HEROIN (BAB 1-5)

1
0
Deskripsi

Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tidak diinginkan dan terjadi tanpa kalimat perpisahan itu membuat keduanya tertarik untuk memulai lagi kisah lama. Meskipun pada saat itu, Arsen sudah merencanakan pertunangan dengan Moza, sahabatnya dari kecil demi tercapainya ambisi kedua keluarga mereka.

Meski Moza tidak menghalangi hubungan keduanya, Arsen dan Mia tetap tidak dapat dengan leluasa menjalin hubungan. Lalu bagaimana jika suatu...

BAB 1

Arsen berjalan dengan mata terpaku pada sosok perempuan yang berdiri di terminal kedatangan bandara, menunggunya. Meski tidak sedingin New York, udara Jakarta malam ini lumayan menusuk tulang. Apalagi untuk ukuran manusia yang cuma mengenakan blus tipis tanpa lengan.

Arsen mempercepat langkahnya. Setelah jarak mereka cukup dekat, lelaki itu menyampirkan mantel yang sedari tadi bertengger di lengannya ke tubuh perempuan itu.

Moza, perempuan itu, tersenyum geli. Ia sudah siap meledek aksi sok romantis dari sahabatnya itu. Oh, mungkin mereka harus membiasakan diri menganggap satu sama lain sebagai pasangan setelah empat bulan lalu, keduanya sepakat untuk menjalani hubungan pertemanan yang bakal berujung ke pernikahan.

"Tumben Tuan Putri mau jadi supir," celoteh Arsen setelah mereka sampai di mobil.

Moza yang bersikukuh untuk mengemudi karena Arsen baru saja melakukan perjalanan, memasang sabuk pengaman kemudian membawa mobilnya meluncur dengan mulus menyusuri jalur keluar bandara.

"Sekalian ngasih kado buat Irene. Besok aku nggak bisa datang ke pesta ulang tahunnya."

Arsen melirik sebuah kotak ungu berhiaskan pita berwarna senada terletak di jok belakang. Kado untuk Irene, adiknya yang berulang tahun ke empat belas.

"Wah berkurang satu dong pawang tuh anak. Nggak ada yang bisa jinakin kalo mulai rewel." Arsen kembali berkomentar.

Ia memang lebih memilih menyerah kalau berurusan dengan princess satu itu. Berbeda dengan Enand, adiknya yang satu lagi, yang juga kakak dari Irene. Enand lebih telaten menghadapi Irene. Mereka juga lebih kompak. Mungkin karena perbedaan usia yang tidak terlalu jauh.

Arsen menjulurkan kakinya untuk beristirahat. Kepalanya menengadah setelah ia menemukan musik yang pas di audio mobil Moza untuk menemani perjalanan mereka.

"Besok malam puncak event tahunannya Royale. Kamu tahu aku juga ada tanggung jawab di sana." Moza menyebut perusahaan yang sedang ditangani perusahaan advertising muliknya.

"Datang sama siapa? Kok kamu nggak bilang ke aku?"

"Emang kamu mau nemenin? Jadwal kamu kan biasanya padat banget kalo udah di sini." Moza tergelak, kemudian menyusul mobil di depannya.

"Kali ini aku ke sini 'kan cuti, Moz. Bukan urusan kerja."

Moza tertawa. "Oh iya. Abis kamu kelamaan nggak cuti sih. Sampe lupa."

"Lagian nggak enak 'kan kalo ada aku, tapi kamunya datang sendirian."

Moza lalu menyunggingkan senyum. "Nggak enak sama siapa? Orang tuaku? Orang-orang?"

Beberapa detik, suara John Lennon menyanyikan lagu Hey Jude mendominasi kotak suara mereka. Arsen melayangkan pandangan ke wanita di sampingnya. Sahabatnya itu kadang memang terlalu gamblang saat bicara. Meski begitu, ia tidak pernah absen setiap kali Arsen membutuhkannya.

Mungkin sekarang giliran Arsen untuk melakukan hal serupa, ada untuk Moza.

"Aku temenin deh." Arsen membuka suara.

Moza mengangkat kedua alisnya. "Jadi sekarang mau framing jadi pasangan yang baik nih?" Ia tertawa lagi. "Oke kalo gitu."

Moza memperdalam pijakannya pada pedal gas. Malam ini, jalanan cukup lengang.

****

Jika Elsa dalam cerita Disney itu nyata, maka Moza adalah wujudnya. Sosoknya yang menyilaukan namun cenderung santai dan dingin membuat tidak sembarang orang bisa bergaul dengannya. Termasuk yang bakal dipilihnya menjadi pendamping.

Adalah Arsen, pria yang membuat iri banyak pria lain malam ini. Bersamanya, berjalan anggun Adriana Moza dibalut gaun malam gelap di atas lutut lengkap dengan style rambut pendeknya yang menyentuh bahu.

"Kamu bakal kasih aku hadiah apa kalo aku berhasil ngelewatin lebih dari satu jam haha-hihi di acara kayak gini, Moz?" Arsen berbisik di telinga Moza ketika mereka akhirnya duduk di kursi yang disediakan.

Moza yang masih memasang senyum ramah setelah menyapa koleganya, kini melirik Arsen. "Kamu tuh aneh, ya? Tiap hari kerjaannya rapat, ke lapangan, menjelma jadi orang paling supel kalo urusan kerjaan. Tapi antipati sama yang namanya pesta."

Arsen menyesap isi dari gelas yang ada di depannya. Ia tidak terlalu peduli cairan apakah itu. Yang jelas, ia ingin mengisi kerongkongannya yang kering seiring dengan tatapan tamu-tamu lain dan setiap tetes senyum yang harus ia umbar demi menjaga nama baik Moza, juga demi menjaga namanya sendiri di depan orang-orang yang mungkin mengenal Arsen dan keluarganya.

Moza memutar liontin kalung yang dikenakannya. "Dengan datang ke sini, kamu sebenarnya udah ambil hadiah kamu kok."

Arsen mengerutkan keningnya, bingung.

Melihat itu, Moza tersenyum. Tangannya bergerak mengusap sisa minuman bibir Arsen seraya mengerling, membiarkan Arsen menerjemahkan sendiri kalimatnya.

Alunan musik dari band pembuka terdengar renyah mengiringi jalannya acara Gala Dinner sekaligus peluncuran produk smartphone baru milik Royale Tech. Meja-meja undangan mulai terisi. Ketika salah satu tamu tiba di meja yang berjarak sekitar dua meter dari meja Arsen dan Moza, saat itulah Arsen menerjemakan kalimat Moza tadi.

****

Arsen menatap wajah Moza yang tidak tampak terkejut sedikit pun. Ia justru balik tersenyum ketika salah satu tamu perempuan tanpa sengaja menoleh ke belakang dan menemukan Moza di sana. Masuknya Moza ke lapang pandang perempuan itu membuat sesuatu yang tidak terhindarkan terjadi. Mata perempuan itu bertemu dengan milik Arsen yang berada di sebelah Moza.

Dalam kilasan detik, Arsen merasakan waktu melemparkan jiwanya ke masa lalu. Ia bahkan tidak bisa bereaksi apapun kecuali diam dan menerima gambaran-gambaran kenangan untuk beberapa detik. Meski sempat terdiam, perempuan itu kembali menghadap ke depan seolah apa yang dilihatnya barusan tidak berarti apa-apa.

"Kamu tahu soal ini, Moz?" tanya Arsen setelah berhasil keluar dari kotak masa lalunya.

Moza menyesap minumannya.

"Awalnya aku nggak tahu. Siapa juga yang peduli sama model baru sekelas dia. Basic-nya bukan dari agensi besar dan keangkat gara-gara kontroversi di media sosial."

Moza berhenti untuk melihat reaksi Arsen.

"Tapi akhirnya kami beberapa kali ketemu sebelum acara." Ia berdehem lalu kembali menjelaskan. "Meski jalur dia masuk ke dunia modelling agak ekstrim, tapi dia masuk daftar pendatang baru yang cukup oke. Salah satu yang pernah dipakai buat promosi produk anak perusahaan Royale juga."

Gadis itu mengangkat bahu.

"Dan... ya. Itu Mia kamu."

Tidak ada kata keluar dari mulut Arsen. Laki-laki itu hanya menatap ke arah perempuan bernama Mia tadi. Bahkan untuk berkedip saja sepertinya Arsen enggan melakukannya.

Moza akhirnya menangkap maksud cowok paling naïf yang seolah tengah menyidang dirinya sekarang.

"Jadi skenario yang benar menurut kamu harusnya gimana?" Nada bicara Moza terdengar halus. "Aku ngasih tahu dari awal? Atau aku harusnya ngelarang kamu datang ke acara ini supaya kamu nggak ketemu lagi sama mantan kamu?"

Kalimat itu membuat Arsen merelakan detik-detiknya menatap Mia, demi menatap Moza.

Moza balik menatapnya.

"Enggak, kan? Kalo disuruh milih, kamu pasti lebih milih datang dan ketemu dia lagi."

Sebentuk senyum terukir di bibir Moza yang malam ini dipoles Dior warna natural rosewood.

"Acara kayak gini bukan kamu banget. Kamu nggak pernah tertarik kecuali ada klien yang kamu pepet. Makanya aku nggak bilang apa-apa. Tapi waktu kamu tiba-tiba minat, aku bisa apa? Mungkin takdir kalian."

Takdir kalian? Arsen berusaha membaca raut Moza.

Arsen tahu selama berteman dengan Moza sedari kecil, gadis itu tidak pernah mempermasalahkan hal-hal sepele seperti cewek lain. Yang dilakukan Moza mungkin cuma mengkritik langsung dan meledek secara spontan.

Kalaupun Arsen tidak menurutinya, Moza juga tidak pernah ambil pusing. Arsen bebas melakukan apa yang Arsen mau. Bahkan saat dia pacaran dengan Mia yang menurut desas-desus berlatar belakang buruk, Moza hanya sesekali mengingatkan Arsen. Selebihnya Arsen yang membuat keputusan.

Moza memang sesantai itu. Namun dengan status mereka sekarang, apakah Moza masih secuek itu?

---------------------------- Bab 2

BAB 2

Sepuluh tahun. Apa saja yang bisa berubah pada diri perempuan dalam waktu sepuluh tahun?

Cara berpakaian, cara berjalan, fisik, suara, cara bersikap dan berpikir? Sial! Arsen tidak berhenti mengamati gadis yang kini tengah berbincang bersama salah seorang tamu lain di sudut gedung.

Otak Arsen membedah pertanyaannya itu satu per satu... Penampilan. Seragam sekolah atau jins belel yang dulu sering dilihatnya kini berubah menjadi dress selutut dengan sedikit bagian transparan di bagian bahu. Rambut yang dulunya sering diikat asal ke belakang, kini diurai dan ditata ke samping dengan tambahan hiasan rambut menawan. Dan fisik, dosakah Arsen memiliki gagasan ini? Fisik gadis itu jelas lebih seksi dari pada yang terakhir dilihatnya sepuluh tahun lalu.

Suaranya? Sial! Apakah Arsen harus ke sana dan bicara dengannya hanya untuk mendengar Mia bicara?

Arsen meneguk air putih yang ada di mejanya. Tidak berselera menyentuh makanan yang mulai dihidangkan.

"Kamu mau ngomong sama dia?"

Suara itu hadir sebagai tamparan yang membagunkan Arsen dari kotak lamunan.

Arsen menoleh ke sumber suara sambil mengulang pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. Di hadapannya, Moza menunduk sambil memainkan ponselnya. Bertingkah seolah pertanyaan yang baru saja dilontarkannya adalah 'Kamu mau nyobain sashimi-nya?'

"Moz, aku-"

Lebih cepat dari Arsen berpikir, Moza lebih dulu bersuara lagi.

"Samperin aja. Nggak usah ngerasa nggak enak sama aku."

Arsen tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dalam pikirannya, bergulat antara keinginannya, kepentingan keluarganya, juga dogma tata kramanya sebagai laki-laki terhadap Moza yang notabenenya adalah pasangannya.

"Tapi kamu..."

"Aku tahu kamu nggak akan tenang kalo nggak ngobrol sama dia sekarang." Moza menghela napas seraya memasukkan ponselnya ke dalam clutch. Matanya menyapu sekeliling, kemudian beralih menatap Arsen.

"Pastiin aja untuk nggak mancing persepsi aneh-aneh dari orang yang ngelihat. Aku nggak mau tiba-tiba dipanggil dan diinterogasi orang tua kita cuma gara-gara imajinasi liar wartawan gosip..."

Pada akhirnya, setelah berusaha menahan untuk tidak mengindahkan keberadaan Mia, Arsen tidak berdaya. Ia menghampiri perempuan yang mengusik pikirannya sejak tadi. Sembari mengambil cocktail dari baki pelayan yang tengah berkeliling, ia memulai percakapan ringan.

"Apa kabar, Mia?" Arsen menyesap minumannya.

Perempuan yang dihampirinya membalas seadanya.

Arsen menoleh kanan-kiri, lalu menyesap cokctail-nya. "Kamu datang sendiri?"

Mia mengangguk. "Manajerku nggak bisa nemenin."

"Tante kamu apa kabar? Baik?"

Pertanyaan seputar kabar hanya untuk basa-basi setelah sepuluh tahun meninggalkannya tanpa kabar, membuat Mia jengah.

"Baik, Sen. Kamu mau absen kabar orang sekampung satu per satu?"

Arsen menarik senyuman canggung. Mia bahkan enggan menanyakan balik bagaimana kabarnya.

Mia menatap Arsen. "Ngobrol sama orang dengan reputasi nggak bagus kayak aku di acara kayak gini..., kamu mau galih lubang kubur kamu sendiri?"

Arsen ingin mengumpat. Demi Tuhan, kapan sih Arsen bisa melakukan hal sesuka hati tanpa peduli sorotan orang?

Arsen tidak terlalu paham maksud Mia. Namun, cara pandang Mia terhadap dirinya sendiri jelas tidak bisa Arsen terima. "Kamu nggak seburuk itu."

Mia tersenyum masam. Sepuluh tahun tanpa bertukar kabar, memangnya apa yang diketahui Arsen tentang dirinya? Laki-laki itu sama sekali tidak tahu apa yang dialaminya selama ini. Ia mengarahkan pandangannya ke arah Moza, pasangan Arsen di pesta ini yang kini tengah berbincang dengan tamu lain. Matanya kembali ke Arsen, "Banyak yang kenal kamu sama tunangan kamu."

"Kami belum tunangan. Kamu tahu Moza sahabat aku." Arsen mengoreksi.

Keduanya saling menilai melalui mata masing-masing untuk beberapa detik. Sebelum akhirnya Mia menggeleng seraya menertawakan momen mereka saat itu. Jenis tawa sinis yang Arsen tidak dapat mengartikan maksud di baliknya.

Mia melihat jam di tanganya. Pukul sembilan lewat.

"Aku pergi dulu. Salam buat Moza."

"Tapi..." kalimat Arsen menggantung di udara.

Arsen belum ingin menyudahi percakapan mereka. Ia masih ingin mendengar suara Mia lebih lama lagi, mendengar wanita itu berbicara lebih banyak lagi. Namun, Arsen sadar bahwa ia bukan siapa-siapa lagi bagi Mia, hingga harus membuat wanita itu tinggal lebih lama demi dirinya. Lagi pula Arsen sadar, ia datang kemari bersama Moza, sebagai pasangan sahabatnya itu. Tentu bukan hal baik jika ia berlama-lama berdua dengan perempuan lain.

"Hati-hati." Akhirnya kalimat itu lah yang lolos dari mulut Arsen.

Mia tersenyum. Ia tahu, ada yang mengikat Arsen sekarang. Dan itu bukan dirinya.

Wanita itu berbalik meninggalkan Arsen. Detik ini juga, keduanya mengonfirmasi kalau mereka hanyalah sepasang masa lalu yang dulunya pernah menjalin hubungan. Tidak lebih.

----------------------------------Bab 3

BAB 3

Arsen mengantar Moza sampai di rumah gadis itu. Bangunan mewah dengan latar pepohonan eksotis.

Ayah Moza pencinta budaya Jepang, beliau membangun rumah ini dengan gaya khas negeri sakura, tempatnya menempuh pendidikan dan memulai karier di bidang entertaiment sehingga sekarang berhasil mendirikan perusahaan media besar yang banyak bekerja sama dengan stasiun TV Jepang untuk menayangkan program-program negara tersebut.

Moza melepas sabuk pengamannya. Namun, ia tidak buru-buru beranjak. Ditatapnya Arsen yang tampak resah, tapi berusaha terlihat baik-baik saja di depannya setelah bicara dengan Mia tadi. Ia pun teringat kejadian empat bulan lalu. Saat mereka mulai sepakat menjalani peran sebagai sepasang manusia yang siap menikah di depan keluarga maupun orang-orang yang mengenal mereka.

Tepatnya menggunakan mobil ini, Arsen yang kebetulan sedang ada urusan di Indonesia, menjemputnya yang kala itu jengah dengan kencan buta yang disusun oleh bundanya.

Entah bundanya itu hidup di zaman apa dan menganut kitab kehidupan kuno macam apa sampai-sampai mendesak putrinya untuk segera menikah. Moza tahu ayah dan bundanya menikah atas nama perjodohan, tapi bukan berarti ia juga harus mengambil cara yang sama, kan?

Apalagi setelah tahu pernikahan mereka hanya harmonis sekitar empat tahunan, sebelum akhirnya ayah Moza selingkuh dengan artis-artis yang malang melintang di rumah produksinya. Sampai sekarang, pernikahan itu hanya sebagai formalitas untuk menjaga apa yang mereka sebut kekayaan dan reputasi. Entah sudah berapa banyak wanita simpanan ayahnya sekarang, tapi keluarganya tetap utuh. Perceraian yang berujung pada pembagian harta dan menurunkan peringkat mereka dalam daftar orang-orang kaya di Forbes, tidak akan jadi pilihan.

Erick Tan, pasangan kencan butanya kala itu adalah pemilik hampir sepuluh persen saham perusahaan digital yang sedang berjaya di Singapura. Moza tidak mungkin menolak kencan itu sembarangan. Namun saat melihat sikap Erick yang kurang ajar, Moza tidak tahan untuk menyudahi pertemuan keparat itu. Kebetulan Arsen yang sedang singgah di Jakarta saat itu, menelponnya karena hendak mampir ke rumahnya. Alhasil, Moza meminta sahabatnya itu untuk sekalian menjemputnya.

"Lain kali nggak usah dateng kencan buta lagi. Kalo sampe lo kenapa-napa, gimana?" Arsen mengemudi sambil mengomel. "Terus baju lo juga. Nggak ada yang panjangan dikit apa?"

Moza menatap mini dress-nya.

"Gue awalnya emang niat bikin dia ilfeel duluan. Nggak nyangka kalo dia malah terangsang dan malah berani macem-macem ke gue."

Arsen menginjak rem untuk berhenti saat tiba di lampu merah. Ia menoleh ke sahabatnya. "Dan satu lagi, supir lo. Besok-besok suruh dia nungguin. Jangan main tinggal aja abis nganterin."

Moza memutar bola matanya. "Lo bisanya protes doang. Gimana kalo lo aja yang nikah sama gue?"

Arsen tersedak ludahnya sendiri. Saking kagetnya dengan kalimat Moza, ia bahkan tidak sengaja menekan klakson. Beruntung lampu hijau segera menyala sehingga Arsen bisa meredakan rasa terkejut dan gugupnya dengan fokus mengemudi.

Namun sialnya, Moza memulai gagasan gilanya lagi.

"Lo tahu sendiri gue nggak pernah ngerasain jatuh cinta. Waktu pacaran sama Romeo dulu pun, itu karena elo yang gue pake buat tameng dari cowok-cowok yang naksir gue, malah kalah adu rubik sama tuh playboy. Cuma gara-gara perhatian lo ke-distract pujaan hati lo itu.

"Intinya gue jadian karena lo yang harusnya selalu menangin permainan itu, mendadak kalah." Moza menatap Arsen yang mendadak sering terbatuk.

"Kadang omongan orang tua kita juga ada benernya. Jodohin kita dari dulu, dan sempet nyerah karena kita terus nolak. Padahal kalo ada orang yang gue rela ngebagi hidup gue sama orang itu, itu ya elo. Kalo ada orang yang gue nggak apa-apa buat ngelewatin seumur hidup gue sama dia, ya elo orangnya. Jadi, kenapa kita nggak nyoba aja? Ngebuktiin omongan mereka. Kita udah sama-sama selama lebih dari dua puluh tahun. Tinggal nambah dua puluh tahun lagi, lalu dua puluh tahun lagi-"

"Tapi gue nggak bisa jamin bisa bahagiain elo." Arsen memotong kalimat Moza.

Moza tergelak. "Gue yang ngelamar lo, kenapa lo yang jamin kebahagiaan gue? Bahkan orang yang saling jatuh cinta nggak bisa jamin kebahagiaan pasangannya, Sen. Begini aja udah cukup buat gue. Lo nggak perlu bikin gue cinta sama lo, atau sebaliknya. Gue nggak mau repot-repot jatuh bangun ngerasain cinta, yang kata orang harus siap sama konsekuensi sakitnya."

Arsen meremas kemudi, lalu mengarahkan kemudi ke kiri untuk menepi. Ia tidak bisa melakukan dua hal yang membutuhkan fokus sekaligus.

"Lo yakin?" Kali ini Arsen menatap Moza dengan keseriusan.

Moza mengedikkan bahu.

"Nggak pernah lebih yakin dari ini. Ini kesepakatan paling menguntungkan. Gue diuntungkan karena Bunda nggak bakal ngenalin gue sama cowok nggak jelas lagi. Sementara dari sisi lo, lo bisa mewujudkan impian bokap lo buat besanan sama presdir TJ.Ent yang mana bisa berefek bagus buat karier politiknya..."

Moza memikirkan keuntungan-keuntungan dari pernikahan mereka satu per satu. Baik dari pihaknya mau pun pihak Arsen. Keuntungan yang juga dipikirkan oleh orang tua mereka saat gencar menjodohkan mereka. Meski akhirnya sempat berhenti karena mereka terus menolak dengan alasan hanya teman. Namun, harapan untuk keduanya berakhir bersama jelas masih ada.

Dan satu per satu keuntungan itu telah dirasakan keduanya selama beberapa bulan terakhir, bahkan sebelum pertunangan mereka resmi diumumkan.

Ya, seperti yang sering kali terjadi. Arsen tidak pernah menolak kesepakatan jitu yang dibuat Moza. Apalagi setelah ia gagal menjalin hubungan dengan salah satu rekan kerjanya, yang malah membuatnya teringat lagi pada Mia. Sama seperti hari ini, empat bulan setelah peristiwa "lamaran dadakan" itu.

"Kamu pucat banget." Moza memecah keheningan di antara mereka. "Aku lihat kamu makan cuma dikit tadi."

Menyadari kekhawatiran Moza, Arsen menoleh lalu tersenyum. "Abis ini aku makan lagi, minum obat juga."

Moza tidak yakin dengan ucapan sahabatnya itu. Kalau saja besok pagi dia tidak ada janji dengan klien, ia akan menunggui Arsen sampai selesai makan dan minum obat supaya sakit lambungnya tidak kambuh.

Arsen menangkap keraguan Moza, ia menarik hidung gadis itu. Membuatnya memekik. "Aku janji..," kata Arsen gemas.

"Oke. Awas aja kalo sampe sakit. Bunda bisa ngomel ke aku. Dikiranya aku nggak becus ngurus calon menantu kesayangannya," ujar Moza seraya meraih tasnya, siap untuk keluar.

Arsen tertawa. Sejak tahu keduanya sepakat bersama, Bunda Moza memang jadi salah satu yang paling bahagia saat mendapat kabar itu. Menurut pendapatnya, cowok seperti Arsen tidak akan menyakiti putrinya. Nasib Moza akan berbeda dengan dirinya.

Arsen mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Moza sekilas. "Aku nggak mampir, ya?" ucapnya.

Moza mengangguk kemudian membuka pintu dan keluar.

------------------------------ Bab 4

BAB 4

Arsen terjaga hingga pukul dua pagi. Sudah barang biasa ia terjaga hingga tengah malam. Kalau tidak sedang mengejar deadline laporan, biasanya Arsen sengaja tidak tidur sebelum menghubungi kliennya yang berada di zona waktu berbeda. Hal ini sering dilakukannya jika ada masalah yang membuatnya tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi via email atau menunggu besok pagi, di mana jam kerja orang-orang normal dimulai.

Namun kali ini, Arsen terjaga karena alasan yang jauh sekali dari urusan kerja. Sama sekali bukan.

Arsen menyesap kopinya lagi. Ia merasakan sedikit sengatan di perutnya. Sejak beranjak remaja, Arsen mulai mengalami gejala tukak lambung. Ia harus berhati-hati dengan apa yang mengisi perutnya. Beruntung sepulang dari acara tadi, melalui whatsapp, Moza mengingatkannya lagi untuk minum Antasida dan mengisi perutnya dengan makanan. Sehingga tidak terlalu bermasalah kalau dia minum kopi malam ini.

Arsen meng-klik satu tautan lagi. Sejak beberapa jam lalu, ia mengerahkan segala upaya untuk mendapat informasi sebanyak-banyaknya tentang seseorang.

Perempuannya yang hilang. Mia.

Rupanya selama ini Mia tinggal di Bandung, baru beberapa bulan terakhir gadis itu pindah lagi ke Jakarta. Begitu pula dengan akun instagramnya yang dari postingannya tampak seperti akun baru berusia enam bulan.

Semuanya baru. Mia seolah menjadi gadis yang baru saja terlahir beberapa bulan lalu. Pantas saja dulu, saat sempat mencoba mencari gadis itu, Arsen tidak pernah menemukan jejak gadis itu. Harapan-harapan tak bermuara yang mengalir deras pada awalnya itu, lambat laun surut dengan sendirinya. Hingga tiba hari ini.

Arsen terus mengunjungi artikel-artikel yang berkaitan dengan Mia. Rupanya gadis itu sempat viral di media sosial akibat dilabrak tiga perempuan sekaligus karena dituduh menggoda pacar-pacar mereka. Video perseteruan itu beredar di mana-mana. Arsen menelan ludah, merinding melihat Mia dirudung dan dikeroyok habis-habisan.

Arsen membaca komentar-komentar di video itu.

Katanya sih bapaknya juga nggak jelas.

Nyokapnya perek, pantes anaknya begitu. Tiga cowo sekaligus...

Arsen memilih menutup laman itu. Ia tidak sanggup melanjutkan. Komentar-komentar itu membuatnya ngilu. Meski ada yang simpati kepada gadis itu, jumlahnya tidak sebanding dengan yang menghujat dan mengatai Mia habis-habisan.

Belum puas, Arsen berselancar lagi di dunia maya. Foto-foto kedekatan Mia dengan laki-laki yang merupakan kekasih dari ketiga cewek itu juga beredar. Arsen meremat jarinya, mouse-nya bahkan hampir remuk. Ia mulai memetakan jejak Mia. Viralnya kejadian itu rupanya berdampak hebat bagi popularitas Mia. Banyak yang ingin tahu siapa Mia. Dan rasa penasaran itu lama kelamaan berubah menjadi kekaguman dan keterpanaan atas kecantikan dan gaya Mia yang ternyata jauh dari kata nakal, apalagi jalang.

Arsen memutar beberapa vlog Mia yang kebanyakan direkam oleh rekannya. Gadis itu masih Mia yang hangat. Sedikit bicara, namun mempesona. Style-nya sederhana namun selalu terasa pas dengan karakternya. Pantas saja kubu penggemar Mia terus bertambah. Beberapa kali Arsen menemukan fansite Mia di media sosial.

Arsen mematikan laptopnya. Ia termenung. Untuk pertama kalinya ia menikmati kesunyian malam tanpa dirasuki oleh detail-detail tentang pekerjaan. Segala hal yang mengharuskan otaknya berpikir taktis dan terprogram. Segala hal yang memaksanya fokus, teralih dari dunianya..., menyita hidupnya, masa lalunya. Dirinya.

Namun, pertemuan itu mengubah segalanya. Detik ini, galaksinya seakan kembali memusat ke satu titik seharusnya.

****

Mia menuruni tangga ruko tiga lantai di kawasan ITC. Baru tiga hari lalu, Mia dan rekannya menggelar opening kedai kopi mereka yang bertajuk Ruang Temu. Sesuai namanya, bangunan itu didesain nyaman untuk ruang temu tamu-tamu yang datang. Beberapa ornamen lukisan ikut mempercantik ruangan.

Mia sampai di lantai satu. Tonny, manajernya, baru saja memberi tahu ada seseorang yang ingin menemuinya. Ia pun mengikuti arahan cowok itu untuk menuju meja nomor 02. Ketika sampai di bilik meja nomor tersebut, Mia tidak bisa mengantisipasi keterkejutannya.

"Arsen? Kamu ngapain ke sini?"

Suara itu mengambang di udara sampai akhirnya laki-laki yang disebut namanya menoleh.

****

Laki-laki yang ditanya tersenyum. Ia meletakkan brosur yang iseng dibacanya, lalu menengok ke sumber suara.

"Ngopi. Ini kedai kopi, kan?" katanya

Mia menghela napas. Jam baru menunjukkan pukul sebelas. Tulisan "OPEN" di pintu masuk kedainya bahkan baru saja dibalik. Arsen adalah pelanggan pertamanya hari ini. Jadi meski lebih mudah baginya untuk mengusir laki-laki itu dari pada duduk beramah tamah di hadapannya, Mia tidak mungkin memilih pilihan pertama.

"Udah pesen?" tanya Mia.

Arsen menggelengkan kepala. "Belum."

Mia duduk di hadapan Arsen lalu menyodorkan daftar menu yang selain terpampang di papan yang berada di tempat pemesanan, juga terselip di masing-masing meja pelanggan.

"Kami pakai dua jenis kopi, arabika sama robusta. Silahkan dilihat dulu," ucap Mia dengan nada sopan.

Arsen menyambut daftar menu itu. Senyum tipis tersemat di wajahnya tanpa bisa ia tahan. Ia menimang sejenak, lalu menjatuhkan pilihan. "Espresso," katanya.

Ada sedikit jeda setelah itu.

Pada detik ini, keduanya seolah tengah dihadapkan pada satu transaksi peruntungan. Arsen yang sedang memancing reaksi Mia, bertumpu pada satu harapan. Sementara Mia dengan kepingan ingatan masa lalunya yang tersisa, mencoba meraba dan meniti kemungkinan.

Apa penyakit lambungnya yang dulu sering menjadi masalah sudah membaik selama sepuluh tahun belakangan?

Apa baik-baik saja jika dia minum kopi?

Apa sudah biasa baginya minum espresso?

Kenapa bukan Americano atau Macchiato saja?

Apa Arsen sudah makan sebelum datang ke tempat ini?

Pertanyaan itu menyerang pertahanan Mia.

Alis Mia terangkat. Sudah sepuluh tahun. Banyak hal berubah. Begitu pula Arsen yang pastinya sudah cukup dewasa untuk mempertimbangkan perkara perutnya sendiri tanpa perlu dikhawatirkan oleh orang asing sepertinya. Ia pun melambaikan tangan ke arah Bintang, salah satu pelayan kedai ini.

"Satu cangkir espresso...." Mia menoleh ke Arsen. "Arabika atau robusta?"

"Arabika. Lebih aman buat lambung, kan?"

Si pelayan mengangguk.

Ada sedikit kelegaan dalam dada Mia atas pilihan Arsen. Gadis itu menyandarkan tubuh ke kursi tepat ketika Bintang berbalik.

Matanya sempat teralihkan saat beberapa pengunjung akhirnya berdatangan. Awal yang menyenangkan, Mia tidak ingin merusaknya dengan emosi yang tidak perlu. Termasuk menyangkut hubungannya dengan laki-laki di hadapannya sekarang.

"Dari mana kamu tahu tempat ini?" Mia memulai, nadanya terdengar santai.

"Instagram kamu. Tenar ya, kamu sekarang."

Mia tersenyum kecut. Kalau bukan karena zaman sekarang uang lebih mudah didapatkan dengan cara begini, Mia tidak akan rela keseharian bahkan kehidupan pribadinya jadi konsumsi publik.

"Jadi orang penting kayak kamu juga main instagram, ya?" tanya Mia.

"Kalo kebutuhannya untuk cari informasi, kenapa enggak?" Arsen menyahut. Jemarinya mengetuk-ketuk meja seolah menekan tuts piano. Ia menikmati musik yang sedari tadi mengalun di kedai kecil itu.

Pesanan kopinya sudah tiba dan Arsen meminumnya dalam sekali teguk.

Mia menatap Arsen. Meski terdapat tanda-tanda pria itu tumbuh dewasa seperti titik-titik kecil sisa bercukur di dagunya, atau gaya berpakaian dan bau parfum maskulinnya..., Mia masih bisa menangkap sorot ambisi dan kekanakkan dari mata Arsen. Ia hendak berkomentar ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

"Ehm, sori." Mia meraih ponselnya yang tadi tergeletak di meja kemudian menempelkannya di telinga.

"Iya Len?" sapanya. "Gue..., di kedai." Mia melirik Arsen sekilas. Tangannya mencoel-coel tempat tisu yang terbuat dari dari bahan kayu.

"Ah makan siang?" Mia melirik arloji di tangannya. Seseorang di seberang masih bicara.

"Oh enggak... Pemotretannya masih nanti jam setengah tiga."

".... Ehem.. oke."

Keduanya memutus sambungan.

"Siapa? Pacar kamu?" tanya Arsen iseng. Dari cara Mia bicara, Arsen bisa menebak bahwa itu adalah teman. Lagi pula, cowok mana yang dipanggil 'Len'? Leonel? Alen? Paling juga Leni, Lena, atau Helen. Dan semua adalah cewek..

Mata Mia menyipit. Ia meremas ponselnya seraya melipat kedua tangannya di dada. "Apa kita cukup dekat buat ngebahas itu?"

Arsen menelan ludah. "Sorry."

Mia tergelak. "Yeah, pacar. She's my girlfriend," ungkap Mia asal. Yang disambut raut tercengang dari Arsen.

"Aku harus pergi sekarang. Thank's for coming." Mia beranjak, berniat mengambil tasnya yang ia tinggalkan di atas.

Sebagai respon, Arsen merogoh sakunya, memeriksa dompet dan beruntung lah dia ketika menemukan kartu nama di sana.

"Ini kartu namaku." Diberikannya benda itu ke Mia.

Meski terlihat enggan, Mia mengulurkan tangan untuk menerima benda itu.

Saat tidak melihat tanda-tanda Mia melakukan hal yang sama, Arsen berkomentar, "Seenggaknya kamu kasih kontak kamu sebagai balasan," kata Arsen.

Mia memutar bola matanya. "Kamu bilang tahu tempat ini dari instagram-ku, kan? Di sana ada kontak manajerku. Semua klien ngontak aku dari situ."

Seriously, Mia... Emang kamu pikir aku mau endorse?

Arsen mengeluh dalam hati.

----------------------------------Bab 5

BAB 5

Usai Mia memasang sabuk pengaman, Helen membawa Yaris putihnya keluar komplek pertokoan untuk bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.

"Kelihatannya udah rame, ya?" Helen mengomentari suasana kedai baru Mia.

Tidak ada tanggapan. Dilihatnya Mia masih menengok ke belakang. "Mia? Kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Helen.

Seolah baru sadar dari lamunan, Mia tersentak. "Eh! Kenapa, Len?"

"Lo kayak mikirin sesuatu, ada yang ketinggalan? Atau ada masalah?"

Mia menggeleng.

"Bukan," jawab Mia kemudian menghela napas. "Mantan gue." Akhirnya Mia bicara.

"Jadi yang ketinggalan di sana mantan lo?" goda Helen.

Mia berdecak.

"Iseng banget dia nyamperin gue sampe coffee shop. Pas lo nelpon, gue bilang aja lo pacar gue."

"Wow..." Helen tak kuasa menahan tawa mendengar candaan random Mia. "Orang cantik mah bebas ya bikin cowok ilfeel. Hilang satu masih banyak juga yang ngantri."

Mia hanya menanggapi dengan senyuman tipis.

"Eh iya, lo bilang apa tadi?" tanya Mia.

"Kedai lo udah lumayan rame." Helen mengulang kalimatnya.

Mia tersenyum. Setidaknya pagi ini ia mendapati pertanda baik untuk bisnisnya.

"Lumayan. Nggak salah lo nyaranin buat buka di sini. Ya, meski harga sewa tempatnya agak mahal..., tapi worth it."

Helen menanggapi hanya dengan gerakan mengangkat bahu. It's not a big deal. Mia adalah temannya semasa kuliah. Keduanya cocok karena sama-sama anti ribet dan terhitung cuek sehingga suka risih ketika ada geng cewek di kampus yang rumpi.

"Makan di mana jadinya?" tanya Mia, melupakan pertemuan tak terduga di kedai tadi

"Soto Madura, ya? Gue ngidam dari kemarin.

"Oke."

****

Rumah makan yang mereka tuju akhirnya terlihat. Helen mencari celah untuk parkir. Beruntung mereka datang lebih awal. Lewat jam dua belas menjelang jam satu, biasanya tempat ini ramai sampai-sampai pelanggan susah menemukan tempat duduk.

Mia memilih duduk dekat kipas angin. Sembari menunggu Helen memesan, ia memandangi ornamen tempat makan legendaris itu. Di dinding rumah makan terbingkai foto gubernur dan staffnya berkunjung untuk menikmati hidangan kondang khas madura itu. Di sana tercetak angka diambilnya foto itu, tepatnya sepuluh tahun lalu. Mia sedikit terusik. Seperti halnya waktu yang memberlakukan putarannya pada rumah makan ini, waktu juga berlaku terhadap dirinya. Dan tidak ada yang bisa mengimbangi kecepatan waktu.

Pertemuannya dengan Arsen tadi membuat Mia kembali menyelami masa lalunya. Perpisahannya dengan laki-laki itu, apa yang dialaminya paska kejadian itu, dan semua yang membentuk pribadinya hingga seperti sekarang. Selayaknya orang menyelam, bagian pentingnya adalah bisa kehabisan napas jika terlalu lama. Apalagi jika yang diselami serupa air keruh berisi kumpulan memori menyesakkan.

Kehadiran Helen yang menyusul Mia ke tempat duduk seolah menarik Mia dari kubangan masa lalu.

****

Suasana ruang meeting berukuran 4x4 yang diisi oleh empat orang itu cukup sunyi. Tidak ada yang berani bersuara selama salah seorang dari mereka yang berposisi sebagai atasan tengah memeriksa print out ide yang diajukan oleh ketiga anak buahnya.

"Ganti layout-nya!" Moza melemparkan draft iklan yang dibuat oleh timnya ke atas meja. "Kalian bikin layout kayak anak kuliah baru belajar," tukasnya, tanpa ada bantahan.

Mata Moza kemudian beralih ke salah satu di antara tiga orang tadi, cowok berambut cepak. "Guntur, kamu yang buat pendekatan produknya?"

Cowok berambut cepak itu mengangguk cepat. "Iya, Bu."

"Udah bagus. Cuma lebih highlight solusi dan value yang ditawarkan. Kamu bisa lihat tagline yang saya buat untuk beberapa iklan sebelumnya."

Guntur dengan khidmat menyimak dan mencatat saran bosnya.

"Oh iya! Untuk modelnya, dari profilnya saya lebih condong ke kandidat ke dua. Tapi nggak apa-apa kalian ajukan dua-duanya sambil lampirkan riset lebih lengkap tentang keduanya."

Saran itu langsung diamini ketiganya.

"Revisi secepatnya. Saya mau minggu ini usulan udah dikirim ke klien. Jadi paling lambat, besok kalian harus email ke saya."

Meeting itu akhirnya ditutup setelah semua poin selesai dibahas dan disanggupi oleh peserta meeting. Beberapa saat setelahnya, ponsel Moza berdering. Sambil menerima panggilan, Moza masuk ruangannya dengan mendorong pintu yang terbuat dari kaca itu menggunakan bahunya.

"Iya, Sen?" sapa Moza.

"Kamu nelpon aku tadi, kenapa?" tanya Arsen.

Moza menjatuhkan tubuh di kursinya. "Cincin yang kita pesen waktu itu udah sampai di rumahku. Pagi-pagi tadi Bunda nyuruh aku ngasih tau kamu supaya cepet-cepet nyobain. Biar kalo nggak cocok bisa langsung komplain hari ini."

Ada jeda yang membentang usai Moza menyampaikan perihal cincin itu. Kemudian alih-alih tanggapan dari Arsen, yang terdengar selanjutnya adalah suara samar orang lain dari seberang.

"Satu cangkir Latte, croissant. Ada lagi yang bisa dibantu?"

"Nggak, makasih." Arsen bicara yang sepertinya ditujukan untuk suara tadi.

"Kamu lagi di mana?" tanya Moza.

"Kedai kopi."

Moza mengerutkan alis. "Sejak kapan kamu doyan ngopi?"

Terdengar helaan napas berat dari ujung sana. "Aku ..., lagi di kedainya Mia."

Tangan Moza yang tengah membubuhkan tanda tangan ke beberapa dokumen sempat terhenti ketika mendengar pengakuan Arsen.

"Oh. Kalian ketemuan?" Moza menanggapi, jemarinya pun sudah mulai bekerja lagi.

"Enggak. Kemarin sempat ketemu. Tapi hari ini kayaknya enggak." Nada kecewa tersirat jelas dari suara Arsen. Sahabatnya itu benar-benar tidak bisa menyembunyikan apa pun darinya. Semuanya transparan.

"Jangan bilang kamu yang lagi usaha ngejar Mia dan kamu ditolak?" Moza tidak bisa menahan untuk tidak menyuarakan tebakannya yang jitu.

Arsen mendesah putus asa.

"Payah kamu, Sen! Ternyata aku tunangan sama cowok yang dicampakan sama cewek lain." Moza tertawa pelan, setengah bercanda.

Mendengar frasa "tunangan", Arsen kembali mengingat perihal cincin tadi. "Oh iya. Soal cincin, nanti aku ke rumah kamu aja. Kamu pulang jam berapa?"

Moza menimang singkat, "paling lambat, jam delapan udah di rumah."

Sebelum pembicaraan itu benar-benar berakhir, Moza terpikir untuk menyampaikan sesuatu.

"Sen," panggilnya, lalu menutup semua berkas yang sudah dia tanda tangani. Ia bersandar di kursi. "Aku nggak peduli kamu masih mau ngejar Mia atau enggak. Perasaan kamu ke dia ... aku juga udah tau. Selama ini aku nggak terganggu. Tapi saat kita resmi nanti, sebisa mungkin jaga sikap kamu di depan umum. Kamu boleh kencan sama siapa pun asal jangan sampai terendus orang luar apalagi media, yang akhirnya bikin nama baik keluarga kita jatuh."

Moza menarik napas sebelum akhirnya melanjutkan.

"Kamu tahu 'kan konsekuensi karena kita udah mulai ini semua? Kita nggak bisa batalin seenak jidat. Secara kasar, yang punya relationship mungkin kita. Tapi hubungan ini bakal merembet ke yang lain. Posisi kamu, bisnis Ayah, bahkan nama baik bundaku dan yang lain-"

"Semuanya bakal kacau..." Arsen menambahkan, sebelum Moza selesai bicara. Ia merasakan tenggorokannya serak. Bayangan Moza harus kembali dijodohkan dengan orang asing, orang tua Moza yang bakal kecewa kalau sampai pertunangan mereka batal ..., terutama papanya yang senang bukan kepalang ketika ia bilang akan mencoba dengan Moza.

"Kenapa baru sekarang? Papa pikir kamu udah pinter dari dulu buat nentuin partner hidup. Nggak ada pilihan paling tepat selain Moza, anak semata wayangnya Teddy Wijaya," kata papanya waktu itu.

Semuanya tergambar di kepala Arsen. Membuatnya mengikatkan kembali tali harapan di punggungnya hingga ia mampu berdiri tegak memenuhi pengharapan orang-orang yang disayanginya.

Ia tidak akan mundur. Usai menyesap Latte di hadapannya, Arsen akhirnya bersuara tanpa menganggap kalimat panjang Moza tadi ada.

"Aku sampai rumah kamu sebelum jam delapan. Kamu jangan lama-lama pulangnya."

Moza tersenyum. Di antara sifat-sifat Arsen yang ia pahami, sifat egois adalah yang paling jauh dari sahabatnya itu.

– TO BE CONTINUED


 


 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya HEROIN (BAB 6-10)
0
0
Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tidak diinginkan dan terjadi tanpa kalimat perpisahan itu membuat keduanya tertarik untuk memulai lagi kisah lama. Meskipun pada saat itu, Arsen sudah merencanakan pertunangan dengan Moza, sahabatnya dari kecil demi tercapainya ambisi kedua keluarga mereka.Meski Moza tidak menghalangi hubungan keduanya, Arsen dan Mia tetap tidak dapat dengan leluasa menjalin hubungan. Lalu bagaimana jika suatu hari mereka melakukan kesalahan yang memunculkan skandal besar, sehingga cinta mereka diuji oleh benturan keras kedua keluarga Arsen dan Moza, serta hujatan publik yang menganggap Mia sebagai perusak hubungan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan