
"Jadi gimana Gya? Kamu setuju kalau dijodohin sama Dikta?" Gyana tersentak oleh pertanyaan ayah Dikta. Meski sudah bisa menebak tujuan pertemuan ini, ditembak secara langsung seperti sekarang tentu saja membuatnya gelagapan.
"Dikta sudah setuju, tinggal keputusan dari kamu," lanjut Pram dengan sorot penuh harap.
Gyana yang merasa syok sekaligus bingung tidak mampu bersuara, lalu ditatapnya wajah teduh ayahnya yang kini tengah menatapnya. Entah Gyana yang salah mengartikan, atau ayahnya memang seperti...
RENCANA KONYOL
Gyana sungguh tidak mengerti, dari sekian banyak penduduk bumi, kenapa harus pemuda ini yang duduk di depannya? Mengulum senyum, terus menatapnya seolah dirinya adalah pemandangan indah. Namun, Gyana tahu jika semua itu hanya pencitraan di hadapan orang tua mereka. Lagi pula, sejak kapan seorang Pradikta benar-benar menyukainya? Sejak dulu, yang gadis itu ingat adalah, Pradikta si pembully, Pradikta si brengsek yang sering mempermalukan dirinya.
"Aku bawa ini, siapa tahu kamu suka." Pradikta tampak menyodorkan sekotak cokelat setelah mengambil benda itu dari ransel yang kini diletakkan di lantai rumah makan.
"Gue nggak doyan cokelat." Entah hanya perasaan Gyana saja, atau memang mata Pradikta kini menunjukkan sorot geli akan jawaban yang baru saja dirinya lontarkan.
"Bukannya cokelat itu makan kesukaan kamu?" Bukan Pradikta yang bersuara, melainkan laki-laki yang kini duduk di sampingnya. Siapa lagi jika bukan ayahnya?
"Dia ini suka banget sama cokelat, Dik. Itu nolak cuman gengsi aja," imbuh ayahnya yang membuat Gyana hanya bisa menahan kesal.
"Iya, Om. Dikta tahu kok." Pemuda itu kembali menyimpulkan senyum geli yang di mata Gyana seperti sebuah ejekan.
"Terima aja, nggak ada racunnya kok." Hanya tatapan sengit yang bisa Gyana lemparkan pada sosok menyebalkan di depannya ini.
"Ngomong-ngomong, kalian ini selalu satu sekolah sejak SMP, kan? Dan sekarang sekampus?" Septi yang sejak tadi hanya menyimak ikut bersuara.
"Wah, kayak yang udah diatur gitu, ya. Bisa terus bareng-bareng, jangan-jangan beneran jodoh anak kita ini, Gun." Pram ikut menimpali dan semua yang ada di sana tertawa, kecuali Gyana tentu saja. Gadis itu sudah bisa menebak ke mana arah pertemuan ini bermuara. Apa tujuan yang melandasi sudah jelas terlihat.
"Dulu pas masih kecil, kalian ini sering banget main bareng. Kamu nggak inget, Gy?" Pram kembali bersuara, dan arah pandang semua orang kini tertuju pada Gyana yang menunjukkan aura masam.
"Enggak, Om," jawab gadis itu malas sembari melirik pemuda di depannya yang tidak juga mengalihkan pandang. Menyebalkan sekali, jika boleh ingin sekali Gyana colok mata itu menggunakan sumpit yang tergeletak di depannya.
"Dulu masih pada lucu-lucu, ya. Nggak nyangka sekarang udah pada sebesar ini." Septi ikut menimpali.
"Sedikit lagi udah cocok buat dinikahin, ya," imbuh Pram yang kembali disambut tawa oleh yang lainnya.
Gyana benar-benar merasa muak dengan pertemuan ini. Apalagi sejak tadi Pradikta seperti menikmati kekesalannya. Apa sebenarnya tujuan pemuda ini?
"Jadi gimana Gya? Kamu setuju kalau dijodohin sama Dikta?" Gyana tersentak oleh pertanyaan ayah Dikta. Meski sudah bisa menebak tujuan pertemuan ini, ditembak secara langsung seperti sekarang tentu saja membuatnya gelagapan.
"Dikta sudah setuju, tinggal keputusan dari kamu," lanjut Pram dengan sorot penuh harap.
Gyana yang merasa syok sekaligus bingung tidak mampu bersuara, lalu ditatapnya wajah teduh ayahnya yang kini tengah menatapnya. Entah Gyana yang salah mengartikan, atau ayahnya memang seperti tengah mengisyaratkan pada dirinya untuk mengatakan iya.
"Gya kayaknya pusing, Yah, pulang sekarang!" Gadis itu segera bangkit dan melenggang pergi. Sementara semua orang yang ada di sana hanya tersenyum penuh pengertian, seolah sudah bisa memprediksi hal seperti ini akan terjadi.
"Lihat anak, Om, Dik. Kamu masih sanggup?" Gunawan tidak ingin memaksa, jika Pradikta ingin mundur saat ini juga, dirinya tidak masalah.
"Enggak, Om." Pemuda itu menggeleng dengan tegas. "Dikta udah suka Gya dari lama. Jadi restu Om kali ini akan Dikta jadikan semangat untuk bisa meluluhkan hati putri, Om."
Gunawan tersenyum lega, lalu menepuk punggung tangan pemuda itu. "Kalau nantinya susah, jangan dipaksakan." Dikta mengangguk, dirinya yakin akan berhasil dengan restu dari semua orang yang ada di sana.
*
Rain : Jadi pertemuan tadi itu tujuannya perjodohan?
Gyana yang sejak tadi menelungkupkan tubuh, kali ini memilih duduk. Memangku bantal dan mulai mengetikkan balasan pesan pada Rain. Gadis yang selama beberapa bulan ini ia kenal melalui media sosial. Rain adalah salah satu pembaca novelnya di salah satu aplikasi berbayar yang sering memberi komentar positif. Awalnya keduanya hanya berbalas pesan melalui aplikasi baca tempat Gyana mempublikasikan novelnya, lalu kedekatan itu berpindah ke laman media sosial Facebook, dan kini mereka bertukar pesan ke aplikasi berbalas pesan dengan warna hijau.
Gyana : Iya, mana akunya ditembak langsung lagi. Ditanyain apa aku mau dijodohin apa enggak.
Bibir Gyana memberengut sengit setiap kali membayangkan kembali wajah Dikta yang penuh senyum itu. Gya yakin kalau pemuda itu tengah mengejeknya melalui senyuman itu. Dan dengan menerima rencana perjodohan itu, sebenarnya Dikta hanya sedang menyusun rencana buruk.
Rain : Jadi penasaran sama yang namanya Dikta. Nanti kalau aku main ke Tangerang kamu ajakin ketemu dia, ya.
Gyana mendengkus malas, dan dengan semangat menggebu dibalasnya pesan yang Rain tulis.
Gyana : Mau ngapain? Dia bukan sosok yang patut untuk dipenasari!
Ada emoticon tertawa yang Rain kirim sebagai jawaban.
Rain : Kamu cemburu? Takut dia jatuh cinta sama aku, kan?
Meski baru mengenal beberapa bulan, tetapi mereka tidak pernah putus komunikasi, hal yang membuat satu sama lain tidak sungkan untuk saling meledek.
Gyana : Rain ngeselin, aku jadi pengin makan cokelat.
Rain : Bukannya kamu bilang tadi dikasih cokelat sama Dikta, nggak dibawa memangnya?
Pesan itu membuat Gyana bangkit dari duduknya, mengambil tas yang tergantung di pintu masuk kamar. Seingatnya sebelum pergi dari restoran tadi ayahnya memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Benar, ada cokelat pemberian Dikta tadi. Pemuda itu pasti sengaja bertanya pada ayahnya tentang makanan favoritnya ini. Gyana memang selalu menyimpan cokelat di mana pun dirinya berada. Dan stok cokelat di rumahnya sepertinya sedang habis.
Gyana : Ada di tas ternyata. Ini kalau aku makan masalah nggak, ya?
Rain : Masalah gimana?
Gyana : Kalau di cokelat ada peletnya gimana?
Rain : (Emotikon tawa) Ada-ada aja kamu itu, Gya. Kalau nggak mau kirim ke Bandung aja, aku siap nampung. Nggak masalah lah kena peletnya Mas Dikta, dari namanya aja udah keliatan cakep kok orangnya.
Gyana hanya berdecih, lalu memutuskan untuk menyudahi obrolan karena waktu sudah menunjukkan jadwal untuk dia mulai mengetik naskah. Rain yang sudah tahu jadwal Gyana segera mempersilakan.
*
"Ayah!" Gyana yang sudah siap dengan helmnya seketika kembali masuk saat tidak menemukan motornya di mana pun.
"Apa si, Gy?"
"Si Comel mana, Yah?" Si Comel itu nama yang Gyana berikan untuk motor matic merah kesayangannya. Entah mengapa harus Si Comel, saat itu Gyana hanya spontan terpikirkan nama itu dan tersebutlah sampai sekarang.
"Ngadat dia, tadi dibawa si Rizky ke bengkel." Rizky adalah tetangga mereka yang bekerja di bengkel. Dan pagi tadi Gunawan meminta tolong pemuda itu untuk membetulkan motor Gyana yang tiba-tiba tidak bisa dinyalakan.
"Ke bengkel? Bukannya tadi malam nggak kenapa-napa?" Gyana ingat semalam tidak ada masalah dengan motor kesayangannya itu. Meski beberapa kali harus masuk bengkel, tetapi beberapa waktu ini Si Comel benar-benar dalam kondisi sehat.
"Tadi pas Ayah keluarin dari garasi, dia ngadat, nggak mau nyala."
Kening Gyana mengerut untuk mencerna jawaban itu. Namun, belum sempat gadis itu memprotes, suara motor terdengar berhenti di depan rumahnya.
"Itu, jemputan kamu udah datang," ujar ayahnya dengan senyuman yang sedikit aneh di mata Gyana. Dan belum sempat gadis itu menebak-nebak, suara salam yang begitu familier menggema dari luar.
Saat sosok menyebalkan itu muncul dengan rambut gondrongnya, Gyana tahu, motor mogoknya hanyalah sebuah konspirasi untuk memuluskan rencana konyol tentang perjodohan.
Aku bawa rekomendasi novel seru dari temen penulis lagi nih. Baca dulu spoilernya
Imelia Fei - @cmelia02
Spoiler: Demi melindungi dirinya dan sang kembaran dari tirani kaisar, Loux berusaha untuk patuh dengan semua titahan ayah mereka. Termasuk menggantikan identitas sang kakak sebagai Putra Mahkota Pertama dan memasang topeng yang sangat kejam. Akan tetapi, Loux tidak menyangka berakhir menyukai Aelris, budak milik sang kaisar, yang merupakan hasil hubungan terlarang kaum deity dan manusia. Yang terburuknya, Loux lah yang mematikan kedua orangtua Aelris secara tanpa hormat. Maka dari itu, pantaskah Loux memiliki Aelris?
Penasaran mau baca? klik tautan ini
https://karyakarsa.com/oatsugarycreme/villain-me-not-prolog
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
