
Suara cempreng khas anak-anak yang keluar dari mulutnya membentuk nada-nada yang tidak familiar bagi Dika. Meski begitu tak satu pun yang sumbang. Justru semakin lama lagu yang ia nyanyikan semakin menyenangkan untuk didengar.
Di tengah riuh tamu, anak laki-laki itu mengasingkan dirinya ke tepi. Menyandar di tembok bercat krem dengan ukiran kayu pada ujung sisinya. Serta menatap satu-persatu teman dan rekan kerja Ayahnya. Agung Mahardika. Sebagai seorang sutradara berbakat dan karismatik yang karyanya berkali-kali mendapat penghargaan, membuat industri perfilman Indonesia merasakan duka yang dalam. Meskipun kenyataannya, ia tak ubah seorang lelaki biasa yang mengalami banyak kegagalan di kehidupan rumah tangganya.
"Dika, Mbok sudah siapkan makanan di dapur. Makan dulu saja sebelum prosesi pemakamannya dimulai.” ucap perempuan tua yang muncul dari ruang dapur. Rambutnya yang beruban ia gelung dan diikat dengan kucir kain lapuk. Matanya memancarkan aura keibuan dan terlihat sungguh-sungguh khawatir begitu melihat Dika tak mau memakan apapun sejak kabar kematian ayahnya sampai di telinganya semalam.
"Kalau tidak mau makan biarkan saja, Mbok Ayu. Di dalam keluarga ini tidak pernah mendidik anak-anaknya bersikap manja.” sahut seorang perempuan tua lainnya setengah berbisik. Dika sanggup melihat kesedihan pada matanya. Bahkan bola matanya memerah kelewat sembab karena tangis panjang sepeninggal kematian anak lelakinya. Namun dengan mata yang sama, Dika sama sekali tidak pernah mendapat tatapan lembut dari sosok yang ia panggil Mbah Putri itu.
“Jika saja Ayah lebih memperhatikan saya, mungkin saya bisa menjadi cucu yang sesuai dengan yang Mbah Putri inginkan.” tukas Dika datar tanpa memandang neneknya.
“Dasar anak kurang ajar. Sudah susah payah aku menitipkan kamu pada Mbok Ayu agar mengajarimu tata krama. Mbok Ayu lihat sendiri, to? Bocah ini tidak pernah punya sopan santun. Tidak tahu rasa terima kasih. Jika bukan karena Agung memintaku merawatmu karena rasa bersalahnya pada perempuan yang menjadi Ibumu, aku tak sudi mengurus anak aib seperti kamu.” desis Mbah Putri marah dengan suara masih setengah berbisik. Meskipun begitu, beberapa tamu yang duduk di dekat mereka mampu mendengar Mbah Putri meski samar. Bisik-bisik canggung mulai menjalar dari satu tamu ke tamu yang lain. Beberapa berani menengok mencari tahu apa yang terjadi. Beberapa lainnya membuang pandang merasa tak enak.
Dika kini menoleh, memandang tepat ke mata Mbah Putri yang bibirnya bergetar mencoba menahan seluruh umpatan yang bisa saja ia lontarkan kepada anak laki-laki hasil hubungan gelap putra kesayangannya. Bertahun-tahun bocah itu hidup di bawah bayang-bayang keluarga Notokusumawijaya. Bangsawan tanah Jawa dengan darah keturunan Belanda itu berhasil membuat hidupnya seperti di neraka. Tumbuh tanpa orangtua sudah sangat menyiksanya. Belum lagi cemoohan dan berbagai macam kebencian masih harus ia terima dari orang-orang yang seharusnya ia sebut keluarga. Jangankan dirinya, yang jelas-jelas anak hasil hubungan gelap, seorang perempuan dengan nama Yuriko Tanzawa, istri pertama Agung Mahardika yang luar biasa cantik, luar biasa kaya, dan luar biasa cerdas itu tidak begitu disukai oleh Mbah Putri.
“Kamu berharap apa dari perempuan yang tidak mengerti adat istiadat keluarga kita?”
"Lihat nenekmu jika sedang bicara!” geram Mbah Putri seraya menarik lengan Dika dan membuatnya menghadap wanita tua yang mengenakan selembar selendang tipis di kepalanya itu. Mata keduanya bertemu. Dan Dika memandangnya tanpa ekspresi. Tidak ada sirat takut, gentar, atau marah di matanya. Hanya tatapan kosong yang ia tunjukkan. Dengan tangan masih mencengkeram lengan bocah berusia tiga belas tahun itu, Mbah Putri menelan kembali kata-katanya ketika suara deru mobil terdengar dari luar. Sebuah sedan hitam legam baru saja terparkir di pekarangan rumahnya yang sebesar lapangan bola. Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki berjas rapi tampak berjalan mengiringi perempuan berusia empat puluhan dan seorang gadis kecil. Begitu tiba di muka pintu, perempuan itu langsung menemukan keberadaan Mbah Putri yang masih berdiri di pojokan dengan tangan mencengkeram lengan Dika. Perempuan dan gadis kecil itu membungkuk pelan saat berdiri di depan Mbah putri lalu berkata,
“Lama tidak bertemu, Ibu.”
***
Dika bersyukur, setelah kedatangan perempuan Jepang mantan istri ayahnya, Mbah Putri sepenuhnya teralihkan. Upacara pemakaman diadakan di makam keluarga yang berjarak dua ratus meter dari kediaman Mahardika selepas ashar. Setelah tubuh Agung menyatu dengan bumi, dan matahari semakin tenggelam, nuansa duka semakin terasa.
Sama seperti dirinya yang terpaksa menginap di rumah itu, perempuan bernama Yuriko pun akhirnya memutuskan untuk menginap dan mengambil penerbangan pagi ke Jepang esok harinya.
Setelah rangkaian pengajian untuk mendoakan Agung usai, dan tamu serta tetangga berburu pulang, Dika ikut berdiri berencana menyembunyikan keberadaannya dari Mbah Putri. Matanya sempat bertemu dengan mata gadis cilik yang entah mengapa ia rasakan terus mengamatinya dari kejauhan. Jika gadis itu putri wanita Jepang yang bernama Yuriko, sudah pasti ia adalah adik perempuannya. Namun, menyadari posisinya sebagai anak hasil hubungan gelap sang ayah, Dika sadar diri dia tak seharusnya berlama-lama ada di sekitar perempuan itu beserta anak perempuannya.
Sampai di kamar kecil berdebunya, kamar yang berada persis di bawah loteng, Dika langsung melempar tubuh ke atas tempat tidur kapuk yang sudah mulai mengeras. Sangat terasa bahwa kasur yang ia tempati tak pernah dirawat dan digunakan. Apalagi dijemur. Bahkan ia tahu, tempat tidur Mbok Ayu masih jauh lebih nyaman daripada miliknya. Meski begitu, karena tubuh dan pikirannya terlalu lelah, tak butuh waktu lama Dika sudah jatuh dalam lelap.
Tepat pukul empat lebih beberapa menit, Dika terbangun saat kumandang adzan terdengar dari surau terdekat. Seperti kebiasaannya, ia segera bangkit walau dengan mata yang masih mengerjap-ngerjap menahan kantuk. Di rumah Mbok Ayu, ia dididik untuk tak melewatkan tiga jama’ah. Shubuh, Maghrib dan Isya’. Maka dari itu dengan badan separuh terhuyung, Dika berjalan menuju pancuran di halaman belakang bersiap-siap mengambil wudhu.
Kondisi rumah Mbah Putri sudah terlihat sibuk. Para pembantu yang mengurus pekerjaan rumah nampak membersihkan seisi bangunan dan seluruh sisi halaman. Beberapa tetap di dalam berkutat menyiapkan sarapan. Bukan karena keberadaan Nyonya Yuriko yang menginap di rumah Mbah Putri hingga semua orang sudah sibuk di pagi buta. Memang seperti inilah ritme yang berputar di rumah neneknya setiap hari. Disiplin, cekatan, dan bersih. Segalanya harus berjalan dengan sempurna tanpa cela.
“Kamu mau kemana, Dika?” tanya Mbok Ayu setelah melihat bocah laki-laki itu turun dari kamarnya.
“Ke bukit, Mbok.” jawab Dika yang sudah mengganti sarungnya dengan celana olahraga ungu bekas seragam baris berbaris di festival tujuh belasan tahun lalu.
“Sudah sholat?” Dika mengangguk. Mbok Ayu terdiam beberapa lama sampai akhirnya ia mengangguk kecil. “Hati-hati. Jangan memakai sandal jepit yang biasa kamu pakai. Licin. Dan kembalilah sebelum jam sembilan. Mbok coba minta izin ke Mbah Putri untuk pulang hari ini juga.”
Dika yang mendengarnya sontak mendongak memandang perempuan yang mengasuhnya selama ini. Setelah melihat raut Mbok Ayu bersungguh-sungguh, Dika menurunkan pandangannya dan berkata lirih, “Terima kasih, Mbok.”
***
Langit mulai menampakkan semburat terang dari timur ketika Dika menapaki jalur bebatuan yang biasa digunakan petani melewati bukit ke desa sebelah. Tidak ada yang istimewa dari bukit setinggi lima puluh meter itu. Hanya saja, Dika kerap menjadikannya tempat bersembunyi saat ia ingin menenangkan diri dari tekanan rumah Mbah Putri. Setidaknya menyendiri seraya memandang seisi desa dari ketinggian membuatnya sedikit merasa lebih baik.
Tiba di sisi pohon ketapang, Dika menghentikan langkahnya dan berdiri diam sembari menghirup dalam-ok dalam udara pagi yang masih menggigil. Seperti biasa, hidungnya langsung bereaksi dengan munculnya sensasi perih karena dinginnya udara. Baru saja ia hendak mendaratkan pantatnya ke atas rumput basah, Dika terlonjak ketika sebuah suara mengejutkannya.
“Aku juga tidak suka dengan rumah itu.” kata sebuah suara dari belakang. Kaki Dika nyaris tergelincir saat refleks berbalik badan. Untung saja ia bisa menahan badannya dengan tangan terentang mengatur keseimbangan. Gadis cilik putri Yuriko Tanzawa berdiri di belakangnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket merah yang ia kenakan.
“Kamu bisa Bahasa Indonesia?” tanya Dika terkejut.
“Ibu menyuruhku mempelajarinya. Bagaimanapun juga ayahku berasal dari negara ini.” jawabnya tampak tidak seperti anak-anak. Padahal Dika yakin usianya baru sebelas tahun. Dua tahun lebih muda darinya. “Papa Agung, Papa Kak Dika juga, bukan?”
“Kamu juga tahu namaku.” Dika berujar datar dengan mata menatap langsung ke gadis yang juga tengah menatapnya.
“Kak Dika cukup dikenal di keluarga kami.”
Dika tersenyum kecut. Tentu saja ia dikenal di sana. Dan pastinya dengan reputasi buruk. Anak hubungan gelap. “Jadi kamu mengikutiku dari rumah? Ibumu tidak mencari?”
Gadis itu tidak menyanggah maupun mengiyakan. Ia justru berjalan mendekat dan duduk di samping Dika yang masih berdiri. Dika yang masih bingung dengan tingkah gadis itu akhirnya ikut duduk seraya memperhatikan sosok kecil di sampingnya.
“Pasti sulit sekali tinggal di sana. Di rumah itu.” kata gadis itu setelah bermenit-menit tidak bicara. Dika hanya diam tidak menanggapi. “Kak Dika pasti mengerti dengan yang kubicarakan. Karena kita sama-sama bisa merasakan energi yang orang-orang pancarkan.”
“Yang paling mengganggu adalah sebanyak apa kebohongan yang ada di sana.” ujar gadis itu melanjutkan. “Ada juga kesombongan, keserakahan, kemunafikan...."
“Darimana kamu tahu semua istilah itu?” potong Dika terheran. Meskipun apa yang diucapkan gadis itu sama persis seperti yang Dika rasakan, fakta bahwa ia menguasai Bahasa Indonesia dengan sangat baik lebih menyita perhatiannya. Belum lagi dengan gaya bicaranya, seolah gadis itu sudah berusia dua puluhan.
“Aku benar-benar bekerja keras mempelajarinya.” ucapnya dengan nada bangga. "Tapi, apa yang kukatakan tadi benar, kan?”
“Kalau kamu memang bisa melakukan hal aneh itu, seharusnya kamu sudah tahu tanpa perlu kujawab, bukan? Apa yang bisa kulakukan dan apa yang bisa kulihat.”
“Tentu saja. Aku cuma ingin memastikan saja, kok.” sahut putri Yuriko dengan sikap cuek. “Tapi, aku tidak suka saat Kak Dika menyebut kemampuan kita sebagai hal aneh.”
Dika berdecak, “Melihat kehidupan orang lain hanya karena tidak sengaja menyentuh ujung kukunya bukankah itu aneh? Aku tidak mengenal siapa dia, tapi aku tahu apa yang ia lakukan di masa lalu. Apa yang dia suka, apa yang tidak. Apa kenangan indahnya, dan kenangan menyakitkan baginya.” Bocah remaja laki-laki itu nyaris meledak saat mengingat hal yang ia rasakan begitu tangan Mbah Putri mencengkeram lengannya semalam. Tidak ada hal lain yang dirasakannya selain kebencian. Lagi-lagi ia bertanya-tanya mengapa harus dirinya yang menanggung seluruh kebencian itu? Dika membuang pandangannya jauh ke arah pegunungan yang mengelilingi desa. Hancur sudah niatnya untuk menenangkan diri. Kehadiran gadis itu berhasil memperburuk suasana hatinya.
Menyadari semua rencananya hancur berantakan, Dika memutuskan untuk kembali ke rumah Mbah Putri dan mempersiapkan diri untuk pulang bersama Mbok Ayu. Namun, seketika langkahnya terhenti begitu ia rasakan sebuah genggaman di tangannya. Dika menoleh dan melihat gadis itu meraih tangannya erat.
“Kamu ngapain?” tanyanya terkejut. Ia berusaha menarik tangannya namun gadis itu menahannya sekuat tenaga. Selama beberapa lama Dika kebingungan harus melakukan apa. Bisa saja ia dorong gadis itu agar genggamannya lepas. Tapi tentu saja Dika tak tega melakukan hal itu. Terlebih melihat tubuh mungilnya. Salah-salah gadis itu malah terluka dan menimbulkan masalah yang lebih besar.
“Heh, lepasin!” seru Dika setelah tak berhasil menarik tangannya. Baru saja ia ingin membentaknya lebih keras, gadis itu mendongak dan menatapnya dengan mata berkaca. Hidungnya kian memerah seperti menahan sesuatu agar tak terisak. Langsung saja Dika terbelalak dan semakin bingung. Ada apa dengannya?
"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau selama ini Kak Dika menahan rasa sakit sebesar itu." Dika terkejut begitu mendengar kalimat bocah perempuan yang bersimpuh, dan merengkuh tangannya.
“Kamu berusaha menenangkan aku?” tanya Dika yang mematung di tempatnya usai mencerna apa yang dilakukan gadis cilik yang ada di hadapannya. Gadis itu mengangguk masih mencengkeram tangan Dika. Bahkan, kini ia menggunakan kedua tangannya. Hal tersebut memang tak asing bagi Dika. Dia pun pernah melakukannya saat seseorang mengamuk di kelas beberapa bulan yang lalu. Walaupun akhirnya ia jatuh pingsan karena kehabisan tenaga.
Berangsur-angsur, perasaan Dika semakin ringan. Amarah dan rasa putus asanya mengikis. Hanya ada kekosongan yang menyelimutinya dan sensasi familiar yang ia sadari. Entah mengapa saat gadis itu membagi energi miliknya, Dika yakin bahwa ada ikatan yang memang terjalin begitu erat antara gadis itu dengannya. Sebuah energi yang mirip dengan energinya. Ia bertanya-tanya apakah itu perasaan yang dimiliki oleh saudara?
“Kamu nggak benci sama aku?” tanya Dika ketika gadis itu melepas genggamannya. Kini ia kembali duduk menghadap gadis kecil itu.
“Aku tidak pernah suka dan berusaha untuk tidak membenci seseorang." jawabnya, "Kak Dika tahu sendiri bagaimana rasanya perasaan benci itu, kan?” Dika hanya diam lalu mengangguk.
“Dan Nyonya Yuriko?”
“Ibu tidak pernah mengatakan apa-apa.” jawab gadis itu yang sudah mengusap kering air matanya.
“Yang kamu lakukan tadi,” lanjut Dika setelah semenit hening, “Bagaimana caranya?”
“Yang mana?”
“Caramu membantuku tadi. ”
Gadis itu menggeleng pelan, “Aku tidak tahu. Kulakukan begitu saja. Kak Dika seharusnya bisa, kok.” Dika hanya memandangi gadis itu tanpa berkata. Dia tahu kalau dirinya bisa melakukan hal yang sama. Hanya saja ia terbiasa untuk menahan kemampuannya, dan menguburnya dalam-dalam. Meski itu mustahil. Lagipula, beberapa kali ia menggunakannya dengan sengaja, seluruh tenaga yang ada di tubuhnya seolah ikut terkuras habis.
"Maksudku, bagaimana kamu melakukannya tanpa merasa kelelahan?"
Lagi-lagi gadis itu menggeleng, "Aku tidak tahu. Dari dulu aku sudah bisa melakukannya. Dan tidak pernah merasa capek."
Dika mengangguk kecil. Ia sadar bahwa kemampuannya tidak lebih hebat dari kemampuan gadis kecil yang duduk di sampingnya.
Keduanya lagi-lagi memilih diam. Menikmati angin yang berhembus lembut dan matahari yang semakin tinggi. Suara langkah kaki petani yang menyusuri jalan setapak sesekali terdengar. Gadis cilik yang rambutnya dikuncir dua itu memilih memecahkan suasana dengan mendendangkan sebuah lagu sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Suara cempreng khas anak-anak yang keluar dari mulutnya membentuk nada-nada yang tidak familiar bagi Dika. Meski begitu tak satu pun yang sumbang. Justru semakin lama lagu yang ia nyanyikan semakin menyenangkan untuk didengar.
"Wah, Komorebi!" seru gadis itu tiba-tiba menghentikan nyanyiannya. Ia memutar tubuh dan memandangi deretan pepohonan yang berjajar di belakangnya. Dika menoleh dengan alis terangkat, bertanya-tanya tentang apa yang dikatakan gadis itu.
"Sinar matahari yang menembus pepohonan. Itu arti komorebi." jelasnya seraya menunjuk cahaya matahari pagi yang melewati sela-sela dedaunan dari pohon. "Orang-orang bilang, perasaan bisa menghangat saat melihat pemandangan ini. Tapi, Ibu pernah berkata saat kita menemukan sesuatu yg membuat hati kita menghangat, kita juga bisa menyebutnya komorebi."
"Ibu adalah komorebi pertamaku." lanjut gadis kecil itu sambil menekuk ibu jarinya ke dalam telapak tangan terlihat tengah menghitung. "Komorebi keduaku adalah Kakak."
Selama beberapa detik Dika-kun membatu. Ia bertanya-tanya apakah telinganya salah mendengar dengan apa yang diucapkan gadis kecil di sampingnya. Kepalanya menoleh dan menemukan gadis itu tersenyum lebar ke arahnya. Matanya yang sipit membingkai seperti bulan sabit. Kali ini Dika bisa melihat raut kekanakan dari gadis itu. Laki-laki itu tersenyum tipis melihat cengirannya yang polos.
"Kenapa aku yang jadi komorebi nomor duamu?" tanya Dika melembut. Gadis itu tidak segera menjawab. Mulutnya mengerucut dan matanya menatap ke atas tampak berpikir.
"Aku tidak tahu. Tapi ternyata rasanya sangat menyenangkan saat tahu kalau aku memiliki seorang kakak. Dan Kak Dika, meskipun terlihat galak, Kakak memiliki hati yang hangat. Aku tahu kok kalau Kakak itu saaaaangat baik."
"Tahu darimana?" timpal Dika.
"Ya pokoknya tahu. Kita kan kakak-adik." seru gadis itu seraya menghentak-hentakkan tangannya naik turun. Tubuhnya berputar menghadap Dika-kun dengan raut merajuk.
"Aku tidak pernah suka sosok adik yang sok tahu dan sok menggemaskan seperti itu." ujar Dika sok acuh. Bocah perempuan itu sontak tertegun. Begitu Dika mengucapkan kata 'adik', omelannya berhenti. Tangannya tak lagi menghentak. Dan kakinya yang ikut-ikutan bergerak mengikuti gerakan tubuhnya pun terdiam. Beberapa saat kemudian, air mukanya berubah sumringah.
"Panggil aku Abang. Jangan pakai panggilan 'kakak'. Aku bukan kakak pembina pramuka."
"Bang Dika. Abang. Abangnya Hana." sahut gadis itu langsung tampak kelewat gembira. "iya, lebih cocok dipanggil Abang."
"Ya iyalah," timpal Dika.
Gadis itu masih tersenyum lebar saat berkata, "Mulai sekarang, Hana punya abang dan Bang Dika punya Hana. Jadi, jangan pernah merasa sendirian lagi. Oke?"
Begitu Hana menyelesaikan kalimatnya, Dika tersenyum dengan perasaan hangat yang menyelimuti dadanya. Perasaan yang belum pernah ia rasakan. Untuk pertama kalinya, Dika merasa sebongkah beban yang menghimpitnya selama ini terangkat. Kali ini, meski beban itu belum seluruhnya sirna, Dika mampu tersenyum dengan perasaan lapang dan mengangguk pada Hana yang belum lepas tersenyum lebar ke arahnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
