[Free Draft] 2+2=4 (Untold Story of Humadi Azka 1)

0
0
Deskripsi

Semua orang pernah jatuh cinta. Humadi Azka adalah salah satu di antara sekian banyak orang yang pernah dan sedang jatuh cinta, jadi kisah ini tidaklah terlalu spesial. Lantas, apa yang membuat cerita ini layak untuk dibaca? Barangkali karena Humadi Azka menyampaikan kisahnya dengan tulus, tanpa ditutupi, apa adanya. Ha, terdengar kisah yang terdengar sederhana. Namun tidak. 
Di sini, di Quart School, sekolah dengan sistem pendidikan terunik dan terbaik, semua tidak sesederhana itu. Ada banyak...

Mozaik 1
Semester 3 Quart School


Sekolah ini bernama unik, The Quart School. Sebuah bangunan megah yang berdiri di kawasan selatan Pulau Borneo. Kisah-kisah yang dilahirkan di sekolah ini, memang seunik namanya. Semuanya bermula di satu pagi di semester 3.
Namaku Humadi Azka. Seorang pelajar semester 3 di Quart School. Aku seorang laki-laki, hal ini perlu kusebutkan karena pernah ada yang mengira aku perempuan hanya gara-gara mendengar namaku.
Ini adalah  hari pertama sekolah kembali dibuka setelah libur semester selama dua minggu. Selayaknya di sekolah-sekolah lainnya, masa satu minggu setelah liburan di Quart School juga masih merupakan masa-masa santai. Kudengar orang-orang di Belanda sana menyebut masa ini sebagai transisi.
Seusai memarkirkan motor, aku segera mencari lokal baru yang akan kami tempati setahun ke depan. Oh mungkin kau akan heran dengan istilah lokal ini kawan, nanti aku ceritakan lebih detail.
“Tak kusangka ternyata lokal baru kita ada di sini,” kusapa seseorang setelah berhasil menemukan lokalku. Orang itu menangkup tangan ke wajah layak sedang berdoa. Dia temanku, Nasri Abdillah namanya. Dia juga unik.
“Kau lebih cepat menemukan kelas ini dibandingkan aku ya?” ucapku lagi, mencoba bercakap-cakap. 
“Ada di grub,” gumamnya malas.
Aku menghela nafas. Aku juga tadi menemukan lokal dengan info yang tertera di Grup Whatsapp. Nasri tidak  terlihat ingin bicara, sepertinya mood sang profesor tidak stabil, macam musim saja.
“Sepertinya dia terkena demam kelas baru,” sebuah suara menginterupsi. Suara perempuan. Aku menoleh. Dia Lia, temanku juga. 
“Memangnya kelas baru bisa menyebabkan demamnya,” aku menyeringai.
“Tidak tahu.”
“Kamu sangat riang seperti sedang jatuh cinta,” sahutku lagi. 
Lia mengangkat bahu, kemudian duduk di bangkunya, di barisan depan. Hari beranjak siang, beberapa orang lagi terus berdatangan. 
Sejujurnya kawan, memiliki kompleks pendidikan semacam Quart School ini adalah sebuah hal yang sangat membanggakan bagi sebuah provinsi. Lihatlah bangunannya yang sangat besar, bertingkat dan berwarna hijau putih. Pemerintah Bumi Melayu (nama provinsiku, nama disamarkan) pasti tidak menyesal membangunnya.
Quart School sudah berdiri selama 11 tahun yang lalu. Aku masuk sebagai angkatan ke-10. Ingin tahu persis sejarah sekolah ini? Gampang saja, datang saja ke perpustakaan Quart School, di sana ada buku berjudul “Sejarah Sekolah Kebanggaan”. Itu karena orang-orang di sekolah ini memang memegang teguh kalimat Bung Karno, Jas Merah.
Karena kawan bukan tipikal orang yang senang membaca buku, aku katakan saja bahwa jika ada satu ciri khas Quart School, maka itu adalah mottonya, “belajar itu menyenangkan.”
Bukan kawan, ini bukan motto yang sekedar motto seperti dari dinas pendidikan kabupaten itu, motto ini benar-benar dilaksanakan sebaik-baiknya. Berdasarkan motto tersebut, para siswa Quart School dipersilahkan memilih pelajaran apa yang mereka senangi. Sisanya, meski ada banyak sekali pelajaran yang ditawarkan, boleh saja ditinggalkan. Tidak ada yang melarang. 
Mungkin kalian akan kesulitan memahami sistem di sini, tapi selepas cerita ini habis, aku yakin sekali kalian akan paham. 
Sebagai contoh akan kukatakan, pernah satu kali di semester 1 kemarin, jadwal sekolah hari Selasa, adalah Kimia, Matematika, Geografi dan PKN. Temanku Aram, merasa tidak senang dengan semua pelajaran di hari itu, jadilah dia tidak masuk. Tidak ada yang bisa melarangnya. 
Ritual bolos seperti ini jamak terjadi di Quart School. Bolos adalah hal yang legal. Asalkan, sepanjang tahun, setidaknya ada minimal dua pelajaran yang disukai dan benar-benar ditekuni. Seperti contohnya, kawanku Aram tadi. Dia menyukai pelajaran ekonomi, jadi Kelas Ekonomi saja yang dihadirinya secara rutin. Bersama kelas IT.
Aku pernah bertanya ada Pak Hadi, Guru Sejarah di Quart School, mengenai darimana sekolah ini mengadopsi sistem semacam itu. Pak Hadi membuka catatan kecil yang memang sering beliau bawa kemana-mana. 
“Sistem ini sukses dilakukan di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Kenapa kita tidak mengadopsinya. Meski saya tahu, itu sudah hampir terlambat. Lagipula, buat apa siswa mempelajari semua mata pelajaran itu, jika di dunia yang lebih luas, tidak semua bisa dipakai,” jelas beliau. Pak Hadi adalah guru favoritku.
Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah ini lengkap. Sangat lengkap. Sebut saja ruang kelas ber-AC, kantin, perpustakaan, laboratorium, aula yang besar. Guru-guru yang hebat juga mengisi daftar pengajar di sekolah ini. Sekali lagi kukatakan, ini adalah sekolah yang hebat.


Mozaik 2
Fun Class


Quart School penuh dengan event-event yang luar biasa dan memanjakan para siswanya. Setidaknya ada 4 event besar yang rutin diadakan sekolah ini, yaitu Fun Class, Festival Togut, Party Class dan Hari Suka Raya. Kau tidak akan menemukan event-event semacam ini kawan, meski mengelilingi separuh dunia.
Event pertama yang paling dekat dengan ceritaku saat ini, adalah Fun Class. Apa itu Fun Class? Begini kawan, mungkin di tempat kawan, sekolah-sekolah menggelar lomba-lomba semacam class meeting. Seperti itulah Fun Class.
Jadwal Fun Class adalah minggu pertama di semester ganjil, bulan Juli. Biasa dimulai di hari kedua setelah libur panjang. Dan rangkaian acaranya cukup panjang, sekitar 2 minggu. Bayangkan kawan, dua minggu pertama tanpa pelajaran atau kelas yang memusingkan.
Hari ini, masih di hari pertama, yang artinya Fun Class akan diadakan besok, kepala sekolah memanggil seluruh siswa berkumpul di lapangan. Pasti soal Fun Class. Pak Kepala Sekolah akan memberi pengumuman penting, begitu kata pengeras suara.
“Anak-anakku yang berbahagia setelah libur panjang,” buka Kepala Sekolah dengan takzim, “berkumpulnya kita hari ini di lapangan, adalah untuk membicarakan soal Fun Class.”
Terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan.
“Mengenai teknisnya, tahun ini Fun Class akan disampaikan oleh Ibu Hartini,” ucap Kepala Sekolah lagi. Suara sorak sorai yang tadi terdengar, perlahan menyusut. Bu Hartini bukan guru yang populer. Kau akan tahu alasannya begitu mengenal beliau, kawan. Berkatalah Bu Hartini,
“Seperti yang disampaikan oleh Pak Kepala Sekolah, tahun ini Ibu mengambil alih panitia menyelenggarakan Fun Class. Ibu berpendapat bahwa harus dilakukan perubahan terhadap acara ini, terutama masalah lama penyelenggaraannya. Ibu telah menimbang, berdiskusi, meminta pendapat kepada guru-guru lain, demi kebaikan kita semua, Acara Fun Class akan dipendekkan menjadi satu minggu saja.”
Terdengar riuh kecewa. Bu Hartini buru-buru melotot. Membuat para siswa terdiam. Aku hanya mengelus dada kecewa. Bagaimana bisa Bu Hartini memotong acara lomba yang mencapai 20 jenis itu. Penjelasan beliau berikutnya adalah jawabannya.
“Tahun ini, Fun Class akan menjadi ajang persaingan satu arah. Maksudnya, satu kelas akan diizinkan mempertontonkan kebolehannya, kepada dewan juri untuk dinilai. Kebolehan yang ibu maksud, adalah sesuatu yang hebat. Boleh jadi Tilawah Al-Qur’an, boleh jadi Shalawat-an, boleh jadi rebana, boleh jadi yang lain. Bebas saja. Kelas terbaik akan diberi piala pemenang Fun Class.”
Setelah itu, kerumunan massa dibubarkan. Masing-masing masih ber-uhhh kecewa. Tentu saja tidak di hadapan Bu Hartini. Tidak ada yang berani dengan beliau, Bu Hartini adalah Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan. Bisa celaka jika sampai berurusan dengan beliau. Ini di antara kita saja kawan, tapi aku merasa Bu Hartini adalah duri dalam daging Sekolah ini.
Sekembalinya dari lapangan, lokal 4 The Quart School menggelar rapat terbatas. 
Aram, temanku tadi, nama lengkapnya Faddil Al-Aram, bersama temannya, Muhammad Wahidurrahman memimpin rapat internal. Aku dan Nasri mendengarkan dari pojokan. Jika melihat rona wajah Aram, dia benar-benar kesal.
“Bagaimana ini Ram, apa yang harus kita lakukan?” tanya salah seorang cewek. Dalam situasi semacam ini, Aram bisa disebut sebagai pemimpin internal. Ketua kelas yang sebenarnya adalah Nasri.
“Jangan tanya padaku,” sergah Aram, “semua berantakan gara-gara Ibu guru kita yang sialan itu!” Bukkk, Aram menghantam papan tulis.
“Woy tunggu kawan,” cewek lainnya mencoba menahan tangan Aram yang ingin menghantam papan tulis untuk kedua kalinya. Kalau papan tulis itu rusak, bisa semakin runyam lagi urusannya.
“Apa ide kalian?” tantang Aram.
“Bagaimana kalau kau pertontonkan lagi silat kau macam tahun kemarin itu Ram,” aku menyumbang usul. Tahun lalu Aram mendemonstrasikan keahlian silatnya dengan memecah beton. Aram menggeleng. “Aku tidak berniat terlibat dengan acara Bu Hartini ini. Bagaimana kalau kita boikot saja.”
“Eh jangan Ram, bisa-bisa kelas kita yang diboikot oleh beliau,” sahut Lia.
“Tidak ada sepakbola, maksud Bu Hartini pasti acara-acara kesenian saja. Tidak seru. Silakan kalian pikirkan apa yang ingin ditampilkan,” Wahid ikut menyumbangkan ide. Atau kemalasannya.
Rapat internal ini sepertinya tidak berguna. Saat semua kebingungan, Nasri bersuara. “Pidato saja,” ujarnya. Semua sontak memandang ke arahnya. Aram yang tadi bersiap menghantamkan tangan ke meja ikut melongok, “lalu kira-kira siapa yang harus berpidato? Apakah engkau wahai tuan Nasri yang jenius?”
“Aku tidak berbakat. Lebih baik Azka saja.”
Majelis rapat beralih ke arahku. Dalam hati aku mengumpat pada Nasri. Apa yang dia usulkan sama gilanya dengan kelakuan Aram. Aku disuruh berpidato? Ide macam apa itu. Aku sama sekali tidak punya pengalaman berpidato. Belum lagi aku menyiapkan kalimat untuk membantah, Aram sudah mendelik.
“Azka berpidato? Sepertinya itu ide yang bagus. Bagaimana, kalian sepakat?”
“Sepakat,” sahut seluruh majelis rapat. Aku tidak bisa berkutik lagi.


Mozaik 3
Guru Terbaik


Acara Fun Class tahun ini menjadi lesu. Hampir semua kelas menjadi setengah hati mengikuti acara ini. Padahal ini adalah acara yang luar biasa, salah satu acara sakral Quart School.
Hari ini aku tersudut di ruangan aula. Sambil memegangi naskah, gemetar. Tak pernah aku berpidato sebelum ini. Nasri yang telah menjerumuskan aku ke dalam urusan ini, ikut mendampingi aku di Aula. Tempat lomba Fun Class digelar.
Urusan lomba menjadi tidak menyenangkan sama sekali. Setidaknya jika dibandingkan dengan tahun kemarin, yang menggelar pertandingan sepak bola, bulu tangkis, basket, catur dan lainnya. Megah dan ramai. Tidak bisa dibandingkan dengan lomba nasyid, tidak bisa kawan. Kalian bisa membayangkannya bukan?
Sesuai dugaan, aku akan kalah di lomba ini. Macam mana pula aku bisa menang kalau ini adalah perdana kalinya aku memegang naskah pidato ini. Nasri menepuk pundakku saat meninggalkan aula, “tidak perlu dipikirkan Az, nanti kau bisa coba lagi.”
Bu Hartini adalah salah satu figur guru pragmatis yang mudah kawan jumpai di sekolah-sekolah biasa. Jika dibandingkan dengan guru-guru yang ada di Quart School, beliau dengan cepat menempati urutan terbawah daftar guru favorit.
Ada banyak contoh guru favorit di Quart School. Salah satunya adalah Pak Hadi. Aku sangat senang dengan beliau dan metode belajar yang beliau terapkan. Pak Hadi adalah guru sejarah. 
Ciri khas Pak Hadi adalah beliau selalu membawa buku notes kecil di saku belakang beliau. Di buku tersebut ada berupa-rupa macam catatan sejarah. Tanyakan saja setiap hal berbau sejarah pada beliau, jika beliau tidak ingat jawabannya, beliau akan membuka catatan beliau tersebut, lengkap di sana.
Hari ini misalnya, pembukaan minggu kedua, saat kelas Sejarah dimulai. Pak Hadi mulai menjelaskan. 
“Kalian tahu, kenapa saat ini Indonesia kesulitan maju? Itu karena Indonesia membelakangi sejarah mereka. Sejak zaman dahulu bangsa Indonesia adalah bangsa pedagang, bukan petani. Indonesia sebenarnya adalah negara maritim, bukan negara agraris. Kalian sebut saja, nama semua kerajaan besar di Indonesia, rata-rata semua lahir lewat perdagangan. Kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia lahir lewat perdagangan.”
Semua mata menatap beliau dengan terkagum-kagum. Pak Hadi tidak pernah menyuruh kami mencatat. Kami semua sendirilah yang berpikir untuk mencatat atau tidak. Beliau hanya bercerita. Cerita itu yang menjadi sisi menarik dari beliau. Oleh karenanya, aku paling senang masuk di pelajaran beliau. 
Selain Pak Hadi, guru favoritku yang lain adalah Pak Farhan. Mungkin sebagian besar murid Quart School tidak akan setuju dengan pendapatku ini. “Si pemilik soal melilit perut” itulah julukan Pak Farhan. Beliau adalah Guru Matematika.
Kelas beliau tidak sering ramai. Paling hanya 15 orang. Memang kelas beliau hanya untuk orang-orang nekat. Aram adalah orang yang paling sering bolos dari jadwal kelas matematika. “Pening kepalaku menghadapi soal-soal beliau itu. Bisa terkena penuaan dini,” ujarnya bersungut-sungut.


Mozaik 4
Kantin Quart School


Sudahkah kukatakan bahwa Kantin The Quart School adalah bagian paling spektakuler dari sekolah hebat ini. Kantin ini terletak di dekat aula, lokasinya strategis, terjangkau dari titik mana saja. 
Kantin Quart School sangat besar. Mungkin lebih luas daripada aula itu sendiri. Di dalamnya ada berupa-rupa jenis makanan yang dijual. Mulai dari warung soto, warung sate, warung bakso, warung nasi kuning, warung lalapan, hingga jus buah ada di sini. 
Konon beberapa tahun sebelum ini, makanan di Quart School jauh lebih banyak, mencakupi 34 jenis makanan tradisional di seluruh Indonesia. Hanya saja, jumlah makanan tradisional itu sudah berkurang di sini, karena pedagangnya gulung tikar.
“Hoy Azka, minum kopi dulu di sini, duduk bareng kami,”
Itu adalah suara Aram yang menyapaku saat pergi ke kantin. Aram dan Wahid memang pelanggan kantin nomor satu. Mereka punya jadwal tetap ke kantin, di jam makan siang, jadwal Quart School menunjukkan istirahat kedua. 
Satu hal lagi yang menarik tentang temanku Aram ini, adalah kebiasaannya minum kopi. Kadang aku heran sendiri. Begitu senang dia dengan minuman berperisa pahit itu. Tempat tongkrongan Aram yang paling wajib dia datangi adalah kedai kopi Paman Pirates.
Ah ya kawan, mengenai Pirates itu, tentu saja adalah nama panggilan yang diberikan Aram pada pemilik kedai kopi paling murah meriah di Quart School. Nama asli lelaki dewasa bertubuh tambun ini adalah Yamani. Aram menjulukinya Pirates karena Paman Yamani memiliki jenggot yang lebat. Aku punya firasat, Aram gandrung dengan film Pirates of The Caribbean. Parahnya lagi, Aram mengejanya benar-benar Pi-ra-tes. Melayu sekali lidah kawanku itu.
“Duduk santai dulu Az, pesan kopi. Ngapain cepat-cepat ke kelas. Habis ini pelajaran apa?”
“Sosiologi,” sahut Nasri yang ikut ke kantin bersamaku. 
“Ah ya,” Aram menyahut cepat, padahal tadi dia bermaksud untuk retoris, “pusing aku dengan pelajaran sosiologi itu. Sekalian saja kita ngabsen,” katanya lalu tergelak. Ngabsen adalah istilah khusus yang diciptakan Aram, artinya bolos.
Aku tergoda dengan gagasan Aram itu, lalu ikut memesan kopi. Nasri menatapku dengan tidak setuju. Dia ingin kembali ke kelas. Ini bukan soal menaati aturan, tapi Nasri memang tidak suka berada di tempat terbuka.
“Jika tuan Profesor ingin jalan duluan, silakan.” 
Nasri berlalu. Aku mulai meneguk cairan kopi di depanku. Sering aku lewat di kedai paman Yamani, atau maksudku Paman Pirates, tapi aku tidak pernah singgah di sini sebelumnya. Aram mencomot gorengan lagi, Paman Pirates mengisyaratkan tiga dengan jarinya. Itu artinya Aram bakal ngutang.
“Dibawa santai saja Az,” katanya lagi sambil mengunyah bakwan, “toh sosiologi bukan mata pelajaran kesukaan kau kan? Kuingat kau suka matematika.”
“Benar sekali.”
“Alamak, itu makin memusingkan bagi aku Az,” kata Aram lagi, sambil tergelak.
“Tapi kamu sendiri suka sekali pelajaran ekonomi. Tak pernah kuingat kau ada bolos di pelajaran itu. Padahal sama saja, pusing juga dengan angka-angka,” sanggah Wahid.
Aram berhenti tergelak. Semua tawanya tersangkut di tenggorokan. Sanggahan Wahid ada benarnya. Aram kemudian mendekatkan kepalanya pada Wahid, berucap lirih, “aku suka melihat Bu Jannah. Beliau guru tercantik di Quart School. Mengenai pelajarannya, aku sama sekali tidak hirau.”
Seandainya menteri pendidikan ikut mendengar ini, geleng-geleng kepala dia. Wahid manggut-manggut mendengar penjelasan Aram. Maksud mereka sudah jelas. 
Setelah habis tegukan di cangkirnya, Aram berbalik. Benar-benar balik kanan. Wahid kemudian menyusulnya. Tinggallah aku sendirian. Tak kulihat mereka tadi melakukan adegan transaksi. Paman Pirates membaca gelagat kebingunganku kemudian menjelaskan, 
“Tak masalah Azka, dua temanmu itu sudah bayar di awal datang. Begitulah mereka.” Paman Pirates kemudian tertawa panjang.


Mozaik 5
Sebuah Pertemuan


Hari ini, Bu Indah wali kelas kami seharusnya masuk untuk memberikan materi tentang biologi. Yang menunggu di kelas sudah banyak, sejak zaman azali kelas biologi memang tidak pernah kehilangan peminat. Demikian juga di lokal 4, bahkan Aram si tukang bolos saja duduk di sebelahku sekarang.
“Maaf anak-anak, hari ini Ibu tidak bisa masuk. Ada yang sedang Ibu urus di luar kota. Kelas hari ini kita liburkan dulu.”
Pesan itu masuk lewat grup Whatsapp kelas. Membuat semuanya bersorak hore. Tapi kemudian terdiam. Makan siang sudah lepas, mereka tidak bisa lagi bersuka ria di kantin, uang sudah pasti habis. Alhasil, beberapa beringsut di lantai beton, berbantal tas, lalu tidur siang.
Kuberitahu kawan, meski ini Quart School, sangat tidak dibenarkan untuk pulang lebih dulu. Semua harus tertib, pulang pada jam pulang. 
“Nas, bagaimana kalau kita ke perpustakaan saja?” Aku menoleh pada Nasri. Dia sedang menelungkupkan tangan, seperti itulah kebiasaannya. Kali ini dia membuka tangannya.
“Kurasa itu ide yang lebih bagus. Di sini sangat membosankan.” Kami sepakat. 
Perpustakaan Quart School adalah salah satu hal menakjubkan lainnya yang ada di sekolah ini selain kantin. Besarnya hampir sama dengan perpustakaan daerah Bumi Melayu. Isinya sangat menunjang untuk aktivitas pembelajaran kami. Buku-buku pelajaran lengkap, juga ensiklopedia. 
Aku adalah kutu buku level akut. Aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca ketimbang untuk makan seumur hidupku. Sedangkan Nasri, begitu menyukai ketenangan. Kloplah kami berada di Perpustakaan berjam-jam.
Dengan berapi-api aku membuka ensiklopedia sejarah Indonesia, yang menurut Pak Hadi adalah bacaan paling komprehensif untuk para penyuka sejarah. Sedangkan Nasri, setibanya di perpustakaan, dia langsung menelungkupkan lagi wajahnya. Persis seperti sikapnya tadi di kelas.
Setengah jam kemudian berlalu. 
Perpustakaan Quart School berbentuk bundar. Aku dan Nasri sedari tadi mengambil duduk di bagian pinggirnya. Ketika aku meletakkan ensiklopedia itu, iseng iseng aku melihat-lihat sekeliling. 
Seseorang duduk di bagian tengah, di kursi bundar. Seorang perempuan. “Siapa dia?” Aku bergumam pelan, tak jelas sedang bertanya pada siapa. Nasri bangun, mendengar pertanyaan tak jelasku itu, dan menyahut, “siapa yang sedang kau maksud, Azka?”
“Dia,” ucapku sambil menunjuk ke tengah.
Nasri ikut memperhatikan cewek yang tadi kutunjuk. Kemudian dia kembali ke sikap asalnya, menelungkupkan tangan. “Aku tidak tertarik,” ujarnya malas.
Aku terus memperhatikan gadis itu. Dia juga sedang asyik dengan bukunya. Tak lama kemudian, muncul lagi seorang cewek lagi yang mendatanginya. Cewek kedua ini, aku kenal. Dia Lia. Temanku yang di awal kuceritakan.
“Baru tahu aku, Lia punya kawan secantik itu,” ujarku. Nasri mendengarnya, tapi tidak menanggapi. 
“Baiklah, aku akan membuktikan aku bisa merayu cewek,” ujarku mantap.
Tahulah engkau kawan, sebelum ini aku tak pernah berpikir memasukkan kisah cinta ke dalam buku ini. Tapi sosok gadis yang duduk di tengah perpustakaan itu, entah mengapa menarik perhatianku. Padahal dalam urusan asmara, aku masih amatir, tak pernah aku punya pacar sebelum ini.
Di lihat dari dekat, cewek ini semakin menarik. Wajahnya putih bersih, kesannya ramah. Perlu kau tahu kawan, di dunia ini banyak cewek cantik, tapi tidak mengesankan keramahan di wajahnya. Justru seperti jutek. Tidak enak sekali dipandang. Cewek ini sebaliknya. Tambahkan matanya yang cemerlang, astaga. Dengan suara dimantap-mantapkan, kucoba untuk menyapanya, atau tepatnya menyapa Lia.
“Hai Lia.”
“Eh,” Lia menengok ke arahku, “Azka. Pantas saja tadi tadi tidak ada di kelas, rupanya kamu di sini.”
Aku hanya bisa menyeringai. Semua kalimat yang ingin kukatakan, terasa tercekat di tenggorokan. Aku menyadari gejala ini. Belum apa-apa aku sudah salah tingkah.
“Aku tidak heran sih Az, kau-kan kutu perpustakaan,” di ujung kalimatnya, Lia ikut menyeringai.
“Eh aku…” Coba aku bersuara, tapi benar-benar tidak bisa meneruskan kalimat. Beruntung Lia buru-buru memotong.
“Tidak perlu berbohong Az.”
Aku sangat berharap bisa mengeluarkan gurauan lucu sebagai pembuka suasana dengan gadis bermata cemerlang yang duduk di sebelah Lia. Dia terlihat asyik dengan bukunya. Belum berniat berbicara.
Lalu tiba-tiba secara reflek, aku menguap. Ini adalah reaksi yang wajar, karena sebenarnya perpustakaan adalah tempat yang menenangkan. Hanya saja, aku menguap dengan membiarkan mulutku terbuka sangat lebar. 
“Eh kalau menguap, mulutnya ditutup pakai tangan kiri,” sebuah suara menginterupsi. Itu bukan suara Lia. Itu suara gadis bermata cemerlang. Dia menutup buku demi menegur reaksi menguapku.
“Tahu nih Azka, nanti mulutnya kemasukan setan lho,” sambung Lia, masih dengan seriangan yang sama.


Mozaik 6
Namanya Syifa


Sering kubaca tentang betapa pentingnya membuat kesan pertama yang baik saat bertemu seorang wanita. Dan yang terjadi pada di perpustakaan hari itu adalah sebaliknya. Aku merasa telah bertingkah bodoh di hadapan si mata cemerlang dengan menguap berkali-kali. Lia sampai bercelutuk, “di sini membosankan sekali ya Az.”
Untuk memperbaiki suasana, kini aku memastikan untuk menguap sambil menutup mulut. Si mata cemerlang nampak senang dengan perbuatanku. 
Tidak berapa lama kemudian, datang seorang pria. Kemungkinan besar seangkatan dengan aku dan Lia. Sekonyong-konyong, tanpa permisi, tanpa tersenyum padaku, apalagi menyapa, dia duduk di sebelahku, menghadap ke arah si mata cemerlang.
“Hai Syifa, di sini kamu rupanya,” ujarnya. Hatiku ikut berujar, oh nama gadis bermata cemerlang ini Syifa. Ironis, aku malah tahu namanya dari seorang cowok.
“Eh, hai juga Paderi. Ngapain kamu, nyari aku kah?” Syifa kembali menutup bukunya dan menyungging senyum. Alamak, aku saja belum dapat senyum sedari tadi.
“Lupakan, tahu gak kemarin aku ketemu ayahmu,”
“Oh ya? Dimana?”
“Di kantor kecamatan, pas ngurus KTP.”
Hatiku ingin menyumpah-nyumpah. Topik macam apa itu. Tidak bisakah dia memilih topik yang lebih baik? Satu kesimpulan yang segera kudapat, cowok ini tidak dibesarkan di lingkungan pesantren.
“Bagus dong.”
“Eh sebentar, bagaimana kau bisa mengenal ayahnya Syifa?” Lia ikut menyahut. Aku mulai curiga jangan-jangan mereka berteman akrab.
“Aku datang ke sana dengan seragam Quart School, ayah Syifa mengenaliku, dan kami berkenalan.”
Sebagai episode penutup hari itu, aku berjalan mendekati Lia pas bel pulang sudah berbunyi. “Siapa cewek tadi?” aku bertanya dengan hati-hati.
“Yang mana? Yang di perpustakaan?”
Aku mengangguk.
“Namanya Syifa. Lengkapnya Nur Syifa Muliyana. Dia temanku.”
“Dan cowok yang datang belakangan?”
“Oh itu Paderi. Teman sekelas Syifa. Mereka sama-sama dari lokal 5. Teman Syifa otomatis juga temanku, jadi boleh dibilang Paderi itu temanku juga.”
“Bisakah temanmu juga otomatis jadi temanku?” 
“Oh itu tergantung Az,” Lia menatapku dengan misterius, “tapi aku kira itu mungkin saja. Syifa sangat ramah terhadap orang-orang di sekitarnya.”
Hari ketiga di minggu kedua semester 3. Sistem pelajaran di Quart School mulai berjalan secara normal dan menggairahkan. Ini adalah rabu yang sibuk. Sampai-sampai aku merasa harus pergi ke kantin lagi untuk mengisi perut di jam makan siang. Untuk kali ini, aku mengajak Nasri.
“Kenapa aku harus ke kantin?” sanggahnya cepat saat aku coba mengajaknya.
“Ayolah kawan, sebentar saja. Temani aku mencari makan. Lagipula di kantin lebih seru daripada di kelas ini.”
Nasri terpaksa mufakat.
Suasana kantin di jam istirahat makan siang sungguh ramai. Aku memutuskan memutar jalan demi menghindari Aram dan Wahid di kedai kopi Paman Pirates. Kopi bukan pilihan yang baik untuk makan siang. Lebih baik aku cari mie ayam saja, lebih mengenyangkan dan hemat di kantong.
Setiba di kedai mie ayam, aku melihat seseorang tersenyum ke arahku, (atau saat itu aku saja yang terlalu ge-er, mungkin saja), lalu aku melambaikan tangan. Nasri melihat tingkahku, ikut memandangi gadis yang kulambai tangan barusan.
“Itu cewek yang kemarin kau lihat di perpustakaan bukan Az?”
“Benar sekali, ayo kita datangi dia.”
“Kau saja Az, suasana di sini membuat aku terkena demofobia.”
Lalu Nasri balik kanan, sungguh kawan yang baik. Tak banyak tempo, aku menyeret kaki yang sedikit malu-malu mendekati Syifa. Kemudian memaksa mulutku untuk menyapanya, cukup sepatah “hai” saja.
“Mari makan Az,” tawarnya ramah, seolah sudah kenal lama denganku. Lia benar. 
Aku segera memesan semangkuk mie ayam, dan mengambil duduk di depannya. “Kamu yang nawarin, kamu yang bayarin ya,” ucapku, coba melucu. Ini semacam sense of fashion yang kumiliki. Syifa terkekeh.
“Kalau kamu makannya selahap itu Az, bisa bangkrut aku.”
“Oh iya, aku memang sedang lapar.”
Kemudian obrolan kami terhenti sampai di situ. Aku benar-benar kehilangan arah untuk mengembalikan obrolan ke meja kami. Haruskah aku tanya klub sepakbola favoritnya? Kurasa itu tidak etis.
Alhasil aku hanya bisa diam sembari menunggu Syifa selesai makan. Diam-diam, dalam keramaian kantin itu, terkadang aku melirik cewek yang duduk di depanku ini. Wajahnya cantik sekali, matanya yang cemerlang seketika membiusku, dan aku merasa jatuh hati.


Mozaik 7
Akui Saja Az...


Orang itu bernama Lia. Lengkapnya Dahlia Anggraini. Seorang cewek manis yang cukup unik. Seiring cerita berjalan, kau akan bersaksi kawan, bahwa Lia adalah salah satu sahabat terbaik yang aku punya.
Aku dan Lia terjebak dalam lokal yang sama, meski begitu kami tidak begitu sering bertegur sapa, kecuali di saat yang memang tidak banyak orang melihatnya. Ikatan persahabatan justru kami bina lewat obrolan Whatsapp. Kadang bisa sampai semalaman. Jangan tanya apa yang kami bincangkan lewat pesan-pesan singkat itu. Karena topiknya amat sangat luas. Kadang kami bisa sangat ilmiah, mendiskusikan batas-batas alam semesta. Kadang bisa sangat konyol, seperti “apa sebenarnya yang ada di kepala Nasri?”
Belakangan ini aku punya topik baru yang agak menarik, soal Syifa. Dengan hati-hati aku sering menyisipkan pertanyaan-pertanyaan mengenai gadis itu. Aku jelas harus berhati-hati, agar Lia tidak curiga.
“Eh dia punya saudara kah?” tanyaku suatu malam.
“Syifa? Kok nanya begitu?”
“Aku mau bikin cerita dengan dia sebagai inspirasinya,” kilahku. (Waktu itu aku sudah mulai menulis cerita)
“Eh kok dia?”
“Inspirasi bisa datang darimana saja, dari dia juga boleh. Lagipula kepribadian dia menarik sekali. Aku benar bukan?”
“Iya deh, Azka jago banget ngeles. Dia punya satu orang adik. Ada lagi yang mau kamu tanyakan.”
Merasa dapat lampu hijau, aku kembali melepas peluru. “Di mana rumahnya?”
Nun jauh di sana, Lia pasti geleng-geleng kepala. Sudah lama aku tidak membahas cewek lain dengannya sedetail ini. Sudah pasti Lia terheran-heran. “Untuk apa sih semua pertanyaan ini Az, mau aku kasih nomornya saja ya, biar kamu sendiri yang nanya-nanya ke dia, bagaimana?”
“Emang aku boleh minta nomornya? Ntar dia marah gimana?”
“Kamu sudah lihat bagaimana Syifa kan, dia ramah sekali. Bisa kok. Aman.”
“Oke deh. Kirim saja. Makasih Lia.”
Hening sejenak. Satu menit berlalu, dua menit. Tidak ada balasan dari Lia. Kutunggu saja, mungkin dia sedang mencarikan kontaknya. Lima menit berlalu. Tetap tidak ada jawaban. Lia juga sudah meninggalkan room chat. Bar statusnya terakhir kali dilihat. Aku mulai tidak sabar.
“Lia,”
“Lia,”
“Hallo siapapun di sana.”
“Mana ya nomornya?”
Setelah kuberi 4 chat beruntun, barulah Lia membalas. Dengan emot tertawa berbaris-baris. Makin heran aku dibuatnya. “Tes aku berhasil Az, kamu memang tidak sabaran.”
“Lupakan tesnya, mana nomor dia.”
“Ngebet banget pengen nomor Syifa.”
“Kan tadi kamu yang nawarin.”
“Baiklah.” Kali ini Lia tidak lagi mencoba mengetes aku atau semacamnya. Chatnya berikutnya adalah nomor dari Syifa. Bertulis mantap di sana S-Y-I-F-A. Ini serius kawan, aku mendapatkan nomor cewek bermata cemerlang itu.
“Alhamdulilah. Terima kasih Lia.”
“Az, kutebak di sana kamu senang banget.”
“Kok tahu?”
“Udah ngaku saja Az, kamu suka-kan dengan Syifa?”
Lekas-lekas aku menutup room chat. Dari Lia aku beralih ke room chat kontak baru yang kudapat. Aku akan men-chat Syifa. Astaga kawan, jika kau mengingat kejadian dimana aku tidak bisa bersuara lagi di kantin kemarin, mendapat kontaknya ini adalah sesuatu yang istimewa.
Pukul 19.05 WITA. “Tes,” itulah bunyi chat yang kukirim. Chat paling standar yang bisa kupilih. Saat chat itu terkirim bar status Syifa masih bertulis terakhir kali dilihat pukul 16.45. Chatku bercentang satu.
Pukul 19.30 WITA, ada perkembangan, chatku bercentang dua. Tapi belum bertanda biru. Coba kucek lagi, bar status Syifa masih bertulis info yang sama.
Pukul 20.08 WITA, setelah mencek Whatsapp berkali-kali, akhirnya chat milikku itu berpendar biru. Kemudian muncul tulisan hijau menggoda itu, mengetik… lalu masuklah chat  pertama dari Syifa. “Iya,” katanya.
Aku nyaris bersorak kegirangan. Nyaris meloncat-loncat saking senangnya. Heran seisi rumah dibuatnya. Tapi segera kuwanti-wanti lagi diriku, agar tidak terlalu terbawa, karena bisa saja dia menganggapku orang tak jelas dan memblok nomorku saat itu juga.
“Aku Azka, kenalkan?” balasku. Chatku kembali berpendar biru dengan cepat. “Iya kenal. Azka yang kemarin makan di kantin itu kan? Azka lokal 4 Quart School.”
“Hehe iya Syif. Aku dapat nomor kamu dari Lia,” balasku, sebenarnya itu menerangkan sesuatu yang tidak perlu. Jemariku gemetaran.
“Wkwkw, iya gapapa.”
“Hehe dia yang ngasih kemarin.”
“Dia ngasih atau kamu minta duluan?”
“Aku minta dia kasih,” 
“Nah iya gitu ngaku aja Az. Hehe.”
Malam itu genap aku menyungging senyum, mungkin Lia benar, mungkin aku memang harus mengaku, aku suka dengan Syifa. Gadis bermata cemerlang itu. 
Mozaik 8
Paderi dan Bayangan Masa Lalu


Dasar nasib, karena sibuk berasyik masyuk dengan buku-buku di dalam kamar saat liburan semester kemarin, aku abai dengan penampilanku. Sampai tidak sadar kalau rambutku belum dicukur. Kini sebagai balasannya, aku harus mengorbankan satu hari libur rutin di akhir pekan untuk datang ke barber shop. Sekedar informasi, hari libur Quart School adalah Sabtu dan Minggu.
Sialnya lagi, tempat cukur terbaik di kampungku, Tukang Cukur Kang Amin namanya, selalu saja ramai setiap akhir pekan. Aku sudah berusaha datang pagi-pagi sekali, nyaris bersamaan dengan Kang Amin-nya sendiri. Aku hafal jadwal beliau buka, pukul 7.30 Wita dan beliau selalu lewat di depan rumahku. Jadi tinggal ikuti saja. Sampai di tempat cukur, tahu-tahu sudah banyak yang menunggu.
Aku mendapat nomor antrean 7. Sembari menunggu, aku melihat sekeliling. Tiba-tiba saja, aku melihat seorang pria yang menarik perhatian. Dia mengambil nomor antrean ke-8. Rasanya aku pernah melihat pria ini di suatu tempat. Aku bahkan merasa ingat namanya.
Saderi…. ah kurasa bukan
Khaderi…. ah juga bukan.
“Halo bro, aku Paderi Tamtama, kau dari Quart School bukan, aku rasa aku pernah melihat kau di sana.” Tahu-tahu dia yang menyalami aku. Aku akhirnya ingat, dia ini adalah pria tak sopan yang menegur Syifa di perpustakaan tempo hari.
“Eh iya, Aku Azka, lokal 4 Quart School.”
“Oh kau Azka yang itu, kau terkenal bung,” dia menepuk bahuku lalu duduk. Orang ini terlihat ramah sekali. Pantas dia bisa akrab dengan Syifa. 
“Eh tidak juga,” sambutku, “rambutmu itu sudah rapi, kenapa harus dicukur lagi.”
“Rapi sih, tapi belum keren,” katanya mengusap rambut. Lalu dengan cepat kami kehilangan topik. Paderi membuka handphone-nya. Hal tersebut lazim untuk mengusir kebosanan.
Karena posisiku dan dia cukup dekat, aku bisa mengintip apa yang sedang dia lakukan. Awalnya Paderi membuka instagram, kemudian dia membuka WA. Aku terus mengintip, dan kali ini fatal.
Aku bisa lihat di baris teratas chat-nya, tertulis nama itu “Syifa”. Di sampingnya ada keterangan jam, 22.34 dan pesan di bawahnya, bercentang biru. “Oke” itulah bunyinya. Sekejap kemudian, aku disergap gejala demam berdarah. Meriang tidak enak badan. Kang Amin memanggil nomor antreanku. Aku masih terpaku. Hal ini bisa menjadi dialog panjang dalam diriku sepanjang hari nanti.
“Lia, mau nanya lagi.” Kutunggu sampai malam tiba, untuk melayangkan chat pada Lia. 
“Pasti soal Syifa lagi. Kamu kan udah punya nomornya Az, tanya aja langsung ke dia,” balas Lia.
“Ini soal privasi. Tak bisa kutanya langsung pada dia.”
“Kalo begitu kenapa kamu tanya ke aku?”
“Ayolah Lia, tolong-lah. Aku bisa mati penasaran.”
“Kamu harus mengaku dulu, kamu suka-kan dengan Syifa, tak usahlah membawa-bawa alasan untuk membuat cerita ini-itu.”
“Iya aku suka dengan dia,” balasku cepat. Lia pasti sedang tergelak di jauh sana.
“Nah gitu dong Az. Emang kamu mau nanya apa? Belum tentu aku bisa menjawabnya.”
“Dia punya mantan gak?”
“Waduh langsung ke pertanyaan seberat itu. Ngebet banget nih Az?”
“Dijawab dong.”
“Iya dia punya mantan. Tapi itu sudah lama sekali. Pas dia belum ke sini.”
“Dia belum ke sini?”
“Jangan bilang kamu tidak tahu kalau dia itu anak pindahan.”
“Baiklah, aku akui aku tak tahu itu.”
“Mau tahu nama mantan, tanggal putusan atau sebabnya juga kah Az?”
“Sebabnya saja deh. Sisanya tidak penting.”
“Dia putusan karena dia tidak ingin dikekang.”
Kucatat itu baik-baik.
“Oh begitu. Baiklah. Lalu apa hubungannya dengan Paderi?”
“Cie nih, belum apa-apa udah cemburu aja. Tenang Az, Syifa itu sampai sekarang masih jomblo. Paderi itu tidak lebih dari temannya. Jalan kamu masih terbuka lebar. Semangat Azka.” Lia menutup chat itu dengan emot mengedipkan mata.


Mozaik 9
Kelas Agama


The Quart School bukan sekolah agama. Maksudku, sekolah ini menerima orang dari latar agama manapun. Meski mayoritas masih muslim. Bahkan kelak, esok lusa sekolah ini akan melahirkan orang yang mengaku jadi Tuhan.
Meski menampung orang dari latar agama lain, nuansa islam masih sangat kuat di sekolah ini. Semua itu berakar di tangan guru Agama, yang juga menjabat wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, tiada lain Bu Hartini!
Seperti yang di atas kubilang, Bu Hartini adalah duri dalam daging sistem pengajaran di Quart School yang bisa dibilang impian. Beliau guru kuno dengan sistem pengajaran  yang pragmatis. Karena kesibukan yang beliau geluti, beliau lebih kerap meninggalkan tugas di kelas.
Kau akan langsung melihatnya kawan, ini adalah hari pertama kelas agama diadakan di semester 3. Para siswa sudah duduk rapi menunggu Bu Hartini. Suasana kelas lengkap, bahkan Aram si tukang bolos itu duduk di  tempatnya, di sebelahku.
Menyoal hal ini kawan, Aram tidak bisa bolos di pelajaran agama karena Ibu Hartini melarang siapapun bolos kelasnya. Sekarang kawan paham kan, apa yang kumaksud sebagai duri dalam daging The Quart School?
Untuk mengawasi dan memastikan semua kondisi tetap kondusif, Bu Hartini memiliki seorang kaki tangan di setiap kelas yang beliau masuki. Di lokalku, kaki tangan itu bernama Mei.
“Mei,” panggil Bu Hartini, padahal beliau baru saja duduk. Mei segera menghadap ke depan. “Lengkap bu, semua orang hadir,” lapor Mei. Bu Hartini tersenyum puas. Semester kemarin, jika saat pelajaran beliau ada yang tidak hadir, Bu Hartini akan menginterogasi Mei habis-habisan. Begini kejadiannya.
“Kenapa dia tidak masuk?”
“Dia sakit Bu.”
“Apakah dia memang sakit atau hanya beralasan. Kau ada suratnya?”
Mei mengeluarkan surat dari kantongnya, Bu Hartini membacanya sekilas, lalu memandang ke semua orang. “Ketua kelas, kemari.”
Kemudian urusan akan panjang. Bahkan sampai menghabiskan jam pelajaran beliau dan memakan jam pelajaran guru lain. Untung hari ini hal semacam itu tidak terjadi.
“Mei, bawa buku pelajaran ke depan.”
Mei kembali ke kursi, membuka tas dan mengeluarkan buku tebal. Itulah buku pegangan milik Bu Hartini. Posisinya di mata beliau hanya lebih rendah sedikit dibanding kitab suci.
“Ada berapa bab pelajaran di semester ini, Mei?”
“12 bu.”
“Bagus,” beliau tersenyum simpul dan itu artinya pertanda tidak baik bagi kami para muridnya. “Semester ini kalian harus menyelesaikan tugas merangkum 12 bab tersebut. Atau perlu waktu dua semester? Bagaimana Mei?”
“Saya rasa dua semester adalah waktu yang bijak Bu,” sahut Mei bijaksana.
“Baiklah. Selesaikan tugas itu dalam dua semester. 12 Bab dalam 12 bulan, bukan hal yang berat. Kalian bisa sekalian belajar dari tugas itu. Sekarang mari kita bicarakan sesuatu yang lebih penting.”
Lalu kemudian, beliau sibuk membahas soal kebersihan kantin yang menurut beliau amburadul, kebersihan Wc yang apalagi, serta kebiasaan bolos para siswa yang dianggap beliau tidak sopan. 
Dua jam penuh beliau sibuk menegakkan aturan untuk kami, (dan bukannya mengajar atau walaupun begitu, bisa dianggap beliau sedang mengajari kami tentang budi pekerti). Kemudian bel pulang berbunyi. Semua siswa sudah memasang wajah siap pulang.
“Dan selanjutnya mengenai upacara bendera…” beliau terus berbicara. Tak peduli bel pulang. Alhasil kami pulang tertunda satu jam dibanding yang lain. Saat kami semua (akhirnya) keluar dari kelas itu, kulihat siswa di lokal 5 juga baru saja buba. Rupanya Pak Hadi mengajar di sana. 
“Hai Az, baru pulang juga,” sebuah suara tiba-tiba menegurku. Aku menoleh, dia melambai. Dia adalah Syifa. Oh tidak, aku diam membeku.


Mozaik 10
Pernak-pernik Cinta


“Mau ke kantin kah sehabis ini Az?”
Aram menepuk bahuku yang sedang membereskan meja seusai pelajaran Bahasa Inggris. Jam makan siang memanggil-manggil perutku. Aku mengangguk mengiyakan.
Alhasil jadilah aku, Aram dan Wahid pergi ke kantin bertiga. Sepanjang jalan, Wahid sibuk menceracau protes dengan pelajaran barusan yang menurutnya sangat membosankan. Di perjalanan menuju kantin, aku berpapasan dengan Syifa, dia dan teman-temannya. Menurut pengalamanku sebelumnya, yang mana dia menyapaku sampai aku membeku pas pulang sekolah kemarin, aku harus bersiap-siap. Tapi tentu saja, disapa oleh Syifa itu tetap menyenangkan. 
Tapi dia hanya melengos saja. Tidak ada sapaan. Bahkan tidak ada senyuman saudara-saudara! Heran aku dibuatnya. Syifa seperti melihat angin. Tidak ada respon sama sekali.
Adeganku ke kantin menjadi hambar gara-gara sebuah momen itu. Wahid mengangkat cangkirnya yang mengepul asap. Menawari aku segelas. Tapi buru-buru aku menggeleng.
“Kurasa aku tidak jadi minum Ram. Kalian saja,”
Aram memasang wajah heran.
“Tiba-tiba saja nafsu makanku hilang,” aku berkilah. Lekas balik kanan ke kelas. Otakku masih memikirkan apa yang terjadi dengan Syifa. Sampai aku lupa bahwa apapun yang ingin dilakukan oleh Syifa di sini, itu adalah haknya.
“Kutebak, apapun yang terjadi di kantin, itu buruk menurutmu.”
Itulah sambutan yang diberikan oleh Nasri begitu kepalaku nongol di pintu. Kalau tidak sedang asyik dengan dirinya sendiri, tuan profesor ini bisa terdengar mengejutkan. Cukup adil karena dia memang sangat pintar. Segera kuceritakan apa-apa yang terjadi di kantin barusan. Nasri manggut-manggut.
“Kau tahu Az?” Nasri mempertemukan kedua telapak tangannya, “yang paling berbahaya dari manusia, itu adalah dhan. Kau tahu apa itu dhan?”
Aku diam saja. Aku tahu apa itu dhan dan aku juga tahu kalau pertanyaan Nasri barusan bersifat retoris. Ini adalah bagian dari teknik berpresentasi yang baik. Nasri sangat lihai dalam hal ini.
“dhan, atau boleh kita sebut sebagai asumsi adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia. Setiap manusia memiliki asumsinya masing-masing, dan asumsi masing-masing itu mengarahkan hidup mereka. Kenyataannya, manusia hidup sesuai apa yang diasumsikannya.
Orang yang beranggapan dirinya miskin akan miskin, orang yang berasumsi dia sakit, akan benar-benar sakit. Ini ilmiah Az, bisa dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.”
“Jadi Nas?”
“Tolong kau jauhi asumsi burukmu barusan Az. Lebih baik berpositif tinking saja. Mungkin saja gadis itu sedang sibuk, sedang bergegas, moodnya kurang bagus, atau yang paling logis, dia malu menyapamu di keramaian.”
Sungguh itu penjelasan yang amat masuk akal. 
Aku menutup hari itu dengan kesimpulan kecil, aku akan coba mengirimi chat pada Syifa malam nanti. Aku akan atur dalam asumsiku sedemikian rupa (seperti kata Nasri) agar membentuk kenyataan bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi. Dan memang tidak ada yang terjadi.
“Iya Az,” balasnya saat kukirim chat “hai Syif,” pukul 7.18 Wita malam.
“Tidak sedang sibuk Syif?”
“Oh tidak Az, cuma sedang mengerjakan tugas bahasa Inggris,” balasnya cepat.
“Halaman berapa Syif?”
“29 Az.”
Bergegas aku membuka lemari, mencari buku bahasa Inggris. Kalau ingatanku tidak mengecohku, rasanya soal di halaman tersebut, sudah aku jawab. Ah benar. Aku terloncat lagi sambil menceknya.
“Ini Syif. Mungkin bisa sedikit membantu,” kufoto tugas milikku dan kukirim padanya.
Tak lama kemudian chatku berpendar biru lagi, dan dia mengetik lagi. “Astaga makasih banyak Az. Aku memang lagi mumet sendiri dengan tugas ini. Sampai berdenyut-denyut kepalaku.”
“Waduh. Hati-hati, jangan sampai pecah kepala kamu Syif. Hehe.”
Malam itu kami melewatkannya dengan beberapa kali bergurau. Syifa kelihatannya rileks. Tidak ada nampak kalau dia sengaja mengacuhkan aku tadi siang. Aku sendiri urung bertanya karena masih terlalu malu. 
Chat-ku dengan Syifa kadang naik turun. Sebentar berbalas cepat. Terkadang berbalas lambat. Aku menyimpulkan sendiri kalau dia membalas lambat itu artinya dia sedang sibuk. 
Sebuah kesimpulan yang sederhana.


Mozaik 11
Kisah Mid Tes


“Mid tes dipercepat,” begitu bunyi pengumuman yang ditulis di papan pengumuman. Sejak tadi pagi dirilis, sudah banyak sekali yang memadati papan pengumuman tersebut. Kemudian setelah itu berbisik-bisik mengobrol.
Aku dan Aram yang tiba bersamaan di sekolah, jadi kami juga ikut merubung papan pengumuman. Aram yang melihat papan itu serupa melihat hantu. “Ini tanda buruk bagi aku Az,” ucapnya gemetar.
Mid Tes Quart School adalah ajang ujian tengah semester di Quart School. Ujian ini berbentuk lisan, dan siapapun harus mengikutinya, tak peduli pelajaran apa yang diminatinya. Tentang nilai bisa dibicarakan kemudian. Yang terpenting adalah bagaimana kreativitas menjawab dengan kritis. Quart School memang memberi penekanan pada pemikiran yang kritis tersebut.
Sepanjang lorong, pembicaraan soal Mid Tes yang dipercepat memadati udara. Hampir semua siswa di Quart School menolak dan tidak setuju dengan ide tersebut. Mid biasanya diadakan tiap akhir bulan ketiga sekolah. Ini baru jalan bulan kedua lebih dua minggu. 
Pak Kepala Sekolah peka terhadap isu-isu yang melanda para siswanya. Jadilah dia melakukan aksi legendaris andalan beliau. Mengumpulkan kami di lapangan!
“Siswa-siswaku yang amat bapak banggakan,” sapa beliau dengan suara berat, “hari ini, ada pengumuman yang akan menjawab semua pertanyaan kalian tentang Mid Tes. Pengumuman akan disampaikan oleh Ibu Hartini, selaku wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.”
Seketika suara yang tadi hanya bisik-bisik berubah menjadi riuh, para siswa kecewa. Mereka sudah bisa mencium apa yang akan terjadi jika Ibu Hartini yang bicara. “Kabar buruk,” ujar Aram.
“Bisakah kalian semua tenang,” suara Bu Hartini menggelegar lewat pengeras suara. “Kalau kalian tidak bisa tenang, Ibu tidak akan mulai pengumumannya, dan kalian tidak boleh bubar. Sekalian saja kalian berjemur di lapangan panas ini.”
Mendadak, lapangan menjadi lengang.
“Baiklah, akan Ibu mulai. Ibu tahu, Ibu mendengar, Ibu mengetahui bahwa di antara kalian semua terdapat keberatan-keberatan tentang Mid yang dipercepat. Akan Ibu katakan, akan ibu informasikan, akan Ibu beritahukan, bahwa ini adalah keputusan yang diambil setelah rapat yang panjang. Keputusan ini adalah mufakat bersama guru-guru yang lain. Tidak bisa dibatalkan, tidak bisa diganggu gugat. Ada baiknya, sekarang kalian semua balik kanan, kembali ke kelas masing-masing dan mulai belajar.” Bu Hartini berucap dengan mantap. Mengenai banyaknya kalimat beliau yang berulang itu, memang seperti itu adanya.
Mau bagaimanapun, pada akhirnya keputusan guru tetaplah sebuah keputusan. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Sekeras apapun Aram menggerutu, Mid Tes tetap dilanjutkan. Ibarat pepatah air beriak tanda tak dalam, eh atau aku salah, maksudku, anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Sebelum ini, aku dikenal sebagai spesialis Mid Semester. Soal-soal lisan yang diutarakan di Mid bisa aku tanggapi sekritis mungkin. Kecuali tentu saja matematika, yang di Mid tidak memakai ujian lisan. Satu-satunya sainganku di Mid ini adalah Nasri. Dia sangat cerdas. 
“Belajar itu akan membuatmu pusing. Begitu kau pusing, tak ada pelajaran yang bisa masuk ke otakmu. Lebih baik santaikan pikiranmu, jangan terlalu banyak belajar, maka otakmu tidak akan pusing. Dengan begitu lebih mudah menyerap pelajaran,” katanya berpetuah. 
“Pusing aku Nas, memikirkan nasehatmu itu,” sahut Aram. Sementara Wahid datang dan bilang bahwa jadwal Mid Tes sudah ada di papan pengumuman.


Mozaik 12
Dengan Senang Hati


Mid Tes hari pertama, pelajaran agama, kami libas tuntas. Aram keluar dari ruang ujian dengan senyum tersimpul. “Biar begini-begini, dulu aku pernah belajar di pondok pesantren lho Az,” ujarnya menerangkan.
Malam hari menjelang. Aku sudah bersiap-siap membaca sebuah buku untuk menghadapi Mid hari kedua, mata pelajaran yang akan diujikan adalah matematika. Pelajaran kesukaanku. Tahu-tahu hape-ku berbunyi. Ah ini pasti ulah kawan sekelasku yang bertanya ini itu tentang matematika. Semua untuk Mid besok, dan aku dikenal sebagai spesialis dalam matematika juga.
Malas-malasan aku menggapai handphone di atas meja. Begitu kubuka, tergeletar tanganku dibuatnya. Tulisan nama pengirimnya, “Syifa”, pesannya “Tes, Azka.” Ada apa gerangan hingga dia yang menghubungiku lebih dulu. Cepat-cepat aku balas. 
“Ada apa Syif?”
“Begini Az, besok-kan mid tes matematika, nah aku belum siap sama sekali, mana memahaminya sulit banget lagi. Boleh gak aku minta  ajarin kamu, kata Lia kamu jago matematika.”
Apa katanya Tuhan, dia minta ajari denganku. Astaga. Tentu saja aku mau. “Oh boleh. Kamu mau minta ajari apa, dimana dan kapan?”
“Aku tidak paham tentang sinus Az. Esok pagi deh di Kantin, bisa sekalian sarapan. Mau gak Az?”
Apa katanya? Tentu saja aku mau. Tapi aku segera samarkan dengan kalimat yang lebih elegan dan profesional.
“Oh boleh Syif. Dengan senang hati.”
Malam itu juga, aku kembali membuka buku matematika dari Pak Farhan mengenai sinus. Kuperiksa juga catatan-catatan matematika milikku. Semua itu demi bisa membantu mengajari Syifa. Akan kupersiapkan cara-cara paling komprehensif yang pernah diketahui manusia.
Di malam yang sama, aku juga kesulitan memicingkan mata. Bingung, gelisah, gugup, terlalu bahagia dan tidak sabar bercampur padu menjadi satu. Bayangan duduk bersama Syifa di kantin mengapung-apung di langit kamarku. 
“Ciee, nih dengar-dengar mau makan-makan dengan modus mengajari matematika di kantin,” sapa Lia. Aku bertemu dengan dia di gerbang sekolah. Kutatap dia dengan tajam. Darimana kamu tahu tentang semua itu? Itulah maksudku.
“Syifa sendiri yang cerita padaku,” Lia nyengir. Tiba-tiba saja, aku disergap gugup sampai harus ke kamar mandi. Kesimpulannya mudah saja, sepertinya aku tidak bisa bertemu gadis itu sendirian.
Lepas dari kamar mandi, aku beringsut sebentar ke lokal 4. Mencari Lia lagi. Jika dia memang mengetahui rencana ini, ada baiknya dia ikut saja. Hitung-hitung meramaikan suasana. 
“Kok aku harus ikut Az?”
“Ayolah, temani aku. Jangan banyak tanya,” aku mengakhiri kalimat sambil berbisik lirih. Celakanya, Nasri yang duduk tak jauh dari situ mendengarnya. “Apa yang kalian rencanakan?” tanyanya dengan pandangan menyelidik.
“Mau ke kantin,” Lia yang menyahut.
“Tidak biasanya,”
“Aku mau mencari cinta Nas,” aku ikut menyahut, puitis.
“Aku ikut.” Tahu-tahu dia berdiri dengan wajah keras. Itu tandanya dia akan ikut apapun yang aku katakan. Tak apalah, makin banyak rombongan pengiring, kurasa itu makin bagus.
Suasana kantin pagi cukup ramai. Dari kejauhan, aku sudah melihat Syifa melambai-lambai kepadaku. Senyumnya pagi ini merekah. Astaga kawan, hatiku rasanya mekar melihatnya.
“Makasih banget Az, kamu mau mengajari aku. Mau pesan sarapan dulu kah Az?” Syifa berucap dengan gembira. Aku dengan keberanian paling tinggi, mengambil duduk di sebelah kanannya, sedangkan Lia di sebelah kiri. Adapun Nasri, tidak lagi terlihat di mana dia berada.
Aku berusaha memasang wajah profesional, menggeleng pelan, “terima kasih juga Syif, aku sudah sarapan. Sebaiknya kita mulai saja, nanti keburu bel berbunyi.”
“Benar juga Az. Catatanku sampai di sini, aku tidak paham. Boleh kamu jelaskan bagaimana menyelesaikan soal ini,” Syifa membuka catatannya, dan menunjukkan sebuah soal.
Sesuai harapanku, soal milik Pak Farhan. Aku keluarkan buku catatanku juga, dan menunjukkan cara mengerjakannya dengan jalan termudah. Tak bisa kujelaskan padamu di sini kawan, nanti cerita ini tidak masuk rak best seller yang agung itu. Melihat aku mengerjakannya, Syifa mengangguk-angguk.
“Nah ini aku paham Az, bagus penjelasanmu. Kemarin aku melihat videonya di Youtube tak paham-paham aku, apalagi Pak Farhan yang menjelaskan.” Kali ini Syifa mengeluarkan handphone-nya yang tergolong mahal itu, aku mengamati video yang dia maksud. Dengan segala akses, cara belajar gadis ini canggih juga.
“Ehem Syif, ada lagikah yang kamu tak paham?” kucoba untuk bertanya.
Syifa mendongak, dan saat itulah mata kami bersitatap. Aku membeku, semua teori matematika yang sejak tadi malam kuhafal, menguap seketika, tergantikan oleh pesona bola mata Syifa.


Mozaik 13
Sebuah Undangan Makan Siang


Sejujurnya, aku tidak ingin hari Selasa yang hebat dan berkesan ini cepat berakhir dan menjadi masa lalu. Aku tidak ingin sensasi saat aku bersitatap dengan Syifa di kantin hari ini hilang ditiup angin malam. Tapi waktu tak pernah mau berkompromi, lamat-lamat hari Rabu datang.
Aku tak suka dengan hari ini. Dalam jadwal Mid Tes, tertulis hari ini adalah Mid Tes Bahasa Inggris. Bagiku bahasa Inggris adalah antitesis dari matematika. Susah nian aku memahami bahasa asing, sejak zaman dulu sampai sekarang.
Karena alasan yang melankolis, berpagi-pagi ini aku sudah duduk di kantin, di kedai kopi Paman Pirates. Di tanganku, tergenggam kamus tebal dan buku lusuh bahasa Inggris. Ke kantin pagi hari begini sebenarnya menentang kebiasaanku. Tapi tak apalah, siapa tahu-kan?
Aku baru menghirup kopi tiga tegukan saat derap langkah terasa menghampiriku. Kubalikkan badan, genaplah berdiri di sana, “Syifa,”
“Makasih banyak bantuan kamu kemarin Az?”
“Eh iya sama-sama, bagaimana Mid Tes nya kemarin?”
“Lumayan Az. Hehe.”
Kata lumayan itu masih sangat sulit didefinisikan dalam ilmu filsafat.
Syifa masuk ke kedai lalu memesan teh dan mengambil tempat di depanku. Apa maksudnya ini, apakah dia ingin membuat kakiku gemetaran lagi? Kucoba untuk tak hirau, seolah asyik membaca kamus. Syifa sendiri mengecek sesuatu di handphone-nya (yang mahal itu). Secara simultan, aku melirik ke arahnya, malu-malu. Namanya juga suka.
“Az,” katanya setelah selesai dengan handphone, “aku mau ngajakin kamu makan. Anggap saja traktiran karena kamu mau mengajariku kemarin,” sambungnya lagi, malu-malu.
Aku mendongakkan wajah, memandang fokus ke dagunya, ini adalah cara konyol menghindari tatapan matanya yang kemilau itu. “Kapan?” 
“Siang ini Az, di kantin sini aja. Kamu boleh bawa teman kalau mau, supaya suasananya tidak terlalu canggung. Nanti aku bawa teman juga. Gimana?”
Aku mengangguk. Gila aku jika sampai menolak undangan ini.
Padahal aku hanya membaca selembar halaman dari buku teks bahasa Inggris itu. Aku cuma sempat mencari 4 kata di kamus yang secara gaya-gayaan kubawa itu. Tapi begitu aku kembali dari kantin, aku merasa sudah siap menghadapi Mid. Aku merasa sudah mengkhatamkan kamus itu beberapa kali, aku merasa Mid Tes Bahasa Inggris ini cincai saja. Kekuatan apa yang menggerakkanku ini? Kurasa inilah kekuatan yang sama yang menggerakkan Nebukhadnezar membangun Taman Gantung Babilonia, kekuatan  yang sama yang menggerakkan Syah Jihan membangun Taj Mahal di India. Inilah kekuatan cinta, jika kawan ingin tahu.
Selepas ujian di depan lokal. Aram menyumpah-nyumpah setelah pengawas meninggalkan ruangan. “Soal-soal tadi benar-benar di luar tebakanku, sialan sekali.” Dia menggumamkan kalimat itu berkali-kali di depan kami semua, seakan meminta kami menanggapinya.
“Salah sendiri mengambil kelas Bahasa Inggris,” sahut Wahid mencibir.
“Aku kan cuma ingin pandai bermain game,” Aram berkilah.
Perdebatan itu pasti akan bertambah panjang. Aku menepi dari kerumunan. Mencoba mencari Nasri. Dia adalah opsi terbaik untuk kuajak sebagai teman memenuhi undangan yang diberikan Syifa. Sayang, aku lupa mempertimbangkan kemungkinan Nasri bersedia adalah 1 banding 1000.
Mataku celingukan mencari keberadaan Nasri. Tapi dia tidak berhasil kutemukan. Orang itu memang jago menyembunyikan hawa keberadaan (seolah dia makhluk dalam mitologi). Sebaliknya, mataku malah menangkap sebuah pemandangan lain. Di depan Lokal 5. 
Itu Syifa. Jelas sekali, dia sedang berdiri di sana. Terkadang dia menutupkan tangan ke mulut, gesture-nya sedang gembira. Dia pasti tertawa. Di depannya berdiri seorang pria. Aku mengenal postur tubuh cowok itu. Dari tingginya, dari atletis ototnya, dan bentuk-bentuk awan di langit, cowok itu adalah Paderi Tamtama. Seketika, terjadilah dialog dalam hatiku.
“Bagaimana jika teman yang diajaknya adalah Paderi?”
Ah itu tidak mungkin.
“Hei mungkin saja, lihat mereka sedang bergurau dengan sangat akrab. Pasti sebentar lagi Syifa akan mengajaknya.”
Tak sudi aku makan semeja dengan Paderi itu.
“Ya sudah, batalkan saja.”
Tapi kesempatan makan bareng Syifa itu tidak akan datang dua kali.
“Lebih baik tidak sama sekali, daripada melihat Syifa makan bareng Paderi.”
Tapi Syifa pasti akan sangat kecewa.
“Kamu bisa minta maaf padanya nanti. Bilang saja mau belajar untuk mid tes besok lagi.”
Pada akhirnya, hatiku yang menang. Entah bagaimana cerita berikutnya, aku memutuskan untuk membatalkan ajakan Syifa makan siang itu. Kawan benar, dalam beberapa momen di cerita ini, aku memang terlihat gila.


Mozaik 14
Petuah Aram tentang Chattingan


Kucoba untuk menghubungi Syifa di malam hari setelah aku menolak tawarannya makan siang. Semoga saja dia tidak marah. 
“Syif,” pesan kukirim pukul 19.07 WITA, langsung centang dua. Lama kutunggu, tidak juga berbalas. Kucoba mengirim pesan kedua, kali ini bertambah embel-embel, “maaf Syif.” Jam menunjuk pukul 20.20 WITA, lagi-lagi centang dua, dan lagi-lagi tidak berbalas.
Ada apa ini dengannya. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim satu pesan lagi. “Maaf Syif, maaf banget untuk yang kemarin itu.” Pukul 21.06 WITA, tetap centang biru.
Huft, apa yang terjadi dengan Syifa?
Malam beranjak. Aku rasa aku harus melakukan langkah ekstrem, yaitu meminta maaf secara langsung pada Syifa esok. Saat aku sudah menarik selimut, handphone-ku lalu berbunyi. Lekas-lekas aku lihat. 
Chat Syifa akhirnya masuk! Ngantukku hilang tak berbekas.
“Eh gapapa Az, jangan terlalu dipikirkan. Sepertinya aku salah, mengajakmu di saat Mid Tes seperti ini. Aku mengganggu kamu belajar. Aku yang harus minta maaf Az.”
Kau membacanya kawan, chatnya sangat panjang. Aku terlonjak-lonjak. “Syif, kukira aku membuatmu marah. Jadi aku hanya bisa meminta maaf Syif.”
“Sudah Az, tidak perlu dipikirkan lagi.”
“Tadi kamu ngapain Syif?”
“Eh aku? Tadi mengerjakan tugas Az. Maaf baru buka chat kamu.”
Rasanya aku salah bertanya. Tapi sudah terlanjur basah, kutanyakan saja lebih lanjut. “Tugas apa Syif?”
“PKN Az, agak susah nih. Halaman 14. Katanya sebagai pengganti Mid Tes.”
Aku manggut-manggut, guru boleh saja mengganti opsi Mid Tes menjadi penugasan tertulis. Boleh saja. Tiba-tiba terlintas ide di kepalaku. Sebuah cara elegan nan heroik untuk meminta maaf padanya.
Segera kubuka buku PKN milikku, dan kubaca-baca soal yang dijawab Syifa, nun di sana. Ini tidak terlalu susah. Segera kujawabkan. Ini adalah sebagian keuntungan memiliki otak pintar dalam proses PDKT.
“Ini Syif. Mungkin bisa membantu kamu.” Terkirim, beserta jawaban soal yang sedang dikerjakannya. Dengan cepat chat-ku bercentang biru, lalu hening sejenak. 
“Astaga Az, harusnya kamu tidak perlu repot-repot.”
“Tak apa Syif, anggap saja pemintaan maaf dariku.”
“Makasih Az. Aku tahu kamu selalu bisa diandalkan.” Membaca balasannya, sekali lagi aku meloncat-loncat.
Hampir satu ja aku mendorong waktu tidurku untuk saling berbalas pesan dengan Syifa. Sampai akhirnya aku terlelap dengan handphone menyala dan Syifa masih membalas di seberang sana.
Hari keempat setelah Mid Tes, hari ini aku dan Aram serta Wahid nongkrong di kedai kopi Paman Pirates setelah ujian PKN. Ini semacam perayaan tak resmi dari Aram. Dia memesan kopi susu, terlihat sangat bersemangat. Aku sendiri juga bersemangat. Berkat chattingan kami yang terputus gara-gara aku tertidur malam tadi, aku bisa menyambung obrolan online itu dengan Syifa hari ini.
“Asyik betul kau dengan handphone hari ini Az,” tegur Aram. Semua karena aku terdiam berdiri selama lima belas menit, tanpa mengobrol dan tanpa memesan apapun, hanya fokus pada handphone.
“Az, duduk dulu. Paman, buatkan dia kopi susu juga, nanti biar aku yang bayar,” ujar Aram lagi. Aku menatapnya dengan heran. “Sudah Az, tidak perlu banyak cingcong. Duduk dulu, dengarkan aku.”
Aram menatapku dengan takzim. Sikapnya ingin menasehati aku. “Az,” ujarnya memulai, “chattingan itu berbahaya. Chattingan itu memang seolah mendekatkan yang jauh, tapi padahal menjauhkan yang dekat.”
“Eh bagaimana kamu bisa tahu aku sedang…”
Buru-buru Aram meletakkan tangan di depan bibir. Tanda agar aku diam, ini adalah momennya. “Chattingan itu adalah candu, chattingan bisa membuatmu lupa waktu….”
“Bijak sekali kalimatmu hari ini Ram,” kali ini giliran Wahid yang memotong ucapan Aram.
“Ingat Az, chattingan itu dosa.”
“Bukan menonton film porno Ram yang dosa?” merasa tak digubris, Wahid menyahut lagi. Kali ini lebih ngasal dibanding sebelumnya. Aku sendiri menatap Aram dengan isyarat, bagaimana bisa chattingan menjadi sebuah dosa.
“Seperti kataku, chattingan bisa membuatmu lupa waktu, termasuk waktu shalat. Sudah kelihatan dosa bukan? Apalagi jika kamu chattingan dengan gebetan, itu artinya kau sudah mendekati zina.”
Aku mengangguk takzim.
“Ingat Az, ada lima buah candu di dunia ini yang harus kau hindari. Yaitu narkoba, rokok, seks di luar nikah, game online dan chattingan. Kujamin beres hidupmu.”
“Itu artinya hidupmu tidak beres Ram, kulihat kau melakukan kelima candu yang tadi kau bilang,” Wahid menyerang lagi. Kemudian mereka perang mulut di depan kopi. Nasri yang tiba belakangan, bergumam pelan. “Akan merepotkan jika Aram tercerahkan di tengah Mid Tes begini.”

Mozaik 15
Abang...


Akhirnya rangkaian Mid Tes berakhir juga.
Hari ini libur akhir pekan. Kampungku, Bumi Melayu namanya diguyur oleh hujan deras sejak tadi subuh. Hujan ini adalah hujan pembuka musim penghujan yang sebentar lagi akan datang ke kampungku.
Awalnya aku ingin mengulet tubuh saja di tempat tidur sampai pukul 9. Tapi ibuku mewanti-wanti agar aku tidak tidur lagi setelah shalat subuh. Alhasil aku memutuskan untuk sarapan. Melihat ceret mengepul di atas kompor, tiba-tiba aku terpikir sesuatu yang hangat nan syahdu.
Rangkaian ideku itu menggerakkan aku ke warung kopi Paman Asad. Warung kopi paling ramai di kampungku. Selidik punya selidik, nama asli beliau adalah Arsyad, tapi kemudian berubah karena kehebatan lidah orang Melayu.
“Tumben kamu ke sini Azka, hujan-hujanan begitu pula,” sapa Paman Asad, melihat aku masuk ke warungnya membawa payung. Aku menunjuk ke arah rentengan kopi yang bergantung-gantung. “Mau beli kopi yang itu Paman,” kataku. Sayang dalam cerita ini aku tak boleh menyebut merek.
“Tak mau minum di sini?”
“Tidak Paman, aku mau minum di rumah saja.”
“Oh baiklah, tidak pakai kue juga Az?”
“Tidak Paman,” kuletakkan uang di atas meja lalu kabur lagi menembus hujan. Paman Asad menatapku dengan keheranan. 
Tidak kawan, nongkrong di warung kopi di kampung bukan pilihan yang tepat. Aku pulang ke rumah dan membuka saluran tv, yang sekejap kemudian sudah kumatikan. Tv hanya berisi tentang acara gosip, kisruh kenaikan BBM, kasus korupsi, sampai konflik Israel-Palestina. Bosan aku mendengar semua itu. Satu-satunya yang menarik adalah gol tunggal Pogba untuk kemenangan Manchester United di Stamford Bridge.
Karena Tv tidak menarik, aku membawa secangkir kopiku ke teras rumah. Kali ini bersama handphone. Sembari menatap rintik hujan, kuputuskan untuk men-chat Syifa. Alangkah syahdu pagi hari ini.
“Syif,”
Tak sampai satu menit, dia sudah membalas. Bar statusnya memang online. “Iya Az,” itulah bunyinya. Membuat aku nyengir sendiri.
“Hehe, ngapain pagi begini Syif?”
“Gak ngapa-ngapain Az, duduk saja, menikmati hari libur.”
“Gak ada kerjaan banget, nyuci aja sana, hehe.”
“Waduh galak banget. Nanti aja ya,” balasnya lagi. Kubayangkan Syifa sedang tertawa. “Kamu sendiri sedang apa Az?” Syifa mengirim chat berikutnya.
“Mandangin jalanan basah Syif, hujannya lebat banget.”
“Jalanan kok dipandangin, mending mandangin aku aja. Hehe.”
Di titik ini kawan, aku kembali merasa jari-jariku membeku. Apa katanya, memandangi dia? Tentu saja aku mau.
Di lain kesempatan, di satu malam aku kembali men-chat dia. Kali ini aku mengomentari kebiasaan begadangnya.
“Jangan dibiasakan Neng, begadang itu tidak baik untuk kesehatan kamu,” sengaja kutambahkan sebutan Neng di sana, kesan mengakrabkan diri dengan Syifa.
“Iya deh iya bang, nanti aku kurangi begadangnya.”
“Tua-an kamu, kenapa manggil abang,” balasku lagi, coba bercanda.
“Ya gapapa, nanti kalau kamu jadi imamku, Syifa tetap manggil Abang kan?”
Kawan. Entah sejak kapan Syifa bisa bercanda seperti ini.


Mozaik 16
Aku Suka Mengetik


“Di dunia ini setiap orang memiliki bakat masing-masing. Itu adalah sebuah kepastian. Setiap orang seharusnya bisa memanfaatkan bakat itu untuk menyambung hidupnya. Itulah yang disebut hidup di atas bakat.”
Guru PKN kami menjelaskan dengan berapi-api di satu masa yang lewat. Sebenarnya isi penjelasan beliau tidak berkorelasi dengan buku pelajaran. Tapi biarlah, aku suka dengan kalimat beliau tersebut, jadi kuanggap saja beliau bermental kewirausahaan.
“Menemukan bakat itu sulit-sulit gampang. Jadi beruntunglah orang-orang yang bisa menemukan bakatnya dan bisa hidup mengandalkan bakat tersebut.” Nasri berkomentar setelah pelajaran tersebut berakhir.
“Keberuntungan adalah bakatku,” sahut Aram ngasal.
“Bukan, bukan seperti itu,” sahut Nasri, “ada banyak sekali orang yang tidak beruntung. Mati meninggalkan bakatnya tersia-siakan. Bayangkan saja begini, seorang penjual martabak di kota Jakarta sana padahal berbakat menjadi seorang penulis novel best seller tapi dia tidak pernah menyadari bakatnya itu. Akhirnya jadilah dia penjual martabak seumur hidupnya.”
Aku mengernyitkan dahi. Jauh sekali dia mengambil contoh dari Jakarta sana. 
“Lalu bagaimana cara menemukan bakat itu Nas?” Aram kali ini bertanya dengan nada serius. 
“Sayang sekali aku tidak tahu, aku sendiri juga masih dalam pencarian.”
“Mungkin itu karena bakatmu ada di setiap bidang Nas,” sahutku.
Pujianku itu sangat berdasar. Sebut saja sebuah bidang pekerjaan, Nasri hampir selalu bisa mengerjakannya. Di bidang akademik, otaknya sangat encer, di bidang lukis, tangannya terampil, di bidang musik pita suaranya melengkung indah, di bidang IT dia punya sentuhan serupa karyawan google. Berbakat!
Aku sendiri yang mengklaim diri sebagai saingan Nasri, menganggap bakat itu mudah saja. Bakatku ada di bidang yang tidak terlalu dikuasai Nasri. Bakatku ada di bidang ketik-mengetik.
Sesuai dengan petuah guru PKN tersebut, selama beberapa bulan terakhir aku serius mengembangkan jasa pengetikan, dari keisengan dan hobi menjadi sesuatu yang menghasilkan uang. Perlahan tapi pasti aku mulai terkenal di Quart School sebagai seorang ahli ketik. Khusus untuk yang satu ini, aku menjunjung tinggi integritas tak tercela, aku mengerjakan setiap proyek yang datang tanpa copas-copas tak bertanggung jawab itu.
Selain menjunjung tinggi integritas, aku juga memperhalus keahlianku dengan cara mengikuti kelas khusus mengetik yang diselenggarakan oleh Quart School sebagai eskul. Katakan padaku kawan, adakah sekolah lain di dunia ini yang menyediakan eskul unik seperti kelas khusus mengetik.
“Mengetik itu adalah sebuah pekerjaan yang diciptakan oleh seorang wanita (aku berkomentar: kenapa pekerjaan yang hebat di dunia ini selalu diciptakan oleh seorang wanita?) Tepatnya diciptakan oleh putri Christopher Scholar, sang penemu mesin ketik. Sepertinya, si putri kecilnya ini iseng mencoba mesin ciptaan ayahnya saat sang ayah pergi ke kamar mandi. 
Dalam mengetik, salah satu keahlian yang harus ditonjolkan adalah kecepatan. Konon rekor mengetik tercepat ditorehkan oleh orang Denmark (aku berkomentar lagi: kenapa hal-hal hebat di dunia ini selalu ditorehkan oleh orang Denmark?) yang mencapai akselerasi 3 kata per detik. Kecepatan mengetik 10 jari kalian mana mungkin bisa mengejarnya,”
Itulah yang diterangkan instruktur di hari pertama kami masuk ke kelas mengetik. Semacam penjelasan yang kemudian menjadi tantangan. Di kemudian hari aku menemukan sejumlah fakta unik. Salah satunya, yang mungkin tidak setujui kebanyakan orang, bahwa mengetik cepat itu tidak berhubungan dengan jari.
Biar kukatakan kawan, aku tidak mengetik 10 jari. Sekeras apapun aku mencoba, aku belum bisa melakukannya hingga sekarang. Jikalau kupaksakan, maka kecepatan mengetikku malah akan menurun. Jadi maksimal aku mengetik menggunakan 7 jari saja. Tapi kecepatan akselerasi kataku sudah mencapai 2 kata perdetik. Sedikit lagi aku akan mengejar orang Denmark itu.
“Posisi tangan, teknik melihat teks yang akan diketik, serta seberapa hafal letak huruf dalam keyboard, itulah yang mempengaruhi kecepatan mengetik kita,” jelas instruktur saat kutanya. 
Kini setelah hampir satu tahun aku mendeklarasikan jasa pengetikanku, usaha ini berkembang pesat, berlomba-lomba mengupahkan tugasnya padaku. Mengenai legal atau tidaknya bisnis ini, aku belum terpikir sampai ke sana.


Mozaik 17
Makalah untuk Syifa


Pagi hari buta, pukul 04.47 WITA, bahkan marbot mesjid baru bersiap-siap untuk membuka gembok pagar, tiba-tiba saja handphone-ku berbunyi, keras, meraung-raung, membuatku terbangun. Entah siapa yang menghubungiku pagi-pagi begini, aku menggerutu di dalam hati. Meraih handphone dengan malas, yang segera menghilang dari badanku begitu melihat siapa yang menghubungi.
Syifa. “Az,” katanya.
“Iya Syif?”
“Maaf mengganggu kamu pagi-pagi begini Az. Aku perlu bantuan. Kata Lia, kamu bisa mengetik dengan cepat.”
“Oh iya Syif. Lumayan cepat,” balasku, merendah.
“Aku perlu bantuan dengan makalah yang belum selesai milikku. Bisa gak, kamu membantuku?”
Bisa membantunya = peluang untuk pendekatan personal.
“Oh tentu saja bisa Syif. Bawa aja ke lokalku, apa yang harus kulakukan?”
“Hanya melakukan koreksi dan menambahkan sedikit-sedikit Az. Oke-lah, nanti aku datang ke lokal 4. Waktu istirahat pertama ya Az?”
“Oke Syif. Kutunggu. Dan eh… Selamat pagi.”
“Selamat pagi Az, hehehe.”
Aku merasa bisa mendengar Syifa benar-benar terkekeh di kamarku sekarang. Dijamin, berkat itu semua aku akan menyungging senyum sepanjang hari.
Waktu melesat cepat, ke waktu istirahat pertama, pukul 10.00 WITA. Syifa bisa memilih waktu dengan tepat. Aku tidak kemana-mana pas istirahat pertama ini, jadilah menunggu dia datang, sedikit gemetar.
“Sebenarnya apa yang salah Syif?” kusambut dia dengan ucapan yang sedikit ketus, buah dari kegugupanku. Aku gugup karena takut salah tingkah, sehingga aku gugup dan salah tingkah. Cinta memang membingungkan.
“Bentar ya Az, aku buka file-nya. Kamu gak ke kantin Az?”
Syifa membuka laptopnya dan menekan tombol power. Tombol power itu berkedip-kedip tanda menyala. Sebagian bagiku, tombol kedap-kedip itu menggodaku yang tengah duduk bersebelahan dengan orang yang aku suka.
“Tidak Syif, tidak terbiasa ke kantin pas istirahat pertama,” sahutku sebisanya. Syifa sudah membuka file dan menyongsorkan laptop padaku. “Nah ini Az, coba lihat deh.”
Sambil mencuri-curi pandang, pada Syifa yang duduk tak sampai satu jengkal dariku saat ini, aku mengecek makalah yang telah dikerjakan olehnya. Se-teliti mungkin, bahkan sampai ke huruf-hurufnya. Siapa tahu ada kesalahan ketik. Lima belas menit kemudian, aku menghela napas. 
“Ada apa Az?” 
“Maaf Syif, harus kukatakan sejujur mungkin.”
“Katakan saja Az.”
“Ada banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, aku harus mengubahnya, dan ini memakan waktu yang cukup lama. Boleh file ini aku bawa ke rumah?”
Syukurnya, Syifa tidak merasa tersinggung. Dia justru sumringah sekali mendengar usulku. “Kalau kamu mau begitu Az, aku hanya bisa berterima kasih.” Kemudian dia menyunggingkan senyum. Bergetar lagi aku dibuat oleh senyumnya itu. Syifa sendiri sikapnya santai sekali. Dengan elegan dia menyerahkan flashdisk ke tanganku, lengkap dengan tatapan meminta bantuan yang teramat sangat.
Selesai dengan urusan salin menyalin dengan flashdisk, bertepatan dengan bunyi bel memekakkan telinga. Syifa segera bangkit, menuju lokal 5. Waktunya masuk kelas.
Tinggallah aku seorang, menatap flashdisk yang satu menit lalu masih ada di tangan Syifa. 
Oh flashdisk, seberapa penting sebenarnya tugas ini bagi Syifa. Jangan-jangan tugas ini sangat penting, dan harus dikumpulkan dalam waktu cepat. Aku segera menghitung. Syifa menghubungiku tadi pagi. Taruhlah dia kira bisa menyelesaikan tugas ini dalam dua hari. Hari ini Rabu, maka mungkin hari Jum’at-lah tugas ini harus dia serahkan. Dalam bentuk cetak.
Jika flashdisk ini masih ada di tanganku sampai esok, maka kemungkinannya adalah Syifa harus memprint tugas ini, pulang sekolah hari kamis. Tak sampai hati aku membayangkan Syifa kebat-kebit mencari tempat percetakan di hari yang menjelang gelap.
Tidak ada pilihan lain. Aku harus melakukan perbuatan heroik. Makalah itu akan selesai dalam bentuk cetak, sebelum adzan Isya malam ini berkumandang. Tekadku dalam hati.
Pertama yang harus kulakukan adalah mengeluarkan laptopku. Untunglah benda besar dan berat itu aku bawa hari ini. Aku harus memperbaiki semua kesalahan yang dibuat Syifa dalam makalahnya ini. Cukup banyak, bahkan sekedar daftar isi saja, dia salah menempatkan. 
Aku terpaksa mengorbankan waktu istirahat kedua untuk makan siang. Tidak, tugas ini sekarang lebih penting daripada perutku sendiri. Nasri geleng-geleng kepala melihat aku serius sekali menghadapi laptop. Untungnya dia tidak bertanya apa-apa.
Hanya saja, kemudian alam tidak berpihak kepadaku. Perlahan tapi pasti, awan hitam berarak di langit yang membiru. Aku kebat-kebit dibuatnya. Cemas sekali menunggu apakah langit akan menumpahkan air atau tidak. 
Aku mungkin berhasil meloloskan diri dari hujan untuk sampai ke rumah. Logisnya, aku mengambil uang simpanan untuk membayar upah percetakan yang cukup mahal untuk makalah yang cukup tebal.
Tapi begitu aku hendak berangkat mencetak makalah itu, hujan tidak mau lagi berkompromi, turun sangat deras dari langit. Aku menghela nafas. Baiklah akan kutunggu sejenak. Jika dalam lima belas menit, hujan ini tidak reda, mungkin aku akan menghubungi Aram. Kudengar dia memiliki kenalan orang Kenya yang bisa mengendalikan hujan (aku hanya bercanda di sini).
Tapi hujan tetap tidak berkompromi. Aku menghela nafas lagi. Ini artinya alam sedang menantangku. Ingin mengetes seberapa heroiknya tindakanku. Baiklah, aku tidak punya pilihan lain. Saatnya menerobos hujan, ke percetakan Kang Asep, nun jauh di pesisir kampungku. Hanya demi Syifa aku mau melakukan hal semacam itu. 
Toko Percetakan dan ATK milik Kang Asep terkenal sebagai yang paling murah di seantero kampung. Dia adalah seorang peranakan Sunda. Sudah tiga generasi tinggal di Bumi Melayu. Hilang semua aksen Sunda miliknya, cuma sebutan “Kang Asep” itulah yang menandai asal-usulnya.
“Tumben hujan-hujan ke sini Az.” Dia menyapaku. Salah satu langganannya.
“Urusan emergency kang, tolong diprint-kan, seperti biasa.” Aku membalas menyapa, lalu menyerahkan flashdisk. Matahari sudah bersiap-siap menuju peraduannya.
Hawa hujan benar-benar dingin. Aku duduk memeluk diri, melawan dingin di bangku panjang. Menunggu Kang Asep menyelesaikan pekerjaan. Lamat-lamat adzan Maghrib terdengar.
“Ini pasti bukan tugas biasa Az. Namanya juga beda. Pantas kamu rela hujan-hujanan ke sini.” Kang Asep cengengesan sambil menyerahkan segepok makalah ke tanganku. Aku segera membayar ongkosnya. Tidak perlu meragukan hasil pekerjaan Kang Asep, melihat tokonya sebesar sekarang saja, sudah cukup jadi bukti. Dia profesional. 
Akhirnya, sampai di rumah aku bisa menyeduh teh hangat dan melonjorkan kaki. Misi heroikku sudah selesai. Makalah yang ada di meja itu kufoto, ckreekk, lalu kukirim pada Syifa. Diiringi pesan, “Syif, ini makalah kamu. Udah selesai, sudah aku print. Kamu tenang aja.”
Syifa membalas tidak lama kemudian. Kujamin matanya terbelalak. “Astaga Az. Aku cuma minta kamu mengoreksikan, bukan mem-print-kan, harusnya kamu tidak usah repot-repot.”
“Hehe, gapapa Syif. Aku sama sekali tidak merasa repot kok.”
“Astaga, aku baru pertama ini bertemu orang sebaik kamu Az.”
Sebenarnya itu pujian jenis klasik, tapi karena Syifa yang menyatakannya, itu tetap istimewa.
“Ah biasa aja Syif. Sudah sewajarnya kan, baik pada sesama kawan satu sekolah.”
“Tapi bagiku kamu lebih dari itu. Kamu adalah teman yang spesial. Hehehe.”
Duh gusti, apa yang baru saja dia katakan? Kakiku rasanya lemas.
Mozaik 18
Festival Togut


Tidak ada yang lebih dinanti oleh para siswa di Quart School setelah Midtes semester ganjil selain Festival Togut. Festival ini termasuk event sakral di Quart School. Kalau sudah mendengarnya, nilai Mid terburuk sekalipun, akan menjadi indah.
Festival Togut. Nama yang unik. Ketika pertama kali aku mendengar nama itu, keningku langsung terangkat. Apa artinya Togut? Itulah pertanyaan yang kutanyakan satu kali di kelas bahasa. 
Guru Bahasa saat itu memberi jawaban bijaksana.
“Togut itu tidak tidak berarti apa-apa. Togut tidak ada dalam kamus manapun di dunia ini. Togut adalah Togut.”
Aram geleng-geleng kepala. Tidak paham.
Tidak ada yang peduli apa sebenarnya arti Togut jika sudah melihat jalannya festival ini. Festival Togut adalah satu hari dimana kantin dibuka seluas-luasnya dan dipenuhi makanan lezat. Dan semuanya gratis.
Waktu masih duduk di semester 1 dulu, aku belum berpengalaman mengikuti festival besar ini. Alhasil aku bertingkah seenak perut saja, dan akhirnya kekenyangan, padahal yang kumakan hanya makanan standar, bukan makanan-makanan yang lezat.
Jadi di Festival Togut yang kedua ini, aku akan bertindak lebih terencana. Aku sudah merancang rute makanku dengan lebih saksama. Pertama, aku akan menggasak makanan berat, soto banjar dengan campuran rendang. Silakan dibayangkan betapa ngawurnya, tapi ini disebut kreativitas. Kedua, aku akan pergi ke kedai kopi Paman Pirates, yang sejak kemarin sesumbar akan meluncurkan produk kopi terbaru di Festival Togut. Terakhir, aku akan mengunjungi kedai es krim. Katanya ada es krim terbaru, rasa kurma. Aku bersemangat sekali ingin mencicipinya.
Dan sekali lagi, pengeras suara berbunyi. Pak Kepala Sekolah memanggil kami ke lapangan. Berkaca pada pengalaman Fun Class dua bulan yang lalu, panggilan ini bisa jadi pertanda buruk. Aram dan Wahid gesit menyambar topi dan ikut berhamburan ke halaman yang luas. Pak Kepala Sekolah sudah menunggu di atas podium, lengkap dengan pengeras suara.
“Selamat siang, murid-murid Quart School yang Bapak banggakan, sudah memenuhi panggilan Bapak dari pengeras suara tadi,” ucap beliau membuka, “sebagaimana yang kalian tahu, besok Quart School akan menyelenggarakan Festival Togut. Salah satu acara sakral dalam tradisi sekolah kita. Adapun maksud Bapak, mengumpulkan kalian di sini saat ini, adalah karena ada sesuatu pengumuman yang akan disampaikan oleh, Ibu Hartini.”
Aram di sebelahku sudah siap menggerutu panjang. Lagi-lagi Bu Hartini. 
“Ya, semuanya tenang. Tetap kondusif.” Bu Hartini mengambil alih mikrofon dari Kepala sekolah, kemudian berseru. Dengan cepat menguasai kembali massa yang sempat berbisik sana sini.
“Ibu sama sekali tidak berniat mengurangi apalagi merusak kesakralan Festival Togut di Quart School ini. Jadi semuanya tetap tenang. Ibu akan sedikit menjelaskan. 
Dua hari yang lalu, Ibu mendapat beberapa complain dari para pedagang di kantin Quart School. Katanya, sebagian pedagang tidak bisa menyediakan makanan-makanan gratis tanpa disubsidi oleh sekolah. Nah masalahnya, sekolah-pun tidak bisa menyediakan subsidi untuk membayar semua makanan gratis itu. Jadi akhirnya, ada beberapa pedagang yang akan absen di Festival Togut tahun ini.
Kami mulai ber-uuuuuuuuuhhhh panjang.
Nah, kalian juga tidak setuju bukan? Jadi dua hari ini, Ibu sudah berpikir keras, bagaimana bisa menambal ketidakhadiran para pedagang yang absen itu. Dan akhirnya, ketemulah solusinya. Kalian-lah yang akan mengisi kekosongan di Festival Togut tahun ini.
Kami serempak mengangkat kening. Bagaimana caranya?
Maksud ibu begini. Setiap kelas akan menyediakan makanan untuk Festival Togut. Nanti sekolah akan menyediakan kedai kecil untuk masing-masing kelas. Dan supaya acara kita berkah, nanti besok, kita akan mengadakan syukuran kecil. Ada yang tidak sepakat?” Bu Hartini menegaskan ujung kalimatnya. Biarpun tidak beliau tanya pun, mana ada yang berani membantah kata-kata beliau.
Semua siswa bubar dengan hati tidak enak. Event kedua dalam tradisi Quart School kembali dicoreng.


Mozaik 19
Adukan Kopi di Hari yang Mengerikan


“Nah apa yang harus kita sediakan besok, Ram?”
Sehabis dari lapangan, di ruangan kelas Lokal 4, kembali diadakan rapat internal dengan Aram sebagai pemimpinnya. 
“Kita patungan saja, beli kue. Atau beli gorengan di Kedai Paman Pirates.” Aram menyahut dengan santai. Mawar mendelik, tidak setuju dengan ide tersebut. “Kau tidak bisa memikirkan ide yang lebih baik, Ram?”
“Apa ide yang lebih baik?”
“Kita bisa membikin kue sendiri.”
“Kau mau membuatnya?”
Mawar cepat menggeleng. Mau tidak mau, dia harus menyetujui ide Aram.
“Bagaimana dengan tiga perwakilan kelas yang akan menjaga kedai dadakan kita itu nanti?” Lia bertanya. Pertanyaan yang masuk akal.
“Bagaimana kalau Mawar, Aram dan Wahid?” Aku memasukkan gagasan. Orang-orang yang kusebut namanya, kompak mendelik. “Ayolah, itu bukan ide yang buruk-kan?” Aku menepis, “toh kalian adalah maskot-maskot kelas kita ini.”
Majelis rapat sepakat untuk mufakat. Aku berhasil membalas usul asal-asalan Aram saat Fun Class kemarin.
***
Konsep syukuran yang diusung oleh Bu Hartini rupanya diiringi dengan keberadaan grub maulid yang menyenandungkan syair-syair keagamaan. Para murid yang datang juga diharuskan memakai pakaian yang islam. Aram kian kusut mendengar hal itu.
Akan tetapi, Festival Togut tidak menjadi seburuk yang dipikirkan Aram. Togut tetap Togut. Festival ini adalah festival yang sakral. Tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Suasana tetap meriah. Dimana-mana orang berseliweran.
Saat para siswa bersiap-siap ingin ke kantin untuk melaksanakan ritual Festival Togut, suara Bu Hartini dari pengeras suara berbunyi, menginterupsi. “Jangan ada siswa yang meninggalkan kelas sebelum acara syukuran berakhir. Semoga acara kita mendapat berkah.”
Aku menghela nafas lagi. Tidak lama kemudian terdengar suara syair-syair keagamaan.
Kau tahu kawan, bagaimana rasanya menahan desakan air liur membayangkan makanan gratis, sedangkan kau tidak bisa bergerak kemana-mana. Sungguh itu adalah perasaan yang sangat menyiksa. Lewat setengah jam, beberapa kawan kelasku mulai berinisiatif untuk menghubungi Bu Indah, wali kelas kami. Meminta izin ke kantin.
“Iya Nak, silakan ke kantin. Tidak apa-apa kok.”
Wali kelas kami itu benar-benar bersifat manusiawi.
Aram, Wahid dan Mawar yang berada di kantin sedari tadi menjaga kedai mini kelas kami, situasinya juga tidak kalah buruk. Wajah mereka lesu. Apalagi Aram, dia seperti orang mati bini. Agak menyesal aku menyuruhnya menjaga kedai ini.
Untuk menebus keputusanku itu, aku mengubah jalur perburuanku dan langsung ke warung kopi Paman Pirates. Kedai milik Paman Pirates tidak termasuk dalam destinasi favorit dalam Festival Togut ini. Tidak terlalu ramai.
“Kalau aku tidak salah,” sapa Paman Pirates, “kau adalah temannya Aram itu ya, namamu Azka-kan? Selamat datang.”
Aku terkekeh mendengar sambutan dari Paman Pirates yang agak meriah ini. Segera kutanyakan tentang produk kopi terbarunya, yang sedari kemarin-kemarin beliau umbar-umbar.
“Ini namanya Kopi Karibia, Azka.”
Aku menyernit, apa itu serius? Kopi Karibia?
“Kopi ini dibuat dari jenis kopi yang berbeda dengan kopi hitam biasa. Aku berusaha keras menciptakan resepnya, agar kalian yang meminumnya merasakan sensasi seorang bajak laut,” Paman Pirates terkekeh. Tanpa banyak pikir, aku segera memesan.
Dan hei sekali seruputan saja, aku sudah disergap sensasi yang unik. Paman Pirates tidak berdusta. Sensasi kopi ini berbeda dengan kopi yang biasa. Rasa kombinasi antara pahit yang menggigit di lidah, manis sedikit saja, dan bahkan asin yang sesekali menyapu rongga mulutku. Astaga. 
“Paman, tolong buatkan satu lagi, untuk Aram.” Paman Pirates tersenyum mendengarku berbicara. Kopi Karibia telah menggenggam lidah pelanggannya.
Aku menggotong kopi menyusuri setiap kedai dari perwakilan-perwakilan kelas. Maksud hatiku suci, ingin memberikan kopi ini pada Aram. Untuk menyenangkan hatinya. Tapi begitu aku sampai di sana, mataku langsung tertuju ke arah lokal 5. Siapa sangka yang jadi perwakilan lokal 5, salah satunya, ya Syifa.
Astaga, dengan pakaian putihnya itu, dia nampak memesona.
Cepat aku serahkan kopi pada Aram. Dia yang sedari tadi menekuk wajah, melihatku datang membawakannya kopi itu wajahnya langsung berubah. “Astaga Azka. Kejutan. Kuharap kopi itu untukku.” Aku mengangguk. Aram langsung bangkit memelukku.
“Kudoakan orang sepertimu masuk surga Az,” ucapnya gembira, aku terkekeh. Dia sepertinya lupa kalau aku-lah yang kemarin menjerumuskan dia ke dalam pekerjaan ini.
“Aku harus pergi Ram, aku mau melakukan tur.”
“Tega sekali kau Az, aku di sini tidak bisa kemana-mana.” Aku langsung balik kanan. Pergi ke suatu tempat yang agak sepi. Bukan apa-apa maksudku. Aku hanya ingin men-chat Syifa. 
“Tak tahu kalau kamu jadi perwakilan. Semangat Syif, kamu cantik hari ini.”
Klik send. Terkirim.
Ayolah bung, kenapa kau tidak membelikannya kopi juga atau minuman lain, lalu serahkan pada Syifa. Bukankah itu lebih keren. Rerumputan yang ada di sekitar situ, mengejekku.
Astaga kawan, aku tidak mungkin melakukan hal semacam itu. Aku pasti sangat gugup jika pergi ke sana. Satu-satunya cara aku bisa mendekati Syifa hari ini, Syifa yang sangat cantik itu, adalah menunggunya pulang, lalu mengimbangi langkahnya. Itu lebih baik.
Baiklah itu yang akan kulakukan.
Festival Togut mulai menyepi saat hari menjelang siang. Pukul 11.00 para peserta sudah mulai kewalahan menyantap segala macam makanan gratis itu. Itu berarti pula, tidak lama lagi jam pulang akan tiba. Aku siap menjalankan rencanaku berikutnya.
Hari mulai siang, beberapa kawanku mulai pulang. Aram, Wahid dan Mawar yang menjaga kedai, juga sudah bubar. Yang tersisa tinggal Nasri, Lia dan beberapa perempuan lain yang masih asyik menggosip.
“Apa yang kau tunggu, Az?” 
Nasri menegurku. Wajar saja, sedari tadi, aku berdiri di depan kelas macam burung bangau, bahkan terkadang dengan satu kaki. Lia yang berada tak jauh dari situ, terkekeh-kekeh. Dia paham apa yang sedang kulakukan. Kemudian Lia beranjak menuju jendela. 
Saat itulah detik-detik alam semesta serempak melambat.
“Aku mau pulang saja.” 
Lia berbalik dari jendela. Nasri yang baru sebentar menelungkupkan kepala juga ikut kaget. Tak menunggu mereka bertanya, aku langsung beranjak pulang. Sengaja juga, aku memilih jalan yang lebih jauh, memutar. Bahuku turun, aku lesu.
Lia dan Nasri bergegas keluar pintu. Pasti heran dengan kelakuanku yang mendadak pergi seperti itu. Mirip seorang pelatih yang timnya baru saja kalah di final Liga Champions.
Kalian mau tahu apa yang terjadi? Ah kawan, ini sangat mengerikan untuk kutuliskan. Tapi baiklah, tepat saat detik-detik alam semesta melambat tadi, Syifa baru saja lewat. Hanya saja dia tidak sendirian. Dia bersama seseorang. Dia berjalan bersama-sama dengan Paderi. 
Mereka terlihat dekat. Intim sekali. Berdua saja. Berjalan beriringan.

Mozaik 20
Pasca Tragedi


“Apa yang terjadi denganmu Az?”
Satu minggu setelah Festival Togut, Nasri menegurku. Bukan salahnya jika akhirnya dia menegurku, dan itu memang tidak salah. Kejadian besar sepulang sekolah di Festival Togut itu benar-benar mengguncangku. Syifa, orang yang diam-diam kusukai, jalan dengan orang lain, dengan cara yang teramat intim. Astaga, otakku tidak bisa serta merta menerima respon semacam itu.
Satu minggu setelah Festival Togut, aku mengubah banyak kebiasaanku. Aku menampik tawaran Aram untuk pergi ke Warung Kopi Paman Pirates. Aku hanya diam di kelas saja, dan puasa bicara. Juga lebih banyak murung dan berkutat dengan pemikiranku sendiri.
Hei, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku cemburu? Agaknya seperti itu kawan. Semua perasaan ini terlalu kompleks untuk didefinisikan dengan satu kata saja. Karena selain cemburu, (iya aku akui, aku cemburu), aku juga merasa hampa. Sejak aku mengenal Syifa, orang bernama Paderi Tamtama itu sudah ada di sana. Dia start lebih dulu. Jadi wajar saja, dia mampu berjalan lebih cepat dibandingkan aku. 
Satu hari setelah kejadian mengerikan itu, Lia menghubungiku. Memujiku karena sikapku yang tetap tenang di saat paling mengerikan sekalipun. 
“Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan?” Aku balik bertanya padanya.
“Kau bisa saja, menangis, mengamuk atau meratap-ratap Az, seperti di sinetron.”
Aku tersedak membaca balasan dari Lia. Serius, aku tidak akan melakukan semua itu.
“Aku memilih memikulnya saja, sambil tersenyum.”
“Itu sangat bagus Az. Teruslah tersenyum, itu akan mempengaruhi dirimu, di saat terburuk sekalipun. Ini fakta ilmiah.”
Aku kembali tersedak. Sejak kapan Lia terdengar begitu pintar memainkan fakta-fakta semacam itu? Aku tak pernah tahu. 
Tiga hari setelah Festival Togut, terjadi peristiwa berikutnya. Ibarat kata, Festival Togut telah menembakkan peluru padaku, maka peristiwa itu adalah pisau yang menyelesaikan semuanya.
Saat itu, aku dan Nasri baru saja datang dari perpustakaan untuk mengusir rasa bosan, yang ternyata tidak kalah membosankan. Di salah satu lorong menuju lokal 4, aku berpapasan dengan Syifa. Tepatnya, Syifa bersama teman-temannya.
Detik-detik alam semesta kembali melambat. Syifa berlalu di hadapanku. Sekali lagi dengan sikap bak melihat angin lalu. Nasri segera paham apa yang kurasakan. “Mungkin dia hanya sedang memikirkan hal lain Az,” hiburnya.
Sayangnya otakku tidak berpikir demikian.
Nasri tidak memahami rangkaian peristiwanya. Nasri tidak melihat bagaimana kejadian mengerikan saat Festival Togut itu. Pemahamanku jauh dari itu. Aku malah merasa, Syifa telah diambil oleh Paderi.
Memang mengerikan, orang bernama Paderi itu. Dia seorang siswa yang enerjik, selalu masuk bursa pemilihan ketua osis, aktif di klub basket. Badannya atletis dan wajahnya tampan. Kemampuan bicaranya juga terasah. Mudah saja dia mencomot satu topik pembicaraan, maka obrolan akan mengalir macam sungai.
Coba bayangkan, dengan klasifikasi semacam itu, tentu saja mudah bagi Paderi untuk mengambil Syifa ke sisinya. Memangnya apa yang kusediakan untuk melawannya. Tidak ada. Hal-hal semacam inilah yang menghiasi kepalaku dalam seminggu setelah Festival Togut.

Mozaik 21
Dia yang Bernama Shiela Camalia


Hari ini Senin. Genap satu minggu setelah Festival Togut berakhir. Itu artinya sudah satu minggu sejak aku mulai berubah. Tak terhitung berapa kali Aram dan Wahid menawariku ke kantin, tapi selalu kuabaikan.
Hari ini-pun sama. 
“Huahhhh,” Aram membuka mulut lebar-lebar, dia menguap. Lengkap dengan gestur tangan ke atas, yang menandakan dia bosan level akut. Parahnya lagi, Aram melakukan itu sehabis kelas Bahasa Inggris, yang mana Bapak Guru yang terhormat belum meninggalkan kelas. 
Coba dia lakukan itu di jam pelajaran Bu Hartini. Bisa-bisa kena alpa dia.
“Aku ingin main bulu tangkis hari ini,” ujarnya lagi, masih acuh tak acuh dengan Guru yang setengah melotot di depan sana, “kamu mau ikut Az? Tempatnya dekat.”
“Tidak,” sahutku singkat. Pertama, aku harus menghindari tempat-tempat strategis. Tempat latihan bulu tangkis yang dipilih Aram pasti ramai. Siapa tahu di sana malah ada Syifa bersama Paderi, itu jelas gagasan buruk. Kedua, guru bahasa Inggris masih melotot ke arah Aram. Tapi ini Quart School, tindakannya barusan masih bisa dimaafkan.
“Lalu kamu mau ke mana sehabis kelas ini Az?”
Aku tidak menjawab. Aku tinggalkan kelas dengan pembawaan yang misterius.
Sebenarnya kawan, aku ingin sekali ke kantin. Dan hari ini adalah klimaks-nya. Persis seperti menahan kencing, perasaannya tak tertahankan. Hari ini aku harus ke sana. Apalagi cita rasa kopi karibia yang sempat kurasakan saat Festival Togut terus memanggil lidahku untuk mencoba lagi. Hanya bayangan Syifa makan bersama Paderi yang bisa menahan panggilan kopi karibia itu.
Hari ini, Senin. Kebiasaan Syifa selalu pulang cepat hari ini. Aku menghafal jadwal pulangnya sejak pertama kali mengaku suka dengan dia. Aku tahu dia selalu pulang terlambat setiap Selasa dan Kamis. Rabu terkadang relatif. Tapi Senin, dia tak pernah melakukannya.
Jadi hari ini kantin akan steril. Semoga Paman Pirates belum tutup. Aku segera bergegas melangkah.
“Nah ini dia satu pelangganku yang hilang,” sapa Paman Pirates saat aku sampai. Beliau sudah meniriskan cangkir, bersiap-siap pulang. 
Aku berdiri mematung.
“Kemana kamu seminggu belakangan, Azka?”
“Bagaimana Paman bisa tahu aku tidak ke sini dalam seminggu. Apakah Paman menghafal wajah setiap pelanggan?” Aku balik bertanya, mengulur waktu.
“Ah tidak juga Az, tapi untuk kawan-kawan Aram, aku selalu ingat. Bagaimana? Apakah kamu hari ini kemari untuk mencicipi kopi karibia buatanku yang terkenal itu?” Paman Pirates terkekeh. Aku tersenyum. Gayung bersambut.
“Kalau boleh aku ingin membeli secangkir, Paman.”
Detik berikutnya, Paman Pirates sudah gesit mencari cangkir yang sudah dia rapikan di bawah meja penyimpanannya. Benar-benar tipikal orang yang menjunjung tinggi kehormatan pelanggannya.
“Paman memang kebetulan belum tutup, atau memang ada yang ditunggu?” Aku iseng bertanya. Paman telah menyodorkan kopi panas ke hadapanku. 
“Kau benar Az, ada yang kutunggu. Tapi itu jelas bukan kau.”
“Siapa Paman?”
“Itulah, kenapa juga kau absen beberapa hari ini dari warungku. Sudah terjadi banyak perkembangan. Aku telah mendapat pelanggan baru.”
“Itu hal biasa, Paman.” Aku menyahut. Aku benar, aku sendiri-pun masih bisa dihitung sebagai pelanggan baru.
“Eh ini bukan pelanggan biasa,” Paman Pirates berseloroh. Sengaja menaikkan ujung kalimat agar aku penasaran.
“Memangnya siapa Paman? Kepala Sekolah?”
Paman Pirates terkekeh lagi, beliau tahu sudah menggenggam rasa penasaranku. “Bukan Az, dia murid Quart School juga, tapi dia istimewa. Ah kalo dia tidak istimewa mana aku mau menunggunya datang baru pulang.”
“Ayolah Paman, jangan berbelit-belit.”
“Tunggulah sebentar lagi. Dia akan datang di jam yang sama. Dia disiplin sekali. Dan dia suka amplang yang kujual di warung ini.”
Aku jadi penasaran. Bercampur dengan khawatir. Siapa tahu, pelanggan yang dimaksud Paman adalah Syifa, bagaimana? Kucoba merecoki Paman Pirates dengan berbagai pertanyaan penjelas, tapi Paman tidak mau menjawab. Dia menyuruhku menunggu.
Dari kejauhan, tiba-tiba muncul sebuah siluet. Kentara betul itu adalah siluet seorang cewek. Aku mulai khawatir kalau itu benar-benar Syifa. Aku bersiap-siap mengambil langkah seribu. Saat aku hendak mengangkat kaki, gadis itu sudah terlalu dekat denganku. Dia sudah terlanjur melihat. Lalu terdengarlah sebuah suara yang nampak bening, lembut dan tegas.
“Hei, kenapa buru-buru?”
Aku tercekat di tempat. Segera berbalik. Itu tadi jelas bukan suara Syifa. Segera kupandangi lagi perawakan gadis ini, memang bukan Syifa. Tapi siapa dia? Aku belum tahu, dia memakai masker, sulit mengenali matanya saja.
“Duduklah dulu, jangan mengambil sikap seolah ingin lari dari penjara Al-Catraz begitu.”
Demi mendengar sapaannya, yang terdengar ilmiah itu, aku kembali duduk seperti posisi semula. Gadis itu ikut duduk di seberangku. Kemudian dia membuka maskernya.
Alamak.
Aku kenal gadis ini. Bahkan seluruh sekolah juga mengenalnya. Dia mengangguk saja, sewaktu aku memandanginya lekat-lekat. “Kau mengenalku?” Tak bisa kutahan diriku untuk bertanya.
“Tentu saja Azka, sejelas Columbus melihat Sungai Gangga,” ujarnya.
“Sayang sekali, dia tidak pernah Sungai Gangga.” 
“Tepat sekali. Tapi dia tahu dari buku-buku. Dari cerita-cerita.”
“Oh, aku mengerti sekarang.”
Gadis itu tidak berlama-lama duduk di Warung Paman Pirates. Dia segera mengambil amplang satu bungkus, lalu menyelesaikan transaksi.
“Nanti kita mengobrol lagi, Azka. Aku Shiela Camalia.”


Mozaik 22
Potongan Kisah dari Negeri Seberang


Tentu kawan akan bertanya-tanya, siapa itu Shiela Camalia?
***
Kisah ini sebaiknya dimulai di suatu hari di semester 1.
Hari itu, Senin. Senin yang membosankan. Aku sudah berkali-kali menguap lebar. Bu Guru Ekonomi tidak kunjung masuk. Bahkan Aram yang bersemangat menyambut pelajaran kesukaannya, ikut menguap.
“Ram, ikut aku yuk,” ujar Wahid tiba-tiba muncul.
“Kemana?”
“Melihat-lihat cewek cantik.”
“Kau tidak bergurau?”
“Ayolah,” sergah Wahid, “aku sudah memantaunya seminggu belakangan ini. Kau tidak akan menyesal. Azka, kalau mau ikut juga boleh.”
“Kenapa aku harus ikut?” kali ini aku yang menyahut. Agak kesal karena namaku tiba-tiba dibawa-bawa.
“Kenapa? Karena dia adalah seorang cewek yang cantik, anggun dan luar biasa. Tak bisa dibandingkan lah dengan siapa itu cewek yang kamu suka sekarang,”
Aku langsung mufakat.
Aku dan Aram mengekor langkah Wahid. Rupanya dia membawa kami ke anak tangga perpustakaan. Kemudian dia duduk di sana. Duduk saja, diam takzim. Aku dan Aram hendak protes. Menurutku, kegiatan kami di sini tidak berguna.
“Sabarlah sedikit. Aku selalu sabar menunggu saat dia lewat, seminggu belakangan ini. Hasilnya pasti sepadan kok.”
Detik berganti menit, Wahid benar-benar menunggu dengan sabar. Aku dan Aram terpaksa ikut menunggu, dengan kesabaran yang juga dipaksakan.
“Nah itu dia.”
Aku dan Aram lekas mengikuti arah telunjuk Wahid. Di sana, tengah berjalan ke arah kami, seorang cewek yang menenteng beberapa buah buku. Aram terbelalak, aku mau tidak mau, harus mengakui, cewek itu memang memesona. Wajahnya terkesan sederhana, bukan seorang yang senang bersolek, tapi tetap mengesankan keanggunan yang elegan. 
“Dialah Shiela Camalia. Cewek paling cantik, dan paling diincar di Quart School ini.” Wahid memberi perkenalan.
“Kau sudah mengenalnya Hid?”
“Belum Ram, aku baru mulai memantaunya.”
“Kalau begitu kau akan kalah cepat. Besok aku akan mendapatkan nomor Wa-nya”
“Woy, bagi-bagi.”
Dan kemudian Wahid dan Aram berlarian di lorong, meributkan soal nomor WA Shiela. Seolah itu hal mudah dilakukan. Itulah kali pertama, aku berkenalan dengan Shiela Camalia.
***
Menjelang hari bagi rapot semester 1. Satu lagi kisah tentang Shiela Camalia.
“Az,” tegur Wahid, aku sedang asyik mengetik, “kau sering ke perpustakaan bukan? Bisakah sesekali coba mengobrol dengan Shiela Camalia? Siapa tahu, kau akan dapat nomor WA-nya. Lalu kau berikan padaku. Sedekah jariyah itu.”
Aku menggeleng. Aku tidak tertarik dengan urusan itu.
“Ayolah Az. Aku sepakat dengan ide Wahid itu,” Aram ikut menyahut.
“Kenapa kau tidak melakukannya sendiri. Bukankah kau adalah seniman asmara Ram?” Nasri menimpali
“Untuk urusan Shiela ini lain Nas. Mendekati dia saja, aku sudah gugup.”
“Itu artinya kau bukan lelaki sejati,” sahut Wahid. Kemudian mereka bertengkar. Aram dan Wahid baru bisa dilerai oleh suara pengeras suara dari kepala sekolah. Memanggil semua siswa untuk berhadir di lapangan, menyaksikan penyerahan piala bintang pelajar semester ini. Begitulah tradisi di Quart School.
“Anak-anak sekalian, hari ini kita mendapat kejutan. Pemenang bintang pelajar di Quart School semester ini  datang dari siswa baru. Ini adalah tanda, bahwa jika kita berusaha, kita pasti bisa. Baiklah, seperti biasa, pemenang Bintang Pelajar, silakan maju ke depan, untuk mengambil trofi penghargaan. Kepada ananda Shiela Camalia. Dipersilakan.”
Aku, Aram dan Wahid bertepuk tangan paling kencang.


Mozaik 23
Percakapan Cerdas


Hari ini, aku dan Wahid menyeruput kopi karibia di warung Paman Pirates. Aram absen hari ini, karena alasan yang sangat kuat. 
“Az, kau mau tahu, sebuah kabar penting?” Wahid membuka cakap.
“Ada apa?” Aku menyahut malas sambil makan bakwan.
“Belakangan ini, Shiela Camalia, yang dulu sering kita amati saat semester 1, sekarang sering ke kantin. Bukan main.”
Aku tersenyum simpul. Untuk yang satu ini, Wahid kalah cepat denganku. Aku sudah tahu kabar itu, bahkan aku sudah mengobrol dengan Shiela. Tapi demi menghormati Wahid, aku menyahut dengan elegan, “oh ya?”
“Iya Az, andai saja, aku bisa mengetahui waktu tepatnya kapan Shiela ke kantin, sepertinya itu akan menyenangkan. Kau tahu kan Az, biasanya Shiela lebih sering ke perpustakaan, daripada ke kantin.
“Namanya juga orang cerdas, Hid.” Aku menyahut seperlunya. 
Nun di sana, Paman Pirates tersenyum simpul.
Sepulang sekolah, aku kembali ke warung kopi Paman Pirates. Kali ini dengan alasan yang lebih absurd. Aku ingin bertemu dengan Shiela Camalia. Semoga dia masih memiliki rutinitas ke warung Paman Pirates.
“Azka, kutebak kau ingin bertemu dengan cewek cantik pelanggan amplang-ku itu kan?”
Aku mengangguk saja.
“Mau aku buatkan kopi sambil menunggu, Az?” tawar Paman Pirates. Jangan anggap itu tawaran baik hati, itu adalah tawaran marketing. Aku tetap mengangguk. Ini akan menjadi gelas kedua kopi karibia-ku hari ini.
“Nah itu dia Az.”
Aku menengok. Nun di sana, Shiela sedang berjalan ke arah warung. Aku bingung juga, apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kenapa aku merasa begitu excited ingin bertemu dengan gadis cantik nan intelek itu.
“Hai Azka,” suara sapaannya yang khas menyapa ke telingaku.
“Hai, sudah kuduga aku akan bisa bertemu lagi denganmu di sini.”
“Jangan-jangan kau sengaja menungguku,” dia terkekeh, aku salah tingkah. 
“Bagaimana kalau kita minum dulu, Shie.”
“Ah,” dia memasang wajah terkaget. Segera aku bertanya, “ada apa?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut dengan caramu memanggilku.”
“Apakah itu salah?”
Dia tertawa lepas, “tidak Azka, beberapa temanku memanggilku dengan kata Lia. Belum ada yang memanggilku dengan nama depanku seperti yang kau lakukan.”
“Maaf Shie, aku sudah memiliki teman bernama Lia. Jadi aku akan memanggilmu seperti itu. Tidak apa-apa kan?”
“Sama sekali tidak,” sahutnya riang, “tapi sebagai gantinya aku akan memanggilmu dengan “Azk”, ingat ada huruf “k” di ujungnya. Ini serupa fungsi “Sz” dalam bahasa Polandia. Bagaimana Azk?”
Ah apa katanya, aku merasa tersanjung mendengar suaranya memanggil aku dengan sengau macam itu. Aku mengangguk sepakat.
“Paman,” Shiela berpaling pada Paman Pirates, “bisa bikinkan aku kopi, seperti yang diminum Azka.”
Paman Pirates mengangkat tangan membuat huruf O. Oke, itu artinya.
“Kamu yakin suka dengan kopi ini, Shie?”
“Apa salahnya Az, kopi itu adalah kopi buatanku.” Paman Pirates sewot.
“Kopi ini adalah kebiasaan sufi Yaman, Azk. Mereka sudah lebih dulu mengenal dunia dibanding kita. Kenapa kita tidak menirunya.”
Inilah yang aku suka ketika mendengar Shiela berbicara. Dia begitu intelek, bahkan sampai ke kandungan-kandungan kalimatnya. Aku senang sekali mendengarnya.
“Hei kenapa kau tersenyum-senyum sendiri Azk?”
“Eh tidak ada apa-apa Shie. Hanya saja, kamu sangat unik.”
Kali ini dia yang terkekeh, “bukankah menjadi unik itu adalah sesuatu yang bagus, Azk?”
Aku terdiam.


Mozaik 24
Nomormu dan Bukumu


Ini adalah kali keempat aku bertemu dan mengobrol di kantin dengan Shiela Camalia. Semua ini karena kebaikan hati Paman Pirates yang mau buka lebih lama, hanya demi kami bisa mengobrol.
“Ini kali keempat kita bertemu. keempatnya kau selalu ada di sini lebih dulu. Aku yakin sekali ini bukan sekedar kebetulan. Apakah kau sengaja menungguku?”
Dia bertanya menyelidik. Aku berusaha memasang wajah yang mengesankan bahwa semua ini memang kebetulan. Padahal sebaliknya. Aku memang sengaja menunggu dia datang.
“Bila benar kau menungguku di sini, berarti kau yang unik, Azk.”
“Aku ini unik, Shie?”
“Iya unik Azk. Hei siapa juga yang berpikir menunggu selama beberapa menit tak pasti di kantin ini, hanya untuk seorang cewek membeli amplang dan mengobrol sebentar. Lebih baik pulang, bukan?”
“Mungkin iya Shie. Kecuali jika yang ditunggu adalah Shiela Camalia. Kurasa itu adalah hal yang wajar. Kurasa ada banyak yang ingin menunggu di sini, jika tahu kau yang akan datang.”
“Kenapa memangnya Azk?”
Keningku mengkerut. Shiela tidak tahu tentang ketenaran dirinya sendiri? “Kamu adalah primadona di sekolah ini Shie. Banyak sekali orang yang mengidolakanmu.” Aku menjelaskan dengan intonasi bangga.
“Kamu ini ada-ada saja Azk. Baiklah, aku akan pulang. Ada sesuatu yang harus kukerjakan setelah ini. Makasih ya Azk, sudah menemaniku ngobrol sejenak. Ini semacam selingan yang menyenangkan.”
Ayolah, katakan. Katakan permintaan yang sangat kamu inginkan ini. Hatiku mendesak. Sebenarnya di hari keempat ini, aku ingin meminta sesuatu dari Shiela. Sesuatu yang penting. Tapi sejak tadi, aku tidak menemukan momen yang tepat untuk mengajukan permintaan. Sekarang Shiela sudah bersiap pergi.
LAKUKAN!!
“Shie, boleh aku minta nomor WA-mu?”
Itulah yang sebenarnya aku inginkan. Aku tahu sudah banyak sekali orang yang mencoba peruntungan mencari nomor Shiela. Tapi selalu bertepuk sebelah tangan. Shiela tak pernah mau memberikannya.
“Kenapa kamu ingin nomor WA-ku Azk?” tanyanya.
“Ya mungkin saja kita bisa berbalas chat, mengobrol sesuatu. Kamu adalah kawan mengobrol yang asyik.”
Dia terkekeh.
“Baiklah Azk, aku jarang sekali melakukan pengecualian. Nomor WA adalah sebuah privasi. Tapi, kamu benar, obrolan kita ini menyenangkan. Ini nomor WA-ku. Simpan baik-baik Azk. Kau paham bagaimana memanfaatkan nomor ini.”
Dia menyerahkan secarik kertas. Aku menerimanya dengan sukacita. Nomor ini adalah harta karunku. Aku yakin sekali, Wahid akan dengan senang hati menukar hidupnya untuk nomor ini jika aku tawarkan.
***
“Shie.”
Klik Send. Kucoba peruntunganku untuk mengirimi Shiela sepotong chat.
“Puniiii.”
Tidak lama kemudian masuk balasan seperti itu. Aku terheran-heran membaca balasan semacam itu. Bahasa apa “puniii” ini. Apa jangan-jangan aku salah memasukkan nomor dan chatku itu malah tersesat ke pedalaman Sulawesi atau Slovenia.
“Siapapun yang ada di sana, namaku Azka. Salam kenal dari Indonesia.”
Lawan chatku itu mengetik lagi.
“Hehehe. Ini aku Azk, Shiela Camalia. Kamu adalah orang yang intelek sekali.”
“Bahasa apa itu, Puni. Shie?”
“Itu bahasaku sendiri Azk. Aku menciptakannya sendiri. Kau tidak akan menemukan bahasa itu, walau tamat membaca Upanisyad.”
Akhirnya ini adalah Shiela. Aku akan selalu ingat bagaimana pengalaman pertamaku mengirimi cewek ini pesan. Ruang obrolan itu segera kami isi dengan percakapan berbau intelektual.
***
“Azk.”
Sebuah chat dari Shiela masuk di hari Jum’at siang. Heran aku, dalam beberapa hari ini aku memang mengirimi Shiela pesan. Tapi tidak di siang hari. Ada apa?
“Aku punya produk bagus nih Azk.”
“Produk? Produk apa Shie?”
“Aku punya buku matematika yang bagus Azk. Cocok untuk jadi bahan bacaan kita. Kamu mau Azk?”
“Kenapa kamu menawari aku, Shie?”
“Karena kamu adalah orang yang paling potensial. Kamu adalah siswa yang cemerlang.”
Sial dia memujiku. Hatiku mulai tertawar. 
“Berapa harganya, Shie?”
“35 ribu aja Azk. Gimana?”
“Baiklah, aku beli satu.” Masih tidak jelas, aku tertarik membeli karena Shiela hebat melakukan trik marketing, atau karena aku sendiri yang tidak suka melakukan transaksi ribet.
“Yee hore. Makasih Azk. Ambil bukunya esok ya. Di depan perpustakaan.”
“Lho bukannya besok sekolah libur,” aku cepat bertanya. Besok adalah hari Sabtu. Quart School libur di akhir pekan.
“Iya sekolah libur, tapi aku tidak libur. Datang saja Azk, kan kita bisa ngobrol-ngobrol juga. Bukankah itu mengasyikkan.”
Aku tertawar lagi. Shiela benar-benar memainkan trik marketing dengan baik.
Aku tahu betul dengan mengatakan deal dengan Shiela, itu artinya aku harus menempuh jarak 13 kilometer dari pelosok kampung menuju ke Quart School. Tidak mudah mengorbankan hari libur hanya untuk urusan ini. Tapi semua segera terbalas, saat aku mendekati Perpustakaan.
Shiela sudah menunggu di sana, dengan baju warna ungu, jilbab warna senada dan senyum manis yang tidak luntur-luntur. Jika Wahid melihat senyum gadis ini, dia akan segera bernazar berpuasa selama satu bulan.
“Makasih Azk.”
“Kok kamu ke sekolah hari ini, Shie?”
“Biasa, urusan OSIS.” Dia menjawab pendek, kemudian mengeluarkan buku dari dalam tasnya, aku menerimanya tanpa banyak bicara. Tidak ada mengobrol asyik hari itu. Aku takluk sepenuhnya di bawah pesona Shiela Camalia.


Mozaik 25
Kedekatan Azka dengan Shiela


Bagai melesat di lorong waktu, aku dan Shiela semakin dekat.
Hari ini Senin lagi. Pelajaran hari ini agak menggelegak di otakku. Aku memenangkan soal-soal aneh dan muskil yang ditulis Pak Farhan di papan tulis, karena keberadaan buku dari Shiela. Jadi setelah melewati itu semua, aku ingin menghibur diriku ke kantin. Aram dan Wahid ikut bersamaku.
Lho, tadi rasanya hape aku taruh di meja. Hatiku berteriak. Aku baru saja mengambil gorengan bakwan, karena situasi tidak terlalu ramai, hape-ku kuletakkan saja di atas meja. Sebagai penanda bahwa Azka duduk di sana. Eh ternyata benda itu tidak lagi ada di sana.
Ah dasar Azka ceroboh. Sekarang kemana aku harus mencari benda penting itu kemana. Reaksiku yang pertama, tentu saja, PANIK.
“Tenang Az, handphone kau ada di sini.” Aram tiba-tiba muncul. Dia bahkan mengeluarkan handphone ku dari kantongnya. Jelas aku heran. Bagaimana bisa. Sebelum aku bertanya macam-macam, Aram sudah terdahulu bersuara.
“Udah Az, duduk. Ada yang harus kutanyakan.”
Secara simultan Aram memesan kopi Karibia pada Paman Pirates. Aku duduk di sebelahnya. Dia jelas memasang ekspresi tidak akan membiarkan aku beranjak dari tempat duduk, biarpun ada meteor yang datang dari atas langit.
“Sudah berapa lama kau menyimpan semua rahasia ini, Az?” Aram mulai bertanya. Aku belum mengerti apa arah pembicaraan ini.
“Apa maksudmu Ram?”
“Sejak kapan kau dekat dengan Shiela Camalia?”
Aku segera ternganga. Ingin sekali aku bertanya kenapa dia bisa tahu. Tapi aku segera menyadari apa yang terjadi. Aram pasti baru saja merampas handphone-ku dan iseng membaca chat yang ada di Whatsapp-ku.
“Sudah cukup lama. Maaf, aku tidak bisa menceritakan detailnya.”
“Sungguh beruntung Az. Tapi tak akan terbilang ekspresi Wahid ketika mengetahui kau menyimpan nomor Shiela, bisa-bisa dia akan menanyaimu seumur hidup.”
Aku merinding. Aku harus melakukan sesuatu agar itu terjadi.
“Bayarkan kopiku, maka kita impas.” Aram tersenyum nakal. Kukira lengkap sudah penderitaanku hari ini. Ternyata tidak. Aram masih menyimpan bom waktu yang akan meledak hebat malam nanti. 
“Apakah kamu serius, Azk?” Shiela mengirimiku chat lagi. Chat itu tidak memiliki preambule apa-apa. Maksudku, aku tidak mengirim chat padanya lebih dulu hari ini, lalu apa yang membuat dia bertanya seperti itu.
“Bisa kamu jelaskan gambar ini, Azk?” Shiela mengirimiku gambar Screenshot ruang chat kami. Ada satu hal yang berbeda, dengan ruang chat yang tertera di handphone-ku. Di sana, di tempat Shiela, terlihat bahwa tadi siang, aku mengiriminya sebuah chat, pendek tapi menukik. “Halo Beb.” Itulah pesannya.
Itulah bom waktu yang dikirimkan Aram. Jadi tadi dia tidak hanya membaca pesan-pesanku dengan Shiela, dia sempat mengirimkan sesuatu. Kemudian pesan itu dia hapus untuk menghilangkan jejak. Ayolah, kalian memakai whatsapp selama nyaris setiap hari, kalian pasti paham apa yang aku maksud.
“Maaf Shie, itu bukan aku, sumpah. Itu keisengan temanku. Sungguh maaf.”
Lama tidak terlihat tanda-tanda Shiela bakal menjawab. Chat-ku itu centang dua, abu-abu. Aku mulai khawatir, Shiela bakal marah besar. 
“Ayolah Azk. Tidak perlu merasa bersalah,” dia membalas, setelah aku meminta maaf untuk yang keempat kalinya, “itu bukan masalah. Tidak ada yang dirugikan. Bahkan jika itu benar-benar dari kamu, sungguh itu bukan masalah. Beb.”
Alamak.
***
Aku layak berterima kasih pada Aram (alih-alih marah besar dan kecewa) atas pesan yang dikirimkannya pada Shiela. Seperti kata Shiela, chat itu bukan suatu masalah. Aku dan dia tetap menjaga hubungan pertemanan. Hari ini kami kembali minum di Warung Kopi Paman Pirates, berdua saja. Kantin sudah sepi.
“Kamu begadang tadi malam, Azk?” Shiela bertanya, sambil menatap pupil mataku lamat-lamat. Aku nyaris tersedak.
“Darimana kamu tahu, Shie?”
“Tebakan psikologis mudah saja, Azk. Seharusnya kamu tidak perlu begadang. Ini bukan suatu kebiasaan yang baik.”
Hei kawan, sejak kapan Shiela mulai memberikan komentar semacam itu. Biasanya dia lebih suka membahas soal buku-buku yang sering dibacanya.
“Terima kasih sudah memperhatikan kesehatanku.”
“Tidak masalah Azk. Aku bisa lihat kalau kesehatanmu rapuh. Nanti malam, akan kuingatkan kapan seharusnya kau tidur.”
Shiela sialan, hatiku mengumpat dalam konotasi yang positif. Kalimatnya barusan langsung menancap ke dalam perasaan. Mendadak aku merasa diistimewakan. Hatiku mulai bertanya-tanya, apakah aku menyukai Shiela Camalia. Tapi percakapan kami masih berlanjut.
“Kenapa kamu begitu peduli?” tak bisa kutahan untuk bertanya macam begitu.
“Sudah sewajarnya. Seorang manusia peduli pada sesama.” Dia menjawab santai.


Mozaik 26
Memilih Mundur

“Nih Ram, cantik-kan cewek nih?”
Wahid menyodorkan sebuah foto pada Aram. Dua sekondan itu cocok berkawan karena yang satunya penggemar isu panas, sedangkan yang satu adalah penggemar cewek cantik. Kalo mereka tengah membahas soal itu, aku biasanya tidak tertarik, aku tidak seperti mereka.
Tapi kali ini lain. Aku mau tidak mau melongok ke depan. Siluet sekilas dari cewek yang ditunjukkan Wahid itu, rasanya aku kenal. Aram bertanya, “siapa namanya?”
“Nur Syifa Muliyana.”
Nah itu dia yang membuat aku merasa familiar. Sekarang jaringan yang dibangun oleh Wahid telah sampai pada Syifa. Waktu itu, hubungan dan rasa suka-ku pada Syifa, belum ketahuan oleh dua temanku ini. Jadi mereka kira, Syifa hanyalah cewek biasa.
“Cantik Hid.”
“Oh jelas Ram. Apalagi dia sangat ramah pada orang lain. Kemarin aku menyapanya. Dan dia tersenyum.”
“Wah bisa nih jadi target.” Aram menggosok tangannya, dia antusias. Biasanya kalau sudah begini, Wahid dan Aram akan bertengkar, berebut cewek cantik. Tapi kali ini aku menginterupsi.
“Bukankah dia sudah punya gebetan.”
“Serius Az? Siapa?”
“Paderi Tamtama.”
Wahid dan Aram langsung merinding, seolah mendengar nama penunggu Gunung Merapi. Itulah kehebatan pengaruh Paderi Tamtama. 
“Yahh kalau begitu, aku cari cewek lain saja,” ujar Aram cepat-cepat.
“Iya,” Wahid menyambar, “lebih baik aku memperjuangkan rasa sukaku pada Shiela saja.”
“Wah itu berarti kau lolos dari mulut buaya, masuk ke dalam perut ular boa.”
Aku dan Wahid langsung menyernit, apa maksud Aram?
“Aku akui, berurusan dengan Paderi adalah sesuatu yang merepotkan. Tapi itu tidak serta merta membuat menyukai Shiela adalah jalan mudah.”
“Kalau bisa memilih, kamu lebih suka pada Syifa ini atau Shiela, Ram?”
“Ya Syifa ini dong. Setidaknya dia memiliki lampu hijau, masih bisa didekati. Nah coba itu Shiela, darimana kamu bisa mendekatinya. Shiela hanya terbuka pada beberapa orang saja, ehm.”
Petuah dari Aram yang tidak pantas masuk acara Kuliah Subuh itu, diakhirinya dengan deheman kecil sambil melirikku secara misterius. Aku jadi ingin ke kamar mandi.
Jujur saja kawan, aku bingung dengan arah cerita ini. Apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan Shiela. Kami baru beberapa chapter lalu saling kenal, untuk kemudian melesat cukup jauh. Tadi malam, aku dan dia saling bertukar rayuan mesra. Persis seperti apa yang telah dibuat Aram padaku.
Tapi aku juga sadar sepenuhnya, dinilai dari segi manapun, hubungan kami ini terlalu cepat. Terlalu aneh untuk bisa dimuat dalam novel-novel percintaan. Tokoh utama cerita ini adalah Syifa. Dan sekarang dia hilang entah kemana. 
Hari ini, aku bertemu lagi dengan Shiela, di kantin saat pulang sekolah. Persis seperti saat pertama kami bertemu. Hari ini aku ingin bertanya satu hal, yang tidak bisa dijawab semesta, apa sebenarnya hubungan kami ini.
“Bisa kupahami Azk. Kamu merasa terlalu dekat denganku. Aku juga merasa demikian. Tapi aku punya definisi, Azk. Kita teman dekat.”
“Teman dekat?”
“Iya Azk. Sampai hari ini, aku masih belum menemukan keuntungan dari kedekatan dua manusia berlawanan jenis. Jadi aku cenderung tertutup pada siapapun yang ingin mendekatiku. Tapi hei, setelah mengenalmu, aku tahu ada sensasi-sensasi asyik yang tercipta. Tapi sensasi saja bukan jawaban. Aku masih mencari jawabannya. Nah selama aku belum menemukan jawaban itu, kita teman dekat. Oke?”
Kutanya padamu, kawan. Pernahkah kau mendengar kalimat semacam itu keluar dari mulut seorang wanita? Begitu gamblang, begitu dalam.
Itukah akhir dari kisahku dengan Shiela? Sayangnya tidak kawan. Untuk sementara aku ceritakan hal lain dulu.
Efek deheman misterius Aram tempo hari berbuntut panjang. Hari ini tanpa ada angin, tak ada hujan, tak ada ujian, secara misterius pula, Wahid mengajakku ke kantin. 
“Ayolah Az, aku traktir.”
Padahal seumur hidup, mana pernah Wahid mentraktir aku. Sesampainya di kantin, dia membuka tanya.
“Az, kamu ada hubungan spesial dengan Shiela?”
“Tidak Hid. Hubungan yang biasa saja.”
“Koreksi Az, jika aku salah. Kalian mengobrol di kantin?”
“Iya,” sahutku.
“Kalian saling bertukar nomor?”
“Iya.”
“Kalian saling chattingan?”
“Iya.”
“Itu artinya hubungan yang spesial Az. Astaga.” Wahid melompat saking histerisnya. 
“Tidak usah didramatisir Hid. Itu hanya hubungan biasa.”
“Astaga Az. Kamu sudah menyia-nyiakan sebuah berkah yang tidak terkira. Aku bersedia menukar seluruh hidupku hanya untuk mengobrol dengan Shiela. Cukup satu kata saja. Dan kau katakan, sudah berapa kata yang kau ucapkan dengan dia?”
“Ayolah Hid. Tidak perlu mencomot terlalu banyak kata di dalam novel. Aku bisa saja membuatmu mengobrol semeja dengan Shiela. Kau mau?”
Wahid menggeleng masygul. “Tidak Az. Aku tidak sanggup melakukan itu.”
“Kenapa, bukankah kamu menyukai Shiela?”
“Tidak Az. Aku tidak sanggup. Aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan otaknya yang cerdas itu, aku tidak sanggup bersanding dengan keluarganya yang kaya dan terhormat. Tidak Az, aku bukan orang yang sanggup. Kamu-lah orangnya.”
Aku tercekat sampai di sini.

Mozaik 27
Perahu Kembali ke Pemiliknya


“Aku tahu sekarang, mengapa kau begitu excited ketika bertemu dengan Shiela, Az.” 
Nasri membuka cakap padaku di satu hari. Aku mendongakkan kepala. Aku memang sempat menceritakan perihal tentang Shiela kepadanya. “Kenapa?” Aku bertanya malas.
“Aku baru saja bertemu dengannya. Di depan perpustakaan.”
“Bagaimana ceritanya?” Aku mulai tertarik.
“Tadi, aku berjalan di depan perpustakaan. Aku berjalan sambil melamun, itu kebiasaanku. Tapi sialnya, hari ini aku menyenggol seseorang yang membawa setumpuk buku.”
“Dia Shiela?”
“Iya. Dan buku yang dia bawa jatuh berhamburan. Aku membantunya memungut semua buku itu. Dia bilang, kebaikan hatiku seperti Socrates. Tapi kubilang bahwa dia tidak realistis. Gaya bicaranya ilmiah sekali. Pantas kamu suka.”
Aku menggeleng masam. Kini yang dekat dengan Shiela bukan lagi aku seorang.
Sekarang aku sudah punya empat macam pertimbangan tentang hubungan aku dengan Shiela. 
Yang pertama, apakah aku benar-benar menyukainya? Ini saja sudah pelik. Shiela datang ke kehidupanku, tepat saat aku terguncang oleh sikap Syifa yang jalan seenaknya dengan Paderi. Apakah aku benar-benar menyukainya atau hanya menjadikan gadis pintar nan intelek itu sebagai sebuah pelampiasan? Aku belum berani memutuskan.
Yang kedua, apakah aku tahan dengan status yang dipasang Shiela? Teman dekatan. Status yang sama, menuntut aku agar berbesar hati melihat dia mengobrol dengan cowok lain. Dengan Nasri misalnya. Ah aku belum berani memastikan.
Yang ketiga, apakah aku sanggup menghadapi bahaya yang menghadang kedekatanku dengan Shiela? Walau bagaimanapun kawan, ini negara yang keras. Kedekatanku dengan Shiela memancing banyak rasa iri. Orang-orang semacam itu, biasanya bisa nekat berbuat apa saja untuk menyingkirkan aku. Kalau perlu kekerasan. Ah aku bahkan tak bisa membayangkan.
Yang keempat, apa yang kupunya? Seperti kata Wahid, Shiela adalah orang terhormat yang memiliki segala-galanya. Ayahnya adalah kepala kepolisian. Apa yang kupunya untuk menghadapi keluarga semacam itu. Itu belum bisa kupikirkan dengan akal sehat.
Kesimpulan perdebatan dalam hati, kusampaikan langsung padanya.
“Azk,” kata Shiela, setelah mendengarkan semua penjelasanku, “pergilah. Hei sejak awal, bukankah kita hanyalah dua orang yang dipertemukan karena topik-topik mengobrol  yang asyik. Tidak perlu merasa bersalah Azk, pergilah, temui cintamu itu. Karena bola matamu itu tidak berdusta, ada seseorang yang kamu sukai setengah mati, di luar sana.”

Mozaik 28
Aku Mencarimu Selama Ini


Baiklah kawan, untuk sejenak, kita lupakan dulu gadis pintar nan intelek bernama Shiela Camalia itu. Walau ya bagiku pun sulit menghapusnya dari cerita ini. Tapi baiklah, mari kita fokus pada sebuah chat yang mengganggu malamku di satu Rabu. Saat aku sudah siap-siap mau tidur.
“Assalamualaikum, Az. Apa kabar?”
Pesan siapakah itu? Kucoba mengeja nama pengirimnya. S-Y-I-F-A. Tidak, aku tidak salah membacanya. Syifa baru saja mengirimiku pesan, setelah dia menghilang dari cerita selama hampir dua bulan.
Apa yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba mengirimkan chat padaku? Bukankah selama ini dia mengacuhkanku? Bukankah kemarin itu dia sudah berasyik masuk dengan Paderi? Dua kemungkinan yang terpikir olehku, yang pertama, handphone-nya sedang dipinjam orang iseng, kakek buyutnya barangkali, atau kemungkinan kedua, dia sedang perlu bantuanku. Bermanis-manis sejenak adalah senjata ampuh mendapatkan bantuan dari Humadi Azka.
“Aku baik Syif. Kurang lebih,” aku bangkit dari tempat tidur hanya untuk membalas chat itu. Walau bagaimanapun ini adalah chat dari Syifa. Dari orang yang aku suka.
“Lho kenapa? Kamu tidak sakit-kan? Kamu sudah makan?”
Oh Tuhan, kenapa di malam buta begini dia malah merayuku. Saraf-saraf kepekaanku yang tadi lelah, bangun lagi.
“Sudah Syif. Sudah siap-siap tidur malah.”
“Oh yaudah Az. Kita lanjutkan besok aja. Selamat malam.”
“Malam Syif.”
Dan chat berakhir di situ. Aku masih bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Syifa. Apa yang sedang dia rencanakan?
Esok siang, aku bertemu dengan Syifa di kantin. Dia kembali menjadi Syifa yang pertama kali aku kenal. Saat aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum. Balas melambaikan tangan padaku. Tuhan maha Tahu cara membuat hamba-Nya bahagia.
“Syif, kenapa kamu menghubungi malam kemarin?”
“Eh tidak kok Az, tidak apa-apa. Hanya, ingin menyapa kamu saja.”
“Hehehe. Iya ya Syif. Kita sudah lama tidak saling sapa, padahal kita berteman,” ujung kalimatku jelas bereferensi pada pengakuan Syifa soal “teman yang spesial” tempo hari.
“Aku sering kok, menyapa kamu.”
“Eh serius? Kok aku gak pernah dengar ya?”
“Bukan jenis sapaan sih, tapi aku sering memberimu senyum. Tapi kamu tak pernah lihat. Mungkin kamu memang cuek begitu orangnya.”
Celaka. Apa kata Nasri, ya asumsi. Asumsiku lah yang telah membentuk situasi ini. Aku sendiri yang sedang mencari penyakit dengan berasumsi macam-macam. Padahal apa? Nyatanya Syifa begitu peduli padaku. Tidak pernah dia mengacuhkan aku, sebaliknya malah aku yang mengacuhkan dia. Sial.
“Maafkan aku Syif. Aku tidak bermaksud demikian.”
“Iya Az. Gapapa. Itu bukan sebuah masalah. Tidak selamanya, orang nyaman dengan senyuman. Aku juga terkadang begitu.”
Baiklah, Syifa sudah mengulur kata maaf, saatnya aku menebusnya dengan sedikit gombalan ala Azka.
“Sudah berapa banyak ya, aku melewatkan sebuah keindahan.”
“Keindahan ap Az?”
“Keindahan senyum kamu,” kuiringi chat itu dengan emot tersenyum berseri. Kujamin Syifa di seberang sana, sedang salah tingkah. Chat malam itu akan ditutup begitu jam 12 berdentang. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan pada Syifa.


Mozaik 29
Waktunya Menyingkirkan Pesaing


Dekat dengan Shiela mengajariku satu hal. Aku berhak disukai oleh orang yang aku suka. Lihatlah di seantero sekolah, hanya aku yang bisa berasyik masuk dengan gadis pintar nan intelek itu. Perlu aku tegaskan, hanya aku. 
Aku tidak pernah mengeluarkan tindakan berbau modus untuk memikat Shiela. Aku tidak pernah mengeluarkan rayuan untuk menundukkannya. Dia datang sendiri ke kehidupanku. Dan kami bisa dekat. Hei, bukankah itu berarti aku cukup pantas untuk dicintai oleh seorang Syifa.
Aku menegaskan hal ini untuk satu misi yang adiluhung. Aku ingin membuat Paderi tercengang.
Sedang kubayangkan, aku adalah penembak jitu paling berbahaya dan paling ditakuti di India. Syifa adalah targetku. Orang bernama Paderi itu berani-beraninya menangkap targetku lebih dulu. Berdasarkan hukum rimba, siapapun yang mengganggu target sang penembak jitu, maka dialah yang harus ditembak.
Setidaknya ada tiga cara membuat Paderi tercengang. 
Cara pertama, kudatangi Paderi di parkiran saat dia sedang melamun di sana. Kemudian dengan mata tajam, aku bisikkan kalimat ke telinganya. “Jangan dekati Syifa, dia milikku, atau kau akan tahu akibatnya.” Kemudian kulempar dia ke belakang. Jika dia melawan dan coba menghajarku, akan kutendang dia, sehingga dia tidak masuk sekolah selama dua bulan. Ini adalah cara yang paling ksatria. Cara ini mungkin diciptakan oleh prajurit Sparta atau barangkali Pelaut Viking. Sayangnya, Azka tidak diciptakan untuk berkelahi.
Cara kedua. Kudatangi Paderi saat dia sedang makan mie ayam di kantin, kemudian aku, duduk di sebelahnya. Lalu pelan-pelan aku berucap, “Sudahlah Paderi, tolong kau jangan mengganggu Syifa. Dia adalah gebetanku. Sebaiknya kau cari orang lain saja. Banyak kok cewek lain di luar sana.” Bisikkan semua itu di telinga Paderi serupa petinggi Amerika Serikat saat bertemu dengan perwakilan Inggris di Potsdam. Sayangnya, Azka tidak dilahirkan untuk berdiplomasi.
Cara ketiga. Tidak melibatkan kekasaran atau kalimat yang berbelit-belit. Aku cukup mengajak Syifa jalan bareng, kemudian aku lewat di depan Paderi. Tambahkan lagak sombong ala sinetron Indonesia. Karena cara ini juga beraroma bahagia, sepertinya cara inilah yang paling cocok.
Masalahnya kemudian adalah, aku sendiri bingung, dengan cara apa aku bisa mengajak Syifa jalan bareng. Untuk sekedar bicara saja, baru bisa beberapa patah kata saja. Aku selalu gugup setiap dia menatapku dengan matanya yang cemerlang itu. Sebagian hatiku diam, separuhnya lagi mengejek, “katanya pemilik Syifa, masa ngajak dia jalan bareng aja, gak berani.” Aku semakin kesal.
Setelah perenungan yang panjang di malam-malam yang sepi. Setelah mencoba beberapa macam cara, berkali-kali mensimulasikannya dalam pikiran, akhirnya aku menemukan hari yang cocok, dengan waktu yang cocok pula. 
Hari itu adalah hari dimana pelajaran agama digelar.
“Cie Az, kayaknya ada yang senang nih bisa dekat-dekat dengan bebebnya lagi.” Itu adalah sapaan pembuka hari itu. Itu datang dari Lia. Hanya gara-gara aku ingin berjalan pulang bareng dengan Syifa, datang ke sekolah saja, aku sudah tersenyum.
Menanggapi Lia, aku hanya garuk-garuk kepala.
Baiklah, aku jelaskan situasinya. Hari ini, pelajaran Agama mampir di jam terakhir sekolah. Berdempetan dengan waktu pulang. Jika aku tidak salah, bu Hartini akan menunda waktu pulang kami hingga satu jam jika beliau masih asyik menjelaskan. Itu artinya kami, satu lokal 4 akan pulang satu jam lebih lama dibanding lokal-lokal lain. 
Di sisi lain, di lokal 5 yang masuk adalah Pak Hadi, guru sejarah. Sebagaimana seorang penutur cerita yang amat memikat, para murid lokal 5 akan dengan senang hati menunda waktu pulang juga untuk satu jam berikutnya. Keadaan ini rutin terjadi setiap minggunya. Jadi hari ini pun kemungkinan juga akan demikian.
Jadi hari ini aku punya kesempatan untuk jalan bareng Syifa.
Tepat seperti dugaanku, murid lokal 4 dan lokal 5 keluar bersamaan. Paderi dan rombongannya, gengnya yang kelak akan merepotkanku sudah berjalan duluan. Mereka akan berhenti sebentar di lorong. Itu kebiasaannya juga. Tak lama kemudian, Syifa muncul. Aku bergegas beringsut ke hadapannya. Malu-malu bilang, “Syif, pulang bareng yuk.”
Syifa, sebagaimana yang Aram, Wahid, dan dunia akui, adalah orang yang sangat ramah. Dengan mudah kemudian dia menyahut, “Ayo Az. Kan rumah kita satu arah juga ya kan.”
“Ayo Syif.”
Dan resmilah kami berjalan bersisian. Sepanjang lorong, aku diam saja. Ini juga bagian dari taktik. Daripada aku nanti bicara terbata-bata, lebih baik aku diam. Syifa-lah yang berbicara kemudian.
“Asyik sekali kelas Pak Hadi Az. Tidak ada yang protes meski kami pulang lebih telat daripada kelas lain.”
“Pasti dong, Pak Hadi punya banyak sekali cerita yang memukau.”
“Pastinya Az. Eh kalian pulang telat juga, apakah kelas asyik juga.”
“Sebaliknya Syif. Kelas Bu Hartini sangat membosankan. Astaga.”
Syifa terkekeh. Dan di saat itulah, kami berdua, yang sedang berjalan bersisian, melenggang di depan Paderi dan gengnya. Persis seperti yang dia lakukan saat Festival Togut tempo hari. Akhirnya aku berhasil membalasnya, akhirnya Paderi tercengang padaku.
Hari itu, aku telah menandai Perang Terbuka dengan Paderi Tamtama.


Mozaik 30
Master Matematika


Sudah bukan rahasia lagi kawan, sepanjang cerita ini Matematika adalah salah satu mata pelajaran paling kusukai di Quart School selain Sejarah. Bedanya lagi, aku sudah lama suka dengan pelajaran hitung menghitung ini. Bahkan jauh sebelum Spanyol menjuarai Piala Dunia.
Guruku di Quart School, mendukung obsesiku terhadap matematika. Sejak pertama kali masuk kelas beliau di Semester 1 dahulu, aku sudah berfirasat, aku bakal klop dengan guru yang sering memberi soal-soal absurd matematika di depan kelas itu. Dia adalah Pak Farhan. Dan aku benar, hari ini aku adalah murid kesayangan beliau.
Di kelas, aku duduk sebagai seorang penyelesai masalah tingkat tinggi. Pak Farhan sering terobsesi (juga) untuk menguji imajinasi para siswanya dalam mengkombinasikan rumus-rumus, sehingga muncullah soal-soal yang absurd tadi. Mula-mula siswa lainnya yang diminta menjawab, jika yang lain tidak bisa, barulah aku yang mencoba menyelesaikannya. Seringnnya aku berhasil, seabsurd apapun soal itu. Biar kuberitahu satu rahasia kecil kawan, jika kau ingin dianggap pintar, belajarlah matematika.
Baik kita kembali ke cerita…
Di satu malam yang sunyi, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Bukan bunyi sembarangan, melainkan nada dering khas. Bunyinya, “Hay”. Itulah notifikasi nada dering yang kupasang untuk setiap chat dari Syifa. Aku sengaja mencari nada dering yang sesuai, yang jika nada dering itu berbunyi, aku merasa seakan Syifa sendiri yang menyapaku. Cinta memang berada di luar nalar. 
“Az, aku boleh minta bantuan gak?” itu bunyi chat-nya.
“Oh boleh banget Syif. Pastinya,” kubalas chat itu sambil mengepalkan telapak tangan.
“Aku butuh kamu untuk mengajariku matematika, sekali lagi. Bisa gak Az?”
Langsung kusambar permintaannya tanpa pikir dua kali. Hanya kiamat yang bisa menggagalkan aku dari membantu Syifa.
“Makasih banyak Az, kapan dan dimana kamu bisa?”
Nah ini yang harus dipikirkan. Berkaca dari pengalamanku, aku harus berhati-hati pada Aram dan Wahid. Dua pemburu gosip, biang segala sesuatu. Mereka pasti tertarik jika melihat Azka dan Syifa duduk berdua di satu tempat. 
“Di lokal 4, istirahat pertama.”
“Oke Az. Nanti aku ke sana.”
Chat-chat itu terbang sampai ke batas langit. Membawa kebahagiaanku untuk esok hari.
Hal pertama yang harus kupikirkan adalah bagaimana menyingkirkan Aram dari kelas untuk waktu yang cukup lama. Sebenarnya itu adalah hal yang mudah. Aram bisa berkeliaran bersama Wahid di kantin, selama waktu istirahat pertama. Tapi sebagaimana orang-orang tidak bisa ditebak, Aram bisa kembali kapan saja. Aku sudah menyiapkan strategi yang ampuh.
“Ram, tolong kau jauhkan Wahid sejauh mungkin dari kelas selama jam istirahat pertama hari ini.”
Dia menatapku penuh tanda tanya.
“Aku memerlukan waktu pribadi. Aku ingin bertemu “orang itu” hari ini. Jangan sampai Wahid tahu. Kau yang mengatakan akibatnya dulu padaku.”
Aram segera mengangguk. Dia tahu siapa yang kumaksud “orang itu”. Jelas dalam konteks Aram, “orang itu” yang kumaksud adalah Shiela Camalia. Dia menghormat, seperti menghormat bendera. “Siap 86 Komandan.”
Bagus, satu urusan selesai. Urusan apakah aku sedang berbohong atau tidak, itu urusan lain.
Sesuai janji, Syifa benar-benar datang ke kelasku. Sama seperti saat mengerjakan makalahnya dahulu, kali ini pun, dia tanpa tedeng aling-aling mengambil tempat duduk di bangku Aram, tepat di sebelahku. Ujung pulpen yang dibawanya, terasa melotot ke arahku, menggoda. Kau terlihat gugup bung, ujar ujung pulpen itu padaku. Aku terperangah, benarkah?
“Makasih sudah mau repot mengajariku Az,” ujar Syifa membuka kalimat.
“Aku juga minta maaf Syif, karena mengganggu waktu istirahatmu. Kuharap kamu sudah makan.” Kucoba mengucapkan kalimat itu sesantai mungkin.
“Tidak apa-apa Az. Aku sudah sarapan. Lagipula jadwalku ke kantin itu pas istirahat kedua.”
“Wah kita sama dong.”
“Hehe iya, pantas kan kita sering bertemu juga.”
Ini adalah semacam basa-basi paling menyenangkan yang pernah kualami. Syifa membuka bukunya. Menunjukkan sebuah soal. 
Ini adalah soal yang kemarin ditulis Pak Farhan di papan tulis, dan dijawab oleh sang penyelesai masalah tingkat tinggi. Aku menjawab soal kombinasi matriks, trigonometri dan translasi bangun datar ini kemarin, jadi hari inipun aku bisa kembali menjawabnya. Ini mudah bagiku, tapi bagi Syifa yang melihat aku bak permainan sulap. Menakjubkan. Tak lupa aku memberi beberapa pemahaman praktis untuknya, agar dia mengerti bagaimana menjawab soal-soal serupa.
Syifa benar-benar terkagum-kagum. Sebentar-sebentar kucoba untuk melirik dia. Ayolah kawan, namanya juga suka. “Kamu memang seorang master matematika Az,” pujinya tanpa sungkan. Kakiku gemetar bahagia.


Mozaik 31
Tumpah Seperti Air


Siapa sangka, Aram temanku itu, adalah seorang pemburu gosip yang amat sangat canggih. 
Siapa sangka, ketika aku mengajari Syifa kemarin, situasi boleh sunyi. Hanya ada beberapa orang saja di kelas. Tapi salah satu diantara mereka yang “beberapa orang saja” itu, terselip mata-mata Aram. Rupanya dia telah mencurigai aku telah mengatur siasat, sehingga dia ikut mengatur siasat juga. Canggih bukan?
Hubunganku dan Syifa, pasca Festival Togut, berjalan lumayan baik. Benih-benih keberadaan Paderi Tamtama, berhasil kuhanguskan. Tapi sampai sekarang, hubungan kami masih berupa hubungan tersembunyi. Hanya ada dua pihak yang mengetahui dan menolak keberadaan hubungan terselubung teman itu. 
Yang pertama, tentu saja, hatiku sendiri. Bagian paling sensitif dari diriku itu, mana terima status teman dengan gadis bermata cemerlang itu. Hatiku ingin lebih, hatiku ingin menjadi spesial bagi Syifa.
Yang kedua, adalah yang berbahaya, yaitu para pemburu gosip. Orang-orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Sialnya bagiku, hal itu datang dari lingkaran pergaulanku sendiri, Wahid dan Aram.
Hari ini, mereka berdua menginterogasiku. Nasri ikut hadir di sana. Posisinya di mata pengadilan, adalah sebagai pembela.
“Az, kamu ada hubungan apa dengan Syifa?” Meluncur pertanyaan pertama dari Aram.
“Syifa? Maksudmu Nur Syifa Muliyana?”
“Iya, mengaku kau cepat?” Aram mendesak.
“Tidak ada tuh,” aku berkelit, dengan kalimat pertama tamengku, “aku dan dia hanya kebetulan akrab.”
“Tidak mungkin. Kamu kemarin mengajarinya matematika, kalian begitu dekat, intens.”
“Tidak ada  yang salah toh, kalau aku membantu seseorang,” bantahku, berkelit lagi. Tapi akan kuusahakan, aku tidak berbohong dengan menyebut, kami hanya sebatas teman.
“Aku Az, Syifa itu cantik-kan?” Aram memakai strategi lain.
Aku mengangguk.
“Nah kau sudah mengakui secara terselubung bahwa kau menyukai Syifa.”
Aku mendelik, itu adalah cara mengambil kesimpulan yang tidak bermutu. Wahid mengambil alih penginterogasian. 
“Kau sudah keterlaluan Az. Kau sudah mendekati, secara sepihak, dua cewek cantik di Quart School. Syifa dan Shiela. Mengaku kau cepat?” Wahid mendesak.
“Aku hanya kebetulan akrab. Baik dengan Syifa, ataupun dengan Shiela,” jawabku lagi. 
“Bukan, bukan pengakuan semacam itu,” Wahid memasang wajah keras.
“Lalu?”
“Katakan padaku, jimat apa yang kau pakai hingga bisa akrab dengan kedua cewek itu. Cepat!” Wahid menaikkan suara. Giliran Aram yang mendelik. Kita sebenarnya sedang menginterogasi tentang apa? Pasti itu yang ada di dalam pikirannya sekarang.
Nasri yang sedari tadi diam angkat suara. Menjalankan tugasnya sebagai seorang pembela. “Hid, dia memakai ajian yang tidak mungkin bisa kau tiru. Jimat itu adalah otaknya yang cerdas dan menakjubkan.”
Wahid tercengang lalu diam. Usai sudah interogasi tidak berguna itu.
Akan tetapi, Aram tidak berhenti untuk bekerja. Dia terus bekerja, bahkan tanpa aku sadari. Pada suatu hari, Syifa datang sendiri ke kelasku. Di saat semua orang sedang pergi ke kantin. Heran aku.
“Az, aku nitip handphone-ku ya. Sekalian minta dicharger-kan. Di kelasku tidak aman. Kamu mau kan?” Dia mengucapkan kalimat itu dengan sangat mantap, sambil menatap ke arahku. Dengan matanya yang cemerlang, aku tidak punya pilihan selain mengangguk menyanggupi.
Hanya saja, Aram dan jaringannya mulai bekerja. Mereka mengincar handphone Syifa itu. Bak serigala mengincar kawanan domba. Lewat cara kerjanya yang canggih, Aram tidak melakukan aksi sendiri. Dia menyuruh salah satu cewek teman sekelasku untuk menghampiri tempat penchargeran handphone (hal-hal semacam ini disediakan di Quart School kalau kamu mau tahu, kawan.)
Aku bergegas ke sana. Siap menjaga handphone Syifa dari segala kemungkinan. Adegan segera berubah menjadi drama. Agen Aram, si cewek teman sekelasku yang tak perlu kusebutkan namanya ini, tidak menginginkan apapun, selain membuka Whatsapp Syifa, karena di sanalah paling mungkin, ada bukti kedekatan antara Syifa dengan Azka.
Ironisnya, itu benar sekali.
“Jangan disentuh, baterai handphone itu belum penuh,” aku menegur sekali.
“Memangnya ini handphone siapa? Aku tidak pernah lihat. Sepertinya bukan handphone siswa kelas ini.”
Sial, agen Aram ini sepertinya siap memancingku. Aku enggan terbawa, “iya itu memang bukan handphone siswa kelas ini.”
“Lalu kenapa handphone itu ada di sini.”
Aku kehilangan kalimat untuk menjawab. Saat kemudian wajah Wahid sempurna muncul di balik pintu. Dia berseru keras, tegas dan nyaring.
“Itu handphone bebeb-nya Azka.”

Mozaik 32
Yang Bahagia, Yang Dibenci


Nur Syifa Muliyana, sejauh ini mempertontonkan banyak hal ke dalam hidupku. Dia telah memaksa otakku untuk mempertimbangkan kembali semua definisi tentang cinta dan bahagia. 
Ternyata bahagia itu amat sederhana.
Hari ini, aku pergi ke kursi depan lokal 4, dengan alasan mencari angin. Ini bukan kebiasaan yang sering kulakukan jika jam kosong. Tapi kali ini, aku benar-benar merasa sumpek. Iseng-iseng aku melirik ke lokal 5, yang sepelemparan batu saja dari tempatku duduk, di sana ada Syifa. Begitu dia sadar, aku sedang memandanginya, dia tersenyum. Kesumpekanku tadi langsung hilang. 
Sebegitu sederhananya.
Ada juga, momen di mana kami bertemu di pancuran air wudhu saat hendak shalat Zhuhur. Kami hanya berpapasan, tapi di bawah bekas air wudhu itu, wajah Syifa, bertambah kemilau. Dia tersenyum padaku.
Itu saja, sudah membuatku senang.
Begitu pulang sekolah, aku juga membiasakan diri menunggu Syifa lewat di depan lokalku. Terkadang dia melambai. Terkadang aku pura-pura membuntuti langkahnya pulang, dan terkadang, jika benar-benar merasa punya topik, aku pulang bareng bersama dia. Manapun yang kupilih, aku tetap merasa bahagia. 
Sederhana.
Kalian tahu kawan, sebelum bertemu dengan Syifa, aku termasuk dalam golongan orang yang selalu mencari kebahagiaan serupa kebahagiaan itu adalah barang yang sangat langka. 
Golongan orang yang menganggap mencari bahagia itu sesulit memodernisasi Jepang.
Golongan orang yang menganggap, bahwa jika bisa memiliki kerajaan seluas Imperium Britania, baru bisa bahagia.
Padahal ternyata tidak. Kebahagiaan itu terletak pada sesuatu yang amat sederhana. Asumsi kita. Sampai hari ini, aku masih berasumsi bahwa aku adalah orang yang dekat dengan Syifa, orang yang berhak mendapat senyumnya, itu membuatku sangat bahagia. Astaga kawan, cinta memang luar biasa.
Tapi, sebagaimana sebuah kisah cinta yang hebat, kisahku dengan Syifa, masih harus melalui berbagai halangan. Salah satunya, akan terungkap sebentar lagi.
Para pemburu gosip agen-agen Aram bekerja dengan sangat rapi dan teliti. Hal itu, membuat ruang gerakku menyempit. Aram dan Wahid mulai berani menciye-kanku, tiap tertangkap basah mengobrol dengan Syifa. Walau masih belum keras. Belum. Masih sebatas, “ciye Az, yang asyik ya,” lalu mengedipkan mata.
Pada suatu siang, saat pulang sekolah dipercepat, aku melaksanakan ritualku, menunggu Syifa lewat. Tapi hari ini lain, Syifa memang lewat, cuma lewat. Seperti tidak melihat apa-apa. Sedikitpun tidak ada senyum untukku. Jelas aku heran. Ada apa dengannya.
Malamnya langsung aku chat dia. “Syif.”
“Iya Az?”
“Kamu gapapa?”
“Eh, emang aku kenapa Az?” dia bertanya balik. Hatiku menyumpah-nyumpah. Pertanyaan bodoh lagi. Dasar.
“Emm, tadi siang, kenapa kamu begitu dingin?” Kucoba kawan, menemukan kata yang lebih baik, dari dingin itu, tapi tidak kutemukan. 
“Eh iyakah Az. Maaf kalau itu membuat kamu tersinggung. Tapi jujur ya Az, aku kurang suka dengan cara teman-temanmu memandangi setiap aku menyapamu. Seperti mengejek.”
Celaka. Pasti yang dimaksud Syifa adalah wajah Aram yang mirip beruk dari cagar alam nasional itu, eh maksudku, wajah mereka saat mengatakan “ciye Az.” Aku menghela nafas, aku harus memperbaiki hal ini.
“Aku minta maaf  Syif.”
“Ah gapapa Az. Aku juga harus minta maaf. Yang lalu biarlah.”
Malam itu, setelah memutuskan untuk melakukan sesuatu, semacam bersujud pada Aram barangkali, aku kembali tenggelam dengan chat-chat berbau bahagia dengan Syifa. Tak akan berhenti sampai jam 12 berdentang. Atau karena masalah lain, seperti…
“Az, tahan dulu ya. Ayahku mau memeriksa handphone.”
Aku terpana. Ayahnya?


Mozaik 33
Lomba Nasional


Pemerintah Negeri ini, sebenarnya peduli dengan pendidikan. Lihatlah, bagaimana mereka mendorong sekolah-sekolah menengah atas untuk mengikuti event besar, Lomba Nasional.
Lomba Nasional sebenarnya adalah kalimat yang mudah dipakai untuk menggambarkan event tersebut. Nama sebenarnya dari event besar bikinan pemerintah itu cukup panjang, Olimpiade bla bla Sekolah Berprestasi bla bla Tingkat Nasional. Orang Melayu-lah yang bertanggung jawab menyingkat nama event yang megah tersebut.
Pemerintah juga telah mengatur mekanisme partisipasi dalam lomba tersebut. Hanya sekolah yang paling hebat saja yang bisa mengikuti Lomba di tingkat Nasional. Tapi seleksi akan dilakukan dari tingkat kabupaten. Begitu pemerintah mengumumkan Lomba telah dibuka, sekolah-sekolah di seluruh pelosok Indonesia segera larut dalam euforia. Termasuk Quart School. 
Hari ini, Pak Kepala Sekolah, menginstruksikan kepada Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat untuk menunjuk wakil Quart School untuk mengikuti seleksi Lomba Nasional Tingkat Kabupaten. Untuk urusan kali ini, Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat memegang kendali penuh. Bu Hartini tidak bisa campur tangan. Beliau bersungut-sungut.
“Kalau begitu, nanti saya sediakan akomodasi saja.”
“Tahun ini kita tidak ikut hanya untuk meramaikan seleksi tingkat Kabupaten saja, seperti tahun-tahun yang lewat,” ujar Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat, “tahun ini kita serius, kita tidak akan berhenti di sini, tidak akan berhenti di seleksi tingkat provinsi. Kita akan maju terus, kita akan mengamankan satu kursi di Lomba Tingkat Nasional di Lamongan. Karena kita adalah yang terbaik. Karena kita adalah Quart School.”
Mengapa aku bisa mengetahui semua itu. Karena salah seorang yang mendengar pidato berapi-api Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat, adalah aku. Karena aku adalah salah satu orang yang ditunjuk menjadi wakil Quart School di seleksi Lomba Nasional Tingkat Kabupaten.
Jadi begini kawan, siang itu aku terkantuk-kantuk menunggu jam pelajaran Agama. Setengah malas sebenarnya, tapi Bu Hartini mengancam tidak akan meluluskan siapapun yang menghindari kelasnya, jadi aku terpaksa duduk di sana. Di kelas, sambil menguap. 
Tahu-tahu Lia datang. Tergopoh-gopoh. “Az, kamu dipanggil Bapak Wakasek Kurikulum.” Lia membawa kabar. Nasri yang tepekur, ikut tertarik.
“Ada apa?”
“Berkaitan dengan Lomba Nasional. Azka ditunjuk jadi salah satu delegasi.”
Mataku langsung berbinar nyarak. 
“Itu menarik,” Nasri menyahut.
“Sebaiknya kau ikut juga Nas.”
“Iya Nasri juga ikut,” Lia menimpali, “aku diminta merekomendasikan orang-orang yang akan mewakili Quart School dalam Lomba Nasional. Kita akan mengirim delegasi untuk Cerdas Cermat dan Pidato.”
Aku dan Nasri saling berpandangan. Nun jauh, Aram ikut bersungut-sungut, dia kalah bermain di atas papan.
Alhasil, hari itu aku, Lia, Nasri dan Mawar (hei bagaimana bisa Mawar bisa ikut, aku tidak tahu. Misterius. Lia yang memberi penilaian), semua pergi ke hadapan Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat.
“Ananda Lia bergerak cepat. Terima kasih,” ucap beliau menyambut kedatangan kami. “Nah siapa yang ikut Lomba Pidato?”
“Dia Pak,” Lia menunjuk Mawar.
“Oh oke, dari penampilan, cukup meyakinkan. Kamu temui Guru Bahasa Indonesia saja ya Nak. Beliau lebih paham bagaimana standar berpidato yang baik dan benar. Urusan saya, pada mereka bertiga ini.”
Kami tertegun segera.
Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat itu, menanyai biodata kami. Terutama tentang latar belakang pendidikan. Beliau juga menguji beberapa kepandaian kami dalam pengetahuan umum. Sering kudengar kalau Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat ini sebagai kamus berjalan. Beliau tahu macam-macam istilah. Untunglah di situ, ada Nasri, yang merupakan ensiklopedia berjalan. Seleksi kecil-kecilan di Ruang Wakasek hari itu berjalan memuaskan. Kami dinyatakan berhak mewakili Quart School dalam Seleksi Lomba Nasional Tingkat Kabupaten.

Mozaik 34
Kamu Peduli?


Hari ini, di sebuah kawasan tanah lapangan yang bererumputan tipis, aku diintrogasi 3 petugas berseragam. 
Ah kurasa aku terlalu cepat sampai ke bagian itu. 
Sempat terjadi ketegangan antara Wakasek Kurikulum yang terhormat dengan Bu Hartini sang Wakasek Kesiswaan sebelum kami berangkat. Bapak Wakasek, menginginkan kami berangkat dengan kendaraan masing-masing, sedangkan Bu Hartini bersikeras dia akan menyediakan transportasi. Bu Hartini ingin memboyong kami ke tempat seleksi dengan menggunakan mobil beliau. Mohon kata mobil itu kawan, disikapi secara bijaksana. 
Aku sendiri lebih setuju dengan Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat. Bukan karena mobil milik Bu Hartini itu butut, buruk minta ampun, perkakasnya pasti sudah berganti beberapa kali (bukankah tadi sudah kubilang agar menyikapi kata mobil itu dengan bijaksana), tapi karena aku alergi pada mobil. Setiap mendekati benda beroda empat itu, aku selalu mual. 
Hari itu, sekeras apapun Bu Hartini mempertahankan pendapat, kami semua bermufakat untuk memakai kendaraan masing-masing. Beliau kalah karena suara beliau bukan mayoritas. Bukankah demokrasi adalah cara pemungutan suara yang paling adil di negeri ini?
Siapa tahu, ini ternyata akan menjadi awal dari kesialan kami.
Ketika mendekati lapangan Bumi Melayu, aku melihat barikade petugas berseragam polisi memblokade jalan besar. Beberapa kendaraan terlihat putar balik, mereka terlihat panik. Rupanya kami salah memilih hari, kami harus bertemu momok paling mengerikan di jalan raya. Razia lalu lintas.
Masalahnya, tidak ada satupun diantara kami yang memiliki surat izin mengemudi yang berbentuk kartu itu. Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat, aku, Nasri dan Mawar yang membonceng Lia, terpaku. Kemudian seorang petugas berseragam melambai-lambai. Firasatku, kami tidak akan lolos.
Begitulah kawan, rangkaian kejadian singkat bagaimana aku dan kawan-kawanku berujung di hadapan para petugas berseragam. Diceramahi tentang keselamatan berlalu lintas. Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat, juga ikut kena semprot. Di sana juga ada Bu Hartini, kulihat beliau bersungut-sungut. Habis sudah.
Akhirnya setelah Bapak Wakasek berkali-kali meyakinkan agar Pak Polisi sudi membebaskan kami, karena kami akan mengikuti seleksi lomba Nasional yang bergengsi itu. Kami akan mewakili Bumi Melayu. Pak polisi tidak bergeming. Dia baru setuju, setelah Bapak Wakasek meyakinkan bahwa kami akan membayar denda, berapapun itu.
Lalu bagaimana kelanjutan seleksi Lomba Nasional tingkat kabupaten tadi? Ah aku malas sekali membicarakannya kawan, setelah menghadapi para polisi berseragam ini, dan berhadapan dengan mereka, sungguh membuat batin siapa saja jeri.
Jadi, kami tiba di sebuah gedung besar.
Kami dipanggil ke sebuah ruangan.
Kami dinyatakan sebagai peserta yang terlambat. 
Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat berusaha membujuk panitia.
Berhasil, kami dinyatakan boleh mengikuti seleksi susulan di tempat yang tertutup.
“Ini tanya jawab saja,” kata seseorang di depan kami, bapak berkumis dengan rambut belah tengah, dari kesannya dia adalah tuan rumah seleksi tahun ini, “jika kalian bisa menjawab soal sebagaimana yang tadi peserta lain jawab di ruang uji seleksi, maka kalian saya nyatakan lulus.”
Aku mengangguk. Ini cukup mudah.
“Baiklah, pertanyaan pertama. Apa hukum kita membaca bismillah?”
“Sunnah Pak,” aku menyambar cepat, dan aku kira jawabanku itu, cukup komprehensif. 
“Salah,” sahut si Bapak tadi dengan tidak kalah cepat. Lia ikut terperangah. Kenapa bisa-bisanya jawaban itu bisa salah. Bapak berkumis menjelaskan. “Bismillah dihukumi berdasarkan situasi. Adakalanya wajib. Adakalanya sunnah, bahkan adakalanya haram. Kalian tahu itu-kan?”
Situasi di ruangan tertutup itu selesai sudah. Skakmat. Quart School dinyatakan gugur. Diam-diam aku menarik kesimpulan, bahwa pemerintah boleh saja menyelenggarakan lomba dan event yang menunjukkan kepedulian mereka terhadap pendidikan negeri ini, tapi pihak-pihak lain di dalam lomba tersebut, boleh saja memanipulasi hasil-hasil akhirnya. Itu soal lain, dan jelas bukan urusan pemerintah.
Setelah kami terpelacat dari lomba, fokus lomba kami hanya satu. Mengusahakan agar urusan dengan polisi tidak perlu sampai ke meja persidangan. Bu Hartini (yang sialnya ikut hari itu) dengan terang-terangan menuding ke arah kami dan Bapak Wakasek. Tapi Bapak Wakasek tidak tinggal diam. Beliau bilang, bahwa ini adalah urusan Quart School. Karena kami menghadiri lomba atas utusan dari Quart School. Maka uang Quart School pula yang harus menyelesaikan semuanya. Bu Hartini makin marah.
Setelah mati-matian meloloskan diri dari makian Bu Hartini, aku pulang ke rumah. Hari ini menjadi hari yang panjang dan buruk. Setelah semua rangkaian hal yang panjang tadi, akhirnya pada saat menjelang shalat Maghrib, aku memetik madunya.
“Assalamualaikum Az.”
Nada dering itu, adalah nada dering milik Syifa. Aku segera tersenyum. Membalas. “Waalaikumussalam, Syif.”
“Kudengar kamu kena razia Az?”
“Iya Syif. Hari ini hari yang buruk.”
“Lombanya gimana?”
“Kalah Syif, ada yang curang. Begitulah.”
“Sabar ya Az. Lalu itu gimana urusannya dengan polisi? Kamu gak kena masalah-kan Az?”
Aku menghela nafas sejenak. “Tidak juga Syif. STNK-ku kena bredel oleh polisi. Tapi katanya bisa diurus nanti oleh sekolah.”
“Oh bagus-lah kalo begitu Az. Aku lihat jam sudah pukul 7 lewat, sebaiknya kamu makan Az, terus habis itu istirahat.”
Kakiku gemetar lagi. Oh Tuhan, berapa kali Engkau akan mengirimkan sensasi semacam ini.


Mozaik 35
Tugas Nyeleneh Bu Hartini


Seleksi lomba di kabupaten kemarin segera lewat. Terlupakan. Kami kembali rutin belajar. Memilih kelas mana yang harus bolos, mana kelas yang seru untuk diikuti. Ke kantin, menghirup kopi karibia, tertawa-tawa, (dan terkadang, Aram menciyekan aku).
Sudah menjadi rahasia umum, kalau Bu Hartini terkadang bisa sangat nyentrik dan merepotkan kalau sudah memberikan tugas. Salah satu bukti ke-nyeleneh-an beliau, seperti saat memberikan tugas mencatat buku dengan tebal lima ratus halaman selama satu tahun. Tapi tidak ada yang lebih nyeleneh daripada tugas beliau hari ini.
“Ibu lihat tugas praktik kalian masih kosong untuk semester ini,” sabda beliau di depan kelas, sambil membuka silabus mengajar yang telah distandarkan pemerintah. Padahal silabus itu tidak cocok jika diajarkan di Quart School. Beberapa guru, seperti Pak Farhan membuang silabus itu di tempat sampah, kata beliau tidak berguna. 
Kami hanya bisa mengangguk.
“Ibu lihat tanah di depan sekolah kita itu juga masih kosong,” ujar beliau lagi. Firasatku sudah mulai tidak enak. Sesuatu pasti akan terjadi. Bu Hartini mulai menginterpretasikan silabus Pemerintah dengan lahan kosong di depan sekolah.
“Oh begini saja,” ujar beliau dengan lagak baru saja mendapatkan kesimpulan, “untuk tugas praktik semester ini, Ibu akan tugaskan kalian semua menanam dan memelihara sebatang pohon. Pohon apapun itu terserah.”
Kami mulai bersuara, bisik-bisik tidak setuju. 
“Besok, bawa bibit pohon ke sekolah, tanam beramai-ramai. Dalam satu bulan, kalian rawat, kalian siram, kalian beri pupuk. Alhasil nanti sekolah kita tambah asri. Kalian mendapat nilai praktik kelestarian lingkungan. Ini juga bagian dari menjadi khalifah di muka bumi. Ada pertanyaan?”
“Setelah satu bulan itu, kami harus melakukan apa lagi Bu?”
“Kalian tulis laporan pertanggungjawaban, atas pemeliharaan pohon milik kalian masing-masing. Lalu kumpul laporan itu ke Ibu. Harap diperhatikan tugas ini betul-betul ya, barangsiapa yang tidak mengerjakan tugas ini, dipastikan tidak akan bisa mengikuti Ujian Akhir Semester atau Final Tes. Jadi kerjakan sungguh-sungguh.”
Aku menghela nafas lagi. Aku tidak suka berkebun. Jadi akan sangat merepotkan jika aku harus menanam sebatang pohon dan menyiramnya setiap hari. Aku harus mengakali tugas ini. Aku harus mencari sebuah tanaman yang tidak merepotkan pemeliharaannya, tidak mudah mati, walau tidak pernah kusiram selama dua minggu. Tanaman itu juga harus filosofis agar aku benar-benar terkesan ingin menyelesaikan tugas ini dengan sungguh-sungguh. Tanaman itu adalah tebu.
Jadi begini kawan, asal muasal kenapa aku memilih tebu, itu juga karena industri penanaman tebu, tengah marak di kampungku. Tebu juga sangat mudah ditanam, asal tersentuh tanah, diapun hidup. Setelah itu, mau tidak disiram satu tahunpun, dia akan tetap tumbuh, subur dan besar. 
Kukira pemikiranku memilih tebu tadi, sudah cukup revolusioner, ternyata ide Aram dan Wahid lebih revolusioner lagi. Siang itu di kantin, Wahid dan Aram membujukku agar membagi bibit tebu untuk bertiga. Aku tentu saja menolak. Tindakan sembrono bisa saja memicu kemarahan Bu Hartini. Tapi Wahid bersikeras. Katanya mudah saja.
“Kalau ibu bertanya, katakan saja Az, bibit milikmu adalah tebu untuk pembuatan gula, punya Aram adalah tebu hias, sedangkan punyaku adalah tebu obat untuk penyakit menahun.” 
Ide yang sungguh revolusioner bukan?
Usut punya usut, ternyata ide Bu Hartini tidak hanya dilakukan oleh kelas kami saja. Melainkan semua kelas yang ada di Quart School. Alhasil, kami beramai-ramai menanam bibit tanaman itu. 
Beberapa diantaranya membawa bibit mangga, yang lain membuat bunga, yang lain membawa bibit jambu, bahkan ada yang membawa bibit semangka. Ramai, ramai sekali proses penanaman bibit hari itu. 
Di saat semua sedang ramai menyombongkan bibit tanamannya yang dikata hebat, aku, Aram dan Wahid terpojok di satu titik, dimana kami bertiga menanam tebu. Komunal sekali, tidak dipedulikan siapapun.
Kalian tahu kawan? Apa yang terjadi setelah kita berlelah-lelah melakukan sesuatu yang amat dibenci? (Menanam pohon misalnya), yang datang kemudian, adalah rezeki dan berkah.
Bu Hartini tidak bercanda ketika  meminta laporan pertanggungjawaban pemeliharaan pohon itu pada kami. Harus diketik di atas kertas A4, dengan format yang sesuai dengan penulisan karya ilmiah. Dan kawan juga tentu mafhum, bagaimana pengetahuan kawan-kawanku menyangkut bidang kepenulisan dan pengetikan. 
Maka di situlah kemudian, ada kesempatan bagi usaha pengetikan Azka yang bersih dan rapi. Mulanya cuma Aram dan Wahid yang meminta bantuanku untuk mengetikan tugas mereka. Tapi lama-lama hampir semua orang mengirimkan mandat kepadaku untuk mengetik tugas milik mereka.
“Berapa harganya Az?”
“20 ribu satu buah laporan. Bagaimana?” Aku dengan wajah setengah terpaksa memasang harga.
“Baiklah, itu lebih baik daripada aku harus mengetik,” ujar salah seorang temanku. Transaksi dilakukan tanpa tawar menawar. Karena merupakan rahasia umum, mayoritas siswa Quart School sebenarnya adalah orang berduit.
Tawaranku rupanya dianggap praktis oleh sebagian besar siswa. Dalam waktu singkat, tak kurang dari 25 buah tugas laporan sudah hinggap di meja belajarku. Dengan deadline satu minggu, aku jelas harus membagi-bagi waktu. Terutama waktu tidur. Imbalannya cukup kawan, jika kawan mengali jumlah tugas itu dengan tarifnya, kawan akan menemukan uang yang signifikan banyaknya. Cukup bagiku untuk begadang sampai pukul 2 pagi.
Lamat-lamat aku paham, uang sama gilanya dengan cinta.
Untuk mengimbangi pekerjaanku yang gila itu, aku menyediakan kopi, serta beraneka makanan kecil agar aku tidak mudah mengantuk. Tapi minuman pahit kental itu tidak cukup ampuh. Aku masih menguap.

Mozaik 36
Final Tes


Kucari handphone sebagai jalan terakhir agar kuat begadang. Riset telah membuktikan, cinta lebih ampuh menahan kantuk. Jadi aku menghubungi Syifa. Cukup lewat chat saja, tidak lebih. 
“Tumben kamu belum tidur Az?”
“Iya Syif, kamu juga.”
“Eh aku kan udah biasa begadang seperti ini Az.”
Astaga. Aku menepuk dahi, aku lupa soal itu.
“Kalau kamu mau, temani aku ya. Hehe. Mengantuk sekali di malam sunyi seperti ini.” 
“Memangnya kamu kenapa Az?”
“Eh maksudku, kamu ngapain aja malam begini, tidak biasanya kamu begadang.”
Oh Tuhan, dia tahu kebiasaanku. 
“Aku kerja Syif.”
“Hah, kerja Az? Nyari uang gitu?”
“Iya Syif,” Aku sedang mencari uang untuk menghalalkan kamu.
“Hebat Az, hebat bukan main. Semangat Az. Btw, itu kerja sudah makan-kan kamu?”
“Sudah Syif, kalo kamu?”
“Aku belum Az.”
“Kenapa kamu belum makan Syif? Ini sudah pukul 11 malam.”
“Iya Az, ini aku mau makan.”
“Silakan Syif.”
Kemudian semuanya hening. Syifa meninggalkan room chat. Agak menyesal aku menyuruhku makan. Ternyata dia segolongan dengan aku, orang yang tidak memegang handphone ketika makan.
“Udah Az, hehehe.”
Pukul 12 malam lebih sedikit, Syifa kembali membalas. Aku senang, dia masih mau menemaniku.

***
Tidak lama setelah tugas-tugas nyeleneh Bu Hartini terselesaikan, Final Tes datang ke Quart School. Ini adalah istilah kami untuk ujian akhir semester di Quart School ini. Ini adalah ujian dari segala ujian.
Jika kalian sudah mendengar bagaimana Midtes yang mengerikan kemarin, mungkin kalian juga akan tertarik mendengar soal Final Tes. Ujian ini akan diiringi oleh pembagian raport dan menjadi puncak dari rangkaian pembelajaran di Quart School. 
Lagi-lagi dalam kesempatan kali ini, saingan terberatku adalah Nasri. Aku harus katakan kawan, Nasri itu benar-benar tiada tanding. Ibarat kata, aku belajar sepanjang malam, aku tetap tidak akan bisa melebihi nilainya.
Aku sendiri agak tidak percaya dengan kapasitasku saat menghadapi Final Tes kali ini. Aku agak kurang serius dalam belajar, karena beberapa alasan, salah satunya keberadaan Syifa. Gadis bermata cemerlang itu sedikit banyak telah memakan waktu belajarku. 
“Final tes ini membuatku sumpek. Aku benci ujian.”
Aku, Aram dan Wahid sekali lagi berkumpul di Warung Kopi Paman Pirates hari ini. Kami membahas tentang Final Tes dan yang tadi itu adalah keluhan Aram.
“Kenapa begitu Ram?” Aku bertanya, antusias.
“Karena kemampuan utamaku tidak mempan di atas kertas ujian.”
“Memangnya apa kemampuanmu Ram?”
“Keberuntungan.”
“Berhentilah mengeluh Ram, ujian ini adalah bagian dari hidup. Jalani saja.” Wahid menepuk bahu Aram. Sungguh aneh mendengar Wahid tiba-tiba menjadi bijak dalam situasi seperti ini. Biasanya Aram-lah yang memiliki kebijakan, dan Wahid-lah yang dinasehati. Melihat mereka bertukar cangkir kopi hari ini, kukira kiamat sudah dekat.


Mozaik 37
Jatuh Hati Syifa (Dalam Pura-pura)


Rasanya aku tidak perlu menceritakan secara detail, apa yang terjadi saat Final Tes. Tidak ada yang istimewa di sana. Semua berjalan sama dengan ujian yang kawan jalani di SMA. 
Daripada memikirkan soal Final Tes yang memusingkan, lebih baik aku bercerita soal sebuah siluet kepala yang muncul di jendela, di pagi hari Final Tes Agama. Siluet kepala itu perlahan menjelma menjadi sosok wajah yang kukenal. Dia memakai masker, tapi sinar matanya yang memesona itu, aku mengenalinya sebagai Syifa. Dia menengok ke dalam kelasku lewat jendela, dan bilang, 
“Azkanya ada?”
Cepat-cepat kudatangi dia di jendela. Semua itu terjadi karena Aram sedang menguasai pintu untuk kepentingannya sendiri. Hal-hal seperti ini lumrah terjadi di Quart School. Baik, kembali ke Syifa. Aku bertanya tanpa basa-basi. “Ada apa Syif?”
“Besok-kan adalah Final Tes Matematika. Nah ada beberapa materi yang masih aku tidak pahami Az,” jelasnya, aku segera mencium kemana arah pembicaraan ini, bau-bau bahagia yang amat kuat.
“Ada yang bisa kubantu Syif?”
“Nah itu Az, padahal aku pengen diajari lagi oleh kamu. Tapi sepertinya kondisinya tidak memungkinkan,” Syifa memandang lurus ke dalam lokal 4. Aku ikut berbalik, Syifa benar. Jika aku duduk semeja dengan Syifa sekarang, dengan dalih ingin mengajarinya sekalipun, siapapun tidak akan percaya. Aku bisa jadi bahan ejekan selama satu bulan.
“Tanyakan lewat chat aja Syif. Nanti aku jelaskan, bisa begitu tidak?” aku segera terpikir tawaran brilian. Tawaran yang bau bahagianya tidak kalah pekat.
“Oh boleh deh Az, nanti dicoba. Sepertinya itu solusi yang paling masuk akal.”
“Iya Syif.”
“Makasih dulu Az. Kalau begitu aku mau ke kelas dulu.”
Dia hendak putar arah, balik kanan. Tepat sebelum dia mengangkat kaki, aku sempat menegurnya, “ Syif, kamu pilek?” 
“Eh iya Az,” pantas dia pakai masker.
“Jaga dirimu Syif, ini adalah hari-hari yang sangat penting.”
“Iya Az, makasih lagi. Hehehe.”
Kudengar dia terkekeh. Jadi kurasa dia senang mendengar ucapanku. Aku jadi ikut senang. 
Jadi sore itu, sehabis pulang dari Final Tes, aku membantu Syifa meninjau lagi semua teori-teori matematika yang dia ingin ketahui. Habis tuntas, walau aku tidak yakin dengan hasilnya nanti.
Karena belajar secara tidak langsung, tidak pernah sebaik belajar secara langsung.
“Az, kemarin aku dimarahi oleh pacar orang.”
Bukan sebuah kebiasaan bagi Syifa untuk bercerita padaku. Tapi kurasa hari ini adalah pengecualian. Lagipula aku senang saja mendengar cerita Syifa. Ini adalah sebuah langkah maju untuk hubunganku dengannya. Kubalas saja, “kenapa dimarahi Syif, kamu ngapain?”
“Tidak tahu Az, katanya aku dianggap menggoda pacarnya.”
“Oh jadi yang memarahimu itu ceweknya. Eh tapi sekarang masalahnya sudah selesai-kan?”
“Iya Az, sudah. Aku tidak ada urusan dengan hubungan orang lain. Tak ada waktu aku. Hehehe.”
“Zaman sekarang semakin edan saja ya. Macam-macam hubungan orang lakukan.”
“Iya Az, benar. Aku kadang suka kesal dengan cewek-cewek di luar sana Az. Ke sana kemari pamer wajah, pamer tubuh, menggoda cowok-cowok saja. Yang cowok juga sama, tebar pesona kesana-kemari. Pusing aku Az.”
“Jangan dipikirkan Syif. Pasangan-pasangan yang tercipta dari proses tebar pesona semacam itu, tidak akan berkah. Murahan ketemu murahan begitu.”
“Wah aku suka pendapat kamu itu Az.”
Oh Tuhan, kenapa Engkau menciptakan kata “pendapat” di dunia ini. Coba dihilangkan.
“Iya Syif, hanya mengatakan apa yang terlintas di pikiranku.”
“Kamu jangan tebar pesona ya Az, jangan kayak mereka yang di luaran itu.”
Aku terhenti di titik ini. Sempat kehilangan kesadaran.
“Eh kamu sudah makan Syif?” kualihkan pembicaraan. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku memang suka lupa waktu kalau sudah menghubungi Syifa di ruang chat.
“Belum Az.”
“Lebih baik kamu makan dulu Syif.”
“Aku biasanya makan agak larut Az.”
“Itu bukan kebiasaan baik Syif. Makan agak larut katanya bisa menambah berat badan dengan cepat, serta mendatangkan penyakit yang tidak diinginkan.”
“Oh gitu ya Az, baru tahu aku. Kamu memang cerdas dan berwawasan luas. Hehehe.”
“Itu kata temanku.”
“Teman kamu? Si cewek cerdas itu ya?”
Eh. Jemariku kembali terhenti dari ponsel. Aku tahu jelas siapa yang sedang dimaksud Syifa. Itu pasti Shiela Camalia. Apakah dia diam-diam mengawasi aku?


Mozaik 38
Party Class


Aram, dengan wajah yang sangat antusias, menghitung jarum detik jam. Dia menunggu pengawas ujian keluar. Bukan karena dia ingin mencontek, bukan karena dia tidak sabar ingin pulang, tapi karena dengan keluarnya pengawas ujian hari ini resmilah berakhir sudah semua rangkaian Final Tes.
Hari ini adalah yang terakhir. Hari Senin. Itu berarti sedari sekarang, Quart School sekali lagi akan bersiap menyambut event besar ketiga, Party Class. Jadwalnya selalu tetap, dua hari setelah Final Tes usai.
Apa itu Party Class?
Mengenai itu kawan, Pak Hadi punya cerita menarik, tentang sejarah terbentuknya event ini. Kami selalu antusias setiap mendengar beliau bercerita. Jika nanti kawan pembaca ingin mengulas tentang kumpulan cerita rakyat Indonesia, ceritaku soal Party Class ini boleh dimasukkan. 
Latar cerita: Ruang Rapat Dewan Guru Quart School. Tokoh sentral, Bu Hartini. Beliau bersuara keras.
“Pokoknya aku tidak setuju.”
Suara beliau itu benar-benar tegas dan mantap. Hal itu bisa ditebak, setiap ada usulan event pesta pora, beliau sebagai Guru Agama akan memprotes paling keras. Tak peduli jika pendapatnya itu berseberangan dengan kepala sekolah sekalipun.
“Tidak apalah kalau sesekali siswa itu kita beri refreshing,” Bapak pengajar PKN yang terkenal inovatif membela usul pesta pora. 
“Refreshing?” Bu Hartini memotong cepat, matanya lebih seperti orang yang sedang marah, ketimbang orang yang ikut rapat, “kita sudah memanjakan siswa sekolah ini dengan 3 event besar yang tidak jelas gunanya itu. Itu sudah merupakan refreshing.”
“Kita lengkapkan jadi 4. Apa salahnya,” Guru PKN yang tadi pendapatnya diserang dengan tajam, merasa tersinggung.
“Benar sekali,” sambut Guru IT yang duduk bersebelahan dengan Guru PKN, “Quart School adalah tempat dimana seorang siswa bisa belajar secara menyenangkan, event ini adalah wujud dari slogan Quart School itu sendiri.” Kemudian Guru IT dan Guru PKN tadi melakukan high five, mereka sepertinya sudah berkonspirasi. 
Bu Hartini merasa panas, karena diserang dua orang guru tak tahu diuntung. Beliau melirik ke arah Guru Ta’limul Qur’an, meminta bantuan. Guru Ta’limul itu terpaksa sepakat. “Maaf, Bapak Guru PKN yang saya hormati, segala hal yang berhubungan dengan pesta, biasanya berbau maksiat. Bukankah hal itu bertentangan dengan moral Pancasila?”
Guru PKN skakmat di tempat, kemudian diam-diam pergi ke kamar mandi. Guru IT tampaknya juga ikut gentar karena terdesak, tapi tak mungkin dia meninggalkan tempat.
Bu Hartini semakin menjadi, “tidak seeloknya kita para guru malah menyediakan tempat dan waktu serta kesempatan bagi para siswa untuk melakukan hal yang tidak senonoh. Malah hal ini tidak boleh kita lakukan sama sekali. Sekali dikasih longgar, anak-anak itu tidak akan terkontrol lagi.”
“Saya dengar itu yang terjadi di China.” Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat menyumbang celutuk.
Saat-saat itu, di meja rapat, bisa dibilang Bu Hartini kembali menguasai keadaan dengan argumen beliau yang meyakinkan. Sampai kemudian, seorang guru baru, yang sebenarnya baru bergabung satu bulan di Quart School, bersuara, kembali menyerang pendapat Bu Hartini. Argumennya tidak kalah meyakinkan. Beliau adalah guru Teknik Permesinan.
“Jangan salah bu, tekanan yang kita berikan pada siswa terkadang bisa melewati batas kemampuan mereka, dan kita melakukannya tanpa sadar sedikitpun. Para siswa kita akan mencari pelarian atas tekanan tersebut, bisa jadi ke arah yang buruk. Narkoba sebagai pelampiasan misalnya.”
Pertanyaan retoris yang tidak bisa dijawab Bu Hartini. Guru Ta’limul Qur’an ikut terdiam. Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat kemudian ikut bercelutuk lagi, ringan sekali.
“Saya dengar itu yang terjadi di Kuba.”
Posisi Guru IT dan guru PKN kembali aman. Bahkan guru PKN yang tadi datang dari kamar mandi melihat meja rapat serupa Babak Kedua Semifinal Liga Champions 2012. Tak terkira senangnya beliau.
“Tetap saja, saya tidak setuju. Dan saya tahu, tanpa persetujuan dari saya, mustahil acara itu digelar.” Bu Hartini kukuh pada pendiriannya. Pak Kepala Sekolah yang seharusnya menjadi pemimpin rapat, hanya bisa terdiam. Beliau bingung harus memihak siapa. Akhirnya Pak Farhan, guru matematika yang terkenal bijak, menengahi. Karena nyaris saja, dua kubu dewan guru itu adu jotos.
“Begini saja, Guru-guru yang terhormat. Sebagai jalan tengah, barangkali event keempat itu akan tetap dilaksanakan, tapi Bu Hartini boleh mengontrol dan mengawasi jalannya event dengan cara yang beliau kehendaki. Tentunya tanpa menghilangkan esensi dari pesta itu sendiri.”
“Ya saya setuju, rapat selesai.” Bapak kepala sekolah memutuskan sepihak karena takut akan terjadi perbedaan pendapat yang lebih parah lagi. Kemudian beliau meninggalkan ruangan rapat. Cerita usai sampai di sini.
Event keempat yang disebut-sebut dalam rapat itulah yang kelak disebut sebagai Party Class. Bu Hartini, sesuai kesepakatan mengawasi jalannya acara tersebut, secara ketat, sangat ketat bahkan. Untuk menganulir adanya banyak pelanggaran oleh para siswa.

Mozaik 39
Berebut Bidadari di Pagi Hari


Sebagaimana sebelumnya, kali ini-pun Bu Hartini memasukkan ide beliau yang unik, untuk event Quart School, Party Class. Beliau memutuskan bahwa setiap kelas wajib menunjukkan pertunjukan kolektif yang menghibur dan semarak. Dan seperti biasa pula, sebagai tanggapan dari ide Bu Hartini, lokal 4 melakukan rapat internal, dengan Aram sebagai ketuanya, tak lupa dia memukul papan tulis dengan ekspresi kesal.
“Jadi acara apa yang akan kita tampilkan untuk menghibur Quart School nantinya?” Lia yang hadir dalam rapat internal, langsung menuju intinya.
“Mungkin sekarang kita bisa menunjukkan kebolehan Aram, sekali lagi dalam memecahkan beton menggunakan kepala. Itu pasti menghebohkan.” Aku menyumbang ide. Aram menggeleng tidak setuju. “Itu membosankan,” ujarnya.
“Kita harus lebih heboh dari itu. Kita harus menggoyang Quart School dengan musik disko.” Wahid bersuara. Sambil berteriak nyaring.
Mawar memukul Wahid, mereka berdiri bersebelahan (mengenai hal itu, nanti kuceritakan), “Segala macam bentuk pertunjukan yang melibatkan musik dan tarian yang menggairahkan, bisa kena bredel oleh Bu Hartini. Kecuali kau ingin berurusan dengan beliau.” 
Aram langsung menggeleng kuat. Itu adalah prospek yang mengerikan.
Aku tidak mengikuti rapat internal itu sampai akhir, kutinggalkan kelas dengan alasan ingin ke kamar mandi. Padahal maksud hati ingin mencari Syifa. Aku ingin melihat apa yang hendak dia lakukan dalam Party Class. 
Langkah kakiku terhenti di depan Lokal 5. Yang pertama singgah di telingaku adalah irama musik menghentak-hentak, kemudian suara heboh orang sedang menari. Gaduh. Ketika kulongokkan kepala, rupanya mereka sedang menari, eh bukan mereka sedang senam, karena sebagian besar memakai pakaian training. Ah sudah, jangan pikirkan itu. Aku fokus pada seseorang yang menjadi instruktur memimpin semua gerakan, dia memakai jilbab hijau, dengan pakaian training membalut tubuhnya berwarna senada. Dia adalah Syifa.
Dia cintaku.
Suasana Quart School selalu semarak menjelang Party Class. Setiap kelas tiba-tiba dirias sekeren mungkin. Sebuah panggung besar didirikan di tengah lapangan. Posisi panggung itu sedemikian rupa, sehingga terlihat dari manapun sisi sekolah. Di panggung itulah, akan ditampilkan berupa-rupa pertunjukan hebat dari setiap lokal yang ada di sekolah ini.
Satu hal lagi, dalam Party Class, setiap siswa bebas datang ke sekolah dengan baju macam apapun. Beda dengan event Fun Class dan Festival Togut.
Pagi hari Party Class, aku dan Aram sama menyingkir dari Lokal 4 dengan alasan yang sama pula. Rupanya kesepakatan akhir Mawar kemarin, adalah menghadirkan pertunjukan musik maulid. Aram kesal karena usulannya tidak dilaksanakan, sedangkan aku, aku benci musik. 
Jika Aram pergi ke kantin, maka aku pergi ke Lokal 5, sekali lagi, maksud hati ingin mengintip Syifa latihan. Tahu-tahu dia malah muncul di depan pintu, tapi bukan dengan pakaian training, melainkan pakaian biasa saja.
“Eh ada Azka, nyari siapa Az?”
“Nyari kamu,” malu-malu kukatakan seperti itu. Toh sudah kepalang basah, aku berhadapan dengan dia.
“Jangan mengada-ngada seperti itu Az, hehe.”
“Kok, gak pakai pakaian training Syif?” 
“Mau bersenang-senang dulu gitu Az. Sama kawan-kawan aku. Hehe.”
“Oh. Semangat ya Syif. Kamu cantik hari ini.”
Aku berbalik, meninggalkan dia, ah gentlemen sekali. Separuh hatiku berbisik saat aku melangkah, “aku ingin berfoto dengan dia hari ini.”
Ya kawan, berfoto adalah satu hal yang wajib dilakukan di hari Party Class ini. Kawan pasti tahu sendiri bagaimana kelakuan rakyat negeri ini, di kuburan saja masih berfoto. Heran aku. Tapi tidak apalah.
Demi misiku yang ingin berfoto dengan Syifa, aku menekuk gengsi berlipat-lipat dengan duduk santai di depan Lokal 5. Mengamati kawan-kawan Syifa berhilir mudik. Dia sendiri asyik berfoto sana-sini. Bukan, bukan sekarang waktunya meminta. Aku mengalihkan pikiran dengan menengok kelakuan para makhluk di lokal 5 ini. Setidaknya ada 3 orang yang menarik perhatianku.
Kesemuanya adalah pria. 
Orang pertama berwajah mirip Ole Gunnar Solskjaer, legenda Manchester United yang lebih ditakuti para fans Bayern Munchen dibanding hantu paling mengerikan di stadion Allianz. Wajah orang itu, babyface.
Orang kedua, malah mirip Napoleon. Silahkan tafsir sendiri.
Orang ketiga yang paling menarik perhatianku. Mana mungkin aku lupa. Dia-lah Paderi Tamtama. Dengan satu gerakan nan elegan, dia mengajak Syifa berfoto. Lututku langsung lemas. Hilang sudah keinginanku untuk berfoto dengan Syifa. Hal-hal semacam ini juga bagian dari kekuatan cinta, jika kawan mau tahu.
Hari itu, Paderi yang membuka front perang dengan aku. Tunggulah Paderi, aku ladeni keinginanmu. 
Sebagai epilog, aku dan Nasri mengobrol sepulang sekolah, menyusuri lorong. “Wajahmu rusuh Az. Seperti Horatio Nelson dalam Pertempuran Trafalgar.”
Aku menggeleng saja. Belum saatnya Nasri tahu, kalau ada orang yang lebih berbahaya dari Hitler sedang mengobarkan perang padaku. Waktunya aku menyusun siasat, secermat-cermatnya, untuk mengenyahkan Paderi Tamtama


Mozaik 40
Siklus Tertinggi


“Tambah segelas lagi, Paman.”
Hari ini, sekali lagi Warung Kopi Paman Pirates memberikan inovasi yang unik untuk siklus hidup siswa di Quart School. Entah ide dari mana, beliau (bukannya membuat variasi di menu), membeli papan catur dari pasar, papan catur itu cukup besar, hingga sebutir pionnya saja sebesar kepalan telapak tangan, dan papan itu diletakkan di warung beliau.
Aku paha kedudukan catur secara generik di dalam suku-ku, orang-orang Melayu memang suka bermain papan permainan strategi ini. Tapi bagaimana bisa Paman Pirates menebak papan catur itu bisa menarik pelanggan lebih banyak, itu belum masuk akal menurutku. Ini Quart School, dan sepanjang pengetahuanku, catur bukan budaya populer di sini.
Ternyata aku salah.
Hari ini, aku datang ke kantin untuk menyaksikan pertandingan eksebisi antara Aram melawan siswa lokal 5 berwajah Ole Gunnar Solskjaer yang tempo hari kuceritakan. Mereka bertarung sengit, sampai tandas empat gelas kopi diminum Aram, tidak ada tanda-tanda lawannya itu akan kendur.
Masuk ke hirupan gelas kelima, aku mulai bosan dengan permainan ini. Wahid di sebelahku juga demikian. Dia sedang menunggu giliran main. Tiga gelas kopi sudah dia habiskan, bosan sudah menggelayutinya, dan dia tidak bisa menambah gelas kopi lagi, bukan saja karena perutnya kembung, tapi juga karena dia kehabisan uang.
Alhasil, karena bosan, aku membuka handphone. Seketika kupegang, nada dering “hay” sudah berbunyi. 
“Tes,”
“Iya Syif,” balasku agak heran. Poin pertama, Syifa tidak pernah menghubungiku di jam istirahat kedua, poin berikutnya, Syifa pasti membuka percakapan dengan kata “Tes”, biasanya dia memanggil namaku.
“Boleh minta bantuan kah, Azka?” chat ini semakin aneh. 
“Iya, bantuan apa ya?”
“Bolehkah aku meminjam laptop-mu untuk besok?”
Aku menyernit kening, tulisan hijau mengetik… itu belum berhenti, “Tolong banget Az, laptopku sedang diperbaiki, sedangkan besok katanya untuk pelajaran IT wajib membawa laptop. Tolong ya Az.”
Akan kukatakan padamu di sini kawan, dari semua chat Syifa di atas, cuma chat terakhir itulah yang benar-benar berasal dari dia. Sisanya entah siapa yang membikinkan. Dari mana aku tahu? Anggap saja itu kekuatan cinta.
“Iya Syif, nanti aku bawakan.”
“Serius Az? Ya ampun kamu tuh baik banget Az. Terima kasih ya, aku berhutang budi.”
“Iya Syif, tidak masalah. Oh iya, aku tebak, yang di atas itu bukan kamu yang mengetik.”
“Eh kok tahu Az?”
Kekuatan cinta Syif, kekuatan cinta
“Tadi aku bingung, bagaimana cara aku bilang ke kamu Az, jadi kusuruh temanku yang mengetik, hehe.”
Sebenarnya membawa benda berat itu dari rumah sejauh 13 kilometer hanya untuk dipinjamkan, perlu aku pertimbangkan ulang. Tapi demi Syifa, demi senyumnya, apa sih yang tidak?
Siang itu, lunas sudah laptopku dibawa oleh Syifa. Tak masalah, Syifa pasti akan menjaga benda itu dengan baik. Aku dan teman-teman sekelasku menghadapi pelajaran geografi yang membosankan. Aram bahkan sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantin. Saat itulah Bu Hartini muncul.
Mengejutkan, benar-benar mengejutkan. 
Bu Hartini tidak berucap sepatah katapun, sorot mata beliau sudah cukup menjadi isyarat bahwa beliau ingin kami masuk kembali ke kelas dengan tenang. Kemudian beliau ikut masuk, segera duduk di meja guru.
“Mohon maaf, Ibu masuk mendadak. Hari ini ibu bertukar jadwal dengan pelajaran geografi. Karena pada hari Kamis, ibu ada kegiatan di luar yang harus dilakukan. Baik, Ibu hanya akan menjelaskan dan bercerita saja, karena Ibu tahu, kalian semua hari ini tidak membawa Buku Agama. Benar?”
Kami mengangguk. Aku memandangi Bu Hartini dengan selidik. Jam pelajaran beliau tidak pernah tentang bercerita saja. Terakhir kali beliau bercerita, semua berujung pada terpelacatnya Aram dari jabatan ketua kelas.
Bu Hartini mengambil spidol, kemudian menulis dua kata yang besar di whiteboard. “Orang Baik” itulah tulisannya. Kemudian beliau berbalik menatap kami semua, dan mulai bertutur.
“Kalian tahu? Apa yang paling sulit dicari di akhir zaman kelak?” ucap beliau dengan nada suara dibuat-buat agar terdengar retoris. “Orang baik,” kata beliau lagi, menjawab pertanyaan sendiri.
“Entah apa yang menyebabkan banyak orang baik lenyap dari bumi ini. Padahal mudah saja menjadi orang baik. Kalian cukup menolong orang, berbuat baik, bahkan sekedar membuang duri kerikil di jalan, atau bahkan sekedar senyum saja, itu sudah perbuatan orang baik. Tidak susah.”
Kami terkesima.
“Kalian tahu, apa keuntungan yang didapat oleh orang baik?” sekali lagi beliau melempar pertanyaan retoris, “orang baik adalah orang yang paling hebat. Michael Hart menulis dalam bukunya bahwa manusia terhebat di dunia sepanjang sejarah, adalah junjungan kita, Nabi Muhammad.
Mengapa Nabi Muhammad dikatakan hebat? Apakah karena beliau kaya? Oh tidak, beliau tidak memiliki harta kekayaan apapun ketika wafat. Apakah karena beliau seorang yang berkuasa? Oh juga tidak, kekhalifahan Islam yang terbentuk setelah beliau wafat, jauh lebih berkuasa dibanding beliau sendiri. Nabi Muhammad menjadi orang hebat karena beliau adalah orang dengan hati paling mulia sepanjang zaman. Karena beliau adalah orang baik.”
Kuperhatikan Aram, matanya berkaca-kaca. Dia diam-diam menuliskan surat yang maksudnya agar Bu Hartini tidak mengubah gaya pengajaran beliau lagi selepas ini.
Sementara bagiku, penjelasan Bu Hartini di hari yang panas dan mendadak itu, seakan menjadi resolusi hidup yang baru bagiku. Sebenarnya kawan, dalam beberapa hari ini, aku terus bertanya-tanya, apa sebenarnya yang aku punya untuk bisa mendapatkan Syifa seutuhnya. Maksudku, selepas lulus nanti dari Quart School, aku ingin melamarnya. Penjelasan Bu Hartini entah kenapa membuat hatiku ringan. Mungkin aku tidak perlu menjadi orang kaya atau orang yang berkuasa, untuk menundukkan hatinya. Mungkin aku hanya perlu jadi orang baik.
“Makasih banyak untuk bantuan laptopnya, Az.”
Itu chat Syifa, di malam hari. Tentunya setelah aku menghubunginya lebih dulu. Sedang kubayangkan bantuanku itu sangat berarti sehingga dia menganggap aku spesial. 
“Iya Syif, tidak ada masalah tentang itu, hehe.”
“Oh iya Az, aku boleh minta saran tidak?”
“Saran apa Syif?”
Kemudian dia mengirimkan sebuah gambar yang membuat aku menyernit. “Gambar apa ini Syif?”
“Eh itu mulut aku Az, hehe. Gigiku ini retak gara-gara terbentur. Aku khawatir malah berlubang, kan tidak lucu,” (yang retak itu adalah gigi serinya. Perlu beberapa menit bagiku untuk memahami seluruh gambar itu,) jika kamu ingin tahu kawan, cobalah foto mulutmu dengan kamera belakang, nah begitulah kira-kira gambar yang kuterima. 
“Coba dari sekarang kamu rutin minum susu Syif. Soalnya susu mengandung banyak kalsium. Bagus untuk gigimu.”
“Oh iyakah Az? Baru tahu aku.”
“Iya Syif, siapa tahu dengan begitu, gigimu yang retak itu bisa nyatu lagi-kan?”
“Eh iya Az, makasih banyak sekali lagi Az. Untung ya punya teman pintar semacam kamu ini, kalau tidak ah, bisa tidak tenang tidurku. Hehe.”
Kawan, kuberitahu padamu, saat ini sedang kubayangkan diriku ada di puncak gunung tertinggi di dunia. Aku sudah memenangkan pendakian dengan berdarah-darah. Sekarang yang harus kulakukan adalah menancapkan bendera di puncaknya, menembakkan cinta ke hatinya Syifa.

Mozaik 41
Hari Pembagian Raport


Hari ini sekali lagi Quart School ramai oleh hiruk pikuk. Bukan event besar keempat kawan, itu masih belum bisa kita bicarakan, hari ini meriah karena hari ini adalah hari pembagian raport.
Mekanisme penilaian di Quart School itu jelas unik, karena tidak bisa memperhitungkan absensi di tiap mata pelajaran. Aku sendiri tidak paham bagaimana cara guru-guru di Quart School melakukan penilaian, karena pada dasarnya yang penting di sini adalah ilmu yang tercantol ke kepala, bukan nilai di atas kertas. 
Meski demikian, Quart School juga punya sistem ranking. Dan itu istimewa.
Sejak kemarin, setiap sisi Quart School sibuk membicarakan soal ranking ini. Siapa yang akan dapat kehormatan menjadi ranking 1, sebagai yang terpintar di lokal, dan siapa yang akan menggondol bintang pelajar, sebagai yang terpintar di seantero sekolah.
“Untuk bintang pelajar, sepertinya akan jatuh ke tangan Shiela lagi,” Wahid berkomentar, di pagi hari pembagian raport. Kami menyempatkan minum kopi sepagi ini karena selepas hari pembagian raport ini, Quart School bakal libur selama 2 minggu. 
“Untuk yang itu aku sepakat,” ujar Aram.
“Kalau untuk di lokal 4, sepertinya Nasri lagi yang akan menjadi ranking 1. Bagaimana pendapatmu, Az?”
Aku diam saja. Aram menyahut, membelaku. “Eh jangan salah Hid, Azka juga selalu jadi kandidat kuat ranking 1. Azka dan Nasri itu beda-beda tipis. Benar, sudah dua semester ini Nasri berkuasa sebagai peringkat puncak, tapi Azka selalu menempel di posisi kedua. Ketat sekali. Siapa tahu kali ini ada kejutan. Iya-kan Az?”
Aku masih diam. Pikiranku tengah membentuk bayangan buruk.
“Eh Ram, ada orang tuamu kah yang datang hari ini?” Wahid bertanya lagi. Itu adalah hal wajar, orang tua bisa jadi datang mengambilkan raport anaknya di hari ini, meski tidak diwajibkan oleh sekolah. Hei siapa juga yang tidak ingin datang dan melihat Quart School yang megah. Aram menggeleng, “kali ini aku mengambil raport sendiri saja. Aku takut terkena damprat kalau ibuku langsung yang mengambilkan raport.” 
Aram tersenyum misterius.
Aku segolongan dengan Aram, mengambil raport sendiri saja. Bukan karena aku takut mengecewakan, tapi memang karena orang tuaku sedang tidak bisa datang ke sekolah ini. Lonceng berbunyi, tanda kami harus masuk ke dalam lokal. Aku bertemu Nasri, dia mengajakku bersalaman.
“Aku punya firasat buruk Az,” ujarnya. Aku menyernit, “firasat buruk apa?”
“Entahlah, nanti kita lihat saja.”
Tepat sebelum aku menginjakkan kaki di depan pintu, sebuah mobil masuk ke parkiran Quart School. Parkiran guru tepatnya. Dari dalam mobil, muncul-lah seorang pria tegap, yang jelas-jelas adalah kaum peranakan China itu, bersama anaknya. Seorang remaja wanita berusia 17 tahun. Tentu saja aku mengenalnya, dia Syifa. Dia datang bersama ayahnya. Keberadaan kendaraan beroda empat itu entah kenapa membuatku merinding. 
Mungkinkah ini firasat buruk yang tadi dirasakan Nasri?
Bukan. Masih ada satu lagi kejadian buruk yang menungguku.
Bu Indah, wali kelas kami memiliki sejenis kemampuan mendramatisir suasana. Jadi beliau memanggil para siswa dengan urutan ranking terbawah. Agak memalukan memang. Aku menghitung dengan cermat, menunggu namaku yang pasti jatuh di barisan nama terakhir. Seperti kata Aram, persaingan berebut ranking 1 di lokal 4 itu adalah tentang aku dan Nasri.
“Peringkat Tiga, Humadi Azka.”
Sekonyong-konyong aku kaget mendengar namaku dipanggil. Jadi peringkat tiga pula? Kenapa bisa begini? Bu Indah pun nampak heran, “apa boleh buat Azka, ini adalah keputusan dewan guru,” ujar beliau saat menyerahkan raport-ku. Aku menerima dengan wajah di-ikhlaskan. Ini adalah kejutan, kejutan yang sangat besar bagiku.
Rupanya bukan cuma aku yang menerima kejutan. Nasri juga. Dia yang diprediksi bakal menempati ranking satu lagi, malah terpelacat ke peringkat kedua. Tapi bagi Nasri, hal itu tidak terlalu penting juga. Ekspresinya nampak datar saja. 
Tentu saja, semua mata memandangi Bu Indah dengan penuh rasa penasaran, akan siapa yang memperoleh ranking 1, mengalahkan Azka dan Nasri. Bu Indah menyadari hal itu, dan beliau senang mendramatisir suasana. Berkatalah beliau.
“Di semester ini, sebagaimana kita lihat, banyak kejutannya. Ibu sendiri terkejut melihat daftar ranking kalian setelah rapat dewan guru itu. Selamat kepada yang menjadi ranking 1, orang yang telah mengubah peta persaingan di lokal ini. Peringkat satu adalah Mei.”
Sekonyong-konyong semua terpelongok. Mei?


Mozaik 42
Sang Penembak Jitu


“Kamu yakin mau nembak dia Az?”
Itu Nasri yang bertanya. Kepada dialah pertama-tama aku ceritakan rencana besarku seusai pembagian raport. Aku ingin mendapatkan hati Syifa, aku ingin mengikatnya sementara dengan hubungan yang lebih jelas, sebelum benar-benar serius melamarnya. Ya kawan, aku serius sekali ketika menuliskan semua ini. Tapi Nasri malah menyernit. 
“Terkadang nembak seorang gadis dan membawanya ke fase pacaran adalah sebuah pilihan yang buruk.” Nasri memberi tanggapan dengan suaranya yang khas. 
“Kenapa kau mengatakan hal semacam itu Nas?”
“Hanya intuisiku saja.”
Tumben sekali Nasri bicara soal intuisi. “Aku sudah menganalisis semua kemungkinannya. Aku yakin ini adalah pilihan yang tepat.”
“Seorang pria Skotlandia bernama Sir Alex Ferguson juga berpikir demikian, analisis yang menyeluruh, saat dia menjual Paul Pogba ke Juventus. Dan lihat berapa harga yang harus dibayar untuk menebus kesalahan analisisnya?”
Sekali lagi tumben Nasri bicara tentang sepak bola. 
“Tenanglah Nas. Aku bukan dia, dan jelas aku tidak ingin mengulangi kesalahan seperti yang dia lakukan. Tapi untuk ini, aku benar-benar yakin. Apakah kau ada saran lain?”
“Kurasa tidak, dan kurasa kau juga tidak akan tertarik mendengarkan pendapatku.”
Bagaimanakah caranya aku menembak Syifa? Atau minimal memberitahunya tentang perasaanku yang terlampau besar ini padanya. Soal itu, aku teringat sebuah percakapanku dengan Shiela, nyaris 2 bulan yang lalu. 
“Azk, ada satu tempat di Bumi Melayu yang bisa jadi menarik minatmu. Nama tempat itu Sahajaku. Sebuah kafe, dengan suasana yang nyaman. Kujamin kalau kau datang ke sana, kau akan ketagihan. Bahkan tempat itu cukup ramah bagi introvert seperti aku.”
Ke sanalah aku akan mengarahkan misiku. Ke kafe Sahajaku.
Karena pada dasarnya aku adalah orang yang pemalu dan kikuk, terutama dalam segala hal yang berbau cinta, aku menyadari dengan sepenuh hati bahwa aku tidak mungkin bisa mengajak Syifa makan berdua saja di Sahajaku. Jadi aku harus mencari pelengkap tim, mungkin empat orang adalah jumlah yang ideal. Semua disamarkan dengan saksama dalam sebuah misi agung:
TRAKTIRAN MAKAN MALAM
Orang yang pertama kuajak adalah Lia. Karena Lia adalah kran topik sesama wanita yang ampuh jika tiba-tiba aku kehilangan topik atau diserang gejala salting. Saat kusampaikan ajakanku, dia tersenyum simpul dan penuh arti. Semua itu berarti satu hal: Ciye Azka. 
Orang kedua yang kuajak adalah Nasri. Mengapa dia? Karena aku tidak bisa mengajak para pengacau dan biang keributan plus biang gosip semacam Aram dan Wahid. Bahkan rencana penembakan ini tidak boleh sampai bocor ke tangan mereka, meski satu huruf saja.
Di luar dugaanku, meyakinkan Nasri untuk acara kali ini, ternyata mudah sekali. “Aku ingin melihat bagaimana ujung dari petualanganmu ini Az.” 
Setelah Nasri mengangguk setuju, maka tinggal satu yang harus dilakukan, langkah paling penting dari semuanya, meyakinkan Syifa. Aku harus mengantisipasi segala kemungkinan dia akan menolak. Dia harus datang, itulah esensinya. Jadi dengan memberanikan diri, satu hari setelah pembagian raport, aku men-chatnya.
“Syif, mau ikut makan-makan gak?”
Dia membalas tidak lama kemudian, “eh makan-makan? Ada acara apa Az?”
“Anggap saja aku ingin membalas undangan kamu dahulu Syif. Sekalian santai setelah satu semester di Quart School. Ada Lia juga, jadi kamu ada teman. Gimana?”
“Boleh tuh Az,” (aku bersorak), “dimana Az?”
“Di Sahajaku. Sebuah kafe di pinggir kota. Nanti aku share lokasinya lewat Whatsapp. Gimana Syif?”
“Jam berapa Az?”
“Pukul delapan malam.”
“Eh malam Az?”
Aku merasa hatiku digenggam tangan yang dingin. “Kamu gak bisa Syif?”
“Sebenarnya begitu Az. Tapi karena kamu sudah sering sekali membantuku, aku akan memenuhi undangan kamu ini.”
Hatiku kembali bersorak. Rencanaku telah sempurna.
Seperti disepakati, kami semua bertemu kembali di Sahajaku, pukul delapan malam. Nasri datang lebih dulu. Dia acuh tak acuh, persis kelakuannya di kelas. Tak lama kemudian Lia juga datang, kedatangan demi kedatangan ini, lambat laun membuatku gugup. Belum apa-apa aku sudah terkena demam panggung.
Dalam bayanganku, coba mereka-reka kalimat yang cocok untuk mengungkapkan perasaanku pada Syifa.
Syif, aku menyukaimu. Jadilah pendampingku sampai hari tua nanti. Ah ini terlalu romantika dan mendramatisir.
Syif, sebenarnya aku suka denganmu. Terserah kamu mau suka ke aku atau tidak. Ah yang ini sama sekali tidak romantik. 
Lia jelas memperhatikan tingkahku. Dengan wajah tak berdosa, dia berucap, “kalau wajahmu seperti itu, Syifa tidak akan menerima cintamu Az.”
“Kamu tidak mengerti apa yang kurasakan sekarang,” sahutku sedikit kesal.
Lia terkekeh. 
Tidak lama setelah semua itu, sebuah mobil sedan merapat ke parkiran Sahajaku. Rasanya aku mengenal mobil itu. Aku pernah melihatnya baru-baru ini. Kepalaku bertanya-tanya. Atau ini hanya semacam gejala dimana aku berusaha mengalihkan pikiranku. 
Mobil sedan itu terbuka, dan keluarlah dari dalamnya seorang yang sejak tadi aku tunggu. Dia adalah Syifa. Dia datang dengan mobil yang sama dengan yang saat hari pembagian raport. Aku gemetar ketika dia mendekat. Kemudian berkeringat dingin. Kemudian terpana, kemudian terpesona. Alhasil demam panggungku kian parah, sampai di tingkat kemudian, BRUKKK
Aku terbangun dari mimpi yang indah dan mendebarkan itu, di hari pertama liburan di kamarku sendiri. Ternyata semuanya hanya mimpi.

Mozaik 43
Liburan Pengacau Segalanya


Baiklah kawan, aku tahu apa yang kualami di atas hanyalah mimpi, mimpi yang terlalu indah tepatnya. Tapi mimpi itu hanyalah buntut dari semua hal yang kupikirkan setelah hari pembagian raport semester 3 itu. Bisa kubilang, hari itu telah mengubah segalanya.
Pertama hari itu, aku menyadari bagaimana status keluarga Syifa yang sebenarnya. Lewat sebuah kegiatan yang terselubung, aku berhasil melengkapi informasi mengenai kekayaan keluarga gadis itu. Dia peranakan China yang kaya raya. Sebuah frasa yang membuat orang udik yang hidup pas-pasan seperti aku, gemetar kakinya.
Kedua, hari itu adalah hari permulaan liburan. Baru kutahu, kalau liburan bisa menjadi sangat mengganggu bagi orang yang sedang kasmaran. Aku jadi tidak bisa bertemu dan mencari celah mengobrol dengan Syifa. 
Yang ketiga, di hari yang sama, aku mendapat pukulan tak terduga di bidang akademis. Aku turun ranking ke peringkat ketiga. Itu sudah terhitung memalukan bagi karier akademis Azka yang jadi kebanggaan keluarga. 
Berhari-hari selama liburan ini kurenungkan ketiga hal itu. Terkadang aku renungkan di kamar, terkadang kurenungkan di pasar, terkadang kurenungkan di warung kopi Paman Asad, sambil melihat kelakuan orang-orang Melayu di kampungku.
Akhirnya setelah empat hari, aku memperoleh kesimpulan.
Yang pertama, aku tidak akan ambil pusing soal ranking itu. Setelah ditimbang-timbang, rasanya aku rela terdampar di luar sepuluh besar asal bisa menjalin hubungan yang lebih erat dengan Syifa. Hei untuk gadis bermata cemerlang itu, apa sih yang tidak akan kulakukan?
Yang kedua, untuk pendekatan terselubung ini, harus terus dilanjutkan. Biarlah sementara lewat chat saja dulu. Dan itu artinya, aku harus mencari topik lebih giat untuk mengobrol. Dan di sinilah letak blunder-ku.
“Syif?”
“Iya Az?”
“Lagi apa?”
“Duduk aja.”
“Oh gitu.”
“Iya Az.”
Dan chatku berakhir begitu saja. Dengan mengidentifikasi nama panggilan yang kami pakai, kalian pasti tahu, yang mana saja chat yang berasal dari Syifa. Aku tidak patah arang, mungkin di kesempatan pertama ini aku yang tidak pintar mengembagkan topik. Kucoba peruntunganku di kesempatan lain.
“Syif.”
“Iya Az.”
“Sudah Az, kalau kamu?”
“Sudah juga Syif.”
“Oh bagus deh.”
“Iya Syif.”
Lalu chatku kembali berakhir, dengan cara yang paling sadis. Ditinggalkan dengan centang biru tanpa balasan. Semua chat-chat itu membuatku bertanya-tanya, “keman Syifa yang suka tersenyum itu, kemana kebaikanku selama ini bermuara?” Pada akhirnya, aku menarik kesimpulan sendiri, kesimpulan yang getir. 
Dia menjauh, karena sadar Azka itu sangat membosankan.
Sekitar lima hari liburan ini berjalan, kabar baru datang kepadaku. Kabar yang akan jadi pemikiran keempatku selama liburan berjalan. Untuk sumber kabar aku tidak bisa mengatakannya sekarang, tapi yang jelas ini berasal dari lingkar pergaulanku. 
“Az, Syifa bakal mudik,” katanya.
“Mudik? Kemana?” aku membalas, bertanya.
“Ya ke kampung halamannya lah.”
Yang terpikirkan olehku saat itu, adalah ya sudah, memangnya apa salahnya kalau dia mudik ke kampung halamannya. Toh itu biasa saja untuk orang di perantauan. 
“Kamu mau tahu, mantannya, satu-satunya orang yang pernah dia terima cinta di hatinya, berada di kampung halamannya itu, kalau kamu mau tahu.”
Ekspresiku setelah membaca chat si pembawa kabar berita itu, persis seperti bangau ditinggal migrasi kawanannya. Aku harus segera memastikan kabar ini, karena kalau tidak, firasat-firasat buruk akan menghantui tidurku setelah ini.


Mozaik 44
Segala Hal yang Setengah-setengah akan Gagal...


“Syif.”
Seperti yang kukatakan, aku segera memastikan kabar yang dibawa oleh pembawa berita itu. Chat-ku langsung terbang ke angkasa, melakukan proses dan masuk ke dalam handphone Syifa. Langsung centang 2. 
Tidak lama kemudian dia membalas, sebagaimana kebiasaannya. “Iya Az.”
“Kamu mau mudik Syif?”
“Eh iya Az. Dari mana kamu tahu?”
“Aku mendengar kabar burung saja.”
“Ah dasar Azka, kamu selalu tahu setiap informasi, hehe.”
Aku sempat tersenyum. Tapi ultimatum dari pembawa berita tetap membayang di kepalaku. “Kemana mudiknya Syif?”
“Kampung halaman Mama Az, di Pontianak.”
Aku terperanjat. Pontianak bukan sesuatu yang main-main jauhnya. Aku juga mudik setiap tahun, tapi masih di satu provinsi yang sama. Tapi Pontianak? Itu perjalanan yang tidak bisa kubayangkan. 
“Naik apa Syif?” Aku bertanya lagi.
“Naik mobil Az. Kebetulan agen travel kenalan ayah menawari promo. Jadi kami terima.”
Aku menarik nafas lega, setidaknya aku tidak perlu mencemaskan keselamatannya. Selama agen travel itu profesional, dan bukan pengagum teori konspirasi.
“Titip oleh-oleh aja kalau begitu Syif.”
“Eh? Baiklah Az. Nanti aku carikan oleh-oleh yang akan membuatmu mengenang Pontianak seumur hidup. Hehe.”
Kemudian chat berhenti di situ. Syifa tidak lagi membalas chat terakhirku. Padahal aku ingin sekali berpesan satu lagi padanya, aku ingin katakan padanya, agar menjaga hatinya selama di kampung halamannya nanti.
Aku masih terbayang tentang potensi munculnya cerita balikan di kampung halamannya nanti. Aku tahu, Syifa adalah orang yang keras, seluruh kebaikan hatiku sampai sekarang masih belum cukup untuk membuatnya menganggapku lebih dari sekedar teman. Dia tidak akan semudah itu membuat cerita balikan.
Sebaliknya, aku juga sering mendapati cerita balikan yang membuatku geleng-geleng kepala. Selama petualanganku di dunia asmara telah banyak kulihat berbagai macam kisah. Salah satu temanku, malah balikan dua kali dengan orang yang sama. Bagaimana ini bisa terjadi? Kuanggap saja, pengaruh buruk pendidikan Indonesia. 
Lamat-lamat, rasa itu datang kawan. Serupa angin sore datang bertiup. Rasanya baru kemarin aku dan Syifa saling bertukar senyum, rasanya baru kemarin aku memberikan pujian padanya yang membuat dia tersipu. Kini dia akan pergi, mungkin tidak terlalu lama, tapi entah kenapa aku merasa cerita ingin memisahkan kami selamanya.
Lamat-lamat, aku menyadari aku harus mengambil tindakan. Sebuah tindakan nekat. Dan sebagaimana orang yang akan melakukan tindakan nekat, aku berkonsultasi dengan Lia. Dia langsung menyemprotku dengan kalimat lugas.
“Pikiran kamu itu sangat berlebihan Az. Dia aja tidak pernah tahu bahwa kamu menyukainya.”
“Tapi aku sering membantunya, tidak-kah itu cukup menjadi kode.”
“Az, kami para wanita dilahirkan untuk menciptakan kode, bukan membaca kode.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Buat dia tahu Az, ungkapkan perasaanmu. Tuntaskan semuanya.” Lia berujar, dan aku menurutinya. Sekitar empat hari sejak Syifa berangkat, aku men-chatnya. Aku akan mengungkapkan semua perasaanku ini, dengan pesan-pesan berantai yang akan terbang sejauh lebih dari seribu kilometer. Untuk menambah kesan dramatis, aku akan jabarkan prosesnya dengan format drama, dengan chat-chat dariku selalu bercetak miring.
“Syif,”
“Iya Az?”
“Boleh nanya gak? Kalau kamu tidak sibuk.”
“Gak kok, aku tidak sibuk. Tanya aja.”
“Tapi ini agak sensitif,”
“Iya Az. Ada apa nih, aku jadi penasaran.”
“Menurutmu, sifat aku ke kamu bagaimana sih?”
“Kamu itu baik, teramat baik kepadaku Az. Mungkin begitulah ciri khasmu.”
“Tapi kata sebagian besar temanku, aku bertingkah sebagai seorang yang spesial di hadapan kamu, Syif.”
“Mungkin itu karena pembawaan kamu yang spesial Az.”
“Tapi itu beneran sih Syif.”
“Apa yang beneran Az?”
“Aku suka sama kamu.”
Hening sejenak…
“Ya Tuhan Az, kamu ini. Tahu gak, aku tuh biasanya malu kalau ketemu orang yang suka denganku. Bisa salah ngomong atau gimana.”
“Tapi itulah kenyataan perasaanku, Syif.”
“Iya Az, aku hargai kok.”
Begitu saja, begitu singkat, begitu cepat. Chat aku vakum di sana. Tanganku tidak bisa lagi merangkai huruf. Aku merasa kosong. Seakan sesuatu telah diambil dari diriku. Tapi cerita belum berakhir, kawan.

Bersambung>>>>
(8 chapter tersisa)

Bagian terakhir diselesaikan pada
Kamis, 29 Oktober 2020
Pukul 21:12
WITA

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Novel Gratis
Selanjutnya [Free Draft] Mendaki Bukit Tiga Cerita (Untold Story of Humadi Azka 2)
0
0
Ini adalah semester terakhir di Quart School. Sebuah titik yang sangat spesial bagi Azka, sebab dia dikepung banyak hal. Mulai dari Syifa yang sampai sekarang masih bersarang di hatinya, Dahlia Anggraini dan persahabatannya, Icha Aprilianty yang datang dari masa lalunya, Mawar Alvera dan pesonanya, dan Shiela dengan kejeniusannya. Terdengar rumit, namun tidak.  Di sini, di Quart School, semua tampak begitu memikat. Sekolah terbaik itu sedang ada dalam pergantian suksesor. Seorang guru terbaik, Ibu Qotrun Nada datang untuk memperbaiki situasi. Apa saja yang akan dilakukan ibu guru muda itu? Apa usahanya untuk memulihkan empat acara besar? Ataukah beliau juga punya cara untuk memulihkan hubungan Azka dan Syifa?Buku ini adalah buku kedua dari total empat buah buku yang mengisahkan tentang Humadi Azka.  Temukan kisah Humadi Azka, di buku-buku lainnya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan