Elja sang Raja Angkasa

0
0
Terkunci
Deskripsi

Di pagi yang cerah, angin berhembus perlahan di sela dedaunan pohon rasamala dan puspa. Saat itu matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, sementara kabut tipis sisa semalam masih menyelimuti sebagian hutan di kawasan Taman Nasiona Gunung halimun Salak. Suasana dingin masih terasa menggigit di sebagian hutan yang belum terkena sinar matahari. 

Di salah satu cabang pohon rasamala, tampak seekor burung besar bertengger di pohon puspa. Sebagian besar tubuhnya ditutupi bulu berwarna...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
150
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Elja Sang Pembawa Kabar dari Langit
0
0
Hari itu matahari baru saja mulai bersinar. Elja masih terdiam melamun ketika tiba-tiba ada suara yang menyapanya. “Selamat pagi, Elja!” sapa suara itu yang ternyata adalah Sri si burung srigunting. Sambil meliuk-liuk di udara menangkap serangga kesukaannya, Sri tampak riang bernyanyi.Elja tampak sedikit terkejut mendengar suara itu, dan segera menjawabnya dengan gugup. “Se...se...selamat pagi, Sri” Sri tidak memperdulikan jawaban Elja. Dia terus saja meliuk-liuk menjauh mengejar serangga-serangga yang beterbangan. Melihat Sri semkain jauh, Elja kembali melanjutkan lamunannya. Dia teringat kepada kedua orang tua yang sangat menyayangi anak semata wayangnya. Elja teringat ketika ibunya bercerita mengantarkannya tidur. Cerita tentang kondisi hutan pada jaman dahulu. Diceritakan bahwa Pulau Jawa mempunyai hutan yang luas dengan berbabagai jenis hewan dan tumbuhan yang hidup di dalamnya. Ibunya juga menceritakan bahwa kakek-nenek dari orang tuanya mempunyai banyak saudara yang bisa dengan mudah dijumpai di hutan, dari hutan pantai hingga hutan pegunungan. Namun kemudian semuanya berubah ketika jumlah manusia semakin banyak. Manusia membutuhkan lahan untuk tempat tinggal, sehingga mereka membabat hutan. Akibatnya dia dan saudara-saudara kakek buyutnya semakin terdesak, dan hanya bisa menempati daerah pegunungan yang masih menyisakan kawasan hutan. “Huft, seandainya saja tempat ini masih seperti dulu......” kata Elja lirih saat mengakhiri lamunannya. Elja termasuk hewan yang dihormati di kawasan hutan itu. Mereka mengenal Elja sebagai sosok yang sopan dan sederhana. Kemampuannya menjelajah angkasa yang luas dan memandang dengan luas dan tajam, membuatnya sering mendapatkan informasi lebih awal dibandingkan dengan jenis hewan lainnya. Oleh karena itu warga hutan menganggapnya sebagai “pembawa kabar dari langit”. Pernah suatu hari sekitar 3 tahun yang lalu, selepas terbang tinggi dan berputar Elja datang menemui para tetua hutan sambil membawa kabar untuk seluruh warga hutan. Waktu itu usianya masih muda, belum genap 2 tahun semenjak dia pertama kali keluar dari cangkang telurnya. Masih jelas terlihat dari raut wajah dan warna coklat bata di seluruh tubuhnya. Baru guratan hitam tipis yang mulai menghiasi tepian paruh dan sebagian tepi lehernya yang tampak seperti kumis panjang. Baru beberapa minggu lalu sang induk meninggalkan dia untuk bertelur lagi. Namun begitu, empat lembar bulu yang tumbuh di kepala telah tegak berdiri menjadi penghias sebagaimana raja yang menggunakan mahkota.“Selamat pagi, para tetua hutan!” kata Elja membuka pembicaraannya. “Selamat pagi, Elja. Ada kabar apakah gerangan sehingga engkau meminta kami berkumpul pada hari ini?” sambut Matul si macan tutul sebagai perwakilan dari para tetua di hutan tersebut. Semenjak harimau tidak ada, warga hutan memilih untuk mengangkat beberapa satwa sebagai tetua mereka. Satwa tersebut antara lain Elja si Elang jawa, Matul si macan tutul dan Owa si owa jawa.Elja kemudian melanjutkan ceritanya. “Begini saudaraku sekalian....Kemarin saat aku terbang berkeliling, saya melihat gerombolan satwa dari atas gunung bergerak menuju lembah melewati sebelah hutan kita ini. Kemudian aku bertanya tetang apa penyebab hal itu.” “Dan apa jawab mereka?” tanya Owa tidak sabar.“Mereka mengatakan bahwa aktifitas Gunung makin meningkat. Sebentar lagi gunung itu akan meletus dengan dahsyat. Seluruh hutan di lereng gunung itu kemungkinan besar akan terkena dampaknya. Itulah sebabnya mereka mengungsi untuk mencari tempat yang lebih aman.”“Tapi kan hutan kita ini cukup jauh dari gunung itu. Dan pada letusan sebelum-sebelumnya hutan kita tidak pernah terkena dampaknya” kata Owa lagi. “Memang cukup jauh, namun menurut kabar itu gunung akan meletus dengan sangat kuat kali ini. Dan bisa saja hutan kita ini juga akan terkena dampaknya. Mungkin ada baiknya kita mengantisipasi hal itu” kata Elja. “Mari kita berpindah ke tempat yang lebih aman untuk sementara waktu” lanjut Elja. Matul yang sedari tadi diam saja ikut berkomentar. “Hmmm......sepertinya kita tidak bisa memutuskan hal itu sendiri. Kita harus melakukan musyarawarah dengan seluruh warga hutan.”Dua hari kemudian, seluruh warga hutan berkumpul di tanah lapang sebelah rumah Pak Burhan si burung hantu. Matul dan Owa duduk berjajar di atas pohon tumbang, sedangkan Elja bertengger di pohon rasamala di sebelahnya. Warga hutan lainnya berada di hadapan mereka dengan posisi masing-masing. Ada yang duduk di atas tanah, di atas pohon ataupun di atas rumput. Pak Burhan hanya bertengger santai di depan pintu lubang pohon rumahnya. “Selamat pagi, saudara-saudara sekalian” kata matul sambil berdiri dari tempatnya semula. “Kami mendapat kabar dari Elja bahwa Gunung akan meletus dengan lebih dahsyat dari sebelumnya. Ada kemungkinan hutan kita ini akan terkena dampaknya. Oleh karena itu, dia menyarankan untuk kita mengungsi sementara sampai keadaan benar-benar aman. Bagaimana menurut saudara-saudara sekalian?” lanjutnya. Semua terdiam. Sepi. Hanya suara angin yang terdengar. Lalu tiba-tiba terdengar suara Tarto si Kura-kura memecah kesunyian. “Aku sudah berpuluh-puluh tahun hidup di tempat ini, dan tidak pernah ada kejadian letusan Gunung membawa dampak berarti bagi hutan ini. Lagi pula aku mempunyai rumah yang sepertinya cukup aman” kata Tarto menjelaskan. “Memang betul, Tarto. Orang tuaku juga menceritakan hal yang sama. Namun menurut kabar yang kami terima, letusan kali ini akan terjadi dengan lebih dahsyat sehingga hutan kita ini bisa terkena dampaknya” jelas Owa. Terjadi perdebatan yang cukup panjang antara para tetua dan Elja dengan warga hutan lainnya. Sebagian mendukung pendapat Elja untuk mengungsi dan sebagian lain setuju dengan pendapat Tarto untuk tidak mengungsi.“Para tetua, saya memutuskan untuk tidak mengungsi. Silahkan apabila warga hutan yang lain akan mengungsi” lanjut Tarto. Para tetua mencoba mengakhiri perdebatan itu. Kemudian Matul berkata, “Baiklah, saudara sekalian. Tugas kami untuk menyampaikan informasi penting yang berkaitan dengan kebaikan bersama telah kami laksanakan. Adapun keputusannya, kami menyerahkan kepada saudara sekalian. Bagi yang ingin mengungsi, dua hari lagi kita berkumpul di tempat ini untuk bergerak bersama. Dan bagi yang tidak ingin mengungsi karena merasa mempunyai rumah yang aman, kami tidak akan memaksa. Hari yang ditentukan telah tiba. Puluhan warga dan para tetua hutan itu berkumpul di tanah lapang itu kembali. Mereka membawa bekal makanan dan seluruh anggota keluarganya. Warga hutan yang tidak mengungsi ikut berjajar di tepi tanah lapang. Mereka bersalaman melepas tetangganya yang akan mengungsi. Dan perlahan rombongan warga hutan yang mengungsi bergerak meninggalkan hutan yang selama ini menjadi rumah mereka. Tiga minggu setelah hari pengungsian, Elja mendapat kabar bahwa Gunung meletus. Letusannya yang sangat dahsyat menyebabkan kehancuran semua hutan yang ada di sekelilingnya, termasuk hutan tempat tinggal mereka. Dan keluarga Tarto dan warga hutan lain yang tidak ikut mengungsi, mati terkena dampak letusan itu. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan