
Apa arti Cinta? Apa arti Penderitaan? Apakah hidup ini adil?
Felix Norton hanyalah seorang pemuda biasa. Dia tidak punya pekerjaan tetap. Dia punya masa lalu yang amat kelam. Dia hanya tahu satu aturan, pukul saja siapa pun yang menghalangimu. Lantas, apakah pengetahuan akan aturan itu bisa membawa Felix Norton bertahan di antara lebatnya hutan hujan terbesar di dunia.
Inilah petualangan Felix Norton. Bersama Ketua rombongan yang kharismatik, seorang gadis periang dan pemberani, seorang pemuda...
1
Selayang Pandang Amazonia
Sekarang, kita akan memulai cerita baru, dengan tempat yang baru, dan dengan masalah baru.
Hutan Amazonia, sebut saja demikian (demi menghindarkan klaim terhadap tempat aslinya di dunia nyata), menghampar luar di kawasan Amerika Latin. Amazonia adalah kebanggaan bagi kawasan itu, sebagai kawasan dengan keanekaragaman hayati paling besar di dunia. Amazonia juga merupakan kawasan darat penyuplai oksigen terbesar di dunia. Hutannya membentang seluas 11 ribu hektar.
Hutan Amazonia dari luar hanya terlihat rimbun daun hijau seluas mata memandang. Namun jika di-zoom-in, di dalamnya bak negeri dongeng.
Di dalam Hutan Amazonia membentang salah satu sungai terbesar, sekaligus terpanjang di dunia. Sungai itu bernama sama dengan hutannya. Entah apakah hutan itu dinamai berdasarkan nama sungai atau sebaliknya, nama sungai itu, Sungai Amazonia.
Sungai Amazonia merupakan habitat bagi berbagai macam hewan dan tumbuhan yang unik. Mulai dari reptil caiman sepanjang 4 meter, berang-berang raksasa, hingga ular terpanjang di dunia, Anaconda. Di darat, di balik rimbunnya semak, hidup pula spesies kucing penguasa, si Mata Hijau, Jaguar.
Selain hewan-hewan yang telah diidentifikasi oleh ilmuwan, masih ada ribuan spesies lain yang belum dinamai. Atau bahkan belum pernah dilihat oleh manusia. Mereka hidup di pedalaman hutan. Tak pernah terekspos oleh dunia. Katanya, tidak banyak manusia yang bisa menyentuh jantung hutan Amazonia.
Jantung Hutan Amazonia, begitu liar, tak terduga. Penduduk lokal Amerika Latin percaya bahwa di dalam sana, di sudut yang tak terjangkau oleh manusia, hiduplah komunitas manusia yang 180 derajat berbeda dengan manusia modern. Jantung Hutan Amazonia begitu misterius, penuh mitos akan makhluk-makhluk mengerikan.
Tak pelak, petualangan menjelajahi Hutan Amazonia pasti menjanjikan sensasi yang luar biasa.
Sayangnya, Hutan Amazonia yang sekarang, tidak sedang baik-baik saja. Luasnya hutan, rimbunnya daun, semakin tahun semakin berkurang. Pembalakan liar, penebangan hutan, hingga yang terkini, aktivitas penambangan digalakkan pemerintah di Hutan Amazonia. Tidak banyak yang peduli tentang Hutan Amazonia yang merupakan harta nasional. Semua gelap mata oleh uang.
Pada kesempatan kali ini, kita berkesempatan menjelajahi Hutan Amazonia. Barangkali penjelajahan terakhir sebelum hutan ini lenyap dari muka bumi. Kita bisa melihat keunikan Hutan Amazonia dari dekat.
Seperti kata orang-orang bijak, sebuah perjalanan idealnya dilakukan oleh empat orang. Satu orang ketua rombongan yang kharismatik, seorang gadis yang periang dan pemberani, seorang pemuda tanggung misterius namun jago berkelahi, serta satu orang warga lokal sebagai penunjuk jalan. Kemudian perjalanan itu harus dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan.
Begitulah kira-kira awal perjalanan ini.
2
Pembicaraan Dua Orang Penting
Latar berpindah ke sebuah teras, di lantai dua sebuah gedung, di sebuah kota yang terletak agak jauh dari Amazonia sisi Timur. Kota itu berdekatan dengan Samudera Atlantik. Di teras lantai dua itu, ada dua buah kursi dan sebuah meja kecil. Di atas kursi itu, duduk dua orang penting negeri tersebut.
Karena urusan negara itu begitu sensitif, kita tidak bisa menyebutkan nama negara itu.
Dua orang itu duduk berhadapan. Keduanya sudah mencapai usia setengah baya. Satu orang berpakaian kemeja sopan, dan yang satunya mengenakan jas. Dia nampaknya baru pulang kerja. Jasnya sedikit kusut, tapi tidak mengurangi kesan wibawa orang tersebut.
Si kemeja sopan adalah Presiden Negeri itu, Namanya Marcelo da Silva. Sementara orang yang memakai jas, adalah tamunya, Profesor Joao. Profesor Joao adalah menteri riset dan penelitian di kabinetnya. Profesor juga merupakan salah satu orang paling pintar di negara itu.
“Terima kasih sudah datang, Profesor. Buat diri anda nyaman.”
Profesor mengangguk, “tadinya saya kira ini hanya acara ramah tamah, tidak formal, Mr. Presiden. Kira-kira apa yang bisa saya bantu?”
“Ah iya,” Presiden Marcelo menarik kursinya, menegakkan punggung, “ini memang hanya acara ramah tamah. Tapi ada sesuatu yang penting yang harus kubicarakan dengan dengan anda.”
“Sila mulai, Mr. Presiden.”
“Anda pasti tahu, aku mendapat banyak kecaman dari media, nasional maupun internasional. Gara-gara aktivitas pembangunan kita yang mengganggu kelangsungan Hutan Amazonia. Bahkan, tadi pagi aku membaca satu artikel yang mengecam dengan sangat keras, menyebutku tidak punya hati dan perasaan. Kata mereka aku sedang membunuh umat manusia secara perlahan dengan cara menghancurkan hutan. Kecaman-kecaman semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, Profesor. Jika banyak rakyat yang terprovokasi, kecaman ini bisa berubah jadi gerombolan demonstran.”
Profesor Joao menelan ludah. Tak menyangka dia akan diundang untuk membicarakan hal ini. Sungguh tak dia sangka. Urusan hutan selalu jadi bahasan sensitif di pemerintahan negara itu.
“Apa yang bisa saya sarankan untuk anda, Mr. Presiden. Saya tidak melihat hubungan masalah ini dengan bidang kajian saya. Bukankah seharusnya anda mengundang menteri informatika atau menteri urusan dalam negeri. Bukan saya, Mister.”
“Terima kasih sudah memberiku saran tanpa diminta, Profesor,” ada nada sinis dibalik kalimat Presiden Marcelo barusan, “tapi aku tidak sedang memerlukan saran dari mereka. Aku tidak ingin menyelidiki tentang media massa itu, ataupun menertibkan masyarakat. Bukan. Ada pertanyaanku yang lebih cocok jika dijawab oleh anda.”
“Sila tanyakan, Mr. Presiden.”
“Aku ingin tahu, bagaimana sebenarnya kondisi Hutan Amazonia yang sekarang? Kondisi yang sebenar-benarnya. Apakah memang seburuk yang mereka tuduhkan? Anda dan tim anda pasti punya data seputar itu-kan, Profesor. Kuingat dana penelitian kalian untuk Amazonia, besar sekali.”
Profesor menelan ludah lagi. Ternyata ini memang bukan sekedar acara ramah tamah. Ini pembicaraan yang bisa mempertaruhkan kariernya. Pelan-pelan profesor berkata, “anda ingin tahu? Sekalipun itu fakta yang pahit?”
“Katakan saja, Profesor.”
“Dua ratus tahun yang lalu, ketika penyintas Eropa datang ke Negeri kita, luas Amazonia kira-kira 1 milyar hektar. Itu lebih luas dari negeri kita sendiri, dan mencakup hampir 75% daratan Amerika Latin. Daerah seluas itu sekarang sudah berkurang, dibuat pemukiman, kota-kota kecil ataupun lahan pertanian. Menurut data terakhir yang saya baca, saat ini luas Hutan Amazonia sekitar 500 juta hektar.”
“Berkurang setengahnya dalam dua ratus tahun,” kening presiden mengkerut, “semasif itukah kerusakannya, bagaimana bisa terjadi, Profesor?”
Pertanyaan jebakan, batin profesor.
“Kebakaran hutan, Mr. Presiden. Kebakaran hutan yang menjadi sebab utama. Setiap tahun tak kurang dari 1 juta hektar. Kita hanya tertolong oleh kesuburan tanah dan banjir yang setiap tahun melanda Amazonia. Berkat dua faktor kunci itu, hutan yang terbakar, sebagiannya bisa tumbuh kembali.”
“Apa motif kebakaran hutan ini, Profesor?”
Lagi-lagi pertanyaan jebakan. “Suhu ekstrem di musim kemarau. Kepadatan rata-rata pohon di Hutan Amazonia amat mendukung terjadinya kebakaran. Satu saja pohon terbakar, akan dengan sangat mudah menjalar ke pohon-pohon lainnya. Apalagi kalau dibakar secara sengaja.”
“Tidak ada yang membakar secara sengaja. Negara kita punya undang-undang yang menghukum siapa saja yang berani melakukan pembakaran hutan.” Kembali terdengar sahutan sinis dari kalimat Presiden Marcelo.
“Saya kurang tahu masalah itu, Mr. Presiden. Saya hanya menduga-duga. Tim saya tidak fokus mengurusi masalah tersebut. Kami hanya menyusuri hutan, bukan mencari pelaku pembakaran hutan.”
“Baiklah, lalu dimana saja titik-titik kebakaran hutan biasa muncul? Beritahu aku jika kalian memang menyusuri hutan.”
Profesor Joao menyebutkan beberapa titik yang memang ditemukan timnya sebagai lokasi rawan kebakaran hutan. Satu demi satu disebut, makin tegang urat leher presiden. Jelas sekali Profesor Joao sedang balik menyindirnya, setiap titik yang disebutkan profesor barusan, adalah titik-titik yang berdekatan dengan tambang milik pemerintah.
“Anda yakin dengan data-data ini, Profesor?” Presiden bertanya dengan pelan tapi menakutkan. Profesor sudah tahu, jadi segera menurunkan tempo pembicaraan adalah pilihan utama. Dengan elegan, profesor mengalihkan pembicaraan.
“Sejauh ini saya yakin, Mr. Presiden, tapi saya punya data lain yang mungkin membuat anda lebih tertarik.”
“Katakan.”
“Dalam salah satu survey kami, kami menemukan bahwa rasa patriotisme masyarakat negeri kita sudah menurun. Mereka abai terhadap kerusakan Amazonia. Indeksnya menurut data, adalah 4,5% saja. Itu artinya, kurang dari 5 juta orang yang peduli dengan Amazonia. Padahal kita punya rakyat mencapai 200 juta orang. Seandainya saja masyarakat lebih peka terhadap Amazonia, saya kira kebakaran hutan dan kemusnahan Amazonia, bisa dicegah, Mr. Presiden.”
“Lalu bagaimana ide anda?”
“Saya mengusulkan agar anda membuat sebuah program penjelajahan hutan. Kita harus memperkenalkan kembali kehebatan Hutan Amazonia, dengan begitu, tumbuh kepedulian pada masyarakat kita.”
“Penjelajahan hutan?” Presiden Marcelo masih menyahut jengkel.
“Ya, Mr. Presiden. Saya kira penjelajahan itu juga cukup untuk menyelamatkan anda dari tuntutan demonstran.”
Akhirnya Presiden Marcelo bisa mengeluarkan seulas senyum.
3
Tawaran Besar Rendah Peminat
Malam itu juga, Presiden Marcelo, setelah acara ramah tamah selesai, memerintahkan stafnya bekerja. Menghitung anggaran, mengkalkulasikan keuntungan, dan membuat rencana. Untuk hal-hal semacam ini, presiden lebih suka mengandalkan stafnya, daripada para menterinya. Sebab staf bisa bekerja secara rahasia.
Akhirnya keesokan harinya, setelah staf bekerja semalaman, Presiden Marcelo mengumumkan program terbarunya itu di depan rapat kabinet. Sebuah program penjelajahan Hutan Amazonia. Presiden menyebutnya, “Ekspedisi Menuju Negara yang Tersembunyi”. Dari judul program itu, agaknya kita tahu kalau presiden ini juga punya jiwa seni yang kuat.
Detail program itu dideskripsikan oleh staf Presiden. Bahwa penjelajahan itu akan dilangsungkan dengan minimal batas waktu 30 hari, menyeberangi Amazonia dari Timur ke ujung Barat. Rute ditentukan menyusuri sungai. Penjelajahan berujung di tapal batas Negara tetangga, dan para penjelajah boleh kembali ke ke timur naik pesawat. Tugas penjelajah adalah mendokumentasikan segenap keunikan Hutan Amazonia, sebanyak-banyaknya. Adapun dana yang disediakan oleh Presiden, senilai 10.000 dollar Amerika. Dana yang besar, tapi saat itu negara juga sedang makmur di bawah kepemimpinan Presiden Marcelo.
Akhirnya, tanpa banyak pertimbangan, saran Presiden Marcelo dan programnya disetujui. Kabinet berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan patriotisme layak dibela dengan harga berapapun. Diantara kabinet yang setuju, terselip Profesor Joao yang merupakan penggagas awal. Wajah beliau harap-harap cemas.
Presiden Marcelo barangkali tidak tahu bahwa ada rencana tersembunyi Profesor Joao dibalik usulan program yang terdengar “patriotis” itu. Sebenarnya, Profesor, alih-alih mengharap program ini mencegah munculnya demonstran, profesor justru berharap program ini menimbulkan demonstran di seluruh negara.
Ide canggihnya berjalin. Program itu menyediakan kesempatan menjelajah Amazonia. Orang-orang yang menjelajah akan melihat kerusakan Amazonia dari dekat. Semoga itu membuat masyarakat sadar akan bahaya yang mengintai, dan bahaya itu disebabkan tangan-tangan pemerintahnya sendiri yang rakus terhadap bahan tambang dan kayu hutan. Semoga dengan kesadaran itu, masyarakat nanti menuntut Presiden Marcelo untuk menghentikan pertambangan di kawasan Amazonia. Profesor Joao berharap penuh pada masyarakat, karena dalam sistem demokrasi, masyarakatlah yang bisa menumbangkan pemerintah.
Bukan main canggih ide profesor itu.
Namun, di lain pihak, bersama-sama stafnya, Presiden telah menyiapkan satu rencana pula. Rencana yang amat gila. Apakah itu? Belum ada yang tahu, karena presiden menyembunyikan semuanya rapat-rapat.
Satu minggu. Dua minggu. Satu bulan. Tidak ada satu orangpun yang mengajukan diri ke Departemen Penelitian dan Riset untuk menyanggupi tawaran tersebut. Semua orang menyisih. Bahkan para akademisi sekalipun.
Karena semua orang tahu, betapa berbahayanya Amazonia. Di sana ada ribuan serangga beracun dan spesies tanaman yang belum diketahui ilmuwan modern. Tidak ada yang akan membahayakan diri menjelajah Amazonia selama 30 hari penuh. Bahkan tidak untuk 10.000 dollar.
Satu bulan berselang, setelah tawarannya itu tidak direspon, Presiden Marcelo memerintahkan titahnya. Mulai menjalankan rencananya. Pada satu malam yang gelap, dia memerintahkan pada stafnya.
“Perluas pengumuman program ini. Perluas sampai cakupan dunia internasional. Kita akan tunjukkan kehebatan negara ini pada mereka semua.”
Stafnya gesit mencatat arahan presiden, mengangguk. “Ada lagi, Tuan Presiden?”
“Tawarkan hadiah senilai 10 ribu dollar juga, untuk siapapun yang berhasil menaklukkan ekspedisi ini.” Presiden Marcelo menyeringai. Itu berarti total uang yang akan digunakan dalam ekspedisi ini, adalah 20.000 dollar. Uang yang cukup untuk membuat siapapun menjadi gila.
4
Seorang Gadis Nun Jauh di Sana
Pengumuman itu segera menyebar ke seluruh dunia. “Ekspedisi Menuju Negara yang Tersembunyi” menjadi headline di banyak negara besar dunia. Hadiah besar yang ditawarkan presiden Marcelo menjadi bahan omongan di banyak sudut bumi.
Begitu Presiden Marcelo memaklumkan bahwa proyek penjelajahannya ini terbuka untuk dunia internasional, Profesor Joao langsung mengontak rekan-rekan sejawatnya sesama peneliti. Meski bakal memalukan mempertontonkan kerusakan Hutan Amazonia di dunia internasional, apa boleh buat. Profesor hanya berharap dengan begitu, dunia juga ikut peduli dengan hutan Amazonia, paru-paru dunia.
Namun malang, baik bagi Presiden Marcelo maupun Profesor Joao. Usaha mereka untuk menemukan orang yang bersedia mengambil tawaran ekspedisi ini masih nihil selama berbulan-bulan.
Rekan-rekan sejawat Profesor, sesama peneliti, sebenarnya amat tertarik untuk mengeksplorasi keanekaragaman hutan Amazonia. Itu adalah lompatan besar bagi ilmu pengetahuan. Namun mendengar persyaratan yang mana mereka harus menghabiskan 30 hari di hutan yang amat berbahaya itu, cukup bagi para ilmuwan pintar dan waras, untuk mengurungkan niat.
“Kita tunggu satu minggu lagi, barangkali akhirnya nanti ada yang mau menerima tawaran ini, Mr. Presiden.” Demikian saran Profesor ketika diundang untuk beramah tamah lagi di kediaman presiden.
Presiden Marcelo yang bermata runcing itu mengangguk, jenis anggukan lesu, “yahh, aku tidak mungkin menarik tawaran dari media internasional. Setidaknya sampai 3 bulan. Hanya saja, mulai besok mungkin aku akan mengangkat seorang perwakilanku untuk melaksanakan program ini. Aku punya banyak pekerjaan lain.”
“Dan siapa gerangan yang hendak anda angkat, Mr. Presiden?” Profesor Joao harap-harap cemas. Dia berharap dia saja yang ditunjuk, sebab dengan begitu jadi makin mudah baginya mengontrol program ini kelak, jika ada yang mau mengambil tawaran (atau tidak sama sekali).
“Danilo Perreira.”
Alis profesor Joao terangkat. Danilo Perreira? Dia kenal nama itu. Seorang Profesor ahli botani terkemuka di Amerika Latin. Presiden dulu pernah berujar bahwa jika saja Profesor Danilo berkarier di Amerika Latin, bukan di Eropa sana, maka Joao hanya akan jadi Joao. Tidak lebih. Dengan kata lain, antara Profesor Joao dengan Profesor Danilo, memiliki hubungan yang tidak baik.
Namun Prof. Joao tidak bisa mengindahkan perintah Presiden Marcelo.
Waktu kembali berlalu. Publikasi media internasional terhadap program Ekspedisi Menuju Negara yang Tersembunyi, makin gencar. Dalam waktu dua minggu, publikasi program itu telah sampai ke bagian terpencil di perbatasan India. Ke sebuah kota kecil yang di cerita sebelumnya disebut “ibukota”.
Seorang gadis sedang menyiram bunga ketika dia membaca berita tersebut. Matanya langsung mencelat terang. Ide-ide langsung muncul di kepalanya melihat barisan kata-kata “program”, “bantuan pemerintah”, “hutan Amazonia”, “30 hari”, dan “10.000 dollar” yang muncul dua kali. Tidak salah lagi, sebuah tawaran yang dia butuhkan.
Gadis itu adalah teman lama kita, Selvi Anatasha, atau yang lebih senang dipanggil Vivi. Teman lama kita ini sedang kesulitan keuangan. Penyakit ayahnya setiap saat bertambah parah. Dia tidak akan membiarkan hal itu begitu saja. Kesempatan mendapatkan 10.000 dollar sebagai hadiah, jelas tidak akan dia lewatkan begitu saja. Vivi langsung memancang niat untuk mengikuti ekspedisi itu.
Meski tidak banyak berperan dalam pendakian Gunung Sarsa tempo lalu, Vivi juga seorang penjelajah yang kini candu dengan sensasi petualangan. Meski dia hanya menyumbang sedikit cerita dan lebih banyak terjatuh dalam perjalanan ke Puncak Dunia, dia tetap seorang gadis yang tangguh. Melihat publikasi program milik Presiden Marcelo itu, dia menjadi bersemangat. Dan sekali lagi, dia memerlukan uang hadiah itu untuk memperbaiki kehidupannya.
Takkan dia lupa bagaimana petualangan mereka yang terakhir, dan janji-janji untuk berkumpul lagi menyambut petualangan baru. Bagi Vivi, inilah saatnya. Menjelajah hutan nampaknya sangat menarik.
Bergegas dia hubungi Felix, namun tulalit.
“Ish, dasar Felix.” Vivi berdecak kesal dalam hati.
Iya, mereka bertukar nomor handphone sebelum berpisah di bandara Ibukota. Namun seperti sifat alami seorang Felix Norton yang acuh tak acuh, nomor Vivi malah diblokirnya.
Baiklah, Vivi tidak menyerah, menggulir daftar kontaknya. Mencari nama Allary Azra di sana. Sang ketua rombongan. Jika Allary bisa diajak, maka mungkin urusan membujuk Felix atau Turguy akan jadi lebih mudah.
Sebab Allary adalah ketua rombongan ini.
Sembari menelepon, bibir Vivi mengulas sebuah senyum. Teringat hari-hari terakhirnya bertemu dengan Allary Azra. Sebelum pemuda tanggung penjual martabak itu pulang ke negerinya.
5
Hari-hari Kepulangan dari Puncak Dunia
Sejenak kembali ke petualangan sebelumnya di Puncak Dunia. Tentu saja episode di Kampung Hijau bukan episode yang terakhir.
Rombongan Allary bermalam selama satu malam di Kampung Hijau. Tidur di rumah Murguy. Itu adalah sebuah pengalaman yang menakjubkan. Di bawah atap-atap dan bangunan serba hijau itu, Allary mendapatkan tidur paling menenangkan yang pernah dia rasakan sepanjang dia bisa mengingat.
“Itulah rahasia Kampung Hijau, ketua,” terang Turguy keesokan harinya, “tempat ini adalah tempat yang begitu damai. Bahkan tempat paling damai di muka bumi. Maka kau bisa mengerti bukan, melihat bagaimana kepanikan warga kampung melihat Langit Hitam kemarin-kemarin itu.”
Allary manggut-manggut. Kembali menghabiskan sarapannya.
Dari Kampung Hijau, keesokan harinya mereka baru turun ke Kota Pasar. Sekali lagi Turguy menjelaskan sesuatu yang unik di sini. Bahwa Kota Pasar dinamakan begitu, karena ini adalah pusat cinderamata para pendaki yang telah turun dan akan kembali ke negerinya. Apa artinya keluar negeri tanpa cinderamata bukan?
Mereka tidak menginap di Kota Pasar, melainkan langsung turun ke Eutasaga. Kampung kediaman Turguy. Ketika bermalam di sini, yang dirasakan Allary bukan lagi kedamaian, melainkan kedinginan. Sungguh aneh, padahal Eutasaga lebih rendah letaknya dibanding Kampung Hijau.
Dua hari sejak tiba di Kampung Hijau, barulah hari ini Allary dan rombongan sampai di Bandara, Pahadaru Visala Airport. Turguy ikut dalam pesawat, katanya dia ingin mengantar rombongan Allary sampai ke bandara besar di Ibukota. Semuanya naik pesawat yang “menantang” itu.
“Jujur saja, walau sudah pernah naik pesawat ini satu kali, aku masih gemetaran, Turguy.” Vivi bersuara.
Turguy hanya terkekeh.
Felix sudah memesan tiket pesawat untuknya balik ke negara asal. Sementara Vivi pulang ke rumahnya di Ibukota. Cuma Allary yang belum jelas. Sejak kemarin, saat orang-orang sibuk membicarakan tiket India-Spanyol, Allary diam saja. Vivi penasaran dengan hal itu. Apalagi Allary memiliki masalah dengan kepulangannya. Sebelumnya dia punya masalah yang membuatnya lari dari Jakarta. Di atas pesawat, akhirnya Vivi bertanya.
“Jadi selepas ini, kamu akan pergi kemana, Allary?”
“Eh aku?” Allary yang sedang melamun memperhatikan Puncak Dunia yang semakin menjauh, “aku mungkin akan tinggal di Ibukota untuk sementara waktu.”
“Tinggal di Ibukota?”
“Ya, karena, aku tidak punya uang untuk pulang. Entah itu ke London atau ke Indonesia. Mungkin aku akan menghubungi ayahku terlebih dahulu.”
“Jadi kamu mau tinggal di mana?” Vivi bertanya lagi.
“Dimana sajalah,” sahut Allary. Terdengar seperti putus asa.
“Hei, seharusnya kau bilang kalau mau menunggu dulu, ketua. Kau bisa menginap di rumahku,” tawar Turguy.
Allary menggeleng, “kau sibuk, Turguy. Aku tidak ingin merepotkanmu.”
“Ya sudah, kalau begitu, Allary bisa tinggal di rumahku untuk sementara.” Itu suara Vivi, menawarkan tanpa canggung. Terkejut Allary dibuatnya.
“Kamu mau menampungku?”
Vivi mengangkat bahu, “kenapa tidak. Lagipula aku tidak kemana-mana. Kamu bisa santai sejenak di rumahku. Ya itu kalau kamu mau.”
“Boleh deh, kalau tidak merepotkan,” sahut Allary.
Berkat pembicaraan itu, mereka tidak terlalu merasakan guncangan dahsyat saat turun di bandara Ibukota.
Dari pesawat itu, Felix berganti ke pesawat yang lebih besar. Pesawatnya sudah menunggu. Mister Latino yang pendiam itu hanya sempat berucap beberapa patah kata. Allary memeluknya, penghargaan persahabatan. Tak lupa juga mereka bertukar nomor telepon.
“Sampai jumpa lagi ketua, aku bangga bisa ikut dalam rombongan yang kau pimpin.”
“Semoga kita bertemu lagi suatu hari nanti, Felix.” Allary menepuk-nepuk punggung “sahabat”-nya itu.
Sementara Turguy, pulang ke Eutasaga, menumpang mobil Edru yang kebetulan lewat di Bandara hari itu. Tinggal Allary dan Vivi berdua saja. Setetes air jatuh dari langit ketika Vivi keluar dari bangunan bandara, memanggil taksi. Allary mengekor dari belakang. Sebelum masuk ke taksi, Vivi sempat berujar,
“Terima kasih atas petualangan yang luar biasa ini, Allary.” Diikutinya dengan senyum yang manis. Allary tertegun. Itulah kali pertama, ada senyuman lain yang bisa berkesan di hatinya, setelah senyumannya Anita.
6
Martabak Pulau Borneo
Landscape, bentang alam Pulau Borneo. Salah satu pulau terbesar di dunia dengan hutannya yang amat lebat dan berharga. Zoom-in ke sebuah kota di bagian selatan, zoom-in lagi ke bundaran jalan protokol yang ramai di pusat kota.
Di sana, seorang pria berumur tanggung mendekati dewasa sedang menempa adonan martabak. Tentu saja dia, tokoh utama kita, Allary Azra.
Allary tepat hendak meletakkan adonan martabak mentah ke atas wajan yang berisi minyak panas, saat ponselnya berbunyi. Dibiarkannya sejenak martabaknya itu di atas wajan panas, diliriknya ponsel. Apa jangan-jangan Tante Sri meneleponnya lagi, karena beberapa hari ini, Tante Sri selalu khawatir dengan kesehatannya. Bila mengingat hal itu, Allary selalu menghela nafas. Dia selalu dianggap sebagai anak kecil di hadapan Tante Sri.
Namun nomor yang meneleponnya sore itu, bukan nomor Tante Sri. Tercetak nama “Vivi” di layar ponsel. Selvi Anatasha, ada apa gerangan gadis itu meneleponnya. Allary meredupkan kompor sebelum mengangkat nada sambung sambil berkata, “halo.”
“Ha, Allary. Syukurlah kamu mau mengangkat teleponku,” sederet kalimat bernada ceria menerjang telinga Allary seketika.
“Ada apa, Vivi?”
“Dengarkan aku, Allary. Kita punya kesempatan melakukan penjelajahan lagi. Penjelajahan, Allary. Bahkan penjelajahan ini bisa lebih menantang ketimbang pendakian kita beberapa waktu lewat. Penjelajahan menembus hutan. Bagaimana menurutmu, Allary, kamu adalah ketua romb....”
“Aku tidak tertarik,” sahut Allary, singkat dan cepat, memotong kalimat Vivi.
“Eh kenapa, bukankah kemarin-kemarin kita berjanji untuk melakukan penjelajahan lagi suatu hari nanti.”
“Iya nanti. Tapi bukan sekarang. Sudah dulu ya, martabak buatanku hampir gosong.” Kemudian Allary menutup sambungan telepon secara sepihak. Membuat Vivi di seberang sana, berdecak kesal bukan buatan.
Hei, sebenarnya ada apa dengan ketua rombongan kita itu?
Perubahan. Agaknya itulah yang menimpa Allary. Hidupnya bergeser begitu cepat. Setahun yang lalu, dia masih hidup di Jakarta, membayangkan kemungkinan kisah happy ending dengan Anita. Begitu cepat waktu berlalu. Sekarang Allary telah terpelacat ke Kalimantan, ke sudut Pulau Borneo. Tidak mengenali siapapun, kecuali orang-orang yang pernah membeli martabaknya.
Berkisah mundur ke belakang sedikit, seusai ekspedisi pendakian Gunung Sarsa, selesai, Allary tertahan di rumah Vivi selama satu minggu. Barulah setelah itu, ayahnya mengirimi Allary uang untuk pulang ke Indonesia. Uang yang diberikan ayahnya itu cukup besar, cukup bagi Allary membuat sebuah keputusan radikal.
Alih-alih membeli tiket pulang ke Jakarta, Allary malah membeli tiket pesawat ke Kalimantan, membeli gerobak, menyewa kontrakan dan berjualan di pusat kota. Allary memulai hidup baru, dengan gerobak baru, dengan produk baru, Martabak Pulau Borneo namanya. Dengan segala pengalamannya, usaha Allary dengan cepat berkembang.
Hanya ada satu hal yang tidak baru. Soal perasaannya.
Meski sudah memutus semua celah komunikasi dengan Anita atau siapapun yang berhubungan dengan Anita, Allary masih sering teringat dengan gadis itu. Wajar, mengingat sepanjang hidupnya, hanya sekali itu saja, Allary merasakan jatuh cinta.
Tess tess tess...
Bulir-bulir air berguguran dari atas langit. Mulanya perlahan, lama-lama berubah jadi hujan deras. Allary menggigit bibir. Dia akan bertarung lagi dengan alam hari ini, memperjuangkan dagangan martabaknya.
Mengingat hujan seperti ini, Allary teringat saat dia turun di Ibukota, di depan rumah Vivi seusai pulang dari ekspedisi pendakian. Saat itu juga hujan seperti ini. Pelan-pelan, pikirannya membayangkan wajah gadis yang pernah jadi rekan pendakiannya itu. Manis sekali.
Ah soal Vivi itu memang lain persoalan. Malu-malu Allary harus mengakui bahwa dia memiliki ketertarikan lebih pada Vivi. Dan gadis itu baru saja meneleponnya, mengajaknya menjelajah lagi. Allary menghela nafas. “Ah kurasa tidak,” dia bicara pada diri sendiri, “aku tidak akan melibatkan diri dalam hal merepotkan.”
Itulah kenapa tadi Allary menolak ajakan Vivi.
Hanya saja, Allary tidak pernah tahu, apa yang bisa dilakukan oleh gadis yang memiliki tekad tinggi. Jangankan cuma hutan Amazonia, lautan selebar benua sekalipun akan dilaluinya.
Tepat saja, nun di seberang dunia sana, Vivi sedang bersiap-siap. Dia jelas sedang merencanakan sesuatu.
7
Noda Hitam di Negeri Matador
Di setiap sudut dunia, pasti ditemukan orang jahat menyelip di antara kerumunan manusia. Di setiap kota besar, penjahat-penjahat memiliki kecenderungan untuk saling melindungi satu sama lain, membentuk kekuatan tak terbantahkan. Di setiap kota di dunia ini, selalu ada geng, kelompok, gangster, atau apalah itu namanya, yang berisi preman-preman yang bila berkumpul pasti jumlahnya lebih dari sepuluh orang.
Diulangi sekali lagi, di setiap sudut dunia, pasti ada orang jahat, di setiap kota selalu ada kelompok penjahat.
Itulah peraturan yang harus dipegang dalam cerita kita kali ini.
Hampir setengah keliling bumi dari Pulau Kalimantan tempat Allary diam kini, rekan seperjalanannya, Felix tengah membangun ulang hidupnya. Mister Latino pulang ke negeri asalnya, Spanyol setelah berbelas tahun pergi. Dia memutuskan untuk memulai hidup baru yang lebih normal daripada hidupnya sebelumnya.
Tiga hari setelah dia pulang, Felix telah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang doorman di salah satu tempat makan terbaik di Kota Madrid. Penampilannya yang meyakinkan, jelas merupakan kunci utama bagi Felix cepat mendapatkan pekerjaan tersebut.
Namun masalah datang begitu cepat.
Baru berbilang beberapa hari setelah Felix mulai bekerja sebagai doorman, ketika sebuah ketukan nan halus mampir di pintu kontrakannya pada suatu malam. Felix malas-malasan membukakan pintu, namun sangat terkejut ketika tahu siapa yang mengetuk.
“Kau... Amancio,” suara Felix tercekat di tenggorokan. Tanpa sadar, dia mundur beberapa langkah ke belakang.
“Hai Felix, lama tidak jumpa,” orang yang dipanggil Felix sebagai Amancio itu menatap tuan rumah dengan tatapan yang misterius. Seolah-olah Felix adalah musuh lamanya. “Bolehkah aku masuk?” lanjut Amancio bertanya.
Felix menggeram. Ekspresi wajahnya menampilkan ketidaksukaannya pada pria yang berdiri di depannya. Pria bernama Amancio itu berpostur kecil, dengan rambut coklat dan ekspresi wajahnya amat jenaka. Meski sekilas kita bisa melihat seulas senyum licik dari bibirnya.
Amancio seharusnya tahu kalau aku tidak akan membiarkannya masuk. Tapi senyuman itu... ah sial. Felix juga tahu kalau dia tidak bisa melarang Amancio untuk masuk.
“Apa maumu?”
Amancio memasang wajah jenaka, menyahut, “hei astaga, kau tidak membiarkanku masuk? Beginikah sambutanmu untuk teman lama, Felix?”
Felix berdecak. Tangannya erat memegangi bingkai pintu. Menyalurkan kekesalannya. Andai saja masih seperti dulu, mungkin Felix sudah menendang Amancio ke seberang jalan gelap sana.
“Apa sebenarnya yang kau mau?”
“Astaga, mengulang pertanyaan yang sama. Seharusnya kau bahkan bisa menebak apa yang sedang kuurus di sini. Mari kita masuk dulu. Pembicaraan ini tidak baik didengar orang lain. Ah lihat, sofa di sana sepertinya nyaman untuk duduk.”
Entah mengapa, orang bernama Amancio itu benar-benar seenaknya. Suaranya yang jenaka, membuat setiap kalimatnya tambah menjengkelkan di telinga Felix. Tapi apa boleh buat, sekali lagi, Felix terpaksa, membukakan jalan sehingga Amancio bisa masuk. Duduk di sofa yang nyaman.
“Nah mari sekarang kita bicara,” Amancio memulai percakapan di ruang tamu.
“Tentang apa?”
“Ah kau tentu tahu, urusan sepenting apa yang kubawa ke mari. Memangnya hal apa lagi yang akan dibawa seorang Amancio?”
“Apa?” Felix masih memasang wajah tidak tahu. Amancio tergelak. “Kau berlagak bodoh, Felix. Baiklah, harus kusebutkan. Aku membawa undangan dari Ketua Dacosta. Ah kau sangat beruntung, mendapat undangan langsung dari Ketua Dacosta, Sang Escorpion Rojo, pemimpin Caballeros de Madrid, kau tentu tidak melupakan nama-nama itu bukan, Felix?”
Kepala Felix langsung pusing mendengar nama-nama sulit yang pernah diingatnya beberapa tahun silam itu. Nama-nama yang tak ingin diingatnya.
“Apa perlu Pak Tua Dacosta itu denganku?”
“Ketua Dacosta,” Amancio mengoreksi, “kau harus tetap sopan ketika menyebut namanya, Felix. Ah ya, Ketua Dacosta mengundangmu dalam jamuan tengah malamnya. Malam ini. Kau harus datang.”
“Aku tidak akan datang,” sahut Felix, mantap, “aku tidak akan datang untuk sesuatu yang tidak jelas.”
Amancio kali ini menampakkan senyum liciknya lagi, “oh kau akan datang, karena ini adalah urusan yang sangat penting. Ketua Dacosta ingin membicarakan soal Sergio. Kau juga tidak akan melupakan nama itu bukan?”
BRUKKKKK!!!!!
Felix reflek memukul meja keras-keras. Namun Amancio tidak terkejut sedikitpun. Dia bahkan sempat-sempatnya memasang senyum mengejek.
“Berhentilah membicarakan omong kosong dan mencampuri urusanku. Lagipula urusan Guru Sergio sudah selesai 6 tahun yang lalu.” Felix menggeram, tangannya di atas meja mengepal. Dia memandang Amancio dengan mata berkilat. Sekali lagi Amancio tidak takut.
“Kau tidak bisa menakut-nakutiku. Dan juga, kau salah kalau menyangka urusan Sergio sudah selesai. Urusan ini justru baru dimulai sejak kau datang kembali ke negeri ini.”
Detik itu juga Felix hendak meninju wajah Amancio, namun Amancio lebih cepat, meletakkan jemarinya di dahi Felix, seolah membentuk pistol.
“Kau jangan macam-macam denganku. Kau tahu bukan, apa akibatnya jika berani memasukkan tangan ke lubang berisi kalajengking berbisa? Kau tentu tahu bukan, Felix Norton.”
Felix menurunkan tinjunya. Hatinya berkobar menahan amarah. Dia harus mengendalikan diri, kalau tidak mau mati konyol di sini. Pikiran Felix berputar cepat. Mencari ide agar lolos dari keadaan darurat. Dari sengatan kalajengking.
“Katakan pada Ketua Dacosta. Aku tidak bisa memenuhi undangannya malam ini. Mungkin malam esok saja. Atau malam-malam lain saat dia berniat mengundangku lagi. Yang pasti bukan malam ini. Harap maklum. Semua ini terlalu mengejutkan.”
Amancio kembali ke wajahnya yang jenaka. “Ah itu baru terdengar seperti Felix yang pernah kukenal. Baiklah, aku memakluminya. Akan kusampaikan pada Ketua Dacosta. Namun kau harus ingat, malam-malam esok, aku akan terus mengawasimu, Felix.”
Amancio kemudian melompat keluar lewat jendela. Sementara Felix terduduk lemas di sofanya. Urusan pulang ke negerinya, tidak pernah mudah.
8
Gadis Nekat di Gerobak Martabak
Yang tidak pernah Allary duga, hari itu juga, hari yang sama dengan hari dimana dia menolak mentah-mentah tawaran dari Vivi, sesuatu terjadi di Ibukota tempat Vivi tinggal. Gadis itu bertindak cukup nekat.
Vivi punya seorang teman. Temannya itu adalah anak orang paling kaya di Ibukota. Keturunan Inggris, bahkan masih terhitung keturunan kerajaan. Britanny namanya. Gadis itu seumuran dengan Vivi dan merupakan teman sepermainannya. Kepada Britanny-lah kemudian, Vivi meminta tolong.
Malam itu juga, Vivi terbang ke Indonesia. Menemui Allary Azra. Di atas pesawat yang membawanya, Vivi teringat percakapannya dengan Britanny, tentang motif aneh mengapa Vivi mau jauh-jauh datang ke Indonesia hanya untuk membujuk seseorang. Menurut Britanny, hal tersebut sungguh aneh.
“Kenapa?”
Vivi tersipu malu mendapat pertanyaan tersebut. “Ah sudahlah, kamu mau membantuku bukan, Britanny? Aku pinjam uangnya tidak lama kok. Nanti sepulang dari Brazil aku akan kembalikan uangnya.”
Menyernit kening Britanny. Makin heran dia. Ada apa dengan Vivi?
“Semua jadi logis kalau kamu tahu, aku sedang jatuh cinta,” Vivi berujar pelan. Terkejut Britanny mendengarnya. Jawaban Vivi itu setengah benar, setengah menutupi motifnya yang sebenarnya. Dia tidak suka membicarakan soal ayahnya di depan orang lain.
“Kamu jatuh cinta? Kamu serius?”
Ya, pertanyaan itu kembali membayang di otak Vivi saat pesawat sudah terbang di atas awan. Ah Britanny wajar kaget. Selama ini Vivi dikenal sebagai gadis yang tak mudah jatuh cinta. Sahabatnya itu tahu sekali. Karena itulah dia kaget.
Sabarlah sedikit, Vivi. Dia menghibur dirinya sendiri.
Vivi mendarat di Kalimantan. Lewat serangkaian kemampuan yang tak bisa disebutkan di sini, dia bisa melacak keberadaan ponsel ketuanya itu. Kamu tidak akan bisa mengelak dariku kali ini, Allary Azra. Batin Vivi malam itu senang sekali sambil mencari kontrakan murah yang bisa disewanya untuk sementara.
Keesokan harinya....
Hari yang sibuk bagi Allary di gerobak martabak Pulau Borneo-nya. Pukul sembilan pagi, Allary sudah membuka gerobaknya. Mengais rezeki. Uang bulanannya sudah hampir habis. Saatnya lebih giat untuk bekerja.
Saat Allary baru hendak membuka selubung terpal yang menutupi gerobaknya, saat seseorang menghampirinya. Orang itu memakai hoodie warna coklat, berkacamata dan memakai masker. Amat mencurigakan. Tapi Allary, sebagai pedagang, tersenyum ramah ke arah orang itu sambil bilang.
“Gerobaknya baru mau saya buka, mbak,” Allary melihat ke bawah, model sandalnya menunjukkan orang ini perempuan, “kalau mbak mau menunggu, silakan. Sebentar lagi saya akan buat martabak.” Allary menunjuk kursi di sebelah sana.
“Kamu benar-benar tidak tertarik untuk ikut dalam penjelajahan itu, Allary?” tiba-tiba perempuan itu bersuara, membuka masker dan tutup kepalanya. Betapa terkejutnya Allary.
Selvi Antasha sudah berdiri di depannya.
Itulah bukti bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan keinginan kuat seorang wanita.
9
Kamulah Ketua Rombongan Ini
“Astaga, jangan bilang kamu datang jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk membujukku, Vivi,” geleng-geleng kepala Allary menatap gadis di depannya. Tentu saja Vivi sudah dipersilakan duduk di tempat yang agak nyaman, disuguhi martabak dan teh hangat oleh Allary. Baru saja Vivi menceritakan bagaimana dia menyeberangi Samudera Hindia demi menemui Allary di sini.
“Kamu tidak menanggapi pertanyaanku, Allary,” Vivi ber-puhh pelan. Balik menatap Allary lekat-lekat. “Bagaimana soal penjelajahan itu? Apakah kamu tidak tertarik sedikitpun? Ini Amazonia lho.”
Mau tahu apa yang dirasakan Allary saat ini. Rindu yang meluap. Itulah yang memenuhi raganya dari kepala ke ujung kaki. Ingin sekali Allary memeluk gadis Pahadaru yang berada di depannya kini. Menyalurkan rindu. Tapi Allary berusaha menahannya, adegan semacam itu, terlalu melankolis.
“Memangnya apa yang menarik di Amazonia sana?”
“Amazonia adalah kawasan yang membentang sejauh lebih dari satu juta hektar, Allary. Gunung Sarsa yang dulu kita daki hanya seluas kurang setengahnya tapi menyajikan petualangan seru bukan? Apalagi dengan luas dua kali lipat. Tidakkah kamu memahami hal ini?”
Vivi bersungut-sungut. Seandainya kita bisa menceritakan kisah hidup Vivi sekarang, kita akan memahami kenapa gadis asal Pahadaru ini begitu keras kepala dengan pilihannya.
“Sayangnya tidak, Vivi. Aku bukan seorang petualang. Aku tidak punya pola pikir semacam kamu itu. Kalau kamu ingat, dulu kita bertemu di Pahadaru pun, bukan karena aku ingin bertualang. Aku hanya ingin sampai ke Puncak Dunia. Aku bukan petualang,” Allary menyahut lagi, mantap.
Vivi menghela nafas. Sialnya, yang dikatakan Allary benar. Dia bukan petualang. Atau bisa dibilang Allary pensiun dini. Dia lebih suka menikmati masa tenang di Kalimantan, ketimbang mengurusi petualangan sekali lagi. Cukup sekali di Gunung Sarsa, petualangannya berakhir antiklimaks. Cukup sekali itu saja.
“Hei Allary, dengarkan aku dulu...”
Omongan Vivi terhenti, Allary berdiri. Ada seorang pembeli datang. Allary tersenyum menyambutnya. “Sebentar ya, Vivi,” Allary menoleh ke belakang, kemudian sibuk melayani pembelinya.
Lima belas menit. Allary memasak martabak dengan gesit. Vivi memperhatikannya dari kejauhan. Baru kali ini dia berkesempatan melihat Allary memasak langsung di gerobak martabak yang asli. Bukan dari peralatan masak seadanya seperti saat ekspedisi mereka di Gunung Sarsa.
Otak Vivi sementara itu juga berputar-putar. Dia harus menemukan cara membujuk Allary, karena kalau tidak, sia-sia perjalanannya ke Indonesia. Vivi sudah kadung menjerumuskan dirinya ke rencana ekspedisi tersebut. Dia tidak boleh mundur.
“Berapa mereka membayar satu martabakmu itu, Allary?” tiba-tiba Vivi bertanya ketika Allary sedang membereskan sampah di bawah gerobaknya.
“Eh? 15 ribu rupiah. Itu setara satu dollar Amerika Serikat. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal itu?”
“Berarti kamu biasanya hanya mendapatkan 100 dollar untuk satu hari?”
“Benar.”
“Berapa omset bersih yang kamu dapat?”
Heran Allary, kenapa Vivi tiba-tiba menanya rinci masalah ini. “Sekitar 50 sampai 60 dollar. Memangnya kenapa? Aneh sekali tiba-tiba kamu bertanya hal semacam ini.”
Vivi tersenyum, “itu berarti kamu hanya mendapatkan kurang lebih 1500 dollar dalam satu bulan. Atau 9.000 dollar dalam enam bulan.”
“Kuakui hitung-hitunganmu itu benar, tapi kenapa kamu begitu tertarik membahasnya.”
Vivi mengeluarkan potongan surat kabar yang sudah dia cetak besar-besar. Berita tentang program ekspedisi Presiden Marcelo ada di sana.
“Lihat ini Allary, penjelajahan ini menjanjikan hadiah 10.000 dollar. Hanya untuk penjelajahan selama satu bulan. Hadiah yang cukup menjanjikan bukan? Jika dibandingkan dengan hasil jualanmu.”
“Sayangnya ini bukan soal uang, Vivi.” Allary menggeleng prihatin kemudian berbalik melayani pelanggan lagi. Vivi kecele. Sampai kedai Allary tutup, dia masih belum bisa membujuk ketuanya itu.
Malam gelap menyelimuti kota. Kalimantan berbeda dengan Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta tidak tidur. Beda dengan kota yang kini Allary tinggali. Pukul 11 malam, jalan sudah berangsur sepi. Allary menengok pada Vivi yang setengah tertidur di kursi.
“Vivi, kamu masih bangun,” Allary coba menepuk pundak gadis itu.
“Eh iya,” Vivi mengerjap-ngerjap, “jam berapa sekarang, Allary?”
“11 malam. Aku mau tutup kedai. Kamu punya tempat menginap malam ini?”
“Eh iya, astaga. Sudah malam rupanya. Bagaimana tawaranku tadi, Allary?”
Allary tersenyum tipis, masih sempat saja Vivi membahas hal itu, “nanti kita bicarakan. Lebih baik kita istirahat dulu malam ini. Mendinginkan otak kita. Kamu menginap dimana?”
Vivi menyebutkan alamat, Allary menawarkan diri mengantar gadis itu ke tempat menginap yang disewanya. Setelah itu baru Allary pulang ke rumah.
Malam itu, di tempat yang berbeda, baik Allary atau Vivi sama-sama berpikir tentang penjelajahan. Vivi masih berusaha mencari akal agar bisa membujuk Allary mengambil tawaran penjelajahan Amazonia itu. Sedangkan Allary....
“Sudah setahun semenjak kejadian itu ya, Anita.”
Tidak. Tidak, Allary tidak sedang menelepon. Dia berbicara sendiri dengan langit-langit kamarnya. Menggeleng sedih, menghela nafas. Ya, sudah satu tahun sejak hari dimana dia ditolak dengan tragis oleh Tante Zarra.
Berarti enam bulan juga telah berlalu sejak dia berusaha menaklukkan Puncak Dunia. Usaha yang gagal. Usaha yang tidak membuahkan hasil apa-apa.
Di samping ranjang Allary, dia meletakkan buku-buku novel yang terkadang dibacanya saat dia susah tidur. Mungkin malam ini pun sama. Dia mencomot satu buah buku, karangan penulis luar negeri. Allary ingat dia membeli buku ini di salah satu toko buku yang ada di London. Buku tentang petualangan. Cukup menarik. Allary asal membuka halaman. Menurutkan suasana hatinya yang sedang tidak menentu. Akhirnya matanya mempertemukan dirinya dengan salah satu kalimat dalam novel itu.
Petualangan adalah tentang mencari diri sendiri.
Berdebar Allary membaca kalimat tersebut.
10
Proposal Penelitian
Mungkin itulah arti hidup yang baru bagi Allary.
Sebelumnya, petualanngannya ke Puncak Dunia hanya dipahami Allary sebagai bentuk pelampiasan atas kekecewaannya. Menggapai Puncak Dunia adalah bentuk metafora kegagalan hidupnya dalam mendapatkan hati seorang wanita yang dia cinta.
Namun agaknya, arti petualangan semacam itu terlalu naif. Pantas saja yang bisa dilihatnya, hanya sebuah kegagalan. Petualangan itu jadi terlihat konyol dan membuang-buang waktu.
Buku yang baru saja dia baca, memberi pemahaman baru untuk Allary. Petualangan adalah untuk mencari diri sendiri. Sungguh kalimat yang dalam. Allary coba mengingat kembali petualangannya di Gunung Sarsa, dengan perspektif baru.
Yang terjadi kemudian, Allary takjub dengan bagaimana Pegunungan Pahadaru menunjukkan banyak hal padanya. Tentang bagaimana dia mempercayai kembali mantra keajaiban yang diajarkan ibunya, tentang bagaimana pengorbanannya menyelamatkan dan mengubah hidup seseorang. Hei, petualangan itu memberi tahu Allary bahwa dia bukan sekedar penjual martabak.
Allary memang seorang petualang sejati.
Allary bukan sekedar tukang balik adonan berisi sayur, Allary adalah pemimpin sebuah rombongan, para petualang sejati. Lewat petualangannya itu, dia mendapatkan banyak jawaban baru.
Hei, kalau dipikir-pikir lagi, Petualangan di Gunung Sarsa, memang tidak membawa dampak apa-apa atas retaknya hubungan Allary dengan Anita. Tapi petualangan itu memberi banyak jawaban atas masalah-masalah Allary yang lain.
Kini, daripada terus termenung di kamar yang gelap, sibuk mempertanyakan soal Anita, Allary tahu dia tidak akan dapat jawaban apa-apa. Mungkin lebih baik jika dia menyambar tawaran dari Vivi, dari Presiden Marcelo, untuk bertualang menaklukkan tempat-tempat yang tak pernah dilihat manusia. Sebuah petualangan mencari diri sendiri yang sangat menarik.
Kini Allary paham, kenapa Vivi begitu antusias.
Allary tidur malam itu dengan sebuah keputusan yang nyaris final.
Pagi hari menjelang. Lewat pesan singkat, Allary mengabari Vivi bahwa dia mengajak gadis itu sarapan di luar, sekaligus membicarakan sesuatu. Allary akan menjemputnya.
Salah satu warung nasi kuning di pusat kota. Ke sanalah Allary mengajak Vivi sarapan. Warung itu sepi, karena nasi kuning mulai ketinggalan zaman.
“Ada apa, Allary?” Vivi langsung bertanya setelah satu suapan yang pertama. Gadis itu harap-harap cemas. Mana tahu setelah ini Allary menyuruhnya untuk pulang ke Pahadaru saja, karena dia tidak bisa dibujuk.
“Tidak apa-apa, Vivi,” Allary menyahut santai, “aku ingin memperkenalkan salah satu menu sarapan tradisional orang Indonesia. Namanya nasi kuning. Bagaimana rasanya menurutmu?”
“Eh ini enak. Tapi aku tak habis pikir dengan ukuran ikannya dan harga yang terpasang di dinding itu. Ini lebih murah daripada martabakmu, bukan?”
Di dinding tertulis harga nasi kuning satu porsi, 9 ribu rupiah. “Iya kamu benar. Lalu kenapa dengan ukuran ikannya.”
“Bisa-bisanya potongan ikan sebesar ini dijual dengan harga kurang dari satu dollar. Kalau berjualan seperti ini di Lereng Pahadaru, siapapun akan bangkrut di hari pertama, karena ikannya sangat mahal.”
Kita kembali mengingat harga ikan di Bihana yang memang menembus batas akal sehat.
“Ini makanan tradisional, makanya murah,” jelas Allary, “lagipula negeriku kaya akan ikan dan makanan laut. Negeri ini adalah negeri kepulauan terbesar di dunia.” Allary menjelaskan dengan bangga.
“Indonesia memang hebat. Makanan kalian mengandungi rempah-rempah yang khas sekali.”
Setelah itu hening selama lima belas menit. Vivi dan Allary sama-sama menghabiskan nasi mereka. Baru setelah itu Allary bicara lagi. Ini saatnya.
“Aku setuju untuk petualangan itu, Vivi.”
Berdiri telinga Vivi mendengar kalimat Allary. Hei, semalaman dia menyiapkan kalimat bujukan, tahu-tahu Allary setuju sendiri. “Kenapa kamu bisa setuju, Allary?” Vivi tak bisa menahan diri, bertanya.
“Kamu benar, petualangan ini pasti seru. Menembus hutan, melihat hal-hal baru. Lagipula, akulah ketua rombongan ini.”
Ah senyum itu, seru Vivi dalam hati. Senyuman ketua rombongan yang kharismatik. Allary betul-betul mantap untuk berangkat. “Terima kasih kamu sudah setuju.”
“Ayo, kita tidak boleh buang waktu. Bagaimana agar kita bisa mengklaim tawaran penjelajahan itu secepatnya.”
“Baiklah, sebentar Allary. Aku cek lagi,” Vivi gesit meraih ponselnya. Mencari informasi. Semoga penjelajahan itu belum diklaim oleh orang lain. Vivi membuka website resmi pemerintah yang menyelenggarakan program itu. Melihat syarat-syarat apa saja yang diperlukan.
Akhirnya ketemu. Syukurlah, belum ada orang yang menawar program tersebut. Vivi tersenyum.
“Kita harus membuat proposal penelitian, Allary.”
11
Macam Puisi Saja!
Karena Allary tidak punya komputer atau laptop, maka dia mengajak Vivi untuk membuat proposal penelitian tersebut di warnet. Hal itu agak mendebarkan juga, mengingat proposal yang mereka buat, bernilai 20.000 dollar.
Saat tiba di warnet, tempat itu sepi peminat. Seperti halnya warung nasi kuning, warnet juga telah kehilangan pelanggannya gara-gara globalisasi. Allary mengajak Vivi masuk.
“Nah, proposal macam apa yang harus kita buat, apakah ada panduannya?” tanya Allary setelah berhadapan dengan komputer. Allary pernah jadi mahasiswa, dia tahu bagaimana cara membuat proposal.
“Proposal itu berisi latar belakang alasan kita mengajukan diri, apa yang membuat kita layak menerima program penjelajahan tersebut, bagaimana rencana kita mengeksekusi program tersebut, dan perkiraan dana. Formasi tim harus terdiri dari empat orang.” Gesit Vivi membaca panduan proposal yang ada di website pemerintah tersebut.
“Latar belakang ya, hmmm,” Allary berpikir sejenak, teringat kembali kata-kata Vivi kemarin. Allary segera menulis. Kami ingin menjelajahi hutan Amazonia, ingin menyingkap hal-hal yang tersembunyi di dalamnya, ingin mencapai tempat-tempat yang tak pernah dijangkau tangan manusia.
Tercengang Vivi melihat kalimat yang ditulis Allary. Dalam beberapa kesempatan, jika dia serius, Allary memang mengerikan.
“Aku tidak tahu kamu punya motivasi semacam itu, Allary.”
“Aku juga tidak,” Allary tersenyum tipis, “kamu yang memberitahuku kemarin.”
“Astaga, rupanya kamu meng-copy kalimatku tanpa izin,” Vivi ikut tertawa setelah menyadari semuanya.
Allary lanjut menulis proposal itu. Dia berusaha membuat proposal itu terlihat meyakinkan. Segenap kemampuan dia kerahkan. Akhirnya hari itu, sebelum matahari tepat di atas kepala, proposalnya sudah selesai.
“Haa, akhirnya,” Allary menarik nafas lega, “kamu baca dulu, Vivi. Sehabis itu aku mau membuka gerobak martabakku.”
Vivi membaca dengan teliti. Beberapa kali keningnya berkerut. Entah kenapa setelah membaca keseluruhan, dia merasa tidak yakin dengan proposal yang dibuat Allary, namun juga Vivi tidak enak untuk mengatakan hal itu. Vivi berpikir sejenak. Bagaimanapun, proposal bernilai 20.000 ribu dollar tidak boleh terlihat main-main.
“Allary, bagaimana jika kamu minta koreksikan ke salah satu temanmu begitu. Aku juga amatir dengan proposal, jadi aku rasa kita perlu pendapat seseorang yang lain.” Begitu cara Vivi menyampaikan secara halus pada Allary tentang proposal yang dibuatnya.
Proposal itu terlihat seperti sebuah puisi. Demikian pendapat dari Vivi. Tentu saja pendapat itu dia simpan saja dalam hati. Biarkan Allary merogoh ponsel dan menghubungi temannya.
12
Sensasi Seorang Penjual Martabak
Allary memang menutup akses komunikasi pada Anita dan Jakarta. Tapi dia tidak sepenuhnya memutuskan komunikasi itu. Di Jakarta sana, masih ada Tante Sri, Kang Adam, serta beberapa temannya yang mengetahui keberadaannya, dan masih memelihara komunikasi jarak jauh dengannya.
Beberapa temannya itu, termasuk dua teman akrab, Thahir dan Andalas. Nah, Andalas dikenal sebagai seorang joki tugas yang berpengalaman sejak masih kuliah. Ke sanalah, Allary meminta tolong.
“Tolong koreksikan proposal yang kubuat ini,” begitu pesan Allary sambil mengirim berkas proposalnya. Pesan WA itu bercentang dua, abu-abu. Terkirim. Andalas akan membalas begitu dia ada waktu. Allary bisa mengurus hal lain sekarang. Dia menoleh ke Vivi.
“Aku mau mengurus gerobak martabakku. Kamu mau kuantar kemana?”
“Kurasa aku ikut kamu ke gerobak lagi saja, Allary. Lumayan di sana, setidaknya aku punya teman ngobrol.”
Allary mengangguk. Bersama Vivi kembali membelah jalanan kota.
Jam menunjukkan pukul 2 siang ketika gerobak dan kedai martabak Allary siap menerima pelanggan. Vivi tidak lagi bengong, gadis itu membantu Allary mengelap etalase kaca, mengelap meja dan mengelap kursi.
“Seharusnya kamu tidak usah repot-repot melakukannya.”
“Biarlah,” Vivi tersenyum, “aku senang bisa membantumu. Supaya kamu tidak terlalu lelah.”
“Tidak lelah kok. Aku santai saja.”
“Kamu tidak merasa lelah walau sedari pagi mengerjakan proposal?”
Allary menggeleng.
“Kamu memang menunjukkan karakter pekerja keras sejak kecil.” Salah tingkah Allary menerima kalimat pujian itu.
“Biasa saja, biasa saja,” kata Allary, berbalik ke kaca etalase. Ada seorang wanita muda yang singgah, membeli martabaknya. Allary melayaninya dengan baik.
“Kenalanmu?” tanya Vivi setelah perempuan muda itu berangkat dengan sekantong martabak. Allary dan Vivi duduk di meja yang sama, berhadapan.
“Tidak, aku tidak mengenal siapapun di tempat ini.”
“Jadi kamu benar-benar meninggalkan kehidupanmu di Jakarta, menyepi ke tempat ini, hanya gara-gara wanita itu? Kamu yakin tidak salah ambil keputusan, Allary?”
Allary mengangkat bahu, “tidak. Lebih baik begini. Aku tidak mau bertemu lagi dengan Anita, atau memikirkan apapun tentangnya. Jadi kurasa pilihan terbaikku adalah pergi jauh-jauh bukan?”
“Kamu tidak menyesal?”
“Kenapa aku harus menyesal?” Allary balik bertanya.
“Ya misalnya kamu meninggalkan usaha martabakmu yang sudah mapan di Jakarta, pindah ke sini, memulai semuanya dari awal.”
“Aku seorang pedagang, di Jakarta, ataupun di sini, sama saja.”
“Dengan kata lain, sekarang hidupmu di sini, baik-baik saja?”
Allary mengangguk dengan ekspresi lucu. Apakah hidupnya terdengar mengenaskan? Hei dengarlah, Allary baik-baik saja di Kalimantan. Hidupnya sejahtera. Dia meraup keuntungan di atas satu juta rupiah dalam satu hari. Dia hanya jauh dari orang-orang yang dikenalnya. Cuma itu saja.
“Maaf atas pertanyaanku barusan,” Vivi menunduk, “aku penasaran. Apa yang membuatmu tiba-tiba menyetujui penjelajahan ini. Kukira kamu tidak kerasan hidup di sini.”
“Tidak Vi, boleh aku panggil kamu begitu saja ya, memotong nama menjadi satu atau dua huruf, adalah kebiasaan orang Melayu yang menurutku unik.”
“Silakan, aku tidak keberatan.”
“Baiklah, aku juga tidak keberatan untuk menjelaskan. Aku menyetujui penjelajahan ini, karena beberapa alasan. Pertama, aku ingin merasakan sensasi petualangan lagi, aku ingin menemukan diriku sendiri dalam petualangan itu, kedua, aku rasa petualangan memang sudah jadi bagian dari diriku.”
Vivi mengangguk-angguk. Sepertinya tadi malam, Allary membaca buku tebal, atau menonton film.
“Oh ya, bagaimana jawaban temanmu mengenai proposal kita?” Vivi mengalihkan bahasan.
“Oh iya, sebentar, Vi.”
Allary mengecek ponsel. Ada jawaban dari Andalas. Jawaban yang langsung membuat Allary jengkel sekaligus ingin tertawa.
“Proposal macam apa ini, Allary? Kau jangan mempermalukan bangsa dengan proposal macam ini, heh. Proposal kok macam puisi. Sudah, kau serahkan saja padaku. Biar aku yang membuatkan. Nanti ada diskon untuk teman dekatku. Kau tenang saja.”
Lihat, Andalas tidak berubah.
13
Pulang ke Jakarta
Berbekal proposal bikinan Andalas, (yang bisa-bisanya dihargainya dua ratus ribu rupiah, Allary protes, tapi Vivi menanggung semua biaya), hari ini Allary dan Vivi berdebar-debar menunggu kabar dari negeri di seberang lautan. Menunggu apakah proposal mereka diterima atau tidak.
Faktanya, Allary dan Vivi adalah pengirim proposal pertama sejak program itu diluncurkan Presiden Marcelo. Jajaran staf presiden dan Profesor Danilo, yang ditugaskan presiden untuk menangani program, terkejut melihat ada proposal yang masuk, setelah beberapa minggu, tidak ada orang yang berminat.
“Orang Indonesia,” menyernit langsung kening profesor membaca proposal tersebut. Tak terbayang baginya sebelumnya, orang Indonesia akan mengajukan proposal.
“Hmm, orang-orang ini bukan peneliti, bukan ilmuwan, bukan pula tim penjelajah. Mereka pasti amatir,” Profesor Danilo menimbang-nimbang, “hei kau, bagaimana pendapatmu mengenai proposal ini,” Prof. Danilo memanggil salah satu staf presiden di dekatnya.
“Mereka orang pertama yang mengirim proposal, profesor?”
“Tepat sekali.”
“Orang-orang Indonesia. Amatir?”
“Benar sekali.”
“Mereka pasti merepotkan.”
“Bagaimana kira-kira pendapat presiden?”
“Saya tidak tahu, profesor. Saya kira presiden telah melimpahkan semua wewenangnya pada anda.”
Profesor Danilo tepekur. Berpikir sejenak. Dia tidak bisa menolak proposal ini begitu saja. Apalagi kalau proposal ini ketahuan Joao, bisa kacau persoalan. Baiklah. Mungkin dia, sebagai profesor harus bersikap sportif. Dia akan lihat siapa dua orang pengirim proposal ini. Dia harus menemui mereka.
Profesor memanggil staf khususnya. Memberi beberapa arahan. Stafnya mengangguk.
Malam harinya di Kalimantan, Allary menerima sebuah email. Dia masih berada di gerobak bersama Vivi saat email tersebut masuk ke inbox-nya. Terlonjak Allary menerima email dari staf profesor Danilo.
we have read your proposal. Can we meet in Jakarta to discuss this further? Attached address
Demikian kurang lebih isi email tersebut. Vivi ikut terlonjak, karena dengan begitu, ada harapan proposal mereka diterima dan mereka akan bertualang di Amazonia.
Sementara Allary langsung gamang. Apakah itu artinya dia harus pulang ke Jakarta?
“Bagaimana menurutmu, Vi?”
“Bagaimana? Tentu saja ini adalah kabar baik, Allary. Kita harus berangkat. Kita akan beli tiket. Besok kita sudah harus terbang ke Jakarta.”
Kelu Allary mendengar kata Jakarta itu. “Aku rasa aku tidak bisa pergi.”
“Hei kenapa?”
“Aku tidak mau kembali ke Jakarta. Itu gagasan yang buruk.”
Vivi langsung mengerti arah pembicaraan, menepuk bahu Allary penuh respek, “tidak apa-apa, Allary. Tidak apa-apa jika kamu merasa trauma, tapi kamu harus tetap ke Jakarta.”
“Aku tidak bisa. Jakarta adalah tempat mencari masalah. Aku tidak mau ke sana.”
“Tapi kamu tidak bisa menghindar dari hal ini bukan? Percayalah, kita hanya memenuhi undangan dari email ini. Bukan mencari masalah.”
14
Kenalan Lama
Profesor Danilo meminta bertemu di sebuah lobi hotel bintang lima yang ada di kawasan utara Ibukota. Allary sedikit lega, karena mereka tidak datang ke bagian barat atau timur kota, resiko bertemu Anita sudah berkurang. Namun ada juga yang dikhawatirkan Allary, yaitu soal uang. Mana dia punya uang untuk sampai di tempat itu. Maka pertemuan di Jakarta tersebut, disponsori oleh uang temannya Vivi, yaitu Britanny.
Profesor datang ke Jakarta bersama seorang ajudan (staf pribadinya) dan seorang wartawan lokal sebagai pendamping. Wartawan lokal ini sekaligus utusan dari Profesor Joao, yang secara terang-terangan bilang dia tidak sepenuhnya percaya dengan Danilo, dalam urusan ini. Gara-gara wartawan itu pula, Profesor Danilo bukan main jengkel dengan Joao.
“Baiklah, kita langsung bicara ke intinya saja ya,” ucap Profesor setelah satu tegukan kopi, “saya telah menerima proposal kalian. Proposal pertama yang kami terima, saya pastikan telah membaca dengan saksama. Ada beberapa poin yang saya ragukan. Yang pertama, di proposal itu, kalian tidak mencantumkan apakah kalian adalah ahli botani atau bukan. Sila jelaskan di sini.”
Berpandangan Allary dengan Vivi.
“Apakah kita punya persyaratan ahli botani dalam SK yang ditentukan Tuan Presiden, Profesor?” si wartawan berbisik.
Profesor Danilo menyuruh wartawan itu untuk diam, dengan pandangannya yang tajam.
“Maaf profesor, kami tidak mencantumkan hal itu, karena kami memang bukan ahli botani.”
“Oh sayang sekali,” Profesor menatap Allary yang tadi menyahutinya, “penjelajahan ini amat memerlukan seorang ahli botani.”
Vivi mengangkat tangan, “sebentar, profesor. Saya membaca buku panduan umum program ini, sebagaimana yang diunggah di website. Saya berusaha memahami apa yang harus kami kerjakan, dan yang bisa saya pahami, penjelajahan ini bukan eksplorasi biologi. Kami hanya menjelajah, mengambil foto, dan mengabadikan landscape atau pemandangan.”
Wartawan di belakang Profesor mengangguk-angguk membenarkan. Profesor tersenyum simpul.
“Sayang sekali, masalahnya tidak sesederhana itu, nona muda. Amazonia sangat berbahaya. Hutan itu adalah hutan terluas, dengan keanekaragaman makhluk hidupnya yang amat beragam. Bahkan sebagian belum dikenali manusia. Kami jelas tidak bisa memercayakan program ini, pada dua orang amatir yang bukan ahli botani.”
“Ada lagi kekurangan kami yang lain, Profesor?” Allary menyela.
“Oh masih ada. Kalian juga kurang pengalaman. Kalian belum pernah mengikuti ekspedisi ke daerah terpencil atau pulau-pulau terasing di Polinesia atau Nugini bukan?”
Allary dan Vivi sekali lagi berpandangan. Tak ada yang menyebutkan kalau syaratnya sesulit itu.
Sekali lagi wartawan berbisik, “bukankah tidak ada syarat pengalaman semacam itu, Profesor? Presiden tidak bilang penjelajahan ini harus diikuti oleh orang berpengalaman.”
Sekali lagi pula, Profesor membungkam wartawannya ini dengan tatapan tajam. Mata Vivi yang awas, mulai curiga dengan profesor di depannya.
“Kami punya pengalaman,” sahut Allary mantap, “ekspedisi terakhir kami di Pahadaru kami selesaikan dengan selamat, tak kurang suatu apapun.”
“Itu pendakian gunung,” sela Profesor juga, nadanya jengkel, “pendakian gunung amat berbeda dengan penjelajahan dalam hutan. Di gunung, kalian cuma berurusan dengan badai, resiko-resiko sesak nafas, hipotermia, dan resiko terjatuh. Tapi di Amazonia, terdapat tumbuhan beracun, hewan buas, kuman-kuman, bahkan suku kanibal terasing yang tidak dikenali peradaban. Pengalaman kalian tidak tepat guna dalam hal ini. Harap maklum.”
Wartawan gesit mencatat semua kata-kata Profesor Danilo barusan. Syarat-syaratnya amat memberatkan bagi Vivi dan Allary. Ya ampun, apa boleh buat. Nampaknya rencana penjelajahan mereka yang sudah disusun megah kemarin-kemarin, hanya akan jadi angan tak sampai.
Derap-derap langkah pelan tapi pasti mendatangi mereka dari arah kanan. Tidak ada yang menyadari orang itu berjalan menuju ke meja pembicaraan Allary dan Profesor. Wartawan masih sibuk mencatat. Tepat saat profesor hendak bersalaman dengan Allary, menyatakan proposal mereka tidak memenuhi syarat, orang itu menyapa.
“Allary Azra, kejutan kecil bisa bertemu denganmu di sini,” orang itu lebih dulu mengeluarkan tangan, bersalaman dengan Allary. Allary mendongak, mengenali wajah orang itu. Beliau berjas warna coklat, berkacamata, dengan rambut separuh memutih. Hei, Allary mengenali orang tua ini.
“Profesor Nyoman Asdawirya,” gemetar Allary menyebut nama beliau.
“Apa kabarmu, Allary. Hei apa yang kamu lakukan di sini?” Profesor memandang ke arah sebaliknya, segera mengenali, “anda Profesor Danilo Perreira, dari Departemen Riset Botani Amerika Latinn bukan?”
“Anda cepat mengenali. Maaf saya terlupa pernah bertemu anda di mana?”
Allary melanjutkan ramah tamah dengan Profesor Nyoman. Wartawan membisiki Profesor Danilo. “Bagaimana bisa anda tidak mengenal Profesor Nyoman Asdawirya? Seorang ahli antropolog dan sejarawan besar di Asia.”
Sekali lagi wartawan mendapatkan tatapan tajam dari Profesor Danilo.
“Well, jadi apa yang kalian lakukan di sini, Allary?”
“Kami ingin mengikuti ini, Profesor.” Allary menunjukkan proposalnya, yang telah dia cetak. Profesor mengamati dengan penuh minat.
“Ah program penjelajahan ya. Bukan main canggih negaramu, Profesor Danilo. Lalu bagaimana, apakah Allary mendapatkan jatah penjelajahan tersebut?”
“Sayang sekali tidak,” Prof. Danilo menggeleng suram, “kami mencari orang-orang berpengalaman dalam hal ini.”
“Hoo, aku yakin sekali, Allary punya kapasitas untuk mengikuti penjelajahan hebat itu. Enam bulan yang lalu, aku terkagum-kagum membaca laporannya mengenai jalur rahasia di Pegunungan Pahadaru, U3I telah melihat jejak-jejak peradaban yang hilang. Semua itu berkat anak ini, profesor.”
Allary tersenyum, Profesor Nyoman ada di pihaknya.
“Urusan ini tidak sederhana, Profesor. Ada banyak bahaya yang menunggu di dalam hutan. Bahaya yang hanya bisa ditangani ahli botani berpengalaman.”
“Ah kau tidak perlu merisaukan ahli botani. Setiap manusia bisa bertahan hidup dalam hutan. Itu kemampuan yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Kaum pemburu dan pengumpul.”
“Tetap saja, tidak bisa.”
“Aku rasa kalian akan melewatkan kesempatan besar jika menolak Allary Azra di sini,” Prof. Nyoman kini duduk, “begini saja. Aku akan menulis surat rekomendasi khusus pada pemerintah kalian, agar mempertimbangkan Allary sebagai calon penjelajah itu. Siapa menteri riset di negara kalian?”
“Profesor Joao Canceio.” Sang wartawan menyahut dengan bangga. Profesor Danilo menghadiahinya satu lagi tatapan tajam.
“Ah kabar baik untukmu, Allary. Joao adalah sahabatku, dia pasti percaya dengan rekomendasiku.”
Profesor Danilo berdecak dalam hati. Jengkel bukan main.
15
Felix dan Turguy
“Kita boleh yakin dengan surat rekomendasi Profesor Nyoman, Vi.” Allary berucap ketika mereka berdua kembali ke lantai dua hotel. Ke kamar masing-masing.
“Siapa beliau itu, Allary? Apa hubunga beliau denganmu?”
“Teman lama ayahku. Saking lamanya, aku sendiri lupa kalau Profesor Nyoman amat mengenal diriku. Dulu beliau sering ke rumahku saat aku masih kecil. Oh ya, beliau juga yang merekomendasikanku pada U3I saat memulai pendakian di Gunung Sarsa. Tanpa rekomendasi dari beliau, mungkin aku tidak akan sampai di ruangan Mr. Zulkifli hari itu. Yahh, kukira beliau adalah orang yang hebat.”
Vivi tercenung sejenak, kemudian berucap dengan senyum, “kita bisa mempercayai beliau. Baguslah.”
“Iya.”
“Oh ya Allary,” Vivi sambil memencet lift, “kamu mau melakukan apa sehabis ini?”
“Melakukan apa? Tentu saja aku akan bersantai di kamarku, sambil menunggu kabar baik dari Profesor Nyoman atau penyelenggara program itu.”
“Kukira Profesor Danilo tadi bukan orang baik.”
“Ibuku selalu mengajarkan agar aku tidak menduga-duga kepribadian orang dari penampilannya.”
Vivi terkekeh, “hei, kamu tidak berniat jalan-jalan di Jakarta, Allary?”
“Kemana?”
“Ya barangkali mengunjungi tantemu, mengunjungi gerobak pamanmu, atau menunjukkan tempat-tempat yang asyik di kota ini untukku.”
Allary menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak akan melakukan itu, Vi. Kita harus tetap berhati-hati di sini. Aku tidak akan pergi ke sembarang tempat. Mungkin hanya ke warung makan sederhana di seberang sana, saat jam makan siang nanti. Selebihnya, aku lebih suka di kamarku.”
Baiklah, Vivi tidak akan memaksa lebih jauh lagi.
Mereka masuk kamar masing-masing. Vivi rebahan di kasur, bersantai sambil main telepon pintar miliknya. Sementara Allary berdiri menatap jendela yang lebar. Seluruh ingatannya tentang kota ini, menyeruak keluar.
Semoga petualangan kali ini menemukan titik cerah untuk hidupnya.
Malam harinya, tanpa mengetahui intrik-intrik di tubuh kabinet Presiden Marcelo, tanpa tahu bagaimana debat sengit antara Presiden, Prof. Danilo dan Prof. Joao, berkat rekomendasi Prof. Nyoman, ketiga orang itu tidak berkutik. Profesor Joao tersenyum di akhir pembicaraan.
Akhirnya kabinet men-sahkan satu buah rombongan untuk melaksanakan penjelajahan tersebut.
Malam hari itu juga, Allary mendapatkan email nan syahdu. Email tersebut, tak sepenuhnya dimengertinya. Tulisannya seakan mengabur, dan hanya paragraf penutupnya, yang bisa dia baca.
We have approved your proposal, please prepare your expedition.
Itu adalah kalimat yang sederhana saja. Tidak megah, tidak dramatis. Amat jelas dan singkat. Namun Allary tak henti-hentinya tersenyum membaca kalimat tersebut. Sembilan kalimat yang amat memukau.
Setelah memastikan bahwa email itu bukan email penipuan, lekas Allary mengetuk kamar Vivi untuk memberitahunya.
“Astaga Allary, jangan menggedor kamarku juga dong,” suara menyahut di dalam. Saking semangatnya, Allary tak sadar bahwa dia mengetuk secara tidak sopan.
“Proposal kita disetujui,” kata Allary segera setelah kamar itu terbuka. Ternganga Vivi mendengarnya. “Benarkah, Allary?”
Allary manggut-manggut.
“Astaga, syukurlah!” Vivi berseru sambil memeluk Allary. Allary sebenarnya tak siap dengan pelukan penuh kejutan, tapi posisinya sempurna.
“Terima kasih sudah membujukku waktu itu. Ayo sekarang kita wujudkan petualangan penuh keseruan ini.”
“Ya, ayo Allary. Ini saatnya kita memanggil dua orang lagi.”
“Kamu benar. Aku akan segera menelepon mereka. Kemudian kita makan malam.”
Allary tentu tahu siapa dua orang pelengkap timnya. Dua orang yang akan menggenapi rombongannya jadi empat orang, sebagaimana yang dia tulis di proposal. Tentu saja, Felix Norton dan Turguy Amartey.
Yang pertama Allary hubungi adalah Turguy Amartey.
“Good morning, Mr. Turguy,” sinyal telepon Allary segera membumbung tinggi dari keramaian Jakarta, terbang ke barat, melewati Indochina, India dan akhirnya menyusup ke lereng Pegunungan Pahadaru sana. Tiba di sebuah rumah di Eutasaga.
Turguy, sebagai seorang guide yang selalu berhubungan dengan relasi dari berbagai negara, selalu menempatkan telepon di jangkauannya, segera mengangkat panggilan masuk. “Yes Mister, Turguy here,” kata suara di seberang sana, “Is there anything I can help? Do you want to climb to Everest,” ujarnya lagi. Nampaknya dia sangat bersemangat, sampai tidak mengenali nomor telepon Allary. Terpaksalah, Allary memakai versi bahasa Indonesia.
“Turguy, ini ketua rombonganmu yang berbicara.”
Turguy terkesiap mendengar suara, intonasi dan bahasa itu. Hening sejenak.
“Oh astaga, Ketua Allary,” Turguy belepotan menyahuti dengan potongan bahasa Indonesia yang campur aduk sambil meloncat-loncat. Senang dia mendapatkan telepon ketuanya itu. “Apa kabar ketua, ada apa meneleponku. Apakah kita akan menjelajahi gunung lagi?”
“Sayangnya tidak untuk hari ini, Turguy. Aku akan mengundangmu ke ekspedisiku. Kami akan menjelajah ke Hutan Amazonia. Mau ikut, Turguy? Satu kursi di rombonganku, untukmu.”
“Amazonia? Aku tidak salah dengar ketua? Hutan yang amat berbahaya itu?”
“Kau benar Turguy, Hutan Amazonia. Kita akan menaklukkan hutan itu, menemukan hal yang tak pernah ditemukan manusia.”
“Ah, aku sangat tersanjung atas tawaranmu itu, ketua. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkan lereng. Musim pendakian sedang ramai. Orang-orang memerlukan guide. Maafkan aku ketua.”
Satu orang gagal Allary dapatkan. Itu artinya timnya tidak akan pernah sama dengan yang sebelumnya.
16
Bandara di Kota Tepi Pantai
Allary sebenarnya ingin langsung menelepon Felix, tapi Vivi mencegahnya. Katanya menelepon Felix bisa sambil makan malam saja. Permintaan yang aneh, tapi Allary bisa merasakan bahwa ada nada antusias dalam perkataan Vivi barusan.
“Turguy menolak untuk ikut dalam penjelajahan ke Amazonia,” kata Allary dengan wajah lesu.
“Oh ya, berarti kita kekurangan satu anggota. Baiklah, itu bisa kita selesaikan nanti. Coba sekarang kamu hubungi Felix.”
“Baiklah.”
Allary menekan nomor telepon Felix. Sinyal teleponnya segera terbang menyeberang lautan, nun jauh ke Spanyol sana. Harap-harap cemas Vivi dibuatnya. Apakah telepon dari Allary juga akan tulalit, atau tempo hari, Felix sengaja men-tulalit-kan telepon darinya.
Ternyata nomor itu tersambung. Bunyi grasak-grusuk di speaker.
“Halo, Felix.”
Lama tidak ada sahutan. Bunyi grasak-grusuk. Allary mengulang sapaannya. “Halo, Felix.”
“Halo,” barulah ada sahutan. Suaranya timbul tenggelam.
“Felix, kau mendengar suaraku?”
“Kau, ketua Allary?”
“Ya, kau benar Felix. Ini aku yang bicara.”
“Ada perlu apa, ketua?” suara Felix terdengar acuh tak acuh. Allary bisa membayangkan wajahnya.
“Sebuah undangan penjelajahan. Kau kuundang untuk ikut timku dalam penjelajahan Amazonia. Gratis. Tidak ada biaya tambahan. Bagaimana, Felix?”
Kembali tidak ada jawaban. “Felix, kau masih mendengar suaraku?”
“Kenapa kau tiba-tiba mengajakku, ketua?”
Allary tertawa, “kau bergurau, Felix? Kau adalah anggota rombonganku. Aku adalah ketuanya. Lagipula kemarin-kemarin aku sudah berjanji untuk mengajakmu jika ada penjelajahan gila. Hei bukankah kau sendiri yang memintanya.”
“Sial, kau mengunciku, ketua.”
“Jadi bagaimana jawabanmu?”
“Siapa saja yang ikut? Apakah rombonganmu sudah lengkap?”
“Ada Vivi, tapi sayang sekali, Turguy tidak bisa ikut.”
“Gadis itu ikut ya,”
“Benar sekali.”
“Aku menolak ikut, ketua. Aku malas bertemu lagi dengan gadis itu.”
“Hei, kenapa dengan Vivi,” Allary menoleh pada Vivi di depannya, “kamu ada masalah apa dengan Felix, Vi?”
“Dia ada di sana?” Felix menimpali, terkejut.
“Benar. Dia menyeberang lautan untuk membujukku. Kau mau bergabung.”
“Entahlah ketua,” ada nada ragu, tapi Allary rasa, Felix ingin mengikuti rombongannya. Allary cepat-cepat memberi serangan penutup. “Kau harus datang, Felix. Aku akan menunggumu di tepi Sungai Amazonia. Rombonganku tidak akan sama tanpamu.”
Kemudian secara searah, Allary menutup telepon. Yakin sekali, Felix benar-benar akan datang.
“Bagaimana, Allary?” Vivi bertanya, Allary kembali duduk.
“Dia akan datang. Aku yakin. Oh ya, kamu ada masalah apa dengan Felix?”
“Eh,” tiba-tiba pipi Vivi bersemu merah, “tidak perlu dibahas, Allary.”
Tiba-tiba perasaan Allary tidak enak.
Pemerintah, lewat Profesor Danilo mengirimkan e-tiket untuk Allary dan Vivi untuk datang langsung ke negaranya. Empat tiket terlampir, sesuai jumlah anggota. Allary mengirimkan satu e-tiket kepada Felix, sekali lagi menegaskan bahwa Felix harus datang.
Allary dan Vivi sendiri, segera bersiap-siap untuk berangkat, menjalankan program penjelajahan baru mereka. Mendebarkan.
Nun jauh di Spanyol sana...
Felix mematut e-tiket yang dikirimkan Allary dengan gamang. Dia merasa bimbang untuk pergi ke Amazonia. Ada banyak masalah yang harus diselesaikannya di Spanyol. Tapi jika mengingat kembali wajah Amancio dan Ketua Dacosta, urusannya di negara ini tidak akan berakhir baik-baik.
“Mungkin aku harus lari, sekali lagi, pergi jauh-jauh dari negeri ini. Satu hari lagi, aku bisa duduk santai menikmati pemandangan di bandara tepi pantai. Kurasa itu bukan gagasan buruk.”
Felix bergumam, lalu tersenyum.
17
Kabur dari Spanyol
“Bagaimana jika kita juga tidak bisa meyakinkan Felix untuk ikut dalam penjelajahan ini?” Vivi pelan bertanya, dia dan Allary sekarang duduk bersebelahan di pesawat terbang. Mereka akan menyeberang lautan Pasifik, menuju ke negara dimana Amazonia berada.
“Entahlah, Vi.” Allary memasang wajah lesu, “aku juga bingung. Tim kita tidak akan sama tanpa Turguy, dan jika Felix juga batal bergabung, entah apakah aku masih bisa menyebut diriku sebagai ketua rombongan ini.”
Perjalanan menuju Amazonia ini menjadi perjalanan setengah hati.
“Apakah ini berarti kita akan mengganti anggota rombongan?” Vivi bertanya lagi.
“Sekali lagi aku tidak bisa membayangkan, dan aku juga tidak mau membayangkan. Aku sangat berharap, Felix menunggu kita di Bandara, saat kita mendarat nanti.”
Allary sungguh berharap, itu bukan harapan kosong. Dan itu memang bukan harapan kosong. Felix sedang bergerak. Hal yang pertama dilakukannya di Spanyol sana, adalah meloloskan diri untuk yang kedua kalinya.
Dan itu tidak mudah.
Felix harus membeli tiket ulang, karena dia tidak mungkin berangkat dengan tiket yang dikirimkan Allary. Jadwal keberangkatan pesawatnya siang, tak bisa dia menyelinap di siang bolong. Orang-orang kepercayaan Amancio mengawasi rumahnya. Felix membeli tiket keberangkatan terakhir, pukul 11 malam waktu setempat.
Malam mulai meninggi. Kawasan kontrakan Felix adalah kawasan yang tidak terlalu ramai di Kota Madrid. Pukul 9 malam ke atas, kawasan itu sudah lengang. Felix bersiap-siap. Dia sudah mengeboks tasnya, mengirimkan tas secara terpisah, jadi malam ini dia hanya perlu meloloskan diri sendiri.
Menyelinap dari rumah, kemudian Felix merunduk di halaman, merayap menuju tanaman rimbun yang ada di pagar. Tanaman itu cukup untuk menyembunyikan dirinya. Felix memantau keadaan sekitar. Masih ada satu dua orang berlalu lalang.
“Pasti salah satu diantara orang-orang itu, adalah suruhan Amancio. Aku harus hati-hati.” Felix bergumam pada dirinya sendiri. Lama dia bersembunyi. Berbelas-belas menit. Menunggu di balik rimbun dedaunan. Menunggu bunyi mesin tegap menderu. Menunggu jemputannya.
Truk sampah.
Ya, truk sampah miliki departemen kesehatan. Itulah kendaraan jemputan Felix. Persis seperti saat dia melarikan diri dari Spanyol, saat usianya 17 tahun. Felix pelan-pelan menyelinap ke dalam truk itu, tepat saat kendaraan busuk itu merapat di dekat persembunyiannya.
Sekali lagi sempurna.
“Kalian memang bodoh. Pantas saja, tidak pernah naik pangkat,” Felix menyeringai.
Rute pelariannya berikutnya, dia akan turun di sudut yang ramai, menghentikan taksi, baru melaju ke bandara. Dengan hitung-hitungannya, Felix memperkirakan, Amancio dan Ketua Dacosta baru akan sadar dia meninggalkan rumah, ketika dia sudah masuk ke ruang utama bandara. Mereka tidak akan bisa ikut campur di sana. Sebab geng preman Ketua Dacosta tidak suka berurusan dengan polisi.
Sekali lagi, aku akan meninggalkan negeri ini.
Dalam sembilan jam perjalanan, Felix tiba di Bandara tepi pantai, pukul 8 pagi. Siap sarapan.
“Aku tidak lari kali ini, aku cuma tidak ingin membuat masalah. Ternyata adalah kesalahan besar ketika aku memilih pulang. Mungkin barangkali, aku memang harus bertualang seumur hidupku.”
18
Tanah yang Dijanjikan Takdir
Negeri yang diperintah Presiden Marcelo, sebuah negara nan menakjubkan, campuran antara sebuah negara maju yang modern dengan panorama dan kekayaan alam yang menjadi sebuah simbol negara di mata internasional.
Negara itu lima kali lebih besar dari negara Allary, Indonesia, dan lebih besar 2 kali lipat jika dibandingkan dengan India. Luasnya hanya beda-beda tipis dengan negara China. Keadaan di sana? Jangan ditanya. Beda tipis-tipis pula, dengan India. Di bawah kepemimpinan Presiden Marcelo, negara itu berkembang sangat pesat.
Ketika Allary tiba, di bandara yang terletak di sebuah kota di tepi Pantai Atlantik, dia dan Vivi, melihat sendiri kemegahan negara yang diperintah Presiden Marcelo. Gedung-gedung tinggi berdiri tegak, transportasi berseliweran, bahkan tidak jauh dari sana, kapal-kapal besar sedang merapat.
“Ini negara yang hebat, Allary.” Vivi bergumam, terkesima.
“Iya Vi. Kamu benar. Tapi dari apa yang kubaca, negara ini memang sedang bergerak menuju kemajuan yang tak tertahankan lagi. Pembangunan infrastruktur digalakkan, kegiatan produksi barang industri juuga sangat masif. Kukira pemimpin negara ini adalah orang yang hebat,” Allary langsung respek setelah membaca profil Presiden Marcelo beberapa hari yang lalu. Menurutnya Presiden adalah orang yang bervisi ke depan. Orang macam presiden Marcelo itu, agaknya dibutuhkan di negerinya.
“Ini Rio-kan?”
“Benar. Ini kota Rio. Salah satu kota terbesar di negeri ini, dan merupakan kota bibir pantai terbesar di dunia.”
“Kamu mengumpulkan banyak informasi ya, Allary.”
Allary tersenyum, pujian itu mengena. “Terima kasih, begitulah kebiasaanku sejak kuliah dulu. Sebagai tambahan informasi untukmu, negara ini punya tata letak perkotaan yang unik. Demografinya terpusat di bagian timur. Di kota-kota besar sepanjang pelabuhan. Makin kita masuk ke arah barat, semakin terlihat berbeda. Itulah bagian hutan Amazonia yang dilindungi. Pembangunan infrastruktur tidak boleh dilakukan di sana, atau minimal diawasi secara ketat. Sebab Amazonia adalah harta karun nasional.”
“Astaga, berdebar-debar aku mendengarnya, Allary. Berarti petualangan kita akan benar-benar menarik.”
“Sebelum itu, kita harus mencari sarapan dulu.”
Urusan mendarat di negeri yang baru pertama dilihat, dan urusan sarapan, membuat pikiran Allary teralihkan sementara dari masalah pelik. Mereka mencari sarapan di sekitar bandara saja. Meski agak mahal, tapi Allary dan Vivi tidak mau ambil resiko makan di sembarang tempat. Baru saat itu, Vivi kembali mengungkit-ungkit masalah mereka.
“Jadi Allary, bagaimana soal rombongan kita yang kurang dua orang ini?”
“Kurang satu orang, Vi. Aku masih berharap Felix akan datang ke sini. Kemarin aku sudah mengirimkan e-tiket padanya.”
“Tapi bagaimana kalau dia tidak datang,” Vivi sampai menggigit bibir, terbawa emosi.
“Kita tunggu sampai pukul 1 siang. Nanti aku coba meneleponnya juga. Sementara ini kita hanya harus memikirkan siapa yang akan menggantikan Turguy. Mungkin kita juga harus menghubungi Profesor Danilo. Kita minta solusi.”
“Berarti kamu tidak berpikir untuk membatalkan perjalanan ini bukan, Allary?”
“Siapa bilang aku akan membatalkannya? Kita sudah sampai di sini, kita sudah sejauh ini. Aku tidak akan mundur begitu saja. Pasti kita punya solusinya di sini.”
Vivi menghela nafas lega. “Terima kasih, Allary. Aku benar-benar membutuhkan uang hadiah itu, untuk pengobatan ayahku.”
“Oh jadi begitu?” Allary terkejut, baru tahu itu motivasi Vivi.
“Iya, oleh karena itu, penjelajahan ini tidak akan gagal.”
Tersenyum Allary dibuatnya. Itu berarti penjelajahannya ini akan berlandaskan sebuah kebaikan. Allary akan menolong Vivi mendapatkan uang hadiah itu.
“Kamu tenang saja, Vi,” kata Allary mantap, “negeri ini telah dijanjikan dalam takdirku, aku akan menaklukkannya. Aku akan membantumu mendapatkan uang itu. Tenang saja. Tidak ada yang bisa membatalkan penjelajahan kita, apapun yang terjadi.”
Saking semangatnya Allary, dia tidak menyadari derap-derap langkah seseorang menuju ke arahnya, dari belakang. Orang itu menepuk pundaknya, sambil berucap dengan suaranya yang khas.
“Hei, jangan pernah membatalkan perjalanan ini, atau usahaku ke sini, akan sia-sia.”
Allary menoleh, sekejap kemudian, matanya berbinar, dia tentu mengenali siapa orang ini.
“Kau kah itu, Felix?!”
“Ya, ini aku, ketua.” Felix membuka tudung kepalanya. Menunjukkan rambut pirangnya bersinar tertimpa sinar mentari pagi.
Ternganga Vivi dibuatnya.
“Astaga, kamu datang, Felix?!” Vivi setengah berseru, menutup mulutnya dengan tangan. Antusias.
“Tentu saja. Aku adalah bagian dari rombongan ini. Lagipula, petualangan kalian jauh lebih menarik daripada kehidupanku di Spanyol sana.”
“Kau benar Felix, terima kasih sudah datang,” Allary tak ragu-ragu lagi, memeluk teman lamanya itu.
Kini rombongan mereka sudah tiga orang. Satu orang yang ingin mencari jawaban hidup dari petualangan, satu orang yang ingin mendapatkan hadiah, dan satu orang yang lari dari masalahnya. Darimanakah pertanyaan-pertanyaan akan muncul? Ah ya, ini pun adalah sebuah pertanyaan.
19
Empat Orang atau Tidak Sama Sekali
Dengan Felix, rombongan mereka menjadi lebih kuat. Dengan Felix pula, urusan menghubungi Profesor Danilo menjadi lebih mudah.
Bukan apa-apa, sejak turun dari bandara, Allary menyadari satu hal, orang-orang negeri ini, berbahasa Orang Latin. Sepertinya mereka lebih nyaman bicara dalam bahasa Latin ketimbang Bahasa Inggris. Di sisi lain, Allary hanya bisa berbahasa Inggris. Akan sulit berkomunikasi dengan bahasa dua arah begitu. Untunglah Felix muncul, dan dia bisa bahasa orang Latin.
Selesai sarapan, mereka memanggil taksi. Felix menanyakan dimana kantor departemen riset dan penelitian, serta dimana mereka bisa menemukan Profesor Danilo. Supir taksi itu mengangguk, menyebutkan bayaran. Allary, Vivi dan Felix patungan untuk membayar taksi itu.
Mereka meluncur ke kantor Profesor Danilo. Kebetulan kantor itu juga terletak di Kota Rio. Kalau terletak di Ibukota negara, bisa-bisa terkuras dompet mereka gara-gara membayar taksi.
Setelah bertanya sana-sini, menunjukkan email yang mereka terima, akhirnya mereka bertiga berhasil masuk ke ruangan profesor. Profesor menatap mereka tajam-tajam. Jubah putihnya berkelabat menyapu ruangan.
“Ada apa, kenapa kalian menemuiku?”
“Begini, kami punya sedikit masalah, profesor,” Allary beringsut maju. Menjelaskan duduk perkara yang mereka alami. Profesor mendengarkan sambil mengerjakan pekerjaannya. Seolah-olah masalah Allary sangat remeh baginya.
“Saya harap, kami bisa mendapatkan solusi, Profesor.” Allary menutup penjelasannya.
“Kalian kekurangan anggota?”
“Benar, profesor.”
“Bukankah saat kalian memasukkan proposal, anggota kalian sudah lengkap empat orang.”
“Benar profesor, tapi ada satu orang yang membatalkan rencana perjalanannya. Bagaimana menurut anda, profesor?”
“Lucu sekali anda anak muda. Kenapa anda malah menanyakan itu pada saya. Itu masalah remeh saja. Kalian tinggal mencari anggota tambahan. Tinggal telepon salah satu kenalan, teman, atau sepupu. Masalah selesai.”
Allary menelan ludah, masalah mereka tidak sesederhana itu. “Kami tidak punya opsi anggota lain lagi, Profesor. Bagaimana jika kami teruskan perjalanan ini, bertiga saja.”
Profesor balik menatap Allary dengan sangat tajam, “anda tidak serius dengan kalimat anda itu bukan?”
“Eh?” Allary menelan ludah. Apakah dia salah ucap?
“Anda tidak mengerti duduk masalahnya kalau berpikir begitu. Rombongan 4 orang,” Profesor Danilo berdiri, berjalan menuju whiteboard di ujung meja. Menjelaskan sesuatu.
“Empat orang, adalah jumlah yang ideal. Angka ini bukan sesuatu yang kami tetapkan asal-asalan. Rombongan 4 orang adalah angka yang ideal untuk menjelajah.”
Allary menelan ludah lagi, merasa dejavu dengan penjelasan seseorang yang seperti ini, enam bulan yang lalu.
“Jadi bagaimana solusi dari anda?” Felix bertanya.
“Anda tidak serius bertanya pada saya bukan? Kalian punya tiga kepala, takkan-lah tidak bisa menemukan solusi.” Profesor menyemprot kasar.
“Kami mohon solusi dari Profesor. Kami sudah terlanjur datang ke sini. Tak mungkin kami pulang, mencari satu orang lagi,” Vivi ikut bicara.
Tersenyum profesor. “Nah itu satu solusi sudah kau lontarkan. Kalian tidak perlu pulang. Cukup cari satu orang di negeri ini untuk menjadi anggota rombongan kalian.”
Allary memandangi dua anggotanya. Mencari anggota rombongan di negeri yang tak mereka kenali? Bagaimana bisa?
“Tunggu, bagaimana cara kami mencari orang di negeri yang kami sendiri tak kami kenali?” Felix menyela.
“Itu sama sekali bukan urusan saya,” Profesor terkekeh, sejenak kemudian, Felix sekilas menangkap seringaian jahat di dalam diri Profesor. Sebagai orang yang sering berseliweran di dunia hitam, Felix kenal sekali dengan jenis seringai itu.
“Tapi profesor...”
“Sudah, itu saja solusi dari saya. Karena penjelajahan ini melibatkan banyak uang, saya tetapkan jangka waktu tiga hari untuk kalian, mencari anggota yang tersisa, di negeri ini.”
Ternganga Allary.
“Bagaimana kalau kami tidak mendapatkannya, Profesor?”
“Itu berarti kalian harus mengucapkan selamat tinggal pada rencana penjelajahan kalian.”
“Hei, tidak bisa begitu profesor,” Felix kembali menyela, panas hatinya membayangkan sedari kemarin dia susah-susah menyusup dalam truk sampah tanpa hasil. “Kami telah bersusah payah datang ke negeri anda. Anda merugikan kami kalau begitu.”
“Dan anda pikir kami tidak rugi?” Profesor Danilo kembali memainkan matanya, “kami membelikan kalian semua tiket. Kalian pikir kami tidak rugi ketika melakukan itu?”
Allary dan yang lain tidak bisa menyahuti lagi.
“Dengar, kalian harus temukan orang keempat, atau tidak sama sekali. Terima kasih. Silakan tinggalkan ruangan saya.”
20
Woy Perampok Woy Perampok!!!
Allary, Vivi dan Felix duduk termenung di luar ruangan Profesor Danilo. Felix yang tampak paling emosional.
“Gagasan yang benar-benar tidak masuk akal,” katanya memukul pahanya sendiri.
“Tenanglah dulu, Felix,” Allary menepuk-nepuk bahunya, “kita cari solusi. Pasti ketemu. Seperti yang kubilang pada Vivi. Pasti ketemu.”
Vivi termenung di ujung kursi, harap-harap cemas, kalau rencana penjelajahan mereka gagal.
“Kau tidak mengerti ketua, mencari satu orang di negara antah berantah seperti ini bukan gagasan mudah. Ini negara Latin. Bukan Asia Tenggara, orang di sini hidup gaya Eropa. Bukan gaya Asia.”
Allary tersenyum simpul, melotot Felix, “kenapa kau bisa-bisanya senyum ketua. Apa yang lucu.”
“Kau, Felix.”
“Aku? Apa yang lucu?”
“Saat pertama kali kita bertemu, juga sepanjang perjalanan mendaki Gunung Sarsa, kau lebih banyak diam. Sekarang kau cerewet sekali. Jangan-jangan kalimat yang kau keluarkan sepanjang tiba di negeri ini, lebih banyak dari seluruh kalimat yang kau ucapkan dalam pendakian kita tempo lalu itu.”
“Astaga ketua,” Felix berdecak. Membuat Allary semakin geli. “Situasinya sekarang beda, ketua. Aku datang ke negeri ini bersusah payah. Dan juga, aku merasa, Profesor Danilo itu bukan orang baik. Aku tidak pernah diam saja menghadapi orang jahat.”
Ucapan Felix begitu mantap terdengar.
“Oleh karena itu, tenanglah sebentar, Felix. Mari kita berpikir. Solusinya mungkin masih terjangkau tangan-tangan kita.”
“Bagaimana kau bisa seyakin itu,” Felix kembali berdecak.
“Enam bulan yang lalu, kita juga tidak saling kenal, Felix. Aku bahkan setengah bertaruh ketika mengajakmu ikut dalam rombongan pendakianku. Jika aku pernah mendapatimu sebagai anggota timku, aku hanya perlu menemukan satu orang lagi, di sini.”
Allary juga berucap mantap. Dia memang seorang ketua rombongan yang kharismatik.
“Tidak semudah itu, ketua. Dulu kita disatukan sebuah tujuan. Sebelum aku ikut rombonganmu, tujuan kita sudah sama. Sekarang, semua berbeda. Kau tidak bisa asal mencomot orang di jalanan, menawarkan masuk ke tim-mu. Tidak bisa ketua. Itu sama sekali tidak logis.”
Allary menyeringai. “Itu bukan ide yang buruk, mari kita coba. Ayo kita berjalan-jalan santai di luar, siapa tahu aku bisa mencomot satu orang pelengkap tim.”
Felix berdecak, sementara Vivi berbisik pelan, “semoga.”
Jalanan kota Rio nampak padat. Mereka keluar tepat di jam kehidupan kota mencapai puncaknya. Pukul 9 pagi. Allary melihat-lihat sekeliling. Penduduk negeri ini, ada hampir 200 juta jiwa. Masa iya tidak ada orang yang tak bisa diajaknya. Demikian logika Allary.
Masalahnya adalah, jika ada orang lokal yang bersedia ikut ekspedisi penjelajahan ini, rombongan Allary kemungkinan tidak akan dapat jatah.
Ketika Allary sedang sibuk berpikir, Felix sibuk berdecak, dan Vivi harap-harap cemas itu, kejadian berikutnya datang begitu cepat.
“HAPPPP!”
“EH HEIII!!” Vivi tiba-tiba berseru. Seseorang reflek menarik tas tangan miliknya, kemudian lari.
“PENCOPET!” Reflek Allary tersadar, kemudian langsung berlari juga. Mengejar.
“PERAMPOK!” Sahut Felix. Ikut mengejar juga.
Tinggallah Vivi tergugu sendirian. Malang betul nasibnya.
Pencopet, atau perampok, lelaki berjaket biru itu lari membawa tas tangan milik Vivi. Larinya cepat. Dia juga lincah menyusup di balik para pejalan kaki. Dia hafal rute. Sementara itu, Allary, sekitar dua puluh langkah di belakangnya, mengikuti dengan tersengal-sengal. Berteriak. “WOY COPET WOY!” Tidak ada orang lokal yang mempedulikan teriakannya, sebab dia berteriak dalam bahasa Indonesia.
“Biar aku yang mengejarnya, ketua.” Felix menawarkan diri, lalu langsung maju melesat seorang diri.
Allary masih terengah-engah.
Felix amat terlatih dalam berlari. Dia sering melatih dirinya sehingga staminanya prima. Tapi orang yang dia kejar, lebih mengetahui rute, gesit berbelok ke gang dan jalan-jalan sempit. Menyusahkan.
“SIALAN KAU!!” Felix berseru.
“WOY KEMBALI, WOY PERAMPOK WOY!!” Tiba-tiba Allary sudah berlari lagi di sebelahnya. Heran Felix. “Kau baik-baik saja, Allary.”
“Ya, mari kita kerja sama menangkapnya. Kau belok kanan, sergap dia di depan. Aku akan mengejarnya.”
“Baiklah.”
Kali ini Allary bisa berlari cepat, karena niatnya untuk berbuat baik.
Tiba-tiba di depan sana, si pencopet dihentikan oleh seseorang. Warga lokal. Mereka bertabrakan. Lalu si pencopet dilumpuhkannya.
“Jangan lari, pencuri,” katanya dalam bahasa orang Latin.
Siapa orang ini.
21
Teman Baru
Allary menunggu sampai orang itu selesai berurusan dengan pihak keamanan. Serba salah hendak mengambil kembali tas tangan Vivi dari orang itu. Rupanya orang itu menyadari keberadaan Allary dan Felix, melambaikan tangannya.
“Ini punya kalian?” katanya, kali ini dalam bahasa Inggris yang fasih.
“Eh iya, punya teman kami,” kata Allary, garuk-garuk kepala.
“Ambillah. Sepertinya kalian orang asing, apakah kalian turis?”
“Ah bukan,” Allary menerima kembali tas tangan itu, “kami sedang... ukh (Felix menyenggol Allary agar tidak perlu menyebutkan tujuan mereka yang sebenarnya) ada urusan di kota ini.” Allary menyempurnakan kalimatnya.
Orang itu manggut-manggut, “oh baiklah. Semoga kalian menikmati kota ini. Harap berhati-hati, agar kejadian yang sama, tidak terulang.”
Orang itu kemudian berlalu. Sungguh menarik pembawaannya. Jaketnya kelihatan lusuh, tangannya kekar, postur tubuhnya kekar, tapi tidak terlalu tinggi. Umurnya ditaksir Allary tidak beda jauh dengannya. Rambut orang itu plontos, disembunyikannya dalam topi koboi kecil. Badannya kecoklatan, dan ada bekas luka toreh di antara mata kanan ke pipi kirinya.
Siapa dia?
“Felix, kau pegang tas ini,” Allary melempar tas pada Felix. Setelah menyerahkan tas tangan pada Felix, Allary mengejar orang itu.
“Tunggu mister.”
Orang itu berbalik. Tersenyum, “ada apa? Apakah ada yang tidak lengkap di dalam tasnya? Aku minta maaf tapi aku tidak tahu apa-apa.”
“Bukan, bukan seperti itu, Mister. Terima kasih sudah menyelamatkan barang punya teman kami. Saya berhutang budi pada anda.”
“Ah tak perlu pakai hutang budi, jangan aneh-aneh,” orang itu tertawa lebar.
“Saya serius, mister. Perkenankan saya mentraktir anda minum-minum dulu sebelum anda pergi. Anggap saja ucapan terima kasih.”
Orang itu sekali lagi tertawa. “Astaga, anda menebak dengan baik, saya memang haus. Baiklah, saya tidak keberatan.”
“Bagus. Anda tunggu di sini. Saya akan panggil teman saya tadi, dan selanjutnya kita akan minum di kedai di sebelah sana itu,” Allary menunjuk ke kedai kopi di seberang jalan.
“Baiklah. Terima kasih.”
“Oh ya, saya Allary Azra, dari Indonesia. Saya harap anda jangan kemana-mana dulu.”
Allary balik kanan, hendak memanggil teman-temannya. Sementara orang itu memperhatikan langkahnya sambil mengingat dimana dia pernah bertemu dengan orang Indonesia.
22
Pedro dos Santos
“Terima kasih, Felix,” Vivi terbata-bata menerima kembali tas tangannya.
“Bukan aku yang mengambilnya, tapi seorang warga lokal yang kebetulan lewat.”
Mata Vivi membulat, “oh ya, dimana orang itu sekarang?”
“Dia sudah lewat. Tadi Allary mengejarnya.”
“Semoga Allary bisa mengejarnya. Aku harus berterima kasih.”
Felix mengangguk. Saat itulah Allary datang, tergopoh-gopoh.
“Kau mengajaknya minum?”
“Ya,” Allary mengangguk mantap, “kita berhutang budi padanya. Ayo kita traktir dia minum di salah satu kedai kopi.”
“Kedai kopi? Itu ide bagus,” Vivi menyahuti, “aku pernah dengar kalau negara ini adalah penghasil kopi terbesar di dunia. Pasti kopi yang disajikan, lezat.”
Felix menggeleng, “kopi tetap saja kopi. Dimanapun itu berada.”
“Yang terpenting ayo sekarang kita ajak dia minum.”
“Baiklah.”
“Tapi untuk bayarnya, kita patungan lagi. Aku takut uangku tidak cukup,” Allary tersenyum masam. Felix menyeringai. Nasib mereka di negara ini memang tidak mujur.
Beruntungnya, meski tidak mujur dalam nasib, mereka bertiga cukup kompak. Serempak mengumpulkan uang untuk membayar empat cangkir kopi. Mengajak orang baik yang menolong mereka.
Kabar baiknya pula, kedai kopi ini mematok harga yang cukup murah. Mengingat kopi di sini adalah barang swasembada. Kopi olahan itu juga cukup enak. Bahkan Vivi, yang mengaku tak suka kopi, menyeruput cangkir sambil tersenyum.
“Selamat datang di negeriku, Tuan-tuan dan Nona muda.” Orang itu tersenyum pada Allary dan kawan-kawan. Bagi Allary, orang yang sudah tersenyum padanya, itu sudah bisa jadi temannya.
“Senang bisa berada di sini mister. Sekali lagi saya perkenalkan, saya Allary Azra. Ini teman saya, Felix Norton dan Selvi Anatasha.”
Orang itu manggut-manggut. Mengangkat gelas kopinya lagi. “Maaf, aku tidak bisa berhenti minum. Aku memang sedang haus.”
“Ah ya, tidak masalah, Mister.”
“Oh ya, perkenalkan. Namaku Pedro. Aku asli orang lokal.”
Kamera di sudut kedai kopi itu mengambil gambarnya. Close-up. Muncul tagline namanya.
PEDRO DOS SANTOS
“Senang bertemu anda, Mr. Pedro.”
“Ah, panggil saja Pedro. Tidak perlu normal. Allary Azra.”
“Ah ya, terima kasih Pedro. Terima kasih juga karena sudah mencegat perampok itu. Kalau tidak, tas milik Selvi ini sudah raib di negeri orang.”
Pedro mengelap bibirnya. Cangkir kopinya sudah tandas. “Sama-sama. Aku juga minta maaf jika gara-gara hal ini, kesan kalian pada negeri kami jadi buruk. Percayalah, sebenarnya ini sangat jarang terjadi. Tapi ya begitulah kejahatan, berlaku saat ada kesempatan.”
“Tidak apa-apa. Yang terpenting semua sudah beres.”
“Kau benar, Allary Azra. Jadi, dalam rangka apa kalian mengunjungi negeri ini? Berwisatakah? Kalaupun tidak, kusarankan kalian datang ke Sungai Amazonia. Pemandangan di sana, tidak akan mengecewakan.”
“Terima kasih, Pedro. Sebenarnya kami ke sini untuk satu urusan yang penting.”
Allary membenarkan posisi duduknya. Sedikit pembicaraan basa-basi ini sudah cukup baginya untuk mengenali orang bernama Pedro ini. Sekarang saatnya untuk serius.
23
Tidak Semudah Itu, Ketua
“Pedro, sebagaimana yang kusebutkan tadi sebelum kita duduk di sini, kami datang ke negara ini untuk sebuah urusan. Urusan tersebut, bukan sekedar berwisata, kau pahami itu.”
“Oh baiklah, aku paham. Maafka aku jika saranku tidak berkenan, Allary Azra.”
Allary menggeleng, “bukan, bukan seperti itu maksudku, Pedro. Urusan kami itu penting, kami memang tidak sedang berwisata, tapi kami masih bisa melakukannya sambil melihat pemandangan.”
“Itu terdengar sangat bagus,” Pedro menyahut tanggung, coba menebak-nebak arah pembicaraan ini.
“Urusan kami itu juga teramat besar, Pedro. Oleh karena saking besarnya urusan tersebut, kami memerlukan bantuan seseorang yang tepat. Maukah kau membantu kami?”
“Urusan apa itu tepatnya.”
“Kami adalah tim penjelajah yang ditunjuk Profesor Danilo dan Presiden Marcelo untuk menjelajah Amazonia.” (Di sini Pedro terkejut, sampai dia harus menutup mulutnya dengan tangan), “namun kami kekurangan orang. Kami sedang memerlukan tambahan orang di tim. Dan kurasa kau adalah orang yang cocok untuk mengisinya.”
Kini tak hanya Pedro yang terkejut. Felix dan Vivi juga nampak terperangah mendengar kata-kata Allary. Felix yang duduk bersebelahan dengan Allary reflek memukul paha ketuanya itu, dan menghadiahinya dengan tatapan, kau tidak bisa seenaknya mengajak orang asing masuk dalam tim kita.
Allary mengangkat bahu. Menunggu reaksi Pedro. Namun Pedro diam saja seolah dia tidak sedang berada di situ.
“Bagaimana, Pedro?” Allary mengulang pertanyaan. Barulah Pedro tersadar dari lamunannya.
“Baiklah, Allary Azra,” Pedro mencoba menyusun kalimatnya, “pertama-tama, aku ucapkan terima kasih karena kau mengajakku dalam perjalanan ini. Aku merasa terhormat. Akan tetapi, tentu saja, aku tidak bisa serta merta mengiyakan ajakanmu itu. Ada beberapa alasan yang harus dipertimbangkan.”
“Ya? Apa saja?”
“Pertama, kau harus tahu, kalau perjalanan menembus Hutan Amazonia, yang ditawarkan program Presiden Marcelo itu, ah bagaimana aku mengatakannya ya,”
“Katakan saja, Pedro.”
“Seperti menyetor nyawa. Itu program konyol dan berbahaya. Makanya tak seorang-pun berminat mengambil tawaran tersebut. Hutan Amazonia, sangat luas. Semakin masuk ke dalamnya, pengetahuanmu semakin berkurang.”
Allary tersenyum. Terima kasih atas peringatanmu itu, Pedro. Tapi kau pasti tidak tahu kalau orang-orang di depanmu ini pernah menaklukkan gunung tertinggi di dunia, sebagai pendaki amatir. Allary sangat siap menyongsong bahaya. “Apa ada lagi alasan lain?”
Pedro mengangguk, “ya, aku pria berkeluarga. Aku tidak bisa pergi meninggalkan keluargaku begitu saja. Jadi kurasa sudah jelas, aku terpaksa menolak tawaranmu, Allary Azra. Meski aku akui, aku merasa terhormat dengan tawaranmu itu. Terima kasih.”
“Sayang sekali, sayang sekali, Pedro,” Allary menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku minta maaf, kalian harus mencari orang lain.”
“Kurasa dia benar, ketua. Kita tidak bisa memaksa seseorang asing untuk ikut dalam penjelajahan, begitu saja. Tidak bisa, ketua.” Felix menimpali. Allary mendelik kesal. Felix terlalu terus terang. Tapi Pedro mengangguk-angguk mendengar hal itu.
“Temanmu benar, Allary Azra. Ini terlalu cepat. Kesannya tidak baik. Aku hanya orang asing, aku tidak berhak masuk dalam tim-mu yang hebat.”
Allary buru-buru memukul bahu Felix yang tak tahu sopan santun itu. Menyuruhnya diam. Felix hanya mengangkat bahu.
“Benar, kau memang orang asing, Pedro. Tapi setidaknya kita sudah saling kenal di sini. Maaf atas komentar temanku tadi. Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi bolehkah kita bertukar nomor telepon sebelum berpisah? Siapa tahu kami akan menghubungimu lagi nanti.”
“Oh boleh saja, Allary Azra. Sebentar.”
Pedro merogoh saku jaketnya. Agak mengherankan, ada secarik kertas di sana. Pedro meminjam pulpen Allary lalu menulis. Nomor teleponnya. “Ini.”
“Terima kasih. Kalau begitu, kita berpisah di sini. Minum kau tadi, sudah kubayar.”
“Terima kasih, Allary Azra. Oh ya, aku masih di Rio dalam beberapa hari ini. Jika kau berniat melihat tempat-tempat keren di kota ini, hubungi saja aku. Nanti aku ajak kalian ke tempat-tempat keren itu.”
“Terima kasih sekali, Pedro.”
24
Orang Manaus yang Istimewa
Bukan rahasia lagi bahwa ada hubungan tak sehat antara Danilo dengan Joao. Sama-sama orang penting, sama-sama akademisi handal, sama-sama punya jejak rekam yang cemerlang, sama-sama bergelar profesor. Tambahkan bahwa dua orang itu memang saling tidak menyukai satu sama lain.
Bagi Profesor Joao, Danilo adalah orang licik yang rela melakukan apa saja untuk menggapai ambisinya. Sementara bagi Profesor Danilo, Joao adalah penjilat pemerintah sebelumnya (pemerintahan Presiden sebelum Presiden Marcelo) yang harus disingkirkan karena mengganggu jalan kariernya.
Karena tidak sepenuhnya percaya dengan Prof. Danilo, Profesor Joao menempatkan mata-mata dalam kantor Prof. Danilo, khususnya dalam program penjelajahan hutan yang dikepalai oleh sang profesor. Profesor Joao tidak ingin Danilo melakukan sesuatu yang melenceng dari kode etik. Berkat mata-matanya itu, Prof. Joao mendapatkan banyak informasi.
“Tiga orang yang menarik,” Profesor membuka berkas yang tadi dikirim oleh Profesor Nyoman, matanya berbinar membaca tumpukan kertas itu.
Tiga orang itu, siapa lagi kalau bukan Allary, Vivi dan Felix. Profesor Joao penasaran dengan ketiga orang tersebut, sehingga meminta datanya pada Prof. Nyoman. Orang-orang pintar terhubung satu sama lain.
“Orang-orang yang bersemangat, tak takut resiko, mencintai kebenaran, dan bertanggung jawab sampai akhir.” Tersenyum Profesor Danilo membaca kumpulan berkas itu, tersenyum dia akan kesimpulan yang dia dapat. Profesor Nyoman mengirimkan berkas laporan yang ditulis Allary Azra, atas misi mereka ke Puncak Gunung Sarsa. Meski Allary sebisa mungkin meminimalisir kisah soal Negeri Orang Gunung, keseluruhan laporan itu masih sangat menarik.
“Orang-orang seperti mereka inilah yang diperlukan Amazonia sekarang,” Profesor bergumam lagi, di ruang kerjanya, tidak ada yang akan menganggap aneh karena dia senang bicara dengan dirinya sendiri.
Sayangnya, Profesor kecele membaca laporan dari mata-matanya, bahwa tiga orang potensial ini nyaris gagal menjelajah, karena anggota tim mereka kurang. Profesor mengelap wajahnya yang berkeringat. “Ini pasti akal-akalan Danilo lagi. Dia ingin memanipulasi penjelajahan ini agar menguntungkan dia dan pemerintah. Tidak bisa kubiarkan. Orang-orang ini, sudah sangat cocok untuk misi khusus ini. Mereka harus terpilih. Mereka harus berangkat.” Sampai merah wajah Profesor.
Profesor melanjutkan kegiatan membacanya. Sekarang dia beralih ke laporan mata-mata yang lain. Mata-matanya di jalan. Tidak lain, si wartawan yang kemarin ikut Prof. Danilo ke Jakarta. Hari ini si wartawan bisa memata-matai pertemuan Allary dengan Pedro di kedai kopi di Kota Rio.
“Hoo, jadi mereka nyaris mendapatkan orang keempat. Tapi orang itu, menolak. Hmmm, Pedro dos Santos. Nama yang juga menarik.” Profesor mengelus dagunya, antusias, “ANDREI!” Profesor berseru, memanggil stafnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Profesor?”
“Tolong carikan aku, data tentang Pedro dos Santos. Aku merasa familiar dengan namanya.”
“Baik Profesor.”
Setengah jam kemudian, Andrei datang lagi, dengan salinan kertas yang tebalnya setengah meter. Profesor Joao memang senang melahap bacaan berbentuk kertas. Bukan paparan elektronik.
“Terima kasih Andrei.”
“Ada lagi yang bisa saya lakukan, Profesor?”
“Untuk saat ini tidak.”
Andrei menutup pintu. Profesor mulai membaca lagi dengan antusias. “Pedro dos Santos. Ah ya, ini orangnya, tidak salah lagi,” Profesor mencocokkan foto di data yang diberikan Andrei, dengan hasil jepretan si wartawan.
“Pedro dos Santos. Petani teladan dari Manaus. Salah satu orang yang mengenal seluk beluk hutan Amazonia, luar dalam, karena dia sering keluar masuk hutan sebagai petani. Seandainya dia punya kesempatan untuk kuliah, mungkin dia jadi ahli botani. Dia lebih mengenali hutan ini dibandingkan... ah berita surat kabar selalu melebih-lebihkan, dramatis,” profesor terkekeh. Potongan surat kabar itu ditaruhnya lagi di meja.
“Orang itu, pasti bukan orang sembarangan. Aku harus memastikan sesuatu.”
Detik itu juga, Profesor langsung beraksi.
25
Bantuan di Balik Layar
Hari kedua bagi Allary dan kedua temannya.
Mereka sudah berhemat. Mengungsi ke penginapan yang lebih murah, hanya makan omelet tadi malam, dan makan sekerat roti sebagai sarapan, tapi siapapun yang hadir di meja makan mereka pagi itu, akan menebak, rombongan Allary berada dalam masalah.
Tepatnya masalah keuangan.
“Kau tahu ketua, setelah kuhitung-hitung, jumlah uang kita hanya cukup untuk makan sampai malam ini, dan tidur di penginapan ini sampai besok. Jika sampai pagi besok kita belum dapat solusi, kita akan menggelendang di kota ini. Kurasa itu serius.”
Allary menyobek rotinya, mencelupnya ke air teh hangat, mengunyahnya pelan, sebelum menyahuti Felix. Sebenarnya tanpa diberitahu pun, Allary bisa menduganya. Dia adalah ketua rombongan ini. Dia meminta Felix bersabar.
Felix berdecak sebagai balasan.
“Kurasa Felix benar, Allary,” ini Vivi yang menyahut, “kita perlu solusi, bukan sekedar bersabar. Keadaan kita di kota ini mulai genting.”
“Iya Vi, aku tahu,” sahut Allary sambil merapikan bungkus rotinya, “kita masih punya waktu sampai sore. Kita akan mencari solusinya.”
“Kau punya ide, ketua?”
Allary mengangkat bahu, “aku belum punya solusi yang bagus, tapi aku akan memulai dengan mencari Pedro.”
Vivi dan Felix sama-sama menyernit, “Pedro? Maksudmu, orang yang kemarin?”
Allary mengangguk.
“Apa rencanamu, ketua?”
“Aku akan mencarinya, kemudian membujuknya sekali lagi.”
“Kurasa itu bukan ide yang bagus,” sahut Felix. Sekali lagi pula, Allary mengangkat bahu, “kurasa itu satu-satunya opsi yang kita punya saat ini, kecuali kau berpikir untuk mencomot orang asing di jalanan besar itu.”
Felix bungkam, skakmat. Meski begitu, dalam hatinya, Felix meyakini, ini tetap bukan ide bagus. Untuk apa membujuk orang yang jelas-jelas kemarin menolak. Felix tidak suka ide merepotkan begitu. Dia lebih suka beraksi. Misalnya dengan merangsek ke ruangan Profesor Danilo, dan mengancam orang itu dengan tinju.
Namun, Felix salah dalam hal ini.
Dengan gerakan cepat dari Profesor Joao, di pagi yang sama, di sudut lain kota Rio, Pedro kaget mendapati seseorang mengantarkan surat padanya. Surat itu berlogo Kementerian Riset, dan disegel rapat.
Jenis tipuan baru, batin Pedro dalam hati. Dia melanjutkan sarapan. Surat itu dia tepikan sementara.
Hari ini Pedro masih melanjutkan pekerjaannya di Rio. Menjual hasil perkebunan dan hasil hutan. Seperti yang dijelaskan dalam data Profesor, Pedro adalah seorang petani.
Ketika selesai memuat isi mobil bak terbuka miliknya, duduk manis di samping supir yang dia sewa, barulah Pedro membuka surat berlogo kementerian itu. Agak berdebar juga dia rasa, sebab itu pertama kali dia menerima surat dari kementerian.
“Astaga,” Pedro menutup mulutnya, baru sepenggal surat dari kementerian itu dia baca.
“Ada apa bos? Surat dari siapa itu?” Si supir bertanya. Terkejut dengan gesture Pedro.
“Ini surat dari Kementerian.”
“Kementerian?” supir menyernit kening.
“Ditandatangani langsung oleh Profesor Joao.”
“Astaga,” supir ternganga. “Apa isinya bos?”
“Aku diundang untuk mengikuti penjelajahan Amazonia. Lewat surat ini, Profesor Joao memintaku secara khusus. Astaga, yang benar saja.”
“Wah itu suatu kehormatan, bos.”
“Tapi aku harus hati-hati. Siapa tahu, ini adalah semacam penipuan.” Pedro menilik surat itu rapat-rapat.
“Kurasa tidak bos. Agak sulit mempercayai ada orang yang melakukan penipuan atas nama kementerian. Kurasa itu bukan ide bagus.”
Pedro terdiam. Benar juga. Siapa pula yang ingin mencari masalah dengan Pemerintah, atas kasus penipuan. Tidak, tidak ada yang suka dengan hukuman apa yang diberikan Presiden Marcelo. Apa itu berarti, surat ini benar-benar asli? Batin Pedro bergolak.
Kemarin, Pedro masih bisa berkelit dari ajakan orang-orang itu, Allary Azra dan dua temannya. Dia masih merasa punya prioritas lebih penting. Tapi undangan Profesor Joao adalah soal lain. Profesor Joao adalah orang terhormat. Mendapat undangan darinya, juga sebuah kehormatan.
“Kita mampir di Kantor Kementerian Riset setelah selesai mengantar hasil kebun ini, Dante,” Pedro akhirnya mengambil keputusan. Dante, si supir mengangguk. “Baiklah bos. Beres.”
Sementara Pedro dan Dante bergerak mengantar hasil kebun, Allary, Vivi dan terutama Felix, mencak-mencak mendapati alamat kediaman Pedro yang mereka datangi, kosong melompong. Tidak terlihat ada orang di dalamnya.
“Kurasa kita sudah ditipu, ketua,” Felix mendengus kesal.
26
Setuju
Mobil yang dikendarai Dante, terparkir di depan Kantor Cabang Kementerian Riset dan Teknologi. Pedro dengan deg-degan masuk ke gedung itu, menunjukkan surat berlogo yang dia terima. Apakah yang akan dikatakan resepsionis? Apakah aku akan diusir? Batin Pedro dalam hati. Ternyata, respon resepsionis sangat positif. Pedro diantar ke sebuah ruangan.
Profesor Joao sudah menunggu di ruangan tersebut. Resepsionis mempersilakan Pedro untuk masuk, kemudian menutup pintu. Apa yang mereka bicarakan di dalam? Sayangnya, kita tidak bisa mengetahuinya.
Kembali ke Allary dan rombongannya. Felix hendak menendang pintu kamar kontrakan lusuh itu sekali lagi, namun dicegah oleh Vivi.
“Tenanglah Felix.”
“Kita ditipu mentah-mentah, ketua,” wajah Felix masih merah padam. Allary menggeleng, “tidak secepat itu untuk mengambil sebuah kesimpulan. Siapa tahu dia sedang keluar. Ada jejak mobil di halamannya. Mungkin saja bukan?”
“Aku lebih suka menyimpulkan bahwa kita telah ditipu, ketua,” Felix mendengus. Meski dia tidak bisa membantah, jejak mobil di halaman itu, masih baru.
“Bagaimana sekarang, Allary?” Vivi mendekat, Allary sendiri jongkok di halaman, menatap sekitar, berpikir.
“Berapa sisa uang kita, Vi?” Sekedar info, Vivi ditunjuk sebagai bendahara dalam penjelajahan ini.
Vivi menyebutkan jumlah sambil menyernit kening, “memangnya ada apa, Allary?”
“Kita harus membeli kartu seluler, kita harus bisa mengakses jaringan telepon di negara ini.”
“Kau jangan bercanda, ketua. Itu uang untuk jatah makan malam kita.”
“Kita harus melakukan ini, Felix,” Allary mengambil sejumlah uang dari Vivi, “kita harus mencari Pedro. Selain itu, kurasa tidak ada masalah jika kita membeli kartu seluler. Siapa tahu kita perlu menelepon.
Rombongan Allary mencari toko yang menjual kartu seluler. Setelah dapat, Allary melanjutkan rencananya. Menghubungi nomor telepon Pedro. Nomornya tercantum di kartu nama yang kemarin diberikan pada Allary.
Telepon dari Allary segera bertaut dengan jaringan seluler di udara, sambung menyambung hingga berubah jadi nada dering. Berbunyi di dalam mobil Pedro. Terkejut Dante dibuatnya. Oh rupanya Pedro meninggalkan teleponnya dalam mobil. Dia tidak mau ada yang mengganggu pertemuannya dengan Profesor Joao. Dante ragu-ragu, mengangkat telepon tersebut.
“Hallo,”
“Hallo Pedro,” sapa Allary.
“Ah maaf, saya bukan Pedro.”
“Bukan?” Allary terhenyak, kecewa.
“Eh ya, aku supirnya. Pedro sedang ada urusan. Kebetulan teleponnya dia tinggal di mobil. Ada apa? Apakah ada pesan untuk Pedro? Biar aku sampaikan.”
Allary berpikir sejenak. Sempat terpikir untuk menitipkan pesan, tapi sekilas kemudian, Allary pikir itu bukan keputusan yang baik. “Saya rasa tidak, mister. Saya ingin menemui Pedro secara langsung. Boleh kami ke sana?”
“Sebentar, saya tidak bisa membiarkan anda melakukannya begitu saja. Siapa sebenarnya anda? Apa jaminan bahwa anda tidak ingin berbuat jahat?” Dante mengambil langkah waspada.
“Aku jamin aku bukan orang jahat. Aku kenalan Pedro. Ada yang mau kubicarakan dengannya. Tadi aku sudah ke alamat yang diberikan olehnya, oh ya, Pedro memberiku kartu nama, jadi aku rasa aku bisa dipercaya.”
“Baiklah,” Dante mengendurkan waspada, bila orang ini memegang kartu nama Pedro, mungkin dia memang bisa dipercaya. “Kami sedang ada di depan kantor kementerian riset dan teknologi. Pedro masih di dalam.”
Terkejut Allary mendengar lokasi itu. Kantor Kementerian Riset dan Teknologi? Apa artinya itu...
“Baiklah, kami akan ke sana. Saya mohon anda dan Pedro tidak kemana-mana, sampai kami tiba. Kami susah mencari lokasi anda jika anda pindah tempat.”
“Baik, kami akan tunggu. Tapi jangan macam-macam ya, kantor ini berseberangan dengan kantor polisi.”
Allary tersenyum. Menutup telepon. Segera mengajak rombongannya untuk mencari taksi. Felix, seperti biasa, sempat protes. Bilang kalau uang taksi ini adalah jatah menginap mereka nanti malam. Allary mengangkat bahu.
“Kita akan punya solusi, Felix. Aku yakin sekali, dengan menemui Pedro, kita akan mendapat solusi. Lagipula aku curiga dia sedang melakukan sesuatu di gedung Kementerian Riset dan Teknologi. Itu kementerian yang sama, dengan yang menaungi program riset kita.” Allary mengepalkan tangan. Bersemangat.
“Kuharap kau tidak salah ketua. Atau jangan-jangan Pedro hanya menjual beberapa hasil kebunnya pada pegawai kementerian.” Felix menyandarkan badan di kursi taksi sambil menghela nafas.
Sementara itu, di ruangan Profesor Joao, Pedro telah mencapai ujung pembicaraan.
“Bagaimana menurut anda, Mister Pedro?” Profesor menjulurkan tangan, tersenyum.
“Ah ini agak sulit bagi saya, profesor. Masih ada orang yang harus saya minta persetujuannya. Saya tidak bisa menjaminnya bakal setuju juga.” Pedro garuk-garuk kepala.
“Tapi bagaimana dengan anda sendiri?”
“Saya kira, saya boleh mengatakan setuju, atas diri sendiri. Ya profesor, saya setuju.”
Profesor Joao tersenyum simpul.
27
Kesepakatan, Pulang ke Manaus
Apa yang dibicarakan Pedro dengan Profesor Joao? Apa yang mereka sepakati? Kita akan segera tahu. Bersamaan dengan Pedro keluar dari kantor kementerian, Allary dan rombongannya sampai, turun dari taksi.
Terkaget-kaget mereka semua.
“Lho? Allary Azra? Kenapa kalian bisa ada di sini?”
“Aku juga menanyakan hal yang sama, Pedro. Apa yang kau lakukan di sini?”
“Eh aku, aku tadi ada urusan di dalam. Bagaimana kalian bisa sampai di sini.”
Dante mendekat, menjelaskan. “Tadi, orang bernama Allary itu menelepon. Menanyakan tentang kau, bos. Mendesak untuk bertemu. Jadi mau tidak mau aku memberi tahu dimana kita berada.”
Pedro manggut-manggut. Ini bagai kebetulan, batinnya lagi.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Allary mengulang pertanyaannya. Setiap kali meluncurkan tanya, suara Allary bergetar. Dia sangat berharap, Pedro membawa kabar baik untuk rombongannya.
“Kita bicarakan di tempat yang lebih nyaman, mari, Allary Azra, Dante. Kita antarkan orang-orang baik ini ke tempat yang lebih nyaman.”
“Kontrakan kita?”
“Bukan, alun-alun kota saja. Di sana lebih teduh suasananya. Mungkin Allary benar, aku perlu membicarakan hal ini.”
Mereka semua naik mobil Pedro. Dante dan Pedro duduk di kursi kemudi, sementara Allary, Felix dan Vivi menumpang bak terbuka yang telah kosong. Mereka meluncur ke alun-alun. Pusat Kota Rio.
“Kurasa ini semacam kebetulan yang akan menyenangkan bagimu, Allary Azra,” buka Pedro. Mereka telah duduk di pusat taman kota yang dinaungi pohon-pohon rindang. Hanya berempat. Dante menjaga mobil.
“Lanjutkan, Pedro.”
“Tadi pagi, aku menerima sebuah surat berlogo kementerian riset. Terkejut sekali aku membaca surat itu. Apalagi surat itu ditulis dan ditandatangani langsung oleh Profesor Joao. Isi singkatnya, aku diundang untuk masuk dalam penjelajahan Amazonia, program pemerintah itu, dan aku juga diundang untuk datang ke kantor kementerian untuk membicarakan hal itu baik-baik. Jadi aku datang ke kantor dimana kalian menemuiku tadi.”
“Profesor Joao mengundangmu? Bagaimana bisa?” Vivi tidak bisa menyembunyikan rasa heran.
“Ya, aku juga heran, Nona Selvi. Aku tak pernah punya urusan dengan program penjelajahan Amazonia itu, dan aku tidak berniat untuk ikut. Tapi aku tak kuasa menolak undangan profesor. Setidaknya undangan untuk datang ke kantornya. Tadi kami membicarakan semuanya, Profesor banyak menyanjungku tentang pengalamanku keluar masuk Amazonia untuk bertani dan berkebun. Katanya itu amat cocok dengan misi penjelajahan ini.”
“Jadi bagaimana tanggapanmu, Pedro?” Allary menggosok-gosokkan tangannya.
“Nah itu dia, Allary Azra. Seperti yang kubilang padamu juga sebelumnya, aku tidak bisa ikut, karena keputusan bukan milikku seorang. Aku punya istri untuk dimintai persetujuan terlebih dahulu.”
“Tunggu sebentar,” potong Felix, “jika kau ditawari dan kau setuju, apakah itu berarti kau akan masuk dalam rombongan kami?”
“Tentu saja,” Allary menyambar, antusias.
“Aku tidak bertanya padamu, ketua.”
Pedro menganggukkan kepala, “ya, kukira begitu. Tadi profesor juga menyinggung soal kalian bertiga. Katanya kalian adalah sebuah kombinasi orang-orang yang menarik, dan jika aku bergabung dalam tim, maka penjelajahan kita akan sukses.”
“Aku setuju seratus persen dengan pendapat profesor yang satu itu,” sahut Allary riang.
“Jadi bagaimana jawabanmu, Pedro?” Vivi ikut bertanya.
“Tadi kubilang setuju pada Profesor. Susah sekali menolak undangan dari orang terhormat itu.”
Ternganga Allary. “Itu berarti kau akan ikut dalam rombongan kami. Memenuhi undangan penjelajahan ini?”
“Sekali lagi, aku tidak bisa menjamin. Di hadapan Profesor sudah kukatakan bahwa ini bukan kesepakatan satu orang saja. Aku perlu minta persetujuan istriku.”
“Jadi kapan kau akan minta persetujuan istrimu?” Felix merecoki.
“Kemungkinan sore ini aku akan pulang ke Manaus. Aku akan bicara dengannya. Hei apakah kalian mau ikut? Manaus adalah kota kecil yang indah di tepi sungai Amazonia.”
“Kami ikut,” sahut Allary cepat-cepat, “bilapun nanti istrimu tidak setuju, setidaknya kami sudah menikmati keindahan negeri ini,” sahut Allary diplomatis. Padahal dia ikut agar mereka bertiga punya tempat bermalam gratis malam ini.
“Kau benar sekali, Allary Azra. Kalian akan senang dengan Manaus. Aku akan berangkat pukul 3 sore. Kalian nanti datangi saja ke kontrakanku.”
“Sepakat. Sementara menunggu sore, kami akan bersiap-siap, sementara aku sendiri akan melakukan riset di perpustakaan.”
Vivi terkejut. Felix tersenyum simpul. Akhirnya Allary kembali ke bentuk terbaiknya sebagai ketua rombongan ini.
28
Kota Kecil yang Indah
Sore itu juga, rombongan Allary bergerak ke Manaus. Formasinya di dalam mobil tetap sama. Dante dan Pedro di dalam, sementara rombongan Allary bertiga, di luar. Allary menyerahkan jaketnya pada Vivi, agar gadis itu tidak kedinginan.
Perjalanan dari Rio ke Manaus cukup jauh. Hampir tiga jam perjalanan. Semakin lama mereka semakin menjauh dari keramaian, dan mulai masuk ke area pedesaan, lama-lama masuk hutan. Pemandangan yang amat menarik bagi Allary. Hutan-hutan itulah yang akan dilihatnya berhari-hari ke depan.
“Apakah ini pertama kalinya kau melihat barisan hutan-hutan semenakjubkan ini, Felix?” Allary bertanya di atas mobil itu. Pohon-pohon sudah semakin rapat. Sudah pukul 5 sore.
“Bukan, bukan yang pertama, ketua. Tapi pemandangan hutan Amazonia, memang selalu menakjubkan.”
Allary manggut-manggut. Felix mungkin adalah petualang sejati. Dia pasti punya banyak pengalaman.
Manaus adalah sebuah kota yang terletak di tepi sungai Amazonia. Karena Sungai Amazonia sangat luas, Manaus menjelma jadi sebuah kota pelabuhan. Pedro tinggal di kota ini. Tepatnya di perbatasan baratnya. Letak rumahnya nyaris berbatasan dengan hutan lebat di barat Manaus. Menurut penjelasan Pedro, dia sengaja memilih rumah di sini, agar mudah keluar masuk hutan.
“Dante, bawa mobil itu ke garasi, dan kalian bertiga, tamu-tamuku, ayo masuk,” Pedro mengajak mereka semua. Seorang wanita berdiri di depan rumah. Allary segera menebak bahwa inilah istri Pedro yang akan mereka minta persetujuannya. Istri Pedro ini ibarat pemegang kunci perjalanan mereka.
“Jadi mereka, teman-teman penjelajahmu itu?” istrinya langsung bertanya, dalam bahasa lokal yang tidak dimengerti Allary. Melihat penampilan istri Pedro, yang boleh kita bilang semlohai, Allary juga segera paham mengapa Pedro sangat menyayangi istrinya.
“Iya.”
“Dan kamu serius mengikuti penjelajahan itu?”
“Eh kita bicarakan setelah makan malam ya sayang. Kasihan, mereka butuh istirahat sejenak.”
“Baiklah,” istri Pedro menyingkir dari pintu, masuk ke dalam, “aku akan buatkan minuman.”
“Mari tuan-tuan dan nona,” Pedro membukakan pintu lebar-lebar.
Allary, Vivi dan Felix masuk. Segera terkesima dengan rumah Pedro. Rumah kayu ini ternyata sangat artistik. Allary memperhatikan langit-langit, rumah itu dibentuk dengan atap berbentuk trapesium, Allary menduga-duga, kenapa demikian. Vivi terkesima melihat dekorasi dinding yang disusun dari kayu setengah lingkaran. Benar-benar menampilkan seni. Sementara Felix memperhatikan dinding sebelah kiri, beberapa senjata tajam, pisau, pedang, katana, (katana? Untuk apa? Misteri), tertancap di dinding. Pedro benar-benar bukan orang sembarangan. Mereka akhirnya duduk di ruang tamu, menunggu makan malam siap.
Makan malam di rumah Pedro cukup sederhana. Apakah itu karena istri tuan rumah tidak terlalu senang dengan kunjungan tamu-tamunya, Allary tidak tahu. Tapi setidaknya mereka tidak jadi menggelendang di kota Rio. Allary bersyukur untuk itu.
Setelah makan malam disingkirkan, pembicaraan pun dimulai. Pedro menjabarkan semuanya. Bagaimana dia dan rombongan Allary bisa bertemu, bagaimana awalnya dia menolak ajakan Allary, soal surat berlogo kementerian, ajakan Profesor Joao, sampai pertemuan kembali dengan rombongan Allary. Semuanya diceritakan dengan tuntas tanpa selaan dari sang istri.
“Jadi bagaimana menurutmu, sayang?” tanya Pedro akhirnya.
“Kamu akan pergi selama satu bulan? Kurasa itu bukan gagasan bagus.”
Kering tenggorokan Allary mendengar kalimat itu.
“Iya aku tahu. Perjalanan satu bulan itu bukan sesuatu yang gampang, tapi Amazonia kuyakin bisa menjamin kami tidak kelaparan.”
“Justru karena Amazonia aku khawatir,” sahut istri Pedro, “hutan itu amat berbahaya bukan? Ada banyak tumbuhan dan hewan beracun.”
“Kamu tenang saja soal racun itu, aku lebih mengenal Amazonia, dibanding siapapun. Lagipula setiap minggu aku keluar masuk hutan. Tidak ada yang terjadi, bukan?”
“Jadi kamu berniat untuk benar-benar pergi mengikuti penjelajahan itu?”
Bertambah kering tenggorokan Allary.
“Iya sayang. Aku ingin berangkat. Karena itu adalah undangan dari Profesor Joao. Aku tak bisa menolak undangan Profesor. Beliau adalah orang yang dihormati di negara ini.”
“Tapi sayang...?”
Allary meraih gelas air, menegaknya.
“Aku yakin, aku akan baik-baik saja. Lihat, aku punya teman-teman baru yang akan bahu membahu dalam penjelajahan ini. Aku akan baik-baik saja. Kuharap kamu mau mengizinkanku pergi,” Pedro meminta dengan wajah memelas. Istrinya terdiam. Vivi menyambar gelas air, juga ikut tegang.
“Berjanjilah kamu akan baik-baik saja,” kata istri Pedro akhirnya.
“Aku janji. Lagipula, siapa tahu setelah penjelajah ini, Prof. Joao berniat mengangkatku sebagai salah satu stafnya.” Pedro tertawa. Istrinya ikut tertawa. Allary, Vivi dan Felix bernafas lega.
Akhirnya malam itu keputusan besarnya telah diambil.
Mereka akhirnya berangkat ke Amazonia. Memulai penjelajahan.
29
Berangkat!
Sehari sebelumnya, tepat sebelum berangkat ke Manaus, rombongan Allary sepakat membagi tugas. Felix dan Vivi akan mengurus keberangkatan mereka, sementara Allary pergi ke perpustakaan untuk meriset tentang Hutan Amazonia. Mungkin mereka akan memiliki Pedro yang punya pengetahuan luas tentang Amazonia, tapi tentu saja, Allary sebagai seorang ketua rombongan yang bertanggung jawab, merasa perlu pula mengetahui tentang seluk beluk Amazonia, luar dalam. Untuk hasil riset Allary, nanti dulu kita bicarakan.
Felix dan Vivi berhasil menemui Profesor Danilo, membawa surat rekomendasi dari Prof. Joao, mengesahkan bergabungnya Pedro ke rombongan mereka, dan itu artinya hanya satu hal, tim mereka telah siap berangkat.
“Kalian yakin dengan hal ini?” Profesor Danilo menatap mereka berdua tajam-tajam.
“Tentu saja,” Felix membalas tatapan tajam tersebut.
“Jadi kalian sudah menemukan orang keempat dalam tim kalian. Bagaimana kalian menemukannya? Sampai membawa nama Profesor Joao begini. Apa yang yang sebenarnya terjadi?”
Felix tersenyum simpul. Sejak kemarin dia sudah kesal dengan orang bernama Danilo ini, dan sekarang melihat orang itu kesal, adalah sebuah kesenangan bagi Felix.
“Saya kira surat rekomendasi itu sudah menggambarkan semuanya dengan sangat tepat.”
“Iya, saya kira begitu, tapi bagaimana kalian mendapatkannya, bisa saja bukan, kalian memanipulasi surat ini,” Profesor Danilo membanting surat itu ke mejanya.
Mendelik Felix dibuatnya. Enak saja dia dituduh berbohong. “Kami tidak berani berbohong atas nama pemerintah, profesor. Kami di sini hanya orang asing. Mana kami berani bertindak macam-macam,” Vivi yang menjawab, sembari berjaga-jaga kalau-kalau Felix tiba-tiba kumat.
“Ya bisa saja bukan?”
“Kalau profesor merasa ingin memastikan, kenapa tidak menelepon kantor kementeriannya saja. Saya yakin mereka akan membenarkan surat itu, apa adanya.”
“Ya, kenapa anda tidak coba meneleponnya saja.” Felix ikut bersuara, sekali lagi, sambil tersenyum simpul.
Rahang profesor mengeras. Dia agak tersinggung dengan kata-kata Felix barusan. Seperti tantangan. Tapi dia tidak akan menelepon kantor kementerian itu. Tidak akan. Dia tahu, Joao tengah menyiapkan rencana.
“Baiklah, aku percaya dengan kementerian,” ucap Profesor Danilo akhirnya, “aku tidak perlu mengeceknya. Baiklah, ya, seperti janjiku, karena kalian telah genap empat orang, maka penjelajahan ini akan aku sahkan. Sebentar, aku carikan buku panduan. Sisanya bisa kalian ambil di gudang peralatan.”
Vivi dan Felix mengangguk.
Sore itu juga mereka menerima kamera, buku panduan yang tebal, serta alat-alat untuk bertahan hidup, termasuk tenda, sleeping bag dan lain sebagainya. Sore itu juga, alat-alat itu semua, diangkut ke Manaus. Mereka siap berangkat.
Sementara Pedro sendiri berkemas dengan sebuah tas kecil. Dia hanya membawa sebuah baju. Baju ganti. Pedro adalah seorang petualang sejati.
Rombongan siap berangkat ke Amazonia.
30
Semua tentang Amazonia
Tepat sebelum berangkat ke Manaus, Allary datang ke tempat itu. Ke Fundacao Biblioteca de Nacional. Itu adalah perpustakaan terbesar di kota Rio, sekaligus perpustakaan nasional negeri ini.
Allary datang untuk mencari referensi. Baginya referensi sekarang adalah hal yang mutlak adanya. Belajar dari pengalamannya saat di Pegunungan Pahadaru yang mana dia tidak tahu apa-apa, sekarang Allary bertekad, setidaknya dia punya sedikit pengetahuan tentang Amazonia.
Dibantu seorang pustakawan yang ramah, Allary berkeliling perpustakaan besar tersebut. Dia diantar ke rak khusus buku-buku tentang Amazonia. Tujuh rak penuh buku-buku tentang Amazonia, kata sang pustakawan. Allary menelan ludah. Dulu, di masa kecilnya, dia sangat senang membaca, jadi berada di tempat seperti ini, menerima informasi seperti ini, selalu menyenangkan baginya.
Sayangnya, Allary harus kecele dengan satu hal. Buku-buku yang banyak sekali tersebut, yang bersusun hingga 7 rak tersebut, sebagian besar, ditulis dalam bahasa lokal. Bukan dalam bahasa Inggris. Allary tidak bisa buang-buang waktu membaca buku dengan bahasa yang tidak dia paham. Jadi Allary hanya bisa memilah beberapa buku. Dia mengambil ensiklopedia dan handbook, karena buku-buku semodel itulah yang memuat informasi umum namun menyeluruh.
Allary mengambil dua buah buku. Yaitu The Encyclopedia of Amazonia dan The Handbook of Amazonia: Introduce The Largest Forest in The World. Berbekal kedua buku yang tebalnya 2000 halaman itu, Allary mulai duduk. Membaca. Dia hanya punya dua jam sebelum berangkat ke Manaus. Dia harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.
Dari buku ensiklopedia, Allary menemukan berupa-rupa spesies yang menghuni hutan terluas di dunia itu. Mulai dari katak yang lebih kecil dari ibu jari manusia, sampai ular anaconda seberat 500 kilogram. Terkagum-kagum Allary melihat foto-foto hewan itu, dan makin tak sabar dia untuk melihat hewan-hewan itu secara langsung.
Allary menemukan pula bahwa Amazonia disebut sebagai neraka hijau, karena pertumbuhan pohon di wilayah itu amat cepat. Pantas saja hutan itu lebat sekali. Pohon-pohon yang familiar bagi Allary di Amazonia nanti, antara lain pohon jambu-jambuan dan pohon karet. Khusus karet, Allary tahu itu juga tumbuh di Kalimantan.
Sementara dari buku handbook, Allary menemukan berupa-rupa tips untuk bertahan hidup dalam hutan Amazonia. Dari sana Allary tahu bahwa hal-hal paling berbahaya di Amazonia, justru tumbuhan kecil, serangga kecil dan jenis jamur-jamuran. Ukurannya kecil, tapi punya racun mematikan.
Tips lain yang Allary temukan, adalah tentang bertahan hidup. Menurut buku tersebut, ketika ingin masuk Amazon, sebaiknya mengikuti kelok sungai, jangan masuk ke terlalu jauh ke tengah, karena hutan lebat bisa membuat siapa saja tersesat. Allary catat baik-baik hal tersebut.
Masih ada beberapa hal lain yang Allary pelajari, dia catat semua itu, baik dalam ingatannya, maupun dalam buku catatan kecil miliknya. Sisa pengetahuan ini, pasti sangat berguna untuk penjelajahannya kelak.
31
Rute Perjalanan
Pagi itu, pagi hari ketiga Allary di negara asing. Pagi dimana mereka akhirnya siap untuk berangkat. Pedro memanaskan mobil miliknya. Dante akan membawa mereka dengan mobil itu sampai batas tertentu, agar tidak terlalu capek. Walau sebenarnya dari belakang rumah Pedro sekalipun, sudah bisa masuk hutan dengan jalan kaki.
“Kau tidak akan mengatakan kalau kita ke hutan dengan naik mobil bukan, Pedro?” Allary bertanya, melihat mobil yang dipanaskan.
“Tidak, ketua Allary,” sahut Pedro, sejak tadi malam, sejak resmi bergabung sebagai tim Allary, Pedro mulai memanggil Allary dengan sebutan “ketua”.
“Lalu apa maksudnya mobil ini?”
“Dante akan mengantar kita sampai ke kelokan Madeira. Itu batas terjauh hutan yang bisa dicapai dengan kendaraan beroda. Dari sana, barulah kita memulai perjalanan dengan jalan kaki.”
“Kukira tadinya kita akan berjalan kaki dari sini,” Felix nimbrung dalam pembicaraan.
Pedro menggeleng, “tidak bisa. Jarak dari rumahku ke Kelokan Madeira masih cukup jauh. Butuh setengah hari berjalan kaki untuk sampai. Aku tidak mau kalian kelelahan hanya karena mencapai pintu masuk hutan yang sebenarnya.”
Allary, Felix dan Vivi yang bergabung kemudian, mau tidak mau setuju dengan ide tersebut. Mereka naik ke mobil, dengan satu pengecualian hari ini, Pedro naik bersama mereka di bak terbuka. Hanya Dante di kursi depan.
Ketika mobil mulai berjalan, Pedro membuka tasnya, mengeluarkaan sebuah karton besar, membuka dan menghamparkannya. Ada gambar tercetak di kertas karton itu. Gambar itu menyerupai sebuah peta.
“Dengarkan,” ucap Pedro, mengajak semuanya duduk melingkar, mengelilingi peta tersebut, “ini adalah rute perjalanan kita. Kita ada di sini sekarang,” Pedro menunjuk titik besar yang bertulis Manaus. Allary mengangguk.
“Dari Manaus, kita akan turun ke selatan, ke Kelok Madeira. Tak jauh dari kelokan ini ada habitat berang-berang raksasa. Kita harus berhati-hati ketika bergerak.” Pedro menunjuk gambar berang-berang yang telah dia ilustrasikan di peta tersebut.
“Lalu kita akan bergerak ke Barat. Menyisir sungai. Di tengah-tengah perjalanan, kita akan menemukan, secara berurutan, habitat utama caiman, ikan piranha, ikan payara, hingga jaguar. Kita harus semakin berhati-hati.”
Vivi menutup mulutnya, membayangkan mereka akan melalui semua tempat tinggal hewan-hewan mengerikan itu. “Lanjutkan, Pedro,” Allary berucap, penasaran.
“Setelah melewati habitat semua hewan itu, kita sampai di jantung hutan Amazonia. Tidak banyak orang yang pernah mencapai tempat ini, sedikit pengetahuan tentang tempat ini, jadi kita harus semakin berhati-hati, berhati-hati sekali. Kita tidak boleh terlalu banyak makan ketika lewat tempat ini.”
“Kenapa begitu?” Felix bertanya.
“Karena salah makan sedikit saja, bisa berakhir dengan wajah membiru dan nafas yang terputus-putus. Keracunan.”
“Petualangan ini pasti menarik,” sahut Allary lagi.
Pedro meneruskan gerakan pensilnya, “setelah melewati jantung hutan, semoga kita masih selamat, kita akan sampai di ujung sungai Amazonia. Di sini ada habitat hiu banteng air tawar, serta katak ujung panah yang beracun. Ujung sungai, itu sekaligus titik akhir petualangan kita. Setelah itu kita akan tiba di Argentina, mencari tiket dan pulang kembali ke negeri ini.”
Wajah Felix terlihat mengeras saat Pedro menyebut Argentina.
32
Angle Kamera yang Buruk
Pukul 10 pagi, matahari yang menyengat, menyelinap di balik rerimbunan daun pohon yang menutupi jalan setapak. Makin lama jalan setapak itu semakin sempit. Akhirnya, setelah dua jam menumpang mobil dari Manaus, jalan selebar 2,5 meter itu benar-benar tertutupi oleh semak-semak dan ranting pohon.
“Ya, kita akan turun di sini,” ucap Pedro setelah mobil berhenti.
Pedro meminta agar Dante kembali ke Manaus, membawa mobilnya kembali ke bagasi, sekaligus Dante pula yang dipercaya Pedro untuk menjaga rumah dan istri yang dia tinggalkan. Melihat hal itu, Allary yakin, Dante adalah orang kepercayaan Pedro.
“Jadi petualangan kita akan dimulai dari sini?” Felix berjingkat-jingkat, seolah dengan begitu dia bisa melihat lebih jauh ke depan.
“Benar sekali. Mari kita mulai. Ayo turun.”
Felix dengan mudah meloncat ke tanah, bahkan sebelum Pedro membukakan pintu belakang bak terbuka. Allary membantu Vivi turun, meski gadis itu sebenarnya tidak perlu dibantu. Mobil beserta Dante segera meluncur meninggalkan mereka. Kini genap Allary dan rombongannya ada di dalam hutan rimba.
Suasana hutan benar-benar kental terasa, hawa sejuk, angin sepoi-sepoi, suara serangga. Allary menggosok-gosokkan tangan. Pedro mengeluarkan senjata miliknya. Kalau di Indonesia, Allary menyebut benda itu sebagai parang, entah di sini apa namanya.
“Kita perlu ini untuk menerobos semak-semak dan ranting serta daun-daun rendah yang menghalangi jalan,” jelas Pedro.
“Bagus, kalau begitu kau berjalan paling depan, Pedro. Sekalian sebagai penunjuk jalan.”
“Siap ketua.”
Allary menengok ke belakang, “Vivi, Felix, apa tugas yang diberikan Profesor Danilo pada kita?”
“Seperti saat misi pendakian Sarsa, kita harus membuat dokumentasi. Kita akan mengumpulkan foto-foto hutan ini, sampai ke sudut-sudutnya.”
Allary manggut-manggut, “baiklah Vi, kalau begitu kamu di belakangku, sedangkan Felix paling belakang. Kalian berdua bisa bekerja sama mengambil gambar.”
“Siap Allary.”
“Bagus, ayo kita berangkat. Pedro sila tunjukkan jalan.”
Kelok Madeira, terlihat tidak jauh dari tempat mereka memulai perjalanan. Itu semacam tikungan aliran sungai, mengarah ke barat. Kelokan itu tidak akan istimewa jika hanya terletak di sungai biasa. Namun di Sungai Amazonia, yang lebarnya hampir 300 kilometer, kelokan itu menakjubkan.
“Kita harus tetap berada di sepanjang tepi sungai, Ketua Allary, karena hanya dengan itu, kita tidak tersesat. Jika kita terlalu lama berada di hutan tanpa patokan, kita akan berputar-putar.”
“Benar, Pedro,” sahut Allary. Dia sudah membaca informasi itu di perpustakaan nasional.
“Oh ya, apakah kau sudah tahu, bahwa lebar sungai Amazonia, lebih dari 300 kilometer. Jaraknya benar-benar luas. Tidak memungkinkan membangun jembatan di sisi sungainya.”
Allary mengangguk. “Aku sudah tahu, semua informasi itu telah kudapat di perpustakaan.”
“Ah, ternyata kau orang yang penuh persiapan, ketua Allary,” Pedro menepuk dahinya.
“Terima kasih. Oh ya, pilih satu kata saja untuk memanggilku, entah itu ketua atau Allary saja. Nama panggilan dengan dua kata, tidak efektif.”
“Oh baik, kalau begitu kupanggil ketua saja, ya.”
“Tidak masalah, Pedro.”
Sementara di belakang mereka, Vivi dan Felix terlibat pertengkaran kecil. Karena Felix terus menerus memprotes cara Vivi mengambil gambar. Padahal aku baru ambil 5 jepretan, dongkol Vivi dalam hati.
“Aku melihat caramu mengambil foto di Gunung Sarsa. Amburadul. Banyak foto yang kau ambil, tidak bagus. Aku harus mengoreksinya, demi kebaikan kita semua.”
“Memangnya bagaimana cara mengambil foto yang benar?” Vivi bertanya setengah hati.
Felix mendekat, membantu Vivi memegang kamera, mengambil gambar. Mendapati Felix berjarak tak sampai 30 cm dari tubuhnya, Vivi berkeringat dingin.
33
Suara Misterius
Dua puluh lima kilometer. Itulah kurang lebih jarak yang dicapai Allary dan rombongannya sebelum matahari terbenam di hari pertama penjelajahan mereka di Amazonia. Sejauh ini perjalanan mereka menyenangkan. Allary melihat banyak hal unik yang tak pernah dilihatnya sebelum ini. Pedro dengan senang hati menjelaskan setiap hal yang ditanyakan Allary. Sementara Vivi dan Felix mengambil cukup banyak gambar.
“Oh ya, ngomong-ngomong, dimana kita akan tidur malam ini?”
“Pastinya di tengah hutan, ketua. Tak mungkinlah di dalam hotel mewah,” terkekeh Pedro.
“Hei aku tahu, maksudku di bagian mana? Kita tidak bisa sembarangan mendirikan tenda bukan?”
“Iya ketua. Aku akan cari tempat yang cocok, secepat mungkin. Kita harus mencari tempat yang kering, tidak terlalu rimbun, dan dekat dengan sungai. Agar kita bisa tidur dengan tenang malam ini.”
“Memangnya apa yang bisa mengganggu tidur kita?” Vivi tertarik untuk bertanya.
“Macam-macam, nona Selvi. Kalau kau sedang tidak beruntung, bisa saja tendamu dimasuki oleh seekor ular yang lebih besar dari pergelangan kaki.”
Vivi menelan ludah.
Mereka terus berjalan selama setengah jam setelah percakapan kecil itu. Matahari mulai menghilang di sisi barat. Hutan (yang di siang hari saja terkadang gelap karena rimbunnya dedaunan) sekarang tambah gelap. Pedro terus maju, terus menyibak semak-semak. Tidak kunjung berhenti. Vivi mulai cemas. Bagaimana kalau mereka tidak mendapatkan tempat bermalam sampai hari gelap? Petualangan mereka bisa berantakan.
“Hei, kurasa tempat ini tidak terlalu buruk,” tiba-tiba dari belakang, terdengar suara berseru. Suara Felix. Pedro dan Allary berhenti.
“Ada apa, Felix?”
“Tempat ini tidak terlalu buruk ketua. Kita bisa bermalam di sini. Kurasa pohon-pohon ini bukan habitat hewan berbisa.” Felix mengelus salah satu pohon di dekatnya.
“Hei, bagaimana kau bisa begitu yakin?” Pedro bertanya. Agak tajam.
“Bukan hanya kau yang punya pengalaman penjelajahan dalam hutan, Mister Pedro.” Felix mengangkat bahu. “Tempat ini lumayan. Daripada kita terus berjalan, tidak ada jaminan kita bisa menemukan tempat yang cocok. Sedangkan hari semakin gelap. Kita bisa mendirikan tenda di sini.”
“Baiklah, mari kita dirikan tenda. Keluarkan tendanya, Felix.” Allary bertitah, mereka semua segera bekerja. Allary dan Pedro mendirikan tenda, Felix menyiapkan perapian kecil, sedangkan Vivi menyiapkan peralatan untuk tidur. Karena tempat yang terbatas, Vivi terpaksa tidur setenda dengan tiga pria itu. Meski agak riskan baginya. Mengorbankan satu keselamatan, demi keselamatan yang lainnya.
“Aku peringatkan kalian untuk tidak macam-macam,” kata Vivi dengan mata mengkilat tajam, “aku tidak segan memakai belati untuk melukai benda masa depan kalian itu jika ada yang berani macam-macam.”
Allary jeri mendengarnya.
Tidak lama kemudian, gelap mulai merayapi mereka. Vivi membawa selusin senter dalam tasnya, tapi benda elektronik itu sebaiknya nanti saja digunakan, saat situasi darurat saja. Untuk malam ini, pencahayaan mereka cukup dari perapian kecil yang dinyalakan Felix saja.
Makan malam hari itu disponsori oleh martabak spesial bikinan Allary. Pedro mengasah parang miliknya, sementara Felix melamun. Adapun Vivi mengecek gambar-gambar yang mereka dapat tadi siang.
Saat itulah suara itu datang. Suara yang sungguh tidak menyenangkan.
ROOOOOOOOAAAAAAARRRRR!!
Terperanjat Allary, Felix dan Vivi mendengarnya.
Suara apakah itu?
34
Raungan Amazon
ROOOOOOOAAAAARRRR!!!!!!
Suara itu benar-benar menggetarkan mental siapa saja yang mendengarnya. Bayangkan saja, suara misterius, nyaring dan menyerupai auman binatang buas itu terdengar dari kedalaman hutan yang sunyi, gelap, dan tidak banyak diketahui manusia.
Rombongan Allary semuanya waspada. Bahkan Felix memasang kuda-kuda kecil.
Lima belas menit berlalu, tak ada yang bergerak, semua waspada, namun suara itu tidak terdengar lagi. Allary mengangkat tangan, menandai semuanya baik-baik saja.
“Suara apa barusan itu, Pedro?”
“Entahlah ketua, aku tidak begitu yakin.”
“Jangan-jangan itu suara seekor jaguar,” gemetar Vivi. Hei bisa saja bukan? Mereka di Amazonia sekarang, habitat kucing besar itu.
“Kurasa tidak,” Felix menggeleng, “aku ingat kemarin Pedro bilang habitat jaguar tidak berdekatan dengan Kelokan Madeira.”
“Hei bisa saja bukan, dia nyasar ke sini untuk mencari mangsa,” Vivi semakin gemetar.
ROOOOOOOAAAAAARRRR!!!!
Suara itu terdengar lagi. Begitu keras, memecah kesunyian seisi hutan. Pedro terkesiap. Dari wajahnya, dia juga gentar mendengar suara itu. Allary menelan ludah. Ini baru hari pertama penjelajahannya. Dia tidak akan membiarkan satu suara misterius mengacaukan semua rencana mereka.
“Suara apa sebenarnya itu, Pedro?”
Pedro mematung. Felix mendekat, mengguncang bahunya. “Hei suara apa sebenarnya itu? Kau tahu sesuatu bukan? Jangan diam saja.”
“Felix, jangan bertindak kasar.”
“Dia tahu sesuatu ketua.” Felix berseru.
“Iya aku tahu. Tapi tolong jangan kasar. Tenanglah. Berkatalah dengan tenang Pedro.”
Allary berhasil menguasai keadaan dengan tutur katanya yang mantap.
“Entahlah ketua, aku tidak yakin kalian akan mempercayainya.”
“Ada apa sebenarnya Pedro?”
“Suara itu, suara raungan itu, berkaitan dengan sesuatu yang mistis.”
Terkejut Allary mendengarnya. Sesuatu yang mistis? Hei itu mengingatkannya lagi pada petualangannya di Pahadaru. Petualangan menemukan negeri yang hilang, Ogenaputai, bukankah itu juga diawali dari sebuah suara raungan.
“Katakan padaku, Pedro,” pinta Allary.
“Tapi kau belum tentu percaya dengan semua itu, ketua. Sesuatu yang mistis sulit untuk dipercaya dengan logika.”
“Pedro, enam bulan yang lalu, kami berdiri di lereng Pegunungan Pahadaru, sama-sama melihat sesosok makhluk mitologi, Raksasa Hi’um, dan kami semua percaya akan hal itu. Jadi kau tenang saja. Katakanlah sesuatu tentang suara itu,”
“Itu adalah, suara raungan Amazonia, ketua.”
Menyernit kening Allary, apalagi Felix. Jadi itu bukan suara raungan hewan? atau setidaknya suara auman suatu makhluk mitos yang hidup. Hutan mengaum, itu memang agak sulit masuk di logika manapun.
“Maksudmu, hutan ini mengeluarkan suara?”
“Ya, hutan ini mengeluarkan suara. Suara yang legendaris. Raungan Amazonia. Hutan ini adalah sesuatu yang hidup.”
35
Hutan Ditebang Seluas Mata Memandang
Meski suara Amazonia itu sesekali masih terdengar, Allary dan yang lainnya memilih untuk tidak membicarakannya lagi. Terutama Pedro, setiap kali Felix membelokkan percakapan untuk membicarakan soal suara itu, wajah Pedro terlihat seperti orang yang menahan buang air besar.
Ya, karena sejujurnya Pedro bingung.
Pagi hari kedua di Hutan Amazonia. Allary bangun sebelum terang ufuk timur. Bergegas menyegarkan diri. Dia ingat tanggung jawab. Meski merupakan seorang ketua rombongan, dia juga bertanggung jawab untuk memasak. Dia adalah koki, dan martabak bikinannya selalu akrab dengan lidah anggota rombongannya.
Tak terkecuali Pedro. Karena bergabung belakangan sebagai anggota rombongan, Pedro belum familiar dengan rasa martabak bikinan Allary tersebut.
“Makanan yang luar biasa, ketua.”
“Terima kasih Pedro. Makanan ini di negeriku disebut martabak. Terbuat dari telur ayam dan adonan tepung terigu.”
“Menurutku bukan itu yang membuatnya enak, ketua.”
“Lalu apa?”
“Rasa rempah-rempahnya yang kaya membuat setiap kunyahan makanan ini terasa sangat kuat di lidahku. Wajar saja karena negara kalian amat kaya dengan rempah-rempah.”
Allary manggut-manggut. Mereka bergegas menghabiskan sarapan.
“Oh ya, hari ini kita akan melewati kawasan hutan yang agak memilukan. Tolong siapkan batin kalian.”
“Memilukan?” Allary menyernit kening. Apalagi kali ini? Allary sungguh tidak bisa menduga-duga.
“Nanti kalian akan lihat. Ayo selesaikan persiapan. Kita punya perjalanan panjang hari ini.”
Allary setuju soal itu. Mereka harus bergegas. Salah-salah, atau terlalu banyak mengulur waktu, perjalanan ini bisa melenceng dari batas maksimalnya, 30 hari.
Susunan formasi jalan mereka tetap sama. Pedro paling depan, Felix paling belakang. Vivi jepret sana-sini. Dari dalam sungai terkadang terlihat kepala caiman dan berang-berang raksasa. Vivi memotretnya dari jarak aman. Belum berani melakukannya lebih dekat.
Satu jam berjalan, ketika matahari pukul 9 pagi sedang maksimal memancarkan cahayanya, sampailah Allary di kawasan yang tadi disebut Pedro sebagai kawasan “memilukan”.
Setelah satu hari berjalan di hutan lebat, menyibakkan semak-semak, menyingkirkan ranting dan duri, berjalan di bawah rimbun pohon, di depan Allary sekarang, terhampar kawasan lengang, kosong melompong sejauh mata memandang. Pedro hafal ukuran kawasan ini. Tujuh hektar. Tak lebih tak kurang.
“Inilah yang kumaksud,” kata Pedro dengan suara bergetar, “sejauh mata memandang tidak ditemukan pohon-pohon, hewan-hewan, semuanya tampak gersang dan kering.”
Allary terperangah. Bayangkan setelah satu hari penuh berkutat di hutan belantara, kini mereka dihadapkan pada kawasan hutan yang sudah gundul, seluas tujuh hektar. Itu memang pemandangan yang memilukan. Seolah daerah ini bukan Amazonia.
“Bagaimana hal ini bisa terjadi, Pedro? Apakah ini ulah para penambang liar?”
“Sayangnya tidak, ketua. Dan itulah bagian paling ironisnya.”
“Eh maksudmu?” Allary bertanya lagi.
“Daerah ini adalah lahan milik pemerintah. Kawasan ini dijalankan dengan dasar program perkebunan. Dengan kata lain, pemerintahlah yang sudah menebangi seluruh pohon di kawasan ini. Menjadikan tujuh hektar hutan menjadi gundul.”
Allary geleng-geleng kepala. Vivi menatap hutan gundul itu dengan sedih. Entah berapa ribu pohon yang ditebang di kawasan ini. Entah berapa ekor hewan yang kehilangan habitat.
“Ini sisi gelap negeriku, ketua. Dari luar boleh terlihat seperti negara hebat. Sebuah negara industrial yang terus merayap jadi negara maju. Tapi dari dalam, negara kami amat keropos. Kami nyaris kehilangan Amazonia.”
“Apakah penebangan liar ini akan terus dilanjutkan?”
“Ya, rasanya begitu.”
“Apakah tidak ada yang berusaha menghentikannya? Maksudku organisasi lingkungan hidup, dunia internasional?”
Pedro menggeleng prihatin. “Semua itu bisa diakali, ketua. Sesekali ada protes. Sesekali ada kecaman. Tapi hanya sebentar. Begitu keadaan tenang, kegiatan berlanjut. Dulu katanya cuma 3 hektar, berlanjut jadi lima, kemudian tujuh. Beberapa tahun lagi, boleh jadi belasan.”
“Apakah mereka tidak sadar telah merusak alam?”
“Apa peduli tentang alam, kalau uang terus mengalir?”
Allary mengepalkan tinju. Dia pernah membaca hal itu di sebuah buku. Manusia terlalu serakah dengan alam.
“Baiklah, kurasa cukup kita menikmati pemandangan di sini. Ayo kita lanjutkan perjalanan.”
Allary tidak beranjak. Hatinya pilu. Apalagi dia sadar, nasib yang sama, juga tengah dialami hutan di daerahnya, di Kalimantan. Terancam dibalik tangan-tangan kotor nan serakah.
“Hei, ada dua orang di sana? Apakah mereka para penebang pohon?” Felix tiba-tiba berseru. Membuat semua orang mengikuti arah telunjuknya.
“Eh kurasa iya,” Pedro menajamkan penglihatan.
Tiba-tiba Allary melangkah maju, dengan cepat dan tergesa-gesa. “Aku akan membuat perhitungan dengan mereka.”
36
Tak Berotak
“Hei tunggu ketua, kau tidak bisa maju begitu saja,” Pedro lekas mencekal lengan Allary. Membuat langkahnya terhenti.
“Lepaskan aku, Pedro.”
“Kau tidak boleh bertindak gegabah, ketua. Jangan mengacaukan penjelajahan kita dengan mencari masalah. Lagipula mereka belum tentu penebang utusan pemerintah. Bisa saja para penebang liar.”
“Jadi ada para penebang liar juga?” Felix menyerobot bertanya, dibalas Pedro dengan anggukan kecil. “Mari kita lanjutkan perjalanan saja, ketua,” bujuk Pedro lagi.
“Lepas, Pedro. Aku cuma mau mengajak mereka mengobrol kok. Aku ingin tahu jalan pikiran mereka, bukan mencari masalah. Kalian tenang saja.”
Pedro tak punya pilihan lain. Nada suara Allary begitu tegas, tak bisa dia bantah. Mereka mengikuti Allary, menghampiri dua orang penebang pohon yang siap bekerja dengan kapak di tangan.
“Good morning, earth disaster,” begitu Allary memberi sapaan. Terkejut Felix dan yang lainnya. Rupa-rupanya dua penebang berbaju lusuh ini, mengerti bahasa Inggris. Mereka terpancing.
“Siapa kau, apa maksud ucapanmu?” sahut seseorang yang tidak memegang kapak.
“Mister yang terhormat. Apakah anda tidak sadar kalau apa yang anda lakukan, itu merusak alam?”
“Siapa kau? Apa urusanmu dengan kami?” orang yang memegang kapak, ikut terprovokasi.
“Saya ke sini karena saya peduli dengan alam,” Allary berucap tegas.
Penebang pohon yang tak memegang kapak, memandangi Allary lekat-lekat. Dari ujung kaki, ke ujung kepala. “Oh rupanya kau wisatawan,” dia menyimpulkan.
Temannya yang memegang kapak manggut-manggut. “Hoo, rupanya wisatawan. Hei, kenapa kau ikut campur urusan kami heh? Tahu apa kau soal pekerjaan kami.”
“Pekerjaan yang kalian lakukan, merusak lingkungan. Kalian menebangi pohon, membuat ekosistem tidak seimbang. Kemudian alam menjadi rusak. Salah apa alam dengan kalian sehingga ia harus kalian rusak heh? Tidakkah kalian berpikir?” Allary mulai gusar.
Penebang yang memegang kapak, mengacungkan senjatanya itu ke depan. Menatap Allary tajam.
“Dengar ya, wisatawan. Kami sudah melakukan pekerjaan ini selama belasan tahun. Tidak ada yang terjadi dengan alam. Tapi kami tahu apa yang terjadi jika kami berhenti. Keluarga kami bisa kelaparan.”
“Hei, cari pekerjaan lain apa susahnya,” Allary menyergah. Dia jengah dengan alasan semacam itu. Dan kalimatnya benar-benar menyulut api kemarahan.
Si penebang yang memegang kapak, terbakar amarahnya. Diangkatnya kapak tinggi ke atas, sambil berseru mengguntur, “kau cari masalah denganku, wisatawan, kau akan tahu akibatnya.”
Allary melihat serangan itu, mencoba menghindar. Nahas, kakinya terpeleset dan dia malah terjatuh. Si penebang menyeringai. Vivi menatap dengan jeri. Hei Allary bisa celaka, tapi bagaimana menyelamatkannya? Kalau mereka maju, mereka juuga bisa ikut celaka.
BUKKKK!
Tepat di saat genting, saat kapak itu hendak mengayun pada Allary, Felix meloncat ke depan, melentingkan diri, dan menendang bagian gagang kapak, hingga benda tajam itu terlempar ke belakang. Felix memasang kuda-kuda, timingnya pas.
“Dengar mister. Teman saya hanya memberi nasehat gratis. Dia seorang yang peduli dengan alam. Itu urusannya. Tapi jika anda menyerangnya dengan kapak, anda berurusan denganku.”
Di saat-saat seperti ini, Felix terlihat sangat keren.
Dua orang penebang itu menatap Felix dengan marah, bau-bau pertumpahan darah sudah tercium pekat. Tepat sebelum mereka saling menerjang, bunyi itu terdengar.
ROOOOOOOOAAAAAAARRRRR!
Suara raungan Amazonia, membuat semua orang tiba-tiba tertegun.
37
Orang-orang Celaka
Ekspresi wajah kedua penebang pohon itu tidak bisa dideskripsikan dengan akurat. Campuran antara terkejut, bingung dan juga, takut. Mereka saling pandang kemudian saling mengangguk.
“Ayo kita pergi dari sini.”
“Hari ini kau selamat, wisatawan, tapi tidak lain kali,” penebang yang memegang kapak, sempat menyisipkan kata mengancam dengan wajah seram. Kemudian mereka berdua masuk ke dalam hutan yang lebih rimbun. Allary hendak mengejar mereka, tapi Felix buru-buru memegangi tangannya.
“Kau tidak perlu melakukan itu,” ujarnya tegas.
Allary hendak membantah, tapi Pedro ikut mendekat, ikut memperingatkan, “ketua, Felix benar, kau tidak perlu melakukan sesuatu hal terlalu jauh. Lagipula mereka bergerak menuju kawasan hutan yang dilindungi, yang bukan untuk ditebang. Kau tenang saja.”
Allary menghela nafas. Baiklah, dia tidak akan lanjut mengejar orang-orang celaka itu, meski dia ingin sekali melakukannya.
“Sekali lagi, kau nyaris membuat dirimu sendiri celaka, ketua,” ujar Felix santai sambil mengangkat tas, mereka siap-siap berjalan kembali.
“Terima kasih sudah menolongku di saat yang tepat, Felix. Kurasa itu adalah yang kedua kalinya, setelah jalur punggung utara enam bulan yang lalu. Kegesitan dan kecepatanmu memang di atas rata-rata.”
Felix hanya diam, tidak bereaksi terhadap pujian itu.
“Hei, tapi aku tak menyangka, kau punya kemampuan beladiri yang bagus. Kurasa itu akan sangat berguna dalam penjelajahan ini.” Pedro ikut menyahut.
“Bukan apa-apa, hanya muncul di saat yang tepat, dengan keberanian yang nekat,” sahut Felix lagi, nadanya datar.
“Tapi menurutku...”
“Bukan apa-apa,” Felix memotong cepat, kali ini dengan suara yang agak meninggi.
“Sudahlah. Tidak perlu dibahas. Kita semua punya keunggulan masing-masing. Itulah yang membuat kita bisa jadi tim yang hebat,” Allary menengahi, sok jadi ketua rombongan yang hebat.
Semua orang kembali berjalan. Kali ini berusaha cepat melewati area hutan gundul yang memilukan tersebut.
“Eh aku heran dengan satu hal,” tiba-tiba Vivi menyelutuk dari belakang, setelah sedari tadi sibuk mengambil gambar hutan yang gundul.
“Ada apa, Vi?”
“Kalian lihat ekspresi para penebang pohon tadi?”
“Ada apa memangnya dengan ekspresi?” Allary balik bertanya, menyernit kening.
“Ekspresi takut, bercampur bingung,” sahut Felix. Dia yang berdiri berhadapan dengan penebang, tentu dia melihat dengan jelas ekspresi wajah mereka.
“Tepat sekali, kenapa mereka memasang ekspresi seperti itu ya, seharusnya kan, sebagai warga lokal, mereka sudah sering mendengar suara raungan Amazonia itu. Betul tidak, Pedro?”
Pedro menyahut dengan hati-hati dan waspada, pelan suaranya, “itu karena mereka baru pertama kali mendengarnya.”
Terkejut seisi rombongan. Baru pertama kali? Bukankah tadi Pedro bahkan sudah menamai suara tersebut. Masa iya suara itu baru muncul sejak tadi malam.
“Iya,” kata Pedro lagi, masih dengan suara yang lirih, “raungan Amazonia, adalah sesuatu yang gaib. Sesuatu yang mistis. Sesuatu yang tidak semua orang bisa mendengarnya. Dari kebanyakan orang Manaus saja, hanya aku dan adik sepupuku yang pernah mendengar suara tersebut. Istriku saja tidak tahu.”
“Bagaimana bisa begitu?” Felix, yang paling skeptis tentang hal gaib, bertanya.
“Aku juga tidak tahu. Raungan Amazonia, jelas berada di luar pengetahuan manusia. Tapi suara itu nyata, senyata kalian mendengarnya. Mungkin juga, itu berarti kalian terpilih untuk mendengarnya.”
Lima menit kemudian, Allary sibuk menanyai Felix, apakah dia benar-benar mendengar suara itu atau tidak.
38
Serangan Caiman yang Buas
Allary dan rombongan menghabiskan sisa hari kedua dengan menyusur sungai menuju ke barat. Beruntung, kini mereka sudah berjalan di hutan rimbun lagi, sehingga panas matahari tidak terlalu menyengat. Maklumlah negara tropis. Mereka terus berjalan sampai hari menjelang malam.
“Kurasa perjalanan kita hari ini, cukup sampai di sini, ketua.” Pedro berhenti di lahan lapang di tepi sungai. Tempat itu lumayan bagus. Tidak terlalu rimbun dedaunan. Allary setuju. Mereka segera memasang tenda.
Malamnya pula, tidak ada gangguan dari raungan Amazonia. Semua orang bisa tidur dengan tenang. Malah sekarang ada tambahan suara geremicik air sungai, sungguh menenangkan. Masalah justru baru datang, keesokan paginya.
Hari ketiga, Allary di Hutan Amazonia.
Suara teriakan memecah keheningan mereka pagi buta hari itu. Hari belum terang benar. Semua orang di tenda terbangun mendengarnya. Felix dan Pedro mengulet tubuh, merasa terganggu, Vivi menutup telinganya dengan jaket. Hanya Allary yang bersiaga penuh.
Teriakan itu berbahasa lokal, Allary mungkin tidak paham, tapi dia bisa menangkap nadanya. Sebagai orang yang dibiasakan Mama dan Tante Sri berbuat baik sejak kecil, Allary paham, itu teriakan meminta tolong. Bergegas Allary menendang sleeping bag, merangsek keluar tenda. Karena hari belum terang benar, Allary harus memincingkan matanya, melihat apa yang terjadi.
Pemandangan di tepi Sungai Amazonia hari itu benar-benar menarik. Seekor caiman, dengan panjang paling tidak, tiga setengah meter, melata di tanah. Di seberang moncongnya, sekitar 4 meter, ada dua orang yang tergesa-gesa dan panik, mencoba naik ke atas pohon. Allary memincingkan mata lagi, mencoba mengenali.
Hei, itu dua penebang pohon yang ditegurnya kemarin. Astaga. Allary menepuk dahi. Entah apa yang mereka lakukan sehingga memancing kemarahan seekor caiman, tapi mereka jelas butuh pertolongan. Allary berpikir sejenak.
Mungkin pengalihan adalah cara yang tepat. Sehingga mereka bisa naik ke atas pohon, menyelamatkan diri.
Allary bergerak, mengendap dari balik tenda, mengambil bebatuan kecil di sekitar kakinya, dari jarak 5 meter, mencoba melempar batu-batu ke arah caiman.
BUKK BUKKK
Berdegum batu-batu itu menghantam tubuh caiman. Upayanya berhasil, sekarang caiman itu mengalihkan target ke Allary. Mengenai bagaimana meloloskan diri, belum terpikirkan oleh ketua rombongan kita itu.
Caiman itu seperti monster. Ekornya bergerak-gerak. Giginya terlihat begitu lancip saat dia membuka mulut. Allary menelan ludah. Sempat dia melihat ke atas pohon, dua orang penebang sudah aman. Baiklah, sekarang gilirannya.
Allary sekarang berada dalam situasi yang berbahaya. Dia mengingat apa yang dijelaskan dalam buku Handbook of Amazonia yang sempat dia baca. Jangan lari terbirit-birit saat berhadapan dengan hewan buas. Itu bukan keputusan yang baik, itu hanya akan memprovokasinya. Allary menerapkan penjelasan itu. Dia mundur teratur. Satu langkah kaki caiman maju, satu langkah Allary mundur. Waspada.
Caiman itu terus bergerak, mula pelan-pelan saja, tapi sekarang langkahnya sudah makin cepat. Allary bersusah payah melangkah mundur, dia memikirkan kemungkinan dia menang jika harus bergulat dengan monster ini.
Sepertinya tidak ada kabar baik jika aku coba bertarung dengan caiman hanya memakai tangan kosong. Tiba-tiba kaki Allary tersandung sesuatu. Sempat kehilangan keseimbangan.
Itu sebuah kapak.
Sepertinya itu adalah kapak milik para penebang, terjatuh saat mereka lari terbirit-birit. Allary lekas mengambil kapak itu. Caiman tinggal satu meter di depannya.
BUKKKKK!!
Allary memberanikan diri maju, menggebuk wajah caiman menggunakan kapak. Ada sedikit momentum yang membuat Allary bisa mundur ke belakang, menjaga jarak aman.
Caiman itu tidak bergeming. Kulitnya begitu keras. Satu pukulan kapak saja tidak akan melukainya. Lagipula, Allary juga tidak berniat melukainya. Hanya ingin agar caiman itu pergi. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Caiman itu bertambah garang.
Baiklah, pukulan berikutnya aku tidak punya pilihan lain. Allary menggigit bibir. Kapak di tangannya dia pegang erat-erat. Caiman mulai menyerang.
BUKKKKK BUKKKKK!!
Dua hantaman, tak kurang dari itu. Allary menghantam pakai bagian tajam. Sukses melukai wajah caiman tersebut. Segera setelah ada momentum, Allary mundur ke belakang. Mari kita lihat bagaimana reaksi caiman itu.
Rupanya caiman malah bertambah marah.
Sial, Allary berdecak dalam hati, pukulanku berikutnya harus bisa membungkamnya. Kalau tidak, aku bisa celaka.
Namun tepat saat Allary hendak menyerang, sebuah suara menyela dari belakang. “Hentikan, jangan melukainya, ALLARY!”
39
Jangan Berani Melukainya
Gerakan tangan Allary terhenti mendengar teriakan Pedro. Dia kehilangan momentumnya. Caiman itu bersiap menerkamnya. Beruntungnya, Pedro meloncat di saat yang tepat, menyelamatkan Allary dari terkaman hewan buas. Mereka berguling, terlempar. Kapak yang dipegang Allary ikut terlepas.
Caiman itu belum mau berhenti. Kini ia punya dua mangsa. Dua-duanya tidak bersenjata. Allary sudah terlalu jauh untung menjangkau kapaknya lagi. Mereka jadi mangsa empuk sekarang. Gemetar Allary.
“ALLARY! PEDRO!” Vivi berseru, caiman itu sudah berjarak sangat dekat, nyaris menerkam mereka berdua.
Allary merapal doa, sambil menutup matanya. Habis sudah harapan. Pedro sebaliknya merogoh saku celananya, mengeluarkan sesuatu.
Sebuah kalung. Sepersekian detik sebelum caiman menggigit tangannya, caiman itu malah terdiam. Caiman itu seolah mengenali kalung yang sedang dipegang Pedro. Di kalung itu bergantung bungkusan kecil. Allary pelan-pelan membuka matanya. Heran dia melihat Pedro memegang kalung serupa memegang kartu pers tepat di hadapan caiman dan caiman itu hanya diam.
Semua orang terpesona melihat pemandangan ajaib itu.
Setelah itu, Pedro, masih dengan kalungnya di tangan, pelan-pelan mendekati caiman itu. Mengelus moncongnya. Aneh, caiman itu malah menggerung, serupa kucing yang dielus lehernya. Terpana Allary melihat pemandangan luar biasa itu.
“Caiman ini terluka lumayan dalam,” ucap Pedro sambil mengamati luka sobek di sisi kiri tubuh caiman itu, akibat dari hantaman kapak Allary.
Allary mendekat. Dia tahu itu salahnya, dan Pedro nampaknya kesal. “Maafkan aku, Pedro.”
“Ia terluka cukup serius. Perlu beberapa waktu untuk pulih.”
“Maafkan aku, sungguh aku terdesak sehingga harus menyerangnya. Aku tidak bermaksud melukainya, aku hanya membela diri.”
Pedro terdiam. Sementara itu, Felix membantu dua orang penebang turun lagi dari pohon. Kedua penebang yang nyaris adu jotos dengan rombongan Allary itu, dengan canggung menerima uluran tangan Felix.
“Jangan ragu, ketua kami selalu membantu orang yang kesusahan, tanpa pandang bulu.”
Patah-patah dua orang penebang itu berucap terima kasih, kemudian berlalu, diam-diam.
Kembali ke Allary, dia sekarang mengulurkan tangan, mencoba meminta maaf sungguh-sungguh. Pedro tak menggubris. Sepertinya melukai hewan, adalah persoalan sensitif untuk Pedro.
“Maafkan aku Pedro. Sungguh. Jangan biarkan kesalahan ini mengganggu perjalanan kita. Aku tak akan ulangi. Aku akan belajar dari kesalahan. Aku janji.”
Pedro mengangguk, tapi masih tidak menjabat tangan Allary. “Aku serius soal ini. Ingat ketua, jangan diulang lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan.”
Nampak sekali kalau Pedro masih marah.
Perjalanan mereka memang berlanjut, Pedro tetap berjalan paling depan, masih memandu perjalanan, Pedro pula yang membukakan jalan, membabat semak-semak yang mengganggu. Pendek kata, perjalanan mereka tidak bermasalah secara teknis. Namun sepanjang hari itu pula, Pedro hanya diam. Ini membuat Allary merasa bersalah. Situasinya berbeda dengan Felix saat di pendakian Gunung Sarsa enam bulan yang lalu. Felix diam karena dia memang pendiam. Kali ini Pedro diam karena salah Allary.
Beberapa kali Allary coba meminta maaf, namun Pedro mengelak, bilang semua baik-baik saja. Vivi juga beberapa kali coba menengahi situasi namun tidak berpengaruh banyak. Pedro tetap diam. Begitulah situasi rombongan Allary di hari ketiga perjalanan. Diperlukan sesuatu yang besar untuk memulihkan rombongan jadi sedia kala. Sesuatu yang besar itu, akan terjadi nanti sore.
40
Serangan Ikan Pequeno Introeso
Lembayung sore mulai menyapa ujung-ujung daun di Hutan Amazonia. Pedro menuntun rombongan Allary masuk ke dalam hutan, mengikuti anak sungai Amazonia. Mulai dari sini, sungai yang akan mereka lewati mulai mengecil. Allary belum berani bertanya, mengapa Pedro mengambil jalur ini.
Tepat saat mereka hendak berhenti di tempat peristirahatan mereka malam ini, sesuatu terjadi. Allary menangkap bayangan orang kesakitan di tepi sungai. Di antara sela rerumputan. Bergegas ketua rombongan mendatanginya.
“Astaga, anda kenapa, mister?” terkejut Allary setelah menyibakkan rerumputan, melihat posisi orang itu, dalam keadaan berbaring, wajahnya kesakitan, tangannya memegangi selangkangan. Ditaksir, usia orang itu belum sampai 35 tahun.
“Sa... sakit,” katanya terbata-bata dalam bahasa Inggris. Orang ini, kemungkinan adalah wisatawan, demikian kesimpulan awal Allary.
“Anda kenapa mister. Apa yang terjadi? Anda terkena sesuatu? Di bagian mana yang sakit. Astaga, bagaimana ini,” Allary panik melihat wajah orang itu kesakitan. Dia tidak bisa merespon selain mengeluarkan erangan lirih.
“Dia memegangi selangkangannya. Wajahnya kesakitan. Hanya ada satu penyebab paling mungkin. Dia terkena serangan Ikan Pequeno Introeso.”
“Introeso?” Felix ikut terkejut. Naluri petualangan dan pengetahuan yang dia kumpulkan selama ini pasti cukup untuk membuatnya mengenal ikan yang disebutkan Pedro barusan.
Allary juga tahu ikan Pequeno Introeso itu. Ikan yang berbahaya, demikian ia ditulis dalam Ensiklopedia. Ikan itu berukuran kecil saja, tak sampai setengah lebar kelingking manusia, namun serangannya sungguh luar biasa.
“Iya Introeso. Ikan itu mendiami perairan yang dangkal dan lebih tenang. Berenang di permukaan, menunggu mangsanya, yaitu manusia. Ikan itu akan berenang ke tubuh kita jika kita berani kencing di Sungai Amazonia. Ia akan berenang lewat air kencing dan masuk ke alat vital. Terutama alat vital laki-laki.” Pedro menambahkan penjelasan.
Vivi memasang wajah jeri, membayangkan penderitaan yang dialami pria itu.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” Vivi bertanya.
“Tidak ada. Pequeno Introeso tidak bisa dikeluarkan tanpa operasi medis. Melihat lokasinya saat ini, kurasa pria ini akan bernasib malang, sama seperti ratusan korban Pequeno Introeso lainnya.”
Orang itu menggeliat-geliat, satu tangannya melingkari pergelangan tangan Allary. “Sa... sakit. To... tolong saya,” katanya. Allary tentu saja tak sampai hati melihat penderitaan orang itu. Dia harus bergerak. Dia tidak boleh membiarkan orang itu terus kesakitan. Bagaimanapun caranya, orang itu harus ditolong.
Sesuai ajaran ibunya, selalu menolong orang lain.
Mula-mula Allary membantu orang itu duduk. Rasanya dia ada membaca tentang teror ikan Pequeno Introeso dan bagaimana cara memberikan pertolongan pertama. Allary mengeluarkan botol air minum. Menyodorkannya pada orang itu.
“Minum, mister. Anda habiskan air ini.”
Heran Pedro melihat tingkah Allary. Apa yang direncanakan ketuanya? “Ketua, apa yang kau coba lakukan? Jangan bertindak yang tidak masuk akal.”
“Aku hanya mencoba membantunya, sebisaku,” sahut Allary, memegangi botol, membiarkan orang itu minum.
“Tidak mungkin ketua. Sia-sia saja. Tanpa operasi medis mustahil mengeluarkan ikan berbahaya itu.”
“Kalau kau tidak ingin membantu, lebih baik siapkan tenda saja, Pedro.”
“Tapi ketua, usahamu itu si...”
“PEDRO, INI PERINTAH!” Allary berseru dengan nada tinggi. Makin kaget Pedro kena bentak Allary. Apa yang sebenarnya dipikirkan ketuanya itu. Siapa pria ini sehingga Allary sampai panik menolongnya. Toh orang itu cuma orang asing, bukan keluarga ataupun kenalan. Pedro ingin mendebat, tapi Felix sudah menarik tangannya.
“Ayo kita mendirikan tenda. Penjelasannya bisa kau dengarkan nanti.”
“Eh tunggu Felix,” Allary berseru lagi, mencegah langkah Felix.
“Iya?” Felix menoleh.
“Boleh aku minta botol air minummu? Kulihat kemarin kau membawa botol ukuran 1,5 liter.”
“Tapi bagaimana nanti kalau aku...”
“Itu nanti, biar aku yang urus. Yang terpenting sekarang, aku butuh botol air milikmu.”
Felix tidak membantah lagi. Mengeluarkan botol air miliknya dari dalam tas. Dia percaya pada Allary. Dia tahu ketuanya itu ingin cepat menyelamatkan pria di depan mereka.
Setelah rombongannya berlalu untuk memasang tenda, Allary mulai beraksi.
“Mister, sekarang anda dengarkan apa yang saya katakan,” Allary menatap orang itu dengan sungguh-sungguh, bersama wajah yang kesakitan, dia mengangguk.
“Anda habiskan seluruh air ini. Sisanya biar saya yang urus.”
“Ba.. baik. Mister.”
“Bagus. Mulailah minum. Anda bisa memegangnya sendiri kan?”
Begitu orang itu minum, Allary segera pindah posisi ke belakang orang itu. Dia melakukan sesuatu.
Ide Allary sederhana saja. Namun juga revolusioner. Dia terinspirasi dengan kisah yang sempat dia baca di buku Handbook. Bagaimana seseorang pernah lolos dari maut terkena ikan Pequeno Introeso. Yaitu dengan memaksanya kencing sehingga ikan itu keluar dari saluran kemihnya. Orang itu memang hanya segelintir yang bisa beruntung, tapi Allary yakin, keajaiaban bisa berulang.
Jadi Allary ingin pria itu kencing, dengan banyak air yang dia minum, sementara Allary memijat belakang pria itu. Allary akan memaksa tubuh pria itu mengeluarkan air dengan pijatan di punggung. Keterampilan baru ini, Allary pelajari di Kalimantan.
“Sa... saya tidak bisa mi... num lagi,” kata orang itu. Perutnya sudah kembung. Allary melotot galak. “Sudah saya bilang, anda minum saja terus. Sisanya biar saya yang urus. Anda akan selamat jika anda terus minum. Percayalah.”
Akhirnya orang itu minum lagi. Hampir habis air di botol milik Felix, saat tubuh orang itu berkelojotan. Reaksinya dimulai. Orang itu kesakitan sampai dia tidak bisa bersuara lagi. Sedetik kemudian, akhirnya, air kencingnya keluar, sangat deras. Membasahi celananya. Allary menyingkir beberapa langkah ke belakang.
Butuh satu menit lebih bagi pria itu mengeluarkan seluruh air yang telah dia minum. Setelah air kencingnya berhenti mengalir, Allary mendekat kembali. Pria itu terengah-engah, macam perempuan usai bersalin, tapi wajahnya menyinarkan kelegaan.
Allary menghela nafas. Ikan itu nampaknya berhasil keluar.
41
Berdamai
Malam hari ketiga bagi rombongan Allary di hutan Amazonia
Sedari tadi, Pedro terus bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dipikirkan Allary dengan menolong pria yang tak dikenalnya. Apalagi pria itu berurusan dengan ikan Pequeno Introeso. Makhluk Amazonia yang dikenal mematikan di dunia medis.
Tidak beruntung bagi Pedro, pertanyaan-pertanyaan dan gumamannya tidak pernah ditanggapi oleh Felix. Sebab Mister Latino asyik sendiri dengan kegiatannya.
“Hei, sebenarnya apa yang dipikirkan Allary? Untuk apa dia repot-repot menyelamatkan orang itu? Orang yang diserang ikan introeso mustahil diselamatkan tanpa operasi medis. Apakah ketua rombongan kita itu sudah gila?”
Felix yang nampaknya agak kesal setelah Pedro menggerutu sebanyak 54 kali di hadapannya, ingin menyahuti. Di saat itulah Allary datang. Bergabung ke tenda rombongan yang telah selesai berdiri.
Pedro menyongsongnya. Siap membenarkan jika Allary bilang akhirnya orang itu tidak tertolong. Memang begitu adanya. Namun Pedro harus ternganga, karena kalimat Allary berikutnya, membalik semua prediksinya.
“Orang itu selamat,” terang Allary tanpa ditanya, wajahnya berseri-seri. Sekali lagi dia berhasil menjalankan ajaran ibunya, berbuat baik pada orang lain.
“Apa? Bagaimana bisa?” Pedro masih bingung.
“Sudah, yang terpenting dia sudah selamat. Oh ya, aku berhutang satu permintaan maaf lagi karena sudah membentakmu tadi. Maafkan aku, Pedro. Maaf juga atas kelakuanku hari ini yang mungkin sedikit keterlaluan bagimu.”
Pedro menggeram, kejadian tadi pagi masih lekat di benaknya. Pedro adalah penyayang hewan. Tambahkan caiman adalah salah satu spesies yang dilindungi karena kekhasannya. Tindakan Allary keterlaluan menurut Pedro.
“Ngomong-ngomong ketua,” Felix menyahut, mengalihkan pembicaraan, sekaligus menyelamatkan keadaan. “Bagaimana persoalan air minumku. Mungkin juga air minum kita, karena kau sudah memberi banyak air pada pria tadi.”
Allary tersenyum, meletakkan tas miliknya, “sudah kubilang itu urusanku. Akan segera kubereskan. Sebentar.”
Dengan ekspresi serupa tukang sulap hendak menunjukkan alat-alat miliknya, Allary membuka tasnya. Dari dalam, dikeluarkannya berupa-rupa kaleng minuman soda dan lampu bohlam edisi lama.
“Apa maksudmu dengan ini ketua? Darimana kau dapatkan benda-benda ini?” heran Felix melihat benda-benda ajaib itu bermunculan dari dalam tas Allary.
“Aku pungut di Rio sebelum kita berangkat ke Manaus,” Allary masih tersenyum, dia senang sekali malam ini karena bisa menyelamatkan nyawa orang lain, “menurut buku handbook yang kubaca, salah satu kesalahan fatal yang membuat orang terbunuh di hutan Amazonia, adalah kekurangan air bersih. Oleh karena itu, aku mempelajari cara menyuling air dengan langkah-langkah yang paling sederhana.”
Allary menata kaleng dan lampu bohlam itu. Memasukkan air sungai. Dia benar-benar telah menyiapkannya sejak di Rio. Termasuk mempelajari step by step nya dengan sangat baik.
Akan tetapi, sepanjang Allary mengerjakan penyulingan itu pula, Pedro menekuk wajahnya. Cemberut. Saking tidak enaknya wajah Pedro malam itu, Felix sampai terganggu. Akhirnya Mister Latino memutuskan untuk bicara dengan Pedro.
“Kau tidak perlu merasa kesal berkepanjangan seperti itu, Pedro. Ketua kita, memang seperti itu orangnya. Tadi pagi dia menolong dua orang penebang pohon, sore ini dia menolong pria tak dikenal. Tadi pagi dia melukai seekor caiman, sore ini dia pula yang menyebabkan kita kekurangan air. Itu memang fakta, juga resiko. Resiko ikut dalam rombongan Allary.”
Tertawa Allary mendengar kalimat Felix.
“Namun, kau hanya salah tafsir saja, Pedro,” Felix menyambung kalimat, “harus kau tahu, bahwa Allary itu adalah orang baik yang sering tidak hitung-hitungan. Kadang dia tidak berpikir panjang tentang dampak yang akan timbul, yang terpenting, dia bisa menolong orang itu. Aku yakin, ketua tidak bermaksud melukai caiman itu, seperti halnya dia tidak bermaksud membuat kita kehausan sekarang.”
Allary tertawa lagi. Pedro mulai mengangkat kepala, tertarik mendengarkan. Vivi mendekat, ikut nimbrung.
“Kalau kamu mau tahu, Pedro. Enam bulan yang lalu, aku dan Felix menjadi saksi bagaimana Allary bersikeras turun gunung hanya untuk mencari seseorang yang tak dia kenal. Keinginannya untuk membantu orang sangat kuat.”
Kali ini Allary terdiam. Kalimat Vivi itu, sedikit banyak, merupakan pujian untuknya. Pedro semakin tertarik. “Coba katakan, apakah dia sampai bertaruh nyawa dalam pencarian orang hilang itu?”
“Apanya yang bertaruh, ketua memang nyaris kehilangan nyawanya gara-gara sesak nafas. Tapi dalam kondisi terburuk sekalipun, dia tetap bilang, kita teruskan perjalanan. Kita harus menemukan orang hilang itu.”
Detik itu juga, Pedro berlutut di depan Allary. Bilang minta maaf atas sikapnya. Allary membantunya duduk kembali. Tersenyum.
“Aku juga minta maaf, maaf sekali, Pedro. Aku janji tidak akan mengulangi kesalahanku itu lagi.”
Malam itu, rombongan mereka akhirnya utuh lagi.
42
Malam Misterius Nomor 2
Malam itu, di tengah-tengah kegembiraan Allary karena Pedro akhirnya memaafkannya, suara raungan panjang nan menyeramkan terdengar lagi.
ROOOOOOOOOOOAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRR!!!
“Lama kelamaan, aku mulai merinding mendengar suara itu,” komentar Allary sambil mengelus kedua pergelangan tangannya, seperti orang kedinginan, dan memang mendengar suara itu, bisa membuat orang tak kuat mental, meras panas dingin mendadak.
“Gema di akhir suaranya agak mengerikan,” komentar Felix, matanya siaga menatap sekeliling hutan yang amat gelap. Hanya ada api unggun mereka di hutan malam ini. Api unggun yang kecil.
“Pedro, sebenarnya itu suara makhluk apa? Tolong jelaskan pada kami. Jangan berbelit-belit,” Vivi mendesak.
Pedro juga menatap awas ke dalam hutan. Perlu beberapa kali ditegur baru dia merespon.
“Sejujurnya, aku juga tidak tahu persis itu suara apa. Kami hanya tahu dari cerita para tetua. Orang-orang dulu menamainya dengan suara raungan Amazonia. Jadi hanya itu yang bisa kukatakan.”
“Kau sungguh meyakini kalau hutan ini bisa mengaum?” Felix akhirnya bertanya, Allary tak sempat menutup mulut ilmiah Mister Latino. Pertanyaan sudah meluncur.
“Itulah yang dikatakan orang tua kami. Hutan ini hidup. Hutan ini berinteraksi dengan manusia. Selama berabad-abad. Sekarang Amazonia sudah berada di tahap akhir, usianya sudah senja, hutannya sudah rusak. Kuanggap saja, itu cara Amazonia menegur kita, manusia.”
“Lalu bagaimana soal beberapa orang mendengar, sementara yang lain tidak itu,” Allary menyela.
“Ah ya soal itu juga. Karena hal itulah aku percaya, raungan Amazonia, adalah sesuatu hal yang mistis. Apakah sudah kubilang kalau istriku, orang Manaus tulen, tidak pernah mendengar suara itu saat kuajak masuk hutan, di saat bersamaan aku mendengar suaranya hingga belasan kali.”
“Tapi kita semua mendengarnya bukan?” Allary memastikan. Pedro, Vivi dan Felix mengangguk kompak.
“Ini sama sekali tidak masuk akal,” Felix menyergah. Pedro tersenyum simpul. “Memang sulit bagi orang Eropa untuk menerima fakta itu. Kalian terbiasa menerima sesuatu yang ilmiah. Tapi kau harus sadar, Felix, kau berada di Amazonia sekarang. Area hutan terluas, yang belum seluruhnya dieksplor manusia. Di sini, sains bukan penguasanya.”
“Kurasa, petualangan kita akan tambah menarik jika kita menelusuri jejak suara itu.” Allary berpikir.
“Kurasa itu ide yang bagus, ketua.” Felix menyahuti. Dua orang sepakat, dua orang yang sama berpengaruhnya di tim, membuat demokrasi timpang sebelah. Sebelum mereka tidur malam itu, keputusan sudah diambil.
Allary menghimbau pada anggota rombongannya, untuk tidak terlalu memikirkan soal suara raungan Amazonia itu sekarang. Lebih baik mereka menyimpan tenaga. Pergi tidur. Pedro menambahkan bahwa suara itu terletak amat jauh dari lokasi mereka sekarang, ditinjau dari frekuensi bunyinya.
Lewat tengah malam, saat Allary kembali terbangun.
Tenda yang mereka dirikan, berdekatan dengan sungai kecil. Tak sampai setengah meter. Lewat tengah malam, setengah sadar Allary mendengar suara ribut di sungai. Seperti pesawat lewat, hanya saja terdengar dari dalam air. Suara kecipak terkadang juga terdengar. Pelan-pelan Allary membangunkan Pedro.
“Ada apa, ketua?” Pedro menyahuti dengan mengantuk.
Allary segera mengisyaratkan agar dia berbicara dengan lirih saja. Jangan sampai membangunkan orang lain. Vivi dan Felix sepertinya tidur cukup nyenyak.
“Ada apa ketua? Ini tengah malam,” ucap Pedro lagi, kali ini dengan lebih lirih.
“Kau coba dengarkan suara itu, Pedro. Suara macam gemuruh pesawat jet.”
Kemudian mereka hening sejenak. Fokus mendengarkan. Bunyi-bunyi ribut, gemuruh, dan kecipak air itu terus terdengar.
“Bunyi apa itu, Pedro? Apakah penunggu Amazonia sudah keluar? Si pemilik raungan.”
“Bukan, bukan ketua. Aku kenal suara ini. Suara ini menandakan besok akan jadi hari yang tak kalah memilukan.”
“Hei ada apa, Pedro?” Tanpa sengaja Allary berucap lebih nyaring. Felix sempat bergerak-gerak, terganggu.
“Nanti saja kita bicarakan ketua. Lebih baik kita tidur dulu. Nanti malah mengganggu yang lain.”
“Tunggu, beritahu aku dulu, itu suara apa?”
“Kau akan lihat besok, ketua. Besok semuanya akan terlihat dengan jelas.”
Makin heran Allary. Setelah itu, Pedro langsung memasukkan kepalanya dalam sleeping bag. Tidak berminat membahas semua lebih lanjut. Allary tidak punya pilihan. Dia harus menunggu apa yang terjadi besok.
43
Habitat yang Bergeser
Pagi hari keempat, Allary bergegas bangun, fajar belum genap memancar di sisi timur hutan, bergegas pula Allary membangunkan Pedro, dia ingin segera mengetahui suara apa yang membuatnya gelisah tadi malam. Apakah itu wujud lain dari suara raungan Amazonia yang beberapa hari ini membayangi dia dan rombongannya.
“Kita harus menunggu pagi betul, ketua,” Pedro mengulet tubuhnya, tidak membuka mata, “permukaan sungai tidak akan terlihat saat gelap begini.”
“Astaga, Pedro,” Allary berdecak.
“Bersabarlah ketua. Nanti kita lihat sama-sama dengan Felix dan Vivi juga.”
Terpaksalah Allary menunggu. Dia beranjak keluar, menyalakan api unggun, memilih membuat martabak. Setidaknya dia bisa memanfaatkan waktu untuk membuat sarapan.
Ketika siang mulai merekah, setelah semua orang berkumpul untuk sarapan, Allary memulai percakapan.
“Tadi malam, apakah kalian mendengar suara-suara ribut dari sungai?”
Felix mengangkat bahu, Vivi menggeleng, “memangnya ada suara apa, ketua?”
“Suara ribut, bergemuruh dan suara kecipak air. Seolah ada sesuatu yang besar bergerak di dalam sungai. Aku sampai tak bisa tidur memikirkannya.”
“Ikan besar?” Vivi mencoba mencari kemungkinan.
“Sepertinya malam esok kita harus lebih waspada,” Felix ikut menyahut. Allary menggeleng, bukan itu yang sedang dia maksud. “Apakah kalian tidak tertarik untuk mencari tahu suara apa itu?”
“Untuk apa, ketua? Kau ingin menangkap makhluk yang membuat suara itu? Kau hanya akan mencari masalah dengan Pedro.”
Yang disebut nama, masih berada dalam tenda. Dia masih mengantuk karena tadi malam tidak tidur nyenyak gara-gara Allary.
“Karena Pedro bilang, suara itu berkaitan dengan sesuatu yang memilukan.”
“Memilukan?”
“Apa yang memilukan, ketua?”
“Nah, aku tidak tahu. Kita harus menunggu Pedro menjelaskan.”
Mereka meneruskan makan martabak sambil menunggu Pedro bangun. Felix yang dulu tak suka makan masakan Allary, hari ini mengunyah dengan lahap.
“Ah selamat pagi semuanya,” Pedro akhirnya bergabung dengan Allary dan yang lainnya. Pria lokal itu masih mengucek matanya. Allary menatapnya tidak sabar.
“Silakan duduk, Pedro. Mari kita bicarakan soal suara gemuruh sungai itu sekarang,” Allary menggosok-gosok tangan.
“Astaga, sepagian ini kau sudah membicarakan soal itu lagi, ketua. Atau jangan-jangan kau sudah menceritakan semuanya pada mereka berdua.”
Felix dan Vivi mengangguk.
Pedro menepuk dahi, “astaga.”
“Ayolah Pedro, beritahu saja kami, suara apakah yang kudengar tadi malam? Suara apa yang membuat sungai bergemuruh itu?”
“Apakah seekor ikan yang besar?”
“Atau apakah suara itu berhubungan dengan raungan Amazonia?” Vivi ikut menebak-nebak.
Pedro mencomot martabak yang masih tersisa, mulai mengunyah. “Kita akan melihatnya hari ini. Tapi harus kukatakan, tebakan kalian itu salah. Itu bukan makhluk mistis, pun bukan makhluk yang besar. Justru makhluk itu hanya makhluk kecil.”
Menyernit kening Allary, “makhluk kecil? Apa, Pedro?”
“Nanti kalian akan lihat. Aku tidak bisa menyebutkan namanya sekarang. Toh kalau kusebutkan, kalian juga tidak akan bisa menebak makhluk itu seperti apa.”
“Baiklah. Jadi dimana kita akan melihat makhluk-makhluk itu, Pedro?”
Pedro menunjuk ke selatan, mengikuti alur sungai kecil di dekat tenda mereka sekarang, “kita akan ke sana. Mengikuti alur sungai ini, sampai di persimpangannya. Di sanalah, sebuah pemandangan memilukan sudah menunggu kita. Bersiaplah. Kalian akan melihat sebuah eksperimen alam, tentang habitat makhluk hidup yang bergeser.”
Allary, Felix dan Vivi semakin penasaran.
44
Pertambangan Liar Hutan Amazonia
Perjalanan hari keempat diteruskan. Masih dengan Pedro yang memimpin jalan, gesit menyibak semak belukar yang menghalangi jalan. Langkah-langkah Pedro begitu mantap, seolah dia hafal seluk beluk hutan, luar dan dalam.
“Ini rute yang sering kulewati ketika mencari buah-buahan hutan. Kau tenang saja, tak mungkin kita tersesat.” Pedro menyahuti gerutuan Felix yang mengeluhkan langkah kaki yang terlalu mantap barusan.
Sekitar 45 menit berjalan, yang artinya jam menunjukkan pukul 8.30 pagi waktu setempat, mereka sampai di persimpangan sungai. Ada empat aliran sungai, membentuk tanda silang. Kata Pedro, setiap cabang mengalirkan air ke penjuru mata angin utama.
“Arus utama mengalir dari barat ke timur. Kita datang dari utara. Jadi aliran sungai yang kita ikuti sejak kemarin sore, terhalang oleh arus utama, otomatis, arus antara utara dan selatan, tidak terhubung satu sama lain, karena derasnya arus dari barat ke timur.”
Persoalan arus ini membuat Allary melongok. Agak sulit baginya memahami penjelasan Pedro barusan.
“Untuk apa detail barusan, Pedro?” Felix lebih berani bertanya.
“Sebagai pengetahuan awal. Ingat faktanya ya, arus barat ke timur, sangat deras, sehingga membuat arus utara dan selatan, terisolasi satu sama lain. Itu adalah sebuah kuasa alam yang amat hebat.”
Allary dan yang lain mengangguk.
“Nah sekarang akan kujelaskan soal habitat. Kawasan utara, yang kita lalui sejak kemarin sore, adalah habitat ikan Perana. Ikan itu dikenal kecil-kecil namun mematikan. Mungkin kalian juga sering mendengar nama ikan itu dalam cerita, novel ataupun film bukan?”
“Ah ya, aku tahu,” sahut Allary. Ikan Perana selalu jadi maskot Amazonia. Siapapun yang pernah berbicara tentang Amazonia, pasti membicarakan pula soal Ikan perana. Kecil-kecil, bergerombol, bergigi tajam, haus darah. Semua itu adalah ciri khas ikan perana. Allary juga membaca beberapa detail dari buku ensiklopedia Amazonia saat di kota Rio.
“Baiklah, sekarang di sebelah selatan sana,” Pedro menunjuk ke seberang aliran arus deras, “adalah habitat ikan Poyara. Sama halnya dengan Perana, ikan Poyara juga merupakan ikan karnivora yang menakutkan. Bedanya, Poyara memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, bahkan bisa mencapai dua meter. Kedua ikan itu harus kalian pahami baik-baik.”
Allary dan Felix mengangguk. Mereka sama-sama tahu soal ikan Poyara. Felix dengan naluri petualangannya, Allary dengan pengetahuannya dari buku ensiklopedia. Hanya Vivi yang seperti kurang paham, tapi tidak ada waktu untuk menjelaskan lebih baik.
“Sungguh kuasa alam yang demikian besar, selama berabad-abad kedua hewan ganas itu tidak pernah bertemu di alam liar, karena pemisahan arus utara dan selatan oleh arus deras dari barat ke timur tadi. Kedua hewan itu tidak perlu saling menyerang, dan kalian tentu tidak ingin membayangkan bagaimana jika mereka benar-benar bertemu bukan?”
Allary memasang wajah jeri. Perana dan Poyara bertemu di alam liar? Itu bisa menjadi sebuah duel yang amat mematikan. Perana akan menang dengan ukuran jumlahnya, tapi poyara unggul dalam hal ukuran tubuh.
“Nah sekarang, kalian akan kubawa ke tempat yang kubilang memilukan tadi. Mari, di sebelah sini, sekitar dua puluh langkah ke depan, ada jembatan kayu yang bisa dilalui.”
Sekarang rombongan Allary membelok sebentar ke barat, mencari jembatan kayu. Allary masih heran, penjelasan Pedro belum sampai ke inti masalahnya. Dia coba menebak-nebak.
“Kau ingin mengatakan bahwa suara gemuruh yang timbul tadi malam, adalah ulah salah satu ikan karnivora itu ya?”
“Kau benar ketua, tapi tolong jangan menebak-nebak sebelum kita sampai di tempat yang seharusnya. Seharusnya pemandangan ini bisa membelalakkan mata kalian.”
Dengan hati-hati mereka berempat menyeberangi jembatan kayu kecil yang menghubungkan dengan daratan seberang. Sekarang mereka tiba di samping arus selatan. Habitat ikan Poyara. Saat itulah, Allary menangkap hal aneh. Bercak-bercak. Atau bukan, tetesan warna merah di permukaan sungai yang jernih dan tenang. Apa itu. Makin mereka ke selatan, makin banyak tetes-tetes merah tersebut. Lalu mereka tiba di tempat itu, tempat yang dikatakan Pedro sebagai tempat yang memilukan.
Allary terkesiap, Vivi menutup mulutnya dengan tangan, Felix geleng-geleng kepala. Di permukaan sungai bertimbulan bangkai-bangkai ikan, Perana dan Poyara. Semuanya masih berdarah. Situasi di sana persis seperti tempat perkelahian. Perkelahian dua hewan sungai yang ganas, dua ikan karnivora yang ditakuti di Sungai Amazonia.
“Inilah yang kumaksud sebagai pemandangan memilukan,” ujar Pedro. Dari intonasi datarnya, dia seolah sudah biasa menyaksikan pemandangan di permukaan sungai.
“Jadi, duel dua hewan buas, ikan karnivora yang biasanya hanya kita lihat di film fiksi ilmiah, kini benar-benar terjadi di alam liar?”
“Betul sekali, Felix.” Pedro membenarkan, “pemandangan yang dulu hanya cerita kini telah menjadi nyata. Sudah belasan kali aku melihat hal ini. Miris memang, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.”
“Tapi apa yang menyebabkan semua ini terjadi, Pedro?” Allary bertanya.
Pedro memelankan suaranya, “penyebabnya macam-macam. Serupa mata rantai yang saling menyambung satu sama lain.”
“Jelaskan padaku. Dengan alur mundur.”
“Baiklah. Pertama-tama, duel memilukan ini bisa terjadi lantaran ikan Perana memasuki wilayah teritori ikan Poyara. Itu merupakan hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ikan perana bergerak sampai ke sini, karena perpindahan habitat. Mereka mengungsi dari habitat aslinya di utara. Mereka pergi karena habitat mereka rusak oleh aktivitas pertambangan yang dilakukan di Hutan Amazonia.”
Bibir Pedro bergetar ketika mengucapkan kalimat terakhir.
45
Biar Aku yang Berurusan dengan Mereka
“Para penambang?” Allary mengulangi kalimat Pedro.
“Iya ketua, pertambangan liar, itulah masalah serius bagi Hutan Amazonia sekarang, lebih serius daripada sekedar penebangan hutan. Kecil saja urusan penebang itu dibandingkan apa-apa yang telah dilakukan pengelola pertambangan di hutan ini.”
Bahkan Felix yang biasanya berwajah batu, ikut terdiam. Miris. “Apa yang mereka cari di hutan ini?” tanyanya.
“Nikel, mereka mencari nikel,” Pedro emosional, “selain itu ada isu keberadaan batu bara dan uranium jauh di dalam tanah. Mungkin lima tahun dari sekarang, mereka akan memulai penggalian besar-besaran dan hutan ini hanya tinggal cerita.”
“Astaga, mereka tidak boleh melakukan itu, bagaimana tanggapan pemerintah? Harusnya mereka melindungi hutan ini bukan? Bukankah hutan ini adalah harta nasional?”
Pedro menggeleng lemah, “sayang sekali kau salah, ketua. Justru pemerintahlah yang berada dibalik semua ini. Beberapa tahun lalu, setelah memenangi pemilu, Presiden Marcelo memulai programnya yang dia sebut revolusi besar. Program itu bertujuan untuk menjadikan negeri ini sebagai negara maju dalam sepuluh tahun saja. Program yang sukses, pusat-pusat industri berkembang, perekonomian naik, namun dibalik semua itu, Presiden menggerakkan perusahaan tambang, yang diakuisisi negara namun dijalankan pihak asing, untuk melakukan eksploitasi besar-besaran. Pertambangan Hutan Amazonia, adalah bahan bakar revolusi tersebut.”
Kali ini rahang Allary benar-benar mengeras. Kesal sekali dia dengan fakta tersebut. Tangan-tangannya terkepal.
“Pedro, katakan dimana aku bisa bertemu langsung dengan para penambang sialan itu.”
“Kalau aku tidak salah, sektor G12 ada di arah depan perjalanan kita. Mungkin 4 jam perjalanan. Ada apa ketua?”
“Tunggu dulu,” Felix dengan cepat menyela, “kau tidak berniat melakukan sesuatu yang aneh bukan? Jangan mencari keributan di sana, ketua. Kita tidak perlu berurusan dengan orang-orang yang tidak berhubungan dengan perjalanan kita.”
Pedro mengangguk, “Felix benar ketua, kita tidak perlu berurusan dengan para penambang. Itu merepotkan. Dan juga, jumlah mereka banyak, kita kalah jumlah, bisa mati konyol kita kalau bertindak nekat.”
Allary tak bergeming. Tangannya tetap terkepal. “Antarkan aku ke sana, Pedro. Biar aku yang berurusan dengan mereka.”
Mendengar suara Allary yang begitu mantap itu, Pedro tak punya pilihan lain, selain menuruti kehendak ketuanya. Adapun Felix menghela nafas dalam-dalam, bersiap dengan kemungkinan perkelahian.
46
Berbicara dengan Para Penambang
Allary menepati kata-katanya. Sekitar tengah hari, mereka sampai di area pertambangan sektor G12, seperti yang dikatakan Pedro. Itu adalah kawasan pertambangan terbuka. Sekitar 100 meter persegi hutan dirusak oleh area tersebut. Tidak hanya digunduli, tapi juga digali dan dieksploitasi. Melihat pemandangan itu, Allary semakin geram.
Ada beberapa penambang yang sedang beristirahat di atas tanah. Beberapa masih bekerja di bawah tanah. Allary segera mendatangi penambang yang sedang beristirahat itu, lalu berteriak. Tak bisa menahan diri lagi.
“BERHENTI MELAKUKAN SEMUA HAL GILA INI!!!”
Bayangkan saja, ada orang asing tak tahu menahu datang darimana, tiba-tiba berteriak dengan bahasa Inggris aksen British, di area pertambangan yang sebagian besar diisi oleh kuli tambang lokal yang bahkan tidak sekolah. Bayangkan saja, situasi berikutnya yang akan terjadi.
Para kuli tambang mendengar teriakan Allary. Mereka memang warga lokal yang tidak mengerti bahasa Inggris, tapi bagi mereka, teriakan semacam itu, sangat mengganggu, harus segera dibereskan.
Dua orang kuli mendatangi Allary. Mereka kekar bukan main, kuli-kuli tambang memiliki tubuh kekar berotot, hitam legam terpanggang sinar matahari, mereka bertelanjang dada dan berkeringat. Sungguh kombinasi yang menggetarkan mental, tapi Allary tidak mundur. Pedro dan Felix memperhatikan dari belakang, sekitar dua puluh langkah dari tempat Allary berdiri.
“Siapa kau ini?” tanya penambang dengan bahasa lokal.
“Aku datang untuk menyelamatkan hutan ini dari kegiatan serakah kalian. Hentikan pertambangan ini!” Allary berseru.
Dua penambang itu saling berpandangan, saling mengecek, apakah salah satu dari mereka paham apa yang diucapkan orang norak tak jelas di depan mereka.
“Apa tujuanmu datang kemari hah!” penambang membalas, berseru dalam bahasa lokal. Allary juga sama tak mengertinya dengan mereka, bahasa lokal tak dikuasainya.
Terpaksalah Pedro turun tangan. Pelan-pelan mendekat, meminta izin menjadi penerjemah. Pelan-pelan pula, Pedro menjelaskan maksud Allary. Walau dalam hatinya, dia tahu bahwa peringatan semacam yang Allary maksud, sama sekali tidak berguna. Tidak ada yang akan menghentikan pertambangan yang digerakkan oleh penguasa.
Raut wajah para penambang naik turun mendengar penjelasan dari Pedro. Lalu akhirnya, mereka tertawa. “Kau gila,” kata salah satu penambang.
“Apa katanya, Pedro?” tanya Allary.
“Dia bilang, kau gila, ketua.”
“Tolong katakan, dia yang gila.”
“Baik ketua.”
PLAAAAAKKKKK!!!!
Penambang itu reflek menampar Pedro. Hingga tersungkur. Situasi mulai tak terkendali. Vivi di belakang memekik.
47
Jalan Berdarah Seorang Petarung
Satu hal yang patut kita catat ulang tentang ketua rombongan kita, Allary Azra itu, adalah fakta bahwa dia merupakan seseorang yang sangat setia kawan. Allary sebenarnya tidak pandai berkelahi dan tidak suka mencari keributan, namun jika temannya diusik, dia tidak segan balas menyerang.
Hari itu, melihat Pedro ditampar sampai terjungkal, Allary berubah jadi orang yang nekat.
Sebelum Felix di belakang mereka merangsek ke depan, Allary telah lebih dulu bergerak. Dia menghadiahkan tinjunya ke dagu penambang yang baru saja menampar Pedro, sepersekian detik kemudian, penambang itu ikut terjungkal.
“Jangan berani-berani menyakiti temanku!” Geram Allary penuh penekanan. Tangannya bersiaga, terkepal, kuda-kudanya terpasang. Satu penambang yang tersisa menyeringai. Dia sudah tahu bagaimana kekuatan Allary hanya dari bentuk kuda-kuda sang ketua rombongan.
Allary bukan petarung terlatih.
BUKKK!! BUKKKK!!!
Terpelanting Allary kena tendang penambang kedua. Meski sempat mencoba menangkis dengan tangannya, Allary tetap terpelanting. Kalah tenaga, kalah ukuran, kalah pengalaman. Penambang yang tadi dipukulnya ikut berdiri. Pedro juga, tapi dia gelagapan. Mereka salah mencari masalah di area pertambangan. Dua penambang bergerak cepat, mendatangi Allary yang masih mengerang kesakitan di tanah.
“KETUAA!”
Saat kaki si penambang hendak menendang perut Allary yang terbaring, Felix dengan cepat meloncat dan menahan kaki itu dengan kaki pula. Meski kalah kekar, Felix bisa menahan tendangan si penambang tanpa kesakitan.
“Sekarang urusan kita sudah berbeda,” ujar Felix tajam.
Penambang kedua hendak ikut menyerang, tapi Felix berhasil menangkap tinjunya. Sementara kakinya, gesit menendang penambang pertama. Kedua penambang itu berhasil dipukul mundur. Felix serius memasang kuda-kuda. Biar penambang itu tahu, kali ini mereka berhadapan dengan petarung yang terlatih.
“Pedro, bawa Allary menjauh dari tempat ini. Biar aku yang menahan mereka berdua.”
“Tapi bagaimana dengan kau. Jangan berbuat hal gila, Felix.”
“Cepatlah!” Felix setengah membentak, “aku akan menahan mereka, akan kuusahakan selembut mungkin. Kau tidak perlu khawatir.”
Dua penambang itu sudah bangun. Kini mereka bertiga (dengan Felix) saling bertatapan. “Dengar ya, tuan-tuan. Temanku tadi, hanya memperingatkan kalian. Dia menegur kalian dari sesuatu yang salah. Seharusnya kalian tidak menyerangnya dengan kasar. Itu sungguh tidak menyenangkan.” Felix berucap dengan bahasa lokal. Kali ini komunikasi mereka bisa terhubung.
“Kau tidak perlu ikut campur urusan kami di sini.” Salah satu penambang membentak Felix. Satu penambang lainnya, malah langsung menyerang. Akibatnya Felix tidak menanggapi lagi dengan kata-kata. Dia meloncat ke udara, dan memasang tendangan. Langsung kena telak di dada si penambang.
Sekali lagi, si penambang terpelanting ke belakang. Sepertinya dia semaput. Nafasnya tersengal-sengal. Tidak lama kemudian dia tidak bergerak lagi, entah pingsan atau mati.
Melihat itu si penambang satunya, geram bukan main. Tapi orang ini memang nampaknya lebih senang bicara.
“Kau, sebenarnya siapa kau?”
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, yang jelas jika kau menyerangku, kau akan menerima akibatnya.” Felix menggeram, kalimatnya begitu tajam, begitu juga matanya.
“Kurang ajar,” penambang itu mendesis. “Kau hanya orang asing di sini, entah wisatawan atau apalah. Kalian tidak perlu ikut campur. Jangan cari mati.”
“Kalau kalian menyerangku sekali lagi, kalian yang cari mati,” sahut Felix. Suasana di sini benar-benar mengingatkannya pada sesuatu yang terjadi di masa silam. Sepertinya tidak lama lagi, jiwa buasnya akan keluar.
“Kurang ajar, pergi kau ke neraka!”
“Ayo maju,” tantang Felix. “Atau kau seorang pengecut.”
Kali ini si penambang benar-benar kehilangan kesabaran. Dia gelap mata. Menyerang Felix, dengan mengambil sebatang kayu di tanah. Felix tidak siap dengan serangan semacam itu. Dia tadi hanya bertarung dengan tangan kosong. Kakinya juga tidak siap beraksi.
Felix terpental juga, tapi segera berdiri.
“Kurang ajar, kau curang.”
Penambang menyeringai, “ayolah. Di sini tidak ada pertarungan yang adil. Ayo hadapi aku. Atau sebenarnya kaulah yang pengecut. Menangkis serangan barusan saja kau tak bisa.”
Kurang ajar, orang ini coba memprovokasiku, batin Felix. Dia coba menenangkan diri, agar tidak terpancing. “Tutup mulutmu. Kau yang pengecut. Tidak berani menyerang dengan tanpa senjata.”
“Ayo, maju saja. Buktikan jika kau memang bisa berkelahi.”
Kurang ajar, akhirnya tangan-tangan Felix sempurna terkepal. Dia menerjang maju. Tapi apalah daya. Kayu sepanjang dua meter berbentuk balokan itu, memang lawan yang tangguh. Felix kembali terpental. Memegangi bahunya. Kesakitan.
“Sial kau,” lirihnya di antara erangan rasa sakit.
“Ayo maju lagi. Astaga gerakanmu payah sekali. Siapa yang mengajarimu beladiri heh, dia pasti kecewa sekali melihatmu. Atau jangan-jangan kau belajar beladiri dari orang yang sama pengecutnya denganmu.”
Kalimat terakhir, benar-benar sebuah provokasi untuk Felix. Orang itu tidak hanya menghina dia, tapi juga menghina orang yang penting bagi hidupnya. Felix tak terima. Dia bangun, dengan wajah seram, merogoh ke belakang pinggangnya. Akhirnya benda itu dia keluarkan.
Sebilah pedang pendek, dia buka sarungnya sambil menyeringai. Darah seperti sudah nampak akan terciprat di sana. Darah untuk siapa saja yang berani menghina gurunya.
Felix adalah petarung dengan jalan darah yang berliku-liku.
48
Ambil dan Lari
Baik Allary dan Pedro tidak sempat bereaksi ketika Felix mulai menyerang si penambang yang membawa balok kayu itu. Felix menyerang tanpa ragu dengan senjata terhunus. Si penambang itu sendiri agak jeri melihat benda tajam mengarah ke arahnya.
Si penambang itu bahkan tidak sempat mengarahkan balok kayunya, posisinya yang sedang mengangkat balok kayu itu tinggi ke bahu, justru menguntungkan Felix.
Tanpa ragu, pisau pendek tadi langsung menancap di perut bawah si penambang.
“Akh,” orang itu hanya bisa berseru lirih. Tangannya limbung, balok kayunya terlepas. Si penambang roboh dengan perut merah bersimbah darah. Allary dan Pedro terpana.
“Ingat baik-baik. Kau akan mendapatkan hal yang lebih buruk jika menghina guruku lebih dari ini.” Felix menarik kembali pisaunya. Membuat si penambang berkelojotan. Dia hanya bisa memegangi perutnya. Tak bisa lagi bergerak. Dia benar-benar tumbang di hadapan Felix Norton.
Tapi masalah belum selesai.
Teriakan dan keributan yang telah dibuat rombongan Allary turut memancing para penambang yang ada di dalam tanah. Yang sedang berkutat dengan pekerjaaan mereka. Saat mereka keluar dan mendapati salah satu teman mereka roboh bersimbah darah di tangan Felix yang masih memegang pisau, tentu saja para penambang itu geram. Jumlah mereka kali ini, belasan.
“Siapa kau? Apa yang sudah kau lakukan pada teman kami, hah!?” salah satu dari penambang yang baru datang, maju ke depan, menantang tatapan tajam dari Felix. Teman satu rombongan Allary yang dulu pendiam itu kini berbeda 180 derajat. Felix memasang wajah seram.
“Kalau kalian ingin bernasib sama dengan teman kalian itu, majulah,” tantangnya sambil memegang erat pisaunya.
“Kurang ajar kau!” orang-orang berseru. Saat itulah, Pedro menyadari bahwa mereka tidak akan menang melawan belasan penambang kekar yang sedang marah. Bahkan bila Felix hendak menyerang dengan pisaupun, ada kemungkinan malah mereka berempat yang mati konyol.
Pedro memberi kode pada Allary. Allary segera paham. Pedro akan menarik Felix, sementara Allary akan menggendong Vivi. Mereka harus lari dari tempat itu. Begitulah rencananya. Allary mengangguk, bersiaga.
Satu, dua, tiga!!!
Begitu hitungan jari itu selesai, Pedro secepat mungkin berlari ke depan, menarik tangan Felix, yang tidak menduga akan gerakan cepat itu, terkaget-kaget. Pedro tidak menghiraukan reaksi Felix yang menolak. Dia langsung berlari ke arah hutan.
“HEI KALIAN JANGAN LARI!!!” Para penambang berseru. Langsung mengejar.
Lalu terjadilah pelarian menegangkan itu. Allary menggendong Vivi ke punggungnya, berlari cepat mengikuti Pedro yang tak lepas memegangi lengan Felix. Sementara belasan penambang yang marah, mengejar di belakang.
Beruntungnya, rombongan Allary punya Pedro yang hafal luar dalam Hutan Amazonia. Pedro terus berlari, gesit berbelok di sela-sela pepohonan.
Sekitar 15 menit mereka berlari, Pedro akhirnya mengajak mereka bersembunyi di semak-semak belukar yang ada di tengah hutan. Para penambang tidak bisa menemukan mereka lagi di sini. Mereka sudah jauh tertinggal di belakang.
“KENAPA KAU MENARIKKU KE BELAKANG, HAH? BIAR AKU YANG MELAWAN MEREKA!” Felix akhirnya tidak bisa menahan diri, berseru marah. Pedro jeri, apalagi tangan kiri Felix masih memegang pisau yang bermandikan bercak darah merah.
Allary bergegas menenangkan temannya itu, “Felix, pertama-tama, turunkan pisau di tanganmu itu. Kita tidak mencari musuh, Felix. Kita datang ke sini untuk bertualang dan memperbaiki keadaan, sebisa kita. Tapi melukai dan ingin membunuh, aku tidak setuju.”
“Tapi ketua, orang itu baru saja menghina...”
“Iya Felix, aku tahu. Aku paham kenapa kau marah. Tapi sekarang tenanglah. Orang yang menghina gurumu sudah roboh bersimbah darah, kau yang menusuknya. Masalah di sana sudah selesai bukan? Belasan penambang yang datang belakangan tidak tahu apa-apa bukan?”
Mau tidak mau Felix mengangguk.
“Maka mereka bukan musuh kita yang harus kau lukai, Felix. Sudah. Tenanglah.”
Felix pelan-pelan menghela nafas, menurut pada Allary. Felix menyarungkan kembali pisau miliknya. “Maafkan aku, ketua. Aku benar-benar kehilangan kontrol tadi.”
“Tidak apa-apa, aku juga geram dengan para penambang itu. Tapi kita harus tetap mengutamakan keselamatan semua anggota.”
“Baik, ketua.”
“Ngomong-ngomong,” ini Pedro yang bicara, “peringatan yang kita berikan pada para penambang itu sepertinya cukup ampuh ketua. Kurasa ini tidak akan jadi yang terakhir, kita berurusan dengan mereka.”
Allary mengangguk, itu yang dia khawatirkan. Semoga saja masalah tidak bertambah pelik. Felix memasang ekspresi siap berkelahi jika mereka datang lagi. Adapun Vivi hanya terdiam. Dia membeku, tidak menyangka kalau Felix, pria yang dia kagumi diam-diam, ternyata punya sisi buas yang sangat menakutkan.
49
Rencana Pembalasan
Sementara rombongan Allary merasa aman bersembunyi di rimbun semak belukar, para penambang liar terpaksa pulang ke tambang G12 dengan tangan hampa dan hati panas. Mangsa mereka gagal mereka dapatkan.
Para penambang itu tersadar untuk mengurus teman mereka yang terkena luka bacokan pisau Felix. Pendarahan hebat. Ditambah dia tidak segera ditolong, karena semua orang kalap mengejar rombongan Allary.
Penambang yang ditusuk Felix, tidak bisa diselamatkan. Dia tewas setelah melewati fase kehabisan darah. Para penambang itu geram bukan main. Mereka merasa terhina sekali dengan kedatangan rombongan Allary ke tambang mereka.
“Orang-orang itu harus kita beri pelajaran,” sungut salah satu dari penambang. Mereka tengah duduk membundar setelah menguburkan jasad teman mereka yang tewas.
“Aku setuju. Pelajaran itu harus setimpal.”
“Tenang kalian berdua,” satu penambang yang nampaknya paling tua diantara mereka semua bersuara, memotong. “Kita tidak bisa ambil tindakan dengan gegabah. Kita harus perhitungkan semuanya. Mungkin juga kita harus memberitahu bos.”
“Paman Beto, kurasa kita tidak perlu memberitahu bos. Nanti malah susah jadinya.” Satu orang yang lebih muda, menyela. Kita sekarang tahu nama salah satu dari mereka, yang paling tua, adalah Paman Beto.
“Tetap saja. Kurasa bos berhak tahu. Apalagi Jonathan terbunuh. Harus ada yang memberitahu dan menanggung santunan untuk keluarganya. Kita harus beritahu bos.” Paman Beto berucap mantap.
“Baiklah. Aku setuju,” orang di sebelah Paman Beto mengangguk, “terutama soal Jonathan. Kasihan keluarganya kalau tidak dapat santunan.”
“Dan juga,” sambung Paman Beto, “aku rasa aku tahu siapa mereka berempat.”
“Siapa Paman?”
“Mereka adalah peserta program penjelajahan yang dibuat Presiden. Program penjelajahan Hutan Amazonia. Makanya mereka bisa sampai ke wilayah ini, kalau wisatawan biasa, mana berani masuk ke dalam hutan.”
Peserta diskusi manggut-manggut.
“Karena itulah, kita benar-benar harus menelepon Bos.” Paman Beto menegaskan sekali lagi. Peserta diskusi setuju.
Paman Beto meraih tas butut miliknya, tas yang biasa dipakainya membawa perbekalan dari rumah. Mengeluarkan telepon genggam yang tak kalah butut. Memencet tuts nomor pelan-pelan, karena penglihatannya sudah mulai rabun, dan akhirnya menelepon bos.
“Bicara Beto. Ada apa?” Begitu telepon diangkat, suara tegas langsung menyapa ke telinga.
Paman Beto segera menceritakan semuanya. Perihal ada rombongan penjelajah, diduga yang ikut program pemerintah, mengganggu aktivitas pertambangan, dan bahkan membunuh satu orang penambang.
“Apa? Siapa yang terbunuh?”
“Jonathan, bos.”
“Astaga. Kurang ajar sekali mereka.”
“Benar sekali bos. Kira-kira apa yang harus kami lakukan untuk membalas perbuatan mereka, dan memberi mereka pelajaran?”
Emosi si bos di seberang telepon pasti sedang menggeliat. “Tahan dulu. Aku akan berpikir tenang sejenak. Biar aku yang pikirkan rencananya.”
“Tapi bos...”
“Kau tunggu saja Beto. Tugasmu dan teman-temanmu hari ini adalah terus bekerja sambil menunggu instruksi. Aku pastikan aku akan temukan ide bagus untuk membalas perbuatan mereka dengan setimpal. Mereka telah membuat rugi pertambangan kita.”
“Baik Bos.” Kemudian telepon berakhir.
Nun di sana, orang yang dipanggil bos oleh Paman Beto sedang berada di ruangan yang gelap. Dia memukul mejanya, kesal sekali. “Kurang ajar kau, Allary Azra,” decaknya.
Siapakah orang ini?
50
Memisahkan
Menjelang petang, berbunyi ponsel Paman Beto. Bos menelepon kepadanya. Mengabarkan soal rencana yang telah disusunnya. Sebuah rencana rapi nan busuk, sebuah rencana yang benar-benar akan mengancam perjalanan rombongan Allary di hutan Amazonia. Lima belas menit bos menjelaskan rencananya.
“Baik bos. Dimengerti. Akan kami laksanakan sebaik mungkin.”
“Jangan sampai gagal,” pesan Bos dengan nada tajam.
****
Sementara itu, rombongan Allary terus berjalan ke barat. Mereka kembali memotong jalur, susah payah kembali menemukan sungai sebagai patokan jalan utama. Untungnya sebelum senja menjelang, mereka berhasil menemukan tempat yang cukup lapang untuk bermalam.
“Kita akan berhenti di sini, ketua. Bagaimana?”
“Aku setuju, Pedro.” Allary mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu, mari kita dirikan tenda.”
“Eh tunggu dulu, Pedro,” Allary menyela.
“Ada apa, ketua?”
“Apakah beresiko bagi kita jika tidur tanpa tenda malam ini?”
“Kenapa kau menanyakan hal semacam itu? Jangan bilang kau berencana tidur tanpa tenda malam ini.”
Allary tersenyum, itulah maksudnya. Dia penasaran dengan sensasi tidur tanpa tenda di dalam hutan. Pasti sensasi yang menarik. Namun apakah itu aman?
“Sebenarnya keamanan itu tergantung pada situasi, ketua. Karena ada banyak serangga malam, hingga hewan-hewan berbisa yang aktif di malam hari, di wilayah tertentu.”
“Bagaimana dengan tempat ini sekarang?”
Pedro melihat sekeliling. Dia sulit menolak keinginan ketuanya. Lagipula, dia sendiri juga punya pengalaman tidur hanya dengan sleeping bag dalam hutan, dan itu cukup aman. Pedro menghela nafas.
“Baiklah, sesekali kurasa cukup aman, ketua.”
Allary mengepalkan tangan. Senang. Felix hanya mengangkat bahu ketika ditanya persetujuan, jadi Allary anggap itu setuju. Vivi juga diam saja, karena gadis itu masih terguncang dengan adegan berdarah. Keputusan telah diambil, rombongan Allary tidur dalam sleeping bag, malam ini.
****
Beralih ke para penambang. Paman Beto bersama dua orang rekannya, menunggu malam benar-benar gelap, bahkan hampir mencapai dinihari, untuk melaksanakan rencana yang diberikan bos mereka. Masih terngiang instruksi bos itu lekat-lekat di benaknya.
“Ingat, kalian hanya perlu memisahkan orang lokal di rombongan mereka. Seret orang lokal itu ke bagian hutan yang lain. Biarkan anggota mereka yang lain kelaparan dan tersesat dalam hutan, tanpa petunjuk arah apapun.”
“Lalu apakah kami tidak boleh menghabisi mereka, Bos?” Paman Beto menyahuti.
“Nanti, tunggulah sehari dua hari. Ketika mereka sudah mulai kelaparan, kehausan, baru kalian bunuhi anggota yang tersisa, termasuk si pembunuh Jonathan itu. Mereka tidak akan bisa melawan.”
Paman Beto manggut-manggut. “Lalu orang lokal itu, harus kami apakan bos? Bunuh juga?”
“Oh jangan, bawa orang lokal itu ke Rio. Dia akan dihukum sebagai tersangka, dijatuhi hukuman berat, sebagai peringatan pada siapa saja yang berani menyentuh tambang.”
Sungguh rencana yang jenius. Malang bagi rombongan Allary, tapi keputusan mereka tidur dalam sleeping bag, hanya mempermudah kerja para penambang, memisahkan Pedro dari rombongannya.
51
Ketua Rombongan Coba Melawan
KRRRSSSKKKK
KRRSSSKKKK
Begitulah bunyi yang mewarnai Hutan Amazonia di jam-jam paling sunyinya. Biasanya itu hanya bunyi hewan-hewan di hutan itu, sedang bergerak, berburu membelah semak belukar. Malam ini berbeda.
Meskipun sangat berhati-hati, para penambang, Paman Beto dan seorang temannya itu tetap membuat bunyi-bunyian saat berjalan di tengah hutan. Pukul 2 pagi. Saatnya menjalankan rencana mereka. Berjalan perlahan-lahan menuju tempat Allary dan rombongannya bermalam.
Teman Paman Beto, nyaris bersorak melihat rombongan Allary tidur bukan di dalam tenda, melainkan di dalam sleeping bag. Paman Beto buru-buru menyuruhnya diam. “Kita tetap harus hati-hati. Jangan sampai kita salah tangkap sasaran.”
Paman Beto menyorotkan senter sekilas ke arah rombongan Allary. Beberapa kali dia melakukan hal itu, dengan gerakan yang secepat mungkin. Tujuannya adalah untuk mengenali, yang mana sleeping bag sasaran mereka, mengenali lewat kepala-kepala yang menyembul dari dalam kantung tidur itu.
“Eder,” bisik Paman Beto, “kurasa sleeping bag yang itu, yang merah. Tidak salah lagi. Dilihat dari wajahnya, rambutnya serta cara tidurnya, dia adalah orang lokal.”
“Baiklah, mari kita langsung ringkus dia, Paman.” Orang yang dipanggil Eder itu menyahut. “Tapi bagaimana kita mengeluarkannya dari sleeping bag itu?”
“Kita tidak perlu mengeluarkannya. Kita hanya perlu meringkusnya. Kita tangkap saja dia beserta sleeping bag-nya. Itu malah menguntungkan kita. Sleeping bag-nya bisa sekalian jadi karung.”
“Ide bagus Paman Beto. Ayo kita beraksi.”
“Let’s go.”
Paman Beto menyiapkan pembius. Lalu dengan gerakan yang mirip kecepatan kungkang, mereka bergerak ke arah sleeping bag Pedro. Paman Beto gesit melakukan pembiusan. Pedro langsung tidak sadarkan diri lagi. Eder hendak bersorak lagi, Paman Beto segera memperingatkannya untuk tidak membuat suara-suara yang mencurigakan.
Operasi penculikan Pedro sukses. Lima belas menit kemudian, Pedro sudah terikat, di dalam sleeping bag-nya sendiri, diangkut Paman Beto dan Eder ke arah selatan. Rencana Bos mereka benar-benar brilian.
Hanya saja, ada satu faktor yang tidak diperhitungkan, baik oleh Eder, Paman Beto maupun bos mereka yang brilian itu. Yaitu Allary, sang ketua rombongan. Allary memang tidur nyenyak seperti orang mati, tapi insting bahayanya kuat sekali. Apalagi kalau menyangkut teman satu rombongannya.
Malam itu, lima belas menit setelah Paman Beto dan Eder pergi, Allary terbangun. Perasaannya tidak enak. Dia menengok ke sekelilingnya. Allary menemukan sleeping bag Pedro tidak ada di tempatnya. Kemana pria itu?
Allary bangun, keluar dari sleeping bag, melihat sekitar. Kemana gerangan Pedro pergi? Apa jangan-jangan dia ada urusan mendadak lalu meninggalkan mereka begitu saja. Allary merasa bukan itu yang terjadi. Perasaannya benar-benar tidak enak.
Di saat itulah, Allary melihat sorot lampu senter di kejauhan. Nalurinya berkata bahwa ada yang tidak beres sudah terjadi, apapun itu. Allary memutuskan mengikuti sorot lampu senter itu, seorang diri. Mengendap-endap di semak, menerobos keheningan Hutan Amazonia di jam dinihari.
Setelah memotong jarak lumayan dekat, Allary, dengan menajamkan penglihatannya di antara gelap yang total menyelimuti hutan, berhasil melihat apa yang ada di depannya. Samar-samar dia melihat sleeping bag merah. Itu kantung tidur kepunyaan Pedro. Sleeping bag itu itu diangkat oleh satu orang yang kekar, dan satunya memegang senter.
Apakah mereka sudah menculik Pedro? Allary bertanya-tanya. Dia memutuskan untuk lebih mendekat lagi. Mungkin dia bisa melancarkan serangan balasan.
“Tidak ada gunanya kau mengikuti kami diam-diam begitu, Tuan Wisatawan yang sok sibuk?” Eder membalikkan senter ke arah Allary. Rupanya mereka berdua telah mengetahui bahwa Allary mengikuti mereka.
Dengan lampu senter itu, Allary kini bisa melihat siapa lawan-lawannya. Bertubuh kekar dan tinggi, berotot kuat nan ligat. Mereka adalah para penambang sektor G12.
“Apa yang kalian inginkan dari Pedro?” Allary bertanya, waspada.
“Sebuah pembalasan yang setimpal dari apa yang sudah temanmu lakukan pada teman kami, Jonathan.”
Allary berdecak, sial urusan ini pasti panjang dan berbahaya, Allary membatin. Berhitung dengan situasi. Dia mungkin tidak akan menang melawan dua penambang ini, tapi dia juga tidak boleh diam saja. Pedro dalam bahaya.
“Sebaiknya kau pulang kembali ke tempat bermalammu, wisatawan. Kau beruntung, kami tidak menghabisi kalian semua malam ini juga.”
“LEPASKAN PEDRO!!” Allary berseru, lantas loncat ke depan. Dia meniru gaya Felix, menerkam bak seekor jaguar. Hanya saja, Allary memang tidak punya kemampuan bertarung. Dengan mudah, Eder memukulnya hingga terpelanting.
“Tak kusangka orang seperti kau punya nyali membuntuti kami. Bertarung saja kau tidak bisa.” Paman Beto tertawa, mengejek.
“Ya, tubuhmu itu hanya seperti ranting pohon, ranting yang kecil.” Eder ikut-ikutan.
Allary terbanting ke semak-semak. Dua lawan satu, dan dia tidak bisa berkelahi. Jelas itu bukan situasi yang menguntungkan. Tapi aku tidak boleh kalah di sini, mereka tidak boleh membawa pergi Pedro. Demikian tekad Allary dalam hati.
“Hei, ayo bangun. Kalau tidak, kami akan pergi membawa temanmu ini, dia akan membusuk di penjara.” Eder kembali bersuara.
“Sudah, Eder. Jangan kau berteriak-teriak lagi. Nanti kau malah membangunkan biusku atau malah membangunkan teman-temannya yang lain.”
“Eh baik, maafkan aku, Paman. Lalu bagaimana kita sekarang, dia mau kita apakan?” Eder bertanya lagi. Dan di saat itulah dia lengah. Allary melempar sesuatu.
BUUUUUKKK! Tepat sasaran. Allary mengincar senter. Benda itu terpental terkena lemparan ranting pohon. Terkaget-kaget Eder. Belum hilang kagetnya, giliran Paman Eder pula yang kena timpuk.
“ADUUHHHH!!”
Allary kini dapat momentumnya. Dua lemparan rantingnya kena tepat sasaran. Sebelum Eder sempat memungut senternya lagi, Allary sudah menerjang ke depan, dalam gelap.
BUKKKKKK!!!!
Tanpa ampun, Allary memukul kepala Eder menggunakan batang pohon kecil yang seukuran pergelangan tangan. Tak sia-sia tadi dia terlempar ke semak. Bisa mendapatkan amunisi untuk bertarung dalam gelap.
“Berhenti kau, wisatawan,” tegur suara Paman Beto. Dia dan Allary kini berhadapan dalam gelap. Allary kenal suara barusan, itu suara kokangan pistol. Jadi Paman Beto bersenjata.
“Aku bisa melihatmu dalam gelap. Berhenti dan jatuhkan senjatamu. Menyerahlah.”
Allary tidak mendengar. Sayangnya, ancaman Paman Beto itu tidak setepat situasinya. Mata tua orang itu tidak awas melihat dalam gelap dan Allary tahu itu. Batang kayunya memukul ke arah tangan yang mengokang pistol. Senjata api itu terlempar juga.
“Siala...”
BUKKKKK!!!!
Sebelum Paman Beto sempat menyelesaikan kalimatnya, Allary lebih dulu memukulkan senjata miliknya. Paman Beto roboh ke tanah. Malam itu, Allary masih beruntung.
52
Mereka Pergi, Felix
Pagi hari menjelang. Di tempat kemarin rombongan Allary bermalam, kini hanya ada Felix dan Vivi.
Mulanya Vivi hanya menggeliat-geliat tanpa beban. Mengumpulkan kesadarannya untuk menempuh hari yang baru. Felix juga, malah sesekali kembali berbaring di sleeping bag, tidur-tidur ayam. Masih mengantuk.
Vivi baru berseru panik, tertahan, ketika mengarahkan pandangan ke sleeping bag Allary dan tempat yang malam tadi ditiduri oleh Pedro. Heran sekali, kemana sleeping bag Pedro? Dan kenapa sleeping bag Allary terbuka lebar, seolah ditinggal secara terburu-buru.
Bergegas Vivi membangunkan Felix, meski agak canggung, mereka tinggal berdua di tempat itu.
“Felix, coba kau lihat, apa yang terjadi dengan mereka? Kemana Allary dan Pedro?”
Bergegas Felix bangun begitu menyadari sesuatu telah terjadi. Mereka mendekat, memeriksa sleeping bag Allary.
“Apakah dia sedang pergi buang air?” Vivi langsung mengucapkan kemungkinan, tapi itu hanya untuk menghibur hatinya, dia khawatir, terjadi sesuatu yang buruk.
Felix berlutut, memeriksa resleting sleeping bag. Lalu serupa seorang detektif, Felix mengamati sleeping bag itu dengan saksama, sampai per-inchi-nya.
“Allary kemungkinan besar meninggalkan sleeping bag ini dalam keadaan yang tergesa-gesa. Tambahkan sleeping bag Pedro tidak ada di tempat, kurasa sesuatu yang buruk memang telah terjadi, tadi malam.” Felix membacakan hasil penyelidikan singkatnya.
“Tidak adakah kemungkinan lain yang lebih masuk akal, Felix? Misalnya Pedro hanya menemani Allary BAB di suatu tempat, kemudian mereka tersesat?”
Felix menggeleng. “Hilangnya sleeping bag Pedro ini adalah sebuah keanehan, Vivi (rasanya ini adalah kali pertama, Felix memanggil nama gadis itu, dan itu benar-benar membuat Vivi merasa tidak karuan), kurasa kemungkinan macam itu kecil sekali.”
“Atau mungkin, Pedro tiba-tiba pulang ke Manaus karena urusan tertentu, dan Allary menemaninya. Kita tahu Allary orang baik bukan?” Vivi kembali membuat kemungkinan.
“Kurasa tidak juga, jika demikian, Allary pasti memberitahu kita. Dia tidak akan meninggalkan kita.”
“Atau bagaimana jika Pedro melarikan diri. Membatalkan perjalanan ini sepihak, lalu Allary mengejarnya.”
“Kurasa itu kemungkinan yang tidak mustahil, tapi masih lemah sekali.
“Lalu apa yang terjadi?”
“Aku belum tahu. Tolong kamu jangan terlalu banyak bergerak. Kamu meninggalkan jejak kaki dimana-mana. Aku harus memeriksa tempat ini. Siapa tahu ada petunjuk yang bisa membantu.”
Sekarang, Felix berlagak seperti Sherlock Holmes. Vivi menurut, memberi ruang untuk Felix beraksi. Hatinya harap-harap cemas. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Allary dan Pedro.
53
Kita Tersesat, Pedro
Kembali ke tempat Allary dan Pedro.
Allary berhasil menangani Paman Beto dan Eder, dia berhasil memastikan Pedro tidak kemana-mana. Tapi mereka belum aman. Dua penambang itu hanya pingsan, hanya sementara, apalagi mereka adalah orang-orang yang tangguh. Allary harus bergegas.
Pertama-tama, Allary memungut senter yang tadi terlempar. Mengeceknya. Ternyata masih bisa menyala. Allary segera memeriksa sekitar, termasuk mengambil senjata api yang ada di baju Eder. Bersama satu pistol yang dijatuhkan oleh Paman Beto, sekarang Allary punya dua senjata.
Tapi itu tak cukup, Allary tahu itu. Dia menggeledah tas butut milik Paman Beto, mencari sesuatu yang bisa membahayakan dirinya jika mereka melawan. Dia harus melucuti semuanya. Di saat Allary menggeledah tas butut milik Paman Beto, dia menemukan sesuatu yang berguna. Pembius.
Nah ini akan sangat berguna.
Pukul 4 pagi, setelah mengikat Paman Beto dan Eder ke sebatang pohon tua, menyumpal mulut dan mata mereka, dengan kain yang dilengkapi pembius, Allary akhirnya bisa beristirahat. Sekarang dia bisa memikirkan hal lain. Misalnya bagaimana cara kembali ke tempat semula. Felix dan Vivi pasti akan cemas jika melihat dia dan Pedro tidak ada saat bangun nanti.
Namun Allary tidak bisa kemana-mana. Meski dia punya senter, dia tidak tahu apa-apa tentang hutan ini. Pedro mungkin tahu tapi dia masih pingsan. Allary hanya bisa menunggu, bersandar di batu besar, dan akhirnya tertidur.
Pukul 6 pagi, setelah semua kejadian buruk itu, ada sesuatu yang memukul pipi Allary, pelan, sambil bersuara, “bangun Allary. Bangun.”
Allary pelan-pelan membuka matanya. Mengerjap-ngerjap. Matanya mengantuk, dia kurang tidur. Setelah beberapa saat mengumpulkan kesadaran, akhirnya dia bisa mengenali siapa orang di depannya.
“Pedro. Kau sudah sadar rupannya,” ucap Allary pelan, menguap.
“Apa yang terjadi di sini, ketua? Kenapa kita ada di tengah hutan begini? Mana Felix dan Vivi, dan kenapa malah ada dua orang penambang terikat di pohon itu?”
“Panjang sekali ceritanya, Pedro.”
“Sesuatu terjadi tadi malam?” Pedro bertanya.
“Kau diculik oleh mereka. Aku membuntuti. Beruntungnya aku masih bisa menghentikan mereka.”
“Astaga. Tapi kau tidak mendapat masalah bukan, ketua? Maksudku kau tidak sampai berkelahi bukan?”
Allary menggeleng, “tidak, Pedro. Aku berhasil membereskan mereka tanpa masalah. Hanya saja kita sekarang terpisah dari rombongan. Kita terpisah dari Felix dan Vivi.”
“Lalu bagaimana dengan dua orang yang terikat di pohon itu?”
“Biarkan saja. Karena kau sudah sadar, mari, kita harus bergegas. Aku kira Felix dan Vivi sudah bangun. Mereka pasti cemas.” Allary berdiri. Badannya sudah bugar sepenuhnya.
“Mari ketua. Oh ya, terima kasih sudah menyelamatkan aku.”
“Tidak masalah, Pedro. Silakan, kau tunjukkan jalannya.”
Pedro menyernit. “Apa yang kau pikirkan, ketua. Tadi malam aku rasa aku pingsan dibius. Mana aku tahu jalannya. Bukankah seharusnya kau yang tahu, kau yang membuntuti mereka.”
Allary menelan ludah. “Tunggu, kau tidak hafal rute hutan di sebelah sini?”
“Aku tidak tahu, ketua. Aku hanya hafal rute yang sering kulewati. Dan bagian hutan sebelah sini, sama sekali asing. Apalagi tidak ada sungai. Jangan bilang kau tidak ingat rutenya, ketua.”
Allary menggeleng. “Celaka, Pedro. Kalau begitu artinya kita sudah tersesat.”
Tanpa disadari siapapun, meski rencana penculikan Pedro gagal, Bos tambang secara tidak langsung, tetap berhasil memisahkan rombongan Allary jadi dua bagian.
54
Detektif Felix Holmes
Lima belas menit, Felix membungkuk, merangkak, terkadang mencolek tanah, terkadang dia mengepalkan tangan, beberapa kali dia seolah mengukur jejak dengan menggunakan tangannya. Lima belas menit berlalu, Felix menegakkan punggungnya, menghampiri Vivi yang duduk menyingkir di batu besar, di belakang tempat bermalam mereka.
“Bagaimana Felix, apa yang sudah terjadi? Kemana Allary dan Pedro? Mereka tidak meninggalkan kita berdua secara tiba-tiba bukan?” Vivi tanpa sadar bertanya, suaranya setengah terisak, cemas.
Felix memegangi dagunya sendiri, mengelus-elusnya. Seandainya ada cerutu di sini, tentu gayanya akan semakin sempurna sebagai detektif. Detektif Felix Holmes. Masih dengan gayanya yang sok, Felix membacakan kesimpulannya.
“Pertama-tama, kita harus melihat bentuk sleeping bag Allary. Kusut masai. Tidak sempat dirapikan, bahkan letak bantalnya jauh sekali dari tempat seharusnya. Bisa dipastikan, Allary bangun dari tidur, dengan keadaan tergesa-gesa. Namun kenapa dia tergesa-gesa?”
Pertanyaan itu dijawab dengan gelengan Vivi, namun tak masalah. Felix hanya sedang bertanya retoris.
“Pertanyaan ini, rasanya berhubungan dengan fakta bahwa Pedro juga menghilang. Mengingat sikap Allary yang setia kawan, dan terkadang terlampau baik dan naif. Pertanyaannya sekarang, kemana Pedro pergi?”
Sekali lagi, Vivi menggeleng.
“Pedro menghilang bersama-sama sleeping bag-nya. Itulah kata kunci untuk memahami keadaan ini. Pedro pasti pergi dengan rencana. Tidak seperti Allary. Sampai di sini, kau bisa memahami situasinya, Vivi?”
Kali ini Vivi mengangguk.
“Nah tadi aku menyelidiki dengan seksama, tempat sekitar sleeping bag Pedro tadi malam dihamparkan. Ternyata ada dua jejak kaki yang mencurigakan. Jejak kaki yang besar, dan tidak beralas kaki, aku bisa mengenalinya dari jempol salah satu orang yang kentara di atas tanah. Itu jelas bukan jejak kaki Allary, karena ukurannya lebih besar. Aku bisa menyimpulkan, bahwa tadi malam ada lebih dari dua orang yang terlibat dalam urusan ini. Dengan kata lain, ada orang lain di luar rombongan kita.”
“Apa yang mereka lakukan, Felix? Apakah mereka berniat membahayakan Pedro dan Allary?”
“Kalau soal Allary kurasa tidak. Sebab Allary keluar dengan tergesa-gesa tadi. Malah ada kemungkinan Allary mengejar orang-orang itu. Apa yang mereka lakukan? Hampir bisa kupastikan, ada yang menculik Pedro tadi malam.”
Vivi menutup mulutnya, terkejut dengan kesimpulan semacam itu. Tubuhnya gemetar. Dia cemas. Sepanjang hidupnya, Vivi sudah sangat sering berhadapan dengan situasi kecemasan. “Lalu bagaimana sekarang, Felix?”
“Kita harus mengikuti jejak mereka, mereka menuju ke arah ini. Semoga kita juga menemukan jejak kaki Allary di perjalanan nanti. Kau keberataan berjalan tanpa sarapan?”
“Sama sekali tidak, lebih cepat kita bergerak, lebih baik. Aku tidak tenang sebelum Allary dan Pedro ditemukan.”
Felix mengangguk. Mereka segera bergerak, mengikuti jejak dengan perut keroncongan.
Segera setelah mereka berjalan, Felix kembali menjelma jadi detektif Felix Holmes. Vivi segera paham untuk menjaga jarak agar tidak mengganggu proses “penyelidikan” yang Felix lakukan. Meski abal-abal, kesimpulan Felix tadi terdengar begitu meyakinkan.
Di tengah jalan, Felix akhirnya berhenti, membungkuk, memeriksa jejak kaki. Dia mengenali jejak itu. “Ini jejak kaki ketua. Aku benar, dia pasti membuntuti orang-orang yang bertelanjang kaki ini. Di sini ada tiga jejak kaki. Tidak ditemukan jejak Pedro. Apakah mereka menculik Pedro dan membopongnya.”
“Kemana mereka membawanya?”
“Aku belum tahu pasti. Semoga tidak jauh. Karena semakin jauh kita masuk ke dalam hutan, akan semakin sulit pula bagi kita untuk kembali ke tepian sungai.”
Felix dan Vivi terus berjalan. Sampai mereka tiba di lokasi perkelahian Allary tadi malam. Sementara itu, Allary dan Pedro sudah beranjak dari tempat itu. Detektif Felix Holmes hanya bisa melihat sisa-sisa perkelahian mereka.
Vivi semakin gemetar, “apa yang sebenarnya terjadi di sini, Felix?”
Felix tidak perlu ditanya. Bekas rumput yang terbakar, potongan kayu sebesar pergelangan tangan, sisa remukan benda plastik yang sepertinya senter. Tidak salah lagi, Allary dan Pedro pasti berkelahi di sini, tadi malam.
Sementara itu, dimana Paman Beto dan Eder? Mereka tidak terlihat lagi terikat di batang pohon sebagaimana keadaan mereka semula.
55
Negeri Kami yang Indah Permai
Sebenarnya antara Allary dan Pedro dengan Felix dan Vivi, dua rombongan itu, hanya terpisah sejauh setengah jam perjalanan. Saat Felix masih sok-sokan memakai kemampuan detektifnya, Allary dan Pedro sudah bergerak menerobos hutan.
“Kemana kita harus berjalan, Pedro?” Allary bertanya, agak cemas. Rimbun-rimbun daun ini, agak menakutkan bagi mereka yang tersesat.
“Aku sebenarnya juga tidak tahu, ketua. Tapi kita harus bergerak. Aku mencemaskan Felix dan Vivi. Tanpa pengetahuan dariku, mereka akan berakhir hanya dalam satu kali gigit tanaman yang salah. Hutan ini tidak punya ampun terhadap orang-orang yang tidak bisa membedakan tanaman beracun.”
Allary menelan ludah. Pedro benar, kasihan Felix dan Vivi. Apalagi tanpa dirinya. Siapa yang akan memasak untuk mereka.
Allary masih beruntung. Setidaknya dia masih bersama Pedro. Meskipun Pedro tidak mengenali rute di hutan tempat mereka berjalan sekarang, Pedro masih mengenali Amazonia secara keseluruhan. Tadi, dengan hati-hati Pedro menandai salah satu pohon besar, sebagai penanda jalur yang telah mereka lalui.
“Ini penting ketua. Penting bagi kita untuk mengecek setiap pohon besar, penting bagi kita untuk mengenali setiap bentuk semak, jalan setapak dan lainnya. Dan yang terpenting, kita harus mengenali, jalur air. Kita harus menemukan tepian sungai secepat mungkin.”
Allary hanya bisa manggut-manggut. Dia serahkan semua pekerjaan di sini pada Pedro.
“Dari tempat ini, terkadang aku merasa melihat bagian negara yang berbeda sekali dengan negara kami, ketua. Seolah bagian hutan ini adalah bagian yang terpisah. Karena ya, memang berbeda sekali.” Pedro coba berkomentar, menarik perhatian Allary agar tidak terlalu memikirkan soal anggota rombongannya yang lain. Tapi Allary tidak tertarik untuk menyahut. Dia diam saja.
“Kau tahu ketua, sekitar 100 tahun yang lalu, negara kami ini adalah negara yang sangat indah. Bak negeri dongeng. Sungai yang mengalir deras, hutan hujan seluas mata memandang, spesies hewan yang unik-unik. Sangat luar biasa. Dulu, rasio perbandingan penduduk lokal dengan hewan di Hutan Amazonia rasanya 11:1. Negara ini dikuasai satwa. Ah mengingat hal-hal semacam itu, membuatku bernostalgia. Negaraku yang indah dan permai.”
Allary terkekeh kecil. Membiarkan Pedro bernostalgia. Sementara dia berusaha meyakinkan dirinya, bahwa Felix dan Vivi baik-baik saja. Allary ahli dalam hal ini. Bukankah sebagian besar hidupnya, dia gunakan untuk meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja?
56
Serangan Kejutan dari Balik Pepohonan
Vivi membatin. Dia terduduk lemas di tanah ketika Felix menyebutkan ada kemungkinan perkelahian yang melibatkan senjata api. Vivi sangat cemas, tanpa bisa menebak-nebak, apa yang sebenarnya terjadi.
Lambat laun, Vivi mulai tergugu, air mata merembes dari mata beningnya. Dia menggigit bibir, sesenggukan.
“Ada apa, Vivi?” demi mendengar suara senggukan, Felix menoleh ke belakang. Melihat Vivi yang menangis terisak, menyapu air mata, Felix menghampirinya.
“Ada apa, Vivi? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Felix bertanya, kali ini lebih lengkap, tanpa sedikitpun nada cemas atau khawatir. Nampaknya orang Latino ini memang memiliki hati yang sedikit berbeda. Atau malah sangat berbeda.
“Allary dan Pedro. Dimana mereka sekarang, apa yang terjadi, apakah mereka baik-baik saja. Aku benar-benar takut...”
“SSSTTTT” Felix buru-buru memotong kalimat Vivi sambil meletakkan jemari di bibirnya, “kau harus tenang. Kau tidak boleh panik, jangan berspekulasi macam-macam. Itu membuatmu tidak bisa berpikir dengan jernih. Dalam kondisi seperti ini, berpikir dengan jernih, agar bisa menganalisis semua petunjuk, adalah sesuatu yang sangat berharga.”
Terkadang, detektif sok ini, ada benarnya juga.
“Tapi bagaimana jika Allary dan Pedro...”
“SSSSTTTTT” sekali lagi Felix menutup mulut Vivi. Kali ini agak kasar. Kemudian, dengan bergaya sekali, Felix berjongkok, mensejajarkan matanya dengan Vivi. “Kau tenang saja. Selama aku masih ada di sini, aku janji, aku akan berusaha menemukan mereka. Kau tenang saja.”
Mau tak mau, Vivi terpesona dengan gaya Felix yang luar biasa itu. Pria itu memang tampan bukan buatan.
Tepat di saat Vivi mulai berangsur tenang. Tepat saat Felix hendak berdiri, saat serangan itu datang. Begitu mengejutkan. Dari balik semak-semak. Seorang pria meloncat menerkam Felix. Membuat Vivi tanpa sadar menjerit.
“FEEELIIIIIX!”
Orang disebut, terjengkang, orang itu menerkam dan langsung mengunci tangan dan kaki Felix agar tidak bisa bangun melawan.
“Kau...” seru Felix tertahan. Dia mengenali siapa penyerangnya itu.
“Diam dan serahkan pisau kau, cepat!” seru orang itu, Bahasa Inggrisnya lumayan bagus. Kita juga mengenalnya. Dia adalah Paman Beto.
Ya, dua puluh menit yang lalu, Paman Beto dan Eder berhasil melepaskan diri dari ikatan yang dibuat Allary. Mereka lepas tepat saat Felix dan Vivi hendak menuju ke tempat itu. Mereka berdua memutuskan bersembunyi. Daripada membawa laporan kosong pada bos, setidaknya mereka bisa menghabisi Felix dan Vivi, demikian pemikiran Paman Beto.
Sayangnya, saat ini beliau tidak punya senjata. Jadi merebut senjata Felix adalah ide yang bagus. Akhirnya, dengan sedikit perlawanan, Paman Beto berhasil merebut belati yang tersimpan di punggung belakang pakaian Felix.
“Sialan kau.” Felix menggeram.
“Dengan pisau ini, kau akan meregang nyawa. Pisau yang sama, dengan yang kau gunakan untuk membunuh teman kami, Jonathan.” Paman Beto menyeringai.
“Tidak akan terjadi!” Felix berseru. Kemudian tahu-tahu Paman Beto terjengkang ke belakang. Pisaunya terlempar ke udara. Felix yang lepas dari pegangan Paman Beto, segera menyambar kembali pisaunya. Kali ini dia sepenuhnya siap berkelahi.
“Kau ingin melawanku dengan senjata itu? Pengecut,” ucap Paman Beto, menggertak. Tapi Felix malah menyeringai.
“Tidak masalah. Di dalam hutan ini, tidak ada pertarungan yang terhormat. Yang terpenting adalah siapa yang paling cepat memenggal kepala lawannya.”
“FEEELIIIX!” Vivi berseru demi mendengar kata kepala itu.
“Kau jaga-jaga Vivi. Larilah jika situasinya tidak menguntungkan. Jangan risau, aku bisa mengatasi keadaan ini dengan baik.”
57
Pertarungan Felix
Paman Beto bangkit, memasang kuda-kuda. Matanya nanar. Kilatan amarah dan balas dendam terpancar dari wajahnya. Dia menatap Felix dengan waspada. Musuhnya itu punya keuntungan karena memegang senjata tajam.
Sementara Felix menyeringai seram. Seperti siap membunuh kapan saja. Kejadian beberapa hari ini, benar-benar memancing jiwa iblis yang telah lama dia kubur. Hari ini, Felix menemukan kembali panggung untuk beraksi.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Felix langsung menerjang. Belati miliknya terarah ke bahu Paman Beto. Dia ingin melumpuhkan lawannya agar tidak bisa melawannya lagi. Namun Paman Beto berhasil gesit menghindar. Memukul balik Felix di perutnya. Membuat pria latin itu mengaduh kesakitan.
“Kukira kau hebat sekali dalam berkelahi, ternyata kau cepat lengah.” Paman Beto sekali lagi menyarangkan serangan. Tendangan lututnya mengarah ke wajah Felix yang sedang menunduk memegangi perut. Membuat Felix sempoyongan.
SSSSEEEETTTTT
Namun Felix ternyata bisa menahan rasa sakit akibat serangan Paman Beto, dan dia berhasil balik menyerang. Paman Beto tak sempat menghindar. Belati milik Felix mengiris pipinya. Membuat wajahnya belepotan darah. Bagi sebagian orang, pemandangan itu mengerikan, namun itu justru membangkitkan nafsu Felix untuk membunuh.
BUUKKKKK!!!
Felix melengkapi serangannya dengan menendang Paman Beto. Sekali lagi sampai terjengkang ke belakang. Felix tidak memberi ampun. Dia kembali menerjang, menerkam Paman Beto yang masih sibuk menutupi luka di pipinya, berusaha menghentikan darah yang mengalir.
“KUDAPATKAN KAU!” Felix berseru. Belatinya terhunus ke arah perut. Namun di saat yang bersamaan, tanpa diduga-duga, serangan kejutan muncul dari semak-semak. Seseorang muncul dan langsung menendang Felix. Orang itu mendapatkan timing yang pas, pisau belati di tangan Felix terlempar. Paman Beto selamat dari maut.
Orang itu adalah Eder.
“Kau jangan...”
BUKKKKKKK!!!!
“FEEEELIIIIX!”
Sebelum Felix sempat berkata-kata dan mengambil kembali pisaunya, dengan cepat Eder kembali menendangnya. Membuat pria itu terguling ke belakang, membuat Vivi berteriak tak sadar.
“Kau tidak akan selamat dari tempat ini, camkan kata-kataku,” ancam Eder. Suaranya terdengar penuh teror. Felix berusaha bangun. Matanya mencari dimana pisau tadi terlempar. Sementara itu, Eder ternyata menemukan pisaunya lebih dulu.
“Jangan berani menyentuh pisau itu!” teriak Felix. Suaranya agak parau. Dua kali kena tendang, membuat tubuhnya bereaksi. Sial, seharusnya aku lebih sering latihan fisik. Batin Felix.
“Kau kira, aku akan membiarkanmu memegang pisau ini lebih dulu? Tidak,” sahut Eder, “aku akan membuatmu merasakan tajamnya pisaumu sendiri. Pisau yang telah membunuh Jonathan dan melukai Paman Beto.”
“Kau pikir, kau sendirian bisa mengalahkan aku? Salah besar.” Felix susah payah berusaha bangkit, berdiri. Setelah beberapa kali tarikan nafas, akhirnya dia siap bertarung lagi. Felix meloncat ke depan, menerkam Eder. Matanya awas mengamati pergerakan pisau. Dia harus mengambil benda itu dari lawannya cepat-cepat.
HAPPPP!
Felix berhasil menangkap tangan Eder yang memegang pisau. Namun itu justru membuatnya lengah. Pertahanannya terbuka. Tanpa ampun, Eder menggunakan tangan satunya untuk meninju perut Felix.
BUKKKK!!! BUKKKKK!!! BUKKKK!!!
Felix mengaduh kesakitan. Terpaksa melepas satu tangan Eder, lalu meloncat lagi ke belakang. Lawannya ini merepotkan saja. Vivi bergegas menghampirinya.
“Kamu tidak apa-apa, Felix?” tanyanya. Wajah gadis itu dipenuhi dengan kekhawatiran. Felix menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Sebentar lagi akan kubereskan dia. Kau tenang saja. Sebaiknya kau cari tempat yang aman.”
“Tapi Felix...” Vivi jeri melihat Eder yang memegang pisau, perlahan melangkah ke arah mereka. Tanpa sadar, Vivi meremas pergelangan tangan Felix.
Itu membuat Felix tersenyum, teringat sesuatu yang pernah terjadi, di masa yang silam.
“Dengarkan aku, Vivi. Kau cepat mundur. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku, tapi tenang saja. Aku tidak apa-apa. Dulu atau sekarang, aku masih petarung jalanan terbaik di Spanyol, dan bahkan salah satu yang terbaik di dunia. Kau tenang saja.”
Vivi mundur beberapa langkah.
Felix menyeringai, maju kembali. Saatnya dia mengeluarkan kekuatan penuhnya.
Felix melompat ke depan, lalu dengan teknik yang indah, kakinya bergerak cepat, menendang Eder sampai terjungkal. Gerakannya amat cepat. Pisau di tangan Eder tak sempat bereaksi. Eder tumbang. Pingsan.
“Kau bukan lawan yang cocok untukku,” ujar Felix, menatap rendah Eder yang sudah tak sadarkan diri.
Sayangnya masalah mereka belum usai.
58
Bantuan dari Budi Hari Lampau
Satu pertanyaan yang diabaikan Felix lantaran nafsu berkelahinya sangat besar. Satu pertanyaan yang bisa menjadi kunci pertarungan ini.
Kemana Eder dalam beberapa menit saat Felix menghadapi Paman Beto. Bukankah mereka terikat bersama, kenapa Eder tidak muncul saat Felix melukai Paman Beto yang sekarang pingsan juga Itulah pertanyaan yang luput detektif Felix Holmes perhatikan. Tanda kalau dia memang detektif amatiran.
Eder terlambat datang, karena dia memanggil teman-temannya datang. Bala bantuan. Itulah yang harus dihadapi Felix sekarang.
Tepat setelah mereka berdua berhasil melepaskan diri dari ikatan Allary, Paman Beto dan Eder segera berunding, mengatur taktik. Tidak lama setelah itu, mereka berdua melihat Felix dan Vivi berjalan menuju tempat mereka bersembunyi.
Paman Beto segera mengenali Felix sebagai orang yang telah membunuh Jonathan. Orang yang jago berkelahi. Sadar pertarungan bisa berlangsung sengit, Paman Beto menyuruh Eder untuk mengontak teman-temannya, mencari bantuan. Dan sekarang, bala bantuan yang dipanggil Eder bermunculan di hadapan Felix. Jumlah mereka tiga orang, dan mereka membawa senjata. Salah satunya memegang pistol.
Felix kini berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Dia segera berhitung dengan taktik meloloskan diri. Musuh yang membawa senjata api, selalu yang paling merepotkan. Felix mendekat ke Eder yang telah pingsan, kemudian menempelkan belati persis di urat nadi lehernya.
“Kalian semua, jangan ada yang bergerak! Kalau tidak, kujamin darah akan muncrat dari leher teman kalian ini.” Felix coba mengancam.
DORRRR!
“KYYYAAAAAA!!!!”
Bunyi letusan pistol terdengar membelah hutan. Orang di depan Felix, si penambang nampak tidak ragu menembak, ke arah Vivi. Sayang sekali, Felix keliru. Ini bukan film layar lebar dimana musuhmu akan mengalah demi menyelamatkan nyawa temannya. Para penambang itu tampak tidak punya budi.
“Lakukan saja kalau kau berani. Tapi sebagai gantinya, temanmu itu akan merasakan dua sampai tiga timah panas sebelum dia meregang nyawa,” balas orang yang memegang pistol, mengancam Felix. Membuat mister Latino berdecak.
“Kami bisa saja mengorbankan Eder. Kami punya banyak penambang sebagai gantinya. Tapi sepertinya kau tidak punya siapa-siapa lagi jika teman wanitamu itu, kami habisi,” sambung temannya.
“FEEELIIIIX!” Vivi menjerit. Suaranya terdengar takut. Bagaimana tidak, moncong pistol mengarah ke arahnya. Siap melunaskan nyawanya kapan saja.
Felix berdecak. Dia terpaksa menurunkan tensi. Dia berdiri, menjauhkan pisau dari leher Eder yang tidak berdaya. “Tolong jangan sakiti dia. Apa yang kalian inginkan, kita bisa bicarakan dengan lebih baik.”
“Letakkan pisaumu di tanah. Cepat!” Penambang berpistol menyalak keras. Felix tidak punya pilihan, menurut.
“Sekarang angkat tangan!”
Felix menurut lagi, mengangkat tangan. Menyeringai penambang itu melihatnya. “Bagus, sekarang kau pelan-pelan berjalan mundur. Jangan buat gerakan yang mencurigakan, atau temanmu yang akan kena getahnya.”
Felix semakin berdecak. Orang-orang itu sengaja melucuti kekuatan tempurnya. Sekarang dia tidak bisa membalas serangan dengan cepat. Keadaan mulai gawat.
“Sekarang, katakan apa yang kalian inginkan,” desak Felix.
DOOOORRR!
Akhirnya bunyi pistol kembali terdengar. Penambang itu kembali menarik pelatuk. Kali ini mengarah pada Felix. Beruntungnya, pria latin itu bisa menghindar dengan cepat. Dia melompat-lompat.
“Apa yang kalian lakukan?!” tanyanya, marah.
“Inilah yang kami inginkan, membunuhmu.” Penambang itu mantap mengacungkan pistol ke arah Felix.
“Sialan,” Felix berdecak, berusaha berguling ke arah pisau yang tadi dijatuhkannya. Namun penambang itu tak kalah gesit, menembaki Felix, agar tidak berhasil mengambil senjatanya lagi.
DOOOORRR DOOOOORRR DOOOOORRRR!!
Terengah-engah Felix dibuatnya. Kali ini si penambang memberi kode agar kedua temannya untuk menyerang. Dua penambang itu mengeluarkan senjata masing-masing. Pisau berkilat-kilat tajam. Felix menelan ludah. Situasinya benar-benar genting.
Kemudian di saat-saat yang genting itulah, kejutan berikutnya datang. Saat Felix hendak bersiap melawan dengan segenap kemampuannya, muncul dua orang dari semak-semak. Dua orang yang tak kalah kekar. Kapak berayun-ayun, membuat para penambang mundur ke belakang. Dua orang yang baru bergabung itu, berdiri di depan Felix, melindunginya. Vivi menutup mulutnya, mereka adalah para penebang pohon yang tempo hari ditolong Allary.
“Siapa kalian!?” penambang yang memegang pistol berteriak ke arah dua penebang.
“Tinggalkan mereka, atau kalian akan berurusan dengan kami,” salah satu penebang pohon, yang membawa kapak, balas berseru.
“Kalian jangan bercanda, jangan ikut campur!”
“Jangan sentuh mereka.”
“Apa urusan kalian!?” penambang itu berseru lagi, dengan suara tinggi.
“Kalau kalian mau menyentuh mereka, kalian berurusan dengan kami.” Penebang pohon itu tidak gentar dengan belati. Mengeluarkan kapak. Menebar ancaman.
Para penambang merasa jeri. Melihat kapak itu, mereka sadar bukan keputusan yang bijak bagi mereka meneruskan perkelahian. Para penambang pelan-pelan mengundurkan diri. Masih menggerutu.
Felix setengah tidak mengerti. Mengapa para penebang pohon tiba-tiba muncul.
“Kau bisa berdiri Bung?” salah satu penebang pohon mengulurkan tangannya.
“Iya aku baik-baik saja. Terima kasih,” Felix patah-patah menyambut. Tidak pernah terbiasa menerima bantuan orang lain.
“Syukurlah.”
“Kenapa kalian ada di sini?”
“Temanmu, temanmu dua hari yang lalu menyelamatkan kami dari serangan caiman. Dua hari yang lalu kami tidak sempat berterima kasih. Untungnya, hari ini Tuhan memberi kami kesempatan itu.”
Sebenarnya menarik sekali mendengar dua perusak lingkungan macam para penebang pohon itu tiba-tiba membicarakan soal Tuhan. Tapi Felix masih tidak mengerti. Bila hutang budi itu untuk Allary, kenapa harus datang ke dia?
59
Malam Menjelang Bagi Allary
Allary dan Pedro terus bergerak. Bahkan mereka menunda makan siang. Demi melihat Allary yang terus gelisah, mencemaskan Felix dan Vivi, anggotanya, Pedro tidak berani menghentikan langkah. Sampailah matahari menyusup ke sisi barat. Akhirnya mereka berhenti juga untuk beristirahat.
Allary yang nampak paling kelelahan. Energinya terkuras. Terkuras habis. Padahal biasanya, saat seseorang memiliki niat yang tulus untuk menolong orang lain, energinya naik berkali-kali lipat. Nah bagi Allary sekarang, energinya yang naik berkali-kali lipat itu, juga sudah habis. Dia sampai di ambang batasnya.
“Kau tidak apa-apa, ketua?” Pedro bertanya.
“Tidak apa-apa,” Allary menjawab sambil menggeleng, dadanya naik turun, terengah-engah. “Aku hanya perlu istirahat. Kaki-kakiku mati rasa.”
“Memang sudah seharusnya kita beristirahat, ketua,” Pedro nyengir, “sudah hampir malam. Tidak bijak bila kita terus berjalan di malam hari.”
“Tapi bagaimana dengan Felix dan Vivi?”
Pedro tersenyum, “mereka akan baik-baik saja ketua. Mereka punya perbekalan, air bersih, bahkan tenda dan sleeping bag yang nyaman.”
Bila Pedro menjawab sambil tersenyum, Allary justru berdecak kesal mendengar jawaban itu. Tadi pagi Pedro sendiri yang bilang bahwa tanpa pengetahuannya, nyawa Felix dan Vivi akan lunas hanya dengan satu gigitan buah beri. Mana bisa Allary tenang.
“Kau terlihat lapar ketua,” Pedro masih bersuara dengan riang, berusaha membawa suasana yang lebih baik.
“Aku baik-baik saja, aku masih bisa berdi... Ahhh!” Allary sempat hendak mencoba berdiri lagi, sebelum dia berteriak kesakitan, memegangi lututnya, kembali duduk. Ekspresi wajahnya meringis.
“Kau sebaiknya istirahat, ketua. Semangatmu memang tinggi, tapi tubuhmu punya batasan. Buat dirimu nyaman. Aku akan mencarikan sedikit buah-buahan. Semoga di sini, masih ada makanan yang layak kita makan untuk mengisi perut.”
Pedro beranjak. Menuju ke pepohonan dan semak. Sesekali dia menengok ke dalam sungai, mungkin berharap bisa menangkap salah satu ikan. Lima belas menit kemudian, dia kembali ke tempat Allary duduk. Membawa buah-buahan kecil di dalam bajunya.
“Aku hanya bisa memetik buah-buahan kecil, ketua. Sayang sekali sungai di wilayah ini tidak termasuk habitat dan lalu lintas migrasi ikan. Kau tidak keberatan bukan, makan buah-buahan ini sebagai pengganjal perut?”
Allary menggeleng. “Tidak apa-apa. Terima kasih Pedro. Buah-buahan ini aman bukan?”
Pedro balas terkekeh. “Tentu saja ketua.”
Mereka makan-makan sejenak. Rimba Amazonia mulai menggelap. Pedro menyalakan api unggun kecil, yang cukup untuk menerangi mereka berdua. Bagi yang tidak terbiasa, bisa-bisa mati ketakutan di dalam hutan gelap semacam itu.
“Jadi malam ini kita istirahat dulu?” pelan-pelan akhirnya Allary bertanya. Dia agak jeri melihat ke dalam hutan yang gelap.
“Tentu saja ketua. Berkeliaran di dalam hutan Amazonia malam-malam adalah keputusan bodoh dan nekat. Kau tidak akan bisa memaksaku melakukannya.”
“Apakah ini berhubungan dengan raungan Amazonia yang menyeramkan itu?” Allary bertanya, suaranya dilirihkan.
“Bukan, bukan itu maksudku, Ketua. Aku tidak takut dengan suara raungan Amazonia itu. Aku segan dengannya. Maksudku adalah Hutan ini amat berbahaya. Siang hari saja, kita bisa tersesat. Apalagi malam hari yang gelap. Belum menghitung keberadaan makhluk-makhluk nokturnalnya. Tidak, aku tidak akan mau melakukannya.”
Terpaksa Allary mengalah, tidak memaksakan perjalanan dilakukan malam ini.
60
Kembali, Mencari, dan Menyusur Sungai
Kita kembali ke tempat Vivi, Felix dan para penebang pohon yang telah menolong mereka.
“Namaku Alves,” kata salah satu penebang, yang dari kemarin memegang dan mengayunkan kapak, memperkenalkan diri.
“Ah dan aku Bruno. Maaf jika pertemuan pertama kita tempo hari, tidak menyenangkan. Tapi ada baiknya, kita lupakan apa yang sudah berlalu.”
“Baiklah,” Felix menjabat tangan mereka berdua, balas memperkenalkan diri. “Terima kasih, kalian datang tepat waktu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kami.” Bukan Felix yang berkata, tapi Vivi.
Felix justru diam saja. Tersenyum-pun tidak.
“Oh ya, dimana orang yang kemarin menolong kami? Siapa namanya?” Alves bertanya, kepalanya celingukan.
“Kami terpisah dari rombongan Allary dan Pedro. Orang yang menolong kalian kemarin, adalah ketua rombongan, Allary Azra namanya.”
Bruno dan Alves tertegun sejenak, menyadari konteks kalimat, “tunggu, apa maksud kalian dengan terpisah?”
“Para penambang itu, kemungkinan besar telah menculik Allary dan Pedro, teman-teman kami, tadi malam. Mereka punya rencana yang jahat.”
“Aku setuju denganmu, nona,” sahut Bruno, “para penambang adalah orang-orang yang nekat dan berbahaya. Sebaiknya hindarkan dari mencari masalah dengan mereka.”
“Mereka menyerangku lebih dulu,” sahut Felix, terdengar sedikit jengkel dan geram.
“Baiklah, lupakan soal itu. Masalah sudah selesai, sekarang kalian harus mencari teman kalian itu. Jangan sampai mereka tersesat.”
“Secara teknis,” sahut Felix, “Ketua bersama Pedro, orang lokal. Mereka tidak akan tersesat. Aku justru khawatir, kamilah yang tersesat.”
Bruno dan Alves berpandangan sejenak.
“Baiklah. Hari sudah siang. Kami harus pergi, kami tidak bisa membantu kalian menemukan teman kalian itu, namun ada satu nasehat gratis untuk kalian.”
“Apa itu?”
“Ikuti arus sungai. Itu adalah satu-satunya cara untuk berjalan dengan aman di hutan ini. Tanpa melihat ke arah sungai, kalian pasti tersesat. Hutan tidak punya patokan yang bagus.”
“Masalahnya, kami sudah jauh sekali dari sungai.” Vivi menyahuti.
“Baiklah, kalau begitu, jika kalian mau, kalian bisa ikut dengan kami. Sungai ada di arah perjalanan pulang kami. Setelah itu terserah kalian.”
Giliran Vivi dan Felix yang berpandangan. Rasanya mereka tidak punya pilihan lain lagi.
61
Mantan Narapidana
Bruno dan Alves, para penebang pohon, menepati kata-kata mereka. Felix dan Vivi diantar sampai ke tepi sungai kecil, cabang sungai Amazonia. Felix memutuskan untuk mengikuti sungai itu ke arah kanan, sementara Bruno dan Alves ke kiri, pulang. Mereka berpisah di sana.
Matahari sudah tergelincir ke sisi barat, sisi yang mereka tuju sekarang. Berada di tengah hutan yang dijuluki Neraka Hijau, Felix dan Vivi sama sekali tidak tahu ada dimana mereka sekarang. Kondisinya tidak lebih baik ketimbang sebelumnya. Ditambah sekarang, Felix mulai merasakan dampak pertarungannya tadi. Beberapa kali, langkah kakinya terpincang, punggungnya berdenyut, begitu juga kepalanya.
“Kamu tidak apa-apa?” Vivi yang berjalan di belakang, memperhatikan Felix.
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit sakit di kaki. Tidak ada masalah. Aku masih bisa berjalan.”
“Bisa kita berhenti sejenak. Mungkin sakitmu perlu kuperiksa. Aku bawa minyak gosok. Jangan sampai sakitnya tambah parah.”
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih. Sebaiknya kita lanjut berjalan.”
Nada suara Felix barusan, terdengar lebih ketus. Beda dengan sebelumnya. Entah kemana jiwa detektif Felix Holmes-nya.
Mereka berjalan lagi. Hanya beberapa belas langkah, Felix terlihat semakin kesusahan berjalan. Mungkin karena sudah lama tidak berkelahi, tubuhnya tidak lagi setangguh dulu, saat masa-masa keemasannya di Spanyol belum habis.
“Sebaiknya aku periksa dulu kakimu itu,” Vivi kembali menawarkan. Dan kali ini, Felix tidak punya pilihan lain. Kakinya memang bertambah sakit saat dipaksakan berjalan. Mereka mencari tempat duduk. Sebatang pohon yang tumbang.
Felix menyingkap celananya, hingga ke lutut. Area tulang keringnya tampak membiru. Memar. Vivi meringis hanya dengan melihatnya.
“Astaga, ini serius, Felix. Untung saja tidak kau paksakan lagi. Sebentar,” Vivi merogoh tasnya. Sebagai satu-satunya wanita di rombongan, terkadang dia merasa harus membawa kotak P3K.
Vivi mengeluarkan semacam minyak gosok, semacam balsem yang kemungkinan dibawanya dari rumah di Pahadaru, dengan hati-hati dia mengoleskannya ke area memar di kaki Felix.
“Tahan sebentar ya,” Vivi menegur Felix yang sedikit meringis. Namun karena ketelatenan Vivi, proses itu tidak menyakitkan.
“Terima kasih,” ucap Felix pendek setelah proses pengobatan selesai.
“Sama-sama.” Vivi tersenyum menjawab. Satu, riang karena bisa membantu meringankan sakitnya, dua, riang karena diberi ucapan terima kasih oleh Felix.
“Sejak kapan, kau membawa kotak itu?” Felix tiba-tiba bertanya, membuat Vivi terkejut.
“Eh apanya?”
“Kotak berisi obat-obatan itu.”
“Oh ini,” Vivi menunjuk ke kotak P3K, “kubawa dari rumahku di Pahadaru. Saat pertama kali datang ke Indonesia, membujuk Allary. Siapa tahu berguna, dan ternyata, memang berguna.” Vivi masih nyengir.
“Maaf, tak kusangka ketangguhan tubuhku, menurun.”
“Eh tidak apa-apa. Siapapun tidak akan baik-baik saja, setelah menghadapi lima orang bersenjata, yang siap membunuhmu.”
“Dulu aku lebih tangguh,” ujar Felix lagi, kali ini dengan suara lirih. Seperti sebuah penyesalan.
“Maksudmu?”
“Seperti yang kubilang, dulu di Spanyol, aku adalah seorang petarung. Petarung jalanan yang terbaik.”
“Kamu suka berkelahi?” tanya Vivi, memastikan.
“Ya, aku bahkan pernah masuk penjara.”
“Astaga, Felix, sungguh tak kusangka.” Vivi menutup mulutnya. Hari itu, satu kepingan masa lalu Felix, terungkap.
62
Serangan Binatang Buas Pt. 1
Dinihari keenam di rimba Amazonia.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana Allary dan Pedro mencoba tidur tanpa perlengkapan tidur yang memadai di tengah-tengah hutan yang gelap. Untunglah baik Allary maupun Pedro memiliki ketangguhan di atas rata-rata. Terutama ketangguhan untuk bertahan dari serangan nyamuk-nyamuk.
Namun sebenarnya skala mengganggu dari nyamuk-nyamuk itu bukan apa-apa dibanding apa yang akan mereka hadapi ke depannya.
Lima hari belakangan, Allary dan Pedro (dan juga rombongannya) belum merasakan Hutan Amazonia yang sebenarnya. Bagi Allary, dia hanya berhadapan dengan seekor caiman, para penebang pohon yang membawa kapak, dan para penambang yang kurang akal sehat.
Apa yang Allary hadapi selama lima hari belakangan, hanya sebagian kecil dari Hutan Amazonia. Semua baru dimulai di hari keenam ini.
Pukul 2 pagi, saat suara langkah kaki itu mendekat ke arah mereka. Allary yang masih tidur-tidur ayam, sehabis menggaruk tubuhnya yang digigit nyamuk-nyamuk nakal, genap mendengar suara itu. Geraman pelan menyebar di antara semak-semak.
Buru-buru Allary membangunkan Pedro. Sialnya, Pedro baru saja masuk ke mode tidur nyenyak. Susah sekali Allary membangunkannya. Diguncang-guncang tubuhnya, Pedro tidak bergeming.
Sialan, Allary membatin.
Allary harus menghadapi penampakan itu sendirian. Api unggun yang tadi di awal malam, dinyalakan Pedro masih ada sedikit nyalanya, cukup untuk Allary mengenali siapa yang datang. Sang penguasa hutan. Hewan berkaki empat, bergigi tajam, memiliki raungan yang bisa menggetarkan mental siapapun. Hewan itu pasti habis berburu, ingin kembali ke sarangnya. Namun ia tidak akan keberatan jika ada menu penutup terhidang empuk di hadapannya.
Itu seekor jaguar Amazonia sepanjang 2 meter. Salah satu jaguar terbesar yang pernah hidup. Sang penguasa hutan. Dia menggeram, menandakan kekuasaannya. Allary gemetar. Rasanya ini adalah penampakan paling mengerikan yang pernah dia lihat, setelah dulu menemukan Raksasa Hi’um di lereng utara Pahadaru.
Jaguar itu memperlihatkan barisan giginya yang tajam. Siaga menyerang. Allary menelan ludah. Dia tidak boleh mengeluarkan gerakan yang mencurigakan. Kalau tidak, dia bisa tamat dalam sekali serang. Allary coba menengok ke arah Pedro.
Sial dia tidur nyenyak sekali.
“RRRRRRR”
Allary berdecak. Berhitung dengan keadaan. Dia tidak boleh menyerang hewan ini. Dia sudah janji dengan Pedro untuk tidak melukai binatang lagi. Tapi rasanya ini adalah situasi yang genting. Pedro tidak bangun pula.
Allary meraba pinggangnya. Ada pistol milik Eder yang tadi malam dia pungut. Tembakan timah panas seharusnya bisa menghentikan hewan buas itu, tapi....
“RRRRR!”
Jaguar itu tidak mengambil tempo, ia langsung berlari menerjang ke depan. Tepat ke arah Allary. Ketua rombongan yang tangguh itu, tidak bisa menghindar lagi. Cakar jaguar menancap ke bahunya. Tinggal sepersekian detik lagi sebelum gigitan kucing dengan rahang terkuat itu, menembus lehernya.
“TOLONG AKU PEDRO!!!!”
Allary berteriak, dan tak sengaja menekan pelatuk pistol. DOOOOOR! Peluru meluncur ke atas. Jaguar itu terkejut, dan melompat ke belakang. Ke semak-semak. Allary selamat untuk sepersekian detik. Dan bunyi letusan keras itu, akhirnya membangunkan Pedro.
“ASTAGA, APA YANG KAU TEMBAK KETUA!” Pedro berseru, langsung panik. Tidak sempat memperhatikan kalau ketuanya itu sedang terbaring dengan bahu berdarah akibat cakar seekor jaguar.
“Hewan itu, hewan itu, akan datang lagi, Pedro. Kau harus berhati-hati.” Allary berkata lirih. Pedro akhirnya melihat dimana posisi ketuanya. Buru-buru dia menghampiri.
“Astaga, kau kenapa, ketua. Apa yang baru saja terjadi?!” Pedro berseru panik. Sementara Allary mulai lemas. Lukanya terus mengalir.
“Hewan itu menyerangku...” ujar Allary, semakin lirih, “tapi aku tidak melawan, aku berani bersumpah. Tembakan yang baru kulepas, tidak mengenainya, aku tidak sengaja. Tembakan itu terlepas ke atas.”
“Hei, apa maksudmu, ketua. Hewan apa yang kau maksud. Hei apa yang terjadi. Kau baik-baik saja ketua. Astaga, darahnya keluar cukup banyak.”
“Pedro... awas!” Akhirnya Allary bisa bersuara dengan sempurna. Jaguar itu telah datang, menampakkan dirinya dari balik semak-semak. Pedro terkejut dengan kedatangan sang raja. Situasi mereka kini sama-sama genting.
Allary, mencoba bangun dengan sekuat tenaga, meski dengan wajah meringis menahan sakit, dia berhasil duduk. Pistol tidak terlepas dari tangannya. Sementara Pedro diam membatu.
“Pedro... apakah aku... harus menembaknya?” Allary menjulurkan pistol ke arah jaguar itu. Tangannya gemetar menahan sakit.
“Jangan,” sahut Pedro penuh penekanan, “kau sudah berjanji, untuk tidak menyerang hewan lagi di hutan ini.”
“Lalu... apa... yang... harus... kita.... lakukan?” Dari gemetar di tangan, kini suara Allary ikut gemetar. Dia berusaha keras menahan sakit. Pedro prihatin dengan kondisi ketuanya itu. Nampaknya tidak ada lagi pilihan selain itu.
63
Tidur Nyenyak, Vivi
Sementara itu, Vivi dan Felix.
Vivi beberapa kali mencoba mengajak Felix mengobrol sepanjang perjalanan mereka hari itu, tapi gagal. Felix tetap saja Felix, dingin, acuh tak acuh. Semuanya seperti siklus berulang sampai matahari hari kelima terbenam. Akhirnya Felix mengeluarkan kalimatnya selanjutnya, yaitu mengajak Vivi membuat tenda untuk mereka berdua.
“Kira-kira, apa yang akan dipikirkan Allary saat ini ya?” Vivi kembali iseng bertanya saat Felix mendirikan tenda.
“Aku tidak tahu. Apakah kau mencemaskan mereka?”
“Sangat,” Vivi mengangguk. Wajahnya jelas khawatir.
“Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan malam ini, tanpa tenda ataupun sleeping bag.”
“ASTAGA FELIX. MEREKA PASTI DALAM KEADAAN YANG BURUK SEKARANG. BAGAIMANA JIKA....”
“Kau tidak perlu terlalu mencemaskan mereka begitu.”
“Mana bisa, mereka adalah teman-temanku. Apa yang terjadi pada mereka, apapun itu, aku juga turut merasakannya.”
Terkejut Felix mendengar kalimat Vivi barusan. Itu adalah satu kalimat yang pernah dia dengar beberapa tahun silam, meski dengan redaksi yang berbeda. Felix menghela nafas. Entah mengapa, bagian-bagian masa lalunya, terus membayanginya beberapa hari ini.
Api unggun yang mereka nyalakan berkobar-kobar. Felix meneruskan pembicaraan. “Allary adalah orang yang tangguh. Dia akan bertahan. Aku yakin akan hal itu. Dimanapun mereka sekarang, mereka pasti baik-baik saja.”
“Bagaimana kamu bisa seyakin itu?”
“Bukankah kau mendengar seluruh kisah hidup Allary? Tentang bagaimana dia menghadapi semua bentuk kepahitan hidup. Aku yang mendengar sepotong-sepotong saja, bisa mengambil pelajaran dari itu semua. Apalagi kau.”
Vivi menyernit, bingung. Kisah hidup Allary? Maksudnya yang diceritakan Allary di atas Tangga Surga, di atas Puncak Dunia? Bukankah saat itu, Felix tidak hadir. Mengapa dia bisa tahu?
“Ne yang menceritakannya padaku,” kata Felix, dan itu membuat Vivi makin penasaran. Bagaimana bisa Ne tahu?
“Orang-orang Pahadaru punya kemampuan membaca pikiran orang lain. Kau tidak perlu heran dengan itu. Ah namun bukan itu intinya yang ingin kusampaikan. Maksudku adalah, dia pasti baik-baik saja. Lagipula, Tuhan akan melindungi Hamba-Nya yang senang berbuat baik macam Allary.”
Lucu sekali melihat Felix tiba-tiba banyak bicara. Vivi memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan tentang itu. Dia lapar, dan tidak ada apa-apa yang bisa dimakan di sini. Sekali lagi, dia iseng bertanya pada Felix. “Kamu lapar?”
“Tidak terlalu. Kau?”
“Sejujurnya ya,” sahut Vivi, bingung antara riang atau memelas.
Felix merogoh tas Allary. Membukanya, tanpa sungkan. Vivi makin heran. Sebelum dia bertanya iseng lagi, Felix sudah menjawab, “aku melihat ketua menyimpan martabak tadi pagi. Mungkin masih ada sisanya untuk kita.”
“Baiklah.”
Vivi memutuskan untuk tidak berkomentar. Termasuk soal menyarankan untuk memakan buah-buahan hutan. Mereka mengambil langkah yang cukup bijak.
Setelah beberapa kali coba mengacak-acak isi tas ketuanya yang harus diakui, banyak juga, akhirnya Felix menemukan apa yang dia cari. Dimasukkan Allary ke dalam toples kecil. Tepat di dasar tasnya. Sayangnya, hanya sepotong martabak yang ada. Vivi tersenyum masam.
“Kau mau memakannya?” tawar Felix.
“Bagilah. Kita bisa memakan separuh-separuh. Lebih aman daripada kita makan buah-buahan yang tidak kita ketahui, namanya.”
“Kau saja yang makan,” ujar Felix, kali ini diiringi dengan penekanan, “aku tidak lapar, dan kau butuh makan untuk bisa tidur nyenyak malam ini.”
“Kamu serius?”
“Ya, makan saja.”
Malam itu juga, meski masih diiringi dengan sikap cuek dan dinginnya, Felix memulai sebuah kisah baru dengan Selvi Anatasha.
64
Suara dari Segala Penjuru
Pukul 3 pagi. Di tempat Allary dan Pedro. Setelah setengah jam penuh kepanikan, Allary yang sempat pingsan, akhirnya Pedro berhasil memulihkan ketua rombongan mereka itu. Luka di bahu Allary telah berhasil dibebat. Bahkan Pedro menaburkan remukan dedaunan untuk pereda nyeri. Dia tahu tanaman obat yang bisa dipakai.
Lalu bagaimana Pedro mengusir jaguar itu, sang raja hutan?
Ah itu agak dramatis, mistis dan susah untuk dipercaya.
Jadi, ketika hewan buas itu hendak menyerang mereka berdua, tepat sebelum Allary sempurna hendak menembak, Pedro menarik sesuatu dari dalam bajunya. Jimat yang kemarin dia gunakan untuk mengusir caiman. Sekali lagi, jimat itu manjur. Jaguar itu pergi.
Sekarang tinggallah mereka, pukul tiga pagi, di tengah hutan yang gelap dan bernyamuk. Setelah melewati semua pergumulan hidup dan mati dengan seekor jaguar, Allary tidak lagi mengantuk. Begitu juga dengan Pedro.
“Kau tidak berniat tidur, ketua?”
Allary menggeleng. “Kurasa tidak, Pedro. Suasana di sini, sangat menakutkan. Aku merasa akan ada sesuatu yang melompat dan menerkam kita kapan saja.”
“Wajar saja ketua,” Pedro manggut-manggut, “kita habis menghadapi seekor jaguar. Sang raja. Wajar jika kau khawatir. Tapi kau tidak perlu khawatir. Jaguar itu tidak akan datang lagi. Aku jamin.”
“Sebenarnya terbuat dari apa jimatmu itu, Pedro. Terlihat sakti sekali.”
Pedro tersenyum misterius. “Hal itu tidak boleh aku beritahu, ketua.”
Sementara di tempat lain, Felix dan Vivi melewati malam yang cukup nyaman dengan tenda. Meski berkali-kali dibujuk oleh Vivi, Felix tetap bersikeras untuk tidur di sleeping bag saja, di luar tenda. Sekalian berjaga, katanya. Alhasil, Vivi tidur sendirian, dalam tenda yang cukup luas.
Sayangnya, meski tempat tidurnya nyaman, malam itu adalah malam yang panjang bagi Vivi. Dia bermimpi buruk. Beberapa kali. Dia merasa seolah Allary berteriak meminta tolong padanya. Beberapa kali juga dia coba menenangkan dirinya, meyakini bahwa itu hanya bagian dari kekhawatirannya saja.
Lewat tengah malam, rasa gelisah Vivi semakin menjadi-jadi. Kali ini, setiap dia coba duduk, dia seolah mendengar suara-suara dari segala penjuru. Suara Allary, meminta tolong.
VIVI TOLONGGGG AKUUUU!!!
Vivi mencoba menutup telinga, seolah mencegah suara itu masuk, tapi sia-sia. Suara itu menembus kesadarannya. Itu seolah-olah suara yang datang dari dimensi yang berbeda.
Lewat tengah malam, Vivi tidak tahan lagi. Akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan Felix. Dia perlu partner mengatasi kegilaan ini.
65
Titanoboa Belum Punah?
“Kurasa aku tidak bisa tidur lagi, Pedro.” Allary bersandar, menatap langit, menghela nafasnya yang berat. Bahunya masih terasa berdenyut-denyut.
“Kau sudah mengatakan itu beberapa kali, ketua.” Pedro terkekeh, sambil menambahkan kayu ke tumpukan api unggun mereka.
“Maaf aku harus mengatakannya, tapi aku harap kau juga tidak tidur, suasana di sini benar-benar menakutkan.”
“Kau jug sudah mengatakan soal suasana itu, beberapa kali.”
Allary tafsirkan jawaban itu sebagai “ya”. Dia mulai bicara.
“Pedro, seberapa besar hutan ini?”
“Eh,” Pedro agak terkejut dengan pertanyaan itu, “bukankah kau sudah membaca semuanya di perpustakaan nasional. Rasanya aku juga pernah menyebutkan soal luas hutan ini beberapa hari yang lalu. Astaga, kau tidak linglung bukan, ketua?”
Allary kali ini bisa tertawa. “Aku serius, Pedro. Kadang dalam kegelapan malam semacam ini, semua yang telah diukur oleh sejarah dunia, bisa berubah. Semua menjadi tidak relevan. Aku yakin, luas hutan ini dibawah kegelapan malam, jauh lebih luas daripada yang diketahui manusia kebanyakan.”
“Kau percaya hal semacam itu, ketua?” Pedro mendekatkan wajahnya, berbisik.
“Kau boleh menganggapku demikian.”
“Kau benar ketua. Hutan ini adalah salah satu tempat paling misterius di dunia. Ada banyak sekali rahasia yang disimpan di dalamnya.”
“Dan kurasa jimat yang kau pakai itu, salah satunya.”
“Astaga ketua, bagaimana kau bisa menebak sejauh itu? Jangan mengada-ada. Ini hanya kalung biasa. Hanya kebetulan bagaimana aku bisa mengusir hewan-hewan buas itu.”
“Enam bulan yang lalu, Pedro. Seperti yang kubilang, aku melihat jejak Raksasa Hi’um, makhluk penguasa Pegunungan Pahadaru. Guide-ku saat itu, Turguy Amartey, punya kaitan khusus dengan makhluk mistis itu. Setelah melihatmu memakai jimat ajaib itu untuk mengusir jaguar, aku kira kau juga punya hal-hal serupa.”
Akhirnya Pedro mengalah. Kembali menarik jimat dan kalungnya dari dalam baju. Dia letakkan jimat kecil itu di telapak tangannya, didekatkannya ke perapian agar Allary bisa melihat lebih dekat.
“Kau benar, ketua. Ini sesuatu yang amat penting dan bersejarah untukku. Kau boleh saja bisa menebak kesaktian benda ini. Tapi kau tidak akan bisa menebak apa isinya.”
“Kuakui, itu memang tidak mungkin kutebak.”
“Di dalam bungkusan kain kecil itu, terdapat sesuatu yang amat dikeramatkan di Hutan ini. Sesuatu yang pasti tidak akan dipercaya oleh para ilmuwan. Aku menyimpan sisik ular terbesar dalam sejarah dunia. Ular yang melegenda di hutan ini. Titanoboa.”
Allary terkesiap mendengar kalimat itu. Di atas fakta bahwa dia baru saja menggunakan teknik yang sering dipakai Andalas dulu untuk membongkar rahasianya, kalimat Pedro tentang Titanoboa itu tetap mengejutkan.
“Bagaimana kau bisa menemukan sisik ular yang melegenda itu?”
“Kalau yang itu, aku benar-benar tidak boleh menceritakannya, ketua.”
“Apakah itu semacam jimat sakti peninggalan leluhurmu?” tanya Allary lagi, mengingat dulu, Turguy juga memelihara jimat sakti yang terbuat dari potongan jari Raksasa Hi’um.
“Bukan ketua,” Pedro pelan-pelan membuka bungkusan hitam kecil pembungkus jimatnya, mengeluarkan isinya, gemetar tangannya meletakkan sisik seukuran kuku jempol tangan orang dewasa itu ke telapak tangannya. “Jimat ini hanya milikku sendiri. Bukan milik siapapun, dan tidak disucikan oleh siapapun.”
Allary penasaran, berusaha melihat potongan sisik berwarna hitam pekat itu dari dekat. Benda yang sangat historis dan mistis. Bagaimana bisa Pedro memilikinya?
“Aku menemukannya ketua, saat aku masih berusia belasan tahun, saat iseng menjelajahi hutan, tersesat ke bagian yang paling dalam. Ya, aku masih sangat ingat soal itu.”
Semakin terkejut Allary. “Kau menemukannya? Apakah itu artinya...” bergetar ujung kalimatnya itu.
“Benar sekali,” Pedro menganggukkan kepala, “ular raksasa itu nampaknya belum sepenuhnya punah. Dia masih ada di hutan ini. Tersembunyi di suatu tempat. Menunggu seseorang untuk menemukannya.”
“Kau yakin ini benar-benar sisik Titanoboa, Pedro? Bukan sisik anaconda berwarna hitam?” Allary memastikan. Sedikit banyak dia skeptis. Hantu boleh dipercaya, bisa muncul kapan saja, tapi hewan yang katanya sudah punah, itu agak tidak masuk akal.
“Nanti kau akan menemukan perbedaannya kalau melihat langsung potongan sisik anaconda, ketua. Kita akan lihat di perjalanan nanti, bagaimana bentuk sisik anaconda.”
66
Legenda Ular Besar
Allary membenarkan posisi duduknya. Pembicaraan dinihari ini menjadi semakin menarik. “Jadi ular Titanoboa itu benar-benar masih hidup?”
“Jika kau mau mempercayainya, maka akan kujawab, ya, ular itu masih hidup, hidup sebagai sebuah legenda di hutan ini.”
“Itu berarti kau punya satu atau dua kisah mengenai ular ini.”
“Tentu.”
“Ceritakan padaku, Pedro,” pinta Allary.
“Kau tidak akan memercayainya.”
“Ceritakan saja dulu. Anggaplah sedikit selingan sambil menunggu pagi datang. Jangan khawatir, Pedro, aku sudah beberapa kali mendengar cerita yang muskil, namun aku selalu mempercayainya.”
Baiklah, Pedro terbujuk, memilih untuk bercerita. Memunculkan kembali kisah-kisah lawas yang pernah dialaminya.
“Aku harus kembali ke hari pertama aku tiba di Manaus, sekitar 6 tahun yang lalu. Ya, aku dan istriku, kami baru menikah saat itu, memutuskan untuk pindah ke Manaus karena tuntutan pekerjaanku. Istriku senang sekali bisa pindah ke rumah di pinggir sungai yang sangat asri itu. Namun dia harus menghadapi beberapa hal terlebih dahulu.
Pernah di suatu malam, saat kami masih beradaptasi dengan lingkungan baru, di tengah malam yang begitu sunyi, istriku terbangun, dia juga membangunkanku. Aku melihat wajahnya, dia ketakutan. Ingin kubertanya ada apa, tapi dia langsung menyuruhku diam. Istriku menyuruhku menajamkan telinga.
Aku mendengarnya. Suara kecipak air. Tapi bukan seperti suara ikan Poyara dan Perana tempo hari, suara itu lebih berisik. Karena penasaran, aku menyambar senter dan senapan anginku, pergi keluar, ke sungai untuk mengecek situasi. Istriku ikut di belakang. Kami sama penasarannya.
Ketika kami mendekat, sungai Amazonia, terlihat bergolak sangat dahsyat. Sisinya menciptakan ombak serupa di pantai. Istriku memekik tertahan, aku minta dia memegang senter, sementara aku mengokang senapan angin. Apa sebenarnya yang terjadi di sungai itu.
Meski punya senjata, aku tidak berani mendekat lebih dari radius 4 meter dari sungai. Kewaspadaanku penuh malam itu. Aku hanya akan menembak, jika makhluk itu, apapun itu, keluar dari sungai. Sebab susah menembak langsung ke dalam air. Tak lama kemudian, ombak bersisian tadi bergeser makin ke hulu. Aku bersiaga, makhluk itu, apapun itu, berenang menjauh.
Istriku terpekik. Sebelum arus itu benar-benar tenang, hewan itu menampakkan ekornya, yang hampir sebesar batang pohon. Itu jelas ekor seekor ular. Saat itulah aku menyadari bahwa kami tidak hidup sendirian di hutan ini.”
Pedro mengakhiri kisah pertamanya. Dia jelas lebih pandai bercerita ketimbang Turguy menurut Allary. Pedro lebih dramatis. Tapi cerita barusan belum bisa menjawab rasa penasaran Allary.
“Apakah kau pernah melihat wujud langsung dari ular itu. Maksudku wujud penuhnya. Sebesar apa ia?”
“Ah itu, aku punya cerita lainnya. Tentu saja aku pernah melihat langsung ular itu dengan mata kepalaku sendiri.”
“Ceritakan padaku, Pedro.”
Pedro memperbaiki posisi duduknya juga. Kembali bercerita.
“Ini ceritaku bersama sepupuku, Carlos.
Dulu, orang tuaku, kakek nenekku, serta orang-orang tua yang kutemui, sering mengulang cerita tentang sebuah tempat yang dipercaya ada di jantung Hutan Amazonia. Namanya Ngarai Ular. Katanya itu cekungan tanah menyerupai lubang, yang merupakan sarang ular. Bukan ular yang sembarangan, tapi ular yang paling besar di dunia. Ukurannya berkali-kali lipat anaconda hijau, demikian cerita orang-orang tua.
Tidak ada yang tahu pasti mengenai kebenaran tempat itu, dan tidak akan ada yang cukup konyol untuk mencari tahu. Ngarai ular menjadi sebuah tempat legenda, bersama-sama ular terbesar yang hidup di dalamnya.
Namun, aku dan Carlos, sepupuku, tergolong orang-orang yang nekat. Di saat orang-orang tua kami menceritakan cerita itu untuk menakut-nakuti anak-anak, aku dan Carlos malah antusias untuk mencari jejak sarang ular itu. Kami merencanakan ekspedisi.
Namun ekspedisi itu berakhir mengerikan. Singkat kata, kami menemukan ngarai itu, begitu dalam dan jelas nampak itu adalah sarang ular yang besar tak terkira. Terlihat dari cekungan tanah dan jejaknya yang lebarnya semeter lebih. Carlos gemetar ketika melihat semua itu. Begitu kami menemukan ngarai itu, kami bersumpah untuk melupakan tempat itu saking mengerikannya.
Di perjalanan pulang, ketika kami menyusuri Sungai Amazonia, saat itu, senja, di Kelok Madeira, makhluk itu benar-benar menampakkan keberadaannya. Di atas permukaan sungai, punggung ular itu muncul. Hitam warnanya, berkelok di antara Kelokan Madeira, diameter tubuhnya sekitar semeter lebih, panjangnya kira-kira 100 langkah kaki manusia dewasa. Bunyi sungai berkecipak dahsyat saat makhluk itu bergerak, berombak-ombak air sungai dibuatnya. Carlos pucat pasi melihatnya.”
Allary menahan nafas. Cerita yang luar biasa tentang Ular Titanoboa.
67
Kungkang Terbesar di Dunia
Kembali ke tenda Felix dan Vivi.
“Ada apa, Vivi?” Felix menguap sambil mengucek mata saat Vivi membangunkannya. Matanya mengerjap-ngerjap.
“Ehm, Felix, aku,” Vivi bersuara canggung. Aku tidak bisa tidur, itulah yang dia ingin katakan. Hanya saja Vivi agak malu mengatakannya.
“Ada apa?” ujar Felix lagi, kali ini penuh dengan penekanan. Dia agak jengkel karena tidurnya terganggu.
“Eh tidak apa-apa.”
“Kembalilah tidur, Vivi. Ini belum siang.” Selesai berucap, Felix kembali mengulet, berusaha tidur kembali. Vivi tidak mau kehilangan momentum. Kembali mengusik tidur Mister Latino itu. Membuat dia jengkel.
“Astaga, apa yang sebenarnya kau inginkan?” Felix berdecak, sudah setengah kesal.
“Hutan ini menyeramkan, aku merasa ada yang mengawasi kita, Felix. Aku tidak bisa tidur.”
“Pejamkan matamu, maka semua hal yang menakutkan, tidak akan terlihat.” Felix kembali berusaha tidur. Ucapannya yang diikuti gaya acuh tak acuh itu, sungguh mengesalkan. Vivi berdecak.
“Hei, bangunlah. Aku tidak berani di sini sendirian. Setidaknya, dengan ada teman ngobrol, di sini jadi tidak terlalu menyeramkan.”
Felix akhirnya mengalah. Dengan sedikit terpaksa, dia bangun, keluar dari sleeping bag-nya. Mendekat pada Vivi. “Nah sekarang apa yang kau inginkan.”
“Tolong nyalakan api unggunnya, Felix.”
Felix ber-puuuh pelan. Kelakukan Vivi malam ini benar-benar mengingatkannya pada seseorang yang pernah dia temui beberapa tahun silam. Hanya agar aku tidak menyesal lagi, Vivi. Hanya demi itu. Felix membatin, menyusun kayu-kayu kecil, menyalakannya.
“Terima kasih, Felix.” Vivi nyengir setelah semuanya selesai. Felix duduk di sebelahnya, di mulut tenda.
“Apa yang sebenarnya kau takutkan? Kau mencemaskan Allary lagi?” Felix tiba-tiba bertanya.
“Iya dan tidak. Sebenarnya aku merasa ada sesuatu yang mengawasi kita di hutan ini.”
“Kau hanya terlalu khawatir. Tidak perlu terlalu dipikirkan. Terkadang kita takut, oleh sesuatu yang dibuat oleh otak kita sendiri.”
Kalimat Felix malam ini, terdengar begitu meyakinkan.
“Kau terlihat tidak takut sedikitpun, Felix.”
“Kau benar. Aku tidak takut. Tidak ada yang kutakuti di dunia ini. Selama tangan dan kakiku masih bisa bergerak, aku akan menantang siapapun. Aku tidak takut.”
“Bagaimana kalau Raksasa Hi’um yang datang?” Vivi iseng bertanya. Suasana gelap dan perapian yang menyala, mengingatkannya pada cerita Turguy, enam bulan yang lalu.
“Raksasa Hi’um sekalipun.”
“Kau tidak akan berucap seyakin itu, jika makhluk itu ada di hadapanmu,” Vivi masih coba iseng.
“Sayangnya, makhluk itu tidak akan pernah sampai ke sini. Oh ya, sebenarnya di Hutan ini pun, ada makhluk mitologi yang tak kalah mengerikan, jika kau ingin tahu.”
“Oh ya?” mata Vivi membulat, penasaran. “Ceritakan padaku, Felix.”
Entahlah, malam itu, Felix benar-benar bercerita. Untuk ukuran orang yang pendiam, “bercerita” adalah sebuah kejutan yang unik. Vivi dengan sukarela mendengarkan.
“Aku mendengar cerita ini dari temanku. Ini cerita tentang makhluk bernama Granade Pregui. Kungkang Besar yang menguasai Amazonia. Makhluk itu setinggi 3 meter, dengan kuku menyerupai belati yang sangat tajam. Sekujur tubuhnya tertutupi bulu lebat berwarna hitam. Suaranya menggelegar. Semua hewan buas akan menepi ketika Kungkang besar ini muncul, memberikan jalan, kepada sang penguasa.
Kungkang ini sering mencari mangsa. Dia memangsa berang-berang, jaguar dan caiman. Tak jarang, dia memakan manusia yang ceroboh masuk ke dalam area kekuasaannya. Oleh karena itu, penduduk lokal, selalu mewanti-wanti, siapapun yang masuk ke dalam hutan, agar memperhatikan area dimana banyak tumbuhan rambat, maka sebaiknya area semacam itu dijauhi agar tidak celaka. Siapa yang tidak mengindahkan peringatan itu, harus siap dengan akibatnya.”
“Kau percaya dengan cerita itu, Felix?” pelan-pelan Vivi bertanya.
“Tentu saja tidak. Kau sendiri tahu, aku orang yang seperti apa.”
“Sialan kau, kau hanya membuat aku semakin sulit untuk tidur.”
Felix tertawa kecil mendengar kalimat decakan Vivi. Hubungan mereka berdua jadi lebih akrab.
68
Menjelajah ke Ngarai Ular
Matahari sudah memancarkan sinar di tempat Allary dan Pedro. Perapian sudah padam, mereka sekarang sedang sarapan. Pedro mencarikan buah-buahan kecil. Beruntung lagi, ada ikan yang bisa ditangkap, dengan bara api bekas perapian, Allary memanggang ikan.
“Kemana tujuan kita hari ini, ketua?” Pedro pelan-pelan bertanya.
Allary menarik nafas pelan-pelan. “Sebenarnya aku sangat berharap bisa menemukan Felix dan Vivi secepat mungkin. Tapi aku juga bingung bagaimana menemukan mereka. Hutan ini sangat luas.”
“Mari kita berdoa dan berharap ketua. Agar kita bisa menemukan mereka secepat mungkin. Aku yakin mereka juga sedang bergerak, mencari kita, cemas. Kita berempat pasti bertemu lagi jika Tuhan mengizinkan. Asal kita terus berusaha.”
Allary terkekeh. Mendengar kalimat Pedro yang religius sambil melihat pengucapnya susah payah memisahkan tulang dan daging ikan, agak lucu.
“Oh ya Pedro, apakah kau masih ingat dimana letak ngarai ular itu?”
Terperanjat Pedro mendengar pertanyaan Allary barusan. “Kenapa kau menanyakan soal itu, ketua?”
“Aku penasaran, Pedro. Hei ular terbesar sepanjang sejarah, masih bisa dilihat jejaknya. Ah jangankan aku, para wisatawan biasa sekalipun, pasti ingin melihat jejak-jejaknya itu.”
“Tempat itu berbahaya ketua. Carlos bahkan trauma masuk hutan selama berbulan-bulan setelah melihat penampakan makhluk raksasa itu.”
“Kau tidak bisa menakut-nakuti aku dengan cara itu, Pedro. Enam bulan yang lalu, kami berburu jejak Raksasa Hi’um, makhluk gaib di Gunung Sarsa. Kami bahkan nekat berjalan di malam hari, menantang dingin angin gunung. Dan akhirnya, aku berhasil menemukan makhluk itu, melihatnya dengan mataku sendiri. Kali ini pun sama, tidak ada ketakutan apapun yang bisa menghalangiku dari melihat Ular Titanoboa itu.”
Pedro menepuk dahi. Terpaksa mengalah. “Baiklah, kita akan melihat Ngarai Ular. Rasanya letaknya tidak jauh dari tempat ini. Tapi ingatlah ketua, aku sudah memperingatkanmu. Mencari Titanoboa, sama dengan menempatkan dirimu dalam bahaya. Berbeda dengan makhluk mitos yang cenderung tidak berbahaya, Titanoboa bisa menelanmu hidup-hidup.”
Allary menelan ludah. Resiko yang sepadan.
Setelah makanan habis, mereka segera bersiap-siap. Luka di bahu Allary juga sudah mendingan. Tidak ada barang yang mereka tinggalkan, karena mereka memang tidak membawa barang sama sekali. Hanya senter dan pistol yang dimiliki Allary sekarang. Itupun dia ambil dari para penambang yang menyerangnya.
Pedro menyempurnakan persiapan, kemudian mengajak Allary masuk ke dalam hutan.
Pedro dengan sigap menuntun Allary masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan. Sesekali dia berhenti, melihat ke sekeliling, sesekali terlihat ragu, tapi kemudiann kembali maju dengan wajah yang meyakinkan. Sesekali pula dia menengok semak-semak, seolah mencari detail-detail kecil yang mengandung petunjuk yang bisa membawa mereka ke Ngarai Ular.
Gerakan simultan Pedro itu, membuat Allary heran. Bagaimana bisa Pedro bisa selancar ini berjalan? Bukankah mereka sedang tersesat.
“Kau ingin jawaban masuk akal atau tidak, ketua?” Pedro balik bertanya ketika ditanya.
“Bagaimana dengan jawaban yang tidak masuk akal?”
“Aku punya koneksi dengan tempat itu, aku bisa merasa sisik ular yang ada di leherku ini, menuntunku berjalan ke tempat aslinya.”
Sepertinya Allary salah meminta jawaban, “lalu bagaimana dengan jawaban yang logis?”
“Ketua,” Pedro mendekat, membisikkan jawaban langsung ke telinga Allary, “kau harus tahu, aku dan Carlos menandai rute pencarian ngarai itu ketika kami ke sana untuk pertama kali. Karena itulah aku sesekali mengecek semak-semak.”
Terhenyak Allary, “tanda-tanda rute ya, seperti apa tandanya? Aku tidak melihat sesuatu yang mencolok sejauh ini.”
“Maaf, untuk yang satu itu, aku tidak bisa memberitahumu, ketua. Aku dan Carlos telah bersumpah untuk tidak membocorkan rute itu pada siapapun.”
“Baiklah, baiklah,” Allary memutuskan mengalah, kembali mengikuti jejak Pedro. Mereka terus berjalan sampai hari menjelang siang.
Allary memperhatikan dengan seksama topografi hutan Amazonia. Sejauh ini sungguh menakjubkan. Ada tumbuhan yang merambat sejauh mata memandang, ada pohon berdaun tunggal, dan ada pula tumbuhan dengan daun-daun sebesar perut manusia. Ah informasi dari ensiklopedia itu benar, Hutan yang tidak sepenuhnya dipetakan manusia ini, menyimpan banyak sekali spesies yang menakjubkan.
“Ketua, kita hampir sampai. Sebaiknya dari sini kau berhati-hati. Perhatikan dimana saja kakimu melangkah. Jangan sampai salah.” Pedro memberi peringatan, matahari sekarang sudah sampai di atas kepala mereka.
Area di depan mereka sekarang, ditumbuhi banyak pohon besar yang menjulang setinggi lima meter atau bahkan lebih. Allary mengenali pohon-pohon itu dari ensiklopedia yang dia baca, tapi dia lupa apa namanya. Sedangkan dari buku handbook, dia ingat bahwa tempat semacam ini, barisan pepohonan dengan daun-daun basah berguguran di bawahnya, tempat-tempat lembab, adalah habitat kesukaan ular-ular.
“Hati-hati ketua. Usahakan untuk tetap mengikuti langkahku, usahakan untuk melangkah di sekitar pohon. Jangan sampai menjauh, ingat,” Pedro kembali memperingati. Allary mengangguk. Pedro mengajaknya berbelok ke kiri sedikit, ke arah sudut yang tidak terlihat dari jalan setapak yang tadi mereka lewati.
Ternyata, di sudut yang tersembunyi oleh lebatnya semak belukar itu, ada semacam cekungan lebar di atas tanah. Cekungan itu dalamnya kira-kira 5 meter, dan luasnya kira-kira seperempat hektar. Area yang cukup luas. Seandainya diisi oleh air, tentu cekungan ini akan menjadi danau kecil. Bedanya, cekungan ini diisi dedaunan kering.
Pedro menarik Allary ke dekatnya, berjongkok di depan cekungan itu, sambil meletakkan telunjuk di depan bibir, isyarat agar jangan berisik. Kemudian Pedro berbisik pelan. Sangat pelan.
“Inilah salah satu tempat paling tersembunyi di Amazonia, sekaligus salah satu tempat paling berbahaya. Di bawah tumpukan dedaunan ini, adalah sarang dari ular terbesar di dunia, Titanoboa. Aku tidak tahu apakah kita beruntung atau sial, jika sampai lima menit ke depan, ular itu tidak menampakkan dirinya. Inilah Ngarai Ular.”
Allary menggigit bibirnya mendengarkan penjelasan itu. Inilah makna petualangan sejati yang dicarinya. Mereka berdua menunggu sekitar 15 menit, namun tidak ada tanda-tanda ular itu akan menampakkan diri. Baik Allary maupun Pedro cukup bijaksana untuk tidak mengusik keberadaannya, dan tidak perlu membahayakan diri mereka. Duduk takzim di tepi Ngarai Ular ini saja, sudah cukup eksotik nan ekstrem rasanya.
69
Ular Besar Dimana-mana
Sekitar 15 menit saja, setelah mereka tiba, Pedro segera mengajak Allary untuk meninggalkan tempat berbahaya tersebut. Allary mengangguk. “Paling tidak, aku sudah melihat tempat tersebut. Ayo kita lanjutkan perjalanan, Pedro.”
“Kemana kita selanjutnya, ketua?”
“Kau penunjuk jalannya, Pedro. Kau yang lebih tahu.”
“Kau adalah ketuanya, kau yang berhak memutuskan.” Pedro menyahut, tidak mau kalah. Kemudian mereka sama terdiam.
“Aku ingin mencari Vivi dan Felix, aku harus menemukan mereka, Pedro. Mereka boleh jadi sedang kesusahan sekarang.”
“Kalau begitu, ayo kita berangkat, ketua.” Pedro menepuk bahu Allary, penuh penghargaan.
“Eh kau tahu, bagaimana cara kita menemukan mereka?”
“Tidak, tapi kau tidak akan menemukan mereka jika hanya diam saja.”
Allary berdecak dalam hati. Lalu dia mengikuti Pedro, meninggalkan Ngarai Ular. Sebelum Ngarai itu benar-benar hilang di belokan, Allary menyapukan pandangan ke belakang, ke arah Ngarai. Allary menelan ludah sejenak. Entah kenapa, firasatnya tidak enak.
Sejujurnya, petualangan mereka dua hari ini lumayan menarik. Allary, bersama dengan Pedro, dapat merasakan bagaimana hidup selayaknya suku primitif. Makan dari buah-buahan yang matang di pohon, minum dari air sungai, dan memakan ikan yang dibakar. Tambahkan suasana hutan hujan yang eksotis, benar-benar menarik.
Karena tadi mereka melewatkan makan siang, yang pertama dicari Pedro usai meninggalkan area Ngarai Ular, adalah sungai. Mereka memang bisa memetik buah-buahan, tapi itu hanya bisa mengganjal perut beberapa saat. Tidak lama. Mereka setidaknya harus menangkap ikan agar kenyang beberapa jam. Beruntungnya, karena Pedro sudah pernah lewat di daerah ini, dia bisa mencari sungai dengan relatif cepat.
“Kita berhenti dulu di sini, ketua.”
Di depan mereka kini terbentang sungai kecil. Lebarnya beberapa meter. Pedro mengeluarkan tongkatnya (ya sedari kemarin, Pedro membuat dan membawa sebuah tongkat). Apabila tongkat itu sudah dipegang, maka artinya satu saja.
Pedro akan menangkap ikan dengan gaya beruang. Di sungai kecil yang terletak di pedalaman hutan, ikannya gemuk dan jinak, lantaran hampir tidak ada pemangsa mereka di sini. Allary bisa menceritakan detail tentang itu, andai dia tidak terlalu sibuk membuat perapian.
“Ini ikan berperut gemuk, ketua. Spesies asli dari pedalaman Hutan Amazonia.” Pedro menenteng ikan keempat yang dia tangkap siang itu. Ikan-ikan yang jinak adalah sasaran empuk untuk gaya tangkap ala beruang.
“Hei, aku tidak pernah membaca tentang ikan itu di perpustakaan.” Allary protes. Pedro tertawa, “itu karena ikan ini memang belum punya nama. Aku hanya asal mencomot namanya. Tapi benar bukan, ikan ini punya perut yang gemuk. Kurasa empat ekor saja sudah cukup untuk kita makan hari ini.”
Allary mengangkat bahu. Menyelesaikan tugasnya. Kini bara api sudah memanas. Siap untuk memasak menu ikan bakar perut gemuk mereka.
“Oh ya, Allary,” tegur Pedro, mendekat, sambil menenteng empat ekor ikan yang berhasil ditangkapnya, “tolong jangan kau apa-apakan dulu. Aku perlu memastikan apakah ikan ini beracun atau tidak. Aku akan mencari tanaman penawar dan penangkal racun. Kau kutinggal di sini sebentar ya.”
Allary mengangguk, Pedro segera masuk ke dalam hutan.
Sepeninggal Pedro, melihat tongkat milik Pedro “menganggur”, Allary tergerak untuk mencoba menangkap ikan dengan alat itu. Kemarin dia sudah coba, dan susah minta ampun. Mungkin karena di sungai yang lebih besar, ikannya juga lebih liar. Sekarang di sungai kecil ini, mungkin dia akan beruntung.
Hei, lagipula riset membuktikan bahwa memancing bisa meredakan stress. Allary meraih tongkat, melangkah menuju sungai, mencoba menangkap ikan dengan gaya beruang.
Sungai itu airnya sangat jernih. Allary dengan mudah melihat pergerakan ikan berperut gemuk itu. HAP! Dia arahkan tongkatnya ke dalam air. Dengan gerakan menombak, Allary berhasil mengenai ikan jinak itu. Menyebabkan air bergelombang sejenak. Pelan-pelan Allary mengangkat tongkatnya. Demi melihat hasil tangkapannya, Allary bersorak.
“Astaga, Pedro benar. Menangkap ikan ini benar-benar menyenangkan,” Allary menggumam sendiri.
BUMMMM BUMMM!!!
Tiba-tiba terdengar suara gedegum di air, di arah mereka tadi datang (dengan kata lain, dari arah Ngarai Ular). Suara itu demikian dahsyat, seolah sesuatu yang sangat berat, sedang dijatuhkan ke permukaan sungai. Jarak Allary dengan suara itu, kira-kira beberapa puluh langkah. Allary memang tidak bisa melihat secara langsung. Namun dari tempatnya berdiri, dia bisa merasakan sesuatu yang sedang terjadi. Sungai yang bergedegum, kemudian tiba-tiba pohon-pohon besar di seberang sana bergerak-gerak, burung-burung menyibak beterbangan ke udara. Persis seperti di film-film.
Allary terdiam mematung di tempat. Dari sini, dia bisa melihat, nun di sana, di hutan seberang sungai, samar-samar, sesuatu yang bulat, hitam dan memanjang, bergerak-gerak. Mungkinkah itu....
70
Felix, Tumbuhan Rambat Itu...
Kembali pada Vivi dan Felix. Mungkin karena lelah atau barangkali berada di dekat Felix bisa membuatnya lebih nyaman, Vivi tertidur tidak lama setelah mendengarkan cerita Felix tentang Granade Pregui. Felix sendiri ikut terlelap, sampai sinar matahari yang sempurna, menyilaukan wajah mereka.
Vivi pelan-pelan membuka mata. Menyalurkan kesadaran ke seluruh badan. Tak disangka, setelah semua kisah mengerikan itu, dia bisa tertidur. Entah kenapa tidurnya begitu nyenyak. Serupa berbaring di atas bantal yang empuk. Ketika kesadarannya benar-benar sempurna, barulah dia sadar, dimana dia tidur.
Lho, jadi aku merebahkan kepalaku di pangkuan Felix, semalaman? Astaga. Vivi cepat-cepat berdiri.
Felix ikut terbangun karena merasakan perubahan di kakinya. Dia sadar kalau tadi malam, Vivi tidur menumpang di pahanya, namun dia biarkan saja. Entah kenapa hatinya merasa iba dengan gadis itu.
“Kau baik-baik saja, Vivi?”
“Eh?” Vivi genap berbalik, menengok pada Felix, kenapa dia tiba-tiba bersikap ramah denganku?
“Kau baik-baik saja?” tanya Felix lagi. Tidak berubah sedikitpun.
Vivi mengangguk. “Ya aku baik-baik saja. Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?”
“Tidak apa-apa. Syukurlah kalau begitu.”
Setelah itu semua hening sejenak. Kukira dia ingin menunjukkan tanda-tanda atau perhatian lebih, Vivi memperingatkan dirinya agar tidak berharap yang aneh-aneh pada pria di depannya itu. Dia memutuskan mengalihkan topik.
“Pagi ini, kita makan apa?”
“Eh,” kali ini Felix yang kikuk, garuk-garuk kepala. Benar juga, mereka mau makan apa hari ini. Persediaan martabak Allary sudah habis mereka makan kemarin. Memang masih ada gulungan-gulungan tepung, tapi Felix tidak bisa memasaknya. Nampaknya hari ini mereka perlu memutar otak.
“Apakah aman bagi kita untuk mengambil buah-buahan di hutan ini?” Vivi bertanya lagi. Wajahnya menyiratkan dengan sangat, kalau dia lapar. Felix mengusap wajah. Baiklah, petualangan di hutan ini memang memaksanya mengeluarkan banyak ilmu dari masa lalunya. Termasuk soal bertahan hidup.
Ya, soal bertahan hidup, Felix pernah belajar tentang itu. Meski bukan seorang warga asli Amazonia, dia jelas punya pengetahuan yang baik tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan dimakan, serta apa yang tidak boleh dilakukan. Ya, gurunya sudah mengajarinya semua tentang hal itu.
“Kau tunggu di sini, Vivi.” Felix berdiri.
“Eh kamu mau kemana?”
“Mencari sarapan untuk kita makan pagi ini.”
“Kamu yakin bisa memilih buah-buahan yang tidak berbahaya?” Vivi jeri, teringat peringatan Pedro tentang banyaknya spesies tanaman berbahaya di hutan ini.
“Ya aku tahu. Kau tenang saja. Aku hanya pergi lima belas menit.”
“Baiklah, sementara kamu pergi, aku akan menyalakan perapian dan belajar menyuling air seperti yang dilakukan Allary.” Vivi menengok ke peralatan kecil yang digunakan Allary kemarin.
Pagi itu, Vivi dan Felix kembali menjadi tim yang saling melengkapi.
Menu makan mereka hari itu, benar-benar sederhana. Hanya buah-buahan hutan, beraneka macam bentuk dan warnanya. Felix juga menemukan beberapa jenis umbi yang aman untuk dimakan. Dia memasaknya dengan cara dipanggang di perapian. Sumber karbohidrat yang berharga. Habis makanan, mereka siap-siap berangkat.
“Kemana kita hari ini, Felix?”
“Masih seperti kemarin. Kita harus mengikuti arus sungai.”
“Sampai kemana? Kapan kita bisa menemukan Allary dan Pedro?”
Felix menggeleng, gesture, “aku tidak bisa memastikan. Yang pasti kita harus terus berusaha. Berharaplah semoga mereka, dimanapun mereka berada, mereka baik-baik saja.”
“Iya, semoga.”
Perjalanan mereka di hari kedua secara terpisah dari tim utama pun, dimulai. Mengikuti saran dari Bruno dan Alves, dua penebang pohon kemarin, sekarang baik Felix maupun Vivi, tidak berani berjalan jauh-jauh dari tepi sungai. Entah kemana sekarang, mereka berjalan dituntun oleh alam.
Sepanjang perjalanan, Vivi menyadari apa tugasnya, yaitu mengabadikan panorama indah Hutan Amazonia dengan kamera. Ada banyak makhluk menakjubkan yang mereka temui. Ada katak yang sekujur tubuhnya berwarna-warni seperti pelangi. Ada ular kecil yang gemuk berwarna ungu. Ada ikan-ikan yang bisa melompat ke udara, ada pula burung yang bisa menyelam ke dalam air untuk menangkap ikan-ikan tadi. Ada pula kuda laut berkepala badak yang nyasar ke arus sungai.
(Tidak, yang terakhir itu hanya bualan Felix. Bualan yang sebenarnya dia ucapkan dengan nada cuek, khas Felix. Namun Vivi tidak menganggap itu sebagai nada yang cuek. Itu lebih seperti Felix mencoba melucu).
Mereka terus masuk ke dalam hutan, sampai Vivi menyadari sesuatu ketika melihat lewat lensa kameranya.
“Lho, kok di sini banyak tumbuhan rambatnya, Felix,” lekas-lekas Vivi menurunkan kameranya, merapat ke arah Felix. Agak takut dengan tumbuhan rambat, yang tiba-tiba, atau baru disadarinya, ada di mana-mana di depannya.
71
Dia Mengawasi Kita
“Felix...” ini yang ketigabelas kalinya jika dihitung, Vivi memanggil nama temannya itu. Panggilan yang berturut-turut itu, sedikit banyak membuat Felix jengkel.
“Ada apa? Kenapa kau jadi terlihat ketakutan begini?”
“Kamu tidak ingat soal tanaman rambat yang kamu ceritakan sendiri tadi malam?”
“Kau mempercayainya?” Felix menimpali dengan suara yang lebih keras ketimbang suara Vivi yang terdengar lirih saja. “Aku saja tidak,” lanjutnya.
“Hei bagaimana kalau itu ternyata benar? Bagaimana kalau kita masuk ke area makhluk buas Kungkang Raksasa itu.”
Felix meminta Vivi agar tetap tenang, sambil mengingatkan bahwa jika ada sesuatu yang menghalangi jalan mereka, Felix akan menghadapinya dengan kemampuan bertarungnya.
“Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan pukulan dan tendangan, Felix. Apalagi kalau urusannya dengan makhluk buas.”
“Kalau begitu, aku punya ini,” Felix mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Pisaunya hilang diambil para penambang, tapi dia mendapat sesuatu yang bagus sebagai gantinya. Sesuatu yang membuat Vivi terperanjat.
“Dua buah pistol. Kapan kamu mengambilnya?”
“Kemarin. Sebelum Bruno dan Alves datang menyelamatkan kita, sebenarnya aku sudah siap untuk bertarung. Jangan kira gerak-gerak loncatku kemarin itu, hanya menghindar. Aku bertarung dengan strategi.”
Vivi geleng-geleng kepala. Tak menyangka temannya itu benar-benar petarung yang terlatih, sampai strategi bertarung-pun dia kuasai.
“Nah dengan dua benda ini, tidak ada yang perlu kita takuti. Fakta sejarah menunjukkan, senjata api-lah yang membuat kita bisa menjadi makhluk terkuat di planet bumi.”
“Tetap saja, Felix, kita....”
KRAAASSSSAAAAAKKKK!
Sebelum Vivi menyelesaikan kalimatnya, terdengar bunyi krasak-krusuk di pepohonan yang lebat di depan mereka. Bunyi itu diiringi dengan kawanan burung yang seketika beterbangan ke langit. Vivi terpekik kaget, Felix siaga, langsung menyambar satu buah pistolnya.
“Felix, jangan melakukan hal yang gegabah.” Vivi meminta Felix menurunkan pistolnya. Keadaan hutan kembali tenang.
“Kau tenang Vivi. Sudah kubilang, tidak ada yang perlu ditakutkan.”
“Tetap saja, apakah lebih baik kita putar arah saja ya. Tidak usah lewat di kawasan penuh tumbuhan rambat ini. Terlalu menakutkan untukku.”
“Astaga,” Felix berdecak sambil garuk-garuk kepala, “kita tidak mungkin memutar, Vivi. Itu artinya kita kembali ke titik kita semula. Tidak ada kemajuan. Bagaimana kita bisa menemukan Allary dan Pedro kalau begitu. Lagipula, kau lihat sendiri kan, tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja.”
Sebaliknya, Felix. Aku justru melihat sesuatu yang menunjukkan bahwa keadaan di sini, tidak baik-baik saja. “Kau terlihat tidak takut sedikitpun, Felix?”
“Untuk apa aku takut, ayo kita teruskan perjalanan.”
Vivi terpaksa menurut. Mengekor langkah Felix. Tak sampai 30 centimeter jarak di antara mereka. Vivi benar-benar merasa kalau perjalanan mereka di hutan hari ini, lain dari yang biasanya.
“Felix, saat mendaki Gunung Sarsa dulu, kamu juga mendengar tentang Raksasa Hi’um bukan? Apakah sekarang kau percaya dengan keberadaannya.”
“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan soal itu?”
“Darimana aku cuma diam dan takut, lebih baik kita mengobrol sambil melewati tempat ini.”
“Yahh, aku memang belum pernah bertemu langsung dengan makhluk itu, tapi Allary bilang, dia pernah melihatnya. Jadi baiklah, aku menerima kalau makhluk semacam itu, sepertinya memang ada.”
“Seandainya Raksasa itu muncul di hadapanmu, apakah kau takut?”
Felix nyengir lucu, “tentu saja tidak.”
“Kamu jangan bercanda, Felix.”
“Hei aku serius. Dengar ya, guruku dulu bilang, kau tidak perlu takut dengan hal yang tak nyata, karena ia tidak bisa menyakitimu secara nyata. Kau juga tidak perlu takut dengan hal nyata, karena kau bisa mempersiapkan cara mengatasinya, dengan nyata pula. Sekarang aku harus takut dengan apa?” Felix balik bertanya, retoris.
Mereka terus berjalan, menyusuri tumbuhan rambat yang menggantung di atas kepala mereka. Itu sebenarnya adalah tumbuhan yang amat eksotis. Buahnya sebesar kepalan tangan anak kecil, berwarna ungu, bulat, menggiurkan. Namun ketika Felix memperhatikan tumbuhan itu dengan seksama, dia jadi ragu.
“Sepertinya buah ini beracun. Kita harus mencoretnya dari menu makan siang, demi alasan keselamatan.”
KRAAASSSSAAAAAKKKK!
Sekali lagi, bunyi itu terdengar, kali ini di semak-semak dekat mereka berdiri. Demi mendengar itu, Vivi genap meloncat ke belakang Felix. Memegangi bahu pria itu, dengan tangan gemetar.
“Felix...”
“Tenanglah,” ujar Felix, meraih pistolnya. Kali ini Vivi terlalu gemetar untuk mencegah.
DOOOOORRRR! Tembakan pertama dilepaskan Felix ke arah semak-semak. Bunyi tembakan membelah hutan.
KRAAASSSSAAAAAKKKK!
Bunyi itu kembali terdengar. Tapi di radius yang lebih jauh dari tempat mereka berdiri. Tentu saja, bunyi itu diiringi dengan burung-burung yang beterbangan ke langit. Felix menggerutu pelan. Satu butir pelurunya terbuang sia-sia. Makhluk itu, apapun itu, sangat gesit.
72
Sesuatu Telah Terjadi
Pedro kembali ke tempat Allary, untuk melihat ketua rombongannya itu terduduk gemetar di tepi sungai. Tongkat penangkap ikan ada di sampingnya. Pedro coba memanggil nama Allary, namun dia tidak bereaksi.
Hei, ada apa?
“Ketua, ketua, kau baik-baik saja?” Pedro berseru cemas sambil mendekat pada Allary. Setelah beberapa kali ditegur dan disentuh-sentuh di tubuh, akhirnya Allary tersadar. Tadi dia seperti terhipnotis sejenak.
“Oh Pedro. Kau sudah datang. Baguslah. Sekarang kita bisa mulai memasak ikan berperut gemuk itu,” ucap Allary, menutupi apa yang baru dilihatnya. Tentu saja Pedro bingung.
“Kau kenapa, ketua? Apa yang baru saja terjadi.”
“Aku tidak apa-apa, Pedro,” Allary melangkah ke tumpukan ikan mereka, beserta buah-buahan hutan penangkal racun yang tadi dikumpulkan Pedro.
“Hei, kau tadi melamun, tidak, kau seperti terpukau oleh sesuatu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
“Ah, paling aku cuma terpikir soal Vivi dan Felix. Tidak perlu kau risaukan.”
Pedro memungut tongkatnya kembali. Mencoba mengamati. Ujung tongkat itu basah. Artinya tadi Allary sempat mencoba menangkap ikan. Dari situ, Pedro mencoba membuat sebuah prediksi.
“Tadi kau mencoba menangkap ikan, kemudian kau terkejut karena melihat sesuatu. Ada apa sebenarnya ketua? Aku jadi penasaran. Apakah kau tiba-tiba melihat ada hiu banteng berkeliaran di sekitar sini?”
Allary menelan ludah. Hiu banteng? Astaga, yang dilihatnya tadi jauh lebih buruk. “Sudahlah Pedro. Nanti saja kita bahas soal itu. Mari kita siapkan makanan.”
Pedro mengalah. Allary benar, perutnya juga membenarkan. Mereka lapar. Hari sudah siang. Baiklah, lebih baik segera mengurus ikan-ikan itu, atau mereka akan melewatkan satu makanan lezat. Pedro segera mengurus ikan-ikan itu, membelah perut mereka, meremas daun dan buah-buahan yang tadi dia bawa, membalurnya ke tubuh ikan-ikan itu, kemudian membilas semuanya ke sungai.
“Nah, sekarang ikan ini sudah aman untuk kita konsumsi, ketua.”
“Kabar baik, Pedro. Baranya juga sudah siap dari tadi. Ayo lekas bakar, mumpung baranya belum padam.”
Mereka saling bahu membahu. Menyajikan empat ekor ikan perut gemuk yang masing-masing beratnya mencapai 2 kilogram. Allary dan Pedro makan besar. Mereka memang tidak membawa bumbu penyedap rasa. Sebagai gantinya Pedro memetik tumbuhan yang rasanya asam, dia baluri di atas ikan bakar itu.
“Sensasi dagingnya asam-asam manis, Pedro. Ini ikan yang lezat sekali.” Allary berkomentar.
“Ah kau benar, ketua. Ikan-ikan di pedalaman memang punya kelezatan tersendiri. Sayang mencarinya agak susah.”
Allary manggut-manggut. Bergegas menghabiskan makan siang masing-masing.
Selesai makan, Pedro mengajak Allary bersantai di tepi sungai. Dengan perut kenyang, suasana hutan yang menenangkan, udara yang sejuk dan gemericik air sungai yang halus, mereka dibuai keindahan alam Hutan Amazonia.
“Kau tadi melihat ular itu ya, Ketua?”
Terkejut Allary, kenapa kali ini Pedro bisa menebaknya. Padahal dia tidak memberi petunjuk apa-apa.
“Tidak apa-apa, ketua. Tidak apa-apa. Kau terguncang, mungkin sedikit takut, sedikit merinding. Tidak apa-apa. Itulah paket sensasi saat berhadapan dengan ular terbesar di dunia.”
“Bagaimana kau bisa tahu, Pedro?”
“Karena aku juga melihatnya tadi. Ular itu ada di sekitar kita sekarang.”
“Apakah itu artinya bahaya?”
“Tergantung, selama arah jalan kita tidak bersinggungan dengan ular itu, kurasa kita tetap aman.”
Allary sempurna berdiri.”Kalau begitu, kurasa kita harus bergegas, Pedro. Jangan-jangan Felix dan Vivi juga menemukan masalah serupa. Aku tidak mau mereka berurusan dengan ular besar itu juga.”
Pedro tersenyum simpul. Allary memang seorang ketua rombongan yang kharismatik.
73
Perbincangan Kecil
Begitu Allary bilang mereka harus bergerak secepatnya, Pedro segera membereskan semua peralatan makan mereka, agar tidak membuat hutan berantakan. Berdasarkan perhitungan Pedro pula, perjalanan mereka dilanjutkan menyisir sungai kecil itu.
“Kalau aku tidak salah, ular besar itu ada di seberang sungai sana, saat ini. Kita seharusnya tetap aman.”
“Apakah ular itu memangsa manusia? Ataukah dia seperti jenis-jenis ular lain, hanya menyerang saat terdesak.”
“Seharusnya ya, tapi aku tidak yakin ada yang bisa mendesak ular sebesar itu.”
Sekali lagi perkataan Pedro barusan, membuat Allary merinding. Mereka kembali berjalan, menerobos semak, membabat rumput, menikmati panorama tepi sungai kecil yang amat berbeda dengan sungai besar. Sesekali mata Allary awas menatap ke seberang. Tidak, tidak ada apa-apa. Tenanglah, begitu cara dia menenangkan dirinya.
“Oh ya, ngomong-ngomong, Vivi dan Felix itu, bagaimana ceritanya sehingga kau bisa berteman dengan mereka, ketua? Kurasa mereka bukan teman senegaramu.” Pedro membuka lagi percakapan, setelah diam hampir setengah jam.
“Ekspedisi pendakian Puncak Dunia, Gunung Sarsa, yang menyatukan kami. Sejak itu kami saling menjaga hubungan baik, meski diam di negara yang berbeda-beda.”
“Hei, apa itu berarti sebelum pendakian, kalian tidak saling kenal satu sama lain?”
“Tepat sekali.”
“Lalu bagaimana kalian bisa akrab, tidak mungkin bukan, kalian tiba-tiba dipilih untuk mendaki lewat sebuah undian di dalam gelas.”
Terkekeh Allary mendengar dugaan Pedro itu. “Kami bertemu, sebelum pendakian. Sebelum itu kami tidak saling mengenal. Bahkan aku tidak pernah menduga bisa mengenal mereka saat pertama kali sampai di Pahadaru, enam bulan yang lalu.”
“Aku tidak mengerti, ketua.”
“Astaga Pedro. Bukankah kau juga sama. Bukankah sebelum ini kami tidak mengenalmu. Dan lihat sekarang, kita berteman. Pertemuan itu selalu ajaib Pedro, dan perpisahan selalu menyedihkan.” Di ujung kalimatnya, Allary merasa ujung hatinya berdenyut.
“Kau memang orang yang hebat, ketua.”
“Terima kasih... Eh tunggu Pedro,” di tengah kalimatnya, Allary tiba-tiba memotong dan langsung memasang sikap waspada penuh.
“Ada apa ketua?”
“Sesuatu bergerak dari seberang sana, apa mungkin, ular besar itu,”
Pedro langsung ikut mengamati. Menyipitkan matanya, melihat dengan waspada di sela-sela pepohonan. Apakah ular itu benar-benar ada di sana? Sebagian hatinya berharap sebaliknya. Sayangnya, hati Pedro salah. Ular itu memang ada di sana.
“Ular itu, ketua...”
“Kau juga melihatnya, Pedro?” Allary menurunkan nada suaranya.
“Ya, aku juga melihatnya, ketua.”
“Lalu bagaimana sekarang?”
“Aku rasa aku punya dua informasi, ketua. Dua-duanya kabar buruk.”
“Katakan.”
“Pertama, sepertinya kita mengarah ke tempat yang sama dengan ular itu. Kedua, sepertinya ular itu mengikuti kita.”
“Mengikuti kita?”Allary berseru tertahan. Ular terbesar di dunia, dengan diameter perut lebih dari satu meter, mengikuti mereka. Itu benar-benar berita buruk.
“Astaga, lalu bagaimana selanjutnya, Pedro?”
“Sebaiknya kita berhenti dulu di sini, ketua. Kita lihat kemana gerakan ular itu.”
“Kau tidak bercanda? Bagaimana dengan Vivi dan Felix.”
“Menurutku saat ini yang paling aman, adalah duduk, menunggu. Siapa tahu ularnya akan menjauh.”
Allary menimbang sejenak, baiklah. Rasanya usulan Pedro itu memang yang paling logis saat ini. Mereka berhenti di tepi sungai. Sambil mata dengan awas melihat ke seberang. Memantau gerakan ular itu.
74
Tidak Berguna!
Siapa sangka, Allary dan Pedro harus tertahan di tempat itu, selama sehari semalaman penuh.
Mulanya mereka berniat melanjutkan perjalanan, sekitar pukul 3 sore, ketika keadaan sudah tenang dan tidak terlihat lagi pergerakan mencurigakan di sisi seberang.
Saat itulah, terjadi sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang lebih remeh (jika dibandingkan dengan masalah ular besar) namun serius bagi Allary.
“Ahhh aduh...!” Tiba-tiba, saat hendak berdiri melanjutkan perjalanan, Allary terduduk lagi. Memegangi bahunya yang terluka akibat pertarungan dengan jaguar kemarin. Pedro buru-buru mengeceek kondisi ketuanya.
“Kau baik-baik saja, ketua?”
“A...ku ti...da...k tau, Pe...d...r...o. Ra....sanya, sak....iiiit,” Allary berbicara terbata-bata. Tangannya memegangi bahu, wajahnya meringis, dia benar-benar kesakitan.
“Astaga ketua,” Pedro dengan cepat memahami apa yang terjadi, lalu dengan cepat pula memberi pertolongan pertama. Pedro segera menyingkirkan tangan Allary yang berusaha mengusap-usap bekas lukanya itu.
“Pe..d...r...”
“Kau tenang ketua. Jangan menyentuh bekas lukamu itu terlalu sering. Nanti lukanya terbuka lagi. Sebentar, aku harus mencarikan tanaman obat. Kau kutinggal sebentar ya. Ingat jangan menyentuh bekas luka itu, dan tetap tenang. Atur nafasmu,”
Pedro dengan gesit membuka jaket yang dipakai Allary, kemudian membantu melepas kemeja milik ketuanya itu. Luka itu sepertinya memang terbuka lagi. Setelah memastikan Allary tenang, Pedro bergegas menerobos hutan, mencarikan daun penawar. Lari lintang pukang.
Sementara itu, Allary hanya bertahan lima belas menit. Setelah itu, dia tidak merasakan apa-apa lagi. Allary pingsan.
Demi melihat Allary pingsan tak berdaya ketika dia kembali ke sana, Pedro berdecak. Tugasnya bertambah berat. Astaga, semoga ketuanya itu tidak apa-apa. Luka cakaran jaguar itu telah sempurna terbuka, merah menganga.
Pedro dengan cekatan meremukkan dedaunan. Mencampurnya dengan air, kemudian membalurkannya ke tubuh Allary. Itu proses yang bahkan lebih menyakitkan ketimbang luka itu sendiri. Allary perlahan-lahan tersadar, berteriak.
“AKKKKKHHHHH!!!”
“SSSTTTTT,” Pedro lekas menutup mulut Allary dengan tangannya. “Tenanglah ketua. Tahan rasa sakitnya. Kau itu kuat bukan? Lagipula kita tidak boleh menarik perhatian makhluk-makhluk hutan dengan teriakanmu itu.”
Allary meringis mendengar peringatan Pedro. Karena tidak bisa berteriak, pelan-pelan kristal air merembes dari matanya.
Sore itu adalah rangkaian rasa sakit yang bisa saja diwujudkan menjadi sejuta teriakan bagi Allary. Pedro, berulang kali melakukan “pengobatan” terhadap lukanya. Mulai dari membersihkan, mengeringkan, sampai mengoleskan cairan mirip minyak ke atas luka tersebut. Namun setelah setengah jam prosesi itu berlalu, Allary berangsur tenang.
“Bagaimana sekarang, ketua? Kau sudah mendingan?”
“Ahh... ya. Kurasa.... sudah agak mendingan, Pedro.” Allary bisa mengucapkan kalimat sempurna, meski dengan terengah-engah.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Apa yang tadi kau gunakan untuk mengobatiku, Pedro. Kurasa kau tidak menggunakan trik kimia, tapi bahan-bahan itu tadi, benar-benar seperti obat bius. Sekarang aku tidak merasakan apa-apa di bahuku.”
“Sebaiknya kau tidak banyak bergerak dulu, ketua,” Pedro buru-buru mencegah Allary yang menggerakkan tangannya, “ramuan hutan itu butuh waktu untuk memulihkan lukamu.”
“Ramuan hutan?”
“Ya, orang-orang lokal yang hidup dekat dengan Amazonia seperti aku, kami diajari untuk menggunakan hutan dengan sebaik mungkin. Termasuk mengenali tanaman mana yang bisa dijadikan obat. Kau mau tahu ketua? Hutan ini serupa ensiklopedia biologi yang sangat tebal. Tanaman obat, penyembuh luka, untuk patah tulang, obat-obatan herbal, sampai ramuan peninggi badan, bisa diolah dari tanaman di hutan ini.”
“Baiklah. Jadi kapan kita berangkat, Pedro?” Allary membanting topik, tidak tertarik membahas soal Amazonia sekarang. Sesuatu yang lain, sedang berkecamuk di kepalanya.
Pedro, sekali lagi, menahan Allary agar tidak berdiri. “Kau harus tetap tenang, ketua. Seperti kataku, kau tidak boleh banyak bergerak sekarang. Nanti lukamu itu, terbuka lagi. Sebagai tindakan jaga-jaga, kurasa aku tidak keberatan untuk bermalam di sini saja, untuk malam ini.”
“Tapi Pedro...”
“Maaf ketua, tapi di sini, aku yang memutuskan. Demi kebaikanmu sendiri.”
Allary mengalah, kembali duduk. Namun kemudian, dia bersuara lirih. “Lalu bagaimana dengan Felix dan Vivi? Sudah dua hari ini aku tidak tahu dimana mereka sekarang. Apa jangan-jangan mereka sudah dimangsa binatang buas. Aku sungguh cemas.”
“Mari kita berharap mereka baik-baik saja, Ketua. Lagipula tidak ada yang bisa kita lakukan, jika nantinya kau kembali kesakitan seperti tadi. Tidak setiap sudut hutan ini ditumbuhi tanaman obat. Jadi aku tidak bisa menjamin selalu bisa menyelamatkanmu.”
“Tidak ada yang bisa kita lakukan?” Allary bertanya retoris, “tapi, Pedro, seandainya mereka kenapa-kenapa dan aku tidak ada di sana untuk menolong mereka, sungguh aku adalah ketua rombongan yang tidak berguna!”
Allary berseru keras. Terlepas sudah semua keluh kesahnya.
75
Vivi, Berhenti!
“Astaga, kurasa sudah delapan kali, kita kembali ke tempat yang sama, Felix.” Vivi terengah-engah, berjalan terbungkuk-bungkuk. Tasnya, yang seharusnya dia sandang, sekarang tinggal terseret-seret di tanah. Lembayung senja mulai terlihat di tepi barat Hutan.
“Kurasa tidak, Vivi. Ini bukan tempat yang sama,” Felix berujar serius. Wajahnya keras, penasaran. Sebenarnya Felix dua kali lebih lelah dibanding Vivi, karena dia membawa beban dua kali lebih berat, tasnya Allary, tapi rasa lelahnya itu terkesampingkan oleh naluri petualangannya yang meluap-luap.
Jadi begini, setelah adegan menembak semak-semak dan bunyi krasak-krusuk yang tidak lagi terdengar, Felix dan Vivi melanjutkan perjalanan mereka di sela-sela tumbuhan yang merambat itu. Namun, entah kenapa, sejak itu, perjalanan mereka menjadi agak aneh.
Berkali-kali, mereka berjalan, lurus ke arah barat, namun entah bagaimana, selang beberapa saat, Vivi merasa mereka kembali ke tempat serupa. Vivi bisa melihat itu dari letak tanaman rambat yang ada di sana, katanya.
Nah, setelah merasa terputar-putar di tempat yang sama sebanyak lima kali, Felix menandai pohon di sana, dengan gagang pistolnya, meninggalkan bekas goresan yang mencolok. Dengan demikian, mereka bisa tahu betul bahwa mereka memang kembali ke tempat yang semula.
Tapi, kemudian, semuanya malah berjalan lain. Lain dari hukum penjelalahan manapun. Dalam perhentiannya yang keenam dan ketujuh, di tempat yang dikatakan Vivi sama dengan tempat mereka semula, Felix sama sekali tidak menemukan bekas goresan yang dibuatnya di pohon. Sementara Vivi bersikeras dengan ingatannya, Felix membantah, dengan mengatakan soal goresan yang tidak ada di tempat seharusnya.
Selang berbantahan sejenak, Felix akhirnya mengalah dengan perempuan keras kepala itu. Dia meminta Vivi melihat dengan saksama, bahwa dia benar-benar menggambar goresan penanda di batang pohon. Vivi mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan, itu berarti putaran kedelapan.
Tepat pukul 6 sore, Vivi kembali berseru bahwa mereka kembali ke tempat yang sama.
“Kita tidak mendatangi tempat yang sama, Vivi. Goresan yang kubuat, tidak ada di sini. Ini pohon yang baru. Pohonnya tidak sama.”
“Tapi Felix, aku mengingat posisi tanaman rambat itu. Aku ingat posisi semak-semak itu. Aku ingat posisi dahan dan ranting di pohon ini. Ini persis sama. Kita berputar-putar di tempat yang sama.”
“Tapi bagaimana dengan goresan yang kubuat. Itu penanda yang akurat. Mari kita amati pohon ini dengan saksama. Tidak ada goresan sama sekali. Bagaimana kau bisa menjelaskan semua itu?” Felix berseru, setengah membentak. Dia kesal.
“Aku tidak tahu, Felix. Aku sama sekali tidak bisa menjelaskan. Tapi aku rasa sesuatu yang buruk sedang berlaku. Aku sungguh bingung,” Vivi menyahut, sudah setengah terisak. Menangis.
Felix kehilangan kata-kata. Dia tidak berniat melanjutkan perdebatan. Astaga, air mata wanita, selalu menjadi kelemahannya yang fatal.
“Sudahlah. Lebih baik kita beristirahat. Mungkin kita sudah terlalu lelah hari ini. Kita bisa bermalam di sini. Bagaimana?”
Vivi pelan-pelan mengangguk.
Felix mendirikan tenda. Memilih menyingkirkan pikiran-pikiran buruk nan penasaran di kepalanya. Dia menyiapkan makan malam seadanya, juga menyalakan api unggun.
Vivi tidur dengan cepat. Tidak ada masalah. Atau masalahnya justru baru muncul setelah Vivi tertidur.
Malam itu, Felix memutuskan untuk tidur di luar tenda, lagi. Dia membersihkan pistolnya, memastikan benda itu ada di jangkauannya, kemudian baru masuk ke sleeping bag. Mencoba untuk tidur.
Sekitar dua pertiga malam berjalan, muncul suara krasak-krusuk lagi. Felix yang siaga, segera bangun, mengambil senter dan pistolnya. Suara apa itu barusan.
KRRSSSSKKK!
Bunyi itu kembali terdengar, dari semak di belakang tenda. Arah tepat ke hutan lebat. Felix dengan waspada, bergerak pelan-pelan. Ingin tahu apa yang terjadi. Pistolnya siap di tangan.
Tepat ketika Felix menyorongkan senter ke arah hutan. Dia melihatnya. Perlu waktu baginya untuk memproses apa yang sedang terjadi dari apa yang dilihatnya. Tenda sudah berlubang, jalan setapak telah dirintis. Astaga. Gadis itu.
“VIVI BERHENTI!!!” Felix berteriak dalam gelap. Senternya mati.
76
Sekali Lagi, Pertemuan yang Ditakdirkan
Tidak, malam itu Vivi tidak diculik. Tidak ada penambang bersenjata ataupun kungkang raksasa yang terlibat dalam hal ini. Vivi berjalan sendiri, keluar dari tenda, menuju area hutan yang gelap, dalam keadaan tidur.
Yap. Vivi tidur berjalan.
Sebenarnya fenomena tidur berjalan ini, bukan hal yang mustahil terjadi (terutama di novel-novel dan film). Namun Felix tetap saja cemas, mengapa Vivi tiba-tiba bisa tidur berjalan begitu, sampai melubangi tenda pula!
Untungnya, Felix adalah seseorang yang terencana. Begitu menyadari Vivi berjalan ke arah hutan, dia tidak langsung mengejarnya, lintang pukang. Felix mengambil tongkat milik Allary dan segulungan tali dari dalam tas ketuanya itu (dia sudah tahu isi tas Allary saat membongkarnya untuk mencari makanan). Dengan dua benda itulah, Felix mengejar Vivi, masuk ke dalam hutan. Meninggalkan tas dan tendanya.
“BERHENTI VIVI!!” Felix berseru. Namun Vivi yang pada daasarnya sedang tidur, tidak menggubris, terus berjalan.
Astaga, Felix berdecak. Dia harus menghentikan langkah Vivi secepat mungkin. Sambil berlari, Felix menggunakan tali dan tongkat yang dibawanya, untuk menandai jejaknya. Dengan begitu, dia bisa kembali ke tenda mereka setelah menyadarkan Vivi.
Itulah yang dimaksud terencana.
Sayangnya, atau herannya, Vivi bisa berjalan dengan begitu cepat. Felix kewalahan mengejarnya, padahal dia seorang petualang berstamina besar. Sedikit banyak Felix merasa kesulitan menerobos semak belukar, banyak duri-duri di situ. Sedangkan Vivi bisa menghindari semak-semak itu, seolah-olah dia pernah lewat di situ sebelumnya.
“BERHENTI VIVI! HEI KAU DENGAR AKU BUKAN!” Felix meneriakinya lagi. Teriakannya itu membelah hutan. Menyaingi suara-suara makhluk-makhluk malam.
“BERHEN... Aduhh!” Felix terjerembab, tersandung akar pohon. Dia terjatuh sesaat, bangkit lagi. Jaraknya dengan Vivi menjauh. Astaga, siapa sangka orang yang tidur berjalan, bisa sangat merepotkan.
“BERHENTI!!!!!” Felix berteriak dengan sekuat tenaganya. Teriakannya membelah hutan, membuyarkan burung-burung yang sedang tidur nyenyak. Memicu reaksi di ujung hutan lainnya. Demi sebuah pertemuan yang telah ditakdirkan di tempat itu.
****
Allary dan Pedro tidur dengan nyaman, bersandar di batang pohon. Allary rebah di tanah, berbantal sleeping bag milik Pedro. Sebenarnya amat susah membujuk Allary tidur di tempat itu. Ketua rombongan itu terus mencemaskan Felix dan Vivi, menyebut-nyebut dirinya tidak berguna.
Mungkin karena jengkel mendengar keluhan Allary, Pedro memasukkan ramuan obat penenang di makan malam mereka. Seperti kata Pedro, hutan ini bagai ensiklopedia tanaman obat. Karena itulah, Allary bisa tidur.
Dua pertiga malam, pengaruh obat penenang milik Pedro sudah berangsur hilang. Allary terbangun. Samar-samar dia mendengar ada suara teriakan di seberang hutan. Hei, itu seperti suara yang dia kenal. Allary berusaha bangkit duduk.
“Ukhh...” karena tergesa-gesa duduk, luka di bahu Allary kembali berdenyut. Dia mengaduh, sekaligus membangunkan Pedro.
“Astaga, kau mau kemana lagi, ketua. Ini pagi buta.” Pedro berdecak, lekas membantu ketuanya itu berbaring kembali.
“Ssttt, diamlah Pedro. Coba dengarkan.” Allary meletakkan telunjuknya di depan bibir.
“Ada apa, ketua? Kau sedang mengigau?”
“Dengarkan dulu, Pedro. Tenanglah. Aku seperti mendengar suara dari sisi lain hutan ini.” Allary menunjuk ke dalam hutan.
Hening sejenak.
Pedro ikut mendengarkan dengan saksama.
Hei, ya ada yang berteriak di seberang hutan.
Pedro terlambat menyadarinya. Allary sudah bangkit, mampu berdiri dengan menakjubkan. Lekas mengambil jaket. Pedro masih tertegun.
“Hei, tunggu, ketua!” Pedro akhirnya menyadari bahwa ketuanya telah mengejar ke dalam hutan. “Lukamu itu belum sembuh benar!”
“Diamlah, Pedro. Luka ini bisa diurus nanti-nanti. Aku mendengar teriakan itu. Siapapun yang berteriak di malam hari buta ini, di tengah hutan. Dia pasti memerlukan bantuan.”
Allary berlari masuk hutan. Melupakan rasa sakit lukanya. Di dalam otaknya hanya ada niat baik menolong orang lain. Seperti yang selalu dikatakan ibunya. Niat baik bisa mengalahkan apapun.
Mereka berkejaran masuk hutan. Semakin jauh, semakin suara itu terdengar. Sayup-sayup. Allary bisa mendengar kata-katanya, samar-samar. “Stop” itulah yang diteriakkan oleh suara itu. Siapa yang berteriak, apa maksudnya, apa yang sedang terjadi? Allary bertanya-tanya.
“Tunggu ketua. Berhenti sebentar,” Pedro menarik tangan kanan Allary, menghentikan langkahnya.
“Ada apa, Pedro?”
“Aku melihat sesuatu, ada seseorang di depan sana, ketua.”
Seseorang? Allary ikut menajamkan penglihatannya. Ah nampaknya Pedro benar. Ada seseorang di depan sana. “Pedro, kuharap kau membawa senter.”
“Ya, aku juga membawa pistol jika ini diperlukan.”
“Tidak perlu. Senternya saja.”
Pedro menyalakan senter, menandakan keberadaan mereka. Dengan cahaya, Allary bisa melihat siapa yang ada di depan mereka, sekitar 20 langkah di sana.
Hei bukankah itu.... Allary tertegun.
77
Berhentilah Mendramatisir, Ketua!
Bukankah dia?
Begitu Pedro menyalakan senter dan dia bisa melihat siapa yang ada di depan sana, Allary tidak bisa menahan perasaan gembiranya. Tentu saja dia mengenal siapa itu.
“VIVI!!!!”
Jangan tanya, seberapa cepat larinya Allary hari itu. Jangan tanya pula, senyaring apa teriakan yang dia buat saking semangatnya. Allary langsung menerjang ke arah Vivi.
Sementara itu, suara teriakan Allary, diiringi sorot lampu senter di tengah kegelapan, juga disadari seseorang dari seberang sana. Felix! Mendengar suara teriakan ketuanya, dia balas berteriak.
“KETUAAA KAU MENDENGAAARKUUUU?!!!!”
“VIVI!!! FELIX!!!!”
Dua suara itu saling bersahutan. Tepat ketika jarak Allary dengan Vivi sudah tinggal sejengkal lagi, gadis itu tersadar dari tidur berjalannya, untuk sesaat membuka mata, namun kemudian, jatuh. Dia pingsan. Beruntung Allary ada di sana, sigap memberi tangkapan.
“Kau baik-baik saja, Vivi?” Allary merengkuh tubuh gadis itu, menggoyang-goyangkannya. Vivi sudah tak sadarkan diri. Sebuah energi yang sangat besar, baru saja meninggalkan tubuhnya.
“Hei, Vivi. Sadarlah. Vivi. Bangun.” Allary mengguncang-guncang tubuhnya. Vivi tidak bereaksi. Pedro ikut mendekat, berbisik, “dia hanya pingsan, ketua. Entah bagaimana dia bisa berjalan di tengah hutan dinihari seperti ini.”
“Dia tidur sambil berjalan, ketua...” Felix datang, terengah-engah.
Demi melihat Felix, Allary melepas pegangannya pada Vivi, menyerahkannya pada Pedro, lalu genap melompat memeluk partner seperjalanannya itu.
“Astaga, kukira kita bakal terpisah selamanya.”
“Jangan konyol kau, ketua.” Felix menyahut pendek. Atau tepatnya terkejut karena bisa bertemu lagi dengan Allary di sini.
“Kukira aku akan kehilangan kalian,” ucap Allary lagi. Kali ini terpatah-patah. Bercampur isakan.
“Sejak kapan kau jadi melodramatis begini, ketua. Kita hanya terpisah beberapa ratus meter. Berhentilah bersikap berlebihan atau aku akan benar-benar pergi mencari ketua yang baru.”
Allary terkekeh. “Sejak kapan kau jadi menjengkelkan begini, Felix.”
Itulah pertemuan yang dirancang oleh takdir. Malam itu, rombongan Allary kembali bersatu.
Setelah melepas semua ekspresi kegembiraan, Allary menyadari bahwa mereka harus segera mengurus Vivi yang jatuh pingsan. Pedro, kelihatannya sudah memulai tahap diagnosis.
“Dia sepertinya kelelahan. Apa yang terjadi padanya?”
“Dia tidur sambil berjalan. Aku mengikutinya sampai kemari.” Felix menerangkan.
“Tidur berjalan?” Allary menyernit kening. Dia kira itu hanya ada dalam film.
“Ya, ketua. Dia berjalan, dalam keadaan tidur. Berjalannya cepat sekali.”
“Gadis ini kelelahan. Dia sepertinya demam. Kita harus bawa dia ke tempat yang lebih nyaman. Tempat dimana kita bisa membaringkan dia, dan menyalakan api unggun.”
Allary dan Pedro berpandangan.
“Bagaimana kalau kita bawa ke tempat tenda kami tadi saja. Sebelum ini, kami sempat mendirikan tenda, tempatnya juga tidak terlalu jauh.” Felix mengusulkan.
“Kau ingat jalannya, Felix? Mengingat tadi kau membuntutinya dalam gelap.”
“Aku telah memasang tanda-tanda ketua. Kita bisa kembali ke sana, mengikuti tanda-tanda yang kubuat.”
Pedro menyela, “sudah-sudah. Ayo kita bawa dia ke sana. Sebelum keadaannya tambah parah.”
“Baiklah,” sahut Allary, “aku akan membawanya, Felix, kau tunjukkan jalan, Pedro kau jaga di belakang.”
“Baik ketua,” sahut mereka berbarengan.
Malam itu, Allary kembali menjadi seorang ketua rombongan.
78
Demam Amazonia
Tidak ada kata yang terucap lagi di awal kedatangan Allary ke tenda tempat tidur Vivi dan Felix malam itu. Semua bisa digambarkan dengan lugas melalui ekspresi mereka semua. Kegembiraan.
Felix menyalakan perapian mereka yang sempat padam tadi. Allary mengecek keadaan sekitar, termasuk keadaan barang-barangnya, nampaknya semua baik-baik saja. Sementara itu, Vivi yang tadi dibaringkan di dekat perapian, diperiksa oleh Pedro.
Allary dan Felix segera bergabung dengan Pedro, begitu pekerjaan mereka selesai. Kali ini dengan wajah-wajah yang cemas.
“Bagaimana kondisinya, Pedro?”
“Dia stabil ketua,” Pedro memasang wajah serupa seorang dokter baru saja memeriksa tubuh pasiennya, “seandainya hari sudah siang, aku bisa memetikkan beberapa tumbuhan obat untuk menurunkan demamnya.”
“Dia demam?”
“Ya Felix, dia demam. Demam Amazonia.”
“Demam Amazonia?” sela Allary, lagi-lagi dia bingung. Tadi Felix bilang Vivi tidur sambil berjalan, sekarang Pedro bilang, Vivi terserang demam Amazonia. Petualangannya tambah membingungkan.
“Ya ketua, demam ini sering menimpa orang yang tak kuat fisiknya ketika menjelajah Amazonia selama lebih dari 4 hari.”
“Kita bisa menyembuhkannya bukan, Pedro?” Allary bertanya lagi. Cemas.
Pedro mengangguk, berusaha memberikan senyuman menenangkan ala seorang dokter. “Tentu saja bisa, ketua. Demam Amazonia bukan perkara buruk. Ini gejala normal. Lagipula kondisinya stabil.”
Allary dan Felix sama-sama mengangguk. “Baiklah, kita tidak perlu merisaukan masalah itu,” kata Felix, “ngomong-ngomong, apa yang sebenarnya terjadi pada kalian, ketua?”
“Pada hari itu, Pedro diculik. Aku mengejarnya. Lalu kami kehilangan arah untuk kembali ke tempat kalian. Kita terpisah, dan mungkin kita memang bergerak ke arah yang berbeda.”
“Penculikan? Oleh para penambang?”
“Benar,” Allary mengangguk, “bagaimana kau menebak? Kalian juga berurusan dengannya?”
Felix ikut mengangguk. “Benar ketua. Tapi aku berhasil mengatasi mereka dengan baik.”
“Ah kabar baik. Hei, berhasil menemukan kalian lagi, juga merupakan kabar yang sangat baik bagiku.”
“Well, aku akui, aku juga senang bisa bertemu lagi denganmu, ketua. Agak repot juga jika aku dan Vivi harus kembali ke Rio berdua saja.”
Allary terkekeh. Mulai sudah sifat menjengkelkan Felix. Rasanya sudah lama dia tidak mendengar kalimat khas Felix itu. Tapi Allary tidak menanggapi masalah itu. Pedro yang menyambung percakapan.
“Oh ya, selama dua hari ini, berada di Amazonia, apakah kalian menemukan masalah yang berarti?”
Felix menggeleng, “rasanya tidak. Hanya masalah-masalah kecil. Seperti kataku, aku bisa mengatasinya.”
“Ah syukurlah. Aku tak ingin reputasi hutan ini menjadi buruk karena kalian terkena masalah.”
“Kurasa ada satu masalah yang agak aneh. Seandainya Vivi terbangun, kurasa dia akan membahasnya.”
“Ada apa, Felix?”
“Kau tahu, hutan yang kami lalui sebelum ini, penuh dengan tumbuhan rambat. Menurut Vivi, kami berulang kali tersesat. Berputar-putar di tempat yang sama, walau menurutku tidak demikian. Tambahkan dengan bunyi krasak-krusuk, dia benar-benar ketakutan.”
Saat mendengar penjelasan Felix itu, wajah Pedro serupa orang yang baru saja melihat hantu.
“Apa katamu? Tanaman rambat? Kalian tersesat? Bunyi krasak-krusuk?”
Felix menganggukkan semua pertanyaan reflek Pedro itu.
“Astaga, mustahil, sungguh mustahil. Jangan katakan sesuatu yang lain, seperti tanda-tanda yang kau buat di semak, pohon atau tanah ikut menghilang, padahal tempatnya kelihatan sama.”
“Memang itu yang terjadi,” sahut Felix, dengan nada acuhnya yang khas.
“Astaga,” Pedro menutup mulutnya.
“Ada apa, Pedro?” Allary segera bertanya. “Kau terlihat ketakutan,” Allary melihat ke depan, mengira-ngira apa yang dipikirkan Pedro.
“Kau benar ketua, aku takut. Lihatlah, bulu-bulu di tubuhku merinding,” Pedro menunjukkan tangannya.
“Memangnya kenapa, Pedro? Kau percaya dengan Granade Pregui?” Felix menyahut.
“Kau tahu nama makhluk itu rupanya. Astaga. Kau bertemu kungkang itu, kami bertemu dengan ularnya. Kenapa dua hewan legendaris Amazonia, kompak menampakkan diri. Astaga, jangan bilang....” Pedro tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
79
Kehancuran Amazonia Menghitung Waktu
“Memangnya kenapa kalau dua makhluk itu menampakkan dirinya, Pedro? Ada sesuatu yang akan terjadi, sebuah ramalan akan terwujud?”
Kalimat Felix itu, setengah bernada mengejek. Ya, kita semua tentu tahu, Felix itu model manusia macam apa.
“Ya, sesuatu yang amat buruk.”
“Itu akan berpengaruh dengan perjalanan kita?” Allary ikut bertanya.
“Tergantung.”
“Apakah kau akan dipanggil ke dalam sebuah ritual, apakah kau akan diperlukan untuk melacak sesuatu, atau semacamnya?” Allary bertanya lagi. Setengah berdecak, apakah guide yang dipilihnya kali ini juga merupakan seorang yang penting bagi sukunya? Sungguh kebetulan sekali jika benar begitu.
“Jelaskan saya, Pedro. Jangan berbelit-belit. Seburuk apa memangnya? Sejujurnya ya, kami sebelum bertemu kalian hari ini, sudah menghadapi beberapa hal yang buruk. Bahkan hampir bertaruh nyawa.”
“Kalau soal bertaruh nyawa, aku juga mengalaminya,” sahut Allary.
Pedro menghela nafas. “Bukan, sepertinya kekhawatiran yang kita pikirkan, bertolak belakang. Ini bukan soal ritual atau semacamnya. Ini perkara tanda-tanda alam. Reaksi. Semua ini bukan hal yang tidak logis. Sebaliknya ini sangat ilmiah.”
Felix segera tertarik, “jelaskan padaku.”
Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan panjang sampai subuh.
“Di hutan ini, ada dua hewan legendaris yang keberadaannya akan sulit dipercaya oleh para ilmuwan zaman modern...”
“Ah berarti kau sedang membahas hal takhayul juga. Mitos.” Felix langsung menyela, pedas. Wajahnya kecewa.
“Dengarkan aku dulu,” sahut Pedro, tidak mau kalah, “aku katakan sulit dipercaya ilmuwan zaman modern, bukan karena makhluk itu adalah makhluk mitos. Melainkan karena makhluk itu, disangka-sangka sudah punah. Ya, inilah perbedaan antara makhluk legenda di hutan ini dengan di tempat lain. Baik Ular besar, si Titanoboa, maupun si Kungkang Besar, Granade Pregui, keduanya adalah makhluk nyata. Mereka pernah ada di bumi ini, namun disangka telah punah. Padahal tidak.”
Pedro menarik nafas sejenak, nampaknya ini adalah bagian yang emosional baginya.
“Kedua hewan itu masih ada. Tertimbun di antara rimbunnya daun dan pohon di hutan ini. Dulu, mereka benar-benar tersembunyi. Sekarang tidak. Habitat persembunyian mereka telah menyempit. Dulu mereka tidak pernah bertemu satu sama lain. Sekarang, dengan luas Amazonia yang kurang dari setengah yang dulu, kemungkinan mereka bertemu sangat besar.”
“Lalu hubungannya dengan sesuatu yang gawat tadi kau bilang, apa?”
“Nah ini, barulah aku berbicara soal ramalan. Jadi, menurut orang-orang tua kami, jika suatu saat nanti, dua makhluk legendaris Amazonia itu muncul bersama-sama, maka kehancuran hutan ini, tinggal menunggu waktu. Dengan kata lain, sudah dekat.”
“Kehancuran Amazonia?” Allary ingin memperjelas. Pedro mengangguk.
“Baiklah, itu benar-benar bukan kabar yang bagus. Hutan ini harus diselamatkan.”
“Tunggu sebentar,” Felix langsung menyela, “sebelum semua terlalu jauh, aku ingin memperingatkanmu, ketua. Kau jangan coba-coba terlibat dalam hal ini. Ini urusan yang sangat berbeda, ini urusan yang berhubungan dengan sebuah negara besar. Jangan sampai kau menghancurkan hidupmu sendiri, dengan ikut campur masalah yang tak seberapa.”
“Tapi Felix ini masalah....”
“Aku tahu ketua. Tapi ini peringatan dariku. Aku minta kau ikuti saranku ini.”
“Aku rasa, aku tetap tidak bisa berdiam diri saja, Felix.”
“Ketua,” Pedro menyela, “dalam hal ini, aku setuju dengan Felix. Ini memang bukan urusan kita.”
“Tapi Pedro, kau lihat sendiri, bagaimana aktivitas pertambangan, penebangan hutan, atau apapun itu, merusak hutan ini. Mereka melakukan hal jahat. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja.”
“Ya aku tahu. Tapi kita harus melakukan langkah-langkah yang terukur. Kau juga harus tahu, ketua. Tujuan utama dari penjelajahan ini, sebagian, adalah untuk mensurvey langsung kondisi Amazonia dari dekat. Kita bisa mengumpulkan bukti-bukti. Kita bisa melawan kejahatan mereka dari jalur ini. Kurasa itu jauh lebih logis.”
“Nah, aku setuju dengan Pedro.”
Allary mau tidak mau harus mengangguk. Nampaknya, malam ini, dia harus belajar untuk mendengarkan aspirasi anggota rombongannya.
80
Aku Merasa Ada di Negeri Dongeng
Urusan perdebatan Allary dengan Pedro dan Felix segera terlupakan oleh sesuatu yang lebih penting. Vivi terbangun. Allary sumringah mengetahui hal tersebut.
“Syukurlah kamu bangun, Vi,” Allary langsung mendatangi gadis itu. Duduk di samping kanan Vivi. Pedro dan Felix di sebelah kiri. Vivi mengerjap-ngerjapkan mata.
“Apa yang baru saja terjadi? Eh kenapa nafasku terasa panas... eh kenapa kalian...”
Kalimat Vivi terpotong. Dia baru saja menyadari apa yang terjadi. Hei, orang yang duduk di samping kanan kepalanya ini, Allary.
“Oh ASTAGA!” Vivi berseru, lupa kalau dirinya baru saja siuman dari pingsan, lupa kalau kondisi tubuhnya masih tidak stabil, vonis Demam Amazonia dari Pedro, lupakan semua itu. Vivi langsung duduk, langsung membenamkan pelukan pada Allary.
“Astaga, apakah ini nyata? Kamu ada di sini, Allary. Bagaimana bisa?” Vivi terisak.
Meski agak canggung dengan pelukan yang tiba-tiba dia dapat, Allary tersenyum. Bisa merasakan aura kegembiraan dari Vivi, menjalar lewat pelukannya itu.
“Ya Vi, ini aku. Akhirnya rombongan kita, bersatu lagi.”
“Astaga, sungguh tak bisa dipercaya. Bagaimana kalian menemukan kami?”
“Kamu lupa? Kamulah yang mempertemukan kita semua.”
Vivi terlihat bingung, “aku? Eh kenapa tubuhku terasa lain. Aduh...” Vivi langsung memegangi kepalanya. Terasa berdenyut di sana.
“Kamu baik-baik saja, Vi?”
“Lebih baik kau istirahat, Vivi. Tubuhmu masih lemah.” Felix yang menyarankan. Allary mengangguk membenarkan, membantu Vivi kembali berbaring.
“Aku benar-benar senang, Allary. Akhirnya kita semua berkumpul lagi. Tapi aku masih tidak kepikiran, bagaimana kita bisa bertemu. Selama dua hari aku dan Felix berputar-putar mencari kalian, tidak ketemu-ketemu.”
“Jadi kau sama sekali tidak ingat?” Pedro ikut bertanya.
“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Vivi dengan wajah meyakinkan, bahwa dia memang tidak mengetahui apa-apa.
“Kamu tidur sambil berjalan, Vi. Felix mengikuti langkahmu. Kamulah yang menuntunnya menemukan kami.”
Makin terheran-heran wajah Vivi. “Aku, tidur berjalan? Mana mungkin.”
“Lalu apa yang kau rasakan malam ini, selama kau tidur berjalan. Kau tidak merasakan apapun?” Felix kembali merecoki pertanyaan.
Vivi seperti mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. “Aku... aku... hmmm.”
“Mustahil kau tak merasakan apapun. Kau berjalan lebih cepat dariku, sampai kesulitan aku mengejarmu.” Felix bersungut-sungut.
“Sudahlah, Felix. Tidak perlu memaksanya. Justru kita harus berterima kasih, berkat Vivi, kita semua bisa berkumpul lagi,” Allary menengahi.
“Sebentar Allary,” sela Vivi, “rasanya aku ingat apa yang terjadi. Ya aku ingat!”
“Nah apa itu?” potong Felix cepat.
“Aku merasa berjalan di sebuah tempat yang sangat indah, saking indahnya, seperti di negeri dongeng.”
Allary, Pedro dan Felix kompak menyernit kening. “Apa kau bercanda, Vivi?”
“Tidak, tidak. Aku sangat serius. Hei sekarang aku ingat persis. Aku bahkan bisa menggambarkan semuanya dengan detail.”
“Oh ya, bagaimana gambarannya?” sekali lagi, Felix yang menantang.
“Tempat yang ditutupi kabut. Aku berjalan di tepi sungai, dengan tanaman berbuah bulat tumbuh di sisi-sisi sungai itu. Buah-buahannya ranum dan masak. Sungai itu airnya sangat jernih, bahkan saat aku menengok ke dalamnya, aku bisa melihat ikan-ikan di dalamnya. Ikannya juga gemuk-gemuk. Sementara itu di sisi-sisi lain pohon itu, hanya ada tanah lapang, kelinci berkejaran. Hei, kelincinya sangat imut.”
Ternganga Pedro mendengar deskripsi Vivi barusan. “Oh demi Tuhan yang suci. Kau melihat Terra Prometida Destino. Astaga,” Pedro berkomat-kamit. Kalimatnya barusan, lirih saja.
81
Ada Ogenaputai di Timur Sana
“Apa yang barusan kau katakan?” Felix, yang malam itu nampak tugasnya adalah untuk bertanya macam-macam, memalingkan wajah pada Pedro yang duduk di sebelahnya. Felix mendengar kata-kata lirih yang diucapkan Pedro.
“Eh, bukan apa-apa. Bukan apa-apa,” sahut Pedro gelagapan. Gelagapannya justru menunjukkan bahwa ada “apa-apa” dalam kalimatnya tadi.
“Hei aku yakin sekali kau tadi mengucapkan sesuatu,” Felix melotot.
“Eh iya,” Pedro tergagap-gagap menjawab, sial, kenapa dia harus mendengar apa yang kuucapkan barusan.
“Cepat katakan.”
“Iya Felix. Aku memang mengucapkan sesuatu, namun itu bukan sesuatu yang amat penting. Hanya gerutuan, ya gerutuan kecil karena bisa-bisanya Vivi bermimpi sangat indah di saat dia justru tidur berjalan.”
“Hei tapi itu memang benar!” Vivi menyahut dengan nada tinggi.
Pedro makin tersudut, astaga, alasan seperti apa yang harus aku pasang, batinnya. “Eh iya, maafkan aku.” Dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
Keadaan tenang beberapa saat. Namun Felix tidak mudah menyerah, “berhenti bersandiwara, Pedro. Aku tahu kau berucap sesuatu tadi. Cepat ulangi kata-katamu!”
“Hei, kau tenanglah sedikit, Felix. Memangnya tadi Pedro mengucapkan apa? Apakah sebuah kalimat yang menyinggung perasaanmu?” Allary coba menengahi.
“Bukan, bukan begitu ketua. Dia mengucapkan sesuatu soal tanah yang dijanjikan oleh takdir. Aku mendengarnya. Kau mengucapkan sesuatu soal itu bukan?”
Pedro menyumpah-nyumpah dalam hatinya. Kenapa Felix harus mengerti bahasa lokal yang dia gunakan. Pedro benar-benar keceplosan malam itu.
“Jawab, Pedro!” Felix berseru, penuh penekanan.
“Tenang Felix, jangan pakai kekerasan. Jangan berkelahi dengan teman serombonganmu. Biar aku yang bertanya. Apakah kau benar mengatakan hal itu, Pedro?”
Pedro diam seribu bahasa, sebelum menyahut pelan, nyaris berselang semenit. “Itu bukan urusan yang boleh kau ketahui, ketua.”
“Hei, memangnya kenapa?”
Pedro salah mengambil langkah. Sekarang dia justru ikut memantik rasa penasaran Allary.
“Maafkan aku ketua. Aku tak bisa menjelaskan apapun sekarang.”
Felix berdecak kesal. “Huh, aku yakin sekali kau menggumamkan soal Terra Prometida Destino. Aku yakin sekali, aku mendengarnya. Aku minta kau menceritakan soal itu.” Intonasi suara Felix benar-benar menuntut. Sesuatu yang jarang diperlihatkannya.
Vivi tiba-tiba berusaha bangun. Menyela perdebatan. “Hei, nama itu. Nama yang sempat kudengar dalam mimpiku.”
“Nah kan benar,” sahut Felix bersemangat.
Pedro semakin tersudut. Allary tersenyum simpul. “Hei cobalah ceritakan sedikit, Pedro. Kau sekarang dikepung tiga orang yang penasaran.”
“Aku benar-benar tidak bisa melakukan hal itu, ketua.”
“Hei, setidaknya jelaskan kenapa kami tidak boleh mengetahui lebih banyak hal tentangnya. Ini bukan soal percaya atau tidak bisa dipercaya bukan?”
Wajah Pedro menyiratkan jawaban ya.
“Baiklah,” Allary mengambil posisi bersila, api unggun mereka menyala, pukul 4.30 pagi, Allary memutuskan untuk bercerita. “Baiklah Pedro. Begini saja, daripada Felix naik darah dan berujung dengan berkelahi denganmu, bagaimana kalau kita bersepakat. Aku akan menceritakan sesuatu yang ajaib padamu, kau jelaskan hal itu pada kami. Bagaimana?”
Felix di sebelahnya mendengus. Nampaknya Pedro tidak punya pilihan selain mengangguk.
“Baiklah. Aku akan cerita. Ini tentang sebuah negeri yang indah di Timur. Namanya Ogenaputai.”
82
Dua Negeri Dongeng di Dua Tempat
Felix dan Vivi agak terkejut mendengar Allary hendak menceritakan soal Ogenaputai kepada orang asing. Hei, siapa tahu nanti Turguy tidak setuju. Hei, bukankah mereka bisa membaca pikiran orang lain. Bagaimana jika setelah ini, Allary mendapat serangan teluh dari jarak beribu-ribu kilometer.
“Kau yakin ingin bercerita soal ini, Ketua? Kukira Turguy tidak akan setuju.”
“Dia akan setuju, aku yakin. Aku hanya akan menceritakan sedikit. Dengarkan aku, Pedro. Aku menceritakan ini, karena aku percaya padamu.”
Pedro mengangguk-angguk.
“Enam bulan yang lalu, aku, bersama-sama Felix dan Vivi melakukan ekspedisi pendakian ke Puncak Dunia, puncak Gunung Sarsa, yang terletak di Pegunungan Pahadaru. Guide atau penunjuk jalan kami saat itu, bernama Turguy Amartey, bersamanya petualangan itu segera menjadi unik.
Di tengah perjalanan, karena perdebatan yang panjang, antara Felix dengan Turguy, tentang keberadaan Raksasa Hi’um, makhluk penunggu Gunung Es, kami akhirnya memutuskan mengejar makhluk itu. Kami mencarinya.
Karena pencarian Raksasa Hi’um itu pula, kami sampai tersesat jauh dari jalur pendakian, (Felix dengan senang hati mengingatkan bahwa mereka tersesat karena kenaifan Allary menerima petunjuk bohong). Kami masuk ke sebuah gua yang menuntun kami ke sebuah tempat yang asing.
Siapa sangka, di dalam gua itu, kami menemukan sebuah negeri yang terkubur di dalam perut Gunung Sarsa. Negeri Orang Gunung. Ogenaputai. Negeri yang sangat menakjubkan. Di sana, orang-orang hidup di dalam bangunan berpahat di atas batu-batu keras.
Aku tidak sedang mengada-ada lho. Felix dan Vivi dengan senang hati membenarkan ceritaku. Kami sampai di negeri dongeng, kami mengobrol dengan orang-orang di sana, dan kami menikmati makanannya. Semua itu nyata, walau agak sulit untuk dipercaya.
Jadi, yang ingin kukatakan di sini, Pedro, kau tidak perlu takut kami tidak mempercayai apapun ceritamu. Kami sudah melihat banyak hal unik. Banyak hal yang nyaris mustahil menurut logika. Kami sudah melihatnya, ya walau Felix kuakui memang agak keras kepala sih.”
Felix berdecak. Allary terkekeh. Itu balasan yang tadi, Felix.
“Entahlah, ketua. Aku tidak begitu yakin untuk menceritakan tentang Terra Prometida Destino.”
“Ayolah, kau bisa menceritakan kulitnya. Aku harus mengetahuinya.”
“Hei, memangnya kenapa kau begitu tertarik, Felix?” Allary bertanya. Mendadak membuat Felix bungkam.
“Astaga, di sini nampak ada beberapa rahasia yang ditutup-tutupi. Boleh kita jelaskan duduk perkaranya, agar perjalanan kita ke depannya bisa lancar.” Allary menengahi, sambil tersenyum kharismatik. Vivi di situ mengangguk, membenarkan.
“Nah bagaimana? Apakah kita mulai dari Felix terlebih dahulu. Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Felix? Kenapa kau begitu tertarik dengan apa itu tadi namanya...” Allary menggantung kalimat, susah mengucapkan bahasa lokal itu.
“Terra Prometida Destino,” ulang Felix.
“Nah ya, itu. Kenapa?”
“Dulu guruku bilang soal tempat itu, ketua. Aku akan mencari tempat itu, karena itulah amanah dari guruku.”
“Ah menarik. Jadi bagaimana, Pedro? Kau bersedia menceritakan soal Terra Prometida Destino itu?”
Karena terus terdesak, akhirnya Pedro tidak punya pilihan lain. “Terra Prometida Destino adalah urusan sakral bagi sebagian orang, ketua. Jadi aku harus hati-hati. Tempat itu, harus dirahasiakan dari dunia, tersimpan rapat di dalam hutan Amazonia. Terra Prometida Destino adalah tempat bermukim suku yang hilang dari peradaban. Mereka membangun negeri yang indah. Persis seindah yang digambarkan Vivi.”
“Aku langsung ke intinya saja. Apakah kita bisa melihat tempat itu?” Felix memotong.
“Mana boleh. Tempat itu amat rahasia. Aku sendiri tidak tahu letak persisnya dimana.”
“Jangan-jangan tempat itu tidak ada?”
“Kau jangan main-main, Felix. Terra Prometida Destino adalah tempat yang suci bagiku.”
“Kau tidak bisa meyakinkanku tanpa bukti.” Felix terkekeh. Ternyata dia bisa menggunakan kemampuan skeptisnya untuk sesuatu yang berguna baginya.
83
Serangan yang Direncanakan
Sementara itu...
Kita kembali ke hari dimana Bruno dan Alves, dua penebang kayu, menyelamatkan Felix dan Vivi yang nyaris mati dikeroyok serangan para penambang. Bruno dan Alves berhasil menghalau para penambang itu pergi. Untuk sementara. Namun mereka tidak akan pernah menyangka, bahwa ikut campurnya mereka dalam urusan ini, akan berbuntut panjang.
Di malam yang sama dengan malam dimana Allary menemukan kembali rombongannya, terjadi insiden berdarah yang melibatkan Bruno dan Alves.
Bruno ditemukan mati bersimbah darah di kamar mandi. Istrinya hanya bisa menjerit terkejut ketika menemukan suaminya dalam kondisi yang mengenaskan seperti itu. Dokter yang dipanggil, menyatakan bahwa Bruno mati karena keracunan. Darah yang berceceran di kamar mandi itu, adalah hasil muntahannya. Racun itu pasti sangat keras.
Sementara Alves, menemui nasib yang lebih tragis. Malam itu dia berburu ke tengah hutan, menangkap hewan nokturnal Amazonia yang berharga mahal di pasar Kota Rio. Di hutan itu dia menemui ajalnya, di bawah sebuah pisau tajam menghujam lehernya. Dia diringkus oleh lima orang sekaligus, kemudian digorok secara kejam, persis hewan sembelihan. Semua berlangsung dalam kesunyian, Alves sama sekali tidak bisa melawan.
“Misi beres, Bos.” Salah satu pembunuh Alves meraih HT miliknya, karena sinyal telepon seluler susah tembus ke dalam hutan. Suaranya segera tersambung dengan orang lain di seberang sana.
“Bagus sekali,” ujar si-”Bos” dengan nada gembira, namun juga kejam. Suara itu terdengar seperti seseorang yang selalu berusaha mendominasi lawan bicaranya. Benar-benar tipikal Bos sejati.
“Berikutnya bagaimana Bos?”
“Kau sudah pastikan pesannya tersampaikan?”
“Sudah Bos. Polisi lokal tidak akan berani ikut campur begitu mengetahui pesan tersebut.”
“Bagus sekali, “ suara si-”Bos” semakin gembira, semakin terdengar mendominasi. “Kalau begitu kita tinggal bereskan ikan besarnya. Kalian sudah tahu dimana mereka?”
“Belum Bos.”
“BELUM!? BAGAIMANA BISA!?”
Gemetar si penerima telepon mendengar suara bosnya. “Eh maaf Bos. Kami sudah menyusuri hutan selama dua hari. Saya juga sudah mengirim beberapa orang terpisah untuk mencari ke bagian lain. Namun sampai saat ini, masih nihil.”
“Astaga, menemukan empat orang saja, kalian tidak BECUS!” hardik si Bos di ujung kalimat.
“Maaf, maaf Bos,” penerima telepon gelagapan, “sepertinya mereka lihai dalam bersembunyi. Lagipula, kita sudah memecah mereka jadi dua kelompok kecil, masing-masing dua orang. Itu membuat pencarian kami menjadi terpecah juga.”
Sialan, batin si Bos, kalau dibiarkan terus, mereka bisa bergabung lagi jadi satu kelompok. Si Bos mengepalkan tangannya, menggebrak meja.
“Ma... maafkan kami, Bos.”
“Sudah, sudah. Sebaiknya lanjutkan kerja kalian. Tidak perlu berpencar. Cari saja orang Latin yang jago beladiri itu terlebih dahulu. Dia jelas ancaman terbesar kalian. Sisanya hanya nyamuk, sekali tepuk, semuanya tumbang.”
“Baik, baik Bos. Dimengerti.”
“Bagus. Berkabar bila ada perkembangan, dan semoga itu adalah kabar baik. Karena aku tidak ingin mendengar ada kabar buruk. Kau mengerti?”
“Siap Bos.”
Pembicaraan lewat HT itu berakhir.
Orang yang memegang HT duduk sendirian di tengah hutan Amazonia. Rokok menyala di bibirnya, kelihatannya dia sedang berpikir keras. Juga seperti ada yang dia tunggu.
Kalau aku gagal di sini, bisa-bisa Bos membuat hal yang sama dengan yang kulakukan pada Alves. Batinnya ngeri membayangkan kemungkinan seperti itu.
Beberapa saat berselang, datang dua orang. Mendatanginya. Sepertinya orang yang sedang merokok dan memegang HT ini, adalah pemimpin kelompok jahat suruhan si Bos di Hutan Amazonia. Pemimpin berujar, “aku ingin mendengar laporan kalian.”
Dua orang yang baru datang segera melapor, dengan detail. Mata pemimpin terbelalak.
“Mereka bersatu lagi? Astaga. Ini bukan kabar baik. Di mana mereka sekarang?”
“Dekat sini. Sekitar 50 meter jalan kaki ke arah Barat, mengikuti sungai. Mereka mendirikan kemah di sana.”
Pemimpin berdiri. Merogoh pisau yang dia selipkan di belakang bajunya. “Sebaiknya kalian siapkan senjata kalian. Panggil juga Eder. Nampaknya dia akan sangat senang jika bisa terlibat dalam pertarungan ini.” Seringai si Pemimpin nampak sekali malam itu. Apapun yang akan terjadi, nampaknya rombongan Allary, tidak sedang baik-baik saja.
84
Arti Hidup
Malam itu, Allary mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai mengenai Terra Prometida Destino. Sementara Felix bersikukuh ingin melihat tempat itu, sampai memanfaatkan ke-skeptis-annya untuk meyakinkan Pedro. Sementara Pedro, biar dibujuk bagaimanapun, tidak mau sama sekali menunjukkan jalan ke sana. Allary dengan kemampuannya menguasai keadaan, harus mendamaikan situasi ini.
“Sudah, sudah. Tidak perlu berdebat. Felix, sebaiknya kau tidak perlu mengungkit soal ini lagi, hormatilah kepercayaan Pedro yang tidak mau membicarakan tempat itu. Mungkin bagi warga lokal, tempat itu memang sakral, dan tidak boleh kita lihat.”
“Tapi ketua...”
“Sudah,” sahut Allary, penuh penekanan, tegas sekali. Felix mengangguk, walau setengah terpaksa.
“Terima kasih ketua, atas toleransinya. Kau tahu, membicarakan hal-hal seperti itu, memang membuatku tidak nyaman.”
“Iya, sudah. Kau simpan saja untuk dirimu sendiri, Pedro.”
Pedro mengangguk, dengan tersenyum. “Sebaiknya kita tidur, ketua. Masih ada waktu sampai matahari terbit untuk kita terlelap sejenak, mengumpulkan tenaga lagi.”
“Kau duluan saja, Pedro. Kau nampak lelah. Aku tidak mengantuk. Sepertinya aku akan duduk menunggu matahari terbit di sini.”
“Baiklah kalau begitu, mungkin aku akan tidur sejenak. Sudah dua hari aku tidak tidur dengan nyaman di dalam sleeping bag.” Selesai kalimatnya, Pedro mengulet, menguap, mengantuk. Allary menyilakannya pergi.
Setelah Pedro pergi ke sleeping bag-nya, Vivi juga minta izin masuk ke dalam tenda, tubuhnya masih kurang enak. Sekali lagi, Allary menyilakan. Bahkan menawarkan bantuan. Vivi menolak. Dia bisa melakukannya sendiri, katanya. Tinggallah Allary dan Felix di perapian.
“Kau tidak mau tidur juga, Felix?”
“Tidak ketua,” jawaban Felix masih mendengus. Masih setengah kesal.
“Maafkan aku, Felix. Tapi kau harus memahami bahwa memang ada batas-batas dimana kita harus menghormati kepercayaan orang lain.”
“Iya, aku paham tentang itu, ketua. Hanya saja, sayang sekali. Sayang sekali aku tidak bisa mengetahui lebih banyak tentang tempat itu, Terra Prometida Destino. Tempat yang sama, dengan yang diceritakan oleh guruku.”
“Memangnya apa yang ingin kau cari di tempat itu?”
“Membuktikan nasihat guruku.”
“Oh ya, apa itu?”
“Mencari arti hidup,” sahut Felix lagi. Benar-benar terdengar seperti terpaksa mengucapkan hal itu. Allary terkejut mendengar kalimat Felix. Arti hidup? Jadi teman perjalanannya yang pendiam dan menjengkelkan ini juga bisa filosofis.
“Bagaimana jika arti hidupmu, bisa kau temukan di tempat lain?” Allary tiba-tiba bertanya.
“Apa maksudmu, ketua? Kau ingin meremehkan nasihat guruku?”
Melihat Felix yang menatapnya dengan marah itu, Allary malah tersenyum. “Aku hanya mengandaikan Felix. Siapa tahu itu bisa menghiburmu.”
“Kau sebaiknya tidak meremehkan tujuanku mencari tempat itu ketua. Kau sendiri melakukan hal yang sama, ketika mendaki Sarsa enam bulan yang lalu. Kau mendaki sampai Puncak Dunia untuk menemukan arti hidupmu.”
“Aku tahu itu. Justru karena itu, aku hanya ingin mengatakan, jangan membuang kemungkinan lain. Bisa saja, kau menemukan sesuatu yang berharga, sepanjang perjalanan ini bukan.”
Diskusi mereka malam itu nampaknya akan sangat menarik, andai tidak datang gangguan. Felix yang pertama kali menyadari kedatangannya.
“Sssttt, diam dulu ketua.” Felix reflek menutup mulut Allary, Allary sempat protes, mengira Felix hendak membungkamnya karena tak suka dengan kalimatnya. Tapi melihat Felix yang berjalan mengendap ke semak-semak, Allary segera paham. Ada sesuatu yang lain, sedang terjadi.
“Ada yang datang, ketua.”
“Siapa?”
“Entahlah, tapi kukira, bukan orang-orang baik. Mereka sudah dekat. Sebaiknya kita bersiap-siap.”
“Aku punya pistol.” Allary meraih saku belakangnya, mengeluarkan pistol yang dia pungut.
“Bagus, aku juga. Kau bisa menembak?”
“Tidak terlalu. Tapi aku yakin aku bisa menembak jika melihat musuh.”
“Baguslah. Sebaiknya kita mengatur tempat bersembunyi. Kita lihat apa yang mereka inginkan.”
Allary mengangguk. Situasi mereka menjadi berubah.
85
Felix si Kaki Baja
Ada empat orang yang bergerak menuju ke perkemahan Allary malam itu. Pemimpin mereka, yang berjalan paling depan, tentu saja orang yang tadi berbicara dengan Bos. Ada karakter kita yang kalah beberapa hari yang lalu juga, Eder. Kali ini dia jauh lebih siap bertarung.
“Eder, kau tunggu di sini. Siaga dengan pistolmu. Kami akan menyerang lebih dulu.”
“Baiklah.”
Si pemimpin tersenyum simpul. Kali ini kalian tidak bisa lari kemana-mana, gerombolan wisatawan sok sibuk.
Mereka makin mendekat. Allary bisa mendengar suara langkah mereka, mengendap di tengah kegelapan. Cahaya perapian mereka yang redup, belum bisa menjangkau ke arah orang-orang itu. Namun mereka masing-masing pihak, sudah masuk jarak tembak.
“Kau hati-hati, ketua.” Felix berdiri di depan, bersiaga. Dia belum memegang pistol. Allary di belakangnya yang bersiap.
“Pistol ini siap menembak kapan saja.”
“Mereka datang.”
Si pemimpin keluar dari semak-semak. Melihat Allary dan Felix sudah sedia dengan moncong pistolnya, orang itu tersenyum.
“Nampaknya kalian sudah menduga kedatangan kami ya,” katanya, menyindir.
“Suara langkah kalian terlalu nyaring. Kalian tidak pandai mengendap-endap.” Felix balas, sinis.
“Cih, wajar saja. Mereka adalah para penambang. Bukan mata-mata. Oh ya, namaku Alvarez. Kau tidak melupakanku, bukan, Felix Norton?”
Terkejut Felix mendengar orang itu menyebutnya dengan nama lengkap. Siapa orang ini. Apakah aku pernah berurusan dengannya sebelumnya?
“Kau tidak ingat, Felix? Ah sayang sekali. Kukira tadinya hari ini jadi nostalgia yang menyenangkan.”
“Tidak ada yang akan berakhir menyenangkan kali ini. Kita tidak usah berbasa-basi. Temanku sudah siap dengan pistolnya. Ayo kita selesaikan segera.”
Orang bernama Alvarez itu malah tertawa. “Astaga Felix, kau sama sekali tidak ada apresiasi dengan musuh lama. Kau sama sekali tidak menghargai usahaku yang jauh-jauh datang ke negeri ini, susah payah membujuk bos para penambang itu agar mengizinkanku untuk membereskanmu. Ayolah, kau tidak sedikitpun ingin menengok ke masa lalu itu, mengingat kembali namaku.”
“Aku sudah melupakan semuanya. Allary, tembak dia kalau dia bicara sepatah kata lagi.”
“Eh, tapi,” Allary terkejut. Satu, terkejut karena Felix menyuruhnya menembak. Lebih terkejut karena Felix memanggilnya dengan nama.
Alvarez tertawa makin kencang. “Temanmu itu sama sekali tidak bisa menembak. Ayolah, biarkan saja dia diurus oleh dua penambang yang datang bersamaku ini.”
Dua penambang muncul dari semak-semak. Bertelanjang dada.
“Apa rencanamu? Siapa kau sebenarnya?”
“Ayolah, apa kau tak ingat? Kejadian jembatan gantung di Meksiko. Kau menjatuhkanku ke air. Itu kekalahan yang paling memalukan bagiku. Kau tak ingat?”
Felix tetap tidak ingat. Dia sudah membuang seluruh masa lalunya. Ah lupakan soal nostalgia, dia harus berhitung dengan situasi. Felix harus mengalahkan dua penambang di belakang Alvarez itu dulu. Akan berbahaya bagi Allary menghadapi mereka berdua.
Lalu setelah itu, aku akan mengurus pria kurang ajar pengungkit masa lalu ini. Felix berdecak. Memasang kuda-kuda.
“Ayolah maju. Felix si Kaki Baja.”
86
Pertarungan yang Tertunda di Masa Lalu
Situasi di sana tegang. Allary dan Felix, orang bernama Alvarez itu dan dua penambang. Saling berhadapan, berhitung situasi, siaga kalau lawannya menyerang.
Felix menatap nanar ke arah Alvarez, benar-benar waspada. Lawannya itu tahu julukan yang sudah lama dia buang, Alvarez ini benar-benar mengenalnya, dia yang di masa lalu. Sementara itu, dua penambang di belakang Alvarez siap tempur, cukup satu kata dari Alvarez, mereka akan menerjang maju.
Maafkan aku ketua, kau harus melihat wujud lain dariku malam ini. Felix mengepalkan tangan, tanpa aba-aba langsung maju, menerjang.
“SERAAAAAANG!” Alvarez berteriak, mengomando dua orang penambang di belakangnya. Felix membaca langkah mereka. Sebagai petarung terlatih, dia segera tahu kalau dua penambang ini tidak mengincar dia. Mereka mengincar Allary.
BUUUUKKKK!
BUKKKKKK!
“Kalian tidak boleh menyentuh ketua. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan urusan ini.” Felix berkata dingin. Dua penambang itu langsung tumbang terkena tendangannya tepat di ulu hati. Tendangan yang sangat keras.
Alvarez melihat itu, tersenyum. “Kau memang tangguh, Felix si Kaki Baja.”
“Kau majulah kalau berani.”
Alvarez maju ke depan. Menerjang. Felix bertahan di tempatnya. Mengepal tinju. Mereka segera bertukar pukulan. Saling tangkis, saling serang. Tidak ada yang mundur, tidak ada yang mengaduh kesakitan, tidak ada yang tumbang.
Tinju dibalas tinju. Lewat beberapa puluh kali percobaan, barulah Alvarez menarik langkah. Mundur. Menghela nafas. Menyeka bibirnya. Tidak ada darah, hanya lebam-lebam.
“Kau memang tangguh. Rasanya sudah bertahun-tahun sejak terakhir kita bertarung, tapi aku tetap tidak bisa mengalahkanmu.”
“Aku akan segera menyelesaikanmu.”
“Kau jangan pikir aku bisa kalah secepat dulu kau mengalahkanku.”
“Aku bahkan tak ingat kapan aku mengalahkanmu.”
“Dasar pelupa.”
Alvarez maju lagi, dengan kakinya menendang ke arah kepala Felix. Felix menangkis itu dengan menangkupkan kedua tangannya. Tendangan itu sedikitpun tidak membuat Felix bergeming. Dia bertahan di tempat. Alvarez menarik kembali kakinya. Berdecak.
“Kurang ajar, rupanya kau berkembang sangat pesat, Felix. Baiklah, sepertinya aku tidak akan menang tanpa menggunakan ini.”
Alvarez menarik pistol yang tadi dia bawa. Menodongkannya ke arah Felix. Benda itu membuat Felix menelan ludah. Bukan mencemaskan dirinya, tapi mencemaskan Allary, Pedro dan Vivi yang ada di dalam tenda. Benda itu bisa jadi masalah bagi teman-temannya.
“Allary, bangunkan Pedro. Bawa Vivi menjauh dari sini. Tempat ini berbahaya bagi kalian. Aku akan menahannya.”
“Kau jangan berpikir bisa pergi hidup-hidup dari tempat ini.”
Alvarez menyalak. Allary sudah bergerak, sesuai petunjuk Felix. Pelatuk nyaris ditarik, namun Felix lebih gesit. Dia meloncat, menendang pistol itu. Berisiko memang, tapi harus dia lakukan.
DOOOOORRR!!
Tembakannya terlepas ke arah atas. Pistolnya terlempar. Felix tidak ambil tempo. Dia langsung menendang tubuh Alvarez, sampai terpental ke belakang. Itu memberi waktu yang cukup bagi Allary dan Pedro serta Vivi yang baru bangun, menyingkir dari tempat itu.
“Kau yakin bisa mengatasi ini sendirian, Felix?” Allary sayup-sayup bertanya sambil berlari.
Felix yang gagah berdiri, memasang kuda-kuda dengan tegas berujar. “Serahkan sisanya padaku. Aku sudah ingat siapa dia, dari ketidakmampuan dia menggunakan pistol itu. Dia benar, ini tentang aku dan dia, ini tentang pertarungan yang tertunda di masa lalu.”
87
Diam-diam
Allary, Vivi dan Pedro mengamati dari balik semak-semak di dekat situ. Pedro tadi yang menyarankan mereka mengendap-endap. Alvarez sama sekali tidak tahu kalau teman-teman Felix tidak pergi terlalu jauh. Dia masih belum bangun, memegangi perutnya yang diganjar tendangan Felix.
Felix mendekati Alvarez. Sorot matanya tajam. Wajah Alvarez meringis. Berusaha bangun.
“Kau sama sekali tidak belajar apapun setelah kujatuhkan kau di jembatan hari itu.”
“Sebaliknya,” sahut Alvarez, susah payah berdiri, “aku belajar keras, sepanjang malam, mencari cara agar bisa mengalahkan kau. Ya, tujuanku sekarang cuma itu.”
“Kau sama sekali tak belajar apapun. Kemampuanmu sama sekali tak berkembang,” sahut Felix, dingin.
Mata Alvarez langsung berkilat nyalang begitu mendengar kalimat Felix tersebut. Tinjunya terkepal, dengan sisa tenaga, dia melontarkan tubuh ke depan, hendak meninju Felix.
BUUUUUKKKKK!
Tendangan Felix lebih dulu mendarat di tubuhnya. Kali ini tanpa ampun. Alvarez tersungkur, sekali lagi. Nampaknya dia benar, Alvarez sama sekali tidak belajar apapun dari kesalahannya. “Kau masih sama dengan hari itu. Sama sekali tidak berpikir, bertindak terburu-buru, ya, masih sama.” Felix kembali mendaratkan kalimat pedasnya.
“Kurang ajar sekali kau,” Alvarez hanya bisa bersuara lirih, merasakan sakit yang teramat sangat di bahunya. Julukan Felix si Kaki Baja yang tadi disebut-sebutnya, kini benar-benar terbukti ke tubuh Alvarez sendiri. Untung tadi dia tidak memanggil Felix si Kaki Api atau Si Kaki Angin. Kalau begitu, mungkin nyawa Alvarez sudah lunas sejak tadi.
“Menyerahlah.” Felix mendekat, mengancam, mengintimidasi.
“Kau pikir semudah itu. Huh, tidak,” sahut Alvarez, nafasnya terengah-engah, “hari itu, saat kau menjatuhkan aku ke jembatan, aku tidak menyerah, begitu juga hari ini.”
“Kalau begitu, aku akan memecahkan kepalamu.” Felix mengangkat kaki kanannya, mendekat ke kepala Alvarez, cukup bagi lawan Felix itu melihat bawah sepatunya.
“Aku tidak takut dengan ancaman seperti it..... AKKHHHHH!”
Alvarez berteriak. Felix menghujamkan kakinya ke perutnya. Membuat Alvarez meraung kesakitan. Itu pemandangan yang memilukan. Bahkan Allary yang melihat dari kejauhan, jeri melihat Felix yang tiba-tiba menjadi haus darah.
“Jawaban yang salah,” kata Felix, kejam, “aku beri kau satu kesempatan lagi untuk menjawab pertanyaanku sebelum mati, siapa yang menyuruhmu? Apakah Pak Tua Dacosta itu yang menyuruhmu, heh?”
“Kau pikir aku akan menjawab pertanyaanmu. Tidak.”
“Kau benar-benar salah memilih pihak. Pak Tua Dacosta tidak akan membiarkanmu lepas begitu dia tahu kau gagal melaksanakan misi. Lebih baik kau aku habisi di sini. Dengan begitu aku juga menyelamatkanmu. Jadi kau harus berterima kasih.”
Alvarez tersenyum, senyum mengejek. “Kau jangan bercanda, Felix. Satu, aku tidak ada sangkut pautnya dengan Ketua Dacosta sialanmu itu. Sejak dulu, kami jaringan penjahat di Amerika Latin memusuhinya. Aku tidak bekerja untuknya. Jadi aku tidak berhutang budi apapun pada kau, lagipula bukan aku yang akan mati di sini.”
Felix berdecak. Kalimat Alvarez itu begitu tenang. Apa yang sebenarnya dia rencanakan. Padahal orang itu sudah Felix lumpuhkan, sudah tak berdaya. Tapi dia sama sekali tidak terlihat panik atau takut dengan kematian.
“Apa yang kau rencanakan, heh? Kau tahu, kau tidak akan bisa mengalahkanku.” Felix menancapkan ancaman lagi. Kakinya sudah bersedia, menginjak kepala Alvarez. Orang itu akan wassalam sebentar lagi.
Tapi, hei, dia begitu tenang.
“SEKARANGGG!!!!!”
Tiba-tiba Alvarez berteriak. Membuat Felix terkejut. Langsung hendak menggerakkan kakinya, menginjak lawannya, namun dia terlambat. Ada sesuatu yang datang lebih dulu.
DOOOORRR!
DOOOORR!
Dua kali tembakan. Langsung mengarah padanya. Felix tidak siap dan sama sekali tidak menduga. Dia tidak sempat menghindar. Peluru itu mengenai bahu kanannya. Membuatnya limbung, terduduk.
Kini situasinya terbalik. Alvarez yang berdiri. Sehat wal afiat. Seolah tidak terjadi apa-apa.
“Nah Tuan berkaki baja, sekarang siapa yang terburu-buru dan tidak berpikir? Hmm, mau kumulai dari mana? Kepala ya?”
BUUKKKKK!!!
Tanpa ampun, Alvarez menendang Felix sampai terjungkal. Nun di sana, Pedro menutup mulut Allary rapat-rapat, agar ketua rombongannya itu tidak bergerak.
88
Roboh Bersimbah Darah
“Kau... menyerangku.... de...nga...n ora....ng yang ber.....semb...unyi,” Felix berusaha bangun lagi. Susah payah. Namun dia tidak bisa. Paling kuat dia hanya bisa berlutut. Kepalanya terhuyung. Dia raba bahunya, mulai basah. Darahnya mulai keluar.
“Sial...”
“Menyerah saja, Felix Norton. Satu gerakan saja, penembak jitu kami bisa menghabisi nyawamu. Begitu kau dibereskan, kawan-kawanmu itu bukan masalah besar.”
Sementara itu, di tempat persembunyian Allary, tak jauh dari tempat itu. Pedro akhirnya melepaskan tangannya dari mulut Allary. Masih dengan isyarat, agar Allary tidak berteriak. Allary mengangguk.
“Kita harus menolong Felix, Pedro,” Allary berkata, selirih mungkin, berbisik di telinga Pedro. Pedro mengangguk. Dia juga punya keinginan sama, namun bukan dengan menerjang maju. “Tenang dulu ketua, kita tidak boleh bertindak sembarangan. Salah sedikit, kita justru membuat Felix tambah kerepotan.”
“Lalu bagaimana, Pedro? Aku tak akan membiarkan Felix sampai mati.”
“Aku juga ketua, tapi kita perlu rencana.”
“Kau punya.”
Pedro mengangguk. Allary balas mengangguk, “jelaskan padaku.”
“Pertama, soal penembak jarak jauh itu. Kita tidak tahu dimana posisinya, padahal dia yang paling berbahaya. Tapi kita tetap bisa menolong Felix. Dari semak-semak ini, posisi kita persis sama seperti si penembak jarak jauh. Tersembunyi dan tak terprediksi. Kau punya dua pistol?”
Allary mengangguk. Tadi Felix sempat menyerahinya satu pistol lagi. Pedro tersenyum mendengar hal itu.
“Berarti kabar baik. Kita bisa melumpuhkan mereka berdua sekaligus.”
“Bagaimana caranya?”
“Begini,” Pedro memegangi kedua pistol yang ada di sana, menyerahkan satu ke tangan Allary, “kau pegang satu, kau harus menembak orang bernama Alvarez itu dari sini. Incar bagian vitalnya, pastikan dia roboh dalam sekali serang. Nah begitu melihat temannya roboh, si penembak jarak jauh pasti akan bereaksi. Saat dia melepas tembakan, aku akan mengamatinya dan menandai dimana lokasinya. Semoga setelah itu aku langsung bisa menembaknya.”
“Lalu bagaimana dengan Vivi? Bagaimana kalau penembak jitu itu tahu posisiku dan Vivi sebelum kau menembaknya?”
“Berharaplah semoga itu tidak terjadi.”
“Rencana ini beresiko besar, Pedro.” Vivi menyela.
“Kita harus menolong Felix, posisinya sedang terpojok.” Pedro menegaskan. Akhirnya Allary mengangguk. Baiklah, rencana ini bisa mereka jalankan. Ini demi Felix.
Rencana dijalankan.
Pedro bergerak maju, menyelinap di antara semak-semak. Dia akan memantau gerakan penembak jitu dari tempat lain, sesuai rencana. Allary, sedikit gemetar mencoba membidik posisi Alvarez berdiri.
“Kamu yakin, Allary, bagaimana jika kita yang tertembak?” ujar Vivi.
“Begitu aku menembak, kamu bersembunyilah di balik pohon itu, Vi.”
“Tapi...”
“Percayalah. Rencana ini akan berhasil.”
Vivi terpaksa mengangguk.
Sementara itu, Felix masih menolak untuk menyerah. Dia bahkan menolak untuk bicara. Itu membuat Alvarez geram. Menendangnya berkali-kali. Berkali-kali pula Felix hendak membalas, namun bahunya berdenyut. Dia terpaksa menerima serangan-serangan itu.
“Dasar, ternyata selain berkaki baja, kau juga berkepala bat.... AKHHHHH!!”
DOOOOOOOORR!
Teriakan nyaring Alvarez, diiringi dengan bunyi pistol yang segera terdengar di kejauhan, Allary melepas tembakan. Mengenai bagian bawah perut Alvarez. Menyadari temannya tertembak, si penembak jitu juga bergerak.
DOOOOOORRRRR!
“AKKKKHHHHH!!!”
Bukan, bukan Allary atau Vivi yang jadi sasaran tembak. Melainkan Felix. Tembakan kedua dari kejauhan itu mengenai bahu kirinya. Namun, dengan tembakan itu, akhirnya Pedro tahu arah tembakan. Dia segera melepas tembakan.
DOOOOOOOORRRRRR!
DOOOOORRR!
DOOOORRRR!
Allary ikut melepas tembakan juga. Tembakan-tembakan bertubi-tubi dari semak-semak berbalasan. Hari itu, tembakan Allary berhasil menembus tubuh Alvarez dan melunasi nyawanya. Sementara si penembak jitu mati di tangan Pedro. Dari posisinya Allary ternganga.
Dia sudah membunuh orang lain.
Tapi bukan waktunya memikirkan hal itu, karena Felix genap roboh bersimbah darah.
89
Menyelamatkan Felix
Lima menit setelah adegan tembak menembak yang menegangkan. Allary dan Pedro sama-sama keluar dari tempat persembunyian dengan waspada. Siapa tahu, masih ada musuh yang bersembunyi. Tadi mereka sengaja mengulur waktu lima menit pun, untuk mengamati sekitar, menunggu serangan balasan. Ternyata tidak ada.
Allary dan Pedro segera menuju ke tempat Felix terbaring. Kondisi teman mereka itu sudah mengenaskan. Pakaiannya memerah karena terkena bekas darah, dia pingsan.
Allary sempat terpaku saat melewati jasad Alvarez. Allary meringis sendiri, melihat orang yang dia habisi dengan tembakan tanpa ampun. Apakah aku sejahat itu? Untungnya, Pedro langsung meneriakinya.
“Ketua, kau jangan bengong saja. Bantu aku mengangkat Felix.”
Seruan Pedro itu menyadarkan Allary. Baiklah, dia harus menepikan sejenak soal rasa bersalahnya. Felix butuh bantuan. Setidaknya ada tiga buah peluru yang bersarang di tubuhnya sekarang. Allary dan Pedro menggotong temannya itu ke tepi sungai yang lebih lapang. Vivi mengikuti dengan berlari-lari kecil. Cemas.
“Dia pingsan, Pedro?” Vivi bertanya.
Felix disandarkan ke batu besar. Pedro tidak sempat menjawab, langsung berlari lagi ke dalam hutan. Ini kondisi yang serius. Pasti Pedro berniat mencari tanaman obat untuk mengatasi pendarahan yang dialami oleh teman mereka itu. Sementara Pedro pergi, Allary menahan pendarahan di luka Felix dengan menggunakan sapu tangan.
“Darahnya terus keluar, astaga,” Allary berdecak, setengah gugup.
“Mungkin pelurunya mengenai pembuluh darah utamanya,” Vivi menyahut, “semoga kamu bisa bertahan, Felix. Kumohon bertahanlah.”
“Benar bung, kau itu kuat bukan.”
Tentu saja, Felix masih pingsan. Dia tidak mendengar seruan-seruan cemas dari Allary dan Vivi. Beberapa saat kemudian, saat Allary kehabisan sapu tangan untuk menekan luka di bahu Felix, Pedro datang. Membawa dedaunan hutan.
“Vivi, tolong cuci bersih daun-daun yang ini,” Pedro melempar seranting penuh daun kepada Vivi. Daun di ranting itu kecil-kecil.
“Sementara itu, ketua, coba kau tekan lukanya dengan daun yang satu ini,” Pedro melempar beberapa helai daun lagi pada Allary. Daun-daun yang lebar.
Allary dan Vivi segera melaksanakan perintah. Pedro sendiri terlihat meremukkan daun-daun lainnya. (Jadi ada tiga jenis daun yang tadi diambil oleh Pedro).
Proses pengobatan Felix pun dimulai. Pedro mengomando semuanya. Dia menjelaskan bahwa daun yang dipegang Allary, yang lebar-lebar itu, disebut Trsuka, berguna sebagai sterilisasi luka. Daun yang dibasuh Vivi adalah Grsuka, berguna untuk proses perapatan luka, dan daun yang dia remuk-remukkan sekarang adalah Mrsuka. Ketiganya adalah famili Suka yang memang dipercaya oleh warga lokal sebagai tanaman mujarab untuk penyembuhan luka.
Setelah semua ramuan itu tertempel ke luka, Pedro membalut luka di kedua bahu Felix dengan kain selendang yang diberikan Vivi. Proses penanganan luka selesai. Namun kondisi Felix tidak membaik. Darahnya tetap mengalir, walau tidak banyak. Dia masih tidak sadarkan diri. Wajahnya pucat.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pedro. Kita harus menghentikan pendarahannya.”
“Aku tahu ketua, seharusnya aku mengolesinya dengan minyak getah pohon crsuka. Tapi tumbuhan itu tidak kutemukan di sekitar sini.”
“Dimana kita bisa menemukannya?”
Pedro mendadak terdiam mendengar pertanyaan Allary. Dia sebenarnya tahu dimana bisa menemukan tumbuhan satu itu.
“Cepat, Pedro!” Allary berseru, setengah membentak.
“Di Terra Prometida Destino, ketua. Tempatnya tidak jauh dari sini.”
Giliran Allary yang terdiam. Jadi Pedro tahu tentang tempat itu?
90
Bawa Dia ke Terra Prometida Destino
Ya, inilah rahasia kecil Pedro.
Dia mungkin tidak seperti Turguy, yang ternyata di akhir cerita terungkap merupakan bagian dari suku yang hilang dari dunia luar, Ogenaputai. Mungkin Pedro tidak seperti itu, Pedro hanya orang biasa, dia benar-benar orang lokal.
Namun Pedro adalah warga lokal yang cinta dengan budayanya, dan memiliki jiwa petualangan yang tinggi. Dua kombinasi itu membuatnya tahu segalanya tentang legenda yang melingkupi negerinya. Lagipula, tanpa pengalaman Pedro bertualang di Hutan Amazonia, mungkin hari ini perjalanan Allary sudah berakhir.
Ya, mereka sepakat membawa Felix ke Terra Prometida Destino. Tempat yang tadi ditutup-tutupi oleh Pedro. Demi melihat Felix kesakitan, Pedro tidak tega. Apalagi tadi, Felix bertarung untuk melindungi semua orang.
“Kau di kanan, ketua. Pelan-pelan. Jangan sampai kita membuatnya tambah kesakitan.”
“Ayo kita lakukan, Pedro.”
Mereka kompak menggotong Felix ke bahu. Allary di kanan, Pedro di kiri. Mereka berjalan pelan-pelan ke Terra Prometida Destino.
“Aku minta maaf, Pedro. Gara-gara kami, mungkin tempat yang suci bagi sukumu akan ternoda.”
Pedro menoleh. Allary bicara ketika mereka sudah setengah jalan menuju Terra Prometida Destino. Pedro menghela nafas sejenak. “Iya, tidak apa-apa, ketua. Lagipula Terra Prometida Destino tidak sesakral yang kau kira?”
“Eh maksudmu?” tanya Allary cepat, apa jangan-jangan sebelumnya Pedro hanya mengarang-ngarang alasan supaya Felix berhenti bertanya.
“Eh tidak, bukan begitu maksudku, ketua,” Pedro dengan cepat menggeleng. “yang ingin kukatakan adalah, sakral yang kumaksud tadi, bukan sakral secara tradisi ataupun keagamaan.”
“Lalu sakral kenapa?”
“Karena kelestarian alam.”
“Maksudmu, mereka dilindungi agar tidak punah?”
Pedro tersenyum, hei Allary baru saja menyamakan antara suku bertelinga panjang yang mendiami Terra Prometida Destino, dengan burung dodo. Itu menarik sekali dan lucu sekali. “Ya, kurang lebih begitu, ketua.”
“Aku mulai mengerti sekarang,” Allary mengangguk-angguk.
“Akhhh....”
Tiba-tiba terdengar erangan lirih. Bukan dari Pedro ataupun Allary, bukan pula dari semak-semak, tapi dari orang yang sedang mereka panggul, Felix.
“Eh astaga, kau sudah siuman, Felix?” Allary langsung bertanya dengan gembira.
“Iya... apa... yang... terjadi.... ket...”
“Kita menang. Tapi kau terluka, parah. Kami akan segera mengobatimu. Kami akan membawamu ke tempat dimana kau bisa diobati.”
“Ya, dan sebaiknya kau tidak banyak bergerak dulu.” Pedro menyahut, sambil memberi kode, bahwa Allary jangan berpanjang mulut dulu mengenai Terra Prometida Destino. Nanti Felix malah bersemangat.
“Aku tidak apa-apa... ketua. Aku... sudah sering menerima.... akhhh...” Felix terbata-bata, wajahnya meringis menahan sakit. Hei, kenapa jadi sakit sekali. Dulu dia pernah terluka lebih parah dari ini, dan berhasil bertahan tanpa mengaduh. Kenapa sekarang beda? Apakah kemampuan tubuhnya sudah menurun?
“Kau tenang saja Felix. Kita akan sembuhkan kau seperti sedia kala. Sebaiknya kau diam saja dulu, daripada keadaan malah bertambah parah.”
“Ya, kalau kau terlalu banyak gerak, nanti ramuan yang kutempelkan di lukamu itu bisa lepas, dan lukamu akan terbuka lagi. Bertahanlah, tinggal sedikit lagi.” Pedro kembali menyahut.
Felix menurut, menutup mulutnya.
91
Tiba di Pintu Gerbang
Rombongan Allary membopong Felix selama satu jam perjalanan. Itu adalah saat-saat yang mendebarkan. Allary sebenarnya terkuras habis staminanya, tapi dia memaksakan dirinya untuk membawa tubuh Felix sampai di tempat pengobatan. Hei, jika dia bisa bertaruh nyawa untuk Man Nyi di lereng Sarsa dulu, apalagi dengan Felix sekarang.
Tapi akhirnya, seluruh jerih payah dan tenaga yang terkuras itu, terbayar lunas.
Rute menuju Terra Prometida Destino amat membingungkan. Pedro berkali-kali menandai pepohonan, mencoret tanah, mengenali akar-akar tumbuhan rambat. Beberapa kali Allary merasa perjalanan ini berputar-putar. Vivi bahkan sempat protes (dengan nada takut), bilang bahwa mereka hanya berputar-putar. Pedro menyahut santai.
“Memang begitu, memang begitu rute menuju Terra Prometida Destino. Tempat itu memang disembunyikan dengan cara begini. Dengan seolah-olah kita hanya berputar-putar. Tenang, aku telah menghafal rutenya. Kita tidak akan tersesat.”
“Jadi kau sudah pernah ke sana, Pedro?” Allary tak habis pikir.
“Secara teknis, iya, ketua.”
“Astaga. Apa jangan-jangan kau memang keturunan suku yang menghuni tempat tersembunyi itu?”
Pedro terkekeh kecil. “Sudah kubilang bukan, ketua. Aku lahir di Rio. Besar sebagai orang Rio. Baru saat dewasa saja aku pindah ke Manaus.”
“Lalu bagaimana bisa kau mengetahui seluk beluk hutan ini, sampai mengetahui lokasi paling tersembunyinya? Entah kenapa aku sulit memahaminya, Pedro.”
“Aku seorang petualang ketua. Orang yang benar-benar kecanduan dengan petualangan. Di umur belasan, aku pernah menyelinap dari rumah, ikut pamanku, bertualang ke dalam hutan. Kami terlantar di hutan selama dua bulan, bahkan pamanku bisa membuat peta hutan saat itu. Sejak saat itu aku terus mencari dan mencari sesuatu dalam hutan ini. Kurasa kakiku sudah menjelajah di lebih dari 85% wilayah Amazonia.”
“Benar-benar petualang sejati.”
Pedro tersenyum lebar mendengar pujian tersebut. “Terima kasih, ketua. Nah. Kita sampai. Di seberang sungai sana, adalah Terra Prometida Destino.” Pedro menunjuk ke seberang sungai. Allary tidak begitu nampak melihat, sebab rimbun daun menutupi segalanya. Sekilas nampak seperti bagian hutan biasa.
“Iya, memang seperti bagian hutan yang biasa,” ujar Pedro menanggapi protes Vivi. Pedro meraih kalung yang ada di dalam bajunya, mencelupkannya ke air, terlihat komat-kamit sebentar, lalu dia memasukkan kalungnya itu lagi, ke dalam bajunya.
“Kalian tunggu saja di sini ya. Aku akan ke seberang lebih dulu. Mencarikan perahu. Sebenarnya kalian bisa saja berenang ke sana, tapi kita tidak mungkin memasukkan Felix ke dalam air. Tunggulah.”
Pedro nyemplung ke dalam sungai, dilihat dari riak airnya, sepertinya Sungai Amazonia di sebelah sini, lebih dalam dari yang pernah mereka lalui. Pedro berenang dengan gesit, meski jarak ke tepian seberang, lebih dari 20 meter. Setelah naik ke tepian, Pedro menghilang di antara pepohonan. Allary tidak bisa melihat apa-apa lagi setelah itu.
Hampir 15 menit kemudian, dan 25 menit untuk Pedro muncul kembali di hadapan mereka, membawa perahu kecil, lengkap dengan dayungnya.
“Nah, ayo kita pergi. Mereka bersedia menerima kedatangan kita, dengan alasan darurat. Jadi kalian jangan macam-macam ya.”
Allary dan Vivi jeri mendengar peringatan itu.
Pelan-pelan Felix yang pingsan lagi, dinaikkan ke atas perahu. Kemudian Allary dan Vivi ikut naik. Perahu sempat bergoyang saat Vivi naik, membuatnya berteriak panik. Untung Allary segera memegangi tangannya. Vivi tidak terjatuh.
“Hati-hati, Vi.”
“Maafkan aku, Allary. Kau tahu, untuk ukuran orang yang menghabiskan waktu di kaki pegunungan bersalju, pengalaman naik perahu seperti ini, mendebarkan bagiku.”
Tidak ada yang berniat membahas soal pegunungan bersalju ataupun asal usul dari Vivi. Semua terfokus pada daratan yang sebentar lagi akan mereka kunjungi. Terra Prometida Destino. Pelan-pelan Allary dan Pedro saling mendayung.
92
Pesona Negeri yang Dijanjikan
Kondisi Felix stabil. Dia mungkin pingsan dan wajahnya semakin memucat, tapi nampaknya, ramuan yang disumpalkan Pedro ke lukanya, lumayan ampuh. Tanpa itu, mungkin Felix sudah mati sejak satu jam yang lalu.
Atau memang karena Felix adalah seorang yang tangguh?
Di atas daratan seberang, Terra Prometida Destino, seseorang sudah menunggu mereka. Penampilan orang itu sungguh mendebarkan. Matanya tajam, raut wajahnya sangar, rambutnya tegak berdiri, seluruh tubuhnya diselimuti semacam jubah bermotif totol jaguar, nampaknya itu produk asli hutan Amazonia. Namun yang paling menarik perhatian adalah bagian ujung telinganya memanjang hingga menyentuh bahunya.
Dia adalah bagian dari suku telinga panjang, penghuni asli Terra Prometida Destino.
“Selamat datang, La Pedro dan teman-temannya di Negeri Kami. Patut kuingatkan bahwa hanya karena kau bilang temanmu sakit parah, kami mau menyambut kalian di sini.” Sambil berkata, orang itu mengeluarkan dari dalam jubah, sebuah tombak yang bahkan kelihatannya lebih panjang dari jubahnya sendiri. Hei bagaimana itu bisa masuk akal. Allary urung bertanya, karena Pedro tadi sudah memperingatkan untuk menjaga kesopanan di tempat ini.
“Terima kasih atas sambutan dan kesediaan membantunya, La Goyo, kami akan berhutang padamu,” Pedro berdiri, naik ke daratan, menjabat tangan orang bernama La Goyo itu. Raut wajahnya tidak senang, menatap awas pada Allary dan yang lainnya yang juga naik ke dataran. Berdiri di hadapannya.
“Oh ya, La Goyo, perkenalkan, ini teman-temanku. Allary, Vivi dan yang terluka, Felix. Merekalah yang sudah bertarung membela kehormatan hutan ini dari tangan orang-orang serakah. Dan kalian semua, perkenalkan ini temanku, La Goyo namanya.”
Allary dan Vivi mengangguk, La Goyo masih memperhatikan mereka dengan tatapan tajam. Curiga.
“Ah ya, hanya karena itulah kami mau menerima kalian. Mari ikuti aku. Kalian akan diantar ke ruang penyembuhan. Dan satu lagi, aku kenalan La Pedro. Bukan teman.”
“Ya, ya, baiklah. Aku cuma kenalanmu, La Goyo. Sudahlah, mari langsung ke inti masalah kenapa kami datang. Ayo.”
“Ya. Mari. Oh ya, aku peringatkan kalian semua untuk tidak merusak negeri kami. Walau seujung rumput pun.”
La Goyo menuntun mereka menuju masuk ke daratan utama, melewati pohon-pohon. Sebelum berjalan, Pedro meminta semuanya melepas alas kaki. Agar tidak merusak ujung rumput katanya. Allary jeri, sedemikian tidak bersahabatkan orang-orang bertelinga panjang ini.
Masalah keramahtamahan itu mungkin relatif saja. Tergantung adat istiadat masing-masing. Tapi keindahan yang terpampang di depan sungguh mutlak.
Deretan pohon yang bersusun rapi di pinggir sungai. Buah-buahan yang nampak ranum berwarna jingga menggelantung di pohon-pohon. Bahkan rumput yang diinjak Allary dan yang lainnya, terasa begitu lembut.
Tempat ini bak surga!
93
Operasi Ala Suku Telinga Panjang
Allary pikir apa yang tadi dia lihat sudah menakjubkan. Tapi ternyata, setelah melewati barisan jalan setapak tersebut, rombongan Allary disambut oleh pemandangan yang jauh lebih menakjubkan.
Sebuah dataran padang rumput yang luas. Sangat luas, tidak ada pepohonan sejauh mata memandang. Sebagai gantinya, ada banyak rumah suku telinga panjang yang tak kalah menakjubkan dibandingkan bagian hutan tersembunyi tempat mereka tinggal.
Rumah-rumah itu berbentuk bulat melingkar, dengan atap kerucut. Mirip dengan rumah orang-orang Papua di Indonesia sana kalau Allary tak salah ingat. Bedanya rumah orang-orang di sini dindingnya terbuat dari kayu-kayu besar yang kokoh, dan papan-papan tipis. Suku telinga panjang pasti hebat dalam ilmu konstruksi bangunan.
Ada sederet rumah di sana. Susunannya sangat acak. Kawasan perumahan yang berdiri di atas padang rumput itu, dikelilingi oleh sungai Amazonia yang berkelok melingkar. Di tepi sungai berjejer pohon-pohon dengan buah ranum berwarna ungu. Sudah dibilang, kalau pemandangan di Terra Prometida Destino macam sebuah lukisan. Tempat abstrak namun nyata.
“Mari bawa teman kalian itu ke sebelah sini,” La Goyo berbelok, menuju salah satu rumah yang besar. Terlihat ada dua orang suku telinga panjang yang menjaga di depan pintu rumah itu. Membawa tombak, khas pemandangan kastil abad pertengahan. Allary takjub.
“Ini benar-benar tempat yang indah ya, Vivi.”
Vivi mengangguk, tersenyum, “kamu benar, Allary. Andai saja Felix sadar, mungkin dia juga akan tersenyum.”
Entah kenapa Allary merasakan ada sengatan listrik kecil, tapi tak hirau, “memangnya kenapa dengan Felix?”
“Bukankah kemarin dia yang bersikeras ingin melihat tempat ini?”
“Benar juga. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.”
“Semoga dia selamat, Allary.”
“Aku juga berharap demikian.”
Mereka sampai di depan bangunan yang dimaksud La Goyo. Para penjaga bersiaga dengan tombaknya. La Goyo mengangkat tangan. Tombak diturunkan. “Serahkan saja teman kalian itu padaku. Kami akan mengobatinya di dalam. Kalian tunggu di luar saja.”
Allary sebenarnya ingin protes. Hei, Felix adalah temannya, dia berhak tahu bagaimana proses penyembuhan temannya itu. Apalagi dia ketua rombongan ini. Tapi sekali lagi Allary urung protes. Teringat pesan Pedro agar tidak macam-macam di sini.
Felix dibawa masuk ke ruangan. La Goyo sendiri yang memapahnya.
Di dalam, ada semacam meja dan dua orang sudah menunggu di depan meja tersebut. Agaknya mereka adalah paramedis, dan itu adalah meja operasi. La Goyo mengangkat Felix ke atas meja. Sungguh kuat tenaga orang itu. Felix sendiri masih pingsan, belum sadar.
Operasi pun dimulai.
Felix yang dibaringkan, disuntik dengan semacam cairan pembius dari suku telinga panjang. Suntikan yang mereka pakai agak menyeramkan, yaitu duri tumbuhan hutan yang amat panjang. Begitu cairan pembius meresap dalam tubuhnya, Felix tidak akan sadar sampai proses operasi selesai.
Dua dokter segera bekerja. Mereka membersihkan luka di bahu Felix. Begitu bercak darah dibersihkan, terlihatlah luka yang menganga. Dokter segera tahu kalau itu luka bekas peluru. Mereka segera mengecek apakah ada peluru yang tertinggal di tubuh Felix Norton. Begitu memastikan tidak ada benda yang tertinggal, dan luka itu telah bersih, berikutnya, giliran ramuan yang bekerja.
Salah satu dokter mengambil botol kaca. Di botol tersebut terdapat minyak yang segera dituangkan hati-hati ke daun hijau yang besarnya setelapak tangan. Minyak itu segera dioleskan ke luka di bahu Felix. Setelah memastikan seluruh bagian luka, di bahu kanan itu terolesi oleh minyak, dokter (atau lebih tepat jika kita sebut tabib/dukun) menutupi luka itu dengan daun hijau tadi dan memperbannya dengan perban yang sebelumnya dipakai oleh Felix.
Proses diulang di bahu kiri Felix yang juga terluka.
Sepanjang proses, La Goyo memperhatikan dengan saksama. “Bagaimana keadaannya? Apakah dia selamat?” tanyanya setelah semua sesi operasi dan pengobatan selesai.
“Ah dia baik-baik saja. Siapapun orang ini, dia tahu bagaimana cara menyelamatkan dirinya. Tumbuhan yang dia sumpalkan ke lukanya, adalah tumbuhan yang tepat untuk menghentikan pendarahan.”
“Ya, dia teman La Pedro.”
Dua dokter itu manggut-manggut. “Kau boleh mengantarnya kembali teman-temannya. Beberapa saat lagi, dia akan bangun. Pengaruh biusnya sudah habis.”
La Goyo merengkuh tubuh Felix dari atas meja. Sekali lagi dengan begitu mudah. Membawanya keluar.
94
Kepala Suku Telinga Panjang, La Padodo
“Kira-kira apa yang akan mereka lakukan pada Felix, Pedro?” Allary bertanya, sedari tadi dia tidak duduk tenang.
“Tenanglah ketua. Mereka, suku telinga panjang memang bukan orang-orang yang ramah, aku akui itu, tapi mereka adalah orang-orang yang terhormat. Mereka akan membantu kita, mereka akan menepati kata-katanya. Itulah suku telinga panjang.”
“Iya Pedro, tapi apa yang mereka lakukan di dalam sana? Kita kan tidak tahu.” Vivi menyahut, ternyata dia juga cemas, meski dari tadi diam saja.
“Mana kita tahu kalau ternyata mereka kanibal.”
“Jangan sembarangan kau, ketua,” Pedro menyergah. “Percayalah, mereka adalah orang-orang yang terhormat. Mereka akan menangani Felix dengan baik. Aku yakin mereka punya ramuan-ramuan herbal, minyak oles, atau semacamnya, yang ampuh menyembuhkan luka-luka Felix.”
“Semoga saja.”
“Hei,” Pedro menepuk-nepuk pundak Allary, “kau ingat ketua, aku bilang bahwa hutan ini bisa diibaratkan sebagai sebuah ensiklopedia. Jika Amazonia adalah ensiklopedia setebal 500 halaman, maka yang aku ketahui, tidak sampai seratus halaman. Sedangkan Suku Telinga Panjang, boleh jadi telah membaca lebih dari 400 halaman. Mereka berpengetahuan.”
Allary sama sekali tidak bisa tenang walau sudah mendengar penjelasan itu. Di tengah-tengah semua itu, rombongan Allary yang tengah duduk di tepi sungai, didatangi seseorang. Bukan orang sembarangan.
“Selamat siang tuan dan nona, selamat siang La Pedro.” Orang itu berucap, tersenyum. Allary terpana. Postur tubuhnya tinggi, besar, menjulang, juga gempal. Tubuhnya ditutupi dengan jubah totol jaguar seperti yang dikenakan La Goyo, hanya saja lebih besar, lebih seram. Lengkap dengan rumbai-rumbai bulu burung. Tombaknya juga lebih besar. Pedro pun ternganga. Dia mengenali orang itu. Lekas berdiri.
“Tuan La Padodo.” Pedro menyalami orang itu, berusaha menyalaminya. Allary terdiam, masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi sekarang. Sampai Vivi yang di sebelahnya, menyikutnya.
“Selamat datang, selamat datang di Negeriku, La Pedro. Teman kalian terluka bukan? Kenapa kalian malah menunggu di sini?”
Akhirnya Alary ikut berdiri, menyambar tangan La Padodo. “Terima kasih tuan. Maaf tapi tadi kami diminta menunggu teman kami itu di luar ruangan.”
Orang besar bernama La Padodo itu, menarik tangannya, seolah tidak ingin Allary bersalaman dengannya. “La Pedro, sepertinya kau lupa memperkenalkan diriku.”
Pedro ternganga lagi, walau hanya sebentar. “Ah iya, maafkan aku, Tuan La Padodo. Allary, perkenalkan, beliau adalah penguasa di sini, kepala suku telinga panjang, Tuan La Padodo. Dan Tuan, perkenalkan ini kepala rombongan saya, Allary namanya.”
“Apa, La Allar?” Tuan La Padodo terlihat seperti kesulitan mengucapkan nama Allary.
“La Allary, Tuan.”
“Hoo, La Allari,” Tuan La Padodo, masih terlihat kesulitan mengucapkan nama Allary, sepertinya namanya susah diucapkan oleh lidah orang sini.
Sepertinya juga sudah kebiasaan orang di sini, menambahkan kata La di depan nama orang. Namun Allary dengan cepat bisa memaklumi hal tersebut. Apalagi ini urusannya dengan seorang kepala suku. Allary berusaha menguasai keadaan.
“Tidak apa-apa Tuan. Saya mengucapkan terima kasih karena bantuan dari tuan dan negeri tuan. Berkat tuan, teman kami...”
“La Pedro, kenapa kita tidak membicarakan hal ini di meja makan saja, ajak teman-temanmu. Mari.”
Sekali lagi Tuan La Padodo seperti tidak menggubris kata-kata Allary. Dia berbalik langkah, tak perlu kata-kata lagi, kekuatan aura yang dia miliki, seolah mengikat kaki-kaki Allary, Vivi dan Pedro untuk mengikuti langkahnya.
95
Keinginan Tuan La Padodo
Tuan La Padodo tidak bercanda. Meski gaya agak aneh, acuh tak acuh, tidak ramah, namun beliau benar-benar mengajak rombongan Allary masuk ke salah satu ruangan, dan di dalam ruangan itu sudah disiapkan makanan.
Allary seperti dilanda deja vu, perjamuan di Negeri Orang Gunung. Makanan di tempat antah berantah dan tidak terlihat di peta memang unik-unik.
Di meja makan, tertata makanan-makanan unik yang tidak pernah diliihat oleh Allary, Vivi maupun Pedro. Ya, bahkan Pedro tidak pernah dijamu makanan oleh orang dari suku telinga panjang. Ini membuatnya sedikit curiga. Tapi ah ya, lupakan saja, coba lihat makanan yang tertata di meja. Buah-buahan yang ditusuk-tusuk, ikan-ikan bakar, minuman di wadah-wadah yang besar, warna kuning menyegarkan.
“Mari silakan duduk, La Pedro, La Allari.”
Allary menarik nafas lega. Akhirnya Tuan La Padodo memanggil namanya. Mereka bertiga duduk. Vivi tidak lepas-lepas memandangi mangkuk di depannya, mangkuk yang diisi semacam bubur gandum. Tapi hei, apakah gandum juga ditanam di sini? Batin Vivi bertanya-tanya.
“Mohon maaf Tuan La Padodo, bukannya saya meragukan tuan atau bagaimana, tapi saya harus memastikan. Apakah dari makanan yang ada di meja, ada yang mengandung alkohol?”
Tuan La Padodo sekilas terganggu dengan pertanyaan Allary barusan. Tapi apa boleh buat. Dia tidak boleh meminum alkohol. “Tidak ada, La Allari. Makanan ini aman dari alkohol.”
Baiklah, Allary lanjut makan, mulai menyendok.
Di saat yang betul-betul tepat, Felix datang digotong oleh La Goyo. Allary sekali lagi melepas sendoknya. Menyambut kedatangan temannya itu. Membantunya duduk di atas kursi, di sebelahnya. Felix sudah setengah sadar.
“Ketua... kita sebenarnya ada dimana?” Felix bersuara. Lemah.
“Tidak penting dulu dimana kita sekarang, yang terpenting, apakah kau baik-baik saja?”
Felix memegangi bahunya, sudah dibebat, ekspresi meringisnya juga sudah hilang. Saat tadi pertama siuman saja, yang terasa berdenyut. “Aku baik-baik saja. Sejak kapan pula aku terlihat tidak baik-baik saja.”
“Syukurlah. Berterima kasihlah kepada Tuan La Padodo, karena berkat bantuan beliau dan rakyatnya, kau berhasil dipulihkan.”
“Tuan La Padodo? Dia?”
Felix menggerakkan tangannya, menunjuk. Itu membuat Tuan La Padodo tidak nyaman. Pedro memberi isyarat agar Felix lebih sopan memainkan tangannya. Tapi dasar Felix, dia tidak peduli dengan sopan-santun.
“Maafkan dia, Tuan La Padodo. Dia baru saja sadar dari pingsan. Sepertinya pikirannya belum tenang,” akhirnya Pedro yang menyahut.
“Tidak apa-apa,” sahut Tuan La Padodo, namun ekspresinya jelas mengatakan sebaliknya, “kebetulan, karena kau sudah sadar, kita bisa segera memulai pembicaraan. Lebih enak juga bicara sambil makan.”
Allary menyernit, Vivi dan Pedro melongok, sementara Felix, ya, dia tidak peduli. Ada apa? Apa yang ingin dibicarakan oleh Tuan La Padodo? Allary memandang pada Pedro, meminta pendapat. Pedro mengangkat bahu, dia sama sekali tidak bisa menebak. Apa yang dimaksud Tuan La Padodo, Pedro sama sekali tidak bisa menebak-nebak.
“Mohon maaf, ada apa, Tuan?” Allary mencoba bertanya, memberi kode pada Pedro agar diam, dan menyuruh membungkam Felix jika dia menyahut macam-macam. Biar dia yang bicara, biar dia mengurus ini, dia adalah ketua rombongan ini.
“Ah ya, La Allari, ini soal balas budi.”
“Balas budi?” menyernit kening Allary dibuatnya.
“Ya, balas budi,” Tuan La Padodo mengucapkan kalimat dengan penuh penekanan, “seperti yang kalian lihat, kami sudah membantu kalian, mengobati dan menyelamatkan teman kalian itu,” Tuan La Padodo menunjuk pada Felix.
Allary melihat pada Pedro lagi. Kenapa dia tidak bilang ada sistem balas budi begini. Sekali lagi pula, Pedro mengangkat bahu, dia tidak tahu apa-apa.
Astaga, berarti ini di luar rencana kami, Allary berdecak dalam hati, tapi tidak lama, dia bisa menguasai keadaan, balas budi ya, tidak mengapa. Dia senang berbuat baik pada orang.
“Baiklah. Kalau boleh tahu, apa yang bisa kami bantu untuk membalas budi baik Tuan La Padodo dan rakyat negeri tuan?” Allary bertanya, halus.
“Dia,” Tuan La Padodo menunjuk, penuh keyakinan.
“Dia? Apa maksud Tuan?” Allary bertanya-tanya.
“Ya, tinggalkan dia di sini. Aku membutuhkannya. Aku membutuhkannya sebagai pendamping baruku.” Allary menyernit kening. Tidak pernah dia mendapati situasi macam begini. Sementara yang ditunjuk merasa panas dingin.
Dia adalah Vivi.
96
Tuan Tidak Boleh Mengambil Vivi
Allary merasa bingung sekali. Pendamping baru? Apakah dia tidak salah dengar?
“Maksud Tuan bagaimana? Boleh diperjelas.”
“Maksudku jelas, La Allari, kau tahu, aku adalah raja. Raja memerlukan banyak selir. Wanita itu bisa jadi selirku berikutnya.”
Allary menelan ludah. Vivi pucat pasi. Sebuah deja vu berjalan dalam pikirannya. Matanya terbuka dan terpejam dengan cepat. Vivi berharap ini hanya mimpi.
“Kalian masih belum paham? Mudahnya begini saja, kami telah menyembuhkan teman kalian itu, jadi kalian harus menyerahkan teman wanita kalian, yang itu, kepadaku, untuk jadi istriku, itulah balas budi yang kuminta dari kalian.”
Semua terdiam. Allary, Vivi, Pedro dan bahkan Felix terkejut mendengar kata-kata La Padodo. Semua terlalu mengejutkan.
“Bagaimana? Apakah aku perlu mengambil kembali jasa yang kami berikan? Dengan kekerasan.”
SNAP!!
Sekali petikan jari dari Tuan La Padodo, tiba-tiba di sekeliling ruangan, muncul orang-orang membawa tombak. Felix meringis. Bahunya tiba-tiba berdenyut-denyut. Astaga, bagaimana dia bertarung dengan bahu berdenyut-denyut begini.
Allary menggigit bibirnya, suasana berubah demikian cepat. Vivi gelisah. Pedro juga. Bagaimana mereka mengatasi keadaan ini.
“Sekali lagi kutanya, sekali saja, bagaimana La Allari, La Pedro? Bagaimana jawaban kalian? Cepat putuskan.”
Suara Tuan La Padodo benar-benar terdengar menekan mereka semua. Felix mengepalkan tangan, meski wajahnya masih meringis sesekali, dia siap bertarung. Dia akan menghajar orang sok berkuasa ini. Dia tidak tahu berhadapan dengan siapa.
“Felix,” Allary menegur Felix, memberi isyarat agar Felix tetap tenang. Kemudian Allary menatap sekilas pada Vivi, Pedro memberinya anggukan. Biar aku yang mengatasi ini, akulah ketua rombongan ini. Allary mengangguk mantap.
“Tuan La Padodo, saya sangat menghormati anda. Saya sangat berterima kasih pada kebaikan anda pada kami. Berkat bantuan Tuan, teman kami bisa sembuh. Kami akui, kami memang berhutang budi. Akan tetapi, harus saya katakan, teman wanita kami, Vivi namanya, adalah anggota rombongan yang berharga. Kami tidak bisa meninggalkannya di sini.”
“Itu berarti kau menolak menyerahkannya? Kau menolak balas budi?” Tuan La Padodo menyahut, suaranya seram.
“Secara tidak langsung seperti itu, Tuan. Tapi saya bisa menawarkan balas budi lainnya. Misalnya kami bisa membantu anda mengurus pertanian, memetik buah, atau membuatkan makanan yang lezat.”
“Tidak bisa. Balas budi sudah ditentukan. Apakah kalian tidak pernah diajari tentang itu di dunia luar sana.”
“Hei, mana ada balas budi yang ditentukan bentuknya seperti itu,” Vivi tiba-tiba menyahut, akhirnya dia bersuara. Habis sudah kesabarannya. Tuan La Padodo malah tersenyum. “Ah indah sekali suaramu, sungguh balas budi yang sempurna.”
“Saya rasa, anda hanyalah orang mesum yang mengatasnamakan kebaikan untuk memenuhi nafsu bejat anda.”
“Apa kau bilang?” TuanLa Padodo menatap Allary tajam-tajam.
“Saya bilang, anda sendiri tidak paham bagaimana konsep balas budi. Anda tidak paham tentang konsep kebaikan.” Allary menyahut pedas, habis juga kesabarannya melihat Vivi dirayu-rayu secara tak senonoh macam begitu di depan wajahnya.
“Kau menghinaku.” Tuan La Padodo berusaha menjaga intonasi suaranya, wajahnya memerah. Murkanya ada di depan pintu.
“Kami tidak takut dengan anda, ataupun pasukan anda,” dan Felix menyahut, memberi serangan terakhir yang telak. Membuat Tuan La Padodo menggebrak meja. “TANGKAP MEREKA SEKARANG!”
Pedro genap meloncat dari kursinya, menghindari tangkapan. Sementara Allary, Vivi dan Felix sama sekali tidak sempat menghindar. Serangan pasukan Tuan La Padodo terlalu cepat. Mereka bertiga kena ringkus. Tombak-tombak tajam ditempelkan ke pelipis Allary dan Felix. Siap menuntaskan riwayat mereka.
Pedro dengan cepat mengambil posisi berlutut di depan Tuan La Padodo. “Tuan, maafkan tindakan teman saya yang lancang. Saya kira itu terjadi karena perbedaan cara pandang saja. Tolong maafkan mereka, tolong bebaskan mereka. Sebagai gantinya, saya akan merelakan wanita yang anda inginkan itu, tetap tinggal di sini.”
Terperanjat Vivi mendengar kalimat Pedro itu.
“Mereka menghinaku, La Pedro. Mereka menghinaku.” Suara kepala suku itu masih terdengar menggeram.
“Maka ampunilah mereka. Saya yakin, Tuan La Padodo berhati mulia. Lagipula sebagai gantinya, anda jadi dapat selir yang anda inginkan. Saya mohon Tuan, saya mohon.”
Melihat Pedro bersimpuh sedemikian rupa, ditambah tawarannya yang memang menggiurkan, Tuan La Padodo, tersenyum simpul.
97
Para Pemburu Harta Karun
Tak bisa digambarkan lagi bagaimana Allary hendak mengamuk saat digiring keluar dari ruang pertemuan itu. Dia menyumpah-nyumpah, Felix juga berkata-kata kasar. Hanya saja Felix tidak bisa meronta-ronta, bahunya berdenyut-denyut. Hanya Pedro yang keluar dengan kepala tegak tanpa digiring atau dipegangi.
Tuan La Padodo, telah menyetujui gagasannya. Allary dan Felix diampuni, tapi mereka terpaksa meninggalkan Vivi sebagai bahan kesepakatan. Bahan balas budi. Setelah menyetujui sarannya, Tuan La Padodo, menyuruh Pedro dan kawan-kawannya pergi. Pedro menyanggupi dengan satu syarat, mereka dijamin selamat sampai ke perbatasan. Tuan La Padodo mengangguk, setuju.
Begitulah pertemuan mereka, di Terra Prometida Destino berakhir dengan sangat tidak menyenangkan.
“KEMBALIKAN VIVI! Dia anggota tim kami yang berharga!” Allary masih berteriak, meronta, hendak melawan. Untungnya orang-orang bertombak yang membawanya, patuh pada pesan La Padodo, jadi Allary tidak dicelakakan.
“LEPASKAN AKU! Aku harus bicara dengan pemimpin kalian itu! Dia tidak bisa berbuat seenaknya begini pada rombonganku!” Allary masih meronta-ronta di atas perahu yang membawa mereka ke seberang. Ada tiga perahu di sana, mereka masing-masing dinaikkan di perahu yang berbeda. Allary, Pedro dan Felix. Dua orang yang memeganginya mengisyaratkan agar dia diam.
“SUDAH KUBILANG LEPAS!” di rontaannya yang terakhir, tepat sebelum mencapai dataran seberang, Allary berhasil melepas pegangan orang-orang itu. “Camkan baik-baik, aku adalah ketua rombongan ini. Kalian tidak bisa mengambil Vivi tanpa persetujuanku.” Allary menunjuk-nunjuk ke wajah orang yang dari tadi memeganginya. Raut Allary merah padam. Amarahnya menggelegak.
“Banyak omong kau.”
BYUUUURRRR!
Tiba-tiba, tanpa kode sedikitpun dua orang yang berada seperahu dengan Allary memeganginya, melemparnya ke air sungai Amazonia. Tersenyum puas mereka. Sungai itu tidak begitu dalam, jadi seharusnya Allary selamat.
“Hei apa yang kalian lakukan!” Pedro dari belakang berteriak. “Kalian sudah menjamin keselamatan kami sampai ke seberang.”
“Sudah, sudah. Tenanglah, La Pedro.” La Goyo yang duduk seperahu dengan Pedro menenangkannya, “temanmu itu tidak apa-apa. Dia selamat. Lagipula sudah mencapai daratan seberang.”
Felix diam saja melihat semua itu. Bahkan dia diam saja saat disuruh turun dari perahu. Pedro turun dengan tenang, sementara Allary naik dari air, basah kuyup. Hatinya mendongkol. Suku Telinga Panjang ini memang tidak tahu adat, dulu orang Ogenaputai jauh lebih baik dalam memperlakukannya.
“Sudah, masalah kita sekarang sudah selesai. Silakan kalian lanjutkan perjalanan kalian. Masalah kita sudah habis sampai di sini. Kalian boleh berjalan dengan aman ke sisi seberang hutan.” La Goyo berteriak dari atas perahu yang perlahan mulai menjauh dari daratan tempat Allary berpijak sekarang.
“Terima kasih bantuanmu, La Goyo. Maaf jika kami merepotkan.”
“JA....” Pedro buru-buru menutup mulut Allary yang hendak menyahut. Begitu utusan suku Telinga Panjang sudah menjauh barulah Allary bisa bebas bersuara.
“Pedro, apa yang kau pikirkan! Kita meninggalkan Vivi di seberang sana, kita meninggalkan Vivi! PAHAM KAU PEDRO!”
“Aku tahu, ketua. Aku tahu. Tapi keputusan ini yang terbaik. Kalau tidak, kita bertiga bisa tidak keluar hidup-hidup dari tempat itu.”
“Tapi Pedro, Vivi...” suara Allary terputus. Saking kesalnya dia.
“Mungkin ini keputusan yang sangat berat, ketua. Tapi kau tahu, begitulah jadi seorang ketua. Kau harus membuat keputusan, dan terkadang keputusan itu boleh jadi sangat tidak menyenangkan.”
“Tapi tadi kau yang membuat keputusannya. Seharusnya kau biarkan aku bicara dulu dengan kepala suku itu, mencari solusi yang lebih baik.”
“Lebih baik apanya!” Pedro menyergah, “kalau kau dibiarkan mengoceh lebih lama di sana, kita bertiga akan kehilangan kepala. Dan jika kita terbunuh, Vivi tetap akan diambil juga oleh Tuan La Padodo. Ya walau harus kuakui, aku tidak tahu ternyata sifatnya seperti itu.”
Allary menggeram. Untuk pertama kalinya, atau yang kedua, dalam hidup, dia begitu kesal. Tapi dia tidak bisa menumpahkan kekesalannya itu.
“Maafkan aku, ketua. Ini semua salahku. Ini semua gara-gara aku.” Felix yang sedari tadi diam, bersandar di batang pohon tiba-tiba bersuara. “Seandainya aku bisa bertarung, aku akan hajar kepala suku itu dan akan kupotong telinganya.”
“Hush, kau jangan berkata yang tidak-tidak, Felix.”
Felix kembali diam, menghela nafas, mengelus lukanya. Dia terlihat melankolis. Nampaknya luka yang berdenyut-denyut adalah sesuatu yang serius.
“Hei, siapa mereka?!” Tiba-tiba Allary berseru.
“Siapa, siapa apanya, ketua?”
“Mereka!” Allary menunjuk ke sisi barat sungai, nampak ada perahu yang menyeberang menuju sisi Tanah Suku Telinga Panjang. Pedro menajamkan penglihatannya. Dia sepertinya kenal perahu itu.
“Mereka terlihat seperti para pemburu harta karun.”
“Pemburu harta karun?” Allary menyernit kening.
“Bukan, bukan harta karun semacam itu. Pemburu harta karun, adalah sebutan untuk utusan pemerintah yang ditugaskan mengobservasi hutan guna kepentingan industri.”
“Maksudmu, mereka ingin merusak hutan?”
“Kurang lebih begitu,” Pedro mengangguk.
“Bagus. Ayo kita ikuti mereka.”
Pedro dan Felix sama terkejutnya mendengar kalimat Allary. Sementara sang ketua kita itu tersenyum. Akhirnya ada yang bisa jadi lampiasan kekesalannya.
98
Rencana Besar Aktor Besar
Kurang lebih 12 jam sebelum kejadian yang menimpa Allary dan kawan-kawan. Tepat setelah memberi intruksi pada Alvarez dan tiga orang penambang, Bos mereka, bos yang bicara lewat telepon, mengontak orang lain. Teleponnya menyeberang ke pusat Kota Rio.
“Halo,” sapa suara berat di seberang telepon pada Bos.
“Ah ya halo, saya harap anda tidak sedang sibuk,” sahut Bos.
“Tidak. Bagaimana perkembangan situasi kita di lapangan?”
“Tidak buruk, tadi saya sudah mengirimkan Alvarez untuk membereskan rombongan wisatawan yang sok sibuk itu.”
“Kabar baik,” sahut suara di seberang telepon. “Oh ya, bagaimana dengan para pemburu harta karun? Apakah mereka ada melapor padamu?”
Bos mengangguk, walaupun orang itu tidak bisa melihatnya, “ya, kemarin Alfonso telah memberi tahu pada saya bahwa dia telah mencapai tengah hutan. Mereka katanya hendak menyeberang ke pulau kecil yang dikelilingi sungai. Itu area yang belum pernah kita sentuh.”
“Semoga ada kabar baik dalam beberapa hari darinya. Kita perlu memastikan perusahaan tambang bergerak lagi, lebih agresif. Kita memerlukan banyak batu bara, perdagangan batu hitam itu sedang ramai-ramainya.”
“Ah selama anda bisa menjamin perusahaan saya bisa beroperasi dengan lancar, anda tidak usah khawatir dengan pertambangan batu bara. Serahkan semua pada perusahaan.”
Terdengar bunyi ketukan meja. Sepertinya orang yang sedang ditelepon bos, sedang gelisah. “Gerakan pertambangan kita belum meyakinkan. Kemarin sektor G12 harus ditutup paksa, aku tidak bisa menghindari tuntutan keluarga. Kita harus memikirkan pengganti tambang tersebut,” katanya.
“Bukankah itu adalah ulah orang-orang utusan anda sendiri?”
“HA? Apa? Utusanku? Jangan sembarangan kau. Itu karena orang-orangmu tidak bisa mengurus mereka dengan baik. Membiarkan semuanya sampai sejauh ini.”
“Eh, sebaiknya kita tidak perlu berselisih paham di sini. Penting bagi kita untuk bersatu. Saya minta maaf. Sebaiknya kita memastikan rombongan Alfonso, para pemburu harta karun, tidak diganggu lagi oleh para wisatawan usil.”
“Wisatawan itu belum berhasil dibereskan? Bukankah kau sudah mengirimkan Alvarez? Tukang pukul terbaikmu?”
Bos berdecak pelan, “saya belum tahu hasilnya bagaimana. Sampai sekarang Alvarez belum melapor. Tapi melihat bagaimana mereka terus bertahan, kita memerlukan strategi tambahan untuk mengantisipasi gerakan mereka.”
“Kau selalu bisa diandalkan kalau masalah strategi, Don. Baiklah, aku akan tambahkan personel tentara untuk Alfonso. Kau pantau terus keadaannya. Pastikan mereka mendapatkan lokasi potensial baru untuk tambang batu bara.”
“Baik. Siap.”
Siapa gerangan orang ini? Sampai Bos menurut pada kata-katanya. Cahaya lampu menyorot padanya, dan kita bisa melihat dengan jelas siapa dia sebenarnya.
Oh kita ternyata mengenalnya di awal cerita. Dia adalah orang nomor satu di negeri ini.
Presiden Marcelo.
99
Kalian juga Sama Seperti Kami
Pedro dan Felix belum paham, sama sekali belum paham apa yang dipikirkan oleh ketua mereka. Allary mengajak mereka mengendap-endap, bersembunyi di antara tumbuhan semak, menuju lokasi dimana perahu yang tadi dilihatnya berlabuh.
“Tenanglah dulu, Pedro,” Allary menyahuti pertanyaan-pertanyaan Pedro, “lebih baik jika kau sambil menceritakan tentang para pemburu harta karun itu. Yahh meski, aku yakin sekali mereka bukan orang baik.”
“Kau benar ketua, mereka bukan orang baik.”
“Ceritakan lebih banyak padaku, Pedro.”
“Jadi, kau tahu, presiden kami, Marcelo, adalah orang yang sangat ambisius. Dia punya rencana pembangunan yang besar untuk negeri ini. Dia ingin melihat negeri ini setara dengan negara besar di Eropa sana, sebelum masa jabatannya selesai. Oleh karena itu, pembangunan berusaha dikebutnya. Namun harganya mahal. Aset-aset negeri ini, pertambangan, perhutanan, hasil bumi, hasil laut, minyak bumi di laut sana, batu bara di dalam hutan ini, semua diincar. Semua harus dikeluarkan dan dipakai atas nama pembangunan. Presiden selalu bilang, negeri ini tidak akan bisa maju kalau tidak berani mengambil resiko.
Sekitar dua tahun setelah dia menjabat, Presiden Marcelo dan pasukan pembangunan miliknya telah menyasar seluruh tambang batu bara yang ada di pinggiran Hutan Amazonia. Mereka mulai berniat mencari lebih jauh, ke dalam hutan. Presiden mencetuskan sebuah tim yang bertugas khusus mengeksploitasi hutan ini. Mencari pusat-pusat tambang baru yang potensial di pedalaman hutan Amazonia. Oleh surat kabar lokal, tim khusus ini disebut Para Pemburu Harta Karun. Sebuah sinisme.”
“Sudah kuduga, mereka bukan orang baik.”
“Benar ketua. Dan hari ini mereka sampai di pedalaman hutan. Di tanah yang dijanjikan. Ini adalah alarm bahaya bagi seluruh rakyat di negeri ini. Bahkan mungkin seluruh dunia.”
“Apa yang bisa mereka temukan di sini, Pedro?”
“Batu bara. Tanah ini kaya akan batu bara. Sebuah peta prediksi tambang pernah dikeluarkan kementerian riset beberapa tahun lalu, peta itu disiarkan di surat kabar. Aku bisa melihat dengan jelas, bahwa pusat pertambangannya akan ada di tanah ini. Di Terra Prometida Destino.”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan, ketua?” Felix bertanya, sambil berdecak. Dia kesal bahunya terus berdenyut-denyut sakit.
Allary dengan mata tetap awas memperhatikan ke daratan seberang, menjawab, “ya sudah jelas, aku akan menghentikan mereka.” Sebuah jawaban yang membuat Pedro dan Felix terkejut bukan main.
“Tunggu ketua, sepertinya kau tidak memahami duduk permasalahannya dengan baik. Kau tidak bisa mengganggu operasi para pemburu harta karun. Tidak bisa. Itu sama dengan cari mati.”
“Memangnya kenapa?”
“Mereka didukung oleh militer, tentara negeri ini. Mereka bukan bagian dari perusahaan atau masyarakat sipil. Mereka adalah utusan pemerintah. Sekali saja kau mengganggu operasi itu, aku yakin, Presiden Marcelo akan mengejarmu sampai kemanapun.”
Allary menghela nafas, membayangkan kemungkinan tersebut. Tapi kemudian dia mengepalkan tangan. “Tetap saja, kita tidak boleh membiarkan mereka membuka tambang di daerah yang seharusnya dilindungi seperti ini.”
“Sudahlah ketua. Biarkan saja mereka. Toh mereka juga tadi mengusir kita. Apa kau sudah melupakan hal itu sehingga mau-mau saja menolong mereka,” Felix menimpali, ketus.
“Itu dua hal yang berbeda, Felix. Dua hal yang berbeda.”
Tiba-tiba Felix tertegun, seperti kena tembak. Kalimat Allary itu...
Allary tidak bercanda. Begitu melihat ada satu perahu yang tersandar di bibir sungai, dia langsung mengajak Felix dan Pedro naik. Sama sekali tidak peduli dengan ocehan Pedro soal perahu yang tidak layak, sungai yang ada caiman-nya, orang suku Telinga Panjang tidak akan memaafkannya, atau semacamnya, atau yang lain. Allary hendak menemui para pemburu harta karun. Itulah tekadnya.
Pedro menyerah, mulai mendayung. Dia sebenarnya juga tidak suka dengan para pemburu harta karun tersebut.
Di sisi seberang, pemimpin para pemburu harta karun, Alfonso namanya, meminta rombongannya berhenti sebentar. Dia sudah mengawasi keadaan. Dia tahu ada yang mengikuti, dan dia juga tahu kalau ada wisatawan sok sibuk yang mencampuri urusan “pembangunan” sejak beberapa hari yang lalu.
“Sepertinya mereka adalah orang-orang yang dikatakan Don. Kita berhenti dulu, kita harus menyambut mereka.”
Ada sekitar 12 orang di rombongan Alfonso. Tujuh diantaranya, para pemburu harta karun. Sisanya militer. Mereka patuh pada Alfonso, berhenti, menunggu perahu Allary merapat, hingga akhirnya mereka bisa bertemu.
Alfonso tersenyum. Mendekat pada Allary. Felix di belakang ketuanya, membuang wajah meringisnya. Dia tahu, cepat atau lambat, dia harus bertarung. Kedua ketua rombongan itu, Allary dan Alfonso berjabat tangan.
“Jadi kau, wisatawan sok sibuk yang mengganggu rencana Don sejak beberapa hari yang lalu. Perkenalkan namaku Alfonso.”
“Ya, aku Allary, aku adalah ketua rombongan ini. Jadi kalian, utusan presiden yang ditugaskan menghancurkan negeri ini secara perlahan.”
Alfonso tersenyum tipis, “berani sekali kau ya. Ya, selain itu kuakui kau juga pintar. Kau bisa menganalisis bahwa kami adalah utusan presiden. Ah mungkin karena baju militer yang dipakai temanku itu ya.”
“Berhenti melakukan ini, hentikan eksplorasi kalian. Hentikan. Jangan menyentuh bagian hutan yang ini.” Allary berkata tegas. Tanpa tedeng aling-aling.
Alfonso masih tersenyum tipis. “Memangnya kenapa kalau kami melakukan eksplorasi di hutan ini?”
“Kalian pelan-pelan menghancurkan hutan ini, pelan-pelan menghancurkan dunia. Karena kalian terus memberi informasi pada presiden dan bawahannya.”
Alfonso terkekeh pelan, “kau jangan sok suci ya, wisatawan. Kalian kira apa yang kalian lakukan, kalian juga utusan pemerintah bukan? Kalian sama saja dengan kami.”
Sahutan Alfonso itu, genap membuat Allary terhenyak.
100
Konfrontasi Pertama Harta Karun
“Apa... apa maksudmu kami sama dengan kalian?”
Alfonso terlihat sangat menikmati ekpresi terkejut Allary sekarang. “Ha, jadi kau tidak tahu apa motif sebenarnya dari ekspedisi kalian ini? Astaga, bodoh sekali.”
Demi mendengar rombongannya dikata-katai bodoh, Felix memasang wajah siaga penuh. Lukanya masih berdenyut, tapi dia siap meninju wajah Alfonso di depannya.
“Kalian sungguh tidak tahu, kalian juga para pemburu harta karun. Kalian melakukan eksplorasi, kalian melakukan penjelajahan ke dalam hutan ini, dikirim pemerintah. Kalian ikut program Presiden Marcelo. Kalian pikir apa yang kalian cari? Kalian sama seperti kami, kalian juga melihat tempat-tempat yang potensial. Kalian juga alat dari presiden. Eh astaga, sepertinya aku terlalu banyak bicara.”
“Ya, jadi sebaiknya kau sekarang diam,” Felix maju ke depan, menyahut dengan suara mengintimidasi. Sayangnya Alfonso tidak takut, dia malah tersenyum makin lebar.
“Kau orang yang berhasil mengalahkan Alvarez ya? Ya, anak buah Don memang tidak bisa diandalkan. Mereka cuma mau uangnya.”
“TUTUP MULUTMU!”
“FELIX! ASTAGA!!”
BUUUUKKK!
BUK!
Pedro berseru melihat Felix tanpa aba-aba lagi, langsung meloncat ke depan, menerkam Alfonso, bermaksud menyarangkan satu pukulan ke wajah yang tersenyum lebar itu. Sayangnya, serangan itu berhasil ditangkis. Felix harus mundur lagi.
“Seranganmu mudah diantisipasi. Sepertinya aku harus berterima kasih pada Alvarez karena telah melemahkan bahumu. Selain itu, tentu saja, aku lebih kuat darinya, majulah kau, Felix si Kaki Baja. Ah pasti serangan kakimu jauh lebih kuat dari serangan tinjumu barusan.”
Felix mengawasi lawannya dengan kilatan matanya yang tajam. Orang ini juga tahu julukannya di masa lalu? Apakah itu artinya...
“TERIMA INI BODOH!!”
BUKKKKKK!!!!
Benturan keras terjadi. Felix meloncat dan mendaratkan tendangannya. Targetnya adalah kepala Alfonso. Sayang sekali, sekali lagi Alfonso sudah bersiap menangkisnya dengan tangannya. Hanya saja, tendangan itu sangat kuat, sampai Alfonso terpental ke belakang dibuatnya. Melihat pimpinannya terjengkang ke belakang, anggota militer di belakang Alfonso bereaksi. Mengokang senapan mereka.
Namun Alfonso bangkit. Tidak terlihat kesakitan. Mengangkat tangannya ke arah belakang, “tidak perlu pakai tembakan. Bahunya sedang terluka. Tidak asyik menembaknya lagi.”
Mendengar peringatan itu, anggota militer menurunkan senapannya. Sementara Felix menggeram. Tendangannya tadi seperti tidak berkesan apa-apa.
“Aku pikir tadinya kalian bisa memberi perlawanan lebih. Ternyata tidak juga. Perkelahian di sini menjadi tidak menarik. Kau bahkan tidak bisa memberiku perlawanan.”
Kurang ajar. Dia meremehkanku. Batin Felix.
“Nah begini saja, karena kami ada urusan besar yang harus segera diselesaikan, kami akan membereskan kalian segera. Di belakangku ada 11 orang yang sangat jago menggunakan senjata senapan. Tapi khusus untuk hari ini, seperti kataku, menggunakan senapan tidak asyik terhadap orang yang sudah terluka. Jadi kami akan bereskan kalian dengan tangan kosong.”
PROOKKK PRRROKKKK!!
Alfonso menepuk kedua tangannya. Memberi kode. Serangan akan dimulai. Pedro dan Allary (yang sempat termenung lama gara-gara kalimat Alfonso) berpandangan. Mereka punya ide yang sama. Lebih baik lari sekarang. Tidak ada gunanya menghadapi orang-orang yang bahkan Felix tidak bisa hadapi. Apalagi mereka membawa banyak senapan.
“Kau tarik Felix, ketua. Kita harus kabur ke dalam hutan. Persetan dengan Suku Telinga Panjang. Kita harus menyelamatkan diri dari moncong-moncong senapan itu.”
Allary mengangguk.
“HEI, APA YANG KALIAN....”
Allary dan Pedro, pada hitungan ketiga sudah lari tunggang langgang. Tidak memedulikan teriakan Felix yang ditarik tangannya tiba-tiba oleh Allary. Berondongan senapan mengiringi langkah mereka. Namun ketika ada anggota militer yang hendak mengejar mereka, Alfonso mencegahnya.
“Jangan, tidak perlu. Kita juga punya urusan besar, di tempat ini,” katanya, sambil menatap langit yang membentang di atas Terra Prometida Destino.
101
Serangan ke Tanah Suku Telinga Panjang
Sementara itu, Vivi sedang dilanda deja vu, dia nampak ketakutan sehingga diam seribu bahasa. Dia sama sekali tidak bereaksi apa-apa, setelah Allary, Pedro dan Felix dibawa, setengah diseret dari ruangan.
Vivi hanya diam. Sebuah ingatan yang sangat kelam diputar di dalam ingatannya kini.
“Siapa nama kamu, pendamping baruku yang cantik,” Tuan La Padodo mendekat pada Vivi, mulai mengajaknya berbicara. Lalu secara tidak sopan, meraih tangan Vivi. Menggenggamnya.
Lagi-lagi Vivi diam saja.
“Kamu mendengarku, sayang?” tanya Tuan La Padodo lagi.
Vivi diam. Pandangannya kosong.
“Hei, kamu memikirkan soal teman-temanmu itu tadi ya. Jangan khawatir, mereka diantar ke perbatasan dengan selamat. Sementara kamu di sini, akan kumanja dengan segala macam kenikmatan. Katakan saja, apa yang kamu mau.”
Vivi masih diam.
“Ayolah sayang, jangan begini,” Tuan La Padodo masih mencoba membujuknya dengan kalimat bernada mesra. Atau sebenarnya, kalimat-kalimat yang menjijikkan.
“Lari...” sahut Vivi, nyaris tak terdengar.
“Apa?” Tuan La Padodo mendekatkan telinganya, “kamu ingin lari? Oh janganlah sayang. Jangan lari. Percayalah, tempat ini, negeri ini, adalah tempat paling membahagiakan di muka bumi. Untuk apa kau lari? Lari ke dunia luar yang penuh dengan penderitaan.”
Untuk sesaat, suara Tuan La Padodo berubah, terutama di akhir kalimatnya. Vivi masih diam saja.
Tuan La Padodo mengusap wajah. Setengah jengkel karena kalimat-kalimatnya tidak bisa menggugah perasaan gadis muda yang telah dia tawan. Sebaiknya dia melakukan sesuatu yang lain.
“Ah sebaiknya kamu mandi air panas saja, bagaimana? Mandi air panas pasti sangat menyegarkan. Bagaimana sayang?”
“Lari....” Vivi menyahut, lemah.
“Astaga, jangan itu terus yang kau pikirkan. Mari, aku panggilkan orang untuk mengantarkanmu ke pemandian air panas. Setelah itu au akan menyiapkan kamar untuk kita malam ini.”
Vivi sempurna membeku. Deja vu semakin mendekat ke depan matanya. Langkahnya susah digeser. Dia setengah diseret ke pemandian air panas. Lagi-lagi Vivi tidak bersuara sedikitpun, dan hanya memasang pandangan kosong.
Sebenarnya ucapan Vivi ada benarnya, bila dipandang dari perspektif lain. Perspektif yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh Tuan La Padodo.
Tepat ketika Vivi masuk ke pemandian air panas, serangan itu dimulai. Bunyi bom molotov terdengar dari kejauhan. Tidak lama kemudian bunyi tembakan senapan beruntun ikut terdengar.
Itu adalah Alfonso bersama pasukannya. Dia mendapat bantuan satu helikopter, kini memulai serangan ke Terra Prometida Destino. Dia telah menyiapkan segala sesuatunya untuk berperang. Mereka masuk lewat sektor barat dan selatan. Dua pasukan bertemu di tengah-tengah. Tepat di pusat pemerintahan Suku Telinga Panjang. Semua orang panik.
Alfonso sekali lagi, di tengah semua itu, memasang wajah tersenyum khas miliknya yang sangat menjengkelkan.
“Jadi ini Terra Prometida Destino, kukira selama ini hanya ada dalam cerita. Hebat juga para wisatawan sok itu, bisa menemukannya.” Dia bergumam sendiri. Seorang anggota mendatanginya, melapor.
“Seluruh pasukan sudah berkumpul, Tuan. Apa yang harus kita lakukan?”
“Bagus, segera lancarkan serangan. Tangkapi semua orang, tapi, jangan sakiti perempuan dan anak kecil. Bila ada yang melawan, tembak saja. Dalam satu jam, bawa semua orang ke sini, dalam keadaan terikat. Sementara itu, aku akan mencari kepala sukunya. Sepertinya kami perlu bicara.”
“SIAP LAKSANAKAN TUAN!” prajurit itu berbalik, memberi komando sesuai arahan Alfonso. Benar katanya, dalam waktu kurang dari 15 menit, kekacauan besar sudah melanda tanah Suku Telinga Panjang. Melanda Terra Prometida Destino.
102
Kekacauan
Allary, Pedro dan Felix tidak lari terlalu jauh. Allary sendiri tidak berniat melarikan diri meskipun secara kualitas dia dan rombongannya kalah dari Alfonso dan pasukan militer tersebut.
Saat Alfonso dan anggota pasukannya mengadakan serangan ke pusat pemerintahan Suku Telinga Panjang, Allary, Pedro dan Felix ada di sana. Mengintip di antara dedaunan semak. Mereka bisa melihat semuanya.
“Serangan mereka dahsyat sekali. Membuat semua orang kocar-kacir. Padahal secara jumlah, Suku Telinga Panjang memiliki jumlah yang unggul. Tak kusangka mereka tidak bisa melawan.”
“Secara teoritis boleh jadi begitu, Pedro,” Allary menimpali, “sejarah bahkan memberikan kita referensi yang lebih menakjubkan. Jangan lupakan kalau dulu sekelompok orang Spanyol yang dipimpin oleh Pizarro, bisa menaklukkan kekaisaran Inka di Peru. Padahal secara logika, Kekaisaran Inka seharusnya menang, mereka menang jumlah, mereka punya ribuan pasukan. Bandingkan dengan kelompok Pizarro yang tak sampai seribu orang.”
“Secara singkat, senjata api memegang keunggulan telak, ketua.” Felix menimpali.
“Secara teoritis, bukan hanya senjata api yang berpengaruh, masih ada faktor-faktor lain...”
“Aku sedang tidak ingin mendengarkan cerita, lebih baik pikirkan langkah kita selanjutnya, ketua.” Felix kembali menyahuti. Padahal tadi Allary sudah sangat semangat untuk memaparkan pengetahuan sejarahnya.
Allary melihat dengan seksama ke kerumunan orang-orang yang berhasil ditangkapi kelompok militer pimpinan Alfonso. Allary coba mengenali mereka satu persatu. Tidak, tidak ada.
“Apa rencanamu, ketua?” kali ini Pedro yang bertanya. Agak cemas, hanya masalah waktu sampai pasukan Alfonso memergoki mereka mengintip dan jika itu yang terjadi, tidak ada jaminan, rombongan Allary bakal selamat.
“Kita harus menyelamatkan Vivi. Itu prioritas pertama kita sekarang.”
“Dan soal menyelamatkan alam?”
“Nanti kita pikirkan lagi. Yang jelas sekarang kita tidak bisa menang melawan mereka.”
“Akhirnya kau berpikir logis juga, ketua. Ambisi ada batasnya.”
Namun kearifan Pedro nampaknya tidak berguna untuk Felix. Matanya nanar. Tadi Alfonso lewat sekilas di depan penglihatannya. “Kita tidak akan pergi sampai aku bisa menendang hidung orang itu.”
Allary kembali fokus melihat kondisi dan suasana. Astaga di antara kekacauan ini, Vivi sama sekali tidak terlihat. Kemana dia? Apakah jangan-jangan dia sudah diajak Tuan La Padodo masuk ke kamar. Kurang ajar betul.
“Pedro, kau lihat Vivi di satu tempat?” Allary menyikut Pedro di sebelahnya. Biasanya mata Pedro jauh lebih tajam ketimbang dirinya sendiri.
“Belum, belum ketua. Aku belum lihat.”
Sungguh jawaban yang bagus, pikir Allary.
“Hei ketua,” kali ini Felix yang menyikut Allary, “bukankah itu si tua Padodo?”
Allary dan Pedro langsung menajamkan penglihatan. Hei benar sekali, itu La Padodo, kepala suku Telinga Panjang. Jangan-jangan Vivi ada di sana juga. Namun beberapa saat mengamati dengan setajam-tajamnya, Allary dan Pedro tetap tidak menemukan Vivi di dekat La Padodo ataupun diantara orang-orang yang diikat oleh pasukan Alfonso.
Alfonso, sang pemimpin pasukan kemudian muncul di hadapan mereka semua, apa yang dia katakan? Sayangnya Allary dan yang lain, tidak bisa mendengar apa yang dia katakan. Terlalu jauh untuk mendengar suara.
Tiga puluh menit sejak serangan Alfonso ke Terra Prometida Destino. Semakin sedikit orang yang berkeliaran, sisanya ditangkapi, sisanya bersembunyi di balik-balik pintu, di dalam sungai, di beberapa tempat lain. Alfonso tidak ambil pusing, dia sudah menawan kepala sukunya, sisanya tidak terlalu penting.
Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu Pedro, membuatnya terperanjat. Pedro nyaris terpekik kaget. Astaga. Ternyata dia adalah La Goyo.
“La Pedro, siapa mereka?” tanya La Goyo, sorot mata dan intonasinya lebih seperti mengancam daripada bertanya.
“Mereka utusan pemerintah. Mereka para pem...”
“Mereka adalah orang-orang jahat.” Allary menyambar pembicaraan.
“Mereka teman-teman anda?” La Goyo bertanya lagi.
“Bukan, kami bukan orang jahat, mereka bukan teman kami.” Lagi-lagi Allary yang menjawab.
“Aku tidak begitu paham darimana mereka datang, tapi mereka datang tidak lama setelah kalian pergi. Itu artinya kalian mengenal mereka.”
“Itu sungguh kesimpulan yang tidak masuk akal.” Felix menyemprot.
Allary berdecak pelan. Orang-orang dari Suku Telinga Panjang menunjukkan lagi perangai itu, perangai yang tidak dia suka. Perangai menyepelekan orang lain. Tapi ini bukan saatnya untuk saling mengungkit. Keadaannya kacau. Allary tahu apa yang harus dilakukan. Mereka harus bersatu.
“Mister La Goyo, anda lihat sendiri, negeri anda diserang, bahkan kepala suku anda ditangkap. Mereka adalah orang-orang yang berbahaya. Kita tidak bisa menyepelekan masalah ini dan saling tuduh. Maukah anda bekerja sama dengan kami, kami akan membantu kalian mengatasi mereka. Bagaimana”
Allary mengulurkan tangannya, pada La Goyo.
103
Menyelamatkan Vivi
La Goyo berpikir sejenak. Menengok ke kerumunan orang sukunya yang telah ditangkapi oleh pasukan Alfonso. Baiklah, dia tidak punya pilihan lain. Nampaknya bekerja sama dengan tiga orang asing ini, adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan sukunya.
“Baiklah. Mari kita bekerja sama.” La Goyo menyorongkan tangan, menjabat tangan Allary.
“Bagus. Mari kita segera menyusun rencana.”
Pedro bilang bahwa menurut perhitungannya, Alfonso membawa sekitar 30 orang pasukan tambahan, semuanya bersenjata, dan semua adalah bagian dari militer. Mustahil menghadapi mereka dalam pertempuran terbuka, dengan jumlah pasukan yang minim.
“Apakah kau masih punya teman-teman yang belum tertangkap, La Goyo?”
“Hanya beberapa, La Allari. Mereka bagian dari pasukan khusus pengawal Tuan La Padodo. Mereka tidak terlihat bersama beliau sekarang, jadi kurasa mereka sekarang sedang mengatur siasat.”
“Bagus. Jika kita bisa bekerja sama, kurasa kita bisa mengalahkan pasukan militer bersenjata itu. Asal kita mengerjakannya dengan baik.”
“Aku memperingatkanmu, ketua. Kau tidak akan menang melawan pasukan bersenjata semacam itu. Mereka akan langsung menembakmu begitu mereka melihatmu bergerak ke arah mereka.”
Allary tersenyum, “terima kasih atas saranmu Felix. Aku tahu, orang sepertimu, lebih paham tentang siasat pertarungan ketimbang aku. Aku tidak keberatan jika kau memberi satu atau dua saran gratis lagi.”
“Kunci mengalahkan pasukan bersenjata api, adalah menyerang mereka, tanpa balas diserang. Itu artinya kita harus menyerang diam-diam. Mengendap-endap. Suku Telinga Panjang mengetahui medan di sini, seharusnya kita unggul. Kalian punya panah? Itu sangat penting untuk serangan kejutan.”
Untuk sesaat, Felix terlihat lebih berkharisma ketimbang Allary, lebih berkharisma daripada jenderal perang negara besar sekalipun. Allary tersenyum, dia biarkan Felix yang beraksi.
La Goyo menggeleng. Mereka tidak punya panah.
“Lalu apa senjata jarak jauh yang kalian punya?”
“Kami punya sumpit.”
“Sempurna,” seringai Felix, “sumpit bahkan lebih efektif ketimbang panah. Seberapa jauh bisa kalian lontarkan?”
“7 meter.”
Terperanjat Pedro. Jadi Suku Telinga Panjang memiliki stamina yang luar biasa.
“Bagus sekali, kau siapkan pasukan sumpitmu di beberapa tempat yang strategis. Bidik pasukan musuh. Gunakan racun yang paling mematikan.”
Giliran Allary yang terkejut. Tapi dia tidak menanggapi rencana Felix. Dia biarkan saja.
“Sejauh ini aku mengerti. Lalu apa tugas kalian?”
“Aku akan masuk begitu kalian bisa melumpuhkan beberapa orang. Aku akan bertarung jarak dekat. Pastikan kalian hanya melumpuhkan pasukan musuh saja, jangan sampai melumpuhkan aku atau para warga. Dan kalian harus memastikan, pemimpin pasukan, yang berbaju hitam itu, yang kalian sumpit lebih dulu.”
“Tentu saja tidak. Mana mungkin aku melakukan hal itu pada wargaku sendiri.”
“Bagus. Sejauh ini, itulah rencana kita.”
“Baiklah aku paham. Ada lagi tambahan?”
“Oh ya, dimana Vivi berada sekarang?” Allary akhirnya menyela, bertanya.
“Vivi? Maksudmu temanmu yang kini jadi istri Tuan La Padodo?”
“Benar. Dia tidak terlihat bersama Tuan La Padodo atau diikat bersama tawanan lain. Dimana dia sekarang?”
“Aku tidak tahu. Terakhir kudengar, dia akan menuju ke pemandian air panas. Ada apa?”
“Dia perlu diselamatkan juga.”
“Perlu kuingatkan, gadis itu adalah istri Tuan La Padodo, bukan teman kalian lagi.”
Allary langsung berdecak. Dasar Suku Telinga Panjang. Dia sepertinya tidak akan terbiasa dengan tabiat mereka. Diam-diam dia berbisik pada Pedro, Allary minta ditemani ke pemandian air panas, mencari Vivi. Felix mendengar hal itu, langsung setuju.
“Ya, selamatkan dia. Bukankah dia masih teman kita, benar begitu, ketua?”
Allary mengangguk.
Operasi menyelamatkan Vivi-pun dimulai.
Setelah La Goyo menghilang dari pandangan, menemui teman-temannya sebagaimana saran Felix, Allary dan Pedro diam-diam berpisah. Menuju pemandian air panas. Pedro bilang dia tahu letak pemandian itu karena dia pernah ke sana.
“Ayo kita langsung ke sana, Pedro. Lebih cepat lebih baik.”
Pemandian air panas milik Suku Lengan Panjang terletak di bawah tanah. Pedro menarik tangan Allary, berlari lebih cepat. Mereka tidak boleh sampai terlihat oleh pasukan Alfonso.
Mereka menuruni tangga, di sana ada penjaga pemandian. Dia hendak berteriak melihat Allary dan Pedro yang dianggap penyusup, sebab telinga mereka berdua tidak panjang. Penjaga itu hendak mengusir mereka dengan tombaknya, tapi Pedro lebih cepat, mengeluarkan pistol.
“Kami akan masuk, dengan nyawamu atau jasadmu, bagaimana?”
Penjaga tidak punya pilihan lain, terpaksa membiarkan Pedro dan Allary masuk.
Vivi ada di dalam. Duduk di kursi ruang tunggu. Handuk terlilit di pundaknya. Dia masih memakai pakaian lengkap. Wajahnya dia tutupi dengan handuk. Ketika Allary mendekat, terdengarlah isakan. Vivi menangis.
“Pergi! Aku tidak mau kau mendekat!” Vivi tiba-tiba berteriak. Suaranya bercampur antara isakan dengan ketakutan.
“Vivi, kamu serius, ingin menyuruhku pergi?” Allary pelan-pelan bersuara.
Vivi tertegun, membuka handuk yang menutupi wajahnya. Melihat sempurna ke arah Allary. Sepersekian detik. Lalu tanpa terduga Vivi meloncat, memeluk Allary.
“Astaga Allary,” Vivi masih terisak. Air matanya tumpah di bahu Allary.
“Iya, kami datang. Kami menyelamatkanmu.”
“Astaga Allary, aku kira aku akan berada di sini selamanya.”
Allary menyempurnakan pelukannya, “tenang saja Vivi, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengambil kamu dari timku. Aku adalah ketua rombongan ini.”
“Kita akan keluar dari sini, Allary? Bagaimana caranya?”
“Kita akan keluar, Vi. Bagaimanapun caranya. Ayo.”
Allary melepaskan pelukannya. Membiarkan Vivi berjalan pelan-pelan.
104
Konfrontasi Kedua Harta Karun
Sementara Allary dan Pedro bergerak ke pemandian air panas, Felix menyelinap dari balik rerimbunan daun, mendekat ke arah Alfonso. Dia harus menjaga posisi agar bisa masuk dengan cepat dan praktis nanti. Sementara dia menunggu La Goyo. Matanya tajam melihat ke rerimbunan semak, memerhatikan gerak-gerik.
“Tuan yang terhormat, sekali lagi kita bisa bicarakan dengan baik-baik. Saya tawarkan, anda baik-baik memberi izin pada kami, untuk mengambil harta karun yang ada di bawah tanah negeri tuan. Saya minta izin baik-baik ini. Saya harap tawaran baik dan sopan saya ini, anda tanggapi dengan baik dan sopan pula.”
CUIIIHHHH!
Tuan La Padodo meludahi Alfonso. Untunglah Alfonso bisa menghindar. Andai Alfonso tahu, kalau Tuan La Padodo memang bukan orang yang sopan.
Alfonso menyeringai. “Kau memang bukan orang yang bisa diajak bernegosiasi ya, Pak Tua.”
CUIIHHHHH!
Sekali lagi Tuan La Padodo meludah. Kali ini kena Alfonso. Itu membuatnya benar-benar marah. “Kau harus diberi pelajaran, pak tua.”
Alfonso mengisyaratkan salah satu prajurit maju dengan senapannya. Tidak salah lagi, Alfonso hendak mengeksekusi Tuan La Padodo.
WUUSHHHH!
Sebuah selentingan benda menukik tajam ke arah belakang prajurit di dekat Alfonso. Prajurit itu langsung roboh. Serangan itu akurat, tapi itu jelas membuat Alfonso siaga. Dia langsung menyadari bahwa ada orang yang menembakinya dari jauh.
WUUUUSSSS!
Sebuah sumpit kembali melesat. Kali ini membidik langsung Alfonso. Tapi orang itu nampaknya memang sudah terlatih. Dengan cepat dia menghindar, elegan. Felix yang melihat hal itu, berdecak. Sudah kubilang, seharusnya kalian menyerang Alfonso lebih dulu.
“Kalian, tembak ke arah itu!” Alfonso memberi komando. Rentetan peluru segera keluar. Hanya masalah waktu, sampai La Goyo yang sedang menyumpit di balik rimbun semak, terkena hujan peluru itu.
Sial, terpaksa aku bertarung.
Felix keluar dari tempat persembunyiannya. Kemunculannya membuat Alfonso terkejut. “Kau datang rupanya, kau belum puas kalah?”
“Mari kita selesaikan ini dengan duel,” tantang Felix, “satu lawan satu, tanpa bantuan. Kalau aku menang, kau dan pasukanmu harus meninggalkan tempat ini.”
“Tawaran omong kosong,” Alfonso memutar bola matanya, “lalu apa yang bisa kudapat jika aku menang?”
“Kepalaku, salah satu orang paling berbahaya di dunia hitam. Aku yakin harga kepalaku masih tinggi.”
Alfonso mengangkat bahu, “well, baiklah. Lagipula kalau aku menang, aku bisa melanjutkan penaklukkan terhadap tempat ini.”
“Hanya jika kau menang,” Felix menggigit bibir. Dia tahu betul, bahwa dia tidak punya pilihan lain, selain menang.
Mereka berdua memasang kuda-kuda, kemudian Felix menerjang maju lebih dulu. Pertarungan mereka berdua pun dimulai.
105
Kepala Suku yang Memang Begitu
Pertempuran berakhir. Kemenangan ada di pihak rombongan Allary yang bekerja sama dengan Suku Telinga Panjang. Mayat-mayat bergelimpangan. Termasuk Alfonso. Tadi Felix mengalahkannya lewat pertarungan yang sangat sengit. Pertarungan yang berakhir dengan dada Alfonso yang remuk kena tendangan Felix.
Beberapa orang coba melarikan diri begitu melihat pemimpin mereka tumbang, namun pasukan yang lari dalam kepanikan itu, dihabisi oleh sumpit La Goyo bersama teman-temannya. Allary, Pedro dan Vivi tiba di saat yang tepat. Tuan La Padodo telah dibebaskan.
Langit sore menyapa di atas kepala mereka. Adegan sore itu, Tuan La Padodo dan La Goyo, berdiri berhadapan dengan Allary, Pedro dan Felix. Vivi duduk di belakang mereka. Berlindung. Allary tahu, inilah saatnya mereka bernegosiasi ulang. Setelah semua ketegangan dan serangan terhadap mereka, Allary harap Tuan La Padodo mau mengalah.
“Harus kuakui, aku berterima kasih pada kalian karena telah menyelamatkan sukuku dan negeriku dari bahaya orang-orang jahat,” ujar Tuan La Padodo, “kalian bertarung dengan gagah, dan kalian juga menyelamatkan istriku. Sekarang setelah semua ini berakhir, akhirnya kami bisa bersenang-senang.”
Jengkel Allary dibuatnya. Ternyata Kepala Suku itu belum berubah.
“Tuan La Padodo, sekali lagi, saya menghormati anda, tapi mengenai gadis itu, dia tetap anggota rombongan saya. Dia akan pergi bersama saya.”
Tuan La Padodo maju selangkah, tatapannya berubah mengancam, “kau tidak bisa seenaknya, kau berhutang budi dengan aku, sukuku, dan negeriku.” Sambil berucap, Tuan La Padodo memainkan telunjuknya ke wajah Allary. Menunjuk-nunjuk.
Vivi di belakang, mengkerut, takut. Deja vu masih berputar-putar di kepalanya. Namun Allary sama sekali tidak gentar. “Anda juga berhutang budi pada saya, Tuan. Anda, suku anda, dan negeri anda. Dengan begitu saya kira kita impas.”
“Mana bisa begitu. Kalian tidak bisa membawa istriku pergi. Tidak bisa. Atau kalian akan berhadapan denganku.”
Felix ikut maju. Dia memegang senapan milik salah satu pasukan Alfonso. “Dengan senang hati saya akan meladeni anda. Anda pasti penasaran dengan kemampuan saya menggunakan senjata ini.”
Tuan La Padodo menatap senjata itu dengan jeri. Masih tak hilang rasa gugupnya melihat bagaimana Alfonso menggunakan benda itu untuk mengalahkan dan melucutinya tadi.
Ini benar-benar pilihan yang sulit baginya.
Hening sejenak...
“Baiklah. Kali ini aku buat satu pengecualian. Silakan kalian tinggalkan tempat ini, secepat mungkin. Kalian, beserta gadis itu, kubolehkan keluar dari negeriku dengan selamat.” Sambil berucap, Tuan La Padodo menghela nafas.
Allary tersenyum. Akhirnya. Allary membungkukkan badan di hadapan Tuan La Padodo. “Terima kasih banyak Tuan. Kami akan mencatat perbuatan anda ini, sebagai kebaikan.”
“CEPATLAH PERGI!” sergah Tuan La Padodo. Rombongan Allary lekas menyingkir dari sana. Kembali ke perahu.
Di dalam perahu, akhirnya semua bisa tersenyum. Petualangan mereka di Negeri yang Dijanjikan, berakhir antiklimaks, tapi mereka bisa keluar dari sana dengan selamat. Bahkan Felix telah berhasil dipulihkan. Tak kurang suatu apa. Vivi tersenyum lebar. Berterima kasih banyak pada Allary. Allary hanya nyengir.
“Oh ya, ngomong-ngomong,” Allary menengok pada Felix yang sedari tadi melamun, “apa yang sebenarnya kau cari di Negeri yang Dijanjikan itu? Apa kata gurumu dan apakah kau menemukannya?”
Felix berdecak pelan, “aku malas memikirkan hal itu lagi, ketua. Kelakukan Pak Tua Padodo itu benar-benar membuatku muak. Aku sudah menghapus tempat itu dari daftar tempat yang akan kukunjungi. Selamanya.”
“Hei, jangan begitu. Lalu bagaimana dengan pesan gurumu?”
“Aku akan mencarinya di tempat lain saja. Tempat yang lebih ramah.”
Allary menyeringai, “salahkah aku jika aku justru semakin penasaran dengan apa sebenarnya urusanmu di sana, urusan yang ada hubungannya dengan gurumu, katamu.”
“Kau tidak perlu memikirkannya ketua. Yang terpenting rombongan ini sudah lengkap. Kita bisa lanjutkan perjalanan.”
Pedro tiba-tiba teringat sesuatu, “hei benar juga ketua, mau kemana kita sehabis ini? Kita tidak boleh salah langkah lagi, kalau tidak, malah apa yang dikatakan Alfonso yang terjadi. Kita tidak boleh jadi bagian dari pemburu harta karun.”
“Aku juga tidak mau, Pedro,” Allary menyahuti, “kita bukan pemburu harta karun. Kita adalah para penjelajah. Kita merdeka ingin kemana, dan tidak ada yang bisa memanfaatkan kita untuk maksud tertentu. Kita akan tetap melanjutkan perjalanan ini. Aku ingin melihat ujung sungai Amazonia. Kau bersedia menunjukkan jalannya, Pedro?”
“Dengan senang hati, ketua.”
“Kalau begitu, ayo kita BERANGKAT!!”
“Hari sudah mulai gelap, ketua.” Felix menyeringai. Membuat Allary berdecak kesal, “kau membuat adegan tadi tidak jadi epic, Felix.”
Seperahu ramai oleh tawa.
106
Pembicaraan
Malam itu, sebelum seluruh hutan sempurna ditutupi oleh kegelapan, Pedro menepikan perahunya ke sungai bagian seberang, mereka tak mungkin bermalam di daratan yang dipimpin oleh Tuan La Padodo.
Rombongan Allary menata tenda, menyalakan perapian. Semakin ke sini, semakin jauh perjalanan rombongan Allary, semakin mereka menyadari bahwa Hutan Amazonia menjadi semakin menakutkan. Malam itu semua merapatkan duduk di perapian. Allary memasak martabak bakar yang mengingatkan Felix pada kejadian di Gunung Sarsa. Pedro segera makan banyak sekali. Tanpa malu-malu dia bilang kalau makanan itu adalah makanan terenak yang pernah dia cicipi.
Setelah semua perut kenyang, barulah pembicaraan yang lebih serius terdengar.
“Kau serius ingin melihat ujung Sungai Amazonia itu, ketua?” Pedro yang pertama kali melempar tanya.
“Tentu saja, tentu saja, Pedro.”
Melihat antusiasme yang menghiasi wajah Allary, Pedro urung meneruskan kalimat. Allary membaca hal itu. Dia bisa merasakan, ada sesuatu yang dipikirkan oleh “guide” perjalanannya itu.
“Ada apa, Pedro? Kau tidak setuju untuk pergi ke ujung sungai?” Allary ganti bertanya. Intonasinya santai.
Pedro garuk-garuk kepala. “Eh tidak, bukan begitu maksudku, Ketua. Hanya saja, aku terpikirkan kata-kata Alfonso.”
“Kita bukan para pencari harta karun itu, Pedro. Percayalah pada ketua Allary. Kita berbeda dengan mereka. Kalau saja, kita memang sama dengan mereka, sudah dari kemarin aku memisahkan diri dari kelompok ini,” Felix menyahut.
“Apa bedanya? Nanti toh laporan kita juga akan menjadi referensi bagi pihak pemerintah untuk mengeksploitasi hutan ini. Semakin dalam dan semakin dalam. Aku tidak mau terlibat dalam kejahatan semacam itu. Hilang martabatku sebagai warga Manaus.”
“Tetap saja, kita berbeda. Aku yakin ketua bisa mengatasi masalah kecil itu.”
Sebelum perdebatan semakin memanjang, Allary berdiri, dengan kharismanya sebagai seorang ketua rombongan, dia bilang pada Pedro. “Aku tahu, aku paham perasaanmu, Pedro. Baiklah begini saja. Mari kita bersepakat. Win-win solution. Apakah kau bersedia?”
“Katakan, ketua.”
“Aku memintamu mengantarkan kami sampai ke ujung sungai. Kita harus menyelesaikan petualangan ini. Sebagai gantinya, aku akan berusaha membuat sebuah laporan yang tidak mengesankan pengeksploitasian Hutan Amazonia. Malah nanti yang tertera di laporan itu, adalah kerusakan hutan ini yang semakin parah.”
Vivi yang ada di sebelah Allary, tertegun mendengar kesepakatan itu. “Apakah itu tidak membuat presiden Marcelo geram dan benci pada kita?”
“Dia sudah benci dan marah pada kita, Vivi. Karena itu, sedari kemarin, banyak sekali para penyerang yang mencoba mencelakai kita.”
“Aku tidak suka petualangan kita kali ini. Jauh lebih berbahaya dan terlalu banyak kekerasan di sana sini.” Vivi berujar lagi sambil mengeratkan pelukannya pada diri sendiri. Malam sudah mulai larut, angin malam bertiup semilir.
“Bagaimana, Pedro? Kau bersedia untuk sepakat?”
Pedro akhirnya mengangguk, “baiklah ketua. Aku sepakat. Maaf atas keragu-raguanku. Kau benar, perjalanan ini harus diselesaikan.”
“Terima kasih, Pedro. Baiklah, kurasa malam sudah benar-benar larut. Ada baiknya kita sekarang beristirahat. Ada sesuatu yang lain yang ingin disampaikan sebelum kita bubar?”
Semuanya kompak menggeleng. Pembicaraan di depan perapian malam itu ditutup.
107
Ujung Sungai Amazonia
Pagi hari. Semua orang dibangunkan Allary sebelum matahari terbit, kemudian semua orang segera sarapan. Detail-detail kecil, selingan saat sarapan, rasanya tidak perlu diceritakan. Hanya ada satu hal yang perlu dicatat, hari itu, untuk perjalanan terakhir menuju Ujung Sungai, Pedro memutuskan untuk membawa rombongan Allary menaiki perahu.
Ya, perahu yang mereka dapat dari Tuan La Padodo.
Sungai yang mereka lalui menuju ke ujung, adalah sungai yang sempit dan tidak terlalu dalam. Ibarat kata, kalau Allary tercebur ke dalamnya, Allary tidak akan tenggelam.
“Allary, sebenarnya seperti apa ujung sungai itu? Kenapa kamu begitu bersemangat ingin melihatnya?” Vivi bertanya di dalam perahu, setelah puas dia bermain air.
“Dari buku Handbook yang kubaca, Ujung Sungai Amazonia adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkan. Ujung Sungai Amazonia adalah sebuah air terjun raksasa yang memiliki lebar lebih dari 15 meter, di tengah-tengah hutan tropis dengan dedaunan rimbun, udara sejuk, kicau-kicau burung, seperti suasana dalam sebuah negeri dongeng.”
Mendengar kalimat Allary, Felix dan Pedro kompak tertawa. Membuat Allary bingung. Apa yang lucu?
“Kau dibohongi oleh buku itu, ketua,” Pedro menjawab sambil mati-matian menahan tawa, “ujung sungai Amazonia tidak seperti itu.”
“Dan kau tidak bisa berharap negeri dongeng itu indah. Bisa saja negeri dongeng itu malah dipimpin oleh orang menjengkelkan seperti Pak Tua Padodo itu.”
“Memangnya seperti apa, Ujung Sungai yang sebenarnya, Pedro?” Allary tidak menggubris kalimat Felix, lebih fokus ke Pedro.
“Nanti kau akan lihat, ketua. Kau benar soal air terjun, namun kuperingatkan agar kau tidak berharap terlalu banyak berharap. Ujung Sungai itu tidak se-spektakuler apa yang ditulis di buku.”
Penjelasan itu, justru membuat Allary semakin penasaran.
Mereka menyusuri sungai selama lebih dari 6 jam. Lewat pukul 4 sore, barulah mereka sampai di tempat yang dituju. Pedro tiba-tiba meminta untuk menepikan perahu.
“Ada apa, Pedro? Kau mau buang air kecil?” Felix bertanya, dengan wajah mengejek. Ini adalah satu kebiasaan baru Felix yang nanti akan bertahan sampai esok-esok. Tanda dia sudah benar-benar menyatu dengan rombongannya.
“Bukan, bukan begitu, Felix. Kita harus menepi di sini, untuk alasan keselamatan. Kalau tidak menepi di sini, kita bisa mati dilahap air terjun di depan sana.”
“Jadi kita sudah tiba di Ujung Sungai?” tanya Allary, antusias.
“Tepatnya, hampir. Masih sejauh 500 meter ke depan. Kita akan lanjut berjalan di darat. Ayo.”
Allary meloncat dari perahu dengan tidak sabar. Dia sangat antusias. Namun tidak dengan tiga orang lainnya. Mereka biasa-biasa saja. Untuk Pedro, dia santai karena ini bukan pertama kalinya dia melihat Ujung Sungai. Felix memang seperti itu adanya. Nah Vivi dengan diamnya, membuat Allary heran. Bukankah biasanya gadis itu adalah yang paling periang di antara mereka.
“Kamu kenapa, Vi?” Allary bertanya. Sengaja mensejajarkan langkah dengan Vivi di belakang, sementara Pedro dan Felix mengobrol di depan mereka. Vivi nampak murung.
“Aku tidak apa-apa, Allary, aku tidak apa-apa.”
“Tidak, kamu sedang memikirkan sesuatu. Aku bisa melihatnya.”
Vivi menunduk, sedikit berdecak. “Sejujurnya aku memang sedang memikirkan sesuatu, sesuatu yang membuatku takut.”
“Apa itu?”
“Peristiwa di Tanah Suku Telinga Panjang kemarin. Aku kira aku akan kehilangan diriku, lagi. Semua ketakutan itu, mengejarku, Al.”
Allary tersenyum. Vivi memanggilnya dengan cara yang unik. Dia akan berutang satu terima kasih untuk itu. “Tapi kamu sudah selamat sekarang. Kami ada di sini, melindungimu. Kami tidak akan membiarkan mereka merebutmu dari rombongan ini. Kami, ya, aku, Pedro dan bahkan Felix. Kami tidak akan tinggal diam, Vi. Kamu bisa pegang kata-kataku.”
“Aku tahu. Maaf, kurasa aku berlebihan. Tapi perasaan takut itu terus memburuku. Ini mungkin sama dengan apa yang kamu rasakan terhadap Anita. Sebuah trauma.”
Tercekat Allary mendengar nama itu disebut lagi. “Kamu, trauma? Karena apa?” Allary menguasai diri dengan cepat, kembali ke topik.
Vivi menggeleng. “Maafkan aku, Al. Aku tidak bisa menceritakannya padamu.”
“Ya sudah. Setidaknya senyumlah. Sebentar lagi kita akan mencapai ujung sungai.”
Vivi mencoba tersenyum, mencoba melupakan trauma yang melanda dirinya selama tiga hari terakhir. Apa yang sebenarnya dialami Vivi sehingga dia trauma? Sayang sekali, pertanyaan itu tidak akan dijawab di buku ini. Buku ini akan menjawab pertanyaan yang lain. Sebuah pengalaman hidup yang tak kalah dramatis.
“Nah, itulah dia, ujung sungai yang ingin kau lihat, ketua.” Pedro yang berdiri nun di depannya, menunjuk. Allary lekas mendatanginya. Seketika dia terpana.
Pemandangan itu memang tidak semenakjubkan apa yang ditulis di buku. Memang ada air terjun, tapi tidak selebar 15 meter, melainkan hanya 4 meter. Namun jarak antara atas air terjun dengan bawahnya itu lebih dari 200 meter. Membuat air yang turun ke bawah, menderu, mendesau, berbuih-buih. Secara teknis, air terjun ini bukan sebuah “ujung”, hanya sebuah air terjun. Sebab air kembali mengalir di bawah. Menjadi sungai baru. Air terjun itu bukan sebuah ujung.
Akhirnya Allary paham, apa yang dimaksudkan Pedro, bahwa dia telah dibohongi oleh buku.
Namun secara keseluruhan, pemandangan di sana, tetap mengesankan. Pedro mengajak semua orang berjongkok. Tangan pedro menunjuk-nunjuk ke arah bawah.
“Coba kalian amati baik-baik. Apa yang ada di bawah sana.”
Allary, Felix dan Vivi menajamkan penglihatan. Coba menangkap pergerakan. Hei, memang ada sesuatu yang bergerak di dalam air. Sesuatu yang besar. Tidak lama kemudian muncul semacam sirip dari dalam air. Sirip berbentuk segitiga. Seperti sirip hiu di film-film.
“Itu hiu, Pedro?’
“Benar ketua. Itu Amazonian Bull Shark, Hiu Banteng Amazonia.”
“Bagaimana bisa seekor hiu bermain-main sampai ke sini?” Felix bertanya.
“Ah itu, adalah andil dari geografis daerah ini. Di bawah sana, adalah Sungai Parana. Bukan lagi Sungai Amazonia. Oleh karena itu, daerah ini disebut Ujung Sungai. Nah secara geografis, Sungai Parana sudah berdekatan dengan Lautan Pasifik. Ya, secara teknis kita sudah dekat dengan Pantai Barat Pasifik. Oleh karena itu, Hiu Banteng Amazonia sering menyusup ke air tawar.”
Semua orang terkagum-kagum.
108
Rencana di Atas Rencana di Atas Rencana
Sementara rombongan Allary sedang menikmati pemandangan di Air Terjun Ujung Sungai Amazonia, di tempat lain, seseorang sedang gelisah.
Latar tempatnya, sebuah ruangan gelap yang agak berantakan. Kertas-kertas, kabel-kabel, buku-buku tebal, dan asbak berisi debu rokok bertebaran. Di ruangan gelap itu terlihat jelas pijar api merah dari rokok yang diisap. Kita kembali ke ruangan “Bos”.
Seperti biasa, Bos masih menerima berbagai informasi lewat telepon yang senantiasa standby di telinganya. Kali ini, keningnya berkerut lengkok. Dia baru saja menerima laporan dari para pemburu harta karun.
“Misi kalian gagal, Alfonso tewas dan wisatawan sok sibuk itu sekarang berhasil meyakinkan penduduk lokal bahwa kita adalah orang jahat?!” Dia berseru, “seharusnya kau tidak melaporkan hal ini kepadaku.”
“Maaf Bos. Tapi kami perlu pertimbangan anda. Langkah seperti apa yang perlu kami ambil?” Suara di telepon itu terdengar patah-patah. Antara gangguan sinyal dan takut pada Bos-nya.
“Felix Norton,” Bos membaca dokumen yang ada di mejanya, “benar-benar orang yang berbahaya. Aku tidak bisa meremehkannya. Hei, kau masih mendengar suaraku?”
“Masih Bos, suara anda masih terdengar.”
“Berapa orang yang tersisa dari pasukan pemburu harta karun?”
“Tujuh orang, Bos. Apakah kami harus menyerang mereka sekarang?”
“Adakah aku menyuruhmu menyerang?”
Suara di telepon langsung mengkerut, “tidak Bos. Kami memohon arahan dari anda.”
“Baiklah. Kalau begitu dengarkan. Kalian jangan ambil langkah ofensif dulu. Kalian tunggu saja di dalam hutan sana, beri aku koordinatnya. Nanti akan ada bantuan untuk kalian. Jangan sembarangan mengambil keputusan.”
“Baik Bos. Kami akan menunggu bantuan dari anda.”
“Bagus. Mungkin bantuan baru akan sampai dalam sehari atau dua hari. Aku harus berkonsultasi dengan Presiden terlebih dahulu.”
Makin terkejut para pemburu harta karun itu. Segawat itukah urusan mereka dengan para wisatawan sok sibuk itu? Dan oh ya, mereka memang hebat. Alfonso saja takluk di tangan mereka.
“Ingat, kau tidak boleh meremehkan mereka. Mereka adalah lawan yang tangguh.” Bos memberi peringatan.
“Memangnya siapa mereka, Bos? Sampai presiden harus terlibat. Bukankah mereka hanya rombongan wisatawan. Kenapa mereka begitu tangguh?” akhirnya pemburu harta karun itu tidak tahan untuk bertanya.
“Bukan mereka, tapi dia, ya hanya satu orang yang berbahaya di antara mereka.”
“Orang yang mengalahkan Komandan Alfonso?”
“Ya, kau benar. Dialah Felix Norton. Mantan penjahat dan eksodus yang pernah dicari-cari di tiga di negara. Entah bagaimana dia bisa menghapus kejahatannya. Ya, cukup itu saja dulu yang kau tahu. Semoga kalian bisa mengerti betapa berbahayanya orang yang akan kita hadapi.”
Telepon ditutup setelah ucapan “siap Bos”.
Sang Bos sendiri berdiri, mengenakan jasnya, membuka pintu dan berjalan ke luar. Ketika pintunya ditutup, ada plakat nama di daun pintu itu.
“D. Perreira.”
109
Rencana yang Diulang
Sebelum Bos keluar dari gedung tempat ruangannya bernaung, dia menerima sebuah pesan singkat. SMS. “Kita bertemu di kediamanku.” Begitu bunyinya. Di atasnya ada nama pengirim. “Mr. Presiden”. Bos berdecak setelah membaca pesan tersebut.
Presiden selalu tahu bagaimana cara mengendalikanku agar tidak berbuat seenaknya. Jika begini terus, mungkin suatu saat nanti, aku akan berpikir untuk menyingkirkan anda, Presiden. Hatinya menggerutu panjang. Dia berjalan menuju mobil mewahnya, masuk, dan memacu kendaraannya itu membelah kota Rio.
Menuju ke kediaman Presiden Marcelo.
Sementara itu, di gedung yang sama dengan tempat ruangan “D. Perreira” tadi, sepasang mata sedang mengawasi mobil Bos yang sudah meninggalkan parkiran. Apa lagi rencananya kali ini, orang itu bertanya dalam hati. Siapa dia? Belum tahu, misterius.
Menuju kediaman Presiden Marcelo. Ke tempat yang sama dengan tempat Presiden bicara dengan Profesor Joao beberapa minggu yang lalu. Pemimpin negeri ini akan bertemu dengan Bos besar, muara segala kejahatan. Apa yang mereka rencanakan?
“Duduklah, D. Ah sebenarnya sangat sulit menyebutmu begitu. Kenapa kita tidak menyeragamkan saja panggilan terhadap kau, heh?”
Ekspresi Bos tidak berubah meski menerima “serangan” dari Presiden Marcelo. Dia terlihat begitu tenang. “Boleh saja. Mari kita seragamkan. Mulai hari ini panggil aku Bos, seperti yang dilakukan oleh anak buahku.”
“Humormu buruk sekali, D.” Presiden menyahut jengkel. Namun setelah itu, mereka tinggalkan basa-basi dan mulai membicarakan sesuatu yang serius.
Soal kegagalan dan kehancuran Kelompok Pemburu Harta Karun di tangan rombongan wisatawan sok usil yang dipimpin seseorang bernama Allary Azra.
“Kau lihat sendiri sekarang, gara-gara program tak jelas yang diusulkan Joao, semua rencana kita terbongkar. Semuanya amburadul. Kita harus segera mengatasi situasi ini. Karena itulah aku menemuimu hari ini.”
“Mereka berhasil memukul mundur pasukan militer yang kukirim? Kau yakin?” Presiden memainkan pensil di tangan.
“Ya, mereka berhasil menghasut Suku Telinga Panjang untuk bekerja sama.”
Menyernit kening Presiden Marcelo. “Kau bilang mereka bekerja sama?” Hei, suku Telinga Panjang itu dikenal keras kepala dan tidak bisa diatur, bagaimana bisa wisatawan itu membujuk mereka bekerja sama? Pertanyaan presiden dijawab dengan anggukan yang meyakinkan dari Bos.
“Ini pasti ulah dari Allary Azra itu.”
“Bukan, Mister Presiden.” Bos menyela dengan nada mengejek, “orang bernama Allary Azra itu hanya nyamuk yang kecil. Sekali tepuk dia akan mati. Kita perlu mengurus sesuatu yang lebih besar. Orang bernama Felix Norton itu.”
“Memangnya siapa dia?”
“Ah itu kesalahan anda yang paling fatal. Anda membiarkan orang yang berbahaya seperti dia, sampai ikut terlibat dalam urusan ini. Itu kesalahan anda.” Bos memberi penekanan yang sangat kuat di ujung kalimatnya.
Presiden Marcelo membalas dengan tatapan seram. “Anda tidak bisa menakuti saya. Kau tidak bisa.”
“Oh kalau begitu, ini salah siapa? Salah Joao? Kalau begitu kau pecat saja dia. Cabut gelar profesornya.”
Presiden tersenyum tipis, “aku paham seberapa kau menaruh dendam pribadi pada Profesor Joao, tapi kau harus ingat, kau juga berandil dalam perekrutan mereka dalam program itu. Kenapa waktu itu tidak kau saja yang membatalkan semuanya. Atau kau tidak membaca profilnya?”
“Kau menuduhku? Apa maksudmu, heh?”
Presiden melambai santai, “sudah, lebih baik kita bereskan bersama-sama persoalan ini. Pertama-tama, bisa kau jelaskan, siapa itu Felix Norton, dan seberapa berbahayanya dia?”
“Dia mantan buronan organisasi hitam. Mantan anggota dari sebuah organisasi berbahaya di Spanyol. Buron pula di tiga negara berbeda karena kasus pembunuhan. Felix si Kaki Besi, demikian gelarnya di dunia hitam, dan itu merepresentasikan kemampuannya. Dia jago berkelahi, dan tendangannya kuat sekali.”
“Jadi sepeleton pasukan saja tidak cukup untuk menanganinya?”
“Tidak. Sama sekali tidak.”
“Lalu apa rencanamu? Ayolah D, kaulah yang pintar di sini. Seorang profesor. Aku bukan profesor. Kau pasti punya rencana. Kau tahu detailnya.”
“Baiklah, aku punya rencana. Tapi biarkan aku menjalankannya dengan orang-orangku. Anda harus ikut rencana ini, anda harus ikut perintahku.”
Presiden lagi-lagi tersenyum tipis. “Baiklah aku ikut dengan rencanamu. Tapi jangan harap aku mau mengakuimu sebagai bosku, Danilo. Profesor Danilo Perreira.”
110
Penculikan Pedro Dimulai
Terlepas dari akhirnya kita tahu kalau identitas “Bos” itu ternyata adalah Profesor Danilo, (dan itu tidak terlalu mengejutkan), kita tetap tidak bisa menebak rencana seperti apa yang hendak dia lakukan. Sebuah rencana yang bahkan menjadikan Presiden Marcelo, harus menuruti kata-katanya.
Tepat setelah dia meninggalkan kediaman Presiden Marcelo, profesor menelepon kawanan pemburu harta karun yang masih tersisa. Juga beberapa anak buahnya, anak buah Alvarez, anak buah Paman Beto dan yang lainnya, yang menjadi pasukannya.
Profesor segera menyampaikan rencana busuknya. Bak kartu domino yang rebah, rencana itu segera sampai ke semua anggota pasukannya. Semuanya memahami dan bersiap-siap menjalankan tugas masing-masing.
Siang hari, di Ujung Sungai, dekat air terjun. Allary masih asyik memandangi tumpahan air yang jatuh dari ketinggian ratusan meter itu. Begitu indah. Felix dan Pedro sedang bersantai, tidur siang. Kemudian Allary mendengar ada derap-derap langkah menghampirinya. Dia menoleh ke belakang.
Ternyata Vivi.
“Kamu sedang apa, Al?”
Allary tersenyum, jelas sekali bukan, dia sedang berdiri mengamati air terjun yang indah. Kenapa Vivi harus bertanya?
“Eh maaf, bukan begitu maksudku,” Vivi menyahuti lagi, suaranya mengecil.
“Tidak apa-apa Vi, oh ya, bagaimana kondisimu? Kamu sudah baikan kan sejak meninggalkan tempat suku Telinga Panjang itu?”
Vivi mengangguk, “aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa untuk melupakan hal-hal semacam itu, sambil lalu saja.”
Allary menyernit kening, terbiasa?
“Oh ya, Al. Apakah aku boleh menanyakan sesuatu?”
“Boleh. Duduklah,” Allary menunjuk batu besar di sebelahnya, “kamu boleh bertanya tentang apapun.”
“Bagaimana kabar gadismu itu? Anita ya namanya, kalau aku tidak salah ingat.”
Lagi-lagi Allary tersenyum. Dia sudah menduga, Vivi pasti akan menanyakan soal itu. “Dia, aku tidak tahu kabarnya sekarang. Kamu tahu sendiri, kemarin aku tinggal di Kalimantan. Bukan di Jakarta. Jarak kami sudah terpisah jauh untuk tahu kabar satu sama lain.”
“Kenapa kamu tidak mencoba untuk menghubunginya, Al? Bukankah ini zaman yang canggih. Kan ada telepon pintar, kamu bahkan bisa mengecek apa akun media sosialnya. Benar bukan?”
“Aku belum siap, Vi. Aku belum siap melihat dia bersanding dengan orang lain. Jadi aku menjaga jarak dan menjauh. Jika aku memaksakan diri mencari tahu kabarnya, aku hanya akan mendapatkan kabar buruk yang menyakiti diriku sendiri. Kukira menyakiti diri sendiri, itu bukan sesuatu yang baik.”
“Jadi kamu masih menyukainya?”
Allary menjawab dengan anggukan lemah. Lidahnya tak sanggup lagi untuk bilang dia suka dengan Anita. Tidak bisa.
“Tapi bagaimana mungkin Al? Kalian sudah terpisah jarak, terpisah dalam waktu yang cukup lama. Kalau itu soal perasaan, aku kira kalian sudah terdinding, sudah cukup bagimu untuk melepas harapan-harapanmu itu padanya.”
“Sayang sekali Vi, cinta bukan hanya soal perasaan,” sahut Allary. Vivi bungkam, sebagian terpesona oleh kalimat Allary barusan.
Hening sejenak. Allary kemudian memutuskan untuk menyambung kalimatnya. “Kita sudah bertualang sampai sejauh ini. Aku telah belajar banyak hal. Petualangan kita, di Gunung Sarsa, di Hutan Amazonia ini, mengajariku bahwa aku bukan sekedar seorang penjual martabak. Aku adalah seorang petualang. Mungkin itu juga yang ingin ditunjukkan ayah saat menyuruhku mendaki gunung tertinggi di dunia. Hei, dengan anggapan semacam itu, aku rasa aku sudah jauh lebih pantas, daripada diriku yang dulu, untuk Anita. Petualangan ini, mengobarkan perasaan sukaku padanya, lagi.”
“Maaf karena telah membuatmu mengingat semua itu, Al.”
Allary menggeleng, “tidak masalah, Vi.”
Sementara itu, Pedro yang baru bangun tidur, terkaget-kaget mendapati sebuah sumpit tertempel di batang pohon tak jauh dari posisinya. Pedro segera mengambil benda mematikan itu dengan waspada.
Hei, siapa tahu Suku Telinga Panjang memutuskan untuk menyerang mereka lagi? Ternyata bukan, sumpit itu ditembakkan dengan secarik kertas terselip di dalamnya. Bukan, bukan kertas, tapi secarik pesan.
Buru-buru Pedro mengambil kertas tersebut dan membacanya. Tulisannya dalam bahasa lokal. Tulisannya membuat Pedro terbelalak membacanya. Pesan itu ditujukan padanya dan berbunyi.
Nanti malam, akan ada serombongan orang yang akan menjemputmu. Bersiap-siaplah. Turuti semua perintah mereka. Keluargamu di Manaus akan berada dalam bahaya jika kau coba membantah. Tertanda; Para Pemburu Harta Karun
Pedro gemetar.
111
Acara Seremonial
Malam harinya. Rombongan Allary mendirikan tenda tidak jauh dari air terjun Ujung Sungai. Mereka membakar umbi hutan mirip singkong yang berwarna jingga. Begitu dibakar, baunya sangat khas. Allary mengolesi umbi itu dengan mentega sehingga nanti saat dimakan akan semakin gurih. Menu makanan malam itu diusulkan oleh Felix.
Makan malam saat itu berjalan menyenangkan. Pemandangan air terjun yang disinari cahaya rembulan, dan rasa umbi jingga berbalut mentega cukup membuat siapa saja terpesona. Walau sebenarnya, Allary, Vivi dan Pedro menyimpan masalahnya masing-masing.
Allary tiba-tiba berkutat dengan perasaannya dengan Anita. Rasa itu sempurna muncul setelah Vivi mendongkelnya dengan pertanyaan. Sementara Vivi memikirkan tentang rasa trauma yang masih menderanya usai mengunjungi Tanah Suku Telinga Panjang. Antara keduanya terdapat kesamaan. Sama-sama masalah perasaan.
Namun Pedro lain. Dia cemas, khawatir dan takut. Ancaman itu sepertinya tidak main-main. Apalagi ancaman itu didaratkan lewat sumpit ke batang pohon. Macam di film-film. Itu bukan pekerjaan orang iseng. Astaga, bagaimana keluarganya di Manaus? Siapa yang akan menjemputnya malam ini? Apa yang harus dia katakan pada Allary dan yang lainnya? Pedro mati-matian bersikap biasa saja saat makan malam.
Setelah makan-makan beres, perut semua orang kenyang, barulah Pedro mengutarakan rencananya. Tentu saja tidak menyinggung soal surat ancaman. Pedro mengajak Allary dan yang lain melakukan suatu “upacara”.
“Apa katamu, acara seremonial? Untuk apa?” Felix yang pertama bertanya, dahinya menyernit. Bingung. Bukankah acara semacam itu, tidak ada gunanya?
“Tidak, ini sangat vital. Kami percaya, orang-orang yang melintasi Amazonia, sampai ke ujung sungai, harus melakukan semacam upacara untuk menandai perjalanan mereka. Kalau tidak, mereka tidak akan bisa pulang, mereka tidak akan bisa menemukan jalan pulang kembali.”
“Tapi bukankah setelah ini kita akan turun ke bawah, menyusuri Sungai Parana, sampai ke kota terdekat di negeri tetangga, menemukan bandara dan pulang ke Rio. Kita tidak berbalik ke rute yang pernah kita lewati bukan?” Felix semakin kebingungan.
Allary segera menengahi dua pendapat yang berbeda tersebut. Dia sangat maklum kalau Felix adalah orang yang tidak percaya dengan hal berbau adat istiadat aneh dan gaib. “Sudahlah, Felix. Kita ikuti saja. Mungkin ini adalah bagian dari adat istiadat warga lokal. Kita harus menghormatinya.”
“Ketua benar sekali,” sahut Pedro, sungguh-sungguh.
“Baiklah, lakukan sesuka kalian sajalah.” Dengan ucapannya barusan, Felix menyerahkan urusan pada Allary. Giliran sang ketua bertanya.
“Jadi bagaimana upacara tersebut, Pedro?”
“Ah mudah saja, ketua. Kita akan membakar beberapa helai daun Ujung Amazonia, dan melarutkan abunya ke bawah air terjun sana.”
“Ya sudah, ayo kita lakukan.”
Pedro benar-benar melakukan upacara seremonia “gadungan” itu dengan baik dan sungguh-sungguh. Dia ingin agar Allary percaya, perjalanan mereka, memang berakhir malam ini. Dan memang itu akan berakhir malam ini. Dalam hatinya, Pedro sedih.
Sebelum mereka tidur, atau bagi Pedro berpura-pura tidur, Allary sempat mendatangi guide-nya tersebut. Menanyakan keadaannya. Allary bilang, dia mendapati sesuatu yang aneh pada Pedro. Pedro segera menangkisnya dan bilang tidak ada apa-apa. Dia tidak ingin Allary ikut terlibat. Nanti bisa-bisa Allary ingin ikut membantunya di Manaus. Tidak, itu tidak boleh terjadi.
“Jadi bagaimana setelah ini, Pedro? Kita akan kemana lagi?” Allary memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
“Kita akan turun ke bawah, Ketua. Kita akan menyusuri Sungai Parana, terus ke Barat, sampai ke negara tetangga. Perbatasan dengan negeri ini. Di sana bukan perjalanan yang susah. Medan di Sungai Parana jauh lebih bersahabat. Itu juga batas terluar hutan ini.”
“Baiklah, terima kasih, Pedro. Kurasa aku akan berhutang banyak, jika kau mengantarkan kami dengan selamat, sampai ke Rio nanti.”
Pedro terhenyak. Apakah ketuanya itu tahu apa yang dia sembunyikan?
112
Dan, Serangan Pun Dimulai
Malam hari, seluruh lembah kembali ditelan gelap. Allary, Felix dan Vivi tertidur nyenyak. Mereka mendirikan dua tenda. Vivi berada di tenda yang terpisah. Hanya Pedro yang sama sekali tidak tidur. Dia menunggu kedatangan rombongan para pemburu harta karun, yang akan menjemputnya. Semakin malam semakin bertambah deg-degan perasaannya.
Akhirnya, setelah malam mencapai titik dinihari, suara gemerisik itu datang mendekat. Bukan gemerisik air terjun, tapi gemerisik langkah manusia. Pedro tahu itulah jemputannya. Dia tahu ini pasti jebakan, umpan atau semacamnya, tapi dia tidak bisa membantah, dia tidak akan membiarkan keluarganya, berada dalam bahaya.
Pelan-pelan dia mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan tenda. Rombongan para pemburu harta karun sudah menunggunya di luar. Dengan isyarat tanpa suara, mereka meminta Pedro ikut dengan mereka. Semua dalam kesunyian. Pedro melangkah dengan gemetar.
Mereka berjalan sejauh kira-kira 100 meter dari lokasi tenda Allary. Saat tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan.
“Berhenti!”
Sebuah suara tegas terdengar, nadanya datar saja, tapi memiliki aura yang sangat dahsyat. Pedro yang sudah berjalan, bersama para pemburu harta karun, semuanya menghentikan langkah. Di sana, sudah berdiri, Felix Norton. Pedro kehilangan kata-kata. Astaga, kenapa Felix bisa memergokinya sekarang.
“Pedro, kau tahu, seorang guide tidak boleh meninggalkan rombongannya, tanpa izin dari sang ketua. Kau tidak boleh pergi. Aku mewakili Allary, tidak akan mengizinkan kau pergi begitu saja bersama orang-orang itu.”
“Kau jangan ikut campur, kalau kau tidak ingin habis,” salah seorang dari pemburu harta karun, berseru, mencoba mengintimidasi. Tapi Felix tersenyum santai.
“Apa kau tidak salah, kau sedang mengancamku? Aku tidak takut dengan kalian, sebaliknya, kalianlah yang takut denganku.”
Sialnya, kata-kata Felix itu benar. Sebagian dari pemburu harta karun itu, memang takut pada Felix.
“Maju, kalau kau berani,” tantang salah satu dari mereka.
“Dengan senang hati.”
Pedro diam seribu bahasa. Detik berikutnya, Felix sudah menerjang para pemburu harta karun itu. Mereka dengan kemampuan seadanya, sudah barang tentu tidak bisa mengalahkan Felix yang bahkan berhasil mengalahkan Alfonso, pemimpin mereka.
Namun, para pemburu harta karun itu punya keunggulan mutlak. Mereka telah diberi strategi khusus untuk mengalahkan Felix Norton. Yaitu serangan mendadak.
Ketika dua orang sudah berhasil dilumpuhkannya, dan Felix nampaknya sudah fokus sekali menghabisi musuh-musuh yang terlihat di depannya, serangan itu datang.
BUUUUKKKKKK!
Sebuah pukulan balok kayu yang tanpa ampun di arahkan ke belakang kepala Felix. Langsung ke pusat titik sarafnya. Serangan di tengah gelap, yang super cepat. Namun Felix bukan sekadar lebih tangguh untuk menghadapi serangan tersebut. Beberapa pemburu harta karun yang lain, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, untuk benar-benar “menghukum” Felix Norton. Mereka menggebukinya tanpa ampun.
HAPPPP!!!
Dalam satu momen yang menentukan, Felix berhasil menangkap pukulan balok kayu yang diarahkan padanya. Dia berusaha bangkit lagi, tapi orang yang memukulinya di belakang mengetahui hal itu, lekas menginjak punggungnya.
“Jangan berpikir kau bisa lepas dan menghajar kami setelah ini, kau sudah kami kalahkan,” katanya, sambil menginjak punggung Felix kencang.
“Dan kalian juga salah, jika menyangka aku akan kalah semudah itu. Aku tidak akan membiarkan kalian membawa Pedro pergi. Ketua Allary tidak akan memaafkan siapapun yang menculik anggota rombongannya.” Felix berucap tersendat-sendat. Orang yang menginjak punggungnya malah tertawa.
“Kau, membela dia?” katanya sambil menunjuk pada Pedro. “Kau pasti tidak tahu apa-apa soal dia.”
“Dia anggota rombongan kami,” sahut Felix sengit.
Salah seorang pemburu harta karun berjongkok di depan Felix, tersenyum sinis, mengambil alih pembicaraan. “Dengar baik-baik, Mister Kaki Baja. Kau mungkin tertarik, untuk mengetahui bagaimana cara kami, menemukan lokasi kalian setiap kali hendak menyerang. Mulai dari Mr. Beto, Mr. Alvarez sampai Mr. Alfonso. Kami, pasukan bos selalu bisa menemukan kalian dengan mudah. Tidakkah kau ingin tahu bagaimana cara kami menemukan kalian?”
“Memangnya bagaimana caranya? Kalian membuntuti kami?”
Orang yang sedang berjongkok di depan Felix itu malah tertawa. “Membuntuti? Sangat merepotkan. Untuk apa kami membuntuti kalian jika mata-mata kami ikut di rombongan kalian, siap selalu melapor pada kami. Untuk apa repot-repot?”
Felix menggeram mendengar penjelasan tersebut. Apa itu maksudnya...?
113
Pedro Sang Mata-mata?
“Kalian jangan mengada-ada. Kalian tidak bisa membohongiku!” Felix berseru, mencoba mendongak, tapi orang yang berjongkok di depannya buru-buru menahan kepalanya. Tidak membiarkan Felix melihat ke wajahnya.
“Terserah kau, mau percaya atau tidak. Tapi pikir logika saja, hutan ini sangat luas. Pasukan bos tidak akan bisa menemukan kalian tanpa informasi dari seorang mata-mata. Pedro melakukan semuanya dengan terampil. Mengelabui semua orang. Sayang sekali. Hari ini, misinya sudah berakhir. Dia akan pulang ke Rio bersama kami. Sedangkan kalian akan dihukum membusuk dalam hutan ini, tersesat tanpa tahu arah. Petualangan yang hebat bukan?”
“Kurang ajar,” Felix menggeram. Kepalanya tak bisa terangkat. Terbenam ke tanah. Sampai akhirnya orang itu melepas pegangannya di kepala Felix.
“Sudah, bereskan dia. Pastikan dia tidak bisa mengikuti kita. Tapi jangan dibunuh. Supaya dia bisa memberitahu pada ketuanya, bahwa mereka selama ini dibodohi oleh Pedro. Mata-mata yang paling cemerlang.”
Felix meronta-ronta. Tapi tidak lama. Orang yang menahan punggungnya, memukulnya dengan balok kayu sekali lagi. Felix pingsan. Dia menghabiskan waktu sampai pagi dengan terbaring tak sadarkan diri. Sedangkan Pedro ikut dengan rombongan pemburu harta karun.
Pagi harinya, Allary bangun bersamaan dengan matahari terbit. Pagi itu, Allary bangun dengan bersemangat. Suasana hatinya sudah lebih baik setelah dibawa tidur semalaman. Dia sempat heran mendapati kedua tempat tidur temannya, Felix dan Pedro kosong, tapi Allary belum menduga macam-macam. Toh tadi malam tidak ada apa-apa yang terjadi.
Atau Allary yang tidur terlalu nyenyak?
Usai menyiapkan sarapan dan Vivi terbangun, barulah Allary merasa khawatir. Kemana Pedro dan Felix? Allary menanyakan pada Vivi. Tapi gadis itu menggeleng.
“Aku tidak tahu, Al. Bukankah kamu yang bangun lebih dulu. Kukira tadi kamu tahu mereka kemana.”
“Aku juga tidak tahu, Vi. Saat aku bangun, Felix dan Pedro sudah tidak ada. Ini sudah satu jam, dan mereka belum kembali.”
Vivi tiba-tiba gemetar. Astaga, jangan bilang kalau kejadian tempo hari terulang lagi. Jangan bilang rombongan mereka akan terpecah lagi.
“Kamu mendengar sesuatu tadi malam?” tanya Allary. Vivi menggeleng sebagai jawaban. “Tidak Al, aku tidur nyenyak.”
Allary berdecak, lekas mematikan perapian. Menyisihkan pekerjaannya. Membuat sarapan bisa dilakukan nanti-nanti. Lebih penting mencari Felix dan Pedro. Jangan sampai mereka kenapa-kenapa.
“Vi, ikut aku. Cepat.” Allary tanpa permisi menarik tangan Vivi. Langsung pergi menuju hutan di samping air terjun.
Allary beda dengan Felix. Dia tidak sok jadi detektif karena dia tahu dia tidak ahli dalam hal itu. Namun Allary punya insting yang baik. Dia bisa merasakan saat orang lain perlu bantuannya. Sebagai orang yang senang berbuat baik dengan orang, Allary rasa dia bisa menemukan Felix dan Pedro. Tanpa harus mengamati jejak kaki.
“Kita mau kemana, Al?”
“Aku bisa merasakan hawa keberadaan Felix dekat sini, Vi. Ayo kita bergegas.”
Bagi Vivi saat itu, Allary lebih aneh daripada Felix saat menjadi detektif sok tahu tempo hari.
Namun Allary benar. Di depan sana, mereka bisa melihat ada orang yang tergeletak di tanah. Buru-buru mereka mendatangi. Vivi langsung berseru kencang begitu mengenali bahwa itu adalah Felix.
“Apakah dia selamat, Al? Tolong katakan dia masih hidup.”
Allary memeriksa nadi dan menemukannya masih berdenyut. Masih aman berarti. Felix masih hidup. Dia hanya pingsan. Allary coba membangunkannya dari metode yang dia baca di buku Handbook.
Pagi itu, Felix berhasil dibangunkan. Tanpa harus melalui kata-kata ratapan dari Vivi. Felix terkulai lemah, sekujur badannya ngilu. Dia menatap dengan pandangan yang menimbulkan kasihan. Ekspresinya kesakitan.
“Ma... af.... ak....ku.... ga.... gal. Ketua.” Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh Felix.
114
Misi Baru dan Keputusan Sulit
Allary mendudukkan Felix, membuatnya bersandar ke sebuah batang pohon. Mencoba membuatnya lebih tenang. Felix masih hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tidak keluar dari mulut. Allary mengisyaratkan agar dia diam.
“Kau pulihkan dirimu dulu. Baru setelah itu kau bicara. Atau kita bisa mencari Pedro setelah ini.”
Felix malah mencengkeram tangan Allary. Kuat-kuat.
“Hei, ada apa, Felix? Sudah kubilang kau tenangkan diri dulu. Vivi bisa menjaga kau sementara aku mencari Pedro. Kuharap dia tidak terpisah terlalu jauh darimu. Entah apa yang sudah terjadi tadi malam, aku tidak bisa menebaknya.”
“Pedro, pergi, ketua.” Akhirnya Felix berhasil mengucapkan sebuah kalimat dengan sempurna. Kalimat yang membuat Allary bingung. “Pergi? Pergi kemana maksudmu?”
“Pergi, meninggalkan kita.”
“Maksudmu dia tewas?” Vivi menyerobot, berseru, cemas.
Felix menggeleng. “Dia pergi dalam keadaan hidup. Bersama para pemburu harta karun.”
“Maksudmu, Pedro diculik oleh mereka?” giliran Allary yang bertanya. Matanya menyiratkan kecemasan yang sama dengan Vivi. Sekali lagi Felix menggeleng. “Dia tidak diculik. Dia pergi dengan sukarela. Lebih buruk. Dia memang merencakan itu. Pedro sialan itu, ternyata adalah mata-mata.”
Terkejut bukan main Allary dan Vivi. Mata-mata? Apa maksudnya?
“Ketua, kau masih ingat sekali bukan, kita berkali-kali diserang oleh gerombolan orang tak jelas, mengajak kita bertarung. Merepotkan. Mereka tidak akan semudah itu menemukan kita, di dalam hutan yang luas ini, tanpa koordinat. Mereka memanfaatkan mata-mata untuk mengirim informasi. Mata-mata itu adalah Pedro.”
“Tidak mungkin! Itu sangat tidak mungkin, Felix!” Allary berseru kencang.
“Aku juga susah mempercayainya, ketua. Tapi dia benar-benar pergi, di depan mataku sendiri.”
Allary beberapa kali menggeleng cepat. Coba membantah kenyataan tersebut. “Itu tidak mungkin, Felix. Pasti ada kesalahan. Aku akan mencarinya. Kau tunggu di sini.”
Namun Felix malah menahan tangan Allary.
“Kau tidak perlu melakukan hal itu, ketua. Untuk apa mencari orang yang memata-matai kita?”
Allary lagi-lagi menggeleng, semakin kuat. “Tidak, dia teman kita. Dia anggota rombongan ini.”
“Dia mata-mata. Dia sekutu musuh kita. Artinya dia musuh kita juga. Kau tidak perlu mencarinya, ketua. Tidak perlu.” Felix sudah mendapatkan kembali energinya, kini bisa berbantahan dengan sempurna dengan ketuanya itu.
“TIDAK, INI TIDAK MUNGKIN!” Allary memukul tanah. Teriakannya membelah hutan. Felix menyahut datar. “Aku juga susah mempercayai hal ini, ketua. Tapi mau bagaimana lagi. Kenyataan memang sulit untuk diterima.”
Di tengah-tengah ketidak-percayaan dan kebimbangan Allary itu, malah terdengar suara baling-baling helikopter. Benda terbang itu mendekat ke kepala mereka. Membuat semua orang menengok. Helikopter coba terbang rendah, mencoba menjatuhkan tangga tali. Seseorang turun dengan gesit. Felix segera bangkit, melupakan kesakitannya, bersiap-siap. Siapa tahu orang ini adalah musuh yang dikirim oleh Bos para pemburu harta karun itu.
Ternyata bukan. Dia mengeluarkan telepon genggam. Mendekati Allary, dengan penuh takzim, kemudian bilang, “ada sambungan telepon dari Presiden untuk Allary Azra.” Kemudian orang itu menyerahkan telepon pada Allary. Terdengar nada sambung.
“Halo, selamat pagi,” ucap Allary di telepon, mencoba mengusir jauh-jauh rasa bingungnya.
“Selamat pagi, Mr. Allary. Saya Presiden Marcelo. Maaf saya harus berbicara lewat sambungan telepon dengan anda.”
Allary mengusap wajah. Astaga, suara itu, benar-benar berwibawa. Tambahkan helikopter yang membawakan pesan itu, berlogo pemerintah. Semuanya serba meyakinkan. Tapi Allary harus menguasai keadaan. Mau presiden atau siapapun yang berada di sambungan telepon itu sekarang, dia tetap ketua rombongan ini. Dia harus menguasai keadaan.
“Ya, saya sendiri, Tuan Presiden. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
“Ya, saya menghubungi anda, atas sebuah rencana darurat. Saya akan menambahkan tugas untuk anda.”
“Menambahkan tugas, Tuan Presiden?”
“Ya, saya percaya dengan kemampuan anda dan tim anda. Jadi saya putuskan untuk menambah pekerjaan kalian. Tentunya dengan tambahan biaya juga. Bagaimana?”
Allary menyernit kening. Misi baru? Presiden? Helikopter? Semua itu berputar-putar dalam kepalanya. “Boleh saya tahu detail tugas tambahan itu, Tuan Presiden.”
“Singkatnya, kalian akan meneruskan perjalanan sampai ke Ujung Pegunungan Andes. Sebelah selatan negeri tetangga. Penugasan yang lebih detail, disiapkan staf saya yang datang ke anda naik helikopter. Jika kalian bersedia menyelesaikan tugas ini, silakan ikuti staf saya. Naik ke helikopter tersebut. Kalian akan diantar ke perbatasan negeri tetangga. Tempat kalian akan memulai tugas baru.”
Detail-detail semua itu, benar-benar membuat Allary bingung membuat keputusan.
115
Keputusan Miring di Atas Helikopter
Sementara dari atas, pilot helikopter memberi isyarat pada staf presiden. Waktu kita hampir habis, itulah isyaratnya.
“Bagaimana Tuan-Tuan, apakah kalian bersedia menerima penugasan baru dari Tuan Presiden? Jika ya, mari ikuti saya, kita naik ke helikopter sekarang,” kalimat Staf itu terdengar lembut dan sopan.
“Bagaimana jika kami menolak tugas tersebut?” tanya Allary sambil mengembalikan telepon, pembicaraan dengan Presiden Marcelo sudah berakhir.
Staf itu tersenyum simpul, “menurut arahan Tuan Presiden tadi, jika kalian menolak penugasan ini maka kami tidak bisa menyerahkan paspor kalian untuk masuk ke negeri tetangga. Jadi silakan kalian pulang ke Rio lewat jalan kalian pergi.”
“Maksudnya kami harus pulang lewat hutan?” Allary bertanya, menelan ludah.
“Saya kira begitu. Jadi bagaimana?”
Allary memandang pada Felix, meminta pendapat, dan pendapat Felix sudah sangat jelas. “Kita ikuti saja ketua.”
Tapi bagaimana dengan Pedro?
Felix mengisyaratkan bahwa naik ke helikopter itu, adalah satu-satunya jalan keluar mereka sekarang. Allary berdecak. Tapi staf benar, dia harus segera memutuskan. Baiklah, demi kebaikan semua orang, sepertinya ikut ke helikopter itu, jauh lebih baik.
“Ya, kami ikut. Kami akan ambil misi baru itu,” ucap Allary akhirnya.
“Baiklah, kalau begitu, mari ikut saya, Tuan-Tuan.”
Mereka memanjat tangga tali, naik ke helikopter berlogo pemerintah tersebut.
Ruangan di dalam helikopter cuku bersih. Ada tiga bangku di bagian belakang, tepat sekali untuk mereka bertiga. Sementara staf dan pilot duduk di depan. Helikopter segera terbang mengudara.
“Kuharap ini keputusan yang benar, Felix. Kalau tidak, kita akan meninggalkan Pedro di hutan rimba. Sendirian.”
Felix yang duduk di sebelah kiri Allary, menepuk-nepuk bahunya, “dia bersama teman-temannya, ketua. Dia akan baik-baik saja.”
“Tapi bagaimana jika ini semua hanya umpan, hanya jebakan. Bagaimana jika Pedro benar-benar diculik?”
“Dia adalah mata-mata, ketua. Dari caranya melaporkan posisi kita saja, itu sudah jadi bukti yang sangat kuat. Lagipula bagaimana cara melacak posisi kita di dalam hutan dan mendatangi kita kapan saja? Mereka punya mata-mata, dan itu adalah Pedro.”
Nada bicara Felix yang begitu meyakinkan, disahuti oleh Vivi. Vivi sebenarnya sependapat dengan Allary, tapi dia juga tidak bisa membantah argumentasi Felix. “Menurutku semua ini sangat aneh, Felix. Coba pikir-pikir lagi. Pedro pergi, kemudian kita tiba-tiba diberi misi baru, tanpa kesempatan untuk menolak. Ini aneh sekali.”
“Bagian mana yang menurutmu aneh, Vivi?”
“Maksudku, bagaimana jika ada sesuatu yang direncanakan orang-orang di balik layar. Bagaimana jika Presiden Marcelo juga terlibat dalam sebuah rencana besar, sebuah konspirasi.”
“Kukira, kita harus membuang opsi itu. Kita mendengarkan semua itu, dari mulut seorang mata-mata. Keterangannya boleh jadi menyesatkan kita.”
Tiba-tiba suara lain menyela, “ah ya, aku sangat setuju dengan pendapat Mr. Felix, Tuan Presiden tidak akan terlibat dalam rencana konspirasi apapun. Saya jamin itu. Eh tadi saya dengar, kalian berurusan dengan mata-mata.”
“Bukan urusan anda,” sahut Felix tajam. Staf itu tetap tersenyum. “Baiklah kalau begitu, saya turut prihatin jika anda-anda semua kehilangan seorang teman. Apakah kalian bisa meneruskan perjalanan ini, tanpa seorang teman itu?”
“Kami harus mencobanya, kami akan mencobanya. Lagipula untuk apa punya guide, kalau dia adalah seorang mata-mata.”
Staf mengangguk-angguk. “Oh jadi, teman kalian itu tadinya adalah guide. Maaf, tapi saya kira perjalanan kalian akan jadi sulit tanpa seorang guide. Bagaimana jika saya menawarkan diri?”
Tingkah staf itu sekarang, membuat Allary dan Felix bingung. “Maaf, sebelumnya saya harus bertanya. Apakah menjadi guide adalah bagian dari tugas anda?” Allary mengajukan pertanyaan.
“Tidak, tapi saya bisa membantu. Saya senang berbuat baik.”
Mendengar kalimat itu, Allary tersenyum. “Itu kabar baik. Kalau begitu, kami memang membutuhkan bantuan anda.”
“Baiklah, saya akan mengirimkan berita pada Tuan Presiden tentang hal ini.”
“Oh ya, boleh saya tahu nama anda?”
“Saya Saviola. Saya berasal dari Argentina.”
Allary menjabat tangan staf itu. “Saviola, senang bertemu denganmu, namaku Allary. Aku adalah ketua rombongan ini.”
“Oh begitu, saya bisa lihat anda tadi yang paling bersemangat.”
Begitulah, di atas helikopter menuju negara tetangga, menuju Pegunungan Andes, Allary membentuk tim baru. Saviola menjadi guide barunya. Meski separuh hatinya tidak yakin kalau Pedro adalah seorang mata-mata.
116
Pantai Barat Pasifik
Helikopter diterbangkan di atas langit negeri tetangga. Dari atas helikopter itu pula, rombongan Allary bisa melihat dengan jelas batas terluar Hutan Amazonia. Kini setelah lebih dari 20 hari menjelajah di dalam hutan tersebut, hari ini Allary dan rombongannya bisa melihat perbatasan. Mereka meninggalkan kawasan Amazonia.
“Aku akan merindukan petualanganku di Hutan terluas di dunia itu,” ucap Allary pelan ketika Hutan Amazonia semakin lama semakin lenyap dari pandangan.
“Mister Saviola, sekarang kau bisa jelaskan rute perjalanan misi baru kami, berhubung ini bukan lagi negeri kalian, kurasa kita tidak bisa sembarangan berjalan. Kecuali kita menjadi semacam buronan internasional. Yahh, walau menjadi buronan internasional, juga merupakan petualangan yang menarik.”
Allary lekas menyuruh Felix tutup mulut. Jangan mengatakan yang tidak-tidak. Saviola mengeluarkan selembar kertas besar dari bagian bawah kursinya. Rupanya sebuah peta. Peta negara-negara di Amerika Selatan. Pegunungan Andes terbentang di bagian selatan benua itu. Di sebelah barat Hutan Amazonia.
“Kita akan menuju ke sini dulu, Pantai Barat Pasifik. Setelah itu bergerak turun. Petualangan akan dimulai dari kota Piura di perbatasan Peru dengan Ekuador. Kemudian kita akan turun ke Peru, Bolivia kemudian ke Chile dan terakhir Argentina. Pesawat kita akan menerbangkan kita dari Buenos Aires ke kota Rio, itulah kurang lebihnya.”
“Jadi perjalanan ini lebih jauh ketimbang perjalanan Amazonia kemarin. Kurasa jarak antara Pantai Barat pasifik ke Buenos Aires hampir dua kali lipat. Bagaimana menurutmu, Felix?”
“Aku merasa tertantang, ketua. Lagipula, semua negara yang harus kita lalui adalah daerah Amerika Latin yang dulu dikuasai Kerajaan Spanyol. Ini akan menyenangkan.”
“Bagaimana menurutmu, Vi?”
“Kurasa kita tidak punya pilihan lain, Al.”
Allary tersenyum hambar. Sayangnya, Vivi benar. Mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus mengikuti alur permainan Presiden Marcelo jika ingin pulang dengan selamat ke kota Rio.
Kerumitan perjalanan mereka bertambah ketika mereka tiba di Kota Piura, di Pantai Barat Pasifik, yang termasuk dalam wilayah Negara Peru.
Mereka tiba tepat di sore hari. Pantai itu, Allary tidak tahu namanya, tapi pemandangan sunset-nya sungguh memukau. Vivi, yang tidak pernah merasakan pemandangan sunset di tepi pantai, terpukau dengan pemandangan yang dilihatnya.
Di pantai itu, Allary mendapat kesempatan untuk membicarakan hal itu, sekali lagi, dengan Felix. Soal Pedro.
“Kau masih tidak percaya padaku, ketua?” Felix langsung menyemprot Allary pada pertanyaan pertama.
“Aku hanya bertanya, Felix. Mengingat Pedro itu pernah jadi anggota rombongan ini.”
“Dan dia bergabung untuk memata-matai kita.”
Allary melempar pandangan ke laut lepas. Ingatannya memutar bagian saat dia dan Pedro terpisah dari rombongan. Saat mereka berkeliaran di Hutan Amazonia selama 2 hari. Mencari jejak ular raksasa. Hei, bahkan Pedro beberapa kali menolong rombongannya. Menolong Vivi saat terkena demam Amazonia. Menolong membawa Felix ke tanah Suku Telinga Panjang saat dia terluka. Kalau dipikir-pikir lagi, Pedro adalah orang baik. Masa iya, orang sebaik itu, adalah mata-mata.
“Justru itu, ketua. Semakin meyakinkan dia bisa merekaya dirinya, semakin terlihat lihai dia sebagai seorang mata-mata.”
Allary geleng-geleng kepala. “Kenapa kau bisa seyakin itu, Felix. Padahal ada banyak kemungkinan lain.”
“Dengar, ketua, aku sudah berurusan dengan ratusan mata-mata. Aku juga pernah menjadi mata-mata. Jadi aku bisa merasakan tingkah polah orang itu, sebagai mata-mata. Lagipula, pikirkan, kita berada di hutan yang sangat luas, bagaimana bisa para penambang, Alvarez dan para pemburu harta karun menemukan kita, jika bukan karena laporan seorang mata-mata.”
Allary memutuskan untuk tidak memperpanjang lagi perdebatannya. Sampai kapanpun, Felix sepertinya akan tetap memegang keyakinannya itu.
“Pemandangan di Pantai ini sangat mengagumkan. Bukan begitu, Felix?”
“Kalau soal itu, kau benar, ketua.”
“Aku jadi teringat, orang pertama yang melihat Pantai Barat Pasifik ini.”
“Orang Eropa pertama maksudmu?”
“Ah ya, kuyakin, orang itu sama keras kepalanya denganmu,” Allary tertawa.
“Sialan kau ketua, tidak jelas apakah kau sedang memuji atau meyindirku.” Felix akhirnya ikut tertawa.
117
Serangan Tiba-tiba
Allary dan Felix menghentikan pembicaraan mereka setelah Saviola memanggil mereka semua. “Kurasa sudah cukup sedikit santainya. Saatnya aku menyerahkan sesuatu yang paling penting dari perjalanan ini pada kalian.”
Allary bingung, Felix juga. Apa yang ingin diserahkan Saviola? Petualangan baru mereka ini memang membingungkan. Dan semua kebingungan Allary itu akhirnya tertuang dalam sebuah kartu yang diserahkan oleh Saviola.
“Apa ini?” tanya Allary.
“Itu kartu paspor kalian. Kartu khusus yang diserahkan Presiden Marcelo. Dengan kartu tersebut, kalian bisa bepergian dengan mudah di daratan Amerika Selatan. Tapi kartu itu harus dicap secara berurutan oleh pejabat migrasi di negara yang bersangkutan. Ini, aku misalkan, (Saviola membuka kartu paspor khusus yang tadi dikatakannya), di sini urutan Argentina ada setelah Chile. Jadi kalian harus mengunjungi Chile terlebih dulu sebelum ke Argentina. Dengan cara ini Presiden ingin memastikan kalian semua tidak melarikan diri dari misi ini.”
“Terdengar sebagai sebuah kekangan di leherku,” kata Felix.
Saviola mengangkat bahu. Apa boleh buat. Ini adalah perintah dari Presiden.
“Sejujurnya aku merasa takjub dengan keberadaan kartu ini. Tapi apakah ini harus dilakukan? Aku merasa semua ini berlebihan.”
“Ini perintah dari Presiden,” ulang Saviola. Dengan ucapan yang lebih mantap. Allary tidak punya pilihan lain. Dia mempelajari dengan saksama susunan daftar negara yang ada di kartu paspor khusus itu. Peru, Bolivia, Chile dan Argentina. Cukup menarik, pastinya. Tapi dia merasa keberadaan kartu yang mengatur-atur perjalanannya itu, agak memberatkan.
“Jika kalian sudah siap, mari kita mulai perjalanan kita. Aku sudah meminta pilot helikopter untuk menunggu di Buenos Aires. Mari kita mulai perjalanan baru ini.”
Felix mulai menatap Saviola dengan curiga. Orang ini, mencurigakan. Siapa dia sebenarnya?
Tidak, mereka tidak perlu mulai berjalan untuk mengetahui maksud sebenarnya dari perjalanan ini. Setelah menerima kartu paspor khusus itu, sekarang perangkap presiden Marcelo, benar-benar merapat, mengurung rombongan Allary.
Sekitar 20 orang mengepung pantai. Berpakaian hitam-hitam. Memakai penutup wajah. Siapa pula mereka?
Allary tidak sempat bereaksi, ketika tiba-tiba, dari arah belakang ada orang yang memelintir tangannya. Memeganginya, dan kemudian menodongkan pistol ke pelipis ketua rombongan itu.
“Saviola,” Felix menggeram. Ya, Saviola yang telah meringkus Allary.
“Diam kau, Felix si Kaki Baja. Jangan berani melawan, atau orang ini akan kehilangan nyawanya.”
Felix menelan ludah, merapatkan diri ke sisi Vivi. Setidaknya dia harus melindungi gadis ini. Mereka telah dijebak. Semuanya sudah jelas. Dua puluh orang itu mulai mendekat, mempersiapkan tangan untuk bertarung. Felix melemaskan otot-otot tangannya. Dia siap bertarung, dua puluh orang bukan sesuatu yang terlalu berat untuknya.
“Kau jangan coba melawan, atau orang ini akan mati,” Saviola menodongkan pistol ke pelipis Allary. Semakin erat. Ancamannya serius. Saviola, atau tidak, Profesor Danilo sudah tahu bahwa satu-satunya kelemahan dari Felix si Kaki Baja, adalah Allary, ketua rombongannya. Felix memiliki respek padanya, dan Felix akan melakukan apapun untuk melindungi ketuanya itu. Felix tidak bisa melawan.
“FELIX!” Vivi berteriak keras. Melihat Felix diam saja dipukuli oleh dua puluh orang.
Saviola menyeringai. Akhirnya mereka berhasil membungkam dan mengalahkan rombongan wisatawan sok sibuk ini.
118
Pertarungan Sengit
“Ya, pukul dia sampai jadi bubur.” Saviola berseru, wajahnya tersenyum menyeringai.
“UKKHHH!” Felix mengaduh tertahan. Orang-orang itu memegangi tangan dan kakinya lalu memukulnya tanpa ampun. Felix sampai menggigit bibir, menahan sakit. Tidak apa, dia bisa menahan rasa sakit ini. Dulu di Spanyol, dia pernah terlibat dalam situasi yang lebih parah.
Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana cara melepaskan todongan orang itu dari ketua. Selama orang itu masih menyandera Allary, aku tidak bisa berbuat macam-macam. Felix mencoba memikirkan rencana. Tapi bagaimana? Dia bahkan tidak bisa berpikir.
Sementara itu, Allary juga menggigit bibir. Bukan karena kesakitan. Tapi kasihan. Temannya sedang dipukuli di depan matanya. Sebagai orang yang senang berbuat baik, dia benar-benar tidak tega melihat kondisi temannya sekarang. Vivi jangan ditanya, dia sudah pingsan sejak tadi.
Ayolah, sedikit ide saja bisa mengubah kondisi ini menjadi lebih baik. Allary dan Felix sama-sama berfikir keras.
Saat itulah, tangan Allary tidak sengaja merogoh belakang tubuhnya. Hei, dia masih menyelipkan pistol di sana. Tapi sudah kosong. Ah pistol kosong pun sepertinya sudah cukup untuk dijadikan senjata sekarang, asal aku cermat dalam menggunakannya. Allary berpikir cepat. Memilih bagian tubuh mana yang bisa dia pukul.
Satu pukulan saja, bisa menentukan langkah keselamatan mereka. Baiklah, akan aku mulai.
BUKKKKK!!!
Allary secepat kilat mengambil pistolnya tadi, dan memukul Saviola. Pukulan yang mengejutkan, langsung diarahkan ke alat kelamin pria itu. Dengan gagang pistol yang keras. Pukulan itu amat menentukan.
AKHHHHH!!!
BUUUKKKKKK!!!!
BUUUUUKKKKK!!!!!
Sebelum Saviola sempat bereaksi pada dirinya, Allary langsung memukul tangannya yang memegang pistol. Kemudian memukul kepala pria itu. Semuanya dalam waktu kurang dari lima detik. Tiga pukulan yang mengejutkan itu, cukup untuk membuat Saviola tumbang beberapa saat.
“Kerja bagus, ketua.”
AKHHH!!!
Melihat Allary berhasil melumpuhkan Saviola, salah seorang pengeroyok Felix balas menyerang teman Allary itu dengan senjata tajam. Felix terlalu lengah untuk menghindar. Satu sabetan pisau menggores bahunya.
“Kurang ajar.”
Belum sempat Felix menyadari apa yang terjadi, satu orang kembali hendak menyerangnya dengan pisau. Beruntung Allary melihat serangan itu. Dia segera menyambar pistol milik Saviola yang tadi tergelelatak di tanah. Melemparnya ke arah Felix.
BUKKKK!!! Mengenai musuh yang hendak menyerangnya, sekaligus memberi Felix senjata untuk bertarung.
“Sekali lagi, kerja bagus, ketua.”
“Segera balikkan situasinya, Felix.”
“Siap, ketua.”
“Sementara itu, aku akan memastikan kondisi Vivi.”
“Lakukan ketua, aku akan melindungimu. Kalian semua, adalah lawanku. Majulah.” Felix menantang.
Bermodalkan pistol itu, Felix memang tetap tidak bisa membalikkan keadaan dengan mudah. Pistol itu hanya punya delapan isi peluru. Artinya hanya delapan lawan maksimal yang bisa dia robohkan dengan tembakan. Sisanya dia harus berusaha sendiri.
“Menyerahlah, pelurumu sudah habis. Kau juga sudah kalah jumlah.” Kali ini giliran pemimpin pasukan musuh, orang yang memegang pisau.
“Aku tidak akan mengalah dengan mudah. Jangan kira hanya karena kalian tadi berhasil memukuli dan melukaiku, aku akan kalah dari kalian. Saatnya kalian melihat kemampuan Felix si Kaki Baja.”
Kemudian dalam beberapa menit, pertarungan selesai. Felix tidak memerlukan tangan, apalagi pistol untuk melumpuhkan orang lain.
“Bagaimana bisa kau...”
Felix mendekati ketua pasukan penyerang itu sambil tersenyum sinis, “seharusnya kau melukai kakiku, bukan tangan. Kau tahu julukanku, bukan? Sekarang habislah kau.”
Felix memasang kakinya, siap menginjak kepala ketua pasukan. Tapi tiba-tiba dia limbung. Felix tiba-tiba terduduk. Wajahnya memucat dengan cepat. Dia memegangi bahunya. Felix tersengal-sengal.
119
Orang Baik Hati di Barat Negeri Peru
Allary memastikan kondisi Vivi baik-baik saja. Gadis itu hanya pingsan. Tidak ada gejala yang serius, dia hanya terguncang setelah melihat Felix dipukuli. Allary sempat teringat apa yang dikatakan Vivi di lereng Gunung Sarsa, beberapa bulan yang lalu.
“Aku menyukai Felix? Mungkin saja, suatu hari nanti.” Ah ya, semacam itu mungkin yang diingat Allary.
Tapi Allary tidak bisa memikirkannya lebih lanjut. Felix sudah roboh. Lukanya, luka yang sempat disembuhkan Suku Telinga Panjang, terbuka lagi akibat perkelahian barusan. Allary buru-buru mendatangi temannya itu.
“Astaga Felix, bertahanlah. Aku akan menyelamatkanmu.” Allary buru-buru melepas jaket miliknya (jaket cadangan) untuk menutup jalan keluarnya luka. Tapi hanya beberapa saat, Allary tahu kalau perbuatannya itu tidak banyak membantu. Felix tidak sadarkan diri.
“Astaga,” Allary berdecak. Berusaha mendudukkan Felix. Duduk tegak. Dia harus menuju ke fasilitas kesehatan terdekat. Tapi itu tidak mungkin. Mereka orang asing di negeri ini. Astaga, bagaimana ini.
Saat itulah, perpanjangan tangan sang empunya kebaikan datang menolong Allary. Seperti yang sering dijanjikan ibunya. Orang baik selalu mendapatkan kemudahan. Seorang petugas berseragam, lelaki tua dan gaek, menghampiri mereka. Tergopoh-gopoh.
“Ada apa? Apa yang terjadi di sini?” katanya, dalam bahasa Inggris. Sepertinya pak tua ini tahu bahwa Allary dan kawan-kawan adalah wisatawan.
“Kami diserang oleh orang-orang itu. Beruntung teman saya bisa melawan, tapi sekarang, teman saya terluka. Cukup parah.”
“Astaga, sebaiknya dia dibawa ke rumah sakit terdekat. Piura Hospital hanya berjarak beberapa blok dari sini,” katanya.
“Maafkan saya, tapi kami tidak punya uang.” Allary coba berkilah.
“Tidak apa-apa. Biar saya antar. Nanti kita urus sama-sama. Yang terpenting teman kalian bisa selamat.”
Allary tersenyum cerah. Dia bisa merasakan ketulusan dari kata-kata pak tua berseragam ini. Allary dibantu pak tua berseragam itu, menggotong Felix ke mobilnya. Dari bentuk mobil itu, Allary bisa menebak, pria ini petugas keamanan. Mungkin di Indonesia sebutannya adalah satpol PP.
Setelah memastikan Felix duduk dengan aman, meski darahnya terus mengalir, Allary meminta pak tua itu menunggu sejenak. Dia harus membawa Vivi juga. Pak tua itu nampak kaget.
“Jadi dia temanmu juga?”
“Benar pak, dia teman saya juga. Kami bertiga datang ke negara ini sebagai wisatawan.”
“Apakah dia juga terluka?”
“Tidak pak, dia hanya pingsan karena kaget. Teman saya yang satu itu saja yang terluka.”
Pak Tua itu mengangguk, “baiklah. Mari kita berangkat. Harap jaga kedua temanmu. Kita akan sedikit mengebut.”
“Baik pak. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas bantuannya.” Allary coba tersenyum.
“Tidak masalah. Jangan berterima kasih atas sebuah kewajiban, menolong orang lain.”
Allary tersenyum lagi. Senang sekali bisa bertemu orang baik di negeri yang tidak mereka kenali ini. Allary bersyukur, Tuhan memang bersama orang-orang baik.
120
Eduardo G. Vargas
Pak Tua itu menepati kata-katanya. Dia memarkirkan mobilnya, yang bersirine, tepat di pintu masuk unit gawat darurat. Dengan sigap dia berteriak meminta tempat tidur dorong, memanggil suster. Para perawat segera berdatangan, membantu merebahkan Felix, dan mendorongnya ke dalam ruangan.
“Kau bangunkan dulu temanmu itu, aku akan mengikuti para perawat,” ujar Pak Tua, tanpa sempat menoleh lagi ke belakang.
Allary sebenarnya cemas dengan kondisi Felix, tapi Pak Tua benar, dia juga tidak bisa meninggalkan Vivi yang belum sadarkan diri di mobil, sendirian. Bisa-bisa gadis itu terkena pasal kejadian yang tak menyenangkan. Allary berusaha membangunkan Vivi terlebih dahulu.
Untungnya, Vivi segera siuman. Ekspresi pertama yang ditunjukkannya adalah kaget. “Loh Al, kenapa kita ada di sini? Mobil siapa ini? Apakah kita ditangkap?”
Allary tersenyum, berusaha menenangkan. “Kita selamat Vi, pertempuran tadi sudah selesai.”
Vivi sempat menarik nafas lega sebelum dia teringat akan sesuatu. “Tunggu Al, lalu bagaimana dengan Felix? Apakah dia selamat? Loh ini rumah sakit ya, astaga, bagaimana keadaannya, Felix tidak kenapa-kenapa bukan?”
Sekali lagi Allary tersenyum. “Tidak Vi, tenanglah. Felix baik-baik saja. Dia masih hidup. Dia hanya terkena luka kecil. Tadi aku bertemu seorang petugas keamanan baik hati yang bersedia mengantarkan Felix ke rumah sakit ini. Mereka sudah di dalam. Aku harus memastikan kamu baik-baik saja dulu, jadi apakah kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, Al. Lebih baik kita tidak membuang waktu, ayo cepat kita lihat keadaan Felix.”
Allary mengangguk, membuka pintu mobil dan masuk ke ruangan gawat darurat. Sempat bertanya sana-sini, akhirnya mereka menemukan ruangan tempat Felix dirawat. Pak Tua berdiri di luar ruangan.
“Dokter sedang melakukan pemeriksaan. Kita semua diminta menunggu di luar.” Pak Tua menjelaskan.
“Teman saya baik-baik saja bukan, Pak?” Vivi bertanya, intonasinya benar-benar cemas.
“Aku tidak tahu, nona muda. Aku bukan dokter. Tapi aku harap dia selamat. Semoga dia selamat.”
Allary menggigit bibir, ya semoga dia selamat.
Pak Tua memandangi Felix dari balik kaca, seolah-olah dia adalah keluarganya sendiri. Itu mengingatkan Allary akan satu hal. Mereka belum berkenalan. Allary mendekati Pak Tua.
“Oh ya, ngomong-ngomong Mister, kita belum berkenalan. Nama saya Allary Azra. Saya ketua rombongan ini, dan saya ingin mengucapkan ribuan terima kasih atas bantuan anda pada kami.”
Pak Tua itu tersenyum simpul. “Sama-sama, anak muda. Sudah kubilang, menolong sesama adalah sebuah kewajiban bagiku. Oh ya, kulihat kau bukan orang Amerika Latin, Allary?”
“Oh ya, memang bukan mister. Saya orang Asia. Tepatnya orang Indonesia.”
Pak Tua itu mengangguk-angguk, “kalian pasti orang-orang yang bermental baja dan berkemauan besi, sehingga bisa sampai ke negeri ini. Selamat datang, walau kuyakin kesan kalian pada negeri ini sudah berkurang.”
“Ah tidak apa-apa, mister.” Allary garuk-garuk kepala, Pak Tua ini belum menyebutkan namanya. Apakah dia lupa, atau dia memang bukan orang yang ingin menyebutkan identitas. Ah mungkin saja. Allary memakai kemungkinan kedua sebagai kesimpulan.
Pak Tua beralih pandang pada Vivi. “Dan nona muda ini, siapa namanya?”
“Saya Selvi, Selvi Anatasha. Tapi teman-teman saya, lebih sering memanggil saya, Vivi.”
Pak Tua manggut-manggut lagi. “Selvi, Vivi, nama yang indah. Apakah dia pacarmu?” Pak Tua menunjuk Allary, kontan membuat keduanya terkejut.
“Bukan Pak, dia teman saya, teman seperjalanan. Bukan pacar,” akhirnya Vivi yang bicara.
“Benar mister. Benar yang dia bilang.” Allary menambahkan kemudian. Pak Tua tertawa. “Maafkan aku, anak muda. Aku hanya bercanda. Tapi hei, bukankah seru jika bertualang dunia bersama seorang pasangan?”
Kemudian Pak Tua tertawa dengan keras. Allary dan Vivi mau tidak mau ikut tertawa.
“Oh ya, Pak, anda belum menyebutkan nama anda.”
“Astaga,” Pak Tua menepuk dahi, “maafkan aku, kalau sudah bercanda kadang terlupa. Perkenalkan, namaku, Eduardo. Eduardo G. Vargas.”
“Senang sekali bisa bertemu dengan anda, Mr. Eduardo.”
“Panggil aku Vargas saja cukup, Allary.”
“Baik, Mr. Vargas.”
Pak Tua tertawa lagi.
121
Benda Kecil yang Berkedip
Tepat setelah sesi perkenalan dengan Pak Tua Vargas selesai, dokter, berbaju putih, keluar dari ruangan tempat Felix dirawat. Pemeriksaan telah selesai.
“Dokter, bagaimana kondisi teman saya?” Allary yang maju paling depan, bertanya. Dia adalah ketua rombongan ini, dia harus memastikan temannya baik-baik saja.
“Temanmu tidak apa-apa. Kami sudah tangani dia dengan baik. Lukanya sudah dijahit. Sebentar lagi dia akan siuman. Silakan kalau kalian ingin masuk.”
Allary dan Vivi sama-sama mengusap wajah. Lega. Tapi langsung khawatir ketika teringat satu hal yang sama. Allary segera menanyakannya.
“Bisakah teman kami itu pulang secepatnya, dokter?”
Dokter mengangguk, “oh tentu. Bila dia lekas siuman, lukanya tidak terbuka lagi atau tidak ada hal lain yang terjadi, besok dia sudah boleh pulang.”
“Tidak bisakah dia pulang sore hari ini juga?” tawar Vivi.
Dokter tersenyum simpul. “Tidak bisa nona. Teman kalian tidak boleh banyak bergerak dulu. Nanti jahitan lukanya bisa terbuka lagi. Esok adalah waktu yang paling cepat.”
Allary dan Vivi sama-sama berdecak. Bagaimana mereka bisa membayar biaya rumah sakit ini?”
“Oh ya, teman kalian akan segera dipindahkan ke kamar rawat inap, kamar yang standar. Tapi jika kalian ingin memindahkannya ke kamar yang lebih baik lagi, silakan hubungi suster dan pihak administrasi ya. Saya permisi.”
Kemudian dokter itu berlalu. Meninggalkan perasaan bingung di pikiran Allary dan Vivi. Mereka sama sekali tidak punya ide untuk membayar rumah sakit ini.
“Tenang saja,” Pak Tua Vargas tiba-tiba menepuk pundak Allary, “tidak perlu memikirkan biayanya. Nanti semua biaya rumah sakit ini, biar aku yang menanggungnya.”
Allary terpana. Pak Tua Vargas serius? Mana bisa begitu. Biaya rumah sakit pasti mahal. Makanya orang miskin tidak boleh sakit. Itulah yang terjadi di negeri asalnya. Tapi wajah Pak Tua Vargas serius.
“Tidak perlu dipikirkan, Allary. Aku yang membawa dia ke sini, aku juga yang akan menanggung biayanya.”
“Tapi mister...”
“Sudah. Lagipula itu adalah jalan keluar satu-satunya bukan?”
Allary ber-fuuuhhh lega campur kesal. Lega karena bertemu orang sebaik Pak Tua Vargas, kesal karena dia tidak bisa berbuat apa-apa dan harus bergantung pada orang lain. Orang asing pula.
“Sudah-sudah. Ayo temui teman kalian. Sepertinya dia sudah siuman.” Pak Tua Vargas menunjuk ke dalam ruangan lewat kaca, Felix terlihat bergerak-gerak. Allary mengangguk, segera membuka pintu.
Felix benar-benar sudah siuman.
“Ket...tua. Kau baik-baik saj... ja bukan?” itulah kalimat pertama yang diucapkan dari mulut Felix. Allary tersenyum. Akhirnya Felix sadar.
“Aku baik-baik saja, Felix. Kau telah menyelamatkan kami semua.”
“Ah syukurlah. Kita ada dimana? Apakah ini rumah sakit?”
“Benar Felix. Ini di rumah sakit. Lukamu cukup parah sehingga perlu perawatan dokter.”
Felix menengok ke bahunya. Diperban. Juga agak nyeri. “Terima kasih ketua. Tapi hei, bagaimana kita akan menanggung biaya rumah sakit?”
“Panjang ceritanya, Felix. Nanti saja aku ceritakan. Cukup sekarang kau tahu, kita semua baik-baik saja. Ada orang baik yang telah menyelamatkan kita.”
“Syukurlah. Oh ya, ketua. Bisa kau ambilkan tasku. Ada yang perlu kuambil di dalamnya.”
Allary mengangguk, “tentu Felix. Tasmu ada di luar ruangan. Akan kuambilkan. Sekalian aku panggilkan Mister Vargas yang telah menyelamatkan kita semua.”
“Siapa itu Vargas?”
“Nanti kau akan berkenalan. Sebentar.” Allary sudah melangkah ke pintu, keluar, mengambil tas Felix sekaligus mengajak Vivi dan Pak Tua Vargas untuk masuk ke ruangan.
“Kau sudah siuman anak muda? Astaga lukamu tadi parah sekali. Ngeri aku melihatnya,” Pak Tua Vargas menyapa Felix dengan jenaka. Dan seperti biasa, mister Latino itu tidak suka sapaan jenaka basa-basi sok akrab seperti itu.
“Terima kasih atas bantuanmu,” Felix bersitatap sejenak, kemudian beralih pada Allary, “Ketua, tolong kemarikan tasku.”
“Ini Felix.” Allary mengangkat tasnya dan saat itulah terjadi sesuatu.
“Tranggg!”
Dari dalam tas Felix, yang memang sedikit terbuka, tiba-tiba jatuh benda kecil. Seukuran ibu jari kaki. Terbuat dari besi sehingga berbunyi berkelontang ketika menghantam lantai keramik rumah sakit.
Benda kecil itu berkedip-kedip dengan sinar merahnya.
Benda apa itu?
122
Alat Penyadap
Allary yang pertama berlutut, mengambil benda berkedip yang tergeletak di lantai. Mengangkatnya dengan hati-hati. “Apa ini, Felix?”
“Coba aku lihat, Allary,” pinta Pak Tua Vargas. “Sepertinya aku mengenali alat apa ini,” sambungnya.
Sementara Felix mengenali alat itu dengan wajah tidak senang. Tentu dia tahu alat apa itu. Dia akrab dengan alat itu.
“Tidak salah lagi...
“Ya benar sekali...
“ALAT PENYADAP!” Felix dan Pak Tua Vargas bersuara berbarengan. Allary terhenyak. Apa dia tidak salah dengar? Perjalanannya selama ini diikuti oleh seseorang dari tempat yang jauh lewat sebuah alat kecil yang berkedip-kedip merah? Oh alangkah sinetronnya.
“Pak Tua,” tiba-tiba Felix menatap ke arah Pak Tua Vargas dengan tatapan seram, nada suaranya penuh intimidasi, “siapa kau sebenarnya?”
Allary coba menengahi, sigap berdiri di sebelah ranjang Felix, menjelaskan bahwa Pak Tua Vargas ini adalah orang yang menyelamatkan Felix, membawanya ke rumah sakit. Felix masih menatap Pak Tua Vargas dengan tajam.
“Siapa kau? Kenapa kau tiba-tiba bisa muncul di tengah kami? Maafkan aku, bukannya aku tidak menghargai kebaikanmu, tapi dengan situasi kami yang kau lihat sendiri, dikelilingi bahaya, aku tidak percaya denganmu. Jadi cepat, mengakulah. Siapa kau sebenarnya?”
“Felix...” Allary masih mencoba menenangkan.
“Kita tidak bisa mempercayainya begitu saja, ketua. Alat penyadap itu ditemukan tidak lama setelah dia bersama-sama dengan kita.”
“Sebaiknya kau tenang dulu, kau harus tahu, Mister Vargas inilah yang mengongkosi biaya rumah sakit. Tanpanya kita bisa kehilangan kau, Felix.”
Felix masih tidak melepaskan tatapan tajamnya. Pak Tua Vargas akhirnya berbicara, “tenanglah dulu, anak muda. Siapa tadi namamu, Felix ya? Ah ya, Felix, aku paham kau terguncang begitu melihat alat penyadap ada dalam tasmu. Tapi aku bisa pastikan, aku tidak berniat jahat pada kalian. Aku janji.”
“Aku tidak akan mempercayaimu begitu saja, KAU DENGAR! UKKHHH!!” Felix mengakhiri ancamannya sambil menunjuk-nunjuk, menggerakkan tangannya, membuat lukanya berdenyut lagi. Allary lekas menyuruhnya diam.
“Permisi...” tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah seorang perawat dari baliknya. Kedatangan perawat itu menunda sementara aroma pertengkaran yang nyaris pecah di ruangan tersebut.
“Ada apa, nona?” sapa Allary ramah.
“Kamar Mister Felix, sudah disiapkan di lantai 2. Mari ikuti saya.”
“Ah kabar baik. Ayo kita pindahkan Felix ke kamar yang lebih layak,” Pak Tua Vargas tersenyum simpul. Felix masih menghadiahinya dengan tatapan mengancam, meski tidak lagi bicara. Hanya membisikkan sebuah kalimat pada Allary.
“Waspada penuh, ketua. Aku sama sekali tidak percaya dengan orang itu. Sebaiknya kau tidak terlalu dekat dengannya, sampai aku bisa menghajarnya.”
“Kurasa itu terlalu berlebihan, Felix.”
Ranjang dorong Felix sudah diarahkan keluar ruangan.
123
Deep Talk with Felix Norton
Ruangan itu nyaman. Pada saat itu, Peru sudah menjadi salah satu negara makmur di kawasan Amerika Selatan. Tak heran, rumah sakitnya memiliki fasilitas yang lengkap dan memuaskan. Allary dan Vivi bisa bermalam di ruangan itu, ada ranjang terpisah yang bisa digunakan oleh keluarga pasien di ruangan yang sama. Hanya ditutupi oleh tirai tipis.
Malam itu, Allary mempersilahkan Vivi untuk tidur di ranjang yang disediakan untuk keluarga pasien.
“Bagaimana denganmu sendiri, Al?”
“Aku akan berjaga-jaga. Siapa tahu akan ada penyerang masuk di malam hari. Hal itu sering terjadi di dalam film bukan?”
“Kamu jangan membuatku merinding, Al.”
Allary mengibaskan tangannya. “Sudahlah, kamu tidur saja, Vi. Kamu perlu istirahat. Biar aku yang berjaga. Aku janji tidak akan ada sesuatu apapun yang buruk terjadi malam ini.”
Vivi mengangguk. Malam beranjak tua. Felix masih tertidur. Tadi dia diberi obat penenang oleh dokter. Sementara Pak Tua Vargas pulang ke rumahnya, sore tadi beliau berpamitan. Praktis ruangan rumah sakit itu menjadi sepi.
Allary tidak mengantuk. Dia duduk melamun dengan tenang di ruangan itu, tepat di sebelah ranjang Felix, duduk di atas kursi lipat. Sesekali pikirannya terpikir pada Pedro. Dia masih belum sepenuhnya yakin kalau Pedro adalah mata-mata. Lalu soal alat penyadap itu. Siapa pula yang meletakkannya.
Hutf, Allary menarik nafas. Tujuan awalnya bertualang ke sini adalah mencari sensasi petualangan alam liar. Bukan mencari masalah dengan kelompok yang bisa berkonspirasi seperti ini.
“Kau tidak tidur, ketua?” tiba-tiba dari sisi Allary terdengar pertanyaan, lemah saja intonasinya. Itu Felix.
“Aku tidak bisa tidur, Felix. Ada banyak yang menyesaki pikiranku.”
“Maafkan aku, ketua.” Tiba-tiba Felix berbicara.
“Atas apa?”
“Kelakuanku beberapa hari ini mungkin. Aku akui aku agak panik semenjak mendengar Pedro adalah mata-mata.”
Allary tersenyum. Agak geli mendengar orang semacam Felix tiba-tiba minta maaf padanya. “Bisa kupahami, Felix. Tidak ada masalah. Tapi untuk kasus Mister Vargas, aku bisa pastikan kau salah. Dia bukan penipu atau orang jahat. Dia semata-mata ingin menolong kita, kau bisa percaya padaku. Insting kebaikanku yang mengatakan hal itu.”
Giliran Felix yang tersenyum geli. Agak mengejutkan mendengar kebaikan ternyata punya insting. “Ya, lakukan saja sesukamu, ketua. Aku ikut denganmu saja.”
“Terima kasih. Terima kasih juga karena kau sudah berkali-kali bertarung menyelamatkan kami semua, Felix. Kau terlihat sangat tangguh.”
“Tidak perlu bilang begitu, ketua. Aku sudah terbiasa. Bagiku ini seperti sebuah kesenangan saja.”
“Kau mau kuambilkan air minum, Felix?”
“Boleh juga.”
Setelah air diserahkan pada Felix dan dia minum, ternyata adegan pembicaraan “aneh” mereka berdua berlanjut. Jam di dinding rumah sakit, menunjukan pukul 1 pagi.
“Kau, bagaimana perasaanmu sekarang dengan gadismu itu, ketua?”
Tiba-tiba saja, Felix bertanya. Ya, Felix yang bertanya, dengan pertanyaan seaneh itu. Apa yang dipikirkannya, Allary sampai harus mengecek dahi temannya itu. Siapa tahu Felix melantur gara-gara overdosis obat penenang. Nyaris saja Allary memanggil dokter.
“Aku baik-baik saja, ketua. Pertanyaanku barusan, serius. Sangat serius. Tapi jika kau tidak ingin menjawabnya, tidak masalah.”
“Entahlah Felix, pembicaraan kita malam ini terasa aneh sekali. Tapi jika kau ingin tahu tentang itu, aku rasa aku bisa menjawabnya. Oh ya, kau tidak hadir di Puncak Sarsa saat aku menceritakannya.”
“Ya, aku hanya mendengar sepintas-sepintas. Dari Vivi, dari Turguy dan dari kemampuan orang Pahadaru membaca pikiran. Dari apa yang kudengar, kisahmu amat dramatis.”
Allary garuk-garuk kepala. “Tidak bisa juga dibilang begitu, Felix. Mungkin lebih tepatnya bisa disebut tragis.”
“Oh ya, bagaimana kabar dia sekarang?”
“Entahlah. Sudah satu tahun lebih aku tidak menghubunginya.”
“Jadi seperti itu ya. Tapi kau bukan tipe pendendam kan, ketua?”
Allary menggeleng cepat, “tentu saja bukan, Felix. Aku selalu berusaha jadi orang baik. Dimanapun dan kapanpun. Tak sedikitpun aku mendendam padanya.”
“Lalu kenapa kau tidak menghubunginya?”
“Karena aku tidak mau menyakiti diriku lagi. Aku menjauh darinya agar aku tidak merasa disakiti lagi olehnya. Langkahku menjauh, adalah untuk melindungi diriku sendiri.”
“Jadi ada ya, perasaan semacam itu.”
“Tentu saja, Felix. Kau ini macam orang yang tidak punya perasaan saja.”
“Ya, aku memang lupa bagaimana bentuk perasaan itu.”
Allary terkejut, jadi Felix itu manusia model apa?
“Kisah hidupku tidak kalah panjang dan dramatis dibanding dengan kau, ketua.”
“Mungkin suatu hari nanti aku akan memintamu untuk bercerita juga, Felix.”
Felix tersenyum geli lagi, “mungkin nanti saja, ketua.”
124
Rute Perjalanan Berikutnya
Pagi hari di kota Piura, Peru.
Tadi malam, Allary dan Felix mengobrol panjang sampai pukul 3 pagi. Mereka membicarakan banyak hal. Termasuk rute perjalanan mereka berikutnya.
“Menurutmu, kita kemana setelah ini, Felix?”
“Terserah kau, ketua. Kau adalah ketua rombongan ini. Aku hanya mengikuti kemudian sesekali memukul dan berkelahi.”
“Ya, tidak ada salahnya bukan, aku meminta pendapatmu. Kau termasuk salah satu orang yang berpengalaman di kelompokku sekarang, bahkan mungkin satu-satunya.”
“Kalau kau ingin tahu pendapatku, ketua. Maka aku akan bilang, kita ikuti saja rute perjalanan yang telah diberikan Presiden Marcelo. Dengan kartu paspor yang diatur seperti punya kita itu, kita tidak punya banyak pilihan lain.”
Allary berdecak, teringat soal kartu paspor yang dimodifikasi tersebut. Tidak salah lagi, mereka dijebak sehingga tidak bisa kemana-mana. Terpaksa mengikuti jalan yang telah dirancang.
“Sepertinya kau benar, Felix. Kita harus mengikuti jalan itu. Kuharap kita sudah bisa berangkat besok pagi. Kau kuat berjalan bukan?”
“Kau jangan ragukan kemampuanku, ketua. Seandainya kau minta tadi sore pun, aku sudah siap melanjutkan perjalanan.”
“Baguslah, besok pagi. Setelah kita menyelesaikan urusan dan mengucapkan terima kasih pada Mister Vargas.”
“Dia serius menanggung semua bayaran rumah sakit ini?”
“Yap, dia bilang begitu, dan kurasa kita memang tidak punya pilihan lain.”
“Kurasa kau benar, ketua.”
Ya, begitulah pembicaraan mereka berakhir. Kita kembali ke pagi hari di Kota Piura.
Pak Tua Vargas sudah datang, pagi-pagi. Membawakan sarapan untuk mereka makan. Berempat. Pak Tua itu ikut makan di ruangan rawat Felix. Felix sendiri juga bangkit dari tempat tidur. Ikut makan.
“Kau yakin ingin berangkat pagi ini juga, Allary?” Pak Tua Vargas bertanya sekali lagi. Tadi sebenarnya Allary sudah memberitahunya.
Allary mengangguk, “semakin cepat kami pergi dari sini, semakin baik saya rasa. Kami juga tidak ingin anda membayar terlalu banyak.”
“Kalau soal itu tidak perlu dipikirkan. Kalian bisa beristirahat di sini sampai teman kalian, Felix, benar-benar pulih. Kalian tidak perlu khawatir tentang biaya. Aku bisa menanggungnya.”
“Saya sangat menghargai kebaikan anda, Mister. Kami berhutang budi besar pada anda. Tapi sekali lagi kami tidak ingin terlalu merepotkan. Felix juga sudah merasa baikan.”
Pak Tua Vargas akhirnya mengangguk. “Baiklah kalau begitu. Aku salah melarang para petualang melanjutkan perjalanannya. Setelah ini aku akan membantu kalian menyelesaikan administrasi di bawah dan kalian boleh pergi.”
“Terima kasih, Mister Vargas, sekali lagi terima kasih banyak.”
“Ah jangan dipikirkan, Allary. Seperti yang pertama kali kubilang, jangan berterima kasih atas sebuah kewajiban.”
Kemudian mereka menyelesaikan urusan administratif dan segera keluar dari rumah sakit.
“Setelah ini, kalian mau kemana, Allary?” tanya Pak Tua Vargas.
“Kami akan ke Selatan. Terus ke Chile dan Argentina.”
Pak Tua Vargas menganggukkan kepala. “Itu perjalanan yang teramat jauh.”
“Doakan kami, Mister Vargas.”
“Pasti. Oh ya, kalian bisa naik bus berwarna hijau. Itu adalah bus yang paling murah. Yahh meski dengan fasilitas paling seadanya.”
Allary tersenyum lagi, itu saja sudah kabar baik bagi kelompoknya. Mereka sudah nyaris krisis keuangan.
“Semoga kita bertemu lagi, Mister,” ucap Allary. Vivi sudah menyetop satu bus hijau. Mereka sudah siap naik. Ini saatnya mengucapkan salam perpisahan dengan orang yang sudah baik hati menolong mereka.
“Tentu. Semoga, Allary. Semoga kalian masih mengenali aku jika bertemu suatu hari nanti.”
“Saya yakin saya akan mengenali. Saya tidak pernah lupa dengan siapa saya pernah terhutang budi.”
“Ya sudah. Cepat naik. Kalian nyaris ketinggalan bus. Semoga perjalanan kalian menyenangkan.”
125
Bus Menuju Cajamarca
Allary, Vivi dan Felix duduk nyaman di dalam bus hijau yang mereka berhentikan di kota Piura. Meskipun Pak Tua Vargas berkali-kali bilang bahwa itu adalah bus dengan kualitas paling standar di Kota Piura, namun bagi Allary, bus itu sudah cukup nyaman. Bangku-bangku di dalam bus didesai berhadap-hadapan. Jadi Allary dan Felix duduk berhadapan dengan Vivi. Allary dan Vivi duduk dekat jendela, sementara Felix di tengah. Begitulah perjalanan mereka.
Felix kemudian merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah benda tebal, sebuah buku. Melihat buku, Allary mau tidak mau penasaran, bertanya. “Buku apa itu, Felix?”
“Ini adalah buku yang wajib kau miliki kalau tidak ingin tersesat di negeri orang, ketua,” Felix menunjukkan sampul buku itu sehingga Allary bisa membacanya. Sampulnya berbahasa Inggris, Allary bisa membacanya.
“Atlas by Collunar. Apa itu?”
“Astaga ketua, ini adalah peta. Peta berbentuk buku. Disusun oleh Geoffrey Collunar di tahun 1997. Kemudian terus diperbaiki setiap tahunnya. Setiap orang yang ingin bertualang, minimal punya satu edisi peta ini. Aku beruntung punya edisi yang tidak belum terlalu tua. Atlas ini dicetak tiga tahun yang lalu. Semoga kita bisa mengenali Peru dan tujuan kita berikutnya dengan peta ini.” Felix menjelaskan panjang lebar dengan senang hati nampaknya.
“Oh iya, kemana kita setelah ini?” Vivi bertanya, dengan riang dan antusias. Dia tidur tadi malam saat dua temannya itu melakukan deep talk. Felix sedang membuka atlas itu, mencari peta negara Peru. Dia tidak menggubris. Jadi Allary yang menjawab.
“Dari Piura, kita akan ke Santiago, terus menyeberang ke Buenos Aires.”
“Koreksi ketua, sebelum ke Santiago, kita akan mampir ke Cajamarca.”
“Cajamarca?” Allary ikut menyernit kening, bukankah nama kota itu tidak ada dalam rencana yang mereka bicarakan tadi malam? Walau, kota Cajamarca bukan nama yang asing bagi Allary. Sebagai mahasiswa ilmu sejarah, dia tahu Cajamarca. Itu adalah salah satu kota yang penting dalam sejarah kekaisaran Inka.
“Ya, ketua. Kita sedikit mengubah jalur. Dari Cajamarca kita akan ke Cusco. Baru setelah itu Santiago. Lalu Buenos Aires.”
“Kenapa kita mengubah jalur, Felix?”
“Ada seorang teman yang harus kutemui di Cajamarca. Dia bisa membantu kita. Termasuk membantu kita mendapatkan mobil, perbekalan serta baju ganti. Karena kita di sini hampir tidak punya uang sama sekali bukan?”
Allary mengangkat bahu. Apa boleh buat.
“Kau tidak keberatan bukan, ketua?”
“Lakukan saja Felix, asal kau tahu jalannya.”
“Kau tidak perlu meragukan aku, ketua. Tanpa guide pun, Amerika Selatan sudah seperti tanah kelahiranku sendiri. Aku tidak akan kesulitan mengingat nama-nama tempat di sini.”
“Baiklah.”
126
Kunjungan ke Cajamarca
Butuh lebih dari lima jam bagi bus hijau yang mereka tumpangi untuk sampai ke Cajamarca, Peru. Mungkin itu adalah satu-satunya kekurangan dari bus paling standar di negara Peru tersebut, jalannya lambat. Sangat santai.
Ketika sudah sampai di pusat kota, pak supir menanyakan dimana letak alamat yang dituju mereka bertiga. Allary menyikut Felix.
“Saya tidak bisa memberitahu anda,”
Terkejut semua orang yang ada di dalam bus. Aneh sekali, mana ada orang yang tidak mau menyerahkan alamat yang ditujunya pada seorang supir yang akan mengantarnya.
“Astaga, bagaimana aku akan mengantarkan kalian jika kalian sendiri tidak mau memberitahu dimana alamatnya, heh.” Pak Supir berdecak kesal.
Allary sekali lagi menyikut Felix. Itu bukan perilaku yang sopan, Felix. Felix malah mengangkat bahu. “Seandainya saya sebutkan pun, anda tidak akan bisa mengantarkan kami ke sana. Jalannya melewati gang sempit dan area perbukitan.”
“Sin Bauna?”
“Sekali lagi saya tidak bisa memberitahu.”
Pak supir mengusap wajah. Baiklah, ini sudah sore, dia sudah lelah dan sekarang ada penumpang yang bertingkah. Benar-benar menguji kesabaran. Tapi Pak Supir sadar, dia tidak boleh bertengkar, reputasinya sebagai supir bus teladan bisa tercoreng nanti.
“Ya sudah, jadi kau mau kuantar kemana? Jangan terlalu berbelit-belit. Aku juga sudah lelah, kemungkinan setelah ini aku akan langsung memberhentikan bus ini di terminal Cajamarca. Baru besok pergi ke Cusco.”
Felix merenung sejenak, “terminal Cajamarca, itu tempat yang cukup bagus. Kami akan turun di sana, selepas itu kami akan berjalan kaki menuju alamat yang kami tuju.”
“Ha, sepertinya aku tahu dimana alamat yang kalian tuju ini, sudah pasti Sin Bauna.”
“Saya peringatkan anda untuk tidak menebak-nebak lagi,” untuk sesaat, suara dan sorot mata Felix berubah jadi menakutkan. Berubah jadi seperti saat dia berkelahi. Allary buru-buru menenangkannya.
Mereka sepakat turun di terminal Cajamarca.
Felix berjalan membimbing Allary dan Vivi di belakangnya. Tangannya masih memegangi atlas Collunar itu. Sesekali dia bolak-balikkan halamannya. Sesekali pula dia dekatkan dengan matanya, seolah ada detail kecil yang tidak dia lihat dari jauh. Kelakuan anehnya, itu membuat Allary penasaran, bertanya.
“Kau tidak lupa dengan lokasi alamatnya bukan, Felix. Kulihat dari tadi kau sibuk mencocokkan tempat.”
“Kau benar ketua, soal aku yang mencocokkan tempat. Tapi kau salah soal lupa. Aku tidak pernah lupa.”
“Well, tapi kau terus-terusan melihat peta itu.”
“Seperti kubilang, peta ini dibuat 3 tahun yang lalu. Mencocokkan peta ini saja, dengann ingatanku sudah meleset jauh. Banyak hal yang berubah, apalagi mencocokkannya dengan kondisi sekarang.”
“Sekarang aku malah tidak yakin kau bisa membantu kita semua menemukan jalur pulang sampai ke Buenos Aires.”
Felix mulai berdecak, Allary tersenyum kecil, “aku tidak lupa ketua, hanya terlalu banyak tempat yang berubah.”
“Justru karena itu aku takut. Baik ingatanmu dan peta itu tidak bisa diandalkan jadi petunjuk. Jangankan mencari jalan ke Buenos Aires, mencari alamat temanmu saja tidak dapat.”
“Astaga ketua, kenapa tiba-tiba kau jadi cerewet sekali. Dengar ya, memang saat ini ingatanku dan peta ini kesulitan. Tapi itu hanya di skala mikro. Bila skalanya makro, peta ini tetap akurat. Hei, sampai sekarang Patung Kristus Penebus di Rio tidak berpindah kemana-mana toh? Sebagaimana yang ditulis dalam peta ini.”
“Sayangnya kita tidak bisa menjadikan patung itu sebagai patokan. Bisa saja hal lain berubah.”
“Hei, kenapa kau tiba-tiba tidak memercayaiku, hah?”
Akhirnya Allary tertawa. Tentu saja dari tadi dia hanya ingin mengajak Felix tertawa juga dengan segala keisengannya. Itu malah membuat Felix makin kesal.
“Hei ayolah, Felix. Santailah sedikit, kita ini mau bertamu ke rumah orang bukan? Kita harus rileks. Jangan ketakutan macam mau bertemu mantan narapidana kasus pembunuhan berantai begitu,” Allary masih berusaha bercanda. Sementara Felix terdiam.
Sebenarnya secara teknis, yang ingin kita temui ini, memang seorang pembunuh berantai, ketua. Mantan pembunuh yang sekarang sudah bertaubat.
127
Teman Felix di Cajamarca
Sambil membuka atlas Collunar itu dan terus mencocokkannya, rombongan Allary akhirnya sampai di tujuan mereka. Sebuah rumah besar di tepian bukit Kota Cajamarca. Rumah bercat putih dan seluruhnya terbangun dari beton. Felix tanpa basa-basi langsung naik ke teras dan mengetuk pintu, sekali ketukan yang cukup keras.
“TOKKKK!!!!”
Saking kerasnya Felix mengetuk, sampai-sampai Vivi menegurnya, “tidak sopan mengetuk rumah orang seperti itu, Felix.”
“Apa boleh buat, hanya ketukan semacam itu yang bisa membujuknya membukakan pintu untuk kita.”
Tiba-tiba terdengar sahutan dari balik pintu, orang itu menyahuti dengan suara yang serak dan bahasa lokal yang tidak dimengerti Allary. Kurang lebih dia berkata begini, “siapa yang datang, pergilah sebelum aku memenggal kepalamu.”
Felix berdehem sejenak, balas menyahut dengan suara santai, “ini aku, Patas de Acero. Aku yakin kau tidak akan melupakan aku, Cabeza de Sierra.” Felix bicara dalam bahasa Inggris, kecuali untuk beberapa potong kata yang jika didengar susunannya itu, adalah bahasa Spanyol.
Sejenak lagi, kemudian terdengar bunyi orang membuka kunci pintu dan akhirnya terbukalah pintu tersebut. Allary agak terkejut melihat penampilan orang yang menyambut kedatangan mereka dibalik pintu. Orang itu kurus, tinggi, rambutnya pirang, tapi sepertinya pirang karena diwarnai, secara keseluruhan orang itu terlihat ringkih, berdiri saja susah, makanya badannya ditopang dengan tongkat.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, masih dengan suara serak, matanya menebar ancaman. Agak jeri Vivi melihatnya.
“Mengunjungimu, dan meminta bantuan.”
“Felix,” ucapnya, terdengar dalam dan tertahan.
“Rubilicio.”
Lalu terjadilah momen ajaib yang tidak disangka-sangka, kedua orang itu berpelukan. Cukup lama dan cukup intim. Dari situ Allary bisa menangkap petunjuk, bahwa orang ini, namanya Rubilicio, adalah temannya Felix di masa lalu. Bukan, bukan sekedar teman, tapi seperti sahabatnya. Akhirnya Rubilicio melepas pelukannya dan menengok pada Allary dan Vivi. Dia berucap, kali ini tanpa suara serak lagi.
“Kalian jangan menunggu di luar saja. Ayo masuk. Rumahku selalu terbuka untuk Felix dan teman-temannya.”
Allary semakin terkagum-kagum dengan interior di dalam rumah besar itu. Lemari-lemari yang ditata sedemikian rupa. Dua buah sepeda motor buatan Jepang, koleksi senjata tertempel di dinding, serta perapian besar untuk menghangatkan diri di musim dingin. Secara keseluruhan, pemandangan di rumah itu, mengingatkan Allary pada rumahnya Anita.
Rubilicio mempersilahkan mereka semua, duduk di sofanya yang empuk.
“Apa yang kalian lakukan hingga sampai ke tempat ini, Felix?”
“Petualangan. Petualangan yang menakjubkan.”
“Luar biasa, seperti masa lalu kita. Ah aku iri denganmu, kau selalu bisa bepergian kemanapun kau mau. Sedangkan aku, harus mengambil langkah-langkah waspada setiap kali keluar rumah.”
“Jangan membanding-bandingkan, Rubilicio.”
“Oh astaga, aku lupa berkenalan. Ini dua teman seperjalananmu ya, Felix?”
“Benar. Nona itu bernama Vivi, sedangkan yang pria, adalah Allary Azra, dia ketua rombongan.”
Rubilicio langsung memasang wajah antusias. “Apa katamu? Dia ketua rombongan? Bukan kau yang jadi ketua rombongan?”
Felix menggeleng, “bukan, dia yang mengajakku, dia yang merekrutku ke dalam anggota rombongannya.”
“Menarik sekali, Felix. Senang berkenalan dengan kalian, Allary, Vivi. Selamat datang di Cajamarca. Ini hanya kota kecil di Peru, tapi pernah jadi kota besar.”
“Yahh, ini kota yang penting saat masa kekaisaran Inka,” sahut Allary.
“Hei, kau tahu tentang sejarah rupanya.”
“Maaf jika itu kurang berkenan,” sahut Allary sopan.
“Ah baiklah, aku sudah panggilkan pelayan, setelah minuman disajikan, kita bisa langsung membicarakan tujuan kalian datang mengunjungiku ke sini.”
128
Menengok ke Belakang
“Jadi kalian datang ke sini karena dikirim pemerintah untuk sebuah ekspedisi penjelajahan. Hmm, baiklah. Pasti seru ya, bertahan hidup sambil bertualang di dalam hutan selama berhari-hari. Itu mirip seperti petualangan kita dulu, benar begitu, Felix?”
“Ini bukan hanya mirip, Rubilicio. Ini memang serupa dengan petualangan kita dulu.”
Rubilicio menyernit kening, “apa maksudmu?”
“Karena sepanjang perjalanan kami terus diburu dan diserang oleh beragam orang. Pasukan bersenjata, orang-orang yang jago bertarung.”
“Astaga, jadi kalian tidak sekedar bertualang, tapi juga bertarung. Sangat menarik. Mengapa mereka mengikuti kalian, apa salah kalian?”
Allary mengangkat tangan, menyahuti, “kami sempat ikut campur dalam urusan pertambangan. Kami mengacaukan banyak proyek yang merusak hutan. Mungkin karena itu perusahaan induk mereka marah dan mengirim pasukan untuk membereskan kami.”
Rubilicio menghela nafas, menatap ke arah Felix, “apakah kamu yakin ini tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalu kau, masa lalu kita?”
“Itulah yang membuatku cemas, Rubilicio. Ketua benar, kami memang mengusik keberadaan perusahaan tambang dan membuatnya marah. Tapi aku curiga, perusahaan tambang itu juga hanya dimanfaatkan oleh Caballeros de Madrid, oleh Escorpion Rojo untuk memburu dan menghabisiku.”
Itulah untuk pertama kalinya Allary mendengar nama-nama itu, dan dia mulai bisa menebak-nebak, apa yang terjadi di sekeliling mereka selama ini.
“Pak Tua Dacosta itu ya, dia memang akan melakukan apapun. Tapi hei, bukankah kau sudah berhasil menghilangkan jejak sepenuhnya dari mereka. Terakhir yang kudengar tentang kau sebelum ini, kau hidup dengan tenang di Meksiko. Bagaimana mungkin Pak Tua Dacosta mengetahui tentang dirimu lagi? Apakah ada mata-mata? Kalau begitu aku bisa bantu bereskan. Kita sudah bebas dari cengkraman Dacosta itu. KITA SUDAH BEBAS!”
Tiba-tiba saja, Rubilicio terlihat sangat emosional.
“Satu, omong kosong kita sudah bebas, kau saja selalu berjaga-jaga ketika menerima tamu. Dua, kau benar, aku berhasil menghilangkan jejak. Tapi kau salah soal mata-mata. Aku pulang ke Spanyol, beberapa minggu yang lalu.”
Ternganga Rubilicio. “Astaga, kenapa kau tiba-tiba pulang. Kau tahu bukan, di negara itu, setiap jengkal tanahnya, dikuasai oleh Pak Tua Dacosta. Pantas saja mereka mengetahui tentangmu. Dimana kau menampakkan diri? Sevilla? Barcelona? Bilbao?”
“Madrid.”
Rubilicio mengacak-acak rambut. Mulutnya berdecak. “Entah apa yang merasuki pikiranmu hingga tiba-tiba muncul di Madrid. Lalu apa yang mereka sudah lakukan pada kau?”
“Mereka mengirimkan para pembunuh. Termasuk Alvarez.”
“Alvarez? Maksudmu tukang pukul dari keluarga Amerika Selatan? Orang yang kau kalahkan di atas jembatan gantung di Meksiko itu?”
“Benar, mereka juga menaruh alat penyadap di dalam tasku.”
“Eh bukannya alat penyadap itu dari pemeri...”
“Kita tidak tahu pasti, ketua,” Felix memotong kalimat Allary, “belum tentu alat penyadap itu ditaruh oleh perusahaan tambang Amazonia itu. Belum tentu. Bisa saja alat itu sudah ditaruh Amancio semenjak aku meninggalkan Spanyol.”
Allary menepuk dahi. Ternyata masalah mereka bisa lebih rumit dari apa yang dia duga. Sekali lagi mereka menyebutkan tukang pukul, maka Allary akan menduga bahwa mereka semua berurusan dengan mafia
“Astaga, rumit sekali. Tapi baiklah, aku yakin kau bisa menghadapi siapapun yang mengejarmu setelah ini. Aku tahu, kau adalah tukang pukul terbaik milik Pak Tua Dacosta. Jadi, sekarang apa yang kau inginkan dariku? Yang jelas aku tidak mau terlibat bertarung. Aku sudah pensiun.”
“Kau tenang saja, kau tidak akan bertarung. Aku datang untuk meminta bantuan lain. Bantuan yang hanya bisa diberikan Rubilicio seorang.”
“Apa itu?”
“Uang. Aku dan teman-temanku perlu uang. Kami tidak punya uang sama sekali.”
Seketika Rubilicio tertawa. “Astaga Felix, kau sudah membuatku khawatir dengan basa-basimu itu. Kenapa kau tidak bilang saja dari awal. Kukira tadi kau memintaku sebagai seorang tukang pukul, aku tidak bisa. Tapi kalau kau meminta tolong padaku, untuk menolongmu sebagai orang paling kaya di Cajamarca, ah itu mudah saja.”
“Aku tahu aku bisa mengandalkanmu Rubilicio.”
“Sebentar. Aku akan siapkan jeep. Aku tahu kalian tidak hanya memerlukan uang, tapi juga mobil.”
“Terima kasih, Tuan Rubilicio.” Allary berdiri, membungkuk.
129
Pesona Negeri Peru
Kita akan melakukan review cepat sekarang.
Pertama-tama, di rumah Rubilicio, tuan rumah bangkit berdiri, meninggalkan tamu-tamunya. Seperti katanya, dia akan menyiapkan mobil. Tidak lama kemudian, terparkirlah mobil jip di depan rumah tersebut.
“Kau masih bisa mengemudi bukan, Felix?” Rubilicio bertanya sambil melempar kunci.
“Tentu saja.”
“Ah baguslah, pakai saja mobil itu. bahan bakarnya full. Mungkin bisa kau pakai sampai ke Cusco. Mau kemana kalian setelah ini?”
“Buenos Aires, Argentina.” Allary, yang berdiri di belakang Rubilicio yang menjawab.
“Hoo,” Rubilicio menoleh ke belakang, “menarik sekali. Baiklah, kudoakan perjalanan kalian lancar. Aku sudah menyelipkan beberapa lembar uang di sana, ada perbekalan juga di bangku paling belakang, serta sniper di bawah kursi. Berhati-hatilah.”
“Terima kasih atas bantuanmu, Rubilicio. Kapanpun kau butuh bantuanku, berkabarlah, aku akan datang. Ya sudah, kau boleh masuk kembali ke rumahmu. Aku tahu kau takut sinar matahari.” Felix menutup kalimatnya dengan senyum mengejek.
Sialan kau Felix, Rubilicio berdecak.
Tak perlu berlama-lama, Allary dan Vivi segera naik mobil jip itu dan melesat meninggalkan daerah perbukitan Sin Bauna. Felix yang mengemudi, kali ini tanpa melihat peta Atlas Collunar, dia tahu harus kemana. Dengan mobil sendiri, semua jadi terasa lebih cepat.
Mereka akan meluncur menuju Cusco.
Cusco adalah bekas ibukota kekaisaran Inka. Tak afdal rasanya jika kita mengunjungi Inka tanpa mengingat kembali sedikit sejarah dari Kekaisaran Inka. Ya sedikit saja.
Tidak banyak yang orang awam ketahui tentang Kekaisaran ini. Padahal Kekaisaran Inka adalah satu kekaisaran terbesar di Amerika Selatan, bahkan mungkin salah satu kekaisaran terbesar di belahan bumi selatan di masanya.
Pada puncak kejayaannya, Kekaisaran Inka yang beribukota di Cusco memiliki luas sekitar 2 juta kilometer. Itu empat kali lipat lebih luas daripada kerajaan Spanyol yang menjajah mereka di kemudian hari. Pada puncak kejayaannya di awal abad ke-15 sampai abad ke-16, Inka adalah salah satu kekuatan terkuat di dunia. Mungkin hanya bisa disaingi oleh Dinasti Ming di China, Dinasti Ottoman di Turki dan Kekaisaran Aztek di Meksiko.
Salah satu bangunan terbaik yang ditinggalkan oleh kekaisaran ini adalah kota Macchu Picchu. Struktur kota ini diperkirakan lebih mahal dari bangunan-bangunan modern sekarang seperti Patung Liberty ataupun menara Effiel. Macchu Picchu disebut sebagai salah satu keajaiban dunia.
Kekaisaran Inka mencapai puncak kejayaan dan keunggulan di masa Kaisara Huayna Capac. Sayangnya setelah itu kekuasaannya disela perang saudara antara anaknya, Atahualpa dan Huascar. Perpecahan itu pula yang menyebabkan Spanyol mudah mencaplok Kekai...
“Ah itu ia, Llama. Hewan khas Amerika Selatan,” tiba-tiba Felix nyelutuk. Bosan mendengar Allary berkhotbah terus masalah sejarah. Allary memasang wajah cemberut karena penjelasannya dipotong, tapi perhatian mereka segera tertuju pada Llama yang sedang merumput di padang sebelah sana.
Felix ganti menjelaskan bahwa Llama adalah satu-satunya hewan besar yang didomestikasikan di daerah Amerika Selatan. Llama adalah kerabat jauh dari unta. Meski memiliki perawakan yang lebih kecil, Llama adalah hewan tunggangan yang bisa diandalkan.
Felix menambahkan bahwa dulu, Llama tersedia banyak di seluruh Pegunungan Andes, namun sekarang sudah nyaris hilang di alam liar. Llama menjadi hewan ternak yang bergantung penuh pada manusia.
“Dan Llama dulu menjadi salah satu tunggangan terbaik di Kekaisaran Inka.”
“Dan kita hampir sampai, hei itu pintu gerbang Cusco.”
“Kau tidak pernah membiarkan aku bercerita sambil selesai, Felix.”
Dan pecah tawa dalam mobil.
130
Pernak-Pernik Perjalanan Menuju Chile
“Yang tadi itu, temanmu, Felix?” ini Vivi yang bertanya, mereka hanya singgah sebentar di Cusco, sekali lagi Felix menemui seorang teman, tapi kali ini hanya singgah sebentar.
“Iya, namanya Aguero.”
“Kukira tadi kita akan singgah lagi dan meminta suatu bantuan padanya,” sahut Allary.
Felix menggeleng, “tidak ketua, aku hanya ingin menyapanya. Mumpung jalan-jalan di daerah Peru.”
“Kau sepertinya menikmati perjalanan ini lebih dari biasanya,” ucap Allary lagi, kali ini diiringi dengan senyum menyelidik.
“Well kau benar ketua, aku memang menikmati perjalanan ini lebih dari biasanya. Seperti yang pernah kubilang, Amerika Selatan ini akrab dalam ingatanku. Peru, Chile, dan Argentina dulu adalah tempat bermainku. Rubilicio dan Aguero adalah teman-teman dekatku.”
“Felix, apa yang sebenarnya terjadi dengan perjalanan kita ini? Kenapa perjalanan kita berubah jadi begini setelah kita meninggalkan Amazonia. Aku tidak bisa menebak detail masalahnya, tapi aku bisa merasakannya. Sebaiknya kau ceritakan padaku.”
Felix menggeleng tegas, “aku tidak bisa melakukan itu, ketua. Itu akan menjadi cerita paling seram yang pernah kau dengar.”
“Salahkah aku jika aku malah semakin penasaran.”
Felix berdecak, “ayolah ketua, aku mohon. Jangan paksa aku menceritakannya. Cukup kalian tahu, bahwa musuh kita bukan sekedar perusahaan tambang atau pemerintah. Musuh kita jauh lebih berbahaya. Dia tidak mengejar kalian, tapi mengejar aku.”
“Jadi, apa yang akan kita lakukan?”
“Pertama-tama kita turuti titah Presiden Marcelo, pergi ke Buenos Aires. Semoga di sana perjalanan kita benar-benar berakhir. Jika tidak, aku sudah menelepon Aguero, untuk mempersiapkan dokumen baru bagi kalian agar bisa pulang ke daerah asal kalian.”
“Dokumen baru?”
“Ya, kau tahu ketua, visa, paspor, segala macam hal yang kalian butuhkan untuk meninggalkan daratan ini.”
“Bukankah kita masih terikat kontrak dengan presiden Marcelo, atau maksudmu dokumen palsu?”
“Itulah maksudku, ketua.”
“Aku tidak mau, Felix, aku tidak mau memakai dokumen palsu.”
“Makanya kubilang itu adalah pilihan terakhir. Kita harus tuntaskan perjalanan ini dulu, kita luluskan titah presiden, barulah kita memikirkan strategi selanjutnya.”
131
Sekali Gepok di Kota Santiago
Hari ini, pertama kalinya sejak Pedro diancam dan dikembalikan ke Manaus, Profesor Danilo sang Bos dan Presiden Marcelo kembali bertemu. Sekali lagi di kediaman presiden.
“Jadi, bagaimana, apakah ada kabar baik dari rencanamu, Danilo?” Presiden yang pertama kali membuka percakapan ke arah itu, setelah mereka beramah tamah selama 15 menit, menghabiskan secangkir teh.
“Ada kabar baik dan kabar buruk, Mr. Presiden.”
“Jangan bilang kalian gagal lagi menculik guide mereka, atau orang-orang itu kembali bisa menyelamatkan guide mereka dari penculikan itu. Jika yang semacam itu ada dalam pembicaraanmu hari ini, itu pintu keluarnya. Tidak perlu kau ceritakan.”
Profesor menggaruk kepala sebagai tanggapannya. Mood presiden sepertinya hari ini kurang baik. Dia harus berhati-hati dalam berbicara sekarang.
“Bukan begitu, Mr. Presiden. Rencana penculikannya sukses. Pedro, guide mereka sudah kembali ke Manaus. Mereka sudah terpisah. Bahkan anak buahku ahli sekali dalam membuat sandiwara seolah-olah Pedro adalah seorang mata-mata, dan semua orang percaya. Anda tidak perlu khawatir tentang itu.”
“Apa? Jadi sekarang mereka percaya kalau guide mereka adalah mata-mata? Astaga, bagus sekali. Itu kabar yang baik. Dengan begitu, tanpa guide, mereka akan terluntang-lantung di negeri orang. Tanpa uang, tanpa ponsel, tanpa transportasi. Luar biasa.”
“Sebenarnya mereka tidak begitu menderita seperti bayangan Mr. Presiden.”
Presiden menyernit kening, mereka tidak menderita? Bagaimana bisa? Bertahan hidup di sebuah kota di negeri orang berbeda dengan bertahan hidup di dalam hutan. Mereka tidak akan bertahan.
“Pertama-tama akan kujelaskan apa saja kabar buruknya. Ada lebih banyak daripada kabar baiknya.”
“Astaga, kau benar-benar tidak pernah becus dalam bekerja, Danilo.”
“Tolong dengarkan aku dulu,” Profesor Danilo membujuk. Dia sebenarnya bisa lebih kasar, andai tidak melihat kalau Presiden menyembunyikan pistol di balik pakaiannya.
“Kau punya waktu lima belas menit.”
“Baiklah, akan kumulai. Pertama-tama soal Saviola.”
“Saviola? Dia gagal?”
“Benar, Saviola gagal. Dia dan pasukannya dihabisi. Bahkan beberapa diantaranya ada yang tewas.
“Astaga, bukankah kalian sudah menyiapkan strategi untuk menghadapi Felix Norton?”
“Sekali lagi, izinkan aku menjelaskan sampai selesai, Mr. Presiden. Iya, Saviola sudah kuberi taktik yang jelas untuk membungkam rombongan wisatawan itu. Mereka berhasil meringkus Felix, tapi rupanya ketua rombongan itu, orang bernama Allary Azra itu, ternyata juga jago beladiri. Berkat itu mereka bertiga bisa selamat. Meski Felix harus terluka.”
“Cukup parah?”
“Cukup parah. Sampai harus masuk rumah sakit.”
“Tapi bagaimana, mereka tidak punya uang.”
“Ada orang yang menolong mereka. Seorang petugas keamanan bernama Vargas. Orang itu menanggung biaya rumah sakit. Sampai di situ yang bisa kudengar dari alat penyadap.”
“Kalian memasang alat penyadap?”
“Bukan aku, tapi salah seorang partner perusahaan yang mengusulkan hal tersebut. Ya, sampai mereka tiba di kota Piura, kami punya alat penyadap untuk memantau gerakan rombongan itu. Nah masalahnya, alat penyadap itu sekarang mati. Sepertinya mereka sudah menyadari keberadaan alat itu dan mematikannya. Sehingga saat ini, keberadaan mereka tak lagi terlacak.”
Penjelasan Profesor selesai di sini. Sampai presiden bertanya lagi, “lalu apa langkah yang kalian siapkan selanjutnya?”
“Karena itulah aku menemui kau hari ini, Mr. Presiden. Aku ingin tahu apa rute perjalanan yang kau berikan pada mereka, dan dimana kira-kira kami bisa menyergap mereka dengan pasukan besar.”
Presiden berpikir sejenak, mengingat-ingat, “Santiago. Mereka akan pergi ke Santiago. Itu kota terbesar yang harus mereka lewati sebelum berbelok ke Buenos Aires. Aku yakin mereka harus melewati kota itu. Ada di jalur perjalanan yang kutugaskan.”
Profesor Danilo mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku akan siapkan pasukan besar. Kita harus menggepok mereka hingga habis di sana. Tepat di kedutaan kita.”
“Pastikan kali ini hanya ada kabar baik atau kau akan kehilangan jabatanmu, Danilo,” Presiden Marcelo sungguh tidak main-main dengan ancamannya itu.
132
Kejar-kejaran
Mobil jip yang ditumpangi Allary dan rombongannya berhasil menerobos perbatasan Peru menuju ke negara berikutnya. Dari Cusco mereka tidak mampir ke Lima, melainkan langsung ke Chile.
“Sekarang aku tahu kenapa Rubilicio memberikan mobil model ini pada kita, ketua?”
“Kenapa?”
“Karena medan yang harus kita lalui, adalah pegunungan yang naik turun begini.”
Felix benar, untuk menembus ke perbatasan Chile, mereka harus melalui medan yang amat berat, Pegunungan Andes. Berkat mobil jip itu dan kemampuan Felix mengemudi, mereka tidak perlu khawatir.
“Oh ya, kemana kita harus menuju, ketua?”
“Eh, mana aku tahu. Saviola dan Presiden hanya menyerahkan kartu paspor ini untuk distempel agar kita bisa melewati Chile. Dia tidak bilang kemana kita harus meminta stempelnya.”
“Astaga, jadi kemana kita. Setengah jam lagi, mobil ini akan sampai ke Kota Santiago. Ibukota negeri ini.”
“Mungkin kita bisa mencari stempel itu di kedutaan.” Vivi mengusulkan. Allary tersenyum. “Itu ide yang bagus. Meluncur Felix, kita cari kedutaannya di Chile.”
Felix mengangguk, menyetop mobil sebentar untuk melihat Atlas Collunar, mencari kedutaan negara presiden Marcelo. “Semoga ini benar tempatnya. Dalam setengah jam kita akan sampai, ketua.”
Mobil kembali meluncur.
Kantor kedutaan nampak lengang. Felix segera ingat bahwa ini adalah hari Minggu. Kantor ini mungkin tetap buka, tapi tidak terlalu ramai.
Baru saja Allary hendak menginjakkan kaki di beranda kedutaan tersebut, saat Felix mendorong tubuhnya.
“AWAS KETUA!!”
DOOOOORR!!
“Astaga, apa itu barusan.”
“Waspada,” Felix melihat sekeliling, “jelas ada seseorang yang tadi menembak. Tapi dia sudah bersembunyi. Nampaknya sambutan kita di kedutaan ini tidak ramah.”
Felix tidak perlu mengucapkan apa-apa lagi. Beberapa orang berseragam hitam keluar dari kantor kedutaan. Nampak siap bertarung. Felix ganti berdecak.
“LARI KETUA, VIVI!!!!”
Sekejap setelah memberi komando, Allary menarik tangan Vivi, mengikuti Felix, lari tunggang langgang menuju jip mereka. Beberapa orang berseragam hitam itu mengikuti, lari mereka cepat. Untungnya Allary, Vivi dan Felix berhasil mencapai jip mereka. Felix, begitu duduk di kursi kemudi, langsung menekan gas dalam-dalam. Melarikan diri. Semua berlangsung begitu cepat.
“Astaga, sambutan mereka benar-benar tidak ramah,” Vivi mengeluh.
“Ya, dan kita bahkan tidak sempat mendapatkan stempel.”
“Peduli setan dengan stempel,” sergah Felix, “aku bahkan ragu kita bisa melewati perbatasan Chile dan Argentina tanpa todongan senjata.”
“Kenapa kita tidak mencoba melawan mereka, Felix?”
“Karena,” Felix diam sejenak, menghindari pejalan kaki yang reflek membelok, “kita tidak boleh membuat keributan di kedutaan, ketua. Atau kita akan dikira penjahat internasional. Itu akan menambah runyam masalah.”
Allary mengangguk, Felix ada benarnya juga. Kemudian matanya mengarah ke spion. “Hei, mereka mengejar kita.” Felix ikut menengok, matanya menyipit, “dan mereka akan menembak.”
“Hei bagaimana ini?”
“Tidak perlu panik, Vivi. Mereka tidak akan bisa melukai kita selama kita berada dalam jip ini. Rubilicio telah mendesain mobil ini lengkap dengan kaca antipeluru.”
Allary dan Vivi sama-sama menghela nafas lega. Setidaknya sampai kalimat Felix berikutnya. “Ya, namun kalau mereka cukup cerdas, mereka bisa menembak ban mobil kita dan dengan begitu selesai petualangan.”
“Tidak bisakah kita melawan mereka saja,” Allary lama-lama kesal dibuntuti seperti ini.
“Kau sepertinya mulai nekat, ketua. Sayangnya kita tidak bisa melawan di jalan seperti ini. Akan jadi perhatian banyak orang. Kita harus mencari tempat yang sepi.”
Allary menyerobot Atlas Collunar, “biar aku yang carikan tempatnya, semoga kota ini tidak banyak berubah sejak kota ini dibuat.”
Allary sebenarnya getir. Dia sedikit jeri dengan orang-orang berseragam hitam dan membawa senjata itu. Tapi demi Felix, demi petualangannya dan kehormatan dirinya, sepertinya tidak ada jalan selain bertarung.
Hei, lagipula, Allary adalah ketua rombongan ini.
133
Battle of Santiago
“Kemana kita, ketua?”
“Sebentar, aku masih melihat-lihat tempat yang paling sesuai.”
DOOOORRR!!!
“Astaga, mereka mulai menembak,” Felix dengan gesit membanting setir, menghindari tembakan lalu memacu pedal gasnya.
“Bisakah kau tenang sedikit, bagaimana aku bisa mencari tempat yang sesuai jika mobil bergoyang-goyang.”
“Cari saja ketua, tempat mana saja. Tidak perlu yang terlalu spesial. Kita bukan sedang mencari tempat untuk berwisata. Kita sedang mencari tempat bertempur. Cari saja tempat yang jauh dari keramaian.”
“Iya aku tahu, tapi di sini, semuanya ramai.” Allary protes lagi, berdecak.
“Astaga ketua, biar aku yang mencari tempatnya.”
Felix hendak merebut atlas Collunar dari tangan Allary tapi ditepis, “biar aku yang mencari tempatnya, kau fokus menyetir saja, Felix.”
“Tapi kau lambat sekali, ketua.”
Melihat pertengkaran seperti anak kecil di tengah resiko mereka bakal tertembak itu, Vivi di bangku belakang berdecak sendiri. “Hei kalian berdua, kemarikan buku itu.”
“Eh?” Allary dan Felix menengok bersamaan.
“Biar aku yang cari tempatnya, kalian fokus dengan jalanan di depan saja.”
Nada suara Vivi terdengar begitu tegas, begitu memaksa. Membuat Allary patah-patah menyerahkan Atlas Collunar itu padanya.
“Hei, mereka akan menembak lagi,” Felix kembali mengalihkan pembicaraan, menengok ke spion. Sementara di belakang, Vivi berpikir cepat, sambil membuka atlas Collunar.
“Felix, arahkan mobil ke jalan protokol,” tiba-tiba Vivi memerintah. Membuat Felix menyernit kening. “Kau ingin kita dilihat semua orang? Kau ingin kita ditangkap polisi? Jalan protokol sangat ramai, terlalu banyak saksi yang melihat.”
“Justru itu, dengan begitu mereka tidak akan punya cukup kesempatan untuk menembak ban kita. Terlalu banyak yang melihatnya, saksi mata.”
Felix terdiam. Gadis ini ada benarnya.
Felix membelokkan mobil ke arah jalan protokol. Jalanan yang padat tentu saja. Tapi itulah idenya Vivi. Dengan banyaknya orang yang berlalu lalang, susah bagi para penembak itu mengincar roda mobil mereka.
“Belok kanan begitu kamu menemukan perempatan, Felix.” Vivi kembali memberi komando.
“Eh ada apa? Kau sudah menemukan tempat yang sesuai untuk pertarungan?”
“Rasanya begitu. Ada sebuah lapangan berpagar dekat jalan itu. Semoga di sana tidak banyak saksi mata yang bisa melihat.”
“Gagasan bagus, sekarang aku bisa mulai berpikir bagaimana hendak menjatuhkan mereka.”
Tidak sampai lima belas menit, Felix membelokkan mobilnya dengan tajam ke area pergudangan yang bertumpukan barang bekas. Itulah area yang ditunjukkan oleh Vivi. Mobil-mobil yang mengikuti mereka, ada sekitar tujuh buah, ikut membelok tajam. Felix terus mengemudi di sela-sela tumpukan, menuju ke lapangan berpagar yang dikatakan Vivi ada di sekitar lokasi tersebut.
Lokasi pertempuran mereka. Felix menginjak rem. Membuat tujuh mobil yang mengikuti di belakang, ikut menginjak rem.
Itulah lokasi pertempuran mereka, lokasi Battle of Santiago.
134
Pertempuran Allary
Felix menatap ke sekeliling. Sedang berhitung dengan situasi.
“Di depan kita ada tujuh buah mobil. Jika di dalam mobil berisi masing-masing enam orang, maka ada lebih dari 40 orang.”
“Itu jumlah yang besar, Felix,” Allary di sebelahnya, menyahut. “Kau tidak bisa melawannya sendirian. Aku tidak bisa membiarkanmu terus menanggung luka akibat pertarungan dari petualangan ini.”
“Habisnya bagaimana ketua, kau ingin ikut bertarung? Kurasa itu gagasan yang mustahil. Ayolah, aku tahu, kau bukan tipe orang yang senang berkelahi. Kau adalah orang baik-baik yang seumur hidupnya bahkan tidak pernah memukul wajah orang lain. Bagaimana aku bisa menyuruhmu bertarung?”
“Aku juga tidak akan membiarkan kau bertarung sendirian, Felix.”
“Tapi kau hanya akan membuat perhatianku terpecah di sana, ketua. Kau mengganggu konsentrasiku.”
“Pasti ada yang bisa kulakukan.”
Felix mengusap wajah. Seharusnya dia tahu bahwa ketuanya itu memang keras kepala, terutama soal menolong orang lain. Felix meraba-raba bawah kursinya. Kalau tidak salah kemarin Rubilicio bilang di bawah kursi mobil ini terselip senjata api. Ah ketemu. Felix segera menarik senjata itu keluar.
Sebuah sniper. Tembakan jarak jauh. Mungkin hanya ini caranya. Felix berpaling pada Allary.
“Dengarkan aku ketua, waktu kita sempit.”
Allary mengangguk. Orang-orang itu sudah keluar dari mobilnya masing-masing. Berpakaian serba hitam, dengan jumlah yang cukup banyak. Allary sendiri jeri melihat sniper dan membayangkan apa yang direncanakan Felix dengan senjata itu.
“Kau bisa menggunakan ini, ketua.”
Allary langsung menelan ludah. Dia akan memakai sniper ini, sungguh?
“Kau bisa menggunakannya bukan, ketua?” Felix bertanya, memastikan, dan seharusnya wajah gugup Allary bisa menggambarkan jawabannya.
“Sebenarnya tidak,” Allary menjawab, jujur.
“Ya sudah. Tidak apa-apa. Tapi kau pernah bermain game menembak dengan memakai sniper, bukan?”
“Kalau yang itu, pernah.”
“Baiklah. Ini memang gila, dan situasi di luar sana memang gila. Ini rencananya. Aku akan menghadapi mereka di luar, sementara kau, coba tembak beberapa dari mereka dengan sniper ini. Aku tahu ini sulit, tapi aku yakin kau bisa melakukannya, ketua. Kau hanya perlu menembak orang yang jauh dari posisiku. Arahkan tembakan ke kepalanya. Buat musuh tidak sempat bernafas setelah menerima tembakanmu. Di sini ada sekitar 16 peluru. Jumlah musuh di luar ada 40. Lumayan jika 10 tembakanmu saja bisa kena, itu sudah sangat membantu.”
“Kau memintaku menembak dari sini?”
“Ya, dan kau jangan sekali-sekali meninggalkan mobil ini. Mobil ini adalah benteng kalian. Mereka tidak akan bisa menembus mobil ini, kecuali mereka punya bazoka. Kau paham tugas kau, ketua?”
“Ya, aku paham.”
“Bagus. Aku mohon kerja samamu, ketua.” Felix tiba-tiba menjulurkan tinju. Allary paham, segera menyatukan tinju dengan Felix. Hari ini mereka akan bertarung bersisian, bekerja sama mencapai tujuan.
Felix keluar dari mobil. Langsung memasang kuda-kuda. Mungkin di sana ada pertukaran beberapa patah kata, Allary tak dengar. Dia membuka pintu mobil, menyorongkan moncong snipernya. Mulai mencari bidikan paling tepat. Vivi di dalam mobil itu, ikut deg-degan melihat Allary memegang sniper.
“Kamu bisa menggunakan benda itu, Al?”
“Tidak tahu, Vi. Tapi yang jelas aku akan mencobanya. Mari kita mulai membidik dengan yang paling jauh di sana.”
Allary berusaha tenang. Tangannya menarik pelatuk. Matanya sudah terpejam sebelah. Dia berusaha berkonsentrasi. Baiklah, aku akan menembak yang itu. Yang paling jauh dari Felix.
WUSHHH!!!
Bunyi peluru sniper melesat halus. Satu orang musuh kontan terjatuh dengan kepala berlubang. Aku berhasil, Allary tersenyum puas. Tidak sadar kalau secara tidak langsung, dia telah membunuh seseorang.
“Sniper! Sniper!” Orang-orang itu berteriak panik.
BUkkkKK!!!
BUKKKK!!!!
Tepat sekali mereka panik, tidak sadar lagi dengan tendangan Felix yang melayang membungkam mereka.
WUSHHH!!!!
Allary kembali menarik pelatuk. Satu orang lengah, kembali tersungkur. Allary berhasil membunuh dua orang, dengan sniper. Sebagai pemula, itu adalah prestasi yang baik.
135
Terkapar Bersimbah Darah
Perkiraan Felix benar. Dia dan Allary bisa menjadi partner bertarung yang hebat. Begitu Allary melepas satu tembakan, satu orang tumbang, dua sampai tiga orang lainnya menjadi lengah, bisa dirobohkan Felix dengan kakinya. Begitu siklusnya, terus berlanjut.
Posisi dan kerja sama Allary dan Felix bisa dibilang sangat menguntungkan. Felix di lapangan, bisa bergerak leluasa, membungkam orang yang hendak mendekati mobil jip mereka. Sementara Allary, dari dalam mobil, berhasil menembak jatuh para pentolan tukang pukulnya, sehingga yang dilawan Felix hanyalah para “kurcaci” yang hidup segan mati tak mau.
Kombinasi maut mereka berhasil merobohkan lebih dari 30 orang. Namun begitu jumlah musuh menyusut, Allary mulai merasakan kendala pertamanya. Dia tidak bisa lagi leluasa menembak. Lima orang yang tersisa terlalu dekat dengan Felix. Mereka main keroyokan. Susah membidik tanpa resiko mengenai temannya sendiri. Allary memutuskan untuk menunda tembakan.
Sebaliknya lima orang yang tersisa, saat menyadari tak ada lagi tembakan yang tertuju pada mereka, menyeringai senang. Kabar baik.
“Sekarang kami bisa bertarung dan mengalahkanmu tanpa harus mengkhawatirkan resiko tertembak.”
Felix tersenyum sinis, “kalian tinggal lima orang. Membereskan kalian sangat mudah bagiku.”
“Jangan sombong kau,” ancam yang lainnya, mereka mengeroyok Felix, tanpa ampun.
Tentu saja Felix kelimpungan menghadapi lima orang yang tersisa itu. Berkali-kali pukulan dan tendangan lawannya mengenai tubuhnya. Felix berusaha menahannya. Tidak mengaduh. Tidak pula memasang ekspresi kesakitan, karena ekspresi kesakitan justru akan memancing lawannya semakin menjadi-jadi.
Sampai akhirnya....
“AKHHHH!” Felix berteriak nyaring. Berteriak sejadi-jadinya. Orang itu memukul titik lemahnya, yaitu bekas luka di bahunya. Luka yang belum sembuh benar. Kali ini Felix benar-benar tidak bisa menahan diri.
“Kau tidak bisa bertahan terus menerus, bung.”
“Kurang ajar.”
“Sekarang kami tahu dimana titik lemahmu, Felix si Kaki Baja.”
WUSHHHH!!!
“AWAS!”
Belum sempat orang itu memberi komando, seseorang dari mereka kembali terkapar. Itu berarti tinggal empat orang. Tapi kali ini berbeda. Allary tidak menembak dari dalam mobil. Dia berdiri di luar. Gagah memegangi senapannya.
“Apa yang kau lakukan di sini, ketua. Seharusnya kau tetap di dalam mobil.” Felix mendekat, dengan wajah masam, kesakitan campur kesal.
“Sudah kubilang bukan? Aku tidak akan membiarkanmu bertarung dan menanggung semua rasa sakit itu seorang diri. Aku akan ikut bertarung.”
“Kau hanya akan menghambatku di sini, ketua.”
“SERANG!!!” salah seorang musuh mereka sudah memberi komando. Dia sepertinya pemimpin kelompok. Keempat orang itu menerjang serentak. Felix masih limbung, dengan mudah dipukul mundur. Tiga orang berhadapan langsung dengan Allary.
BUkKKK!!!
BUK!
Satu pukulan dia tangkis dengan body sniper yang dipegangnya. Tapi satu pukulan lain, mengarah ke perut, tak sempat dia tangkis.
BUKKKK!
“AKHHH!” Allary mengerang kesakitan.
BUKKKKK!! Satu pukulan lagi bersarang di perutnya. Membuat Allary semakin kesakitan.
Felix terpaksa menegakkan kakinya. Dengan segenap kemampuannya yang masih tersisa, dia menerbangkan diri. Membuat semacam tendangan kungfu yang keren. Felix terbang. Menendang musuhnya.
Musuhnya itu sampai terpelanting.
“Berani sekali kau,” pemimpin musuh itu menyeringai, dan BUKKKK!!! Langsung menendang wajah Felix. Felix terlempar.
“Pegangi dia,” komando pemimpin musuh, menunjuk Allary, Allary dipegangi oleh dua orang yang tersisa. Pemimpin musuh itu memukuli tubuh Allary tanpa ampun.
BUKKKKKK!!!!
BUKKKKK!!!
BUKKKKKK!!!
Allary bahkan tak sempat lagi memasang wajah kesakitan. Dalam enam pukulan berikutnya. Allary tak lagi bisa bergerak.
“Ketua!” Felix berteriak. Allary sudah dilempar menjauh.
Pemimpin musuh mengaliihkan perhatiannya pada Felix. Dia menyeringai lagi. Mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Dengan isyarat, dia menyuruh dua anak buahnya memasung Felix. “Kau harus dihabisi. Itu perintah Bos. Sementara yang lain bolehlah dibiarkan hidup. Ya semenit atau dua menit setelah kau mati.”
Felix menatap pisau itu dengan jeri. Pegangan dua orang itu tidak bisa dia lepaskan. Pegangan yang sangat erat. Pemimpin musuh dan pisaunya itu sudah sangat dekat dengannya. Mungkin dalam hitungan ketiga, nyawanya akan lunas.
Maafkan aku ketua, sepertinya aku harus mulai menghitung. Satu, dua, tiga. Felix menutup matanya. Menanti kematian. Tapi berselang detik kemudian, tidak terasa sakit apapun.
Hei apa yang terjadi? Felix mencoba membuka matanya. Betapa terkejutnya dia saat melihat adegan di depannya. Allary menangkap tangan pemimpin musuh itu. Menahan pisau itu dari menusuk dirinya.
“Kau, sialan kau,” umpat sang pemimpin.
“Kau, jangan harap kau bisa melukai anggota rombonganku semudah itu. Kau harus melangkahi mayatku dulu.”
“Dengan senang hati,” pemimpin musuh itu kembali menyeringai. Dengan pisau di tangan, dia dengan cepat berbalik. Melepas pegangan Allary dan menusuknya di area perut.
“AKHHH!!!!” Allary berteriak parau. Pisau itu bersarang ke perutnya. Tusukan yang amat telak.
“KETUA!!!” Felix berteriak. Terlambat, Allary sudah jatuh bersimbah darah. Pemandangan itu sungguh membuat iblis yang ada di dalam diri Felix, bangkit sepenuhnya.
136
Menyelamatkan Nyawa Allary
“Buka mobilnya, CEPAT!”
Vivi agak takut-takut membukakan pintu mobil. Felix baru saja berseru kasar sekali. Tambahkan tadi Vivi melihat sendiri bagaimana Felix mengamuk, seperti monster, menghabisi semua orang yang tersisa di sana. Kalap melihat Allary ditusuk.
Oh ya, ketua rombongan mereka itu sedang kritis. Luka tusukan di perutnya terus mengalirkan darah. Felix mencoba melakukan segala cara untuk menghentikan pendarahannya. Sia-sia. Mereka harus melarikan Allary ke rumah sakit ataupun pusat kesehatan terdekat. Hanya itu cara agar Allary bisa selamat.
“Kau bisa mengemudi, Vivi?”
“Bisa.”
“Bagus. Jadi kita tidak perlu tukar posisi. Kau saja yang bawa mobil ini. Kita langsung ke rumah sakit terdekat.”
“Eh aku? Tapi aku tidak...”
“BERGEGAS, VIVI!” Felix berseru lagi. Vivi tidak memberi bantahan lainnya, cekatan memutar kunci dan kemudian menginjak gas.
“Kita cari rumah sakit terdekat. Aku tidak peduli walau aku harus membayarnya dengan menjual ginjalku. Dan jangan lupa untuk ngebut, Vivi. Setiap detik boleh jadi berharga untuk nyawa Allary.”
Vivi menghela nafas. Hei, jika menyingkirkan semua kepanikan itu, adalah momen emosional melihat Felix begitu perhatian dan mencemaskan nyawa Allary. Dulu dia acuh tak acuh saja saat Allary nyaris tewas kehabisan nafas di Lereng Gunung Sarsa.
Mereka pergi ke rumah sakit terbesar di kota Santiago. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh dengan lapangan tempat pertempuran mereka. Sampai di depan unit darurat, Felix berteriak minta ranjang dorong dan petugas untuk menolongnya. Allary segera dinaikkan ke atas ranjang. Dia sudah pingsan. Darah membasahi bajunya.
“Kau parkirkan mobilnya dulu, nanti tunggu aku di sini saja. Aku akan ke dalam dulu, memastikan Allary ditangani dengan baik.”
Sekali lagi Vivi hanya mengangguk. Kemudian Felix langsung berlarian di lorong. Sibuk berteriak dengan bahasa Spanyol. Semoga kamu bisa bertahan. Kamu pasti bisa bertahan, Al.
Felix berhasil meyakinkan dokter untuk segera menangani Allary dengan pelayanan yang terbaik. Dia berjanji akan membayar berapapun biayanya. Lebih dari itu, siapa juga yang berani menolak permintaan Felix yang melotot mata dan wajahnya itu. Tim dokter segera bekerja.
“Hei, kau!” Felix tiba-tiba menunjuk salah satu pengunjung, keluarga pasien yang baru saja selesai menelepon, “ya kau. Apakah aku boleh meminjam teleponmu sebentar?”
“Oh boleh, ada apa kiranya ya, Mister?”
“Teleponku tertinggal di satu tempat. Aku harus menghubungi seorang teman.”
“Eh tapi mister...”
“Sudahlah, aku pinjam sebentar saja. Setelah itu aku kembalikan. Aku bukan penipu atau penjahat. Temanku sedang sekarat di sebelah sana, dan aku hendak menghubungi temanku yang lain, mengabarkan.”
Akhirnya patah-patah orang itu menyerahkan telepon genggamnya pada Felix. Felix segera sigap menekan tuts. Menekan sebuah kombinasi nomor telepon.
Ayo, ayo angkat. Suara hati Felix gelisah. Nasib Allary tergantung pada telepon ini. Jika pemilik nomornya mengacuhkan panggilannya, habis sudah.
Kabar baik, telepon itu diangkat. Terdengar sapaan berat dari seberang. “Siapa?” katanya.
“Ini aku. Aku si Kaki Baja. Kau mendengarku, Kepala Gergaji?”
Suara di seberang sana, terdengar terkejut. “Astaga Felix, kau membuatku berdebar lagi. Tidak bisakah kau sedikit sopan saat hendak menghubungiku.”
“Tidak ada waktu, Rubilicio. Situasi darurat. Allary terluka dalam perkelahian. Saat ini dia sudah masuk ke rumah sakit Santiago. Aku perlu bantuanmu.”
Ya, yang ditelepon Felix, adalah Rubilicio. Orang paling kaya di Cajamarca.
“Astaga Felix. Apa kau bilang, temanmu itu sekarat? Jadi para penjahat itu benar-benar memburumu? Lalu bagaimana?”
“Kami sudah membereskan penjahatnya. Tapi tadi Allary terluka. Dia harus segera diselamatkan. Aku perlu bantuanmu, Rubilicio. Aku jelas tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit ini.”
“Baiklah. Nanti aku usahakan bisa mengirim uang padamu di sana. Kabar baik jika salah satu dari kalian punya rekening bank luar negeri.”
“Akan aku urus itu. Yang terpenting aku butuh uang secepatnya. Aku tak peduli yang lain.”
“Hmm, aku tidak tahu apakah ini saat yang tepat untuk menanyakan atau tidak, tapi hei, seberapa spesial ketuamu bagi kau sehingga kau mau bertaruh menyelamatkannya, Felix? Ini adalah sesuatu yang sudah lama tidak kudengar dari Felix Norton.”
“Aku juga akan melakukan hal yang sama jika kau tiba-tiba sekarat di rumah sakit, Rubilicio. Nah Allary berhak dapat perlakuan yang sama.”
“Baiklah. Aku akan segera kirim uangnya. Ada pegawaiku yang akan mengantarkannya padamu.”
“Baiklah. Terima kasih Rubilicio.”
138
Deep Talk With Allary Azra
Rubilicio pastilah orang yang sangat kaya. Mungkin dia bukan saja orang paling kaya di Cajamarca, mungkin juga dia adalah orang paling kaya di negara Peru. Buktinya, uang yang dia kirimkan untuk Felix, banyak sekali. Diantar tunai oleh salah seorang orang suruhannya ke Santiago Central Hospital. Dengan uang itu pula, Felix memesankan kamar paling baik dengan pelayanan terbaik untuk Allary. Dia berharap ketuanya itu lekas sembuh.
Oh iya, kabar baiknya, Allary selamat. Tak peduli berapa kali dokter yang keluar dari ruangan mengoceh, bilang “terlambat sebentar saja, temanmu itu pasti tak tertolong,” nyatanya Allary memang selamat. Dia bahkan tidak perlu operasi. Hanya perlu menjahit luka-lukanya saja.
Malam itu, bak deja vu. Kejadian di Piura terulang lagi di Santiago. Deep Talk. Antara Allary dengan Felix.
Kamar Allary besar. Lengkap dengan pendingin ruangan. Meski tidak ada kasur untuk tamu seperti yang ada di Piura, ruangan itu cukup luas untuk berbaring dan beristirahat keluarga pasien. Sejak pukul sembilan malam tadi, Vivi sudah tidur, mendengkur. Hanya Felix yang terjaga. Dia tidak mengantuk. Seperti Allary kemarin-kemarin, dia duduk di kursi. Tapi bedanya dengan Allary, Felix duduk menghadap jendela.
“Aku ada di rumah sakit ya,” tiba-tiba Allary berucap pelan. Malam sudah sunyi. Suaranya dengan mudah terdengar di ruangan tersebut.
“Iya, ketua.” Felix berdiri, mendekat.
“Maaf, aku jadi merepotkanmu, merepotkan kalian.”
Felix menggeleng. “Tidak apa-apa, ketua. Istirahatlah.”
“Tidak, Felix,” Allary malah mencoba untuk duduk, “aku sudah istirahat sepanjang hari. Sekarang aku sangat segar.”
“Luka di perutmu perlu waktu untuk pulih, ketua. Luka itu cukup dalam.”
“Cukup parah?”
“Ya.”
“Dimana kita sekarang? Maksudku, bagaimana kita bisa membayar rumah sakit ini?”
Felix menepuk-nepuk bahu ketuanya, menenangkannya. “Kau tidak perlu memikirkan hal itu. Semuanya sudah kubereskan.”
“Kau yakin? Tapi bagaimana? Bukankah kita...”
“Kau tenang saja. Aku sudah minta bantuan Rubilicio. Dia menalangi biaya rumah sakit. Kau tenang saja.”
“Begitu ya. Oh ya, apakah kau mengantuk, Felix?”
Felix menggeleng.
“Baiklah, kalau begitu kita bisa mengisi malam ini dengan mengobrol. Seperti saat di Peru. Bedanya kali ini posisi kita tertukar.”
“Kau benar, ketua.”
Felix menjawab patah-patah, karena teringat sesuatu. Sesuatu yang diucapkan oleh Rubilicio tadi siang.
“Baiklah. Aku ingin menanyakan sesuatu, Felix.”
“Silakan.”
“Kenapa kau menyelamatkan aku, Felix? Hei lihat, kau bahkan menungguiku sampai larut malam begini. Apa yang terjadi denganmu?”
Felix menyernit kening. Bukankah wajar, toh Allary juga menungguinya sepanjang malam saat ada di Piura.
“Itu hal yang berbeda, Felix,” sahut Allary, tersenyum riang. “Aku paling tidak bisa melihat orang menderita. Aku harus memastikan orang itu baik-baik saja. Kau pernah melihatnya sendiri, bukan. Saat aku menolong rombongan Ming Aun waktu itu misalnya. Nah beda dengan kau. Di Sarsa dulu kau bahkan terlihat tidak peduli meskipun Man Nyi mati. Melihatmu sekarang, yang seperti ini, jujur aku merinding. Apakah kau adalah seorang gay?”
Felix mendelik. “Sembarangan kau, ketua.”
“Berikan penjelasan padaku,” tuntut Allary.
“Aku menghormatimu, ketua. Itulah alasannya.”
“Menghormatiku? Maaf, aku masih belum mengerti apa maksudmu.”
“Kau tahu, aku adalah orang yang memegang teguh kode etikku sendiri. Aku tidak akan peduli pada orang-orang. Aku hanya peduli pada diriku sendiri.”
“Ya, dan aku melihat itu saat pertama kali berkenalan denganmu dan sepanjang perjalanan pendakian Sarsa. Kecuali saat mengantar orang Myanmar.”
“Nah, seperti yang kubilang, ketua. Aku hanya menuruti dan memberikan respon positif pada orang yang kuhormati, kurespek. Orang semacam itu bisa kuhitung dengan jari. Sejak aku kecil, sampai sekarang, mungkin hanya ada lima orang. Dua diantaranya adalah guruku, tiga lainnya adalah teman, yaitu Rubilicio, Aguero, dan kau ketua.”
“Hei, kenapa kau tiba-tiba menghormat padaku? Aku bisa menebak, empat orang sisanya, selain aku, adalah orang yang kau kenal selama bertahun-tahun.”
Felix mengangguk, “aku juga tidak tahu, ketua.”
“Aku masih menduga kau menderita kelainan. Sebaiknya kita mulai harus menjaga jarak.”
Felix berdecak. “Astaga, ketua. Haruskah aku menceritakan semua kisah masa laluku, agar kau mengerti?”
Allary menanggapi dengan mata berbinar, “nah kalau yang itu bolehlah. Aku juga penasaran, sebenarnya siapa kau sebenarnya, Felix Norton.”
Felix menghela nafas. Dia tahu malam ini memang akan datang.
139
Caballeros de Madrid
Di setiap sudut dunia, dimanapun itu, pasti ada orang jahat.
Di kota-kota besar, orang-orang jahat biasanya bersatu, bersama-sama dengan orang jahat lainnya, membentuk kelompok.
Kelompok penjahat memiliki kode-kode etik kehormatannya sendiri, meski cenderung kejam dan biadab.
Itulah tiga logika penting untuk memahami kisah berikut ini. Kisah tentang masa lalu seseorang. Kita akan mulai dari pedalaman kota Madrid, sekitar awal tahun 1990-an. Tersebutlah nama seseorang, Dacosta.
Dacosta adalah seorang anak muda biasa diantara para penghuni kota Madrid. Maksudnya dia bukan orang jahat, remaja nakal kambuhan, tidak. Dacosta adalah orang yang lurus. Bahkan dia rajin pergi ke gereja.
Namun, satu hal yang paling diingat dari Dacosta, adalah ambisinya. Dia sangat ambisius. Seusai menamatkan sekolahnya, dia langsung terjun ke dunia bisnis. Pilihannya adalah bisnis perabotan rumah tangga. Dacosta tumbuh dari pemain bisnis tak bermodal, hanya menjualkan produk orang, menjadi seorang pebisnis perabotan rumah terkemuka di Madrid hanya dalam waktu lima tahun.
Sebelum memulai bisnis, dia bahkan tidak punya mobil, rumahnya kecil, terletak agak jauh di pinggiran kota. Namun dengan naluri bisnisnya, serta ambisinya untuk menjadi yang terbaik, Dacosta kini menjadi orang kaya. Dia punya rumah besar dekat pusat kota. Dia punya dua mobil pribadi terbaik di awal millenium. Dia juga punya mobil pengangkut.
Selama awal millenium baru, dia terus bergerak. Pada tahun 2001, bisnisnya telah menggurita ke seluruh penjuru Spanyol. Bisnisnya mulai merisaukan para pesaingnya. Para pesaingnya mulai memikirkan cara untuk menyingkirkan Dacosta. Cara-cara yang kotor.
Setelah periode keemasannya, memasarkan produk ke seluruh Spanyol, badai mulai menerpa bisnis Dacosta. Perlahan dia bangkrut. Rombongan ekspedisinya dicegat oleh orang tak dikenal, kapal-kapalnya yang mengangkut bahan baku tenggelam, kebakaran di beberapa gudang produksi, kalau soal tipu-tipu jutaan dollar jangan ditanya, Dacosta mengalaminya sebelas kali. Tahun 2003, dia bangkrut. Para pesaingnya bersorak. Mereka berhasil meruntuhkan usaha Dacosta. Tanpa ada harapan untuk membangunnya kembali.
Namun mereka salah untuk beberapa hal. Gerakan meruntuhkan bisnis Dacosta itu, justru membangunkan jiwa iblis dalam diri Dacosta sendiri. Awal tahun 2003, dia mengumpulkan orang-orang jahat, para pembunuh yang tersentuh hukum, para preman jalanan, pemabuk, pemerkosa dan perampok dari seluruh penjuru Kota Madrid. Saat itu Madrid sudah jadi kota yang cukup besar, hingga ada ribuan penjahat yang berhasil dikumpulkan Dacosta.
Dacosta, mengajak mereka semua memulai sebuah bisnis baru. Dia berhasil membujuk ribuan penjahat itu bersumpah setia padanya. Pada hari itu, Dacosta resmi mendirikan Caballeros de Madrid, sebuah geng penuh penjahat.
Ide Dacosta sederhana saja. Dia dan para bawahannya akan memalak, merampok dan menghancurkan bisnis siapapun yang tidak membayar pajak pada mereka. Pajak Hitam atau Pajak Penjahat, adalah sesuatu yang harus disediakan usaha dan bisnis apapun di Madrid saat itu. Bisnis baru Dacosta ini sukses besar, menggurita, sekali lagi ke seluruh Spanyol, dan kali ini kabar baik baginya.
Dia bisa menghancurkan siapa saja yang coba-coba menghalanginya.
2004, Amircon, seorang pebisnis dari kota Valencia bangkrut, tidak bisa membayar pajak pada Dacosta. Usaha Amircon diambil oleh Dacosta tidak lama kemudian.
2005, giliran Rodriguez, pebisnis di Seville yang jatuh ke tangan Dacosta.
2006, sebuah pesaing baru muncul. Dari Basque.
Ada kelompok penjahat lain yang terinspirasi dengan perbuatan Dacosta, mengumpulkan penjahat-penjahat dari kawasan Basque dan membentuk organisasi penjahat tandingan. Organisasi di Basque itu dipimpin oleh seseorang bernama Vilcente.
Dengan cepat, usaha-usaha bisnis di Basque jatuh ke tangan Vilcente, dan organisasinya jadi pesaing utama bagi Dacosta yang beroperasi di Madrid. Intrik-intrik kecil sering terjadi. Tawuran geng, serbuan kecil, sampai upaya-upaya pembunuhan. Namun semua gagal meruntuhkan yang satunya.
Baik Dacosta maupun Vilcente sama-sama kuat. Mereka tidak bisa gegabah bergerak, menyerang dalam skala besar, atau perang saudara bisa meletus di Spanyol. Tidak ada yang mau hal itu terjadi.
Dacosta di Madrid dan Vilcente di Basque, bak Amerika Serikat dan Uni Soviet. Saling mencurigai, saling bersiap, saling takut akan serangan satu sama lain.
Itulah Perang Dingin di Spanyol yang tidak diketahui semua orang.
140
Guru Sergio
Di awal milenium itu, bersamaan dengan menggeliatnya organisasi mafia yang dibentuk Dacosta, di sudut lain kota Madrid, seorang pensiunan tentara melakukan hal lain.
Namanya Sergio. Usianya kini, 68 tahun. Dia adalah mantan marinir yang berbakti pada Spanyol sejak zaman Perang Dunia II (meski pada dasarnya Spanyol tidak ikut). Kini, dengan tubuhnya yang mulai ringkih, sembari menunggu ajal menjemput, dia memutuskan membuka perguruan beladiri. Sebagai mantan marinir, dia memiliki ilmu beladiri yang amat tangguh. Murid-muridnya segera berdatangan dari seluruh penjuru kota
Beladiri yang diusung Perguruan Sergio, bisa dibilang unik dan lain dari yang lain. Beladiri ini tidak menekankan pada aspek tingkatan jurus atau keahlian. Beladiri yang diusung Sergio disebut Street Martial Art, atau Seni Beladiri Jalanan.
Seni beladiri jalanan dimaksudkan agar setiap orang yang mempelajari seni beladiri ini bisa langsung membela dirinya, bisa bertarung jika ada yang mengusik dan mengganggu keselamatan jiwa. Dalam mengajarkan seni beladiri jalanan, Guru Sergio (ya murid-muridnya memanggilnya begitu), memprediksikan bahwa setiap muridnya akan lihai beladiri hanya dalam empat sampai lima minggu pelatihan. Sebuah efek yang benar-benar mengerikan.
Nah kecepatan belajar dan ketangguhan seni ini, dikompensasi Guru Sergio dengan pelajaran tentang budi pekerti dan prinsip-prinsip hidup yang bajik. Guru Sergio menekankan aspek kerendah-hatian, kesopanan dan keramahan pada murid-muridnya. Maksudnya jelas, agar murid-muridnya tidak sembarang pukul ketika bertemu orang di jalanan.
Pertama kali perguruan beladirinya itu berdiri, tidak banyak orang yang percaya bahwa Street Martial Art bisa dipelajari hanya dalam beberapa minggu. Guru Sergio tersenyum, menantang orang itu untuk membuktikannya. Begitu terus kelanjutannya, hingga perguruan itu diisi oleh ratusan orang. Dengan aspek-aspek kerendah-hatian yang ditekankan Guru Sergio tadi, para muridnya benar-benar menghormatinya sebagai seorang guru.
Beberapa orang lainnya, yang tertarik dengan perguruan Guru Sergio, termasuk anggota Caballeros de Madrid pimpinan Dacosta. Namun, tentu saja, Guru Sergio tidak mau ilmu beladiri yang dia ajarkan dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak bermartabat.
Itulah awal dari sentimen antara Dacosta dengan Sergio. Dua tokoh itu sebenarnya berbeda usia cukup jauh, Dacosta baru 30-an tahun, Guru Sergio sudah hampir 70-an. Namun itu tidak menghalangi Dacosta untuk melancarkan permusuhan dengan Guru Sergio. Kita paham bagaimana ambisi seorang Dacosta yang terkadang sangat mencengangkan.
Dua orang itu mulai saling menjaga jarak, kemudian organisasinya mengikuti. Terutama dari pihak perguruan Guru Sergio yang melarang murid-muridnya untuk bergabung dengan Caballeros de Madrid.
“Organisasi yang berbahaya. Sekali kalian masuk, kalian akan disengat oleh kalajengking berbisa, kalian tidak akan bisa kemana-mana lagi. Dacosta akan mencari segala cara untuk bisa mengendalikan isi pikiran anak buahnya, untuk melakukan apapun yang dia perintahkan, termasuk jika itu adalah membunuh orang yang disayang si anak buah. Caballeros de Madrid adalah organisasi kumpulan iblis. Jangan kalian beri tangan.”
Jangan kalian beri tangan, demikian pesan Guru Sergio selalu. Artinya, murid-muridnya tidak boleh sekali-sekali membantu (apalagi bergabung) dengan Caballeros de Madrid.
Ratusan muridnya mengangguk-angguk. Dengan ratusan orang yang setia padanya itu, Perguruan Guru Sergio seakan membentuk kekuatan baru di negeri Spanyol, selain Dacosta dan Vilcente di Basque.
141
Figur Keluarga Kecil di Selatan Madrid
Kota Madrid, dan kota-kota lainnya di seluruh dunia, pasti mempunyai kawasan-kawasan paling kumuh. Kawasan yang kontras dengan gedung-gedung tinggi di pusat kota. Kawasan kumuh itu biasanya ada di pinggiran kota, dan merupakan daerah orang imigran. Ahli ekonom menyebut mereka, orang-orang residu. Sisa.
Nah kota Madrid juga punya. Salah satuny kawasan paling kumuh di kota itu, akan jadi tempat asal sang tokoh sentral cerita kita kali ini. Biarkan dia yang mengambil alih, menceritakan dirinya.
Namaku, Felix Norton.
Saat ini, usiaku 9 tahun. Aku adalah salah seorang imigran yang datang ke Kota Madrid, bersama kedua orang tuaku. Asal kami dari Meksiko. Janji kehidupan yang lebih baik-lah yang membuat kami hijrah hingga ke sini.
Ayahku seorang buruh kasar. Kuli bangunan multi-fungsi. Begitu biasanya beliau bercanda. Ayahku selalu bilang, “Felix, ayah ini benar-benar multifungsi. Seandainya Bapak Manajer tempat ayah bekerja itu minta diwakili ke sebuah rapat penting, akan ayah sanggupi. Apa susahnya melakukan rapat, hanya tinggal manggut-manggut saja.”
Aku hanya nyengir dengan humor ayah barusan. Urung menanggapi.
Ibuku, tidak bekerja. Beliau hanya tinggal di rumah. Ibuku sering sakit-sakitan. Tak jarang aku memergoki ibu termuntah-muntah dan mengeluarkan darah segar di kamar mandi. Penyakit ibu, katanya perlu biaya berobat yang mahal. Bahkan jika ingin cepat sembuh, Ibu harus dirawat di rumah sakit khusus di Kota Paris sana.
Tentu saja keluarga kami tidak sanggup membiayai ibu berobat sampai ke Paris.
Namun secara keseluruhan, keluarga kami, adalah keluarga yang menyenangkan. Yahh, meskipun aku hidup dan tumbuh di kawasan paling kotor di Kota Madrid, tapi di sini cukup menyenangkan. Ada banyak anak-anak seusiaku di sini. Kami diikat oleh dua kesamaan besar. Yang pertama, sama-sama anak keluarga miskin. Dua sama-sama tidak bersekolah. Hei, sekolah manapula yang hendak menerima anak keluarga miskin. Tidak ada.
Sejak kecil aku menyadari bahwa aku punya kemampuan yang hebat untuk belajar langsung dari alam. Dari lingkungan. Aku paham beberapa prinsip dasar, seperti yang kuat akan menindas yang lemah, selama kau tak punya uang, hidupmu hanya sampah bagi dunia, atau orang yang paling berkuasa akan duduk di puncak. Semua itu aku pelajari dari pengamatanku terhadap lingkungan tempat tinggalku.
Hobiku yang lainnya adalah menjelajah. Aku amat senang berjalan-jalan. Bahkan aku pernah pergi ke Catalunya, Barcelona hanya dengan menumpang dari satu kendaraan ke kendaraan yang lainnya. Ayolah itu tidak sulit. Aku bahkan tidak perlu membayar, karena aku menumpang secara diam-diam.
“Kau seharusnya tidak melakukan itu, Felix. Itu bukan hal yang sopan.” Ibu selalu menegurku setiap aku melancarkan aksiku, bertualang. Biasanya sebelum adanya teguran itu, lebih dulu keluargaku panik mencari ke sana kemari selama seminggu.
Bahkan aku pernah dihukum tidak boleh keluar dari kamar, makan dijatah, selama dua bulan gara-gara berkeliaran sampai ke Pegunungan Pirennes sana, berbatasan langsung dengan Prancis. Astaga, itu benar-benar seru.
Aku terlahir untuk berpetualang. Aku adalah petualang sejati!
142
Uang untuk Berobat
Hari itu, adalah hari yang buruk. Hari buruk pertama yang datang, sebelum nanti lebih banyak hari buruk datang ke keluargaku.
Hari itu, ibuku lagi-lagi muntah-muntah di kamar mandi. Tapi kali ini jauh lebih parah. Ibu sampai kehilangan kesadarannya. Aku yang pertama kali mengecek, saat hendak menggunakan kamar mandi juga, kaget bukan kepalang melihat ibu jatuh tersungkur. Pingsan.
Hari itu, ayah sedang bekerja, di bagian lain kota Madrid. Tidak ada di rumah. Aku dibantu oleh tetangga, Mr. Salvator, terpaksa memanggil ambulans. Ibu harus segera ditangani oleh orang-orang yang ahli. Para dokter di rumah sakit. Mau tidak mau keputusan tersebut harus diambil.
Untungnya, prosedur rumah sakit tidak ribet hari itu. Mereka tidak banyak bertanya, dan aku yang masih terlalu kecil, juga tidak banyak berpikir. Semua ditangani Mr. Salvator. Dia bilang kalau rumah sakit akan memberi penanganan medis dulu. Urusan biaya, bolehlah dipikirkan kemudian.
Untungnya lagi, ibu selamat. Tapi beliau harus bertaruh nyawa untuk bisa diselamatkan. Ayah yang datang tidak lama setelahnya, sudah bisa melihat ibu tersenyum lebar. Lega. Ayah langsung memeluk kami sekeluarga.
Namun masalah justru baru dimulai dari situ.
Ayah harus menguras seluruh tabungan untuk membayar biaya rumah sakit hari. Malah masih tidak cukup, ditalangi pula oleh Mr. Salvator. Akhirnya ibu bisa dibawa pulang. Namun dengan catatan baru. Ibu harus dicek kondisinya setiap bulan, dan harus mengonsumsi obat agar bisa tetap sehat.
Ayah garuk-garuk kepala. Bagaimana bisa dia mencarikan uang untuk membayar semua pengobatan itu. Rutin pula. Akhirnya kami harus bersepakat, berhemat, dan ayah harus lebih giat lagi bekerja. Ibu juga harus banyak beristirahat, aku yang menjaganya. Demi melihat bagaimana ibu pingsan di kamar mandi, aku menurut. Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi bertualang, sampai ibuku tutup usia.
Berkat strategi berhemat yang radikal, terkadang hanya makan sekali sehari, plus ayah yang bekerja sampai jauh malam, akhirnya kami sekeluarga bisa menanggung biaya berobat ibu. Bulan pertama, juga bulan kedua dan seterusnya. Selama setahun penuh.
Seperti tidak ada masalah. Sampai kemudian ayah dipecat dari pekerjaannya sebagai kuli. Aku kaget. Ternyata kuli juga bisa dipecat.
Sejak saat itu, ekonomi keluarga kami, yang sudah buruk, kian memburuk. Ayah mencoba pekerjaan lain, tapi tidak mudah menemukan pekerjaan baru. Bahkan untuk sekedar jadi tukang angkat barang di perusahaan gula pasir, diperlukan orang yang berpendidikan. Ayah tak punya itu. Kehidupan kami berubah jadi getir.
Pengobatan ibu di bulan kesebelas diambil dari hasil tabungan. Pengobatan ibu di bulan keduabelas diambil dari meminjam uang dari Pak Salvator. Pengobatan ibu di bulan ketigabelas, kembali meminjam uang dari Pak Salvator. Dia sungguh tetangga yang berbudi. Namun itu tidak selamanya.
Bulan ketujuh belas. Artinya lima bulan sejak ayah dipecat, ayah sama sekali belum menemukan pekerjaan. Kondisi ekonomi jangan ditanya. Bulan ini, Mr. Salvator tidak bisa berbaik hati lagi pada kami, dan kami memang tidak enak hati jika Mr. Salvator terus-terusan membantu.
Pengobatan ibu di bulan ketujuh belas itu, tidak dilaksanakan. Ibu tidak dibawa ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Juga tidak lagi mengonsumsi obat. Itu artinya, kami menantang siklus. Menantang maut.
Benar saja. Ibu kembali ditemukan pingsan. Terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Kali ini ayah mendampingi sejak dari rumah, mencarikan ambulans. Sampai di rumah sakit, kisah yang sama kembali terulang. Mereka bersedia dibayar belakangan.
Kabar baiknya, ibu berhasil dipulihkan. Dokter bilang, kondisinya benar-benar kritis tadi.
Kabar buruknya, dokter meminta jadwal pemeriksaan dan berobat ibu ditingkatkan jadi dua kali dalam sebulan. Ayah tepuk dahi mendengarnya. Aku juga merasakan hal yang sama. Astaga, untuk bayar rumah sakit ini saja, uangnya dari mana?
Saat itulah Mr. Salvator mendatangi ayah. Berbisik pelan. “Aku punya solusi gila untukmu. Benar-benar gila.”
“Katakan,” sahut ayahku.
“Ada seseorang di kota Madrid yang bisa meminjamimu uang tanpa harus ada jaminan.”
“Siapa itu?”
“Namanya Dacosta. Dia orang kaya.”
Ayah manggut-manggut. Sebuah rencana seketika terpetakan dalam kepalanya. Sayangnya, dengan rencana yang sama pula, keluarga kami kelak akan hancur. Hancur berkeping-keping. Gara-gara setitik Dacosta saja.
143
Darah di Lantai
Mr. Salvator hanya bilang kalau Dacosta itu adalah orang kaya. Dia tidak pernah bilang kalau Dacosta itu adalah orang yang kejam, biadab, tak berperi kemanusiaan, dan pada titik tertentu, lebih mirip seperti iblis ketimbang manusia.
Tidak, dia tidak pernah bilang soal itu. Kami baru tahu setelah berurusan dengannya.
Hari itu juga, setelah mendapat saran dari Mr. Salvator, ayahku segera bergerak, mencari Dacosta. Beliau sama sekali tidak berpikir, siapa Dacosta yang dicarinya itu. Yang terpenting biaya rumah sakit bisa ditutupi.
Singkat cerita, ayahku berhasil menemui Dacosta, dan berhasil pulang dengan membawa uang. Ibu segera dipulangkan juga ke rumah. Padahal kondisi ibuku saat itu belum terlalu stabil, tapi apa boleh buat. Daripada bermalam satu atau dua hari di rumah sakit, lebih baik uangnya untuk berobat beberapa bulan ke depan. Dacosta tidak memberi persyaratan pengembalian apapun. Demikian kata ayahku.
“Alangkah pemurahnya Mr. Dacosta itu,” aku tersenyum mendengar penuturan ayah. Sayangnya kemurahan hati itu, semuanya palsu.
Dua bulan kemudian, bulan ke-19 dari jadwal berobat ibu, pecah keributan itu di rumah kami. Orang-orang yang berotot, preman, datang ke rumah, katanya utusan Dacosta, meminta agar utang kami segera dilunasi. Untungnya ayah ada di rumah saat itu, bisa memberi penjelasan.
“Maaf bapak-bapak sekalian. Untuk bulan ini kami tidak punya uang lebih. Semua terpakai untuk makan dan berobat istri saya. Nanti, mungkin bulan depan saya punya lebih akan saya bayarkan.”
Dua orang berotot itu berpandangan. Siapa yang peduli dengan uang lebih? “Kau tidak perlu menunggu uang lebih untuk melunasi utang itu. Kau bisa menjual rumah ini. Atau tanah di daerah lain, atau apalah itu. Pokoknya kau harus membayarnya, KAU PAHAM!”
Ayah meletakkan tangan di depan dada, gesture meminta maaf, tidak, yang kulihat ayah tidak terpengaruh intimidasi mereka. Ayah masih bisa berucap dengan santai.
“Maaf tuan-tuan. Bukannya saya tidak mau, tapi anda sekalian bisa lihat sendiri kondisi keluarga saya. Pas-pasan. Uang, seberapapun kecilnya, itu berharga bagi kami.”
“Jadi kau tidak mau bayar?!” satu orang maju, menunjuk ke arah wajah ayah. Adapun ayah, sekali lagi menanggapi sambil tersenyum. “Sekali lagi saya bilang, bukannya saya tidak mau bayar. Uangnya masih terpakai untuk keperluan lain. Berilah saya waktu.”
“Waktumu sudah habis!”
Ayah melompat ke belakang, menghindar dari tangkapan tangan mereka yang berusaha mencekal leher ayah. Ayah cukup gesit.
“Kurang ajar. Kau menantang kami ya, heh?!”
Kali ini ayah genap memasang kuda-kuda.
Hari itu, aku melihat ayah dalam bentuk lainnya. Ayah yang jago dalam berkelahi. Sore hari, kedua orang berotot itu dipukul mundur, pulang. Tapi mereka meninggalkan tatapan mengancam.
“Awas kau!”
Ancaman itu serupa sebuah tanggal main. Tanggal main yang bergerak lamat-lamat. Bulan itu, bulan ke-19 adalah bulan terakhir ibuku berobat. Bulan terakhir pula bagi ayahku, menemani ibu berobat. Bulan yang sama, aku kehilangan semuanya. Padahal umurku baru 10 tahun saat itu.
Aku masih mengingatnya. Detail. Utusan Dacosta datang. Kali ini bukan sekedar petarung biasa. Para pembunuh bayaran yang sudah biasa menangani target. Mereka mengendap-endap di malam hari. Aku memergoki mereka di ujung lorong. Menyeret jasad ayah dan ibu, sepanjang lantai. Darah berceceran. Bak mimpi buruk. Orang itu menyadari keberadaanku. Dia menoleh, matanya merah. Aku menelan ludah. Sepertinya waktuku juga tiba. Baguslah. Sepertinya aku tidak akan kuat lagi bertahan hidup setelah melihat pemandangan mengerikan malam itu.
Namun aku keliru. Ternyata aku bertahan. Tepatnya terpaksa. Pembunuh bayaran itu tidak membunuhku. Dia berlalu, menyeret jasad ayah dan ibu. Aku terlalu lemah untuk mengejarnya. Terjatuh, pingsan.
****
Di alur cerita utama, di depan Allary, Felix mengusap matanya yang berair. Selalu menyedihkan baginya mengenang kejadian itu. “Aku tidak pernah kuat ketika mengingat hal itu kembali, ketua. Darah berceceran di lantai, ayah dan ibu yang diseret keluar, matanya yang merah menatapku. Aku tidak kuat.”
“Maafkan aku karena telah memaksamu bercerita tentang itu, Felix.” Allary menepuk-nepuk pundak temannya itu, penuh respek, “kau boleh menghentikan ceritamu sekarang.”
Felix malah menggeleng. “Tidak, biar aku teruskan. Sampai ke akhir. Kehilangan ayah dan ibu hanya tahapan awal dari hidupku sampai beberapa tahun kemudian.”
144
Membalas Dendam
Sebelum ini aku adalah anak baik-baik. Tanyakan saja pada teman-teman sepermainanku di kawasan kumuh kota Madrid itu. Aku tidak pernah memukul teman, berkelahi, berbohong, tidak pernah. Aku hanya suka bertualang, membebaskan jiwaku. Tapi kejadian darah berceceran di lantai itu, saat membersihkan darah orang tuaku, aku memutuskan untuk berubah, 180 derajat kalau perlu.
Aku, Felix Norton, telah berubah menjadi orang baru.
Aku ingin balas dendam. Itulah yang pertama terlintas di benakku. Setiap darah orang tuaku yang menetes di lantai itu, harus dibayar dengan darah juga. Harus dibayar lunas. Mungkin tidak ada yang pernah membayangkan, anak berusia 10 tahun ingin coba-coba melawan sebuah organisasi besar. Tapi aku tidak gentar.
Demi misi balas dendam itu, aku mulai menyusun rencana. Berhari-hari, setiap aku lepas dari pengawasan Mr. Salvator (ya, beliau yang menjagaku), aku berkeliling kota Madrid, bertanya pada orang-orang, dimana kediaman Dacosta. Setiap orang yang kutanya pasti langsung takut, langsung mengalihkan topik, tapi bagiku itu justru membuat gambaran musuhku kian jelas.
Dacosta jelas bukan orang sembarangan.
Berhari-hari lainnya, saat aku sudah mengetahui markas Dacosta, aku coba mengamati markas itu. Kiri kanan depan belakang. Sepertinya tidak banyak celah untuk menyusup. Aku terus memantau, sampai aku menemukan celahnya.
Tepat di pintu kanan rumah berpagar besar itu, ada sebuah pohon besar yang tumbuh di luar pagarnya. Sepertinya aku bisa naik ke sana, kemudian menyelinap ke dalam. Sebuah rencana tertanam di dalam benakku.
Aku mengaduk-aduk rumahku, mencari benda yang bisa dijadikan senjata. Aku tahu mereka bersenjata api, jadi aku menyiapkan papa besi yang biasa dipakai ibu untuk memanggang ikan. Sebagai senjata, aku mengambil belati peninggalan ayah yang ada di lemari.
Sampai di sini masih sulit dipercaya, seorang anak berusia 10 tahun, hendak melawan kelompok mafia besar, untuk membalaskan dendam keluarganya.
Aku telah siap. Pada malam yang telah kuhitung-hitung, akhirnya aku beraksi. Sayangnya, semua perhitunganku keliru. Semua rencana yang telah kususun meleset.
Aku tertangkap. Tepat di luar pagar. Meski tameng besi milikku sempat berhasil menangkis tembakan senjata api, mereka tidak memerlukan pistol untuk membungkam anak-anak sepertiku. Dengan empat orang berbadan kekar, mereka memasung aku hingga tak bisa bergerak. Tangan dan kakiku semua dikunci oleh mereka. Belati yang kupegang, tidak berguna. Benda itu segera terlempar.
Aku tidak punya pilihan lain selain berteriak, “TOOOOOLLOOOOOONGGGGGGG!!!”
Teriakanku itu sepertinya sia-sia. Meski markas Dacosta itu berjarak tidak jauh dengan rumah-rumah penduduk yang lain, semua orang di daerah itu cukup tahu untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Terutama urusan Dacosta, seorang pemimpin kelompok mafia besar.
Saat aku sudah merasa putus asa untuk berteriak meminta tolong, saat empat orang berbadan kekar itu sudah mengoceh bilang, “ayo kita bawa dia pada bos, biar bos yang tentukan hukuman untuknya”, saat itulah datang penyelamatku.
Empat orang tiba-tiba datang, gesit melompati pagar. Dengan gerakan yang sama gesitnya mereka memukul, menendang, bertarung dengan empat orang kekar yang menahanku. Tidak lama, dengan gerakan beladiri mereka yang indah dan cepat, aku terlepas dari cekalan, lekas berlari ke belakang empat orang penolongku ini.
“Kalian, anak buah Sergio!?” orang kekar penjaga rumah Dacosta berseru, semuanya tersengal, dipukul mundur.
“Benar.”
“Apa urusan kalian ke sini? Mau mengajak bertempur?”
Salah satu penolongku menjawab tegas sambil menunjuk padaku, “kami hanya ingin menyelamatkan anak ini. Kalian benar-benar biadab, berani menyerang anak-anak.”
“Dia yang menyusup ke rumah Tuan Dacosta. Dia harus dihukum.”
Aku menelan ludah, tapi tiga orang penolongku lekas membuat pagar, melindungi. Satu orang lagi, maju ke depan, memasang kuda-kuda.
“Aku tak akan membiarkan kalian menyentuhnya.”
Malam itu pecah pertarungan pertama antara kelompok Dacosta dengan murid-murid Guru Sergio. Itulah bisul pertama yang pecah dalam perang dingin. Dan aku justru terlibat di dalamnya.
145
Perguruan Guru Sergio: Pertama kali
Aku masih gemetar ketika dibawa pergi meninggalkan markas Dacosta oleh empat orang penolongku itu. Mereka berpakaian hitam, bersabuk putih dan yang terpenting, mereka bersuara riang sekali. Menyenangkan.
“Kami diberitahu oleh ayahku, katanya kamu menyusup ke markas Dacosta. Makanya kami cepat bergerak.” Orang yang sedang membawaku di punggungnya.
“Ayah anda?”
“Benar, aku Dol, aku adalah putra Salvator.”
Aku mengangguk-angguk. Sekarang urusannya menjadi mudah dimengerti, kenapa mereka bisa ada di sana begitu cepat.
“Tapi hei, kau berani sekali, menyusup ke markas ketua mafia paling berbahaya di negeri ini. Apa yang kau cari di sana?” orang lain, yang berlari di sebelah Dol bertanya.
“Membalas dendam,” aku menyahut, singkat saja.
“Astaga, kau benar-benar orang yang pemberani. Pemberani dan nekat.” Orang itu menepuk dahinya.
“Orang tuaku mati di tangan anak buah Dacosta. Aku tidak boleh tinggal diam.” Aku menyahut lagi, membuat orang itu terdiam, seperti menyesal telah berbicara. Kemudian dia meminta maaf, karena telah menyinggung bagian sensitif dari hidupku.
“Tidak apa-apa,” aku menggeleng, “terima kasih, kalian telah menyelamatkan aku. Rumahku di sebelah sana. Kurasa Mr. Dol juga tahu.”
Tapi Dol justru menyahut, “tidak, kami tidak membawamu pulang ke rumah. Terlalu beresiko. Selain ada kemungkinan kelompok Dacosta akan menyerang balas, kami juga tidak mau kamu melakukan hal-hal beresiko lagi. Kami tidak ingin kamu membahayakan dirimu.”
“Hei, tapi aku melakukan itu, karena mereka lebih dulu...”
“Iya aku tahu, kamu pasti marah,” potong Dol, “tapi kamu masih terlalu hijau untuk melawan para anak buah Dacosta itu. Kalau kamu memaksakan balas dendam sekarang, yang ada hanya kamu yang mati konyol.”
Aku menelan ludah lagi. Sialnya, apa yang dikatakan Dol itu benar. “Jadi kalian ingin membawaku kemana?” akhirnya aku bertanya, pelan-pelan.”
“Ke tempat guru kami. Di sana kau akan punya banyak teman.” Ini temannya Dol yang menjawab.
“Guru kalian?”
“Ya, Guru Sergio. Di sana berkumpul banyak petarung terlatih. Dacosta tidak akan berani mengirimkan pasukan untuk mencarimu kesana.”
“Aku tidak mau ke sana, aku mau pulang ke rumah saja,” aku menggeleng kuat-kuat, setengah merengek.
“Tidak boleh. Sudah kubilang terlalu beresiko. Lagipula kamu akan suka tempat guru kami. Ada banyak orang. Hidupmu tidak akan sunyi.” Dol menyahut lagi.
Aku tetap menggeleng, kuat-kuat.
“Dengar ya, Felix. Di tempat guru kami, kamu bisa belajar langsung pada Guru Sergio. Belajar beladiri. Siapa tahu nanti, setelah belajar dan tinggal di tempat guru, kamu bisa jadi tambah kuat. Kamu akan bertambah ahli dan pada saatnya nanti bisa membalaskan dendam orang tuamu.”
“Benarkah? Aku boleh belajar? Tapi aku tidak punya uang untuk membayar.” Aku menyahut, sempat berbinar dengan kemungkinan aku bisa jadi seorang jagoan.
Dol tertawa. “Ayolah, dunia ini tidak selalu soal uang. Guru Sergio juga bukan mata duitan. Nanti kita bicarakan di dalam. Nah kita sudah sampai.”
Mereka membawaku masuk ke sebuah kompleks bangunan megah berlantai tiga dan berbentuk huruf U. Suasananya terang. Tak kalah dengan markas Dacosta. Dol membawaku sampai ke ruangan tengah, kemudian menurunkanku. Seseorang yang berambut serba putih tergopoh-gopoh mendatangi kami.
“Bagaimana Dol? Apakah kalian berhasil membawanya dengan selamat?”
Saat itulah aku pertama kali bertemu dengan Guru Sergio. Beliau akan menjadi sosok guru yang menyenangkan untukku.
146
Guru Sergio, Guru yang Penyayang
“Mulai hari ini, kamu boleh bergabung dengan perguruanku, anak muda. Siapa tadi namanya, Dol? Astaga, kamu menyerang markas Dacosta sendirian? Alangkah pemberaninya kamu, Nak,” Guru Sergio mengelus-elus rambutku, tersenyum arif. Aku hanya bisa nyengir.
“Siapa namanya, Dol?”
“Felix, guru. Felix Norton.”
“Baiklah, Felix. Sekali lagi selamat datang. Dol, kau ajak dia mencari kamar. Dia akan tinggal permanen di rumah ini.”
“Baik, Guru.”
Kemudian Dol mengajak aku masuk ke dalam rumah. Rumah Guru Sergio, di bangunan utamanya itu, sangat besar. Dol bahkan memintaku tetap menjaga jarak sedekat mungkin. “Jangan sampai kau tersesat. Rumah ini sangat besar.”
Aku tertakjub-takjub dengan kebesaran rumahnya itu.
“Sebenarnya Guru Sergio itu, siapa?” aku bertanya pada Dol.
“Kau belum pernah dengar?”
Aku menggeleng.
“Baiklah, aku akan cerita sedikit. Guru Sergio adalah seorang pensiunan tentara yang kini memutuskan untuk membuka sebuah perguruan beladiri. Sekarang dia amat terkenal di Kota Madrid, sebab perguruannya sudah meluas ke seluruh penjuru kota dan mencetak para petarung yang handal. Street Martial Arts, seni beladiri jalanan. Sangat efektik. Kamu sudah melihat kami mempraktikkannya tadi.”
Aku manggut-manggut. Teringat sesuatu. “Oh iya, apakah itu berarti aku boleh belajar beladiri juga?”
“Tentu saja. Guru Sergio tidak pernah pilih-pilih dalam merekrut anak murid. Kecuali dia bekas anggota geng Dacosta.”
“Eh kenapa memangnya?”
“Karena Guru Sergio menginginkan anak didiknya menjadi manusia yang bermoral. Anggota geng penjahat tidak diterima di sini. Nah kita sampai. Ini kamarmu. Semoga kamu betah.”
Dol bercanda? Kurasa aku akan betah di sini. Setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya tinggal di tempat Guru Sergio adalah pilihan yang tepat. Aku tidak bisa pulang ke rumah. Di sana tidak ada siapa-siapa. Lebih baik aku di sini, ada banyak orang, banyak teman. Aku juga bisa belajar beladiri di sini. Aku bisa belajar menjadi petarung. Petarung yang bisa membalaskan dendam keluargaku, suatu hari nanti. Sejak melihat Dol dan datang ke perguruan Guru Sergio malam itu, aku telah punya macam minat yang bergelora dalam diri. Menjadi petualang, dan menjadi petarung.
Namun Guru Sergio tidak langsung mengajariku. Beliau lebih sering menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah.
Murid-murid lain diajari teknik dasar, aku disuruh menyapu rumah.
Murid-murid lain disuruh saling bertarung, duel percobaan, aku disuruh mengepel lantai.
Murid-murid lain ujian, aku disuruh memperbaiki atap yang jebol.
Agak aneh sebenarnya. Setiap aku minta diajari beladiri seperti yang lain, Guru Sergio selalu tersenyum, kemudian bilang, “belum waktunya bagimu, Felix.”
Belum apanya? Guru sepertinya hanya berkelit.
Murid yang lain semakin maju, ahli dalam bertarung, aku malah menghafal seisi rumah. Satu bulan, dua bulan, akhirnya aku tidak kerasan. Mulai mengutarakan niat meninggalkan tempat itu.
Suatu malam, Guru mengajakku bicara. Sengaja mengundangku ke lantai tiga. Ke ruangan billiard. Heran aku. Kenapa harus di ruangan billiard. Apakah guru sedang bosan dan mengajak aku bermain-main, mengingat murid-muridnya yang lain sering diajaknya juga bermain saat tidak sedang latihan.
“Duduklah, Felix.” Guru Sergio menunjuk kursi di dekat jendela. Posisinya jauh dari meja billiard. Sepertinya guru tidak mengajakku main, tapi mengajakku bicara. Aku segera duduk.
“Berapa lama sudah kau tinggal di sini, Felix?”
“Kurang lebih tiga bulan, Guru.”
Guru pun tersenyum. “Apakah kau sudah merasa mempelajari sesuatu, Felix?”
Aku langsung menggeleng, “belum guru. Aku belum mempelajari apapun. Guru sendiri yang mencegahku ikut latihan, malah menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah.”
Guru Sergio menyeringai mendengar kalimat protesku. Ya, sekalian saja kuprotes bukan?
“Bukan, bukan seperti itu maksudku, Felix. Tentu saja, aku akan mengajarimu. Hanya belum saatnya.”
“Lalu saatnya kapan? Kenapa Guru tidak kunjung mengajariku? Apakah ada alasan dibalik itu?”
Sekali lagi guru menyeringai, kemudian tertawa, “kau benar sekali, Felix. Semua memiliki alasan. Adapun kenapa aku belum mengajarimu, aku juga punya alasannya.”
“Boleh aku tahu, kenapa itu? Jika guru merasa aku punya kekurangan yang tak bisa diterima, katakan saja. Jika aku kurang memenuhi syarat, katakan saja. Aku akan berusaha keras untuk memenuhi syarat itu.”
Guru mengelus-elus rambutku lagi. “Bukan. Asal kamu tahu ya, kamu adalah salah satu murid paling potensial yang pernah datang ke perguruan ini. Aku bisa lihat, dari bentuk kakimu, dari pembawaanmu, dari gerakanmu, gesit, taktis dan praktis. Kamu juga pintar.”
“Lalu kenapa, Guru?”
“Karena dalam hatimu, masih ada dendam, Felix. Aku tidak mau dendam itu merusak dirimu. Aku menyuruhmu melakukan pekerjaan rumah,dan tidak membiarkanmu latihan, karena jika kulatih sekarang, dengan dendam membara itu, kamu bisa berkembang pesat, jadi penjahat. Seorang petarung mematikan yang tak kenal ampun. Aku tidak mau kamu jadi seperti itu, Nak. Belajarlah untuk memaafkan, dan bersabar.”
Aku menelan ludah. Bagaimana aku bisa melakukannya?
147
Buku Rahasia
Apakah setelah pembicaraan di lantai 3 ruang billiard itu, aku langsung diajari beladiri keesokan harinya? Sayangnya tidak. Skenarionya tidak semanis di film-film. Aku masih harus menunggu empat bulan lagi sebelum memulai latihan pertama. Jadi total aku melewati masa ospek di rumah Guru Sergio adalah tujuh bulan.
Tapi tidak masalah. Aku mempelajari banyak hal juga, meski bukan lewat latihan. Terutama mempelajari cara mengatur stamina. Dol yang mengajariku, dia sering mengajakku latihan lari ekstrem. Keliling kota Madrid misalnya. Saat melakukannya, aku tahu bahwa Dol dan murid-murid Guru Sergio yang lain, memang memiliki stamina di atas rata-rata.
Setelah lewat bulan ketujuh itu, Guru Sergio kembali memanggilku ke ruangan billiard. Aku tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan guru lagi. Seperti yang pertama kali, guru kembali menyuruhku duduk.
“Sudah berapa bulan kamu tinggal di sini, Felix?” Guru Sergio bertanya padaku.
“Tujuh bulan, guru.”
“Kamu kerasan?”
Aku tertawa, “tentu saja aku kerasan, guru.” Hei ayolah, meskipunn di sini aku tidak kunjung berlatih, aku punya banyak teman di sini, rumah Guru Sergio tidak pernah sunyi.
“Baguslah, kalau kau kerasan. Kulihat kamu sering melihat bagaimana teman-temanmu berlatih?”
Aku mengangguk, “benar, guru.” Aku kadang berdiri berjam-jam, melihat bagaimana Dol dan teman-temanku yang lain, bertarung satu sama lain. Aku terpesona.
“Kalau kamu seorang otodidak, kamu bisa belajar banyak tanpa harus belajar dariku.”
“Aku akan selalu menunggu kesempatan pertamaku untuk dilatih oleh guru.” Aku menyahut lagi, masih bersemangat.
“Bagaimana dengan hatimu, apakah kamu sudah belajar untuk memaafkan hal yang telah lewat?”
“Aku selalu berusaha, guru.”
Guru tersenyum. “Ya, aku bisa melihatnya. Pelan-pelan kamu sudah mulai berdamai dengan kehidupan. Itulah gunanya tempat baru, kebiasaan baru, suasana baru, Felix.” Sekali lagi, Guru mengelus-elus rambutku.
Kemudian guru berdiri. Menuju ke sebuah laci lemari yang ada di ruangan itu. Guru seperti mencari sesuatu. Dia bahkan sampai mencari kunci lacinya. Apa yang dicari guru? Lima belas menit, guru kembali ke hadapanku dengan membawa sebuah buku. Diserahkannya buku itu padaku. Tepat ke pangkuanku. Aku jelas heran.
“Buku apa ini, Guru?”
“Kamu tahu apa nama seni beladiri yang aku ajarkan pada murid-muridku, Felix?”
“Street Martial Arts, seni bela diri jalanan.”
“Apa keistimewaannya?”
“Bisa dikuasai dalam beberapa minggu sampai bulan saja.”
“Kamu benar-benar pembelajar otodidak yang baik, Felix. Nah pertanyaan berikutnya, aku bertaruh, kamu tidak bisa menjawabnya. Siapa yang menciptakan seni beladiri ini?”
Aku kaget dengan pertanyaan itu, memang tidak pernah dibahas oleh Dol dan teman-teman dalam sesi ngobrol sehabis latihan, saat dimana aku biasanya bertanya-tanya.
“Siapa yang menciptakannya? Guru?” aku asal menebak. Guru tertawa lagi. “terima kasih atas jawabanmu, aku merasa tersanjung, Felix. Tapi sayang sekali, bukan aku yang menciptakannya.”
“Lalu siapa?”
“Buku itu akan menjelaskan banyak hal.”
Aku membalik buku lusuh itu, melihat bagian depannya. Tertulis judulnya, Street Martial Arts. Nama penulisnya tercantum, aku mengejanya. “Fernando Marquez Villio Saravejo.”
“Ya, Villio Saravejo. Itulah orang yang menciptakan Street Martial Arts. Teknik beladiri yang legendaris. Villio mewariskan seni beladirinya lewat buku ini. Sayangnya buku ini dicetak secara terbatas dan sempat dinyatakan terlarang oleh tentara. Karena seni beladirinya yang memang berbahaya. Aku beruntung sempat mendapatkan salinan bukunya. Aku pelajari, lalu hasil pelajaran itu kuturunkan pada kalian.”
“Tapi aku tidak pernah melihat Dol atau yang lain membaca buku ini. Bahkan aku ragu mereka mengetahui tentang buku ini. Mereka tidak pernah membicarakannya.”
“Karena mereka memang tidak tahu.”
“Tidak tahu?”
“Ya, mereka belajar Street Martial Arts dari aku. Mereka hanya tahu dariku, bukan dari buku. Sejujurnya belum ada muridku yang pernah menyentuh buku itu.”
Bertambah-tambah keherananku. “Lalu kenapa guru menunjukkan buku ini padaku?”
“Karena kamu berbeda, Felix. Sejak aku melihat dirimu datang ke sini, tujuh bulan yang lalu, aku sudah tahu hal itu. Seolah ada yang membisikkan padaku, untuk mewariskan buku ini padamu.”
Aku mengangkat buku itu, gemetar. Berarti ini adalah artefak yang sangat legendaris. Dan guru mewariskannya padaku. Luar biasa.
“Lalu harus kuapakan buku ini?”
Guru tertawa, “tentu saja kamu pelajari. Mulai minggu depan kamu akan ikut berlatih bersama Dol dan yang lain. Sementara menunggu, kamu bisa baca bukunya terlebih dulu. Dengan kombinasi antara buku itu, dan latihan dariku, mungkin saja kamu nanti akan jadi petarung terkuat yang pernah aku latih.”
Aku terpana.
148
Petarung Paling Diandalkan
Kau tahu, berkat buku Villio itu, aku berkembang pesat. Mungkin Guru Sergio juga mendidikku sama kerasnya dengan murid lainnya, maksudku intensitasnya juga sebanyak yang lain, aku tidak punya bonus, tetap saja aku berkembang, menjadi yang paling pesat perkembangannya.
Dalam dua minggu pelatihan, aku sudah bisa mengalahkan Dol dalam duel. Dia terkapar terkena jurus tendanganku. Yahh, semenjak menemukan buku tersebut dan mulai membacanya, aku memutuskan untuk mengembangkan jurus tendangan.
Kenapa?
Karena tendangan jauh lebih baik (menurutku) untuk melumpuhkan lawan. Selain itu, dengan tendangan, aku juga merasa tidak mengeluarkan banyak perasaan. Kau tahu, dengan menggunakan tangan, itu terasa lebih emosional.
“Kerja bagus, Felix. Kurasa sebulan lagi latihanmu, kakimu itu bisa merobohkan dinding beton.” Guru Sergio bertepuk tangan.
“Ya, astaga. Dia kuat sekali. Tak kusangka adik cilik kita berkembang begitu cepat. Padahal kemarin-kemarin dia cuma guru ajari menyapu lantai. Bagaimana kau bisa jadi kuat begitu cepat, Felix?”
Aku hanya nyengir, Guru Sergio melarangku membicarakan soal buku itu. Nanti menimbulkan rasa iri di mata murid lainnya. Aku menaati peraturan tersebut.
Hanya dalam tiga bulan latihan, aku sudah bisa mengalahkan para murid Guru Sergio yang sudah ikut dengan beliau selama beberapa tahun. Murid paling senior sekalipun terkapar oleh tendanganku. Beruntung mereka rata-rata sportif. Paling hanya tertawa karena kukalahkan. Tidak sampai masuk ke dalam hati.
Bulan keenam aku berlatih, atau hampir setahun aku ikut Guru Sergio, genaplah aku menjadi petarung paling kuat dan paling diandalkan di perguruan. Diandalkan untuk apa? Tentu saja untuk bisnis.
Ah, jangan menganggap organisasi beladiri milik Guru Sergio itu semacam organisasi sukarela yang melatih orang tanpa bayaran. Tentu saja Guru Sergio perlu uang untuk menggerakkan perguruannya. Darimana uang itu didapat? Tentu saja dari bisnis.
Bisnis yang biasa kami terima, adalah tawaran menjadi bodyguard.
Aku tidak bercanda. Kebanyakan murid perguruan disewa untuk jadi bodyguard orang penting. Ada pejabat yang datang ke Madrid, dikawal, ada pejabat yang berkunjung ke luar Madrid, dikawal. Bayarannya cukup besar untuk sekali tugas. Aku sudah dua kali mendapatkan kesempatan besar. Mengawal walikota dan kepala dewan senat bepergian ke Prancis. Tapi tugas kawalan hanya terdengar prestisius. Tidak seru. Tidak menantang.
Tugas yang jauh lebih menantang adalah mengawal dan membereskan urusan sengketa perusahaan. Urusan itu jelas mendatangkan uang yang lebih banyak, bayaran yang lebih besar. Kami para murid juga senang karena mereka mendapat kesempatan bertarung, unjuk gigi.
Urusan sengketa perusahaan itu misalnya begini. Ada perusahaan A, berkonflik dengan perusahaan B. Perusahaan B kemudian ingin menyerang perusahaan A. Nah kami punya tugas untuk melindungi dan membantu perusahaan A, membantu pihak yang diserang. Ada kemungkinan bertarung, tentu saja. Soalnya pihak perusahaan B biasanya menyewa preman untuk membereskan perusahaan A, dengan kekerasan.
Nah, para preman itu bisa ditebak berasal darimana? Yap, tentu saja. Organisasi Dacosta. Apakah aku pernah berurusan dengan mereka lagi? Tentu saja. Hasilnya? Kelompok Dacosta selalu kalah mengenaskan setiap coba melawanku.
Hei, yang mereka lawan adalah petarung terbaik yang dimiliki Guru Sergio.
Dari hasil-hasil pertarungan di lapangan dan intrik-intrik kecil itulah, hubungan antara organisasi Dacosta dengan Perguruan milik Guru Sergio, semakin memburuk. Seperti rivalitas panas. Pihak Dacosta unggul dari segi jumlah, tapi bahkan ketuanya sekalipun tahu, mereka tidak akan menang jika mencoba mengajak kami “berperang”. Sebab perguruan milik Guru Sergio unggul secara kualitas.
Jadi kelompok Dacosta mencari cara lain. Cara untuk menghancurkan perguruan Guru Sergio, rival mereka. Mereka mencoba melempar bola konspirasi panas. Bola konspirasi yang melibatkan petarung terbaik milik Guru Sergio.
149
Kau yang Membunuhnya?
Ada satu sifat “buruk” yang mudah sekali menempel pada seorang manusia. Sifat ini bahkan dengan mudah ada dalam tubuh orang baik sekalipun. Kenapa aku tegaskan soal ini, sebab sifat buruk satu ini, tersebar di kalangan murid Guru Sergio. Yahh, seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, Guru Sergio selalu menekankan sifat-sifat baik kepada murid-muridnya.
Sifat buruk itu, adalah sifat cemburu.
Ya, murid-murid Guru Sergio yang lainnya, lambat laun mulai memandang lain padaku. Sebenarnya itu wajar, sebab aku memang diberikan banyak keistimewaan. Hei, siapa pula yang tidak iri melihat kemampuanku yang berkembang semakin pesat di perguruan.
Mulai ada bisik-bisik miring, mulai ada tatapan miring. Bahkan beberapa murid mulai berani menyerangku dengan keras dalam setiap sesi latihan.
BUKKKK!!
BUKKK!!!
“Akhh,” aku menjerit, mereka memukulku di bagian perut. Sampai aku terkapar. Theo, nama murid Guru Sergio itu, menyeringai melihat aku terlempar ke dinding.
Guru Sergio lekas mendatanginya, bermaksud menegur. Theo tidak bergeming.
“Theo, kau baru saja melakukan hal yang tidak sopan. Bantu Felix berdiri.”
“Tidak mau, guru. Bukankah murid emas macam dia bisa melakukan apa saja.”
“Hei, apa yang kau lakukan itu, tidak etis pada teman seperguruanmu.”
Setelah didesak, Theo akhirnya mau membantuku berdiri. Tapi senyumannya itu sama sekali tidak menunjukkan kalau dia ingin berdamai denganku.
“Kita akan tanding ulang nanti, Felix. Aku pastikan aku akan menghadiahimu, pukulan yang lebih keras.”
Aku meringis. Tidak memperpanjang permasalahan.
Situasi di rumah Guru Sergio, semenjak aku ikut latihan dan berkembang pesat, tidak pernah sama lagi dengan situasi saat aku pertama kali datang ke rumah itu. Dan keadaan semakin buruk seiring hari berjalan. Bulan ke-24, tepat dua tahun aku tinggal di rumah Guru. Teror dimulai
Saat itu, pagi hari, aku baru saja hendak menyiapkan sarapan. Di rumah Guru Sergio, di dapurnya, ada lemari yang menyimpan segala macam bahan makanan. Aku hendak memasak omelet, membuka lemari, dan aku menemukan hal itu.
Secarik kertas. Namun bertulis pesan. Serius.
Kamu akan menemukan kebenaran tentang orang tuamu, sebentar lagi.
Aku adalah jenis orang yang bodo amat terhadap perbuatan orang iseng. Hei, aku tumbuh sebagai seorang anak orang miskin di pinggiran kota Madrid. Sejak kecil kami anak-anak di sana, diajari untuk bekerja keras. Tidak mengurusi hal-hal remeh.
Namun khusus untuk kertas itu, aku benar-benar tidak bisa mengabaikannya. Andai saja secarik kertas itu tidak menyinggung soal orang tua, sudah kubuang kertas itu ke tempat sampah.
Sebaliknya, sekarang, aku tidak bisa sarapan dengan tenang. Terus terpikirkan soal kertas itu.
Saat hendak pergi latihan pagi, saat aku hendak berganti baju setelah mandi, aku kembali menemukan secarik kertas, kali ini terselip di lemari pakaianku. Aku mengambilnya, membacanya dengan saksama.
Dua minggu lagi, kamu akan menemukan kebenarannya.
Astaga, apa maksudnya semua ini.
Kertas itu serupa pesan yang berantai. Persis seperti yang ditulis, selama dua minggu berturut-turut, aku terus menemukan kertas berisi pesan aneh itu. Terletak dimana-mana. Di kamar mandi, di kamar tidur, terselip di sela bantal, macam-macam-lah. Aku meremas kepala memikirkan semua itu.
Hari ini, tepat dua minggu setelah pesan pertama, hari yang dijanjikan. Aku kembali menemukan secarik kertas di dekat wastafel. Tulisannya berbunyi seperti perintah.
Datanglah ke ruangan billiard malam ini, tepat pukul 12 malam. Kalau kau ingin tahu kebenaran tentang orang tuamu.
Kebenaran, tentang, orang, tua, aku. Terpatah-patah aku membaca pesan itu. Gemetar. Apa sebenarnya maksud surat ini. Sejauh ini aku tidak pernah memberi tahu soal surat ini pada Guru Sergio, pada Dol atau pada yang lain. Dan mereka tidak pernah menyinggung soal ini. Jadi sepertinya urusan ini memang sensitif.
Malam itu, dengan berdebar, aku masuk ke ruangan billiard. Aku tidak bilang pada siapa-siapa. Aku berusaha agar tindakanku malam itu tidak terdengar oleh Guru Sergio.
Aku sampai di ruangan billiard. Aneh, ruangan itu tidak terkunci, tidak, atau lebih tepatnya, sengaja dibuka. Anak kuncinya tergantung di lubang kunci. Aku melangkah, mendekat. Tetap waspada. Hei, siapa tahu ternyata ini adalah ulah guru Sergio?
Aku genap menengok ke ruang billiard. Kosong.
Aku mencoba untuk masuk, tinjuku bersiaga. Instingku bilang, masih ada sesuatu yang aneh di sini. Tepat di tengah ruangan, di atas meja billiard, ada sebuah map.
Aku buka map itu dengan penasaran. Dan sekali membukanya, aku langsung terduduk. Isi map itu langsung menghantamku sangat keras. Tulisan di permukaan map itu berbunyi.
RAHASIA TERDALAM YANG INGIN KAU KETAHUI.
Map itu berisi foto-foto. Bukan foto biasa. Lebih tepat jika kubilang itu foto yang mengerikan. Itu foto rumahku. Diambil tepat di hari pembunuhan ayah dan ibuku. Entah bagaimana foto ini bisa ada di dalam map merah ini. Di dalam foto itu, nampak siluet pelakunya. Gelap. Hanya bentuk janggutnya yang terlihat.
Dokumen berikutnya, seperti arsip lama guru Sergio. Arsip tentara. Aku baca cepat-cepat. Semakin banyak halaman yang kubaca, makin lututku lemas.
Dokumen itu mengungkapkan bahwa dua tahun lalu, Guru Sergio menjalankan sebuah misi dari markas tentara. Misi itu mengharuskannya membunuh suatu keluarga.
Dan itu adalah keluargaku.
Jadi selama ini aku tinggal bersama seorang bedebah?
150
Meninggalkan Guru
Keesokan harinya, meja makan di rumah Guru Sergio gempar.
Bagaimana tidak, aku dengan mata merah, karena tidak tidur semalaman, tiba-tiba menyerang Guru Sergio saat beliau hendak menyiapkan sarapan. Dengan serangan taktis, cepat, ditambahkan dengan umur beliau yang sudah tua, dengan mudah beliau kulumpuhkan. Ketika murid-murid yang lain datang, Guru Sergi berlutut dengan posisi tangan kutelikungkan ke belakang.
“ASTAGA, APA YANG KAU LAKUKAN, FELIX!” Dol yang datang pertama, terkejut bukan main, posisinya langsung kuda-kuda, siap melakukan tendangan terbang ke arahku.
“Jangan coba-coba menyerang, Dol. Atau kau akan melihat orang tua ini lebih menderita lagi. Peringatan yang sama, juga berlaku bagi kalian semua. PAHAM!” Aku menatap tajam Dol. Tidak, menatap semua orang yang berkumpul memadati meja makan.
Dol mencoba mendekat, memasang ekspresi tidak mengerti. “Apa yang kau lakukan, Felix? Apakah kau baru saja kehilangan akal sehat.”
“TURUNKAN GURU SERGIO, FELIX!” kerumunan murid-murid Guru yang lain serempak menyuruh. Aku membalas dengan tatapan yang tajam.
“Kalian tidak bisa menakut-nakuti aku. Aku bisa mengalahkan kalian semua, bahkan sebelum kalian balas menyerang. Kalian tidak lupa kan? Siapa petarung terkuat di Perguruan ini?”
“Setidaknya katakan apa yang kau inginkan dengan menelikung tangan Guru Sergio begitu, Felix. Ada apa, sebenarnya?” Dol yang berdiri di dekatku, masih mencoba membujuk.
“Ya, Nak. Apa yang sebenarnya kau pikirkan, sehingga pagi-pagi begini, kau sudah menyerangku. Yahh harus kuakui, seranganmu tadi, luar biasa Nak. Cepat dan praktis.”
“Diam kau, bedebah!” Aku membentak. Dol sampai menutup mulut. Sebagian murid malah meneriaki bahwa aku sudah kehilangan akal.
“Kenapa kamu tiba-tiba menggunakan kata makian itu, Nak. Apa yang terjadi sebenarnya?” Guru Sergio masih berkata lembut, meski dari intonasi suaranya, beliau terdengar kecewa.
“Ikut aku ke ruang billiard jika kau ingin tahu.” Guru mengangguk. Aku menggiringnya ke Ruangan Billiard. Dol dan yang lain hendak ikut, tapi aku cegah. Ini hanya antara aku dan guru.
Kami tiba di ruangan billiard. Aku segera menunjukkan map merah yang kudapat tadi malam. Guru Sergio terlihat kaget, terperanjat.
“Sekarang, kau bisa jelaskan semuanya, yang sebenar-benarnya. Tanpa ada lagi kebohongan, bedebah.”
Guru Sergio mengusap wajah. “Sekarang, aku paham mengapa kau begitu marah pagi ini, Felix. Jelas sekali, benda ini, informasi ini, mengimplikasikan banyak hal. Entahlah. Apa yang hendak kujelaskan, hendak kubilang semua ini hanya manipulasi, kurasa kau tidak akan percaya.”
“Bagaimana aku bisa percaya, heh?”
“Makanya kubilang. Walau, aku berani bersumpah demi segala hal yang suci, aku tidak pernah melakukan hal ini. Aku tidak pernah menyentuh apalagi menyakiti keluargamu, Nak. Kamu tahu persis seperti apa prinsip perguruan ini.”
BUKKKKK!!!!!!
Tanpa tedeng aling-aling, aku menendang perut Guru, sampai dia terpental ke belakang. “Kau pikir, aku akan percaya. Bedebah!”
Guru bangkit. Aku memasang kuda-kuda. Aku siap bertarung hari ini. Tapi guru malah memasang senyum. “Kamu tumbuh menjadi petarung paling hebat di perguruan ini, Felix. Itu fakta tak terbantahkan. Manipulasi ini jelas digunakan untuk memecah belah persatuan perguruan kita.”
“Kau benar-benar membuatku muak,” aku berseru, menuju ke depan, mengarahkan tinju, tapi sebelum itu, Dol lebih dulu datang, menangkis.
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan pagi ini, Felix?”
“Minggir kau, Dol. Aku akan menghabisi bedebah ini.”
“Sebentar, aku ingin tahu dulu, kenapa kau terlihat begitu marah? Mengata-ngatai guru kita sebagai bedebah.”
“Ada yang memanipulasi kebenaran, Dol. Tadi malam, ada yang mengirimkan berkas rahasia, yang mengatakan bahwa aku adalah pembunuh keluarga Felix.” Guru Sergio yang menjawab.
Dol ternganga. “Bagaimana mungkin bisa begitu, Felix. Itu tidak masuk akal. Itu semua bohong.”
“Minggir kau, kau sama bedebahnya dengan orang tua itu jika kau membelanya.” Aku menendang Dol, terpental juga dia.
Akhirnya aku dan Guru Sergio berhadapan lagi. Guru tahu persis, bahwa aku sangat marah saat ini. Guru juga tahu persis, bahwa dia tidak akan menang melawanku.
Namun sebelum aku sempat menyerang, Dol lebih dulu menyergap kakiku. Menangkapnya. Kemudian mengemis-ngemis sambil menangis.
“Tolong jangan, Felix. Tolong jangan kau apa-apakan Guru Sergio. Aku tahu, saat ini kau sangat marah. Aku tahu fakta itu memang susah untuk diterima. Aku tahu. Tapi tolong jangan apa-apakan Guru. Tolonglah, Felix. Atas nama persahabatan kita. Atas nama hari-hari yang kau habiskan di rumah ini. Lakukan hal lain untuk melampiaskan amarahmu itu. Tapi tolong jangan apa-apakan Guru Sergio.”
Sial. Aku berdecak. Demi mendengar kalimat Dol itu, aku berbalik, meninggalkan ruangan itu. “Mulai hari ini, aku bukan lagi bagian dari Perguruan ini.”
“Hei, Felix! Kau mau kemana?!”
“Bukan urusanmu.”
Aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah Guru Sergio.
151
Berpindah Kubu
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kupikirkan. Semua fakta baru tentang pembunuhan kedua orang tuaku, yang kudapat tadi malam, benar-benar membuatku kalap. Panik berlebihan. Aku tidak bisa lagi berpikir sehat.
Hari itu, aku kembali ke rumahku yang dulu. Di pinggiran kota yang kumuh. Entahlah, apa yang akan kulakukan, aku belum tahu, yang pasti, aku tidak akan tinggal bersama bedebah besar itu.
Satu hari tinggal kembali di rumah yang dulu, seakan juga mengembalikan posisiku sebagai orang miskin. Tidak ada lagi yang bisa kuandalkan untuk menopang biaya hidup, selain diriku sendiri. Dua hari setelah aku meninggalkan perguruan Guru Sergio, aku tahu aku harus segera mencari pekerjaan.
Hal ajaib berikutnya terjadi adalah aku tidak kunjung menemukan pekerjaan. Bahkan pekerjaan paling kasar sekalipun. Iya, aku tahu aku tidak sekolah, aku tidak bisa menjual otak. Umurku juga belum mencapai dua puluh tahun, tidak meyakinkan untuk menjual tenaga.
Aku tidak kunjung dapat pekerjaan, aku tidak punya uang, aku tidak bisa makan, dan akhirnya aku kelaparan. Kondisiku mulai memprihatinkan.
Saat itulah pintu rumahku diketuk, dua kali. Jenis ketukan tak sabaran, yang seolah memanggil pemilik rumah untuk segera membukakan pintu. Kubuka pintu dan hatiku langsung menjerit. Sial, seharusnya aku tidak membukakan pintu.
Di sana, berdiri orang paling berbahaya di Spanyol. Dacosta. Ya, pemimpin organisasi mafia, orang yang sempat kuduga menjadi aktor yang membunuh keluargaku. Sulit kupercaya. Dia sekarang berdiri di depanku.
“Malam, Felix Norton,” ujarnya, suaranya berat. Dia menunduk, dan menatap masuk ke mataku. Itu adalah detik-detik yang amat menentukan. Tatapan yang diberikan Dacosta, benar-benar bertenaga. Membuatku bergetar.
“Ma.. malam...” aku menyahut tergetar.
“Perkenalkan, aku Dacosta, ini rekanku, Amancio. Apakah kita boleh berbicara di dalam.”
Entah bagaimana kemudian, aku malah membiarkan orang itu masuk ke rumahku. Mungkin benar kata orang, jangan dekat-dekat dengan Dacosta, kalau kau tidak ingin terpengaruh dengannya. Pesona orang itu benar-benar susah ditangkis.
“Rumah yang bagus, Felix Norton. Mari kita duduk. Tidak, kau tidak perlu membuatkan minum. Waktuku terbatas. Mari kita langsung bicara saja. Silakan duduk di sana, Felix.”
Tahu-tahu kemudian, aku duduk di depannya. Benar-benar sebuah kemampuan mengendalikan yang mengagumkan bukan? Aku berusaha menenangkan diri. Tidak perlu terintimidasi dengan orang ini, Felix. Kau lebih hebat dari yang kau kira. Aku berusaha meyakin-yakinkan diriku.
“Ada apa? Kenapa kau datang kemari?” akhirnya aku mampu menyelesaikan kalimat dengan sempurna.
“Untuk menyampaikan kabar baik bagimu barangkali. Kami menawarkan pekerjaan untukmu. Di organisasi Dacosta. Gaji besar, pekerjaannya pasti kau suka. Bagaimana, kau tertarik? Kau sedang butuh pekerjaan bukan?”
Aku menelan ludah. Apa maksudnya ini. Kenapa dia tiba-tiba menawariku bekerja padanya? Dan seolah menjawab pertanyaanku itu, Dacosta melanjutkan kalimatnya.
“Aku tahu kemampuanmu, Felix Norton. Aku tahu persis. Umurmu boleh jadi masih muda. Tapi kemampuan beladirimu, cakap bukan buatan. Kau akan jadi aset yang sangat berharga bagi organisasiku. Kau bisa melakukan banyak hal. Bersama Dacosta, kau bahkan bisa menjadi petarung terkuat di Spanyol.”
Lagi-lagi aku menelan ludah. Astaga, tawarannya itu benar-benar susah untuk kutolak. Tapi...
“Terima kasih atas tawaranmu. Tapi, aku tidak gampang dibujuk. Aku akan memikirkan segala kemungkinanya terlebih dahulu.
Dacosta malah mengembangkan senyum. “Asal kau tahu, Felix. Aku datang ke sini untuk menyampaikan tawaran. Bukan pilihan. Aku tidak memintamu memilih. Aku ingin kau menerima pekerjaan ini. Karena aku berani taruhan, kau tidak akan mendapatkan pekerjaan lagi di negeri ini. Tidak akan pernah,” tiba-tiba intonasi suaranya menjadi seram.
“Apa maksudmu?” aku balik bertanya, berusaha untuk tidak kalah intimidatifnya.
“Singkatnya, aku ingin kau menerima pekerjaan ini. Besok, aku ingin kau muncul di markasku, sebagai bagian dari kami. Atau bersiap-siaplah, mati kelaparan. Ah kurasa itulah pilihannya.” Dacosta berdiri. Aku berusaha mencegahnya. Urusan ini belum jelas.
“Soal aku tidak akan dapat pekerjaan itu, apa maksudmu?”
Sekali lagi Dacosta malah tersenyum. “Ayolah maksudku jelas sekali. Kau jelas paham. Ya sudah, aku ada pekerjaan lain. Ingat, aku menunggumu, besok pagi. Di markasku. Siap jadi anggota baru kami. Selamat malam, Felix Norton.”
Aku menghela nafas setelah pintu ditutup. Astaga, pembicaraan tadi, terdengar sangat gila. Bagaimana mungkin dia menawari, tidak, dia sedang memaksaku untuk bekerja padanya. Astaga.
Namun, bagian paling gila justru terjadi besok pagi, saat aku benar-benar nongol di markas Dacosta. Dua tahun yang lalu, aku ke sini, menyusup diam-diam, berniat balas dendam. Hari ini, dua tahun berlalu, aku malah datang terang-terangan. Siap jadi anak buahnya.
Gila bukan?
152
Aguero dan Rubilicio, Dua Teman Baik
“Aku tahu, kau akan datang, Felix Norton.”
Dacosta menyambut kedatanganku di markasnya dengan senyum mengembang. Sama sekali tidak nampak semacam tanda kekesalan, barangkali atas aksi menyusupku dua tahun silam. Namun sepertinya, senyumnya itu bukan jenis senyum penyambutan. Itu senyum puas karena dia merasa telah mengendalikanku sepenuhnya.
“Apa pekerjaanku?” aku langsung bertanya. Dacosta tertawa.
“Alangkah semangatnya kau ini ya,” dia menepuk dahinya, duduk di atas kursi empuk yang tak ubahnya adalah tahtanya Dacosta.
“Aku perlu uang,” sahutku lagi, datar. Aku akan tunjukkan bahwa, meski aku benar-benar memerlukan uang untuk bertahan hidup, aku tidak mudah dikendalikan olehnya.
Dacosta memanggil stafnya, menyerahkan map kepadaku. “Baca,” katanya.
“Kau bercanda, aku bukan staf dengan keahlian akademik. Keahlianku adalah bertarung. Beri aku lawan untuk dihajar, bukan kertas untuk dibaca.”
“Dengar ya, Felix. Di organisasiku, aku menginginkan setiap orang memiliki otak yang cerdas. Taktis. Bisa menyusun strategi. Tidak sekedar bisa bertarung saja. Jadi kau harus juga memenuhi persyaratan itu.”
Astaga. Demi mendengar intonasi suara Dacosta yang mulai berubah menusuk itu, aku terpaksa mengalah. Mengambil map itu, lalu meninggalkan ruangan itu.
“Akan kupelajari lebih lanjut.”
“Ya, aku tahu, saat aku mengajakmu bergabung, aku memang tidak mengharapkan dapat anak buah yang sopan. Panggil Aguero dan Rubilicio. Suruh mereka mendampingi Felix. Baik saat mendalami masalahnya, atau saat beraksi.”
Staf Dacosta mengangguk, ikut denganku, meninggalkan ruangan.
Misi pertamaku, saat bekerja di organisasi Dacosta, adalah membereskan seorang tuan tanah yang keras kepala. Tidak mau menjual tanahnya pada perusahaan otomotif asal negeri tetangga. Dacosta menyuruhku membereskan tuan tanah itu. Dalam penugasan, ditulis bahwa ini bukan suatu tugas yang mudah.
“Tuan tanah itu, dipersenjatai, dan punya pasukan lengkap.”
Orang bernama Rubilicio tiba-tiba muncul di depanku. Temannya, si Aguero juga. Aku menghela nafas. Aku tidak punya urusan dengan mereka ini.
“Aku bisa menyelesaikan misi ini sendirian. Kalian tidak perlu ikut.”
Aguero malah tertawa. “Omong kosong, Felix. Tuan Tanah punya banyak pasukan. Kau tidak akan bertahan, bahkan untuk lima menit.”
“Kau meremehkanku? Kau belum pernah merasakan tinjuku rupanya.”
Rubilicio merangkul pundakku,. “Ayolah Felix, bekerja samalah. Lagipula Tuan Dacosta yang menyuruh kita. Jangan membantah perintahnya, atau dia akan marah. Dan demi Tuhan, kau tidak akan suka melihat Tuan Dacosta marah.”
Astaga, aku dikelilingi dua orang anak buah yang fanatik. Aku terpaksa mengangguk.
Setidaknya kata-kata Aguero dan Rubilicio terbukti benar. Tuan Tanah itu telah menyiapkan pasukan yang tangguh. Kami bertiga harus membereskannya dengan susah payah. Untungnya, ternyata Aguero dan Rubilicio benar-benar jago bertarung.
Namun tentu saja, aku adalah bintangnya. Bertarung lincah, mengalahkan sepuluh pasukan musuh sekaligus.
“Wah, aku tak tahu kalau kau bisa berkelahi sehebat itu, Felix,” Rubilicio memujiku habis-habisan setelah kami pulang dari arena pertarungan. Misi sudah sukses dijalankan. Misi pertama.
“Sudah kubilang, aku sendiri saja sudah cukup membereskan mereka, padahal.” Aku menyeringai. Rubilicio melotot. “Memangnya kau berguru di mana?”
“Perguruan Sergio,” sahutku, menanggalkan embel-embel “guru” pada mantan guruku itu. Tidak, aku tidak akan pernah berguru pada bedebah.
“Oh astaga, jadi kau adalah pengkhianat.”
“Enak saja, aku hanya memilih jalan hidup yang berbeda saja. Kami berpisah jalan.”
“Hei memangnya kenap... aduh!” Rubilicio tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, Aguero menyenggolnya. “Itu untuk satu pukulanmu yang meleset kena aku tadi,” Aguero menyeringai.
Rubilicio pura-pura memasang ekspresi kesakitan, mengelus-elus perutnya yang tadi disenggol Aguero. “Dengar Felix, kau jangan terlalu dekat dengan Aguero. Dia cepat sekali tersinggung.” Rubilicio menyeringai di ujung kalimatnya, Aguero melotot.
153
Membunuh Bedebah Besar
Empat bulan pertamaku “bekerja” di organisasi hitam milik Dacosta, aku sudah mulai terbiasa bekerja di sana. Duduk-duduk, menunggu misi, bercanda dengan Rubilicio dan Aguero, misi datang, kami bertiga beraksi, misi beres, aku dapat bayaran. Bukankah itu suatu pekerjaan? Ya, sejauh ini aku masih menganggap bahwa keberadaanku di sini, di tengah-tengah organisasi hitam, mafia, adalah untuk bekerja. Mencari uang.
Sejauh ini, dalam empat bulan keberadaanku di organisasi, aku tidak pernah mengecewakan. Misi yang diberikan padaku selalu sukses. Ketua Dacosta saja sempat memuji kemampuanku yang terbilang impresif. Kejadian itu terjadi pada tengah malam, di bulan keempat.
Jadi, aku memang sering duduk-duduk di beranda rumahku, rumah kumuh di pinggiran ibukota itu, malam-malam. Memandangi bintang-bintang. Dengan menatap langit, melihat kerlap-kerlip bintang itu, aku merasa kembali menjadi seorang petualang. Di bawah bintang-bintang itu pula, aku bertekad, jika suatu hari nanti aku sudah berkecukupan, aku akan travelling keliling dunia, bertualang. Pasti mengasyikkan.
Tiba-tiba terdengar bunyi gemerisik dari samping rumah. Telingaku sudah terlatih menangkap suara, bahkan yang paling halus sekalipun, jadi aku langsung waspada. Dan memang sepertinya aku harus waspada. Keluarlah dari semak-semak, seseorang yang tidak pernah kusangka akan mengunjungiku malam-malam.
Dacosta.
“Kau terkejut, Felix?” katanya, wajahnya menyeringai, seperti seorang kawan yang iseng pada kawannya.
“Aku nyaris memukulmu,” aku menyahut, tersenyum masam.
“Kau selalu saja bermulut runcing, Felix. Tidak pernah punya sopan santun. Andai saja tidak mengingat bahwa kau itu adalah petarung terbaik di organisasiku, sudah dari dulu kau kupecat.”
Aku berdecak sebagai balasan. Menunjuk satu kursi kosong di depanku, mempersilakan Dacosta untuk duduk.
“Terima kasih, Felix. Terima kasih.”
“Jadi apa yang hendak kau bicarakan? Apakah ada misi baru untukku? Sepertinya bukan, urusan ini pasti lebih pelik hingga kau mendatangiku malam-malam begini.”
“Astaga, alangkah tak sabarannya kau,” Dacosta menepuk dahi, tertawa.
“Jelaskan saja. Toh cepat atau lambat aku akan mendengarnya.” Aku kembali meluruskan topik. Dacosta selalu begitu, terlalu banyak basa-basi.
Dacosta menghela nafas sejenak, mengeluarkan map dari dalam tas pinggangnya. “Seharusnya kita melewati sesi puji memuji dulu, Felix. Aku ingin sekali memuji peforma yang kau tunjukkan selama empat bulan belakangan, benar-benar mengesankan, petarung terbaik yang pernah kupu...”
“Kemarikan map itu, biar aku baca.” Kupotong kalimatnya, Dacosta berdecak. Geleng-geleng kepala. Tapi dia menarik map itu agar aku tidak bisa mengambilnya. Astaga, apa sebenarnya yang direncanakan oleh Dacosta? Kenapa berbelit-belit begini?
“Karena misi ini bukan misi biasa. Ini adalah misi yang paling sulit.”
“Apa bayaranku kalau berhasil menyelesaikannya?”
“100 juta dollar. Bagaimana?”
Aku menelan ludah. Itu jumlah yang besar. Upah yang biasa kuterima, kadang hanya seperseribunya. Entahlah, aku jadi makin penasaran, misi apa sebenarnya yang ditugaskan oleh Dacosta.
“Kemarikan map itu cepat, aku akan membereskan misi ini, segera.”
“Ini,” Dacosta akhirnya menyerahkan map penugasan itu padaku. Langsung kubaca. Tidak, tidak perlu sampai ke isi. Cukup membaca judul penugasannya saja, aku sudah menelan ludah berkali-kali. Pantas misi ini menjadi misi yang besar.
“Bagaimana? Menarik bukan? Mangsa yang menarik, sasaran yang menarik. Membunuh seorang bedebah besar. Lakukan malam ini juga. Jika sebelum matahari terbit, kau sudah berhasil melakukan misi ini, kau tidak hanya berhak untuk 100 juta dollar. Kau juga berhak menjadi salah satu letnan dalam bisnisku, dapat komisi setiap bulan.”
Aku gemetar. Bayaran dan bonus itu, cukup untuk membuat siapa saja kehilangan akal sehat. Aku menatap lagi map itu. Misi itu. Membunuh seorang bedebah besar.
Aku akan melakukannya.
154
Penyerangan Ratusan Juta Dollar
Sekali lagi, dalam empat bulan terakhir, aku membuat rumah Guru Sergio menjadi heboh. Bedanya kali ini, aku sudah membuat ribut sejak masuk di pintu gerbang.
Mulanya, para murid yang melihat kedatanganku, buru-buru menyongsong kedatanganku. Menganggap aku datang untuk bertobat. Karena, ya, tentu saja mereka tahu empat bulan belakangan aku ikut dengan kelompok Dacosta.
BUKKKKKKKK!!!
Aku memukul semua orang yang datang menyongsong kedatanganku, membuat mereka semua terpental. Kemudian terdengar suara-suara protes, suara-suara tak terima karena baru saja kuserang.
“Apa yang kau lakukan, Felix!” mereka berseru.
Aku sudah memasang kuda-kuda mantap, “seharusnya kalian sudah tahu, aku berdiri di pihak siapa, bukan? Ayo maju.”
Seketika aku membuat mereka semua, para murid itu marah. Aku tersenyum, meremehkan, menantang mereka agar maju menyerang. Ayo majulah, kalian tidak akan menghambatku. Kalian hanya murid-murid rendah. Kalian bukan tandinganku. Aku adalah mantan petarung terbaik di perguruan ini.
Mereka semua terpental sebelum sempat menyarangkan pukulan.
Aku memasuki rumah. Terjadi kericuhan di seluruh rumah. Murid-murid menyongsong kedatanganku, mencoba menghentikan, tapi mereka semua serupa, bukan tandinganku sama sekali.
“Apa yang kau lakukan di sini, Felix?”
“Kau menjalankan misi dari Dacosta untuk menyerang perguruan ini? Sungguh tak tahu balas budi,”
Dua orang sama berseru, menghadang jalanku. Dol dan Theo. Aku tersenyum sinis. “Ah, ada lawan yang lebih tangguh, tapi tetap bukan lawan yang seimbang.”
“Kurang ajar kau,” Theo yang memang berdarah panas, mendesis.
“Nah, kalian ingin tahu apa yang aku inginkan di sini, bukan? Cepatlah hentikan aku, atau kau tidak akan pernah melihat gurumu lagi setelah ini.”
Dol terkejut mendengar kalimatku barusan. “Maksudmu, kau datang ke sini untuk...”
“Tepat sekali,” aku memotong, “itulah misi baru Dacosta untukku.”
Dol terlihat menggenggam tangannya, erat. “Kalau begitu, kami harus menghentikanmu, Felix.”
“Hentikan saja, kalau kalian bisa.”
Pertarungan hanya berlangsung tiga menit. Dol dan Theo sama-sama tersungkur. Sudah kubilang kalian bukan lawan yang seimbang untukku.
Aku terus merangsek. Tempat pertama yang kutuju, kamar tidur. Ketika kubuka, ruangan kamar itu kosong. Sial, kemana bedebah besar itu bersembunyi. Jangan-jangan dia melarikan diri begitu mendengar aku datang lagi ke perguruannya, merangsek. Sial sekali kalau begitu skenarionya. Aku bakal kehilangan seratus juta dollar. Lebih lagi, aku kehilangan kesempatan besar menghabisi bedebah paling besar dalam hidupku.
“Ah kamu datang berkunjung rupanya, Nak. Kenapa tidak bilang-bilang?” tiba-tiba terdengar suara menyapa, suara yang amat ramah. Ringan sekali. Guru Sergio sudah berdiri di ambang pintu, tersenyum.
“Ya,” aku berbalik, memasang wajah seram, “aku datang untuk membalaskan semuanya.” Suaraku sampai bergetar.
“Duduklah barang sejenak Nak. Baru kamu laksanakan perintah Dacosta itu. Berceritalah, apa yang kamu lakukan semenjak meninggalkan perguruan ini? Aku sungguh rindu padamu.”
“Basa-basimu membuat aku ingin muntah, Pak Tua.”
Guru Sergio tersenyum arif. “Alangkah berantakannya kosa katamu, Nak. Kamu belajar darimana? Dacosta sudah mengajarimu macam-macan ya.”
BUKKKKK!!!
Aku melompat, menendang dengan gaya terbang. Kena dada. Guru Sergio sama sekali tidak berniat untuk menangkis. Dia terbanting ke dinding. Murid-muridnya yang menyusulku tiba di ujung tangga, menjerit. Hendak menyerang. Tapi Guru Sergio malah mengangkat tangannya. “Jangan kalian menyerangnya. Dia masih saudara seperguruan kalian. Dia hanya tersesat di jalan yang salah.”
“Sekarang kau benar-benar membuatku ingin muntah, Pak Tua,” aku mencekal kerah baju Guru Sergio, mendempetnya ke dinding. Merogoh pistol, menempelkannya ke pelipis bedebah besar itu.
“Kamu serius tidak mau mempertimbangkan penjelasan lain tentang map yang terletak di ruangan billiard itu, Nak? Penjelasan yang barang kali lebih masuk akal. Jika kamu mau, pertimbangkan satu penjelasan lain saja, kurasa hidupmu sudah bisa lebih beres.”
“Aku tidak butuh penjelasan. Bisa kau tutup mulutmu itu, Pak Tua, akan kubiarkan kau menikmati nafas terakhirmu, dengan baik.”
Murid-murid yang lain jeri melihatku memegang pistol. Guru menghela nafas. Dari jarak sedekat ini, aku bisa mendengar helaan nafasnya.
“Ya sudah, sepertinya memang tidak ada jalan lain. Silakan lakukan tugasmu Nak, aku bangga bisa mendidik orang sehebat dirimu. Kamu benar-benar berbakat.”
Di ujung kalimatnya, Guru Sergio tersenyum, dan...
DORRRR!!!!
155
Pertarungan Balas Dendam
Urusan pembunuhan Guru Sergio benar-benar selesai sebelum matahari terbit. Itu berarti pula, sebelum pagi datang, aku sudah membawa kesedihan besar dalam di lingkungan Perguruan Guru Sergio.
Seperti halnya saat aku datang, aku pulang dengan mudah. Tidak ada seorangpun yang berani melawanku. Kabar kematian Guru Sergio sudah terdengar ke telinga Dacosta bahkan sebelum aku datang, kembali ke markas. Sehingga saat aku sampai di markasnya, Dacosta menyambutku dengan senyum terkembang.
“Selamat, Felix. Kau akhirnya menghabisi bedebah besar. Kau sekaligus menghabisi orang paling berbahaya di Madrid, orang paling menyebalkan yang sejak dulu ingin kusingkirkan.”
Kau singkirkan? Aku tercenung sejenak oleh kalimat itu, tapi segera tersadar, oleh sesuatu yang penting.
“Mana hadiahku?”
Dacosta kali ini tertawa, “kau benar-benar anggota kelompok paling kurang ajar Felix. Kau sudah tak sopan padaku, lalu kau juga hanya memikirkan uang hadiah. Andai saja tidak mengingat kau aset yang berharga bagi organisasi, kau sudah kutembak.”
“Kujamin, kau akan jatuh berguling-guling karena tendanganku sebelum kau sempat menarik pelatuk.”
“Apa katamu?” tiba-tiba Dacosta bersuara seram.
“Tidak apa, Dacosta. Hanya bercanda. Dark jokes. Bisa aku dapatkan hadiahku sekarang.”
Dacosta geleng-geleng kepala. Dia memanggil stafnya, stafnya menyerahkan telepon genggam, Dacosta memencetnya. Semenit kemudian, dia serahkan lagi telepon itu pada stafnya.
“Nah sudah, kau cek saja di rekening bank-mu.”
“Terima kasih. Apakah ada tugas lain untukku?”
Dacosta menggeleng, “tidak saat ini. Kau akan kuhubungi lagi nanti.”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan pulang ke rumah, beristirahat.”
Badanku memang sangat membutuhkan istirahat sekarang. Aku sangat lelah. Semalaman aku tidak tidur gara-gara misi ini. Namun ternyata, setelah pulang ke rumah-pun, aku tetap tidak bisa beristirahat dengan tenang. Ada orang mengetuk pintu rumahku. Membuatku terbangun. Astaga, siap-siap saja, orang itu akan mendapat perhitungan dariku.
Kubuka pintu, sedikit terkejut karena melihat Dol berdiri di depan pintu.
“Apa yang kau inginkan?” aku bertanya, sembarangan, wajahku kesal.
BUKKKKKK!!!
Dol memukul perutku dengan tinju cepatnya. Aku lengah, tak sempat menangkis. Terbanting, tapi aku segera bereaksi. Memegangi perut. “Kurang ajar kau, Dol.”
“Kau yang kurang ajar, Felix. Kau sudah dirasuki iblis Dacosta sehingga berani membunuh guru kita. Membunuh orang yang selama ini sudah mengajarimu segalanya untuk bertahan hidup.”
Aku meloncat, menerkam. Tapi Dol bergerak cepat, menangkap kedua tanganku. Menginjak kedua kakiku. Dia mengunciku dalam keadaan berdiri. Wajah kami bertemu,
“Kau sama sekali tidak merasakan bagaimana sakitnya perasaan aku, mengetahui bahwa orang yang sama adalah orang yang menghabisi seluruh keluargaku.”
“Kau salah soal itu, Felix. Kau salah! Kau telah dijebak! Kau telah dimanfaatkan! KAU SALAH FELIX! KAU DENGAR!” Dol berseru-seru. Membuatku mendengus kesal. Tentu saja aku mendengar kata-katanya. Tapi ayolah, apanya yang dijebak.
“Kau jangan pikir bisa membodohiku, Dol. Dan kau juga jangan berpikir bisa mengalahkan aku.”
“Aku ke sini tidak untuk mengalahkanmu, Felix. Aku akan menyadarkanmu. Kau terbutakan oleh dendam. Kau ingat apa kata guru? Dendam itu tidak baik, hanya akan merusak. Jelas ada pihak lain yang memanfaatkan itu darimu, lalu menjebakmu.”
“OMONG KOSONG, DOL!” Aku balas berseru.
Dol mempererat kunciannya, dia sepertinya tidak akan membiarkan aku terlepas. “Dengar, Felix. Kami telah menemukannya, di pihak kita, di perguruan kita, ada mata-mata. Kemungkinan mata-mata itulah yang telah menjebakmu agar membenci guru kita. Mata-mata itu adalah anak buah Dacosta. Orang yang mengontrakmu sekarang.”
“HENTIKAN OMONGANMU, DOL! LEPASKAN AKU!”
“Dengarkan aku, Felix. Sebelum semua terlambat. Dacosta sengaja memanfaatkanmu. Dia tahu kau petarung yang terkuat. Dia ingin mengadu domba kau dengan Guru kemudian membuatmu membunuh Guru Sergio. Sekarang dia dan organisasi mafianya menjadi yang terkuat di Spanyol. Aku tahu, sudah terlambat untuk mengembalikan semuanya, tapi setidaknya kau bisa kembali ke jalan yang benar. Tinggalkan Dacosta, Felix. Dia hanya memanfaatkanmu.”
Aku tercenung.
Dol melepaskan pegangannya, lalu melangkah ke luar pintu. “Aku ada di rumah Guru, kapanpun kau mau bertarung ulang untuk membalaskan yang ini, datanglah. Tapi aku ingin kau pikirkan kalimat-kalimatku barusan.”
Dol melangkah pergi. Meninggalkan aku yang masih termenung juga.
156
Penyerbuan ke Markas Dacosta
Pagi hari di kota Madrid. Aku yang sebenarnya ingin beristirahat, mengurungkan niat. Kalimat Dol terngiang-ngiang dalam pikiranku. Hei, bagaimana jika itu benar. Maksudku, bagaimana jika selama ini Dacosta sengaja memanfaatkan aku dan aku sama sekali tidak menyadarinya. Atau mungkin dengan satu atau dua trik cuci otak, Dacosta berhasil mengendalikan aku.
Astaga jika itu benar, itu sungguh buruk. Bagaimana pula aku lupa dengan bagaimana cara Dacosta memberi pinjaman uang dan kemudian menagihnya dengan cara-cara yang tidak sopan pada ayahku dulu. Aku berkeringat dingin. Bagaimana jika Dol benar, bagaimana jika aku sudah salah langkah, membunuh Guru Sergio.
Astaga, ini benar-benar buruk. Aku berkali-kali menggosokkan telapak tanganku yang berkeringat ke baju. Gelisah.
Setelah berpikir dan gelisah selama lebih dari 30 menit, mondar-mandir di rumah, aku mendapatkan gagasan itu. Aku harus menghabisi Dacosta sialan itu. Dia harus tahu bagaimana balasannya jika berani-berani mengelabui dan memanfaatkan Felix Norton.
Aku akan membalasnya. Atas nama Guru Sergio, tak ada waktu lagi. Aku harus lakukan secepatnya.
Saat itu organisasi Dacosta telah berkembang sangat pesat. Mereka telah berhasil menumbangkan kekuasaan Vilcente di Bilbao dan kemarin malam berhasil membunuh pemimpin perguruan Sergio. Dua musuh terbesar mereka telah tumbang, dan aku berperan penting dalam dua penumbangan itu. Sekarang, organisasi Dacosta sudah menjadi organisasi hitam, mafia, terbesar di Spanyol. Bahkan mungkin yang terbesar di Eropa Barat (aku sempat mendengar informasi itu dari Amancio).
Jadi, terlepas dari seberapa besar sebenarnya kekuatan mereka, mengalahkan mereka jelas tidak mudah. Dua tahun lalu tidak mudah, sekarangpun tidak mudah. Aku perlu rencana yang sistematis.
Targetku jelas, Dacosta. Dia pasti sedang ada di ruangannya. Di markas besarnya itu, ruangan Dacosta tersembunyi di bawah tanah. Tidak mudah untuk menembus sampai ke sana, tanpa diketahui oleh penjaganya. Untunglah aku punya satu kelebihan. Aku sekarang menjadi letnan bisnisnya. Aku bisa masuk ke sana, beralasan bertemu Dacosta, mengarang-ngarang soal misi rahasia atau apalah, menyuruh pengawalnya keluar dari ruangan, lalu...
BUKKKKKK!!!
Aku bisa mencekik leher Dacosta sialan itu lalu membunuhnya.
Jelas itu adalah rencana yang brilian. Aku bergegas menjalankannya, sedetil-detilnya. Sehingga mencapai hasil persis seperti yang kuinginkan. Aku tiba di ruangan Dacosta. Berhasil menyuruh pengawalnya menyingkir dari ruangan itu dengan mengoceh soal misi rahasia. Lebih beruntungnya lagi, Amancio, sang asisten nomor satu Dacosta, sedang pergi, mengurus “urusan diplomatis”.
Aku bertemu dengan Dacosta di ruangan ini, hanya kami berdua saja.
“Nah, apa lagi yang kau inginkan, Felix? Apakah uang seratus juta dollar yang kuberikan masih belum cukup untuk membuatmu puas? Astaga, alangkah serakahnya kau,” Dacosta menyeringai.
“Aku punya usulan, sebuah misi rahasia yang penting sekali. Misi pembunuhan. Pembunuhan orang paling penting di Spanyol.” Aku maju, beringsut, berusaha untuk terlihat biasa saja, padahal amarah dan rasa kesalku pada orang ini, sudah memuncak.
Tunggulah. Hari ini aku akan membereskanmu, Dacosta.
“Oh ya, siapa yang hendak kau incar? Jangan mengusulkan untuk membunuh seseorang yang tidak berguna untuk organisasi kita, Felix.”
“Oh tentu tidak. Pembunuhan orang ini akan membawa perubahan besar sekali pada organisasi ini, percayalah.”
Dacosta mulai tertarik. “Katakan padaku, siapa orang itu.”
BUKKKKK!!!!!
Aku sudah terbang, menendang dada Dacosta sampai dia terpelanting ke dinding. Dengan kaki yang telah kulatih aku bisa melemparnya hingga ke dinding sebelah sana, 4 meter jauhnya.
“Ya, orang itu adalah kau sendiri, Dacosta.”
Aku berdiri tenang. Memasang kuda-kuda. Akhirnya pertarungan yang kutunggu-tunggu terjadi juga.
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Felix? Kau aneh sekali. Kau jangan kurang ajar denganku ya, atau kau tidak akan keluar dari ruangan ini hidup-hidup.”
Aku meloncat, berdiri membelakangi meja kerjanya. “Aku tidak akan membiarkanmu mendekat ke meja ini, menekan tombol darurat ataupun mengambil senjata. Tidak. Aku akan menyelesaikan ini secepat mungkin. Pembalasan dendam atas segala perlakuanmu pada orang-orang terdekatku.”
“Kurang ajar kau, Felix. Kau pengkhianat. PENGKHIATAN BUSUK!!” Dacosta berseru-seru marah.
157
Pertarungan di Ruangan Dacosta
Aku tersenyum tawar melihat Dacosta yang berteriak-teriak sambil berusaha berdiri.
“Ayolah Dacosta, bukankah pengkhianatan dan perampasan serta pembunuhan itu adalah makanan sehari-hari organisasi ini. Hal-hal yang memuakkan. Aku hanya mencoba mempraktikkan apa yang telah diajarkan dalam organisasi ini.”
“Jangan harap kau bisa selamat, Felix.”
“Majulah,” tantangku, waspada.
Meskipun aku adalah petarung terbaik di perguruan Guru Sergio, aku tetap harus waspada dengan Dacosta. Walau bagaimanapun, dia juga seorang petarung yang kuat. Tentu saja orang yang menguasai organisasi mafia terbesar di Spanyol, juga harus bisa berkelahi bukan?
Dacosta, dengan segenap kemarahannya, menyerangku, “wussshh”, tinjunya hanya mengenai udara, aku berkelit dengan cepat, menyarangkan tendangan berputar, sekali lagi ke dadanya. Dacosta terpelanting lagi.
“Jadi hanya begini, kekuatanmu, Dacosta?”
“Ukh,” dia memegangi dadanya, mencoba bangkit lagi, “awas saja kau. Tunggu sampai para petarung terbaikku tiba, kau tidak akan punya kesempatan lagi.”
Aku tertawa, “kau bercanda, Dacosta. Akulah petarung terbaik di organisasimu ini. Aku bisa mengalahkan petarung manapun yang kau kirimkan untuk menghadapiku.”
Masam muka Dacosta. Dia tahu, tanpa senjata atau pasukan, dia tidak punya harapan melawanku.
Namun dia segera mempunya dua hal tersebut.
Aku melupakan satu hal. Ruangan ini, tidak kedap suara. Orang-orang di lantai atas, bisa mendengar teriakan-teriakan Dacosta. Segera menyadari ada yang tidak beres. Lewat pintu belakang, (karena pintu depan ruangan itu sudah aku kunci), berdatangan pasukannya Dacosta. Belasan orang jumlahnya, dan aku yakin, puluhan lainnya pasti akan segera menyusul.
BUKKKKK!!!
Aku segera menendang satu orang, meloncat terbang dengan indah. Mereka bersenjata. Aku harus membereskan mereka dengan pertarungan jarak dekat. Aku tidak punya harapan jika menjaga jarak dari mereka.
“SERANG DIA!!!!” komando Dacosta, sehingga belasan orang itu genap mengeroyokku. Sebagian lainnya berlarian ke sudut ruangan, bukan takut. Tapi untuk membuka ruang tembak.
BUKKKK!!
BUKKKK!!!
BUKKKK!!!!
Aku berusaha menghajar satu demi satu orang dengan tendangan. Jurus-jurus paling mematikan dari buku Villio kukeluarkan. Aku harus pastikan mereka lumpuh dengan satu atau dua serangan saja. Untungnya mereka bukan petarung paling hebat. Tapi tetap saja, dengan main keroyokan, aku berhasil dilumpuhkan.
DOORRRRR!!!
DOORRRR!!!!
DOOOR!!
Bunyi tembakan tiba-tiba terdengar. Bukan dari ruangan Dacosta, tapi dari luar. Siapa pula yang datang. Pasukan di ruangan Dacosta pun keheranan.
Tiba-tiba pintu depan yang tadi kukunci terkoyak paksa oleh tendangan. Muncul dari luar, dua orang yang amat kukenal, Aguero dan Rubilicio. Astaga, jangan sampai mereka ikut bertarung melawanku. Aku tahu kekuatan dua orang rekan semisiku itu. Mereka cukup kuat. Apalagi dengan keadaanku yang terpasung begini.
DORRR!!!
DORRR!!!
Aguero mencabut pistolnya. Rupanya tadi dia yang menembak di luar. Sekarang dia menembak lagi. Bukan ke arahku, tapi ke arah para pasukan yang berjejer di dinding. Yang siap menembak ke arahku. Keadaan menjadi kacau balau. Empat orang masih memegangiku, sementara yang lainnya mencoba meringkus Aguero dan Rubilicio. Percuma. Aguero jago menembak.
Tidak lama, belasan orang yang tadi memadati ruangan ini, tersungkur. Bergelimpangan. Kecuali empat orang yang memegangiku. Mereka tahu, melepaskanku, akan menambah berat keadaan. Aguero menyeringai.
“Nah, siapa yang harus kuhabisi duluan, Felix? Empat orang yang memegangimu itu, atau Pak tua ini?” Aguero menodongkan pistolnya ke arah Dacosta.
Jelas sudah di pihak mana mereka berdua berada.
158
Pelarian ke Italia
“Rubi! Aguero!” Aku tidak tahan untuk tidak berseru. Melihat dua teman dekatku itu datang membantuku. Padahal aku tidak pernah memberitahukan rencana ini pada mereka.
“Diamlah dulu, Felix. Aku akan membereskan musuh-musuh di sini dulu ya,” Aguero mengokang pistolnya, siap menarik pelatuk. Moncong pistolnya sempurna mengarah pada Dacosta.
“Kau jangan coba-coba...”
DORRR!!!!!!
Sebuah peluru sempurna melayang ke arah Dacosta. Sebuah peluru yang tidak bisa dihentikan sama sekali. Dacosta tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sudah jatuh tertembak di bagian dada.
Demi melihat tuannya terhempas ke lantai, empat orang yang memegangi aku menurun kewaspadaannya, sehingga aku bisa melepaskan diri dan mengirimkan serangan yang mematikan.
BUKKKK!!!
BUKKKKK!!!!
BUKKK!!!!
Begitu aku melumpuhkan empat orang pasukan yang tersisa itu, lekas aku bergabung dengan Aguero dan Rubilicio, mengecek kondisi tubuh Dacosta. Apakah dia sudah menjadi mayat atau belum.
“Seharusnya kau tembak kepalanya, Aguero.” Rubi terlihat protes.
“Ah itu bisa diatur. Yang terpenting dia sudah kita lumpuhkan. Mari aku tembak ulang, gampang saja itu, eh.”
“Ada apa?” aku menyela.
Aguero baru menyadari kalau pistolnya telah kehabisan amunisi. “Sial. Aku lupa membawa peluru cadangan. Ya sudah, kita habisi dia dengan senapan milik....”
Aguero tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Terdengar bunyi derap langkah-langkah cepat dari pintu belakang. Itu pasti pasukan bantuan.
“Kita harus meninggalkan tempat ini,” kata Rubi, wajahnya seketika menjadi panik.
“Hei kenapa, kita bisa membungkam mereka di sini. Kita bisa mengambil salah satu senapan milik mereka yang mati bergelimpangan di sana itu.”
Rubi menggeleng, “itu bukan ide bagus. Mereka pasti sudah lebih siap sekarang. Mungkin kita masih bisa menahan mereka, namun pasukan yang lebih banyak, bisa berdatangan. Kita akan terkepung dari segala penjuru.”
Aguero termenung sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, ayo kita tinggalkan tempat ini. Aku akan menjaga sisi belakang. Kau tunjukkan jalannya, Rubi.”
“Hei, hei, bagaimana dengan Dacosta. Kita belum menembaknya.”
“Kurasa dia sudah mati, Felix. Kita tidak akan sempat melakukannya. Pasukan musuh sudah datang. Ayo pergi.” Aguero sudah menarik lenganku.
Aku curiga Rubi dan Aguero sudah merencanakan semua ini sejak lama. Lihatlah, mereka begitu lihai mencari jalur pelarian. Termasuk berlutut di semak-semak, menyusup lewat pagar. Dengan tembakan senapan yang dipegang Aguero, dan keahlianku dalam menendang, kami berhasil lolos dari kejaran pasukan. Melompat ke mobilnya Rubi yang sudah disiapkan di pinggir jalan.
Nah apa kubilang, mereka memang menyiapkan ini semua.
“Pegangan, kita akan langsung ngebut. Lima belas menit lagi, kereta kita akan berangkat.”
Mobil yang kami tumpangi melesat menuju stasiun kereta api.
Lima belas menit kemudian, dalam ruangan sebuah kereta api yang cukup ramai dan bersesak-sesakan, barulah Aguero menjelaskan semuanya. Setelah aku bertanya, beberapa belas kali.
“Sekarang kurasa kita sudah cukup aman dari mereka,” Aguero menengok sekeliling sejenak, “baiklah, aku akan ceritakan. Pertama-tama, harus aku bilang, Felix. Kami berdua memang sudah lama merencanakan ini semua. Sudah lama kami menunggu saat yang tepat untuk menyerang dan membereskan pak tua Dacosta itu selamanya. Dan akhirnya kami menemukan saat yang tepat, ketika kau hendak menyerang mereka.”
“Jadi kalian telah merencanakan semuanya? Bagaimana?”
“Mudah saja. Kami memiliki penyadap dalam tasmu itu.”
“Eh,” aku terkejut, bagaimana bisa? Aku memang membawa tas kemana-mana. Isinya adalah buku Villio Saravejo.
“Ya, cukup jelas bukan, bagaimana kami mengetahui semuanya. Saat kau mulai menyerang Dacosta, aku dan Rubi segera membagi tugas. Rubi mencarikan jalur pelarian, aku mencari senjata. Kami merangsek ke ruangan bawah tanah itu, tepat saat kau kesulitan. Semua rencana ini memang berisiko, tapi lihatlah, sekarang kekuasaan dan organisasi Pak Tua itu, kurasa sudah terpukul. Sebentar lagi hancur.”
Aku manggut-manggut. “Lalu kemana kereta ini?”
“Italia. Rubi yang mengusulkan. Dia punya apartemen sederhana miliknya sendiri di sana.”
159
Italia, Janji Kehidupan Baru
Sepanjang perjalanan ke Italia, kami banyak bercerita. Dari cerita-cerita itu terungkap bahwa ternyata Aguero dan Rubilicio memiliki latar belakang yang sama denganku. Orang tua kami bermasalah dengan Dacosta. Kami datang untuk membalas dendam, menuntut balas.
“Sudah kubilang, bedebah itu akan mendapatkan balasan perbuatan yang telah dia lakukan untuk keluargaku.” Aguero memandangi ke luar lewat kaca kereta yang sekarang sedang bergerak ke Pegunungan Alpen. Rubi juga melakukan hal yang sama beberapa kali, tapi dengan wajah khawatir.
“Tenang saja, Rubi. Mereka tidak akan mengejar kita. Aku jamin. Mereka perlu waktu beberapa jam untuk mengurus ketua mereka yang terluka parah itu. Lagipula, jika mereka hendak mengejar kita, mereka perlu memeriksa sembilan negara berbeda di Eropa.”
“Kalian nampaknya telah mempersiapkan segalanya, Aguero, Rubi. Kalian hebat sekali,” aku tidak bisa menahan rasa kagum atas sikap terencana Aguero. Tapi dia malah menggeleng.
“Tidak, Felix. Kau yang lebih hebat. Kaulah yang membuat rencana ini terlaksana. Ribuan hari kami habiskan untuk bekerja di organisasi Dacosta, pura-pura patuh, sambil menunggu waktu yang tepat. Tapi kami tak pernah berani melakukan serangan. Kau yang berani melakukannya.”
Rubi setelah tengokannya yang kesekian kalinya, berseru pelan, “sudahlah Aguero. Sebaiknya kita beristirahat. Semua hal tentang Dacosta ini, membuatku lelah.”
Aku dan Aguero sama mengangguk. Rubi benar. Malam sudah tua. Saatnya beristirahat.
Keesokan harinya, kereta sampai di Italia. Kereta lintas negara ini terus berjalan. Nonstop.
Mulanya kukira saat kami sampai di Italia, kami akan menetap di kota besar semacam Roma atau Milan, atau Turin barangkali. Atau ya, paling tidak Naples lah. Ternyata dugaanku meleset semuanya. Kereta berhenti di Bergamo. Bukan kota yang besar. Rubi tersenyum ketika turun di stasiun.
“Tak sia-sia aku membeli sebidang rumah di sini, bukan, Aguero?” nampaknya Rubi menjadi lebih segar setelah tidur semalaman.
“Tentu saja. Ah, ini udara kebebasan yang sudah lama ingin kuhirup,” Aguero menghela nafasnya dalam-dalam.
Aku juga tersenyum. Sekarang Spanyol sudah jauh tertinggal di belakang.
“Aku akan panggilkan taksi. Kita akan segera bisa sarapan di rumahku. Habis perut kita terisi, baru kita pikirkan bagaimana cara kita bertahan hidup di kota ini.”
Aku, Aguero dan Rubi berjalan beriringan menuju taksi. Bukan, menuju jalan kehidupan yang lebih baik.
160
Seorang Gadis Bernama Aurora
Rumah Rubi di Bergamo, pagi harinya. Kami bangun tidak berbarengan. Aku yang bangun lebih dulu. Menyiapkan sarapan. Tidak banyak yang ada di dapur, hanya ada telur dan roti. Tidak masalah. Dengan kombinasi telur, roti dan mentega, sarapan pagi ini sudah lumayan enak. Bukan karena makanannya, tapi karena suasana damai di Bergamo ini.
Habis sarapan, aku segera bersiap-siap. Aku memang punya 100 juta dollar di rekeningku, tapi butuh waktu untuk mengurus uang itu dari Spanyol sana. Jadi, aku harus mencari kerja di Bergamo sini. Namun, sayang semua tidak berjalan sesuai dengan rencana. Baru satu perusahaan menengah di pusat kota, yang kumasuki, saat aku sudah ditolak.
Aku lupa, aku tidak memiliki pendidikan sekolah formal. Bahkan tingkat paling dasar sekalipun. Bagaimana bisa aku diterima kerja di perusahaan? Aku garuk-garuk kepala sendiri memikirkan hal itu.
Tiga perusahaan sudah aku datangi sebelum tengah hari tiba. Aku istirahat sebentar, makan siang, roti yang kubawa dari rumah (rumah Rubi maksudku), aku berjalan lagi, menuju tempat keempat. Bukan perusahaan lagi, tapi sebuah tempat makan cepat saji. Sebuah kedai pizza.
Kedai itu kecil saja. Aku tidak terlalu optimis. Namun aku memutuskan untuk maju, dengan senyum paling manis, bertanya ke petugas keamanan, bahwa aku sedang membutuhkan pekerjaan.
Ternyata petugas itu menyambutku dengan senyum pula. Mempersilahkan aku untuk masuk. Bilang pada pramusaji agar membawaku ke hadapan pemilik kedai itu. Aku terheran-heran. Namun harapanku dalam hati, semoga ini adalah kabar yang baik.
Aku masuk ke ruangan pemilik kedai pizza itu. Ruangannya bersih. Sang pemilik, Mr. Mario namanya, ternyata adalah orang yang menyenangkan. Dia tertawa-tawa mendengar aku yang memerlukan pekerjaan, pekerjaan apapun itu.
“Mr. Felix. Anda adalah orang yang bertuah. Kebetulan sekali, tadi subuh, pengantar pizza kami mengundurkan diri dari pekerjaannya. Dan sekarang kau duduk di depanku. Kau sungguh orang yang tepat di saat yang tepat. Kebetulan pula, orang yang diperlukan untuk mengantarkan pizza tidak ada sangkut pautnya dengan pendidikan. Jadi, kau kuterima bekerja di sini. Bagaimana, kau bersedia jadi pengantar pizza?”
Dia bercanda? Tentu saja aku mau. Detik itu juga aku menjabat tangan Mr. Mario. “Ya, saya terima, Mister. Terima kasih atas kesempatan ini.”
“Sama-sama. Kau mau langsung bekerja? Kau tahu bukan, kedai pizza ini sangat sibuk.”
Aku tertawa. Lekas mengangguk. Lekas pula berganti baju.
Hari itu juga, aku mendapat pekerjaan baru. Dari seorang letnan bisnis sebuah organisasi mafia besar, menjadi seorang pengantar pizza. Tapi ini tidak terlalu buruk. Mr. Mario memberiku satu buah sepeda motor. Sekarang penampilanku persis seperti di film-film. Aku merasa sedikit gagah sekarang.
Aku langsung bekerja, dari pukul 8 pagi, sampai pukul 5 sore. Habis pekerjaan, aku mengembalikan sepeda motor itu ke kedai. Mr. Mario pulang berbarengan dengan aku meletakkan sepeda motor. Dia tertawa lagi. Menyapa.
“Bagaimana rasanya jadi pengantar pizza, Felix?”
“Tidak terlalu buruk, Mister.” Aku melambaikan tangan. Pembawaan Mr. Mario yang menyenangkan ini menular pada siapapun, membuatku lebih cair.
“Haha, semoga kau betah dengan pekerjaan ini, Felix. Setahun belakangan, aku sudah mengganti pengantar pizza sebanyak 3 kali. Itu agak memusingkan laporan organisasi, kau tahu.”
Aku mengangguk-angguk. “Saya akan berusaha, Mister. Saya akan mencoba beradaptasi. Saya rasa saya bisa menikmati pekerjaan ini. Lagipula, kota ini cukup indah.”
Mr. Mario kembali tertawa. Menawarkan tumpangan, basa-basi. Aku menolak. Memilih untuk berjalan kaki. Lagipula tempatnya tidak jauh dengan rumah Rubi. Namun ternyata, penolakanku itu, membawa sesuatu yang lain ke dalam hidupku.
Begini, rumah Rubi itu bukan rumah tunggal yang mewah. Rumah itu terjepit di antara permukiman. Ada banyak rumah di sekitarnya. Dengan sejuta cerita penghuninya. Dengan sejuta masalahnya pula. Macam-macamlah pekerjaan orang itu. Namun aku tidak ambil pusing.
Namun, entah kenapa, hari itu, aku harus peduli. Di samping kiri rumah Rubi, ada rumah. Bukan rumahnya yang istimewa, tapi penghuninya.
Saat aku pulang ke rumah, aku berbarengan dengan seorang gadis. Gadis itu, sepertinya sepantaran denganku. Rambutnya kecoklatan.
Aku sudah bertemu dengan puluhan gadis muda sebelum ini, namun gadis ini membuatku mematung sejenak.
Tulisan plakat di pintunya, Aurora de Laurenties.
161
Kota Bergamo, di Balik Bayangan
“Kenapa wajahmu tertekuk seperti itu?” Aguero tiba-tiba bertanya. Kami berkumpul untuk makan malam, dan memang hanya saat makan malam-lah kami bisa berkumpul bersama.
Aku jelas terkejut dengan model pertanyaannya itu. Apakah wajahku seburuk itu? Padahal aku sedang senang lho. Hariku berakhir dengan menyenangkan.
“Pekerjaanmu tidak menyenangkan ya?” Aguero bertanya lagi. Kami duduk bersebelahan, sementara Rubi di seberang meja.
Aku menggeleng, “aku baik-baik saja, Aguero. Kau buruk dalam menebak. Pekerjaanku amat menyenangkan. Walaupun hanya sekedar menjadi pengantar pizza.”
Sebelah alis Aguero terangkat, “kau jadi pengantar pizza? Kupikir kau tadi bekerja di sebuah perusahaan. Atau apalah, yang lebih prestisius. Hei, bahkan kurasa tukang pel lantai di sebuah perusahaan, lebih baik ketimbang jadi pengantar pizza. Berpanas-panasan.”
“Jangan meremehkan seorang pengantar pizza, Aguero. Aku tahu, pekerjaanmu jauh lebih menyenangkan. Namun itu bukan berarti pekerjaanku lebih buruk.”
Aguero terkekeh. Tentu saja sejak tadi dia hanya bergurau.
“Bagaimana denganmu, Rubi?” Aku bertanya, Rubi dari tadi diam saja. Asyik mengunyah makan malamnya.
“Pekerjaanku baik-baik saja, Felix. Seperti pekerjaanmu.”
“Oh ya, ngomong-ngomong, dimana kau bekerja tadi? Aku lupa.” Aguero melempar tanya juga.
“Perusahaan penyedia tepung gandum. Kau jangan mengejekku juga, Aguero. Aku tahu, pekerjaan itu tidak prestisius.”
Aguero tertawa lepas.
“Baiklah aku minta maaf. Kita ganti topik. Rubi cepat sekali tersinggung. Oh ya, ada hal lain yang harus kuceritakan secepatnya. Sesuatu yang mendesak. Kalian mau mendengarkan?”
“Asalkan itu bukan olok-olokan, silahkan saja.”
“Aku setuju dengan Rubi,” aku menimpali.
“Hei tentu saja aku serius,” Aguero seketika memelankan intonasi suaranya. Aguero itu kalau berbicara biasanya ceplas-ceplos dan nyaring suaranya. Jadi begitu dia memelankan intonasi, rasanya suasana berubah jadi lain.
“Ada kelompok mafia jahat di Bergamo. Di kota ini.” Aguer berkata dengan tenang. Namun kalimatnya itu membuat kami semua terkejut. Mafia lagi? Rubi menggeleng-gelengkan kepala. “Kau jangan bergurau, Aguero. Karena gurauan tentang mafia ini tidak lucu. Sama sekali tidak.”
“Hei, sudah kubilang, aku serius.” Aguero melotot, “mana mungkin aku melucu untuk masalah ini. Masalah yang membuat kita semua trauma. Aku serius sekali. Mereka ada di kota ini. Hidup, bergerak, nyata dan hadir.”
Aku menelan ludah, “siapa mereka? Apakah mereka ada hubungannya dengan Kelompok Dacosta?”
Dengan aku menyebut nama itu, praktis, makan malam kami menjadi benar-benar tidak menyenangkan. Aguero menggeleng keras mendengar aku mengucapkan nama itu.
“Aku belum tahu, Felix. Tapi semoga tidak. Mereka sepertinya hanya kelompok kecil. Semoga mereka tidak ada kaitannya dengan Dacosta. Kalau iya, maka situasi kita di sini tidak jauh lebih baik daripada di Madrid.”
“Jadi langkah apa yang harus kita ambil, Aguero?” Rubi bertanya.
“Tidak ada. Kita hanya harus waspada saja. Jadi sekarang kalian harus waspada ketika berada di sudut manapun di kota ini. Saranku, jangan mencari masalah jika bertemu dengan mereka.”
Aku mengusap wajah, “astaga, sudut dunia manapun, selalu ada penjahatnya.”
Hari kedua aku bekerja sebagai pengantar pizza. Mr. Mario, seperti kemarin, tertawa ketika melihat aku berjalan ke kantor pukul 7 lewat 15 menit waktu Bergamo. Aku sendiri heran. Kok bisa beliau ada di sini, padahal ini masih pagi. Beliau kan bosnya, beliau bisa datang kapan saja.
“Kau berlebihan, Felix. Ini hanya kedai pizza. Bukan perusahaan besar. Mana bisa aku bersantai macam eksekutif perusahaan besar seperti itu. Aku harus mencontohkan yang terbaik pada pegawai-pegawaiku. Bukan begitu?”
Mau tidak mau aku mengangguk.
Ketika aku bekerja hari ini, aku paham kenapa Aguero menekankan peringatannya untukku tadi malam. Akulah yang paling mungkin berurusan dengan orang-orang jahat tersebut. Akulah yang sering berkeliaran di jalan.
Hari kedua, aku bekerja sampai pukul 8 malam. Hari ini kedai pizza kami ramai sekali. Aku terpaksa lembur. Sekali lagi Mr. Mario tertawa. “Kita terpaksa lembur tanpa gaji tambahan. Kurasa jika terus begini dua hari lagi kau akan mengajukan surat pengunduran diri,” suara Mr. Mario yang berat mengudara di langit-langit.
Nah saat aku pulang berjalan kaki ke rumah Rubi, aku memergoki sebuah pemandangan. Ada dua orang yang sedang menggencet pria tak beruntung. Aku terhenyak, hei, jangan-jangan itu...
162
Gadis yang Hangat
Kejadian yang aku lihat malam itu tidak kuceritakan pada siapa-siapa. Termasuk pada Aguero. Sebab, selain terlalu naif menuduh dua orang itu sebagai anggota mafia, aku juga tidak mau ambil pusing. Selama mereka tidak mengganggu, kenapa aku harus mengusik mereka?
Aku memutuskan untuk kembali melakoni rutinitas. Bekerja di kedai pizza Mr. Mario membawakan warna baru yang menyenangkan untukku. Aku punya teman sekerja yang cukup baik. Cassano namanya. Sepantaran denganku usianya, namun karena berpendidikan, dia memiliki jabatan teknis, beda denganku yang harus bekerja di lapangan. Tapi itu tidak menghalangi kami untuk akrab. Sering makan siang bareng.
Kami juga sama-sama bujangan. Sehingga klop-lah. Cassano itu kutengok perangainya sama dengan leluhurnya Cassanova, seorang begawan cinta. Dia suka sekali memerhatikan wanita cantik.
Oh ya, bicara soal wanita cantik, aku teringat bahwa kenalanku di kota ini tidak hanya Rubi, Aguero, Mr. Mario dan Cassano saja. Masih ada satu orang. Meski aku belum kenal dekat, tapi dia cukup istimewa. Yaitu Aurora. Gadis yang tinggal di sebelah rumah Rubi.
Aku dan Aurora seringkali terjebak dalam jadwal pulang bareng. Sama-sama berjalan kaki. Pulang dengan pakaian bagus seperti itu, kutebak dia bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan besar di Bergamo, atau boleh jadi kota lain di distrik Lombardia ini.
Sejauh ini, apa yang aku tahu dari Aurora hanya sebatas tebak menebak. Kami belum pernah berbincang. Hanya saling menyapa seperti, hai kamu baru pulang kerja juga ya, kemudian aku menjawab, ya. Hanya seperti itu. Tapi dengan rangkaian sapaan selama lebih dari satu minggu berturut-turut sudah cukup untukku menyebutnya sebagai kenalannya. Aurora sepertinya gadis yang menyenangkan. Setidaknya dia cukup ramah.
Pagi ini, hari ke-25 aku bermukim di Bergamo, atau hari ke-24 aku bekerja di kedai pizza Mr. Mario. Pagi yang biasa sebenarnya. Omelet sebagai sarapan yang praktis, meninggalkan rumah pukul 7 lewat 15, Rubi masih mandi, sedangkan Aguero belum bangun. Itu adalah rutinitas pagi bagiku.
Tiba-tiba saat aku berjalan kaki, lewat di depan rumah Aurora, gadis itu keluar dari daun pintu, melambaikan tangan. Dia memanggil? Aku lekas menghampirinya.
“Ada apa, Nona? Ada yang bisa saja bantu?” tawarku sopan.
“Ah iya, saya harap anda tidak keberatan. Saya memang perlu bantuan. Anda lihat itu? Lemari yang baru datang tadi pagi-pagi sekali. Ternyata pengantarnya cuma mau mengangkatkan sampai ke sini, saya tidak bisa mengangkatnya sendirian. Anda bisa bantu?”
Jelas sudah. Sebuah lemari tinggi memang teronggok di ruang tamu rumahnya. Melihat model rumahnya dan ruang tamunya, Aurora adalah gadis yang berkecukupan.
“Mau dipindahkan kemana?” tanyaku.
“Ke kamar tidurku.”
Aku mengangguk, langsung menggapai satu sisi. Sementara Aurora di sisi yang lain. Mulai mengangkat. Ternyata gadis ini juga kuat tenaganya. Lemari itu berhasil kami pindahkan ke kamar tidurnya. Tanpa cacat sedikitpun.
“Terima kasih bantuan anda. Ehm, saya sedang memanggang roti. Saya harap anda mau bergabung bersama saya, sarapan. Anggap saja balas budi.”
Aku buru-buru menggeleng, “tidak perlu nona, terima kasih. Saya hendak berangkat kerja.”
Namun Aurora ternyata juga merupakan gadis yang tidak mudah menyerah. Dia tetap membujuk, dengan wajah nan mantap. “Saya mohon, jangan menolak. Saya nanti tidak enak. Ayolah, hanya sarapan sebentar. Saya yakin anda tidak keberatan.”
Astaga, mau bagaimana lagi. Aku terpaksa bergabung dengannya di meja makan.
“Oh iya, saya belum memperkenalkan nama, saya Aurora. Lengkapnya Aurora de Laurenties.”
Aku menjabat tangannya, kami sudah tiba di meja makan. “Saya Felix. Bisakah kita tidak perlu formal seperti ini. Sampai sakit lidahku,” aku coba tertawa, mencairkan suasana. Ayolah kami sama-sama masih muda. Percakapan formal seperti itu membuatku sakit kepala.
Aurora terkekeh. “Baiklah, Felix. Senang berkenalan denganmu. Kulihat dari seragammu, kamu adalah pegawai pizza Mr. Mario yang terkenal itu.”
“Terkenal?”
“Oh tentu, kamu tidak tahu? Meski kedainya kecil, Mr. Mario memiliki banyak cabang di seluruh Italia, Turin, bahkan Roma. Kamu seharusnya bangga.”
Aku kini benar-benar tertawa. “Astaga, apa yang harus kubanggakan sebagai pengantar pizza.”
163
Perasaan Aneh
Jika ada yang menyangka setelah sarapan hari itu, sebuah hubungan yang berbau asmara melesat antara aku dan Aurora, maka sangkaan itu salah besar. Aku dan Aurora hanya sekedar dua orang manusia yang kebetulan bertetangga.
Jika ada yang berbeda setelah kami resmi berkenalan, adalah sapaan. Sekarang aku dan dia saling menyapa pakai nama. Ya, hanya itu saja. Sekedar saling menyapa “hai Felix,” dan “hai Aurora.” Sungguh tidak menyenangkan seperti yang dibayangkan, bukan?
Namun, seminggu belakangan, sapaan rutin itu seperti menghilang. Belakangan Aurora, setiap bertemu, selalu menghindarkan wajah, pura-pura berjalan cepat-cepat, lalu menutup pintu. Heran aku. Bukan karena mengapa Aurora tidak mau menyapa aku lagi, tapi karena kenapa mengapa aku harus begitu peduli pada hal tersebut. Terserah dialah, mau peduli atau tidak. Itu tidak membuatku naik gaji juga.
Sayangnya, otak dan jiwaku yang sudah tumbuh, bukan anak-anak lagi, merasakan hal yang lain. Aku belum bisa pastikan apakah yang kurasakan itu cinta, lagipula, ini bukan saatnya membicarakan soal rasa yang merepotkan semacam itu.
Apapun itu, rasa itu tetap merepotkan. Aku jadi ingin tahu, kenapa tiba-tiba Aurora mengambil langkah jaga-jaga dariku. (Ini bukan berarti kami lebih dekat sebelumnya, seperti yang kubilang, kami hanya saling bertegur sapa).
Pada suatu sore, saat pulang kerja, waktunya juga tepat, aku dan Aurora kembali bertemu. Kucoba untuk menyapanya lebih dulu, dan mengambil tindakan lebih lanjut jika dia coba menghindar.
“Hai, Aurora. Apa kabar?” aku melambaikan tangan, berhasil menyusul jalannya. Namun dia tidak menyahut sapaanku, wajahnya menunduk, menghindar dari tatapanku, sedangkan jalannya dipercepat.
“Aurora, kau baik-baik saja?” aku berusaha mengimbangi kecepatan jalannya yang sudah seperti berlari-lari kecil.
“Aurora, tunggu!”
Terlambat. Dia tidak menjawab seruanku. Langsung masuk ke rumahnya. Aku coba menyusul, mengetuk, tapi bisa kudengar dia memutar kunci pintunya. Kucoba mengetuk satu dua kali. Meminta pintu dibuka, tapi tidak ada jawaban dari dalam rumah.
Aku garuk-garuk kepala sendiri. Ada apa dengan diriku?
Kelakuanku yang berdiri di depan pintu rumah Aurora, menggedor-gedor itu ternyata berbuntut panjang.
Di meja makan, Aguero memanfaatkan hal tersebut sebagai bahan obrolan. Aku mendelik kesal, kenapa pula, Aguero harus melihat kelakuanku sore itu. Rasanya aku benar-benar menyesal telah melakukan hal tersebut. Kenapa juga aku harus peduli dengan Aurora.
“Pasti itu karena kau menyukai gadis itu, ya?” Aguero tersenyum nakal.
“Sembarangan kau, Aguero!” aku berseru, mendelik, tidak terima.
“Lihat Rubi, wajah teman kita memerah. Sepertinya dia malu. Aduh cinta pada pengalaman pertama. Selalu dahsyat kawanku.” Aguero geleng-geleng kepala.
“Tidak perlu malu, Felix. Jika kau memang suka dengan Aurora, ya sudah. Akui saja. Gadis itu memang layak ditaksir laki-laki seperti kau. Apa salahnya?” Rubi ikut berseloroh.
Aku bungkam, tidak berniat memperpanjang. Selesai makan, aku langsung ke kamar tidur. Meninggalkan Rubi dan Aguero yang berseru-seru mencegah. Aku tidak mau jadi bahan obrolan. Lagipula apanya yang cinta. Dasar aku saja yang agak aneh hari ini.
Aku memutuskan untuk menepikan masalah ini kemudian pergi tidur. Badanku lelah setelah mengantar pizza ke-20 tempat hari ini. Tidak butuh waktu lama untukku hingga terlelap.
TRANGGGG!!!!
Tidak jelas berapa lama aku tertidur sampai aku terbangun karena bunyi benda pecah itu. Alam sedang dalam fase paling sunyinya. Aku mencoba berkonsentrasi. Ada suara lain yang terdengar. Suara teriakan panik seorang wanita.
Aku belum paham bahasa Italia, tapi suara itu tidak bisa kuabaikan. Datang dari sisi kanan rumah Rubi. Jangan-jangan itu teriakan Aurora. Aku bangkit, mengecek ke jendela kaca di kamarku. Dari sini, pintu rumah Aurora terlihat.
Astaga. Tidak, aku tidak sempat lagi berhitung dengan situasi. Langsung panik, begitu melihat di depan rumah Aurora itu bergerombol beberapa orang, yang dari penampilannya saja, sudah jelas bukan orang baik. Aku membuka jendela, meloncat keluar. Siapa mereka? Jika mereka berani melakukan hal yang tidak-tidak pada Aurora, aku akan menghajar mereka satu persatu.
“BERHENTI!!!”
Seruanku membuat orang-orang yang berkumpul di depan rumah Aurora genap menatapku.
Jumlah mereka enam orang. Jumlah yang tidak banyak. Baiklah, sudah lama aku tidak melemaskan ototku. Aku siap bertarung.
164
Kamu Tidak Perlu Takut
“Siapa kau?” salah seorang dari enam orang itu mendekat. Dia memakai kaos oblong warna hitam. Tato naga terlihat di ujung lengannya. Tubuhnya berotot. Kepalanya botak. Dari kegelapan yang remang-remang ini, kutaksir umurnya kepala tiga. Teman-temannya berpenampilan hampir sama dengannya. Sangar-sangar, macam preman. Kalau orang biasa mungkin sudah gemetar berhadapan dengan mereka.
“Kalian yang siapa? Berani sekali kalian menyerang rumah seorang gadis di jam tidurnya. Tak punya sopan santun,” aku melempar kalimat provokatif. Kuda-kudaku terpasang.
“Kau, anak-anak jangan kurang ajar ya. Mau kami habisi di sini, heh?”
Aku tersenyum remeh. Dasar mereka tak tahu siapa aku. “Majulah, maka kalian akan tahu kalau aku bukan seorang anak-anak.”
Satu orang termakan provokasiku langsung maju. Satu orang ini bukan masalah besar. Bisa kubereskan dengan sekali tendangan saja.
BUKKKK, maka dia terlempar.
“Satu teman kalian sudah terkapar. Ayolah. Apakah kalian akan diam saja di sana?” aku kembali memprovokasi, tersenyum meremehkan. Lima orang sisanya kini benar-benar maju. Hendak mengeroyok.
Lima belas menit, aku bisa mengatasi mereka. Ternyata cuma mengintimidasi lewat penampilan saja mereka ini. Skill bertarungnya nol besar. Kelima-limanya orang itu terkapar di tanah.
“Hei, siapapun yang ada di dalam rumah, temanmu sudah kukalahkan. Astaga, entah perkumpulan apa ya kalian ini. Lemah sekali. Tidak ada harganya!” sengaja kuteriaki dari halaman.
Semua itu adalah taktik-taktik dalam bertarung. Ada logikanya. Memprovokasi lawan terkadang penting bagi petarung terlatih seperti aku. Memprovokasi bisa membuat orang tidak lagi berpikir jernih, mudah dilumpuhkan dengan satu dua tendangan. Khusus untuk teriakanku barusan, itu sekedar tindakan jaga-jaga saja. Siapa tahu masih ada anggota komplotan mereka di dalam, sedang menyandera Aurora. Memancingnya dengan kalimat provokatif yang tak terduga, bisa membuatnya meninggalkan sandera.
Dan ternyata semua perhitunganku tepat.
Orang ketujuh keluar dari rumah, dengan mata merah kalap. Dia memegang pisau di tangan. Sepertinya dia pemimpin komplotan. Sebab penampilannya adalah yang paling sangar. Aku memasang kuda-kuda, bersiap, semoga dia ini lebih tangguh daripada teman-temannya barusan.
BUKKK!!
BUKKKK!!!
BUKKKK!!!
Astaga, ternyata aku kecele. Hanya tiga tendangan, orang itu tidak bisa bertahan lagi. Dia terkapar ke tanah. Pisaunya terlempar. Buru-buru kuambil pisaunya. Orang itu masih sadar. Aku langsung menindihnya. Saatnya interogasi.
“Siapa kalian, heh? Benar-benar tak punya sopan santun, menyerang rumah seorang gadis.” Aku menempelkan pisau ke lehernya. Sampai kudengar dia menelan ludah. Pasti dia gentar oleh ujung dingin pisau ini.
“Apa maumu? Kami tidak ada urusan denganmu!” orang itu berseru. Pura-pura marah. Sepertinya tidak ingin kehilangan wibawanya sebagai seorang pemimpin komplotan.
“Tapi aku punya urusan dengan kalian. Dengar ya, jika kalian ingin mengusik rumah ini, maka akulah yang akan berurusan dengan kalian.”
“Kau celaka! Kau sama sekali tidak tahu siapa yang kau hadapi.”
Aku terkekeh pelan. Menunduk, mengucapkan hal ini dengan lirih selalu menyenangkan. “Memangnya siapa? Mafia? Kelompok bawah tanah? Aku tidak takut dengan semua itu. Katakan pada siapapun bosmu ya, tanyakan padanya. Apakah dia mengenal aku, namaku Felix Norton. Petarung terkuat di dunia hitam Spanyol. Jika dia cukup pintar, dia tahu berurusan denganku pasti akan merepotkan. Sekarang kalian pergilah. Muak aku melihat kalian.”
Aku melompat. Orang-orang itu sudah lari tunggang langgang. Baiklah, urusan penjahatnya selesai. Aku harus mengurus hal lain. Aurora. Astaga, semoga dia baik-baik saja.
Ketika aku masuk ke dalam rumah, mudah saja bagiku menemukan Aurora. Dia tergeletak di lantai. Pingsan. Aduh bagaimana pula sekarang. Beruntung, Aguero dan Rubi bangun tidak lama setelah itu, mungkin karena semua teriakanku. Segera menyusul ke rumah Aurora. Menunda minta penjelasan, lekas menolongku mengangkat Aurora. Kami membawa dia ke atas sofa ruang tamu. Aku melangkah ke dapur yang pernah kumasuki beberapa hari yang lalu, mencarikan air minum.
Syukurnya, Aurora sadar tidak lama setelah itu. Saat dia bangun, yang kentara betul di ekspresinya adalah ketakutan. “Siapa kalian semua, keluar!!” dia berseru.
Aku buru-buru menenangkannya. “Ini aku, Aurora. Felix. Dan ini teman-temanku. Kamu tenanglah. Orang-orang jahat itu sudah pergi.”
“Eh, mereka pergi?” Aurora melempar pandangan ke segala sudut rumahnya. Dan dia memang tidak menemukan siapa-siapa selain kami.
“Iya. Kami berhasil mengusir mereka tadi. Kamu baik-baik saja?” aku mencoba bertanya lagi.
“Eh iya, aku baik-baik saja. Bagaimana kalian bisa mengusir mereka? Mereka itu preman ganas. Tidak akan mau pergi sebelum...”
Aku buru-buru meletakkan jariku di bibir Aurora. Menyuruhnya diam. “Penjelasan lain nanti saja, Aurora. Yang terpenting kamu baik-baik saja. Kamu jangan takut. Kamu tidak perlu takut. Aku melindungimu di sini.”
Aku rasa apapun yang membuat Aurora belakangan ini jadi super waspada, pasti ada hubungannya dengan kejadian malam ini. Sementara itu Aguero tersenyum-senyum. Andai kondisi Aurora lebih baik, mungkin dia sudah bersiul-siul mengejekku.
165
Kalian Tidak Perlu Repot-repot
Kami masih di rumah Aurora sampai pukul 4 pagi.
Gadis itu masih gemetar. Tapi dia terlihat bisa mengendalikan dirinya. Dia mengajak kami ke dapur, menyalakan lampu, aku bisa menengok jam, ternyata pukul 3 pagi. Pantas saja di luar tadi dingin, dinihari di Bergamo dingin menggigit.
Dia membuatkan teh. Empat gelas teh hangat mengepul di meja makan. Padahal Aurora ingin membuatkan roti panggang, tapi buru-buru kucegah. Teh saja sudah cukup bagi kami.
“Duduklah, kamu istirahat saja, Aurora.”
“Ya, nona. Kau tahu, semakin kau bergerak, Felix akan semakin khawatir.” Aguero tertawa pelan. Aku mendelik tajam, astaga Aguero tidak pernah kehilangan selera humornya. Bahkan di jam tiga pagi sekalipun.
“Terima kasih banyak atas bantuan kalian. Sungguh aku berhutang budi pada kalian bertiga.”
“Hanya Felix, nona. Hanya dia yang bertarung. Kami datang terlambat.” Itu Rubi yang menerangkan. Dia selalu lurus.
Bola mata Aurora sempurna menatapku. “Kamu melawan mereka sendirian?” Sebagai jawaban, aku patah-patah mengangguk.
“Jadi kamu bisa berkelahi?” Aurora melanjutkan pertanyaan, sekarang terasa seperti sebuah interogasi. Sekali lagi aku mengangguk sebagai jawaban.
“Bagaimana bisa, Felix? Mereka adalah kawanan preman besar Bergamo. Astaga, kamu sekarang berada dalam bahaya yang besar juga.”
Aurora berseru panik, aku menggeleng lemah. “Aku baik-baik saja, Aurora. Kamu tenang saja.”
“Hei kamu tidak mengerti situasinya. Kamu bisa saja bertemu dengan mereka di jalan. Apalagi kamu sebagai seorang pengantar pizza, sering berkeliaran di jalan. Kamu bisa bertemu dengan mereka lalu kamu akan dipukuli. Astaga, Felix.”
Mendengar kalimat Aurora yang mengkhawatirkan aku, aku merasa agak istimewa olehnya. Ingin kusahuti kalimat Aurora, tapi Aguero lebih dulu menyahuti.
“Anda tidak perlu takut, Nona Aurora. Felix ini lebih dari jago berkelahi. Dia adalah...”
Buru-buru aku menutup mulut Aguero. Tidak, gadis seperti Aurora tidak boleh tahu seperti apa wujud Felix dari Spanyol. Tidak.
“Apa yang mereka cari di sini, Aurora?” aku memutuskan mengalihkan pembicaraan.
“Rumah ini, mereka hendak mengambil alih rumah ini.” Aurora melihat ke langit-langit.
“Rumah ini?” aku kejar kalimatnya dengan pertanyaan.
“Ah panjang kisahnya kalau kuceritakan.”
“Kalau begitu singkatnya saja. Agar Felix tahu motif mereka, agar Felix bisa melindungi tempat ini,” Aguero menyahut lagi. Mengesalkan.
“Rumah ini sebenarnya memang jatuh ke tangan mereka secara de jure. Ayahku menggadaikannya pada mafia Bergamo. Tapi aku masih bisa menempatinya. Setidaknya sampai aku punya rumah sendiri. Tapi mafia sepertinya bisa mengkhianati janji kapan saja.”
“Kalau begitu mereka bisa datang kapan saja?” Rubi kembali menyahut setelah diam menyimak beberapa percakapan.
Aurora menjawab dengan anggukan. “Benar. Dalam seminggu belakangan saja, mereka sudah datang tiga kali. Aku benar-benar waspada.”
Aku mengangguk-angguk. Aurora sudah menjawab keheranan dan kepenasaranku dalam seminggu belakangan. Baiklah. Aku memtuskan untuk terlibat dalam urusan ini. “Selama aku ada di sebelah rumahmu, aku tidak akan membiarkan mereka mengusirmu dari rumah ini, Aurora.”
“Kamu tidak perlu repot-repot, Felix. Sungguh kamu tidak perlu repot-repot.”
Aguero terkekeh. “Percuma kau cegah Nona. Tekadnya sepertinya sudah membaja. Felix akan melindungimu biarpun harus mati.”
“Sungguh aku tidak mau melibatkanmu dalam masalah, Felix. Biarlah. Jika memang nasibku terusir dari sini, biarlah. Aku rela. Aku tidak mau orang lain ikut terlibat.”
“Jika nanti kamu terusir, kamu boleh menumpang di rumahku, Nona,” tawar Rubi.
Mata Aurora berkaca-kaca.
166
Aku Bisa Menjaga Diriku Sendiri
Pagi hari, kami kembali ke rumah masing-masing. Aku mandi, Rubi mematikan lampu-lampu kemudian menata sarapan, setelah itu dia yang gantian mandi. Kami makan sarapan berdua saja hari itu. Aguero, yang memang tidak punya pekerjaan kantor (belum jelas apa pekerjaan Aguero itu), pergi ke kamarnya lagi. Tidur pulas.
“Felix, berapa orang yang kau lawan tadi malam?” Rubi bertanya lebih dulu. Raut wajahnya serius. Karena ya, memang Rubi adalah orang yang tipikalnya lebih serius ketimbang Aguero.
“Tujuh,” sahutku sambil mengunyah roti.
“Kau tahu siapa mereka?”
“Tidak, tapi mereka tahu siapa aku.”
Rubi terkejut sejenak, “maksudmu?”
“Ya, aku memperkenalkan diriku sebagai Felix Norton. Salah satu tukang pukul terbaik di dunia hitam Spanyol.”
Rubi seketika mengelap dahinya. Bulir-bulir keringatnya langsung muncul. “Astaga, Felix. Seharusnya kau tidak melakukan itu.”
“Memangnya kenapa?”
“Aku tahu kau memang berdarah panas, bisa menyerang orang kapan saja, tanpa ampun. Tapi, memperkenalkan diri, astaga kawan.”
“Memangnya kenapa?” kutanya lagi, mempertegas, “kenapa kau seperti ketakutan begitu.”
Rubi sekali lagi mengelap dahi. “Felix, biasanya, satu organisasi hitam dengan organisasi hitam lainnya, saling terhubung. Mereka saling berbagi informasi. Mereka bisa memberitahu keberadaanmu pada Dacosta atau bekas kelompok Caballeros de Madrid.”
“Kau terlalu berlebihan, Rubi.”
“Tidak, aku serius. Sekarang boleh jadi, kekhawatiran Aurora adalah benar dan wajar. Hei, bagaimana kalau kau tiba-tiba ditangkap dan dimasukkan dalam karung saat berkeliaran di jalanan Bergamo, mengantar pizza?”
Aku sempurna tertawa. “Aku bisa menjaga diriku, Rubi. Butuh lebih dari seratus pasukan bersenjata untuk menangkapku. Dan mereka jelas tidak bisa menurunkan seratus orang di jalanan protokol yang ramai. Kau terlalu berlebihan.”
“Aku hanya berjaga-jaga, Felix. Hanya berjaga-jaga.”
“Lupakan,” aku menghabiskan sarapan, hendak langsung berangkat, namun teringat sesuatu. “Oh ya, ngomong-ngomong. Kau tahu sesuatu tentang Aurora? Latar belakang keluarganya mungkin?”
Rubi menghela nafas, “itu, mungkin aku tahu sedikit. Saat membeli rumah ini di Bergamo, aku bertemu dengannya. Morgan de Laurenties. Seorang eksekutif berkelas. Bukan sekedar bertemu, aku membeli rumah ini darinya.”
Aku sempurna terkejut. “Jadi ini rumah milik ayah Aurora?” Pertanyaan itu dijawab Rubi dengan anggukan.
“Ada lagi yang kau ketahui? Latar belakang lengkapnya barang kali?”
“Tidak Felix. Cuma itu. Bahkan saat itu, Aurora belum tinggal di kota ini. Jadi aku tidak mengenal gadis itu, maupun ayahnya.”
Baiklah, itu detail kecil yang cukup mengejutkan, tapi tidak banyak berguna. Aku berangkat kerja setelah mengucapkan terima kasih pada Rubi.
Pagi itu juga, saat melintas di depan rumah Aurora, tiba-tiba suara gadis itu memanggilku. Aku berbalik, Aurora sudah berdiri di belakangku. Wajahnya pucat. Kejadian tadi malam masih membekas agaknya.
“Ada apa, Aurora.”
Aurora malah mendekat. Menatap ke wajahku dengan mata yang memelas. Memohon. “Kamu jangan menolongku Felix. Aku tidak mau kamu mendapatkan bahaya besar gara-gara terlibat dalam urusanku.”
“Tapi Aurora....”
Aurora sudah meletakkan telunjuknya di bibirku, agar aku diam. “Jangan Felix. Aku mohon. Jika kamu masih menghargai aku. Atas nama sapaan-sapaan yang kita lakukan setiap sore pulang kerja, aku mohon. Aku tidak mau kamu terlibat. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Aku mematung. Hei, bukankah itu kalimat yang tadi kuucapkan pada Rubi. Astaga.
168
Ejekan Cassano
Seharusnya, setelah Aurora bilang begitu, aku berangkat kerja, kemudian tiba tepat bersamaan dengan Mr. Mario, mendengarkan tawanya, kemudian melangkah ke dalam. Selang beberapa saat kemudian aku akan mendapatkan panggilan untuk mengantarkan pizza ke sudut-sudut kota Bergamo. Seharusnya begitu.
Hanya saja hari ini lain.
Peringatan dari Aurora berlaku secara harfiah, artinya aku harus menjaga jarak darinya. Tidak boleh dekat-dekat. Nah yang memenuhi pikiranku sekarang adalah kekhawatiran kalau dia kenapa-kenapa. Bukan apa-apa ya, beberapa jam lalu, aku melihatnya hendak diserang oleh tujuh penyerang, tujuh orang bertampang preman di jam tiga dinihari. Bagaimana aku bisa yakin dia bisa melindungi diri sendiri.
Yang lebih kukesalkan kenapa aku harus repot-repot memikirkan itu semua? Seolah-olah Aurora adalah sebuah prioritas dalam hidupku. Ayolah, dia hanya gadis biasa. Kami bertemu beberapa bulan lalu, sekedar bertetangga dan bertegur sapa. Aku menghela nafas. Gara-gara pemikiran tak bermutu itu, aku masuk kantor dengan wajah terlipat.
“Kenapa wajahmu seperti itu? Kau macam seekor kangguru yang ditinggal kapal konservasi ke daratan Australia,” Mr. Mario menyapaku, masih dengan intonasi tawanya.
“Eh tidak,” aku langsung berusaha menarik wajah terlipatku, memasang senyum, “saya hanya kurang tidur, Mister.”
“Oh kurang tidur, astaga, jangan bilang kau banyak pikiran, Felix.”
“Sepertinya begitu, Mister.”
Mr. Mario menepuk dahinya, “astaga, untuk pemuda bujangan macam kau, itu adalah kabar buruk.”
“Kenapa begitu, Mister?”
“Bagaimana tidak. Coba bayangkan, bujangan saja kau sudah punya banyak masalah, tidak bisa tidur. Apalagi kalau kau punya keluarga, tambah banyaklah masalah kau.”
Aku kembali ke wajah terlipatku. Gurauan Mr. Mario sama sekali tidak membantu.
Aku masuk ke ruang tunggu. Hari masih pagi begini, biasanya belum ada pesanan. Saat aku melongok ke dalam, ternyata Cassano sudah tiba, duduk di posisinya.
“Tumben sekali kau datang lebih dulu dariku,” aku menyapanya.
Cassano menghentikan pekerjaannya sejenak, mengusap wajah. Saat dia memalingkan wajah ke arahku, kentara betul kalau dia juga kurang tidur. Matanya memerah.
“Datang lebih pagi apanya. Aku tidak pulang sejak tadi malam. Kau tahu itu.”
“Kau lembur?” sekarang aku duduk di sebelahnya. Ikut menatap layar komputer.
Cassano mengangguk, “benar sekali. Website perusahaan kita down. Aku harus memperbaikinya.”
Aku menyernit kening. Website kami rusak? Itu artinya tidak ada pekerjaan untukku hari ini? Karena semua pemesanan kami datang lewat website itu.
“Ini sudah tahap penyelesaian kerja. Sekarang aku sudah bisa agak santai. Hei, kau sepertinya juga kurang tidur.”
Aku mengusap wajah. “Kurang lebih.”
“Kau juga lembur? Ah mana mungkin. Mana ada pengantar pizza lembur. Mana ada orang yang pesan pizza pukul 2 pagi. Benar bukan?”
“Iya aku begadang tadi malam. Tentu saja bukan untuk pekerjaan.”
Cassano mengangguk. Tidak tertarik lagi membahas soal pekerjaan. Sepertinya, sebentar lagi dia akan muntah jika aku menyebutkan kata “lembur” atau “kerja”.
Kami kembali mengobrol setelah masing-masing memesan kopi. Website masih dalam tahap penyelesaian. Aku belum bisa mulai bekerja. Cassano sekarang membahas hal kesukaannya.
“Felix, ngomong-ngomong, gadis di sebelah rumahmu itu cantik juga ya.”
Aku langsung tersedak.
“Astaga, jadi kau ya, yang sudah mengincarnya. Baiklah. Yahh hilang satu target dari radarku.”
“Hei, jangan mengambil kesimpulan seperti itu,” aku berseru, kesal. Astaga, kenapa Cassano harus membahas soal “Aurora”. Aku bisa muntah lama-lama.
“Astaga, jangan-jangan kau tadi malam begadang menghabiskan waktu bersamanya. Oh indah sekali kalau begitu, Felix.”
“Tutup mulutmu, Cassano!”
Sepagian itu kami sudah bertengkar seperti anak kecil.
168
Jangan Ke Situ
Setelah selingan kopi dan mengobrol denganku, Cassano kembali bekerja dengan layar menyala. Dia harus memastikan semuanya berjalan dengan lancar agar sistem website bisa jalan kembali. Terkadang aku kasihan dengannya, harus bekerja sendirian. Tapi itulah Mr. Mario, selalu bilang kalau kedai pizza-nya itu kecil, tidak butuh banyak karyawan, padahal kedainya itu besar sekali, cabangnya menggurita di seluruh Italia.
Selepas pukul 9 pagi, website kami kembali pulih dan orang-orang mulai memesan. Aku mengambil topiku di pojok ruangan. Mengambil daftar alamat yang telah diprint. Total sembilan buah pesanan.
Cassano yang memang sedang kambuh sifat isengnya (mungkin karena semalaman dia lembur sehingga perlu hiburan), sempat melirik daftar yang kupegang dan seketika direbutnya.
“Hei,” aku hendak mengambil kembali daftar itu, tapi ditepis oleh tangan Cassano. “Aku pinjam sebentar, Felix. Lihat, alamat terakhir itu, aku tidak salah lihat.”
“Memangnya ada apa?” aku bertanya.
“Lihat ini,” Cassano menunjuk daftar alamat itu, ke paling bawah, ke alamat nomor sembilan. Aku lihat segera. Tertulis di sana, “Agnolia and Co.”
“Apa itu, Cassano?”
“Coba kau cek di maps online.”
Aku buru-buru mengecek, sesuai arahan Cassano. Ternyata Agnolia and Co itu adalah sebuah kantor hukum. Kantor kumpulan pengacara.
“Kau masih tidak mengerti?” Cassano mengangkat alisnya. Aku menggeleng sebagai jawaban. Cassano menepuk dahinya. “Itu kantor pengacara ternama di Bergamo, Felix. Tidakkah kau mengerti?”
“Tidak. Aku tidak berminat jadi pengacara atau apapun itu yang berhubungan dengan hukum.”
Cassano semakin geleng-geleng kepala, “jadi kau belum tahu apa pekerjaan Aurora de Laurenties, tetangga sebelah rumahmu itu?”
“Belum, memangnya dia jadi apa?”
“Astaga alangkah bodohnya kau, Felix. Mengakunya target, tapi kau tidak tahu apa-apa tentangnya? Astaga,” Cassano berdecak berkali-kali, “dia itu pengacara. Pengacara di Agnolia and Co. Jadi pesanan pizza-mu yang kesembilan, itu adalah gadismu.”
“Kesimpulanmu sungguh tidak bermutu,” aku merebut kertas itu dari tangan Cassano. Terserah dialah. Bisa saja dia hanya bicara ngelantur karena kelelahan begadang.
Namun nyatanya, aku salah. Harusnya aku mendengarkan kata-kata Cassano. Harusnya aku percaya.
Setelah menyelesaikan pengantaran delapan pesanan, sepeda motorku merapat ke halaman kantor Agnolia and Co. Langsung ke bagian penerima tamu. Bilang ada yang memesan pizza. Penerima tamu itu meminta aku menunggu sejenak, mereka harus memanggil orang yang memesan. Aku mengangguk, bukan prosedur biasa, tapi bisa dimaklumi. Mungkin begitu prosedur seorang pengacara.
“Nona Aurora de Laurenties, pesanan pizza anda sudah sampai. Silahkan diambil di ruangan depan.”
Astaga. Dia ternyata memang bekerja di tempat ini. Lebih buruk lagi, dialah yang memesan pizza. Kalau begini, cepat atau lambat, dalam beberapa menit, aku akan bertemu dengan Aurora.
Astaga. Agnolia and Co. Seharusnya aku tidak pernah ke situ.
169
Mengenal Morgan de Laurenties
Astaga, sulit bagiku mendeskripsikan bagaimana rasanya bertemu dengan Aurora pagi itu di kantornya. Agak aneh kurasa. Baru tadi pagi dia bilang hendak menjaga jarak dariku, tidak ingin aku ikut campur, tapi sekarang dia malah memesan pizza dariku.
Aurora sendiri menyikapinya dengan biasa. Tersenyum. Amat profesional. “Terima kasih, Felix. Maaf, aku lupa kalau kamulah yang mengantarkan pizza dari kedai Mr. Mario. Ini uangnya.”
Aku menerima uang itu, dan segera menyadari ada sesuatu yang terselip diantara lembarang uang itu. Secarik kertas. Kemudian kami saling melempar bahasa isyarat.
Apa ini?
Baca saja, begitu isyarat wajahnya memerintahkan padaku. Aku menghea nafas. Astaga, jangan-jangan Aurora sengaja memesan pizza demi mengirimiku pesan singkat ini. Aku membacanya setelah keluar dari gedung Agnolia and Co.
“Malam ini datang ke rumahku ya, makan malam. Lewat pintu belakang. Jangan bilang siapa-siapa. Oh ya, aku minta maaf. Salam, Aurora de Laurenties.”
Aku geleng-geleng kepala. Benar-benar gadis yang aneh. Tadi pagi dia bilang aku jangan dekat-dekat dengan dia. Sekarang dia malah mengundangku makan malam di rumahnya pula. Baiklah. Apapun itu, sepertinya Aurora benar-benar ingin aku datang ke rumahnya. Buktinya sepulang kerja dia kembali melambai padaku. Memberi isyarat.
“Felix, kertas tadi, jangan lupa.”
Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Tidak sulit sebenarnya datang ke rumah Aurora mengendap-endap lewat pintu belakang. Tidak susah. Yang susah itu adalah bagaimana aku keluar dari rumah, tanpa menarik perhatian dua temanku, apalagi Aguero yang sok sibuk itu.
“Hei, mau kemana kau, Felix? Alamak pakai baju bagus juga.” Aguero sudah menyapa dari kamarnya yang terbuka saat aku lewat. Aku berhenti sebentar, menyahut, “bukan urusanmu.”
Aku cepat-cepat keluar dari rumah. Mengendap-endap ke rumah Aurora. Ke pintu belakang. Ternyata pintu itu sudah terbuka. Kucoba mengetuk pintunya, menandakan aku sudah datang. Terdengar sahutan, “masuk saja, Felix. Aku di dapur.”
Akupun masuk.
Pintu belakang ini terhubung ke dapur dan ruang makan Aurora dengan sebuah lorong kecil. Ketika aku sampai di ruang makan, makanan lezat sudah menunggu di atas meja.
“Maaf ya, seadanya. Agak mendadak juga.” Aurora yang sedang menata cangkir, tersenyum ke arahku. Semakin aku heran.
“Aurora, apa sebenarnya yang kau rencanakan? Jujur saja, aku bingung. Makan malam ini, mengendap lewat pintu belakang, pesan lewat kertas. Apa maksudmu?”
Aurora menggaruk-garuk rambut ikalnya yang berwarna pirang itu. Masih memainkan senyum manis. “Duduklah dulu, Felix. Akan kujelaskan sambil makan malam. Yahh, kuharap kamu tidak keberatan kuundang dengan cara yang aneh begini.”
“Sebenarnya tidak,” aku menarik kursi, duduk. Aurora juga menarik kursi, kami duduk berseberangan. “Aku hanya heran saja.”
“Mari ambil makanannya dulu, setelah itu akan kujelaskan.”
Aurora memasak pasta. Bukan menu istimewa, tapi aroma sausnya sungguh sulit untuk ditolak. Aku mulai menyendok. Aurora juga. Satu sendokan pertama kami habiskan tanpa bercakap-cakap.
“Aku minta maaf,” Aurora akhirnya membuka cakap lagi, matanya menunduk ke arah mangkuk pasta.
“Minta maaf untuk?”
“Untuk kata-kataku tadi pagi. Tak seharusnya aku mengucapkannya. Kamu sudah menolongku, dan aku menyuruhmu menjauh, sok kuat menghadapi semuanya sendiri. Aku minta maaf. Seharusnya aku tak mengucapkan itu padamu.”
Aku menaikkan alis. Meski permintaannya tadi pagi itu memang membuatku sedikit terkejut dan tak karuan, tapi ayolah, tentu saja aku memaafkan Aurora. “Tidak masalah, jangan kamu pikirkan. Mungkin saat itu kamu hanya sedang lelah, bingung, atau bagaimanalah itu.”
“Ah ya, kamu benar Felix. Aku memang bingung dan lelah. Terima kasih ya, sudah menolongku. Mungkin lain kali, aku akan membutuhkan pertolonganmu lagi. Mungkin itu yang seharusnya aku katakan bukan?” Aurora tertawa kecil.
“Sama-sama. Aku akan dengan senang hati membantumu. Kita bertetangga, jangan sungkan. Jika para preman kasar itu datang lagi ke sini, aku akan membereskan mereka.”
“Aku pasti membutuhkan bantuanmu untuk melawan mereka. Tapi kamu harus berhati-hati. Boleh jadi yang datang selepas ini, lebih jago dari mereka yang datang kemarin.”
Aku mengambil air sejenak, rasa tersendat pasta di kerongkonganku karena percakapan ini. Percakapan intens pertamaku dengan Aurora.
“Kamu tenang saja. Bahkan jika ketua preman Bergamo sekalipun yang datang, aku akan melawannya. Kalau kamu mau tahu, beberapa bulan yang lalu, aku masih berada di Spanyol, bertarung dengan ketua mafia terbesar di negara itu. Dan aku menang. Kamu tidak perlu cemas.”
Aurora mengerjap-ngerjapkan matanya. “Sungguh? Kamu nampaknya lebih dari jago berkelahi, Felix. Dimana kamu belajar?”
“Dari guruku, namanya Sergio. Di Spanyol sana.”
“Oh ya, jadi kamu orang asli Spanyol. Dari mana, Madrid, Barcelona, atau Sevilla?”
“Madrid.”
Aurora mengangguk-angguk. “Kalau begitu aku bisa mempercayaimu.”
“Oh ya, Aurora, aku boleh bertanya sesuatu?”
“Silahkan.”
“Jadi apa sebenarnya masalahmu dengan para preman itu?”
Aurora nampak terkejut dengan pertanyaanku barusan. “Sungguh kamu ingin tahu?”
“Kalau kamu tidak keberatan. Kupikir aku perlu detail informasi mengapa kamu diincar oleh mereka.”
“Agaknya kamu benar, Felix. Kamu berhak tahu. Baiklah akan kuceritakan. Sedikit saja ya, soalnya cerita ini sangat panjang.”
“Aku akan mendengarkan.”
Kemudian Aurora bercerita.
Rumah itu adalah milik ayahnya, Morgan de Laurenties. Seorang eksekutif di Bergamo. Mulanya Aurora dan ayahnya, Morgan, hidup berkecukupan. Keluarga mereka terpandang. Dihormati semua orang. Puncak kesuksesan Morgan, adalah berhasil menguasai bisnis properti di Bergamo. Dia memiliki belasan rumah pribadi yang tersebar di Bergamo, bahkan di seluruh distrik Lombardia.
Seperti halnya orang-orang kaya lainnya, Morgan dikelilingi banyak musuh. Dia tidak beruntung, karena salah satu musuhnya itu, adalah kelompok mafia Bergamo. Para penjahat itu menjalankan siasat untuk meruntuhkan kekuasaan Morgan de Laurenties. Lima tahun lalu, tepat setelah Aurora mulai bekerja sebagai pengacara, Morgan, ayahnya, “disingkirkan” dengan keji oleh para mafia. Dengan intrik-intrik yang licik, belasan properti dan harta kekayaan Morgan juga berhasil disita oleh mereka. Sehingga tinggallah rumah ini (rumah yang ditempati Aurora) menjadi satu-satunya harta yang tersisa.
“Mereka tidak berani mengambilnya dengan cara licik, karena tahu aku punya cukup kecerdasan untuk membalikkan usaha mereka itu. Aku adalah pengacara. Tapi, mereka tidak perlu pakai cara licik. Mereka pakai kekerasan pun, masih bisa. Dalam beberapa bulan terakhir, seperti kubilang, entah sudah berapa kali aku diserang. Hidupku di Bergamo ini seperti di ujung tanduk.”
Aurora menangis. Aku mengambil tisu kemudian meminta izin untuk mengelap air matanya.
170
Serangan Kedua
Makan malam dengan Aurora telah membawa banyak dampak. Sekarang, hubungan kami bisa lebih dekat. Aku sering (sengaja) berbarengan dengan Aurora, mengantarnya sampai ke Agnolia and Co, baru pergi ke kedai Mr. Mario. Alasan yang kusampaikan pada Aurora adalah aku ingin memastikan dia sampai di kantornya dengan selamat. Sedangkan alasanku pada Mr. Mario, karena sekarang aku nyaris selalu datang terlambat, kusampaikan bahwa aku memelihara hamster.
Terkadang untuk mengarang alasan dengan Mr. Mario yang nyentrik, alasan itu haruslah nyentrik pula.
Aku juga sering berbarengan pulang dengan Aurora. Kalau yang ini hampir setiap hari, sebab jadwal kami memang tepat sama.
Malam ini, aku harus lembur. Banyak pesanan pizza. Pukul 9 malam baru bisa meninggalkan kedai. Mr. Mario menawarkan aku kendaraan pulang, tapi aku menolak. Aku lebih suka berjalan kaki. Kali ini aku harus cepat-cepat. Lapar. Tidak perlu menunggu Aurora karena dia sudah pasti pulang sore tadi. Namun...
“Felix!”
Tiba-tiba terdengar suara perempuan berseru dari belakangku. Aku kenal suaranya. “Lho, Aurora? Kenapa kau ada di sini?”
“Huft, kebetulan sekali ya. Kamu lembur?”
Aku mengangguk, “dan kamu? Kenapa pulang selarut ini? Apakah pengacara juga punya jadwal lembur?”
Aurora menggeleng, “bukan begitu, tadi ada pekerjaan saja. Mengarsipkan berkas-berkas lama. Banyak sekali. Jadi aku terpaksa pulang malam. Sempat khawatir juga aku pulang selarut ini. Untungnya ternyata kamu lembur. Kurasa sekarang aku tidak perlu cemas lagi.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan, Aurora.”
Namun ternyata, aku salah. Sepenuhnya salah.
Sebelum kami sampai di depan rumahnya, tiba-tiba dari balik salah satu semak, muncul tiga orang, langsung menerkamku. Aku tidak siap, berhasil mereka ringkus. Sebilah pisau tajam mereka tempelkan ke leherku.
“FELIX!” Auror berseru.
“Lari Aurora. Waspa... UKH!”
“FELIX!”
Aku mengerang kesakitan. Satu orang di depanku sudah menendang perutku. “Kurang ajar kau,” dengusku.
“Itulah akibat kau berani ikut campur urusan bos kami.”
“Sebentar lagi kau akan kubalas.” Aku balik mengancam, tatapan mataku waspada penuh. Masalahnya pisau yang ditempelkan di leherku ini tidak bisa dianggap enteng. Aku harus berhati-hati. Pisau itu menempel semakin erat setiap aku bernafas.
“Sebaiknya kau tidak macam-macam,” ancam orang itu.
“Apa yang kalian inginkan? Kenapa menyerang Felix?” Aurora melempar tanya, setengah membentak.
Orang yang barusan menendang perutku, orang ketiga, berbalik ke arah Aurora. “Ah nona, hari ini kami ditugaskan untuk membereskan orang ini. Bukan berurusan denganmu. Sebab bos tahu, begitu orang ini dibereskan, mengurusmu adalah hal yang mudah saja.”
Kurang ajar.
Aku tahu, aku harus segera membereskan hal ini. Mereka memang bersenjata, tapi Buku Villio Saravejo memiliki banyak trik yang bisa digunakan untuk sekedar mengurus orang-orang bersenjata. Kalian akan lihat sebentar lagi, orang jahat.
BUKKKKK!!
“EH?”
BUKKKKK!!!
Dua kali. Tanpa sempat pisau itu bergerak, benda itu sudah terbang ke udara. Terlempar ke semak-semak. Aku baru saja meloncat berputar secara vertikal, menendang ke arah atas, membuat pisau itu terlempar. Begitu pisaunya kulempar, aku bisa menendang dua orang itu sekaligus tanpa resiko.
Cukup satu tendangan, sudah cukup fatal. Dua orang itu pingsan. Berarti tinggal satu orang. Satu orang yang menendang perutku tadi.
Sebelum dia sempat menangkap Aurora, hendak menyanderanya mungkin, aku sudah terbang. Menghadiahkan satu tendangan pada orang tersebut. Orang itu terlempar, tersungkur, pingsan dengan wajah “penyok”.
“Sudah kubilang, ini urusan mudah saja, Aurora.”
171
Tawaran Mematikan
Makan malam kami malam itu terpaksa dilakukan pukul 10 malam. Rubi dan Aguero tepekur di meja makan, membiarkan sup hangat menjadi dingin. Ternyata mereka menungguku. Astaga, aku menepuk dahi atas jawaban jujur dari Rubi tersebut.
“Itulah kau, Felix. Kami di sini menunggumu, eh kau malah asyik senang-senang di luar sana. Bersama gadismu itu. Jangan-jangan dia malah sudah makan malam di salah satu restoran berbintang.” Aguero menyambutku di meja makan dengan komplain khasnya, sambil tertawa.
Aku menggeleng, “aku belum makan, Aguero. Tadi cuma sekedar pulang bareng saja dengan Aurora. Tidak ada makan malam.”
“Belum,” Aguero menyeringai, “boleh jadi nanti Felix ini malah pindah ke rumah Aurora, mereka bisa tinggal di sana berdua, dan kita terlupakan, bagaimana menurutmu, Rubi.”
“Jangan dengarkan Aguero, Felix. Sepertinya dia cemburu melihat hubungan dekatmu dengan Aurora.”
Aguero mendelik. Aku buru-buru menepis topik. Memfokuskan diri pada sup yang sudah dingin ini. Segera makan malam. Bahkan aku tak sempat berganti pakaian. Kasihan dengan Rubi dan Aguero yang sudah menunggu berjam-jam.
Namun ternyata, kami masih belum bisa makan malam. Sebuah ketukan di pintu menginterupsi.
“Astaga, siapa lagi itu. Tidak tahukah dia, kita baru saja mau mulai makan malam di sini,” Aguero berdecak, mendengus, kesal sekali dia.
Aku berdiri, mengecek siapa pula yang bertamu malam-malam begini. Apa jangan-jangan Aurora? Hendak mengirimkan makan malam, ucapan terima kasih. Boleh jadi seperti itu.
Tapi aku kecele. Yang datang bukan Aurora. Bukan pula orang yang kukenal. Namun aku bisa pastikan, mereka tidak bermaksud baik. Ada setidaknya empat orang kekar di luar sana, dan satu orang gemuk pendek. Aku bisa mengintipnya dari balik jendela satu arah.
Siapa mereka? Aku akan segera tahu, lekas membukakan pintu.
“Benarkah ini kediaman Felix Norton?” orang gemuk kecil pendek itu langsung bertanya begitu pintu terbuka.
“Benar, saya sendiri, Felix Norton.” Aku, dengan alis terangkat, bingung, menjawab. Orang itu manggut-manggut. “Boleh kita masuk? Sepertinya sofa di sana cukup empuk?”
Aku menelan ludah. Orang ini pasti bukan orang biasa. Intonasi suaranya mengandungi kalimat yang luar biasa kuat. Tak bisa dibantah. Aku mengizinkan mereka masuk, duduk di sofa yang empuk. Ada tujuh sofa di ruangan tamu rumah Rubi. Lima sudah diisi oleh mereka.
“Sekarang panggilkan dua temanmu itu, Felix. Baru setelah itu, kita bicara.”
Sekali lagi, nada suaranya tidak bisa kubantah. Terpaksa kupanggil Rubi dan Aguero (yang dengan muka masamnya keluar menyambut tamu).
“Siapa kalian, tuan-tuan?” Rubi bertanya. Dia tuan rumahnya. Segera duduk. Aku juga duduk. Hanya Aguero yang berdiri. Sempat-sempatnya menyemprot. “Semoga pembicaraan ini penting, karena kami harus menunda makan malam demi menyambut anda semua.”
“Oh begitu, ah maaf, tapi tentu saja pembicaraan ini sangat penting,” orang gemuk kecil pendek itu mengangguk-angguk, “aku memperkenalkan diri dulu, aku Pazzari. Giacomo Pazzari. Aku adalah bos kelompok Il Tridente di Bergamo, Trisula Bergamo. Nah begitu kalian mendengar nama dan jabatanku, tentu saja kalian akan menganggap pembicaraan ini lebih penting bukan? Kurasa tidak masalah jika kita berbicara setengah jam ke depan bukan? Makan malamnya bisa menunggu ya kan?”
Gaya orang ini benar-benar memuakkan untukku.
“Langsung ke intinya saja, mister.” Aku menyela. Tak sabaran. Mereka mafia, pasti ini mafia yang meneror Aurora. Kurang ajar sekali.
“Ah Mister Felix Norton. Kebetulan urusan saya memang anda. Saya ingin memberi tawaran, pada anda, juga pada dua teman anda. Saya tahu, kalian begitu hebat, berpengalaman, tangguh dalam perkelahian, ya, kalian punya semua itu. Hei, dalam dua hari terakhir, sepuluh orang anggota kelompokku yang kau habisi. Alangkah berbahayanya kalian untuk kelompokku. Nah, sebelum urusan ini semakin panjang, semakin rumit, aku memutuskan turun tangan langsung. Aku menawari kalian ikut kelompokku, Trisula Bergamo. Bagaimana? Kalian pasti bisa jadi aset organisasiku yang berharga.
Rubi dan Aguero terdiam. Deja vu pasti sedang berputar di kepala mereka. Tidak apa. Biar aku yang menjawab.
“Dengan segala hormat, Mister Pazzari, aku menolaknya, dan teman-temanku juga pasti menolak. Kami tidak akan bergabung dengan kelompok anda. Aku tetap berdiri di sisi Aurora de Laurenties.”
Pazzari tertawa dengan keras. “Rupa-rupanya kau jatuh cinta dengan gadis itu ya. Astaga, tapi ini bukan drama telenovela Spanyol. Sebaiknya kalian mendengarkan dulu apa resikonya jika kalian menolak tawaranku.”
“Apa memangnya?”
“Kalian akan ditangkap.”
“Aku tidak bisa ditakut-takuti.”
Pazzari menyeringai, “bukan olehku, bukan oleh Trisula Bergamo. Tapi olehCaballeros de Madrid. Satu bulan yang lalu, Dacosta, sang pemimpin kelompok itu sudah pulih dari cideranya. Kalian tidak akan lupa dengannya bukan?”
Aku, Rubi dan Aguero sempurna menelan ludah. Nama itu, orang itu, ternyata dia belum habis.
Pazzari melanjutkan kalimatnya, “kalau kalian menolak bergabung, aku akan melaporkan keberadaan kalian pada Dacosta. Dia pasti akan sangat senang. Tapi jika kalian ingin bergabung, boleh jadi aku akan ampuni kalian, mungkin juga Dacosta akan mengampuni kalian. Dan kalian bisa membantuku mengambil alih rumah itu dari tangan Aurora de Laurenties.”
“Aku tidak tertarik. Apapun itu, aku tidak akan menyakiti Aurora.”
“Walaupun harus menghadapi Dacosta?”
“Iya,” jelas sekali suaraku barusan terdengar ragu. Nama itu membuatku gemetar.
Pazzari tertawa lagi. “Pikirkanlah. Aku beri kalian waktu sampai pukul 1 dinihari. Bicarakan tentang tawaranku. Pikirkan baik-baik. Aku akan menunggu di markasku. Ini alamatnya.” Pazzari meletakkan secarik kertas di atas meja, kemudian dia berdiri, hendak beranjak pergi.
“Ingat, jika kalian tidak muncul sampai pukul 1 dinihari, siap-siap besok kalian akan menghadapi Dacosta dan Caballeros de Madrid.”
Pazzari dan empat anak buahnya meninggalkan rumah, menyisakan lengang, helaan nafas, dan perasaan bingung. Bahkan Aguero kehilangan selera lucunya.
Urusan ini jelas tidak sederhana.
172
Rencana Melarikan Diri
Dacosta. Nama itu benar-benar mengerikan. Aku, Rubi, dan Aguero tidak fokus lagi menatap sup, apalagi sup itu sudah dingin, tidak ada satupun orang yang berminat meneruskan makan malam. Semua fokus dengan satu nama itu saja.
Dacosta.
“Siapa sangka dia masih bisa lolos dari maut,” Aguero tidak tahan lagi, dia bangkit berdiri, memilih mondar-mandir di ruang makan. Gelisah bukan main.
Aku garuk-garuk kepala. Rubi menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak ada yang bersemangat. Semua orang bingung.
“Seharusnya aku membunuhnya hari itu. Seharusnya aku sempat menembak kepalanya sebelum kita kabur hari itu. Seharusnya...”
“Itu bukan salahmu, Aguero. Tenanglah,” Rubi menyela. Suaranya terdengar jengkel.
“Situasi kita sekarang benar-benar buruk. Ini hampir pukul 11 malam. Kita hanya punya dua jam untuk memutuskan.”
“Dua jam untuk melarikan diri.”
“Melarikan diri?” aku melirik ke Rubi. Dia sudah terpikir untuk melakukan itu? Apakah dia selalu punya rencana-rencana cadangan dalam kepalanya itu?
Rubi menyingkirkan tangannya, masuk ke mode serius. “Apalagi rencana kita? Tentu saja kita harus melarikan diri. Bukankah kau tidak sudi bekerja sedetik pun di bawah organisasi yang menindas Aurora.”
Aku memukul meja pelan. Situasi semakin rumit karena keberadaan Aurora.
“Aku tidak akan meninggalkan negeri ini.”
Rubi dan Aguero mendelik ke arahku, setengah tidak percaya. Aguero buru-buru mendatangiku, matanya marah, “kau dengar ya, Felix. Kita mustahil melawan Dacosta sekarang. Satu-satunya kesempatan kita menang adalah dengan serangan kejutan. Jelas, kita tidak punya kesempatan itu sekarang. Kita harus lari.”
Aku menggeleng kuat. Aku tidak akan meninggalkan Aurora. Aku sudah bersumpah akan terus melindunginya.
“Astaga Felix. Situasinya jadi semakin rumit kalau begini. Kau jangan menambah pening kepalaku.”
Rubi yang berkepala dingin masuk, menengahi. “Baiklah. Kita urus Aurora itu nanti-nanti. Entah kita ajak kabur atau bagaimana. Yang terpenting, apakah kita sudah sepakat, melarikan diri dari negeri ini?”
Aguero mengangguk mantap. Aku tidak, terdiam.
“Felix, bagaimana denganmu.” Rubi mendesak. Aku tetap diam. Aku lebih suka mati daripada meninggalkan Aurora dicabik-cabik oleh mereka.
“Baiklah. Kita akan ajak Aurora melarikan diri. Kalau dia tidak mau, kita culik saja dia. Itu bisa diurus. Yang terpenting, apakah kau sudah punya rencana, Rubi?” Aguero menyela, kesal.
“Masalah melarikan diri, itu mudah. Tapi menentukan tujuan, nah itu yang jadi masalah. Aku rasa kalau kita kabur ke Paris atau Berlin atau kota lain di Eropa Barat, kita masih belum aman.”
“Bagaimana kalau kota-kota di Eropa Timur. Budapest, Buda, Wina, atau yang lain. Sepertinya akan menyenangkan.”
Rubi menggeleng, “itu bukan keputusan baik, Aguero. Tidak. Eropa Timur tidak ramah untuk kita. Yang ada kita malah terlibat masalah lagi.”
“Lalu kita harus kemana?” aku menyela, memutuskan untuk ikut dalam pembicaraan. Menepikan dulu masalah Aurora.
“Jangan ke negara Inggris, koloni Inggris atau negara Asia. Tak suka aku.” Aguero langsung menanggapi.
Rubi merenung sejenak. “Berarti pilihannya tinggal Amerika Latin.”
“Nah itu baru terdengar menyenangkan,” untuk pertama kalinya, Aguero terlihat bersemangat, “sini aku lihat peta.”
Rubi buru-buru memukul tangan Aguero. “Aku yang memilih kali ini. Kurasa kota ini akan bagus jadi tempat tinggal kita.”
Rubi menunjuk salah satu kota di daratan Peru. Itulah kota Cajamarca.
“Apa yang kita cari di sana?” Aguero menyernit kening.
“Percayalah padaku, itu kota yang menyenangkan.”
Aguero mengangguk, “baiklah. Ayo kita lakukan. Lagipula, aku selalu percaya dengan apapun penilaian yang kau buat, Rubi. Baiklah, segera kau pesan tiket dengan identitas samaranmu itu.”
Aku berdiri. Melakukan hal terakhir.
“Hei, mau kemana kau Felix?”
“Tentu saja mencari Aurora. Aku tidak akan membiarkan dia sendirian tertinggal di negeri ini.”
“Astaga, kau memang tak bisa pisah dengannya, Felix.” Aguero sudah kembali terkekeh. Kembali ke kebiasaan lamanya.
Itulah malam terakhir kami di Bergamo. Semua berubah begitu cepat, dan berubah lagi, beberapa jam ke depan.
173
Aku Mencintaimu, Aurora
Pukul sebelas lewat 45 menit. Seperempat jam lagi menjelang tengah malam. Tersisa 1 jam lebih lima belas menit bagi kami untuk berangkat ke bandara.
Persiapan sudah selesai, koper-koper telah dikemasi, tiket sudah dibeli dengan taktik Rubi, ternyata dia punya identitas lain di luar negeri, bisa memesankan tiket untuk kami tanpa ketahuan. Rubi sangat cerdas, esok lusa kurasa dia akan jadi orang kaya.
Sementara itu, seisi rumah juga sudah dikosongkan oleh Aguero. Dia memastikan tidak ada jejak yang boleh tersisa. Jejak yang boleh jadi, dijadikan kelompok Trisula Bergamo untuk mengejar kami, atau lebih buruk, Dacosta yang mengejar kami.
Tinggal tugasku yang tersisa, mengajak Aurora pergi dari tempat ini. Sebenarnya aku ingin mencari cara terbaik melakukan hal ini, dia pasti sedang tidur nyenyak. Seharusnya aku mencari cara agar dia bisa bangun dulu, menghela nafas dan berpikir. Tapi Aguero keburu melotot padaku.
“Cepatlah, Felix. Kita hampir kehabisan waktu. Kau mau jemput gadismu itu, atau tinggalkan saja dia. Hanya itu pilihan kita. Kita tidak punya waktu untuk drama telenovela.”
Gara-gara bentakan Aguero itu, aku terpaksa nekat memanjat langsung ke jendela kamar tidur Aurora. Aku sudah menandai ruanganku sejak hari dimana aku membantunya mengangkat lemari. Dengan mudah aku berhasil memecahkan kaca jendela. Hei, aku pernah menjadi bagian dari dunia hitam. Tindakan tak sopan itu dengan mudah aku lakukan.
Aurora tentu saja langsung terbangun, sebelum dia sempat berteriak, aku langsung bergerak cepat. Segera menyalakan lampu. Segera menyuruh Aurora menenangkan diri. Tidak perlu berteriak. Dan yang terpenting, jangan membuat keributan.
“Astaga Felix, kenapa kamu tiba-tiba ada di sini. Jam berapa ini. Apa yang kamu pikirkan!” Aurora berseru gemas. Aku tidak menjawab, naik ke atas tempat tidur. Duduk di sebelah Aurora. Kontan saja, Aurora semakin panik.
“Apa yang kamu lakukan, Felix. Jangan bertindak macam-macam. Atau kamu akan tahu...”
Aku bergegas meletakkan tangan di depan bibirnya. “Sudah, kamu tenang dulu. Aku tidak bermaksud jahat atau cabul. Maukah kamu mendengarkanku, Aurora?”
Nada suaraku begitu mantap. Aurora tidak punya pilihan lain selain mendengarkan. “Semoga ini sesuatu yang penting, Felix.”
“Sangat penting, Aurora. Sangat penting. Kami akan meninggalkan negeri ini. Musuh lama kami, sudah menemukan jejak kami lagi. Kami harus pergi. Sekarang juga. Pergi ke luar negeri.”
Aurora ternganga. “Kamu mau pergi, Felix. Kamu mau meninggalkan aku di sini? Eh maksudku, kenapa begitu mendadak. Tidak bisakah kalian tinggal di sini lebih lama.”
Aku menggeleng, lihatlah, wajah Aurora begitu khawatir. Mana mungkin aku meninggalkan gadis ini sendirian di Bergamo. Tanpa pelindung.
“Kami tidak bisa menundanya lagi, Aurora. Batas waktu kami hanya sampai pukul 1 dinihari. Kurang lebih satu jam lagi.”
“Apakah kamu tidak bisa melawan mereka, Felix. Bukankah kamu hebat dalam berkelahi?”
Aku menggeleng lagi, “tidak bisa. Mereka terlalu kuat untukku. Kami tidak punya kesempatan untuk melawan mereka. Lebih baik lari.”
“Kamu mau meninggalkan aku di sini, sendirian?” akhirnya Aurora mengucapkan pertanyaannya. Aku tersenyum. Saatnya menyampaikan rencanaku.
“Karena itulah aku datang ke kamarmu malam ini. Aku ingin membicarakan hal ini. Walaupun yahh, mendadak.”
“Kamu mau mengucapkan selamat tinggal?”
Aku garuk-garuk kepala. Ayolah, bagaimana aku mengatakan hal ini ya.
“Aku ingin kamu ikut dengan kami, Aurora. Pergi meninggalkan negeri ini. Aku tidak ingin meninggalkan kamu sendirian di negeri ini. Kamu harus ikut bersamaku. Kita bisa memulai hidup yang baru di luar sana.”
Aurora terpana. Sebelum dia sempat menyahut, aku sudah melancarkan bujukan pamungkas.
“Kamu harus ikut, Aurora. Susah bagiku untuk meninggalkanmu di tempat ini. Susah bagiku untuk berpisah denganmu. Karena, aku mencintaimu, Aurora.”
174
Penyergapan dalam Mobil
Berkat kalimatku yang amat mantap dan mengejutkan itu, termasuk pengungkapan cinta, kalimat-kalimat harapan, Aurora akhirnya menurut. Dia mengangguk.
“Aku ikut, Felix. Beri aku waktu 15 menit untuk berkemas.”
Aku mengiyakan. Kemudian turun. Di halaman rumah kami, Aguero sedang berdiri, mematung. Seperti mengawasi keadaan. Aku menepuk dahi. Baru sadar satu hal, bagaimana cara kami pergi ke bandara, tanpa kendaraan?
“Ah itu masalah mudah. Rubi sedang mengurusnya. Oh ya, mana gadismu? Apakah dia benar-benar akan ikut?” Aguero menyahutiku, sedikit kesal sepertinya.
Aku mengangguk untuk pertanyaannya. “Aurora sedang bersiap-siap. Sebentar lagi dia akan keluar. Tapi aku benar-benar tidak punya ide bagaimana Rubi hendak mencarikan kita transportasi ke bandara.”
Aguero tidak menjawab lagi. Suasana mulai tegang. Waktu terus berlalu. Sekarang sudah pukul 12 lewat 2 menit. Hanya 58 menit lagi waktu kami menuju bandara. Mana Rubi? Aku sama sekali tidak melihatnya. Apakah dia masih di rumah. Kucoba menanyakan hal itu, tapi Aguero menanggapi dengan berdecak. Menyuruhku diam.
Lima menit kemudian, Aurora keluar dari rumahnya. Tidak banyak barang bawaannya. Hanya tas pinggang. Dia segera bergabung denganku dan Aguero. Begitu Aurora sampai, Aguero lekas meraih telepon genggamnya.
“Semua orang sudah siap, Rubi.”
Aguero meletakkan kembali telepon genggamnya, kemudian tiba-tiba dari belakang rumah kami, terdengar bunyi deru mobil. Astaga, itu sebuah mobil yang amat berkelas. Rubi duduk di kursi pengemudi, berseru. “Lekas naik.”
Hanya ada empat kursi dalam mobil. Aguero duduk di sebelah Rubi, sementara aku dan Aurora di belakang. Di dalam mobil, lamat-lamat Aurora menghela nafas, melihat rumahnya. Aku menebak, dia sedang sedih. Jadi aku coba menghibur dengan memegang tangannya, menguatkan.
“Semua ini memang begitu mendadak, Aurora. Tapi percayalah, masa depan kita akan jauh lebih baik dengan keputusan ini. Asalkan kita melaluinya bersama-sama.”
Aurora memalingkan wajah ke arahku. Dia tersenyum. Sejenis senyum yang sangat tulus. Belum pernah aku melihat Aurora tersenyum seperti itu.
“Terima kasih, Felix. Terima kasih banyak.”
“Astaga, kalian memang seperti sepasang kekasih yang begitu kompak. Bukan begitu, Felix?”
Aku mengangguk, “aku sudah bersumpah akan melindungi Aurora. Sampai kapanpun. Demi cintaku.”
Aguero tertawa. “Hei, dia sudah menyatakan cintanya, Nona Aurora. Astaga, tidakkah kau mendengarnya.”
Aurora balas tertawa, kecil saja, “aku sudah mendengarnya dua kali.”
“Dua kali?”
“Iya. Tadi dia juga mengatakan hal yang sama di atas ranjang.”
“Di atas ranjang?” Dahi Aguero semakin terlipat. Sebagai penyelamat kondisi agar tidak terkesan cabul, Rubi mencelutuk, “oh ya, ngomong-ngomong. Nona Aurora, kamu tidak membawa perbekalan?”
“Tidak. Aku tidak sempat berkemas. Tidak apa. Aku bawa uang. Nanti semua pakaian dan tetek bengek itu bisa dibeli.”
“Atau Felix yang membelikan.”
“Itu terdengar menyenangkan.”
Aku menepuk dahi. Astaga. Bergegas memutar balikkan topik. Kalau tidak, aku akan terus jadi bahan ejekan.
“Oh ya, Rubi. Darimana kau mendapatkan mobil bagus ini?”
“Dari garasi di halaman belakang.”
Aku menyernit kening. Ada garasi di halaman belakang rumah kami?
“Itu yang kau tak tahu, Felix. Kau sibuk bekerja. Tidak pernah mengecek seisi rumah. Mana tahu kau ada garasi belakang dan sebuah mobil canggih terparkir di sana.”
Aku geleng-geleng kepala. Rubi selalu terencana. Selalu berada selangkah di depan orang lain.
“Dengan mobil ini, aku prediksi, kita bisa sampai di bandara sebelum pukul 00.30. Semoga mereka tidak mengawasi kita.”
“Aku berani jamin tidak. Mereka tidak akan punya waktu untuk menganalisis semua rencana yang kita lakukan.”
Sayangnya, Aguero salah. Belum sampai kami ke bandara. Di depan sebuah pabrik tua tak terpakai di pinggiran kota Bergamo, puluhan truk terparkir di tengah jalan. Seolah-olah memblok jalan kami. Rubi terpaksa menginjak rem. Itu jalan tunggal, tidak ada jalan pintas. Dua detik setelah kami berhenti, seseorang meloncat dari dalam truk. Pria pendek itu. Aku mengenalinya.
“Giacomo Pazzari.”
“Selamat malam tuan-tuan. Mau melarikan diri ya, kalian?”
Aguero, Rubi dan aku berpandangan. Bagaimana orang ini bisa menemukan lokasi kami begitu cepat?
Bersambung>>>>
(26 Chapter tersisa)
Bagian terakhir ditulis pada
Hari Kamis, 21 Oktober 2021
Pukul 21.09
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
