
Karnaval datang menyapa Kota J. Berbagai macam permainan dan arena hiburan digelar untuk menarik penonton meramaikan acara. Di malam puncak karnaval, digelarlah sebuah permainan berhadiah fantastis di rumah Jacob si Kaya, orang paling kaya di Kota J. Permainan itu disebut Bertahan Sampai Pagi. Sesuai namanya, itu adalah permainan survival. Seratus orang peserta terpilih mengikuti permainan itu dengan antusias. Sayangnya di rumah itu, mereka tidak sendiri. Ada makhluk misterius yang siap menyerang...
MOZAIK 1
Karnaval Kota J
Kota J sedang ramai-ramainya malam ini. Malam ini, dari sudut-sudut yang biasanya paling sunyi sekalipun, semua orang membicarakannya. Membicarakan apa lagi kalau bukan kehebohan acara karnaval. Karnaval besar diselenggarakan di pusat keramaian di Kota J. Acara tersebut menyedot atensi, perhatian setiap orang, mulai dari tua, muda, lelaki, perempuan, kelas menegah, para pengemis, orang mabuk agama, ataupun atheis. Semua, semua datang untuk memadati acara karnaval.
Karnaval di Kota J berlangsung selama seminggu. Berbagai macam tontotan menarik ada di sana. Wahana sirkus, wahana permainan anak, acara sulap, makanan-makanan lezat, sampai orang-orang yang unik diundang untuk menghibur penduduk kota J. Misalnya, di malam pembukaan seorang yang sangat unik diundang ke atas panggung pertunjukan untuk menunjukkan kebolehannya memasukkan sebutir semangka ke dalam hidungnya. Itu seharusnya trik yang mudah dipelajari, namun tentu saja, penonton bersorak-sorai, terhibur, terpesona, terhipnotis.
Tidak setiap tahun karnaval datang ke kota ini. Bahkan termasuk sangat jarang. Tahun ini, perayaan karnaval di Kota J, diprakarsai oleh seseorang yang sangat kaya lagi dermawan (hanya orang dermawan yang mau menghamburkan uangnya demi menghibur warga kota dengan pertunjukan gratis tujuh hari nonstop). Orang itu bernama Jacob si Orang Kaya. Sungguh julukan yang sangat pantas disandangnya, sebab orang itu benar-benar sangat kaya sesuai julukannya.
“Orang terkaya di belahan bumi utara,” itu sebutan lain yang tersemat ketika orang-orang memuji Jacob si Orang Kaya. Dan lihat, betapa beruntungnya penduduk Kota J, karena, bukan hanya karena Jacob memilih kota ini sebagai tempat karnaval, tapi karena dia memang warga asli kota ini. Jacob si Orang Kaya adalah warga Kota J dan bahkan ada yang bercanda bilang sebenarnya nama Kota J, dinamai berdasarkan nama Jacob si Orang Kaya.
Ah itu cerita lain.
Karnaval kota J sudah berlangsung sejak hari Sabtu, enam hari yang lalu. Besok, Jum’at direncanakan sebagai penutupan karnaval. Namun sebelum itu, pada sore Kamis, nampaknya, siapapun yang bertanggung jawab atas karnaval ini, memberikan pengumuman penting.
“Bapak, Ibu, saudara-saudara penduduk Kota J yang berbahagia. Kami, orang-orang yang berwenang atas karnaval dengan bangga mengumumkan bahwa Malam Puncak Karnaval Kota J, akan dilaksanakan pada malam ini. Akan ada pertunjukan spesial, permainan spesial, dan hadiah yang spesial menanti. Karena itu, datanglah ke Malam Puncak Karnaval Kota J, dan rebut sebanyak mungkin hadiahnya. Selamat bersenang-senang.”
Sungguh pengumuman yang aneh.
Siapa mereka, pihak-pihak yang berwenang itu?
Namun dari pengumuman aneh itulah, cerita ini akan bermula. Siapkan peganganmu.
Mozaik 2
Sosok-sosok Kunci
Meskipun pengumuman itu baru dikumandangkan pada Kamis sore, sebagian besar orang sudah mendengar desas-desus, bahwa malam puncak karnaval akan berlangsung sangat meriah. Meriah dalam artian, ada banyak sekali hadiah yang akan dibagikan.
Semua orang sudah tahu tentang bagaimana rancangan malam puncak itu. Meski tahu hanya sekedar desas-desus. Ya, malam puncak perayaan karnaval Kota J, akan dilaksanakan di rumah Jacob si Orang Kaya, dalam bentuk permainan survival. Peserta yang ikut permainan itu harus bertahan selama waktu yang ditentukan, sembari mengumpulkan banyak hadiah yang tersedia, yang disembunyikan lebih tepatnya, di dalam rumah tersebut. Mengingat betapa kayanya Jacob si Orang Kaya, “acara pengumpulan hadiah” tentu sangat menggiurkan. Sudah banyak yang mendaftar untuk bisa ikut dalam permainan itu. Saking fokusnya mereka pada hadiah, mereka lupa kalau ini akan menjadi permainan “survival”.
Dan tidak ada yang menyenangkan dari bertahan hidup.
Detail mengenai acara permainan survival itu misalnya dibicarakan oleh seorang pria berpenampilan agak norak yang sedang naik bianglala raksasa. Dia sibuk mengoceh pada pria lain yang duduk di dekatnya, walaupun sebenarnya lawan bicaranya itu tidak kenal dengan si pria berpakaian norak tadi.
“Acara itu pasti seru,” ujarnya. Tidak terpengaruh dengan keseruan naik bianglala. Pikirannya tertuju sepenuhnya pada Acara permainan survival yang akan berlangsung satu jam lagi.
Lawan bicaranya tidak tertarik menanggapi. Pria itu malah memelototi pria norak yang seenaknya mengajak orang bicara seolah sudah kenal selama belasan tahun. Ah, dan coba lihat penampilannya. Kemeja hitam panjang dengan kancing tak dikatup. Berkibar-kibar. Sangat norak untuk ukuran penduduk Kota J. Namun pria itu tersenyum seakan dia adalah orang paling tampan di dunia.
Kepercayaan diri, bagi sebagian orang, hadir tanpa perlu dipelajari.
Tepat pukul tujuh malam, di dua tempat berbeda.
Sudah banyak orang yang berkerumun di sekitar rumah Jacob si Orang Kaya. Persis seperti pengantri sembako. Sebagian besar adalah warga lokal yang bernafsu mengeruk hadiah sebanyak-banyaknya. Namun dua orang wanita yang berdiri di belakang pagar ini, tingkahnya agak lain.
Mereka berbisik satu sama lain.
“Jadi, menurutmu, bagaimana cara paling mudah masuk ke rumah itu, Thyaras?” tanya gadis berambut pirang keriting pada temannya. Patut diingat juga kalau gadis itu memiliki mata yang jernih dan tajam. Sangat elok untuk dipandang.
“Uhm, yang jelas bukan lewat cerobong asap.”
“Aku tidak sedang bercanda, Thyaras.” gadis itu mendongkol.
“Ya, ya, dan jawabanku tadi juga tepat bukan.”
“Thyaras, berhentilah bercanda. Berikan pendapatmu.”
“Ah kamu, padahal kita tahu, pendapatmu seringnya lebih bisa diandalkan, ketimbang pendapatku.”
“Menurutku, kita harus masuk lewat jalan belakang.” Gadis pirang itu menatap rumah Jacob si Orang Kaya lekat-lekat, seolah seorang narapidana akan keluar dari tempat itu sewaktu-waktu.
“Kalau begitu, kita beda pendapat. Aku lebih suka masuk lewat pintu depan. Selain lebih sopan, itu juga tidak menarik perhatian siapapun. Kamu tahu bukan, kita harus tetap terlihat biasa, jangan sampai mencolok, apalagi menarik perhatian banyak orang. Ingat misi....”
Gadis keriting itu sudah mengibaskan tangan agar temannya, Thyaras berhenti bicara, “aku hanya minta pendapat. Bukan minta saran.”
“Kamu selalu begitu.” Thyaras tersenyum simpul, mengangkat bahu pada temannya yang memakai baju seragam berwarna biru laut. Mereka berdua sebenarnya pakai seragam yang sama, dan penampilan mereka tidak norak. Seragam itu mengesankan wibawa, sebab ada tulisan “PERS” di sana.
Sementara itu, di loket pintu masuk. Pemeriksaan karcis. Masing-masing orang yang telah mendaftar beberapa hari yang lalu, memiliki karcis masuk. Kecuali orang yang satu ini. Ah tidak, dua orang. Mereka sedang terhalang di depan pintu pemeriksaan. Tidak dibolehkan lewat oleh petugas.
“Maaf Tuan, tapi peraturannya jelas. Tanpa karcis, artinya tidak boleh masuk.”
“Kau tidak tahu siapa aku?” salah satu dari dua orang itu, yang paling besar tubuhnya, gundul kepalanya, dan berseragam tentara lengkap dengan rompi anti peluru, menunjuk-nunjuk dirinya sendiri dengan bangga.
Petugas pemeriksa karcis mencoba tersenyum ramah, berusaha tidak terintimidasi dengan popor senapan yang disandang orang ini. Sepertinya, pria gundul ini, adalah tentara.
“Maaf Tuan, sekalipun kami mengenal anda, kami tetap tidak bisa membiarkan anda masuk tanpa karcis.”
“Cih, memangnya berapa harga karcisnya?”
“Eh, gratis Tuan.”
“Demi sebuah barang gratis kau menahan kami di sini? Kau tidak tahu kalau kami sedang menunaikan tugas...”
Pria satunya di belakang pria gundul bergegas menutup mulut temannya itu. Dia berbisik, “anda jangan ribut-ribut di sini, Kolonel.”
“Jangan lancang kau, Sam,” balas pria gundul itu.
Perdebatan kian memanas karena si pria gundul tentara ini tidak mau mengalah. Akhirnya, demi menghemat waktu yang sudah pukul setengah delapan malam, serta untuk menghindari keributan dan yang terpenting, menghindarkan dirinya dari resiko kenapa-kenapa, petugas karcis membolehkan mereka berdua lewat.
“Nah, seharusnya kau melakukannya dari awal. Untung saja aku belum menggunakan ini.” Pria gundul lewat sambil memukul-mukul pegangan senapannya.
Pukul 7.30 di tempat lain. Di pintu sayap kanan rumah Jacob si Orang Kaya. Atau dalam cerita ini akan disebut Pintu Anjungan Kanan, seseorang terlihat berdiri di sana. Pelan membuka pintu. Begitu masuk ke dalam ruangan Anjungan Kanan rumah itu, dia menepuk-nepuk mantelnya yang berdebu, dan merapikan topi bulatnya yang sempat miring.
“Semua gara-gara petugas keamanan ekstra itu. Seharusnya aku tadi tidak memakai jas ini. Susah untuk berlari. Tapi tak apalah. Ini sudah pukul berapa?” pria itu bicara sendiri. Kemudian dia menatap jam di dinding.
“Setengah delapan ya. Setengah jam lagi sebelum permainan dimulai. Kuharap aku masih sempat, memulai semuanya lebih awal.”
Pria itu merapikan topinya sekali lagi. Lalu dia mulai berjalan. Sebuah tongkat terlihat dipegangnya dan diayunkannya mengikuti langkah kakinya.
Dialah orang pertama yang datang ke rumah Jacob si Orang Kaya.
mozaik 3
Peraturan Permainan
Kalimat-kalimat ini diambil dari selebaran, brosur yang dibagikan oleh petugas karcis. Inilah aturan main dalam permainan survival yang akan dimainkan di rumah Jacob si Orang Kaya di malam Jum’at, malam puncak karnaval di Kota J.
Nama permainan itu adalah “Bertahan Sampai Pagi”. Jacob si Orang Kaya pastilah orang yang nyentrik karena membuat nama permainan semacam itu. Peraturan permainan ini sangat sederhana. Setiap pemain harus bertahan sampai pagi di rumah Jacob si Orang Kaya. Tidak boleh keluar dengan alasan apapun, termasuk mau buang air kecil sekalipun. Siapapun yang keluar dari rumah, entah dari bagian rumah manapun, akan dinyatakan didiskualifikasi.
Sembari bertahan di dalam rumah, peserta dipersilahkan untuk mencari hadiah-hadiah yang telah disembunyikan di dalam rumah. Mengingat betapa kayanya Jacob si Orang Kaya, hadiah-hadiah itu bernilai mahal dan sangat menggiurkan. Namun, konon, hadiah paling besar diletakkan di dalam ruangan tersembunyi yang hanya bisa dibuka dengan empat kunci.
Diulangi, empat buah kunci. Jika kunci-kuncinya tak lengkap, ruangan tak akan terbuka.
Keempat kunci itu akan disembunyikan secara acak pula di dalam rumah dan sudah pasti tugas peserta adalah menemukannya. Akan ada petunjuk-petunjuk dan clue tersembunyi yang barang siapa cukup pintar untuk memecahkannya, bisa membantunya untuk menemukan kunci-kunci menuju, “ruangan harta”.
Sekarang mengenai ruangan rumah Jacob si Orang Kaya. Secara keseluruhan rumah itu berlantai dua, sangat luas dan ada banyak sekali ruangan di dalamnya. Secara keseluruhan ada total 30 ruangan di dalam rumah tersebut. Sembilan belas di lantai 1, dan sebelas di lantai 2. Rumah Jacob si Orang Kaya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas mulai dari ruang tamu, ruang keluarga (ada dua jumlahnya, tersebar di masing-masing lantai), ruang makan, dapur, pantry, garasi, kamar-kamar, kamar kecil, toilet dan kamar mandi, ruang perapian, ruang santai, ruang kopi, perpustakaan, area observasi, ruang biliar, dan bahkan tempat ibadah.
(Semua ini akan menarik bagi orang yang menyukai detail, tapi bagi yang tidak suka, peta di bawah ini rasanya sudah cukup untuk mewakili semua detail).
Semua detail mengenai rumah ini membuatnya terlihat rumit. Memang, siapapun yang pertama kali ke rumah Jacob si Orang Kaya akan merasakan kebingungan dan sangat mungkin tersesat. Tapi bukan itu tantangan dalam permainan survival ini.
Dengan segala hadiah yang ditawarkan, tentu sepadan dengan tantangan yang tersedia. Mereka-mereka yang dapat bertahan dalam permainan survival ini, dalam permainan “Bertahan Sampai Pagi”, adalah orang-orang yang berani. Sebab, sebuah peringatan tertulis di kertas brosur. Ditulis di paling bawah dengan huruf bergaya gothic, mengesankan rasa seram dan suram.
“Hati-hati, hanya orang-orang yang cerdas, cermat, berhati-hati, teliti dan berani, atau malah nekat yang bisa keluar dari rumah ini hidup-hidup. Sebab, sekali kalian memasukinya, kalian akan menyadari bahwa kalian tidak sendirian di dalam rumah ini.”
“Ada makhluk yang mengintai dari balik kegelapan. Dan ia jelas bukan manusia. Berhati-hatilah untuk dua hal. Pertama, untuk makhluk bengis yang tak segan membunuh, kedua untuk gerakannya yang cepat dan tak terduga di kegelapan. Kabar buruknya, sepanjang permainan, lampu akan dimatikan beberapa kali.”
“Selamat berjuang, semoga kalian semua tetap selamat sampai pagi.”
Beberapa peserta yang membaca peringatan itu, balik kanan, bertanya pada petugas karcis, apakah mereka boleh membatalkan ikut permainan ini.
“Maaf Tuan. Anda-anda sekalian sudah terdaftar.” Petugas itu tersenyum simpul, seolah tidak ada kesalahan sama sekali.
Pukul delapan malam, pukul 20.00 waktu Kota J, bagai dikomando oleh sebuah aba-aba, rumah Jacob si Orang Kaya tiba-tiba bereaksi. Otomatis. Seperti dikendalikan oleh remote kontrol. Tiap-tiap jendela rumah itu tertutup kemudian terkunci oleh terali besi. Gerakan yang kompak menimbulkan suara bergemerincing yang mengagetkan orang-orang yang sedang mengantri di loket, orang-orang yang sedang berada di sekitar rumah. Mereka semua kompak pula bertanya dalam pikiran masing-masing.
“Apa yang terjadi?”
Seakan menjawab pertanyaan tersebut, sebuah suara, mengumumkan dari atas speaker besar di puncak rumah, suara seorang pria. Suara yang sama yang mengumumkan berita malam puncak sebelumnya.
“Tuan-tuan dan nyonya, pemuda dan nona-nona, jam sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Itu artinya permainan survival sudah bisa dimulai. Silakan anda-anda semua memasuki rumah tuan rumah kita yang ramah untuk mengikuti permainan berhadiah besar ini. Banyak hadiah disediakan, dan hanya ada satu peraturan penting yang harus diingat, kalian tidak boleh pergi dari rumah ini sampai pukul enam pagi, tepat esok hari. Guna memastikan peraturan ini ditaati, kami telah mengunci seluruh jendela, dan hanya akan membuka empat pintu masuk. Silakan anda masuk dari arah mana saja. Pintu akan dibuka sampai pukul setengah sembilan, 30 menit dari sekarang, jadi manfaatkan waktu sebaik mungkin. Karena setelah itu, pintunya juga akan terkunci secara otomatis.”
Suara itu terhenti, dan tidak akan terdengar apa-apa lagi dari pengeras suara. Yang terdengar sekarang adalah riuh dari orang-orang yang berada di sekitar rumah. Yang telah mengantri di loket karcis. Yang telah berencana untuk ikut dalam permainan ini.
Dan tentu saja dari orang-orang yang berani
Dan tak ketinggalan orang-orang yang nekat mempertaruhkan nyawanya, demi uang dan harta yang dijanjikan.
“Apakah kita tidak sebaiknya pulang saja?” seorang gadis muda sedang berjalan menuju ke arah pintu utama rumah. Dia tidak berjalan sendiri, di sisinya seorang pria muda yang kelihatan tegap dan pakaiannya rapi. Pria ini cukup tampan dan tentu saja gadis muda itu juga cantik. Gadis itu berbicara sambil merangkul lengan pria tersebut.
“Tenanglah, Ayana. Kamu jangan takut dengan semua peringatan itu. Itu semua tidak serius. Semua sengaja diatur agar memberikan suasana yang menantang pada permainan survival.”
“Tapi Kotaruk,” gadis itu memperkuat cengkeramannya, “bagaimana kalau semua itu benar. Ini pukul delapan malam. Berarti kita akan terjebak selama sepuluh jam di rumah itu tanpa bisa keluar. Sedangkan setiap saat makhluk bengis yang bisa bergerak di dalam kegelapan itu akan....”
“Kamu terlalu berlebih memikirkan hal itu, Ayana.”
“Kamu harus baca brosurnya.”
“Aku tahu, aku tahu.” Pria itu, Kotaruk, namanya tadi disebutkan, menghentikan langkahnya, memberikan rangkulan ekstra untuk wanita bernama Ayana. Rangkulan hangat dan menenangkan.
“Itu adalah brosur. Brosur adalah bagian dari acara. Kamu mengerti polanya kan? Semua sengaja ditulis agar acara ini makin menantang. Seperti kubilang, ini permainan survival.”
Ya, itu adalah pola pikir yang bagus. Hampir semua peserta berpikiran demikian. Mereka menganggap semua ini hanya sekedar simulasi senang-senang. Paling kalau ada makhluk aneh, itu adalah manusia dengan kostum. Paling mereka cuma menjerit karena kaget. Semua sepadan dengan harta yang dijanjikan akan diberikan dalam permainan ini.
Pola pikir yang bagus bukan?
Lantas, bagaimana jika pola pikir Ayana yang benar? Bagaimana jika sebenarnya mereka lebih baik pulang saja?
Kotaruk menjawabnya dengan tegas dan berwibawa, “kalau tempat ini berubah jadi berbahaya, aku akan melindungi gadisku sekuat tenaga. Aku tidak akan membiarkan dia terluka.”
Mozaik 4
Pria Norak itu Bernama Alli
“Hei, kau mau kemana?” orang itu menyapa si pria yang berpakaian norak, yang mendadak bangkit dari kursi wahananya.
“Ini sudah jam delapan. Permainan survival di rumah Jacob si Orang Kaya akan segera dimulai.”
“Oh kau ikut permainan itu?”
“Ya, tentu. Bagaimana denganmu? Kau tidak mau ikut?” si pria norak bertanya dengan wajah tersenyum-senyum.
Lawan bicaranya itu menggeleng, “tidak, aku tidak terlalu tertarik.”
Si pria norak melambaikan tangan.
Alli, Alli nama pria itu. Harus disebut baik-baik karena dia salah satu karakter utama dalam cerita ini ke depannya. Meskipun penampilannya norak dan tak ada gagah-gagahnya sama sekali, Alli adalah orang yang amat percaya diri. Satu hal yang menonjol darinya adalah kemampuannya bercakap-cakap dan membuat orang lain nyaman mengobrol dengannya. Lihat saja lawan bicara tadi. Sebelumnya pria itu tidak respek sama sekali dengan Alli, namun sekarang mereka bisa mengobrol dengan akrab.
Itu satu kelebihan Alli. Masih ada kelebihan lainnya, namun tunggu dulu. Itu nanti ditampilkan.
“Tolong satu karcisnya,” Alli sudah mengantri di loket karcis. Dia mengeluarkan karcis yang disimpannya sejak kemarin. Masih dalam keadaan rapi.
“Terima kasih. Silahkan masuk, Tuan...”
“Alli,” dia memperkenalkan diri tanpa ragu.
“Oh baiklah, silakan Tuan Alli.”
“Sepertinya aku belum ketinggalan acara bukan?”
“Belum. Masih ada beberapa menit sebelum pintu ditutup sepenuhnya.”
“Ah begitu,” Alli mengusap rambutnya (yang dipotong pendek, tak ada kerennya sama sekali). “Hei, apa kalian tidak berniat ikut acara ini? Kudengar ada banyak hadiahnya.”
“Oh tidak, kurasa tidak, Tuan. Kami petugas karcis. Kami harus tetap di sini.”
“Kukira setelah orang-orang semua pergi dan acara dimulai, kalian bisa meninggalkan tempat ini, masuk ke dalam, ikut berburu hadiah.”
“Sayangnya tidak bisa. Karena kami masih harus membereskan beberapa hal, beres-beres setelah pekerjaan selesai. Anda pasti paham.”
Alli manggut-manggut, kemudian memasang wajah prihatin. “Sungguh kasihan. Kalian tidak bisa ikut berburu hadiah. Padahal, kudengar, jumlah hadiahnya banyak sekali.”
“Ya, mau bagaimana lagi, Tuan.”
Alli kemudian meningkatkan suaranya dengan intonasi yang menyenangkan, “tidak apa-apa, itu artinya kalian berdedikasi tinggi.”
“Terima kasih, Tuan,” petugas karcis itu kini tersenyum gembira, pujian Alli nampaknya mengena, “silakan masuk. Nanti anda benar-benar terlambat.”
Alli reflek menepuk dahinya, “astaga, kau benar. Aku terlalu asyik mengobrol. Sungguh, kalian hebat. Terima kasih. Nanti kalau aku membawa banyak hadiah dari dalam, kurasa aku akan membagi sedikit bagian untuk kalian. Sungguh, harusnya ada novel yang ditulis dengan tokoh utama seorang petugas karcis.”
“Eh?”
Alli tak meneruskan percakapan, dia meneruskan perjalanan.
Ada empat jalan untuk masuk ke rumah Jacob si Orang Kaya. Lewat tangga ruang penyambutan, lewat teras depan, serta lewat pintu anjungan di masing-masing sisi rumah, kiri dan kanan. Alli sang tokoh utama, masuk lewat tangga ruang penyambutan.
Sebagai karakter yang diciptakan untuk menyapa orang-orang, Alli langsung sibuk menyapa, memanggil, dan melambai-lambai pada orang-orang yang naik bersamanya ke tangga ruang penyambutan. Beberapa orang menanggapi dengan positif, balas melambai atau menganggukkan kepala. Beberapa lainnya hanya mengangkat bahu. Beberapa lainnya malah tak peduli.
Ini membuat Alli sedikit menggerutu. “Astaga, kalau saja ada orang yang berjalan di depan istana Tsar di abad ke-12, dan melambai ke arah istana, tentu sambutan pengawal pintu gerbangnya lebih ramah daripada manusia-manusia modern ini.”
Sungguh jenis gerutuan yang intelek!
“Kenapa Tuan tampak murung?” Alli mendatangi seorang lelaki paruh baya yang sedari tadi, berjalan ke arah depan, namun gelagat badannya seperti hendak berjalan berbalik arah.
“Permainan ini sepertinya berbahaya,” katanya sambil menunjuk brosur.
“Eh ada brosur kah?”
“Ya Tuan, petugas karcis membagikan brosur.”
“Ha, petugas karcis. Aku tidak dapat. Mereka malah mengajakku mengobrol. Apa isi brosur itu?”
“Peringatan penting tentang bahaya yang akan dihadapi peserta. Setelah membacanya aku merasa masuk ke dalam perangkap setan hidup-hidup.”
Alli meminta izin membaca brosur itu. Dia membaca sambil menggigit bibirnya. Itu tanda Alli sedang antusias. Semakin ke bawah, dia semakin keras menggigit bibirnya.
“Tidak sendiri, bukan manusia, membunuh, di tengah kegelapan, lampu akan dimatikan beberapa kali. Astaga! Kenapa mereka tidak memberitahuku.”
“Saya sudah bilang, kita sedang digiring pada perangkap setan hidup-hidup.”
“Bukan, bukan dalam artian buruk, ini membuatku bersemangat. Bisa menjadi kaya setelah mengalami uji nyali yang mendebarkan.”
“Anda tidak waras.” Pria setengah baya tadi mengambil kembali brosurnya sambil menyemprot Alli dengan keras.
“Anda harus paham, Tuan. Bagi beberapa orang, tidak waras adalah jalan pintas untuk menjadi kaya!” Alli menyeringai dengan sangat khas.
Ya, itulah ciri khas lain dari Alli. Guyonannya.
Mozaik 5
Gadis Keriting Itu Wartawan
Kembali ke dua orang gadis yang tadinya asyik mengobrol di depan pagar rumah besar Jacob si Orang Kaya. Kini mereka berdua juga sudah berjalan di pekarangan, siap masuk ke dalam rumah.
Pukul 20.00 tepat, permainan dinyatakan sudah dimulai, tapi loket karcis masih akan menunggu sampai pukul 20.30 kalau-kalau ada peserta yang datang terlambat. Dua gadis berbaju seragam berwarna biru bertuliskan pers tadi, jelas bukan bagian dari peserta yang terlambat itu.
“Untungnya acara sudah dimulai. Lima belas menit lagi menunggu berdiri-diri seperti tadi, aku pasti mengamuk.” Gadis bernama Thyaras berseloroh sambil memukul-mukul pahanya yang kebas. Mereka berdiri di sana dari jam enam sore.
“Kamu seharusnya bisa menahan diri, Thyaras.”
“Menahan diri? Ha, seharusnya juga kita tidak datang terlalu awal, hanya untuk berdiri di depan pagar, Eternita.”
“Habisnya mau bagaimana lagi,” gadis satunya yang dipanggil Eternita mengangkat bahu.
“Ya, setidaknya kita bisa naik wahana, komedi putar barangkali, itu akan lebih menyenangkan daripada berdiri saja, mirip dengan patung prasejarah yang kulihat kemarin di wahana dinosaurus.”
Eternita kembali mengangkat bahu, mereka terus berjalan. Dia tidak terlalu merespon. Biarkan saja Thyaras mengomel. Itu sudah kebiasaannya. Thyaras sangat ekspresif. Beda dengan dirinya. Eternita selalu bangga dengan citranya sebagai pekerja pers yang tenang, dan tidak terburu-buru. Kabar baiknya, Thyaras temannya itu bukan orang yang serius seperti dirinya.
Seorang pria berjalan mendatangi mereka. Menyapa. Eternita dan Thyaras sama-sama menoleh. Siapa pria ini. Tidak penting. Dia hanya peserta biasa. Yang tertarik mendekat karena sungguh, dua gadis berseragam pers itu sama-sama cantik dan memesona.
“Senang sekali karena bertemu dua gadis cantik di sini. Permainan survival ini pasti akan menyenangkan.”
“Saya tidak sepakat, Tuan,” Thyaras menggeleng sambil mengeluarkan brosurnya, “di sini tertulis, kita akan berurusan dengan seekor makhluk, yang bukan manusia, dan ia bisa menghabisi nyawa kita kapan saja.”
Pria itu menggeleng kuat-kuat. “Jangan khawatir, Nona-nona, kalau makhluk mengerikan itu muncul dan aku ada di sana, aku akan melindungi kalian berdua.”
“Sungguh anda pria yang baik hati,” puji Thyaras. Eternita malah menatap pria itu dengan saksama. Tak bersuara. Tapi mata dan pikiran tajamnya sedang menganalisis.
Kancing atas kemeja pria ini tidak dikancingkan. Dia ceroboh. Bukan tipe pria yang bisa diandalkan. Eternita menggeleng-geleng.
“Oh Nona, boleh aku bertanya, apakah kalian datang ke sini untuk meliput atau hanya untuk bermain-main.”
“Anda jangan salah Tuan,” ini Thyaras lagi yang menyahuti, “kami tidak datang ke sini hanya untuk bermain-main. Kami punya misi yang serius.”
Eternita mendadak menginjak kaki Thyaras. Seolah tidak disengaja.
“Maksud saya, tentu kami akan melakukan liputan. Bahkan jika tidak ada penugasan, terkadang kami harus tetap melaporkannya. Itu bisa jadi berita, informasi. Anda tahu lelucon di antara para wartawan, seandainya besok kiamat, maka kami harus bersiap-siap untuk meliputnya. Bukan bertobat.”
Eternita buru-buru menarik lengan Thyaras meninggalkan pria yang nampaknya menikmati sesi perbincangannya dengan dua gadis yang memesonakan mata. Apalagi memandang mata Eternita yang berkilau indah itu. Eternita memang diakui punya mata yang indah, setiap orang yang pernah memandangnya, walau sekilas, akan mengakui hal itu dan terpesona.
“Hei ada apa denganmu, Eternita.” Thyaras protes atas tarikan yang terlalu keras itu.
“Kau seharusnya tidak mengumbar misi kita di depan umum, Thyaras. Misi kita sangat rahasia.”
“Astaga, iya-iya, maafkan aku.”
“Terutama pada pria bajingan yang ceroboh seperti tadi.”
“Hei, darimana kau tahu dia bajingan dan ceroboh. Jangan seenaknya mengata-ngatai orang.”
“Dia ceroboh, itu bisa dilihat dari kancing atas kemejanya, tak dikancingnya. Dia bajingan sebab terus menatap kamu seolah dia hendak menelanjangimu. Dia tak layak dipercaya, Thyaras. Kamu harusnya tahu itu.”
Thyaras menggeleng-geleng, “ya sudah. Aku salah. Tak perlu marah-marah seperti itu, Eternita. Semua ini tidak serius.”
Mozaik 6
Hanya Tentara yang Boleh Lewat
Di tempat lain, di anjungan sebelah kiri rumah Jacob si Orang Kaya.
“Kolonel, kolonel yakin mau lewat sini?”
Seorang pria berperawakan kecil tergopoh-gopoh mengikuti langkah pria lain di depannya. Si tentara gundul yang sempat mengamuk di loket karcis depan. Tentara gundul itu langkahnya cepat dan lebar sekali. Sampai terengah-engah partnernya mengimbangi jalannya.
“Kenapa memangnya?”
“Jalur ini tidak umum, kolonel.”
“Sam, berhentilah bicara yang tidak perlu.” Suara pria gundul itu berubah menjadi berat.
“Ini membuat kita jadi sorotan, kolonel.” Pria kecil bernama Sam tadi masih bersikeras.
“Tak ada yang peduli,” pria itu, seorang kolonel dari satuan militer Kota J, padahal rambutnya saja yang gundul itu saja sudah mengundang perhatian dari beberapa orang.
Pertimbangan orang kecil bernama Sam itu sebenarnya masuk akal. Sebagian besar peserta permainan di rumah Jacob si Orang Kaya masuk lewat depan. Kalau tidak lewat tangga ruang penyambutan seperti yang Alli lakukan, atau lewat teras depan yang tersambung dengan garasi, seperti yang Eternita dan Thyaras lakukan.
Tidak banyak yang melewati pintu kiri, anjungan kiri.
“Kolonel yakin? Ini demi kelangsungan misi....”
“BISAKAH KAU DIAM!” Kolonel kini genap membentak dengan suara keras khas militer, Sam yang nampaknya sudah terbiasa kena bentakan semacam itu, tidak terlalu kaget.
“Maaf kolonel. Saya tidak akan membocorkan...”
“DIAM!”
“Siap Kolonel.” Sam reflek membikin gestur menghormat. Mereka kembali berjalan.
Kolonel itu bernama Dhar. Seorang prajurit militer yang amat dihormati. Beliau berusia 40 tahun ketika terlibat dalam permainan survival ini. Sebenarnya karakternya baik dan setia kawan, namun karena pembawaan militernya, itu membuatnya terlihat temperamen, pemarah dan bahkan kasar.
Sementara pria kecil yang menemaninya dalam perjalanan ini adalah bawahannya, Sam. Prajurit tingkat rendah yang sangat setia pada kolonel Dhar. Keinginan Sam untuk tampil tidak mencolok sangat berkebalikan dengan sikap maupun penampilan kolonelnya.
Bayangkan saja, Dhar memilih jalan yang tidak umum, berpenampilan tentara, membawa senapan yang terlihat bagian popornya, bersuara keras dan suka membentak, tambahkan kepala gundulnya itu.
Beruntungnya, atau sialnya, ketika mereka membuka pintu anjungan dan masuk ke lorong panjang, mereka berpapasan dengan beberapa orang. Peserta lain. Mereka ramah, melambaikan tangan pada Kolonel.
Sam balas melambaikan tangan. Sebab Kolonel hanya menatap mereka semua, seolah mereka aneh.
“Jangan bersikap baik pada mereka, Sam. Kita tidak bisa percaya pada mereka.”
“Mereka hanya orang biasa, Kolonel. Mereka tidak berbahaya.”
“Orang-orang ramah berbahaya untuk misi kita. Begitu mereka menyapa kita, mereka akan merasa mengenal kita, kemudian mereka ingin tahu urusan kita. Aku tak percaya sedikitpun.”
Bicara soal ingin tahu segala urusan, seorang peserta mendatangi mereka. Sam menghadapinya dengan anggukan hormat.
“Dalam permainan ini diperbolehkan membawa senapan ya?” kata-kata orang itu bagai menembak, orang itu tanpa ada basa-basi sama sekali.
“Bukan urusanmu,” sahut Kolonel dingin.
“Tentu saja, Tuan. Senapan itu benda yang berbahaya. Anda jangan sampai membahayakan peserta lain dengan sembarang....”
“Kau lebih baik diam.”
Kolonel tiba-tiba mendekat, sekaligus menggerakkan telunjuknya menunjuk-nunjuk ke hidung pria itu. Sam hendak mencegah, tapi dia juga takut kena murka Kolonelnya.
“Maafkan saya.” Pria itu mengangkat tangan sambil perlahan mundur. Sam mengusap wajah.
“Kolonel tidak sebaiknya bersikap emosional. Itu membuat kita terlihat mencolok.”
“Sedari tadi kau selalu bicara soal mencolok. Sam, ingat, kita tidak sedang menyamar. Kita melakukan misi pengejaran, bukan misi penyamaran.”
Sekarang kolonelnya seenaknya membocorkan perihal misi mereka. Padahal tadi dia keceplosan sedikit, langsung kena damprat.
“Siap Kolonel.”
“Ayo kita bergerak, Sam.”
Kolonel berjalan, lagi-lagi dengan gaya militer. Seragamnya juga sangat mendukung. Kolonel memakai baju kaos oblong dengan motif tentara, ditambah rompi anti peluru. Di bahunya tersandang tas untuk membawa senapan.
Karena ini namanya permainan survival dengan banyak peserta, maka tentu banyak orang yang mengikutinya. Bahkan ratusan orang ada di dalam rumah ini sekarang. Ini membuat Kolonel jengah. Ketika satu orang hendak berpapasan dengan dia, di lorong, Kolonel kembali tersinggung.
“Minggir kau, jalan ini milik tentara. Hanya tentara yang boleh lewat.”
Sam menepuk dahi. Dalam beberapa kesempatan, Kolonelnya itu menderita, megalomania.
Mozaik 7
Sang Detektif
Dari anjungan kiri, berpindah ke anjungan kanan. Di sana pintu telah terbuka juga, setengah jam yang lalu. Seseorang dengan setelan jas lengkap dan berjalan dengan tongkat (agak lucu kenapa dia memakai tongkat padahal jalannya normal), telah lewat di sana.
Sekarang pria itu ada di ruangan office. Ruang kerja Jacob si Orang Kaya. Tidak ada masalah. Selama permainan survival, semua ruangan di rumah ini, selama tak dikunci, boleh dimasuki. Tidak ada ruangan privasi.
Pria itu duduk di kursi, di area meja kerja Jacob si Orang Kaya. Matanya awas menatap ke sekeliling ruangan. Dia menatap saksama. Seolah ada sesuatu yang berbeda dengan ruangan ini.
“Ruangan ini sungguh nyaman, Jacob. Ruangan ini bisa mengimbangi semua kerja kerasmu. Membuatmu bekerja sampai lupa waktu. Sampai kau bisa sekaya ini.” Pria itu bergumam sendiri. Seenaknya memanggil nama Jacob, seolah nama itu tak ada wibawa sama sekali.
Pria itu nampaknya menikmati semua keheningan di rumah itu, sampai para peserta datang setengah jam lagi, dia sendirian di ruangan ini. Di rumah ini. Pintu ruangan office telah dia palang dari dalam. Jadi dia benar-benar sendirian.
“Aku sangat senang dengan suasana ini. Menjernihkan otak. Sayangnya mustahil berpikir tanpa satu petunjuk pun. Tapi aku akan menemukannya. Aku akan menemukannya.” Suaranya terdengar bersemangat.
Siapa sebenarnya orang ini?
Sebelum dia memperkenalkan dirinya, tiba-tiba saja terdengar suara seperti angin ribut, lalu cahaya putih berpendar di dalam ruangan itu. Muncul begitu saja. Seolah lampu yang tiba-tiba dinyalakan.
Lalu sesosok pria tua muncul dari balik cahaya. Berjanggut putih, berpakaian serba putih. Membawa tongkat kayu yang tingginya hampir setubuhnya.
Pria tua itu muncul begitu saja, di dalam ruangan office, di dalam ruangan yang pintunya sudah dipalang. Diulangi, ruangan yang pintunya dipalang dari dalam. Dia muncul begitu saja di depan pria bersetelan rapi yang duduk di belakang meja kerja. Dia muncul bak makhluk gaib. Entah darimana dia bisa masuk.
Pria tua itu tersenyum simpul.
Pria bersetelan rapi membalas salamnya dengan mengangkat topinya sedikit. Sama sekali tidak terlihat terkejut atau ketakutan
“Agathar,” pria tua itu menyebut nama. Nama pria bersetelan rapi di depannya tepatnya. Ya nama pria yang telah start duluan 30 menit itu, adalah Agathar.
“Satu,” sahut Agathar dengan nada sangat santai pada pria tua di hadapannya, “jika kau mengira aku akan terkejut dengan kemunculanmu yang tiba-tiba bak makhluk gaib, maka jawabanku adalah tidak. Aku tidak terkejut. Dua, jika kau mengira aku terkejut karena kau tahu namaku, maka jawabannya juga tidak. Aku mengenalmu, Sang Tuan.”
Ah akhirnya nama itu disebut. Sang Tuan. Ingat baik-baik. Nama itu amat melegenda.
“Kau membuat sesi perkenalan diriku jadi tidak dramatik, Agathar. Harusnya aku memperkenalkan diriku sebagai tokoh yang ada di dongeng-dongeng, tokoh yang bertanggung jawab menuliskan cerita untuk...”
“Ya, kau sudah menceritakannya, baru saja.” Agathar memotong, sengit.
“Baik, baiklah. Lupakan soal perkenalan diri. Agathar, kau ingat apa misimu bukan? Aku harus memastikan kau menjalankannya agar cerita ini berjalan sesuai alurnya.” Pria tua itu, Sang Tuan berseru jengkel. Sampai bergetar janggutnya.
Agathar tak menjawab. Dia tidak suka membicarakan soal “misi”.
“Kau harus melakukannya.” Sang Tuan mengulang, tegas.
“Ya, aku tahu. Aku akan mengerjakannya. Makanya aku di sini tiga puluh menit lebih awal. Demi mencarinya. Aku akan menemukannya, kalau dia memang benar-benar menghilang.”
Sang Tuan menggeleng, “misimu bukan untuk menemukan dia. Misi kau adalah menemukan kebenaran. Kebenaran dibalik menghilangnya Jacob si Orang Kaya.”
Itu sungguh misi yang mendebarkan.
“Ya, apapun itu kau menyebutnya. Aku akan menemukannya. Tak satu kalipun aku gagal menjalankan tugasku.”
“Kau harus mendengarkan aku. Aku membawakan petunjuk berharga untukmu.”
“Bisa kutebak kalau surat itu, juga kau yang menulisnya untukku.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Agathar. Dengarkan aku baik-baik. Kebenaran bisa kau temukan jika kau membuka peti harta karunnya. Peti itu hanya akan terbuka jika kau menemukan empat kunci. Kau akan menemukan keempat kuncinya jika berhasil memecahkan keempat petunjuk ini. Akan kubacakan.”
Agathar mengangkat bahu seolah malas mendengarkan.
Kunci-kunci itu ada di empat tempat yaitu:
Satu. Tempat paling bising di dunia, yang untungnya tak pernah mengganggu jam tidur.
Dua. Sesuatu yang hampir punah, namun tidak ada yang peduli
Tiga. Titik tertinggi di dunia tempat kekuasaan dan kebijaksanaan
Empat. Tempat paling rendah hati, tidak pernah protes walau diinjak-injak.
Sang Tuan menyelesaikan kalimatnya.
Agathar berdiri. Mengusap wajahnya yang kebas.
“Baiklah, aku langsung saja mengatakan ini. Dengan segala hormat, aku tak percaya padamu, Sang Tuan. Biarkan aku bekerja, dengan caraku sendiri. Cara Agathar, Sang Detektif.”
Agathar berdiri, melangkah, mulai beraksi.
Mozaik 8
Detail Ruang Depan
Tangga depan rumah Jacob cukup tinggi. Cukup untuk membuat seseorang terengah-engah mendakinya. Ada sekitar 25 anak tangganya. Itu juga menunjukkan bahwa rumah ini dibangun dengan konstruksi yang amat tinggi.
Alli ada di sana, di ruang penyambutan. Bersamanya ada beberapa peserta yang berjalan bersama-sama. Mereka tidak saling mengenal, tapi segera mengobrol akrab karena Alli diantara mereka.
“Ruangan ini sungguh semarak, aku merasa di pawai.”
“Ini karnaval, kawan. Kita sedang berada di tengah-tengah karnaval kalau kau lupa. Tidak heran ruangan ini dihias dengan penuh semarak. Pita-pita warna-warni, karpet yang bagus, hiasan-hiasan emas. Ini hebat sekali.” Alli berucap sambil terkagum-kagum dengan ruang penyambutan yang memang sesemarak deskripsinya.
“Hei, apakah hiasan itu terbuat dari emas?” salah satu orang, yang berjalan paling kiri, menunjuk ke arah hiasan berbentuk bulu burung yang tergantung di dinding.
“Mari kita cek,” tukas pria yang berjalan di sebelah Alli. Kemudian tanpa basa-basi, dia memanjat dinding, serupa cicak, dan mengambil bulu burung itu. Menunjukkannya pada teman-teman barunya.
“Bagaimana menurutmu, aku tidak akan terkejut kalau bulu burung ini berharga setidak-tidaknya 500 Dollar J.”
“Aku lebih terkejut melihat dirimu bisa memanjat dinding seperti cicak itu.” Alli balas berucap.
“Aku adalah seorang atlet pemanjat tebing.”
“Kemarikan bulu itu,” orang satu lagi, yang tadi pertama menunjuk hiasan bulu burung itu, “biar kulihat. Kurasa aku bisa menganalisis berapa kadar emas yang terkandung dalam hiasan ini.”
“Bagaimana bisa?”
“Jika kau adalah seorang atlet pemanjat tebing, maka aku adalah seorang pedagang emas.”
Alli manggut-manggut, teman-temannya menakjubkan dan bervariasi.
Si pedagang emas mematut-matut bulu burung emas itu dengan saksama. Lima menit kemudian, si pemanjat tebing tidak sabaran, bertanya. Bagaimana, apakah kita bisa kaya dengan bulu itu?”
“Tidak,” jawab si pedagang emas, “kadar emasnya sedikit sekali. Aku berani katakan tak sampai seperdua puluh lima.”
“Tidak masalah. Kalau kita kumpulkan seratus bulu semacam itu, kita tetap bisa kaya.” Alli tersenyum lebar.
“Aku suka idemu itu, Alli.”
“Tidak masalah, aku datang ke sini memang untuk menjadi kaya.”
“Tolong kau perhatikan terus dinding-dindingnya,” Alli memberita perintah, dan anehnya si pemanjat tebing membalas dengan kata, “siap!” seolah sedang bicara dengan komandan pasukan tempur.
Mereka terus berjalan. Dari ruang penyambutan yang ramai semarak, mereka masuk ke ruang tamu. Itu seperti meninggalkan sebuah pusat kota yang ramai dan masuk ke area desa yang sunyi.
“Perubahan suasana ya,” Alli melihat sekeliling ruang tamu. Dua temannya mengikuti dari belakang.
“Ini seperti ruang tamu pada umumnya. Tapi ya, tentu saja lebih bagus.” Si pemanjat tebing ikut melihat-lihat.
“Kau benar,” timpal si pedagang emas, “meskipun sofa di rumahku cukup mahal, tapi sofa-sofa ini jauh lebih mahal lagi.”
“Kita sedang ada di rumah Jacob si Orang Kaya, Bung.”
Di ruang tamu itu ada empat buah sofa yang mengelilingi sebuah meja. Sofa-sofa itu ditata dengan mendekat ke arah jendela dan jendela itu sengaja dipilih agar menghadap ke arah timur, sehingga siapapun yang duduk di situ di pagi hari, akan merasakan hangatnya mentari. Sungguh sangat menyenangkan bukan, bisa duduk bersantai di ruang tamu, menyeduh kopi sambil menikmati hangatnya matahari pagi. Alli bisa membayangkan hal tersebut. Sayangnya ini malam hari.
“Hei, ada minuman di atas meja.” Si pemanjat tebing berseru, mendekat ke arah sofa.
“Masih hangat.” Si pedagang emas bahkan sudah memegang cangkir.
“Apakah ini disediakan untuk kita?”
Si pedagang emas dan si pemanjat tebing nampaknya setuju dengan ide itu. Kopi ini pasti lezat, dan mahal. Sangat sayang untuk dilewatkan. Tapi Alli keburu berseru lagi.
“Jangan, jangan diminum.”
“Hei, kenapa?” si pemanjat tebing berseru, jengkel. Harum semerbak kopi itu, sudah singgah di hidungnya.
“Lebih baik waspada. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi setelah kita meminumnya, dan kita juga tidak tahu apa yang dimasukkan ke dalam kopi itu sebelumnya.”
“Ayolah. Ini hanya kopi. Dan ini rumah Jacob si Orang Kaya. Bukan tempat jagal atau markas penjahat.”
Si pemanjat tebing dan si pedagang emas tidak mengindahkan larangan Alli, bersulang meminum kopi tersebut.
Tidak, tidak terjadi apa-apa. Mereka sehat wal afiat. Mereka tersenyum karena merasakan kopi yang betul-betul lezat. Namun pada tataran tertentu, mereka salah, rumah ini akan berubah jadi tempat jagal dan markas penjahat.
“Hei, Alli. Masih ada secangkir tersisa di sini. Apa kau tidak mau mencobanya.”
Alli menggeleng. Matanya fokus mengamati sebuah lukisan yang terpajang di dinding ruang tamu.
“Ya sudah, kalau dia tidak mau, kita bagi dua saja secangkir yang tersisa ini. Aku ketagihan dengan sensasi kelezatan kopi ini.”
“Aku sependapat.” Si pedagang emas menyahut.
Lukisan yang cukup mengagumkan. Detail sekali. Itu lukisan wajah seorang pria. Sampai kerutan wajahnya terlihat dengan begitu jelas. Pasti ini lukisan yang mahal. Alli terus memerhatikan lukisan itu, dan membiarkan kedua temannya minum kopi.
Alli mulai menggigit bibirnya
Mozaik 9
Patung Aneh di Depan Garasi
Kembali ke Eternita dan Thyaras. Setelah memisahkan diri dengan pria yang disebut Eternita sebagai bajingan ceroboh, mereka memutuskan untuk masuk lewat teras depan. Bukan, tepatnya Eternita yang memutuskan.
“Lebih baik kita menghindar dari pria itu, Thyaras.”
Thyaras tak lagi protes, diam saja.
Teras depan cukup ramai ketika mereka sampai di sana. Beberapa orang menunjuk-nunjuk ke arah dalam rumah. Mereka pasti membicarakan kemana mereka setelah ini. Eternita dan Thyaras melangkah tanpa ragu.
“Jadi ini, rumah Jacob si Orang Kaya. Rumahnya besar sekali, Eternita. Kemana kita harus mulai mencari?”
“Sayang sekali kita tidak tahu detail letak ruangan di dalam rumah. Seandainya saja kita punya peta.”
“Tidak perlu memikirkan apa yang tidak ada, Thyaras. Bagaimana rencanamu?”
“Ini permainan survival, Eternita. Tidak perlu mencari kemana kita harus pergi.”
“Kamu membalikkan kalimatku,” Eternita mencibir.
Tanpa peta, dua gadis itu tahu mereka hanya punya satu cara untuk menunaikan misi mereka (meski misi mereka itu tidak dibicarakan sekarang), cara itu adalah, menggeledah satu demi satu ruangan yang ada di dalam rumah ini. Dari teras depan, dua gadis itu dihadapkan dengan dua ruangan langsung yang bisa mereka geledah.
Ruang kopi dan garasi.
“Aku punya rencana, Eternita.”
“Katakan.”
Thyaras menurunkan tas punggungnya, kemudian mengeluarkan dua alat komunikasi yang bisa dilekatkan dengan telinga. Dia menyerahkan satu alat itu pada Eternita.
“Pakai.”
“Kau ingin kita berpencar?”
“Tepat sekali.”
“Katakan kemana aku harus pergi.” Eternita langsung gesit memasang alat itu di telinganya. Dia segera paham, begitu alat komunikasi itu dikeluarkan, itu berarti mereka harus berpencar.
“Aku akan ke ruang di depan itu, sementara kau ke garasi.”
“Cukup adil.”
Eternita dan Thyaras berpisah setelah melakukan high five.
Thyaras masuk ke dalam ruangan. Itulah ruangan pertama yang bisa dicapai dari teras depan. Itu adalah ruang kopi. Salah satu ruangan khusus di rumah Jacob si Orang Kaya. Fungsi ruangannya seharfiah namanya. Ruang itu berisi sebuah meja panjang yang mirip seperti meja panjang di kafe. Ada bertoples-toples bubuk kopi bersusun. Ada cerek yang mengepul. Belasan jumlahnya. Seakan siap menyambut siapa saja pengunjung yang hendak memesan. Hanya saja tidak ada barista di sini.
Beberapa orang peserta yang penasaran, mengambil gelas, memasukkan bubuk kopi dan menyeduhnya. Hal ini juga diperbolehkan. Tidak ada yang melarang. Satu-satunya larangan dalam permainan ini adalah, dilarang keluar rumah.
Thyaras menjadi tertarik. Dia ikut mengambil gelas dan menyeduh kopi susu yang lezat. Bercita rasa Amerika.
“Apa yang kau lakukan di sana, Thyaras?”
Tiba-tiba alat komunikasi yang menggantung di leher Thyaras berbunyi. Eternita telah mengaktifkannya.
“Ah aku sedang menyeduh kopi.” Thyaras menjawab jujur.
“Apa?”
“Iya, aku sedang menyeduh kopi. Ternyata ruangan di sebelah teras depan adalah ruang kopi. Peserta boleh menyeduh kopi yang disediakan. Lezat sekali. Ah andai alat komunikasi ini bisa mentransfer bau, kamu pasti ngiler dengan baunya.”
“Thyaras,” ucap Eternita selembut mungkin, “kuharap kamu tidak lupa dengan tugas kita.”
“Hei, siapa yang lupa. Aku hanya sedang mencoba membaur, Eternita. Seharfiah mungkin.”
“Ya sudahlah. Kamu bisa mengaturnya dengan baik.”
“Apa kamu menemukan sesuatu di sana, Eternita?” Thyaras mulai meneguk. Ekspresinya sedikit berubah ketika minuman itu melintas di tenggorokannya.
“Garasi ini tidak biasa, Thyaras,” suara Eternita serius sekali, “bisa buat belasan mobil di dalamnya. Namun, saat ini tidak ada mobilnya sama sekali.”
UHUK!
“Hei, kau kenapa?”
“Eh tidak,” Thyaras menimpali dengan suara agak parau, dia baru saja tersedak, “tidak apa, Eternita. Aku hanya tersedak. Kopinya tidak terlalu enak. Rasanya tak cocok denganku.”
“Sudah kubilang agar tidak sembarangan makan.”
“Lanjutkan laporanmu, mengenai mobil itu aku punya dugaan,” Thyaras melangkah menjauh ke pinggir ruangan untuk pembicaraan yang lebih privasi. “Mungkin mobilnya sudah dievakuasi ke tempat lain.”
“Itu dugaan yang kuat. Ada lagi yang mencurigakan di sana?”
“Sejauh ini belum. Selain sebuah patung yang bentuknya agak aneh.”
“Patung?”
Eternita ingin menyebutkan bahwa patung itu sebenarnya agak menyeramkan. Entah itu patung makhluk macam apa. Mungkin makhluk mitologi. Badannya seperti manusia, berjalan dengan kaki tegak, tapi kepalanya menyerupai singa. Lengkap dengan surai. Bahunya berbilur seperti loreng harimau. Yang paling menjadi perhatian, adalah cakar tiga di tangannya. Itu mirip seperti milik pahlawan super di salah satu buku komik yang pernah dibaca Eternita.
Patung itu seperti hidup. Menatap ke arahnya.
“Tidak perlu dipikirkan.” Eternita akhirnya menutupi semuanya.
MOZAIK 10
Tangan Kolonel Menyentuh Dinding
Lorong panjang setelah pintu masuk anjungan kiri rumah Jacob si Orang Kaya. Lorong panjang itu sekarang kosong melompong.
“Kolonel seharusnya tidak perlu mengusir mereka semua,” Sam berucap dengan sopan. Dia menegur kolonel yang berjalan di depannya. Kolonel berbalik menatapnya dengan jengkel.
“Apa katamu? Kenapa aku tidak boleh mengusir mereka? Mereka menghalangi jalanku.”
Kolonel menyentuh popor senapan yang tadi dia pakai untuk “mengusir” orang-orang. Ah sebenarnya tidak mengusir, tapi karena suara kolonel yang menggelegar membelah langit-langit rumah, mereka semua yang mendengarnya menjadi keder ketakutan.
“Kasihan mereka, Kolonel. Mereka sedang mengikuti permainan survival. Bersenang-senang.”
“Terima kasih sudah mengingatkanku, Sam.”
“Sama-sama, Kolonel. Saya harap nanti kita tidak harus berbuat kasar pada...”
“Tapi aku tidak minta pendapatmu. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Sam menarik nafas. Untungnya, dia tidak kena damprat (eh itu sebenarnya terhitung dampratan juga, karena Kolonel berkata dengan intonasi khas tentara).
Kolonel dan Sam terus menyusuri lorong. Lorong itu cukup panjang. Dihias dengan berbagai ornamen. Kolonel sempat mengidentifikasi salah satu hiasan di dinding sebagai oleh-oleh dari India.
“Sejauh ini kita tidak menemukan pintu. Apakah ini aneh menurut kolonel.”
“Ah ya, kau benar sekali, Sam. Tapi aku tidak minta saran darimu.”
Sam lagi-lagi menelan ludah.
Kolonel berhenti di salah satu titik lorong yang tidak banyak ornamen di dindingnya. Kolonel menyentuh dinding itu dengan saksama. Sam ikut mengamati, mengira-ngira apa yang akan dilakukan oleh Kolonelnya.
BUKKK!
BUKKK!
BUKKKK!
Kolonel secara simultan memukul bagian dinding tersebut. Dia memukulnya dengan kepalan tangannya besar, dan tenaganya yang liat. Saking kuatnya kolonel memukul, ornamen-ornamen di tempat lainnya ikut bergetar, hendak jatuh. Sam masih diam. Tidak berani menegur.
Setelah tiga pukulan, kolonel berhenti sejenak, dan beralih ke sisi dinding lainnya. Tadi di kirinya, sekarang dia beralih ke dinding kanannya. Kolonel mengamati sejenak, kemudian mulai memukul.
BUKK!
BUKK!
BUKKK!
Kembali bergetar ornamen-ornamen yang tertempel di dinding. Salah satu bingkai foto bahkan terlepas, lekas ditangkap Sam sebelum bingkai itu pecah.
“Jangan protes, Sam.” Kolonel langsung mendahului bicara, sebelum Sam yang mendekat ke arahnya.
“Sebenarnya apa yang hendak kolonel lakukan.”
“Tadi kau bertanya soal pintu-pintu dan kamar-kamar bukan? Nah itu tadi jawaban dariku.”
Sam garuk-garuk kepala. Tidak mengerti.
“Jangan melihatku seperti orang bodoh, Sam. Karena kau-lah yang bodoh. Aku sudah kenyang dengan pengalaman di hutan gerilya. Semua yang kulakukan penuh dengan pertimbangan yang matang.”
Pertimbangan yang matang? Semoga menerobos loket karcis termasuk pertimbangan yang matang itu.
“Kau masih tak mengerti heh? Dasar bodoh. Nah kau lihat dan dengar baik-baik.” Kolonel memukul dinding sebelah kiri sekali lagi, dan kanan sekali lagi.
BUKK!
BUKKK!
“Kau mendengarnya, Sam?”
Sam garuk-garuk kepala. Apakah dia yang kurang memahami atau logika kolonel yang terlalu tinggi.
“Suara gema, Sam. Dengarkan suara gema itu.” Kolonel mendesis sebal, “suara gema dari sebelah kiri, jauh lebih keras ketimbang di sebelah kanan. Itu berarti ruangan yang ada di sebelah kiri jauh lebih besar ketimbang ruangan di sebelah kanan. Itu kesimpulan yang mudah diambil andai kau memakai logika kau, Sam.”
Ah sudah diduga, logika kolonel memang terlalu tinggi. Tapi Sam hanya menganggukkan saja. Sejenak kemudian, Kolonel memasang pose seolah baru mendengar sesuatu yang mengejutkan.
“Dengarkan Sam.”
“Eh ada apa, Kolonel.”
“Diam dan dengarkan. Bukan malah berbicara, Sam.”
Mereka memasang telinga baik-baik.
Lima menit.
“Ada apa, Kolonel.”
“Suara langkah-langkah, Sam. Suara langkah-langkah.”
“Kenapa dengan suara langkah-langkah, Kolonel?”
“Tidakkah kau merasa aneh?”
Sam lagi-lagi merasa aneh. Astaga, apakah logika kolonel sekali lagi sangat tinggi.
“Bukankah itu suara langkah dari peserta, Kolonel” ucap Sam hati-hati.
“Kau baru saja mengata-ngatai aku bodoh, Sam.”
Mereka terus berdebat. Dengan Sam yang terus terpojok. Sementara di tempat lain, Sang Tuan duduk mengamati sambil memilin-milin janggut.
“Kolonel Dhar. Orang yang unik. Insting seorang perwira militer memang tidak bisa diremehkan.” Dia terkekeh.
Mozaik 11
Detektif Mulai Beraksi
Agathar menunggu sampai Sang Tuan benar-benar menghilang dari pandangannya. Dia masih punya waktu lima belas menit sebelum permainan dimulai, dan setidaknya lima belas menit sebelum para peserta permainan bisa mencapai ruangan office ini.
Agathar bangkit dari kursinya, dan mulai menggeledah.
Ruangan office menjadi salah satu bagian ruangan yang tidak dihias ataupun dimodifikasi. Segalanya dibiarkan sebagaimana adanya. Seperti halnya, ada seseorang yang bekerja di sana setiap hari.
Seharusnya aku bisa menemukan sesuatu di sini. Jacob banyak menghabiskan waktunya di sini. Seharusnya ada petunjuk-petunjuk.
Saat Agathar pertama tiba, membuka pintu anjungan kanan, dia langsung menyadari ada sebuah ruangan kosong tepat di sebelah kanan lorong tempat dia berdiri. Ruangan itu tidak bisa dibuka dari lorong, karena tidak ada pintunya. Agak aneh bukan, ada ruangan yang tidak bisa dimasuki dari depan.
“Aku yakin sekali di sana dulunya ada pintu.”
Agathar masih menghafal beberapa detail letak rumah Jacob si Orang Kaya. Dia ingat bahwa ruangan pertama yang akan ditemukannya ketika masuk lewat anjungan kanan, adalah ruang tidur cadangan Jacob di lantai 1. Jacob akan pindah ke ruangan ini, jika dia merasa tidak bisa tidur di kamar tidur utamanya di lantai 2.
“Jika pintu depan dihilangkan, berarti ada orang-orang yang tidak ingin ruangan ini bisa diakses dengan mudah. Tapi apakah Jacob yang menginginkan hal itu?” Agathar bertanya-tanya sendiri.
Belum sempat hilang rasa herannya dengan pintu yang telah dihilangkan dari tempatnya, Agathar kembali dikejutkan oleh sesuatu. Sesuatu yang bergerak-gerak di ujung lorong. Sebuah bayangan yang kemudian menghilang tepat di depan ruangan office.
“Itu jelas bukan bayangan manusia. Karena tempat ini harusnya disterilkan menjelang permainan survival.” Agathar bergegas mengikuti bayangan tersebut, masuk ke ruangan office, dan di sinilah dia sekarang.
“Sial. Aku kehilangan jejaknya. Makhluk apa itu tadi. Tangannya seperti membawa sesuatu. Seperti tiga bilah yang tajam.”
Saat itulah Agathar menyadari, (sebelum kedatangan Sang Tuan) bahwa rumah ini memang tidak beres. Ada banyak hal yang mencurigakan.
“Makhluk itu, apapun dia, bisa saja membahayakan para peserta. Tapi ya sudah. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengurusnya. Mungkin nanti dia akan muncul lagi untuk memberikan kejutan dan aku akan beruntung jika bisa memukulnya dengan tongkatku.”
Agathar kembali fokus dengan pekerjaannya. Tangannya mulai membongkar laci meja kerja yang ada di ruangan office Jacob si Orang Kaya. Tak terasa, waktunya kini semakin terbatas.
Mozaik 12
Tak Ada Toilet Kah?
“Sepertinya, dari kita bertiga, kaulah yang paling ngebet ingin kaya, Alli.” Temannya, si pemanjat tebing berseru sambil tertawa lebar setelah melihat wajah Alli yang sedih. Sedih lantaran di ruang tamu, sama sekali tak ditemukan harta. Tidak ada hadiah yang bisa diambil. Tidak ada bulu burung. Tak peduli seberapa detail mereka mencoba memerhatikan, dan memang tidak banyak yang bisa diperhatikan.
“Kalau begitu, bulu burung ini untukmu saja, Alli.” Temannya yang satu, si pedagang emas menyerahkan bulu burung emas itu padanya. Namun Alli menolak.
“Kau salah sangka, teman. Aku tidak menghendaki kekayaan, meskipun ya, alasan kenapa aku ikut permainan ini adalah karena aku ingin mendapatkan banyak hadiah. Aku sedih karena tampilan ruang tamu ini tidak mengesankan petualangan sama sekali.”
Dua temannya kompak tertawa. Alasan Alli nampak sekali diada-adakan bagi mereka.
Dari ruang tamu, mereka bertiga dihadapkan pada dua pilihan, kembali ke jalur lorong yang akan mengantarkan mereka ke ruangan lain di dalam rumah ini, atau mencoba membuka pintu di sebelah sana. Menuju ke ruangan lain yang terhubung langsung dengan ruang tamu.
Alli memilih pintu ke arah ruangan lain, namun dua temannya berkeras hendak ke arah lorong.
“Lebih baik kita coba mencari ruangan lain ke luar.”
“Benar,” timpal si pedagang emas mendukung pendapat si pemanjat tebing, “firasatku mengatakan, tidak ada apa-apa di ruangan sebelah sana itu,” dia menunjuk ke arah pintu yang hendak dituju Alli.
“Tapi apa salahnya bukan,” Alli tak bergeming, “kita tidak bisa melewatkan satu ruangan pun. Lebih baik memeriksanya. Siapa tahu mujur.”
“Ya sudah, kalau begitu kami duluan.”
“Sepertinya kita berpisah di sini,” ucap si pedagang emas, dan Alli tidak keberatan. Dia masih bisa bertemu orang-orang lain yang tak kalah unik dalam perjalanan.
Si pemanjat tebing dan si pedagang emas melambaikan tangan, meninggalkan Alli di ruang tamu. Tidak sendirian, karena masih banyak peserta lainnya di sana. Alli, sesuai kata-katanya, mantap melangkah menuju ke ruangan yang tersambung langsung dengan ruang tamu.
“Ah rupanya ini kamar tidur.” Alli berseru. Ada dua orang yang juga sedang mengamati di dalam ruangan ini. Sepertinya bukan tipikal yang suka mengobrol. Mereka tidak menghiraukan kedatangan Alli.
Selang beberapa saat kemudian, mereka berdua melangkah pergi, juga tanpa menghiraukan Alli. Seakan Alli tidak ada di situ. Alli tak tahan untuk menegur, “hei, mau kemana kalian?”
“Pergi dari sini. Tidak ada apa-apa di ruangan ini, Bung.”
Sungguh sambutan yang tidak ramah. Alli membatin. Dua orang itu terus berjalan, kemudian terdengar bunyi pintu ditutup. Alli kini sendirian di ruangan itu.
Alli tidak salah ketika menebak ini adalah kamar tidur. Memang begitu adanya. Ada sebuah ranjang yang lumayan besar untuk ditempati satu orang di ruangan tersebut. Juga ada meja kecil dengan lampu tidur warna ungu di atasnya. Serta ada lemari kecil untuk menempatkan sesuatu, seperti tas, atau buku-buku barangkali.
Ini bukan kamar tuan rumah, Alli berspekulasi. Tidak banyak perabotan yang ada di dalamnya. Tambahkan satu-satunya pintu untuk mengakses ruangan ini tersambung ke ruang tamu, maka sudah jelas, ini kamar tidur untuk tamu.
Kamar Tamu.
Seperti kata dua orang yang meninggalkan ruangan ini sebelumnya, memang tidak ada yang istimewa dengan ruangan ini. Ranjang untuk tidur, meja kecil, dan lemari kecil. Hanya itu. Tidak ada perabotan lain. Kamar yang sangat polos. Minimnya perabotan membuat kamar ini terasa membosankan. Pasti tamu yang bermalam bisa kapok. Tidak ada sambutan apa-apa yang bagus di sini. Alli hanya memeriksa kamar ini sebentar. Dia bangkit.
Apalagi tidak ada toilet di kamar ini!
Mozaik 13
Tak Ada Respek untuk Orang itu
BUKKK!
BUKKKK!
BUKKKKK!
BUKKKKKK!
Bunyi-bunyi terdengar begitu keras dari dinding. Dinding garasi bagian belakang yang bersebelahan dengan anjungan kiri. Eternita yang sedang berada di garasi merasa begitu terkejut dengan bunyi itu.
Apapun yang menyebabkan bunyi itu, dia pasti berukuran besar dan beratnya paling tidak 70 kilogram, pikir Eternita. Sebenarnya bunyi itu tidak terlalu penting, tapi Eternita yang gampang penasaran sangat ingin mengetahui apa yang menyebabkan bunyi-bunyi keras itu.
Bagaimana caranya aku bisa melihat ke arah datangnya suara itu? Eternita berpikir, tapi tidak hanya sampai situ, matanya juga gestit menyapu seisi ruangan. Mencari cara.
Ah ada jendela kecil di sebelah sana. Secara hitung-hitungan sudut, Eternita segera tahu kalau dari jendela kecil itu, dia bisa melihat ke ruangan luar, ke arah datangnya suara. Ah ada tangga juga di sana. Eternita segera mengambil tangga, dan dengan tangkas, dia naik.
Tentu saja, suara langkah-langkah Eternita itu terdengar begitu jelas di telinga Thyaras yang sedang memakai alat komunikasi. Bunyi-bunyi itu membuat Thyaras bertanya, apa yang sedang dikerjakan oleh temannya itu di garasi. Tapi dia urung bertanya. Siapa tahu Eternita sedang sibuk.
Siapa tahu Eternita sedang memanjat tangga untuk membuka sebuah jendela kecil misalnya? Thyaras menertawakan pemikiran konyolnya.
Eternita bisa melihat dari jendela kecil itu, yang dua setengah meter jaraknya dari lantai, ada dua orang di luar sana. Satu diantara berkepala gundul, membawa senjata di punggungnya dan memakai rompi anti peluru.
Itu peserta kah? Eternita bertanya-tanya sendiri. Dia berusaha keras agar tidak bersuara, agar tidak menarik perhatian. Kalau benar itu peserta, dia akan merepotkan. Apalagi dengan senjata itu. Eternita bisa dengan nampak melihat orang itu berkali-kali memukul dinding.
Apa yang dipikirkannya? Apa yang dia inginkan dengan memukul-mukul dinding seperti itu?
Eternita terus memperhatikan dua orang itu. Hanya si pria gundul yang terus memukul-mukul dinding. Sementara si pria satunya, yang perawakannya lebih kecil, lebih banyak bicara. Seperti sedang meyakin-yakinkan pria gundul.
Dua orang yang amat menarik, benak Eternita. Dia mencoba menganalisis kesan-kesan pertama yang bisa diambilnya atas dua orang itu.
Pria gundul itu jelas bodoh. Sedangkan yang satunya, boleh dikata lebih pintar. Sedikit. Ya, hanya sedikit. Mereka berdua bukan orang yang bisa diandalkan untuk bekerja sama karena mereka jelas akan mengacaukan semua rencana.
Tapi, sepertinya pria gundul itu jago bertarung. Setidaknya dia akan bertahan lebih lama dibandingkan yang lain kalau berhadapan dengan beruang di alam bebas.
Pria kecil itu nampaknya adalah bawahan si gundul, tapi dia sendiri tidak respek dengan si gundul. Dia lebih ke arah takut ketimbang hormat. Berarti Si Gundul ini orangnya pemarah.
Merepotkan sekali.
“Eternita,” tiba-tiba alat komunikasi di telinga Eternita berbunyi. Itu Thyaras. Karena tidak mau ketahuan, Eternita mengabaikan sejenak panggilan itu, sebelum dia bergegas turun. Menghasilkan bunyi gedebuk keras. Itu membuat Thyaras semakin heran.
“Eternita, kamu mendengarku?”
“Ya, sangat jelas.” Eternita akhirnya menjawab.
“Astaga, apa yang sebenarnya kau lakukan di sana. Kenapa ada bunyi-bunyi aneh.”
“Kamu tidak akan bisa menebak, Thyaras.”
“Maka beritahu aku.”
“Bukan sesuatu yang penting.”
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Sehat wal afiat, Thyaras. Sebentar lagi aku akan keluar dari ruangan ini dan kembali ke ruang santai.”
“Hei, apa yang sebenarnya terjadi, Eternita?”
“Kau tidak akan mau tahu, Thyaras. Aku baru saja bertemu dengan orang yang memuakkan. Semoga kita tidak akan berurusan dengan orang itu. Malam ini ataupun nanti-nanti.”
Kalimat itu jelas membuat Thyaras semakin bingung. Apa yang terjadi. Orang yang memuakkan? Tidak mau berurusan? Satu kata lagi, yaitu “menyentuh” Thyaras akan mengira Eternita menjadi korban pemerkosaan.
mozaik 14
Kolonel Memarahi Beberapa Orang
“Nah daripada kau terus menatapku seolah-olah aku bodoh, sebaiknya kau katakan, kemana kita selanjutnya?”
Kolonel Dhar adalah sebuah kontradiksi. Kontradiksi yang lucu sekaligus ironi. Dia tidak percaya pada pendapat orang lain, tapi dia terkadang ingin meminta pendapat orang lain. Setelah itu dia akan mengejek dan mendamprat orang yang memberinya saran seolah orang itu bodoh. Bagi sebagian orang, sifat itu menjengkelkan.
Sifat megalomania Kolonel Dhar benar-benar terlihat jelas.
“Eh saya, Kolonel? Saya tidak tahu kemana kita harus pergi. Kolonel yang lebih tahu.” Sam mencoba merendah, menggeleng.
“Ah kau ini, Sam. Satu kesalahan fatal dalam medan perang adalah kita tidak memahami medan yang kita hadapi dengan benar. Menguasai medan adalah salah satu prosedur militer terpenting di negara kita. Kau tahu itu, Sam?”
“Sangat jelas, Kolonel.”
“Dimana kira-kira kita bisa mendapatkan peta, Sam?”
“Mungkin di loket karcis tadi.”
Mendadak ekspresi kolonel menjadi sangat tidak enak dilihat. Seperti gunung berapi akan meletus setiap saat.
“Lalu kenapa kau tidak mengatakannya dari awal, heh?”
“Maaf Kolonel. Tapi saya juga tidak mengira demikian.”
“Ayo kita kembali.”
Tapi ketika mereka menengok ke jendela luar, nampak bahwa loket karcis sudah ditutup. Seluruh peserta sudah masuk ke dalam rumah.
“Kau benar-benar bodoh, Sam.”
“Maafkan saya, Kolonel.”
“Sekarang bagaimana solusinya?”
“Mungkin kita harus bertanya pada peserta lainnya. Mungkin mereka bisa memberitahu kita jalan yang benar.”
“Dan dimana mereka sekarang?”
Ingin sekali Sam mengatakan bahwa mereka yang telah mengusir peserta lainnya agar jauh-jauh dari tentara. Tapi itu tak terucapkan.
“Ya sudah. Kau membuat aku terlihat bodoh, Sam. Ayo kita cari peserta lain lalu kita bertanya soal peta. Setelah itu baru kita bisa mempertimbangkan kemana jalur perjalanan kita selanjutnya.”
Di dekat pintu ruang makan, Kolonel dan Sam bertemu dengan salah seorang peserta. Peserta baru yang tidak pernah mereka temui. Sam mencoba untuk bertanya dengan sopan, apakah mereka punya peta. Tapi orang itu malah kebingungan.
“Peta? Peta apa?”
“Peta rumah ini, Tuan.”
“Kalian ini bagaimana sih, tidak ada peta dalam permainan survival ini. Anda tidak baca peraturannya?”
Kolonel mendelik. Orang ini menatapnya seperti orang bodoh. Sam sudah berwaspada, Kolonel pasti akan murka lagi kalau situasi begini.
“Jadi, apa yang akan kalian lakukan selama di rumah ini? Kemana tempat yang akan kalian tuju?” Kolonel berkata dengan suara tergetar.
“Kami bertualang. Kami akan menyentuh semua tempat.”
“Kalian tidak berencana pergi ke satu tempat?”
Orang itu menggeleng.
“BODOH!” Akhirnya keluar kata-kata itu dari mulut Kolonel. Namun orang itu, tak terintimidasi, dan membalas dengan tenang, “tidak, tidak. Survival tidak memerlukan tempat tertentu. Kita harus bertahan sampai waktu tertentu, bukan tempat tertentu.”
“Apa katamu?” Kolonel menatap orang itu dengan tajam. Kini mereka beradu mata dalam jarak yang dekat. Cukup dekat bagi Kolonel untuk menampar orang itu sampai terbanting.
Orang itu mulai gentar, menelan ludah. Dia agaknya merasakan aura mengintimidasi dari orang di hadapannya ini. Agaknya seragam tentara ini bukan seragam semata.
“Kolonel, sebaiknya kita pergi. Mungkin kita bisa mencoba melihat-lihat beberapa ruangan.”
Kolonel tak mendengarkan. Matanya terfokus pada orang di depannya.
“Kau, dengarkan baik-baik. Anggap saja ini adalah peringatan berharga dariku. Kau seharusnya tahu lebih banyak. Kau harus tahu lebih banyak agar bisa menyelamatkan diri. Karena di rumah ini, ada banyak bahaya.”
mozaik 15
Agathar Kenal Jacob Secara Pribadi
“Sepertinya para peserta sudah datang,” Agathar bergumam. Terdengar bunyi langkah-langkah kaki yang semakin intens. Dia harus memutuskan, apakah dia akan membuka palang pintu ruangan office ini, atau membiarkannya.
Agathar tahu satu hal yang pasti. Dia harus menyelesaikan pemeriksaannya terhadap ruangan ini sebelum ada peserta yang menemukannya. Tangan Agathar bergerak gesit, layaknya seorang detektif handal, melihat setiap inchi ruangan dengan saksama. Mencoba melihat detail-detail kecil. Sidik jari. Goresan. Namun semakin Agathar melihat-lihat, semakin dia berdecak sebal.
“Ruangan ini jelas direnovasi tak lama sebelum permainan ini dimulai. Semoga ini hanya untuk pergantian suasana, bukan untuk menutupi jejak-jejak tertentu.”
Dari dinding, Agathar beralih ke lantai. Kembali mencari di setiap inchi. Mencari goresan yang barangkali bisa jadi petunjuk. Lima menit kemudian, Agathar membuat kesimpulan singkat meski belum “menjelajahi” setiap inchi lantai.
“Tidak. Ruangan ini bahkan tidak pernah digunakan sejak beberapa bulan. Ini aneh. Setahuku Jacob adalah seorang....”
Kalimat Agathar terpotong. Dia menoleh ke arah pintu. Ada bunyi ketukan terdengar. Seorang peserta sudah mencapai pintu ruangan ini.
“Kurasa aku memang harus membukakannya agar terlihat sportif.”
Agathar menunggu sampai suara ketukan menghilang dan langkah kakinya menjauh. Dia akan membukakan pintu untuk orang berikutnya.
“Selagi belum ada peserta lain yang datang, aku harus memaksimalkan kesempatan yang ada.”
Setelah memastikan tidak ada petunjuk yang bisa digali di ruangan lantai dan dinding, Agathar beralih ke meja kerja. Dia mulai membongkar isi laci meja kerja tersebut dengan antusias.
KLAK!
Suara pintu terbuka. Agathar berdiri, menunjukkan dirinya. Menghentikan pekerjaannya. Peserta itu terlihat heran melihat ada orang yang berada di ruangan tersebut sebelum dirinya.
“Eh ada orang rupanya.”
“Selamat datang. Salam kenal.”
Agathar berusaha terlihat ramah.
“Ruangan apa ini?”
“Ruangan office. Ruang kerja Tuan Rumah.”
“Tuan sudah menemukan hadiahnya?”
“Tidak ada apa-apa di sini.” Agathar menjawab jujur. Dalam pikirannya dia geleng-geleng kepala karena orang ini hanya memikirkan soal hadiah, soal uang.
Peserta itu menunduk hormat, percaya pada kata-kata Agathar lalu meninggalkan ruangan itu tanpa berkata sepatah kata lagi. Agathar melanjutkan pekerjaannya.
Baru saja dia ingin membongkar laci meja itu, saat derap kaki kembali terdengar, mendekati ruangan office. Agathar membatalkan kerjanya, kembali berdiri. Melihat siapa yang datang kali ini.
“Tuan Agathar.”
Orang itu menyapa, menyapa dengan namanya. Sebagai balasan, Agathar mengangkat topinya, simbol respek.
“Kenapa Tuan bisa ada di sini? Apakah ada kasus kejahatan di rumah ini?”
Agathar menggeleng, tidak ada. Dan kalau pun ada dia tidak akan membocorkan apa yang terjadi pada orang lain.
“Senang bisa bertemu dengan Tuan Agathar, seorang detektif kondang. Bolehkah kita bersalaman.” Peserta itu, seorang pria muda berusia 25 tahun, beringsut maju, mengulurkan tangan secara sopan pada Agathar, yang usianya 10 tahun lebih tua.
“Tentu saja.”
“Jadi, Tuan ikut dalam permainan ini?”
“Oh ya, seperti yang terlihat.” Agathar agak kikuk hendak menjawab apa.
“Permainan ini akan semakin menantang karena Tuan Agathar ikut.”
Pujian basa-basi. Satu dua kalimat lagi, Agathar akan mengira kalau pria ini adalah penggemar beratnya. Yah, apa boleh buat, dirinya memang punya banyak penggemar.
Siapa pula yang tak mengenal Agathar, detektif kondang Kota J, yang intuisinya tajam, kemampuan analisisnya cemerlang, penampilannya yang keren, serta otaknya encer. Karier detektif Agathar terjalin rapi sejak dia berumur dua puluh tahunan. Sejak dia lulus kuliah. Kini, setiap ada kasus kejahatan, terutama yang rumit dan muskil, selalu melibatkan dirinya di dalam pemecahannya.
Agathar adalah detektif nomor 1 di Kota J.
“Ah, sebaiknya aku memalang kembali pintu ini. Peduli setan dengan sportifitas, mereka juga merangsek masuk ke ruangan ini, mengganggu pekerjaanku. Mereka juga tidak sportif.”
Lalu Agathar memasang kembali palang pintunya.
Mozaik 16
Ruangan Workshop dan Gymnastic
Ruang Workshop.
Agak aneh sebenarnya mendengar nama ruangan semacam itu. Apalagi mendengarnya ada di rumah seseorang. Namun, ruangan tersebut bisa ditemukan di rumah Jacob si Orang Kaya. Beberapa orang peserta sedang menuju ke sana, dan beberapa lainnya sudah melihat-lihat ruangan itu.
Itu ruangan yang bagus. Memukau mata yang memandangnya. Sebab di dinding-dindingnya, tertempel berbagai hiasan, kerajinan tangan yang sangat indah. Ada yang terbuat dari tanah liat, ada yang terbuat dari akar tumbuhan hutan, ada yang terbuat dari logam besi, dan lain-lain. Semua diolah menjadi berbagai bentuk kerajinan, miniatur, ukiran, kap lampu dan macam-macam lainnya. Semua dicat dengan warna yang menyenangkan mata.
Alli tiba di ruangan workshop setelah sebelumnya menganggap ruangan itu hanya lelucon.
“Ternyata bukan lelucon ya. Ah lihat, bagus sekali semua kerajinan yang ada di sini.”
Setelah menatap sebuah kamar yang tidak berperabot lengkap dengan suasana yang membosankan, tentu menemukan tempat pemajangan karya seni kriya ini adalah hal yang menyenangkan bagi Alli. Terutama miniatur-miniatur yang dibuat dari tanah liat. Itu kesukaannya.
Ada sebuah miniatur unik yang ditata di atas papan berukuran setengah kali setengah meter, dengan “orang-orang kecil” yang sedang berperang di atasnya. Semua dibuat dari tanah liat dan mencerminkan percobaan penyerbuan Napoleon atas Soviet beratus tahun silam. Alli mengamati miniatur itu dengan seksama.
“Mereka membuatnya dalam skala detail yang mengagumkan. Aku bahkan bisa melihat kerutan-kerutan di tangan mereka. Atau lihat parit-parit ini, guratan tanahnya sangat nyata. Dan saljunya,” Alli mencoba memegang, “seperti asli. Ini karya seni yang memakan waktu berbulan-bulan untuk dikerjakan.”
Sementara Alli mengagumi miniatur itu dari jarak tak lebih dari 5 cm, seseorang mendatangi dan menepuk bahunya.
“Sebuah karya seni yang menarik sekali ya, bung?” sapanya.
Alli mendongak, yang menyapanya adalah seorang pria muda, berusia sekitar 30 tahun, yang memakai setelan jaket. Nampaknya orang ini ramah. Alli membenarkan pertanyaannya, sambil menambahkan, “aku suka cara mereka membuat miniatur yang sangat detail seperti itu.”
“Ah ya, miniaturnya memang mengagumkan. Tapi itu tidak menutupi kenyataan buruknya.”
“Ha, kenyataan buruk? Ada apa? Apa yang salah dengan miniatur ini? Apakah mereka membuatnya dengan mengerahkan tenaga paksa dan memakan upah mereka setengahnya seperti sedang membangun jalan tol?”
Pria itu tersenyum, “kau bercanda, bung. Maksudku adalah, miniatur itu memang keren. Tapi itu tidak bisa dijual. Pembeli akan menuduh kita mencuri bahkan sebelum kita menyebutkan harganya.”
“Kenapa kita harus menjualnya?”
“Kau lupa kenapa kita masuk ke dalam rumah ini? Jelas bukan, untuk mencari hadiah.”
“Ya, aku tahu itu. Tapi aku tidak berpikir untuk mengambil miniatur unik ini. Masih ada hadiah lain yang bisa diambil.”
“Nah itu dia masalahnya,” seru pria itu, “di ruangan ini tidak ada hadiah apa-apa. Tidak ada hal lain yang berharga selain kerajinan-kerajinan.”
“Ha, bukannya tuan rumah menjanjikan kita banyak hadiah. Mungkin tersembunyi saja. Di ruangan lain misalnya.”
“Aku berharap demikian. Tapi seandainya aku beranjak ke satu ruangan lagi, dan tidak menemukan hadiah, aku akan merasa ditipu. Permainan ini seperti main-main belaka.”
Baru saja Alli hendak menimpali, ketika terdengar suara teriakan mengaduh dari seberang ruangan besar workshop itu. Teriakan yang membuat Alli reflek melompat, mencari tahu. Dia melangkah ke bagian lain ruangan.
Rupanya, ruangan workshop ini terhubung dengan ruangan lainnya. Tanpa sekat. Setengah ruangan besar ini dipakai untuk kebutuhan lain. Ada banyak alat angkat beban, alat-alat berolahraga, persis, seperti di satu tempat.
Rumah Jacob si Orang Kaya punya area gymnastic-nya sendiri.
Teriakan tadi terdengar dari ujung ruangan gymnastic ini. Ada beberapa orang berkerumun di sana. Membuat lingkaran.
Alli menyibak kerumunan, sibuk bertanya, “ada apa?”.
Rupanya hanya orang yang kram otot karena mendadak ingin berolahraga. Alli menarik nafas lega. Syukurlah. Tadinya dia kira ada keributan apa. Kejadian itu dengan mudah diatasi.
mozaik 17
Rumah yang Aneh
“Iya Eternita, aku akan menunggumu di ruang santai.”
Mereka masih bicara lewat alat komunikasi yang sama tergantung di telinga. Eternita masih di garasi, sementara Thyaras sedang menyeduh cangkir kopi keduanya. Salah satu peserta di ruang kopi mendelik padanya, karena Thyaras terlihat maruk sekali. Mengambil gelas kedua padahal gelas pertamanya masih terisi penuh. Thyaras tak ambil peduli. Lanjut menyeduh.
“Dimana ruang santai, Thyaras?”
“Di sebelah ruang kopi, Eternita. Kamu masuk saja lewat teras depan, masuk ke ruang kopi, kemudian lurus lagi ke depan, di sanalah ruang santai.”
“Dengan kata lain aku harus berputar.”
“Mau bagaimana lagi. Aku tunggu. Cepatlah. Nanti kopinya keburu dingin.”
“Hei, kopi?”
Tidak ada jawaban lagi dari Thyaras, dia sudah memutus pembicaraan.
Eternita mengikuti rute yang digambarkan oleh Thyaras, masuk ke ruang kopi. Dia sudah heran sendiri melihat ada banyak orang yang berkerumun di meja panjang itu. Mereka menyeduh kopi? Jadi ini tadi yang disebut-sebut oleh Thyaras. Aroma ruangan ini memang menarik nafsu makan, tapi dia tidak akan tertipu. Eternita orang yang sangat skeptis. Dia tidak akan menyentuh kopi itu. Siapa tahu ada jebakan.
Dia meneruskan langkah ke ruang santai. Lurus dari ruang kopi. Thyaras, temannya sudah duduk di salah satu sofa. Sesuai namanya, ruang santai menyediakan banyak sofa untuk bersantai, aroma wangi buah jeruk yang membuat rileks, serta ruangan berpendingin yang sejuk. Ada pula sebuah tv besar di tengah-tengah ruangan. Namun tidak ada yang tertarik menyalakannya.
Thyaras melambai pada Eternita.
Melihat temannya yang dengan santai duduk di kursi, meneguk kopi, sambil menyilangkan kaki, Eternita jadi jengkel. “Apakah kamu tidak sadar kalau kita terlalu santai, Thyaras?”
“Tidak,” Thyaras menggeleng, mengabaikan suara jengkel Eternita, “sudah kubilang, kita harus membaur. Ayo minum. Itu sudah kubuatkan minuman untukmu.”
“Aku tidak akan meminumnya,” sahut Eternita, menggeleng, masih berdiri.
“Hei, kenapa? Kamu takut rasanya tidak enak. Jangan cemas, aku sudah mencampur bubuk kopinya dengan tepat. Mengenai kata-kataku sebelumnya, aku hanya salah campur. Sekarang tidak lagi. Kopi ini lezat. Ayolah, coba dulu. Mumpung gratis. Meski lidahku tidak sering makan makanan mewah, aku tahu kopi ini mahal.”
Eternita tetap menggeleng, “aku tidak akan minum, dan seharusnya aku memperingatimu lebih awal.”
“Kamu kenapa sih, Eternita?”
“Kita tidak boleh terlalu banyak bersantai. Tugas kita serius sekali.”
“Ayolah, jangan terlalu kaku. Semua orang bersenang-senang. Lagipula tempat ini tidak terlalu berbahaya.”
Thyaras mengibaskan tangan. Eternita mendekatkan wajahnya, berbisik, “bukankah kita sama-sama tahu Thyaras, bahwa di sini, bukan area permainan biasa.”
“Baik, baiklah. Kita kembali ke misi kita. Apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Seperti katamu, waktu kita sempit bukan?”
“Ya, kita sudah menghabiskan waktu 45 menit sia-sia.”
“Tidak, tidak sia-sia. Aku sudah menemukan beberapa detail.”
“Ya, aku juga,” sahut Eternita.
“Mari kita lihat, apa kesimpulan yang bisa kita ambil.”
“Thyaras, aku merasa rumah ini mencurigakan. Ada yang salah dengan permainan ini.”
Thyaras menelan ludah. Kesimpulannya juga seperti itu.
mozaik 18
Menuju ke Ruang Perapian
Sudah satu jam permainan survival dilakukan.
Beberapa peserta terkagum-kagum dengan arsitektur dan desain rumah Jacob si Orang Kaya yang memang elegan dan luar biasa itu. Mereka merasa dimanjakan oleh banyaknya hal-hal hebat nan mewah yang mereka temukan di perjalanan.
“Hebat sekali, rumah ini seakan berada di zaman yang berbeda dengan kita.”
“Kau benar, aku seolah merasa ada di masa depan. Empat ratus tahun dari sekarang.”
Yang lainnya menimpali dengan sedikit meringis, “kapan ya, aku bisa punya rumah sebesar ini.”
“Oh kawan, kau bisa mendapatkannya. Mudah sekali bahkan.”
“Caranya?”
“Kau tinggal pulang ke rumah, lalu tidur. Berharaplah rumahmu dalam mimpi bisa menandingi rumah Jacob si Orang Kaya.”
Lalu mereka tergelak.
Namun beberapa lainnya, peserta-peserta dengan ekspektasi tinggi, tak sedikit yang ber-yahhh kecewa sebab tidak banyak harta, hadiah-hadiah kecil yang mereka harapkan terselip di berbagai sudut ruangan. Beberapa peserta membayangkan mereka akan menemukan uang di sela-sela kaki meja, atau barangkali potongan emas murni yang nyempil di antara hiasan dinding. Namun nyatanya itu tidak ada.
“Apakah Tuan rumah kita sepelit ini. Jangankan emas murni bergram-gram, sekeping koin saja tidak ada.”
“Seharusnya tidak, Tuan Jacob adalah orang yang dikenal sangat dermawan. Dia tidak pernah segan-segan memberikan hartanya, soalnya hartanya tidak habis-habis.”
“Tapi kenapa tidak ada apa-apa di sini? Apakah kita sudah ditipu?”
“Jangan berkata begitu. Jangan menuduh sembarangan. Bersabarlah sedikit.” Peserta lainnya coba menghibur.
“Ya, kau pikir mendapatkan harta itu mudah. Mengemis saja perlu usaha. Kita harus berusaha mendapatkannya.”
“Mungkin harta karunnya disimpan di dalam ruangan yang hanya bisa dibuka dengan empat kunci itu.”
Kemudian mereka manggut-manggut.
Namun pemikiran-pemikiran semacam itu tidak terlintas di kepala Kolonel Dhar ataupun Sam, karena sejak awal, apa yang mereka cari, memang agak “berbeda” dengan para peserta permainan survival.
“Ke ruang makan, Kolonel.”
Langkah Kolonel terhenti tepat di depan sebuah lorong panjang setelah belokan. Di antara lorong itu, ada dua buah pintu saling berhadapan yang sama-sama terbuka. Satu ke ruang makan, satunya ke ruang santai yang ada perapiannya.
“Apa yang kita cari, tidak ada di ruangan makan, Sam.”
“Kenapa Kolonel berpikir demikian.”
“Ruang makan tidak terlalu penting. Lebih baik kita ke ruangan yang ada perapiannya. Akan lebih banyak kemungkinan bagi kita di sana.”
Sam garuk-garuk kepala, pemikiran kolonel tidak terdengar logis bagi dirinya. Bahkan cenderung aneh. Tapi dia tidak bisa membantah, atau Kolonelnya (yang sudah tenang itu) kembali marah-marah.
Mereka pergi ke ruang perapian.
Ruang perapian adalah salah satu ruangan paling nyaman dan paling luas di lantai 1 rumah Jacob si Orang Kaya. Perapiannya menyala-nyala ketika Kolonel dan Sam masuk ke sana. Suasana malam yang tadinya terasa dingin, kini lebih hangat.
“Kolonel Dhar.” Sebuah suara menyapa mereka. Kolonel yang merasa disapa dengan hormat, seketika mengangguk respek. Sam di belakangnya berbisik, “hati-hati, Kolonel.”
“Tidak apa-apa. Rasanya aku mengenal orang ini. Pernah bertemu denganku di satu acara resmi. Jamuan walikota atau semacamnya. Ah aku benar bukan, walau aku lupa siapa namamu.”
Kolonel menjulurkan tangan, mereka berdua bersalaman. Pria berusia ditaksir sepantaran dengan kolonel, mengumbar senyum, respek.
Mereka berdua segera mengobrol tentang topik-topik yang disukai kolonel, apalagi kalau bukan, soal dirinya. Kolonel amat suka menyombong-nyombongkan kehebatannya. Mereka berbicara cukup lama, bahkan sampai harus saling duduk di kursi empuk di depan perapian. Mereka memperlakukan rumah ini, seolah milik mereka sendiri.
Nyaris saja Sam disuruh untuk mencarikan air.
mozaik 19
Dokumen-dokumen Tua
Seperempat jam setelah Agathar memalang pintu ruangan office, tidak ada gangguan lagi, dia kembali asyik dengan kegiatannya, membongkar isi ruangan kerja Jacob si Orang Kaya. Sekarang, seluruh isi laci di meja kerja itu, habis dibongkar oleh Agathar.
Ada berupa-rupa dokumen di dalam laci tersebut. Semua dikeluarkan oleh Agathar, ditumpuk-tumpuknya sehingga membentuk tiga gunungan dokumen di atas meja kerja. Setelah memastikan tidak ada dokumen yang tertinggal, tak peduli itu serpihan dokumen sekalipun, Agathar kembali duduk di kursi dan memeriksa satu demi satu dokumen tersebut.
Ini dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pekerjaan Jacob si Orang Kaya. Jejak-jejak orang itu pasti bisa ditemukan lewat dokumen-dokumen ini.
Agathar begitu antusias, menggosok-gosokkan tangan. Dia mengurutkan dokumen itu dari yang paling lama, sampai yang paling baru. Di masing-masing bagian depan dokumen, ada tanggal-tanggalnya, mudah mengurutkan.
Mari kita lihat, dokumen paling baru yang diurus oleh Jacob si Orang Kaya, ada tanggal berapa.
“Tiga tahun yang lalu,” wajah Agathar langsung ditelan kekecewaan. Tapi nalurinya segera terusik, dokumen terbaru itu berangka tiga tahun yang lalu, apa itu berarti sesuatu. Tidak mungkin Jacob si Orang Kaya berhenti menerima dokumen sejak tiga tahun yang lalu. Ini adalah bagian bisnisnya, harusnya dia mendapatkan dokumen setiap beberapa bulan sekali.
“Tiga tahun bukan waktu yang singkat,” Agathar menimbang-nimbang, lalu terpikir olehnya kalau dokumen-dokumen terbaru telah diletakkan di tempat lain.
Tapi....
Kenapa dokumen-dokumen sebelumnya begitu urut, sebelum berhenti di tiga tahun yang lalu. Gunungan dokumen itu berurutan dari sepuluh tahun yang lalu, sampai tiga tahun yang lalu, dan berhenti di situ.
Seolah Jacob si Orang Kaya menghilang begitu saja.
Agathar berdecak kesal. “Jangan katakan padaku, kalau surat itu benar. Jangan bilang padaku kalau Jacob si Orang Kaya memang telah menghilang beberapa tahun yang lalu. Karena jika itu benar, permainan malam ini, telah berubah jadi sesuatu yang mencurigakan.
Dengan kata lain, ada seseorang yang memakai nama Jacob si Orang Kaya dan melakukan permainan survival demi kepentingannya sendiri.
“Tapi siapa orang itu?”
Agathar menendang laci itu dengan keras hingga terdengar suara gedegum. Membuat palang pintu yang tidak dipasangnya dengan baik, terjatuh begitu saja.
“Misi kali ini lebih mengesalkan dari apa yang kukira.”
mozaik 20
Alli dan Agathar, Pertemuan Pertama
“Permisi.”
Perlahan, diiringi dengan seruan sopan itu, Alli membuka ruang kerja Jacob, Ruangan Office, sebagai ruangan yang tersambung langsung dengan ruang workshop. Tidak ada peserta lain yang mengikutinya kali ini, jadi dia sendirian masuk ke sana.
Untuk bertemu dengan Agathar yang juga sedang sendirian di dalam sana.
Mereka saling bersitatap.
Wajah Alli ramah, karena dia sudah menduga ada orang yang akan ditemukannya dalam ruangan ini, meski dia tidak menyangka orang itu bersetelan rapi sekali, sementara wajah Agathar mengesankan kalau dia kaget. Kenapa bisa-bisanya ada orang masuk ke sini. Bukankah tadi ruangannya sudah kupalang.
Agathar melihat ke arah palangan pintunya yang tergeletak di lantai.
Sial, sepertinya palangannya jatuh saat aku menendang laci tadi. Seharusnya aku tidak menendangnya terlalu keras, Agathar mengomel dalam hati.
“Selamat malam, Tuan. Maaf kalau saya mengganggu.” Alli menganggukkan kepala, menghormat. Agathar menatap balas, tanpa menjawab.
“Kalau saya boleh tahu, apa yang sedang Tuan kerjakan di dalam sini, saat semua orang di luar sedang berburu harta karun, seperti orang-orang Spanyol di abad ke-16.”
Orang ini terdengar cukup pintar, suka basa-basi, tapi dia juga polos. Lihatlah dandanannya yang norak itu.
Agathar tidak menjawab, berbalik badan, tangannya gesit merapikan gunungan dokumen yang ada di meja tadi. Mengembalikannya ke laci.
“Ada yang bisa saya bantu?” orang norak itu, yakni Alli, malah mendekati Agathar. Itu membuatnya semakin kesal.
“Kau peserta permainan ya?” akhirnya Agathar memutuskan untuk bertanya, basa-basi paling terpikirkan olehnya saat ini.
“Ya, begitulah. Apakah Tuan juga? Atau tuan malah seorang pekerja di sini?”
“Pekerja?” Agathar agak heran, tapi hanya sejenak. Kemudian dia menyadari bahwa ini ruangan kantor, dan dia memakai setelan jas rapi dan sedang merapikan beberapa dokumen, jelas saja dia disangka pekerja di rumah Jacob si Orang Kaya.
“Ya Tuan.” Alli menjelaskan dugaannya yang sama persis seperti analisis Agathar.
Agathar menggeleng atas dugaan itu, dan dia buru-buru memperingatkan Alli saat tangannya hendak mengambil salah satu kertas dari tumpukan dokumen yang tersisa.
“Aku bukan pekerja di sini, tapi aku pastikan Tuan Rumah akan marah jika kau menyentuh dokumen-dokumen miliknya.”
“Oh maafkan aku. Tapi kenapa kau menyentuhnya? Bukankah kau bukan pekerja?”
Astaga, alangkah dia suka mencampuri urusan orang lain. Agathar mengeluh jengkel.
“Aku punya kewenangan. Sedangkan kau tidak.” Agathar menatap Alli dengan tajam. Menggambarkan bahwa dia tidak senang dengan keberadaan Alli di sini.
“Baiklah, aku tidak akan memaksa, Tuan. Aku akan pergi. Alangkah banyaknya orang yang suka marah ikut permainan ini. Padahal aku cuma bertanya.”
“Beberapa jawaban memang tidak bisa diberikan begitu saja pada orang asing yang tak dapat dipercaya,” Agathar menyahut, dingin sekali nada bicaranya.
“Kalau begitu kita bisa berkenalan,” Alli menyorongkan tangan, antusias, “namaku Alli.”
“Terima kasih. Tapi maaf, aku tidak bersedia menyebutkan namaku.”
“Hei!”
“Aku tidak bermaksud apatis, tapi kau akan merepotkanku semakin banyak begitu kau tahu namaku. Ya sudah, aku harus pergi dari ruangan ini dan meneruskan tugasku.” Agathar selesai mengemasi dokumen yang tadinya menggunung, kemudian bergegas keluar dari ruangan office, meninggalkan Alli sendirian, masih geleng-geleng kepala.
Kepribadiannya menarik, tapi orangnya dingin sekali. Alli membatin.
Dasar orang norak yang sok tahu. Apa dia tidak tahu batas-batas wilayah privasi. Semoga aku tidak berurusan dengan orang itu lagi, nanti-nanti.”
Agathar juga keluar ruangan dengan bersungut-sungut kesal.
mozaik 21
Lampu Dimatikan untuk Pertama Kali
Pukul sepuluh malam.
Karnaval di luar resmi selesai. Orang-orang yang mendatangi wahana karnaval sudah pulang ke rumah masing-masing, beristirahat untuk beraktivitas lagi esok hari. Praktis, pukul sepuluh malam, kawasan karnaval telah senyap. Hanya ada satu tempat yang masih menyala dengan terang serta ramai semarak.
Rumah Jacob si Orang Kaya.
Ada ratusan orang di rumah besar itu sekarang. Beberapa saling berteman, beberapa lainnya baru saling kenal. Mereka mengobrol, bersantai. Bagi beberapa orang yang tidak mencari hadiah, mengunjungi rumah mewah ini dan harus bertahan di sana sampai pagi hari, adalah semacam liburan. Kapan lagi bisa menikmati fasilitas rumah mewah Jacob si Orang Kaya secara lengkap. Jadi bisa dibilang semua orang di sana bersenang-senang.
“Sayangnya kalian lupa bahwa ini adalah permainan survival, tidak ada bersenang-senang dalam permainan survival.”
Dan tombol pun ditekan.
Seketika, rumah besar nan mewah itu berubah menjadi gelap. Gelap total.
Lampu telah dimatikan. Dan apa yang terjadi begitu lampu dimatikan? Seluruh peserta telah mengetahuinya, karena mereka telah membaca brosur. Karena itu pula mereka berteriak.
Begitu lampu dimatikan dan semua berubah jadi gelap, seketika itu pula para peserta permainan survival, berubah juga. Dari awalnya senang, gembira dan rileks bak sedang berlibur, menjadi berteriak-teriak panik. Persis seperti di wahana rumah horor.
KREEKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Beberapa orang yang memiliki pendengaran yang sensitif, akan mendengarkan suara-suara samar terdengar begitu lampu dipadamkan. Tidak ada yang bisa mengira-ngira darimana arah datangnya suara itu. Semua terasa sama dalam kegelapan total.
Itu bukan suara manusia. Bukan pula suara langkah kaki manusia. Itu makhluk lain, dan dalam kegelapan, tidak ada yang bisa menduga-duga makhluk seperti apa ia.
“Kotaruk,” Ayana gemetar, dia baru saja mengamati salah satu ornamen pot yang bagus di sudut lorong, ketika lampu dimatikan dan dia terjebak di dalam gelap, dia langsung meloncat mencari Kotaruk, panik, tangannya menggapai-gapai.
“Tenanglah, Ayana.” Kotaruk bersuara, jauh lebih tenang, dia segera menjangkau Ayana ke dekatnya, mendengarkan bagaimana paniknya gadis itu.
“Lampunya mati, dan makhluk itu mulai berkeliaran.”
“Tenanglah,” Kotaruk sekali lagi menepuk-nepuk bahu Ayana, “kamu ingat apa yang kubilang di pintu masuk. Ini hanya simulasi permainan survival. Makhluk itu hanyalah makhluk berkostum. Tenanglah.”
KREEKKK!!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Kotaruk, makhluk itu mendekat.” Ayana panik, bayangan hitam mendekat pada mereka, namun Kotaruk tetap tenang. Dia bisa melihat bayangan hitam itu melangkah, ke arahnya, semakin dekat dan semakin dekat.
“Senter, Ayana. Mari kutunjukkan padamu bahwa ini cuma permainan survival.”
Ayana dengan tangannya yang gemetar, meraih senternya dalam tas. Menyalakannya. Kotaruk segera mengambilnya, mengarahkan ke arah bayangan hitam itu. Makhluk berkostum kata Kotaruk. Sejauh ini dia masih mempertahankan logikanya.
Namun sejenak kemudian...
“Astaga...” dia tak sanggup meneruskan kalimatnya, kemudian membuat sebuah gerakan reflek, melempar senter ke depan, ke arah makhluk itu, dan lekas menarik tangan Ayana ke arah sebaliknya, berputar.
“Kotaruk!” Ayana terkaget dengan gerakan pria itu yang sangat cepat.
“Kita harus melarikan diri dari sini, Ayana. Maafkan aku, aku salah. Sepertinya ini bukan sebuah permainan simulasi.”
Kotaruk nyaris tidak bisa menguasai dirinya, gemetar bukan main.
Mereka berlarian. Meski gelap, Kotaruk berusaha untuk terus berlari. Ayana yang dia gendong di punggung, gemetar bukan main.
“Makhluk itu ada di belakang kita, Kotaruk.”
Astaga, ini pasti gara-gara Kotaruk tadi melihat wajahnya dan menyadari satu hal.
Makhluk itu... bukan manusia berkostum!
“HAAAAAAAA!!” Ayana berteriak kencang.
KREKKKK!
DRAP!!! DRAPPP!!! DRAP!!
“Senter, senter. Cari senter!”
“Tolong, tolong!”
“Lari, lari.”
“Kemana pintu keluarnya?”
“Tunggu kalau kita keluar, kita akan kalah dalam permainan.”
“Siapa peduli. Nyawaku terancam bahaya.”
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Itu seperti suara benda tajam yang digoreskan ke dinding.”
“Dan yang satunya seperti suara langkah kaki yang sedang berlari.”
Dalam kegelapan, tanpa saling melihat, para peserta menjadi kompak satu sama lain.
Belum genap semenit lampu dimatikan, beberapa orang sudah berusaha meloloskan diri dari rumah itu lewat segala macam cara. Mereka keder, ketakutan.
“Hei, bekas goresan apa ini, ada tiga!” seseorang di lorong dekat dapur berteriak. Terdengar ke seisi rumah.
Orang-orang di dekat toilet juga berteriak, “ada jejak kaki aneh di lantai. Kaki kanannya di kiri dan kaki kirinya di kanan.”
Semua orang menjadi panik. Mereka berhadapan dengan makhluk entah apa itu, dalam kegelapan total rumah Jacob si Orang Kaya.
KREKKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
mozaik 22
Mengintip dari Toilet
Pukul 21.55
Beberapa menit sebelumnya, sebelum lampu dimatikan.
Alli masih berada di dalam ruangan office. Dia memandangi seluruh isi ruangan sepeninggal Agathar yang melangkah pergi. Lagi-lagi ini terlihat seperti ruangan kerja yang biasa saja bagi Alli. Tidak ada ornamen-ornamen, apalagi potongan barang berharga yang terselip di salah satu bagian dinding seperti harapan banyak peserta. Tidak ada. Ini hanya ruangan office. Ruang kerja.
“Apa yang dicari orang itu di sini,” Alli bertanya-tanya tentang Agathar. Rasa penasarannya mendorongnya mendekati meja kerja, berdiri ke belakangnya dan meraih laci.
“Tadi dia memasukkan sejumlah besar dokumen ke sini. Aku jadi penasaran.”
Sudah jadi tabiat manusia, semakin dilarang dia akan semakin penasaran. Apalagi ditambah sikap Agathar yang cuek tadi, Alli benar-benar ingin mengetahui isi dokumen yang telah diteliti olehnya. Alli berusaha membongkar laci, tapi sia-sia.
“Sial, laci ini terkunci, tapi hei, bagaimana dia bisa membukanya. Alli berseru kesal. “Kunci, pasti ada kunci di sekitar sini.” Mata Alli menyapu ke atas meja kerja, mencari kalau-kalau ada kunci laci di sana, tapi sia-sia juga.
Kalau tidak ada kuncinya, bagaimana tadi pria itu membuka dan menutup laci ini? Alli segera sampai pada kesimpulan yang sederhana.
“Mungkin pria itu tadi adalah detektif. Ya, seperti di film-film, detektif bahkan bisa membuka laci dengan tatapan matanya saja kalau dia mau.”
Meski seringnya memakai kawat atau potongan korek api, tambah Alli dalam hatinya.
Merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya di ruangan office ini, Alli bermaksud melanjutkan perjalanan. Meski perjalanan menjadi tidak asyik lagi karena tidak ada potongan hadiah yang bisa diambil. Namun, sebelum meninggalkan ruangan itu, Alli melihat sesuatu.
Kamar Kecil. Alias, toilet.
“Ah tepat sekali. Sedari tadi aku mencari toilet,” Alli berseru senang, dia langsung bergegas menyelesaikan hajatnya.
Pukul 22.00 tepat ketika Alli masuk ke toilet.
Lampu dipadamkan.
Seruan panik itu terdengar dimana-mana. Membuat suasana yang awalnya menyenangkan, berubah jadi horor. Termasuk bagi Alli yang saat ini sedang terjebak di ruangan sempit toilet.
Mana tadi pintu toiletnya dia kunci.
“Astaga, di sini gelap sekali. Apa yang terjadi.” Alli berseru, tangannya menggapai-gapai di tengah gelap. Tidak, dia tidak bisa menemukan kuncinya. Ah dimana. Jangan bilang dia harus terjebak di ruangan sempit ini.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Alli mendengar suara itu. Suara pertama seperti dinding sedang digores paksa dengan sesuatu yang tajam, suara kedua adalah langkah kaki yang cepat dan kecil-kecil.
Suara apa itu? Alli mengingat-ingat. Tidak, tidak mungkin ada peserta lain yang iseng menakutinya di tengah kegelapan. Ah tunggu dulu, apa yang dikatakan brosur.
Ada makhluk mengerikan yang berkeliaran di tengah kegelapan, makhluk yang tak segan membunuh. Dan dia, jelas bukan manusia.
Alli menelan ludah. Astaga, apakah brosur itu benar? Sejenak kemudian, tangannya sudah gemetar. Alli terpaku di lantai toilet tanpa bisa bergerak. Dia ketakutan. Sementara bunyi-bunyi itu masih terdengar dari luar.
KREKKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Tidak berselang lama, suara teriakan seseorang terdengar. Teriaka ketakutan sekaligus kesakitan.
Tidak salah lagi, korban pertama telah jatuh.
“Hei, tunggu, bukankah aku punya senter.” Alli teringat bahwa dia membawa sebuah tas kecil di punggungnya dan dia membawa senter di dalam tas itu. Namun masalahnya, Alli tidak berani menyalakan senter itu sementara ini. Takut makhluk yang membuat suara menyeramkan itu, mengetahui keberadaannya.
“Aku harus berhati-hati. Mulai sekarang, semuanya harus kurencanakan baik-baik.” Alli bergumam pelan. Perlahan pula, dia mendengar, makhluk di luar, apapun itu bentuknya, berjalan menjauh.
mozaik 23
Thyaras Tidak Pernah Kembali
Eternita dan Thyaras masih berada di ruang santai. Membicarakan apa-apa yang telah mereka lihat, apa yang telah mereka temukan. Sampai akhirnya Eternita melihat jam tangannya. Seketika dia mengeluh.
“Astaga, 9.55. Sudah hampir jam 10, Thyaras, kita tidak bisa santai-santai. Kita sudah membuang dua jam yang berharga.”
“Ya, aku setuju,” Thyaras berdiri lebih dulu, “tapi sebelum melanjutkan perjalanan, sebaiknya aku buang air kecil dulu. Kulihat itu ruangan dengan simbol toilet.
Ruangan santai itu punya toiletnya sendiri, yang hanya bisa dicapai lewat ruang santai. Thyaras pergi ke toilet dan Eternita membiarkannya tanpa ada rasa curiga.
“Kamu jangan menungguku, Eternita.” Thyaras sempat berucap, humor sebelum menutup pintu toilet dan menyelesaikan urusannya. Eternita tetap duduk di kursi, tidak beranjak.
Pukul 10 malam. Lampu dimatikan. Teriakan kepanikan terdengar dari ujung ke ujung, saling bersahutan. Dan bunyi itu, mulai terdengar.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Bunyi itu terdengar samar-samar, seperti dari ruangan sebelah. Eternita yang intuisinya akan bahaya sangat peka, langsung merasa ada yang tak beres.
Sesuatu menuju kemari.
Eternita bangkit, di tengah gelap dia berhasil merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan senter. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang siap malam itu, untuk bertarung di dalam gelap.
Dengan intuisinya yang tajam pula, Eternita langsung menutup salah satu pintu ruang santai, tepatnya yang menghubungkan langsung ke lorong. Ruang santai punya dua pintu, satunya lagi mengarah ke ruang kopi. Dengan tindakan Eternita ini, dia menghambat makhluk mengerikan masuk lebih cepat ke ruang santai.
Aku harus menutup pintu satunya, tapi...
Eternita sedari tadi sebenarnya heran. Kenapa di tengah kegelapan yang begitu pekat menyeramkan ini, di tengah suara teriakan yang ribut dan ricuh, temannya yang sedang berada di toilet, Thyaras, sama sekali tak ada suaranya.
Padahal seandainya dalam kondisi normal, Thyaras pasti paling nyaring jeritannya. Eternita tahu persis, temannya yang satu itu, penakut.
Eternita tidak jadi mengunci satu pintu yang tersisa. Lebih baik mengecek keadaan Thyaras. Eternita berlari kecil menuju toilet yang ada di ruang santai.
“THYARAS!”
Terdengar suara gedegum kecil di sana. Eternita makin heran. Sekaligus waswas. Ada apa dengan temannya.
“Thyaras, kamu baik-baik saja?”
“Eternita...” terdengar suara sahutan dari dalam sana. Mendengar suara itu, Eternita langsung merapatkan telinganya ke pintu toilet.
“Thyaras, kamu baik-baik saja kan? Apa yang terjadi di dalam. Buka pintunya, Thyaras!”
BUKKK
BUKKK
Eternita menghantam pintu sambil mencoba memutar kenop pintunya.
“Aku tidak bisa, Eternita. Pergilah, pergilah tanpa aku.”
“Apa yang kau bicarakan, Thyaras. Apa maksudmu.”
Terdengar lagi suara gedegum kecil, kemudian juga terdengar suara lenguhan yang sangat halus. Eternita makin penasaran sekaligus cemas, apa yang sebenarnya terjadi di dalam toilet.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara itu, batin Eternita, suara itu kembali terdengar.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara itu semakin mendekat.
Eternita mengarahkan senternya ke segala penjuru. Tidak ada apa-apa yang terlihat. Tapi hei, tunggu....
Apa itu?
Bekas cakaran memanjang menggores dinding sebelah sana. Tiga cakaran berjejer, melintang. Sesuatu baru saja beraksi di situ.
Kembali terdengar gedegum kecil di toilet. Mengingatkan Eternita lagi pada Thyaras. Dia kembali menggedor-gedor.
“Buka pintunya, Thyaras!”
“Jangan...” suara Thyaras pelan sekali, “aku akan mengurus hal ini. Kamu lanjutkan misi kita, Eternita. Aku akan membantumu dari belakang.”
“Thyaras, apa yang kau maksud dengan membantu dari belakang. Apa yang sebenarnya terjadi. Thyaras, buka pintunya.”
BUKKK
BUKKK
BUKKKK!
Eternita terus menggedor pintunya, tapi kali ini tidak ada lagi sahutan dari dalam. Hening saja. Eternita kemudian memutuskan untuk nekat, dia mengumpulkan seluruh tenaganya, untuk mendobrak pintu toilet itu.
BUKKKKKKKKKKKKK!
Sekali tendangan saja, pintu itu terbuka. Eternita langsung menyinari seisi ruangan sempit toilet itu dengan senternya. Namun dia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada lagi temannya, Thyaras di sana.
“THYARAS! Dimana kau!”
Tidak ada jawaban.
Ketika Eternita menunduk ke bawah, dia bisa melihat ada darah menetes di lantai. Cukup untuk membuat genangan. Darah siapa ini? Dimana sahabatnya, dimana Thyaras? Sungguh itu jadi misteri bagi Eternita.
Dan dia belum bisa mencerna semua itu karena suara menyeramkan itu kembali terdengar.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Sangat dekat. Suaranya sangat dekat. Eternita jadi merinding dibuatnya.
Bunyi apa itu. Makhluk apa yang menimbulkan bunyi seperti itu? Eternita tiba-tiba teringat sesuatu. Brosur. Ya, apa yang ditulis di brosur.
Makhluk mengerikan.
Bukan manusia.
Bergerak di tengah kegelapan.
“Tempat ini berubah jadi mengerikan.” Eternita merinding.
mozaik 24
Suara Tembakan Pertama
Makin beranjak malam, makin banyak orang yang memasuki ruang santai perapian. Suasana ruangan itu memang nyaman, lebih daripada ruangan lain. Paling cocok untuk bersantai di malam hari. Sebagai pelengkap bersantai, ada minuman-minuman beraneka rupa yang akan disukai oleh peserta, semua sudah disediakan, berbotol-botol di atas meja.
Kolonel masih berbincang asyik dengan teman yang ditemuinya di ruang perapian. Mereka menempati kursi paling enak ruangan tersebut, tepat di depan perapian, bersantai layaknya Tuan Rumah.
Orang itu diperkenalkan kolonel sebagai Anderson, temannya di dinas ketentaraan, atau kalau kolonel ingin menyombong sedikit, Anderson adalah bawahannya, bawahan yang sering menjilat. Orang seperti Kolonel Dhar tidak akan mau repot-repot bicara dengan orang yang tidak mau menyanjung dirinya.
Pukul sembilan malam, lebih 55 menit, Anderson mengucapkan kalimat perpisahan dengan Kolonel, sebelum diakhiri dengan jabatan tangan yang kokoh. Dia tidak mau mengetahui apa detail misi Kolonel, tapi dia tahu, dia akan merepotkan Kolonel Dhar jika tidak berpisah. Anderson meninggalkan ruang bersantai.
“Sam, berapa lama tadi Anderson menghabiskan waktuku?”
“Kurang lebih 30 menit, kolonel.”
“Baiklah. Akan kuhukum dia lari tiga puluh kilometer jika nanti bertemu dengannya di kesatuan. Enak saja, dia pikir waktuku tak berharga.”
“Saya kira tadi dia adalah kenalan kolonel, teman akrab barangkali.”
“Jangan sembarangan kau, Sam!” kolonel menyalak keras, “dia hanya orang yang merepotkan. Untungnya dia bisa menyanjung dan mengambil respek dariku. Ya sudah, ayo kita lanjutkan perjalanan. Tidak ada yang bisa kita curigai dari orang-orang di sini. Mereka semua nampak seperti warga sipil.”
“Tapi bisa saja orang yang kita cari menyamar jadi warga sipil, Kolonel.”
“Ah kau benar juga, kenapa kau tidak mengatakan itu sejak kita datang tadi, Sam. Sekarang kau menambah banyak pekerjaanku. Kita harus menanyai setiap orang, dan memastikan apakah mereka mengenal orang yang kita cari.”
“Saya rasa, langkah itu tidak efektif dan tidak efisien, Kolonel. Kita bisa kehabisan waktu.”
“Lalu bagaimana menurutmu?”
“Menurut saya, Kolonel,” kini Sam yang bergantian duduk di tempat yang tadi ditempati oleh Anderson. Sam menjabarkan idenya untuk mengidentifikasi lewat deduksi dan pengamatan dulu, apakah ada orang-orang di rumah ini yang mirip dengan orang yang sedang mereka cari.
Sayangnya, kolonel keberatan dengan ide itu. “Orang itu bisa menyamar jadi siapa saja. Kita tidak bisa menemukannya jika dia menyamar dengan lihai. Interogasi satu demi satu orang adalah solusinya. Aku akan memulainya dari yang ada di ruangan. Satu persatu akan kutanyai, interogasi.”
Kata interogasi dari kolonel bisa juga dimaknai sebagai sejumlah pertanyaan mengganggu, yang ditanyakan oleh seseorang yang menjengkelkan dengan cara yang kasar. Sam mengekor di belakang kolonel Dhar, mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi.
Saat itulah lampu dimatikan. Seketika itu suara kepanikan pecah. Apalagi di ruang perapian ini ada belasan orang. Mereka berteriak ketakutan sambil mencoba melarikan diri dari ruangan ini.
Saat lampu dimatikan, Kolonel langsung menarik pistol dari sabuk ikat pinggangnya dan mengokangnya. Dalam hati, Kolonel membatin, tentang betapa penakutnya orang-orang yang ada di sini. Seharusnya jika penakut, mereka tidak usah ikut dalam permainan survival.
“Sam, kau masih mendengarku?”
Namun tidak ada jawaban di tengah kegelapan itu. Kolonel juga tidak bisa melihat lantaran tidak ada alat penerangan. Lewat semenit, Kolonel mulai heran.
“Sam, kau mendengarku?”
Tidak ada jawaban.
“SAM!”
Kolonel akhirnya berteriak dengan suaranya yang berat, khas seorang tentara. Namun tak terdengar suara balasan. Dengan kata lain, Sam tidak ada lagi di ruangan ini.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Akhirnya suara itu terdengar. Dari luar. Dari arah ruang makan yang berseberangan dengan ruang santai. Insting Kolonel yang sudah pernah ikut bertempur dalam peperangan, segera menyadari kedatangan sesuatu yang berbahaya.
“Dengarkan aku!” Kolonel berteriak, memeringati orang-orang yang sedang panik di ruangan perapian. “Kalian diam di tempat. Ada seseorang yang datang dari ruang makan. Sepertinya berbahaya. Kalian semua sebaiknya tetap tenang dan waspada. Jangan khawatir, aku punya pistol. Aku akan menembaknya jika dia datang. Sementara itu, kalian jangan ada yang bergerak. Kalau tidak mau kena tembakanku!”
Sisa peserta yang terperangkap di ruang perapian merasa bingung dengan peringatan itu. Jika ini keadaan bahaya, bukankah sebaiknya mereka lari ketimbang diam di tempat, dan jika pun kolonel punya pistol, bagaimana dia hendak menembak di dalam gelap. Salah-salah, malah peserta yang kena tembakan nyasar.
Bagi peserta lain, situasinya menjadi rumit.
Sementara, suara itu terdengar semakin keras.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
mozaik 25
Cuma Dia yang Tahu
Setelah meninggalkan ruang keluarga, Agathar memutuskan untuk pergi melihat ke kamar orang tua. Itu adalah ruangan yang disediakan Jacob untuk ayahnya yang sudah tua, Edine. Agathar tidak berharap bisa menemukan Edine di sana, sebab orang tua itu pasti telah dievakuasi ke tempat lain. Permainan ini tidak sehat untuk kondisi fisiknya. Agathar berharap ada petunjuk di sana.
“Semoga saja mereka tidak merapikan kamar Edine, seperti halnya mereka merapikan kamar kerja Jacob.” Agathar masih menggumam dengan kesal. Dia menyebut kata mereka, tapi dia sendiri tak tahu, siapa yang dimaksudnya dengan mereka. Ketidaktahuan itu membuat Agathar jengkel dengan dirinya sendiri.
Untuk mencapai kamar Edine, Agathar harus berputar cukup jauh. Dari ruang kerja Jacob, dia menyeberang ke workshop, dan kemudian menyusuri lorong lurus. Kamar Edine terletak di sebelah kiri ruang makan. Di tengah jalan menuju kamar Edine, Agathar bertemu masalah pelik selanjutnya.
Lampu dimatikan.
“Sial.” Dia bergumam singkat. Dalam pikirannya, Agathar bertanya-tanya, apakah daya listrik di rumah ini kelebihan beban sehingga dayanya terputus. Agathar tidak tahu ini bagian dari prosedur permainan survival, sebab dia tidak mendapat dan tidak membaca brosur.
Suara teriakan panik dari orang-orang terdengar dari ujung ke ujung rumah. Bunyi-bunyi derap kaki menuju ke arah Agathar dari ruang makan. Itu orang-orang yang melarikan diri karena ketakutan. Agathar segera menyadari posisinya di lorong, akan bertabrakan dengan orang-orang itu.
Dan itu sekali lagi membuatnya menggumam sial.
“Kenapa mereka terlihat begitu ketakutan. Apakah mereka tidak tahu kalau berlari di dalam gelap itu bukan sesuatu yang efektif.” Agathar berhasil bertahan dari gelombang orang-orang yang melarikan diri dengan berpegangan kuat-kuat pada tongkat yang dibawanya.
Agathar merapikan jasnya yang sedikit kusut dan memperbaiki posisi topinya. Setelah merasa dirinya baik-baik saja, Agathar kembali berjalan dalam gelap secara perlahan.
“Seharusnya aku membawa senter. Ah tidak, seharusnya di rumah besar ini, lampu tidak perlu sampai mati. Apalagi di tengah permainan....”
BUKKK!
Akhirnya seseorang yang berlari tergopoh-gopoh seakan baru dikejar seekor beruang, menabrak Agathar hingga topinya terlempar. Keduanya terjatuh ke lantai.
“Astaga, maafkan saya, Tuan.” Orang yang menabraknya bangkit lebih dulu, menawarkan tangan untuk membantu Agathar berdiri. Lewat tangannya itu, Agathar bisa merasakan, orang ini gemetar ketakutan.
“Apa yang terjadi?” tanya Agathar pada orang itu.
“Teror Tuan. Jacob si Orang Kaya ternyata membuat permainan survival yang tak biasa. Kami benar-benar dihadapkan pada situasi bertahan hidup melawan sesuatu yang akan mengambil nyawa kami kapan saja.”
Agathar melongok. Apa maksudnya mengambil nyawa.
“Saya tak bisa jelaskan, Tuan,” orang itu memandang mata Agathar yang menuntut penjelasan, “ah itu suaranya datang. Saya benar-benar harus pergi. Saya sarankan agar Tuan ikut lari dengan saya.”
Kemudian orang itu benar-benar meninggalkan Agathar, lari lintang pukang seperti seorang atlet lari ketinggalan garis start. Samar-samar di dalam gelap itu, Agathar mendengar suaranya.
KREKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Suara apa itu?” Agathar terdiam sejenak, meraih tongkatnya, hanya itu yang dia punya untuk perlawanan, tapi jangan salah, tongkat itu adalah senjata yang mematikan di tangan Agathar.
Suara itu, apapun itu, pikir Agathar, tidak sedang mengarah padanya. Dalam beberapa situasi, pendengaran Agathar dan kemampuan inderanya dalam gelap, bisa menandingi seekor kelelawar. Agathar telah melatihnya dengan rutin.
“Ah topiku,” Agathar meraba kepalanya, merasakan ada bagian yang hilang. Hilangnya perlengkapannya itu membuatnya mengeluh.
“Sebaiknya aku mencari topiku. Atau barangkali mencari sakelar lampu agar bisa menerangi kembali lorong ini. Ya, kurasa dua-duanya harus kulakukan. Seharusnya topi itu jatuh tidak jauh dari sini. Apa kata Jacob dulu, ya, saklar lampu ada di ruang keluarga. Sepertinya jalannya lewat sini.”
Agathar memutar langkah, batal ke kamar Edine, ayah Jacob, demi menemukan saklar lampu, guna menemukan topinya yang terjatuh.
Dia berjalan sambil mengeluh tertahan. Bukan karena kegelapan atau kengerian, melainkan karena topinya menghilang.
mozaik 26
Makhluk Mengerikan
KREKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Bunyi-bunyi mengerikan itu terdengar di seluruh rumah. Bunyi pertama adalah bunyi cakaran sesuatu yang tajam, bunyi kedua adalah derap-derap langkah kaki yang sangat cepat. Tidak banyak peserta yang membawa senter, sehingga tidak ada yang tahu apa itu, atau siapa itu yang menyebabkan suara. Yang jelas, setiap suara itu terdengar, disambut dengan lolongan peserta yang ketakutan dan berusaha melarikan diri.
Beberapa orang yang membawa senter, juga tidak sempat melihat wujud makhluk itu. Ia amat gesit. Paling-paling mereka hanya melihat bayangannya saja.
KREKKKK
DRAP! DRAP! DRAP!
“Kemana, kemana pintu keluar?”
“Jangan ke arah pintu depan, makhluk itu ada di lorong dekat ruang tamu?”
“Jangan, jangan ke dapur, makhluk itu ada di ruang makan,” balas seseorang lainnya ketika mereka saling berpapasan. Makhluk itu apapun dia, nampaknya bisa berpindah dengan sangat cepat.
“Brosur itu tidak main-main. Kita terjebak di rumah ini dengan sesosok makhluk yang tidak bisa kita lawan. Mengerikan, mengerikan.”
Beberapa orang berteriak-teriak memanggil siapa saja ke arah pintu anjungan kiri. Nampaknya area itu masih aman. Tapi tak mudah menemukan lokasi tanpa penerangan sama sekali. Orang-orang yang panik, saling sikut, saling dorong di lorong. Mereka bertabrakan, dan saling injak.
“Ayo, ayo cepat.”
“Tunggu aku mencium bau yang aneh...”
Tidak ada yang sempat mendengarkan kalimat yang terpotong itu, sebab bunyi berikutnya terdengar.
KREKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Hei bunyi apa itu?”
“Jangan bilang kalau ia sudah tiba di sini.”
“Di depanmu.”
Orang itu berbalik dan sempurna berteriak.
“KYAAAAAA!”
Orang-orang yang histeris itu akhirnya bertemu dengan si makhluk mengerikan. Sejenak bunyinya tidak lagi seperti menggores dinding, tapi seperti menggores dan memotong tubuh manusia.
Makhluk itu menandai keberadaannya dengan bekas cakaran di dinding. Tiga cakaran memanjang.
Logika yang buruk. Ini bukan lagi sebuah permainan survival. Makhluk itu, apapun itu, benar-benar sama seperti yang ditulis di brosur. Makhluk yang ganas dan buas.
mozaik 27
Aku Harus Keluar dari Sini
Dari toilet yang ada di ruangan kerja Jacob si Orang Kaya, dalam kegelapan total, terdengar suara gemeretak. Suara sesuatu yang sedang dibongkar dengan paksa. Kemudian ada suara tendangan yang keras.
Alli berhasil keluar dari toilet setelah mendobraknya. Gerakan yang terlalu keras membuat senternya ikut terlempar. Alli buru-buru mengambil kembali benda itu dari lantai. Untungnya senternya masih menyala.
“Astaga, hampir saja aku bertindak ceroboh. Untungnya benda ini tidak rusak.” Alli merinding membayangkan kalau harus berjalan dalam gelap tanpa senter ini.
Ruangan kerja Jacob si Orang Kaya sudah lengang. Semua orang sudah berhamburan mencari jalan keluar. Alli bisa dibilang tertinggal. Dia merapikan kembali senternya, sebelum memastikan tujuan selanjutnya.
“Sekali lagi kau terbanting, bateraimu bisa keluar dari tempat penyimpanannya,” Alli mencoba bergurau, pada senter.
Nah mari kita lihat, kemana semua orang pergi?
Alli memainkan cahaya senternya ke segala arah. Mencoba mencari tahu. Itu adalah sebuah tindakan yang amat berani. Karena dalam tempat segelap itu, satu jari saja penampakan hantu muncul, cukup untuk membuat siapa saja berteriak ketakutan.
“Hei, apa itu?”
Alli melihat ke satu sisi dekat dengan meja kerja Jacob. Ada jejak kaki basah di situ. Jejak kaki yang aneh. Alli menyorongkan senternya dengan saksama. Hei, Alli bahkan sampai terperanjat.
“Apa-apaan makhluk ini, kaki kanannya di kiri, dan kaki kirinya di kanan. Dan ini bukan jejak kaki manusia. Dua buah bulatan besar ini mirip dengan jejak kaki kucing. Tunggu, rasanya tadi aku mendengar suara....”
Alli teringat sesuatu.
“Oh iya, brosur!”
Kini tak menyenangkan bagi Alli. Terperangkap dalam ruangan gelap, hanya dengan sebuah senter yang hanya bisa melihat ke satu arah, dan menghadapi ancaman diserang dari arah mana saja, oleh sesuatu. Makhluk yang bukan manusia.
KREKKKK
DRAP! DRAP! DRAP!
“KYAAAAAAAAAAA!”
Samar-samar Alli mendengar suara aneh itu, diiringi dengan suara teriakan. Dia menggigit bibirnya. Tapi kali ini bukan antusias. Dia ketakutan.
“Tidak salah lagi, itu suara yang kudengar saat terperangkap di toilet. Suara dari si pemilik jejak ini. Dan dari teriakan wanita itu, aku kira, makhluk itu berbahaya.”
Satu kesimpulan yang bagus dari Alli. Kesimpulan itu hanya berarti satu hal.
“Aku harus pergi dari sini sebelum berakhir menjadi babi panggang.”
Meski tak jelas, konotasi dan makna babi panggang di sini.
Alli melarikan diri secepat mungkin dari ruangan kerja itu. Dia menutup pintu rapat-rapat. Baik pintu ruangan kerja, maupun ruangan workshop. Saat kembali ke lorong, Alli dihadapkan pada dua pilihan. Atau malah tiga.
Belok kiri menuju pintu utama. Belok kanan menuju ke bagian dalam rumah. Atau sedikit lurus. Di depannya ada pintu menuju ruang santai. Alli memainkan senternya.
“KYAAAA!”
Satu lagi teriakan terdengar. Semakin banyak teriakan, semakin Alli berkeringat dingin.
“Teriakan itu berasal dari arah pintu utama. Sepertinya makhluk itu ada di sana.”
Kalau begitu Alli punya satu pilihan yang tidak logis.
“Aku harus ke kanan.”
Secepat yang dia bisa, Alli berlari menyusuri lorong, menuju bagian dalam rumah. Dia berlari dalam keheningan, sehingga bisa mendengar segenap suara itu.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Makhluk itu mengikutinya dari belakang!
Oh astaga, Alli harus berlari sekencang mungkin, tidak, tidak jangan menengok ke belakang, tidak boleh. Pokoknya lari sekencang mungkin. Demi keselamatan dirinya sendiri.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Astaga, betapa cepatnya dia sampai ke belakangku.”
Ini gawat!
Lorong sunyi dan gelap di depan menyambut Alli.
mozaik 28
Terpaksa Meninggalkanmu
KREKKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Makhluk itu datang lagi...” Eternita bergumam sendiri.
Detik berikutnya, Eternita kembali melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan beberapa saat sebelumnya, untuk menyelamatkan diri. Dia mematikan lampu senternya, dan berlari ke bawah sofa untuk bersembunyi. Kebetulan sekali sofa itu cukup tinggi kaki-kakinya, sehingga Eternita bisa bersembunyi bertelungkup di bawahnya.
Makhluk itu datang.
Eternita bersyukur, setidaknya makhluk itu sepertinya, tidak memiliki akal sehingga tidak bisa mencari keberadaannya di bawah sofa. Meski tidak bisa melihat sosok monster itu, Eternita bisa mendengarkan langkahnya. Langkah-langkahnya amat cepat.
Makhluk itu berkeliling sejenak, kemudian meninggalkan tempat itu.
Begitu memastikan makhluk itu sudah pergi, Eternita menyalakan kembali senternya. Tindakan selanjutnya yang dia lakukan, adalah memalang pintu yang tersisa dengan sebilah kayu. Memastikan makhluk tadi tidak masuk untuk sementara ke ruangan ini. Kemudian Eternita mengamati jejak kaki yang ditinggalkan di lantai. Jejak kaki yang unik.
“Kaki kanannya di kiri, dan kaki kirinya di kanan.”
Eternita kembali mencoba mendobrak pintu toilet, namun perhatiannya segera teralihkan pada sesuatu yang dilihatnya di dinding. Bekas goresan berbentu cakaran. Ada tiga, memanjang secara horizontal dan sejajar. Seperti cakar seekor kucing yang sangat besar.
“Makhluk apa sebenarnya tadi itu? Bagaimana dia bisa meninggalkan bekas goresan semacam ini di dinding.” Eternita meraba-raba dinding. Merasakan sensasi kengerian karena terjebak dengan makhluk semacam ini, di dalam rumah ini. Dalam permainan ini.
Tambahkan lagi Thyaras menghilang. Eternita bingung hendak mulai dari mana.
Mungkin, mulai dari mengamati jejak di toilet.
Saat dia hendak berjalan ke toilet, tiba-tiba suara itu kembali terdengar.
KREEEEK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Bagaimana dia bisa masuk?
Suara itu benar-benar mengganggu Eternita, karena sekarang, suaranya terdengar sangat dekat. Eternita mencoba menatap ke belakang, tapi dia sudah terlanjur gemetar.
Sial, aku tidak akan bertahan melawan makhluk yang bisa menggores dinding seperti itu. Aku harus melawannya dengan bijak.
Mungkin dimulai dari menjauh dari tempat ini.
Ya, aku harus mundur.
Eternita sudah genap berlari. Menggapai pintu yang ada di sebelah sana, pintu yang berseberangan dengan ruang workshop. Itu pintu yang tak dipalangnya. Itu jalur pelariannya. Eternita tak punya banyak pilihan. Dia harus melarikan diri, ke bagian utama rumah.
KREEEEKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Aku akan menemukanmu, Thyaras, tunggulah. Aku hanya perlu mundur untuk menyusun strategi.
mozaik 29
Bahkan Tentara juga Harus Lari
Suara-suara itu kini, terdengar resah. Suara-suara yang memenuhi ruangan perapian.
Ada sekitar 14 orang yang “terjebak” bersama Kolonel Dhar yang pemarah itu di ruangan perapian sekarang. Kolonel menegaskan dengan sangat serius bahwa mereka tidak boleh bergerak, sedikit pun, atau mereka akan ditembak.
Itu bukan ancaman yang main-main.
Ada satu atau dua peserta lain, diantara 14 orang itu yang menganggap remeh perintah kolonel, berusaha lari di tengah gelap. Toh kolonel juga tidak akan tahu bukan, dalam kegelapan total ini, tentu tidak ada yang bisa melihat bukan?
Namun mereka salah. Baru satu langkah mereka menggerakkan kaki, kolonel sudah berteriak.
“Sudah aku bilang, kalau kalian mau selamat, jangan ada yang bergerak. PAHAM!”
Orang-orang kembali ke posisi masing-masing, menciut karena dimarahi, sekaligus heran bagaimana bisa kolonel tahu.
Detik-detik berlalu dengan lambat. Suara-suara teriakan itu masih terdengar dari luar. Derap-derap langkah orang-orang yang panik, mencoba meninggalkan rumah ini. Semakin lama, ruangan perapian semakin lengang, apalagi ruangan ini terletak di bagian belakang rumah. Terisolasi.
Kini genaplah 14 orang (15 dengan kolonel) terjebak dalam keheningan. Sampai kemudian kolonel mendengar suara itu. Lagi. Lamat-lamat merayap di dinding.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Tentu saja, tentu saja ke-14 orang di sana juga mendengar hal yang sama. Mereka saling berbisik. “Makhluk itu datang.”
“Makhluk apa?” Kolonel tiba-tiba berteriak, bertanya. Rupanya dalam keheningan ini, segala macam suara bisa terdengar.
“Makhluk yang akan menghabisi nyawa kita.”
“Jangan bercanda. Kita tidak boleh mati di sini, hanya gara-gara sebuah permainan. Itu tidak terhormat.”
“Makanya tolong biarkan kami melarikan diri saja. Kami tidak ingin mati di sini.”
“DIAM DI TEMPAT!” Kolonel menegaskan suaranya yang bersahutan dalam gelap. “Aku akan mengatasinya. Kalian tenang saja.”
Mana mungkin mereka bisa tenang. Mereka dikepung kegelapan total, tak bisa melihat apa-apa, dan suara itu semakin dekat saja kedengarannya.
KREEEEK!!!!!
DRAP! DRAP! DRAP!
Para peserta yang terjebak semakin gelisah. Kolonel tahu itu, dan dia malah mengejek mereka semua.
“Kalian sama sekali tidak pantas jadi tentara kalau ketakutan hanya menghadapi situasi seperti ini. Situasi di medan peperangan, jauh lebih mengerikan.”
Tak ada yang mau menyahuti, semua orang ketakutan.
Kolonel sebenarnya punya rencana. Dia sudah menandai ruangan ini. Dia tahu, kalau makhluk itu hendak muncul, maka ia harus melalui pintu yang tak jauh dari tempat berdirinya sekarang. Sebab di pintu belakang sana, hanya menghubungkan ruang perapian dengan sebuah kamar kosong. Tak menghubungkan ke ruangan luar.
Kolonel tinggal menembaknya begitu dia muncul. Itulah rencananya. Sampai sebuah seruan lain terdengar.
“Dia datang dari pintu di belakang kita. Waspada!”
“Apa!” Kolonel sangat kaget, bagaimana bisa ada yang muncul dari belakang mereka. Sedangkan itu tidak terhubung ke ruangan manapun.
Sebelum kolonel memikirkan solusi atas rencana konyolnya yang kini menjebak mereka dengan seekor monster di satu ruangan, suara histeris sudah terdengar.
“KYAAAAA!”
Kolonel berdecak sebal. Dia bisa melihat siluet makhluk itu. Dia bisa merasakan bahwa makhluk itu sekarang ada di ruangan ini.
“Cih, sial. Lagi-lagi aku melakukan keputusan yang konyol.” Kolonel berdecak. Wajahnya saat ini pasti sangat kesal. Dan makhluk itu (apapun itu, menyahutinya dengan suaranya yang sangat khas.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Urusan di rumah Jacob si Orang Kaya, benar-benar misterius.
mozaik 30
Memutuskan Tidak Melawan
Kemampuan Agathar dalam melihat dalam gelap itu benar adanya. Kemampuan Agathar untuk beradaptasi seperti kelelawar dalam gelap itu juga benar, bukan sesuatu yang dilebih-lebihkan oleh cerita di koran saja.
Sejauh ini Agathar bisa menyusuri lorong dengan tenang, seolah-olah dalam keadaan lampu menyala. Namun, meski dia bisa membaca suara seperti sensorik kelelawar, sensor itu tidak bisa memberitahunya apakah ini ruangan keluarga, atau ruangan lain.
Alhasil, Agathar tetap tersesat, mengingat banyaknya ruangan di rumah Jacob si Orang Kaya.
“Seharusnya aku menghafal detail rumah ini dengan lebih baik saat mengunjunginya dulu beberapa kali. Dalam kegelapan seperti ini, ingatanku sepertinya akan lebih berguna ketimbang indra pendengaranku.”
Karena dia tersesat, Agathar tidak masuk ke ruang keluarga, melainkan masuk ke ruang makan. Hanya salah belok. Harusnya ke ke kanan, dia malah ke kiri.
“Sendok-sendok, meja panjang dan kursi yang disusun rapi, ah aku ada di ruang makan rupanya.” Agathar meraba-raba. Kegelapan total ini membuatnya terlihat seperti orang buta. Apalagi ditambah dengan tongkat di tangan.
Suara-suara teriakan ketakutan juga sudah menghilang, tak lagi terdengar, karena saat ini Agathar ada di bagian rumah yang agak di belakang. Samar-samar dia malah mendengar suara orang berteriak karena marah.
“Seolah-olah ada latihan militer di sekitar sini,” pikir Agathar. Teriakan itu datang dari ruang perapian, namun dalam gelap, Agathar tak bisa melihat apa yang terjadi di sana.
“Yeah, lupakan. Sampai saat ini aku belum menemukan topiku. Kenapa pula aku harus memedulikan siapa yang berteriak.”
Agathar kembali meraba-raba. Heran sekali, kemana topinya menggelinding. Rasanya dia sudah berjalan cukup jauh dari lokasi awal dia bertabrakan dengan orang tadi, namun topinya masih belum kelihatan.
“Kalau sampai lampu kunyalakan, topi itu tidak kutemukan, lebih baik aku pulang saja.”
Agathar terus berjalan sambil menggerutu. Orang-orang di dalam rumah juga terus berlarian karena ketakutan.
Suasana berubah jadi hening total saat suara itu kembali terdengar. Suara yang membuat orang-orang ketakutan.
KREKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Makhluk itu, ada di ruangan ini rupanya.
“Sebenarnya makhluk apa yang menyebabkan suara seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah ini.”
Agathar menghentikan langkahnya, kemudian berdiri dengan waspada. Tongkat jalannya kini dipeganginya dengan dua tangan, diangkat sejajar bahunya. Tongkat ini adalah senjata yang mematikan di tangan yang benar.
“Aku tidak takut padamu.” Agathar berseru, datar tapi tegas. Benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak takut sama sekali.
DRAP! DRAP! DRAP!
Makhluk itu sedang berjalan. Tapi tidak berjalan ke arahnya. Dia seperti jalan berkeliling di tempat yang sama. Sayang dalam gelap, Agathar tak bisa melihat sosoknya. Dan makhluk itu tidak menjawab kalimatnya.
“Siapa kau?” tanya Agathar lagi, “kenapa kau ada di rumah ini?”
Makhluk itu tidak menjawab. Lagi-lagi mengeluarkan suara aneh dengan langkah-langkahnya yang khas.
DRAP! DRAP! DRAP!
“Kau bekerja pada siapa?” Agathar bertanya lagi. Tapi makhluk itu tetap tidak peduli. Tidak lama kemudian, dengan bunyi langkah-langkah yang semakin melemah, makhluk itu meninggalkan Agathar di ruang makan.
“Tunggu.” Agathar bisa merasakan bahwa makhluk itu hendak melarikan diri darinya, jadi dia melompat untuk menghadangnya. Saat itulah, dia berhadapan. Wajah bertemu wajah. Meski dalam kegelapan.
“Kau...” Agathar berucap tertahan, dia memang tidak bisa melihat secara penuh, tapi dia bisa meraba dan menebak.
“Kau yang mengambil topiku rupanya.”
Makhluk itu terdiam. Terdengar suara auman tertahan.
Agathar maju beberapa langkah. Makhluk itu tetap diam. Dia memerhatikan sepertinya.
“RRRRRR”
“Tenanglah. Aku hanya ingin mengambil kembali topiku.”
Lalu dengan sedikit gerakan yang cukup elegan, Agathar mengambil topinya dari kepala makhluk itu. Tepat saat itulah makhluk itu menyorongkan tiga cakarnya, namun Agathar menghindar dengan gesit.
“Kau agresif ya. Kau nyaris membuat setelan jasku berantakan.”
Makhluk itu kembali meraung tertahan, kemudian maju, menyerang sekali lagi, dan Agathar berhasil menghindar lagi. Setelah serangannya tidak kena untuk yang kedua kali, makhluk itu pergi.
“Jangan kau pikir kau bisa lari dariku.” Agathar langsung meraih kembali tongkatnya dan mengejar bunyi langkah kaki makhluk itu dalam kegelapan. Itu satu-satunya petunjuk.
Aneh sekali, kenapa ia bisa berlari secepat itu di dalam kegelapan? Agathar menggerutu, dia tergopoh-gopoh mengikuti dalam gelap. Meskipun dia sudah berpengalaman mengejar penjahat dalam gelap, namun makhluk ini jauh lebih hebat berlarinya. Cepat sekali. Gesit.
Lima menit mengejar, Agathar kehilangan jejak. Cepat sekali gerakan makhluk itu. Baru kali ini ada makhluk berkaki yang bisa menandingi kemampuan Agathar melihat dalam gelap. Astaga ini pilihan yang sulit, apakah dia harus mengejar makhluk itu, atau menyalakan lampu saja?
Akhirnya Agathar berpikir untuk menyalakan lampu saja. ketimbang mengurus makhluk itu. Agathar berbalik jalan ke arah ruang keluarga.
“Tunggu, aku menginjak sesuatu.” Agathar berhenti, meraba lantai yang dipijaknya. Basah.
Basah, tapi ini bukan air. Cairannya lebih kental dan teksturnya beda. Agathar mendekatkan jarinya yang basah ke hidung, mencoba membaui.
“Ini darah. Apakah dari makhluk itu? Apakah sudah ada pertumpahan darah di rumah ini?”
Dalam hatinya Agathar bertanya-tanya, apa yang sebenarnya direncanakan oleh Jacob si Orang Kaya.
****
Setengah jam setelah lampu pertama kali dimatikan, malam sudah bergerak menuju titik paling sunyi, tengah malam. Para peserta mulai putus asa karena mereka nyatanya tidak bisa keluar dari rumah ini.
“Pintu depan terkunci.”
“Hei, siapa yang menguncinya?”
“Aku tidak tahu.”
“Bukankah ada perjanjian pintu akan dikunci setelah permainan dimulai.” Seseorang yang lain mengingatkan.
KREKKKK
DRAP! DRAP! DRAP!
Perdebatan para peserta yang menumpuk di pintu depan ruang penyambutan, terpecah karena suara makhluk mengerikan mendekat. Mereka berhamburan, berlarian. Ke segala penjuru, memilih bersembunyi. Beberapa yang masih punya tenaga, berlari, mencari pintu-pintu lain atau jendela, agar bisa keluar. Tapi nyatanya tidak ada.
Pukul 22.30 para peserta tahu bahwa mereka tidak sekedar mengikuti permainan survival berhadiah. Situasi berubah drastis. Mereka tidak mendapatkan hadiahnya, dan sekarang terjebak dalam situasi bertahan hidup sesungguhnya. Menghadapi sesosok makhluk mengerikan yang tidak segan membunuh.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Kita harus terus berusaha. Kita tidak boleh menyerah sampai pagi menjelang.” Satu orang menguatkan yang lain.
Pada saat lampu dimatikan, tanpa disadari para peserta karena gelap menutupi pandangan, beberapa teman mereka mulai bertingkah aneh. Mereka seperti kehilangan kesadaran penuhnya dan berjalan seperti mayat hidup. Mereka kehilangan akal sehat. Mereka tidak seperti manusia lagi.
Dan perubahan itu tak kalah drastis dengan perubahan permaina survival di rumah Jacob si Orang Kaya. Situasinya menjadi semakin buruk.
“Selamatkan diri kalian, beberapa dari kita, sudah berubah jadi zombie!”
“KYAAAA!”
Sungguh malang para peserta. Belum lagi bisa mengatasi makhluk yang bisa mengendap di kegelapan, mereka harus menghadapi para zombie.
Sementara itu, ada orang-orang yang sedang berlari ke arah yang sama.
Alli berlari dari ruangan office, belok ke kanan dalam upayanya mencari tempat berlindung. Dia menemukan satu pintu, tak pikir panjang, dia masuki.
Eternita lari dari ruang santai, menyusuri lorong gelap, di pintu pertama yang dia temukan, dia langsung belok kiri. Dia merasakan derap-derap langkah orang yang sedang mengejarnya.
Agathar, dari ruang makan, keluar dari lorong dan masuk ke ruang keluarga. Kali ini dia pastikan dia berada di jalur yang tepat, tidak tersesat lagi.
Mereka bertiga akan bertemu di sana, dalam sebuah suratan takdir yang telah ditentukan. Tambahkan satu orang lagi yang akan datang kemudian.
mozaik 31
Pertemuan Pertama Orang-Orang Unik
Alli tidak hanya menutup pintu rapat-rapat, dia memastikan pintu itu dipalang dengan benar. Setelah itu dia menyorotkan senter ke sekeliling ruangan. Dia tiba di ruangan apa sekarang?
Oh rupanya, Ruang Keluarga. Sebuah sofa besar, sebuah tv, pendingin ruangan, seorang gadis yang berdiri ketakutan di pintu, ciri-ciri yang bagus. Ini memang ruang keluarga.
Hei tunggu dulu. Apa tadi, seorang gadis?
“HAAA!” Alli kontan terpekik karena sorot senternya menemukan seorang gadis sedang terengah-engah, berusaha menahan pintu ini.
“Tolong jangan berisik,” gadis itu memeringatinya. “Dan tolong jangan mendekat.”
“Eh, kamu siapa?” Alli malah mendekat. Memainkan sorot senter. Gadis itu memandanginya dengan tidak suka.
“Sudah kubilang jangan dekat-dekat.”
“Eh iya, maafkan aku. Kenapa kamu bisa ada di sini? Apakah ia juga mengejarmu?”
“Tolong jangan menatapku seperti aku seorang penakut seperti itu.”
Gadis itu tidak lain adalah Eternita. Seragam biru pers-nya dan rambut keriting pirangnya yang khas itu tak sulit untuk dikenali.
“Biar aku bantu memalang pintunya agar kamu tidak usah menahannya seperti itu,” tawar Alli lagi. Eternita masih memandangnya dengan tak suka. Terutama karena penampilan Alli yang sama sekali tak menarik di matanya.
Tanpa mereka sadari, mereka sebenarnya tidak berdua saja di ruangan itu. Ada satu orang lagi, sedang memandangi mereka dari seberang ruangan. Dia tidak terlihat karena duduk di tengah gelap, senter Alli tidak mengarah padanya. Sampai kemudian, Eternita juga menyalakan senter.
“Pegani senterku, aku akan memalang pintunya.”
“Aku punya senter sendiri.”
KLIK! Eternita menyalakan senter, tak sengaja mengarahkannya ke depan. Sontak menyoroti orang ketiga yang duduk di tengah gelap. Kemunculannya yang amat tak terduga dan tak disangka oleh Eternita, membuatnya terpekik, terkejut.
“HAAA!”
Sosok itu, pria, mengenakan jas rapi, bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekat. Eternita sontak memeringatinya juga.
“Jangan mendekat.”
Alli ikut menyorongkan senter.
Hei, aku mengenal pria ini. Pria yang ditemuinya di ruangan kerja Jacob si Orang Kaya.
“Kau,” Alli mencoba menyapa, tapi dia ingat kalau pria ini tidak memperkenalkan nama padanya.
“Ya, kita bertemu lagi di sini. Kalian berdua, apakah kalian ini saling kenal.” Agathar berhenti beberapa langkah di depan Alli dan Eternita yang sedang berdiri berhadapan.
Eternita langsung menggeleng. Dia tidak kenal dengan pria norak yang seenaknya saja mendekati dirinya.
“Baguslah. Kalau begitu kita bisa pergi sendiri-sendiri. Kenapa kalian ada di sini?”
“Karena makhluk mengerikan mengejarku ke sini.”
Makhluk itu.... Agathar langsung bisa menghubungkan faktanya. Jadi makhluk itu memang ditugaskan mengejar orang-orang dan membuat semuanya ketakutan. Pantas saja orang-orang sibuk berteriak.
“Well, aku juga tahu itu,” Agathar menyahuti dengan nada tak simpatik, “makhluk itu juga mengikutiku. Ia bergerak cepat sekali dalam kegelapan.”
“Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, Tuan.” Ketika Eternita menggunakan kata Tuan, itu berarti dia lebih respek dengan seseorang, pria. Thyaras bisa membenarkan hal itu kalau dia ada di sini.
“Tidak, tentu aku tahu. Aku bahkan sempat mengejarnya tadi.”
“Kau jangan mengada-ngada tuan!” Alli ikut berseru, tapi Agathar sepertinya tidak ingin bicara dengannya.
“Terserah kau, mau percaya atau tidak.”
“Jadi, makhluk apa itu?”
Agathar menggeleng. Dia juga tidak tahu. “Tapi makhluk itu berbahaya, tidak segan melukai manusia.”
“Bagus, sekarang kita perlu rencana untuk mengatasinya.” Alli menyerobot pembicaraan.
“Mudah saja,” sahut Agathar, seolah solusinya memang sangat remeh, “aku hanya perlu meminjam senter kau itu.”
Alli dengan herannya, meminjamkan senter pada Agathar, dia segera bergerak gesit, mencari dimana sakelar lampu berada. Ruangan keluarga ini besar, mungkin ruangan terbesar di rumah Jacob si Orang Kaya, susah untuk menemukan saklar kecil.
BUMMMMM!
Sebelum Agathar sempat menemukan sakelar, tiba-tiba saja salah satu pintu ruang keluarga (ruangan itu punya tiga pintu, masing-masing sudah dipalang oleh Alli, Eternita dan Agathar), tiba-tiba saja hancur, diterjang sesuatu yang besar.
Alli merebut kembali senternya dari tangan Agathar dengan tangan gemetar.
Apakah makhluk itu sudah tiba di ruangan ini? Bisa mendobrak?
mozaik 32
Tutup Pintu dan Jangan Biarkan Lewat
“Aku tahu kalian sudah merencanakan ini semua. Sekarang cepat menyerah!”
Suara itu begitu tegas. Begitu keras. Persis seperti seseorang sedang berteriak-teriak marah. Ketika mendengar suara itu, Agathar sudah bisa menarik kesimpulan, bukan makhluk mengerikan yang bisa mengendap di kegelapan itu yang datang. Bukan, dia pasti manusia.
Alli patah-patah menyorongkan senternya. Ketakutannya sedikit reda ketika melihat bahwa orang yang baru datang, memang benar-benar orang. Bukan monster. Meski orang ini pun dandanannya bikin segan. Kepalanya gundul pula.
“Kau...” Eternita berseru tertahan. Menatap tajam ke arah pria yang baru datang. Orang yang memakai baju kaus tentara dan rompi peluru, berkepala gundul dan memegang pistol di tangannya.
Melihat ekspresi Eternita, Alli dan Agathar jelas tertarik. “Apa kau mengenal siapa dia?” tanya Alli. “Apakah dia temanmu?” tambah Agathar. Eternita menggeleng untuk kedua pertanyaan tersebut.
“Bukan. Tapi aku sempat melihat kelakuan pria ini. Dia pemarah, dan bodoh. Dia berbahaya.” Eternita berbicara tanpa gentar. Tanpa simpati.
“Apa katamu?” Kolonel Dhar, jelas sekali itu dia, mendekati mereka bertiga dengan pistol di tangan.
“Jangan menatapku seperti itu, dan jangan mendekat.” Eternita memeringati dengan tegas. Sama sekali tak ada takut dengan kolonel Dhar yang tubuhnya tegap tinggi besar.
“Kau ingin kehilangan kepala rupanya. Sini kau biar kupecahkan kepala kau.”
“Hei, jangan lakukan itu.” Ini Alli yang bicara, menghadang jalan Kolonel. Membuat moncong pistol itu kini terarah ke kepalanya.
“Siapa kalian, dan apa yang kalian lakukan di sini?”
“Bukan urusanmu,” Eternita kembali menyahut, dengan berani sekali. Membuat kolonel marah.
“Seingatku, wanita dididik untuk mengendalikan mulutnya. Mungkin kau tertidur saat pelajaran itu diberikan. Biar aku beri kau beberapa pelajaran.”
“Tunggu, tunggu sebentar. Astaga, Tuan tolong jangan ribut-ribut di sini. Situasi kita sekarang...”
“Heh, minggir kau.”
Dengan sekali kibasan tangan, Alli terlempar. Terguling di lantai. Kini Eternita dan Kolonel berhadapan. Dalam sorotan senter, mereka berdua bisa melihat satu sama lain.
“Jadi kau adalah wartawan ya,” kolonel bergumam, mengamati tanda pengenal pers milik Eternita. Gadis itu masih membalas dengan nada yang cuek dan tajam, “ya, dan kau tahu bukan, dalam perang, wartawan adalah salah satu orang yang dilindungi. Kau tidak boleh menyentuhku.”
Kolonel yang sedang kesal, menganggap kata-kata itu sebagai tantangan, “kalau kucekik kau sekarang, tidak akan banyak saksi-saksi yang membela kepergianmu.”
Agathar yang sedari tadi berdiri di situ, mengusap wajah, astaga, bagaimana bisa dia terjebak dengan orang-orang menyebalkan di sini.
“Aku tidak takut.” Eternita tidak bergeming.
“Kau....” Kolonel menyeringai, seperti sedang menatap musuh beratnya. Sayangnya adegan harus dipotong karena Agathar mendengar sesuatu.
“Hei, orang-orang bodoh. Bisakah kalian diam sebentar.”
“Apa yang baru saja kau katakan,” kini sasaran kekesalan kolonel berpindah pada Agathar yang mengata-ngatai dia bodoh. Tapi Agathar menjawab tegas.
“Diamlah sebentar.” Seolah menyuruh yang lain untuk fokus mendengarkan
Alli yang sudah bangkit juga mendengarnya. “Itu seperti bunyi langkah.”
“Kau benar.”
“Makhluk itu datang ke sini rupanya.” Seketika kengerian kembali menyelimuti ruangan itu setelah tegang sebentar tadi.
“Hei, seharusnya kita bisa menghentikan makhluk itu, kemudian melanjutkan permainan ini dengan tenang.” Alli tiba-tiba berucap. Membuat ketiga orang lainnya keheranan.
“Apa katamu tadi?”
“Kita akan menghentikannya, melumpuhkan atau boleh jadi menghabisinya.”
Suara Alli yang sangat mantap itu disahuti dengan nada skeptis oleh Eternita, “kau jangan terlalu yakin, kau bahkan tidak tahu apa yang kau hadapi.”
“Kita bisa, aku percaya itu.” Alli menimpali dengan optimis, “kita punya beberapa orang hebat di tempat ini.”
“Baiklah, aku setuju denganmu,” untuk pertama kalinya, Agathar menyahuti suaraya.
“Apa rencanamu, Pria ber-jas?” Alli bertanya, meski dia tidak respek dengan sikap Agathar yang dingin, dia tahu kalau orang ini cerdas.
“Seharusnya aku menyalakan lampunya, tapi aku kesulitan menemukan saklarnya.”
“Lupakan saklar, Pria berjas. Kita harus menghadapinya. Ia mendekat.” Alli mendesak.
“Baiklah. Ruangan ini punya tiga pintu. Dua diantaranya sudah dipalang. Jadi makhluk itu, apapun dia, akan muncul dari pintu yang itu. Satu-satunya kemungkinan. Kita bisa membuat serangan kejutan yang bisa melumpuhkannya. Serangan kejutan selalu ampuh.”
“Tapi bagaimana caranya? Siapa yang akan melakukan serangan?” Eternita ikut bertanya.
“Aku melihat pria tentara ini sebagai orang yang tepat,” Alli tersenyum simpul.
mozaik 33
Pertarungan Pertama
“Kuperingatkan kalau aku tak menerima perintah darimu.” Kolonel Dhar menatapnya dengan tajam. Menatap Alli.
“Aku mohon, Tuan tentara yang terhormat, anda bisa diandalkan untuk bertarung di garis depan. Apalagi kita harus melindungi seorang ga...”
“Dengan segala hormat, aku juga bisa bertarung.” Eternita memandang Alli dengan gaya mencibir.
“Kalian mau terus ribut atau mulai menyepakati kerja sama. Makhluk itu mendekat.”
Dan benar saja, derap-derap kaki sudah semakin keras terdengar. Dan hei, agak aneh, karena itu terdengar seperti banyak orang yang datang. Menyerbu. Kolonel kini juga mendengarnya. Waktu mereka kian sempit.
“Baiklah. Aku akan bertarung. Biar kutembak siapapun yang mencoba masuk dari pintu itu.”
“Pria berjas, bantu Tuan Tentara dengan senter ini.” Alli menyerahi senternya, sementara dia meloncat ke sebelah Eternita. Mereka kini menyusun formasi. Kolonel paling depan, Agathar di tengah-tengah, Eternita di belakangnya, Alli sejajar agak ke belakang Eternita. Sementara di belakang punggung Alli adalah sofa ruang keluarga.
Pria berjas, bukan panggilan yang menarik, batin Agathar. Tapi itu bisa didebatkan nanti-nanti. Mereka sedang harap-harap cemas. Agathar menyorotkan senternya tepat ke arah pintu yang berlubang. Satu-satunya jalan masuk makhluk yang akan mereka hadapi, sebentar lagi.
Derap-derap langkah itu, muncul di depan mereka.
“Hei, itu...”
DORRRR!
Suara pistol milik Kolonel lebih dulu menyalak. Makhluk di depannya ini sangat mirip dengan manusia. Kepalanya, wajahnya, tangan, kaki dan tubuhnya. Semuanya adalah manusia. Hanya jalannya yang sempoyongan dan mulutnya yang berbusa. Serta matanya merah.
Orang itu berhasil menghindari tembakan kolonel dengan gaya orang mabuk.
“Sial, tidak kena.” Kolonel mengumpat, dia siap menembak yang selanjutnya, tapi Agathar menahannya.
“Tunggu dulu. Mereka tidak seperti monster yang kuharapkan muncul.”
“Masa bodoh. Dia menuju ke arahku, maka akan kutembak.”
DORRR!
Orang yang berjalan dengan gaya aneh itu, jatuh ke tanah.
Agathar lekas meloncat ke depan, memeriksa orang itu. Senter masih di tangannya. Sementara derap-derap langkah lainnya sedang menyusul ke arah ruangan keluarga.
“Ini agak aneh.”
“Ada apa, Pria berjas?” Alli meneriakinya.
Agathar menggeleng-geleng, sedikit keberatan dengan julukan itu, “bukan mereka monsternya. Dan kutebak, mereka yang akan datang setelah ini, juga bukan apa yang kita bayangkan hendak menerkam kita dalam gelap.”
“Mereka datang!” indra pendengaran Alli yang tak kalah pekanya, bisa mendengar derap kaki sudah tiba di pintu, meski sorot senter tidak mengarah ke sana, karena satu senter sedang dipakai Agathar untuk meneliti orang yang baru ditembak jatuh Kolonel Dhar.
“Hei keriting,” kolonel menoleh pada Eternita. “Arahkan senternya. Aku akan menembak.”
“Apa tadi katamu?”
“Cepat!”
“Kau tadi memanggilku keriting!”
“Ayolah Nona, arahkan senternya, kita tidak mau pria berjas itu jadi target sasaran lebih awal.” Alli menegur dengan cepat.
Eternita mengarahkan senternya ke pintu. Seketika dia menutup mulutnya dengan tangan. Ada lebih banyak orang seperti tadi bermunculan. Bermata merah, mulut berbusa, berjalan sempoyongan.
“Mereka zombie.” Alli bersuara.
“Mereka cukup banyak. Kurasa pistol tak cukup melumpuhkan mereka semua,” Eternita ikut menyahut, sambil mencibir ke arah kolonel.
Karena merasa tersinggung, Kolonel mengambil senjata yang tersampir di punggungnya. Senapan.
“Kalau begitu, aku akan memakai senjata berat. Saatnya serius.”
****
Berdesing peluru senapan itu di atas kepala Agathar yang berada di depan mereka semua. Itu membuat sang detektif kondang merasa jengkel dengan kolonel Dhar.
“Hei, kau berniat membunuhku?”
“Dalam medan perang, apapun harus dilakukan untuk menyelamatkan diri.”
“Kau adalah orang bodoh.”
Korban kembali berjatuhan. Sekitar selusin orang (yang mirip mayat hidup berjalan itu bertumbangan dengan dada ditembus peluru. Suara langkah kaki perlahan jadi tenang. Menandakan situasi kini menjadi lebih terkendali. Alli dan Eternita memutuskan untuk maju, memeriksa.
“Mereka tak punya kemampuan tempur sama sekali,” kolonel berkata lagi, menyimpan kembali senapannya.
“Siapa mereka, pria berjas? Dan kenapa mereka bisa ada di sini?”
“Bisakah kau berhenti memanggilku pria berjas? Itu menjengkelkan,” Agathar tersinggung, berdiri, berhadapan dengan Alli.
“Kalau begitu, beritahu aku, namamu.”
“Tidak sekarang.”
“Kalau begitu, kau tetap pria berjas.”
“Hentikan perdebatan konyol kalian.” Eternita melerai, “kita belum keluar dari masalah. Jika ini bukan makhluk yang mengendap di kegelapan itu, dan aku yakin juga bukan, lalu mereka ini siapa? Dan dimana makhluk itu sekarang?”
“Hei, Nona. Aku rasa kita tidak perlu mengharapkan makhluk itu muncul di sini.”
Agathar menatap mereka nanar di bawah sorotan senter. Dia sudah menganalisis. “Mereka adalah manusia biasa. Seperti kita. Mereka jadi seperti itu, karena sesuatu, aku boleh sebut, reaksi kimiawi. Reaksi kimiawi yang berlebihan mengambil kewarasan mereka, membuat mereka jadi seperti zombie.”
“Mereka sudah mati?”
“Secara teknis, saat berjalan kemari, mereka belum mati, tapi begitu kolonel menembaknya, mereka semua mati.”
“Hei tunggu, darimana kau tahu adalah seorang kolonel?”
Agathar mengangkat bahu, itu mudah disimpulkan dengan deduksi sederhana.
“Zombie? Bagaimana bisa zombie ada di tempat seperti ini?” seru Eternita.
“Kita belum tahu.”
“Kurasa aku tidak ingin tahu. Rupa mereka cukup mengerikan.”
“Mengerikan katamu,” Eternita mendelik pada Alli, “mereka ini tidak lebih mengerikan daripada kostum hallowen-ku tahun lalu.”
Alli balik menatap Eternita, wanita ini mengejeknya penakut. Sementara itu, lamat-lamat, suara itu berdatangan lagi.
“Para zombie.” Agathar menebak. Disambut anggukan oleh Kolonel. “Akan repot kalau banyak dari mereka berkeliaran di tempat ini.”
Eternita menelan ludah, melihat begitu banyak zombie yang bedatangan. Dia menengok lewat celah pintu rusak dan sorotan senternya.
“Ini tidak seperti permainan survival yang kubayangkan.”
“Kita bisa menembaki mereka bukan?” Eternita bertanya. Kolonel setuju gagasan itu, mengambil kembali senapannya. Mereka bersiap menunggu gelombang zombie selanjutnya.
“Mereka datang. Siapkan tembakanmu, Kolonel.”
“Jangan memerintahku, dasar!” Kolonel melotot pada Agathar.
“Cih, kupikir kita sudah sepakat.”
Betapa terkejutnya Kolonel ketika melihat orang atau zombie yang berdiri paling depan, dia adalah orang yang sangat dikenal Kolonel. Dia adalah bawahannya, Sam.
Entah kenapa, Kolonel jadi ragu menarik pelatuknya sekarang.
Mozaik 34
Jangan Bunuh Mereka
“Kolonel...” Alli menegurnya.
Kolonel tak bergeming. Satu orang, yaitu Sam, sudah masuk ke ruangan, berjalan ke arah mereka. Penampilannya mengerikan. Rambutnya merah berdarah, matanya memerah, busa mengalir di sela-sela bibirnya, pakaiannya compang-camping, ada bekas luka yang masih segar di bahu dan pahanya. Sulit dipercaya dalam kondisi mengenaskan macam itu, Sam masih bisa bergerak. Dia berjalan sempoyongan seperti orang mabuk.
“Kenapa kau tak menembak, Kolonel?”
Kolonel masih tak bergeming. Rupanya Sam berakhir jadi zombie. Apa dia harus menembak? Apa salah Sam? Untuk waktu yang singkat, kolonel kehilangan keteguhan hati seorang tentara. Hanya sebentar, karena setelah itu, Sam melompat, mencoba menyerang dan mencekiknya.
Di pintu yang terbuka, beberapa orang zombie yang lain, sudah berdatangan. Agathar berdecak kesal. Kolonel yang seharusnya menembak, kini terjerembab akibat cekikan zombie.
“Pegang senternya,” Agathar melempar kembali senter pada Alli, ditangkap sempurna, “aku akan menahan mereka selama mungkin. Kolonel, semakin cepat kau bisa menembak lagi, semakin baik.”
Kemudian Agathar membentangkan tongkatnya di pintu, mencegah zombie-zombie masuk. Dia berusaha menahannya selama mungkin di sana. Sementara Kolonel, masih berkutat dengan Sam.
“Apa yang terjadi denganmu, Sam? Kenapa bisa seperti ini?” Kolonel menahan lengan Sam agar tidak mencekik lehernya lebih kuat lagi. Namun Sam sepertinya sudah kehilangan kewarasannya. Dia tidak merespon pertanyaan itu.
“Sebaiknya ada seseorang yang segera menembak, aku tidak bisa menahan mereka terlalu lama,” Agathar berseru. Dia susah payah menahan gerombolan zombie yang hendak masuk ke ruangan.
“Kau tidak bisa diandalkan. Kau bodoh, Sam!”
Kolonel kemudian memukul Sam atau barangkali zombie Sam itu sampai terpelanting. Alli mendekatinya.
“Anda mengenalnya, Kolonel?”
“Dia temanku. Tadi masuk bersama kemari.”
“Temanmu?” Alli tertegun, teman kolonel, berarti peserta juga. Apakah itu artinya...
Zombie-zombie ini adalah para peserta permainan survival.
Begitu Alli menyadari fakta itu, dia langsung menahan langkah kolonel yang hendak mengambil kembali senapannya.
“Jangan, Kolonel, jangan bunuh mereka.”
“Apa yang kau pikirkan, bocah. Minggir dari jalanku.”
“Mereka adalah peserta permainan. Mereka adalah teman kita. Mereka sama seperti kita.”
“Aku tak peduli.” Kolonel bergeming, “aku akan membereskan mereka. Mulai dari dia, temanku sendiri.”
Kolonel mengarahkan senapannya pada Sam yang terbaring di tanah. Pelatuk ditarik.
DORRR!
Bawahan kolonel itu mati terbunuh di tangan atasannya sendiri.
“Kolonel!” Alli meneriakinya. Kemudian dia merebut senapan itu dari tangan kolonel. Meski itu tindakan yang beresiko. Selain mengancam nyawa, Kolonel juga tersulut emosinya.
“Apa yang kau lakukan, bocah!”
“Jangan sakiti mereka. Mereka adalah teman-teman kita.”
“Kau bodoh!”
Agathar menggeleng-gelengkan kepalanya melihat dua orang yang sedang beradu mulut tersebut. Kini dia sudah berada di ujung batasnya. Tenaganya kalah dengan para zombie yang mendesak masuk.
“Astaga, kalian bodoh. Berdua.” Agathar yang mundur, membiarkan zombie masuk ke ruangan. Dia mengambil senter yang tadi diletakkan Alli di atas meja, bergerak cepat. Kolonel dan Alli masih adu mulut.
“Kembalikan senapannya padaku, bocah.”
“Tidak akan.”
“Mereka akan memakan kita hidup-hidup.”
“Aku yakin masih ada cara lain.”
TEKKK!
Seketika ruangan menjadi terang benderang. Agathar berdiri di atas kursi. Kursinya disandarkan di dinding. Agathar telah menyalakan kembali saklar lampu. Lampu menyala kembali, membuat seisi rumah Jacob si Orang Kaya terang benderang. Mengusir seluruh ketakutan.
mozaik 35
Semenit Setelah Lampu Dinyalakan
Begitu Agathar menekan sakelar lampu di ruang keluarga, tidak hanya lampu di ruangan itu yang menyala, melainkan seluruh ruangan yang ada di rumah Jacob si Orang Kaya. Ini adalah kabar baik bagi semua peserta yang masih bertahan di rumah itu.
Sekitar 50 orang masih bertahan di rumah tersebut. Sekitar sejumlah itu juga yang telah gugur. Mati, berjatuhan. Baik mati di tangan makhluk misterius yang mengendap di kegelapan, ataupun mati di tangan Kolonel Dhar. Ya, zombie-zombie yang berdatangan ke ruang keluarga, memang para peserta yang telah berubah.
Entah bagaimana mereka bisa berubah jadi zombie, masih belum jelas.
“Kotaruk.” Panggil seseorang, perempuan, pada seorang pria yang tergeletak di lantai, berusaha bangkit kembali.
“Aku baik-baik saja, Ayana.” Pria itu menjawab, menatap sang perempuan dengan penuh perasaan. Mereka sepertinya sepasang kekasih.
“Syukurlah. Aku khawatir sekali.”
“Kamu tidak terluka bukan?”
Ayana menggeleng pada Kotaruk. Pria itu baik sekali. Di tengah gelap, saat makhluk misterius itu mendekat pada Ayana, Kotaruk mendorongnya, agar tidak terjangkau oleh sesuatu yang tajam mengarah ke padanya. Menjadikan Kotaruk menjadi sasaran empuk. Tangannya yang terluka adalah “souvenir” dari makhluk misterius itu.
“Ah tanganmu. Aku akan membalutnya. Aku membawa perban.”
“Terima kasih.”
“Apakah kita akan melanjutkan permainan?” Ayana bertanya, intonasinya berbeda sekarang, sorot matanya ketakutan. Tapi Kotaruk tak bergeming. “Ya, kita tidak punya pilihan lain. Pintu ini tidak bisa dibuka.”
Mereka berdua adalah salah satu orang yang selamat saat makhluk misterius itu mengendap-endap mendatangi mereka di pintu depan.
Tepatnya cuma mereka berdua yang selamat dari 30 orang yang ada di sana.
“Kita beruntung masih selamat, Ayana.” Kotaruk menatap mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah di sekeliling mereka.
“Kasihan mereka. Makhluk apa sebenarnya itu?”
Kotaruk menggeleng, meski dia berkontak langsung dengan makhluk itu, saat menangkis, dia sama sekali tak bisa menebaknya.
“Ayo kita pergi.” Kotaruk berdiri setelah lengannya selesai dibalut oleh Ayana.
“Kemana?”
“Mencari tempat aman. Kamu ingat bukan, di brosur ditulis bahwa lampu akan dimatikan beberapa kali. Berarti nanti lampu akan padam lagi, dan makhluk itu akan muncul lagi.”
“Astaga.” Ayana menutup mulutnya. Terkejut, ketakutan.
“Tenanglah. Aku akan melindungimu.”
“Aku juga tidak mau kamu terluka. Apalagi sampai...”
“Aku tidak akan mati, Ayana, aku janji.”
Kemudian dua orang yang masih selamat itu, berjalan, masuk kembali ke dalam rumah. Di beberapa bagian rumah, Ayana dan Kotaruk menemukan beberapa orang lainnya. Mereka saling bersalaman, berkenalan. Pernah berada dalam situasi yang sama membuat mereka ramah satu sama lain.
“Kita harus bertahan sampai pagi di rumah ini,” ucap Kotaruk optimis.
Sementara di ruang keluarga. Keanehan terjadi pada para zombie. Mereka yang tadinya buas, hendak menyerang bahkan hendak menggigit kepala mereka, mendadak berhenti. Lalu terjatuh, terduduk, lemas, dan akhirnya tumbang. Zombie-zombie itu berguguran serupa siswa pingsan saat upacara bendera.
“Mereka tiba-tiba tumbang!” Alli terkesima dengan pemandangan di depannya.
“Sepertinya mereka peka pada cahaya. Cahaya adalah kelemahan mereka.” Eternita menganalisis.
Agathar meloncat ke dekat mereka sambil mendengus kesal, “jangan seenaknya menganalisis, Nona.”
“Hanya dugaanku,” balas Eternita.
“Bicara soal analisis, ada yang ingin kutanyakan pada kalian.” Agathar menatap mereka semua.
“Oh ya, karena kau menolak menjawab pertanyaanku tentang namamu, bolehkah aku menolak menjawab apapun yang kau tanyakan?”
Alli dan Agathar saling menatap, dengan tajam.
mozaik 36
Berbicara
Agathar mendatangi Alli, mereka sekarang berdiri berhadapan, tak sampai setengah meter.
“Apa sebenarnya masalahmu?” Agathar bertanya, nadanya tajam.
Alli mengangkat bahu, kemudian tertawa ringan, “aku tidak punya masalah, Pria Berjas. Aku hanya sedang bercanda, itu sekedar guyonan. Ayolah, apakah kau tidak mengerti?”
“Tidak.”
Sekarang Alli yang garuk-garuk kepala. Alangkah kakunya pria berjas di depannya ini.
Sementara itu, Kolonel dan Eternita sudah menyelesaikan urusannya, mereka bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan itu, tapi Agathar berseru lebih dulu, menghentikan langkah mereka.
“Kalian mau kemana?”
“Sudah jelas. Pergi. Aku punya urusan lain.”
“Aku juga,” Eternita menimpali.
“Jadi begitu ya. Urusan lain. Sayangnya kalian tidak boleh pergi,” Agathar menahan langkah mereka dengan suaranya yang tegas, “aku memiliki beberapa pertanyaan untuk kalian.”
“Aku tidak peduli kau mau bertanya tentang apa, tapi aku tidak berniat untuk berada di sini lebih lama. Lampu sudah menyala. Ada yang harus kulakukan. Seberapa bahayanya rumah ini beberapa jam ke depan, tergantung diriku.”
Kolonel menjawab sambil melangkah, sementara Eternita hanya diam. Kolonel berjalan menuju pintu yang tadi dihancurkannya, sementara Eternita membuka salah satu palang pintu lainnya.
“Tunggu dulu,” ucap Alli. Suaranya sebenarnya kalah tegas dengan Agathar tadi, tapi uniknya, suara itu membuat langkah-langkah mereka kembali terhenti. Kolonel bahkan menoleh ke belakang.
“Apalagi yang kau inginkan, bocah.” Wajah Kolonel tidak senang. Dia memandang lurus ke arah Alli. Dan itulah satu kesalahannya. Mata Alli punya daya tarik yang bisa memengaruhi orang lain untuk mengikutinya.
“Dengarkan aku. Rumah ini berbahaya. Jika kita keluar dari ruangan ini sekarang, maka kita akan berjalan sendiri-sendiri, dan akan menghadapi bahaya berikutnya sendiri-sendiri. Ada kemungkinan kita tidak akan bertahan, dan mati. Tapi jika kita bekerja sama mungkin kita bisa menghadapi bahaya dengan baik. Lebih baik.”
Kata-kata itu sempurna membuat Kolonel terpaku, Eternita terdiam, dan Agathar menggeleng-gelengkan kepala.
“Kau tidak sedang bercanda bukan?”
“Sama sekali tidak, Kolonel. Aku serius. Lihatlah, ketika zombie berdatangan, kita bisa mengatasinya karena bekerja sama. Ada anda, kolonel, dengan kemampuan bertarung anda, ada Pria Berjas dengan kemampuan otaknya, aku yakin dia cerdas, dan ada nona muda ini. Kita bisa melakukannya. Mungkin permainan survival ini harus dimenangkan secara bersama-sama. Bagaimana menurut kalian?”
Agathar menghela nafas, dia yang pertama bicara, mendukung kalimat Alli. Tapi dengan versinya sendiri. “Kalau itu bisa membuat kalian bertahan lebih lama di ruangan ini, aku setuju dengan pendapatnya.”
“Kau bahkan tidak paham sebagian kalimat yang baru kau ucapkan, bocah,” kolonel mendengus, tapi anehnya dia berbalik, kembali ke tengah ruangan.
Eternita juga melakukan hal yang sama.
Detektif kondang itu ada di sini, mungkin kalau aku mendengarkan kata-katanya, aku akan bisa menemukan Thyaras.
Alli tersenyum senang atas reaksi yang ditunjukkan orang-orang ini.
“Baiklah. Jadi bagaimana menurut kalian, kemana kita harus pergi?”
“Sebentar,” Agathar menyela, “aku ingin menanyakan satu hal. Apa yang kalian cari di rumah ini?”
Satu pertanyaan yang langsung menusuk ke pangkal pikiran. Nampak sekali mereka tidak nyaman dengan pertanyaan Agathar barusan. Alli berusaha menguasai dirinya.
“Apakah pertanyaan ini penting, Pria Berjas?”
“Tentu.”
“Baiklah, aku akan menjawab. Aku ada di sini, sebagai peserta biasa. Tentu saja, aku mencari hadiah utamanya.”
Namun Agathar terlihat tidak terkesan dengan jawaban Alli itu. “Aku sudah menduga kau akan mengatakan itu. Jadi aku tidak menantikan jawaban darimu. Aku lebih menantikan jawaban dari mereka berdua.”
“Hei, memangnya kenapa? Apakah yang aku cari salah?”
“Tidak, tidak. Kau hanya orang biasa. Tapi mereka berdua, jelas tidak biasa. Kalian tidak mencari hadiah bukan?” Agathar ganti menatap Kolonel dan Eternita.
“Tidak bisakah kau menanyakan hal lain?” akhirnya Eternita buka suara, “lagipula itu pertanyaan aneh. Ini permainan berhadiah, apa yang kucari di sini selain hadiah?”
Nada suara Eternita barusan, sangat kentara, dia tidak nyaman.
“Kamu tidak bisa membohongiku, Nona. Kamu tidak mencari hadiah. Lihatlah, saat kegelapan dan ketakutan itu datang, kamu tidak lari ke arah pintu keluar, malah lari ke dalam rumah. Kamu tidak berniat meninggalkan rumah ini sampai menemukan apa yang kamu cari.”
“Itu analisis yang cukup bagus.”
“Hal yang sama berlaku pada kau, kolonel. Bahkan lebih kentara. Sebab kau malah mendobrak ruangan ini.”
“Itu karena seorang tentara tidak pernah lari dari pertempuran.”
Agak bergetar kolonel mengucapkan kalimat tersebut.
“Jadi kalian tidak berniat menjawab. Mari kutanya sekali lagi, apa misi kalian datang ke rumah ini?”
Ruangan tetap lengang, tidak ada yang bersuara.
“Tidak ada yang berniat menjawab ya, baiklah. Jangan salahkan aku, tapi seiring waktu nanti, aku akan tahu. Aku akan mengetahui semua yang kalian sembunyikan.”
mozaik 37
Tak Berguna
Kolonel yang tadinya duduk, kembali berdiri. Alli buru-buru hendak menahan langkahnya. Tapi Kolonel malah melotot. “Pembicaraan ini tidak berguna. Kalian orang-orang bodoh tanpa rencana, tidak akan membantuku.”
“Oh ya,” Agathar tersinggung karena dicap bodoh, “jadi apa rencanamu.”
“Keluar dari sini.”
“Itu juga rencana yang bodoh. Kalau kau memang ingin mewujudkan tujuanmu, rencana dia benar. Kita memang harus bekerja sama.”
Alli kini tersenyum senang, pria berjas mendukung keputusannya. Namun Eternita tidak akan mudah sepakat untuk bekerja sama dengannya.
“Kenapa kamu menolak, Eternita?”
“Aku tidak percaya pada detektif. Kau detektif bukan?” Dia melempar tanya pada Agathar diikuti tatapan mata Alli yang kini kagum pada Agathar.
“Jadi kau detektif.”
“Tidak ada gunanya mengatakan itu padamu.”
“Untuk beberapa saat kupikir kita sudah berteman, Pria Berjas.” Alli bersungut-sungut.
Berteman? Jangan harap. Sampai akhir aku tidak menganggap kalian teman. Aneh sekali. Agathar membatin.
“Justru karena itu,” kolonel menyahut, “kau detektif. Kau tidak bisa diajak berteman. Karena detektif hanya memikirkan tentang dirinya sendiri.”
Aku juga tidak bisa percaya pada tentara seperti kau. Agathar kembali membatin.
Pertemuan mereka di ruang keluarga sepertinya bakal berakhir, tanpa kesepakatan apapun. Kolonel dan Eternita bersiap-siap meninggalkan ruangan.
“Tunggu. Satu pertanyaan lagi.”
Kolonel menjawab dengan membelakang punggung, berkata tegas, “tidak. Aku tidak berniat menjawabnya.”
“Apakah kalian datang ke sini, untuk menyelidiki tentang Tuan Rumah?”
Agathar tak peduli, dia tetap mengajukan pertanyaannya. Pertanyaan yang di luar dugaan membuat Kolonel berbalik, dan sekejap kemudian. Berlari ke arah Agathar dengan ekspresi marah.
“Kau terlalu banyak bertanya. Dasar detektif.”
Kolonel hendak meninjunya, tapi Agathar dengan mudah meloncat ke belakang, menghindar. Gerakannya gesit. Dan kolonel juga tidak serius.
“Hei, hentikan.” Alli meneriaki mereka. “Bertengkar tidak akan menghasilkan apa-apa.”
“Ekspresi itu,” Agathar berucap santai sekali, matanya tajam menganalisis, “kau tersinggung. Tapi tidak tersinggung karena pertanyaanku itu menyangkut privasimu. Tidak. Kau tersinggung karena aku terus bertanya. Itu berarti urusanmu di sini, tidak berhubungan dengan Tuan Rumah.”
“Analisis sok tahu macam inilah yang membuatku tidak sudi bekerja sama denganmu, Detektif.”
“Tidak perlu tersinggung, kolonel. Aku masih punya banyak stok pertanyaan untukmu.”
Tidak jauh di situ, Eternita jadi gugup. Bagaimana kalau Agathar juga membongkar misinya kemari? Bisa gawat.
mozaik 38
Deklarasi Sang Tuan
“Aku ingin kita bekerja sama.”
Alli kembali menegaskan keinginannya.
“Kau jangan berbicara lagi. Aku muak mendengarnya, bocah.” Kolonel mendatanginya dengan wajah marah dan tinjunya masih terkepal.
“Aku mohon, Kolonel.” Alli berdiri tenang, sama sekali tak gentar dengan tinju itu. “Kita pasti bisa jadi tim yang hebat jika bekerja sama. Aku yakin sekali.”
“Kau jangan bersikap seolah aku akan mengikuti apa yang kau inginkan. Kau bukan pemimpin di sini. Dan jelas kau tidak berbakat jadi pemimpin.”
“Kata siapa?”
Bersamaan dengan suara tegas nan berwibawa itu, tiba-tiba udara di ruang keluarga itu berputar seperti terjadi angin puting beliung, dan entah darimana tiba-tiba ada cahaya berpendar di tengah-tengah pusaran angin itu. Dan sebelum semua orang memahami apa yang terjadi, pria tua berjanggut putih itu sudah berdiri di tengah-tengah ruangan.
“Sang Tuan,” Agathar yang pertama bicara. Dia tidak terkejut, karena sebelumnya dia juga sudah bertemu dengan Sang Tuan.
Kakek tua berjanggut itu tersenyum. Senyum yang amat damai, bijaksana, dan tulus. Senyumnya itu menyenangkan siapa saja yang memandangnya. Alli dan Eternita sama-sama terkesima. Sementara Kolonel menatapnya dengan tajam.
“Senang sekali bisa muncul di sini. Tepat sekali, kalian berempat sedang berkumpul di sini.”
“Siapa kau?” Kolonel bertanya.
“Aku adalah Sang Tuan.”
“Sang Tuan....” ulang Alli, masih terkesima. Tadi dia terkesima dengan kemunculan orang ini yang begitu tiba-tiba, begitu ajaib, sekarang dia terkesima, karena dia menyadari siapa yang ada di depannya ini. Sebagai penduduk asli kota J, yang amat mencintai budaya kotanya, serta rajin mendengarkan cerita dari mulut ke mulut, Alli sangat mengenal Sang Tuan.
“Kenapa kau ada di sini?” Agathar bertanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun penghormatan.
“Aku ingin bertemu dengan kalian semua.” Sang Tuan menjawab dengan tenang.
“Anda ingin bertemu dengan kami?” Alli menyerobot, “termasuk ingin bertemu dengan saya?”
“Tentu, Alli. Tentu. Kau juga.”
“Oh anda tahu namaku?” Alli semakin takjub. Wajahnya semakin kagum dan hormat.
Sang Tuan kembali tersenyum, amat tulus.
“Mundur kau, bocah. Orang ini mencurigakan.” Kolonel Dhar maju selangkah ke depan Sang Tuan, tangannya bergerak mengambil senapan. Mengokang. Kontan membuat Alli meneriakinya.
“Apa yang mau Kolonel lakukan?”
“Aku akan menembaknya kalau dia bergerak. Dia amat mencurigakan.”
“Kolonel tak mengenal Sang Tuan?”
“Tidak, dan kau sama sekali tidak perlu menceritakannya. Orang ini sepertinya satu aliansi dengan makhluk yang mengendap di kegelapan serta para zombie itu.”
Alli maju selangkah, jaga-jaga untuk mencegah kalau Kolonel sampai menembak. Tapi Sang Tuan memasang wajah santai, “tidak perlu repot-repot membelaku, Alli. Terima kasih. Tapi dia tidak bisa membunuhku dengan mudah.”
DORRR!
Kolonel melepas tembakan. Alli sampai menutup mulutnya saking terkejutnya. Tapi secara ajaib, tembakan yang disasar kolonel secara akurat itu malah meleset dari sasarannya. Peluru yang ditembakkan kolonel, meleset nyaris 30 cm dari bahu Sang Tuan.
“Tidak perlu repot-repot membuang pelurumu untuk menembakku, Kolonel. Lebih baik kau simpan untuk menghadapi musuh yang kau cari di sini.”
“Kau,” kolonel menggeram marah. Agathar mendengar hal itu, mencatatnya baik-baik di benaknya.
“Aku hanya mampir sebentar,” Sang Tuan berjalan mendekat ke arah Alli. Ketika sampai di sebelahnya, Sang Tuan menepuk bahu Alli sambil berkata, “aku setuju dengan Alli. Kalian perlu bersatu menjadi satu tim utuh untuk keluar hidup-hidup dari rumah ini. Dan aku datang ke sini untuk mengangkat Alli menjadi ketua tim. Kalau kalian ingin selamat, ikutlah dengan dia. Aku meletakkan kunci cerita di tangannya.”
Alli gemetar. Nyaris pingsan karena terkejut dan senang.
mozaik 39
Sang Tuan dan Kesepakatan Tim
Sang Tuan menghilang tidak lama setelah “mendeklarasikan” Alli sebagai pemimpin tim. Dia mengucapkan beberapa patah kata perpisahan, kemudian menghilang dengan sama dramatisnya seperti saat dia muncul.
Menghilang dalam balutan cahaya dan angin puting beliung yang menerbangkan sekitarnya.
Kolonel masih termenung setelah menyaksikan bagaimana dramatisnya adegan menghilangnya Sang Tuan.
“Siapa dia itu?” akhirnya Kolonel bertanya setelah beberapa saat.
“Dia adalah Sang Tuan.”
“Ya, dia mengatakan namanya. Tapi siapa dia itu? Bagaimana dia bisa muncul dan menghilang begitu saja? Apakah dia bukan manusia? Atau dia orang sakti?”
“Kolonel tak pernah mendengar ceritanya?”
Kolonel menggeleng. Lagipula kalau dia pernah mendengar ceritanya, dia tidak akan memercayainya.
“Sang Tuan adalah sosok legenda. Manusia, jin, malaikat, tidak ada yang pernah bisa memastikan, siapa dan makhluk apa Sang Tuan. Tapi dia selalu muncul dengan wujud kakek tua berjanggut putih. Senyumnya, wajahnya, menggambarkan betapa bijaksana dia. Tugasnya adalah menulis cerita, mengarahkan manusia untuk membuat sebuah cerita yang bermakna. Ratusan kali kudengar cerita-cerita tentangnya, tak kusangka hari ini aku bertemu dengannya. Tak kusangka, hari ini aku yang terpilih.”
“Terpilih jadi?” kolonel bertanya menggantung.
“Orang yang akan menulis cerita baru. Aku, bukan, kita semua. Kita semua telah dipilih oleh Sang Tuan.”
“Omong kosong.” Kolonel menjawab pedas.
Belum sempat Alli membela kalimatnya, Agathar sudah menghampiri, nimbrung, “terlepas dari benar atau tidaknya cerita tentangnya, aku yakin Sang Tuan punya tujuan tertentu untuk muncul di tempat ini.”
“Pasti. Inilah tujuannya. Jadi bagaimana, apakah kita sepakat untuk menyatukan diri, menjadi satu tim, untuk keluar hidup-hidup dari permainan ini.”
Agathar, Kolonel, dan Eternita nampak menghela nafas. Nampak sangat berat dengan keputusan ini. Tapi akhirnya masing-masing dari mereka menyebutkan keputusan, yang mengejutkan.
“Ya, aku sepakat.”
“Baiklah. Mari kita lakukan.”
“Kurasa aku tak punya pilihan lain.” Kolonel yang berbicara terakhir. Wajahnya terlihat keberatan, tapi apa daya, takdir cerita memang mengguratkan demikian.
Hal pertama yang mereka lakukan setelah menyepakati pembentukan tim, adalah membicarakan, apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Bagaimanapun, mereka perlu rencana, dan Agathar yang pertama mengusulkan.
“Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah ini. Karena, dengan semua ketakutan, semua keanehan, teror mematikan ini, aku rasa ada sesuatu yang mencurigakan.”
“Itu terdengar seperti misi kau sendiri, detektif.”
“Kau harus mengakui bahwa apa yang kukatakan, adalah benar, kolonel.” Agathar membalas pedas.
“Hei, aku suka ide itu. Kita harus mencari tahu apa yang terjadi di rumah ini. Siapa yang jadi dalangnya. Begitu kita mengetahuinya, mungkin kita bisa memenangkan permainan survival tanpa harus menunggu sampai pagi.”
“Kau terdengar bersemangat sekali,” kolonel mengejek, wajahnya masih tak senang.
“Ya, karena aku adalah pemimpin kalian sekarang. Ayo kita berangkat. Kita perlu menggeledah setiap ruangan untuk mencari petunjuk. Dan sebaiknya kita cepat, mumpung lampu masih menyala.”
“SIAPA YANG MENYURUHMU JADI PEMIMPIN, BOCAH!”
Alli tertawa-tawa, “bukankah kita tadi sudah menyepakatinya?”
“Aku tarik kembali kesepakatan.”
“Bukankah menarik kesepakatan melanggar kode etik tentara, Kolonel? Bayangkan kalau Napoleon tiba-tiba menarik kesepakatannya ketika menyerbu Rusia, bisa kacau balau sejarah.”
“KAU....”
Alli tertawa makin kencang. “Ayo kita jalan. Aku tidak serius, Kolonel. Hanya bercanda. Ayolah, apa kolonel tidak bisa bercanda?”
Sementara itu di belakang, Agathar dan Eternita berjalan beriringan. Diam-diam saling berbisik dengan suara hati yang saling berlawanan.
Kalau toh harus bekerja sama, setidaknya aku harus menggiring tim ini agar menguntungkan diriku.
Sementara Eternita berbisik pelan pada dirinya sendiri.
Sebelum dia mengatakan apa sebenarnya yang dia pikirkan, aku tidak akan membicarakan apa-apa tentang Thyaras.
mozaik 40
Trik-trik Rahasia di Rumah Ini
Tim yang tidak padu itu, mulai berjalan.
Tempat pertama yang mereka datangi adalah kamar kosong dekat ruang perapian. Hal ini berdasarkan kesaksian kolonel bahwa makhluk yang mengendap di kegelapan, muncul lewat kamar itu.
“Kalau aku tidak salah ingat, dan aku jarang sekali salah ingat, kamar itu tidak terhubung dengan kamar manapun. Satu-satunya pintu masuknya adalah lewat ruang santai yang ada perapiannya, yang sering dipakai Jacob ketika musim dingin.”
“Darimana kau tahu detail soal kamar-kamar itu? Apakah kau sudah mengeceknya lebih awal dari kami?”
Agathar menggeleng, meski kenyataannya demikian, “aku sudha mengenal rumah ini jauh sebelum kalian.”
“Itu berarti kau sudah mengenal Jacob si Orang Kaya jauh sebelum ini?”
“Ah kau mulai cerewet dalam bertanya, Nona.”
“Apa salahnya aku bertanya.”
“Ya, aku memang mengenal Jacob si Orang Kaya secara pribadi. Aku sering berkunjung ke sini. Aku sering mengelilingi rumah ini, sehingga aku bisa mengingat detail ruangan-ruangannya. Baiklah, itu detail tidak penting, lebih baik kita kembali pada detail yang dikatakan kolonel, makhluk itu muncul dari kamar yang terhubung dengan ruang perapian. Itu aneh sekali.”
“Hanya ada satu kemungkinan,” sahut kolonel, nimbrung karena namanya disebut-sebut, “makhluk itu bersembunyi di sana, jauh sebelum acara dimulai.”
“Tapi dia berkeliaran di rumah ini. Aku melihatnya di ruang santai bagian depan, tidak mungkin makhluk itu bersembunyi di ruangan lain. Menunggu kesempatan saja.”
“Kalau begitu kesimpulan berikutnya, makhluk itu bukan satu, tapi banyak.”
Semua orang merinding pada kesimpulan yang dibuat oleh Kolonel itu. Hanya Alli yang tetap tertawa. “Tidak menutup kemungkinan, mengingat yang pasti satu dan tidak mungkin banyak, hanyalah Tuhan.”
Ah kadang, humor Alli terlalu berlebihan.
Eternita masih mencoba menanyakan beberapa hal pada Agathar, coba mengorek informasi. Namun Agathar tak berniat untuk membahasnya. Dia hanya menanggapi tipis-tipis. Mereka tiba di ruang perapian. Segera disambut oleh pemandangan yang mengenaskan.
Semua orang yang terjebak bersama Kolonel sebelumnya, mati bergelimpangan. Kolonel menatap pemandangan itu dengan pilu, tapi dia kemudian meneguhkan hati.
Belum saatnya dia memikirkan hal tersebut.
“Astaga, ini mengerikan sekali.” Alli mendatangi salah satu mayat, berlutut di dekatnya, memeriksa.
“Karena banyak sekali mayatnya, karpet rumah ini berubah jadi merah.”
“Aku jadi jijik menginjakkan kaki di kamar ini.”
Mayat-mayat itu bergelimpangan dengan luka menganga. Nyaris semua bekas cakaran atau sabetan benda tajam. Uniknya bekas sabetan itu berbentuk tiga cakaran memanjang.
“Makhluk itu yang melakukan ini.” Eternita bersuara.
“Ya, aku sepakat. Pola tiga cakarannya sangat khas.”
Eternita nampak tak senang karena kalimatnya malah didukung oleh Alli.
“Senjata yang amat tajam. Tapi diayunkan dengan cara yang aneh. Lihat, seandainya makhluk itu menginginkannya, dia bisa memotong lengan orang ini saat menyerangnya. Tapi dia hanya memberikan luka sayatan biasa.”
“Makhluk itu memang bodoh dan tidak bisa berpikir sepertinya.” Eternita menanggapi, mengingat dia berurusan petak umpet dengan makhluk itu di ruang santai.
“Sebaiknya kita bergegas ke ruangan berikutnya.”
Mereka berempat meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengenaskan itu, dan memeriksa ke kamar yang dituju sejak awal. Biarlah urusan mayat itu bisa diurus nanti-nanti. Pintu kamar itu sudah terbuka sedikit, jadi Agathar tinggal membukanya lebar-lebar.
Kamar itu kosong. Benar-benar kosong melompong.
“Ini aneh sekali.” Kolonel berseru. Bagaimana mungkin makhluk itu berpikir dia bisa bersembunyi di ruangan semacam ini? Tidak ada tempat bersembunyinya. Seseorang bisa membuka ruangan ini dan melihatnya saat lampu menyala.”
“Ya, kau benar, Kolonel,” Agathar memeriksa lubang kunci, “kamar ini tidak dikunci. Jadi siapa saja bisa masuk. Tidak ideal untuk menjadi tempat bersembunyi.”
“Jadi dulunya ini kamar apa?” Alli bertanya, sekaligus kecewa. Untuk kesekian kalinya dia menemukan kamar yang kosong melompong, tidak ada hadiah di dalamnya.
“Ini area pribadi Jacob si Orang Kaya. Ruang tidurnya di lantai 1 kalau aku tidak salah ingat. Dia akan turun ke sini, jika tidurnya di lantai 2 tidak nyenyak.”
“Perilaku yang tidak bisa kupahami, karena aku hanya punya rumah satu lantai.”
“Tidak ada yang peduli denganmu,” Eternita mencibir.
“Ini aneh sekali,” Kolonel membalas, “bagaimana bisa makhluk itu bersembunyi di sini.”
“Bukan itu yang mengganggu pikiranku saat ini.”
“Jadi apa, detektif.”
“Kenapa ruangan ini sengaja dikosongkan?!” Agathar terpekik agak keras. Rasa penasarannya membuncah-buncah.
mozaik 41
Orang Keracunan
Sedikit keanehan di kamar kosong itu akhirnya diputuskan untuk dibiarkan saja. Sementara ini, biarlah seperti itu dulu.
“Kita tidak punya banyak waktu. Aku tidak bisa memprediksi, kapan lampu akan dimatikan kembali, jadi kita harus cepat. Ayo kita cek ruangan lainnya.”
“Baiklah, aku sepakat.” Agathar bangkit, berdiri.
Ruangan berikutnya yang akan mereka cek, adalah ruangan makan. Ruangan itu terletak berdampingan dengan ruang keluarga. Kolonel kembali membuat kesaksian setelah melihat ada beberapa bekas cakaran berbentuk tiga goresan di dinding.
“Aku menduga sebelumnya, makhluk itu akan datang dari ruangan ini. Sebab aku yakin sekali aku mendengar kedatangannya dari sini.”
“Mungkin kesimpulan itu benar, Kolonel. Makhluk itu bukan hanya satu. Bagaimana menurutmu, Pria berjas?”
“Kita belum bisa menarik satu kesimpulan. Hei siapa itu.”
Seseorang terbaring di ruang makan. Tepat di belakang meja makan. Tangannya terlihat menggapai-gapai udara. Alli yang paling cepat mendatanginya, berlari.
“Ha huh ha huh ha.” Orang itu membuat suara yang tak jelas.
“Wajahnya ketakutan. Teramat sangat.” Agathar memberikan analisisnya.
“Ketakutan?” Alli mendongak, “apakah Tuan melihat makhluk itu?”
“Ha huh ha huh hah.”
“Aku tidak bisa mengartikan, itu ya, atau tidak. Bagaimana menurut Kolonel?”
“Ya mana aku tahu, bocah!”
Di saat kritis seperti ini, Alli masih sempat saja mengeluarkan guyonan.
“Ha huh hah huh hahhhhh huhh.” Pria itu mengeluarkan suara yang semakin keras, mirip seperti desisan. Tangannya terus menggapai-gapai udara.
“Dia tidak melihat kita.”
“Bagiku, dia seperti sudah kehilangan akal sehat.”
“Aku setuju dengan kolonel.”
Orang itu terus mengulang suara kacaunya yang mirip desisan, sambil tangannya terus menggapai-gapai udara.
“Tuan tenanglah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Tuan mendengar aku?”
Pertanyaan Alli kembali dibalas dengan suara tak jelas mirip desisan.
“Bagaimana kesimpulanmu, Pria Berjas?”
“Orang ini kacau. Tapi itu disebabkan oleh suatu sebab. Suatu sebab yang ada di rumah ini. Dia bukan orang gila, dia waras, seperti kita.”
“Apakah ini mungkin disebabkan oleh ketakutan yang teramat sangat?” Eternita bertanya.
Agathar menggeleng, “bukan, kalau dia hanya ketakutan, dia pasti akan merespon kita. Bukan berbuat seperti orang gila begitu. Dia kacau. Pikirannya terganggu. Seolah ada sebuah en.... tunggu dulu.”
Kalimat yang terpotong khas dari seorang detektif.
“Ada apa, tuan detektif?” Eternita kembali bertanya.
“Dia keracunan.” Agathar dengan cepat memberi kesimpulan baru setelah berpikir ulang tadi gara-gara kalimatnya sendiri. Kesimpulan yang bikin melongok.
Keracunan?
“Ya, ada sesuatu yang dimasukkan dalam tubuhnya, itu membuat pikirannya kacau. Dalam pikirannya saat ini ada ketakutan-ketakutan yang teramat sangat.”
“Tapi bagaimana? Bukankah ini permainan survival untuk karnaval? Seharusnya tidak boleh ada racun dalam permainan ini bukan? Jangan bilang ini survival bertahan hidup secara harfiah.”
Kolonel menyumbangkan pendapatnya bahwa mereka memang sedang bertahan hidup secara harfiah. Namun tidak ada yang memerhatikan pendapatnya.
“Kita belum tahu. Tapi aku bertaruh, racun itu, dimasukkan ke dalam tubuhnya lewat indera penciuman.”
“Maksudmu gas beracun.”
“Kurang lebih.”
“Kesimpulanmu itu terlalu dini, Pria berjas, hei, dia menggelepar. Astaga.”
Alli seketika panik. Orang itu mendadak diam, tangannya berhenti menggapai-gapai, kemudian dari mulutnya keluar cairan berbusa. Tubuhnya mengejang. Sejenak kemudian, orang itu berangsur tenang.
Dia sudah tewas.
“Mulut berbusa itu, lihatlah.”
“Ya,” timpal Alli, “dia mirip seperti zombie yang kita temui di ruang keluarga sekarang.”
“Apa, zombie? Kurasa sekarang aku harus menembaknya.”
Sontak Alli menahan Kolonel. “Jangan, dia sudah mati. Dia sudah tenang. Tidak ada gunanya kau tembak.”
“Tapi siapa tahu nanti dia jadi zombie?”
“Kecil kemungkinan. Kemungkinan yang lebih besar adalah, dia adalah satu dari orang-orang yang bertahan tidak menjadi zombie. Sekarang kita tahu bahwa ada sesuatu eksperimen mengerikan dalam rumah ini.”
mozaik 42
Jangan Sentuh Makanan di Meja
Tadi, Agathar memeriksa mayat orang keracunan yang mereka temui, sekali lagi. Sementara itu yang lain memeriksa ruangan makan.
Itu bukan ruang makan yang biasa saja. Terhitung untuk modelannya sangat prestisius. Khas, elegan dan menampilkan keindahan. Ibarat kata, makanan gosong ditaruh di atas piring, tetap saja gosong. Tapi yang menyantapnya tidak terlalu mempermasalahkan makanan itu gosong atau tidak. Sebab arsitektur ruangan makannya sudah memuaskan mata mereka.
Meja makan dibuat luas. Nyaris bisa menampung 10 orang untuk makan di sana bersama-sama. Meja itu dibuat dari kayu unggul yang dipoles hingga licin mengkilat. Kursi-kursinya juga. Kilatan licinnya itu selain menampilkan kesan elegan dan mahal, juga menampilkan kesan begitu kokoh.
Sebagai pelengkap, di atas meja makan itu, ada berbagai macam makanan lezat yang telah disajikan. Ya, sebagaimana di ruang kopi ada berbagai macam jenis kopi yang disiapkan untuk peserta, di ruang makan ini juga disediakan banyak makanan.
Makanan mahal yang biasa dihidangkan di restoran yang hanya didatangi oleh orang-orang berbaju bagus. Restoran yang didatangi kritikus makanan setiap bulannya untuk memastikan kualitas makanannya (dan tentu tidak ada tikus di dapurnya).
“Ya, aku sudah menduga akan menemukan sajian seelegan ini di ruang makan.”
“Darimana kamu tahu?” Alli menatap Eternita.
“Saat masuk ke sini, aku melewati ruang kopi dan di sana juga disediakan kopi. Mungkin inilah cara mereka menyambut kita di rumah orang terkaya di Kota J.”
Hanya Eternita dan Alli yang berdiri di dekat meja makan. Kolonel agak jauh dari mereka, sedang mengamati sekeliling, sementara Agathar, masih memerhatikan mayat orang keracunan dengan saksama. Wajahnya mengisyaratkan dia sedang berpikir keras.
“Makanan ini sepertinya lezat.” Tangan Eternita bergerak, hendak mengambil sepotong kue.
“Jangan,” Alli mencegah.
“Kenapa?” Eternita sudah membuka mulut, nyaris menyantap kue itu sebagai kudapan.
“Bisa saja beracun.”
“Kau terlalu khawatir. Sebaiknya kau tidak terlalu lemah dan kaku seperti ini sebagai laki-laki.”
“Hei!” Alli tersinggung. Tapi Eternita mana peduli. Dia sudah siap menyantap kue berlapis krim warna putih itu.
HAP!
Tidak, tidak itu bukan gerakan menampar. Alli menangkap tangan Eternita, kemudian membuatnya melepas kue itu, jatuh ke lantai. Tindakan yang jelas membuat Eternita kesal.
“Apa yang kau lakukan.”
“Mencegahmu dari tindakan buru-buru.”
“Kau menjatuhkan kueku, dan kau berani-beraninya menyentuh tanganku.”
“Eh maafkan aku, Nona.”
“Sudah kubilang, jangan terlalu kaku. Bukankah detektif sudah bilang kalau racun itu datang dari udara, bukan dari makanan.”
Untuk sejenak mata Alli dan Eternita bertemu. Bukan saling terpesona. Malah saling menatap tajam.
“Kalian terlalu banyak berdebat.” Kolonel mendekat, ikut mencomot satu potong kue. Alli berdecak kesal. Kenapa mereka berdua ini sama santainya.
“Nah coba kau peringatkan kolonel itu agar tidak memakan kuenya.”
“Eh aku apa...” Alli jadi serba salah. Di satu sisi, dia tahu ini berbahaya, tapi menegur kolonel juga adalah tindakan yang berbahaya. Bisa memancing kemurkaan keluar. Apalagi Kolonel sudah melotot ke arahnya.
“Apa, kau mau melarangku juga. Tidak bisa! Bocah bau kencur seperti kau tidak akan tahu, aku pernah makan sup tikus di medan perang dan aku pulang dengan sehat wal afiat. Malah aku dapat medali penghargaan. Aku tidak akan mati hanya karena kue.”
Alli membatin. Tidak bisa dibandingkan tikus dengan kue beracun. Reaksinya akan berbeda.
Beruntung, sebelum kue itu sempat dimakan oleh kolonel, Agathar lebih dulu menyela. “Kalau aku jadi kau, aku tidak akan memakan kue itu, Kolonel.”
“Kenapa?”
“Karena mungkin saja ada jebakan. Rumah ini berbahaya. Kita tidak bisa menganggap ini sebagai permainan survival biasa lagi. Ini memang medan perang.”
Teguran Agathar agaknya lebih mengena. Kolonel meletakkan kembali kue yang hendak dimakannya.
mozaik 43
Pantry dan Dapur yang Bersih
Dari ruang makan, lurus sedikit, rombongan Alli mencapai dapur. Tempat segala masakan yang ada di rumah ini dihidangkan. Dapur itu tidak ketinggalan dengan sentuhan yang serba mewah dan elegan. Bahkan Alli sampai membanding-bandingkan.
“Astaga, dibandingkan dengan dapur yang ada di rumahku, perbedaannya bagai bumi dengan langit.”
Semua hal yang ada di dapur itu ditata dengan baik, semua perlengkapannya canggih dan modern. Lalu, karena masakan yang dihidangkan di atas meja adalah makanan restoran berkelas, maka peralatan masak yang ada di dapur pun, adalah peralatan masak dari restoran berkelas.
“Ini aneh sekali.”
“Ada apa?”
Eternita yang pertama kali berbicara, kemudian Alli yang menyahutinya, kemudian Eternita tidak terlihat senang dengan dengan itu.
“Peralatan masak di sini, semuanya bersih. Seolah tidak pernah digunakan.”
“Ini memang tidak pernah digunakan.”Agathar menganalisis. Mata dan deduksinya segera menunjukkan bahwa benda-benda ini bahkan baru dipesan. “Tidak ada goresan, atau sentuhan api. Benda-benda ini baru datang beberapa hari yang lalu.”
“Kau yakin benda-benda ini tidak digunakan untuk memasak spageti lezat di meja makan, Pria Berjas?”
Agathar mengangguk. Benda-benda ini memang tidak pernah digunakan.
“Lalu bagaimana kau menjelaskan tentang makanan yang tersaji di meja makan itu?”
“Makanan-makanan itu juga dipesan.”
“Kenapa mereka repot-repot memesan makanan? Aneh sekali.”
“Itulah sebabnya aku tidak menyarankan kalian memakannya. Ini memang aneh. Mereka sengaja meletakkan semua peralatan masak ini di sini agar kita mengira sebaliknya. Seandainya tanpa mata tajamku...”
“Dan mata tajamku.” Eternita menyela tajam.
“Ya,” lanjut Agathar, “tidak akan ada yang memperkirakan demikian.”
“Tapi kenapa mereka melakukan hal tersebut?”
“Itulah misterinya.”
Alli menghela nafasnya. Kenapa sekarang rumah ini berubah jadi sangat aneh.
Mereka masih memeriksa dapur dengan saksama. Agathar memeriksa beberapa macam bumbu dapur yang tersimpan di dalam lemari. Dia kemudian memanggil Eternita untuk memastikan.
“Ya, ini memang cuma garam, gula dan bubuk lada. Serta beberapa macam bubuk bumbu yang tidak akan kau pahami.” Eternita mengenali setiap isi toples yang ada di lemari.
“Hanya ingin memastikan saja, mereka tidak menyimpan racun di lemari.”
“Ya.”
“Oh ya, kenapa wartawan seperti kamu ada di sini?”
Eternita terkesiap. Akhirnya Agathar sang Detektif handal menanyakan soal itu. Dia tidak langsung menjawab.
“Eternita, aku tahu kamu datang bukan sebagai peserta. Kamu membawa misi tertentu.”
“Sebagaimana kamu juga membawa misi tertentu, detektif.”
“Kamu tidak berniat menjawab pertanyaanku baik-baik.”
“Tidak. Tidak sekarang.”
“Baiklah. Jangan salahkan aku, kalau aku penasaran, aku bisa mengetahui misimu dengan mudah, tanpa kamu beritahu sekalipun.”
Eternita mengangguk, mencoba tenang. Tapi, seruan Alli berikutnya, membuat siapapun tidak akan tenang.
“Ada suara yang mencurigakan terdengar samar-samar.”
“Suara apa maksudmu?” tanya kolonel.
“Tenanglah, dengarkan.”
Suara itu memang halus sekali. Samar terdengar. Tapi lama-lama makin jelas.
KREEEKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Tidak salah lagi, itu suara yang mereka dengar saat lampu dimatikan.
mozaik 44
Dari Arah Toilet Besar
“Suara itu, makhluk sialan kembali lagi rupanya.” Kolonel segera meraih senapannya. Agathar mengeratkan pegangan pada tongkatnya. Eternita begitu waspada. Sedangkan Alli.
Astaga, dia malah gemetar, ketakutan.
Makhluk itu muncul lagi? Bagaimana ini? Aku kira ini bukan pertanda baik. Seharusnya aku lari dari tempat ini. Tapi mereka pasti tidak setuju. Mereka sepertinya ingin menghadapi makhluk itu.
Alli ingin sekali lari, tapi bagaimanalah, dia sekarang adalah pemimpin tim. Mana mungkin dia lari lebih dulu dibandingkan anggota timnya.
“Kau kenapa?” Agathar bertanya, walau sebenarnya Agathar sudah bisa membaca keadaan, tahu Alli ketakutan.
“Tidak apa-apa. Hanya lebih waspada.”
Dia ketakutan. Itu artinya dia tidak berguna.
KREKKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara itu terdengar, namun tidak pernah terdengar mendekat. Seolah hanya jalan di tempat. Agathar dan yang lainnya terus memasang telinga, menduga-duga.
“Makhluk itu akan mendapatkan ganjarannya sekarang. Detektif, katakan padaku, darimana arah suaranya?”
“Aku juga tidak bisa memastikan. Tapi suaranya begitu kecil. Sepertinya dia berjalan menjauh.”
Alli menghela nafas, dia harus bicara, agar tidak terlihat ketakutan. “Mungkin makhluk itu, tidak suka dengan cahaya terang. Kalau aku membaca brosur, katanya makhluk itu hanya akan berkeliaran saat lampu dimatikan.”
“Apa kau bilang barusan, brosur?”
“Ya, kolonel. Setiap orang yang melewati loket karcis selalu mendapat brosur.”
Kolonel manggut-manggut. Itu menjelaskan kenapa orang terlihat ketakutan saat lampu dimatikan.
“Sepertinya, bunyi itu datang dari ruangan belakang dapur ini.” Eternita menunjuk, sambil berjalan ke pintu coklat yang terlihat lebih kusam dibandingkan pintu lainnya di rumah ini.
“Seingatku itu pintu toilet.” Agathar berucap.
“Toilet?” Alli dan Eternita sama-sama berucap reflek. Mereka teringat soal pengalaman mereka yang buruk dengan toilet. Eternita kehilangan temannya. Alli disergap makhluk mengerikan di toilet. Pengalaman itu juga yang membuat mereka berdua terloncat dan berseru-seru.
“Jangan buka. Jangan buka toilet itu!”
Kemudian dua orang itu sama-sama beradu pandangan. Sama-sama tak suka yang lain menirukan suara mereka, yang terdengar takut.
“Kalian berdua tak bisa diandalkan, dasar pengecut.”
“Aku bukan pengecut.” Eternita langsung melotot. Entah sudah berapa kali mereka bertiga ini memperlakukan dia seolah dia adalah seorang pengecut, hanya karena dia adalah wanita.
Padahal kan, Eternita sangat pemberani.
“Sudah, minggir kalian. Biar aku yang membuka toiletnya.” Kolonel maju. Langsung meraih kenop pintu coklat itu kemudian membukanya. Bau semerbak langsung tercium. Kolonel langsung menutup kembali pintu coklat itu. Ekspresinya menahan muntah.
“Kenapa?” Agathar tersenyum sinis seolah meremehkan. Meremehkan baunya.
“Astaga, kapan terakhir tempat ini dibersihkan. Baunya menyengat sekali.”
“Aku sebenarnya ingin mengatakan, untuk tidak membuka pintu itu, sebab baunya pasti tidak tertahankan. Tapi, kau tidak akan mendengarkan pendapatku.”
“Tutup mulutmu detektif! Kau tidak mencium baunya yang begitu tajam.”
“Kata siapa. Tentu saja aku juga kebagian dampaknya. Bau beda dengan suara, siapa saja bisa menciumnya. Bau menyebar lebih cepat. Ayo kita teruskan perjalanan. Kalau aku tidak salah ingat, ada kebun di sebelah sana. Garden, Jacob sering menyebutnya. Itu pasti bisa menyegarkan kita dari aroma-aroma yang terlanjur kita cium.”
mozaik 45
Garden Rumah
Mereka beranjak dari dapur melewati pintu sebelah kiri (jika dilihat dari pintu masuk). Begitu pintu itu terbuka, lorong gelap terhampar di depan mereka. Ini adalah satu-satunya bagian rumah yang selalu “redup”, tak peduli kondisi listrik. Redup dalam artian lampu-lampunya tidak seterang ruangan-ruangan lain.
“Kalau aku tidak salah ingat, di lorong ini ada kamar pembantu.”
“Perlukah kita mengeceknya?” Kolonel mengecek.
“Tentu saja.” Alli menimpali.
Alli membuka pintu kamar pembantu, dan melongok ke dalam. Kamar itu remang-remang. Tidak terlihat ada yang istimewa di dalam sana. Kamar itu, seperti kamar biasa pada umumnya. Kalau dibandingkan dengan ruangan-ruangan lain di dalam rumah, kamar ini malah terlihat lebih sederhana.
“Baiklah, aku akan menutup kembali pintunya. Sepertinya tidak ada yang menarik di dalam.”
Mereka menyusuri lorong yang redup. Lorong ini menyempit di ujung dan berujung pada satu pintu lainnya. Agak ragu-ragu, Alli (berdiri paling depan sebagai pemimpin tim), membuka pintunya kali ini.
KREEEK
Pintu terbuka, dan mereka disambut dengan suasana taman rumah Jacob si Orang Kaya.
Meskipun malam hari, dan ini sudah pukul 11 malam, penerangan di taman itu cukup baik, sehingga semua sudutnya masih bisa dilihat.
“Tempat yang mengagumkan,” Eternita yang pertama memuji pemandangan yang kini terhampar di depan matanya.
Catat ini, Eternita akan selalu berkomentar tanpa malu-malu tentang apa yang dilihatnya. Itulah karakternya.
“Ini adalah taman yang dibangun sendiri oleh Jacob si Orang Kaya. Dia menghabiskan banyak uang untuk tempat ini dibandingkan ruangan-ruangan lain di rumah ini.”
“Jadi dia penyuka tanaman?”
Agathar menggeleng, “entahlah. Tapi dia adalah orang yang nyentrik.”
“Seingatku, kau belum menerangkan apa hubunganmu dengan Jacob si Orang Kaya, detektif? Kenapa kau tahu terlalu banyak tentangnya?”
“Aku pernah bekerja pada Jacob si Orang Kaya. Dia salah satu klien paling menguntungkan.”
“Hanya itu?”
“Aku jelas tidak akan memberitahumu terlalu banyak.”
Kembali ke penjelasan tentang taman atau “Jacob si Orang Kaya lebih sering menyebutnya Garden,” Agathar kembali menjelaskan, “tempat ini dibangunnya atas referensi dari berbagai tempat yang ada di dunia. Mari kuperlihatkan.”
Mereka melangkah masuk. Hawa segar, hawa dingin, dan hawa khas suasana hutan merasuk ke hidung dan pikiran mereka. Saking banyaknya tanaman di tempat itu, dalam ruangan berpagar besi jarang-jarang itu, tempat itu jadi lebih mirip hutan ketimbang taman.
“Bagian depan ini ditata agar mirip dengan hutan Amazon. Tumbuhan-tumbuhan yang ditanam di tanah ini didatangkan langsung dari daratan Amerika Selatan.”
“Dan bisa tumbuh?” Eternita bertanya lagi.
“Tentu. Jacob juga memanggil ahli nutrisi terbaik untuk memastikan agar tanaman-tanaman itu bisa tumbuh.”
“Benar-benar orang yang unik.” Alli akhirnya angkat suara.
“Belum, kau belum lihat apa yang terbaik.”
Di area yang mirip hutan Amazon ini Agathar beberapa kali mengendap-endap, menyibak dedaunan, seolah sedang mencari sesuatu. Alli mengamati dari kejauhan. Tidak bertanya.
“Ayo kita lanjut ke tempat berikutnya.”
“Masih ada lagi?” Eternita menyahut, antusias.
“Tentu. Sesuatu yang lebih baik lagi ada di bagian belakang. Ayo.”
Jika Alli dan Eternita pikir miniatur hutan Amazon tadi sudah cukup bagus, maka yang di bagian belakang ini seperti pemandangan dari surga. Dalam ruangan sempit ukuran 4x4 meter, garden itu menampung miniatur Hutan Bambu Sagano. Hutan bambu yang paling indah di dunia. Hutan yang asli ada di Kyoto Jepang.
“Ini serius? Ada hutan bambu seindah ini di kota J?”
“Ini benar-benar menakjubkan.”
Alli dan Eternita berdiri bersebelahan. Sama terpana dengan keindahan hutan Sagano. Mereka merasa berada di Jepang sungguhan sekarang. Namun, sejenak kemudian mereka berpandangan. Eternita yang pertama bicara, mencibir.
“Aku tidak suka sependapat denganmu.”
Sementara Alli hanya cengengesan garuk-garuk kepala.
Sekali lagi di hutan bambu ini, Agathar celingukan, seperti mencari sesuatu. Tindakan itu mungkin tidak menarik perhatian Alli dan Eternita yang sedang sibuk memandangi hutan bambu yang sangat menakjubkan. Angin semilir meniup mereka. Lampu-lampu yang ditaruh di antara sela-sela pohon, semakin menambah keindahan hutan tersebut.
Tapi Kolonel tak terpengaruh oleh suasana. Dia fokus melihat tindakan Agathar.
“Aku tahu, kau tidak membawa kami kemari untuk membuat kami terkesan, detektif,” ucap Kolonel begitu Agathar berdiri di depannya.
“Ah kau tahu rupanya, kolonel. Ya, kau benar. Aku masih mencari orang yang bertanggung jawab atas kekacauan di rumah ini, dan kukira, dia bisa saja bersembunyi di tempat ini.”
Kolonel mengangguk-angguk. Tentu saja, Taman ini adalah tempat persembunyian yang sempurna.
mozaik 46
Keracunan di Kolam Renang
“Apa ada ruangan lain di belakang lagi?” tanya Alli setelah mereka puas mengagumi Garden rumah Jacob si Orang Kaya.
“Ya, ada. Ada kolam renang luas di belakang garden. Tempat biasanya orang-orang bersantai.”
“Kolam renang terbuka?”
“Semi terbuka. Di sekelilingnya ada pagar yang membatasi. Tapi itu bukan ruangan tertutup. Kesan garden-nya juga masih terasa.”
“Bagus, ayo kita ke sana.”
Agathar nampak keberatan. “Tidak ada apa-apa, di sana. Lebih baik kita kembali ke dalam rumah dan mencari ruangan yang belum kita sentuh.”
Namun Alli menolak, bersikeras, ingin melihat kolam renang tersebut. “Ayolah. Kita sudah terlanjur masuk ke sini, tanggung kalau tidak melihat kolam renangnya juga. Siapa tahu kolonel ingin berenang.”
“Apa katamu, bocah! Kau gila!”
Alli tertawa, “hanya bercanda kolonel. Eh tapi apakah di barak militer dulu, kolonel pernah menyelam di malam hari?”
“Kau!”
Sekali lagi, Alli tertawa dengan keras, “aku hanya bercanda, kolonel. Bagaimana menurutmu, Eternita? Apakah kita perlu mengecek kolam renangnya?”
Yang ditanya, sekali lagi hanya menyahut dengan gaya mencibir. “Jangan bertanya padaku.”
“Ayolah. Jangan seperti itu, aku sedang berusaha agar tim ini bisa bekerja satu sama lain.”
“Aku masih merasa ini ide buruk.” Kolonel menyahut.
Keputusan akhirnya diambil. Alli tetap ingin melihat kolam renangnya.
Kolam itu berukuran sangat luas. Bisa menampung hingga 30 orang di dalamnya berenang secara bebas. Di malam itu, kolamnya hanya diterangi satu buah lampu yang digantung di satu tiang yang tinggi di samping kolam. Cahaya lampu itu memantul di dasar kolam renang sehingga membuat kolam itu nampak bercahaya.
Dalam landscape yang lebih luas, kolam itu dipagari dengan dinding jaring kawat logam yang kuat, rapat namun tetap terkesan ada di ruang terbuka, karena atapnya dibiarkan menatap langit terbuka.
“Andai saja ini siang hari yang panas, aku benar-benar akan menceburkan diri di kolam ini.” Alli berkelakar lagi. Tapi tidak ada yang menanggapinya.
“Hei, siapa itu!?” Eternita tiba-tiba menunjuk ke satu sudut yang agak remang.
Alli mengeluarkan senternya agar bisa melihat dengan lebih jelas. Alli langsung berteriak begitu senternya menyorot ke arah yang ditunjuk Eternita. Terlihat sesosok manusia yang berjalan ke arah mereka dengan cara yang tergopoh-gopoh dan aneh, sebelum roboh tertelungkup di lantai.
“Astaga, itu seseorang!”
Tanpa ba bi bu lagi, Alli langsung berlari, mendatanginya.
“Hei, hei, anda kenapa, Tuan?”
Orang itu tidak menjawab. Bibirnya mengeluarkan busa. Tubuhnya tidak bergerak. Tapi nafasnya masih ada.
“Hei bertahanlah.”
Alli seketika terlihat panik. Seolah-olah pria yang ada di depannya sekarang, adalah keluarganya sendiri. Agathar dan Eternita tiba di tempat itu.
“Ada apa?” Agathar bertanya, pendek. Tidak simpatik.
“Dia sepertinya keracunan. Bantu aku untuk mendudukkannya.”
“Dia sepertinya tidak tertolong.”
“Hei, jangan bilang seperti itu. Cepat bantu aku.”
Alli langsung menyerahkan senter yang dipegangnya pada Agathar. “Pegangkan. Aku mau mengambil sesuatu untuk menolongnya.”
“Sudah kubilang dia tidak tertolong.”
“Diam kau. Pegangkan saja senternya.”
Kemudian, Alli meraih tas punggungnya yang kecil saja, dan mengeluarkan sebuah botoh dari dalam sana. Botol berisi cairan warna putih.
“Minumkan ini padanya.” Alli menyerahkan botol itu, namun Agathar tidak mau melakukannya. Jadi terpaksalah Alli sendiri yang meminumkan. Sambil berdecak.
“Sudah kubilang, ini percuma. Lagipula kau sedang meminumkan apa padanya?”
“Susu.”
Agathar terheran jadinya. Alli membawa sebotol susu dalam permainan survival? Untuk apa?
“Jangan tanya. Aku membawanya untuk berjaga-jaga kalau aku haus.”
Jadi Alli minum susu?
mozaik 47
Orang Baik
“Ini tambahkan lagi sebotol.”
Alli mengeluarkan kembali sebotol susu dari dalam tasnya. Agathar menerimanya, tapi tidak langsung meminumkan.
“Hei, apa yang kau lakukan? Cepat minumkan.”
“Dia hampir tak bereaksi.”
“Lakukan saja. Ini kalau masih tidak ada reaksi, tambahkan lagi sebotol.”
Eternita mendelik. “Hei, seberapa banyak sebenarnya botol susu yang kau bawa?”
“Tidak penting. Tasku bahkan bisa menampung lebih banyak lagi benda-benda. Ini tas ajaib.”
Sebanyak apapun susu yang kemudian Alli keluarkan dan diminumkan pada orang itu, (Alli mengeluarkan banyak botol susu dari dalam tasnya), orang itu tetap tidak bangun. Tak lama kemudian, orang itu bahkan akhirnya, menghembuskan nafas terakhirnya.
Agathar yang pertama menyadari “kepergian” orang itu dari dunia ini. Dia yang memegangi tangan orang itu.
“Cukup, cukup. Dia benar-benar sudah pergi.”
Alli menghela nafas. Agathar benar. Tidak ada gunanya lagi untuk menolong orang mati. Alli terlihat kecewa dengan kenyataan itu. Dia gagal menolong orang itu.
Reaksi dari Alli itu menarik perhatian kolonel, yang sedari tadi, jangankan menolong, mendekat pun tidak.
“Tidak perlu terlihat sedih begitu, bocah. Dia sudah pergi, dan itu bukan salah kau.”
“Aku seharusnya bisa menolongnya.”
“Kematian adalah sesuatu yang pasti, kau tidak bisa menolak kenyataan itu. Sudahlah. Lagipula dia bukan kenalanmu.”
Kolonel membatin sambil mengucapkan hal itu.
Alli berdiri, wajahnya masih agak sedih, tapi dia akhirnya memutuskan untuk bangkit. “Ayo kita lanjutkan perjalanan.”
“Sebentar,” Agathar masih duduk, memeriksa mayat orang yang baru saja pergi ini. Ciri-ciri kematian yang mirip dengan apa yang mereka temukan di ruang makan. Mulut berbusa, tubuh kaku, mata yang memerah. Ini semua membuat Agathar tertarik.
“Melihatnya, membuatku sedih. Lebih baik kita pergi saja.”
“Kau kenapa sebenarnya? Aku tidak paham.”
“Aku merasa bersalah karena tidak bisa menolongnya.”
Jawaban itu membuat Kolonel termenung. Orang yang dipanggilnya bocah ini bukan orang biasa. Orang yang hendak menyelamatkan nyawa orang lain dengan tulus, jelas bukan orang biasa.
“Kau adalah orang baik. Lanjutkan kebaikanmu.” Kolonel berbicara, pelan, tapi karena Alli berdiri di dekatnya, dia bisa mendengar.
“Terima kasih, Kolonel.”
“Tapi ingatlah, kau tetaplah bocah di mataku.”
Alli sudah sedikit tersenyum.
Sekali lagi dia mengajak rombongannya meninggalkan area kolam renang. Kembali ke rumah.
mozaik 48
Racun Pengap di Udara
Susunan mereka berjalan keluar dari kolam renang, masuk kembali ke garden adalah bersusun berbanjar, Alli paling depan, Kolonel Dhar, Eternita dan yang paling belakang, Agathar. Alli masih sedikit terpukul, Kolonel terlihat biasa saja. Agathar waspada penuh. Seolah dari dalam garden ini akan ada sesuatu yang menerkam mereka dari balik semak.
“Kau terlihat sangat tidak santai, detektif?” Eternita bertanya, menoleh ke belakang, sampai rambut keritingnya itu mengibas-ngibas.
“Kita memang harus berhati-hati.”
“Dari apa? Kau sepertinya mengetahui banyak sekali hal yang tidak kami tahu. Boleh aku tahu, seberapa banyak, detektif?”
“Nanti kamu juga akan tahu. Yang terpenting sekarang, adalah kamu harus waspada.”
“Kau tahu, detektif. Hal yang paling menakutkan adalah saat kau harus waspada terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.”
“Seperti kata filsuf, manusia adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya,” Agathar menyitir sajak filosofis dari zaman Yunani kuno. Namun Eternita tidak mengerti. Jadi sajak itu tidak berarti apa-apa baginya.
Sementara itu, kolonel dan Alli di depan, sama sekali tidak berbicara, mereka terus berjalan. Kini pintu menuju lorong yang menghubungkan kamar pembantu dengan dapur.
Lorong gelap itu terlihat misterius. Alli hendak melangkah ke sana, namun seruan Agathar dari paling belakang menghentikan langkahnya.
“Berhenti. Jangan masuk ke sana!”
“Ada apa, detektif?” Kolonel yang bertanya.
“Sesuatu yang berbahaya. Aku bisa merasakannya. Lorong itu lebih misterius dari yang sebelumnya.”
“Itu hanya perasaanmu, detektif.”
Agathar kini merangsek maju, berdiri ke paling depan, menyorongkan kepalanya ke dalam lorong gelap itu. Seperti membaui sesuatu.
Alli, Eternita dan Kolonel Dhar sama-sama menunggu dengan penasaran. Apa yang sebenarnya dicari tahu oleh detektifnya itu?
“Mereka melepaskan gasnya. Gas beracun. Seperti yang kuduga.”
“Di lorong ini?” Kolonel bertanya, memastikan. Agathar menjawab dengan anggukan.
“Bagaimana kau tahu?”
“Ingat bagaimana pria yang kita temui di kolam renang? Dia mati keracunan karena telah menghirup gasnya. Tempat yang paling mungkin melepaskan gas secara efektif, adalah lorong sempit ini. Tidak banyak celahnya, juga terbatas tempatnya. Gasnya bisa memenuhi seisi ruangan. Dan sekarang, kepalaku rasanya pusing. Mungkin sebaiknya, aku menutup pintu ini dulu.”
BRAK!
Agathar menutup pintunya. Kepalanya terasa sedikit pusing sekarang. Jalannya agar terhuyung.
“Kau tidak apa-apa?” Kolonel menangkap Agathar sebelum dia sempat terjatuh ke lantai.
“Kau perlu susu, pria berjas?”
“Tidak, tidak,” Agathar mengibas-ngibaskan tangannya, “aku baik-baik saja. Aku hanya tak menyangka, efek gasnya sedemikian rupa. Tapi sepertinya, dosis gasnya sudah lumayan berkurang. Sehingga aku masih bisa mengendalikan pikiranku.”
Agathar mencoba berdiri kembali. Meski pandangannya agak berkunang-kunang. Eternita menatapnya dengan kesan dia turut prihatin.
“Kau yakin, baik-baik saja, detektif?”
“Ya. Aku sudah baik sekarang. Huft. Gas yang berbahaya.”
“Jadi bagaimana sekarang?”
“Kita tunggu dulu sampai efek gasnya sedikit menurun lagi. Mungkin 15 menit. Setelah itu baru kita beranjak dari tempat ini, dan lebih baik lagi seandainya kita bisa memakai masker penutup hidung.”
“Oh kalau soal masker, aku membawa sebelas pasang.”
Semua orang langsung terkejut, reflek menoleh pada Alli. Jangan bilang, Alli juga membawa masker itu di dalam tasnya yang kecil itu.
mozaik 49
Semakin Aneh
Lepas dari kolam renang, kembali ke garden, kemudian kembali lagi ke dapur dan terakhir mereka memilih untuk duduk di ruang makan sejenak. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Agathar yang mengusulkan agar mereka duduk sejenak di ruang makan.
“Jangan, jangan memedulikan mayat-mayat itu. Kita fokus saja dulu. Aku punya beberapa gagasan, aku ingin kalian mendengarkan.”
“Bagus sekali, aku juga ingin menanyakan satu hal.” Kolonel ikut berbicara, sementara Alli dan Eternita sama-sama diam. Alli nampaknya masih terpukul dengan kejadian di kolam renang tadi.
“Apa yang sebenarnya akan kita lakukan?”
“Tolong jangan bertanya dulu, kolonel. Aku hendak...”
“Jawab dulu pertanyaanku.” Kolonel mendesak, seenaknya. “Apa yang akan kita lakukan? Kemana arah tim ini? Apa jangan-jangan kita tidak berbuat apa-apa? Kalau begitu lebih baik kita berpisah saja.”
Agathar menghela nafas. Alli juga. memang benar, sejauh ini tidak ada progres apa-apa dari tim yang mereka bentuk. Setidaknya tidak ada yang nampak terjadi. Mereka hanya menemukan dua mayat, dan menjelajahi sedikit bagian rumah. Sisanya? Masih misterius.
“Kau benar kolonel jika mengira, sejauh ini kita memang hanya berjalan-jalan saja. Kau benar jika merasa kita, atau tepatnya kalian tidak merasa melakukan progres apa-apa. Tapi aku tidak. Aku tahu persis apa tujuanku. Apa yang kucari, apa yang hendak kutemukan, dan aku tahu aku ada di jalur yang benar.”
“Dengan kata lain, kau hendak memanfaatkan kami.”
“Sama sekali tidak. Karena tujuanku, akan menjadi tujuan kalian semua juga.”
“Kau mulai kurang ajar, detektif.”
“Jangan pikir aku takut padamu, hanya karena kau memegang senjata api.”
Kolonel dan Agathar saling bersahut-sahutan, tensinya naik. Tim yang baru dibentuk seumur jagung dan tanpa alasan berjuang bersama-sama itu, terancam bubar jika mereka terus dibiarkan. Alli akhirnya angkat bicara.
“Perdebatan ini tidak akan menolong tim kita. Sebaiknya kita dengarkan dulu apa yang hendak disampaikan Agathar, kukira dia menemukan beberapa hal yang kita lewatkan. Kita bisa mempertimbangkan kembali apa yang akan kita lakukan setelah mendengarkan apa yang dikatakannya.”
Alli menyilakan Agathar untuk bicara dengan gesture yang lembut. Anehnya, kolonel juga tiba-tiba diam, mungkin memutuskan mendengarkan saja.
“Baiklah. Terima kasih. Mungkin, sebelum aku membicarakan soal beberapa hal yang telah kupikirkan semenjak lampu menyala, aku akan mengatakan terlebih dahulu, apa sebenarnya misiku di sini.”
Kolonel dan Eternita mengangguk setuju.
“Aku datang untuk penyelidikan. Karena aku adalah detektif. Aku mendapat kabar bahwa pemilik rumah ini, Jacob si Orang Kaya telah lama tiada. Dia telah menghilang, dan tidak ada yang tahu kemana.”
“Itu mustahil,” Eternita bersuara, “bukankah di brosur dan spanduk yang ditaruh di depan gerbang karnaval, ditulis bahwa acara permainan survival ini diselenggarakan oleh Jacob si Orang Kaya. Pemilik rumah ini.”
“Ya, dengan kata lain, ada seseorang yang hendak membuat Jacob seolah tetap ada di sini dan memanfaatkan namanya. Aku menemukan banyak petunjuk yang mengarah ke sana, termasuk betapa rumah ini telah berubah banyak, tidak lagi terlihat seperti rumah yang didiami Jacob si Orang Kaya. Nah pertanyaannya sekarang adalah, kemana Jacob si Orang Kaya ini? Itulah misiku datang malam ini, mencari kebenaran tentangnya.”
“Berarti, jika rumah ini bukan milik Jacob si Orang Kaya, dan dia telah hilang, berarti ada seseorang yang hendak memanfaatkan kita juga. Kita seolah dimasukkan dalam permainan yang mematikan ini, dengan cara ditipu mentah-mentah. Kenapa?”
“Aku belum tahu jawabannya, tapi ada beberapa indikasi. Seseorang ingin melakukan uji eksperimen dan menjadikan kita, peserta permainan ini, menjadi zombie.”
“Itu mengerikan,” gumam Alli. “Siapa yang hendak melakukan itu, harus dihentikan. Apakah kita akan melakukan itu?”
“Aku tidak tahu. Tergantung kesepakatan. Tapi aku akan membongkar semua keanehan yang ada di rumah ini. Satu persatu.”
“Baiklah, ayo kita lakukan.”
“Aku ikut.” Eternita mengangguk setuju.
“Nah, sekarang,” Agathar menatap pada Kolonel dan Eternita, “lebih mudah kalau kalian juga berterus terang, apa yang sebenarnya kalian cari di sini?”
Eternita menggeleng-geleng. Bungkam. Kolonel menatap tajam sambil berseru-seru. “Aku tidak akan mengatakannya, Detektif! Tidak sekarang.”
“Ayo kita jalan lagi.”
mozaik 50
Sekali Lagi, Ada yang Bergerak
Sebelum mereka sempat bergerak di meja makan, berdiri, Kolonel sudah lebih dulu berseru.
“Ada sesuatu yang bergerak di sebelah sana!”
Kolonel menunjuk ke arah dapur. Karena hanya kolonel yang duduk menghadap ke arah dapur, hanya kolonel saja pula yang bisa melihat apa yang telah ditunjuknya.
“Kau melihat apa?” Alli menyorongkan kepalanya.
“Tidak ada apa-apa di sana.” Agathar ikut melihat dengan saksama.
“Mungkin kolonel hanya salah lihat.” Eternita sekali lagi mencibir. Sepertinya dia masih jengkel dengan kolonel gara-gara sikap kolonel yang suka meledak-ledak.
“Tidak, tidak. Aku yakin sekali. Aku melihat bayangan.”
“Ada yang mendengar suara makhluknya?” Alli bertanya, dijawab gelengan oleh Agathar maupun Eternita.
“Berarti bukan makhluk itu yang baru saja dilihat oleh Kolonel.”
“Sudah kubilang, bisa saja itu cuma salah lihat.”
“Kau hendak menyalahkanku saja, Keriting,” kolonel membalas pedas, “aku benar-benar melihatnya. Biarpun sudah tua, aku masih punya insting seorang tentara.”
“Baiklah. Biar aku yang memastikan.” Alli kemudian berdiri, langsung melangkah ke arah dapur. Alli melangkah dengan mantap. Selama lampu masih menyala, dia tidak akan takut.
Dapur itu masih terlihat sama. Lemari-lemari. Kompor-kompor. Wajan. Toples-toples. Tidak ada yang berubah. Selain itu, ini dapur. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Tidak ada apa-apa sejauh mata Alli menyapu seisi ruangan.
“Tidak ada apa-apa di dapur.” Alli mengangkat tangan, membuat kode untuk teman-temannya yang lain.
“Tidak mungkin.” Kolonel ikut berdiri, “aku yakin sekali tadi aku melihat sesuatu. Ada yang bergerak. Sesosok bayangan. Aku yakin sekali.”
“Kurasa sebentar lagi kau akan bilang soal bayangan yang bisa menembus dinding,” Agathar ikut melangkah ke pintu dapur. Mereka bertiga sekarang. Tinggal Eternita yang berada di ruang makan. Eternita duduk di sana dengan posisi kursi yang menghadap ke kamar kosong. Saat berdiskusi tadi, dia duduk menghadap dengan kolonel.
Karena Kolonel terus tidak percaya, bersikeras kalau tadi dia melihat sesuatu, maka Alli dan Agathar memutuskan untuk ikut mengecek. Mereka membongkar isi dapur. Termasuk membuka toples lada. Membuat kolonel mendelik.
“Apa yang kau lakukan, bocah?”
“Ya siapa tahu kan makhluk itu bersembunyi dalam toples lada.”
Kolonel berbalik. Tidak berniat meladeni gurauan dari Alli. Toh sudah mulai terbiasa, dia mendengar gurauan garing tersebut.
Saat mereka asyik membongkar dapur (dan tidak mendapatkan hasil apa-apa), giliran Eternita (yang sedari tadi asyik duduk santai sambil membatin tentang betapa bodohnya tiga pria itu), kini gantian berseru.
“Hei, ada sesuatu yang bergerak di sebelah sana!”
Seruan itu diucapkan Eternita dengan nada kaget, membuat ketiga temannya menoleh.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah ini?
mozaik 51
Waktunya Memeriksa Satu Ruangan Lagi
Eternita menunjuk-nunjuk. Sangat meyakinkan. Seolah di ruangan yang kosong itu memang ada sesuatu yang bergerak. Alli dan Agathar berjalan cepat mendatanginya. Ikut mendongak ke arah yang ditunjuk Eternita.
Sekali lagi, mereka tidak melihat apa-apa di sana.
“Tadi kamu melihat apa?”
“Sesuatu.” Eternita menjawab pendek.
“Sesuatu itu apa? Bisa lebih rinci. Apakah badan, kepala, bayangan atau yang lain,” Agathar memerinci.
“Bayangan.”
Alli dan Agathar kemudian menatap cukup lama ke arah kamar kosong itu. Berharap bayangan atau apapun yang tadi dilihat Eternita kembali menampakkan dirinya. Namun tidak, lima belas menit mempelototi kamar itu, tidak ada apa-apa.
“Mungkin kita harus mengecek langsung ke sana.” Alli menawarkan.
“Kurasa, saat kita menengok ke sana, tetap tidak akan ditemukan apapun.”
“Oh ya, Eternita,” Alli teringat sesuatu, “apakah tadi saat kamu melihat bayangan itu tadi, apakah diiringi dengan bunyi-bunyian yang aneh? Tanda-tanda makhluk misterius di kegelapan, kamu tahu bukan?”
“Tidak ada. Tidak ada suara. Aku yakin sekali.”
Berarti bukan makhluk misterius itu yang menampakkan diri. Lalu, jika bukan makhluk itu, maka apa lagi yang ada di rumah ini?
“Aku akan mengeceknya. Tunggulah sebentar.”
Kemudian Alli melangkah, menyeberangi lorong, menuju ke kamar kosong. Dia melihat, ada beberapa orang lainnya, peserta yang berjalan-jalan di rumah ini, mereka adalah peserta yang tersisa. Tapi Alli segera memfokuskan pikirannya ke kamar kosong itu.
Dan benar dugaan Agathar, tidak ada apa-apa di sana.
Kamar itu sebagaimana saat mereka cek pertama kali. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada tempat sembunyi. Aneh sekali. Alli kembali ke ruang makan untuk melaporkan situasi.
“Baiklah. Ada dua orang yang mengaku melihat sesuatu. Pertama, aku akan bertanya padamu,” Agathar menengok ke arah Alli, “apakah kau juga melihat hal yang sama dengan mereka?”
“Tidak.”
“Mungkin sebentar lagi kau akan melihatnya.”
“Kenapa kau berkata demikian?”
“Karena ada kemungkinan, kita berempat sedang berhalusinasi.”
Kolonel, Alli dan Eternita sama-sama terkejut. Apa Agathar bilang, berhalusinasi? Kolonel Dhar bahkan langsung menunjukkan ekspresi marahnya.
“Kau menuduhku mengada-ngada, detektif?”
Agathar menjawab dengan gelengan santai, “sama sekali tidak. Tapi itu dugaan yang kuat. Satu, tidak terdengar bunyi langkah-langkah kaki yang khas itu, berarti kalian sedang melihat makhluk yang berbeda. Kedua, kita tidak menemukan jejak atau tanda-tanda keberadaannya selain cuma melihatnya sekilas. Ketiga, kita baru saja melewati lorong yang diisi gas beracun yang kita tidak tahu apa dampaknya. Sangat mungkin bukan, kita sedang berhalusinasi?”
“Aku bersumpah benar-benar melihatnya. Aku tidak berhalusinasi. Aku sangat sehat. Aku bahkan bisa meninju kau saat ini juga dan kena.”
“Aku juga sehat.” Eternita menimpali.
“Sudahlah. Kita tidak perlu memperpanjang masalah ini. Lebih baik kita fokus. Dugaanku sementara tadi adalah penjelasan paling masuk akal. Jadi kalau hanya sekedar halusinasi, kita bisa mengesampingkannya. Mari kita fokus pada hal lainnya.”
“Apa itu?”
“Mengecek satu-satunya kamar yang terlewat di lantai 1 ini. Kamar Edine.”
“Edine? Siapa dia?” Alli bertanya, nama itu tidak tertulis di brosur.
“Dia adalah orang tua, ayah dari Jacob si Orang Kaya. Sebenarnya aku hendak mengeceknya sebelum bertemu dengan kalian, tapi lampu keburu mati. Jadi aku tidak sempat ke sana.”
“Kalau begitu, ayo kita pergi ke sana sekarang.” Alli berseru, semangat.
“Tunggu, kenapa kita harus ke sana?” Kolonel bertanya, wajahnya skeptis menatap pada Agathar, kau hanya sedang memanfaatkan kami bukan.
Tapi Alli tak ambil peduli. Dia bersemangat. “Tidak apa, Kolonel. Ada atau tidak sesuatu di sana, kita jelas harus memeriksa kamar dan ruangan di rumah ini satu persatu.”
mozaik 52
Lampu Dimatikan, Lagi!
Sebagai pengingat, masih ada sekitar 40 orang yang menghuni rumah Jacob si Orang Kaya, mengikuti permainan sampai pukul 12 malam. Beberapa lainnya tumbang karena racun berbentuk gas itu telah disebar di beberapa bagian rumah.
“Kamu baik-baik saja?” Ayana bertanya pada Kotaruk. Itu lebih seperti wujud kekhawatiran ketimbang pertanyaan. Kotaruk, pria itu berjalan perlahan sambil bertopang pada dinding-dinding rumah. Sebagai jawaban atas pertanyaan Ayana, Kotaruk berusaha menjawab, susah payah.
“Aku tidak baik-baik saja. Terasa begitu lemas. Tapi kamu tenanglah. Aku akan tetap berusaha melindungimu.”
Ayana terdiam, menggigit bibir, separuh terharu, separu lagi kasihan dengan pria di sebelahnya ini.
“Mungkin kita harus mencari tempat beristirahat untukmu,” ucap Ayana lagi.
“Maaf, aku merepotkanmu.”
“Sama sekali tidak, sayang.”
Dua orang yang terlihat begitu perhatian mesra itu, mencoba untuk meneruskan perjalanan lagi. Ayana celingukan melihat apakah kira-kira di dekat sana ada tempat yang cukup nyaman bagi Kotaruk untuk beristirahat. Wajah pria itu terlihat begitu kesakitan.
“Kamu baik-baik saja bukan?” Kotaruk bertanya.
“Apa yang kamu pikirkan. Tentu aku baik. Kamulah yang menyelematkan aku agar tidak menghirup gas beracun itu tadi. Sekaligus aku juga yang menyebabkan kamu terjebak di dalam sana. Seharusnya aku bisa menarikmu keluar.” Ayana menatap Kotaruk, berkaca-kaca.
“Bukan salahmu. Tidak ada yang menyangka gas beracun itu bisa ada di sana. Tiba-tiba. Aku bahkan tak pernah membayangkan ada perangkap gas beracun akan dipasang dalam permainan ini, tepat di ruang kerja itu pula. Dan juga, rumah ini jadi semakin aneh.”
“Kasihan mereka yang tidak sempat menyelamatkan diri.”
“Tidak ada waktu bagi kita untuk bersimpati,” Kotaruk membantah, “rumah ini menjadi tempat bertahan hidup dalam arti yang sesungguhnya. Apalagi dengan sosok misterius yang mengendap-endap di dalam gelap itu, yang beberapa kali kita lihat tadi.”
“Kita harus segera menemukan tempat beristirahat untukmu.” Ayana memilih untuk mengalihkan pembicaraan, terlalu menakutkan membicarakan hal itu sekarang.
“Ayana....”
Tiba-tiba pandangan Kotaruk menjadi redup. Tubuhnya menjadi lunglai. Kontan saja dia merosot. Terjatuh ke tanah.”
“Kotaruk! Astaga!”
Ayana berusaha membangunkan kembali Kotaruk. Tapi pria itu benar-benar kehilangan kesadarannya. Saat itulah tim Alli tiba di lorong.
Tentu saja Alli yang berlari di paling depan, langsung bergegas mendatangi mereka berdua.
“Apa yang terjadi?”
“Dia pingsan! Tolong aku! Kumohon!”
Alli tak perlu diteriaki untuk keempat kalinya oleh perempuan yang histeris, langsung menggotong tubuh Kotaruk bersama Kolonel dan Agathar (yang kali ini tidak banyak bertanya). Sementara Eternita membantu Ayana berjalan. Wanita itu sepertinya tidak bisa berjalan normal, lantaran seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Cemas.
Kotaruk digotong ke sofa ruang keluarga. Ruangan terdekat dengan mereka sekarang.
“Apa yang terjadi dengannya?” Agathar menanyai Ayana, tak memedulikan kondisi wanita itu yang nyaris semaput.
“Dia pingsan..... Dia menghirup...”
Alli sekali lagi sigap membaca keadaan langsung merogoh tasnya, mengeluarkan....
“Bodoh! Dia pingsan dan kau hendak memberinya minum susu?!” Kolonel langsung meneriakinya.
“Aku tidak akan membiarkan dua orang mati di hadapanku dalam satu malam, Kolonel. Aku tidak akan membiarkannya.”
“Kalian menghirup gas beracun di ruangan mana?”
Agathar langsung berpindah ke pertanyaan berikutnya. Ayana dengan patah-patah menerangkan apa yang mereka alami saat menengok ke ruang kerja Jacob si Orang Kaya. Termasuk sosok mengendap-endap di dalam gelap yang sempat mereka lihat.
“Apakah saat kalian melihatnya, terdengar bunyi misterius di saat yang sama?” Eternita terbetik untuk ikut bertanya.
Ayana menggeleng. Makanya itu semakin terasa menakutkan. Sebab apakah itu artinya ada lebih banyak makhluk misterius di ruangan ini.
Eternita melempar tatapan bertanya pada Agathar yang duduk di seberangnya, di sisi kanan Ayana.
Kau berhutang satu penjelasan padaku tentang adanya makhluk lain di rumah ini, detektif.
Kamu hanya berhalusinasi, nona. Percayalah. Semua orang. Karena gas itu disebar di banyak ruangan rumah ini.
Di saat Alli dan Kolonel berusaha menolong Kotaruk. Di saat Eternita dan Agathar sedang berusaha mengorek informasi dari Ayana, kabar buruk itu datang.
Lampu dimatikan kembali untuk kedua kalinya.
mozaik 53
Ada Sesuatu Keanehan
“Astaga, inilah yang paling tidak kuharapkan.” Alli berseru. Gelap kini menyelimuti mereka semua di ruang keluarga.
“Jangan bilang setelah ini suara itu berdatangan lagi.”
Dan bagai menyahuti kalimat Eternita, suara itu lamat-lamat terdengar.
KREEEEKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Itu suaranya!”
“Ya Tuhan.” Ayana melenguh. Tangannya kembali gemetar ketakutan.
“Eternita, jangan cuma panik. Nyalakan senter milikmu.”
“Diam kau. Aku tahu. Jangan memerintahku seolah aku ini bodoh.”
Eternita dan Alli sama-sama menyalakan senter. Setidaknya sekarang ada cahaya yang mengisi ruangan terbesar di rumah ini. Tapi masalah mereka tidak akan berhenti di situ saja. Karena suara langkah-langkah itu masih terdengar dari luar.
“Kolonel cepat tutup semua pintu ruangan, serta cari cara untuk memalang satu pintu yang rusak itu.”
“Kenapa aku yang harus melakukannya, bocah?”
“Karena kolonel yang telah merusak salah satu pintunya. Cepatlah.”
Kolonel bangkit, menaati perintah Alli dengan memberengut kesal. Bisa-bisanya orang yang dia panggil bocah itu sekarang menyuruhnya melakukan ini itu.
“Pria berjas, kau pakai senter Eternita, cek saklar. Nyalakan lampunya. Sakelar lampunya ada di ruang keluarga ini bukan?”
Agathar menghela nafas. “Ini sangat tidak menyenangkan. Aku sebenarnya tidak menerima perintahmu, dan jangan salah, aku memang hendak menyalakan kembali senternya. Bolehkah aku meminjam senternya, Eternita?”
“Eh tapi bagaimana dengan kami. Kami juga perlu senter sebagai penerangan.”
“Eternita, bawa wanita yang satu itu ke sini. Cukup pakai satu senter.”
“Kenapa sekarang kau jadi memerintah kami.”
Alli menjawab dengan sangat mantap. “Karena aku adalah ketua tim ini.”
Ayana dibawa ke dekat Kotaruk. Didudukkan di sana. Kondisi mereka berdua sudah mulai stabil.
Sejenak kemudian, situasi di ruang keluarga menjadi terkendali. Kolonel selesai menutup semua pintu plus memalang satu pintu lainnya dengan sebuah meja. Di seberang meja, dia sudah siap untuk menembakkan senapannya, meski Alli tidak sepakat sekalipun.
Namun, ada satu masalah, yang akan menjadi fatal, persis saat Agathar meneriakkannya.
“Sialan! Sakelar lampunya telah dirusak!”
Semua orang seketika diterpa kebingungan. Apa yang terjadi?! Itu aneh sekali.
mozaik 54
Saklar yang Rusak
“Kau serius, pria berjas?” Alli mencoba berjalan mendatangi Agathar. Agak susah karena dia tidak melihat apapun. Gelap. Senternya ditinggalnya di samping Kotaruk.
“Apakah aku terlihat seperti orang yang suka mengada-ada? Lihatlah sendiri.”
Alli menelan ludah. Benar, sakelar lampu berbentuk sederhana, yang hanya berupa dua tombol, ke atas berarti on, ke bawah berarti off, sudah dirusak. Sehingga tak berbentuk lagi. Sebagian potongan plastiknya malah berjatuhan di lantai.
“Bagaimana ini bisa terjadi?”
“Bagiku, pertanyaan yang menarik bukan mengapa atau bagaimana, tapi siapa. Siapa yang melakukan ini? Itulah yang ingin kuketahui.” Agathar menyorongkan senter lebih dekat, agar bisa mengamati bekas-bekas yang tertinggal.
Sakelar lampu yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran kira-kira 15x10 cm itu, rusak, bagian plastiknya terpotong habis menjadi dua bagian besar, dan potongan-potongan kecilnya. Sementara kabelnya terlihat seperti habis direnggut dengan kasar. Alli ikut mengamati.
“Jadi, siapa yang melakukan ini?” Alli akhirnya menanyakan hal itu.
Agathar menggeleng. Masih menyorongkan senter. Memeriksa.
“Apakah Si Cakar Tiga itu yang melakukannya?” Alli bertanya lagi.
“Apa katamu?”
“Aku memberi makhluk itu nama. Karena menyebutnya sebagai makhluk yang mengendap-endap di kegelapan, adalah sesuatu yang merepotkan sekali. Si Cakar Tiga, lebih pendek bukan.”
“Kuberitahu padamu ya, kita sedang berada dalam situasi yang sulit sekarang. Lagipula...” kalimat Agathar tiba-tiba terpotong. Bukan karena ada yang memotong kalimatnya, melainkan karena dia tiba-tiba menyadari sesuatu.
“Ada apa?”
“Ada seseorang yang merusak saklar ini, dan itu bukan makhluk Si Cakar Tiga itu.”
Pertanyaan besarnya sekarang adalah, “lalu siapa yang merusaknya.”
Agathar kini hanya menggeleng. Dia belum bisa menduga sampai ke arah situ.
“Lihatlah ini,” Agathar menunjuk ke arah potongan saklar yang masih ada di dinding, tertempel, “ini dipotong dengan satu benda tajam saja. Sedangkan Si Cakar Tiga kita ketahui memiliki tiga buah cakar yang tajam. Susah baginya membuat potongan seperti ini dengan tiga cakar di tangannya. Susah.”
Hipotesis yang amat menarik.
Bicara soal makhluk yang kini disebut Alli sebagai Si Cakar Tiga, suara-suara misterius itu kini muncul lagi.
KREEEEK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Suara itu mendekat, Ya Tuhan!”
Mendengar Ayana berteriak, ketakutan, tubuh Kotaruk seketika bereaksi. Seolah mereka terhubung.
KREEEEK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Kolonel menyambar senjatanya. Tidak ada celah lain selain pintu yang di depannya ini untuk monster itu menampakkan dirinya. Kolonel akan menembaknya begitu dia menampakkan diri.
Sekelabat bayangan menampakkan diri di ujung lorong.
DORRR!
Satu tembakan telah dilepas.
Tidak kena. Makhluk itu, memang Si Cakar Tiga. Kolonel meneriaki Alli, meminta senter. “Cepat bawa ke sini, bocah. Aku butuh cahaya. Kita tidak boleh membiarkan monster itu sampai lepas.”
Alli langsung berlari, mendatangi Kolonel dan menyerahkan senter. Kolonel kemudian memainkan senternya ke arah lorong. Tapi bukannya menemukan Si Cakar Tiga, mereka malah melihat para zombie yang berjalan ke arah mereka. Jumlah mereka cukup banyak.
“Cih, aku lebih suka makhluk itu ketimbang para zombie ini.”
Apapun itu, mereka tetap harus bersiap.
mozaik 55
Bukan Cuma tentang Satu Makhluk
“Kuperingatkan agar kau tidak menyakiti mereka, Kolonel. Walau bagaimanapun, mereka adalah manusia, mereka sama seperti kita.”
Kolonel melihat ke arah Alli dengan tidak suka.
“Ya, tapi aku tidak akan menyimpan senjataku. Aku akan memukul mundur mereka dengan kemampuanku.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kau tidak sopan, Bocah!”
Zombie-zombie itu sudah berdatangan. Dari segala penjuru, menyerbu dengan ganas. Pintu-pintu yang lain, yang telah dikunci sebelumnya, berbunyi dengan keras. Bergedegum. Para zombie itu hendak memaksa masuk. Ayana, Eternita dan Kotaruk yang duduk di tengah ruangan, turut merasakan sensasi mencekam itu.
Siapa yang tidak gentar melihat dan mendengar serbuan zombie ganas dari berbagai penjuru. Termasuk yang datang ke sisi kolonel.
“Mari kita mulai pertarungan ini.”
Kolonel memegang senapannya dengan erat, matanya menatap tajam ke arah para zombie yang berjalan ke arahnya. Zombie yang tidak enak sekali dipandang.
“Kolonel!”
“Maju kalian.”
BUKKK!
Tidak, tidak. Kolonel tidak menembak. Sebaliknya, dia memakai senapannya untuk memukul zombie yang datang ke arahnya. Senapan itu adalah senjata yang efektif. Meski cara penggunaannya tidak benar. Zombie-zombie itu berguguran karena pukulan kolonel. Wajah mereka yang sudah rusak, tambah rusak karena pukulan popor senapan.
Tapi zombie-zombie itu terus berdatangan. Mereka banyak jumlahnya. Kolonel, meski dengan gerakannya yang sangat efektif, dengan kemampuan bertarungnya yang handal, akhirnya kewalahan juga.
“Hei, bocah. Bantu aku.”
“Eh, aku tidak bisa bertarung, Kolonel.”
“Omong kosong. Ayo kita sama-sama pukul.”
“Tidak bisa, kolonel.”
“Aku tidak bisa melawan mereka semua sekaligus. Sebentar lagi, kalau hanya aku saja yang menahannya, mereka semua akan menyerbu ke ruangan ini.”
“Pria berjas, kemari. Bantu Kolonel.”
Agathar yang masih asyik mengamati potongan saklar, mendongak. Seolah panggilan tadi mengusik diri dan koneksinya.
“Detektif. Kemarilah. Bantu aku! Aku tidak bisa mengatasi ini sendirian.”
Akhirnya Kolonel mengakui kelemahan dirinya.
Dengan berdecak, Agathar mendatangi mereka. Tongkatnya akan bergabung dengan senapan milik Kolonel dalam menghalau zombie.
“Aku akan mengecek kondisi pria yang tadi pingsan.” Alli beralasan, kemudian mundur dari situasi pertarungan. Sedetik kemudian, Kolonel dengan senapannya, Agathar dengan tongkatnya. Sama-sama bergerak dengan efektif, memukul para musuh.
Lima belas menit kemudian, meski berhasil menahan para zombie agar tidak masuk ke ruang keluarga, Agathar dan Kolonel sama-sama kewalahan. Zombienya terlalu banyak.
“Mereka sepertinya kebal terhadap rasa sakit.”
“Ya,” sahut Agathar, “yang berbaju merah ini rasanya sudah kujatuhkan sekali tapi dia bisa bangkit lagi.”
“Mereka adalah zombie. Seharusnya aku menembak mereka saja.”
“Aku ragu kolonel. Kurasa mereka akan bertahan dari tembakan.”
“Entah. Tapi di film pernah kulihat, zombie mati dengan beberapa tembakan di titik tertentu di tubuhnya. Kurasa aku tahu titiknya itu.”
Agathar geleng-geleng kepala. Mana mungkin Kolonel menyandarkan logikanya pada film di saat kondisi hidup dan mati seperti ini.
“Kita tidak akan bisa menahan mereka lebih lama lagi, kolonel.”
Akhirnya, mereka tidak bisa lagi memukul. Karena ruang gerak mereka sekarang menyempit, Kolonel dan Agathar tidak bisa lagi memukul. Hanya bisa menahan laju zombie agar tidak mendorong meja. Kolonel dengan senapannya, Agathar dengan tongkatnya. Susah payah.
“Kita berada di ujung tanduk, detektif. Kalau kau tahu situasinya.”
“Yeah, kau benar. Zombie-zombie ini benar-benar agresif.”
mozaik 56
Wujud dari Ketakutan Setiap Orang
Apa sebenarnya arti cerita ini?
“Dunia ini dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan.
Setiap orang punya ketakutannya masing-masing.
Ketakutan punya banyak wujud. Tidak semua orang mengerti. Tidak semua orang mau mengakui. Sebagian malah memilih menghindar.
Menghindar karena takut menghadapi ketakutannya.
Atau malah menghindar karena malu disebut pengecut karena berhadapan dengan ketakutannya.
Bukan, bukan. Setiap orang, yang paling berani sekalipun, pasti punya ketakutan dalam hatinya. Setiap orang bisa jadi pengecut. Tapi, ada beberapa orang yang menyadari arti ketakutannya dan berjuang menghadapinya.
Itu tidak pernah mudah.
Bagaimanakah kau hendak menghadapinya, sedangkan berdiri menengoknya saja kau tak berani.
Bagaimanakah kau hendak menghadapinya, sedangkan saat hanya bayangan saja yang menampakkan diri, kau sudah lari menghindar.
Bagaimanakah kau hendak menghadapinya, sedangkan saat mendengar nama atau istilahnya saja kau sudah berkeringat dingin, merasa tidak nyaman.
Bagaimanakah kau hendak menghadapinya, sedangkan saat pembicaraan menjurus ke arahnya, kau buru-buru mengalihkan pembicaraan, tidak berani mengungkit-ungkit.
Bagaimanakah kau hendak menghadapinya, sedangkan saat ketakutan itu terlintas di pikiranmu, kau buru-buru mencoba membantahnya, atau malah mencoba pura-pura tidur. Sehingga itu tidak pernah terlintas.
Tidak, menghadapi ketakutan, apalagi ketakutan terbesar di dalam hidup, tidak pernah mudah. Hanya mereka yang benar-benar berani yang bisa melakukannya.
Mulailah dengan menyadarinya.
Menerima keberadaannya.
Memakluminya.
Lalu memikirkan cara terbaik untuk melawannya.
Itulah cara menghadapi ketakutan.
Semoga mereka yang ada di sana, mengetahuinya betul-betul.”
Sang Tuan asyik bersajak dari titik tertinggi di rumah Jacob si Orang Kaya. Memantau cerita yang hendak ditulisnya, lewat keempat orang yang telah dia tunjuk sebelumnya.
“Sebentar lagi, sebentar lagi mungkin aku harus ikut terlibat.”
Kembali ke ruang keluarga Lantai 1, rumah Jacob si Orang Kaya.
Pukul 12 malam. Dalam keadaan lampu mati, rumah itu menjadi sangat menakutkan. Sekitar 40 orang yang ada di dalamnya, merasakan bahwa mereka sekarang terperangkap dalam situasi paling mengerikan sepanjang hidup mereka.
Terperangkap di sebuah rumah gelap gulita, tanpa cahaya, dengan resiko sesuatu akan mendatangi kapan saja. Sesuatu itu, sekarang ada macam-macam bentuknya.
Mereka bisa dikejar-kejar oleh zombie mengerikan bermata merah yang salah satu bagian tubuhnya sompak. Zombie itu tidak akan berhenti dan tak akan segan menggigit hingga segumpal daging terlepas dari tubuh korbannya.
Jika teror zombie itu kurang menyeramkan, masih ada satu hal yang amat mencekam. Suaranya saja sudah menimbulkan ketakutan.
KREEEEK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Makhluk itu ada di sekitar sini, waspadalah.”
Dan belum sempat mereka waspada, mereka sudah meregang nyawa, bersimbah darah. Korban terus berjatuhan. Sisa-sisa orang yang masih bertahan, menghadapi dua pilihan, bertahan hidup dalam kondisi mencekam, atau memilih mati.
“Kolonel, pria berjas, Aku tak mau tahu dengan cara apa, tapi kalian harus menahan mereka selama mungkin di sana.”
Kolonel dan Agathar berusaha keras menghalau para zombie dengan tongkat dan senapan. Sesekali, satu dua zombie bisa dipukul mundur. Tapi begitu satu dipukul, dua sampai tiga lainnya berdatangan. Terus mendesak masuk.
“Lebih baik lagi jika kau membantu kami di sini, bocah!”
“Omong kosong, aku bahkan tidak bisa bertarung.”
“Kau pikir kami sedang bertarung di sini. Kami hanya sedang mendorong.” Marah lagi Kolonel. Suaranya keras menggema di ruangan.
“Aku tidak bisa!”
“Jangan berteriak takut seperti itu jika kau laki-laki. Jangan meringkuk takut seperti anak perempuan.”
“HEI JANGAN SEENAKNYA MERENDAHKAN PEREMPUAN! AKU TIDAK TAKUT SEDIKIT PUN!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan perempuan. Teriakan Eternita. Seandainya senter menyorot wajahnya sekarang, terlihat lah wajahnya yang merah padam marah itu. Tersinggung.
“Kalau begitu bantu kami di sini, Eternita!” itu Agathar yang memanggil. Kalau kolonel mana pernah sopan. Memanggil namanya saja tidak. Eternita sama sekali tidak respek.
“Tunggu kalian ya.” Eternita hendak berdiri, tapi satu tangan menariknya agar tetap duduk. Tangan Ayana.
“Jadi namamu Eternita ya. Kumohon tetap di sini. Aku takut sekali.” Wajahnya memelas. Lutut-lututnya gemetar sedari tadi.
Eternita kembali duduk. Sebagai gantinya, dia melotot ke arah Alli. “Ayo bantu mereka di sana!”
Alli menggeleng kuat-kuat.
“Jangan bilang kau ketakutan?”
Alli menggigit bibirnya. Situasinya sulit sekarang. Akhirnya Alli berucap penuh keyakinan, setengah berseru, kesal. “Iya. Aku memang ketakutan. Lihatlah jari-jari tanganku gemetar.”
“Astaga. Bagaimana kau ini. Bukankah kau laki-laki. Seharusnya kau berada di garis depan, melindungi kami semua. Kenapa kau malah ketakutan.”
“Mana kutahu. Memangnya aku tak boleh ketakutan heh?” Alli balas tersinggung.
Percakapan mereka yang setengah berseru di kegelapan itu, terdengar juga oleh Kolonel. Dia langsung murka. “Ah kalian memang tak bisa diharap. Detektif, katakan padaku, kalau kau tak punya rasa takut.”
“Rasa takut hanya akan mengganggu pemikiranku yang logis, aku sudah menyingkirkannya jauh-jauh hari.”
“Bagus. Karena aku, juga sudah membunuh rasa takutku saat bertugas ke hutan dulu, perang gerilya. Aku menemukan banyak makhluk aneh di sana. Nanti kuceritakan.”
“Apakah ada babi hutan super besar?” Agathar bertanya. Wajahnya mengolok. Santai sekali mereka di tengah menahan serbuan zombie.
Seolah mereka berdua memang tidak punya ketakutan.
mozaik 57
Penampakan Sang Pembunuh
Saat mereka terdesak oleh serbuan zombie yang datang bak banjir bah, mereka sama sekali tidak menduga kalau sesuatu yang lebih mengerikan, tengah berjalan ke arah mereka. Di tengah kegelapan.
Bukan, bukan makhluk Si Cakar Tiga. Karena kalau soal makhluk itu, Kolonel selalu waspada terhadap kedatangannya.
“Pasti lebih asyik kalau saja makhluk itu yang muncul di hadapan kita, detektif. Ketimbang para zombie tak berakal ini.”
Agathar memasang wajah tak suka dengan kalimat tersebut.
Dan apa yang diminta kolonel benar-benar datang.
Derap-derap langkah kaki yang mantap. Mendekat ke arah ruang keluarga. Dia memilih pintu yang dekat dengan ruang santai. Derap langkahnya tersamarkan oleh langkah para zombie yang juga mengepung ruang keluarga.
Sampai kemudian, palang pintu kayu yang tadi dipasang oleh Kolonel di pintu tersebut, mulai digores-gores. Mulai dikorek dari luar.
“Apa itu?” Ayana yang pertama menyadari “kedatangannya”.
“Apa, ada apa?”
“Ada sesuatu yang berbunyi di sebelah sana.”
Eternita lekas menggapai senternya, mengarahkannya ke arah tunjukan Ayana. Ujung kilatan pisau menyambut cahaya senter. Semua orang yang melihat ke arah senter Eternita, langsung terhenyak kaget.
“Itu sebuah pisau!” Ayana langsung menutup mulutnya agar tidak berteriak.
“Seseorang sedang mencoba pintu dari luar!” Eternita ikut terpekik. Dua pekikan wanita itu membuat pecah konsentrasi kolonel dan Agathar yang sedang mati-matian menahan gelombang zombie yang menerjang.
“Pisau. Itu bukan pertanda bagus. Bagaimana menurutmu, detektif?”
“Ada orang-orang lain yang terlibat, Kolonel. Bukan Si Cakar Tiga dan bukan zombie. Ada orang lain.”
“Mungkinkah itu peserta lain yang sedang mencoba mencari tempat berlindung.”
“Tidak,” Agathar menggeleng, “tidak ada yang berniat untuk membuka pintu di tengah-tengah zombie. Orang biasa akan menjauh. Lari ketakutan.”
“Itu berarti bahaya,” kolonel menoleh ke belakang dan berteriak, “woy bocah! Kau tahan pintunya!”
Alli yang diteriaki langsung gemetar. Menahan pintunya saat seseorang di luar mencoba membukanya dengan pisau? Bukankah itu berbahaya?
“Jangan banyak pikir, bocah! Jika dia sampai masuk, dia dan pisaunya itu, akan menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi semua orang. Kau tahan sampai aku menyelesaikan para zombie ini.”
“Eh tapi aku....”
“Biar aku... yang melakukan... nya.”
Kotaruk tiba-tiba bangun dari posisi tidurnya di sofa. Membuat semua orang terkejut.
“Hei, apa yang anda bicarakan, anda masih lemah. Jangan melakukan hal gila.”
“Aku sudah berjanji untuk melindungi Ayana, gadisku, apapun yang terjadi.” Kotaruk mengatur nafas, mencoba berbicara senormal mungkin, tapi tak dapat ditampik, dia masih lemah keadaannya. Situasi ini tidak memberikan pilihan banyak pada Alli. Maka dengan tangannya, yang masih gemetar ketakutan, Alli bangkit.
“Biar aku yang menahannya. Tuan istirahat saja. Aku akan pastikan, mereka tidak melukai gadis Tuan. Eternita, tolong jaga senternya agar tetap menyorot ke pintu.”
Akhirnya Alli tampil sebagai seorang pemimpin tim.
Dia melangkah ke pintu. Memosisikan diri menyamping menghadapi ke arah pisau, sementara punggungnya membelakangi arah engsel pintu. Sisi kanan tubuhnya menahan pintu. Itu sisi terkuat tubuhnya, yang dominan.
Ayo Alli, kau harus bisa melakukannya. Kau harus menghadapinya.
Pisau itu bergerak-gerak. Jelas berusaha memotong atau setidaknya merusak pemalang kayu yang sudah dipasang oleh Kolonel.
“Detektif, kita perlu rencana cadangan. Aku tidak bisa mengandalkan bocah itu menahan pintu, menghadapi orang yang memegang pisau, dia tidak bisa diarahkan.”
“Aku tidak bisa berpikir sekarang, kolonel.”
“Hei bukankah kau bisa melakukannya dengan cepat.”
“Tidak dengan para zombie yang terus menyerbu seperti ini.”
“Ayolah, detektif. Aku perlu solusi, cepat!”
“Otakku bukan mesin, kolonel!”
Agathar berbalik jengkel dengan kolonel setelah beberapa saat lalu merasa akrab.
Sementara pisau yang dipakai untuk merusak palang itu terus bergerak dari luar. Gerakannya nampak efektif. Semakin lama, palangnya semakin rusak. Bekas torehan pisau semakin dalam. Sampai, kemudian, palangnya benar-benar patah diterjang pisau.
Pintu itu telah terbuka.
Alli menggigit bibir. Pertarungan hidup dan matinya baru saja dimulai.
Kau harus menghadapinya, Alli. Kau tidak punya banyak pilihan.
Ya, karena kadang, kita harus dipaksa menghadapi ketakutan kita, barulah kita tahu, seperti apa wujudnya sebenarnya.
mozaik 58
Killer, Sang Pembunuh
Kini Alli hanya punya dua pilihan. Menyingkir dari pintu ini dan membiarkan si pemilik pisau masuk ke dalam ruangan, dan pilihan itu jelas tidak mungkin bisa dia ambil. Karena jika demikian, dia akan membahayakan teman-teman setimnya. Dia harus mengambil pilihan yang tersisa, yaitu terus menahan pintu ini sekuat tenaganya.
Alli menancapkan kakinya sekuat mungkin. Menahan pintu yang didorong dari luar. Siapapun yang berdiri di luar sana, tenaganya kuat sekali.
“Pria Berjas, aku tidak bisa bertahan terlalu lama. Tolong aku!”
Agathar berdecak mendengar teriakan Alli. Jangankan menolong Alli, dia sendiri saat ini sedang terdesak. Para zombie ini semakin trengginas. Mereka dijebak dari dua sisi.
Ayana dan Kotaruk berpegangan tangan. Saling menguatkan satu sama lain. Eternita ikut tegang.
“Detektif, kau memang harus memikirkan satu rencana. Kalau tidak, kita bisa menjadi bubur di ruangan ini.”
Mendapat desakan, serta keadaan yang menjadi genting, Agathar harus berpikir keras. Dia memejamkan matanya. Mundur sejenak.
“Aku akan menahan orang ini sekuat yang aku bisa!” Alli berteriak. “Tapi tidak bisa selamanya. Tenaganya kuat sekali.”
Situasi yang dihadapi Alli betul-betul genting. Apalagi kemudian terdengar bunyi pisau ditusuk-tusukkan ke daun pintu itu. Seolah hendak melubangi pintunya. Alli berusaha keras menahan pintu, meski dia sendiri takut bukan main.
“Kolonel,” panggil Agathar, “apakah kau bisa bertarung di dalam gelap?”
“Tentu. Apa rencanamu, katakan.”
“Dengan aba-aba dariku, kau lepas penahan di pintu ini. Biarkan zombienya masuk. Menyingkir dari jalan, datangi mereka di sofa sana, dan bertahanlah atas apapun yang coba mendekati kalian. Boleh jadi situasinya jadi berbahaya.”
“Kau ingin kita dikeroyok?”
Agathar menggeleng, “sama sekali tidak.”
“Kalau begitu biar aku yang menghabisi para zombie ini.”
“Jumlah mereka terlalu banyak. Bahkan senapan sekalipun tidak bisa menandingi mereka. Tapi pertarungan jarak dekat masih memungkinkan. Mungkin pisau lebih efektif dalam pertarungan semacam itu.”
“Tunggu dulu...”
“Kau akan mengerti, Kolonel. Dengarkan aba-aba dariku, dan menyingkirlah. Aku bertaruh pada rencana ini.”
Kolonel mengangguk, sepakat.
“Eternita,” panggil Agathar, “dalam aba-abaku, kamu matikan sentermu. Biarkan ruangan ini dalam keadaan gelap.”
“Eh?”
“Tolong jangan bertanya. Nanti kamu akan paham.”
“Baiklah. Ada lagi yang harus kulakukan?”
“Tidak.”
“Hei kau,” akhirnya Agathar memanggil Alli, “dalam aba-abaku, kau menyingkir dari pintu itu, dan biarkan orang itu masuk.”
“Kau tidak bercanda, Pria Berjas?”
“Aku bertaruh banyak pada rencana ini. Percayalah, ini akan berhasil.”
Alli, Eternita dan Kolonel mengangguk, menyepakati rencana ini. Bersiaga menunggu aba-aba dari Agathar.
“Kalian semua, lakukan SEKARANG!”
Eternita mematikan senternya. Kolonel meloncat ke belakang, mundur ke arah sofa. Alli juga meloncat, berlari ke belakang. Mereka kini berkumpul dalam gelap di dekat sofa. Sebagai penyempurna rencananya, Agathar menyuruh mereka untuk menunduk, bersembunyi di balik sofa.
Sementara Kolonel dan Agathar sendiri berjaga-jaga. Rencana yang dirancang Agathar berjalan sempurna.
Begitu kolonel meloncat ke belakang, menghindar dari jalan masuknya, zombie-zombie itu masuk ke ruang keluarga, berdatangan bak air bah. Banyak sekali jumlahnya. Mereka berjalan seperti zombie. Tidak berpikir, tidak tahu arah. Mereka berjalan ke arah sembarang saja.
Sementara dari arah lain, dari arah pintu yang terbuka paksa dengan pisau tadi, seseorang melangkah ke ruangan dengan tenang. Begitu mengetahui keberadaannya, zombie-zombie langsung menyasarnya. Langkah mereka gesit di tengah gelap. Pisaunya berkelabat menyerang para zombie yang mendatanginya. Jadilah pria itu yang menghabisi para zombie dengan sabetan pisaunya.
“Semuanya sesuai dengan rencanaku.” Agathar tersenyum dalam gelap. Dia bisa membaca situasi pertarungannya.
“Bagaimana kau bisa menebak situasinya bakal seperti ini, detektif? Pria itu, siapapun dia, bisa dengan mudah menghabisi para zombie dengan mudah dengan pisaunya.”
“Eh dia menghabisi para zombie. Kasihan mereka.”
“Kau jangan lemah seperti itu, bocah. Ini pertempuran. Kalau kita tidak menghabisi mereka, kita yang akan dihabisi.”
Alli menggigit bibirnya.
Pria itu masih di sana. Pisaunya berkelabat dengan cepat. Menghabisi para zombie yang hendak menyerangnya. Pisaunya sudah berlumuran darah segar. Gerakannya benar-benar gesit. Kolonel terus memerhatikan. Lebih daripada Agathar.
“Rasanya aku mengenal pria itu.”
“Apa maksudmu?”
Kolonel tak menjawab, malah berdiri, meloncat ke depan di tengah kegelapan, menerkam.
“Kau, Killer! Si Pembunuh Berantai. Aku sudah mencarimu selama ini! Kini kau bertemu lawan sepadan.”
mozaik 59
Pertemuan Pertama Kolonel dengan Killer
Killer. Itu bukan sekedar sebutan biasa. Di dunia kriminal Kota J (aku tahu persis soal ini, ujar Agathar), nama itu melegenda. Dia adalah seorang pembunuh berantai. Kalau dia sudah terlibat dalam sebuah urusan, maka dipastikan, urusan itu akan berakhir dengan berdarah. Sudah lama, Killer menjadi buronan kepolisian, tapi dia selalu bisa berkelit dari mata hukum.
“Dengan keberadaannya di sini, aku jadi mengerti, kenapa orang sekaliber Kolonel Dhar bisa terlibat dalam permainan survival seperti ini.”
“Kolonel mencari orang itu? Tapi siapa sebenarnya Kolonel Dhar itu? Sehingga ditugaskan mencari seorang buronan seorang diri.”
“Kau tidak tahu?” Eternita menatap ke arah Alli, meskipun tatapannnya tak jelas terlihat, tapi nada suara meremehkan itu, sudah khas sekali dari Eternita, “Kolonel Dhar Amrulah, adalah orang hebat. Perwira di ketentaraan yang amat dihormati. Pahlawan perang di sebuah negeri yang jauh. Reputasinya amat dihormati oleh bawahannya.”
“Ya, makanya dia menderita megalomania,” Agathar mengeluh.
“Biar kuluruskan ini,” timpal Alli, “kita terjebak di rumah ini, tidak hanya dengan monster yang bisa mengendap di kegelapan, yang sampai saat ini kita tidak tahu bagaimana wujudnya, tetapi juga dengan seorang pembunuh berantai, buronan polisi selama bertahun-tahun. Bukankah itu artinya, situasi di sini semakin berbahaya.”
Agathar membenarkan dengan anggukan. “Makanya acara ini dinamakan permainan survival. Kita harus terus bertahan hidup.”
“Tak terbayangkan olehku, kalau aku harus berjuang sendirian dalam gelap. Mengerikan sekali. Tapi kalau ada Kolonel Dhar di sini, mungkin pembunuh itu akan menemukan lawan yang sepadan.”
Sementara itu, Kolonel dan Pembunuh berantai itu terus beradu. Kini mereka berguling-guling. Pisau milik Killer sudah terjatuh saat kolonel tadi menerkamnya. Kini mereka hanya bertarung dengan tangan kosong.
“Senang bisa bertemu denganmu di sini, Kolonel Dhar.”
“Apa yang kau lakukan di sini hah? Apa yang kau cari? Siapa yang menyuruhmu? Kau bekerja untuk siapa?” Kolonel berada di atas tubuh Killer, mencekal kerah bajunya. Mengunci musuhnya.
“Ah pertanyaan remeh. Tentu saja untuk membunuh banyak orang. Permainan ini menyenangkan. Aku bisa bebas hendak menusuk siapa saja. Kalian semua adalah mangsa tak berdaya.”
“Kau tak akan kubiarkan melakukan itu.”
BUKKK!
Killer meninju dagu Kolonel dengan serangan kejutan. Kolonel tak siap, membuatnya terbanting. Kini Killer bisa bangkit, mengambil pisaunya lagi. Tapi setelah itu, anehnya, dia tidak berusaha menyerang. Killer, pria itu berdiri di tengah kegelapan, amat tegap bentuk tubuhnya, dengan pisau berkilat-kilat.
Santai sekali.
Kolonel bersiap-siap menyerangnya lagi.
“Aku senang bisa bertemu denganmu di sini, Kolonel. Akhirnya ada musuh yang sepadan. Tapi aku tidak akan menyentuh kau sekarang. Aku akan menyisakan kalian untuk sesi terakhir. Bukankah pertarungan terbaik selalu ada di bagian akhir? Kurasa sudah cukup aku bermain-main di tempat ini. Sampai jumpa.”
Killer berjalan meninggalkan ruangan. Berjalan santai di antara kental darah dari para zombie yang bergelimpangan.
Ketika lewat di depan Ayana dan Eternita, dia membisikkan sesuatu yang terdengar agak mencurigakan, “aku punya salam. Dari temanmu. Dari alam baka.”
Namun tidak ada yang menghiraukan kata-kata itu.
“Jangan mengejarnya, Kolonel!” Alli berteriak. “Kita perlu rencana yang baik untuk melawannya. Tidak bisa asal-asalan.”
“Aku setuju dengan dia,” Agathar berdiri, menyalakan kembali senter, Eternita ikut. Sekarang di bawah cahaya senter terlihat betapa pucatnya wajah Alli.
“Saat ini ada hal lain yang harus kita tangani. Kita perlu menyalakan lampu, kita juga perlu rencana, Killer jelas lawan yang tangguh.”
“Omong-omong soal saklar lampur, sepertinya aku bisa memberitahu kalian.” Tiba-tiba saja, salah satu sudut ruangan berpendar cahaya putih terang. Diiringi dengan suara angin ribut.
Sang Tuan menampakkan dirinya lagi.
mozaik 60
Dr. Collins, Sang Tuan, dan 4 Petunjuk
“Sang Tuan!” Alli yang pertama terpekik saat melihat pria tua berjanggut putih itu melangkah ke arah mereka. Ayana dan Kotaruk yang baru bertemu dengan pria ini, waspada penuh.
“Dia bukan orang jahat. Dia adalah orang yang disebut-sebut dalam cerita orang-orang tua kita. Dia adalah Sang Tuan.”
Ayana dan Kotaruk, saling berpandangan, “kami tidak tahu. Sebenarnya kami juga bukan orang asli Kota J.”
Oh Pantas saja.
Sang Tuan mengulurkan tangannya, menyentuh kepala Kotaruk, mengusapnya lembut, tapi tidak sampai membuat rambutnya kucek. Kotaruk dan Ayana, benar-benar heran dengan kelakuan kakek tua ini, tapi Sang Tuan sebaliknya, terseyum.
“Kalian bisa pergi sekarang.” Sang Tuan berucap lembut, “kamu sudah sembuh. Maaf jika aku terasa mengusir, tapi aku memang hanya memerlukan bicara dengan empat orang ini saja. Silakan pergi.”
Aneh, ketika Sang Tuan menarik tangannya dari kepala Kotaruk, si pemilik kepala merasakan perubahan pada tubuhnya. Dia merasa jauh lebih segar sekarang.
“Te.. terima kasih.”
“Sama-sama. Silakan.”
Kotaruk yang tadi harus digotong masuk, kini balik membantu Ayana berjalan. Dia benar-benar sehat sekarang.
“Nah sekarang,” Sang Tuan berbalik, menatap ke arah mereka berempat, “urusanku adalah dengan kalian. Bagaimana, Alli? Apakah kamu menikmati peranmu sebagai pemimpin tim ini?”
Alli garuk-garuk kepala, susah dijelaskan.
“Nah, apakah ada yang ingin kalian tanyakan? Kulihat dari wajah, kalian ingin sekali bertanya.” Sang Tuan tersenyum arif. Menatap wajah-wajah yang menatap dirinya. Tapi mereka tetap terdiam.
“Eternita, bagaimana denganmu?”
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah ini? Makhluk aneh, para zombie, dan sekarang pembunuh berantai, apa yang sebenarnya terjadi.”
“Ah itu. Situasi di rumah ini memang rumit. Bagaimana ya, aku menjelaskannya. Satu hal yang, mungkin sudah kalian tahu, ini bukan permainan survival biasa saja. Ini bahkan bukan permainan. Kalian masuk ke sini, untuk survival sesungguhnya. Benar-benar harus bertahan hidup.”
“Tapi kenapa semua ini terjadi?”
“Karena ada seseorang yang merencanakannya.”
“Tunggu dulu, tunggu dulu,” Agathar memotong, tidak sabaran, langsung berdiri, berhadapan dengan Sang Tuan, bahkan setengah memaksa agar Sang Tuan menengok ke arahnya.
“Ada apa?”
“Kau sepertinya tahu apa yang terjadi di rumah ini. Bisakah kau beritahukan pada kami siapa yang mengendalikan semuanya?”
Sang Tuan sekali lagi tersenyum, arif. Bijaksana. Seolah punya pengetahuan tentang hal apa saja di dunia.
“Kalau kuberitahu kau sekarang, ceritanya tidak seru. Lagipula bukankah kau adalah detektif, yang suka mencari tahu semuanya sendiri.”
“Setidaknya beritahu aku kalau pemilik rumah ini bukan Jacob si Orang Kaya.”
“Memang bukan.”
“Lalu siapa?” Agathar menyasar Sang Tuan dengan pertanyaan-pertanyaan. Tapi itu tidak mengubah mimik wajah Sang Tuan, tetap tersenyum, tetap terlihat arif dan bijaksana.
“Kau yakin ingin mengetahui namanya?”
Wajah Agathar menatapnya, begitu ingin tahu.
“Dr. Collins, itulah namanya.”
“Dr. Collins,” ulang Agathar, berusaha mengingat-ingat dimana dia pernah mendengar nama itu. Tapi sekarang dia tidak ingat. Mungkin nanti-nanti bakal ingat. Sang Tuan meneruskan kalimatnya.
“Pastikan kau membuat langkah yang benar. Sudahkah kau beritahu Alli tentang empat petunjuk yang kuberitahukan padamu?”
Kalimat itu membuat yang lain menengok pada Agathar. Petunjuk? Kok detektif ini tidak pernah mengatakannya?
“Petunjuk itu penting sekali. Itulah jalan kalian bisa keluar dari rumah ini. Menyelesaikan cerita. Kalau kau terus menyimpannya sendiri, cerita ini tidak akan jalan-jalan.”
Pelan tapi tegas, Agathar menjawab kalimat itu dengan ucapannya, “aku tidak percaya denganmu.”
“Kau selalu begitu. Tapi yang lain, mungkin bakal percaya. Tak ada salahnya kau ceritakan pada mereka. Nah, aku cuma datang untuk memastikan kalian mendengarkannya. Berjalanlah, lanjutkan cerita. Progres kalian sudah lumayan bagus. Walau cuma jalan di tempat. Dan satu lagi sebelum aku pergi,” Sang Tuan menengok ke arah Alli, “kamu harus tahu, para zombie pada dasarnya, mereka sudah mati. Mereka bukan manusia mabuk, mereka adalah mayat hidup. Semoga dengan mengetahui itu, bisa mempermudah kalian di perjalanan. Ya sudah, aku harus pergi. Jangan lupa kalau masih ada satu saklar lampu di rumah ini, di lantai 2, di ruang keluarga juga.”
Lalu dengan caranya yang khas, Sang Tuan menghilang dari ruangan itu.
Diakui atau tidak, kemunculan Sang Tuan selalu memberikan progres tersendiri dalam cerita ini. Sementara itu, ada seseorang yang hendak sekali bertanya dari tadi pada Sang Tuan, tapi dia menahan diri. Dia menahan diri.
Belum, belum waktunya, Eternita. Aku tidak siap menerima kenyataan apapun itu.
mozaik 61
Tapi Siapa Itu Dr. Collins?
“Sebenarnya apa yang dimau pria berjanggut itu dari kita, aku masih tidak paham. Jika saja tidak mengingat bagaimana dia bisa secara ajaib menangkis peluru yang kutembakkan beberapa jam lalu, aku akan menembaknya lagi.”
Kolonel mengambil kembali senjatanya yang tadi sempat dia jatuhkan untuk bergulat dengan pembunuh berantai. Dia bahkan meneriaki Alli agar mengarahkan sinar senter ke arahnya.
“Aku harus memastikan benda ini baik-baik saja. Selepas ini, aku bakal lebih banyak menembak.”
“Jadi anda sudah memburu pembunuh itu sejak lama?”
“Tidak terlalu lama. Baru ditugaskan padaku, beberapa hari yang lalu.”
“Dan anda tahu dia akan beraksi di sini?”
“Kau mulai mirip dengan detektif yang suka sekali bertanya. Itu misi rahasia, aku tidak akan membocorkan detailnya.”
Andai saja Agathar tidak sedang berpikir keras, dia pasti ingin ikut mengorek lebih jauh. Sepenggal clue-nya sudah dikatakan Kolonel. Misi rahasianya adalah mencari Killer, di tempat ini. Hanya saja, darimana dia tahu bakal menemukan Killer di tempat ini, belum bisa dipastikan. Itulah detail misinya.
Lupakan, Agathar masih terdiam di atas sofa. Berpikir keras. Alli masih sibuk membantu Kolonel memastikan senapannya dalam keadaan baik.
Jadi Eternitalah yang akhirnya bertanya. Soal empat petunjuk yang dikatakan Sang Tuan. Kunci mereka bisa keluar dari tempat ini.
“Aku tidak percaya padanya.” Agathar memberikan penegasan di tiap kalimatnya, “lupakan saja soal empat petunjuk aneh itu. Lebih baik memikirkan tentang petunjuk lainnya yang tadi dia berikan. Nama itu, Dr. Collins, terasa tidak asing, tapi aku lupa dimana aku pernah mendengarnya.”
“Mungkin aku bisa membantumu,” tawar Eternita, “rasanya aku pernah mendengar soal Dr. Collins di beberapa berita yang aku liput.”
“Jangan pikir aku percaya padamu juga. Bisa saja itu orang yang berbeda.”
“Aku juga sebenarnya tidak percaya pada satu pun dari kalian, tapi ruangan gelap ini memaksaku berada di sini. Aku tidak punya pilihan lain. Seperti kata dia (Eternita menunjuk Alli) kita bisa lebih kuat saat bersama-sama.”
Agathar kembali tenggelam dalam pemikirannya. Eternita yang memegang satu senter, mengeluarkan buku catatan kecil yang dia bawa dalam tasnya, membuka kumpulan catatan yang dia kumpulkan semenjak jadi wartawan pers di Kota J.
“Ah ini dia, Dr. Collins, seorang dokter bedah, bekerja di rumah sakit kota J, selama beberapa tahun. Dia dikenal sebagai seorang dokter yang berdedikasi tinggi, dan memiliki keterampilan yang baik. Sampai kemudian dia menyalahgunakan keahliannya, untuk mengambil organ-organ dalam milik pasiennya, demi kepentingannya sendiri. Dia telah ditangkap, diadili, dinyatakan bersalah dan dipenjara atas kejahatan penjualan organ-organ manusia di pasar gelap. Skandal yang menimpanya ini banyak disayangkan oleh orang-orang, koleganya. Karena Collins merupakan dokter dengan masa depan cerah. Dia telah merusak masa depannya sendiri.”
Agathar tidak sedikit pun terlihat tertarik dengan penjelasan dari Eternita.
“Kalian sedang membicarakan tentang Edward Collins ya? Dia bukan dokter bedah. Dia adalah penjahat kejam. Bisa dilihat dari sorot matanya. Aku pernah bertemu dengannya sekali, saat dia magang di dinas ketentaraan. Dia memang cerdas dan berwibawa, tapi saat awal melihatnya saja aku sudah punya firasat, dia akan melakukan sesuatu yang buruk. Dan dugaanku benar, dia terancam dipenjara 14 tahun atas kejahatannya, meski kudengar, dia tidak pernah ditahan semenit pun.”
“Tidak pernah ditahan?” Agathar tiba-tiba langsung tertarik, “kenapa dia tidak pernah ditahan? Bukankah tadi dia mengatakan bahwa Collins dipenjara?” Agathar menunjuk pada Eternita.
“Kau tahu, orang-orang yang punya banyak uang, bisa mengakali hukum dengan sangat mudah.”
“Maksudmu, dia membuat orang lain dihukum atas kesalahan yang dia perbuat.”
“Ya.”
“Orang yang sangat berbahaya. Dan dia punya rumah ini? Sejak kapan.”
Agathar tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Dia berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Memegangi dagu dan dahinya. Berpikir keras.
“Kurasa aku punya dugaan. Mungkin dia telah menghabisi Jacob si Orang Kaya dan kemudian menggunakan namanya untuk keperluannya sendiri.”
“Tidak menutup kemungkinan juga dia bekerja sama dengan Jacob si Orang Kaya kemudian mereka berbagi keuntungan.” Eternita ikut menyumbangkan pendapat. Namun Agathar tak menggubris. Dia masih mondar-mandir.
“Aku punya dugaan. Dugaan liar. Semoga dugaanku ini tidak benar. Karena jika benar, maka permainan ini benar-benar gila.”
“Kurasa permainan ini memang sudah gila,” ucap Eternita, “pemilik rumah ini adalah orang yang bisa menghindari tahanan hukum, plus ada seorang pembunuh berantai yang berkeliaran.”
“Killer pasti diundang Edward Collins untuk bersenang-senang.”
Wajah mereka bertiga mendadak jadi sangat serius. Seolah mereka tidak pernah bertengkar. Saling berpikir dan saling melengkapi. Alli berdehem-dehem.
“Astaga, aku tak mengerti sedikit pun apa yang kalian bicarakan. Tapi ayolah, apa yang bisa kita ambil dari pembicaraan ini?” Alli angkat bicara.
“Kita harus menemukan lebih banyak fakta tentang Dr. Collins ini, terutama tentang hubungannya dengan Jacob si Orang Kaya dan rumah ini. Dan seingatku kita hanya punya waktu kurang dari enam jam lagi. Kalau tidak, kita akan kalah dalam permainan ini.”
Kolonel menoleh pada Agathar, “jadi kau masih peduli dengan permainan survival ini?”
“Kita memang sedang melakukan survival bukan? Survival dalam arti yang sebenarnya.”
“Dan kalau kita kalah?”
“Itu artinya kita akan mati.”
“Astaga,” Eternita memegangi kepalanya, “aku tidak mau mati. Detektif, kita harus memenangkan permainan ini, dan kurasa kita perlu jalan pintas.”
“Kurasa jalan pintasnya adalah dengan memercayai Sang Tuan,” cetus Alli.
“Maksudmu, dengan mencari empat petunjuk yang dikatakannya tadi.”
“Ya, apa lagi.”
“Aku lebih suka melakukan penyelidikan sendiri. Aku tidak percaya pada orang tua itu.”
“Tapi kau memercayai tentang Dr. Collins.”
“Siapa bilang aku percaya. Makanya aku menyelidikinya.”
“Berarti Bab tentang Jacob si Orang Kaya sudah tamat?”
Tidak ada yang sempat menjawab pertanyaan Eternita, karena dalam gelapnya rumah, dan mulai sunyinya setelah zombie-zombie kena bantai, suara itu kembali terdengar.
KREEKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Kita sepertinya tidak boleh lupa, bahwa kita tidak sendirian di rumah ini.”
mozaik 62
Sergapan Pertama Si Cakar Tiga
KREEEEKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Suara itu, suara itu terdengar begitu dekat.”
Semua orang di ruangan membenarkan kalimat Eternita. Suara goresan di dinding terdengar begitu dekat, sepertinya langsung di luar dinding ruang keluarga ini.
“Aku sangat penasaran dengan makhluk yang membuat suara itu, bagaimana menurutmu, detektif?”
Agathar menggeleng. Sepertinya dia tidak terlalu tertarik.
“Makhluk itu ada di dekat sini sekarang. Bunyi suaranya terdengar begitu dekat, mungkin dia ada di luar ruangan,” kolonel membicarakan hal yang sudah diketahui semua orang, “kupikir, kalau kita mencoba keluar dari dua pintu itu, secara bersamaan, maka kita bisa menyergapnya di satu sudut. Bagaimana menurut kalian?”
Agathar tetap menggeleng. Tapi Alli dan Eternita begitu tertarik.
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Dengar, suaranya datang dari sana.” Kolonel menunjuk ke arah pintu yang dipalang, satu-satunya pintu yang masih dipalang. “Kalau aku keluar dari pintu sebelah sana, sedangkan satu orang lainnya keluar dari sisi lainnya, mungkin kita bisa menyergap makhluk itu.”
“Jujur saja, aku tertarik dengan ide kolonel, tapi aku tak yakin, aku siap melihat makhluk itu.”
Eternita menyikut Alli. “Jika kau terlalu pengecut, biar kutemani kau.”
“Itu ide yang lebih baik,” sambut Alli.
“Kita tunggu sejenak, apakah makhluk itu masih ada di sini atau tidak,” kolonel memberi aba-aba, dan aba-aba itu disambut dengan suara itu lagi.
KREKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
“Ayo. Aku lewat sebelah sana, kalian lewat pintu satunya. Kita berjalan beriringan menuju arah kiri rumah. Ada lorong panjang di situ. Makhluk itu tidak akan bisa lari.”
Tanpa ba bi bu lagi, mereka bertiga langsung berlari. Meski sedikit takut karena akan menyergap makhluk yang sudah menghantui mereka berjam-jam, tapi ketiganya digerakkan oleh rasa penasaran yang amat besar. Lagipula, nampaknya cuma Alli yang agak khawatir, dia memaksakan diri agar terlihat berani, demi tidak diejek-ejek lagi oleh Eternita.
Karena itu sedikit menjengkelkan bagi Alli.
“Kali ini kami akan menemukanmu, Si Cakar Tiga!”
Suara derap-derap langkah itu masih terdengar samar, menandakan bahwa makhluk Si Cakar Tiga masih ada di sana saat Alli dan kawan-kawan mulai mengejarnya dari dua arah. Tapi anehnya, begitu mereka bertemu di lorong, mereka tak melihat kemunculan Si Cakar Tiga sama sekali. Hanya ada darah yang berceceran di lantai, dan bekas cakarannya di dinding.
“Kemana perginya makhluk itu. Tidak mungkin dia bisa berlari secepat kilat bukan?”
Tapi nyatanya, makhluk itu memang telah menghilang.
DRAP! DRAP! DRAP!
Ketika Alli dan Kolonel masih terpelongo-pelongo menyaksikan hilangnya Si Cakar Tiga, saat tiba-tiba saja, suara itu muncul kembali. Tapi kali ini terdengar sangat dekat.
Si Cakar Tiga tiba di belakang mereka.
“Eternita, awas!”
Makhluk itu melompat hendak menerkam. Gerakannya memang luar biasa. Alli yang ikut melompat hendak menyelamatkan Eternita melepas senter di tangannya. Turut juga menendang senter milik Eternita. Makhluk itu berkelit dengan gesit, menyiapkan gerakan kedua, saat kolonel sudah siap dengan senapannya.
DORRR!
Satu tembakan telah dilepaskan.
Makhluk itu berteriak kesakitan. Meski di dalam gelap kolonel masih sempat melihat makhluk itu melarikan diri ke arah ruangan depan rumah.
“Aku akan mengejarnya.”
Tapi sejenak kemudian, kolonel kehilangan jejaknya lagi. Seolah dia, makhluk itu, sudah menghilang.
“Bagaimana bisa?” Kolonel menggenggam senjatanya erat-erat.
mozaik 63
Lampu yang Menyala Karena Desakan
“Hei bocah, kau mendengarku bukan?” Kolonel bersuara pelan sekali, nyaris berbisik.
“Sangat jelas, kolonel.”
“Bagus, berarti telingamu baik-baik saja. Apakah kau mendengar langkah-langkah kaki itu?”
Alli menelan ludah, Eternita juga. Mereka memang mendengar langkah-langkah itu. Pelan saja memang bunyinya. Tapi gesit. Dalam beberapa hentakannya terdengar lebih nyaring. Langkah-langkah itu meremangkan bulu kuduk. Makhluk itu masih berkeliaran.
“Ia mengenali rumah ini dengan baik. Lebih baik dibandingkan kita, dengan peta sekalipun.”
Kolonel mengangguk, bersepakat dengan Alli (ini amat jarang terjadi), “itulah satu-satunya penjelasan mengapa dia bisa menghilang dengan amat cepat.”
“Dia bisa berjalan dalam gelap, selama kita masih terkurung dalam kegelapan, makhluk itu akan selalu lebih unggul dibandingkan kita.”
“Kau ketakutan, Nona?” kolonel bertanya, “karena jika demikian, mari kita kembali ke ruang keluarga. Tidak perlu menunggu makhluk itu menyergap kita lagi di...”
“Kau jangan meremehkanku, Kolonel. Aku jauh lebih berani daripada yang kau kira.”
“Baiklah. Sebaiknya kita memang harus kembali ke ruangan. Tidak ada gunanya menunggu dia di sini.” Alli memberikan perintah. Ketiganya kembali memasuki ruangan. Mendatangi kursi Agathar yang sedang duduk, bersemedi.
Keempatnya kembali berkumpul sebagai sebuah tim.
“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Eternita.
“Mencari tahu lebih banyak tentang rumah ini,” sahut Agathar, datar.
“Kurasa waktu kita amat terbatas,” kata Alli, “kita tidak bisa bersantai seperti yang kita lakukan sebelumnya. Ada baiknya setiap langkah kita selanjutnya tertuju pada tujuan tertentu, yang dilanjutkan dengan step by...”
“Aku tidak sepakat,” potong Agathar.
“Tunggu dulu. Dengarkan dulu aku bicara.”
“Aku tahu arah pembicaraanmu ini, kau ingin mencari tahu tentang petunjuk yang diberikan pria tua itu bukan.”
“Ya, itu opsi yang masuk akal bagi kita saat ini. Kita perlu mempertimbangkannya. Sang Tuan adalah orang baik. Dia berniat membantu kita, aku yakin petunjuk-petunjuk yang diberikannya bisa membawa kita ke jalan yang benar.”
“Aku tidak memercayainya.”
“Setidaknya beritahukan pada kami, tentang petunjuk-petunjuk itu.”
Agathar tetap menggeleng, “tidak. Aku tidak memercayainya, dan aku tidak akan mengatakan pada kalian tentang apa yang tidak kupercayai itu benar. Bagaimana mungkin seorang detektif mengingkari hal yang dianggapnya tidak logis.”
Suara langkah kaki Si Cakar Tiga terdengar samar-samar, dari arah dapur.
“Pria berjas, dengarkan aku. Ini bukan waktunya bicara tentang kehormatan seorang detektif atau apalah itu namanya. Rumah ini berbahaya. Semakin lama kita di dalamnya, semakin besar resiko kita bakal kehilangan kepala kita. Kalau ada jalan pintas yang bisa mengeluarkan kita dari rumah ini, kenapa kita tidak mencobanya?”
“Kau tidak mengerti apa...”
Belum selesai Agathar bicara, kolonel sudah mencekal kerah jasnya. Wajah kolonel benar-benar jengkel. “Kau dengarkan dia. Aku juga sebenarnya tidak suka mengikuti perintah dari bocah itu, tapi kau harus tahu. Makhluk itu berkeliaran di lorong. Bisa menghabisi kita setiap saat. Rumah ini berbahaya karena kehadirannya, dan bisa jadi kehadiran makhluk-makhluk lainnya. Kalau kau masih ingin bertamasya keliling rumah ini, silakan. Tapi beritahukan pada kami petunjuknya. Setelah itu kita bisa berpisah di sini.”
Agathar akhirnya mengalah.
“Baiklah, akan kukatakan apa petunjuknya. Tapi bisakah kau melepaskan cekalanmu pada jasku. Kau merusak penampilan sempurnaku.”
“Tidak sampai kau memberitahukan semua petunjuknya.”
“Astaga. Kau bisa membuat jasku kumal.”
“Maka katakan dengan cepat.”
Akhirnya Agathar membacakan kembali keempat petunjuk yang diberitahukan Sang Tuan kepadanya
Kunci-kunci itu ada di empat tempat yaitu:
Satu. Tempat paling bising di dunia, yang untungnya tak pernah mengganggu jam tidur.
Dua. Sesuatu yang hampir punah, namun tidak ada yang peduli
Tiga. Titik tertinggi di dunia tempat kekuasaan dan kebijaksanaan
Empat. Tempat paling rendah hati, tidak pernah protes walau diinjak-injak.
Alli benar-benar tertarik dengan semua petunjuk yang dibacakan oleh Agathar. “Kunci-kunci itu, ditulis dalam brosur. Itulah cara keluar hidup-hidup dari rumah ini. Astaga, Sang Tuan benar-benar memberikan kita shortcut.”
Kolonel melepaskan cekalan tangannya, dengan gerakan yang agak kasar, melempar Agathar ke sofa, lengkap dengan gumaman jengkel, “seharusnya kau beritahu sejak tadi.
“Baiklah,” Eternita bicara, “aku tahu kau sedang senang, tapi kita masih punya satu masalah serius. Di sini gelap. Kuharap kau tidak melupakan soal itu, ketua.” Jelas sekali kata terakhir itu adalah ejekan.
“Eternita, kamu lupa apa kata Sang Tuan? Saklarnya ada di lantai 2. Kita bisa naik ke sana sekarang.”
“Ayo,” sahut kolonel, “biarkan saja detektif ini kalau dia mau bertamasya seorang diri.”
Alli sebenarnya tetap ingin timnya utuh, tapi melihat betapa Agathar keras kepala tidak mau memercayai petunjuk-petunjuk itu, sepertinya jalan tim ini memang berbeda.
mozaik 64
Ketika Lampu Kembali Menyala
Alli, Eternita dan Kolonel melangkah menuju ke lantai 2, dengan satu-satunya tangga (yang terlihat) di rumah itu. Yaitu tangga besar di lantai 2. Mereka hanya bertiga, Agathar tidak ikut, masih terduduk merenung di kursi ruang keluarga lantai 1. Alli memimpin jalan di depan.
“HA!”
Alli langsung terpekik ketika sorot senternya menyinari sudut pertama di lantai 2. Pemandangan mengerikan langsung menyambut dirinya.
“Itu genangan darah.”
“Sepertinya di tempat ini sebelumnya ada pembantaian,” Eternita ikut memainkan senter. Ada lebih banyak lagi genangan darah di ruangan kosong yang mereka pijak persis setelah tiba di lantai dua. Ruangan kosong itu disebut Area Void di rumah Jacob si Orang Kaya. Satu-satunya ruangan yang betul-betul kosong melompong di rumah itu.
“Tidak perlu memikirkan hal itu. Lebih baik cari saklar lampunya sekarang.”
“Kurasa kita harus lewat sini.” Alli menunjuk ke sebuah lorong. Satu-satunya lorong yang ada di lantai 2. Mereka segera menyusurinya. Demi alasan keamanan, Alli sempat meminta kolonel berdiri di paling depan.
“Untuk alasan yang sama, aku di belakang saja. Aku menjaga kalian di belakang. Instingku selalu tahu kapan musuh akan datang.”
Pintu pertama yang mereka temukan adalah pintu kamar tidur. Bisa dikatakan demikian karena ada ranjangnya. Mengikut petunjuk dari Sang Tuan, saklarnya bukan terletak di situ. Mereka tidak jadi masuk dan meneruskan perjalanan.
Pintu kedua yang mereka temukan, sepertinya mengarahkan mereka ke tempat yang tepat. Ketika dibuka, yang pertama nampak di ruangan itu adalah sebuah sofa. Alli memutuskan untuk masuk dan mengecek ke dalam. Memainkan senternya ke segala arah. Jangan pikir Alli tidak takut. Memainkan senter di area gelap ini lebih menyeramkan dari uji nyali. Penampakan hantunya bisa datang dari mana saja.
Termasuk dari salah satu sudut.
“Apa itu!” Alli gemetar ketika sorot senternya menangkap satu penampakan. Makhluk itu berdiri di sana. Tinggi besar. Kepalanya ditutupi surai singa. Bahunya lebar seperti tentara. Dia berdiri dengan dua kaki. Otot-ototnya besar. Dan yang paling menarik perhatian, tentu saja, cakar-cakar di tangannya. Ah tidak, itu bukan cakar. Itu sesuatu yang lebih panjang, hampir 15 senti. Kabar baiknya, wajahnya dan sekujur tubuhnya putih. Tidak berwarna lain.
“Itu patung yang sama dengan yang kulihat saat pertama masuk ke rumah ini.”
“Apakah ini patung Si Cakar Tiga.”
“Detail tak penting, bocah. Yang terpenting sekarang adalah saklarnya. Temukan saklarnya.”
Mereka kembali memainkan senternya. Tapi tidak menemukan dimana saklar. Lima belas menit kemudian, berkutat dalam kegelapan, hingga terdengar sebuah suara menegur.
“Kalian tidak bisa diandalkan. Mencari satu buah saklar saja tidak becus, bagaimana kalian hendak menemukan petunjuk-petunjuk itu?”
TEKKK!
Kemudian lampu menyala. Agathar sudah berdiri di salah satu tiang. Tangannya baru saja menekan saklar lampu ke arah on. Agathar menyusul mereka rupanya.
Pukul 1 dinihari. Lampu kembali dinyalakan. Seisi rumah kembali terang benderang.
Nun di sana, di lantai 1, Ayana dan Kotaruk yang sibuk berlari, (sekarang mereka ada di dapur) menghindar dari kejaran makhluk Si Cakar Tiga, bersorak lega begitu cahaya lampu kembali menyinari mereka. Setidaknya dengan lampu menyala, keadaan menjadi lebih tenang. Begitu juga dengan perasaan mereka. Suara-suara misterius itu kini menghilang.
Namun pemandangan baru yang mengerikan telah menyambut mereka di dapur.
Manusia-manusia yang tergeletak berlumuran darah. Pemandangan yang memilukan dan bikin mual. Ayana mencengkeram lengan Kotaruk.
“Mereka masih hidup...”
Kotaruk mengangguk, “sepertinya. Kasihan mereka. Mereka seperti ingin bangun lagi tapi tidak bisa. Dan mata mereka merah, ekspresi kesakitan. Aku ingin sekali menolong mereka, tapi bagaimana caranya?”
Sebaiknya ada yang memberitahu Kotaruk bahwa mata merah itu bukan pertanda kesakitan, melainkan pertanda bahwa mereka adalah.....
mozaik 65
Memikirkan Petunjuk yang Pertama
“Kenapa kau ada di sini, detektif?” Kolonel bertanya, sarkastik. Agathar sebaliknya sangat santai. Dia berjalan dengan acuh ke hadapan Kolonel.
“Apakah kau sudah memutuskan untuk percaya?” Alli bertanya juga, antusias.
“Jangan berpikir terlalu jauh. Aku hanya kasihan dengan kalian. Kalian tidak akan bisa memecahkan teka-tekinya tanpa aku.”
Kolonel menggeretakkan giginya. Jengkel. “Maksudmu, aku ini bodoh dan tidak bisa diandalkan?”
Agathar tersenyum tipis. Itu membuat Kolonel hendak meninjunya, tapi Alli buru-buru menahan tangan Kolonel. “Aku senang dengan keputusanmu, pria berjas, kelompok ini tidak akan sama, tanpa keberadaanmu.”
Namun tentu saja, kolonel masih tak terima. Dia menyumpah-nyumpah karena dianggap bodoh oleh Agathar.
“Baiklah, kalau kau tidak terima, buktikan sebaliknya. Coba kau terjemahkan salah satu dari keempat petunjuk itu.”
Karena tidak mau kalah, tentu saja Kolonel menyanggupi. Dia menagih kertas tulisan petunjuk dari Eternita. Membacanya keras-keras, petunjuk pertama.
Satu. Tempat paling bising di dunia, yang untungnya tak pernah mengganggu jam tidur.
“Bagaimana kolonel.”
“Apa yang dimaksudnya adalah gedung opera. Mungkin di rumah ini ada ruangan pementasan teater.” Kolonel menduga-duga. Agathar bereaksi biasa saja atas jawaban itu, meski terlihat, dia sangat meremehkan jawaban dari Kolonel. Agathar terdiam sesaat.
“Kuakui, aku belum menemukan jawaban atas teka-teki ini, tapi aku tidak terpikir sampai sejauh itu. Mustahil.”
“Kurasa tidak mustahil. Rumah ini sangat luas dan dimiliki orang super kaya. Bisa saja ada ruangan pementasan teater.”
“Kalian tidak akan kemana-mana jika mengandalkan logika si tua ini.”
“Hei, kau tidak bisa meremehkan logikaku. Si bocah dan gadis keriting ini bisa mengerti logika tersebut.” Kolonel mengejar-ngejar Agathar.
“Sekali lagi dia memanggilku keriting, aku akan mengamuk.” Eternita bersungut kesal menatap ke arah kolonel.
Alli mengikuti Agathar. Rupanya sang detektif hanya berputar-putar. “Jadi apakah kau sudah memikirkan bagaimana memecahkan petunjuk-petunjuk itu?”
“Sebagian sudah,” sahut Agathar yakin.
“Bukankah kau bilang kau tidak percaya dengan semua petunjuk itu.”
“Memang benar. Tapi karena sifatnya misterius, logikaku yang cerdas terus memikirkannya. Aku mencoba memecahkan beberapa sambil lalu.”
“Aku merasa kau baru saja menghinaku lagi.”
“Sama sekali tidak, kolonel. Astaga, jangan salah sangka.”
Abaikan wajah Kolonel yang masih jengkel itu, Alli penasaran dengan bagaimana Agathar bisa memecahkan satu atau dua petunjuk yang agaknya membingungkan, bahkan sekedar untuk dibaca.
“Hal pertama yang harus dipahami adalah, keempat petunjuk itu merujuk pada tempat-tempat. Dan ada yang harus kita cari di tempat-tempat itu. Sepertinya hanya benda kecil. Mungkin kertas atau yang lain, mengingat di petunjuk kedua, dikatakan di sana untuk mencari sesuatu. Berarti apa yang kita cari bisa diletakkan di sebuah benda. Bukan area luas.”
“Jadi kita akan mulai dari mana? Petunjuk pertama kah?”
“Itu masih cukup sulit.”
“Jadi?”
“Petunjuk kedua. Sesuatu. Jelas adalah benda, spesifik. Jadi kita bisa mencarinya.”
“Kau bisa menemukannya?”
Pertanyaan itu dijawab Agathar dengan mantap. Dia bergerak cepat, membuka satu pintu lainnya di sisi ruangan keluarga itu. Dia membukanya dengan elegan.
“Tuan-tuan dan nona, kupersembahkan, tempat penangkaran makhluk yang terancam punah karena tidak dipedulikan.”
mozaik 66
Kunci Pertama
Mulanya, saat pintu coklat itu hendak dibuka, Alli bersiap-siap. Siapa tahu ada ular yang tiba-tiba menyambar kepalanya, mengingat Agathar mengatakan tempat penangkaran. Dikira penangkaran hewan, ternyata bukan.
Ruangan yang terbuka menampilkan buku. Berbaris-baris. Ratusan, atau bahkan ribuan. Semua buku itu ditata rapi di dalam rak-rak besar.
“Ini perpustakaan?” tanya Eternita.
Agathar mengangguk. Ini adalah ruangan terbesar di lantai 2. Perpustakaan besar milik Jacob si Orang Kaya.
“Tak kusangka orang tua itu suka membaca.”
“Meskipun sebagian besar masa mudanya dihabiskan di dalam tambang, dan berkutat dengan bisnis, Jacob adalah seorang yang suka membaca. Buku-buku di sini lengkap sekali. Bahkan lebih lengkap dibandingkan apa yang dipunya di perpustakaan Kota J.”
“Orang yang unik.” Eternita mengerjap-ngerjapkan matanya, kagum.
“Oke, baiklah,” Alli berucap, “aku tahu petunjuk itu sekarang masuk akal. Aku paham, buku adalah satu hal yang hampir punah dan tak satu orang pun peduli. Tapi bagaimana kita bisa menemukan sesuatu yang kita cari, di antara ribuan buku yang menggunung seperti ini?”
“Karena itulah, aku ada di sini, untuk membantu kalian berpikir.”
“Kau jangan sombong, detektif,” ucap Kolonel, tersinggung. Dia masih menganggap setiap kalimat yang Agathar ucapkan, itu ada nada sindiran untuk dirinya. Kolonel tidak akan membiarkan hal ini terus-menerus.
“Jadi bagaimana kita hendak menemukannya?”
“Kita harus mencari sesuatu yang nampak berbeda.”
“Berbeda?” Kolonel bingung.
“Maksudnya adalah, kita harus menemukan buku yang amat berbeda dengan yang lainnya. Karena kemungkinan ada di situ.”
“Ya, benar,” Agathar menoleh pada Eternita, “benda itu disembunyikan sebagai teka-teki, yang harus dipecahkan. Ada kemungkinan ia disembunyikan di satu tempat yang sulit ditemukan, tapi masih mungkin ditemukan. Cari buku-buku yang mencolok, yang berbeda dengan jenis lainnya. Ada kemungkinan bendanya disembunyikan di situ. Tersamarkan, tapi masih mungkin ditemukan. Bahkan oleh peserta bodoh sekalipun.”
Mendengus kolonel. “Aku tersinggung.”
“Dengan segala hormat aku tidak bermaksud.”
“Sebaiknya kita mulai menyebar. Waktu kita amat terbatas.” Alli lekas mengomando, lebih baik memisahkan orang-orang ini segera.
Mereka berempat mengangguk. Mulai memeriksa ruangan perpustakaan itu. Ada dua belas rak buku. Berarti masing-masing memeriksa tiga rak. Mereka mencoba memeriksa tiap rak dengan saksama. Secepat mungkin. Lima belas menit kemudian, mereka berkumpul kembali di tengah-tengah ruangan. Ada kursi-kursi di situ. Eternita membawa banyak buku dibandingkan teman-temannya.
“Banyak sekali yang kamu bawa?” tegur Alli.
“Mau bagaimana lagi, banyak sekali buku yang berbeda dengan sekitarnya yang kutemukan. Misalnya buku bersampul ini, kutemukan di antara buku-buku yang lebih polosan. Atau buku komik bergambar anak-anak ini, kutemukan di antara buku komik fiksi ilmiah untuk remaja.”
Agathar mengecek satu persatu buku yang dibawa Eternita. Namun tidak ada yang mencurigakan di situ.
“Sudah kuduga. Kamu memang sangat ekspresif, Nona. Matamu peka terhadap sesuatu yang kamu lihat, tapi terkadang kamu harus membatasinya. Tidak ada yang kita temukan di sini.”
“Periksa punyaku,” Alli menyorongkan buku miliknya, tebal, bersampul bagus. “Buku ini berbahasa Jerman. Kutemukan di antara kumpulan buku lainnya yang berbahasa Inggris.”
“Sebagian besar buku di sini memang berbahasa Inggris,” sahut Eternita.
Alli memilih tidak merespon, Agathar memeriksakan buku yang dibawa Alli. Satu buku itu saja. Diperiksanya dengan saksama. Tapi juga tidak memberikan hasil positif.
“Tidak ada apa-apa di sini.”
Alli ber-yahh kecewa.
“Aku takut di dalam buku yang kubawa ini, juga tidak membawa dampak apa-apa. Buku ini kujumpai dari rak misteri. Padahal genrenya komedi. Aneh memang, tapi tidak ada tambahan positif. Aku takut kita tidak menemukan apa-apa dan harus menggeledah lebih banyak buku lagi.”
“Kau belum periksa buku punyaku,” kolonel menyodorkan sebuah buku kecil, Agathar menerimanya dengan wajah ragu. Seolah ini tidak akan memberikan apa-apa. Namun ketika Agathar menerima buku itu, sesuatu terjatuh dari dalamnya.
Sebuah kunci. Dengan gantungan kertas bertuliskan angka 2. Terkejut sekali Agathar melihatnya. Petunjuk itu ditemukan.
mozaik 67
Melanjutkan Perjalanan
“Ha, aku menemukannya!” Kolonel berseru, bukan main senangnya.
“Hebat sekali, kolonel. Bagaimana bisa kolonel menebak buku yang benar?”
Alli memuji Kolonel dengan tulus. Itu membuat Kolonel merasa tersanjung. “Ha, kau tahu, bocah. Aku memang tidak punya analisis tajam seperti detektif, tapi insting militerku masih bisa diandalkan. Insting ini bahkan lebih tajam daripada pemikiran si keriting.”
“Siapa yang kau panggil keriting heh!” Eternita berseru, marah. Untungnya Alli cepat menangkap tangannya. Dan itu membuat Eternita semakin jengkel.
“Jangan menyentuhku.”
“Maafkan aku,” Alli reflek melepas tangan Eternita lagi, sereflek tadi dia memegangnya. Kemudian dia mengacungkan jempolnya ke arah Kolonel.
“Bagus, Kolonel. Kerja anda sangat bagus.”
Pujian itu membuat kolonel tertawa lepas, “terima kasih, bocah. Kau terlihat sedikit mirip dengan seorang pemimpin, sekarang.”
“Yeah, sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali,” Alli menyeringai.
“Hei, harusnya kau tidak usah memujinya begitu,” Eternita memasang pose seolah berbisik, padahal dia bicara keras, “saat dia tertawa, dia malah tambah jelek dengan kepala gundulnya.”
“Apa katamu!”
“Kau duluan memanggilku keriting.”
Dan mereka bertengkar lagi.
Di saat mereka kembali bertengkar, Agathar menunduk, mengambil kunci itu dan mengamatinya.
“Kunci apa ini?” tanya Alli.
“Ini kunci sebuah ruangan. Berarti kita harus membuka sebuah ruangan.”
“Dengan adanya kunci, berarti ada ruangan yang dikunci.”
Agathar mengangguk-angguk, analisis yang lumayan masuk akal. Dia mengingat-ingat. “Ada kemungkinan, ruangan yang harus kita cari, bukan di lantai 1. Sebab hampir semua ruangannya, bisa dibuka.”
“Kalau begitu kita bisa mulai bergerak, kita bisa menjelajahi ruangan yang ada di lantai 2 ini.”
“Bukankah kita seharusnya tidak membuang-buang waktu?”
Ups, Alli sepertinya terlalu bersemangat, “maaf, maksudku, kita harus terus mencari, sembari memikirkan tentang petunjuk yang lain. Yang mana lagi yang bisa kita pecahkan, pria berjas?”
“Titik tertinggi tempat kebijaksanaan dan kekuasaan,” Agathar membacakan petunjuk itu, “sepertinya ini juga menunjukkan sesuatu yang spesifik. Bukan suatu tempat yang luas, dan melihat bahwa petunjuk berbunyi sesuatu bisa kita temukan di dalam buku, maka aku cenderung berpikir kata “titik” menunjukkan sesuatu yang lebih kecil dibandingkan buku.”
“Jadi?”
“Aku membayangkan kalau benda itu, kemungkinan kunci juga, petunjuk itu dipecahkan secara harfiah, digantungkan di satu titik. Titik yang tinggi. Mungkin di paku di dinding atau dimana. Kita harus mencarinya.”
“Di lantai 2?”
Agathar mengangguk. Jika diartikan secara harfiah, titik tertinggi di rumah ini, seharusnya ada di lantai 2. “Kecuali kolonel dengan instingnya ingin mencoba memanjat atap.”
“Aku merasa tersinggung,” kolonel mendengus lagi.
“Sudah, sudah,” Alli menengahi, “insting kolonel, ataupun pikiran tajam pria berjas, seorang detektif, adalah bagian yang saling melengkapi. Itulah alasan kita berada di tim ini.”
“Hei, kau tidak menganggap keberadaanku.”
Alli terkekeh kecil. Kalau tidak sedang marah atau mencibir, Eternita adalah gadis yang hangat. “Tentu, kamu juga bagian yang penting dalam tim ini. Kepekaanmu terhadap petunjuk, akan sangat berguna, Eternita.”
mozaik 68
Eternita Berkhayal, Sedangkan Agathar...
“Kalian mendengar suara itu?”
Pertanyaan Eternita, dijawab dengan gelengan oleh yang lain. Mereka masih berdiri di perpustakaan. Agathar terlihat masih berpikir keras untuk menemukan petunjuk berikutnya, titik tertinggi kekuasaan dan kebijaksanaan.
“Suara apa?” Alli bertanya, memperjelas.
“Suara langkah-langkah kaki. Terdengar sangat dekat.” Eternita melangkah ke arah pintu yang menghubungkan perpustakaan dengan ruangan keluarga. Di bawah lampu terang, tidak ada apa-apa di sana.
Alli mengikutinya, juga Kolonel.
“Mungkin kamu hanya salah dengar, Eternita.”
“Tidak mungkin,” Eternita mengusap-usap telinganya, seolah memastikan indra pendengarannya, baik-baik saja. “aku yakin sekali aku mendengarnya.”
Dia kemudian menengok ke arah pintu di ruang keluarga yang menghubungkan ke lorong. “Mungkin aku harus mengecek ke luar.”
“Aku akan menemanimu.”
“Tidak usah. Aku sendirian saja.”
Kemudian Eternita melangkah dengan cepat, membuka pintu. Alli memerhatikan dengan saksama, sedangkan Kolonel tidak ambil peduli. Sekejap setelah membuka pintu, Eternita berteriak, histeris.
“HAAA!!”
Teriakan itu membuat Alli lari tunggang langgang menyongsong. Dia tiba tepat untuk menyambut tubuh Eternita sebelum wanita itu roboh ke lantai.
“Hei, ada apa denganmu.”
“Makhluk itu... makhluk itu... ada di sini...”
Bulu kuduk Alli sontak berdiri, merinding. “Makhluk apa maksudmu?”
“Makhluk bercakar.. bercakar...” Eternita menceracau seperti orang kalap.
Makhluk bercakar? Bukankah seharusnya dia tidak bisa bergerak di bawah lampu terang.
“Eternita, tenanglah.”
Nafas gadis itu terdengar putus-putus.
“Menyeramkan sekali... Aku tidak pernah melihat pemandangan semengerikan itu.”
“Tenangkan nafasmu, Eternita.”
Alli berusaha tetap tenang. Kata-kata Eternita terdengar meyakinkan. Namun, Alli tidak mendapatkan tanda-tanda kemunculan Si Cakar Tiga. Tidak ada suara yang dia dengar, dan lagi pula bukankah makhluk itu tidak bergerak di bawah sinar terang lampu.
Alli mencoba berpikir seilmiah mungkin.
“Suara, suara itu kembali terdengar. HAAA!”
Eternita kembali berteriak, histeris. Alli mencoba menenangkannya. Aneh, pikirnya, karena Alli sendiri tidak mendengar suara apa-apa. Jadi apa yang terjadi dengan Eternita? Alli sebenarnya ingin mengecek apa yang ada di lorong, tapi dia tidak bisa melepas Eternita seperti ini. Jadi dia memutuskan untuk menenangkannya.
“Eternita, tenanglah. Tidak ada yang perlu ditakutkan, aku bahkan tidak mendengar suara apa-apa.”
“Kamu jangan bercanda, suara itu keras sekali.”
“Eternita, kamu harus tenang. Aku ini seorang penakut, seperti yang kamu bilang, jika suara itu memang kudengar, aku pasti ketakutan juga.”
“Kamu tidak mengerti. Suara itu....”
Pekikan Eternita terdengar sekali lagi, membuat Alli semakin bingung. Kenapa dengan temannya. Belum hilang rasa heran Alli, Kolonel muncul di depan pintu perpustakaan, menggotong tubuh Agathar.
“Dia pingsan. Jatuh begitu saja ke lantai seperti kena gas tidur.”
Alli menaikkan alisnya, apa-apaan ini?
mozaik 69
Menolong Anggota Tim
“Kolonel, apa maksudnya semua ini?”
“Jangan tanya aku. Aku juga tidak paham.”
Alli mengalihkan pandangan, kembali menatap Eternita, dengan sungguh-sungguh. “Bertahan, Eternita. Kamu jangan sampai pingsan.”
“Aku baik-baik saja, hanya suara-suara itu yang... mengganggu.”
“Tenanglah. Bisakah kamu duduk sekarang.”
Eternita mencoba bangkit dan kembali duduk. Dia memegangi kepalanya. Wajahnya masih sedikit ketakutan. Tapi Eternita akhirnya berangsur tenang.
“Apa yang terjadi denganku?”
“Jangan bertanya padaku, keriting. Hanya kau yang mendengarnya, dasar aneh. Kau berteriak-teriak tidak terkendali.”
Eternita seperti orang linglung.
“Ha? Aku kehilangan kontrol diriku.”
“Tidak apa, Eternita. Sekarang kita harus memikirkan soal Pria berjas. Bagaimana cara membangunkan dia dari pingsannya ini.”
“Aku tidak pingsan, dasar konyol.”
Hei, Agathar terbangun.
“Aku sekarang benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi di rumah ini.”
“Gas beracun. Itulah jawabannya. Aku mencoba menenangkan diriku, tapi aku kalah. Untung saja aku bisa mengembalikan kesadaranku.”
“Ini tidak masuk akal.”
“Apanya?”
“Detektif bisa pulih dengan sangat cepat.”
“Kau tahu kolonel,” Agathar bangkit sambil menepuk-nepuk pakaiannya yang berdebu karena jatuh tadi, “setiap orang dalam sebuah cerita punya kemampuan unik. Nah, aku diberi kemampuan untuk memulihkan diri dengan sangat cepat.”
“Kau masih bicara melantur.”
“Ini gara-gara kau tidak menangkapku dengan benar. Pakaianku jadi berantakan.”
Alli menarik nafas lega. Apapun itu, untunglah sekarang timnya kembali pulih dengan cepat.
“Kau yakin pria berjas?”
“Ya. Gas beracun pulalah yang membuat Eternita berhalusinasi.”
“Jadi kamu hanya berhalusinasi?”
“Penjelasan yang bisa kuterima. Aku berhalusinasi. Itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal mengapa aku bisa berteriak-teriak. Aku bukan orang yang penakut.”
Eternita bilang begitu sambil menengok ke arah Alli. Wajahnya masih mencibir.
“Aku akui, aku memang penakut, tapi aku sungguh senang kalian baik-baik saja. Itulah yang terpenting bagi seorang pemimpin sebuah tim.”
Dari kejauhan, Sang Tuan mengamati mereka semua. Dia bergumam pelan.
“Karena itulah, kau kupilih untuk memimpin tim, Nak.”
mozaik 70
Kamar Tidur yang Aneh
Dari perpustakaan, mereka kembali ke ruang keluarga. Ternyata di salah satu sisi dinding ruangan itu ada pintu yang lain, yang bukan dilewati oleh Alli dan kawan-kawan. Dari sanalah Agathar tadi masuk, sehingga bisa tiba di ruangan keluarga sebelum mereka.
Dari ruang keluarga, mereka kembali menyusuri lorong. Agathar memimpin jalan di depan. Menuju ke kamar tidur yang tadi dilewati saja saat Alli memeriksanya.
“Kenapa kita harus ke sini?”
“Karena ini adalah kamar tidur utama Jacob. Meski aku tidak terlalu yakin kita akan menemukan sesuatu, kita tidak boleh melewatkan ruangan ini begitu saja.”
Agathar berucap sambil membuka pintu.
Ketika pintu terkuak, mereka terhenyak.
“Seharusnya kita tidak membuka pintu rumah ini.” Alli menggeleng-gelengkan kepala.
“Sepertinya setelah ini, kamar ini tidak akan dipakai untuk tidur lagi.”
“Pembantaian yang mengerikan. Tapi aku pernah melihat sesuatu yang lebih mengerikan lagi di medan peperangan.”
Kamar tidur itu penuh dengan genangan darah warna merah. Agathar melangkah masuk. Kolonel juga. Eternita mencoba menguatkan diri, meski dia agak gentar. Sedangkan Alli agak ragu-ragu.
“Kurasa aku akan mual kalau melihat semua itu dari dekat.”
“Ayolah,” Eternita tiba-tiba menarik baju Alli, “bukankah kau seorang pemimpin. Sebaiknya kau ikut. Jangan terlalu lemah, atau aku akan merebut posisimu.”
Karena tidak mau diejek oleh Eternita, akhirnya Alli ikut melangkah masuk. Melihat-lihat.
“Ada satu keanehan yang sangat mencolok dari pemandangan ini.”
“Kau benar.” Kolonel menyahut, “Banyak sekali darahnya, tapi tidak ada mayatnya.”
“Mayat?”
“Tentu saja, bocah. Mana ada orang kehilangan darah sebanyak ini tapi masih bertahan hidup.”
Agathar menunduk di salah satu genangan, memeriksanya. Bahkan Agathar sempat mencolek sesekali. Mendekatkan darah itu ke hidungnya, coba membaui.
“Darah ini bukan cuma satu orang.”
Bagaimana Agathar bisa tahu, jangan tanya. Detektif selalu punya kemampuan unik yang tidak bisa dijangkau logika biasa. Kolonel menanyakan hal itu, dan Agathar menjawab dengan gaya pongah.
“Aku bisa membedakan berbagai jenis darah. Aku sudah bersentuhan dengan darah selama bertahun-tahun, sejak umurku belasan.”
“Apalagi yang bisa kita ambil kesimpulan dari ruangan ini, detektif.”
“Harus kuingatkan bahwa kita sedang mencari gantungan, atau paku atau sesuatu yang lain yang berada di tempat tinggi. Bukan malah memerhatikan lantai.”
“Darah ini,” Agathar tak menggubris Alli, “ditumpahkan dengan cara yang amat terpaksa. Dari luka yang dalam. Korbannya bisa dipastikan mati tak lama setelah mendapatkan lukanya.”
Analisis Agathar itu boleh jadi benar. Tapi halangan terbesarnya adalah, tidak ada mayat di ruangan tersebut. Inilah yang membuat Agathar berpikir keras.
“Tidak banyak jejak yang ada. Mungkin mereka dibawa setelah semua pendarahannya selesai, dan darahnya mengering.”
“Mungkin beberapa noda darah kecil ini bisa menjadi satu petunjuk.”
“Itu sama sekali bukan petunjuk. Ah kecuali ini.”
Agathar tiba-tiba menunduk. Memerhatikan lantai dengan cara yang sangat saksama. Dia kemudian mengambil sesuatu dari dalam saku mantelnya, menempelkannya ke lantai, memerhatikannya sejenak, lalu menyimpannya kembali.”
“Apa yang kau lakukan, pria berjas?”
Agathar tidak menggubris, kembali asyik menekuri lantai dan genangan darahnya.
“Jadi kemana mayat-mayat itu?” tanya Kolonel, melempar pandangan ke sekeliling ruan
“Aku belum tahu, tapi lihatlah ini.” Agathar menyingkirkan salah satu noda darah yang ada, menyapunya dengan kain, dan nampaklah bekas tiga cakaran memanjang di lantai.
Si Cakar Tiga terlibat dalam urusan ini.
“Dan ini.” Agathar mengeluarkan benda yang tadi ditempelkannya di lantai.
“Apa itu?” tanya Alli.
“Sidik jari.”
“Tidak banyak membantu bukan?”
“Tunggu,” Eternita menyela dengan wajah seolah dia tahu lebih banyak, “sidik jari. Berarti bukan Si Cakar Tiga?”
“Bukan hanya Si Cakar Tiga.”
“Jadi?” tanya Alli lagi.
“Ada kemungkinan seseorang yang lain, yang membawa mayatnya.”
“Siapa? Untuk apa?” Kolonel bertanya lagi.
mozaik 71
Serangan Pertama Killer
Ruangan itu hening.
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan kolonel. Bahkan Agathar. Urusan di rumah ini memang berubah jadi misterius. Alli mencoba mendaftarnya.
“Baiklah, pertama kita datang ke sini untuk permainan survival. Tugas kita adalah mencari hadiah sebanyak mungkin. Kemudian kita tidak mendapatkan hadiahnya, dan malah harus terkurung di dalam rumah mengerikan ini, dengan sesosok makhluk yang berbahaya. Jelas sekali kita sudah dijebak. Tapi setelah itu, muncullah para zombie, gas beracun dan fakta bahwa rumah ini sudah berpindah pemilik. Apa artinya ini? Tidak, kita belum tahu. Lalu saklarnya rusak, kita menemukan genangan darah ini, serta bekas cakaran makhluk itu. Jadi apa sebenarnya yang terjadi. Kurasa kita telah menjadi semacam bahan eksperimen manusia. Orang bernama Dr. Collins bisa saja terlibat dalam hal ini.”
“Harus kuakui, itu pendapat yang masuk akal.” Untuk pertama kalinya, Eternita sependapat dengan Alli.
“Tapi kenapa?” Kolonel bertanya lagi, kenapa dia menjebak kita?”
“Terkadang, untuk seorang maniak ilmiah yang gila, dia tidak perlu alasan untuk memuaskan rasa penasarannya. Kau seharusnya tahu itu, Kolonel. Kalau kau sering menonton film.”
“Diam kau, keriting. Aku meminta pendapat detektif.”
“Sudahlah. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan. Yang jelas kita harus semakin berhati-hati. Gas beracun itu disebar di saat lampu menyala. Setidaknya itu yang kita tahu.”
Agathar hendak melangkah keluar dari kamar tidur dan kembali menyusuri lorong. Alli sebenarnya hendak menegurnya agar memeriksa pintu di sebelah sana dulu, ada satu pintu lagi di kamar tidur itu, yang tidak terhubung ke lorong.
KREK!
Baru saja Agathar membuka pintu, saat sesuatu menendangnya, sampai jatuh memegangi perut.
Gerakannya sangat cepat. Agathar hanya bisa meraung kesakitan, tanpa bisa melawan.
“ITU!”
Terlambat. Kolonel telat sepersekian detik untuk memahami situasinya. Orang itu sudah menyerang Agathar dengan pisau terhunus di tangannya.
Agathar mencoba berguling, menghindar. Orang itu tak kalah gesit, mengarahkan pisau itu menusuk ke wajah Agathar.
TRANG!
Sebagai perlindungan, Agathar menarik tongkatnya. Untungnya sempat menangkis. Bunyi berdentang tercipta dari tubrukan antara pisau dan tongkat.
“HEH!”
“UKH!”
Permainan pisau yang cukup mantap. Kali ini Agathar tak bisa menangkis hunusannya yang mengenai pergelangan tangannya. Tidak cukup dalam.
DOR!
Kolonel sudah mengokang pistol miliknya. Itulah yang membuat orang itu tidak bisa melukai Agathar dengan serius. Dia harus menghindari tembakan Kolonel. Tapi sang detektif terengah-engah. Wajahnya kesakitan.
“Bocah, kau tarik detektif ke belakang, pulihkan luka-lukanya. Biar aku yang menghadapi orang ini. Kau tidak menepati kata-katamu sebelumnya, Killer.”
Pria itu menyeringai. Dia memang pria berpisau yang sebelumnya membabat habis zombie di lantai 1.
“Seharusnya kau tidak memercayai kata-kataku, Kolonel Dhar.”
“Memang tidak, aku akan pastikan kau dapat setidaknya enam belas tembakan, sebelum kau kehilangan kesadaran.”
“Yeah, aku memang brengsek dan licik. Tapi percayalah, kau tidak bisa melukaiku sama sekali sekarang.”
Alli pelan-pelan menarik tubuh Agathar. Kolonel melindunginya dari sentuhan Killer. Pembunuh itu tidak bisa mendekatinya, kecuali menerima peluru-peluru yang berdesing.
Orang itu mendapatkan lawan yang tangguh.
mozaik 72
Pertarungan Kecil
Killer bergerak dengan sangat gesit. Kolonel Dhar Amrulah, yang pernah berperang di hutan gerilya, harus mengakui hal tersebut. Pria itu bisa menghindari peluru-peluru yang ditembakkan oleh sang kolonel, seolah dia punya kemampuan bergerak sangat cepat.
“Hanya ini kemampuanmu, Kolonel?”
“Belum. Aku bahkan belum mengeluarkan setengah dari kemampuanku. Yang pertama harus kupastikan, kau tidak boleh menyentuh mereka berdua.”
Kini Kolonel berdiri tepat di depan Agathar dan Alli. Persis melindungi mereka.
“Terima kasih, kolonel.”
“Fokus bocah!” Kolonel malah memarahi Alli, “kalian berdua adalah korban terluka, aku sebagai tentara wajib melindungi orang-orang yang terluka.”
“Seharusnya kau tidak lengah, kolonel.”
Killer sudah muncul di hadapan Kolonel. Untung saja Kolonel Dhar bisa menghindar. Pisau itu tidak terkena tubuhnya. Kolonel bahkan berhasil mengalamatkan tendangannya.
BUKKK! Killer terlempar.
“Aku juga jago pertarungan jarak dekat jika kau minta pertarungan jarak dekat.”
“Sepertinya desas-desus tentang kehebatan kau memang bukan bualan ya, Kolonel. Baiklah. Mari kita coba lagi.”
Pisau kembali berkelabat. Killer menyerang dengan kecepatan tinggi. Kolonel fokus dengan pisaunya.
DOR! Peluru kedua. Dihindari.
DOR! Peluru ketiga. Juga dihindari.
“Kau tidak bisa menghindar kali ini. Pisauku datang.”
TRANG!
Sulit dipercaya, kolonel berhasil menangkis pisau itu dengan gagang pistolnya, kemudian menendang Killer sekali lagi. Pistol Kolonel terjatuh. Begitu juga dengan Killer.
“Aku berharap terlalu banyak padamu.”
“Aku menunggu saat pistol milikmu jatuh, barulah aku akan serius.”
“Kau takut?”
“Hanya lebih waspada. Kini aku bisa bertarung dengan lebih baik. Terimalah pisauku.”
Sebuah kesalahan besar! Kolonel kini terpojok dengan pisau terus berdatangan ke arahnya.
SRAT!
SRET!
SRAT!
SRET!
Kolonel terus menghindar. Tapi dia tidak bisa melakukan itu terus menerus. Lama-lama nafasnya terengah-engah. Killer tertawa melihat ini.
“Kenapa Kolonel? Kau mulai kelelahan. Astaga, kau sudah tua rupanya.”
“Diam kau.”
Alli berhasil mengobati luka di lengan Agathar di tengah situasi buruk tersebut. Dia mengeluarkan sebuah perban dari tas kecilnya. Sempat membuat Agathar bertanya-tanya. Bagaimana tas kecil ini bisa menyimpan begitu banyak benda. Alli bekerja dengan baik. Dia nampaknya berpengalaman.
“Kau sepertinya pernah bekerja pada sebuah badan paramedik?”
“Aku pernah jadi relawan palang merah beberapa tahun lalu.”
“Terima kasih, tanganku sudah bisa digerakkan. Sebaiknya kau mundur.”
“Eh apa?”
Agathar kini berdiri. Di depannya, Kolonel sedang menahan mati-matian, dengan menangkap tangan Killer, dua-duanya, agar tidak bergerak-gerak lagi. Agathar maju.
“Aku akan menolongmu, Kolonel. Mari kita pukul mundur dia.”
“Diam kau, tetap di belakangku. Aku akan menangani binatang buruanku.”
Karena menyahuti Agathar, Kolonel menjadi lengah sehingga Killer yang punya kegesitan di atas rata-rata, berhasil melepaskan dirinya. Pisaunya langsung mengarah ke perut Kolonel. Agathar bergerak tak kalah cepat, menarik tongkatnya.
BUKKK!
Agathar memukul Killer dengan tongkatnya. Di dagu.
“Hei, jangan mengintervensi pertarunganku.”
“Jangan khawatir, aku tidak akan tumbang hanya dengan satu pukulan.” Killer lekas bangkit, menyeka darah segar yang mengaliri bibirnya. Rupanya selain gesit, dia juga sangat tangguh. Tidak terlihat kesakitan sedikit pun.
“Aku akan tunjukkan kemampuan bertinjuku,” Kolonel mengeluarkan tinjunya.
“Dengan senang hati pisauku meladeninya.”
BUKK! Satu pukulan pertama tanpa basa-basi. Mendarat di perut. Killer tak sempat bereaksi.
BUKKK! Pukulan lainnya datang ke arah bahu kanan. Menjatuhkan pisau di tangan Killer.
BUKK! Satu pukulan lagi di dagu orang itu membuatnya sempoyongan. Dalam dua waktu yang singkat, dia terkena serangan di tempat yang sama. Cukup menyakitkan.
Mungkin sudah saatnya, dia mengundurkan diri.
mozaik 73
Isi Laci yang Membuat Teriak
“Kenapa dia tiba-tiba pergi?” Eternita yang sedari tadi memang hanya berdiam di belakang, mendatangi tiga rekannya.
Killer baru saja meloncat ke belakang dan mengundurkan diri secara teratur, kemudian menghilang di antara lorong-lorong. Kolonel hendak mengejarnya, namun Alli mencegah.
“Sudahlah, Kolonel. Tidak perlu buang-buang waktu mengejarnya. Firasatku mengatakan dia akan muncul lagi sewaktu-waktu di hadapan kita.”
Alli benar, dan itu kabar buruknya. Ketika dibantah seperti itu, dia malah nyengir.
“Aku percaya, kita semua bisa menghadapinya. Sekarang lebih baik kita melanjutkan perjalanan. Aku baru sadar, di sebelah sini masih ada pintu. Pintu kemana ini, Pria Berjas?”
Pintu itu lekas dibuka oleh Alli, nampak hanya ruangan kecil dibaliknya. Namun isinya ada banyak pakaian bergantung. Agathar menerangkan setelah itu, bahwa mereka telah membuka ruangan tempat Tuan Rumah menyimpan pakaian-pakaiannya. Alli hendak masuk, Agathar sempat menolak.
“Tidak ada apa-apa di situ. Hanya ruangan kecil.”
“Ayolah hanya melihat-lihat. Justru karena ruangan kecil kita harus menyempatkan melihatnya sejenak. Siapa tahu ada petunjuk yang bisa didapat.”
Di dalam ruangan itu, ada dua set lemari pakaian yang tingginya melebihi tinggi orang dewasa. Isinya penuh, pakaian semua. Terkunci, tidak bisa dibuka. Alli coba meraba-raba atas lemari. Siapa tahu ada kunci diletakkan di sana. Bukankah ini tempat yang tinggi. Agathar membaca maksud pikiran Alli, lalu menegurnya.
“Kuncinya tidak akan ada di sana. Tidak ada kebijaksaan dan kekuasaan di atas lemari.”
Sementara Kolonel, mendadak jadi pengagum baju. Dia berkomentar tentang mantel-mantel rapi dengan hiasan mahal yang tergantung di dinding.
“Kutaksir kancingnya ini terbuat dari emas. Dan hiasannya ini dibuat dari berlian.”
“Apa, berlian?” Alli yang sedari awal datang ke rumah ini untuk mencari hadiah pun tergugah. Lekas-lekas dia mendekat. Tapi rupanya kancing-kancing itu tidak bisa dilepas.
Alli pun ber-yahh kecewa. Dia tidak jadi mendapatkan souvenir.
“Kalau pun bisa dicabut, aku tidak akan membiarkan kau melakukannya, bocah.”
“Kenapa begitu, Kolonel? Kau mau membawanya untuk dirimu sendiri?”
Kolonel lantas tertawa melihat wajah terlipat Alli yang jengkel, “bukan begitu. Hanya saja, menghilangkan sentuhan emas dari mantel sebagus ini akan mengganggu keindahannya. Sangat disayangkan bukan? Mantelnya jadi tak bisa dipakai. Ini nyaris berlebihan, andai tidak dipakai oleh Jacob si Orang Kaya.”
“Sayangnya harus kukatakan,” Agathar sekali lagi menyela pembicaraan orang, “Jacob si Orang Kaya tidak akan pernah memakainya.”
“Kenapa?”
“Karena itu memang bukan gayanya. Jacob si Orang Kaya adalah orang yang cukup sederhana dalam berpakaian.”
“Lalu kenapa semua ini diletakkan di sini?”
“Kemungkinan ini milik Dr. Collins, bukan Jacob. Aku kenal kebiasaan orang kaya itu. Jadi kurasa ini bukan dia. Apalagi, Jacob tidak akan menyimpan jas putih dokter di dalam lemarinya dalam jumlah yang cukup banyak. Buat apa?”
“Jadi bisa ditarik kesimpulan, ini barang-barangnya Dr. Collins?”
Agathar mengangkat bahu, “sejauh yang bisa kupahami. Walau aku sendiri tidak tahu, siapa Dr. Collins itu sebenarnya.”
Pembicaraan asyik mereka itu harus disela dengan sebuah pekikan kecil, (namun karena ini ruangan kecil, jadi pekikan itu terdengar) dari Eternita yang sedang membuka laci. Ada satu lemari kayu di ruangan itu.
“Ada apa?” seperti biasa, Alli yang pernah menyongsong. Eternita berusaha mengontrol dirinya, menunjuk tenang ke arah laci yang terbuka.
“Siapa yang meletakkan benda segar ini di sini?”
Alli menelan ludah. Itu otak manusia? Ya, benar, terlihat seperti yang ada di film-film.
mozaik 74
Jangan Sesekali Menengok ke dalam Toilet
“Ini bukan benda segar,” Agathar memerhatikan dengan saksama, kemudian dia berpaling pada Alli. “Apakah kau membawa sarung tangan?”
Alli mengangguk, mengeluarkan sarung tangan dari dalam tas kecilnya. Sekali lagi membuat Eternita bertanya-tanya, sebenarnya sebesar apa tas yang dibawa Alli itu.
Agathar kemudian mengambil “otak” itu dengan sarung tangannya. Melihat-lihatnya seolah benda itu adalah penemuan arkeologis.
“Benda ini baru diletakkan di sini. Tidak lama sebelum kita tiba.”
“Bagaimana kau bisa mengatakan begitu, detektif?”
“Karena dinginnya masih terasa. Benda ini baru dikeluarkan dari lemari pendingin.”
Membayangkan “otak” itu ada di dalam lemari pendingin membuat Eternita hendak mual. Menjijikkan sekali. Siapa yang hendak menyimpan otak manusia ke dalam lemari pendingin? Itu yang ingin ditanyakan Eternita.
“Pertanyaan yang lebih menarik adalah, kenapa benda ini diletakkan di sini, persis sebelum kita datang.”
“Bukankah kita seharusnya mencari siapa dan bukan kenapa?”
“Tidak,” Agathar menggeleng, “siapa yang meletakkannya bukan hal penting, Si Cakar Tiga, atau Killer, atau siapapun itu, yang terpenting adalah motif. Kenapa dia meletakkannya.”
“Mungkin untuk menegaskan bahwa pemilik rumah ini memang bukan Jacob si Orang Kaya lagi.”
“Sudahlah. Aku punya pertanyaan yang lebih baik,” kata Alli, “kenapa kita harus repot-repot mengurusi benda itu. Letakkan kembali di dalam laci, mari kita fokus mencari petunjuk selanjutnya.”
“Aku suka ide itu,” sahut Kolonel bersemangat. Agathar mengalah, Alli sepertinya benar juga, mereka tidak perlu mencari hal-hal yang tidak terlalu penting dan barangkali isi laci ini salah satu hal yang tak penting itu.
Namun, sebelum meninggalkan ruangan kecil itu, ada satu hal lain yang menarik perhatian Eternita. Yaitu sebuah pintu yang nampaknya menghubungkan kamar pakaian ini dengan ruangan lainnya. Di atas pintu itu ditulis dengan spidol, sebuah penanda.
“Toilet”
Eternita hendak melangkah mendekat ke pintu itu, namun Alli buru-buru melarang. Menangkap tangan Eternita.
“Jangan, jangan membuka ruangan itu.”
“Kenapa denganmu?”
“Peraturan pertama dalam film horor, jangan buka toiletnya. Karena toilet adalah sarang setan.”
“Kau terlalu banyak menonton film.” Eternita menyergah gusar, memutar tangannya agar bisa lepas dari pegangan Alli. “Jangan seenaknya memegang tanganku.” Dia bicara denga gayanya yang mencibir.
“Eternita, aku serius,” Alli mencoba menahannya, “jangan buka toilet itu.”
“Siapa bilang aku akan membukanya. Tolong jangan ceramahi aku dengan takhayul.”
“Kau sendiri takut bukan, keriting.”
Kalimat itu langsung membuat Eternita naik pitam. Tapi dia segera berusaha menguasai dirinya. “Anda sedang memancingku untuk marah ya, Kolonel. Harus berapa kali kutegaskan, aku ini bukan penakut.”
“Kalau begitu, bukalah pintunya.” Kolonel menyeringai.
“Jangan.” Alli mencegah dengan mimik ketakutan.
“Selain penakut, kau juga percaya pada takhayul ya.” Eternita kembali pada senyuman mencibirnya. Kemudian tanpa rasa gentar, dia meraih kenop pintu dan membukanya. Dalam detik-detik lambat.
TIGA.... Surai itu mulai terlihat tapi Eternita yang terlalu percaya diri, tidak menyadarinya.
DUA... Cakar-cakar tajam itu terlihat samar, tiga jumlahnya di masing-masing tangan, tapi Eternita masih abai pada keberadaannya.
SATU.... Pintu terbuka sepenuhnya, dan Eternita sempurna menatap sosok yang berdiri tepat di belakang pintu. Ketika pintu dibuka, Eternita berhadapan langsung dengannya. Aura kengeriannya, membuat Eternita mematung sesaat.
“Kenapa... dia... ada... di sini....”
Kemudian Alli dan Eternita terpekik bersamaan.
“AAAAAAAA!”
Makhluk itu sudah meloncat ke hadapan Eternita dengan gerakannya yang sangat cepat.
“Dia...” Agathar yang baru menoleh saat mendengar teriakan, juga ikut tertegun sejenak, begitu juga dengan Kolonel. Gagap meraih senapannya.
“SI CAKAR TIGA!”
mozaik 75
Mengejar Si Cakar Tiga ke Ruang Billiar
Itu makhluk yang amat menyeramkan. Baru pertama ini mereka berempat melihat langsung dengan Si Cakar Tiga secara penuh. Itupun dalam waktu yang sangat sebentar. Mereka tidak sempat mengenali secara penuh makhluk itu.
Surai panjang yang menutupi wajahnya, tiga cakar di masing-masing tangannya, dan otot-otot yang besar di tangan, lengan serta dada dan perutnya, berlukis tiga loreng harimau di antara rusuknya, serta bagian bawah tubuhnya yang... masih ditutupi celana.
Makhluk itu lari tunggang langgang. Dengan kecepatan penuh, tanpa memedulikan siapapun, dia melesat menuju ke kamar tidur dan kemudian hendak keluar menuju lorong. Saat itulah Agathar tersadar.
“Makhluk itu, tidak hendak menyerang kita. Dia justru terkejut. Sepertinya kita telah membongkar tempat persembunyiannya.”
Kolonel terlambat mencabut senapannya, tapi dia segera mengejar Si Cakar Tiga ke luar, menuju lorong.
“Aku tidak akan membiarkan kau lolos, Makhluk Buas!”
Agathar balas meneriakinya. “Kolonel, jangan bergerak sendiri,” namun Kolonel tidak hirau. Sadar kolonel berada dalam bahaya jika mengejar makhluk itu seorang diri, Alli memerintahkan Agathar untuk menyusul Kolonel.
“Tapi bagaimana dengan kalian?”
“Aku akan menolong Eternita. Kau bantu Kolonel.”
Agathar mengangguk. Baiklah. Lalu dia berlari mengikuti kolonel.
Tinggallah Alli dan Eternita di ruang pakaian. Gadis itu masih lemas. Pengalaman bersitatap langsung dengan makhluk menyeramkan itu, menggoyahkan mentalnya.
“Kenapa dia bisa ada di sana...” Eternita bicara masih dengan sedikit lemas.
“Makanya aku sudah bilang agar jangan sembarangan membuka toiletnya.”
“Mana kutahu kalau makhluk itu bersembunyi di sana.”
Alli mencoba berdiri, tadi dia juga ikut lemas ketika Si Cakar Tiga lewat di depan matanya. Kemudian Alli mengulurkan tangannya pada Eternita.
“Ayo, kamu masih kuat bukan? Aku tahu ini hari yang berat untukmu.”
“Kau tidak sedang mengatakan aku pengecut bukan? Karena jelas aku bukan pengecut seperti kau.”
Alli tersenyum lebar, “tidak, aku tidak bilang kamu pengecut, Eternita. Hanya ya, lima belas menit ke belakang, barangkali sangat menguras mentalmu. Berhalusinasi, melihat pembunuh, kemudian melihat genangan darah, otak manusia di dalam laci dan terakhir melihat makhluk itu.”
“Aku masih merasa kau hendak mengejekku balik.”
“Ayo kita susul Kolonel dan pria berjas. Kamu masih kuat berjalan bukan?”
“Tentu saja.”
Kolonel dengan usia yang sudah “setua” itu, masih bisa bergerak gesit dan cepat. Larinya tangkas. Kolonel ternyata bisa mengikuti jejak Si Cakar Tiga. Agathar yang lebih muda usianya, terengah-engah mengejar kolonel.
“Tunggu kau!” Kolonel meneriaki makhluk bersurai yang lari begitu cepat di depannya, namun tentu saja makhluk itu tidak merespon.
Dia tidak bisa mengeluarkan suara, pikir Agathar. Sebenarnya makhluk apa dia itu, masih belum jelas.
Si Cakar Tiga kemudian masuk ke pintu pertama yang ditemuinya di dalam lorong. Ada simbol billiar di depan pintu. Di ruangan itulah Si Cakar Tiga memekik kencang, sampai Kolonel dan Agathar yang masih tertinggal di lorong, mendengar suaranya itu.
“KIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK!!!!!”
Suaranya itu menggema ke seluruh rumah.
Membuat Alli, Eternita dan bahkan Kotaruk dan Ayana yang masih ada di lantai 1, merinding.
“Itu suara Si Cakar Tiga.”
Kolonel dan Agathar tidak memedulikan suara itu, mereka langsung merangsek masuk ke ruangan billiar, namun saat sampai di sana, mereka telah disambut oleh musuh baru.
mozaik 76
Zombie Berdarah
Kemana mayat-mayat yang darahnya bertumpahan di ruang keluarga ditaruh? Ketika menengok ke Ruangan Billiar, Agathar dan Kolonel akhirnya tahu jawabannya.
“Jadi mereka sudah berubah jadi zombie.” Kolonel menyeringai. Di depannya kini ada belasan mayat hidup dengan mata memerah, mulut berbusa dan tubuh penuh luka. Mereka adalah zombie.
“Lupakan zombie-nya, Kolonel. Kita kehilangan jejak Si Cakar Tiga.”
Kolonel tertegun sebentar. Benar juga. Bukankah tadi mereka mengikuti jejak Si Cakar Tiga. Hei sekarang, kemana dia lari. Di tengah-tengah ruangan ini cuma ada zombie. Si Cakar Tiga raib entah kemana.
“Bagus, sekarang dia menghilang. Aku curiga dia memang sengaja memancing kita ke sini.”
“Kurasa,” Agathar melangkahkan kaki masuk ke ruangan itu, tongkatnya dia genggam dengan erat, “kita tidak punya banyak pilihan selain bertarung.”
Senapan di tangan Kolonel tentu saja menyetujui usulan tersebut. Si pemiliknya sendiri sudah panas.
DORRRR
DORRRRR!
DOORRR!
Kolonel melepaskan tembakan-tembakan beruntun. Senapannya menerjang dan merobek tubuh para zombie yang memang sudah lemah, lunak.
“Kau tetap di belakangku, detektif.”
“Tidak, aku akan ikut maju. Jumlahnya terlalu banyak untuk kau robohkan dengan senapan.”
“Kau tidak lihat!” kolonel berseru, tak terima, “aku sudah menjatuhkan enam. Mereka hanya 17 jumlahnya. Aku sudah menjatuhkan sepertiga. Aku bisa menangani ini.”
“Kau melupakan satu hal,” ucap Agathar, “para zombie itu sangat tangguh. Mereka tidak bisa dijatuhkan dengan mudah.”
Benar saja, sebagaimana sifat alamiah dari makhluk mayat hidup berjalan itu, para zombie yang sudah ditembak jatuh oleh Kolonel, bisa berdiri lagi. Siap menyerang lagi. Untungnya mereka gerak lambat.
“Kau jangan ikut campur, detektif. Dengan tanganmu yang terluka itu bertarung, kau hanya merepotkan aku saja.”
Kata-kata itu membuat Agathar berdecak. Memangnya cuma kolonel yang bisa bertarung. Dia juga bisa.
DORRRR!
DORRRR!
DORRRRR!
DORRRR!
“Aku tak peduli mereka bisa bangkit berapa kali, akan kutembak tubuh mereka sampai tercerai berai. Aku akan menangani ini.”
Megalomania, pikir Agathar. Akhirnya Agathar membiarkan kolonel mengurus zombie-zombie itu, sementara dia memerhatikan keadaan sekeliling. Ruangan billiar ini memiliki dua buah meja besar di tengah-tengah ruangan. Meja billiar. Satu buah lemari pendingin, dan beberapa pasang kursi untuk duduk. Tapi hei, pintu di sebelah sana itu, pintu kemana? Agathar menengok ada satu buah pintu yang terletak agak ke belakang.
Mungkin Si Cakar Tiga melarikan diri ke sana. Agathar harus memeriksanya.
“Kau alihkan perhatian zombienya, aku harus mengurus hal lain,” ucap Agathar, dan kali ini dia melangkah tanpa ditahan oleh Kolonel. Dia berlari melingkar, mengambil sisi-sisi ruangan itu, menghindari para zombie. Sementara Kolonel terus menembaki.
“Aku mendengar suara tembakan,” Alli dan Eternita tiba di depan ruang billiar, “apakah Si Cakar Tiga ada di dalam sana.”
“Diam dulu kau bocah, para zombie ini sebenarnya lemah, tapi mereka menyebalkan.”
“Zombie?”
Eternita menengok ke dalam, melihat belasan zombie yang kondisinya mengenaskan. Sudahlah badan mereka penuh luka bekas cakaran tiga memanjang, kini anggota tubuh mereka tak sempurna lagi karena telah ditembaki oleh Kolonel Dhar.
“Mereka kebal efek cahaya lampu ya?”
“Mana kutahu, keriting. Tapi kau lihat, mereka menyebalkan.”
“Ya, kau juga menyebalkan, Kolonel.”
“Tutup mulutmu. Atau aku akan melemparkanmu ke tengah kerumunan zombie itu.”
“Mereka bukan pasukan tempur yang bisa diandalkan,” gumam Eternita, “jalan mereka lambat sekali.”
“Hei, apa yang dilakukan Pria berjas di sana?”
mozaik 77
Dek Observasi
Berkat kemampuan Kolonel dalam menembak, Agathar berhasil mencapai pintu yang dimaksudnya dengan selamat. Para zombie tidak mengejarnya. Mereka fokus mendatangi kolonel.
Berkat kemampuan Kolonel pula, para zombie itu perlahan-lahan, meski sangat menjengkelkan karena mereka terus hidup, bisa dilumpuhkan. Eternita yang berdiri di belakang Kolonel saja, berkali-kali bergidik melihat penampilan zombie-zombie itu.
“Seandainya dalam gelap, bertemu dengan mereka bisa menjadi mimpi buruk.”
“Dalam terang atau gelap, selama aku bisa melihat mereka, aku akan membereskan mereka.”
“Kolonel sama sekali tak merasakan takut?”
“Sudah kubilang kalau aku sudah membuang rasa takutku di hutan ketika perang gerilya. Aku tak sama seperti kalian, para penakut.”
“Hei, aku bukan penakut.” Eternita langsung protes. Mungkin di antara kelompok mereka, cuma Alli yang terang-terangan menyatakan dia takut. Tapi nyatanya sekarang, Alli yang penakut itu, menyeberangi ruangan, melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan dan mendatangi Agathar.
Alli terlihat melangkah dengan tenang dan elegan.
“Apa yang kau lakukan di sini, Pria berjas?”
“Si Cakar Tiga menghilang tepat ketika dia masuk ke ruangan billiar ini. Kurasa dia kabur lewat pintu ini.”
“Kau mau membuka pintu itu?”
Agathar mengangguk.
“Kau yakin? Bagaimana kalau...”
“Bagaimana apanya?”
Maksud Alli, bagaimana jika makhluk Si Cakar Tiga itu tiba-tiba meloncat dari balik pintu. Seperti yang terjadi sebelumnya pada Eternita di Ruang Pakaian.
“Yang jelas, aku tidak akan berteriak ketakutan, karena aku bukan penakut.”
Padahal Eternita berteriak, tapi teriakannya tersamarkan karena efek teriakan Alli yang lebih keras. Kolonel hendak menyinggung, tapi Eternita buru-buru menangkis. “Tidak, tadi itu aku hanya terkejut.”
Lalu Agathar membuka kenop pintu. Alli di belakangnya bersiap-siap, menutupi wajahnya. Pintu terbuka dengan sempurna. Agathar melangkah masuk.
Ruangan itu kecil saja. Hanya satu kali dua meter. Ada jendela besar di dindingnya. Dan ada sebuah teleskop tergantung di dekat jendela tersebut. Selain itu, tidak ada apa-apa, selain ruangan kosong, dan buntu.
“Bagaimana bisa? Ruangan ini tidak ada isinya. Lalu bagaimana makhluk itu melarikan diri?” Tangan Agathar meremas kenop pintu. Kesal dan gelisah. Misteri di rumah ini semakin bertambah saja.
Bila mengesampingkan kekesalan Agathar, ruangan sempit ini cukup menarik. Jelas teleskop di jendela itu adalah hal yang paling menarik perhatian. Keberadaan benda itu, menunjukkan ruangan apa ini.
“Ini dek observasi.”
Itu Eternita yang bicara, bukan Agathar. Gadis itu menjelaskan bahwa Dek Observasi Jacob si Orang Kaya terkenal di Kota J. Banyak orang yang ingin sekali berada di sana, atau banyak juga yang ingin punya dek observasi sendiri di rumahnya. Bisa mengamati bintang secara bebas.
“Apa kau juga ingin mengamati bintang,” tawar kolonel, pada Eternita.
Eternita sontak merasa canggung dengan tawaran kolonel tersebut.
“Ayolah, jangan malu-malu. Aku bisa membantu mengarahkan. Dulu di markas militer, aku pernah ikut satuan navigasi, kami tahu pemetaan bintang-bintang.”
“Bicara soal bintang, apakah petunjuk tentang tempat tertinggi ada di sini?” Alli mengamati seisi ruangan.
Agathar menolak pertanyaan itu, tidak ada apa-apa di ruangan kosong ini. Ini hanya dek observasi. Bukan penyimpan tempat tertinggi.
mozaik 78
Balkon, Tujuan Selanjutnya
Selesai memeriksa dek observasi dan tidak menemukan apa-apa yang signifikan, Alli bersama yang lainnya kembali beranjak ke tempat selanjutnya. Masih di lantai 2, kini mereka menyusuri lorong dan sampai di balkon rumah itu.
Balkon yang luas, Bahkan sepuluh orang bisa nongkrong sambil menyaksikan matahari terbit di atas balkon tersebut.
Dari atas balkon lantai 2 itu, mereka bisa menatap area wahana karnaval dengan bebas. Balkon ini cukup tinggi. Hampir 7 meter dari atas tanah. Andai di siang hari, pasti menyenangkan melihat pemandangan di sana. Sayangnya sebaliknya.
“Ini pukul 2 dinihari,” Alli menatap dengan tajam ke arah wahana karnaval yang gelap di depan sana.
“Kau melihat apa?” Eternita menegur Alli yang terlihat sangat serius.
“Bukan apa-apa. Tidak ada yang bisa dijangkau dengan jarak pandang. Semuanya gelap.”
“Ya, dan di sini juga dingin. Apa yang kita cari di sini?” sejenak kemudian, Eternita bersedekap. Angin dingin semilir pukul 2 dinihari menembus baju seragamnya yang terbilang tidak terlalu tebal.
“Apakah petunjuk itu bisa kita temukan di sini? Tempat-tempat tertinggi?” Alli menoleh pada Agathar.
Agathar memeriksa beberapa tempat. Sekali dia pinjam senter milik Alli untuk memeriksa salah satu sudut yang cukup gelap dan tidak terjangkau sinar lampu. Namun di tempat itu, tidak ada apa-apa.
“Petunjuk itu juga tidak ada di sini sepertinya. Lagipula, ini tempat yang terlalu terbuka untuk menyembunyikan sebuah petunjuk. Aku bisa membayangkan sebuah kunci bisa saja terjatuh tertiup angin jika ditaruh di tempat seperti ini.”
Kolonel maju, ikut melihat-lihat pemandangan. Sedari tadi dia hanya bersandaran di dinding. “Aku setuju. Ini hanya balkon biasa. Mungkin dengan bonus ukiran-ukiran naga yang ini saja.”
Mereka berempat kini sama-sama menatap ke depan, sama-sama berdiri tepat di depan pagar balkon. Agathar dan Alli sama-sama memegang pagar erat dengan tangannya, Eternita bersedekap karena kedinginan, sementara Kolonel Dhar biasa saja.
“Kenapa kita masih bersama sampai di sini?” Tiba-tiba Eternita yang bertanya. Satu pertanyaan yang membuat semuanya tertegun. Agathar dan Kolonel bahkan terlihat tidak nyaman.
“Sudah jelas, karena kita sama-sama ingin keluar dari tempat ini.” Alli yang menjawab, optimis sekali. Nada optimisnya itu bisa dirasakan langsung oleh Eternita yang berdiri di sebelahnya.
“Bukan. Itu alasan yang kau karang sendiri. Cuma kau yang meyakini begitu adanya.”
“Mungkin, pria tua itu benar,” lamat-lamat Kolonel bicara, suaranya terdengar bersahabat, pelan sekali, “kita memang disatukan dalam satu cerita bersama.”
Agathar mendelik mendengar kalimat barusan. Ayolah, sejak kapan Kolonel bersikap konyol.
“Walaupun kalian tidak mengakuinya, kalian menyadari dalam hati, bahwa kita, membutuhkan satu sama lain, dan semuanya tidak akan sama kalau kita berpisah.”
Alli tersenyum simpul. Menatap ke arah jauh. Matanya yang tajam itu, berkilat bersemangat.
“Biar kutebak, sekarang kau merasa heroik selayaknya seorang pemimpin.”
“Aku memang pemimpinnya.”
“Kau hanya bocah. Bocah kemarin sore. Entah apa maksud Pak Tua itu menunjuk kau sebagai pemimpin. Aneh sekali.”
“Dan lebih aneh lagi karena kau mematuhinya, kolonel.” Agathar menyeringai.
“Ah iya, aku juga merasa aneh. Mungkin sesekali kupukul juga kau kalau meneriakiku seperti tadi, bocah.”
Respek dari kolonel Dhar, pria norak ini, bukan pria biasa. Agathar membatin.
Alli memutuskan mengalihkan pembicaraan, “ngomong-ngomong, berapa banyak orang yang sudah kita bantai?”
mozaik 79
Tempat Ibadah
“Kurasa tidak baik jika kita berada di balkon ini terlalu lama, ketua,” ucap Agathar, tentu dengan senyum mengejek. Mana mau dia sebenarnya memanggil Alli sebagai ketua.
“Kurasa kau benar, Pria Berjas, apalagi Eternita sepertinya kedinginan sekali.”
“Hei, aku masih bisa bertahan lebih lama,” protes Eternita, meski tubuhnya sendiri justru berkebalikan, sudah mulai menggigil.
“Dan kau masih memanggilku dengan panggilan yang sama sekali tidak menarik itu.”
“Kau juga tidak mau memberitahukan namamu, detektif.”
“Aku memang tidak berminat.”
Eternita membatin, kalau dia memang tidak berminat, maka Eternita juga tidak akan membocorkan. Padahal Eternita tahu identitas Agathar sebagai detektif kondang.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan. Mari kita lihat apa yang ada di sisi sebaliknya di lantai dua ini.”
Dari apa yang Alli pahami, lorong lantai 2 tidak seperti lantai 1 yang bercabang-cabang banyak. Lorong lantai 2 jauh lebih sederhana. Hanya lurus. Mengelilingi semua ruangan yang ada. Jadi masih ada satu lorong panjang dan beberapa ruangan lagi yang belum mereka cek.
Ruangan pertama yang mereka temukan setelah menyeberangi lorong ke sisi satunya, adalah sebuah ruangan yang cukup aneh. Ruangan itu bersih sekali. Nyaris tidak ada apa-apa di dalamnya. Hanya ada selembar karpet yang cukup tebal, membedakan ruangan ini dengan ruangan-ruangan lainnya di dalam rumah ini. Oh ya, satu lagi yang membedakan adalah bentuk pintunya. Berukir indah dan terbuat dari kayu yang sangat kokoh. Jauh berbeda dengan pintu-pintu lainnya yang ada di ruangan ini.
Apalagi pintu toiletnya.
Mereka masuk ke dalam rumah, melihat-lihat.
Alli, kemudian Agathar, kolonel dan terakhir masuk, Eternita, menutup pintu sampai terdengar bunyi klok!
“Ruangan apa lagi ini?” Alli bertanya, pada Agathar yang tahu seluk beluk rumah.
Agathar coba mengingat-ingat. Ruangan apa ya ini. Sepertinya ruangan ini juga merupakan salah satu ruangan yang dibersihkan, sehingga Agathar tak mengenalinya lagi. Tapi jika mengingat posisinya, ini dulunya adalah ruangan tempat ibadah.
“Tempat ibadah?”
“Ya, orang-orang yang mengunjungi Jacob si Orang Kaya biasa menggunakannya jika waktu ibadahnya tiba.”
“Baiklah, kita tidak perlu membahasnya, dan sebaiknya kita segera pergi. Ini ruangan kosong yang aneh, dengan pintu yang bagus.”
“Ruangan kosong... aneh... pintu yang berbeda... tunggu dulu.” Agathar tertegun, kemudian dengan gerakan sangat cepat dia melesat ke pintu yang tertutup setelah Eternita tadi terakhir masuk ke ruangan putih bersih ini.
Pintunya tidak bisa dibuka. Terkunci. Agathar berdecak berkali-kali.
“Ada apa?” Kolonel bertanya. Kebingungan melihat Agathar yang terlihat putus asa mencoba membuka pintu.
“Pintunya dikunci.”
“Apa!” Alli sontak tersentak.
“Ya, kita terkunci di dalam sini. Dan seharusnya aku sudah memprediksi hal ini sejak melihat bentuk pintunya.”
“Kau jangan bercanda. Bagaimana bisa kau memprediksinya?”
“Ruangan ini adalah ruangan penyekapan. Makanya tidak ada apa-apa di dalamnya.”
Penyekapan? Kolonel langsung tertarik. “Minggir kau, detektif. Tidak ada satu orang pun yang bisa menyekap Kolonel Dhar. Memangnya mereka tidak tahu, aku pernah tersesat di hutan dan bisa bertahan hidup. Biar aku yang buka pintunya.”
“Dengan segala hormat, Kolonel. Disekap di sebuah ruangan berbeda dengan tersesat di dalam hutan.”
“Kenapa ada yang tega melakukan ini pada kita?”
Agathar menggeleng, “pertanyaan bagus, tapi aku lebih tertarik untuk mencari tahu, siapa yang melakukannya. Padahal kita tahu, di sini, cuma ada kita berempat.”
“Cuma ada kita berempat!” ulang Alli.
Apa itu berarti....?
mozaik 80
Sang Tuan Memutuskan Turun Tangan
“Apakah kita tidak bisa mendobrak pintu itu?” Alli bertanya, rona-rona kepanikan sudah mulai terlihat di wajahnya.
Agathar menggeleng, dia sudah berusaha sejak tadi. Pintu ini sangat kokoh. “Karena alasan itulah, pintu ini dibuat lain daripada yang lain.”
“Kolonel, tubuhmu yang paling besar, kau juga yang paling kuat di antara kita, aku yakin. Bantu Agathar mendobraknya.”
Namun sayang sekali, gabungan kekuatan Agathar dan Kolonel belum bisa mendobrak pintu itu. Kuat sekali penguncinya, kokoh struktur kayunya.
“Tenang, tenang. Kita hanya terjebak sebentar. Lagipula ini satu-satunya pintu di ruangan ini dan sekarang terkunci. Makhluk mengerikan itu sekalipun, tidak bisa masuk ke sini.”
“Bukan itu yang aku khawatirkan,” Agathar mendesis, “tapi itu.”
Semua mengikuti arah tunjukan Agathar. Ke arah ventilasi udara. Tapi tidak ada yang paham.
“Apa maksudmu dengan ventilasi udara?”
“Bodoh. Gas beracun bisa masuk dari sana kapan saja. Kita sudah terjebak. Dalam lima belas menit, jika kita tidak bisa keluar, kita layak khawatir dengan keselamatan kita.”
Eternita seketika panik. “Kalau begitu aku harus keluar. Aku tidak mau mati di sini.”
“Aku juga, nona.”
“Minggir kau sekarang, detektif. Biar aku coba membuka pintunya.”
“Kau jangan bercanda. Aku dan kolonel saja tidak bisa. Jangankan itu, datangkan lima orang yang besar seperti kolonel, juga tetap tidak akan bisa membuka pintu ini secara paksa. Mereka hanya akan berlagak bodoh.”
“Apa katamu!”
“Tenang,” Alli melerai mereka, “tetaplah tenang. Kita cari solusinya. Pasti masih ada solusinya.”
“Tolong jangan menambah banyak orang bodoh lagi, atau aku akan mengamuk.”
“Kau kehilangan kontrolmu, Pria Berjas. Kau kehilangan kontrol.”
Alli mengguncang-guncang tubuh Agathar. Membuat pria itu tersadar. Matanya kembali jernih. “Astaga, jangan katakan aku mulai berhalusinasi.”
“Gas itu mulai bekerja ya.”
“Mungkin kita masih punya waktu. Lima belas menit sebelum kehilangan kewarasan sepenuhnya. Manfaatkan waktu yang tersisa, jangan pernah menyerah. Walau hanya untuk menulis surat wasiat!”
Lelucon itu membuat Eternita muntah terkejat-kejat. Efek gasnya sudah dimulai.
Sudah waktunya aku turun tangan....
“Surat wasiat ya? Kurasa tak perlu sampai sejauh itu, ketua yang kharismatik.”
Tiba-tiba saja, ada sensasi angin puting beliung menerpa tempat itu, diikuti dengan cahaya yang berpendar terang. Dari tengah ruangan, pria berjanggut putih lebat itu muncul. Tentu saja Alli mengenalnya.
“Sang Tuan!”
“Kalian terkurung di sini ya?”
Mereka mengangguk, Alli membenarkan dengan ucapan.
“Kalian hampir bertaruh dengan maut ya?”
“Cepat selamatkan mereka, Sang Tuan!” pinta Alli.
“Ada yang takut?” Sang Tuan tak bergeming, malah bertanya. Namun sorot mata mereka semua tidak mengatakan mereka takut dengan situasi ini.
“Sang Tuan, aku mohon!” Alli kembali berteriak.
“Baiklah, baiklah. Aku akan menyelamatkan kalian semua. Tapi aku hanya bisa membawa empat orang termasuk diriku. Bagaimana?”
Kolonel, Agathar dan Eternita saling pandang. Alli tetap fokus pada Sang Tuan.
“Pria tentara itu tak berguna, biarkan dia di sini.” Eternita langsung berteriak. Tanpa tedeng aling-aling, membuat Kolonel melotot ke arahnya.
“Kau saja yang tinggal, keriting tak berguna!”
Melihat tingkah kedua orang itu, Sang Tuan tergelak. “Kalian benar-benar lucu. Bagaimana menurutmu, detektif?”
“Keluarkan kami berempat. Kau bilang hanya empat orang bukan. Biarkan saja kau tetap di tempat ini. Toh kau juga tidak terpengaruh dengan gas beracun ini.”
Sang Tuan tergelak semakin keras. “Astaga, benar-benar cerdas. Tapi kau tega sekali, detektif. Kau hendak mengorbankan aku?”
“Tidak. Karena kau tidak mati, jadi aku tidak mengorbankan siapapun.”
“Baiklah. Bagaimana menurutmu, Alli?”
Di saat itulah, Alli yang sudah sangat lemas, bangkit, meraih tangan sang Tuan dan berkata sungguh-sungguh.
“Selamatkan mereka bertiga. Tak perlu pedulikan tentang aku. Aku mohon padamu.”
Sang Tuan kini tersenyum arif. “Itulah yang ingin kudengar darimu, Alli. Baiklah, aku akan menyelamatkan kalian berempat.”
Cahaya berpendar, dan entah bagaimana tubuh mereka terangkat, menghilang sekejap dan tiba di lorong luar lantai 2.
mozaik 81
Diskusi di Depan Peta
“Bantuanku cukup sampai di sini saja ya. Sisanya kuserahkan pada kalian.”
“Terima kasih, Sang Tuan.”
“Tetaplah memercayai rekan setimmu, Nak.” Sang Tuan berpesan pada Alli, sebelum kemudian cahaya berpendar dan pusaran angin itu membawanya, menghilang.
Sang Tuan menurunkan mereka berempat di lorong, tepat di depan sebuah peta yang tertempel di dinding. Itu peta denah rumah Jacob si Orang Kaya. Dari peta tersebut, terlihat bahwa rumah ini memiliki banyak sekali ruangan.
Petanya ada tiga bagian. Masing-masing menggambarkan setiap lantai yang ada di dalam rumah. Lantai 1, lantai 2, dan etichs alias sebuah ruangan antara plafon lantai 2 dengan atap. Keberadaan ruangan ethics itu adalah sentuhan khas rumah bergaya Eropa.
Mereka mengamati peta itu dengan saksama.
“Kita ada di sini ya?” Eternita menunjuk salah satu posisi di lantai 2. Agathar membenarkan, mereka ada di dekat ruangan ibadah. Peta ini cukup akurat.
“Di lantai 1, apakah ada ruangan yang belum kita sentuh, Pria Berjas?”
“Kamar Edine, orang tua Jacob, letaknya di sana.” Agathar menunjuk salah satu petak denah.
“Yang di sini?” Alli menunjuk ruangan di sebelah kiri kamar Edine, kalau dari lorong masuk Anjungan Kiri, ruangan itu ada di sebelah kiri juga.
Agathar mencoba mengingat-ingat, tapi dia tidak ingat itu ruangan apa. Malah dia mengingat di situ tidak ada ruangan sama sekali.
“Boleh kita tandai ruangan yang belum kita datangi.”
“Aku rasa tidak ada yang menarik juga di sana. Itu hanya kamar orang tua.”
“Kalau di lantai 2, ada yang belum kita datangi?”
“Dua ruangan ini bukan?” Eternita menunjuk dua petak yang berada di sebelah kiri ruangan ibadah.
Alli menjulurkan kepalanya ke lorong, kembali menengok pada peta. Seolah berusaha membandingkan.
“Ada apa?”
“Agak aneh. Di sini tergambar dua buah petak ruangan. Tapi di sana hanya ada satu pintu.”
“Mungkin pintunya ada di dalam ruangan satunya.”
Alli mengangguk. Itu satu kesimpulan yang masuk akal.
Agathar meminta Eternita untuk mencatat baik-baik ketiga bagan dalam peta. Eternita mengambil note book nya, dan mencatat dengan baik. Agathar sendiri mencoba mengingat peta itu dengan ingatannya yang kuat.
mozaik 82
Tiga Gembok
“Jadi apa rencana kita?” tanya Kolonel setelah Eternita selesai menyalin peta.
“Melihat dua ruangan yang tersisa di lantai 2, kemudian baru pergi ke etichs. Bagaimana menurutmu, Pria Berjas?”
“Kukira itu rencana yang bagus.”
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Kabar baiknya, tidak ada lagi gangguan sampai mereka menyelesaikan urusan di lantai 2 ini.
Alli benar, hanya ada satu buah pintu saja yang tersisa untuk mereka masuki, jadi ke situlah mereka menuju. Agathar yang membukakan pintunya.
“Pintu yang biasa. Itu berarti kita tidak akan dikurung hidup-hidup lagi bukan?” Alli menyeringai.
“Ngomong-ngomong soal dikurung, aku masih penasaran,” kata Kolonel, “siapa sebenarnya yang mengurung kita di ruangan putih tadi.”
“Aku sudah memikirkan hal itu sejak tadi,” sahut Agathar, “tapi sulit untuk memprediksi. Seharusnya tidak ada orang di sana selain kita, jadi opsinya hanya...”
“Itulah yang kumaksud,” potong Kolonel, Agathar mendengus karena kalimatnya dipotong, “tidak ada orang lain selain kita, berarti pelakunya ada di antara kita berempat. Dengan kata lain, ada seorang pengkhianat di sini.”
Semua kompak melotot ke arah kolonel. Alli mengusap wajah. Ini tuduhan yang berbahaya bagi kesatuan timnya. Eternita yang biasa paling “buka-bukaan” langsung menuduh ke arah kolonel.
“Kenapa harus aku yang kau tuduh heh, apa buktinya?” kesal Kolonel dibuatnya.
“Lantas aku harus menuduh siapa?”
“Kau bisa menuduh bocah itu, atau detektif, atau jangan lupa, kau sendiri bisa jadi pelakunya.”
“Kau balik menuduhku. Apa buktinya.”
“Huft,” Agathar mengusap wajah juga. Sepertinya dia perlu membiasakan diri dengan pertengkaran Kolonel dengan Eternita. Alli sendiri coba melerai pertengkaran itu dengan membelokkan pembicaraan.
“Mari kita cek pintu itu.” Alli menunjuk.
Seperti apa yang diprediksi oleh Alli, ruangan sebelah hanya dihubungkan dengan satu pintu ini saja, tidak ada pintu depannya di lorong.
“Tidak ada apa-apa di situ.” Agathar berkata hambar.
“Tidak apa. Mari kita lihat saja.” Alli tersenyum, lihatlah paling tidak mereka berhenti berdebat.
KREK! Alli membuka pintunya.
Agathar benar, tidak ada apa-apa di ruangan itu. Kosong melompong. Kecuali sebuah pintu besi yang terlihat kontras dengan dinding ruangan yang serba putih.
Buru-buru mereka mendatangi pintu besi tersebut.
Itu sebuah pintu yang digembok dengan tiga buah kunci gembok besar. Tiga buah gembok sekaligus, berjejer secara vertikal, dari atas ke bawah. Keberadaan tiga gembok itu memberikan kesan bahwa ruangan itu tidak akan bisa dibuka meski didobrak oleh sepuluh pria kekar sekalipun.
“Di peta, ruangan apa yang ada di balik pintu ini?” tanya Kolonel.
“Tidak ada ruangan, seharusnya.” kata Eternita, dia membuka buku catatannya.
“Itu aneh sekali.” Agathar memegang dagu.
“Mungkin ruangan kosong, tidak penting karena tidak ditulis di peta.”
“Aku yakin sekali itu bukan ruangan kosong. Tapi bukan ruangan terlarang. Kita pasti akan membuka gembok-gembok ini nanti.” Alli berucap optimis.
Tiga gembok itu sangat menarik perhatian. Namun saat ini, Agathar tak punya gagasan untuk mengaitkannya dengan sesuatu.
“Mari aku dorong pintu ini dengan kemampuanku.”
“Kau gila ya, kolonel. Pintunya keras sekali.”
“Pengalaman hidupku lebih keras, bocah. Minggir kau.”
Namun, dia tidak akan sempat melakukan itu, tidak. Mereka tidak pernah membuka pintu apapun, karena sedetik kemudian, tepat pukul 3 pagi, kepanikan besar kembali menjalari seisi rumah.
Lampu dimatikan lagi, untuk yang ketiga kalinya.
Gelap, gelap menutupi seisi rumah.
mozaik 83
Lampu Dimatikan Ketiga Kalinya
Gelap.
Gelap total menyelimuti rumah itu.
Kabar baiknya, ini bukan yang pertama terjadi, jadi siapapun yang masih tersisa di rumah itu, tidak terlalu terkejut.
Kabar buruknya, sesuatu akan kembali bergerak saat lampu sedang mati.
“Sialan.” Kolonel mengumpat, ketika gelap menyelimuti mereka kini.
Alli lekas mengeluarkan senter, lantas dia meminta Eternita untuk melakukan hal serupa. Eternita mengangguk, mereka punya dua senter yang menyala sekarang. Sementara kolonel, secara instingnya, langsung berjalan ke arah pintu dan menahannya.
“Apa yang kau lakukan di sana, Kolonel?”
“Menahan pintu ini, apalagi?”
“Untuk apa ditahan-tahan?”
“Kau ingin makhluk menyeramkan itu masuk ke sini tanpa kita ketahui. Tidak bukan?’
“Nyaris kupikir kau adalah pengkhianat, kolonel.”
Alli mengusap wajah, astaga, mulai lagi pertengkaran hebat ini.
“Pria Berjas, sebaiknya kita cepat selesaikan urusan kita di sini, lalu kita kembali ke ruang keluarga untuk menyalakan lampunya. Kuharap semoga saklar di sana masih berfungsi.”
“Ya, aku setuju, ayo kita pergi. Kita tidak bisa menemukan apa-apa, kalau dalam kondisi gelap seperti ini.”
Mereka melupakan soal pintu dan ruangan tersembunyi itu dan meneruskan perjalanan, kembali ke ruang keluarga lantai 2 untuk mencari saklar lampu.
Sementara itu di lantai 1
“Kotaruk, suara-suara itu,” Ayana tercekat, tangannya memegang pinggang Kotaruk, begitu erat, juga gemetar.
“Tenanglah, Ayana. Aku ada di sini, melindungimu.”
“Tapi, suara itu, terdengar begitu ribut. Seolah ada banyak orang sedang berlarian.”
“Mungkin itu hanya suara monster itu.”
“Ish, jangan sebut sembarangan nama itu. Siapa tahu dia ada di...”
KREKKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Benarlah. Suara itu benar-benar terdengar. Membuat Ayana semakin ketakutan.
“Kotaruk, bagaimana ini?”
“Kurasa kita harus mencari tempat berlindung.”
Kemudian mereka berlarian kecil dalam gelap, menerobos dapur, menuju lorong kamar pembantu.
mozaik 84
Kembali ke Ruang Keluarga
Untuk sampai di ruang keluarga, sesuai peta, Alli dan kawan-kawan harus memutari lorong. Ruang keluarga hanya punya dua pintu dan keduanya tidak menghadap ke lorong yang ini, melainkan di seberangnya.
Agathar memimpin jalan di depan, memegangi senter Alli.
Di belakangnya ada Alli sendiri.
Kemudian di belakangnya Eternita, juga memegang senter
Dan terakhir adalah Kolonel Dhar. Yang mengaku-ngaku bisa berjalan dalam gelap.
“Kau tidak kesulitan, Kolonel?” Eternita menanyai, sudah dua kali dalam larinya, Kolonel tersandung sesuatu.
“Diam kau, keriting. Aku punya kemampuan berjalan dalam gelap.”
“Berarti harusnya kau tidak tersandung.”
Mulai sudah pertengkaran mereka berdua. Kolonel tak terima diremehkan. “Berisik kau. Aku hanya kehilangan fokus. Sesuatu terdengar di belakangku.”
“Sesuatu, Kolonel?” Alli ikut bertanya, meski tidak membalik badan, masih berlari-lari kecil di depan, bila mata Alli meleng sedikit saja, dia bisa tertabrak Agathar. Pertanyaan itu mengandungi kengerian. Sesuatu dalam kegelapan, bisa berarti apa saja. Jadi apa yang didengar oleh Kolonel?
“Bukan dia, bukan Si Cakar Tiga. Ini seperti langkah halus. Mungkin peserta lainnya.”
“Tidak ada peserta lainnya di lantai 2, Kolonel.”
“Astaga, apa itu berarti hantu baru sudah dilepaskan?” Alli mulai cemas.
“Berhentilah cemas, paling kalau itu sesuatu yang lain, paling cuma zombie. Kau tidak takut pada makhluk berdarah itu bukan?”
Tahu-tahu saat mereka asyik mengobrol, berdebat, saling ejek, Agathar berhenti mendadak di belokan kedua, tepat di antara balkon dan ruang billiar.
BUKK
BUKKK
BUKKK!
Tak ayal mereka saling menabrak. Alli, Eternita dan Kolonel tidak bisa menghentikan laju larinya. Mereka bertiga terjungkal, tapi Agathar masih berdiri. Berpegangan pada tongkat. Hanya saja, sekarang dia mematikan senternya.
“Ada apa, Pria berjas? Kenapa kau berhenti tiba-tiba?”
“Kalian ingin lihat zombie bukan? Nah mari kuperlihatkan.”
Agathar menyalakan kembali senternya. Zombie sudah memadati lorong di depan mereka. Ada belasan. Pemandangan mengerikan, menjijikkan sekaligus mengilukan. Alli bahkan menutup mulutnya agar tidak muntah.
“Apa-apaan wujud mereka seperti itu. Perutnya yang meneteskan cairan, luka robek dimana-mana, darah tak terhitung. Astaga, aku nyaris muntah.”
“Aku sudah lama tidak melihat pemandangan semacam ini sejak perang terakhirku di hutan.” Kolonel maju selangkah.
“Kau harus membayar ini, Kolonel,” ucap Agathar, “mereka jadi begini, karena dirimu.”
“Kenapa aku?” Kolonel heran.
“Ya, karena kau beberapa jam yang lalu, menembaki mereka secara brutal. Begitulah bentuk mereka sekarang.”
Kolonel meraih senapannya, mencoba membidik, dan terdengarlah letusan peluru ditembakkan.
DORRR!
“Haruskah kulakukan lagi? Kalau bisa kulakukan lagi, akan kulakukan lagi, sebelas kali pun tak masalah bagiku.”
Rahang kolonel mengeras, seakan ini menjadi satu momen emosional bagi dirinya.
“Hei, ketua, untuk pertama kalinya, aku memuji keputusanmu untuk melarang kolonel Dhar menembaki zombie dengan senapan. Itu keputusan yang bijak. Setidaknya mereka tidak berbentuk memualkan seperti ini. Dengan tulang-tulang yang terlihat, luka dan nanah, mulut robek, wajah tak karuan bentuk, otak terlihat. Astaga.”
Agathar maju, mengayunkan tongkatnya, dan memukul satu zombie.
“Ini lebih efektif, kolonel. Lagipula, mereka tidak melawan.”
Kolonel Dhar menyimpan senjatanya sambil berdecak.
“Ayo, kita harus cepat ke ruang keluarga. Semakin cepat lampu ini hidup kembali, itu semakin baik. Abaikan zombienya, lumpuhkan seperlunya saja. Ikuti Pria Berjas.”
Sekali lagi Alli memberikan komando.
mozaik 85
Saklarnya Rusak
Selanjutnya, mereka melewati lorong, menembus barisan zombie yang menghadang dengan cara cepat. Agathar membenturkan mereka ke dinding dengan tongkatnya. Kolonel ikut memukul dengan menggunakan popor senapannya. Eternita dan Alli bertukar menjadi di belakang.
Zombie-zombie itu berguguran dengan cepat.
Mereka bisa membuka pintu ke ruang keluarga. Agathar yang membuka tepatnya.
“Kolonel kau tahan pintu ini dengan tubuhmu.”
“Kenapa aku harus melakukan itu?”
“Kau tentu tidak mau makhluk-makhluk yang membuat perutku mual itu masuk ke ruangan ini bukan?”
“Kau meniru kalimatku.”
“Lakukan, Kolonel!”
Kolonel akhirnya menuruti kehendak Agathar. Menahan pintu itu dengan tubuhnya sekuat tenaga. Sayang di lantai 2 ini, pintu-pintunya tidak memiliki sistem palang.
“Ketua, dengan segala hormat, kau tahan pintu satunya di sebelah sana itu.”
Alli tanpa banyak bicara, melaksanakan perintah Agathar.
“Eternita,” ucap Agathar lagi, “tolong bantu aku mencari saklarnya, aku agak lupa dimana letaknya.”
Eternita mengangguk. Mereka berdua segera memainkan senter. Mencari letak saklar lampu.
Lima belas menit kemudian....
“Bisakah kau lebih cepat, detektif.” Kolonel mulai berseru.
“Aku belum menemukannya, kolonel. Bagaimana denganmu, Eternita?”
“Tidak, belum. Susah mencari dalam gelap. Terakhir, kau ingat dimana menyalakan saklarnya, detektif?”
“Aku lupa.”
“Cepatlah. Entah kenapa aku merasa zombie-zombie di luar sana, menggila dalam gelap.”
“Aku setuju,” Alli menyahut. Entah kenapa, para zombie yang tadi di luar begitu jinak, hanya diam, tidak agresif, sekarang seperti dua kali lipat tenaganya.
“Aku tidak percaya, kepala berlubang mereka bisa mengumpulkan tenaga sekuat ini.”
“Aha, aku menemukan...”
Agathar langsung terdiam. Berdiri mematung, melepaskan pegangannya dari dinding.
“Ada apa, Pria Berjas?”
“Berita buruk.”
“Ada apa?” Kolonel ikut bertanya.
“Saklarnya rusak.”
“APA!”
Cepat-cepat Eternita mendatangi tempat Agathar berdiri, memastikan. Ternyata benar. Saklar itu bernasib sama seperti saklar lampu di lantai 1. Terpotong oleh benda tajam, jadi dua bagian.
mozaik 86
Ketakutan Kalian Semua Dimulai dari Lampu yang Mati Selamanya
“Kau tidak bercanda kan, detektif?”
“Kau bisa lihat sendiri, Nona.”
Agathar mundur selangkah, memberikan ruangan pada Eternita untuk menyorongkan senter, melihat saklar yang telah dihancurkan dengan sengaja.
“Dipotong dengan pisau. Satu pisau.”
“Bukan Si Cakar Tiga ya?” Eternita bertanya. Meskipun dia tahu jawabannya.
“Aku punya dugaan.”
“Bagaimana?”
Menurut Agathar, hanya ada dua orang atau tepatnya dua makhluk yang bisa menggunakan benda tajam di rumah ini. Yaitu, Si Cakar Tiga, dan orang bernama Killer yang merupakan buronan Kolonel Dhar itu. Mereka adalah tersangkanya.
“Zombie-zombie ini semakin menggila.”
Alli bahkan tidak bisa lagi menahan pintu. Zombie-zombie itu sudah berhasil menerobos masuk ke ruang keluarga. Gerakan mereka gesit sekali.
“Mereka datang, detektif.”
“Kita harus cari kelemahan mereka.” Agathar mengayunkan tongkatnya, memukul satu zombie yang sudah mendekat sekali ke arahnya.
Dalam detik selanjutnya, belasan zombie sudah memenuhi ruangan keluarga lantai 2. Alli yang tadi terjatuh kena terjangan zombie, kini bergabung dengan Agathar dan Eternita.
“Mereka melambat lagi.”
“Mereka sangat peka terhadap cahaya.” Agathar menganalisis. “Selama ada cahaya, mereka akan melambat. Sebaliknya, dalam kegelapan, mereka menjadi menggila.”
Bersamaan dengan itu, Kolonel ikut jatuh. Terjengkang. Zombie-zombie kini mengepung mereka dari dua arah. Kolonel lekas bergabung sehingga mereka jadi berempat.
“Apa rencanamu sekarang, detektif?”
“Kita harus melarikan diri. Kita tidak bisa melawan mereka.”
“Kau bercanda. Melarikan diri bukan bagian dari kehormatan seorang tentara. Aku tidak akan lari. Aku masih punya benda ini.”
“Jangan menembaknya, Kolonel.”
“Ketua, benar. Jangan menembak. Itu membuat penampilan mereka menjadi semakin mengerikan.”
Jawaban itu memancing Kolonel untuk berkomentar, mengejek, “jadi kau takut, detektif?”
“Bukan, penampilan mereka membuat aku tidak bisa berpikir.”
Para zombie semakin mendekat. Jalan mereka begitu cepat. Hanya bisa diperlambat dengan sorot lampu senter Alli dan Eternita. Hanya saja mereka tidak bisa menerangi setiap sudut. Di setiap sisi yang gelap, zombie berjalan dengan lebih cepat.
Salah satunya sempat menjatuhkan ginjalnya dari perut yang terbuka, terkoyak.
“Aku nyaris muntah,” Agathar menahan mulutnya.
“Gara-gara kau, kita sekarang terpojok, detektif.”
“Kau jangan menyalahkan aku. Saklarnya mati.”
“Apakah listrik di rumah ini akan mati selamanya?”
“Listriknya masih menyala, Eternita. Yang mati itu adalah lampunya. Kita harus memakai saklar untuk menyalakan lampunya lagi.”
“Kalian orang bodoh jangan berdebat.”
Agathar dan Eternita sama mendelik pada Kolonel.
“Pertama, kau yang bodoh.”
“Kedua, kau juga yang senang mendebat orang.”
“Cih, kalian berdua ini kompak.”
Alli mengusap wajah, khawatir, “aku tidak melihat semua ini bisa membantu kita. Kalian semua kacau.”
Zombie-zombie semakin mendekat. Salah satu zombie dengan mulut terkoyak besar, sampai rahangnya hendak lepas, menyerang Eternita, memegangi tangannya. Membuat Eternita berteriak kencang.
Beberapa zombie lainnya juga semakin dekat dengan Agathar dan Kolonel. Pemandangan yang mengerikan dan menjijikkan itu, membuat keduanya menelan ludah.
Saat itulah, cahaya kembali berpendar, dan angin berputar di tengah ruangan keluarga.
“Astaga, kalian ini, tidak bisa akur. Sampai aku harus turun tangan lagi.”
“SANG TUAN!” Alli tidak bisa menahan diri untuk berseru sangat senang.
mozaik 87
Arah Sinar Cerita
Sang Tuan mengangkat tangannya tinggi, kemudian menepuk kedua tangannya keras-keras, hingga terdengar bunyi menggema.
PLOKKKKKK!
Bersamaan dengan tepukan itu, seberkas cahaya terang menyebar ke seisi ruangan, membuat para zombie lumpuh, merosot ke tanah. Berjatuhan.
“Nah, sekarang kita bisa bicara dengan lebih tenang bukan?” Sang Tuan tersenyum arif. Agathar menghela nafas lega. Kolonel juga. Eternita terlihat terkejut dengan efek kemampuan Sang Tuan yang bisa melumpuhkan para zombie dengan sangat cepat. Sementara Alli, selayaknya orang yang sangat mengagumi Sang Tuan, terkagum-kagum bukan main.
“Hebat sekali. Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam legenda, Sang Tuan.”
“Ini hanya sedikit dari kemampuanku, Alli.” Sang Tuan masih tersenyum.
“Kenapa kau tidak bergabung dengan tim kami saja, Sang Tuan?”
Bukan, itu bukan Alli. Itu Agathar, berbicara dengan seringaian, dia hanya ingin mengolok-olok. Sang Tuan tahu itu. Dengan arif, dia menunjuk ke arah kursi.
“Mari kita bicara sambil duduk.”
Akhirnya mereka berempat duduk.
“Kalian berempat masih tidak bisa akur ya? Astaga.” Sang Tuan mengusap-usap janggutnya. Lihatlah, Eternita dan Kolonel, sangat mencerminkan kata Sang Tuan, mereka melotot saling jengkel hanya karena duduk bersebelahan. Melihat tingkah mereka itu, sekali lagi, Sang Tuan tertawa.
“Alli, sebaiknya nanti kau tanya masing-masing temanmu. Bagaimana pendapat mereka tentang satu sama lain. Pasti sangat menarik.”
“Siap Sang Tuan. Akan kutanyakan pada mereka.”
“Hei kalian semua. Apakah kalian ingin tahu kenapa aku mengundang kalian berempat ke dalam petualangan ini. Kenapa kalian berempat yang aku pilih?”
Kali ini, Agathar, Eternita dan Kolonel sama menatap penasaran. Hanya Alli yang tidak. Dia tidak terlalu peduli. Bagi dia, bertemu dengan Sang Tuan saja, sudah merupakan kebanggan tersendiri.
“Surat,” ucap Sang Tuan pendek. Tapi berefek luar biasa. Kini mereka bertiga sama melotot, kemudian meneriakkan reaksi yang hampir sama.
“Kau!”
“Jadi surat bagus itu!”
“Sudah kuduga, bukan dari kepolisian. Rupanya kau ya? Apa yang kau mau?” Agathar yang menyahut paling panjang, langsung menjatuhi Sang Tuan dengan segala pertanyaan.
Sang Tuan tersenyum. “Aku belum selesai bicara. Astaga, kalian suka memotong kalimat orang rupanya.”
“Lanjutkan, Sang Tuan.”
“Aku mengirimkan surat itu pada kalian, untuk menjawab keresahan kalian sebelum menerima surat itu. Kalian sedang resah bukan?”
“Tidak.” Eternita yang pertama menjawab, tegas.
“Aku juga tidak merasa.”
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan, Sang Tuan. Semua kembali tidak jelas.”
“Kalian menampik kebenaran. Lorong-lorong gelap ini akan menjawab semuanya. Aku tidak bisa terlalu banyak campur tangan lagi, ini sudah terlalu banyak. Aku akan menunggu sampai pukul 6, sampai pagi. Apakah kalian bisa bertahan. Saranku, kalian harus saling menguatkan. Cobalah berteman satu sama lain. Kalian memerlukan itu, dalam menghadapi lorong-lorong gelap ini.”
Ah bagaimana hendak berteman, jangankan itu, Pria Berjas bahkan tidak mau menyebutkan namanya sendiri.
“Oh iya, kalian saling gengsi satu sama lain. Bagaimana kalau kumulai dengan menyebutkan nama. Alli, Eternita, Kolonel Dhar Amrulah, dan Agathar.”
Alli celingukan, jadi nama pria berjas itu adalah Agathar? Mendengar namanya disebut, dibongkar, Agathar menatap tajam. Sang Tuan membalas dengan senyum santai.
“Kenapa, kau marah aku menyebutkan namamu? Itu hanya nama, Agathar. Apakah harus kutanya balik. Kenapa kamu melarang Kolonel Dhar menembak para zombie, padahal mereka hanya mayat hidup?”
“Apa yang kau pikirkan, aku tidak paham?”
“Kau takut ya?”
“Bicara apa kau?”
“Ah sebaiknya aku pergi sebelum aku dimarahi oleh detektif yang satu ini. Alli, kau adalah ketuanya, jagalah mereka tetap akrab satu sama lain, saling percaya dengan teman, dan bacakan ini jika mereka terlihat ketakutan.”
“Tunggu.” Eternita yang sedari tadi mengumpulkan keyakinannya untuk bertanya, akhirnya memutuskan untuk melakukannya.
Mungkin Sang Tuan tahu.
Eternita mendekat. Sang Tuan menatapnya dengan bijaksana.
“Ada apa, Eternita.”
“Aku ingin menanyakan sesuatu,” ucapnya lirih.
Eternita tak perlu mengatakan apa-apa lagi. Sang Tuan sudah tahu apa yang hendak dia tanyakan. Dia tersenyum lagi. Ikut berkata lirih. “Maafkan orang tua ini, Eternita. Sungguh orang tua ini tidak mengira kalau kamu membawa teman.”
Kata-kata itu berarti...
“Ikhlaskan, Nak.”
“Dia telah terbunuh, oleh siapa?”
“Waktu akan memberikan jawaban. Dan itu akan membuatmu lebih kuat lagi.”
Sang Tuan kembali tersenyum. Senyum yang simpatik.
Alli hendak mendekat, bertanya, tapi Eternita menolak mengatakan apapun.
Untuk kata yang terakhir, Sang Tuan membisikkannya dengan lembut, hampir tak terdengar. Tangannya menyelipkan segulungan kertas kecil ke tangan Alli.
“Selamat tinggal. Sampai jumpa pukul 6. Selamat menikmati kegelapan, wahai orang-orang yang punya ketakutan.”
“Hei tunggu, apa itu berarti, lampunya benar-benar mati selamanya!” Agathar meneriaki, tapi Sang Tuan sudah keburu pergi.
mozaik 88
Para Pengkhianat
Yang tersisa, setelah Sang Tuan pergi, hanyalah keadaan ruangan yang sunyi senyap. Para zombie yang tergeletak di tanah tak bersuara, mereka bahkan tak lagi bergerak, dan sebaiknya memang tetap begitu.
Kini yang terdengar, hanyalah deru nafas samar dari keempat orang yang ada di ruang keluarga itu. Agathar terduduk lemas di kursi, lampu dimatikan dan saklarnya telah dirusak, itu berarti mereka harus bertahan di kegelapan ini, sampai pagi menjelang.
Itupun kalau mereka bisa bertahan.
“Baiklah, aku akan menanyakan apa yang diminta Sang Tuan tanyakan tadi. Bagaimana....”
“Jangan sekarang,” Eternita menolak, nada bicaranya ketus. “Aku tak suka kegelapan ini, jangan menambahnya lagi dengan bertanya macam-macam.”
“Hei tapi ini penting,” Alli tak mudah mengalah. Karena dia terus bicara, akhirnya Kolonel Dhar yang membentaknya. “Jangan sekarang, bocah. Oh ya, bicara soal kegelapan, ada yang ingin kubicarakan dengan detektif.”
Kolonel lalu berdiri, dan menghadap ke arah Agathar. Detektif itu masih hening dalam gelap. Seperti sedang berpikir.
“Apa yang kau rencakan, Pengkhianat!”
Kaget Alli mendengar suara dengan intonasi tinggi itu. Agathar yang mendadak ditunjuk-tunjuk di depan hidung oleh Kolonel, juga terkejut.
“Apa maksudmu pengkhianat?” tanya Agathar. Ada emosi dalam suaranya.
“Kau yang merusak lampunya bukan?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan berpura-pura tidak paham, pengkhianat!” Kolonel maju selangkah dan mencekal kerah jas Agathar. Sampai kusut remuk kerah jasnya itu, dan itu membuat Agathar jengkel.
“Lepaskan tanganmu, kolonel. Kau membuat pakaianku kusut.”
“Tidak sampai kau mengakui perbuatanmu.”
“Apa yang kau pikirkan heh, kau menuduhku merusak saklar lampunya? Buat apa aku melakukan hal tersebut. Kuulangi sekali lagi ya, lepaskan tanganmu dari kerah bajuku”
Kali ini Agathar benar-benar marah.
“Kolonel, tenanglah.” Alli mencoba menengahi tapi dia malah kena kibasan tangan Kolonel. Terjerembab Alli dibuatnya. Dalam gelap, dia jatuh nyaris mencium kaki Eternita.
“Huh, kolonel memang sumber pertengkaran di sini.”
“Diam kau, keriting.”
Alli berusaha bangkit lagi meski bahunya ngilu karena menghantam sudut meja. “Kolonel, Sang Tuan menyuruh kita memercayai satu sama lain. Kau jangan malah menuduh Agathar sembarangan begitu.”
“Aku tidak sembarangan, aku sudah berpikir sejak tadi. Dia adalah orang terakhir yang menyentuh saklar itu di sini, dia pula yang menemukannya dalam keadaan terpotong. Bisa saja dia yang melakukannya.”
Sementara itu, Agathar berkelojotan melepas tangan Kolonel yang mencekal lehernya semakin keras. Apalagi postur tubuh kolonel yang kekar tinggi, membuat Agathar tidak menginjak tanah. Ini membuat posisi Agathar benar-benar tidak nyaman.
“Lepaskan aku, Kolonel. Bukan aku yang melakukan hal itu. Percayalah.” Suara Agathar mulai patah-patah.
“Kolonel, lepaskan dia!”
“Kau tidak berhak menyuruhku, bocah.”
“Kolonel!”
Agathar menggapai-gapai udara. Susah payah melepaskan diri, namun tidak berhasil. Cekalan kolonel benar-benar kuat. Sebenarnya Agathar juga menahan diri. Dia sebenarnya bisa saja memukul kepala gundul Kolonel itu dengan satu dua pukulan tongkatnya. Mudah meraih benda itu. Tapi jika itu Agathar lakukan.
Maka akan lebih buruk lagi akibatnya. Kolonel bisa benar-benar lepas kendali.
“Kolonel, dengarkan aku. Lihat ke arahku, KOLONEL!”
Alli berteriak, sangat tegas terdengar suaranya.
“Kita harus terus bersama-sama. Kita menghadapi kegelapan total di sini. Kita memerlukan Agathar untuk memecahkan banyak petunjuk yang belum terpecahkan. Jadi sebaiknya kau tidak mengapa-apakan dia, atau aku sendiri yang akan membuat perhitungan denganmu.”
Entah kenapa, kata-kata itu terdengar begitu bertenaga. Alli yang konyol dan penakut itu, tiba-tiba bisa membuat Kolonel Dhar melepaskan cekalan. Kolonel mendengarkan perintahnya.
“Hanya demi bisa keluar dari tempat ini, detektif. Hanya demi bisa keluar. Aku belum melepaskanmu.”
Agathar kelojotan di lantai, mencari-cari nafas.
mozaik 89
Pikirkan, Agathar
“Kau mendengarnya, Agathar? Kau diperlukan agar kita bisa keluar dari tempat ini. Jadi mulailah untuk berpikir.”
Agathar akhirnya bisa bangkit, meskipun lehernya sedikit sakit karena cekalan dari kolonel, tapi hal lain yang lebih dicemaskannya, adalah dandadannya kini dirusak oleh Kolonel Dhar. Jasnya kusut remuk di bagian kerah. Agathar mencoba merapikannya, meski hanya berhasil sedikit.
“Baiklah. Aku harus katakan juga, aku akan melakukan perhitungan denganmu, Kolonel. Karena kau telah merusak setelan pakain bagusku. Hanya karena kau bisa bertarung sajalah, aku masih memercayaimu di sini.”
Kolonel menggeram. Matanya menatap Agathar serupa dengan pengkhianat.
“Pikirkan, pikirkan tentang petunjuknya, Agathar. Kita tidak punya banyak waktu sampai....”
KREEEEKKK
DRAP! DRAP! DRAP!
Baru saja mau disebut, makhluk itu sudah menandai keberadaannya. Jujur, sensasi yang dirasakan Alli dan kawan-kawan sekarang saat mendengar suara itu, pasti berkali-kali lipat lebih mengerikan, sebab makhluk itu sempat menunjukkan wujudnya pada mereka sebelumnya.
“Petunjuk kedua, Agathar. Sebelum makhluk itu menemukan kita.”
“Sebenarnya, sedari tadi, aku memikirkannya, ketua. Aku seperti mengingat sesuatu yang berkaitan dengan kata-kata kunci itu.”
Tiga. Titik tertinggi di dunia tempat kekuasaan dan kebijaksanaan
“Terima kasih sudah membacakannya, Eternita.”
“Jadi bagaimana, Agathar?”
“Jadi, sepertinya kita telah terkecoh. Kata kunci untuk memahami petunjuk itu bukan tertinggi-nya, tapi kekuasaan dan kebijaksaan-nya.”
“Dengan kata lain, petunjuk itu, kemungkinan tidak ada di lantai 2?”
“Tepat sekali.”
“Lanjutkan, Agathar.”
“kekuasaan dan kebijaksanaan. Aku sudah berpikir keras untuk memecahkan apa maksud dua hal tersebut. Sampai kemudian, kolonel tadi mencekikku, aku mengingat sesuatu. Dongeng-dongeng Yunani. Cekalan kuat macam Hercules itu mengingatkan aku pada satu hal. Dalam dongeng Yunani, kekuasaan dan kebijaksanaan dilambangkan dengan satu hal. Kepala banteng.”
“Maksudmu kita harus mencari kepala Banteng?”
“Tepat.” Agathar menyahut, tapi tidak seantusias sebelumnya, dia masih jengkel menyahuti kolonel.
“Tapi dimana hendak mencari kepala banteng itu di dalam rumah ini?”
“Ah iya, aku ingat,” tiba-tiba Eternita terlonjak, aku sempat melihat kepala banteng tergantung di atas perapian.”
“Berarti di lantai 1?”
“Kenapa kau tidak bilang dari tadi, Eternita.”
“Ya karena aku tidak menduga kalau detail yang itu penting.”
“Sebaiknya kita ke sana sekarang. Ayo Agathar.”
Entah kenapa, Agathar tersenyum kali ini. “Caramu memanggilku sekarang lebih enak didengar, ketua.”
Dalam hatinya Agathar membenak, ketua cukup bisa mengendalikan Kolonel, dan gadis wartawan ini, bermata tajam. Mereka berdua bisa jadi rekan yang lebih baik. Akan sangat berguna untuk perjalanan mereka. Mungkin, lebih baik jika Agathar sedikit lebih luwes dan mencoba mengakrabkan diri dengan mereka berdua.
mozaik 90
Petunjuk Kedua di Kepala Banteng
Mereka menuruni tangga lantai 2 dengan gerakan yang gesit. Semua orang mengikuti langkah Agathar yang berjalan di paling depan dengan sangat antusias.
“Agathar, bisakah kau berjalan lebih santai. Tunggu kami.”
“Kau sudah mengucapkan namaku sebelas kali, ketua.”
Dalam kegelapan semacam ini, kecepatan lari Agathar amat mengagumkan. Kolonel bahkan mengakui hal itu. “Dia bisa berlari di tengah kegelapan.”
“Akh!” Eternita terpekik, tiba-tiba dia limbung, seperti hendak terjerembab. Alli yang berjalan di belakangnya, bergegas menangkap tubuh gadis itu sebelum dia jatuh terpelanting di tangga. Tak pelak tangkapan Alli yang begitu tiba-tiba, membuatnya seolah memeluk Eternita.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Sesuatu menyandung kakiku.” Eternita menoleh ke belakang, menyoroti dengan senter.
“Eh?”
“Ha, ada tangan nakal di sana.”
Alli memerhatikan baik-baik. Rupanya dari bawah tangga, sebuah tangan terjulur. Tangan apa itu?
“Zombie-zombie rupanya menguasai lantai bawah ini.” Kolonel berseru. Perkataan kolonel benar, di bawah sorot senter, para zombie berwujud memualkan perut itu sudah mengelilingi bawah tangga.
“Astaga.”
“Bisakah kau melepaskan pelukanmu.”
“Eh maaf.”
Alli jadi salah tingkah. Gara-gara zombie, dia lupa melepaskan dua tangannya melingkar di pinggang Eternita.
“Jangan urusi zombie-zombie ini. Kita harus cepat ke ruang perapian. Kepala banteng itu adalah prioritas kita saat ini.”
Agathar terus maju. Dia tak peduli dengan zombie-zombie ini. Tongkatnya bergerak cepat. Memukuli para zombie. Kolonel ikut memukuli dengan popor senapannya. Namun para zombie ini tidak mudah menyerah. Mereka mengepung. Menutup ujung bawah tangga sehingga tim Alli tidak bisa lewat. Jumlah mereka belasan.
“Aku tidak suka melihat mereka, apalagi menghadapi mereka dari dekat.”
“Kalau begitu, pegangan.” Alli tiba-tiba menarik Eternita, menggendongnya. Kemudian sang ketua tim itu ikut menerjang. Tindakannya membuat Eternita berteriak marah.
“Jangan seenaknya pegang-pegang.”
Dengan cara itu, mereka bisa sampai di ruang perapian dengan selamat. Para zombie tertinggal di belakang.
“Kolonel, tutup pintunya, dan jaga sebaik mungkin. Jangan ada yang lolos.”
“Apa katamu, kau baru saja memerintahkan...”
“Ya, demi kebaikan kita.”
“Ini menjengkelkan, tapi entah kenapa aku harus menaatimu, bocah.”
Kolonel berdiri di balik pintu, memasang kakinya dengan mantap di lantai. Postur tubuhnya menahan pintu dengan bahu dan tangannya. Kolonel meyakinkan semua orang bahwa dia tidak akan goyah walau pintu itu didorong oleh belasan zombie sekalipun.
“Nah, Eternita, tolong aku. Bantu cari kepala bantengnya. Cepatlah. Waktu kita terbatas.”
“Siap.”
“Aku juga mau membantu.”
“Lakukan.”
“Tapi bagaimana, kau mengambil senterku.”
“Kalau begitu kau bantu Kolonel saja, ketua. Serahkan urusan kepala....”
Belum lagi Agathar menyelesaikan kalimatnya, Eternita sudah bergerak dalam gelap, cepat menyorot senternya ke sana kemari. Karena dia sudah pernah melihat dimana kepala bantengnya, mudah baginya untuk mencarinya lagi. Tak sampai lima belas detik, Eternita sudah berseru.
“Aku menemukannya. Petunjuk kedua, di kepala banteng.”
mozaik 91
Jumpscare!
“Bagaimana kita mengambil di atas situ?” Eternita mendongak.
Kepala banteng itu kurang lebih tiga meter tingginya dari atas lantai, kemudian, tanduknya menjulang ke atas sekitar setengah meter lagi di atasnya. Dan kunci itu tergantung di ujung tanduknya itu. Terlihat kilau sinarnya diterpa oleh senter. Kunci warna keemasan itu membuat mereka berempat mendongak.
“Kurasa kolonel bisa memanjatnya.”
Kolonel terlihat berpikir mendengar kata Alli. Memanjat? Agak susah. Dindingnya polos, bagaimana hendak memanjatnya?
“Kita tidak boleh membuang-buang waktu. Kalian mundur. Biar aku yang mengambilnya.” Agathar merangsek ke depan, meraih tongkatnya. “Pegangi senternya, ketua.”
“Apa yang mau kau lakukan?”
Agathar menggerakkan tongkatnya, serupa seorang atlet lempar lembing hendak melempar dalam perlombaan olimpiade. Kemudian dengan gerakan gesit, tongkat itu terlempar ke udara. Meluncur tinggi. Agathar membidik dengan akurat. Tongkatnya mengenai kuncinya, dan membuat kunci bersinar keemasan itu, jatuh berdenting ke tanah.
BRAK!
Tongkat Agathar jatuh berdebum.
“Apa-apaan itu tadi.”
“Tongkatku serba guna.” Agathar mengambil kembali tongkatnya di lantai. Sementara Eternita memungut kuncinya.
Kunci kedua telah ditemukan.
KREK KREK
“Bunyi apa itu?”
Sesaat setelah Eternita memungut kunci kedua, bunyi grasak-grusuk terdengar. Bunyi yang aneh. Sesuatu seperti sedang bergerak-gerak dalam gelap. Alli memainkan senternya, mencari tahu sumber suaranya.
“Tidak ada apa-apa di ruangan ini.”
“Lalu darimana suara-suara itu.”
KREK KREK
“Lama-lama rumah ini semakin misterius saja.”
“Sebaiknya kita bergegas.”
“Tunggu dulu,” Kolonel menyela, “begitu aku berhenti menahan pintu ini, zombie-zombienya akan segera masuk, dan kalian harus bersiap untuk bertempur.”
KREK KREK
“Suara itu semakin jelas.” Eternita, setelah menyerahkan kunci pada Agathar, memainkan senter juga, mencari sumber suaranya.
“Aku jadi jengkel.”
KREK KREK
Suara-suara itu semakin keras. Jam dinding menunjukkan angka 3.33 pagi.
The Devils Hour.
Dan makhluk itu pun muncul di dalam ruangan. Alli yang menyadari kedatangannya, menyoroti senter ke arahnya. Segera terpekik ketakutan.
“HAAA!”
“ASTAGA!” Eternita ikut berteriak.
“Si Cakar Tiga.” Agathar bergumam, tertahan.
“Kolonel, tembak dia!” Alli berteriak panik.
“Aku tidak bisa. Aku tidak bisa melepas pintu ini. Kalau tidak zombie-zombienya, bisa masuk ke dalam ruangan ini.”
Makhluk itu mendekat. Langkah-langkahnya terdengar begitu jelas.
KREKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Kini tim Alli, terjebak di ruangan terkunci bersama Si Cakar Tiga. Makhluk itu menyeringai. Kini Alli dan yang lain, bisa melihat wajah makhluk itu.
Dia tidak punya wajah yang sempurna.
Tanpa mata.
Tanpa telinga
Tanpa hidung.
Hanya mulut. Dengan gigi taring tajam seperti seekor harimau.
Alli menahan nafas.
mozaik 92
Tentang Betapa Mengerikan Si Cakar Tiga
KREKKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Kini Alli tahu darimana suara khas Si Cakar Tiga yang menandakan kehadirannya itu. Suara pertama berasal dari goresan cakarnya di dinding, suara kedua berasal dari langkahnya yang aneh. Dia berjalan seperti orang mabuk, sekaligus seperti seorang petinju yang siap bertarung.
“Makhluk ini, benar-benar monster.”
“Dia mendekat.”
Eternita, tanpa sadar, kini menggenggam pergelangan tangan Alli dengan wajah khawatir. Alli sendiri menggigit bibirnya. Makhluk ini benar-benar nyata di depan mereka sekarang. Cakarnya yang penuh darah itu, ada di jangkauan serangan.
“Jaga sinar senter tetap menerpa dia,” Agathar memberikan komando. Dia saat ini yang berdiri paling depan.
“Kau pegang saja senterku.”
“Eh kenapa?”
“Pegang saja!” desak Eternita.
Langkah-langkah monster itu membawanya semakin dekat dengan Agathar. Detektif itu berdiri menghadapnya, tanpa terlihat gentar sedikit pun. Seperti dia telah menunggu pertarungan ini. Sementara itu, kolonel malah berdecak kesal.
“Cih, seharusnya aku yang menghadapi makhluk itu dengan senapan.”
Dorongan di pintu kembali mengingatkan kolonel bahwa dia sendiri punya tanggung jawab yang serius. Menahan para zombie agar tidak masuk ke dalam ruangan ini. Dan itu membuat kolonel semakin kesal.
“Aku akan menghadapinya, Kolonel. Kau tenang saja.” Agathar berucap. Datar. Dia memasang kuda-kuda, dan melintangkan tongkatnya di depan wajah. Pose yang bagus untuk menangkis serangan pertama.
Si Cakar Tiga maju, cakarnya menyerang ke wajah Agathar. Gerakannya benar-benar sangat cepat. Makhluk itu seolah melompat ke depan dengan ilmu meringankan tubuh.
TRANG!
Cakar itu bertemu dengan tongkat besi Agathar, menimbulkan bunyi-bunyi berdenting.
“Kau benar-benar tidak sopan.”
Agathar terus menahan cakar yang hendak menggores wajahnya itu. Rupanya Si Cakar Tiga punya tenaga yang luar biasa. Makhluk itu kuat. Seharusnya Agathar melihat otot-ototnya.
“HYAH!”
Agathar mendorong tongkatnya ke depan, membuat makhluk itu terlompat ke belakang, sedikit kehilangan momentum, dan itu memberikan Agathar ruang untuk menyerang sisi kanan tubuhnya. Tongkat berayun macam tongkat bisbol, menyasar kepala.
Makhluk itu menunduk, berguling ke arah kanan, ke arah yang gelap. Senter Alli lekas mengejar arahnya, dan Agathar mengikuti dengan tongkat di tangan.
“Bagaimana bisa detektif itu bisa tidak takut menghadapi makhluk menyeramkan.” Eternita mengintip dari balik punggung Alli. Melihat Agathar yang mengejar makhluk itu ke sana kemari.
“Mungkin, dalam beberapa kesempatan, dia benar. Dia tidak punya rasa takut.”
“Apakah kau takut?” tanya Eternita.
Alli tanpa ragu mengangguk.
“Aku sangat takut. Sejak lampu pertama kali dimatikan, aku sudah merasa takut.”
Pembicaraannya dengan Eternita, membuat perhatian Alli sedikit teralihkan. Dia lupa menyorotkan senter. Membuat Agathar kehilangan jejak Si Cakar Tiga dalam gelap.
“Hei, ketua, fokus!”
“Eh iya, maafkan aku.”
Alli kembali memainkan senternya. Tapi jejak Si Cakar Tiga telah lenyap.
“Ah sial. Padahal aku sudah bersiap memukulnya,” Agathar berdecak. Kolonel sempat meneriaki, memberikan beberapa arah, tapi tidak akurat, sebab Kolonel sendiri hanya menebak.
“Mungkin dia sudah kabur,” kata Eternita, menyodorkan kemungkinan.
“Tapi bagaimana, bukankah ruangan ini terkunci.”
“Tadi dia muncul tiba-tiba, tentu dia bisa kabur tiba-tiba juga.”
Namun, dugaan itu salah. Si Cakar Tiga tidak kabur. Dia masih ada di sana.
KREEK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara langkah mengonfirmasi. Suara langkah yang sangat dekat. Eternita gemetar dibuatnya.
“Dia, ada di belakang kita ya?”
“Kurasa kau benar.” Alli menelan ludah. “Eternita, dalam hitungan ketiga, bersiaplah untuk menunduk.”
“Eh?”
mozaik 93
Alli Melawan
Alli bahkan tak perlu menghitung, karena dia melihat cakar monster itu sudah bergerak cepat ke arah Eternita. Untungnya, gadis itu mengikuti sarannya, segera menunduk, Alli menyambar tubuhnya, berguling menghindar. Mereka terlempar ke dalam kegelapan. Senter kembali terlepas, tergeletak di lantai.
“Setidaknya beritahukan dulu rencanamu, sebelum kau mendorongku.”
“Dia masih melihat kita, waspada.”
Si Cakar Tiga melangkah dengan cepat, mengejar mangsanya. Agathar bergerak dalam gelap, mengikutinya.
“Monster itu semakin mendekat!” Eternita berteriak. Mereka kini dalam posisi yang tidak menguntungkan. Karena sedang jongkok. Monster itu benar-benar muncul di hadapan mereka sekarang. Siap menyelesaikan dengan cakar-cakarnya.
“Tolong aku, Alli.”
Demi mendengar jeritan terakhir Eternita itu, yang penuh harap memanggil namanya untuk pertama kali sepanjang malam itu, Alli seperti dirasuki keberanian baru. Dia bukannya meloncat menghindar, tapi meloncat menyambar.
Alli menerkam Si Cakar Tiga. Dengan posisi jongkoknya, dia bisa menangkap pinggang makhluk itu dan mendorongnya sekuat tenaga sampai sang monster terjatuh.
RARR!
Terdengar suara raungan harimau yang menandakan makhluk itu semakin marah. Suara raungan itu meremangkan bulu kuduk di ruangan yang gelap tersebut, namun Alli bertekad untuk tidak menyerah. Dia memegangi makhluk itu sekuat tenaganya.
Tiba-tiba senter menyinari mereka berdua, membuat Si Cakar Tiga, yang memang peka terhadap cahaya, menjadi melemah. Alli merasakan hal tersebut.
“Lepaskan peganganmu!” Itu suara Agathar memeringati Alli.
“Tapi kalau kulepas, dia akan menyerangku.”
“Sekarangpun dia bisa menyerangmu!”
Tindakan konyol, batin Agathar. “Lepaskan saja.”
DORRR!
DORRR!
Sebelum makhluk itu sempat menyerang Alli, tembakan lebih dulu mengarah ke padanya. Makhluk itu meraung semakin kencang, kesakitan karena serangan tembakan.
Agathar berdiri di sana, memegang pistol terarah pada Si Cakar Tiga. Pistol itu dia pinjam dari Kolonel Dhar.
RAAAR!
RARRR!
Monster itu meraung, berlari secepat kilat. Bukan ke arah Agathar, melainkan ke sudut gelap. Agathar berusaha mengikuti langkahnya dengan senter, melihat kemana makhluk itu pergi, namun terlambat.
Si Cakar Tiga sudah menghilang tanpa bekas. Itulah bagian teraneh dari makhluk itu.
Sementara itu, Alli terduduk menghela nafas panjang. Tubuhnya gemetar, sekarang dia heran, bagaimana tadi dia bisa sedemikian berani mengambil resiko menerkam Si Cakar Tiga.
“Kamu tidak apa-apa?”
Alli menggeleng. Dia baik-baik saja. Dua tiga helaan nafas lagi, dia akan baik-baik saja. Eternita ikut menghela nafas. Teror di ruangan ini sudah berakhir.
“Meski aku masih heran, bagaimana dia bisa menghilang begitu cepat.”
“Mungkin dia bukan makhluk mortal seperti kita.”
“Tidak,” sahut Agathar, tak setuju, “makhluk itu mortal. Dia kena tembakan pistolku, dia bisa dibunuh. Dia juga tidak menghilang tiba-tiba. Kita hanya belum tahu trik macam apa yang dia pakai.”
“Kenapa dia menyerang kita, terus menerus. Ini kali kedua.”
“Satu asalan yang bisa kupikirkan,” kata Agathar, “kitalah yang tersisa untuk diserang.”
“Maksudmu, peserta lainnya sudah habis dibantai?” Eternita bertanya, merinding memikirkan kemungkinan itu.
“Sangat masuk akal,” sahut Kolonel, dia masih berdiri di pintu, “sebab pintu ini didorong semakin kuat. Jika kalian sudah selesai di situ, sebaiknya bantu aku di sini.”
mozaik 94
Suara Keheningan
Agathar, Alli dan Eternita kini berdiri di depan pintu. Atau tepatnya di depan kolonel Dhar yang masih menahan pintu itu dengan tubuhnya.
“Coba kau minggir, Kolonel.”
“Apa kau gila,” Kolonel melotot pada Agathar, “jika aku menjauh dari pintu ini, maka zombie-zombie-nya akan mendobrak.
“Kubilang minggir.”
Akhirnya, Kolonel mengalah pada suara Agathar yang terdengar begitu tegas itu. Agathar tanpa ragu-ragu meraih kenop pintu dan hendak membukanya. Alli agak cemas, bagaimana mungkin Agathar hendak membuka pintu itu dan membiarkan para zombie mengerikan masuk.
Pintu dibuka oleh Agathar, namun tidak ada apa-apa di sana. Semua orang melongok dibuatnya. Kolonel yang paling terkejut.
“Ba.. bagaimana bisa?”
“Mereka sudah menghilang.”
“Bagaimana kau bisa menebaknya dengan tepat?” Kolonel seketika melotot curiga pada Agathar, namun Agathar tidak peduli. Dia menyalakan senter (milik Alli) dan mulai menyoroti ke lorong luar. Seolah memastikan bahwa para zombie memang sudah tidak ada lagi di sana.
“Kau harus ingat, detektif. Aku masih menganggap kau sebagai pengkhianat, jadi ada baiknya, kau jelaskan bagaimana....”
“Teriakan Si Cakar Tiga. Teriakan itu mengandung suatu kode, suatu sinyal. Begitu para zombie mendengarnya, mereka akan merespon dengan satu tindakan. Lengkingan panjang membuat mereka terbangun, tapi raungan pendek sepertinya membuat mereka menjauh.”
“Aku masih tidak paham.” Kolonel garuk-garuk kepala.
“Sudah, tak perlu dipikirkan. Lebih baik kita fokus. Si Cakar Tiga bisa muncul kapan saja.”
“Ya,” Alli akhirnya maju, “ada baiknya kita kembali mengalihkan perhatian kita untuk mencari petunjuk selanjutnya. Bagaimana bunyi petunjuk yang melibatkan suara berisik itu, Eternita?”
“Eh, ya. Satu. Tempat paling bising di dunia, yang untungnya tak pernah mengganggu jam tidur.” Eternita lekas membuka catatannya.
Alli mengangguk. Ya, itu dia petunjuk yang harus mereka cari berikutnya.
“Mungkin dalam keheningan seperti ini, akan lebih mudah menemukannya. Menemukan tempat berisik.” Alli menyeringai, dia sedang menyelipkan lelucon.
“Aku tidak suka keheningan ini,” balas Eternita.
“Kamu benar, keheningan kadang lebih mengerikan ketimbang suara paling seram sekalipun.”
Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, mengelilingi lantai 1.
mozaik 95
Lalu Bagaimana dengan Kotaruk & Ayana
Dari ruang perapian, tim Alli mengecek ke ruang keluarga. Ruangan itu juga kosong melompong, hanya meninggalkan bekas darah di lantai. Tanda bahwa tempat itu sudah didatangi oleh Si Cakar Tiga.
Dari ruang keluarga, tim Alli bergerak ke kamar Edine, orang tua Jacob si Orang Kaya yang sejak sebelumnya selalu gagal didatangi karena sesuatu dan lain hal.
Sayangnya mereka tidak menemukan apa-apa di sini, sebab ruangan ini, ya seperti ruangan kebanyakan. Bahkan kamar Edine terkesan seperti ruangan yang tak disentuh sama sekali untuk persiapan karnaval, tak seperti kamar-kamar lain yang didekor sedemikian rupa.
“Ini kamar orang tua biasa.”
“Kurasa kau benar, bocah. Tidak ada apa-apa di sini.”
Alhasil mereka melanjutkan perjalanan.
Alli bergerak menuju ke teras depan, Eternita melewati ruangan ini nyaris tanpa ekspresi sama sekali, karena dia tahu, di ruangan inilah yaitu ruangan santai, temannya, Thyaras menghilang dan kemungkinan besar sudah terbunuh. Dia tidak ingin membicarakan hal itu sekarang.
“Kamu baik-baik saja, Eternita?”
Eternita mengangguk sebagai jawaban.
Tidak ada apa-apa juga di teras depan ini. Alli berusaha menyoroti seisi ruangan. Tidak ada jejak apapun. Tidak ada orang di ruangan ini. Mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi.
“Hei, mana Agathar?” ketika melangkah ke ruang tamu, Alli menyadari Agathar yang harusnya berjalan paling belakang, tidak ada di sana.
Rupanya Agathar tertinggal. Dia menyusul beberapa menit kemudian.
“Apa yang kau lakukan?”
“Bukan apa-apa. Hanya buang air kecil.” Agathar menyahuti Kolonel dengan nada malas.
Sebelum mereka berdebat, Alli kembali mengajak mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka kemudian meggeledah ruang tamu dan ruang kerja Jacob si Orang Kaya sekali lagi. Namun mereka tidak menemukan apa-apa juga.
Lagipula, mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka cari.
“Kau punya ide, Agathar?”
“Belum, aku belum punya ide. Tapi aku punya beberapa indikasi.”
“Katakan.”
Agathar kemudian menjelaskan pemikirannya. Menurutnya, mereka tidak akan menemukan apa-apa di lantai 1 ini. Sebab mereka sudah menemukan satu petunjuk di sini.
“Maksudmu, satu tingkatan rumah hanya akan diletakkan satu petunjuk di sana?”
“Kurang lebih begitu. Kau masih ingat bagaimana peta rumah ini bukan?”
Alli mengingat-ingat, dan dia segera ingat. Rumah ini terdiri atas Lantai 1, lantai 2 dan Ethics.
“Tiga lantai untuk empat kunci?”
“Tepatnya empat lantai untuk empat kunci.”
“Kenapa bisa ada empat?”
Agathar kemudian berkata sambil bergetar, “karena ada basement tersembunyi di rumah ini.”
“Aku perlu menanyakan bagaimana kau mengetahui itu semua?”
“Aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu itu sekarang, kolonel,” balas Agathar.
Sementara itu, di garden lantai 1 yang hanya bisa dicapai dari lorong panjang kamar pembantu, Kotaruk dan Ayana sedang bersembunyi di baliknya rimbun pohon.
Kotaruk bertelanjang dada, dan hanya memakai celana pendek. Di dekatnya duduk, ada onggokan pakaian basah. Apa yang terjadi?
“Kukira kita tadi akan mati, nyaris saja.” Ayana menatap Kotaruk dengan penuh perhatian.
“Lorong itu beracun. Kita tidak bisa lewat ke sana lagi. Kita harus bertahan di sini.”
“Aku sangat takut kehilangan dirimu.” Ayana pelan-pelan memeluk Kotaruk, suaminya.
“Kamu sangat hebat. Berkat pemikiranmu menceburkan aku ke air, kamu menyelamatkan aku dari pengaruh racun, Ayana.”
Nah begitulah bagaimana Kotaruk kini harus duduk bertelanjang dada. Mereka berdua adalah orang-orang terakhir, di luar tim Alli yang masih bertahan hidup di rumah Jacob si Orang Kaya. Tapi...
“Bagaimana jika makhluk itu datang ke sini.”
“Tenanglah,” Kotaruk mengelus rambut panjang Ayana, merangkul wanita itu ke pelukannya. “Aku sudah memblokir pintunya. Sudah kupalang. Makhluk itu tidak akan bisa masuk ke sini. Kamu harus yakin denganku.”
mozaik 96
Kebun Atap Ethics
“Kau ingat, ketua, saat kita mondar-mandir membuang waktu selama beberapa lama di lantai 2, mencari petunjuk yang ternyata ada di lantai 1.”
“Jadi dari situ muncul pemikiran kau bahwa setiap petunjuk tersedia di setiap tingkatan rumah. Satu petunjuk untuk satu tingkatan.”
Agathar mengangguk. Dia sedang berjalan beriringan dengan Alli. Alli tadi meminta Agathar merincikan pemikirannya, dan Agathar menyanggupi.
“Ya, jadi kita sebaiknya tidak membuang lebih banyak waktu di lantai 1. Tidak ada petunjuk yang tersisa di sana.”
Alli mengangguk-angguk. Karena itulah mereka sekarang berjalan kembali ke tangga, naik ke lantai 2, dan kali ini Agathar menurunkan tangga baru di atas plafon.
Tangga menuju Etichs.
Sekali lagi tindakan Agathar membuat Kolonel terheran-heran. “Bagaimana kau bisa tahu tentang tangga tersembunyi itu?”
“Bisakah kau berhenti bertanya, kolonel. Kau harusnya ingat bahwa aku pernah datang ke tempat ini beberapa kali, aku adalah partner bisnis Jacob si Orang Kaya dalam beberapa kesempatan.”
“Ayo kita segera naik, sebelum para zombie bermunculan lagi.” Eternita mendesak. Mereka kemudian naik ke tangga tipis itu, dan kini mereka tiba di sebuah ruangan sempit yang dekat dengan segitiga atap. Mereka sampai di ethics. Tidak semua rumah memiliki ruangan semacam ini.
Agathar menaikkan kembali tangga itu, dan mengunci pintu yang tadi dia dongkel dengan tongkatnya.
“Kurasa di sini aman.” Agathar menengok ke segala penjuru ethics dengan senter. Di sini memang sunyi. Selain itu juga sempit. Seingat Alli, di peta, ethics rumah Jacob si Orang Kaya hanya memiliki dua ruangan, dan dua-duanya tidak dinamai.
Mereka berjalan menyusuri lorong dengan waspada. Lorong itu berbelok sedikit di ujungnya, tepat di sebuah pintu. Di dekat pintu itu ada sebuah patung aneh. Patung seorang wanita, dengan mulut yang menganga. Atau tepatnya berlubang. Ya, mulut patung itu sengaja dirusak sehingga berlubang.
“Ruangan apa yang kira-kira tersembunyi di tempat sempit ini,” Alli meraba-raba pintu kayu di depannya. Siap meraih kenopnya. Membuka.
“Hati-hati.”
Alli membuka pintu dan terpesonalah mereka.
Tempat itu seperti sebuah anomali. Karena lampunya menyala. Tapi detail lampu menyala itu segera terlupakan oleh sebuah pemandangan menakjuban yang terpampang di depan mata mereka.
Puluhan tumbuhan bunga warna warni, merah, kuning, kelabu, tumbuhan-tumbuhan eksotis dengan berbagai bentuk yang unik, bahkan ada tumbuhan yang ditata sehingga dedaunannya mirip seperti kepala badak. Semua tumbuhan itu ditata dalam botol air mineral ukuran satu setengah liter, yang dipotong setengahnya, sebagai pot. Kemudian pot dan tanaman itu ditempel di dinding-dinding sekat rendah yang membagi ruangan itu seperti labirin. Labirin yang indah.
“Menakjubkan.”
“Setuju,” kata Eternita, “aku baru tahu kalau Jacob adalah seorang ahli tanaman.”
“Ah iya, aku hampir lupa soal kebun ini. Jacob menamainya kebun atap ethics. Tempat semua koleksi mahalnya disimpan. Semuanya dipelihara dan dirawat secara hidroponik.”
“Tadi kau bilang koleksi mahal?”
Agathar mengangguk, tumbuhan dengan daun berkepala badak ini tentu bukan barang biasa bukan?
“Ini benar-benar menakjubkan,” Alli sudah mengulang kata menakjubkan dua kali saking hebatnya pemandangan.
“Ya, setelah kita berhadapan dengan situasi hidup dan mati, pemandangan ini memang menakjubkan.”
“Hei, sejak kapan kalian akur?” kolonel menyela, menatap Alli dan Eternita. Membuat keduanya saling berpandangan. Eternita memandangi Alli dengan jijik.
“Sejak kapan. Itu cuma kebetulan.”
mozaik 97
Petunjuk Ketiga
Meskipun kebun atap ethics milik Jacob si Orang Kaya begitu menakjubkan dan luar biasa, Alli menyadari bahwa mereka tidak bisa lama-lama di sini. Waktu mereka sempit. Kolonel juga menyadari, mendesak agar mereka meneruskan penelusuran mereka terhadap petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Sang Tuan.
“Kau menggambar petanya bukan, Eternita, tolong buka petanya untukku.”
“Baiklah.”
Eternita meraih buku catatan kecilnya dan membuka gambar peta yang telah dia salin ke sana tadi. Agathar berfokus pada gambar denah ethics yang hanya menunjukkan satu lorong berkelok, dan dua ruangan. Kebun atap ethics ini salah satunya. Satunya lagi adalah ruangan tak bernama. Agathar mencoba mengamati seisi ruangan kebun atap.
“Aneh sekali, tidak ada pintu menuju ke ruangan satunya.”
“Tidak ada?”
“Ya. Lihatlah, ini adalah gambar peta ethics, hanya ada satu lorong dan dua ruangan. Tapi yang bisa kita capai hanya satu ruangan. Ruangan satunya ada di sebelah kebun atap ini, tapi tidak ada pintu yang menghubungkannya.”
“Ini berarti sama dengan ruangan yang ada di lantai 2.”
“Ya.” Agathar mengangguk.
“Apakah kau mengetahui mengapa ruangan-ruangan itu seperti disembunyikan?” tanya Eternita. Agathar menggeleng. Dia tidak mengetahui bahwa di rumah ini ada ruangan tersembunyi selain basement (yang memang disembunyikan oleh Jacob si Orang Kaya karena beberapa alasan). Seingat Agathar, semua ruangan di rumah utama, bisa dimasuki.
Apakah itu artinya, beberapa ruangan di rumah ini sengaja diatur ulang saat permainan bertahan hidup dilaksanakan. Tapi jika benar begitu, mengapa?
“Tolong berikan aku waktu berpikir sejenak.”
Alli mengangguk, menyilakan. Dia sendiri ingin memuaskan dirinya untuk mengagumi ruangan kebun atap ini dari dekat. Alli melangkahkan kaki berkeliling ruangan itu.
“Kau menyukainya ya?”
“Eh? Kau bicara denganku?” Eternita menoleh pada kolonel.
“Ya, kepada siapa lagi.”
“Apa maksudmu?”
“Kau terlihat begitu nyaman ketika bersisian dengannya.”
“Apa yang kau bicarakan, Kolonel.” Eternita mulai jengkel.
Kolonel malah tertawa, “lihatlah, kau tersipu malu. Dasar wanita. Aneh. Kau tertarik dengan pria aneh dan norak itu.”
Tawa itu membuat Eternita semakin marah. “Kau baru saja menghinaku, dasar tentara botak.”
“Apa katamu?” Kolonel langsung tersentak dan bicara dengan nada tajam.
“Ya, kau mau bertengkar denganku sekarang. Ayo maju.”
“Astaga, aku tidak ingin bertengkar. Aku hanya bertanya, apakah kau menyukai dia,” Kolonel menunjuk pada Alli, “dan jika itu benar, maka kau ini aneh.”
“Kau dengar baik-baik, aku tidak menyukainya. Tidak akan. Dia adalah pria terakhir yang akan kuajak ke pesta, kecuali aku tidak punya pilihan lain.”
“Yahh,” Kolonel mengangkat bahu, “di sini kau memang tidak punya banyak pilihan, kecuali kau mau naksir denganku.” Kolonel kembali tertawa.
“BODOH!” Eternita berteriak. Membuat yang lain menoleh.
Teriakan itu membuat Agathar jengkel. Konsentrasinya terganggu. Dalam hati dia membatin. Dasar mulut wanita, tidak pernah beristirahat kecuali mereka tidur. Bising.
Seketika itu juga Agathar tercekat. Ide itu muncul begitu saja. Dia mengerti sekarang, kenapa ada patung wanita dengan mulut bolong di depan ruangan ini. Rupanya itu sebuah petunjuk.
Agathar langsung berlari meninggalkan ruangan.
Petunjuk ketiga telah ditemukan.
mozaik 98
Mau Diapakan Tiga Kunci Ini?
“Woy, mau kemana kau, detektif?” Kolonel meneriaki Agathar yang berlari ke luar seperti tidak menghiraukan mereka semua. Karena Agathar tak menyahuti, Kolonel dan Eternita tanpa pikir panjang langsung mengejarnya. Membuat Alli berteriak panik.
“Hei, jangan tinggalin aku di sini.”
Mereka berempat akhirnya keluar. Agathar berdiri di depan patung wanita di depan ruang kebun atap. Diiringi tatapan ingin tahu dari tiga temannya, Agathar mencoba berjinjit, meraih mulut patung itu yang lebih tinggi darinya.
“Apa sebenarnya yang kau lakukan itu, detektif?”
Sebagai jawaban, Agathar melemparkan sebuah kunci ke lantai. Jatuh berdenting.
“Itulah yang kita cari.”
“Kunci yang ketiga!” Eternita berseru, langsung menyadari.
“Bagaimana kau bisa memecahkan puzzle-nya, Agathar?” Alli tertarik untuk bertanya. Antusias.
“Kalian terlalu berisik. Bicara tanpa henti. Jadi aku segera menyadari bahwa tempat paling bising di dunia adalah mulut. Terutama mulut wanita.”
Alli langsung tertawa. Reflek. Reflek pula Eternita memukul belakang punggungnya keras-keras.
“Hei, kenapa kamu memukulku, Eternita.”
“Itu tidak lucu untuk ditertawakan, kau tahu?”
Kini kolonel yang balik tertawa. “Padahal beberapa menit yang lalu kau tersipu saat kutanya apakah kau suka dengannya, keriting. Kenapa sekarang malah marah-marah.”
“Diam, atau aku juga akan memukulmu.”
Alli segera menenangkan Eternita yang hendak mengamuk itu. “Sudahlah, aku kira Eternita tidak akan menyukaiku, itu gagasan yang konyol. Dia perempuan yang hebat. Terlalu baik untukku. Yang terpenting sekarang,” Alli beralih, mengambil kunci di lantai, dan mengeluarkan dua kunci lainnya, menunjukkan ketiganya.
“Apa yang harus kita lakukan dengan kunci-kunci ini.”
“Kunci tentu saja untuk membuka ruangan yang terkunci.” Eternita menimpali.
“Tapi ruangan apa saja. Kita punya tiga kunci, apakah itu berarti tiga ruangan? Benar, ada beberapa ruangan yang tak bisa kita masuki, tapi kan itu bukan ruangan yang terkunci, melainkan pintunya tidak ada.”
“Kecuali ada sebuah ruangan yang memiliki tiga kunci sekaligus...”
Tunggu dulu.
Semua orang tiba-tiba tercenung. Mereka menyadari sesuatu. Dan seketika setelah itu mereka terloncat antusias.
“Gembok di kamar kosong!”
Tiga kunci untuk tiga gembok. Pas sekali bukan.
“Ayo kita ke sana sekarang, dan mari kita lihat apa yang sebenarnya mereka sembunyikan di ruangan tersebut.”
“Kamu pikir mereka menyembunyikan sesuatu, siapa pula mereka itu?”
“Aku belum tahu, Eternita. Tapi mereka tidak akan susah payah menyembunyikan tiga buah kunci dengan petunjuk yang muskil, tanpa sebuah tujuan besar.”
“Benar juga.”
“Ayo Agathar, kau turunkan tangganya.”
Agathar kemudian melangkah ke depan, menerima senter dari Alli. Otaknya masih berputar. Di luar antusiasme temannya menemukan fakta bahwa kunci-kunci itu sangat cocok dengan tiga gembok di kamar kosong di lantai 2, lantas...
Apa fungsi kunci keempat? Bukankah Sang Tuan memberikan empat petunjuk?
mozaik 99
Mereka Menyadari Ketakutan Mereka
“Tunggu. Dengarkan.”
Agathar menahan langkah mereka sesaat sebelum meninggalkan ethics. Mereka berhenti sejenak, memasang telinga dengan baik, menunggu.
Satu menit.
“Jadi apa yang mau kau katakan, detektif? Jangan membuat kami menunggu.”
“Bukan aku, suara itu datang dari bawah. Dengarkan.” Agathar memerintahkan sekali lagi, dengan sangat serius. Alli yang inderanya tajam, mendengar suara yang dimaksud oleh Agathar. Suara yang serius.
KREK KREK KREK KREK
DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP!
Suara itu, menjalari indera pendengaran mereka. Suara itu pelan, kemudian meningkat jadi jelas. Dari indera pendengaran, suara itu masuk ke otak, diproses, dan turun ke hati. Menjadi wujud dari ketakutan.
“Itu suara khas dari Si Cakar Tiga.”
“Tapi... tapi... suaranya terdengar lebih berisik.”
“Ya, ayunan kaki dan tangannya terdengar lebih banyak.” Alli mendengarkan dengan saksama. Tapi dia tidak bisa meneruskan kalimatnya, menyebutkan kemungkinan terburuk.
Agathar yang menyempurnakan kalimatnya.
“Itu artinya, monster Si Cakar Tiga itu, lebih dari satu.”
Alli menelan ludah, begitu juga Eternita. Bahkan Kolonel juga ikut tertegun. Satu saja makhluk itu sudah bisa membantai seluruh peserta, bagaimana kalau dua? Atau tiga? Atau malah lebih banyak dari itu?
“Dia ada di lantai bawah ya?”
“Sepertinya begitu, ketua. Makhluk itu sepertinya telah menunggu kita turun.”
“Bisakah kita tidak perlu turun ke bawah?”
Pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan itu, datang dari Eternita. Gadis itu sekarang kehilangan kontrol ketenangannya. Tubuhnya gemetar. Wajahnya begitu khawatir. Tapi Agathar (yang tak kalah khawatir kelihatannya), berkata dengan tegas.
“Tidak, kita harus turun ke bawah. Kecuali kau seorang penakut.”
“Aku bukan penakut. Tapi kita harus mengkhawatirkan nyawa kita agar tidak terlihat seperti orang bodoh.”
“Aku akan melindungimu, Eternita.”
“Lindungi saja dirimu sendiri!!” Eternita menyalak nyaring ke arah Alli. Dia kesal. Bagaimana pria ini bisa sok hendak melindunginya, sedangkan dirinya sendiri saja menggetar-getar bukan main.
“Detektif, sepertinya kunci-kunci itu memang memegang peranan kunci dalam permainan ini. Semakin banyak kita mengumpulkannya, semakin naik pula level kesulitannya.”
“Kita perlu rencana, kawan-kawan. Kita perlu rencana.”
Sementara Alli berucap, suara itu kembali kedengaran.
KREK KREK KREK KREK
DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP! DRAP!
Sementara itu, dari tempat yang jauh, Sang Tuan membelai-belai janggutnya. Tersenyum simpul.
“Mereka nampaknya mulai menyadari ketakutan kalian masing-masing. Berhati-hatilah, ini adalah The Devils Hour. Ah tapi bagaimanalah aku memberitahukan mereka, apa mungkin aku harus menemui mereka sekali lagi?”
Sang Tuan melihat bintang-bintang di langit, serta semburat merah yang mulai tampak di timur sana. Fajar telah terbit.
Sementara itu, Ayana dan Kotaruk yang berada di lantai 1, mendengar bunyi-bunyi mengerikan tersebut dengan sangat jelas. Bunyi itu membuat Kotaruk menarik tangan Ayana, menyelinap ke balik rerimbun daun.
“Jangan membuat bunyi yang mencurigakan, sayang.”
mozaik 100
Pintu Rahasia Terbuka
Mereka turun ke lantai 2 dengan sikap waspada penuh. Agathar yang berjalan paling depan, menggenggam erat tongkatnya, di tangan satunya, menggenggam senter milik Alli. Sama-sama erat.
“Sunyi ya?” Alli bersuara dari balik pundak Agathar.
“Jangan berharap sesuatu yang aneh akan muncul.”
“Sebaiknya kita meneruskan perjalanan selagi keadaan masih aman.”
“Aku setuju.”
Sekarang semua makin menegangkan.
Prok Prok Prok
Prok Prok Prok
Itu suara tepukan tangan Alli yang berjalan di urutan kedua. Suara tepukannya pelan saja, tapi lama-lama membuat Kolonel terganggu.
“Bisakah kau menghentikan tepukan tanganmu, bocah.”
“Kesunyian ini membuat semuanya jadi makin seram, kolonel. Aku hanya mencoba membuat suasana sedikit meriah.”
“Tapi suara itu mengganggu.”
Berikutnya Alli bersenandung kecil. Lagu anak-anak. Itu membuat Eternita tertawa. Ada-ada saja, di saat ketakutan, Alli malah terpikirkan untuk bernyanyi lagu anak-anak.
Mereka tiba di ruang keluarga lantai 2. Agathar memainkan senternya. Melihat ke sekeliling ruangan. Aman. Ruang keluarga lantai 2, bersih.
“Diam sebentar, ketua.” Agathar mencoba memasang telinganya baik-baik.
“Aku tidak mendengar suara apa-apa.” Eternita ikut mendengarkan baik-baik, “suasana di sini begitu sunyi. Rasanya aku bahkan bisa mendengar bunyi debar ketakutan dari Alli.”
“Hei!”
“Itu pertanda baik bukan? Ayo kita segera buka pintunya dan akhiri ini semua.”
Alli menggeleng, kesunyian ini bukan kabar baik. Kemana semua makhluk yang membuat kegaduhan yang mereka dengar di ethics tadi. Jangan sampai makhluk-makhluk itu muncul menyambar punggung mereka.
“Sebaiknya kita berhati-hati ekstra.”
“Ya, aku meminta Kolonel memegang senter sambil berjalan mundur.”
“Katakan kenapa aku harus melakukan itu?”
“Tindakan berjaga-jaga. Agar kita bisa mengantisipasi serangan dari belakang.”
“Ya, aku setuju.”
Mereka kembali ke kamar Edine. Tidak buang-buag waktu lagi untuk mengobrol atau berdebat. Mereka berjalan bersama dalam keheningan.
“Baiklah, mari kita coba kunci-kunci ini.” Agathar mengeluarkan kunci-kunci dari saku mantelnya. Mencoba satu persatu.
Mula-mula Agathar mencoba membuka kunci dengan gantungan kertas angka 1, yang mereka ambil di kepala banteng, ke gembok paling atas. Tapi gagal. Tidak berhasil.
“Coba kunci ketiga.” Alli menyarankan.
Agathar mengeluarkan kunci ketiga, yang mereka ambil dari mulut patung wanita yang bolong di ethics. Dia pasangkan ke gembok teratas. Kali ini berhasil. Alli nyaris bersorak.
Agathar membuang gembok itu ke lantai hingga terdengar bunyi berdentang.
“Berarti urutannya tiga, dua dan satu di paling bawah.”
“Cepatlah.”
“Hei, rasanya aku mendengar langkah kaki.”
Enam kata itu membuat mereka berempat merinding. Alli ikut berkonsentrasi, mendengarkan. Eternita benar. Derap langkah itu terdengar mendekat.
Siapa?
“Kolonel, siapkan senjatamu. Siapapun yang muncul di pintu itu,” Alli menunjuk pintu kamar Edine, “tembak dia.”
“Aku suka ide itu.”
Alli tidak punya pilihan lain. Jika itu Si Cakar Tiga, mereka memang perlu menghabisi makhluk buas itu, kalau tidak, mereka yang akan habis.
mozaik 101
Killer Muncul Lagi
Dua kali denting kencang terdengar lagi, menyela suara derap langkah kaki yang mendekat. Agathar telah berhasil membuka ketiga gembok. Pintu tergembok ini siap dibuka.
Dan si pemilik langkah muncul di depan pintu.
DORR!
Orang itu menghindar dengan cara berguling. Berguling maju ke hadapan Kolonel. Gerakannya begitu cepat. Kolonel meloncat menghindar, ketika orang itu sudah bangkit lagi dan siap meninju dagunya. Upper cut.
“Killer.”
“Kolonel Dhar.” akhirnya mereka saling mengenali. Alli agak lega, karena setidaknya yang ada di hadapan mereka saat ini adalah manusia.
“Apa maumu?”
“Memeringatkan kalian agar tidak membuka pintu itu.”
“Memangnya kenapa?” Agathar tidak tahan untuk bertanya.
“Karena jika kau membukanya, situasi akan menjadi semakin buruk.”
DORRRR!
DORRR!
DORRRR!
Kolonel melepas tiga tembakan. Membuat Killer harus melompat menghindar lagi. Satu tembakan datang terlalu cepat. Killer harus mengorbankan bahunya, terkena tembakan.
Dia melenguh sekilas.
“Aku sedang bicara. Kau sungguh tidak sopan, kolonel Dhar.”
“Kau jangan sampai lupa kalau aku ada di sini untuk menghukummu.”
“Begitu ya. Baiklah. Bagaimana kalau aku mencoba untuk serius. Kita lihat siapa yang akan menang.”
Sambil menyeringai seram, Killer mengeluarkan senjatanya. Pendek namun berkilat-kilat di bawah cahaya senter.
“Jangan kau pikir aku takut dengan pisau itu.”
“Ya, tapi teman-temanmu mungkin akan berpikiran lain.”
Pisau itu kelihatannya berbahaya, Eternita merogoh tasnya. Namun sebelum dia sempat mengeluarkan isinya, Alli sudah lebih dulu mengomando.
“Agathar, buka pintunya. Kita tetap pada rencana semula. Kolonel bisa menahan orang itu sejenak.”
“Berhenti!” seru Killer, “itu bukan sembarang pintu.”
Kalimat itu sukses membuat Agathar mengurungkan niatnya, berbalik, “apa maksudmu?”
“Dr. Collins telah mengatur agar pintu itu hanya terbuka dalam satu menit. Setelah itu, pintunya akan terkunci. Selamanya.”
“Kenapa dia melakukan itu?”
“Agar kau tidak tergesa-gesa mengambil keputusan.”
Agathar benar-benar mengurungkan niatnya. Dia batal membuka pintu. Wajahnya bingung. Otaknya berpikir keras. Sementara seringai Killer semakin lebar.
“Bagus sekali. Tetaplah seperti itu, sampai aku menghabisi kalian semua.”
DORR!!
Senjata Kolonel kembali menyalak. Memuntahkan pelurunya. Killer lincah menghindar, lalu dengan pisaunya dia maju.
“Cih, lama-lama aku jengkel dengan pembunuh satu ini.” Agathar hendak maju dengan tongkatnya, namun dicegah oleh Kolonel yang maju lebih dulu.
“Biar aku yang menahannya.” Kolonel sudah menangkap kedua tangan Killer, menahannya dan pisau di tangannya itu.
“Jangan bercanda. Dia mematikan dalam pertarungan jarak dekat. Aku akan membantumu.”
“Percayakanlah padaku. Aku akan menahannya. Buka pintunya. Sepertinya, apapun yang ada di balik pintu itu, sangat menarik, sampai tuan rumah repot-repot membuat program satu menit terkunci kembali.”
mozaik 102
Keputusan Sulit
Kolonel mencengkeram kuat tangan Killer sehingga si pembunuh berantai itu hanya bisa menggeram. Matanya tajam mengawasi apa yang akan dilakukan oleh Agathar.
Agathar sendiri sedang memegang erat kenop pintu rahasia yang telah dibuka gemboknya. Sedang menimbang-nimbang.
“Buka pintunya, Agathar.”
Alli memberikan perintah dengan tegas.
“Apa yang kamu pikirkan, Alli? Pintu itu hanya akan terbuka satu menit. Ada kemungkinan, salah satu dari kita tidak akan bisa memasukinya.”
“Kemungkinan besar, Kolonel.” Agathar menguatkan.
“Kita tidak punya banyak pilihan. Itu satu-satunya tempat kita bisa melanjutkan perjalanan.”
Pegangan Agathar semakin kuat.
“Pergilah, kalian semua. Aku akan menahan dia sebisaku. Selesaikan misi kalian.”
Alli sebenarnya hendak berteriak heroik seperti, kami tidak akan meninggalkanmu, tapi itu sepertinya tidak logis dalam situasi seperti ini.
Keputusan harus diambil.
“Kolonel, kau harus melompat mundur begitu Agathar membuka pintunya. Dengarkan hitungan dariku.”
Kolonel berdecak dalam hati. Bocah ini masih saja memerintahnya.
“Biar kuperingatkan kau, kolonel. Sekali saja kau melepaskan peganganmu ini, kau akan menyesal. Aku akan membunuh kalian semua.”
Eternita juga bingung. Bagaimana ini sekarang.
Menarik sekali, sekarang mereka seperti tidak ingin kehilangan satu sama lain. Sang Tuan memerhatikan mereka dari tempat yang jauh. Tersenyum, mengelus janggutnya.
“Pergilah, walau tanpa aku.”
“Keputusan yang bijak,” Killer terkekeh, terdengar begitu kejam, “aku memang akan membunuh kau lebih dulu, Kolonel Dhar. Kau telah membuat banyak rencana Dr. Collins berantakan.”
Telinga Agathar seketika berdiri. Rencana? Jadi ada sebuah rencana terselubung yang dijalankan Dr. Collins dari semua kekacauan ini. Tapi rencana apa?
“Jangan bengong, detektif. Sekali lagi kubilang, pergilah. Jangan pikirkan aku. Aku akan memenuhi misiku sekarang.”
“Agathar buka pintunya.” Alli memberi perintah, tegas.
Agaknya, dari sekarang, kita harus bersiap-siap menghitung. Menghitung mundur.
mozaik 103
Terpisah
Hitungan mundur dimulai setelah Agathar membuka pintu. Memutar kenop ke arah bawah.
KREEK!
Enam puluh.
“Masuk Eternita.” Alli langsung berseru begitu pintu dibuka. Eternita langsung meloncat masuk, begitu juga Alli. Takut sekali kehabisan waktu.
Lima puluh tiga.
“Kolonel, sekarang giliranmu.”
Kolonel berusaha melepaskan pegangan, tapi Killer sekarang balik menahan tangannya. “Kau tidak boleh pergi meninggalkan pertarungan begitu saja.”
“Cih sial.”
“Aku gagal mencegah pintunya dibuka, jadi setidaknya aku harus mencegah kau masuk.”
“Cepat kolonel!”
Alli kembali meneriaki dengan suara mulai panik. Sementara Agathar berpikir. Apa maksud Killer. Apakah ini berhubungan dengan rencana Dr. Collins.
Empat puluh lima.
“Kolonel, kita tidak punya banyak waktu.”
“Pergilah tanpa aku.”
“Kami tidak bisa meninggalkanmu.”
“Kau tidak akan bertahan lebih dari lima belas menit, dasar bodoh!” Eternita meneriakinya. Membuat kolonel jengkel.
“Cerewet kau, keriting. Aku akan mengalahkan orang ini.”
“Omong kosong. Kau bahkan tidak bisa melihat jika keadaannya begini.” Eternita mematikan senternya, senter yang dipakai untuk menyorot ke arah Kolonel dan Killer.
“Kau meremehkanku, keriting. Aku bisa bertarung dalam gelap.”
Tiga puluh dua.
“ETERNITA!” Alli berseru.
“Kita tidak bisa meninggalkannya.” Eternita balik berseru, marah.
Demi melihat wajah panik Eternita itu, Kolonel akhirnya berucap, dengan keras. “Tinggalkan satu senter. Aku akan membawanya nanti. Aku akan menyusul setelah selesai dengannya.”
“Eternita, berikan dia senter.”
“Lalu kita bagaimana?”
“Kita masih punya senterku.”
Dua puluh tiga.
Akhirnya Eternita meletakkan senternya di lantai, dengan arah tetap pada kolonel dan Killer.
Pintu mulai tergerak, hendak menutup. Alli hendak menahannya dengan tangan namun, pintu itu seperti memiliki kekuatan yang dahsyat.
“Sepertinya kita memang harus berpisah di sini dengan kolonel.”
“Dan sepertinya kita punya masalah lain.”
Senter Alli yang kini dipegang Agathar tiba-tiba redup sinarnya, dan ketika Agathar hendak menunjukkannya, senter itu mati total. Membuat mereka yang kini berdiri dalam kegelapan.
“Alli, sentermu kenapa?”
“Baterainya pasti habis.”
“Jangan bilang kamu tidak membawa cadangannya. Situasi kita menjadi semakin rumit.”
Lima belas.
“Aku membawa baterainya. Ada di dalam tas. Sebentar, kucari.”
“Cepatlah,” desak Agathar. Sementara di seberang sana, Kolonel dan Killer mulai saling membanting dengan seru.
Alli dengan cepat merogoh tasnya yang serba lengkap itu, dia merogoh sekuat yang dia bisa, hingga isi tasnya malah berhamburan. Termasuk baterai senternya yang berbentuk silinder, jatuh, menggelinding keluar.
Sebelas.
“Ah sial. Baterainya jatuh. Harus kuambil.” sepuluh
“Biar aku yang ambilkan.” Sembilan.
Eternita tiba-tiba menawarkan diri dan meloncat ke luar. Alli tak sempat mencegahnya. Delapan.
“Eternita, waktunya!” Tujuh
“Ambil bateraimu.” Enam
Alli menangkap baterai yang dilempar Eternita. Lima
Pintunya sudah mengatup semakin sempit. Empat
“Ayo cepat, masih ada sedikit waktu.” Alli berusaha keras menahan pintunya sekuat tenaga. Tiga.
Eternita mencoba berlari. Dua.
Namun pintunya sudah terlalu sempit untuk dimasuki manusia. Satu.
Pintunya kini tertutup, membuat Alli, Agathar, Eternita dan Kolonel terpisah.
“TIDAK!” Alli berteriak kencang. Tak terima.
mozaik 104
Situasi Setelah Pintu Tertutup
Demi melihat gadis keriting itu terjebak kini bersamanya, Kolonel mendengus. Andai saja tidak sedang bertarung hidup dan mati dengan Killer, dia akan memarahi gadis itu atas keputusan yang diambilnya.
“Gadis itu, membuat keputusan yang salah ya, Kolonel.”
“Bisa-bisa kau berkata santai sambil mengayunkan pisau padaku. Dasar tidak sopan.”
“Kau mau mengejekku, Kolonel?”
Kolonel menangkap tangan yang memegang pisau itu, lalu memukul ke arah bahu dengan lengan satunya. Pukulan itu membuat pisaunya terjatuh ke tanah.
“Sejak awal kau membuat pertarungan ini tidak seimbang. Pisau ini sebaiknya disingkirkan.”
Kolonel menendang benda tajam itu dengan sepatunya. Pisau itu kini tidak ada lagi dalam jangkauannya. Killer lengah melihat tingkah kolonel, dan itu memberikan kesempatan bagi Kolonel untuk meninjunya.
Killer terlempar setengah meter dan jatuh telentang di lantai.
“Pertarungan telah selesai, Killer. Kau mengecewakanku.” Kolonel mengambil pisau di lantai, kemudian berjalan ke arah lawannya yang telah terkapar tak berdaya.
Eternita terus mengamati gerak-gerik Kolonel. Dia akan menunggu. Jika Kolonel memutuskan untuk menghabisi Killer, dia akan mencegahnya. Jika tidak, maka dia akan membiarkan Kolonel bertindak sesukanya saja.
“Pergilah,” Kolonel berkata dingin.
Killer melenguh.
“Kau dengar aku. Pergilah.”
“Kenapa kau tidak menusukku saja dengan pisau itu?”
“Pergilah. Aku tak sudi membunuh musuh lemah sepertimu. Kuharap kita bisa bertarung lagi nanti, dan pertarungannya harus lebih seru.”
“Kau benar-benar merendahkan diriku.”
Kemudian, bak makhluk yang tak punya harga diri, Killer meninggalkan kamar Edine. Meninggalkan Kolonel dengan Eternita seorang.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Apa itu?”
“KENAPA KAU MASIH ADA DI SINI HAH!?” Kolonel mengencangkan suaranya.
“Memangnya kenapa?”
“Kenapa kau tidak ikut dengan mereka. Kau di sini hanya akan merepotkanku saja.”
“Jangan kau berpikir aku sudi terjebak denganmu. Aku ada di sini karena tak punya pilihan lain. Lagipula siapa yang mau bekerja sama dengan orang keras kepala, pemarah, temperamental dan botak seperti kau. Tambahkan bodoh pula.”
“APA KATAMU!”
“Sudah. Lebih baik sekarang kita mulai berpikir. Apa yang harus kita lakukan, karena Alli dan detektif pasti sedang melakukan sesuatu juga di sebelah sana.”
“Ini benar-benar konyol. Kenapa aku harus terjebak dengan gadis keriting sepertimu.”
“Jangan membuatku marah, Kolonel.”
“Kau tadi yang mulai duluan.”
Entahlah, tapi kerja sama mereka, sepertinya tidak akan berhasil.
Tidak akan pernah.
mozaik 105
Alat Komunikasi Milik Eternita
BUKK
BUKK
BUKK!
Alli memukul-mukul pintu ruangan yang kini sepenuhnya telah terkunci. Sama sekali tidak bisa dibuka lagi. Alli berusaha menarik, mendorong, memukul dan berteriak, namun tidak ada yang berubah. Pintunya tetap terkunci.
Ini membuat Alli setengah putus asa.
Sementara itu, dalam gelap, Agathar diam tak bersuara. Dia nampaknya membiarkan saja, Alli menumpahkan semua perasaannya.
Lima belas menit.
Alli masih berusaha keras membuka pintu itu dengan menggedor-gedornya, dikejutkan dengan sinar terang yang tiba-tiba menerpa pintu itu. Dia menoleh ke belakang. Rupanya Agathar telah menyalakan kembali senternya dengan baterai yang diambil Eternita.
“Hentikan berbuat yang sia-sia, ketua.”
“Kita harus melakukan sesuatu, Agathar. Sesuatu.”
BUK BUK BUK
“Hentikan. Jangan memukul pintu itu. Percayalah, itu tidak ada gunanya. Pintu itu terbuat dari baja setebal 2 inchi. Kau bahkan tidak bisa membongkarnya dengan molotov.”
“Kau tak mengerti, Agathar. Kita meninggalkan mereka berdua di sana, terjebak dengan seorang pembunuh berantai. Mereka dalam bahaya.”
Agathar menatap Alli datar, seandainya kau ada di sana, kau juga tidak bisa menolong mereka jika mereka dalam bahaya. Dia membatin.
“Ya, kita akan melakukan sesuatu, tapi yang pertama, bukan membuka pintu itu. Itu membuang waktu. Percayalah.”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?”
Agathar berjalan ke arah Alli, tangannya merogoh ke saku mantel. “Kau ingin tahu nasib mereka berdua bukan? Nah pegang benda ini.”
Sebuah benda berbentuk kotak, dengan permukaan berlubang bulat-bulat kecil diserahkan ke tangan Alli. Alli keheranan. Benda apa ini? Bentuk permukaannya itu mengingatkan Alli pada speaker telepon.
“Apa ini?”
“Dekatkan ke telingamu.”
Alli menurut, mendekatkan benda itu ke telinganya. Belum habis keheranannya, Agathar menekan sebuah benda berkabel yang tergantung di lehernya. Kemudian dia menekan sebuah tombol lalu berbicara.
“Halo Eternita, kau bisa mendengarku?”
Suara Agathar merambat lewat kabel-kabel itu, ditransmisikan ke udara lewat perangkat elektronik, dan masuk ke penerimanya yang ada di dekat telinga Eternita. Suara itu membuat Eternita kaget. Ada yang berbicara lewat alat komunikasinya.
Cepat-cepat Eternita mendekatkan alat itu ke telinganya.
“Thyaras?” Eternita nyaris terpekik senang. Membuat kolonel menoleh.
“Oh jadi nama teman wanitamu itu, Thyaras.”
“Kau, detektif. Agathar.”
“Benar, ini aku, Eternita. Kau bisa mendengar suaraku?”
“Kapan kau mengambil alat komunikasi milik Thyaras?”
“Bukan itu yang harus kita bicarakan.” Agathar bersuara lagi, “kalian di sana baik-baik saja bukan?”
“Yeah, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mencemaskan diriku.”
“Bukan aku, ketua yang mencemaskan dirimu. Dia tidak henti-hentinya menggedor pintu.”
Alli berdecak kesal. Kenapa pula Agathar harus mengatakan soal itu. Kolonel juga menunjukkan ekspresi yang aneh. Dia menyeringai.
“Katakan pada Alli, kami baik-baik saja. Lebih baik dia mencemaskan dirinya sendiri, karena dia lebih lemah. Kami sudah mengusir Killer.”
Alli kembali berdecak kesal.
“Aku tidak perlu mengatakannya, dia sudah mendengar. Nah kalau begitu, mari kita bicarakan soal rencana.”
mozaik 106[ Di sini alur diputar dan disesuaikan. Tolong di cek lagi setelah novelnya selesai]
Rencana Agathar
“Apa rencanamu, detektif?”
“Memastikan kita semua bertahan sampai pagi menjelang, dalam keadaan selamat.”
Kolonel dan Eternita fokus mendengarkan dari alat komunikasi di leher Eternita.
“Lanjutkan, jadi apa yang harus kami lakukan?”
“Pertama, kita harus berkumpul lagi.”
“Kenapa kau yang bicara, bocah.”
“Dia benar, ketua benar,” Agathar membela, “kita memang harus berkumpul kembali. Semakin banyak orang yang menghadapi monster itu, semakin baik. Sebaliknya, jika kita terpencar, dia akan lebih mudah menyerang kita.”
Tentu saja Agathar sedang bicara tentang Si Cakar Tiga.
“Jadi bagaimana kami bisa menemukan kalian? Kau tidak berharap aku menerobos lewat pintu bukan? Pintunya kokoh sekali. Aku sudah mencoba menembaknya dengan peluruku tiga kali.”
“Hei, jangan menembak sembarangan! Kepalaku dan Ketua berada tak jauh dari pintu.”
Agak mengerikan membayangkan Agathar tertembak tanpa tahu bahwa yang menembaknya ternyata adalah Kolonel Dhar.
“Iya, jangan cemas. Jangankan peluru, suaranya saja kurasa tak tembus ke seberang sana.”
Benar juga, Alli dan Agathar sama sekali tidak mendengar suara tembakan.
“Kita kembali ke rencana. Dengar, di ruangan kami saat ini, ada sebuah tangga yang menghubungkan dengan lantai bawah. Itu berarti di lantai 1, ada ruangan juga yang terhubungn dengan ruangan rahasia ini. Kalian harus mencari ruangan itu. Aku harap, kalian bisa menerobosnya.”
“Jangan bicarakan soal menerobos dulu. Bagaimana kami menemukan ruangan yang kau maksud?”
Agathar mengingat sejenak, mengingat peta, “kalau aku tidak salah, posisi kami saat ini ada di sebelah kiri ruang keluarga. Antara koridor kamar pembantu, atau Kamar Edine. Kalian harus mencari di sana.”
“Baiklah, setelah itu apa?”
“Kita akan bertemu di sana. Kabari kami, jika kalian sudah menemukan ruangan itu. Katakan pada Eternita untuk mematikan alat komunikasi ini karena sudah hampir habis baterainya.”
“Dengan satu syarat, kau harus menjelaskan bagaimana kau bisa memiliki alat komunikasi milik Thyaras.”
“Nanti akan kujelaskan.” Lalu Agathar lebih dulu mematikan alat komunikasi miliknya.
mozaik 107
Ruangan Rahasia Dr. Collins
Suasana menjadi senyap di ruangan rahasia setelah Agathar mematikan alat komunikasinya. Yang dilakukan sang detektif kemudian, adalah melihat-lihat ruangan itu dengan senter di tangannya. Ruangan itu cukup besar. Diisi dengan rak-rak besi, dan di rak-rak itu bersusun puluhan toples. Apa isinya? Tidak bisa dilihat langsung, karena badan toples itu dibungkus semacam kertas, dengan tulisan aneh di atasnya. Seakan kertas-kertas itu adalah label untuk setiap toples.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Agathar tak merespon. Dia masih asyik memandangi toples-toples itu. Bahkan dia sudah memungut salah satu toplesnya.
“Sial, tutupnya tidak bisa dibuka. Dan kertas label yang sengaja ditaruh di dalam toples. Siapapun empunya toples ini, dia tidak ingin rahasianya kubongkar.”
Itu lebih terdengar seperti Agathar berbicara dengan dirinya sendiri ketimbang dengan Alli.
“Tunggu dulu...”
“Agathar,” Alli mencoba menegur, namun Agathar memotong cepat, “tolong diam, ketua.”
Perhatian Agathar kembali tertuju pada toples. Dia mencoba mengintip isinya, namun sangat susah. Bagian bawahnya juga ditutupi oleh semacam kertas. Agathar berusaha keras membuka toples itu, mati-matian. Namun toples itu tidak bisa dibuka.
“Lemparkan saja,” Alli mendekat, kemudian memberikan saran.
“Toples ini plastik, tidak akan pecah kalau kulempar.”
“Tapi guncangan boleh jadi membuat kertas pembungkusnya berantakan.”
Hei ada benarnya juga. Agathar melemparkan toples itu ke dinding kuat-kuat, kemudian lekas mengambilnya kembali. Usulan Alli benar, kertas pembungkusnya berantakan, dan sekarang mereka bisa mengintip isinya.
Agathar terkejut sekali ketika melihat apa isi toples itu.
“Astaga, aku benci melihat benda ini berkali-kali dalam satu malam yang sama.”
“Ada apa?” Alli ikut menengok, tapi sekejap kemudian, dia menahan mual.
Lagi-lagi sesuatu yang kurang pantas. Otak manusia.
“Jadi begini ya bentuk otak manusia,” Alli membolak-balikkan toples. Dia memang mual dan jijik, tapi dia paksakan untuk menengok. “Kau lihat ini, Agathar, darahnya masih menempel, begitu otentik. Seolah otak ini baru saja diambil dari...”
“Baru saja?” Agathar tiba-tiba seperti tersadar akan sesuatu, lalu seperti orang gila, dia berlarian ke arah toples, mulai melempari mereka ke dinding. Belasan toples kini bergulingan. Ruangan menjadi berantakan.
“Kalau kamu mau melakukan hal gila, kurasa ini bukan keputusan yang tepat, Agathar.”
Agathar tak menggubris kata Alli.
Dari dalam toples-toples itu kini terlihat berbagai macam organ dalam manusia. Jantung, hati, ginjal, bahkan mata. Agathar mengambil beberapa toples, membolak-balikkannya dengan saksama.
“Aku membantu dengan senter di sini saja ya. Tak kuat mentalku melihat semua organ dalam toples itu. Mual perutku.”
“Aku juga mual, ketua. Tapi ini penting. Akhirnya aku memahami satu hal.”
“Apa itu?”
“Alasan kenapa Killer, si pembunuh berantai, ada di tempat ini.”
“Kenapa?”
Agathar menunjuk satu toples yang berisi mata manusia. Melihatnya berdiri memegang toples itu dari kejauhan saja, membuat Alli merinding.
“Karena Dr. Collins memerlukan orang yang berakal untuk mengambilkan organ-organ dalam para peserta yang telah berubah jadi zombie. Membunuh mereka mungkin bisa dilakukan oleh Si Cakar Tiga, tapi mengambil organ mereka, hanya orang berakal yang bisa.”
“Maksudmu, ini organ para peserta permainan survival yang masuk bersama kita?” Alli merinding bukan main mengucapkan kalimat itu. Lehernya terasa dingin.
Agathar membalas dengan anggukan. “Benar, kita pun nyaris bernasib serupa.”
Mereka sama-sama merasakan kengerian baru. Ternyata itu motif sebenarnya di balik permainan survival ini.
“Kita harus menemukan Dr. Collins,” kata Alli, “aku ingin bicara dengannya.”
mozaik 108
Bagaimana Si Cakar Tiga Bergerak
Agathar memeriksa ruangan itu dengan saksama. Saksama dalam artian benar-benar tak ada yang terlewat. Bahkan Agathar merasa dia harus melihat seluruh isi toples yang ada di ruangan tersebut.
“Lakukan dengan cepat, aku mual melihat semua organ itu.” Alli berkata sambil menutup mulutnya.
Sembari mematut toples satu persatu (dengan wajah yang serius), Agathar mengajak Alli bicara. Untuk pertama kali, Agathar menanyakan sesuatu yang serius pada “ketua”-nya itu.
“Apa misimu datang ke sini, ketua?”
Pertanyaan yang membuat Alli bingung. “Misi? Apa maksudmu?”
“Kau tak punya tujuan atau keinginan tertentu saat datang ke rumah ini?”
“Tentu ada. Aku tertarik dengan hadiah yang diberikan oleh permainan ini.”
“Bukan, bukan tujuan semacam itu. Kau salah paham. Kukira kita berempat memiliki misi masing-masing saat datang ke sini. Karena itulah kita disatukan oleh pria tua berjanggut itu. Misalnya Eternita si wartawan itu, dia punya misi untuk menyelidiki rumah ini dan mencari tahu tentang Jacob si Orang Kaya untuk laporan investigatif.”
“Darimana kau tahu?”
“Bukan satu kebetulan. Lalu Kolonel Dhar yang datang kemari untuk menangkap buronan. Kau lihat benang merahnya bukan? Mereka tidak datang ke sini karena kebetulan semata.”
“Tapi bagaimana denganmu? Kau sendiri datang kemari untuk apa?”
Pertanyaan yang menjurus. Agathar salah langkah memilih pertanyaan. Buru-buru dia mengalihkan pembicaraan.
“Sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan, Ketua.”
“Kau menolak memberitahuku ya.” Alli bersungut-sungut.
Agathar meneruskan penelusurannya. Jalur perjalanan mereka sebenarnya sudah jelas, namun Agathar tidak ingin langsung ke bawah. Mereka akan menunggu Eternita dan Kolonel mengabari terlebih dahulu. Jadi sementara ini Agathar memanfaatkan waktu untuk memeriksa ruangan ini.
“Ruangan ini sepertinya menyimpan banyak rahasia ya. Biar kutebak, di sini ada sebuah pintu tersembu....”
BUKKK!
Alli terjatuh saat memegangi dinding secara iseng. Dia telah membuka sebuah pintu rahasia. Pintu tersebut, bisa dibuka dengan cara menggesernya. Alli menengok ke luar. Pintu ini benar-benar pintu keluar dari ruangan terkunci ini.
“Pintu rahasia ya.” Agathar mendekat.
“Ha, aku menemukan sesuatu yang bagus bukan?”
“Jadi begini Si Cakar Tiga bergerak dengan cepat lalu menghilang. Pasti banyak pintu rahasia semacam ini tersembunyi di rumah ini.”
“Ayo kita temui Kolonel dan Eternita langsung.”
Agathar menolak usulan itu. “Tidak, kita tetap pada rencana semula. Kita akan bertemu di lantai bawah. Ayo kita periksa tangganya sekarang.”
mozaik 109
Berada di Antara Lautan Zombie
Selepas mendapatkan panduan rencana dari Agathar (kolonel enggan menyebut itu sebagai sebuah perintah), mereka berdua segera menyusuri lorong untuk kembali ke lantai 1. Eternita di depan memegang senter, berlari dengan cepat. Sejauh ini, kondisi lantai 2, begitu sunyi senyap.
“Kukira, tadinya kita akan bertemu dengan banyak zombie atau makhluk mengerikan lainnya,” Eternita berucap, menarik nafas lega. Sejauh ini belum ada rintangan yang berarti. Kolonel juga diam saja, tidak berniat memulai perdebatan atau pertengkaran kecil dengannya.
Namun ketika sampai di tangga turun menuju ke lantai 1, langkah Eternita terhenti. Sinar senternya tak sengaja mengarah pada satu makhluk yang amat memilukan. Perutnya seketika mual.
“Zombie...”
“Sudah kuduga.”
“Tapi aku tidak menduga tampilan mereka menjadi semakin mengerikan.”
“Mata kanannya berlubang. Bola matanya pasti telah dicongkel.”
“Siapa yang melakukannya?”
Kolonel berdecak, di saat seperti ini, pertanyaan Eternita itu, baginya sangat konyol. “Mana aku tahu. Coba kau mainkan sentermu ke arah lain. Aku tidak mau makhluk Si Cakar Tiga itu ada di sini menunggu kita.”
Eternita dengan gemetar memainkan arah senternya ke depan. Semakin dia melihat, semakin dia gemetar. Ada banyak zombie di sana, dan penampilan mereka, berbeda.
“Tulang tengkorak dan perut mereka sudah rusak. Sepertinya ada banyak organ yang diambil. Astaga, siapa yang melakukan hal mengerikan semacam ini.”
Kolonel menatap dengan cermat ke arah bawah. Memperhitungkan situasi.
“Ayo kita turun.”
“Eh kita?”
“Ya. Tidak ada Si Cakar Tiga di bawah sana. Kita bisa mengatasi keadaan.”
“Tidak bisakah aku menunggu di atas sini saja, memegangi senter, sementara kau yang turun menghabisi mereka semua.”
“Jangan bilang kau takut, keriting.”
Eternita menelan ludah. Kolonel baru saja menghinanya lagi, tapi hatinya lebih membenarkan daripada menolak perkataan kolonel itu.
Apakah dia takut?
Eternita lekas menggeleng. Tidak, dia tidak takut. Dia tidak takut apapun.
“Baiklah, aku akan ikut turun.”
“Bagus. Lebih bagus lagi jika kau bisa membantuku, menghabisi para zombie.”
Kolonel sudah meloncat turun ke lantai bawah. Melompati beberapa anak tangga, dan menghajar zombie pertama dengan tinjunya. Zombie itu terbanting ke bawah tangga. Jatuh berdebuk.
“Cih, kalian membuat tanganku kotor. Baiklah, saatnya aku menggunakan benda ini.”
Kolonel meraih senapannya, dan mulai menembak. Eternita mengeratkan pegangan senternya mengikuti arah kolonel menembak. Lantai 1 ini mengerikan. Banyak sekali zombienya. Namun Kolonel menembak tanpa ampun.
DORR
DORRR
DORRR
DORRRRR
Peluru terus berdatangan bagai hujan.
Keasyikan menyerang, Kolonel tidak menyadari bahwa ada sebagian zombie datang dari arah belakang mereka. Zombie itu menangkap tangan Eternita secara mendadak. Membuatnya memekik kaget.
“HAA!”
Zombie itu memeganginya dengan erat. Sementara tangan zombie yang satunya, mengarah ke wajah Eternita. Gadis itu panik hendak melepaskan tangannya yang dipegangi, sekaligus menangkis tangan satunya. Alhasil, dia harus melepas pegangan senter.
PLAK!
Eternita mengibaskan tangan, menangkis tangan zombie yang sudah sangat dekat dengan wajahnya. Mungkin karena tenaganya yang terlalu kuat, tangan zombie itu jatuh, terlempar. Terlepas dari badan. Eternita kaget melihat itu. Namun dia harus menguasai dirinya. Gadis itu menarik tangannya yang dipegangi sekuat tenaga, kemudian memukul zombie itu di dahi.
BUKKK!
PLAK!
BUKKK!
Hingga zombie itu jatuh. Darahnya muncrat ke tangan Eternita. Meninggalkan sensasi campur aduk pada gadis itu.
Dia baru saja membunuh.
“Hei, keriting, jika kau sudah selesai, tolong aku dengan senternya.
mozaik 110
Aha! Kami Melihatmu!
Tangga itu berdebu.
Alli bahkan berkomentar bahwa tangga itu, beserta suasananya seperti sebuah rumah yang tidak pernah digunakan selama bertahun-tahun. Jejak sepatu mereka membekas di atas gumpalan debu. Di salah satu jejak sepatu, ada jejak bulat khas di sampingnya. Jejak tongkat Agathar.
“Aku nyaris menganggap ini bagian terpisah dengan rumah Jacob si Orang Kaya. Perbedaannya terlalu kontras.”
“Kalau kau tanya aku ketua, aku akan menganggap bahwa bagian ini terlihat seperti sebuah markas rahasia.”
“Jadi menurutmu, apa yang akan kita temukan di lantai bawah itu nantinya.”
“Sesuatu yang harus membuat kita bersiap-siap.”
“Aku hanya berharap bukan sesuatu yang membuat perutku mual lagi.”
Panorama lantai 1 sudah mulai terlihat. Sorot senter yang dipegangi Agathar sudah sampai ke dindingnya. Namun hanya sesaat karena sesaat kemudian, Alli menyuruhnya mematikan senter. Dengan kalimat yang pelan, namun tegas. Karena Alli mendengar sesuatu.
Sebuah suara.
“Matikan senternya, Agathar.”
“Kenap.... mppphhh.”
Belum lagi Agathar bertanya, Alli sudah membekap mulut detektif itu. “Jangan berisik. Aku mendengar sesuatu.”
“Mungkin itu cuma bunyi hujan yang mulai turun dari langit.”
“Bukan,” Alli menggeleng, maksudnya bukan suara itu yang membuatnya menyuruh Agathar mematikan senter, kalau soal hujan, di luar memang sedang gerimis.
“Lalu apa?”
“Aku mendengar, suara nafas.”
“Nafas.”
“Dengarkan baik-baik.”
Kemudian Alli mengajak Agathar naik sedikit ke bagian atas tangga dan berjongkok. Mengamati pemandangan lantai bawah hanya dari celah kecil.
“Ya, aku mendengarnya, ketua. Suara helaan nafas yang aneh.”
“Ada sesuatu di lantai bawah.” Alli terus memerhatikan, meskipun dalam kegelapan. Agathar yang lebih berpengalaman di dalam gelap, ikut bantu mengamati. Menyisir setiap sudut lantai bawah, kecuali sudut bawah tangga yang tak bisa mereka amati.
“Di sana, ketua.” Tiba-tiba Agathar menunjuk. Ke arah jendela besar.
“Ada apa.”
“Tunggu sebentar. Kita beruntung bisa melihatnya, jika petir menyambar. Kita bisa melihat dari cahaya kilatnya. Meskipun aku cukup yakin itu apa.”
BLARRR!
Kilatan petir di luar akhirnya tampak. Cahayanya tipis masuk ke rumah lewat jendela besar. Cukup untuk menunjukkan apa yang dilihat oleh Agathar.
“Si Cakar Tiga.” Alli terhenyak, melihat makhluk itu duduk di kursi sekarang.
“Ya,” sahut Agathar, “akhirnya kita bisa menemukan tempat persembunyiannya.”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Kenapa kau menanyakannya padaku? Kaulah ketuanya. Kau yang putuskan.”
“Beri aku saran, Agathar.”
Agathar tersenyum simpul. Baiklah, kalau begitu, dia akan memberikan saran.
“Aku sarankan kita membuat serangan jarak jauh untuk mengejutkan dia. Lebih bagus lagi kalau kita bisa melukainya. Kemudian baru kita turun dan mencoba peruntungan bertarung dengannya. Si Cakar Tiga tidak suka cahaya. Kita punya keunggulan.”
“Benda apa yang kita jadikan serangan jarak jauh?”
“Tongkatku ini.”
“Ide bagus. Ayo lakukan.”
Agathar menunggu satu kali lagi petir menyambar guna memastikan target sasarannya. Setelah dirasanya cukup akurat, dia melempar.
Tongkat yang cukup berat itu meluncur mantap menuju ke arah Si Cakar Tiga. Serangan tak terduga yang langsung kena dahinya. Makhluk itu nampak terjatuh.
“Sekarang, ketua.”
Alli dan Agathar lekas menuruni tangga. Suaranya agak ribut. Mereka menandai keberadaan mereka. Namun Si Cakar Tiga malah melarikan diri lewat salah satu pintu rahasia.
Agathar memungut kembali tongkatnya, sambil memerhatikan bercak darah di lantai. Bercak darah Si Cakar Tiga. Kemudian Agathar tersenyum simpul.
“Kabar baik, ketua. Si Cakar Tiga adalah makhluk mortal.”
“Maksudmu?”
“Dia sama seperti kita. Dan selama dia terdiri atas darah, daging dan tulang, aku bisa menyusun siasat untuk mengalahkannya.”
Alli menelan ludah. Apa yang tadi terjadi, sangat menegangkan baginya. Apalagi saat Agathar meneriaki agar mereka turun mengejar Si Cakar Tiga.
mozaik 111
Suara Jeritan Eternita
Di tangga menuju lantai 1 ruangan utama rumah Jacob si Orang Kaya.
Kolonel Dhar bersama Eternita hampir menghabisi semua zombie yang mengarah kepada mereka. Atau bahkan yang tidak mengarah pada mereka pun, juga dihabisi oleh Kolonel Dhar. Eternita sendiri lebih banyak berlindung di belakang, sambil menatap tangannya yang berlumuran darah zombie.
“Kau benar-benar payah dan penakut, keriting.”
“Jangan mulai mengejekku, Kolonel. Aku hanya tidak suka tanganku berlumuran darah zombie-zombie itu. Menjijikkan.”
“Kau hanya sedang mencari-cari alasan.”
“Sudah kubilang jangan mulai, kolonel.”
Mereka kembali turun ke lantai 1, setelah sebelumnya sempat harus mundur, naik kembali ke tangga. Itu karena kolonel perlu mengisi peluru senjatanya, sementara Eternita menolak membantu. Dia terus beralasan jijik dengan tangannya yang harus bersentuhan dengan darah zombie itu.
Kau baru saja membunuh, Eternita.
Perasaan bersalah menikamnya.
Yang tersisa setelah pembantaian mengerikan yang dilakukan kolonel Dhar atas para zombie adalah genangan darah dan potongan tubuh yang bergelimpangan. Beberapa ada di tangga. Eternita mual setiap melihat genangan darah itu. Apalagi sekarang dia harus menginjaknya.
“Aku sudah lama tidak melihat pemandangan semacam ini semenjak serangan besar musuh kami di tahun 50-an.”
“Apakah pemandangan semacam ini tidak menggugah nurani anda, Kolonel?”
“Apa maksudmu, apa kau mengira aku ini seperti orang kejam yang tidak punya hati nurani?”
“Bukan seperti itu. Maksudku, pemandangan mengiris seperti ini, bagiku memilukan. Seandainya bisa, aku ingin memalingkan mataku saja. Bagaimana denganmu, apakah kau tidak merasakan hal seperti itu.”
Pemandangan yang memilukan? Kolonel tiba-tiba merasa seperti tersengat serangga, tapi langsung di sanubarinya, kau tak tahu apa-apa tentang pemandangan yang memilukan, keriting.
“Tentu saja. Bahkan kami para tentara sekalipun merasakannya. Pertumpahan darah, perang, itu adalah hal-hal yang kejam. Aku campur aduk saat melihat potongan tubuh teman-temanku yang terbantai oleh musuh kami. Tapi itulah yang harus kulihat. Apapun yang terjadi, harus terus maju.”
“Sungguh jiwa yang tegar.”
BUKKK!
Eternita mendahului Kolonel turun ke lantai 1 di ujung tangga terakhir. Saat itulah, tanpa dia duga, sesuatu menabraknya. Sesuatu yang berbulu.
“Aduh.” Eternita bahkan sampai terduduk. Lalu dia mendongak untuk melihat apa yang menabraknya. Sesuatu yang masih berdiri tegak. Eternita mengarahkan senternya. Seketika mulutnya terbuka, melongok. Kolonel yang melihat, ikut menahan nafas.
Itu adalah....
“Si Cakar Tiga.” Kolonel gesit meraih kembali senapannya.
“HAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!”
Teriakan Eternita keluar tanpa bisa ditahan-tahan. Dia menutupi mata dan telinganya, dan duduk memeluk lutut.
“Agathar, rasanya aku mendengar suara teriakan.”
“Aku juga. Sepertinya itu suara teriakan wanita.”
“Jangan-jangan itu Eternita.”
“Mungkin.”
“Jangan-jangan Si Cakar Tiga tadi mendatangi mereka.”
“Sangat mungkin.”
“Agathar lakukan sesuatu.”
“Baiklah. Akan kunyalakan alat komunikasinya.”
mozaik 112
Kemunculan Dr. Collins
“Eternita, masuk, Eternita.”
Hening saja Alli mendengar di speaker yang dipegangnya. Itu tandanya, Eternita tidak menyalakan alat komunikasinya.
“Eternita, kau bisa mendengarku?” Agathar mencoba lagi.
Tetap tak ada jawaban.
Situasi ini membuat Alli tidak sabaran, merebut alat komunikasi itu. Nyaris membuatnya putus.
“Berikan padaku.”
“Pelan-pelan. Kalau ini sampai putus, habis sudah kesempatan kita.”
Agathar menyerahkan alat komunikasi. Alli lekas bicara. Berseru-seru seolah Eternita akan mendengarkannya jika dia berteriak keras-keras.
“Eternita kamu baik-baik saja? Eternita, kamu mendengarku.”
Yang terdengar kemudian, adalah suara kesal dari Alli yang nyaris membanting speaker. Agathar kembali menenangkannya. “Tenang Alli. Dia baik-baik saja. Percayalah. Mereka hanya mematikan alat komunikasinya, kita harus menunggu sampai mereka menyalakannya.”
“Kita harus mendatangi mereka, aku yakin, ada pintu tersembunyi di ruangan ini.”
Namun sebelum Alli bergerak, Agathar menahan langkahnya di bahu, “Ketua, tenanglah.”
“Kau tahu, Agathar, Eternita bukan penakut. Kalau dia sampai berteriak, itu berarti buruk.”
“Ya, aku tahu. Tapi dengarlah sekarang. Tidak ada lagi teriakan. Dia baik-baik saja.”
Alli tetap tidak tenang.
Kembali ke Kolonel dan Eternita yang berhadapan langsung dengan Si Cakar Tiga. Berhadapan dengannya saat ini, dengan jarak sedekat ini, bahkan membuat mental Kolonel Dhar gentar. Dia ragu-ragu meraih pelatuk senapannya.
“Jangan sakiti dia. Pergilah.”
Si Cakar Tiga melenguh. Namun dia tidak bergerak. Eternita di bawah sana, terduduk, juga tidak bergerak-gerak. Mati kutu.
“Aku akan menembak, kalau kau bergerak menyerang. Habislah kau di sini.”
Namun kolonel tidak kunjung menembak.
Si Cakar Tiga melangkah keluar dari ruangan. Tidak ada yang bisa membaca apa yang ada di pikiran makhluk itu. Jika dia punya pikiran.
“Kau tidak apa-apa?” Kolonel mengulurkan tangan pada Eternita yang masih terduduk. Saat Kolonel meraih tangan, membantu Eternita berdiri, Kolonel bisa merasakan betapa gemetarnya tangan Eternita.
“Kau tidak apa-apa?” Ulang kolonel.
Eternita menghela nafas, “setelah ini, kau pasti akan menganggap aku seorang penakut.”
“Jangan khawatir. Setidaknya aku tidak mengatakan itu sekarang. Aku juga sedikit gentar melihat makhluk itu.”
“Mengerikan sekali.”
“Tapi aku melihat satu hal.”
“Apa itu?”
“Dahinya berdarah. Itu berarti dia bisa dilukai. Jika dia bisa dilukai, dia juga bisa dibunuh.”
“Agathar, tolong nyalakan lagi alat komunikasinya.”
Agathar menuruti perintah Alli. Namun reaksi speaker itu tetap sama. Alli ber-halo-halo, namun tidak terdengar apapun. Alli berdecak semakin kesal.
“Aku harus pergi ke sana, Agathar. Aku harus memastikan kondisi Eternita dan Kolonel dengan mataku sendiri.”
“Tunggu.”
“Apa lagi? Jangan mencegahku, Agathar.”
“Aku mendengar suara langkah.”
Perhatian Alli dan Agathar kemudian teralihkan dengan sebuah suara langkah yang mantap. Namun datang dari dalam ruangan. Dari belakang. Bukan dari arah luar.
Alli dan Agathar berkonsentrasi menunggu siapa yang akan muncul.
“Selamat malam menjelang pagi, tuan-tuan sekalian.”
Seorang pria berjas putih muncul, berdiri di ambang pintu. Sebuah stetoskop tergantung di lehernya. Semakin menegaskan bahwa dia adalah seorang dokter.
Alli dan Agathar sama-sama terkejut dengan kemunculannya.
“Perkenalkan, namaku, Dr. Collins.”
“Jacob si Orang Kaya.” Agathar berkata pelan.
mozaik 113
Identitas Jacob si Orang Kaya
“Selamat datang, tuan-tuan. Aku berharap kalian menikmati rumah besarku.”
Lupakan soal speaker dan alat komunikasi, Agathar berjalan secara tergesa-gesa ke arah orang yang baru muncul itu. Di salah satu sisi jasnya, tertulis namanya. “Dr. Collins.”
“Kau adalah Jacob si Orang Kaya.” Agathar menunjuk-nunjuk. “Jangan pikir aku bisa tertipu.”
“Ya, ini memang aku. Lalu apa yang ingin kau lakukan?”
“Tunggu sampai aku membuat perhitungan.”
“Ha, jangan bergerak!” Dr. Collins (atau malah Jacob si Orang Kaya sendiri), mengeluarkan sebuah pistol, menodong ke arah Agathar.
Alli masih termenung. Dia bingung dengan apa yang dilihatnya. “Apa maksudnya ini, Agathar?” dia bertanya.
“Dia licik. Jangan percaya dengan apapun yang dia katakan,” Agathar menengok pada Alli, “dia adalah Jacob si Orang Kaya, pemilik rumah ini. Rupanya dia mengantongi identitas ganda sebagai Dr. Collins. Identitasmu meyakinkan, tapi dandananmu begitu konyol, Jacob. Kau seperti amatiran.”
“Ah aku tak sempat berganti baju, menyiapkan yang terbaik, karena kalian tiba lebih cepat di tempat ini.”
“Tunggu dulu,” Alli menyela, “jadi maksudmu, dia adalah si pemilik rumah, dan dia sengaja menjebak seluruh peserta dalam perangkapnya.”
“Tepat.” Dr. Collins alias Jacob si Orang Kaya menunjuk ke arah Alli sambil tersenyum.
“Tapi kenapa? Kenapa kau menjebak semua orang ke dalam perangkap?”
“Karena bisnis perdaganganku akhir-akhir ini sedang seret. Aku perlu terobosan. Pasokan barang-barang baru untuk dijual. Dan kalian semua menawarkan produk terbaik.”
Alli terpana. Dia mencoba memahami kalimat barusan, dan semakin dia pahami, dia semakin kaget. “Kau adalah orang yang kejam, Dr. Collins.”
“Ah nama itu. Sebenarnya aku tak hendak melibatkan semua ini. Tapi semuanya terlanjur rumit setelah detektif ini ikut campur.”
“Kau gila!” Alli mengumpat. Namun Agathar lekas menenangkannya. “Sudah kubilang, jangan percaya sedikit pun pada kata-katanya, ketua. Dia licik. Pembohong besar. Dia sudah menipuku mentah-mentah.”
“Begitu juga apa yang dilakukan kota ini padaku.” Dr. Collins membentangkan tangannya, “kota ini menipuku mentah-mentah. Kalian seolah menghormatiku, padahal tidak. Kalian hanya tertarik pada harta. Aku muak dengan kota ini.”
Wajah Dr. Collins dipenuhi dengan kebencian.
“Aku tidak peduli dengan apa yang kau pikirkan, tapi karena kau ada di sini, kami harus mengalahkanmu untuk membereskan semuanya. Kami harus keluar dari rumah ini. Dan yang terpenting, aku akan membongkar semua kejahatanmu.”
“Menantangku bertarung ya? Bagus juga. Aku bisa menjajal kemampuan bertarungku. Setelah sekian lama, aku hanya mengandalkan peliharaanku.”
mozaik 114
Pertarungan Penghabisan
“Dimana dia sekarang?” Eternita mencoba menyoroti sekeliling ruang keluarga lantai 1 dengan senternya. Namun dia tidak bisa menemukan apapun. Atau dia memang tidak berharap menemukan sesuatu.
“Kita tidak punya waktu untuk mencari dia, keriting. Ayo kita melanjutkan perjalanan.” Kolonel merapikan senapannya, memasukkannya kembali ke wadah. Siap melanjutkan perjalanan. Tapi Eternita masih ragu.
“Dia bisa muncul kapan saja. Sebaiknya kita tahu kemana dia lari tadi.”
“Keingin tahuan itu tidak akan membantu kita. Ayo, nanti kita kehabisan waktu.”
Kolonel memulai dengan dapur. Namun tidak ada ruangan tersembunyi di sana. Eternita seharusnya mengingatkan bahwa tadi Agathar bilang ruangan tersembunyi yang mereka cari ada di sisi kiri rumah, bukan di dapur. Dapur ada di bagian tengah rumah.
Namun Eternita tak mengingatkan. Dia terlalu sibuk dengan ketakutannya sendiri. Dia terus menyorotkan senter. Sisi kanan dan kiri secara bergantian sambil berjalan mengikuti Kolonel Dhar. Kelakuannya itu lama-lama membuat Kolonel jengkel.
“Bisakah kau tak usah memain-mainkan senternya. Sakit kepalaku dibuatnya.”
“Aku hanya berusaha untuk waspada.”
“Kau terlihat ketakutan.”
“Apa katamu?”
“Kau ketakutan.”
“Tarik kembali ucapanmu.”
“Kalau begitu hentikan bersikap waspada, dan berhentilah memainkan senter. Jangan membuatku pusing.”
Tidak menemukan apa-apa di dapur, Kolonel mengajak Eternita mengecek ke lorong kamar pembantu. Namun belum sempat melangkah ke sana, Kolonel sudah balik kanan.
“Gas beracun. Aku lupa lorong ini dipenuhi dengan gas beracun. Sebaiknya kita tidak usah mengeceknya.”
“Jadi kemana kita selanjutnya?”
“Mana aku tahu. Nyalakan alat komunikasinya, dan hubungi detektif. Tanya pada dia, ruangan apa yang harus kita datangi untuk dicek.” Eternita menurut. Nampaknya ketakutannya membuat otaknya tumpul.
Alat komunikasi itu, hanya sekedar alat komunikasi. Bukan perangkat ponsel canggih. Tidak bisa mendeteksi apakah tadi ada panggilan masuk, atau pesan yang tertinggal. Tidak bisa. Jadi Eternita tidak tahu kalau tadi Agathar menghubunginya lewat alat itu.
“Alli, detektif, masuk. Apakah kalian mendengar suaraku?” Eternita bicara lewat alat komunikasi itu.
Sayangnya, saat Eternita mencoba menghubungi, Alli dan Agathar sudah sibuk. Teralihkan oleh urusan Dr. Collins, sehingga alat komunikasi itu kembali dimatikan.
“Alli, detektif, kalian ada di sana?”
Tetap tidak ada jawaban.
Eternita mengatakan itu pada kolonel, dan itu membuat kolonel jengkel.
“Bukankah tadi dia sendiri yang menyuruh kita menghubunginya. Kenapa sekarang dia malah tidak bisa dihubungi. Apa yang sebenarnya dimau olehnya.”
Tiba-tiba, ada sebuah derap kaki yang datang dari belokan lorog di depan mereka. Disusul suara.
“Apa yang kumau? Yang kumau adalah menghabisi dirimu. Kolonel Dhar.”
Eternita langsung waspada. Kolonel kontan menyambar senjata. Dia kenal suara itu.
“Killer. Rupanya kau muncul lagi. Sepertinya tak ada jera-jeranya kau ya.”
Killer sudah berdiri di depan mereka dengan pisau yang berkilauan. “Kali ini aku serius, Kolonel Dhar.”
“Baiklah. Kita akan pastikan, ini jadi pertarungan penghabisan kita.”
mozaik 115
Kemampuan yang Tak Seberapa
DORRR
DORRR
Pistol itu memuntahkan pelurunya. Alli dan Agathar berusaha menghindari arah datangnya peluru tersebut. Agak susah bagi Alli, sebab dia tidak terbiasa dengan pertarungan semacam ini. Agathar segera menyadari hal tersebut, dan hal itu hanya berarti satu hal.
Ini akan jadi pertarungan yang merepotkan.
DORR
DORRR!
Tembakan lagi. Agathar dan Alli berguling-guling lagi. Kali ini Agathar berguling mendekati Alli. Berusaha berbicara dengan pelan. Nyaris tak terdengar.
“Patuhi perintahku, dan percayalah pada hasilnya.”
Alli tak terlalu mengerti, tapi jika itu pesan dari Agathar, dia akan menaatinya. Sejenak kemudian, Alli dibuat keheranan oleh tingkah Agathar selanjutnya.
Dia mengangkat tangannya ke hadapan Dr. Collins.
“Kami menyerah.” Agathar berucap. Seolah seperti seorang pesakitan.
Dr. Collins menyeringai. “Apa yang kau rencanakan, detektif?”
“Kami menyerah. Tolong ampuni kami.”
“Kau pikir aku akan tertipu dengan tipuan murahan semacam itu?”
Agathar menelan ludah. Andai Alli bisa melihatnya sekarang, dia akan melihat gurat ketakutan di wajah Agathar sekarang. Terukir begitu jelas.
“Aku mohon. Ampuni kami berdua. Atau setidaknya ampuni dia.” Agathar menunjuk pada Alli.
Kali ini Alli terperangah. Apa yang direncanakan oleh Agathar. Tapi, kata-katanya tadi begitu halus. Terdengar begitu tulus.
“Sepertinya kau takut dengan ujung moncong pistolku ini ya.”
“Kami sudah melihat betapa banyak kematian sepanjang penelusuran kami ke rumah ini. Kami melihat betapa hebatnya anda dalam menyajikan semua kengerian itu. Zombie-zombie itu. Pembunuh bayaran itu. Organ-organ itu. Tolong. Beri kami kesempatan hidup. Setidaknya berikan kesempatan pada dia. Dia adalah orang baik.”
Sekarang, seandainya Alli tidak mendengar kata-kata Agathar tadi, dia akan protes. Kenapa dari tadi, Agathar terus bicara tentang dirinya seorang. Seolah diri Agathar sendiri tidak terasa penting. Alli tidak setuju dengan cara pandang semacam ini.
Dia berusaha sekuat tenaga menahan diri.
Kalimat Agathar yang begitu manis itu, berhasil memengaruhi Dr. Collins. Orang itu perlahan menurunkan senjatanya. Berjalan mendekat. Agathar menelan ludah. Wajahnya memucat. Satu dua keringat dingin keluar dari pelipisnya. Sosok putih Dr. Collins, begitu nampak dari sorot senter milik Alli.
“Aku akan menjadikanmu, boneka peliharaanku yang berharga, Agathar. Sang detektif.”
“Boleh saya mengatakan sesuatu?”
“Silahkan.”
“Ketua, matikan senternya sekarang!”
Tiba-tiba Agathar berseru. Alli yang sudah bersiap, menanti perintah Agathar sejak tadi, langsung gesit menekan tombol off. Tak sampai sedetik, Agathar sudah mengayunkan tongkatnya dua kali. Sekali menggebuk tangan yang memegang pistol. Satu kalinya, menggebuk Dr. Collins yang lengah dan tak cepat membaca situasi.
“Nyalakan senternya kembali, ketua.”
Kini Agathar yang menyeringai. Dia mengambil pistol milik Dr. Collins dan menodong ke arah Dokter itu.
“Jangan bergerak.”
“Kau licik sekali, detektif.”
“Begitu juga denganmu, dokter.”
“Jangan bergerak, atau aku akan menembakmu.” Agathar tersenyum simpul. Puas bisa mengadali kecerdasan Dr. Collins, yang tidak seberapa itu.
mozaik 116
Gerakan yang Ampuh
Kolonel dan Eternita berada dalam situasi yang kurang baik karena sekarang Killer menghadang mereka di lorong yang sempit. Killer sepertinya sangat siap untuk menghukum mereka kali ini. Dia sempat merogoh sakunya, mengambil sesuatu dengan tangannya yang tidak memegang pisau. Dia sejenak menyimpan pisaunya. Apa yang terjadi?
Eternita dan Kolonel bersiap-siap atas segala kemungkinan. Satu-satunya penerangan ruangan, yaitu lampu senter yang dipegang Eternita, diarahkan penuh ke arah Killer, mengantisipasi apa yang dia akan lakukan.
HAP!!
“KYAAAA!”
Dalam gerakan yang begitu cepat, Killer melemparkan sesuatu, ke arah Eternita. Begitu benda itu jatuh ke tangan Eternita, dia langsung menjerit kaget.
Tanpa sengaja, menjatuhkan senter yang dia pegang.
Momentum.
Itulah yang diperlukan oleh Killer, dan itu yang dia dapat sekarang. Senter yang jatuh dari Eternita, mengalihkan perhatian Kolonel. Sedetik yang penting untuk maju ke depan. Sekejap kemudian, Killer sudah tiba di depan Kolonel, meninju dagunya.
Kolonel mengaduh kesakitan. Namun Killer tak peduli. Dia meraih Eternita dan memelintir lehernya sekarang. Eternita berada dalam pengaruhnya.
“Gerakan yang ampuh. Itulah alasan kenapa aku bisa jadi pembunuh berantai, Kolonel Dhar. Kau camkan itu.”
“Kau kurang ajar.”
“Anggap saja itu balasan dari pukulan yang kau berikan padaku beberapa saat sebelumnya.”
“Tunggu sampai aku membalasnya.”
“Ha, jangan bergerak. Atau perempuan ini akan kuhabisi.” Killer mengeluarkan pisaunya lagi dari saku. Mendekatkannya pada leher Eternita.
“EMPPHHH!” Eternita melenguh, berusaha melepaskan diri. Tapi pegangan Killer di lehernya sangat kuat. Eternita bahkan sulit untuk bernafas.
“Jangan membuat gerakan tiba-tiba, nona manis. Atau aku akan membunuhmu. Kau tahu, reputasiku dalam menghabisi wanita cantik bukan?”
“Habisi saja dia. Aku tak peduli. Aku akan menghabisi kau setelah itu.”
Sulit dipercaya, Kolonel berkata dingin sambil mengeluarkan senapannya.
“Jangan kau pikir aku takut dengan ancaman omong kosong kau. Aku tahu kau akan memerhatikan gadis ini.”
“Sama sekali tidak.”
Sekali lagi Eternita melenguh, kesal dan tak setuju. Tak bisa dia percaya, Kolonel hendak membuangnya.
“Kau tidak bisa berdusta, Kolonel. Jangan sampai gadis ini mati. Kau tidak ingin ketakutan masa lalumu, terulang di masa kini bukan?”
Itu adalah kalimat yang mengancam. Kolonel tahu persis. Seketika dia berkeringat dingin. Lawannya menyebut-nyebut soal insiden masa lalu. Satu-satunya sumber ketakutannya.
mozaik 117
Arti dari Menjadi Seorang Ketua
“Pikirkan dengan baik, detektif.” Dr. Collins berkata dengan gentar. Tangannya setengah terangkat, mengibas-ngibas. Pistol miliknya itu kini tertodong sempurna ke arahnya. Situasi berbalik berkat kecerdasan Agathar.
“Ya aku sudah berpikir. Hal pertama yang kutemukan adalah fakta bahwa kau ternyata payah, dokter.”
“Beraninya kau.”
“Coba saja kalau kau masih berani. Sekarang, katakan padaku. Bagaimana kami bisa keluar dari rumah ini?”
“Kalian harus menunggu sampai pagi tiba. Hanya itu kuncinya.”
“Baiklah. Kalau begitu, aku akan menembakmu sekarang.”
“Pikirkan lebih baik lagi, detektif. Kau bisa membuat keputusan salah.”
“Kau benar-benar penakut.”
“Aku tidak sedang bercanda.”
KYAAAAAAAAAA!!!!!
Teriakan terdengar kencang. Dari arah ruangan luar rumah. Agathar tertegun. Alli kaget. Itu teriakan perempuan. Apakah itu berarti, teriakan Eternita?
“Ha, anak buahku pasti sudah berhasil menangkap teman-temanmu. Mereka ada dalam bahaya besar. Mereka berurusan dengan seorang pembunuh berantai yang sengaja kupekerjakan dalam urusan ini.”
“Urusan yang kotor,” balas Agathar. Moncong pistolnya tetap mengarah pada Dr. Collins. Tidak mengendur sedikit pun.
“Kalau kau menembakku sekali saja, maka anak buahku di luar sana tidak akan segan menghabisi nyawa teman-teman kalian.”
“Kau pikir aku akan takut.” Agathar maju beberapa langkah.
“Aku tidak sedang bercanda.”
“Kau salah,” ucap Agathar, penuh emosi kali ini, “aku tidak peduli apapun yang terjadi di luar. Aku akan menuntaskan misiku.”
Kali ini Alli kaget. Apakah Agathar serius dengan kata-katanya? Jadi detektif itu tidak berubah. Alli kira dia sudah berubah sejak menghabiskan waktu bersama.
“Agathar, letakkan kembali pistolmu.”
Dr. Collins tersenyum mendengar kalimat dari Alli. Dia tahu kalau sebentar lagi dia akan memegang situasi.
“Ketua, kau jangan terpengaruh dengan ancaman busuknya itu. Sekali aku mengakhiri riwayatnya, kita bisa mengurus mereka yang ada di luar.”
“Tapi Eternita ada dalam bahaya.”
Agathar tak bergeming. Ini membuat Alli geregetan, jengkel, serta cemas.
“Agathar, dengarkan perintahku. Aku adalah ketua. Turunkan pistolmu.”
Dr. Collins tertawa, “oh rupanya bocah ingusan ini pemimpin kalian. Sungguh malang sekali riwayatmu, detektif. Kau merendahkan dirimu.”
DORRRR!
“KYAAA!”
Tembakannya tidak kena. Alli yang berada di belakang Agathar menarik tangan Agathar di saat terakhir, sehingga tembakannya meleset.
“Apa yang kau lakukan, ketua. Jangan menghalangiku.”
“Kau harus mendengarkan kata-kataku. Turunkan pistolmu itu sekarang.”
“Astaga,” Agathar dengan jengkel, terpaksa menurunkan pistolnya, “nah sekarang apa rencanamu?”
Alli berpaling pada Dr. Collins. “Lepaskan teman kami.”
“Serahkan dulu pistolnya padaku.” Dr. Collins menyeringai. Agathar kontan menggeleng.
“Kalau kau berpikir untuk menuruti kata-katanya, kau gila, ketua. Dia akan menembak kita begitu kita menyerahkan pistolnya.”
“Putuskan dengan baik, ketua.” Dr. Collins kembali bicara dengan senyum mengejek.
“Serahkan pistolnya, Agathar.”
“Kau benar-benar gila!”
“Lepaskan teman kami. Suruh anak buahmu cepat.”
Dr. Collins, yang kini sudah memegang pistolnya tertawa terbahak-bahak . “Kau menyebutku payah, tapi kalian berdua jauh lebih payah. Kalian tertipu mentah-mentah. Sekarang aku akan menembak kalian berdua. Angkat tangan.”
Agathar berdecak. Alli menggeram. Agathar nampak menyalahkan Alli, dan Alli merutuki keputusannya. Jangan pernah memercayai orang jahat, seharusnya peraturan itu selalu diingatnya.
“Jangan menembak dia. Tembak saja aku.” Alli maju selangkah.
“Apa katamu barusan?” Agathar nampak tak percaya.
“Tolong ampuni dia. Agathar adalah seorang detektif yang hebat. Dia layak hidup.”
“Kau bercanda, aku akan menembak kalian berdua.”
“Tidak,” Alli menggeleng, “kau tahu persis bahwa kau hanya bisa menembak satu kali lagi. Hanya tersisa satu peluru di sana.”
Sialan, batin Dr. Collins. Harusnya dia menyadari hal itu. Kini mengisi peluru tidak bisa dilakukan, sebab sekali saja dia menurunkan pistol, Agathar bisa menghajarnya dengan telak.
“Kalau begitu, aku harus memutuskan. Akan kutembak yang paling berbahaya dari kalian. Yaitu detektifnya.”
DORRR!
“Agathar!” Alli bergerak cepat, mendorong Agathar menjauh. Menerima peluru itu dengan bahunya.
“AKHH!”
“Alli!”
Sialan, Dr. Collins berdecak. Aku terlalu gegabah. Baiklah, lebih baik lari sebelum situasinya jadi buruk. Setidaknya aku masih punya kesempatan untuk mundur.
“Kenapa kau malah menyelamatkan aku?”
“Karena itulah arti menjadi seorang ketua.”
Alli tersungkur ke tanah.
mozaik 118
Insiden Masa Lalu Kolonel Dhar
Terdengar tawa dari Killer memenuhi lorong itu. Dia begitu menikmati saat-saat Kolonel Dhar yang perkasa dan bisa meninjunya berkali-kali sebelumnya, kini hanya bisa menatapnya, dengan berkeringat dingin.
“Aku benar bukan, kau takut dengan insiden itu. Kau takut insiden yang sama akan terulang kembali.”
“Tidak, tidak!” Kolonel menggeleng-geleng, suaranya nyaring berseru-seru, “aku tidak bersalah. Merekalah yang bersalah. Para pelaku pembantaian itu yang bersalah.”
“Tapi kau yang telah memberikan jalan bagi mereka.”
Eternita yang ada di bawah kendali Killer, mencoba menenangkan diri. Dia hanya akan bereaksi jika Killer melakukan suatu hal yang membahayakan dirinya. Selain itu, dia juga penasaran, apa masa lalu yang diungkit-ungkit oleh Killer.
“Bagaimana kau tahu semua ini?”
“Bagaimana aku tahu? Oh, apakah kau yakin mau tahu? Karena akulah salah satu dari orang yang melakukan pembantaian di desa tersebut. Betapa menyenangkannya melihat ekspresi para wanita yang kesakitan. Anak-anak yang ketakutan. Anak-anak yang menangis melihat ibunya disembelih di hadapannya, wanita-wanita hamil....”
“HENTIKAN!” Kolonel berseru dengan emosi yang nampak sangat dalam, “tolong hentikan.”
“Kenapa Kolonel? Ceritanya belum selesai. Aku belum menceritakan bagian terbaiknya, atau malah yang terburuk. Saat aku menari-nari di atas...”
“KUBILANG HENTIKAN!” Kolonel hendak maju, namun teriakan Eternita segera menahannya.
“HHHAAAAAAA!”
“Nah Kolonel, jika kau berjalan sedikit lagi, maka aku akan menghadirkan semua kengerian di masa lalu itu ke masa kini. Gadis ini akan jadi korban yang sempurna.”
Dan hal yang paling tak terduga kemudian terjadi. Kolonel membungkuk memohon ampun. Sambil gemetar, dia meletakkan wajah di kedua telapak tangannya.
“Tolong. Tolong lepaskan dia. Kumohon.”
Killer benar-benar tertawa puas sekarang. “Kau ketakutan, Kolonel? Jawab.”
“Tolong lepaskan dia.”
“Ah kau ini tidak jelas, apakah sedang ketakutan dengan nasib temanmu ini, atau ketakutan atas masa lalumu?”
“Tolong, kumohon. Lepaskan dia.”
“Jawab aku, bodoh!”
“Kumohon. Aku akan melakukan apa saja. Asalkan kau mau mengampuninya.”
Killer menyeringai senang. Seolah kalimat itulah yang dia nantikan. “Baiklah kolonel. Aku akan memberikanmu kesempatan. Ambil pisau ini.”
Killer melempar pisaunya tepat ke hadapan Kolonel Dhar.
“Iris nadimu dengan pisau itu, lalu aku akan mengampuni gadis ini.”
Kolonel menatap Killer, seolah itu adalah sebuah lelucon.
“Kau pikir aku sedang bercanda, haruskah aku ceritakan berapa buah pergelangan tangan yang kuiris nadinya di malam pembantaian itu? Dua belas. Semuanya dalam keadaan masih hidup. Semuanya berteriak kesakitan. Darah mereka muncrat. Aku menari-nari di atas...”
“Hentikan! Baik. Akan kulakukan kehendakmu.”
Kolonel Dhar mengambil pisau itu dan mendekatkannya ke arah tangannya. Sejenak dia terlihat ragu. Eternita, demi melihat hal itu, betapa seriusnya Kolonel Dhar hendak mengiris nadinya, dia meneriaki, hendak mencegah.
Namun mulutnya langsung dibekap oleh Killer.
“EMPPPPHHH!”
“Lakukan, Kolonel. Kematian adalah penebusan dosa bagimu.”
Di saat yang benar-benar genting itu, Eternita tiba-tiba berputar cepat, melepaskan kedua tangannya dari kendali Killer, dan menghajarnya dari jarak dekat. Killer sama sekali tidak menduga serangan macam itu.
“Juijitsu.”
“Terkadang wartawan harus bisa bela diri dan atletik.” Eternita kemudian bersalto, melompat ke belakang, tiba di depan Kolonel Dhar tepat untuk menggagalkan upaya Kolonel menebus dosanya.
mozaik 119
Kalah Momentum
Eternita tidak hanya bisa melepaskan dirinya. Selagi Killer masih teralihkan oleh rasa kagetnya, Eternita melepas tiga serangan lagi ke arah Killer, dan semuanya kena. Gadis itu tak sekedar bercanda ketika bilang dia juga bisa bertarung, karena kenyataannya memang demikian. Dia bisa bertarung.
Melihat Killer, musuhnya terjungkal, masih dengan pisau di tangan, Kolonel juga segera maju. Dia menerjang. Satu dua pukulan,
BUKK
BUKKK
BUKKK!
Dan darah kemudian menetes.
“AKH!”
Kolonel telah menghukum Killer. Penjahat itu mati. Tak ada ampun lagi baginya. Bahkan dia tidak sempat meminta ampun pada Kolonel Dhar.
“Itulah imbalan karena kau berani membongkar masa laluku, sialan.”
Killer telah kalah momentum.
Sisanya, mereka berdua, Kolonel dan Eternita saling pandang. Situasinya menjadi canggung terutama mengingat tadi Kolonel baru saja meraung-raung meratap. Minta belas kasihan. Kolonel sedikit salah tingkah sekarang.
“Untuk ukuran penjahat,” Eternita berpaling, menatap ke arah Killer, “bahkan seorang penjahat besar yang tenar namanya sebagai seorang pembunuh berantai, dia adalah penjahat yang payah.”
“Dia terlalu meremehkan.”
“Meremehkan kau?”
“Tidak,” Kolonel menggeleng, kemudian mendongak pada Eternita dengan tatapan tulus, “dia meremehkan kau. Siapa sangka gadis keriting ini jago beladiri.”
“Kukira dia meremehkanmu. Siapa sangka seorang Kolonel Dhar yang bereputasi, bisa meratap-ratap hanya karena sebuah potongan masa lalu.”
Gemetar Kolonel mendengar kata-kata itu. Gemetar menahan amarahnya.
“Kau benar-benar gadis yang berterus terang.”
Eternita mengangkat bahu. Begitulah karakternya. Berterus terang.
“Hei, keriting. Bisakah kita bersepakat, bahwa apapun yang kau lihat tadi, adalah rahasia kita berdua saja. Tidak boleh ada orang yang mengetahuinya.”
“Tidak akan ada yang tertarik membaca itu di media. Kau tenang saja.”
“Bukan begitu maksudku. Maksudku adalah, benar-benar tidak boleh ada yang tahu. Termasuk bocah sok pemimpin dan detektif itu.”
Eternita menyeringai, “bolehlah itu kupakai sebagai kartu as agar kau tidak mengata-ngataiku lagi.” Kalimat itu membuat Kolonel mendengus.
“Yeah, dan kau jangan lupa, aku juga memegang kartu as. Kau tadi juga menjerit ketakutan seperti anak kecil.”
Eternita balik mendengus.
“Ya, ya. Baiklah. Saling memegang kartu as adalah resep ampuh untuk berteman. Bagaimana menurutmu, Kolonel.”
“Kau benar-benar berpikir aku akan menjabat tanganmu?”
“Apa salahnya.”
Dan akhirnya mereka berjabat tangan. Berdamai. Karena mereka takut satu sama lain.
“Nah saatnya kau menghubungi detektif. Tanyakan mana ruangan yang harus kita periksa.”
mozaik 120
Menolong Alli
“Bertahanlah.”
Agathar langsung bereaksi cepat setelah Dr. Collins pergi dari ruangan itu. Pertama, dia merangkak mengambil senter yang tergeletak di lantai, kemudian meninjau keadaan Alli.
“Ukh,” Alli melenguh kecil. Sedari tadi hanya begitu suara yang dia keluarkan sambil memegangi bahunya. Baru sekali ini dia merasakan bahunya ditembus oleh timah panas. Posisinya saat ini, tertelungkup.
“Bertahanlah. Aku akan menolongmu. Kau bawa kotak P3K bukan?”
Itu hanya basa-basi. Tangan Agathar sudah cepat meraih tas yang dimiliki Alli. Tas itu tergeletak di lantai, di dekatnya. Agathar merogoh tas, mengeluarkan kotak P3K dan memulai proses pengobatan.
“Bertahan. Aku juga punya kemampuan medis. Aku akan menolongmu.”
Keringat dingin bercucuran di dahi Agathar. Dia bersumpah akan menyelamatkan Alli. Sebab pria itu penting dalam rencananya. Agathar takut kalau Alli mati, dia akan kehilangan seluruh rencananya.
“Kau bisa menahan sakit bukan, ketua?”
Alli mengangguk, untuk kemudian berteriak kesakitan saat Agathar mulai “bekerja”.
“Bertahanlah, sakitnya hanya sementara. Aku harus melakukan ini agar tidak ada infeksi.”
Lima belas menit penuh teriakan, Alli berhasil dipulihkan. Pendarahannya berhasil dihentikan oleh keahlian Agathar.
“Kau begitu ceroboh, ketua. Untungnya dia menembak di tempat yang salah. Tidak fatal dampaknya. Coba agak turun sedikit, bisa-bisa saraf tanganmu lumpuh.”
“Agathar... coba... kau... pastikan...”
“Apa?” sahut Agathar cepat.
“Eternita dan Kolonel... apakah mereka.. baik-baik saja.”
Agathar mengusap wajah. Bahkan di saat begini, Alli mengkhawatirkan mereka berdua?
“Mereka baik-baik saja. Yakinlah. Tidak ada teriakan lagi. Artinya Eternita sudah selamat. Lagipula ada Kolonel Dhar di sana. Dia jago bertarung. Dia pasti bisa mengatasi keadaan.”
Agathar pasti tak menyangka kalau Kolonellah yang nyaris menyerah tadi.
Namun Alli tetap tidak tenang. Tidak ada suara teriakan lagi, bisa berarti dua hal. Satu, dia selamat, atau Eternita malah tak tertolong. Itu situasi buruk.
“Hubungi mereka, Agathar. Aku mau bicara dengan mereka.”
mozaik 121
Tim Mereka Berkumpul Lagi
Alat komunikasi itu dinyalakan kembali oleh Agathar. Terdengar suara gemerisik di speaker yang dipegang oleh Alli. Tepat di saat yang sama, Eternita juga sedang menyalakan alat miliknya. Jadi mereka kembali terhubung.
“Eternita!”
“Ya, aku di sini. Kenapa kamu baru menyalakan kembali alat komunikasinya? Sulit sekali menghubungi kalian.”
“Tadi itu ada urusan kecil. Musuh besar menampakkan diri,” Agathar dengan cepat menjelaskan, penjelasan yang juga dengan cepat mengalihkan perhatian Eternita.
“Apa katamu, musuh besar?”
“Detailnya nanti kuceritakan setelah kita bertemu.”
“Bagus. Ngomong-ngomong soal bertemu, ada yang ingin kami tanyakan.”
“Tunggu dulu,” ucap Agathar, “ketua ingin menanyakan sesuatu terlebih dahulu pada kalian.”
“Pertanyaan remeh temeh,” terdengar suara keras menyerobot, itu suara Kolonel Dhar. “Beritahukan tempat yang harus kami bobol. Aku pusing dengan ruangan di rumah ini. Kami harus berputar-putar.”
“Kalian baik-baik saja bukan?” Alli tak peduli dengan Kolonel.
“Tempatnya, beritahukan ruangannya.”
“Aku ingin mengetahui kondisi kalian. Tadi kudengar ada suara teriakan perempuan. Jadi kupikir kalian mendapatkan masalah.”
Eternita untuk sejenak memerah wajahnya. Malu karena teriakannya terdengar sampai ke ruangan tempat Alli berada. Padahal kan cukup jauh.
“Aku baik-baik saja, Alli. Kau jangan berpikir yang tidak-tidak. Hanya ada serangga yang mencekik leherku tadi.”
“Apa? Serangga mencekik leher? Serangga macam apa itu?”
“Lupakan. Kamu sendiri baik-baik saja?”
“Tentu saja. Tidak ada serangga di sini.”
Semua pembicaraan ini membuat Agathar jengkel.
“Kalian masuk ke kamar Edine. Nanti kami akan membukakan jalan di sana.”
“Kalian?”
“Tidak ada waktu menjelaskan, Kolonel. Baterai hampir habis. Sampai jumpa.”
Lalu Agathar mematikan kembali alat komunikasinya. Tak peduli Kolonel menggerutu panjang karena Agathar bersikap tidak sopan pada dirinya.
“Kau bisa berdiri, ketua?” Agathar menoleh pada Alli kemudian.
“Tentu.”
“Bagus. Bantu aku mencari pintu tersembunyi di ruangan ini yang terhubung dengan Kamar Edine. Biar Kolonel dan Eternita bisa masuk. Setelah itu barulah kita mencari tahu kemana Dr. Collins melarikan diri.”
Alli mengangguk. Itu rencana yang masuk akal. Dengan terpincang-pincang (agak aneh kenapa Alli terpincang-pincang), Alli meraih senter. Membantu Agathar dengan menyorotkan cahaya.
Agak sulit ternyata mencari pintu tersembunyi tersebut, meskipun Agathar yakin akan keberadaannya. Agathar harus menyentuh dan mengelus setiap inchi dinding untuk menemukan keberadaannya.
“Ah ketemu.”
Lalu dengan sedikit gerakan yang elegan, Agathar mencongkel sisi dinding ke arah dalam, sehingga terbuka sebuah pintu. Dari luar terlihat sorot senter. Begitu sorot senter itu mengarah padanya, Agathar melambaikan tangan.
Eternita dan Kolonel telah menemukan mereka.
“Ruangan apa ini?” Kolonel melihat-lihat ruangan dengan saksama setelah masuk ke dalamnya. Tidak banyak yang bisa dilihat, sebab ruangan itu gelap sekali.
“Ruangan rahasia yang disiapkan oleh Dr. Collins untuk tujuannya sendiri. Kami juga menemukan satu ruangan di atas. Dengan isi yang sangat menarik.”
“Apa isinya?”
“Kau tak akan ingin mengetahuinya.”
“Salahkah jika aku semakin penasaran untuk melihatnya?”
“Kau tak akan suka melihatnya.”
“Ayo kita ke sana.”
Agathar menggeleng-geleng.
Sementara itu, Eternita mendatangi Alli yang terduduk, bertelanjang dada, dan bahunya dibebat perban.
“Kamu kenapa?”
“Terkena luka tembak saat bertarung tadi?”
“Tapi tadi kamu bilang tidak ada serangga di sini.”
“Tidak perlu kamu pikirkan. Aku senang kalian baik-baik saja.”
Eternita, tidak perlu tahu. Batin Alli.
Dia tidak berterus terang. Kenapa dia harus sok kuat seperti ini. Aku tidak senang.
Agathar berpaling pada mereka semua. Tersenyum simpul. “Nah, mari kita bicarakan soal rencana.”
mozaik 122
Pintu Rahasia Lainnya
“Jadi kalian sudah bertemu dengan Dr. Collins itu?”
“Ya, dan dia sudah ditembak oleh Dr. Collins.” Agathar menunjuk pada Alli.
“Tidak mengherankan, dia payah,” ujar Kolonel mencibir.
Namun Eternita menatap dengan kasihan, “aku tidak menyangka kalau kalian menghadapi situasi tembak menembak.”
“Orang itu sudah pergi. Sekarang kita harus fokus. Dokter itu sudah lari ke arah pintu belakang. Kalau kita sudah siap, kita bisa menengok ke sana.”
Kolonel mengangguk. “Ayo kita lakukan.” Dia nampak sangat bersemangat dengan kalimat-kalimatnya itu. Tak tampak kalau beberapa menit yang lalu, Kolonel baru saja meratap-ratap memohon ampun.
Agathar, didampingi oleh Kolonel, Eternita yang juga memegang senter, dan di urutan paling belakang, Alli berjalan tersuruk-suruk, menghampiri pintu belakang di ruangan sempit itu. Ruangan yang diduga, jadi tempat Dr. Collins melarikan diri.
“Terkunci, Kolonel.”
“Kalau begitu kita harus mendobraknya.”
Mereka saling pandang sejenak, menyatukan koordinasi, dan merangsek, mendobrak, pintu besi itu sekuat tenaga. Berkat tenaga yang besar, pintu itu terbuka. Lengkap dengan suara gedebum dan debu yang beterbangan.
Eternita bersin-bersin.
“Ruangan yang juga sudah lama tidak dipakai.” Agathar menutup hidungnya.
“Sepertinya ruangan yang lebih sempit lagi,” Alli memerhatikan dari belakang, “aku tidak yakin ada tempat bersembunyi di sana.”
Agathar dan Kolonel masuk ke dalam. Memeriksa sambil menutupi hidung agar tidak menghirup debu. Eternita dan Alli menunggu di ambang pintu. Alli sebenarnya hendak masuk, namun debu-debu yang membuat dia bersin, dan setiap dia bersin, lukanya itu berkontraksi.
“Aku yakin pasti ada trik-trik di sini. Dokter licik itu, sialan sekali.” Agathar mengumpat kesal. Sengaja menendang bagian lantai yang juga terbuat dari besi. Saat itulah dia menyadari satu hal.
“Pintu bawah tanah. Eternita, bawa senternya ke sini. Aku mau melihatnya dari dekat.”
Eternita beringsut sambil menutupi hidung. Menahan bersin.
Dengan bantuan senter, Agathar melihat dengan saksama. Ada pintu kecil. Di lantai. Berbentuk seperti tutupan kecil. Sepertinya ada tangga di bawah sana.
“Astaga, satu ruangan rahasia lainnya. Jangan bilang kita harus mencari kunci lagi.”
“Aku kira kita tidak mencari kunci. Karena pintu kecil ini tidak punya kunci. Sepertinya dipalang dari bawah.”
“Kemana pintu ini akan membawa kita?” tanya Eternita.
“Basement rumah ini.” Agathar berucap. Seolah ada sesuatu yang buruk dengan basement rumah itu.
mozaik 123
Basement Rumah dan Rencana Baru
Basement rumah. Itu adalah ruangan yang tepat untuk bersembunyi. Tapi basement rumah Jacob si Orang Kaya adalah ruangan yang buruk. Setidaknya itu yang terakhir Agathar ingat. Saat terakhir diajak ke sana, Agathar merasa jijik dengan basement rumah yang tidak terawat. Kusam, kumuh, kotor, seperti ruangan yang tak pernah dibersihkan selama bertahun-tahun.
Ruangan ini tidak kupakai. Hanya sekedar sebagai ruangan kosong untuk menyimpan benda-benda tak terpakai.
Penjelasan Jacob si Orang Kaya itu berputar-putar, namun Agathar tidak memerhatikan. Karena detail itu tidak penting juga baginya. Untungnya Agathar masih ingat pintu masuk basement tersebut.
Mereka kembali ke ruang keluarga. Lantai 1. Suasana rumah benar-benar sunyi senyap. Di lorong, Agathar terkejut menemukan mayat Killer yang tergeletak di lantai. Alli menatap ke arah kolonel. Dengan tatapan tidak senang.
Kau yang melakukan ini, Kolonel?
Kolonel mengangkat bahu. Itu bukan salahku. Dia yang cari masalah denganku. Kau tidak akan bisa menebak apa yang sudah dikatakannya padaku.
Karena mereka sama sekali tidak bicara, Eternita bisa mendengar suara itu lamat-lamat datang.
KREKK!
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara yang seketika membuat mereka merinding.
“Kita tidak boleh lupa kalau makhluk itu masih ada di rumah ini.”
“Ayo kita percepat langkah,” kata Alli.
Mereka tiba di ruang keluarga lantai 1. Agathar langsung menuju ke bawah tangga.
“Alli, tolong berikan senternya.”
Alli menurut, menyerahkan senter, Agathar berlutut, mendekat ke lantai, memegang senter dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya mulai mengusap lantai. Membersihkannya dari debu. Tidak lama kemudian terlihat bahwa di lantai tersebut ada sebuah pintu penghubung seperti yang mereka lihat sebelumnya.
“Ini pintu basement yang sebenarnya. Kalian sudah siap melihat basement-nya?”
Mereka bertiga mengangguk.
Agathar membuka pintu basement dengan cara mengungkitnya. Begitu pintunya terbuka, terciumlah bau apek. Bau kusam. Bau ruangan yang lama tidak dipakai.
“Apa rencanamu setelah ini, detektif?”
“Menemukan dokter licik itu dan membawanya ke hadapan hukum.” Agathar menjawab tegas.
mozaik 124
Si Cakar Tiga di Basement
“Pelan-pelan. Tangganya seperti tidak pernah digunakan selama bertahun-tahun.”
Agathar memimpin tim turun ke basement rumah Jacob si Orang Kaya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi lewat beberapa menit. Mereka berempat sudah lelah. Terkuras oleh ketakutan, kengerian, pemandangan yang campur aduk antara seram dan membikin perut mual. Jadi peringatan Agathar tadi juga berarti, mereka harus menjaga konsentrasi.
“Kau bisa turun sendiri, Keriting?”
“Tentu saja kolonel. Jangan menganggap aku anak kecil.”
“Baiklah. Kau jalan duluan saja, jadi bila kau kenapa-kenapa, aku bisa menolongmu.”
“Apakah aku tidak salah dengar,” Alli menyeringai, “kolonel mendadak berhalus kata dengan Eternita. Seharusnya kau memerhatikan aku juga, Kolonel. Saat ini kondisiku yang paling rentan.”
Alli tertawa, dia hanya sedang mengolok.
Namun Kolonel sepertinya menanggapi gurauan itu dengan memarahi Alli. Alli jadi salah tingkah dibuatnya. Padahal kan dia cuma ingin bercanda.
“Tidak apa-apa, ketua. Kutebak, ada sesuatu yang terjadi saat Kolonel dan Eternita menyusuri rumah ini berdua.”
“Maksudmu mereka berdua berciuman.”
“Bisa jadi.”
“Berhenti bicara atau kupukul kalian berdua.” Eternita melotot. Alli tertawa lepas. Agathar tersenyum.
Dari kejauhan, Sang Tuan melihat adegan itu, ikut tersenyum. “Tim ini sudah menemukan kekompakannya secara padu. Semoga itu bertahan lama.”
Mereka tiba di lantai basement dengan selamat. Meski tangganya agak rapuh, mereka bisa melewatinya. Hanya saja, Alli dan Eternita agak terkejut ketika menginjak lantai basement. Basah. Ada genangan air setinggi beberapa sentimeter di atas lantai yang terbuat dari semen itu.
“Sudah kubilang ini adalah tempat yang buruk untuk didatangi.”
PLAK! Alli menepuk pergelangan kakinya. “Nyamuk,” katanya, memerhatikan telapak tangannya. Sesaat kemudian Alli merinding. Jangan-jangan ada makhluk lainnya. Ah, semoga jangan ada hewan berbisa.
“Suasananya lembab dan dingin.” Eternita meraba dinding.
“Untungnya aku pernah berada di tempat yang lebih buruk. Basah, lembab dan ada dalam resiko diterkam macan. Aku tinggal di tempat semacam itu selama berbulan-bulan selama periode perang...”
“Ya, ya, perang gerilya. Kau sudah menceritakan itu berkali-kali.”
“Kau tidak tahu betapa susahnya hidup dalam hutan, bocah.” Kolonel bersungut kesal.
Mereka memeriksa lorong basement dengan seksama. Dari turunan tangga itu, mereka langsung dihadapkan oleh lorong yang berbelok. Tangganya tepat di kelokan berbentuk huruf L. Lurus ke depan, adalah ruangan bergambar tumpukan kardus. Sementara belok kanan ada ruangan dengan logo mesin cuci. Mudah menyimpulkannya.
“Itu ruangan gudang.”
“Sementara yang satunya adalah ruang laundry.”
“Kemana kita, Agathar?” tanya Alli.
“Gudang,” jawab Agathar singkat.
“Kenapa?”
“Entah, firasat.”
Meskipun cuma firasat, Alli memutuskan untuk ikut dengan Agathar. Mereka jalan lurus menuju gudang. Pintunya terbuka dengan mudah.
Agathar membuka pintu itu. Alli yang menyorotkan senter ke dalamnya. Sorotan pertama membuatnya terloncat ke belakang. Ada sosok yang berdiri di sana, menunggu kedatangan mereka.
Dia berdiri dalam posisi sempurna. Cakarnya yang tajam lurus di samping badan. Wajahnya, ah bukan, dia tidak punya wajah, menatap ke arah mereka berempat. Kolonel menelan ludah. Eternita memasang sikap siap lari. Trauma bersitatap langsung dengan makhluk itu di lorong sebelumnya, masih terasa sangat nyata.
“Sial, seharusnya kita tidak memakai firasat, Agathar.” Alli berdecak sebal.
“Sepertinya tidak. Dimana pun yang kita pilih, dia memang menunggu kita. Si Cakar Tiga.”
mozaik 125
Pertunjukan Si Cakar Tiga
DRAP! DRAP! DRAP!
Langkah Si Cakar Tiga yang sangat cepat itu tambah dramatis dengan diiringi dengan bunyi kecipak air. Begitu menyadari bahwa musuh-musuhnya telah datang, dia langsung maju menyerang.
“Kolonel, senapanmu!”
“Sial, aku tak sempat!”
“Menghindar semuanya!”
Mereka harus berlompatan. Kemudian, karena tidak bisa menjaga keseimbangan di lantai yang basah, Agathar, Alli dan kolonel sama-sama harus menambahkan gerakan berguling di atas air, mengorbankan baju mereka yang basah. Hanya Eternita yang tidak basah, dia melompat mundur ke atas tangga.
“Bagaimana dia bisa menyadari kedatangan kita.”
“Mungkin dari cahaya senter yang kita arahkan padanya tadi,” sahut Agathar.
“Bukankah dia tidak punya mata?”
“Mungkin dia punya semacam trik, trik bergerak dalam kegelapan.”
Selagi mereka berdiskusi, terdengar suara teriakan wanita.
“KYAAA!”
“Eternita!”
Si Cakar Tiga mengarahkan cakarnya pada Eternita. Gadis itu hanya bisa menghindar sambil terus naik ke atas tangga. Naik dengan cara mundur dan berjongkok. Ekspresinya ketakutan sekali.
“Tolong aku.”
Alli tanpa pikir panjang melompat ke depan, menangkap badan Si Cakar Tiga, membantingnya ke lantai yang berair. Si Cakar Tiga mendengus-dengus. Cakarnya meraih-raih udara. Alli menahannya dengan ekspresi kesakitan. Bahunya tadi masih belum pulih.
“Kolonel, siapkan pistolmu!”
“Ah kau tidak konsisten, detektif. Tadi kau bilang senapan, sekarang pistol.”
“Cepat Kolonel!”
“Jangan memerintahku. Aku tidak menerima perintah dari orang plin-plan sepertimu.”
Agathar berdecak. Kalau begini Alli bisa habis dicakari oleh monster itu. Akhirnya Agathar tanpa berkata apa-apa, merampas pistol dari saku milik Kolonel dan maju sendiri.
“Hei!”
DORRR!
“AKH!”
“ALLI!”
“Astaga, aku salah tembak rupanya, memang agak sulit menembak di kegelapan,” Agathar menggaruk kepalanya, situasi makin runyam sekarang.
“Memang susah menembak sambil memegangi senter,” keluh Agathar lagi.
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara langkah cepat dengan kecipak air itu kini mengarah pada dirinya. Agathar yang terpukul, tak sempat menghindar, saat makhluk itu tiba di depannya.
TRANG!
Agathar sempat memukul balik cakar tajam itu menggunakan pistol. Tapi dia hilang keseimbangan hingga jatuh ke air. Kepalanya terbentur. Senter di tangannya juga lepas ke air.
“Sialan,” decak Kolonel. Belum genap lima menit di ruangan itu, Si Cakar Tiga telah membuat dua orang sama-sama mengerang kesakitan.
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara kecipak air kini mendatangi Eternita di tangga. Semakin dekat dan semakin dekat. Eternita kembali berteriak sembari memanggil nama kolonel.
“Tolong selamatkan aku!”
Panggilan itu membelah jiwa dan semua kenangan dalam pikiran kolonel. Insiden masa lalu itu kembali terngiang dalam pikirannya. Apakah begini suara teriakan orang-orang di desa itu, desa yang dibantai habis oleh musuh?
Oh dia tidak akan bisa menanggung beban berat ini.
“KOLONEL, KUMOHON!”
Si Cakar Tiga sudah berada di depan matanya.
“Tidak boleh.” Alli meraih tangan bercakar itu. Menatapnya dengan penuh ancaman. Sama sekali tidak terlihat ketakutan lagi di matanya.
Detik-detik alam semesta berhenti di situ.
mozaik 126
Kalian Payah!
Sial, Agathar mengumpat kesal pada dirinya sendiri yang coba bangun, namun pandangan matanya berkunang-kunang. Efek dari kepalanya yang tadi terbentur. Selain itu, ada sesuatu yang berkecamuk di kepalanya. Tembakannya tadi meleset, dan itu tidak diharapkannya.
Kolonel terpaku, tidak bisa bergerak sedikit pun.
Eternita juga terpaku, tak percaya dengan aksi penuh keberanian, atau malah kenekatan yang dilakukan oleh Alli.
Si Cakar Tiga mendengus seram. Mengangkat cakar di tangan satunya, dalam gerakan lambat, mengarahkan pada wajah Alli.
Inilah akhirnya.
Alli memejamkan matanya. Siap menerima kematian. Bahunya sudah berdenyut sakit sekali. Tambah dengan tembakan Agathar yang tadi meleset, Alli pasrah.
“TIDAK BOLEH!”
Seketika, ruangan gelap dan kusam itu bercahaya. Terutama di dekat tangga. Si Cakar Tiga yang tadi mengangkat tangannya tinggi, dihentikan oleh sebuah tongkat yang terjulur. Sekejap kemudian, tongkat itu memukulnya hingga terpelanting.
Sebuah tangan kemudian terjulur ke depan, tangan yang juga diliputi oleh cahaya, seperti melepas sebuah gelombang kejut ke arah Si Cakar Tiga.
BUMM!
Seketika Si Cakar Tiga terpelanting lebih jauh lagi.
“Pergi,” ujar sosok bercahaya itu dengan tegas. Si Cakar Tiga, kemudian bangkit, dan dengan gerakannya yang sangat cepat, dia mengambil langkah tak terduga.
Dia maju.
“Kau keras kepala ya.”
BUMMM!
Lewat tangannya yang terjulur, sosok itu kembali melepaskan gelombang kejut. Kali ini mementalkan Si Cakar Tiga hingga menghantam dinding.
“Pergi.”
Diiringi dengan geraman mengerikannya, Si Cakar Tiga meninggalkan basement itu lewat sebuah pintu rahasia yang tersembunyi di pintu. Sosok bercahaya itu berbalik pada Alli yang tergeletak di lantai, mengenaskan, Eternita yang jongkok di tangga dengan setengah wajah ditutupi tangan, serta dua orang lainnya yang terpaku karena ketakutannya masing-masing.
Sosok itu tentu saja adalah Sang Tuan.
“Kalian semua payah.”
Semua orang yang awalnya begitu terpaku, kini tersadar oleh kalimat Sang Tuan. Tanggapan pertama atas kalimat mengejek semacam itu, tentu saja, penolakan. Namun sebelum semua sempat bertengkar, Sang Tuan sudah mengulurkan tangan pada Alli.
“Kamu baik-baik saja, Nak?”
“Kurang.. lebih... Sang Tuan.”
“Bangunlah. Aku akan mengobatimu.”
Dibantu dengan uluran tangan Sang Tuan, Alli bangkit. Kemudian, dengan tangannya yang bercahaya itu, Sang Tuan menyentuh bagian tubuh Alli yang terluka. Ajaib, luka-luka Alli langsung dipulihkan. Namun Alli sama sekali tak terkejut. Dia tahu itu adalah bagian dari kesaktian Sang Tuan.
“Kamu sudah membacakan isi kertas yang kuberikan?”
Alli menggeleng.
“Baik, tidak mengapa. Biar aku bacakan saja sendiri. Tapi sebelum itu, aku ingin bilang padamu, kamu sangat berani, Nak. Kamu melakukan yang terbaik sebagai ketua tim.”
“Terima kasih, Sang Tuan.”
“Nah, sekarang urusanku dengan kalian semua.” Sang Tuan menatap Eternita, Agathar dan Kolonel.
mozaik 127
Sang Tuan Membacakan Ketakutan Semua Orang
Sang Tuan mengambil posisi berdiri tepat di tengah-tengah semua orang. Alli berdiri di sampingnya. Sang Tuan menatap mereka semua dengan saksama. Penuh perhatian, namun seperti menunjukkan ketidaknyamanan.
“Mari kita mulai dengan kau, Agathar.”
Agathar menelan ludah. Ini sepertinya serius. Apa yang hendak dikatakan Sang Tuan padanya.
“Kau ketakutan bukan?”
Agathar menggeleng. Tidak, dia tidak pernah takut dengan Si Cakar Tiga. Dia berani menghadapi makhluk itu satu melawan satu.
Sang Tuan tahu itu, dan beliau tersenyum.
“Benar. Kau tidak takut dengan Si Cakar Tiga. Kau takut dengan hal lain.”
“Apa yang kau katakan, Sang Tuan? Aku jelas bukan penakut.”
“Lalu kenapa kau tidak bergerak-gerak tadi saat Eternita hendak dicakar oleh monster itu? Kau jelas sedang terpaku, ketakutan.”
Agathar menelan ludah.
“Nak, kau takut. Akui itu. Itu tidak memalukan. Semua orang punya rasa takut. Untuk orang sepintar kau, urusan mengakui ketakutanmu ini sulit, karena kau pandai berkelit. Menutup-nutupi. Mencari alasan. Tapi,” Sang Tuan mengangkat tangannya yang bercahaya ke arah Agathar, seakan sedang menerawang, “aku bisa melihatnya dengan jelas, kau sedang ketakutan.”
“Tidak.” Agathar menolak tegas. “Ketakutan menjauhkan aku dari penilaian yang logis. Ketakutan adalah bagian dari perasaan. Aku selalu berusaha memisahkan antara perasaan dengan logika.”
“Kenapa kau harus mengingkarinya.” Sang Tuan tersenyum arif, “mari aku tunjukan apa ketakutan terbesarmu, detektif yang jenius.”
Agathar menelan ludah.
“Saat kau tak sengaja menembak Alli tadi, kau langsung terpaku tak berdaya. Kau ketakutan. Bukan karena keberadaan makhluk itu. Bukan karena kau merasa bersalah. Tapi karena itu mencoreng reputasimu sebagai orang yang bisa melihat dalam gelap. Kau selalu meyakini hal itu bukan? Ya, itulah ketakutan terbesarmu, kesalahan yang bisa merusak reputasi, kau mencintai kesempurnaan, makanya kau selalu alergi dengan kegagalan. Setiap ada sesuatu yang merusak rencanamu, kau akan gentar, ketakutan.”
“Apa yang kau bicarakan, Sang Tuan?” Agathar menggeram, namun Sang Tuan mengibaskan jari. “Aku mengatakan kebenarannya.”
Agathar terdiam. Terpaku.
“Belajarlah untuk menerima ketakutanmu, Nak. Itu tidak akan merusak reputasimu.”
Ruangan terdiam sejenak. Sampai Sang Tuan berpaling, menghadap ke arah tangga.
“Eternita,” panggil beliau, “sekarang giliranmu.”
“Aku...” Eternita terpatah-patah.
Sang Tuan menatapnya dengan penuh perhatian. Belum apa-apa, Eternita sudah memasang bantahan keras. “Tidak, aku tidak ketakutan. Tidak pernah.”
“Akui saja, Nak. Ketakutan adalah milik semua orang. Semua orang punya ketakutan. Itu bukan hal yang memalukan.”
“Tidak, aku tidak punya ketakutan. Jangan bicarakan hal itu lagi.”
“Salah, kita harus membicarakannya sekarang. Agar kau bisa mulai mengenalinya, dan bisa hidup berdampingan dengan ketakutanmu, Eternita.”
“DIAM!”
“Kamu terus menyangkal.” Sang Tuan maju selangkah, mendekat, tangannya terulur pada Eternita, seketika cahaya meliputi dirinya, “itu tidak baik, Eternita. Ayo, mari kenali ketakutanmu. Kamu bukan orang yang rumit seperti Agathar. Ini mudah saja. Hanya saja, kamu gengsian.”
Gigi Eternita bergemerutuk mendengar kalimat itu. Itu kalimat yang tidak ingin dia dengar.
“Kamu bukan orang yang rumit. Ketakutanmu sama seperti orang pada umumnya. Orang kebanyakan. Kamu takut melihat makhluk mengerikan itu. Kamu takut dengan kegelapan yang menyelimuti kita sekarang. Kamu takut dengan zombie-zombie, kamu takut dengan....”
“HENTIKAN!” Eternita kini menutup telinganya, “HENTIKAN!”
“Jangan dilawan, Nak. Tidak apa-apa mengalami ketakutan. Asal kamu berani menghadapinya. Lihatlah, di sisiku sekarang, berdiri Alli. Dia memiliki ketakutan yang jauh lebih besar dibandingkan kau, tapi dia berani menghadapinya. Dia berani menangkap tangan bercakar itu, meski harus mempertaruhkan nyawanya.”
Cahaya yang menyelimuti Eternita kini memudar lagi seiring Sang Tuan menurunkan tangannya.
“Akui dan hadapi, Eternita. Akui dan hadapi. Itu jauh lebih baik daripada terus menerus menghindar. Itu akan membuat kau lebih gagah, daripada terus menerus berkelit. Kuharap kata-kataku ini dipikirkan dengan baik.”
mozaik 128
Ketakutan Kolonel dan Suara Tembakan Terhenti
Ruangan kembali hening sejenak. Sang Tuan kini berbalik pada Kolonel Dhar.
“Sekarang, giliran anda. Kolonel Dhar.”
DORRR! DORRR! DORRR!
Senapan milik Kolonel menyalak, memuntahkan pelurunya. Alli sampai berteriak. Terkejut dengan tindakan mengejutkan kolonel Dhar itu.
“Kalau kau bicara lebih banyak, kau akan tahu akibatnya.” Kolonel memegang senapannya dengan erat.
“Kolonel, turunkan senjatamu,” perintah Alli.
“Diam kau, bocah. Orang tua ini lama-lama kurang ajar.”
“Ya, untuk orang-orang yang gagah berani seperti kau, memiliki ketakutan seperti sesuatu yang sangat memalukan ya.”
DORRR! DORRR! DORRR!
Senapan Kolonel sekali lagi memuntahkan peluru-pelurunya. Kali ini, mengarah tepat ke arah Sang Tuan.
Sebelum peluru itu sampai pada dirinya, Sang Tuan sudah mengangkat tangannya. Peluru-peluru itu, terhenti di udara, kemudian jatuh berdenting ke lantai.
“Mari kita bicara, Kolonel. Jangan pakai kekerasan begini. Lebih baik menghemat peluru untuk menghadapi musuh-musuh yang menanti kalian nantinya.”
“Kau tidak akan bicara apa-apa tentang ketakutanku. Aku tidak punya ketakutan.”
“Anda memang orang yang sangat pemberani, Kolonel Dhar.” Sang Tuan berucap penuh penghargaan.
“Kau tahu persis.”
“Kau berani menghadapi makhluk macam apa saja. Bahkan monster macam Si Cakar Tiga itu, kau juga tidak ketakutan. Sedikit pun tidak ada ketakutan.”
“Kau tahu itu. Maka berhentilah bicara.”
“Tapi itu bukan berarti kau tak punya ketakutan sama sekali.”
DORRR!
Sang Tuan sekali lagi mengangkat tangannya. Kali tidak hanya menghentikan pelurunya di udara, namun juga menjatuhkan senapan milik Kolonel itu.
“Mari kita bicara dengan lebih baik. Mari aku tunjukan apa sebenarnya ketakutanmu. Karena untuk orang sekaliber dirimu, yang pemberani dan berpengalaman, Kolonel Dhar, terkadang sulit untuk mengenali ketakutan terbesarmu. Tapi kau tetap saja seorang manusia.”
Kolonel kini terpaku sepenuhnya.
“Kolonel, ketakutanmu tidak berwujud pada makhluk, sesosok makhluk, atau sesuatu yang mengerikan. Tidak. Itu tidak membuatmu takut. Kau takut pada sesuatu yang lain. Kau takut pada masa lalumu.”
“Masa lalu...”
“Aku tidak bicara panjang lebar. Itu rahasiamu, aku tahu. Dan kau pasti sangat mengenalinya. Aku hanya ingin kau mengakui dan berdamai dengan ketakutanmu itu. Kau mengerti bukan, Kolonel? Ah untuk orang yang pernah berperang di masa lalu, kau pasti sangat mengerti, Kolonel Dhar.”
Sang Tuan tersenyum tulus.
mozaik 129
Pintu dengan Kunci Keempat
Selesai membacakan tentang ketakutan semua orang, Sang Tuan menatap ke arah Alli, menepuk-nepuk pundak ketua tim itu dengan sikap bersahabat.
“Kuserahkan kembali padamu, Nak.”
“Apa yang bisa kami lakukan setelah ini, Sang Tuan?”
“Kalian harus meneruskan perjalanan.”
“Bagaimana jika makhluk itu muncul lagi?” Alli bertanya, agak ragu-ragu.
“Maka kalian akan menghadapinya.”
“Tapi Sang Tuan....”
Sang Tuan berpindah menepuk bahu Alli, tersenyum, “kalian bisa menghadapinya. Setelah mengenali ketakutan kalian masing-masing, itu akan membantu kalian menjadi lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Percayalah.”
Alli segera mengangguk, dia percaya sekali dengan kata-kata Sang Tuan.
“Nah, aku harus pergi. Tapi sebelum itu, aku harus mengatakan sesuatu lagi pada kalian.”
“Kau hendak mengatakan apa lagi, heh?” Kolonel mendengus, mengambil kembali senapan miliknya. Siap menembak jika Sang Tuan mengatakan hal aneh-aneh lagi. Tapi Sang Tuan menanggapi dengan tertawa.
“Bukan, bukan tentang ketakutanmu. Aku tidak akan mengusiknya lagi. Jangan menembakku lagi.” Sang Tuan menyeringai, “ini tentang Dr. Collins. Ada satu ruangan terkunci di sini, kalian harus mencarinya. Pintu yang hanya bisa dibuka dengan petunjuk yang keempat. Kau tahu apa bunyi petunjuk itu bukan, Agathar?”
Sang Tuan mendongak ke arah Agathar.
Agathar mengangguk.
“Nah, kalau begitu, peranku di sini sudah selesai.” Bersamaan dengan kata-katanya itu cahaya yang meliputi Sang Tuan memudar. Sang Tuan akan segera menghilang. Alli meraih tangan Sang Tuan sebelum semua cahaya itu memudar. Alli menanyakan sesuatu.
“Apakah kita akan bertemu lagi, Sang Tuan?”
Sang Tuan balik menepuk pundak Alli. “Kamu tahu legendaku bukan? Bila aku sudah muncul dan membacakan semua perasaan kalian, maka itu artinya tugasku sudah selesai. Mungkin ini pertemuan terakhir kita, Alli.”
“Saya merasa terhormat karena berhasil bertemu dengan anda, Sang Tuan.”
Alli membungkuk hormat.
Sang Tuan memudar, menghilang. Bersamaan dengan efek putaran angin yang meniupnya.
mozaik 130
Ayo Kita Selesaikan
“Kamu bisa turun, Eternita?” Alli mengulurkan tangan pada Eternita yang masih berjongkok di tangga.
Eternita meraih tangan Alli. Alli bisa merasakan tangan gadis itu gemetar bukan main.
“Pelan-pelan. Tangganya rapuh.”
“Terima kasih, Alli.”
“Tenanglah. Kamu akan baik-baik saja.”
“Terima kasih juga telah melindungiku tadi. Kamu sangat pemberani.”
Alli garuk-garuk kepala. Dia tidak seberani yang dikira. Sejujurnya dia tadi sangat ketakutan. Alli membantu Eternita agar bisa berdiri sempurna.
“Sama-sama. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa.”
Dilihat dari wajahnya, Eternita masih sangat “terbebani” dengan apa yang telah dikatakan oleh Sang Tuan. Alli menyadari hal tersebut. Dengan hati-hati, dia mencoba mengatakan beberapa hal, penghiburan, dengan suaranya yang gembira.
“Kamu akan baik-baik saja. Kata-kata beliau tadi, sama sekali tidak mengurangi apapun di dalam dirimu.”
“Apa kamu bilang?”
Alli tersenyum, “kamu tetap dirimu, Eternita. Kamu adalah wartawan yang sangat enerjik, berdedikasi dan cerdas.”
Kata-kata itu sukses membuat mata Eternita berkaca-kaca.
“Apakah kamu mau meneruskan perjalanan kita, Eternita?”
Pertanyaan itu dijawab Eternita dengan anggukan. Anggukan yang elegan, rambut keriting pirangnya bergoyang-goyang.
Alli berbalik ke arah Agathar dan Kolonel Dhar yang juga sedang berada dalam kondisi kepercayaan diri yang rendah.
“Kalian juga baik-baik saja,” ujar Alli perlahan. Bukan pertanyaan, tapi pernyataan.
“Jangan bicara kau, bocah.” Kolonel mendengus kesal. Dia merasa begitu tersinggung, walau Alli sebenarnya tidak bermaksud menyinggungnya.
Alli mencoba berbicara dengan lebih halus lagi. “Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung anda, Kolonel. Aku tahu persis, anda seorang yang hebat, tentara yang pemberani, pejuang yang membela tanah air sampai titik darah penghabisan, tentu saja, anda hebat sekali.”
“Kau masih mengejekku, bocah.”
“Kau salah sangka, Kolonel,” Alli berjalan mendekat, “semua kehebatan yang kusebutkan tadi, tidak akan luntur hanya dengan kau takut akan sesuatu hal. Kau tetap kau. Kolonel tetap kolonel. Kau tetap orang paling berani di antara kita, dan menjadi orang paling dibutuhkan oleh tim ini. Jadi kau baik-baik saja.”
Wajah Kolonel memerah oleh kalimat terakhir itu. “Kau bisa mengambil perhatianku, bocah. Baiklah, ayo kita lanjutkan perjalanan ini.”
“Agathar, bagaimana denganmu?”
“Kau hendak mengucapkan sesuatu juga tentangku?”
“Tentu saja. Agathar, sang detektif yang cerdas, taktis, dan memiliki deduksi yang brilian dan tajam.”
“Dan jangan lupa kalau aku juga yang telah menembak bahumu.”
Alli menepuk-nepuk pundak Agathar dengan respek. “Ya, dan kau adalah temanku. Tentu saja aku memaafkanmu. Lagipula itu kecelakaan.”
Agathar kehabisan kata-kata.
“Baiklah. Ayo kita lanjutkan perjalanan.”
“Bagus,” sahut Alli, “kita akan selesaikan semua ini.”
Jam hampir mencapai pukul 5 pagi. Semburat fajar sudah menyinari ufuk timur.
Saatnya tim Alli menuntaskan semua ini.
mozaik 131
Pencarian Kunci Keempat
“Sang Tuan bilang ada satu pintu lagi di basement ini yang bisa dibuka dengan kunci yang keempat.” Alli memegangi senternya yang sudah dia benarkan (sedikit rusak karena terjatuh tadi), “aku penasaran dimana kira-kira ruangan itu. Apakah terhubung dengan gudang ini.”
Alli memainkan senternya menyusuri sisi-sisi gudang ini dengan seksama. Mata Eternita dan Agathar mengikuti arah cahaya senter itu bergerak. Ini agak menegangkan, sebab bisa saja yang mereka temukan bukan ruangan yang terkunci.
Melainkan monster itu lagi.
Namun untungnya hal tersebut tidak terjadi. Tepat saat senter mulai menyoroti ke arah sebelah kanan ruangan, Alli bersorak. “Itu dia ruangannya.”
Agathar lekas bergerak mendatangi ruangan itu. Suara kecipak air mengiringi langkahnya. Dia mengetuk-ngetuk pintu itu. Ada sebuah gembok tergantung di sisi kiri pintu tersebut. Sesuai dengan petunjuk Sang Tuan.
“Pintunya terbuat dari besi.”
“Tidak bisa didobrak walaupun dengan sepuluh orang.” Eternita ikut meletakkan tangan di pintu.
“Jadi kita tidak punya pilihan lain selain menemukan kuncinya ya?”
“Ya Kolonel, tepat sekali.”
“Dan kuncinya ada dimana?” tanya Kolonel lagi. Diiringi nafas berat. Dia tidak ingin berurusan dengan hal rumit lagi. Kepalanya sudah terlalu lelah.
“Kalau teori Agathar sebelumnya benar, satu kunci disembunyikan di setiap tingkat, maka kunci keempat disembunyikan di sini, di basement ini.”
Di tempat paling rendah hati, tidak pernah protes walau diinjak-injak.
Eternita membacakan petunjuk yang keempat yang dia catat di bukunya. Kolonel mengelus kepalanya. “Dimana itu, tidak jelas sama sekali.”
“Sebaliknya,” sahut Agathar, “itu cukup jelas.”
“Katakan padaku.”
“Lantai.”
“Apa katamu?”
“Lantai. Kunci itu disembunyikan di lantai.”
“Kau baru saja mengata-ngatai aku bodoh.”
Agathar menyernit kening. Kapan pula dia mengatakan bahwa Kolonel bodoh? Tapi akhirnya dia menjelaskan mengapa petunjuk keempat bisa ditemukan di lantai.
“Diinjak-injak, itu menunjukkan sesuatu yang rendah. Dan tempat yang selalu diinjak-injak di rumah ini, jelas lantai. Kita tidak mungkin menginjak-injak langit-langit rumah bukan?”
“Kau mengata-ngataiku bodoh lagi.”
Agathar menepuk dahi. Eternita tertawa renyah. “Astaga, alangkah pemarahnya anda, Kolonel Dhar.”
“Oke baiklah,” Alli menyela cepat, menghindari pertengkaran, “jadi bagaimana cara kita hendak menemukan kunci itu. Lantai mana yang harus kita geledah?”
“Nah, itulah tantangannya. Kita harus menggeledah seluruh genangan air ini.”
“Kau baru saja bercanda bukan, Agathar?” Alli sedikit merinding, menggeledah lantai berair yang lembab dan kusam macam saluran pembuangan ini? Sepertinya bukan sesuatu yang menyenangkan.
Namun Eternita sudah menyingsingkan lengan bajunya. Memperlihatkan pergelangan tangannya yang putih kuning. Kulitnya begitu terawat. Eternita kemudian menyerahkan senter yang dia pegang pada Alli.
“Ini pegang.”
“Apa yang mau kamu lakukan, Eternita?”
“Tentu saja mulai mencari. Mungkin aku, dan skill wartawanku yang cermat, teliti, gigih dan cekatan bisa sangat membantu.”
Tak menunggu tempo, Eternita sudah mengais-ngais air seperti anak desa mencari belut di sawah. Sama sekali tidak terlihat jijik. Bahkan Agathar terpaku melihatnya.
“Wanita adalah satu hal yang sulit untuk dipahami,” dia bergumam perlahan.
mozaik 132
Boo! Di Sini Dr. Collins
“Ini dia kuncinya!”
Lima belas menit. Eternita mencari bak seekor hiu sedang memburu mangsanya yang sudah dia gigit namun terlepas. Gadis itu terus mencari, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cepat.
“Pegangi senternya, Agathar.” Alli tiba-tiba menyerahkan senter pada Agathar juga, seketika ikut menyingsingkan lengan baju, dan ikut “berburu kunci”.
“Baiklah, aku juga tidak ingin ketinggalan.” Kolonel tiba-tiba bersemangat, ikut menyingsing lengan baju, “untuk ukuran ruangan yang terendam, ruangan ini tidak terlalu buruk.”
Berkat mereka bertiga (Agathar tidak ikut karena Alli mencegahnya. Dia bilang kalau Agathar ikut, itu akan mengotori bajunya, dan bukankah Agathar sangat tidak suka penampilannya menjadi berantakan?) akhirnya kunci itu benar-benar berhasil ditemukan.
Eternita yang menemukannya.
“Hebat sekali, Eternita.”
“Terima kasih. Ini, segera buka kuncinya, jadi aku bisa segera pergi dari rumah ini.”
“Yeah, kau tidak terlalu buruk, untuk ukuran seorang amatir, nona.”
“Kalau aku yang menemukan kuncinya adalah amatir, lantas anda yang tak dapat apa-apa, jadi apa kolonel?” Eternita balas mengejek.
“Dasar kau.” Kolonel mendengus, tapi kemudian mereka bertiga tertawa.
“Ayo segera kita buka pintu rahasinya.” Alli meraih kuncinya, dan segera mendekat ke pintu yang digembok itu. Agathar menyusul di belakangnya, begitu penasaran.
KLAK!
Alli berhasil membuka pintu itu setelah menyingkirkan gemboknya. Itu adalah pintu geser. Agathar dan Kolonel bekerja sama untuk membuka pintu besi itu. Lumayan berat juga.
Alli yang kini memegang senter, masuk lebih dulu, dan menyorongkan senternya ke dalam ruangan.
“HAA!” Alli langsung terpekik di penglihatan pertamanya.
Dr. Collins berdiri di sana, di belakang meja. Menyeringai pada mereka. Saat Alli menyorot ke arahnya, dokter itu tertawa kecil.
“Halo, kita bertemu lagi. Dan kalian semua sekarang ada di sini. Tim yang lengkap ya. Pas sekali. Aku sedang menguji sesuatu.”
PROK! PROK! PROK! PROK!
Empat tepukan itu, membangunkan empat sosok di belakang Dr. Collins. Keempat sosok itulah yang membuat Alli berteriak tadi. Mereka bangun ditandai dengan mereka mengangkat kepala. Sebab mereka tidak punya mata.
“Celaka. Itu empat ekor Si Cakar Tiga ya.”
“Bukan sekedar Si Cakar Tiga,” ujar Dr. Collins, masih dengan wajah menyeringainya, “omong-omong, itu nama yang cukup bagus. Hewan peliharaanku ini memang tidak punya nama. Tapi bisa kubilang, mereka berempat sedikit lebih baik daripada versi yang sebelumnya.”
Mereka berempat langsung berbaris berbanjar, berjejer. Kolonel langsung meraih senapannya. Dia tahu, ini situasi darurat.
“Habisi mereka sebelum mereka bergerak, Kolonel.”
“Aku tahu.”
DORRR! DORRR! DORR! DORR!
Kolonel melepaskan tembakan. Dokter itu dengan gesit menghindar ke bawah meja, pelurunya menghantam keempat makhluk mengerikan itu dengan telak. Namun aneh.
Tidak ada reaksi.
“Mereka... tidak mempan.”
“Ha!” Dr. Collins muncul lagi dari balik meja, “kalian akan suka dengan penemuanku. Mereka lebih kebal terhadap peluru. Hebat sekali bukan!”
Alli menelan ludah.
“Anak buahku, dengarkan perintahku dan patuhi sampai kalian mati. Serang mereka, dan habisi sampai tak bersisa!”
Keempat makhluk itu meraung keras.
“LARIII!”
Alli genap meneriaki mereka semua.
Bersambung>>>>
(12 chapter tersisa)
Bagian Pertama Ditulis Pada 16 Agustus
Bagian Terakhir Ditulis Pada
Rabu, 14 September 2022
Pukul 22.30
WITA
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
