
Kalut. Hanya itu yang dirasakan Seruni saat ini. Ia terus berteriak memanggil nama Kalino, tapi suaranya terkubur bunyi genderang dan terompet yang dimainkan bersahut-sahutan oleh para musisi. Tanpa berpikir panjang, Seruni meninggalkan Hara Tishta dan merangsek ke depan.
***
Disclaimer: cerita ini adalah karya fiksi yang dibuat berdasarkan peristiwa bersejarah. Beberapa nama diambil dari figur asli, tapi dengan penokohan dan detail cerita yang merupakan karangan penulis. Keterangan tentang fakta sejarah yang dimuat dalam cerita ini akan ditulis dalam catatan kaki. Selamat membaca!
[10] Kisah Kalingga
Kalut. Hanya itu yang dirasakan Seruni saat ini. Ia terus berteriak memanggil nama Kalino, tapi suaranya terkubur bunyi genderang dan terompet yang dimainkan bersahut-sahutan oleh para musisi. Tanpa berpikir panjang, Seruni meninggalkan Hara Tishta dan merangsek ke depan. Meski bahu dan sikunya harus beradu dengan orang-orang di sekitar, meski ia harus menerima gerutuan marah dari sana sini, tapi Seruni terus menuju kompleks istana Maharaja tempat parade itu berakhir. Dia harus melihat Kalino lagi. Tidak. Kalino lah yang harus melihatnya. Pria itu harus tahu kalau Seruni ada di sini.
Seruni sudah hampir mencapai gerbang istana, hanya sedikit lagi tiba di tujuan, ketika mendadak dua penjaga bersenjata menghadangnya.
“Hanya para bangsawan dan prajurit yang boleh masuk,” ujar salah satu dari mereka.
Namun Seruni tak kehabisan ide. “Aku datang bersama rombongan Tuan Putri Dyah Niranjana dari Istana Timur,” cetusnya.
Kedua penjaga itu saling lirik, tampak tidak percaya, tapi akhirnya yang bertubuh gempal menghampiri biyung emban yang bersimpuh di samping Dyah Nira untuk bertanya. Emban itu sepertinya mengenali wajah Seruni. Ia berbisik-bisik pada Dyah Nira yang langsung menoleh ke luar gerbang. Seruni menggunakan kesempatan itu untuk memberi kode lewat lambaian dan detik berikutnya ia pun diizinkan masuk.
Kompleks Istana Wilwatikta yang megah itu rupanya terdiri dari beberapa balai. Sebagai pusatnya adalah Balai Agung Manguntur dengan Balai Witana atau singgasana di tengah-tengahnya, yang menghadap ke padang watangan[1]yang meluas ke empat penjuru mata angin. Semua balai memiliki tiang yang kokoh dan indah tiada tercela. Namun Seruni sudah tidak sempat lagi memperhatikan kemewahan istana. Ia melangkah tergesa ke tempat duduk Dyah Nira dengan mata tertuju pada barisan Bhayangkara.
“Ada apa, Seruni? Mengapa penjaga itu menangkapmu?” tanya Dyah Nira. Matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus.
“Bukan menangkap, hanya ada sedikit kesalahpahaman,” jawab Seruni. “Paman Mada menyuruhku masuk dan menonton dari dekat, tapi para penjaga itu tidak percaya. Akhirnya aku terpaksa menyebut namamu. Maafkan aku.” Bohong besar. Sangat beresiko. Namun Seruni tak punya pilihan lain.
“Tidak masalah. Kau bisa duduk di sini.” Dyah Nira menepuk tempat duduk berlapis kain mengkilap di sampingnya. Mungkin saja sebenarnya tempat duduk itu hanya boleh diduduki oleh anggota keluarga kerajaan, tapi rasanya Seruni sudah tidak peduli lagi. Ia hanya fokus pada barisan prajurit dan Bhayangkara yang semakin dekat. Jantungnya berdentum menyakitkan dan tubuhnya mulai gemetar, tapi Seruni berusaha untuk tetap menegakkan punggung.
Delapan meter dari tempat duduknya, Seruni bisa melihat Sagara Aji sudah turun dari kudanya lalu berderap maju ke arah Balai Witana tempat singgasana raja berada. Sagara Aji dan Weling Jagacandra menghaturkan sembah dan ucapan selamat kepada Maharaja Sri Rājasanagara, kemudian mundur untuk memberi tempat bagi rekan-rekannya yang lain. Mata Seruni terus mengikuti langkah Sagara Aji. Ketika hampir mencapai bagian belakang barisan, pria itu mendadak berhenti dan tersenyum pada sosok Kalino. Mereka bertukar sapa selama beberapa detik, sebelum Kalino harus maju agar tidak ketinggalan barisan.
“Tampan sekali, kekasihmu itu,” goda Dyah Nira sambil menyikut lengan Seruni. “Dengan penampilan yang memesona dan kecakapan yang dimilikinya, aku yakin Sagara Aji akan memangku jabatan tinggi suatu hari nanti.”
Kekasih? Sagara Aji? Seruni menatap Dyah Nira seolah ia sudah gila.
“Untung saja aku sudah menemukan pria yang kucintai. Kalau tidak, mungkin sekarang kita sudah berebut,” ujar Dyah Nira sambil tertawa genit.
Namun Seruni tak bisa menanggapi. Bahkan untuk melepaskan ‘senyum template sosialita’ saja ia tidak sanggup. Firasatnya tidak enak saat pertanyaan itu lolos dari bibirnya, “Siapa?”
“Berebut Sagara Aji, tentu saja.”
“Maksudku, siapa pria yang kaucintai itu?”
“Oh, aku kadang lupa kalau kau hilang ingatan,” keluh Dyah Nira. Ia lalu menunjuk ke barisan belakang, tepat ke arah sosok Bhayangkara yang sejak tadi dikejar-kejar Seruni. “Namanya Kalingga, putra angkat Laksamana Nala. Dia baru kembali dari Benalu dan mulai sekarang akan menetap di ibukota.”
Sekali lagi, dalam kurun waktu yang berdekatan, Seruni mendapati hatinya jatuh ke tanah. Tangannya gemetaran saat mendengar apa yang diucapkan Dyah Nira selanjutnya.
“Ayah dan ibuku sudah setuju, jadi kami hanya tinggal menunggu restu dari Maharaja untuk melangsungkan pernikahan.,” tukas Dyah Nira. Ia tersenyum senang sambil terus menatap pria pujaan hatinya, sama sekali tidak memperhatikan perubahan ekspresi wajah Seruni yang kini hatinya sudah jatuh berserakan.
“Tidak mungkin.” Kata-kata itu meluncur dari bibir Seruni tanpa sempat dicegah.
“Apanya yang tidak mungkin?” Dyah Nira mengernyit bingung, tapi tetap meneruskan ocehannya. “Kita sudah pernah membicarakan soal rencana pernikahanku. Kau bahkan sudah memilihkan warna kain yang akan kupakai.”
Seolah satu sambaran petir belum cukup, Dyah Nira menghantamnya sekali lagi.
“Kau tidak mungkin memintaku untuk menenun kain yang akan kaukenakan di hari pernikahan.”
“Kainnya sudah ada. Sutra terbaik dari Tiongkok, hadiah dari Maharaja. Tapi tentu saja aku akan memintamu menyulam motif yang indah. Mungkin bunga wijaya kusuma lagi, atau anggrek—”
“Aku tidak bisa.” Seruni mendesis ngeri.
“Mengapa tidak bisa? Hasil sulamanmu sangat indah, Seruni,” sahut Dyah Nira. “Lagipula bukankah kau sudah berjanji akan membantuku tampil cantik di hari pernikahanku?”
Seruni menggeleng, tapi tak sanggup berkata-kata lagi. Matanya menatap nanar ke arah Kalino yang sama sekali belum menyadari keberadaannya. Pria itu masih berada dalam barisan bersama rekan-rekan Bhayangkaranya yang lain, selagi para penari memenuhi bagian tengah padang watangan dengan lenggok tubuh mereka yang gemulai. Entah berapa lama Seruni bertahan di tempat duduknya, nyaris tak bergerak, rasanya bernapas pun sulit, hingga akhirnya Maharaja bangkit dari singgasana, diikuti keluarga kerajaan, para bangsawan, pendeta, pujangga, Mahapatih, Dewan Menteri dan pejabat lainnya.
Para ksatria adalah pasukan terakhir yang membubarkan diri dan Seruni pun langsung berlari, sama sekali tak memedulikan kain dan selendangnya yang berantakan. Ia berputar-putar di antara puluhan Bhayangkara, dua kali salah mengenali orang, tiga kali menabrak dan satu kali ditabrak hingga nyaris jatuh, tapi tetap tak bisa menemukan Kalino.
Akhirnya Seruni pun memutuskan untuk keluar dari kompleks istana, menjauh dari keramaian dan orang-orang yang sedang berpesta. Otaknya berputar cepat. Jika Kalino diadopsi menjadi anak angkat Laksamana Nala, berarti cepat atau lambat dia pasti akan pulang ke rumah sang Laksamana. Rumah Sagara Aji. Seruni sudah tahu persisnya di mana rumah itu, jadi ke sana lah sekarang kakinya melangkah. Namun, sebelum ia mencapai jalan yang mengarah ke tujuan, mendadak ada sosok yang melompat dengan lincah dari atas pohon di sisi kanannya.
Seruni memekik kaget saat Yasa Negamesi mendarat di depannya sambil menyunggingkan senyum yang sulit diartikan.
“Kakang Daluh bilang Mbakyu pasti akan melintas di jalan ini,” ujar Bhayangkara muda itu, sementara Seruni menanggapi dengan sikap defensif.
“Lalu kenapa?”
“Aku diminta memberi tahu Mbakyu kalau orang yang Mbakyu cari tidak ada di rumah Laksamana.”
Seruni meraung frustrasi. “Surya Daluh itu memang tidak masuk akal.”
“Aku juga akan berpikir begitu, kalau saja Kakang Kalingga belum menceritakan masa lalunya kepadaku. Atau harus kubilang masa depan?”
Kalimat terakhir Yasa Negamesi langsung membuat Seruni bungkam. Matanya terbelalak lebar. Ternyata selama ini ia bertanya pada orang yang salah. Surya Daluh mungkin baru mendapatkan penglihatan tentang Seruni dan Kalino belakangan ini. Tidak seperti Yasa Negamesi yang sudah lama memendam pengetahuannya tentang kisah mereka.
“Mengapa kau selama ini diam saja?” Seruni rasanya ingin mencekik pria itu, seperti yang dilakukannya pada Surya Daluh di pelabuhan, tapi tubuhnya membeku karena shock. “Aku mencarinya ke mana-mana seperti orang kesetanan, dan kau hanya menonton saja?”
“Maafkan aku, Mbakyu. Aku merasa tidak punya hak untuk bicara.” Yasa Negamesi menundukkan kepalanya. “Sebelum Kakang Kalingga bertugas ke Benalu pun ia berpesan padaku untuk bungkam.”
“Oh, Tuhan…” Seruni rasanya ingin menjatuhkan diri ke tanah dan menangis sejadi-jadinya, tapi ia harus bergerak. Ia harus bertemu Kalino sekarang juga. “Bawa aku padanya, Yasa. Kumohon.”
Bhayangkara muda itu mengangguk, lalu memimpin jalan dalam diam. Mereka menjauh dari pemukiman dan melewati area pepohonan yang semakin rapat, menuju jalanan yang sangat dikenal Seruni dan dilewatinya setiap hari selama tiga bulan terakhir. Kadang sendiri, kadang bersama Cithra, Menur, atau Ratri, dan belakangan ini sering bersama Sagara Aji.
“Mengapa kita menuju ke pertirtaan? Atau ke butik?” tanya Seruni.
“Karena dia ada di sana. Di jurang landai.” Yasa Negamesi menunjuk ke satu titik, hanya sepuluh meter dari tempat mereka berdiri.
Seruni merasa matanya panas saat akhirnya menangkap sosok Kalino, duduk membelakangi Seruni di bawah pohon besar, persis di tepi jurang landai. Hanya punggungnya yang telanjang yang terlihat dari sini, tapi pertahanan Seruni langsung runtuh seketika. Ia menggumamkan terima kasih tanpa suara pada Yasa Negamesi, lalu melangkah terseok-seok ke arah Kalino.
Pria itu tampaknya sedang memejamkan mata sambil menikmati semilir angin, sama sekali tak menyadari kehadiran Seruni, hingga akhirnya ia membuka mulut dan bertanya dalam bahasa Indonesia dengan suaranya yang pecah oleh tangis.
“Sekarang kamu masih mau kita putus, Kal?”
***
Saat kecelakaan itu terjadi, hal terakhir yang dilihat Kalino adalah wajah Seruni yang bersimbah darah dan air mata. Ia bisa mendengar Seruni memanggil-manggil namanya, tapi tubuhnya tidak sanggup merespon. Dalam hitungan detik pandangannya berubah gelap, dan ketika terbangun, Kalino mendadak sudah berada di Wilwatikta pada tahun kedua[2]masa pemerintahan Maharaja Sri Rājasanagara, dikelilingi tujuh pemuda yang mengaku sebagai sahabatnya dan memanggilnya dengan nama Kalingga.
Anehnya, ada bagian dari dirinya yang juga merasa mengenal mereka semua. Wajah dan nama mereka terasa familier dalam ingatannya. Genta Sagara Aji, Weling Jagacandra, Harsawijaya, Jagad Tirtha Narapati, Surya Daluh, Mahesa Geni, dan yang termuda, Yasa Negamesi. Dua hari lagi Yasa Negamesi akan berulang tahun ke-16 dan mereka berniat merayakannya di air terjun Coban Canggu yang selalu menjadi tempat favorit mereka.
Namun bagaimana Kalino bisa memiliki pengetahuan itu di kepalanya? Ia sama sekali tidak tahu. Selama beberapa hari setelah terbangun dari kecelakaan di jurang landai, Kalino menolak bicara dengan siapa pun. Kepalanya seperti mau pecah, pikirannya kacau karena rupanya ia menyimpan memori dari dua kehidupan yang berbeda: sebagai Kalino Risang Manggala di Indonesia tahun 2023 dan sebagai Kalingga di Wilwatikta. Perlu waktu lama baginya untuk akhirnya memahami bahwa keduanya nyata. Keduanya adalah tubuhnya, namanya. Entah sihir apa yang melempar Kalino ke Wiklwatikta, tapi ia pernah—dan sedang—menjalani dua kehidupan itu.
Ketika akhirnya Kalino memutuskan untuk bangkit, yang pertama kali dilakukannya adalah mencari Seruni. Ternyata Seruni Anshankara benar-benar ada di Wilwatikta, tapi wanita itu sama sekali tidak mengenal nama Kalino Risang Manggala, tidak tahu apa-apa tentang Indonesia, dan justru mengira Kalino sedang bercanda saat mengatakan kalau ia berasal dari tahun 2023. Seruni hanya mengenalnya sebagai Bhayangkara bernama Kalingga yang merupakan anak angkat dari Laksamana Lembu Nala dan bersahabat karib dengan Sagara Aji. Tidak lebih.
“Maafin aku, Run. Aku nyesel banget karena terakhir kali kita ketemu justru malah berantem dan hampir putus,” ujar Kalino setelah ia memeluk Seruni lama sekali. “Aku pikir kamu nggak bakal inget sama aku lagi.”
“Aku inget kamu, Kal. Aku nyariin kamu. Aku nyariin kamu kaya orang gila.”
“Tapi kita sampai di Wilwatikta di tahun yang berbeda, Run. Tiga tahun lalu, Seruni yang aku temui sama sekali nggak kenal siapa Kalino.”
Seruni merasa ini semua tidak masuk akal, tapi ia masih mencoba menarik mengaduk otaknya untuk mendapat penjelasan. “Seruni versi Wilwatikta baru kecelakaan sekitar tiga bulan lalu. Sementara kamu, maksudku Kalingga, kecelakaan tiga tahun lalu. Jadi selama tiga tahun kamu di Wilwatikta, aku nggak inget apa-apa? Gitu?”
Kalino mengangguk. “Aku bener-bener nggak tahan sama situasi itu, Run. Aku nggak bisa lihat kamu di depan mata tapi sama sekali nggak inget sama aku, sama hubungan kita.”
“Jadi, akhirnya kamu milih untuk ikut rombongan Bhayangkara ke Benalu?” tanya Seruni dan Kalino pun mengangguk lagi.
Tangannya bergerak lagi untuk memeluk Seruni erat-erat, seolah wanita itu akan hilang jika ia berani melepasnya. Seruni menyandarkan dagunya di bahu Kalino, jari-jarinya menelusuri bekas luka yang teraba di sana-sini, yang menjadi bukti betapa kerasnya hidup yang dijalani Kalino selama tiga tahun terakhir.
“Terus selama tiga tahun di Benalu kamu ngapain aja, Kal?” gumam Seruni.
“Kamu pernah kebayang nggak, apa yang terjadi kalau satu kerajaan mau menaklukkan kerajaan lain?” Kalino balas bertanya.
“Sagara Aji pernah bilang, setiap ekspedisi yang tujuannya menaklukkan suatu wilayah udah pasti berakhir dengan perang,” jawab Seruni.
“Ya, persis begitu.” Kalino menghela napas berat. “Udah nggak kehitung lagi berapa korban yang jatuh, baik dari pihak kita maupun dari pihak lawan, sampai akhirnya Kerajaan Benalu bener-bener kalah.”
“Kamu ikut perang juga?”
“Kalingga ternyata punya kedudukan yang cukup penting di antara Bhayangkara yang lain, semacam komandan pasukan yang membawahi lebih dari 30 prajurit. Jadi, mau nggak mau harus ikut maju.”
“Emang kamu bisa?” Seruni terbelalak ngeri, tapi Kalino malah tersenyum.
“Wah, menghina banget ya!” Pria itu jelas berusaha meringankan fakta yang mungkin terlalu mengerikan untuk didengar Seruni, tapi sorot matanya tetap saja berkhianat. Bagi seseorang yang membunuh hewan saja nyaris tidak pernah, Seruni tidak bisa membayangkan gejolak seperti apa yang dirasakan Kalino saat harus menebas leher musuhnya di medan perang.
“Aku tahu kamu dari dulu suka boxing, tapi kan itu olahraga, Kal. Kalau di sini berantemnya beneran,” ujar Seruni. “Aku udah pernah lihat Sagara Aji nangkep pemberontak gitu, beneran pake pedang yang bisa nyabet kepala orang.”
“Untungnya Kalingga lumayan jago berantem,” sahut Kalino.
“Oh, jago memanah juga ya?” Seruni mendadak teringat cerita Sagara Aji tentang Kalingga yang pandai memanah rusa-rusa gemuk.
“Memanah memang keahliannya Kalingga, tapi semua Bhayangkara di sini dilatih untuk bisa menguasai semua senjata. Dari jarum beracun, cundrik, pedang, panah, tombak, sampai senjata berbahan peledak.”
Seruni menatap mata Kalino, seolah menunggu dia tertawa dan mengatakan kalau semua ini hanya lelucon. Namun wajah pria itu sangat serius dan bekas-bekas luka di dada dan punggungnya yang telanjang juga mendukung seluruh ceritanya.
“Jadi, ini semua bukan mimpi, Kal?”
“Sayangnya bukan, Run,” desah Kalino sembari menatap mata Seruni lekat-lekat. “Mungkin ini kehidupan kita yang sebelumnya, atau mungkin kita kena kutukan atau azab sampai bisa kelempar ke sini. Tapi yang jelas bukan mimpi. Ini semua nyata senyata-nyatanya.”
“Berarti Seruni sama Kalino yang ada di tahun 2023 udah meninggal?”
“Meninggal, mati suri atau pingsan, aku nggak tahu. Sejak sampai di Wilwatikta, aku udah nyerah cari penjelasan yang masuk akal. Yang aku lakuin cuma bertahan hidup, bertahan biar tetep waras di situasi yang gila ini.”
Seruni terdiam, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Kalino. Rasanya ia ingin selamanya bertahan di posisi ini. Namun sebelum terhanyut lebih jauh, Seruni merasa perlu memastikan sesuatu.
“Kita nggak jadi putus, kan, Kal?” tanya Seruni.
“Nggak.” Kalino menggeleng kuat-kuat. “Aku nggak akan pernah mau putus sama kamu. Walaupun kamunya yang udah bosen, udah muak, aku tetep bakalan nempelin kamu terus kaya parasit.”
“Analoginya parasit banget, ya.” Seruni akhirnya tertawa. “Aku nggak bakal bosen sama kamu, Kalino.” Ia mengalungkan lengannya ke leher pria itu, lalu mengecup ujung hidungnya yang mancung.
“Kok cuma hidungnya aja yang dapet cium?” protes Kalino.
“Ini kita lagi di Wilwatikta, Kal, abad ke-14. Pacarannya harus sopan, nggak boleh cium-ciuman sembarangan,” tukas Seruni. “Kalau ada yang lihat bisa-bisa kita langsung dinikahin sekarang juga.”
“Bodo amat!” Kalino melepaskan senyum miring yang paling disukai Seruni, sebelum akhirnya mengecup bibir wanita itu lama sekali, seolah satu ciuman dapat menebus tiga tahun yang terlewatkan.
[1] Halaman yang amat luas berbentuk segi empat. Watangan yang terletak di dalam kompleks istana biasanya merupakan tempat raja menerima tamu-tamunya, sedangkan yang berada di luar istana berfungsi seperti alun-alun untuk rakyat
[2] Hayam Wuruk naik takhta tahun 1351. Kalino terbangun di Wilwatikta pada tahun 1353.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
