KOMOREBI - KOLASE 3 (Harumi Yamamura)

0
0
Deskripsi

Sepanjang hidupnya, Harumi tidak pernah benar-benar terusik terhadap sesuatu. Tapi sejak laki-laki bernama Dika muncul, Harumi sunguh-sungguh terganggu. Terlebih kedekatannya dengan Chika. Selama ia mengenal gadis itu, tidak ada satu pun anak laki-laki yang berhasil berteman dekat dengan Chika. Selain karena kepribadian Chika yang lumayan pemalu, banyak anak laki-laki yang minder dengan kemampuan karate Chika. Sejak perempuan itu lulus tes masuk ke SMU Kiritani dan bergabung di klub karate, Namanya cukup populer. Dalam sekejap ia terpilih menjadi kandidat terkuat mewakili sekolah dalam pertandingan karate se-SMU Jepang. Belum lagi penampilannya yang cantik mendapat perhatian lain dari beberapa anak laki-laki. Tapi kembali lagi, kemampuan karate Chika dan kedekatannya dengan Harumi - lebih tepatnya Harumi yang nyaris selalu mengikuti Chika kemanapun ia berada - secara otomatis menyingkirkan para murid yang bisa jadi menaruh perasaan kepadanya.

Tapi hal itu tidak berlaku pada Dika. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Chika menjadi sangat dekat dengan anak pindahan tersebut. Hampir selalu keduanya pulang bersama. Harumi tidak bisa mencegahnya atau melakukan sesuatu karena keduanya memang tinggal bersebelahan. Namun dadanya hampir tidak sanggup menahan rasa cemburu.

Menjelang Festival Tanabata tiba, suasana hati Harumi berangsur membaik. Ia tahu bahwa Chika tidak pernah melewatkan satu pun perayaan tersebut, dan tentu saja, Harumi juga tidak pernah melewatkannya sambil menghabiskan waktu dengan perempuan yang ia sukai itu. Namun berbeda dengan sebelumnya, Chika berniat pergi bersama Sayaka. Harumi tidak ambil pusing dengan hal itu. Selama ini Chika tidak pernah melewatkan waktu bersama teman perempuannya. Mungkin saja kali ini adalah waktu yang tepat untuk membuat kenangan indah ala gadis-gadis. Harumi mengalah dan pergi lebih awal bersama Keita.

"Mau melihat hasilnya?" tanya Dika di tengah kerumunan pengunjung Festival. Harumi berdiri tak jauh dari situ dan betapa terkejutnya mendapati Chika berjalan mendekat dari deretan bambu yang teruntai ribuan tanzaku diatasnya. Pipinya berwarna kemerahan saat berdiri bersisian kala Dika menyodorkan kamera dan menunjukkan hasil jepretannya. Sebuah senyum cerah tergambar dari bibir Chika begitu melihat fotonya. Harumi membatu dan merasakan kakinya berat untuk melangkah lebih jauh. Ketika Chika mendongak melihat ke sekitar, secara refleks Harumi berbalik dan berjalan menjauh. Ia tidak tahu mengapa kakinya tak juga berhenti. Ia tak tahu mengapa dia begitu berat menyapa Chika yang menatap Dika dengan bola matanya yang indah. Ia tak tahu cara mengendalikan amarahnya karena rasa cemburu. Ia tak tahu, sejak kapan Chika mulai menyukai Dika.

Belum sempat ia mampu mengendalikan dirinya, sebuah panggilan dari ponsel meyadarkannya. Ia enggan mengangkat ketika nama Chika terpampang di layar ponsel. Namun Harumi tersadar bahwa ia harus terdengar baik-bak saja. Setidaknya perasaannya yang terdengar baik-baik saja. Laki-laki itu tertawa ironis begtu menutup sambungan teleponnya dan menjadkan sakit perut sebagai alasan untuk pergi meninggalkan perayaan. Baginya, tak ada lagi hal yang bisa dirayakan.

*** 
 


Pagi di hari keberangkatan klub karate menuju Oarai membuat Harumi sibuk mengecek banyak hal. Ponselnya selalu terhubung pada para manajer dan pelatih klub. Begitu tiba di Stasiun Akimori, Harumi bukan anggota klub yang datang pertama kali. Hatinya serasa mencelos begitu melihat Dika tengah duduk di bangku tunggu sambil memainkan ponselnya. Ia berdebar-debar antara menduga keberadaan Chika bersama anak laki-laki itu atau perasaan cemburu yang selama ini ia pendam terhadap Dika.

"Ohayou, Senpai." sapa Dika yang langsung berdiri. Harumi tersenyum tipis seraya menata ekspresi. Dia tidak bisa serta-merta melampiaskan emosinya. Harumi membalas dengan senyum tipis serupa dan bungkukan kecil. Tidak seperti yang ia kira, Chika tidak datang bersama dengan laki-laki itu. Ia itu justru muncul saat jadwal keberangkatan kereta nyaris tiba dengan rona pucat di wajahnya.

"Senpai, kau ada sedikit masalah dengan Dika-kun, ya?" tanya Chika berbisik di telinga Harumi. Laki-laki itu terhenyak begitu nafas Chika meniup daun telinganya. Jantungnya sudah setengah copot karena tingkah yang Chika lakukan. Belum lagi tatapan polos gadis itu menghujam dalam ke mata Harumi. Sama sekali tidak tampak rasa canggung pada Chika yang menatap Harumi lurus-lurus. Harumi sendiri merutuki dirinya karena nyaris memperlihatkan rasa cemburunya begitu melihat Dika menanyakan sesuatu pada Chika di pinggir peron. Bahkan Chika yang tidak peka sekalipun bisa merasakan hal aneh yang terjadi pada Harumi.

"Jangan sedekat itu, dong." ucap Harumi mendorong Chika menjauh. Ia berusaha keras agar suaranya tidak bergetar karena gugup. Selagi ia mengatur degupan jantungnya, mata Harumi bertemu dengan mata Dika yang ternyata sedari tadi memperhatikannya. Ekspresi Dika tidak berubah meskipun Harumi memergoki bocah laki-laki itu tengah mengamatinya. Sekali lagi, Dika hanya mengangguk kecil dan memutar tubuhnya setelah beberapa lama saling melempar pandang. Entah apa yang terjadi pada dirnya, Harumi hanya bisa menahan segala kecamuk yang ada di kepalanya. Bahkan, meski ia ragu, secuil amarah yang terbersit karena sikap acuh Dika, ternyata menyinggung ego Harumi.

*** 
 


"Kau serius ikut latihan dengan kondisi seperti itu?" sebuah suara membuat Harumi berhenti begitu masuk ke penginapan. Ia sempat berpapasan dengan anak perempuan yang diketahuinya sebagai teman sekamar Chika. Harumi cukup terganggu dengan tawa kecil yang Ichigo coba sembunyikan.

"Mana bisa. Nanti aku bisa mengantuk." seru Chika yang harumi dengar kemudian.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Harumi dengan nada tegas. "Cepat keluar sebelum kalian kehabisan waktu!" laki-laki itu menatap ke arah Chika dan Dika berada. Chika sendiri langsung berlari keluar penginapan begitu melihat Harumi berpatroli. Namun, berbeda jauh dengan Chika, Dika memilih berjalan dengan santai.

"Aku menyukai Chika." ujar Harumi pelan saat Dika berjalan melewatinya. Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke Harumi.

"Kurasa seluruh anggota klub sudah mengetahuinya." jawab Dika datar.

"Kalau begitu kau tahu bagaimana harus memperlakukannya, bukan? Setidaknya kau mengerti batasan dalam mendekatinya."

Dika menghela nafas panjang seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana olahraga yang ia pakai. Badannya berputar menghadap Harumi dengan sempurna.

"Tidak." Kata Dika. "Sejujurnya aku tidak mengerti batasan seperti apa yang Senpai katakan. Bahkan entah Senpai ataupun saya tidak memiliki hak untuk membatasi sesuatu tanpa sepengetahuan Chika-san. Sekaligus persetujuannya."

"Aku sudah seperti kakak bagi Chika."

Dika tersenyum, "Tapi yang kulihat, Senpai memperlakukannya tidak seperti seorang adik perempuan." Keduanya beradu pandang dengan ketegangan yang tak kentara. Senyum Dika masih tergambar di bibirnya. Meskipun tatapannya tidak tersenyum sama sekali. Sedangkan Harumi sendiri hanya bisa terdiam dengan tangan mengepal di samping tubuh. Ia masih terpaku di tempatnya meski Dika berlalu dan berlarian kecil menuju tempat latihan.

"Sial." Gumam Harumi seraya mengacak rambutnya.

*** 
 


Harumi baru saja kembali dari jalan-jalan singkat keluar penginapan saat sebuah keributan terjadi. Beberapa anak yang sedari tadi bermain di lantai satu penginapan, tiba-tiba berdiri berkerumun di sekitar pintu masuk.

"Hei, ada apa ini? tanya Harumi sambil menyibak segerombol anak klub yang menutupi jalan masuk. Rasa penasarannya berubah menjadi keterkejutan saat melihat Dika muncul sembari mengangkat tubuh Chika yang tengah tak sadarkan diri. Laki-laki itu tidak mempedulikan anak lain dan tetap menerobos kerumunan hingga tiba di kamar Chika. Entah muncul dari mana, Eri Shimizu meraih futon dan langsung membentangkannya ke lantai. Dika membaringkan Chika yang tampak bercucuran keringat dingin.

"Sensei, adakah dokter yang bisa didatangkan kesini untuk memeriksa kondisi Chika?" tanya Dika pada Saki Sensei saat Eri dan Ichigo tengah menyelimuti Chika.

"Dika-san, kau yakin Chika-san tidak perlu kita bawa ke rumah sakit? sahut Eri Shimizu.

"Ada seorang dokter yang tinggal di dekat stasiun. Tapi apa tidak sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit saja seperti kata Shimizu?" tanya Saki Sensei mengulangi perkataan Eri. Harumi ikut menerobos masuk dan berlutut di samping Chika. Tangannya menjulur hendak menarik selimut yang melindungi gadis itu. Sedetik kemudian, Dika menangkap tangan Harumi. Tahu jika Dika mencegahnya membawa Chika pergi ke rumah sakit, Harumi menatap tajam Dika mencoba menahan amarahnya.

"Minggir jika kau ingin membiarkan Chika sakit seperti ini." desis Harumi.

"Karena itu aku bertanya apakah ada dokter yang bisa didatangkan kemari, Senpai. Apa kau tidak mendengarku tadi?" sahut Dika untuk pertama kalinya tampak menahan emosinya.

"Mengapa kita harus menunggu dokter datang kalau kita bisa membawanya secepat mungkin ke rumah sakit."

"Aku melakukan ini demi Chika-san. Senpai yang paling tahu apa yang akan terjadi jika dia dibawa ke rumah sakit dan orangtuanya akan secemas apa." kata Dika seolah menyadarkan Harumi dengan keras. Tangannya yang menggenggam erat ujung selimut, langsung mengendur. Ia seketika terduduk dengan pandangan kosong.

"Chika-san sangat menginginkan perjalanan ini. Jika orangtuanya tahu, dia akan dibawa pulang dan tidak akan diizinkan mengikuti kegiatan sekolah lagi. Belum lagi Chika-san akan merasa sangat bersalah saat kegiatan ini diberhentikan karena dirinya." lanjut Dika yang hanya bisa didengar oleh orang-orang yang ada di kamar Chika.

"Aku akan menelepon dokter." kata Saki Sensei langsung beranjak keluar. Anak-anak yang berusaha mencari tahu apa yang terjadi dibubarkan oleh Eri Shimizu. Jam tidur langsung diberlakukan dan semua anak dipaksa masuk ke kamar mereka masing-masing. Harumi sendiri berusaha bersikap setenang mungkin saat menanyakan apa yang telah terjadi pada Eri, Dika, dan Satoshi yang baru datang Bersama dua anggota polisi. Mereka semua sekaligus Saki Sensei memutuskan keluar penginapan untuk menceritakan rentetan kejadian. Harumi yang saat itu berperan sebagai ketua klub hanya bisa membisu mendengar keseluruhan cerita dari Satoshi dan Eri. Dika tidak mengucapkan sepatah kata pun. Laki-laki itu hanya ikut mendengar dengan pandangan mata yang tak dapat dibaca.

*** 
 


Harumi mengeringkan rambutnya yang basah setelah mandi. Sepanjang latihan hari itu, ia tidak bisa berkonsentrasi penuh karena banyak hal yang memenuhi kepalanya. Entah ketika ia syok saat tahu Dika cukup mengetahui banyak hal tentang Chika. Laki-laki itu mengenalnya hanya dalam hitungan bulan. Sedangkan Harumi sendiri butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa memahami Chika cukup dalam. Kebiasaannya, kesukaannya, bahkan kecemasannya. Termasuk sikap protektif kedua orangtua Chika semenjak kematian Ayami bertahun-tahun yang lalu.

Dan begitu Harumi melihat Chika terbangun sesaat setelah latihan dibubarkan, pikirannya semakin berkecamuk. Bahkan melihat Chika membalut tubuhnya menggunakan jaket yang dipinjamkan Dika cukup membuat hati Harumi tidak karuan.

"Senpai." panggil seseorang dari muka pintu. Harumi segera menoleh dan melihat Dika berdiri di depan pintu kamarnya. Tangannya terlipat dengan bahu menyender di dinding.

"Ternyata kau. Ada apa?" tanya Harumi sambil meletakkan handuknya di gantungan.

"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu. Mungkin sebuah saran." ucap Dika sambil mengedikkan kepala.

"Kurasa kita tidak sedekat itu untuk saling memberi saran."

"Aku juga tidak berharap kita menjadi dekat." sahut Dika enteng. "Tapi menurutku, Senpai seharusnya bisa lebih berani untuk menunjukkan perasaan Senpai. Pada Chika-san."

"Dan mengapa aku harus menuruti saran darimu?"

"Aku hanya khawatir Senpai akan kehilangan kesempatan itu selamanya."

Dua anak laki-laki itu saling memandang dengan ekspresinya masing-masing. Harumi mengangkat sebelah alisnya, tampak mencerna ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Dika.

"Kau tidak cemas jika Chika lebih memilihku?" tanya Harumi setelah keduanya terdiam cukup lama. Dika tersenyum kecil seraya menegakkan tubuhnya.

"Aku benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Senpai." jawab Dika sambil melangkah pergi. Harumi setengah berlari ke arah pintu dan melongok mencari Dika.

"Hei, Dika-san!" serunya yang hanya dibalas lambaian tangan oleh Dika. Harumi memandang kepergian Dika dari ambang pintu. Sosok laki-laki itu perlahan menghilang saat ia menuruni anak tangga satu-persatu.

***

"Terima kasih." ujar Harumi saat berpapasan dengan Dika selepas laki-laki itu mengambil sebuah kamera dan melakukan sesi foto bersama anak-anak yang lain.

"Sekarang giliranmu Dika-san. Untuk berada di sisi Chika."

"Mengapa harus begitu?" tanya Dika pada Harumi yang menatapnya lurus. Namun kali ini Dika sendiri mampu melihat kelegaan yang terpancar dari kedua mata Harumi Yamamura. "Maksudku, tidak banyak hubungan yang dapat bertahan dalam waktu lama. Dan kurasa pertemanan kalian berdua bisa dijadikan pengecualian. Meskipun pada akhirnya Chika-san menolak hubungan lebih dari itu."

"Hei, apa kau sungguh-sungguh mengatakan hal itu di situasi seperti ini? Setidaknya bersimpatilah sedikit." sahut Harumi jengkel. "Apakah perasaanku saja tapi aku merasa kau jadi lebih cerewet dari sebelum-sebelumnya?" Dika tak menanggapi ucapan Harumi dan hanya tersenyum tipis. Mereka berdua memutuskan melanjutkan ke arah mana mereka menuju. Begitu Harumi memunggungi Dika dan melangkah beberapa meter, setitik air jatuh dari matanya yang langsung diterbangkan deru angin pantai. Hanya setitik. Tanpa perlu Harumi menyekanya, air matanya berhenti di sana, dan langkahnya mantap kembali ke penginapan.

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Komorebi
Selanjutnya PARUH DALU (kumcer) - CARA MENCINTA
14
6
Cinta tak selalu datang dari darah yang sama yang mengalir di nadimu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan