[Free Draft] Salju Merah Ukraina

0
0
Deskripsi

Phia Lizarina, seorang mahasiswa pascasarjana dari Taipei University baru saja pindah ke Kiev untuk bertemu dengan supervisor tesisnya, Profesor Nyoman Asdawirya. Mulanya dia pikir kehidupannya di Ukraina akan berjalan normal saja, tapi nyatanya tidak demikian. Phia terseret dalam lingkaran konflik kelam yang menjerat sang supervisor, kepentingan dunia hitam, dan disertai pula dengan konflik cinta segitiga. Semua berbalut dalam musim dingin yang kelabu di Ukraina.

Disclaimer: Kisah ini ditulis jauh...

Satu
Daun Merah Jatuh ke Tanah


1 Oktober
Pukul enam pagi waktu setempat. Matahari sudah menggantung di ufuk timur. Hari masih pagi benar, namun aktivitas manusia sudah mulai menggeliat. Puluhan orang sudah berlalu lalang. Seolah hari ini tidak ada orang yang terlambat bangun karena kebablasan tidur tadi malam. Tidak, di kota ini memang tidak ada yang seperti itu, karena ini adalah kota yang sibuk. Orang harus bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendapatkan akses jalanan yang lengang. 
Ini adalah kota Taipei, salah satu wilayah paling sibuk di Pasifik Timur. 
Di salah satu bangunan di pusat kota, bangunan apartemen, seorang gadis sedang mengintip dari gorden jendelanya yang berwarna kemerahan. Dia hanya mengintip sebentar kemudian menengok ke arah jam kecil yang terpasang di dinding.
“Pukul 6.15,” gadis itu bergumam sendiri, wajahnya nampak menghitung, “semoga aku masih sempat berangkat.”
Gadis itu beranjak. Sedari tadi dia asyik mengetik di depan komputer. Sekarang terdengar suara desing mesin pencetak. Gadis itu menunggu mesin pencetak selesai melaksanakan tugasnya kemudian mengambil sejumlah kertas tersebut, merapikannya, dan memasukannya dalam map. Dia meraih tasnya, mematikan komputer, dan bergegas menuruni tangga. Langkahnya cepat, hentakannya mantap, berirama. 
Di dalam mobil taksi, ya, gadis itu naik taksi setelah keluar dari apartemennya, gadis itu kembali menengok jam, kali ini arloji yang terpasang di tangan kirinya. 
“Pukul 6.30.”
Masih pagi benar. Masih tersisa setengah jam untuk pusat perbelanjaan, toko-toko untuk buka. Bahkan masih tersisa satu setengah jam untuk kantor pemerintahan buka. Kenapa gadis ini terus menerus mencemaskan soal jam. Seolah dia akan terlambat.
“Pak, tolong agak ngebut ya. Saya harus mengejar jadwal.”
“Baik Nona.”
Nah betul bukan, gadis ini terburu-buru. Taksi melaju, membelah jalanan kota Taipei dengan mudah. Di samping, kiri kanan jalan, trotoar, puluhan orang lalu lalang, ke timur, utara dan barat. Masing-masing sibuk dengan urusannya. Sejenak kemudian, di salah satu bundaran, taksi berbelok dengan tajam ke arah kanan. Putarannya mulus sekali. Tidak ada teriakan protes dari gadis itu, dia memang perlu cepat. Taksi berhenti tepat di sebuah gedung putih yang disebut Taipei University. 
Gadis itu menyerahkan uang dengan sopan, mengambil tasnya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, kemudian lekas berjalan. Sekali lagi, langkahnya mantap dan berirama. 
“Gedung F, Lantai 2, Ruang 1.12. Saya ingin menemui Profesor Yun Ze.” 
“Silakan masuk, Nona.”
Gadis itu berhasil melewati pemeriksaan keamanan dengan menyebutkan tempat tujuannya. Sekaligus menyebutkan pada kita, siapa yang hendak ditemuinya. Ternyata seorang profesor. Memang, terkadang, dalam menemui seseorang seperti Profesor Yun Ze, kita harus terburu-buru.
Gadis itu sebenarnya bangun pagi-pagi benar. Bersiap-siap. Termasuk mandi, sarapan, berdandan (tentu saja seorang gadis muda perlu menjaga standar penampilannya bukan?), serta menyiapkan dokumen yang tadi dia cetak. Namun, biarpun dia sudah meminta taksi yang tadi dia tumpangi ngebut, Profesor yang hendak ditemuinya, ternyata sudah menunggunya di ruangan. Duduk santai, sambil membaca buku tebal. 
“Selamat pagi.”
“Selamat pagi, Profesor. Saya harap saya tidak terlambat.” Gadis itu canggung mendekat, beringsut mendekati meja profesor. Ruangannya luas, bercat warna putih, dengan campuran warna kuning yang cerah. 
“Sama sekali tidak, Nona muda,” Profesor Yun Ze meletakkan bukunya. “Saya juga datang pagi-pagi sekali karena ada yang harus dikerjakan selepas ini. Untunglah, nona, kamu juga datang pagi. Tepat waktu. Selalu bisa diandalkan.”
Nona muda itu tersenyum tipis. Kalau soal itu, Profesor Yun Ze tidak perlu meragukannya.
“Sudah berapa lama, penulisan tesismu tertunda gara-gara kesibukanku, Nona muda?”
“Eh,” si nona muda sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, namun dia segera tanggap menjawab, “sekitar 2 bulan, Profesor.”
“Dua bulan ya,” Profesor mendesah, “cukup lama. Dan bisa lebih lama lagi, mengingat dalam beberapa bulan ke depan, aku akan semakin sibuk. Ini tidak baik untukmu, Nona muda.”
Gadis itu, yang sedari tadi bahkan belum duduk, seketika memasang wajah cemas. Dia tahu, Profesor Yun Ze adalah orang yang sibuk. Dia tahu persis itu, karena Profesor punya banyak sekali kegiatan di luar dunia kampus. Namun karena itulah dia ingin mengajukan Profesor sebagai supervisor tesisnya. Dia ingin tesisnya menghasilkan sesuatu yang memuaskan dengan bimbingan dari Profesor yang hebat. Dia tidak mau diganti. 
“Saya bersedia menunggu. Saya mengerti kesibukan profesor.”
“Tapi ini merugikan dirimu, Nona muda.”
“Saya mohon, profesor. Saya ingin belajar dengan anda, saya mengharapkan bisa mendapatkan hasil terbaik di bawah bimbingan anda.”
Profesor Yun Ze menatap wanita muda di depannya dengan serius. Kalimat nona muda itu lain dari mahasiswa yang biasa dia bimbing. Ada keinginan yang kuat untuk mendapatkan hasil terbaik di sana. Ada semangat yang kuat sekali. Tergambar dari kalimat terakhirnya. Lagipula, dalam dua bulan ini, si gadis ini memang telah mengesankan Profesor Yun Ze lewat dedikasi, serta ketepatan waktunya. 
Profesor Yun Ze telah mempertimbangkan hal itu dan menyiapkan rencana B untuk gadis yang penuh semangat serta tepat waktu ini.


Dua
Kiev Destinasi Berikutnya


Kembali ke apartemen si gadis muda. Ruangan miliknya tidak terlalu besar. Dia gadis yang minimalis, namun dilihat dari ruangannya, gadis itu pandai sekali mengatur ruangannya. Lihat, bagaimana kamar sempit ini, yang hanya seukuran 4 x 4 meter, berhasil disulapnya untuk jadi kamar kerja, kamar tidur sekaligus ruang santai sekaligus. 
Baiklah, kita tidak akan bercerita lebih jauh tentang kamarnya, karena gadis ini sedang berkemas, dia sedang bersiap-siap untuk pergi jauh. Dia sedang berkemas. Ada dua buah tas besar sudah dia isi penuh. Satu tas diisinya dengan baju-baju dan perlengkapan pribadi, tas lainnya diisi peralatan elektronik dan beberapa bahan bacaan. 
“Kurasa, masih kurang beberapa potong jaket tebal lagi.” Dia bergumam sendiri. Matanya awas menatap kalender yang tertancap di dinding, di sebelah jam bulat. Hari ini ditandainya dengan warna merah. Tanggal 1 Oktober.  “Di sana pasti dingin saat musim dingin tiba. Aku harus bersiap-siap. Aku tidak tahu sedingin apa cuaca di Eropa Timur.”
Tunggu dulu, berkemas? Jaket tebal? Musim dingin? Eropa Timur? Apa yang sebenarnya dibicarakan gadis itu dengan Profesor Yun Ze, supervisor tesisnya. 
Di ruangan Profesor Yun Ze, beberapa jam sebelumnya.....
“Nona muda, percayalah. Aku tahu persis seperti apa potensi yang ada pada dirimu, maka dari itu, aku tidak mau seluruh topik risetmu yang bagus itu, terhenti hanya gara-gara kesibukanku. Aku harus carikan cara lain. Win-win solution. Bagaimana?”
“Boleh saya tahu, solusinya seperti apa, Profesor?”
Mata Profesor berbinar. Dengarlah itu, benar-benar gadis yang istimewa. Dia tidak memberikan tanggapan setuju sebelum tahu situasinya keseluruhan. 
“Baiklah, tema tesismu, sejarah Asia Timur, sangat bagus. Namun tidak banyak ahli sejarah yang bisa kurekomendasikan padamu, untuk topikmu yang luar biasa ini.”
Nona muda sekali lagi tersenyum. Dia tahu itu. Makanya dia memilih Profesor Yun Ze, pakar sejarah Tiongkok, orang yang pernah mengelilingi Tembok Besar, Profesor Yun Ze-lah yang paling mengetahui tentang sejarah Asia Timur.
“Di Taipei, rasanya tidak ada nama yang bisa kurekomendasikan. Tapi selalu ada solusi Nona. Asal kita bisa bersepakat.”
“Apa itu, Profesor?”
Sekali lagi, bukan persetujuan. Profesor menelan ludah.
“Apakah kamu bersedia untuk bepergian jauh. Ke Kiev misalnya?”
Nona muda kita langsung tercekat. Kiev, Ukraina? Sungguh nama tempat yang pernah dia bayangkan untuk kunjungi. 
“Di Kiev, di University of Kiev, ada seorang kenalanku, Profesor, pakar Asia Timur dan Selatan. Kapabilitas keilmuannya jauh di atasku. Nama dia, Profesor Nyoman Asdawirya. Apakah kamu bersedia jika dibimbing olehnya?”
“Tapi Kiev Profesor....”
“Ya, saya tahu. Memang jauh sekali dari Taipei, tapi urusan administratif bisa diselesaikan. Itu mudah saja diurus. Semua ini tergantung padamu, Nona muda. Kalau kamu tidak bersedia, terpaksa kurekomendasikan nama lain yang...”
“Saya bersedia, Profesor.”
Nona muda itu menyambar cepat. Dia tahu, kalau seorang profesor sudah mengeluarkan kata-kata seperti “terpaksa”, maka tidak perlu berdebat lagi. Mood mereka bisa turun drastis. Dia harus menyambar tawaran ini, dia tidak ingin kehilangan kesempatan.
Meski Kiev, tak terpekirakan jauhnya. Setengah keliling bumi jaraknya. 
Nah Kiev-lah tempat sebenarnya cerita ini. Bersiap-siaplah, karena gadis ini sudah memesan tiket pesawat, dia tinggal bertanya ke beberapa temannya, apakah ada yang punya kenalan yang bisa diajak menumpang sementara di Kiev. Sampai jumpa besok pagi, di jantung ibukota Ukraina.


Tiga
Aku Menolaknya, Kalian Dengar


Di waktu yang kira-kira sama dengan saat nona muda kita bertemu dengan Profesor Yun Ze di Taipei University, di tempat lain, setengah keliling bumi jaraknya dari Taiwan, namun juga di sebuah gedung universitas, juga terjadi sebuah pertemuan. Pertemuan yang penting. 
“Aku menolaknya.” Seorang pria berjas putih, berjanggut, duduk di belakang meja kayu besar warna coklat, meja itu nampak mencolok sekali dalam ruangan dengan nuansa cerah, pria itu berucap dengan sangat tegas. 
“Tapi Profesor, kami baru saja datang. Saya bahkan belum berbicara satu patah katapun.”
“Ya, tapi kalian sudah mengirimkan email.”
“Oh iya, email itu. Mungkin anda salah paham dengan isi emailnya. Izinkan saya menjelaskan ulang dengan kalimat yang lebih halus.”
“Terima kasih, tapi aku sudah membuat keputusan. Aku sudah membuat keputusan hanya dengan membaca nama perusahaan kalian. Oserzeen.”
Ada dua orang di ruangan itu. Si pria berjanggut putih tadi salah satunya. Ini sepertinya adalah ruangannya. Sementara lawan bicaranya, berusaha menjelaskan dengan terburu-buru dan bersemangat, pada orang yang dua kali lipat usianya dibandingkan dirinya sendiri.
Oserzeen, nama itu terkenal sekali. Perusahaan tambang besar. Mereka adalah perusahaan terbesar di negara asalnya, Belarusia,  dan mungkin merupakan perusahaan terbesar di seluruh Eropa Timur. Pria yang bersemangat menjelaskan pada pria berjanggut, adalah perwakilan perusahaan Oserzeen. 
“Anda harus baca proposal kami dengan saksama, Profesor,” ucap pria yang bersemangat, “atau jika anda izinkan, saya akan menjelaskan pada anda. Anda harus melihat peluang itu. Anda harus mendengarkannya. Ini semua demi masa depan negeri ini.”
Profesor tersenyum tawar. Jangan percaya dengan bualan masa depan dengan orang-orangnya Oserzeen. Penuh tipu muslihat. Profesor tidak bisa ditipu.
“Sekali lagi, aku sudah membuat keputusan.”
Pria perwakilan Oserzeen berdiri. Dia patah-patah menghormat kemudian balik kanan meninggalkan ruangan itu. Wajahnya tertunduk. Bukan, bukan sedih, tapi kesal. Kesal dengan betapa keras kepalanya sang profesor berjanggut putih untuk diajak bekerja sama. Dia berjalan menjauh dari ruangan itu, dengan satu tekad.
Oserzeen akan memenangkan pertarungan ini.
Di dinding, ada plakat tertancap yang menerangkan siapa pemilik ruangan ini. Dia adalah Profesor Nyoman Asdawirya. Pengajar di Kiev University, atau bukan. Profesor juga merupakan Vice of Head Department of Natural Resources di Ukraina. Muara segala urusan tambang, perizinan, pengelolaan, ada di tangan beliau. 
Profesor sudah beberapa hari ini berurusan dengan perwakilan Perusahaan Oserzeen. Sebenarnya Oserzeen-pun bukan perusahaan tambang pertama yang meminta izin beroperasi di Kiev. Isu desas-desus tambang kaya mineral di bawah tanah kota ini, diketahui banyak orang. Namun tak satupun dari perusahaan itu diizinkan beroperasi. Profesor tidak memberikan izinnya.
“Tidak, selama aku ada di sini, aku tidak akan memberikan izinnya. Atas nama masa depan umat manusia, aku tidak akan mengalah dengan Oserzeen, meskipun mereka menantang perang denganku sekalipun untuk mendapatkan izin itu.”
Perang? Tidak, rasanya profesor terlalu berlebihan kalau soal perang. Sepertinya tidak akan terjadi perang. Tapi Oserzeen jelas tidak akan tinggal diam. Mereka tidak akan menyerah.
Sejenak kemudian, terdengar suara telepon genggam. Profesor Nyoman langsung membukanya. Ternyata dari koleganya, Profesor Yun Ze. Ah ini pasti soal urusan “itu”.


Empat
Kurin, Tempat yang Istimewa


2 Oktober. Pukul 06.00 pagi. 
Pesawat besar itu mendarat di bandara Kota Kiev dengan mulus. Genap perjalanannya setengah keliling bumi. Pesawat itu mengangkut banyak sekali penumpang. Orang biasa, para pekerja, para turis, orang penting, pemuja agama, aliran sesat, atau barangkali, teroris. Siapa tahu bukan? Dari sekian banyak orang yang ada di dalam pesawat itu, hanya ada satu orang yang kita kenal. 
Gadis muda yang kemarin. Dia benar-benar datang ke Kiev hari ini. Menyambut masa depan, dan memulai cerita baru. Senyum terkembang di bibirnya. Angin musim gugur perlahan meniup wajahnya. Tidak terlalu dingin. Dia sudah terbiasa. Hidup bertahun-tahun di Taipei, dia sudah biasa menghadapi iklim empat musim. 
“Dua bulan. Aku janji. Dua bulan aku sudah menyelesaikan tesisku dan pulang. Semoga aku bisa bertahan selama dua bulan di kota ini. Kalau lebih dari dua bulan, berarti aku telah menemukan cintaku dengan kota ini.”
Tidak, gadis itu tidak berteriak. Dia hanya menggumam tipis. Namun kita bisa mendengarnya. Disadari atau tidak, manusia memang sering menggumam sendiri, pada dirinya sendiri, saat dia sedang sendirian.
Setelah keluar dari area bandara, gadis itu membuka handphone-nya. Tadi, sebelum pesawat berangkat, dia sempat mengobrol dengan seorang kenalan lamanya, yang tinggal di Eropa. Gadis muda itu berharap, dari kenalan lamanya, dia bisa mendapat kenalan baru yang memberi bantuan selama dia ada di Kiev.
“Positif. Ada seorang teman yang bisa kamu cari di Kiev. Dia tinggal di Kurin. Dari bandara, kamu naik bus saja ke sana. Lebih cepat dan lebih aman.”
Akhirnya, sebuah pesan. Gadis itu tersenyum lagi. Mengetikkan kalimat balasan, “terima kasih, Sandra.”
Gadis muda itu melangkah mantap, meninggalkan bandara, menuju halte terdekat. Dia bersemangat. Udara musim gugur Ukraina tidak bisa mengubah langkahnya yang mantap dan berirama. Dia tetap seorang yang cepat dan efisien dengan waktu. 
Pagi hari, jam sibuk. Beruntung ada bus yang bisa dia tumpangi. Walaupun agak sesak. Gadis itu naik, memilih bangku nomor 3 dari depan, dia duduk di dekat jendela. Dia meletakkan tasnya dengan baik di bawah kursi, menyimpan handphone-nya ke dalam jaket, kemudian merapikan Khidzhib-nya. Ya, tadi agak berantakan karena langkahnya yang terburu-buru. Gaya sekali gadis itu dengan Khidzhib membalut kepalanya. 
“Nona muda, boleh saya duduk di sebelahmu.” 
Tiba-tiba ada suara yang menyela. Suara yang lembut. Seorang wanita paruh baya, rambutnya ikal pendek, sudah memutih sebagian. Agak tersuruk-suruk wanita itu berjalan, sehingga gadis muda kita harus berdiri juga menolongnya saat hendak duduk.
“Terima kasih Nona. Maaf jadi merepotkan.”
“Sama sekali tidak, Pani.” sahut gadis muda. Dia berucap dengan bahasa Inggris yang fasih. Kecuali kata terakhir. Itu dia pelajari tadi malam. Pani adalah kata sapaan untuk wanita yang lebih tua dalam bahasa Ukraina. Artinya kurang lebih seperti madame dalam bahasa Inggris. 
Gadis itu memastikan wanita tua duduk dengan nyaman di sebelahnya, sebelum dia duduk kembali. 
“Maaf kalau lancang, Nona muda. Bolehkah wanita tua ini tahu namamu?”
Gadis itu menoleh. Tersenyum manis. Dia tidak bisa mengabaikan wanita tua ini, tidak sopan. “Nama saya, Phia. Phia Lizarina, Pani.”
Ah ya, nama. Kita juga belum berkenalan dengan tokoh utama kita, si gadis muda. Jadi nama dia adalah Phia Lizarina. Catat baik-baik itu.
“Nama yang indah. Kamu tinggal dimana?”
“Eh saya orang baru di kota ini. Baru tiba di bandara tadi pagi.”
“Oh maaf kalau begitu. Kamu mau menuju kemana? Mungkin aku bisa membantumu. Aku hafal kota ini luar dan dalam. Sudah lebih dari lima puluh tahun aku tinggal di Kiev, sebelum akhirnya pindah ke pedesaan.”
“Oh iya, Pani. Saya mau ke tempat kenalan saya. Dia tinggal di Kurin.”
Ekspresi wanita tua itu tiba-tiba berubah. Dia seperti terkejut mendengar nama Kurin disebut.
“Sebaiknya kamu berhati-hati dengan Kurin, Nak.”
“Ada apa di sana, Pani?”
Wanita tua itu menggeleng-geleng, “tidak apa. Itu tempat yang istimewa. Untuk nona muda seperti dirimu. Maaf kalau lancang, tapi melihat Khidzhib, penutup kepala yang kamu pakai, kamu orang Islam?”
Phia menganggukkan kepala. Bersamaan dengan itu, bus pun berderit. Berhenti. Wanita tua menunjuk ke arah seberang. “Itu Kurin Nak. Bangunan besar di sana itu. Kamu bisa turun di sini sekarang.”
Phia mengangguk, bergegas bersiap turun, sekali lagi dengan bunyi langkah kakinya yang mantap. Wanita tua yang tadi duduk di sebelahnya, terus menatapnya dari balik jendela bus.


Lima
Mereka Datang Lagi


2 Oktober
Kita harus menceritakan soal ini. Barangkali agak membosankan, tapi tetap harus diceritakan. Barangkali sedikit demi sedikit. Ini tentang deskripsi tempat dan bangunan, tempat sebagian cerita ini akan berlangsung.
Mari kita mulai dari Kiev University, atau orang-orang di sana lebih suka menyebutnya sebagai Kiev Nauk. Nauk adalah bahasa lokal untuk “Tempat Belajar”, dan Kiev University adalah tempat belajar paling prestisius di seluruh Ukraina. Nauk adalah universitas paling terkemuka di kawasan Eropa Timur, bersaing dengan universitas-universitas lainnya di Rusia. Spesialisasi Nauk ada di bidang riset mineral, bahan-bahan tambang. Nauk telah melahirkan banyak tenaga penambang ahli, para peneliti mineral terkemuka, yang sering mengisi lembar cover majalah ilmiah yang terkenal di kawasan barat. 
Nauk punya banyak sekali bangunan. Kompleks gedung perkuliahan, ada enam gedung, diurutkan dari A sampai F. Wilayah perkantoran pengajar dan tenaga ahli, juga ada enam gedung, diurutkan dari A sampai F.  Laboratorium, perpustakaan besar,  kafe, tempat ibadah, semua ada di Kiev Nauk. Butuh banyak sekali halaman untuk mendeskripsikan seluruh ruangan yang ada di Nauk. 
Kita hanya akan fokus ke beberapa ruangan. Di gedung F, wilayah perkantoran pengajar, lantai 3. Itulah wilayah kekuasaan Profesor Nyoman Asdawirya. Salah satu pengajar di Nauk, yang juga sudah kita kenal sebelumnya. Bahkan kita sudah pernah masuk ke ruangan beliau. 
Hari ini Profesor duduk di ruangannya. Hari masih pagi benar. Profesor sedang menekuni bacaannya. Sebuah buku tebal. Profesor nampak segar dengan setelan jas coklatnya. Ah bahkan beliau nampak lebih muda dari usia aslinya. Beliau konsentrasi membaca sampai kemudian terdengar bunyi pintu dibuka, membuat beliau mendongak.
“Eh maaf Profesor. Saya pikir di ruangan ini tidak ada orang. Saya tadi bermaksud membersihkannya. Saya kira anda akan datang agak siang.”
Seorang pria, berusia sekitar 35 tahunan, rambutnya tersisir rapi, postur tubuhnya kecil, dia memegang kemoceng dan lap bersih di tangannya. 
“Tidak apa, Vlari. Terima kasih. Hari ini aku ada riset, jadi harus mencari bahan bacaan. Makanya aku datang pagi benar ke sini.”
Ya, nama pria kecil itu adalah Vlari.
“Apakah Profesor sudah sarapan? Boleh saya tawarkan semangkuk sup?”
Profesor tersenyum mendengar tawaran itu, kemudian beliau menggeleng, “terima kasih, Vlari. Tapi tidak perlu. Aku sudah sarapan di rumah.”
“Bagaimana kalau minum, Profesor? Boleh saya ambilkan air hangat seperti biasa?”
“Ya, kalau yang itu, rasanya boleh juga, Vlari. Segelas air hangat.”
“Tunggu sebentar, Profesor.” Vlari si pria kecil mengangguk, membungkuk, kemudian balik kanan. Dia menutup pintu pelan tanpa suara. Profesor kembali membaca. 
Siapakah Vlari si pria kecil itu? Dia bukan orang biasa, makanya dia berani membuka ruangan Profesor, bahkan tanpa permisi. Dia adalah pembantu Profesor. Dia bertanggung jawab memastikan ruangan dan perpustakaan milik Profesor Nyoman (Profesor punya perpustakaan pribadi miliknya sendiri, nanti kita cerita soal itu), tetap bersih dan nyaman. Vlari juga bertanggung jawab mengurus keperluan Profesor, apapun itu, asalkan tidak bersinggungan dengan riset, sebab Vlari pernah bilang sambil memasang wajah cengengesan, “saya tidak suka membaca, Profesor.”
Sejurus kemudian, pintu ruangan Profesor diketuk. 
“Ya, silakan masuk. Pintunya tidak dikunci,” ucap Profesor santai, dikiranya Vlari yang datang. Namun ternyata lain. Ada dua orang yang kini masuk ke ruangannya. Kedatangan mereka membuat Profesor mengepalkan genggamannya.
“Kami datang lagi, Profesor. Saya harap, hari ini anda lebih lembut pada kami.”
Profesor menanggapi kalimat orang itu dengan senyuman sinis. “Nampaknya kalian keras kepala, Oserzeen.”


Enam
Ancaman


“Boleh saya duduk, Profesor?” 
Dua orang yang datang ke ruangan hari ini, adalah orang-orang yang sama, dengan yang datang kemarin. Orang-orang yang tidak ingin Profesor ingat-ingat namanya. Bahkan melihat wajah mereka saja, beliau tidak mau. 
“Baiklah, saya harap, Profesor tidak keberatan jika kami duduk.” Orang yang bicara itu hendak menarik kursi, namun Profesor segera membuka mulutnya, bicara.
“Aku lebih suka kalian berdiri. Karena waktu kalian hanya sebentar. Aku tidak akan berlama-lama berurusan dengan kalian.”
Suasana ruangan menjadi tegang. Bahkan Vlari yang tadi sempat menengok ke ruangan, hendak membawakan pesanan Profesor, menghentikan langkahnya di daun pintu. Tidak berani masuk.
“Baiklah, jika Profesor menghendaki demikian. Kami akan ikut cara Profesor. Mari kita bicarakan. Hari ini, kami membawakan data-data baru, potensi-potensi baru. Anda harus lihat, Profesor. Pertambangan harus dibuka, pembangunan Ukraina ada di depan mata.”
Ada jeda sebentar, sepertinya Profesor mencoba menata ulang kata-kata yang akan diucapkannya, agar lebih “beradab”. Berhadapan dengan utusan Oserzeen selalu menguji kesabaran. 
“Kalian selalu punya data. Kerja kalian menakjubkan. Kurasa sedikit perusahaan tambang di dunia ini yang memulai kerjanya dengan meriset dampak kegiatan tambang pada pembangunan di negaranya.”
Sungguh sinisme yang sangat kuat!
“Ya Profesor. Anda mau tahu, jika Pertambangan Oserzeen dibuka di Kiev, Ukraina akan berada dalam sebuah lintasan menanjak, kemudian meroket. Dalam analisis kami, ada di sini,” si orang itu menunjuk ke berkas yang dibawanya, “pembangunan Ukraina akan melesat cepat sampai ke bulan. Kita akan jadi negara terkuat di Eropa Timur.”
“Dan kalian tidak membaca khotbah dari David Kalehmann.”
“Siapa itu, David Kalehmann, Profesor? Maaf, saya tidak mengenalnya. Orientasi saya adalah angka-angka, masa depan, prediksi, semua itu keahlian saya. Tapi David Kalehmann, saya tidak pernah dengar. Apakah dia ilmuwan hebat di bidang nuklir?”
“Bukan, dia seorang penyair jalanan di London.”
“Wah hebat, tapi saya tidak pernah mendengar namanya.”
“Tentu saja, karena aku baru saja mengarang nama itu.”
Utusan Oserzeen tertawa kecil. “Anda mencoba bercanda dengan saya, Profesor? Saya tidak keberatan.”
Profesor menggeleng, “aku serius. Aku mencoba mengingatkan kalian. Ada persamaan antara data yang kalian bawa dengan David Kalehmann.”
“Maksud anda, kami mengarang-ngarang data tersebut?” utusan itu nampak tersinggung.
“Bisa saja. Beppo mengingatkanku untuk tidak pernah percaya dengan perusahaan tambang. Apalagi kalau mereka menyebut-nyebut soal pembangunan.”
“Sepertinya kami juga tidak bisa mempercayai setiap nama yang anda ucapkan, Profesor. Anda terbukti menipu kami dan mengarang nama-nama sulit.”
Orang yang berani, Vlari di pintu depan membatin. Berusaha mencuri dengar. Utusan itu bukan orang sembarangan pasti. Mana ada orang yang berani memainkan kata sinis di depan Profesor Nyoman. 
“Baiklah, cukup pertemuan kita.”
“Tapi kita belum bicara apa-apa, Profesor.” Utusan berteriak nyaring. Namun Profesor tak bergeming, dia tetap pada keputusannya. “Dan kalian tahu persis apa keputusanku.”
“Anda melewatkan kesempatan besar untuk membuat negara ini melesat jauh.” Utusan itu masih tidak menyerah.
“Aku tidak akan menyesalinya. Aku tidak akan menyesali keputusanku melarang seekor monster besar penghancur peradaban beraksi di pusat kota.”
Ada percik kemarahan di mata utusan itu. Dia menatap tajam pada profesor lalu bilang dengan mantap. “Ini sebuah penghinaan pribadi dari anda, Profesor. Saya pastikan petinggi Oserzeen mendengarnya.”
Kemudian kedua utusan itu, meninggalkan ruangan. Vlari masuk kemudian. 
“Benar-benar urusan yang buruk ya, Profesor.”
“Tidak mengapa, Vlari. Aku akan melawannya, selama aku mampu.”
“Menurut anda, Perusahaan Oserzeen akan datang lagi?”
“Pasti. Ada pertambangan mineral yang harus mereka dapatkan di bawah kota ini. Sumber kekayaan. Mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkannya.”
Profesor menghela nafas. Sebelum urusan memburuk, dia sebaiknya segera minum air putih hangat.


Tujuh
Sylvi Yarmolenko


Kembali pada Phia, masih di tanggal 2 Oktober. Dia sudah turun dari bus yang membawanya dari bandara dan sekarang berdiri di depan Kurin, tempat yang katanya akan menjadi tempat berteduhnya, dua bulan ke depan.
Kurin adalah sebuah rumah yang besar. Letaknya tepat di kelokan jalan. Kurin berlantai dua, dengan arsitektur berbentuk huruf U. Pintu utama ada di tengah-tengah kelokan huruf U yang tepat menghadap di kelokan jalan tersebut. Warna dinding rumah itu, merah cerah. Atapnya warna coklat. Ada ceroboh asap di sayap kiri rumah tersebut. 
Phia menaruh tasnya, mendekat ke pintu depan. Dia kemudian menekan bel yang tersedia. Hatinya agak cemas. Semoga, siapapun pemilik Kurin, dia akan menerima Phia dengan terbuka. 
Tinggg.. Tinggg... Tingggg...
Tiga kali bel berdentang. Phia sekarang menarik tangannya. Dia akan menunggu pemilik rumah keluar. Dan itu tidak lama. Karena pintu segera terbuka, seorang gadis keluar dari pintu. 
“Maaf, ada perlu apa ya?”
Momen canggung itu dimulai dari sini. 
“Eh iya, namaku Phia Lizarina. Aku membawa sebuah surat yang dialamatkan untukmu.”
“Surat?”
“Ya,” Phia langsung menyerahkan sebuah surat. Itulah strategi yang dirancang Phia dan temannya, Sandra, agar orang Eropa yang terkenal individualis mau mendengarkan kata-katanya dan memberikan tempat bernaung. 
Pemilik rumah Kurin mengambil surat itu, membacanya sekilas, begitu menatap kop surat saja, dia sudah tersenyum, berbinar. 
Pertanda baik!
“Sandra. Dia teman baikku. Ah dia selalu tahu bagaimana cara berkomunikasi yang mengena. Jadi namamu Phia Lizarina?”
Phia mengangguk.
“Masuklah Phia. Temannya Sandra adalah temanku juga. Kamu diterima di sini. Oh ya, perkenalkan, namaku Sylvi Yarmolenko. Panggil saja aku Sylvi.”
Phia mengangguk lagi, Sylvi membukakan jalan. Kurin kini terbuka untuk tokoh utama kita. Dia segera masuk, Sylvi membantu mengangkat satu tasnya. 
Strategi Phia dan Sandra berhasil. Sylvi Yarmolenko benar-benar bisa takluk terbujuk lewat sebuah surat.


Delapan
Memperkenalkan Kurin pada Phia


“Rumah ini besar sekali,” itulah kalimat pertama yang diucapkan Phia setelah melewati pintu Kurin. Sylvi menghentikan langkahnya, meletakkan tas Phia di lantai. 
“Ya, terima kasih. Rumah ini adalah warisan dari ayahku, dulu beliau adalah salah satu orang paling kaya di Kiev.”
“Menakjubkan.”
Wajah Sylvi terlihat berbinar mendengar ucapan Phia. “Kuharap kamu betah tinggal di sini. Tidak perlu malu-malu, hanya ada kita berdua di rumah ini,” ucapnya kemudian.
“Loh, bagaimana dengan...”
“Iya? Apa?”
Phia tidak meneruskan kalimat. Terlalu privasi dan terlalu awal untuk menanyakan hal tersebut sekarang. Dia menggelengkan kepala. “Tidak, tidak apa.”
“Hei, tadi kamu jelas hendak mengatakan sesuatu. Katakan saja. Jangan menutupi sesuatu dari aku,” Sylvi kini mendesak, “di rumah ini, di Kurin, tidak ada rahasia.”
Untuk sejenak, nada suara dan wajah Sylvi terlihat menuntut, mencengkeram kesadaran. 
“Aku tadi ingin bilang kalau, di rumah sebesar ini, bagaimana kalu ada pencuri yang masuk?”
“Kamu bercanda? Ini negara hukum, Phia. Kita akan melaporkan siapapun yang masuk ke Kurin tanpa izin.”
“Tapi untuk rumah sebesar ini?”
Sylvi kemudian menjelaskan mendetail tentang Kurin. Kurin, seperti yang disebutkan adalah dengan arsitektur huruf U. Tempat tinggal Sylvi, Phia dan ruangan-ruangan lainnya, semuanya ada di sayap kiri rumah. Di situlah konsentrasi seluruh kegiatan. Kamar mandi, kamar tidur, ruang santai, dapur dan ruang makan, semuanya ada di sana. Sementara itu, wilayah sayap kanan adalah area yang “terlarang” untuk dimasuki. Sylvi menguncinya rapat-rapat. 
“Kenapa kamu kunci?”
“Karena tidak terpakai. Seperti yang kamu bilang, rumah ini terlalu besar. Untuk kita berdua saja, rumah ini besar, apalagi saat aku masih tinggal sendiri.”
Phi mengangguk. Bisa menerima alasan tersebut. 
Tur mengelilingi Kurin dilanjutkan. Sylvi mengajak Phia masuk ke ruang makan. 
“Ayahku dulu pernah bilang, tunjukkan dimana tamu kita akan makan, itu lebih penting daripada tempatnya akan tidur. Karena manusia bisa tidur sambil duduk.”
Ruang makan itu sederhana namun bersih. Sebuah meja persegi berlapis keramik warna kuning tua terletak tepat di tengah ruangan. kaki-kaki meja itu panjang sekali, seperti kaki laba-laba. Hanya ada satu kursi di sisi meja tersebut. Sylvi mengambilkan satu kursi lipat dari kamarnya untuk menambah stok kursi di ruang makan ini. Esok-esok, ruang makan ini akan jadi ruangan penting untuk Phia dan Sylvi untuk saling mengobrol, dan berbagi rahasia. 
Setelah mampir sebentar di ruang makan, Sylvi mengajak Phia untuk melihat dapur. Ruangan yang kecil namun juga bersih. Ada kulkas, panci-panci, pemanggang roti dan beberapa alat lainnya. 
“Kita sudah mendekati musim dingin. Lebih enak makan sup, atau sesuatu yang hangat. Makanya banyak panci tergantung di dapur. Alat masak lainnya ada di lemari.”
Sekali lagi Phia mengangguk-angguk. 
“Nah, ayo, sekarang kita cek kamar tidur untukmu. Tadinya aku ingin berbagi kamar, tapi setelah kupikir lagi, sepertinya kamu lebih baik punya kamar tidur sendiri.”
“Kamarnya sudah siap? Maaf aku jadi merepotkan.”
“Sama sekali tidak. Kurin punya kamar untuk tamu. Kadang ada saja yang berkunjung.”
Phia tidak banyak bertanya lagi. Dia memang merasa agak aneh, tapi dia harap ini hanya sementara. Hanya karena ini adalah hari pertamanya, tinggal di Kiev, Ukraina.


Sembilan
Bercerita Sedikit


Masih dalam suasana pagi di Kiev. Meskipun hari ini terhitung cerah, angin semilir musim gugur membuat udara sedikit dingin terasa. Phia dan Sylvi sudah selesai memeriksa kamar yang akan ditempati oleh Phia selama dia tinggal di Kurin. Kamar itu, meskipun agak kecil, tapi Phia merasa tidak keberatan. Dia suka yang minimalis.
“Aku akan tinggalkan kamu di sini untuk menikmati kamarmu. Begitu kamu selesai, aku menunggumu di ruang makan untuk sarapan.”
Phia mengangguk. Sylvi, teman barunya kemudian meninggalkan dia. Phia meletakkan tasnya di salah satu sudut kamar, duduk sebentar di pinggir kasur. Matanya terpejam. Dia seperti berusaha menikmati suasana baru kamarnya. 
Kamar yang cukup nyaman. Phia menarik nafasnya dalam-dalam. Dia kemudian memeriksa jendela, membukanya. Seketika menyeruakkan semilir angin tipis masuk ke kamar itu. Jendela kamar Phia menghadap ke samping rumah, tempat halaman luas Kurin terbentang. Dia menikmati pemandangan di kiri rumah itu, setidaknya lebih baik daripada harus memandangi jalan raya. 
Baiklah, sepertinya cukup untuk kamar ini dulu. Phia akan mengaturnya lebih lanjut nanti. Sekarang lebih baik dia menyusul Sylvi. Tidak baik membuat orang menunggu terlalu lama di meja makan. 
Di meja tersebut, sudah tertata menu makanan, yang sederhana. Hanya roti, omelet dan masing-masing segelas susu. Phia tersenyum, lalu duduk.
“Bagaimana kamarmu? Kuharap kamu nyaman dengan suasananya.”
“Terima kasih. Kamar yang bagus. Maaf jadi merepotkanmu.”
Sylvi balas tersenyum, “tidak ada yang merepotkan. Senang bisa menerima seorang teman di Kurin. Semoga kamu betah.”
Kata-kata Sylvi itu mau tidak mau membuat Phia memandang menyelidik sekilas. Kata-kata semacam itu, terlalu ramah untuk ukuran orang Eropa Timur. Ah bahkan sejak awal menyambutnya tadi, Sylvi sangat baik dan terbuka. Phia berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak. Lanjut meraih rotinya karena Sylvi sudah menyuruhnya makan. 
“Maaf ya, makanannya juga seadanya. Sebenarnya ada potongan tomat di kulkas. Juga keju. Silakan kamu ambil sendiri. Sesuaikan dengan seleramu.”
“Terima kasih. Ini saja sudah cukup.”
Kemudian mereka mulai makan. 
“Dulu, saat masih di Madrid, aku dan Sandra berteman erat,” Sylvi bicara lagi di sela-sela kunyahannya, “dia teman yang sangat peduli padaku. Dia selalu mengingatkanku untuk istirahat yang cukup, dan memasak setiap sarapan karena aku sering bangun kesiangan. Dia juga sangat baik, tutur katanya lembut. Berbilang tahun kami tinggal bersama, tak sekalipun dia membuatku kesal atau kecewa.”
“Aku juga akan mengatakan hal yang sama, Sandra memang teman yang baik.”
“Sayangnya, malah aku yang membuatnya kecewa, aku meninggalkannya di Madrid, dan pindah ke Kiev.”
“Kalian bertengkar?”
“Tidak, tidak,” Sylvi langsung menggeleng cepat, kemudian menjawab pendek seolah tidak bertenaga, “aku yang memutuskan pindah waktu itu.”
Phia mengangguk-angguk. Tidak berniat bertanya lebih lanjut. Meja makan sunyi sejenak.
“Oh ya, lalu bagaimana denganmu? Bagaimana kamu bisa kenal dengan Sandra? Dia tinggal di Madrid bukan? Dan kamu, dalam surat itu Sandra menulis, temannya di Taipei. Aku tidak pernah ke Taipei, tapi sepertinya tempat itu jauh sekali dari Madrid.”
“Kami teman senegara. Aku dan Sandra dulu satu sekolah di High School. Kami sama-sama berburu beasiswa. Dan kami sama-sama lulus pula. Sayangnya kami beda tempat. Aku ke Taipei dan dia ke Madrid. Bahkan kurasa Sandra sudah berkeliling seluruh Eropa.”
“Kamu benar. Baru beberapa minggu yang lalu, dia datang ke sini. Mengunjungiku.”
“Benarkah, semoga dia terpikir untuk berkunjung kemari lagi dalam beberapa minggu ke depan. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Sandra.”
“Semoga. Atau nanti aku coba undang dia ke Kiev.”
“Sebaiknya jangan,” Phia menyela cepat, “aku tidak ingin membuatnya repot.”


Sepuluh
Serangan Balik Pertama


3 Oktober, pukul 4 pagi-pagi sekali
Rumah Profesor Nyoman terletak di salah satu sudut jalan paling sibuk di kota. Di kawasan tersebut, ada tiga buah jalanan kota yang bertemu jadi satu. Jadi, ibaratnya rumah Profesor terletak di tengah bundaran. Lebih bagusnya lagi, rumah tersebut, berjarak sangat dekat dengan Kiev Nauk. Hanya perlu lima menit jalan kaki, sudah sampai. 
Rumah profesor tidak besar. Karena rumah itu tidak sering juga ditempati oleh Profesor. Rumah yang dibangunkan oleh pihak pemerintah ketika pertama kali mengundang profesor bermukim di Kiev, hanya difungsikan jika Profesor benar-benar ingin istirahat, tidak diganggu. Selebihnya, Profesor lebih sering menginap di ruangan kerjanya. Lagipula di ruangan kerja itu juga ada kamar tidurnya. 
Tanggal 2 Oktober, pukul 22 malam hari. Setelah lelah seharian bekerja di ruangannya, mengajar serta membaca beberapa penelitian, Profesor memutuskan bahwa malam ini dia akan istirahat di rumah saja. Selain lelah fisik setelah beraktivitas, konfrontasinya dengan Perusahaan Oserzeen juga menyita emosi Profesor, melipat gandakan kepenatannya. 
“Vlari, tolong kamu bereskan ruangan ini ya, aku mau beristirahat di rumah saja malam ini.”
Vlari, sang pelayan setia yang sejak sore tadi menemani Profesor di dalam ruangan, segera berdiri kemudian menganggukkan kepala. “Siap Profesor. Apakah anda juga mau mandi air hangat? Saya akan siapkan di rumah anda jika perlu.”
“Tidak perlu, Vlari. Tapi kau boleh menyusul ke rumahku setelah tugasmu selesai. Malam ini tidak ada pelayan di rumah, aku juga perlu penjaga ekstra.”
“Siap Profesor. Laksanakan.”
Profesor merapikan jasnya, kemudian beranjak pulang. Vlari bisa diandalkan untuk membereskan ruangannya. Profesor ingin segera meluruskan punggung. 
Namun, malam itu, rupanya Profesor tidak dibiarkan beristirahat dengan tenang sampai awal pagi. Entah pukul berapa, setelah beberapa jam tidur, Profesor terbangun, karena ada suara ribut-ribut di luar. Ada suara derap kaki yang lari menjauh, juga samar terdengar. 
“ZUPYNYS! ZLODY!!”
Hei, itu suara Vlari. Profesor membatin. Tidak lama kemudian terdengar suara tembakan. DORRRR!
Profesor langsung meraih sandalnya dan berlari ke teras depan. Vlari berdiri di sana, memegang pistol, mulutnya mengumpat. Matanya menatap awas ke depan. Jalanan di depan sana, gelap. 
“Ada apa, Vlari?” Profesor menahan langkah Vlari yang seperti siap berlari. 
“Pencuri, Profesor! Ada pencuri yang masuk. Aku harus mengejarnya.”
“Tunggu, Vlari. Zupynys.”
“Tapi Profesor, kalau kita biarkan, orang itu akan menghilang. Mungkin saya masih bisa mengejarnya sekarang.”
“Kau membuatku jantungan, Vlari. Saraf-sarafku bergetar semuanya.”
“Maafkan saya, Profesor. Saya akan mengejar orang itu.”
Tidak menunggu lama, Vlari langsung berlari ke arah jalanan. Cepat sekali. Sementara itu, para tetangga di sebelah rumah Profesor sama terbangun karena mendengar suara tembakan pistol.
Profesor mencoba menenangkan dirinya, masuk kembali ke rumah. Menghempaskan diri di sofa ruang depan. Udara di luar dingin sekali, asma Profesor bisa kambuh. Tapi tunggu. Apa kata Vlari tadi, pencuri?
Astaga. Apa yang sebenarnya terjadi. 
Di luar, beberapa orang sudah tiba di depan rumahnya, mengetuk, ingin tahu. Profesor memutuskan untuk tidak membukakan pintu. Dia akan menunggu terlebih dahulu.
Tanggal 3 Oktober, Profesor mendapatkan serangan balasan pertama, dari musuh yang dicari-carinya.


Sebelas
Arsip Penelitian Telah Dicuri


Ada sekitar setengah jam, Vlari baru kembali dari pengejarannya. Dia kembali dengan tangan kosong, wajah kesal frustasi dan nafas terengah-engah. Saat dia masuk ke rumah, Profesor masih duduk di sofa, sementara para tetangga sudah balik ke rumah masing-masing. Tidak terlalu mau tahu urusan orang lain. 
“Maafkan saya, Profesor. Saya gagal menangkapnya, pencuri itu berhasil melarikan diri.” Vlari duduk tepat di depan lutut Profesor.
“Duduklah, Vlari. Aku bahkan belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Bisa kau ceritakan? Kau tadi bilang ada Zlody? Pencuri masuk rumah ini?”
“Saya berjaga-jaga di ruangan tamu sampai lewat tengah malam, sebelum akhirnya saya tertidur. Ya di sofa ini. Untungnya saya tidak tertidur terlalu nyenyak, sehingga masih bisa mendengar bunyi langkah kaki mereka....”
“Mereka? Jadi ada banyak orang yang masuk?”
“Saya hanya melihat dua orang, Profesor.”
“Tapi bagaimana mereka bisa masuk? Kau lupa mengunci pintu?”
Vlari menunduk, kemudian menggeleng, “saya tidak ingat pasti. Tapi rasanya saya kunci. Tadinya saya ingin berjaga sepanjang malam, sampai pagi. Tapi saya ketiduran. Sekali lagi maafkan saya atas keteledoran saya ini, Profesor.”
“Tapi Vlari, ada yang aneh. Kau bilang pencuri, tapi aku tidak melihat ada sesuatu yang hilang di ruangan ini. Di rumah ini. Aku sudah memeriksanya. Detail.”
Vlari semakin menunduk. “Mereka mengambil arsip penelitian anda, Profesor.”
“Apa kau bilang?” untuk sejenak nada suara Profesor berubah tinggi. Bukankah arsip penelitiannya ada di Nauk, bukan di rumah ini? 
“Saya membawa arsip penelitian anda tadi malam, Profesor. Saya letakkan di dalam flashdisk supaya bisa saya edit sembari berjaga malam. Tapi saya malah ketiduran. Ini keteledoran saya, saya berjanji akan mengambil kembali semua data itu, saya akan menebusnya.”
Profesor terdiam. Arsip penelitiannya telah diambil. Arsip-arsip itu berisi bahan penelitiannya tentang Kota Kiev, termasuk sumber daya yang ada di dalamnya. Pencuri itu, jika dia memang benar pencuri, maka pasti telah memantau saat yang tepat untuk mengambilnya. Dan hanya ada satu pihak yang mungkin melakukan itu. Orang-orang yang tertarik mengetahui tentang kota Kiev. 
“Oserzeen,” gumam Profesor.
“Oserzeen, Profesor?”
“Yeah, mereka pasti sudah mengintai saat yang tepat. Ini bukan sepenuhnya salahmu, Vlari. Mereka pasti sudah merencanakannya. Dan karena ini adalah urusan Oserzeen, kau tidak perlu ikut campur.”
“Tapi, tapi, tapi....”
Profesor mengisyaratkan Vlari agar tidak meneruskan kalimatnya, kemudian menengok ke arah jam. Sudah hampir jam 5 pagi, “aku memaafkanmu, Vlari. Namun ada tugas-tugas baru untukmu.”
“Siap, Profesor.”
“Sekarang kau bersiap-siap. Tolong kau siapkan air hangat dan sarapan untukku, kemudian kau lekas pergi ke Nauk. Hubungi Kokov, Szczesny dan Chrmeko. Aku memerlukan mereka hari ini.”
“Siap Profesor.”
Nah, lebih banyak lagi nama-nama sulit yang akan bergabung ke cerita ini ke depannya.


Dua Belas
Aku Belum Menginginkan Hal Itu, Ibu


Di sudut jalan III kota Kiev, pagi-pagi sekali tanggal 3 Oktober. Di sebuah kontrakan yang sangat sederhana. Seorang pria keluar dari kamar mandi, handuk masih terlilit di bahunya. Dia hanya mengenakan celana pendek. Rambut pirangnya basah. Dia nampak segar. 
Pria itu melangkah ke kamar, berpakaian dan kemudian ke meja makan. Dia mengambil roti tawar, memotong tomat dan menggenapinya dengan ikan asap. Sarapan yang juga sederhana. Juga, karena pria ini harus menjaga bentuk tubuhnya. Atletis, tinggi, pria ini seperti bintang film Hollywood. 
Ketika rotinya menyisakan separuh, telepon di mejanya berbunyi. Itu telepon kabel yang biasa ditaruh di meja resepsionis. Modelnya sudah lama. Hanya beberapa orang saja yang masih menggunakan telepon semacam itu di zaman begini. Namun bagi pria itu, teleponnya sangat penting. Dia langsung mencampakkan rotinya, dan menyambar gagang telepon.
“Halo Bu.”
Tidak, pria itu bahkan tidak perlu bertanya. Hanya ada satu orang yang meneleponnya pakai telepon kabel model lama itu. Alasan kenapa telepon itu sangat penting. Ibunya. 
“Halo, kamu sudah sarapan, Kokov?”
“Ya, sudah Bu. Baru saja, sebelum ibu menelepon.”
“Sarapanmu belum selesai? Maaf, ibu jadi mengganggu.”
Pria itu reflek menggeleng, “tidak bu. Ada apa? Kenapa Ibu menelepon pagi-pagi?”
“Kapan kamu akan mengunjungi Ibu?”
Mata pria itu lekas melihat ke kalender. Kepalanya mengingat-ingat agenda apa saja yang telah dia rencanakan di bulan Oktober ini. 
“Mungkin ujung bulan Bu. Sekitar tanggal 20 Oktober ke atas.”
“Alangkah lamanya, Kokov. Kamu sibuk sekali ya.”
“Iya Bu.”
“Di saat-saat seperti inilah, kamu memerlukan seseorang yang bisa memperhatikan dan melayani kebutuhanmu, Nak. Kamu butuh seorang istri.”
Pria itu, Kokov, menelan ludah. “Ibu, kita tidak perlu membicarakan hal itu, pagi-pagi pula.”
“Kokov, Ibu hanya ingin melihat kamu bahagia, Nak.”
“Kokov sudah bahagia Bu.”
Pembicaraan di telepon itu, berlanjut beberapa saat kemudian, sampai akhirnya giliran telepon dering di atas meja makan yang berbunyi. “Ibu, ada yang meneleponku di telepon genggam. Nanti kita sambung obrolannya ya. Nanti malam aku akan menelepon.”
“Kokov, pertimbangkan sekali lagi tentang menikah, Nak. Ibu takut kamu terlalu memaksakan tenaga, tanpa ada yang mengingatkan.”
Kokov menghela nafas, dia harus menegaskan, “maaf, aku belum menginginkan hal itu, Bu.”
Telepon pun terputus. Kokov beralih ke panggilan di telepon genggam pintarnya. Dari Vlari. 
“Kokov, Profesor membutuhkanmu. Kamu ditunggu di ruangannya, pukul 7.30. Jangan sampai terlambat. Urusannya mendesak.”
Begitu saja, Kokov tidak perlu lagi menanggapi, cukup kata Profesor, membutuhkanmu dan mendesak itu saja, Kokov sudah berlarian ke pintu, bergegas berangkat menuju Kiev Nauk. 
Baiklah, setidaknya tugas dari Profesor, akan membuatnya sejenak lupa pembicaraannya dengan Ibunya.


Tiga Belas
Kokov dan Para Tangan Kanan


Jadi, siapa itu sebenarnya Kokov?
Kokov atau Stanislav Kokov nama lengkapnya adalah seorang pria yang sangat menarik. Tinggi, tegap, atletis, rambutnya pirang, mengkilap, matanya berwarna biru cerah. Dia sangat mewakili identitas orang Ukraina. Bahkan, dia lebih Ukraina daripada presiden Ukraina itu sendiri. Di cerita ini, meski bukan merupakan protagonis utama, dia akan mendapatkan porsi cerita yang berlebih.
Karena dia adalah tangan kanan Profesor Nyoman Asdawirya. 
Profesor bertemu dengan Kokov nyaris setahun yang lalu, saat sedang rapat di salah satu perusahaan swasta. Kokov awalnya bekerja di sana sebagai tenaga ahli. Oleh Profesor kemudian, dia diajak gabung di Kiev Nauk, ditawari beasiswa Ph.D serta kesempatan mengajar di Nauk. Kokov menyetujuinya dan sejak itu, dia jadi andalan Profesor dalam berbagai hal.
Kokov adalah orang yang sangat tenang. Dia anti berbasa-basi. Kecuali di saat-saat tertentu. Itu adalah nilai plus diantara banyak nilai plus lainnya. 
Profesor menyenangi dia karena Kokov, meskipun tidak suka basa-basi, sangat bertanggung jawab dengan tugas yang diberikan. Dia juga pada dasarnya baik hati. Siap melakukan apapun untuk membantu orang lain. Selain itu, Kokov juga sangat disiplin dan tepat waktu. Telat satu detik, adalah aib bagi dirinya. 
Makanya, setelah menerima telepon dari Vlari, Kokov bergegas pergi ke Nauk. Berusaha sampai secepat mungkin. Namun, dia kalah cepat dengan dua orang penyandang nama sulit lainnya, yang saat dipanggil, memang sedang ada di lingkungan Nauk. 
Mereka adalah Szczesny dan Chrmeko. 
Dua orang ini unik. Mereka duet dalam berbagai urusan, namun sebenarnya tidak punya latar belakang yang sama. Szczesny adalah mahasiswa master di Nauk, didikan Profesor, makanya dia dipercaya juga dalam berbagai urusan. Sementara Chrmeko tidak pernah kuliah di Nauk. Dia adalah pegawai perusahaan swasta. Tepatnya perusahaan tambang di luar negeri, Belarusia. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka bisa berteman, namun mereka jelas saling melengkapi. 
Szczesny adalah orang terdidik, sementara Chrmeko adalah orang terlatih. Szcesny gegabah, Chrmeko amat terencana. Szczesny suka penasaran, Chrmeko sangat tenang. 
Profesor Nyoman Asdawirya duduk di ruangannya, di belakang meja coklat. Beliau memanfaatkan waktu yang tersisa, sebelum kedatangan tamu-tamunya, untuk mengecek data apa saja yang dia butuhkan untuk “bertarung” dengan Oserzeen.
Karena, pasti Oserzeen-lah yang ada di belakang ini semua. 
Vlari kemudian masuk membawakan minuman hangat untuk Profesor. Dia meletakkan cangkir dengan anggun. Profesor mengangguk, bilang terima kasih. Vlari masih terlalu sungkan, dia terbebani urusan tadi pagi. 
TOKKK TOKKK!!
“Vlari,” kepala Profesor mendongak, “tolong lihat siapa yang mengetuk itu. Jika dia adalah salah satu dari Kokov, Szczesny atau Chrmeko, maka biarkan masuk. Bila bukan salah satu dari mereka, suruh pulang saja. Bilang aku sibuk, tidak ada waktu.”
Vlari mengangguk.
Lima menit kemudian pintu dibuka lebar, Szczesny tersenyum tak kalah lebar di depan pintu.
“Duet S & C meminta izin masuk memenuhi panggilan Profesor.”
“Ah, silakan masuk, Szczesny, Chrmeko.”


Empat Belas
Pembicaraan dan Rencana


Szczesny berperawakan tegap. Tinggi badannya mencapai 180 cm. Tapi setelan bajunya, amat apa adanya. Sepagi ini bertemu Profesor, dia hanya memakai kaos oblong warna kuning, dan jas warna coklat. Seandainya tak diingatkan oleh Chrmeko, dan dipinjami jas, bisa-bisa Szczesny menghadap Profesor bagai mau pergi ke kamar tidur. 
Chrmeko sebaliknya, sangat sopan, terkontrol. Pelan-pelan dia membuka cakap, “ada yang bisa kami bantu, Profesor?”
“Mari kita mulai dengan satu pertanyaan, apakah kalian punya kesibukan dalam satu  dua bulan ke depan?”
“Tidak juga, Profesor,” Chrmeko yang menjawab.
“Ada apa ya, Prof?” Szczesny bertanya sebaliknya, dengan wajah heran.
“Karena aku ada tugas untuk kalian. Tugas jangka panjang.”
“Perlu waktu satu dua bulan?” Szczesny angkat kening.
Profesor mengangguk. Chrmeko kembali bertanya dengan sopan, tugas apa yang bisa mereka kerjakan. Profesor kemudian menjelaskan. 
“Aku ingin kalian mengumpulkan informasi tentang Oserzeen.”
Mendengar nama itu, Chrmeko dan Szczesny saling pandang. Profesor melanjutkan kalimatnya. “Tidak, kalian tidak salah dengar, dan aku tidak salah ucap. Aku ingin kalian menyelidiki tentang Perusahaan Tambang Oserzeen. Kumpulkan sebanyak mungkin informasi mengenai mereka, kemudian laporkan padaku. Jangan sungkan mengulik informasi sampai ke akarnya, sebab aku yakin, Oserzeen sedang melakukan hal yang sama.”
“Terdengar seperti anda punya masalah dengan Perusahaan Oserzeen.” Chrmeko berucap hati-hati.
“Tepat sekali, Chrmeko. Ada masalah. Namun hanya masalah kecil saja. Kalian bisa lakukan ini bukan?”
Szczesny masih dengan wajah bingungnya kemudian berucap, “eh ini bukan tugas jangka panjang, Profesor. Satu dua hari juga beres.”
“Nanti ada tugas-tugas lainnya menyusul, Szczesny. Kau tunggu saja.”
Szczesny garuk-garuk kepala.
Pembicaraan terputus setelah terdengar suara ketukan pintu dan Vlari memunculkan kepalanya.
“Kokov meminta izin masuk, Profesor.”
Profesor mengangkat tangannya, “bilang padanya tunggu sebentar, Vlari,” sejenak kemudian pandangan Profesor beralih ke duet S & C di depannya, “kalian laksanakan tugas dengan baik, laporkan padaku. Silakan tinggalkan ruangan ini. Aku harus bicara dengan Kokov.”
Duet S & C mengangguk hormat kemudian beranjak ke luar. Szczesny sempat membualkan tugas itu sesekali. Kemudian mereka menghilang dari pandangan mata. Giliran Kokov yang masuk. 
“Ada yang bisa saya bantu, Profesor? Saya tadi mendengar duet S & C menggumamkan soal Oserzeen. Apakah ada hubungan masalah dengan mereka?”
“Terima kasih, Kokov. Pengamatan kau sangat tajam, seperti biasa. Ya, perkiraan kau benar, aku punya masalah dengan Oserzeen. Tadi pagi mereka datang ke rumahku, mencuri.”
“Mencuri? Apa maksudnya?”
Kemudian Profesor menceritakan semua detailnya. Kokov manggut-manggut. 
“Ini tindak kriminal, Profesor. Harus diusut sampai tuntas.”
“Kau benar. Tapi kita tidak bisa bertindak sembarangan. Lawan kita adalah Oserzeen. Sebuah perusahaan tambang kelas kakap. Mereka besar, punya banyak uang dan koneksi untuk membelokkan fakta. Salah sedikit, bukannya berhasil menangkap pencuri itu, kita malah dituduh mencemarkan nama baik.”
Kokov terdiam sejenak, dia menengok ke arah kiri. Kebiasaannya saat berpikir. 
“Kurasa perkara ini memang harus ditangani orang yang tepat, Profesor. Oleh polisi.”
“Kau tidak mengerti kata-kataku barusan jika masih bersikeras melapor ke polisi, Kokov. Aku ingin kau membuat penyelidikan sendiri.”
Kokov menggeleng, “dengan izin anda, saya punya rencana yang lebih baik.”
“Rencana yang melibatkan polisi?”
“Bukan sembarang polisi. Dia komandan divisi khusus. Pria terhormat yang punya kode etik. Dia teman saya, Oleksandr.”
Wajah Profesor lantas berubah cerah. “Ah ya, Oleksandr. Kalau yang satu itu, bolehlah diajak bekerja sama. Atur saja, Kokov. Aku ingin masalah ini beres secepatnya.”
Kokov mengangguk hormat. Laksanakan.


Lima Belas
Pertemuan Pertama Phia dengan Profesor


Setelah selesai melakukan pembicaraan dengan Kokov, Profesor membuka kembali laptopnya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Saat profesor membuka browser laptopnya, matanya seketika melihat ke arah notifikasi. Ada sebuah email yang kemarin sore, tapi dia tidak buka. Profesor menghela nafas, semoga bukan sesuatu yang penting. 
Syukurnya, pengirimnya bukan dari instansi tertentu. Ini adalah email pribadi seseorang. Tapi nama ini, apakah aku mengenalnya? Profesor bertanya dalam hati. Beliau coba mengingat-ingat lagi, dimana beliau pernah bertemu dengan nama ini. Lizarina_phia, itulah nama user emailnya. 
Profesor membuka email tersebut, membacanya baik-baik. Kemudian mulutnya berkomat-kamit.
“Astaga, Yun Ze. Semoga aku tidak mengecewakannya. Semoga semua baik-baik saja.”
Tanpa disadari, tangan Profesor sedikit gemetar saat memegang mouse laptopnya. 
****
Sementara itu, di Kurin, Phia sedang gelisah. 
Dia mengirim email pada Profesor Nyoman kemarin sore. Menjelaskan siapa dia dan apa keperluannya. Mengabarkan kapan mereka bisa bertemu. Sayangnya, sampai sekarang, belum ada jawaban dari Profesor. 
“Hei, kamu kenapa?”
“Eh?” 
Phia langsung menoleh ke depan. Sedari tadi, dia bengong menengok ke jendela. Sylvi menegurnya, karena heran, sedari tadi Phia tidak menyentuh sarapannya. 
“Kamu sedang ada masalah? Kenapa rotinya tidak kamu sentuh?”
“Eh tidak,” Phia langsung menggeleng kuat-kuat, “maafkan aku. Tadi aku sedang memikirkan sesuatu.”
“Jika ada yang bisa kubantu, katakan saja.”
Phia kembali menggeleng, “tidak apa,” dia langsung mencomot satu buah roti panggang di piringnya. Bau menteganya lezat sekali. Sylvi memandangi teman serumahnya dengan selidik. “Kalau kamu tidak suka roti panggang, nanti kucoba membuatkan sereal.”
“Eh tidak. Aku suka kok, roti panggang ini. Lezat.”
Meja makan ini menjadi sedikit canggung gara-gara Phia terus kepikiran soal emailnya. Akhirnya, setelah menyantap rotinya, Phia memutuskan untuk bercerita, Sylvi mendengarkan dengan penuh perhatian. 
“Kamu datangi saja langsung ke ruangan beliau. Beliau punya kantor di Kiev Nauk. Tinggal kamu tanyakan saja pada orang-orang di sana dimana ruangan itu terletak.”
“Tapi itu tidak sopan.”
“Tidak masalah kurasa, Profesor Nyoman adalah orang yang baik, ramah.”
“Tapi tetap saja, itu tidak sopan secara akademis, Sylvi.”
“Baiklah, kalau secara akademis aku tidak tahu. Aku tak pernah kuliah.”
Phia tertegun, lalu bagaimana Sylvi bisa tahu banyak tentang Profesor Nyoman? Namun hal ini urung dia tanyakan. Bisa jadi masalah lagi nantinya. 
“Baiklah,” Sylvi berdiri, “aku mau berangkat kerja. Kamu tidak apa-apa ya, kutinggal di Kurin sendirian? Jika kamu mau pergi juga, jangan lupa mengunci pintu.”
“Baik. Mungkin aku akan menuruti saranmu, terima kasih banyak, Sylvi.”
Sylvi yang memang sudah rapi dengan seragam kerja, segera beranjak dari meja makan. Seperti katanya, berangkat kerja. Sementara Phia kembali berpikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran Sylvi. 
Apa salahnya dia mencari Profesor di Nauk? Jika Profesor sibuk, setidaknya dia sudah berusaha mengontaknya. Sisanya, anggap saja jalan-jalan.


Enam Belas
Silakan Masuk


Nauk bukan tempat yang kecil. Nauk sangat luas. Lantas, bagaimana Phia bisa menemukan ruangan Profesor? Simpel saja, lewat petugas keamanan, bagian penerimaan tamu, meski dia sempat mendapatkan masalah. 
“Kamu tidak memegang kartu keanggotaan Nauk, nona muda. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa membiarkan kau masuk.” Petugas penerima tamu itu menggeleng kuat. Wajahnya keras seperti batu karang. 
“Kumohon Tuan. Jika tuan merasa khawatir aku akan melakukan hal yang mencurigakan, tuan bisa menemani aku ke sana. Aku hanya ingin bertemu dengan Profesor Nyoman. Sejak kemarin beliau tidak membalas emailku. Tuan bisa mengantarku ke ruangan beliau.”
Petugas itu tersenyum sinis. Enak saja main suruh-suruh. Sekali lagi dia menggeleng tegas. Tidak bisa. Phia menghela nafas. Saat itulah Vlari muncul. 
“Mr. Sherkov, saya ingin menitipkan pesan dari Profesor Nyoman. Jika ada seseorang mencari beliau, seorang wanita muda, bernama Phia atau Lizarina, atau yang mirip dengan itu tolong antarkan dia langsung ke ruangan beliau.”
Mr. Sherkov, sang petugas keamanan langsung terpana. Phia diam-diam bersorak. Dalam hati. Sekarang semua menjadi lebih mudah. Pasti Profesor Nyoman sudah membaca emailnya sekarang. 
“Ah, Vlari,” Mr. Sherkov berusaha menguasai dirinya, berbicara normal, walau sebenarnya dia agak malu, “mumpung kau ada di sini, silakan kau tanya nama nona muda ini.”
Vlari menoleh pada Phia, “maaf, Nona muda.”
“Nama saya, Phia Lizarina. Sayalah yang mengirim email kemarin pada Profesor.” 
“Benarkah, wah kebetulan sekali. Boleh aku melihat buktinya?” 
“Eh maaf, bukti?”
“Mungkin ada kartu identitas, paspor atau yang lain, yang bisa membuktikan identitasmu?”
Oh iya, Phia mengangguk, paham. Mengeluarkan paspornya. Sekalian dia mengeluarkan surat rekomendasi dari Profesor Yun Ze yang sudah dia print. Vlari membacanya sekilas, mengangguk-angguk. 
“Baiklah, kurasa memang kamu orangnya. Maafkan saya Nona muda. Kita harus berhati-hati. Negeri ini memang bukan negara konflik, tapi ya, ada banyak penipu yang harus diwaspadai. Apalagi kau baru muncul saat saya sedang menjelaskan pada Mr. Sherkov. Bukankah itu terlalu kebetulan?”
“Kebetulan-kebetulan sering terjadi, Tuan.” Phia tersenyum maklum. 
Vlari ikut tersenyum. Membungkukkan badan. “Baiklah, Nona Phia. Perkenalkan, saya, Vlari. Pelayan setia Profesor Nyoman. Jika kamu tak keberatan, saya akan menunjukkan jalan ke ruangan Profesor. Beliau sudah menunggumu.”
Phia segera berjalan. Meninggalkan Mr. Sherkov si petugas keamanan yang masih garuk-garuk kepala. 
Sambil berjalan, Vlari menyampaikan permohonan maaf Profesor, karena telat membaca email yang dikirim tadi sore. Vlari bilang, ada kesibukan yang harus dilakukan oleh Profesor Nyoman, meskipun tentu saja Vlari tidak cerita soal pencurian itu. Phia bilang tidak masalah, dia sudah terbiasa berhadapan dengan orang-orang sibuk. 
Sesampainya di depan pintu ruangan, Vlari mengetuk, dan menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan.
“Profesor, Nona Phia Lizarina, yang kemarin mengirim email, meminta izin untuk masuk.”
“Ya, silakan masuk.” Terdengar suara penuh wibawa dari dalam. Itu membuat Phia menjadi sedikit gugup.


Tujuh Belas
Nanti Saja Kita Atur Lagi


Kesan pertama Phia tentang Profesor Nyoman adalah seorang profesor konservatif yang keras kepala, memaksakan kehendak, serta senang memojokkan mahasiswa bimbingannya (agak luar biasa juga, Phia bisa mendapatkan kesan sebanyak itu, hanya dari tiga kata yang diucapkan oleh Profesor, beserta nada bicaranya). Namun, kesan tersebut semua tercerabut setelah mereka duduk berhadapan. 
Sylvi benar, Profesor adalah orang yang ramah. Setidaknya keramah tamahan khas seorang Profesor. 
“Pertama-tama, saya ingin mengucapkan minta maaf dulu, Nona Phia. Saya tidak sempat membaca emailmu, padahal kamu sudah datang jauh-jauh dari Taipei sana.”
Phia menanggapi dengan santai, tidak apa-apa, Profesor. 
“Ya, dalam email itu, kamu bilang, kamu direkomendasikan oleh Yun Ze, apa benar?”
“Benar Profesor. Ini surat pengantar yang ditandatangani oleh Profesor Yun Ze.”
Phia menyerahkan sebuah amplop berlogo Taipei University. Profesor membaca dengan saksama, memastikan itu otentik. Lima menit berlalu. 
“Baiklah, saya percaya. Saya akan coba percaya. Nah sekarang, pertanyaanku, kenapa Yun Ze, menyarankan agar kamu menemui saya?”
“Karena beliau sibuk, tidak bisa melakukan kegiatan bimbingan.”
“Astaga,” Profesor agak kaget, nada suaranya ketahuan, “kalau begitu ironis sekali. Yun Ze sibuk, di sini, saya juga sibuk, nona. Bagaimana menurutmu jika aku menitipkanmu pada salah satu kenalanku yang lain...”
“Saya mohon bimbingan anda, Profesor. Saya sangat berharap bisa mendapatkan bimbingan langsung dari anda.”
Profesor tidak melanjutkan kata-katanya. Ada kesungguhan di balik kalimat wanita ini. Hei, lagipula, siapa yang tidak sungguh-sungguh untuk datang, setengah keliling bumi jaraknya. Tidak, segawat apapun urusannya dengan Oserzeen, Profesor tidak bisa meminggirkan orang yang sungguh-sungguh ini. 
Profesor berpikir sejenak. 
“Baiklah. Saya mengerti. Saya mengerti. Kamu pasti mengharapkan yang terbaik sehingga berani datang ke Kiev. Baiklah, kita akan menggarap tesismu itu. Saya janji akan bantu. Saya bersedia jadi supervisormu. Tapi ada beberapa kesepakatan.”
“Saya akan berusaha menyepakatinya, Profesor.”
“Sungguh, saya tidak bercanda ketika bilang saya sangat sibuk. Terutama di minggu-minggu ini. Ada masalah-masalah yang harus diselesaikan, masalah pribadi jika kamu ingin tahu. Jadi mungkin saya harus menunda kegiatan kita selama satu dua minggu. Nanti Vlari akan mengabarimu di email begitu saya sudah agak senggang. Sementara ini saya tidak mau memikirkan hal rumit terlebih dahulu. Bagaimana?”
“Satu minggu, Profesor?”
“Mungkin dua minggu. Tapi tidak akan lebih dari itu. Saya janji. Sembari menunggu, anggap saja kamu liburan, menikmati kota Kiev. Menyesuaikan diri. Bagaimana?”
Phia tidak melihat pilihan lain, selain menyetujui usulan Profesor. Itu adalah win-win solution.


Delapan Belas
Penyelidikan Lapangan


Hal terakhir yang perlu diceritakan pada hari tanggal 3 Oktober adalah penyelidikan yang dilakukan oleh duet S & C, Szczesny dan Chrmeko. Setelah meninggalkan ruangan Profesor, sepanjang jalan sampai ke pintu keluar Kiev Nauk, mereka sibuk berdiskusi. Mengenai tempat yang akan mereka datangi. 
“Menurutmu ini tugas yang sulit, Chrmeko?”
Tiba-tiba saja Szczesny bertanya ketika mereka akan naik ke dalam taksi. Kantor Penataan Ruang Kota Kiev, itulah tempat pertama yang ingin mereka datangi. Ke sanalah taksi akan meluncur. 
“Tidak juga. Hanya saja aku lebih suka tugas kita yang biasa. Tugas kali ini, lebih menantang.”
“Ya, menantang. Aku setuju dengan istilah itu.”
Tidak ada percakapan lagi sepanjang perjalanan, yang sebenarnya perjalanan itu tidak panjang. Lima belas menit dari Nauk, mereka sudah turun di kantor penataan wilayah, yang bangunannya bersatu dengan bangunan lain di perkantoran walikota, Kota Kiev. 
Kantor Penataan Ruang memuat informasi tata letak gedung yang ada di Kiev secara update. Di sini bisa diketahui gedung-gedung apa saja yang berdiri di kota Kiev, tak peduli sekecil apapun itu. Dengan meneliti data ini, Chrmeko berharap, mereka bisa menemukan gedung-gedung mencurigakan yang dijadikan markas oleh Oserzeen. 
“Karena jika mereka punya markas, seharusnya itu ilegal, karena mereka tidak punya izin beroperasi.” Begitulah Chrmeko memberikan dalilnya. 
Szczesny mencatat beberapa nama gedung yang masuk kategori “mencurigakan”. Nanti mereka harus mengecek gedung tersebut satu persatu. Ada sekitar tiga gedung yang memenuhi kategori.
“Tujuan kita berikutnya, Kantor Polisi.”
Ide Chrmeko tidak mengada-ada. Jika Oserzeen memang melakukan sesuatu aktivitas yang ilegal di kota, Polisi pasti punya datanya. Tinggal data itu mereka sembunyikan atau tidak. Hanya di situ masalahnya. 
Sayangnya, dugaan Chrmeko salah total. Mereka tidak menemukan apapun di kantor polisi. Meskipun Chrmeko dan Szczesny sudah melakukan interogasi tingkat tinggi (coba bayangkan ini, dua orang yang bukan petugas keamanan, mendatangi kantor polisi dan menginterogasi para polisi di kantornya sendiri, agak unik bukan), mereka tidak menemukan apapun. Tidak ada kecurigaan, tidak ada laporan atau dokumen. Pun tidak ada yang disembunyikan. 
Komandan polisi dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya belum pernah berurusan dengan Oserzeen. Chrmeko kecewa. Szczesny menepuk-nepuk bahunya.
“Tak apa kawan, bukankah kita masih punya daftar nama-nama gedung yang mencurigakan itu. Kita bisa mencari di sana.”
“Hubungi kami jika ada sesuatu yang mencurigakan,” komandan polisi mencuri dengar. Duet S & C mengangkat bahu. 
Pukul 6 sore, duet S & C kembali ke Nauk. Chrmeko sudah mengabari Profesor, beliau menunggu laporan di  ruangannya. 
“Maaf, kami tidak menemukan apapun yang mencurigakan, Profesor. Mungkin, memang tidak ada jejak Oserzeen di kota ini. Mungkin barangkali mereka belum menginjakkan kaki ke mari.”
“Kau salah, Chrmeko,” Profesor menyondongkan badan, wajahnya serius, “Oserzeen telah sampai kemari, bahkan utusan mereka sempat menginjakkan kaki di ruanganku ini. Saat ini kalian hanya belum menyentuh keberadaan mereka.”
“Tapi, kemana lagi kami harus mencari, Profesor. Kami tidak menemukannya. Datanya sangat sulit.”
“Karena itulah aku meminta kalian yang melakukannya, duet S & C bisa menemukannya. Aku percaya. Bukankah dulu kalian juga pernah menemukan buronan yang tak pernah ditemukan polisi di bawah tanah sebuah gedung?”
Chrmeko mendesis pelan, “itu urusan yang berbeda, Profesor. Itu urusan masa lalu.”
“Aku tahu. Tapi pada intinya, aku masih belum puas dengan laporan kalian ini. Aku meminta sesuatu yang lebih. Kalian harus melakukan pelacakan lagi.”
Duet S & C menghela nafas. Baru kali ini, Profesor tidak puas dengan kerja mereka berdua.


Sembilan Belas
Aku Terganggu


Tanggal 4 Oktober. Pukul 8 Pagi di ruangan Profesor.
Pagi-pagi Profesor sudah memasang wajah tertekuk kesal. Tangannya yang memegang cangkir berisi air hangat yang diambilkan Vlari terlihat gemetaran, dan matanya yang tertuju ke laptop, mengerjap-ngerjap, seolah tak percaya. 
BUK!
Dengan sedikit perasaan emosional, tiba-tiba saja Profesor menggebuk meja. Tidak keras memang, namun Vlari yang berada di ruangan yang sama, sedang bersih-bersih, tentu mendengarnya.
“Ada apa, Profesor? Ada yang salah dengan minumannya?”
“Bukan, Vlari. Aku lupa mengirimkan naskahku pada publikasi karya ilmiah di Swiss. Harusnya kukirimkan kemarin sore, tapi...”
“Profesor bisa mengirimkannya sekarang, kurasa mereka akan memberikan toleransi khusus untuk Profesor Nyoman.”
“Ini memalukan, Vlari.”
“Maafkan saya.”
Ucapan terakhir Profesor tadi pelan saja, namun begitu bertenaga. Itu kalimat yang “membunuh”. Langsung kecut Vlari dibuatnya. Namun, selain kesal, Profesor tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Pengiriman naskah itu sudah terlambat. Beliau hanya bisa menyesalinya. 
Masalah Oserzeen ini, sepertinya benar-benar menyita perhatiannya.
****
Di sudut lain di Nauk, Kokov baru saja selesai mengajar di salah satu kelas mahasiswa Bachelor. Dia kemudian masuk ke ruangannya untuk bersiap-siap, mengisi kelas berikutnya.
Ruangan milik Kokov tidak semewah milik Profesor Nyoman. Ruangan itu kecil. Hanya 2x3 meter luasnya. Tapi Kokov dengan segenap keminimalisannya, sangat senang dengan ruangan tersebut. Ketika dia hendak beranjak, terdengar ketukan di pintu.
“Vlari, ada apa?” Kokov langsung kaget setelah membukakan pintu. 
“Kokov, ada yang ingin kubicarakan.”
“Bolehkah pembicaraannya ditunda dua jam lagi, aku harus mengajar. Ada mahasiswa yang sudah menungguku.”
“Kokov, ini sangat penting.”
“Maaf, tapi kegiatanku juga penting.”
“Bagaimana kalau sambil jalan ke ruang kelasmu. Aku bisa menjelaskan. Ini perihal Profesor.”
Kokov tak bisa berkelit lagi kalau sudah Profesor disebut-sebut. Apa mau dikata, dia sangat menghormati Profesor Nyoman Asdawirya. “Baiklah, jelaskan padaku, sambil jalan.”
Vlari kemudian menceritakan semuanya. Terutama soal bagaimana persoalan Oserzeen ini, membebani pikiran Profesor. Kokov sedikit terkejut ketika mendengar Profesor terlupa mengirimkan naskah untuk publikasi karya ilmiahnya.
“Itu benar-benar persoalan yang berat. Kasihan Profesor. Aku sudah berjanji akan membantunya, aku akan membantunya. Tapi aku akan melibatkan orang luar.”
“Siapa yang kau mintai bantuan?”
“Oleksandr. Polisi kenalanku.”
Vlari mengangguk. Dia pernah mendengar nama itu. 
“Sampaikan pada Profesor. Aku memang belum menghubungi Olek. Kemarin seharian aku sibuk. Tapi hari ini, sehabis kelas ini, aku akan mampir ke kantornya. Aku akan coba bicarakan dengan Oleksandr. Profesor tidak perlu banyak khawatir. Sekali saja Oleksandr alias Olek, ikut campur dalam urusan ini, dia tidak akan berhenti, sampai penjahatnya tertangkap.”
“Terima kasih Kokov.”
Kokov sudah tidak mendengar lagi. Dia sudah masuk ke ruang kelas.


Dua Puluh
Kantor Oleksandr


Olek alias Oleksandr adalah polisi yang diidamkan ada di kota mereka oleh para pembayar pajak. Memiliki integritas, itulah satu kata yang pantas mewakili keseluruhan karakter Oleksandr. Selain, tentu saja sebagai polisi, dia juga gagah, jago beladiri, dan tampan. 
Usia Oleksandr masih muda, belum 30-an tahun. Tapi dia sudah menoreh banyak prestasi. Dia pernah menggagalkan sebuah sindikat penyelundupan narkoba. Insiden yang membuatnya harus jalan sedikit pincang sekarang. Dia tertembak peluru dalam kejadian tangkap-tangkapan itu, tapi berkat keberaniannya dia kini menjadi seorang komandan polisi yang membawahi Distrik Pusat Kota Kiev.
Sore itu, sesuai kata-kata Kokov, dia berkunjung ke kantor Oleksandr. Kokov disambut dengan baik oleh Olek, dia bahkan disuguhi minuman kopi yang mengepul. 
“Aku datang bukan untuk bernostalgia, Olek,” Kokov sedikit protes saat Olek melarangnya bicara “to the point” sebelum menghabiskan segelas kopinya. 
“Hei, siapa bilang kau datang untuk bernostalgia. Aku tahu persis, kedatanganmu selalu membawa masalah. Maka dari itu, lebih baik kita bersantai sejenak.”
“Ini soal yang penting, Olek.” Kokov bicara lagi, wajahnya mendesak. 
“Baik, baiklah. Astaga, kau tak pernah suka basa-basi. Tak pernah kau mendengar kata orang bijak, masalah bisa dibereskan nanti-nanti, tapi kopi, didiamkan sebentar, dingin jadinya.”
“Tak pernah kau berpikir berapa banyak nyawa yang bisa dihabisi oleh seorang pembunuh berantai saat kita menghabiskan kopi sambil bersantai?”
Olek kini tertawa keras, “kau membalasku, Kokov. Selera humormu bagus juga. Baiklah, silakan ceritakan apa masalahmu. Aku akan menyimaknya sambil menghabiskan kopi ini.”
Kokov mulai bercerita. Tentang Profesor, Oserzeen dan pencurian itu. Olek sesekali menarik turunkan alisnya, lebih ke arah jenaka ketimbang serius.
“Oserzeen, itu sebuah perusahaan yang besar.”
“Makanya aku meminta bantuanmu. Profesor tak mau masalah ini berlarut-larut dan jadi rumit.”
“Urusan ini sudah rumit sejak Profesor menolak tawaran Oserzeen. Seharusnya mereka tidak perlu main-main dengan Profesor. Atau malah sebaliknya. Ya kurasa sebaliknya. Ah kita sedang berurusan dengan Oserzeen,” Olek sejenak terpejam, “itu berarti kita berurusan dengan tangan tak terlihat.”
Giliran Kokov yang menyernit keheranan. Tangan tak terlihat?
“Aku punya datanya, tapi kau tidak perlu tahu terlalu banyak. Intinya berurusan dengan tangan tak terlihat selalu merepotkan.”
“Maksudmu konspirasi?”
“Aku tidak mau mengiyakan, nanti kau mengejekku. Aku tahu kau adalah orang yang logis. Tapi kau harus ingat kata tokoh politik kondang itu, kekuasaan itu merusak, semakin absolut dia, semakin besar pula kerusakan yang ditimbulkannya. Orang-orang yang punya uang, punya kuasa, cenderung mengalami sindrom Megalomania. Mereka berbahaya.”
“Jadi kau tidak mau membantuku?”
“Hei, kata siapa.” Olek berdiri, dengan ibu jari tangan kirinya, dia menunjuk ke arah diri sendiri, berlagak, “kau tahu, aku ini Oleksandr. Aku akan membantumu.”
“Karena kau tidak akan membiarkan musuh, siapapun itu, lolos darimu?”
Olek tersenyum kecut, “bukan, tapi aku punya hutang budi padamu.”
Kokov sedikit terkejut, dia tidak menduga soal hutang budi itu akan diungkit lagi oleh Oleksandr. 
“Tenanglah, temanku. Aku janji akan membereskan ini. Aku jamin pencurinya akan tertangkap. Aku punya banyak data tentang Oserzeen.”
Kokov mengangguk, pembicaraan di ruangan kecil yang nyaman itu, sudah berakhir. Dia bisa mempercayakan sisanya pada Oleksandr.


Dua Puluh Satu
Sebuah Rencana yang Manis


Tanggal 4 Oktober, hari itu, Kurin kembali sepi lantaran dua penghuninya sama-sama pergi ke luar. Sylvi bekerja, berangkat pagi-pagi buta. Sementara Phia pergi ke perpustakaan milik pemerintah Kota Kiev. Dia bermaksud mengumpulkan sebanyak mungkin informasi sebelum jadwal pertemuan berikutnya dengan Profesor Nyoman. 
Pukul setengah dua belas siang, sebuah taksi berhenti di Kurin. Dari dalamnya keluar seorang wanita yang menenteng plastik berisi belanjaan. Dia turun dengan amat hati-hati. Dia menutupi wajahnya dengan masker warna hitam dan kacamata hitam pula. Tambahkan syal dan sweater warna merah menyala. 
Wanita ini mencurigakan.
Dia celingukan, seakan memeriksa sekitar, kemudian, setelah dirasanya bangunan rumah Kurin ini benar-benar sepi, dia mengeluarkan sebuah anak kunci dari kantong celananya, lalu...
KREEKKK!
Pintu pun terbuka. 
“Huft, semoga Phia benar-benar belum pulang,” wanita itu menghela nafas, melepaskan kacamata dan maskernya. Dia sedikit berkeringat, meskipun udara di luar agak dingin.
Ternyata dia adalah Sylvi, si pemilik rumah sendiri. Lalu kenapa dia celingukan dan mengendap-endap? Ternyata dia ingin memastikan kalau Phia belum datang. Kenapa dia harus memastikan. Karena dia ingin membikin sebuah kejutan!
“Kuharap Phia suka dengan kejutan ini, bisa membuat dia semakin kerasan tinggal di Kiev.” Sylvi berucap sendiri sambil mengangkat kantong belanjaan yang tadi dibawanya. 
Sementara itu, di luar, angin semilir bertiup. Hari ini cuaca sedang kurang bersahabat dengan aktivitas di luar. Agak dingin. Namun, cuaca dingin semacam ini justru sangat mendukung untuk masakan yang hendak diolah oleh Sylvi Yarmolenko. Apa yang hendak dia buat?
Tidak lain, Borsch. Salah satu sajian khas Ukraina. Borsch adalah sup hangat dengan warna yang sangat mencolok. Merah keunguan. Menghirup sup hangat akan sangat cocok dengan cuaca dingin di luar, dimana angin bertiup semilir.
Borsch dibuat dengan bahan baku paling utama, ubi bit merah. Bit merah punya warna merah keunguan yang sangat kuat. Keberadaan ubi inilah asal warna sup Borsch. (Meskipun dalam beberapa kasus, bit merah bisa diganti dengan bahan lain, dan tentunya warna Borsch-nya akan berubah, demikian penjelasan Sylvi).
Selain bit merah, Borsch bisa diisi dengan potongan daging atau daging babi. Untuk vegetarian, bisa diisi potongan sayur. Tidak ada masalah. Karena yang menentukan enak atau tidaknya Borsch bukan potongan-potongan daging atau sayur itu. Keenakan dan kekhasan Borsch ditentukan oleh cita rasa kuahnya. 
Kuah Borsch punya rasa asam dan manis yang sangat kuat. Cita rasa itu datang dari kuah ubi bit merah. Ubi bit merah diolah, difermentasi, proses fermentasi itu memakan waktu dua sampai tiga hari. Dari proses fermentasi itulah datang rasa asam. Itu kalau bicara soal kuah Borsch yang asli dan otentik. Karena sekarang, banyak orang yang membuat kuah Borsch yang tidak otentik. Tanpa melalui proses fermentasi. Untuk mendapatkan rasa masam yang sama, mereka mencampurkan kuah Borsch dengan air cuka dalam takaran tertentu.
Ah lagi-lagi kita bicara terlalu banyak tentang Sup Borsch. Tapi tak apalah, hitung-hitung, mengentalkan sensasi Ukraina dalam cerita ini.
Kembali ke Sylvi. Dia membuka kulkas. Mengeluarkan semua bahan-bahan yang dia simpan di sana. Sekerat daging segar, berasap-asap ketika diletakkan di atas meja dapur. Itu daging sapi segar. Sylvi tahu Phia seorang muslim, dia mengambil kesimpulan karena Phia sering memakai Khidzhab, alias hijab penutup kepala. 
Sylvi menata semuanya. Dia memproses bit merah menjadi jus, mengambil saripati jus itu kemudian mencampurkannya dengan cuka. 
"Sangat disayangkan. Seharusnya aku membuatkan Borsch dengan rasa otentik."
Karena dia tidak punya banyak waktu untuk melakukan fermentasi Borsch.
Sylvi meletakkan talenan untuk mencincang bit merah, dan mangkuk berisi air di sebelahnya. Dia mengiris bit merah dengan baik. Tangannya cukup terampil. Terdengar bunyi potongan yang menderu-deru. 
Tak-tak-tak-tak-tak
"Akhhhhh......"
TRANGGG!!
Tepat saat itulah, Phia datang


Dua Puluh Dua
Masak dan Makan Siang


"Kamu baik-baik saja, Sylvi?"
Tidak. Sylvi tidak sedang baik-baik saja. Tangannya berdarah. Wajahnya pias karena kaget. Sementara itu, rasa nyeri akibat lukanya itu terasa hingga ke ubun-ubun. 
"Kamu baik-baik saja?"
Phia bertanya sekali lagi. Sylvi tidak menjawab. Perasaan dia campur aduk. Sebagian karena tangannya sakit teriris pisau, sebagian lagi, karena dia kaget. Phia datang secara tiba-tiba. Ah kalau begini, bubar semua acara makan siang kejutannya. 
Phia tidak lagi menunggu Sylvi menjawab. Dia langsung berlarian ke kamarnya. Phia kembali ke dapur dengan membawa kotak P3K. Dia meraih tangan Sylvi yang terluka dan bermaksud mengobatinya. Namun Sylvi menangkis.
"Aku baik-baik saja, Phia."
"Tanganmu terluka, Sylvi. Biar koobati dulu."
"Tidak perlu, Phia."
Tapi cekalan tangan Phia lebih kuat. Dia menahan tangan Sylvi untuk diobati. Phia cukup telaten. Dia mengetahui cara pertolongan pertama luka. Dia bersihkan luka itu, dia oleskan obat merah (yang dibawanya dari Indonesia), dan terakhir, membalutnya dengan perban. Sylvi harus akui, dia sekarang menjadi lebih baikan.
Tapi kini Sylvi merasa tidak enak. Sudahlah kejutan makan siangnya gagal karena Phia kepalang datang, sekarang dia malah merepotkan Phia gara-gara dia ceroboh. 
"Astaga, mangkuknya pecah."
"Kamu jangan gerak dulu, Sylvi. Biar aku bersihkan serpihan kacanya."
Sekali lagi, Sylvi merasa tidak enak hati.
Phia juga gesit membersihkan potongan kaca dari mangkuk yang pecah berceceran. Sylvi terpaksa diam sampai Phia menyelesaikan pekerjaannya. Baru setelah itu, dia mengambil alih kembali. Namun, sayangnya, Phia sudah terlanjur terlibat. Dia sudah melihat potongan ubi bit merah di talenan, dan dia sangat tertarik.
"Apa yang sedang kamu masak?"
"Eh, aku masak sup."
"Sup khas Ukraina ya? Apa itu namanya, Borsch kah?"
Makin tertekuk wajah Sylvi. Hancur sudah rencananya. Bahkan Phia bisa menebak masakan apa yang sedang dia masak. Tapi, Sylvi tetap terdorong untuk bertanya. "Darimana kamu tahu tentang Borsch?"
Phia tertawa. Ayolah, kita semua hidup di era globalisasi. Semua informasi, tak peduli seberapa jauh kita dari sumber informasi, kita bisa saja tahu. Di samping itu, "aku juga sudah membaca banyak tentang Ukraina, sebelum tiba di sini. Bukankah penting bagi seorang pendatang sepertiku untuk memahami lebih banyak tentang negeri yang akan kudatangi?"
Sylvi terdiam. Tidak bisa menimpali kalimat.
"Biar aku saja yang memasak ya," tawar Phia kemudian. Tentu saja Sylvi lekas meloncat mencegah. "Jangan Phia. Biar aku saja. Kamu tentu lelah setelah pulang dari Kiev Nauk. Kamu istirahat saja."
"Bicara apa kamu. Kamulah yang seharusnya istirahat. Biar aku yang memasak. Tanganmu cidera."
Sylvi dan Phia kini berdiri berhadapan. 
"Phia, jujur saja. Semua ini, tadinya ingin kubuatkan makanan yang enak untukmu. Borsch. Tadinya aku ingin membuat sedikit kejutan makan siang untukmu."
"Oh ya, bagus sekali," Phia berbinar, "terima kasih banyak, Sylvi. Aku sudah terkejut. Kejutanmu berhasil. Nah, sekarang biar aku yang melanjutkan pekerjaannya."
"Tapi Phia…"
"Ah baiklah, kalau kamu bersikeras. Bagaimana kalau kita buat asyik saja."
Sylvi menyernit heran. Apa yang dimaksud Phia?
"Ya, kita masak bareng-bareng."
Inilah mungkin, salah satu hal yang tidak dinikmati oleh orang-orang Eropa Timur. Kerja kolektif yang mengasyikkan. Hei, siapa pula yang menyangka, Phia cukup pandai dalam memasak. Borsch buatannya terbukti cukup enak. Sylvi juga tidak malu mengakui hal itu. 
Berkat masakan mereka pula, sesi makan bersama juga enak. Sylvi meski terlihat masih terganggu dengan rencananya yang berantakan, mencoba meladeni pembicaraan Phia dengan baik. Dia bertanya tentang hari Phia. 
"Profesor masih sibuk. Belum ada bimbingan."
"Jadi hari ini kamu melakukan apa saja?"
"Aku pergi ke perpustakaan, membaca buku-buku yang berkaitan dengan risetku."
"Oh begitu. Mungkin profesor masih sibuk mengurusi pencurian yang sempat terjadi di rumahnya."
Phia tersentak. Pencurian? Kenapa dia tidak tahu? Ah mungkin ini urusan rahasia. Sebenarnya ada satu pertanyaan lagi yang relevan. Ini memang urusan rahasia. Bahkan Profesor tidak memberitahu pihak kepolisian lebih lanjut. Jadi, bagaimana Sylvi bisa tahu?


Dua Puluh Tiga
Operasi Tangkap Tangan Oleksandr


Malam hari itu juga, tepat setelah kepulangan Kokov, Oleksandr langsung bekerja. Dia hanya sendirian di kantornya, anak buahnya sudah pulang lebih dulu. Dia memberitahu anak buahnya bahwa dia akan lembur malam ini.
“Apakah ada yang bisa kami bantu, komandan?”
Oleksandr tersenyum simpul, namun dia segera menggeleng, “untuk malam ini belum ada. Aku akan mengerjakan analisis data, bukan penyelidikan lapangan. Nanti, kalian bisa bergabung bila aku sudah sampai di penyelidikan lapangannya.”
“Siap Komandan.”
Oleksandr memiliki banyak peralatan canggih. Termasuk sebuah laptop dengan spesifikasi tinggi. Dia membuka laptopnya dan menjalankan sebuah software analisis data. Dia masukkan jutaan data yang dimiliki kepolisian tentang Oserzeen, dan data mulai berputar, diproses. 
“Mari kita lihat,” Oleksandr duduk santai sambil menghirup kopinya. 
Software hebat itu langsung memproses data-data, menghubungkan satu dengan satu yang lain. Di layar laptop beberapa data bergabung jadi satu titik kode, dan satu kode dihubungkan dengan garis-garis dengan kode lainnya. Terbentuklah mapping raksasa. Data yang begitu rumit. 
“Aku akan coba mempersempit jangkauan analisisnya, setahun terakhir, khusus di kota Kiev.”
Software itu langsung memproses perintah yang diketikkan Oleksandr. Mapping raksasa itu berubah, menjadi lebih sederhana sekarang.
“Baiklah, sekarang kita sederhanakan lagi, hanya munculkan data yang berhubungan dengan Kiev Nauk, Profesor Nyoman dan perizinan tambang.”
Olek kembali memasukkan satu perintah. Mapping berproses, kemudian berubah. Titik kode yang awalnya ada ratusan, kini mengecil hingga 10 buah saja. 
Sebuah kabar baik. 
Oleksandr membaca analisis mapping dengan saksama. Mencoba mengerti. Lima belas menit, Oleksandr coba membaca, memahami dan mengingat-ingat. Akhirnya tangannya bergerak membawa kursor ke salah satu titik.
Olek mengklik titik itu, dan muncullah sebuah foto. Olek tertegun sebentar melihat kemunculan foto tersebut. 
“Foto ini... Oserzeen. Rupanya di sana markas kalian ya. Aku akan menggulungnya. Aku pastikan.”
Olek langsung menyambar jaketnya, menyambar kunci sepeda motornya (dia tidak terbiasa berpatroli dengan mobil), langsung bergerak ke lokasi yang ditunjukkan oleh foto itu.
“Aku akan membongkarnya, Kokov. Aku akan menyelesaikan tugas ini bahkan sebelum matahari terbit. Bersiaplah, operasi tangkap tangan Oleksandr.”


Dua Puluh Empat
Beraninya Kalian Mengelabuiku


Pukul 23.45 malam, masih di tanggal 4 Oktober. 
Oleksandr mendorong pintu kantornya dengan kasar. Wajahnya kusut, lelah, dan kesal bercampur di sana. Wajahnya sempat terlihat saat diterpa sinar lampu kendaraan yang lewat, hanya tinggal beberapa kendaraan yang berkeliaran di Kiev menjelang dinihari. Olek langsung menghempaskan badannya ke sofa empuk tempat dia biasa menerima tamu-tamu. Bahkan tidak berniat menyalakan lampu ruangan kantor.
Sejenak hanya helaan nafas yang berat namun cepat terdengar. 
“Bisa-bisa mereka mengelabuiku. Bisa-bisanya aku tertipu. Ah, seharusnya aku melakukan penyelidikan yang lebih teliti saat berurusan dengan Oserzeen.” Olek mengomel sendiri, dalam gelap.
Rupa-rupanya, misi operasi tangkap tangannya gagal total. Bukan karena dia dikalahkan oleh para penjahat, bukan karena para penjahatnya bisa melarikan diri, melainkan, mereka memang tidak ada di sana. Ya, sesampainya Oleksandr di tempat yang diyakininya, berdasarkan data, adalah markas para pencuri itu, tempat itu kosong melompong, seperti tak pernah ditinggali puluhan tahun. 
Bukan main kesalnya Oleksandr. 
“AKU AKAN MEMBUAT PERHITUNGAN DENGAN KALIAN, OSERZEEN!!”  Olek berseru keras sambil memukul meja. Kemudian dia menguap. Tubuhnya memang sudah lelah. Mungkin sudah saatnya dia mengambil selimut, dan tidur di sofa. Malam ini sebaiknya dia menginap di kantor saja. 
Hari esok, tanggal 5 Oktober, Oleksandr kembali bekerja. Kali ini dengan metode yang dimodifikasi. Tak mau lagi dibohongi oleh data, Oleksandr memutuskan untuk menyilangkan analisisnya dengan observasi langsung di lapangan. Dia memperluas area pencarian, sampai ke luar kota Kiev. Di sore harinya, dia pergi memeriksa beberapa tempat yang dianggapnya mencurigakan. 
Pukul 6 sore, Olek pulang tanpa hasil. 
“Bagaimana Komandan, apakah ada yang bisa kami bantu. Saya lihat tadi, komandan sudah mulai memeriksa ke lapangan.”
Anak buah Oleksandr yang setia, menyambutnya di kantor ketika dia pulang, lengkap dengan sikap menghormat. Olek menyuruh anak buahnya itu untuk kembali ke sikap biasa, kemudian berkata pelan, “simpan dulu semangatmu, Opsir. Kita bahkan belum tahu harus mencari kemana. Semua tempat yang kudatangi hari ini meragukan. Sekali lagi, tidak ada yang lebih meyakinkan ketimbang gedung tua di pinggir sungai itu.”
“Siap Komandan, sungai mana Komandan?”
“Astaga, tentu saja Sungai Djneper. Sungai mana lagi yang ada di Kiev?”
“Oh iya, mohon maaf, komandan. Saya tidak tahu menahu soal kasus ini. Jadi asal tebak.”
“Nah, daripada kau asal tebak lagi, lebih baik kau jangan banyak tanya dulu.”
“Siap Komandan.”
Gedung tua di seberang jalan, menghadap ke Sungai Djneper, itulah deskripsi dari gedung yang kemarin malam, menipu Oleksandr mentah-mentah. Entah itu gedung bekas apa, yang jelas di dalamnya kosong melompong.
“Maaf komandan,” salah satu anak buah Oleksandr yang lain menyela, bicara, “saya ada informasi.”
Oleksandr sempurna membalik badan, “ya, ada apa? Kau tahu sesuatu mengenai gedung tua di pinggir Sungai Djneper itu?”
“Bukan itu komandan. Ini mengenai kasus penemuan mayat pria tua di ruang basement rumahnya minggu lalu. Pihak keluarga ingin menyelesaikan kasusnya dengan damai saja.”
Oleksandr membalikkan badan lagi. Tak berminat menanggapi. Biarlah soal itu. Bisa diurus nanti-nanti. Lagipula terserah mereka saja. Apapun yang mereka lakukan, mayat pria yang mati di ruangan basement rumahnya itu, tidak akan hidup lagi.
Eh tunggu dulu... Basement rumah?
“Jangan-jangan gedung itu....”
Oleksandr tidak bicara lagi, langsung berlari menaiki mobil patroli. Diulang sekali lagi, mobil.
“Opsir, kalian semua ikut aku. Kita harus mengamankan tangkapan besar.”
“SIAP KOMANDAN!” empat orang anak buah Oleksandr yang berada di sana, menjawab serempak.


Dua Puluh Lima
Sebuah Pesan Tertinggal di Meja


Penyerbuan itu benar-benar dilakukan. 
Oleksandr tidak keliru menandai lokasi gedung di pinggir Sungai Djneper itu saat pertama melihatnya. Dia hanya tidak mempertimbangkan bahwa bangunan itu punya basement. Malam ini, ditemani dengan empat orang opsir, dia membongkar bagian bawah gedung. 
Ada sebuah tangga panjang membentang ke bawah. Begitu mendengar ada yang membongkar pintu bawah lantai menuju basement, para penjahat langsung bersiaga. Menyambut.
Ada sekitar tujuh penjahat di bawah sana. Keberadaan mereka membuat gigi Oleksandr bergemerutuk. 
“Kalian semua ditangkap, atas nama hukum.”
Penjahat tidak menjawab kalimat dengan kalimat, melainkan dengan tembakan.
DORRR!
Oleksandr langsung meloncat turun, dan menghindari tembakan dengan gesit. Di belakangnya, para opsir balas menembakkan senjata. Sementara Oleksandr menerjang dengan cepat. Gerakannya efektif. Pistol tak berguna untuk melawan petarung terlatih dalam pertarungan jarak dekat. 
BUKKK!
BUKKKK!!
Oleksandr sudah menendang jatuh dua orang sekaligus. Sementara anak buahnya, menembak jatuh tiga orang lainnya. Para penjahat kalah jumlah, akhirnya memutuskan untuk mengalah. Dua orang tersisa mengangkat tangan.
“Keputusan yang bijak,” Olek tersenyum, mendekat. Salah satu opsir, masih dengan pistol di tangan, mengikuti komandannya, berjaga-jaga. 
“Katakan padaku,” Olek berucap  dengan tegas, dia langsung melakukan interogasi di tempat, “apa hubungan kalian dengan Oserzeen?”
“Kami tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka. Kami bukan bawahan mereka.” Salah satu penjahat yang menyerah itu, menjawab.
“Oh begitu. Lalu, apakah kalian yang telah mencuri di rumah Profesor Nyoman Asdawirya?”
“Kalau yang itu, benar adanya.”
Olek tersenyum simpul, penjahat yang mengaku? Bagus sekali. “Kalian kemanakan data-data itu?”
“Sudah ada di tempat yang seharusnya.”
Olek berdecak kesal. “Cepat katakan padaku.”
“Polisi tidak punya wewenang untuk memaksa kami mengaku, di tempat.”
Sialan. Mereka ini pasti bukan penjahat kacangan, Olek membatin. Dia memerintahkan dua orang opsir menggelandang dua orang yang tersisa ke mobil polisi. Sementara dua lagi, membereskan mereka yang terluka. Olek sendiri mengecek ke seluruh ruangan. 
Saat itulah, matanya tertuju pada sebuah pesan yang tercantum di secarik kertas. Pesan itu, pendek saja. Tapi sangat mengganggu. Pesan itu bertuliskan, “ S & C sudah bergerak. Sesuai dengan rencana anda, tuan.”

Dua Puluh Enam
Permintaan Maaf dari Profesor


“Aku minta maaf.”
Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh Profesor Nyoman ketika bertemu dengan Phia siang ini. Mereka bertemu di ruangan Profesor, acaranya adalah ramah tamah dan makan siang.
Tadi pagi, tanggal 7 Oktober, Profesor mengirimi Phia sebuah email, beliau mengundang Phia datang ke ruangannya untuk makan siang. Menu makan mereka adalah Borsch, yang dibuat dengan kelihaian tangan Vlari. 
“Profesor tidak perlu minta maaf.” Phia menjawab dengan sopan. Sejak masuk tadi dia sudah berusaha sesopan mungkin. Saat makan pun Phia mencoba terlihat seberadab mungkin. Berhadapan dengan Profesor tentu saja tidak boleh sembarangan. 
“Ah ya, terima kasih, Nak. Kamu tahu, aku hanya merasa tidak enak. Kamu sudah datang jauh-jauh dari Taipei untuk mendapatkan bimbingan dariku, tapi aku malah sibuk.”
Tapi, Phia senang dan merasa terhormat karena mendapat kesempatan ini. Tentu saja dia memaklumi kesibukan Profesor. Apalagi mengingat insiden pencurian yang disinggung juga oleh Sylvi tempo hari. Wajar jika dia belum mendapatkan waktu untuk membahas tesis. 
“Tidak apa-apa, Profesor. Saya mengisi waktu dengan baik, berkeliling Kiev, menyesuaikan diri.”
“Kamu baik sekali Nak. Oh ya, boleh aku tahu, kamu berasal darimana? Taipei? Daratan China? Guangzho barangkali?”
“Bukan, Profesor. Saya orang Indonesia.”
Wajah Profesor langsung terlihat kejutnya. Andai tadi dia sedang mengunyah makanan, mungkin Profesor sudah tersedak.
“Kamu serius Nak? Orang Indonesia?”
“Benar, Prof. Saya lahir di Kalimantan, tepatnya Palangkaraya.”
“Wah, aku tak menyangka. Maafkan orang tua ini. Ngomong-ngomong, berapa umurmu sekarang?”
Phia menyebutkan dengan jelas, 24 tahun.
“24 tahun, dan kamu sudah malang melintang di dunia, mencicipi kota Taipei dan sekarang Kiev, hampir lulus program Master di universitas ternama, untuk ukuran orang Indonesia, itu hebat, Nak.”
Sekarang Profesor malah memujinya. Itu membuat Phia tersipu malu. 
Sebenarnya bepergian ke berbagai tempat dan tidak menetap lama di satu kota, adalah hal yang lumrah bagi Phia. Sejak kecil, hidupnya sudah berpindah-pindah. Profesor mengangguk-angguk. Baiklah sudah cukup sesi “interogasi”-nya. Profesor berharap obrolan kecil ini bisa membuat Phia lebih nyaman ketika berhadapan dengannya. 
“Nah, baiklah. Sekarang, mari kita bicara tentang tesismu. Apa yang hendak kamu teliti? Boleh kamu jelaskan. Ini penting, bukan karena aku belum membaca draft penelitianmu. Tapi aku ingin melihat, seberapa jauh kamu telah mengeksplorasi penelitianmu itu.”
Phia segera menjelaskan. Apa yang hendak dia teliti, yaitu keterkaitan sejarah dengan budaya yang sekarang membentuk masyarakat Asia Timur, khususnya China, Korea dan Jepang. Itu akan memerlukan penelusuran yang panjang, Phia telah mempersiapkan banyak referensi. Dia menyebutkan beberapa buah buku dan berkas digital yang sekarang dia miliki. 
“Huft, huft,” dua kali Profesor menghela nafas sambil menyandarkan diri di kursinya usai Phia bercerita tentang rencana tesisnya. 
“Eh maaf Prof. Apakah topik penelitian saya terlalu berat?”
“Oh tidak, anak muda. Hanya saja, Sup Borsch buatan Vlari, kadar pedasnya lumayan. Kuharap lambungku tidak apa-apa.”
Phia ikut menghela nafas. Syukurlah, bukan tentang penelitiannya.
“Sedangkan mengenai penelitianmu, itu bisa dibilang sebenarnya bukan kepakaranku, Nak.”
Eh apa kata Profesor?
“Ya, aku tidak bercanda. Penelitianmu ini sebenarnya lebih cocok dibimbing oleh Profesor Yun Ze. Dia pakar Sejarah Asia Timur. Kurasa kamu sudah pernah dengar bagaimana dia menjelajah tembok besar. Sedangkan aku, adalah pakar Sejarah Asia Selatan dan Tenggara. Itulah kepakaranku. Aku banyak menghabiskan waktu di U3I di India sebelum pindah kemari.”
“Saya siap mengubah rencana riset jika anda meminta demikian, Profesor.”
“Ah jangan, kamu sudah menyusun draft yang bagus. Aku akan tetap berusaha. Aku akan membimbingmu memahami sejarah Asia Timur. Anggaplah aku juga ikut belajar.”
Phia menarik nafas lega. 
“Baiklah, cukup sampai di sini dulu pertemuan kita. Besok kita bertemu lagi, untuk membicarakan risetmu lebih lanjut. Aku perlu membaca beberapa buku sebelum kita menyelam terlalu jauh.”
“Siap Profesor.”


Dua Puluh Tujuh
Laporan


Baru saja Phia keluar dari lift Kiev Nauk dan berbalik ke arah kiri, ke pintu keluar, Szczesny dan Chrmeko tiba di Nauk, masuk ke lift lewat pintu sebelah kanan. Mereka datang hari ini untuk memberikan laporan atas penyelidikan mereka. 
Sementara itu, di sisi lain, di meja ruangan Profesor, Vlari baru saja hendak membereskan sisa makan siang. Duet S & C sudah masuk. Melihat mangkuk-mangkuk itu, Szczesny langsung mencelutuk.
“Sepertinya kami ketinggalan makan siangnya.”
Profesor dari bangkunya tertawa, “ya, kalian telat beberapa menit, makan siangnya enak sekali.”
“Ya, Profesor. Apalagi dengan cuaca di luar yang tidak bersahabat, semangkuk Borsch hangat adalah hidangan yang nikmat. Apakah masih ada Sup Borsch yang tersisa, Vlari?”
“Tentu. Rasanya masih cukup untuk kalian berdua.”
“Nah, tunggu apa lagi, cepat kau ambilkan. Perutku keroncongan melihat mangkuk-mangkuk itu.”
“Tapi kita tidak datang untuk makan, Szczesny,” Chrmeko yang selalu tenang dan fokus menyela. Peringatan itu terlambat, Szczesny sudah duduk, dan Vlari sudah sampai dengan dua mangkuk sup mengepul di atas nampan. Szczesny menyeringai senang. “Ayo kita makan dulu, Chrmeko.”
Sementara Szczesny sibuk menyeruput kuah Borsch yang berwarna merah marun itu, Chrmeko membuka file map-nya dan mulai melapor. 
“Kami telah memeriksa banyak tempat, Profesor. Kami telah bertanya pada pihak perizinan, pemerintah kota dan polisi. Kami mencocokkan data-data di komputer dengan pengamatan langsung di lapangan. Semua mengarah pada satu kesimpulan. Tidak ada jejak Oserzeen di kota ini.”
“Itu tidak mungkin, Chrmeko. Mereka bahkan masuk ke ruanganku dua kali. Mereka meninggalkan ruanganku dengan ancaman pada kunjungan keduanya. Mereka serius sekali. Jika data-data resmi tidak bisa menemukan mereka, mungkin Oserzeen menyembunyikan diri mereka.”
“Itulah yang saya ingin katakan, Profesor.” Szczesny menyela. “Perkara ini akan rumit jika Oserzeen memutuskan untuk bergerak diam-diam. Mereka sulit dideteksi.”
Profesor termenung sejenak. Berpikir dan menimbang. Ancaman itu, disertai dengan kasus tindak pencurian data-data di rumahnya. Tapi jejak mereka tidak ditemukan? Sungguhkah?
“Kalian sudah mencari di setiap sudut.”
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, profesor. Makanya perlu waktu beberapa hari. Ini salah satu kerja terlama kami dalam mengumpulkan informasi.”
Profesor menghela nafas. Szczesny benar, mereka bekerja cukup lama. Artinya duet S & C benar-benar mencari dengan teliti. Lagipula, di sisi lain, Oleksandr juga belum mengabarinya tentang perkembangan penyelidikan. Ini menjadi sesuatu yang sulit. 
“Baiklah. Kalian kembali ke pekerjaan lama kalian. Tugas dariku sementara ini sudah selesai. Nanti kalian kukabari jika aku memerlukan sesuatu.”
Chrmeko dan Szczesny memasang sikap hormat, cuma Szczesny berdiri kurang mantap, karena perutnya kekenyangan.


Dua Puluh Delapan
Kita Terpaksa Menundanya, Sekali Lagi


Tanggal 8 Oktober, sekali lagi, Phia datang ke ruangan Profesor Nyoman. Namun di sana tidak ada siapa-siapa. Dengan agak ragu, Phia mencoba memutar kenop pintu, dan di saat itulah, Vlari muncul. Membuat Phia terkejut.
“Nona Phia,” ujarnya lembut.
“Anda?” Phia samar-samar mengenali orang ini sebagai asisten Profesor, yang kemarin menghidangkan sup.  
“Namaku Vlari. Aku adalah pembantu pribadi Profesor.”
“Oh iya. Maaf, saya ingin bertemu dengan Profesor. Kemarin sudah membuat janji. Apakah saya boleh masuk?”
Vlari mendekat, membuat Phia mundur satu langkah dari depan pintu. “Sayang sekali, Nona Phia, Profesor sedang tidak ada di ruangannya. Pagi-pagi sekali, beliau harus berangkat ke tempat lain. 
“Oh begitu,” Phia manggut-manggut, wajar saja, karena Profesor sangat sibuk. 
“Tapi,” sambung Vlari sopan, “Profesor sudah menitipkan salam dan pesan padaku, untuk Nona Phia.”
Pesan? Apa itu?
“Profesor memintaku mengantarkanmu ke perpustakaan pribadnya. Di sana kamu bisa mencari referensi  yang cocok untuk risetmu. Mari, ikut aku.”
“Sebentar, saya tidak mau merepotkan anda. Maaf, saya tahu jalannya. Perpustakaan Kiev Nauk bukan?” Phia menyela cepat, dia sudah pernah mengunjungi perpustakaan Universitas Kiev beberapa kali minggu ini. Sayangnya bukan itu tempatnya.
“Bukan, bukan Perpustakaan Universitas. Aku diperintahkan Profesor untuk mengantarmu ke perpustakaan pribadinya. Mari. Kamu tidak bisa masuk, jika aku tidak membukakan kuncinya.”
Phia tersentak. Profesor punya perpustakaan pribadi di Nauk. Hebat sekali. Vlari dengan senang hati menjelaskan bahwa perpustakaan pribadi adalah salah satu fasilitas yang didapat Profesor ketika diundang untuk mengajar di Nauk. Perpustakaan itu terletak di samping ruangan Profesor, ruangan dengan pintu yang agak kecil. 
Namun isinya, benar-benar luar biasa. Melimpah ruah. 
Seperti yang pernah disebutkan, Profesor adalah seorang pengajar multi-disiplin ilmu. Maka perpustakaan pribadinya juga berisi berupa-rupa dan berbagai macam buku. 
“Di rak sebelah kanan, itu adalah kumpulan buku ilmu eksakta. Sebagian besar adalah biologi, kimia dan kedokteran. Oh iya, dan juga pertambangan. Profesor mempelajari tentang pertambangan secara intensif setelah datang ke Kiev. Di rak sebelah kiri, sebaliknya adalah kumpulan buku-buku sosial. Sejarah dan ekonomi mendominasi. Profesor Nyoman dulu adalah ahli ekonomi dan penasihat organisasi internasional, U3I di India. Kurasa di rak sebelah kirilah kamu bisa menemukan buku-buku yang relevan dengan penelitianmu.”
Phia tersenyum-senyum. Dia senang sekali. Lihatlah, banyak sekali buku di sini. Alangkah berlimpah ruahnya ilmu yang ada di sini. Kabar baiknya, karena ini buku koleksi Profesor Nyoman, seharusnya ada banyak buku berbahasa Inggris, bahasa yang dipahami Phia.  Dia belum menguasai jika diminta membaca buku berbahasa Ukraina. 
“Terima kasih, Vlari.”
“Sama-sama. Aku akan meninggalkanmu di sini. Tidak apa-apa kan? Bunyikan bel jika kamu merasa ada perlu.”
“Baiklah, sekali lagi terima kasih.”
Tak perlu menunggu lama, Phia langsung mulai bergerilya, mencari buku-buku yang relevan dengan penelitiannya, begitu Vlari menutup pintu. 
Jadi, sebenarnya kemana Profesor?
Pagi itu, Profesor mendapatkan telepon dari Kokov. Dan Kokov menerima telepon dari Oleksandr. Kabar itu menjalar secara berantai. Olek telah berhasil membekuk pencuri yang menjarah rumah Profesor, dan sekarang Profesor boleh berkunjung ke kantor polisi. 
Kabar itulah yang membuat Profesor berangkat pagi-pagi sekali, bahkan meninggalkan sarapannya, pergi bersama Kokov ke kantor polisi. Untungnya Profesor sempat menghubungi Vlari, menitipkan pesan untuk Phia.
Maaf Nak. Sekali lagi, kegiatan kita harus terganggu. Di dalam mobil, Profesor termenung sendiri. Kokov menyetir dengan kelajuan penuh.


Dua Puluh Sembilan
Tugas Baru


“Apa? Mereka mengakui kejahatan mereka begitu saja?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Kokov. Dia, Profesor dan Oleksandr sedang duduk-duduk di ruang kantor Oleksandr yang kecil itu. Tiga kopi hangat sudah mengepul di atas meja. 
“Ya, tadi malam kami bisa beristirahat dengan tenang, sebab interogasi para penjahat itu berakhir dalam lima menit. Mereka mengakui kejahatannya, mereka mengakui semuanya. Bahkan mereka menceritakan proses dan tahapan mereka datang mencuri ke rumah Profesor.”
Kokov dan Profesor sama-sama menyernit keheranan, baru pertama kali mereka menemukan penjahat seperti itu. 
“Aku tidak bercanda, Profesor, Kokov. Penjahat itu mengakui kejahatannya terkait dengan pencurian itu, tapi di luar itu, mereka tidak mau buka mulut sama sekali.”
“Jadi mereka tidak mau bilang siapa bosnya?”
Oleksandr menggeleng, dia sudah putus asa mengancam agar para penjahat itu menyebutkan siapa bosnya, tapi mereka sama sekali tidak mau mengatakannya. 
“Boleh aku menemui mereka, Olek?”
“Silakan, mari, aku temani ke sel.”
Profesor mengunjungi para penjahat itu, hanya sebentar saja. Seperti kata Olek, mereka sama sekali tidak mau bicara. Sedikitpun tidak mau bicara mengenai siapapun atasan mereka. 
Ketika Profesor bertanya, kenapa mereka mencuri data-data penelitiannya, salah satu pencurinya, menyatakan sesuatu yang cukup menarik. 
“Karena itu akan berguna untuk rencana selanjutnya.”
“Rencana selanjutnya?” Kokov ikut bicara, tertarik. 
“Apa maksudmu rencana selanjutnya? Cepat jelaskan,” Oleksandr ikut merangsek ke depan, mengancam. 
Penjahat itu malah tersenyum simpul. “Maaf pak polisi, kami tidak akan mengatakannya. Anda juga tidak bisa memaksa kami bicara di penjara. Ini tidak ada di prosedur pengadilan.”
Olek menggenggam tangannya erat-erat. Kurang ajar. 
Ketika mereka bertiga hendak meninggalkan ruangan, penjahat itu kembali meneriaki profesor. “Anda tidak akan lolos dari tangan kami, Profesor. Pembalasan kami akan datang.”
Mendengar kalimat itu, Kokov dan Olek sama menyimpulkan sesuatu. Mereka, para penjahat itu, punya sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang besar. 
“Apa rencana anda setelah ini, Profesor?” Kokov bertanya pelan, mereka sudah berada di dalam mobil, dalam perjalanan pulang. 
“Aku akan kembali ke Nauk. Ada beberapa pekerjaan yang menunggu.”
“Maksud saya, yang terkait dengan pencurian ini.”
“Aku akan memanggil S & C. Mereka akan melakukan sesuatu untukku.”
Kokov mengangguk, memutuskan untuk berhenti bertanya macam-macam. Sementara itu Profesor membatin, musuh barunya benar-benar berbahaya. 
Lantas apa tugas yang diminta Profesor kepada duet S & C? Tugas-tugas yang tak kalah berat. Atau merepotkan. 
“Kalian harus mendata setiap perusahaan tambang yang tercatat izinnya di Ukraina. Berikan nama-nama mereka padaku. Kalian harus mengendus sebanyak mungkin perusahaan, yang tak  tercatat di dokumen resmi sekalipun.”
Szczesny yang masuk ke ruangan Profesor sambil bersenandung, membelalakkan matanya. “Anda serius, profesor? Seluruh Ukraina?”
Profesor mengangguk, tegas. 
“Itu cakupan yang sangat luas, butuh waktu untuk...”
“Kami akan menanganinya untuk anda,” Chrmeko duluan menyambar, mengiyakan. 
“Baguslah. Aku mengandalkan kalian. Selesaikan tugas ini dengan baik. Karena aku tahu, di tugas sebelumnya, kalian tidak berusaha sekeras biasanya. Pastikan tugas ini hasilnya memuaskan, kalau kalian masih ingin jadi, anak buahku.”
Chrmeko mengangguk, sementara Szczesny terlihat kesal.


Tiga Puluh
Tentang Sisi Kanan Rumah Kurin


Kurin adalah rumah yang cukup besar. Sangat besar untuk ukuran rumah yang hanya ditempati satu orang, yaitu Sylvi sebelum kedatangan Phia. Bangunan rumah Kurin berbentuk huruf U. Jadi rumah itu punya tiga sisi. Sisi kiri, kanan dan tengah. 
Sisi kiri itulah yang menjadi kediaman tetap Phia dan Sylvi. Segala macam aktivitas dipusatkan di sisi kiri rumah tersebut. 
Bagian tengah, difungsikan sebagai gudang. Ada berbagai macam barang-barang di sana, termasuk perkakas pertanian. 
Sementara sisi kanan....
“Kamu, jangan pernah masuk atau coba-coba masuk ke sisi kanan rumah ini, Phia.”
Itulah peringatan pertama yang diberikan Sylvi saat makan malam mereka, di hari pertama. Sylvi bilang, itulah syarat yang harus dipatuhi Phia jika ingin tinggal di Kurin. 
“Kenapa?”
“Semuanya demi kebaikanmu sendiri.”
Merasa sudah berbicara di area yang privasi, Phia memutuskan mengangguk, menyetujui persyaratan itu dan tidak membahasnya lebih lanjut. 
Hari-hari berikutnya, setelah mereka menjadi cukup akrab, setelah mereka melewati sesi memasak bersama, soal sisi kanan rumah itu, kembali dibahas. Sylvi-lah yang pertama membahasnya. 
“Kamu, tidak pernah mencoba mendekati atau main-main ke sisi kanan rumah bukan, Phia?”
Phia menggeleng, tidak pernah. Bagaimana pula dia melakukan itu, sedangkan Phia seharian sibuk berjalan-jalan di luar rumah. 
“Aku sangat serius dengan sisi kanan rumah itu, Phia. Sudah lama aku tidak menyentuh sisi kanan, aku takut ada barang-barang tua yang jatuh, pecahan kaca atau semacamnya. Pokoknya kamu tidak boleh ke sana.”
“Sylvi yang baik,” Phia bicara dengan nada penuh pengertian. “Kamu boleh percaya padaku, aku tidak akan pernah menyentuh sisi kanan rumah itu. Kamu boleh menyimpannya. Aku janji. Lagipula di sini, aku cuma menumpang.”
“Kamu janji?”
“Ya, janji.”
“Baiklah, kalau begitu, ayo kita lanjutkan makan siangnya. Sup Borsch tidak pernah membuat kecewa siapapun.”
Phia ikut menghirup Borsch. Tidak mau mengungkit-ungkit soal sisi kanan rumah itu. Sisi kanan Kurin yang nampaknya mati-matian disembunyikan oleh Sylvi. Apa yang sebenarnya ada di sana? Boleh jadi, kita tidak tahu, sampai kapanpun.


Tiga Puluh Satu
Surat dan Pekerjaan


Tanggal 10 Oktober.
Karena kesibukan Profesor Nyoman mengurus kasus hukum para penjahat yang telah ditangkap itu, jadwal bimbingan dengan Phia kembali tak terurus.
Selama tiga hari belakangan, Phia hanya menghabiskan waktunya untuk membaca dan terus membaca. Dia mengunjungi perpustakaan Profesor Nyoman dan menyerap sebanyak mungkin informasi di sana. Dia telah menyusun draft. Tapi, tentu saja, dia juga perlu diskusi, bimbingan, agar tidak tersesat.
Setelah tiga hari melakukan riset pustaka di perpustakaan, hari ini, tanggal 10 Oktober, Phia memutuskan istirahat sejenak. Profesor juga belum bisa dihubungi. Vlari yang mengabarinya. Profesor masih sibuk.
Tanggal 10 Oktober, Phia memutuskan untuk bersantai di Kurin. Hari ini dia bisa menata kamarnya menjadi lebih rapi. Sementara itu, Sylvi sudah berangkat kerja sejak tadi pagi, saat hari bahkan belum terang benar. 
“Nanti kamu pastikan untuk mengunci pintunya ya, bila pergi.”
Phia tak sempat menjawab seruan itu. Sylvi sudah masuk ke dalam taksi. Ah baguslah, aku juga tidak perlu bilang soal aku yang hendak bersantai hari ini. 
Pukul sembilan pagi, Phia selesai sarapan. Menu makannya sederhana saja. Tidak banyak lagi pilihan di kulkas. Tidak masalah. Phia akan mulai bersih-bersih dan merapikan kamarnya. 
Di meja belajarnya ada banyak catatan-catatan kecil yang perhatian lebih. Phia menyusunnya dengan hati-hati. Memperhatikan agar tidak ada bagian kecil, carikan kertas yang tercecer. Saat dia penuh konsentrasi menyusun catatannya, bel Kurin berbunyi. 
“Iya, sebentar.” Phia berseru, bergegas ke pintu depan.
Seorang petugas berseragam berdiri di depan pintu ketika dibuka. Petugas itu tidak banyak komentar, langsung menyerahkan sebuah amplop putih. 
“Lyst,” kata petugas itu pendek.
“Excuse me,” sahut Phia, petugas itu segera paham. 
“Ada surat untuk penghuni Kurin. Silakan tanda tangan di sini.”
“Terima kasih,” ujar Phia. Petugas itu tidak berkomentar lagi, kemudian balik kanan. 
Phia membawa surat itu masuk ke dalam, memperhatikan amplopnya. “Aneh, tidak ada alamat surat di amplopnya. Juga tidak ada perihal. Apakah ini surat pribadi untuk Sylvi. Sebaiknya kuletakkan di kamarnya saja.”
Phia memiliki kunci yang bisa membuka semua kamar di Kurin, Sylvi yang memberikannya. Jadi dia bisa membuka kamar Sylvi untuk meletakkan surat itu. Sayangnya, bak sudah diatur, saat Phia hendak membuka pintu kamar, surat itu terjatuh ke lantai, dan amplopnya terbuka. Surat itu keluar begitu saja dari dalam amplop. 
“Urgent,” itulah yang tertulis di bagian atas kop surat, sepatah kata yang membuat Phia jadi penasaran. Urgent, berarti darurat, berarti surat ini penting sekali. Detik itu juga, tanpa memedulikan norma kesopanan khas orang Barat, Phia membuka lipatan surat itu dan membacanya.
Sayang, surat itu ditulis dengan bahasa Ukraina, dengan huruf aksara Ukraina pula. Phia sama sekali tidak mengerti. Dia terpaksa meletakkan kembali surat itu, merapikannya dalam amplop dan berharap apapun isi surat itu, ke-urgent-annya tidak sampai membahayakan nyawa seseorang. 
Phia kembali meneruskan pekerjaannya, bersih-bersih dan merapikan kamar.  Setengah jam setelah dia menerima surat itu, terdengar sebuah suara gedegum dari arah sayap kanan.
Suara seperti sesuatu jatuh. Sesuatu yang besar. 
“Apa itu,” Phia langsung berwaspada. Dia langsung mencari asal suara, sampai dia dihadapkan dengan pintu gudang yang menghubungkan sayap kanan dengan sayap kiri. 
“Suara itu, asalnya dari sayap kanan.”
Phia mencoba membuka ruangan gudang dengan salah satu kunci yang ada di bundelan kunci miliknya. Salah satunya pasti kun
ci gudang. Phia beruntung, dia langsung bisa membuka pintu itu pada kesempatan pertama. 
Pintu gudang terbuka, dan itu pertama kalinya Phia melihat sendiri apa yang ada di ruangan gudang itu. Segala macam perkakas, meja dan kursi bertumpuk-tumpuk. Acak, tak tersusun. Seolah menghalangi siap saja untuk lewat menuju sayap kanan. 
“Rumah ini, lama-lama, semakin aneh.... eh tunggu.”
Gumaman Phia tertahan. Di salah satu meja di dekatnya berdiri, dia melihat sesuatu. Sebuah amplop putih yang sudah nampak kumal. Nampaknya sudah lama. Phia meraih amplop itu. Ada tulisan urgent juga di suratnya. Sama seperti surat yang baru diterimanya.
Dan surat-surat itu sama ditulis dalam bahasa Ukraina.


Tiga Puluh Dua
Pertengkaran Kecil di Tengah Hari


Aku memang tidak bisa membaca isinya, tapi, melihat tulisan urgent itu, serta susunan komposisi kata dan hurufnya, kurasa, dua surat ini, mirip. Paling tidak, dikirim oleh orang yang sama.

Hari beranjak tengah hari. Phia tidak lagi merisaukan soal surat itu. Dia letakkan surat yang baru di meja kamar Sylvi. Kemudian soal surat yang dia temukan di ruang tengah, Phia kembalikan ke tempat asalnya, kemudian dia kunci pintunya. Biarlah semua kembali seperti semula.
Beres bersih-bersih dan kini kamarnya telah rapi, Phia kembali menekuni bacaannya. Sebuah buku besar dan tebal yang dipinjamnya dari perpustakaan Profesor Nyoman.

Hari beranjak tengah hari, Sylvi juga datang. Turun dari taksi. Bajunya agak berantakan. Wajahnya kusut. Dia lelah sekali hari ini. Selepas dari pekerjaannya.
“Eh kamu sudah pulang? Selamat datang.” 
“Eh kamu...”
Sylvi tak kalah terkejut melihat Phia menyambutnya di ruang depan Kurin sambil duduk memegang buku. “Hai, kukira kamu tidak ada di rumah.” Sylvi segera menguasai dirinya.
“Hari ini aku libur. Profesor juga sedang sibuk. Jadi aku memilih untuk membaca buku di rumah saja, bersih-bersih sekaligus bersantai.”
Sylvi manggut-manggut. Perutnya yang keroncongan membuat dia teringat kembali kenapa tadi dia buru-buru pulang. Lapar. Ingin makan siang. 
“Kamu sudah makan, Phia?”
“Eh sudah. Tadi aku masak pasta. Tapi hanya seporsi. Kupikir kamu kerja sampai sore.” Wajah Phia terlihat bersalah.
“Tidak apa.  Aku bawa makanan. Kalau begitu, aku lanjut ke meja makan dulu. Maaf, aku juga hanya membawa seporsi, kukira kamu tidak ada di rumah.”
Phia tertawa renyah, mereka impas. 
Sylvi makan siang dengan lahap. Dia lapar. Sandwich jumbo yang dia beli dari restoran cepat saji tadi dengan cepat pula lenyap ditelannya. Sylvi nampaknya bukan orang yang elegan dalam urusan makan. 
“Kamu kerja di mana, Sylvi?”
“Eh?” Sylvi mengangkat kepala, Phia sudah berdiri di pintu ruang makan. Tanpa buku tebalnya. 
“Ya, kukira kamu bekerja paruh waktu sehingga bisa pulang di jam makan siang.”
Pertanyaan dan alasan apa ini. Sylvi memandang dengan selidik. “Ya, aku bekerja paruh waktu. Memangnya kenapa?”
“Siapa tahu aku boleh ikut bekerja bersamamu.” Phia nyengir.
“Tidak, kurasa tidak.” Sekarang jawaban Sylvi terdengar ketus. Phia segera memahami situasi. Sylvi mungkin lelah setelah pulang kerja. Baiklah, dia tidak akan mengganggu Sylvi lagi. “Maaf aku sudah bertanya macam-macam, Sylvi. Oh ya, tadi ada seseorang yang mengantarkan sebuah surat beramplop dengan tulisan urgent. Kurasa itu sebaiknya kamu baca segera.”
Tak disangka, kalimat Phia itu membuat Sylvi terkejut, kemudian berdiri. “Apa katamu? Dimana kamu letakkan amplop itu?”
“Di kamarmu, eh.”
“Kamu sempat membacanya?”
Ada sorot kemarahan di mata Sylvi sekarang. 
“Aku minta maaf, surat itu jatuh dari dalam amplop dengan sendirinya. Aku tak sengaja membacanya. Tapi sungguh, aku tidak mengerti isinya. Aku tidak bisa berbahasa Ukraina.”
“Apakah pertanyaanmu barusan, tentang pekerjaanku, kamu tanyakan karena surat itu? Mengaku kamu, Phia!” Sylvi tiba-tiba berseru, kasar.
“Maafkan aku. Sungguh itu tidak ada hubungannya. Aku bertanya karena aku ingin tahu. Sungguh.”
“Sebaiknya kamu tidak coba-coba menipuku. Dan yang terpenting, jangan sok ingin tahu. Aku serius, ini ancaman.” Sylvi bergegas meninggalkan ruang makan, melewati Phia, masih denga dengusan kasar.
Hei ada apa? Sungguh Phia tidak tahu. Tiba-tiba saja, mereka bertengkar. Ini bukan sesuatu yang bagus. Apalagi mereka masih harus tinggal serumah dalam beberapa minggu ke depan.


Tiga Puluh Tiga
Pekerjaan Sylvi


Apa sebenarnya pekerjaan Sylvi?
Kenapa dia begitu marah ketika ditanya tentang pekerjaannya?

Mungkin kita tidak sempat menyinggung di depan, tapi sebenarnya Sylvi sering keluar malam-malam. Setiap malam malah. Dengan pakaian rapi, dan sejauh ini, Phia tidak pernah bertanya. Dia cukup paham dengan gaya hidup orang Eropa. Mungkin Sylvi pergi ke klub. Apalagi Sylvi sering pulang dengan rona mabuk. 
Jadi apa pekerjaan Sylvi?
Pekerjaan Sylvi berhubungan dengan rutinitasnya keluar setiap malam. 
Sylvi akan naik taksi dari Kurin. Dia keluar dari rumah dengan setelan rapi. Namun, setelah taksi itu menurunkannya di rumah temannya di sudut Kota Kiev, penampilannya itu seketika berubah. Di rumah temannya, Sylvi berganti pakaian, dengan pakaian yang sensual dan menggoda.
Ya, inilah pekerjaan Sylvi. Wanita penggoda. Dia tidak sekedar main-main di klub malam. Dia adalah anggota klub malam. Setiap malam baginya adalah bersenang-senang. 
Di Klub Malam, Esertadiok.
“Hoy, kawan-kawan. Si Pinky akhirnya datang.” 
Seorang pria gundul di pojokan sana, spontan berteriak ketika Sylvi masuk ke dalam klub. Delapan pengunjung klub yang tengah duduk juga seketika berteriak. 
“Noa Pinky!!”
Senyum menggoda langsung dipasang oleh gadis manis teman serumah Phia itu mendengar seruan-seruan kotor. Ya, dia akan bersenang-senang. “Sesuai dengan misiku.”
Si Pinky. Julukan Sylvi di klub malam. Dia selalu memakai kostum warna merah muda. Harap menyikapi kata “kostum” itu dengan bijaksana, sebab ini adalah area yang begitu kotor. 
Pria gundul itu bernama Reztarok. Preman kelas kakap di kota. Seandainya Phia tahu, nama Reztarok ditulis dalam surat berlabel urgent yang kemarin diterimanya. Sylvi langsung mendatangi Reztarok, mengajaknya berdansa. 
“Tuan Reztarok, anda terlihat sangat tampan.” Si Pinky sudah beraksi. Wajahnya merona merah. Begitu menggoda.
“Belum apa-apa kau sudah mabuk.” 
“Anda juga sebaiknya menaikkan dosisnya Tuan Reztarok.”
“Oh Pinky sayang,” pria gundul Reztarok meraih satu gelas minumannya, langsung menegaknya, “kamu sungguh membuatku tergila-gila.”
Sylvi membatin dalam dirinya. Ya, minumlah sebanyak mungkin, Tuan Reztarok, karena aku perlu membuatmu bicara banyak. Sebagaimana misiku. 
“Korek sebanyak mungkin informasi C1 dari Reztarok.”
Begitulah bunyi pesan yang tercantum di dalam surat yang diantar pada Sylvi kemarin. Sylvi taat dan patuh pada isi surat tersebut. 
Nah, jadi apa pekerjaan Sylvi?


Tiga Puluh Empat
Profesor Kecelakaan


Tanggal 11 Oktober
Proses pemeriksaan terhadap para pencuri yang menyatroni rumah Profesor Nyoman, selesai dengan cepat karena para pelakunya mengakui semuanya terang-terangan. Mereka hanya menutupi satu hal. Kemana mereka menyerahkan data-data yang dicuri tersebut. 
Dengan berakhirnya pemeriksaan di kepolisian, Oleksandr melimpahkan kasus ini ke bagian pengadilan. Sementara Profesor bisa sedikit bernafas lega, sebab orang-orang itu akan menerima ganjaran yang setimpal.
“Aku akan mengawal proses pengadilan mereka, Profesor. Tidak perlu khawatir. Mereka akan mendapatkan pengadilan yang paling adil. Mereka akan dapat ganjaran.”
Jaminan dari Oleksandr itu, cukup membuat Profesor tenang. Hari ini beliau akan kembali ke pekerjaannya. Bisa fokus. Bisa serius dalam bekerja. 
Hanya saja, Profesor tidak tahu apa-apa tentang sesuatu yang sedang bergerak di balik layar.

“Buat dia lebih menderita.”
Empat kata. Cukup empat kata saja yang diucapkan. Seketika empat kata itu bergulir rebah, seperti kartu yang disusun, menuju prajurit terbawah. Siap dieksekusi.

Sementara itu, Profesor sedang berjalan, keluar dari rumahnya, menenteng tasnya, menuju ke Nauk, jalan kaki. Di perjalanan, Vlari meneleponnya. 
“Ya Vlari, aku akan segera sampai ke ruanganku. Suruh dia menunggu.”
“Baik, Profesor.  Saya harap secepatnya. Orang ini sepertinya tidak sabaran.”
Profesor menutup teleponnya sambil berdecak. Siapa pula yang minta bertemu sepagi ini. Mendesak katanya. Profesor berjalan lebih cepat. Berusaha sampai lebih cepat. Atau sesuatu yang lain sedang direncanakan...
TIIIIITTTTTTT!
Bunyi klakson panjang terdengar, kemudian terdengar suara benturan yang agak keras. 
“ASTAGA!”
“PROFESOR NYOMAN!”
Empat kata yang bergulir bagai domino, sudah sampai pada Profesor. Dalam wujud mobil berkecepatan tinggi yang menabraknya. Telak. Orang-orang yang ada di sekitar,yang sempat melihat dan mengenali bahwa itu adalah Profesor Nyoman yang amat dihormati, langsung menghambur ke lokasi. 
Darah menetes di aspal. Suara ambulan meraung. Orang-orang memasang wajah cemas. Profesor Nyoman ditandu oleh dua orang perawat ke dalam ambulans. Dilarikan ke rumah sakit, yang berada di dekat situ. 
Kabar itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru. Seorang reporter sudah berdiri di tempat kejadian. 
“Pemirsa, kami menyela acara anda untuk sebuah berita besar. Telah terjadi kecelakaan serius di depan rumah Profesor Nyoman Asdawirya. Korbannya adalah Profesor sendiri. Beliau menerima luka yang cukup parah di bagian kepala dan harus dilarikan ke Kiev Hospital. Penabraknya adalah sebuah mobil sedan tanpa plat. Belum diketahui apakah ini hanya kecelakaan murni atau ada motif-motif lain. Kepolisian Kota Kiev di bawah pimpinan Sersan polisi Oleksandr sedang menuju ke TKP. Kita akan segera mengetahui perkembangan selanjutnya.”
“A... apa... ya... yang seben.... arnya ter... terja... di.”
Profesor terkulai lemah di atas ranjang dorong. Luka-lukanya terus mengalir. Kepala, bahu, tangan dan pahanya sepertinya terluka cukup parah. Setelan jas dan kemejanya yang berwarna putih kini dibaluri dengan bercak darah dimana-mana. Miris. Mengerikan. 
Sirine ambulan berganti pergi dengan sirine mobil polisi. Oleksandr yang sepagian ini harus beraksi, terkejut sekali. Dia langsung memerintah anak buahnya untuk mengontrol TKP. “Pastikan tidak ada siapa-siapa yang ikut campur dengan proses kerja kepolisian.”


Tiga Puluh Lima
Dari Vlari untuk Profesor


“Ini aneh sekali,” Oleksandr menatap mobil yang rangsek itu dengan saksama. Selepas menabrak Profesor dengan kecepatan tinggi, mobil itu menabrak pagar pembatas hingga bagian depannya hampir tidak berbentuk lagi. 
“Siap komandan. Kami tidak menemukan ada jejak kaki, atau tanda-tanda kehidupan.”
Tanda-tanda kehidupan, istilah yang sering diucapkan di kalangan Oleksandr dan anak buahnya. Artinya segala macam tanda keberadaan manusia, tak peduli sekecil apapun itu. Tidak ada tanda kehidupan, itu artinya...
“Kasus yang aneh.” Olek menanggapi dengan dingin, “jangan bilang kalau setelah seorang pria aneh akan melaporkan dirinya ke kantor dan mengaku dialah yang telah melakukan penabrakan ini. Kemudian dia akan mati-matian menutupi motifnya.”
“Maksud komandan, kasus ini berhubungan dengan kasus pencurian di rumah Profesor sebelumnya?”
“Sulit untuk memastikan hal tersebut. Apalagi tanpa tanda-tanda kehidupan.”
Anak buahnya memasang sikap hormat. “Kami akan mencoba mencari bukti sekali lagi, Komandan.”
“Bagus. Lakukanlah. Aku akan memeriksa keadaan sekitar.”
Sementara Oleksandr dan anak buahnya melakukan beberapa pemeriksaan, di ruangan rumah sakit, seseorang sedang berlari-lari seperti orang gila. Berteriak-teriak, memanggil nama Profesor Nyoman. Bertanya pada setiap orang yang ditemuinya di jalan. Juga menanyakan tentang Profesor Nyoman. Sampailah dia di bagian penerimaan tamu. 
“Dimana ruangan Profesor dirawat?”
“Masih di Unit Gawat Darurat.”
“Segera pindahkan beliau ke ruangan terbaik. Beliau memerlukan perawatan terbaik.”
“Tapi untuk itu, perlu prosedur...”
“Cepat lakukan. Aku yang tanggung prosedur itu.” Pria itu berucap, cepat, taktis, tapi wajahnya cemas sekali. Dia adalah pelayan setia Profesor. Vlari. Dia terus mendesak, agar Profesor dipindahkan ke ruangan yang terbaik.
“Kami akan membawa Profesor ke ruang operasi. Setelah itu ke ruangan VIP.”

Vlari kini menemui dokter yang dibilang bagian penjagaan tamu, akan melakukan operasi pada Profesor Nyoman.
“Seberapa parah luka Profesor?”
“Kami perlu melakukan operasi tulang pada kaki kirinya. Juga operasi kecil di kepalanya. Selebihnya, profesor baik-baik saja.”
Luka di kaki dan kepala, operasi tulang? Omong kosong Profesor baik-baik saja. 
“Apakah ada yang diperlukan dalam proses operasi? Aku siap mendonorkan ginjal...”
“Mister Vlari,” dokter itu tersenyum, “anda tenanglah. Kami akan melakukan yang terbaik. Anda cukup menunggu kabar baiknya saja. Percayalah, kami tidak akan membiarkan salah satu orang paling penting di negeri ini, merasa kesakitan. Kami akan berusaha semaksimal mungkin.”
Vlari tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dokter balik kanan. Masuk ke ruangan operasi. Pelan-pelan, air mata Vlari menetes. Buruk, buruk sekali hari ini. Padahal, tadi dia yang menelepon Profesor. 
Tunggu dulu, bagaimana dengan orang yang tadi mendesak bertemu dengan profesor?

Tiga Puluh Enam
Ancaman Serius


Tanggal 11 Oktober, masih di hari yang sama, masih di pagi yang sama. Hanya saja di bagian lain kota. Sebuah mobil warna merah mengkilat sedang membelah lalu lintas yang masih senggang, belum macet. 
“Sebenarnya apa yang hendak kita cari, Chrmeko?” Szczesny berseru-seru, wajahnya kesal. Tadi, pagi-pagi sekali, matahari bahkan belum terbit sepenuhnya, Chrmeko sudah mengetuk-ngetuk apartemennya. 
“Data yang diinginkan Profesor. Salah satu perwakilan perusahaan Belarusia yang disinyalir memiliki keterkaitan dengan Oserzeen ada di Kiev sekarang. Dia bersedia ditemui, tadi anak buahku yang menanyakannya. Kita bisa bertanya tentang beberapa internal perusahaan tambang padanya. Semoga itu bisa meyakinkan Profesor, bahwa kekhawatirannya berlebihan.”
“Huft, orang itu pasti sangat sibuk.” Szczesny menghela nafas, kemudian menghempaskan badannya ke sandaran kursi mobil. Chrmeko tidak balas berkomentar, fokus menyetir dengan kecepatan stabil. 
Pukul setengah enam pagi, mereka berangkat dari apartemen Szczesny. Pukul 6 lewat seperempat, wawancara itu berakhir. Wawancara yang sangat singkat. Dan berakhir dengan tidak terlalu memuaskan. Hanya ada satu informasi berharga yang bisa didapat, diantara dialog soal harga telur, rasa sup Borsch warna hijau, dan pulpen yang setengah hati mengeluarkan isi. 
Ucapan terakhir orang itu adalah, “jangan berurusan dengan Oserzeen terlalu jauh, anak muda. Aku tidak tahu apa-apa. Dan kalaupun aku tahu, aku tidak akan memberitahukan terlalu banyak pada kalian. Oserzeen tidak seperti yang kalian bayangkan. Mereka bukan sekedar perusahaan tambang. Mereka lebih dari itu.”
“Lebih dari itu?” Szczesny kelepasan bertanya.
“Ya, lebih. Mereka ada dimana-mana. Mata dan telinga mereka mendengarkan kita setiap saat.”
“Jadi maksud anda, mereka ada di Kiev?”
“Boleh jadi, seperti sup Borsch yang ada di hadapanku sekarang.”
Szczesny meninggalkan rumah orang itu dengan menguap, berusaha menutup mulutnya. Rusak sudah paginya. Sudahlah pergi terburu-buru, informasi yang didapat juga tidak seberapa.
“Sekarang kita mau kemana?”
“Melaporkan pada profesor. Sudah beberapa hari kita mencari, tanpa ada hasil. Mungkin saatnya Profesor menghapus kekhawatirannya.”
“Kurasa, kalau kita ceritakan apa yang dikatakan orang Belarusia tadi, Profesor akan bertambah khawatir.”
Chrmeko menanggapi dengan suara yang lebih dingin dari sebelumnya, “itu jelas sebuah peringatan. Peringatan yang serius.”
“Aku lebih suka menyebutnya sebagai pengalihan. Siapa juga yang mau berbagi informasi, jika kita mencarinya di pagi buta. Orang-orang perlu waktu untuk mempersiapkan hari.”
Tidak ada obrolan lagi di mobil setelah itu. Sunyi senyap. Szczesny yang sejak awal memang kacau mood-nya, memutuskan untuk menyalakan radio. 
“Berita utama kita hari ini, Profesor kenamaan dan terhormat dari Kiev Nauk, Profesor Nyoman Asdawirya, terlibat insiden kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, saat hendak berangkat ke Kiev Nauk. Profesor saat ini sedang ditangani pihak medis, mari kita berharap semoga beliau selamat tak kurang suatu apa. Sementara itu....”
Szczesny langsung terloncat, reflek mematikan radio. Kaget. “Apa kata reporternya tadi, Profesor Nyoman kecelakaan? Astaga. Tugas kita bisa bertambah pelik, Chrmeko.”
“Seperti yang tadi kubilang, Szczesny,” suara Chrmeko semakin dingin, “ancaman itu serius sekali.”
Mobil merah itu sekarang meluncur menuju bagian kota lainnya, ke Kiev Hospital. Jika insiden kecelakaan itu terjadi di dekat Kiev Nauk, maka Profesor pasti dibawa ke sana, sebab itulah rumah sakit terdekat. Jaraknya bersebelahan dengan Nauk.


Tiga Puluh Tujuh
Tidak Mungkin!


Szczesny dan Chrmeko datang ke Kiev Hospital lima belas menit kemudian. Terima kasih kepada kemampuan menyetir Chrmeko yang menakjubkan. (Atau lebih tepatnya, ugal-ugalan). Saat mereka berdua tiba, Profesor sudah dipindahkan ke ruangan VIP, operasi sudah selesai. Namun ruangan besar itu lengang. 
Astaga, aku lupa, tentu saja orang yang menjalani operasi, apalagi itu operasi kepala, harus melewati proses pembiusan. Profesor tentu belum siuman. Chrmeko membatin. Szczesny tanpa ragu, melangkah masuk. Hanya ada satu orang di ruangan itu. Dia adalah Vlari, dan dia sedang menunduk, sedih. 
“Szczesny, Chrmeko.” Vlari langsung mendongak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. 
“Vlari, bagaimana keadaan Profesor?” Chrmeko langsung bertanya. 
Vlari memalingkan wajah ke arah ranjang profesor dengan wajah sedih, “proses operasinya sudah selesai, sejauh ini profesor berhasil selamat. Tapi...”
“Tapi apa?” Szczesny memotong cepat-cepat.
“Dokter masih harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik sekarang.”
Szczesny dan Chrmeko sama terdiam setelah itu. Vlari, yang awalnya berdiri untuk menghormati kedatangan dua tamu ini, kembali duduk. Wajah cemasnya tak main-main. Urusan ini malang sekali. Profesor tidak punya kerabat di kota ini. Profesor hanya punya dirinya, dan mungkin Kokov. Orang itu sedang menuju ke rumah sakit. 
“Oh ya, kalian datang kemari dalam rangka apa? Apakah ada sesuatu keperluan dengan Profesor?”
“Ya, ada sebuah laporan yang...”
“Yang kita tidak boleh mengatakannya. Maaf. Profesor sudah berpesan untuk tidak menitipkan informasi ini pada siapa-siapa.” Szczesny langsung memotong. Vlari mengangguk, tahu diri. 
Kemudian, terdengar derap langkah merayap dari ujung lorong. Semakin lama semakin keras. Ah mungkin itu Kokov, atau bukan? Ternyata itu adalah dokter yang melakukan pemeriksaan pada Profesor Nyoman. 
Vlari kembali berdiri, langsung menanyakan hasil pemeriksaan. Dokter itu memasang wajah menyenangkan kemudian bilang, “apakah kalian semua adalah keluarga korban?” Pertanyaan itu membuat mereka bertiga menggeleng serempak di hadapan dokter. 
“Kalau begitu, sayang sekali. Saya khawatir tidak bisa menyampaikan hasil pemeriksaan pada orang yang bukan keluarga. Takutnya menjadi informasi yang memalukan.”
“Memangnya kenapa, Dokter?” Chrmeko bertanya.
“Apakah profesor menderita semacam radang saluran kemaluan akut yang menyebabkan dia terancam tak berketurunan lagi?” 
Vlari dan Chrmeko langsung melotot ke arah Szczesny. Szczesny mengangkat bahu, dia hanya menyebutkan kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan. 
“Maaf dokter, Profesor Nyoman Asdawirya memang tidak punya keluarga di sini. Dan beliau juga tidak pernah mau membicarakannya. Jadi kami tidak punya informasi apa-apa tentang keluarganya. Tapi, saya adalah orang kepercayaannya. Saya sudah menganggap profesor lebih dari sekedar keluarga. Anda boleh percaya dengan saya.”
Akhirnya dokter itu menggamit tangan Vlari, menuju ke sudut ruangan seberang. Szczesny mencoba menguping tapi Chrmeko segera memperingatinya. Kita bukan keluarga Profesor, dan kita tidak punya kedekatan dengan profesor, seperti yang dimiliki oleh Vlari. 
Dokter itu membicarakan beberapa hal.
Hal-hal yang dia dapat selama pemeriksaan.
Hasilnya adalah, profesor mengalami sedikit gangguan saraf. Dia tidak bisa bekerja secara penuh jika pulih nanti. Dokter juga merekomendasikan untuk melakukan terapi dan perawatan yang rutin.
“Apakah ada kemungkinan untuk sembuh?” Vlari bertanya, meski agak ragu-ragu.
Dokter menjawab dengan mengggeleng, sayang sekali. “Aku tidak ingin mengatakan hal buruk, kabar buruk, itu selalu menyakitkan bagi pasien dan keluarga, tapi kemungkinan untuk sembuh itu kecil. Mengingat umur profesor yang juga sudah tua. Kemungkinan untuk sembuh itu kecil. Tapi kita bisa menahannya agar tidak terlalu parah. Dan jangan lupa untuk berharap pada keajaiban.”
“Itu tidak mungkin, Dokter. Itu sangat tidak mungkin.” Vlari menggeleng dengan sedih.


Tiga Puluh Delapan
Aku Curiga


Kabar kecelakaan Profesor Nyoman bak sebuah gelombang kejut, langsung menyebar ke seluruh penjuru kota Kiev. Semua orang membicarakannya (meski cuma sejenak, kemudian orang-orang kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing, khas tabiat orang Eropa Timur). Ada dua alasan kenapa kabar itu menyebar cepat sekali.
Pertama, profesor adalah orang terkenal dari Kiev Nauk, itu benar. 
Kedua, yang terpenting, Oleksandr dan kesatuannya sengaja mendorong agar informasi itu cepat tersebar. Sebab semakin banyak orang tahu, semakin banyak yang akan membantu mencari pelaku tabrak lari tersebut.
Sementara itu di Kurin, saat pagi ini menyeruak, menyinari segala penjuru, Phia bangun terkantuk-kantuk. Dia kesiangan. Tadi malam kebablasan tidur karena menonton drama kesukaannya. Tidak ada salahnya berlibur satu dua jam bukan? Saat Phia melangkah ke dapur, Sylvi sudah menyambut di meja makan. 
“Pagi, Sylvi.”
“Pagi,” dingin sekali intonasinya. Sylvi sepertinya masih tersinggung. 
“Aku akan cuci muka dulu, baru sarapan,” Phia berbicara sendiri. Sylvi seperti tidak ada di sana, pura-pura tidak peduli. Namun ketika Phia melangkah melewatinya, Sylvi berujar sesuatu, masih dengan nada yang dingin.
“Pembimbingmu kecelakaan.”
“Apa?” Phia reflek menoleh. 
“Profesor Nyoman mengalami kecelakaan pagi ini.”
“Astaga,” Phia langsung mendekat ke meja makan, wajahnya pias, panik, “apa? Bagaimana kejadiannya? Lalu apakah Profesor baik-baik saja?”
Sylvi menggeleng, masih dengan dinginnya, “aku tidak tahu. Kamu bisa cari beritanya di internet, ada banyak yang menceritakan. Atau kau ingin langsung mendatangi rumah sakit.”
“Itu ide bagus,” Phia langsung mencomot roti tawar yang ada di atas meja, tak sempat mengisinya dengan selai atau ikan asap, langsung berlari ke kamar, untuk ganti baju.  Dia akan langsung meluncur ke rumah sakit. Astaga, bagaimana dia bisa bangun kesiangan sekarang. 
Beralih ke bagian lainnya. Berbanding terbalik dengan Phia, Kokov, yang sudah diberitahu sejak awal oleh Vlari, malah menunda urusan menjenguk profesor di rumah sakit. Dia malah memesan taksi untuk pergi ke kantor polisi. Dia tiba di sana, bersamaan dengan Oleksandr dan anak buahnya pulang dari TKP. Oleksandr jelas terkejut. 
“Loh, kenapa kau malah ada di sini, teman? Tadi Vlari sangat panik, kau seharusnya datang ke rum....”
“Vlari akan mengurus yang di sana,” Kokov memotong, wajahnya jengkel, “aku ada urusan denganmu.”
Oleksandr geleng-geleng kepala. “Oke, oke, Kokov. Astaga, aku tahu apapun yang kau inginkan, kau pasti akan merepotkan aku.”
Mereka berdua kemudian masuk ke kantor Oleksandr, tepatnya ke ruangan istirahat. Kokov meminta agar mereka bisa bicara berdua saja. Oleksandr sepakat. 
“Nah, jadi apa yang ingin kau bicarakan?”
“Soal kecelakaan itu?” 
“Aku belum bisa memberimu banyak informasi. Anggotaku masih mengerjakan penyelidikan.” Oleksandr menggeleng. 
“Kau tentu punya dugaan-dugaan.” Kokov balas menatap dengan mata menyelidik.
“Astaga, teman. Aku tentu punya dugaan. Mudah saja menyusun dugaan. Misalnya aku menduga kalau pelaku adalah teroris, punya dendam pada profesor, dan dia merupakan bagian dari sindikat penyelundup penyu ke Auckland.”
“Oleksandr!” Kokov berseru, dia sedang serius. Temannya itu malah tertawa. 
“Ayolah Kokov, kau tentu tahu, aku ini polisi. Aku tidak bisa menyusun dugaan begitu saja. Kami harus teliti. Nah, kabar baiknya, anak buahku selalu punya pekerjaan yang bagus. Dalam sehari atau dua hari, kami akan berusaha keras menemukan pelakunya.”
“Apakah ada kemungkinan, pelaku tabrak lari ini, adalah sindikat yang sama dengan orang yang melakukan pencurian tempo hari?” Akhirnya Kokov tiba di pertanyaan tersebut. 
Kali ini, Oleksandr memasang wajah yang serius. “Aku punya firasat, semua ini memang ada hubungannya.”
“Dan kedua kejadian ini berhubungan dengan Oserzeen?”
“Harusnya begitu, tapi kita tidak bisa mengambil kesimpulan terlalu cepat.”
Kokov menghela nafas. Mungkin Olek benar, mereka tidak bisa mengambil kesimpulan secara terburu-buru. 
“Nah teman,” Olek berdiri, menepuk bahu Kokov, ini sudah hampir siang. Matahari sudah tinggi. Kurasa kita punya urusan lain yang lebih penting, daripada cuma menduga-duga.”
“Apa itu.”
“Menjenguk profesor-lah. Apalagi? Malang sekali nasib beliau, tidak punya siapa-siapa di sini. Ayo kita pergi. Tenang, kau dapat tumpangan gratis, mobil polisi.”


Tiga Puluh Sembilan
Pertemuan di Lift


Sebelum meninggalkan kantor polisinya, Oleksandr sempat menerima sebuah panggilan telepon, dari anak buahnya yang masih berjaga di TKP. Mereka mengobrol beberapa patah kata, Kokov yang berdiri lima meter di depan Oleksandr, jalan lebih dulu, tidak terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan. Hanya saja, percakapan itu diakhiri dengan wajah Oleksandr yang agak “khawatir”.
“Kita harus bergegas, Kokov.”
“Ya.” 
Kokov dan Oleksandr segera naik mobil polisi menuju ke Kiev Hospital.
Pukul 9 pagi lewat sedikit, lalu lintas kota Kiev berada pada puncak keramaiannya. 
Phia, yang sudah berusaha sampai di Kiev Hospital secepat mungkin, naik taksi dari Kurin, dan segera terjebak dalam kemacetan panjang tersebut. Mobil taksi yang ditumpanginya harus ikut merayap lambat, apalagi saat melewati kantor walikota, astaga lambat sekali di sana. Ada banyak mobil yang berlalu lalang, keluar masuk. 
“Mister, maaf, tapi apakah kita bisa lebih cepat lagi? Saya sedang ada urusan urgent.” 
Supir taksi menggeleng prihatin, sayang sekali tidak bisa Nona. 
Taksi yang ditumpangi Phia tetap melaju lambat, sampai melewati kantor polisi. Dimana di sana, tiba-tiba sebuah mobil polisi keluar dan menyalakan sirinenya. Menyuruh mobil-mobil yang lain minggir, menepi. 
Itulah mobil yang ditumpangi Olek dan Kokov. Sirinenya menderu-deru. Kokov sampai merasa terganggu.
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Olek? Tidak bisakah kita matikan saja sirinenya itu?”
“Maaf, tapi kita benar-benar harus cepat sampai di rumah sakit.”
“Memangnya kenapa?”
“Kokov, terkadang aku memang suka bergurau, terkadang aku tidak serius dengan tugasku, tapi dalam hal ini, aku benar-benar telah melakukan kesalahan. Seharusnya aku tidak pernah pulang ke kantor. Seharusnya aku langsung ke rumah sakit. Aku terlambat menyadari situasi ini benar-benar genting.”
Kokov menghela nafas, langsung paham situasinya, “tidak akan ada yang terjadi, Olek. Di sana ada Vlari yang menjaga Profesor. Kau berlebihan.”
“Kau yakin pada Vlari?”
“Vlari itu, meskipun kecil dan terlihat ringkih, dia sebenarnya kuat sekali. Aku bisa menyerahkan keselamatan Profesor padanya. Nah sekarang kau tenanglah, fokus mengemudi.”
“Baiklah.”
“Dan bisakah kau matikan sirinenya?”
Olek menyeringai. Untuk yang satu itu, sebaiknya tidak. Mereka harus tetap cepat sampai. Oleksandr tidak suka terjebak macet dan menunggu. Kalau ada sirine, kenapa tidak bukan?
Sementara taksi yang ditumpangi Phia mengekor mobil polisi itu, tepat di belakangnya, memanfaatkan situasi, mereka juga bisa menerobos kemacetan.
Akhirnya, baik Olek, Kokov, maupun Phia, sampai di rumah sakit secara berbarengan. Bedanya, Phia diturunkan taksi di pintu depan, sementara Olek memarkirkan mobilnya dan kemudian masuk lewat pintu samping. 
Mereka baru bertemu di lift. Kokov dan Oleksandr sampai lebih dulu. Phia masuk belakangan. Olek, dengan gayanya yang gentleman, menawarkan diri. “Maaf Nona, mau naik ke lantai berapa?”
“Ruangan VIP.”
Insting Oleksandr langsung berdiri kaget, “ruangan VIP? Kau juga ingin menjenguk Profesor Nyoman.”
“Benar, Mister.” Phia segera memasang sikap sopan, dia memang tidak mengenal Oleksandr dan apa jabatannya, tapi melihat seragamnya, ya lebih baik menghormati kepada orang-orang yang berseragam. 
“Apa hubunganmu dengan Profesor Nyoman?”
“Eh aku, mahasiswa bimbingannya. Tingkat master.”
“Sepertinya aku harus bicara lebih banyak, aku adalah seorang polisi, nona...”
“Sudahlah Olek, Profesor Nyoman sudah menceritakannya padaku. Dia memang punya mahasiswa tingkat master yang sedang dia bimbing menulis tesis.” Kokov menyela, dengan suara tegas. Phia menengok ke arahnya, dan...
TESSS! (seperti suara air yang menetes).
Itulah pertemuan yang dijanjikan dalam cerita ini.


Empat Puluh
Dugaan Oleksandr


Tidak banyak kata-kata yang terucap lagi di dalam lift, karena waktunya memang sangat sebentar. Lift itu berdesing dan kemudian berbunyi, menandakan mereka sudah sampai di lantai ruangan VIP. 
“Seharusnya kau tidak terlalu keras, dia adalah seorang wanita.” Olek menyikut Kokov, yang langsung menyernit heran. Hei, bukannya tadi Olek yang sembarangan bertanya, seenaknya menginterogasi. 
Ketika mereka bertiga masuk, Vlari sedang bicara di telepon. Entah dengan siapa dia bicara. Szczesny dan Chrmeko sudah keluar ruangan, sedangkan Profesor masih terbaring di ranjang. Kabar baiknya Profesor sudah sadar. 
“Nona Phia,” Vlari melepas telepon, maju menyambut para tamu, dia tersenyum hangat, “Kokov, Oleksandr,” Vlari memasang wajah menghormat, “selamat datang.”
“Vlari, apakah semuanya terkendali?” Oleksandr langsung bertanya.
“Tidak,” Vlari menggeleng, “ada kabar buruk.” 
“Apakah ada yang mencoba masuk dari jendela dengan cara berlompatan seperti tupai?”
“Hah?” Vlari tidak mengerti. 
“Maksudnya, siapa saja yang sudah menemui Profesor sebelum ini?” Kokov buru-buru nimbrung. Vlari segera menyebutkan nama duet S & C. Selain mereka memang tidak ada lagi yang datang. 
“Tidak ada yang mencurigakan?”
“Tidak ada Kokov. Memangnya kenapa?”
Kokov dan Olek menggeleng. Percakapan itu terhenti sejenak karena suara lemah masuk di  tengah-tengah ruangan. 
“Ah kalian semua datang. Juga ada Nona Phia rupanya. Maaf, aku jadi merepotkan semua orang.”
Itu suara Profesor. Semua orang bergegas mendekat. Vlari menjelaskan bahwa Profesor sudah siuman sejak lima belas menit yang lalu. Sejauh ini kondisi tubuhnya stabil. 
Phia ingin sekali bertanya bagaimana keadaan Profesor saat ini, apa saja yang sakit, apakah ada operasi dan sebagainya. Tapi dia malu menanyakannya. Apalagi, Oleksandr dengan wajah ingin tahunya, langsung mendominasi percakapan. 
“Profesor, apakah anda mengenali mobil yang menabrak anda itu?”
Kokov langsung menyikut Olek, tidak baik menanyakan hal itu, situasinya tidak tepat. 
“Aku tidak tahu, Olek. Seandainya aku tahu, mungkin aku bisa menghindar. Kau tahu bukan, aku punya kemampuan melompat yang hebat.”
“Profesor sempat melihat mobil itu?”
“Tidak,” menggeleng.
“Profesor barangkali mengenali warna mobil, jenis mobil atau plat nomor mobilnya?”
“Warna mobil itu gelap, Olek, plat nomornya aku tidak sempat lihat, tapi CCTV di depan rumahku mungkin sempat merekamnya. Sudahlah, kita tidak perlu membahas soal itu. Itu hanya kecelakaan. Mungkin ada faktor ketidaksengajaan juga.”
Oleksandr seketika bersemangat, dia langsung meraih teleponnya, menelepon anak buahnya untuk memeriksa CCTV. Anak buahnya bilang tugas sedang dikerjakan, secepatnya akan dikabarkan. “Kita punya harapan, Profesor.” Olek berseru senang. 
Kokov menyikut Olek lagi, kalau tidak dihentikan, Profesor bisa-bisa kalap, mendengar semua semangat Oleksandr itu. “Ini bukan waktu yang tepat, Olek. Bukan tempat yang tepat juga untuk membicarakan soal dugaan.”
“Tidak, Kokov. Tidak. Aku sudah bertindak gegabah sekali hari ini, dengan tidak langsung ke rumah sakit. Kali ini aku harus bergerak cepat. Aku tidak akan membiarkan mereka lolos. Aku akan menangkap mereka, pasti. Mereka akan kukalahkan. Tunggu saja, aku akan mengalahkan Oserzeen.”
“Aku tidak setuju,” Profesor tiba-tiba menyela. Membuat Olek yang tadi sangat bersemangat, seketika langsung merosot. Tidak jadi melonjak girang.


Empat Puluh Satu
Tugas Baru untuk Kokov


“Eh apa maksud Profesor?”
“Tolong jangan kaitkan Oserzeen secara terburu-buru dengan kecelakaanku. Masih banyak kemungkinan lainnya.  Orang itu teledor barangkali.”
“Tidak Profesor, aku yakin sekali ini berhubungan. Aku akan melakukan...”
“Cukup Olek. Kepalaku sakit mendengar semua spekulasi ini.”
Emosi yang tak terkontrol, Vlari membatin, dia segera membantu Profesor agar bisa berbaring lagi di ranjangnya. Membuatnya lebih tenang. 
“Sebaiknya anda tidak usah banyak berpikir dulu, Profesor.” 
“Terima kasih Vlari. Oh iya, ngomong-ngomong soal berpikir, ada mahasiswa bimbinganku di sini. Kamu datang juga Nak?”
“Iya Profesor. Saya harap anda baik-baik saja.”
Profesor mengelus kepalanya, terasa berdenyut, “ah iya, aku tidak apa-apa. Hanya terasa sedikit pusing. Astaga, kenapa pusingnya jadi...” 
Tiba-tiba saja wajah Profesor menjadi pucat. Keadaan menjadi panik. Vlari langsung gesit menekan tombol, memanggil petugas medis. 
“Ada apa, ada apa?” perawat datang tergopoh-gopoh. Vlari demi melihat perawat yang datang adalah seorang gadis muda yang amatir, langsung kesal. 
“Mana dokter yang memeriksa Profesor? Cepat panggil dia ke mari!”
“Vlari, kamu tidak perlu melakukan...”
“Profesor, anda tenang dulu. Cepat panggil dokter!” Vlari berseru, berteriak, panik. 
Dokter didatangkan tiga menit berselang. Semua orang yang ada di ruangan, diperintahkan untuk keluar, dokter harus melakukan pemeriksaan. 
Di luar ruangan, Vlari menjelaskan kepada Kokov dan yang lainnya, tentang kondisi Profesor secara medis. Tentang vonis yang diberikan oleh dokter sebelumnya. Kokov dan Olek terdiam mendengarnya. Phia ingin berkomentar tapi terlalu segan. Kasihan Profesor. 
Hampir dua puluh menit pemeriksaan dokter.
“Yang bernama Kokov, silahkan masuk. Profesor ingin bicara.” Dokter tiba-tiba keluar. Kokov mengangguk, langsung masuk. “Hanya lima menit, setelah itu profesor harus istirahat.” Dokter mengingatkan, Kokov mengangguk lagi.
“Ada apa, Profesor?”
“Kau pasti sudah mendengar apa penyakitku, Kokov?” 
“Iya.”
“Penyakit yang tidak kuharapkan. Dengan ini aku jadi susah bekerja. Kurasa aku butuh bantuanmu.”
“Dengan senang hati, Profesor. Aku bisa menggantikanmu di Nauk untuk sementara. Aku bisa mengerjakan pekerjaan itu.”
“Bukan itu, Kokov. Kau punya tugas lain yang harus diselesaikan. Yang itu biar Vlari yang mengurusnya, Nauk akan mencarikan pengganti sementaraku. Tapi untuk yang satu ini, aku tidak bisa menugaskan orang lain.”
“Apa itu, Profesor.”
“Gadis yang tadi. Namanya Phia. Dia datang jauh-jauh dari Taipei ke Kiev untuk menyelesaikan tesisnya di bawah bimbinganku. Sementara ini aku tidak bisa membimbingnya, jadi aku minta kau yang membimbingnya.”
“Anda serius, Profesor? Saya bahkan belum bergelar Ph.D.”
“Aku serius. Aku akan membimbingnya lagi nanti, saat kondisiku sudah membaik. Sekarang aku ingin kau mewakiliku. Kau harus mewakiliku. Kau mengerti, Kokov?”
Kokov menghela nafas. Ini tugas baru yang berat. Bukan hanya karena membimbing mahasiswa tingkat master membuat tesis itu di luar kapasitasnya, melainkan juga karena dia, orang yang akan dibimbing itu, adalah seorang gadis. 
Kokov tidak pernah punya atribusi bagus di depan seorang wanita.


Empat Puluh Dua
Wajah Phia yang Salah Tingkah


Lima menit berlalu. Profesor tidak lagi bicara macam-macam. Beliau hanya mengulang kembali, menegaskan, tugas baru yang diserahkannya pada Kokov. 
“Aku tidak mau mengecewakan gadis itu. Dia telah mengorbankan banyak hal. Jadi kuharap kau juga tidak mengecewakanku, Kokov.”
“Aku tidak bisa berjanji akan menyelesaikan semuanya dengan lancar, Profesor. Tapi aku akan berusaha. Aku janji.”
“Itu sudah lebih dari cukup.”
Waktu lima menit habis, Kokov keluar dari ruangan. Langsung disambut dengan tatapan ingin tahu dari Vlari, Oleksandr dan bahkan Phia. 
“Apa yang dibicarakan Profesor, Kokov? Pembagian surat wasiat kah?”
“Sembarangan kau,” Kokov melotot pada Oleksandr, yang hanya mengangkat bahu sebagai ekspresi jawaban. Habisnya wajahmu seperti tegang sekali, seolah mendapatkan kabar yang sangat serius.
Vlari nimbrung, menduga-duga. Mungkin Profesor hanya mendelegasikan beberapa tugas. 
“Sebenarnya tidak juga. Aku hanya diberi satu tugas.” Kokov berpaling sejenak, menatap Phia. Karena wajah tegangnya, tanpa disengaja, Kokov malah memasang tatapan tajam ke arah gadis itu, “kau, sekarang kau ada di bawah bimbinganku. Sesuai arahan Profesor.”
Setelah itu Kokov langsung berlalu. Tanpa memberikan Phia kesempatan bertanya. Padahal dia sangat bingung. Kokov baru saja menatapnya tajam kemudian mengucapkan kalimat yang membingungkan. Olek mengejar temannya itu, bilang kalau dia bisa mengantar Kokov jika Kokov ingin pulang ke rumah. 
“Jangan diambil hati,” Vlari berbicara, kini hanya ada Phia dengannya di lorong rumah sakit, “Kokov itu sebenarnya pria baik. Tapi ya, kau lihat sendiri, dia terkadang seenaknya sendiri saja. Besok-besok kau akan tahu sendiri.”
“Eh Tuan Vlari, maaf, tapi apa sebenarnya yang dimaksud oleh Kokov tadi, aku tidak paham.” Phia garuk-garuk kepalanya yang dibalut Khidzhab.
“Sudah jelas. Profesor Nyoman tidak bisa membimbingmu karena alasan medis. Beliau harus banyak beristirahat. Maka segala kegiatan bimbinganmu, tesismu, sekarang dialihkan pada Kokov.”
Phia keheranan. Tunggu dulu, dia datang ke Kiev demi mendatangi Profesor Nyoman dan sekarang Profesor tidak bisa membimbingnya? Astaga. 
“Iya aku paham, kau pasti kecewa,” Vlari berbicara lagi, dia bisa membaca gurat wajah, “seharusnya kau bisa mendapatkan supervisor pengganti yang lebih baik. Tapi saat ini, Kokov bukan pilihan yang buruk. Dia cerdas, berdedikasi, rajin, dan terpercaya. Dia adalah tangan kanan Profesor Nyoman. Tambahkan lagi, dia tampan. Kurasa sesi diskusi dengannya di salah satu kafe di pinggir sungai Djneper akan sangat menyenangkan.”
Apa? Duduk di kafe bersama pria tampan macam Kokov? Astaga, Phia nyaris salah tingkah saat membayangkannya.


Empat Puluh Tiga
Kepala Polisi yang Hebat


Semalam Phia pulang dari rumah sakit sekitar pukul 3 sore. Dia membantu Vlari bersih-bersih kamar itu dan menjaga profesor. Sepanjang Phia ada di sana, Profesor sama sekali tidak sadar. Padahal Phia ingin menunggui sampai malam datang namun Vlari mencegah.
“Kamu tidak perlu melakukan itu, Phia. Biar aku yang menjaga beliau, profesor akan baik-baik saja. Lagipula saat ini tidak ada yang bisa kita lakukan. Kamu pulanglah, istirahat. Kamu juga bisa meninjau ulang draft tesismu. Saran dariku, sebaiknya kamu siapkan segalanya matang-matang. Kokov kadang bisa menghubungi orang secara mendadak.”
Akhirnya Phia menuruti saran itu, dan pulang. 
Sesampainya di rumah, Sylvi sudah lebih dulu ada di sana, dan dia hanya diam. Secara teknis, mereka masih bertengkar. Phia sebenarnya ingin minta maaf, tapi dia belum punya kesempatan untuk itu. Lihatlah, Sylvi dingin sekali padanya.
“Kondisi profesor benar-benar buruk,” Phia lebih dulu bicara, mencoba bercerita.
“Oh ya?”
“Iya, kecelakaannya serius. Tapi pelakunya belum tertangkap. Kepolisian sedang mengejarnya. Semoga pelakunya cepat diringkus dan mendapatkan balasan.”
“Iya semoga.”
“Kamu tahu, yang lucu adalah, kepala polisi yang menangani kasus ini, aku bertemu dengannya di rumah sakit, dan dia bersikeras bahwa kecelakaan ini didalangi oleh mafia atau organisasi jahat.” Phia mencoba mengulur cerita lagi, berharap Sylvi akan menjawab dengan lebih responsif.
“Oh ya? Siapa kepala polisi itu?”
“Aku tidak tahu namanya. Tapi dia datang bersama asisten profesor.”
“Temannya Vlari?”
“Bukan, asisten profesor yang satu lagi.”
“Oh Kokov. Berarti polisi itu adalah Oleksandr.”
“Ah iya, Oleksandr.” Phia sedikit terpekik senang, akhirnya Sylvi mau bicara.
“Mereka akan menangkap pelakunya. Oleksandr adalah kepala polisi yang hebat.”
Kemudian Sylvi beranjak ke kamarnya, tanpa memedulikan Phia lagi. Astaga, ternyata sifatnya masih dingin. 
Tanggal 12 Oktober, pagi hari
Sesi sarapan kesekiannya di Kurin. Hari ini dia bisa sarapan berbarengan dengan Sylvi (yang ironisnya seperti tidak ingin sarapan semeja dengannya). Phia tidak mau membalas perlakuan dingin itu, dan mencoba memulai obrolan hangat. Dengan menyinggung soal “aku sepertinya akan lebih banyak santai setelah profesor kecelakaan, mungkin aku akan menunggu,” atau menyebutkan kemungkinan, “mungkin aku akan tinggal lebih lama di Kurin.”
Sayangnya balasan Sylvi selalu, “oh ya,” “baik,” atau “silakan.” 
Pukul 6.15, masuk sebuah pesan ke ponsel Phia. Pesan itu berbunyi:
Kutunggu di Kafe Le Caoux. Pukul 9.15.
Jangan sampai terlambat.

Tertanda,
Kokov
Terkejut sekali Phia menerima pesan tersebut. Sylvi tak sedikitpun menggubris ekspresi terkejut teman semeja makannya itu. Dia terus mengunyah sandwich berselai kacangnya, dengan dingin. 
“Aku, ingin bersiap-siap sekarang.”
“Silakan.”
Sementara Kokov, di rumahnya, sedang bersiap-siap mandi. Menyegarkan badan. Namun otaknya justru memikirkan pesan yang tadi dia kirim. Secara asal-asalan.
Ah, semoga gadis itu bisa memakluminya, dia tidak pernah berurusan dengan seorang gadis sebelum ini. Tepatnya selalu menghindar.
Tidak apa Kokov, dia hanya mahasiswi bimbinganmu, kau harus perlakukan dia, sama seperti mahasiswa-mahasiswa lain yang sering kau ajari di kelas. 
Hatinya berusaha menenangkan dirinya.


Empat Puluh Empat
Sayangnya Kita Tidak Bertemu di Le Caoux


Kafe Le Caoux adalah kafe bergaya Prancis yang berdiri tegak di pinggir sungai Djneper. Kafe ini bukan yang paling ramai di kota, karena orang-orang Ukraina sepertinya tidak terlalu dekat dengan hal-hal bergaya Prancis. Namun, bagi beberapa orang, suasana di kafe tersebut sangat nyaman untuk menghabiskan waktu, untuk menenangkan diri. 
Kafe itu setengahnya merupakan bangunan kokoh berlantai dua, pemandangan menghadap sungai Djneper dipadukan dengan sapuan putih cat bangunan. Namun, pesona Le Caoux yang sebenarnya adalah setengah bangunannya lagi yang merupakan selangsar bangunan tanpa atap, dengan lantai terbuat dari marmer dengan motif batuan sungai. Selangsar atau teras kafe ini menghadap langsung ke bibir dermaga. Sehingga suasananya benar-benar nyaman.
Orang Prancis benar-benar berjiwa seni!
Kokov menyesap kopi hangat yang diantar oleh pramusaji tadi. Wajahnya resah. Dia sudah menunggu sejak pukul 8.50 tadi. Hampir setengah jam sebelum jadwal temu. Sengaja menenangkan diri lebih dulu. Karena itulah dia memilih untuk duduk di teras kafe yang menghadap langsung ke dermaga. Ini rahasia kecil Kokov, Le Caoux adalah salah satu tempat favoritnya. Elegan, minimalis dan menenangkan. Suatu kombinasi yang tepat sekali.
Sementara itu, Phia yang berusaha berangkat secepat mungkin setelah menerima pesan dari Kokov, ternyata berkali-kali terhambat. Pertama, dia lupa memprint draft tesis yang telah disusunnya, kemudian dia lupa mengambil kartu tanda bimbingan yang seharusnya dia bawa, kemudian dia lupa membawa handphone-nya. 
“Astaga Phia, bagaimana kamu bisa melupakan banyak hal,” Phia mengeluh tertahan. 
Pukul 8.58, Phia baru naik ke dalam taksi. Dia siap berhadapan dengan masalah berikutnya. Macet. Apalagi supir taksinya hari ini keliru memilih rute. Mereka memilih rute kanan, menyebabkan taksi harus berputar melewati kantor walikota. 
“Mister, boleh lebih cepat lagi?”
“Tidak bisa nona. Tidak ada jalan untuk menyelip.” Supir taksi itu berusaha menahan emosinya, dia juga kesal, keringatnya berbulir-bulir di dahi. 
Phia kembali melenguh tertahan. 
Semoga Kokov bisa memaklumi keterlambatannya. Barangkali ada istilah lebih baik terlambat 15 menit daripada tidak datang sama sekali. 
Pukul 9.12, mereka baru sampai di depan kantor walikota. Masih satu kilometer lagi merayap macet.
Pukul 9.14, mereka lolos dari kemacetan, taksi mengebut ke Kafe Le Caoux. 
Pukul 9.18, barulah mobil taksi yang ditumpangi Phia sampai di Le Caoux. Phia turun di depan kafe bergaya Prancis itu untuk pertama kalinya. Dia celingukan mencari, dimana kira-kira keberadaan Kokov.
Pukul 9.20, Phia mencapai selasar, teras kafe yang menghadap Sungai Djneper. Kokov sudah tidak duduk di sana lagi. Dia berjalan menuju pintu keluar. Phia buru-buru mendatanginya, mengenali, dan menyapa.
“Mister Kokov.” Sapaan Phia menghentikan langkah Kokov, pria itu berpaling dan menatap Phia dengan tatapan (yang lagi-lagi) tajam. 
“Kenapa kau ada di sini?”
“Eh bukannya tadi anda yang meminta saya datang?”
“Iya, tapi itu lima menit yang lalu. Sekarang aku akan pergi.”
“Eh lalu bagaimana dengan...” Phia tak kuasa meneruskan kata-katanya. Ada hawa tidak enak antara percakapan mereka sekarang.
“Kau terlambat. Aku tidak bisa melanjutkan kegiatan bimbingan.”
Phia terperangah. Apakah dia tidak salah dengar?
“Maaf Mister. Tapi saya kira ini hanya lima menit lebih...”
“Terlambat tetap terlambat, Nona Phia. Kau harus tahu, aku tidak suka berhadapan dengan orang yang terlambat. Aku selalu menaati sebuah sistem. Kita atur jadwal berikutnya nanti, aku harus mengerjakan hal lain.”
Phia lemas. Baru kali ini dia berhadapan dengan tipe orang seperti ini. Dia merasa bersalah. 
Walau bagaimanapun dia, Kokov adalah perpanjangan tangan Profesor, dia harus menaatinya. 
Urusan ini menjadi rumit.


Empat Puluh Lima
Jadi Kapan?


Sebelum Kokov menghilang dari pandangannya, Phia mengejarnya, dia harus menanyakan satu hal penting secara langsung. 
“Lalu kapan saya bisa bertemu dengan anda untuk mendiskusikan draft tesis saya?”
Phia agak khawatir, kalau dia membiarkan Kokov pergi sebelum dia bertanya, Kokov akan menunda jadwal pertemuan selama mungkin karena jengkel atas kesalahannya hari ini. 
“Besok di jam yang sama, di tempat yang sama.”
“Baiklah, saya akan belajar dari kesalahan ini, dan akan berusaha melakukannya lebih baik di esok hari.”
Kokov tidak bicara lagi, langsung berlalu. 
Kokov memang orang yang sangat disiplin. Karena itulah dia bisa berada di tempat yang terhormat sekarang. Lagipula, dengan sakitnya Profesor, dia jadi memiliki beberapa pekerjaan ekstra. Semenit dua menit sangat berharga baginya. 
Selepas meninggalkan Phia di Le Caoux, Kokov menuju ke Kantor Oleksandr. Dia jalan kaki ke sana, karena jaraknya cukup dekat. Selain itu, macet di depan kantor walikota menyebabkan perjalanan naik taksi tidak efisien. 
Oleksandr, menyambutnya dengan ramah di kantornya. Juga dengan keheranan.
“Tunggu, bukankah tadi malam kau bilang kau ada janji dengan mahasiswi bimbingan Profesor itu?”
“Pertemuan dibatalkan, dia terlambat.”
“Astaga, dia pasti trauma punya pembimbing pengganti seperti kau, Kokov.”
“Sudahlah, jangan bahas soal itu. Bagaimana dengan rencana kita.”
“Rencana kita yang mana?”
“Oleksandr!” 
Polisi itu malah tertawa. Dia membuka file komputernya, menunjukkan sesuatu. Kokov ikut memperhatikan. “Baru itu yang aku temukan,”
“EHM!”
“Eh salah, maksudku baru kami temukan,” Oleksandr garuk-garuk kepala karena ditegur oleh anak buahnya. 
“Kapan kita akan melakukan pengejaran, aku ingin pelakunya tertangkap secepat mungkin.”
“Tidak hari ini. Karena hari ini aku sibuk.”
Kokov bersiap-siap berseru lagi, mendesak, tapi Olek mendahuluinya. “Tidak hari ini. Aku punya banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Di kota ini bukan hanya kasus profesor saja yang memerlukan keahlian polisi teladan macam aku ini. Ada belasan kasus menanti.”
“Hei, kau sudah janji membantuku.”
“Kau terlambat, Kokov. Coba kau datang pukul 9 pagi. Mungkin aku bisa membantumu.”
Ini lelucon, Kokov menelan ludah. Oleksandr terkekeh. “Aku akan katakan terus terang, kawan, aku ada di pihak gadis itu. Nah, selamat siang.”
Kokov menyernit heran. Apa maksud Oleksandr?
“Hei, jadi kapan kita akan memulai penyelidikan?”
“Mungkin besok.”
Kokov masih coba mengejar langkah Oleksandr yang melangkah keluar. Menuju ke mobil polisinya. Menyebut-nyebut soal misi dan kesepakatan kerja sama. Olek tak menggubris, dia malah terkekeh nakal. 
“Kau perlu tumpangan, Kokov? Aku akan pergi ke desa Nitriyous. Barangkali kau ingin ke Nauk atau pulang ke rumah. Kau tahu bukan, mobil polisiku sangat ampuh untuk menghalau macet.
Dasar Oleksandr!
Sekali dia serius, tidak ada yang bisa menghalanginya, saat dia narsis dan sombong, juga tidak ada yang bisa menyadarkannya.

Empat Puluh Enam
Kesempatan Kedua Phia


Tanggal 13 Oktober, sekitar dini hari, sebuah pesan masuk ke ponsel Phia. Pesan singkat. Pesan yang terdengar sama seperti sebelumnya.
Kutunggu di Kafe Le Caoux. Pukul 8.15.
Jangan sampai terlambat.

Tertanda,
Kokov

Pagi harinya, bayangkan betapa gerak cepatnya Phia dalam bersiap-siap. Begitu melihat ada pesan singkat yang terselip dalam notifikasi handphone-nya dia langsung bergegas, menendang selimut, berlarian ke kamar mandi. 
Phia bangun tidur pukul 5.30 pagi. Dia telah duduk di meja sarapan pukul 6 lewat seperempat. Setangkup sandwich sudah ada di depan matanya sekarang.
“Huft, dua jam lagi. Lima belas menit lagi aku harus berangkat. Dengan estimasi setengah jam, aku akan datang pukul 7 pagi ke Le Caoux,” Phia menghitung-hitung. Itu ide yang sedikit radikal, sebab di pintu depannya jelas tertulis, Kafe Le Caoux baru akan buka pukul delapan pagi, tepat. 
Namun, dalam situasi sekarang lebih baik menunggu lebih dari satu jam, sekalipun itu berdiri di pinggir jalan seperti orang gila, daripada harus mengecewakan Kokov lagi. Phia sudah sekali melakukannya, dan dia tidak ingin mengulanginya lagi. 
Suasana Kurin sepi. Kamar Sylvi masih tertutup rapat. Agak aneh, sebab biasanya Sylvi sudah siap-siap untuk pergi bekerja. Phia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, dan berkonsentrasi pada sandwich. 
Pertemuannya dengan Kokov jauh lebih penting, menyangkut keselamatan draft tesis yang sedang dia kerjakan. 
Sesuai perhitungan, Phia selesai makan setengah jam kemudian. Sedikit kurang malah. Jam dinding menunjuk pukul 6.28. Terdengar suara deraman mobil berhenti. Phia bergumam dalam hati. Itu pasti taksi yang dia pesan sebelum mandi tadi. Ya, demi menghemat waktu, Phia mengunduh aplikasi pemesanan taksi Kiev. Dia siap berangkat, sampai kemudian terdengar suara bedebam keras di daun pintu Kurin yang masih tertutup
BUKKKK!
Phia reflek menoleh. Ada apa? Dia langsung waspada. Secara reflek, tangannya langsung menyambar pisau yang tadi dia gunakan untuk menata sandwich. 
Namun semenit kemudian, hanya lengang yang tersisa.
Jadi, itu tadi apa?
Phia menepis pikiran negatif, merapikan khidzhib-nya yang hari ini berwarna kuning kecoklatan. Phia siap untuk berangkat, membuka pintu Kurin dan terpekik.
“ASTAGA! SYLVI!”
Genap di pintu depan rumah sekarang, Sylvi tergeletak pingsan dengan kondisi yang buruk. Tubuh gemetaran, mata terpejam, wajah kesakitan, bibir membiru.
Jadi rupanya suara bedebum tadi...
Phia gemetar melihat hal tersebut. Dia terkejut bukan main. Batinnya langsung bergulat, apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah menepati undangan Kokov, atau mengurus Sylvi?
Detik itu juga, Phia mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang sesuai dengan karakternya. Taksi yang tadi dipesannya merapat ke jalanan, tepat di samping jalan masuk Kurin. Phia memutuskan menggotong Sylvi.
Mereka pergi ke klinik terdekat.


Empat Puluh Tujuh
Kemana Dia?


Tanggal 13 Oktober, pukul 8.30 pagi, di Kafe Le Caoux. 
Kokov sudah tiga kali mendesis. Mungkin sekali lagi mendesis, wajahnya akan mirip seperti seekor ular derik yang marah karena ekornya diinjak. Bukan main kesalnya pria gagah itu pagi ini.
“Kemana sebenarnya gadis itu?”
Kokov terus mengulang kalimat yang sama, tiga kali dalam dua menit terakhir. Kemarin dia terlambat, hari ini jangankan terlambat, bahkan setelah lima belas menit lewat, batang hidung gadis itu tidak kunjung terlihat. 
Sebenarnya hari ini, Kokov ada kegiatan lain. Yaitu menemui Oleksandr. Sialnya detektif polisi paling hebat di dunia itu (Olek masih belum sembuh dari sifat narsisnya) bilang dia tidak punya banyak waktu, kalau Kokov memang ingin menemuinya, maka itu harus pukul 9 pagi.
“Aku hanya punya waktu dua puluh menit. Jadi tolong hormati baik-baik waktuku. Jangan kau buang percuma hanya untuk menunggu kedatanganmu. Aku ini detektif...”
Kokov buru-buru menutup telepon. 
Pukul delapan lewat tiga puluh lima menit, Phia, gadis yang ditunggu Kokov, tidak muncul juga. Akhirnya, masih dengan wajah kesalnya, Kokov bangkit, meninggalkan Kafe Le Caoux.
Sementara itu...
“Mister, bisa lebih cepat lagi?”
“Maaf Nona, tapi kita sudah terjebak macet. Susah menerobosnya. Apalagi di kantor walikota seperti ini.”
Badan Sylvi yang dipegangi Phia terasa dingin. Tapi pelan-pelan ada gerakan dari tubuh tersebut. Dalam kondisinya yang kritis, Sylvi siuman. 
“Sa... sakit,” itulah kata pertama yang keluar dari mulutnya.
“Sylvi!” Phia tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru, membuat supir taksi kaget, “kamu sudah sadar! Syukurlah.”
“Phia?! Ada dimana kita, kenapa aku merasa kita sedang berjalan?” Sylvi juga tidak kalah kaget setelah menyadari dia ada di dalam mobil, dan yang ada di sebelahnya sekarang, adalah Phia.
“Tadi kamu pingsan di depan rumah, aku menemukanmu ketika hendak berangkat ke...
“Aduh..!” Sylvi terpekik, perlahan, memegangi kepalanya. Di dalam hatinya menyumpahi diri sendiri. 
Ini pasti karena kejadian tadi malam. 
Ini pasti karena si bajingan Reztarok. 
Sial, aku merasakan bagian bawah tubuhku juga sakit.  Jangan bilang Reztarok sudah...
“AKH!” memikirkan fakta itu, membuat Sylvi semakin merasa sakit. Phia yang tidak tahu menahu soal apapun tentang temannya, sangat cemas.
“Bertahanlah, Sylvi, kita akan segera sampai ke klinik.”
“Kita harus pulang, Phia. Aku tidak mau berurusan dengan klinik. Bisa menambah rumit masalah.”
“Eh bagaimana bisa begitu?” Phia reflek bertanya, heran. 
“Kau lihat sendiri bagaimana aku pingsan? Aku ada dalam masalah. Sudah, sebaiknya antarkan aku kembali ke.. UHUK! UHUK!”
Dua kali Sylvi terbatuk, sekali mengeluarkan dahak yang bercampur dengan darah. Phia bergegas mengelap wajah Sylvi dengan tisu. Phia juga memberikan pelukan hangat pada temannya yang nampak sangat panik itu. 
“Sudah ya, kamu tenang. Kamu akan diperiksa oleh dokter di klinik. Percayalah, dokter akan menyelesaikan masalah, bukan menambah masalahmu.”
“Phia... UHUK!”
Sekali lagi Phia mengelap bibir Sylvi. 
“Tenanglah, aku ada bersamamu.”
Saat memeluk Sylvi itulah, Phia merasakan ada bau-bau aneh menyeruak di badan temannya itu. Bau minuman keras, parfum sensual, dan bau... (ah susah mengatakannya, terlalu vulgar). Bau-bau ini mau tidak mau, membuat Phia kembali bertanya-tanya.
Apa sebenarnya pekerjaan Sylvi.

Empat Puluh Delapan
Setenang saat Aku Berucap: “Aku Temanmu”


Pukul 8.40, masih di hari yang sama. Kabar yang melegakan akhirnya muncul setelah sepagian ini dilanda panik besar. 
Dokter yang memeriksa Sylvi telah menyelesaikan pemeriksaannya. Syukurnya, tidak ditemukan gejala serius dan berbahaya pada Sylvi. Dia hanya kelelahan, terlampau mabuk serta terlalu banyak mengonsumsi minuman beralkohol.
“Untunglah tubuhmu sudah terbiasa, dosis sebanyak itu bisa membunuh seseorang yang kondisi fisiknya lebih lemas. Sebaiknya kamu lebih memerhatikan kesehatanmu ketimbang hanya bersenang-senang. Itu tidak menghasilkan apa-apa.” Dokter itu bicara panjang lebar. 
“Baik, dokter.”
Phia ikut mendekat, menanyakan apakah Sylvi akan tetap baik-baik saja, dan dokter mengiyakan. Sembari menambahkan bahwa Sylvi perlu beristirahat setidaknya sehari di klinik ini. Memulihkan tenaga. 
Setelah dokter keluar dari ruangan dalam klinik tersebut, Phia menghampiri Sylvi, ikut duduk di tempat tidur. Sylvi setengah duduk dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding. 
“Seharusnya kamu tidak perlu menyelamatkan aku tadi, biarkan aku di rumah saja.”
“Tidak bisa seperti itu, Sylvi. Kamu kesakitan, jelas kesakitan. Aku tidak bisa membiarkan orang kesakitan.”
“Kamu terlalu lembut, Phia. Selain itu, kamu juga pelupa. Bukankah hari ini, kamu ada jadwal bertemu lagi, dengan pembimbingmu?”
“Kamu jago menebak ya? Seharusnya aku memang harus bertemu dengannya, hari ini, jam delapan lewat lima belas, tidak boleh lewat.”
“Nah, kurasa setelah mengingatnya, kamu akan panik,” nada bicara Sylvi sangat sarkastik. Tapi Phia tersenyum. Dia sudah membatalkan secara sepihak janji tersebut. Dia memang belum berhasil menghubungi Kokov (yang pasti sangat marah saat ini), tapi dia sudah mengabari pria itu. Perkara mengurus kemarahan Kokov, itu bisa diurus nanti-nanti. Barangkali Phia bisa bicara dengan Profesor Nyoman.
“Yang terpenting sekarang, adalah kesehatanmu, temanku.”
Sylvi reflek menoleh, “jangan seenaknya menganggapku sebagai temanmu. Jangan-jangan, karena sifat seenakmu itu, kemarin kamu sengaja membuka surat yang diperuntukkan hanya untukku.”
Situasi di ruangan klinik itu jadi canggung. Phia jadi serba salah. Tapi dia tidak bisa melakukan apapun, kecuali meminta maaf kepada Sylvi. 
“Sungguh aku tidak sengaja.”
“Tinggalkan aku sendiri.”
“Aku akan menjagamu di sini. Sampai kamu sembuh. Jika kamu tidak mau aku menganggapmu teman, baiklah, anggap saja ini sebagai permintaan maafku. Aku sungguh minta maaf.”
Ponsel Phia berdenting, ada pesan masuk. Phia membukanya. Wajahnya berbinar. Sylvi turut menoleh, masih dengan wajah sinis, dan nada suara sarkas-nya. 
“Siapa? Pembimbingmu?” bertanya.
“Iya. Dia memaklumi apa yang aku lakukan. Dia bilang nanti akan mengatur kembali jadwal pertemuan, setelah temanku sembuh dari sakitnya.”
Sylvi menarik nafas. Kenapa Phia ini begitu baik? Seperti orang polos yang berasal dari desa. Eh desa? Mendadak Sylvi merindukan desa tempatnya berasal.

Sementara itu, di tempat lain. 
“Astaga Olek! Apa yang kau lakukan dengan handphone-ku?!” 
Kokov berseru keras. Mereka masih di kantor Olek. Mengatur strategi. Tadi Kokov pergi ke kamar kecil, Olek iseng membuka handphone Kokov, menemukan pesan dari Phia yang masuk ke sana.
“Tidak ada apa-apa, hanya mengecek.” Olek tanpa berdosa, mengembalikan handphone itu ke atas meja. 
“Terakhir kau mengutak-atik handphone-ku, posisi rumahku di aplikasi Maps, pindah jauh sampai ke planet Mars. Berhari-hari aku menyesuaikannya kembali, susah sekali untuk mencari jalur, apalagi aku orangnya gampang tersesat.”
Olek tertawa, “astaga Kokov, kau malah menggerutu dan mengungkit. Aku hanya membalas satu pesan. Satu pesan.”
Kokov buru-buru mengambil handphone-nya kembali, mengecek, apa yang dimaksud Olek. Akhirnya dia menemukan bahwa Olek baru saja mengirimi pesan pada Phia. Atas nama Kokov tentu saja.
“Baiklah, tidak apa-apa. Nanti kita atur ulang jadwalnya setelah temanmu itu sembuh.”
Begitu isi pesannya. Itu pula yang membuat Kokov berseru marah, juga kesal.
“Olek!”
“Astaga Kokov, jangan temperamental. Apa salahnya? Aku mewakilimu membalas pesannya. Aku berusaha meniru gayamu. Balasanku tidak berlebihan bukan. Kasihan juga dia, kalau kau yang membaca pesan itu duluan, mungkin kau tidak akan memberikan kesempatan ketiga.”
“Memang tidak,” Kokov mendengus, “temannya sakit, alasan yang tak masuk akal.”
“Bingo! Tepat sekali. Itulah yang akan kau katakan. Sayangnya, aku tahu dia tidak mengarang alasan. Aku melihat dia di taksi dalam perjalanan aku ke kantor ini. Wajahnya cemas, dan dia membawa seorang gadis lain. Jadi kukira dia benar-benar sedang mengurus temannya yang sedang sakit.”
“Kau membuat semua jadi runyam, Olek.” Akhirnya Kokov mencoba duduk, tenang.
Olek menepuk-nepuk bahunya.  “Tenanglah, aku cuma ingin membantumu. Jika kau terus begini, keras kepala, disiplin, tak ada ramahnya dengan gadis, kapan aku akan melihat temanku menikah.”
“Sembarangan kau!” sembur Kokov, Olek terkekeh, “sudahlah. Gadis itu bisa diurus besok-besok. Yang terpenting sekarang, rencana kita. Apa yang akan kita lakukan?”
Olek mengisyaratkan agar Kokov menurunkan suaranya. Sebab rencana mereka ini, sangat rahasia.


Empat Puluh Sembilan
Bersabarlah, Nak


Kokov memang tidak menarik kembali pesan yang dikirim Oleksandr pada Phia, karena gadis itu sudah terlanjur membacanya. Sebagai gantinya, Kokov menunda memberi kesempatan ketiga bagi Phia untuk bimbingan bersamanya. Kata-kata “nanti kukabari” yang dikirim Olek, ditafsirkan Kokov sebagai satu atau dua bulan lagi. 
Sementara itu, Phia dalam dua hari belakangan, lebih sibuk untuk membantu proses pemulihan Sylvi. Meski ya, teman serumahnya itu sama sekali tidak menggubris dirinya. Sylvi sepertinya masih marah, dan berkali-kali menolak bantuan Phia dengan menyuruhnya pergi jauh-jauh. 
“Sylvi, percayalah, aku tidak pernah bermaksud buruk. Aku hanya ingin membantumu. Aku ingin kamu sembuh dan bisa bekerja lagi seperti semula.”
Namun Sylvi hanya menanggapi dengan dingin. 
Bagi sebagian orang, berada dalam kondisi seperti Phia saat ini sangat menjengkelkan dan mungkin jika orang lain yang ada di posisi tersebut, mungkin pindah adalah pilihan yang tepat. Hanya saja Phia memilih tetap tinggal. Dia ingin memperbaiki semuanya. Dia ingin Sylvi berhenti marah padanya. Selain itu, dia juga tidak punya pilihan lain, Phia tidak tahu kemana harus pindah jika harus pindah. 
Kabar baiknya, kondisi Sylvi semakin membaik. Dia hanya semalaman diinapkan di klinik, setelah itu diperbolehkan pulang oleh dokter. Kata dokter tersebut, kondisi Sylvi membaik secara signifikan, sangat cepat. Dokter itu tidak tahu saja, kalau Sylvi berusaha membaik secepat mungkin.
Dia ingin lekas kembali bekerja. 
Setelah selesai mengurus Sylvi, dalam artian Sylvi sudah boleh pulang dan beraktivitas di rumah, hari ini Phia bisa mengurus hal lain. 
Tanggal 14 Oktober. 
Phia mengirim dua pesan singkat. Pada dua orang yang berbeda. 
Selamat pagi, Tuan Kokov, teman saya sudah sembuh dan bisa beraktivitas. Saya siap mengatur ulang jadwal konsultasi kita jika Tuan masih berkenan membimbing saya. Saya sangat memerlukan bantuan dari Tuan Kokov. Saya harap Tuan Kokov benar-benar mau mempertimbangkan untuk memberikan saya kesempatan yang ketiga. 
Pesan itu terkirim, bercentang biru, namun tidak berbalas.
Pesan kedua dialamatkan pada Vlari, Phia menanyakan apakah dia bisa menjenguk profesor di Hospital hari ini. Vlari bilang silahkan. Nah itulah agenda Phia hari ini, menjenguk Profesor Nyoman. Harap-harap Profesor bisa mendamaikan hati Tuan Kokov, yang sepertinya sudah terlanjur kecewa dengannya. 
Kondisi Profesor hari ini juga jauh membaik. Meski masih diperban di kepala dan kakinya, profesor sudah tersenyum simpul saat Phia datang mengunjungi. Sekarang malah Vlari yang nampak kusut, memang berdiam di rumah sakit, bisa membuat orang sehat nampak sakit. 
“Aku tak kurang suatu apa, Nak. Seperti  yang kamu lihat.” Profesor menunjuk ke badannya, kembali tersenyum, ketika Phia menanyakan kabar. 
“Syukurlah, saya senang dengan kabar ini. Semoga Profesor bisa cepat sehat dan beraktivitas seperti semula.”
“Nah kalau soal itu, aku tidak bisa menjamin. Kau lihat sendiri, bahkan perban di kakiku ini belum boleh dilepas. Aku tidak tahu kapan aku bisa meninggalkan rumah sakit.”
Phia menunduk, merasa salah bertanya. 
“Maafkan saya, Profesor.”
“Kamu tidak salah, Nak. Aku yang harus minta maaf. Rencanamu menulis tesis juga harus terhambat. Oh ya, bagaimana dengan bimbinganmu dengan Kokov?”
Itulah yang ingin diobrolkan Phia hari ini. Dia ceritakan bagaimana Kokov dengan begitu disiplinnya mengatur jadwal  pertemuan hingga tidak boleh lewat satu menit pun. Phia menceritakan pula bagaimana dia sudah dua kali mengecewakan Kokov karena tidak datang di waktu yang tepat. 
“Yahh, begitulah Kokov dengan segala keras kepala dan disiplinnya,” Vlari lebih dulu bereaksi, menyahut. 
“Maafkan saya. Sungguh saya tidak bersengaja untuk terlambat. Kali pertama saya terlambat karena macet dan kali kedua karena merawat teman saya yang jatuh sakit. Sungguh maafkan saya.”
“Kamu tidak salah, Nak. Sebagian ini terjadi karena Kokov juga. Ah sejak dulu orang itu keras kepala, dan disiplin waktunya ketat sekali. Tapi sejatinya Kokov adalah orang yang baik. Dia bertanggung jawab dan sangat dewasa. Dalam hal ini dia akan bertanggung jawab menyelesaikan tugas dariku, sampai selesai. Aku percaya itu.”
“Tapi Tuan Kokov sama sekali tidak membalas pesan yang kukirimkan, dia hanya membacanya. Apakah itu berarti dia sudah tidak mau memberiku kesempatan ketiga?”
Profesor tertawa ringan (sangat menyenangkan bisa melihat wajah tua Profesor tertawa, seakan kebahagiaan dari hangat senyumnya bisa menular), melambaikan tangan. 
“Kokov hanya gugup, Nak. Dia jarang berurusan secara pribadi dengan perempuan. Kamu harus lebih sabar. Atau nanti jika aku bertemu dengan Kokov, dan seharusnya sebentar lagi aku akan bertemu dengannya, aku akan menegurnya.”
Phia mengangguk. Berucap terima kasih atas bantuan Profesor.
“Sudah sepantasnya aku membantumu. Kamu sudah datang jauh-jauh kemari untuk minta bantuanku.”
“Semoga profesor cepat sehat.”
“Aamiin.”


Lima Puluh
Jalur Penuh dengan Harta


Tanggal 14 Oktober, di tempat yang berbeda.
“Wajahmu serius sekali, Kokov. Ini, minum dulu kopimu.”
“Aku tidak datang untuk minum-minum lagi, Olek.”
“Hei, jangan seperti itu kalimatmu. Terkesan seperti kita sedang ingin mabuk-mabukan.”
“Olek, berhenti bercanda, mana petanya. Cepatlah.”
Kokov mendesak dengan wajah serius sekali. Sementara Olek dengan santainya minum kopi, duduk di sofa, dengan kaki terangkat satu ke atas meja. “Peta itu tidak akan lari kemana-mana, Kokov. Tenang saja kau.”
“Tapi mereka, orang-orang jahat bisa beraksi kapan saja. Kita harus cepat.”
Olek akhirnya meletakkan kopinya dan bangkit, beranjak, hendak mengambil sesuatu di atas meja kerjanya. Sebuah kertas besar, seukuran dua bentang tangan manusia yang digulung rapi. Olek menggantung satu ujung gulungan kertas itu, dan membukanya ke arah bawah. 
“Inilah peta yang harus kau lihat.”
Itu peta negara Ukraina dengan resolusi tajam dan gambar yang sangat besar. Ukurannya hampir 3x3 meter. Setiap titik-titik dan simbol melambangkan kota-kota di seluruh negeri dengan akurat. Beberapa kota disimboli dengan bulatan warna merah besar, sebagian lagi warna biru. Sedangkan warna negara Ukrainanya sendiri adalah hijau. 
Singkat kata, peta itu benar-benar memusingkan. 
“Apa maksudnya peta ini, Olek. Aku sakit kepala melihatnya.”
“Sama, aku juga. Ketika anak buahku berhasil menyelesaikan penyelidikannya dan menunjukkan peta ini di komputer, aku malah tambah pusing.”
“Jadi apa pentingnya peta ini?”
Olek kemudian memberikan Kokov dua pilihan yang sulit, yang sama-sama ingin dikerjakan Kokov. Satu, mengabaikan peta ini dan fokus mencari pelaku yang menyebabkan Profesor kecelakaan, atau Dua, mencari pelaku dibalik semua kejadian yang belakangan menimpa profesor, meskipun prosesnya lebih lambat dan memusingkan. 
“Terserah kau, pilih yang mana. Aku hanya bisa membantu satu pilihanmu.”
“Jelaskan padaku, apa isi dari peta itu.”
“Aku ingin kau memilih terlebih dahulu. Soalnya setelah mengerti isi peta ini, kau akan sangat bersemangat dan tidak akan pikir panjang untuk segera membongkar semua skandalnya.”
“Kalau begitu aku pilih petanya. Opsi dua.”
“Kau yakin?”
“Tentu. Jika kita membongkar semuanya, bukankah pelaku yang menabrak Profesor juga akan ketemu?”
Olek mengangkat bahu. Belum tentu. Sebab pelaku penabrak itu hanya pion-pion kecil dari para pemain yang besar. Lama kelamaan cerita ini jadi semakin suram. 
Kokov akhirnya memutuskan dengan mantap. “Aku pilih peta itu.”
“Baiklah. Pertama-tama, akan kukatakan bahwa kita hanya akan fokus pada kota dengan bulatan warna merah saja. Kota-kota inilah yang perlu diperhatikan. 
Aku ingin kau tahu, Oserzeen adalah perusahaan multinasional. Mereka beroperasi di banyak negara, termasuk di negara tetangga Ukraina. Mereka punya kantor di Chisinau, Moldova, di Warsawa Polandia dan di Minsk Belarusia. Mereka telah mengepung Ukraina dari Utara, Barat dan Selatan. Mari kita amati setiap sisinya. 
Pertama, dari utara, ada pertambangan kecil yang mereka buka di Homyel, berbatasan langsung dengan Ukraina. Kota paling dekat dengan Homyel adalah Cherniviv di Ukraina. Menurut data dari anak buahku, Oserzeen sering mengirim orangnya ke Cherniviv. Bahkan ada beberapa yang punya kontrakan di sana. Kota terdekat yang kutandai merah dengan Cherniviv adalah Poltava. Dan Poltava hanya beberapa kilometer saja dari Kiev. 
Kedua, dari selatan. Oserzeen punya aneksasi pertambangan kecil di Tiraspol. Sekali lagi kukatakan, kecil. Sama kecilnya dengan di Homyel. Kita lihat di sini, ada kota yang kutandai merah, yaitu Odessa. Odessa hanya berjarak tempuh satu jam dari Homyel. Meski lintas negara.
Terakhir, dari barat. Paling aneh. Oserzeen punya kantor resmi di Lublin. Padahal di Lublin mereka tidak punya tambang apa-apa. Satu-satunya alasan masuk akal adalah Lublin itu kota administratif Polandia yang paling dekat dengan Ukraina. Berjarak tempuh 4 jam dari Lublin, kita bertemu dengan kota Ukraina lainnya yang kutandai merah, Lyiv. 
Nah, Lyiv, Odessa dan Poltava sama kutandai merah, ada banyak kota lainnya namun kita abaikan saja dulu. Ketiganya boleh kita tarik garis merah lagi ke Kiev. Di sinilah benang merahnya kelihatan.”
“Aku tidak mengerti. Jadi apa maksudnya, Oserzeen sengaja mendirikan kantor-kantor yang dekat dengan kota yang kau tandai? Apa tujuan mereka?” Kokov bertanya.
“Karena Lyiv, Odessa dan Poltava, serta wilayah lainnya yang terpencar di sepanjang jalur menuju Kiev, adalah sasaran utama mereka. Karena di situ, ada jalur harta.”
“Emas?”
“Empat ratus kali lebih mahal. Uranium.”
“Astaga.”
Kokov yang biasanya kalem dan cool, mendadak komat-kamit tak percaya. Jadi selama ini negaranya kaya raya!


Lima Puluh Satu
Maju Mundur Lapor


Di lain sisi lagi, juga berkutat dengan data-data, analisis serta kepusingan yang melanda, adalah dua orang yang ditugasi Profesor. Szczesny dan Chrmeko. Mereka mendapatkan tugas tambahan. Memetakan setiap perusahaan yang ada di Ukraina dan mencari kemungkinan apakah mereka punya aktivitas tambang ilegal. Perlu tiga hari untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Kini setiap perusahaan yang tercacat di Kiev, ada mereka punyai datanya. 
“Kita sekarang punya datanya. Tapi kita tidak bisa memastikan setiap perusahaan ini punya aktivitas ilegal atau tidak. Bagaimana menurut pendapatmu, Chrmeko?”
“Kita laporkan saja seadanya.”
“Kalau nanti Profesor menanyakan soal kepastian dan meminta kita menyelidi lebih lanjut?”
“Kita bilang saja bahwa aktivitas ilegal itu memang tidak ada, dan kekhawatiran Profesor, memang cuma kekhawatiran semata.” 
“Kurasa kalau begitu, Profesor tidak akan puas.”
“Sejak awal Profesor memang tidak pernah puas dengan tugas kita ini, Szczesny. Bahkan tugas ini semakin merepotkan dari waktu ke waktu.”
“Untuk yang satu itu, kau benar.”
“Ayo kita berangkat.”
Chrmeko mengambil kunci mobilnya dan mereka pun meninggalkan markas mereka. S & C punya sebuah markas rahasia yang terletak cukup jauh dari Nauk atau Kurin. Di tempat itulah mereka mengerjakan banyak hal. Terutama Chrmeko. Sedangkan Szczesny lebih sering memakai tempat itu untuk bersantai. 
Tentu saja mereka berdua membawa laporan itu Kiev Hospital. Bukan ke Nauk. Szczesny menelepon Vlari, mengabarkan kedatangan mereka. Vlari mengangguk, mengizinkan kunjungan, sembari memperingatkan agar tidak terlalu memberatkan pikiran Profesor.
“Siapa?” tanya Profesor setelah Vlari selesai menelepon.
“Szczesny.” 
“Oh mereka datang untuk melapor. Semoga kali ini ada kabar baik.”
“Saya ingin memperingatkan sekali lagi bahwa anda tidak boleh terlalu banyak berpikir, Profesor.”
“Aku tahu, Vlari. Astaga kau cerewet sekali. Kau lebih cerewet daripada anakku sendiri,” tertawa. 
Phia yang mendengar ada orang yang bakal datang, plus menyadari bahwa akan terjadi sebuah pembicaraan yang penting, memutuskan untuk undur diri dari ruangan tersebut. 
“Terima kasih sudah mengunjungiku, Nak. Kamu adalah gadis yang baik. Meskipun jika kamu mau menunggu pun tidak masalah. Sebentar lagi, Kokov juga akan datang.”
“Tidak apa, Profesor. Saya tidak ingin mengganggu kegiatan anda lebih lanjut. Saya akan pergi saja. Semoga Profesor tetap sehat.”
“Terima kasih Nak.”
Dan Phia pun berjalan meninggalkan ruangan tersebut.


Lima Puluh Dua
Kamu, Siapa Namamu?


Phia berjalan dengan tenang ke lift. Suasana rumah sakit sedang lengang. Tidak banyak orang yang berlalu lalang. Terutama karena ini juga merupakan lantai VIP. Phia memencet lift yang akan menurunkannya ke lantai paling bawah. 
Sementara di saat yang bersamaan, Szczesny dan Chrmeko sedang menuju ke Kiev Hospital dengan kecepatan tinggi. Urusan mengebut, Chrmeko juga jago. Mereka bisa melewati kantor walikota dengan cukup cepat. 
“Astaga, harinya panas.” Szczesny langsung menutupi wajahnya yang terkena sinar matahari setelah turun dari mobil. 
“Jangan banyak mengeluh. Ayo cepat. Mumpung Profesor masih bisa menerima tamu.” Chrmeko merapikan kembali berkas-berkas, dan memastikan tidak ada yang tertinggal di mobil. 
Szczesny menyeka keringatnya, namun mulutnya masih menggerutu. Alangkah panasnya hari ini, alangkah pusingnya kepala, alangkah laparnya perut, dan semacam-macamnya. 
Ujungnya Chrmeko ikut menggerutu, “alangkah ributnya mulut kau itu, Szczesny.”
Duet S & C melangkah menuju lift lantai dasar. Memencet tombol. Display penunjuk lift ada di lantai berapa, berganti-ganti nomor, sampai menunjuk nomor 1.
Lalu liftnya berdesing dan pintunya terbuka. 
Keluarlah Phia dari dalam lift. Dia tepat berhadapan dengan duet S & C. 
Saat itulah, Szczesny yang mulutnya hendak mengeluh lagi, seketika terhenti. Dia terpana melihat gadis yang baru saja keluar dari lift, dan berjalan melewati mereka berdua dengan sopan. Cerita ini memang belum menggambarkan seberapa cantiknya Phia, karena dia memang cantik. Namanya saja sudah cukup sebagai penggambaran bagaimana kecantikannya. 
Szczesny terpana agak lama, sampai Chrmeko menegurnya. “Cepatlah, pintu lift ini akan segera tertutup.”
“Eh, tunggu sebentar, Chrmeko. Aku harus melakukan sesuatu.”
Seketika itu juga, bak sebuah drama yang melankolis, Szczesny berlari ke arah Phia. Gadis itu sudah hampir mencapai pintu gerbang rumah sakit. 
“Nona!” panggil Szczesny.
Phia menoleh. Bukankah itu pria yang tadi berpapasan dengannya di depan lift?
“Eh iya, Mister. Ada apa?”
“Boleh aku tahu siapa namamu, Nona?”
“Saya Phia. Maaf, anda siapa? Ada keperluan apa dengan saya?” Phia waspada. Syukurnya lobi depan rumah sakit ramai, jadi Phia tidak perlu terlalu khawatir. Dia hanya perlu sekali berteriak untuk membuat keributan, menarik perhatian banyak orang.
“Namaku Szczesny. Nona baru saja menjatuhkan sesuatu di depan lift.”
“Eh benarkah.” Phia sontak meraba barang bawaannya, tapi aneh, dia tidak merasa menjatuhkan sesuatu.
“Ya Nona. Nona telah membuatku jatuh cinta denganmu.”
Nah itulah kalimat yang menikam waktu. Begitu kalimat itu terucap, waktu tidak lagi relevan. Namun sekali saja kalimat itu terangkat, waktu akan beralih sangat kejam. Sayangnya Szczesny mendapatkan yang kedua.
Phia berlari meninggalkannya, dengan tatapan bingung.


Lima Puluh Tiga
Olek Datang dengan Laporannya, Versinya

Masih di Kiev Hospital. Masih di hari yang sama. Tanggal 14 Oktober.
Chrmeko dengan wajah mendongkol tidak jadi naik lift. Dia menunggu Szczesny. Dan dia melihat semua kelakuan yang baru saja dilakukan Szczesny. Satu kata saja yang terlintas di benak Chrmeko, memalukan!
“Hosh, gadis yang sangat menarik bukan?” Szczesny menghampiri Chrmeko, dengan wajah gembira. 
“Bukankah kau baru saja ditolaknya?”
Szczesny malah menyeringai, tertawa tipis, “ditolak? Terlalu dini untuk mengatakan hal tersebut. Kau dengarkan aku, Chrmeko. First impression ada bermacam-macam. Nah, gadis tadi mendapatkan first impression-nya dengan aku. Dan itu hanya first impression. Aku belum ditolak,” ucapnya dengan wajah yang yakin sekali.
“Ayo kita lekas naik lift, profesor sudah kepalang menunggu.”
“Ayo.”
Bertepatan dengan mereka hendak masuk lift, dua orang lainnya, yang juga punya urusan dengan Profesor, juga telah datang. Kokov dan Oleksandr. 
“Berhenti sebentar.” Olek tiba-tiba menyetop langkahnya dan menahan langkah Kokov juga. Mereka belum menginjak pintu masuk. 
“Ada apa?” tentu saja Kokov bertanya, keheranan. 
“Mereka juga di sini rupanya.” Mata Olek yang terlatih melihat segala sesuatu dengan detail dan saksama telah menangkap bayangan dua orang yang baru saja masuk lift. Dan dia kenal betul mereka berdua. Tapi Kokov tidak punya kemampuan semacam itu.
“Siapa?”
“Duet Szczesny dan Chrmeko. Mereka juga datang kemari rupanya.”
Nah sekarang barulah Kokov mengerti. Hubungannya dengan duet S & C baik, baik dalam urusan pekerjaan. Namun mereka bertiga tidak terkait dalam pertemanan layaknya Kokov berteman dengan Oleksandr. Sebaliknya, Oleksandr tidak begitu suka dengan Szczesny maupun Chrmeko. 
Kokov sempat membiarkan Oleksandr terdiam mematung di dekat pintu masuk selama beberapa menit. Namun kemudian, dia menegurnya. “Ayo kita masuk saja.”
Olek menggeleng, “nanti, kita akan masuk setelah mereka.”
Akhirnya Kokov memilih untuk duduk di bangku yang disediakan di luar. Dia menuruti keinginan Olek. Menunggu.
“Apakah mereka masih disuruh Profesor menyelidiki kegiatan tambang itu?”
“Kurasa ya.”
“Aku sedikitpun tidak percaya dengan mereka. Mari kita lihat apa yang mereka bawa untuk dibicarakan dengan Profesor. Seberapa omong kosong.”
“Kau jangan terlalu skeptis begitu, Olek. Mereka adalah andalan Profesor Nyoman dalam banyak urusan. Mereka bisa dipercaya.”
Olek kemudian membuka map yang dia bawa, membukanya di depan mata Kokov. Dia mendadak jadi emosional. “Apakah mereka pernah membawa laporan sebagus yang kupunya ini. Apakah mereka pernah heh?”
“Aku tidak tahu, Olek. Sudahlah.”
“Kita akan membawakan laporan yang lebih baik, Kokov. Yang lebih baik dari mereka. Laporan Olek. Versi Olek.”
Setengah jam menunggu di pintu masuk. Akhirnya duet S & C keluar dari lift, menuju ke arah Olek dan Kokov. Duet S & C keluar, melintas di hadapan Olek dan Kokov. Tanpa sedikitpun menyapa. Namun pandangan mata Szczesny sempat memperhatikan ke arah mereka berdua.
“Lihat, mereka benar-benar terlihat mencurigakan!” 
Olek hendak berseru lebih keras lagi, namun Kokov buru-buru menenangkan, bilang kalau itu, hanya perasaan Olek semata.


Lima Puluh Empat
Benar Sekali


Di pintu masuk kamar, di lantai VIP. Kali ini giliran Olek dan Kokov yang bertamu ke kamar Profesor. Melaporkan data-data yang didapat Olek.
“Kalian tidak bisa masuk, maaf.”
Belum apa-apa. Vlari sudah berdiri di depan pintu kamar, dengan sikap tegas menantang.
“Vlari, kami ingin bertemu dengan Profesor. Kami sudah membuat janji temu.” Kokov langsung menjelaskan.
“Kokov, maafkan aku. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu masuk. Demi kebaikan Profesor.”
“Apa yang kami bawa ini, juga demi kebaikan Profesor.” Olek ikut menyahuti. Wajahnya masih jengkel karena sepagian ini harus berurusan dengan duet S & C. 
Vlari kemudian menjelaskan tentang Profesor yang sudah lemah. Profesor yang sepertinya perlu istirahat. “Aku mohon, mengertilah, Kokov, Olek. Beliau sudah bertemu dengan tiga orang pagi ini. Semua urusan yang menguras pikiran. Semua urusan yang memusingkan. Aku mohon mengertilah. Kita tunda satu dua hari, tidak ada masalah bukan. Demi kesehatan Profesor.”
Kokov menarik nafas. Olek seperti ingin melabrak masuk. Dia sudah bersemangat sekali untuk memaparkan hasil penemuannya pada Profesor. Namun nampaknya, kali ini mereka harus mengalah.  Seperti kata Vlari. Demi kebaikan Profesor. 
Sementara itu di luar...
“Apa kira-kira yang mau dibicarakan polisi itu ya?”
Bukan, bukan Szczesny yang bertanya itu. Malah Chrmeko. Szczesny hanya diam tepekur sejak tadi masuk mobil.
“Aku tidak tahu. Tidak perlu kau pikirkan. Tugas kita saja sudah sulit.”
“Baru kulihat kau tidak bersemangat seperti itu.” tertawa.
“Hei, bagaimana tidak, kita diperintahkan memeriksa setiap aktivitas pertambangan di Ukraina. Dari waktu ke waktu tugas ini semakin tidak masuk akal.”
“Aku tahu. Tapi aku yakin kita bisa mencari data tersebut. Aku yakin kita bisa.”
“Hei,” Szczesny tiba-tiba terlonjak dari tempat duduknya, “kenapa tugas-tugas merepotkan seperti ini, tidak diserahkan saja pada polisi itu.”
“Eh?” Chrmeko tidak kalah tersentak mendengar ide itu.
“Hei, benarkan? Kenapa bukan polisi itu saja. Dia juga punya banyak kenalan. Cocok untuk tugas ini.”
“Tapi dia polisi, dia sibuk.”
“Kita juga sibuk, Chrmeko.”
“Sudahlah. Anggap saja ini pekerjaan kita. Lagipula, dengan pekerjaan ini, kau mungkin berkesempatan melihat nona manis berkacamata itu sesekali, sesekali saja.”
Szczesny terlonjak lagi.  “Ah kau benar sekali. Kau benar sekali.”


Lima Puluh Lima
Teguran


Saat Kokov dan Olek hendak balik kanan, hendak pulang, saat Olek sudah siap untuk pulang dengan gontai, semangatnya yang tadi berapi-api, tidak mendapatkan pelampiasan yang sepantasnya. Saat itulah suara lemah Profesor memanggil mereka.
“Biarkan mereka masuk, Vlari.”
“Eh?” Mereka bertiga reflek menoleh ke dalam kamar. Profesor masih berbaring di ranjang, dengan posisi telentang. Apakah Profesor hanya sedang mengigau?
“Biarkan mereka masuk, Vlari.” Profesor mengulangi.
“Tapi Profesor, anda harus istirahat.”
“Ini belum siang, aku belum berniat untuk tidur. Lagipula aku memang perlu bicara dengan mereka berdua.”
Semangat Oleksandr seketika menyeruak lagi. Tanpa malu-malu, dia menerobos hadangan Vlari, merangsek masuk ke dalam kamar. Pokoknya Profesor harus melihat data yang dia bawa ini. Harus!
“Profesor harus melihat apa yang ku...”
“Profesor, apa kabar?” Kokov sudah lebih dulu memotong, mendekat, bertanya dengan hangat. Hanya ibunya dan Profesor Nyoman yang diperlakukan seperti itu oleh Kokov. Oleksandr kembali berdecak. 
“Aku baik, Kokov. Terima kasih sudah bertanya.”
“Kami datang membawa sesuatu untuk dilaporkan. Apakah profesor masih kuat untuk menyimaknya?”
Profesor tidak menjawab dengan kalimat. Hanya anggukan. Tapi itu cukup bagi Oleksandr. Dia langsung mencerocos. 
Dengan sangat bersemangat, Olek menjabarkan semua hal yang didapatnya. Data-data, dugaan-dugaan, persis seperti yang dijelaskan pada Kokov sebelumnya. Namun Profesor tidak terlihat antusias dengan presentasi yang diberikan oleh Olek. Baru sampai di penjelasan tentang Odessa, Profesor sudah memotong. Menoleh pada Kokov.
“Kokov, ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Eh bagaimana dengan presentasiku, Profesor? Ini belum selesai.”
“Sementara ini kita anggap selesai dulu, Oleksandr. Vlari sepertinya benar, aku perlu istirahat setelah ini. Kepalaku pusing.”
Oleksandr terpaksa puas dengan alasan itu.
“Apa yang hendak profesor bicarakan? Jika profesor merasa ingin istirahat, bukankah pembicaraannya ini sebaiknya ditunda saja?”
Profesor langsung menggeleng cepat, “tidak, tidak. Ini penting. Aku harus bicara sekarang.”
“Saya mendengarkan.”
“Aku sudah dengar tentang pertemuanmu dengan Phia, Kokov. Dan terus terang, aku tidak suka dengan sikapmu itu.”
Kokov terdiam sejenak. Dia sudah menduga, profesor akan menyinggung ini cepat atau lambat. Phia pasti sudah bercerita pada Profesor Nyoman. Kokov mengeraskan rahangnya, kemudian berkata dengan bergetar.
“Dia terlambat profesor. Dia salah.”
“Aku tahu, tapi kau seharusnya bisa memaafkan dia.”
“Dia terlambat dua kali. Tidak ada yang layak dimaafkan dari orang yang menyia-nyiakan kesempatan kedua.”
“Aku tahu, kau memang keras kepala. Kau disiplin. Karena itulah kau ada di sini. Tapi untuk gadis itu, tolonglah pertimbangkan kembali.”
“Tapi pengecualian semacam itu bisa merusak integritas, Profesor.”
Suasana di ruangan itu seperti akan berubah jadi perdebatan. Lihatlah mata yang bercirat-cirat dari Kokov itu. Dia bersikukuh untuk mempertahankan pendapatnya. Olek merasakan tensi naik, melupakan kekesalannya dan ikut masuk mendamaikan keadaan, menyinggung soal kesempatan ketiga yang diberikan Kokov, “tapi aku yang mengirim pesan itu saat Kokov sedang ke kamar kecil. Kalau Kokov, kuyakin tidak akan memberikan kesempatan.”
“Ah benarkah, bagus sekali, Oleksandr. Atas tindakanmu itu, aku akan mendengarkan kembali penjelasanmu setelah ini. Kokov, kau tetap akan memberikan kesempatan ketiga bukan? Gadis itu layak mendapatkannya, dia tidak sengaja terlambat di kesempatan kedua bukan?”
“Kenapa Profesor begitu membela gadis itu?”
Pertanyaan yang cukup mengagetkan. Namun Profesor hanya tersenyum. “karena dia sudah datang jauh dari Taipei ke Kiev. Aku ingin menghargai perjuangan dan kesungguhannya.”

Lima Puluh Enam
Kau Harus Berjanji, Kokov


“Kau harus berjanji, Kokov.”
Itulah kalimat penutup yang diucapkan oleh Profesor sebelum mereka berdua pulang dari rumah sakit hari itu. Sebenarnya Olek hendak menyinggung soal kesempatan dia untuk menjelaskan kembali hasil penyelidikannya, namun Profesor terlihat begitu lelah. Mereka tidak bisa memaksa. 
“Kau harus berjanji, Kokov.”
Itulah empat kata yang diucapkan Profesor, namun dirasakan berat sekali oleh Kokov. Sampai terpancar di gurat-gurat wajahnya. Olek bisa melihat itu. Lalu dia menegur Kokov yang berjalan seperti pencari koin.
“Hei, kenapa kau terlihat tertekan begitu.”
“Tidak apa.” Kokov mengelak.
“Soal gadis itu lagi ya?”
“Bukan, ini soal kesempatan ketiga. Rasanya berat sekali.”
“Kau harus memberikannya, Kokov. Profesor benar sekali. Dia datang jauh-jauh dari Timur, dan dia juga terlambat kemarin-kemarin, bukan sepenuhnya salahnya. Apa salahnya kesempatan ketiga.”
Kokov tidak lagi menjawab, namun sepulang ke kediamannya, dia akhirnya mengirim pesan itu pada Phia. Mahasiswi yang akan dibimbingnya. 
Aku memberimu satu kesempatan lagi. Besok, pukul 9 pagi di Kafe Le Caoux. Aku akan menunggumu sampai pukul 9.30. Pastikan kau datang, semakin cepat semakin baik. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan ini.
Klik, send.
Pesan itu segera sampai di Kurin, Phia meloncat-loncat menerima pesan itu. Lega sekali mendapatkan kesempatan ketiga. 
15 Oktober
Keesokan harinya, Phia bangun pagi-pagi sekali. Dia memesan taksi lebih awal, agar taksi itu sudah siap di depan rumah saat dia hendak berangkat. Sylvi melihat semua kesibukan Phia pagi itu. Teman serumah yang belum sepenuhnya memaafkan Phia itu, segera paham situasinya.
“Kamu tidak sarapan?” Sylvi menghadang langkah Phia tepat di depan pintu kamarnya, Phia sudah hendak melangkah keluar rumah. Taksi juga sudah terparkir.
“Nanti saja. Aku takut aku terlambat lagi. Kamu tidak apa-apa kan kutinggal di rumah sendirian?”
Sekedar info, dalam tiga hari ini Sylvi beristirahat di rumah, tidak pergi kemana-mana. Dan kesehatannya semakin membaik. 
“Jangan mengkhawatirkan aku. Khawatirkanlah perutmu. Kau seharusnya makan roti barang sekerat. Mengganjal perut adalah satu hal penting sebelum diskusi tentang hal berat.”
Phia tersenyum hangat, senyumnya sedemikian rupa sampai Sylvi bisa merasakan hangatnya menjalar.
“Terima kasih, aku baik-baik saja. Aku berangkat ya.”
“Baiklah kalau begitu. Satu saran saja, jangan mencari sarapan di Le Caoux, kecuali kau suka citarasa lidah Prancis.”
Phia melambaikan tangan, masuk ke dalam taksi. Baru pukul 7 pagi. Dua jam lebih awal sebelum janji. Sepagian ini pula, Sylvi juga sudah mulai menghangat dengannya. Beberapa kabar baik akhirnya mendatangi Phia.


Lima Puluh Tujuh
Cangkir Pecah


Tanggal 15 Oktober, Pukul 7.45.
Phia tiba di kafe Le Caoux tepat saat kafe itu baru saja buka. Sylvi benar, Le Caoux adalah kafe dengan cita rasa Prancis. Roti-roti dengan bentuk khas Prancis, aroma gula khas Prancis dan kopi-kopi yang khas dari Prancis pula. Phia tercatat sebagai pelanggan pertama, pelayan dengan ramah menawarkan daftar menu. Phia tersenyum, menanggapi dengan tak kalah ramah.
“Saya sedang menunggu teman. Saya akan memesan begitu dia datang.”
Pelayan kemudian mengantarnya ke salah satu meja. 
Pelayanan ala Prancis memang tiada tanding!
Pukul 8.30 pagi. Kokov turun di depan Kafe Le Caoux. Setelannya pagi ini rapi sekali. Kemejanya warna biru, sebiru air lautan Pasifik. Cerah sekali. Kokov berencana mengajar setelah ini. Bahkan dia bawa sebuah koper, dan di dalam koper itu dia membawa jas. 
Kokov menengok jam, masih setengah jam sebelum janji temu. Tidak apa. Dia juga ada pekerjaan yang harus dilaksanakan sebelum gadis itu....
Tunggu dulu.
Gadis itu sudah datang?
Kokov termangu sepersekian detik. Namun dia segera menguasai diri. Pelayan kafe mengenalinya. Langsung mendatangi Kokov untuk menawarkan daftar menu. Kokov menyebutkan jenis minuman yang sering dia pesan. 
“Sebentar,” Kokov mencegah gadis pelayan balik kanan.
“Iya, ada apa, Tuan Kokov?”
“Apakah nona yang di sebelah sana sudah memesan minuman?”
“Belum Tuan. Katanya dia menunggu temannya, baru memesan.”
“Kalau begitu tolong tanyai dia sekarang. Dia ada janji denganku di sini.”
“Oh jadi Tuan Kokov yang ditunggunya?”
Kokov langsung menyuruh gadis pelayan itu untuk pergi dari hadapannya. 
Derap-derap langkah Kokov, membuat Phia yang sedang asyik menekuni catatannya, mendongak. Begitu melihat Kokov, Phia langsung merapikan catatannya.
“Tuan Kokov.”
“Kau sudah lama di sini?”
“Tidak lama, Tuan. Baru saja.” Phia berusaha berucap dengan intonasi sebiasa mungkin. 
“Pesanlah minuman.”
“Baik, Tuan.”
Begitu pelayan datang, Phia memesan minuman. Segelas susu hangat. 
Setelah minuman datang, sempat tercipta jeda beberapa menit.
“Terima kasih sudah datang.” Kokov yang pertama berbicara. 
“Iya Tuan. Sayalah yang harus berterima kasih karena sudah diberikan kesempatan yang ketiga.”
Kokov terdiam lagi. Dia masih setengah terkejut, tak menduga Phia akan datang lebih dulu dari dia. Mungkin Oleksandr benar. Gadis ini tidak sengaja terlambat di dua kesempatan sebelumnya. Mungkin aku harus memberinya lebih banyak kesempatan. Ah tidak, seharusnya tidak. Bisa saja dia hanya sedang coba meyakinkan aku...
“Tuan Kokov, maaf?” Phia mencoba menyapa, Kokov terlihat melamun. 
“Eh iya. Sebaiknya kita mulai saja.”
“Siap Tuan.”
“Sampai dimana kita di pertemuan sebelumnya?”
“Maaf Tuan, tapi kita belum pernah membicarakan apa-apa, karena saya terlambat di dua pertemuan sebelumnya.”
“Ah iya. Maksudku, eh saya, eh maksudku di pertemuan terakhirmu dengan Profesor.”
Astaga, kenapa aku malah gugup begini.
“Profesor belum sempat memberikan banyak arahan karena kemarin beliau masih mengurusi soal pencurian di rumahnya. Dan sekarang musibah kecelakaan ini. Sejauh ini, saya masih mengumpulkan data-data secara mandiri. Semua saya catat dalam buku ini.”
“Boleh kulihat data apa saja yang kau kumpulkan.”
“Silakan.”
“Eh.”
TRANGGG!
Tanpa sengaja, tangan Kokov menyenggol gelas minuman Phia. Lengkap sudah momen canggung pagi itu tersaji di Kafe Le Caoux.


Lima Puluh Delapan
Awalan yang Buruk


Pukul 9 pagi
Kokov sudah berada dalam taksi. Sedang menuju ke Kiev Nauk untuk jadwal mengajarnya. Kafe Le Caoux sudah jauh tertinggal di belakang. Kini dia terjebak macet di depan kantor walikota. Kokov masih sering mengusap-usap wajahnya. Kesal, kecewa, marah dan juga malu. Semua bercampur jadi satu. 
Tadi, pertemuan dengan Phia di Kafe Le Caoux berakhir dengan sangat aneh dan memalukan. Kokov yang terlalu gugup menjatuhkan cangkir, pecahan kaca berserakan di lantai. Dan bukannya membantu Phia memunguti pecahan kaca itu, Kokov justru tidak bereaksi apa-apa. Terlalu canggung, terlalu malu. Astaga.
Apa yang sebenarnya kupikirkan. Kokov mendengus kesal. 
Akhirnya, demi mencegah dia semakin malu, Kokov memutuskan untuk mengakhiri pertemuannya tadi dengan tugas saja. Dia meminta Phia untuk menghadirkan data-data yang lebih menarik secara visual. Mungkin dengan diagram, slide presentasi atau apalah itu. Phia mengangguk. 
Setelah itu Kokov pergi, pergi begitu saja.
“Seharusnya aku tidak melakukan itu tadi. Apa yang sebenarnya terjadi.” Kokov melihat jemari tangannya yang terlihat gemetar. Dia mencoba menenangkan diri dengan memejamkan mata. 
Tenanglah Kokov. Ini karena kau sudah lama tidak melakukan bimbingan dengan mahasiswa. Ya, sudah lama kau tidak berurusan dengan mahasiswa. Kau hanya kurang siap. Ya, kau terkejut.  Besok-besok, semua harus lebih baik lagi. Kau bisa melakukan ini.
Telepon Kokov kemudian berbunyi. 
“Mr. Kokov, apakah anda sudah dekat dengan Kiev Nauk?” Itu telepon dari pihak administrasi kampus. Dari Kiev Nauk. 
“Ya, saya sudah di jalan. Ada apa?”
“Ada tamu yang menunggu.”
“Mencari saya?”
“Tidak, mencari Profesor Nyoman. Tapi karena anda yang mewakilinya, saya kira beliau ini harus bertemu dengan anda.”
“Tanyakan apa keperluannya, lalu kabari saya lewat pesan singkat. Jika tidak terlalu penting, beliau bisa menemui saya lain kali. Maaf, hari ini saya sibuk sekali.”
“Baik Mr. Kokov. Terima kasih.”
Kokov meletakkan ponsel kembali di kantong jasnya. Entah siapa yang menunggunya di kampus sana, tapi dia sepertinya harus bergegas. Sayang, kemacetan di depan kantor walikota ini, tidak bisa diterobos, dengan truk militer sekalipun.
Yang lucu adalah, tepat beberapa mobil di belakang taksi yang ditumpangi Kokov, adalah taksi yang ditumpangi Phia. Dia juga sedang menuju ke kampus. Ke perpustakaan milik Profesor Nyoman. Dia ingin menyelesaikan tugas yang diberikan Kokov di sana. 
Phia juga sedang berpikir. Ada apa dengan Kokov tadi. Apakah dia ada salah. Mungkinkah penampilannya terlalu “mengerikan” di mata Kokov? Phia buru-buru mengambil ponsel dan mengaktifkan kamera depan. 
Tidak, kamu cantik sekali Phia. Tidak ada yang salah. Hatinya, memuji dan membela diri. 
Susah rasanya menebak. Namun, mungkin, Kokov sedang sibuk. Ah tidak, padahal Phia sudah mencoba datang tepat waktu. Jauh sebelum waktunya malah. Jadi apa yang sebenarnya salah?
Phia memutuskan untuk tidak menebak-nebak lagi, meminta agar mobil taksinya bisa lebih cepat.
“Maaf Nona. Bahkan seandainya presiden Ukraina hendak lewat di sini, dia akan ikut terjebak kemacetan ini. Kemacetan ini tidak bisa diterobos, bahkan oleh truk militer sekalipun.”
Sepertinya itu sudah jadi gurauan sehari-hari di Ukraina sini.


Lima Puluh Sembilan
Kau Harus Lebih Sabar, Nona


Phia masuk ke ruangan perpustakaan pribadi profesor dengan agak tergesa-gesa. Untunglah tadi dia tidak sempat berpapasan dengan Kokov, karena mereka beda jalur masuk. Phia masuk lewat jalan samping. Langsung menuju ke ruangan perpustakaan.
KREKKKK!
Pintu terbuka dan...
“Eh?”
“Nona Phia.”
Phia terkejut sekali karena menyangka tidak akan ada orang yang duduk di ruangan perpustakaan itu saat dia membuka pintu. Rupanya ada orang, dan orang itu, adalah asisten Profesor. Vlari. 
Vlari sendiri juga terkejut, namun dia segera berhasil menguasai keadaan. Dia terlihat berkutat dengan kertas-kertas di meja. Begitu melihat Phia, dia langsung merapikan kertas-kertas itu, dengan cara yang elegan, memasukkannya ke dalam map. 
“Maaf jika kedatanganku mengganggu kegiatan anda, Tuan Vlari. Jika tuan sedang sibuk di ruangan ini, aku akan pergi.”
“Eh tidak apa-apa, Nona Phia. Aku hanya sedang bersih-bersih. Silahkan kalau kamu mau memakai ruangan ini.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Tuan Vlari. Ngomong-ngomong bagaimana kabar Profesor? Apakah beliau sudah lebih baik sekarang?”
Vlari menggeleng, suram, “belum. Beliau masih seperti seperti adanya. Pihak rumah sakit meminta waktu dua sampai tiga bulan untuk merawat Profesor. Mereka berusaha mengembalikan kesehatannya, tapi kamu juga tahu bukan, umur dan fisik profesor, sudah tidak muda lagi.”
“Begitu rupanya. Maafkan pertanyaanku. Tadinya kupikir dengan adanya Tuan Vlari di sini, Profesor sudah lebih sehat.”
Mengingat Vlari selalu ada di samping Profesor.
Sekali lagi Vlari menggeleng, “aku butuh udara segar. Suasana rumah sakit membuatku suntuk. Tapi nanti siang aku mau kembali ke rumah sakit.”
“Baiklah, Tuan Vlari. Titip salam untuk profesor.”
“Ya. Oh tunggu sebentar, boleh aku bertanya satu hal lagi, Nona Phia?”
“Ada apa, Tuan Vlari?”
“Kau ada masalah dengan Kokov?”
Pertanyaan itu tidak bisa langsung dijawab oleh Phia. Dia terdiam sejenak, sebelum menggeleng, “tidak, tidak ada masalah.”
“Tapi kudengar kemarin saat kau bicara dengan Profesor, kalian punya sedikit masalah.”
“Ah itu tidak. Itu kesalahanku. Aku tidak bisa menaati jadwal yang telah disepakati.”
“Kamu terlambat?”
“Iya, dua kali. Tapi sepertinya berkat bujukan Profesor, Tuan Kokov mau memberikan kesempatan ketiga.”
Vlari mengangguk-angguk. Sebelum dia pergi, Vlari meninggalkan satu pesan singkat untuk Phia. “Bersabarlah. Bersabarlah menghadapi Kokov. Dia itu memang kikuk. Tapi begitu kau mengenalnya, kau akan mengaguminya. Selayaknya Profesor sangat kagum pada Kokov.”
Pesan itu dijawab dengan anggukan oleh Phia. “Tuan Kokov pasti figur yang hebat, sampai Profesor kagum terhadapnya.” 
Vlari tertawa. “Ya, sampai kau tahu beberapa rahasia kecil yang dimiliki olehnya. Hahaha.”
Entah kenapa sampai di lorong pun, Vlari masih tertawa keras.


Enam Puluh
Tamu Istimewa untuk Kokov


Kokov masuk ke pintu utama Kiev Nauk karena dia berencana untuk langsung masuk ke kelas. Tidak usah mengurusi tamu yang menunggunya di ruang tunggu itu. Namun kenyataan berkata lain. Staf yang tadi meneleponnya di taksi, kembali menghubunginya. Menanyakan dimana posisi Kokov sekarang.
“Bilang saja saya sedang sibuk. Saya harus mengisi kelas sekarang. Lima belas menit lagi saya akan terlambat.”
“Maafkan saya, Mister. Tapi tamu ini tidak mau pergi. Beliau menunggu anda.”
“Siapa sebenarnya dia? Siapa namanya? Apa keperluannya?”
“Namanya Both. Pieter Both. Mungkin beliau ini adalah kenalan Profesor. Beliau meminta bertemu, sepuluh menit saja katanya, sudah cukup.”
“Oh ya, sampaikan juga kepada penerima telepon itu, bahwa dia akan senang bertemu denganku. Aku tamu istimewa.”
Sebuah suara menyerobot masuk. Suara orang tua. Itukah suara orang yang menunggu dirinya. Pieter Both? Sepertinya kenalan pribadi Profesor. Kokov begitu mengenal siapa saja kolega dan partner Profesor. Jika dia tidak tahu, maka itu kenalan pribadi. Tapi jika itu kenalan pribadi, kenapa meminta waktu bertemu dengannya. Lagipula Pieter Both dan suara itu. Suara yang begitu mengendalikan. 
Kokov putar balik. Tidak jadi hendak masuk kelas, padahal dia sudah nyaris mencapai gagang pintu. Dia memutuskan untuk menemui orang bernama Pieter Both itu, siapapun orang itu.
Orang itu duduk di sana. Takzim. Penampilannya begitu mencolok. Bukan karena aneh. Namun dia memang seperti menonjol. Dialah Pieter Both. Seorang pria besar, (yang jika berdiri pasti tinggi menjulang) bahunya lebar, kacamatanya bulat kecil, bentuk wajahnya tidak bulat, ada lekukan-lekukan simetris di area pipi, rambutnya ikal, warnanya sudah putih sebagian. 
Kokov segera menyadari bahwa dia tidak pernah melihat apalagi berurusan dengan orang semacam ini, dalam hidupnya. 
“Itukah, Stanislav Kokov?” tiba-tiba dia berdiri, dan terlihatlah seberapa tingginya dia. Menjulang lebih 2 meter. Kokov bisa mendengar bicaranya. Nada suaranya, begitu mengendalikan. Kokov segera mendekat. 
“Benar Tuan yang baik. Sayalah Stanislav Kokov.”
“Ah akhirnya. Kau membuat keputusan yang tepat dengan menunda kelasmu demi bisa menemuiku.”
“Maaf siapa anda ini sebenarnya?”
“Bukankah sudah dijelaskan lewat telepon, saya adalah Pieter Both. Aku tamu istimewamu. Nah mari kita duduk dulu.”
Tatapan itu, kata-kata itu, ekspresi itu, mencengkram. Mengendalikan. Lihatlah, sekarang Kokov ikut duduk berdasarkan arahan orang itu. Padahal orang itu adalah tamu dan Kokov adalah Tuan rumah.
“Kita langsung ke intinya saja, saya tidak kenal dengan anda, dan saya juga tidak merasa pernah punya urusan dengan anda. Apakah anda kenalan pribadi Profesor Nyoman? Jika ada pesan yang hendak dititipkan, nanti saya sampaikan.” Kokov berusaha menguasai kembali intonasi. Mengontrol kembali agar dia bisa memegang kendali pembicaraan. Dia tidak boleh kalah dengan tamunya ini.
Orang itu malah tersenyum tipis, senyum yang mengendalikan.  “Astaga, Kokov. Sedingin itukah sambutanmu. Aku mengenal Nyoman Asdawirya, walau tidak secara pribadi. Bulan lalu kami masih bertemu di London. Tapi hari ini, aku menemuimu, bukan ada sangkut pautnya dengan Nyoman. Ini murni urusanku denganmu. Urusan yang bahkan Nyoman tak akan pernah mengiranya. Nah, apakah kau mau mendengarkanku?”
Sial, lagi-lagi orang ini hendak mengendalikan diriku.
“Apa itu?”
“Jangan ikut campur lagi urusan Oserzeen. Jangan ikut campur lagi urusan Oserzeen dengan Profesor Nyoman. Anda sudah punya pekerjaan sendiri bukan?”
“Jadi anda adalah utusan Oserzeen?”
“Bukan,” Pieter Both mengelak dengan santainya, “aku related party perusahaan besar itu. Aku ke sini sebagai jembatan penghubung antara kalian dengan Oserzeen.”
“Aku akan tetap menolong Profesor.” Kokov kelepasan, emosinya sudah berkilat keluar. Pieter Both tetap santai menghadapinya.
“Kalau begitu kau berada dalam bahaya. Kau sudah lihat bagaimana Oserzeen menghancurkan Nyoman Asdawirya bukan.”
“Jadi itu memang ulah kalian. Kalian akan menerima akibatnya nanti.”
“Susah untuk melakukan itu. Jangan terlalu idealis, Stanislav. Beberapa hal di dunia ini tidak bisa dikalahkan. Termasuk diantaranya Oserzeen.”
“Aku akan meringkusmu di sini sekarang juga.”
“Itu langkah sia-sia.” Pieter Both balik menantang. Tatapannya bercirat.
“Kenapa?”
“Karena aku tahu, kau tidak akan bisa melakukan itu.”
Kalimat itu diucapkan dengan intonasi dan power yang sungguh luar biasa. Mengendalikan dan mempengaruhi.


Enam Puluh Satu
Adu Domba


Stanislav Kokov dikenal sebagai seorang pengajar yang tenang, terkendali, dan berwawasan. Selain itu, dia punya penghayatan yang sangat baik terhadap perannya sebagai fasilitator pengetahuan bagi para mahasiswanya. Sehingga, meski bersifat disiplin dan tidak bertoleransi, para mahasiswa bersemangat mengikuti kelas dari Stanislav Kokov.
Sayangnya, itu tidak terjadi hari ini. Kokov menutup kelasnya sebelum waktunya habis dan memilih membiarkan para mahasiswa menyelesaikan materi kuliah hari ini, dalam bentuk penugasan saja. Lalu, dengan tergesa-gesa, Kokov meninggalkan Kiev Nauk. Samar-samar terlihat keringat dingin di dahinya. 
Pertemuannya dengan Pieter Both benar-benar mengambil alih pikiran dan fokusnya. Meski cuma lima belas menit (karena setelah itu Pieter Both undur diri sambil terkekeh, terkekeh yang mengendalikan), Kokov terus memikirkannya. 
“Aku harus memberitahu beberapa orang soal ini.” Kokov bergumam singkat. Orang yang pertama dihubunginya adalah Oleksandr.  Sayangnya, teman polisinya itu tidak ada di kantornya. Dia sedang mengadakan “penyelidikan”. 
“Aku di kantor sore nanti. Kita ngobrol saat itu ya.”
Kokov terpaksa sepakat. Baiklah, berarti dia ke tempat berikutnya dulu.
Tanpa makan siang, Kokov langsung melangkahkan kakinya ke Kiev Hospital. Tujuannya jelas, menemui Profesor Nyoman. 
Sayang sekali, di kamar Profesor di lantai VIP, Profesor Nyoman tidak bisa ditemui. Beliau tertidur pulas di atas ranjang. Ada Vlari di sana, yang ketika Kokov tergesa membuka pintu, sedang asyik menyendok nasi. Asisten profesor itu tersenyum melihat kedatangan Kokov, dengan santai menawarinya makan. 
“Profesor sudah lama istirahatnya?” Kokov tak menanggapi, langsung bertanya. 
“Belum. Beliau baru saja diberi obat oleh dokter. Obat penenang.”
Kokov langsung khawatir mendengar itu, “obat penenang?”
“Ya, sepertinya sepanjang hari, Profesor gelisah.”
“Sepertinya?”
“Ah iya,” Vlari segera paham, “aku meninggalkan Profesor sendirian pagi ini. Ada yang harus kukerjakan di Nauk. Rupanya beliau tidak bisa ditinggal.”
“Kau seharusnya tidak meninggalkan Profesor, Vlari.”
Kini momen makan siang Vlari benar-benar terhenti. “Apa boleh buat. Tapi tadi, setelah aku kembali ke sini, Profesor sudah cukup tenang. Dokter hanya berusaha membuatnya tertidur lebih lelap.”
Kokov akhirnya menarik nafas lega, “baiklah. Syukur kalau begitu. Maaf, aku begitu kalut, Vlari.”
“Tenangkan dirimu, Kokov. Oh iya, tadi ada pesan dari Profesor untukmu.”
Kokov kembali tersentak, “apa pesan itu?”
“Itu, ditulis di secarik kertas.”
Kokov beranjak ke meja dekat ranjang profesor. Mengambil secarik kertas yang tertutupi buku, buku fiksi (sejauh ini profesor sudah boleh membaca, asal jangan terlalu berat). Dia membaca isi pesan singkat itu.
Pesan ini untuk Kokov: hentikan kerjasamamu dengan Oleksandr. Kita harus mengatasi masalah kita sendiri, tanpa melibatkan pihak luar.
Bukan main terkejut Kokov mendapati pesan tersebut. Dia menengok ke Vlari, meminta kepastian. “Profesor serius dengan pesan ini?”
“Memangnya apa isi pesannya? Aku belum lihat.”
“Profesor memintaku menghentikan kerja sama dengan Olek.”
Terperanjat Vlari, sampai berceceran nasi yang hendak disuapnya. “Kau serius?”
“Baca saja sendiri.”
Vlari langsung berdiri, menyambar secarik kertas itu. Membacanya dengan cepat. 
“Astaga, kau benar. Mungkin ini yang menyebabkan Profesor gelisah sepanjang hari. Mungkin beliau memikirkan hal ini.”
“Tapi apa artinya ini, Vlari?”
“Aku tidak tahu, Kokov. Tapi jika Profesor bilang begitu, kurasa kita tidak punya pilihan selain menuruti kehendak beliau.”


Enam Puluh Dua
Kita adalah Teman Baik, Olek


Hari ini, 15 Oktober, pasti menjadi salah satu hari paling tak terlupakan bagi Kokov. Sebab, hari ini ada beragam reaksi yang dirasakannya. Mulai dari kekesalan, kecanggungan dan kikuk di pagi hari, kesal, jengkel dan ingin meninju saat menemui Pieter Both, dan siang ini dia mendapati pesan dari Profesor bahwa dia harus menghentikan kerja sama dengan Oleksandr. 
Ah sayang sekali. Padahal temannya itu sedang sangat bersemangat untuk mengungkap semua “skandal” ini. 
Kokov menemui Oleksandr hari itu. Sorenya. Sekitar pukul 5. Jalanan lengang. Kokov hanya perlu 15 menit untuk sampai di kantor Oleksandr. Olek sudah menunggu di ruangannya. Lengkap dengan kopi yang terhidang. 
“Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” Olek bertanya santai. Setelannya juga santai. 
“Kita berhenti bekerja sama.”
“Apa katamu?” Olek langsung tersentak, kaget dan menatap Kokov seolah tidak percaya. Dan dia memang tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kokov sekarang. 
“Profesor ingin menghentikan kerja sama ini. Beliau ingin kau, petugas kepolisian berhenti melibatkan diri dalam urusan ini.”
“Maksudmu, maksudmu,” Olek berdiri, berhadapan dengan Kokov, tangannya menunjuk-nunjuk, “maksudmu, sekarang Profesor akan mempercayakan semuanya pada duet S & C?” 
Kokov menggeleng, dia belum tahu.
“Kita tidak bisa membiarkan itu, Kokov. Kau tahu, data-data yang kuperoleh itu hebat sekali. Sumber C1. Confidental. Data-data itu akurat dan tidak perlu diragukan. Kita bisa memakainya untuk mengungkap skandal besar di....”
“Kita sudah lama berteman, Olek.”
Kini Olek sudah mengacak-acak rambutnya. Dia tahu kalau Kokov sudah mengucapkan kalimat itu, maka artinya serius. “Iya aku kenal sekali denganmu, Kokov. Tapi kau juga harus ingat, kita sudah lama berteman. Kau juga tahu siapa aku.”
“Profesor minta kau tidak terlibat lagi. Maka laksanakanlah perintahnya.”
“Walaupun kita punya kesempatan untuk menangkap penjahatnya?”
“Profesor sudah berpesan, Olek. Aku hanya menyampaikan pesannya.”
Olek tiba-tiba teringat akan sesuatu. “Tunggu, kapan kau menemui Profesor?”
“Saat jam makan siang.”
“Aha, kau pasti menghubungiku sebelum menemui Profesor.”
“Benar.”
“Nah, berarti kau sebenarnya punya sesuatu yang lain untuk diceritakan. Apa yang sebenarnya terjadi Kokov? Kau jangan membuatku bingung.”
“Semua sudah jelas, Olek. Pesan profesor sudah jelas.”
Dan jelas, debat mereka sore itu, berakhir tanpa kesimpulan.


Enam Puluh Tiga
Sikapmu Membuatku Bingung, Kokov!

Sebagai penutup hari super melelahkan dan campur aduk dari Kokov. 
Pukul 9 malam, saat Kokov sudah siap merebahkan diri di ranjang, beristirahat, telepon yang dia letakkan di meja kerja, berseberangan dengan ranjangnya, berbunyi. Kokov melenguh pelan. Sedikit jengkel karena dia tadi lupa mematikan ponsel itu. Istirahatnya terganggu lagi.
Kokov tidak bisa tidak mengangkat telepon itu. Dari Profesor Nyoman.
“Ada apa, Profesor?”
“Selamat malam Kokov.”
“Iya Prof. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ah iya, sebenarnya tadi siang aku ada keperluan denganmu. Cuma, ternyata kau datang bertepatan dengan waktu istirahatku. Aku meninggalkan sebuah catatan di mejaku. Kau sudah membaca catatan itu.”
“Sudah, Profesor. Saya sudah melaksanakannya.” Kali ini Kokov membalas ucapan Profesor dengan nada agak ketus. 
“Baguslah, aku senang kau melakukannya. Terima kasih, Kokov.”
“Iya.” 
“Hei ada apa, Kokov? Ini tidak terdengar seperti kau. Apakah pesanku itu membuatmu tidak suka?”
“Maaf, saya harus istirahat.”
“Ah baiklah. Baiklah. Maafkan aku karena telah mengganggu waktu istirahatmu, Kokov. Selamat malam. Oh ya, bisakah kau datang ke kamarku besok.”
“Akan saya usahakan.”
Dan kemudian telepon dimatikan.
Di sebelah sana, profesor menghela nafas. Suara helaan nafasnya terdengar dengan jelas. Suasana begitu sunyi. Bahkan lampu kamar sudah dimatikan. Di seberang sana, Vlari sudah tertidur dengan suara ngorok. 
Apa yang terjadi dengan Kokov. Sikapnya aneh sekali. Apakah dia benar-benar tidak suka dengan isi pesan yang kutulis? Astaga, sebenarnya maksudku baik sekali.
Profesor mencoba merebahkan diri, mencoba untuk tidur juga, meski itu agak susah, beliau sudah tidur cukup lama tadi siang.
Kokov juga mencoba untuk tidur, melupakan semua apa yang dialaminya hari ini. Hanya hari yang buruk, bukan hidupnya yang buruk. Besok-besok akan jadi lebih baik. 
Baru lima menit rasanya Kokov terpejam, giliran telepon genggam di meja tidurnya yang berbunyi. Kokov segera meraihnya. Telepon genggam itu spesial. Hanya ibunya yang menghubungi dari nomor tersebut. 
“Halo Bu.”
“Kokov kamu tidak kenapa-kenapa kan?”
“Maksud Ibu apa? Kokov baik-baik saja.”
“Seharian ini Ibu merasa tak karuan. Ibu takut kamu kenapa-kenapa.”
“Tidak apa-apa Bu. Kokov kabar baik. Cuma lebih banyak pekerjaan saja.”
“Kamu yakin?”
“Iya Bu.”
“Baiklah, selamat istirahat Nak. Semoga besok harimu lebih menyenangkan.”
Ibunya menutup telepon. Kokov hendak meletakkan telepon dan kembali tidur, namun matanya melihat notifikasi di telepon spesial itu. Ada pesan pendek yang masuk. Siapa? Ibunya tidak pernah mengirimkan pesan pendek. Kokov segera membuka pesan itu. Nomor tidak dikenali.
Bagaimana? Kau menyukai kejutan dariku?
Pieter Both.

Kokov menghela nafas. Bagaimana bisa orang itu mengetahui nomor teleponnya yang satu ini? Dan pesan itu, lihatlah, begitu mengendalikan.
“AAAAAAAAAAAHHHH!” Kokov memukul ranjang keras-keras. 
Sementara itu, satu rahasia kecil lagi di hari ini. Seandainya Kokov mau meluangkan waktu memeriksa bak sampah di kamar Profesor, dia akan menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Pesan sebenarnya yang dimaksud Profesor. Begini bunyinya. 
Kokov. Kuharap hari ini kau sudah menemui Nona Phia. Jika belum, tolonglah menemuinya sebelum matahari terbenam. Aku berjanji akan mengabulkan apapun permintaanmu jika kamu mau memenuhi permintaanku ini. 
Harap diperhatikan, Kokov.
Dengan kata lain, pesan yang dibaca oleh Kokov, adalah kejutan yang menyenangkan yang dimaksud oleh Pieter Both. Rupa-rupanya ada yang menukar pesan itu. Tapi pertanyaannya siapa? Mengingat Vlari ada di sana. Ataukah....

Enam Puluh Empat
Ketukan Dinihari


Tanggal 16 Oktober, pukul 7 malam
Selama dua hari belakangan, Phia selalu pulang ke Kurin setelah matahari terbenam. Dia berusaha keras menyusun data-data dan informasi terkait penelitiannya yang telah dikumpulkannya selama ini, menjadi tampilan visual yang menarik. Sesuai permintaan dari Tuan Kokov. Dua hari belakangan pula, Phia selalu menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi milik Profesor. 
“Aku pulang,” Phia selalu mengetuk pintu dan berucap demikian ketika datang ke Kurin. Dan dua hari ini, tidak ada jawaban. Sama sekali. Hening. Itu karena Sylvi sudah sehat dan dia kembali bekerja. 
“Dia lagi-lagi tidak ada di rumah ya. Sylvi? Kamu mendengarku?” Phia berseru lagi, memastikan. Namun tetap tidak ada jawaban. Berarti Sylvi memang tidak ada di rumah. Mungkin dia sudah bisa bekerja lagi. 
Malam-malam Phia belakangan, dilalui dengan sangat singkat. Bersih-bersih diri, makan malam, beristirahat sejenak, kemudian tertidur lelap. Menguras otak dan pikiran sampai melebihi batasnya, adalah mantra tidur yang mujarab.

Tanggal 17 Oktober, dinihari. Pukul 3 Pagi
“Pak Supir. Tolong kita berhenti di sini saja.”
“Baik Nona.”
Taksi itu berhenti di sana, lima meter sebelum pagar masuk Kurin. Seorang perempuan cantik turun dari mobil itu. Langkahnya rapat, pelan, dan badannya agak sempoyongan. Dia bahkan memegangi pagar sesekali. Nafasnya tersengal. Adapun supir taksi itu, langsung pergi begitu mendapatkan bayarannya. 
“Akh,” gadis itu melenguh pelan. Baru beberapa langkah didapatnya. Dia berhenti. Satu tangannya berpegangan di pagar, satunya lagi mencengkram kuat pahanya. Ekspresinya begitu kesakitan. 
“Mereka betul-betul kasar. Dasar iblis biadab.” Tak disangka, gadis itu malah mengumpat. Namun sejenak kemudian, tangannya berpindah memegangi kepalanya. “Akh.” Dia kembali melenguh. Kali ini kepalanya yang berdenyar-denyar.
“Aku akan membalas kalian suatu hari nanti, iblis. Saat aku punya janji kehidupan yang lebih baik.”
Gadis itu mencoba kembali berjalan. Meski terbata-bata. Langkahnya seperti orang yang sedang menahan buang air kecil. Ekspresinya menyiratkan dia mengalami kesakitan yang teramat sangat. 
DEGHH!
“Akh!” gadis itu sontak memegangi kepalanya lagi. Semakin berdenyut. Tidak, tidak. Matanya sudah berkunang-kunang. Pandangannya berputar-putar. Dia memaksakan untuk berjalan.  
“Iblis itu, apa yang sebenarnya dimasukkannya ke dalam tubuhku. Rasa ini, aku tak pernah sepusing ini. Sepertinya dia memasukkan terlalu banyak bubuk... akh!” 
Gadis itu masih memaksakan diri. Berjalan perlahan. Semakin jauh langkahnya, semakin sakit yang dia rasakan. “Aku... harus.... sampai.... ke.... Kurin.”
Benar-benar susah payah dia berjalan. Memaksakan tubuhnya yang ngilu semuanya. Tapi akhirnya dia berhasil mencapai teras. Tepat saat itu, seluruh tenaganya habis. 
BRUKKKK!
Gadis itu ambruk. Tepat di depan pintu. Tidak, dia tidak pingsan. Kesadarannya masih ada. Meskipun dia didera rasa sakit yang teramat sangat. Kepalanya berderak, pandangannya berputar-putar. Tubuhnya yang ngilu menggigil hebat. Kini, hanya telapak tangannya yang bisa bergerak. Dia memaksakan diri. Membentuk kepalan tangan. Menumbuk pintu. Mengetuk pelan.
TOK TOK Tok tok. 
Ketukan itu semakin lemah. 
Pukul 3 dinihari. Semua orang sedang tertidur nyenyak. Siapa yang diharapnya memberi bantuan.
“Kuharap... kuharap kau.... bisa .... mendengar.... ketukan ini... Phia. Aku... minta tolong....”
Tokk tokk tok
Gadis itu adalah Sylvi.


Enam Puluh Lima
Kamu Kenapa Lagi Astaga


Malam-malam musim gugur di kota Kiev, sebenarnya lembab dan anginnya dingin, namun entah kenapa malam itu, Phia merasa pengap. Entah sudah takdir, karena merasa kepanasan, Phia menendang selimut, dan bangkit dari tempat tidur. 
Pukul 3 dinihari, tanggal 17 Oktober
Phia bangkit, mencari minuman. Kerongkongannya terasa kering karena udara pengap ini. Dia pun melangkah ke dapur. Mencari minuman.
TOKK Tokk tok. 
Meski suara itu pelan sekali, karena pukul tiga pagi, suasananya begitu sunyi, suara itu tetap terdengar. Phia baru saja keluar dari ruang makan ketika suara itu merambat ke dinding Kurin, dan akhirnya dia mendengarnya. 
Suara ketukan? Hati kecilnya bergumam. Phia langsung menajamkan pendengarannya. 
TOKK Tokk tok. 
Iya, tidak salah lagi. Ada suara ketukan. Tapi datang darimana? Phia kembali berkonsentrasi mendengarkan.
TOKK Tokk tok. 
Dari pintu depan. Tapi siapa itu? Dalam gelap, Phia mengendap-endap. Dia sedikit takut dan curiga. Hei, ini pukul tiga pagi. Siapa yang iseng mengetuk Kurin pukul tiga pagi dinihari? Phia memutuskan mengecek kamar Sylvi dulu. Siapa tahu temannya itu sudah pulang, jadi Sylvi bisa menemani Phia mengecek suara itu. Sayangnya kamar Sylvi masih terkunci, yang artinya gadis itu belum pulang.
Artinya, aku sendirian di Kurin. Phia menelan ludah.
TOKK Tokk tok. 
Suara itu kembali terdengar. Jelas sekali. Dari arah pintu depan. Tapi siapa? Phia tidak ingat lagi urusan tenggorokan kering. Dia langsung mengendap-endap (karena dia tidak mau langkah kakinya sampai terdengar ke luar) kembali ke kamarnya. 
“Siapapun orang di luar itu, aku tidak bisa mendiamkannya. Dia berulangkali mengetuk. Aku harus mendatanginya.”
Phia tentu tidak bodoh dan ceroboh. Dia mengambil peralatan miliknya. Ada senter yang tergabung bersama pisau lipat, itu senjata kesukaan Phia. Selalu dibawanya kemana-mana. Phia juga mengambil sebuah tongkat besar di bawah ranjangnya. Dua senjata.
“Siapa di luar?” Phia sudah tiba di depan pintu utama Kurin. Dari depan pintu ini, hawa keberadaan seseorang di luar, terasa sekali. 
TOKK Tokk tok. 
TOKK Tokk tok. 
Tidak ada jawaban. Hanya ketukan berulang kali. Semakin lama semakin lemah.
Cepatlah Phia. Kumohon. Batin Sylvi di luar ingin sekali berteriak, namun rasa sakit ini menyerap semua suaranya. Dia tidak bisa bicara lagi. 
TOKK Tokk tok. 
“Tolong...” akhirnya sebuah kata terucap dari mulut Sylvi. Suaranya sangat pelan. Namun Phia yang ada di balik pintu, bisa mendengarnya.
KREKKKK!
“ASTAGA! SYLVI!”
Phia terbelalak melihat kondisi temannya, yang sangat memprihatinkan. 
“Sakit... tolong aku....”
Tak perlu diperingati dua kali, Phia sudah berlari ke kamarnya, mengambil ponsel. Menghubungi nomor darurat. Mereka memerlukan ambulan. 
“Apa yang terjadi denganmu, Sylvi.”
Sylvi sudah tidak bisa menjawab. Sisa tenaganya habis. Dia pingsan.


Enam Puluh Enam
Obat


“Cepat-cepat!”
“Keluarkan ranjang dorong.”
“Angkat perempuan itu, naikkan ke atas mobil.”
Suara-suara perintah taktis, diiringi dengan suara sirine ambulan mewarnai dinihari Phia hari ini. Untungnya para petugas layanan darurat ini, benar-benar gesit. Tak sampai semenit, Sylvi sudah dinaikkan ke atas mobil. 
“Cepat naik, Nona. Temanmu harus segera dilarikan ke rumah sakit. Cepat, cepat!” Seorang petugas yang bertubuh gempal meneriaki Phia yang bengong di depan pintu. Jujur saja, kejadian ini terlalu cepat bagi Phia. Dia perlu waktu untuk mencernanya. 
Phia segera ikut naik ke mobil ambulan. 
Di dalam ambulan, tim relawan segera bergegas memasang beberapa selang infus dan memberikan pertolongan pertama. Si pria gempal tadi tersenyum pada Phia yang nampak pucat. “Temanmu akan selamat, Nona. Temanmu akan selamat.” Phia hanya mengangguk. Semoga saja. 
Setengah jam, berkat penanganan yang cepat dan taktis, Sylvi sudah ada di ruangan kamar Kiev Hospital. Lantai 3. Memang bukan lantai dengan pelayanan terbaik. Namun Phia tetap saja lega. Sylvi sudah terlihat lebih baik daripada yang tadi. Wajahnya sudah cerah, meskipun masih tidak sadarkan diri. 
Tadi, seorang dokter juga datang memeriksa Sylvi. Menurut hemat Phia, pelayanan dokter itu sangat maksimal. Pak Dokter datang cepat, dan melakukan pemeriksaan yang seksama. Mereka juga memakai data akurat dari laboratorium, darah Sylvi dijadikan sampel di sana. 
“Dokter, teman saya kenapa?” ketika Dokter selesai melakukan pemeriksaan, Phia akhirnya mendekat. 
“Teman anda, sungguh beruntung. Tubuhnya bertahan, dengan sangat baik terhadap efek obat-obatan yang keras.”
“Efek obat-obatan?”
“Ya, sampel laboratorium menunjukkan bahwa dia sempat mengonsumsi jenis obat-obatan yang keras. Kalau saya boleh katakan, Jenis obat-obatan terlarang.”
Phia terhenyak. Maksudnya Sylvi mengonsumsi narkoba?
“Kita akan memastikannya dengan proses laboratorium. Jika dia terbukti mengonsumsi obat-obatan terlarang, kami merekomendasikan untuk melakukan proses rehabilitasi segera.”
“Apakah itu berarti pihak kepolisian akan terlibat, Dokter?”
Dokter itu malah tersenyum, “saya tidak tahu, Nona. Yang jelas ini rumah sakit. Bukan kantor polisi. Kami akan membawa teman anda untuk melakukan proses rontgen. Ada beberapa memar di tubuhnya. Kita harus memastikan tidak ada tulangnya yang patah. Saya permisi.”
Dokter baik hati itu pun pergi. Tidak lama kemudian, ranjang Sylvi didorong oleh perawat mengikuti langkah dokter. Perawat mencegah Phia untuk ikut. Phia diminta menunggu di ruangan itu saja. 
Phia duduk dengan gontai di kursi yang tersedia di ruangan tersebut. Semuanya berlalu sangat cepat. Seperti sebuah mimpi. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sylvi. Pukul empat pagi, dan pemeriksaan belum selesai. Phia hanya bisa berdoa dalam hati.
Semoga kamu baik-baik saja, Sylvi.


Enam Puluh Tujuh
Kamu Akan Benci Jika Tahu Siapa Aku


Pukul 9 pagi, Tanggal 17 Oktober
Phia menunggui Sylvi di kamarnya. Dia membatalkan rencana untuk pergi ke perpustakaan lagi hari ini. Oleh karena Phia tidak bisa meninggalkan rumah sakit, dia juga tidak bisa mengambil laptopnya yang ketinggalan di rumah. Jadilah Phia menunda semua pekerjaannya. Setidaknya sampai Sylvi siuman. 
Semoga saja Kokov tidak mengatur janji temu mendadak di hari ini. 
Sudah pukul 9. Berarti sudah enam jam Sylvi tidak sadarkan diri sejak ditemukan di teras Kurin. Menurut dokter, yang datang memeriksa setengah jam yang lewat, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Masa kritis itu sudah berlalu. “Seperti kata saya tadi, Nona. Teman anda punya tubuh yang kuat untuk menahan semua efek samping obat-obatan itu.”
Selain masalah obat-obatan, saluran pencernaan Sylvi juga kena diagnosis. Menurut dokter, saluran pencernaannya mengalami infeksi karena overdosis meminum minuman keras. Mendengar kalimat itu, Phia menghela nafas.
Obat-obatan dan minuman keras? Astaga Sylvi, apa yang kau pikirkan. 
Pukul 10 pagi, akhirnya kabar baik datang. Sylvi siuman. Matanya mengerjap-ngerjap menatap sekeliling. Dia langsung melihat Phia yang duduk menungguinya di samping kanan ranjang. Sylvi tidak langsung bicara, jadi Phia yang sedang melamun juga tidak langsung sadar. Apalagi Sylvi langsung memejamkan mata lagi. Bukan pingsan lagi, melainkan merasakan bagian-bagian tubuhnya. 
Kepalaku, sudah lebih mendingan
Badanku, juga sudah bisa bergerak tanpa ngilu
Pandanganku, sudah terang dan jelas. 
Ah jam berapa sekarang. 
“Phia, kamu menyelamatkan aku lagi ya.”
Phia langsung menengok mendengar suara dari Sylvi. Suaranya bersih dan terdengar sehat. Mungkin dokter tadi benar, Sylvi punya daya pulih yang cepat berkat tubuhnya yang kuat. 
“Kamu sudah sadar, Sylvi? Kamu baik-baik saja.”
“Ya, aku sudah merasa lebih baik. Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa. Aku senang kamu selamat.”
“Dimana kita sekarang?”
“Kiev Hospital.”
“Astaga, bagaimana kau membawaku kemari?” 
Phia segera menceritakannya. Semuanya. 
“Ah begitu ya. Maafkan aku. Aku sudah membuatmu kerepotan. Maaf juga atas sikapku yang keterlaluan padamu seminggu belakangan. Seharusnya aku memperlakukan tamuku dengan lebih hormat.”
“Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti. Aku sangat lega kamu baik-baik saja. Dokter bilang kamu kuat, Sylvi.”
Sylvi tersadar akan sesuatu. Tiba-tiba wajahnya memucat. “Apa kata dokter tentangku? Apakah aku dibawa ke laboratorium?”
“Iya. Kamu sempat diperiksa di laboratorium.”
Sylvi seketika terlihat panik. “Katakan padaku, apa yang dikatakan dokter tentang diriku.”
Mendengar intonasi itu, Phia segera sadar, bahwa Sylvi merasa ini persoalan yang sensitif. Phia berusaha mengelak dengan tertawa ramah. “Tidak, tidak. Dokter bilang tubuhmu sangat kuat. Kamu berhasil bertahan dari situasi kritis.”
“Dokter tidak bilang apa-apa soal apa yang kukonsumsi sebelum aku pingsan? Atau apa yang aku lakukan sebelum aku pingsan?”
Phia terdiam sejenak.
“Dokter mengatakannya ya? Kamu harus katakan padaku, Phia. Seberapa banyak yang dokter tahu?”
“Dokter bilang,” Phia ragu-ragu hendak bersuara, tapi dia menguatkan diri untuk berkata, “dokter bilang kau mengonsumsi obat-obatan terlarang dan overdosis mengonsumsi minuman keras.”
Sylvi terhenyak, rahasianya terbongkar. “Astaga,” dia mengeluh tertahan.
Karena sudah terlanjur terbongkar, Phia langsung menancapkan pertanyaan, “apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Sylvi. Kenapa kamu harus berurusan dengan barang berbahaya semacam itu. Kenapa kamu tidak menceritakan semuanya padaku.”
“Karena semua ini tidak mudah, Phia.” Sylvi menjawab pasrah. Intonasinya dingin.
“Sylvi, kenapa kamu melakukan ini semua?”
Sylvi menjawab dengan gelengan. “Kamu akan membenciku, jika kamu tahu kenapa aku melakukan ini.”
“Sylvi....” mata Phia sudah berkaca-kaca. Pagi ini, satu hal akan terbongkar.

Enam Puluh Delapan
Phia Tak Sempat Mendengar Semuanya


“Kamu akan membenciku, Phia. Bahkan mungkin kamu akan segera meninggalkan Kurin, tidak ingin melihatku lagi, selamanya, setelah kamu mengetahui siapa diriku yang sebenarnya.”
Sylvi mengucapkan semua itu dengan nada dingin yang pernah pula dia ucapkan saat Phia melakukan kesalahan beberapa waktu yang lewat. Phia tidak memedulikan hal tersebut. Dia mendekati teman serumahnya itu dan mendekap bahunya. “Tidak apa-apa. Katakan saja jika kamu ingin katakan. Tapi jika kamu ingin menyimpannya, aku janji, tidak akan bertanya-tanya lagi di masa depan.”
“Dokter sudah mengatakan semuanya padamu bukan? Ya, kamu boleh saja berpikiran kotor tentangku yang telah mengonsumsi narkoba dan minuman keras. Tapi harus kukatakan, itu bagian dari pekerjaanku.”
Phia langsung kaget. Tapi dia tidak melepas dekapan tangannya. Dia berusaha untuk tida bereaksi.
“Pekerjaanmu, apa sebenarnya pekerjaanmu, Sylvi? Kenapa kamu melakukan semua ini?”
“Pekerjaanku, ada di dunia hitam. Dunia yang tidak akan bisa kau bayangkan dengan mata kepalamu, tidak bisa kau nalar dengan imajinasimu.”
“Kamu bisa pergi dari dunia itu, dan hidup baik-baik, bukan?”
“HIDUP BAIK-BAIK KAU BILANG? LELUCON BUSUK, PHIA! AKU....”
Shuttt
Phia segera menenangkan temannya itu. Sylvi yang sempat kelepasan berteriak, akhirnya menghentikan kalimatnya. 
“Hidupku sudah hancur. Mungkin sebentar lagi aku akan ditangkap polisi dan dipenjara. Iblis-iblis sialan itu. Mereka dapat enaknya, dan aku harus menanggung derita,” ucap Sylvi, kali ini dengan lirih. Tentu saja Phia mendengarnya. Phia berusaha menenangkan temannya denga terus mendekapnya, meyakinkan bahwa dia akan tetap ada di sana, mendengarkan. 
“Tidak akan ada yang menangkapmu. Percayalah padaku. Siapa iblis-iblis itu? Apakah kamu dijebak hingga terjerumus?”
“Kau bicara seperti itu, seolah aku ini bocah polos. Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya, Phia.”
“Memangnya siapa kamu sebenarnya? Pelayan di klub malam?”
“Darimana kamu tahu?” Sylvi langsung terkejut. 
“Aku hanya asal menebak, tapi wajahmu membenarkan.”
“Aku lebih buruk daripada itu. Aku adalah, pelacur di klub malam. Pemuas nafsu setan-setan itu.”
Astaga. Phia kali ini tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Jadi selama ini dia punya teman yang “sangat kotor”? Pantas saja, tadi Sylvi menyinggung soal dunia hitam. 
“Ya, kau boleh terkejut. Kau boleh pergi sekarang. Kau boleh membenciku sekarang.”
“Sylvi, jangan berkata begitu.”
“PERGI KUBILANG! Aku tidak suka kau menunjukkan wajah sok peduli seperti itu. PERGI PHIA! PERGI!”
Sylvi berteriak-teriak. Sampai terdengar ke ujung lorong. Tepat sekali, saat itu tim dokter yang baik hati, sedang melakukan pemeriksaan di kamar sebelah. Dokter bergegas mendatangi kamar Sylvi begitu mendengar teriakan itu. Dokter masuk tepat saat Sylvi hendak menyerang Phia. Dia langsung menangkap tangan pasiennya itu. Phia sama sekali tidak bereaksi apa-apa.
“Nona Phia, sebaiknya anda keluar sekarang. Nona Sylvi sepertinya kehilangan kendali atas pikirannya. Ini termasuk efek sementara dari obat-obatan yang diminumnya.”
“ANDA JUGA KELUAR, DOKTER SIALAN!”
“Oh tentu saja. Aku akan keluar setelah menenangkanmu. Jadi tenanglah, Nona Sylvi. Atau teriakanmu bisa terdengar sampai ke kantor polisi.”
Sontak, Sylvi langsung terdiam.
Phia menuruti saran dokter. Pergi dari ruangan itu untuk sementara. Sylvi sedang tak terkendali sekarang. Meski Phia masih terkejut dengan kenyataan tentang temannya, dia berharap, temannya itu baik-baik saja. Semoga apa yang tadi dikatakan Sylvi tidak benar, dan itu hanya bagian dari “amukan” tak terkendalinya. 
Phia keluar ruangan dengan ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Dari Kokov. 
“Kafe Le Caoux. Pukul 11. Apakah kau bisa datang? Maaf baru mengabari. Aku akan tunggu sampai jam makan siang.”
Itu dari Kokov. Baiklah, Phia harus bergegas. Dia harus pulang dulu ke Kurin, mandi dan mengambil laptopnya. Ini baru pukul 10. Semoga tidak ada kemacetan parah di depan kantor walikota sehingga dia bisa menepati janji mendadak ini.


Enam Puluh Sembilan
Penelitian Phia


Phia tidak langsung pergi meninggalkan Kiev Hospital begitu menerima pesan dari Kokov. Dia menunggu sebentar, sampai dilihatnya Sylvi sudah lebih tenang di bawah pengawasan dokter, barulah dia meninggalkan temannya itu. 
Dari Kiev Hospital, Phia membuat satu pilihan yang strategis, yaitu memesan taksi dengan jalur memutar. Taksi itu akan melewati jalur dua ke Kurin, jadi dia tidak perlu berurusan dengan kemacetan di kantor walikota.
“Huft, kenapa aku tidak terpikir sejak kemarin-kemarin,” Phia mengelus dahinya yang berkeringat. 
Phia pulang ke rumah, mandi dan bersiap-siap. Tentu saja dia harus mengenakan pakaian yang lebih baik untuk bertemu dengan Kokov. Phia juga mencomot setangkup roti dalam kulkas untuk kemudian dibungkusnya. 
“Bisa kumakan nanti di dalam taksi,” begitu niat Phia. Jadi makannya tidak memakan banyak waktu khusus.
Kemudian, sembari makan roti di dalam taksi, Phia membuka laptopnya dan membaca kembali dokumen yang dibuatnya sepanjang dua hari kemarin. Itulah dokumen penelitian yang telah divisualisasikan sesuai perintah Kokov.
Hei, tunggu sebentar. Sepertinya ada yang kurang. 
Oh iya, sejauh berpuluh chapter telah dilewati, kita sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya dikerjakan Phia. Penelitian macam apa yang hendak dia kerjakan. Nah, mungkin, dengan animasi visual ini, Phia akan lebih mudah menjelaskan pada kita.


Begini kurang lebihnya:
Sejak awal terciptanya peradaban dunia, China, atau dalam penelitian ini akan disebut sebagai Tiongkok, merupakan salah satu peradaban paling maju di dunia. Di saat peradaban pertama lain seperti Mesir dan Sumeria dijajah dan dikuasai bangsa asing, Tiongkok terus bertahan. Orang-orang Tiongkok percaya bahwa negara mereka adalah satu-satunya negara, dan kaisar mereka adalah satu-satunya pemimpin di dunia ini. Kaisar adalah sang putra langit. 
Dalam perkembangan sejarah, Tiongkok dikuasai berbagai macam corak dinasti. Namun semuanya memiliki kesamaan. Mereka percaya pada Kaisar sebagai satu-satunya pemimpin dan negara mereka satu-satunya negara. Mereka percaya bahwa Tiongkok adalah negara superpower. Dalam beberapa masa, klaim mereka ini benar. Tiongkok jauh lebih besar dari negara manapun, baik secara wilayah, kekayaan ekonomi, kemampuan pasukan, maupun aspek-aspek kebudayaan.
Lantas, mengapa sekarang Tiongkok tidak menguasai dunia? Mereka memang kuat, namun mereka harus bersaing dengan negara barat. Apa yang menyebabkan Tiongkok tidak bisa berkembang? Lalu apa yang menyebabkan negara-negara Eropa yang kecil itu, bisa memiliki pengaruh sebesar yang dipunya oleh Tiongkok. 
Inilah pangkal persoalan penelitian Phia. 
Dan ya, rotinya sudah habis.


Tujuh Puluh
Kokov Sudah Berusaha


Pukul 11 lewat 12 menit, di Kafe Le Caoux. 
Kokov sedang santai. Tepatnya berusaha santai. Dia tadi datang kemari pukul 10, antisipasi kalau-kalau Phia datang lebih awal daripada dia. Entah kenapa bagi orang-orang yang terbiasa tepat waktu, melihat orang lain datang lebih awal dibandingkan dia, dia akan merasa terlambat. 
Sudah setengah cangkir kopi dia habiskan. Phia belum tampak batang hidungnya. Kokov mencoba memaklumi hal tersebut, karena tadi dia memang memberikan undangan yang agak mendadak. Seperti janjinya, dia akan menunggu sampai jam makan siang. Sekalian dia akan makan siang di Le Caoux. Masih ada waktu satu jam sebelum makan siang. Kokov akhirnya mengeluarkan laptopnya. Lebih baik mengerjakan sesuatu daripada hanya duduk bengong. 
Sementara itu, Phia baru saja turun dari taksi. Pukul 11.15. Dia tadi mengambil jalan memutar lagi agar tidak terjebak macet di depan kantor walikota. Tapi dia tetap memerlukan waktu yang cukup lama. Dimana-dimana jalanan padat menjelang makan siang. 
Phia masuk ke Le Caoux, dia sudah melihat Kokov duduk di meja sebelah sana. Dia segera menghampiri pria itu dengan sopan. 
“Tuan Kokov, maaf sudah membuat anda menunggu.”
Kokov mendongak, Phia sudah ada di hadapannya. Sesaat kemudian, sensasi canggung itu kembali datang menghampiri. Kokov mencoba menguasai diri dengan menarik nafas. 
“Duduklah, Nona Phia. Pesanlah sesuatu.”
Phia kemudian memesan, minuman berperisa vanila. Kokov mempersilahkannya meminum beberapa teguk, sebelum mereka mulai berbicara. 
“Kuharap kamu tidak keberataan dengan undangan tiba-tiba ini.”
“Eh undangan apa?” Phia sontak kaget, bingung. 
“Eh maksudku, ajakanku bertemu siang ini yang agak mendadak.”
Kokov menyumpahi dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia bilang undangan. Memangnya mereka mau ke pernikahan? 
“Tidak apa-apa, Tuan Kokov. Saya bisa menyesuaikan. Meski, bisa saya lihat, saya terlambat lagi.”
“Tidak masalah. Bisa kumaklumi. Nah mari kita lihat bagaimana pekerjaanmu sejauh ini.”
Phia mengangguk, membuka laptopnya, membuka berkas dan memperlihatkannya pada Kokov.
Kokov menyimak dokumen itu dengan saksama. Dia meng-klik sampai ke bagian terbawah dokumen. 
“Nona Phia, kamu tidak mencantumkan tahun-tahun. Apa maksudnya dengan itu?”
“Eh?” 
Tiba-tiba saja intonasi suara Kokov berubah. Seperti hendak membentak.
“Coba lihat ini, kamu seperti mengarang semua ini.”
“Saya tidak pernah mengarang, Tuan. Percayalah. Semua hasil tulisan saya di sini, didasarkan pada bahan bacaan yang saya dapatkan. Baik selama masih di Taipei, Kiev dan perpustakaan pribadi Profesor.”
“Maafkan aku, Nona. Tapi dokumenmu ini serampangan. Kau tidak serius dalam membuatnya. Bagian akhirnya, juga tidak cukup tajam analisisnya. Kau tidak serius.”
Astaga, betapa tajamnya kata-kata itu. Menyerang Phia secara frontal. Phia berusaha bersabar. Dia menjelaskan. Khusus untuk bagian akhir dokumen itu, memang tidak selesai, karena dia tidak sempat menyelesaikannya.
“Maafkan saya, Tuan. Saya sudah mencoba membuat semaksimal mungkin. Untuk halaman terakhir, saya akui memang tidak sebagus halaman-halaman di atasnya, karena, sebenarnya halaman tersebut belum selesai.”
“Kau menyerahkan dokumen yang belum selesai, untuk kubaca? Kenapa kau tidak menyelesaikannya saja.”
“Karena saya harus mengurus teman saya, Tuan. Teman saya masuk rumah sakit.”
Temannya? Kokov langsung teringat pertemuan kedua mereka yang gagal tempo hari. “Maksudmu teman yang sama, yang menyebabkan kau terlambat beberapa hari sebelum ini?”
“Benar Tuan.”
“Kau yakin, ini bukan alasan kau saja? Aku menyarankan kau untuk berterus terang.”
“Maksudnya, Tuan menuduh saya berbohong?”
“Saya hanya ingin anda tidak mengarang alasan.”
“Cukup.”
Akhirnya Phia tidak tahan. Dia pergi begitu saja dari Le Caoux. Susah payah menahan air matanya. Dia tidak tahan lagi dibentak dan diragukan seperti ini.


Tujuh Puluh Satu
Szczesny Muncul di Saat yang Tepat


Di sisi lain, di luar kafe Le Caoux, duet S & C sedang berkeliaran. Szczesny dan Chrmeko sedang menjalanka tugas lagi dari Profesor, dan Chrmeko memutuskan singgah sebentar di Le Caoux untuk membeli minuman. Karena malas, Szczesny memilih untuk menunggu di dalam mobil saja. 
“Jangan lama-lama kau. Nanti kutinggal.” Szczesny meneriaki Chrmeko. Hanya dibalas dengan angkatan jempol tinggi-tinggi. 
Szczesny tetap menunggu sambil melamun. Namun tepat di saat itulah, dia melihat Phia, gadis yang dia temui tempo hari di rumah sakit, gadis yang disebutnya sebagai gadis berkacamata yang manis. Kontan saja, leher Szczesny mendongak. Dia langsung keluar dari mobil. Hilang sudah rasa malasnya. 
Phia terus berlari sampai naik ke atas trotoar. Dia berhenti di sana, menghela nafas. Phia juga menengok ke belakang, melihat apakah Kokov akan menyusul mengejarnya. Ternyata tidak. Tidak ada Kokov di sana. 
Huft, syukurlah. Dia tidak tahan dengan kata-kata tajam nan terbuka dari Kokov barusan. Terlalu menyinggung. Kalau diteruskan, mereka bisa bertengkar. Semoga sehabis ini, Profesor bisa mendamaikan mereka nanti. 
“Hoi, nona.” 
Tiba-tiba saja ada suara yang menyapa Phia dari belakang. Membuatnya menengok. Phia berusaha mengenali. Pria ini...
“Hai.” Szczesny sudah genap berada di depan Phia. Tanpa tedeng aling-aling, tersenyum cerah. Szczesny tidak kaku seperti Kokov, dia sangat cair dan ceria. Pembawaannya menyenangkan. 
“Maaf, anda?” 
“Aku orang yang bertemu denganmu di lift rumah sakit kemarin lusa. Kamu ingat? Namaku Szczesny.” Szczesny mengakhiri perkenalannya dengan menjulurkan tangan, mengajak berjabat. Phia akhirnya mengenali pria ini. Salah satu orang suruhan profesor. Dia akhirnya menjabat tangan pria ini.
Astaga, tangannya sangat lembut. Szczesny membatin.
“Ada apa Nona, kamu terlihat berada dalam masalah.”
“Eh tidak,” Phia berusaha mengubah mimik wajah, membuang semua kekesalannya.  
“Ayolah, aku tahu, kamu sedang ada masalah. Ada apa? Boleh aku tahu? Ada yang bisa kubantu?”
Phia hendak menggeleng, tapi kemudian sudut matanya menangkap satu siluet bergerak, hendak keluar dari pintu kafe Le Caoux. Itu Kokov. Gawat, Phia harus segera pergi. Dia tidak mau memperpanjang masalah dengan pria itu. 
“Aku harus pergi.” 
“Hei, kamu mau kemana, Nona.”
“Maaf, tapi aku harus segera meninggalkan tempat ini.”
Szczesny melihat Kokov berjalan cepat ke arah mereka, seketika dia paham. “Nona ingin menghindar dari Kokov?”
“Maaf, tapi saya harus pergi.”
“Aku akan memberimu tumpangan, Nona. Kemanapun kamu minta diantar.”
Phia yang sudah berjalan beberapa langkah, berbalik, “saya naik taksi saja.”
“Menyetop taksi bisa memakan waktu 15 menit, Nona. Kokov sudah sampai di sini saat taksinya tiba. Ayo. Aku bawa mobil.”
Argh. Phia sepertinya tidak punya pilihan. Akhirnya dia mengiyakan ajakan Szczesny. Dia masuk ke dalam mobil. Kokov tidak sempat mencegah. Dia perlu waktu untuk menyeberang. Mobil Szczesny sudah pergi meninggalkan tempat itu. 
BRUMMM!
Yang paling kesal hari itu, ternyata bukan Phia, tapi Chrmeko. Begitu keluar dari Le Caoux, dia bingung. Kemana perginya Szczesny. Kokov yang masih ada di lokasi, menerangkan, bahwa Szczesny baru saja pergi bersama seorang gadis.
“Astaga, maksudnya dia membiarkan aku berjalan kaki. Keterlaluan kau, Szczesny!”


Tujuh Puluh Dua
Di Mobil  Szczesny


Szczesny menyetir mobil dengan wajah berseri-seri. Dia tidak ragu menunjukkan bahwa dia sangat tertarik dengan Phia, dan tidak juga tidak ragu menunjukkan ekspresi senangnya pada siapa saja. Bahkan, kalau bukan karena alasan sopan santun, dia sudah mengutarakan perasaan di hatinya dan merayu gadis di sampingnya ini. Hanya saja, jika demikian adanya, cerita menjadi tidak bermutu.
“Rumahmu dimana, Nona Phia?”
“Kurin,” Phia menjawab singkat. Perasaan sebaliknya menjalari Phia. Sekarang, dia merasa sangat naif. Ayolah, dia tiba-tiba mau ikut di dalam mobil seorang yang tidak dikenalnya dengan baik, hanya karena dia jengkel pada Kokov.  
“Oh aku tahu itu.”
“Terima kasih sudah mengantarku.” Phia menyahut lagi, sopan.
“Tidak masalah. Oh ya, ngomong-ngomong, tadi ada apa? Kamu bertengkar dengan Kokov?”
Phia menjawab dengan gelengan, tapi wajahnya tidak menengok, “tidak, hanya ada sedikit kesalahpahaman.”
“Dia menyinggungmu? Atau menyakiti perasaanmu? Akan kuadukan dia dengan Profesor kalau dia sampai menyakiti perasaanmu.”
Buru-buru Phia menolak gagasan itu. Biarlah dia nanti yang bicara dengan Profesor. 
“Begitu ya. Memangnya kenapa tadi kalian bertemu di Le Caoux?” Szczesny melanjutkan proses “interogasi”-nya. Dia harus tahu sejauh apa hubungan antara Phia dengan Kokov. Itu akan berpengaruh pada apa langkah berikutnya yang harus dia ambil. 
“Kami sebenarnya ingin bertemu untuk membahas penelitianku.”
Szczesny mengangguk-angguk, ber-ooh panjang, sebelum menancapkan pertanyaan berikutnya. “Jadi dia adalah pembimbing sementaramu?”
“Iya, bisa dikatakan begitu.”
“Kalau begitu, mungkin ini hanya kesalahpahaman sementara saja. Karena kalian belum kenal satu sama lain. Atau memang faktor Kokov, pria itu memang susah dimengerti. Tapi aku bisa katakan, dia keras kepala.”
“Aku rasa aku bisa membenarkan hal itu,” Phia tiba-tiba menyahut. 
Szczesny bersorak, yes, berarti dia masih punya peluang. Phia dan Kokov hanya memiliki hubungan kerja, bukan hubungan yang spesial. Masih ada peluang. Saatnya melaju ke tahap berikutnya.
“Phia, kamu sudah makan siang?” pelan-pelan Szczesny melepaskan panggilan “nona”-nya. Dia ingin lebih mendekatkan diri dengan gadis ini. 
Entah kenapa, mungkin karena Szczesny memang pandai dalam menghidupkan pembicaraan, Phia terus menyahut, “belum, tadi padahal Kokov menjanjikan untuk makan siang. Tapi, aku pergi sebelum sempat memesan.”
“Ah pria itu keterlaluan,” Szczesny nyengir, “bagaimana kalau kita makan siang dulu? Apa kamu mau?”
Kali ini Phia mengendalikan dirinya, dia punya martabat, tidak akan bisa diajak semudah itu. “Terima kasih, aku tidak mau merepotkan. Aku mau pulang saja.”
“Serius? Aku tahu tempat makan yang lezat di sekitar sini,” sahut Szczesny, klasik.
“Tidak, terima kasih. Aku harus pulang. Lagipula temanku...” degh “....astaga.” 
Phia teringat sesuatu. Dia sempat melupakan sesuatu yang penting sekali.  Sylvi. Temannya itu masih terbaring di rumah sakit. Astaga, sudah berapa jam dia meninggalkan Sylvi. Aduh bagaimana ini, mereka sudah hampir sampai di Kurin pula. Tentu saja, Szczesny melihat semua itu. Semua kegelisahan itu.
“Ada apa, Nona Phia?” (sebutan Nona kembali ditambahkan karena terasa terlalu frontal. 
“Eh, Tuan Szczesny, bisakah mengantarku ke rumah sakit? Aku lupa temanku dirawat di sana.”
“Ha?” Szczesny menarik alisnya naik. Alasan macam apa ini? Klasik sekali. 
“Aku mohon. Aku harus ke rumah sakit secepat mungkin. Bisakah Tuan mengantarku.”
Szczesny menyeringai. Dengarlah suara Phia begitu merdu memohon padanya. “Baiklah, tentu saja. Kita akan ke rumah sakit. Kita akan sampai dalam lima belas menit.”
Szczesny memutar balik setirnya. Langsung ke rumah sakit.


Tujuh Puluh Tiga
Olek Mencoba Bergerak Sendiri


Sementara di kantor, Oleksandr sedang berpikir keras. Pernyataan Kokov kemarin adalah sebuah pukulan berat baginya. Profesor Nyoman adalah alasan dan validasi alasan kenapa dia mau mengerjakan semua riset lapangan terkait dengan peta sebaran tambang uranium yang dia jelaskan tempo hari. Setelah pihak profesor Nyoman cuci tangan dalam urusan ini, untuk apa lagi dia berjuang?
Jawabannya tentu saja, untuk menegakkan kebenaran. 
Pagi ini, Oleksandr mengumpulkan anak buah terbaiknya. Belasan orang jumlahnya. Olek menjelaskan beberapa hal. Secara mendetail. 
“Dengar, perhatikan betul-betul peta ini. Ini peta yang sangat penting.”
SIAP KOMANDAN!
“Aku telah menandai tiga kota. Lyiv, Poltava dan Odessa. Kota-kota ini adalah kota-kota terdekat dengan kantor milik Oserzeen di negara-negara tetangga kita. Kota-kota ini mencurigakan. Kita perlu mengeceknya satu persatu.”
“Bertanya, Komandan!”
“Silakan opsir.”
“Kenapa kita harus mengecek kota itu dan kenapa kota-kota itu mencurigakan?”
“Karena kejahatan Oserzeen ada di kota-kota itu.”
“Siap Komandan.”
Olek melanjutkan penjelasannya. Dia mulai menggambar garis-garis merah di peta. “Masing-masing kota ini berjarak berbeda dengan Kiev. Kita akan mulai dengan kota terdekat. Lyiv. Itulah kota terdekat dengan Kiev sekarang. Kita harus kesana.”
“Kita semua, Komandan?”
“Ya, tentu. Kenapa, kau terlihat ragu, Opsir?”
“Bukankah lebih aman jika kita mengirimkan orang ke sana, atau salah satu dari kami. Komandan tidak perlu ikut turun tangan.”
“Tidak bisa, aku adalah pemimpin kalian. Dan ini adalah situasi yang berbahaya. Pemimpin mana yang meletakkan anak buahnya dalam situasi berbahaya sedangkan dia lepas tangan. Tidak, aku akan memimpin misi ini. Kita akan berkunjung ke Lyiv nanti sore. Siapkan mobil.”
Opsir tadi kembali menyahut dengan sahutan mantap.
“Tidak, tidak. Bukan mobil taktis polisi. Mobil biasa saja. Kita pergi ke Lyiv untuk berlibur, bukan untuk menangkap penjahat.”
Ha? Maksudnya mereka semua akan pergi dengan menyamar. 
Tentu saja!
Olek merogoh telepon di sakunya. Dia ingin mengabari Kokov, bahwa dia sudah bergerak. Olek mencoba menelepon, tapi Kokov tidak mengangkat telepon itu. Akhirnya Olek hanya mengirimkan pesan singkat.
Kami akan bergerak ke Lyiv. Segera setelah persiapan selesai. Aku dan anak buahku akan bergerak untuk membongkar masalah ini, tak peduli Profesor suka atau tidak. 
Klik send.
Sementara itu, di tempat yang jauh, Pieter Both juga menerima pesan. Dia membukanya dan tersenyum. “Rupanya mereka mulai bergerak ya. Menarik.”


Tujuh Puluh Empat
Makan Siang “Berhadiah”


Szczesny menurunkan Phia di depan Kiev Hospital. Phia tersenyum, demi sebuah ramah tamah, berucap terima kasih. 
“Sama-sama, Nona Phia. Senang bisa membantumu.”
Di saat Szczesny masih tersenyum-senyum karena berhasil “menghabiskan” sedikit waktu bersama gadis berkacamata yang ditaksirnya, di saat itulah Chrmeko datang, bersungut-sungut.
“Jadi kau mengantar gadis itu rupanya. Bagus sekali kelakuanmu.”
Szczesny memutar kepalanya, dan ups, Chrmeko sepertinya sangat marah. “Ya tentu saja. PDKT-ku sudah mulai berkembang. Dia senang saat aku mengantarnya ke sini.”
“Seharusnya aku memotong kepalamu, Szczesny, tapi kita punya urusan lain. Ayo.”
“Kemana?”
“Mencari makan siang.”
Szczesny menjadi bingung, “urusannya adalah makan siang?”
“Bukan, urusannya akan kubicarakan saat makan siang. Ayo, aku lapar. Kau membuatku berjalan sejauh beratus meter. Tenagaku nyaris habis.” Chrmeko langsung naik ke mobil. Szczesny menyalakan mobil, mencari tempat makan. 
Mereka makan di sebuah restoran yang tidak terlalu ramai. Dengan cepat duet S & C mendapatkan meja. Mereka segera memesan. 
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan? Tugas dari Profesor?”
“Benar. Profesor tadi meneleponku. Beliau memberikan tugas baru.”
“Apa itu?”
“Kita harus pergi ke suatu tempat.”
“Kemana? Ayolah jangan berbelit-belit, Chrmeko.”
“Lyiv.” Chrmeko akhirnya menyebutkan nama kota itu. Nama kota yang membuat Szczesny langsung menyernit. Lyiv? Apa urusan mereka di Lyiv? Apa yang dipikirkan Profesor ketika memerintahkan mereka ke sana?
“Bagaimana bisa kita harus pergi ke Lyiv?”
“Panjang ceritanya.”
“Ceritakanlah.”
“Kau tahu aku tidak suka berbasa-basi, Szczesny.”
“Kalau begitu aku menolak pergi. Pergi saja kau sana, berjalan kaki.”
“Ayolah, Szczesny.”
“Ceritakanlah dulu. Sedetail-detailnya.”
Chrmeko akhirnya mengalah. Dia akhirnya menceritakan. Rupanya, tadi di Le Caoux, Chrmeko sempat bertemu dengan Kokov. Chrmeko menanyakan tentang Oleksandr, namun Kokov menyatakan dia dan profesor telah memutus kerja sama dengan polisi dan memilih menyelidiki kasus ini secara independen. Chrmeko mengangguk, kemudian profesor mengirimkan pesan pada Chrmeko, memintanya bertanya pada Kokov, untuk bertanya pada Olek. Pertanyaannya adalah kemana polisi itu bertugas? Kokov yang baru mendapatkan pesan dari Olek, segera menjawab pesan itu, bahwa Olek pergi ke Lyiv. 
Profesor menyuruh Chrmeko untuk mengikuti Olek ke Lyiv. Dan dia harus mengajak Szczesny. 
“Ini aneh sekali. Tidak biasanya Profesor memberi tugas yang berbelit-belit. Jadi beliau memutus kerja sama dengan polisi itu?”
“Benar.”
“Dan sekarang beliau menyuruh kita mengikuti polisi itu ke Lyiv?”
“Benar.”
“Ah ini benar-benar aneh sekali. Kalau begini, kenapa Profesor tidak meminta langsung pada Oleksandr saja. Kenapa harus kita. Kenapa Profesor harus memutus kerja sama. Aku bingung sekali.”
Chmeko mengangguk, bersimpati atas wajah bingung temannya. “Aku juga tidak tahu, Szczesny. Tapi ini perintah. Profesor mengandalkan kita. Kita yang diminta. Ayo.”

Tujuh Puluh Lima
Sebuah Penyerbuan yang Gagal


Oleksandr dan sebelas opsirnya berangkat ke kota Lyiv sore ini. Sekitar pukul 3. Diperkirakan oleh Olek, jika lalu lintasnya lancar, mereka akan tiba menjelang pukul 10 malam. Olek sudah mendapatkan titik koordinat yang dicurigainya sebagai titik persembunyian anak buah, karyawan atau mata-mata atau apalah itu namanya, dari perusahaan Oserzeen. Izin penyerbuan dari kantor pusat Ukraina sudah didapat, sekarang Olek dan anak buahnya tinggal meluncur. 
Mereka telah menyusun rencana kejutan. Penyergapan itu tak boleh terendus pihak manapun. Maka, untuk menyamarkan penyerbuan ini, Olek dan anak buahnya tidak naik mobil polisi komando, melainkan naik mobil sedan biasa, dengan kaca mobil hitam yang telah disesuaikan. Tujuh orang di dalam mobil. Sisanya berkonvoi naik sepeda motor, juga sepeda motor biasa. 
“Kita tidak boleh gagal.” Olek memperingati anak buahnya sebelum berangkat ke Lyiv. Tak satupun anak buahnya meragukan hal tersebut. Komandan mereka adalah polisi berdedikasi, bagian dari satuan tugas khusus kepolisian Ukraina, Oleksandr, punya kemampuan beladiri dan kecerdasan yang mumpuni. Tak pernah sekalipun terbayangkan mereka akan gagal dalam sebuah operasi perburuan. 
Termasuk yang malam ini.
Tempat itu biasa saja. Sebuah mess karyawan, penginapan panjang atau apalah itu namanya. Bentuk bangunannya memanjang membentuk garis horizontal dengan sebuah pintu masuk di tengah-tengahnya. Panjang dari ujung ke ujung bangunan sepertinya lebih dari 10 meter. Area yang cukup luas untuk ditempati puluhan orang. 
“Mereka ahli sekali dalam memilih tempat. Lihat bangunan mess itu, sama sekali tidak mencurigakan. Tak ada satupun orang yang bisa membayangkan dari dalamnya, Oserzeen tengah menancapkan kuku-kukunya.” Olek berceramah di hadapan anak buahnya.
“Apakah sudah bisa dipastikan, tempat itu memang markas Oserzeen, Komandan?”
“Informasi ini kudapatkan dari data-data yang kumiliki, ditambah dengan data kepolisian pusat. Kemungkinan kelirunya hanya 0,5%.”
“Tapi komandan, kita harus tetap hati-hati. Terakhir kali kita berurusan dengan Oserzeen, kita ditipu mereka mentah-mentah.”
“Ya, aku tahu soal itu.” Olek mendengus, selalu kesal jika mengingat bagaimana dia dipermainkan oleh Oserzeen ketika hendak mencari pencuri data-data milik Profesor Nyoman dahulu. “Kali ini kita tidak akan gagal.” Olek masih berucap dengan optimis. Dia tidak menyangka bahwa situasi bisa berubah dengan sangat cepat. 
Ada tiga pintu yang berhasil mereka temukan. Pintu yang di tengah ruangan adalah pintu utama. Sementara dua pintu lainnya ada di sektor kiri dan kanan bangunan itu. Olek membagi anak buahnya menjadi tiga kelompok pula. 
“Empat ke kanan, empat ke kiri, tiga sisanya ikut aku lewat tengah.”
Keanehan pertama muncul saat Olek menemukan pintu tengah tak dikunci dengan baik. Dia bisa membukanya dengan mudah menggunakan kawat. 
Keanehan kedua, bangunan ini seperti tidak punya jendela. Hmm. 
“Ini aneh sekali, Komandan.”
“Masuk saja dulu.” Olek lebih dulu bersuara. Mereka masuk ke ruangan. Dan sekali lagi tidak menemukan hal apa-apa. Di dalam bangunan itu, ada banyak pintu. Persis penginapan murah meriah. Atau mungkin kamar asrama. 
“Mungkin ada banyak orang di dalamnya, sedang beristirahat.”
“Aku akan coba buka salah satu kamarnya. Kalian bersiagalah.” Olek kembali menjulurkan kawat ajaib miliknya, dan satu pintu kamar bangunan itu, kembali terbuka. 
Mereka tidak mengunci pintu dengan benar? Olek bertanya-tanya. 
Namun pertanyaannya itu, didahului seruan tak tertahan salah satu anak buahnya. “Ruangan kamar ini, kosong.”
Olek mulai sadar, jelas, ada sesuatu yang aneh di sini.


Tujuh Puluh Enam
Jebakan Berapi


Ah narasi di atas, sepertinya berjalan terlalu cepat. Mungkin ini karena daya semangat dan meledak-ledak yang dimiliki oleh seorang Oleksandr. Jadi agar tidak terlalu bingung, mari kita rekap kembali apa yang terjadi di atas, mulai dari Olek baru berangkat dari Kiev, sampai ke kejadian mengejutkan di kota Lyiv.
Pertama, Olek memutuskan untuk tetap menindaklanjuti data-data yang dia punya, tanpa campur tangan Profesor Nyoman sekalipun. Alasan yang dipegangnya begitu mulia, demi menegakkan kebenaran.
Kedua, Olek meminta data-data tambahan pada markas pusat, data itu kemudian diintegrasikannya dengan data yang dia miliki, jadilah mereka menemukan tempat yang diduga persembunyian Oserzeen di kota Lyiv. Yaitu bangunan mirip asrama tersebut.
Ketiga, Olek dan pasukannya kemudian berangkat dari Kiev. Tiba di Lyiv pukul 10 malam.
Keempat, Olek dan sebelas opsirnya, masuk ke dalam bangunan itu dan menemukan keanehan-keanehan. 
Nah, sampai di sini, sepertinya semua sudah jelas. Akhirnya di keheningan malam ini, Olek memahami semuanya. 
“Gawat, semuanya waspada, kita sedang dijebak.” Seruan itu menjalar ke seluruh bangunan. Semua anak buahnya segera berkumpul, mendekat pada komandannya. 
“Ada apa, Komandan?”
Olek sengaja menunggu semua anak buahnya berkumpul, baru memutuskan memberi perintah. “Tinggalkan bangunan ini. CEPAT!”
“SIAP KOMANDAN!”
Terlambat. 
Perintah itu terlambat. Begitu semua orang berjumpalitan meloncat ke arah pintu tengah ruangan, Olek akhirnya sadar, pintu itu telah dikunci. Dikunci dari luar. 
“Sial, mereka benar-benar menjebak kita,”  dia berdecak kesal.
Namun itu bukan kabar terburuknya. Sejurus dengan itu, terdengar derap-derap kaki dari luar, seperti beberapa orang sedang berlarian. Dan tidak lama setelah itu, bangunan ini terasa panas. Asap mulai muncul.
Keadaan menjadi benar-benar gawat.
Rupanya Olek dan anak buahnya benar-benar termakan umpan. Mereka digiring masuk menuju sebuah bangunan yang tidak ada jalan keluarnya, dan kemudian bangunan itu dibakar. Nyala apinya mulai masuk ke dalam ruangan. 
“Semua berpencar, cari jalan keluar. Cepat, cepat!” Olek langsung memberikan komando. Keadaan berubah jadi panik dengan cepat. Beberapa anak buahnya berlarian ke arah pintu samping yang tadi mereka masuki, dan pintu itu juga terkunci. 
“Ini benar-benar buruk.” Olek sekarang mulai panik. Mereka terjebak di sini. Benar-benar siap menjadi daging panggang. 
“Kami akan mengeluarkan anda dari sini, komandan.” Tiba-tiba seorang anak buahnya bersuara, diikuti anak buahnya yang lain. Mereka bersorak. Kemudian dengan tenaga kolektif, mulai mendorong, acak saja, sembarang saja. Apa saja. 
Mereka benar-benar harus mengeluarkan Oleksandr dari tempat ini. Karena belum tempatnya, belum saatnya untuk mati. 
“Sepertinya, kalian bersenang-senang dengan kejutan dariku,” seseorang memantau dari kejauhan, terkekeh. Dialah Pieter Both.


Tujuh Puluh Tujuh
Sebuah Peringatan Untuk Oleksandr


Tanggal 18 Oktober. Di kantor Polisi Cabang Lyiv. 
Kabar baik, Oleksandr berhasil diselamatkan. Tak kurang suatu apa. Sementara anak buahnya ada yang tidak selamat. Satu orang tewas terpanggang. Dua diantaranya luka berat, tertimpa potongan bangunan yang terbakar. Mereka saat ini di rumah sakit. Olek dan delapan anak buahnya yang lain, mengungsi di kantor polisi cabang Kota Lyiv. Komandan kantor tersebut, Chriv, menyambutnya dengan hormat.
“Komandan Oleksandr tenang saja. Kami akan mengusut tuntas masalah ini. Sekarang ini bukan lagi operasi penangkapan khusus, ini tindak kriminal terhadap penegak hukum.”
“Terima kasih, Komandan Chriv.”
Oleksandr memang baik-baik saja. Setidaknya dia terlihat baik-baik saja. Namun, batinnya tidak. Dia kesal sekali. Bukan saja ini pertama kalinya operasi penangkapannya gagal total dan dia dipermalukan, namun anak buahnya jadi korban. Oleksandr merasa bersalah. 
“Kita akan membalaskan ini, Komandan. Ini penghinaan besar terhadap kepolisian Ukraina. Kita direndahkan oleh para penjahat. Ini tidak bisa dibiarkan.” Salah satu anak buah Olek menimpali, wajahnya bersemangat. 
“DIAM KAU!” Olek menyalak, wajahnya memerah, membuat anak buahnya yang tadi tertunduk lesu, “kau tidak paham situasi. Kita harus tetap profesional. Ini bukan soal penghinaan pada lembaga. Ini soal penjahat yang lolos. Ini soal kita yang gagal menjalankan tugas.”
Komandan Chriv buru-buru menenangkan Oleksandr. 
“Komandan Chriv, ada tamu untuk Komandan Oleksandr.” Tiba-tiba dari luar terdengar seruan. Dari bagian penerimaan tamu. Komandan Chriv balas berteriak, bilang bahwa Oleksandr masih belum bisa ditemui.
“Tapi orang ini mendesak, Komandan.”
“Tanyakan, siapa namanya.”
“Dia bilang, namanya Pieter Both.”
Oleksandr dan Komandan Chriv saling pandang. Mereka tidak kenal nama itu. Nama Pieter Both tak pernah mereka dengar. Bahkan menurut Olek, (dalam hatinya), nama itu, agak norak. 
“Kuharap, kalian tidak keberatan aku datang kemari. Aku ingin menemui Oleksandr. Ah ini dia orangnya.”
Tiba-tiba Pieter Both sudah berdiri di depan mereka semua. 
“Maaf, bagaimana bisa anda masuk ke sini?”
“Sepertinya itu tidak terlalu penting. Urusanku dengan Oleksandr, jauh lebih penting.”
Komandan Chriv langsung berdiri, siaga. Orang ini mencurigakan, terlihat dari pembawaan dan bagaimana dia menerobos barisan penjagaan tamu. 
“Maafkan saya, Tuan yang baik. Tapi Komandan Oleksandr masih belum fit. Dia baru saja bertugas tadi malam.”
“Ah ya, aku tahu. Kejadian pembakaran tadi malam ya.”
“Kau!” Oleksandr langsung berdiri, “siapa kau?” 
“Aku tahu, kau akan tertarik, Oleksandr. Perkenalkan, namaku, Pieter Both. Aku bicara atas nama Oserzeen.”
Olek langsung hendak berdiri dan menghajar orang itu, tapi Komandan Chriv langsung mencegahnya. Dia ingin situasi lebih terkendali. 
“Tuan Pieter yang baik, saya rasa anda cukup cerdas untuk mengetahui, bahwa kami, dan seluruh polisi Ukraina sedang bermasalah dengan Oserzeen.”
“Ya, karena itu aku ingin kalian berhenti mengejar Oserzeen. Aku serius.”
“Apa maksudmu?”
“Ya, singkat saja. Aku datang untuk memperingatimu. Jangan coba melawan Oserzeen. Kau, oh salah, kalian, salah besar. Oserzeen jauh lebih kuat dan lebih hebat dari apa yang kalian perkirakan. Hukum sekuat apapun, tidak bisa melawan Oserzeen.”
“Komandan Chriv, izinkan aku menangkap orang ini di sini.”
“Sayangnya tidak bisa. Karena aku akan keluar dari tempat ini. Sekarang.”
Bak dikomando, tak ada satu polisi pun yang bisa bereaksi, semua membiarkan Pieter Both melenggang keluar dari tempat itu. Tatapan mengendalikan yang sangat luar biasa.


Tujuh Puluh Delapan
Kamu Akhirnya Sembuh


19 Oktober. Kiev Hospital
Bukan, bukan di ruangan rawat Profesor, tapi di ruang lobi depan. Ada dua sekawan di sana, sekawan yang tidak terlihat berkawan. Phia dan Sylvi. Mereka menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit. Hari ini, Sylvi diperbolehkan pulang. 
“Ayo kita pulang sekarang, Sylvi.” Phia mencoba menggamit tangan teman serumahnya itu. Sylvi bergeming. 
“Kenapa kau masih ada di sini?”
Ya, itulah pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh Sylvi, berkali-kali. 
Saat Phia pulang tergopoh-gopoh ke rumah sakit, setelah harinya hancur diobok-obok oleh sifat Kokov, Sylvi juga melontarkan pertanyaan yang sama.
“Kenapa kau masih ada di sini?”
Phia tidak merespon, hanya tersenyum manis. 
Saat makan malam, dimana Sylvi tidak bisa makan sembarang makanan, dan Phia-lah yang mengurus semua makanan itu, termasuk menyuapi Sylvi makan, pertanyaan itu kembali terlontar. 
“Kenapa kau masih ada di sini?”
Saat selang infus Sylvi habis hingga darahnya merembes naik, Phia panik dan berlarian memanggil dokter. Setelah dokter memperbaiki keadaan dan berlalu dari ruangan, Sylvi kembali bertanya. 
“Kenapa kau masih ada di sini?”
Phia tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum. Tersenyum amat manis. Dan Sylvi tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi senyum itu. Bukan terpesona, melainkan dia tahu, tanpa Phia di sini, dia pasti kerepotan. Siapa pula yang membantunya, menuntunnya ke kamar mandi di malam buta, saat kondisinya terasa sangat lemas, selain Phia.
Meski setelah itu, pertanyaan yang sama, kembali terlontar. 
“Kenapa kamu masih ada di sini?”
Hari ini...
“Awas, hati-hati kepalamu terbentur.” Phia membantu Sylvi naik ke dalam taksi yang sudah dipesannya. 
“Phia, jawab aku. Aku serius, kenapa kau masih ada di sini?”
Phia malah tersenyum lagi, berucap santai, “nanti ya. Aku akan menjelaskan semuanya di Kurin. Ini bukan saat yang tepat.”
Sylvi terpaksa menunggu beberapa menit lagi. Untungnya mereka tidak lewat depan kantor walikota. Jadi tidak macet. Sesampainya di Kurin, pertanyaan itu kembali terlontar. Bahkan terdengar lebih menuntut.
“Kenapa kau masih ada di sini? Kenapa kau membantuku?”
“Karena aku ingin kamu sembuh.” Phia menjawab singkat, mereka duduk berhadapan di sofa. 
“Kamu tidak  harus melakukan ini, Phia. Pergilah. Carilah tempat lain di Kiev. Kamu tak seharusnya bersama-sama dengan orang seperti aku di sini. Kamu seharusnya pergi, Phia.”
Phia malah menjawab datar. “Aku tidak mau.”
“Kamu tidak mengerti. Kamu seharusnya jijik padaku, Phia. Aku ini perempuan kotor. Aku ini wanita penghibur di klub malam. Kamu seharusnya mengerti, Phia. Kamu seharusnya pergi!” Kali ini Sylvi bicara sampai menjerit keras, emosional. 
“Kamu tidak melakukan itu karena keinginanmu sendiri bukan?”
“Kamu sama sekali tidak mengerti...”
“Tapi aku tahu.” Phia tersenyum lagi. Dia tahu, tentang kesempatan. Lagipula, Phia adalah karakter yang unik. Dia adalah satu-satunya karakter dalam semesta ini, yang bisa menengok skenario, dibalik para tokoh lainnya.
Phia hadir sebagai seorang penjawab. Penjawab atas segala pertanyaan. Tanyakan satu hal pada Phia. Maka dia akan memberikan jawabannya.


Tujuh Puluh Sembilan
Setangkup Masa Lalu Sylvi


“KAMU TIDAK MENGERTI!” 
Sylvi kalap. Dia mendadak mendorong Phia hingga Phia terjatuh, terjerembab ke lantai. 
“Sylvi, tenanglah.”
“Kamu tak tahu apa-apa. KAU TIDAK TAHU APA-APA TENTANG MASA LALUKU!”
Phia mencoba bangkit, berdiri kembali, Sylvi masih terlihat sangat marah, berdiri di sana. 
“Aku memang tidak tahu. Aku hanya menebak-nebak. Tapi aku tahu, kamu adalah orang baik, Sylvi.”
Satu kalimat yang langsung menusuk ke jantung dan perasaan. Sylvi terbata. Dia adalah orang baik? Bukankah baru beberapa malam yang lalu, iblis itu mengatakan dia tak lebih dari pion yang bisa diganti sewaktu-waktu?
“Bagaimana kamu bisa berpikir begitu?” tanya Sylvi, kali ini dengan suara yang sudah lebih tenang.
“Sylvi, kata para bijak, cara terbaik mengenali seseorang itu, adalah dengan tinggal bersamanya, selama beberapa hari. Bermalam di rumahnya, selama beberapa malam. Nah, aku sudah tinggal di sini selama lebih dari dua minggu. Tentu saja aku tahu. Kita sering menghabiskan waktu, mengobrol, masak bersama, tentu saja aku tahu.”
“Itu tidak membuktikan apa-apa. Itu tidak membuktikan apapun. Aku adalah wanita kotor.”
“Hei, setiap orang punya dosa, punya kesalahan. Jangan fokus ke sana dan terus mendramatisirnya. Kamu punya sisi baik, punya pilihan ke arah yang lebih baik. Kenapa tidak mencobanya.”
Degh.
Kata-kata macam itu. Sylvi seakan merasakan semacam aura positif seketika menjalari tubuhnya. Apakah yang dikatakan Phia itu benar? Dan gadis itu menggenapi semuanya dengan satu kalimat lagi yang disertai dengan senyuman. “Kamu punya kesempatan untuk menjadi baik, Sylvi.”
Akhirnya, Sylvi menceritakan hal-hal yang dia pendam. 
“Aku lahir di Khazinev, itu sebuah desa yang berada di luar Kiev. Masa kecilku buruk. Ayahku, ayah biologisku, kabur entah kemana tepat setelah menghamili ibuku. Tidak pernah ada kabar lagi mengenainya. 
Ibuku adalah maniak. Kalau kamu tidak mau mendengar aku menyebutnya tidak waras. Dia membenci ayah yang telah pergi meninggalkannya, dan membenciku yang dianggap sebagai anak sialan, darah daging pria yang telah meninggalkannya. 
Setiap hari, aku kena maki. Setiap hari kena marah. Kata-kata seperti, anak terkutuk, anak sialan, kau tak tahu diuntung, semua itu.. semua itu terngiang-ngiang di telingaku... sampai sekarang... aku masih... bisa mendengarnya.”
Sylvi tergugu sebentar sambil menutupi telinganya. 
“Aku meninggalkan desa sesaat setelah aku mulai remaja. Saat aku mulai paham tentang dunia ini. Aku memutuskan kabur, pindah ke kota besar, dan belajar bertahan hidup di Kiev dari nol. Usiaku 11 tahun, aku jadi pengemis. Gelandangan. Selama tujuh tahun. Itu masa-masa paling sulit. Aku tak mau mengingatnya. Tapi, menjadi anak jalanan mengajariku banyak hal.”
“Termasuk soal empati,” Phia memotong, Sylvi tak suka, “jangan menyela. Kau tak paham.”
“Usiaku delapan belas tahun, aku tumbuh menjadi gadis cantik. Aku mulai sadar bahwa jadi anak jalanan saja tidak bisa membuatku bertahan lebih lama. Aku sudah besar, aku sudah tidak terlihat seperti gelandangan lagi. Saatnya naik level. Saat itulah aku mulai mengenal iblis itu.”
“Iblis?”
“Orang yang akhirnya menjerumuskanku ke dunia hitam. Dia kekasihku. Mulanya hubungan kami normal-normal saja, sampai dia merecokiku dengan berbagai bahan terlarang, pergaulan terlarang hingga perbuatan terlarang. Aku terjerumus. Bukan, aku sukarela melakukannya. Bukankah sejak awal aku adalah anak yang dikutuk? Aku adalah manusia yang menjijikkan? Sejak awal aku adalah iblis itu sendiri?”

Sylvi tertawa, tertawa dalam ironi, sekaligus tertawa kejam. Sebuah hal yang menyayat hati dan perasaan.

Delapan Puluh
Jawaban Pertama


“Tidak, kamu salah.”
Phia menggeleng dengan mantap. Berucap dengan mantap pula. Seolah kata-katanya benar. Seolah dialah yang merasakan semua pengalaman pahit yang dirasakan oleh Sylvi. Phia menggeleng cepat dan mantap. 
“Apa katamu?” Sylvi menatapnya dengan nanar. 
“Kamu salah. Kamu salah dalam memandang dirimu jika kamu menganggap dirimu sebagai bagian dari kehidupan iblis macam ini. Kamu lebih baik dari itu.”
“Lawakan macam apa yang kau katakan, Phia.”
“Kenyataannya begitu. Kamu lebih baik dari itu. Kamu adalah salah satu orang yang istimewa di dunia ini.”
“Apa katamu? Apa yang kamu pikirkan.”
“Kamu adalah salah satu anak jalanan yang bisa memperjuangkan dirimu dalam kebaikan. Dalam empati. Kamu bukan bagian dari iblis. Hatimu begitu mulia, Sylvi.”
Kata-kata itu membuat Sylvi mual. “Kau bodoh, Phia.”
“Tidak, aku yakin sekali. Katakan pada hatimu, apakah kamu merasa nyeri dalam hati, ketika kamu melakukan semua ini? Katakan padaku, apakah tak ada rasa bersalah pada hatimu? Katakan padaku, bahwa kamu sering merasa berada dalam posisi salah?”
Kalimat itu menemui jalan tembaknya. Sylvi tersentak.


Delapan Puluh Satu
Tak Tertarik


Tanggal 19 Oktober
Olek pulang ke Kiev dengan rasa terpukul. Penyerbuannya gagal total, anak buahnya jatuh korban, dan dia membiarkan musuhnya pergi begitu saja. Kenapa aku terlihat begitu bodoh? Olek menyumpah-nyumpah pada diri sendiri. 
“Komandan,” seorang opsir menegurnya di pintu ruangan, Olek hanya termenung di dalam ruangan kantornya. “Ada komandan Chriv di luar.” Opsir menyempurnakan pesannya kemudian keluar. 
Olek menoleh. Komandan Chriv? Kenapa komandan daerah Lyiv itu repot-repot datang kemari? Dia harus mendatangi komandan Chriv itu di lobi ruang tunggu. Demi alasan sopan santun dan peraturan kepolisian. 
“Komandan Oleksandr,” Komandan Chriv menyapanya begitu Olek tiba di ruang tunggu, berdiri. Olek membalas penghormatan itu dengan penghormatan serupa. 
“Ada gerangan apa, Komandan datang kemari?”
“Ada update terkini tentang orang yang kemarin.”
“Pieter Both itu?”
“Ya, dia tercatat sebagai pengajar di Belarusia. Seorang dosen di universitas.”
“Biar kutebak, The Minsk University.”
Komandan Chriv tersentak. Apakah Oleksandr sudah menyelidikinya? Berarti ini bukan update.
“Hanya tebakan yang beruntung, Komandan Chriv.”
“Kami akan berkoordinasi dengan kepolisian Belarusia, dia akan diawasi dengan ketat. Kita akan menangkapnya begitu cukup buktinya.”
Olek mengangguk-angguk. Entah kenapa dia tidak terlalu tertarik untuk mengusut identitas pria bernama Pieter Both itu sekarang. Olek jauh lebih tertarik untuk mengusut kegagalannya menemukan markas rahasia Oserzeen di Lyiv. Apakah ini ada hubungannya dengan lokasi tambang uranium itu atau tidak? Olek memikirkan kegagalannya itu sepanjang malam.
“Aku serahkan urusan Pieter Both pada Komandan Chriv. Aku akan mengurus hal lain.”
“Anda akan mengurus apa? Bisa beritahukan pada saya? Apakah berkaitan dengan insiden kebakaran yang menimpa anda di Lyiv? Kalau yang itu, berarti saya juga berkepentingan.”
“Komandan Chriv,” Olek menyela dengan suara bergetar, dia berusaha sopan pada orang yang beberapa tahun lebih tua dari dia ini, “ini urusan yang confidental. Bahkan saya belum memberitahu markas pusat. Sejak awal ini adalah penyelidikan saya. Independen.”
Karena bahkan markas pusat tidak tahu tentang jalur harta itu. Menurut Olek, semakin sedikit yang tahu, akan semakin baik. Jalur harta itu mengundang tikus nakal berdatangan.
“Komandan Olek, anda tidak bisa beraksi sendirian. Kemarin saja, anda berada dalam bahaya.”
“Karena itulah, saya akan meminta bantuan seseorang.”
“Kepolisian? Markas pusat?”
“Bukan, bantuan dari seorang teman. Bantuan dari orang yang bisa membantu dengan sangat baik. Semoga dia mau mengulurkan tangan kali ini.”
Di akhir kalimatnya, Olek tersenyum misterius.


Delapan Puluh Dua
Mencari Kokov


Tanggal 20 Oktober
Tentu saja, tentu saja orang yang dimaksud oleh Olek adalah Kokov. Temannya, partner kerjanya dalam banyak hal. Partner kerja tak resmi. Meski tak ditulis dalam cerita, sudah beberapa kali Kokov terlibat dalam operasi penangkapan penjahat bersama Oleksandr. Mereka membentuk duo yang tangguh.
Penyerbuan yang gagal ke Lyiv kemarin, mengajarkan pada Olek, tentang apa artinya kerja sama yang biasa dia lakukan bersama Kokov. Kokov adalah pelengkap dari dirinya, rencana-rencananya, yang selalu ingin bergerak dan beraksi dengan cepat dan taktis. Kokov sebaliknya, seorang petarung yang dingin dan terencana. Nyaris tak ada hal yang bisa luput dari tatapan dan pemikiran Kokov. 
Ah seandainya saja, dia ikut dalam penyerbuan kami di Lyiv, Kokov pasti sudah memperingatkan sejak awal, agar kami tidak perlu masuk ke dalam jebakan berapi sialan itu. Kokov pasti sudah menyadarinya sejak awal. 
Baiklah, yang sudah ya sudah. Biarkan berlalu. Mereka perlu rencana baru. Tadi malam, Olek sudah memerintahkan anak buahnya untuk mencari informasi terbaru. Mereka memindahkan target. Bukan lagi ke Lyiv melainkan ke Poltava. Olek juga sudah mengirimkan permintaan data-data tentang kota Poltava ke markas pusat. Seharusnya data-data itu sedang diproses. Seharusnya sebentar lagi mereka akan memegang titik koordinat tertentu. Poltava sama seperti Lyiv, berada di jalur harta itu. Titik merah. Seharusnya Oserzeen punya markas rahasia di sana. 
PING!
Komputernya berbunyi. Olek segera membuka sebuah dokumen yang dikirimkan bagian analisis kepolisian. Anak buahnya. Data lengkap itu sudah diproses. Lokasi di Poltava sudah diketahui. Penyerbuan harus segera disiapkan. Olek meraih ponselnya. 
“Opsir, siapkan penyerbuan untuk nanti malam. Kita akan berangkat dari Kiev pukul 5 sore. Ke Poltava. Siapkan anggota terbaik yang bisa berhadir.”
“SIAP KOMANDAN!” terdengar sahutan dari seberang telepon. 
Baiklah, Olek meletakkan kembali ponsel dalam kantongnya, saatnya menemui Kokov dan meminta bantuannya. Semoga Kokov mau meminjamkan bantuan untuknya, melengkapi penyerbuan mereka malam ini. 
Olek memutuskan untuk tidak menghubungi Kokov lewat telepon. Itu dirasanya tidak sopan, mengingat percakapan terakhir mereka kurang menyenangkan. Olek akan mencarinya langsung. 
Tempat pertama yang akan didatanginya, adalah Kiev Nauk. Ini jam kerja. Mungkin Kokov ada di ruangannya. Olek ke sana, namun tidak menemukan Kokov. 
Ah mungkin dia menempati ruangan Profesor Nyoman. Olek balik kanan, berputar arah ke ruangan Profesor. Namun juga nihil. Olek menuruni tangga dan menuju ke ruangan perpustakaan profesor. Malah ada Vlari di sana, sedang bersih-bersih.
“Ada apa sehingga Tuan Polisi sampai harus menggeledah perpustakaan?” Vlari menghampiri Olek, menyambutnya dengan ucapan dan tatapan yang kurang suka. 
“Ah tidak, Vlari. Aku sedang mencari Kokov. Apakah kau melihatnya hari ini?”
“Rasanya tidak. Aku menghabiskan waktu di sini sedari pagi. Bersama buku-buku. Aku belum bertemu Kokov.”
Olek berucap terima kasih, dan meninggalkan tempat itu. Agak bingung juga dia. Kemana harus mencari Kokov?
Kafe Le Caoux, Olek tiba-tiba teringat tempat itu. Bukankah Kokov juga sering ke kafe bergaya Prancis, baik untuk bersantai sejenak atau kegiatan membimbing mahasiswa. Olek bergegas menuju tempat itu. Dia menyalakan sirine mobil polisinya agar tidak terjebak macet yang terlalu lama, di depan kantor walikota. Siapa tahu dia bisa menemukan Kokov sedang duduk di Le Caoux bersama mahasiswa bimbingan barunya, Phia. 
Sesampainya di Le Caoux, Olek tidak menemukan Kokov. Malah menemukan Phia yang datang ke sana bersama Sylvi. Wajah Sylvi terlihat segar. Mereka bersantai, ngobrol, terkadang tertawa-tawa. 
Apakah aku harus mendatangi mereka? Mengganggu waktu mereka? Karena kepalang sudah datang kemari, Olek sekalian saja mendatangi mereka. Apa salahnya bertanya bukan?
“Permisi, Nona-nona.”
Phia dan Sylvi sama-sama menoleh ke arah Olek. Karena Olek mengenakan seragam polisi lengkap, Sylvi langsung waspada. Phia juga. 
“Iya ada apa, Tuan?”
“Perkenalkan, aku Oleksandr. Polisi. Aku teman Stanislav Kokov. Kamu Nona Phia bukan? Mahasiswa bimbingan Kokov?”
Phia mengangguk. 
“Apakah kalian tahu dimana dia berada sekarang?”
Sayang sekali baik Phia maupun Sylvi tidak tahu dimana Kokov sekarang. Phia sendiri mengaku bahwa hari ini dia tidak ada berkabar dengan Kokov. Olek jadi semakin bingung. Kemana lagi dia harus mencari Kokov? Apakah dia harus meneleponnya? Ah jangan. Nanti Kokov malah semakin kesal dengannya. Kokov kadang menjadi tak terduga sikapnya. 
“Tuan Polisi,” Phia menegur sebelum Olek melangkah meninggalkan mereka. 
“Iya, Nona?”
“Mungkin anda bisa mencoba mencari ke rumah sakit. Mungkin Kokov sedang menjenguk Profesor Nyoman. Atau mungkin dia sedang mengisi kelas di Kiev Nauk.”
Usulan yang baik. Rumah sakit. Olek tidak memikirkan kemungkinan itu. Apalagi tadi Vlari bilang dia di perpustakaan sepanjang pagi. Mungkin sekali, Kokov menemani Profesor di rumah sakit.
Tapi haruskah Olek mendatangi ke rumah sakit?


Delapan Puluh Tiga
Tunggu, Bantulah Aku Sebagai Teman


Profesor memutuskan untuk menghentikan kerja sama denganmu dan beliau hendak menyelidiki ini tanpa melibatkan polisi. 
Masih segar di ingatan Olek bagaimana beberapa hari yang lalu Kokov mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang membuat Olek menjadi sangat kesal. Hei bagaimana mungkin Profesor hendak memutus kerja sama dengan kepolisian, dengannya, padahal semua informasi berharga, pencuri, jalur harta, semua itu didapat dari tangannya, dari kepolisian. Bagaimana pula Profesor hendak menyelidiki sendiri? Vlari, dia sibuk. Kokov apalagi. Siapa yang mau diandalkan profesor, kalau bukan dirinya. Masa iya profesor hendak mengandalkan duet S & C. Informasi dari mereka, sejauh ini, sampah semuanya. 
Olek menggigit bibir. Apakah dia harus menemui Profesor? Jika Kokov memang ada di rumah sakit, di kamar profesor, itu artinya dia akan bertemu dengan profesor. Apa yang akan dikatakan profesor. Ah sepertinya bakal ada pertengkaran mulut. Olek merasa tidak siap untuk mendebat orang paling pintar seantero negeri tersebut. 
Beruntungnya, atau malah beruntung sekali, Olek tidak perlu menemui profesor. Ketika dia keluar dari lift di lantai VIP, dia melihat Kokov, sedang berjalan ke arah toilet dengan tergesa-gesa. Sementara, Kokov tidak melihatnya. Olek memutuskan untuk membuntuti Kokov ke toilet. Lebih baik bicara di toilet ketimbang berdebat dengan profesor. 
“Tunggu, kau tidak boleh pergi dulu.”
Itulah teguran pertama Olek. Dia berdiri di dekat wastafel. Kokov terkejut sekali bertemu Olek dalam toilet. Sungguh tidak disangka-sangkanya. Namun Kokov segera menguasai dirinya.
“Olek, ada apa? Kenapa kau ada di sini?”
“Aku mencarimu, ke beberapa tempat. Rupanya kau di sini. Akhirnya kita bertemu.”
“Ada apa, Olek?”
“Ada tangkapan besar yang harus diamankan nanti malam.”
Kokov segera menangkap arah pembicaraan. “Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan tangkapanmu, Olek. Bukankah Profesor sudah menyampaikan pesannya. Kita berhenti bekerja sama.”
Olek menggeleng. 
“Kau salah, Kokov. Profesor yang berhenti bekerja sama. Bukan kau.”
“Aku bekerja untuk kepentingan Profesor, Olek. Begitu Profesor menarik diri, aku juga tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Oserzeen.”
“Karena itulah aku menemuimu secara khusus hari ini. Ya, meski di dalam toilet, aku tahu tempatnya kurang tepat. Aku ingin kau membantuku.”
“Perlukah aku mengulang kalimat?”
“Kokov, kau tak mengerti. Aku meminta tolong padamu. Bukan pada Profesor. Ini tugasku. Operasiku. Aku ingin kau membantuku. Seperti bantuan-bantuanmu yang terdahulu. Ini tak ada sangkut pautnya dengan Profesor dan Oserzeen.”
“Dimana tempatnya?” akhirnya suara dan tensi bicara Kokov menurun.
“Poltava.”
“Cukup jauh. Bukankah itu termasuk...”
“TUUT. Jangan bicara lebih jauh soal itu. Kau mau membantuku bukan? Aku gagal di penyerbuan terakhirku di Lyiv. Aku kira bantuamu bisa membuat operasi kali ini menjadi berhasil.”
“Ini tentang Oserzeen bukan?”
“Iya tapi bukan tentang profesor. Aku meminta bantuanmu bukan sebagai bawahan profesor.”
“Cukup basa basi Olek. Astaga, kau tahu sendiri, aku tak suka basa-basi. Aku harus kembali ke ruangan.”
Celaka, kesempatan besar itu hilang.
“Tunggu, bantulah aku sebagai teman. Kumohon.” Olek akhirnya mengeluarkan bujukan terakhirnya. Namun Kokov tak bergeming. Dia terus melangkah. Olek keluar dari toilet dengan gontai. 
KREEEEK!
Salah satu pintu kamar toilet terbuka begitu Olek pergi. Dari dalamnya muncul sosok tak terduga yang tersenyum dengan santainya.
Pieter Both.
“Apa, Poltava? Seorang polisi dan seorang akademisi? Anak-anak yang merepotkan.” Kemudian dia menyalakan rokok. Berlalu dari tempat itu.


Delapan Puluh Empat
Profesor Tahu Sesuatu


“Kenapa kau lama di toilet, Kokov?”
Suara profesor yang berat menyapa Kokov ketika dia membuka pintu, kembali ke ruangan. Kesehatan profesor dalam dua hari belakangan kembali mengkhawatirkan. Dokter menyebut, sistem kekebalan tubuh profesor mengalami penurunan karena profesor punya beban pikiran. 
Itu tebakan yang sangat jitu. 
Hari ini, Kokov memutuskan untuk menemani Profesor. Menggantikan Vlari. Meladeni profesor berbincang tentang berbagai hal, mungkin bisa melegakan sebagian beban pikiran Profesor. 
“Tidak apa-apa, Profesor. Tadi airnya macet.”
“Tapi toilet rumah sakit ini memakai tisu, Kokov.”
Ups, dia salah bicara. 
“Ada sedikit urusan tadi. Saya bertemu dengan Oleksandr.” Kokov berucap hati-hati. Dia tidak ingin membuat profesor tambah khawatir dengan menutupi. Maka semoga profesor tidak kesal karena nama Olek disebut. Bukankah mereka sudah berhenti bekerja sama?
“Ah, Olek.  Kalian bertemu di toilet? Apa yang dia lakukan di sini?”
“Eh tidak, kami bertemu di lorong. Mungkin dia membesuk seseorang.”
“Oh itu, mungkin saja. Kenapa dia tidak kau ajak kesini?”
Kokov sedikit tersentak. Yang benar saja, Profesor.
“Dia sibuk. Langsung pergi setelah selesai urusan.”
“Memangnya apa urusan kalian.”
“Profesor tenang saja. Tidak perlu ikut memikirkan. Hanya urusan dari teman untuk teman.” Untuk yang ini, Kokov tidak berbohong bukan? Olek tadi memang bilang demikian. Bantu aku sebagai teman. 
“Hoo, aku bisa menebaknya. Penyerbuan. Pertarungan yang epik. Ah kalian memang duo yang hebat dan tak terpisahkan. Kapan kalian akan pergi.”
“Malam ini.”
“Oh bagus. Selesaikan dulu urusan kalian itu. Baru setelah itu Olek barangkali akan membawakan sesuatu yang hebat untukku.”
Hei ini semakin aneh. 
Kokov dengan datar menyambung kalimatnya. “Mungkin, saya tidak akan pergi.”
“Hei, kenapa?”
“Bukankah saya harus mengurus profesor hari ini.”
Profesor malah tersenyum riang, “nanti sore, Vlari akan kembali kemari. Pergilah, Kokov. Olek membutuhkan dirimu. Kemana tujuan kalian?”
“Poltava.”
Satu potong kata itu, lantas membuat Profesor berpikir sejenak. “Itu satu kota yang ditandai Olek di petanya kemarin. Apa namanya, Jalur Harta. Jangan-jangan dia hendak membekuk orang-orang Oserzeen di sana. Ini akan sangat menarik.”
“Profesor sebaiknya menenangkan pikiran. Sepertinya Profesor mulai ngelantur,” Kokov buru-buru membalikkan topik. Jangan sampai Profesor bicara tentang Oserzeen. Itu akan menambah beban pikirannya. 
Meskipun akhirnya Profesor menurut untuk tidur, beristirahat, sepotong percakapan dengan Profesor siang ini, membuat Kokov berpikir panjang. 
Ada yang aneh.
Apakah ada sesuatu hal lain yang dipikirkan Profesor, namun tak terpikirkan olehnya.
Sementara itu, di luar, Pieter Both berjalan santai ke parkiran rumah sakit. Santai sekali.


Delapan Puluh Lima
Terima Kasih Sudah Membantuku


“Gerakanmu bagus sekali, Kokov.” 
“Diam. Atau aku akan pergi dari sini.” 
Olek tertawa gembira. Delapan belas total orang yang mempertahankan “markas rahasia” di Poltava, semua orang itu dibantai habis tak berdaya oleh duet maut Komandan Oleksandr dan Stanislav Kokov. 
Sila bayangkan bagaimana senangnya Olek ketika Kokov muncul di kantornya sore itu, menyatakan bersedia bekerja sama. Duet mereka kembali terbentuk dengan jabat tangan dua sahabat. Berkat Kokov pula, penyerbuan mereka ke Poltava, berjalan dengan sangat sukses. 
Berkat Kokov dan pemikiran tenangnya, mereka tidak langsung menyerbu bangunan markas musuh. Kata markas itu agak rancu sebab yang mereka satroni adalah sebuah klub malam. Kokov meminta mobil mereka berhenti hampir dua ratus meter sebelum mencapai bangunan klub. Menawarkan agar Olek dan dirinya saja yang turun, menyamar. Pura-pura mabuk. Olek tersenyum lebar, menyetujui ide tersebut.
Coba tadi Olek sendirian yang turun, mungkin dia sudah menyerbu klub malam itu dengan pistol di tangan. 
Dengan cerdasnya, ketika berada di dalam klub, Kokov memulai keributan dengan salah satu pengunjung tempat itu. Padahal di situ tidak ada pengunjung, semua adalah anggota Oserzeen. 
Akhirnya delapan belas orang itu menyerang mereka, seolah mereka hanya pengacau biasa, bukan pihak penegak hukum. Olek dan Kokov bertarung dengan gagah. Sama-sama ahli menyarangkan tinju pada lawan yang mendekat. Mereka berdua juga saling melengkapi. 
“Nah, atas nama hukum, katakan, siapa pemilik tempat ini?” Olek akhirnya mendatangi bartender yang sedari tadi berdiri ketakutan melihat keributan yang terjadi. Apalagi Olek sekonyong-konyong menyorongkan pistolnya. 
“Ampun Tuan. Saya bukan pemilik. Pemilik tempat ini tinggal di luar negeri, Polandia atau Belarus saya tidak tahu.” Bartender wanita itu gemetar menjawab pertanyaan. 
“Ah iya, kau mengakuinya dengan baik. Keteranganmu sangat berguna. Beberapa keterangan lagi bisa kau ceritakan kalau kau ikut aku ke kantor. Karena aku adalah Komandan Oleksandr.”
Wanita bartender itu semakin pucat pasi mengetahui kalau dia berhadapan dengan seorang polisi, yang menyamar dengan epiknya. 
Penyerbuan mereka di Poltava berakhir dengan baik. Ada total 25 orang yang tertangkap dalam operasi penyergapan Oleksandr ini. Mereka akan menjadi tersangka yang sangat berharga untuk diinterogasi. Oleksandr akan melakukan itu setelah pulang ke Kiev. Sekarang...
“Aku amat berterima kasih padamu, Kokov. Berkat kau, operasiku kali ini sukses besar. Aku berhutang padamu. Kapanpun kau perlu bantuan, katakan saja padaku.”
“Aku hanya minta tolong agar kau berhenti merepotkanku.”
Olek tertawa keras mendengar kalimat itu. “Kau memang temanku, Kokov.”
Sementara itu, di luar sana, seseorang mengawasi mereka dari kejauhan. Kemudian terlihat siluetnya bergerak. Merogoh saku. Menelepon.
“Poltava telah dibereskan. Saatnya memberikan serangan balasan, Tuan Both.”

Delapan Puluh Enam
Serangan Balasan


Tanggal 21 Oktober 
Fajar semburat merah menyapa mobil yang ditumpangi Olek dan Kokov saat mereka sampai kembali ke kota mereka, Kiev. Berkat penyerbuan mereka yang lancar, Olek menyetir sambil mendengarkan lagu. Sementara Kokov, mencoba untuk tidur. 
Tapi, siapa juga yang bisa tidur ketika teman di sebelahmu bernyanyi-nyanyi seperti tidak ada hari esok. 
“Kemana kau akan membawa semua tawanan kita itu?” Kokov akhirnya bertanya, mungkin cara agar Olek berhenti memamerkan suara “bagus”-nya adalah dengan mengajaknya mengobrol. 
“Ke kantorku tentu saja. Ada lebih dari 30 sel tahanan di bagian bawah, di basement gedung kantor.”
“Aku tidak pernah tahu soal itu.”
“Ya, karena aku tidak pernah memberitahumu. Sebenarnya ini rahasia, tapi karena kau sudah bersedia membantu, aku akan menjawab semua pertanyaanmu.”
Jawaban yang menjengkelkan. 
“Kau tidak berniat melibatkan atasanmu?”
“Aku tidak punya atasan secara resmi dalam struktur. Aku adalah kepala polisi, dinas khusus. Aku bertanggung jawab atas semua ini.”
Kokov tak tertarik lagi membahas soal itu. Kalau diteruskan, Olek bisa mengoceh panjang, tentang “penghargaan ini kudapat karena...” atau “dalam salah satu operasi penyerbuan yang kujalani di....” dan macam-macam lainnya. Dalam kondisi senang seperti ini, bagi Olek, membicarakan hal semacam itu, adalah suatu kebanggaan. 
Sementara itu, dari dalam kota Kiev, sebuah gerakan “operasi” lainnya telah dilaksanakan. Cepat sekali perintahnya tergerak. Jatuh bagai domino. Orang pertama yang menggerakkannya, sudah jelas, Pieter Both. Perintahnya hanya satu. Serang Profesor Nyoman. Pria tua itu adalah related party paling berharga bagi Kokov dan Oleksandr. 
Dalam keheningan malam itu, dinihari, operasi serangan balasan dimulai. Belasan orang, mengepung dan menyerbu rumah sakit tempat Profesor Nyoman dirawat. Mereka datang dari empat penjuru. Belasan orang yang jago bertarung. Seketika berhasil melumpuhkan para petugas keamanan rumah sakit. 
Mereka berencana untuk berkumpul di satu titik, lantai VIP. 
Empat orang masuk dari pintu darurat sebelah kanan. Dekat dengan ruangan pengontrol daya listrik rumah sakit. Mereka akan menyerang ruangan itu. 
Empat orang masuk dari pintu darurat sebelah kiri, nyaris tanpa halangan, tidak ada penjaga di sana. 
Dua lainnya dari pintu belakang. Bersembunyi, kamuflase. 
Tiga orang yang paling nekat, masuk lewat pintu depan. Gerakan mereka berkelabat dengan cepat. Sebelum para petugas sempat menyadari kedatangan mereka...
Lampu sudah dipadamkan. 
Tiga belas orang dengan mudah menembus penjagaan sampai ke lantai VIP. 
ANGKAT TANGAN! ATAS NAMA HUKUM, KALIAN SEMUA ANGKAT TANGAN!
Ketiga belas orang utusan Pieter Both terkejut bukan main. Begitu mereka sampai di Lantai VIP, lampu lorong menyala terang, dan di sana ada sepasukan polisi yang sudah menanti mereka dengan pistol teracung di tangan. Dalam sekejap, situasi berubah seperti membalikkan telapak tangan. 
Pasukan penyerbu dari Oserzeen, berubah jadi tangkapan berharga kepolisian Ukraina. 
“Oh, jadi mereka benar-benar menyerang rumah sakit?” Olek menerima telepon, sedikit terkejut, namun dia tidak memasang ekspresi heboh, biasa saja. “Ada berapa orang jumlahnya? Tiga Belas? Tidak serius. Apakah mereka memakai topeng? Ah, ya, mereka hanya anak buah, kroco-kroco, amankan mereka, bawa ke kantor.”
Olek terus berbicara lewat telepon. Kokov memperhatikan dengan takzim. Sesudah telepon ditutup, Olek berpaling ke arah Kokov sambil bilang, “kau benar kawan.”
“Mereka menyerang rumah sakit?”
“Ya.”
“Apakah semua baik-baik saja?”
“Tentu. Anak buahku akan mengurus semuanya. Aku berhutang banyak padamu, Kokov. Termasuk soal usulanmu menempatkan satu kompi pasukanku di rumah sakit, menjaga profesor. Tanpa saran darimu, kita tidak bisa menggagalkan serangan balasan dari mereka itu.”
“Ya, kita memang harus selalu berpikir beberapa langkah ke depan, terutama jika yang kita hadapi adalah orang bernama Pieter Both itu.”
Tunggu dulu, Pieter Both? Olek menyadari sesuatu dan buru-buru membuka teleponnya lagi. “Pastikan tidak ada satu orang pun di sana, yang memegang telepon. Aku tidak mau mereka menghubungi atasan mereka.”
Klik, telepon kembali ditutup.


Delapan Puluh Tujuh
Menyelidiki Isi Tambang


Sehari setelah kepulangan dari penyerbuan di Poltava.
22 Oktober
Ini adalah hari yang sibuk bagi Oleksandr. Ada hampir lima puluh orang yang masuk ke dalam sel tahanan. Mereka akan diinterogasi satu persatu. Batas penahanan oleh Olek hanya tiga hari, setelah itu, proses hukum resmi akan dilangsungkan, dalam artian, melibatkan pengadilan, hakim, juri, pembela, pengacara, pengacau, suap, dan sebagainya, dan sebagainya. 
Oleh karena itu, dalam dua hari terakhir, sejak kepulangannya dari Poltava, Olek tak tidur barang sepicing pun. Dia terus berkeliling, didampingi dua orang opsir, menginterogasi satu persatu tahanan. Terkadang dia harus melakukannya secara berulang-ulang. Fokus pertanyaannya hanya satu, mencari keterkaitan antara Oserzeen dengan para tangkapannya ini. Informasi itu akan membantu Olek merangkaikan fakta tentang keterkaitan Oserzeen dengan aktivitas tambang ilegal di Ukraina. Sayangnya, tidak ada satupun tahanan yang menyatakan informasi semacam itu. 
“Sungguh saya tidak tahu, opsir. Saya dan teman-teman hanya diminta untuk melakukan penggalian ke dalam tanah. Lalu kami mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaan.”
“Upahnya cukup mahal?”
“Iya, Opsir. Lebih mahal dari bekerja sebagai tukang sapu jalanan di Poltava.”
“Apa yang kalian cari di bawah sana?”
“Tidak tahu, opsir.”
“Bagaimana mungkin kalian tidak tahu apa yang kalian cari? Kalian hanya terus menggali tanah tanpa tujuan?”
“Kurang lebih seperti itu, opsir. Bos, maksud saya, orang yang membayar saya, tidak memberitahu apa yang harus dicari, dia hanya menyuruh saya menggali. Jadi kami terus menggali.”
Bos? Ah itu menarik. 
“Siapa bos kalian? Ceritakan padaku, secara rinci.” Olek menuntut, tatapannya begitu tajam, mengintimidasi.
Sayang sekali, tahanan itu tidak memberikan keterangan yang memuaskan selain mengoceh bahwa bos mereka itu galak, tidak kenal ampun, dan tidak suka basa-basi. 
“Bagaimana mungkin kalian bekerja untuk orang yang bahkan tidak kalian kenal dengan baik.” Olek menyergah kesal. 
“Tidak ada masalah, opsir. Selama beliau mau membayar upah kami yang mahal itu, kami akan terus bekerja dengannya.”
Mendengar kata upah itu, apalagi ada embel-embel mahal di belakangnya, Olek semakin kesal. Ini ironis sekali. Mereka mau-mau saja bekerja, padahal pekerjaan mereka itu bisa merusak seluruh negeri ini, hanya karena upah. Tapi justru itu masuk akal. Mereka perlu uang untuk bertahan hidup dan negara tidak bisa menyediakan itu. Mereka adalah orang-orang yang menghancurkan negara secara perlahan untuk bisa bertahan hidup. 
Meski tidak bisa mengusut tuntas seluruh mata rantainya, ada beberapa informasi baru yang diketahui oleh Olek dari hasil investigasi ini. Terutama soal tambang ilegal yang mereka kerjakan di Poltava. Jika di Poltava ada, maka di Lyiv kemarin juga kemungkinan besar ada. Olek sebenarnya harus mengecek hal itu. Tapi dia tidak ingin terburu-buru. Kejadian terakhir di Lyiv membuatnya berpikir ulang untuk kembali ke kota itu. Atau sebaiknya dia mengajak Kokov saja. Sepertinya itu ide yang bagus. 
Olek buru-buru menelepon Kokov, mengajaknya ke Lyiv. Sayangnya, sambutan dari Kokov tidak terlalu menyenangkan.
“Aku sibuk hari ini. Tidak bisakah besok-besok saja. Atau kau sendiri saja. Lagipula cuma sekedar mengecek.”
“Tapi mungkin saja di sana ada musuh yang menunggu.”
“Aku tidak bisa, maaf. Dan hei, kenapa kau terdengar seperti seorang pengecut.”
Olek terkekeh sebal mendengar kata terakhir itu. Dia mematikan telepon. Kokov tidak bisa dipaksa bekerja sama hari ini. Berarti dia nanti-nanti saja ke Lyiv.


Delapan Puluh Delapan
Biar Aku yang Urus


“Telepon dari siapa?”
“Olek, Profesor.”
“Olek? Oh ya, ngomong-ngomong, bagaimana urusan kalian di Poltava tempo hari?”
Kokov akhirnya harus menceritakan ulang secara rinci di hadapan Profesor Nyoman, tentang apa saja yang terjadi di Poltava. Pagi ini, Kokov menyempatkan diri untuk menemani Profesor di kamarnya, karena Vlari bilang ada yang harus dia kerjakan di rumah sakit. Kondisi kesehatan Profesor cukup stabil, meski tadi malam harus menyaksikan adegan penangkapan para penjahat. Ini adalah kemajuan besar untuk kesehatan profesor Nyoman Asdawirya. Beliau mendengarkan cerita Kokov dengan penuh perhatian. 
“Jadi kalian pulang dengan tangkapan besar ya. Bagus sekali. Oleksandr pasti telah memulai sesi interogasi di kantornya. Pasti banyak keterangan yang dia dapat dari sana. Tapi aku tidak mengerti, kenapa dia mengajakmu ke Lyiv?”
“Penemuan tambang ilegal di Poltava membuat dia penasaran. Olek menduga bahwa di Lyiv juga akan ditemukan tambang serupa. Dia ingin saya menemaninya ke sana, untuk mengecek. Karena pada percobaan pertamanya ke Lyiv, dia gagal total.”
“Lalu kenapa kau tidak menyanggupinya?”
“Saya harus mengisi dua kelas anda sore ini, Profesor. Para mahasiswa menunggu kehadiran saya.”
“Ah ya, saat yang tidak tepat untuk membuat pilihan. Baiklah, kau sudah membuat keputusan yang benar, Kokov. Hadiri kelas itu. Kita tidak bisa membuat mereka menunggu, mereka mengharapkan dirimu.”
“Benar, Profesor.”
“Untuk urusan di Lyiv, serahkan saja padaku.”
Kokov kontan saja terkejut, apa maksud Profesor? Serahkan pada beliau? Profesor meraih telepon genggamnya (dalam beberapa hari ini, dokter sudah membolehkan Profesor untuk memegang telepon genggam, tapi hanya telepon genggam biasa, bukan ponsel pintar. Bisa sakit kepala kalau Profesor disuruh memegang ponsel pintar di kondisi beliau saat ini. 
Profesor sepertinya menelepon seseorang. Beliau menempelkan teleponnya ke telinga. 
“Aku ingin kalian berdua ke rumah sakit sekarang.”
Cukup satu kalimat singkat. Setelah itu, Profesor langsung menutup teleponnya lagi dan mengurut dahinya. Kokov tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “siapa yang akan datang, Profesor?”
“Duet S & C. Sudahlah, sudah kubilang, biar aku yang urus.”
“Profesor sepertinya sudah waktunya anda beristirahat.”


Delapan Puluh Sembilan
Misi Baru, dan Nyaris Baku Hantam!


Szczesny dan Chrmeko datang secepat yang mereka bisa. Dua sekawan andalan profesor itu tampil di hadapan profesor dengan dandanan khas mereka siang itu. Chrmeko memakai jas warna coklat tua dengan kemeja warna krem pucat, dengan celana sewarna dengan jasnya. Rambutnya ditata rapi dan klinis. Sementara Szczesny tampil dengan sweater leher kura-kura warna biru dan celana jeans. Rambutnya acak-acakan. Jika Chrmeko memakai kemeja warna krem pucat, maka Szczesny wajahnya yang pucat. Dia seperti kurang sehat. Syal yang terselip di lehernya jadi satu keanehan lain. 
“Kau baik-baik saja, Szczesny?” Profesor bertanya, langsung menyadari perbedaan penampilan Szczesny.
“Yeah, kurang lebih, Profesor. Saya sepertinya terlalu banyak terkena hembusan angin malam musim gugur. Tulang-tulang saya berdenyut semua.”
Dengan kata lain, Szczesny memang tidak sehat. 
“Kau yakin masih bisa menunaikan tugas dariku, Szczesny? Jika kau merasa tidak kuat, tak apalah, kau kubebas tugaskan.”
“Tidak perlu, Profesor, saya baik-baik saja. Anda lihat, saya adalah orang paling sehat di ruangan ini,” di ujung kalimatnya Szczesny nyengir ke arah Kokov. 
“Kau jangan mengejek diriku, Szczesny.”
“Maaf, bukan begitu maksud saya tadi.”
Profesor meninggalkan basa-basi dan langsung menjelaskan tugas apa yang dia ingin duet S & C lakukan. Pergi ke Lyiv dan memeriksa lokasi markas rahasia Oserzeen. 
“Anda menyuruh kami ke Lyiv lagi?”
“Eh?”
“Profesor,” Chrmeko yang sejak tadi diam, memotong, “darimana anda tahu, kalau ada markas Oserzeen di Lyiv?”
“Dari data-data kepolisian. Dari Oleksandr.”
Chrmeko genap mengambil alih pembicaraan, “Apakah tidak sebaiknya urusan ini diserahkan pada pihak berwajib saja. Jika Oserzeen memang punya markas rahasia di sana, sepertinya kami tidak berwenang untuk mencari tahu tentang hal itu.”
“Tidak, untuk sementara aku tidak ingin merepotkan Oleksandr. Kalian tidak perlu mendatangi lokasi markasnya secara langsung. Kalian bisa memantaunya dari jauh, menanyai orang-orang yang sekiranya tahu, membaca data-data, ayolah itu semua keahlian kalian.”
“Tapi Profesor, dua kali ke Lyiv, itu rasanya merepotkan. Tugas ini tidak jelas.” Szczesny akhirnya bersuara, dan agak pedas.
“Apa katamu tadi?”
Melihat gelagat profesor yang naik emosinya, Kokov ikut nimbrung, “kalau kau memang tidak bisa pergi, jangan dipaksakan.” Namun kata-katanya itu justru menyulut emosi Szczesny. Sejak awal tadi, dia memang tidak senang Kokov ada di ruangan itu.
“Kau tidak perlu ikut campur. Jangan sok tahu kondisi orang.”
“APA KATAMU!” Seketika Kokov ikut tersulut emosinya, langsung berdiri, menatap tajam pada Szczesny. Tangan kanannya mengepal. 
“Kau tak tahu perasaan orang lain seperti apa. Tak perlu ikut campur.”
“Kenapa kau tiba-tiba membahas omong kosong.”
Kokov bukan hanya berdiri sekarang, dia sudah meraih kerah sweater Szczesny dan mencekiknya. 
“Kau memang seperti itu, buktinya kau membuat Nona Phia menangis.”
“Jangan membawa-bawa nama gadis itu.”
“Dasar pria tak tahu empati. Dasar tak punya hati.”
“Szczesny! Cukup!” Chrmeko bersuara. “Ingat kondisi tubuhmu. Tak sepatutnya kau melakukan hal ini.”
Profesor ikut bicara, takzim. Beliau menutup mata sejenak, dan menarik nafas. Situasi sudah terkendali. “Szczesny, sudah. Tidak perlu berdebat di sini. Laksanakan tugas kalian. Dan kau, Kokov, setelah ini kau harus ceritakan apa yang kau lakukan pada Nona Phia.”
Kokov mendengus kesal. Semua gara-gara Szczesny. 
Sementara Szczesny meninggalkan ruangan itu dengan tatapan tak senang pada Kokov.


Sembilan Puluh
Ada Baiknya Liburan


“Apa yang kau lakukan padanya?”
“Saya tidak melakukan apa-apa, Profesor. Pertemuan itu berakhir begitu saja.”
“Szczesny adalah orang yang jujur. Tadi dia bilang kau membuat Nona Phia menangis. Atau jangan-jangan kau tidak sadar telah melakukannya.”
“Saya benar-benar tidak mengerti, Profesor.”
Kokov berada di ujung tanduk. Profesor menatapnya dengan tajam, seolah tatapan itu bisa masuk ke dalam pikirannya dan menelanjangi seluruh isi otaknya. 
“Ceritakan apa yang terjadi pada hari terakhir kau bertemu dengannya.”
Kokov kemudian menceritakannya. Tentang bagaimana dia menerima laporan presentasi yang tidak selesai dari Phia, dan bagaimana Phia berkilah bahwa itu dikarenakan dia harus merawat temannya yang sakit. Sungguh itu alasan yang tidak masuk akal. Dia pasti hanya mengarang-ngarang alasannya. 
“Dan setelah itu dia pergi? Bagaimana nada suaramu waktu itu? Apakah kau membentaknya?” Pertanyaan profesor semakin tajam. Begitu juga dengan tatapannya. 
“Iya, dia pergi. Mungkin dia hanya perlu waktu, menyesuaikan diri dengan cara kerja saya memang tidak mudah. Profesor tahu itu.”
“Kau tidak menjawab pertanyaan terakhirku, Kokov.”
“Dia hanya perlu waktu, Profesor. Dan saya juga butuh waktu untuk memperbaiki semuanya.”
“Apakah kau membentaknya!?” Profesor bersuara dengan keras. Menggetarkan. 
“Saya tidak ingat pasti, Profesor. Mungkin saja. Mungkin saya tidak sengaja menaikkan suara saya saat itu.”
Jadi kau benar-benar membentaknya, Kokov. Profesor menggeleng-gelengkan kepalanya. Seharusnya kau tidak melakukan itu. 
Kokov menyambung kalimatnya dengan cepat, akhirnya dia berterus terang, “saya tidak tahu Profesor. Saya tidak bisa mengendalikan diri saya waktu itu. Entah kenapa setiap bertemu dengan Nona Phia, saya selalu merasa canggung. Atau mungkin ini hanya karena waktu itu saya sedang ada masalah. Ya, saya banyak masalah saat itu.”
“Kokov, besok pagi-pagi sekali, tinggalkan Kiev, ambil liburanmu.” 
“Tapi saya tidak perlu...”
“Pergi ke desamu. Temui ibumu. Mintalah nasehat padanya tentang masalahmu.”
“Tapi profesor.”
“Kokov dengarkan aku dan jangan membantah.”
Kokov terdiam mendengar kalimat tajam itu.
“Berjanjilah kau akan menceritakan masalahmu pada ibumu. Dia pasti tahu apa solusi terbaik untukmu. Aku tidak berhak memberimu nasihat. Tapi aku berhak menyuruhmu memanggilkan dokter. Kepalaku sakit sekali.”
Kokov tak ambil tempo langsung memanggil dokter.

Sembilan Puluh Satu
Aku Pulang


Tanggal 23 Oktober. Di Jalan raya yang panjang. 
“Bu, aku akan pulang.”
Sayup-sayup Kokov bicara lewat telepon. Dia berusaha keras agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain yang berada di sekitarnya, meskipun sebenarnya dalam kereta yang ditumpanginya tidak terlalu ramai. Hanya ada empat orang di gerbong itu. 
“Kamu tidak bercanda, Nak?” Suara wanita tua itu terdengar begitu sumringah. Seketika kebahagiaan memenuhi isi hatinya. 
“Iya Bu. Aku sudah di perjalanan sekarang.”
“Tapi kenapa kamu tiba-tiba ingin pulang, Nak? Tidak ada hal buruk yang terjadi di kota bukan?”
“Tidak Bu,” Kokov menggeleng, menggigit bibir, “Profesor Nyoman memintaku untuk berlibur. Dia yang menyuruhku pulang.”
“Puji Tuhan. Sungguh pengertian Profesor itu. Ibu sangat senang, Nak. Akhirnya kamu pulang. Hati-hati di jalan ya, Stan.”
Kokov menggigit bibirnya dengan lebih keras sekarang. Mendengarkan suara ibunya dalam kereta yang akan membawanya kembali ke desa, dan ibunya memanggil dia dengan panggilan masa kecilnya itu, membawa sensasi yang ganjil bagi Kokov. 
Kokov sudah lama tidak pulang ke desa. Mungkin berbilang tahun. Dia sibuk di kota. Itulah alasannya. Apalagi sejak sang ibu memintanya untuk segera berkeluarga, Kokov selalu menghindari kesempatan untuk pulang, bahkan topik pulang sendiri tak pernah dia bicarakan. Pada siapapun. 
Desanya terletak cukup jauh dari Kiev. Holasev,  itulah namanya. Kokov tumbuh di sana sampai cukup dewasa. Kokov hanya punya ibu, ayahnya sudah tiada, tepatnya sudah pergi jauh meninggalkannya. Sedikit trauma masa kecil sepertinya turut membentuk pribadi dan karakternya menjadi seperti sekarang. Kokov alergi dalam hal apapun yang menyangkut hubungan serius pria-wanita. Tapi bukan berarti dia adalah gay atau menderita kelainan seksual. Kokov hanya lebih rajin bekerja, dan hanya bekerja yang dia inginkan. 
Entah apa yang akan dikatakan ibunya nanti. Andai bukan perintah dari Profesor Nyoman, dia urung menuruti. Buat apa juga dia pulang? Entahlah. Tapi sebenarnya jauh di lubuk hati, dia rindu sekali dengan desanya.
“Mister, anda mau?”
Lamunannya terpotong. Seseorang yang duduk di depannya sedang menikmati permen coklat. Orang itu sepertinya membawa banyak stok permen. Dia tersenyum manis, dengan wajah bulatnya. Tiga puluh tahun, tapi sudah terkena obesitas, sepertinya dia tidak menjaga pola hidupnya, Kokov membatin. 
“Anda mau? Silakan diambil. Permen ini rasanya enak sekali.” Pria itu kembali menawari Kokov, suaranya ramah sekali. 
Akhirnya, demi sopan santun, Kokov mengambil satu permen, membuka bungkusnya dan memakannya. Cukup lezat, ada coklat yang lumer ketika permennya masuk ke mulut. Orang ini tidak berbasa-basi.
Tidak ada tempat sampah, Kokov melihat sekitar, dia hendak membuang bungkus permen ini. Sayangnya tidak ditemukannya bak sampah. Akhirnya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, dia terpaksa mengantong sampah itu sampai dia nanti menemukan bak sampah. 
Kokov menghela nafas. Perjalanannya masih panjang. Sementara orang di depannya tetap duduk takzim sambil menikmati permen coklatnya. 
Dua jam perjalanan selanjutnya. Akhirnya kereta turun di stasiun Holasev. Itupun masih jauh dengan rumah Kokov berada. Dia masih harus meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. 
Seperti halnya orang-orang yang baru tiba kembali di kampung kelahirannya setelah pergi sekian lama, Kokov sedikit bingung dengan beberapa bangunan yang berubah posisinya, ada yang bertambah, ada yang berkurang. Dia berusaha mengerahkan ingatannya untuk menemukan rumahnya. 
Oh ya, ngomong-ngomong, Kokov lupa membuang bungkus permen tadi di saku kemejanya, hingga bungkus permen itu, terbawa ke rumah ibunya di Holasev.


Sembilan Puluh Dua
Anda Tidak Seharusnya Mempercayai Mereka, Lagi


Sementara itu, di tanggal yang sama, pagi-pagi sekali Oleksandr sudah sibuk, kalang kabut ke sana kemari. Mencari temannya, Stanislav Kokov. 
Sama seperti tiga hari yang lalu, Olek mencari Kokov ke kediamannya, kemudian ke kampus, namun di dua tempat tersebut, Kokov tidak ada kelihatan batang hidungnya. 
Berarti dia ada di rumah sakit. Olek menduga-duga. Dia menggeber mobil polisinya ke Kiev Hospital. Dia tidak ingin terjebak dalam macet di depan kantor walikota. Jadi dia nyalakan sirine polisinya. 
Ninu Ninu Ninu. 
Begitu naik ke lantai VIP, dia disambut dengan senyuman terkembang dari Profesor Nyoman. 
“Hai, Olek. Senang sekali kau mau mengunjungi orang tua ini pagi-pagi sekali.”
“Profesor...” Olek terdiam. Dia menyadari sesuatu. Tidak ada Kokov di sini, ruangan ini kosong melompong. Dan sekarang dia harus bertemu dengan Profesor Nyoman Asdawirya. Jika mengingat pesan beliau yang dibawa Kokov tempo hari, Olek masih sedikit kesal.
“Aku permisi, Profesor.”
Olek buru-buru hendak balik kanan. 
“Hei, jangan seperti itu. Kemarilah. Duduklah. Coba katakan apa yang kamu cari hingga sampai di tempat ini.”
“Aku mencari Kokov, Profesor.” Olek berucap, dia berdiri tepat di daun pintu. 
“Oh Kokov, dia sedang berlibur. Dalam beberapa hari ke depan, kau tidak bisa menemuinya.”
Olek mengangguk, dia sudah hendak angkat kaki dari ruangan itu. Tapi lagi-lagi, suara Profesor mencegahnya untuk beranjak lebih jauh. 
“Oh ya, Olek. Apakah kau sudah mengecek tambang ke kota Lyiv?”
Olek terperanjat kaget. Apa kata Profesor? Kota Lyiv? Dia memang mencari Kokov hari ini untuk mengajak temannya itu pergi ke Lyiv. “Belum Profesor.”
“Ah kabar baik. Aku sudah mengirim orang-orangku untuk membantumu mengeceknya. Mereka sudah berangkat kemarin. Harusnya sebelum malam nanti, laporannya sudah sampai padaku. Begitu aku menerima laporan mereka, aku akan segera kirimkan padamu. Mumpung dokter sudah memperbolehkanku mengerjakan beberapa aktivitas ringan.”
Apa kata Profesor, orang-orangnya? Bagaimana bisa profesor tahu soal dugaan tambang yang ada di Kota Lyiv?
“Karena Kokov ada di sini, saat kau meneleponnya.”
Kini Olek menyumpahi dirinya sendiri yang teledor. 
“Terima kasih, Profesor.” Olek berucap basa-basi, formalitas, “siapa orang-orang yang anda kirim?” sambungnya bertanya.
“Siapa lagi, tentu saja Szczesny dan Chrmeko.”
Olek merasa seperti disengat kalajengking. Dia berbalik, mendekati Profesor. Berusaha menahan rasa kesalnya. 
“Profesor, aku sangat menghargai bantuan anda. Aku akan berhutang budi, dan aku tak malu untuk mengakuinya. Tapi, profesor juga harus tahu, ini adalah urusanku. Ini adalah urusan kepolisian. Dan sampai urusanku itu selesai, Szczesny dan Chrmeko berada dalam daftar hitamku.”
“Hei, tapi kenapa? Kenapa dengan mereka?”
“Mereka mencurigakan. Ada alasan khusus kenapa aku merasa wajib mewaspadai mereka.”
“Sepertinya kau hanya bersifat subjektif di sini, mungkin penilaianmu dipengaruhi suatu rasa sentimen kau, Olek.”
“Aku hanya memperingatkan, Profesor. Baiklah, aku permisi. Terima kasih.”
Olek benar-benar meninggalkan ruangan VIP tersebut, dengan kepala mendidih.


Sembilan Puluh Tiga
Nasehat dari Ibu


“Aku pulang, Bu.”
Hanya tiga kata itu yang terucap siang itu, saat Kokov berdiri di depan rumahnya. Sisanya adalah bahasa tubuh penuh kerinduan. Ibu Kokov, seorang wanita tua berwajah menyenangkan, memeluk anaknya itu erat-erat sambil menangis tersedu-sedu. 
Tidak, tidak ada kata-kata, hanya bahasa tubuh saja. 
“Ibu sehat?” Kokov akhirnya bertanya ketika mereka duduk di meja makan. Bahkan Kokov belum sempat melepas jaketnya. Ibunya sudah menariknya ke meja makan. Bilang Kokov harus makan, makanan favoritnya saat masih kecil. 
“Ibu baik-baik saja, Nak. Kamu yang terlihat tidak sehat.”
“Kokov baik-baik saja Bu. Tidak kurang suatu apa.”
Hening sejenak. Kokov menyendok sup buatan ibunya. Borscha buatan ibu adalah makanan paling enak sedunia. Kokov tak akan malu mengakui hal tersebut. 
“Akhir-akhir ini ada hal yang mengganggu pikiranmu ya, Nak?”
Dua kali sudah ibunya menebak pikirannya. Kokov mulai bertanya-tanya, apakah masalahnya benar-benar tercetak di wajahnya secara langsung.
“Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri,” sambung Ibu Kokov, dengan penekanan penuh. Kokov mau tidak mau menyahut. Sambil menghela nafas dia bilang, “aku tidak keras, Bu. Aku hanya berusaha lebih keras, untuk menyelesaikan semuanya dengan baik.”
“Tapi kamu tidak bisa membuat semuanya sesuai kehendakmu.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Melunaklah, Kokov.”
Ibu dan anak itu tidak bicara secara eksplisit, dan memang begitu kebiasaannya. Kokov tidak terlalu suka bercerita, dan ibunya tahu bahwa anaknya tidak suka diceramahi. Cukup nasehat-nasehat pendek saja, itu sudah bisa menancap di pikiran Kokov, selama berhari-hari. 
Termasuk hari ini, soal melunak.


Sembilan Puluh Empat
Bertanggung Jawab


Tangan-tangan tua itu bergerak dengan gesit, menuang air dari dalam teko ke cangkir. Kemudian bibirnya perlahan menyesap air hangat, senyum merekah di wajahnya. “Air hangat memang yang terbaik,” beliau bersuara. 
Tanpa mengingat penyakit yang kini diidapnya, penyakit aneh yang akan kambuh setiap beliau berpikir terlalu keras, Profesor Nyoman terlihat sangat sehat. Begitu pagi merekah baginya, beliau dengan mandiri menyiapkan air hangat untuk diminum, minuman kesukaan beliau. 
Ketidakhadiran Kokov menyebabkan Profesor harus bekerja lebih keras. Karena Kokov tidak ada di Kiev, harus ada orang yang menangani pekerjaan di Kiev Nauk. Vlari memang bisa mengambil alih pekerjaan itu, namun itu menyebabkan tidak ada orang yang mengurus Profesor di Hospital. 
Vlari sudah berpesan pada dokter untuk memperhatikan Profesor dan segala keperluannya. Vlari menekankan hal ini dengan saksama (nyaris saja dia mengancam dokter agar tidak melepaskan perhatian pada Profesor Nyoman). Namun Profesor sendiri tidak mau terlalu bergantung pada dokter. 
Namun, sebagai gantinya, ada seseorang yang datang berkunjung pagi ini. Menjenguk Profesor. Dia adalah mahasiswi bimbingan Profesor, Nona Phia Lizarina. Hari ini dia tampil dengan penampilan serba merah muda, jilbab dan sweater, cerah.  
“Nona Phia, senang sekali kamu mau mengunjungi orang tua ini.” Profesor menyambut kedatangan Phia dengan suara dan senyuman yang tak kalah cerah, wajah tua beliau terlihat sangat meneduhkan ketika tersenyum. Siapapun akan teringat orang tuanya setiap melihat Profesor tersenyum. 
“Pagi Profesor. Saya harap kedatangan saya tidak membuat anda terganggu.”
“Sama sekali tidak. Mari bergabung, orang tua ini sedang menikmati pagi harinya, kamu mau minum, Nak? Ah sayangnya di sini hanya ada air putih hangat.”
“Terima kasih. Saya sudah sarapan sebelum ke sini.”
“Ah begitu. Duduklah.”
Phia duduk di sofa, berhadapan dengan Profesor. Profesor Nyoman sekali lagi meneguk air hangat sampai tandas di cangkirnya. Profesor kemudian menanyakan, kenapa Phia datang tiba-tiba, apakah ada keperluan tertentu. Apakah ada kaitannya dengan pene...
“Bukan Profesor,” Phia tersenyum, “saya diminta Vlari untuk menemani Profesor selama dia tidak ada di sini.”
Profesor terkekeh, rupanya ini ulah dari Vlari. “Tapi baguslah. Kuharap kamu tidak sibuk, Nak. Aku senang saja, ada yang akan menemaniku mengobrol. Kamu tidak sibuk bukan?”
“Tidak Profesor.”
“Bagaimana dengan perkembangan tesismu?”
“Saya berusaha menambah referensi-referensi yang saya punya setiap hari. Saya membuatnya dalam bentuk slide presentasi sehingga mudah dipahami, selain saja juga punya semacam bank data dan informasi.”
“Bagus sekali. Tapi apakah kamu sudah mulai menyusun draft.”
“Saya tidak melanjutkan draft saja sejak meninggalkan Taipei. Tuan Kokov mengarahkan saya agar mengumpulkan data-data sebanyak mungkin terlebih dahulu.”
Mendengar nama Kokov disebut, Profesor tertegun sejenak, kemudian meneguk air hangatnya lagi. Beliau sudah mendengar kabar soal Phia dan Kokov yang bertengkar, dan beliau khawatir hal ini menyebabkan Phia kehilangan respek pada Kokov. Persoalan akan rumit kalau begitu jadinya. Namun ternyata, ketika ditanya apakah Phia bersedia melanjutkan kerja sama dengan Kokov, Phia sendiri menjawab. 
“Saya bersedia, Profesor. Saya akui, saya kesal pada Tuan Kokov karena pertemuan terakhir kami tempo hari. Dia bertindak keterlaluan dengan menuduh saya mengarang-ngarang alasan. Tapi saya harus memaafkannya, demi kelangsungan tesis saya. Saya harap Tuan Kokov juga mau memaafkan saya dan melanjutkan pekerjaan ini.”
Profesor tersenyum lebar, “kamu adalah orang yang berjiwa besar dan dewasa, Nona Phia. Aku akan menghubungi Kokov dan membujuknya. Dia pasti mau. Dia harus belajar mengontrol emosi dan sikapnya. Saat ini dia sedang berlibur, aku yang menyuruhnya. Dia pulang kampung, menemui ibunya.”
“Apakah ibunya sakit?”
“Tidak, dia hanya sekedar pulang, menjenguk.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.”

Sembilan Puluh Lima
Kembali ke Kiev, Segera!


24 Oktober
Profesor benar, barangkali selama ini Kokov terlalu sibuk bekerja sampai lupa dengan berlibur. Berlibur itu penting sekali. Sebelas dari sepuluh situs pemesanan tiket merekomendasikan kita untuk berlibur, tak selamanya manusia bisa bekerja serius terus menerus. 
Selama menghabiskan waktu di desanya, di Holasev, Kokov berhasil menenangkan dirinya. Dia merasa lebih terkendali dan bisa berpikir dalam. Dia menyadari beberapa kesalahannya. Ibunya juga benar, dia terlalu kaku dan taat pada sistem. Ada baiknya kadang-kadang bersikap lunak dan memaafkan. Lebih penting lagi untuk memaafkan diri sendiri saat tidak bisa menaati sistem. 
Tidak ada agenda khusus di desanya. Kokov menghabiskan waktu dengan melihat-lihat suasana desa, menghirup udara segar dan membantu kegiatan ibunya, meski ibunya sendiri tidak mau dibantu. 
Sayangnya, refreshing dan liburan Kokov di Holasev berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Pukul 11 siang di hari keduanya di desa, sebuah telepon masuk ke ponselnya. 
Dan itu serius sekali. 
“Siapa ini?” Kokov membuka telepon dengan bertanya. Nomor telepon  yang masuk itu tidak ada di kontaknya. 
“Vlari, Kokov dengarkan aku, dan jangan memotong.”
“Vlari, kau mengganti nomormu?”
“Sudah kubilang jangan memotong,” suara di seberang sana, terdengar agak kesal, juga terdengar agak panik, tidak tenang. 
“Baiklah. Lanjutkan.”
“Kau harus pulang segera, Kokov. Ke Kiev. Kau harus kembali.  Setiap detik sangat berharga. Kondisi profesor terus menurun. Beliau terus mencarimu.”
Badan Kokov langsung memancarkan keringat dingin. Telepon di sana sudah ditutup. Vlari pasti sibuk sekali. Apa tadi katanya, kondisi Profesor terus menurun, setiap detik sangat berharga. 
Ini serius sekali. Kokov tak ambil waktu lama lagi, langsung berkemas. 
Agak susah bagi Kokov untuk meyakinkan ibunya agar mengizinkannya kembali ke kota. Apalagi ibunya membawa-bawa kalimat “baru juga sehari kamu pulang ke desa, Nak. Kenapa harus terburu-buru.” Namun Kokov punya satu senjata andalan.
“Profesor Nyoman kritis, Bu. Aku harus kembali. Beliau terus mencariku.”
Kalimat itu membuat Ibunya terdiam. Ibu Kokov tahu, betapa keras kepalanya putranya, darah dagingnya itu, jika sudah menyangkut Profesor Nyoman Asdawirya. Dengan berat hati, ibunya melepaskan cekalan di lengan Kokov. 
“Boleh ibu menitip satu pesan, Nak?”
“Iya Bu?”
“Cepatlah menikah.”
“Ibu, ini bukan saat yang tepat untuk membahas itu.”
“Tidak apa. Ibu hanya berpesan. Ingat, kamu harus melunak. Tidak boleh terlalu kaku seperti kemarin-kemarin. Nanti kamu tidak bisa bertemu dengan belahan jiwamu.”
“Aku akan langsung berangkat, Bu.”
“Hati-hati di jalan, Nak.”
Sementara itu, nun di Kiev Nauk sana, di dekat ruangan Profesor Nyoman, ada seseorang yang duduk santai. Tidak ada yang memperhatikan dia. Bibirnya tersenyum lebar, matnya memperhatikan layar handphone-nya. Kemudian sosok itu berucap riang, “satu masalah sudah diurus. Sebentar lagi, serangan balasan akan dilancarkan. Tunggu saja tanggal mainnya.”
Di sisi lainnya, di antara lorong yang gelap, seseorang berdiri di sana, berusaha seolah tidak terdeteksi. Dia jelas sedang mengintai pria yang duduk santai di sana. Bahunya ada kilauan sinar. Seperti kerlip bahu berpangkat, seorang polisi.
“Pieter Both, kau tidak akan kubiarkan bertindak sesuka hatimu. Seolah kau bisa duduk santai di sana, sambil makan kacang.”


Sembilan Puluh Enam
Tidak Ada yang Memanggilmu, tapi Ya Sudah, Pelajaran Berharga


Tanggal 24 Oktober.
Phia menghabiskan nyaris satu hari penuh di kamar Profesor Nyoman hari itu. Phia banyak bercerita tentang dirinya dan kehidupannya, sejak di Indonesia, kemudian Taipei dan akhirnya Kiev. Tiga tempat yang sangat berbeda. Profesor dengan penuh minat mendengarkan, bahkan sesekali, Profesorlah yang memancing agar Phia meneruskan ceritanya lebih jauh lagi. Ini hanya sesi cerita yang ringan, tidak akan membebani pikiran Profesor. 
“Kasihan temanmu, nasibnya kurang mujur, Nak.” Profesor berkomentar, itu ketika cerita sudah sampai di bagian di mana Phia menceritakan tentang Sylvi. Temannya yang menyebabkan dia bertengkar dengan “Tuan Kokov”. 
“Saya tidak mengarang alasan, Profesor. Saya sangat menyesal karena membuat Tuan Kokov tersulut emosinya, tapi saya rasa, saya melakukan hal yang benar.”
“Iya Nak. Apa yang kamu lakukan itu, benar saja. Tidak salah. Kamu punya naluri kemanusiaan yang tinggi. Aku akan menjelaskan itu pada Kokov begitu dia pulang dari liburannya, dia juga akan memakluminya, Nak.”
“Terima kasih, Profesor.”
Menjelang siang, Vlari ikut-ikutan nimbrung. Kali ini topiknya melebar sampai menyoal tentang hubungan asmara. Vlari adalah seorang pencari topik yang asyik, di samping pengorek rahasia yang sangat handal. 
“Tolonglah, jangan membahas sejauh itu,” Phia akhirnya tertawa-tawa sambil menutupi wajahnya yang bersemu merah. Profesor menegur Vlari agar tidak berlebihan membahas hal tersebut.
Pukul tiga sore, dengan profesor yang sudah terlampau lelah, Phia bersiap-siap pulang. Saat itulah Kokov muncul. Tergesa-gesa, wajahnya panik, namun juga keheranan setelah melihat semua orang yang, terlihat baik-baik saja. 
Bukankah tadi Vlari bilang kondisi profesor buruk, dan profesor terus mencari dia? Kenapa Profesor, Vlari dan gadis bimbingannya ini malah asyik tertawa. Astaga, apa yang terjadi.
“Kau pasti mengigau, Kokov. Aku tak pernah meneleponmu, apalagi jika itu bukan nomorku yang biasa.”
“Aku berani bersumpah demi segala yang kuanggap suci.  Aku menerima telepon darimu.”
“Dan aku berani bersumpah tak pernah meneleponmu.”
Kokov begitu kesal. Kenapa jadi begini. Siapa yang mempermainkannya. Kalau tahu bakal begini, dia tidak akan berlari-lari ke stasiun, mengejar kereta api, seperti orang gila. 
“Sudah, sudah, kalian berdua,” Profesor Nyoman mencoba untuk menengahi, “Kokov, siapapun tahu, kau tidak suka berlibur, jadi wajar, saat ini kau ada di sini. Tidak apa. Kita lupakan saja telepon itu, ada atau tidak. Kita ambil bagusnya saja. Syukurlah kau sudah di sini. Kuharap kau mengambil banyak pelajaran dari liburan singkatmu.”
Demi mengingat betapa dia panik memikirkan keadaan Profesor sepanjang jalan tadi, Kokov menganggukkan kepala. “Ya, saya telah mendapatkan beberapa pelajaran, Profesor.”
“Nah, itu yang ingin kudengar. Sekarang, aku ingin kalian berdua berbaikan.” Profesor menunjuk pada Phia dan Kokov. Suasana berubah jadi canggung.
“Saya minta maaf atas sikap saya tempo hari, Tuan Kokov, saya akui, saya terbawa emosi saat itu. Sekarang saya sudah membawa dokumen dan file yang lebih lengkap. Saya harap Tuan Kokov mau membantu penelitian saya.”
Phia meminta maaf terlebih dahulu. Suaranya sempurna sekali. 
Kokov segera ingat pesan ibunya untuk bersikap lebih lunak. Tambahkan, Profesor ikut-ikutan berucap, “melunaklah dan maafkan dia, Kokov. Kemarin dia lalai bukan karena kesengajaan. Dia tidak sedang mengarang alasan. Sebaliknya, Nona Phia Lizarina ini adalah salah satu manusia yang baik.”
Kokov menghela nafas.


Sembilan Puluh Tujuh
Mungkin Aku Tahu, Siapa Pelakunya


“Kamu tak perlu minta maaf. Aku yang minta maaf karena waktu itu telah membentakmu. Saat itu, ada beberapa hal yang berada di luar kontrolku. Ya, kurang lebih seperti itu.”
Astaga, berbelit-belit sekali cara bicara Kokov. 
“Terima kasih, Tuan Kokov.”
“Aku juga akan melanjutkan tanggung jawabku untuk membantumu menyelesaikan tesis.”
“Terima kasih,  Tuan Kokov.”
Profesor tersenyum simpul, “bagus sekali, Kokov. Silakan kalian atur waktu untuk bertemu dan berbicara. Saranku, jangan hari ini.”
“Iya Profesor. Untuk hari ini saya rasa, istirahat adalah yang terbaik. Saya baru saja balik dari Holasev. Bagaimana kalau kita bertemu besok saja, Nona Phia. Di Le Caoux, seperti biasanya.”
“Ide bagus, Kokov. Bagaimana, Nona Phia.”
“Saya setuju. Saya senang karena mendapatkan kesempatan lagi. Baiklah, jika Tuan Kokov ingin kita bertemu besok, saya akan ikut. Untuk hari ini saya rasa keberadaan saya di sini sudah cukup. Saya harus kembali ke Kurin.”
“Terima kasih, Nak. Hati-hati di jalan. Titip salamku untuk temanmu yang tangguh itu.”
Phia mengacungkan jempol, pelan-pelan dia undur diri. Tidak berapa lama kemudian, Kokov juga undur diri, setelah memastikan sekali lagi bahwa Profesor baik-baik saja. Profesor hanya lelah, dia perlu istirahat dengan tenang. 
Baiklah, lebih baik aku pulang, bisik Kokov, meski kepalanya masih diliputi tanda tanya tentang siapa sebenarnya yang telah mempermainkannya dan menggagalkan liburannya di Holasev. 
“Hai Kokov.”
Sebuah sapaan menyapa dia ketika Kokov sedang berjalan menuju ke lift. Sapaan itu berasal dari salah satu lorong rumah sakit. Buru-buru Kokov mendatangi sumber suara. Rupanya temannya sudah menunggunya di sana. “Apa yang kau lakukan di sini, Oleksandr?”
“Menunggumu, senang melihatmu sudah kembali ke Kiev, temanku.”
“Ada apa?”
“Pertama-tama aku ingin bilang bahwa pilihanmu mengajak gadis itu bertemu di Le Caoux, membuatmu terlihat membosankan.”
“Darimana kau tahu soal itu?”
“Nona Phia baru saja lewat, dia memberitahuku.”
“Baiklah,” Kokov mencoba untuk tetap tenang, dia ingat pesan ibunya, melunaklah. “Lalu apa yang kedua?”
“Kita perlu bicara. Di sebuah tempat yang rahasia.”
“Boleh saja. Dimana?”
“Di dalam lift.”
Kokov tak bisa menyembunyikan rasa herannya. Bicara di dalam lift? Dan lift adalah tempat rahasia?
“Aku tidak bercanda, teman. Tidak ada yang bisa menguping sekali kita bicara di dalam ruangan kecil berukuran 1x1 meter itu. Ayo.”
Kokov masih terheran-heran, logika polisi memang kadang susah diikuti oleh nalar.
“Hei, ayo. Aku sudah menyuruh anak buahku mengosongkan bagian bawah lift. Kita bisa bicara dengan baik di sana.”
Mereka benar-benar masuk lift, dan pembicaraan serius segera dimulai.
“Jadi, kau kembali ke Kiev karena sebuah telepon? Benar bukan?”
“Darimana kau tahu?” Kokov semakin heran. 
“Karena aku melakukan penyelidikan. Ada pihak-pihak yang sengaja membuatmu kembali ke kota ini.”
Jadi ini bukan sekedar main-main. Memang ada yang mengaturnya rupanya, Kokov membatin. “Siapa mereka, dan kenapa mereka melakukan itu?” 
“Ah, kenapa mereka melakukannya, aku belum tahu. Tapi siapa mereka, aku rasa aku bisa memberi petunjuk.”
“Siapa orang itu?”
“Kurasa kau mengenalnya, dan kau pernah berurusan dengan orang itu. Dia adalah Pieter Both.”
Kokov terpana sejenak. Orang itu lagi rupanya.
“Tapi,” Olek menyambung kalimatnya, “Pieter Both bukan satu-satunya orang yang terlibat.”
“Ha, siapa lagi komplotannya?”
Olek mengusap wajahnya, “ini yang perlu kita cari tahu. Sementara yang bisa kita lakukan, adalah bersikap biasa saja dan tidak membuat Pieter Both tahu kita membaca rencananya. Waspadalah Kokov, orang itu ada di mana-mana.”

Sembilan Puluh Delapan
Dimanakah Kokov Berada


“Aku berangkat. Kamu tidak apa-apa kutinggal di rumah ya.”
Sylvi membiarkan Phia lewat di depannya kemudian menutup pintu, begitu saja. Tidak ada reaksi apa-apa. Sylvi beberapa hari ini mengalami sesuatu yang disebut “masa-masa transisi”. Dia juga tidak lagi bekerja sebagai “itu” dan banyak berdiam di rumah. Paling dia hanya keluar malam hari, dan itu tidak lama. Pukul 12 malam atau lewat sedikit dari itu, dia sudah pulang. 
Adapun hari ini, Phia memenuhi undangan dari Kokov untuk membahas perkara tesisya di Le Caoux, pukul 9 pagi. Phia sudah berangkat dari rumah pukul setengah delapan. Dia juga mengambil jalan memutar, menghindari bagian depan kantor walikota. 
Pukul delapan pagi, Phia sudah sampai di Le Caoux. Suasana kafe Prancis itu pagi-pagi ini tidak ramai. Hanya ada satu dua orang. Mungkin penggemar sarapan ala Prancis. Phia tidak tertarik. Dia memesan kue kering dengan krim dan kopi susu dengan campuran mint. 
Pukul setengah sembilan, Kokov juga belum muncul batang hidungnya. Phia sudah menghabiskan separo isi cangkir dan setengah dari roti keringnya. Rasanya lezat, seperti halnya apa yang diharapkan dari masakan ala Prancis. Phia memutuskan untuk meninjau kembali dokumen miliknya. Semua sudah dia benarkan. Kali ini semua akurat. Phia tidak ingin mengecewakan Tuan Kokov untuk kedua kalinya. 
Lima belas menit menjelang waktu pertemuan, Kokov masih belum datang. Itu tidak biasa. Phia mencoba membuka handphone-nya, mengecek apakah Kokov aktif di aplikasi perpesanan. Ternyata tidak. Kokov tidak aktif sejak mengirim pesan tadi malam itu. Ini semakin aneh. Dimanakah Kokov berada?


Sembilan Puluh Sembilan
Sendok Jatuh, 2


Di sisi lainnya...
Kokov mengirimi Phia pesan tadi malam, mengatur janji temu di Le Caoux. Pukul 9 aku sudah di sana, sampai jam makan siang. Silakan sesuaikan jadwalnya. 
Bagi Kokov, itu adalah pesan paling “ramah” yang dia kirimkan pada Nona Phia Lizarina, semenjak mulai menjadi pembimbingnya. Pukul delapan malam, pesan itu dikirim, dan sejak itu, Kokov tidak lagi mengecek handphone-nya. Dia langsung meluncur ke kantor Oleksandr, mereka ada janji bertemu malam ini. 
Di kantor, mereka berdua mengobrol ngalor ngidul. Oleksandr menceritakan bahwa dalam beberapa hari belakangan, dia sibuk menguntit orang bernama Pieter Both itu. 
“Aku membuat kesalahan, dengan menyepelekan orang ini. Aku terlalu fokus mengurus tambang-tambang harta itu. Kukira dia hanya pion kecil tak penting. Ternyata aku salah. Orang ini adalah perwira tinggi di papan catur. Memata-matai dia adalah keputusan jenius. Oh ya, ngomong-ngomong, saat kau ke sini, kau tidak merasa diikuti bukan?”
Kokov menggeleng. 
Setelah itu, Olek menceritakan dengan detail dan menggebu-gebu bagaimana dia memata-matai orang bernama Pieter Both itu, informasi apa saja yang telah dia dapat, dan apa saja rencananya berikutnya. Kokov berjanji akan membantu jika Olek memerlukan bantuan. 
“Terima kasih. Nampaknya pulang ke kampung halaman memberi efek yang bagus untukmu, teman. Tapi sementara ini, cukup aku sendiri saja dulu. Menarik sekali memata-matai seorang mata-mata seperti Pieter Both.”
Obrolan mereka terus berlanjut sampai pukul tengah malam lewat. Kokov baru pamit pulang pukul 2 dinihari. Olek menawarkan diri untuk mengantar. Takut Kokov kenapa-kenapa. Kokov terlalu lelah untuk berdebat, mengiyakan. Datang ke kediamannya, Kokov langsung terlelap. 
Dan akhirnya bangun kesiangan. 
Karena itulah, sampai pukul 9.30, Kokov belum kelihatan batang hidungnya. Bagaimana mau kelihatan di Le Caoux, dia saja bangun pukul 9 lewat 45 menit. Tidurnya pulas sekali. 
“Astaga, ini buruk sekali. Aku kecolongan.” Kokov mendesis sebal, langsung bergegas mandi, dan berpakaian, bak puting beliung. Berusaha ke Le Caoux secepat mungkin. 
Kemarin-kemarin aku memarahinya karena dia terlambat beberapa menit. Sekarang aku sudah terlambat nyaris satu jam. Astaga, ini memalukan sekali. Kokov menyumpahi dirinya sendiri. Dia berusaha fokus, berkendara secepat yang dia bisa.
Pukul 10 lebih, dia baru bisa sampai di Le Caoux. Dari pintu depan, dia bisa lihat Phia duduk di kursi sebelah sana. Aduh, bagaimana Kokov bisa mendatangi gadis itu dan meminta maaf atas keterlambatannya. 
Kokov menghela nafas. Baiklah, dia adalah pria yang jantan. Dia harus meminta maaf. Tapi, aduh, rasanya gengsi sekali ke sana dan meminta maaf. Ini seperti melanggar kode etik...
Melunaklah, Nak. 
Tiba-tiba Kokov teringat kata-kata ibunya. Pesan itu membuat dia sadar. Dia harus melakukan ini. Akhirnya, Kokov beringsut, mendatangi Phia. 
“Nona Phia. Aku minta maaf.”
Kokov berucap, dengan datar, berusaha menahan emosi dan gengsi. Dia berdiri di depan Phia. Sempurna.
“Eh, Tuan Kokov. Anda baru saja tiba atau sudah duduk di bagian lain sejak tadi.”
“Eh, aku baru saja datang,” Kokov menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 
“Oh, syukurlah, saya takut, anda malah menunggu di tempat lain yang saya tidak tahu.”
“Sama sekali tidak, aku memang...” TRANG!
Baru saja Kokov mencoba duduk, namun karena dia masih agak canggung, dia menjatuhkan sendok yang tadi dipakai Phia untuk mengaduk kopinya. 
Momen canggung pagi itu, lengkap sudah.


Seratus
Cemburu


“Maaf, aku menjatuhkannya. Maaf juga karena aku terlambat. Ini kesalahanku.”
Kokov berusaha tetap tenang dan mengambilkan kembali sendok itu, meletakkannya dengan elegan di meja. Phia tersenyum tipis, dia sama sekali tak bermasalah.
“Maaf juga, jika aku terlihat kikuk dan aneh selama kita bertemu.  Aku memang kurang terbiasa berurusan dengan seorang perempuan. Harap maklum ya.”
“Tuan Kokov, anda tak perlu terlalu banyak minta maaf, lebih baik kita mulai segera. Nanti keburu sampai jam makan siang.”
Kokov mencoba tertawa simpul, berusaha bersikap biasa saja. Mereka kemudian mulai membahas tentang tesis Phia. Tentang sejarah China dan Asia Timur. Untungnya Kokov sudah membaca banyak topik tentang hal tersebut. Jadi diskusi mereka sangat berimbang. 
Sementara itu, di luar sana, ada sepasang mata yang mengawasi pembicaraan dua orang insan beda kelamin itu. Sepasang mata itu menatap dengan nanar. Kebencian menyeruak dari pasang matanya tersebut. Bahkan jari-jari tangannya juga turut mengepal. 
“Kau terlihat sangat menikmatinya ya, Stanislav Kokov. Enak saja kau berbincang asyik dengannya setelah membuatnya menangis. Kau pria tak termaafkan.”
BUKK!
Tak bisa menahan diri, pria itu bahkan menggebuk dashboard mobilnya. Pria itu tidak lain adalah Szczesny. Hanya karena mengingat dia tidak ingin membuat keributan, dia saat ini tidak merangsek ke sana dan melabrak Kokov, pria yang belakangan dia benci karena kedekatannya dengan Phia.
Szczesny cemburu. 
“Bagaimanapun, aku tidak bisa membiarkan mereka bertemu terlalu sering.  Bisa berbahaya.”
Szczesny terus mengawasi dari dalam mobilnya. 
Sampai setengah jam.
Itu adalah detik-detik yang amat menyiksa bagi orang yang jatuh cinta. Melihat cintanya berbincang akrab dengan pria lain. Secara tidak langsung Szczesny telah menandai Kokov sebagai saingan yang harus disingkirkan.
BRUK!
Terdengar bunyi pintu mobil dibuka kemudian ditutup. Seseorang lainnya masuk ke dalam mobil, dia adalah Chrmeko. 
“Maaf, aku membuatmu menunggu agak lama. Pesanannya lambat sekali dibuat.”
“Besok-besok, kita cari kafe lain saja. Aku akan menunggumu berapa lamapun, asal jangan di Le Caoux.” Szczesny menyahut, emosi.  


Seratus Satu
Rencana Jahat S & C


“Hei, ada apa denganmu? Kenapa wajahmu kusut seperti itu?” Chrmeko yang baru saja naik mobil, tidak tahu apa-apa, dan merasa heran kenapa Szczesny terlihat sangat marah. “Kau marah karena aku terlalu lama mengantri? Mau bagaimana lagi, kita datang di jam sibuk Le Caoux, dan minuman kopi favoritku ini juga merupakan favorit banyak orang.”
Szczesny semakin sebal dengan jawaban santai Chrmeko tersebut. “Bukan itu masalahnya,” desisnya lagi dengan wajah ditekuk. 
“Oh, jangan bilang soal Nona berkacamata yang mengobrol dengan Kokov itu. Yahh, mereka memang sedang asyik berdiskusi tadi kulihat.”
“Satu kata lagi dan kau tidak akan bisa meneguk minuman favoritmu itu lagi, selamanya. Aku serius.”
“HEI!”
“Ayo kita jalan saja.”
Szczesny menyalakan mobil. Kemudian mencoba mengusir rasa cemburu yang menancap panas di hatinya, mencoba fokus untuk menyetir saja. Namun rupanya, Chrmeko malah memancing-mancing topik panas itu untuk dibicarakan. 
“Kau cemburu dengan hubungan mereka? Bukankah kau sendiri sudah memastikan bahwa mereka tidak terikat hubungan apa-apa, dan hanya sebatas rekan kerja?”
“Tolong jangan dipertegas.”
“Maksudku adalah, kau masih punya peluang. Mereka tidak berhubungan apa-apa. Kenapa kau tidak mengajaknya jalan sehabis ini.”
“Bagaimana pula caranya. Kita sibuk. Setelah ini harus ke markas itu lagi. Kapan aku bisa mengajak Nona Phia jalan-jalan. Waktunya tak cocok. Dan omong kosong soal peluang. Pria bernama Kokov itu punya lebih banyak peluang dibandingkan aku.”
“Sabarlah. Pasti ada jalannya. Atau, bagaimana kalau kau beri Kokov itu semacam peringatan agar tidak merecoki kesempatanmu mendapatkan gadis itu.”
“Itu gagasan yang brilian. Tapi bagaimana caranya?”
Chrmeko tersenyum, menyeringai, “aku punya ide. Kebetulan sekali.”
“Ceritakan idemu.”
Chrmeko kemudian menerangkan. Rupanya dia melihat Kokov pulang larut tadi malam. Chrmeko tanpa sengaja melihatnya karena saat itu Chrmeko sedang berada di klub, “bersantai”. Chrmeko kemudian menduga bahwa Kokov pulang dari kantor Oleksandr. Mereka mungkin sedang merencanakan sesuatu. Ada kemungkinan, Kokov akan kembali lagi malam ini, dan saat dia pulang larut lagi, ada kesempatan untuk mencegatnya. 
“Ide bagus. Aku punya kesempatan untuk memberinya pelajaran kalau begitu. Kapan tepatnya dia pulang tadi malam?”
“Aku tak tahu persis, tapi kurasa, di atas pukul 12.”
“Sempurna, saat itu jalanan pasti sudah sepi. Aku bisa berbicara dengan leluasa. Ajak aku ke klub-mu malam nanti.”
“Beres. Oh ya, ngomong-ngomong, kalau dia benar muncul malam nanti, apa yang akan kau lakukan? Sekedar memperingatkannya?”
“Kurasa tidak, lebih dari itu. Kokov keras kepala. Kata-kata saja tidak akan membuatnya mengerti. Kurasa satu dua pukulan-lah yang diperlukan.”
“Menarik. Sebaiknya aku ikut kau.”
Szczesny dan Chrmeko melakukan high five. Mereka sudah merancang sebuah skenario yang buruk.


Seratus Dua
Perkelahian Empat Orang


Sepertinya Chrmeko tidak hanya menebak, tapi memprediksi. Dan dia benar. Kokov memang pergi ke kantor Olek lagi malam ini dan mereka kembali ngobrol ngalor ngidul sampai lewat tengah malam. 
Pukul 1.41 dinihari, tanggal 25 Oktober
Kokov yang mengantuk, akhirnya memutuskan untuk pamit. Olek sekali lagi menawarkan bantuan, mengantar Kokov ke kediamannya, tapi Kokov menolak dengan halus. Dia bisa jalan sendiri. 
“Lebih baik kalau kau beri tips agar besok pagi aku bisa bangun dengan segar.”
“Ah tidak ada tips khusus teman. Hanya mulailah pagimu dengan ceria. Dengan senyuman. Maka kau akan tampak segar.”
“Tipsmu itu sama sekali tidak membantu.” Kokov tersenyum masam. 
Kokov pulang dengan berjalan kaki. Sama seperti malam sebelumnya. Tak ada lagi taksi yang beroperasi pukul 1 dinihari di Kiev. Dengan estimasi jam segini, Kokov akan tiba di kediamannya pukul 2 pagi. Dia akan langsung berbaring terlelap karena kelelahan. 
Sama sekali tak disadarinya kalau malam itu, seseorang telah mengintainya. Bukan hanya satu, tapi dua orang. Szczesny dan Chrmeko sama-sama duduk di bangunan diskotik yang sekaligus klub langganan Chrmeko. Mereka duduk di luar, mengawasi jalanan. Szczesny sama sekali tidak minat menegak minuman yang ditawarkan. Hanya Chrmeko yang minum, dia setengah mabuk. 
“Nah, dugaanku benar. Lihat di sana.” Chrmeko menunjuk dengan tangan kanannya yang memegang botol kaca. Kokov sedang berjalan dengan santai. Sedikit terhuyung. Dia mengantuk. Melihat Kokov berjalan, lewat di depan matanya, amarah Szczesny langsung memuncak. 
“Mari aku beri dia pelajaran,” ujarnya dengan tangan terkepal.
“Tunggu dulu. Ada baiknya kau pakai samaran. Aku bawakan topeng ski.”
“Kau mabuk, Chrmeko. Untuk apa topeng ski.”
“Biar kita terlihat seperti penjahat di film-film itu.”
“Kau terlalu banyak nonton film. Aku akan langsung menyerangnya.”
“HEI!”
Szczesny tidak menggubris lagi. Dia langsung berlari mengejar Kokov. Kokov sudah melewati bangunan klub beberapa meter ketika mendengar derap-derap langkah di belakangnya. Kokov berbalik dan....
BUKKKK!
Tendangan keras dan akurat itu mendarat. Tak tanggung, di wajahnya. Membuat Kokov langsung terlempar. Pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya sakit bukan main. Selain itu dia juga sangat terkejut. Jantungnya berdegup kencang. 
“Rasakan itu.” Szczesny menggeram puas. 
Namun, ternyata ada kejutan di atas kejutan. Ketika Szczesny ingin mendekati Kokov yang tak berdaya di atas tanah, seseorang melompat dari balik kegelapan. Balik menyerang Szczesny dengan tongkat pemukul. Untung Szczesny melihat kedatangan penyerang baru itu, dia sempat melompat menghindar. 
Chrmeko melihat kejadian itu, langsung turun tangan juga. Mulutnya yang mabuk mengomel-ngomel, “makanya tadi kubilang, kita harus pakai topeng ski.”
“Kau baik-baik saja, Kokov?” orang bertongkat tadi menghampiri Kokov. Dia adalah Oleksandr. Rupanya tadi Olek diam-diam mengikuti Kokov. Sekedar jaga-jaga kalau ada yang menyerang. Dan ternyata benar, ada yang akan menyerang. 
“Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba menyerangku?”
“Bangunlah jika kau bisa bangun. Karena masalah ini belum selesai.” Olek memandangi ke arah musuhnya. Kini bertambah satu, dan orang baru itu mengenakan topeng ski. 
“Szczesny, sebaiknya kau juga pakai topeng ski. Agar mereka tidak mengenalmu.”
“Kau mabuk, Chrmeko.”
“Hei, kenapa kau menyebutkan namaku.”
“Kau menyebut namaku lebih dulu tadi!”
“Ini pakai.”
“Kau mabuk, Chrmeko!”
“Hei,” ini suara Kokov, memotong perdebatan, “aku kenal kalian. Duet S & C. Tapi aku tidak mengerti, kenapa Szczesny tiba-tiba menyerangku.”
Szczesny menatap Kokov dengan amarah yang berapi-api. “Untuk memberimu pelajaran berharga, Mister Kokov. Pelajaran berharga pukulan.”
“Kuperingatkan agar polisi tidak usah ikut campur urusan pribadi ini. Atau kau akan habis di tanganku,” Chrmeko menunjuk-nunjuk pada Oleksandr. 
Olek malah tersenyum. “Adu perkelahian jalanan ya. Ide bagus. Baiklah, mari kita mulai. Dua versus dua. Duel yang seimbang. Kita sepakat. Tidak ada hukum dalam duel jalanan. Kebetulan, aku juga ingin sekali menghajar wajah kalian berdua.”
Perkelahian pun tidak terhindarkan lagi.


Seratus Tiga
Pertarungan Sengit


Pukul dua dinihari. Alam sedang sunyi-sunyinya, orang-orang sedang tidur nyenyak-nyenyaknya. Di sudut kota Kiev, empat orang ini (satunya setengah mabuk, satunya lagi cemburu buta) malah sibuk adu hantaman tangan. Saling bernafsu menjatuhkan satu sama lain. 
Szczesny adalah yang pertama kali melompat dan mendaratkan serangan. Dia menyasar Kokov. Matanya penuh dengan tatapan kebencian. Tangannya terkepal erat, siap memukul. 
Sayangnya, Kokov bukan petarung kacangan. Dia pernah berlatih beladiri. Dia dengan gesit menghindari dan menangkis setiap serangan yang diarahkan Szczesny padanya. Praktis, sejak serangan pertama, tak ada lagi serangan Szczesny yang kena ke badan Kokov. 
Namun Kokov tidak berencana menyerang balik. Menurutnya dia tidak ada tendensi khusus untuk berkelahi. Dia malah penasaran. Siapa juga yang tidak penasaran saat menemukan seseorang terlihat bernafsu memukulmu di jam dua pagi. 
“Ada apa denganmu? Apakah aku membuat suatu kesalahan yang menyinggungmu?”
“Jangan bicara begitu. Kau membuatku semakin marah,” Szczesny berdesis sebal. Tinjunya terus berkelabat, mencari ruang kosong. Namun Kokov tak kalah gesit. Tinju-tinju itu tidak kena. 
“Dengar, jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu, katakan saja. Jadi perkelahian tak berguna ini, bisa segera diakhiri.”
“KAU MEMBUATKU MARAH!” Szczesny terus memukul. Kali ini diikuti dengan gerakan kaki, menendang. Kokov masih bisa menghindar dengan  jago. 
“Kau amatir yang bahkan tak bisa meninju dengan benar. Jangan bercanda.”
BUKKK!
Kena telak. Bukan Szczesny. Tapi Kokov. Dia balas menyerang dengan tendangan. Membuat Szczesny terlempar ke belakang. Kokov sebenarnya tak mau menyerang, tapi terpaksa, agar perkelahian tak berguna ini segera berhenti. 
Sebaliknya, di sebelah sana, pertarungan berlangsung dengan sengit. Chrmeko yang setengah mabuk, menyerang membabibuta, tidak peduli pada apapun. Oleksandr meladeninya dengan bersemangat. Dia memang sudah lama ingin menghajar Chrmeko. 
“Apa yang kalian rencanakan, heh. Kenapa kalian pergi ke Lyiv dan kemudian memalsukan semua laporannya.”
“Kau jangan main-main denganku.” Chrmeko berteriak, tak terima, “enak saja kau menuduh. Kami bekerja untuk profesor. Kami patuh pada arahan dan perintahnya.”
“Omong kosong. Kalian bahkan memalsukan data-data yang kalian dapat di Lyiv. Aku sudah membacanya sesaat setelah kalian pulang kemarin dari kamar Profesor. Apa yang sebenarnya kalian rencanakan.”
“Kau lancang, polisi amatir.”
“Aku bukan polisi sembarangan. Aku punya data-data yang asli tentang Lyiv.”
“Data kami juga asli. Kami meninjau langsung ke Lyiv, sedangkan kau belum.”
“Aku masih mencurigai kalian. Sebaiknya kalian mengaku sekarang. Apakah kalian bekerja sama dengan orang bernamaPieter Both itu?”
“Omong kosong!” Chrmeko kembali menyergah. Tinju mereka terus berbalasan. Beberapa memar biru sudah terukir di sudut-sudut wajah masing-masing. 
BUKKK!
Dengan geraman yang terdengar samar, Olek menendang jatuh Chrmeko. Sampai terbanting beberapa langkah. “Aku akan mengakhiri ini segera, Kokov.”
“Ya, aku juga.”
“Bagus. Mari kita bawa mereka ke kantor untuk diinterogasi lebih lanjut.”
Kokov dan Olek memegang pertarungan. Mereka mengungguli kemampuan duet S & C dalam duel. 
Sementara itu di balik bayang-bayang gedung yang gelap, seseorang sedang mengamati perkelahian itu. Ketika Szczesny dan Chrmeko benar-benar dijatuhkan, dia beranjak pergi. 
“Ah, dasar anak-anak merepotkan.”


Seratus Empat
Baiklah Aku Mengaku


“Jadi apa tujuan kalian memalsukan laporan tersebut?!”
“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.” Chrmeko berkelit, wajah lebamnya acuh tak acuh.
“Kau bisa mendapatkan lebih banyak masalah kalau tidak mau bersikap kooperatif dalam interogasi ini. Aku bisa menanyakan ini berulang-ulang sampai subuh, lengkap dengan kejutan-kejutan kecil untuk membuatmu mengaku.”
“Kau juga bisa mendapatkan masalah jika memaksa orang bicara tentang apa yang tidak diketahuinya. Kau bisa kena pasal.” Chrmeko masih acuh tak acuh. 
“Kau benar-benar membuat ini jadi sulit,” Olek terlihat sangat marah. Dia ingin sekali menendang wajah orang yang terduduk di lantai, di depannya ini dengan sepatu. Namun sebelum lututnya sempat bergerak, hendak menendang, Kokov lebih dulu mencegah. 
Ini bukan interogasi soal pemalsuan laporan. “Biar aku yang menangani hal ini,” tegas Kokov. Dia kemudian mendekat pada Szczesny. “Kenapa kau menyerangku?” Kokov mulai bertanya. 
“Karena aku ingin menghajar wajahmu itu.”
“Kenapa kau ingin menghajar wajahku?” Kokov masih menjaga intonasinya, amat terkendali. 
“Kenapa? Ternyata kau masih saja tak sadar diri, dasar bajingan. Kau berani menemui Phia lagi, bermesraan setelah membuatnya menangis? Memuakkan. Bajingan kotor!”
“Aku menemuinya justru untuk meminta maaf kepadanya.”
“Aku akan menghajarmu jika kau berani mendatanginya lagi, dan aku akan mematahkan hidungmu kalau kau berani jatuh cinta padanya.” 
Kokov menyernit, apa-apaan maksudnya ini. Olek ikut mendekat, kemudian bertanya, memastikan. “Maksudmu, kau melakukan ini, karena kau cemburu pada Kokov?”
“Kau tidak tahu apa-apa, Opsir. Diam kau.” 
“Senyuman cemburu kau itu terlihat jelas, Szczesny.”
“Memangnya apa salahnya. Aku jelas tidak akan membiarkan pria bajingan seperti kau mendapatkan hati Nona Phia setelah kau membuatnya menangis. Tak akan kubiarkan kau....”
BUKKK!
Keras sekali. Kokov menendang badan Szczesny hingga dia jatuh tersungkur.
“Alasanmu menggelikan sekali. Kau terdengar seperti anak-anak. Aku lebih suka kau menghajarku karena aku menghina nama ayahmu daripada seperti ini. Menggelikan sekali. Aku dan Phia hanya partner kerja. Tidak lebih.”
“Mungkin sekarang iya. Tapi siapa tahu nanti.”
Olek yang terlihat lebih mengerti situasi, berjongkok, menyeringai. “Hei bung, apakah kau tidak percaya diri untuk bersaing dengan Kokov?”
“Diam kau, opsir.”
“Ah, kau benar, Kokov, ini menggelikan. Pria ini tidak berani bersaing denganmu.” Olek tertawa lebar dan keras. Jam dinding di kantornya sudah menunjukkan pukul 3 lewat 23 dinihari. 
“Dengarkan aku baik-baik, Szczesny,” ini Kokov yang bicara, “kau beruntung, baru-baru ini, aku mendapatkan pesan dari ibuku yang memintaku agar bersikap lunak. Jadi, aku akan melunak sekarang. Aku memaafkan kau. Silakan kau dekati gadis itu. Aku tidak peduli. Aku hanya rekan kerja dengannya. Bukan teman dekat. Silakan kau melakukan apapun yang kau inginkan, yang jelas, jangan tiba-tiba menendang kepalaku seperti tadi.”
Szczesny menggeram kesal. 
“Lepaskan dia, Olek. Biarkan dia pergi.”
“Tidak bisa seperti itu,” Olek langsung menyela, “mereka masih tahanan polisi. Aku malas mengurus pembebasan mereka. Ah ini sudah jam berapa. Sebaiknya kita tidur. Besok-besok kita pikirkan lagi dengan kepala yang dingin. Ayo, Kokov.”
Mereka pun meninggalkan Szczesny dan Chrmeko, terbantai di ruangan interogasi.


Seratus Lima
Jaminan dari Profesor


Tanggal 25 Oktober. Pukul 7 lewat seperempat. Pagi hari. 
Kokov terpaksa menginap di kantor polisi karena dia sudah terlampau lelah untuk pulang ke rumah. Jadilah dia dan Olek sama-sama ngorok di sofa di ruang tamu kantor itu. Pukul 6 pagi Olek terbangun, tepat saat matahari sudah mulai bersinar di ufuk timur. Sementara Kokov terus terlelap. 
Olek menyegarkan badan di kamar mandi.
Kokov masih terlelap.
Olek menyeduh kopi dan mengolesi roti dengan selai coklat.
Kokov masih terlelap.
Olek menikmati sarapan.
Kokov masih terlelap. 
Pukul sembilan pagi, karena Kokov masih juga terlelap dalam mimpinya, Olek memutuskan untuk pergi ke ruangan interogasi sekali lagi, seorang diri. 
“Pagi, tahanan-tahananku.”
“Kau membuat kesalahan besar yang tak termaafkan dengan tetap menahan kami di sini, Opsir.” Chrmeko menimpali kalimat sapaan dari Olek. Kondisi mereka buruk. Dan sepertinya mereka tidak tidur semalaman. 
“Ah tidak juga. Jika kalian mau bekerja sama, aku akan segera membebaskan kalian, dari ruangan ini. Jawab pertanyaanku.”
“Kami tidak akan bicara hal-hal yang tidak kami ketahui.”
“Kalian tidak bisa berdusta denganku.”
“Opsir,” giliran Szczesny yang bicara, kondisinya lebih parah daripada Chrmeko, efek tendangan yang dilancarkan oleh Kokov. “Aku mohon, kami hanya merencanakan untuk menyerang Kokov, bukan berurusan dengan kau.”
“Ah, kalian membuatnya lebih mudah sekarang. Jadi kalian mengakui bahwa penyerangan tadi malam itu, terencana. Nah, itu adalah urusan polisi, kalian telah menyerang seorang warga negara beradab. Itu satu kesalahan di mata hukum.”
“Tolong bebaskan kami, opsir. Lagipula, Kokov sudah memaafkan kami.” Szczesny kembali bicara, sekarang terdengar memohon.
Olek menyeringai. “Kau memang terlihat seperti anak-anak, Szczesny.”
“Kalau kau tidak mau membebaskan kami, kau harus berurusan dengan atasan kami.” Chrmeko menyahuti, suaranya terdengar seperti “mengancam”. 
“Ha, siapa memangnya atasan kalian?”
“Profesor Nyoman, tentu saja.”
“Kalian tidak boleh menggunakan telepon. Tidak ada hak istimewa. Kalian adalah tahananku, bukan tahanan polisi biasa.”
“Tak usah repot.  Kami sudah menghubungi beliau. Sebentar lagi, beliau akan menghubungimu, membujukmu.”
“Hei tunggu, bagaimana kalian....”
Ponsel Olek sudah bergetar. Panggilan masuk. Dari Profesor Nyoman. Dengan agak heran, Olek mengangkat telepon tersebut.


Seratus Enam
Langkah Selanjutnya


“Jadi mereka berdua telah dibebaskan?”
“Iya.”
“Pagi-pagi sekali. Kau tidak jadi menginterogasi mereka?”
“Apa boleh buat. Profesor Nyoman yang meminta. Aku tak bisa berkutik.”
Kokov yang baru bangun tidur itu, manggut-manggut sok mengerti. “Baguslah, kita tidak perlu memperpanjang masalah yang menggelikan ini. Semakin kuingat semakin aku... huahhh.” Kokov menguap lebar. Kesadarannya belum kembali sepenuhnya. 
“Yeah, begitulah. Mungkin ada baiknya kusimpan dulu kecurigaanku terhadap Szczesny dan Chrmeko sampai ada bukti yang lebih kuat. Kau mau sarapan, Kokov?”
“Tidak. Aku mau pulang saja. Kurasa menyambung tidur di kamarku adalah pilihan baik hari ini.”
Heran Olek mendengarnya, “kau tidak mengajar hari ini?”
“Tidak, hari ini aku libur.”
“Oh ya sudah. Selamat menikmati hari liburmu. Sepertinya kau benar, kau harus beristirahat.”
Kokov berdiri, mengumpulkan kesadaran. Merapikan bajunya yang compang-camping setelah perkelahian tadi malam. Mengecek apakah ada bekas lecet. Dia tidak mau ada yang curiga dengan dirinya.
“Baiklah, aku harus pulang. Oh ya, apa rencanamu hari ini?” 
“Seperti yang kita bicarakan tadi malam,” ucap Oleksandr, “aku akan mengesampingkan urusan Pieter Both terlebih dahulu, juga urusan Szczesny dan Chrmeko. Aku akan mengurus tuntutan atas Oserzeen dengan tuduhan serius, percobaan aktivitas tambang ilegal di Poltava dan Lyiv. Aku punya cukup bukti. Pengadilan Ukraina akan mendengarkan laporanku.”
“Baiklah, kalau begitu, semoga sukses. Berhati-hatilah, Olek. Karena Oserzeen jelas adalah lawan yang sangat kuat. Mereka tidak akan tinggal diam begitu tahu kau hendak berencana menjungkalkan mereka.”
Olek tersenyum kecut, “aku tak butuh nasihatmu, Kokov.”
Setelah Kokov pergi, Olek langsung bekerja dengan dokumen-dokumen. Baik itu dokumen kertas ataupun soft file di laptopnya. Wajahnya serius. Dia menyusun semua dokumen yang dia punya sehingga urut dan punya makna. 
Inilah yang dibicarakan Olek dan Kokov dua malam terakhir. Rencana menjungkalkan Oserzeen. Selama ini mereka hanya menggunakan jalur kecil-kecilan. Tidak ada dampaknya. Olek tahu mereka harus mengambil langkah yang lebih besar. Tak ada gunanya merusak tambang ilegal Oserzeen di Poltava, mereka bisa membangunnya kembali. Tak ada gunanya memata-matai Pieter Both, itu tidak membuktikan apa-apa. Semua gerakannya itu hanya membuat Oserzeen makin kesal padanya. 
Melawan perusahaan besar seperti Oserzeen harus dengan langkah yang besar pula. Dua hari yang lalu, Olek telah menyelesaikan interogasi pada para tawanan yang dia bawa dari Poltava. Salah satu dari mereka tanpa sadar akhirnya membocorkan celah informasi penting. Olek mengoreknya dalam-dalam. Keterlibatan Oserzeen akhirnya bisa dibuktikan. Bukti-bukti mulai bisa disusun. Olek bisa berharap pengadilan akan menganggap ini serius, perkara hukum. 
Olek mengambil ponselnya, menghubungi temannya yang bertugas di pengadilan hukum Kiev. “Aku akan memasukkan berkasnya hari ini. Aku berharap kalian akan mempertimbangkan ini, secara tertutup, sebelum melakukan pengungkapan besar-besaran.”
“Siap Komandan Oleksandr.”
“Bagus.”
Olek menutup telepon. Dia tersenyum simpul. “Inilah saatnya menabuh genderang perang dengan perusahaan sialan itu.”


Seratus Tujuh
Phia dan Szczesny


26 Oktober, Pukul 8 pagi lewat sedikit
“Nona Phia. Apakah kamu sibuk hari ini?”
Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Phia pagi itu. Dari nomor tidak dikenal. Sebagai etika sopan santun, Phia membalas pesan itu dengan menanyakan, “maaf, ini dengan siapa?”
“Aku Szczesny,” nomor itu langsung membalas pesannya dengan cepat. Tulisannya online. 
Phia segera ingat, Szczesny adalah anak buah Profesor yang kemarin memberinya tumpangan. “Ada apa, Tuan Szczesny?”
“Aku ingin bertemu denganmu. Ada pesan yang dititipkan Profesor.”
“Oh ya, sampaikan saja lewat kolom chatting ini, Tuan.”
“Ah tidak. Jangan. Urusannya sensitif. Aku tidak bisa mengirimkannya di kolom chatting. Kalau tiba-tiba ponselku disadap oleh perampok Serbia bagaimana?”
“Jadi kita harus bertemu langsung?”
“Itulah yang kuharapkan. Bagaimana kalau kita bertemu untuk breakfeast. Aku tahu tempat makan yang menyajikan menu breakfeast yang sedap, dan tidak bercitarasa Prancis.”
Sengaja Szczesny menyelipkan kata Prancis di sana untuk menegaskan bahwa tempatnya bukan di Le Caoux.
“Maafkan aku, Tuan. Aku sudah sarapan di rumah. Tapi jika Tuan Szczesny ingin bertemu, aku akan usahakan bisa. Tentukan saja tempatnya, nanti aku datang.”
“Ah jangan. Aku tidak mau membuatmu repot. Ya sudah, bagaimana kalau makan siang saja? Restoran di pinggir Sungai Djnepr adalah tempat makan siang terbaik di kota.”
“Jadi pesan ini tidak mendesak sifatnya, Tuan?”
Astaga Szczesny fokus. Fokus pada pesannya, bukan pada makan siangnya. Kau terlalu frontal.
“Iya, pesan ini bisa menunggu.”
“Baiklah kalau begitu. Saat makan siang.”
“Bagus. Aku jemput kamu di Kurin sekitar jam 11.”
“Eh, Tuan tahu dimana aku tinggal?”
Szczesny menyumpahi dirinya lagi. Kenapa dia harus terlalu frontal seperti ini. 
“Tadi diberitahu oleh Profesor. Profesor juga yang memberiku nomor teleponmu.”
“Baiklah. Terima kasih, Tuan Szczesny. Sampai jumpa saat makan siang.” Phia kemudian menutup kolom chatting, lanjut mengerjakan draft tesisnya. Sudah banyak perkembangan sejak diskusi dengan Kokov di Le Caoux kemarin itu. 
Restoran yang berdiri di tepi Sungai Djnepr memiliki nama yang ditulis dalam bahasa Ukraina. Sayangnya, nama itu sulit sekali dieja. Jadi untuk kepentingan cerita, Restoran itu akan disebut sebagai Restoran Terapung Sungai Djnepr, atau Restoran Terapung saja. 
Kenapa disebut Terapung?
Sebenarnya Restoran itu tidak benar-benar terapung secara harfiah. Restoran itu tetap dibangun di atas daratan. Tepat di tepi Sungai Djnepr. Di seantero kota, cuma restoran ini bangunan yang benar-benar berada di tepi sungai. Selama periode tertentu, air sungai akan meluap, air pasang, dan membuat sebagian bangunan restoran masuk ke dalam air. Karena itulah restoran ini disebut restoran terapung. 
Meskipun periode terapungnya restoran itu adalah periode terbaik untuk makan di restoran tersebut, Szczesny tidak bisa menunggu sampai restoran itu sampai ke periode terapungnya. Terlalu lama. Siang ini juga, dia memboyong Phia ke restoran itu. Menikmati hidangan khas Ukraina yang menggugah selera. 
“Jangan ragu untuk menghabiskan makananmu, Nona Phia.”
“Tuan Szczesny, seharusnya tidak perlu repot-repot. Lihat, makanannya banyak sekali.”
“Tidak apa. Makanan di sini terlampau murah.”
Ya inilah kelebihan Restoran Terapung Sungai Djnepr. Meski dicap sebagai restoran terbaik di Kota Kiev, harga makanan di sana, terhitung murah. 
“Tuan, jadi pesan apa yang ingin disampaikan Profesor padaku?”
“Ah itu,” Szczesny baru saja tertangkap basah memandangi Phia dengan tatapan takjub, Khidzib-nya yang berwarna merah muda itu, membuat Phia terlihat semakin cantik, cerah dan cantik. 
“Profesor ingin agar aku mengawalmu. Setiap kamu hendak bepergian, aku harus menjaga dan mengantarmu.”
“Eh?”
Phia tidak  bisa menyembunyikan rasa herannya.


Seratus Delapan
Saya Mohon


Apakah Szczesny hanya sedang mengarang alasan, atau Profesor Nyoman memang menugaskannya demikian?
Mayoritas orang pasti berpikir Szczesny hanya sedang mengarang-ngarang alasan. Alasan yang buruk, karena dia membawa-bawa nama Profesor Nyoman pula. Namun, faktanya, Szczesny tidak sedang mengarang-ngarang alasan, dan dia memang meminta izin pada Profesor Nyoman. 
Ya, ini memang sulit untuk dipercaya!
Malam sebelum Phia menerima pesan ajakan dari Szczesny, orang itu sudah mendatangi rumah sakit. Menghadap Profesor Nyoman Asdawirya. Mulanya Profesor kesal sekali karena kabar ribut-ribut antara Szczesny, Chrmeko, Olek dan Kokov. Namun setelah Szczesny menceritakan semuanya, alasan-alasannya. Wajah Profesor berubah mimik, begitu juga Vlari.
Profesor tersenyum lebar, sementara Vlari geleng-geleng kepala. 
“Saya sungguh menyukai gadis itu. Saya ingin memilikinya, Profesor.”
Suara Szczesny begitu halus, lirih dan penuh dengan pengharapan. Profesor meneguk air hangat terlebih dahulu, baru menanggapi. 
“Szczesny, satu hal yang harus kau ingat. Bahkan harus kau camkan. Nona Phia Lizarina, adalah orang timur. Orang Indonesia. Lupakan dia jika kau berniat menjalin hubungan ala barat dengan dia. Aku tak akan memaafkanmu.”
“Saya mengerti, Profesor. Saya akan usahakan untuk menjalin hubungan yang terhormat dengan dia.”
“Gadis itu istimewa sekali, Szczesny. Kau harus tahu itu. Aku bisa melihat betapa istimewanya dia dengan wisdom-ku. Maka, saat kau lihat aku mengistimewakannya, itu bukan berlebihan. Tidak mengada-ada. Gadis itu pantas mendapatkannya.”
“Saya mengerti. Saya akan memperlakukannya istimewa, seperti halnya profesor menganggapnya istimewa.”
Profesor terdiam sejenak, matanya menerawang, “Szczesny,” panggilnya, “aku tidak bisa melihat masa depan. Tapi, aku punya banyak pengalaman.”
“Iya Profesor. Saya tahu, wisdom anda adalah naluri tertajam di dunia.”
Profesor tersenyum tipis.  Szczesny tahu cara memuji dirinya. 
“Wisdom-ku mengatakan, kau tidak cocok dengan Nona Phia. Mungkin belum cocok.”
“Apakah maksud anda, Kokov lebih cocok dengannya?” Szczesny tidak terima. 
“Ah kau ini seperti anak muda yang baru jatuh cinta saja. Aku tidak bilang demikian, Szczesny. Aku bilang kau belum cocok dengannya. Tidak ada hubungannya dengan Kokov. Gadis itu, Nona Phia, punya kualitas yang tinggi. Dia harus bersanding dengan orang yang kualitasnya setara dengan dia. Kau saat ini belum sepadan. Bahkan Kokov juga belum.”
“Berikan aku kesempatan untuk membuktikan diriku pada gadis itu, Profesor.”
Begitulah kira-kira. Akhirnya Profesor mengizinkan Szczesny, untuk mengambil tanggung jawab. Menjadi supir Phia kapanpun gadis itu memerlukan tumpangan. 
Malam itu sesudah Szczesny pergi, dengan wisdom-nya, profesor menerawangkan sesuatu, “gadis itu akan punya seseorang yang hebat. Dan orang itu, tidak lahir di negeri ini.”


Seratus Sembilan
Membuntuti Pieter Both


Selama berkas-berkas itu masih diproses, sampai pengadilan bisa menjatuhkan status bersalah, sampai saat itu tiba, kita tidak boleh membicarakan hal ini. Kita harus waspada betul pada Pieter Both. Dia ada di sekeliling kita, mengintai. Jangan sampai dia tahu, kita sedang mengatur strategi untuk menjungkalkan Oserzeen. 
Tanggal 26 Oktober. Di Restoran Terapung Sungai Djnepr. 
Di saat-saat Szczesny asyik mengobrol soal restoran ini dengan Phia, di tempat yang sama, ada beberapa orang lain. Orang-orang yang berkepentingan. 
Di pojok kanan, ada dua orang petugas berseragam. Mereka memakai kacamata dan masker. Berbicaranya berbisik-bisik. Di baju mereka, tertulis nama berbahasa Inggris. Khas Eropa Barat. 
Sementara di pojok kanan, dekat dengan pintu keluar, seseorang sedang menikmati makanan sambil menatap awas sekitarnya. Matanya tajam melihat ke arah Phia dan Szczesny. Sesekali dia meletakkan sendoknya, dan mengamati dengan saksama. 
“Tidak salah lagi, dia adalah Pieter Both.” Terdengar suara bisikan lirih dari salah satu petugas berseragam. Temannya yang satu lagi menyondongkan badan, mencoba mendengarkan bisikan temannya. 
“Komandan yakin?”
“Tentu saja. Aku selalu mengintainya selama seminggu belakangan ini. Dia mencurigakan sekali.”
“Apa yang dia lakukan di sini?”
“Entahlah. Tapi dia orang jahat. Dia pasti punya rencana-rencana jahat. Jangan-jangan sehabis ini dia akan berbuat yang tidak-tidak pada Nona Phia. Gadis itu adalah bidikan sempurna yang akan langsung menarik perhatian Profesor dan Kokov.”
“Semoga tidak, komandan.”
Kemudian mereka mengangguk-angguk. 
Hampir setengah jam, orang yang diduga Pieter Both itu berada di restoran. Dia menghabiskan makanannya dengan tenang dan elegan. Setelah makanannya habis, dia segera berdiri, dan meninggalkan tempat itu. 
Setelah memastikan Pieter Both benar-benar pergi, dua orang petugas berseragam itu kemudian melepaskan samarannya. Ternyata mereka adalah Oleksandr dan seorang opsirnya. 
“Kurasa dia hanya sedang makan di sini, Opsir.”
“Kurasa anda benar, Komandan. Apakah kita harus membuntuti dia?”
“Ide bagus. Tapi sebelum itu, aku harus melakukan sesuatu terlebih dahulu.”
Olek meraih telepon genggamnya, kemudian memotret ke arah Szczesny dan Phia yang sedang mengobrol. Olek menyeringai melihat hasil potretnya. Foto yang bagus. Foto ini bisa dikirim ke Kokov. Baiklah, mari kita lakukan. 
Kokov, lihatlah. Sainganmu sudah beraksi. Sebaiknya kau bergerak cepat, kalau tidak kau akan kalah cepat. Klik send. Olek kembali menyeringai. 
“Kita kembali ke mobil, opsir. Kau yang kemudikan.”
“Siap Komandan.”
Baru saja Olek duduk nyaman di kursi mobilnya, masuklah telepon dari Kokov. Langsung diangkat. 
“Ada apa?”
“Apa maksudmu dengan foto barusan.”
Olek menyeringai lagi. Dia bisa membayangkan wajah Kokov. Pasti sedang kesal. Atau malah cemburu?
“Aku hanya memperingatkanmu. Sainganmu sudah bergerak. Inisiatifnya cepat sekali. Kau harus mengebut, teman. Kalau tidak, kau bisa kalah di tikungan terakhir.”
“Apa yang kau bicarakan, Olek!” Kokov berteriak sebal di seberang sana. 
Olek terdiam sejenak, menyuruh opsirnya menyetir lebih cepat, agar bisa membuntuti Pieter Both.


Seratus Sepuluh
Aku Memperingatkanmu


Pembicaraan di telepon itu masih berlangsung. Kokov belum memutus panggilan. 
“Jangan kau bahas soal ini lagi denganku, menggelikan sekali.” Kokov masih menyahuti dengan decakan sebal. 
“Baik, baiklah. Aku minta maaf. Aku akan membicarakan hal yang lebih serius sekarang. Opsir, belok kanan, target kita ada di taksi itu.”
“Siap Komandan.”
“Sedang apa kau, Olek? Siapa yang sedang kau buntuti.”
“Ah biasa, Pieter Both.”
“Bukankah...”
“Yang satu itu, tolong kau jangan bocorkan. Kau ingat kata-kataku bukan?”
Kokov segera ingat pesan Olek. Jangan bicarakan tentang Oserzeen dan terus saja fokus seolah sedang memburu Pieter Both. Sampai pengadilan memutuskan keadilan. 
“Jadi apa yang hendak kau bicarakan?”
“Pertanyaan bagus. Aku ingin kau memperingatkan Nona Phia, agar dia tidak terlalu dekat-dekat dengan Szczesny.”
“Bukankah sudah kubilang aku tidak suka topik-topik ini. Menggelikan!”
Olek buru-buru menenangkan Kokov yang menyahut dengan nada tinggi itu, “tenang teman. Kali ini aku serius. Aku tahu kau memang tidak peduli dengan mau jadi apapun mereka, aku tahu. Tapi, kau perlu memperingatkan Phia agar berhati-hati. Szczesny dan Chrmeko masih merupakan target besarku. Aku belum menghapus nama mereka dari daftar tersangka. Jadi kita harus hati-hati.”
“Kau peringatkan saja dia sendiri.”
Kokov langsung memutus panggilan telepon itu, secara sepihak. Olek menghela nafas, geleng-geleng kepala. Dia ingin mengucapkan sepatah kata, namun opsir mendahuluinya. “Komandan, kita kehilangan jejak Pieter Both.”
“Hei, bagaimana bisa.” Olek terkejut.
“Maafkan saya, komandan.”
“Ya sudah, tidak apa. Toh kita hanya pura-pura membuntutinya. Opsir, tolong kau arahkan mobil ini ke Kurin. Kita akan menunggu seseorang di sana. Ah Kokov tak bisa diandalkan. Harus aku sendiri yang memperingatkan gadis itu.”
Opsir menuruti perintah komandannya. Mereka mengarahkan mobil ke Kurin. Jalannya memutar. Olek dan opsirnya tiba bersamaan dengan mobil Szczesny. Pria itu membantu Phia turun dengan membukakan pintu mobil. Olek geleng-geleng kepala melihat kelakuan orang yang dihajarnya beberapa hari yang lalu itu. 
Sepertinya Szczesny adalah pria zaman lawas yang menganggap cinta sebagai sesuatu yang suci. Ini menarik sekali.
Olek menunggu sampai mobil Szczesny hilang dari pandangan, baru dia bergerak. Turun dari mobil kemudian mengetuk pintu Kurin. Pintu yang baru saja ditutup oleh Phia. 
“Halo, Nona Phia.”
“Eh, Tuan Oleksandr.” Phia membukakan pintu dan kaget melihat Oleksandr sudah ada di sana.
“Tidak perlu terkejut begitu. Aku hanya mampir sebentar.”
“Ada apa ya?”
Lalu Olek menerangkan agar Phia berhati-hati pada Szczesny. “Dia masih ada di daftarku. Dia adalah terduga tersangka. Aku tidak menyalahkannya, tapi aku ingin kamu waspada.”
“Tentu. Saya akan selalu waspada.”
“Baguslah. Aku mampir untuk menyampaikan hal itu. Selamat siang.”
Kemudian Olek beranjak pergi.


Seratus Sepuluh
Sylvi Mendapat Pencerahan


Phia tadi tidak sempat masuk ke dalam rumah. Baru saja dia menutup pintu saat Olek mengetuk pintu. Jadi dia keluar lagi. Sekarang, setelah Olek pergi, barulah dia menyadari sesuatu. Rupanya di seluruh penjuru rumah, tercium bau yang lezat. Phia buru-buru ke dapur. Karena ini jelas bau makanan. 
Betapa kagetnya Phia ketika masuk ke ruang makan dan dapur. Dia melihat satu set hidangan lezat di meja makan telah tersaji. Itu ayam panggang yang dipanggang dalam keadaan utuh, tidak dipotong-potong, lengkap dengan nasi mengepul hangat. 
Sungguh bau dan tampilan hidangan yang menggugah selera. 
“Kejutan!”
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru di belakangnya. Rupanya dia adalah Sylvi. “Eh kamu yang menyiapkan ini semua?” Phia membalikkan badan. Bertanya. 
“Ya, bagaimana? Kamu suka?”
“Ini terlihat sangat lezat, Sylvi. Bagaimana bisa kamu...”
“Mari kita makan dulu. Ceritanya bisa sambilan. Ayo, mumpung nasinya masih mengepul.”
Ah ini benar-benar sebuah kejutan besar bagi Phia. Memang, hidangan nasi dan ayam ini sebuah kejutan, namun sikap Sylvi yang begitu sumringah, ceria dan bersahabat ini juga satu kejutan. Ini kali pertama Sylvi menyapanya dengan senyum semenjak dia marah-marah dan menceritakan masa lalunya. 
Lalu apa yang terjadi sebenarnya?
“Tak usah bingung. Anggap saja aku mendapatkan pencerahan.” Sylvi sudah berseloroh, bahkan sebelum Phia sempat menanyakannya. Dan agaknya Phia tidak akan sampai hati menanyakan soal itu. 
“Hidangan ini benar-benar membuatku meneteskan air liur.” 
“Aku senang jika kamu suka dengan hidangan ini. Meskipun tidak familiar di lidah orang Ukraina, makan besar semacam ini tentu sudah tak asing bagi kalian bukan, orang Indonesia.”
Sekarang Phia tahu kalau Sylvi benar-benar mempersiapkan semuanya dengan matang. 
Tapi kenapa? Apa pencerahan yang dimaksud Sylvi. Phia ingin bertanya, tapi takut menyinggung. Sekali lagi Sylvi bisa membaca pikirannya. “Tidak usah heran, Phia. Lanjutkan makan. Jangan sampai secercah keheranan malah mengganggu selera makanmu.”
Ini mulai terlihat mencurigakan.


Seratus Sebelas
Keputusan Pengadilan


27 Oktober
Hari ini, kantor Olek kedatangan seorang tamu terhormat yang tak disangka-sangka olehnya. Mister Bojinov yang berbadan besar, berparas tampan dan berkarisma. Siapa yang tak kenal dengannya. Dia adalah jaksa penuntut umum di pengadilan Tinggi Kiev. Dia pula yang bertanggung jawab menindaklanjuti laporan yang kemarin dimasukkan Olek ke pengadilan. 
“Tuan Bojinov. Senang sekali menyambut kedatangan anda hari ini. Mari, silakan duduk. Saya akan buatkan kopi untuk anda.”
“Tidak perlu repot, Komandan Oleksandr. Saya hanya sebentar di sini.” Suara tamunya yang berwibawa itu membuat Olek batal berdiri dari kursinya. Terdiam. 
“Ada apa gerangan, apakah laporan yang kemarin saya masukkan sudah diproses secara hukum?”
Tuan Bojinov menghela nafas. Tangan-tangannya yang besar bermain-main di samping kursi. 
“Ya, sudah. Saya telah meninjaunya sendiri. Ini memang prosedur yang tak biasa. Hanya karena anda kami mau melakukan hal yang tak fair secara hukum ini.”
“Tuan Bojinov, anda membicarakan hal ini lagi,” Olek berusaha bersuara sehalus mungkin, “kita memang tidak bersepakat tentang ini. Saya tahu, tidak fair memproses seseorang atau satu pihak secara hukum tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ya saya tahu. Ini penyelidikan sepihak. Saya tahu. Tapi, yang kita lawan adalah pihak yang kuat. Yang sekali saja mereka tahu kita sedang menjungkalkan mereka, mereka dengan mudah akan memanipulasi semuanya. Ini juga tidak fair. Jadi saya rasa, sah dan fair bagi kita untuk menyelidiki kemungkinannya dipenjara sebelum memanggilnya ke pengadilan.”
Mr. Bojinov menghela nafasnya. “Saya sudah bilang, karena anda, seorang polisi dan agen rahasia, kami mau bekerja sama dan melakukan peninjauan terhadap barang bukti.”
“Tuan Bojinov, maafkan saya. Tapi saya rasa kita tidak perlu mendebatkan ini pagi-pagi.”
“Anda benar, Komandan Oleksandr. Saya datang hari ini ingin mengabarkan keputusan pengadilan.”
“Nah ini akan kudengarkan dengan semangat. Berapa tahun kira-kira tuntutan untuk Oserzeen bisa dimungkinkan?”
Orang yang berposisi sebagai jaksa penuntut umum itu malah menggelengkan kepalanya, “saya tidak membawa kabar baik yang ingin anda dengar. Sama sekali tidak. Saya membawa kabar  yang tak enak. Pengadilan tidak bisa melanjutkan proses hukum, karena bukti yang anda miliki, kurang kuat.”
Terperanjat Olek dibuatnya. “Buktinya kurang kuat? Mustahil, Tuan Bojinov. Saya punya empat saksi kunci, juga dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa tambang-tambang itu sudah beroperasi berbilang tahun tanpa izin. Bukti-bukti itu cukup kuat. Apalagi yang ingin anda minta? Bukti kalau mereka mencoba membunuh saya? Saya punya banyak bukti juga soal itu.”
“Komandan Oleksandr,” Mr. Bojinov berkata lembut, dan itu langsung membuat Olek terdiam seribu bahasa. Itulah kekuatan karisma dari seorang Mr. Bojinov.
“Saya hanya meminta anda bersikap fair dan objektif dalam hal ini. Bukti yang anda miliki masih kurang. Jika anda ingin proses ini dilanjutkan, maka harus ada bukti-bukti lainnya yang diajukan. Tugas anda hanya mencari bukti-bukti tambahan itu. Bukannya terbawa perasaan. Ingat, anda sebagai aparat hukum, juga harus objektif dalam hal ini.”
Olek terdiam seribu bahasa.
“Saya pamit. Kabari saya jika anda punya bukti-bukti baru yang menguatkan dugaan anda. Sehingga kita bisa mulai mengungkap skandal ini. Jika memang ada skandal.”
Habis Tuan Bojinov menghilang dari pandangan, Olek tidak bisa menahan rasa marah. Kurang ajar. Pasti ada sesuatu yang salah di sini.


Seratus Dua Belas
Kalau Ada yang Keberatan


“Kau yakin Profesor mau mendengarkan soal ini lagi?”
“Tidak ada salahnya bukan, meminta nasehat dari beliau?”
Olek mengeraskan wajahnya. Giginya gemerutuk. Dia sedang berkendara dengan mobil patrolinya. Earphone nyangkut di telinganya, dia sedang bicara dengan seseorang. Layar ponselnya bertulis “Kokov”. 
Olek langsung memberitahu Kokov soal rencana mereka yang menemui kegagalan. Pengadilan menolak pengajuan kasus mereka karena dianggap kurang bukti. Kokov yang saat ditelepon sedang menuju ke Kiev Hospital untuk menjenguk Profesor, akhirnya mengajukan saran gila. Setidaknya Olek menganggap itu saran gila. 
Melibatkan kembali Profesor Nyoman dalam rencana-rencana mereka. 
“Tidak ada salahnya, Olek,” Kokov kembali mengulang kalimatnya, “siapa tahu beliau punya bukti yang bisa membantu kita.”
“Kokov, maafkan aku. Tapi aku masih belum melupakan pesan yang disampaikan profesor lewat kau tempo hari.”
“Ah soal pesan itu,” Kokov menggantung kalimatnya. Pesan yang dahulu ditulis Profesor lewat surat itu, semakin dipikir, semakin aneh rasanya. Tidak ada gelagat Profesor pernah menulis pesan semacam itu. Profesor tidak pernah menginginkan pemutusan hubungan kerja sama dengan Olek. Malah sebaliknya, Profesor selalu menanyakan perkembangan penyelidikan mereka, misi mengalahkan Oserzeen, Profesor sering bilang.
“Ini hanya dugaan liarku, Olek. Tapi menurutku, pesan itu adalah manipulasi. Adu domba. Pesan itu sengaja ditulis agar aku, kau dan Profesor, pecah kongsi. Profesor selalu menerima kedatanganmu. Percayalah.”
“Baiklah. Aku akan ke rumah sakit. Semoga Profesor dalam kondisi baik saat aku datang. Karena apa yang akan kubicarakan ini, sangat serius. Ingat Kokov, satu kata saja yang membuatku jengkel, aku akan pergi meninggalkan ruangan.”
Telepon dimatikan. Pembicaraan segitiga antar tiga orang itu, siap dilaksanakan. 
Seperti yang dikatakan Kokov, Profesor sangat tertarik dengan perkembangan penyelidikan yang dibuat Olek. Profesor sangat bersemangat saat Olek bilang dia sudah nyaris menyeret Oserzeen ke meja hijau. 
“Tapi pengajuan kasus ini ditolak pengadilan. Dianggap kurang bukti, Profesor.”
“Bagaimana dengan kasus pencurian data di rumahku, serta pengebut yang menyebabkan aku kecelakaan. Itu bisa jadi bukti tambahan bukan?”
Olek langsung menggeleng. “Saya rasa tidak, Profesor. Membawa kasus itu akan membuat semuanya jadi merepotkan. Akan seperti kasus pribadi, antara anda dengan Oserzeen. Padahal kita hendak menuntut mereka bukan atas kesalahan mereka pada anda, melainkan kesalahan yang mereka buat pada negeri ini, pencurian hasil tambang.”
“Bukankah Profesor juga terkait di sana, karena profesor-lah yang bertanggung jawab memberi izin tambang.” Kokov mencoba memberi pendapat.
“Ya, dan mereka pernah mengancamku. Aku masih ingat betul kata-kata utusan Oserzeen ketika aku menolak membubuhkan tanda tangan.”
Olek menyapu wajahnya. Dia tetap menggeleng. Bukan bukti semacam itu yang mereka perlukan. “Kita perlu bukti tentang tambang ilegal. Lebih banyak lagi.”
“Ah iya,” Kokov tiba-tiba menyahut, sepertinya dia teringat akan sesuatu, “bukankah kau pernah bilang kalau ada tiga titik tambang yang diincar Oserzeen. Lyiv dan Poltava sudah dicek, tapi Odessa belum. Mungkin bukti yang kita perlukan ada di sana.”
“Sebenarnya aku ingin kesana,” timpal Olek, “tapi Odessa sangat jauh dari Kiev. Belum lagi aku harus mengurus perizinan ke sana, karena aku harus membawa anak buahku. Butuh waktu. Sementara kita butuh bukti secepatnya agar pengadilan percaya.” Olek di ujung kalimat sangat emosional, dia teringat dengan sorot mata meragukan dari Mr. Bojinov tadi. 
“Aku ada ide,” ini Profesor yang berbicara, “aku akan mengirim dua agen terbaik untuk pergi menyelidiki ke sana. Cari bukti sebanyak mungkin lalu kirim lewat ponsel. Bisa seperti itu bukan?”
“Maksud anda duet S & C?” Kokov bertanya.
“Benar.”
“Cukup, aku keluar dari ruangan ini.”
Seperti yang dia ucapkan, Olek langsung meninggalkan ruangan karena sebuah kata yang salah diucapkan oleh Kokov. Dia tidak suka dengan keterlibatan duet S & C.

Seratus Tiga Belas
Berita Kesembuhan Profesor


Malam hari, masih di tanggal yang sama. 
Olek masih di kantornya. Seperti yang dia bilang, tidak mudah mengurus izin penyerbuan ke Odessa. Meski dia sudah berusaha keras, izin itu keluar paling cepat besok pagi. Olek menghela nafas. Semangatnya harus berbenturan dengan regulasi yang tidak fleksibel. Ini juga karena Odessa bukan kawasan sembarangan. 
Malam hari itu pula, Kokov menyambanginya di kantor. Olek menyambut Kokov dengan ramah tamah, menawarinya minum kopi. Kokov menolak dengan halus. Bilang dia hanya sebentar mampir. 
“Ada apa?”
Kokov menghela nafasnya terlebih dahulu sebelum bersuara, “ini bukan kabar yang ingin kau dengar.”
“Biar kutebak, laporan dari S & C?”
“Iya, mereka berangkat siang tadi, tidak lama setelah kau pergi dari rumah sakit. Profesor menuntut mereka gesit. Tadi sore, mereka sudah melapor dari Odessa.”
“Apa yang mereka temukan?”
“Mereka tidak menemukan apa-apa.”
Olek langsung terkejut mendengarnya. Tidak menemukan apa-apa? Mustahil. 
“Aku tidak bercanda. Itulah yang mereka laporkan pada Profesor.”
“Tidak mungkin. Odessa sama dengan Lyiv dan Poltava. Seharusnya ada hal yang mencurigakan di sana. Mungkin mereka kurang teliti. Mungkin mereka tidak mencari ke setiap penjuru kota.”
Kokov mengangkat bahu. Profesor tadi juga menanyakan hal yang sama, dan duet S & C menjawab dengan “kami sudah mengecek semuanya. Tidak ada yang terlewat.”
“Aku harus ke sana sendiri besok. Aku harus memastikan semuanya sendiri. Mustahil tak ada tambang ilegal. Mungkin Oserzeen hanya menyembunyikannya dengan lihai. Atau Duet S & C memang menyembunyikan sesuatu.”
“Kalau kau berangkat, aku ikut.”
“Perjalanan ini mungkin memakan waktu lebih dari sehari. Apakah kau tidak ada agenda besok?”
Pertanyaan itu dijawab Kokov dengan gelengan. Besok dan lusa jadwalku kosong. Hanya ada jadwal membimbing Nona Phia. Dan itu bisa kupindahkan.”
“Apa maksudmu dipindahkan?”
“Kewajibanku untuk membimbingnya boleh jadi sudah berakhir. Karena Profesor Nyoman dinyatakan sembuh oleh rumah sakit.”
Eh apa? Dinyatakan sembuh? Olek tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya atas kabar tersebut.


Seratus Empat Belas
Aturan-aturan yang Aneh


Malam itu, seusai kepulangan Kokov, Olek terus tenggelam dalam pekerjaannya. Dia sangat sibuk. Ada banyak data-data yang harus dianalisisnya. Lewat rekan-rekannya di lapangan, Olek menemukan semua data tersebut. Terutama kondisi lingkungan di Odessa, itu sangat berpengaruh. Olek terus berkutat dengan analisis sampai lewat tengah malam. 
Pukul dua pagi, setelah berkutat dengan data-data yang ada, Olek telah menandai tiga tempat yang dicurigainya sebagai pusat tambang ilegal di Odessa. Tambang kecil namun dalam. Ah kalau soal tambang ilegal, besar kecil tidak ada bedanya. Sama saja. Sama-sama mencuri secara tak terhormat. Oserzeen benar-benar serius. 
Baiklah saatnya tidur. Semoga besok pagi dia sudah mengantongi izin untuk masuk ke Odessa. 
Pada masa itu, kota Odessa di selatan Ukraina termasuk zona rawan konflik. Ada banyak milisi militer tak resmi yang bermukim di Odessa dan sekitarnya. Tempat itu secara de jure masih dikuasai pemerintah Ukraina, namun secara de facto, Ukraina tak punya wewenang mengatur Odessa. 
karena itulah susah bagi atasannya, mengizinkan Olek datang ke Odessa. 
Tanggal 28 Oktober
Pagi hari. Komputer Olek menerima sebuah email. Sang pemilik sedang mengambil roti dari dalam toaster. Mengolesinya dengan selai. Begitu Olek kembali ke depan komputer, bukan main senangnya dia menerima email tersebut. 
“Ah akhirnya, izin ke Odessa!” dia berseru-seru. Namun seketika email itu dia baca, seketika itu pula dia mendesah kecewa. “Hanya dua orang? Astaga, jangan bercanda. Aku harus membawa pasukan. Apalagi Odessa adalah tempat yang berbahaya!” Olek menyumpah-nyumpah. Emosinya dibuat terbakar di pagi yang cerah. 
Namun pada akhirnya, Olek tahu dia tidak punya pilihan lain. Dia harus tetap ke Odessa. Meski hanya dengan satu orang teman. Meski dengan berbagai aturan ketat yang ditetapkan oleh atasannya. Sudah jelas siapa yang akan diajaknya.
“Kau sudah bangun bukan?” Olek langsung menelepon Kokov, tangan kanannya masih memegang roti, “cepatlah sarapan. Setengah jam lagi, aku akan menjemputmu. Kita akan pergi ke Odessa.”
“Baiklah. Aku tunggu.”
Setelah adegan grasak-grusuk sarapan. 
Olek menjemput Kokov di kediamannya dengan membawa mobil biasa. Itu satu aturan batasan yang ditetapkan atasannya di dalam email. Olek juga tidak boleh mengenakan seragam, tidak boleh mencantumkan identitas apapun yang menyiratkan bahwa dia adalah petugas kepolisian, tidak boleh mengajak bicara penduduk sekitar, tidak boleh menabrak ayam, tidak boleh melakukan tindakan penegakan hukum, tidak boleh bersikap intimidatif, tidak boleh makan dan minum di  tempat makan di Odessa, tidak boleh mengebut,  tidak boleh membawa senjata tajam, tidak boleh menunjukkan senjata tajam pada warga, tidak boleh mengganggu anak-anak, serta harus menghentikan penyelidikannya saat malam menjelang.
Banyak sekali batasannya. Olek saja sampai geleng-geleng kepala. Ah tidak, bahkan Kokov geleng-geleng kepala. 
“Yeah mau bagaimana lagi. Itulah harga yang harus kita penuhi agar bisa diizinkan melakukan penyelidikan ini. Oh ya, satu lagi, pagi ini mood-ku buruk, tolong jangan ajak aku bicara, sampai kita sampai di perbatasan Odessa.”
Kokov mengangguk. Soal tidak bicara apa-apa, dia ahlinya. 
Sesampainya di perbatasan Odessa, barulah Kokov bertanya sesuatu. Pendek saja. Kita mau kemana?”
Olek fokus mengemudi. Mereka mulai masuk ke kota Odessa yang asri dan hijau. Dia membiarkan pertanyaan Kokov sejenak.
“Sekolah Tinggi Ilmu Matematika Odessa. Kurang lebih.”
“Sebuah sekolah?”
“Bukan sekolah biasa. Itu adalah tempat paling terhormat di Odessa.”
“Apa yang mencurigakan dari sekolah itu?”
“Banyak. Kau mau tahu? Sekolah itu bukan sekolah negara. Sekolah itu dimiliki oleh sebuah yayasan. Kau bisa menebak, siapa yang ada di balik yayasan itu, yang mendanai sekolah itu?”
“Siapa? Orang terkenal?”
“Sebuah perusahaan terkenal asal Belarussia bernama Oserzeen.”
Terperanjat Kokov. Namun Olek hanya tersenyum tipis. “Simpan pertanyaanmu nanti. Kita akan menggeledah sekolah itu sekarang.”

Seratus Lima Belas
Penggeledahan di Odessa


Kokov tidak lagi bertanya. Dia cukup mengerti situasinya. Menegangkan. Itulah kata yang paling tepat. Meski sebenarnya, suasana sekolah itu biasa saja. Sama seperti sekolah lainnya. Di sepanjang jalan menuju gedungnya, ada banyak orang berseliweran. Berseragam. Hanya saja, seragam sekolah.
“Tetaplah bersikap biasa. Jangan terlihat mencolok. Jangan terlihat seperti hendak menangkap mereka.”  Olek berbisik. Kokov tersenyum masam. “Ya, aku tahu.”
“Laboratorium kimia, itulah tempat yang akan kita datangi.”
“Baiklah. Lakukan saja.”
Mereka terus berjalan. Menyusuri sudut-sudut sekolah. Aneh, meski mereka asing sekali dengan lingkungan ini, meski mereka sudah bersitatap dengan beberapa orang, tidak ada satupun yang menyapa, atau minimal menegur mereka. Atau mencurigai mereka sekalian. Olek santai saja, lebih bagus kalau seperti bukan? Tidak ada yang curiga. 
Tapi Kokov mulai khawatir.
“Ada sesuatu yang aneh di sini, Olek. Lihatlah sikap mereka, biasa-biasa saja. Tidak ada yang menegur atau bahkan, mereka seperti tidak menyadari keberadaan kita. Ini aneh sekali. Apakah mereka tidak peduli dengan orang asing? Bukankah Odessa adalah daerah rawan konflik.”
“Bukankah sudah kubilang untuk tidak bertindak mencurigakan tadi?”
Kokov diam lagi. Baiklah dia akan mewaspadainya sendiri saja.
Mereka berbelok ke arah laboratorium kimia yang mereka tahu letaknya dari membaca denah sekolah. Semakin aneh, jalan menuju lab, justru sepi. Bahkan ketika masuk dalam lab, tidak ada satu orang pun dalam ruangan besar itu.
“Ini semakin aneh,” Kokov berseru tertahan.
“Hei, bukankah semua orang malas menghadiri pelajaran kimia,” Olek tertawa.
“Jangan bawa-bawa masa kecilmu, Olek. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Sebentar, biarkan instingku bekerja.”
Mata Olek menyapu ke seluruh ruangan. Melakukan pemindaian. Soal insting mencari petunjuk, jangan ragukan Olek. Dia bisa berpangkat setinggi sekarang, 25% mengandalkan instingnya. 
“Ruangan itu.” Olek menunjuk salah satu pintu. “Ayo, sebelum mereka sadar apa yang sebenarnya kita cari di sini.”
Mereka berlari kecil menuju pintu di bagian belakang lab kimia. Olek mencoba membuka kenopnya, tapi tidak bisa.
“Dikunci.”
“Apakah kita harus mendobraknya?” Kokov mencoba mengintip ke sela pintu.
“Kurasa ya.”
“Tapi kau tadi bilang jangan merusak fasilitas.”
“Cepat bantu aku, Kokov.”
BRUKKK!
Sekuat tenaga, mereka berdua sama-sama mendorong pintu itu hingga rongsek. Dan terbukalah di ruangan kecil itu, aktivitas pertambangan. Lubang bawah tanah yang mengarah ke dalam. 
“Biar aku yang memastikan apa isinya. Kau diam di atas, menunggu.” Olek mengeluarkan senter, dan terjun. 
Sayangnya, kita juga harus menunggu di atas, karena tukang cerita ini, malas turun ke bawah. Kokov menunggu dengan tegang. Hei, bagaimana jika tiba-tiba ada sepasukan milisi yang merangsek masuk ke dalam sini. Bisa mati dia. 
Lima belas menit. Cukup lima belas menit. Olek sudah naik lagi dengan baju belepotan. Dia membersihkannya dengan cara mengibas-ngibaskan pakaiannya. 
“Bagaimana?”
“Bukti otentik.” Olek tersenyum puas. 
Itu berarti misi mereka di Odessa berakhir memuaskan.


Seratus Enam Belas
Peringatan dari Odessa


“Apa yang mereka lakukan di sini, jauh lebih buruk dari apa yang mereka lakukan di Lyiv ataupun Poltava.”
“Kenapa?”
“Ya, mungkin karena Odessa letaknya jauh dari Kiev. Selain itu, situasi di sini juga sangat mendukung bagi Oserzeen untuk melakukan penambangan. Tidak ada tangan pemerintah yang cukup kuat untuk mencengkeram mereka di Odessa.”
“Jadi apa yang kau temukan di bawah? Apakah cukup untuk menyeret Oserzeen ke pengadilan?”
Ah itu pertanyaan bagus, Olek merogoh sakunya. Mengeluarkan sesuatu. “Ini catatan administrasi tambang mereka. Ada stempel Oserzeen di sini dan di bawahnya tanggal yang ditandatangani di Odessa.”
“Beruntung sekali kita menemukan catatan itu. Atau jangan-jangan mereka sengaja meninggalkannya?”
Olek memasukkan kembali catatan yang ditemukannya ke dalam saku, dia mengibaskan tangan pada Kokov. Tidak perlu memikirkan yang tidak-tidak, yang terpenting, mereka sudah dapat buktinya. 
“Ayo kita pulang. Setidaknya sebelum pasukan milisi itu tahu kita ada di sini.”
Mereka melangkah keluar dari sekolah itu dengan tenang dan mantap. Sama seperti saat mereka memasukinya. Tidak ada yang peduli. Sampailah mereka di mobil. Saat itulah Kokov melihat secarik kertas yang diselipkan di wiper mobil mereka. Sebuah pesan. 
Segera tinggalkan Odessa. Kuberi kalian waktu sampai malam menjelang. Jika kalian mengabaikan pesan ini, selamat, kepala kalian akan berakhir di tangan milisi.
Tertanda, Pieter Both. 
Olek dan Kokov sama-sama terdiam membaca pesan singkat itu. Kokov sudah menduga bakal seperti ini. Oserzeen tengah merencanakan sesuatu, mereka tidak akan membiarkan ada orang asing mengacak sarang mereka begitu saja. Sadar akan keselamatan kepalanya, Olek dan Kokov langsung masuk ke mobil, buru-buru jalan, tancap gas, meninggalkan Odessa. 
Pesan yang lebih panjang kemudian masuk, ke ponsel Kokov. Berdenting bunyinya. Agak kaget Kokov dibuatnya. 
“Bacakan untukku.” 
Salam dariku untuk dua bocah nakal. 
Kalian niat sekali ya, menyeret Oserzeen ke pengadilan, sampai mencari bukti-bukti jauh-jauh ke Odessa sana. Tidak apa, aku izinkan. Tepat setelah kalian meninggalkan Kiev tadi pagi, aku mengirim perintah pada pasukan milisi Odessa agar membiarkan kalian masuk, tidak menyentuh kalian sama sekali. Aku juga memerintahkan pada operator sekolah, sekaligus seluruh warga sekolah agar tidak mengganggu kalian. Jadi kalian tidak akan disentuh sama sekali. 
Bagaimana? Apakah kalian sudah menemukan apa yang kalian cari? Lab Kimia, itu lokasi tepatnya jika kalian tak menemukannya. Ambillah bukti yang ada di sana. Semoga mencukupi untuk rencana kalian. Tapi bolehkah aku memberi saran gratis? 
Jangan repot-repot menyeret Oserzeen ke pengadilan. Karena kalian tidak akan menang.
Semoga perjalanan kalian menyenangkan. Seperti janjiku, kalian akan selamat jika meninggalkan Odessa sebelum malam tiba.
Tertanda, Pieter Both.

“Sialan,” umpat Olek keras-keras, “dia ternyata tahu rencana kita.”
Kokov diam, tidak bereaksi. Hatinya bertanya-tanya tentang Pieter Both. Manusia yang tahu segalanya, gumamnya dalam hati. 
Apa ini artinya perjalanan mereka ke Odessa sia-sia.


Seratus Tujuh Belas
Mampir ke Holasev


Kecepatan penuh dari Odessa. 
Dengan asumsi kecepatan semacam itu, dan mereka berangkat pukul 5 sore dari Odessa, itu berarti Olek dan Kokov akan tiba di Kiev sekitar pukul 11 malam. Namun rupanya, Kokov punya rencana lain. 
“Boleh kita mampir di Holasev? Besok pagi baru ke Kiev?”
“Holasev?” Olek menyernitkan dahi. Dia tahu tempat itu, sebagai polisi tentu dia tahu banyak tempat, tapi Holasev bukan tempat yang populer, hanya sebuah desa, kenapa Kokov ingin mampir di sana?
“Aku ingin menyapa ibuku? Terakhir pulang ke Holasev, beberapa hari yang lalu, aku harus pulang mendadak karena dipanggil.”
Olek manggut-manggut. Urusan keluarga rupanya. “Baiklah, jika ini penting untukmu, aku akan turuti. Kurasa setelah meninggalkan Odessa, kepala kita sudah aman. Pukul 9 kurasa kita sudah sampai di Holasev.”
Kokov mengucapkan terima kasih. 
Ibu Kokov malam itu tidur cepat. Merasa sunyi, dia langsung tidur tidak lama setelah makan malam. Pukul 8 lewat sedikit, sudah tidur. Otomatis, ketika Olek dan Kokov sampai di rumah ibunya di Holasev, mereka harus membangunkan orang tua itu. 
Malam itu, ibu Kokov sangat menikmati mimpinya. Dan dia sangat terkejut saat terbangun karena Olek menekan klakson mobil keras-keras. 
“Hei, sopanlah sedikit, Olek. Nanti ibuku terkejut.”
Olek malah tertawa-tawa. 
“Bu.” Kokov mengetuk pintu. Terdengar suara langkah kaki di dalam, kemudian suara kenop pintu dibuka. 
“Eh, Kokov?” wajah wanita tua itu terkejut sekali. Kejutan yang menyenangkan. 
“Iya Bu. Aku dan temanku datang dari Odessa. Kami memutuskan mampir ke sini.”
“Untuk makan malam.” 
Kokov langsung mendesis sebal pada temannya di belakang. 
Ibu Kokov, dengan senyum bahagianya, langsung menarik tangan Kokov masuk rumah, diiringi langkah Olek yang sedikit salah tingkah melihat kelakuan ibu dan anak ini. 
Mereka langsung ke meja makan. 
“Ibu tidak tahu kalian bakal datang. Jadi tidak sempat menyiapkan makan malam yang wah. Yang ada hanya sisa.”
“Wah ini sudah sangat cukup Bu. Kami bisa makan ini.” Olek menyahuti, wajahnya berselera. 
Sementara dua sekawan tadi makan (Olek makan seperti orang kelaparan), ibu Kokov mengingat kembali mimpi yang didapatnya. Bisa pas sekali pula, dia mimpi dan ada Kokov sekarang di sini. Sepertinya, mimpi itu berhubungan dengan Kokov. 
“Nak, tadi Ibu bermimpi bagus sekali, ada seorang gadis....”
Kokov buru-buru memotong, “ibu, jangan membicarakan gadis sekarang,” dia tahu tabiat ibunya, serta tabiat Oleksandr, sahabatnya. Olek justru menepuk tangan Kokov, dasar tidak sopan!
“Tidak, ini hanya mimpi Nak. Gadis itu cantik. Dia pakai khidzib warna merah muda, berkacamata, dan senyumannya itu, ah manis sekali. Lesung pipitnya membuat orang ingin tersenyum juga padanya.”
Olek buru-buru nyerobot. “Gadis itu, sepertinya pernah dilihat Kokov di dunia nyata.”
“Benarkah?”
“OLEK!”
“Ayolah kawan. Lesung pipit yang bisa membuat siapa saja tersenyum. Ada satu gadis yang bisa melakukan itu, dan kau mengenalnya.”
“Kamu mengenal gadis semacam itu, Nak Olek.”
“Iya Bu. Deskripsi yang ibu gambarkan mirip dengan mahasiswi yang sedang dibimbing olek Kokov.”
“Siapa namanya, Nak Olek?”
Kokov mengumpat bulat-bulat, dasar tidak bisa menjaga rahasia! Sekarang Olek malah berbicara akrab dengan ibunya, laik anak sendiri. 
“Phia namanya, Bu. Nona Phia Lizarina.”
Ibunda Kokov terpana. “Nama yang indah. Ibu bisa membayangkan senyumannya seindah namanya.”


Seratus Delapan Belas
Sepotong Surat


Anakku. 
Sulit bagiku untuk mengakuinya.
Tapi aku amat rindu padamu. 
Pulanglah ke Khazinev.

Anakku.
Telah surut semua dendam masa lalu itu.
Yang tersisa kini adalah kerinduan dan kasih sayang. 
Pulanglah ke Khazinev.

Anakku.
Semarah apapun kamu
Aku cuma ingin kamu datang sekali saja.
Pulanglah ke Khazinev.

Anakku.
Aku tahu kamu amat membenci Khazinev. 
Tapi kerinduan pasti akan memanggilmu kembali
Pulanglah ke Khazinev.

Anakku. 
Aku mohon. 
Pulanglah ke Khazinev.
Apapun harganya.
Akan kubayar.
Asal bisa bertemu denganmu sekali lagi.

Sebelum aku mati.

Seratus Sembilan Belas
Ingin Mengakhiri Hidup


Bicara soal Phia...
Tanggal 29 Oktober
Phia telah diberitahu Vlari, bahwa hari ini Kokov sedang bepergian ke luar kota, sedangkan Vlari sendiri harus mengurus Kiev Nauk. Itu artinya satu hal, tidak ada yang menemani Profesor Nyoman Asdawirya. 
“Tidak apa-apa. Biar aku ke rumah beliau, nanti aku menjenguk.”
“Terima kasih, Nona Phia.”
Kabar kesembuhan Profesor itu benar-benar menyenangkan semua pihak. Tak terkecuali Phia. Dia sangat senang Profesor kembali sehat. Namun, tentu saja, Profesor tidak boleh banyak tertekan, dan salah satu cara agar Profesor tidak tertekan, adalah dengan menemani beliau makan. 
Phia melakukan itu pagi ini. 
“Kamu amat baik mau menemani orang tua ini makan pagi, Nak.”
“Sama-sama Profesor. Senang bisa melihat Profesor pulang ke rumah lagi.”
“Ah iya, aku juga senang bisa kembali ke kediamanku sendiri. Rumah sakit menyerap sebagian besar semangatku.”
Phia tersenyum. Itu lelucon rumah sakit.  
“Oh ya, Nak. Hari ini Kokov sedang bepergian ke Odessa.”
“Oh ya, Profesor?” Phia gagap, bingung hendak menanggapi bagaimana, apa kaitan antara Kokov dengan dirinya, saat ini.
“Iya, dan kemungkinan dia bakal banyak disibukkan dengan berbagai kegiatan dalam beberapa minggu ke depan.”
“Tuan Kokov memang seorang pekerja keras.”
“Aku tahu. Mengingat kesibukannya, dan aku yang sudah sembuh, sepertinya aku akan mengambil kembali tugas membimbing tesismu.”
“Eh,” Phia lagi-lagi dibuat terkejut. “Apa tidak sebaiknya saya diskusi dengan Tuan Kokov saja?”
“Ah kamu mulai nyaman dengannya, bagus juga. Tapi tidak Nak. Dia sibuk. Aku tidak ingin tesismu tertunda. Lagipula, sejak awal ini adalah tugasku. Kokov hanya menggantikanku untuk sementara.”
“Bukan begitu,  Profesor. Hanya saja, Profesor sendiri belum sehat. Saya takut tesis saya malah mengganggu pemulihan tubuh Profesor.”
Profesor menyeringai. Kita lihat saja lah. 
Setelah itu pembicaraan dilanjut dengan ringan. Profesor menanyakan tempat mana saja yang belum dikunjungi Phia di Kiev. Mereka bicara soal wisata. Pukul 9 pagi, Phia pamit pulang. 
Sesampainya di Kurin.
Suasana Kurin sedang sepi. Sebagian karena Sylvi sekarang lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Sudah beberapa waktu ini, Phia selalu melihat dia ada di rumah. Dia tidak pernah lagi pergi “bekerja” sejak kejadian terakhir itu. Hanya saja, Sylvi sekarang menjadi lebih pendiam. Dia juga sering murung. 
Phia meletakkan sepatunya di rak dekat meja ruang tamu. Agak aneh, ada semprotan anti serangga di meja itu. Padahal seingat Phia, dia tidak pernah melihat semprotan anti serangga selama tinggal di Kurin.
Tunggu dulu. Semprotan anti serangga? Baru ada sekarang? Sylvi yang murung? Jangan-jangan?
Phia lekas mengetuk kamar Sylvi. Dia tiba tepat waktu sebelum minuman “yang sangat lezat” itu, mendarat di bibir Sylvi. Gelasnya langsung dia banting, sampai pecah berhamburan. 
“Apa yang kamu lakukan, Phia!”
“Aku yang seharusnya bertanya, apa yang hendak kamu lakukan, Sylvi!”
“Aku ingin mengakhiri hidupku yang memuakkan. Jangan halangi aku.”
Perkara hidup yang memuakkan ini, memang rumit.


Seratus Dua Puluh
Satu Pembicaraan Dalam Lagi


Untunglah Phia datang tepat waktu untuk menyelamatkan Sylvi. Kalau tadi dia tak cepat membaca keadaan, temannya ini bisa dia temukan dalam keadaan mulut berbusa. 
“Lepaskan tanganku, Phia.” Sylvi menggeliat-geliat, wajahnya, matanya dan nada suaranya sama, marah. 
“Tidak,” jawab Phia tegas, “aku tidak akan melepaskanmu sampai kamu tenang. Bisa-bisa kamu nekat lagi nanti.”
“Jangan ikut campur, Phia. Cukup sekali kemarin kata-katamu mempengaruhiku, itu sudah cukup buruk.”
Ketus bukan main jawaban Sylvi. Tapi Phia membatin. Kata-katanya membawa efek buruk?
“Gara-gara kau, aku jadi berpikir ulang untuk pergi ke klub. Dan gara-gara aku tidak pergi ke klub, mereka sekarang mengancam akan membuat hidupku tidak tenang. Kau mengerti maksudku? Aku tidak punya pilihan lain. Kau menjerumuskan aku ke dalam jebakan.”
“Kalau begitu, mengakhiri hidupmu, bukan jawabannya.” Phia menimpali, tangannya masih erat-erat memegangi pergelangan tangan Sylvi. 
“Jangan coba-coba menceramahiku lagi, Phia.”
“Hei aku sungguh-sungguh, Sylvi. Mengakhiri hidup bukan jawabannya. Bahkan tidak ada jawaban sama sekali di sana.”
“Jangan sok filosofis!” 
Bentakan itu mengena. Sanubari Phia ikut berdenyut dibuatnya. Temannya ini pasti sedang depresi berat. Emosinya berubah dengan cepat. Beberapa waktu yang lalu, Sylvi terlihat sangat baik, bahkan memasak makanan yang sangat enak untuknya. Sekarang Sylvi terlihat sangat membencinya. 
Phia berusaha menahan perasaannya lalu berucap dengan sabar. “Aku bersungguh-sungguh. Begitu kamu mati, semua selesai.”
“Itu yang kucari.”
“Bukan, bukan itu yang kamu cari.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu sesungguhnya sedang mencari jawaban bukan?”
Sylvi terdiam. Phia buru-buru melanjutkan kalimatnya. “Kamu sedang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar. Mati bukan jawaban. Karena begitu kamu mati, tidak ada satupun orang yang bisa menjawab pertanyaanmu. Jangan mati. Sylvi.”


Seratus Dua Puluh Satu
Pulanglah


Sylvi dengan kasar melepaskan cekalan tangan Phia. Kali ini Phia tidak berusaha menahannya. Minuman beracun itu sudah terjatuh ke lantai. Sylvi tidak bisa lagi bertindak yang tidak-tidak. Phia membiarkan teman serumahnya itu, sambil mengira-ngira apa yang hendak dilakukannya.
Sylvi melangkah menjauh. Duduk di atas ranjang. Wajahnya putus asa. Kenapa gadis ini selalu ikut campur urusannya? Sylvi terlanjur kesal. 
“Kenapa kau masih ada di sini?”
“Karena aku adalah temanmu.” 
Mata Phia bergerak-gerak awas. Sementara Sylvi menunduk, berusaha menghindari tatapan mata Phia. 
“Jangan berpura-pura baik padaku, Phia.”
“Aku tidak sedang berpura-pura.”
“Kalau begitu jawab pertanyaanku. Apa yang harus kulakukan? Beri aku solusi? Ayo!” 
Sylvi menatap Phia dengan tatapan menantang. 
Tatapan yang membuat Phia terdiam. 
“Ayo jawab. Berikan aku jawaban. Aku harus apa?”
Phia masih terdiam. Itu bukan pertanyaan yang mudah. Menghadapi seorang teman, dengan kehidupan yang hancur, dan nyaris bunuh diri, situasi yang sulit. Jadi dia harus apa?
“Lihat, kamu bahkan tidak bisa memberikan jawaban. Kau tidak membantuku. Dan kau masih menyebut dirimu sebagai teman!”
“Sylvi. Aku mungkin tidak bisa memberimu jawaban...”
“Nah, kau sudah mengatakannya, jadi enyahlah dari sini. PERGI!”
“Tapi mungkin, AKU TAHU SIAPA YANG BISA MEMBERIMU JAWABAN.”
Phia balas berteriak. Percakapan di dalam kamar itu membuat kamar Sylvi berdesing, ribut.
“Siapa?”
“Ibumu.”
Sylvi langsung tertawa. Tawa yang amat kejam dan kelam. “Kau bicara apa? Kau tidak waras Phia. Kau lupa, aku pernah bilang, ibuku adalah maniak. Seluruh hal yang menyebabkan diriku ada di sini sekarang, adalah akibat sifat maniaknya. Dan sekarang kau minta aku kembali mencarinya? Aneh sekali.”
“Tapi itu benar. Pulanglah. Temui ibumu. Jawabanmu ada di sana.”
Rahang Sylvi mengeras. Dia marah sekali. Phia tidak peduli. Dia malah mencerocos. 
“Ibumu merindukanmu, Sylvi. Aku yakin sekali. Beliau menantikan kedatanganmu. Pulanglah, dan kamu akan mendapatkan jawabanmu. Ibu adalah asal kejadianmu. Ibu akan memberi jawaban atas segala masalahmu.”
Sylvi tidak bisa menjawab, kata-katanya mampet di tenggorokan. Surat itu.
“Kamu dan ibumu sejatinya saling membutuhkan. Kalian hanya korban dari masa lalu yang kurang memihak kalian. Sekarang, percayalah padaku. Ibumu sangat merindukanmu.”
Surat itu. Bagaimana bisa?
“Kamu benar, Phia.” Sylvi akhirnya menjawab sambil meneteskan air matanya. Dari Sylvi yang awalnya menatapnya dengan penuh amarah, sekarang Sylvi malah menangis sedih. Terharu atau apalah itu namanya. 
Emosi Sylvi benar-benar ada di tahap yang tidak stabil. 
“Aku benar, apa maksudmu?” Phia mendekat. Sepertinya sekarang Sylvi sudah cukup “jinak” untuk didekati. 
“Ibu merindukan aku. Bagaimana kamu bisa tahu tentang itu.”
Tentu saja Phia tahu. Dia adalah mata dan telinga cerita ini. 
“Tentu saja. Ibu akan selalu menanti kita pulang. Tak peduli seberapa kelam masa lalu kita dengannya, kita-kita ini tetap anak ibu kita.”
“Apakah menurutmu aku harus kembali ke Khazinev?”
“Tentu saja. Pulanglah. Temui beliau. Cari jawabanmu pada beliau.”


Seratus Dua Puluh Dua
Pembicaraan di Atas Kereta


Tanpa berkata-kata, apalagi berterima kasih, bahkan secara diam-diam sekali, Sylvi akhirnya menuruti saran Phia. Dia membeli tiket kereta, dan memilih pulang ke desanya. Khazinev. Ya, walaupun secara diam-diam pula, Phia mengawasi tindak tanduk Sylvi. Dia sangat lega karena akhirnya Sylvi menuruti sarannya.
Paling tidak, dia tidak akan bertindak yang aneh-aneh. Pulanglah, Sylvi. Cari jawaban atas pertanyaanmu. 
Sylvi memilih tempat duduk yang nyaman di kelas ekonomi. Kelas paling biasa. Kereta yang ditumpanginya tidak terlalu ramai. Menjelang musim dingin begini orang malas bepergian. Apalagi di luar jam sibuk. Kereta baru akan ramai ketika jam pulang kerja, ketika para pekerja komuter itu membludak. 
Di gerbong yang sama dengannya, hanya ada empat orang penumpang. Sylvi duduk dengan santai. Dia tidak membawa apa-apa saat ini. Cuma baju di badan. Yahh, namanya juga pergi diam-diam. 
Lalu dengan sekonyong-konyong, seseorang mendatanginya, tidak tahu datangnya darimana, orang itu langsung mengambil posisi duduk di depannya. 
Orang itu memakai jas warna biru gelap. Celana panjang kain yang disetrika rapi. Dalaman jasnya, kemeja warna hitam. Terlihat anggun dan berwibawa. Orang itu membawa koper. Wajahnya tak terlihat karena dia memakai kacamata warna hitam. 
“Boleh saya duduk di sini?” dia berujar dengan sopan. Suaranya serak. 
“Oh silakan.” Sylvi mengangguk.
“Perjalanan yang panjang. Anda bepergian sendirian ya?”
“Iya mister.” Sylvi menjawab lagi. Pendek saja. 
“Itu berarti perjalanan anda akan semakin panjang. Boleh saya menemani anda? Barangkali anda butuh teman mengobrol.”
“Boleh, mister.” Lagi-lagi menjawab pendek. Tiga orang lainnya di dalam gerbong itu melihat ke arah Sylvi. Mungkin mereka menilai bagaimana si pria keren ini berkomunikasi. Benar-benar sok dekat. 
“Kabar yang menyenangkan. Saya harap anda tidak keberatan dengan bau cerutu.”
“Tidak apa-apa, mister. Silakan. Lakukan senyaman anda.”
“Anda benar-benar gadis  yang manis.”
“Terima kasih, Mister.”
Si pria keren itu menyalakan cerutunya. Duduk santai. Dia pelan-pelan meletakkan kopernya. Setelah itu, dia mencopot kacamatanya, menyimpan kacamatanya dalam saku. Sekarang kita mengenali orang itu.
Dia adalah, Pieter Both. 
“Nah, Nona Sylvi. Cukup basa-basinya. Mari kita bicarakan urusan kita sekarang.”
“Mari. Tadi anda yang mulai berbasa-basi. Saya hanya mengikuti.”
Pembicaraan di kereta pun dimulai.

Seratus Dua Puluh Tiga
Jangan Kaku Seperti Itu


Profesor menepati kata-katanya. Selama Kokov dan Olek melakukan ekspedisi ke Odessa, beliaulah yang mengambil alih wewenang membimbing Phia. Karena memang ini tugas beliau sejak awal. 
Profesor Nyoman terlihat segar sekali sore itu. Beliau bicara panjang lebar. Bercerita tentang apa-apa yang beliau kuasai. Mereka membicarakan tentang jalur perdagangan rempah yang menghubungkan China dengan India di masa silam. Sebagai pakar sejarah Asia Selatan, Profesor amat lancar berbicara. Justru Phia yang khawatir. 
Profesor bicara seolah beliau tidak pernah sakit parah. Beliau bersikap sangat sehat. Ini membuat Phia merasa tidak enak. Dia merasa Profesor sedikit memaksakan diri. Beberapa kali, dengan sopan, Phia mengingatkan Profesor mengenai kesehatannya.
Profesor malah tertawa. “Kamu begitu perhatian, Nak. Tapi aku baik-baik saja. Mari kita lanjutkan. Ceritaku masih tanggung kepalang.”
Hari ini, 29 Oktober, Phia bimbingan bersama Profesor sampai pukul 6 sore. Setelah selesai bercerita, Profesor meminta Phia untuk membaca beberapa bahan referensi lagi. 
“Siapkan untuk besok.” Titah profesor sangat tegas. Dalam kondisi tertentu, Profesor Nyoman Asdawirya bisa terlihat sangat berwibawa. 
Sementara itu, entah apa yang dilakukan Kokov bersama dengan Olek di Odessa, pikir Profesor. 
Keesokan harinya, sesi bimbingan tesis kembali dilakukan oleh Phia bersama Profesor Nyoman. Phia tak bisa menampik, diskusinya dengan Profesor sangat membantu proses penyusunan tesisnya. Berbeda dengan Kokov, Profesor sangat cerdas dan perbendaharaan pengetahuannya sangat luas. Dua sesi diskusi dengan Profesor, melebihi seluruh sesi pertemuannya dengan Kokov. 
Tanggal 30 Oktober. Tepat satu bulan Phia sudah di Kiev. 
Pagi itu, Phia lebih bisa mengimbangi diskusi dengan Profesor. Dia telah membaca beberapa buah buku. 
“Kamu seorang pekerja keras, Nona Phia,” puji Profesor ketika Phia menyebutkan berapa banyak buku yang dia telaah dan sampai pukul berapa dia menelaah. Phia hanya mengangguk samar. Agak salah tingkah karena pujian dari Profesor. 
Mereka kembali berdiskusi dengan asyik. 
Di sisi lainnya. 
Kokov dan Olek harus tinggal dua malam di Holasev. Ibunda Kokov keberatan melepas mereka pergi, memaksa mereka menginap. Olek yang ramah dan nyentrik sama sekali tidak keberatan. Lagipula masakan ibunda Kokov, sangat memuaskan dirinya.
Sementara di rumahnya, Kokov sering membicarakan (bersama Olek) rencana-rencana untuk menggunakan petunjuk yang mereka punya untuk menyeret Oserzeen ke pengadilan. Bagaimana kemungkinan-kemungkinannya, apa saja kira-kira masalahnya. Apa saja yang bisa menguatkan bukti yang mereka punya. Bagaimana strategi mereka untuk menyeret Oserzeen sehingga perusahaan nakal itu tidak bisa berkelit lagi.  
Jika Kokov selalu memancing pembicaraan yang serius, maka Olek cenderung lebih sering bercanda. Dia malah asyik membicarakan soal Nona Phia Lizarina, gadis yang menurutnya sangat mirip dengan deskripsi gadis yang dilihat ibunda Kokov dalam mimpinya. Bagaimana rupanya, bagaimana budi pekertinya, bagaimana pembawaan dan pesonanya, sampai bagaimana prospek Kokov untuk mendekati gadis itu dan menyuntingnya.
Jika sudah begini, Kokov akan memasang ekspresi akan mencolok mata Olek dengan garpu makan. 
Pagi-pagi sekali, hari ini, Kokov dan Olek bertolak dari Holasev ke Kiev. Olek menyetir dengan riang gembira. Dia menganggap persinggahan mereka ke Holasev adalah selingan yang menyenangkan.
“Aku akan menyebutnya berlibur ke Holasev, dalam laporanku.”
Kokov hanya diam. Dia masih kesal karena Olek terlihat lebih menikmati perjalanan ke Holasev ini dibandingkan dirinya. 
“Hei, kau kenapa, teman? Kau sedang memikirkan Nona Phia ya?”
“Akan kucongkel matamu jika kau mengatakan itu sekali lagi.”
Olek tertawa lepas. Menyenangkan sekali menggoda Kokov pagi-pagi begini. Nona Phia Lizarina menjadi topik yang tak lepas-lepas mereka bicarakan, sejak semalam. Itu membuat Kokov kesal. Seolah tidak ada topik lain selain gadis itu. Apalagi ibundanya sangat bersemangat menyambut topik yang kontroversial itu.
Bukan kepalang tanggung senangnya Ibu Kokov saat tahu prospek kedekatan anaknya dengan seorang gadis.
“Ayolah, jangan terlalu kaku begitu, teman. Hari ini, begitu kita kembali ke Kiev, kau akan kembali bertemu dengan gadis itu. Kau bisa langsung mengajak Nona Phia makan-makan di Le Chaoux. Melepas rindu.”
“OLEKSANDR!” Kokov menyumpah-nyumpah.


Seratus Dua Puluh Empat
Pertemuan Tak Terduga di Rumah Profesor


“Aku tidak tahu, Kokov. Sepagian ini aku sudah berada di Nauk. Mengurus perpindahan jadwal dan agenda Profesor. Aku belum mengontak beliau.”
“Berarti beliau ada di rumah?”
“Kemungkinan besar begitu. Coba saja kau tengok ke sana. Yang jelas, cepatlah pulang. Nauk tanpa kau, kacau sekali. Aku bingung harus melempar wewenang ke siapa. Tidak banyak yang mau mengisi jobdesk Profesor. Sepagian ini pula aku sudah harus mengalihkan dua jadwal ke lain hari. Menghadapi orang-orang yang menggerutu.”
Kokov menghela nafas, menjauhkan ponsel dari telinga, kemudian mematikannya. Olek meski fokus menyetir, tapi tentu saja dia menguping. Ah ya, menguping adalah keahlian Olek. 
“Siapa yang kau telepon? Dan kenapa wajahmu langsung tertekuk begitu?”
“Vlari. Aku meneleponnya, dan dia malah menggerutu padaku.”
“Oh ya, kau menanyakan apa? Soal Phia?”
Kokov mendengus sebal, Olek masih tak puas-puas memancingnya, “bukan, aku menanyakan soal Profesor. Kukira dia tahu kabar terkini dari Profesor Nyoman. Tapi ternyata tidak. Dia justru mengomel karena mengurus jadwal Profesor membuatnya pusing.”
“Yeah. Apalagi tanpa kau, siapa lagi yang diharapkan bisa jadi pengganti kegiatan-kegiatan Profesor.”
“Olek, turunkan aku di kediaman Profesor Nyoman saja. Aku mau langsung mengecek ke sana.”
Alis Olek naik, tidak mengerti. Sebegitu pentingnya kah? “Tenang saja, Kokov. Profesor baik-baik saja. Vlari menerima teleponmu sambil menggerutu, itu berarti Profesor baik-baik saja. Jika ada sesuatu yang tak beres, Vlari pasti panik.”
Kokov sedikit tenang, Olek ada benarnya juga. 
Daripada memikirkan soal Phia (aneh-aneh saja gagasan itu bagi Kokov), dia justru lebih mencemaskan keadaan Profesor Nyoman. Ketika dirinya meninggalkan Kiev, Profesor baru saja dinyatakan sembuh dan boleh keluar dari rumah sakit. Sementara itu, tidak ada yang mengurus Profesor di rumahnya. Kokov khawatir, Profesor kenapa-kenapa. 
Jadi dia ingin mengecek sesegera mungkin. 
Pukul delapan lewat sedikit, mereka sudah tiba di Kiev, siap menuju ke kediaman profesor, sesuai permintaan Kokov, dia turun di sana saja. 
Kokov naik ke rumah dengan tergesa-gesa. Dia ingin sesegera mungkin melihat Profesor kembali. Sampai-sampai dia melewatkan untuk menengok ada sepatu siapa di teras rumah Profesor. Tanpa Kokov sadari, hari itu Profesor punya tamu. Itu adalah sepatu perempuan. Jadi tamu itu tidak lain, Nona Phia Lizarina. 
“Selamat pagi Profesor, eh...”
Kokov langsung menyongsong ke ruang tamu. Tepat saat Phia dan Profesor sedang berdiskusi asyik mengenai keterkaitan India dan China, lewat agama Budha yang menyebar ke daratan Tiongkok. Phia tidak menduga akan bertemu dengan Tuan Kokov sepagi ini.
Sementara bagi Kokov sendiri....


Seratus Dua Puluh Lima
Ada Szczesny


Kemarin sibuk membicarakan Nona Phia seharian. Ah bahkan Olek masih menyinggung soal Nona Phia sampai pagi. 
Sekarang orang itu ada di hadapan Kokov, dalam situasi yang benar-benar tak disangkanya. 
“Hai, pagi. Kau baru datang dari Odessa, Kokov?”
“Pagi, Tuan Kokov.” Phia berkebalikan dengan Kokov, langsung menyapa dengan hangat. 
“Benar, Profesor. Saya baru saja tiba dari Odessa. Saya langsung menuju kemari karena ingin memastikan kondisi anda.”
Profesor langsung tertawa. “Kondisiku? Memangnya aku kenapa?  Jangan bilang ada nomor sesat yang menipumu soal kondisiku.”
Kokov menggeleng. Tidak ada Profesor.
“Aku tak kurang suatu apa, Kokov. Bahkan aku mulai curiga, sebenarnya aku baik-baik saja, dan rumah sakit terlalu mendramatisir agar cerita ini dipanjang-panjangkan. Semua luka yang kuderita sudah pulih. Atau setidaknya menunggu pemulihan total. Tapi ya, aku baik-baik saja. Ah, kau mengganggu saja diskusi kami soal India dan China.”
“Maafkan saya, Profesor. Berarti saya yang terlalu khawatir.”
“Oh ya, satu lagi, mumpung kau sedang berdiri di sana, aku ingin katakan, kau lambat dalam membimbing Nona Phia. Dalam beberapa minggu, dia tidak mengalami banyak kemajuan bersamamu. Kau sudah membuang sebagian waktu dia.”
“Maafkan saya, profesor. Saya memang perlu banyak belajar.”
“Minta maaf juga dengan Nona Phia.”
“Maafkan aku, Nona Phia.”
“Tidak masalah, Tuan Kokov.”
Moral dari kejadian ini adalah, jangan ganggu seorang guru besar saat beliau sedang berdiskusi dengan seru. Moodnya bisa langsung memburuk, dan kalian akan kena getahnya berkali-kali lipat. 
“Aku akan menagih cerita padamu nanti, Kokov. Duduklah di kursi itu. Aku mau meneruskan ceritaku tentang sifat-sifat dan karakteristik budaya Tiongkok di masa silam.”
“Mari, Profesor. Terus terang saya jadi penasaran mengapa agama Budha menyebar dengan mudah di Tiongkok tapi tidak pernah sampai ke barat.”
Phia sungguh orang yang mahir dalam menyanjung. Dia memulihkan mood Profesor. Diskusi kembali asyik setelah itu. 
Pukul sepuluh pagi, Phia memutuskan pamit. Sudah sesak kepalanya dengan berbagai macam informasi yang diberikan profesor. Kini saatnya menyulam informasi itu ke dalam draft tesisnya. Selain itu, sepertinya Profesor juga akan membicarakan hal penting lainnya dengan Kokov. 
“Saya pamit, Profesor. Terima kasih banyak bantuan dan bimbingan anda.” 
“Sama-sama, Nona Phia. Terima kasih juga karena telah menemani orang tua ini mengobrol.”
Phia berdiri. Dan Kokov ikut berdiri. 
“Nona Phia, biarkan aku mengantarmu ke Kurin.”
“Eh?”
Semua orang langsung terheran-heran dengan kalimat Kokov barusan.
“Anggap saja permintaan maaf dariku karena bimbingan tak becusku.”
Phia tersenyum. Sebenarnya tidak enak hatinya menolak tawaran Tuan Kokov ini, apalagi dengan embel-embel bentuk permintaan maaf, tapi...
“Saya sudah janji dengan seseorang. Dia akan menjemput sebentar lagi.”
Kokov kaget. Janji?
Bak kebetulan sekali. Sebuah mobil sedan warna hitam berhenti di depan kediaman profesor. Pemilik mobil membunyikan klakson dengan anggun. Menandakan kehadirannya. 
Loh bukannya itu, mobilnya Szczesny?
“Dia tukang antar jemput Nona Phia sekarang, Kokov.” Profesor memberi penjelasan singkat.


Seratus Dua Puluh Enam
Dan Setelah Itu Terbitlah Mata-mata


30 Oktober. Pukul 10 siang
“Duduklah, Kokov. Nona Phia akan pulang dengan selamat. Szczesny akan menjalankan tugasnya dengan baik. Ah tak ada yang lebih baik dalam menjalankan tugas daripada seorang pecinta yang sedang dimabuk oleh cintanya sendiri.”
Kalimat itu mengingatkan Kokov pada perkelahiannya beberapa hari yang lalu dengan Szczesny. Entah kenapa dia menjadi kesal jika teringat kembali kejadian itu. 
“Duduk, Kokov.” Profesor kembali bertitah, “jangan bengong saja.” Dengan nada agak keras menegur Kokov. Kokov segera sadar, langsung mengambil posisi duduk agar bisa dekat dengan Profesor. Soalnya apa yang akan mereka bicarakan ini, sensitif. 
“Jadi apa yang kalian temukan di Odessa?”
“Tambang-tambang itu, Profesor. Ada di sebuah lab kimia di Sekolah Tinggi Ilmu Matematika Odessa. Benar-benar tersembunyi.”
“Kalian sudah memastikan itu kepunyaan Oserzeen?”
Kokov manggut-manggut. Seperti kata Olek, sekolah itu didanai oleh Oserzeen dan laporan berstempel Oserzeen yang mereka temukan di lokasi, adalah dua bukti kuat. 
“Jadi mereka benar-benar memiliki tiga buah tambang ilegal di tiga wilayah negara ini. Kita benar-benar kecolongan. Lebih dari itu, Oserzeen benar-benar merencanakan semuanya. Seharusnya, seandainya bukan aku yang duduk di sana hari itu, sekarang saluran tambang mereka sudah tersambung ke Kiev, dan hari ini mereka sudah mulai mengakses jalur harta itu. Kita bakal merugi banyak sekali. Aku bersyukur mengambil keputusan yang tepat dengan menolak izin mereka.”
“Tapi mereka tidak menyerah, profesor. Bahkan sampai kami ke Odessa, mereka tidak pernah menyerah.”
“Apa maksudmu, Oserzeen kembali mengancam.”
Kokov segera menceritakan soal ancaman yang disampaikan oleh Pieter Both lewat pesan singkat itu. Profesor menghela nafas berkali-kali. 
“Kita tidak perlu fokus pada sosok Pieter Both itu, meskipun aku kenal dengannya. Lewat pesan ini Oserzeen seperti menantang kita. Mereka sepertinya tak takut dengan ancaman kita, dan siap menghadapi kita di pengadilan.”
“Mereka bilang kita tidak akan menang. Saya takut itu berarti mereka bisa mengendalikan proses hukum di Ukraina.”
Kokov dan Profesor sama terdiam sejenak. Kalau hukum sudah bisa dimain-mainkan, maka buruklah sudah sistem di negara tersebut. 
“Kita harus tetap maju,”  ucap Profesor kemudian. “Perintahkan Olek, terus maju untuk mengajukan berkas ini ke pengadilan lewat jalur khusus. Jangan biarkan Oserzeen tahu. Jangan biarkan informasi bocor.”
“Itulah yang kami pikirkan kemarin, Profesor. Sesuatu yang aneh. Tidak banyak orang yang tahu kami pergi ke Odessa. Tapi Oserzeen telah menyiapkan semuanya dengan sempurna. Kecil kemungkinan Pieter Both bisa memata-matai semua kegiatan kami sebelum berangkat, karena Olek telah memasang kewaspadaan yang tinggi.”
“Jadi?”
“Dengan kata lain, ada mata-mata di antara kita.”
Profesor sekali lagi terdiam. Itu bukan kemungkinan yang menyenangkan. 
Mata-mata?
Tapi siapa?
“Dia adalah seseorang yang membocorkan keberangkatan kami ke Odessa. Saat ini Olek sedang mengusutnya. Saya sarankan, jangan beritahu siapa-siapa soal ini Profesor, cukup kita bertiga saja yang tahu. Bahkan Vlari dan Nona Phia, juga jangan.”
“Baiklah. Aku mengerti sikap jaga-jagamu. Terima kasih kerja kerasmu dan Olek, Kokov. Setidaknya perjalanan kalian ke Odessa lebih baik hasilnya ketimbang duet S & C. Mereka hanya buang-buang waktu saja.”
Tunggu dulu, duet S & C?


Seratus Dua Puluh Tujuh
Berkas Masuk Pengadilan


Dinihari, tanggal 1 November. 
Kemarin, saat tanggal 31 Oktober, meski menunjukkan weekend, namun Olek tak sedikit pun mengambil waktu weekend-nya. Dia terus bekerja. Mengumpulkan semua bukti. Rupa-rupanya bukti yang dia dapatkan di Odessa masih belum bisa meyakinkan dirinya. Dia kemudian mencoba mencari bukti-bukti lainnya dan menjalinnya menjadi sebuah rangkaian yang padu. 
“Pokoknya, kali ini tidak boleh gagal. Oserzeen harus masuk ke pengadilan.” Begitu tekadnya dalam hati setiap kali rasa lelah menjalar ke badannya. Sudah nyaris 18 jam Olek bekerja. Tekadnya benar-benar membaja dan membatu. 
Sekitar jam 12 malam tanggal 31 Oktober, barulah pekerjaan itu selesai. Sebagai langkah selebrasi, Olek menghubungi Kokov. Mereka membicarakan soal rencana mereka, berdua saja. Tidak boleh lagi ada yang tahu. Itulah kesepakatannya. 
“Mr. Bojinov kali ini tidak punya pilihan lain selain meminta majelis hakim menelaah bukti-bukti yang kita punya. Aku sudah menyusun semua buktinya. Kini, langkah Oserzeen kemarin menjegal upaya pertama kita mengajukan kasus ini, justru akan menjadi bumerang yang balik menyerang mereka. Keterlibatan aku dan Profesor Nyoman menyebabkan kasus ini menjadi semakin menarik. Aku benar-benar akan membalas semua permainan dan tipu muslihat mereka selama ini.” Di ujung kalimatnya, Olek tertawa, keras sekali. 
“Yakinkah kau? Sebaiknya kau cek lagi semuanya. Aku tidak mau mendengar kau mendengus kesal lagi. Atau jangan-jangan Oserzeen akan menjegal kita lagi, entah dengan cara apa. Tolong kau pertimbangkan sekali lagi, Olek.”
Ada banyak sekali kata “lagi” di kalimat di atas. Olek mencoba mengucapkannya sesantun mungkin. Dia tidak ingin mengganggu euforia dari Oleksandr. 
“Iya. Aku akan pastikan. Kita tidak akan kecolongan lagi. Aku jamin.”
“Semoga sukses, Olek.”
“Terima kasih, Kokov. Besok, perjuangan kita melawan Oserzeen akan menemui babak baru. Dengan kita di pihak yang lebih unggul.”
Kokov tidak menanggapi. Dalam hatinya, tetap ada kekhawatiran. Mereka sedang berhadapan dengan pihak yang bisa mengendalikan hukum (jika itu benar), maka tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. 
Esoknya, pagi-pagi, Olek langsung berangkat. Tidak ke kantor pengadilan, melainkan menemui Mr. Bojinov di tempat yang telah dirahasiakan. Pertemuan itu singkat saja, menghasilkan satu kesepakatan. 
“Saya akan tindaklanjuti, terima kasih, Komandan Olek.”
“Sama-sama. Saya tunggu kabar baiknya, Mr. Bojinov.”
“Saya janji secepatnya memberi kabar. Jika kasus ini hanya bergantung pada penilaian pribadi saya, saya kira bukti-bukti yang anda serahkan ini sudah cukup untuk membuka kasus. Tapi semua tetap tergantung majelis hakim.”
Penilaian pribadi seorang Bojinov sudah cukup membuat Olek tersenyum. Biasanya, begitu pria tambun itu memberikan penilaian dan pendapat, majelis hakim tidak punya pilihan lain, selain manggut-manggut setuju. 
Pengadilan untuk Oserzeen sudah ada di depan mata.


Seratus Dua Puluh Delapan
Sambutan Ketua Pelaksana


1 November. 
Berita itu langsung tersebar ke seluruh negeri. Dan langsung jadi perbincangan hangat. Terutama kalangan tinggi seperti politisi, birokrat, para akademisi, para peneliti, juga tak ketinggalan para eksekutif perusahaan. 
Berita itu menjadi headline di media-media massa terbesar negeri. 
Oserzeen sebagai perusahaan tambang yang tersohor, telah dituntut oleh pengadilan tinggi Ukraina. Sayangnya tuntutan itu masih belum kuat, karena Oserzeen adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri. 
“Satu-satunya cara agar Oserzeen bisa dituntut adalah dengan mengajukan kasus ini pada pengadilan yang lebih tinggi. Bisa dengan melibatkan tekanan negara besar.” Seseorang berpendapat.
Hal lain yang tak habis dibicarakan, terutama di kalangan masyarakat biasa, adalah tentang bagaimana Oserzeen telah menjarah harta kekayaan nasional, sumber daya alam yang bisa digunakan untuk kelangsungan hidup anak cucu. Oserzeen seketika menjadi musuh bersama seluruh Kiev. Ah tidak, bahkan seluruh Ukraina. 
Perusahaan besar itu, kini berada di posisi yang tersudut. 
Babak ini adalah babak yang besar dan terhormat. Jadi kita akan memberikan kesempatan pada seseorang yang hebat untuk unjuk gigi. Meskipun hanya dalam bentuk siluet. Latarnya, di sebuah ruangan besar, dengan berbagai perhiasan megahnya. 
Pieter Both menunduk lama di hadapan kursi orang itu. Kursi itu ibarat tahta, karena yang duduk di sana adalah Pemilik perusahaan Oserzeen, salah satu orang paling berkuasa di dunia hitam. Dimitri namanya. 
“Maafkan saya, Tuan. Saya telah gagal menghalangi rahasia besar ini tersebar luas.”
“Tidak apa-apa,” suaranya tenang, tapi siapapun yang mendengarnya, akan merasa kalau suara itu mencekik.  “Kita hanya perlu membalikkan semuanya. Cukup satu dua gebrakan, nama kita akan kembali bersih.”
“Iya, Tuan. Mereka tidak akan bisa menuntut kita, saya jamin.”
“Tentu. Aku juga tahu. Kita adalah penguasa negeri ini. Siapa mereka berani menuntut kita. Siapkan serangan balasan kita, Pieter.”
“Baik Tuan. Saya akan siapkan pengacara-pengacara gadungan dan manuver hukum untuk membalikkan keadaan di pengadilan. Saya yakin setelah nama kita tidak sangkut paut lagi dengan pengadilan, nama kita akan berangsur bersih.”
“Tidak,” siluet itu mengangkat tangannya, bayangannya terlihat, “itu bisa diurus nanti-nanti. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita memberi pelajaran pada orang-orang yang berani macam-macam itu. Oleksandr, Kokov dan pak Tua Profesor, tiga nama itu yang harus diurus terlebih dahulu. Hubungi mata-mata kita, Pieter.”
“Siap Tuan.”
Sosok di balik siluet itu tertawa-tawa. Kejam, keras, dan menakutkan. “Mereka pikir mereka hebat? Aneh sekali. Bahkan di sekeliling mereka, penuh dengan jebakan. Aku masih punya dua mata-mata dan satu orang kartu rahasia. Benar bukan, Pembunuh dalam Bayangan?”
Tiba-tiba dari arah belakang tahta, ada seseorang yang menyahut, “benar Tuan.”
“Aku serahkan padamu untuk mengurus mereka, Pieter. Pastikan mereka menerima pidato sambutan dariku ini. Jangan pernah main-main denganku, dengan Oserzeen.”
Diiringi tawa jahat itu, babak baru dalam cerita ini, telah dimulai.

Seratus Dua Puluh Sembilan
Ancang-ancang Menembak


30 Oktober.
Sehabis dari rumah Profesor Nyoman, Szczesny mengajak Phia mencari makanan. Bukan makan siang. Hanya makanan pengganjal perut. Phia setuju. Dia cukup penasaran dengan rasa makanan yang dijual di Ukraina. Dia telah mencoba beberapa, dan siap mencoba beberapa lainnya. 
“Cobalah Tort Kievsky ini, Nona Phia. Lezat sekali. Aku pertama mencoba makanan ini saat ibuku membuatnya di hari natal. Saat itu umurku 8 tahun, dan sejak itu, kue ini menjadi favoritku.”
Szczesny sedang bersemangat. Dia mengajak Phia ke salah satu kafe paling ramai di kota, Kievsky. Nama kafe itu diambil dari nama kue legendaris  yang mereka jua, Tort Kievsky, sebuah hidangan kue sponge dengan lapisan krim kacang khas kota Kiev. Ini makanan tradisional yang telah dipoles dengan sentuhan modernitas. Kue itu sekarang jadi primadona di kalangan para turis. 
Phia saja langsung tersenyum setelah mencicipinya. Promosi Szczesny tidak berlebihan. 
Sebaliknya, Szczesny juga tersenyum senang karena berhasil membuat Phia senang. Ha, rasanya dia menang satu kosong dari Kokov. Memangnya pria itu tidak bisa membaca selera wanita. Mana ada wanita yang mau makan di kafe bercitarasa Prancis itu!

Tanggal 31 Oktober. 
Phia masih bimbingan dengan Profesor Nyoman. Kokov sibuk, dan lagipula, profesor Nyoman merasa sanggup melaksanakan bimbingan ini. Beliau merasa asyik mengobrol, dengan topik-topik yang beliau suka. 
Seperti seharusnya pula, Szczesny menunggui Phia berangkat. Dia tiba di Kurin pukul setengah tujuh pagi. Pagi-pagi begini saja, dia sudah tersenyum senang. Bisa melihat Phia sepagian ini baginya sudah harus disyukuri setengah mati. 
“Szczesny, apakah sudah lama menunggu?” Phia keluar rumah, sumringah. Dia sudah mulai membiasakan diri dengan jemputan ini. Lagipula, selain hemat, jemputan ini adalah perintah dari Profesor Nyoman. 
“Nona Phia. Apakah kamu sudah siap berangkat?”
“Yeah.” 
“Ayo naik.”
“Ini, aku buatkan kebab untukmu.”
“Untukku?” Szczesny sedikit terkejut. Ini suprise sekali. 
“Ah sebenarnya aku tadi membuatnya untuk sarapan. Tapi mengingat hari ini ada orang yang menjemputku, jadi sekalian saja. Kuharap kamu suka.”
“Terima kasih banyak, Phia.”

1 November. 
Kali ini Phia bimbingan di sore hari. Sehingga saat selesai bimbingan dengan Profesor, matahari sudah terbenam. Szczesny yang duduk di dalam mobil, sambil menunggu, sudah merancang sesuatu di otaknya.
Makan malam yang romantis. 
Szczesny sungguh serius. Dia ahli sekali mencari restoran. Daya jelajahnya yang luas, membuatnya tahu tempat-tempat yang menyediakan makanan lezat. Lagi-lagi, tidak seperti Kokov yang tahunya cuma nongkrong di Le Chaoux. 
“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot mengajakku ke sini, Szczesny. Aku yakin punya uang untuk membayar tagihan di restoran ini.” Phia berkata pelan. Lirih di antara banyaknya pengunjung restoran. 
“Tidak apa. Aku yang traktir. Anggap saja ini balasanku atas kebab yang sudah kamu repot-repot buatkan kemarin. Mari, cicipi okroshka-nya, ini salah satu sup paling lezat di Ukraina.”
Phia mengangguk. Soal makanan lezat, lidahnya selalu menyambut dengan suka cita.


Seratus Tiga Puluh
Tidak Kena


Tanggal 3 November. 
Ini bukan tentang Kokov, Olek, ataupun Oserzeen.
Ini tentang Phia dan Szczesny. 
Pria itu benar-benar serius ingin mendapatkan hati Phia. Dia ingin sekali menjadikan gadis berkacamata yang kemana-mana memakai Khizdab itu, menjadi pasangannya. Selama beberapa hari ini, dia terus melakukan pendekatan demi pendekatan. Selama beberapa hari belakangan pula, sembari mengantar Phia pulang, Szczesny mengajak Phia makan-makan atau mendatangi tempat-tempat yang dirasa mengasyikkan. 
Sejauh ini Phia tidak keberatan. Dia selalu terkesima. Szczesny tak pernah salah pilih tempat. 
Beberapa pendekatan yang dia lakukan hari ini, membuat Szczesny merasa tidak sabar. Dia ingin menuai hasil secepatnya. Dia ingin melakukan “penembakan”. 
Malam ini, Phia kembali datang ke rumah Profesor. Tidak lama. Hanya untuk menyerahkan draft tesis yang sudah disusunnya. Sudah selesai 60%. Berkat diskusi dengan Profesor tentu saja. Jika perhitungannya benar, maka bulan depan, Phia sudah bisa pulang ke Taipei dan menyelesaikan proses kelulusan magisternya. 
Itu berarti, waktu Szczesny juga sempit dan dia tidak mau membuang-buang waktu lebih lama lagi.
Malam ini, Szczesny mengajak Phia makan malam di Restoran Tepi Sungai Djnepr. Suasana di sana sangatlah romantis. Makan di bawah cahaya lampu dengan latar suara gemerisik sungai. Szczesny mulai bicara. 
“Aku senang sekali malam ini, Phia.”
“Oh ya, apa kabar baik yang membuatmu senang, Szczesny?”
“Kabar baik itu ada di depanku sekarang.”
“Eh?” Phia agak terkejut mendengar jawaban itu. Sungguh itu bukan tanggapan yang dia prediksi. “Apa maksudmu?” kejarnya dengan tanya. 
“Aku senang sekali bisa mengajakmu makan malam di sini, malam ini. Setiap sesi makan malam denganmu selalu menyenangkan, Phia. Aku senang kamu tidak menolak ajakanku.”
Phia tersenyum demi sopan santun. Dia mulai merasa, percakapan ini berubah jadi, ganjil. 
“Seharusnya aku yang berterima kasih. Kurasa aku sudah menabung banyak tagihan cek di rekeningmu dalam beberapa hari terakhir. Sejujurnya, kadang aku merasa tak enak. Mungkin besok-besok langsung antarkan aku ke rumah saja.”
“Eh tidak apa-apa. Tidak ada masalah. Aku tidak keberatan. Aku senang membelanjakan uangku untuk menghabiskan waktu bersamamu.”
Sekali lagi, percakapan ini teramat ganjil bagi Phia. 
“Terima kasih, Szczesny. Tapi kamu tidak perlu mentraktirku setiap kita bertemu. Sesekali bolehlah kita makan bayar sendiri, atau gantian aku yang mentraktir.”
Ah kenapa Phia malah membicarakan soal ganti traktir dan hutang budi. Bukan, bukan ke arah sana pembicaraan yang kuinginkan. 
“Nona Phia,” Szczesny kembali menegaskan kalimatnya, mencoba mengendalikan pembicaraan, “seperti yang kubilang, aku tidak masalah dengan hutang traktir atau semacamnya. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Seorang pujangga besar pernah mengatakan, belilah sesuatu yang membuatmu bisa menghabiskan waktu dengan orang yang kamu anggap spesial. Saat itulah kamu sadar, uangmu bisa membeli kebahagiaan.”
“Eh maksudmu?”
“Aku menyukaimu, Phia. Dan aku berharap bisa menjalin hubungan yang lebih serius denganmu. Izinkan aku menjadi orang yang spesial di hidupmu, seperti halnya aku menjadikanmu sangat spesial. Kamu menghadirkan kebahagiaan untukku. Jadi izinkan aku untuk menghadirkan kebahagiaan untukmu juga.”
Soal merangkai kalimat indah, Szczesny tiada tanding.
Namun, tetap saja jawabannya adalah satu hal pahit. 
Phia menghela nafas, kemudian pelan tapi tegas bilang.
“Maaf, aku tidak bisa.”

Seratus Tiga Puluh Satu
Tapi Kenapa


“Tapi kenapa?”
Tentu saja, tentu saja pertanyaan ini yang pertama meluncur dari mulut Szczesny. Ya, kenapa? 
“Aku belum mau menjalin sebuah hubungan. Aku ingin fokus dengan tesis yang sedang kukerjakan, dan karierku.” Phia menjelaskan dengan gamblang. Namun, penjelasan nan gamblang sekalipun, susah dipahami oleh logika orang yang terlanjur kecewa. 
Bunga-bunga cinta di hati Szczesny terlanjur jadi bunga rampai kembang tak jadi. Pahit sekali rasanya. 
“Apakah ada sesuatu yang tidak kamu suka dari aku, Nona Phia?”
“Bukan seperti itu, Szczesny. Kuharap kamu tidak salah sangka lalu menilai yang tidak-tidak. Aku tegaskan sekali lagi, aku belum mau menjalin hubungan. Prioritasku adalah tesis dan karier. Begitu aku berada di jalur yang tepat, barulah aku berpikir tentang menjalin hubungan. Jawaban ini berlaku universal. Tidak hanya untukmu saja.”
“Kamu yakin tidak ada alasan lain.”
“Maafkan aku, tapi memang seperti itu adanya. Aku tidak mau penulisan tesisku terganggu karena menjalin sebuah hubungan.”
Szczesny menghela nafasnya dalam-dalam. Entah kenapa, tiba-tiba segenap ruangan dalam dadanya terasa sesak. 
“Baiklah, Nona Phia. Kurasa kamu benar.”
“Terima kasih sudah menerima keputusanku.”
“Bukan, bukan cuma itu saja.”
“Eh apa lagi kalau selain itu?”
“Kurasa kamu benar, malam ini sebaiknya kita bayar sendiri-sendiri. Aku harus pergi.”
Phia mengangguk tanggung. Berusaha tetap tenang dan terkendali. Dia membiarkan pria yang baru saja memakan pahitnya buah dari bunga harapan yang terlanjur mekar. Szczesny meninggalkan restoran terapung dengan langkah gontai. 
Di dalam mobil, Szczesny membanting apa saja yang dia bisa banting dan memukul apa saja yang bisa dia pukul. Kursi, bagian dalam mobil, bagian atas, setir, dashboard. Cuma kaca yang tidak kena amukan kekecewaannya. 
“Argh, dasar wanita.” Akhirnya dia menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan restoran terapung. Rasanya sehabis ini dia tidak mau bertemu dengan gadis itu lagi. 
Szczesny kemudian menghubungi Profesor. Dua nada sambung, telepon itu langsung diangkat. Szczesny langsung bicara, to the point, tanpa basa-basi. 
“Saya berhenti jadi supir untuk Nona Phia, Profesor. Dia bisa mengurus diri sendiri mulai sekarang.”
“Eh?” bukan terkejutnya Profesor. Malam-malam begini, Szczesny meneleponnya dan memberitahukan dia berhenti dari aktivitas yang beberapa waktu lalu mati-matian dikehendakinya. 
“Tapi kenapa?”
Szczesny sudah mematikan teleponnya. 
Sesampainya di kediamannya, yang bersama Chrmeko dia sebut sebagai markas, Szczesny langsung bergegas masuk, tanpa menghiraukan Chrmeko yang sedang makan di ruang makan, Szczesny langsung masuk kamar. Menutup pintu dengan suara gedoran kencang. 
“Hei, kau kenapa? Acara makan malamnya tidak lancar?”
Wajah Szczesny sudah terlanjur kebas. Kenapa malam ini banyak sekali pertanyaan kenapa yang bermunculan.


Seratus Tiga Puluh Dua
Satu Rencana Sudah Dimulai


Perang besar telah dimulai!
Bukan antara pasukan besar melawan pasukan besar. Bukan tembakan melawan tembakan. Bukan pula pesawat tempur melawan pesawat tempur. Perang itu justru melibatkan hukum, wewenang dan kekuasaan. 
Ini perang antara kekuasaan hukum melawan perusahaan Oserzeen. 
Begitu pengadilan tinggi Ukraina tidak bisa menjatuhkan sanksi pada perusahaan Oserzeen karena keterbatasan wewenang, Mr. Bojinov, Olek dan beberapa ahli hukum, mengirim permintaan mendesak pada pengadilan Belarusia untuk menuntut Oserzeen dengan tuduhan perampokan harta kekayaan nasional. Itu tuntutan yang amat serius. Pengadilan tinggi Belarusia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.  
Hanya saja sampai saat ini proses hukum Oserzeen masih berjalan sangat alot. Jika Pengadilan Tinggi Ukraina tidak bisa menuntut perusahaan karena sejatinya perusahaan itu bermukim di Belarusia, bukan Ukraina. Maka kebalikannya, Pengadilan Tinggi Belarusia tidak bisa serta merta menuntut karena perusahaan itu beroperasi ilegal di Ukraina, bukan Belarusia. 
“Mereka butuh lebih dari sekedar manuver hukum untuk mengalahkan kita. Jangan khawatirkan pengadilan itu. Bereskan orang-orang yang mengganggu.” 
Titah Dimitri sebagai pemimpin perusahaan. 
Hari ini, 2 November. Rencana-rencana Oserzeen telah dimulai. 
“Aku hanya ingin mengulangi instruksi,” seorang pria berbicara lewat telepon, dia terhubung dengan seseorang yang mengemudi truk. “Perintah Tuan Dimitri jelas sekali. Kita harus memberi pelajaran pada orang-orang yang berani macam-macam. Beri pelajaran yang akan mereka ingat. Sakiti orang-orang yang mereka sayangi. Satu yang harus segera kalian bereskan ada di Holasev. Tangkap dia dan bawa ke hadapanku. Setelah itu, kita akan mengirim pesan peringatan pada mereka.”
“Siap Tuan.”
Orang itu menutup panggilan telepon. Dia memasukkan ponselnya ke dalam jas. Setelannya hari ini, seperti biasa, selalu rapi. Dia adalah Pieter Both. 
Rencana mereka jelas sekali, sekali mereka menyebut-nyebut Holasev. Mereka ingin melakukan sesuatu pada Ibunda Kokov. Sesuatu pelajaran yang akan selalu diingat oleh Kokov. 
“Masukkan wanita tua ini ke bagian belakang truk. Ikat dia di tiang. Pastikan dia tidak melawan sampai kita membawanya pada Tuan Pieter Both.”
Tidak sulit bagi enam orang yang naik dalam truk itu melaksanakan perintah begitu mereka tiba di Holasev. Tangan-tangan mereka gesit sekali. Dalam beberapa menit, Ibunda Kokov berhasil dilumpuhkan. Wanita tua itu bukan tandingan para prajurit bawahan Pieter Both. 
“Aku tidak percaya aku membiarkan diriku ditangkap orang-orang seperti kalian.” Wanita tua itu mengumpat melawan saat hendak diikat. Sayangnya itu adalah usaha yang sia-sia. Ibunda Kokov dengan mudah dilumpuhkan dan dinaikkan ke dalam truk.
Operasi penangkapan di Holasev selesai dalam beberapa menit saja.


Seratus Tiga Puluh Empat
Budi Baik


“Operasi di Holasev bekerja dengan baik, Tuan. Kami sedang dalam perjalanan.”
“Bagus sekali. Aku akan kirim koordinatnya. Pastikan kalian sampai di sana, setelah aku sampai.”
“Baik Tuan.”
Pieter Both mematikan ponselnya lagi. Dia berpikir sejenak. Satu operasi telah diselesaikan. Itu artinya satu pukulan telak sudah diberikan. Hanya masalah waktu sampai Stanislav Kokov panik mendengar kabar ini. 
Tapi ini belum cukup. Pieter Both kembali mengambil teleponnya. Menghubungi seseorang.
“Aku perlu bantuanmu untuk memburu seseorang.”

Tanggal 2 November. Setelah malam yang panjang. Di kediaman Szczesny dan Chrmeko. 
Pagi ini, Chrmeko mencoba mengetuk pintu kamar Szczesny. Dia merasa ada sesuatu yang aneh terjadi pada temannya itu. Bahkan Szczesny tidak lagi keluar kamar sejak dia masuk di awal malam. Itu berarti Szczesny melewatkan jadwal makan malam. Sampai Chrmeko pergi beristirahat pukul 2 pagi (dia begadang, main game online), Szczesny tak ada bunyi-bunyi kabarnya.
Chrmeko agak khawatir. 
“Hei, kau baik-baik saja di dalam sana?”
Tidak ada jawaban. Kini ketukan Chrmeko sudah berganti jadi gedoran. Dan teguran sopannya berganti jadi teriakan. 
“HEI SZCZESNY, JAWAB AKU!”
Sia-sia. Tidak ada jawaban. 
Merasa khawatir dengan temannya, akhirnya Chrmeko memutuskan untuk mendobrak pintu. Memasuki kamar Szczesny yang dipenuhi aura kesedihan. Lihatlah pemilik kamar yang duduk bersandar di ranjangnya. Menatap kosong. Matanya nanar. Sepertinya dia tidak tidur semalaman.
“Hei, kau baik-baik saja?”
“Pergi.” Hanya sahutan lemah yang terdengar. Tapi itu sudah kabar baik. Setidaknya itu berarti Szczesny tidak mati, dan tidak kehilangan akal. Dia masih waras. 
“Jelas ada sesuatu yang tidak beres terjadi padamu. Kau kenapa? Sakit? Biar kuantar kau ke dokter.”
“Pergi. Tinggalkan aku  sendiri.”
Chrmeko malah duduk di bibir tempat tidur. Tak bergeming. “Aku tidak akan pergi sampai kau bilang apa yang terjadi denganmu.”
“Aku sedang ingin sendiri. Jadi sekarang pergilah.”
“Hei, ada apa ini sebenarnya. Bukankah kemarin kau bersemangat sekali ingin mengajak Nona Phia makan malam romantis di Restoran Terapung. Apakah rencana dinner-mu gagal? Ataukah ada Kokov tiba-tiba muncul yang mengacaukan semuanya?”
“Pergi. Dan jangan sebut soal gadis itu lagi di hadapanku.”
Chrmeko malah mengulas senyum nakal. “Aku tidak akan pergi. Aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu dan Nona Phia yang manis dan cantik itu. Oh ya, tidak hanya itu, dia juga sangat cerdas. Oh alangkah beruntungnya siapapun yang mendapatkan hatinya.”
“Bisakah kau berhenti mengoceh. Atau aku sumpal mulutmu itu.” Szczesny berseru kesal, menimpuk Chrmeko dengan bantal. 
“Ternyata, dugaanku benar. Temanku sedang sakit hati. Kecewa. Kau dikecewakan oleh gadis itu ya? Ayolah, bukan seperti ini harusnya yang kau lakukan.”
“Lalu apa?”
“Tentu saja berusaha lagi, teman. Jangan menyerah pada percobaan pertama.”
“Gadis itu tidak mau mendengarkan aku lagi.”
“Bagaimana kalau aku membantumu agar bisa bicara dengan dia lagi.”
Szczesny masih tak bereaksi, tapi matanya sedikit berbinar.
“Memangnya kau bisa melakukannya.”
“Serahkan padaku.” Chrmeko bangkit, dan tersenyum, menyeringai.

Seratus Tiga Puluh Lima
Pembicaraan Segitiga


3 November
Chrmeko memang berjanji untuk membuat Szczesny bisa bicara dengan Phia lagi. Tapi dia tidak bilang kalau itu tanpa kekerasan dan bicara baik-baik. Nyatanya sebaliknya.
Chrmeko malah menculik Phia dari Kurin.
Itu adalah misi yang mudah. Satu, Chrmeko sudah terbiasa melakukan perbuatan kotor. Dua, Phia sedang sendirian di Kurin. Sylvi belum kembali. Dia dengan mudah menangkap gadis itu dan menculiknya.
“Apa yang anda rencanakan, Tuan Chrmeko.”
Itulah kata-kata terakhir Phia sebelum bius menutupi kesadarannya. Dia tidak bisa melawan. Dia langsung diangkut ke tempat yang telah ditentukan.
“Seperti janjiku, aku telah membawakan Nona Phia untukmu.” Chrmeko membukakan pintu dengan bangga. Seolah-olah dia baru saja melakukan sebuah pekerjaan yang hebat, dan dia sekarang menunjukkannya pada Szczesny. Tapi Szczesny justru tak puas.
“Apa yang kau lakukan? Kau tidak membawanya, kau menculiknya.”
“Yeah, beberapa tindakan memang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.”
“Kau tidak menyakiti dia bukan? Aku tak segan membunuhmu jika Phia kenapa-kenapa.”
“Tenanglah. Dia baik-baik saja. Dia tidak melawan. Aku hanya membuatnya terbius.”
Szczesny langsung melepaskan tali-tali yang mengikat tubuh Phia. Dia ingin gadis itu kembali sadar. Dia ingin bicara baik-baik. Bukan seperti ini. 
Setelah beberapa saat, Phia akhirnya bangun. Sekali dia membuka matanya, dia langsung ketakutan. “Dimana aku, dimana aku,” ucapnya panik sambil meraba seluruh bagian tubuhnya. Syukurlah, setidaknya aku masih berpakaian lengkap.
Begitu Phia membuka matanya, dia langsung mengenali dua orang yang berdiri di depannya. “Szczesny, Chrmeko, kenapa kalian membawa aku ke sini?” 
“Maafkan aku, Phia.” Szczesny duduk, berlutut di hadapan Phia, “aku ingin kita bicara. Namun sepertinya cara Chrmeko menyampaikan undangan, agak kasar.”
“Kalian membuatku nyaris mati ketakutan. Ada apa ini sebenarnya.”
“Aku ingin bicara, Phia.”
Manik-manik mata Phia berpijar, “tidak. Aku tidak mau membicarakannya, aku tidak mau membicarakannya. Kamu tidak bisa memaksaku seperti ini.” Mengingat apa yang terjadi kemarin, Phia seperti bisa meraba apa yang akan terjadi sekarang. 
“Tenanglah Phia. Aku ingin bicara baik-baik. Aku berjanji, aku tidak akan mengapa-apakan kamu. Maukah kamu mendengarkan aku bicara.”
“Jawabanku tidak akan berubah, Szczesny. Apalagi dengan kalian menculikku seperti ini. Lepaskan aku dan biarkan aku kembali ke Kurin.” Phia masih panik. Dia waspada atas semua kemungkinan. 
“Hei Nona. Jangan begitu. Bicaralah dulu dengannya. Aku sudah repot-repot menculikmu dari Kurin. Aku tidak tega melihat temanku putus asa karena hatinya kecewa. Kau seharusnya mempertimbangkannya lagi sebelum menolak cinta seorang Szczesny.” Chrmeko dari belakang ikut menginterupsi.
Tak cukup sampai di sana, Szczesny ikut menatap Phia dengan tatapan seoran peminta dan pengharap yang amat dalam. “Maukah kamu mendengarkan aku dulu, Phia. Aku ingin kamu mempertimbangkan kembali.”
PLAK!
Satu tamparan dengan jelas mengarah pada Szczesny. Sampai dia terkejut. Untungnya Szczesny tidak bereaksi dengan membalas. 
“Hentikan semua ini. Aku ingin kembali ke Kurin.” Phia kini balik menatap dengan wajah menuntut. Szczesny kecewa bukan main. Saat itulah Chrmeko, entah dengan rencana apa, tiba-tiba maju dan memukul bagian belakang kepala Szczesny sampai tersungkur. 
Temannya itu jatuh pingsan. Tak sadarkan diri. Phia terpana.
“Apa yang barusan anda lakukan, Tuan Chrmeko?”
“Urusannya denganmu sudah selesai bukan, Nona Phia? Toh kamu juga tidak akan mengubah jawabanmu.”
“Eh, terima kasih...”
“Tapi,” Chrmeko buru-buru memotong, ekspresinya menyeramkan. “Urusan aku denganmu belum selesai. Karena sesungguhnya, aku tidak membawamu untuk Szczesny.”
Phia sempurna terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan.


Seratus Tiga Puluh Enam
Sang Mata-mata


“Aku dalam perjalanan, misi telah tuntas.”
“Bagus sekali. Aku bisa mengandalkanmu.” Itu suara sahutan yang amat berkarisma. Tidak ada yang punya suara se-berwibawa itu selain Pieter Both.
“Apakah ibunya Kokov sudah diamankan?”
“Kenapa kau harus menanyakan itu? Itu bukan urusanmu. Fokus saja pada misimu”
“Tidak apa. Aku hanya ingin tahu. Apakah nanti dia ini akan ditempatkan bersama-sama Ibu Kokov?”
“Ya, dua tahanan kita. Aku tidak perlu repot-repot menyediakan tempat untuk dua tahanan. Biarkan mereka membusuk.”
“Kau sangat mengerikan.”
“Karena itulah namaku adalah Pieter Both.”
“Dan aku adalah Chrmeko. Aku membawakan Nona Phia Lizarina untukmu.”
“Kau harus menyebut dirimu sebagai mata-mata yang amat handal, Chrmeko.”
“Jangan memujiku. Aku bukan bawahanmu.”
“Kau sombong sekali.”
“Karena aku lebih hebat darimu. Sampai sekarang mereka sama sekali tidak mencurigai diriku.”

Seratus Tiga Puluh Tujuh
Tempat Pembuangan


Chrmeko, atau kita harus menyebutnya sang mata-mata sekarang, Chrmeko sang mata-mata, membawa Phia ke tempat yang telah disepakati dengan Pieter Both. Mereka rencananya akan menahan Phia di sana bersama ibundanya Kokov. Tempat itu harus dirahasiakan dari siapapun. Oserzeen sementara hanya berniat menahan dua orang itu, guna menekan Kokov dan Profesor Nyoman.
“Jika mereka sudah tak berguna lagi, aku tidak keberatan untuk memusnahkan mereka berdua.” Pieter Both berbicara lewat telepon. 
Phia kini sudah terbangun. Dia ingat apa yang terjadi. Chrmeko. Orang itu ternyata adalah penjahat. Dia sengaja melumpuhkan Szczesny dan sekarang menculiknya ke suatu tempat. Apa rencananya? Phia bertanya-tanya. Ah yang lebih penting, dia harus melepaskan diri. Sial, tidak bisa. Tangan dan kakinya terikat kuat. Phia tak berdaya di dalam mobil box yang terus berjalan. Chrmeko membawanya entah kemana. 
Tempat pembuangan, itulah istilah yang digunakan Pieter Both untuk menyebut tempat mereka akan menahan dua tahanan Oserzeen. Tempat itu jauh jaraknya dari Kiev. Tiga jam perjalanan totalnya. 
Sesampainya di tempat pembuangan. 
Pieter Both turun sendiri menjemput ke mobil box yang dikendarai Chrmeko. Dia membawa dua orang pengawal. Chrmeko turun, menemui mereka bertiga.
“Tangkapan yang bagus. Kau tidak mengalami kesulitan bukan?”
“Sejak kapan kau peduli padaku, Pieter?”
“Kau tidak pernah sopan denganku.”
“Cepat turunkan dia. Aku harus kembali ke Kiev. Partner-ku akan mencariku jika aku pergi terlalu lama.”
“Kau akan kembali ke Kiev? Bukankah sebaiknya kau ada di sini.”
Chrmeko terkekeh, seperti mencemeeh, “sejak kapan otakmu menjadi tumpul, Pieter. Aku harus kembali, agar tidak ada yang curiga.”
“Ah kau sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Ya sudah, buka box-nya.”
Dua orang pengawal di samping Pieter langsung bergerak, cekatan membuka gembok dan membuka pintu box. Begitu pintu itu terbuka, tiba-tiba sekelabat bayangan bergerak.
“HYAH!”
Astaga!
Dua orang pengawal itu tidak sempat menghindar. Terkena serangan kejutan. Sebuah tendangan. 
“Siapa kalian? Apa yang kalian rencanakan?”
Phia sudah meloncat keluar. Malah dia sekarang memasang kuda-kuda. Tangguh. Pieter Both dan Chrmeko melompat mundur ke belakang. 
“Astaga,” Pieter Both menepuk dahinya (lagi), “tangkapanmu menggeliat, Chrmeko. Sepertinya dia bersemangat.”
“Sepertinya obat biusnya kurang kuat.”
“Tidak masalah. Kita hanya perlu menangkapnya lagi.”
Phia memasang kuda-kuda terbaiknya. Dia harus bertarung di sini. Meski hanya memiliki sedikit keahlian beladiri yang pernah dipelajarinya di SMP (secara tak serius), kadang ditambah kenekatan dan situasi yang terdesak, orang bisa mencapai tahap pendekar. Apapun itu, Phia tidak akan mengalah dengan mudah. 
“Nona Phia, ayolah. Jangan membuat ini jadi sulit. Aku janji, kau tidak akan diapa-apakan. Setidaknya selama beberapa hari. Sisanya tergantung apakah Profesor Nyoman mengambil keputusan yang benar.”
“Kau sudah menipuku dua kali, Chrmeko. Jangan harap aku akan tertipu lagi.” Phia berkata tegas. Hilang sudah semua keanggunannya. Dia siap membela dirinya mati-matian.
Pieter Both menepuk dahinya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Dasar gadis merepotkan.”
Meskipun berusaha melawan dengan keras, Phia bukan tandingan Chrmeko yang juga jago bertarung. Chrmeko berhasil melumpuhkan Phia kembali dalam waktu yang cukup singkat. Gadis itu masih setengah sadar ketika dibopong menuju sel tahanannya. 
“Masukkan saja dia di sel yang sama dengan wanita tua itu. Kurasa dengan adanya teman, dia akan berkurang nekatnya.” Pieter Both memerintahkan.


Seratus Tiga Puluh Delapan
Memperingati Kokov


Setelah memastikan dua tahanannya berada di sel, aman, tidak mungkin melarikan diri dan kini sedang mencoba mengenal satu sama lain, Pieter Both masuk ke fase berikutnya. Dia mengambil teleponnya dan mulai menghubungi orang-orang yang berkepentingan.
Saatnya mengabarkan pada mereka. Pada Kokov, dan Profesor Nyoman terutama. Saatnya membawakan kabar buruk ini. 
“Halo, Kokov.”
Kokov sedang terjebak macet di depan kantor walikota saat telepon itu masuk. Dia sudah terlanjur kesal karena terlambat siang ini, tambah kesal saat mengenali suara siapa yang masuk ke teleponnya itu.
“Apa maumu?”
“Sambutan yang sungguh tidak ramah.”
“Kalian sudah tamat. Oserzeen sebentar lagi akan berakhir di meja pengadilan.”
Pieter Both tertawa, “itu cerita lama. Kami tidak akan menyerah secepat itu, kuharap kau tidak terlalu yakin.”
“Apa maumu, jangan berbelit-belit.”
Seharusnya Kokov matikan saja telepon ini. Ya, Kokov juga sadar dia seharusnya mematikan saja telepon dan tidak usah berbicara dengan Pieter Both ini. Tapi, pengaruh dan gaya bicara Pieter Both itu tidak bisa ditahan-tahan. 
Mereka terus berbicara. 
“Aku ingin kalian mencabut tuduhan kalian.”
“Kurasa Oserzeen mulai takut kalah di pengadilan.”
“Kalian yang harusnya takut. Oserzeen tak bisa dikalahkan. Sekali saja bos besar marah, seluruh dunia akan takut.”
“Kau tak bisa menakut-nakutiku. Proses pengadilan akan terus berlanjut.”
“Kau yakin. Apakah kau ingin mendengar sebuah teriakan yang amat memilukan. Aku yakin wanita tua itu akan memberikannya dengan meyakinkan.”
Wanita tua? Apa maksudnya dengan itu. Kokov mulai khawatir.
“Apa maksudmu?”
“Ah, akhirnya kau tertarik. Begini, kemarin aku tak sengaja berlewat di Holasev, dan aku tertarik membawa serta wanita tua itu bersamaku. Dia bisa jadi aset yang berharga bagi Oserzeen, untuk sementara.”
“Kau...” Kokov meraung, marah.
“Tidak-tidak, jangan marah. Dia baik-baik saja. Sebentar, aku kirimkan fotonya.”
Pieter Both mengirimkan sebuah foto. Foto ibunda Kokov di dalam penjara.
“Kau, jangan main-main denganku. Cepat bebaskan dia....”
“Sabar, jangan terburu-buru. Aku ingin kau dengarkan kata-kataku,” Pieter Both tahu dia sudah memegang kendali pembicaraan. 
“Kau jangan bercanda, dimana kalian menahannya. Aku akan ke sana.”
“Astaga, betapa tak penyabarnya dirimu.”
Kokov kini bukan hanya kesal dan marah, dia panik. Mereka menahan ibunya. Ini jelas masalah serius.
“Aku mohon, jangan sentuh ibuku.”
“Ah, itu terdengar seperti permohonan yang rendah hati.”
“Apapun akan kulakukan. Tolonglah, kembalikan ibuku ke Holasev.”
Nah itu dia kalimat yang ditunggu oleh Pieter Both. Dia tersenyum-senyum sekarang. “Bagus Kokov. Aku punya satu permintaan. Cabut berkas tuduhan kalian. Jangan halangi jalan Oserzeen. Begitu berkas kami bersih, ibumu akan kami kembalikan. Tawaran yang adil bukan?”
Sialan. Kini Pieter Both berada di atas angin. 
“Ingat Stanislav, kau punya waktu tiga hari.”

Seratus Tiga Puluh Sembilan
Ada yang Mau, Ada juga yang Tidak


3 November, malam hari
Urusan ini dengan cepat menjadi kapiran. 
Kokov dengan segera melupakan semua hasil jerih payahnya mencari dan merangkai petunjuk. Melupakan segera semua janji manis perayaan kemenangan mereka jika Oserzeen benar-benar dihukum di pengadilan nantinya. Tidak, tidak ada lagi semua itu. Olek menggeber pintu mobilnya dan menginjak gas sedalam-dalamnya menuju kantor Oleksandr untuk satu hal, meminta Olek mencabut berkas tuntutan Oserzeen. 
“Kau gila, Kokov! Itu tak mungkin dilakukan sekarang.” Olek langsung mengumpat begitu Kokov datang dan mengajukan permintaannya. Emosional. 
“Tidak, kau memang harus melakukannya. Kau yang telah mengajukannya, seharusnya kau tahu cara membatalkan semuanya.”
“Ya aku tahu, tapi aku tidak akan membatalkannya.”
“Kau harus melakukannya.”
“Apa yang terjadi denganmu.”
Dua rekan, sahabat itu saling bersahutan dengan nada sangat tinggi. Olek setengah bingung, apa yang terjadi, apa yang tiba-tiba merasuki kepala sahabatnya ini. Bukankah kemarin-kemarin mereka sama-sama sepakat untuk mengajukan bukti-bukti yang telah dikumpulkan. 
“Orang bernama Pieter Both itu meneleponku. Bilang kalau Oserzeen telah menahan ibuku. Mereka akan melepaskan ibuku jika aku bersedia mencabut tuntutan di pengadilan.”
Olek terperanjat bagai disambar petir, “Oserzeen telah menculik Nyonya Margaretha?”
“Aku akan mencabut berkas itu, suka atau tidak suka. Demi segala yang suci, aku harus menyelamatkan ibuku.”
Akhirnya Olek paham kenapa Kokov begitu panik.
“Tenang dulu, teman. Aku sekarang paham situasinya. Tapi mencabut berkas, itu tak semudah kelihatannya. Ada banyak prosedur yang harus dilalui. Apalagi berkas Oserzeen telah melanglang buana sampai ke negara tetangga. Dan hei, aku tidak akan membiarkan berkas itu dicabut, pasti ada cara lain.”
“Cabut berkas itu sekarang, atau kita akan berkelahi.”
Sungguh inilah yang diharapkan Pieter Both. Pertengkaran. Jika pihak Oserzeen yang membujuknya, sampai matipun Oleksandr tidak akan menyerah, tapi kalau Kokov yang membujuk, ini sungguh memusingkan.
“Masih ada cara lain, Kokov. Masih ada cara lain.”
“Apa caranya, bagaimana, bagaimana? Kau jangan bercanda, Olek. Situasinya genting.”
“Tenang, tenanglah. Kita bersama-sama dalam hal ini. Aku janji akan carikan cara untuk membebaskan ibumu, tanpa harus mencabut berkas di pengadilan.”
“Kau mau membuat penyelidikan.”
“Tentu saja.”
“Astaga, mereka hanya memberiku waktu tiga hari, lewat dari itu, ibuku yang akan jadi taruhannya.”
“Tiga hari? Kau meremehkan Oleksandr. Satu hari saja cukup untukku. Asal kau memberiku waktu dan percaya padaku. Tenanglah Kokov. Serahkan semuanya pada Oleksandr, penegak hukum terbaik di negara ini. Oserzeen ingin mengajakku bermain, aku ladeni permintaan mereka.”
Kokov menggeser-geser kakinya. Tidak tenang.


Seratus Empat Puluh
Profesor Nyoman Kembali Colaps


Sementara mereka berdua berdebat di kantor Olek, pukul 10 malam, di hari yang sama, Profesor Nyoman akhirnya menerima kabar itu. Bahkan Pieter Both sengaja membuatnya menjadi lebih mengerikan. Dia membiarkan Phia sendiri yang menelepon dan mengabarkan. Itu menimbulkan dampak psikologis tersendiri bagi Profesor yang baru saja sembuh tersebut.
Beliau langsung ambruk.
Untungnya, malam itu di kediaman Profesor Nyoman, Vlari sedang berada di sana. Malam ini dia memang ingin menemani Profesor Nyoman. 
Bukan main paniknya Vlari melihat Profesor ambruk di sofa ruang tamu.
“Eh astaga, ada apa Profesor? Profesor mendengar suara saya? Bangun Profesor? Eh astaga,” Vlari memekik berulang-ulang.
“Ph... Phia...” itu yang diucapkan oleh Profesor. Setelah itu Profesor benar-benar kehilangan kesadarannya. 
Vlari tidak ambil tempo lagi. Dia langsung menelepon ke nomor darurat. Minta dikirimkan ambulans. Malam itu juga, Profesor kembali dibawa ke Kiev Hospital. 
Untungnya, tidak ada lagi kabar buruk malam itu. Segera setelah tim dokter bekerja untuk memastikan kondisi Profesor, segera pula mereka menyatakan diagnosa. 
“Profesor tidak apa-apa. Beliau hanya, sedikit terguncang. Untungnya tidak ada benturan yang terjadi di kepala beliau.”
“Apakah ada pengaruhnya dengan riwayat penyakit yang beliau derita.”
“Maksud anda apakah penyebab beliau jatuh adalah karena penyakit?”
“Ya.”
“Saya pastikan bukan. Penyakit beliau sudah sembuh. Dan kejadian ini tidak akan memicunya untuk bangkit kembali. Sudah, anda tenang.”
Dokter berkata begitu, sebab wajah Vlari begitu panik, seperti hendak menghancurkan dunia. Kata-kata dokter itu tak sepenuhnya menenangkannya, tapi cukup untuk membuatnya bernafas lega sejenak. 
“Terima kasih, dokter.”
Pukul setengah 12 malam. 
Vlari menghubungi Kokov. Berharap pria itu bisa menemaninya di rumah sakit. 
Sementara di sisi lain, Kokov baru saja pulang dari kantor polisi, setelah debat panjang dengan Olek. Kokov bahkan meminta Olek (bukan meminta, tapi malah mendesak), agar penyelidikan dimulai malam ini juga.
“Kokov, ke rumah sakit sekarang.”
“Eh, apakah Profesor...” Kokov langsung kaget. Jika Vlari yang meneleponnya dan menyebut soal rumah sakit, maka runyam sudah keadaan. 
“Profesor baik-baik saja. Tim dokter sudah menanganinya. Tapi aku ingin kau, ke sini sekarang.”
“Apa yang terjadi?”
“Akan kujelaskan begitu kau sampai.”
“Baiklah, aku ke sana. Kiev Hospital bukan?”
“Tepat sekali.”
Kokov mematikan telepon, kemudian memutar balik mobilnya menuju ke Kiev Hospital. Belum selesai satu kabar buruk, kini satu lagi telah datang. Lihatlah betapa mematikannya serangan balik yang dibuat Oserzeen. 
Pieter Both pasti sedang tersenyum-senyum di sana. “Waktu kalian tinggal dua hari lagi.”
Ah lupakan itu. Kabar baiknya, pukul setengah dua belas malam, tidak ada macet di depan kantor walikota. Kokov bisa melaju dengan kecepatan penuh.


Seratus Empat Puluh Satu
Kau Harus Menyelamatkan Dia, Kokov


Pukul dua belas malam. Di Kiev Hospital. Keadaan rusuh. 
Kokov meminta penjelasan pada Vlari terkait keadaan Profesor, namun Vlari sendiri hanya bisa menjawab seadanya. Dia hanya tahu, Profesor menerima telepon dan kemudian beliau terjatuh begitu saja. Tersungkur. 
“Beliau menerima telepon? Dimana ponsel beliau?”
“Kemungkinan masih tertinggal di rumah. Aku lupa mengambilnya saat membawa Profesor kemari.”
Kokov langsung merasakan firasat buruk. Panggilan telepon? Entah kenapa dia langsung merasakan ini ada hubungannya dengan Oserzeen. Apa jangan-jangan Pieter Both juga menghubungi Profesor, mengancamnya dengan cara yang tidak-tidak. 
“Baiklah, kita lupakan itu. Jadi bagaimana sekarang? Bagaimana kondisi Profesor?”
“Kita belum tahu. Kita hanya bisa menunggu hasil pemeriksaan. Tim dokter terus bekerja.”
“Apakah kejadian ini akan memicu penyakit lama Profesor kambuh kembali?”
Vlari menggeleng. Dia sudah menanyakan itu tadi. 
“Syukurlah kalau begitu.”
Kokov hanya sekedar mengucapkan. Sebenarnya suasana emosinya sedang buruk sekali. Dia mendapatkan dua kabar buruk hari ini. Ibunya diculik oleh Oserzeen dan sekarang Profesor harus terbaring sakit di rumah sakit. Huft, bagaimana dia bisa menyelesaikan dua masalah ini sekaligus. 
Pukul setengah satu dinihari, seorang dokter keluar dari ruangan gawat darurat. Pemeriksaan Profesor sepertinya sudah selesai. Dokter itu berjalan mendekati Kokov dan Vlari. Ah bukan, justru mereka berdualah yang berjalan menyongsong sang dokter.
“Bagaimana kondisi Profesor, Dokter?”
“Profesor Nyoman Asdawirya sudah siuman. Beliau hanya terkejut, tak kurang suatu apa. Kami sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tidak ada keanehan. Beliau hanya terkejut, sekali saya katakan.”
Kokov dan Vlari menghela nafas. 
“Kalau begitu, aku bisa menyerahkan situasi di sini padamu, Vlari.”
Kokov sudah hendak putar balik, tapi ada yang mencegah langkahnya. Bukan Vlari, melainkan, dokter. 
“Anda yang bernama Stanislav Kokov?”
“Iya, dokter.”
“Sebaiknya anda masuk, menemui Profesor. Tadi beliau sempat menyebut nama anda.”
“Sepertinya dia bisa menangani ini. Dia asisten Profesor. Profesor hanya perlu ditemani saya rasa.”
“Ada baiknya anda menemuinya langsung sebelum anda pergi. Tidak ada salahnya bukan?”
Kokov mengalah pada dokter yang sok mengatur ini. Dia masuk, menemui Profesor. Begitu melihat Kokov, Profesor langsung melambai, memanggilnya agar mendekat.
“Ada apa, profesor?”
“Aku punya permintaan untukmu.”
“Apa itu, Profesor?”
Sebelum berucap, profesor terlihat menghela nafas sejenak. Seolah apa yang akan dia ucapkan ini begitu berat. Dan itu memang benar. Ini berat sekali. 
“Aku ingin kau menyelamatkan Nona Phia. Oserzeen telah menculiknya, mereka ingin menekan aku agar mencabut berkas tuntutan kita di pengadilan. Mereka benar-benar perusahaan kotor karena mencampuradukkan urusan ini denga orang tak bersalah. Nona Phia tidak tahu apa-apa. Dia harus diselamatkan. Kau harus berjanji menyelamatkannya, Kokov. Aku memohon padamu.”
Kokov terdiam. Mereka juga menculik Phia? Urusan ini menjadi semakin rumit.


Seratus Empat Puluh Dua
Kau Harus Cepat, Olek


4 November. Dinihari. 
Kokov (dengan keadaan bingung dan panik) pergi meninggalkan rumah sakit. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran. Khawatir dengan ibunya, khawatir dengan Profesor Nyoman dan bahkan, khawatir akan Phia. 
Setelah pembicaraan singkat tadi, Profesor langsung diminta perawat untuk beristirahat. Ini sudah terlalu malam untuknya. Vlari berjanji akan menjaga Profesor.
“Kau pulanglah, Kokov. Istirahat. Besok pagi mungkin kita bisa berganti shift, berjaga-jaga.”
Kokov meninggalkan Vlari dengan mengangguk, padahal sejatinya dalam hati dia menggeleng. Dia tidak ingin beristirahat. Dia tidak tenang sama sekali. Kokov akan pergi ke suatu tempat. Kantor Olek. Dia tahu, temannya itu begadang malam ini, mencari data-data. Olek bukan main kagetnya ketika melihat Kokov kembali ke kantornya. 
“Hei, Kokov. Rupanya kau kembali. Apa kabar Profesor?”
“Beliau baik-baik saja.”
“Lalu kenapa kau kembali kemari. Bukankah kau harusnya beristirahat.”
“Aku tak bisa tidur dengan kepala panik seperti ini, Olek. Tidak bisa.” Kokov menggeleng kuat, kemudian menjatuhkan dirinya ke atas sofa. Menghela nafas. Sementara Olek, tak berapa langkah di depannya, sedang berkutat dengan komputer. Ada kopi di samping tubuhnya. Olek siap begadang malam ini. 
“Tenanglah, teman. Aku berjanji akan mengembalikan ibumu ke Holasev dalam keadaan selamat. Kau serahkan saja semua pada Oleksandr.”
“Nona Phia juga ditangkap.” Kokov menimpali, dan kalimat ini sukses membuat Olek menoleh sepenuhnya padanya. “Apa kau bilang, Nona Phia, diculik oleh Oserzeen?”
“Aku kurang tahu detailnya, tapi kemungkinan besar begitu.”
“Darimana kau tahu semua ini?”
“Dari Profesor. Sebenarnya aku ingin mencari informasi lebih jauh, tapi perawat mencegah. Profesor harus segera beristirahat.”
Olek manggut-manggut. “Baiklah. Aku ingin sekali mengucapkan beberapa kalimat penghiburan untukmu, tapi kita tidak boleh buang-buang waktu. Informasi yang baru kau berikan, akan banyak membantu penyelidikanku.”
Kokov tersenyum masam, “apa maksudmu, kau ingin menuduhku mencemaskan Nona Phia?”
Olek tergelak, “kau salah sangka, Kokov. Tapi itu boleh juga. Jadi, kau mencemaskannya?”
“Lupakan,” Kokov berdecak, kenapa juga dia terpancing, “bagaimana bisa informasi yang kubawa ini berguna?”
“Tentu saja. Kau tahu, sudut jalan kota Kiev punya CCTV, beda dengan desamu di Holasev sana. Kita punya kesempatan mengidentifikasi.”
Olek mulai membuka sebuah aplikasi, aplikasi pengendali semua kamera pengawas yang ada di sudut-sudut kota. Semua berfungsi dengan baik. Lewat salah satu layar kamera, mereka berdua bisa melihat Kurin. Itu tempat tinggal Phia. 
Olek benar, kabar penculikan Phia boleh jadi informasi berharga.
“Nah, kapan Nona Phia terakhir kali terlihat?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak sempat bertanya. Profesor sudah diminta untuk beristirahat.”
“Kalau begitu kita harus menghubungi orang yang tahu, Kokov. Coba telepon Szczesny.”
“Kenapa bukan kau yang melakukannya.”
“Astaga, kukira kau ke sini untuk membantuku.”


Seratus Empat Puluh Tiga
Buvsko


Tempat itu tidak terlalu buruk. Setidaknya itu sebuah rumah, meskipun itu adalah rumah yang terbengkalai. Rumah itu cukup besar untuk ukuran sebuah rumah yang kemudian dibiarkan begitu saja. Arsitekturnya bergaya abad pertengahan. Tidak pernah diketahui, siapa sebenarnya pemilik rumah tersebut. 
Rumah itu, tempat itu disebut Buvsko. Bukan nama asli. Hanya nama sembarang yang disematkan oleh Pieter Both. Di sanalah mereka menahan Phia dan Ibunda Kokov. Di salah satu kamar di Buvsko. 
Phia dan ibunda Kokov ditempatkan di salah satu kamar di Buvsko. Kamar yang tertutup rapat. Berdinding beton, tanpa jendela, hanya dengan satu pintu. Ruangan itu kotor. Tapi tidak becek dan tidak ada hewan-hewan buas di dalamnya. 
Uniknya, dalam situasi ini, Pieter Both memerintahkan agar Phia dan Ibunda Kokov dilepas semua ikatan tali di tubuh mereka. Biarkan mereka berkeliaran bebas di ruangan. Hanya perlu menyiagakan beberapa penjaga di pintu. Itu sudah cukup. Kaki tangan Oserzeen itu juga menyediakan “sedikit” persediaan makanan di ruangan. 
“Berdoa saja agar teman dan anakmu segera membuat keputusan yang tepat, setidaknya sebelum tiga hari. Atau jika kalian lebih pandai bertahan hidup, kalian bisa bertahan di dalam lebih lama.”
Itulah yang dikatakan Pieter Both sebelum dua anak buahnya melempar Phia dan Ibunda Kokov ke dalam ruang tahanannya. Kemudian pintu dikunci rapat-rapat. 
Begitu ikatannya lepas, Phia langsung berontak, tapi di bawah todongan senjata, dia tidak berdaya. Begitu dilempar ke dalam, dia juga berusaha untuk keluar. Begitu pintu dikunci, dia sempat berteriak histeris. 
Ini benar-benar berat untuknya. Bayangkan saja, kalian tak tahu apa-apa, hanya seseorang yang asing, kemudian malah terjebak skandal dengan perusahaan kuat, penguasa dunia hitam di negara tersebut. 
Sementara itu, ibunda Kokov diam saja. Beliau tidak banyak melawan. Seperti pasrah. Entahlah. Belum ada yang tahu apa yang berkecamuk di pikiran beliau. Tapi ada satu hal yang jelas, dia terkejut sekali saat pembekap mulut Phia dilepas tadi.
Gadis ini.... Apakah dia gadis yang diceritakan oleh Oleksandr? Gadis yang sama, yang muncul di mimpiku.
Phia masih mencoba memukul-mukul pintu, mengoceh soal keluarkan aku, tapi tidak ada yang terjadi. Lima menit berlalu. 
“Nak, tenanglah.”
Phia langsung menoleh, orang tua yang ditahan bersamanya, baru saja menyapanya. Menyapa dengan wajah tenang.
“Namaku Margaretha. Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk saling mengenal, tapi boleh aku tahu siapa namamu, Nak?”
“Saya Phia, madam Margaretha,” Phia menjawab, dalam bahasa Ingrris tentu saja. Ibunda Kokov, madam Margaretha, lebih dari cakap berbahasa yang satu itu.
“Ah ternyata kamu memang orangnya.”
“Eh apa maksudmu madam?”
“Kamu adalah orang yang diceritakan Oleksandr kepadaku. Orang yang sedang d.. maksudku, sedang dibimbing oleh Kokov. Aku ibu dari Stanislav Kokov.”
Silakan dibayangkan apa yang sebenarnya hendak diucapkan oleh Madam Margaretha, sebelum dia mengganti kalimatnya. 
Mata Phia langsung membulat, ibu dari Tuan Kokov?
“Benar anakku.”
“Senang bisa bertemu madam di sini, sayangnya kita ada di situasi yang tidak tepat.”
“Kamu tenang saja. Kita akan selamat. Kokov dan temannya, Oleksandr tidak akan diam saja. Mereka pasti sedang bergerak. Mereka akan menyelamatkan kita, cepat atau lambat.


Seratus Empat Puluh Empat
Phia dan Madame Margaretha


Hari kedua penyekapan di Busvko. 
Phia dan Madame Margaretha mencoba bertahan hidup dengan pasokan makanan yang amat sedikit. Sejauh ini mereka sanggup bertahan, tanpa kurang suatu apa.
Namun, di hari kedua, Madame Margaretha mulai berubah. Kondisi tubuhnya yang sudah tua mempengaruhinya. Dia merasa kepalanya sering berdenyut. Tapi itu diabaikannya saja. Dia mencoba tetap terlihat baik-baik saja.
Phia dan Madame Margaretha mengobrol banyak. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh dua orang yang terjebak di ruangan yang sama, selain mengobrol. Seandainya ada papan catur, ya tetap tak dimainkan juga. Karena tidak ada yang bisa main catur diantara mereka. 
Lewat obrolan itu pula mereka berdua menjadi saling kenal. Semakin mereka mengobrol, Madame Margaretha semakin kagum dengan Phia.
“Kamu merantau sampai jauh ke sini Nak? Mental kamu sungguh luar biasa.” 
Phia tersipu mendengar pujian itu. Ngomong-ngomong soal mental, dalam dua hari ini, mereka mencoba keras menjaga mental mereka, kewarasan mereka. 
Menuju malam ketiga. Saat persediaan makanan semakin menipis. Kabar buruk akhirnya datang. Ibunda Kokov, Madame Margaretha, jatuh tersungkur. Tidak, tidak pingsan, tapi jatuh tersungkur. 
“Madame, madame,” Phia langsung meloncat mencoba mengecek keadaan Madame Margaretha. 
“Aku... baik... baik saja, Nak. Aku cuma.... lemas.”
Wajahnya begitu pucat. 
“Bertahanlah madame, saya akan mencari bantuan.”
Meski tidak punya ide hendak mencari bantuan kemana, Nona Phia berusaha menggedor-gedor pintu ruangan. Berteriak soal keadaan darurat. Para penjaga di luar tentu mendengar teriakannya, tapi mereka tidak menggubris. 
Siapa tahu ini hanya taktik tahanan untuk melarikan diri. 
Gagal meminta bantuan keluar, Phia memutar otak, dia menyambar dua keping biskuit dan segelas air mineral di meja. Itu adalah persediaan makan terakhir mereka. Rencananya hendak mereka bagi rata malam nanti. 
“Madame harus makan, agar tidak lemas lagi.”
“Biskuit-biskuit ini kan...”
“Makanlah madame, aku mohon bertahanlah.”
“Tapi Nak...”
“Jangan pikirkan saya,” Phia memotong, seakan tahu apa yang hendak diucapkan Madame Margaretha, dan memang, dalam cerita ini, Phia tahu banyak hal. 
Madame Margaretha menggeleng, “aku tidak bisa. Ini jatah makan malam kita.”
“Kalau begitu makan sepotong, sepotongnya lagi untuk nanti malam.”
“Tapi, bagaimana denganmu, Nak?”
“Sudah saya bilang, jangan khawatirkan saya, Madame. Anda harus bertahan, Madame. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan pada Tuan Kokov, kalau Madame sampai kenapa-kenapa.”
“Maafkan aku, Nak.”
“Makanlah, Madame.”
Sepotong biskuit yang menjadi tanda ketulusan seorang Phia Lizarina.


Seratus Empat Puluh Lima
Aku Pusing


4 November
Olek sedang pusing di kantornya. 
Pertama, dia bingung kemana hendak mencari Ibunda Kokov dan Phia. Kedua, dia kesal karena Kokov tak bisa membantunya. Orang itu hanya duduk, melamun atau mengomel. Bagaimanalah Kokov hendak membantu, disuruh menelepon Szczesny saja gengsinya setengah mati.
“Jadi, bagaimana perkembangan penyelidikanmu?”
“Bisakah kau berhenti bertanya?”
“Olek, mereka berdua dalam bahaya, dalam hitungan menit mereka bisa saja binasa. Jika kau tidak bisa menyelidiki ini, lebih baik kita cabut saja berkas di pengadilan itu.” 
Sungguh ocehan yang menjengkelkan bukan? Olek sudah mendengar ocehan itu belasan kali sepanjang malam, karena Kokov menemaninya begadang, mencari informasi di kantor. 
“Mereka berdua? Jadi kau juga mencemaskan Nona Phia? Pantas saja kau gengsi menghubungi Szczesny. Apa jangan-jangan kau sudah mulai suka dengan gadis itu?”
“Tutup mulutmu, Olek!”
Ya, begitulah. Malas meladeni ocehan Kokov, Olek hanya menggodanya saja. 
Mereka sudah menelepon Szczesny. Dia bilang tidak ada sangkut pautnya dengan hilangnya Phia dan dia tidak tahu menahu. Olek sebenarnya jengkel juga karena harus menghubungi orang yang sebenarnya dia benci. Tapi apa boleh buat. Demi kemajuan penyelidikan.
Sayangnya mereka stuck. Tidak ada kemajuan sama sekali. 
Olek sudah mengirimkan banyak informan. Memantau lokasi strategis di Poltava, Lyiv dan bahkan Odessa. Dia juga telah banyak mengulik informasi dari data-data yang ada. Nihil. Hasilnya tak jumpa-jumpa. 
Phia dan Nyonya Margaretha, Ibunda Kokov, hilang bak ditelan bumi. Saat mendengar kalimat itu, Kokov juga memasang ekspresi hendak menelan Olek. 
Sekarang penyelidikan mereka masih mandeg. Dan ini untuk pertama kalinya, Komandan Oleksandr yang berdedikasi dan agung, menghadapi kebuntuan.
Benar-benar buntu. Dia pusing.


Seratus Empat Puluh Enam
Selisih Paham Duet S & C


4 November.
“Kemana kau membawa Nona Phia, Chrmeko?”
Susah untuk menggambarkan wajah Szczesny hari ini. Selama dua hari ini, dia pontang-panting. Yang dia ingat terakhir sebelum dia pingsan, Chrmeko telah memukul tengkuknya dengan keras. Bangun dari pingsannya, dia mencari-cari keberadaan Nona Phia yang sebelumnya mereka culik. Nihil. Tidak ada tanda keberadaan nona Phia.
Szczesny kemudian pergi ke Kurin, sampai mengacak-acak tempat itu. Sayang, tidak ada siapa-siapa di Kurin. Phia tidak ada kelihatan, Sylvi juga belum pulang. Dari hasil bertanya dengan orang sekitar, Nona Phia memang tidak terlihat beberapa hari terakhir. 
Szczesny mulai panik. Apalagi dia akhirnya menyadari bahwa temannya, Chrmeko juga tidak kunjung terlihat. Seharian dihabiskannya untuk mencari dua orang itu. Nihil. Baik Nona Phia, maupun Chrmeko, orang terakhir yang diketahuinya bersama dengan Phia, tidak ada jejaknya sama sekali.
Itulah kenapa Szczesny tidak menimpali dengan makian ketika Oleksandr meneleponnya. Szczesny justru mencium sesuatu yang tidak beres hingga Oleksandr berani masuk ikut campur dalam urusan ini. Sayangnya, dia segera tahu, kalau Oleksandr tidak tahu apa-apa. 
Setelah mencari tanpa lelah ke sekitar Kiev selama dua hari ini, akhirnya Chrmeko menampilkan batang hidungnya. Begitu saja. Szczesny langsunng menodongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Apa maksudmu, Szczesny?”
“Jangan bercanda denganku, Chrmeko. Dimana Phia?”
“Aku tidak tahu, kenapa kau malah bertanya padaku?”
“Kau yang terakhir bersama dengannya. Tepat sebelum kau memukulku sampai pingsan, dan hei, kenapa kau memukulku.”
“Aku punya urusanku sendiri. Aku tidak ingin kau ikut campur.”
“Dimana Phia?” Szczesny mencegah Chrmeko yang hendak balik kanan, dia menuntut.
“Aku tidak tahu. Itu bukan urusanku.”
“Kalau kau tidak mau memberitahu, aku akan bocorkan soal hubunganmu dengan pria pintar itu. Polisi sok sibuk dan Stanislav Kokov akan berdiri telinganya sekali aku sebutkan hubungan kau dengan Pieter Both.”
“Kau hendak mengancamku? Atas hal yang tak kutahu? Itu tidak adil, Szczesny.”
Chrmeko hendak balik kanan, tapi Szczesny memasang tatapan seram, “selangkah lagi kau berjalan, aku akan menelepon Oleksandr. Membocorkan semuanya.”
Ancaman itu serius. Chrmeko menghela nafas. Kenapa pula Szczesny memegang kartu as semacam itu untuk memaksanya, membocorkan informasi. 
“Ikut aku. Aku akan membawamu ke hadapan gadis itu. Aneh sekali kau ini, bukankah kau sudah ditolak olehnya. Selesai sudah urusanmu. Kenapa pula kau harus peduli lagi dengan gadis itu?”
“Kau aneh, Chrmeko. Urusan mencintai tidak akan berakhir hanya dengan penolakan. Akulah yang menentukan kapan cintaku harus berakhir dengan gadis itu. Aku jelas tidak akan menyerah begitu saja.”
Benar-benar terdengar seperti pecinta sejati. 
Dan juga, benar-benar menggores pertemanan mereka.
Mobil Chrmeko melaju menuju ke luar kota Kiev.


Seratus Empat Puluh Tujuh
Bocor


Chrmeko mengantarkan Szczesny menuju ke Buvsko. Perjalanan dua jam. Sesampainya di lokasi, Szczesny menggeleng-gelengkan kepala. 
“Kalian licik sekali menahannya di sini.”
“Diam kau. Terus berjalan. Semoga orang tua itu tidak ada di sini, kalau ada, repot kita.”
Sungguh Chrmeko mengharap saat mereka masuk ke Buvsko, Pieter Both tidak ada di sana, sehingga dia tidak perlu menjawab pertanyaan macam-macam. Sayangnya justru kebalikannya. 
Pieter Both menyambut mereka di sana.
“Szczesny, rekan duet Chrmeko. Kalian duet S & C yang terkenal itu. Senang bisa menyambut kedatanganmu.”
“Apa yang kau lakukan pada Phia, apa yang kau rencanakan?” 
Chrmeko menginjak kaki Szczesny. Sopanlah sedikit, itulah maksudnya. Szczesny tidak menurunkan tatapannya. Dia tetap dengan tajamnya menatap Pieter Both. 
“Hanya rencana kecil-kecilan. Menakut-nakuti Stanislav Kokov dan teman-temannya.” Pieter Both menyeringai. 
“Lepaskan dia, Kokov tak peduli pada Phia.”
“Tapi Profesor Nyoman jelas peduli.”
“Kalian kejam.”
Terdengar tawa keras dari Pieter Both, “ayolah. Tenanglah. Aku tidak mengapa-apakan gadis itu. Dia baik-baik saja. Setidaknya sampai besok.”
“Minggir, aku harus bertemu dengannya.”
“Sayangnya tidak bisa,” Pieter Both membentangkan tangan, seolah mencegah langkah Szczesny, “itu melanggar instruksi dari Bos Besar. Kau tentu tidak mau dia marah bukan?”
Szczesny berusaha “menyingkirkan” Pieter Both dari jalannya. Dia menggeram, “jangan bersikap seolah aku adalah bawahan kalian. Aku bukan Chrmeko.”
“Tapi selama ini, bersama Chrmeko, kalian berdua selalu membantu rencana kami. Menipu dan membingungkan Profesor. Kau selalu ikut dalam rencana besar kami, Szczesny.”
“Menjijikkan. Aku tidak menerima perintah darimu.”
“Kau tidak akan suka kalau aku marah.”
Kini Pieter Both mengeluarkan kemampuannya. Dia menunjukkan kemampuan mempengaruhinya. Amat mengerikan. Szczesny mencoba tidak terpengaruh. Dia tetap bersikeras untuk lewat.
“Minggir.”
“Kau benar-benar menghinaku ya. Tidak bisa. Bersabarlah, sehari lagi. Berdoalah agar Kokov, Olek dan Profesor Nyoman mengambil keputusan yang tepat, atau kalau tidak.”
“Kalau tidak apa?”
“Mungkin Nona Phia tidak akan pernah terlihat lagi.”
Bukan main geramnya Szczesny. Tangannya terkepal, tapi kalimat-kalimat Pieter Both menghantam kepalanya, mengendalikan dirinya. 
“Kumohon jangan sakiti dia.”
“Kau bisa meyakinkan orang-orang yang kusebutkan, untuk mengambil keputusan yang tepat.”
Szczesny dan Chrmeko tak bisa bergerak sama sekali. Butuh waktu untuk mencernanya. Sampai akhirnya Chrmeko menarik tangan Szczesny.
“Ayo kita pergi.”
Szczesny bergeming. 
“Ayolah, kau sudah mendengar usulan Pieter Both. Ada jalan untukmu menyelamatkan Nona Phia. Kau bisa melakukannya lewat jalan itu.”
“Pastikan kau membuat keputusan yang tepat, Szczesny,”  Pieter Both menyeringai.
Szczesny sekali lagi ditarik oleh Chrmeko kembali ke mobil.


Seratus Empat Puluh Delapan
Rahasia itu Akhirnya Diketahui


“Aku ingin bertemu denganmu.”

Chrmeko susah payah membawa kembali Szczesny ke Kiev. Menghibur Szczesny bahwa Phia akan baik-baik saja. Namun kalimat-kalimat itu malah membuat mereka berdebat.
“Aku tak percaya kau meninggalkan Phia di tangan orang semacam Pieter Both. Ini sangat berbahaya.”
“Percayalah, gadis itu akan baik-baik saja.”
“Aku tahu pria itu, dibalik mulut manisnya, tidak segan membunuh orang.”
“Kalau kau ingin menyelamatkan Phia, kau harus menuruti kata-katanya. Kau bisa mempengaruhi Profesor, Kokov atau Oleksandr. Suruh mereka mencabut tuntutan mereka di pengadilan atas Oserzeen.”
Szczesny menggeleng tegas. Dia tidak akan taat dengan Pieter Both. Dia bukan bawahan pria tua itu.
“Kuharap kau mengambil keputusan yang tepat, Szczesny. Aku tidak bisa menjamin keselamatan Phia selamanya. Aku tidak bisa mencegah Pieter Both. Semua tergantung pada kau.”
“Kalau begitu kembalikan aku ke tempat tadi, aku akan menghajar Pieter Both.”
Giliran Chrmeko yang geleng-geleng kepala. Geleng-geleng heran tak percaya. “Kau tidak akan bisa melakukan itu. Kau akan mati bahkan sebelum sempat memukulnya.”
“Chrmeko, kembalikan aku ke tempat tadi.”
Sayangnya itu tidak bisa dilakukan. Beberapa detik kemudian mereka telah memasuki pintu masuk kota Kiev. Chrmeko menurunkan Szczesny di depan markas rahasia mereka, dengan cara sedikit mendorongnya, sebab Szczesny tidak mau turun sebenarnya. 
“Sekali lagi, kuingatkan kau untuk membuat pilihan yang tepat, teman.” Chrmeko berteriak. Kemudian dia menginjak gas mobil dalam-dalam. Dia menghilang dari tatapan Szczesny. Resmi meninggalkan temannya itu yang kini mengumpat putus asa. 
Keputusan macam apa yang akan diambil oleh Szczesny?

“Kalau mereka pikir aku akan menuruti semua rencana mereka, setelah mereka menyakiti Phia, mereka pasti salah besar. Aku punya rencana sendiri.”
Szczesny kemudian mengeluarkan handphone-nya, dan menyalakan sebuah aplikasi. Semacam aplikasi Maps. Dia kemudian mengarahkan aplikasi tersebut, agar menampilkan sebuah peta. Roadmap. Menuju ke Bovsko. Mungkin inilah kesalahan besar Chrmeko dan Pieter Both. Kini lokasi markas persembunyian mereka telah diketahui. 
Kalau dia tidak bisa menyelesaikan penyerbuan itu seorang diri, dia tahu seseorang yang bisa melakukannya.
Szczesny memulai pergerakannya dengan membeli sebuah ponsel jadul dan kartu seluler baru. 
Dia harus menelepon seseorang.

“Aku ingin bertemu denganmu.”

Pertemuan segitiga itu digelar. Olek, Kokov, dan Szczesny. Duduk bersama di satu meja. Mereka bertemu di satu tempat yang tidak akan pernah diduga oleh Pieter Both. Mereka bertemu di kereta, dalam sebuah perjalanan panjang menuju Khazinev. Szczesny yang mengatur perjalanan ini. 
Olek dan Kokov sebenarnya tak suka pada Szczesny. Tapi demi mendengar Szczesny punya informasi yang berharga untuk mereka ketahui, akhirnya mereka menyetujui pertemuan itu. Olek dan Kokov berangkat dari Kiev dengan sangat hati-hati. Penyamaran, pengendapan, mereka lebih daripada mahir melakukan hal tersebut. Olek dan Kokov sudah pernah mengikuti Pieter Both tanpa diketahui olehnya. Jadi mereka percaya diri bisa lolos dari pantauan orang itu.
Szczesny juga tak kalah berhati-hati. Dia mengirim banyak kabar. Memencar orang yang mirip dengannya ke pelbagai sudut kota Kiev. Mereka harus bertemu tanpa ada yang tahu. Karena sekali ada yang tahu, barangkali buruk akibatnya.
Malam itu salju musim dingin sudah mulai turun menyapa Ukraina. Pembicaraan segitiga penting itupun, dimulai.
“Ini tentang penyelamatan Phia.” Szczesny membuka percakapan.

Seratus Empat Puluh Sembilan
Rencana Penyelamatan Phia


“Apakah informasi darimu bisa dipercaya?”
“Terserah kalian mau percaya atau tidak, aku hanya menyampaikan informasi. Apa-apa yang kutahu.”
“Aku memilih percaya.” Kokov mengambil alih pembicaraan, tersenyum mantap. 
“Mereka menahan Nona Phia di Bu....”
“Tunggu,” Olek memotong, tak sabaran, “darimana kau tahu tentang ini?”
Jelas sekali Olek bertanya. Mereka telah mengobrak-abrik banyak tempat untuk menemukan Phia, dengan alat-alat canggih milik kepolisian, namun pencarian itu nihil.
“Itu juga tidak begitu penting.”
“Pembicaraan ini semakin mencurigakan.”
“Kumohon lanjutkan. Setiap detik penting bagi kita.” Kokov kembali menyela, sepertinya dia mencoba jadi yang paling logis malam ini. “Setiap detik berharga untuk menyelamatkan ibu Kokov.”
Szczesny mengangguk. Dia sudah tahu detail itu dari Pieter Both. 
“Kalian keliru jika menganggap Buvsko berada jauh dari Kiev. Di luar Kiev, atau di satu tempat lainnya. Karena nyatanya, Buvsko ada di kota ini.”
“Sebentar, apa itu Buvsko.”
“Tempat Phia ditahan. Aku hendak mengatakannya tadi, tapi kau terus memotong kalimatku.” Szczesny berucap, lama-lama dia juga jengkel dengan Oleksandr kalau begini. 
“Lanjutkan penjelasanmu,” pinta Kokov
“Di sini tempatnya.” Szczesny membuka peta kecil yang dia bawa dan menandai satu titik. Titik yang membuat Kokov dan Olek sama menyernit. 
“Ini dekat sekali dengan markas kepolisian. Kenapa kami tidak menemukannya di sana?”
“Karena mereka lebih dari pandai menyembunyikannya.”
“Oserzeen sialan. Mereka akan mengetahui kalau ada pihak yang sama pandainya sedang berhadapan dengan mereka.”
Kalimat Olek itu membuat Szczesny tersenyum kecut. Pandai apanya, kalian bahkan tidak bisa menemukan lokasi ini, tanpa bantuanku. 
“Kita harus menyerbu tempat itu malam ini juga, Kokov.”
“Aku setuju. Semakin cepat kita menyelamatkan ibuku, tentu semakin baik.”
“Karena tempat ini dekat dengan kantorku, di Kiev, lebih mudah membawa pasukan besar. Ada berapa banyak orang yang berjaga di sana?”
“Aku tidak tahu,” Szczesny menggeleng, “aku tidak sempat masuk ke dalam. Tapi, yang jelas, orang bernama Pieter Both, ada di tempat itu.”
“Kita harus berhati-hati betul dengan orang itu,” Kokov serius.
“Ya, kau benar. Apakah kau akan ikut menyelamatkan Phia, Szczesny?”
Menanggapi pertanyaan Olek itu, Szczesny menggeleng. “Kalian saja. Terlalu berbahaya bagiku untuk ke sana sekarang.”
“Apa maksudmu?”
Alasan Szczesny tentu saja logis. Dia tidak ingin dianggap membocorkan tempat rahasia itu. Dia harus tetap menjaga diri di balik bayangan. Namun, alasannya ini malah membuat Olek curiga. 
“Aku masih ragu, jangan-jangan kau hendak menjebak kami.”
“Demi Tuhan aku tidak menjebak kalian. Aku berani bersumpah demi apapun yang suci. Aku ingin nona Phia kembali dengan selamat. Itulah yang paling kuinginkan. Tapi aku sendiri tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa menyelamatkannya. Makanya aku menemui kalian. Aku yakin, kalian punya segalanya untuk menyelamatkannya. Aku mohon, selamatkan Phia.”
Kokov berdiri, dia siap beraksi sekarang. “Aku mengerti. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Szczesny.”


Seratus Lima Puluh
Rencana Ini Akan Berhasil


6 November
Dinihari. 
Kokov dan Olek mengakhiri pembicaraan dengan Szczesny, dan kemudian berpisah di stasiun Khazinev. Szczesny tetap di sana, sementara Olek dan Kokov langsung membeli tiket pulang kembali ke Kiev. Malam sudah menyapa, udara dingin bukan main. Mereka pulang ke Kiev sekitar pukul 9 malam. Sampai di Kiev hampir tengah malam.
Olek langsung memobilisasi kekuatannya. Dia mengumpulkan anak buah terbaiknya. Menyampaikan rencana yang telah disusunnya bersama Kokov di kereta dalam perjalanan pulang mereka. Karena Buvsko ada di Kiev, bahkan cukup dekat dengan kantor Oleksandr, mudah saja baginya untuk membawa banyak amunisi ke sana. 
“Kita bagi pasukan kita menjadi tiga gelombang,” Olek bicara, ada total sekitar 100 orang yang mendengarkannya, “pasukan pertama, membawa amunisi sedang, menyerang dari depan, dengan membawa pistol, memecahkan kebuntuan, sekaligus untuk menandakan kedatangan kita pada lawan.”
“Begitu lawan mulai keluar, kita bisa memperkirakan berapa musuh yang kita hadapi. Tapi tentu saja, pasti masih ada pasukan cadangan mereka yang disiagakan. Aku hafal tabiat Pieter Both. Kita akan mengirimkan gelombang kedua, begitu kita melihat peta kekuatan musuh yang terpancing keluar oleh serangan pertama kita.”
“Serangan kedua, tanpa amunisi, pasukan berani mati (Kesatuan kepolisian yang dipimpin Olek benar-benar memiliki pasukan berani mati, tugas mereka sederhana sekali, siap mati kapan saja). Akan menyerang lewat belakang. Memancing siapa saja yang masih tersisa untuk keluar dari persembunyiannya. Pura-puralah seolah kalian hendak menyusup.”
“Begitu pasukan dua mulai bergerak, gelombang ketiga harus segera memulai tembakan. Senapan mesin. Kalian adalah pasukan penghancur. Jangan segan-segan menghabisi apa saja yang menghalangi kalian. Dengan kemunculan kalian, musuh akan menyadari kalau kekuatan kita, sangat baik.”
“Nah, baru setelah itu, gelombang keempat...”
“Tapi Komandan, kita hanya punya tiga...”
“Jangan memotong kalimatku, Opsir.” Olek berseru jengkel, “gelombang keempat adalah aku dan Kokov. Kami akan langsung bergerak masuk ke dalam gedung. Menyelamatkan ibunda Kokov, dan Nona Phia. Hanya kami yang bisa. Hanya kami yang tahu seluk beluk gedung itu lewat peta yang tadi diberikan oleh Szczesny. Kami akan bergerak terakhir, setelah kalian semua muncul.”
“Yang terpenting adalah timing. Kalian harus muncul dengan hitungan yang tepat, namun tetap secepat kilat. Kita hendak menggempur. Blitzkrieg, kalau kalian tahu istilah itu. Buat mereka kalang kabut dengan serangan kita.”
“SIAP KOMANDAN!!”
Terakhir, Kokov maju, mengucapkan kalimat yang sama, yang tadi juga dia ucapkan pada Olek. “Semangat, rencana ini pasti berhasil.”


Seratus Lima Puluh Satu
Bertahan, Nyonya!


Ruang tahanan Bovsko. Hari ketiga. 
Phia dan Nyonya Margaretha berada dalam kondisi yang sangat payah. Tanpa biskuit, tanpa air selama nyaris 24 jam terakhir. Apalagi Phia. Dia sama sekali tidak menyentuh makanan selama 36 jam. Tapi kondisi Nyonya Margaretha jauh lebih buruk karena faktor usianya. 
“Bertahan, Nyonya.”
“Sepertinya aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, Nak.”
“Anak Nyonya, Kokov pasti sedang bergerak. Bertahanlah sebentar lagi. Saya mohon.” Phia tanpa disadari sekarang menangis tersedu. Lihatlah kondisi Nyonya Margaretha, mengenaskan. Anak buah Pieter Both juga super tega, mereka tidak memberi makanan apa-apa lagi selama 24 jam terakhir, meski Phia berkali-kali berteriak meminta makanan, meminta belas kasihan.
Tolong kasihani Nyonya Margaretha.
Sementara itu, di luar, suara dentuman berbunyi kencang. Serangan Oleksandr dan Kokov telah dimulai. 
Serangan mereka sangat tepat dan akurat. Penyerangan di tengah malam buta semakin menguatkan posisi mereka. Ini serangan kejutan. Bahkan Pieter Both tidak menduganya. Dia sedang tidur di salah satu ruangan. Bergegas naik ke lantai atas begitu mendengar bunyi dentuman. 
Serangan pertama, memancing hampir semua pasukan yang disiagakan Oserzeen untuk keluar. Kecuali beberapa dari mereka yang diteriaki Pieter Both agar tetap bertahan di posnya. 
Serangan kedua memancing sisa-sisa pasukan yang diteriaki Pieter Both. Mengira kalau serangan kedua itu adalah serangan dadakan yang sengaja disiapkan pasukan penyerang.
Nyali mereka benar-benar ciut ketika pasukan ketiga maju menyerang. 
Pieter Both hanya bisa mengelus-ngelus dagunya. 
“Aku benar-benar tidak bisa menganggap remeh kombinasi Stanislav Kokov dan Komandan Oleksandr.”

“Aku mendengar suara. Seperti suara tembakan. Sepertinya ada yang datang di luar sana,” Phia berucap tertahan. Sejenak dia hendak terhuyung-huyung. 
Harapan seketika hidup di mata Nyonya Margaretha. “Apakah Kokov yang datang? Menyelamatkan kita?”
“Saya rasa begitu. Karena itu, Nyonya harus bertahan.”
“Ya, aku akan bertahan. Aku harus menunggu Kokov datang.”
“Bertahanlah, demi Kokov, Nyonya.”
Nyonya Margaretha mengangguk. Tidak ada yang bisa menandingi rasa sayang ibu pada anaknya. Itu cukup untuk membungkam kematian sekalipun. 
Olek dan Kokov sudah mulai bergerak. Sisa-sisa pasukan musuh sudah hampir dihabisi semuanya. 
“Hati-hati, Olek. Pieter Both boleh jadi ada di mana saja.”
“Kau benar.”
Mereka berlari menembus kegelapan gedung tak berpenghuni itu. Sementara Pieter Both malah melarikan diri di dalam kegelapan. Dia pergi dari Buvsko. Dia sadar tidak akan menang.
Esok-esok kita akan kembali menengok aksinya. 
“Di sebelah sana. Ruang bawah tanahnya di sebelah sana.”
“Ayo.” Kokov sudah lari mendahului Olek. Seolah dia punya kecepatan lari dua kali lipat. 
“Hati-hati, Kokov. Bisa saja di sana, ada penjaganya.”
Kokov tak peduli. Dia tidak akan membiarkan satu atau dua penjaga menghalanginya menyelamatkan ibunya. Kalaupun ada penjaga, dia akan menendangnya.
“IBU!”
Demi mendengar suara itu, di dalam tahanan, Nyonya Margaretha langsung bangkit. 
Wanita tua itu tersenyum bahagia. Ya, anaknya, telah datang.


Seratus Lima Puluh Dua
Kabar-Kabar Baik dan Tangis Bahagia


Lihatlah. 
Lihatlah betapa mengharukannya. 
Tidak ada yang lebih mengharukan daripada pemandangan dinihari itu. Kokov memeluk ibunya erat. Ibunya juga sama. Malah sambil menangis lemah. Kokov lega sekali melihat ibunya tidak kurang suatu apapun. 
“Kamu datang Nak. Kamu datang.”
“Tentu saja Bu. Aku tidak akan membiarkan mereka menahan ibu. Maaf jika aku terlalu lama.”
Ya, Kokov memang terlalu lama, tapi setidaknya tidak terlambat. 
“Kalian baik-baik saja bukan?” Olek mendekati Phia, Phia membalas dengan senyuman tanggung, penuh kelegaan. “Ya, aku baik-baik saja. Tak kurang suatu apapun. Eh...”
Tiba-tiba saja Phia kehilangan keseimbangan dan hendak jatuh. Olek reflek menangkap tubuh gadis itu. “Kau yakin?” 
“Selamatkan Nyonya Margaretha, dia sudah tidak makan selama 24 jam.” Phia berkata lemah. 
Demi mendengar hal tersebut, Olek langsung meneriaki anak buahnya. Panggil tim medis yang telah disiagakan. Lengkap dengan ambulans-nya. 
Malam itu juga, Nyonya Margaretha dievakuasi ke rumah sakit. 
“Tolong kau bantu pegangi Nona Phia, Kokov. Dia lemas sekali sepertinya.”
“Hei, kenapa bukan paramedis?”
“Aku hanya membawa tiga perawat, semua membantu ibumu.”
“Ya sudah.”
“Eh tidak apa-apa,” Phia menjawab, berusaha berdiri, “aku baik-baik saja.”
Terlambat, Kokov sudah memeganginya, membopongnya. “Mari aku bantu ke ambulans. Kamu juga pasti sudah tidak makan selama 24 jam. Sama seperti ibu.”
Sebenarnya 36 jam. 
Malam itu juga, Phia dan Nyonya Margaretha dirujuk ke rumah sakit. Kiev Hospital. Para perawat medis bergegas menolong mereka. Oleksandr dan Kokov mengawasi. 
Genap sudah semuanya. Genap sudah. 
Mereka menyelamatkan para tawanan. Itu artinya berkas di pengadilan tidak perlu dicabut.
Ini benar-benar kemenangan yang harus dirayakan. 
“Terima kasih sudah membantuku dalam rencana ini, Kokov.”
Mereka kini berdiri bersisian. Olek dan Kokov. 
“Sama-sama. Terima kasih juga karena telah menyelamatkan ibuku. Tapi kurasa ini belum selesai.”
“Pasti,” Olek memasang wajah tak suka, dia memang tidak suka dengan kemungkinan itu. “Oserzeen tidak akan menyerah. Ada-ada saja rencananya nanti.”
Mereka terdiam. Tidak bisa menebak apapun rencana Oserzeen.
Sementara itu, nun di stasiun sana, seseorang turun dari kereta terakhir dari Khazinev. Bukan Szczesny. Melainkan...
Sylvi.


Seratus Lima Puluh Tiga
Membereskan Kekacauan


Kokov, Olek dan para opsir polisi tetap berada di rumah sakit sampai menjelang pagi. Wajah mereka harap-harap cemas. Terutama Kokov, yang terus menunggui ibunya. Sudah enam jam, ibunya mendapat perawatan yang intensif. 
Sekitar pukul lima pagi, Profesor Nyoman diberitahu tentang keberhasilan penyelamatan Phia. Itu membuat profesor girang bukan kepalang. Kalau bukan dicegah oleh Vlari, Profesor pasti sudah berlari menuju ke kamar dimana Phia dirawat. 
Gadis itu baik-baik saja. Daya tahan tubuhnya mengagumkan. Meski melewati lebih dari satu hari penuh tanpa makanan, dia tidak memerlukan perawatan intensif. Hanya perlu tambahan suntikan nutrisi, beberapa botol infus. Pagi itu, Phia sudah bergabung dengan Olek dan Kokov, menunggui Nyonya Margaretha. 
“Nyonya Margaretha akan baik-baik saja. Beliau akan bertahan dan bangkit kembali. Saya yakin.” Phia bersuara, lirih saja. Olek menatap ke arahnya. Kokov juga. 
“Terima kasih, Nona Phia.”
“Apakah mereka sempat menyakiti ibuku?” Kokov tiba-tiba bertanya. 
Phia menggeleng. Tapi karena Kokov terus menatapnya dengan tatapan ingin tahu, dia menjelaskan sedikit tentang apa saja yang terjadi di lantai bawah tanah Buvsko selama tiga hari mereka ditahan di sana. 
“Well, meskipun Pieter Both tidak menyakiti kalian secara fisik, tapi perlakuannya, hanya memberi kalian sekali makan, itu sungguh tak berperikemanusiaan.”
“Orang-orang itu, akan menemukan ganjarannya.” Kokov menggeram.
“Sudah, sudah. Tenanglah. Sekarang kita fokus dengan kesembuhan ibumu dulu.”
Phia sebenarnya amat tertarik dengan urusan ini. Dia, meskipun tidak tahu menahu tentang apa sebenarnya masalah yang dihadapi, namun Phia adalah gadis yang cerdas. Dia tahu sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang besar.
Perang sedang terjadi. Kokov, Olek, dan Profesor di satu sisi, dan Pieter Both di satu sisi yang lain. 
Phia ingin sekai tahu lebih banyak, namun dia terlalu segan untuk bertanya. Baiklah, mungkin dia bisa bertanya nanti-nanti. 
Pukul 11 siang, Olek izin pamit dari rumah sakit. Dia harus mengurus sesuatu, pekerjaan dan semacamnya. Penyerbuan tadi malam di Buvsko, membuahkan banyak tangkapan. Mereka harus diinterogasi. Siapa tahu jadi penguat bukti di pengadilan. 
“Oh jadi, semua antek Oserzeen di Buvsko sudah diamankan?”
“Sudah,” Olek menyahuti, “tadi aku menyuruh anak buahku untuk membereskannya. Ada belasan orang yang masih hidup dan bisa bicara. Kita akan mengorek keterangan dari mereka.”
“Baiklah. Semoga lancar. Terima kasih sudah membantuku menyelamatkan ibuku, Olek.”
Olek hanya tertawa, balik kanan, menghilang setelah pintu ditutup. 
Kini segala kekacauannya telah beres. Kecuali satu hal. Menunggu Nyonya Margaretha bangun. 
Kokov menghela nafas. Hanya tersisa dia di ruangan itu. Terus menunggui ibunya.


Seratus Lima Puluh Empat
Kemunculan Orang Misterius Berjubah


Markas besar Oserzeen di Belarusia.
Markas besar sedang gempar. Rencana mereka untuk mengalahkan Profesor Nyoman kembali gagal. Gagal total. Dimitri, sang bos, marah besar. Dia mengamuk. Pieter Both yang baru saja tiba dari Buvsko kena banyak dampratan. Begitu juga dengan Chrmeko. 
“Kalian tidak becus. Mengurus tiga orang itu saja kalian tidak bisa. Apa lagi sekarang heh? Pengadilan sudah hampir ketok palu. Sekali mereka berhasil mengetok palunya, kita kalah. Itukah yang kalian inginkan terjadi pada kita?”
Pieter Both dan Chrmeko menunduk dalam-dalam. 
“JAWAB AKU. JANGAN DIAM SAJA, HEH!”
“Tidak Tuan. Kami akan mencoba lagi. Masih ada kesempatan tersisa buat kita. Kita hanya perlu satu atau dua langkah. Kita akan membalikkan keadaan.”
“Cuih,” Dimitri meludah pada Pieter Both, menghinanya, “kau dan otak jeniusmu itu selalu bisa merancang rencana, sehebat apapun itu. Sayang, rencanamu itu tidak berhasil dilaksanakan. Rencanamu hanya matang di atas kertas. Tak berguna.”
“Kapan keputusan pengadilan akan dibacakan, Bos?”
“Besok hari. Begitulah informanku di pengadilan katakan. Dua pengadilan sekaligus. Sekali keputusan diketok, kita tidak hanya kesempatan mencengkeram Ukraina. Kita akan kehilangan posisi kita di Belarusia.”
“Kita akan melakukan manuver, Bos. Kita akan memberikan pukulan yang menyakitkan untuk pengadilan, baik Belarusia maupun Ukraina.”
“Melakukannya tidak semudah mengatakannya, Chrmeko. Lawan kita cerdas sekali. Baru kali ini aku menghadapi dua pengadilan beda negara bersekutu untuk menjatuhkan penjahat. Mereka menjengkelkan.”
Meskipun Pieter Both tidak bisa mengatakan ini, tapi dalam hatinya, dia mengakui, duet kombinasi Olek dan Kokov adalah lawan paling tangguh yang pernah dihadapinya. Semua rencananya, digagalkan oleh duo itu. 
“Apa yang akan kita lakukan, beri aku rencanamu yang cemerlang itu, Pieter! Atau kau hendak aku membuat rencana sendiri?”
Pieter menggeleng, itu opsi buruk. Terakhir kali Tuan Dimitri membuat rencananya sendiri, perang berkecamuk di Eropa Timur. Bosnya itu berdarah panas. Pieter Both menutup mata, berpikir sejenak. 
Manuver.
“Ya, kita bisa melakukan manuver, Tuan.”
“Dari kemarin kau mengatakan itu. Hanya itukah kata yang kau punya. Payah.”
“Bukan, bukan manuver biasa. Bukan manipulasi biasa, membel siapa saja. Tidak, bukan manuver kacangan seperti itu. Kita harus melakukan sesuatu yang lebih jauh.”
“Katakan.”
“Kita perlu menghilangkan salah satu pilar mereka. Menghilangkan keberadaan.”
“Maksudmu, membunuh?” Chrmeko bertanya, tertahan. Selama ini, selama Pieter Both yang mengurusi segala urusan Oserzeen, opsi membunuh sangat jarang terdengar. Pieter lebih suka manipulasi data, atau melakukan lobi, negosiasi, atau segala macamnya yang bisa mengubah kondisi jadi menguntungkan buat Oserzeen. Membunuh, itu kasar sekali. 
“Ya, kita harus membunuh satu bidak penting.”
“Katakan padaku.” Dimitri menimpali, menuntut.
Pieter menyebutkan bidak yang harus diincar.
Dimitri tersenyum-senyum. Bagus juga. “Dia tiang penyangga. Sekali kita bisa membereskan mereka, kita akan meruntuhkan semua bukti yang mereka punya.”
“Saya punya ide tambahan, Tuan. Kita akan memanipulasi kematiannya sekalian. Kita akan merekayasa semuanya, agar seolah-olah Oleksandr dan Kokov yang bersalah.”
“Bagus sekali,” Dimitri berseru, seketika riang, seolah tadi dia tidak ada marah sama sekali. “Lekas lakukan, Pieter. Ini kesempatan terakhirmu. Kalau kali ini kau gagal, kau layak untuk khawatir dengan posisimu.”
Pieter menegak ludah. “Boleh saya minta seseorang secara khusus untuk melakukan misi pembunuhan ini?”
“Siapa?”
“Orang berjubah yang misterius.”
Chrmeko yang sedari tadi seperti patung, menyimak, tersentak, “sudah lama kita tidak melibatkan dia dalam rencana kita.”

Sementara itu, pagi hari pertama di Kurin. 
Sylvi sedang bersih-bersih. Dia kembali ke Kiev dengan wajah yang lebih bersih, suasana hatinya juga jauh lebih baik. Nampaknya kunjungan ke Khazinev telah mengubah banyak hal baginya. 
Tanpa dia sadari, sejak tadi malam. Sejak dari Khazinev, ada seseorang yang menguntit keberadaannya. Terus menguntit dirinya, di dalam kereta. Tidak pernah melepaskan pandangan darinya. Agar tak mencolok, orang itu menyamar. Menutupi seluruh tubuhnya dengan jubah panjang warna hitam. 
Dia adalah orang misterius.
Dan orang itu sudah tiba, di Kurin.
Tujuannya pagi ini, mengunjungi Sylvi.


Seratus Lima Puluh Lima
Mak Comblang


Sosok misterius berjubah hitam itu masih di sana. Matanya nanar menatap ke arah Kurin. Sylvi sedang menyapu teras depan rumah yang berdebu. Wajar, karena Kurin sudah tak dihuni selama empat hari terakhir.
7 November. 
Sylvi menyelesaikan kegiatan bersih-bersihnya dengan menyapu halaman. Halaman yang berserakan dengan potongan dedaunan kecil. Hanya ada sebagian. Musim gugur sudah mulai usai. Bahkan tadi malam, samar-samar, salju sudah mulai turun. Tetes-tetes kecil. 
Aku harus menunggu saat yang tepat.
Sosok misterius itu masih ada di sana. Tepat di pagar belakang Kurin. Menunggu. 
Sylvi melangkah ke halaman belakang. Satu tempat lagi untuk dibersihkan. 
Saat itulah.
BUKKK!
Sebuah gerakan menakjubkan yang super cepat. Sylvi memiting sapu di tangannya sebagai senjata. Menyerang orang berjubah hitam yang sedari tadi mengamati dia. 
“Siapa kau?!” Sylvi menatap marah. 
Bukan main terkejutnya orang misterius itu ketika mendapatkan serangan dadakan dari Sylvi. Hei, gadis ini bisa membela dirinya rupanya. 
“Turunkan senjatamu,” orang berjubah itu bangkit berdiri, mengelus kepalanya yang tadi dihajar Sylvi pakai sapu. “Aku ingin bicara.” 
Orang itu mengangkat wajahnya. Tetap tak terlihat, dia memakai cadar. 
“Aku tak punya urusan dengan orang tak dikenal.”
“Ya, tapi aku punya urusan denganmu.”
“Katakan padaku, siapa kau.”
“Ini kartu namaku.”
Orang itu menyerahkan kartu namanya. Lewat kartu nama itu, Sylvi tidak hanya menemukan nama orang itu, melainkan juga foto asli orang itu, pria itu. 
“Apa yang kau inginkan.”
“Aku punya permintaan.”
“Sebutkan.” Sylvi tak sedikitpun melonggarkan kewaspadaannya.
“Begini, aku ingin kau membantuku agar bisa dekat dengan temanmu. Dengan Nona Phia.”
Sylvi menyernit. Kenapa orang ini aneh sekali.
“Phia tahu siapa aku. Sebutkan saja namaku, dan dia akan kenal. Tolonglah. Aku akan beri kau hadiah yang banyak jika aku benar-benar bisa dekat dengan Nona Phia.”
“Kenapa kau tidak mendekati dia secara langsung saja?” Sylvi masih menyernit.
Orang itu, terdiam sejenak, kemudian berkata lirih, “aku tidak bisa muncul begitu saja sekarang. Wajahku akan dikenali oleh polisi.”
“Kau benar-benar aneh.”
Hari itu, Sylvi mendapatkan tugas yang aneh sekali. Menjadi mak comblang.


Seratus Lima Puluh Enam
Nyonya Margaretha, Pulih Kembali


18 jam setelah diselamatkan dari Buvsko. Dua puluh jam yang panjang bagi Kokov, mencemaskan ibunya (karena dia sudah cemas sejak Szczesny membeberkan dimana lokasi ibunya ditahan), akhirnya kabar baik itu datang.
Nyonya Margaretha bangun. Sadar. Kembali seperti sedia kala.
“Aku senang, ibu baik-baik saja.”
“Terima kasih Nak. Kamu menyelamatkan Ibu dari tempat terkutuk itu. Sungguh anugerah Tuhan yang luar biasa.”
“Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti Ibu lagi, dan aku tidak akan membiarkan orang-orang yang telah menyakiti ibu,  menghirup udara bebas terlalu lama.”
Kata-kata itu sontak menguatkan pelukan Nyonya Margaretha pada bahu anaknya. Dia kemudian berbisik lirih, “ibu tidak pernah mendidikmu menjadi pendendam, Kokov. Ibu mendidikmu agar lemah lembut dan baik pada sesama.”
“Tapi orang-orang keterlaluan itu harus diberi pelajaran, Bu.”
Sekali lagi Nyonya Margaretha meremas bahu anaknya. “Ada hal lain yang bisa kita lakukan selain balas dendam, Nak. Misalnya, berterima kasih dan membalas budi orang yang begitu baik, menolongku selama aku ada di dalam ruangan terkutuk itu.”
“Eh?” Kokov nyengir tak mengerti.
“Nyonya Margaretha sudah sadar?”
Phia tiba-tiba muncul di ambang pintu. Sorot mata ibunda Kokov langsung tertuju padanya. Hanya padanya. 
“Kemarilah Nak. Kokov beri tempat untuk Nona Phia.”
Tanpa sungkan, Nyonya Margaretha memberikan pelukannya pada Phia. Dan Phia menerima pelukan itu tanpa sungkan pula. 
“Aku sungguh senang, Nyonya baik-baik saja.”
“Terima kasih Nak. Sungguh, ini semua berkat bantuanmu. Kamu telah menyelamatkan nyawaku.”
“Aku hanya berbagi roti, Nyonya. Tidak lebih.”
Nyonya Margaretha kemudian berbalik pada Kokov, “nak, gadis ini baik sekali dengan ibu. Hatinya putih, bersih dan jernih. Sungguh Ibu berhutang budi padamu, Phia.”
Phia menjadi salah tingkah sendiri karena terjebak dalam posisi dan situasi seperti ini.
“Terima kasih sudah membantu ibuku,” Kokov akhirnya berujar. Kata-katanya yang keluar berintonasi formal. 
“Alangkah kakunya kamu, Kokov. Ucapkanlah dengan lebih ramah. Tersenyum. Bukankah aku sudah memberitahumu agar tidak terlalu kaku.”
“Eh iya,” sekali lagi Kokov salah tingkah. Bagaimana pula dia hendak memasang ekspresi ramah jika ibunya ada di sini, menuntutnya dengan tatapan memaksa. “Terima kasih, Nona Phia.” Kokov mencoba untuk tersenyum di akhir kalimat. Senyuman yang ganjil.
“Sama-sama, Tuan Kokov. Aku senang bisa membantu ibu anda, Nyonya Margaretha.”
“Aku lebih senang lagi karena, ternyata kalian berdua sudah saling kenal. Ini seperti kebetulan sekali, apalagi kamu terlihat mirip sekali dengan gadis yang...”
“Eh ibu, sepertinya kita tidak perlu membicarakan hal itu dulu. Ibu masih belum sembuh benar. Takutnya pembicaraan berat akan mengganggu konsentrasi ibu.”
Nyonya Margaretha menatap Kokov dengan isyarat, jangan alihkan pembicaraan. Namun beliau tidak bisa membantah lagi setelah Phia ikut membela. Meminta agar pembicaraan tidak perlu dilanjutkan dan menyarankan agar Nyonya Margaretah istirahat saja. 
“Kita masih bisa bicarakan soal itu besok-besok, Bu.”
Kau harus penuhi janjimu, Kokov. Kau harus memberikan gadis ini ruangan yang lebih banyak dalam hidupmu. Dia pilihan yang sangat cocok.
Aku tak pernah berjanji, Bu. Kokov membalas tatapan ibunya. 
Phia membantu Nyonya Margaretha meluruskan punggungnya kembali.

Seratus Lima Puluh Tujuh
Kabar Terkini dari Profesor Nyoman


Kita jangan sampai lupa, bahwa yang dirawat di Kiev Hospital bukan cuma Nyonya Margaretha saja, atau Phia saja, karena masih ada satu orang. Ada Profesor Nyoman Asdawirya. 
Profesor baik-baik saja. Beliau amat sehat. Kabar baik dibebaskannya Phia dan Nyonya Margaretha semakin memperbaik kondisi beliau. Sebenarnya beliau bisa saja pulang ke rumah, namun tidak direkomendasikan oleh dokter. 
Sebab tidak ada yang menjaga dan mengawasi profesor di rumahnya. 
Sebenarnya ada Vlari yang bisa diandalkan, namun asisten setia Profesor itu harus mengurus kegiatan di Kiev Nauk. Vlari baru bisa menemani Profesor jika ada orang yang mengurusi Nauk. Sedangkan orang yang paling bisa diharapkan untuk menggantikan Vlari sedang sibuk mengurusi ibunya. Yaitu Kokov. 
Karena itulah, Profesor tetap di rumah sakit. Setidaknya ada yang mengawasi beliau. 
Pagi ini, sekitar pukul 10, Profesor mengunjungi kamar Nyonya Margaretha di lantai 3. Profesor mengucapkan salam hangat pada Nyonya Margaretha yang sedang berbaring. Ada Kokov di sana. Sedangkan Phia sudah pulang. 
“Jadi anda, Profesor Nyoman Asdawirya?” Nyonya Margaretha hendak duduk, namun Kokov mencegahnya. Sekali lagi, ibunda Kokov itu melemparkan isyarat pada anaknya. Jangan halangi aku. 
Profesor mengangkat tangan, membalas salam hangat. “Iya, madame, saya Profesor Nyoman Asdawirya. Tidak apa-apa, anda istirahat saja. Saya cuma hendak menjenguk. Memastikan kondisi anda.”
“Saya baik-baik saja. Kokov, aku harus duduk.”
“Ibu, ibu belum sepenuhnya sehat.”
“Astaga, bagaimanalah aku hendak menghormati Profesor dengan berbaring seperti ini.”
“Anda sudah menghormati saya, saya tersanjung,” Profesor mengangguk. Profesor Nyoman Asdawirya dengan wisdom-nya adalah orang yang sangat friendly. 
“Dan anda adalah orang yang paling dihormati anak saya.”
Kokov buru-buru menatap ibunya. Astaga, dia tahu arah pembicaraan ini. 
“Kokov adalah orang kepercayaan saya, saya bangga dengan kinerjanya. Anda membesarkan orang hebat, madame.”
Pujian Profesor itu tak pelak mengena. Bahkan Kokov salah tingkah. Profesor tidak pernah memujinya seperti itu. 
“Ngomong-ngomong, dimana Nona Phia?”
“Tadi dia sempat kemari, Profesor. Tapi dia sudah pulang.”
“Ah begitu. Bagaimana kabarnya? Apakah dia baik-baik saja?”
“Ya,” Kokov mengangguk, “dia baik-baik saja.”
“Ah begitu,” wajah profesor terlihat sangat lega, “baguslah. Aku senang mendengarnya. Aku cemas sejak mendengar kabar dia diculik.”
“Profesor seharusnya tidak perlu terlalu khawatir. Sampai membebani pemikiran dan kesehatan Profesor.”
Kokov menatap Profesor dengan penuh perhatian, sementara Nyonya Margaretha menatap balik anaknya dengan tatapan sebal. Bahkan Kokov terlihat lebih hormat pada Profesor, dibandingkan dengan ibunya sendiri.
Wanita tua memang bisa menarik kesimpulannya sendiri. 
“Kau tidak akan tahu betapa pentingnya dia bagi cerita ini. Aku akan menjaga dia. Aku tidak ingin dia sampai kenapa-kenapa.”
“Eh maksudnya, saya tidak mengerti, profesor.”
“Aku mengerti,” Nyonya Margaretha menyela, cepat, “Nona Phia memang seorang gadis yang istimewa.”
Kokov buru-buru mengalihkan pembicaraan, menanyakan kondisi terakhir, serta kesehatan Profesor. Pertanyaan itu justru dibalas dengan tawa tergelak dari Profesor.
“Aku sudah duduk di sini lima belas menit, bahkan sampai berdebat, dan kau baru menanyakan apakah aku sehat? Sekarang kutanya balik, jika aku sakit, apakah aku akan duduk di sini?”


Seratus Lima Puluh Delapan
Terbunuhnya Mr. Bojinov


Proses pengadilan tertutup terhadap Oserzeen terus bergulir. 
Mr. Bojinov sempat mengabari Oleksandr kemarin malam, di rumah sakit, bahwa hari ini, pengadilan Ukraina bersama-sama Belarusia akan melayangkan surat pemanggilan pertama pada Oserzeen terkait tuduhan yang mereka dapatkan. Pembelaan pengadilan seharusnya terjadi pagi ini, dengan pihak Oserzeen tidak bisa banyak membela diri, karena bukti-bukti yang dimiliki pengadilan, sudah sangat kuat. 
Proses pengadilan yang sedang berlangsung ini, jelas membuat Dimitri, sang bos besar, ketar-ketir. Perusahaannya belum cukup kuat. Belum. Pengadilan ini akan menyebabkan skandal hukum yang akan menghambat pertumbuhan perusahaannya. 
Dia harus mencegahnya, apapun itu caranya. 
Pieter Both memberikan saran. Saran yang mengerikan. 
Harus ada seseorang yang dikorbankan. Manuver hukum paling cantik. 
“Aku akan memastikan mereka mendapatkan ganjaran hukum yang setimpal, Oleksandr. Kau tenang saja.”
“Kau benar-benar harus berhati-hati, Bojinov. Oserzeen penuh dengan tipu daya. Mereka bahkan tak segan untuk menculik orang-orang terdekat kami, untuk mengancam kami.”
“Kau seperti tak mengenalku saja, Oleksandr. Aku adalah Valerie Anderson Bojinov. Aku adalah pakar hukum terbaik di Ukraina. Senjata paling keras kepala, sekaligus kepala paling pintar. Aku tak akan mundur.”
Olek mengeraskan rahang, apakah dia baru saja membuat Bojinov tersinggung, mereka bicara di telepon ketika Olek masih berada di rumah sakit. 
“Aku minta maaf, mungkin aku terlalu khawatir.”
“Pokoknya kau serahkan saja padaku. Aku akan memastikan keadilan ditegakkan. Seluruh perjuanganmu tidak akan sia-sia.”
“Terima kasih, Bojinov.”
Ya, orang itulah targetnya. Valerie Anderson Bojinov. Senjata paling keras kepala sekaligus kepala paling cerdas di satuan hukum Ukraina. Dia adalah orang paling getol menyerang Oserzeen di pengadilan. 
Sekali dia dihilangkan, manuver hukum Oserzeen akan jadi lebih mudah. Itulah rencana mereka. 
“Huft, tugasku selesai.”
Pria berjubah coklat misterius itu baru saja menggantung (mayat?) seseorang di sebuah kamar. Dia membersihkan mulut orang itu, ada sedikit busa yang tertinggal di sana tadi. Dia menyapu busa itu dengan tangannya yang dibungkus sarung tangan. 
“Ah, bajuku kotor. Sebaiknya aku membersihkannya nanti.” Dia melihat ke arah jubahnya. Ada percik darah juga di sana. 
Tugas sudah diselesaikan. 
Valerie Anderson Bojinov sudah digantung. Mati.


Seratus Lima Puluh Sembilan
Papan Catur Berubah Lagi


7 November
Oleksandr berada di kantornya. Proses interogasi masih terus dilakukan. Di bawah tekanan yang keras dari para opsir-opsir kepercayaan Oleksandr, para tahanan mulai menyerah. Mereka mengaku kalau mereka memang kaki tangan Oserzeen. Oleksandr tersenyum puas mengetahui fakta tersebut.
Meski proses penyerbuan di Buvsko banyak sekali membantu dalam penyelidikannya, masih ada hal lain yang menggantung di benak Oleksandr. Diantaranya, satu hal yang terus membayanginya. Darimana Szczesny tahu tentang tempat itu. 
Szczesny tahu tempat itu.
Szczesny tahu
Szczesny
Szczesny tahu sesuatu!
Olek berusaha sekeras mungkin agar dia tidak mengalamatkan tuduhan yang tidak-tidak. Tapi, hei, bagaimana Szczesny tahu begitu saja tempat yang bahkan tidak bisa ditemukan alat pelacak tercanggih milik kepolisian sekalipun.
Aneh sekali bukan?
Kemudian tambahkan dengan kecurigaan sejak awal yang dialamatkan oleh Olek pada Szczesny, ini membuatnya semakin curiga saja.
“Aku harus bertemu dengan Szczesny dan bertanya padanya secara langsung.”
Olek menggebrak meja, hendak menyambar ponselnya yang terletak di sebelah sana, namun sebelum itu, ponselnya keburu berbunyi lebih dulu. Nomor tak dikenali
“Mr. Oleksandr. Apakah anda tahu kabar terkini dari Mr. Bojinov?”
Oh ini dari pengadilan. 
“Tidak, ada apa?”
“Berita buruk. Tuan Bojinov ditemukan gantung diri di rumahnya.”
BUKKK
Olek langsung tersentak, sampai jatuh dari kursinya. Suara gedebum membuat orang di seberang sana, khawatir.
“Anda baik-baik saja, Mr. Oleksandr?”
“Ya, aku hanya terjatuh. Apa tadi katamu? Bojinov gantung diri?”
“Benar. Di rumahnya. Saat ini polisi bagian kriminal sedang melakukan olah TKP.”
Olek menyapu wajahnya. Tangannya meraih remote televisi. Benar, ada breaking news. Sosok penegak hukum terhormat, Valerie Anderson Bojinov telah tiada.
“Aku turut berduka cita, Bojinov adalah penegak hukum paling lurus sekaligus paling kukuh yang pernah kukenal.”
“Saya juga mengucapkan minta maaf atas kejadian ini, Mr. Oleksandr. Karena saya kira, meninggalnya Mr. Bojinov akan mengubah peta kekuatan pada kasus yang sedang berjalan di pengadilan.”
“Termasuk kasus Oserzeen.”
“Itu yang saya maksud.”
Kali ini Olek benar-benar kesal. Lagi-lagi Oserzeen. Jangan-jangan mereka memang ada campur tangan dalam kejadian ini. Sepertinya Olek harus mengusutnya. Setidaknya Olek harus tahu lebih banyak.
“Kapan proses pengadilan Oserzeen akan dilanjutkan?”
“Baru saja selesai. Peta kekuatan telah berubah. Kita tidak bisa memojokkan mereka.”
Olek kembali tersentak. Itu kabar buruk beruntun.
“Apa maksudmu?”
“Mereka memaksa kita menggelar pengadilan terbuka.”
“Jangan. Mereka akan lebih mudah memanipulasi hukum jika banyak orang terlibat. Jangan biarkan mereka menggelar sidang tertutup.”
“Kami akan mengusahakannya, Mr. Oleksandr.”
“Aku punya bukti-bukti baru. Nanti aku serahkan. Kita tidak boleh menyerah.” Olek kemudian dengan sok optimis, menutup teleponnya sepihak.


Seratus Enam Puluh
Misi yang Gagal


8 November
Phia kembali ke Kurin. Setelah sekian lama. Sebelum ini dia menginap dimana? Ya, jelas sekali, di rumah sakit. Bukan pasal dokter tak mengizinkan, Olek yang tak mengizinkan Phia pulang ke Kurin.
“Alasan keamanan.” Demikian Olek selalu berkilah.
“Tapi aku tak punya uang banyak untuk membayar biaya rumah sakit seminggu penuh,” Phia berusaha membantah.
“Kau tenang saja. Seluruh biaya hidupmu di rumah sakit ini, pihak keamanan yang akan menanggung. Aku akan mengurus dananya. Kau tenang saja.”
“Tapi aku bosan.”
“Ini demi keselamatanmu sendiri. Apa kau tidak tahu, di luar sana, situasi sedang emergency.” Olek berkeras, pembicaraan kemudian berakhir tanpa kesimpulan.

8 November.
Phia pulang ke Kurin, terkaget-kaget setelah melihat ternyata ada Sylvi di sana. Ini jelas sebuah kejutan besar.
“Senang bisa melihatmu kembali, Phia. Maaf, aku tidak sempat menjengukmu di rumah sakit. Tak bisa. Kata polisi galak di sana, tak ada yang boleh menjenguk Nona Phia Lizarina.”
Phia tersenyum riang, merasakan kehangatan pelukan Sylvi. Phia bisa merasakan, bahwa teman serumahnya ini membawa kehangatan dari Khazinev.
“Bagaimana acara pulang kampungmu?”
“Baik. Semua berakhir dengan baik. Ibuku memang merindukan aku. Aku lega sekarang.”
“Apa kubilang.”
“Nanti akan kuceritakan lebih lengkap. Tentang banyak hal. Kamu pasti senang mendengarkannya.”
“Rasanya aku tidak sabar.”
“Tapi jangan di sini, terlalu banyak orang. Ayo kita bicara di dalam saja. Apa kamu sudah sarapan?”
Phia mengangguk, sudah. Tadi di rumah sakit. Dia makan bersama-sama Nyonya Margaretha dan Kokov, momen sebelum mereka pulang. 
“Ah tidak mengapa. Perutmu pasti masih muat untuk menampung kue pie khas Khazinev yang kubawakan. Ayo.”
Sylvi sudah menarik tangan Phia ke meja makan. Tempat makanan sudah disiapkan. Sylvi sepertinya sudah menyiapkan ini semua sebelumnya. 
“Ayo cicipi kuenya, Phia.”
“Sebenarnya aku jauh lebih penasaran untuk mendengar ceritamu.”
“Ah, setelah satu suapan. Ayo cicipi dulu.”
Phia mengangguk. Baiklah. Satu cicipan. Nyam.
Kue pie khas Khazinev itu rasanya manis. Teramat manis. Lembut sekali teksturnya. Tekstur lembut itu dipadukan dengan senarai rasa buah yang lamat-lamat muncul dalam kunyahan.
Hmm, apel. 
Ah rasanya sangat pedesaan sekali. 
“Ini enak, Sylvi.” Phia tak segan memberikan pujian, tersenyum.
“Tentu. Ambil lagi, jangan sungkan. Ibuku membuatnya khusus untukmu.”
“Untukku?” Phia kaget, tapi itu adalah pujian yang sangat mantap. “Terima kasih banyak.”
“Adapun soal cerita,” akhirnya Sylvi memperbaiki posisi duduknya, “aku ingin menyebutkan satu nama terlebih dahulu. Ada seseorang yang menitipkan salam padaku, salam untukmu.”
Phia langsung heran, berhenti menyuap kue. “Siapa?”
“Ah, kamu pasti kenal. Namanya....”


Seratus Enam Puluh Satu
Jadwal Bimbingan Selanjutnya


Tanggal 9 November
“Nona Phia. Bolehkah kita bertemu? Aku ingin mengatur jadwal bimbingan tesismu. Hari ini, pukul 15.00 di Le Caoux. Kamu punya waktu?”
Itulah isi pesan Kokov. Profesor Nyoman masih di rumah sakit. Meskipun profesor sehat, namun tentu saja lebih aman jika jadwal bimbingan dialihkan pada Kokov. Pria itu mengirimi Phia pesan sesaat setelah Phia selesai makan pagi. 
Phia membalas dengan, “tentu, Tuan. Saya akan memenuhi jadwal tersebut.”
“Terima kasih.”
Kemudian jawaban “sama-sama” dari Phia dibiarkan bercentang biru. 
Kokov tiba lebih dulu di Le Caoux. Dia mengambil tempat dekat dengan jendela. 
Phia tiba lima belas menit kemudian, ketika jam menunjukkan pukul 14.50 waktu Ukraina. Berarti mereka berdua tidak terlambat dan pertemuan kali ini akan berlangsung lancar. 
“Kamu sendiri?”
Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Kokov, ketika melihat barusan Phia turun dari taksi.
“Eh? Apa maksud anda, Tuan Kokov? Tentu saja saya sendiri.”
“Ah bukan,” Kokov garuk-garuk kepala, mulai sudah sesi canggung itu, “maksudku, biasanya kamu diantar oleh Szczesny.”
“Tolong jangan sebut-sebut nama itu di depan saya lagi, Tuan.”
“Ah, maafkan aku.”
Kokov setengah jengkel dengan dirinya. Kenapa pula perasaan canggung ini harus kembali lagi. Padahal kemarin, saat di rumah sakit, mereka bisa mengobrol dengan baik, meskipun ada ibunda Kokov, Nyonya Margaretha di sana.
“Tidak apa-apa. Apa kabar ibu Tuan?”
“Dia baik-baik saja. Aku mengantarnya ke Holasev kemarin.”
“Lega saya mendengarnya.”
“Terima kasih karena kamu sudah menolong ibuku. Kamu sungguh gadis yang baik hati.”
Ah pujian itu sukses membuat pipi Phia menyembrut merah sejenak. Meski itu segera hilang. 
“Kamu sudah pesan minuman?”
“Belum Tuan. Bukankah aku tadi langsung berjalan ke arah sini, takut terlambat.”
“Ah,” lagi-lagi Kokov begitu jengkel dengan dirinya sendiri yang terus menerus canggung, “kalau begitu, biar aku pesankan untukmu. Kamu mau minum apa?”
Phia menyebutkan nama minuman yang hendak dipesannya. Dia sudah lumayan hafal menu-menu minuman di Le Caoux. 
“Tunggu sebentar ya.”
Kokov berjalan ke meja pesanan. Menghela nafas. Dia tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi setiap dia bersitatap dengan gadis itu. Selalu ada rasa canggung. 
“Bud’-laska, trokhy zachekayte.”
“Ni, ya budu chekaty,” sahut Kokov, saat bicara di meja pesanan. Dia diminta menunggu minuman di mejanya, namun dia memilih untuk membawa sendiri minuman itu. 
Akhirnya jadilah minuman tersebut. 
Kokov membawanya ke hadapan Phia. 
Meletakkan gelas berisi cairan hijau yang dipesan Phia dengan hati-hati. Perfeksionis, salah satu kata kunci untuk memahami seorang Stanislav Kokov.
“Terima kasih banyak, Tuan Kokov.”
“Eh.”
TRANG!!
Satu kesalahan lagi bagi Kokov. Dia menyenggol minuman yang ada di nampan. Minumannya. Hingga gelasnya jatuh, menghantam lantai. Pecah. 
Kalau sudah begini, rusak sudah semua momen. Rusak sudah acara bimbingan. Rusak sudah semuanya.


Seratus Enam Puluh Dua
Lanjutkan, Tuan Kokov


“Astaga, aku merusak semuanya lagi.” Kokov tak tahan lagi, akhirnya kalimat kejengkelannya itu keluar begitu saja dari bibirnya. Phia tidak ambil peduli. Dia sudah sigap berjongkok, memunguti sisa beling. Reaksinya bahkan lebih cepat dibandingkan para pegawai kebersihan kafe. 
“Bud’-laska, vy mozhete zamovyty shche raz,” ucap si pegawai kebersihan setelah pecahan kacanya dibersihkan. Kalimat itu diarahkan pada Kokov. Yang menjawab dengan menggeleng. “Ni, dyakuyu.” Tidak terima kasih. 
Sejenak kemudian, mereka kembali duduk. Phia menyesap minumannya. Sedari tadi, wajahnya yang paling tenang.
“Itu hanya kecelakaan, Tuan Kokov. Bukan salah anda sama sekali. Ayolah, jangan terlalu dipikirkan.”
“Ah tidak, kamu tidak mengerti, Nona Phia. Kejadian barusan amat mengganggu mood-ku.”
“Kadang, kita harus melanjutkan apa yang sudah kita rencanakan. Tak peduli mood. Nyonya Margaretha benar, Tuan. Anda memang sangat terencana dan taat dengan sistem.”
Kokov masih diam. Tapi dia agak kaget. Gadis ini berani menegurnya?
“Cobalah untuk sedikit santai. Tersenyumlah, Tuan. Semua belum berakhir. Atau bahkan belum mulai. Aku belum menjelaskan tentang tesisku.”
Kokov ingin membantah, bilang dia sudah tidak bersemangat membahas soal tesis.
Namun, Phia sempurna mengambil alih pembicaraan. Dia sudah kenal dengan karakter “pembimbing”-nya ini. Kalau mood Kokov dibiarkan rusak, maka acara bimbingan hari ini, bisa gagal total. 
“Saya sudah mencapai banyak kemajuan. Profesor banyak sekali membantu saya. Saya sudah menyusun kerangka teori yang bagus. Sekarang saya tiba di bagian teknis. Penjelasan tentang bagaimana seharusnya saya mengeksekusi penelitian ini.”
Bagian metode. Bukankah itu bagian kesukaan Kokov. Tapi...
Phia terus bicara. Menjelaskan banyak hal yang dia dapatkan dari Profesor. Terus memenuhi meja dengan pembicaraan intelektual. Berusaha memulihkan kembali mood Kokov yang hancur setelah dia memecahkan gelas.
Ini sungguh menggelikan. 
Telepon Kokov kemudian berbunyi. 
Dari Olek. 
Kokov meminta izin mengangkatnya.


Seratus Enam Puluh Tiga
Phia Akhirnya Tahu Situasinya


“Apa katamu, Valerie Bojinov, jaksa itu, mati?”
“Ya,” Olek menanggapi dengan dingin. 
“Apa yang terjadi? Apakah dia bunuh diri? Atau dibunuh?”
“Belum, belum ada kesimpulan yang bisa diambil. Aku sedang di lokasi. Mengawasi pemeriksaan TKP. Tidak banyak petunjuk yang tertinggal. Secara garis besar, dia mati tergantung di atas tali. Dokter masih memeriksa tubuhnya, belum diketahui apakah dia mati di tali gantungan, atau malah digantung setelah dia mati.”
Kokov menelan ludah. Ini urusan serius. Oserzeen telah melakukan serangan balasan. Mematikan. 
“Apa rencana kita sekarang, Olek? Bagaimana dengan pengadilan?” 
“Pengadilannya terus berlangsung. Proses hukum tidak bisa dihentikan selama kita punya bukti kuat. Kematian Bojinov tidak akan mengubah banyak hal. Kita tetap dalam posisi menuntut Oserzeen. Bahkan, aku bersumpah akan menjadikan peristiwa ini sebagai penambah berat barang bukti.”
Ah itu kabar baik. Setidaknya Olek masih terdengar optimis. 
“Tapi,” ini masih Olek yang bicara, “Kokov, dengarkan aku baik-baik. Kematian Bojinov ini jelas satu peringatan untuk kita. Kau harus hati-hati. Kau harus menjaga ibumu, Profesor Nyoman serta Nona Phia. Mereka target yang rentan.”
Nah itu kabar buruknya.
“Aku akan berusaha, Olek. Lebih baik jika kau bisa membantuku menjaga mereka.”
“Ya, akan kuusahakan.”
Pembicaraan berakhir dengan sepatah dua patah kata, Olek menggoda Kokov yang dianggapnya ngebet mengajak Nona Phia bertemu di Le Caoux. 
Kokov kembali ke kursinya dengan gontai. Kabar buruk ini jelas mengganggunya. Kokov adalah orang yang pandai menyembunyikan ekspresi di wajah batunya. Nah, saat itu, saking berpengaruhnya kabar buruk itu pada dirinya, Phia bisa melihat perubahan di wajah Tuan Kokov di depannya. 
“Ada apa, Tuan? Apakah ada kabar buruk?”
“Huft, memang ada perubahan situasi, yang agak tiba-tiba.”
“Seberapa buruk?”
“Dengarkan aku,” tiba-tiba saja Kokov menatap Phia dengan serius. Itu tatapan khawatir, cemas, serta takut. “Aku ingin kamu berhati-hati dari sekarang. Boleh jadi situasinya semakin memburuk. Aku ingin kamu mewaspadai siapa saja yang mencoba mendekati dirimu. Atau, bagaimana jika kamu ikut aku saja, kita bisa ke kantor Oleksandr, di sana lebih aman.”
“Tuan Kokov. Sebenarnya saya tidak terlalu mengerti situasinya. Tapi, apakah seburuk itu?”
“Ya, kamu dalam bahaya.”
Itu jelas empat huruf yang tidak sopan diucapkan. Menakuti-nakuti. Phia menelan ludah. Teringat kembali tiga hari yang dia lalui di Buvsko. 
“Orang tua itu, berkali-kali menyebut soal Oserzeen. Tadi pagi aku mencoba mencari di internet. Itu nama sebuah perusahaan. Ada masalah apa kalian dengan perusahaan itu.”
“Panjang ceritanya,” timpal Kokov, kebas wajahnya. 
“Bolehkah aku tahu? Setidaknya aku bisa meraba seberapa berbahaya situasi yang akan kuhadapi.”
Hei, gadis ini tanpa sadar, mengganti kata gantinya. 
Kokov memutuskan untuk bercerita. Singkat, bercabut-cabut. Tidak banyak. Oserzeen itu perusahaan tambang, mereka dilarang di Ukraina, mereka terus memaksa agar bisa masuk, mereka membuka tambang ilegal, terus menekan. Sekarang mereka diadukan pengadilan. Sekarang mereka ada di keadaan terjepit. 
Phia manggut-manggut. 
“Kumohon. Sekarang, kamu bukan sekedar mahasiswi bimbingan Profesor Nyoman. Kamu adalah sekutu, temanku. Kamu tak perlu sungkan. Anggap saja kita berteman. Kita semua terkait dalam situasi ini. Kamu adalah target yang potensial, untuk menarik perhatianku dan Profesor. Tolong, ini permintaan dari teman untuk temannya.”
Lancar sekali Kokov mengucapkan kalimat barusan.
“Aku akan berhati-hati, eh, Kokov. Aku janji.”


Seratus Enam Puluh Empat
Chrmeko?


“Ah kita tidak jadi membicarakan tentang tesismu. Maafkan aku.”
Phia menggeleng, tidak apa-apa. Sebenarnya dia juga lebih penasaran untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi, ketimbang memikirkan tesisnya. 
“Kamu datang ke Ukraina di saat yang tidak tepat, Phia.”
Kali ini, Kokov sungguh menatap Phia dengan sungguh-sungguh. 
“Aku baik-baik saja, Ko.. eh Tuan Kokov. Sepertinya aku juga tidak bisa memilih ada di situasi apa bukan?”
“Seharusnya negara ini bisa menyambutmu dengan indah. Kiev adalah tempat yang sangat menarik. Kamu bisa saja jatuh cinta dengan kota ini, seperti halnya aku jatuh cinta dengan kota ini.”
Kokov tak berbohong. Dia jatuh cinta dengan Kiev sejak pertama menjejakkan kaki di kota. Merantau dari Holasev. Sampai sekarang dia jauh lebih suka di sini, ketimbang di Holasev. 
“Oh iya. Bagaimana kabar ibumu, Nyonya Margaretha? Apakah beliau juga dalam bahaya?”
Kokov menelan ludah. Sebenarnya dia khawatir dengan keselamatan ibunya. Namun dia tidak bisa ke Holasev begitu saja. Gadis ini juga perlu pelindung. Makanya, kemudian Kokov meminta bantuan Olek, memindahkan ibunya ke tempat yang lebih aman.
“Aku akan mengurusnya. Nanti.”
“Ibumu sungguh orang yang baik, Tuan Kokov.”
Iya, itu benar. Karena kata-kata ibunya pulalah, Kokov berusaha secair mungkin sekarang di hadapan Phia. Meskipun situasinya agak tidak mendukung. 
“Baiklah,” karena Kokov mulai merasa canggung, diapun berdiri. Sudah tidak ada gunanya bicara soal tesis sekarang. Mood-nya juga tidak tertarik lagi setelah mendengar kabar kematian Valerie Bojinov. Phia juga tidak tertarik. Apalagi kalau bukan pulang sekarang. 
“Szczesny benar-benar tidak menjemputmu, ya? Mari aku antar pulang.” Kokov melihat-lihat sekitar, mencari kalau-kalau Szczesny ada di sini. Namun tidak ada. Phia hanya menjawab dengan gelengan. 
Akhirnya Kokov mengajak Phia ke pinggir jalan, memesan taksi. “Kamu tidak bertengkar dengan Szczesny bukan?”
“Aku tidak ingin mendengar namanya lagi.”
“Hei, memangnya kenapa?” Kokov tak bisa menahan dirinya untuk bertanya. Dia sungguh ingin tahu, kenapa?
“Aku tak ingin membicarakannya.”
“Kau tahu, dialah yang memberitahu kami lokasi Buvsko. Dia datang, dan langsung serta merta menyatakan titik koordinat, entah dengan cara apa dia mencari informasi. Mungkin dengan mengais bak sampah. Jadi, meski dia tidak ada di lokasi saat kami datang menyerbu, dia tetap berperan dalam proses pembebasanmu. Pria itu sepertinya sayang sekali denganmu.”
Ini sedikit rahasia, para pria memang suka begini. 
“Ya, dia tahu, karena sebenarnya aku bisa ada Buvsko, karena dia juga.”
“Eh?”
“Iya, Szczesny bersekongkol dengan temannya, Chrmeko, menculikku dari Kurin di gelap malam, mereka membawaku ke suatu tempat. Szczesny mencoba bicara denganku, namun aku menolak. Setelah itu, Chrmeko membuat aku pingsan, aku tak ingat apa-apa, dan aku sudah berada di Buvsko.”
Kokov kontan menghentikan langkahnya.
Apa kata Phia tadi?
Szczesny dan Chrmeko terlibat dalam penculikannya.
“Coba ceritakan lebih detail padaku.”
Phia kemudian menceritakan beberapa detail lagi. Terutama soal Chrmeko yang sering muncul bersama-sama Pieter Both di Buvsko.
“Ada Szczesny di sana?”
“Sejauh yang kulihat, tidak ada.”
Hmm, Chrmeko.


Seratus Enam Puluh Lima
Pria itu, Mengawasi


Sejengkel apapun Phia pada pria itu, dia tetap tahu balas budi. Berkat cerita dari Kokov, kekesalannya pada Szczesny berkurang sejengkal. Tapi itu bukan berarti dia memaafkannya. Phia tidak akan lupa dengan perlakuan Szczesny yang menculik dan membuatnya ketakutan. 
“Mungkin saja, Szczesny tak terlibat dengan rencana Oserzeen.”
“Mungkin saja,” Kokov jauh lebih keras wajahnya. Fakta baru ini membuatnya mengubah pola pikir. Jadi, selama ini duet S & C boleh jadi telah membocorkan banyak informasi penting. Mengingat, mereka adalah, mata-mata.
“Kita harus menceritakan semua ini pada Oleksandr. Aku akan menghubunginya. Apakah kamu keberatan jika kita tidak langsung kembali ke Kurin?”
“Tidak apa-apa. Kalau ini bisa membantu Tuan Kokov dan Komandan Oleksandr.”
“Ah, terima kasih, Nona Phia.”
Sorot mata Kokov begitu senang. 
Tanpa mereka sadari, sedari tadi, ada sepasang mata yang mengawasi dari kejauhan. Sepasang mata yang menatap begitu iri.
Stanislav Kokov tak bisa dipegang kata-katanya. Jika dibiarkan terus begini, dia bisa menjalin hubungan spesial dengan Nona Phia. 
Pria misterius itu, sebelum ini juga menyempatkan diri mengunjungi Kurin. Bukan untuk bertemu dengan Phia, tapi bertemu dengan Sylvi. Ada hal yang dibicarakannya.
Soal Mak Comblang. 
Sylvi marah-marah ketika pria misterius berjubah hitam itu mendesaknya membicarakan soal diri pria itu dengan Nona Phia.
“Kau sama sekali tak mengerti situasinya. Phia sangat sibuk. Tadi pagi saja, aku tak sempat sarapan dengannya. Bagaimanalah aku hendak bicara?”
“Kau bisa bicara dengannya saat hendak tidur, atau saat makan malam bukan?”
“Saat ini aku belum menemukan situasi yang tepat, percayalah.”
Pria itu bersikeras. “Kau seharusnya mencobanya. Aku sudah mempercayaimu.”
“Kau adalah pria yang tak tahu terima kasih.”
Pria berjubah hitam misterius itu, tertawa kecut. “Ayolah. Aku tahu kau mau membantuku.”
“Jangan mendesak dan memaksaku. Biarkan semua berjalan sewajarnya. Aku akan mencoba membicarakannya dengan Phia. Dalam waktu dekat. Beri aku waktu.”
Pria itu kemudian meninggalkan Kurin tanpa berkata apa-apa lagi. Meskipun esok-esok dia akan datang lagi. Datang lagi. Lagi. Dan lagi.  


Seratus Enam Puluh Enam
Olek Terkejut di Kursinya


Kokov dan Phia tiba di kantor Oleksandr. Sang empunya kantor belum ada di tempat. Mungkin masih sibuk dengan penyelidikan kematian Valerie Bojinov. Kokov tidak mau menunggu terlalu lama, jadi dia menelepon Olek. Bilang mereka sekarang ada di kantornya, hendak membicarakan sesuatu yang penting. 
Olek tiba di kantornya dengan tersenyum-senyum. 
“Hei, ada apa denganmu, Olek?” Kokov bahkan sampai harus menanyakannya. 
“Tidak apa-apa. Menyenangkan saja karena melihat kalian berdua ada di sini. Terlihat begitu kompak. Ah sudah kubilang Kokov, dibandingkan dengan Szczesny, kau jauh lebih cocok mendampingi Nona Phia.”
“Olek!”
Terlambat. Olek sudah tertawa-tawa. Phia yang duduk di sebelah Kokov, memerah wajahnya. Dia berusaha menutupinya, dengan tangan. 
“Oh, dan apa yang dikatakan pria gagah ini pada nona manisnya? Ah iya, aku akan berjanji melindungimu.”
“Darimana kau tahu semua itu.”
“Aku mengawasimu, Kokov. Aku mengawasimu.”
“Beritahu aku, Olek! Kau memasang penyadap di badanku ya.”
Olek tertawa-tawa lagi. 
“Sudah, sudah. Kita tidak perlu bertengkar dengan hal-hal sepele. Ada hal yang lebih serius yang harus kita lakukan sekarang. Kau bilang memiliki informasi penting yang harus kau bagi.
“Benar, aku kini tahu siapa mata-mata Oserzeen di pihak kita.”
Terkejut Olek, sampai melemah sendi-sendi lututnya. “Kau serius?”
“Ya. Dia adalah....”
“Woy, jangan bilang dulu.” Olek mengibas-ngibaskan tangan, “aku juga punya informasi. Biarkan aku menyampaikannya dulu.”
Kokov mengangguk. Silakan. 
“Valerie Bojinov dibunuh. Dokter kepolisian menyelesaikan pemeriksaannya.”
“Jadi, dia digantung setelah dia mati?”
“Benar.”
“Apa penyebab kematiannya? Bagaimana caranya dia dibunuh?”
“Ditusuk. Ada luka tusukan di lehernya. Mengerikan.”
Mereka bertiga kemudian terdiam sejenak. Mungkin membayangkan betapa mengerikannya kondisi Valerie Bojinov. Khusus Phia, dia bahkan tidak bisa membayangkan wajah, karena dia tidak kenal siapa itu Valerie Bojinov. 
“Jadi, mata-mata itu sudah ditemukan,” Olek mengusap wajahnya, “biar kutebak. Salah satu dari duet S & C, atau kalau tidak, mereka berdua.”
“Chrmeko.  Chrmeko mata-mata. Positif. Phia melihatnya di Buvsko bersama-sama dengan Pieter Both. Entahlah dengan Szczesny.”
“Aku sempat mencurigai Szczesny,” sahut Olek lagi, “dia bisa mengetahui lokasi musuh, yang bahkan dengan teknologi tercanggih yang kupunya, aku tidak bisa menemukannya. Aku sebenarnya ingin mencari dia, tapi kematian Bojinov ini membuatku harus mengatur ulang jadwalku.”
“Aku rasa Szczesny tidak bersalah. Dia berani membocorkan informasi mengenai lokasi musuh. Itu satu hal yang sangat fatal. Jika dia memang mata-mata, maka tindakannya itu mengancam nyawanya.”
“Kau benar.”
“Berarti kita harus mencari Chrmeko, ayo.” Kokov mengepalkan tangan. Namun Olek malah tertawa. Tertawa-tawa seperti di awal. 
“Tidak, mencari Chrmeko itu urusanku, kepolisian. Urusanmu adalah melindungi Nona Manis di sampingmu itu. Kalau aku boleh menyarankan, Kokov. Ajaklah Phia ke tempat-tempat lain. Jangan ke Le Caoux terus. Apa kau tidak bosan. Dan terus terang, aku heran bagaimana kau bisa kecanduan makanan dan minuman rasa Prancis, yang tidak enak itu.”
Kali ini Kokov yang canggung.


Seratus Enam Puluh Tujuh
Barang-barang Mahal


“Astaga, banyak sekali barang tagihanmu.”
“Kau sudah berjanji untuk menuruti keinginanku asalkan bisa mendapatkan Phia bukan?”
Sylvi menyeringai pada pria berjubah hitam misterius yang kembali menampakkan diri. Hari ini di Kurin.
10 November. 
Pria kembali datang. Dia terus menuntut Sylvi agar membicarakan soal dia dengan Phia. Kedatangan dan desakan pria ini, membuat Sylvi jengkel terkadang. Jadi, mulai hari ini dan seterus-seterusnya, Sylvi memutuskan untuk “menipu” pria ini demi mendapatkan apa-apa yang dia inginkan.
Catat ini, meskipun di sini cerita mendahului timeline, namun semuanya tetap terkondisikan. Mengenai cerita di luar Sylvi dan si pria misterius, akan diceritakan di lain kesempatan
Hari ini, Phia pergi lagi. Sylvi sendirian di Kurin. Pria itu datang lagi. Seperti kebiasaannya. Muncul tiba-tiba. 
“Iya, aku sudah membicarakannya. Tapi Phia tidak terlihat tertarik padamu.”
“Astaga,” desis pria itu, “bicarakanlah lagi. Sebutkan mengenai siapa aku, apa saja kelebihanku, prestasi-prestasiku, dan macam-macam lainnya yang bisa membuatnya terkagum-kagum padaku.”
Kalimat itu ditertawakan oleh Sylvi. 
“Bagaimana pula aku tahu semua itu. Sedangkan kita tidak saling kenal.”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan menceritakan semua hal yang perlu kamu tahu. Pastikan kau memberitahu semua ini pada Nona Phia nanti.”
“Iya, iya. Aku janji.”
Kemudian pria itu mulai bercerita. 
“Nah begitu,” ucapnya setelah lima belas menit yang diisinya dengan “menyombong-nyombongkan” dirinya. 
“Oh.”
Pria itu jengkel karena Sylvi seperti tidak serius menanggapi dirinya. “Perlukah aku mencatat semuanya agar kau ingat untuk menyampaikan semua kelebihanku tadi?”
“Tidak, tidak perlu. Aku ingat. Malam ini akan kusampaikan pada Phia. Kau tunggu kabar baiknya saja ya.”
“Ah begitu, terima kasih,” tak pelak, wajah pria itu, cerah. 
“Oh iya, bisakah besok kau datang ke sini lagi?” tanya Sylvi.
Pria itu mengiyakan. Tanpa dimintapun, dia akan datang besok. Sepanjang Phia tidak ada di Kurin. 
“Datanglah besok. Tapi jangan datang dengan tangan kosong.  Bawakan aku sesuatu.”
“Apa?” tanya pria itu.
“Apa saja,” Sylvi mengangkat bahu, “kau ini tak ada sopan santunnya. Kau minta bantuanku, tapi kau tak memberiku imbalan apa-apa.”
“Ya sudah, besok aku bawakan kau sesuatu.”
Kemudian semisterius saat dia datang, pria itu menghilang pula secara misterius. 
Lamat-lamat, setelah pria itu menghilang, Sylvi menyungging senyum sambil bilang, “sungguh, jika dia tidak mengarang semua kelebihannya itu, sungguh dia adalah pria yang menarik.”

Keesokan harinya, tanggal 11 November.
“Bagaimana? Apakah kamu sudah ceritakan semuanya pada Phia?”
“Ya, sudah.” Sylvi berbohong. 
“Lalu bagaimana tanggapan Phia?”
“Dia bilang, akan kupikirkan, Sylvi. Aku kenal dengan pria itu. Aku sering makan bersamanya. Dia salah satu kenalan dekatku di Kiev sini. Sama seperti kamu, atau Profesor Nyoman. Tapi, kurasa ini terlalu cepat. Semua kelebihan itu, belum tentu bisa menjamin kehidupanku di masa yang akan datang.”
Pandai betul Sylvi mengarang-ngarang kalimat. Pria itu sampai salah tingkah dibuatnya.
“Seharusnya kau menceritakan lebih banyak lagi.”
“Apalagi yang bisa kuceritakan. Habis tuntas semua kelebihanmu aku bahas.”
“Apakah aku perlu menceritakan hal lain.”
“Boleh. Semisal apa rencanmu di masa depan.”
“Ah iya.”
Pria itu bersiap  untuk bercerita, namun Sylvi buru-buru mencegah. “Sebentar, aku mau mencicipi Tort Kievsky yang kau bawakan ini dulu. Sangat menggugah selera.”
Setelah satu cicipan. Pria itu menceritakan semua rencananya. Hidup berkecukupan dengan Phia di salah satu apartemen, beranak-pinak, berdua untuk menua. Dan hal lainnya. Membosankan. Sylvi harus mendengarkan semua itu. 
“Kau harus sampaikan ini pada Phia.”
“Tentu.” Sylvi mengangguk dengan anggukan paling optimis, “tapi ada syaratnya.”
“Apa itu? Sebutkan saja.”
“Besok, ada satu pameran tas di Kiev. Aku ingin tas itu. Bawakan untukku. Jangan berani kau datang kemari, kalau tak bawa tas itu.”
Pria misterius berjubah hitam menelan ludah. Makin hari, makin aneh saja, permintaan Sylvi. Tas itu, barang-barang mahal.


Seratus Enam Puluh Delapan
Kabar-kabar Terkini


Sampai tanggal 15 November. Tidak ada hal yang terlalu istimewa.

Profesor Nyoman sudah sembuh. Kini beliau ada di rumahnya. Sepenuhnya. Olek, dengan sungguh-sungguh melarangnya untuk beraktivitas di luar. Setidaknya selama sisa tahun ini. Sampai semua kasus Oserzeen ini beres. Profesor adalah target empuk. Untuk menemani, membantu, menyediakan kebutuhan, sekaligus melindungi, dan mengawasi Profesor, Vlari disiagakan.

Oleh karena Vlari harus mengawasi Profesor, maka tidak ada sesiapapun yang mengurus kegiatan Profesor di Nauk. Kiev Nauk. Kokov-lah yang mengambil alih urusan di sana. Dia kini sibuk sekali. Untuk membantunya, dia meminta dan mengangkat, (sebenarnya juga setengah memaksa dan setengah membujuk) Phia menjadi asistennya. Selain juga agar Phia tidak lepas dari pengawasannya, ternyata Phia juga bisa membantunya. Teramat membantu. Dengan cepat mereka berkembang jadi duet yang bagus.

Oleksandr beserta jajarannya terus menyelidiki kematian Valerie Bojinov. Mereka menemukan banyak cacat di sana. Olek bahkan telah berhasil mengidentifikasi pisau yang dipakai untuk membunuh jaksa itu. Dia tunjukkan itu di hadapan bagian forensik dengan visualisasi komputer. Selain mengurusi kematian Bojinov, Olek juga punya satu tugas lain. Mencari Chrmeko yang hilang bak ditelan bumi. Tidak ada jejak sama sekali. Tidak ada Chrmeko dimana-mana. Begitu juga dengan Szczesny.

Ibunda Kokov, di Holasev, diawasi dengan ketat. Olek mengirimkan banyak pasukan di sekitar rumahnya agar tidak ada orang iseng menculik perempuan tua itu. Namun sepertinya, perempuan tua itu sudah tidak masuk radar Oserzeen lagi. Mereka sepertinya, punya rencana lain.

Sementara itu, kabar dari pengadilan. Kasus itu terus bergulir. Pertarungan. Manuver-manuver hukum. Oserzeen berkali-kali hendak menolak dan membantah semua tuduhan itu. Tapi bukti kuat terus bermunculan. Jika tidak ada perubahan tiba-tiba yang bisa menolong Oserzeen, tanggal 20 nanti, dikira-kira, pengadilan akan berakhir, dengan sanksi jatuh untuk perusahaan itu.
Itu akan menjadi kemenangan yang gilang gemilang.

Sementara itu, si pria berjubah hitam misterius, terus datang pada Sylvi. Meminta dirinya diceritakan lebih banyak lagi di depan Phia. Dia menceritakan banyak hal (yang sialnya harus didengarkan oleh Sylvi). Sementara Sylvi terus mengarang kalimat. Seolah Phia memberikan sinyal-sinyal positif. Membuat pria itu senang. Padahal bukan. Tujuan asli Sylvi adalah menguras dompet pria itu. Beberapa hari ini, dia sudah dikelilingi barang-barang mahal.
Kau sialan, Sylvi. Senyum manismu itu, khas seorang bajingan. Tapi entahlah, aku tidak bisa berkata “tidak.”

Kurang lebih begitulah situasinya. Tanggal 15 November nanti, akan ada peristiwa besar.
Yang bisa mengubah peta cerita ini ke depannya.


Seratus Enam Puluh Sembilan
Kabar Sebuah Pisau


14 November
“Ah. Inilah kabar terbaik yang kudengar dalam 4 hari terakhir.”
Olek berseru gembira. Dia telah menyelesaikan telaahan forensik serta pemeriksaan kamera CCTV, serta mengumpulkan banyak keterangan. 4 hari terakhir, Olek bekerja keras. Dia mengerahkan semua tenaganya. Sejak dia meminta kepada bagian reserse kriminal kepolisian Kiev agar kasus ini diserahkan seluruhnya pada dia, Olek terus bekerja keras. 
Akhirnya pagi ini, Olek menemukan sesuatu yang hebat. 
“Pisau. Sebuah pisau yang berkilauan dan sangat tajam. Aku bisa mengenali pisau ini sekali saja aku melihatnya. Pembunuh itu tidak beruntung. Aku akan bersumpah menemukannya, walau dia lari sampai ke ujung dunia.”
Olek bersorak-sorak sendiri di dalam kantornya. Tidak ada siapa-siapa di sana. 
Pisau. Itulah kesimpulan yang diambil oleh Oleksandr. Pembunuhan keji Valerie Bojinov dilakukan dengan sebilah pisau. Langsung ditancapkan di bagian yang fatal. Bojinov tidak bisa melawan. Hebat sekali rencana pembunuh itu. Dia pasti orang yang tidak kenal ampun. 
Kesimpulan sederhananya adalah, begitu pisau itu bisa ditemukan, pembunuh itu bisa ditemukan pula. Tinggal mencari barang buktinya.
Pola pikir yang aneh bukan?
Justru di situlah poinnya. Pisau itu memegang segalanya. Sayangnya, bukan cuma Olek yang tahu pola pikir itu. Oserzeen juga tahu bagaimana pentingnya posisi pisau dalam kasus ini. 
Di kantornya yang besar, di Belarusia, Dimitri sang bos besar Oserzeen sedang bertemu dengan seseorang. Bukan, bukan Pieter Both, karena Pieter Both sedang ada di sampingnya. 
Bukan pula si pria misterius berjubah coklat, pelaku sebenarnya dibalik pembunuhan Valerie Bojinov. 
Itu seorang wanita. 
“Mendekatlah, Nona.”
“Siap, Tuan.” Wanita itu mendekat. Berlutut di hadapan Dimitri. Dimitri kemudian berdiri, meraih sebuah koper kecil di bawah kakinya. 
“Kau mengerti tugas kau bukan? Ini, di dalam koper ini ada benda yang sedang dicari polisi. Kau letakkan di Kurin. Biarkan gadis itu yang menemukannya. Hanya dengan itu, nasib suamimu bisa selamat.”
“Baik, Tuan. Akan saya letakkan.”
“Pastikan gadis itu yang menemukannya. Bukan temannya. Kau paham bukan?” Dimitri tergelak keras, kasar dan kejam. 
“Paham Tuan. Serahkan saja pada saya.”
“Bagus. Setelah itu, kita akan melihat apa yang akan terjadi diantara mereka begitu pisau itu ditemukan di Kurin. Hahahaha!”

Sementara itu di televisi, berita tentang pengadilan gabungan Ukraina-Belarusia, yang masih belum menyelesaikan kasusnya untuk menuntut Oserzeen. Kasus terus berjalan. Namun, (di akhir berita itu, presenternya menyatakan), bahwa pengadilan gabungan akan menang. Oserzeen sedang ada di ujung tanduk. Perusahaan besar itu akan kalah. Aib dan dosa mereka sudah menyebar kemana-mana. 
“Hahaha. Kalian lihat baik-baik, pengadilan. Apa kalian senang jika ternyata tangan-tangan yang kemarin repot mengumpulkan bukti untuk kalian, kini malah menjadi tangan-tangan paling mencurigakan. Jalankan rencananya untukku.”
“Manuver kita kali ini akan berhasil, Tuan. Saya yakin.”
“Tentu. Sekali lagi manuver kita ini terbalik, kepala kalian berdua,” Dimitri menunjuk Pieter Both dan wanita yang tadi diserahinya koper, “juga akan kuputar balik. Pergilah dan laksanakan tugas kalian dengan baik.”
“Siap Tuan.”


Seratus Tujuh Puluh
Kegemparan Besar


15 November
Kegemparan besar terjadi!
Polisi-polisi langsung merapat ke Kurin. Membawa mobil patroli. Taktis. Mereka bergerak dengan gesit. Segera masuk ke dalam rumah, mengamankan segalanya.
Mereka langsung bergerak begitu mendapatkan perintah. Mendapatkan informasi. Informasi itu singkat saja, memerintahkan para polisi, reserse kriminal Kiev untuk menggeledah Kurin untuk menemukan barang bukti pembunuhan atas Valerie Bojinov. Pesan itu ditulis atas nama Oleksandr. Siapa yang tidak percaya coba?
Sayangnya, Oleksandr bahkan tidak tahu apa-apa. Dia baru datang ke Kurin, ketika mobil-mobil taktis polisi sudah mengepung dan menggeledah Kurin. 
Sia-sia Olek meminta pembatalan penggeledahan. Para polisi malah heran, “bukankah Komandan Oleksandr yang meminta penggeledahan ini?”
“Apanya, ini fitnah yang kejam. Aku tidak pernah mengirimkan perintah itu. Batalkan, batalkan.”
“Maaf, Komandan. Kami tidak bisa membatalkan operasi ini. Ada belasan unit yang bergerak. Kami tidak bisa membatalkan.”
Olek menggeleng-gelengkan kepala. Ini gawat. Mereka menggeledah Kurin. Kurin bukan tempat sembarangan. Setidaknya, begitu berita ini tersebar luas, ada dua orang yang akan ribut-ribut mengurusi urusan ini. Mereka adalah Kokov dan Profesor Nyoman. 
Mereka tidak lama kemudian muncul. Kokov terlihat cemas. Profesor Nyoman apalagi.
“Apa yang terjadi, Olek?”
“Apa yang kau pikirkan, Olek? Kau hendak membahayakan Nona Phia? Petunjuk apa yang kau ikuti? Apakah kau termakan jebakan lain dari Oserzeen,” Profesor Nyoman lebih keras bereaksi, menggoyang-goyangkan tubuh Oleksandr. Olek menjadi serba salah. Dia berusaha menjelaskan situasinya, bahwa dia tidak tahu apa-apa.
“Ini fitnah, Profesor. Aku sama sekali tidak tahu. Aku saja baru tahu ketika mereka sudah berkumpul di sini.”
“Apa yang mereka cari?”
“Pisau,” Olek kemudian menjelaskan apa yang dia ketahui tentang pisau yang merupakan barang bukti paling dicari dan menentukan.
Profesor terlihat amat cemas. Kokov mencoba menenangkannya. 
“Tenang, Profesor. Nona Phia akan baik-baik saja. Dia orang baik. Saya kenal baik. Demikian juga anda, kenal dengan gadis itu. Kita tahu dia orang dengan hati yang murni. Dia akan baik-baik saja. Pemeriksaan ini paling-paling hanya lima belas menit.”
Mereka memutuskan menunggu. Tidak membicarakan perkara pisau itu lebih lanjut. Pemeriksaan dilakukan oleh para polisi. Baik Olek, Kokov maupun Profesor Nyoman tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Entah apa yang terjadi, entah apa yang mereka lakukan pada Phia.
Ketiga orang itu hanya bisa berdoa, semoga semuanya baik-baik saja. 
Sayangnya 15 menit kemudian, pemeriksaan itu selesai, dengan membawa kabar buruk. 
Phia digelandang keluar dengan borgol terpasang. Kokov, Profesor dan Olek yang sedang duduk (polisi tadi berbaik hati mencarikan kursi lipat untuk mereka menunggu) langsung berdiri. Kaget. Apalagi Profesor, tanpa peduli dengan usia tuanya, beliau langsung menghambur ke depan. 
“Profesor Nyoman.” Seorang opsir yang berjalan paling depan, menghentikan langkah, Phia dan para polisi yang menggelandangnya, ikut berhenti. 
“Hentikan langkah kalian. Lepaskan gadis itu.”
“Maaf, tidak bisa, Profesor.”
“Kalian harus dengarkan kata-kataku.”
“Maaf, saya harap Profesor tidak menghalangi kami. Ini demi hukum. Anda tidak bisa menghalangi hukum, Profesor. Saya harap anda mundur.”
Olek ikut mendekat. “Opsir, sebenarnya ada apa ini?”
“Ah,  komandan Oleksandr,” Opsir itu semakin serba salah, dua orang penting negeri ini ada di hadapannya, menghalangi langkahnya. “Maaf komandan. Ini juga berkat petunjuk dari anda. Kami harus menahan gadis ini.”
“Aku tak pernah memberikan perintah. Itu perintah palsu. Kalian tidak bisa menahannya dengan perintah palsu.”
“Tapi kami menemukan pisau itu di kamar gadis ini. Pisau itu bukti otentik. Kami tidak bisa mengabaikannya. Kami harus memproses gadis ini secara hukum.”
Apa, pisau itu. Ditemukan di kamar Phia. Olek berdiri, mematung. Profesor menatap ke arahnya. Satu lagi fitnah kejam Oserzeen. 
Kokov mendekati Phia. Gadis itu terlihat baik-baik saja. Dia terus menunduk. Dia pasti malu sekali. Dia gadis baik-baik, yang sekarang digelandang secara hina oleh polisi, seolah dia penjahat besar. 
“Kamu baik-baik saja, Phia.”
“Iya, aku baik. Tidak perlu cemas. Mereka akan melepaskan aku bukan?” ada sapuan kecemasan di wajahnya itu. 
“Tenang saja. Kamu akan baik-baik saja. Aku janji. Kami akan mencari jalan untuk membebaskanmu.”
“Terima kasih, Tuan Kokov.”


Seratus Tujuh Puluh Satu
Olek Berusaha Menjelaskan


Kantor Polisi Kiev.  (Harap bedakan dengan kantor Oleksandr, sebab kantor Oleksandr terpisah dengan kantor polisi Kiev). Iring-iringan yang mengawal dan membawa Phia sudah sampai. Gadis itu diturunkan dan digelandang masuk. 
Olek mengendarai mobil polisi dengan kecepatan tinggi. Berusaha mengejar iring-iringan itu. Kokov berkali-kali mendesak. “Lebih cepat Olek, lebih cepat.” Membuat Olek sebal. Hanya bisa menimpali dengan, “sabarlah sedikit, sebentar lagi sampai.”
Sementara Profesor Nyoman berkali-kali (pula), membicarakan soal kemungkinan apa yang terjadi pada Phia.
“Secara hukum, kedudukan Phia sekarang tidak bagus. Malah sangat buruk. Pisau itu, barang bukti yang fatal, ada di kamarnya. Secara hukum Ukraina, dia bisa dikenakan pasal...”
“Apa akibatnya, Olek. Aku tak sempat memikirkan soal pasal-pasal.” Profesor memotong. 
“Hukuman mati. Kalau tidak, kalau pengadilan mau berbaik hati, mungkin penjara seumur hidup.”
Kokov menggeleng keras-keras, “tidak, kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.”
“Tenanglah. Prosesnya masih jauh dari pengadilan. Kita masih bisa melakukan sesuatu.”
“Kau jelas harus melakukan sesuatu, Olek.”
Oleksandr menggigit bibir, Kokov dan Profesor seperti ayah dan anak saja, ayah dan anak sama saja. 
Sejumlah rencana berkelabat di pikirannya. Kokov menyusun skenario. Mungkin dia akan bicara dengan pimpinan reserse kriminal. Mungkin dia harus meyakinkan pimpinan reserse kriminal (yang terkenal keras kepala itu), bahwa perintah penggeledahan itu palsu, jadi ada indikasi pihak ketiga yang terlibat. Mungkin dengan pembicaraan semacam itu, ada kemungkinan lain terbuka untuk kasus ini, untuk menyelamatkan Phia. 
Sayangnya, rencana itu tidak lancar. Pimpinan reserse yang ditemui Olek, menolak untuk mempertimbangkan. “Pisau itu sudah jelas ada di sana. Apalagi yang harus dipertimbangkan. Kalau memang bukan anda yang mengirim, komandan Oleksandr, itupun tidak masalah.”
“Tapi ada indikasi kita berurusan dengan pihak ketiga.”
“Ah itu masalah lain.”
“Kau tak mengerti, Nak.” Profesor Nyoman yang duduk di sebelah Oleksandr menyela pembicaraan.
“Saya sangat rispek dengan anda, Profesor.”
“Tidak, kau sama sekali tidak paham dengan apa yang sedang terjadi. Ada tangan-tangan yang berkuasa di balik ini semua. Kita berurusan dengan Oserzeen.”
“Oserzeen? Perusahaan itu? Bukankah Komandan Oleksandr sudah mengajukan kasusnya ke pengadilan secara tertutup? Harusnya, kalau ingin membicarakan soal Oserzeen, kalian bisa bicara di pengadilan sana.”
“Tapi kasus ini berhubungan dengan....”
“Maafkan saya, Profesor. Kami belum punya bukti-bukti ke arah itu. Kami tidak bisa menduga-duga.”
Sungguh meyakinkan sekali gaya bicara komandan reserse kriminal tersebut.
Sementara Kokov di luar, berpapasan dengan orang tak dikenal yang memakai jas rapi dan kacamata. Orang itu dengan (tanpa?) sengaja, menubruk tubuhnya.
“Hei!” Kokov berseru.
Orang itu malah berbisik, “menyerahlah, menyerahlah pada Oserzeen.”
Kokov terpaku mendengar kalimat itu, membiarkan orang yang menubruknya, menghilang di kerumunan.
Oserzeen masih ada di sekitar mereka.

Seratus Tujuh Puluh Dua
Pria Berjubah Coklat Misterius


Ada satu orang lagi yang panik setelah mendengar kabar penangkapan Nona Phia Lizarina yang dilakukan kepolisian Kiev. Dia adalah pria berjubah hitam misterius yang sejak kemarin-kemarin, sibuk menemui Sylvi. 
Pontang-panting dia mencari kabar, informasi. Ingin sekali dia memastikan Phia baik-baik saja. Ingin sekali dia merangsek langsung ke kantor polisi, memastikan kondisi Phia dengan mata kepalanya sendiri. Tapi bagaimanalah, dia sendiri juga merupakan buronan polisi. 
Pria berjubah hitam misterius itu terus menatap dari kejauhan. Seolah dia tidak ada  di sana, tapi dia ada. Dan tidak ada satupun orang yang mengetahui keberadaannya.
“Stanislav Kokov dan Oleksandr pasti sudah gila jika berpikir untuk menuduh Phia dengan tuduhan yang tidak-tidak.” Dia bergumam sendiri. Gelisah. Pria itu tidak mengerti banyak hal tentang penyelidikan kepolisian, tapi dia bisa menarik satu kesimpulan, Oleksandr pasti terlibat dalam penangkapan ini. Stanislav Kokov juga pasti membantunya.
“Aku harus membuat perhitungan dengan kalian berdua. Jangan kalian kira, kalian bisa seenaknya main tangkap. Phia tidak bersalah. Aku yakin sekali itu.”
Pria itu memutuskan untuk menunggu sampai malam, sebelum dia melaksanakan rencananya. 
Kokov, Olek dan Profesor berurusan di kantor polisi sampai menjelang malam. Mereka terus berdebat, Olek memberikan beberapa keterangan penting, mencoba membujuk komandan polisi reserse kriminal untuk mempertimbangkan. Sia-sia.
Akhirnya, Olek mengajak mereka berdua pulang. 
“Kita akan kembali besok pagi, Profesor. Percayalah, aku akan bekerja keras malam ini, mengumpulkan banyak bukti untuk membantah.”
Olek menggigit bibir. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu bagaimana hendak mengumpulkan bukti. 
“Olek, kau meneliti rekaman CCTV bukan? Apa tidak ada bukti lainnya yang menunjukkan arah yang benar?” seperti biasa, yang bertanya adalah Kokov, dengan segala kelogisannya. 
“Ya, aku melihat delapan rekaman CCTV dari berbagai tempat yang memantau ke arah kediaman Bojinov. Aku meneliti rekaman yang telah diperlambat. Tentu saja ada banyak detail yang kutemukan. Tapi yang paling mencolok tetap pisau itu.”
“Apa kau melihat pelakunya.”
“Ya.”
“Hei?” Profesor dan Kokov sempurna menoleh.
“Tapi tidak ada yang bisa diambil kesimpulan dari siluet pelaku. Tidak ada yang bisa disimpulkan dari sesosok bayangan berjubah coklat.”
“Jubah coklat? Kenapa tidak hitam? Aneh sekali,” Profesor berpikir.
“Maksud Profesor?”
Profesor menggeleng, “tidak, aku hanya berpikir liar. Biasanya orang yang melakukan kejahatan pasti akan memakai baju serba hitam bukan?”
“Itu tidak membantu, Profesor.”
Profesor menyeringai, “maafkan aku.”
Olek memutar kemudinya. Malam sudah menjelang. “Lebih baik kita mencari makan malam. Satu mangkuk Okroshka sepertinya baik untuk perut kita saat ini.”
“Aku setuju, Olek. Dokter tidak melarangku makan Okroshka. Ayo kita cari makan malam.”
“Siap Profesor.”
Mereka memang harus melupakan sementara kasus ini, sementara pria misterius berjubah hitam mengawasi mereka dari kejauhan.


Seratus Tujuh Puluh Tiga
Perkelahian


Bisa ditebak bukan, apa yang akan terjadi dengan Kokov dan Olek ketika mereka terus menerus diawasi oleh sosok pria berjubah hitam misterius itu. Perkelahian. Itulah yang akan terjadi. Tepat ketika Profesor sudah diantar pulang ke rumahnya, akhirnya, orang itu mencegat Kokov dan Olek. 
DORRR!
TRANG!
“Olek, menunduk.”
Untungnya sempat. Desingan peluru itu hanya mengenai kaca mobil, bukan dahi Oleksandr. Pria berjubah hitam misterius itu kini sempurna berdiri di hadapan Olek dan Kokov, pistol teracung sempurna di tangannya. 
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak tahu, tapi hei, siapa dia?”
“Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya dia tidak berniat baik.” Olek langsung turun, sama sekali tidak terintimidasi dengan pistol yang teracung itu. 
“Aku akan menyimpan pistol ini. Tidak seru kalau kalian langsung tewas tertembak tanpa mengetahui alasan kenapa kalian pantas untuk mati.” Pria berjubah hitam misterius itu berkata, suaranya agak kurang jelas, mungkin sengaja disamarkan.
“Siapa kau?” Olek bertanya. 
“Aku adalah orang yang akan memberikan kalian pengadilan.”
“Sudah kuduga, kau adalah kaki tangan Oserzeen.”
“Apa kau bilang?”
Olek tak lagi mau berbasa-basi. Dia langsung menerjang ke depan, hendak melumpuhkan dengan pukulan tangannya. Orang berjubah itu menangkisnya lalu mundur ke belakang. 
“Tidak ada basa-basi ya, baiklah. Ayo kita mulai.”
Secara kemampuan, sebenarnya pria berjubah hitam ini tidak bisa beladiri sehebat Oleksandr, tapi dia sedang marah. Kenyataan bahwa Nona Phia, wanita yang ditaksirnya, ditangkap polisi, membawa tenaga pemukul yang berkali-kali lipat. 
Olek berkali-kali harus menangkis. Sama sekali tidak diberi kesempatan menyerang balik. Pukulan, tendangan, terus berdatangan. Kepala, dada, perut dan bahkan lutut, jadi sasaran. Olek susah payah melindungi dirinya sendiri. 
BUKKKK!
Akhirnya satu pukulan itu bersarang di wajahnya. Tak sempat lagi ditangkis. Saat Olek masih terkejut dengan satu pukulan itu, lawannya langsung mengirim pukulan lagi. Langsung ke bagian perut. 
BUKKK!
BUKKK!
Pria itu menendang Olek hingga terpelanting ke belakang. Olek jatuh dengan memegangi daerah vitalnya. 
Kokov sedari tadi mengamati musuhnya ini dengan saksama. Meskipun Kokov memiliki kemampuan beladiri yang lebih baik, dia tidak ingin gegabah. 
Siapa sebenarnya orang ini. 
“Hei, Kokov! Turun kau, bantu aku di sini.” Olek berseru. 
Akhirnya Kokov pun turun. Pria berjubah hitam langsung waspada dengan lawan barunya. Dia mengamati gerak-gerik Kokov, terutama tangan dan kakinya. 
“Kau selalu merepotkanku, Oleksandr.”
“Hajar dia!”
“Aku harap kau bisa menghindari pukulanku dengan lebih baik, Stanislav Kokov.” Tiba-tiba saja pria berjubah hitam misterius itu berada di depan Kokov, bersiap meninju. Kokov sudah siap. Dia menangkis, bahkan kemudian kakinya mengirimkan serangan balasan. 
Pria itu sekali lagi meloncat ke belakang dengan anggun. 
“Siapa kau?”
“Orang yang ingin sekali membunuh kalian,” sahut pria berjubah hitam dengan dalam, penuh perasaan. 
Kokov kini mengambil inisiasi untuk menyerang. Gerakannya berkelabat cepat. Pria berjubah hitam memasang kuda-kuda lebih mantap. Musuh yang lebih kuat telah datang. 
Mereka beradu tangkisan dalam lima menit. Cukup menunjukkan bahwa mereka berimbang. Namun pria berjubah hitam ini main curang. Dia kerap mengincar bagian sensitif dari tubuh Kokov. Bagian yang seharusnya tak boleh diserang. 
“Kau curang!”
“Aku penjahatnya di sini.”
BUKKK!
Kokov berhasil memukul arah perut musuhnya. Namun....
BUKKKK!
Pria berjubah hitam itu juga berhasil memukul kepala Kokov. Telak. Mereka berdua sempoyongan. 
Pertarungan ini tak akan selesai dengan cepat. 
Olek kemudian bangkit kembali, membantu Kokov yang nyaris terjatuh karena pusing.
“Mari kita hajar dia berdua. Dia tidak akan punya kesempatan.”
“Kuharap kalian tidak bermain curang, karena jika ya, maka aku akan mengajak partner  kecilku ini ikut serta.”
Pria itu mengeluarkan pistolnya.
“Kau berada dalam masalah besar karena berani menodongkan pistol ilegal pada polisi.”


Seratus Tujuh Puluh Empat
Identitas Pria Misterius Itu


Perkelahian terus berlanjut. 
Kali ini lebih serius, memakai pistol. 
Demi melihat lawannya sempurna mengacungkan pistol, Oleksandr ikut mencabut pistolnya. Dia akan meladeni seandainya lawannya itu ingin bertarung tembak menembak. 
“Mari kita buat seperti latihan para tentara.” Pria itu menyeringai. 
“Mana ada latihan tentara memakai pistol asli yang bisa melubangi badan kau kapan saja.”
“Itulah menantangnya.”
DORRR!
Belum sempat pria misterius itu menyelesaikan seringaiannya, Olek sudah menembak. Ke arah bawah, mengincar kaki. Pria misterius berjubah hitam itu melompat ke belakang secara estetik. Tidak kena. 
DORRR!
Kini balas Olek yang kena sasaran. Untungnya tembakan yang menyasar kepalanya itu bisa dihindari dengan berguling-guling. 
“Ini tidak seru. Dia tidak menghiraukan aturan dan kehormatan dalam menembak.” Olek berseru sebal. 
“Bagaimana sekarang, Olek?” Kokov bertanya, matanya tak lepas dari pria yang masih memegang pistol di depan, musuh mereka. 
“Kau tenang saja, Kokov. Kita akan menang. Dia tidak lebih unggul.”
“Bicara apa kau!”
DORRR!
Kokov kini sempurna meloncat ke samping, berguling-guling. Tembakan barusan mengarah padanya. 
DORRR!
Satu tembakan lagi mengarah ke Oleksandr, dihindari, namun Olek tidak balas menembak. 
“Seharusnya kau membawa senjata yang lebih baik.” 
Kokov tersenyum masam. Bahkan di saat seperti ini, Olek masih sempat mengejek lawannya. Olek menyeringai. Pria berjubah tidak merespon, terus mengarahkan senjatanya. 
DORR!
DORR!
Dua tembakan menyalak dengan cepat. Tidak ada yang kena. Olek dan Kokov sama-sama melompat menghindar. 
“Kau tidak pandai dalam pertarungan menembak ala tentara, Tuan Berjubah yang misterius.”
“Apa maksudmu?”
“Sekarang kau kehabisan peluru bukan? Bukankah pistolmu hanya berisi enam selongsong peluru. Semuanya sudah kau tembakkan. Nah, kau ingin tahu kenapa aku tidak balas menembak bukan Kokov? Agar peluruku masih tersisa lima selongsong. Sekarang angkat tangan!”
Akhirnya Olek menyalak dengan keras. Pistolnya teracung sempurna. 
“Jangan pikir aku akan menyerah dengan mudah.”
Sulit dipercaya, pria itu malah menerjang maju ke depan. Olek siaga dengan pistol. Mulai menembak.
DORR!
ARGH!
Satu teriakan pilu pecah sudah di malam itu. Pria berjubah jatuh tersungkur dengan paha diterjang timah panas. “Kau bahkan bukan penjahat kadal, pria misterius. Siapa kau sebenarnya.”
Olek dan Kokov menghampiri musuh mereka yang kini tergolek tak berdaya dengan ringisan kesakitan. Olek masih sempat-sempatnya mengejek, “alangkah bodohnya Oserzeen memilih kau menjadi anak buahnya.”
“Aku bukan anak buahnya.”
“Jadi siapa kau sebenarnya?” pistol dengan empat selongsong peluru tersisa milik Olek, menempel sempurna di pelipis pria itu sekarang.
“Aku adalah... orang yang akan membunuh kalian jika kalian sampai menyakiti Nona Phia... aku adalah... Szczesny.”
Tunggu dulu...


Seratus Tujuh Puluh Lima
Dimana Chrmeko?


“Kau Szczesny?” seakan belum percaya, Olek kemudian merobek jubah hitam yang dipakai musuhnya itu di bagian kepalanya. Wajah Szczesny menyembul keluar. Itu memang dia. 
“Kenapa kau menyerang kami?” Kokov bertanya, dingin.
Pertanyaan bodoh, batin Szczesny. “Bukankah semua sudah jelas. Kalian telah melakukan penangkapan yang salah. Kalian tidak bisa menahan Nona Phia. Kalian harus diberi pelajaran.”
“Kami juga tidak ingin menahannya,” Kokov berucap dengan suara yang dalam pula. 
“Lalu apa? Basa-basi polisi, kami harus menahannya karena barang buktinya ada pada dia? Omong kosong. Kalian berurusan dengan Oserzeen, merekalah musuh kalian. Kenapa kalian malah menahan orang tak bersalah.”
“Kalau saja kau tidak pernah membantu polisi dalam menemukan Buvsko, dan sekarang ada yang ingin kutanyakan, sudah dari tadi aku ledakkan kepala kau itu, Szczesny.” Olek mendesis. 
“Aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti Nona Phia.”
“Aku punya pertanyaan.”
“Aku tidak bersedia menjawab.”
“Kau harus menjawab. Katakan padaku, dimana Chrmeko?”
Szczesny malah tertawa keras. Sungguh itu pertanyaan yang tak bermutu. “Mana aku tahu. Aku sudah tak bertemu dengannya sejak aku membocorkan lokasi Buvsko pada kalian.”
“Kusarankan agar kau bersikap kooperatif.”
“Apakah dengan begitu, Nona Phia bisa bebas?”
“Kami sedang mencoba membebaskannya, Szczesny,” kali ini Kokov yang menjawab, dan setiap kali Kokov yang menimpali kalimatnya, Szczesny memasang wajah kesal. 
Kemudian Olek mulai mengoceh soal bagaimana sebenarnya Phia bisa tertangkap. Olek menegaskan bahwa dia dan Kokov tak ada sangkut pautnya di situ.
“Basa-basi polisi.” Szczesny menanggapi dengan dingin.
“Aku bersungguh-sungguh.”
“Kalian harus camkan ini, Phia itu gadis baik. Dia tidak akan terlibat dalam kasus pembunuhan, apalagi pembunuhan orang sekaliber Valerie Bojinov. Dengan lawan kita adalah Oserzeen, apa saja bisa terjadi bukan?”
“Patut kuingatkan bahwa saat ini kau adalah tahanan polisi. Jadi sebaiknya kau menjawab pertanyaan yang kuajukan. Dimana Chrmeko?”
“Astaga, sudah kubilang, aku tidak tahu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengannya. Dia mata-mata Oserzeen, aku bukan.”

Seratus Tujuh Puluh Enam
Jadi, Siapa Pelakunya


Semalaman di kantor Polisi. Tapi bukan di kantor polisi bagian reserse kriminal tempat Phia sekarang ditahan. Melainkan di kantor Oleksandr. Dinas polisi khusus. Ada tiga orang di sana malam ini. Kokov, Olek dan tahanan mereka, Szczesny.
Atau sebenarnya Szczesny bukan tahanan, karena dia disuguhi segelas susu hangat dan bisa duduk tenang tanpa diborgol. Semua ini karena saran dari Kokov. 
“Aku tahu, dia bersalah. Tapi dia memiliki banyak informasi yang berharga. Aku juga tahu persis, kau berhak menyidang seseorang dengan prosedurmu sendiri, Olek. Jadi tolong, kita bicarakan ini secara baik-baik.”
Nah, karena saran dari Kokov itulah, sekarang mereka bertiga bisa duduk dengan tenang. 
“Kau benar-benar tidak tahu dimana Chrmeko?”
Szczesny langsung tersenyum masam mendengar pertanyaan itu. “Berapa kali lagi aku harus mendengar pertanyaan itu? Aku sudah berkali-kali menjawabnya. Aku tidak tahu. Aku tidak bertemu lagi dengannya setelah berpisah di Buvsko. Kau lihat, bahkan sekarang aku harus menyamar.”
“Kenapa kau menyamar?”
“Kau bercanda, Oserzeen akan membunuhku kalau tahu posisiku. Aku telah membocorkan lokasi Buvsko. Mereka pasti mencari aku.”
“Kau yakin itu tidak kau lakukan karena ingin lari dari kejaran polisi?”
Siapa tadi bilang ini akan jadi pembicaraan yang menyenangkan.
“Ya, sebagian juga karena itu.” Szczesny menjawab dengan tenang.
“Nah, kenapa kau mau lari dari kejaran polisi?”
“Karena temanku adalah mata-mata. Aku tidak mau kalian menganggapku mata-mata juga.”
Oleksandr memperbaiki posisi duduknya, bertanya serius, “Szczesny, aku harus katakan. Aku mencurigaimu. Kau berada dalam daftar tersangkaku untuk pembunuhan Valerie Bojinov.”
Szczesny yang sudah melepas jubahnya, wajahnya terlihat datar. Dia tidak terintimidasi oleh tuduhan tersebut. “Aku tidak terlibat. Terserah kalian mau percaya atau tidak, tapi kalian tidak bisa membuktikannya.”
“Kami punya siluet pelakunya. Seseorang yang memakai jubah, warna coklat.”
“Jubahku warna hitam.”
“Kau harus mengerti, Szczesny. Pelaku yang sedang kami cari, kemungkinan besar adalah bawahan Oserzeen, pihak yang melibatkan Phia dalam kasus ini.”
“Demi Tuhan yang suci!” Szczesny tiba-tiba berseru, “aku tidak pernah melakukan itu. Bagaimana mungkin aku membiarkan Nona Phia-ku dalam bahaya. Tak mungkin kulakukan itu. Aku tidak melakukan itu. Demi Tuhan yang suci.”
Olek terdengar menghela nafas. Kokov mengambil alih pembicaraan. “Dia benar, aku percaya dengannya.”
“Kuharap kau tidak terbawa suasana dan mengambil kesimpulan dengan perasaan, Kokov. Dia tetap mencurigakan.”
“Dia tidak akan melibatkan Phia. Aku percaya dengan itu.”
Olek terdiam. Sekarang urusan jadi sulit.
“Kalau bukan Phia, berarti ada seseorang yang menyelinap ke Kurin untuk meletakkan pisau itu di kamarnya.” Olek menerawang. 
“Menyelinap ke Kurin bukan urusan mudah. Rumah itu sangat luas. Aku pernah masuk ke sana sekali. Menemui teman serumah Phia, namanya Sylvi.”
“Ah, Sylvi.” Olek terlihat berpikir. 
“Apakah rumah itu sangat besar?” Kokov tiba-tiba bertanya.
“Iya, bukan hanya besar, tapi ada banyak ruangannya. Tidak mudah bagi penyusup mengetahui setiap ruangan detail dan menebak mana kamar Nona Phia.”
Olek masih berpikir. Kemudian dia meraih kursor komputernya. 
“Karena hal semacam inilah, aku dipanggil Komandan Oleksandr.” Dia berkata dengan sangat optimis.


Seratus Tujuh Puluh Tujuh
Sebuah Pelukan Hangat


Malam masih panjang.
Malam itu juga, setelah bicara beberapa kalimat lagi, Oleksandr memerintahkan seorang opsir untuk menggelandang Szczesny masuk ke dalam sel. Sesuatu yang membuat Szczesny sempat protes.
“Hei, bukankah tadi kalian bilang aku tidak akan ditahan jika aku bersikap kooperatif. Lepaskan aku!”
“Aku tidak menahanmu, Szczesny,” Olek mengusap wajah, “aku hanya meletakkan kau di ruangan terpisah agar aku bisa mulai bekerja, menganalisis. Sayangnya kantor ini tidak punya ruangan lain, selain penjara. Jadi kuharap kau bisa membuat dirimu nyaman.”
“Omong kosong kau, Oleksandr!”
“Buatlah dirimu nyaman, Szczesny. Olek akan memberimu selimut.”
“Tutup mulutmu, Stanislav!”
Kenapa pula dia yang harus bersuara. 
“Aku janji, begitu kami bisa menemukan petunjuk, besok akan kuajak kau menengok Phia di penjara.” Olek melambaikan tangan. 
Begitu Szczesny diamankan, Olek mulai menyalakan komputer. “Kita harus bekerja keras malam ini, Kokov. Pasti masih ada celah. Jika kita beruntung, kita bisa membebaskan Nona Phia besok pagi.”
“Baiklah, mari kita lakukan.”
“Hei, kau terlihat sangat bersemangat.”
Kokov langsung memasang wajah masam. 
Malam itu, Kokov dan Olek sibuk sekali. Ada sekitar 28 rekaman CCTV yang mereka periksa. Ada 8 potongan keterangan saksi mata yang mereka putar. Semuanya mereka teliti berulang-ulang. Jika Olek sudah mulai bosan mendengarnya, dia akan bertanya pada Kokov, mengingat temannya itu punya indera yang lebih tajam dan lebih tenang dibanding dirinya. 
“Kau menemukan sesuatu, Kokov?”
Kokov menyebutkan apa yang diketahuinya, dan Olek langsung menukas dengan kata-kata, “ah benar juga, kenapa aku tidak bisa melihatnya.”
Saat pagi hari menjelang. Akhirnya, Olek dan Kokov mencapai beberapa kemajuan. Phia jelas tak terlibat. Pembunuh Valerie Bojinov telah dipastikan adalah laki-laki.  Sementara itu, seseorang jelas telah meletakkan pisau itu di kamar Phia ketika sang gadis tidak menyadarinya. Bahkan Phia tidak ada di rumah ketika benda itu diletakkan di kamarnya. Jadi dia tidak tahu sama sekali.
Olek sungguh berharap, setidaknya dengan informasi-informasi yang didapatnya sekarang, komandan reserse kriminal itu akan mendengarkannya. 
“Tidak, apa yang kau rencanakan, Oleksandr. Tidak, tidak ada diskusi antara kita.”
“Tidak,” Olek menggeleng keras, lebih tegas, “anda harus mendengarkan. Kita tidak bisa menahan orang tak bersalah. Apalagi dia adalah orang asing. Reputasi polisi Ukraina bisa tercemar.”
“Kau tidak bisa membuktikan bahwa gadis itu tidak bersalah.”
“Setidaknya saya punya bukti bahwa gadis itu bukan pelakunya.”
“Itu tidak cukup.”
Olek mengusap wajahnya yang mengantuk. Astaga semalaman tidak tidur, dan komandan ini tidak mau mendengarkannya. Kokov di belakang Olek menepuk-nepuk bahu temannya itu. Saatnya kita melakukan hal itu. 
“Anda harus dengar. Kami tahu siapa pelaku sebenarnya.”
“Apa katamu?”
“Apakah seorang Oleksandr pernah bercanda?”
Komandan reserse itu menatap Oleksandr dengan wajah tak percaya. Sejak kemarin, Oleksandr tidak seperti komandan yang berdedikasi, dia bertindak sesuai perasaan. Sekarang, apa pula rencananya.
“Bebaskan Phia, dan kita akan bicara.” Kokov menjawab pertanyaan Komandan reserse yang ingin sekali tahu. 
“Baiklah. Ikut denganku, kalian berdua.”
“Kami bertiga, dengan seorang teman.”
“Terserah kalian saja.”
Olek melambaikan tangan pada Szczesny yang sedari tadi menunggu di bagian ruang tunggu. Szczesny langsung mengikuti langkah mereka berdua. 
Mereka tiba di depan sel penjara Phia. Kondisinya mengenaskan. Dua orang opsir yang ada di sana, diminta oleh Komandan Reserse untuk membantu Phia berdiri. 
“Kau sudah bebas, Nona Phia.” Olek berbisik ringan ketika Phia digiring berjalan melewati dirinya.
“Benarkah?” terdengar suara lemah Phia. 
“Ya, kami telah membebaskanmu.” Kokov yang menimpali. Phia lepas dari pegangan dua opsir, dan melongsor ke lantai, beruntung, Kokov langsung menangkapnya. 
Kejadian itu ada di depan hidung Szczesny.
Dia menelan ludah. Itu sebuah pelukan yang sangat hangat. “Terima kasih, Tuan Kokov.” Setelah itu, Phia pingsan.
Seratus Tujuh Puluh Delapan
Nama Pelaku Mengerucut


“Kau sudah lihat bukan, Nona-mu baik-baik saja.” Olek mendekat pada Szczesny yang masih berdiri terpana. Melihat Phia yang tak berdaya berada di pelukan Kokov sepenuhnya. 
“Dia terlihat pucat, Olek.” Kokov mengamati wajah Phia dari jarak yang sangat dekat. Gadis itu nampak lemah sekali. 
“Aku tak perlu menebak kalau kalian tak pernah memperlakukan tahanan kalian dengan manusiawi.” Olek menatap nanar pada komandan reserse yang masih berdiri di sana, tidak jauh darinya. Komandan itu hanya mengangkat bahu. “Tidak ada maaf untuk penjahat.”
Demi melihat kondisi Phia yang tidak mendukung itu, Olek memerintahkan agar dia dibawa pergi segera. Komandan Reserse terlihat sangat keberatan. “Kau harus membawakan orang lain untuk menggantikan wanita itu. Dan kau harus pastikan sendiri, kalau orang itu adalah pelaku yang sebenarnya.”
Olek menjawab dengan mengangkat topi polisinya dan merapikan rambutnya. “Tenang saja. Serahkan pada komandan Oleksandr. Ayo Kokov, bawa Phia ke tempat yang lebih nyaman.”
“Ya, aku akan bawa dia ke rumah sakit. Dia perlu diperiksa.”
“Aku ikut.”
Olek buru-buru mengangkat tangan, mencegah, “tidak bisa. Kau harus ikut denganku, Szczesny.”
“Hei, apa yang harus kulakukan?” Szczesny menatap Olek dengan penuh tanda tanya. Olek sudah keburu melangkah. 
“Kepolisian Ukraina membutuhkan satu bantuan lagi dari kau, Szczesny. Ayo.”
Suara Olek terdengar begitu mengendalikan. Mau tidak mau, Szczesny menurut. Dia sempat melempar tatapan pada Kokov yang bersiap menghubungi pihak taksi dan rumah sakit. “Jaga dia baik-baik.”
“Ya, pasti.”
Szczesny melangkah dengan hati seperti diremas-remas. 
Rupa-rupanya, Olek mengajak Szczesny pergi ke Le Chaoux. Mereka naik mobil taktis. 
“Kenapa kita kemari?” Szczesny bertanya. Dia duduk tepat di sebelah Olek, di kursi depan. Tidak terlihat seperti tahanan polisi sama sekali. 
“Karena lebih enak ngobrol sambil sarapan.”
“Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau rencanakan.”
Olek tertawa, masam. Dia juga menguap sejenak. Sarapan adalah pilihan terbaik sekarang. “Aku juga, aku tidak suka makanan cita rasa Prancis, tapi sehelai roti yang lembut dengan krim adalah makanan yang bagus setelah semalaman tidak tidur bukan?”
Mereka masuk dan memesan. Szczesny memesan apa yang dipesan oleh Olek. 
“Selama proses pembebasan tahanan di Buvsko, kau pergi kemana?” Olek memulai sesi mengobrol.
“Aku bersembunyi.”
“Kau pasti berada di satu tempat. Kau pergi ke Khazinev ya?”
Szczesny mengangguk.  
“Ah, apakah kau tahu kalau teman serumah Phia, adalah orang Khazinev?”
“Kenapa kau menanyakan hal tersebut?”
“Karena kau sempat menyebutkan nama itu tadi malam.”
“Kau benar. Aku pergi ke Khazinev untuk memata-matai temannya Phia. Jalur kereta malam itu untuk bicara dengan kalian kupilih bukan tanpa alasan. Aku memang ada dalam perjalanan.”
“Sylvi ya. Biar kutebak, kau jadikan dia sebagai batu loncatan mendapatkan Nona Phia.”
“Kau benar.”
“Dan kau salah.”
“Apa maksudmu?”
“Kau tidak tahu bukan, Sylvi bukan orang biasa. Dia adalah seorang pekerja seks komersial. Dia aktif di klub-klub malam.”
Szczesny agak terkejut. Dia tidak menemukan informasi itu. 
“Ya, aku tahu. Aku juga tidak menemukan informasi apa-apa. Ini mulai mencurigakan. Tidak ada data-data apapun yang tersisa di Kiev tentang gadis itu. Padahal dia seorang penjahat. Ini kuketahui dari Kokov.”
“Maksudmu Sylvi adalah seorang penjahat?”
Olek tertawa. “Aku tidak mengatakan demikian. Tapi dia jelas kandidat pertama orang yang bisa kutuduh untuk meletakkan pisau di kamarnya Phia di Kurin. Bukan orang luar. Apalagi kau sendiri bilang Kurin sangat rumit. Tidak sembarang orang bisa menyelinap ke sana.”
“Apa yang kau mau dariku?”
“Pertanyaan bagus. Aku ingin kau pergi ke Khazinev. Mencari data-data di sana. Apa kau bersedia?”
Ini tidak masuk akal, Szczesny terdiam. Bagaimana mungkin Olek menyuruhnya mencari di Khazinev padahal jelas-jelas kejadian itu terjadi di Kiev.
“Aku tidak menyuruhmu mencari bukti keterlibatan Sylvi dengan kejadian penangkapan Phia. Jelas tidak ada bukti di sana. Aku ingin kau mencari bukti-bukti keterkaitan Sylvi dengan Oserzeen.”


Seratus Tujuh Puluh Sembilan
Phia Baik-Baik Saja


Kokov lekas memesan taksi. Di dalam taksi dia melanjutkan laporannya pada pihak rumah sakit.  Dia meminta agar pihak rumah sakit menyiapkan segalanya untuk Phia. 
“Bertahanlah, astaga, alangkah malangnya nasibmu. Kau selalu berada dalam situasi buruk. Jika ini sebuah novel, maka penulisnya pasti tega sekali selalu menempatkan gadis cantik sepertimu, dalam situasi buruk terus menerus.”
Kokov berani mengucapkan itu hanya karena Phia sedang tidak sadarkan diri. 
Mereka sampai di rumah sakit. Kokov turun, masih dengan telepon genggam di telinga, dia mengabari Profesor Nyoman. Tak lupa mengabari Vlari agar menemani Profesor pergi ke rumah sakit.
Phia dibawa dengan ranjang dorong, ke ruangan gawat darurat. Gadis itu akan selamat. Dengan lengkapnya fasilitas di Kiev Hospital, gadis itu akan selamat. 
Hanya perlu penanganan intensif, satu atau dua jam. 
“Kokov, bagaimana kondisi Nona Phia?”
Kokov sedang bicara dengan dokter yang menangani Phia setelah pemeriksaan singkat. Suara seruan itu terdengar sampai ujung lorong. Kokov menengok. Profesor Nyoman sudah datang. Andai bisa berlari, mungkin beliau sudah berlari. Melihat kedatangan Profesor, dokter ikut membungkuk. Hormat.
“Profesor Nyoman Asdawirya.”
“Apakah anda yang menangani Nona Phia.”
“Benar. Dia baik-baik saja. Dia hanya dehidrasi. Tubuhnya tidak menerima cairan selama 16 jam. Kami sudah menanganinya.”
“Terima kasih, dokter. Astaga Kokov, sungguh carut-marut urusan ini. Gadis itu seharusnya kita perlakukan sebagai tamu terhormat di negara ini. Yang terjadi justru sebaliknya, dia sudah dua kali terjebak dalam situasi sulit. Kasihan dia.”
Profesor menatap Kokov dengan kecewa, namun Kokov hanya bisa membalas dengan tatapan tak bersalah. Mau membela diri seperti apa juga dia?
“Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini, Profesor. Kejahatan bisa terjadi dimana saja.” Dokter yang menyahut. Profesor tidak senang. Baginya, dokter ini tidak tahu apa-apa tentang siapa yang dihadapinya, tentang Oserzeen. 
Demi menyelamatkan keadaan yang memanas, Vlari maju ke depan. Menanyakan apakah Phia sudah bisa dijenguk.
“Oh silakan. Mari ikuti saya, Tuan-tuan.”
Profesor di sela-sela jalannya masih sempat berbisik, “apa yang harus kita lakukan, Kokov. Dimana Oleksandr.”
“Dia sedang mengurus sesuatu.”
“Mengurus apa?”
“Pelaku sebenarnya, yang seharusnya masuk penjara, bukan Phia.”
Untuk pertama kalinya, wajah Profesor terlihat cerah. Sementara itu, wajah Vlari terlihat berkabut. Dalam hatinya diam-diam dia berdoa. Semoga pelakunya cepat ketemu.


Seratus Delapan Puluh
Kabar Mengejutkan dari Khazinev


Szczesny dan Olek akhirnya memutuskan untuk bekerja sama. Meski keduanya saling benci satu sama lain, namun untuk sementara ada baiknya gencatan senjata disepakati. Olek yang sebenarnya tak suka dengan Szczesny yang dianggapnya mencurigakan, kini melepas tahanannya itu ke Khazinev untuk melakukan penyelidikan, karena dia tahu, Szczesny yang paling tepat untuk misi ini. Sementara bagi Szczesny, meski dia benci setengah mati pada Olek yang dianggapnya konco-konco Kokov, juga tak punya pilihan lain. Misi ini penting untuk menyelamatkan Nona Phia dari tuduhan serius, pembunuhan. 
Kereta yang membawanya ke Khazinev tiba pukul 11 siang. Szczesny turun dari stasiun dengan tetap mengenakan jubah penyamarannya. Dia mengamati keadaan sekitar. 
Rumah Sylvi di Khazinev, tepatnya rumah ibunya, berada tidak jauh dari stasiun, sehingga Szczesny bisa berjalan kaki ke sana. Sembari berjalan, otak Szczesny terus merancang rencana seperti apa yang akan dilakukannya. Hei, dia tidak bisa kan masuk rumah orang sembarangan?
Ah apakah dia harus mengendap-endap seperti seorang penyusup?
Sementara itu, di tempat lain, Kokov sedang melakukan kunjungan tidak rutin. Bukan ke kampus, ke Hospital atau ke Kurin. Dia mengecek beberapa tempat yang jadi pusat hiburan malam di Ukraina. Tentu saja, di siang hari, tempat itu sepi. Namun penanggung jawab tempat itu, selalu bisa ditemui. 
“Nama saya, Stanislav Kokov. Saya ingin mengetahui beberapa hal tentang Nona Sylvi.” Kokov mengangsurkan kartu namanya. Beserta satu lagi kartu nama dari Komandan Oleksandr. Itu kartu nama yang ampuh untuk membuat penanggung jawab klub malam ketakutan. 
“Apa yang anda inginkan?”
“Seperti saya bilang, beberapa hal tentang Nona Sylvi. Tempat ini amat mengenalnya bukan?”
“Ya, tapi dia sudah berhenti bekerja di sini.”
“Tidak mengapa, saya ingin tahu siapa pelanggan tetapnya.”
Kokov berusaha keras memasang tampang mempengaruhi. 
Penanggung jawab mengalah, menggambarkan deskripsi. Kokov mencatat baik-baik. 
Masih ada dua atau tiga tempat lagi yang didatanginya hari itu, dan semua adalah klub malam. Kokov mengulangi pertanyaan-pertanyaannya. Begitu dia mendapatkan semua informasi, Kokov beranjak ke kantor Oleksandr. 
“Kukira kau menunggui Nona Phia di rumah sakit.” Olek berseru tertahan, terkejut melihat Kokov tiba-tiba ada di depan kantornya. 
“Ada profesor Nyoman dan Vlari yang menungguinya di rumah sakit. Aku melakukan hal lain.”
“Apa itu?”
“Sesuatu yang harus kau lihat.”
“Kemarikan.”
Kokov menyerahkan kertas hasil investigasinya, menerangkan beberapa bagian. Olek mengangguk-angguk. 
“Gadis yang menarik.”
“Bukan hanya karena dia satu-satunya kemungkinan orang yang meletakkan pisau itu di kamar Phia di hari nahas itu.”
“Yeah. Sudah kuduga. Dia penjahat sejak awal. Tapi apakah dia punya keterkaitan dengan Oserzeen, ataukah dia hanya pegawai kontrak. Data-datamu ini memberikan gambarannya.”
Kokov memasang sikap serius. “Kau pasti mengenali siapa orang ini bukan? Pelanggan setianya di klub malam.”
“Ya. Tentu saja. Meskipun dia memakai nama samaran, namun deskripsinya cukup akurat.”
“Mungkin kalau denganmu aku bisa mendapatkan rekaman kamera pengawas.”
Olek kembali mengangguk-angguk. “Terima kasih, Kokov. Kita akan segera mencari rekaman kamera pengawas untuk menguatkan dugaan. Kerjamu bagus sekali.”
Cih, Oleksandr sekarang memperlakukan Kokov seperti anak buahnya. 
“Ayo kita berangkat.”
“Kau sepertinya sangat bersemangat. Apakah ini demi menyelamatkan Nona Phia.” Olek menyeringai.
“Lupakan,” Kokov menggeleng tegas, “ini demi menegakkan keadilan. Pelanggan setia klub malam itu harus diringkus.”

Sementara di Khazinev....
Pelanggan setia klub malam yang sedang dibicarakan oleh Olek dan Kokov, tengah menunggu kedatangan Szczesny. Tepat di rumah ibunya Sylvi.
“Halo sobat lamaku.”
“Kau...”
“Hei, kau tak mengenaliku? Atau kau memang sudah berganti pihak jadi anjing polisi?”
Ini sungguh pertemuan yang tak terduga. 
Ini adalah kejutan dari Khazinev, kalau sampai polisi-polisi itu tahu.


Seratus Delapan Puluh Satu
Kau, Bagaimana Bisa


“Kau, bagaimana bisa kau ada di sini?”
“Hei, jangan ketakutan seperti itu. Penampilanku biasa saja bukan? Dan seharusnya kau tidak asing dengan diriku, kita bekerja sama sepanjang waktu.”
Szczesny mundur beberapa langkah. 
“Bagaimana bisa kau ada di sini, Chrmeko?” 
Ah akhirnya, nama orang itu disebut. Pengunjung setia klub malam. 
Chrmeko malah angkat bahu, memasang wajah santai, “aku ada di Khazinev sepanjang waktu. Menjaga wanita tua ini, calon ibu mertuaku.”
“Ibu mertua?” Szczesny tertahan, “maksud kau?”
“Ya, aku dan Sylvi sudah bertunangan. Hanya saja belum menemukan waktu yang cocok untuk menikah. Sayangnya kau tidak diundang, Szczesny. Kau seharusnya mati. Dan ya, akulah yang akan membawakan kematian itu untukmu. Perintah bos besar sudah jelas, orang yang membocorkan rahasia Oserzeen tidak layak hidup, dan kau sudah hidup terlalu lama.”
Szczesny terdiam, mematung. Sebentar, terlalu banyak informasi yang harus dia serap. Tapi dia segera sadar satu hal. “Kau adalah buronan polisi, Chrmeko.”
Sudah jelas situasinya. Mereka akan berkelahi dan saling bunuh.
“Jadi benar, kau sudah berganti pihak, jadi anjing polisi.”
“Jaga bicaramu. Aku tidak pernah bekerja dengan Oserzeen. Tidak dengan orang-orang yang hendak mencelakakan Nona Phia dua kali.”
Chrmeko mengusap wajah, “gadis itu adalah korban. Jangan salahkan Oserzeen. Tapi ya, percuma bicara denganmu soal itu. Bagimu, Nona Phia adalah segalanya. Baiklah, sudah saatnya aku mengakhiri ini semua. Nanti Pieter Both malah datang kalau aku tidak bekerja dengan cepat.”
Dan perkelahian tak terelakkan itupun dimulai. 
Chrmeko menghunus pisau dari balik kemejanya. Benda tajam itu berkilat-kilat hendak dia tusukkan ke arah Szczesny. Namun Szczesny berhasil meloncat, menghindar, dan kemudian merogoh ke balik jubah panjangnya.
DORRR!
Senjata tersembunyi. 
Chrmeko berdecak. “Kenapa harus ada pistol.”
“Oleh-oleh dari Oleksandr.”
“Astaga, kau benar-benar sudah berteman dengan polisi.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Chrmeko.”
“Pertanyaan yang mana?” Chrmeko kembali maju, mengejar dengan pisau, sementara Szczesny berloncatan mundur, sambil menunggu momentum. 
“Tidak apa, aku sudah menemukan jawabannya, jelas sekali posisi kau dan Sylvi. Kalian berdua memang antek-antek Oserzeen.”
“Lancang! Jangan bawa-bawa Sylvi.”
Pisau terhunus itu mengarah tepat ke arah wajah. Szczesny tak punya banyak pilihan. Terpaksa menghalangi pisau itu dengan tangan kirinya. 
“Argh,” dia melenguh tertahan. 
DORRR!
Tangan kanannya melepas tembakan. 
“ARGHH!” giliran Chrmeko yang berseru, pangkal pahanya tembus timah panas. Membuatnya ambruk seketika.
“Kurang ajar kau.”
“Jangan takut, Chrmeko, aku tidak akan membunuhmu. Kau harus bertanggung jawab pada polisi.”
Merasa lawannya sudah tidak bisa berdiri, Szczesny mendekat, dan itu satu kesalahan besar. Chrmeko justru menunggu momen tersebut. 
Dia bergerak cepat, menusuk Szczesny.
Darah muncrat. Perut Szczesny tertembus.
“Misiku harus tetap kubayar. Lunas.”
Sylvi yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah, panik karena melihat dua orang (yang sebenarnya dikenalnya), sama terkapar di jalanan. Dia lekas memanggil ambulans.


Seratus Delapan Puluh Dua
Menghalangi Niat Jahat


Malang sekali nasib Szczesny. Dia tak sadarkan diri. Sementara Chrmeko masih bisa melihat sekitar ketika ambulans datang. Chrmeko menyerahkan pisau itu ke tangan Sylvi, tunangannya, sambil berbisik, “habisi dia sebelum semua jadi runyam.”
Namun Sylvi menggeleng. “Aku tidak mau melakukan itu.”
“Ini perintah bos besar.”
“Aku tidak mau.” Pembicaraan semakin berbisik. 
“Kau berani membantah perintah bos besar.”
“Kumohon jangan sekarang. Jika dia mati, biarlah dia mati, tapi tolong jangan tambah penderitaannya.”
“Apa yang kau pikirkan. Kau kasihan dengannya?”
Sylvi menggeleng. Bukan begitu. Setelah semua yang diberikan Szczesny untuknya, mana tega dia menghabisi nyawa pria itu. Namun gelengan itu justru membuat Chrmeko murka.
“Tidak, tidak. Jangan bilang kau menaruh suka dengan lelaki ini. Heh!”
“Mister, tolong anda tenang. Luka di paha anda akan terbuka lagi jika  anda terlalu banyak bergerak.”
Mendengar peringatan tenaga medis, Chrmeko kembali tutup mulut. Pahanya berdenyut-denyut. Astaga, sekelabat cemburu tadi sempat membuatnya lupa diri. 
Sylvi duduk saja di sana. Sudut matanya tidak lepas memandangi Szczesny yang terkapar tak berdaya di ranjang medis. Kasihan pria itu. Jika dia dibiarkan saja di Khazinev, bisa bahaya untuk dirinya. 
Apalagi Chrmeko dan barangkali Pieter Both tengah mengincarnya. 
Harus ada yang dilakukan. Ah iya, Sylvi teringat. Dia punya nomor Phia, dia bisa mengabari Phia perihal Szczesny. Semoga gadis itu belum mengetahui apa-apa tentang siapa yang meletakkan pisau di kamarnya. 
Diam-diam Sylvi kemudian mengirim pesan singkat. 
“Phia, sampaikan pada dua temanmu, cepatlah datang ke Khazinev. Penjahatnya ada di sini.”
Sylvi memastikan pesan itu terkirim, kemudian menghapus historinya. Agar tidak ada yang membuka pesan tersebut. Semoga pesan itu dibaca langsung oleh Phia, karena ada banyak orang jahat di sekeliling gadis itu. Sylvi tahu persis.
Mata-mata Oserzeen bukan hanya satu. 
Di rumah sakit, sekali lagi dengan segenap harap, Sylvi meminta agar Szczesny diberikan kamar terbaik. Sekali lagi, Chrmeko hendak protes, memerintahkan Sylvi untuk membunuh pria itu, dan sekali lagi pula, Sylvi menolak.
“Dia layak untuk diberikan kesembuhan. Demikian pula denganmu.”
“Kita akan menyelesaikan ini begitu aku bisa berjalan.”
Sylvi menelan ludah. Semoga saja sempat. Cepatlah datang, Kokov, Oleksandr, Sylvi di sini hanya bisa menghalau niat jahat untuk sementara waktu. Bukan selamanya.


Seratus Delapan Puluh Tiga
Kejar-Kejaran


“Komandan, pesawat jet-nya sudah disiapkan.”
Sambungan telepon itu bahkan tidak sempat dimatikan oleh Olek. Langsung dilemparkannya sembarangan ke bangku belakang. Membuat Kokov yang duduk di sebelahnya sampai berseru, “hei!”
“Khazinev, Kokov. Kita tidak boleh membuang waktu sedetik pun. Mari kutunjukkan kesaktian mobil polisi.”
Olek menekan bunyi sirine, kemudian dia menginjak gas dalam-dalam. Tujuan mereka, bandara. 
Lima belas menit setelah sebuah pesan itu masuk ke ponsel Phia, dia langsung mengirimkan pesan pada Kokov, yang segera menghubungi Olek. Karena Olek sendirilah yang menyuruh Szczesny pergi ke Khazinev, dia segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Olek tidak mau buang-buang waktu. Kereta ke Khazinev baru akan tersedia dalam hitungan jam. Tidak ada pilihan lain. Pesawat terbang. 
Bukan pesawat terbang biasa. Melainkan sebuah jet pribadi. Ini adalah fasilitas mewah khusus. “Untuk Komandan Oleksandr yang hebat dan berdedikasi tinggi.”
“Ayo kita berangkat.”
Rumah sakit sendiri dalam keadaan rusuh. Olek yang mengirim pesan pada kepolisian Khazinev setempat, meminta agar penjagaan terhadap pasien bernama Szczesny diperketat. Masalahnya kemudian, pihak rumah sakit tidak mengizinkan polisi sembarangan datang, tanpa surat tugas. 
Sedangkan membuat surat tugas itu butuh setengah hari. Belum lagi menunggu tanda tangan komandan. 
Pieter Both berdiri tak jauh dari lokasi rumah sakit. Dia baru saja turun dari taksi. Pria itu sudah sampai. Tidak lama kemudian, pesawat jet milik Kokov dan Olek juga telah tiba. Mereka akan membuat pendaratan vertikal tepat di lahan kosong samping rumah sakit Khazinev. 
“Jadi mereka sudah tahu rupanya. Huft, menyusahkan. Aku harus segera menghabisi Szczesny sebelum dia sempat berkata macam-macam.”
Kemudian Pieter Both mempercepat langkahnya. 
“Cepat, Olek.” Kokov sudah buru-buru membuka pintu pesawat. Olek masih sibuk mencari sesuatu di antara kokpit kemudi.
“Sebentar, dimana topiku tadi.”
“Astaga, tidak perlu memikirkan topi. Cepatlah. Dimana kamar Szczesny.”
“Lantai 4. Kau terlihat sangat bersemangat, Kokov.”
“Ayo. Aku merasakan firasat buruk.”
“Kalau soal firasat buruk, aku sudah merasakannya sejak berangkat dari Kiev. Ya sudah, ayo.”
Mereka kemudian sama berlarian. Lift telah dinonatifkan atas perintah polisi. Jadi satu-satunya cara masuk ke lantai 4 adalah lewat tangga. Pieter Both mengambil tangga kanan, sementara Olek dan Kokov mengambil tangga kiri.
Sialnya, kamar Szczesny, 4F, ada di sayap kanan. 
Pieter Both mencapai lantai 2.
Olek dan Kokov juga mencapai tangga lantai 2.
Pieter Both naik ke lantai 3.
Olek dan Kokov juga naik ke lantai 3.
Menjelang naik ke lantai 4, langkah Pieter Both mulai terhambat. Dia terengah. “Astaga, usia tuaku. Seharusnya aku lebih rajin berolahraga dan makan sayuran.”
Olek dan Kokov lebih dulu mencapai lantai 4. Namun sayangnya masih ada lorong panjang sejauh 12 meter bagi mereka untuk disusuri agar bisa sampai ke sayap kanan. Olek dan Kokov tak pelak berlarian sepanjang lorong. Berusaha sampai secepat mungkin. 
Pieter Both telah mencapai tangga lantai 4. Kamar terdekat dengan tangga. 4A.
Olek dan Kokov mencapai kamar 4J. 
Kamar 4F ada di tengah-tengah koridor panjang sayap kanan rumah sakit.
Mereka bertemu di lorong itu. Dalam kesunyian, dan di bawah temaram lampu rumah sakit. 
“Pieter Both.” Olek dan Kokov menghentikan langkahnya.
“Oleksandr, Stanislav Kokov. Kita bertemu di sini rupanya.” Pieter Both justru menyeringai. Seperti telah menemukan musuh-musuh yang ingin dihajarnya. 
Sepertinya akhir cerita ingin akan dipenuhi banyak adegan penuh kekerasan.


Seratus Delapan Puluh Empat
Minggir Kau, Pieter Both


Olek tanpa ba-bi-bu, langsung mencabut pistol yang ada di pinggangnya, dan menodongnya ke depan. Pieter Both ada di jarak tembaknya. 
“Minggir kau, Pieter Both.”
Wajah tua itu terlihat pura-pura ketakutan, pura-pura panik dan mengangkat tangan.
“Ah kalian selalu saja bersemangat. Tapi aku tidak ingin main dengan kekerasan. Kekerasan tak cocok denganku.”
“Omong kosong. Kau akan kutembak di sini.”
“Sepertinya tidak bisa.”
“Kenapa tidak?” pelatuk milik Olek sudah siap ditekan kapan saja.  Dia siaga betul. 
“Karena aku adalah warga negara tidak bersalah. Kau bisa kena pasal berlapis kalau menembakku.”
“Pintar sekali kau, Pieter Both. Lalu kenapa kau datang kemari heh?”
“Untuk memastikan sesuatu.”
“Sesuatu.”
“Yeah, sesuatu.”
Tanpa disadari oleh Olek, tangan yang tadi diangkat, kembali turun ke posisi semula. Bahkan Pieter Both dengan santainya, menyimpan tangannya di saku. 
“Kau adalah orang yang licik, Pieter.”
“Dan kau adalah orang yang sangat cerdas, Oleksandr.” Pieter Both tersenyum tipis. 
“Apa yang kau cari ke sini, cepat jawab!”
“Sudah kubilang, sesuatu. Tidak kurang, tidak lebih.”
“Jangan berbelit-belit. Sesuatu bagi Oserzeen selalu membawa dampak buruk bagi negeri ini.”
“Sayangnya aku tidak bisa memberitahumu.”
“PEMBICARAAN INI TIDAK BERGUNA!”
Seruan terdengar dari belakang Olek. Kokov sudah meloncat ke depan lebih dulu, merangsek. Pieter Both yang licik itu sedang menjebak mereka, dan mengulur-ulur waktu. Kokov tidak akan membiarkan hal itu. Lebih baik beraksi. 
DORR!
Satu bunyi pistol yang membuat Kokov berteriak kaget. Dia hampir saja terkena. Namun rupanya tembakan itu tidak serius. Jika ingin, tembakan barusan bisa saja menyasar kakinya. 
“Ah ternyata kau jauh lebih bersemangat lagi, Stanislav. Sayangnya, tidak ada orang yang bisa lewat. Sampai aku menemukan sesuatu.”
Kokov kembali ke sisi Olek. Dia masih mengatur nafas. Menatap waspada ke arah tangan Pieter Both yang sekarang juga mengokang pistol. 
“Jangan melihat ke arah matanya langsung, Olek. Dia bisa mempengaruhi pikiranmu.”
“Yeah. Seharusnya aku ingat itu. Orang ini bisa mengendalikan pikiran lebih baik dibanding siapapun.”
Pieter Both tertawa riang. “Sepertinya ini akan menyenangkan, Tuan-tuan.”
Misinya jelas. Tidak membiarkan kedua orang ini lewat dan mencapai kamar 4F. Tidak ada yang boleh mendengar apa yang dikatakan oleh Szczesny.


Seratus Delapan Puluh Lima
Coba Tebak, Apa Mau Oserzeen


Sementara itu, proses pengadilan terus berlanjut. Sudah dua kali perwakilan Oserzeen (diwakili oleh Pieter Both) maju ke pengadilan tertutup, dan dua kali itu pula, prosesnya mandeg. Proses pengadilan berjalan alot karena secara tiba-tiba (dan misterius?) barang-barang bukti yang telah dikumpulkan seakan tidak bisa membuktikan kejahatan Oserzeen. 
Itu berarti sejauh ini Oserzeen berhasil mengakali pengadilan gabungan Belarusia-Ukraina. Dari markasnya yang nyaman di Belarusia, Dimitri sang pemimpin perusahaan, terus menghubungi pihak-pihak terkait. Dia telah menyumpal banyak pihak.
Polisi Ukraina, ada belasan yang dilobi agar mengubah keterangan. 
Para hakim, ada beberapa yang telah dirayu agar menurunkan tensi tuntutan.
Para ahli hukum, beberapa telah disewa untuk berbicara lantang membela Oserzeen. Bilang bahwa ada kesalahpahaman yang harus diluruskan.
Dan tentu saja,  tak terhitung media yang telah mereka manipulasi demi membuat cerita baru yang seakan membela Oserzeen sebagai pihak yang terdzolimi dan tidak bersalah. 
Sejauh ini mereka bisa bertahan. 
“Tapi tidak selamanya, kau tahu.” Dimitri berseru nyaring pada seseorang di depannya yang sedang berlutut. Pria berjubah coklat misterius. Dialah orang yang telah menghabisi Valerie Bojinov. 
“Apa yang mungkin akan membuat kita tersandung?”
“Kasus pembunuhan Bojinov.” Dimitri menyeringai seram. Pria berjubah coklat menunduk dalam-dalam. “Saya sudah berusaha agar kejadiannya berlangsung dengan tenang dan wajar. Saya yakin tidak ada kesilapan.”
“Tentu ada kesilapan. Manusia tidak bisa mengerjakannya dengan sempurna. Karena itulah uang akan menambal sebagian kecacatannya. Aku sudah mengusahakan agar kasus ini segera dilupakan. Termasuk memanipulasi agar pelaku palsu ditangkap.”
“Tapi itu belum cukup?”
“Belum, karena orang bernama Oleksandr itu terus menerus berusaha. Dia tidak pernah menyerah. Sekarang, dia ada di Khazinev, ada Chrmeko dan si manis Sylvi di sana. Mereka adalah orang-orang yang diinginkan Oleksandr.”
“Apa yang bisa saya lakukan untuk Tuan?”
Maksud si pria berjubah coklat adalah, kenapa dia harus dipanggil. 
“Aku ingin kau membereskan apa yang terjadi di Khazinev. Jangan sampai Chrmeko dan Sylvi tertangkap. Bereskan, apapun caranya. Sekali saja dua orang itu tertangkap, Oserzeen bisa berada dalam posisi sulit di pengadilan. Oleksandr akan mengejar kita sampai ke neraka.”
Si pria berjubah coklat meraba pinggangnya. Sebilah katana panjang ada di sana. “Tuan yakin, segala cara?” dia meraba hulu katananya.
“Ya, lakukanlah. Aku akan bereskan keributan selanjutnya.”
“Apakah Pieter Both perlu diberitahu? Mungkin dia ada pertimbangan lain.”
“Orang itu bodoh. Dia kukirim beberapa jam yang lalu, dan sekarang dia hanya bermain-main. Aku perlu cara yang lebih keras.”
“Baik Tuan.”
Kemudian orang berjubah coklat menghilang dari pandangan.

Sementara itu, di Kiev Hospital. Phia sudah sadar. Profesor menjaganya sepenuhnya. Hari ini Phia sudah diizinkan memakan bubur dan buah-buahan dengan tekstur yang lunak. Keceriaannya dengan cepat pulih. Apalagi Profesor mahir sekali dalam bercanda. 
Siang itu, Profesor agak terlambat membawakan Phia makan siang, sehingga seorang perawat membawakannya lebih dulu. Phia bahkan habis menegak seluruh bubur itu, baru Profesor datang.
“Profesor habis darimana?” Phia bertanya, wajahnya agak khawatir.
“Bukan dari mana-mana. Aku hanya berkeliaran di rumah sakit.”
“Ada apa, Profesor? Wajah anda seperti khawatir.”
“Ah iya, aku khawatir. Tidak juga. Tapi ada sesuatu yang sedang terjadi. Aku bisa merasakannya. Aku merasa, kita sudah di akhir, Anakku.”
Sebutan anak itu mulai disematkan Profesor sejak Phia siuman dari pingsannya. Katanya itu akan membuat Phia lebih nyaman.
“Saya tidak paham, Profesor.”
“Tidak perlu dikhawatirkan, Anakku. Biarkan cerita berjalan sebagaimana mestinya. Oh ya, ngomong-ngomong, apakah kau ada melihat Vlari?”
“Eh tidak. Sepanjang hari ini tidak.”
“Ah kemana dia. Bukankah kuminta dia meninggalkan seluruh pekerjaan dan fokus membantuku mengurus dirimu.”
Phia tersenyum canggung. Lihat betapa Profesor perhatian dengan dirinya. 
Seratus Delapan Puluh Enam
Sebuah Gerakan yang Luar Biasa


Olek dan Kokov masih berdiri menghadap Pieter Both yang tengah menodongkan pistolnya ke arah mereka. 
“Apa rencanamu, Olek?”
“Kita harus menghindari serangannya.”
“Dia menembak dengan cukup baik. Jitu sekali.”
Olek mengeraskan rahangnya. “Tenang. Pistol punya limitasi. Dia sudah menembak sekali. Mungkin hanya lima atau enam tembakan lagi.”
“Kita tidak bisa mempertaruhkan hidup kita dalam enam tembakan, Olek. Jangan konyol.”
DORRR!
Tembakan itu membuat Olek dan Kokov berloncatan seperti tupai di atas pohon yang bergoyang. Uniknya, sekali lagi serangan itu tidak mengarah langsung pada mereka. 
“Kalian terlalu banyak bicara.”
“Dan kau terlalu banyak membuang-buang waktu kami.” Olek menyeringai, kesal. “Minggirlah Pieter Both. Atas nama hukum, kau harus minggir!”
Pieter Both malah mengacungkan pistol miliknya ke depan. “Nah mari kita lihat, apa kata hukum kalau aku melepaskan tembakan ke kepala kau.”
DORRR!
Satu peluru lagi meluncur deras ke depan. Olek mencoba menghindarinya. Sekali lagi, sayangnya, atau anehnya, satu tembakan itu kembali diarahkan oleh Pieter Both ke arah yang salah. 
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan, heh?” Kali ini Olek benar-benar menatap dengan marah. 
“Sudah tiga tembakan. Tinggal tiga tembakan lagi.”
“Ini aneh sekali. Tembakannya amat jitu, tapi kenapa dia tidak mengarahkannya pada kita.”
“Kau tidak berharap dia benar-benar menembak kepala kita, karena dia benar-benar bisa melakukan itu.”
DORRR!
“Sekarang lihat, siapa yang terlalu banyak bicara.”
Tembakan keempat dilepaskan. Lagi-lagi tidak menyasar ke tempat yang benar. Peluru itu dibiarkan terbuang sia-sia. Begitu juga dengan tembakan kelima dan keenam. Olek dan Kokov terus menghindar dengan berloncatan. 
“Sekarang apa yang kau inginkan, Pieter Both?”
“Tentu saja memojokkan kalian, semakin jauh dan semakin jauh dari kamar 4F.”
Olek dan Kokov kini berpandangan. Hei tunggu dulu. Benar juga. Mereka kembali ke tangga tempat tadi mereka naik. 
“Kau terlalu banyak membuang waktuku. Sekarang saatnya hukum menyerang balik. Amunisi pelurumu sudah habis...”
DORRR!
Tiba-tiba saja pistol di tangan Pieter Both kembali meletuskan timah panasnya. Olek dan Kokov yang tadinya siap menerjang terkejut setengah mati. Pieter Both menyeringai. 
“Atas nama hukum rimba, sebaiknya kalian tetap di tempat.”
Sialan. Jadi berapa isi selongsong pelurunya? 
“Olek, kita tidak bisa menghabiskan waktu di sini. Waktu kita terbatas. Aku akan maju. Kau tangani sisanya.”
“Eh?”
Tiba-tiba saja, Kokov maju dengan gagah. Berlari cepat sekali. Dengan gerakan yang mengagumkan, secepat kilat Kokov sudah berada di depan Pieter Both dan memukul tangannya yang memegang pistol. 
Hei, bagaimana bisa?
“Aku harus lewat.”
BUKK!!
Satu pukulan yang cukup keras mengarah ke perut pria tua itu, dan itu akibatnya cukup fatal. Pukulan itu cukup berdampak. Pieter Both mengaduh. 
Aku serahkan sisanya padamu, Olek. 
Kokov sudah melesat cepat menuju kamar 4F. Menemui Szczesny. Sementara itu, di luar sana, seseorang telah tiba. Pria misterius berjubah coklat. Dia menyeringai. 
“Jadi kau bersenang-senang di sana, Pieter Both. Astaga, kenapa juga aku yang harus membereskan sisanya.”


Seratus Delapan Puluh Tujuh
Selamat Jalan, Szczesny


Kokov sudah melesat maju menuju kamar 4F. Gerakannya tadi begitu cepat dan menakjubkan. Bahkan Pieter Both pun terkejut melihat model gerakan semacam itu. 
Melihat musuhnya masih terkejut dan tidak siap, Olek langsung ikut maju ke depan, memukul kepala Pieter Both, tepatnya dahi, dengan gagang pistol. Membuat Pieter Both terjungkal ke belakang, dan berteriak. 
“ARGH!”
DORRR!
Olek menggenapinya dengan menembak kaki Pieter Both. Serangan yang fatal. 
“Aku akan kembali untuk mengurusmu, Pieter. Sayangnya, omongan saksi kunci lebih penting ketimbang menangkap seorang tersangka.”
Pieter Both mana mendengar, dia sudah tidak sadarkan diri. Olek berlari cepat, menyusul Kokov. 
Di ruangan 4F. Ketika Kokov membuka pintu, selain pasien yang terbaring mengenaskan di ranjang, ada tiga orang lagi di sana. Dokter, dan dua orang perawat. Semua sama. Memasang wajah ketakutan. 
“Siapa anda?” dokter langsung bertanya ketika Kokov membuka pintu dengan paksa. Wajahnya waspada penuh. 
“Saya teman pasien. Dari kepolisian dinas rahasia.”
“Bisakah kami memercayai anda? Menurut informasi yang kami terima dari dinas rahasia, pasien ini diincar oleh organisasi yang berbahaya.” Dokter tadi memasang badan, menghalangi. Meski kelihatan, dia gemetar. 
Suara pintu kembali terdengar, dan Olek merangsek masuk. Dengan gaya seenaknya. Berteriak pula. “Atas nama hukum, semua orang berikan jalan.”
Setelah melihat lencana yang ditunjukkan Olek, (karena dia tidak menggunakan topi), dokter akhirnya bisa percaya. Menarik nafas lega. “Dari tadi, kami sungguh ketakutan. Ini situasi baru di Khazinev.”
“Saya turut bersimpati, dokter. Boleh kami mengambil alih sekarang, kami harus berbicara dengan pasien.”
“Silakan. Tapi jangan terlalu keras padanya. Dia masih dalam fase pemulihan pasca kritis. Lukanya dalam, serius.”
“Baiklah. Saya kira semakin cepat, maka semakin baik.”
Kokov dan Olek maju. Mendekati Szczesny. Bersamaan dengan itu, Szczesny membuka kelopak matanya. 
“Apa kabar Nona Phia, Olek, Kokov?”
Yang ditanya langsung terhenyak kaget. Hei, kenapa kita malah membicarakan tentang Nona Phia? Tapi lihatlah itu kilatan cinta di mata Szczesny. 
“Dia baik-baik saja. Terakhir kulihat, dia sudah bisa makan pagi dengan tenang.”
Szczesny langsung tersenyum. “Ah begitukah? Syukurlah kalau begitu. Terima kasih. Tolong jaga dia, Kokov. Meskipun agak lucu, karena aku sebenarnya tidak memercayaimu.”
“Eh?”
“Sudah, demi hukum dan tegaknya keadilan, aku harus menanyai kelanjutan misimu.” Olek maju, menyela, menjengkelkan. 
“Sylvi terlibat, aku berhasil menemukan keterlibatannya dengan Oserzeen. Ini jelas sekali. Dia adalah tersangka yang harus kau periksa. Boleh jadi, dialah yang meletakkan pisau itu di kamar Phia.”
“Dalam bentuk apa keterkaitannya dengan Oserzeen.”
“Kekasihnya, adalah salah satu mata-mata kepercayaan Oserzeen.”
“Mata-mata?”
“Ya, temanku sendiri. Chrmeko. Sylvi dan Chrmeko menjalin hubungan serius.”
Terkaget-kaget Olek dan Kokov. Olek menggenggam erat tepian ranjang pasien. Kemudian dia tersenyum. “Bagus. Berarti kita bisa menangkap dua ikan sekaligus.”
“Tentu... (uhh), mereka ada di sini.... (suara Szczesny mengecil)... aku sempat melukai mereka dalam perkelahian.... mereka dibawa ke.... Alat penunjuk medis yang tertancap di dinding ikut berbunyi. Perlahan, perlahan tapi pasti, mulai membentuk garis lurus.
“Kokov, aku titipkan Nona Phia padamu...” nada suara Szczesny makin mengecil. Olek bahkan sampai harus mendekatkan telinganya. 
“Hei, ceritakan lebih banyak padaku, Szczesny.” Olek mendesak. 
Terlambat. Garis-garis hijau sudah lurus sepenuhnya. Szczesny telah pergi.


Seratus Delapan Puluh Delapan
Bertemu


“Szczesny...” terdengar Kokov yang mengeluh tertahan, melihat jasad kaku Szczesny, telah pergi selamanya. 
Sementara Olek mendesah tak puas, “ah aku belum mengorek informasi sepenuhnya.” Kemudian dia berpaling ke arah dokter, “apakah di rumah sakit ini ada pasien bernama Chrmeko atau Sylvi?”
“Kami bisa memeriksanya. Pertama-tama, kami harus mengurus jenazah pasien ini terlebih dahulu.”
“Tidak. Kalian harus cari dua pasien yang saya sebut tadi. Itu hal yang terpenting. Dia tidak apa-apa. Dia sudah pergi. Dia sudah tenang.” Olek berkata dengan tegas. 
Sementara Kokov masih termenung sendiri, apa tadi kata Szczesny? Sampai pergi pun, dia masih memikirkan tentang Nona Phia. Benarlah kata para bijak, pecinta sejati tidak pernah menyerah sampai kematian datang menjemputnya. 
Berkat desakan Olek, tim dokter langsung bekerja, mencari dua orang yang diminta pihak kepolisian. Ternyata mereka juga dirawat di sini. Di kamar 4C tepatnya. 
“Ayo kita pergi, Kokov. Kita harus memeriksa dua orang itu. Lebih baik jika mereka belum mengetahui kita ada di sini. Oh iya, dokter, jika anda tidak keberatan, saya butuh bantuan anda untuk mengurus satu tahanan saya di lorong. Berikan dia pertolongan pertama. Begitu urusan saya di sini selesai, saya akan membawanya ke penjara.”
“Siap.”
Dalam beberapa kondisi, Komandan Oleksandr benar-benar tegas dan berwibawa. 
Mereka berdua segera menuju kamar 4C. Pieter Both masih tergeletak di lorong. Dokter yang berlari di belakang Olek dan Kokov yang akan mengurusnya. Sekarang fokuslah ke kamar 4C. Jika Sylvi dan Chrmeko memang ada di sini, dan Szczesny benar-benar melukai mereka, maka ini kesempatan emas. 
Aku akan menangkap kalian dan memenjarakan kalian berdua.
Tiba di pintu kamar 4C.
KREEEK!
Ruangan terbuka. Dua orang pasien di dalamnya, masih terlihat berbaring, terlelap. 
Namun fokus utama Olek, segera setelah pintu terbuka, tidak mengarah ke situ. 
Melainkan pada satu sosok yang duduk menjuntai di jendela. Diulangi, duduk menjuntai di jendela, lantai 4!
Sosok berjubah coklat. 
“Kau....” Olek berseru, tertahan.
“Aku sudah menunggu kalian. Aku ada di sini, untuk membereskan semuanya.” 
Sosok itu meloncat turun. Siap bertarung.


Seratus Delapan Puluh Sembilan
Pria Berjubah Coklat, Itu Lagi!


“Kau ada di sini?”
“Aku sudah menantikan momen ini, saat kita berhadapan, polisi yang berdedikasi tinggi, Komandan Oleksandr.” Sosok di balik pria berjubah coklat itu, tersenyum tipis. Yang terlihat dari masker itu cuma mata sebenarnya. Itupun tidak bisa dikenali. 
“Siapa dia, Olek? Kau mengenalnya?”
“Dia pembunuh. Tersangka besar. Dialah pelaku pembunuhan Valerie Bojinov.” 
Pria berjubah coklat itu tertawa tertahan, “astaga, itu tuduhan yang tidak adil.” Kemudian dia melanjutkan kalimat dengan nada mengintimidasi, “jangan menuduhku sembarangan.”
Tiga orang itu saling berpandangan. Saling waspada. 
“Apa maumu?” Olek akhirnya bertanya.
“Ada baiknya kau kunci dulu pintu masuk itu sebelum kita bicara.” Pria berjubah coklat itu menyuruh. 
Kokov bergerak cepat, menutup pintu. 
“Harap dimaklumi, aku ingin urusan ini antara kita saja. Jadi, kamera pengawas di sebelah sana, juga tidak boleh melihatnya.” 
SUTT! 
Tiba-tiba berkelabat sesuatu telah dilempar oleh sang pria berjubah coklat ke arah CCTV, seketika menghancurkan kamera itu tanpa ampun. Sebagai seorang polisi teladan, Olek tentu saja jengkel dengan gerakan “melawan hukum” ini. 
“Apa sebenarnya maumu.”
“Perintah bos besar sudah jelas sekali. Aku harus membersihkan sisa kekacauan. Artinya tidak ada matahari terbit bagi kalian esok.”
“Omong kosong. Aku akan membawa dua orang itu ke kantorku, begitu juga dengan kau.”
Tawa kembali keluar dari mulut pria berjubah coklat. “Oleksandr, kau bicara seolah kau bisa melawan Oserzeen. Kau bahkan tidak tahu apa-apa. Kau bahkan tidak tahu siapa yang bisa membantumu jika aku menyerang sekarang.”
“Jangan terlalu sombong.” Olek mengeluarkan senjata andalannya, baru sekali ditembakkan, saat tadi menakut-nakuti Pieter Both. 
“Kau yang sombong, dasar polisi. Dengar, pistol itu tidak terlalu berguna melawanku.”
SUTTT!
Entah bagaimana kemudian pria berjubah coklat itu menghilang dan muncul tepat di depan Olek, memukul tangannya yang sedang memegang pistol. Pistol itu terjatuh, dan jatuh di dekat kaki Kokov, beberapa meter di belakang Olek. 
“Lihat, kau bahkan tidak bisa melihat gerakanku.”
Olek terdengar mendengus kesal. Pria berjubah coklat tak ambil pusing, tiba-tiba saja lengannya sudah bergerak. Mencabut benda tajam di pinggangnya. Sebuah pedang pendek. 
TRANGG!
Olek tak sempat menangkis. Itu bukan dia. Kokov-lah yang maju, menangkis dengan pistol yang tadi tergeletak di dekat kakinya. Yang menakjubkan, Kokov juga maju dengan gerakan tak kalah cepat.
“Jangan ikut campur, Stanislav. Aku tak ada urusan denganmu.”
“Pertarungan ini juga pertarunganku.”
Pria itu menyarungkan kembali pedangnya dan kemudian menyerang Kokov dengan tinjunya. Jangan salah, tinjunya juga sama mematikannya dengan pedang. Tinju-tinju berkelabat datang, cepat sekali. 
Kokov berkonsentrasi, menangkis dengan tak kalah cepat. Olek saja sampai takjub. 
Lima menit kemudian, mereka saling balas bertukar serangan, pria berjubah coklat itu kemudian mundur ke belakang, beberapa langkah. 
“Stanislav, jangan mengganggu, dasar merepotkan.”
“Urusan ini adalah urusanku juga.”
“Kau tahu, kecepatanmu itu membuatku jengkel.”
Olek sebaliknya, sempat saja dia membisiki Kokov, “darimana kau belajar beladiri semacam itu. Nanti kapan-kapan ajari aku.”
Pria berjubah coklat mendengus pelan tapi terdengar. Dia telah mendapatkan lawan tangguh. Dua orang. Lawan tangguh yang boleh jadi sudah bertahun-tahun dia ingin hadapi.


Seratus Sembilan Puluh
Dimana Vlari?


Masih di Hospital. Tapi hospital yang berbeda. Jika di Khazinev, sore itu terjadi pertarungan hidup mati yang menyebabkan seluruh perawat, dokter, dan pasien di radius pertarungan harus dievakuasi oleh polisi, maka di Kiev Hospital kondisinya jauh lebih bersahabat. 
Matahari tidak bersinar dengan terang karena terhalang oleh awan tipis. Profesor Nyoman sedang berdiri menghadap jalanan lewat sebuah kaca besar. Beliau menunggui Phia, yang sebenarnya sudah lebih dari sehat wal afiat. Phia tak kurang suatu apa. 
“Kamu terjebak dalam kondisi yang tidak baik, Nak. Aku sungguh minta maaf.”
Phia menggeleng, ini bukan salah profesor. Meski beliau benar, Phia tidak senang terjebak dalam kondisi semacam ini. 
“Padahal beberapa bulan lalu, sebelum utusan Oserzeen itu datang ke kantorku, Kiev adalah salah satu kota paling indah di Eropa Timur. Kota ini punya banyak pesona, baik alamnya maupun sejarahnya.”
“Saya memang tidak begitu mengerti, Profesor. Tapi bolehkah saya bertanya beberapa hal?”
“Silakan, Anakku.”
“Siapa Oserzeen itu, dan apa yang sebenarnya mereka inginkan?”
Profesor menelan ludah, terkejut. “Apakah kamu yakin ingin mendengar tentang ini, Nak?”
“Ya. Saya sempat mendengar beberapa potongan cerita dari Tuan Kokov, namun itu tidak memuaskan saya.”
“Oserzeen adalah perusahaan. Tapi dalam hal ini mereka bukan hanya sekedar perusahaan. Mereka adalah penjahat. Kapitalis yang tak peduli apapun selain keuntungan mereka sendiri. Mereka tak peduli jika harus merusak alam. Bahkan, sepertinya mereka tak peduli kalau dunia ini akan berakhir karena ulah mereka. Mereka telah membujukku berulangkali agar menyetujui izin pertambangan mereka di Ukraina, karena akulah yang memiliki hak untuk mengizinkan. Tentu saja aku menolak. Mereka mulai mengancam, dan Olek serta Kokov punya rencana untuk mengancam balik, mengadukan perusahaan itu ke pengadilan. Ini perang, Nak. Perang antara kita dengan Oserzeen.”
Itu sungguh deskripsi yang mengerikan. Pantas Tuan Kokov dan Profesor selalu mengucapkan soal situasi yang tidak tepat dengan nada bersalah. 
“Tapi kita akan menang bukan?” Phia bertanya penuh harap.
“Ya, kita akan menang. Pengadilan akan memberikan kemenangan pada pihak yang benar.”
“Bagaimana jika Oserzeen melakukan sesuatu yang buruk?”
“Kita tidak akan membiarkannya. Aku akan melawannya, sampai titik darah penghabisan. Kita tidak akan menyerah melawan mereka.”
Itulah keteguhan hati Profesor Nyoman Asdawirya. 
Kalimat itu, membuat situasi Phia semakin mengerikan. Profesor buru-buru menenangkannya. 
“Kamu tenang saja, Nak. Ini bukan tugasmu. Kamu adalah orang luar.  Biarkan Oleksandr dan Kokov yang mengurusnya. Kamu cukup konsentrasi dengan tesismu. Aku berjanji, dengan sisa nyawa di badanku, aku akan membantumu menyelesaikan tesis itu, secepat mungkin, agar kau bisa pulang kembali ke Taipei.”
Entahlah Profesor, setelah semua peristiwa penculikan, kecelakaan, hingga rekayasa  penahanan ini, rasanya Phia bukan lagi orang luar lagi. Dia adalah salah satu dari mereka. Seperti kata Kokov, dia adalah sekutu bagi Profesor sekarang. 
“Kamu tidak ketakutan bukan, Nak?”
“Eh tidak, Profesor.”
“Oh ya, ngomong-ngomong, kemana Vlari sebenarnya. Kenapa sedari tadi, dia tidak kunjung menampakkan diri.” Profesor berseru dengan agak gusar.


Seratus Sembilan Puluh Satu
Topeng Akhirnya Terkuak


Kembali ke pertarungan antara Olek, Kokov dengan pria berjubah coklat misterius di Khazinev. Pertarungan itu sudah setengah jalan. Dua pihak sudah saling serang dan saling menjatuhkan. 
Dalam sekali waktu, Kokov yang menjatuhkan pria itu dengan gerakannya yang super cepat. 
Dalam waktu yang lain, pria itu yang menjatuhkan Olek dengan gerakannya yang juga tak kalah cepat. Hampir saja dia menyerang Olek dengan senjata tajam, andai Kokov tidak ikut campur dan menendangnya. 
“Stanislav, sudah kubilang berkali-kali, jangan ikut campur.”
“Aku akan membela apa yang pantas aku bela.”
“Kau takut ya, melawanku dan Kokov di saat yang bersamaan?” Olek menyeringai, bangkit dari posisi jatuhnya. 
“Diam kau,” suara serak membalas seringaian Olek, “kau tak  tahu apa-apa.”
Kokov memperkuat posisi duduknya. “Kita harus mengalahkannya di serangan berikutnya, Olek. Karena tenagaku sudah terkuras.”
“Ide bagus. Aku akan lumpuhkan dia dengan tembakan jika diperlukan.”
“Jangan terlalu yakin,” lawan mereka meraba pedang, “ini rumah sakit, keributan yang terlalu keras bisa mengganggu pasien lainnya.”
DORRR!
Olek mulai menyalak dengan pistolnya. Serangan jarak jauh. Ini peluru keempat yang dia lesatkan. Sementara itu, Kokov ikut bergerak. Menghilang. Bergerak cepat. 
TRANGG!
Pria itu menangkis pistol itu dengan pedangnya. Timing yang sempurna. Olek tak terkejut, dia sudah melihat teknik itu sebelumnya. 
Namun, pria berjubah coklat sadar dia tidak melawan seorang saja. Melainkan ada dua. 
Kokov muncul di sebelahnya dengan tinju terkepal. Pria itu meloncat menghindar. Begitu dia mendaratkan kakinya di seberang sana. Pistol kembali menyalak. Mengincar kakinya.
DORRR!
“Argh!”
Akhirnya raungan kesakitan terdengar. Pria berjubah coklat terkena telak. Tak membiarkan lawannya beristirahat sedikit pun, Kokov langsung menyerang dengan tinju bertubi-tubi. 
BUKKK!
BUKKK!
BUKK!!
BUKKK!
Pria itu terjungkal ke belakang. 
“Nah mari kita lihat siapa sebenarnya kau, wahai pelaku pembunuhan Valerie Bojinov.”
“Kalian benar-benar keterlaluan.”
Pria itu berusaha bangkit, meski pahanya terluka parah dan badannya penuh lebam. Dia meloncat berdiri dengan gerakan yang mengagumkan. Namun Olek sempat menyambar jubahnya, menyebabkannya robek. 
“Hei, mau kemana kau?”
“Kalian benar-benar keterlaluan. Kalian tahu, selama bertahun-tahun, aku tak pernah kalah, aku tak pernah gagal dalam menyelesaikan misiku. Dan sekarang, kalian memaksaku untuk melarikan diri dari medan pertempuran.”
Apa? Dia mau lari? Sungguh demi muruah dan kehormatan satuan kepolisian, Oleksandr tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Pria itu gesit hendak melompat dari jendela, namun Olek berhasil melompat dan menangkap jubah orang itu. 
KREEEK!
Kali ini jubah itu robek besar. Menyebabkan sebagian punggung dan rambut pria itu terlihat. 
Olek seketika mematung.
Hei, aku rasa, aku kenal siapa pria ini.


Seratus Sembilan Puluh Dua
Meringkus Tahanan


“Kau baik-baik saja, Olek?”
Kokov menegur Olek yang termenung sejenak melihat kepergian pria berjubah coklat misterius. 
“Rasanya aku mengenal orang itu.”
“Apakah dia mantan narapidana yang pernah berurusan denganmu di masa lalu?”
Pertanyaan itu dijawab Olek dengan gelengan. Bukan, bukan yang seperti itu. Dia bukan mantan penjahat. Dia tidak asing. Seperti seseorang yang sering kau lihat dalam kehidupan sehari-hari. 
DORRR!
“Menunduk, Kokov.”
Terlambat, pistol itu sudah ditembakkan. Kokov yang tak siap, langsung kena di bahunya. Seseorang duduk di atas ranjang memegang pistol itu, dia baru saja menembakkannya.
“Chrmeko.” Olek menggeram. 
“Kuharap kau tidak lupa kalau masih ada satu orang penjahat di ruangan ini.”
“Padahal tadinya aku ingin menuntutmu seminimal mungkin, berhubung kau adalah anak buah Profesor. Tapi, kau malah memberatkan masa tahananmu kelak.”
“Aku tak butuh pengampunan darimu.”
“Bagus, karena kau dan pacarmu itu akan dihukum berat.”
“Aku harap kalian tidak bersikap kasar pada Sylvi. Dia wanita baik-baik.”
Kokov bangkit dengan wajah kesal. “Dia telah menjebak Phia masuk ke dalam kejahatan terencana. Dia juga bersalah.”
“Jangan asal tuduh.”
“Chrmeko, sudah. Jangan diteruskan.”
Suara perempuan menginterupsi. Sejak tadi dia hanya bersembunyi di bawah selimut. Itu Sylvi. Dia meminta semua ini dihentikan. Ekspresi dan nada suaranya, ketakutan.
“Kita akan keluar dari tempat ini hidup-hidup, sayang. Kau percayalah padaku.”
DORRR!
Pelatuk kembali ditarik. Tapi kali ini tidak kena. Penglihatan Chrmeko (yang memang tidak dalam keadaan terbaik) limbung. Dia menghantam langit-langit. Olek tersenyum.
“Pertarungan sudah selesai, Chrmeko.”
“Sial, pelurunya habis.”
Tiba-tiba, dengan gerakan tangkas bak seekor macan tutul turun dari pohon, Kokov meloncat, menerkam Chrmeko, mencekalnya tepat di leher. Wajahnya benar-benar marah.
“Kau akan membayarnya. Atas segala hal yang kau lakukan pada ibuku dan Phia. Kau akan membayarnya. Hukuman berat telah menantimu. Bajingan!”
“Chrmeko!” Sylvi ikut berteriak, histeris.
Sedikit saja cekalan itu lebih keras, lunas nyawa Chrmeko. Dia nyaris tak bisa bernafas. Untungnya Olek cepat melerai.
“Sudah, Kokov. Lepaskan tanganmu.”
“Dia harus diberi pelajaran khusus.”
“Ya, hukum akan memberinya pelajaran yang berharga. Sekarang lepaskan tanganmu. Jangan sampai kau malah membunuhnya. Itu akan membuat hukum kehilangan saksi yang amat berharga.”
Demi mendengar itu, Kokov akhirnya melepaskan tangannya. Olek merogoh belakang badannya, meraih borgol. Memasangkannya di tangan Chrmeko dan juga Sylvi. Setelah itu dia menghubungi anak buahnya.
Dua tangkapan besar telah berhasil diamankan.
Tunggu dulu. Mana Pieter Both?
Sayangnya orang itu terlalu licin. Dia sudah berhasil kabur. Meloloskan diri. Olek berseru kesal ketika mengetahui tangkapan besarnya itu hilang begitu saja.
Sayangnya, sampai cerita ini berakhir, Pieter Both tidak akan pernah masuk penjara.


Seratus Sembilan Puluh Tiga
Konsolidasi Menuju Babak Final


Berita tertangkapnya Chrmeko dan Sylvi segera menjadi trending topik dimana-mana. Ini jelas tangkapan besar. Mereka berdua adalah aktor-aktor kunci yang bisa mempermudah langkah pengadilan untuk menjebloskan Oserzeen ke balik jeruji besi dan menutup izin perusahaan itu selamanya.
Berkat penangkapan ini pula, kini posisi Oserzeen yang awalnya aman di pengadilan, kembali terancam. Oleksandr bersumpah, atas nama temannya yang telah terbunuh, Valerie Bojinov (meski sebenarnya mereka tidak terlalu berteman), akan menyeret Oserzeen dan menghukum mereka. Tak peduli bagaimana caranya. 
Sumpahnya itu dibuktikan Oleksandr dengan interogasi sungguh-sungguh pada dua tahanannya. Chrmeko dan Sylvi sama sekali tak berkutik di kantor polisi. Mereka akhirnya merasakan bahwa julukan Oleksandr sang polisi teladan berdedikasi, tidak main-main. 
Tak ada pilihan lain selain mengaku di bawah todongan dan interogasi tingkat tinggi darinya. Olek mengorek banyak informasi dan langsung memasukkan berkas ke pengadilan. 
Tanggal 19 November, seluruh proses di pengadilan telah mengarah pada satu titik. Oserzeen kian berat. Kian terpojok.
Tentu keadaan ini tidak disenangi oleh Ketua Dimitri. Dia tahu persis kalau perusahaannya sekarang sedang terpojok. Dan tak satupun tawaran menggiurkan yang dia layangkan, disambut dengan positif. 
Oserzeen kini benar-benar di ujung tanduk.
Tinggal menunggu waktu.


Tanggal 20 November, di kantor pengadilan, Oleksandr mendapatkan kabar baik. 
“Proses penelaahan telah selesai. Oserzeen juga telah terbukti hendak menyuap pengadilan. Bukti-bukti telah lengkap. Jika tidak ada hambatan, dua hari lagi, vonis bisa dibacakan.”

Tanggal 20 November, di markas Oserzeen, akhirnya perintah itu diturunkan. “Lakukan segala cara, aku tak peduli. Segala cara. Habisi siapa saja yang membangkang. Jangan biarkan mereka bertindak seenaknya. Kita sudah berada di taruhan terakhir. Kita harus melakukan segalanya. Aku akan menghubungi, mereka.”

Tanggal 20 November di rumah Profesor. Phia menyelesaikan bimbingannya hari itu. Profesor memberi applaus untuknya.
“Sedikit lagi, Phia. Anakku. Sedikit lagi tesismu lengkap. Kamu bisa pulang. Tidak lama lagi kamu bisa pulang.”

Inilah babak final cerita ini.


Seratus Sembilan Puluh Empat
Babak Final Dimulai


21 November. Dinihari
Kantor pengadilan besar Ukraina. Kiev. 
Tiga orang bertemu di sana, secara rahasia. Zorochenko, sebagai perwakilan dari pihak pengadilan, Moor sebagai perwakilan media massa internasional, dan tentu saja Komandan Oleksandr. Mereka berkumpul malam ini untuk mengatur acara esok hari. Acara besar. Siaran pers, pengadilan akhirnya menjatuhkan sanksi pada Oserzeen. 
“Undangannya sudah kau antar?”
“Ya, sudah. Oserzeen telah menerima undangan. Tapi pembacaan putusan akan dilakukan, entah mereka bersedia hadir atau tidak.” Zorochenko menjawab, sikapnya sangat formal, karena memang begitulah pembawaannya. Seandainya ada Mr. Valerie Bojinov di sini, mungkin akan lebih berkarisma. 
“Tidak ada lagi kesempatan untuk mereka lolos?” Moor ikut bertanya. Oleksandr mendengar pertanyaan itu, tersinggung. “Mana mungkin. Semua sudah selesai. Sepertinya Oserzeen sendiri bingung hendak menangkis seperti apa. Selama proses pengadilan tertutup, mereka lebih sering mengabaikan undangan, dan tidak bersikap kooperatif.” Zorochenko kembali menjelaskan. Ekspresi Oleksandr kembali reda. 
“Mereka sepasrah itu? Rasanya agak asing untuk ukuran perusahaan yang katanya beroperasi di dunia hitam.” Moor terlihat mencibir. 
Oleksandr akhirnya meladeni, “Oserzeen tidak berubah, Moor. Mereka tentu saja membela diri. Dengan cara yang licik. Cara yang tentu tidak boleh diumbar ke media seperti kalian.”
“Oh ya, seperti apa?”
“Uang mereka banyak, Moor. Sudah jangan bertanya lebih banyak lagi.”
“Baiklah,” Moor mengalah, melihat ekspresi tak suka di wajah Komandan Oleksandr. “Tapi, apakah besok, mereka tidak akan mencoba melakukan percobaan terakhir? Barangkali mereka akan mengamuk?”
“Kami, dari pihak pengadilan gabungan sudah bersiap untuk kemungkinan semacam itu. Kucing tentu akan menggigit habis-habisan saat terjepit.”
“Peribahasamu buruk, Zoro.” Olek tertawa, “tapi itu benar. Aku juga akan bersiaga untuk besok. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan Oserzeen. Moor, pastikan kau datang sebelum pukul 7.30. Akan banyak pemeriksaan polisi sebelum acara dimulai.”
“Siap, komandan Oleksandr.”

Tanggal 21 November. Hari pembacaan putusan. 
Acara dilaksanakan di kantor pengadilan tinggi Ukraina. Pihak perwakilan Belarusia datang. Moor sebagai perwakilan media juga datang. Dua stasiun TV juga diundang. Sisanya, hanya orang-orang yang berkepentingan. Sedikit sekali jumlahnya. Itupun diperiksa dengan ketat oleh polisi. 
Aneh, Oleksandr tidak terlihat di sana. 
Justru utusan dari Oserzeen yang datang. Dia adalah Pieter Both. 
“Saudara hakim akan mendengarkan saya.” Dia berucap datar dan tenang, kemudian duduk di tempat yang disediakan. Moor yang memegang kamera, mendengar kalimat itu, dan menyernit heran. Bukankah tidak ada lagi sesi pembelaan. 
“Perusahaan Oserzeen, atas nama hukum, dijatuhi hukuman pembubaran aset perusahaan, penghapusan hak beroperasi, serta pencabutan izin berdiri....”
Siapapun yang berada di balik kemudi Oserzeen akan gemetar mendengarkan vonis tersebut. Itu berarti tidak ada lagi matahari terbit bagi Oserzeen. 
Sebelum hakim menyelesaikan pembacaannya, Pieter Both berdiri dari bangkunya. Mengangkat tangan. “Saudara hakim. Saya rasa tuduhan anda tadi salah besar.” Dia berucap dengan tenang. Sorot matanya mengarah langsung pada Yang Mulia Hakim.
Tatapan itu, sangat memengaruhi. 
“Maaf saudara Pieter. Berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan, tidak ada pembelaan. Oserzeen telah mangkir dalam dua kesempatan yang tersedia. Sekarang tidak ada lagi kesempatan untuk membela.” Zorochenko ikut berdiri dari bangkunya, menginterupsi.
“Apa-apaan ini. Saya tidak mengerti. Tadi pagi, saya terkejut keheranan melihat undangan dari pengadilan yang tembus ke email saya. Sekarang saya dilarang untuk bertanya. Saya hadir ke sini, tuan-tuan harap dengarkan, untuk mengatakan bahwa saya tidak pernah mendengar nama aneh Oserzeen itu. Tidak ada dan tidak pernah ada perusahaan bernama Oserzeen di muka bumi ini. Kalau tuan-tuan ingin tahu.”
Kata-kata itu bak lawakan semata. Namun, ketika diucapkan oleh Pieter Both, entah bagaimana, ada power yang terasa. Moor  dan Zorochenko sama berpikir. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Bagaimana bisa ada alasan bodoh macam ini, masuk ke ruang sidang. Di saat-saat kemenangan mereka atas Oserzeen, sudah di depan mata.
Dua sosok bayangan, tetap mengawasi, dalam gelap.

Seratus Sembilan Puluh Lima
Langkah Oserzeen Selanjutnya


Semua orang yang hadir di tempat itu tercengang. Semua orang yang menyaksikan lewat streaming, juga tercengang. Semua orang yang kelak mengetahui kejadian ini lewat koran, media, potongan video, akan terkejut, terheran-heran. Bukan main.
Bukan saja karena alasan yang dikemukakan Pieter Both itu terdengar janggal, tak masuk akal dan baru sekali ini terdengar di pengadilan. Bukan karena itu semua orang terkejut. 
Melainkan karena alasannya itu benar.
Di dunia ini benar-benar tidak ada perusahaan bernama Oserzeen. Moor yang pertama mengecek ke mesin pencari internet, nyaris berteriak. Ketik kata Oserzeen, maka yang muncul adalah “data tidak ditemukan”. 
Zorochenko juga ikut mencari, namun hasilnya sama. Dia mendekat pada Yang Mulia Hakim. Mereka berdiskusi sejenak. Moor mematikan live stream tak lama setelah itu.
Sementara sosok di balik bayang-bayang tetap mengintai. 
“Yang Mulia Hakim, apakah saya boleh pulang sekarang, karena saya sangat sibuk.” Pieter Both menyela diskusi kecil Yang Mulia Hakim dengan Zorochenko. “Saya pikir sudah tak ada gunanya saya di sini, mengingat tuduhan yang dialamatkan pada saya, tidak benar. Saya harap pengadilan belajar untuk tidak terburu-buru.”
Sebuah pukulan yang amat memalukan bagi pengadilan. Pengadilan dua negara.
Maka, agar tidak semakin membuat keadaan menjadi memalukan, pihak pengadilan, diwakili oleh Zorochenko, memutuskan untuk menunda putusan. “Semua harus dikaji ulang dengan saksama.” Begitu pesannya. 
Pieter Both berjalan keluar gedung dengan senyum lebar karena dia telah menang. Di luar, dia sempat bertemu dengan Oleksandr. (Yang memang duduk di luar, namun dia tahu semua hal yang terjadi di dalam.)
“Sayang sekali ya, usaha kalian gagal di saat-saat terakhir.” Dia berbisik pada Oleksandr. Bisikan yang membuat Olek menggeram kesal. 
“Kau benar-benar licik.”
“Tidak ada yang licik. Salahkan saja mesin pencari yang bahkan tidak bisa mencari nama kami.”
“Aku pastikan pedang keadilan akan tetap menebas leher kalian satu persatu.”
“Jangan terlalu yakin.”
“Aku bersumpah, tak peduli berapa kali, aku akan mencoba mengalahkan kalian.”
“Tapi kami selalu menang.”
Pieter Both berjalan menjauh. Meninggalkan Olek yang hanya bisa menghela nafas. Dia tidak bisa asal serang saja. Ini di depan gedung pengadilan. 
Setelah upaya untuk menuntut Oserzeen gagal begitu saja, di depan mata, Olek, Moor dan Zorochenko kembali berkumpul di satu tempat yang dirahasiakan. Namun, peserta malam itu bertambah satu orang.
“Stanislav Kokov, temanku. Perkenalkan, tuan-tuan.”
“Oh ya, kami mengenalnya, Olek. Dia adalah tangan kanan Profesor Nyoman.”
“Sudah, terserah dia itu siapa, yang terpenting sekarang adalah bagaimana memulihkan kondisi. Nama pengadilan sudah tercemar. Kami jadi bahan olokan.” Zorochenko protes. Wajahnya menggelembung. 
Olek mengusap wajah. “Makanya kita bertemu lagi malam ini.”
“Sulit kupercaya, mereka berhasil menghilangkan jejak. Tidak di departemen perizinan, di media massa, bahkan di mesin pencari, internet. Tidak ada lagi nama Oserzeen.”
“Analisismu tidak membantu, Moor. Semua orang tahu itu.” Zorochenko kembali mendesah, jengkel. 
“Tunggu. Butuh berapa orang saksi untuk membenarkan sebuah tindak kejahatan?” Kokov tiba-tiba bertanya.
“Semakin banyak, semakin meyakinkan, semakin bagus.”
Zorochenko langsung memotong jawaban yang tak bermutu itu. “Untuk standar hukum kita, lima atau enam saksi, itu cukup memberatkan.”
“Lima atau enam ya. Hummm.”
“Ada apa, Kokov?”
“Aku hanya sedang berpikir, mungkin ada celah bagi kita untuk menuntut Oserzeen. Atau apalah nama mereka itu.”
“Ha? Bagaimana? Bagaimana?”
“Ya, lewat kesaksian. Oserzeen mungkin telah hilang dari dunia. Namun nama itu masih hidup di ingatan orang-orang. Terutama orang yang pernah dirugikan, disakiti oleh mereka.”
“Ah kau benar.” Zorochenko berseru. “Masih ada orang-orang yang tahu akan segalanya. Ada Chrmeko dan Sylvi di tahanan Oleksandr.”
“Dan aku, Kokov, serta Profesor Nyoman juga bisa memberikan kesaksian.” 
“Dan jangan lupakan, Nona Phia.”
“Genap 6 orang!” Zorochenko berseru gembira. 
Mereka kini punya peluang untuk membalikkan keadaan.


Seratus Sembilan Puluh Enam
Tapi Apakah Mereka Mau?


“Tentu saja. Tentu aku mau melakukannya. Sekarang juga aku akan berangkat ke pengadilan.”
Vlari buru-buru menahan tangan Profesor yang sangat bersemangat. Olek dan Kokov masih duduk di depan. Ada Phia juga di sana, di rumah Profesor. 
“Nanti Profesor kami hubungi jika memerlukan kesaksian anda. Kedatanganku hari ini hanya untuk menanyakan kesediaan.”
“Tentu saja aku bersedia. Aku bahkan masih menyimpan dokumen yang ditandatangi bos mereka itu.”
Olek menggosok-gosok tangan, antusias. Itu kabar baik. Sementara itu, Kokov melempar pandangan pada Phia. 
“Kuharap kamu juga mau memberikan kesaksian. Kamu banyak mengalami kerugian akibat tindakan mereka bukan?”
“Tentu, Tuan Kokov. Aku akan membantu.” Phia mengangguk-angguk. Namun Profesor malah tak setuju. “Jangan libatkan dia lagi, Kokov. Kumohon.”
Olek menggeleng. Jelas mereka memerlukan Phia. Dia pernah ditahan di Buvsko. 
“Dia hanya orang asing di negeri ini. Dia tamu kita. Kita sudah membiarkan dia menerima rasa sakit terlalu banyak. Sebaiknya jangan melibatkan dia lagi.”
Kokov berusaha meyakinkan Profesor. Bilang alasan-alasan strategis sambil meyakinkan bahwa Phia akan baik-baik saja.
“Saya akan menjaga dia, Profesor. Saya berjanji.”
“Eh saya bisa menjaga diri sendiri, Profesor. Lagipula dengan tindakan Oserzeen kemarin, sepertinya kesaksian saya akan menentukan segalanya.”
Seisi ruangan membujuk Profesor. 
Vlari yang sedari tadi diam saja ikut buka suara. Tentu dia di pihak Profesor. “Kesaksian Nona Phia mungkin sangat berguna. Namun apakah satu dua kesaksian saja cukup?”
“Tentu tidak, Vlari,” Olek yang menjawab, “pihak pengadilan memerlukan enam kesaksian untuk menuntut kembali Oserzeen.”
“Lalu siapa lagi yang akan memberikan kesaksian?”
Pertanyaan itu bernada menantang. Olek merasa terganggu. “Masih ada dua tahanan Oserzeen yang kami tangkap, juga ada aku dan Kokov. Jika dijumlahkan ada e....”
Telepon berdering. Telepon Vlari. Dia meminta izin untuk menerima telepon terlebih dahulu. Kemudian dia melangkah keluar.
Sementara itu, kantor Oleksandr, tempat Chrmeko dan Sylvi ditahan, kedatangan seorang tamu. 
“Aku ingin menemui dua orang tahanan.”
“Maaf Tuan, tapi tempat ini bukan penjara. Tidak ada seorang pun yang ditahan di sini.” seorang opsir bawahan Olek menjawab. Sudah prosedur kalau di sini tidak ada yang boleh menemui tahanan, karena ini kantor polisi khusus, bukan penjara. 
“Ah tapi aku yakin mereka ditahan di sini.”
“Siapa anda ini?” opsir mulai waspada. 
“Tidak perlu mencabut pistolmu, opsir. Aku lebih suka kau mencabut pulpen dan menulis di buku tamu, ah kalian tidak punya buku tamu ya?”
“Tidak.”
“Ah kalau begitu, aku ada kertas, kau bisa menulis di kertas ini.”
Opsir semakin keheranan, mengambil kertas itu.
“Catat baik-baik, namaku adalah Pieter Both.”
Terdiamlah seisi ruangan. Opsir tadi sudah tak berkutik. Dia sudah berada di bawah cengkraman Pieter Both. Dia menulis nama itu dengan agak gemetar. 
“Nah,” ucap Pieter setelah opsir selesai menulis namanya, “apakah aku boleh menemui dua orang tahanan itu?”
Opsir ragu-ragu menggeleng. 
“Astaga pelit sekali kalian. Aku cuma ingin bertemu dengan tahanan. Bahkan aku sudah berbaik hati memberikan selembar kertas.”
“Kertas itu tidak berarti apa-apa.” Opsir berusaha menguasai dirinya kembali. 
“Oh kau tak suka kertas rupanya. Baiklah. Bagaimana dengan uang, lima ratus dollar.” Pieter Both menghentakkan sekebat uang ke atas meja.
Nah, urusan ini menjadi rumit kalau sudah melibatkan uang dalam jumlah ratusan. Apalagi ratusan dollar.


Seratus Sembilan Puluh Tujuh
Hari Terakhir Bagi Seseorang


Tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan oleh Pieter Both dengan Chrmeko dan Sylvi dalam penjara. Opsir tidak bisa berkata apa-apa. Mulutnya sudah disumpal uang lima ratus dollar. 
15 menit berlalu. Akhirnya Pieter Both menunjukkan gelagat akan meninggalkan kantor itu. 
“Nah opsir yang baik. Terima kasih sudah bekerja sama. Termasuk untuk mematikan kamera pengawas itu. Tugasmu sangat memuaskan. Lain kali, aku akan berkunjung lagi.”
“Kuyakin ini kunjungan terakhirmu, karena kau akan mendekam di sini, selamanya.” 
Sebuah suara berat menyela dari arah pintu masuk. Di kursi ruang tunggu, Oleksandr (tanpa Kokov yang harus pergi ke Nauk, mengajar) sudah duduk di sana.
Pieter Both tidak terkejut. Dia malah tersenyum. “Rupanya kau, polisi yang berdedikasi tinggi.”
“Kenapa kau tersenyum? Kau pikir masuk ke sini setelah menyuap anak buahku dengan sejumlah uang itu lucu?” Olek berjalan mendekat. 
“Tidak. Tidak sama sekali. Tidak selucu pengadilan mengantar undangan ke tempat yang salah.”
“Kau tahu,” Olek terus berbicara, sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan Pieter Both yang berusaha memengaruhinya, mencengkram kesadarannya. “Sejak kemarin aku ingin sekali meninju hidungmu, saat kau menipu semua orang di pengadilan mentah-mentah, dengan alasan konyol.”
“Hei, tapi itu benar bukan.”
“Omong kosong. Kami akan tetap menang. Kami masih punya saksi-saksi kunci. Kami akan tetap menuntut Oserzeen. Dan sekarang saksi kunci kami sudah bertambah satu.”
Tawa Pieter Both kontan meledak, memenuhi seisi ruangan. Membuat Olek, yang kini sudah mencabut pistol, keheranan.
“Apa yang lucu?”
“Kau. Kau yang berpikir berada di atas angin. Berapa kali harus kukatakan padamu, Olek. Kau bahkan tak tahu apa-apa tentang siapa yang kau hadapi.”
Olek menggenggam pistol erat-erat. Berusaha tak terpengaruh dengan kata-kata Pieter Both barusan. “Aku akan melumpuhkanmu, dan memaksamu bersaksi di pengadilan.”
SNAP!
Pieter Both menjentikkan jarinya, dan kabar itu akhirnya terdengar. Dari ujung ke ujung. 
“Komandan, dua tahanan kita, Chrmeko dan Sylvi ditemukan mati dengan mulut berbusa.”
“APA!”
Tawa Pieter Both kembali meledak di ruangan itu. 
“Ini ulahmu bukan?” Olek langsung menatap marah pada orang di depannya. 
DORR!
Tembakan pertama dilepaskan. Pieter menghindar dengan baik. Dan dia masih tertawa. 
“Menyenangkan sekali.”
“Tutup mulutmu!”
DORRR!!
“Kau tahu, Oleksandr. Sangat menyenangkan melihat wajahmu, berubah dari yang seolah tahu segalanya, menjadi panik karena rencanamu telah gagal.”
Olek menggeram. 
DORR!
Sayangnya karena dia marah, tembakan Olek kurang akurat. Kurang tepat sasaran. Olek berusaha mengatur nafasnya. Ayo Olek, konsentrasi. “Apa yang sebenarnya kau lakukan pada mereka?”
“Aku cuma mengatakan pada Chrmeko dan Sylvi bahwa ini adalah hari terakhir mereka.”
“Omong kosong. Kau meracuni mereka.”
“Jangan menuduh sembarangan. Kau tak punya bukti, dan jelas tidak ada rekaman kamera pengawas yang bisa membuktikan tuduhanmu itu.”
Parah sekali, itu benar. Pieter Both telah merencanakan ini dengan baik. 
“Kau akan membayarnya Pieter. Kaulah yang akan bersaksi menggantikan dua tahanan yang sudah kau racuni.”
“Hati-hati dengan kalimatmu, Oleksandr. Aku mau pulang. Aku akan cuci tangan.”
“Tidak. Ini adalah hari terakhirmu. Setelah ini kau adalah tahanan polisi.”

Seratus Sembilan Puluh Delapan
Terbunuh


“Astaga, tidak kah kau bosan berhadapan denganku terus menerus, polisi yang berdedikasi? Seandainya ini adalah sebuah novel, maka pembaca akan sangat jengkel melihat kita terus-terusan bertengkar.”
“Kau tidak bisa mempengaruhiku, Pieter. Sama sekali tidak.” Olek terus memegang pistolnya dengan erat. Matanya fokus sekali. 
“Ya, ya. Itulah yang akan dikatakan oleh seorang polisi berdedikasi.”
DORRR!
Olek sudah menyalak dengan pistolnya. Meskipun itu berarti merusak kantornya sendiri. 
“Kau membuat dindingnya berlubang,” Pieter menyeringai. 
Tetap fokus, Olek. 
“Tidak bisakah kau membiarkan orang tua ini lewat, Oleksandr.”
Olek tidak menjawab dengan kata-kata. Dia menjawab dengan tembakan yang terukur. Pieter Both melompat menghindar. Kemudian berlari cepat ke arah depan. Mencoba meninju. Gerakan yang mudah dihindari oleh Olek. Sepertinya Pieter Both tidak membawa senjata apa-apa. 
Namun, begitu Pieter melompat ke depan dengan cukup dekat  itu, pertarungan segera berubah jadi pertarungan jarak dekat. Olek tidak unggul dengan pistolnya. 
“Jangan kau pikir aku tidak bisa bertinju.”
“Tentu saja aku mengharapkan sesuatu yang lebih.”
“Akan kulumpuhkan kau.”
“Jadi kau serius untuk menjadikan aku tahanan. Kau yakin sekarang kau tahu sesuatu tentang Oserzeen?”
“Tidak juga. Tapi aku akan selalu mencoba. Aku tidak akan menyerah.”
Mereka kembali beradu tinju. Saling serang. Serangan-serangan yang dialamatkan pada Olek tidak lagi ditangkis, melainkan dibalas. Serangan-serangan itu membuat badan keduanya berkeringat deras. 
Dalam satu momen yang cukup dekat, Pieter Both melempar sebuah pertanyaan. 
“Apa rencanamu pada Oserzeen?”
“Tak akan kuberitahukan pada kau.”
“Kau masih yakin bisa mengalahkan kami?”
“Kami akan mengajukan kesaksian pada pengadilan.”
“Tapi nama Oserzeen sudah tidak ada lagi bukan?”
“Tapi kejahatan kalian masih bisa dikulik.”
“Kau bercanda? Kau mau memaksa para penjahat bersaksi tentang kejahatan mereka sendiri?”
“Kami punya cara interogasi sendiri.”
“Oh ya? Jadi seperti itu. Kau terlihat begitu yakin.”
“Sudah kubilang, mengalahkan Oserzeen, adalah harga mati bagi kami.”
Pieter Both bergerak mundur ke belakang. Dia tersenyum. “Aku sangat yakin kau akan melakukan apapun. Kalian mungkin punya metode interogasi yang mengerikan. Jadi kurasa, aku tak ingin melihatnya.” kemudian Pieter Both terlihat tertegun. Padahal yang dia rasa, kepalanya mulai berdenyut.
“Argh!” Pieter Both meraung kesakitan, diikuti dengan muntah darah. Olek terkejut bukan main. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku tidak akan membiarkan ada informasi jatuh ke tangan kalian. Lebih baik semuanya jadi rahasia yang kubawa sampai mati.”
“Jangan bilang kau sudah...”
“Dugaanmu terlambat. Selamat tinggal, Oleksandr. Senang bisa mengenal polisi berdedikasi tinggi sepertimu.”
Pieter Both sekali lagi muntah darah, kemudian fisiknya mulai berubah. Melemah. Dia tersungkur jatuh. Tidak lama setelah itu, nadinya berhenti. 
Mata-mata hebat, tangan kanan Dimitri itu, tewas bunuh diri. 
Meninggalkan Oleksandr yang hanya bisa terpaku sendirian. Menatap jasad lawannya sekaligus target potensialnya, mati begitu saja.
“Kurang ajar kau, Pieter Both.”


Seratus Sembilan Puluh Sembilan
Kita Masih Punya Kesempatan


Berita kematian Pieter Both tentu saja menyebar dengan cepat ke segala penjuru. Pihak-pihak yang tidak mengetahui sepak terjang pria tua ini akan menganggapnya sebagai seorang akademisi yang layak dihormati karena meninggal secara tragis. Namun tentu saja ada pihak lain yang tahu dan terpukul karena kematian Pieter Both. 
Pihak Oleksandr, sangat terpukul karena mereka tidak hanya kehilangan seorang saksi kunci yang sangat berharga, namun tiga saksi kunci sekaligus. 
Sementara pihak Dimitri (kita tidak bisa lagi mereka sebagai Oserzeen karena Oserzeen telah menghilang dari dunia ini) sangat meradang. Kematian Pieter Both ini sangat memukul mereka. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. 
“Mereka pikir aku bodoh,” Dimitri memukul meja di ruangan besar miliknya, “mereka pikir aku ini hanya orang ecek-ecek yang bisa duduk-duduk saja di belakang meja. Sungguh mereka salah. Mereka akan tahu tentang kekuasaan Dimitri, yang mengakar di seluruh Eropa Timur.”
Ada dua orang yang mendengarkan “ceramah” Dimitri di ruangan itu. Satu diantaranya adalah pria berjubah coklat misterius. Satunya lagi masih bersembunyi di dalam gelap. 
“Apa yang Tuan ingin lakukan sekarang? Kita sudah tidak punya otak perencana hebat lagi.”
“Pieter Both memang anak buahku yang berharga. Tapi dia hanya satu dari sekian sedikit anak buahku yang lainnya. Justru tanpa dia, aku bisa memandang gerakan kita menjadi lebih gesit dan bertenaga. Kau paham maksudku?”
“Paham Tuan.” Pria berjubah coklat itu mengangguk. “Berikan saya perintah, saya akan melaksanakannya.”
“Bunuh Oleksandr. Polisi keras kepala itu paling sulit untuk ditaklukkan. Dia tidak bisa diajak bicara. Selama dia ada di sini, dia akan selalu bersemangat mengejar jejak-jejak kita.”
Mendengar perintah itu, pria satunya yang berdiri di balik bayangan, agak terkejut. 
“Tuan, apakah anda yakin ingin menghabisi Oleksandr? Apakah itu tidak membuat kita berurusan dengan lebih banyak pihak, membuat kita menjadi lebih repot.”
Dimitri menggeleng, “sekali aku bisa membungkam Oleksandr, yang lain akan mengikuti. Dialah otak dari semua rencana. Dan dia juga yang paling gigih melaksanakannya. Sekali dia hilang, yang lain akan menjadi anak ayam kehilangan induk.”
“Entahlah, tapi semua sepertinya tidak akan berlangsung semudah itu.”
“Kau meragukan aku? Aku ini salah satu orang paling terkemuka di dunia hitam.”
Pria di balik bayangan itu kemudian mengangguk takzim, “silakan Tuan. Saya hanya mengikuti perintah anda.”
Pria berjubah coklat sudah meninggalkan ruangan. Siap menjalankan misinya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Olek sedang bertemu dengan Profesor Nyoman dan Kokov. Ada pula Zorochenko dan Moor di sana. Ini pertemuan tertutup. 
“Sayang sekali, Olek. Kita gagal. Dengan gugurnya dua tahananmu itu, kita kekurangan saksi sekarang. Kita tidak bisa melanjutkan proses hukum.”
“Oserzeen benar-benar licin. Mereka bahkan bisa melakukan ini. Sangat terencana dan susah diantisipasi. Mereka penuh kejutan. Sepertinya kita memang tidak bisa mengalahkan mereka.” Moor menghela nafas
“Aku setuju soal kejutan dan licin. Namun kita akan menghentikan mereka. Kita harus menghentikan mereka.” Olek berucap, sungguh-sungguh. 
“Tapi bagaimana caranya, Olek?”
“Harusnya kau bertanya pada dia, Moor.” Olek menunjuk pada Zorochenko. 
“Seperti yang kubilang, kita tidak bisa melanjutkan proses hukum. Kita kekurangan saksi.”
“Pasti ada cara lain. Aku yakin. Katakan padaku bahwa keyakinanku benar. Tolong katakan bahwa masih ada cara lain, Zoro.” Olek mendesak. 
“Sebenarnya ada. Tapi agak susah. Kita harus punya dokumen yang bagus, dokumen yang cukup kuat untuk membuktikan keberadaan Oserzeen. Semacam dokumen yang memang dikeluarkan oleh mereka.”
“Aku punya,” Profesor Nyoman tiba-tiba berseru.
Tentu saja Profesor punya dokumen semacam itu. Beliau berkali-kali berhubungan dengan Oserzeen, ada banyak dokumen resmi perusahaan itu yang disimpan olehnya. Demi mendengar itu, Olek terlonjak gembira.
“Huft, entah kenapa, aku merasa Oserzeen akan mengetahui dan menggagalkan rencana kita yang satu ini.” Kokov yang sedari tadi diam, kini ikut bersuara.”
Dua Ratus
Antara Kita Berdua


22 November
Sebaiknya kita membicarakan hal ringan dalam beberapa chapter ke depan. 
Suasana sore di Kiev Nauk. Beberapa orang mahasiswa sedang berbincang di lorong yang menghubungkan antara gedung A dengan gedung B. Mereka mayoritas sudah mengenakan jaket tebal. Atau baju panjang dengan syal. Semilir angin semakin mendingin seiring mendekat dengan Desember. 
Seseorang sedang berjalan menyusuri lorong. Langkahnya begitu tegap. Di tangannya berjenjeng sebuah tas berisikan laptop. Dia memakai kemeja yang rapi, tanpa jas. Dia adalah Stanislav Kokov. Dia baru saja selesai mengajar di salah satu kelas di Nauk. 
“Sore, Mister.”
Seseorang menyapa Kokov yang sedang berjalan tepat di depan orang yang nongkrong di lorong tadi. Itu hanya sapaan basa-basi. Dari seorang mahasiswa. Sepertinya mahasiswa dari kawasan timur, sebab orang Barat tidak suka berbasa-basi. Kokov sendiri hanya menanggapi dengan anggukan. Terus fokus berjalan. Menuju ruangan Profesor Nyoman. 
“Saya permisi, Profesor.” Kokov membuka pintu, dan dia langsung kagok karena seseorang yang tidak terduga duduk di ruang tunggu ruangan Profesor. 
“Tuan Kokov?”
“Nona Phia? Kamu di sini?”
“Ya, aku menunggu Profesor. Tapi beliau belum bisa ditemui.”
“Belum bisa ditemui?”
“Ya, mungkin beliau sedang ibadah.”
Kokov mengangguk-angguk. Baiklah, sekarang dia terjebak di sini, bersama seorang gadis. Setengah dari dirinya ingin pergi saja, membatalkan janji temu dengan Profesor. Dia selalu canggung dengan wanita. Tapi sebagian lainnya, membujuknya agar menunggu. Ikut duduk di ruang tunggu.
Ayolah, dia hanya Nona Phia. Seseorang yang telah menyelamatkan ibumu.
Akhirnya Kokov duduk. 
“Kamu sudah lama menunggu?”
“Sekitar lima belas menit, kurang lebih.”
“Apakah kamu ke sini untuk bimbingan?”
“Untuk apa lagi aku datang jika bukan karena bimbingan?” Phia tertawa tertahan. 
Kokov seketika merasa bodoh. 
“Jadi tesismu sudah selesai.”
“Hampir.”
Kokov menghela nafas. Ayolah, tenangkan diri. “Profesor Nyoman selalu hebat. Beliau bisa memaksimalkan potensi dari orang-orang yang berada di bawah bimbingannya.”
“Aku beruntung bisa merasakan bantuan dari beliau.”
“Maaf karena aku tidak bisa banyak membantu. Setiap jadwal bimbinganmu denganku, selalu berakhir kacau balau. Sepertinya kamu menyesalinya.” Kokov garuk-garuk kepala. Salah tingkah. 
“Hanya waktu yang salah, Tuan Kokov,” Phia menimpali dengan bijak, “tidak ada yang perlu disesali. Aku juga merasa beruntung karena Tuan Kokov mau meluangkan waktu untuk membantuku.”
Gadis ini memang menarik sekali, naluri Kokov yang teratur dan sistematis bisa menangkap kesan itu dengan baik sekali. Mungkinkah ibu benar, gadis ini bisa jadi orang yang tepat untuknya. 
Hari itu, Kokov memutuskan untuk melakukan langkah maju. Pembicaraan yang lebih pribadi.
Antara mereka berdua.
Seperti apa pembicaraan itu?
Kokov menghela nafas sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.


Dua Ratus Satu
Antara Kokov dan Phia


“Maafkan aku.”
“Sudah kubilang tidak perlu minta maaf, Tuan Kokov.”
“Tolong tanggalkan kata tuan itu. Menggelikan.”
“Baiklah.”
“Aku minta maaf atas sikapku padamu. Aku sadar bahwa dalam banyak kesempatan, aku bukan tipikal pria yang mengesankan bagi wanita.”
Hei apa kata Kokov? Dia berdusta. Jelas. Bahkan Phia tidak akan membantah bahwa sejak kali pertama bertemu, Phia sudah terkesan dengan Kokov. Gagah, tampan, cerdas, bertanggung jawab, tegas, dan segala macam hal positif lainnya. 
“Kita tidak perlu membahas hal ini bukan?”
“Aku memutuskan untuk membahasnya, mumpung waktunya tepat.”
“Ini sangat aneh. Pembicaraan yang sangat aneh.”
“Sudah kubilang aku bukan tipikal pria yang bisa membuat seorang wanita terkesan.”
“Eh maksudku bukan seperti itu, Kokov.”
“Bahkan dibandingkan dengan Szczesny, sepertinya aku ini sangat payah.”
Phia menyernit kening. Apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh Kokov? Ah pertanyaan itu sepertinya kurang relevan. Pertanyaan seharusnya adalah apa yang dimakan Kokov tadi siang sehingga bicaranya melantur seperti itu. 
“Dengan segala hormat, tolong jangan menyebut nama orang itu lagi.”
“Dia amat menyukaimu. Sampai hembusan nafasnya yang terakhir, dia selalu memikirkanmu.”
“Tapi dia memperlakukanku dengan tidak hormat. Itu tak pernah bisa ditolerir.”
“Dia hanya berlaku seperti itu, karena dia suka denganmu.”
“Ya, kurasa begitu.”
“Bagaimana tanggapanmu mengenai sikapnya?”
“Bukankah tadi sudah kusebutkan, aku tidak suka dengan sikapnya yang tidak hormat. Dia menculikku dengan cara membius dan kemudian memaksa.”
Kokov terdiam. Itu pasti saat penculikan di Buvsko. 
“Maksudku di luar itu. Seberapa dekat kalian?”
“Tidak terlalu. Dia menawarkan diri menjadi supir yang siap membawaku kapan saja, kemana saja, plus mengajakku makan-makan di beberapa tempat.”
Nah itu, makan-makan di beberapa tempat! Pantas saja Oleksandr selalu menyindirnya agar mengajak Phia bertemu di tempat lain, selain di Le Chaoux. 
“Apakah dia seorang pria yang gentlemen menurutmu?”
“Kokov, bisakah kita berhenti. Topik ini benar-benar membuatku tidak nyaman.”
“Maafkan aku. Sekali lagi aku bukan orang yang bisa membuat wanita terkesan.”
Astaga Kokov, alangkah berbelit-belitnya kau.


Dua Ratus Dua
Sudah Dekat


Momen canggung Kokov akhirnya disela oleh pintu ruangan Profesor yang kembali terbuka. 
“Ah Nona Phia. Kokov juga rupanya ada di sini. Maafkan aku karena membuat kalian menunggu.”
“Tidak masalah, Profesor. Hanya sepuluh atau lima belas menit saja. Tidak terlalu terasa.”
“Tentu saja, Nak. Waktu akan relatif pendek saat seorang gadis cantik dengan lelaki tampan sedang mengobrol satu sama lain.”
Demi mendengar humor Profesor barusan, Kokov tersentak kaget. Namun secepat mungkin, dia berusaha menguasai dirinya. 
“Anda mulai  terdengar seperti Oleksandr, Profesor.”
“Aku anggap itu pujian. Nah baiklah. Aku sudah bisa menebak urusan kalian berdua datang kemari. Untuk urusan Kokov, sebaiknya kukesampingkan dulu...”
“Tapi profesor...”
“Nanti, Kokov.” Profesor menyela dengan tatapan tajam, memaksa Kokov mengalah, “nah Nak, bagaimana kelanjutan penelitianmu?”
“Saya telah berhasil membaca sebagian dokumen catatan sejarah itu, Profesor. Manuskrip kuno dari zaman Dinasti Han.”
“Mengingat dokumen itu masih sangat baru, maksudku baru ditemukan, seharusnya penelitianmu menjadi sangat menarik minat dunia internasional.”
Manuskrip kuno itu sangat berharga bagi mahasiswa peneliti sejarah seperti Phia. Entah darimana Profesor mendapatkannya, namun Phia telah menerima salinannya, dan dia berhasil membaca sebagian besar naskah kuno itu dengan baik. Manuskrip itu menurut Profesor, akan membantu sekali pada tesis yang sedang ditulis oleh Phia. 
“Tapi, profesor. Sayang sekali, tidak banyak yang bisa dikemukakan oleh manuskrip itu. Isinya mayoritas menceritakan bagaimana Kaisar adalah putra langit, betapa terstrukturnya birokrasi pemerintahan Tiongkok zaman Han, serta kemakmuran.”
Tentu kalian tidak mengharapkan ada cerita tentang kelaparan disampaikan di situ bukan?
“Tidak apa. Tidak apa.”
“Apakah profesor yakin hal itu cukup layak untuk ditulis dalam sebuah penelitian setaraf tesis?”
“Secara teknis, selama metode pendekatannya tepat, rumusan masalahnya jelas, dan bermanfaat, itu bisa dijadikan bahan penelitian.”
“Terima kasih karena sudah menyela lagi, Kokov.” 
Profesor jengkel.
“Ya, sah saja, Nak. Karena itulah penelitian. Kokov benar. Selama metodenya tepat, pendekatannya tepat, dan masalahnya jelas, apapun yang kau temukan nanti, itulah temuan penelitian. Tidak peduli itu hanya retorika belaka.”
“Ya, meskipun bobotnya agak kurang.”
“Terima kasih karena sudah menyela lagi, Kokov.”
Sekarang Profesor benar-benar jengkel.
Phia hanya tertawa melihat kelakuan dua orang pria beda umur di depannya ini. Baiklah, apapun itu, dengan selesainya dia membaca naskah manuskrip kuno itu, penelitiannya sudah hampir selesai.
Artinya tanggal kepulangannya, sudah dekat.
Kokov tiba-tiba kagok sendiri mendengar soal itu. “Sudah dekat? Kapan?”


Dua Ratus Tiga
Pendekatan Personal yang Agak Terlambat


“Kenapa wajah kau jadi memerah seperti itu, Kokov?”
“Eh tidak, Profesor. Saya hanya terkejut. Phia berhasil menyelesaikan penelitiannya dengan cepat. Sangat cepat.”
“Astaga, Kokov. Sepertinya kau terkesan ya. Aku paham. Andai situasinya lebih baik. Maksudku, andai Phia datang ke Kiev dalam kondisi yang lebih santai, tidak dalam kondisi, dalam tanda kutip, perang ini, mungkin kalian bisa mengenal satu sama lain.”
“Kami sudah saling mengenal, Profesor.”
“Bukan, bukan seperti itu maksudku, Nak. Ah sepertinya sore ini banyak kalimatku tidak jelas dan multitafsir. Maksudku adalah saling mengenal secara personal. Lihatlah, Kokov yang sudah berani memujimu, padahal sebelum ini dia jarang sekali mengobrol dengan wanita muda.”
“Anda semakin terdengar seperti Oleksandr, Profesor.”
“Dan kau terdengar seperti lelaki pemuji yang senang mencari perhatian wanita.”
Karena tidak mau terus-terusan terjebak dalam situasi ini, Phia memutuskan untuk berpamitan. Sudah cukup bimbingannya hari ini. Sisanya bisa diperbaiki Phia lewat email yang akan dikirimkan oleh Profesor. 
“Saya tadi dengar anda dan Tuan Kokov ada urusan penting yang harus dibicarakan. Mungkin saya akan pamit saja sekarang, daripada mengganggu.”
Kokov langsung teringat soal apa yang hendak dia bicarakan. Namun Profesor sepertinya tak tertarik membahas soal itu. Beliau malah fokus pada Nona Phia.
“Kamu mau pulang, Nak?”
“Iya, terima kasih banyak Profesor.”
“Kokov, kamu antarkan Nona Phia pulang.” Perintah Profesor, tegas sekali suara beliau. 
“Tapi Prof...”
“Urusan kita bisa menunggu. Ini lebih penting. Menyangkut keselamatan soalnya.”
Kokov tak membantah lagi. Langsung berdiri dan berjalan keluar ruangan. Phia mengikutinya dari belakang. 
“Terima kasih sudah mau mengantarkan aku, Kokov.”
“Sama-sama.”
“Ngomong-ngomong, urusan apa sebenarnya yang hendak diobrolkan dengan Profesor?”
“Ah itu, sesuatu yang menyangkut Oserzeen. Tapi sebaiknya tidak kita bahas sekarang. Kamu lapar?”
“Sejujurnya aku sudah kenyang.”
“Bagaimana kalau secangkir kopi?”
Phia menelan ludah. Pasti Le Chaoux lagi. Kalau boleh terus terang, Phia juga sudah bosan dengan citarasa Prancis. 
“Aku rasa itu tidak perlu, aku mau pulang ke rumah saja. Sudah terlalu sore.”
“Aku mohon. Mungkin kita bisa menunggu senja sambil mengobrol.”
Tiba-tiba saja Kokov bisa berbicara dengan lancar seperti itu. 
“Eh atau kamu tidak suka dengan Le Chaoux. Jangan khawatir, aku punya rekomendasi tempat lain. Ada tempat di Kiev yang menawarkan cita rasa kopi khas Eropa Timur.  Aku pernah ke sana beberapa kali.”
Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Kokov?
Apapun itu, Phia tidak enak menolak. Apalagi dia agak cemas kalau harus pulang sendiri. Sementara ini lebih baik sepertinya baginya, untuk ikut dengan Kokov. Mengikuti alur, pendekatan personal yang terlambat ini.
Mereka memanggil taksi, dan Kokov menyebutkan nama tempat yang akan mereka tuju.


Dua Ratus Empat
Phia Bisa Mengintip Isi Kepala


Kafe di tepi jalan dekat dengan Kurin itu adalah kafe yang biasa saja. Jadi tidak perlulah disebut namanya. Pengunjungnya juga tidak terlalu banyak. Kokov mengajak Phia ke sana, semata-mata karena tempat itu dekat dengan Kurin, sehingga dia tidak perlu dua kali memanggil taksi. 
Kalau urusan mencari tempat nongkrong, Kokov memang tidak bisa diandalkan. Dia tidak bisa memilih tempat yang bagus. Referensi di kepalanya tak seluas Szczesny. 
“Ayo kita memesan.” Kokov setengah mendorong tubuh Phia yang berjalan di depannya. Phia mengangguk. Menengok menu. Memesan segelas kopi dengan campuran krim. Kokov memesan menu yang sama. Kemudian mereka mencari meja. 
“Tempat yang cukup nyaman, ah sayang, hampir dua bulan aku berdiam di Kurin, baru sekali ini aku mencoba mengunjungi tempat ini.”
“Jangankan kau, aku saja baru pertama kali mengunjungi tempat ini.”
“Eh benarkah? Kukira ini tempat nongkrong favoritmu, setidaknya favorit kedua setelah Le Chaoux.”
Kokov hanya tertawa lepas sambil memasang ekspresi kosong. Dalam beberapa kesempatan dia sadar bahwa Olek benar. Dia adalah orang yang membosankan dan suka dengan citarasa Prancis. 
“Nyonya Margaretha bilang padaku, bahwa anda adalah orang yang sangat disiplin. Dan itu membuatku tidak heran kalau anda selalu konsisten untuk datang hanya ke Le Chaoux.”
“Oh ya, dan ibuku menyuruhku agar tidak terlalu kaku. Makanya hari ini aku mengajakmu untuk minum. Bersantai.”
Phia mengangguk. Sejenak kemudian dia menatap lurus ke arah Kokov. Bukan terpesona, melainkan membaca isi kepalanya.
Karena Phia adalah karakter unik yang bisa membaca isi kepala, sekaligus jalan rencana cerita atas karakter tertentu dalam sebuah novel. Dia adalah karakter yang unik. 
“Beliau juga bilang padaku tentang bagaimana anda tidak terbiasa berurusan dengan lawan jenis. Katanya, anda bersikap memuakkan pada wanita.”
“Ibuku salah mengerti,” Kokov mengusap wajah, “aku hanya tidak terbiasa. Jika kau ingat bagaimana terakhir kita bertemu, nah seperti itulah. Kebanyakan wanita yang mendapatiku di awal perkenalan, akan menjauh sebelum mengenalku lebih dekat. Pada dasarnya, aku yakin aku adalah orang baik. Olek tidak akan meragukan hal itu.”
Grogi bisa memancing sikap narsis. 
“Berarti aku kurang beruntung karena harus mengenal anda dalam waktu yang lebih lama.” Phia terkekeh. 
“Bisa dibilang begitu.”
“Jika aku boleh menyarankan, anda tidak seharusnya melakukan itu, rileks saja. Tidak perlu terlalu banyak menuntut. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing bukan?”
“Kenapa topik pembicaraan kita menjadi berat seperti ini.” 
Ups, Phia terbawa suasana. Gara-gara dia coba membaca isi kepala Stanislav Kokov. Phia meminta maaf.
“Tidak apa. Apakah kamu sudah ada rencana untuk pulang?”
“Belum. Aku masih berkonsentrasi untuk menyelesaikan tesisku. Seminggu ke depan aku akan berkonsentrasi. Mungkin setelah itu baru aku akan menyusun rencana baru untuk pulang.”
“Apakah kamu tertarik untuk tinggal di sini?”
“Eh maksudnya?”
“Ya, tinggal di Kiev untuk waktu yang lebih lama. Mungkin mencari pekerjaan, atau semacamnya. Ini adalah kota yang indah.”
“Entahlah,” Phia meluruskan badannya, dia sedari tadi duduk bersandar, “sepertinya aku lebih suka untuk pulang ke Indonesia. Negara asalku.”
“Oh ya? Kamu masih punya keluarga di sana?”
“Tentu. Keluarga hangat yang akan menantikan kembalinya diriku.”
“Sudah berapa lama kamu berpisah dengan mereka?”
“Secara teknis baru dua bulan ini.”
Kokov langsung dibuat heran.
“Jarak Taipei ke Indonesia lumayan dekat. Aku sering pulang saat libur musim panas. Aku baru berpisah dengan mereka saat pergi jauh meninggalkan Taipei ke Ukraina.”
Sekarang Kokov paham. 
“Apakah kamu punya kemampuan untuk mengajari orang lain?”
“Astaga, anda punya banyak pertanyaan random. Apakah ini juga bagian dari kepribadian asli anda?”
Kokov tertawa. Tapi tatapannya menuntut, jawab. 
“Tidak. Aku tidak punya kemampuan untuk mengajar. Jangan membujukku untuk jadi pengajar di Nauk. Tolong.”
Sial, gadis ini, mencium rencananya, sekaligus membocorkan plot cerita ke depannya.


Dua Ratus Lima
Apa yang Sebenarnya Ingin Kau Bicarakan?


Jadi, apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh Kokov pada Profesor sore itu? Meski Profesor sempat menolak membicarakannya, kita akan mengetahuinya, karena malam harinya, Kokov kembali mendatangi rumah Profesor. Bahkan dia tidak sempat mencuci wajah. Setelah memastikan Phia tiba di Kurin dengan selamat, Kokov langsung putar kaki ke kediaman Profesor. 
“Pastikan pintu rumah ini terkunci dengan baik, Phia.”
“Tentu. Aku waspada penuh setiap malam sejak keluar dari penjara.”
Itulah kalimat terakhir Phia dan Kokov sebelum berpisah senja itu. 
Profesor menerima Kokov dengan ramah. Vlari yang kebetulan ada di sana juga, berbaik hati membikinkan secangkir susu hangat untuk Kokov. 
“Terima kasih, Vlari.”
“Sama-sama. Susu hangat sepertinya cocok sekali untuk wajahmu yang berantakan itu.”
“Ah maaf, aku tidak sempat mandi. Aku langsung ke sini setelah mengantarkan Phia ke Kurin.”
“Oh gadis itu lagi. Kokov, kalau aku boleh memberimu saran gratis, sebaiknya kau tidak berpikir untuk menyukai gadis itu.”
Sebelum Kokov sempat menjawab, sebuah suara menyela dari balik tirai, Profesor sudah tiba. “Hei, kenapa kau menyarankan seperti itu, Vlari. Tidak baik. Phia dan Kokov nampak serasi. Bukankah kita semua ingin melihat dia menikah.” Profesor menunjuk Kokov. Ekspresi Kokov hanya datar saja. 
“Sebaiknya kita membicarakan hal yang lebih serius, ketimbang membahas hal tak berguna.”
Profesor duduk. “Baiklah. Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan? Apakah sesuatu yang bersifat pribadi?” Profesor menengok pada Vlari, siap menyuruhnya pergi. 
Sebaliknya Kokov menggeleng, “terserah Vlari. Jikapun dia ingin mendengar, tidak apa-apa juga.”
Vlari tak menanggapi, dia hanya berdiri. Itu jawaban. 
“Baiklah. Silakan.”
“Saya sarankan anda untuk menghentikan usaha memenjarakan Oserzeen, Profesor.”
“Apa katamu?” 
Profesor terlonjak kaget. Dia sudah biasa menghadapi gaya bahasa Kokov yang sama sekali tidak ada basa-basi. Tapi pembicaraan macam ini? Tak pernah terbayangkan. Bagaimana bisa Kokov menyarankan demikian, padahal dia adalah salah satu orang yang paling getol memperjuangkan ini. 
“Saya serius, Profesor. Mereka jauh lebih kuat, lebih mengerikan dari apa yang kita bisa bayangkan. Kita bukan tandingan mereka. Terus melawan mereka, hanya membahayakan diri kita saja.”
“Tapi kita sudah berjuang sejauh ini, Kokov. Kita tidak boleh berhenti. Kau ingin seluruh perjuangan kita berakhir sia-sia belaka?”
“Sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa, Profesor.”
Profesor menatap tajam asistennya yang baru saja berucap, “jangan sembarangan bicara, Vlari.”
“Saya tidak sembarangan. Kokov pasti telah melakukan riset mendalam, pemikiran yang mendalam, sebelum menyarankan yang demikian. Kita semua mengetahui bagaimana kerja seorang Stanislav Kokov.”
“Saya serius, Profesor. Saya harap, saran saya ini dipikirkan secara serius.”
“Kau ini aneh sekali, Kokov. Setelah semua yang kau lakukan susah payah, setelah semua yang mereka lakukan padamu, setelah segala kesakitan dan penderitaan yang mereka berikan padamu, ibumu, Phia, dan yang lainnya, kau sekarang menyarankan aku untuk mengangkat bendera putih, mengalah, menghentikan ini semua. Jangan bercanda, Kokov.”
“Saya harap anda mempertimbangkannya dengan wisdom anda, Profesor. Saya sangat berharap anda mempertimbangkannya.”
“Persetan dengan wisdom, Kokov. Mereka hendak merusak bumi!” 
BRAK!
Profesor menggebrak meja. Wajahnya merah padam.


Dua Ratus Enam
Terbukanya Identitas Pria Berjubah Coklat


Tanggal 23 November
Hari yang membosankan dan berjalan lambat bagi Olek. Dia melamun seharian di kantornya. Kekecewaan besar masih meliputi hatinya seusai para tangkapan besar lolos begitu saja dari tangannya. Meskipun Profesor dan Zorochenko yakin masih ada jalan yang bisa diperjuangkan, semangat Oleksandr sudah terlanjur turun. 
Sampai datanglah telepon itu. Di malam hari. 
“Komandan Oleksandr yang terhormat,” sebuah suara menyapa dirinya. Suara yang amat Oleksandr kenal. Tapi dimana? Dia tidak bisa mengingat. 
“Siapa kau, apa maumu?”
“Sangat tidak bersahabat, Komandan. Aku adalah orang yang ingin sekali kau temui. Sang pria berjubah coklat dari Oserzeen. Aku ingin mengajakmu berduel.”
“Kau....” Olek mendengus kejam, tapi kemudian dia langsung bersemangat. Ini satu peluang.
“Aku akan kirim alamatnya, pastikan kau datang sendirian. Karena sekali saja aku melihatmu datang membawa anak buahmu, atau Stanislav Kokov, aku akan pergi. Aku akan mencari cara lain, untuk MEMBUNUHMU.”
Seruan di ujung kalimat itu terdengar kejam sekali. Oleksandr menelan ludah. “Kirim saja. Aku akan datang.”
Alamat segera dikirimkan. Olek berangkat segera. Tanpa dibantu seorang teman pun. 
Tempat itu berada di luar Kiev. Di satu daerah yang sunyi. Ada sebuah gedung besar, sepertinya bekas gudang penyimpanan, atau bekas pabrik, Olek tidak terlalu ingat, dia segera memarkirkan mobilnya. Sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya.
“Bagus, kau datang sendirian. Silakan masuk, Komandan Oleksandr.”
Oleksandr menuruti perintah itu sambil terus waspada. Musuh yang licik. Orang itu menyuruh Oleksandr datang sendirian, tapi tidak ada jaminan musuh menunggu sendirian juga di dalam sana. 
Pria berjubah coklat itu duduk di kursi, di tengah-tengah ruangan kosong dalam gudang. Di sisi-sisi ruangan, bertumpuk-tumpuk kotak, dan kardus. Seperti yang Olek duga, ini gudang penyimpanan. Tapi lupakan itu.  Fokus pada musuh. 
“Selamat datang, Komandan Oleksandr.”
Olek menatap orang itu dengan tajam. Dia masih menutupi wajahnya agar tersamar. Di bawah temaram tiga buah lampu ini, hanya sorot matanya saja yang terlihat. 
“Kau tidak mau menjawab salamku, Komandan? Kau keterlaluan.”
“Aku datang untuk menangkapmu. Kau akan menjadi tambahan saksi yang sangat berharga di pengadilan.”
“Bagus sekali, karena aku datang untuk membunuhmu. Kau adalah buronan nomor satu kami sekarang.”
Olek meraih pistolnya. Pria itu meraih katananya. Mereka siap untuk saling bertarung, saling bunuh sekarang. 
DORRR!
Tembakan pertama dilepaskan. Tidak kena. Pria itu menghindar dengan gesit, kemudian dengan gerakan yang cepat sekali, dia sudah maju ke depan. Katananya terhunus. Olek harus menangkis serangan itu.
TRANG!
Untungnya tangan dia sempat menyambar tongkat polisi di pinggangnya. Namun resikonya, pistolnya terjatuh. 
“Bagus sekali, senjatamu ini terlalu berbahaya. Tidak cocok untuk pertarungan jarak dekat.” Orang itu menendang pistol Olek jauh-jauh, hingga terlempar.
“Kurang ajar kau.” Olek kemudian mendaratkan tinjunya di perut pria itu. Serangan dadakan. Pria itu terkejut. Olek tak sampai di situ, dengan cepat dia juga meninju tangan yang memegang katana, hingga katananya juga terjatuh ke lantai. Setelah itu Olek menendang...
Bukan katananya, tapi orangnya.
Pria berjubah coklat itu berhasil menghindar. Namun dia kehilangan katananya. 
“Kau tidak adil, Komandan. Kau ingin pertarungan diselesaikan dengan tangan kosong rupanya.”
“Setidaknya, ini lebih adil.”
“Baiklah, terserah kau saja.”
Kemudian orang itu bergerak sangat cepat bak menghilang dalam waktu relatif singkat. Dia mendaratkan tinjunya pada Oleksandr yang tak berdaya sedikit pun menangkis, karena tidak bisa melihat darimana arah datangnya serangan.
“Kau lupa, Oleksandr. Di pertarungan terakhir kita, hanya Stanislav yang bisa mengimbangi gerakanku, kau tak bisa. Kau bisa berakhir dengan cepat jika seperti ini.”
“Tutup mulutmu. Dan sebaiknya kau tidak meremehkan seorang polisi.”
BUKKKK!
BUKKKK!
BUKKKK!
Tiga pukulan itu bisa ditangkis!
“Kau lumayan juga.”
Pria itu akhirnya kembali menampakkan dirinya. Dia terengah-engah. 
“Kecepatan segila itu, pasti memakan banyak energi.” Olek menyeringai.
“Dan pukulan-pukulanku tadi, pasti meninggalkan bekas.”
“Sebaiknya kau lepas saja jubahmu itu agar kau tidak kesulitan bernafas.” Olek kembali menyeringai. 
“Dan kau pasti terkejut begitu melihat wajahku nanti.”
Hari ini, nanti, Olek pasti terkejut sekali.


Dua Ratus Tujuh
Kau Adalah...


“Mari aku coba sekali lagi gerakan super cepat itu, Oleksandr.”
“Majulah. Aku sudah siap.”
Pria berjubah coklat itu dengan cepat menghilang. Sementara Olek menyilangkan tangannya untuk menangkis.
BUKKK!
BUKKK!
BUKK!
Serangan tetap saja berdatangan. Olek tidak sanggup membaca gerakan musuhnya. Dia bertahan di tempat. Olek hanya memikirkan satu hal. 
Jangan sampai musuh mengambil katana miliknya. 
Pria berjubah coklat itu muncul lagi, dengan jauh lebih terengah-engah. 
“Kau hanya ingin menyombongkan dirimu, bukan?” Olek bertanya. 
Sorot mata pria itu membenarkan. Dia memang hanya ingin pamer. Sayangnya tekniknya itu tidak bisa melumpuhkan Oleksandr. Dia perlu siasat lain. 
“Kau lawan yang merepotkan, Olek.”
Nama panggilan itu. Hanya orang dekat yang memakai nama panggilan itu pada Oleksandr. 
“Akan aku coba sekali lagi.”
Pria itu menghilang lagi. Namun kali ini gerakannya sudah tidak efektif lagi. Ibarat kata, kecepatannya berkurang, dari 180 km/jam, menjadi 100 km/jam. 
Di satu detik yang krusial dalam percobaan ketiga ini, Olek bahkan sempat mendaratkan tinjunya. Membuat pria itu terpental. Kesakitan. 
Oh rupanya seperti itu. Rupanya itu kelemahan dari teknik ini. Duga Olek, dan itu memang benar. Teknik super cepat itu, punya kerentanan akan pukulan yang dua kali lebih sakit. Pria itu masih tersungkur.
“Kurang ajar kau, Oleksandr.”
“Sepertinya aku akan mengalahkanmu dalam percobaan selanjutnya.”
“Cih jangan harap.”
Pria itu kembali menghilang. Namun, sekali lagi, kurang efektif. 
Tiba-tiba Olek terpikir satu ide. 
Akan kutarik jubahnya sebelum melumpuhkannya. 
BUKKKK!
BUKKKK!
BUKKKKKK!
Pukulan-pukulan kembali berdatangan, jauh lebih keras daripada sebelum-sebelumnya. Olek bertahan sambil menggigit bibir. Lumayan sakit ternyata. Dia harus bertahan untuk mendapatkan momentum itu.
Dan momentum itu akhirnya datang.
Tepat saat sekelabat bayangan musuhnya hadir melewatinya, tangan Oleksandr bergerak. Menarik jubah coklat itu. Musuhnya buru-buru hendak lari, namun itu menyebabkan jubahnya terlepas, hingga pria itu terlempar jauh. 
Kini seluruh topeng samarannya terbuka lebar. Dia berusaha berdiri. 
“Sial, seharusnya aku mematikan lampu sekarang. Tapi tak mengapa. Mari kita lihat, bagaimana tanggapan kau, Oleksandr.”
Olek berdiri mematung. Sangat kaget melihat pria yang tadi jadi musuhnya, kini berdiri, menjadi seseorang yang sangat dia kenal. Pelan-pelan bibir Olek merangkai kata sapaan.
“Vlari....”
Yap, salah satu anak buah Dimitri, adalah Vlari. Orang yang selama ini mengaku anak buah Profesor. 
Sekarang bayangkan, betapa banyak antek-antek musuh di sekeliling Profesor.

Dua Ratus Delapan
Mau Diapakan


“Kenapa kau mengkhianati Profesor, Vlari?”
Vlari malah tertawa, tertawa dengan kejam. “Siapa yang berkhianat, Olek? Aku tidak pernah bilang aku setia pada siapa bukan?”
“Atas tindakanmu ini, kau akan dihukum sangat berat, Vlari. Aku jamin.”
“Seolah-olah kau bisa mengalahkanku, Oleksandr.”
DORRR!
“Argh!” Vlari melenguh. Lebih karena terkejut, ketimbang kesakitan. Olek sudah mengokang pistol dengan tangannya, berdiri gagah. 
“Sejak kapan kau mengambil pistolmu. Eh, hei, pistolmu masih ada di sana.”
“Polisi yang berdedikasi tinggi sepertiku selalu membawa senjata cadangan, Vlari. Apalagi dalam pertarungan yang tak boleh ada orang lain terlibat di dalamnya.”
“Kau menipuku mentah-mentah, Olek.”
Olek maju, Vlari berusaha mengeluarkan teknik gerakan cepatnya. Namun kecepatannya semakin menurun. Ibarat kata, kini hanya di angka 40 km/jam. 
“Seranganmu itu kini mudah terbaca, Vlari.”
BUKKK!
Olek meninju Vlari yang tengah bergerak cepat. Darah segar muncrat dari mulutnya. Vlari terlempar dengan memegangi dadanya. Dia kesakitan.
“Sialan kau, Olek.”
“Entah kenapa, aku jadi sangat bersemangat setelah mengetahui kau adalah pengkhianat.”
“Kau tadi menyerangku dengan curang memakai pistol kedua.”
“Itu serangan yang amat menentukan bukan.”
“Oh ya, sekarang kau mau mengapakan aku?”
Olek mendekat, membantu Vlari yang masih susah payah berdiri. Kemudian memasangkan borgol di tangannya. Semua berlangsung dengan amat cepat. 
“Tenang saja Vlari. Kita hanya akan mengobrol. Di sebuah ruangan yang nyaman. Kau akan menikmatinya. Untuk sementara identitas kau akan kurahasiakan dari siapapun.”
“Kau pasti ingin menjadikanku saksi di pengadilan bukan?”
“Ya, tentu. Dan sampai hari itu tiba, aku akan menjagamu dengan ketat. Kau tidak bisa melarikan diri kemana-mana. Termasuk ke akhirat sekalipun. Ayo ikut.”
Olek menggelandang Vlari yang sudah tak berdaya (dan terengah-engah) keluar dari gedung dan masuk dalam mobil polisinya. Entah kenapa saat digelandang keluar, Vlari justru tersenyum. 
Seolah mengatakan, semua berjalan sesuai dengan rencana!

Dua Ratus Sembilan
Hari-Hari Terakhir


Tanggal 24 November
Phia kembali menemui Profesor hari ini. Dia membawa segepok dokumen besar yang hanya diberi jepitan kertas warna hitam di sisi-sisi kiri atas dan kiri bawahnya. Itulah tesis yang ditulisnya mati-matian selama dua bulan terakhir, di Ukraina. 
Hari ini tesisnya telah selesai. Hari ini dia ingin meminta koreksi pada Profesor Nyoman selaku pembimbing tesisnya. Sebelum nanti tesis itu diuji di Taipei University. 
Profesor, meskipun terlihat santai, bersahabat, ramah sekali ketika bicara, namun beliau adalah orang yang teliti, perfeksionis dan amat serius kalau sudah menyangkut soal hal berbau ilmiah. Apalagi itu berupa tesis yang mencatut namanya di dalamnya. Makanya hari ini, beliau meminta Phia membawakan versi print-out dari tesis setebal 250 halaman lebih itu. Agar dia bisa membacanya lebih teliti. 
Beliau membaca halaman demi halaman. Secara saksama. Phia menunggu di depannya dengan sabar. Ya, harus dengan sabar. Sebab ini bisa memakan waktu berjam-jam. Profesor meluangkan waktu secara khusus untuk memeriksa tesis mahasiswa. Beliau membolak-balik, lembar demi lembar, menandai bagian yang dirasa kurang. 
Pemeriksaan tesis itu memerlukan waktu dua jam. Namun, setelah itu, beliau tersenyum puas. 
“Tulisanmu bagus sekali, Phia. Kamu amat berbakat.”
“Terima kasih, Profesor. Sebelumnya, di Taipei, saya pernah menjadi mengikuti pelatihan wartawan dan mengikuti kegiatan jurnalistik di kampus.”
“Oh pantas saja. Tulisanmu begitu rapi. Runtut. Meskipun ada beberapa bagian yang logikanya kurang kuat, tapi itu bisa diperbaiki. Tapi kita punya dua kekurangan fatal di sini, Nak.”
Profesor menatapnya dengan serius. 
“Eh apa itu, Profesor? Boleh saya tahu? Agar saya bisa memperbaikinya.”
“Jawab pertanyaanku dengan jujur, Nak. Apakah kamu yakin dengan penelitianmu ini?”
Pertanyaan itu membuat ekspresi Phia campur aduk. Terkejut, kaget, dan seperti kena pergoki. Sekelabat juga dia sempat terlihat murung. 
“Eh saya, memang merasa ragu, Profesor. Penelitian ini jauh dari ekspektasi saya sendiri. Baik prosesnya, maupun hasilnya.” Phia akhirnya mengaku, setelah bicara, dia hanya menunduk. Profesor dengan wisdom-nya telah berhasil membaca isi kepalanya. 
“Aku mengerti, Nak. Kau pasti membayangkan bisa menulis dengan tenang di Taipei, di bawah bimbingan Yun Zee, kolegaku yang berdedikasi itu, sambil menikmati datangnya musim dingin. Bukan di Kiev, dengan resiko tertangkap dan terlibat dalam kejahatan. Tapi kau berhasil menyelesaikan sebuah penelitian.”
“Maafkan saya, Profesor. Apakah ada sesuatu yang dapat saya perbaiki.”
“Tidak Nak. Secara teknis, aku tidak bisa mengoreksi keyakinan dirimu. Aku tidak memberi koreksi tentang itu. Tapi aku ingin kamu menyadari, bahwa dalam hidup kadang sesuatu tidak bisa berjalan sesuai kehendak kita. Terkadang kita dipaksa untuk menghadapi kenyataan. Itu pahit. Itu menyakitkan. Itu menyebalkan. Tapi, kita tidak punya pilihan lain. Contoh kasusnya ada banyak. Misal kau berjalan-jalan santai, tiba-tiba ban kendaraanmu bocor, kau harus mendorong kendaraanmu sejauh ratusan meter. Itu pahit, tapi kau terpaksa menjalaninya. Demikian juga kau di Kiev. Kamu tidak punya pilihan lain selain menerimanya, Phia. Bisakah kamu menerimanya?”
“Saya sudah mencoba menerima kenyataan ini sejak pertama menjejakkan kaki di Kiev, Profesor.”
“Baguslah, karena aku ingin kamu tinggal lebih lama di sini. Membantu pekerjaanku. Kamu tidak perlu cepat-cepat pulang.”
Phia ternganga. Apa maksud Profesor? Bukankah ini adalah hari-hari terakhirnya?


Dua Ratus Sepuluh
Keraguan dalam Pikiran Profesor


“Apa maksud Profesor?”
“Tidak apa, Nak. Aku hanya mengutarakan apa yang kuinginkan. Kami di sini memerlukan dirimu.”
“Saya tidak bisa, Profesor.” Phia perlahan menggeleng. Dia sudah mengatur rencananya sehabis dia pulang nanti ke Indonesia. Mana mungkin dia bisa mengubah semua rencana itu?
“Tidak apa-apa,  Nak. Maafkan aku. Dalam beberapa hal, kamu tahu, aku juga punya banyak ketakutan.”
“Apakah ini mengenai Oserzeen?”
Profesor menatap Phia dengan heran. Phia sebaliknya menatap Profesor dengan pandangan ganjil. Gadis itu kembali mengeluarkan kemampuan terbaiknya, membaca pikiran karakter lain, lengkap dengan jalan ceritanya. 
“Jadi begitu, kamu memang orang yang sangat istimewa, Nona Phia.”
Phia tersenyum, membalas, “terima kasih, Profesor. Jika anda mau bercerita, saya akan mendengarkan.”
“Perang ini berkepanjangan, Nak. Dan kita belum tentu menang. Kita seperti menghadapi musuh yang tak habis-habis. Selalu saja ada ulah mereka. Aku kerap bertanya-tanya, apakah mereka bisa dikalahkan, dan kebenaran bisa ditegakkan.”
“Kebenaran akan tegak, Profesor. Itu sudah jadi hukum alam.”
“Tapi, kapankah itu akan terjadi?”
“Di saat yang tepat, oleh orang yang tepat.”
Profesor meletakkan tesis Phia yang sedari tadi dipangku di pahanya, ke meja kecil yang memisahkan sofa mereka berdua. Profesor kini berkonsentrasi penuh.
“Siapakah orang-orang itu. Apakah kita adalah orang yang tepat?”
“Saya tidak tahu soal itu, Profesor. Jikapun saya tahu, saya tidak bisa mengatakannya. Itu akan merusak jalan sebuah cerita.”
“Menurutmu, apakah lebih baik jika aku mengangkat bendera putih saja? Menyerah kalah pada Oserzeen?”
“Kenapa profesor berpikiran seperti itu?”
“Karena Kokov kemarin menyarankan seperti itu. Dia melihat Oserzeen sebagai orang-orang yang terlalu berbahaya.”
“Bagaimana menurut hati profesor sendiri?”
“Aku ingin berjuang hingga akhir, Nak.”
“Apakah ada terbesit keinginan untuk menyerah dari hati Profesor yang paling dalam.”
Profesor menggeleng. Kalau boleh jujur, dia ingin berjuang terus menerus. Dia tidak sudi mengalah pada Oserzeen. Phia menatap Profesor penuh perhatian. 
“Saya tidak bisa menasihati anda, Profesor. Saya tidak berhak. Karena anda punya lebih banyak wisdom dibandingkan saya. Tapi, saya ingin anda mengikuti insting dan wisdom anda. Pertimbangkan semuanya. Kemudian ambil tindakan yang menurut anda terbaik. Saya yakin anda bisa.”
“Maksudmu, aku harus tegas.”
“Tadi anda yang mengajari saya agar tidak ragu-ragu.”
Profesor kini tertawa lepas. Sekarang dia mendapatkan pelajaran berharga dari anak muridnya.


Dua Ratus Sebelas
Oleksandr Mati Terbunuh


Tanggal 24 November, dinihari
Vlari dimasukkan ke dalam sel khusus di ruang yang khusus pula. Ruangan yang nyaman. Lebih mirip dengan ruangan isolasi.
“Ini memang ruangan isolasi. Mulai sekarang, akulah yang mengawasimu di sini.”
“Kau sepertinya tidak percaya dengan satupun anak buahmu ya?” Vlari menyeringai. 
Olek menggeleng mantap. “Sejak Pieter Both meracuni dua orang saksi kunciku, aku tak percaya lagi dengan siapapun. Satu-satunya orang yang tahu tentang penangkapanmu, juga cuma aku.”
“Kau tidak takut aku tiba-tiba bisa melarikan diri dan membunuhmu?”
“Kau sudah kuborgol erat-erat. Nah sekarang mari kita duduk di kursi yang nyaman itu dan mulai bicara.”
Vlari menurut untuk duduk. Tapi dia tidak menurut untuk bicara. Dia mengunci mulutnya rapat-rapat. Olek kembali menyeringai. “Tidak apa. Aku punya banyak cara untuk membuatmu bicara.”
Vlari tetap menggeleng kuat-kuat. Mengunci mulutnya rapat-rapat. Sampai Olek putus asa menanyainya. 
“Kau membuat proses ini jadi sulit, Vlari.”
“Aku sama sekali tidak akan bicara, sampai besok malam.”
“Nah seandainya kau bicara selancar itu, kita bisa mencapai kesepakatan lebih cepat. Ngomong-ngomong kenapa dengan besok malam.”
“Sesuatu yang besar.”
Sesuatu yang besar? Olek menatap musuhnya itu dengan serius. “Apa yang kau maksud, dengan sesuatu yang besar?”
“Aku tidak akan bicara.”
“Baiklah,” Olek berdiri putus asa, “aku akan meninggalkanmu dalam ruangan ini. Besok pagi kita akan bicara. Oh ya, kau tidak boleh menegak setetes air pun sebelum kau mau bicara. Jadi harap buat keputusan yang tepat.”
Vlari tidak menjawab lagi. Dia hanya tersenyum sinis. Kau jangan meremehkan aku, Oleksandr.
Keesokan harinya, Olek kembali ke ruangan, untuk mendapati tahanannya bangun dalam keadaan lemas.  
“Apa kabar, Vlari?”
“Kau akan membayar ini semua, polisi berdedikasi.”
“Kau malah menghinaku. Bagaimana kalau sekarang kita buat semua mudah. Aku beri kau air, asal kau mau menjawab pertanyaanku.”
Tawaran itu dibalas dengan gelengan. 
“Astaga, haruskah aku menggunakan cara-cara yang lebih kasar. Aku masih menaruh sedikit respek padamu, kau tahu. Meskipun kau telah menipuku mentah-mentah.”
“Tunggulah sampai pukul delapan.”
Lagi-lagi sebuah kalimat yang aneh. Olek mulai merasakan sesuatu yang serius. Berbahaya. Oserzeen pasti telah menyusun rencana. Dia harus waspada penuh. Orang di depannya ini, meski telah diborgol delapan lapis, tetap saja berbahaya. Olek menengok jam, sebentar lagi pukul delapan. Baiklah, dia akan menunggu. Siapa tahu, Vlari tidak bercanda.
Pukul delapan, malah datang seseorang mendekat ke ruangan isolasi. Derap langkahnya terdengar jelas. Olek bangkit ke pintu. Membukakan pintunya. Siapa itu? Apakah anak buahnya iseng? Bukankah dia sudah menyuruh mereka agar tidak mendekat. 
Sosok itu tiba di depan ruangan isolasi. 
“Hei, Olek.”
“Kau, kenapa kau bisa ada di sini, darimana kau tahu?” Olek keheranan karena kedatangan sosok yang tidak ditebaknya bisa muncul sekarang.
“Aku sedikit urusan. Jadi aku mencarimu.”
“Oh ya, ada apa itu?”
“Aku akan membunuh seseorang,” sosok itu bergerak mengambil pisau kecil di pinggangnya kemudian menusukkannya ke arah depan. Dengan gerakan super cepat. Menusuk Oleksandr.
“Apa yang kau lakukan?” Olek berseru kesakitan. Tapi serangan mendadak itu terlalu fatal. 
“Aku akan membunuhmu.” Sosok itu menyeringai.
Siapa dia?
Vlari di dalam ruangan sudah tertawa-tawa senang. “Sudah kubilang berkali-kali pada Oleksandr, dia tidak tahu apa-apa tentang Oserzeen, jadi sebaiknya dia tidak macam-macam.”
Oleksandr mana mendengar. Dia sudah jatuh bersimbah darah. Sosok itu tanpa ampun menyempurnakan tugasnya, dengan memenggal kepala sang polisi. 
Kemudian dia membebaskan Vlari dan mereka berdua kabur. 
Inilah akhir dari sang polisi berdedikasi tinggi.

Bersambung>>>>
(10 chapter tersisa)

Bagian Terakhir Ditulis Pada
Sabtu, 06 Agustus 2022
Pukul 20.10
WITA

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Novel Gratis
Selanjutnya [Free Draft] 2+2=4 (Untold Story of Humadi Azka 1)
0
0
Semua orang pernah jatuh cinta. Humadi Azka adalah salah satu di antara sekian banyak orang yang pernah dan sedang jatuh cinta, jadi kisah ini tidaklah terlalu spesial. Lantas, apa yang membuat cerita ini layak untuk dibaca? Barangkali karena Humadi Azka menyampaikan kisahnya dengan tulus, tanpa ditutupi, apa adanya. Ha, terdengar kisah yang terdengar sederhana. Namun tidak.  Di sini, di Quart School, sekolah dengan sistem pendidikan terunik dan terbaik, semua tidak sesederhana itu. Ada banyak hal hebat yang akan kita lihat. Bagaimana sistem pendidikan di Quart School, seperti apa gurunya, seperti apa cara belajarnya, seperti apa kantinnya, bagaimana kelakuan muridnya, apa saja acara-acara besarnya. Semua itu, akan kita temukan di sela-sela kisah cinta Azka yang apa adanya, dan sederhanaIni adalah buku pertama dari total empat buah buku yang mengisahkan Humadi Azka
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan