Bab 1 - 5 (JODOH UNTUK PAK DOSEN)

1
0
Deskripsi

Bagi Arawinda, uang adalah segalanya. Trauma di masa lalu membuatnya memutuskan untuk hidup sendiri tanpa cinta seumur hidup. Maka saat kabar perjodohan terdengar, gadis itu langsung menolak. Tidak peduli meski jodoh yang terpilih untuknya adalah dosen idola yang digilai para mahasisiwi di kampusnya. 

Nares cenderung menyukai wanita dewasa yang memiliki usia jauh di atasnya. Maka saat eyang menunjuk Arawinda sebagai jodohnya, laki-laki itu langsung menolak. Merasa Arawinda adalah gadis kekanakan...

BAB 1. PEMBAHASAN TENTANG JODOH

Waktu belum genap menunjuk pukul delapan pagi. Namun sinar matahari sudah terasa menyengat di langit Kota Jakarta. Jalanan sudah dipenuhi oleh kendaraan roda empat juga roda dua. 

Hiruk pikuk suara klakson terdengar begitu bising. Semua berlomba ingin menjadi yang pertama. Bahkan trotoar yang seharusnya menjadi hak pengguna jalan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Dipenuhi oleh sepeda motor yang ingin cepat lepas dari kemacetan. Pemandangan yang sudah tidak lagi aneh karena terjadi setiap hari. Namun meski begitu, kadang kepenatan itu tetap hadir bagi yang merasakannya. Alangkah baiknya jika ada satu hari di mana Jakarta lengang. 

Setidaknya itulah pemikiran yang melintas di kepala Nareswara. Laki-laki berusia 25 tahun yang ikut terjebak dalam kemacetan dengan mobil jazz merahnya. 

Bibir tipis itu sesekali menggumamkan lirik lagu yang sengaja diputar untuk menemani penat. Sampai ponsel yang berada di saku kemeja panjangnya bergetar tanda satu panggilan masuk. Nares mengangkat panggilan atas nama eyang, dan memasang earphone saat yakin kemacetan belum akan menguar karena lampu merah di kejauhan sana masih menunjukkan angka puluhan. 

"Ya–"

"Nares, kamu itu keterlaluan!" Nares meringis sembari mengusap telinganya yang sedikit berdenging. 

"Sabar Eyangku, Sayang. Ada apa, sih?" Nares tidak merasa melakukan kesalahan. Tadi saat berangkat pun dia berpamitan walaupun tidak secara langsung karena eyang sedang berada di kamar mandi. 

"Tadi, Eyang, kan, sudah bilang kamu jangan berangkat dulu!" Nares kembali meringis karena di seberang sana eyangnya masih berteriak. Namun meski begitu Nares tetap sabar, sudah tahu tabiat eyang yang sering kesal jika kemauannya tidak dituruti. Sepertinya ini masih berhubungan dengan topik yang sudah eyangnya bahas selama beberapa hari tanpa henti. 

"Kan, Nares tadi sudah bilang, Nares takut telat. Ini hari pertama Nares ngajar loh, Yang." Nares sedikit menundukkan kepala untuk melihat lampu merah. Saat ternyata sudah berganti kuning lalu hijau, laki-laki itu segera melajukan mobilnya. 

"Iya, tapi Eyang juga cuman butuh waktu kamu sebentar. Begitu saja masak ndak bisa?"

Nares tidak menyahut karena tengah menepikan mobil. Menyetir sembari menelpon bukan perilaku baik. Bisa membahayakan keselamatan orang juga dirinya sendiri.

"Eyang minta kamu buat lihat foto cucunya Nenek Ratri sebentar saja. Biar nanti kalau di kampus kalian ketemu langsung kenal." Suara eyang sudah melembut, tetapi Nares malah mengembus napas pelan. Sungguh bosan dengan pembahasan yang tidak juga usai ini. 

"Yang…," ujar Nares sabar. Meski kesal dia selalu berusaha untuk tetap berbicara dengan nada pelan terhadap eyang. Wanita yang sudah mengasuhnya dari kecil. Nares hanya memiliki eyang dalam hidup. Biasanya dia akan melakukan apapun yang eyang mau. Akan tetapi kali ini permintaan eyang tidak bisa disetujui begitu saja karena berhubungan dengan kelangsungan masa depannya.

"Nares, kan, sudah bilang kalau Nares nggak mau dijodohin. Nares tahu kalau maksud Eyang baik–"

"Nah itu kamu tahu kalau maksud Eyang baik. Kenapa langsung ditolak?" potong Eyang Widya membuat Nares harus menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena salah memilih kalimat. 

"Eyang ini sudah tahun berapa? Masih zaman jodoh-jodohan?" Nares melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada waktu untuk menuntaskan pembahasan ini. Jika tidak, pulang nanti eyangnya pasti masih akan terus mengganggunya.

"Ndak usah ngomongin zaman sama Eyang, Res. Eyang itu cuman mau lihat kamu nggak salah pilih istri. Kamu ndak kapok terus dimanfaatin?" 

Nares diam karena perkataan eyang memang tidak salah. Sudah berapa kali dia mengenal gadis yang salah. Hanya dimanfaatkan dari segi materi. Dan yang terakhir, dia malah dijadikan yang kedua. Nares memang tidak merasakan patah hati karena tidak memakai perasaan saat memulai hubungan. Namun tetap saja dia kesal karena merasa dibodohi.

"Tapi sekarang Nares sudah punya yang beneran baik, Yang." Nares tidak berbohong. Beberapa hari lalu dia dipertemukan lagi dengan kakak seniornya di kampus dulu. Gadis yang selama ini diam-diam Nares kagumi karena cantik dan anggun. 

Setelah kehilangan kontak selama hampir dua tahun, Nares pikir tidak akan dipertemukan kembali. Namun takdir ternyata berkata lain. Gadis itu muncul tiba-tiba dengan penampilan yang semakin mempesona. Dan yang penting, statusnya adalah single. Tentu saja Nares tahu karena mereka sempat mengobrol, dan beberapa hari ini terus bertukar pesan. 

"Alah… Eyang tetep ndak percaya sama pilihan kamu, Res. Lagipula perjodohan ini adalah janji eyang sama Nenek Ratri." 

Nares hanya bisa menghela napas. Nenek Ratri adalah sahabat baik eyang sejak masih tinggal di Jogja dulu. Sama-sama merantau ke Jakarta dan menetap di ibu kota setelah menikah. Entah bagaimana rencana perjodohan itu bisa tercetus.

"Kalau sampai ndak ditepati, gimana kalau hantunya Nenek Ratri neror Eyang?"

Nares menahan tawa mendengar kalimat itu. "Eyang nggak usah aneh-aneh. Mana ada hal semacam itu?"

"Buktinya selama beberapa hari ini dia selalu muncul di mimpi Eyang. Apa artinya kalau ndak menagih janji?" 

Nares kembali menghela napas. Melirik arlojinya, ternyata pembahasan ini tidak bisa diselesaikan sekarang juga. 

"Gimana kalau kita bahas nanti lagi? Nares takut telat." Hari ini adalah hari pertama Nares mengajar sebagai dosen di Universitas Generasi Emas. Tidak boleh terlambat di hari paling penting. Kesan pertama sangat menentukan karirnya ke depan nanti.

"Tapi janji kamu harus mau ketemu sama cucunya Nenek Ratri. Atau paling endak kalian kenalan saja dulu. Kalau memang ndak cocok nantinya Eyang ndak bakalan maksa, Res."

Nares tentu saja tidak percaya dengan kalimat terakhir eyang. Jika sudah menginginkan sesuatu, itu artinya eyang sudah memikirkannya dengan baik. Entah bagaimana rupa atau sifat gadis itu sampai eyang sangat menyukainya. Namun sebaik apa pun itu Nares tetap akan menolak karena sudah memiliki pilihan sendiri. Dan lagi, gadis yang eyangnya pilih adalah seorang mahasiswa di kampus tempat Nares mengajar kini. Bagaimana jika gadis itu adalah mahasiswanya sendiri? Nares tidak menyukai gadis belia yang masih terkesan kekanakan. 

"Res!" 

"Kita bahas nanti lagi, Yang. Nares jalan." Setelah mengucapkan salam Nares segera menutup panggilan tanpa menunggu eyangnya menimpali. Baru saja akan melajukan kembali mobilnya, suara benturan keras mengejutkan laki-laki itu. Saat menoleh, ternyata seorang pengendara sepeda motor menabrak bagian belakang mobilnya. Bukannya berhenti, pengendara itu malah kabur. 

Nares membuka kaca mobil sembari berteriak. Dan saat sepeda motor itu malah melajukan kendaraannya begitu cepat, Nares pun berusaha mengejar. Apalagi saat yakin body belakang mobilnya pasti penyok karena benturan tadi sempat membuat mobilnya bergoyang. 

Nares menepikan mobil saat sepeda motor yang dikejarnya berhenti di pinggir jalan. 

"Hei turun kamu!" teriak Nares pada pengendara motor tersebut yang ternyata seorang gadis. 

Bukannya menuruti perintah Nares, gadis yang mengenakan helm dengan bentuk aneh itu malah berusaha menyalakan mesin kendaraannya yang sepertinya mogok. 

"Jangan kabur!" teriak Nares lagi. Namun sial, baru saja dia akan memegang bagian belakang sepeda motor untuk menahannya agar tidak kabur. Kendaraan beroda dua dengan bunyi berisik itu malah melaju dan meninggalkan kepulan asap hitam ke tubuh Nareswara. 
 

BAB 2. AMPUN, PAK!

Sialan. Nares sebenarnya bukan tipe orang yang senang mengumpat jika situasinya tidak terlalu menyebalkan. Sambil terbatuk-batuk karena asap knalpot hitam yang mengepul ke arahnya, laki-laki itu masuk ke mobil. Andai saja tidak sedang dikejar waktu, Nares tidak akan membiarkan gadis itu kabur. Sekarang Nares benar-benar dalam kondisi darurat waktu karena harus mengganti pakaiannya terlebih dulu. 

Beruntung laki-laki yang selalu menomorsatukan penampilan itu selalu membawa pakaian cadangan di dalam mobil. Nares segera melajukan kembali mobilnya setelah mengganti kemeja biru laut dengan warna abu-abu. Celana bahannya juga sudah diganti. Sial sekali karena tadi dia tidak sempat mencatat nomor kendaraan gadis menyebalkan itu. 

Nares tiba di kampus setengah jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Beberapa mahasiswi tampak tersenyum menyapanya. Nares balas dengan senyuman yang menurutnya biasa saja. Akan tetapi para gadis muda itu malah berteriak tertahan, seolah-olah baru saja bertemu dengan artis idola. Nares yang sudah sering mendapati respon semacam itu, hanya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya. 

Langkah Nares terhenti saat di kejauhan sana terlihat siluet gadis yang sepertinya tidak asing. Dan saat mengingat gadis itu adalah yang menabraknya tadi, Nares berniat mendekati. 

"Pak Nares!" Langkah Nares kembali terhenti, ternyata rekan dosen yang memanggilnya. 

"Selamat pagi Pak Ridwan." Nares menyapa dosen senior itu sembari menoleh ke arah gadis tadi, tetapi sosoknya sudah menghilang. 

"Pak Nares mau ke ruangan dosen?" Nares mengangguk lalu segera melangkah beriringan dengan Pak Ridwan. Dalam hati masih memikirkan gadis tadi. Jadi dia mahasiswi di kampus ini? Jika benar begitu, mereka akan bertemu secara tidak sengaja nanti. 

*

"Selamat pagi!" sapa Nares saat memasuki kelas pertamanya. Tidak lupa, menebar senyum yang sering dikatakan menawan oleh banyak orang. Dalam kondisi diam pun, laki-laki dengan belahan rambut sebelah kiri itu terlihat seperti sedang tersenyum. Nares memang memiliki garis wajah yang menunjukkan keramahan. 

Sambutan salam terdengar dari semua mahasiswa. Beberapa mahasiswi tampak saling berbisik dan terus melempar senyum ke arah Nares. 

"Mungkin perkenalan singkat saja dari saya. Perkenalkan nama saya Nareswara Pradipta, dosen mata kuliah keuangan baru kalian. Boleh panggil Pak Nares, Pak Dipta, suka-suka kalian saja. Asalkan jangan panggil sayang karena saya sudah ada yang punya." Nares mengakhiri perkenalan yang diselipi humor itu dengan senyuman. Tak pelak kalimat terakhirnya memancing tawa untuk menguar.

Nares pun segera memulai kelas dengan gaya santainya. Sesekali penjabaran yang dilakukannya diselipi humor. Dia ingin dikenal sebagai dosen yang asyik saat mengajar, bukan dosen killer yang ditakuti. Dia ingin mahasiswa yang mengikuti kelasnya bisa menikmati waktu belajar dengan baik. Bukankah saat dalam kondisi menyenangkan otak juga akan lebih mudah mencerna materi? 

"Oke, silakan kalau ada yang mau bertanya." Nares duduk di tepi meja sembari mengedar pandang dan mempersilakan salah satu mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan. Namun konsentrasinya harus terganggu oleh satu mahasiswa yang kini duduk di bangku tengah nomor dua dari belakang.

"Itu saja, Pak!"

Beruntung Nares tipe orang yang bisa membagi konsentrasinya ke dua arah. Pertanyaan dari mahasiswanya tadi bisa dia tangkap dengan baik dan juga bisa Nares jawab dengan lancar. Namun mata hitam laki-laki itu sesekali mengarah ke tempat yang sama. Di bangku itu, entah mengapa sejak tadi penghuninya selalu menyembunyikan wajah. 

Kelas pertama akhirnya usai. Nares keluar kelas terlebih dulu. Berpura-pura menelpon, dengan mata sipitnya laki-laki itu terus mengawasi satu persatu mahasiswa yang keluar.

"Hei! Kamu tunggu!" Nares meneriaki satu gadis dengan rambut mengembang sepanjang punggung. 

"Kamu yang pakai kacamata!" katanya lagi saat gadis tadi tidak mengindahkan panggilannya. 

"Yang pakai jaket kuning!" teriak Nares lagi dengan nada geram karena gadis yang dimaksud tidak juga berhenti. 

Nares terpaksa menahan ransel abu-abu gadis itu untuk memaksanya berhenti. Dan senyum sinisnya terselip samar saat mengenali gadis itu sebagai penabraknya tadi. Apalagi saat gadis tersebut terlihat menunduk sembari membetulkan kacamatanya berkali-kali. Tanda jika sedang dalam kondisi gugup, atau takut. 

"Saya perlu bantuan, tolong kamu ikut saya," ujar Nares untuk memutus keheranan yang terlihat nyata dari mahasiswa lain yang kini memperhatikannya dan gadis ini. 

"Kalau kamu kabur lagi, saya akan lapor polisi." Kali ini Nares berbisik, sengaja memberi ancaman agar gadis ini tidak lari. 

"Ta-tapi, Pak, saya beneran nggak sengaja tadi." Gadis dengan tubuh mungil itu terlihat seperti akan menangis. Nares sebenarnya tidak tega melihatnya, hanya saja dia ingin mengajari gadis ini agar tidak lari dari tanggung jawab. Apalagi saat tahu jika dia adalah mahasiswanya. 

"Ikut saya! Jangan bahas di sini." Nares melangkah terlebih dulu. Sempat melambatkan langkah sembari menoleh sedikit ke belakang. Saat yakin gadis tadi mengikutinya, kaki panjang itu mempercepat langkahnya. 

"Saya harus ganti rugi berapa, Pak?" Gadis di belakang Nares bertanya saat mereka sudah berada di tempat yang sedikit sepi. 

Nares pun menghentikan langkah, lalu memutar tubuh. "Saya belum tahu karena belum memeriksa kerusakan yang kamu buat."

"Tolong jangan mahal-mahal, ya, Pak." Gadis itu tampak memohon, wajahnya sungguh terlihat memelas. 

Nares tidak langsung menjawab, laki-laki itu mengedikkan dagu ke arah bangku koridor. Mengisyaratkan gadis di depannya untuk duduk. 

"Siapa nama kamu?" tanya Nares setelah gadis di depannya duduk. Sementara dirinya masih berdiri, hanya meletakkan buku agenda serta ponselnya ke bangku koridor. Sengaja berdiri agar terlihat lebih mengintimidasi. 

"Arawinda, Pak. Arawinda Falisha," jawab gadis itu sembari berkali-kali membetulkan kacamatanya yang tidak merosot. 

Nares mengangguk-anggukan kepalanya. "Kamu tahu kesalahan kamu apa?"

Gadis itu mengangguk pelan. 

"Coba sebutkan dengan jelas." Nares terdengar seperti tengah berbicara dengan anak TK saat ini.

"Kabur setelah melakukan kesalahan," cicit gadis itu sembari menundukkan wajah. 

Nares kembali menganggukkan kepala. "Andai saja kamu tidak kabur, mungkin saya tidak akan meminta ganti rugi."

Gadis itu langsung mendongakkan wajah. Ada gurat penyesalan di sorot matanya yang terlindung kaca. 

"Tapi karena kamu malah kabur, juga bertindak tidak sopan dengan mengepulkan asap knalpot …."

"Itu saya beneran nggak sengaja, Pak," ujar Arawinda cepat. Tampak sangat menyesal sekali. "Saya nggak tahu kalau knalpotnya bisa ngebul." 

Nares menghela napas, memperhatikan penampilan gadis di depannya yang terlihat jelas bukan orang berada. 

"Saya bener-bener minta maaf, Pak. Kalau memang harus ganti rugi, boleh nggak kalau jangan pakai uang?"

Nares diam, terlihat menimbang. "Lalu dengan apa?"

"Saya bersedia jadi asisten Bapak. Bapak boleh menyuruh saya ngelakuin apa pun!" ujar gadis itu bersemangat. Namun sedetik kemudian seperti menyesali kata-katanya. 

Nares melirik arlojinya, waktu untuk berbasa basi sudah tidak lagi ada karena harus ke kelas berikutnya. 

"Kamu benar-benar menyesal?" Gadis itu mengangguk cepat. 

"Janji nggak bakalan ulangin perbuatan seperti itu lagi?" Nares memicingkan mata, gadis itu kembali mengangguk cepat. Terlalu cepat malah, sampai rambut mengembangnya menutupi setengah wajah. 

"Oke, saya kasih kamu keringanan kali ini." Senyum lebar langsung terbit di wajah gadis yang sebenarnya memiliki paras manis ini. Namun sayang tertutup oleh penampilannya yang berantakan. 

"Jadi saya nggak harus ganti rugi?"

"Yah, untungnya saya masih punya hati nurani." 

Senyum gadis itu kian lebar. "Makasih, ya, Pak. Ternyata Bapak tidak hanya ganteng tapi juga baik hati!" Terlalu semangat, gadis itu berdiri. Membuat satu kesalahan fatal lain saat kesalahannya baru saja dimaafkan.

Nares yang sempat berbaik hati kini wajahnya memerah menahan marah. Bagaimana tidak? Gadis ini baru saja membuat ponsel dan juga buku agenda  yang diletakkan di bangku koridor terjun bebas ke selokan. 

"Arawinda Falisha!" geram laki-laki itu menahan emosi. 

Sementara Arwinda malah kabur sembari berteriak, "Ampun, Pak!" 

BAB 3. DUNIA TERASA SEMPIT

Hari ini sepertinya adalah hari paling buruk di 21 tahun Arawinda hidup. Semua berawal dari pagi ini yang harus berjalan dengan sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Pagi-pagi Satrio, abang satu-satunya yang Ara miliki sudah membuat ulah.

"Eh, Bang! Itu helm gue mau dibawa ke mana?" Ara berteriak sembari mengejar Satrio yang sudah melangkah lebar ke luar. Jika sedang dalam kondisi seperti ini, Ara baru merasa kakinya sangat pendek. Padahal biasanya dia tidak akan terima jika dikatakan pendek oleh abangnya.

"Pinjem bentar!" Satrio yang sudah duduk di atas sepeda motor, langsung menggeber sepeda motor berisiknya keluar dari halaman rumah. Tidak memberi kesempatan sedikitpun pada sang adik untuk mengambil apa yang dipegangya.

"Di kamar ada helm lain!" Teriakan samar itu sempat tertangkap di pendengaran Ara. Gadis itu sangat kesal karena jika barangnya sudah jatuh ke tangan Satrio, maka tidak akan kembali dengan kondisi sama. Minggu lalu saja jas hujannya yang berwarna hijau kembali dengan warna merah, itu pun dalam kondisi robek. Entah pergi ke mana jas hujan miliknya itu. Kali ini Ara juga yakin helmnya akan bernasib sama.

"Lagian lu, Ra. Udah tahu abang lu kayak gitu, naro helm sembarangan." Ara yang masih berdiri di ambang pintu segera bergerak menghampiri ibunya. Membantu wanita yang melahirkannya itu mengangkat bungkusan plastik berisi pesanan nasi uduk. Hari ini mereka dapat pesanan banyak dari ibu teman SD Arawinda.

"Ara keburu capek tadi malem, jadinya lupa nggak bawa masuk itu helm." Ara sadar dirinya memang sering ceroboh. Dan kali ini kecerobohannya menyisakan kesialan. Semalam dia baru sampai rumah jam 11 karena mendapat pekerjaan tambahan. Menjaga murid les privatnya yang ditinggal kondangan oleh orang tuanya. Arawinda memang memiliki beberapa pekerjaan sampingan untuk biaya kuliahnya. Tidak mau membebani sang ibu yang kini menjadi tulang punggung.

"Ya udah, berangkat sono! Nanti lu telat." Ara mengangguk sebagai jawaban. Lalu saat teringat teriakan terakhir abangnya, gadis bertubuh mungil itu melangkah ke kamar Satrio terlebih dulu. Namun, Ara harus dibuat menganga lebar saat melihat helm seperti apa yang abangnya maksud.

"Mah! Masak Ara harus pakai helm kayak gini!" Ara rasanya ingin membanting penutup kepala dengan bentuk mirip tabung gas elpiji yang sering meledak itu.

Atikah tertawa melihat benda seperti apa yang ada di tangan putri bungsunya. "Abang lu memang suka aneh, Ra. Tapi udah pakai aja, daripada entar lu telat. Apa Mamah pinjemin ke si Jono?"

Ara langsung menggeleng mendengar ibunya menyebut nama tentangga mereka. Ara paling tidak suka meminjam barang milik tetangga. Takut nantinya malah rusak.

"Udahlah, Ara pasrah aja." Arawinda terpaksa mengenakan helm aneh itu. Berharap saja tidak akan ada polisi yang menilang. Atau orang iseng yang akan merekam keanehannya lalu menyebar ke media sosial. Ara tidak suka terkenal dengan cara viral.

Atikah menahan tawa saat helm itu terlihat makin aneh saat berada di kepala putrinya. "Udah cepetan. Jangan lupa anterin nasi uduknya dulu."

Arawinda mengangguk dan segera mengangkat bungkusan besar itu ke luar. Meletakkan di sepeda motor matic peninggalan ayahnya. Laki-laki yang sudah tidak lagi pernah terdengar kabarnya setelah bercerai dengan sang ibu. Dengar-dengar, mantan suami ibunya itu menikah dengan wanita selingkuhannya.

Kekesalan Ara harus kembali diuji saat menyalakan mesin sepeda motor. Entah bagaimana caranya, kendaraan roda dua itu bisa berbunyi sangat nyaring.

"Sialan memang Bang Sat!" geramnya saat yakin ini semua perbuatan abangnya.

Kemarin sepeda motornya di-service sehingga Ara menebeng pada temannya. Seharusnya dia curiga saat Satrio menawarkan diri akan membawa sepeda motor itu untuk dibawa ke bengkel. Meski abangnya bekerja di bengkel, tetapi Ara tidak pernah meminta bantuan Satrio. Benar saja, sekali dipercaya abang brengseknya itu malah membuat ulah. Sepertinya bagian knalpot yang diganti.

"Berisik amat, Ra!" Atikah tampak tergopoh berjalan ke luar, lalu mendekati Ara yang masih memasang wajah kesal.

"Kelakuan anak Mamah ini!" kesal gadis dengan rambut ikal sepanjang punggung, yang dibiarkan mengembang berantakan itu.

"Entar Ara bawa ke bengkel pulang ngampus." Ara segera mencium punggung tangan ibunya, mengucap salam. Dan hanya mengangguk saat sang ibu menyuruhnya untuk berhati-hati.

Ara melajukan pelan sepeda motor yang tidak bisa dikatakan bagus itu. Akan tetapi, biasanya akan berjalan mulus. Apalagi jika baru di-service, tetapi kali ini gadis itu merasa aneh. Setang kendaraan roda duanya seperti ingin terus oleng ke kanan.

"Sebenarnya diapain sih sepeda motor gue?" gerutu gadis itu tanpa menghentikan sepeda motor yang dikendarainya. Percuma saja memeriksa karena Ara sama sekali tidak mengerti otomotif. Lagi pula dia tidak punya banyak waktu karena harus segera mengantar nasi uduk pesanan sebelum ke kampus.

Ara terus melaju di jalanan yang padat. Kemacetan sudah bukan menjadi pemandangan aneh di Jakarta. Gadis itu dengan sigap menyelip di antara mobil yang tertahan di lampu merah. Namun tidak mau ikut-ikutan memakai trotoar sebagai jalan pintas. Baginya jalanan itu adalah hak pejalan kaki. Dan dia ingin belajar untuk tidak mengambil hak orang lain.

Ara mulai menguasai sepeda motornya yang masih terus ingin oleng ke kanan. Namun, setelah melewati lampu merah, entah bagaimana caranya dia hilang kendali dan berakhir menabrak satu mobil yang tengah terparkir di pinggir jalan.

Dengan jantung berdebar cepat Arawinda melebarkan mata saat melihat bekas penyok di bagian yang ditabraknya. Membayangkan nominal uang ganti rugi yang bisa saja pemilik mobil itu minta, Ara secara spontan menarik gas dan melaju untuk kabur.

Ara terlalu panik sehingga tidak sadar jika perbuatannya salah. Namun sial sekali karena baru beberapa meter sepeda motornya malah mogok. Di-starter berulang kali tidak mau menyala. Sementara mobil tadi sudah mengejarnya, dan kini berhenti di belakang.

Ara terus mencoba menyalakan mesin kendaraan roda dua berwarna merah tua itu. Dan saat pemilik mobil berhasil turun, nyaris menahan bagian belakang sepeda motornya, Ara berhasil menyalakan kendaraan itu lalu kabur. Sempat melihat kepulan asap yang entah kenapa bisa mengepul dari knalpot berisiknya. Pulang nanti dia harus benar-benar membuat perhitungan dengan Satrio.

*

Arawinda sampai di kampus 35 menit sebelum kelas pertamanya dimulai. Perasaannya sungguh tidak nyaman karena kabur setelah melakukan kesalahan. Kini di matanya, laki-laki dengan penampilan rapi dan mahal tadi seperti terus berada di sekitarnya.

"Hari ini katanya ada dosen baru, ya?"

Ara yang sedang berjalan menuju kantin mendengar percakapan beberapa mahasiswi.

"Katanya ganteng parah!"

Ara mengernyit jijik melihat ekspresi girang yang ditunjukkan temannya itu saat memuji sang dosen baru. Memilih untuk tidak ikut dalam obrolan, gadis dengan penampilan serampangan itu mempercepat langkah. Tenggorokannya kering dan harus cepat dibasahi oleh air mineral dingin. Ara biasanya membawa minum untuk menghemat uang, tetapi karena kesal dia jadi lupa tadi.

Di kantin pun pembahasan yang terdengar tidak jauh dari dosen baru yang katanya sangat tampan. Ara benar-benar tidak peduli, dan malah terlihat bosan. Baginya laki-laki super tampan tidak lebih menarik dari segepok uang.

Gadis yang memang selalu cuek dengan penampilan itu segera melangkah ke kelas pertamanya setelah selesai membeli air mineral. Sesekali membalas sapaan teman mahasiswa yang rata-rata adalah laki-laki. Ara tidak memiliki sahabat perempuan karena menurutnya itu sedikit merepotkan. Lebih senang berteman dengan anak laki-laki dan tidak ada yang bisa dikatakan sahabat.

Sampai di kelas Ara duduk di bangku paling tengah. Tidak mau menjadi pusat perhatian dosen jika tiba-tiba mengantuk di tengah kelas berlangsung nanti. Namun, jangankan mengantuk, mendongakkan kepala saja dia tidak berani saat suara salam itu akhirnya terdengar.

Dosen baru yang katanya tampan itu memang sesuai dengan kenyataan. Sayangnya bukan itu yang membuat Ara kini terperangah. Jika saja lampu ajaib memang ada, Ara ingin meminta satu permintaan pada Om Jin. Yaitu menghilangkannya dari kelas detik ini juga.

Bagaimana bisa laki-laki yang mobilnya dia tabrak tadi adalah dosen barunya? Kenapa dunia mendadak menjadi sempit sekali?

BAB 4. HUKUMAN

Sepanjang kelas berlangsung konsentrasi Arawinda sama sekali tidak berada di tempat. Gadis itu terus saja sibuk menyembunyikan wajah agar tidak terlihat oleh Nares. Tidak sadar jika tingkahnya ini malah memancing kecurigaan dosen muda di depan sana.

Saat kelas usai dan Nares sudah keluar dari ruangan, Ara langsung meninggalkan kelas. Akan tetapi sial karena laki-laki itu malah masih berdiri di depan kelas. Sedang sibuk dengan ponselnya. Entah benar-benar sedang menelpon atau–

"Hei! Kamu tunggu!" Langkah Ara sempat tertahan sebentar, sebelum akhirnya kaki jauh dari kata jenjang itu nekat kembali melangkah. Pura-pura tidak tahu jika dirinya yang dipanggil. 

"Kamu yang pakai kacamata!" Kali ini Arawinda menoleh ke kanan dan kiri, saat menemukan satu mahasiswa lain di dekatnya mengenakan kacamata, Ara memutuskan untuk tetap berpura-pura bodoh. 

"Yang pakai jaket kuning!" Kepala gadis itu kembali bergerak ke kanan dan kiri. Akan tetapi tidak menemukan orang yang mengenakan jaket kuning selain dirinya. 

Ara tetap berlagak bodoh dengan terus melangkah. Namun geraknya tertahan saat tas abu-abunya ditarik dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Bapak Dosen Tampan, Nareswara Pradipta. Dengan ekspresi takut Ara memutar tubuh, lalu menundukkan kepala saat tatapan tidak bersahabat dia dapat. 

"Saya perlu bantuan, tolong kamu ikut saya." Mendengar kalimat itu, Ara sempat mengerjap bingung. Namun segera sadar jika kalimat itu sengaja Nares ucapkan untuk menjawab tatapan penasaran dari sekeliling mereka.

"Kalau kamu kabur lagi, saya akan lapor polisi." Bisikan itu terdengar seperti nyanyian mistis yang membuat bulu kuduk Ara meremang. Kata polisi sungguh tidak terdengar bagus di telinganya. 

"Ta-tapi, Pak, saya beneran nggak sengaja tadi." Mencoba bernegosiasi, siapa tahu Nares akan memberi belas kasihan padanya. Lagipula tadi memang dia tidak sengaja. Yah, walaupun memang aksi kaburnya tidak bisa dibenarkan. 

"Ikut saya, jangan bahas di sini." Nares melangkah terlebih dulu.  Ara pun mengekor dengan sedikit kepayahan. 

"Saya harus ganti rugi berapa, Pak?" Ara memberanikan diri untuk bertanya saat mereka sudah berada di tempat sepi. Nares menghentikan langkah dan memutar tubuh untuk menghadap ke arah Arawinda. Jika boleh meminta, Ara ingin Nares tetap membelakanginya saja. Daripada berhadapan seperti ini, menambah kegugupannya saja.

"Saya belum tahu karena belum memeriksa kerusakan yang kamu buat."

"Tolong jangan mahal-mahal, ya, Pak," ujar Ara memohon. Dia tidak bisa memperkirakan berapa total kerugian yang Nares alami. Mungkin gajinya selama satu bulan bekerja part time ke sana sini tidak akan cukup.  

Nares tidak langsung menjawab, laki-laki itu mengedikkan dagu ke arah bangku koridor. Ara yang paham dengan perintah tidak terucap itu langsung duduk. Dalam posisi sama-sama berdiri saja, Nares terlihat menjulang di depannya. Apalagi dengan posisi saat ini. Nares yang memiliki tinggi 180 cm, terlihat seperti tiang listrik. Memaksa Ara untuk mendongak. Belum lagi aura mengintimidasi yang sepertinya sengaja laki-laki itu lesatkan. 

"Siapa nama kamu?" 

"Arawinda, Pak. Arawinda Falisha." Posisi yang tidak menguntungkan ini membuat kegugupan Ara semakin menjadi. Berkali-kali gadis itu membetulkan kacamata berbingkai kotaknya. Padahal benda itu sama sekali tidak merosot dari pangkal hidungnya. 

 "Kamu tahu kesalahan kamu apa?"

Ara segera memberikan anggukan pelan. Memilih untuk menundukkan wajah. 

"Coba sebutkan dengan jelas," dikte Nares. Ara merasa seperti  berhadapan dengan orang dewasa yang sedang berbicara dengan balita. 

"Kabur setelah melakukan kesalahan," jawab Ara pelan. Masih menundukkan wajah karena tidak mau terlalu terintimidasi. Lagipula, lehernya juga pegal jika harus terus mendongak.

"Andai saja kamu tidak kabur, mungkin saya tidak akan meminta ganti rugi." Saat kalimat itu terdengar, Arawinda langsung mendongakkan wajah. Benarkah? Kalau begitu seharusnya tadi dia tidak kabur. Seketika Ara sangat menyesal.

"Tapi karena kamu malah kabur, juga bertindak tidak sopan dengan mengepulkan asap knalpot!"

"Itu saya beneran nggak sengaja, Pak," ujar Ara cepat. Berusaha membela diri karena memang dia tidak sengaja. "Saya nggak tahu kalau knalpotnya bisa ngebul." Kekesalannya pada Satrio seketika muncul kembali.

"Saya bener-bener minta maaf, Pak. Kalau memang harus ganti rugi, boleh nggak kalau jangan pakai uang?" ujar Ara lagi saat Nares hanya diam. Hanya menatapnya dari ujung kepala sampai kaki, seperti tengah menilai. 

"Lalu dengan apa?"

"Saya bersedia jadi asisten Bapak. Bapak boleh menyuruh saya ngelakuin apapun!" jawab Arawinda bersemangat. Akan tetapi langsung terdiam saat sadar kalimatnya tidak benar. Bagaimana kalau Nares menyuruhnya untuk melakukan hal-hal aneh?

"Kamu benar-benar menyesal?" Ara mengangguk cepat, berharap kalimat ini adalah awal dari sesuatu yang bagus. Nares terlihat seperti ingin menyudahi pembahasan ini dengan cepat. 

"Janji nggak bakalan ulangin perbuatan seperti itu lagi?" Ara kembali mengangguk dengan semangat penuh. Wajah Nares sudah kembali ke aura penuh keramahan. Apakah semudah ini bernegosiasi dengan Nares? Jika, ya, Ara sungguh menyesal karena tadi kabur. 

"Oke, saya kasih kamu keringanan kali ini."

Dengan senyum sangat lebar Arawinda bertanya  "Jadi saya nggak harus ganti rugi?"

"Yah, untungnya saya masih punya hati nurani." 

Arawinda nyaris melompat karena terlalu senang. "Makasih, ya, Pak. Ternyata Bapak tidak hanya ganteng tapi juga baik hati!" ujarnya sembari berdiri. Namun sesuatu yang berlebihan memang tidak akan berakhir baik. Seperti Ara yang terlalu semangat saat mendengar kabar baik itu. Satu kesalahan yang baru saja selesai, harus diganti dengan kesalahan baru yang bisa dikatakan cukup fatal. 

Mata Arawinda melebar saat melihat benda yang tanpa sengaja tersenggol tangannya barusan adalah ponsel dan juga buku. Dan parahnya, kedua benda itu meluncur bebas ke selokan yang berair. 

"Arawinda Falisha!" 

Mendengar geraman itu kaki Ara otomatis langsung berlari menjauh. "Ampun, Pak!" teriaknya.

*

Apakah Arawinda berhasil kabur? Jawabannya tentu saja tidak. Karena Nares kali ini lebih sigap. Laki-laki itu langsung mengejar Ara dan menarik ransel gadis itu. Memaksa Ara untuk mengambil dua barangnya yang berada di selokan. Dan kini, keduanya tengah berada di ruangan dosen. 

"Kamu beruntung karena ponsel saya masih menyala." Nares terlihat sekali tengah menahan emosi saat ini. Sepuluh menit lagi kelas berikutnya harus dimulai. Dan dia malah harus bertahan dengan mahasiswanya yang benar-benar menyebalkan ini. 

"Maaf, Pak," bisik Ara takut-takut. Tidak berani menatap wajah Nares. Sekarang dia benar-benar pasrah jika harus ganti  rugi. 

Nares menghela napas lelah. "Saya harus apakan kamu ini?"

Ara diam sembari menundukkan wajah. 

"Begini saja, kamu tulis buku agenda ini dengan yang baru. Semuanya harus sama dan tulisannya harus rapi." Setelah mengatakan itu Nares langsung menyuruh Arawinda keluar. Tidak menerima protes yang akan muncul dari bibir gadis itu. 

"Besok sudah harus ada di tangan saya," ujar laki-laki itu lagi membuat Ara yang baru saja berdiri dari kursinya menganga. 

"Bapak serius?" Arawinda melihat buku agenda di depannya bergantian dengan wajah pemiliknya. Buku itu tidak bisa dikatakan tipis, dan setelah dibuka isinya penuh. Mana sempat ditulis semalaman?

"Beribu-ribu, rius! Silakan keluar!"

BAB 5. KEBAIKAN NARES 

Arawinda membolak-balik lembaran buku catatan di tangannya. Ada beberapa tulisan yang memudar karena basah. Buku bersampul hitam itu adalah milik Nares. Benda yang siang tadi menjadi korban kecerobohan Ara, dan berakhir dengan dirinya yang dihukum.

Sebenarnya hukuman ini termasuk ringan. Apalagi jika mengingat yang dia rusak tidak hanya buku ini. Ada mobil yang body-nya penyok, juga ponsel yang untungnya masih menyala. Jika dua benda itu yang harus Ara perbaiki. Tidak tahu apakah kini tabungannya akan cukup. 

Andai saja Ara tidak memiliki banyak kegiatan. Mungkin dia bisa menyelesaikan hukumannya dalam satu hari. Akan tetapi, dengan padatnya jadwal untuk mencari cuan tambahan, waktu Ara sungguh sangat minim. 

"Kak Ara, yang ini aku nggak paham." Fokus Ara segera teralih. Meletakkan buku yang sejak tadi dipegang, gadis berwajah oval itu langsung beringsut mendekati murid les privatnya. 

Setiap hari Senin sampai Kamis Ara memang memberikan les privat matematika pada dua anak SD dengan jadwal bergantian. Hasilnya lumayan untuk menambah membayar uang semester. Di hari lain Ara akan melakukan pekerjaan sampingan lainnya. Apa pun akan dilakukan gadis itu untuk mendapatkan uang. 

"Ini gampang kok. Bentar, Kakak tulisin rumusnya." Ara segera menjelaskan dengan baik materi yang anak di sampingnya tidak mengerti. 

Sejauh ini, cara mengajarnya disukai anak-anak. Dan para orang tua puas karena berkat les privat dari Arawinda, nilai anak mereka naik. Itu kenapa setiap kali murid lesnya berhenti untuk memakai jasanya, tidak lama kemudian akan ada murid baru. 

Ara selesai memberikan les privat sebelum magrib. Akibat sepeda motornya yang harus menginap di bengkel, kini Ara terpaksa menggunakan angkutan umum. Entah kapan kendaraan roda duanya itu akan selesai diperbaiki karena montir bengkel mengatakan akan memeriksa dulu baru nanti mengabarinya. Berharap saja tidak akan lama, dan juga uang yang dibayarnya tidak banyak. 

Arawinda pergi ke minimarket karena angkutan umum tujuan ke rumahnya belum terlihat. Tenggorokannya sudah kering, dan perutnya juga keroncongan. Sejak siang Ara belum mengisi perutnya dengan apapun. 

"Iya, bentar lagi Nares pulang."

Suara berat nan familier itu membuat kepala Ara langsung menoleh ke arah samping. Tangannya yang sudah terulur untuk mengambil air mineral dingin di depannya urung. Gadis itu menjulurkan lehernya lebih panjang untuk mengenali laki-laki di sampingnya. 

Kemeja abu-abu, celana bahan, sepatu pantofel. Semuanya masih serapi siang tadi terakhir kali mereka bertemu. Ara teringat hukuman yang Nares beri. Kira-kira, kalau dia meminta keringanan apakah laki-laki ini akan memberi?

"Nares tutup dulu, Yang."

Sedikit mengendap, gadis itu menghampiri Nares, lalu berseru, "Pak!"

"Astagfirullah!" ujar Nares terkejut. Ara meringis saat laki-laki itu memberikan ekspresi seperti baru saja bertemu dengan hantu. 

"Ih, Bapak, udah kayak ngeliat setan aja."

Nares tampak berdecak kesal. "Penampilan kamu ini udah kayak kuntilanak memang," ujarnya asal. 

Ara tentu saja menganga tidak percaya dikatai seperti kuntilanak. "Mana ada Mbak Kunti pakai jaket kuning?" 

Nares hanya menggelengkan kepalanya, lalu melangkah ke arah kasir. 

Arawinda pun bergegas mengikuti. Tidak lupa terlebih dulu menyambar air mineral dingin botolan. "Pak, boleh minta keringanan hukuman nggak?" 

"Nggak ada, itu saja sudah termasuk ringan," jawab Nares sembari menghentikan langkah saat antrian menguar di depan kasir.

"Tapi buku Bapak ini tebel banget. Mana bisa ditulis semalem? Terus saya nggak tidur?"

"Itu urusan kamu, atau…." Nares menoleh ke belakang di mana kini Arawinda berdiri. "Mau ganti rugi mobil saya yang penyok saja?"

Arawinda langsung menggeleng cepat mendengar tawaran mengerikan itu. 

"Ya sudah, kalau begitu kerjakan saja."

"Tapi nanti malem saya harus ngerjain tugas, Pak!" Ara sedikit merengek. Bukan gayanya merengek seperti ini. Ara sampai geli mendengar suaranya sendiri. 

"Sudah saya bilang itu urusan kamu." Nares maju saat antrian berkurang dan gilirannya tiba. Meletakkan keranjang belanjaan, dia melirik ke arah Arawinda yang kini sudah berdiri di sampingnya. Tanpa mengatakan apa pun laki-laki itu mengambil botol mineral dari tangan Arawinda. 

"Eh, Pak, saya bisa bayar sendiri!" seru Ara yang tidak dipedulikan Nares. Laki-laki itu mengembalikan botol mineral setelah di-scan, dan mengangkat kantong belanjaannya. 

"Pak!" Ara mengikuti langkah Nares karena masih ingin berjuang. Berharap laki-laki ini luluh dan memberi keringanan. 

"Saya sudah bilang itu urusan kamu Arawinda!" Kesabaran Nares lama-lama diuji juga. Gadis ini kenapa senang sekali merecoki waktunya. Dan kenapa juga mereka bisa bertemu kebetulan seperti ini?

"Kamu sengaja ngikutin saya, ya?" 

Ara mengerjap bingung mendengar pertanyaan itu. 

"Kalau enggak, kenapa bisa kita ketemu di sini?"

Kali ini mulut Ara melebar karena bingung. Pertanyaannya, kenapa kecurigaan ini baru diucapkan, bukan dari tadi. Bukankah sedikit telat?

"Bapak nggak tahu ada yang namanya kebetulan?" 

Nares memicingkan matanya, ada aura kesal yang terlihat nyata. 

"Pak!" rengek Ara lagi. Memasang wajah memelas, berharap Nares akan kembali luluh seperti siang tadi. 

"Kamu tunggu di sini!" Nares mengatakan itu sembari melangkah ke tempat mobilnya terparkir. 

Sementara Arawinda hanya diam, berdiri patuh di teras minimarket. Sembari melihat gerak-gerik Nares yang tampak membuka pintu mobil, meletakkan barang bawaan  lalu seperti mengambil sesuatu. 

"Kamu salin buku catatan saya di sini." Nares yang sudah kembali di depan Arawinda menyodorkan sebuah buku catatan. Warna sampulnya sama dengan yang kini berada di Arawinda. 

"Baik, Pak." Ara tersenyum lega karena tidak lagi bingung harus membeli buku seperti milik Nares ini di mana. 

"Tapi, Pak!" Langkah Nares berhenti saat mendengar panggilan itu. "Kasih kelonggaran waktu, ya. Jangan besok." Ara memohon. 

"Definisi orang dikasih hati malah minta jantung tuh kayak kamu ini," ujar Nares jengkel.

Ara meringis sembari berujar, "Lagian banyak yang tulisannya pudar. Gimana saya nulisnya coba?" 

"Coba sini saya lihat lagi." Nares langsung mengambil buku miliknya yang baru Ara keluarkan dari ransel. "Hanya bagian depan yang pudar," ujarnya setelah selesai memeriksa. 

"Tapi, kan, nggak mungkin saya karang sendiri isinya, Pak."

Nares tidak langsung menjawab, laki-laki itu mengedar pandang seperti mencari sesuatu. "Ikut saya!"

Tanpa bertanya Ara pun mengikuti langkah dosennya yang masih beraroma wangi. Jauh dari dirinya yang sudah berbau matahari dan bau-bauan tidak enak lainnya.

Nares masuk ke sebuah kafe, Ara pun ikut masuk tanpa bersuara sedikitpun. Lalu menarik satu kursi untuk duduk setelah Nares sudah menjatuhkan tubuhnya terlebih dulu di kursi. 

"Kamu mau pesan minum apa?" tanya Nares.

Ara langsung menggeleng, takut disuruh membayar sendiri. "Udah ada ini," katanya sembari menunjuk air mineral botolan di kantong ranselnya. Sembari menunggu Nares memesan minuman, gadis itu membuka dua buku agenda serupa untuk mulai menyalin bagian yang pudar. 

"Pak, yang ini nggak jelas," kata Ara sembari menunjuk bagian yang tulisannya pudar.

Nares awalnya hanya melongok, tetapi saat tulisan yang Ara tunjukkan tidak terlihat, laki-laki itu malah menggeser bangku. Awalnya semua baik-baik saja, tetapi entah mengapa lama kelamaan Ara tertarik untuk menoleh ke samping. 

Nares dari jarak sedekat ini ternyata terlihat jauh lebih tampan. Garis wajah laki-laki ini begitu tegas, mulutnya tipis, hidungnya mancung, dan–

"Lebih lama lagi kamu seperti itu, saya tagih biaya kerugian seratus ribu per lima menit."

Ara nyaris terjungkal ke belakang karena terkejut mendengar kalimat tersebut. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 6 - 7 (JODOH UNTUK PAK DOSEN)
0
0
Nares menolak saat eyang menunjuk Arawinda sebagai gadis yang akan menjadi jodohnya. Ara jauh dari kriteria wanita idaman bagi Nares yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih calon istri. Lagipula Ara adalah mahasiswa yang sering membuat ulah di kelasnya.  Namun eyang selalu memiliki cara untuk mendekatkan mereka. Sampai akhirnya Nares menjatuhkan hati pada Ara yang ternyata tidak seburuk penilaiannya. Sayangnya Ara menolak perasaan Nares karena memiliki trauma terhadap laki-laki.  Jadi, sanggupkah Nares meyakinkan jika dirinya berbeda dan akankah dia berhasil menjadikan Ara jodoh terakhir dalam hidupnya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan