KOMOREBI - BAB 7 (Serbuk Bunga Dalam Tumpukan Emas)

0
0
Deskripsi

“Itu bohong.” tukas Dika-kun pelan namun matanya menatap tajam. Dibanding sorot mata yang pernah ia tunjukkan sebelumnya, tatapannya kali ini sepuluh kali lebih mengerikan. Seketika bulu kudukku meremang dan tengkukku dingin merasakan hawa aneh yang mulai menyelimuti. Kulihat Ryuka-chan mengerjap aneh dan mulai mengusap lengannya gelisah. 

Setelah dirawat lima hari di rumah sakit, Dika-kun masih harus beristirahat total di rumah selama satu minggu penuh. Di hari kedua kepulangannya, ia mendesak agar diperbolehkan berangkat sekolah. Untung saja Paman Ito melarangnya. Menurut cerita Paman, Dika-kun akhirnya menurut setelah melalui perdebatan panjang yang berujung rasa sakit di kepalanya.

Begitu genap tujuh hari, meski berat, Paman Ito memperbolehkannya pergi ke sekolah dengan berbagai syarat. Salah satunya memaksa Dika-kun memasukkan nomor telepon Paman di daftar pertama panggilan cepat. Aku salut sekaligus heran dengan sikap Paman Ito. Tingkahnya memperlakukan Dika-kun tidak seperti seseorang yang berhadapan dengan penghuni salah satu kamar yang ia sewakan, Paman Ito lebih seperti memperlakukan Dika-kun selayaknya anak sendiri.

“Kau yakin tidak apa-apa?” tanyaku sekali lagi saat kami berdua tiba di gerbang sekolah. Wajah Dika-kun sudah tidak pucat, dan luka di kepalanya jauh membaik meskipun kudengar bahu dan dadanya masih dibebat kuat mengingat tulang rusuk dan pundaknya mengalami keretakan. 

“Awas!” seru Dika-kun menarik tasku. Tepat setelah itu, sebuah bola meluncur persis di tempatku berdiri dua detik yang lalu. Seorang anak laki-laki yang kutebak pemilik bola tadi nampak terburu-buru menghampiri kami. 

“Aaaah, Kouda-san, maafkan aku. Tak sengaja bolanya terlempar ke arahmu.” seru Heiji-kun yang terengah-engah setelah berlari. Begitu cukup dekat, ia terkejut melihat Dika-kun yang berdiri di sampingku. “Dika-san, kau sudah berangkat sekolah? Bagaimana keadaanmu?”

“Sudah lebih baik,” jawab Dika-kun. 

“Daripada itu, lain kali berhati-hatilah. Bagaimana jika bola tadi malah mengenai Dika-kun.” timpalku membuat Heiji meringis bersalah sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Itu tidak sengaja. Aku benar-benar minta maaf, ya.” balasnya dengan menangkupkan kedua tangan. Setelah meminta maaf, Heiji kembali berlari mencari bolanya yang menggelinding entah kemana. 

“Aku tidak memaksamu membantuku mencari Hana.” ucap Dika-kun tiba-tiba menyinggung pembicaraan kami beberapa hari yang lalu lewat chat. Aku memang menawarkan diri membantu pencariannya. Bagaimanapun juga aku tidak bisa berdiam diri melihat Dika-kun mencari Hana sendirian. Terlebih melihat kondisinya tak begitu baik. 

“Aku tidak merasa terpaksa. Kecuali jika kau tidak memperbolehkanku ikut.”

Kuperhatikan Dika-kun yang menghela nafas panjang, “Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya khawatir mengganggu rutinitasmu. Kita bahkan tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencarinya.”

“Itu sama sekali bukan masalah besar.” kataku tepat ketika ponsel di tasku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sayaka. Aku mengernyit dan segera membuka isi pesannya.

Hei, ayo cepat masuk kelas! Jangan keasyikan bermesraan sampai tidak sadar jika bel sudah berbunyi.

Selesai membaca pesan itu aku langsung tertegun dan menoleh ke sekitar. Melihat beberapa anak yang berlari terburu-buru ke dalam nampaknya memang benar jika bel sudah berbunyi dan aku tidak menyadarinya sama sekali. Kudongakkan kepala menatap gedung sekolah dan mendapati Sayaka yang bersandar di jendela melambai ke arahku dengan ponsel di tangannya. Sepertinya Sayaka sudah memperhatikanku sejak tadi. Meskipun aku tidak setuju dengan pemilihan kata ‘bermesraan’ darinya, tapi entah mengapa pipiku terasa panas. Dengan setengah menunduk, aku menyusul Dika-kun yang berjalan menduluiku dan mengikutinya menuju kelas. 

*** 

“Akademi Sumire?!” aku berseru setelah menanyakan sekolah Hana pada Dika-kun. Melihat laki-laki yang berjalan di sampingku itu mengangguk membuktikan bahwa apa yang kudengar tidak keliru. Reputasi sekolah khusus perempuan itu tidak main-main. Yang paling terkenal adalah kelas kejuruan bidang seni Akademi Sumire yang bahkan banyak diminati kalangan selebritis. Sistem seleksi siswanya pun kudengar sangat ketat. Sistem seleksi yang pertama melalui jalur akademik. Di sana, siswa yang mendaftar diseleksi melalui nilai yang diperoleh dalam ujian masuk. Sistem ini masih umum digunakan oleh sekolah-sekolah lain. Tapi tentunya dengan standar nilai yang cukup tinggi. Jalur seleksi kedua adalah jalur bakat. Ujian masuknya kudengar-dengar melalui wawancara dan demonstrasi bakat. Entah menyanyi, menari, akting atau bermusik. 

Reputasi kedua yang paling dikenal dari Akademi Sumire adalah, biaya sekolahnya yang luar biasa mahal. 

“Kalau Akademi Sumire, lebih baik kita jalan kaki saja.” ucapku. Secara kebetulan, letak sekolah bergengsi itu tidak jauh. Cukup menyeberang dari taman kota dan kita sudah sampai.

“Kalau hanya itu, aku sudah tahu.” kata Dika-kun, “Sebelum menemukan tempat menetap, aku sudah datang ke Jepang beberapa minggu yang lalu untuk mengurus beberapa urusan administrasi. Termasuk mendaftar sekolah. Waktu itu kusempatkan bertemu dengan wali kelas Hana. Tapi sayangnya ia sedang mengambil cuti selama beberapa hari.”

Kuanggukan kepala mengerti. “Jadi, kau memilih SMA Kiritani agar lebih mudah menyelidiki keberadaan Hana karena letak sekolahnya yang berdekatan, ya?”

“Kurang lebih begitu.”

“Tapi bisa jadi menghilangnya Hana tidak berhubungan sama sekali dengan sekolahnya, bukan?”

“Aku agak ragu dengan itu. Meskipun Hana memiliki kepribadian yang cukup ceria, karena kemampuan unik yang kami miliki, sadar atau tidak, kami cenderung membatasi kehidupan sosial kami.”

“Mengapa bisa begitu?” tanyaku,

“Kurasa karena kami bisa merasakan perasaan orang lain dan energi yang orang-orang pancarkan. Sebetulnya hal itu agak mengganggu. Tidak masalah jika orang itu mengeluarkan energi positif. Namun, kenyataannya kami lebih banyak merasakan energi dan perasaan-perasaan negatif. Meskipun lama-lama terbiasa, jika terus-terusan merasakan energi yang tidak menyenangkan cukup mempengaruhi perasaan kami juga.”

“Begitu rupanya.” gumamku, “Jadi kau yakin bahwa hilangnya Hana berkaitan dengan aktifitasnya di sekolah?” 

Dika-kun mengangguk. Kulihat kilatan matanya yang penuh harap. Kualihkan pandanganku begitu sebuah pikiran buruk mengenai Hana terlintas kembali. Aku tak sampai hati menanyakan hal yang menggangguku pada Dika-kun. Apakah ia masih berharap menemukan Hana dalam keadaan baik-baik saja? Rasanya ambigu saat teringat raut duka Dika-kun tempo lalu.

Seperti yang kuduga, begitu melewati gerbang Akademi Sumire, beberapa anak yang masih belum pulang melayangkan pandangannya ke arah kami berdua. Lebih tepatnya pada Dika-kun kurasa. Ada yang terpesona tentu saja. Tapi menurutku, mayoritas anak-anak itu penasaran dengan kedatangan kami. Apalagi seragam sekolah Kiritani yang kami kenakan tampak menyolok dibanding seragam Akademi Sumire yang berupa terusan sederhana sepanjang lutut berwarna biru lembut dengan dasi pita biru tua dengan aksen garis hitam mencolok. Anehnya, meskipun terlihat sederhana, murid-murid tampak sangat manis saat mengenakannya. 

“Chika,” panggil Dika-kun saat aku tertinggal cukup jauh di belakang. Bahkan Karena terlalu malu jadi sorotan, aku sampai tak sadar mulai berjalan berlawanan arah dengannya. Sekilas nampak Dika-kun tersenyum melihat tingkah canggungku yang gemar muncul di waktu-waktu yang tidak tepat. Dengan sebaris senyum malu yang kutunjukkan, kuikuti lagi Dika-kun dan berusaha tidak berjalan terlalu jauh darinya. 

Tiba di aula depan, kami berdua disuguhi pemandangan hilir mudik siswi yang nampak baru saja menyelesaikan kelas. Bahkan untuk pertama kalinya kulihat segerombol siswi SMP yang berdiri melingkar sambil membawa samisen dan tengah membicarakan sesuatu. Tidak banyak anak muda yang sengaja menekuni seni tradisional di jaman sekarang. Tapi karena mengunjungi sekolah elit kesenian, mungkin kesempatan melihat hal-hal semacam ini bisa saja terjadi. 

“Kau tidak pernah tertarik masuk akademi ini?” tanya Dika-kun tiba-tiba. Aku terkejut mendengar pertanyannya.

“Mana bisa aku masuk kesini!” sahutku mengibaskan tangan di depan muka sambil tertawa masih tak mempercayai pertanyaannya.

“Mengapa tidak? Menurutku sketsa dan lukisan kasar yang kau buat berpotensi lebih baik daripada itu.” jawab Dika-kun seraya menunjuk dinding sepanjang tujuh meter yang penuh dengan hasil karya siswi kelas seni rupa. Aku nyaris tersedak mendengarnya. Kukira Dika-kun hanya bercanda saat mengatakan hal itu. Tapi begitu kuperhatikan, tak sedikit pun ada sirat jahil dari wajahnya. 

“Darimana kau tahu aku bisa sedikit menggambar?” tanyaku yang akhirnya penasaran juga.

“Kau pernah menarikku jatuh saat terpeleset di lorong depan kelas, kurasa itu hari saat klub karate dan kendo mengadakan pertandingan bersama.”

Mataku berputar keatas mengingatnya, “Ah, betul. Lalu?”

“Saat itu isi tasmu tercecer, kau ingat?”

“Ehm. Aku ingat. Jadi kau lihat buku sketsaku yang tak sengaja terbuka?” Dika-kun mengangguk. “Leluconmu sangat tidak lucu. Bagaimana bisa gambarku dibandingkan dengan gambar murid Akademi Sumire.” gumamku tepat tiba di depan ruang guru. 

Ah, kau anak laki-laki waktu itu. Silahkan masuk, akan kupanggilkan Urai Sensei.” seru seorang wanita dari ruang guru setelah Dika-kun mengetuk pintu. Aku sedikit heran saat mendapati Dika-kun yang tak segera masuk dan justru membalikkan badannya ke arahku.

“Aku serius saat mengatakan bahwa gambarmu sangat bagus.” ujarnya yang berhasil membuatku bengong. Beberapa detik kemudian, seorang wanita lain muncul dan berjalan mendekat. Aku yang menyadarinya terlebih dahulu membungkuk memberi salam. Dika-kun kembali berbalik dan ikut memberi salam.

“Aku sudah diberitahu tentang kedatanganmu sebelumnya. Awalnya kukira yang mencari adalah mantan anak didikku dari Okinawa. Ternyata sama sekali bukan.” kata Urai Sensei setelah mempersilahkan kami berdua duduk di ruang tamu yang terletak persis di samping ruang guru. Kuperhatikan sekeliling dan melihat ruang itu hanya disekat menggunakan dinding kaca. 

“Sensei pernah mengajar di Okinawa?” balas Dika-kun berbasa-basi.

“Tiga tahun di sekolah dasar berkebutuhan khusus. Dan dua tahun di SMP tempatku bersekolah dulu.” jawabnya dengan gaya khas keibuan. “Sekarang kalian bisa mengatakan apa yang ingin kalian bicarakan.” 

Dika-kun mengangguk dan mengambil foto Hana dari dalam tasnya. Ia ulurkan foto itu pada Urai Sensei yang ekspresinya seketika berubah

“Maaf, apa yang ingin kalian tanyakan tentang Tanzawa? Dan apa hubungan kalian dengannya?” tanya Sensei serius. Senyumnya menguap, namun ia masih nampak tenang dibalik kewaspadaannya. Kulihat Dika-kun merogoh tas miliknya dan menyodorkan sebuah transparan berisi lembaran kertas mirip berkas.

“Saya adalah kakak Hana.” ucapnya sukses membuat Urai Sensei mendongak terkejut.

“Kakak Hana?” sahutnya setengah tidak percaya begitu melihat perbedaan yang sangat jelas antara Dika-kun dan Hana. Sama sepertiku yang terkejut di awal saat mengetahui adik Dika-kun merupakan gadis jepang.

“Kami saudara lain ibu.” jelas Dika-kun, “Selama ini saya tinggal di Indonesia bersama dengan keluarga ayah saya.” Sensei mengangguk dan kembali memeriksa berkas yang Dika-kun tunjukkan. Ia sedikit bergumam tentang ‘kartu keluarga’ dan mencocokkan nama ayah Hana yang memang sama persis dengan nama Ayah Dika-kun.

“Jadi, kedatanganmu kemari ingin membicarakan kasus hilangnya Tanzawa April lalu?” lagi-lagi Dika-kun mengangguk. Urai Sensei menghela nafas panjang sebelum melanjutkan bicara.

“Sama seperti yang pernah Sensei katakan kepada polisi, tidak ada yang tahu kemana hilangnya Tanzawa.”

“Kapan terakhir kali Sensei bertemu dengan Hana?” tanyaku kemudian.

“Kurasa sekitar satu minggu sejak hari pertama tahun ajaran baru dimulai. Sensei ingat waktu itu ia mengajukan surat pindah mendadak.” jawab Sensei membuatku dan Dika-kun saling menatap selama dua detik.

“Pindah sekolah? Di awal tahun ajaran baru?” ulang Dika-kun dengan dahi berkerut. 

“Sensei juga terkejut waktu itu. Tapi Sensei rasa kepindahannya berkaitan dengan kondisi Nyonya Tanzawa yang semakin memburuk. Kalau kau kakak Hana pasti tahu juga tentang kondisi Ibunya, bukan?” kulirik Dika-kun yang mengangguk kecil. Meski tak kentara, kudapati raut tak puas saat mendengar jawaban Sensei. “Yang tidak Sensei sangka adalah kenyataan bahwa hari itu juga hari dimana Tanzawa menghilang.”

“Apakah Sensei merasa ada perubahan yang Hana tunjukkan beberapa bulan sebelum dia menghilang?” kulihat Urai Sensei melipat kedua tangannya sambil mencoba mengingat.

“Jika diingat-ingat, Tanzawa memang sedikit menjadi lebih murung beberapa bulan belakangan. Tapi Sensei rasa perubahannya juga dikarenakan kondisi Nyonya Tanzawa yang melemah.” 

Kami bertiga terdiam cukup lama sampai akhirnya Dika-kun memutuskan untuk pulang. Aku sempat heran karena kurasa apa yang ingin kami ketahui belum tuntas. Sensei mengantar kami sampai pintu. Begitu hendak melangkah pergi, wanita itu tiba-tiba berseru mengagetkan kami berdua.

"Aku ingat sesuatu.” ucapnya membuatku dan Dika-kun tertahan. “Yang kutahu selama ini, Tanzawa tidak memiliki teman dekat. Tapi beberapa kali kulihat dia cukup akrab dengan seorang anak laki-laki dari sekolah lain.”

“Apakah Sensei mengenal anak itu? Atau bersekolah dimana?” aku menyahut sebelum Dika-kun yang menanyakannya. 

“Sayangnya tidak.” jawab Urai Sensei dengan nada menyesal. 

Kami berterima kasih sekali lagi dan pamit pulang untuk kedua kalinya. Kali ini Sensei benar-benar kembali masuk ke dalam ruang guru meninggalkan kami yang membisu sambil perlahan berjalan. Baru saja kami sampai di aula depan, suara derap kaki terdengar menggema dari lorong yang baru saja kami lewati. Sampai akhirnya sesosok anak perempuan yang kulihat berlarian tadi berhenti tepat di depan kami. Dengan terengah-engah, ia memandangku dan berkata,

“Onee-san, apa kau mengingatku?”

*** 

“Kau… bukannya anak yang kecopetan waktu itu?” seruku langsung teringat dengan wajahnya. Seketika gadis itu mengangguk senang saat aku berhasil mengingatnya.

“Namaku Ryuka Shibasawa. Senang bertemu denganmu lagi, Onee-san.” ucapnya riang sambil membungkuk. Dengan canggung kubalas salamnya.

“Ah, aku Chika Kouda.” balasku dengan membungkuk agak canggung. “Dan dia temanku, Yudha Mahardika. Biasanya dia dipanggil Dika-kun.” 

“Tunggu, apakah Kakak ini yang…” Ryuka menutup mulutnya syok saat mengenali Dika-kun. Kurasa Ryuka-chan masih mengingat Dika-kun di insiden waktu itu. 

“Dia yang menolongku waktu itu.” jelasku langsung membuat Ryuka tiba-tiba membungkuk dalam. Aku dan Dika-kun sampai meringsut saking kagetnya melihat Ryuka bereaksi. 

“Maafkan aku. Karena waktu itu aku teledor, Onee-san harus menolongku dari pencopet waktu itu. Karena aku juga Dika-san harus terluka parah saat menolong Onee-san.” ucapnya separuh berteriak sampai-sampai memancing beberapa anak semakin menyorot ke arah kami berdua. Aku menggaruk-garuk kepala bingung harus menanggapinya seperti apa. Dan Dika-kun dengan mata membulat masih terkejut dengan permintaan maaf Ryuka yang tiba-tiba.

Setelah menenangkannya, kami berdua membawa Ryuka-chan ke Taman Akimori dan membelikannya segelas es kopi. Ia duduk di ayunan sedangkan aku dan Dika-kun bersandar di palang rintang. 

“Mencari adik Dika-san? Dia satu sekolah denganku?” seru Ryuka-chan saat aku menjelaskan maksud kedatangan kami ke Akademi Sumire. 

“Apa kau mengenalnya? Hana Tanzawa.” tanyaku sembari menyesap es kopi milikku sendiri. 

“Hana Tanzawa…” Ryuka-chan mengetuk-ngetuk penutup gelas es kopinya.

“Kelas dua divisi SMP kejuruan seni musik.” kata Dika-kun menyahut begitu Ryuka-chan menunjukkan gelagat tak tahu. Namun begitu mendengar Dika-kun, Ryuka-chan nampak seperti orang yang tersetrum dari tempat duduknya dan menatap kami berdua dengan matanya yang membulat. 

“Kelas seni musik? Tunggu, apa mungkin yang kakak maksud gadis penyihir?” aku mengernyit tak mengerti.

“Kau tahu sesuatu?” tanya Dika-kun. 

“Rumornya beredar sejak akhir tahun lalu. Jujur saja aku tidak terlalu mengerti detail kejadiannya. Tapi yang kudengar, kelas seni music sempat digemparkan oleh peristiwa poltergeist, Kakak tahu, benda-benda beterbangan dan semacam itu.” Ryuka-chan berhenti sesaat, “Sejak itu kudengar ia dijauhi karena para murid ketakutan. Kami dari kelas-kelas lain hanya mendapat gambaran mengerikan tentang si gadis penyihir ini. Bahkan ada yang pernah mengatakan bahwa dia cukup kejam mematahkan kepala burung dara di atap sekolah tanpa menyentuhnya.”

“Itu bohong.” tukas Dika-kun pelan namun matanya menatap tajam. Dibanding sorot mata yang pernah ia tunjukkan sebelumnya, tatapannya kali ini sepuluh kali lebih mengerikan. Seketika bulu kudukku meremang dan tengkukku dingin merasakan hawa aneh yang mulai menyelimuti. Kulihat Ryuka-chan mengerjap aneh dan mulai mengusap lengannya gelisah. 

“Kupikir juga begitu. Aku percaya cerita-cerita yang beredar tak terkendali cenderung dilebih-lebihkan.” ujar Ryuka-chan pelan masih merasa gelisah. Kusentuh lengan Dika-kun yang masih terdiam di tempatnya. Ia tersentak pelan begitu menyadari amarahnya membuat orang di sekelilingnya terpengaruh. Dihembuskannya nafas sekali berusaha menenangkan diri. Kali ini betul-betul kurasakan kemampuan Dika-kun terasa begitu nyata. Ada perasaan tertekan yang belum pernah kualami sebelumnya. Sangat dingin dan ada gejolak yang memicu sesuatu di dalam diriku untuk meledak. Kutoleh Dika-kun yang tampak seperti semula. Aku merinding membayangkan seberapa besar rasa amarah yang Dika-kun halau agar tak muncul ke permukaan. 

“Aku minta maaf tentang gadis penyihir itu, Dika-san.” Ryuka-chan berdiri dari ayunannya dan membungkuk ke arah Dika-kun, “Lagipula itu belum tentu siswi yang Dika-san maksud.”

“Tidak, kurasa itu memang benar Hana.” potong Dika-kun membuatku dan Ryuka-chan sama-sama tertegun. Dengan membenarkan cerita itu, Dika-kun juga seperti mengakui kemampuan Hana. “Dia memang sedikit istimewa. Tapi bukan berarti dia bisa menyakiti sesuatu atau seseorang.”

Kuperhatikan gadis SMP itu yang mengamati Dika-kun dan tampak sedang memikirkan sesuatu cukup lama. Tak lama, Ia tersenyum lalu mengangguk kecil, “Kakak benar. Monster sesungguhnya tidak terlihat dari bentuknya. Dia terlihat karena perbuatannya.” Ryuka-chan berkata sembari tersenyum. Aku cukup takjub dengannya yang mampu menerima informasi tentang Hana dengan tenang. 

“Tentang adik Dika-san, bolehkah aku membantu? Anggap saja rasa terima kasihku saat Chika nee-san membantuku waktu itu.” lanjutnya.

“Jika tidak mengganggumu, aku sangat berterima kasih.” balas Dika-kun tulus. Ryuka-chan berpamitan begitu menerima pesan bahwa mobil penjemputnya sudah tiba. Kami melihatnya berlari kecil sambil melambai. Dari luar taman, di tepi jalan yang tak jauh, sebuah mobil hitam mengkilat berhenti. Sulit dipercaya gadis polos rendah hati yang berdiri di depanku adalah salah satu putri orang kaya yang bersedia menghabiskan biaya sekolah anak perempuannya ke salah satu sekolah ter-elit se-Jepang. Baru saja membayangkan kehidupan Ryuka-chan yang tentunya bergelimang kemewahan, tiba-tiba aku menyadari hal mendasar yang seharusnya kukejutkan sedari awal.

“Dika-kun, sekaya apa keluarga Tanzawa?” meski bingung dengan pertanyaanku, Dika-kun menunjuk sebuah billboard selebar pusat perbelanjaan Akimori. Disana terpampang foto pria tua dengan senyum lebar yang kukenal sebagai pemilik korporasi terbesar ketiga se-Jepang. Isami Tanzawa. 

“Jangan bercanda.” timpalku seraya tertawa. Tapi tawaku meluntur saat melihat Dika-kun hanya diam.  

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Komorebi
Selanjutnya KOMOREBI - KOLASE 1 (Yudha Mahardika)
0
0
Suara cempreng khas anak-anak yang keluar dari mulutnya membentuk nada-nada yang tidak familiar bagi Dika. Meski begitu tak satu pun yang sumbang. Justru semakin lama lagu yang ia nyanyikan semakin menyenangkan untuk didengar.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan