
Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tidak diinginkan dan terjadi tanpa kalimat perpisahan itu membuat keduanya tertarik untuk memulai lagi kisah lama. Meskipun pada saat itu, Arsen sudah merencanakan pertunangan dengan Moza, sahabatnya dari kecil demi tercapainya ambisi kedua keluarga mereka.
Meski Moza tidak menghalangi hubungan keduanya, Arsen dan Mia tetap tidak dapat dengan leluasa menjalin hubungan. Lalu bagaimana jika suatu...
BAB 6
Usai pembicaraan dengan Moza berakhir, Arsen melahap habis potongan croissant di piringnya lalu meneguk sisa latte-nya yang sudah dingin.
Sial! Bahkan sampai pesanannya habis tak bersisa, Mia belum juga kelihatan. Ia pun menutup tab beserta wireless keyboard-nya. Cuti jelas merupakan basa-basi baginya yang menduduki posisi marketing di salah satu perusahaan farmasi yang berkantor pusat di Amerika.
Rentetan email dan telepon dari kantor pusat, cabang, mau pun rekanan bisnis masih menerornya. Meski selalu diawali dengan kata "sorry" karena telah mengganggu cutinya, tetap saja tidak mengurangi volume issue yang harus ditanggapinya.
Mata Arsen mengamati sekitar. Orang-orang sedang menikmati kopi sembari bercengkrama dengan teman atau kolega mereka. Arsen mendesah pelan.
Bodoh, pikirnya. Kedai ini bahkan bisa berjalan baik tanpa si pemilik harus bertandang ke sini setiap hari. Namun, lagi-lagi Arsen tidak tahu cara apalagi yang harus ditempuhnya untuk bertemu dengan Mia. Menghubungi nomor manajer Mia yang tertera di bio instagram gadis itu? Memangnya Arsen mau jadi klien? Atau ..., Arsen harus mempertimbangkan pilihan itu sekarang?
Jangan norak, Sen! Gini aja lo udah nyaris kayak stalker Mia. Jangan sampai lo dilaporin karena perbuatan tidak menyenangkan.
Arsen berdecak. Heran dengan dirinya sendiri yang mendadak sempat memikirkan hal-hal manusiawi seperti ini. Biasanya, otaknya dipenuhi target dan pencapaian. Hidupnya selalu lurus. Karena itu, mendadak normal dan ribut soal perasaan seperti ABG, agaknya membuatnya merasa konyol.
Dan dari semua kekonyolan ini, yang paling konyol adalah gagasan bahwa ia masih ingin bertemu Mia.
Untuk apa? Duduk manis mengobrol soal perpisahan mereka sepuluh tahun lalu? Yang mungkin oleh Mia dianggap sebagai putusnya cinta monyet biasa? Atau memastikan perasaannya terhadap Mia sebelum ia benar-benar menjalani pernikahan dengan Moza?
Lama bergulat dengan pikirannya, Arsen memutuskan untuk beranjak dari tempat itu. Ia bejalan keluar menuju Range Rovernya yang terparkir tak jauh dari kedai.
Tepat saat memasuki mobil, nada dering ponselnya menyeruak. Dilihatnya nama yang tertera di sana, kemudian mengangkatnya.
"Halo, Ren?" sapa Arsen pada adiknya.
Terdengar isakan dari ujung sana. Arsen yang semula bersiap menyalakan mesin, menghentikan kegiatannya.
"Kamu kenapa?" tanya Arsen.
"Kak Enand. Dari semalem nggak bisa dihubungi," ujar Irene tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir dan suara sesenggukan.
Arsen menggertakkan gigi. "Kenapa lagi tuh anak?"
****
Mia memotret air mancur mewah yang menyegarkan suasana lobi hotel, lalu memperbarui story-nya. Tak lupa juga ia menambahkan titik lokasi. Sekitar sepuluh menit berlalu sejak ia tiba dan diminta menunggu terlebih dulu. Di sampingnya, Tonny tengah merapikan rambutnya yang baru saja di-blow. Mia tersenyum melihat aksi manajernya itu. Yang akan dipotret adalah dirinya, tapi sejak tadi, yang heboh mempersiapkan penampilan justru Tonny.
Dengar-dengar, jadwal pemotretan Mia bersinggungan dengan jadwal Finn, model cowok yang cukup manis dan seksi. Sayang sekali Mia tidak dipasangkan dengan cowok itu, keluh Tonny sejak mereka menerima job ini. Padahal, tema pemotretan Mia kali ini adalah untuk series baju tidur paket honeymoon. Namun alih-alih bersanding dengan pria, Mia justru hanya akan melakukan pose solo di kamar suite yang didesain layaknya kamar pengantin.
Meski begitu, Tonny, cowok kemayu itu masih bersikukuh untuk menampilkan sosok dirinya yang terbaik.
"Paling nggak, gue nggak berantakan pas kita papasan nanti, Dear," kata Tonny yang kini sudah memasukkan cermin ke dalam tasnya.
Tak lama kemudian, seorang cowok bertubuh pendek menghampiri mereka. Kehadirannya membuat Mia dan Tonny bangkit dari sofa.
"Sorry agak lama. Bisa langsung mulai sekarang?" tanya cowok bernama Agam itu, setelah menjabat tangan Mia dan Tonny
Senyum Mia dan Tonny mengembang, kemudian keduanya mengangguk hampir bersamaan. Mereka bertiga akhirnya menuju kamar 118 yang terletak di lantai empat. Saat keluar lift, Tonny tidak bisa menyembunyikan senyum kikuknya ketika mendapati Finn berdiri menunggu lift terbuka dan terlihat mengibaskan rambutnya.
"Gue cabut dulu, ya?" sapa Finn terhadap Agam.
"Oke. Thank's Finn," balas Agam sambil menepuk bahu Finn yang kala itu hanya mengenakan kaos tanpa lengan.
Finn tersenyum, yang selain ditujukan untuk Agam, juga ditujukan untuk Mia dan Tonny yang saat itu keluar dari lift.
"Tuh kan apa gue bilang, kita pasti papasan sama doi!" bisik Tonny sambil menyikut Mia.
"Papasan doang. Nggak ada efek ser-ser-annya sih kalo buat gue," celetuk Mia.
Akhirnya, keduanya memasuki ruangan. Nuansa romantis dan sedikit sensual langsung terasa ketika menatap property ruangan. Kamera, tripot, lighting, dan tim sudah siap. Tonny segera membedah kopernya dan memberikan setelan pertama yang akan dikenakan Mia. Usai Mia bersiap, pemotretan itu pun dimulai.
****
"Oke, satu lagi. Agak ke kiri ..., done!" seru Rian, si fotografer setelah Mia menyelesaikan pose terakhir sesuai arahannya.
Cowok itu memeriksa jepretannya dengan saksama lalu menunjukkannya kepada Mia dan Agam. Setelah oke, ia mematikan kamera beserta lighting.
"Gue edit dulu kayak biasa. Besok gue kirim," kata Rian seraya memasukkan kamera ke dalam tas.
"Oke. Thank you buat hari ini," ujar Agam kepada Rian juga Mia.
Dalam waktu sekejap, peralatan pemotretan telah rapi dan siap untuk diangkut. Tangan Rian dan asistennya membereskan semuanya dengan gerakan taktis.
"Gue langsung aja, ya." Rian mengalungkan tas kamera di lehernya. "See you next project," katanya sebelum akhirnya meninggalkan ruangan lebih dulu bersama asistennya.
Mia menoleh kanan-kiri. Tinggal dirinya dan Agam. Entah ke mana si manajer genitnya.
"Tonny ke mana?" tanya Mia.
"Ke bawah. Katanya sih beli rokok. Gue kasih punya gue, dia bilang nggak level," sahut Agam disertai tawa.
Mia memutar bola matanya, lalu mendengus.
"Ini dia naruh baju gue di mana lagi? Risih nih lama-lama pake ginian."
Agam menggaruk kepalanya. "Paling bentar lagi juga balik. Atau lo telepon aja. Teriakin ada cowok ganteng di sini. Pasti langsung ngibrit balik," ujar Agam kemudian meninggalkan Mia untuk ke toilet.
Mia mencoba memilah-milah beberapa setelan yang dibawa Tonny. Ia hanya membalut tubuhnya yang masih mengenakan gaun tidur pemotretan, dengan handuk.
Belum sempat Mia menemukan baju yang tadi ia gunakan saat menuju hotel, terdengar sebuah ketukan berasal dari pintu. Ia mengangkat kepalanya. Itu pasti Tonny, pikir Mia. Ia menghentikan aktifitas mencari bajunya, dan segera menghampiri pintu. Lebih baik ia bertanya Tonny daripada isi tasnya semakin berantakan karena baju yang ia cari tak kunjung ditemukan.
---------------------------------------BAB 7
BAB 7
"Bisa nggak, sih? Lo nggak kabur gini tiap ada masalah?"
Arsen memaki Enand, adiknya yang kini duduk di dekat pos satpam sebuah bangunan rumah susun di kawasan padat Jakarta.
"Gue nggak akan balik ke orang itu lagi," jawab Enand tanpa menatap mata kakaknya.
"Terus lo mau tinggal di mana? Mau numpang di rumah temen lo ini terus-terusan?"
"Gue udah cari kos. Besok tinggal nempatin."
"Laga' lo kayak udah bisa cari duit sendiri." Arsen berdecak. "Irene nangisin lo. Sengaja nggak gue ajak karena dia pasti nyuruh gue nyeret lo pulang lihat lo tinggal di tempat begini."
Enand memainkan kerikil di bawah kakinya. "Nanti gue telpon Irene. Tar kalo pulang, bilang aja gue nggak apa-apa."
Arsen menyerah. Ia juga tidak berniat memaksa adiknya yang sejak dulu suka berlaku seenaknya itu. Ditambah lagi, hubungan mereka yang tidak terlalu akrab karena tinggal berjauhan. Arsen tidak mungkin main paksa tanpa melakukan pendekatan apapun.
Arsen merogoh sakunya, lalu meraih dompetnya.
"Nih." Arsen melemparkan kartu ATM bank nasional kepada Enand. Kartu usang yang lama tidak dipakainya, namun tetap ia biarkan aktif.
Enand menangkap kartu itu. Untuk hal satu ini, akhirnya mata yang penuh kekesalan itu menatap kakaknya.
Arsen menghela napas, meredam emosinya. "Buat jaga-jaga," katanya.
Bersaaman dengan itu, dua orang cewek penghuni rusun lewat di dekat mereka sambil menatap ponsel. Keduanya bergosip tanpa peduli percakapan mereka dicuri dengar.
"Eh liat nih! Selebgram berinisial M diciduk polisi di hotel. Masuk jaringan prostitusi online," ujar salah satu cewek sambil terus mengusap layar ponselnya.
"Siapa? Melany?" cewek yang lain tampak berpikir. "Orang goblok mana yg rela bayar puluhan juta cuma buat tidur sama uler berbisa gitu. Gak mungkin lah! Apa Mia Luris?"
"Eh! Eh! Bener Mia ternyata. Mia Luris. Nih nih, akun gosip ini detil banget. Ada screennshot snapgram Mia di tuh hotel," ujar cewek itu sembari menunjukkan temuannya ke lawan bicaranya.
Suara-suara lainnya terdengar bersahutan setelahnya.
Arsen seolah didera gelombang besar. Bukan. Arsen bahkan mati rasa kali ini. Tanpa banyak bicara, ia buru-buru mengakses segala sumber berita online.
Tidak mungkin! Tidak mungkin itu Mia-nya. Tidak boleh.
****
Sepatu kets usang itu semakin tak tertolong ketika cipratan dari genangan air di jalanan kampung yang becek mengenainya. Cipratan itu berasal dari sebuah motor yang mendadak berhenti di samping Mia, gadis pemilik sepatu. Sebuah firasat mendorongnya untuk mempercepat langkah. Namun, terlambat.
Salah seorang pengendara pria telah turun dan meraih tangannya. Detik setelahnya, tubuhnya tertarik ke belakang membentur dinding gang sempit yang hanya berlapis semen. Berjarak sejengkal dari bahunya, sebuah pipa mencuat keluar meneteskan air. Siap menusuk punggungnya kalau saja ia terbentur lebih jauh ke kanan.
Tangan kasar yang menariknya kini berpindah merangkum separuh leher atas dagunya. Menekannya hingga membuat Mia sesak. Namun, pria itu tidak berniat melepaskan atau mengendurkannya sedikit pun. Ia justru menatap target kecilnya nyalang.
"Mana Shanti? Lo anaknya, kan?" cecar pria itu.
"Saya nggak tau dia di mana." Mia bicara dengan susah payah.
"Bohong." Pria itu menekan kulit leher Mia lebih kencang. Saking kencangnya, hingga membuat bagian kepala belakang Mia membentur dinding.
Mata Mia mulai berlinang. Sesak, perihnya cengkraman kuku pria itu di kulitnya, serta ketakutan menyergapnya sekaligus.
Sosok pria satunya sudah turun dari motor. Ia sedikit menyingkap jaket kulitnya lalu ikut mendekat.
"Delapan bulan emak lo nunggak utangnya sampai tiga belas juta. Kasih tau dia di mana! Kalau enggak-"
"Saya nggak tau apa-apa!" jerit Mia tertahan.
"Gue nggak mau tau, anjing!" bentak pria satunya. Tampangnya tak kalah sangar. "Kalian bayar duit itu, atau mau gue bikin bayar pake cara lain." Pria itu menatap tubuh gadis yang masih dibalut seragam SMA itu. Tangannya bergerak menyingkap rok abu-abu itu sedikit. "Masih perawan juga kan, lo? Atau udah biasa jual diri?"
"Whoy! Ngapain!" teriak salah satu warga yang lewat. Kedua pria itu menoleh. Kecuali Mia yang memejamkan mata sambil menggeram ketakutan.
Kedua pria itu berhenti memojokkan Mia.
"Bilang sama emak lo ya, bulan depan nggak bayar, gue beneran bikin lo ngangkang!" tukas si pria yang membuat rahang Mia panas dan memerah. Kemudian, keduanya segera pergi mengendari motor. Meninggalkannya dalam gemetar kengerian.
Seorang warga yang memergoki aksi kedua debt collector itu mendekat. Rupanya beliau bukan warga biasa, melainkan ketua RW setempat. Beliau mendekati Mia, memastikan keadaan gadis itu.
Namun, Mia buru-buru mengusap air matanya dan pergi. Ia masih terguncang.
Beberapa bulan lalu, ibunya memilih kabur entah ke mana. Meninggalkannya bersama bibinya. Namun, ibunya tidak semata-mata kabur. Alih-alih meninggalkan warisan, wanita itu justru mengalamatkan semua tagihan ke rumah tempat Mia dan bibinya tinggal.
Belum lagi pamor ibunya sebagai wanita penghibur nomor satu di daerah sarat hiburan malam tempatnya tinggal, yang secara tidak langsung meludahi Mia dengan label serupa. Semua itu membuat Mia muak. Ia bahkan benci dilahirkan. Ia mendendam pada jiwa yang membawanya ke dunia, tapi menelantarkannya begitu saja. Lebih-lebih, jejak serupa lumpur kotor yang mengikutinya tanpa ia minta. Mia benci segala hal tentang ibunya.
Bukan sekali dua kali ia dilecehkan. Hanya saja selama ini sebatas bentuk verbal. Pelecehan terang-terangan seperti tadi baru pertama kali ia alami di usianya yang kala itu menginjak tujuh belas tahun.
Kini, sepuluh tahun lebih berlalu. Dan Mia masih terjebak dengan label sialan itu. Melacurkan diri?
Bertahun-tahun Mia berusaha keras untuk menghapus image itu darinya. Namun, segala tindaknya masih selalu dikaitkan dengan bisnis kelamin terkutuk itu.
Mia Luris terlibat jaringan prostitusi online?
Begitulah bunyi judul-judul artikel dan cuplikan video dari berbagai siaran infotaiment.
Belum lagi hashtag #selebgram80juta #bookingmia #mialaris yang memenuhi jagad media sosial.
Mia berdecak kesal. Bahkan nama panggungnya dipelesetkan seolah dirinya sedang mengobral sesuatu.
Di sampingnya, Tonny sibuk menanggapi telepon dari klien yang menuntut konfirmasi kasus salah sasaran itu. Dan jawaban yang diberikan cowok itu selalu konsisten.
"Nggak ada booking-booking delapan puluh juta. Kamar itu memang dipesan tersangka A. Setahu kami untuk pemotretan. Selebihnya kami nggak tau kalau dipakai untuk keperluan lain."
Mobil yang mereka kendarai mendaki fly over dengan tempo lambat karena lalu lintas siang yang padat.
Entah berapa kali ia mengumpat dalam hati mendapati mulutnya yang berbusa karena mengoceh sejak tadi. Belum lagi, campuran rasa hambar dan kecut yang ia kecap karena belum sempat merokok sejak semalam. Namun, Tonny tidak punya pilihan selain melanjutkan penjelasannya lagi.
"Project kami jelas kok. Ada output dan bukti kamera cctv juga. Kebetulan kami memang kedapatan giliran take terakhir. Jadi, tim udah pada bubar." Tonny memegangi kepalanya yang pening. "Tarif kerja sama dengan kami sendiri tetap sesuai ratecard yang pernah saya kasih. Soal artis lain yang terbukti ada janji dengan tersangka A, kami nggak ada kapasitas untuk komentar."
Tonny melempar ponselnya ke jok.
"Thur, cepetan dikit napa nyetirnya! Belum mandi nih gue dari semalem." Tonny meneriaki Fathur, pemuda yang biasa ia sewa untuk jadi supir. Ia sudah tidak tahan dengan tubuhnya yang lengket.
"Polisi berengsek! Mereka lolos uji kompetensi nggak, sih? Bisa salah tangkep gitu. Agam juga, klien tahi! Bisa-bisanya project kita dijadiin kedok buat pesta mantab-mantab sama artis esek-esek."
Untuk pertama kali sejak ia dan Mia dibolehkan pulang oleh polisi setelah melewati prosedur penyidikan yang memakan waktu semalaman, ponsel Tonny berhenti berdering. Cowok itu bisa sedikit bernapas lega. Meski sebenarnya, urusan masih panjang. Persepsi liar tentang Mia sudah terlanjur berkembang tanpa arah di masyarakat. Ia menoleh ke Mia yang sedari tadi terdiam.
Mobile data-nya sengaja dimatikan untuk menyelematkan mata dan batinnya dari hujatan-hujatan yang pasti sudah tidak karuan bentuknya.
"Lo nggak salah. Lain kali gue bakal hati-hati nerima tawaran. Bakal gue pantengin latar belakangnya sampe kakek buyutnya," ujar Tonny dengan nada yang lebih teratur dan terkendali
Bibir Mia membentuk senyum terprogram yang hambar. Jenis yang Tonny tidak suka. Ia tahu makna peristiwa ini bagi Mia. Peristiwa ini bukan hanya soal karier dan nama baiknya. Melainkan soal Mia dan luka masa kecilnya. Luka yang merongrong dalam dan terseret hingga dewasa.
Mia menghadap ke sisi jendela demi menyembunyikan wajahnya dari siapa pun. Matanya yang sempat cerah, kini berlinang lagi.
--------------------------BAB 8
BAB 8
Arsen belum bergerak lagi. Beberapa detik ia lewati dengan berdiam di bawah shower. Air mengguyur tubuhnya. Mengalir dari kepala hingga ke ujung-ujung yang membuat aliran itu membentuk tetesan dan berkawan dengan gravitasi bumi. Tangan Arsen bergerak memijat kepalanya. Dinginnya air mau pun sensasi menthol dari shamponya ternyata tak mampu mendinginkan apa yang mendidih di dalam sana.
Ketika mendengar isu yang menghebohkan itu pertama kali, hal pertama yang dirasakan Arsen adalah tidak terima. Ia tidak terima Mia yang ia kenal terlibat skandal menjijikkan itu. Namun, meski menolak percaya, Arsen tak henti meng-update kabar tentang kasus itu. Beberapa menit sekali ia memeriksa ponselnya. Dan berbagai portal memberitakan hal yang sama.
Damn it!
Ia tidak siap kecewa kalau berita itu benar. Namun, matanya tetap tidak bisa terpejam sampai ada klarifikasi resmi terkait kasus itu. Sampai akhirnya siang tadi, lewat akun media kecil namun cukup terpercaya, Mia dikabarkan tidak terlibat dan statusnya hanya sebagai saksi. Yang mana masih akan diperiksa lebih lanjut.
Kelegaan tentu saja melingkupi Arsen. Namun, belum cukup. Kini ia kalut, gusar, khawatir, dan yang paling parah... tidak bisa melakukan apa-apa. Pertanyaan dan kemungkinan dalam kepalanya bertumpuk. Bagaimana keadaan Mia sekarang? Bagaimana ia menghadapi luapan makian dan hujatan yang terlanjur menyasar kepadanya, tanpa peduli bahwa gadis itu sama sekali tidak terlibat?
Arsen berteriak berang. Kesal karena tidak tahu apa-apa. Faktanya, dia memang tidak punya hak untuk tahu apa-apa.
Tanpa diduga, sebuah suara menyadarkannya dari lamunan.
Irene membuka pintu kamar Arsen dan menemukan kakaknya itu masih di kamar mandi.
"Kak Arsen belum siap? Keluarga udah pada kumpul loh," ucap gadis remaja empat belas tahun itu. Tampilannya sudah rapi dan anggun dibalut dress warna peach.
Arsen menelan ludah. Teringat bahwa malam ini pertunangannya dengan Moza akan dilangsungkan seperti yang sudah direncanakan.
****
Bunga, lampu kristal, dan berbagai ornamen pelengkap berpadu serasi menghiasi ruangan. Kain dan pita menyelimuti meja, kursi, bahkan bahu tangga.
Di kamarnya, Moza dibantu perias, sedang merapikan kembali dandannya. Baru saja Arsen mengabarkan bahwa sedikit lagi ia dan keluarganya tiba di kediaman orang tua Moza. Gadis itu bercermin untuk terakhir kali sebelum turun ke ruang dihelatnya pesta pertunangannya. Kebaya warna pastel berpayet melekat di tubuhnya dengan sempurna.
Di belakangnya, sang bunda tersenyum mengingat masa mudanya dulu. Merasa bangga telah mewariskan separuh gennya terhadap sang putri.
Deru mesin mobil menandakan rombongan yang mereka tunggu telah tiba.
"Tuh mereka dateng!" Sang Bunda menengok ke bawah dari jendela kamar Moza. Ia pun segera berjalan menuju pintu keluar kamar. Namun sebelum benar-benar keluar, wanita itu menoleh ke arah putrinya. "Bunda turun dulu, ya? Kamu jangan lama-lama," tukasnya yang dibalas anggukan oleh Moza.
Moza mengenakan sepatu heelsnya yang berwarna senada dengan kebayanya, khusus disiapkan untuk hari ini. Kemudian dengan langkah mantap, ia berjalan keluar ruangan.
****
Setelah beberapa patah kata dari masing-masing orang tua sebagai pembukaan, kini giliran bintang utama menyampaikan serangkaian kalimat inti dari sebuah acara lamaran. Tidak ada persiapan. Sesaat sebelum berangkat, atau bahkan sampai sekarang, pikiran Arsen masih terpusat pada satu hal. Mia.
Arsen menghela napas. Ia menatap Moza. Sahabatnya itu tampak jelita dibalut setelan kebaya dan bawahan kain tradisional mengkilap. Arsen pernah melihat Moza tanpa make up. Arsen sering melihat Moza bangun tidur. Arsen juga pernah melihat wajah Moza cemong saat bermain di kelas alam. Arsen bahkan pernah melihat wajah itu pucat karena sakit. Ia seringkali mendampingi Moza ketika gadis itu sakit.
Moza, perempuan itu sudah menetap di memorinya sejak lama. Detik itu, saat pikirannya mulai mengenang masa pertemanannya dengan Moza, otaknya mulai jernih dan tenang. Arsen mulai bicara.
"Jujur, saya nggak inget kapan pertama kali ketemu Moza. Moza udah menetap di memori saya bahkan sebelum saya bisa mengingat. Saling mengenal, menjadi satu-satunya orang yang tahu rahasia masing-masing, membuat kami merasa paling aman dan paling nyaman berada di dekat satu sama lain dibanding dengan orang asing, atau orang baru. Dan saya nggak ingin kehilangan hal itu. Dua puluh tahun mungkin terhitung sangat lama untuk dua orang yang saling mengenal. Tapi bagi kami itu jelas belum cukup, dan nggak akan pernah cukup." Arsen berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada bercanda.
"Karenanya malam ini saya datang ke sini, untuk mengabadikan hubungan ini." Arsen mengakhiri untaian kalimat lamarannya
Jeda beberapa detik, mikrofon diserahkan ke Moza yang berdiri di samping Arsen.
"Acara ini cuma formalitas. Saya yang ngelamar Arsen," ucap Moza enteng. Sama-sama disertai tawa yang membuat kedua keluarga tampak kaget dan tak sedikit yang terkekeh. "Di mobil. Tanpa aba-aba. Dia aja sampai kaget." Moza melanjutkan, yang disusul gelak tawa lagi.
Gadis itu tersenyum. Kemudian seolah menerawang jauh. Rautnya perlahan berubah serius. "Everybody said, we might end up together. But, actually we've already together for the past twenty years, even more. I'm not sure with the number. Because nothing special, indeed. We've just grown up together, and will continue like this for the next 20 years, then another 20 years." Moza menoleh lalu menatap Arsen.
"Jadi Arsen, meski ini menyalahi urutan acara yang udah disusun... Tapi demi mencegah supaya sejarah nggak membingungkan, biar tetep aku yang bilang ini." Moza menarik napasnya dalam-dalam. "Arsenna Samudera, bestfriend-ku, mau kah kamu jadi besthusband-ku?"
Lagi-lagi, Moza membuat seisi ruangan terkejut. Bundanya menepuk jidat dengan kipas di tangannya, ayahnya terpesona dan langsung mengacungkan dua jempol. Calon mertuanya tertawa sambil bertepuk tangan. Dan Arsen, laki-laki itu menatapnya tidak percaya. Bagaimana mungkin ia dicurangi lagi, dicuri start lagi?
Lalu dengan gerakan kilat ia merebut mikrofon yang disodorkan Moza. Ia tidak punya kosa kata selain mengatakan, "That should be my line, Moz."
Semuanya tertawa.
Sebuah cincin emas putih akhirnya melingkar di jari manis Moza.
-----------------------------------BAB 9
BAB 9
Pertunangan itu berlangsung lancar. Kedua keluarga yang sudah mengenal baik itu bercengkrama sambil menikmati hidangan makan malam.
Arsen yang merasa cukup mengobrol dengan tante, om, juga sepupu Moza, kini melipir ke halaman tengah dekat kolam renang. Cowok itu menyulut rokoknya, lalu kembali mengecek ponselnya. Terbaca pesan berlapis yang ia kirimkan pada satu akun.
Mia, kamu nggak papa?
Kamu di mana?
Bisa ketemu? Aku ke kafe kamu tapi tutup. Aku bahkan nggak tau rumah kamu
Mia, please ja....
Arsen hendak mengetikkan pesan lagi sebelum ia menyadari kebodohannya.
"Shit!" umpatnya.
Dm instagram Mia jelas jebol dalam situasi seperti ini. Mana mungkin gadis itu membaca pesannya. Bahkan request dm-nya saja belum diterima.
Sejak semalam ia mencoba segala cara. Dari menghubungi cp melalui email, mengirim pesan whatsapp ke nomor manajer Mia, bahkan mencoba menelpon nomor itu. Yang mana selalu terdengar nada sibuk.
Arsen berdecak, mengisap rokoknya lalu mencoba peruntungannya lagi. Ditekannya tombol hijau pada nomor itu. Terdengar nada sambung beberapa detik. Arsen harap-harap cemas, namun juga pesimis. Ia hendak menekan tombol merah di layar sebelum akhirnya sebuah suara terdengar.
"Halo," sapa suara ujung sana.
"Oh halo," saking dia tidak menyangka panggilannya akan terjawab, Arsen sampai nyaris tergagap
"Dengan siapa, ada yang bisa dibantu?" tanya lawan bicaranya. Suara laki-laki
"Ehm, ya." Arsen berdehem untuk mengembalikan fokusnya. "Ini benar contact person Mia?"
"Iya. Maaf dari mana, ya? Sudah pernah email sebelumnya?"
"Saya Arsen."
"Iya Arsen siapa? Dari instansi mana? Ada keperluan apa?"
Ditodong peetanyaan seperti itu, Arsen berpikir sejenak. "Saya... temennya."
Di ujung sana, dahi Tonny berkerut ketika menangkap nada ragu-ragu dari lawan bicaranya.
"Maaf ya, kalo nggak jelas saya tutup"
"Bilang sama Mia, ini Arsen. Dia tahu."
Tonny memutar bola mata. Puluhan kali ia menerima penelpon sok kenal seperti ini. Mengaku teman SMA Mia lah, teman kuliah Mia, bahkan tetangganya.
"Gue nggak peduli ya, mau lo Arsen kek. Ersan, Tarzan, pasti lo wartawan lagi nyari berita, kan?"
"Bukan-"
Tut.. Tut.. Panggilan terputus.
"Fuck!" Arsen mengumpat, nyaris melempar ponselnya ke kolam. Seharusnya ia mengatakan bahwa ia adalah orang yang sempat menemui Mia di kafe beberapa waktu lalu.
"Is there something wrong? Nggak biasanya kamu ngumpat-ngumpat gini."
Suara itu membuat Arsen menoleh ke belakang.
"Moza?" seru Arsen. Dilihatnya Moza tengah berdiri di tepi kolam, tak jauh darinya. Gadis itu bersedekap sembari mengamatinya.
"Mia ya?" Moza bersuara, belum beranjak dari tempatnya.
Arsen menelan ludah. "Ten years. It's been a long time, right?"
"Sorry, Moz. Aku..."
"No. It's okay. Aku nggak nyangka aja pertemuan kalian kemarin berefek segitu besar ke kamu."
"Aku nggak bisa untuk nggak mikirin dia, Moz. Apalagi tau apa yang lagi dialami dia sekarang."
Moza berdecak. "Kamu dulu waktu aku tinggal pembinaan OSN, main sama siapa, sih? Kok bisa-bisanya keracunan cinta gini."
Arsen terdiam.
Lalu, Moza mendekat. Diraihnya batang rokok yang masih terbakar setengah dari tangan Arsen, kemudian membuangnya. Ia menatap mata sahabatnya. "Jangan suka nyiksa diri kamu sendiri," ucapnya lirih di dekat telinga Arsen. Tamu-tamu lain yang mengintip mereka dari dalam rumah mungkin mengira keduanya sedang berciuman.
Detik berikutnya, Moza menarik tubuhnya menjauh. Sebelum berbalik, ia menyeru lagi.
"Dan jangan kebanyakan ngerokok! Aku nggak mau jadi janda dan ngurus anak sendirian. Repot!" katanya kemudian masuk lebih dulu ke dalam.
****
Ponsel Tonny berteriak-teriak ketika Tonny membuka pintu apartemen Mia dengan satu tangan, sementara tangan satu lagi menenteng kresek berisi pesanan makan siang yang ia terima dari abang ojol tadi.
"Duh, iya-iya bentar! Tangan cuma dua juga," keluh Tonny, tak tahan dengan bunyi berisik yang memburunya.
Setelah berada di dalam dan meletakkan kantong kresek itu di meja, cowok itu meraih ponsel di sakunya. Kali ini ponsel pribadinya yang berbunyi.
"Gimana Mia, Ton?" tanya suara dari seberang tanpa repot-repot mengucap salam.
Tonny diam sebentar, menata napas. Bengek juga dia setelah menempuh perjalanan ke lobi, dan balik lagi ke unit apartemen Mia yang berada di lantai dua puluh. Ya meski pun naik lift, tetap saja. Ia butuh jeda untuk napas dulu!
"Ton?" tanya suara dari seberang, tidak sabar. Teman Mia satu ini memang minta dipites biar diem, pikir Tonny.
"Iya Helen... Gue denger kok." Akhirnya, Tonny mulai bicara. "Susah dibujuk makan. Ini gue sampe order seafood biar dia ngiler."
"Dari pagi nggak makan?" tanya Helen mengingat sekarang waktu sudah lewat pukul dua belas siang.
"Gue baru ke sini jam sepuluh tadi. Dan gue lihat martabak yang gue beliin semalem udah diambil sepotong. Lo tau sendiri, kan? Martabak tuh doyanan dia, tapi dia cuma ambil sepotong."
Giliran Helen yang menarik napas berat. "Tapi, nggak sampai bablas ngelakuin selfharm, kan? Singkirin aja benda-benda bahaya, rokok sama bir juga."
Tonny menggigit bibir. Ia melirik kamar Mia yang berantakan, tumpukan kaleng bir yang habis diminumnya, juga puntung rokok yang habis dihisap gadis itu.
Alih-alih menjawab, Tonny bertanya hal lain. "Lo kapan ke sini? Jadi balik Jakarta sore ini?"
Di ujung sana, Helen memijit pelipisnya. Baru saja dia mendapat laporan bahwa ada sedikit masalah pada project yang tengah ditanganinya. Ia harus tinggal agak lama. "Belum bisa. Ada masalah di sini."
"Ya udah lo kelarin kerjaan lo deh. Biar gue yang urus Mia."
"Inget pesan gue tadi ya?"
"Iya bawel!"
Helen hendak mengakhiri panggilan sebelum Tonny berseru, "eh, Helen!"
Sejak semalam, pikiran Tonny terganjal oleh satu hal. Ia terus teringat reaksi Mia ketika tanpa sengaja mendengar percakapannya dengan salah seorang penelpon. Kala itu, Mia yang keluar dari kamar mandi seketika menghentikan langkah dan menatap Tonny agak lama begitu sebuah nama disebut. Entah karena kondisi sekarang Tonny menjadi lebih sensitif dan mungkin berlebihan, tapi yang terbaca oleh Tonny saat itu adalah seperti reaksi... entahlah, dejavu? Terlempar ke masa lalu? Yang jelas hal itu mengusiknya sampai sekarang
Helen menunggu Tonny bicara.
"Tadi ada orang random nelpon ngaku-ngaku temen Mia. Bom dm sama email juga minta ketemu Mia. Namanya Arsen. Lo kenal?"
Di tempat Helen, cewek itu terdiam. Nama itu membawanya untuk mengingat sesuatu.
"Len?" Tonny bersuara saat jeda dirasanya terlalu panjang.
Tidak banyak nama Arsen yang ia kenal. Kalau penelpon itu benar tidak berbohong, besar kemungkinan dia adalah Arsen yang itu.
"Mungkin Arsen yang itu," gumam Helen.
"Yaelah, Arsen yang mana? Yang jelas!"
"Gue nggak tau. Mia nggak pernah cerita. Tapi kayaknya orang yang dulu deket sama Mia."
****
Arsen menutup kopernya usai mengemasi semua barang-barangnya. Ia meraih ponselnya lalu menekan ikon pesan suara untuk dikirim ke Moza.
"Aku berangkat bentar lagi." Begitu rekaman suara yang terkirim.
Beberapa saat kemudian, muncul balasan dari Moza.
"Udah nggak ada yang ketinggalan? Sori nggak bisa nganter sampe bandara."
Arsen tersenyum. Ia tahu alasan Moza tidak menemaninya ke bandara, sebab gadis itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia pun membalas,
"Nggak pa-pa. Kamu jangan capek-capek, Moz."
Arsen menuruni tangga. Di meja makan, ibu tirinya, Kazi, sedang memuangkan olive oil untuk dressing salad. Di sampingnya, Irene meracik saladnya sendiri dengan keju dan yogurt.
"Kak Arsen udah mau berangkat?"
Arsen tidak menjawab. Ia menghampiri adiknya dan langsung mengacak rambut gadis itu.
"Aku boleh ikut nganter, nggak?" tanya Irene.
Sambil mengaduk saladnya, Kazi menyahut. "Kamu 'kan masih banyak PR, Ren. Katanya tadi janji mau ngerjain."
"Tuh... dengerin Kazi. PR belom kelar aja mau keluyuran," timpal Arsen. Diam-diam merindukan masa-masa di mana masalah-masalahnya hanya seputar PR.
"Kamu nggak makan dulu, Sen? Ada sayur sop kesukaan kamu tuh." Kazi berucap. Perempuan yang cuma selisih beberapa tahun dengannya, dan lebih terlihat seperti kakaknya itu memang cukup perhatian.
"Nanti aja sambil nunggu take off," jawab Arsen disertai senyum, dilihatnya jam hampir menunjuk angka enam sore.
Bagi Kazi, Arsen juga anak yang manis. Dari awal mau menerima dan selalu menghormatinya. Sedikit berbeda dengan Enand, anak tirinya yang satunya.
Arsen akhirnya berpamitan dengan keluarganya, kecuali papanya dan Enand yang tidak ada di rumah. Rumah itu pun kembali sepi ketika taksi yang ia tumpangi meluncur meninggalkan rumah.
Baru keluar komplek, sebuah nada panggilan dari ponselnya menyeruak. Arsen langsung meraih ponselnya dari saku. Ditatapnya nama yang tertera di layar.
"Manajer Mia?" gumamnya.
-------------------------------- BAB 10
BAB 10
Apartemen bernuansa putih itu berukuran standar. Bagian utama yang ditemui saat masuk adalah ruang tamu sederhana yang berbagi ruang dengan studio mini. Terdapat latar belakang kain di sudut dinding, sengaja dipasang tepat dekat jendela. Mungkin mempermudah masuknya cahaya saat pengambilan gambar indoor di siang hari.
Masih di ruang yang sama, tampak layar komputer menyala dan kamera tergeletak di meja. Arsen menambah satu langkah lebih jauh memasuki ruangan itu. Pada saat itu, kakinya menyenggol kresek yang sepertinya berisi botol dan kaleng-kaleng sisa minuman. Terletak tepat di lantai sebelah meja ruang tamu. Bukan itu saja, di atas meja ruang tamu yang mungkin sudah beralih jadi meja makan, matanya menangkap delivery box yang belum dibereskan.
Pandangan Arsen beralih ke satu-satunya kamar tidur di unit itu. Dilihatnya pintu masih tertutup. Tenggorokan Arsen terasa serak, jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat.
Berjarak tak jauh darinya, berdiri sosok laki-laki bertubuh subur yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek bahan parasut. Laki-laki yang ia ketahui bernama Tonny itu mengangguk.
Tak jauh berbeda dari Arsen, Tonny juga dilanda gugup dan cemas. Kurang lebih satu jam yang lalu, ia dilanda kepanikan karena Mia yang sudah menjauhkan ponselnya dari dirinya, tidak sengaja membaca berita bahwa latar belakang keluarganya kembali diungkit. Berita itu ia baca lewat ponsel Tonny yang tergeletak ketika berusaha membujuknya makan.
Ibu kandung Mia, yang menjadi istri simpanan pejabat, dijadikan saksi pada kasus korupsi yang melibatkan suaminya. Entah siapa yang mengungkap rumor itu. Kenapa pula wanita yang telah lama memutus hubungan dengan Mia kembali muncul ke publik dan dikaitkan dengannya. Yang jelas, kasus itu semakin menarik Mia dalam pusaran aib memalukan.
Tonny tidak bisa sepenuhnya menangani Mia ketika gadis itu kalap memecahkan barang-barang lalu tiba-tiba mengunci diri di kamar.
Memanggil polisi? Petugas pemadam kebakaran? Tim SAR? Atau superhero marvell? Semua justru akan membuat Mia semakin terpuruk. Sekarang saja tagar #cewekpanggilan dan #genlacur sudah mentereng di jagad twitter dan instagram. Cuplikan video wawancara ibu kandung Mia dengan wartawan saat keluar ruang pengadilan, yang menanggapi pertanyaan terkait Mia Luris sebagai anak biologisnya, juga trending di youtube.
Tonny tidak mungkin menambah trending dengan judul "EVAKUASI MIA LURIS COBA BUNUH DIRI" atau "MIA LURIS DEPRESI".
Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menghubungi orang terdekat yang bisa dipercaya. Tante Mia sejak dua tahun lalu sudah pindah ke Kalimantan ikut suaminya. Bian baru akan datang paling cepat besok pagi.
Mia tidak punya siapa-siapa lagi. Kehabisan akal, Tonny akhirnya teringat penelpon yang berkeras menemui Mia. Ia menghubungi nomor itu dan mengadakan janji untuk bertemu di kafe dekat apartemen. Baru setelah memastikan identitas pria itu, bahwa setelah melihat kartu nama dan mengecek di internet ternyata pria itu bukan orang sembarangan, ia memberanikan diri membawa Arsen ke apartemen Mia.
Kali ini, Tonny seakan tengah berjudi. Ia melempar dadu dengan mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai manajer yang semestinya tidak mempertemukan orang asing tanpa persetujuan Mia.
Bukan. Dia bukan orang asing! Tonny terus berdoa.
Arsen meraih kenop pintu kamar. Masih terkunci. Ia menoleh ke arah Tonny. Laki-laki itu pun mendekat dan mengetuk pintu.
"Beb," panggilnya.
Tidak ada jawaban.
"Mia kalo lo nggak buka pintu-"
"Lo mending pulang aja, Ton! Tinggalin gue di sini! Nanti malem gue mulai lagi menuhin permintaan endorse sesuai kontrak, okay?" teriak gadis itu memutus ancaman Tonny. Yang meski nadanya terdengar menyakitkan, tetapi secara tidak langsung membuat Tonny dan Arsen lega karena menandakan gadis itu masih dalam keadaan sadar. Setidaknya untuk saat ini.
Di sebelah Tonny, Arsen menelan ludah kasar. "Mia...," akhirnya ia bersuara.
Hening setelahnya. Tonny harap-harap cemas. Sementara di dalam kamar, entah bagaimana reaksi Mia ketika mendengar suara itu. Masih mengenalinya, atau menerka-nerka? Arsen tidak tahu, cowok itu hanya semakin meremas kenop pintu lantas bicara lagi.
"Ini Arsen." Jeda, Arsen tersenyum miris. "Iya. Arsen yang itu. Yang ninggalin kamu bertahun-tahun lalu. Orang yang paling nggak punya hak untuk meduliin kamu sekarang."
Berbeda dengan Tonny, nada bicara Arsen terdengar sabar.
"Tapi aku bisa apa, Mia? Setelah bertahun-tahun nyoba lupain kamu, ketemu kamu lagi dan akhirnya sampai ke situasi kayak gini, aku nggak bisa untuk nggak peduli sama kamu."
Arsen menyandarkan dahi ke pintu, pikirannya mulai menerawang masa lalu. "Aku tahu kamu nggak gampang dideketin. Dulu, kalo aku nggak sembunyiin tas kamu di dalem mobil aku... kamu nggak bakal mau aku antar pulang. Padahal kamu abis pingsan dan lemas banget waktu itu."
Samar-samar, terdengar suara isakan dari dalam kamar.
Arsen semakin percaya diri untuk melanjutkan. Masih dengan lembut suaranya. "Kamu nggak gampang nerima bantuan orang lain. Kamu nggak gampang nerima orang lain di hidup kamu. Kamu juga nggak pernah lari meski satu sekolah jelekin kamu."
Untuk beberapa detik, suara Arsen tersendat. "Aku tahu kamu capek, Mia. Wajar kalo kamu lari. Mungkin udah batas kamu. Tapi selama itu..., aku bakal di sini. Biarin aku nemenin kamu."
"Pergi." Satu kata mahal yang mereka nantikan akhirnya terdengar. Nadanya datar dan dingin.
"Aku bakal pergi setelah mastiin kamu baik-baik aja," tandas Arsen.
Lalu tiba-tiba pintu terbuka. Mia berdiri tepat di hadapan Arsen yang tidak mengantisipasi kemunculan gadis itu.
Di depan mata Arsen, Mia berdiri kokoh. Wajahnya ia tegakkan hingga bertatapan langsung dengan Arsen. Rambutnya terurai. Bibirnya sedikit pucat. Namun selebihnya, gadis itu tidak kekurangan suatu apa pun.
Kedua pasang mata mereka akhirnya bertemu. Mia dengan sorot matanya yang menantang, akhirnya lebih dulu bicara.
"Udah, lihatnya? Aku baik-baik aja!" Mia menekankan. "Sepuluh tahun. Kamu pikir setelah ngelewatin waktu selama itu aku masih butuh kamu buat mastiin aku baik-baik aja?" Mia bertanya retoris.
Arsen terdiam.
"Sekarang pergi... Udah selesai, kan?"
------------------------ to be continued
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
