
“Jarak itu bikin hati kita makin deket, tahu, Run.”
Kata-kata gombal yang sering diucapkan Kalino pada Seruni terasa lebih dalam maknanya ketika mereka tiba-tiba mengalami kecelakaan di bawah naungan bulan merah. Saat Seruni terbangun dari koma, ia mendapati dirinya berada di masa kejayaan Kerajaan Majapahit (667 tahun mundur dari masa kini!), dikelilingi orang-orang berpakaian aneh yang mengaku sebagai sahabat-sahabatnya. Seolah Takdir sengaja ingin membuat kepalanya terus berdenyut, di kehidupannya...
“Dia datang.”
Pria berambut panjang yang bernama Surya Daluh itu mendesis dengan suara serak. Ia duduk bersila di selasar Balai Prajurit yang masih lengang, kedua tangannya bertaut erat di pangkuan. Mata kanannya tertutup kain hitam, sementara mata kirinya terpejam rapat. Orang yang tidak tahu pasti mengira ia sedang bermeditasi atau tidur, tapi dua rekan yang duduk di kanan-kirinya sudah hafal betul apa yang sedang terjadi.
“Siapa yang datang?”
Jagad Tirtha Narapati—yang sedang merapikan kain biru tua yang melilit bagian atas dada hingga bahunya—langsung duduk tegak. Weling Jagacandra yang bertubuh kekar juga mendekat. Ia berusaha keras membaca raut wajah Surya Daluh yang sibuk menangkap bayang-bayang yang menari di benaknya. Apakah pertanda buruk yang dilihatnya? Atau cahaya terang yang membawa harapan?
“Sebentar lagi dia datang,” desis Surya Daluh lagi. Kali ini lebih pelan, seolah tidak ingin ada orang lain yang mendengar.
“Kau sudah mengulangnya dua kali,” potong Jagad Tirtha tak sabar. “Siapa yang kaumaksud—“
“Kakang Weling!” Surya Daluh tiba-tiba membuka mata dan langsung menoleh pada rekannya yang lebih tua. “Bisakah kau mengirim kabar pada Kakang Sagara? Sekarang juga?”
“Ada apa?” Weling Jagacandra langsung waspada.
“Bulan merah.”
“Apa yang kau bicarakan—“
“Akan ada yang datang malam ini, saat bulan merah menyala tepat di atas kepala. Dan Kakang Sagara harus menyambutnya… tidak, Kakang Sagara harus menolongnya. Dia akan butuh pertolongan.”
“Dia ini siapa? Siapa yang akan datang?” potong Jagad Tirtha frustrasi.
“Kau akan tahu sebentar lagi,” jawab Surya Daluh.
“Aku bisa mengirim pesan pada Kakang Sagara sekarang juga,” cetus Weling Jagacandra. “Tapi perjalanan dari Benalu kembali ke Wilwatikta memerlukan waktu beberapa hari.”
“Tidak masalah. Kami bisa mengurusnya sampai Kakang Sagara datang,” sahut Surya Daluh sambil bangkit berdiri.
“Kami? Siapa?” Jagad Tirtha mengangkat alisnya, curiga.
“Kau dan aku. Juga Yasa, Harsa, dan Hara.”
“Kenapa aku harus ikut-ikut? Siapa yang mau diurus saja aku tidak tahu—“
“Sudah, jangan rewel begitu. Kita harus cepat.”
Surya Daluh, diikuti Jagad Tirtha yang masih menggerutu, sudah melewati gerbang Balai Prajurit ketika Weling Jagacandra tiba-tiba bertanya lagi.
“Apa dia yang datang ini akan membawa petaka?”
Kali ini suara Weling Jagacandra tak hanya sarat kewaspadaan, tapi juga sedikit ketakutan. Rasa yang biasanya tak pernah ditunjukkan prajurit yang sangar itu. Namun, tak disangka-sangka, Surya Daluh malah melepaskan senyumnya yang secerah mentari di malam hari.
“Petaka atau bukan, semua tergantung bagaimana caramu mengartikannya.”
Hanya satu kalimat itu yang keluar dari bibir Surya Daluh, sebelum akhirnya ia berbalik pergi. Rambut panjangnya berkibar seperti sayap saat ia melesat cepat ke satu tujuan, berkejaran dengan gerhana yang melahap bulan di langit Wilwatikta dan meleburkan jarak antar dua dunia.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
