kau jaga dia,” Felix menunjuk pada Brittany, kemudian lekas meloncat menuruni tangga. Lagipula Allary belum pulih betul, dan yang dihadapi hanya 20 orang.
Apa susahnya?


116
Bertarung Bersisian


Felix tidak menunggu persetujuan Allary lagi. Langsung saja turun ke bawah. Komandan Amed, bukan sesuatu yang berat untuk dia kalahkan sekali lagi.
Atau perkiraannya salah.
Begitu Felix membuka pintu, tanpa sempat melihat, ternyata sudah ada satu prajurit yang menyerangnya dengan tinju. Kena kepala. Mereka sudah bersiap dengan timing yang tepat. Felix terpental ke belakang. Langsung terbaring di lantai bawah. Prajurit yang lain tidak ambil tempo, langsung mengepung, menindih, dan memegangi seluruh anggota gerak Felix. 
Kini petarung tangguh itu telah dikunci dengan sangat cepat.
“Ritme, timing dan serangan dadakan. Itulah kunci untuk mengalahkanmu. Benar bukan, Mister Felix?”
Kurang ajar kau, Felix mendesis pada Komandan Amed. Sang komandan berlutut mendekati wajahnya. Tersenyum sinis. “Kau tidak perlu marah begitu. Tidak perlu berlebihan. Oh ya, ngomong-ngomong dimana ponsel yang kemarin kau ambil heh?”
“Sudah kuserahkan ke bagian analisis. Sebentar lagi semuanya akan kami bongkar.”
Komandan Amed masih tersenyum sinis. “Kau hanya membuang waktu untuk mengorek informasi di situ. Tidak ada apa-apa di situ, kuberitahu saja kau.”
Felix sedikit terkejut. Tapi dia rasa itu hanya sebuah cara mengelabui. Baiklah, sekarang pikirkan saja bagaimana cara dia bisa meloloskan diri dari pasungan orang-orang ini.
Tiba-tiba saja, dari tangga lantai atas, Allary muncul, berteriak. “Hei, lepaskan Felix!”
“Ha bagus sekali, kau juga muncul. Lihat, kami sudah melumpuhkan temanmu. Kau jangan bergerak. Sekali langkah, anak  buahku tidak akan segan mencekik temanmu itu.”
Langkah Allary terhenti. Licik sekali. Bagaimana dia bisa turun. Ada lima orang yang sedang memasung Felix. Berbahaya sekali jika dia merangsek turun. Nyawa Felix bisa lunas dibuatnya.
Tapi sebaliknya, dia harus bergerak cepat. Baiklah. Akhirnya Allary mengambil tindakan tidak terduga. Dia melompat. Langsung mendarat tepat di bahu Komandan Amed. Lekas pula menelikung leher komandan itu. 
“Nah sekarang situasinya sama. Kalian lepaskan temanku, kalau tidak, komandanmu ini akan kuhabisi. Cepat.”
“Kau jangan bercanda, bocah.” Komandan Amed menggeliat, tapi Allary memeganginya dengan erat. Komandan tidak bisa melepaskan diri.
“Kau jangan meremehkanku, Komandan. Cepat lakukan perintahku, KALIAN DENGAR!”
Akhirnya patah-patah kelima orang itu melepaskan Felix. Secepat itu pula, Felix kemudian menyerang kelima orang yang baru melepaskannya. Mereka berhasil dilumpuhkan. Komandan Amed membebaskan diri. Lima belas pasukannya mengikuti dari belakang. Ruang depan yang cukup besar itu nyaris penuh. 
Allary dan Felix sudah tahu, kalau mereka harus bertarung bersisian kali ini. Tinju melengkapi kaki.
“Ayo maju, Allary.”
“Ya, ayo, Felix.”
Dalam hal ini, Allary bukan lagi ketua rombongan, melainkan partner petarung setara. Mereka mulai menari di tengah lawan-lawannya. Felix dengan teknik tendangan terbangnya. Allary dengan analisis dan teknik menghitungnya.
SATU!
DUA!
TIGA!
EMPAT! 
LIMA!
Allary berhasil melumpuhkan Komandan Amed. Diikuti Felix yang meringkus pasukannya.


117
Reuni Tiga Orang


“Teknik bertarungmu tadi sangat hebat, ketua. Kau benar-benar berkembang dengan sangat cepat.” Felix tidak ragu-ragu lagi mendaratkan pujian setelah melihat teknik lima langkah Allary itu. 
“Kita bahas itu nanti, Felix. Sekarang kita harus bereskan mereka.”
“Ide bagus. Kita ringkus mereka. Nanti aku akan minta anak buah Aguero yang membereskan sisanya.”
Mereka kemudian mengeluarkan gulungan tali dari gudang untuk mengikat dan meringkus Komandan Amed beserta pasukannya. Felix juga telah menghubungi Aguero untuk mengurus soal tawanan mereka itu. Komandan Amed tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Selesai semua urusan itu, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari luar. Ribut. Felix dan Allary celingukan berdiri. Siapa itu?
Ternyata Brittany, dia sudah duduk manis di kursi pengemudi dalam sedan warna putih itu. Ternganga Allary dan Felix.
“Darimana dia mendapatkan mobil itu?”
“Bukankah seharusnya dia masih terbaring di lantai atas?”
Sebelum mereka terlalu lama bengong karena bingung, Brittany menekan klakson sekali lagi, memekakan telinga, kemudian berteriak, berseru-seru.
“Ayo cepat. Kalau urusan kalian dengan musuh itu sudah selesai, lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Aku sudah bosan. Tidak bisa berpikir di tempat seperti ini. Ayo, ah dan kau, mister Felix, kau boleh ikut. Ayo cepat. Sebelum aku berubah pikiran.”
Allary dan Felix langsung naik ke mobil itu dan Brittany lekas menekan pedal gas. 
“Kau benar-benar tidak sopan,” Felix mendesis kesal. Dia dan Allary duduk di kursi baris kedua. 
“Ayolah masih baik juga kau kuizinkan untuk ikut terlibat.”
“Dan ini mobilku.”
“Kau benar-benar mengesalkan ya. Sudahlah. Ayo kita bersepakat untuk bekerja sama. Untuk kali ini aku mau melunak. Bagaimana?”
“Aku tidak melihat kita punya pilihan lain,” sahut Allary.
“Kau bukan ketuanya, Allary Azra. harus kutegaskan juga soal itu.”
Allary ikut mendesis. Sejak bertemu dengan Felix, Brittany berubah jadi mengesalkan. 
“Jadi nona ketua yang terhormat, kemana kita akan pergi?” Felix melempar tanya. Senyumnya itu terlihat begitu mengejek.
“Aku akan segera tahu begitu aku... eh mana ponselku?”
“Tertinggal di lokasi trukmu terparkir. Allary yang menjatuhkannya dari saku.”
Allary dan Brittany sama terkejut. Felix terkekeh.
“Astaga, kita harus mengambil ponselku itu. Kita harus kembali ke Rwanda.”
“Tidak bisa. Itu tidak logis. Kita hanya membuang waktu untuk itu. Belum tentu juga ponselmu masih ada di sana.”
“Lalu kau punya solusi yang lebih baik, mister?”
Felix mengeluarkan ponsel miliknya. “Biarkan aku dan teman-temanku yang beraksi. Kami akan menemukan petunjuk-petunjuk. Dan karena kau tidak punya ponsel, kau tidak bisa jadi pemimpin rombongan ini.”
“Sialan kau. Allary berikan ponselmu. Aku harus menelepon anak buahku.”
“Jangan mau kau, ketua. Nanti dia akan menjadi ketua rombongan lagi. Dengar ya, selama aku masih memegang kendali, kau boleh jadi ketua rombongan ini.”
“Hei!”
“Sudahlah, Felix, Brittany, kalian jangan bertengkar. Untuk menyelamatkan Vivi kita butuh kerja sama. Bukan bertengkar. Ayolah, bisakah kita menyelesaikan masalah penculikan ini sebagai tiga sekawan yang baru reuni?”
Nah itulah yang membuat Allary bisa jadi ketua rombongan ini.


118
Rencana Baru, Namibia


Kondisi di dalam mobil yang dikendarai oleh Brittany benar-benar tidak kondusif. Berkali-kali Felix dan Brittany saling lempar ejekan dan dua kali hampir saling baku hantam. Untunglah Allary dengan sigap meleraikan mereka. 
Pukul 7 malam, ketika malam sudah mulai menjelang di bagian selatan Tanzania, Allary dengan tegas memerintahkan mobil agar dihentikan.
“Kenapa Allary, kita bisa terus jalan kok. Aku bisa menyetir mobil ini sampai ke Afrika Selatan sekalipun.”
“Brittany, kita harus berhenti. Satu, karena kamu tidak punya pil anti ngantuk mana mungkin kita bisa berkendara menerobos malam, dua, kita perlu rencana yang jauh lebih matang untuk menghadapi Mafia Sahara. Tiga, kita perlu berkemah.”
“Hei, untuk apa berkemah, ketua?” Felix langsung menyambar, bertanya. Dia bisa meraba kemana arah pembicaraan ini. Kemana arah keinginan Allary. Dan tebakannya itu tepat. “Kita perlu berkemah untuk membuat kita lebih kompak.” 
Brittany berdecak mendengar ide Allary. Tapi akhirnya dia menghentikan mobil juga. Mereka memasuki lahan kosong yang datar dan sejuk di pinggiran Tanzania. 
Allary dengan taktis meminta Felix menggelar tenda (ada tenda ditemukan di bagasi mobil), dan Brittany untuk bersiap-siap membuat api. Melihat kesungguhan Allary, Brittany akhirnya terbujuk, dia tidak hanya membuat api, tapi juga menawarkan untuk memasak dengan bahan seadanya.
“Itu adalah ide yang bagus.”
Kenyataannya Allary selalu benar. Termasuk soal berkemah. Dia bisa mengendalikan situasi, dan mengakrabkan rombongannya dengan cara ini. Felix dan Brittany menjadi lebih rileks setelah makan jagung bakar. Felix kembali memutar topik yang sejak tadi siang dia ingin tanyakan.
“Jadi bagaimana kau bisa menguasai teknik beladiri yang begitu hebat tadi, ketua?”
“Aku berlatih, aku menemukan tempat yang cocok bagiku untuk mengembangkan diriku. Sebuah klub tinju. Aku menghabiskan empat tahun terakhir untuk berlatih di sana. Cukup keras.”
“Tidak mengherankan. Melihat kemampuanmu tadi, kurasa kau bisa memberiku perlawanan sepadan.”
Allary tertawa kecil. Dia sama sekali tidak bisa mensejajarkan dirinya dengan Felix. Tidak akan. 
“Aku cukup pintar untuk tidak melawanmu dengan teknikku yang sekarang, Felix.”
“Ah baiklah ketua.”
“Hei, bagaimana dengan rencana kita berikutnya, Mister Felix yang tahu segalanya?” Brittany menyela pembicaraan dua sahabat itu, dengan cara mengejek.
“Musuh kita punya markas besar di Afrika Selatan. Ke sanalah kita akan menuju.” Felix langsung membeberkan inti pembicaraan. Itulah informasi yang kemarin bisa dibaca oleh Aguero lewat ponsel Komandan Amed. Sementara cuma itu.
Brittany manggut-manggut. Dia familiar dengan fakta tersebut. Sejak awal, markas Mafia Sahara memang di Johannesburg, Afrika Selatan. “Berarti markas mereka tidak pernah berpindah.”
“Kau pernah ke sana?”
“Ya, sejak usia belasan aku sudah berurusan dengan mafia itu. Aku pernah menyusup ke markas mereka dengan resiko tertembak peluru. Semua itu sudah kujalani. Jadi kurasa aku unggul dalam hal ini.”
“Kalau begitu, kami tetap memerlukan saran-saran darimu, Brittany.”
“Ah ya, terima kasih, ketua Allary. Saran pertama yang akan kuberikan adalah, kita harus banting setir ke Namibia.”
“Kenapa begitu?”
Alasannya cukup sederhana, “karena Namibia berada di antara Gurun Kalahari, jejak kita bakal sulit dibaca di sana.”
Allary tersenyum. Malam itu tim mereka resmi terbentuk.


119
Mistik Gurun Kalahari


Perjalanan tiga sekawan baru itu berlanjut. Brittany dengan kemampuan navigasinya yang hafal jalur-jalur di wilayah selatan benua Afrika, dengan mudah memandu perjalanan. Dari Tanzania, mereka memotong ke Botswana, kemudian baru ke Namibia. Setelah itu terus turun ke Afrika Selatan. 
“Ini sepertinya bukan jalur umum yang diambil oleh manusia, Brittany?”
“Ya,” Brittany meladeni pertanyaan Felix barusan, masih dengan sedikit wajah kesalnya, “aku sedang mencoba memotong jalan. Kita akan sampai di Gurun Kalahari sebentar lagi.”
Oh ya, rombongan Allary juga menyempatkan diri untuk mengganti mobil di Zambia. Bukan anak buah Brittany yang menyiapkan, melainkan orang suruhan Felix, suruhan Rubilicio tepatnya. Berkat mobil baru mereka itu, Brittany sekarang bisa naik turun jalur sesuka hatinya. Mobil itu bisa dijalankan di medan berbatu dan berpasir dengan stabil. Sangat cocok untuk dijalankan di Gurun Kalahari. 
Sedikit cerita tentang Gurun Kalahari, menurut Brittany (dan dia langsung dikatai sok tahu oleh Felix), gurun yang satu ini istimewa. Ketimbang Gurun Sahara, Kalahari memiliki banyak keunikan. 
“Salah satunya, gurun ini tidak sepenuhnya desert. Tidak sepenuhnya gurun. Masih ada savana dimana-mana. Sehingga tempat-tempat di sekitar gurun ini banyak dijadikan tempat penangkaran binatang.”
“Kabar baik, berarti suhunya tidak sepanas di Sahara?”
“Tidak seperti itu, Allary. Sebuah gurun tidak dinilai dari seberapa panasnya. Gurun adalah sebuah tempat dimana hujan jarang turun. Itulah persyaratan gurun yang sebenarnya. Kalau menyoal panas, Kalahari tidak kalah dengan Sahara. Siang harinya juga bisa mencapai 45 derajat celcius.”
“Bicara soal Kalahari,” timpal Felix, “aku pernah membaca sebuah cerita, bahwa gurun yang satu ini, angker, berhantu dan berbahaya. Setidaknya begitu menurut suku lokal. Apakah itu benar?”
Brittany mengangkat bahu. “Bisa ya, kalau kau percaya, dan bisa tidak, kalau kau tidak percaya.”
“Baiklah, kalau begitu aku memilih untuk tidak percaya.” 
“Hei, ada misteri ya di gurun ini. Ceritakanlah,” pinta Allary.
Brittany melambaikan satu tangannya. Ber-hush pada Allary. “Sudah kubilang, misteri dan keanehan yang ditulis di cerita manapun, hanya ada jika kau mempercayainya. Dalam hal ini, aku juga tidak percaya. Jadi akan kujawab tidak ada saja.”
“Tidak masalah. Aku percaya. Ceritakanlah.”
Brittany tepuk jidat, Felix menggeleng-gelengkan kepala. Astaga, siapa pula yang lupa, betapa Allary sangat tertarik dengan cerita-cerita misteri. Sejak di lereng Sarsa, dia sudah membongkar soal keberadaan Raksasa Hi’um.
“Astaga Allary. Kau tidak perlu memikirkan hal-hal seperti itu. Sudah kubilang kisah itu hanya ada jika kau mau percaya. Dan orang-orang yang percaya hal semacam itu, adalah orang yang dungu.”
“Tidak apa. Ceritakanlah.” Sekali lagi Allary meminta. Sama sekali tidak mundur. Sama sekali tidak bergeming. Felix ikut menyahut, mendukung ketuanya. 
“Sudahlah. Ceritakan saja, Brittany. Kalau ketua sudah penasaran akan sesuatu hal, dia tidak akan bisa dihentikan. Sebelum ini dia sudah berurusan dengan makhluk penunggu Gunung Es dan makhluk penunggu hutan super seram. Dia tidak akan bisa dihentikan.”
“Kenapa tidak kau saja yang cerita.”
Tapi Felix dengan cepat menangkis, “bukankah kau yang paling tahu tentang tempat ini?”
Brittany berdecak. Astaga, kenapa pula mereka harus terpancing membicarakan tentang makhluk penunggu Gurun Kalahari.


120
Hantu Tengok


Satu lagi peraturan kecil yang selalu mengiringi perjalanan Allary sampai kemanapun. Peraturan itu berbunyi:
“Sebuah cerita akan menjadi nyata jika ada yang mempercayainya. Sebaliknya, senyata apapun cerita itu, jika tidak ada yang percaya, maka selamanya cerita itu akan jadi cerita bohong.”
Peraturan yang sama juga berlaku untuk cerita Brittany di bawah ini. Cerita tentang penghuni Gurun Kalahari, Hantu Tengok. 
Di kalangan penduduk lokal yang mendiami area gurun, mempercayai adanya makhluk supranatural yang mendiami Gurun Kalahari. Di kalangan penduduk lokal pula, cerita ini berhembus. Hantu Tengok, itulah nama yang disematkan pada sang penunggu. 
Nama itu bukan tanpa alasan. Hantu Tengok berkeliaran di malam hari. Diam-diam mendekati orang-orang yang sedang berjalan di malam yang gelap. Orang yang dibuntuti oleh Hantu Tengok akan merasa diawasi, merasa dibuntuti, namun setiap dia menengok ke belakang, dia tidak akan melihat apa-apa. Begitulah, kenapa Hantu itu disebut Hantu Tengok. 
Hantu Tengok berbahaya. Tidak seperti makhluk penunggu lain yang hanya menampakkan diri seadanya, hanya untuk iseng atau menandakan kehadiran, Hantu Tengok bisa menculik warga lokal. Kemudian warga itu akan ditemukan tak bernyawa di tempat tertentu. Bahkan yang jaraknya puluhan kilometer dari tempat tinggalnya.
Lalu bagaimana cara menangkal Hantu Tengok? Suku Negro Bantu yang merupakan suku sakti, memiliki riwayat perseteruan dengan Hantu Tengok, memberikan caranya. Yaitu selalu waspada. Setiap memasuki wilayah Gurun Kalahari, tingkatkan kewaspadaan. Pergilah setiap merasa diawasi. Jangan pernah remehkan firasat, Karena hanya firasatlah yang bisa menyelamatkan siapapun dari Hantu Tengok.
“Yahh, kurang lebih seperti itu,” Brittany mengakhiri ceritanya yang tidak ada seram-seramnya itu.
“Bagaimana wujud makhluk itu?” Allary bertanya lagi. Brittany menjawab dengan suara sangat lirih. “Itulah misterinya. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang pernah melihat wajah Hantu Tengok. Sebab setiap kita mengawasi dan selalu melihat ke belakang, dia selalu hilang. Dan jika kita tidak lihat ke belakang, dia bisa menangkap kita kapan saja.”
“Baiklah, kalau begitu, kita sebaiknya waspada.”
“Tidak perlu berlebihan, Allary. Sudah kubilang itu hanya cerita. Cerita itu hanya nyata bagi yang percaya, sedangkan aku tidak.”
“Sudah kubilang pula, kalau aku percaya dengan cerita itu.” sela Allary.


121
Malam yang Buruk Bagi Allary


“Nah kurasa, kita akan bermalam di sini saja untuk malam ini,” Brittany memberhentikan mobilnya setelah pukul 10 malam. Mereka secara teknis masih di Botswana. Perbatasan dengan Namibia. Secara geografis juga, mereka saat ini ada di tengah-tengah Gurun Kalahari. 
“Bagus, Felix, segera kau dirikan tendanya.” Allary memberikan perintah. Felix seketika berdecak sebal. Sekarang dia mendapati ada dua orang yang mendominasi di dalam tim ini. Tapi Felix tidak pernah membantah perintah Allary. Dengan senyum menyeringai, dia balas mengejek. 
“Kalian berdua ini terlihat kompak sekali, astaga.”
“Hanya karena aku terjebak dengan Allary selama berhari-hari. Termasuk diajaknya menolong kakek-kakek tua.”
“Sudahlah, kalian berdua sudah pasti lelah. Berhentilah berdebat.” Allary melerai. 
Tenda segera didirikan. Dua buah. Meskipun Brittany memiliki jiwa sekuat pria dan dia tidak keberatan tidur setenda, Allary tetap memerintahkannya tidur di tenda yang berbeda. “Demi keselamatan bersama,” kilahnya. 
Malam itu, setelah makan malam seadanya, Felix dan Brittany langsung jatuh tertidur. Allary benar, mereka pasti kelelahan. Allary juga sama lelahnya. Namun dia tidak bisa tidur. Ketika dia hendak merebahkan diri, resmilah malam itu jadi malam yang panjang dan berat baginya.
Bagaimana tidak, setiap seperempat jam sekali, Allary selalu terbangun. Bangkit dari tidur untuk melihat keluar tenda. Melihat bentangan savana yang menghampar sejauh mata memandang. Tidak ada apa-apa selain savana. Kemudian Allary merebahkan diri lagi. Seperempat jam kemudian, belum juga tidur nyenyak, dia bangkit lagi. Begitu seterusnya.
“Aku yakin sekali tidak ada apa-apa di sana, tapi firasat ini...” Allary memainkan tangannya ke arah luar, seolah tangannya bisa menangkap gerakan supranatural.
Ah ini gara-gara cerita Brittany. Cerita itu sebenarnya tidak menakutkan, dan setelah pengalamannya berhadapan dengan Raksasa Hi’um dan Makhluk Penunggu Amazonia, seharusnya cerita soal Hantu Tengok itu tidak membuatnya khawatir. 
Tapi firasat ini....
Sepanjang malam, Allary terus merasa diawasi. Dan Brittany juga memperingatinya tadi, untuk terus mendengarkan firasatnya. Allary coba merebahkan diri lagi, namun seperempat jam kemudian terbangun lagi.
Beberapa kali Allary hendak keluar mengecek, namun dia terus mengurungkan diri. Kalau tiba-tiba Hantu Tengok itu muncul dan menyerangnya di luar sana bagaimana? Dia belum punya pengetahuan yang memadai tentang dunia supranatural. Teknik bertarungnya belum tentu bisa dipakai untuk melawan hantu. 
Allary merebahkan diri lagi. Berharap bisa mengusir firasat-firasat buruk dalam pikirannya. Berharap firasat ini tidaklah nyata dan hanya efek pikirannya terbawa-bawa oleh cerita Brittany. 
Sayangnya efek stimulasi pikiran itu hanya bertahan setengah jam. Allary kembali menengok keluar. Ke arah area savana yang luas itu. Savana yang luas dan gelap. Bagaimana jika ada makhluk mengerikan yang tiba-tiba datang dari kegelapan. Astaga, Allary meremas rambut-rambutnya. 
Tenanglah Allary, Allary berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha agar kegelisahannya itu tidak membangunkan Felix. Sebab jika Mister serba logis itu terbangun, mereka bisa-bisa debat sampai terbit matahari.
Allary coba merebahkan diri lagi.
Seperempat jam kemudian, terbangun lagi.
Melihat ke luar lagi.
Sudah pukul setengah dua pagi.
Astaga, ini benar-benar malam yang berat bagi Allary.


122
Biar Aku yang Mengeceknya


Sekarang bayangkan, dua orang sedang tertidur di malam hari, bersebelahan, jika satu orang mengigau tak jelas, dan tiba-tiba tidur sambil berjalan, apakah orang satunya akan terbangun juga? Kemungkinan besar ya, apalagi jika orang satunya itu adalah orang yang peka, gampang terbangun.
Nah, meskipun Felix bukan tipikal yang mudah terbangun dan sensitif, malam itu, pukul 2 dinihari, setelah kegelisahan Allary mencapai puncaknya, akhirnya dia memutuskan untuk bangun. 
“Ada apa, ketua? Kau tidak bisa tidur.”
“Ah iya, Felix.” Allary garuk-garuk kepala melihat temannya itu terbangun. 
“Biar kutebak, kau terpikirkan cerita Brittany tadi dan sekarang terbawa-bawa ke dalam mimpi.”
“Lebih dari itu.”
“Biar kutebak, kau berhalusinasi kalau Hantu Tengok itu baru saja mendatangi tenda kita.”
Allary masih garuk-garuk kepala, “well, tidak sampai seburuk itu. Tapi, tetap saja, aku merasakan firasat buruk.”
Felix yang sudah belajar untuk tidak meremehkan kemampuan ketuanya itu dalam merasakan hal supranatural, mencoba untuk tidak langsung membantah. “Kau sudah keluar untuk mengeceknya?”
“Eh belum.” Allary reflek menggeleng.
“Kenapa?”
“Karena suasana di luar sana terasa sangat mencekam. Bukan berarti aku penakut, tapi tadi Brittany menyuruh kita untuk waspada, jadi kurasa mencari tahu keluar, bukan sebuah ide yang bagus.”
“Itu artinya kau takut, ketua.”
“Hei sudah kubilang bukan beg..”
Felix lekas menyuruh Allary diam. Jika perdebatan dilanjutkan dan terdengar oleh Brittany, masalahnya bisa tambah runyam. Felix tidak mau gadis itu ikut campur. Nanti dia bisa menertawakan mereka berdua. 
“Coba kau cek, ketua. Apa susahnya.”
Karena tidak mau disebut penakut untuk kedua kalinya, atau juga supaya disangka pemberani, Allary memberanikan diri keluar dari tenda. Berjalan memeriksa sekeliling. Sampai ke radius 30 meter lebih ke sekeliling tenda. Tidak ada apa-apa.
Lalu apakah benar itu tadi hanya firasatnya belaka, yang tidak berdasar? Allary memutuskan kembali ke tenda. Menjelaskan pada Felix. Ujungnya, dia mengajak Allary kembali tidur. “Sudah kuduga, kau hanya terbawa cerita, ketua. Tidak ada yang perlu diperpanjang. Sebaiknya kau memanfaatkan waktu yang tersisa untuk tidur, mengumpulkan tenaga.”
Allary menurut. Merebahkan diri lagi, namun kemudian kembali mengulang siklus. Setiap seperempat jam, dia kembali terbangun. Allary lama-lama kesal dengan firasat buruk yang melanda pikirannya. 
Bedanya kali ini, setiap Allary terbangun, Felix ikut terbangun. Setiap dia terbangun, dia selalu menyuruh Allary tidur lagi. Felix berusaha meyakinkan Allary kalau itu cuma sebatas firasat, tidak perlu dicemaskan. Namun Allary tetap tidak bisa menyingkirkannya.
“Baiklah, biar aku yang menceknya, ketua. Aku akan mengecek sampai radius 100 meter. Nah sebagai bukti yang meyakinkan, aku akan merekamnya dengan kamera ponselku ini.”
Allary manggut-manggut. 
Lima belas menit kemudian, Felix kembali dengan hasil rekamannya. Seperti yang dia duga, tidak ada satupun petunjuk yang menunjukkan kalau ada Hantu Tengok yang dia lihat. Sayangnya, rekaman videonya tidak sepakat dengan matanya.
Lewat rekaman itu, Allary melihat sesuatu. Saat video itu diputar, Allary berseru. “Hei, ada sesuatu di situ!”
Felix lekas mem-pause videonya. Kemudian memperbesar rasio gambar. Nampaklah di situ, ada bayangan hitam. Seperti seseorang yang sedang berdiri di kegelapan. Felix tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. 
“Siapa dia?”

123
Menangkap Penjahat


Tenda Allary dan Felix dinihari itu menjadi terang. Kedua orang itu asyik mengamati rekaman video yang baru diambil oleh Felix. Untunglah Brittany tidak terbangun, dia benar-benar lelah sehingga tertidur lelap.
Kembali ke Felix dan Allary. 
“Siapa itu?” Allary mengulang pertanyaannya. Melakukan pembesaran (zoom) pada foto. Video itu telah discreenshot oleh Allary sehingga memudahkan mereka mengamati.
“Gelap sekali, aku tidak bisa mengenali dia,” sahut Felix. Matanya sampai menyipit untuk berkonsentrasi. Tapi tetap saja. Dia tidak bisa mengenali siapa yang ada di rekamannya tersebut. 
“Kau tidak melihatnya tadi, Felix? Saat kau mengambil video ini.”
Felix menggeleng. Matanya mungkin bisa silap. Tapi rekaman ini autentik. 
“Siapa dia?” Allary mengulang pertanyaan lagi. Kali ini lebih kepada dirinya sendiri. Dia jelas penasaran. Sampai tangan-tangannya menggenggam erat pahanya. 
“Aku tidak tahu, ketua. Tadi di luar sangat gelap. Tapi setidaknya kita tahu kalau sekarang kita tidak lagi sendirian di padang gelap savana Gurun Kalahari ini.”
Allary merinding. Jangan-jangan itu adalah Hantu Tengok. Felix tertawa mendengar hal itu. “Aku jamin itu bukan hantu, ketua. Itu bayangan orang. Nah sekarang yang perlu kita pikirkan adalah, siapa orang itu? Kalau itu adalah orang jahat, maka kita perlu khawatir.”
Allary terdiam. Mulutnya terkatup erat. Siapa orang ini. Apakah orang ini sedang mengawasi tendanya?
Hanya ada satu caranya untuk memastikan. Felix juga berpandangan serupa. Mereka harus keluar untuk mengeceknya. “Bersiap-siaplah, ketua.”
“Ya, selama itu bukan hantu, aku masih bisa menghajarnya.”
“Semoga itu bukan musuh yang berbahaya.”
Kedua orang itu keluar dari tenda. Menuju ke tempat yang ditunjukkan dalam rekaman video. Allary siap dengan tinjunya. Felix siaga dengan kakinya. Mereka terus berjalan. 
Tiba-tiba saja, di seberang sana, terdengar bunyi gemerisik, seperti orang yang baru saja melarikan diri. Allary berseru. Felix langsung tancap gas. Mereka berlarian ke arah sumber suara. Cepat sekali semua itu berlangsung.
Orang itu melarikan diri. Langkahnya serba cepat. Allary dan Felix kewalahan mengejarnya. Mereka terengah-engah. Terutama Allary yang sudah kelelahan karena tidak tidur barang sekejap pun.
“Kau tunggu saja di sini, ketua. Biar aku yang mengejarnya. Nanti bila dia tertangkap, aku akan membawanya ke sini.”
“Tapi Felix...”
“Kau tenang saja. Dia bukan hantu. Dia adalah musuh. Mungkin mata-mata musuh. Selama suara langkah kakinya masih terdengar, kita pasti bisa menangkapnya.”
“Hati-hati, Felix.”


124
Serangan yang Telah Direncanakan


Suasana padang Savana di Gurun Kalahari malam itu sungguh mencekam. Hawa dingin, angin yang berhembus pelan, suara kesunyian yang mengalun. Apalagi mereka baru saja melihat penampakan hantu itu. Allary yang tertinggal sendirian di belakang, waspada betul. Firasat buruk itu berpacu kencang di dalam kepalanya. Seolah ada seseorang yang akan menyerangnya kapan saja.
Tenanglah, Allary. Ingat kata Felix, selama orang itu masih bisa didengar bunyi langkahnya, berarti dia masih bisa dihajar. Allary mencoba menarik nafas, merilekskan dirinya. Dia tidak beranjak dari tempat itu, karena itu bakal menyusahkan Felix dalam mencarinya. 
Allary memutuskan untuk menunggu. Seperempat jam sudah sejak Felix mulai berlari ke padang Savana sebelah sana, mengejar bayangan yang menampakkan diri di video rekaman mereka. 
Sesekali pula, Allary melihat ke belakang. Ke arah tenda mereka. Hanya sepelemparan batu saja dari tempatnya berdiri. Tenda Brittany masih gelap. Semoga dia tidak terbangun oleh kegiatannya dan Felix. 
Di saat Allary masih bersiaga penuh, tidak ada apa-apa. Namun lama-lama, dia harus menurunkan kesiagaan. Saraf-sarafnya sudah terlalu menegang. Lagipula, setelah dua puluh menit, rasanya Allary sudah bisa mulai rileks. 
Saat itulah serangannya datang. Dari belakang. Begitu mengejutkan.
“AKHHH!” Allary menjerit. Langsung jatuh tertelungkup ke tanah. Kepalanya berputar-putar. Ada seseorang yang sedang menyerangnya, menyerang kepala belakangnya. Allary mencoba berbalik. Hanya untuk melihat sebilah belati hendak terhujam ke wajahnya.
SLAPPPP!
Allary lekas berguling, menghindar, melancarkan serangan balasan dengan menendang. Namun penyerangnya tidak kalah gesit. Sebelum tendangan Allary mengenainya, dia sudah meloncat mundur. 
Allary coba berdiri, tapi kepalanya berputar-putar. Dari posisi setengah berbaring ini dia bisa melihat orang itu berdiri di dalam gelap. Hanya kilatan belatinya yang nampak. 
Akhirnya musuhnya menampakkan diri. Kabar buruknya, musuh itu langsung tancap gas untuk menyerangnya. Allary berusaha bangkit untuk melawan. Tapi kepalanya yang berputar-putar rasanya, membuat dia kembali tersungkur. Sial, bagaimana aku bisa melawannya. Allary berdecak di dalam hati.
“MENUNDUK, ALLARY!”
Sebuah suara seruan datang dari belakang, Allary lekas kembali berbaring. Itu Felix, dengan tendangan terbangnya langsung menyerang ke arah musuh. Sekali lagi musuh menghindar. Felix memasang kuda-kuda. Musuh siaga dengan belatinya. 
“Pertama-tama, akan kubuat kau melepas belati itu,” sergah Felix. Langsung maju menyerang. Tendangannya selalu diarahkan ke kanan. Ke arah tangan musuh yang memegang belati. Namun musuh juga gesit, menyabetkan belatinya ke sana kemari. Membuat Felix kerepotan. Terpaksa mundur beberapa langkah. 
Mereka sekali lagi adu serangan. Belati musuh berkelabat. Hendak menyerang perut Felix. Namun Felix berhasil melihat serangan itu. Dia lebih dari terlatih bertarung di dalam gelap. Felix berhasil menjatuhkan pisau dengan memukul tangan yang hendak menyerangnya. Begitu pisau terjatuh, Felix langsung menendang orang itu dengan tenaga penuh.
Sampai terbanting beberapa langkah, orang itu dibuatnya.
“Kau baik-baik saja, Allary.” Felix segera mengecek Allary setelah mengamankan pisau milik musuh. Allary mengangguk. Rasa pusingnya sudah mendingan. 
“Siapa dia, Felix? Apakah dia orang yang tertangkap di rekaman video itu?”
Felix mengangguk, “kemungkinan besar, iya.”
“Siapa dia?”
“Sebentar lagi kita akan mengenalinya,” Felix membantu Allary berdiri, kemudian sama-sama menatap ke arah musuhnya yang kini telah siap. “Kenapa kau tidak memperkenalkan diri dulu, heh? Dasar petarung tidak sopan.”
Musuh mereka tertawa. “Astaga, kau juga melakukan hal yang sama kemarin-kemarin. Datang tak diundang ke pondok di pinggir danau. Dasar tidak sopan.”
Felix tertawa. “Nah kau sudah mengenali musuh kita bukan, ketua?”
Allary terkejut mendengar suara itu. Hei dia pernah mendengar suara itu. Artinya musuh ini sudah pernah mereka hadapi. “Ya, tidak salah lagi, dia adalah Boujogar.”
Boujogar ikut tertawa. “Kalian berdua sungguh menghibur. Belum pernah ada target pembunuhanku yang lolos dua kali. Kalian telah merusak reputasiku. Tak kusangka, dibalik wajah-wajah kalian yang biasa saja itu, tersimpan petarung yang tangguh. Sebelum aku menghabisi kalian di sini, izinkan aku bertanya satu hal, siapa sebenarnya kau, Allary Azra. Kau berafiliasi dengan mafia mana? Sebelum ini aku belum pernah mendengar namamu.”
“Aku tidak bekerja sama dengan mafia manapun.”
“Oh begitu, astaga, baiklah. Tidak apa. Senang bisa bertarung dengan kalian berdua. Terutama kau, Felix Norton. Sang petarung terbaik di dunia hitam.”
Allary, Felix dan Boujogar sama-sama bersiap dengan kuda-kuda masing-masing.


125
Bertarung Bersisian, Sekali Lagi


“Biar aku yang melawannya, ketua.” Felix mencegah langkah Allary ketika dia hendak maju. Allary jelas tak setuju. Selain dia tahu Boujogar adalah petarung tangguh yang belum tentu bisa dihadapi Felix seorang diri, Allary juga ingin beraksi. Siapapun tentu ingin melihat mereka berdua, bertarung bersisian, melawan seorang petarung hebat. 
“Aku bisa melawannya Felix. Kita bisa bekerja sama.”
“Jangan, kumohon. Jangan membahayakan dirimu sendiri.”
“Hei, aku sudah berlatih. Selama empat tahun terakhir, aku sudah bertambah kuat. Aku sengaja melakukan semua itu agar bisa bertarung membantumu mengatasi hambatan dalam petualangan kita.”
“Kau tidak bisa bertarung dalam gelap, ketua.”
“Aku bisa. Aku pernah melatihnya.”
“Tapi terakhir kali kau bertarung dengannya di dalam gelap, kau tersungkur sampai masuk rumah sakit.”
Karena terlalu asyik berdebat, mereka membiarkan Boujogar mengambil kesempatan menyerang lebih dulu dengan tinjunya. Felix menangkis serangan itu dengan kakinya. “Kalian terlalu banyak bicara. Sudahlah, kalian pikir bisa mengalahkanku dengan mudah. Kalian bekerja sama pun belum tentu bisa mengalahkanku.”
“DIAM KAU!” Felix terpancing, langsung mengejar langkah Boujogar. Menggunakan teknik menendangnya. Ke sana kemari. Boujogar menangkis dengan tangannya. Suara tangan dan kaki mereka beradu terus terdengar.
“Kau salah kalau mengira bisa mengalahkanku seorang diri, Felix Norton. Kau salah besar. Kau seharusnya takut, karena sebentar lagi, boleh jadi kau akan kalah telak.”
Kurang ajar, dia sengaja memprovokasi, Felix membatin. Mencoba fokus, tidak terpancing. “Aku tidak takut dengan petarung manapun.” 
“Oh ya, bagaimana kalau kusebut nama Dacosta. Berapa tahun kau bersembunyi karena takut tertangkap olehnya?”
Felix menggeram. Boujogar menyerang titik lemahnya. Titik yang paling mudah diprovokasi dari dirinya. Felix coba menghela nafas, membanting topik di tengah pertukaran pukulan mereka. “Kau tidak tahu apa-apa tentang Dacosta. Jangan ikut campur soal itu.”
“Oh jelas. Aku bisa saja melaporkanmu pada Dacosta, lalu dia akan menangkapmu. Dan kau hanya akan menggigil ketakutan.”
“JANGAN SEMBARANGAN BICARA!” Felix kini benar-benar terpancing. Memberikan tendangan terbaiknya. Di dalam gelap bisa terlihat Boujogar menghindar sambil tersenyum. “Kau lengah Felix.”
BUKKKKKK!
Satu pukulan bersarang tepat di wajah Felix. Pukulan itu cukup keras. Felix terjungkal dibuatnya. Boujogar kembali menyerangnya. Namun kali ini sebelum pukulan kembali bersarang, Allary yang gesit menangkisnya. “Kau jangan harap bisa memukul temanku lagi, Boujogar.”
BUKKKK!
Kali ini satu pukulan untuk Allary. Allary menerimanya, menahan tangan Boujogar, kemudian balas memukul, di wajah. Membuat petarung dalam gelap itu, mengaduh kesakitan. 
“Kurang ajar kau!” Boujogar mendesis, kemudian memukul Allary tanpa ampun. Allary tidak bisa menghindar, atau memang itu yang dia rencanakan. Felix berteriak, menyalahkan Allary karena tadi dia maju. 
Dua sekawan itu mundur beberapa langkah. 
“Kau baik-baik saja, ketua? Sudah kubilang, biar aku saja yang melawannya. Lebih kau tunggu saja. Aku belum mengeluarkan kemampuan terbaikku.”
“Kau hanya omong besar, Felix Norton. Sia-sia saja.”
“Diam kau! Tadi kau sengaja memprovokasi. Tindakan tak termaafkan. Aku akan membereskanmu sebentar lagi. Kau tunggu di sini, ketua.”
Felix salah. Justru Allary lah yang akan membereskan Boujogar. Dia sudah mengantongi gerakan petarung itu. Allary siap menggunakan teknik lima hitungannya.


126
Kau, Siapa yang menyuruh Kau


Felix tidak mengambil tempo, langsung saja menyerang ke arah Boujogar. Tendangannya mudah ditangkis oleh musuhnya tersebut. Bahkan dia masih sempat mengejek Felix bahwa dia tidak akan bisa mengalahkannya dengan kemarahan semacam itu. Provokasi itu sukses membuat Felix semakin marah.
“Mau apa kau heh?”
BUKKKK!!!!
Satu pukulan keras kembali mengarah pada Felix. Dia kembali lengah. Terlalu bernafsu mengejar informasi soal Dacosta. Felix harus menerima pukulan itu dengan wajah masam. Boujogar tersenyum puas.
“Kau benar-benar akan membayar semuanya setelah memanggilku pengecut.” Felix menarik wajah masamnya, kemudian bersiap menyerang lagi. Tendangannya mengarah pada Boujogar, tapi petarung itu dengan mudah menangkisnya. 
“Sudah kubilang, percuma kau menyerangku dalam keadaan marah seperti itu. Seranganmu jadi lambat. Astaga, ayolah Felix. Keluarkanlah kemampuan terbaikmu. Kalau begini saja, pantaslah kau ditindas Dacosta selama bertahun-tahun.”
“DIAM KAU! KAU TIDAK TAHU APA-APA!” Felix benar-benar melepas seluruh kemarahannya. Kembali maju dan menyerang. Hanya untuk mendapatkan semakin banyak serangan bogem mentah dari lawannya. 
“Inilah kelemahanmu, Felix Norton. Kau tidak bisa menyerang orang dalam keadaan marah. Setidaknya kau tidak akan bisa menyerangku. Gerakanmu melambat.” Boujogar terkekeh-kekeh. 
Allary mendekat. Sebelum Felix kembali berlari membabi-buta, Allary lebih dulu mencegah dengan menangkap bahunya. “Tunggu Felix. Dia benar, kau tidak bisa menyerangnya dengan membabi-buta. Kau harus tenang dulu.”
“Lepaskan aku, ketua. Biar aku menyerang dan memberikannya pelajaran.”
“Iya, aku tahu kau sedang marah sekali sekarang. Tapi kalau kau menyerangnya sekarang, percuma. Dia hanya akan terus memprovokasimu. Dia menggunakan kemarahan untuk menundukkan kemampuan hebatmu. Jadi kumohon, tenangkan dulu dirimu.”
Felix yang terengah-engah menatap Boujogar dengan nanar. 
Namun walau bagaimanapun, Felix tidak pernah mengindahkan perintah Allary. Dia menurut. Menurunkan tensi di tubuhnya dengan menarik nafas pelan-pelan. Adegan itu terlihat oleh Boujogar. Dia kembali siap melempar bola-bola panas.
“Astaga, ada apa Felix Norton. Kau sudah kehabisan jurus. Pantas saja kau tidak bisa mengalahkan Dacosta kalau begini.”
Keparat. Boujogar ini benar-benar memanfaatkan sisi paling sensitif untuk memancing kelemahannya. Felix berusaha menenangkan diri. Allary benar, dia tidak akan membiarkan Boujogar sialan itu menguasai dirinya.
“Nah, sementara kau menenangkan diri, biar aku yang mewakilimu, menghajarnya.”
“Tapi ketua,” Felix langsung mencekal lengan Allary, “kau tidak bisa bertarung dalam gelap.”
“Aku bisa, Felix. Kemarin-kemarin, aku hanya tidak beruntung karena dia memakai senjata.”
“Kau bukan tandingannya, ketua.”
“Dia hanya belum menghadapi teknik terbaikku. Aku sudah mempelajari gerakannya. Sekarang, kujamin aku bisa menghajarnya. Kau lihat saja ya.”
Allary langsung melesat cepat ke arah Boujogar. Bersiap dengan tinju dan hitungannya. Tinju terarah ke kepala Boujogar. Allary mulai menghitung. “SATU!!”
BUKKKK!
Tinju itu malah mengarah ke perut. 
“DUAA!”
Belum sempat Boujogar mengerang kesakitan karena kekuatan tinju Allary, penglihatannya sudah dibuat berkunang-kunang oleh hantaman keras tinju kedua di pelipisnya. Allary terus bergerak. 
TIGA!
EMPAT!!
Genap mengincar dada dan perut. Boujogar benar-benar tidak bisa menghindar. Gerakan Allary begitu cepat. Boujogar mundur beberapa langkah. Namun sebelum dia sempat membangunkan seluruh kesadarannya, serangan Allary datang.
LIMA!
Telak memukul dagu. Boujogar terlempar satu meter. Felix ternganga. Jadi itu teknik kekuatan Allary sebenarnya.


127
Sesi Membongkar Informasi


Begitu melihat Boujogar terkapar kena tinju Allary, Felix lekas meringkus musuh mereka itu. Bukan apa-apa, Felix hanya khawatir kalau Boujogar masih bisa bergerak dan menyerang mereka lagi. Felix mengunci pergerakan Boujogar. Siap masuk ke sesi mengorek semua informasi.
“Sekarang kau bicara, kenapa kau menyerang kami heh?”
Boujogar malah tertawa. “Pertanyaan bodoh macam apa itu. Tentu saja aku adalah musuh kalian.”
“Bukan jawaban semacam itu yang ingin kudengar!” Felix memasung leher Boujogar hingga dia kelabakan mencari nafas. Allary menyuruh Felix melepas cekalannya, berlutut di hadapan Boujogar.
“Kau anak buah Mafia Sahara itu bukan?”
“Yahh, karena kau bisa menganalisis seluruh titik lemahku, seharusnya tidak sulit juga bagi kau menganalisis informasi tentangku. Aku benar-benar meremehkan kau, Allary Azra.”
“Dimana gadis itu?” 
“Apa maksudmu?”
“Gadis itu, teman kami, Vivi. Kalian yang menculiknya bukan? Dimana dia sekarang?”
AKHHHH!! Boujogar mengerang kesakitan, rupanya Felix yang mencekal tangannya sampai nyaris patah. “Aku akan benar-benar mematahkan tanganmu jika kau memberikan jawaban yang salah. Jawab pertanyaan ketua, cepat!”
Boujogar menggeleng dengan wajah masih kesakitan. “Aku tidak tahu soal itu. Aku hanya menerima instruksi dari bos besar untuk menyerang kalian. Hanya itu saja. Aku tidak AAAAKH!!!” 
Di ujung jawabannya, Boujogar kembali menjerit. Felix benar-benar memelintir tangannya sampai terpuntir. “Itu benar-benar bukan jawaban yang kuharapkan. Apa rencana bosmu heh?”
“Felix, jangan pakai cara kasar,” tegur Allary. “Tapi ya, sebaiknya kau jawab pertanyaan dia, Boujogar.”
“Aku tidak bisa mengatakan yang satu itu. Tidak bisa.”
“Ayolah, bekerja samalah,” Allary mencoba membujuk (setelah sebelumnya menahan tangan Felix agar tidak beraksi lagi mematahkan anggota tubuh musuh mereka). “Kau saat ini sudah tidak berdaya. Bosmu sudah tidak bisa menolongmu. Beritahu aku rencana mereka, maka aku akan melepaskanmu.”
Boujogar tersenyum masam, “dan kau pikir dia akan membiarkanku bebas bernafas setelah kubocorkan rencana mereka pada kau. Tidak akan.”
Allary menghela nafas. Mencegah Felix berbuat yang tidak-tidak. “Jangan sakiti dia, Felix. Kita masih memerlukan dia untuk diinterogasi atau mungkin dia bisa jadi sandera yang berharga. Biar nanti Brittany yang mengurusnya. Sementara ini, ikat saja dia, sita seluruh alat komunikasinya. Kirim semua petunjuk yang ada pada temanmu di Peru itu.”
“Baiklah ketua.”
Malam itu, satu pertunjukan lagi dibuat Allary Azra. Sekarang dia malah tambah keren. Bisa bertarung, punya kemampuan mengendalikan, serta punya anggota tim yang kompeten.


128
Jangan Panggil Aku Ketua


Pukul lima pagi, sesi interogasi dengan Boujogar telah selesai. Sang petarung dalam gelap ditinggalkan sendirian di belakang tenda setelah diikat kuat-kuat oleh Felix. Boujogar tidak akan bisa kabur. Nanti siang, saat Brittany bangun, Allary akan memintanya untuk mendatangkan anak buah untuk mengurus Boujogar itu.
Namun tiba-tiba, saat Allary hendak beranjak dari tempat itu, Boujogar sempat menggeliat. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi mulutnya disumpal erat. Allary memandanginya, membaca dari sorot mata Boujogar.
Hati-hati, temanmu berada dalam bahaya besar. Itulah pesan yang bisa ditangkap oleh Allary. Jangan heran melihat Allary bisa membaca ekspresi wajah. Itu sudah seharusnya sebuah keahlian yang dimiliki pedagang martabak. 
Allary dan Felix memutuskan untuk menyalakan perapian di belakang tenda mereka, duduk-duduk mengobrol sambil menunggu siang datang. Mereka tidak bisa tidur lagi dan sudah nanggung. Allary terduduk, dia nampak lelah.
“Kau baik-baik saja, ketua?” Felix bertanya.
Allary mengangguk. Dia baik-baik saja. Dia hanya sedikit pusing karena tidak tidur semalaman. 
“Kau yakin? Wajahmu terlihat pucat.”
“Aku baik-baik saja, Felix. Aku cuma kurang tidur. Dan ini sudah biasa. Dulu saat aku ditolak oleh keluarga Anita, aku nyaris tidak tidur selama tujuh hari, dan aku masih bisa berjalan-jalan hingga ke London sana. Jadi ya, aku baik-baik saja.”
Felix mengangguk takzim. Tidak ada lagi yang bisa dikhawatirkannya. “Nampaknya untuk urusan mencintai gadis, kau unggul jauh dariku, ketua. Aku biasa-biasa saja saat melihat Aurora terbunuh di hadapanku.”
“Itu bukan untuk dibandingkan, Felix. Kita semua punya pengalaman hidup masing-masing.” Allary menepuk bahu Felix. Berusaha bersikap bijaksana.
“Oh ya, izinkan aku bertanya satu hal lagi, ketua. Apakah kau menyukai Vivi?”
Allary menyernit kening. Sungguh, Felix terpikir untuk menanyakan hal itu? Dia saja tak pernah terpikirkan. Allary menggeleng. “Tidak Felix. Aku dan Vivi hanya teman, partner seperjalanan. Cintaku tetap Anita. Sampai kapanpun.”
“Tapi melihat kau mati-matian mencarinya begini...”
“Felix, dengarkan aku. Aku mati-matian mencarinya, karena dia adalah temanku. Tambah lagi, ayahnya menemuiku di Mesir, memintaku dengan teramat sangat, agar aku membantu mencari anaknya. Satu lagi, kalau urusan menyukai, sebenarnya kau yang cocok. Vivi menyukaimu.”
Giliran Felix yang mengerjap-ngerjapkan mata. Sungguh kah?
“Iya. Semua itu begitu kentara terlihat. Dia menyukaimu.”
“Astaga. Semua jadi rumit.”
“Tidak apa-apa. Yang terpenting, kita adalah rekan seperjalanan. Tim kita adalah yang paling solid. kita akan menemukan Vivi, kemudian kembali bertualang dengan menyenangkan.”
“Baiklah, ketua.”
“Oh ya, satu lagi. Bisakah kau panggil aku dengan sebutan Allary saja. Tidak perlu pakai embel-embel ketua. Rasanya lebih nyaman dipanggil dengan nama. Apalagi kurasa, setelah ini, kita akan lebih sering bertarung bersisian.”
Felix mengangguk takzim. “Akan kucoba, Allary.”


129
Mengumpulkan Semua Informasi


Menu sarapan pagi hari itu tidak istimewa. Allary memasakkan martabak untuk mereka. Brittany bangun dengan wajah ceria. Dia sama sekali belum tahu apa yang terjadi tadi malam. Tapi sebagai agen internasional, dia segera membaca keadaan.
“Ada apa? Kenapa kalian terlihat lesu begitu?”
“Tadi malam, kami melumpuhkan Boujogar.” 
“Eh apa!” terlompat Brittany berseru mendengar kata-kata Felix, “Boujogar datang ke sini tadi malam? Kenapa kalian tidak membangunkan aku?”
“Karena kami tidak ingin mengganggu tidurmu,” sahut Allary.
Setelah itu Brittany berkali-kali memberondong pada Allary dan Felix. Ingin tahu apa yang terjadi tadi malam. Secara detail. Allary menceritakan semuanya, sampai di bagian dimana mereka mengikat Boujogar di batang pohon di belakang tenda. 
“Lalu, apakah kalian mendapatkan informasi dari dia?”
Felix menggeleng. “Dia tidak mau buka suara. Akhirnya kami meringkusnya.”
“Kalian tidak membunuhnya bukan? Dia bisa jadi sandera berharga.”
“Itulah yang kukatakan pada Felix tadi malam, kami tidak membunuh Boujogar karena dia bisa jadi sandera, sumber informasi di tangan yang tepat. Kami hanya mengikatnya hingga dia tidak bisa lari. Selanjutnya kuserahkan padamu, Brittany. Siapa tahu, kau punya anak buah yang bisa mengurus interogasi dengan lebih efektif.”
Brittany melotot jengkel, “tentu saja aku punya. Tapi sayangnya aku tidak punya telepon. Komunikasiku dengan anak buahku sementara ini terputus.”
“Baiklah, kalau begitu, biar aku yang menghubungi temanku.” Felix menyahuti, “seperti kataku waktu itu, kali ini biar aku yang beraksi.”
Allary menatap Felix dengan heran. Kenapa dia tidak mengatakan itu sejak tadi malam?
Felix memencet nomor telepon. Menghubungi Aguero. Felix juga turut menyalakan loudspeaker agar semua orang di situ mendengar apa yang dikatakan Aguero.
“Aguero, aku perlu bantuanmu untuk mengurus sandera. Kau bisa mengirimkan anak buahmu untuk menjemputnya. Dia ada di Botswana sekarang.”
“Astaga, Botswana. Alangkah jauhnya Felix. Bagaimana kalian bisa sampai di situ.”
“Aguero, sudah-sudah. Kau jangan membuatku malu. Saat ini aku sedang menyalakan loudspeaker. Ketua Allary dan Brittany bisa mendengar suaramu. Jawab saja pertanyaanku. Kau bisa mengurus sandera ini atau tidak.”
Terdengar suara orang menepuk dahi di seberang sana. “Baiklah, aku akan membantumu mengurusnya. Tinggalkan saja sanderamu itu di sana.”
“Bagus, terima kasih. Oh ya, bagaimana dengan update informasi, apa yang kau dapat dari membongkar kedok komandan Amed lewat ponselnya?”
“Ah soal itu, aku punya kabar buruk.”
“Kabar buruk apa, Aguero?”
Semua orang tiba-tiba dilanda cemas. Felix segera menenangkan semua orang dengan bilang bahwa Aguero memang suka bercanda. s
“Tapi kali ini aku tidak bercanda, Felix. Ini kabar buruk. Tidak ada satupun informasi yang bisa kudapatkan dari ponsel itu, selain lokasi panggilan yang beralamat di Johannesburg itu. Sisanya nihil. Nampaknya, Mafia Sahara memiliki jalur komunikasi khusus yang tidak bisa disadap oleh orang lain di luar jaringan mereka.”
“Ya, memang. Mafia Sahara punya jalur komunikasi khusus yang hanya bisa diakses oleh mereka saja. Aku sudah menyelidiki itu selama bertahun-tahun,” Brittany menimpali. Allary menengok. Sungguhkah?
“Nah Nona Brittany saja tahu. Jadi itu benar ya, Felix. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
“Kau masih bisa melakukan sesuatu, Aguero. Kau masih bisa mencari informasi lewat sandera yang sebentar lagi kau dapatkan ini. Kau bisa melakukan ini Aguero. Kau akan mengabari aku dalam tiga hari.”
Sekali lagi terdengar tepukan dahi. “Astaga, aku kembali repot. Hanya gara-gara gadismu itu, Felix. Hanya demi the next Auora.”
“AGUERO! AKU MENYALAKAN SPEAKER!”
Terdengar suara tertawa-tawa di seberang sana.


130
Jangan Tengok Kanan Kiri


“Apakah ini artinya petunjuk kita buntu,” Allary duduk menekur setelah Felix mematikan teleponnya. 
Felix dan Brittany sepakat menggeleng. Tidak, petunjuk mereka belum buntu. Masih ada satu petunjuk lagi yang belum jelas sampai mereka usut tuntas. Sebuah titik terang kecil di dalam kegelapan. 
Titik terang itu pasti ada di Johannesburg. 
“Ya, itulah tujuan terakhir kita saat ini. Kita tidak boleh lagi melenceng dari sana.”
“Dia benar,” Felix menimpali. Mereka sekarang punya satu tujuan mutlak. Markas Mafia Sahara, di Johannesburg. Tempat yang sejak awal telah disebutkan oleh Brittany. 
Setelah mereka makan pagi dan kenyang, Brittany langsung memanaskan mobil. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, mereka langsung bertolak ke Johannesburg. Sebelum mereka bertolak, Felix menyempatkan untuk mengambil pisau milik Boujogar yang jatuh di pertarungan mereka dinihari tadi. Felix bilang kalau senjata itu akan berguna untuk perjalanan mereka. 
“Sejak awal kita memang tidak punya senjata bukan?” Felix mengangkat bahu. Brittany sempat hendak menunjukkan berbagai macam senjata miliknya, tapi sayang sekali, dia tidak punya tas lagi. Semuanya tertinggal di Tanzania, saat dia tertangkap. 
Dan setelah semuanya siap, Brittany langsung menginjak gas dalam-dalam. Mereka harus segera sampai di Johannesburg. “Kita bahkan tidak punya waktu lagi untuk sekedar menengok ke kiri dan ke kanan,” ucap Brittany. 
Mobil pun langsung meluncur.


131
Pojok Kota Johannesburg


Carlton Centre, Johannesburg, Afrika Selatan. 
Amat menakjubkan ketika mereka tiba di pusat perbelanjaan yang masyhur di Afrika Selatan tersebut. Sepanjang jalan, sepanjang perjalanan mereka, pencarian mereka, yang dilihat hanya padang pasir, savana, serta permukiman miskin. Sepanjang itu, suasana sangat khas Afrika. 
Namun ketika sampai di Carlton Centre, semuanya berubah.
Gedung-gedung tinggi, besar dan megah ada di mana-mana. Jalanan beraspal, mobil-mobil bagus yang diimpor dari Eropa. Bahkan ada tukang atur jalan seperti yang sering ada di Indonesia. Semua menampakkan satu hal, tempat ini sangatlah berbeda dari Afrika yang terbayangkan. Tak pelak, Johannesburg adalah oase kemajuan di ujung selatan benua Afrika. 
“Aku tidak menyangka akan melihat tempat ini di Afrika. Aku seperti tidak sedang di Afrika. Pemandangan semacam ini lebih cocok dilihat di salah kota seperti Rotterdam atau Milan.”
“Afrika Selatan memang berbeda dari bagian lain Afrika, benar begitu kan, Allary?”
Allary sedikit terkejut. Dia tahu, Brittany menyuruhnya bercerita lagi tentang sejarah. 
“Afrika Selatan, adalah negara pertama yang didatangi oleh orang Eropa saat era penjelajahan samudera. Tanjung Harapan, Tanjung Verde atau apalah itu namanya, pertama kali didatangi oleh seorang pelaut Portugis bernama Diaz. Itu adalah titik pertama penjelajahan bangsa Eropa menuju India.”
“Semua orang sudah tahu soal itu, Allary.” Felix menimpali. Sepanjang jalan dia sudah berusaha untuk memanggil Allary dengan nama, tanpa embel-embel ketua.
Brittany ikut menimpali, membela Allary. “Tidak masalah. Aku senang mendengarkan setiap penjelasan Allary. Fakta sejarah terasa lebih ringan saat Allary yang mengucapkannya.”
“Aku anggap itu pujian,” sahut Allary. Kemudian seisi mobil diam. Allary dan Brittany sama-sama salah tingkah. Sampai akhirnya, Brittany mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nah Felix, dimana koordinat markas mereka.”
“Sebentar,” Felix langsung membuka handphonenya. Membuka kembali e-mail yang dikirim oleh Aguero. E-mail dengan enkrispsi khusus. 
“Jujur saja ya, aku sudah menghabiskan banyak sekali waktu untuk mencari tahu tentang Mafia Sahara, mempelajari tentang mereka, mencari tahu markas mereka, membongkar kedok mereka. Seluruh sumber daya dan kemampuan yang kupunya sudah kukerahkan, aku tidak pernah bisa menyentuh mereka. Aku belum pernah bisa menemukan markas mereka, walau aku tahu markas mereka ada di kota ini. Jadi ini adalah kehormatan besar bagiku.”
Semua rangkaian kata Brittany di atas yang membingungkan itu, bisa diringkas jadi satu hal, yaitu ucapan “terima kasih” pada Felix, karena berhasil menemukan markas mereka. 
“Nah di sini kita harus memarkirkan mobil.” Felix menyerahkan handphone-nya, membiarkan Brittany melihat lokasi yang dicantumkan oleh Aguero di e-mail. Brittany yang telah menghafal kota Johannesburg luar dalam selama penyelidikannya tentang markas Mafia Sahara, segera tahu dimana tempat yang dimaksud di dalam e-mail tersebut.
Brittany mengikuti alur di dalam map. Mereka dituntun sampai ke sebuah gedung. Gedung itu adalah pusat perbelanjaan juga. Ramai sekali. Brittany mencari tempat parkir. Setelah itu mereka turun. Itu adalah instruksi yang ada di e-mail, harus parkir di situ. 
“Berarti tempat itu tidak bisa diakses dengan mobil.” 
“Ayo kita ikuti saja petunjuk yang tercantum.”
Di sinilah mereka sekarang. Di sebuah tempat perbelanjaan, di parkirnya yang ada di lantai dasar. Felix, Brittany dan Allary berjalan beriringan, menuju sebuah lubang saluran air. Felix membuka penutup lubang saluran air tersebut. Terbukalah, dan nampak lorong gelap di bawah sana, ada tangganya.
“Sepertinya kita harus turun ke lantai bawah,” ucap Allary, sedikit merinding karena melihat betapa gelapnya jalan ke bawah itu. Ini seperti film fiksi ilmiah. Mereka akan masuk ke dalam lubang saluran air. Benar-benar seperti di kota New York.
“Ya, ini akan jadi petualangan yang berbeda dari yang kita hadapi sebelumnya.” Brittany langsung gesit menggapai tangga. 
Allary dan Felix segera mengikuti. Menuju markas Mafia Sahara.


132
Saluran Bawah Air


Tangga saluran air itu agak tinggi. Hampir dua meter jaraknya dari lantai dasar yang licin, gelap dan kusam. Brittany yang turun pertama memberikan peringatan pada dua rekannya yang turun kemudian. “Hati-hati, lantainya sangat licin.”
Allary dan Felix turun. Mereka bertiga sekarang genap berada di dalam saluran air yang gelap dan asing itu. Tanpa diperingati pun, mereka memasang kewaspadaan tingkat tinggi. Apa saja bisa terjadi di dalam sini. Mereka hanya bisa melihat sejangkauan senter yang dinyalakan oleh Brittany. Senter itu milik Allary.
“Tempat ini benar-benar aneh. Sebuah saluran air di Johannesburg? Saluran air ini lebih cocok berada di bawah jalanan kota New York, seperti acara-acara kartun anak-anak.”
“Yahh,” Felix ikut menyahut, “tempat ini memang aneh, sebuah saluran air di sebuah daratan yang kering. Lihat itu, airnya benar-benar nyata.”
Brittany menyorotkan senter ke arah air. Air itu khas sekali saluran pembuangan. Hijau, gelap dan kotor. Allary tidak dapat membayangkan bagaimana penderitaannya jika harus tergelincir ke dalam saluran itu. Pasti mengerikan. 
“Semoga di dalamnya tidak ada buaya.”
“Felix, jangan sembarangan kau bicara. Lebih baik kau buka kembali peta yang dikirimkan oleh temanmu itu. Aku tidak mau terlalu lama berada di tempat ini. Menjijikkan.”
Felix berdecak. “Iya, iya. Jangan memerintahku.”
Felix mencoba membuka ponselnya, mengakses e-mail, namun apa hendak dikata, jaringan di dalam saluran air, begitu jelek. E-mail Felix tulalit, tidak bisa diakses. Brittany mengomel.
“Jadi bagaimana cara kita bisa sampai ke saluran air itu sekarang?”
“Bisa,” sahut Allary, “kita bisa mengandalkan insting.”
Brittany menghentikan langkah. “Kau bercanda Allary. Lihat tempat ini, begitu besar, begitu luas dan juga gelap. Sama sekali tidak ada petunjuk. Bagaimana kau pikir kita bisa mengandalkan insting.”
Allary tidak segera menanggapi, melainkan mengusap-usap dinding terlebih dahulu. Seolah dia bisa berkomunikasi dengan dinding itu. “Ya, memang berisiko. Tapi kurasa kita tidak punya pilihan lain. Kita tahu satu hal, tempat ini bukan saluran air, ini adalah jalan rahasia menuju markas musuh kita.”
“Lalu?”
“Maka aku yakin, tempat ini hanya dibuat dengan satu tempat tujuan. Tidak bercabang seperti saluran air di New York sana. Aku yakin, kita bisa mencapai tujuan kita, cepat atau lambat. Hanya masalah waktu saja.”
“Itulah maksudku, aku tidak mau berada di saluran air ini terlalu lama.”
Felix melerai kedua pihak yang sedang berdebat itu, dengan berpihak pada Allary. “Ketua benar, lebih baik kita mencoba untuk mencari tahu, berkeliling tempat ini. Cepat atau lambat, kita akan menemukan tujuan kita. Daripada kita tidak mendapatkan apa-apa bukan?”
Perjalanan mereka kembali berlanjut.
Saluran air itu benar-benar menjadi sebuah tempat yang suram. Lumut-lumut yang semakin tebal semakin dalam mereka masuk. Sejauh ini lorongnya lurus saja. Belum ada belokan. Semakin jauh pula Allary berjalan, saluran air ini semakin lengang. Tidak ada suara-suara lagi dari luar. Padahal sebelumnya, sesekali terdengar bunyi mobil yang lewat. 
“Pasti lorong saluran ini mengarah ke sebuah tempat yang jauh dari keramaian di atas,” Felix memberikan analisisnya. Allary mengangguk setuju. Suara gemerisik air terdengar pelan. Sunyi, sunyi dan sunyi.
“Mafia Sahara benar-benar merencanakan semua ini.” Brittany ikut bergumam. Mereka terus berjalan. Masuk semakin dalam ke saluran air. Semakin misterius pula perjalanan mereka.


133
Buaya di Saluran Air


Suasana saluran air semakin mencekam. Sunyi di sepanjang lorong. Brittany yang berjalan paling depan berusaha fokus dengan apapun yang ada di depannya, apapun yang dilihatnya. Wajahnya tegang, seolah dari dalam gelap akan muncul sesosok monster yang akan menerkamnya.
Sementara Allary dan Felix yang berjalan di belakangnya, berbagi fokus. Allary berjaga-jaga atas kemungkinan serangan di depan, sementara Felix dari belakang. Mereka terus berjalan. 
“Entah kita sudah dekat atau masih jauh. Astaga, aku sebenarnya ingin keluar saja dari tempat ini.”
“Jangan Brittany. Kita sudah berjalan sejauh ini. Kita harus menyelesaikannya.”
“Eh sebentar, kau menandai jalan keluar kita bukan?”
“Ya, Felix yang lakukan.”
“Baguslah.”
Mereka kembali berjalan. Di depan sana, untuk pertama kalinya jalanan bercabang menjadi dua. Kiri dan kanan. Brittany langsung berdecak sebal. “Nah bagaimana sekarang?”
Allary berlutut di depan dua persimpangan. Kiri dan kanan. Allary minta senter dari tangan Brittany. Meski Brittany sempat keberatan, akhirnya dia memperbolehkan. 
Dengan dibantu oleh sorot lampu senter itu, Allary memanggil Felix agar mendekat. Felix juga menurut. Dia tahu apa yang diinginkan Allary. “Kau memintaku untuk membaca jejak lagi bukan, Allary?”
“Ya, kau tahu persis.”
“Well, baiklah. Mari kita lakukan.”
Felix berlutut, memeriksa jejak kaki. Kemudian nekat menempelkan telinganya ke lantai saluran air yang kotor itu. Mendeteksi suara. Lima belas menit Felix mengamati. Brittany memandang dengan geli.
“Cara semacam itu tidak akan berhasil. Kau jangan bercanda, Allary.”
“Aku dan Felix pernah mencoba cara yang sama, dan kami sampai di tempat yang benar-benar menakjubkan di dalam Gunung Pahadaru. Cara yang sama juga bisa dipakai di sini.”
“Sia-sia, Allary.” 
“Eh?” kaget Allary, karena Felix yang baru saja berbicara. 
“Ya, tidak ada apa-apa di sini. Tidak ada jejak kaki orang. Kecuali sudah tertutup oleh lumut. Dan jika jejak itu sudah tertutup lumut, maka jejak itu sudah lama. Kita tidak bisa mengikuti jejak apapun di sini.”
Allary terdiam. Brittany memasang wajah kesal.
“Tapi ada kabar lainnya. Kita tidak sendirian di saluran ini.”
“Ya kita bertiga.”
“Eh bukan, bukan seperti itu maksudku. Ada makhluk lain selain kita bertiga yang menghuni saluran ini.”
“Makhluk?” ulang Allary, memastikan. Kenapa Felix memakai kata makhluk?
“Karena ia memang bukan manusia, dia menimbulkan suara kecipak air. Dia berenang di air kotor itu.”
Allary dan Brittany berpandangan. Maksud Felix, hewan apa itu? Unicorn kah?
“Buaya, ada buaya yang hidup di saluran air ini.”
Nah, itu bukan kabar terburuknya. Kabar terburuknya adalah, suara kecipak air itu bisa terdengar oleh telinga Felix, artinya hanya satu hal. Buaya itu berkeliaran di dekat sini.
“Dari sebelah mana datangnya buaya itu? Kita harus menghindarinya.”
“Aku belum bisa memastikan.”
Brittany berbalik memandang ke arah Allary. “Nah bagaimana menurutmu, ketua?”
“Kita ke kiri,” Allary menyahut mantap. Tidak ada dosa sama sekali.


134
Markas Kosong


Sesuai dengan petunjuk Allary (walaupun petunjuk itu sama sekali tidak jelas), mereka mengambil jalan menuju ke kiri. Jalur kiri membawa mereka ke area yang semakin menumpuk lumutnya. Tentu saja hal ini membuat Brittany semakin protes. 
“Astaga, kita sama sekali tidak progres. Semakin banyak lumut di sini berarti jalur ini tidak pernah dilewati oleh orang.”
“Aku malah merasa sebaliknya. Lumut-lumut ini sengaja diadakan di sini, agar bisa menutupi semua jejak.”
“Ah sudahlah. Aku malas berdebat di tempat yang semakin menjijikkan begini. Semoga saja kau benar, Allary.”
Sementara Felix lebih siaga terhadap gerak-gerik di dalam air. Dia mendengar dengan sangat jelas, bagaimana bunyi kecipak air itu, berada di jalur kiri. Buaya, atau makhluk apapun itu, ada di sekitar mereka sekarang. “Sebaiknya kita mempercepat langkah kita, Allary.” 
Allary setuju. Mereka mempercepat langkah. Sampai Brittany beberapa kali nyaris tergelincir. 
“Hati-hati, Brittany.” 
Dan tindakan Allary itu membuat Brittany semakin jengkel.
“Entah sampai kapan kita harus terus berjalan menyusuri saluran air ini.”
“Sebentar lagi, Brittany. Sebentar lagi. Aku yakin kita ada di jalur yang tepat.”
“Belum lagi masalah buaya itu, Allary.”
“Kau tidak perlu banyak berpikir soal itu. Soal buaya itu, biar Felix yang mengurusnya. Benar begitu bukan, Felix?”
Felix yang sedang siaga dengan pisau di tangannya, mengangguk. Dia sudah mengeluarkan pisau sejak tadi berbelok ke kiri. Itulah satu-satunya harapan mereka jika buaya itu benar-benar menampakkan diri. 
Mereka lambat laun, pelan-pelan mulai menunjukkan perkembangan. Lama-lama lumut di lantai yang mereka injak, mulai berkurang. Keputusan Allary mengambil jalur kiri, agaknya benar. Dan Allary tidak mengambil keputusan secara asal-asalan. Dia mengamati sejak tadi, goresan-goresan di dinding. Itu adalah tanda keberadaan orang yang amat kuat. Allary sudah memikirkan hal itu dengan sangat baik. 
Dan di depan mereka sekarang, nampaklah sebuah dinding, dengan satu daun pintu besi menempel di permukaannya. 
“Nah, kita sampai di jalur yang tepat bukan?” Allary terkekeh. 
“Pintu ini...” Brittany mengamatinya dengan seksama. Ada logo Mafia Sahara di gagangnya. Brittany amat mengenali logo yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun itu.
“Felix, kau dobrak pintu itu dengan kakimu. Lakukanlah.”
Felix mengangguk, dengan sekali tendangan kakinya, pintu itu langsung terlempar ke dalam. Seolah tidak ada yang menguncinya dari dalam. Itu sedikit mengherankan, untuk sebuah ukuran markas Mafia. 
Atau jangan-jangan.... Brittany mulai berpikir yang tidak-tidak. Allary buru-buru menyela. Bilang mereka harus mengecek dulu ke dalam. Memastikan. Akhirnya mereka masuk.
Ruangan itu gelap. Namun bersih. Ukurannya tidak besar. Hanya ukuran 4 x 4 meter. Bahkan sepuluh orang pun tidak muat beraktivitas di ruangan itu. Fakta itu sudah cukup untuk menyimpulkan. Ini bukan markas mafia yang mereka cari. 
Namun, di tempat itu pula, jaringan ponsel Felix membaik. Dia bisa membuka e-mail untuk mencocokkan. Ternyata jalur yang mereka tempuh sudah benar. Ruangan 4 x 4 itulah yang ditunjukkan oleh e-mailnya.
“Berarti kita ditipu lagi. Ya itu tidak terlalu mengherankan ketika berhadapan dengan mafia.”
Brittany yang tadi paling antusias setelah melihat logo Mafia Sahara di gagang pintu, kini menjadi yang paling kesal. Dia sembarang menendang benda yang ada di lantai. Benda kecil itu terlempar, terkena kursi, kemudian menjatuhkan sesuatu dari atas meja. Brittany lekas mengarahkan lampu senternya. 
Benda yang baru saja jatuh itu, adalah sebuah ponsel.
“Ya, inilah sinyal benda inilah yang ditangkap oleh temanmu itu, Felix. Kita benar-benar sudah ditipu. Tidak ada apa-apa di dalam saluran air ini. Aku malah takut kita tidak bisa keluar dari sini hidup-hidup karena telah masuk ke dalam jebakan.”


135
Serangan Hewan Buas


Seakan menjawab perkataan Brittany, tiba-tiba terdengar suara kecipak air yang sangat keras dari ujung lorong yang gelap. Brittany menyorongkan senternya untuk melihat makhluk apa yang datang. Ternyata benar, seperti prediksi Felix. 
Seekor buaya air asin dengan panjang lebih dari dua meter telah ada di sana. Tatapan matanya seperti ingin menghabisi mereka semua. Brittany menelan ludah. 
“Kita benar-benar berada dalam masalah sekarang.”
“Allary, kau lindungi Brittany. Biar aku yang membereskan buaya itu.” Felix mengambil pisau yang tadi sempat dia kantongi lagi. 
“Tunggu Felix. Buaya itu seperti belum makan apa-apa selama dua minggu. Dia terlihat begitu lapar. Aku tidak yakin kau bisa menanganinya.”
Felix menggigit bibir, “kita tidak punya pilihan lain, ketua. Kita harus melakukan sesuatu atau kita akan jadi mangsa buaya hidup-hidup.”
Tidak lagi menunggu persetujuan Allary, Felix langsung maju, menerjang ke arah buaya itu. Dengan kakinya, Felix mencoba menendang moncong buaya itu sekuat tenaga. Itu bukan tendangan sembarangan, melainkan tendangan si Kaki Baja, Felix Norton. Buaya itu terlempar masuk ke dalam air. 
Felix waspada. Buaya itu bisa muncul dari dalam air kapan saja. Serangannya barusan tidak menghasilkan apa-apa. Kulit buaya sangat keras. Benar saja, dalam hitungan detik, moncong buaya kembali terlihat di air, dan secepat kilat buaya itu menyambar, seperti menyambar seekor kerbau yang khilaf minum air danau kekuasaan buaya. 
Untungnya Felix sigap melihat gerakan itu, langsung melompat menghindar, dengan mundur ke belakang. Setelah itu, dengan gerakan sigap, Felix kembali menendang moncong buaya, membuat buaya terlempar ke atas. Serangan ditutup dengan Felix menendang perut buaya hingga dia terlempar ke dinding seberang. 
“Sepertinya sia-sia menggunakan pisau. Kulit buaya sangat keras.” Felix melempar pisaunya ke lantai. Memasang kuda-kuda dengan kaki sebagai senjata. Kaki sepertinya lebih baik dalam melawan buaya ini.
Pertarungan kembali dimulai dengan buaya menyerang lagi dari seberang. Berkecipak menyeberang air. Felix sudah siap.
BUKKKK! Felix menendang sekuat tenaga. Namun dia dibuat ternganga. Kali ini, buaya tidak terlempar. Malah menggeram marah. Brittany yang melihat itu, juga ternganga mulutnya. Allary berseru, “menghindar, Felix.”
Felix lekas melompat mundur. Buaya kembali menyerangnya, kali ini lebih cepat, lebih gesit dan lebih berbahaya. Gigitan buaya itu terus mengarah ke kakinya. Felix harus mundur berkali-kali. Sampai akhirnya kepentok dinding saluran air. Jalan buntu. 
“Brittany, kau bertahan di sini. Aku harus membantu Felix.”
Allary langsung melesat ke depan. Felix meneriakinya agar tidak ikut campur. Allary malah balas meneriaki Felix agar dia bisa menendang buaya itu ke udara. Melihat pola langkah Allary, Felix segera paham.
“Baiklah.”
BUKKKK!
Sekeras mungkin Felix menendang. Buaya itu terbanting ke atas, dan kemudian Allary melengkapi dengan tinjunya. 
BUKKKKK!!
Terpelanting buaya itu dibuatnya. Tapi tinju Allary juga ngilu. “Ternyata keras sekali kulitnya ya.”
“Sudah kubilang, buaya ini adalah lawan yang merepotkan.”
“Baiklah, apa rencana kita sekarang?”
“Buaya itu tangguh. Kita tidak bisa mengalahkannya dengan memukul atau melukai tubuh kerasnya. Kita harus melewati pembatas keras itu dan menyerang isi tubuhnya. Kurasa membuatnya pingsan saja sudah bagus.”
Tunggu dulu. Allary teringat satu hal. Membuat hewan itu pingsan dengan menyerang isi tubuhnya. Rasanya itu bisa dilakukan. Dengan alat setrum injak yang kemarin diberikan Brittany padanya. Alat itu ada di kantongnya sekarang. Allary tersenyum.
“Baiklah, aku punya rencana.”
“Bagus. Bagaimana rencananya.”
“Aku harus cukup dekat dengan badan buaya itu untuk menempelkan ini.”
“Dan itu adalah?”
“Alat setrum Brittany.”
“Baiklah. Aku akan mengalihkan perhatian moncongnya. Kau bisa menempelkan alat itu di punggungnya. Tapi hati-hati dengan percikan. Badan buaya itu basah. Salah sedikit, kau bisa ikut tersetrum, ketua.”
Allary menggeleng, tangannya sudah siap dengan dua keping alat setrum injak. “Aku hanya akan melemparnya. Tapi harus tepat sasaran. Kedua-duanya.”
Buaya mulai mendekat lagi. Mereka berdua bersiap.


136
Tujuan Berikutnya


Sementara Allary dan Felix berjuang keras menghadapi buaya, Brittany menggeledah ruangan milik Mafia Sahara itu. Ruangan bersih itu tidak semata-mata kosong. Ada sebuah meja dan kursi di sana. 
Di atas meja, ada beberapa map yang dibuka satu persatu oleh Brittany. Ada beberapa dokumen di dalamnya, isi dokumen itu kebanyakan pesan pendek namun disamarkan seperti dokumen resmi. Brittany tersenyum saja. Dia sudah menjadi agen rahasia dewan keamanan sejak usia belasan. Mereka tidak bisa memalsukan pesan dengan cara ini untuk menipunya.
Kebanyakan dokumen itu berisi tentang catatan penjualan dan ekspor barang haram yang dijual oleh Mafia Sahara. Alamatnya aneh-aneh, dan tidak pernah terdengar oleh manusia. Pasti ada cara untuk membacanya, namun Brittany tidak punya waktu untuk mencari tahu cara membaca alamat itu. Terlalu banyak dokumen, tapi belum tentu berguna, sebab itu hanya alamat tujuan. Bukan alamat asal.
Brittany melanjutkan pencariannya. Kini dia mulai mendongkel isi laci di bawah meja. Ada tiga laci di sana, dan semuanya terkunci. Brittany mendongkol. Dia harus mencari sesuatu untuk membukanya. 
Ah itu ada kawat. Potongan kawat yang berasal dari pintu yang tadi habis ditendang Felix. Brittany membentuk kunci dari kawat (ini juga keahliannya), dan membuka laci pertama. Isinya lebih banyak map, lebih banyak dokumen, dan lebih banyak lagi alamat yang tidak dia kenal.
“Aku tidak punya waktu untuk membaca semua dokumen ini,” Brittany bergumam sendiri. Membawa dokumen ini ke mobil mereka juga tidak efisien, sebab jauh sekali jarak mereka ke mobil sekarang. Akhirnya Brittany memasang alat pelacak di ruangan itu. Bisa saja nanti dia menyuruh anak buahnya untuk melacak ke ruangan itu dan membawa semua dokumen itu untuk dianalisis.
“Semoga dokumen ini berguna,” Brittany bergumam lagi. Logikanya bagus. Tempat ini adalah jebakan. Bisa saja seluruh dokumen ini adalah jebakan pula.
Brittany membuka laci kedua dengan kunci. Ada dokumen-dokumen dalam map juga di sana, tapi tidak sebanyak laci pertama di atasnya. Brittany beranjak ke laci ketiga.
Dimana laci itu dalam keadaan kosong. 
Brittany menghela nafas. Setengah emosi menendang laci nomor tiga dan kemudian terdengar sesuatu jatuh.
Lekas Brittany membuka kembali laci ketiga. Sebuah kartu sekarang ada di sana. Kartu nama. Agaknya kartu itu tersangkut di langit-langit laci dan tidak ada yang menyadarinya. Lekas Brittany mengambilnya. Kartu nama itu warna kuning dan bertulis, “CONFIDENT”. Berturut-turut di bawah tulisan confident itu tertulis identitas si pemilik kartu.
Samuel Walcott
London, May 14, 1986
Cape Town. 
Di sisi sebaliknya kartu nama, tertulis alamat sebuah tempat di Cape Town, lengkap dengan jalan dan nomor persisnya. 
“Cape Town,” Brittany ikut menggumam. Sepertinya bukan sebuah kebetulan. Dia lekas menyimpan kartu tersebut. Bisa jadi ini adalah jebakan. Tapi, entah kenapa dia merasa kalau ini adalah petunjuk sempurna yang sudah lama mereka cari-cari.
Sementara itu, pertarungan Allary dan Felix melawan buaya, berakhir dengan pingsannya si buaya oleh dua alat setrum yang dilemparkan Allary. Kedua sekawan itu melakukan high five. Mereka tag team yang hebat.
“Maaf ketua. Aku masih belum terbiasa mempercayai kemampuanmu sekarang, sudah setara denganku.”
Allary garuk-garuk kepala. Mengalihkan topik, langsung mengajak Felix kembali mengecek kondisi Brittany.


137
Saluran Air Lainnya di Cape Town


“Aku menemukan kartu ini,” Brittany menyorongkan kartu nama pada Allary. Felix ikut membacanya. “Cape Town” adalah fokus mereka. 
“Markas musuh yang sebenarnya ada di sana?”
Brittany menggeleng, Felix langsung protes. “Kartu nama ini tidak membuktikan apa-apa, Allary. Jika mereka bisa menipu kita dari pelacakan sinyal telepon di Johannesburg dengan cara ini, apa susahnya menipu lagi lewat kartu.”
“Kartu ini agak berbeda,” sahut Brittany, “aku menemukannya tersangkut di langit-langit laci. Sepertinya pemiliknya pun tidak sadar kalau kartu namanya tertinggal di sana.”
“Sebentar, biar kuluruskan ini. Kau ingin kita mengecek ke Cape Town, hanya karena kartu ini dan di sana kau pikir ada markas musuh?”
“Aku tidak bilang di situ ada markas musuh, Felix.” Brittany tersenyum mengejek. “Aku hanya bilang kalau kartu ini adalah petunjuk, dan bisa saja di Cape Town ada petunjuk. Apakah aku hendak ke sana? Ya. Tapi apakah aku bisa ke sana? Itu tergantung keputusan ketua.”
“Ya, kita akan ke sana.” Allary menyahut mantap. Keputusan telah diambil. Mereka akan keluar dari saluran air dan melanjutkan perjalanan ke Cape Town. 
Jarak Johannesburg ke Cape Town lumayan jauh. Tak kurang dari 14 jam perjalanan ke sana naik mobil. Tidak banyak pembicaraan terjadi di mobil. Allary dan Felix sama kelelahan setelah melawan buaya. Brittany mengemudi dengan stabil dan mantap. 
“Bangunkan aku setelah kita sampai di Cape Town, Allary.”
“Ah ya, aku rasa aku juga mau tidur, Felix. Brittany, kau saja yang bangunkan kami ya.”
“Siap ketua.”
Brittany gesit mengemudi. Dia sangat segar kondisinya. Dia tidak melihat kanan kiri lagi, hingga sampai di Cape Town. 
Begitu sampai di pusat kota, Brittany langsung menuju ke alamat yang ditunjukkan oleh kartu nama itu. Alamat sebuah kamar apartemen di lantai bawah sebuah gedung bertingkat. Ada banyak pepohonan di tepi jalan, membuat pemandangan tempat itu, sekali lagi, benar-benar tidak seperti Afrika.  
“Ayo kita turun untuk mengecek.” 
Mereka berhasil masuk ke gedung dan mengecek kamar Mister Walcott dengan cara yang sangat Brittany. Mengancam-ngancam dan membawa nama dewan keamanan. Bagian penerima tamu patah-patah menyerahkan kunci pada Brittany.
“Kamar itu sudah lama ditinggalkan?” Allary bertanya. Nona muda yang gugup itu patah-patah mengangguk mengiyakan. 
“Orangnya pindah?”
“Iya.”
“Kemana?”
“Maaf kami tidak tahu.”
Felix di sebelah Allary menepuk dahi. Ketuanya itu selalu saja berbasa-basi. Setelah tidak bisa mengorek informasi apa-apa di bagian penerima tamu, mereka beranjak ke kamar Mr. Walcott. Brittany membuka gerendel pintu.
Kamar itu bersih dan rapi. Standar apartemen ini pasti tinggi, pikir Felix. Mereka mengecek seisi kamar, terutama bagian meja, laci dan lemari. Mencari petunjuk, namun nihil hasilnya. 
“Kamar ini sepertinya sudah dibersihkan. Tidak ada apa-apa.”
Ya, setidaknya tidak ada apa-apa sampai Allary memeriksa bawah tempat tidur. Perbuatan yang mula-mulai ditertawakan Felix. “Kau mau mencari monster ke dalam sana, Allary?”
Allary tetap merangsek, menyusup ke bawah tempat tidur. Mencari-cari sesuatu, sampai akhirnya dia terpekik. Membuat Brittany dan Felix langsung mendatanginya.
“Hei Allary, ada apa.”
Allary susah payah merangkak keluar. “Bantu aku menyingkirkan tempat tidur ini, maka kita akan melihat sesuatu.”
Sesuatu? Apakah itu? Apa yang membuat Allary terpekik? Felix begitu penasaran, sampai dia sendiri saja bisa menyingkirkan tempat tidur itu. Begitu tempat tidurnya ditepikan, giliran Brittany yang terpekik. 
Hei, bagaimana bisa?
Felix geleng-geleng kepala. Yahh, bagaimana bisa. Ini tidak logis. Bagaimana bisa, pintu saluran air, ada di dalam kamar ini. 
“Aku harap kita tidak terjun lagi ke dalamnya,” ucap Brittany menggeleng-gelengkan kepalanya. Allary lebih dulu bergerak, membuka tutupnya. Memperlihatkan ruangan saluran air yang persis sama seperti yang mereka temukan di Johannesburg.
Gelap, licin dan kotor. 
“Haruskah kita turun ke bawah lagi, Ketua?”
Allary mengangguk mantap. Petualangan di dalam saluran air, memberikan warna tersendiri.
“Yahh, aku sudah tahu kau akan mengatakan itu.”


138
Ruang Kerja Samuel Walcott


Suasana dalam saluran air di Cape Town, tidak kalah suram dengan yang di Johannesburg. Bahkan tempat ini terasa lebih buruk, karena airnya berbau tidak sedap. Brittany yang tidak tahan bau, berkali-kali hendak muntah. 
“Benar-benar tempat yang buruk. Harus berapa lama lagi kita di tempat ini?”
“Sampai kita menemukan petunjuk.”
“Ketua yang terhormat, situasi kita saat ini amat beda dengan di Johannesburg. Kita tidak mengikuti petunjuk apapun. Jadi bisa jadi kita tidak akan menemukan apapun juga.”
Allary lekas menangkis dengan kalimat yang optimis. Apa salahnya bukan? Setidaknya kita sudah mencoba.”
Felix yang mengamati saluran air itu juga tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Mereka bisa membangun sebuah saluran air raksasa seperti ini, di bawah tanah. Sebesar apa sebenarnya kuasa Mafia Sahara itu?”
“Sangat besar,” sahut Brittany, “Mafia Sahara adalah salah satu kelompok sindikat kejahatan terkuat di dunia. Mereka mungkin hanya kalah dari Kelompok Kurzhukova di Rusia sana atau....”
“Tidak perlu banyak bicara tentang dunia hitam Brittany. Kau tidak perlu mengajariku.”
“Hei, aku hanya menjelaskan apa yang aku tahu. Aku sudah menyelidiki dunia hitam sejak usiaku belasan.”
“Ya, dan aku sudah jadi bagian dari dunia hitam sejak usiaku belasan tahun juga.”
Allary segera melerai perdebatan dua temannya itu dengan menunjuk ke depan. Oh iya, satu lagi perbedaan saluran air ini dengan yang di Johannesburg, adalah saluran air Cape Town ada lampunya. Walau cuma remang-remang. Allary melihat sesuatu di tengah keremangan itu.
Sebuah pintu. 
Ketika mereka dekati, kentara betul kalau itu adalah pintu yang unik sekali. Tidak ada gerendel kuncinya. Brittany tidak bisa menggunakan triknya. Selain itu, pintu ini juga sangat keras. Sia-sia saja Felix mencoba mendobraknya dengan tendangan, berkali-kali. Tidak bisa dibuka.
“Hei, ada semacam slot di sini. Mungkin membuka pintu ini harus dengan kartu.”
Allary menunjuk sebuah lubang di samping kanan pintu. Lubang itu tersamarkan. Mirip seperti lubang untuk memasukkan kartu ATM. Brittany mendekat, kemudian mengeluarkan kartu milik Samuel Walcott. 
“Mungkin kartu ini bisa membuka pintunya.”
Benar saja, setelah Brittany memasukkan kartunya, pintu terbuka. Ruangan gelap tersaji di depan mereka. Allary yang kini memegang senter, langsung mengajak yang lain masuk ke ruangan itu.
Ada saklar lampu di samping pintu. Ketika Felix mengkliknya, lampu pun menyala. Kini nampak jelas seisi ruangan. Meja-meja, kursi, laci-laci. 
“Ini sepertinya adalah ruangan kerja, ruangan kerja Mister Samuel Walcott.”
“Ya kau benar. Mari kita lihat apakah kita bisa menemukan petunjuk lainnya di sini.”
Mereka lekas menggeledah seisi tempat. Meja-meja, laci-laci menjadi sasaran utama. Namun tidak ada petunjuk di situ. Petunjuk yang asli justru terpampang di dinding. Mereka sempat silap melihatnya, sampai Allary sadar.
“Hei bukankah itu...” Allary tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Di dinding ada semacam gambar besar yang terbagi dua. Sisi kiri adalah sebuah peta benua Afrika, lengkap dengan garis putus-putus yang menandai perjalanan seseorang. Nah di sebelah kanannya, terpampang sebuah foto yang sangat dikenal Allary, Felix maupun Brittany.
Itu foto Vivi, teman mereka semua.
Di ruangan itulah, untuk pertama kalinya, Allary mengetahui tujuan besar dari Mafia Sahara.


139
Tujuan Besar Mafia Sahara


Allary mendekati foto besar itu. Matanya lekat menatap foto tersebut. Mengenalinya. Allary berkali-kali mengerjapkan matanya. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tapi berkali-kali dia melihat foto itu, tidak, foto itu sama sekali tidak berubah. Itu benar-benar cetak foto orang yang dikenalnya. Foto Vivi. 
“Apa maksud semua ini, Brittany?”
Brittany terdiam. Tidak menjawab. Matanya juga lekat menatap foto itu. Allary teringat bahwa kemarin-kemarin, Brittany sempat bilang kalau masalah penculikan Vivi ini berawal dari sebuah masalah di masa lalu. Kemudian Allary menghubungkan fakta itu dengan fakta lainnya. Yaitu betapa santainya Brittany di awal pencariannya. Tambah lagi dengan foto ini, terpampang jelas di ruangan kerja salah satu anggota Mafia Sahara berstatus confident, Allary menarik kesimpulan.
Ada sebuah simpul, sebuah hubungan rahasia antara Vivi dengan kawanan mafia kejam ini. Hubungan rahasia di masa lalu, yang belum selesai, dan Brittany tahu sesuatu.
“Katakan padaku, Brittany.”
Brittany malah mundur beberapa langkah, mencoba menghindar dari pertanyaan Allary.
“Beritahu aku, kau pasti tahu apa yang terjadi di sini bukan, Brittany?!” Allary berseru. Suaranya keras, meninggi, terdengar begitu menuntut.
Brittany masih menggeleng. “Ini masa lalu Vivi, Allary. Masa lalu yang amat sensitif.”
“Beritahu aku, Brittany. Aku berhak tahu. Aku adalah ketua rombongan ini!”
Setelah semua bujukan, wajah berang Allary, dan suaranya yang menuntut itu, Brittany tetap menggeleng. Allary nyaris kehilangan kesabarannya. Felix lekas menahannya. 
“Jangan bertengkar di tempat ini, ketua. (Felix sengaja memanggil Allary dengan sebutan ketua lagi), lebih baik kita sekarang fokus. Aku akan segera mencari petunjuk. Aku janji. Kau tenang saja.”
“Telepon temanmu itu, Felix. Suruh dia membongkar seluruh database Mafia Sahara. Aku ingin tahu semua kaitan mereka dengan Vivi.”
Felix mengangguk. Lekas meraih telepon. Brittany berdiri di sana, dengan perasaan serba salah. 
Hal pertama yang dilaporkan Felix adalah soal penemuan markas palsu dalam saluran air di Johannesburg. Itu benar-benar sesuatu yang sulit dipercaya. Setelah dijelaskan panjang lebar, barulah Aguero percaya. 
“Aku bahkan sempat bergulat dengan buaya di saluran air itu, Aguero.”
Laporan dilanjutkan Felix dengan penemuan ruangan kerja rahasia milik Samuel Walcott di saluran air di bawah kota Cape Town. Aguero terdengar bingung. “Saluran air lagi? Mafia Sahara itu senang sekali ya, membangun markas di dalam saluran air. Memang apa untungnya?”
Felix merinci sampai ke foto yang dilihatnya di dinding. Ditegaskannya juga bahwa ini adalah perintah dari ketua Allary. Mendengar nama itu, Aguero seketika tidak lagi ingin bercanda.
“Baiklah, Felix. Aku terima laporan dan permintaanmu. Akan kuperluas lagi pencarianku. Nah sebagai balasannya, aku telah menemukan beberapa informasi baru dalam dua hari ini.”
Allary demi mendengar kata informasi baru itu, langsung menyambar telepon. “Katakan padaku, Aguero.”
“Ah ketua Allary. Sebenarnya informasi ini kutujukan untuk Felix. Ini hanya fakta kecil, tapi dia pasti tertarik mendengarnya.”
“Katakan saja.”
“Ada satu anak buah Dacosta terlacak di Pretoria. Ibukota Afrika Selatan. Kukira karena kalian dekat, kalian bisa mengeceknya ke sana.”
Allary seketika heran. Apa hubungannya Dacosta dalam urusan ini? Felix yang menyahut, “karena Dacosta memiliki hubungan tertentu dengan Mafia Sahara. Karena itulah aku bergerak cepat menangani urusan ini awalnya.”

140
Kabar-kabar Burung dari Bos Besar


Kita beralih ke lokasi yang berbeda. Di tempat yang berbeda. Di sebuah ruangan gelap yang sebelumnya kita lihat. Bos besar sedang memegang alat komunikasi Mafia Sahara di tangannya, memutar-mutar tombol besar di tengah benda itu. Memperlakukannya persis seperti sebuah radio.
“Para petualang itu telah mencapai Johannesburg. Seperti yang telah kita duga, ada orang lain yang membantu para petualang itu dari belakang layar. Orang itulah yang mengusut semua petunjuk. Terbongkarnya markas besar kita di Johannesburg, adalah karena orang itu berhasil membaca sinyal di telepon Komandan Amed. Sayang sekali, kita belum bisa melacak siapa orang di belakang layar itu.”
Bos besar memutar tombolnya, memindahkan saluran radionya. Informasi lainnya masuk.
“Para petualang telah masuk ke Cape Town. Mereka masuk sampai ke ruangan kerja Samuel Walcott. Tidak salah lagi, mereka menemukan petunjuk yang kita tinggalkan di Johannesburg. Untunglah kita cepat menyadari keteledoran itu, dan memindahkan semua informasi sebelum mereka datang.”
Bos besar menghela nafas lega. Untung saja penilaiannya tadi benar. Sebelum Allary dan kawan-kawan datang, dia sudah memindahkan Samuel Walcott ke tempat lain. Bos besar kembali memutar tombol besar, mengubah frekuensi radio. Sekali lagi alat komunikasi memberikan informasinya.
“Para petualang menuju tempat Adam Waloock. Orang di belakang layar menemukan jejak orang itu. Sepertinya orang itu ada dalam bahaya. Bagaimana menurut bos? Apakah kita perlu memindahkan Adam Waloock juga?”
Kali ini suara itu meminta informasi pada dirinya. Alat komunikasi itu saling terhubung satu sama lain. 
“Biarkan saja. Adam tidak terlalu penting. Biarkan saja mereka membaca jejak Dacosta. Kita tidak punya waktu mengurusi dia dan organisasinya. Sejak awal Dacosta sudah salah hendak ikut campur dengan urusanku. Biarkan saja.”
“Siap Bos.”


141
Adam Waloock


Brittany bertanya-tanya dan nyaris menolak untuk pergi ke Pretoria. Satu, pergi ke sana berarti putar balik. Dua, dia merasa tidak ada gunanya ke sana.
“Anak buah Dacosta? Aku tidak punya urusan dengannya!”
“Kau hanya belum tahu saja.”
“Oh kau tahu sesuatu? Kalau begitu cepat katakan padaku.”
Felix menggeleng, melangkah mundur kemudian berkata, “maaf, aku tidak bisa mengatakannya, ini berhubungan dengan sebuah masalah di masa lalu.”
Allary nyaris tertawa, Felix meniru persis kelakuan Brittany. Sebelum mereka adu mulut, Allary menengahi, memberikan keputusan. “Kita akan ke Pretoria.”
“Hei, kau tidak bisa memutuskan seenaknya Allary. Aku yang menyetir mobil ini.”
“Oh kalau begitu, Felix bisa menyetirkan mobil. Lagipula dialah pemilik sejati mobilnya.”
“Sialan, kalian bersekongkol.”
Akhirnya, dari Cape Town, mereka bergerak menuju Pretoria. Brittany yang masih mendongkol duduk diam di kursi belakang. Empat belas jam ke Pretoria, terasa lama sekali.
Felix membawa mobil ke salah satu kawasan kumuh di pinggiran kota Pretoria. Allary bertanya-tanya, apakah orang yang mereka cari berada di kawasan kumuh ini? Felix tidak menjawab, konsentrasi memarkirkan mobil di pinggir jalan. 
“Dari sini, kita harus berjalan kaki ke dalam. Rumah orang itu ada di dalam gang sempit.”
“Gang becek,” sahut Brittany, cemberut sekali wajahnya.
“Kau mau kugendong, Britttany?”
Brittany lekas menggeleng untuk tawaran Allary itu.
Orang bernama Adam Waloock yang mereka cari, tinggal di tengah-tengah permukiman. Aguero mengirimkan informasi detail, mulai dari letak rumahnya, gambar rumahnya, sampai ke foto orang itu. Jadi saat mereka tiba di sana, dan ada orang sedang duduk santai, merokok di teras rumah, Felix mudah sekali mengenalinya.
“Mister Adam Waloock.” Felix menyapa. Orang itu menyesap rokoknya dengan sangat berkonsentrasi. Sampai memejamkan mata. Saat dia membuka, dia nampak sangat terkejut melihat Felix berdiri di depannya.
“Eh kau....” wajahnya seperti melihat hantu.
“Kau mengenaliku, Mister?” 
Orang bernama Adam Waloock langsung hendak beranjak, masuk ke dalam rumah. Tapi Felix tidak kalah gesit, langsung melompat ke pintu. Mencegah Mister Adam Waloock masuk rumah. 
“Tenanglah, Mister Adam Waloock. Anda tidak perlu berlari ke dalam rumah begitu. Tidak perlu mengambil senapan. Tidak perlu.”
“Kau ingin membunuhku?” tanyanya, sorot wajahnya masih ketakutan. Felix melihatnya persis, karena Adam Waloock berdiri tepat di depan wajahnya.
“Sama sekali tidak, Mister. Mari kita duduk dulu.”
Adam Waloock kembali duduk. Patah-patah. Felix ikut duduk. Allary ikut naik, menjaga pintu. 
“Apa maumu? Kau mau uang? Aku tidak punya uang.”
Felix tersenyum simpul. “Aku tidak mau uang, mister. Aku hanya ingin bicara. Aku ingin kau menjawab beberapa pertanyaan, bagaimana?”
Adam Waloock menggeleng. 
“Yahh, aku tak memerlukan persetujuanmu. Baiklah, akan kumulai dari pertanyaan pertama. Apa hubungan kau dengan Dacosta?”
Adam Waloock menggeleng cepat.
“Kau tidak perlu berkelit, Mister. Aku sudah memegang semua data diri tentang kau. Sekarang kau hanya punya satu pilihan. Menjawab pertanyaanku dengan baik. Sekali lagi kuulangi, apa hubungan kau dengan Dacosta?”
“Aku tidak tahu apa itu Dacosta.”
“Jawaban yang salah, Adam Waloock.” Felix mengeluarkan pisaunya. “Aku bisa saja mengiris daun telingamu sekarang. Ayolah, katakan saja.”
“Aku... Aku sudah lama tidak berhubungan dengan Dacosta...”
“Oh ya, kau yakin? Dalam data yang aku miliki, Dacosta terus berhubungan dengan kau selama seminggu belakangan ini. Aku tahu. Ayo jawab.”
Adam Waloock berkeringat dingin. Sebentar lagi semua kedoknya akan terbongkar.


142
Keterlibatan Dacosta


Beberapa minggu kemarin, saat Felix pertama kali meninggalkan Spanyol untuk mencari Vivi, semua itu tidak terlepas dalam perhatian Amancio. Semua ini membuatnya tersenyum. Semua ini memang direncanakannya.
Amancio, sebagai perwakilan Dacosta, terus mencari, memantau dan meriset tentang Felix Norton dan teman-temannya. Dia terus mencari-cari, demi mendapatkan celah untuk mengancam dan mengekang Felix, sebagai buronan nomor satu organisasi Caballeros de Madrid. 
Pasca petualangan mereka di Amazonia, Allary dan Vivi masuk ke dalam pengamatan dan lingkup informasi organisasi Dacosta. Mereka berdua sekarang, mau tidak mau, suka tidak suka, kini ikut diamati oleh Dacosta. 
Setelah beberapa tahun melakukan riset, termasuk membandingkan seluruh data-data yang bisa didapatnya di dunia hitam, Amancio memperoleh dua kesimpulan.
Pertama, Allary tidak ada kaitannya dengan dunia hitam. Tidak ada satu kesempatan pun menariknya masuk, kecuali dengan cara-cara kotor dan keji. 
Namun tidak dengan yang kedua. Vivi. Amancio menemukan data yang sangat unik tentang gadis teman seperjalanan Allary itu. Ketika membaca riwayat masa lalu Selvi Anatasha, Amancio menemukan kalau gadis itu pernah bersinggungan dengan dunia hitam. Gadis itu pernah terlibat dengan organisasi Mafia Sahara, penguasa dunia hitam terkuat di kawasan Afrika. 
Seketika itu juga, Amancio menemukan “cara baik” untuk menggebuk Felix Norton. Yaitu dengan menabrakkannya dengan organisasi Mafia Sahara. Amancio-lah yang kemudian merekayasa penculikan Vivi tersebut. 
Ya, Amancio-lah yang mengontak Mafia Sahara, memberitahukan soal Vivi, dan kemudian mereka bergerak. Amancio berbicara atas nama Dacosta, mengajukan kesepakatan, Mafia Sahara boleh mengambil Vivi, sedangkan Dacosta boleh mengambil Felix jika mereka berhasil meringkusnya. Sebab Amancio yakin, Felix akan terlibat, cepat atau lambat. 
Itulah yang dimaksudnya pada Felix, tentang cara-cara lain untuk menyakitimu. 
Nah, untuk memfasilitasi hubungan antara Mafia Sahara dengan Dacosta, Amancio menugasi agen bernama Adam Waloock. Semua itu sudah direncanakannya. 
Sayangnya, semua tidak berjalan mulus. Dacosta pasti tidak memperhitungkan satu hal. Mafia Sahara terlalu kuat untuk coba mereka dikte dan manfaatkan. Ketika Waloock hendak ditangkap oleh Felix, Bos Besar Mafia Sahara cuci tangan. Dia tidak mau menolongnya.
Kini riwayat Dacosta kini telah habis. 
Setelah semua ceritanya selesai dijabarkan oleh Waloock, Felix menatap tajam orang itu dengan keadaan marah. Rupanya, Amancio-lah yang berada di balik semua ini. Felix meminta telepon milik Waloock. 
“Cepat serahkan saja ponselmu. Aku perlu bicara dengan Amancio.”
Akhirnya mau tidak mau, Waloock harus menyerahkan ponselnya. Ada nama Bos Amancio di baris pertama daftar kontaknya. Lekas Felix tekan nama kontak itu. 
“Halo, Amancio.” Felix langsung bersuara, begitu terdengar di seberang sana, telepon telah diangkat. Dia pasti sangat terkejut di seberang sana. 
“Kau, Felix? Bagaimana bisa?”
“Tidak perlu basa-basi lagi, Amancio. Aku sudah tahu semuanya. Sekarang semua rencanamu sudah sia-sia.”
“Apa yang kau inginkan, Felix?”
“Hanya ingin menyampaikan, rencanamu di Afrika sudah berakhir. Mafia Sahara tidak akan mau berurusan dengan kucing pengecut seperti kau. Sebentar lagi, setelah semua urusanku di sini selesai, kau akan mendapatkan giliran untuk dibereskan. Kau tunggu saja, tanggal mainnya.”
Amancio pasti gelagapan di seberang sana. 
Felix sudah menutup telepon. Menyerahkannya kembali ke Waloock. Kemudian mengajak Allary dan Brittany beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Waloock di sana. Brittany heran sekali.
“Kau tidak hendak meringkusnya, Felix?”
“Untuk apa? Sebentar lagi dia akan diringkus oleh Dacosta, dia sudah gagal menjalankan tugasnya.”


143
Buntu Dimana-mana


Sayangnya, Waloock tidak bisa memberitahukan, dimana markas Mafia Sahara yang sekarang. Dia menutup mulut rapat-rapat. Dia tahu tentang perpindahan markas Mafia itu, tapi dia tidak mau membocorkan rahasianya yang sekarang. 
“Aku tidak bisa membocorkan tentang itu. Sudah cukup kau membocorkan tentangku pada Amancio. Aku tidak mau cari-cari masalah lagi dengan Mafia Sahara pula.”
Mereka terpaksa meninggalkan tempat itu, dalam keadaan hampa informasi. Malam sudah menjelang. Allary memutuskan bahwa mereka harus mencari tempat bermalam lagi malam ini. 
“Kita bisa berkemah di luar kota Pretoria.” Felix memberi usul. Allary setuju. Lebih baik mencari tempat bermalam di tenda, ketimbang mencari penginapan. Hei, bukankah itu sensasi dari petualangan. 
Mereka menyalakan perapian. Allary, Felix dan Brittany sama-sama terduduk di perapian. Lesu setelah petualangan beberapa hari ini. Mereka tidak menemukan apa-apa di Johannesburg, Cape Town, dan Pretoria. Semua semangat yang beberapa hari ini meluap-luap, kini jadi menguap. 
Di perjalanan tadi, Felix sempat memberi tahu Aguero tentang informasi tak berguna yang diberikan Waloock tadi. 
“Jadi dia tidak memberi informasi apa-apa pada kau, terkait dengan penemuan gadismu itu.”
“Iya. Tidak ada. Aku cuma tahu kalau Dacosta dan Mafia Sahara benar-benar berkaitan dan Amancio-lah yang mendalangi ini semua.” 
Aguero terkekeh. “Aku tidak bisa membayangkan, apa yang akan kau lakukan setelah ini pada Amancio, setelah dia merekayasa penculikan terhadap the next Aurora.”
“Berhentilah bergurau, Aguero. Sebaiknya kau berikan aku informasi. Bukan terus menerus membahas tentang Vivi.”
“Hei, bukankah memang itu yang sedang kita cari? Seluruh waktuku habis untuk membantumu menemukan gadis yang kau taksir.”
“ASTAGA AGUERO!”
Aguero terkekeh-keheh. Senang sekali bisa membuat Felix kesal.  Itu sudah tabiatnya sejak dahulu. Setelah tawanya mereda, barulah Aguero menyampaikan informasi yang dia punya. “Aku tidak punya informasi saat ini, Felix. Aku akan mencoba mencari lagi. Kau nantikan saja update dariku. Saat ini semakin sulit untuk menemukan informasi yang betul-betul berguna. Semua informasi serba bercabang-cabang. Takutnya nanti aku malah memberikan informasi yang kosong pada kau.”
Itu bukan kalimat yang diinginkan oleh Felix. Mereka semua terduduk pasrah. Kini semua petunjuk mereka, sudah buntu.


144
Siapa yang Menyukai Vivi?


“Setelah semua ini, kamu masih tidak mau memberitahuku, Brittany?” Allary mendekat. Sorot matanya tajam. Hatinya dipenuhi rasa kesal. 
“Aku tidak bisa, Allary. Aku tidak bisa. Seharusnya kamu paham akan hal itu. Ini adalah masa lalu Vivi. Tidak semua orang nyaman ketika kisah masa lalunya diketahui orang asing.”
“Tapi aku bukan orang asing. Aku berteman dengan Vivi.” Allary kembali mendesak. Sampai mendorong-dorong lutut Brittany. 
“Allary, dengarkan aku. Aku saja memerlukan waktu bertahun-tahun, membelanya dari musuh, menolongnya saat dari tembakan peluru, melindungi Vivi dari serangan pasukan bersenjata, bertahun-tahun, tanpa aku tahu, kenapa dia sampai diincar seperti itu. Tidak, dia tidak pernah bercerita. Perlu sembilan tahun hingga akhirnya dia mau memberitahuku tentang cerita masa lalunya, Allary. Sekarang kutanya kau, apa yang sudah kau lewati dengannya?”
Brittany meneteskan air matanya. Allary skakmat. Tidak bisa berkata-kata lagi. Tidak bisa lagi mendesak. Apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu Vivi? Peluru? Musuh? Prajurit bersenjata? Itu semua cuplikan yang mengerikan. 
Felix, yang merasa memiliki masa lalu tak kalah mengerikan, ikut mendekat. Brittany menatapnya dengan nanar. Jika Felix juga sampai mendesaknya bercerita, Brittany siap berkelahi. Dia akan mempertahankan semua cerita Vivi tetap rahasia.
Tapi ternyata tidak. Felix tidak mendesak. Dia hanya duduk. Kemudian pelan-pelan bicara. “Aku tidak seperti Allary, yang selalu tertarik dengan urusan orang. Tapi aku paham kenapa Allary begitu ingin tahu tentang Vivi. Dia, Vivi adalah teman kami. Allary akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan temannya. Bagi Allary, urusan temannya, adalah urusannya juga.”
Brittany menggeleng, “tetap saja. Urusan tidak semudah itu.”
“Selain itu, tanpa kau beritahu, sebenarnya aku sudah bisa menarik beberapa kesimpulan. Pertama, Mafia Sahara itu memang mengincar Vivi, sejak dulu. Mungkin barang kali sejak dia masih kecil. Kedua, apapun yang diinginkan mafia itu dari Vivi, itu bukan sesuatu yang membahayakan nyawa atau tubuhnya. Vivi tidak akan dimutilasi, dibunuh atau diapa-apakan. Nah sampai di situ, aku bisa menarik kesimpulan.”
“TUTUP MULUTMU, FELIX!”
Felix mengangkat bahu. “Nah sekarang ada kesimpulan ketiga, apapun yang sedang kau sembunyikan, itu boleh jadi sesuatu yang sangat sensitif dan sulit untuk dipercaya.”
Brittany menggigit bibir. Menahan amarahnya. Brittany memutuskan untuk tidak memperpanjang urusannya. Menoleh pada Felix. 
“Bolehkah aku meminjam ponselmu? Aku perlu menghubungi anak buahku. Kita harus bergerak lagi.”
“Biar aku saja yang mengurus masalah pencarian ini.”
“Tapi pencarian kita tidak menghasilkan apa-apa. Kita stuck di sini. Kita harus mencari informasi dari jalan lain. Anak buahku bisa mencari tahu. Barangkali ada petunjuk dari sisi lain.”
Felix menyerahkan ponselnya.


145
Sebuah Tas di Online Shop


“Hei apa yang kau lakukan!?” 
Felix bertanya, dengan suara setengah meninggi. Dia nampaknya jengkel setengah hati melihat Brittany. Sebab, gadis itu, setelah dipinjami ponsel, bukannya mencari petunjuk dengan mengontak salah satu anak buahnya, dia malah membuka online shop. 
“Sebentar Felix. Sebentar saja.”
“Kembalikan ponselku.” Felix langsung merebut ponsel itu kembali. Tindakan yang membuat Brittany berbalik jengkel pada Felix. “Hei tunggu sebentar, aku tadi hampir saja menemukan petunjuk.”
“Petunjuk apa? Kau pikir kita bisa menemukan petunjuk di online shop heh?”
Brittany bangkit. Hendak merebut kembali ponsel itu, namun Felix menahan tangannya. Berseru-seru bahwa ponsel ini adalah miliknya. Allary tepuk jidat melihat kelakuan dua rekan seperjalanannya yang seperti anak kecil itu. Kali ini Allary hanya diam. Dia ingin melihat, sejauh apa sebenarnya pertengkaran Felix dengan Brittany, jika tidak dilerai. 
“Dengarkan aku, Felix. Iya aku sedang membuka online shop. Tapi di situ ada petunjuk yang tersisa. Satu petunjuk yang belum sempat kuusut setelah ponselku tertinggal di Tanzania. Kau harus percaya. Kita bisa bergerak begitu aku menemukan petunjuk itu.”
Felix menggeleng. Dia menegaskan bahwa ide untuk menemukan petunjuk di online shop tidak masuk akal baginya. “Kalau petunjuk itu nyata terpampang di sana, seharusnya Aguero tahu, seharusnya temanku itu memberitahuku. Tapi nyatanya dia saja tidak tahu.”
“Itu karena temanmu itu tidak tahu merk tas yang dipakai Vivi saat ini. Dia tidak tahu. Kenapa? Karena itu jelas bukan urusan laki-laki. Kau paham?”
Felix masih menggeleng. Brittany menunjukkan ekspresi serupa hendak merobek-robek wajah Felix. Akhirnya Allary menegur mereka. Menyuruh Felix memberikan ponsel pada Brittany. Tidak ada gunanya pula pertengkaran ini. Jika Brittany tahu sesuatu, biarkan dia mengusutnya. 
Hanya karena perintah Allary, akhirnya Felix menurut. Kembali menyerahkan ponsel pada Brittany. Sekali lagi, gadis itu membuka online shop yang tadi sempat dibukanya. Tapi Brittany harus ber-yahh kecewa. Persis seperti orang kehabisan barang yang ingin dibelinya. 
“Ada apa?” Felix bertanya.
“Gara-gara kau, barangnya sudah dibeli oleh orang lain. Kalau begini susah jadinya.”
“Sudah kuduga. Kau hanya ingin membeli sesuatu.”
“Hei bukan seperti itu! Kau jangan salah sangka, Felix.”
Allary yang sedari tadi duduk tepekur menghadap perapian, mendekati Brittany. “Memangnya apa yang sebenarnya kau ributkan, Brittany?” Allary coba menengok ke layar ponsel.
“Ini Allary. Tas ini. Tadi belum terjual. Sekarang, gara-gara Felix, tas ini sudah laku dan aku jadi kesulitan mencari tahu identitas si penjual.”
“Memangnya kenapa?”
Brittany duduk sejenak, sedari tadi dia berdiri. Allary ikut duduk. Masih melihat ke arah layar ponsel. Dia ingat pernah melihat tas itu di satu kesempatan yang lain.
“Tentu saja kau pernah melihatnya, ketua. Karena ini adalah tas milik Vivi. Ini bukan online shop biasa. Ini online shop khusus penjual barang curian. Ya, barang-barang yang murah.” 
Felix lekas mendekat. Sedari tadi dia tidak sadar kalau Brittany membuka situs online shop khusus. Bukan yang sering dipakai oleh orang-orang normal. 
TAKE!T
Itulah namanya. Online shop khusus penjual barang-barang murah, keluar dari lintas regional. Ini situs yang tersembunyi di dark web. Hanya orang tertentu yang bisa mengaksesnya.
“Sekarang tas itu sudah terjual ke salah satu penjual grosir besar di daerah Madagaskar.”
“Ya sudah, kita ke sana saja.” Allary memberi usul. Seolah itu adalah hal yang mudah dan akan memberikan petunjuk. Namun Brittany menggeleng. 
“Kita ke sana belum tentu menghasilkan sesuatu. Seharusnya aku melacak alamat asli si penjual tas ini. Bukan alamat pembelinya. Apa gunanya kita ke sana, tapi tas ini sudah terjual?”
Allary mengangkat bahu. “Apa salahnya. Kalau tas itu sudah terjua, kita bisa tanya penjualnya, kemana dia menjual tas itu. Kepada siapa? Lalu kita bisa mendatangi rumah si pembeli.”
“Astaga, itu tidak semudah yang dikatakan, ketua.”
“Ya, kalaupun kita tidak mendapatkan apa-apa, setidaknya kita bisa bertualang di Madagaskar.”


146
Perahu Nelayan


Oleh karena didorong keinginan Allary yang kuat untuk melihat Pulau Madagaskar, akhirnya rombongan petualang itu memutuskan pergi ke sana. Lumayan jauh untuk mencapai Madagaskar, sebab pulau itu berada terpisah di sebelah timur Afrika. 
Brittany membuka map dan menemukan bahwa mereka perlu waktu dua hari untuk sampai ke Madagaskar. Termasuk perjalanan lewat lautnya. Itu bukan waktu yang singkat, apalagi mereka harus mengejar petunjuk. Allary kembali menegaskan bahwa mereka bisa sampai di sana, asal menikmati perjalanan. 
Akhirnya Brittany membawa mobil secara ngebut ke Mozambik. Perjalanan darat mereka akan berakhir di negara tersebut, sebelum menyambung naik kapal ke Madagaskar. 
Mozambik di pantai timur Afrika sejak dahulu dikenal memiliki panorama alam yang eksotis dan para penduduknya yang jago di laut (terutama yang diam di pesisir pantai). Rombongan Allary dan yang lain tidak mencapai kesulitan untuk sampai di sana. Hanya saja ketika mereka hendak menyeberang ke Madagaskar, masalah akhirnya datang. 
“Di sini tidak ada kapal yang berlabuh dalam dua sampai tiga hari.” Demikian ucap seseorang, petugas pelabuhan yang mereka temui di Angoche. Brittany jelas protes. Bagaimana mungkin bisa tidak ada kapal untuk mereka tumpangi?
“Saya tidak bercanda, Nona. Di sini benar-benar tidak ada kapal untuk dua sampai tiga hari ke depan.”
“Tapi kenapa?” 
“Saya tidak bisa menjelaskan alasannya.” 
Nampaknya pria yang sedang merah padam mukanya ini bukan sekedar petugas rendahan di pelabuhan ini, pikir Allary. Satu lagi, ucapannya itu benar, tidak terlihat ada satupun kapal yang tertambat di pelabuhan. 
“Ini benar-benar situasi yang aneh.” Brittany sampai menghentakkan kaki saking kesalnya. Dia ditahan atas sebuah alasan yang sama sekali tidak logis menurutnya. 
Felix maju. Kalau urusan bertengkar, dia bisa melakukannya dengan baik. Felix memasang wajah serius. Dia menyampaikan pada petugas pelabuhan itu, agar tidak perlu bercanda, atau sang petugas akan berhadapan dengan dia (maksudnya Felix). 
Si petugas pelabuhan malah naik darah.
“Kau menantangku heh? Astaga, ayo kita berkelahi jika itu yang kau mau. Tapi kutegaskan sekali lagi, tidak akan ada kapal di pelabuhan ini dalam sehari atau dua hari ke depan.”
Allary kembali maju, melerai keributan. Mengajak dua temannya kembali ke mobil. Tempat Brittany segera menumpahkan segala rentetan kekesalannya. 
“Iya aku tahu. Seperti ada yang tidak masuk akal sedang terjadi di pelabuhan itu. Tapi tidak ada gunanya juga toh, kita ribut-ribut di sana. Lebih baik kita cari jalan lain.”
“Kota terdekat lainnya ada sekitar satu jam perjalanan dari sini, Allary. Kita tidak bisa memutar ke sana, buang-buang waktu. Itupun kalau di sana ada kapal.”
“Iya, kita tidak perlu memutar. Kita hanya perlu mencari jalan lain.”
Brittany menyernit kening. Jalan lain? Apa lagi yang dipikirkan Allary sekarang. Yang jelas, Allary meminta agar mobil diarahkan ke perkampungan nelayan.
Nah itulah ide Allary. Ada banyak nelayan di Mozambik, termasuk di kota Angoche. Mereka punya banyak perahu, walau bukan perahu yang besar. Mereka bisa menumpang salah satu perahu nelayan untuk sampai ke Madagaskar. 
Kini Brittany geleng-geleng kepala. Ide Allary itu terasa tidak masuk di logikanya. Mana ada nelayan yang mau memberikan tumpangan untuk mereka bertiga. Namun sayangnya, rumus seperti itu tidak ada di dalam dunia milik Allary Azra.


147
Keluarga Melayu di Madagaskar


Berkat Allary, (berkat wajahnya yang polos sekali), minta tolong ke salah satu nelayan yang ada di Pantai Angoche. Mereka diberi tumpangan, perahu kecil, namun bermesin milik Nelayan. Satu orang menumpang satu perahu. Mobil terpaksa ditinggal di Pantai Mozambik. Brittany meminta anak buahnya untuk mengurus mobil itu, meskipun mobil itu sebenarnya adalah mobil milik Felix.
Tapi, urusan mobil itu segera terlupakan. Siapa pula yang memikirkan mobil saat dihadapkan dengan pengalaman naik perahu bermotor membelah selat Madagaskar. Nun jauh di sana, terlihat Pulau Madagaskar. Pulau terbesar keempat di dunia, setelah Greenland, Papua dan Borneo. Pulau yang dikenal dengan keeksotisannya. 
Sehabis tiba di pantai Madagaskar, siang hari berikutnya, pukul 8 pagi, Brittany langsung memesan taksi. Tujuan mereka jelas, tempat pembeli pertama tas di online shop.
“Kemungkinan besar, dia adalah perantara saja. Distributor. Dia akan membawa barang dari dunia hitam, ke dunia kita yang normal.” Brittany menduga-duga. 
“Memangnya ada orang seperti itu?”
“Ya ada. Di dunia ini ada banyak sekali profesi. Ada banyak sekali orang-orang yang berpikiran kreatif, dalam tanda kutip yang buruk, yang bisa melihat peluang bisnis.”
Felix mengangguk. Tidak lagi berminat melanjutkan pembicaraan. Sebagai orang yang pernah berkecimpung di dunia hitam, dia sedikit banyak malu dengan Brittany. Pengetahuannya tentang dunia hitam, kalah dengan gadis itu. 
Justru Allary yang melanjutkan pembicaraan, “Kemungkinan besar, pelabuhan di Angoche sudah diblokade oleh Mafia Sahara. Benar begitu, Brittany?”
“Ya, aku kira hanya itu satu-satunya kemungkinan. Kamu lihat bukan, betapa keras kepalanya petugas pelabuhan itu menyatakan tidak ada kapal, tanpa alasan yang jelas.”
Allary mengangguk-angguk. 
Mereka meneruskan perjalanan, ke Ibukota Madagaskar, Antananarivo. Di sana, tanpa ambil tempo, Brittany langsung menuju ke alamat si pembeli tas di online shop. 
Lalu, dengan gaya dan wewenang semena-menanya sebagai agen internasional, Brittany memaksa si pemilik toko berbicara.
Si pemilik toko itu, tidak mengalah. Malah menyerang Brittany dengan bogem mentah sampai Brittany terduduk ke lantai. Allary naik pitam melihat pemandangan itu, langsung balas menyerang.
BUKKKK!
Allary meninju pemilik toko sampai terjungkal. Felix meloncat melewati barang dagangan, memasung si pemilik toko hingga tidak berdaya lagi. 
“Teman saya bertanya baik-baik. Anda malah membalasnya dengan cara paling buruk dalam memperlakukan seorang wanita. Teman saya hanya bertanya, seharusnya anda menjawab.”
Pemilik toko itu balas menatap Allary dengan pandangan bercirat-cirat. “Aku tidak punya waktu bicara dengan orang asing.”
“Sebaiknya anda jawab pertanyaannya!” 
“Memangnya mau apa kalian dengan tas itu? Itu hanya tas biasa. Tas bekas yang kupungut di online shop.”
“Anda memungutnya di Take!t. Jangan pura-pura bodoh dengan saya.” Allary membalas dengan tatapan mengancam. Si pemilik toko terdiam. Dia pasti berpikir, orang yang tahu tentang Take!t, pasti bukan orang sembarangan. Bisa saja mereka-mereka ini, adalah mafia.
“Apa mau kalian dengan tas itu? Iya saya kemarin menjualnya di toko ini.”
Brittany yang sudah bangun, mengambil alih pertanyaan. “Kami ingin tahu darimana anda mendapatkan tas itu.”
“Bukankah tadi temanmu sudah mengatakannya?”
Brittany menggeleng, “bukan itu maksudku. Maksudku, adalah alamatnya. Alamat si penjual.”
Si pemilik toko juga menggeleng, “aku tidak ingat.”
“Jawaban yang salah.” Brittany menjawab bengis.
“Aku bersumpah. Aku tidak ingat. Buat apa mengingat alamat si penjual? Bukankah di Take!t ada peraturan tak tertulis untuk tidak memedulikan asal barang apapun yang dijual di sana?”
“Kalau begitu, beritahu kami, kemana kau menjualnya? Jangan bilang kau juga tidak ingat. Kalau begitu juga jawabannya, kau benar-benar berada dalam masalah,” ancam Allary.
“Aku menjualnya pada salah satu keluarga Melayu yang tinggal di selatan ibukota. Aku kenal pribadi pada keluarga itu. Aku bisa memberikan alamatnya jika kalian mau membebaskan aku.”
Allary sepakat.


148
Keluarga Jamalueddin


Dengan masih menumpang taksi yang sama, Allary dan kedua temannya berangkat menuju ke alamat pembeli tas yang diberikan si pemilik toko. 
“Lebih tepatnya si pemilik toko yang benar-benar tidak ramah,” protes Allary. Dia memang tidak pernah tahan melihat ada orang berperilaku kasar tanpa sebab. 
“Kurasa lebih tepat jika menyebutnya antisipatif.”
“Kuakui, dia memang sangat waspada, tapi tidak seharusnya dia sampai memukul wanita. Kuharap kamu baik-baik saja, Brittany.”
Brittany yang duduk di kursi depan, malah tertawa cekikikan. “Sejak kapan kau mulai mengkhawatirkan aku, Allary. Aku baik-baik saja.”
Felix tersenyum simpul. Dia bisa merasakan ada hawa-hawa hangat di dalam mobil itu. “Well,” katanya dengan wajah mengejek, “kudengar terjebak dengan seorang wanita selama berhari-hari memang bisa membuat perasaan pria berubah jadi spesial.”
Allary memasang wajah masam. Brittany lekas membanting topik, mengajak fokus ke tujuan mereka. Mendatangi keluarga baru pemilik tas. Setidaknya di sana, mereka bisa mengecek apakah itu tas milik Vivi atau bukan.
Si pemilik toko benar untuk beberapa hal. Terutama soal pembelinya. Mereka benar-benar sebuah keluarga Melayu. Ketika Allary tiba di sana, si bapak, tuan rumah, sedang duduk santai di depan rumah, sambil minum kopi dan merokok. Persis seperti pemandangan yang sering dia lihat di Indonesia. 
Mereka turun. Allary yang “paling Indonesia”, maju, berkenalan. Si bapak menyambut hangat kedatangan rombongan Allary seolah keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Beliau memperkenalkan diri sebagai Jamalueddin. Mendengar nama itu, Allary semakin merasa di Indonesia. Nama din, Melayu sekali bukan?
Masih dengan sambutan hangat yang sama, mereka diajak masuk ke ruang tamu, disuguhi minum teh, kemudian mereka mulai bercakap-cakap tentang tujuan rombongan Allary datang bertamu. Allary segera menjelaskan bahwa mereka berkunjung khusus untuk melihat tas yang dijual oleh seorang penjual tas di pusat kota Antananarivo. Pak Jamalueddin mengangguk-angguk.
“Ya, kami memang membelinya. Lebih spesifik, sayalah yang membelinya untuk istri saya. Ada apa gerangan? Saya kira itu hanyalah tas bekas.”
Allary balas tersenyum. “Justru karena itulah Pak. Tas itu adalah bekas milik teman saya. Tas itu dicuri darinya. Kami mencarinya berhari-hari. Hingga kami menemukan informasi bahwa tas itu ternyata sudah dijual di Madagaskar. Jadi di sinilah kami sekarang.”
“Tas itu adalah barang curian?” ternganga Pak Jamalueddin dibuatnya. Istrinya, seorang wanita paruh baya yang duduk di sebelah Pak Jamalueddin, menyenggol suaminya. “Apa kubilang, jangan kau membeli barang dagangan si Kumar. Tak beres semua barang yang dijualnya.”
Nah apa boleh dikata. Perkataan istri Pak Jamalueddin itupun, Melayu sekali.
Allary membuka ponselnya. Dia menunjukkan salah satu fotonya dengan Vivi ada di dalam foto tersebut, sedang menggunakan tas yang dimaksud. “Silahkan bapak cek, tas ini persis sama dengan tas yang anda beli atau tidak.”
“Mak, ambilkan tasnya,” pinta Pak Jamalueddin pada istrinya.
Akhirnya tas itu dibawakan ke hadapan mereka. Tak kurang suatu apa. Brittany mengeceknya sendiri. Bahkan membuka bagian resleting rahasianya. Menunjukkan tas ini memang milik Vivi. Pak Jamalueddin dan istrinya tidak keberatan membenarkan.
“Jika memang itu tas milik teman kalian, bawalah. Kami minta maaf kami sempat menyimpannya beberapa hari. Saya harap itu bukan masalah.”
Allary menimbang-nimbang sebentar. Membawa tas ini bersama mereka, boleh jadi adalah pilihan baik. Siapa tahu Vivi masih memerlukan tas ini nanti. Akhirnya Allary memilih membawa tas itu, sambil menyuruh Felix memberikan lembar uang untuk Pak Jamalueddin sebagai balas budi. 
Pak Jamalueddin yang sangat Melayu itu sempat menolak pemberian Allary, tapi akhirnya, patah-patah, menerimanya juga. Malu-malu. 
Urusan mereka di tempat keluarga Melayu itu hampir selesai. 
Kemudian datanglah dua orang anak kecil, imut-imut, berlarian naik ke rumah. Allary tebak, ini adalah dua anak Pak Jamalueddin. Anak-anak yang kelak, jadi orang Melayu juga.


149
Saluran Air Madagaskar


Kedua orang anak Pak Jamalueddin itu langsung didekati Ibunya yang gesit menyapukan peluh di dahi mereka. Usia dua anak kecil itu masih muda. Allary taksir, tak sampai 10 tahun. Paling yang satu usianya 9, dan yang satu lagi usianya 6, dan kedua-duanya adalah laki-laki. 
Allary menahan langkah Brittany dan Felix sejenak, mengajak mereka melihat pemandangan di keluarga Melayu yang amat menyenangkan. Pemandangan yang tidak akan pernah didapat Allary seumur hidup. 
Diam-diam Allary merindukan ibunya. 
“Awwal, Akhir, kalian berdua main-main ke saluran air itu lagi ya?” ibunya bertanya. Mendengar frasa saluran air itu, Allary, Felix, dan Brittany, tegak telinganya. Kedua anak itu mengangguk tanpa dosa.
“Astaga, sudah ibu bilang, jangan main-main di situ. Berbahaya. Siapa tahu ada buayanya. Kalian ini.” 
Allary genap mendekat, bertanya ulang. “Tadi ibu bilang soal saluran air. Apa maksudnya ya. Setahu saya tidak ada saluran air di Madagaskar.”
“Ah iya, setahu saya juga tidak, sebenarnya. Tapi ya, Awwal dan Akhir selalu senang berjelajah. Pergi ke tempat-tempat yang tersembunyi, dan akhirnya mereka menemukan saluran air itu.”
“Dimana tempatnya, kok saya jadi penasaran ya.”
“Ha, ha, saya bisa tunjukkan, abang!” Awwal, si kakak berseru-seru. Ibunya lekas menenangkan, bilang bahwa dia tidak boleh keluar rumah lagi hari ini. Awwal cemberut. Allary mengambil kertas dan pensil dari dalam tasnya. “Tidak apa-apa, Awwal. Kamu bisa gambarkan petanya di sini. Nanti abang bisa cek ke sana. Bagaimana?”
“Beres bang. Bisa.” 
Awwal langsung menyambar pulpen. Mulai menggambar rute. Sesekali menjelaskan petunjuk jalannya pada Allary. Rute itu memasuki hutan lebat sepertinya. Allary berusaha mengingat semua petunjuk dari Awwal. Setelah semua selesai, Allary mengucapkan terima kasih. 
“Kita sudah tahu kemana tujuan kita selanjutnya, bukan?” Allary berseru senang setelah mereka meninggalkan rumah Pak Jamalueddin. Saluran air, itu benar-benar sebuah petunjuk yang tidak diduga. 
“Kau sepertinya sangat menikmati kunjungan kita tadi, ketua.” Brittany bersuara, terdengar seperti ejekan. Tapi Allary tidak terpengaruh, menyahut riang, “tentu saja. Karena mereka adalah orang-orang Melayu. Sudah lama aku tidak melihat keluarga seharmonis itu. Rasanya aku jadi iri.”
“Nanti kalau kau berkeluarga dengan Anita, kau bisa membuat keluarga yang lebih harmonis lagi, Allary.” Felix terkekeh. Allary bergegas memukul bahu Felix.
Mereka masuk ke dalam hutan. 
Pada masa itu, Madagaskar, sebagian besar, masih berupa hutan lebat. Di belakang rumah Pak Jamalueddin, itu sudah membentang hutan rimbun. Jadi Allary dan yang lain, langsung masuk ke sana. Segera berputar-putar mencari jejak, petunjuk atau apalah itu yang bisa dijadikan patokan. 
Mereka bersemangat mencari saluran air. 
“Tak kusangka, Mafia Sahara juga membangun markas rahasia di pulau ini.”
“Kuakui, aku juga tidak menyangkanya,” sahut Brittany, “pulau ini berada di luar benua Afrika, juga tidak ada apa-apa yang potensial di pulau ini. Jadi kukira, Mafia Sahara akan melewatkan tempat ini. Ternyata tidak.”
“Bisa saja, saluran air itu hanya petunjuk palsu bukan?” Felix memberikan kemungkinan lain. Tapi Brittany segera menampiknya. “untuk membangun sebuah saluran air, lengkap dan bau seperti yang kita lihat di Johannesburg, itu memerlukan waktu yang tidak sebentar. Mereka pasti pernah berada di pulau ini, terlepas itu sekarang menjadi jebakan atau tidak.”
“Nah, kita sepertinya sudah sampai,” Allary berucap antusias, melihat ada tutup saluran air, berada di atas tanah. Dia menggosok-gosok tangannya. Sekali Felix membuka tutup saluran air, itu, terlihatlah, jalur saluran air yang gelap, kotor dan bau. 
Di situlah petualangan mereka yang baru, akan tersaji.


150
Pabrik Besi dan Senjata Haram


“Apa? Mereka telah tiba di Madagaskar?” suara si Bos besar nampak menggantung. Dia baru saja menerima laporan dari alat komunikasi Mafia Sahara. Pergerakan para petualang ke Madagaskar, berada di luar perkiraannya. Dia memutar tombol besar di alat itu, memberikan perintah. “Siagakan petarung terbaik untuk membereskan mereka. Hubungi si Pandai Besi. Aku tidak peduli harus membayar berapapun. Mereka tidak boleh dibiarkan keluar hidup-hidup dari Madagaskar.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, terjadi kepanikan di markas Mafia Sahara. 
***
Sementara musuh mereka sedang menyumpah-nyumpah karena panik, Brittany di sisi lain, justru bersiul-siul. Ada dua kabar baik sejak mereka masuk ke saluran air ini. Satu, saluran air di sini, tidak sebau, tidak sekotor, dan tidak sejelek saluran air yang mereka temui di Johannesburg dan Cape Town. Dua, semua hal yang tidak seburuk itu, menandakan saluran air ini bakal memberikan petunjuk yang lebih baik ketimbang dua saluran air sebelumnya. 
“Ya, Brittany benar. Saluran air di sini tidak banyak lumutnya. Tidak terlalu kotor juga.”
“Tetap saja bau, Allary.” Felix menimpali. 
Ya, itu benar. Tempat ini memang masih bau. Tapi ayolah, apalagi yang bisa diharapkan dari sebuah saluran air. Wangi? Tidak mungkin. Mereka terus berjalan. 
Hal lainnya yang tidak kalah melegakan adalah saluran air ini terang. Sistem listriknya bekerja. Jadi tidak gelap seperti yang sebelumnya. Allary sempat berkelakar, bahwa jika di sini ada buaya lagi, mereka tidak perlu khawatir lagi. 
Felix melotot mendengar hal tersebut. 
Mereka terus berjalan, sampai tiba di ujung saluran air. Tidak seperti ujung saluran air lainnya yang berupa ruangan, saluran air Madagaskar ini, berujung pada tembok kokoh. Jalan buntu. Tapi ternyata ada tangga ke atas. Allary mengikuti jalan itu, dan tiba di pintu atas, saluran air. 
Segera dia membukanya. 
Rupanya saluran air ini berpangkal di sebuah pabrik tua. Ketika Allary naik ke atas, bau logam-logam berkarat tercium. Tempat apa pula ini? Semua orang bertanya-tanya.
“Hati-hati, semuanya.” Allary memperingati setelah semuanya naik ke per. Ada pintu tidak jauh dari situ, mereka langsung membukanya. 
Pintu itu mengarahkan mereka pada sebuah ruangan besar, yang amat sangat menakjubkan. Ada banyak sekali senjata-senjata, baik itu senjata tajam, maupun senjata api, terpajang di ruangan itu. Tergantung di langit-langit, berserakan di lantai. Senjata ada di semua tempat. 
“Sepertinya ini adalah pabrik penyimpanan senjata milik Mafia Sahara.”
“Kurasa itu benar.”
Mereka berjalan memasuki ruangan. Mata Allary tak lepas-lepas memandangi seluruh jenis senjata yang ada. Ribuan jumlahnya. Felix di sebelahnya sangat waspada. Bisa gawat kalau ada musuh yang bersembunyi di balik tempat ini. Sementara Brittany, dengan insting tajamnya, mendekati kotak box kayu, yang tergeletak di pinggir ruangan. Seketika dia berseru. Membuat Allary dan Felix mendatanginya. 
“Ada apa, Brittany?”
“Kau lihat kode-kode ini,” Brittany menunjuk ke kotak box kayu. Ada catatan di situ. Sepertinya itu catatan pengiriman. Sayangnya Allary tak mengerti bahasanya. 
“Apa itu?”
“Catatan pengiriman. Catatan yang menunjukkan kemana seluruh senjata ini akan dikirimkan.”
“Kemana? Apakah kau bisa membacanya?” tanya Felix. 
Brittany mengangguk. “Seharusnya bisa. Catatan itu menunjukkan satu negara, Somalia. Dan jika instingku benar, senjata-senjata ini dikirim ke sana, atas perintah Mafia Sahara. Boleh jadi, markas mereka yang sebenarnya ada di sana.”
“Itu terdengar brilian. Ini petunjuk yang mahal sekali.” Allary turut bersorak gembira. Sampai mereka tidak menyadari, ada seseorang yang datang.


151
Pertarungan di Dalam Pabrik Besi


Ada yang datang, dengan menggunakan helikopter. Suara deru baling-balingnya, terdengar keras sampai kejauhan. Allary, Felix, dan Brittany yang sedang berada di dalam pabrik besi mendongak ke atas. Helikopter itu ada di atas kepala mereka sekarang. Lalu dengan hati-hati, seseorang turun dari sana, menggunakan tali. Mereka bertiga bisa melihat dari bawah lewat atap yang berlubang. 
Siapakah itu? Jawabannya adalah petarung. Seorang petarung kuat yang dikirim Mafia Sahara untuk membereskan keadaan. Memastikan tiga tokoh utama kita tidak bisa keluar dari Madagaskar dalam keadaan hidup. Brittany langsung mengenali orang itu sekali dia menapakkan kaki di hadapan mereka.
“Kau, Si Pandai Besi!”
Orang itu tersenyum. Seorang pria muda. Berusia 24 tahun sepertinya. Tapi julukannya itu sudah terkenal di dunia hitam. Begitu Brittany meneriakkan julukannya, Felix juga langsung mengenali orang itu. 
“Kita harus waspada, ketua.” Felix merapatkan barisan dengan Allary. 
“Sepertinya kita tidak perlu berbasa-basi lagi ya, tujuanku ke sini sudah jelas. Aku yakin kalian sudah tahu bukan? Jadi, ayo, kita langsung bertarung saja.”
Si Pandai Besi membawa pedang yang terselip di belakang pinggangnya. Dia langsung menyerang. Brittany, melompat ke kiri. Sementara Allary dan Felix ke kanan, menghindari tebasan pedang itu. Namun Si Pandai Besi tidak sungguh-sungguh dalam menyerang barusan. Dia masih tersenyum simpul. 
“Ada baiknya aku mengurus Nona Brittany terlebih dahulu.” Kemudian pedangnya merangsek ke arah Brittany. Menyerang, berkelabat. Brittany cukup gesit. Ada lorong panjang di belakangnya, membantu Brittany untuk terus menghindar. Sepuluh jurus berlalu, Brittany bisa mempertahankan diri tidak terluka. Felix dan Allary diam saja di seberang lorong. Felix nampaknya masih jengkel dengan Brittany, adapun Allary....
“Giliran aku menyerang, Pandai Besi.” Brittany menatapnya bengis. Kemudian dengan satu gerakan tendangan yang elegan, Brittany menendang jatuh pedang pemuda itu, dan nyaris menendang wajahnya. Untungnya Si Pandai Besi lekas mundur ke belakang, tidak mempertahankan pedangnya. Brittany tersenyum.
“Apakah kau tidak sehebat yang diberitakan, Pandai Besi?”
“Nona Brittany salah. Tidak asyik melumpuhkan nona menggunakan pedang. Lebih baik menggunakan ini bukan?”
“Bukankah itu..?” Brittany menggumam tertahan. Itu adalah alat setrum miliknya. “Ya Nona. Ini alat setrum milik Nona. Aku mengambilnya dari tas nona yang tertinggal di Tanzania. Pertarungan akan jadi lebih menarik sekarang.”
“Kurang ajar kau.”
Mereka kembali jual beli serangan. Brittany kali ini beberapa kali menjerit tertahan karena terkena setruman. Benda itu membuat dirinya melemah. 
“Kau adalah Si Pandai Besi. Kemampuanmu seharusnya kan lebih erat dengan kemampuan menggunakan senjata tajam.”
“Tapi lebih seru menghabisi nona dengan alat ini. Alat yang telah nona gunakan untuk menghabisi banyak anggota kami.”
“Tak berguna. AKKK!HHHHH!”
Brittany menjerit tertahan. Dia yang tadinya hendak menendang, tanpa sengaja menginjak sesuatu di atas tanah. Itu alat setrum injak, jebakan khas dari dia. Brittany ambruk. Tidak bisa bergerak lagi. 
“Lain kali jangan ceroboh ya, Nona Brittany.” Si Pandai Besi terkekeh. Dia berhasil melumpuhkan satu orang. Lalu, dengan mata tersorot ke depan, dia mengambil pedangnya, dan kembali menyerang. Kali ini giliran Allary dan Felix. 
“Dia datang, Allary. Kau sudah mengamati gerakannya bukan?”
Allary mengangguk. “Ya, sudah. Tapi aku tidak yakin bisa mengatasi pedangnya.”
“Serahkan pedangnya padaku. Sebentar, akan kuterbangkan pedangnya ke udara. Setelah itu kau lumpuhkan dia dengan jurus hitunganmu itu.”
HIYAAA! Si Pandai Besi menebas dengan pedang ke arah Felix. Bukannya menghindar, Felix malah memasang kakinya untuk menangkis. Terdengarlah bunyi seperti tabrakan senjata tajam. Berdesau. Tapi Si Pandai Besi tidak terkejut, dia tahu sedang berhadapan dengan siapa. “Felix Si Kaki Baja.”
“Tak berguna kau!” Felix menendang pedang itu ke udara, terlepas dari tangan musuhnya, lalu Allary datang dari belakang, langsung menghitung. 
SATU!
Felix meloncat ke samping dengan sangat cepat. Membuat musuhnya tidak sempat menghindar lagi dari serangan Allary. Kena. 
“Lumayan juga, Allary Azra.” Si Pandai Besi terlihat senang-senang saja. 
Allary menghela nafas. Dia siap bertarung. Mereka langsung beradu tinju.


152
Aman


Allary mengamati setiap gerak-gerik dari Si Pandai Besi, sejak tadi menyerang Felix, sampai sekarang saat mereka sudah saling beradu tinju. Allary juga menunggu saat yang paling tepat untuk menghitung kembali dan menyerang. 
HIYA!
HAP. Allary dengan gesit menangkis tinju tersebut, serangannya cukup mudah untuk dibaca. Satu serangan lagi dengan tangan sebelahnya, juga berhasil ditangkap oleh Allary. 
“Kau petarung jarak dekat yang lumayan tangguh, Allary Azra.”
“Tidak perlu memujiku.” Allary tiba-tiba melompat mundur dan melepaskan pegangannya di dua tinju si Pandai Besi. Membuatnya tertawa. 
“Hei, bagaimana kau tahu aku akan menyerang dengan kakiku?”
“Karena gerakanmu tadi sudah terbaca olehku.”
Si Pandai Besi beringsut ke depan, bermaksud mengambil kembali pedangnya. Namun Felix tidak memperbolehkannya. Langsung menerjang dengan tendangan, membuat Si Pandai Besi harus berguling-guling menyelematkan diri. 
DUA!
Tiba-tiba saja, tepat sesaat sebelum Si Pandai Besi bangkit dari pergulingannya, Allary sudah tiba di depan wajahnya. Langsung mendaratkan tinju. Si Pandai Besi langsung terpental. Ke arah peti-peti yang bercap senjata tajam. 
“Nah, kau baru saja melemparku ke tempat favoritku di pabrik ini.” Si Pandai Besi kembali tertawa, dan itu membuat Allary semakin kesal. Lawannya ini sama sekali tidak serius dalam menghadapinya. 
Si Pandai Besi bangkit, memegangi sisi-sisi kotak peti kayu. Membuka dan mengambil dua bilah pedang dari dalamnya. Felix langsung merapat lagi ke sisi Allary. 
“Biar aku yang menghadapi senjatanya. Kau fokus untuk menghajarnya saja begitu ada kesempatan. Oke?”
“Tidak masalah. Hati-hati, dia menebar jebakan di sepanjang lantai ini.”
Si Pandai Besi melenting dengan kecepatan super, ke depan dua musuhnya. Langsung menebas dua pedangnya. Tapi Felix juga telah sedia dengan kakinya, menangkis. Kembali terdengar bunyi benturan senjata tajam.
TIGA!
Allary melihat kesempatan. Muncul dari samping si Pandai Besi. Kembali melepaskan pukulan. Membuat si Pandai Besi terlontar. Pedang-pedangnya terlepas. Kali ini dia berdecak. 
“Astaga, kombinasi kalian benar-benar merepotkan. Sepertinya aku harus melumpuhkan kalian satu persatu.”
Kemudian dia bangkit lagi, melenting, menghilang dengan kecepatan super, menerjang Felix dengan menggunakan hulu pedang, membuat Felix terpental ke belakang, kemudian menyerangnya bertubi-tubi dengan dua pedang. Felix berusaha mengimbanginya dengan gerakan kaki-kakinya. 
“Aku akan melumpuhkan kakimu terlebih dahulu, Felix. Akan kugunakan jurus memotong....”
EMPAT!
Allary muncul lagi di samping Si Pandai Besi. Lagi-lagi dengan akurat mendaratkan pukulan. Si Pandai Besi terhuyung kali ini. Mulutnya berdarah. 
“Sial. Bagaimana bisa aku tidak menyadari kedatanganmu.”
“Karena aku menyerang tepat di titik lemahmu.”
“Aku tidak akan membiarkanmu terlalu sering memukulku.” Si Pandai Besi memegangi pedangnya, gemetar. Marah. Felix memberi kode pada Allary bahwa serangan berikutnya bisa fatal. 
Benar saja. Si Pandai Besi menyerang bertubi-tubi. Dia mengincar Allary. Membuat Allary berkali-kali harus melompat gesit menghindari serangan demi serangan pedangnya. Inilah saatnya, Felix. Kita gunakan apa yang tadi kubilang. Batin Allary. 
LIMA!
Felix tiba-tiba muncul dengan kecepatan super, di belakang Si Pandai Besi, mendaratkan tendangan kuat. Membuat si Pandai Besi tersungkur. 
“Aku tidak tahu, kalian ternyata membentuk kombinasi yang bagus.” Si Pandai Besi berucap dengan samar, sebelum kehilangan kesadarannya.
Pertarungan telah selesai. Allary dan Felix telah mengamankan tempat itu.


153
Perlengkapan Milik Brittany Kembali


Persis setelah pertarungan dengan Si Pandai Besi selesai, dan si Pandai Besi itu dieksekusi oleh Felix, Brittany tersadar. Dia bergegas ambil bagian, dengan membongkar tas kecil yang tadi dibawa oleh Si Pandai Besi. 
“Aku harus berterima kasih karena dia membawakan kembali hampir semua perlengkapan yang kupunya,” ujar Brittany sambil mengecek barang-barang yang ada di dalam tas itu. Ada berbagai macam barang. Mulai dari alat setrum, jebakan setrum injak, dan beberapa alat lagi yang bisa dipakai belakangan.
Plus, alat mirip radio yang kita tahu sejak kemarin adalah alat komunikasi mafia. Brittany tersenyum lebar, menenteng alat itu, kemudian mengamatinya lekat-lekat. 
“Aku sudah lama ingin memegang alat ini, kalian tahu. Ini alat komunikasi yang amat berharga bagi Mafia Sahara. Dengan alat inilah mereka berhubungan, dan bukan lewat telepon. Jadi komunikasi telepon jarang sekali mereka pakai.” Di ujung kalimatnya Brittany sempat-sempatnya memasang senyum mengejek ke Felix. 
“Diamlah. Jadi mau kita apakan alat itu?”
“Apakah kita akan berbicara langsung dengan bos mafia itu?”
“Ya, kurasa kita akan bicara dengannya. Tapi biar aku saja yang mewakili. Sudah lama aku tidak memakai kemampuanku. Aku akan menyalakan alat ini. Kalian berdua, diamlah.”
Allary dan Felix langsung tutup mulut. Brittany beranjak, menyalakan alat itu. Sempat terdengar bunyik nguing yang panjang. Persis seperti menyalakan sebuah radio. 
Begitu memastikan alat itu telah tersambung ke Bos Besar, Brittany langsung berucap. “Ini Si Pandai Besi. Misi telah beres dilaksanakan. Musuh telah dibersihkan.”
Ternganga Allary dan Felix dibuatnya. Bukan karena Brittany mengaku-ngaku jadi Si Pandai Besi, tapi melihat kemampuan Brittany menirukan suara orang lain. Sama persis. Brittany tersenyum. Dia akan menganggap tatapan ternganga itu sebagai pujian. Brittany lalu mematikan kembali alat komunikasi itu.
“Sejak kapan kau bisa menirukan suara orang?”
“Sejak lama. Itu kemampuan mata-mata. Sudah kulatih bertahun-tahun.”
“Kemampuan yang mengerikan.” Allary bergidik. 
“Terima kasih, tapi itu bukan kejutan bagiku. Dengan kemampuan serupa, aku sudah membodohi Mafia Sahara berkali-kali. Tapi ujungnya apa? Aku hanya berhasil menipu mereka, bukan mengalahkannya. Karena aku selalu kalah di pertarungan penentu.”
“Pertarungan akan lebih mudah kali ini, dengan keberadaan kami berdua.”
“Ya, aku akui itu. Kalian adalah petarung-petarung kelas top di Dunia Hitam. Mungkin orang-orang seperti kalian layak duduk sebagai Tukang Pukul nomor satu di sebuah Keluarga Mafia.”
Felix mengangkat bahu. Dia memang pernah menyandang jabatan itu. 
“Lalu kemana tujuan kita selanjutnya, Brittany?”
“Somalia, ketua. Tadi aku sudah berhasil menipu mereka mentah-mentah. Mereka akan lengah. Tapi tidak akan lama. Jadi kita harus secepatnya menyerang pertahahan mereka, sebelum mereka sadar, kitalah yang sudah menipu mereka. Oh ya, Felix. Aku mau meminjam teleponmu lagi.”
“Untuk apa?”
“Menelepon anak buahku. Mereka harus menyiapkan sebuah kapal induk.”
Allary menelan ludah, terus mengikuti langkah Brittany keluar dari pabrik besi. Aroma perang besar, mulai tercium dimana-mana.


154
Laporan Mata-mata


Sebenarnya Brittany tidak serius. Dia tidak langsung memanggil kapal induk. Dengan meminjam telepon dari Felix, dia menghubungi anak buahnya, dengan sebuah kode komunikasi yang amat ganjil. Dengarkanlah.
“Yeah, Patrick. Ini aku, Brittany. Tolong kau hubungi segera salah satu dari dua puluh assasins kita, terserah, kau mau pilih yang mana, kemudian suruh salah satu assasins yang telah kau pilih itu untuk menghubungi salah satu worker kita. Terserah dia saja, pilih diantara yang seratus orang itu. Kemudian sampaikan pesan pada sang worker, untuk melepas merpati di tempat yang tepat. Biarkan merpati membawakan pesan, kemanapun ia menginginkannya. Pesan itu bertuliskan nomor rahasia. Suruh dia segera menghubungi nomor rahasia itu. Secepatnya. Harus kurang dari dua puluh empat jam.”
Allary garuk-garuk kepala mendengar kode yang amat panjang dari Brittany tersebut. Apalagi mendengar sahutan si penerima telepon dengan suara terbata-bata. “Siap nona. Laksanakan. Hari itu rupanya telah tiba.”
Nah, sekarang bandingkan dengan pesan Brittany berikut ini pada salah satu anak buahnya yang lain. Dilakukannya setelah memutus telepon dengan Patrick.  
“Segera datang ke pantai timur Madagaskar. Gunakan kendaraan tercepat. Bawakan aku telepon genggam terbaru.”
Simpel sekali bukan. Tentu saja, dengan membandingkan dua pesan di atas, yang amat sangat jauh bedanya, siapapun bisa menebak arahnya. Termasuk Felix. Dia bercelutuk pelan, “kau sedang memanggil mata-mata ya?”
Brittany menggeleng. “Bukan. Aku sedang melakukan kerja rahasia. Mereka akan menjalankannya sebaik mungkin, sehingga saat matahari nanti terbenam, kita sudah tahu situasi di Somalia.”
Apa yang dimaksud oleh Brittany sebagai kerja rahasia itu? Allary atau bahkan Felix yang lama berkecimpung di dunia hitam sama sekali tidak bisa membaca jalan pikirannya. Yahh, karena memang begitulah kerja rahasia dibuat. Agar tidak mudah ditebak. 
Brittany segera mendapatkan ponsel terbaru dari anak buahnya. Hal yang pertama dia lakukan adalah membuka sebuah aplikasi yang unik, kemudian menuliskan satu kata. “Somalia.”
“Selesai. Kita tinggal menunggu laporan dari mata-mata saja lagi.”
“Kau tidak khawatir mafia akan menyadap jalur komunikasimu?” 
Brittany tersenyum simpul. “Kau jangan meremehkan jalur komunikasi yang kubuat, Allary. Jalurnya sangat rumit. Serumit kode komunikasi yang tadi kubicarakan dengan Patrick. Tidak, Mafia Sahara kali ini tidak akan tahu. Kujamin.”
Allary mengangguk. Tidak lagi memperpanjang pembicaraan. Mereka menunggu dengan bersantai, mendirikan tenda di lepas pantai timur Madagaskar. 
Pukul 5 sore. Akhirnya mata-mata mengirimkan laporan. Brittany langsung membuka laporan itu di ponselnya. Tak lupa dia memanggil Allary dan Felix yang sedang mencoba berlatih tanding di pantai. 
“Kalian harus melihat ini. Laporan ini fresh. Langsung dilaporkan dari Somalia. Sebagai mata-mata ahli, dia langsung terhubung kepadaku dan berani mati demi tugasnya. Ayo kita lihat bagaimana kekuatan musuh, sehingga kita bisa memperhitungkan pula, apa yang harus kita siapkan.”
Layar ponsel menunjukkan laporannya. Laporan itu merincikan jumlah pasukan musuh di Somalia, mencapai seribu orang. 90% di antaranya adalah prajurit biasa. Dalam artian tidak jago bertarung. Tapi dengan jumlah sebanyak itu, mereka tetap merepotkan. Ditambah lagi 90 orang yang jago berkelahi. Sembilan lainnya, adalah pentolan musuh. Para jenderal dengan kemampuan bertarung selevel dengan Allary dan Felix. Setidaknya diasumsikan begitu. Sisanya, satu orang, tunggal. Tidak lain adalah bos besar. Pemimpin tertinggi Mafia Sahara. Alfred Vindhesel, itulah namanya. Nama yang telah menghantui Brittany seumur hidupnya. 
Laporan itu membuat mereka bertiga berpikir sejenak.


155
Konsolidasi Pasukan


“Seribu orang.” Brittany menghela nafas. Terdiam.
“Yeah, seribu orang.” Felix ikut mengulangi, menegaskan. Betapa jumlah itu, adalah jumlah yang banyak.
“Pantas saja kamu tadi hendak memanggil kapal induk, Brittany.” Allary terkekeh. Kekehan palsu, sebenarnya dia gentar juga. “Bagaimana kita menghadapi mereka di Somalia? Kurasa seribu orang bukan jumlah yang bisa kami tangani berdua.”
Brittany menggeleng prihatin, tapi wajahnya tersenyum. Akan dia anggap itu bergurau. “Tentu saja Allary. Kita tidak mungkin menang kalau hanya mengandalkan kalian berdua. Sekuat apapun kalian berkelahi, begitu mereka melumpuhkan tangan dan kaki kalian, selesai semuanya. Untuk pertempuran semacam inilah aku ikut campur di sini.”
“Maksudmu kita akan melawan mereka bertiga?”
Brittany benar-benar melotot sekarang, mendengar pertanyaan polos Felix itu. “Tentu saja bukan begitu. Itulah gunanya aku di sini. Aku punya banyak agen. Banyak anak buah. Saatnya memanggil mereka semua sekarang.”
“Bagus. Kita perlu jumlah yang sepadan. Setidaknya untuk menahan yang 900 orang itu, sementara kita menghabisi yang besar-besar.”
“Itulah rencanaku.”
Brittany kemudian membuka teleponnya lagi, menghubungi anak buahnya. Meminta mereka menyiapkan pasukan. Namun Brittany harus berseru kecewa di akhir pembicaraan.
“Aku hanya bisa menyiapkan 300 pasukan. Ada banyak agen lainnya yang sibuk. Sedang ada banyak misi dari pimpinan.”
“Itu baru sepertiga pasukan musuh. Baiklah, sebentar, aku akan menelepon temanku. Siapa tahu dia bisa menyiapkan beberapa bantuan juga.”
“Ide bagus, Felix.”
Entah sejak kapan mereka berdua kompak dan melakukan high five. 
Felix menghubungi Aguero. Memintanya menyiapkan pasukan besar. Aguero terdengar tepok jidat sambil bergurau, bahwa Felix memang mengerikan. Siap berperang untuk menyelamatkan the next Aurora. Felix melotot. Di akhir percakapan, Aguero menjanjikan akan menyediakan 400 pasukan tambahan.
“Itu sudah jumlah maksimal, Felix. Pasukan terbaik milikku. Kau jangan remehkan mereka. Kualitas Felix, bukan kuantitas saja.” Aguero kemudian menghela nafas.
Itu berarti jumlah pasukan mereka meningkat jadi 700 orang kurang lebih. Tapi itu juga belum cukup. Masih ada 200-an yang bisa lolos dari kepungan. Itu jumlah yang merepotkan. Sebagai jalan terakhir, Brittany menoleh pada Allary.
“Kau punya amunisi tambahan, ketua?”
“Eh aku?” Allary gelagapan ditanya.
“Ya ketua. Barangkali kau punya kenalan yang bisa diajak untuk ikut berperang?”
Kenalan? Allary coba mengingat-ingat. Masa iya dia harus mengajak Turguy dan pasukan Ogenaputai untuk terlibat. Itu impossible. Tidak mungkin. Allary terdiam.
“Ayolah ketua. Barangkali kau punya kenalan. Orang pemerintahan, atau kepala tentara?”
Ingin sekali Allary mengatakan kalau dia berkenalan dengan Kepala Suku di Ogenaputai sana, tapi sekali lagi, itu impossible.
Sebenarnya Allary punya satu solusi. Dia punya satu tombol darurat. Tapi dia sangat tidak ingin menekannya. Dia sangat tidak ingin berurusan dengan orang itu, kecuali di situasi-situasi yang betul-betul genting. Entahlah, apakah ini saatnya?
Allary benar-benar tidak punya pilihan. Dia terpaksa menelepon orang itu. Malam itu, pasukan mereka genap seribu orang. Siap melakukan penyerbuan.
Perang besar untuk menyelamatkan Vivi, dimulai.


156
Rencana-rencana yang Cemerlang


“Kita butuh rencana.” 
Itulah yang diucapkan Allary lirih ketika mereka naik di sekoci kecil yang akan membawa mereka naik ke kapal induk besar yang berlabuh di tengah lautan itu. Angin bertiup deras, tapi anak buah Brittany mendayung dengan tangkas. 
“Iya Allary, kita urus masalah rencana itu di atas kapal induk ya.”
Di atas kapal induk, telah menunggu seribu orang pasukan. Dari tiga kelompok yang berbeda. Anak buah Brittany, anak buah Aguero, dan anak buah...
“Om Lukman.” Allary menanggapi pertanyaan Felix ketika dia bertanya, darimana pasukan yang dibawa Allary berasal. Nama itu justru membuat Felix semakin penasaran. “Siapa itu Om Lukman?”
“Dia pamanku. Dia bekerja di kantor intelejen.”
“Kau tidak pernah bilang punya relasi yang punya pasukan besar seperti ini, Allary. Jujur saja, kupikir tadinya kau hanya seorang penjual martabak.”
“Aku juga tidak ingin punya relasi seperti beliau, Felix. Aku sangat tidak ingin melibatkan beliau dalam cerita ini. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Menyelamatkan Vivi harus jadi prioritas teratas kita.”
Felix mengangguk setuju.
Begitu sampai di kapal induk, Brittany langsung mengajak dua temannya beserta tiga jenderal pasukan masuk ke ruangan kontrol utama. Untuk membicarakan rencana mereka. Ada meja bundar di tengah ruangan kontrol utama itu. Enam kursi telah disediakan. Brittany mempersilahkan mereka semua untuk duduk, sedangkan dia menyalakan proyektor.
Semua orang segera takzim menyimak.
“Aku telah menunggu kesempatan ini seumur hidup,” ucap Brittany bergetar, “maka aku sudah menyiapkan semua rencananya, sejak lama. Aku akan memastikan penyerbuan ini tidak akan gagal. Kita akan merubuhkan kekuasaan Mafia Sahara itu, buat selama-lamanya.”
Nampaknya penyerbuan ini menjadi sisi yang emosional bagi Brittany. 
“Kita akan turun di sini, pantai timur Somalia. Di dekat tanduk Afrika. Kalau perhitunganku tepat, kita akan turun pukul 2 dinihari. Saat mereka istirahat. Kita akan menyerbu dari laut, bak air bah. Menabrak dan menghancurkan apapun yang kita lalui.”
Brittany menghela nafas sejenak, kemudian melanjutkan.
“Para jenderal akan memimpin pasukan, merangsek secepatnya ke arah markas Mafia Sahara. Markas mereka berjarak tidak terlalu jauh dari lautan. Kalian harus tiba di sana secepat mungkin. Tapi jangan masuk. Batas kalian adalah radius 5 mil dari markas. Kalian harus berperang di situ. Menahan musuh di situ. Kalian paham?”
Tiga jenderal mengangguk.
“Baiklah sekarang giliran kita bertiga. Sementara perang pecah di luar sana, kita akan menyelinap di dalam gelap, mengambil jalan memutar, untuk sampai di markas mereka. Sederhananya begitu.”
“Sepertinya itu terlalu sederhana, Brittany.”
“Aku tahu. Tapi itulah rencana kita. Tenang saja. Walaupun rencana ini sederhana, tapi senjata terkuat kita ada di sini. Elemen kejutan. Kita menyerang tanpa diduga-duga. Musuh tidak akan menduga dan tidak akan sempat menyiapkan rencana. Ada pertanyaan?”
Lima orang di ruangan itu serempak menggeleng.
“Bagus. Persiapkanlah diri kalian. Kita akan sampai di Somalia dalam empat jam. Oh iya, untuk para jenderal, kalian pakai ini.” Brittany menyerahkan semacam alat komunikasi untuk saling bicara satu sama lain. Setelah itu pertemuan dibubarkan.


157
Felix Harus Turun Lebih Awal


Ketiga sekawan itu sekarang berdiri di dek kapal, melihat ke lautan lepas. Pukul delapan malam. Angin laut menerpa wajah mereka. Sejurus kemudian, Felix menguap. 
“Astaga, sebaiknya aku pergi tidur. Pertarungan dinihari nanti pasti memakan banyak tenaga.”
Kemudian Felix beranjak dari tempat itu. Secara garis besar, dia sangat terkendali, tenang dan rileks. Sampai-sampai membuat Allary berdecak kesal.
“Bisa-bisanya dia tenang di saat darurat seperti ini.”
“Biarkan saja, Allary. Dan sebenarnya itu wajar saja buat Felix. Dulu saja, saat Aurora terbunuh di tangannya, dia masih bisa dengan santainya menerbangkan pesawat ke Amerika Latin.”
Allary tersentak kaget. Bagaimana Brittany bisa mengetahui semua itu?
“Tentu saja lewat riset. Penggalian informasi dan penelusuran jejak digital yang tidak sedikit.”
“Kapan kau melakukannya?”
“Sudah lama. Sejak aku tahu akan berurusan dengan Felix Norton. Aku juga meriset tentang kau. Aku tahu keberadaan gadis bernama Anita dan keterlibatanmu dalam klub Banteng Merah.”
Makin terkejut Allary dibuatnya. Brittany tentang Anita? Apa jangan-jangan...?
“Kamu tahu dimana dia sekarang?”
“Bisa dikatakan begitu. Aku melakukan riset berhari-hari yang lalu. Jika dia tidak pindah alamat, kurasa aku tahu dimana alamatnya sekarang.”
“Berikan alamatnya padaku.” Allary lekas meminta, dengan tegas. Brittany menggeleng. “Tidak mau. Kau harus menemukan dia sendiri. Bukankah begitulah cinta sejati bekerja. Saling menemukan satu sama lain?”
Allary terdiam. 
“Sudahlah Allary. Kita tidak perlu memikirkan soal itu. Fokus saja ke pertempuran. Pertempuran ini akan jadi pertempuran terbesar yang pernah kuhadapi. Semoga saja kita menang.”
“Selama keberuntungan berpihak pada kita, kita pasti menang. Dan satu-satunya cara menarik keberuntungan ke pihak kita, adalah dengan berbuat baik.”
Brittany mengangguk, bukan untuk membenarkan Allary. Keberuntungan memang akan memihak mereka, karena keberuntungan memang berwujud nyata dalam cerita ini.
Menjelang dinihari, suasana pertempuran semakin nyata. Brittany turun ke bagian penampungan pasukan. Sekali lagi memberikan semangat ke pasukannya. Daratan Somalia, perlahan-lahan terlihat dari ujung sana. 
Tidak lama kemudian, terdengar bunyi deru helikopter. Itu Patrick, anak buah Brittany yang akan membawa mereka ke markas Mafia Sahara. Sesuai rencana Brittany, dia, Allary dan Felix akan mengambil jalan lain untuk sampai di tempat Mafia Sahara. Namun Felix yang telah terbangun, rupanya punya ide lain.
“Biarkan aku bertempur di bawah bersama pasukan ini, Brittany, ketua. Mereka perlu satu orang yang bisa diandalkan, dan akulah orangnya. Urusan Vivi kuserahkan pada kalian berdua.”
“Tapi Felix...” Allary hendak memotong, tapi Felix terlanjur menyambung kalimatnya. “Dengarkan aku, ketua. Ini adalah hal yang harus dilakukan. Setidaknya dengan aku sebagai petarung ahli, kita bisa menahan mereka lebih lama, dan barangkali menghabisi lebih banyak pasukan musuh. Ini adalah taktik yang sangat menguntungkan.”
“Tapi bagaimana dengan para petarung ahli dari pihak musuh? Aku tidak bisa melawan mereka sendirian.”
“Kau bisa ketua,” Felix menepuk-nepuk bahu Allary, aku percaya kau pasti bisa. Bekerja samalah dengan Brittany, dia juga seorang petarung yang baik. Lagipula, aku tahu kau masih menyimpan satu atau dua jurus rahasia.”
Allary tersenyum lucu. “Ada-ada saja kau, Felix. Baiklah, lakukan rencanamu. Pesanku, apapun yang terjadi, tetaplah hidup.”
“Pasti, ketua. Kau juga, berhati-hatilah.”


158
Pertempuran Milik Felix


Kapal induk besar, C-022 milik pasukan Brittany, merapat ke perairan Somalia. Mereka bertiga berdiri di dek terbuka. Sementara seluruh pasukannya menunggu di dalam lambung kapal. Nanti, begitu kapal merapat ke pantai, pintu lambung kapal akan terbuka, dan dari sanalah seluruh pasukan akan turun. Seperti air bah. 
Kapal besar itu merapat dengan bunyi gedegum besar. Brittany, genap setelah kapal itu menyentuh daratan, Brittany langsung berteriak dari alat komunikasi.
“SERBU! BERGERAK CEPAT! MEREKA AKAN SEGERA MENYADARI KEDATANGAN KITA!” 
Kemudian terdengarlah bunyi gemuruh dari lambung kapal. Seribu orang serempak berteriak. Mereka telah siap bertempur sejak tadi. Suasana menjadi sangat semarak. Allary yang melihat pemandangan itu, takjub. Tak pernah dia melihat pemandangan “sedahsyat” ini. 
“Aku akan turun juga. Kita berpisah di sini.” Felix ikut meloncat dari dek, dengan gerakan yang indah, bergabung bersama seribu pasukan yang berlarian cepat menuju daratan utama.
“PASTIKAN KITA AKAN BERTEMU LAGI, FELIX!” Allary meneriakinya. Felix hanya membalas dengan acungan jempol. 
Brittany berbalik setelah semua pasukan dipastikan telah bergerak. Dia berjalan menuju ke helikopter. Saatnya menjalankan rencananya. “Ayo, kita juga harus bergerak, Allary.”
“Ya.”
Mereka naik ke helikopter.
Pasukan Mafia Sahara juga segera bertumpahan dari arah markas mereka. Bergerak sangat cepat bak arus banjir bandang. Mereka bermaksud menghadang pasukan penyerbu sebelum mencapai markas mereka. Siap dengan senapan teracung.
Felix telah tiba di barisan paling depan. Di kiri dan kanannya, para jenderal juga tidak kalah siapnya. Melihat moncong-moncong senjata itu, Felix meminta para jenderal mengurusnya. Sementara dia maju menyerang.
“TEMBAK!” 
Terdengar bunyi rentetan senapan, Felix menghindari semuanya dengan baik. Sampai di depan pasukan bersenapan itu, Felix langsung bersiap dengan tendangannya. Dia menarik nafas, mengumpulkan semua tenaganya.
“Inilah pertarungan yang selama ini kutunggu-tunggu.”
Felix menendang ke sana kemari, gerakannya amat efektif. Tendangannya terus mengarah ke para pasukan bersenapan di depan. Senapan bukan senjata yang bisa digunakan di jarak dekat. Satu persatu berhasil ditumbangkannya. 
Berkat Felix yang membuka jalan, pasukannya berhasil merangsek.
“LUMPUHKAN! LUMPUHKAN!” jenderal musuh meneriaki pasukannya dari belakang. Dia gemas melihat Felix beringas menghadapi pasukannya, sementara Felix sendiri juga menandai sang jenderal. Waktunya aku melumpuhkannya.
Felix langsung menendang ke depan. Dia terus memotong jalan. Prajurit yang tak terhitung banyaknya berhasil dilumpuhkannya. Kebanyakan hanya dengan satu atau dua tendangan. Satu dua kali tembakan terarah padanya, tapi Felix berhasil menahannya. Sebelum ini dia sudah menerima sebuah rompi peluru dari Brittany. 
“KOMANDAN FELIX, MENUNDUK!” 
Felix lekas melaksanakan perintah itu. Jenderal dari pihak Aguero memperingatinya. Dia melepaskan tembakan pada orang yang mengincar Felix di belakangnya. Melihat Felix yang merunduk, orang-orang mengeroyoknya. 
Felix harus berguling-guling menghindari pukulan. Bajunya kotor terkena pasir dan debu. Felix berdecak. Dia berguling ke arah jenderal yang tadi meneriakinya.
“Kau punya granat, jenderal?”
“Ya, ada.”
“Berikan padaku.”
“Untuk apa, komandan?”
“Berikan saja, kita harus melumpuhkan mereka dengan cepat.”
Jenderal memberikan granat. Felix membuka pelatuknya, kemudian berseru, “jenderal, kau tahu bagaimana cara menggunakan granat ini?”
“Dilemparkan, komandan?”
“Lebih baik jika kita menendangnya seperti ini.” 
Felix menendang granat itu ke kerumunan orang. Meledak di sana. Membuat banyak orang berteriak. 
“Kita bisa melakukannya lagi, jenderal. Berikan lagi granatnya.”
Felix mengulum senyum. Pertarungan ini terlalu mudah baginya.


159
Pertarungan yang Terlalu Mudah


Sementara Felix berjibaku di bawah, Allary dan Brittany terbang menaiki helikopter yang dikendalikan oleh Patrick. Allary ngeri melihat pemandangan di bawah. Brittany yang menyadari perasaan Allary, menepuk-nepuk bahu Allary lagi. Menenangkannya.
“Kau akan terbiasa melihatnya, Allary. Ini adalah harga yang pantas untuk ditebus demi keselamatan Vivi.”
Allary mengangguk lemah. Ya, semoga harganya tidak terlalu mahal. 
Sementara nun jauh di situ, ada sebuah gedung menyala di kejauhan. Gedung itu nampak biasa saja, tidak terlalu tinggi. Tapi ada simbol Mafia Sahara terlihat bersinar terang. Brittany menunjuk ke arah itu.
“Itulah tujuan kita, Allary. Markas Mafia Sahara.”
“Hei, kenapa mereka menyalakan simbol mereka? Apakah mereka bodoh?”
Brittany menggeleng, tersenyum. “Tentu saja tidak, mereka sudah mempersiapkan diri. Mereka sudah mengetahui serangan dan keberadaan kita. Jadi mereka menyambut kita.”
Mafia memberikan usaha penyambutan? Terdengar sangat menarik. 
“Kita akan segera sampai di gedungnya. Kau siap, Allary?”
“Tentu saja.”
Helikopter tiba di atas gedung tersebut. Brittany dan Allary turun lewat tali. Tiba dengan selamat di depan gedung. Brittany dengan segala kewaspadaannya, langsung mengajak Allary masuk. Suasana gedung sunyi. Tidak ada penjaganya sama sekali. 
“Ini terlalu aneh, Brittany.”
“Tidak Allary. Ini sudah kuperhitungkan dengan baik. Mereka panik karena serangan tiba-tiba yang kita lakukan di pelabuhan. Tidak ada yang sempat berpikir, langsung mengerahkan semua orang di pelabuhan. Termasuk para penjaga.”
Sebelum sampai di pintu utama yang besar, Brittany lebih dulu melontarkan sesuatu. Dia sudah mendapatkan tasnya. Itu semacam alat penembak. Dia mengincar kamera pengawas. Dengan mudah semua disabotase habis oleh Brittany. Sekali lagi, dia telah memperhitungkan semuanya. 
“Nah sekarang kita bisa masuk.” 
Brittany maju ke pintu utama. Pintu logam itu terkunci. Namun Brittany berhasil membukanya dengan menggunakan kartu milik Samuel Walcott. Dia tersenyum puas melihat usahanya tidak sia-sia. Semua perhitungannya tepat sasaran.
Tentu saja pusat kendali tahu kalau ada penyusup masuk ke dalam markas. Begitu pintu terbuka, prajurit-prajurit yang tersisa, telah menunggu di dalam ruangan. Ada belasan orang di sana. Tapi segera Allary berhasil melumpuhkan mereka. 
Tanpa harus berkeringat. 
“Mereka terlalu mudah. Apa yang direncanakan Mafia itu dengan menyiagakan orang selemah ini di dalam markas mereka.”
“Jangan jumawa dulu, Allary. Markas ini tangguh. Meski tidak ada penjaganya di luar, aku yakin masih banyak pasukan yang menunggu kita di lantai-lantai bawah.”
“Ada berapa lantai lagi sampai kita mencapai markas musuh yang sebenarnya?”
“Ada tujuh. Mafia Sahara selalu suka membangun markas seperti itu. Basement Tujuh, itulah nama markas mereka.”
Allary mengangguk. Mungkin pertarungan-pertarungan berikutnya bakal lebih berat. Meskipun agak gila, tapi Allary benar-benar menunggu arena pertarungan yang menantang untuknya. 
Sayangnya Allary harus kecewa. Sampai lantai lima, tidak ada musuh yang bisa menandinginya. Semua berhasil dilumpuhkan kurang dari lima menit. Allary menghela nafas, kesal.
“Terus waspada, Allary. Kita hampir sampai di pusat markas mereka. Sebentar lagi lantai enam.”


160
Boujogar Muncul Lagi


Namun, permintaan Allary dijawab tidak harus menunggu sampai mereka tiba di lantai enam. Karena tepat sebelum mereka membuka pintu menuju tangga lantai basement keenam, muncul seorang musuh. Melompat dari atas yang gelap. Seolah-olah dia sudah bersembunyi di sana sejak lama. 
Allary tercekat melihatnya melompat ke hadapan mereka berdua. Bukan karena terkejut oleh gerakan orang itu, tapi karena dia amat mengenal petarung yang baru muncul itu. 
Dia tidak lain adalah Boujogar. 
“Boujogar,” Allary memanggil namanya dengan bergetar.
“Kita bertemu lagi, Allary Azra. Hei, kau terlihat terkejut melihatku ada di sini?” 
“Kau berhasil meloloskan diri?” 
Boujogar tersenyum simpul. “Persis seperti yang kau lihat. Seharusnya kau tidak meremehkanku dan membiarkan seorang kacung kelas rendahan mengurusku seorang diri. Mudah saja bagiku membereskannya.”
“Kalau begitu kali ini aku harus memastikan bisa menghajarmu sampai tumbang.”
Boujogar masih dengan senyumnya berucap, “kupastikan itu tidak akan mudah. Kemarin kau membutuhkan temanmu untuk mengalahkanku. Sekarang, tidak bisa lagi.”
Allary memasang kuda-kuda. Pertarungan ini tidak akan terhindarkan lagi. 
HAPPP! Langsung saja Allary mendaratkan tinju dengan gesit. Boujogar bisa melihatnya, segera menyingkir, menghindar dengan mudah. Allary mengejar langkahnya dengan tinju teracung. Boujogar terus bisa menghindar. Tinju-tinju Allary hanya menemui tempat kosong. 
“Tidak akan mudah menghajarku setelah bertarung tiga kali denganku. Aku sudah menghafal gerakanmu.”
“Kalau begitu, aku akan menggunakan gerakan lainnya.” Allary membuka kuda-kudanya. Kembali bersiap menyerang dengan jurus lainnya. Kali ini lebih cepat. Mengarah ke daerah atas tubuh Boujogar. Namun, lawannya Allary itu memang lawan yang tangguh. Dia bisa menghindar dengan gesit. Kali ini malah sempat-sempatnya dia menyarangkan pukulan ke perut Allary. 
BUKKK!! BUKKKK!! Dua kali pukulan membuat Allary melenguh. 
“Kali ini aku yang akan menang, Allary Azra.” 
Enak saja, Allary menyumpahi di dalam hati. Hanya karena lengah, bukan berarti Boujogar bisa menang dengan mudah. Allary mundur ke belakang, sorot matanya menantang. “Baiklah, kubiarkan kau menghajarku. Mari kita lihat, seberapa kuat kau sampai bisa melumpuhkan aku.” Allary menantang. 
Pancingan itu mengena. Boujogar menjadi tertantang. Allary segera memasang kuda-kuda yang lebih tangguh. Kuda-kuda bertahan. Siap menerima pukulan.
BUKKKK! Sekali. Kena perut. Allary tidak melenguh, tidak menjerit, tidak pula terlihat kesakitan.
BUKKKK!!! Dua kali. Kena dada. Allary masih bisa bertahan.
BUKKKK!! Tiga kali, kena wajah. Sedikit tidak siap, tapi Allary masih bisa berdiri. 
BUKKK! Sekali lagi Boujogar menendang perut, sampai Brittany yang melihat sekalipun, menjerit melihatnya. Allary sempat menengok, bilang baik-baik saja. 
Sembilan pukulan berikutnya, juga sukses diterima Allary dengan baik. Dia tidak tumbang. Wajahnya bonyok. Boujogar sengaja mengincar bagian wajah. Tapi Allary tetap berdiri dengan kuat di atas kedua kakinya. Hanya nafasnya yang terengah-engah. 
“Kau masih punya pukulan lain yang lebih tangguh? Ayo cepat keluarkan! Aku dan tubuhku siap menerimanya.”
Boujogar di seberang Allary juga terengah-engah. Dia sudah mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Tapi Allary bisa menahannya. “Kurasa itulah yang kau sebut jurus lainmu. Bagaimana kau bisa menahan pukulanku sampai setangguh itu?”
“Kau akan segera tahu.” Allary masih tersengal-sengal tapi matanya awas. Dia sudah mendapatkan momentum terbaiknya. Saatnya balik menyerang. Tentu saja kita tahu kenapa Allary sengaja menahan serangan Boujogar barusan.


161
Menghabisi Riwayat Boujogar


Boujogar kembali menyerang. Tinjunya mengarah ke perut Allary, namun kali ini dengan cepat bisa ditangkis. Tinju mereka bertemu, beradu kemudian mereka berdua saling meloncat ke belakang. 
Boujogar tidak ambil tempo. Langsung menerjang lagi ke depan. Tinjunya mengarah pada Allary, mengincar bagian-bagian vital dari tubuh musuhnya. Allary secepat mungkin bergerak, menghindari seluruh serangan itu, dan pada saat yang tepat.
BUKKK! BUKKKK! BUKKKK!
Dia meninju Boujogar sebanyak tiga kali. Semuanya kena telak. Membuat Boujogar terpental ke belakang sejauh beberapa meter. Dia meraung-raung memegangi dadanya yang terasa benar-benar sakit. 
Butuh waktu beberapa menit bagi Boujogar untuk bisa bangkit berdiri kembali. “Sial, jurus macam apa itu tadi. Aku sama sekali tidak bisa menghindarinya.”
“Kau sama sekali tidak belajar dari pertarungan kita sebelumnya, Boujogar. Kau lengah. Kau membiarkan aku mengekspos seluruh kelemahanmu.”
“Omong kosong!” 
“Apanya yang omong kosong. Baiklah, akan kutunjukkan lagi.”
Allary maju, melesat cepat ke depan, seketika tiba di hadapan Boujogar. Sebenarnya musuh itu sudah siap menangkis serangan, tapi entah bagaimana tangkisannya kalah cepat. Allary selalu berhasil menyasarkan pukulannya. Boujogar kini hanya bisa berlutut sambil terengah-engah. Satu pukulan lagi, dia bisa batuk darah. 
Sial, bagaimana dia bisa secepat itu. Boujogar mendongak. Alary menatap wajah musuhnya itu lekat-lekat. “Kau tidak belajar apapun, Boujogar. Itulah perbedaan utama kita.”
Buku-buku tangan Boujogar mengeras, menggenggam sempurna. Dia muak dikalahkan seperti ini. Akhirnya dia mengeluarkan senjata terakhirnya. Sebuah benda kecil mirip remote AC. Dia menekan tombol dan....
Ruangan seketika gelap gulita. Allary langsung berdecak. Kegelapan ini...
BUKKK!
Belum sempat Allary berpikir, menganalisis, sebuah tendangan sudah “mampir” ke wajahnya. Membuatnya terpental. Allary mengaduh. Bukan karena sakit, tapi terkejut karena ulah Boujogar. Tendangannya itu benar-benar mengejutkan. 
“Hati-hati, Allary. Dia adalah petarung yang lihai di dalam gelap!” Brittany tiba-tiba berseru. Allary makin kesal. Hatinya memaki. Iya, tanpa diberitahupun, aku sudah tahu soal itu.
Di dalam ruangan gelap inilah, Allary kewalahan menghadapi serangan yang berdatangan. Dia menangkis serangan dari kiri, serangan lain malah datang dari kanan. Silih berganti. Bahu kanan, perut, dada, punggung, sampai betisnya, kena sasaran. Yang paling sering terkena serangan adalah wajah. Allary terkulai lemas di dinding. 
Astaga, seberapa hebatpun analisisnya, dia tetap bukan tandingan orang yang mampu bertarung di dalam gelap ini. Seberapa pandaipun dia menganalisis gerakan dan cara bertarung lawannya, tetap saja, dia harus melihat lawannya itu secara fisik. Kalau di ruangan gelap gulita begini, dia susah melakukannya.
BUKKKKK!
Sekali lagi pukulan mengenainya. Allary melenguh kesakitan. Brittany terbata-bata, akhirnya bisa menggapainya di dalam gelap. Allary bisa merasakan sesuatu yang basah mengalir dari hidungnya. Itu berarti mulai serius. Dia mulai berdarah.
“Hahaha, sekarang bagaimana cara kau hendak mengalahkan aku hah? Saat pertarungan pertama kita, kau hanya beruntung bisa meladeniku sebentar di dalam kegelapan. Tapi tidak sekarang. Aku telah mengerahkan seluruh kemampuanku. Kau tidak akan bisa menang melawanku selama aku bersama dengan kegelapan.”
Tunggu dulu? Dia bersama kegelapan? Otak Allary langsung menganalisis. Dengan memaksakan diri, dia berhasil bangun meski agak terhuyung-huyung. 
“Brittany, kau ada di sana?”
“Aku di sini, Allary. Tepat di sebelahmu.”
“Bagus. Kau bisa bantu aku mengalahkan dia?”
“Apa rencanamu, Allary?”
“Ponsel. Keluarkan ponselmu dan nyalakan senter.”
Heran Brittany, bukankah dengan menyalakan senter itu malah mempermudah Boujogar melihat posisi mereka, lewat sepercik cahaya dalam kegelapan.
“Sudahlah, lakukan saja. Ini satu-satunya peluang kita untuk menang. Lagipula bodo amat tentang posisi, dia bahkan bisa membaca dalam gelap.”
“Baik, akan kunyalakan.”
“Bagus. Saatnya kita meringkus Boujogar.”
Sekali lagi terdengar suara Boujogar, menutupi seluruh ruangan. Seolah tempat ini sudah dia kuasai sepenuhnya.

162
Tinju Meretakkan Tengkorak


“AKHHH!” 
Sekali lagi Allary harus berteriak. Boujogar berhasil menyerangnya kembali di dalam gelap. Brittany juga nyaris berteriak. Dia dan Allary mungkin memang sering tidak akur dalam setiap penjelajahan ini, namun melihat Allary kesakitan, tak tega juga hatinya. 
“Kau tidak apa-apa, Allary?”
“Aku tidak apa-apa. Nyalakan lagi senternya.”
“Tapi itu hanya akan...”
“Nyalakan saja. Kali ini, letakkan di bawah kakiku.”
Brittany tidak membantah, langsung melaksanakan perintah Allary. Boujogar menatap semua itu dari kejauhan. Dari gelap yang mengelilingi tempat ini. Kau akan habis hari ini, Allary Azra. Dia dibakar amarah dendam. Baginya, menghabisi Allary bukan lagi misi dari bos besar, tapi sudah misi pribadinya. 
“Seharusnya aku sudah siap kali ini,” ujar Allary, berdiri kembali, meski daya tahannya sudah lemah. Boujogar kembali meloncat, menyerang Allary dari depan. Allary sempat melihat kelabat bayangannya, sepanjang cahaya senter itu mengizinkan. Dan itu tak sampai seperempat meter jaraknya.
Allary berhasil melihat kedatangan Boujogar, tapi masih belum cukup gesit untuk membalas serangan. Allary hanya sempat menangkisnya dengan silangan kedua tangannya di depan wajah.
BUKKKKK!
Boujogar mundur kembali ke dalam gelap. Terdengar decakan sebalnya. Bagaimana bisa Allary menangkis serangannya hanya bermodal sedikit cahaya begitu.
“Aku akan membalasmu di serangan berikutnya, Boujogar.”
“Kau tidak aka bisa melihat kecepatan seranganku,” Boujogar sudah bergerak lagi. Dalam gelap, gerakannya begitu lincah, nyaris tidak bersuara. Boujogar sudah tiba di belakang Allary, siap mendaratkan pukulan, tapi....
BUKKKKK!
Siapa sangka, Allary dengan bertumpu di kaki kanannya, berhasil berputar ke belakang dengan indah, dan mendaratkan tinju lebih dulu. Boujogar terpekik. Berteriak karena kaget oleh serangan dadakan.
“Bagaimana kau bisa menyerangku heh?”
“Selama ada cahaya, bagiku tidak masalah. Cahaya adalah musuh terbesarmu bukan? Kau bersama gelap, aku bersama terang. Kita lihat siapa yang akan bertahan.”
“Mari kita lihat seberapa tangguh kau begitu aku mengambil ponsel bercahaya itu dari balik kakimu.”
“Sayangnya aku tidak akan membiarkan kau mengambilnya.”
Allary berputar lagi, dan tepat ketika Boujogar tiba di belakangnya, dengan posisi merangkak hendak mengambil ponsel di bawah kakinya, Allary lebih dulu menendang Boujogar. 
“Pertarungan berakhir, Boujogar. Game over. Aku sudah memegang pertarungan.”
“Kau bangga bisa mengalahkanku dengan bantuan senter begitu?”
“Sayangnya tidak.” 
Allary tidak menyelesaikan kalimatnya. Tahu-tahu dia sudah bergerak, meninggalkan senter, ke dalam gelap. Brittany sempat berseru, mencegah. Tapi Allary terlanjur menghilang. 
Lalu kemudian terdengar suara pukulan keras, yang disertai dengan jeritan yang amat memilukan. Brittany sampai merinding mendengar teriakan itu. Teriakan yang amat kesakitan. Dia harus mengambil ponselnya untuk melihat apa yang baru saja terjadi.
Jangan-jangan Allary....
Dan ternyata dugaannya benar. Begitu Brittany menyorotkan senter ke pojokan ruangan, di sana terlihat Allary, tersenyum puas, campur ngeri. Di bawah kakinya, ada Boujogar dengan kepala berdarah, terbaring di lantai. Sepertinya musuh mereka itu terkena cidera serius. Paling tidak, tulang tengkoraknya ada yang retak. Allary-lah yang baru saja meninjunya.
“Aku menyesal harus mengakhiri hidup orang ini di sini, tapi ya sudahlah. Apa boleh buat. Kita bisa maju ke lantai selanjutnya, Brittany.”
“Kau membunuhnya, tapi bagaimana? Apa yang baru saja kudengar tadi?”
“Ah sudahlah. Beberapa hal memang harus disembunyikan di dalam gelap.”


163
Brittany Andersen


Begitu memastikan Boujogar memang sudah mati, sehingga tidak mungkin bisa menyerang mereka lagi dari belakang, Allary dan Brittany langsung beranjak. Waktu mereka jelas terbatas, tergantung seberapa lama Felix dan pasukan mereka bisa menahan pasukan musuh dari membanjiri tempat ini.
Syukurnya tidak ada musuh yang menghadang di lantai basement keenam. Ini sedikit mengherankan, sehingga Allary meminta Brittany agar waspada penuh ketika mencapai tangga basement ketujuh. 
“Boleh jadi seluruh petarung terbaik musuh, telah menunggu di bawah.”
Brittany mengangguk. 
Namun, sebelum mereka menuruni tangga, lebih dulu masuk laporan dari alat komunikasi. Dari Felix. Brittany segera meminta laporan tentang apa yang terjadi di luar.
“Beres. Tak sampai setengah jam, aku berhasil menggepok seratus dari mereka. Setengah dari pasukan musuh sudah berhasil diberantas. Hei ini jauh lebih mudah dari perkiraanku.”
Allary semakin heran. Otaknya yang jenius bisa menganalisis bahwa sesuatu sedang terjadi sekarang. Markas yang kosong melompong, pasukan musuh yang sama sekali tidak kompeten, serta hanya sekali bertarung sengit, itupun melawan petarung lawas, jelas bukan bayangan Allary tentang pertempuran puncak melawan organisasi yang katanya menguasai seluruh Afrika. Ini tidak wajar, bahkan cenderung tidak masuk akal.
“Mafia Sahara tidak mungkin selemah itu,” Allary bergumam akhirnya.
“Mungkin seperti katamu, mereka telah menyiapkan segalanya di ruangan bawah.”
Allary mengangguk, semakin waspada saat menuruni tangga. Sedikit deg-degan, dia membuka pintu ruangan. 
Basement lantai tujuh itu besar. Mungkin lebih besar ketimbang ruangan-ruangan di atasnya. Dindingnya kokoh, dengan banyak foto-foto sebagai hiasannya. Di bawah masing-masing foto ada tulisan tahun. Sepertinya itu foto-foto para pemimpin Mafia Sahara sepanjang sejarah. Selain foto, ruangan ini bersih. Tidak ada perabotan yang mencolok, selain sebuah kursi besar rapat ke dinding di sebelah sana itu. Di atasnya duduk sang Bos besar.
Alfred Vindhesel. Dia tersenyum kepada Allary, kemudian berdiri begitu Allary genap masuk ke ruangannya. Ada tujuh orang berbaju serba hitam di belakang Alfred. Sepertinya adalah pengawal pribadi. Allary menatap tajam. Sangat waspada, juga sedikit deg-degan. Astaga, seharusnya Felix yang menghadapi bos besar mafia. Allary sama sekal tidak punya pengalaman bersentuhan dengan dunia mereka. 
“Halo, apa kabar tuan dan nona. Ah biar kutebak, yang pria ini adalah Allary Azra. Kalau yang wanita itu aku sudah kenal. Izinkan aku menyambut kalian dengan hormat. Namaku Alfred Vindhesel. Apakah kalian mau minum sesuatu, biar nanti kusuruh pelayan membuatkannya?”
Allary maju selangkah, menjawab sarkastik, “tidak perlu Mister Alfred. Lagipula kami datang ke sini jauh-jauh tidak untuk minum racun.”
Alfred malah tertawa. Benar-benar memuakkan. Orang ini benar-benar jahat, batin Allary. Sebab hanya orang jahat yang bisa melucu di hadapan musuhnya. “Oh begitu mister Allary. Tidak saya sangka, mulut anda benar-benar mengejutkan. Tapi tidak apa-apa. Kalau begitu, ada apa gerangan anda mendatangi kediaman saya yang sederhana ini?”
Benar-benar basa-basi yang memuakkan bukan?
“Kami akan menyelamatkan teman kami yang telah kalian tahan, Vivi. Selvi Anatasha.”
“Hoo. Nampaknya teman itu sangat penting bagi kalian ya? Sampai kalian membawa pasukan penuh ke mari.”
“Untuk ukuran orang yang sebentar lagi akan tumbang kekuasaannya, anda benar-benar orang yang tenang, Mister Alfred.” Allary menatap tajam. Mister Alfred tertawa lagi. 
“Humormu bagus sekali, anak muda. Mister Allary Azra, dengan segala hormat, kau kira, dengan membawa banyak orang bersenjata, berhasil melumpuhkan Boujogar dan kini masuk ke kediaman sederhanaku ini, itu semua sudah kau anggap bisa menumbangkan kekuasaanku. Sungguh humor yang sangat lucu.”
Allary maju lagi, dua langkah. Meninggalkan Brittany di belakang sana. “Menyerah saja kau, Mr. Alfred. Kau sudah kalah. Pasukanmu di luar sudah kami ringkus, sebentar lagi kau juga.”
Salah satu dari tujuh pengawal Alfred bereaksi terhadap ancaman Allary, hendak menyerang. Tapi Alfred mencegahnya. Dia masih tersenyum-senyum. Sebentar-sebentar keluar lagi kekehannya. Itu benar-benar membuat Allary jengkel. 
“Apa yang lucu, Mister?”
Alfred makin keras tertawa. “Kau bertanya, apa yang lucu? Kau yang lucu, Mister Allary. Bertingkah polah seolah kau sudah berhasil mengalahkan aku. Benar-benar membuatku terhibur. Kau serius menganggap demikian heh?”
Allary menelan ludah. Intonasi suara orang itu sudah berubah. Keadaan mulai jadi serius di sini. 
“Kau serius, menganggapku sudah kalah heh?”
Mau tidak mau Allary mengangguk. Bukankah sudah begitu faktanya.
“Baiklah. Akan kutunjukkan, bahwa kau tidak tahu apa-apa. Bahwa kau sama sekali tidak mencapai apa-apa. Aku masih menyimpan banyak sekali kejutan.”
Allary jadi waspada. Sudah dia duga, semua ini terlalu mudah. Pasti ada kejutan yang disiapkan di lantai paling bawah. 
“Brittany Andersen, dengan perintahku, tangkap dia!”


164
Sang Mata-mata


Secepat kilat, bahkan sebelum Allary sempat menyadarinya, secara tiba-tiba Brittany mencekal lehernya dengan lengan kanan. Sangat erat, sampai Allary tidak bisa bernafas. Sementara alat setrum menghujam ke perutnya dengan tangan kiri Brittany. Allary benar-benar terpasung. Sekali lagi, semuanya berlangsung begitu cepat. 
“Apa maksudnya ini?! Kenapa kau tiba-tiba menangkapku Brittany. Bukankah musuh kita sudah jelas di depan sana.”
Terdengar lagi tawa keras Alfred Vindhesel. “Kau benar-benar tidak pernah kehabisan kejutan, Allary Azra. Kau sungguh menganggap aku ini adalah musuh kalian bersama.”
“Berhenti tertawa kau, dasar memuakkan. Dan Brittany, kau cepat lepaskan aku.” 
Tawa Alfred kini tersumpal diam. Tapi pegangan Brittany masih erat. Alat setrum itu juga masih terhujam ke perut Allary. Alfred mendekati Allary. Kini mereka berdua berhadapan. Bos besar Mafia Sahara itu benar-benar memenuhi standar seorang bos di dunia hitam. Gemuk dan pendek, bertopi bulat kecil dan berjas hitam. Dia menatap Allary lekat-lekat kemudian tersenyum. Tersenyum penuh kengerian. 
“Sudah kubilang. Kau benar-benar lucu. Tadi kau pikir sudah nyaris mengalahkanku. Hei, bahkan musuhku yang paling kuat sekalipun tidak akan berpikir sependek itu. Aku tidak bisa dikalahkan, anak muda. Kau-lah yang justru hampir kalah.”
Allary menjadi beringas. Dia naik pitam. Berusaha melepaskan diri dari pegangan Brittany. Tapi, “PTSSSS”, alat setrum Brittany bereaksi, membuat Allary menjerit. “Kau licik sekali, Mister Alfred Vindhesel.”
“Aku yang licik, atau kau yang bodoh, heh?”
Allary diam. Dia benar-benar marah sekarang. 
Alfred kemudian berbalik, memberi kode pada salah satu pengawalnya. “Bawa kemari gadis tahanan kita. Biar dia ikut melihat bagaimana betapa bodohnya dia dan Allary Azra ini.”
Kemudian, Vivi dibawa masuk ke ruangan itu. Didudukkan paksa di lantai di depan Allary. Kedua tangan Vivi terborgol. Begitu juga dengan mulutnya, tersumpal. Vivi benar-benar tidak berdaya. Sebelum Allary meronta-ronta lagi melihat kondisi temannya itu, Alfred Vindhesel lebih dulu menyumpal mulutnya dengan kain juga.
Kini baik Allary dan Vivi sama-sama terpasung di hadapan kursi Alfred. Bos besar itu kembali duduk di kursinya. Brittany ikut membuntutinya di belakang. Allary dan Vivi sama-sama menatap pemandangan itu dengan tatapan tak percaya. 
Melihat sorot mata mereka, Alfred tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa lagi. Tawanya kembali memenuhi ruangan. 
“Astaga, aku benar-benar tidak bisa menahan diriku. Kalian bisa-bisanya percaya dengan putri kecilku ini, Brittany Andersen. Kalian telah ditipu mentah-mentah. Kalian sibuk merancang skenario, rencana-rencana, berusaha mengalahkan aku, tapi ternyata apa, kalian hanya memainkan skenarioku, mengikuti rancanganku, dan akhirnya masuk ke lubang jebakan yang dalam. Astaga, bagaimana rasanya, Allary Azra?”
Allary meronta-ronta. Andai mulutnya tak disumpal, dia sudah berkata kasar. 
“Ya, aku tahu rasanya dikhianati teman seperjuangan. Itu sudah biasa. Baiklah, sebelum aku mengeksekusi kau, Allary Azra, karena aku masih punya cukup waktu, aku akan menceritakan sesuatu. Sebuah kisah yang disusun sendiri oleh putriku, Brittany Andersen, semasa dia berteman dengan Selvi Anatasha. Aku tidak akan membiarkan kau mati penasaran, jadi aku akan menceritakan kisah ini. Kisah ini akan menjelaskan mengapa aku dan organisasiku begitu terobsesi dengan Selvi Anatasha. Kau belum mendengarnya bukan?”
Allary tidak bisa menyahut, tapi sorot matanya jelas sekali, berkata “tidak”.
“Baiklah akan kuceritakan. Aku yakin sekali, Brittany Andersen belum menceritakannya, sebab dia tidak akan bicara tanpa seizinku. Dengarkanlah, Allary Azra.”
Allary coba melemaskan otot kakinya. Sepertinya ini akan jadi cerita yang panjang.

165
Keluarga Kecil di Johannesburg


Baiklah, sekarang kita akan mulai bercerita, mulai menengok sebuah kisah di masa lalu. 
Sebuah keluarga kecil di Johannesburg. Keluarga Aamori. Aamori adalah tokoh utama dalam cerita ini, seorang gadis kecil, anak satu-satunya dari keluarga kecil itu. 
Aamori berambut pendek, sebahu, kulitnya gelap. Tapi tidak ada yang peduli dengan warna kulit itu begitu melihat mata bulatnya itu, menggemaskan. Setiap orang yang melihat matanya, pasti akan merasa sayang pada Aamori. 
Aamori baru berumur 7 tahun. Dia bersekolah di sekolah dasar terbaik di Johannesburg. Ayahnya orang berada. Hidupnya berjalan begitu menyenangkan.
Hari ini, Aamori pulang dari sekolah, dengan tas bermotif beruang. Wajahnya begitu ceria, ketika menaiki undakan, naik ke rumah agak susah payah. Dari sinilah cerita kita akan dimulai.
“Aamori, kamu sudah pulang?” sapa seorang pria tegap yang sedang duduk di ruang tamu, sedang membaca koran. Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi.
“Iya Papa. Hari ini Miss Heart ada kesibukan lain. Dia meliburkan kelas.” Aamori menjawab dengan ceria. Mata bulatnya menebarkan pesona saat dia bicara.
Ayahnya mengangguk-angguk. “Oh ya? Miss Heart memberi tugas sekolah?”
“Iya Papa. Tugas menggambar.”
“Kerjakan segera, Aamori.”
“Baik Papa.”
Aamori kemudian masuk kamar. Jangan salah sangka sebelumnya, Papanya Aamori, bukan orang yang keras. Beliau hanya membiasakan anaknya berdisiplin, dan Aamori mau-mau saja mengikuti kedisiplinan ayahnya. 
Kamar Aamori bersih dan rapi. Itu juga bagian dari kedisplinan ayahnya. Ada banyak boneka berjejeran di atas lemarinya. Aamori amat gemar mengoleksi boneka, terutama boneka beruang.
Aamori, setelah selesai mengerjakan tugasnya, keluar kamar lagi. Minta izin untuk pergi bermain ke rumah temannya. Ayahnya yang masih berada di ruang tamu, kali ini membaca buku tebal. Ketika Aamori meminta izin, ayahnya tersenyum. “Silakan, Aamori. Tapi ingat pulang saat makan siang.”
“Baik Papa.”
Pukul satu siang, Aamori kembali ke rumah. Di meja makan sudah tersedia makanan lezat. Di dekat dapur, berdiri seorang wanita muda yang tersenyum ke arahnya. Itu Mama Aamori. Kita akan tahu bagaimana wataknya dari ucapannya ke Aamori.
“Aamori, kamu makan dulu.”
“Iya Mama. Makanan hari ini sepertinya lezat sekali.”
“Terima kasih, kamu makan saja ya dulu.”
“Papa Mama sudah makan?”
“Sudah. Papa tadi keburu, dikejar oleh pekerjaan. Mama belum.”
“Ayo kita makan sama-sama, Mama.”
“Kamu duluan saja, Aamori.”
“Aamori mau makan sama-sama dengan Mama.”
“Kamu makan lebih dulu, Aamori!” Mamanya sedikit berseru. Nah kelihatan sudah bukan, bagaimana watak mama Aamori. Beliau adalah seorang wanita cerewet namun juga peduli. Kepedulian itu, agaknya hanya sedikit salah jalan penyalurannya.


166
Aamori di Kehidupan Sehari-hari


Hari ini, di sekolah. 
“Makanan apa itu, Aamori?”
Seorang temannya bertanya. Aamori membawa nugget buatan ibunya ke sekolah. Dibawa dalam wadah yang bagus. Pagi tadi, Aamori tidak sempat sarapan. Jadilah dia sarapan di dalam kelas. 
“Oh ini, nugget, buatan Mamaku.”
“Sepertinya lezat.”
“Kamu mau?” 
“Kamu mau memberiku, sungguh?”
Aamori menyodorkan sepotong nugget kepada temannya. Dia tidak pernah bergurau. Aamori adalah anak yang baik hati. Temannya menerima potongan nugget itu dengan sukacita. 
“Hei, ini lezat sekali, Aamori.”
“Kamu harus coba sambalnya. Lezat juga.”
Aamori kembali menyorongkan wadah makannya. Ada sambalnya di situ. Temannya ikut mencolek. Sambal itu khas, buatan ibu Aamori, sambal asli India.
“Kamu benar, semakin lezat.” 
“Kamu mau sepotong lagi?”
Temannya itu menatap Aamori lagi. Dia serius? Aamori serius, dia menyodorkan satu potong lagi pada temannya. Sarapan pagi itu, semarak bagi Aamori dan seorang temannya. 
Pulang sekolah. 
Aamori ke sekolah berjalan kaki. Pulangnya juga berjalan kaki. Sebagian besar siswa sekolah tersebut juga berjalan kaki. Satu, karena jalan menuju ke sekolah itu dibuatkan oleh pihak sekolah. Jalanan khusus, sehingga tidak diperbolehkan sepeda motor lewat di situ. Dua, untuk mengurangi polusi. 
Hari itu, Aamori mendengar bisik-bisik dari dua orang siswa yang berjalan di depannya. Soal orang gila. Ya, beberapa hari ini, isu soal orang gila yang berkeliaran di sekitaran kota Johannesburg. Orang gila itu membawa keresahan bagi warga kota.
“Hei, katanya orang gila itu berkeliaran di sekitar sekolah kita.”
“Ah masa? Jangan bercanda kau.”
“Hei, aku serius. Kita harus berhati-hati. Siapa tahu sehabis ini dia menangkap anak-anak pula.”
“Ha, kalau begitu, kau lah yang akan ditangkapnya lebih dulu.
“Enak saja kau.”
Aamori menyernit kening mendengar hal itu. Orang gila itu berkeliaran di sekitar sekolah? Itu bukan kabar baik. Dia harus memberitahu Papanya, Aamori tidak mau bertemu dengan orang gila. Dia takut. 
“Katanya juga, orang gila itu sedang mencari seseorang.”
“Seseorang? Sebentar-sebentar, katanya ini, kata siapa? Jangan-jangan kau hanya mengarang cerita.”
“Ah kau tidak perlu pikirkan siapa yang bilang. Pikirkan orang gila itu. Ini bahaya untuk kita.”
“Ya, ya ya. Ini bahaya.”
Dua orang siswa itu terus berbicara. 
Perhatian Aamori teralihkan oleh sebuah teriakan tertahan dari belakangnya. Seorang siswa mengaduh kesakitan. Terduduk di tanah. Aamori lekas mendatanginya.
“Eh ada apa? Kamu baik-baik saja?” Aamori mengecek lutut siswa itu. Sepertinya teman sekelasnya, tapi dia tidak terlalu ingat namanya.
“Eh aku tidak apa-apa. Hanya tersandung batu.”
“Lututmu sakit?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut.”
“Ayo, kubantu berdiri.”
“Terima kasih, Aamori.”
Ya, itulah Aamori. Gadis kecil yang baik hati. Dia tidak segan-segan menolong siapa saja yang kesusahan. Sebuah prinsip hidupnya, yang menjadikannya seorang gadis yang ceria.


167
Ramalan Pengubah Hidup


Soal orang gila itu, ternyata berbuntut panjang. 
Keesokan harinya, saat Aamori hendak berangka sekolah, dia membujuk Papanya untuk mengantarnya ke sekolah. Sayangnya, sang Papa tidak bisa, ada pekerjaan yang harus diurus. Mata bulat Aamori tertekuk.
“Hei ada apa, Aamori? Tidak biasa juga kamu minta diantar? Ada apa? Kamu bermasalah dengan seorang temanmu yang lain?” Papa Aamori berlutut, mensejajarkan pandangan dengan putri kecilnya. 
“Bukan begitu, Papa.” Aamori memain-mainkan ujung jarinya. 
“Lalu kenapa, Aamori? Beritahu Papa dong.”
“Ada orang gila Pa. Kata teman aku, ada orang gila yang berkeliaran di sekitar kota Johannesburg.”
Papa Aamori tersenyum. Hendak tertawa, tapi tidak mau mengecewakan anaknya. Papa Aamori menepuk-nepuk bahu putrinya tersebut. 
“Tidak apa-apa, Aamori. Tidak akan ada yang terjadi. Orang gila itu pasti sudah diamankan oleh polisi. Kota kita ini aman sekali. Sekolahmu itu aman sekali. Tidak akan ada orang gila yang tiba-tiba mengejarmu.”
“Tapi aku takut, Papa.”
Papa Aamori menyempurnakan tatapannya. “Kamu tidak boleh takut, Aamori. Anak Papa, adalah gadis yang pemberani.”
Akhirnya, Aamori bisa tersenyum. 
Sejujurnya Aamori masih takut. Isu-isu soal orang gila yang berkeliaran, mengganggu warga kota, tidak sekali dua kali dia dengar. Semua orang membicarakannya. Polisi memang berusaha keras menangkapnya, tapi dia, maksudnya si orang gila itu, terlalu gesit. Tidak bisa ditangkap. 
Pagi itu, Aamori berangkat ke sekolah dengan sangat berhati-hati. Seolah-olah ada yang mengikutinya dari belakang. Dia setengah berlari-lari ke sekolah. 
Sekonyong-konyong, dari arah belakang, sekitar 200-an meter, orang gila yang sejak tadi dikhawatirkan oleh Aamori, benar-benar muncul. Aamori mengenalinya. Lekas berlari cepat, kencang. 
“HEI TUNGGU!!! KAMU GADIS KECIL!!!!!” orang gila itu melihat Brittany, meneriakinya. Dia seperti memang menunggu Aamori sejak berhari-hari. Teriakannya itu bahasa lokal, patah-patah. Aamori ketakutan.
Aamori ngos-ngosan sampai di sekolah. Mulutnya bergetar-getar. “Orang gila... orang gila....” dia tidak bisa menyesuaikan mulut dengan kata-kata. Dia ketakutan.
Ujungnya, Aamori diantar ke UKS. 
Namun, teror bagi Aamori tidak berakhir sampai di situ. Hari itu, memang sudah takdir menemui dia. Pulang sekolah, dalam keadaan masih setengah ketakutan, tiba-tiba di dekat persimpangan menuju ke rumahnya, sebuah tangan menangkapnya. Menahan langkahnya.
Aamori menahan nafas. Orang gila itu, ada di depan matanya. 
“Gadis kecil...” katanya terbata-bata.
Aamori kehilangan kata-kata. 
“Gadis kecil...”
“Apa yang kamu inginkan dariku?!” Aamori bergetar, hendak meronta-ronta, tapi dia tidak bisa lakukan.
“Kamu istimewa...”
Aamori semakin tidak mengerti. Apa yang diinginkan oleh orang gila ini padanya. 
“Kamu istimewa...”
“LEPASKAN AKU!!!” Aamori berteriak. Tapi jalanan sunyi, tidak ada yang bisa menolongnya. 
“Kamu adalah penyelamat dunia....”
Aamori terpana. Apa yang dimaksud oleh orang gila berpenampilan kusut ini. 
“Kamu penyelamat dunia....”
“Lepaskan aku!”
“Takdirmu menakjubkan. Seluruh dunia, akan takjub padamu...”
Setelah itu si orang gila terdiam. Menatap ke langit. Di saat itu dia lengah. Aamori berhasil melepaskan cekalan tangan si orang gila. Kemudian bergegas lari. Hari ini benar-benar hari yang buruk.


168
Itu Baru Awal Cerita


Kembali ke ruangan basement ketujuh markas Mafia Sahara di Somalia. Alfred Vindhesel mematut-matutkan senyumnya pada Allary. 
“Begitulah awal ceritanya, Allary Azra.”
Allary hendak meronta-ronta dan menjawab. Tapi seketika dia berkelojotan karena Brittany menyetrumnya dengan alat setrum itu lagi. Allary berusaha fokus kembali setelah setruman reda, menatap nanar pada bos besar Mafia Sahara itu. 
“Ramalan itu, ramalan itu benar-benar menakjubkan ya, Nona Selvi?”
Vivi yang duduk bersimpuh terpasung di dekat kaki Alfred, menatap ke arah pria itu dengan penuh arti. Marah, kesal, sekaligus sakit hati, karena dia harus mengenang masa-masa paling indah  yang pernah dia alami. 
“Tapi tentu saja kisah masih panjang, Allary. Kau tentu ingin tahu bukan?”
Allary, meski menatap dengan penuh kebencian, akhirnya mengangguk juga. Ya, dia cukup penasaran, apa yang sebenarnya terjadi. Siapa sebenarnya gadis kecil bernama Aamori itu? Kalau dipikir-pikir dari deskripsi yang diberikan oleh Alfred, Aamori itu adalah Vivi. Tapi apakah benar? Lalu soal ramalan itu? Apakah itu hanya sebuah lelucon, mengingat itu datang dari mulut orang gila. 
Alfred membaca pikiran Allary, tersenyum. “Kau salah jika mengira bahwa ramalan itu hanya lelucon. Sebentar lagi, kau akan melihat betapa hebatnya kekuatan pengubah dunia yang tertanam di dalam diri Aamori.”
Tanpa disadari oleh Allary, dari belakangnya, Brittany juga menatap tajam pada Alfred. Brittany menyatakan ketidaksetujuannya, karena kisah ini akan selalu menjadi sesuatu yang sensitif, baik baginya, ataupun bagi Vivi. 
Ya, seperti yang dikatakan oleh Brittany. Potongan masa lalu ini sebaiknya, dikubur saja dalam-dalam. Tapi, Alfred punya keputusan yang berbeda. 
“Aku akan melanjutkan kisahnya.”


169
Ramalan Milik Aamori Terbukti


Hari ini, pulang sekolah Aamori berbeda sekali. Biasanya, dia naik ke undakan rumah dengan wajah ceria, mata bulat menggemaskan, dan bersemangat, hari ini semua terbalik seratus delapan puluh derajat. Dia murung. Wajahnya sembab, menangis. Penampilan semacam itu, tentu saja menarik perhatian Papanya yang sedang duduk di ruang tamu. 
“Lho, kamu kenapa, Aamori?”
Aamori tidak menjawab. Langsung berlari ke kamar. Papanya langsung meletakkan koran, mengejar langkah Aamori. Namun terlambat, Aamori sudah mengunci pintu kamarnya. Tidak memedulikan Papa yang melangkah mengikutinya. 
Setelah pintu terkunci, dia langsung menenggelamkan wajahnya di bantal. Menangis. Aamori ketakutan. Di dalam pikirannya terus terbayang wajah orang gila yang tadi menatapnya. Kata-katanya, terngiang-ngiang di telinganya. Aamori tidak bisa mengenyahkan semua itu. Seolah orang gila itu ada di kamarnya saat ini.
“Aamori, buka pintu Nak. Kamu kenapa?”
Aamori tidak menjawab. Jangankan membukakan, beranjak dari tempat tidurpun tidak. Saat ini dia hanya ingin sendiri. 
“Aamori, ada apa? Kamu baik-baik saja?”
Aamori masih tidak menjawab. Di luar kamar, gedoran Papanya semakin keras. Beliau menggigit bibir. Tujuh tahun lebih usia Aamori, tidak pernah anaknya itu bersikap seperti itu.
“Aamori, buka pintunya Nak. Hei, kamu kenapa? Jangan membuat ayah cemas.”
“AKU SEDANG INGIN SENDIRI, PA!” 
Seruan Aamori itu membuat Papa semakin khawatir. Makin keraslah gedoran pintunya. “Aamori, kalau ada masalah, kamu cerita ke Papa. Jangan disimpan. Kalau ada temanmu yang menyakitimu, kita urus segera. Ayolah Aamori.”
Aamori duduk di tempat tidur. Melihat ke arah pintu. Papanya bisa saja bertindak nekat, mendobrak pintu itu. Kalau pintu itu sampai rusak, bisa gawat urusannya. Aamori akhirnya beranjak, membukakan pintu.
Nampaklah Aamori yang bermata sembab itu oleh sang Papa. 
“Astaga Nak. Kamu kenapa? Ada masalah apa? Ayo cerita dengan Papa.” Beliau berucap sambil menyapukan air mata yang jatuh di pipi putrinya. 
Akhirnya, di sisi tempat tidur, Aamori menceritakan soal orang gila dan ramalan yang diberikan kepadanya. Papa mendengarkan semuanya dengan penuh perhatian. Merasa bersalah karena tadi pagi tidak mengantarkan Aamori ke sekolah. Rupanya, Aamori sudah merasakan firasat. 
“Sudah Aamori. Tidak perlu memikirkan soal ramalan orang gila itu. Dia gila, ucapannya melantur, tidak bisa dipercaya. Orang waras saja, ucapannya kadang tidak nyata, apalagi orang gila.” Papa mencoba menghibur Aamori.
Aamori menatap Papanya, “besok aku tidak mau ke sekolah. Aku takut.”
“Hei, kamu tidak boleh takut, Aamori. Anak Papa tidak penakut. Anak papa adalah gadis yang pemberani. Kamu tidak akan kapok hanya karena satu kejadian kecil bukan?”
Aamori hendak protes. Itu bukan peristiwa kecil. 
“Ya sudah. Besok-besok Papa akan menemanimu ke sekolah. Tapi kamu harus janji untuk lebih berani. Kamu tidak perlu kapok. Tidak perlu merasa takut.”
Aamori mengangguk. Dia akan mencoba. Esok atau lusa, pengalaman buruk bersama orang gila itu, akan hilang seiring dengan waktu. 
Namun ada satu hal yang lebih besar, yang harus dikhawatirkan oleh Aamori. Ramalan itu nyata. 
Sesaat setelah Papa melangkah meninggalkan kamar Aamori, telepon genggamnya berbunyi. Dia terpana mendengar suara yang berbicara di speaker telepon.
“Siap Mister, saya akan berusaha memberikan yang terbaik.”
Papa Aamori baru saja diangkat naik jabatan. Itulah magis dari Aamori, seorang anak yang membawakan banyak keberuntungan. Aamori, sang penyelamat dunia.


170
Keberuntungan demi Kebuntungan


Setelah kejadian hari itu terjadi dan ramalannya terungkap, kehidupan Aamori berubah seratus persen. Tepatnya kehidupan di sekelilingnya. 
Ayahnya yang sekarang jadi Head of Manager di office-nya, memberikan lebih banyak kenyamanan di rumah untuk anak dan istrinya. Rumah mereka kian membesar, kini bertingkat tiga. Mobil yang awalnya tidak ada, kini jadi dua. Garasi besar dibangun di sebelah rumah untuk menampung mobil-mobil tersebut. 
Aamori juga kecipratan banyak keuntungan. Kini tas sekolahnya, baju sekolahnya, sepatunya, sampai ikat rambutnya, berkelas. Aamori jadi anak orang kaya. 
Keberuntungan tidak hanya dirasakan oleh Aamori dan keluarganya saja. Sekolah tempat Aamori belajar juga mendapatkannya. 
Tahu-tahu sekolah hebat itu mendapatkan suntikan dana dari investor luar negeri yang kaya raya. Ruang kelas bertambah, bangunan direnovasi, jalanan-jalanan khusus baru dibangun. Sekolah hebat itu menjadi kian hebat.
Mula-mula, tidak ada satupun yang menyadari kalau keberuntungan demi keberuntungan, anugrah serta keberkahan ini berawal dari seorang gadis imut kecil bernama Aamori. Mama Aamori-lah yang pertama membicarakan keterkaitan itu. Setelahnya menyebar lewat mulut-mulut ibu komplek, sehingga ramailah orang membicarakan tentang Aamori.
“Aamori si Anak Bertuah” begitulah julukan gadis itu sekarang.
Kisah keberuntungan Aamori semakin meluas terdengar setelah kejadian besar berikutnya datang. Seorang calon walikota datang ke tempat Aamori, meminta doa restu, membawakan makanan lezat untuk Aamori.
Hasil pertemuan itu, Aamori tersenyum puas memakan kue coklat, sang calon walikota maju dalam pemilihan, menjadi walikota baru. Kabar itu langsung menggemparkan. Diserbu dan jadi makanan empuk surat kabar pencari sensasi. 
Aamori menjadi anak yang terkenal. Papanya semula agak khawatir dengan ketenaran anaknya, namun akhirnya melihat Aamori senang-senang saja dengan kepopulerannya, Papa akhirnya membiarkan Aamori menikmatinya. 
Hanya saja, keberuntungan demi keberuntungan itu, membawa sisi lain. Sisi yang gelap. 
Masa-masa itu, dunia hitam di Afrika sedang menggeliat. Ada banyak sekali organisasi-organisasi jahat semacam itu, perkumpulan-perkumpulan, orang-orang bersenjata, memberikan teror, ancaman, penadah, ya semacam-semacam itu.
Namun di benua miskin seperti Afrika, tidak semua organisasi jahat, penghuni dunia hitam itu, bisa bertahan. Kebanyakan akhirnya mati, tidak bisa membiayai operasional organisasi, atau kemungkinan lain, kalah dengan organisasi yang lebih besar. 
Karena di masa itu, di saat semua organisasi hitam di Afrika sedang bangkit dan menggeliat, ada satu organisasi hitam yang terus maju pesat.
Alfred Vindhesel, seorang British murni yang datang dari Eropa ke Afrika pada penghujung 90-an, mengukir kisah yang cemerlang di benua hitam tersebut. Dia membangun organisasi besar miliknya sendiri di sana. 
Satu perbedaan utama antara Alfred dengan bos besar organisasi hitam yang lain, adalah Alfred memiliki basis bisnis gelap di Eropa, bukan di Afrika. Dia melakukan bisnis ekspor ke Eropa. Jadi beda dengan bos besar lainnya yang hanya melakukan perdagangan senjata, intrik politik, mengurusi hutang negara miskin, Alfred membawa barang haram dari Afrika ke Eropa. Pasarnya terbuka lebar. 
Dengan basis di Eropa tersebut, Alfred mulai membangun kekuasaan di Afrika. Mencaplok satu demi satu wilayah. Mengalahkan satu demi satu organisasi hitam lokal. Dalam lima tahun, dia dan organisasinya sudah terkenal. 
Mafia Sahara. 
Nah, di masa-masa pembangunan itu, Alfred sempat mendengar isu tentang gadis pembawa keberuntungan, Aamori.


171
Target Terkunci


“Aku tidak akan melupakan hari itu, hari dimana aku akhirnya menemukanmu, gadis terbaik, gadis pembawa tuah. Bayangkan saja, sehari saja aku berhasil menyekapnya di organisasiku, profit kami meningkat 80%. Itu crazy.” Alfred tertawa lepas. 
Allary hendak menyahuti, tapi mulutnya tersumpal. Alfred menggeleng ke arah Allary. “Tidak Mister. Belum saatnya kau bicara, Allary Azra. Tenangkan dulu dirimu. Sebentar lagi, aku akan membicarakan bagian yang spektakuler. Kau tentu mengingatnya bukan, Miss Selvi Anatasha?”
Giliran Vivi yang menggerung.
Alfred Vindhesel sekali lagi menunduk, berjongkok, menatap wajah Selvi Anatasha lekat-lekat. “Kau tahu, seandainya saja kau mau mengikutiku sejak awal, kejadian itu tidak akan terjadi. Seandainya saja, orang tuamu mau memberikanmu baik-baik, semua itu tidak akan terjadi.”
Vivi kian menggerung. Wajahnya memerah. Dia marah sekali.
“Hei, kau tenanglah. Kau adalah aset organisasiku yang berharga. Aku akan menyayangimu sepenuhnya. Bekerja samalah. Setidaknya berikan padaku, tuah keberuntunganmu itu, Nona Selvi.”
Vivi masih marah. 
Alfred kembali berdiri. Seorang pengawal mengangkat kursi untuk Vivi, Alfred menyuruh gadis itu duduk. Sementara Alfred kembali ke tahtanya. “Kau tahu, nona Selvi, sejak seorang anak buahku menceritakan tentang kemampuan dan tuahmu yang hebat itu, aku benar-benar tertarik. Bayangkan, dengan tuahmu itu, organisasi ini bisa menjadi organisasi yang lebih besar, lebih kuat lagi,  lebih hebat lagi. Bersama kau di sisiku, aku bisa menggilas organisasi lain semacam Kurzhukova di Rusia dan Dimitri di Ukraina. Aku akan membawa organisasi ini sebagai yang terkuat di dunia. Kau dengar itu, Nona Selvi.”
Allary diam-diam mencatat dalam pikirannya, mungkin gara-gara tuah itulah Mafia Sahara terobsesi dengan Vivi. Tapi apakah benar, Vivi menyimpan tuah sehebat itu?


172
Pembantaian Keluarga oleh Sahara


Sore itu, Aamori baru saja pulang bermain. Dia melihat ada mobil metalik model terbaru yang sangat keren, terparkir di depan rumahnya. Hanya ada satu artinya itu, ada tamu. 
Aamori tidak mau menebak-nebak, apakah itu tamu untuknya atau tamu ayahnya. Belum, dia belum ingin menebaknya. Dia lelah sehabis bermain, rasanya ingin menyegarkan diri dulu dengan mandi. Aamori menyelinap lewat pintu belakang, langsung terhubung ke dapur. Dari situ, dia pergi ke kamar mandi tanpa diketahui ayahnya.
Sementara di ruang tamu, ada pembicaraan serius. Papa Aamori berhadapan dengan orang bernama Mr. Pacho. Orangnya gemuk besar, tatapannya mengendalikan orang lain. Mister Pacho ini adalah utusan dari organisasi besar yang ada keperluan dengan Aamori. 
“Organisasi kami sedang stuck, mister. Saya dengar anak anda memiliki tuah yang hebat. Kami ingin mencoba berhajat ke anak anda, Mister.”
Papa Aamori mengangguk-angguk. Belakangan ini, dia sebenarnya tidak setuju anaknya dimanfaatkan untuk meningkatkan tuah atau apapun itu. Tidak, karena Aamori masih kecil dan beban tuah itu lama-lama bisa membebaninya. Tapi dia tidak mudah menolak hajat tamu, apalagi anaknya, Aamori senang-senang saja, karena selalu mendapatkan hadiah.
“Eh iya, mister Pacho,” Papa mengelap keringat di dahinya, tatapan mengendalikan dari orang di depannya ini, membuatnya tertekan. “Apa yang bisa saya bantu, eh maksud saya, apa yang bisa anak saya bantu?”
“Serahkan kue ini pada anak anda, dan mintalah dia mendoakan kami. Tidak ada salahnya mencoba bukan? Siapa tahu kami juga kecipratan tuah.”
Papa Aamori mengangguk, menerima kue, mengucapkan terima kasih.
“Kunjungan” pertama Mr. Pacho ke rumah Aamori memang hanya untuk meminta restu, berharap kecipratan tuah sedikit, namun kunjungan-kunjungan itu semakin intensif. Mister Pacho berkali-kali melakukan kunjungan. Mulai membujuk bertemu, bicara dengan Aamori, akrab, namun dengan tatapannya yang amat mengendalikan itu, Papa Aamori mencium niat jahat. 
Ada sesuatu yang tidak beres, ada yang tidak baik-baik saja di sini. 
Kunjungan ketujuh, Mister Pacho akhirnya mengutarakan hajat “jahat”-nya.
“Ehm, mister. Saya ingin menyampaikan kabar gembira, bahwa berkat tuah anak anda, perusahaan saya sudah mencapai profit yang sama sekali tidak terduga.”
“Ah mungkin itu cuma kebetulan, dan berkat kerja keras kalian.”
“Tidak, tidak,” Mister Pacho menggeleng. “Saya yakin sekali, anak anda ini memang bertuah. Bos saya sangat tertarik pada anak anda ini.”
“Maksud anda bagaimana ya?” Papa Aamori sedikit terpancing emosinya.
“Ah begini, mister. Saya tidak berniat jahat. Kami adalah organisasi besar dengan jangkauan seluruh Afrika. Kami sedang berlari kencang, terus berkembang selama beberapa bulan belakangan. Profit yang kami catat mencapai peningkatan hingga 800%. Itu angka yang crazy bukan? Semua berkat anak anda. Anak anda memang bertuah. Tapi menurut bos, keuntungan sebesar itu belum cukup. Kami harus tumbuh menjadi lebih besar lagi, dan bos membutuhkan anak anda, Aamori di dalam organisasi kami, untuk mewujudkan cita-citanya.”
“Anda ingin menculik anak saya?”
Mr. Pacho tertawa, namun kemudian fokus dengan tatapan mengendalikannya itu, “ah bukan begitu, mister. Kami ingin merekrutnya. Dia bisa menduduki posisi yang strategis di organisasi. Menjadi orang hebat. Dia bisa membantu organisasi menjadi lebih hebat.”
“Tapi anak saya belum sepuluh tahun usianya, bahkan belum lulu SD. Apa yang memang dia bisa buat?”
“Dia tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup duduk manis. Toh tuahnya jauh lebih hebat ketimbang pegawai terbaik manapun.”
Papa Aamori menggeleng tegas. Setengah harga dirinya sudah tersinggung. Enak saja mereka mau mengambil anaknya hanya untuk dieksploitasi.
“Saya tidak setuju, mister. Saya tidak setuju.”
“Mister, saya mohon, bekerja samalah. Anak anda akan hidup enak.”
“Anda yang harus mengerti Mister. Dia anak saya. Saya ingin dia punya masa depan yang layak.”
“Bersama kami, bersama bos, dia bisa memiliki masa depan yang layak.”
Papa Aamori kembali menggeleng. “Saya tidak ingin masa depan putri kecil saya, hanya jadi bahan eksploitasi.”
“Ah bukan begitu, mister. Anda tidak mengerti.” 
Pembicaraan itu stuck.


173
Kebakaran dan Panti Asuhan


Papa Aamori salah besar jika menganggap pembicaraannya dengan Mr. Pacho adalah pembicaraan bisnis biasa. Papa Aamori yang saat ini berkedudukan di sebuah perusahaan tambang terkemuka di kota Johannesburg, tidak tahu apa-apa tentang siapa yang dihadapinya. 
Mr. Pacho adalah tangan kiri dari Alfred Vindhesel, ketua Mafia Sahara. Semua pembicaraan dengan Papa Aamori tentu saja disampaikan pada Alfred Vindhesel. Dia geram bukan main. Sebagai orang yang memiliki keinginan berkuasa sangat tinggi, dia sangat tersinggung karena ada orang yang berani menolak permintaannya.
“Pacho, kita akan beri mereka pelajaran.”
“Siap tuan. Apa yang tuan inginkan, akan saya kerjakan.”
“Kau tahu dimana bajingan ayah gadis bertuah itu bekerja?”
“Tahu tuan. Dia head manager di salah satu perusahaan tambang.”
“Ada orang kita di perusahaan itu bukan?”
“Siap, ada tuan. Manager personalia di perusahaan itu, adalah anak buahku, salah satu pion bisnis kita.”
Alfred berselonjor di kursinya yang panjang. Dia mengukir senyum. “Bagus. Langsung kerjakan, besok aku mau orang tidak tahu sopan santun itu, sudah kehilangan pekerjaannya.”
Mr. Pacho mengangguk sopan, kemudian meninggalkan ruangan itu. 
Sebuah skenario besar telah dirancang. Sayangnya skenario itu gagal total. Alfred Vindhesel juga lupa, siapa yang dia hadapi. Aamori adalah gadis bertuah, setidaknya itu yang diyakini banyak orang. Percobaan pemecatan Papa Aamori oleh orang-orang Alfred, malah berujung pemecatan manager personalia. Alfred semakin marah.
“Aku lupa, anak itu punya tuah. Gara-gara itu rencanaku gagl total.”
“Lalu bagaimana sekarang bos, apakah kita akan mencobanya lagi? Saya bisa menyusupkan orang-orang lagi, ke perusahaan itu.”
Alfred menggeleng. Tidak, cukup sekali saja sudah strategi itu gagal. Mereka akan pindah ke strategi lainnya. “Panggil Hercules ke sini.”
Mister Pacho mengangguk sopan, kemudian berlalu dari tempat itu. Hercules, jika nama itu sudah dipanggil, hanya satu artinya. Urusan kotor.
Sekedar info sambil lalu, dalam struktur Mafia Sahara, ada dua orang yang berposisi tinggi. Mister Pacho, sebagai tangan kiri, seorang ahli diplomasi, memiliki kemampuan memengaruhi orang lain. Tangan kanannya adalah Hercules, kepala tukang pukul. Dialah yang akan membereskan masalah Mafia Sahara, seandainya cara diplomasi dinilai tidak efektif. 
Hercules yang berbadan kekar, berotot, masuk ke ruangan Alfred. Siap menerima misi.
“Bakar rumahnya,” Alfred menyerahkan kertas bertuliskan alamat rumah Aamori, beserta foto rumahnya. “Pastikan tidak ada yang tersisa.”
“Kecuali gadis kecil itu?”
“Tepat sekali. Gunakan segenap sumber daya. Panggil seluruh tukang pukul kalau perlu. Mereka boleh meninggalkan misi yang lain kalau perlu.” 
“Siap Tuan.”
Maka dilaksanakanlah perintah yang keji itu oleh Hercules dan anak buahnya. Rumah besar keluarga Aamori dibakar, nyala apinya berkobar-kobar. Asap membumbung tinggi ke langit. Papa dan Mama Aamori ditemukan di dalam rumah, diikat, dibakar hidup-hidup, sampai mati terpanggang. 
Kejadian itu amat menyedihkan. Semua kehidupan mewah keluarga Aamori musnah dalam beberapa menit. Orang-orang berbondong-bondong menolong, coba memadamkan. Sia-sia. Api terus berkobar. 
Sayangnya tidak ada yang bisa mengaitkan kejadian itu dengan Mafia Sahara. Mereka telah melakukannya dengan sangat rapi. Hercules telah menjalankan perintah tuannya dengan sebaik-baiknya, namun dia gagal, gagal menjalankan perintah terpenting. Dia gagal menangkap Aamori. Gadis itu tidak berhasil ditemukan.
Lantas, kemana Aamori di saat peristiwa mengerikan itu terjadi?
Jawabannya, panti asuhan.


174
Kau Sepertinya Ingin Sekali Bicara


Kali ini, sambil Alfred bercerita di atas tahtanya, ternyata Vivi terus menatapnya dengan mata yang sangat marah. Setelah menutup sejenak ceritanya, Alfred kembali mengarahkan pandangannya ke arah Vivi.
“Kau sepertinya ingin sekali bicara, Nona Selvi.”
Vivi menggerung.
“Tolong bukakan sumbat mulutnya.”
Seorang pria pengawal Alfred, maju selangkah, melepaskan sumpal mulut Vivi. Kejadian berikutnya, Vivi tidak berteriak. Dia tetap tenang. Tapi sambil mengarahkan wajahnya ke arah Alfred, Vivi berucap, dengan intonasi yang sangat berbeda, dengan Vivi yang kita kenal.
“Aku sangat membencimu, Alfred. Kau membuatku kehilangan segalanya.”
Alfred tertawa. “Sudah kubilang, kalau saja Papa-mu itu mau mengikuti permintaanku, mau bicara baik-baik, menyerahkan kau ke organisasiku dengan sukarela, tentu saja kejadiannya akan lebih baik. Mungkin kau akan hidup enak sekarang, ayah ibumu tetap hidup, bisa menengok anaknya jadi orang hebat.”
“Omong kosong,” Vivi menyahut pedas, “aku tidak akan sudi bekerja sama dengan para penjahat seperti kalian.”
Alfred malah tertawa, semakin keras, “ya itulah kau. Kau sama sekali tidak pernah belajar dari masa lalu. Kau tidak pernah menurut padaku. Membiarkan semuanya terlanjur sulit.”
“Kau tidak akan mendapatkan apapun dariku, Alfred. Tidak akan.”
“Kau sudah mengatakannya. Baiklah, terima kasih. Aku akan melanjutkan cerita. Sumpal lagi mulutnya.”
Vivi kembali menggerung marah, tapi dia tidak bisa melawan.
Dari seberang sana, Allary juga menggeliat-geliat. Dia juga sangat marah. Rupa-rupanya masa lalunya dengan Vivi, hampir sama. Sama-sama kebakaran yang suram. Bedanya Vivi kehilangan segalanya karena orang jahat. Itu membuat Allary semakin marah. 
“Oh rupanya yang di seberang juga ingin bicara ya?” Alfred menyeringai. “Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan kau bicara dulu, Allary Azra. Tidak akan. Kau tidak boleh bicara tanpa seizinku. Kita akan lanjutkan cerita dulu. Tentang panti asuhan ya Nona Selvi? Ya, panti asuhan yang istimewa.”


175
Panti Asuhan Istimewa


Sampai hari malam, beberapa anak buah Hercules masih berkeliaran, memantau, melihat-lihat, namun Aamori belum juga ditemukan. Bosnya, Alfred, pasti sangat marah jika dia pulang dengan tangan kosong, Hercules membatin. Apa boleh buat. Bisa saja gadis itu mati terbakar. Tapi itu terasa ganjil. Dia dan anak buahnya sudah menyisir setiap sudut rumah
Jadi kemana sebenarnya Aamori?
Saat kejadian, Aamori sedang bermain di rumah salah seorang temannya. Agak jauh dari rumahnya. Karena itulah dia selamat. Kabar rumahnya yang kebakaran terdengar dari mulut ke mulut. Begitu Aamori mendengar kabar itu, histeris dia. Ingin langsung pergi melihat ke rumahnya. Namun si pembawa kabar mencegah langkahnya.
“Jangan pergi, Aamori. Rumahmu sedang dipantau orang-orang jahat. Aku tadi melihat beberapa kali orang tak dikenal berlalu lalang di sekitar rumahmu sebelum terbakar. Berkali-kali. Jangan pulang dulu ke rumah. Berbahaya.”
Aamori kecil mengangis sejadi-jadinya. Orang tua temannya dan sang teman berusaha keras menghiburnya. Aamori mencemaskan kedua orang tuanya. Takut mereka kenapa-kenapa. Orang-orang dewasa yang mengerumuninya juga ikut kasihan. Mereka mendengar kabar itu, Papa dan Mama Aamori tidak terselamatkan. 
Beberapa jam kemudian, Aamori tetap tidak diizinkan kembali ke rumahnya. Buat apa juga, semua sudah terbakar habis di sana. Si pembawa kabar, Paman Sam (sebut saja begitu, kita sudah kehabisan nama untuk cerita ini), mencoba meyakinkan Aamori, bahwa kembali ke rumahnya adalah ide buruk. 
Jangan tanya betapa histerisnya Aamori ketika dilarang mengecek rumahnya, jangan tanya betapa histerisnya Aamori saat diberitahu kalau Papa dan Mamanya sudah pergi meninggalkannya, selamanya. Itu momen yang terlalu menyedihkan. 
Paman Sam, yang paling yakin kalau peristiwa kebakaran di rumah Aamori itu adalah disengaja, boleh jadi oleh orang-orang jahat yang tidak suka pada Aamori dan keluarganya, mengusulkan agar Aamori dikirim ke panti asuhan, disembunyikan. Itu adalah ide yang bagus. Semua segera diatur. Ada sebuah panti asuhan di pinggiran kota Johannesburg. Ke sanalah Aamori diantar. Sepanjang jalan, dia diam, membisu. 
Cepat sekali hidup berlalu bagi seorang Aamori. Baru pagi tadi dia sarapan bersama Papa dan Mamanya di rumah mereka yang nyaman seperti istana. Saat sekarang, dia harus menerima fakta bahwa rumah itu sudah lenyap, dia kini harus tinggal di panti asuhan dengan alasan yang diutarakan Paman Sam.
“Kamu harus tinggal di sini, Aamori. Bersembunyi.”
Demi menyamarkan Aamori, Paman Sam, menyarankan Aamori agar menggunakan kacamata. Serta membiarkan rambutnya panjang dikuncir. Namanya kini juga berubah. 
“Vivi”. Itulah nama yang disematkan oleh pengurus panti.
Satu-satunya kabar baik bagi Vivi atau Aamori, adalah pengurus panti ini orangnya sangat baik, seorang wanita tua yang sering mereka manggil “mother”. Beliau telaten memastikan seluruh anak-anak panti tercukupi kebutuhannya. Bersama Mother, ada dua orang pengasuh yang lebih muda, yang tidak perlu disebutkan namanya.
Maka dimulailah masa-masa itu. Masa-masa pemulihan Vivi dari trauma buruk yang menimpanya, dan menimpa keluarganya, nasibnya, semuanya. Tidak seperti tokoh-tokoh lain di dalam kisah hebat-hebat lainnya, Vivi tidak mendapatkan nasehat, tidak ada kisah heroik nan inspiratif yang menyebabkan dia bangkit, tidak ada pesan wasiat dari orang tua yang bisa dia gigit erat, tidak ada. 
Namun Vivi tetap seseorang yang hebat. Dia belajar berdamai dengan takdir, secara otodidak. 
Siapa yang bisa melakukan hal yang sama? Sedikit sekali jumlahnya.


176
Brittany Andersen


“Halo, Vivi. Selamat pagi.” Seseorang menyapa Vivi kemudian duduk di sebelahnya. Dia membawa piring. Piring yang sama juga sedang dihadapi Vivi. Isinya sama. Mereka akan sarapan pagi.
“Pagi, Brittany.”
“Apa kabar kamu hari ini?”
Vivi mengangguk, “aku baik-baik saja.”
Kemudian mereka mulai makan. 
Ya, tidak ada yang salah jika menebak kalau Brittany yang ditemui Vivi di sini, di panti asuhan, saat berusia 10 tahun, adalah Brittany yang sama, dengan Brittany yang menjadi sahabat baik Vivi bertahun-tahun berikutnya.
Brittany dan Vivi saling mengenal di malam saat Vivi datang pertama kali ke panti. Brittany adalah gadis paling periang di panti. Begitu melihat teman baru, dia langsung menemuinya, mengajak Vivi mengobrol. Tapi waktu itu Vivi cuma diam. Mother menjelaskan bahwa Vivi masih terguncang, perlu waktu untuk sendiri. 
Brittany juga merupakan sosok yang sangat peduli dengan temannya. Dia selalu bilang kalau setiap orang yang ada di panti istimewa ini, adalah keluarganya. Yeah, dalam beberapa situasi, semua orang tahu, Brittany sepuluh tahun lebih dewasa ketimbang usianya. Kecerdasan emosionalnya bagus sekali. 
Berkat kecerdasan emosional dan kepeduliannya itu, setiap hari, dia membesuk Vivi di kamarnya. Itu masa-masa yang sulit bagi Vivi, masa-masa ketika dia mencoba berdamai dengan takdir, meski itu terasa sangat sulit. Brittany berkali-kali datang, bertanya, mencoba menghibur Vivi.
Mengajaknya berkenalan, menyebutkan nama, “aku Brittany,” sambil menyorongkan tangan. Vivi tetap asyik dengan diamnya. Usaha pertama gagal.
Brittany datang lagi dengan cara lain, mengajaknya bermain. Brittany mengangkut set permainan kartunya ke kamar Vivi, mengajaknya bermain kartu-kartu itu. Gagal juga. Vivi sama sekali tidak tertarik. 
Akhirnya, setelah berkali-kali tidak pernah digubris namun tidak menyerah, Vivi mengulurkan tangan juga pada Brittany. Mengajaknya berkenalan. 
“Aku Vivi.”
“Senang akhirnya kamu bicara, Vivi.”
Sejak saat itu, kedekatan keduanya tidak terhindarkan lagi.


177
Saluran Air yang Mendebarkan


Brittany selalu punya ide-ide yang mengejutkan. 
Hari ini salah satunya. Brittany muncul di sebelah Vivi saat makan siang. Sebenarnya itu adalah kebiasaannya. Mereka tidak terpisahkan. Tapi hari ini, Vivi sama sekali tidak punya bayangan untuk menebak apa yang ada di dalam otak Brittany. 
“Vivi, aku menemukan tempat yang menarik, mau mengeceknya di waktu luang kita?” Brittany berbisik. Vivi menyimak, namun ternyata Brittany tidak menjelaskan lebih lanjut. Harus ditanya lebih dulu. “Dimana tempatnya?”
“Saluran air.”
Vivi menyernit kening. Setahu dia tidak ada saluran air di Kota Johannesburg. Ini di Afrika, bukan di New York. 
“Aku serius. Aku menemukan saluran air dekat dengan panti kita kok. Tapi aku belum berani masuk ke dalamnya, aku perlu teman. Makanya aku ajak kamu.”
Sebenarnya dalam beberapa bulan ini semenjak mereka saling kenal, tak kurang dari 20 kali Brittany mengajak Vivi ke tempat-tempat yang unik-unik. Misalnya mengunjungi area tambang yang sudah ditinggalkan. Atau melihat-lihat penangkaran buaya. Semua biasa mereka lakukan di waktu senggang panti, antara selesai makan siang sampai lonceng malam hari dibunyikan.
“Entahlah Brittany, apakah memang ada saluran air? Itu terdengar agak kurang masuk akal bagiku.”
“Kamu mau ikut atau tidak?”
Demi melihat Brittany yang mengerjap-ngerjap mata penuh antusiasme, Vivi akhirnya tak kuasa menolak. Dia menganggukkan kepalanya. 
Mereka benar-benar mengunjungi saluran air itu sore ini. Brittany berseru kegirangan saat membuka penutup saluran air tersebut. Saluran air itu nampak gelap, kotor dan bau. Berbelas tahun kemudian, saat Brittany mengunjungi saluran air itu kedua kalinya, saluran air itu tidak berubah sedikit pun.
“Ini seru bukan?” Brittany berseru girang sambil menyorotkan senternya. Vivi memeluk dirinya sendiri, ngeri melihat kegelapan yang menyergap mereka di depan sana.
Entahlah, ini tidak terlihat bakal seru, batin Vivi. Tapi dia tidak kuasa menahan langkah Brittany yang terus berjalan maju, hanya dengan senternya.
“Apakah kamu yakin tempat ini aman, Brittany?”
“Ini seru sekali, Vivi. Ini seperti ekspedisi pencarian hantu.”
Vivi merinding. Brittany berbeda sekali seleranya dengan dia dalam hal ini. 
Dengan Brittany yang sangat antusias, mereka meneruskan berjalan kakinya. Vivi sempat beberapa kali tergelincir di atas lantai licin tersebut. Brittany memperingatinya agar lebih hati-hati. 
“Terima kasih, Brittany.”
“Ayo kita lanjutkan. Sepertinya aku melihat sesuatu di depan sana.”
Brittany benar, di depan sana ada sebuah pertigaan. Kiri dan kanan. Vivi semakin cemas, takut kalau mereka salah ambil jalan kemudian tersesat di tempat misterius ini.
“Kita ambil kanan. Ayo.”
“Kenapa dengan kanan?”
“Entahlah, tapi ayahku dulu bilang, segala hal yang baik, selalu dimulai dari sebelah kanan.”
Alasan yang sungguh sangat bagus. Vivi memutuskan untuk membanting topik. “Apa yang sebenarnya terjadi, tempat apa ini? Kenapa ada saluran air misterius di bawah kota Johannesburg ini?”
Brittany tersenyum simpul. “Justru itulah letak petualangannya, Vivi. Kita tidak tahu apa-apa tentang tempat ini bukan?”
Vivi menggeleng tidak setuju. Tempat ini semakin lama semakin mengerikan. Suara desiran air, suasana yang ganjil, seolah sesosok hantu bisa muncul kapan saja dari tempat itu.
Dan memang, karena sesuatu yang terdapat di ujung terowongan sebelah kanan itu, sama mengerikannya dengan teror hantu.


178
Brittany Andersen, Kau Boleh Bicara


Alfred kembali men-jeda ceritanya. Dia tersenyum-senyum. Tatapan matanya tertuju sepenuhnya pada Brittany Andersen. 
“Jika kau bisa mengubah alur waktu, kembali ke masa lalu, mungkin kau akan mengubah keputusanmu untuk tidak pernah datang ke saluran air itu bukan, Brittany Andersen?”
Brittany terdiam. Tapi kepalanya kemudian mengangguk. Ekspresinya seperti kesal, marah, sedih dan... benci. 
Allary yang masih berada dalam cekalan Brittany, seandainya saja mulutnya tidak tersumpal, ingin sekali dia menanyai Brittany, apakah dia benar-benar berteman dengan Vivi, ataukah dia hanya dimanfaatkan oleh Mafia Sahara?
“Tapi petualangan kalian di saluran air itu memang hebat dan berkesan bukan? Termasuk bagiku. Berkat kenekatan kalian menerobos saluran air itu, meninggalkan jejak di markasku, aku jadi tahu dua hal. Pertama, lokasi Aamori si anak bertuah, dan dua, aku jadi mengenal agenku yang sangat hebat. Brittany Andersen.”
Brittany tetap diam. 
“Hei, kenapa kau tidak bicara, Brittany Andersen?”
Brittany tetap diam. Lewat tangannya yang melingkar di leher Allary, ketua rombongan bisa merasakan kalau Brittany sedang bergetar, menahan perasaannya.
“Oh ya, aku lupa, kau tidak boleh bicara tanpa seizinku. Nah kau lihat itu Allary Azra? Dia adalah bonekaku yang amat patuh. Kau lihat, betapa bodohnya kau, membawa anak baik ini ke hadapanku dan dengan yakin bisa mengalahkanku. Lucu bukan?”
Giliran Allary yang bergetar menahan marah. Alfred ini memang memuakkan. 
“Brittany Andersen, sekarang kau boleh bicara. Barangkali nanti ada ceritaku yang meleset, kau bisa mengoreksinya. Bagaimana?”
“Seharusnya anda tidak menceritakan kisah ini, ayah.” Brittany bersuara pelan, Allary mendengarnya, dia langsung terpana. “Ayah”?


179
Terbakarnya Panti Asuhan


Bagai mayat gajah yang tidak bisa ditutupi dengan nyiru, keberadaan Aamori dan tuahnya yang hebat itu tidak bisa ditutupi selamanya. Tuah itu bangkit, dan menyinari sekelilingnya. 
Selama Aamori ada di sana, suntikan dana dari para dermawan untuk kelangsungan hidup anak-anak panti naik berpuluh kali lipat.  Itu membuat pengurus panti takjub. Mother, lama-lama menyadari kalau, Vivi yang diantar Paman Sam ke tempatnya, bukan anak malang biasa.
Dia bertuah.
Secepat tuahnya kembali, secepat itu pula desas-desus menguar keluar. Dari mulut ke mulut. Hanya masalah waktu sampai desas-desus itu sampai ke telinga Alfred dan Mafia Sahara. 
Ketahuilah bahwa Alfred dan anak buahnya terus, mati-matian mencari jejak Aamori selama berbulan-bulan sejak kebakaran besar rumah Aamori. 
Desas-desus itu ditambahkan lagi dengan kenekatan Brittany menjelajah sampai masuk ke area markas besar mafia. Membuat semuanya berakhir begitu mudah bagi Alfred dan anak buahnya.
“Hercules, kau hancurkan panti itu dan bawa dua orang bernama Vivi dan Brittany ke hadapanku. Harus dalam keadaan hidup dan tidak terluka. Sisanya, yang lain, terserah kau saja.”
“Baik bos. Saya akan usahakan lebih baik kali ini.”
“Pastikan kau tidak gagal lagi, atau kau benar-benar berada dalam masalah.”
“Saya janji bos.”
“Satu lagi, setelah kau menangkap mereka, bawa mereka ke pusat pelatihan dan kamp kita di Namibia. Aku akan menunggu di sana.”
Alfred begitu yakin kalau hari ini dia akan berhasil menangkap Aamori. Dia benar-benar lupa akan satu hal, anak itu bertuah. 
Hercules melaksanakan tugas dengan teliti kali ini. Dia lakukan pembakaran, seperti halnya membakar rumah Aamori, dan dia melakukannya saat semua orang sedang berkumpul, saat makan siang. Sebelum membakar, anak buahnya menyusup dulu ke panti dan membungkam semua orang di dalamnya, serta menangkap Vivi dan Brittany. 
“Bawa mereka ke mobil, sesuai dengan perintah bos.”
Anak buahnya mengangguk. 
Vivi dan Brittany yang telah terpasung dengan erat sekarang dibopong, dimasukkan ke dalam mobil box, untuk diangkut ke Namibia. Suasana dalam box mobil begitu gelap dan pengap. Sampai kemudian Brittany berhasil melepaskan sumpal mulutnya, itu membuat suasana menjadi sedikit lebih baik.
“Kita harus segera keluar dari sini, Vivi. Mereka orang yang berbahaya.”
Vivi mengangguk. Orang-orang inilah yang dimaksud Paman Sam, sebagai orang jahat. Dia bisa menebaknya dengan akurat. 
“Mari kubantu, aku sudah bisa melepaskan ikatanku.”
Eh bagaimana bisa? Batin Vivi. Di tengah kegelapan seperti ini pula. Brittany sepertinya sudah punya banyak keahlian. Dia tertawa pelan.
“Aku bisa melakukannya, kalau tidak bisa, kita tidak akan bisa keluar dari sini, Vivi. Sebentar lagi kamu bahkan akan melihat aku bisa membuka pintu mobil yang sedang meluncur ini.”
Vivi terpana dalam gelap. Brittany sungguh-sungguh?
Tapi, ya begitulah, kekuatan tuah yang dimilikinya membuat Aamori atau Vivi berhasil selamat dari penangkapan mafia untuk pertama kalinya. Brittany benar-benar bisa membukakan pintu box untuknya. Memperlihatkan jalanan berpasir kuning yang sedang mereka lewati.
“Kau lompat Vivi.” 
“Bagaimana denganmu?”
“Aku punya rencana lain.”
“Hei rencana apa?”
“Sudahlah, kamu duluan saja. Selamatkan dirimu.”
“Tapi... EH BRITTANY!” Vivi terpekik, Brittany mendorong dirinya hingga terjatuh dari mobil box. Sementara mobil itu terus melaju, bersama Brittany di dalamnya. 
Sejak itu, dua sekawan itu terpisah untuk beberapa waktu.


180
Tanzania


Vivi terjatuh di bagian negara Namibia. Hanya saja belum sampai ke tempat pelatihan dan kamp milik mafia yang dimaksud Alfred. Dia benar-benar mencemaskan keadaan Brittany, apa yang akan terjadi pada temannya itu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mobil itu melaju sangat kencang. 
VIvi memutuskan untuk menyingkir ke jalanan yang lebih kecil, kemudian menyusup dari satu mobil ke mobil yang lain. Harapannya adalah bisa menyusul mobil box yang membawa Brittany pergi itu. 
Perjalanan keluar masuk dari mobil yang satu ke mobil yang lain, dari tumpangan yang satu ke tumpangan yang lain, adalah petualangan paling melelahkan yang pernah dilalui Aamori, si gadis bertuah. Jangan bayangkan bagaimana dia bisa menumpang dari satu mobil ke mobil lain atas seizin si pemilik mobil. Aamori terkadang, bahkan naik secara diam-diam, meringkuk bersembunyi di antara barang bawaan mobil yang ditumpanginya.
Begitu terus sampai dia tiba di negeri Tanzania. 
Tidak, Aamori bahkan tidak tahu dia ada dimana. Sebuah plakat di pinggir jalan menyatakan kalau dia sekarang berada di Tanzania. Aamori, lewat pelajaran yang didapatnya dari Mother, segera menyadari kalau dia berada di negara yang berbeda sekali, dengan negara yang dulu ditempatinya. Di sini banyak hutan. 
Aamori menyusuri jalan itu, sampai menemukan sebuah danau yang besar. Dia berseru senang. Danau adalah tanda kehidupan. Semoga dia bisa menemukan sedikit makanan di sana, karena perutnya sudah sangat keroncongan. 
Selesai dengan urusan perutnya, Aamori mendongak dan melihat bahwa di seberang danau, ada sebuah pondok besar. Dia menganggap itu juga sebagai sebuah pertanda baik, semoga pondok itu didiami oleh orang-orang baik yang bisa membantunya keluar dari kesusahan. 
Dia sama sekali tidak tahu, kalau pondok itu ternyata, adalah sarang mafia juga. 
Di masa-masa itu, mafia sahara sedang membangun kekuasaan yang melingkupi seluruh Afrika. Di tiap negara mereka punya basis kekuasaan, tapi disamarkan lewat bangunan-bangunan unik, sederhana dan tak terduga. 
Aamori telah mengunjungi dua diantara banyak bangunan tak terduga itu. Saluran air, dan sekarang pondok.
Pondok di tepi Danau Bhisar. 
Begitu Aamori mendekat ke sana, para penjaga pondok, kebetulan anak buah Hercules juga, langsung mengenalinya. Anak bertuah yang telah lama diincar bos Alfred. 
“TANGKAP DIA!” mereka berseru.
Aamori terperanjat, langsung lari ke dalam hutan.


181
Tuan Mabogou, Dukun Sakti


Aamori alias Vivi si anak bertuah benar-benar berada dalam masalah kali ini. Lolos dari mulut buaya, masuk ke dalam mulut harimau. Dengan orang-orang yang mengejarnya beringas di belakang, Aamori berusaha berlari sekencang mungkin. 
“Kita akan dapatkan dia, lalu kita akan mendapatkan bonus tambahan dari Bos Besar.”
“Yeah!” mereka berteriak serentak. Bunyi teriakan yang menggetarkan mental. Aamori menggigit bibir. Dia tidak siap dengan situasi seperti ini. Jangankan bersiap, membayangkan pun tidak.
Untungnya mereka tidak menggunakan senjata api, sehingga tidak bisa menembak jatuh Aamori dari jarak jauh. Selain itu, kalau dipikir-pikir lagi, Mafia Sahara memang jarang sekali memakai senjata api. Kenapa ya?
Tidak, Aamori tidak sempat memikirkan itu. Dia terus berlari. Harus terus fokus. Dia kini tiba di kawasan hutan hujan yang lumayan lebat. Tubuh kecilnya berhasil meliuk-liuk lincah di antara batang pohon, kemudian seperti aksi di film-film, Aamori merunduk bersembunyi di balik salah satu pohon besar di sana. 
“Hei kemana dia?” orang-orang pengejarnya berseru. Terdengar tidak terlalu jauh dari persembunyian Aamori. Namun di hutan ini seluruh bagiannya terlihat sama dan membingungkan. Mereka jelas kehilangan jejak. 
“Geledah tempat sekitar sini. Dia pasti bersembunyi. Cari dia sampai dapat.”
“YEAH!”
Sementara itu Aamori gemetar bukan main mendengar seruan kencang dari luar itu. Benar-benar menggetarkan. Astaga, apa yang sebenarnya terjadi. Siapa mereka? Apakah setiap orang di dunia ini selalu hendak menangkapnya? Berniat jahat?
Perlahan-lahan, dalam diamnya, berusaha keras menutup mulut agar tidak bersuara, Aamori menangis, sesenggukan. Dia tidak pernah meminta hidupnya berjalan seperti ini. Dia terus terisak. Apalagi perlahan kenangan-kenangan indah terputar di ingatannya, seperti sesuatu yang otomatis.
“Gadis kecil, apa yang kau lakukan di situ?” Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Aamori langsung dicekal rasa gugup yang teramat sangat. Dia berusaha menutupi wajahnya, berharap tidak perlu melihat siapa musuh yang ada di hadapannya sekarang.
“Kau baik-baik saja gadis kecil? Kau terlihat ketakutan.”
Suaranya terdengar lebih ramah, Aamori memutuskan memberanikan diri untuk melihat wajah orang di depannya. Wajah itu, tua dan bersahabat. Hanya bagian jenggotnya yang agak ngeri. Siapa orang ini?
“Ah kau, jangan-jangan kau adalah orang yang dicari-cari sekelompok orang tadi ya?”
“Tolong beritahu mereka!” Aamori tiba-tiba berseru, sambil menyembah-nyembah. Orang tua itu langsung paham situasinya. Beliau mengulurkan tangan.
“Namaku Mabogou. Kamu tenang saja, gadis kecil. Aku hanya orang yang kebetulan lewat. Aku tidak bermaksud jahat. Ayo kubantu berdiri.”
Aamori akhirnya, meski masih ragu-ragu, menyambar tangan orang tua itu. 
Benar sekali, beliau adalah Tuan Mabogou, sang dukun sakti dari pedalaman Afrika. Saat itu, beliau masih sangat sehat, meski sudah setengah baya, masih bugar keluar masuk hutan. Bagi Aamori, pertemuan dengan Tuan Mabogou itu sedikit melegakan. Dia tidak lagi sendirian di hutan ini.
Namun kabar buruknya, lokasinya segera diketahui oleh orang-orang Mafia Sahara. Begitu mendengar pekik gadis kecil tadi, saat Aamori berseru-seru, mereka langsung menuju ke sumber suara. 
“Kau terkepung, gadis kecil.” 
Aamori langsung gemetar. Lihatlah, mata dan mata mereka yang kejam itu. Seperti hendak menerkamnya. 
Tuan Mabogou tidak tinggal diam melihat sebelas orang mengepung Aamori sekaligus dirinya. Apalagi melihat mereka memasang tatapan buas seperti itu.
“Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuh gadis ini.” Tuan Mabogou memasang kuda-kuda, siap bertarung.


182
Dilindungi Dewi Fortuna


Alfred kembali menyetop ceritanya, kemudian berdiri, menghampiri Vivi sampai berdiri berhadapan. Tatapannya kali ini terlihat benci sekali. Vivi menunduk. 
“Buka sumbat mulutnya,” perintah Alfred.
Sumbat mulut segera dibuka, namun Vivi tetap menunduk. 
“Tatap mataku, Aamori.”
Vivi menggeleng. Tidak mau. 
PLAAAAAK!
“HMPPPPP!!HHHHHH!!!
Alfred kontan menampar Vivi, dan itu juga kontan membuat Allary hendak berteriak. Sayangnya dia tidak bisa, jadi hanya geraman kesal panjang itu yang terdengar. Vivi tetap tidak bergeming biarpun pipinya pedas kena tamparan langsung itu. Tanpa disadari oleh semua orang di sana, Brittany-pun terlihat geram melihat adegan tak manusiawi tersebut.
“Lihat ke sini, Aamori.” 
“Aku bukan Aamori lagi,” jawab Vivi dengan suara pelan.
PLAAAAAKKKKKK!
“HMMMMMMMPPPPHHHHH!” 
Semakin keras, semakin keras pula Allary hendak menyumpahi Alfred. Tapi sekali lagi dia tidak bisa melakukan itu. Tadi kena telak pipi kanan, sekarang pipi kiri. Rambut Vivi yang tergerai panjang, ikut terbanting bersamaan dengan tamparan itu.
“Kau benar-benar anak tak tahu diuntung, Aamori.” Alfred benar-benar marah, wajahnya memerah, “kau tahu, aku sudah menghabiskan banyak sekali uang, waktu, sumber daya, semuanya, untuk bisa menangkapmu. Tapi hampir selalu gagal. Kau selalu dilindungi oleh dewi fortuna. Nampaknya aku yang salah ya, berani melawan tuah keberuntunganmu yang sangat hebat itu?”
“Keberuntungan itu, tuah itu, semua itu, omong kosong.” 
Alfred menyeringai mendengar jawaban pelan dari Vivi. “Kau benar, sekarang, tuahmu sudah tidak bisa lagi menyelamatkanmu dariku.”
PLAAAAAAAK!
“HMMMMMMMPPPPPHHHHHH!!!”
“Kau tenang di sana, Allary Azra. Atau aku bisa melakukan hal lainnya yang lebih kejam pada temanmu ini. Kita akan melanjutkan kisahnya lagi.”


183
Jalur Menuju Afrika Tengah


Sial sekali sebelas orang yang memburu Vivi hari itu karena mereka harus berhadapan dengan seorang dukun sakti sekaliber Tuan Mabogou. Lebih sial lagi karena mereka tidak punya pilihan lain. Merebut Vivi adalah harga mati bagi mereka saat ini. 
Satu orang coba maju, memukul, malah dia yang terpelanting.
Satu orang lagi coba maju, menyarangkan pukulan, malah temannya yang tadi terpelanting yang kesakitan. Sementara Tuan Mabogou cukup memukul sekali saja, lawannya sudah jatuh muntah darah. 
Lima belas kemudian, pertarungan itupun selesai. Tuan Mabogou berbalik ke arah Vivi yang masih sangat ketakutan melihat adegan mengerikan di depannya. Tuan Mabogou mencoba menghiburnya, tersenyum. 
“Semua sudah selesai, gadis kecil. Mereka tidak akan membuat masalah lagi denganmu. Mau ikut denganku?” Tuan Mabogou sekali lagi mengulurkan tangan. Vivi patah-patah menyambut uluran tangan itu, mengangguk.
“Kamu ke sini dengan siapa, gadis kecil?”
“Eh aku... aku tidak tahu....”
Tuan Mabogou tersenyum lagi. Jikalau begitu, berarti ceritanya bakal panjang. 
Bertemu dengan Tuan Mabogou hari itu menjadi kabar yang sangat baik bagi Vivi. Beliau tidak hanya menawarkan keselamatan, tapi juga mengajak Vivi makan, bertanya beberapa hal. Hanya hal-hal kecil. 
“Namaku Vivi, aku berasal dari Johannesburg.”
Tuan Mabogou lebih banyak membaca pribadi Vivi dengan mata batinnya. Saat mengetahui kalau gadis kecil di depannya ini memiliki tuah yang begitu hebat, Tuan Mabogou sangat takjub. Pantas saja, aura gadis ini memanggilnya tadi. Tuan Mabogou tadinya masuk hutan untuk mencari bahan untuk membuat ramuannya. Bertemu Vivi adalah ketidaksengajaan. 
“Setelah ini kamu mau kemana, Vivi?”
“Kalau Tuan Mabogou sendiri mau kemana?”
Tuan Mabogou tersenyum arif. Gadis kecil ini sudah berani bertanya balik padanya. Berarti ada perkembangan. Dia tahu, Vivi ini asalnya adalah orang yang ceria. Hanya saja semua berubah oleh tragedi.
“Aku akan pulang ke Afrika Tengah, Vivi. Rumahku di sana. Aku membuka jasa pengobatan penyakit di Afrika Tengah sana.”
Vivi terdiam. Serba salah, dan sejujurnya, dia masih takut. 
“Aku paham, kamu pasti masih trauma oleh kejadian tadi. Kamu bisa saja ikut denganku ke Afrika Tengah.”
“Tapi aku tidak mau merepotkan Tuan Mabogou.”
Tuan Mabogou malah tertawa lepas. “Sama sekali tidak, Vivi. Setidaknya dengan ikut denganku, mereka, orang-orang jahat itu tidak akan bisa menyakitimu.”
“Tapi tuan...”
“Kamu adalah gadis kecil yang sangat istimewa, Vivi. Izinkan aku membantumu.”
Vivi akhirnya hanya bisa tertunduk. Dia merasa tidak enak. 
“Jangan khawatir. Nanti, sehabis kita sampai di Afrika Tengah, aku akan carikan cara, agar ada orang lain yang menjaga dan melindungimu.”
Mobil bagus itu terus melaju, membelah jalan menuju Afrika Tengah.


184
Pasukan Dewan Keamanan


Perjalanan dari Tanzania ke Afrika Tengah memakan waktu yang cukup lama. Apalagi, Tuan Mabogou menyetir dengan kecepatan sedang, tidak ngebut. Maklumlah, penglihatan beliau sudah mulai terganggu. Tidak lagi gesit seperti saat masih muda.
Namun apapun itu, Vivi tetap berusaha menikmati perjalanan. Dia bepergian jauh sekali di usianya yang masih 10 tahun. Tak sampai seminggu, dia sudah melintas di lebih dari sebelas negara di Afrika, melihat berbagai macam negara, berbagai macam kebudayaan. Itu seru, bagi seorang anak kecil seperti dirinya. 
Singkat kata singkat cerita, mereka tiba di rumah Tuan Mabogou di Afrika Tengah. Itu masih rumah beliau yang kecil. 
“Aku akan membangun rumah yang lebih besar suatu hari nanti, Vivi. Sementara ini, inilah rumahku.” Tuan Mabogou tertawa, membukakan pintu. 
Di rumah itu pula, Vivi melihat bagaimana Tuan Mabogou mengobati beberapa pasien yang sakit parah, pasien dengan bentuk tubuh memprihatinkan, pasien dengan harapan sembuh yang sangat kecil. Semuanya diurus oleh Tuan Mabogou. Beliau, sekali lagi, merupakan dukun yang sangat sakti. 
“Ah sebenarnya label sakti itu agak berlebihan, Vivi. Kau tahu, aku sebenarnya hanya orang biasa, dengan keahlian yang tak seberapa, namun orang-orang percaya padaku. Hanya itu.” Tuan Mabogou dengan baik hati menjelaskan saat makan malam. Vivi menyimak dengan penuh makna.
“Apakah Tuan Mabogou menguasai teknik pengobatan herbal?”
Tuan Mabogou tertawa lagi, kali ini tertawa takjub. “Kamu bisa menganalisisnya dengan cepat, Vivi. Kamu gadis yang pintar.”
Vivi mengangguk, bilang terima kasih.
“Oh ya, sampai kapan aku harus berada di sini?” Vivi berucap lagi, segera pindah ke topik pembicaraan yang lain.
“Kamu tidak suka tinggal di sini?”
“Bukan begitu. Hanya saja aku tidak enak hati dengan Tuan.”
“Ya sudah. Besok aku akan memanggil salah satu kenalanku. Dia bekerja sebagai tentara. Dia juga sering tugas sampai ke daerah-daerah terpencil. Mungkin dia bisa mengantarmu ke suatu tempat yang lebih kau sukai. Oh ya, ngomong-ngomong, kau mau mau ke tempat yang seperti apa?”
Vivi terdiam. Dia sejujurnya tidak punya tempat sama sekali untuk pulang. Semua sudah terbakar habis. Tapi dia tahu apa yang dia inginkan. Hanya satu.
“Tempat dimana orang-orang jahat itu tidak mengejarku.”
“Baiklah. Mungkin Mesir, mungkin Mesir masih aman. Nanti aku bicarakan dengan kenalanku. Nah kamu boleh siap-siap tidur sekarang, Vivi.”
Vivi membungkuk, mengucapkan terima kasih atas makan malamnya.
Pasukan Dewan Keamanan, itulah yang disebutkan oleh Tuan Mabogou. Itu adalah nama pasukan yang sama, dengan yang diikuti Brittany bertahun kemudian. 
Jadi begini, Dewan Keamanan Internasional, memiliki semacam kesatuan pasukan tersembunyi, yang ditugaskan untuk menjaga wilayah teritorial tetap aman. Yang dimaksud dengan wilayah teritorial adalah wilayah yang telah dibagi-bagi antar kelompok pasukan (dan pembagiannya itu tertempel di dinding markas Dewan Keamanan). Yang dimaksud dengan “aman” itu berarti bukan tanpa penjahat. Melainkan aman dari gangguan perang besar. Jika ada sebuah kejadian yang diyakini bisa memicu perang besar, maka pasukan Dewan Keamanan wajib meringkusnya. Begitulah kira-kira cara kerja mereka.
Vivi akan bertemu salah satu dari mereka. Eddy nama orang itu. Dan nama itu akan diingat oleh Vivi sebagai nama yang mengesalkan.


185
Mafia VS Pasukan Dewan Keamanan


Eddy adalah seorang prajurit yang gagah, berusia sekitar 27 tahunan, masih bujangan, dan yang terpenting, dia banyak sekali bicara. Sampai-sampai Tuan Mabogou bilang, “kau terlalu banyak bicara untuk seukuran tentara, Eddy.”
Namun biarpun begitu, Tuan Mabogou sangat percaya pada Eddy, dan Eddy sangat menghormati Tuan Mabogou. Dia bahkan menganggap kalau permintaan Tuan Mabogou untuk mengawal Vivi sampai ke Mesir, adalah sebuah tugas suci yang datang dari langit.
“Kau tidak perlu berlebihan seperti itu, Eddy.”
“Aku tidak berlebihan Tuan. Sudah dari dulu aku menanti sebuah tugas dari Tuan. Suatu kehormatan bagiku akhirnya bisa berbuat sesuatu pada Tuan Mabogou, orang yang sudah menyelamatkan nyawaku.”
Ceritanya, Eddy ini pernah diracun oleh musuh, prajurit milisi dari pedalaman Afrika, dia nyaris tidak tertolong. Saat itulah temannya sesama tentara membawanya ke Tuan Mabogou. Naik helikopter, sebuah harapan terakhir. Syukurnya, Eddy selamat. 
Begitulah awalnya bagaimana Eddy bisa jadi kenalan Tuan Mabogou. 
Masih dengan wajah riangnya, Tuan Mabogou menanggapi kalimat Eddy yang dia anggap setengah gurauan itu. 
“Kau pastikan gadis ini tiba ke Mesir dengan selamat, Eddy. Dia diincar oleh orang-orang yang berbahaya. Aku sempat diserang oleh mereka saat membawa gadis ini ke rumahku.”
Eddy menaikkan separuh alisnya. Apakah Tuan Mabogou bergurau? Gadis sekecil ini menjadi incaran orang jahat? Apa untungnya? Tapi baiklah, demi kesucian tugas ini, Eddy memasang wajah serius. 
“Anda tenang saja, Tuan Mabogou. Dia berada dalam pengawalan pasukan Dewan Keamanan. Sekelas tentara Amerika sekalipun, lewat kami buat begitu aku dan teman-temanku turun tangan.”
“Kuserahkan dia padamu, Eddy.”
Vivi berdiri di dekat situ, menghela nafas. Sudah diputuskan, perpisahannya dengan Tuan Mabogou akan terjadi sebentar lagi. Meskipun hanya semalaman bermalam di tempat Tuan Mabogou, pria tua ini tetap mengesankan bagi Vivi. 
Tuan Mabogou mendekat padanya, berlutut. Menepuk-nepuk bahu Vivi, kemudian tersenyum simpul. 
“Kamu tidak akan pernah sendirian di dunia ini, Vivi. Kamu akan menemukan orang-orang yang akan selalu melindungimu, kemanapun kamu pergi. Kamu hanya perlu menemukan mereka. Kudoakan semoga perjalananmu ke Mesir, selamat.”
Vivi menatap Tuan Mabogou, tiga detik. Tidak bereaksi atas kalimat yang baru saja didengarnya. Bagi Vivi, kalimat itu terlalu rumit untuk dicerna. Tapi dia tetap punya pertanyaan.
“Kemana aku harus menuju setelah ini, Tuan?”
“Mesir, Vivi. Seperti yang kubilang tadi malam.”
“Iya, tapi di Mesir, siapa yang harus kudatangi.”
Tuan Mabogou menepuk jidatnya, kemudian tertawa. “Maafkan aku, Vivi. Orang tua ini pelupa. EDDY! Kau dengar ini. Kau antarkan Vivi sampai ke Panti Asuhan Weil, di sana ada kenalanku yang lain. Si pemilik panti, Weil juga namanya. Sebut namaku padanya, lalu bilang, anak angkatku Vivi, hendak menumpang tinggal di sana.”
Eddy mengangguk, kemudian menghormat. Laksanakan Komandan!
“Nah Vivi, sekarang kamu sudah punya tujuan. Berangkatlah Nak. Bergegas. Sebelum mereka tahu kalau kamu sudah lepas dari perlindunganku.”
Vivi mengangguk. Perjalanan segera dimulai, setelah Tuan Mabogou meneriaki Eddy untuk terakhir kalinya, menyuruhnya hati-hati. Eddy sekali lagi mengangguk hormat. Kemudian balik kanan. Mengajak Vivi masuk ke mobil taktis pasukan dewan keamanan. 
Eddy membawa tujuh temannya dalam misi pengawalan itu. Semuanya pasukan terlatih. Mereka membawa senjata lengkap. Siapapun akan berpikir ulang untuk melawan mereka. 
Eddy siap melaksanakan perintah Tuan Mabogou, meskipun itu artinya menyajikan duel antara Mafia VS Tentara. “Kita ke Sudan Selatan, setelah itu naik pesawat ke Kairo.”
“SIAP KAPTEN!”
Nah itulah pangkat Eddy di pasukan dewan keamanan.


186
Review Pertarungan


Alfred lagi-lagi berdiri. Menatap tiga orang yang berada di hadapannya. Vivi yang terikat di kursi, Allary yang tak berdaya di bawah pasungan Brittany, serta Brittany sendiri. Seakan menantikan pujian atas cerita yang baru saja dia ceritakan. 
“Itulah awal konfrontasiku dengan pasukan dewan keamanan. Mereka benar-benar memuakkan. Kuat, gigih, dan tidak kenal takut. Benar-benar merepotkan. Bahkan Brittany Andersen sempat mereka cuci otaknya agar berbalik jadi antek-antek dewan keamanan. Benar bukan, Brittany?”
Brittany menyahut dengan geraman tertahan. Allary bisa mendengarnya. Nampaknya Brittany kesal sekali sepanjang cerita barusan. 
“Ketahuilah, Allary Azra, itulah kali pertama aku terlibat dengan Dewan Keamanan. Sebelumnya tidak pernah. Aku saja tidak peduli dengan mereka. Mereka tidak ada pengaruhnya terhadap kegiatan kami. Persis ketika Hercules menyuruh puluhan anak buahnya mencegat dan membajak mobil Eddy, kami resmi berhadapan. Kau ingin tahu apa yang terjadi, Allary Azra?”
Allary samar-samar mengangguk. Kenapa tidak?
“Mereka melawan dengan gagah. Eddy yang memimpin tujuh temannya. Mereka benar-benar dilatih untuk mengatasi situasi darurat. Situasi genting. Momen-momen peperangan. Yang terpenting lagi, mereka bersenjata. Senjata model terbaru. Bagaimana bisa anak buahku yang hanya jago berkelahi mengalahkan rentetan tembakan peluru? Mengingatnya saja aku marah.”
BRAKKKK!!
Alfred meninju kursinya sendiri. Wajahnya kembali merah padam. “Sejak itu, aku berusaha menyingkirkan Dewan Keamanan dari jalurku. Tapi tidak pernah berhasil, mereka membuat semuanya menjadi rumit. Gara-gara mereka, aku harus menunda banyak hal. Tapi Alfred tidak menyerah semudah itu. Aku selalu mencoba mengalahkan mereka, dan di beberapa kesempatan, aku yang menang.”
Alfred kembali ke kursinya, melanjutkan cerita.

187
Tiba di Mesir


“Kamu tenang saja, gadis kecil.” Eddy menepuk-nepuk bahu Vivi, kemudian mencubit pelan pipinya. Vivi tidak bereaksi atas tindakan pria tentara itu karena dia terlalu gemetar.
Bayangkan saja, baru saja Vivi harus menyaksikan sebuah adegan berdarah, adegan pembantaian. Eddy beserta tujuh orang temannya menembaki sekelompok orang jahat yang hendak menangkapnya. 
Itu bukan pemandangan yang pantas dilihat oleh seorang gadis kecil. Walau bagaimanapun, saat itu Vivi baru berusia 10 tahun, mungkin lebih-lebih sedikit. 
“Vivi,” Eddy menegurnya lagi, mereka sudah kembali menyusuri jalan. Sesuai rute, menuju ke Sudan. Vivi menoleh. Dia cepat menguasai diri. 
“Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah. Oh ya, boleh aku bertanya satu hal?”
Vivi mengangguk. Silahkan.
“Siapa mereka? Aku dengar dari Tuan Mabogou, kamu diincar oleh kelompok yang berbahaya. Iya aku sudah melihat sendiri buktinya. Tapi kenapa? Kenapa mereka mengincarmu?”
Vivi menghela nafas mendengar pertanyaan itu. Entahlah, dia mau menjawab apa? Sejak awal, ini terlalu membingungkan. Dia kehilangan banyak hal, kehilangan sebanyak mungkin yang bisa dia sayangi. Dia harus menguat-nguatkan dirinya. Dia tidak bisa menjelaskan hal ini dengan mudah.
“Aku tidak tahu.”
“Tidak mungkin,” Eddy ikut menggeleng, indera perasanya sebagai seorang prajurit terpancing. Dia tahu ada yang tidak beres. Tidak mungkin sekelompok orang mengejar Vivi tanpa alasan. 
“Tolong jangan memaksaku menceritakannya.”
Melihat mata Vivi yang berubah jadi sendu, Eddy memutuskan untuk mengalah. Gadis sekecil ini sudah membawa beban dan masalah yang begitu besar. Kasian dia. 
“Baiklah. Maafkan aku. Lebih baik kamu tidur, istirahat. Masih ada beberapa jam sebelum kita sampai di bandara Sudan Selatan.”
Negeri Mesir muncul di hadapan mereka. 
Vivi harus cepat menyesuaikan diri dengan iklim Afrika Utara yang kering dan panas. Dia turun di bandara Kairo setelah perjalanan nonstop dari Afrika Tengah. Eddy mengikuti dari belakangnya. 
Eddy hanya sendirian. Tujuh temannya berpisah di bandara Sudan Selatan. Menurut Eddy, tidak akan ada yang mengikuti mereka ke Mesir. “Kita sudah memberi mereka pelajaran yang berharga. Mereka tidak akan berani lagi menyentuh Vivi.”
Setelah turun dari bandara, Eddy memesankan taksi, mengantarkan Vivi ke Panti Asuhan Weil. Dia menemani Vivi juga menyelesaikan urusan di sana. Weil, adalah seorang pria paruh baya berjenggot putih. Dia agak takut-takut melihat Eddy datang dengan senjata bersangkut di punggungnya. 
“Saya hanya mengantarkan anak ini. Dia kenalan Tuan Mabogou. Tuan Mabogou minta kepada anda, agar menjaga anak ini dengan baik.”
“Eh Tuan Mabogou ya?” Weil sedikit sumringah mendengar nama Tuan Mabogou disebut. 
“Ya. Saya harap anda bisa membantu gadis ini. Kasihan dia.”
“Ah tentu Nak. Panti asuhan ini selalu terbuka untuk siapapun yang memerlukan tempat untuk pulang.”
Eddy tersenyum, menyalami Weil. Urusannya di sini sudah hampir selesai. “Terima kasih Mister Weil. Ini alamat saya selama di Mesir. Jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada gadis ini, anda bisa menghubungi saya.”
“Terima kasih, Mister.”
“Kamu diam di sini ya, Vivi. Baik-baik kau, aku yakin kau punya masa depan yang lebih baik. Aku akan tinggal di Mesir buat sementara waktu. Menjagamu dari jauh.”


188
Kita Tidak Punya Waktu


Vivi sebenarnya sangat menikmati suasana di Mesir. Negeri Fir’aun itu menawarkan banyak hiburan dan pesona yang menakjubkan di mata Vivi. Semuanya serba baru. Itu sedikit banyak membantunya untuk melupakan beberapa pengalaman traumatis di masa lalunya.
Vivi sangat menikmati makanan Mesir. Makanan bercita rasa kearaban. Itu rasa yang baru di lidah Vivi. Berupa-rupa makanan dicicipinya. Seminggu pertamanya tinggal di Panti Asuhan Weil, dia dimanjakan dengan berbagai kuliner khas Mesir. Weil sengaja melakukan itu, agar Vivi bisa beradaptasi dengan suasana Mesir. 
Kabar baiknya Vivi juga pandai sekali menyesuaikan diri. Belajar melupakan pengalaman buruk yang dia alami.
Sementara itu, Eddy menyiagakan beberapa orang untuk memeriksa panti itu setiap beberapa waktu tertentu setiap hari. Berganti-gantian. Eddy sedikit banyak khawatir dengan keselamatan Vivi. Apalagi, lewat orang-orang yang dikirimnya, Eddy tahu kalau ada orang-orang mencurigakan yang mengawasi Panti Asuhan Weil.
“Kurasa ini bukan kasus biasa. Vivi itu bukan orang biasa. Dia diincar oleh orang-orang yang serius mengincarnya. Orang-orang yang berbahaya.” Eddy bergumam, mengawasi jalanan Mesir dari salah satu gedung tertinggi di kota Kairo. Diam-diam dia merasa keputusannya untuk tinggal sementara dengan di negeri ini.
“Komandan Edd!” 
Seorang anak buah Eddy berdiri di depan kamarnya. Melaporkan hasil pengamatannya. Tadi dia yang disuruh Eddy untuk mengawasi Panti Asuhan Weil. Ketakutan Eddy malam itu terbukti. Belasan orang tak dikenal sedang berangkat menuju ke panti. Eddy berdecak, langsung menyambar senjatanya di dinding. 
“Aku harus membereskan masalah ini segera.” Eddy beranjak. Malam ini, dia harus mengambil tindakan. Eddy segera berangkat. Anak buahnya yang tadi melapor, dimintanya mengumpulkan sebanyak mungkin teman-temannya. Pertempuran besar tidak terelakkan lagi di sini. 
Malam itu, kawasan panti asuhan milik Weil kacau balau. Belasan orang menyerbu tempat itu. Weil dan pegawai panti tidak berdaya melawan. Mereka kalah jumlah serta tidak berpengalaman bertarung. Weil sempat memanggil aparat keamanan, tapi itu tindakan sia-sia. Mafia Sahara sudah mengamankan kontak agar tidak ada yang bisa menolong panti asuhan itu. Orang-orang ganas menyerbu, merangsek, berseru-berseru, mencari si gadis kecil pembawa tuah, Aamori.
Saat kacau itulah, Eddy dan anak buahnya tiba. Bersenjata. Di bawah perintah Eddy, mereka melepaskan tembakan, membungkam para penyerang panti. Sebagian penyerang dilumpuhkan Eddy dalam pertarungan jarak dekat, sebab menembak mereka berbahaya bagi anak-anak. 
Beruntungnya, Eddy dan anak buahnya jago bertarung. Meski kalah jumlah, mereka berhasil membereskan belasan penyerang panti. Semua diringkus, dan akan dikirimkan ke penjara khusus pasukan dewan keamanan. 
Eddy menemukan Weil dan beberapa anak-anak, termasuk Vivi, bersembunyi di gudang. Dia membantu mereka keluar, bilang semua sudah dibereskan. Eddy menepati janjinya, Weil tersenyum, berterima kasih. 
“Maafkan saya, saya datang terlambat,” ujar Eddy, menjabat tangan Weil. 
“Tidak apa-apa. Terima kasih anda sudah datang menyelamatkan kami. Anda menepati janji anda.”
“Saya harap anak-anak tidak terluka.”
Weil turut menengok ke belakang. Meskipun anak-anak pucat, mereka baik-baik saja. Eddy juga lega mengetahui semua itu. 
Setelah semua anak keluar dari tempat bersembunyinya, Eddy mendatangi Vivi, berlutut di hadapan gadis kecil itu sambil mengecek kondisi tubuhnya.
“Kamu baik-baik saja bukan?”
“Iya. Aku baik-baik saja.”
“Ah syukurlah. Vivi, sebaiknya kita pergi dari sini.” 
Vivi sontak terkejut. Apa kata Eddy, pergi? Dia belum satu minggu di sini. Masa iya dia harus pergi. 
“Tempat ini berbahaya, Vivi. Eh maksudku bukan tempatnya, tapi kamu yang membahayakan penghuni yang lain, anak-anak yang lain. Kita harus pergi. Kamu bisa ikut aku ke kamp Pasukan Dewan Keamanan di Niger. Di sana pasti aman bagimu. Lagipula, aku juga harus ke sana, jadi aku tidak mungkin meninggalkanmu diintai bahaya di sini.”
Vivi terdiam. Tapi omongan Eddy ada benarnya. Lihatlah, malam ini dia membahayakan banyak orang. Keselamatan seluruh penghuni panti. Akhirnya Vivi mengangguk.
“Baiklah. Aku ikut denganmu, Eddy.”


189
Kegiatan Aamori di Niger


Salah satu masa paling damai sekaligus kedamaian paling lama, dirasakan oleh Vivi di Niger. Meskipun negara itu bukan negara yang makmur, selayaknya Mesir atau Afrika Selatan, kondisi di sana, relatif lebih aman. 
Satu alasannya, karena di sana Vivi tinggal di kamp milik Pasukan Dewan Keamanan.
Malam itu juga, Eddy menelepon anak buahnya, bilang untuk segera menyiapkan pesawat. “Kita akan berangkat ke kamp malam ini juga,” tegas Eddy dengan wajah serius. Mobil juga segera disiapkan, Eddy langsung mengajak Vivi untuk naik. Tidak ada perpisahan yang mengharukan. Tidak sempat lagi. 
Tidak sampai subuh, mereka sudah tiba di Niger. Pesawat jet khusus yang dinaiki oleh rombongan Eddy langsung mendarat di kamp mereka, tidak di bandara. 
Begitu Vivi turun, dia langsung disambut oleh kesibukan di Kamp tersebut. Dia sedikit terkejut melihat hal itu. Vivi menengok jam tangannya (pemberian Weil), masih pukul 4 pagi. Eddy tersenyum melihat ekspresi bingung Vivi. 
“Kamp ini selalu sibuk, Vivi. Dua puluh empat jam. Ada pasukan yang pergi untuk misi, ada pasukan yang datang untuk berobat, memulihkan diri, ada pula prajurit yang berkumpul untuk mengatur ulang strategi. Yahh, inilah pusat dari kegiatan pasukan Dewan Keamanan Internasional.”
Vivi turun dari pesawat. Eddy mengajaknya masuk ke salah satu tenda. Dia juga memanggil dokter dari pusat tenda medis untuk mengobati Vivi, memeriksa. Syukurnya tidak ditemukan luka-luka serius. 
Seusai diperiksa, Eddy mencarikan sarapan untuk Vivi. Meski hanya sarapan yang sederhana. Eddy juga menemani Vivi sarapan. Di sini, Eddy kembali dibuat takjub dengan kemampuan Vivi menyesuaikan diri. Gadis ini bahkan tidak lagi terlihat terguncang pasca penyerangan di Panti Asuhan Weil. Dia begitu tenang, terkendali. 
Vivi menghabiskan sarapan yang disediakan. Menandakan mood-nya masih baik. Selain itu, keceriaannya juga tetap ada. Vivi masih nyambung diajak bercanda oleh Eddy. Selepas sarapan sederhana, Eddy menyuruh Vivi beristirahat, tapi Vivi tidak mau.
“Ibuku melarangku istirahat setelah makan, Eddy.”
Eddy nyengir. Dia juga tahu soal itu, tapi dia sering lupa. “Baiklah, kalau begitu, apa kau mau berkeliling, melihat-lihat kamp ini? Aku tahu kau adalah orang yang cepat beradaptasi, tapi kurasa berkeliling sebentar akan menyenangkan.”
Ajakan Eddy tidak ditolak oleh Vivi. Mereka berjalan-jalan, melihat kesibukan di dalam kamp. Ada total 25 tenda besar di area ini. Semuanya adalah tenda yang bisa dibongkar pasang, tidak ada bangunan permanen di sini.
“Ada lebih dari 300 orang yang mendiami kamp ini.”
“Oh ya, apakah tenda-tendanya muat menampung orang sebanyak itu?”
“Tentu saja, karena dari 300 orang itu, paling cuma setengahnya yang ada di tenda. Sisanya keluar, menjalankan misi. Berganti-gantian.”
“Kemana saja kalian biasanya menjalankan misi?”
“Kemana saja. Jangkauan misi kami sangat luas, mencakup seluruh Afrika.”
Vivi manggut-manggut. Dia pernah melihat peta Afrika, benua terbesar ketiga di dunia. 
Pemandangan di dalam kamp itu lumayan menarik. Melihat pada prajurit bertahan hidup di tenda-tenda, ada yang mengobrol, mengelap senjata, memasak, dan tidur. 
“Apa yang bisa kulakukan di sini, Eddy?”
“Kamu bebas melakukan apa saja. Bersenang-senanglah. Kamu adalah orang dalam perlindunganku. Setelah ini aku akan meminta pada jenderal agar kau bisa diizinkan tinggal di sini.”
“Apakah itu artinya aku juga bakal punya misi?”
Eddy tersenyum lucu. “Kau berminat jadi anggota pasukan? Hei sepertinya itu ide yang bagus.”
“Tapi aku tidak suka berkelahi, Eddy.”
“Hei, jadi anggota pasukan dewan keamanan, tidak selalu berarti kau harus berkelahi. Kau bisa jadi yang lain. Mata-mata, analis, tenaga logistik, atau tenaga medis tambahan.”
Vivi mengerjapkan mata. Itulah misi hidupnya dalam dua tahun ke depan. Jadi anggota medis pasukan Dewan Keamanan.


190
Serbuan Paling Mengerikan


Setelah tiga sesi bercerita, Alfred kembali menyetop ceritanya. Dia kemudian bangkit dari kursinya dan mendatangi Allary. Sekali tarikan tangan, Alfred melepas sumpal mulut Allary Azra. 
“Kau jangan berani bicara macam-macam. Aku membuka mulutmu bukan untuk mendengarmu berteriak, atau memaki-maki tindakanku.” Alfred menatap tajam ke arah Allary, sebaliknya, Allary tidak menghindar, dia dengan tajam pula menatap ke arah Alfred. Tindakan Allary itu membuat Alfred tersenyum. 
“Lihat baik-baik ini heh,” Alfred menunjuk Allary sambil menengok ke arah anak buahnya, “sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melihat tatapan mata seberani ini. Bahkan musuh terketatku sekalipun, tidak berani menatapku setajam itu. Kau memang bukan orang biasa, Allary Azra. Pantas saja kau berani menyerang sampai ke sini.”
Allary tidak mengendurkan tatapan tajamnya. 
“Tapi yahh,” Alfred mengangkat bahu, “keberanian saja tidak cukup untuk melawanku, apalagi kalau kau bodoh.”
Allary tetap menatap dengan tajam. 
“Kau jangan salah, Allary Azra. Aku tidak takut dengan tatapan tajammu itu. Jika dengan pasukan dewan keamanan itu saja aku tak takut, kenapa aku harus takut denganmu?”
“Kau bahkan tidak bisa menyentuh pasukan itu. Kau tidak pernah menang.”
Alfred tertawa keras. “Oh jadi begitu penilaianmu. Baiklah, kau benar, aku memang kalah dalam dua kali pertarungan pertamaku melawan mereka. Tapi itu semata-mata karena aku tidak serius. Aku hanya menurunkan orang-orang suruhan. Apa kuatnya mereka. Kau tidak bisa menilaiku hanya dari orang-orang suruhanku itu, Allary Azra. Nilailah saat aku benar-benar mengirimkan pasukan terlatih milikku. Mereka kocar-kacir juga dibuatnya. Benar bukan, Brittany Andersen?”
“Benar. Kamp milik pasukan dewan keamanan hancur lebur saat penyerbuan yang dilakukan Mafia Sahara. Mereka terpaksa memindahkan markas mereka ke luar Afrika untuk beberapa tahun, sampai akhirnya berdamai.”
Alfred tertawa lagi. “Nah begitulah Allary Azra. Aku berhasil menyusupkan orang-orangku ke markas mereka, ke kamp mereka. Perlu waktu dua tahun untuk....”
“HMMMPPPPHHHH!!!” 
Tiba-tiba terdengar suara seruan yang keras dari belakang. Vivi berteriak-teriak. Alfred menyunggingkan senyum. “Buka sumbat mulutnya. Aku hendak dengar apa yang dia katakan.”
“SEHARUSNYA KAU MENANGKAPKU SAJA! TIDAK PERLU MENGHANCURKAN KAMP ITU!” 
“Well, jika begitu, aku tidak perlu menunggu waktu dua tahun. Aku jelas tidak mau membuang seluruh kerja kerasku dalam membalaskan dendam pada mereka. Mereka telah menghalangi rencanaku, maka tidak ada yang akan mereka dapat, selain abu dan darah. Tanyakan itu pada Brittany Andersen.”
Brittany menganggukkan kepala, sebagai jawabannya.  


191
Sekolah Berasrama di Kota Fez


Alfred benar dengan ceritanya. Vivi memang menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan berkembang di Kamp Pasukan Dewan Keamanan. Dua tahun lamanya, tidak ada gangguan berarti. Eddy dan teman-temannya menjaga Vivi dengan sangat baik. Selain itu sepertinya, Mafia Sahara juga tidak berani macam-macam dengan Pasukan Dewan Keamanan.
Masa yang panjang itu digunakan Vivi sebaik-baiknya untuk belajar. Dia mengembangkan pengetahuannya. Perkembangan Vivi sangat baik, dia pintar, cepat beradaptasi serta sangat ramah. 
Selain belajar di bidang akademik bersama guru-guru yang didatangkan Eddy dari berbagai penjuru, Vivi juga belajar menjadi juru rawat medis. Dua tahu belajar langsung dari dokter di Kamp, Vivi menjadi juru rawat yang terampil. Usianya saat itu baru 12 tahun, tapi pengetahuan disertai pengalamannya sudah setara dengan mahasiswa kedokteran. 
Lalu sampailah pada kejadian yang amat memilukan dan mengerikan tersebut. Serbuan Mafia Sahara. Eddy dan teman-teman prajuritnya silap. Tidak menyangka semua ini bakal terjadi. Semua orang menjadi panik. Mafia Sahara sudah menyamar jadi prajurit. Seketika menunjukkan topeng aslinya, menusuk dari dalam. 
Di tengah kekacauan itu, Eddy berhasil melarikan Vivi naik ke sebuah mobil. Mobil itu dia serahkan pada salah satu anak buahnya. Eddy meminta agar anak buahnya itu, melarikan Vivi sejauh-jauhnya dari Niger. 
Setidaknya, berkat itu kemudian, Vivi selamat. Namun kejadian berikutnya tidak diduga oleh Eddy. Anak buahnya yang diminta membawa Vivi kabur itu, adalah anak buah Mafia Sahara yang menyamar. 
Vivi kemudian dibawa Libya. Ke kota Fez. Di sana Alfred Vindhesel sudah menunggu. Di kota Fez tersebut, Mafia Sahara memiliki sebuah fasilitas yang mengerikan. Fasilitas cuci otak. Disamarkan dalam bentuk sebuah sekolah. 
Sekolah berasrama kota Fez. Begitulah Vivi menyebutnya di kemudian hari. Vivi sendiri diturunkan dari mobil dalam keadaan pingsan dan terikat. Sepanjang jalan, begitu mengetahui kalau dia sedang berada bersama musuhnya, tertangkap, Vivi segera melawan. Sayang, karena dia tidak suka berkelahi, dia tidak pernah bisa dalam berkelahi. Dia dengan mudah diringkus. 
Sekolah berasrama kota Fez memiliki seorang dokter gila bernama Nuurmen. Dia orang Jerman. Ahli sekali dalam hal mind changer dan brainwashing. Dokter Nuurmen berpengalaman sejak perang dingin. Dia telah menjalankan ratusan kali “operasi” cuci otak sejak bekerja untuk Alfred dan Mafia Sahara.
Ke hadapan dokter gila inilah Vivi kemudian dibawa. Dokter Nuurmen memberikan pertanyaan standar, hendak menguji seberapa tingkat kesulitan cuci otak pada Vivi. Tapi Vivi sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tahu apa yang akan terjadi. Sesuatu yang buruk. Alfred bukan main kesal melihat reaksi Vivi yang sama sekali bungkam.
“Tidak perlu marah-marah begitu, Bos Besar. Aku sudah berpengalaman mencuci otak ratusan orang di sini, gadis kecil polos ini akan menjadi yang berikutnya. Aku jamin, aku tidak akan gagal.”
“Aku pastikan kau tidak akan berhasil.” Vivi tiba-tiba buka suara.
“Oh ya? Kau tidak akan menyadarinya Nak. Aku punya banyak metode. Proses cuci otak akan selesai dalam enam bulan. Setelah itu, kau tanpa sadar sudah taat patuh, pada Mafia Sahara.”
Vivi menggeleng kuat-kuat. 
Dokter Nuurmen berdiri, memanggil pelayan. “Antarkan dia ke kamarnya. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Biarkan dia menyadari kalau rumah barunya ini, tidak terlalu buruk untukunya.”
Proses cuci otak ini benar-benar sudah dimulai, batin Vivi. Dia berdiri, ikut mengikuti jalan pelayan yang hendak mengantarnya ke kamar. Vivi memasang tekad dalam hati, bahwa dia tidak akan terpengaruh, apapun yang dilakukan oleh Mafia Sahara padanya.


192
Teman Lama


Entahlah, tapi mungkin dalam kasus Vivi alias Aamori si anak bertuah, rencana, pengalaman dan pengetahuan Dokter Nuurmen untuk pertama kalinya, tidak lagi berguna. 
Semua itu dipatahkan oleh keberuntungan yang dimiliki oleh Vivi. 
Setidaknya, keberuntungan pertama yang dia temukan di sekolah berasrama ini adalah seseorang yang menyapanya pada pagi hari berikutnya, setelah dia tiba di Libya. 
Brittany!
Betapa mengagetkannya pertemuan mereka bagi Vivi. Brittany sendiri langsung melompat begitu melihat teman lamanya itu muncul di sekolah berasrama. Brittany terlihat tidak banyak berubah. Kecuali dia makin tinggi dan ada bekas dua luka goresan di pipinya.
“Oh ini, terluka saat menjalankan misi,” jelas Brittany saat Vivi bertanya. Kata “misi” itu membuat Vivi menjadi waspada. Jangan-jangan Brittany saat sudah berbeda dengan Brittany yang dikenalnya. Jangan-jangan Brittany sudah dicuci otaknya oleh Mafia. 
Biarpun harus waspada penuh, Vivi tetap tidak bisa menyembunyikan rasa pertemanannya dengan Brittany. Mereka segera akrab lagi. 
“Mereka tidak mencuci otakku,” ujar Brittany pelan. Mereka sekarang ada di kamar Brittany, sisi terjauh dari sekolah berasrama. Itu kamar yang spesial. Vivi menyernit heran. Hei bagaimana bisa Brittany berkata tidak? Satu, orang yang telah tercuci otaknya mana mungkin sadar dia sudah kena manipulasi, dua, Brittany jelas dan nampak terlihat, dispesialkan oleh Mafia Sahara. Dia adalah anak emas. 
“Hei, aku serius. Aku hanya berpura-pura patuh. Saat pertama kali tiba di sini, aku berhasil meyakinkan Alfred bahwa aku adalah seorang anak yang setia dan bisa diajak masuk organisasi mereka tanpa harus dicuci otaknya.”
“Tapi kenapa kau melakukan itu semua?”
“Untuk mencarimu, Vivi.”
“Eh?”
“Kamu adalah buronan nomor satu Alfred. Dengan menjadi salah satu anak yang spesial di sini, aku kira, aku bisa menemukan informasi tentang keberadaanmu.”
“Kau berhasil?”
“Tidak juga. Aku tahu kamu lama di Niger, markas pasukan dewan keamanan itu. Tapi, aku tidak pernah punya kesempatan untuk pergi ke sana.”
Vivi manggut-manggut. 
“Tapi ya, lupakan saja itu. Sekarang kamu ada di sini. Aku benar-benar senang.”
Kali ini Vivi menggeleng. “Situasiku di sini tidak baik, Brittany. Dokter Nuurmen menjalankan proses cuci otaknya padaku. Aku benar-benar khawatir akan kehilangan diriku sepenuhnya.”
“Hei, itu tidak akan terjadi. Aku jamin.”
“Bagaimana bisa, bukankah katanya dokter itu bisa mencuci otak siapa saja, bahkan tanpa dia sadari?”
“Karena kita akan segera melarikan diri dari tempat ini.”
Vivi tercengang.


193
Rute Pelarian Ala Brittany


Vivi terdiam beberapa saat, mungkin selama beberapa detik setelah Brittany mengungkapkan ide gilanya. Melarikan diri dari tempat ini? Dari sekolah berasrama yang dijaga oleh puluhan tukang pukul milik Mafia Sahara? Itu terdengar sangat mustahil. 
Akan tetapi, lihatlah wajah Brittany saat ini. Begitu optimis, begitu yakin. Vivi mengenal Brittany sejak di Panti Asuhan istimewa di Johannesburg, tahu kalau Brittany penuh dengan ide-ide gila, dan dia selalu termotivasi untuk mewujudkannya. Sejak kecil, Brittany seperti memang dilahirkan seperti itu. Tambahan, dia selalu berhasil memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang dia mau dan dia inginkan.
“Kita akan melarikan diri dari tempat ini, Vivi. Kamu serahkan saja padaku, aku sudah bergabung bersama mereka selama dua tahun. Aku tahu persis jalur-jalur pelarian dari tempat ini.”
Brittany membentangkan peta yang dia miliki di kamarnya, menunjuk ke tempat yang mereka tinggali sekarang, “kota Fez. Dari sini, kita akan turun ke Ghana, kemudian ke Mali, memotong jalan ke Niger, kemudian naik ke Sudan Selatan, ke Mesir, Tunisia dan akhirnya ke Eropa. Aku punya paspor Italia. Kita bisa mendarat di sana.”
Vivi menyernitkan kening. Entahlah, rencana itu sepertinya terlalu mudah untuk dilaksanakan. Apalagi sepanjang jalannya, Vivi selalu melihat satu demi satu orang yang hendak melindunginya, selalu berakhir diserang Mafia Sahara. 
“Aku berbeda, Vivi. Karena aku adalah bagian dari mereka.”
Vivi menggeleng, “aku tidak bisa membahayakan keselamatanmu, Brittany.”
“Kita berdua akan selamat, Vivi. Aku percaya akan hal itu, jadi kamu juga harus percaya. Kamu bersedia? Jika kamu bersedia, maka aku akan segera menceritakan bagaimana rencanaku.”
Vivi akhirnya mengangguk. Setidaknya dia ingin mendengar seperti apa rencana yang ada di kepala Brittany.
“Besok pagi, kamu jangan keluar dari kamarmu. Saat bel tanda bangun tidur dibunyikan, kamu jangan pedulikan. Pura-pura tidur saja. Pun saat ada yang hendak membangunkanmu, jangan biarkan dia masuk, kunci pintu kamarmu sebelum tidur. Jika pelayan mulai menggedor, kamu jangan peduli. Teruslah berpura-pura, kalau kamu belum bangun.”
“Tapi bukankah itu akan membuat mereka marah?”
“Untuk beberapa orang, kepala pelayan akan sangat marah. Tapi tidak untuk kamu. Kamu adalah anak yang istimewa. Mafia Sahara membutuhkan kamu dan tuahmu itu. Mereka akan memperlakukanmu spesial, bahkan lebih spesial dariku. Dulu, aku bisa sarapan pukul 9 pagi karena telat bangun dan tidak ada yang memarahiku di sini. Apalagi kau.”
Masuk akal juga rencana Brittany ini.
“Lalu setelah itu?”
“Saat bel sarapan dibunyikan, kamu juga jangan pedulikan. Tahan rasa laparmu. Sampai akhirnya mereka mendobrak pintu kamarmu. Nah jika mereka, para pelayan bertanya, kamu kenapa? Nah di situlah kunci permainanmu.”
“Apa yang harus kukatakan?”
“Katakan, kamu sakit telinga.”
“Kenapa harus sakit telinga?”
“Karena di tempat ini, tidak ada dokter THT. Mereka tidak akan bisa menangani sakit itu di sini. Otomatis, mereka akan membawamu ke klinik yang lebih baik. Saat itulah kesempatan kita.”
“Apa yang akan kamu lakukan?”
Brittany tersenyum misterius. Maksud senyumnya itu, kamu lakukan saja semua skenario yang kujelaskan itu dengan sebaik-baiknya. Sisanya, biar aku yang menyelesaikannya.


194
Aku Benci denganmu, Brittany


Tiga sesi, Alfred kembali menyudahi cerita sejenak. Kali ini dia bangkit mendatangi Brittany. Allary yang masih berada di dekapan Brittany dengan ancaman alat setrum, kembali menghadiahkan tatapan tajam.
Namun kali ini, Alfred tidak ambil peduli. Lagipula sekarang Allary tidak bisa berkomentar. Mulutnya sudah disumpal.
“Kau benar-benar bajingan yang buruk, Brittany Andersen.” Alfred menatap Brittany lekat-lekat, tangannya mulai menunjuk-nunjuk ke arah hidung. “Dua tahun lamanya, kau kudidik, kuajari banyak hal secara khusus, kuperlakukan kau secara spesial, ternyata kau malah mengkhianatiku dengan cara yang busuk.”
Brittany diam, tetap tenang. Alfred menghela nafas.
“Yeah, tapi salahku juga, terlalu percaya pada kau waktu itu, Brittany Andersen. Kau adalah orang pertama yang bisa menipu Alfred Vindhesel secara mentah-mentah. Bakatmu sebagai spion, mata-mata, terasah dengan sangat baik.”
Brittany tetap diam, begitu tenang. 
“Tapi kau tidak tahu, kalau sebenarnya aku telah mencuci sebagian isi otakmu itu agar setia padaku. Sewaktu-waktu saat aku membutuhkanmu, aku bisa memanggilmu dan kau akan mendatangiku, siap menerima perintah. Dan lihat, hari itu telah datang. Perhitunganmu salah besar dalam hal ini, Brittany Andersen, akuilah.”
“Benar, ayah.”
Alfred tertawa dengan keras. “Ketahuilah Brittany Andersen, saat kau kabur meninggalkan Sekolah berasrama hari itu, menipuku mentah-mentah, sebenarnya aku memaafkanmu. Aku tidak mau repot-repot membuang waktu, hanya untuk mengurus seorang anak berusia 12 tahun. Buat apa? Tidak berguna. Tapi kau kabur membawa anak paling spesial. Harta karun Mafia Sahara, Vivi alias Aamori, si anak bertuah. Karena itulah aku tidak membiarkanmu melarikan diri dariku, begitu saja.”
“Benar ayah.”
“Obsesiku pada Aamori memang terlihat kurang wajar, tapi tuah yang dia miliki, juga di luar batas wajar. Bayangkan saja, dalam satu minggu dia tinggal di Sekolah berasrama, di wilayah Mafia Sahara, pemasukan kami meningkat delapan kali lipat. Wajar bukan kalau aku terobsesi?” Alfred bertanya, retoris.


195
Pertarungan Seorang Brittany


Skenario aneh Brittany Andersen ternyata terbukti jitu. Vivi melaksanakan semua hal yang dikatakan Brittany sampai sedetil-detilnya, bahkan dia menambahkan beberapa akting tambahan, pura-pura sakit yang sangat meyakinkan. Berkat akting itu, kepala pelayan sama sekali tidak menaruh curiga, langsung memanggil supir untuk mengantar Vivi ke klinik khusus THT. 
Saat Vivi hendak diangkut ke mobil, saat itulah Brittany muncul. Itu detik yang krusial, juga menegangkan bagi Vivi. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Brittany, temannya, seorang gadis yang baru berusia 12 tahun, pandai sekali dalam berkelahi. Brittany merangsek, menyerbu empat orang pelayan yang hendak menaikkan Vivi (yang pura-pura tergolek ditandu), dan seketika melumpuhkan mereka semua.
“Ayo Vivi, kita bisa memakai mobil ini sebagai alat pelarian kita.” Brittany langsung menarik tangan Vivi. Mereka langsung naik, tancap gas sebelum ada penjaga atau kaki tangan Mafia Sahara yang menyadari kejadian tadi. 
“Astaga, Brittany, sejak kapan kamu menguasai teknik beladiri seperti tadi?”
“Ha, bagaimana pendapatmu, Vivi? Aku sudah berkembang pesat bukan?”
Vivi tidak setuju. Itu bukan berkembang lagi, itu melompat. Brittany dengan mudah melumpuhkan empat orang dengan tendangannya. Memang ada faktor kejutan di situ, tapi ayolah, siapa yang menyangka gadis berusia 12 tahun bisa melakukannya?
“Aku sudah berlatih selama dua tahu terakhir, Vivi. Kehidupan di sini keras. Aku sudah dihajar berkali-kali, mungkin bahkan ratusan kali oleh para petarung milik Alfred. Aku anggap itu sebagai latihanku.”
“Dan hei, kamu bisa mengendarai mobil!” Vivi berseru lagi, baru menyadari satu hal, sedari tadi, Brittany mengemudikan mobil sendiri. 
“Sudah kubilang, selama dua tahun ini aku banyak berlatih.”
Brittany ngebut. Postur tubuhnya yang tinggi, membuat kaki-kakinya menginjak pedal gas dan rem dengan mantap. Keahliannya dalam menyetir nampaknya tidak boleh diragukan. Lagipula, mereka memang perlu ngebut, sebab Mafia Sahara boleh jadi sudah mengejar mereka di belakang. 
“Apakah mereka bisa menangkap kita lagi, Brittany?”
“Siapa?” 
“Mafia itu.”
Brittany tersenyum tipis, “itulah yang kukhawatirkan. Tapi kamu tidak usah cemas. Selama mereka tidak bisa mengejar kita, mereka tidak akan bisa menangkap kita.”
Vivi berusaha mengatur nafasnya, berusaha tenang, seperti yang biasa dia lakukan. 
Jika saja tanpa ancaman pengejaran itu, perjalanan mereka boleh jadi sangat menyenangkan. Bersama Brittany, Vivi menjelajah beberapa negara berbeda, sampai ke tempat pemberhentian mereka, di Ghana. Selain untuk mengisi bahan bakar, Brittany hanya berhenti sekali. Di pos perbatasan Maroko.
“Kenapa kita berhenti di sini, Brittany?”
“Karena sesuatu hal. Ada yang harus dibereskan.”
“Apa?”
“Mafia Sahara punya pos penjagaan di selatan Maroko. Perbatasannya dengan Sahara Barat. Kita harus melewati pos itu dan membungkam para penjaganya untuk lolos.”
Itu berarti? Vivi buru-buru mencegah, dia tidak ingin Brittany membahayakan dirinya sendiri. 
“Aku akan baik-baik saja, Vivi. Aku akan menghadapi mereka. Setelah urusan di situ beres, kita bisa melanjutkan perjalanan.”
Brittany memberhentikan mobil sekitar tiga puluh meter dari pos jaga Mafia Sahara di perbatasan Maroko dan Sahara Barat. Itu jarak yang cukup dekat. Vivi dari kejauhan, samar-samar masih bisa melihat adegan perkelahian Brittany, dengan ketangkasannya, gadis itu mampu merobohkan lawan-lawannya.


196
Hukuman Menanti Brittany


Membiarkan lawannya menang, memukuli mereka dengan mudah, membuat diri mereka sendiri terlihat seperti pesakitan, seperti mudah sekali dikalahkan tapi kemudian membalas dengan cara yang sangat menyakitkan, sepertinya sudah merupakan ciri khas dari Mafia Sahara. 
Termasuk dalam kasus Brittany kali ini. Seperti kata Alfred, Brittany tidak pernah belajar tentang hal yang satu ini.
Perjalanan Brittany dan Vivi terlihat lancar, baik-baik saja pada awalnya, bahkan menyenangkan. Mereka masuk ke Sahara Barat dan terus meluncur turun ke Ghana dengan selamat. Brittany bisa mengendalikan mobil dengan lancar, tanpa ada hambatan sedikitpun.
Itu sebenarnya sudah cukup mencurigakan. Tapi Brittany yang saat itu masih berusia 12 tahun, tidak ambil pusing. Dia masih cukup polos untuk melewatkan analisis semacam itu. 
Mereka sampai di Ghana dengan selamat, untuk bertemu dengan pasukan besar yang telah menunggu mereka. Ratusan orang telah menghadang jalan mereka. Orang-orang itu berwajah garang, dengan pakaian hitam-hitam. 
“Tukang pukul Mafia Sahara,” Brittany bergumam. Dia hendak keluar, beraksi, tapi Vivi mencekal tangannya, cepat-cepat.
“Jangan keluar, Brittany. Berbahaya.”
“Kita tidak bisa diam saja, mereka bisa menangkap kita di sini.”
“Tapi kamu tidak mungkin juga melawan mereka. Jumlah mereka banyak sekali, kau lihat?”
Brittany bungkam. Sejujurnya dia juga gentar. Namun dia juga tidak akan membiarkan dirinya dan Vivi tertangkap begitu saja. Mereka bisa dihabisi. 
“Aku harus turun, Vivi. Setidaknya aku akan mencoba melawan mereka.”
“Itu mustahil, Brittany.”
“Tap...”
“HEI KALIAN BERDUA! CEPAT KELUAR DARI MOBIL! PELARIAN KALIAN SUDAH BERAKHIR DI SINI!!” 
Vivi dan Brittany berpandangan. Sama-sama takut. 
Salah satu anggota pasukan mendekati mobil. Membukanya dengan paksa. Brittany hendak melawan, tapi tidak kuasa. Dia dan Vivi berhasil diringkus dalam waktu kurang dari satu menit.
“Lepaskan kami hei!” Brittany berteriak, meronta-ronta. Tapi prajurit yang menelikung tangannya saat ini tidak menghiraukan. Terus mendorong Brittany agar mengikuti arahan. Masuk ke dalam truk. 
“Kalian benar-benar membuat masalah, kalian tidak bisa menyakiti anak spesial dari Tuan Alfred.” 
“Ah Nona Brittany, kau tenang saja, kami tidak akan menyakiti anak spesial Tuan Alfred.”
“Bagus, kalau begitu lepaskan aku. AKHHHH!!”
Bukannya melepas, prajurit itu malah mengeratkan cekalannya di tangan Brittany. Membuatnya berteriak memilukan.
“Hei, sudah kubilang, kau tidak bisa melakukan hal ini pada anak spesial Tuan Alfred.”
“Kami tidak akan tertipu untuk kedua kalinya, Nona Brittany. Kali ini kau sudah tamat. Sebuah hukuman berat sudah menunggumu, Tuan Alfred sendiri yang telah memutuskan. Dan lupakan soal anak spesial. Di keluarga ini, hanya Aamori si Anak Bertuah yang diistimewakan, anak spesial Tuan Alfred. Sisanya, hanya remah roti yang bisa diremukkan kapan saja.”
Brittany mendesis geram mendengarnya. Sementara Vivi mencemaskan nasib Brittany selanjutnya. Hukuman berat macam apa yang telah disiapkan mafia untuknya. Vivi tidak mau itu terjadi. Dia memohon agar dirinya saja yang dihukum.
“Tenang saja Nona Aamori. Kamu tidak akan berpisah dengan teman setiamu ini. Bos Besar telah bertitah, kamu boleh melihat dan harus melihat eksekusi seorang pengkhianat.”
Tunggu dulu....
Apakah itu artinya....


197
Rumah Jagal di Timbuktu


Brittany dan Vivi dinaikkan ke sebuah truk, mereka diikat dengan mulut disumbat di bagian belakang, di bagian muatan. Prajurit yang memasukkan mereka ke bagian muatan memeriksa dengan seksama, sebelum akhirnya mengunci pintu truk itu. 
“Aku tidak akan membiarkan kalian membebaskan diri lagi seperti sebelum-sebelumnya.”
Suasana dalam truk gelap. Vivi dan Brittany sama sekali tidak punya ide, mereka hendak dibawa kemana. Yang jelas, perjalanan itu terasa sangat panjang. Lebih menyiksa lagi karena perut Brittany keroncongan. Brittany beberapa kali terdengar meronta, hendak melepaskan diri tapi tidak bisa. Adapun Vivi yang belajar untuk tenang dalam situasi seperti ini, berusaha memejamkan mata sejenak, tidur. 
Mereka diturunkan di depan sebuah bangunan yang mirip dengan rumah (tapi tidak terlalu mirip) karena rumah itu kotor sekali. Alfred Vindhesel sendiri yang menyambut mereka di sana. Tersenyum puas melihat kedua “anak”-nya telah diringkus. 
“Buka sumpal mulut mereka berdua,” perintah Alfred. Begitu sumpal mulut itu lepas, Brittany langsung menyumpah-nyumpah, tapi Alfred membuat gesture agar dia diam. 
Alfred menghampiri mereka berdua dan mengelus-elus rambut Vivi dan Brittany. Seolah mereka berdua benar-benar anaknya.
“Yeah, kalian berdua adalah anak-anak yang spesial bagiku. Ada Brittany Andersen yang sangat cerdas, cepat tanggap serta bisa bertarung. Ada juga Aamori si anak bertuah. Sejujurnya aku amat menyayangi kalian berdua, tapi sayangnya, hari ini, nasib salah satu dari kalian, harus diakhiri.”
Vivi langsung tercekat. “Apa maksudmu?”
“Kamu akan tahu segera, tapi bisa kupastikan, apapun yang akan berakhir hari ini, itu bukan Aamori dan tuahnya. Kamu masih kuperlukan, Nak.”
Vivi semakin kalut. Itu artinya hanya satu. Brittany ada dalam bahaya.
Prajurit Mafia Sahara membawa mereka berdua ke dalam rumah. Pemandangan dalam rumah itu benar-benar memuakkan. Ada banyak sekali bercak darah di lantai, di dinding, bahkan sampai ke langit-langit. Tempat apa itu sebenarnya? Itulah rumah jagal Mafia Sahara. Tempat menghukum. 
“Ikat Brittany Andersen di tiang hukuman.” Alfred kembali bertitah. Vivi semakin gemetar. Brittany sebaliknya, terlihat tenang sekali. Dia pasti punya beberapa rencana dalam kepalanya. 
Perintah Alfred segera dilaksanakan. Gadis kecil berusia 12 tahun itu kini benar-benar terikat macam seorang pesakitan. Tangannya terikat ke atas, sementara kaki-kakinya terpasung. Dia tidak bisa bergerak lagi. Alfred mendekat, kemudian memukul wajah Brittany dengan keras. 
“Anak tak tahu diuntung. Kudidik kau agar menjadi prajurit yang berguna bagi Mafia Sahara, kau malah berkhianat. Padahal aku menaruh banyak harapan padamu, Brittany Andersen.”
“Aku tidak memerlukan harapan darimu, Alfred. Tidak perlu. Sejak awal, aku hanya bergabung dengan kalian untuk menyelamatkan...”
“Yeah, aku sudah mendengarnya. Membosankan sekali, ikatan pertemanan, bla-bla-bla. Kau tahu, di dunia hitam, pertemanan adalah racun, sesuatu yang bisa membunuhmu kapan saja. Barangkali, kau dan Aamori ini, harus diajari sedikit tentang adat pertemanan di dunia hitam.” Alfred tersenyum seram. Seperti hendak memakan Brittany hidup-hidup. 
“Aku tidak takut denganmu.”
“Aku tahu itu. Tapi temanmu yang akan menjerit ketakutan,” Alfred masih memasang wajah seramnya, “seret Aamori ke sini, pastikan dia melihat temannya hancur, senti demi senti.”
Belum juga ditarik, diseret-seret, Vivi sudah berteriak histeris.


198
Hari Dimana Aku Nyaris Mati


“Kau tahu, Brittany Andersen, dari semua orang yang pernah berurusan denganku, kau adalah orang yang paling merepotkan.”
Alfred menatap Brittany tajam-tajam. Allary yang berdiri tak sampai dua puluh senti darinya saat ini, bisa merasakan kalau bos besar Mafia Sahara ini, menyimpan dendam yang sangat besar, pada Brittany. 
“Kau selalu mempersiapkan segalanya, kau telah menyiapkan banyak sekali rencana. Kau selalu membuatku terkejut.” Alfred masih marah-marah, kemudian dia balik kanan, mondar-mandir. Agaknya hendak mengendalikan dirinya. 
“Kau ingin tahu, Allary Azra, bagaimana caranya anak tak tahu diuntung ini, meloloskan diri dari hukuman yang kuberikan. Padahal hari itu, dia sudah nyaris habis di tanganku.”
Allary mengangguk. Semakin Alfred menceritakan kisah ini, dia semakin tertarik. Sekarang Allary sudah mulai penasaran, ingin tahu lebih banyak tentang jalan ceritanya. 
“Caranya sungguh tak terduga. Out of the box. Berada di luar perhitunganku. Dalam sekejap, keadaannya berbalik. Awalnya Brittany Andersen yang hampir mati, seketika berubah jadi, aku yang hampir mati. Bukankah itu mengesalkan?”
Allary kaget. Apakah dia tidak salah dengar? Alfred si bos Mafia Sahara hampir mati? Bagaimana caranya?
“Pasukan Dewan Keamanan. Itulah jawabannya. Rupanya, sebelum pasukanku berhasil menangkap mereka berdua, Brittany telah menghubungi Eddy dan pasukan dewan keamanan. Mereka datang dalam jumlah yang banyak, bagai berjatuhan dari udara. Pasukanku tidak siap. Kami semua nyaris disapu bersih. Beruntungnya aku masih lolos. Nah coba kau bayangkan, ada anak kecil yang bisa memikirkan ide seperti itu. Bukankah itu luar biasa?”


199
Eddy, Pria dari Pasukan Dewan Keamanan


Eddy dan teman-temannya datang membantu Vivi dan Brittany. Mereka datang dengan kekuatan penuh. Tak kurang dari tujuh pesawat diturunkan oleh mereka dalam misi penyerbuan kali ini. Semua itu tidak sia-sia, Eddy berhasil menyelamatkan Vivi, dan yang terpenting, menyelamatkan Brittany dari ancaman kematian.
Sekali lagi, tuah Aamori terbukti lagi di sini.
Melihat Vivi naik di pesawat itu, Eddy tidak bisa menutupi rasa senangnya. Dia tidak tahan untuk memeluk Vivi erat-erat. “Kamu tenanglah. Kalian berdua sudah selamat.”
“Eddy, tolong selamatkan temanku,” Vivi berucap tersendat, terisak. 
“Tenanglah. Kita akan cari tempat aman, setelah itu kami akan memanggil dokter. Kamu bisa menahan rasa sakitnya bukan, gadis kecil?”
Brittany mengangguk. Mengingat masih banyak hal buruk yang bisa terjadi di dalam rumah jagal itu, rasa sakit ini bukan apa-apa. 
“Oh ya, ngomong-ngomong, darimana kalian mendapatkan nomor kontak pasukan dewan keamanan?”
Vivi mengangkat bahu, dia saja terkejut sekali melihat Eddy datang lagi, tidak kurang suatu apa.
“Aku yang menghubungi markas kalian,” sahut Brittany, kalimatnya terputus-putus, “aku tahu kalian adalah orang-orang hebat. Kami bisa mengandalkan kalian, karena itulah aku menyimpan nomor itu.”
“Hei tapi darimana kau mendapatkannya? Tidak sembarang orang bisa mendapatkan nomor pusat dewan keamanan, apalagi untuk anak berusia 12 tahun. Itu...”
“Eddy, dia masih kesakitan. Jangan kau paksa dia mengobrol.”
Eddy menepuk dahi. Astaga, dia minta maaf, karena terlalu ingin tahu, dia sampai melupakan kondisi. 
“Kukira aku tidak akan melihatmu lagi, Vivi.” Eddy kembali mengajak mengobrol. Nampak sekali kalau dia sedang senang. “Saat Mafia Sahara memporak-porandakan kamp kami, aku pikir, aku tidak akan bertemu lagi denganmu. Satu ucapan terima kasih pada temanmu karena kita bisa bertemu lagi berkat dia.”
“Kamilah yang berhutang terima kasih pada pasukan dewan keamanan.”
Eddy nyengir. “Oh tidak apa-apa. Lagipula kami tidak melakukannya demi kalian saja. Ini untuk membalas apa yang dilakukan mafia itu pada kamp kami. Mereka pikir kami akan diam saja, membiarkan mereka berbuat seenaknya? Heh, jangan harap.”
Vivi dan Brittany sama terpesona oleh gaya Eddy barusan. Keren sekali. 
“Sekali lagi, terima kasih.”
“Jangan terlalu dipikirkan. Kalian masih berhutang satu lagi pada kami.”
“Apa itu?”
“Aku akan membawa kalian ke kamp pasukan yang baru. Di Afrika Tengah. Kalian bisa berlindung, memulihkan diri, atau bahkan berlatih di sana. Vivi, kamu bisa melanjutkan pengalamanmu, menjadi tenaga relawan medis pasukan dewan keamanan, dan Brittany..”
“Ya, aku bisa merawatnya di sana.” Vivi tiba-tiba menyahut.
“Bukan,” Eddy menyahut sengit, “bukan seperti itu, Brittany, dengan kemampuannya saat ini, juga kecerdasan dan ketangkasannya, bisa belajar jadi anggota pasukan. Dia punya masa depan cerah seandainya mau terus berlatih. Aku belum pernah melihat seorang petarung yang sama efektifnya dengannya, di usia 12 tahun.”


200
Sesuatu yang Perlahan Tumbuh


Masa-masa kedua Vivi di kamp milik pasukan dewan keamanan, adalah masa damai terpanjang bagi gadis itu. Dia bertahan selama hampir 4 tahun di kamp tersebut. Baik Vivi maupun Brittany bersenang-senang di kamp. 
Bulan-bulan pertama, adalah bulan-bulan penyembuhan bagi Brittany. Kondisinya saat pertama kali tiba di kamp, sungguh payah. Saat diperiksa dokter, kondisi Brittany semakin terdengar memprihatinkan. Dua tulang rusuknya retak. Tulang keringnya juga retak. Luka-lukanya mencapai 41 buah di berbagai titik tubuhnya. Efek pukulan Alfred benar-benar buruk. Sulit dipercaya Brittany bertahan dan bisa terus berbicara selama ada di pesawat. 
Eddy memenuhi permintaan Vivi. Dia berusaha keras menyembuhkan Brittany dengan memanggil dokter terbaik. Dokter itu datang langsung dari Amerika. 
Berkat bantuan dokter tersebut, Brittany bisa sembuh dalam waktu satu bulan saja. Setelah itu, Brittany langsung beradaptasi dengan hidup barunya di kamp, tugas-tugas baru. Karena Brittany sudah punya basis seorang petarung, dia segera bergabung dengan pelatihan pasukan khusus. 
“Aku ingin menjadi seorang mata-mata. Penyelesai masalah tingkat tinggi.” Brittany menyampaikan keinginannya dengan begitu percaya diri saat makan malam. 
Eddy mendengar itu, tersedak. Apakah gadis ini tahu apa yang baru saja dia katakan? 
“Tentu saja. Aku akan menguatkan kemampuan mata-mataku, menyamar, mengendap-endap, berimprovisasi. Kemudian aku juga akan melatih kemampuan berbicara dan mempengaruhi, sehingga seorang presiden sekalipun akan terdiam mendengar kalimat-kalimatku. Yang terakhir, sebagai pelengkap, aku juga akan memperkuat kemampuan bertarungku, sehingga tak seorang musuh pun bisa menangkap dan mengalahkanku.”
“Itu sama saja kamu mau jadi semuanya,” Vivi menyela, tertawa. Brittany melotot. Memang apa salahnya dia bermimpi tinggi.
Eddy memberi tanggapan yang lebih baik. Setelah pulih dari tersedaknya tadi, Eddy memuji rencana Brittany. Bahwa tidak ada prajurit pasukan dewan keamanan yang memiliki rencana-rencana seperti Brittany. “Dengan latihan keras, kamu sangat mungkin mencapai keinginanmu itu di sini.”
“Terima kasih. Kamp ini memang hebat sekali.”
Brittany dengan segala ide unik sekaligus niatannya yang kokoh itu, memang bisa mencapai apapun yang dia rencanakan. Selama hampir empat tahun menetap di kamp, Brittany yang saat itu belum berusia 17 tahun, sudah resmi jadi mata-mata. Penyelesai masalah tingkat tinggi. Tampilan polos, seorang gadis kecil, itu adalah samaran terbaiknya. 
“Seorang gadis yang memiliki daya tangkap luar biasa, dengan keinginan berlatih dan ketekunan yang luar biasa, diiringi dengan pola pemikiran yang dewasa. Wajar saja Brittany berkembang sangat pesat.” Begitu pujian dari sang jenderal penguasa kamp.
Sementara Brittany menjadi seorang penyelesai masalah tingkat tinggi, Vivi tidak banyak berkembang. Dia tetap menjadi tenaga relawan medis. Membantu satu persatu korban perang, korban perkelahian, yang datang ke kamp. Baik itu prajurit atau warga lokal yang mengungsi. 
Meskipun tidak memiliki kemampuan yang luar biasa macam Brittany, Vivi tetap menarik perhatian banyak orang. Dia ramah, baik hati. Semua orang di kamp menyayangi gadis itu. 
Terutama sekali, Eddy. 
Eddy melakukan segalanya buat Vivi. Menemaninya saat Vivi bekerja lembur mengobati pasien, menemani Vivi saat dia harus bepergian ke luar daerah, bahkan tak jarang Eddy harus mengabaikan tugas-tugasnya yang lain demi Vivi. 
“Gadis itu diincar oleh sekelompok orang yang berbahaya.” Begitu alasan Eddy setiap kali disindir soal perhatiannya pada Vivi yang berlebihan. 
“Ah itu hanya alasan kau saja, Eddy. Buktinya, beberapa bulan belakangan, dia baik-baik saja. Tidak ada yang membahayakannya.”
“Tidak ada salahnya untuk berhati-hati. Waspada.”
Semua orang yang berkumpul di tenda prajurit, mengejek Eddy sampai memerah wajahnya. Ya, tidak ada yang bisa menutupi hal tersebut. Ada sesuatu yang tumbuh tepat di hati Eddy.


201
Cinta yang Terlalu Singkat


Sejak kapan Eddy menyukai Vivi? Entahlah. Tidak bisa dipastikan.
Tapi...
Untuk yang satu itu, adalah sebuah kebenaran. 
Semua terlihat begitu jelas. 
Misalnya, pada satu hari, Vivi mendapatkan tugas untuk mengobati orang di luar kamp. Di sektor sebelah timur, sekitar 50 kilometer dari kamp. Vivi menyanggupi tugas itu. Seorang supir mobil militer, diperintahkan untuk mengawal Vivi sampai ke lokasi. 
Saat itulah Eddy muncul. Tidak peduli dengan melawan perintah atasannya, dia mengajukan diri untuk mengantarkan Vivi ke tujuan. 
“Kau ada tugas lain, Eddy. Tetaplah di kamp.” 
“Aku tidak bisa pak, aku tidak bisa tinggal diam, kalau sudah menyangkut urusan Vivi. Aku harus melindunginya. Kita tahu dia adalah target orang-orang yang berbahaya.”
“Ya, Mas’udi, (si supir mobil militer) bisa mengawalnya. Dia juga seorang prajurit. Dia bisa menjaga Vivi. Kau percayakan saja padanya.”
“Maaf pak, tapi saya tidak bisa tenang, kecuali saya sendiri yang melakukan tugas ini.”
“Eddy,” jenderal besar itu mempertegas suaranya, “dengarkan aku, kau harus paham di sini. Kau punya pekerjaan di kamp. Kau mungkin bisa menggantikan pekerjaan Mas’udi, tapi Mas’udi jelas tidak bisa menggantikan pekerjaanmu. Pekerjaanmu akan terlantar.”
Eddy tidak ambil peduli. Dia langsung mengajak Vivi melangkah menjauh. Jenderal besar mengeluh dalam-dalam. Hendak marah-marah, mencak-mencak, tapi itu akan membuat wibawanya turun. Astaga, andai saja Eddy itu hanya prajurit biasa, sudah dia pecat. Sayangnya Eddy adalah seorang perwira. Dia punya banyak prestasi, termasuk soal menggulung Mafia Sahara di Fez. 
Akhirnya, Eddy dan Vivi tetap berada di satu mobil menuju kawasan timur. Eddy bersiul-siul. Sementara Vivi tertawa-tawa. 
“Kamu membuat jenderal besar itu memerah mukanya.”
“Apa boleh buat. Memastikan kamu aman, itu adalah tugas utamaku.”
“Seharusnya kamu tidak perlu melakukannya sampai berlebihan seperti itu, Eddy.”
“Berlebihan?”
Vivi menganggukkan kepala, menengok. Tatapannya serius.
“Ya, kamu sudah berlebihan. Seharusnya kamu bisa menuruti kata jenderal besar. Kamu tidak perlu mati-matian membela tugas itu. Nanti kamu malah kena masalah dengan jenderal itu.”
“Ah masa bodohlah. Aku lebih tidak bisa membiarkan kamu terluka. Aku ingin selalu bisa melindungimu, Vivi.”
Nah, kalimat Eddy tersebut, terdengar begitu bertenaga. Sangat emosional. Sarat akan perasaan. Vivi yang perasa, bisa merasakan seluruh tenaga cinta-cinta yang memenuhi relung perasaan Eddy.
Dia menghela nafas. Semoga urusan ini tidak menambah rumit segalanya.


202
Pernikahan yang Tertolak


Eddy menyukai Vivi. Seorang pria keren pernah menyukai Vivi di masa lalu. Itu adalah fakta yang menarik perhatian Allary. Karena, dia tidak pernah menebak bakal seperti itu kisahnya. 
“Sayangnya, antara kau dengan pria itu tidak pernah berakhir dengan bahagia ya, Nona Vivi?” Alfred tersenyum sinis. Sinis sekali. Allary terkejut. Kenapa?
Alfred tertawa, jenis tawa yang begitu kejam. “Tentu saja kalian tidak akan pernah berakhir bahagia. Ha, mana mungkin aku membiarkan orang yang telah menghancurkanku, hidup dengan tenang. Aku akan terus memburunya. Aku akan terus mengincarnya. Dendam akan dibalas dengan dendam. Darah akan dibalas dengan darah.”
“MPPPPHHHHH”
Vivi hendak berteriak. Alfred mendekatinya kemudian memandangi Vivi lekat-lekat. “Kau ingin mengatakan sesuatu ya, Nona Aamori? Tidak perlu. Apapun alasanmu, yang jelas, dia, pria tentara bernama Eddy itu tetap gagal mendapatkanmu bukan?”
“Bukan begitu ceritanya, ayah.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyahut. Itu dari Brittany. Alfred menoleh ke belakang. Nampak oleh Allary, tatapan binatang buas. 
“Siapa yang menyuruhmu bicara.”
Brittany langsung bungkam, melihat tindakan Alfred berikutnya. Gerakannya begitu cepat. Alfred sudah mencabut pistol dari balik ikat pinggangnya, mengokang dan akhirnya menembak.
DORR!
“HMMMMPPPHHH!”
“HMMMMMMPPPPP!!!”
Dua teriakan terdengar. Satu dari mulut Vivi, dia menjerit kesakitan karena bahunya kena tembak peluru. Satu teriakan lagi terdengar dari mulut Allary. Dia marah sekali melihat temannya tertembak. 
“Sudah kubilang padamu sebelumnya, Brittany Andersen, kau tidak boleh bicara, tidak boleh bertindak, yang tidak sesuai dengan perintahku, atau kau akan menyesalinya.”
Brittany terlihat menutup mulutnya, tak bisa berkata-kata lagi. 
“Baiklah, aku akan melanjutkan ceritaku sedikit lagi, beberapa potongannya tidak lengkap, karena Brittany tidak pernah mau menceritakannya secara lengkap padaku.” Alfred menyarungkan pistolnya, kembali duduk.


203
Tanah yang Dijanjikan, Somalia


Urusan di Kamp milik pasukan dewan keamanan di Afrika Tengah malam itu benar-benar kacau balau. Seluruh isi kamp rata dengan tanah. Seluruh tenda terbakar, sebagian masih mengeluarkan asap, bau hangus tercium dimana-mana. Bercampur dengan bau amis darah dari mayat-mayat yang mati bergelimpangan.
Alfred dan anggota elite Mafia Sahara tidak pernah setengah-setengah dalam melampiaskan dendamnya. Baginya, semua ini dimulai karena pasukan dewan keamanan pimpinan Eddy menyerang kota Fez. Seperti katanya, darah dibalas dengan darah. Semua orang yang ada di kamp dibantai habis. Menyisakan dua orang. 
Eddy dan jenderal besar diseret ke mobil yang ditumpangi Alfred. Sesampainya di depan mobil, Alfred keluar. Kedua tawanan terakhir dari kamp itu dipaksa duduk di atas rerumputan. Alfred berdiri di depan mereka. Wajahnya terlihat begitu bengis. 
“Kalian yang memulai semua ini,” ujarnya dingin, “kalian harus tahu kalau aku sama sekali tidak takut dengan kalian. Kau jenderal mereka bukan?” Alfred memandang ke arah sang jenderal. Orang bertubuh besar dan gagah itu, mendadak mengkerut, ketakutan ditatap oleh Alfred. 
“Iya.”
“Katakan pada bosmu di Amerika sana. Berhentilah mencampuri urusan kami. Silakan kalian lakukan misi perdamaian atau apalah itu kalian menyebutnya. Aku tak peduli. Kalau ada urusan kita yang bersinggungan, kita bisa membicarakannya baik-baik. Tidak perlu lagi saling serang. Aku terus terang saja, aku tidak suka melakukan semua ini. Ingat, camkan baik-baik ini. Kalian tidak boleh mencampuri urusan kami lagi, atau kalian tidak akan bisa menginjakkan kaki di Afrika lagi buat selama-lamanya.”
Jenderal besar hanya bisa mengangguk-angguk. Alfred memberi kode pada salah satu anak buahnya. “Bawa dia ke tempat hukuman. Urusan kita dengannya sudah habis. Kirimkan kabar pada markas besar dewan keamanan, aku, Alfred Vindhesel Bos Besar Mafia Sahara yang telah memberikan hukuman padanya. Suruh saja mereka memilih jenderal baru, dan pastikan orang itu tidak macam-macam.”
Seketika, mendengar kata hukuman itu, Jenderal Besar menjatuhkan kepala ke dekat kaki Alfred. Menghamba-hamba.
“Jangan bunuh saya, Bos Besar. Ampuni saya. Berikan saya satu kesempatan. Kita bisa memperbaiki ini semua.”
“Kesabaranku padamu sudah habis. Bawa dia pergi.”
Jenderal Besar dibawa sambil meronta-ronta. Alfred kini berpaling pada Eddy. Eddy menerima tatapan mengerikan itu, dia gentar, menelan ludah berkali-kali. Dia tahu, dia akan mendapatkan hukuman yang tak kalah berat. Dialah yang menyebabkan semua ini. Dialah yang menjadi dalang atas semua masalah yang melibatkan pasukan dewan keamanan melawan Mafia Sahara. Tapi dia sudah mempersiapkan dirinya, sebaik-baiknya. Apapun yang hari ini akan diterimanya, akan dia terima. 
“Bawa dia pergi. Aku tidak ada urusan dengannya. Ganjar dia dengan hukuman berat.”
Eddy kembali menghela nafas berat saat dipaksa untuk berdiri. Ya, inilah saatnya berpisah dengan kesempatan bertemu Vivi lagi. Beginilah semuanya berakhir.
Lalu dimanakah Vivi?
Satu jam yang lalu, tepat sebelum mafia mulai hendak melakukan pembakaran, anak buah Alfred lebih dulu mengamankan gadis bertuah tersebut. Vivi diangkut ke dalam mobil. Dia akan diungsikan lebih dulu ke suatu tempat. 
Ke markas baru Mafia Sahara, di Somalia. 
Sementara dari kejauhan, sepasang mata menatap dari kejauhan. Menatap dengan saksama, mencoba penuh menahan sabar. Melihat kamp beserta teman-temannya terbantai. 
Hari itu dia bersumpah, apapun yang terjadi, walau seluruh tubuhnya sudah jadi abu, dia akan bangkit lagi, untuk membalaskan seluruh sakit hati, pada Mafia Sahara.


204
Kehidupan Baru


Vivi tiba di Somalia, di markas baru milik Mafia Sahara. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan di tempat itu. 
Tempat itu agak mirip dengan kamp milik pasukan dewan keamanan. Jauh dari keramaian manapun. Namun bedanya, markas Mafia Sahara adalah sebuah bangunan berbentuk huruf U yang membentang seluas 400 hektar. Luas sekali. Bangunan itu termasuk menaungi seluruh perusahaan resmi yang dimiliki oleh Mafia. Dari luar, nampak sekilas, mirip dengan sebuah komplek bangunan super ambisius. Namun di dalam sana, tepat di bagian bawah, di basement, juga dibangun komplek bangunan yang tak kalah besarnya. Itulah pusat latihan dan perkumpulan prajurit mafia. 
Vivi tidak tahu apa yang akan dia perbuat di situ, tapi dia tahu dia harus segera membiasakan diri. 
Kehidupan di atas dan di bawah tanah, kontras bak langit dengan bumi. Kehidupan di atas, memegang prinsip kapitalisme, siapa yang punya uang dilayani dengan baik. Di sana berputar milyaran dollar perharinya. Kawasan yang sangat mewah. Tapi Vivi tidak punya peranan di atas. Dia tidak punya pendidikan formal, tidak cocok dengan struktur perusahaan manapun.
Kehidupan di bawah, adalah kehidupan yang menyakitkan. Mafia dan budak-budaknya hidup bersama-sama. Di sana yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang.
Vivi mungkin tidak disakiti dan ditindas karena dia adalah anak kesayangan Alfred. Tapi dia tetap tersiksa melihat semua kesengsaraan dan kejahatan yang ada di lantai bawah ini. Hatinya ikut berdenyut, badannya serasa ikut sakit setiap melihat orang lain disakiti. Di situlah kemudian Vivi berperan.
Sejak awal, kita sudah tahu kalau Vivi adalah seorang relawan tenaga medis. Dia punya banyak pengalaman kalau soal itu. Dia mendaftar jadi anggota relawan medis di bagian penjara dan tawanan. Dia ikut merawat orang-orang yang terluka, menderita dan kesakitan setelah dikalahkan Mafia Sahara. 
Dan sekali lagi, kemampuan adaptasi Vivi, begitu mengagumkan. 
Satu bulan dia berada di tempat ini, sekarang dia dengan mudah berbaur. Dia tak ubahnya petugas medis yang sudah bertugas selama bertahun-tahun di tempat itu. Vivi yang ramah dengan cepat pula akrab dengan sesama perawat dan dokter. Pengetahuannya tentang dunia medis juga berkembang berkat pergaulannya dengan para dokter itu. Vivi terus belajar dengan giat lewat pengalaman-pengalamannya mengobati pasien. 
Nah lewat pengalamannya mengobati pasien itulah, Vivi bertemu dengan orang paling penting selanjutnya bagi hidupnya.


205
Felix Digelandang Masuk


Cerita Alfred terpotong, bahkan sebelum sesi pertamanya selesai. Allary yang sudah mendengarkan cerita selama dua jam, sudah bisa membaca polanya. Alfred biasanya akan berhenti bercerita begitu ceritanya sudah tiga sesi. Sekarang, satu sesi saja belum selesai. Jadi ada apa?
Ada segerombol orang yang masuk. Itulah yang membuat Alfred menghentikan pembicaraan. Ada total empat orang, termasuk seorang pesakitan yang terseret-seret berjalan di bawah pegangan tiga orang berpakaian hitam.
Tiga orang itu adalah anak buah Alfred yang elite. Sementara satu orang pesakitan itu, adalah Felix Norton. Allary langsung hendak protes, hendak mengumpat, hendak marah-marah. Kesal sekali dia melihat Felix saat ini.
Kondisi teman Allary itu benar-benar buruk. Pelipisnya lebam, wajahnya tidak lagi beraturan, bajunya bersimbah darah, matanya terpejam. Apakah dia pingsan? Allary bertanya-tanya. Seandainya saja, Brittany tidak memegangi Allary dengan erat, saat ini juga, Allary akan berlari, menghambur ke dekat Felix, mengecek kondisinya.
“Maaf, kami terlambat bos. Orang ini ternyata sangat merepotkan. Dia bisa menghabisi belasan orang dengan sangat mudah.”
Alfred turun dari tahtanya, melangkah ke arah Felix yang masih terduduk, dipegangi anak buahnya. Dia tersenyum. “Tidak apa. Terima kasih kalian sudah membawanya kemari. Aku tidak terkejut kalau kalian kesulitan melumpuhkan orang ini. Dia adalah petarung terbaik di Eropa.”
“Benar Bos. Dia adalah Felix Norton. Sudah jadi buronan di dunia hitam sejak usianya masih belasan tahun. Dia kuat sekali.”
“Ah kalau soal itu, kurasa Dacosta saja yang tidak becus. Andai saja dia lihat, dia tidak berhasil menangkap anak ini dalam belasan tahun, tapi aku hanya perlu waktu beberapa jam.”
Mendengar kata Dacosta itu, Felix mengerjap-ngerjapkan mata. Dia rupanya masih memiliki kesadaran. 
“Jadi benar, kau bekerja sama dengan Dacosta dalam melakukan ini semua.”
Alfred menyeringai, “ah rupanya kau masih bangun. Kau menghinaku dengan mengatakan kalau aku bekerja sama dengannya. Dacosta hanya pemain kecil di dunia hitam. Aku dan dia, ibarat lumba-lumba sungai dengan paus biru. Kekuatan, kekuasaan dan pengaruh serta sumber daya yang kupunya, jauh melampaui dia.”
“Apa kesepakatan kau dengan dia?” Felix bertanya, suaranya berat. 
“Sederhana. Aku menyerahkan kau padanya, dia menyerahkan segala informasi. Begitu saja.”
“Dacosta memanfaatkan kalian?”
“Oh tidak. Sudah kubilang, dia dan organisasi Caballeros de Madrid, tidak penting bagiku. Jadi kuanggap saja dia sedang meminta bantuanku.”
“Kau akan menerima ganjaranmu, kau dan organisasimu akan kukalahkan, seperti halnya aku mengalahkan Caballeros de Madrid.”
Alfred tertawa-tawa, kemudian melangkah kembali ke tahtanya, “Felix, kau hendak bergurau denganku. Bahkan Caballeros de Madrid saja tidak bisa kau kalahkan, lalu kau mau mengalahkanku heh? Apakah kau tidak belajar dengan apa yang terjadi di luar.”
Felix menghadiahi Alfred dengan tatapan yang sangat tajam. 
“Astaga, gara-gara kau, Felix, aku jadi tidak lagi berminat untuk bercerita. Sebaiknya kusudahi saja semua ini dan masuk langsung ke sesi hukuman. Kalian berdua sudah berakhir, Allary, Felix. Satu kesalahan yang buruk karena kalian sudah lancang berurusan denganku. Sekarang lihatlah, bagaimana kalian berdua hancur. Dikhianati orang yang kalian anggap sekutu, dikalahkan, dipukuli, dan sebentar lagi kalian akan berpisah dengan teman kalian ini. (Alfred menunjuk pada Vivi). Inilah hari akhir untuk kalian semua.”
Alfred berdiri, dengan percaya diri, berucap, dengan wajah yang sangat jumawa. 
Mungkinkan sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan bagi Allary dan Felix untuk menyelamatkan diri?

Bersambung>>>>>
(18 chapter tersisa)

Bagian terakhir ditulis pada
Hari Kamis, Tanggal 23 Desember 2021
Pukul 15.06 WITA

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Novel Gratis
Selanjutnya [Free Draft] Salju Merah Ukraina
0
0
Phia Lizarina, seorang mahasiswa pascasarjana dari Taipei University baru saja pindah ke Kiev untuk bertemu dengan supervisor tesisnya, Profesor Nyoman Asdawirya. Mulanya dia pikir kehidupannya di Ukraina akan berjalan normal saja, tapi nyatanya tidak demikian. Phia terseret dalam lingkaran konflik kelam yang menjerat sang supervisor, kepentingan dunia hitam, dan disertai pula dengan konflik cinta segitiga. Semua berbalut dalam musim dingin yang kelabu di Ukraina.Disclaimer: Kisah ini ditulis jauh sebelum Perang Rusia - Ukraina terjadi. Sehingga kisah ini tidak ada sangkut pautnya dengan konflik bersenjata di dunia nyata. Apabila ada kesamaan tokoh atau peristiwa, maka itu adalah kebetulan semata.Hormat pengarang: Azhar The Explanator
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan