Book I of Intoxicated: Past (Bab 6 - Bab 10)

3
0
Deskripsi

Bab 6

 

“I love it how you think I’m always this cool.

Excusez-Moi, I think I’m just a fool.”

No Blueberries by DPR IAN feat DPR LIVE & CL.




 

Debby menutup wajahnya dengan malu. Mengingat kejadian semalam membuatnya ingin bersembunyi dari Rey. Debby melirik ke samping dan mendapati Rey masih tertidur dengan pulas.

Apa yang dipikirkan Rey setelah dia membuka kedua matanya? Apakah dia akan memandang Debby sebagai perempuan murahan sekarang? Apakah setelah ini Rey akan meninggalkannya? Mengapa penyesalan...

Genre: dark-romance, psychological-thriller.

Book I of Intoxicated: Past (Bab 6 - Bab 10)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Intoxicated
Selanjutnya Book I of Intoxicated: Past (Bab 11 - Bab 15)
3
2
Bab 11 “‘What’s easy is right’, my mother’s advice. You are the reason I never think twice.Wherever we go, what glitters is gold. You’ll be my best friend until we grow old.I had a nightmare, but now that I’m not scared.This is how you fall in love.Let go, and I’ll hold you up. So pull me tight and close your eyes.Oh my love, side to side.”this is how you fall in love by Jeremy Zucker feat Chelsea Cutler.  Debby terlihat linglung saat ini. Semuanya terjadi begitu cepat. Sepulang sekolah dia meminta break kepada Rey untuk memikirkan semuanya, kemudian dia pergi tidur, dan tiba-tiba saja Adrian, Ayahnya Rey, datang ke rumahnya sebelum matahari terbit.Apa yang Debby alami bahkan belum ada dalam kurun waktu dua puluh empat jam!Dia terbangun dan dihadapkan oleh Adrian yang secara tiba-tiba menawarkan sebuah kesempatan yang terdengar menggiurkan, tapi disisi lain dia juga sangat kaget ketika mendengar Rey sedang dirawat di rumah sakit saat ini.Entah apa yang dipikirkan oleh Rey hingga dia mencari gara-gara dengan preman kampung. Debby tidak pernah melihat sisi Rey yang terlihat begitu ceroboh dan bodoh seperti saat ini.Apakah ini salah satu cara Rey untuk mencari perhatiannya? Debby menggelengkan kepalanya dengan cepat ketika pemikiran tersebut muncul. Rey tidak mungkin sebodoh itu, kan? Untuk apa dia menyakiti dirinya sendiri hanya untuk mendapatkan sebuah perhatian darinya?“Rey kenapa, Deb?” sebuah pertanyaan keluar dari mulut sang Ibu, yang kini juga terlihat bingung dengan kedatangan Adrian di pagi dini hari. “Kamu lagi berantem sama dia? Makanya bapaknya sampe nyamperin kamu ke rumah?”“Apaan sih, Mi!” seru Debby tak terima.Manda, sang Ibu, hanya mengedikkan bahunya dengan ringan. “Terus kenapa itu bapaknya sampe dateng kesini pagi-pagi buta?”Debby mengembuskan napas dengan lelah. “Si Rey masuk rumah sakit.”“Hah? Dia sakit apa?” tanya Manda terkejut. “Bukannya tadi pas nganterin kamu pulang dari sekolah dia kelihatan baik-baik aja?”“Rey habis berantem sama preman katanya.”“Preman? Dia kena begal?” kening Manda terlihat sedikit berkerut saat ini. “Wajar sih dia kena begal, anak konglo. Tapi gimana ceritanya si Rey kena begal ama preman, Deb? Dia kena begal habis nganterin kamu pulang?”Debby hanya berdecak malas menanggapi semua pertanyaan Ibunya yang semakin kesini, semakin jauh dari kebenaran.“Jadi bapaknya Rey kesini karena mau minta kita tanggung jawab, gitu? Gara-gara anaknya kena begal habis nganterin kamu?” suara Manda terdengar panik kali ini. “Aduh, gimana dong ini Deb!”“Mami!” Tegur Debby tegas. “Nggak usah mikir aneh-aneh, deh!”Manda berdecak sebal mendengar respon dari sang anak. “Ya terus itu kenapa bapaknya bisa ke sini?! Kamu kalau nggak mau Mami mikir aneh-aneh, ya kasih tau Mami dong!”“Aku juga nggak tau, Mi.” Jawab Debby lelah. “Aku sama Rey memang lagi berantem tadi. Tapi untuk urusan dia yang berantem sama preman ini—aku purely nggak tau apa-apa.”“Debby,” suara Adrian memotong pembicaraan antara Debby dan Manda. “Ayo kita berangkat. Saya sudah berbicara dan kasih penjelasan sama Papi kamu mengenai kondisi Rey.”“Rey nggak papa kan, Pak Adrian?” tanya Manda khawatir.Mendengar pertanyaan Manda, Adrian balas tersenyum kecil dan menjawab, “Nggak papa kok. Bu.”“Kok bisa loh Pak, si Rey berantem sama preman?”“Musibah Bu, nggak ada yang tau.”Manda hanya menganggukkan kepala sebagai respon. Sejujurnya, dia sedikit merasa canggung dan terintimidasi oleh Adrian. Statusnya yang menjabat sebagai atasan sang suami, sekaligus ayah dari kekasih anaknya—membuatnya semakin merasa canggung untuk berbicara dengan Adrian.“Kalau begitu, saya pinjam Deborah dulu ya Bu untuk menemani Nayla.” Adrian meminta izin. “Saya harus terbang ke Kalimantan sebentar lagi. Kasihan dia harus menemani Rey sendirian di rumah sakit.”“Oh, silakan.” Manda mengizinkan. Mana mungkin dia berani menolak titah Adrian. Dia tidak mau karir suaminya hancur hanya karena masalah kecil seperti ini. “Saya sebagai Ibu juga mengerti perasaan Nayla. Dia pasti butuh ditemani karena anak satu-satunya sedang terluka.”“Nanti agak siangan, Mami nyusul kamu ya.” Ujar Manda kepada Debby.Debby memeluk kedua orang tuanya untuk berpamitan sebelum mengikuti Adrian masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan rumah.“Kita ke tempat Rey.” Titah Adrian kepada sang supir.Adrian menyilangkan kakinya dan menatap Debby dengan malas. “Kamu pikirkan baik-baik tawaran saya. Itu satu-satunya jalan keluar kamu untuk mengejar apapun cita-citamu, jalan keluar untuk kamu merasakan kebebasan di luar sana.”“Ke-kenapa,” seketika tenggorokannya terasa kering. Membuat Debby berdehem sekali dan kembali bertanya, “Kenapa Om mau bantu saya?”Adrian mengedikkan bahunya. “Saya ingin Rey fokus dan belajar untuk mengelola perusahaan. Bukannya saya tidak menyukai kamu, tapi kalian terlalu muda untuk this kind of shitty relationship—I might say. Kalian hanya bertemu di waktu yang tidak tepat.”Debby termenung mendengar ucapan Adrian. Rasa kantuk yang tadi menghampiri terasa hilang seketika, dan digantikan oleh perasaan… sedih.Ya, at some point, Debby merasa sedih dan ingin menangis mendengar ucapan Adrian. Mengapa harus ada pertemuan di waktu yang tidak tepat jika Rey adalah orang yang tepat untuknya?…benarkah begitu? Apakah Rey orang yang tepat untuk Debby?“You love him.” Adrian kembali bersuara. “Ya, kan?”Debby mengembuskan napasnya dengan panjang dan menatap Adrian dengan lelah. “Jujur, saya mulai tidak mengerti apa arti cinta sesungguhnya. Namun, jika Om tanya apakah saya peduli, sayang, dan ingin berada di sisi Rey, maka jawabannya adalah ya, untuk saat ini.”“Jadi kamu tidak akan mengambil tawaran dari saya?”“Saya tidak tahu.” Akunya. “Biarkan saya berpikir secara matang mengenai hal itu.”Adrian menganggukkan kepalanya. “Jalanmu masih panjang, Deborah. Sangat disayangkan jika kamu memutuskan untuk terus bersama dengan Rey.”“Mengapa Om sepertinya ingin saya menjauh dari Rey?”Adrian menyeringai kecil dan mengalihkan pandangannya menatap jalanan Jakarta yang terlihat sepi. “Karena saya tahu seberapa gilanya anak saya yang satu itu. Jika saya memiliki dua anak, mungkin saya tidak akan terlalu ikut campur. Sayangnya, saya hanya punya satu anak, dan saya membutuhkan dia untuk mulai fokus dan belajar mengenai perusahaan.”Adrian kembali menatap Debby dan melanjutkan, “Again, saya tidak membenci kamu. Saya hanya menyayangkan waktu kalian bertemu.”“Apakah tidak bisa saya terus bersama Rey dan tetap mengejar cita-cita saya?”Adrian tertawa kecil mendengar pertanyaan naif dari Debby. “Oh Deborah, jika semuanya begitu mudah, saya tidak akan pusing memikirkan sebuah strategi untuk menjauhkan kamu dari Rey.”“Kamu sekarang tahu dia seperti apa, bukan?” Adrian kembali bertanya dengan raut serius kali ini. “Kegilaannya malam ini, akan bertambah semakin gila dan kamu akan menjadi saksi akan kegilaannya. Kalau kamu memang siap untuk melihat semua kegilaan anak itu, maka saya akan membiarkannya. Ketika kamu memutuskan untuk bertahan di sampingnya, jangan pernah sekalipun kamu datang kepada saya dan memohon untuk pergi. Karena tawaran saya hanya berlaku untuk satu kali, dengan masa tenggang saat kamu lulus dari sekolah.”  ***  Debby terkejut dan raut wajahnya tampak khawatir ketika melihat Rey. Dia tidak menyangka jika keadaan Rey akan sekacau ini.“Om! Kenapa Rey diikat?!” tanya Debby histeris. Dia benar-benar panik saat ini. Rey yang penuh luka dengan kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing ranjang tempat tidur.Adrian memutar kedua bola matanya. “Saya sudah bilang, dia itu gila, bukan? Jika saya tidak mengikat dia, yang ada dia akan mengamuk dan terus mencari gara-gara.”“Ya ampun!” Keluh Debby. Kedua matanya terasa mulai buram saat ini.Debby berjalan mendekati ranjang Rey dengan air matanya yang mulai mengalir. Entah mengapa, Debby merasa bersalah melihat keadaan Rey saat ini.“Rey.” Panggilnya lemah. “Bangun dong. I’m here, I’m here.”Debby melihat kelopak mata Rey mulai bergerak secara perlahan, sebelum akhirnya terbuka dan menatap Debby dengan sendu.“Am I dreaming?” tanyanya pelan dengan suara yang serak.Debby menggelengkan kepalanya dan menatap Adrian dengan memohon. “Om, please lepasin ikatan Rey. Kasihan. Dia pasti kesakitan.”Adrian hanya mendengus dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang.Debby kembali menatap Rey dan berkata, “I’m sorry, Rey. Maafin aku.”“Debby?”Debby menganggukkan kepalanya. “Ya, ini aku, Debby—pacar kamu.”Rey tersenyum kecil mendengar ucapannya Debby. “You’re here.” Sekali lagi, Debby menganggukkan kepalanya. “Aku senang kamu di sini… tapi aku juga malu… kamu harus lihat kondisiku kayak gini.”Suara ketukan terdengar dan beberapa orang mengenakan seragam perawat mulai masuk ke dalam ruangan. Mereka datang dan mulai melepaskan ikatan tangan dan kaki Rey.“Happy?” tanya Adrian, entah kepada Debby atau Rey.Namun, ucapan Adrian segera ditanggapi oleh Debby. “Terima kasih, Om.”Adrian hanya memutar kedua bola matanya dan berkata, “Kamu jaga bocah sinting itu. Saya mau hubungi istri saya untuk kemari dan menemani kalian. Saya harus segera pergi dari sini karena ada urusan lainnya.”Tanpa menunggu balasan dari Debby ataupun Rey, Adrian segera pergi meninggalkan kedua remaja tersebut.“Rey, I’m so sorry.” Ujar Debby seraya meraih tangan Rey dengan lembut. “Kamu kenapa bisa sih, sampai berantem sama preman segala?”Rey hanya tersenyum lemah dan menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu, Deb. Everything feels so blurry right now.” Rey menggelengkan kepalanya dan menatap Debby dengan lelah. “I had a nightmare. I feel so lost, and then you came to me.”“I always come back to you, Rey.”“Then I’m not scared anymore.” Balas Rey pelan. “Thank you kamu udah selalu di sampingku, Deb. If this is how it feels when I'm in love with someone… then I don’t want to let go.”Walaupun Rey terlihat lemah saat ini, dia berusaha menatap Debby dengan serius dan berkata, “I love you Deborah Natasha”Terbawa suasana yang ada, membuat Debby dengan otomatis berkata, “Me too. I love you too, Rey.”  ***  Debby pergi untuk mengambil makanan yang dia pesan melalui aplikasi. Nayla, sang Ibu pergi ke kantin rumah sakit untuk membeli kopi. Ditinggal sendirian di dalam kamar berhasil membuat Rey mati kebosanan.  “I love you too, Rey.”  Ucapan cinta Debby tiba-tiba kembali terngiang di kepalanya. Membuatnya tersenyum secara otomatis. Rey tidak tahu apa itu cinta, dia hanya meniru apa yang dia tonton dari drama picisan yang dia lihat setelah pulang dari rumah Debby.Setelah menonton drama murahan tersebut, Rey dengan sengaja mencari masalah dengan preman dan menghajar mereka semua. Dia merasa perlu melampiaskan amarahnya dan butuh seseorang untuk menemaninya berkelahi. Jika bukan karena sang Ayah, mungkin para preman itu telah mati di tangan Rey.Adrian yang mengetahui perbuatan sang anak, tentu saja segera menghentikannya. Dia tidak mau sang istri merasa khawatir dan sedih jika mengetahui kelakuan sang anak.Melihat kondisi Rey yang menyedihkan, membuat Adrian turun tangan dan memberikan sebuah ide cerita kepada Rey; bertengkar dengan preman dan dirawat di rumah sakit. Adrian pun menambahkan bumbu untuk mengikat Rey agar suasananya semakin dramatis.Adrian menjamin jika idenya akan berhasil membuat Debby kembali kedalam pelukannya. Mendengar jaminan tersebut, tentu saja Rey langsung menyetujui ide sang ayah.Suara pesan baru terdengar dari arah ponselnya. Rey meraihnya dan memutar kedua bola matanya dengan malas. Dia tidak mengerti arti pesan dari Ayahnya, namun dia akan memastikan dan bertanya langsung padanya setelah Ayahnya pulang dari bisnis tripnya. ========== Bab 12  “And I don’t wanna live in a world without you.And all I want is just to come home back to you.Every little moment with you felt like paradise.Just you and I.”I Don’t Wanna Live In A World Without You by Clinton Kane.  “Terima kasih Mas.” Ujar Debby ketika dia menerima pesanan makanannya.Mengingat keadaan Rey yang tengah dirawat, Debby memutuskan untuk mengambil izin untuk tidak pergi ke sekolah hari ini. Kedua orang tua Debby pun telah memberikan izin karena merasa simpatik terhadap Rey.Apa yang kedua orang tua Debby ketahui mengenai Rey adalah; seorang remaja lelaki yang kekurangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.Ayahnya yang terlalu sibuk mengurusi bisnisnya, dan sang Ibu yang terkadang ikut menemani dan membantu sang suami. Meninggalkan Rey dibawah pengawasan orang-orang yang telah dibayar oleh sang Ayah.  “Saya akan mendaftarkan Rey untuk mengikuti rehabilitas. Kamu bujuk dia supaya rutin pergi ke sana. That's the least you can do for now.”  Ucapan Adrian tiba-tiba saja kembali terngiang di kepala Debby.Perempuan itu pernah melakukan research mengenai kondisi Rey dan untuk saat ini, yang memang dibutuhkan oleh Rey adalah mengikuti sebuah rehabilitas untuk menekan keinginannya dalam melakukan hal buruk.Untuk hal yang satu itu, Debby tentu akan mendukung ide Adrian. Dia akan melakukan segala cara untuk memastikan Rey pergi ke rehabilitas yang telah didaftarkan oleh sang Ayah.Ponsel yang berada di genggamannya bergetar. Debby membuka ponselnya dan mendapati sebuah pesan dari Rey.Debby tersenyum kecil membaca pesan Rey. Lelaki itu memang sangat manja jika sedang sakit. Jika Rey sedang bertingkah seperti ini, Rey benar-benar terlihat normal. Dia tidak terlihat seperti lelaki yang mengidap penyakit mental sama sekali.Langkah Debby terhenti ketika dia melihat seseorang yang dia kenal tengah duduk di ruang tunggu. Dengan langkah ragu, Debby berjalan mendekati orang tersebut.“Tamara?” Panggilnya.Sosok yang diyakini sebagai Tamara, teman sekolahnya, menoleh. Membuat Debby menaikkan kedua alisnya. Terkejut mendapati keadaan sang teman yang terlihat begitu… berantakan.“Lo kenapa?” Tanya Debby, khawatir.Tamara berdecak kesal dan berkata, “Cowok lo itu beneran sinting, ya!”Debby mengerutkan keningnya mendengar tuduhan Tamara. Apa maksudnya? Debby sama sekali tidak mengerti atas dasar apa Tamara menuduhnya sinting.“Dia sengaja banget nabrak mobil gue!” Lanjutnya. “Mobil gue peyok dan sekarang jidat gue jadi benjol dan harus dijahit gara-gara dia!”“Tunggu, tunggu.” Potong Debby cepat. “Gue nggak ngerti maksud lo.”Tamara mendengus dan memutar kedua bola matanya. “Gue akan laporin dia ke polisi!”Melihat Tamara yang begitu emosi tanpa memberikan konteks apapun kepada Debby membuatnya merasa kesal seketika.“Lo kenapa sih?” Tanya Debby agak sewot. “Gue turut prihatin sama kondisi lo yang berantakan dan semoga lo cepat sembuh—tapi atas dasar apa lo laporin Rey ke polisi? Lo tahu dari mana dia sengaja nabrak mobil lo? Lo ada bukti nuduh dia kayak gitu?”Mendengar Debby yang membela Rey, seketika membuat Tamara menjadi geram seketika. “Gue memang nggak ada bukti sekarang, tapi gue yakin seratus persen kalo kecelakaan yang gue alami ini pasti ulah Rey!”Debby mendengus mendengar tuduhan tak berdasar dari temannya. “Lo ambigu banget tahu nggak, sih? Nuduh orang nggak berdosa tanpa bukti kayak gitu. Emang ya, fitnah tuh lebih kejam daripada pembunuhan.”“Lo waras, Deb? Atau jangan-jangan udah ketularan gila juga kayak cowok lo?”Debby berdecak dan menatap Tamara dengan sinis. Mendengar Tamara yang menuduh kekasihnya tanpa bukti, ditambah ikut mengatai Debby seperti itu—tentu membuat Debby kesal.”Lo yang gila.” Balas Debby dengan datar. “Cowok gue jelas-jelas lagi sakit dari semalem, nggak mungkin dia ada waktu buat nabrak lo.”Tamara berdecak. “Jelas dia sakit, orang dia habis nabrak mobil gue. Setan kali tuh orang kalo misalnya masih nggak babak belur habis nabrak gue.””Tam, kalo lo nggak tahu apa-apa, mending lo jangan asal nuduh sembarangan deh.”“Berlaku juga buat lo, Deb.” Balas Tamara tak mau kalah. “Lo harusnya jangan terlalu buta dan naif sama cowok lo. Lo kira, dia iseng nabrak gue sampe bikin gue masuk rumah sakit gini? Enggak. Dia tahu lo deket sama gue, dia tahu lo suka cerita dan nanya pendapat gue—dan ketika lo pergi dari dia, yang dicari sama itu orang gila adalah gue. Karena dia ngira gue adalah penyebab lo ninggalin dia. Paham?”Debby menggelengkan kepalanya. Menatap Tamara dengan datar. “Gue rasa kecelakaan yang nimpa lo udah bikin lo sakit kepala. Mending lo cek isi kepala lo dulu sebelum nuduh orang lain sembarangan, oke? Kalo buktinya udah ada, tolong share ke gue.”“Oh, tentu akan gue share sama lo. Gue bahkan nggak sabar liat raut kekalahan dan menyesal lo yang udah ngebelain si cowok sinting.”“Ditunggu.”Tanpa menunggu balasan Tamara, Debby bergegas meninggalkan Tamara. Dia merasa, jika terus menanggapi ucapan Tamara, Debby rasanya akan meledak—dan mungkin akan membuat keributan yang mengakibatkan penampilan Tamara jadi lebih buruk daripada sekarang.Dengan perasaan kesal, Debby berjalan kembali menuju ruang Rey di rawat. Raut wajah Rey yang cemberut menjadi sambutan ketika Debby membuka pintu. Melihat wajah Rey yang seperti itu membuat Debby menyunggingkan senyumnya sedikit. Rey terlihat menggemaskan saat ini.”Kamu lama banget.” Komentarnya. “Aku kesepian loh nggak ada kamu disini.””Maaf.” Balas Debby seraya meletakkan pesanannya di meja samping tempat tidur Rey. “Tadi aku ketemu Tamara di bawah, terus ngobrol sebentar.”“Tamara?”“Iya, teman sekelas aku.”Rey menganggukkan kepalanya dengan sekilas dan meraih satu tangan Debby untuk ia genggam. “Terus kalian ngobrol apa aja?”Debby berdecak mendengar pertanyaan Rey. “Jangan ditanya, aku lagi kesel sama Tamara.”Rey menaikkan kedua alisnya. “Kenapa?”Debby menggelengkan kepalanya. “Nanti aja aku ceritain semuanya dari awal. Aku nggak mau bahas itu sekarang.” Debby memutuskan untuk duduk di ranjang Rey dan membalas genggaman tangannya. “Sekarang, kita fokus sama kondisi kamu dulu, ya? Aku pengen kamu cepet sembuh.”  ***  Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua dini pagi hari, tapi kedua mata Rey masih terbuka dengan lebar. Dia menoleh ke samping dan mendapati Debby tengah terlelap di sofa yang terletak tak jauh darinya.Tak bisa dipungkiri, Rey hari ini sangat senang. Dia tak pernah merasa sesenang ini sebelumnya—well, sebenarnya apapun yang berhubungan dengan Debby yang menjadikannya prioritas selalu menjadi hari paling indah yang Rey jalani. Contohnya seperti hari ini; Debby benar-benar memanjakannya, berada disisinya setiap saat, selalu ada dan menawarkan apapun sebelum Rey minta.Rey pikir, dia akan mendapatkan masalah ketika Debby menemui dan mengobrol dengan Tamara.Rey tahu jika Tamara mengetahui rahasianya. Dia juga tahu jika kekasihnya dekat dengan wanita itu. Dan Rey pun tahu, jika sebenarnya Tamara tidak menyukai dan merestui hubungannya dengan Debby.Ya memangnya orang waras mana yang bisa memberikan restu jika teman dekatnya memiliki kekasih gila seperti Rey?Terlebih, sepertinya Tamara sudah menduga jika dalang kecelakaan yang dialaminya adalah dirinya.Rey menyeringai memikirkan hal tersebut. Perempuan sialan, batinnya. Rey benar-benar membenci perempuan itu. Jika bukan karena dia, Debby tidak akan meminta break darinya. Tamara benar-benar membawa pengaruh buruk untuk Debby. Perempuan itu harus disingkirkan dari kehidupan Debby.Seketika, ingatan Rey membawanya kembali ke beberapa jam yang lalu—ketika dia membutuhkan tempat untuk melampiaskan amarahnya.  Napas Rey memburu. Kedua matanya menatap lima preman yang tergeletak tak berdaya dengan tajam. Rey baru saja memukuli para preman itu dan dia masih belum merasa puas. Amarahnya masih menggelora di dalam dadanya.Rey mengalihkan pandangannya dan menemukan sebuah batu berukuran sedang. Dia berjalan mendekati batu tersebut dan membawanya mendekat ke arah salah satu preman yang tengah mengerang kesakitan.“Ampun…” erangnya ketika melihat Rey tengah berdiri di atasnya. “Ampun, Mas…”“Kekasih kecilmu itu akan sangat membencimu kalau kamu melakukan itu, Rey.” Sebuah suara yang sangat Rey kenal terdengar—membuat kedua tangannya yang tengah mengangkat batu berhenti.Dengan malas, Rey membuang batu tersebut dengan asal dan membalikkan badannya. Membuatnya langsung berhadapan dengan Adrian—sang ayah.“What the fuck are you doing here?” Tanya Rey malas.ya Rey sinis.“Watch your attitude, young boy.” Tegur Adrian dengan datar. “I am still your father.”Rey hanya mendengus sebagai respon.Adrian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan mendekat ke arah Rey yang terlihat kacau saat ini.“Be smart.” Saran sang Ayah. “Apa kamu pikir dengan berkelahi seperti ini akan membuat Deborahmu kembali?”Rey memutar kedua bola matanya dan menanggapi, “Terus apa yang harus aku lakuin? Kalau Papa cuman mau ngomentarin apa yang aku lakuin, mending Papa pulang aja.”Kini giliran Adrian yang mendengus dan menatap anak semata wayangnya dengan malas. “Kalau bukan karena Mamamu, aku nggak akan ada disini, Rey. Aku nggak mau istriku sedih hanya melihat tingkah bodohmu.”“Pa! Seriously, I’m not in the mood for—“—Let’s create a story.” Potong Adrian. “Kamu dipukuli oleh preman kampung dan harus dirawat di rumah sakit. Dan mari kita buat sedikit lebih drama dengan penyakit mentalmu, your insecurity, kambuh dan membuatmu harus diikat di ranjang rumah sakit.”Rey terdiam mendengar ucapan Adrian. Dia menatap sang Ayah dengan raut ragu yang terlihat dengan jelas di wajahnya.“Papa jamin, Deborah akan sangat khawatir dan kembali kepelukanmu.” Tambah Adrian, seolah dia tahu apa yang akan membuat anaknya setuju dengan idenya. “Itu kan yang kamu mau?”Rey menganggukkan kepalanya dengan cepat.“Kalau begitu, ayo kita ke rumah sakit.” Putus Adrian. “Papa tunggu kamu di sana. Sisanya biar Papa yang urus.”Tanpa menunggu jawaban Rey, Adrian segera beranjak dan meninggalkannya.Rey menatap punggung sang Ayah dan mengembuskan napasnya dengan panjang. Walaupun rencana Adrian terdengar sempurna, tapi Rey masih merasa marah. Dia berdecak dan berjalan menuju mobilnya.Dalam perjalanan menuju rumah sakit yang telah diinfokan oleh sang Ayah, tiba-tiba saja iblis dalam dirinya membisikkan sesuatu hal yang menarik. Membuat Rey menyeringai dan segera membuka aplikasi sosial medianya untuk mencari posisi targetnya saat ini. Ayahnya tidak akan protes jika Rey terlambat sedikit, pikirnya.Ketika Rey mendapatkan lokasinya, dia segera memutar arah menuju lokasi sang target yang berada di kawasan Senayan. Beruntung sekali targetnya kali ini selalu aktif di sosial media, membuat semuanya begitu mudah untuk melacak keberadaannya.Kedua alis tebal Rey mengerut ketika mendapati plat mobil yang Rey kenal. Seringai kejam kembali muncul di wajahnya yang tampan. Tanpa berpikir dua kali, dia segera menginjak pedal gas mobilnya dan menabrak mobil incarannya dengan kencang.Akibat tabrakannya yang kencang itu membuat kedua mobil tersebut penyok dan kaca bagian depannya pecah. Tak lupa pula penampilan Rey yang sudah kacau, kini semakin parah akibat tabrakan tersebut.Dengan sisa tenaga yang dia miliki, dia segera memundurkan mobilnya, dan pergi dari lokasi sebelum semakin banyak orang yang mengelilingi mereka. Dari sudut matanya, dia bisa melihat sang target tengah terkulai dengan penuh darah. Rey harap, kecelakaan ini dapat menjadi peringatan yang keras baginya untuk tidak menjadi benalu dalam hubungan Rey dan Debby.Kedua mata korban kecelakaan tersebut sempat membuka matanya dan menatap Rey. Melihat hal itu tentu saja Rey hanya tersenyum dan membuka mulutnya, “Hai Tam.” Ujarnya tanpa suara.  Rey yakin Adrian sudah tahu dan mengurus semua masalah yang telah ia perbuat.Sekali lagi, Rey mengembuskan napasnya dan menatap Debby dengan sorot pandang sayu. “Don’t leave me alone. I don’t wanna live in a world without you, Deborah.”==========Bab 13“‘Cause all of me loves all of you. Love your curves and all your edges.All your perfect imperfections.Give your all to me, I’ll give my all to you.You’re my end and my beginning.”All of Me by John Legend.  Setelah seminggu Rey dirawat, akhirnya dia dinyatakan sembuh oleh dokter. Hal itu tentu saja sebuah kabar baik untuk Debby. Membuatnya tidak sabar untuk menunggu bel pulang sekolah agar dia bisa segera pergi ke rumah sakit dan membantu Rey untuk pulang ke rumah.Selama Rey dirawat, Debby tidak pernah mengeluh dan setia berada disisinya. Debby bahkan meminta izin kepada orang tuanya untuk tidak masuk sekolah dan fokus merawat Rey. Tentu saja hal itu ditolak mentah-mentah oleh sang Ayah.  “Meninggalkan pendidikan demi cinta monyet? Kamu serius, Deborah?” Tanya David, sang Ayah tercengang mendengar ucapan sang anak. “Papi nggak besarin kamu buat jadi budak cinta seperti ini! Pacar kamu itu duitnya banyak, dia nggak sekolah juga duitnya masih bisa terus ngalir. Sedangkan kamu?”“Pi…”“Nggak! Kamu harus sekolah. Kamu itu baru pacaran tapi udah bersikap kayak seorang istri. Kalo pacaran sama Rey bikin kamu ninggalin sekolah kayak gini, mending kalian putus aja. Papi nggak suka kamu ninggalin pendidikan demi seorang lelaki.”“Papi kamu benar, Sayang.” Kali ini Manda, sang Ibunda ikut menambahkan. “Hubungan kalian itu masih cinta monyet zaman SMA. Nggak ada yang tahu kedepannya nanti kamu masih sama Rey atau enggak. Mami sama Papi nggak mau kamu ninggalin pendidikan dan menyesal dikemudian hari.”Mendengar nasihat Maminya, tentu saja membuat Debby mengembuskan napasnya dengan lunglai. Apa yang dikatakan kedua orang tuanya memang benar. Tidak seharusnya Debby meninggalkan sekolahnya demi Reynaldi, lelaki yang menyandang status sebagai kekasihnya saat ini… dan entah apakah Rey akan masih tetap menjadi kekasihnya di masa depan.“Tapi, bukan berarti kamu nggak bisa menemani Rey.” Suara lembut sang Ibu kembali terdengar. “Sepulang sekolah, kamu jenguk aja Rey. Nanti sebelum jam enam, kamu pulang ke rumah. Bagaimana?”  Ingatan perdebatan antara Debby dan kedua orang tuanya tiba-tiba saja kembali terngiang di kepalanya. Walaupun dia sedih tidak bisa menemani Rey setiap jamnya, tapi masih diizinkan untuk menjenguk Rey setiap pulang sekolah saja sudah cukup baginya. Asalkan dia masih bisa bertemu dan merawat Rey, itu tidak masalah bagi Debby.Untung saja ketika Debby memberikan penjelasan kepada Rey, lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum lembut seraya berkata, “It’s okay, aku ngerti kok perasaan orang tua kamu. Aku juga nggak mau kamu ninggalin sekolah kamu cuma buat nemenin aku di rumah sakit.”Oh, betapa beruntungnya Debby memiliki kekasih sepengertian Rey.Bunyi bel pulang sekolah yang dinanti akhirnya terdengar. Membuat Debby dengan cekatan membereskan buku-buku yang ada di meja dan segera memasukkannya ke dalam tas.Dari ujung matanya, dia dapat melihat Tamara masih menatapnya dengan tajam. Sejak kejadian terakhir di rumah sakit, hubungannya dengan Tamara kian memburuk. Tidak ada lagi saling sapa, ataupun tukar senyum di antara mereka.Sejujurnya, Debby cukup sedih karena kehilangan teman satu-satunya di sekolah. Dia tidak punya lagi teman cerita. Dia kembali menjadi seorang penyendiri. Menyedihkan.Debby membuka ponselnya ketika merasakan sebuah getaran di saku rok sekolahnya.Dia tersenyum kecil membaca pesan dari Rey. Semenjak Rey sakit, dia selalu menyuruh supir keluarganya untuk mengantar-jemput Debby sekolah. Apapun kondisinya, Rey selalu memperlakukan Debby layaknya seorang putri.Lagi, kurang beruntung apa Debby memiliki kekasih seperti Rey?“Cowok sinting lo pernah datang ke rumah gue dan ngancem gue secara langsung.” Debby mengangkat kepala dari ponselnya dan mendapati Tamara tengah berbicara dan menatapnya dengan datar. “Dia bilang, dia nggak akan tinggal diam—termasuk ngehancurin perusahaan bokap gue—kalo dia tahu gue adalah penyebab lo buat ngejauh dari dia.”Debby mengerutkan keningnya mendengar ucapan Tamara.“Lo inget cewek baru yang namanya Luna?” Tamara melanjutkan ucapannya. “Lo pasti nggak lupa dong, kisah menyedihkan tuh cewek yang kecelakaan kena tabrak lari?”Seketika Debby mematung mendengar ucapan Tamara. Otaknya kini sibuk menyambungkan satu titik ke titik yang lain.“Begitupun dengan gue. Kena tabrak lari dari cowok lo yang sinting.” Tandasnya dengan tegas dan meninggalkan Debby termenung sendirian di dalam kelas.  ***  Kepala Debby rasanya ingin pecah saat ini juga. Terlalu banyak kejadian yang kebetulan dan tepat untuk menyalahkan Rey. Jika sebelumnya Debby mengatakan dia beruntung memiliki kekasih baik hati seperti Rey, ingin rasanya dia menarik perkataan tersebut seketika.Namun… Debby juga tidak bisa menariknya begitu saja. Rey tidak pernah berbuat kasar terhadap Debby. Dia selalu memperlakukan Debby dengan baik. Jadi, tidak salah bukan jika Debby berkata bahwa Rey adalah kekasih terbaik yang dia miliki?Sayangnya, hati nurani Debby berkata lain.Walaupun Rey memperlakukannya dengan sangat baik, tapi bukan berarti Rey harus memperlakukan orang lain dengan buruk.Debby menatap buket bunga mawar merah yang ada di tangannya. Sebelum sampai di rumah sakit, dia dengan sengaja mampir ke toko bunga untuk merayakan kepulangan Rey.Menarik dan mengembuskan napas dengan pelan, Debby berusaha untuk tersenyum dan terlihat bahagia. Dia tidak mau Rey merasa curiga dan mencari tahu apa penyebab Debby yang terlihat sendu saat ini.Debby tidak mau ada hal buruk yang menimpa Tamara.Menganggukkan kepalanya, seolah-olah sedang menyemangati diri sendiri, Debby pun mengetuk pintu ruang rawat Rey dan membukanya. Debby memberikan senyum terbaiknya dan menghambur ke dalam pelukan Rey.“Akhirnya kamu udah bisa pulang!” Seru Debby.Debby merasakan kedua tangan Rey membalas pelukannya. “Akhirnya aku bisa pulang dan nggak ngerepotin kamu lagi buat jengukin aku tiap pulang sekolah.” Rey melepaskan pelukan mereka dan merengkuh wajah Debby. “I miss you.” Ujarnya, seraya mengecup bibir Debby beberapa kali.“Kamu nggak kangen aku?” Tanya Rey ketika kata rindunya tidak mendapat balasan dari Debby.Debby tersenyum lembut dan berbisik, “I love you, Rey.”Mendengar ucapan cinta dari Debby, seketika membuat Rey mencium Debby dengan intim.Rey sangat merindukan ini—mencium bibir Debby yang terasa manis. Dia juga merindukan kehangatan tubuh Debby. Oh, betapa senangnya Rey akhirnya bisa pulang ke rumah. Dia sudah lelah harus di rawat di rumah sakit dan tidak bisa menyentuh kekasihnya sesuka hati.“Let’s go home.” Ajak Rey, seraya menarik tangan Debby keluar dari ruangan.“Eh, barang-barang kamu gimana?”“Biarin aja. Nanti orang suruhan Papa yang beresin.”Debby menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rey menuntunnya untuk keluar dari rumah sakit.“Buat kamu.” Debby mengulurkan tangannya dan menyerahkan buket mawar merah yang ia beli tadi. “Selamat akhirnya kamu udah sembuh dan bisa pulang lagi ke rumah.”“Babe!” Ujar Rey terkejut seraya menerima bunga mawar dari Debby. “Ini pertama kalinya aku dapet bunga. Thank you so much.”Debby hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon.Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari rumah sakit dengan satu tangan Rey yang memegang bunga mawar merah, dan satunya yang menggenggam tangan Debby dengan erat.“Debby.” Panggil Rey ketika mereka tengah menunggu mobil jemputan di lobby. “I really do love you. You know that, right?"“Yes.” Jawab Debby. “And I love you too.”Rey tersenyum kecil mendengar jawaban Debby. Dia membawa genggaman tangan mereka dan mengecup punggung tangan Debby.  “Even with all the things that make you perfectly imperfect, I still love you.”“Give me your all, and I’ll give mine to you.”Harusnya apa yang dikatakan oleh Rey terdengar sangat romantis. Tapi entah mengapa, itu terdengar menakutkan di telinga Debby.==========Bab 14  “Master manipulator. God you’re so good at what you do.Come for me like a savior, and I’d put myself through hell for you.Hear all the rumors lately, that you always denied.I look so stupid thinking two plus two equals five.And I’m the love of your life.‘Cause if rain don’t pour and sun don’t shine, then changing you is possible.No, love is never logical.”logical by Olivia Rodrigo.   Seketika Debby merasa kalau ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Dia membutuhkan ruangan yang sepi untuk dirinya berpikir. Isi kepalanya tidak berhenti mengilas balik pembicaraan antara dirinya dengan Tamara.Debby tentu tidak lupa jika Rey pernah mencelakai Luna, dan kecelakaan itu terjadi dengan suatu alasan—Rey yang marah terhadap Luna sebagai sumber kekecewaan Debby terhadap sang kekasih. Tapi, apakah Rey juga yang melakukan aksi tabrak lari yang dialami oleh Tamara? Apa betul, Rey pernah mengunjungi Tamara secara langsung ke rumahnya? Bagaimana Rey bisa mengetahui rumah Tamara ketika Debby sendiri tidak pernah berkunjung ke rumah teman perempuannya itu?“Kamu ngeliatin aku terus.” Komentar Rey tiba-tiba tanpa menoleh ke arahnya. “Ada yang ganggu pikiran kamu?”Debby mengerjapkan kedua matanya. Tidak siap dengan pertanyaan Rey yang mendadak.“Aku bisa lihat pantulan kamu dari kaca, Debby.” Tambah Rey, menjelaskan bagaimana dia tahu jika sang kekasih tengah memperhatikannya. “Ada apa?” Kali ini Rey bertanya seraya menatap Debby dengan tenang.Debby mengembuskan napasnya dan balas menatap Rey di kedua matanya. “Aku cuma penasaran aja—bukannya dulu kamu sempet ikut rehabilitasi ya? Terus kenapa tiba-tiba Papa kamu minta aku buat bujuk kamu ikut rehab lagi?”Bukan, bukan itu sebenarnya yang Debby ingin tanyakan. Dia sebenarnya ingin bertanya bagaimana Rey mengetahui alamat rumah Tamara, dan mengapa Rey mencelakai Tamara. Seingatnya, Debby tidak pernah menceritakan hal buruk mengenai Tamara atau apapun itu terhadap Rey.“Aku sempat berhenti ikut rehab.” Jawabnya. “Waktu itu aku sibuk ikut rehab tanpa kasih tahu kamu, ditambah ada olimpiade, dan masalah perempuan gila nggak tahu diri yang sibuk ngejar-ngejar aku.” Raut wajah Rey berubah kelam ketika menyebutkan perempuan gila.Tidak sadarkah dia jika Rey pun sama gilanya dengan perempuan yang ia sebut gila barusan?Debby menganggukkan kepalanya, mengerti dengan penjelasan Rey.“Rehab itu ngapain sih, Rey?” Tanyanya ingin tahu.“Cuma ngobrol ama dokter dan kadang ngobrol sama beberapa orang secara kelompok yang punya penyakit yang sama.” Rey mengedikkan bahunya tak acuh. “Sistem kelompok buat saling support dan sharing kali ya. Aku juga kurang tahu. Aku baru ikut beberapa kali sebelum huru-hara tentang masalah diantara kita terjadi.”Debby menganggukkan kepalanya sekali lagi. “Aku boleh ikut kamu rehab nggak sih?”Rey mengerutkan keningnya. “Nggak.” Jawabnya tegas. “Kamu nggak perlu tahu seberapa rusak isi kepala dan jiwa aku, dan aku juga nggak tahu seberapa rusak isi kepala dan jiwa orang-orang yang ada di sana. Aku bisa jamin kamu nggak akan terluka sama aku, tapi aku nggak bisa jamin apakah mereka akan ngelukain kamu atau enggak.” Rey mengembuskan napasnya dan menambahkan, “Tapi kamu bisa antar-jemput aku kalau mau.”Mendengar hal tersebut, tentu saja membuat Debby tersenyum lembut. “Nanti kamu kabarin aku ya kalau udah mulai rehab.” Debby meraih tangan Rey yang terlihat besar di genggaman tangan kanannya. “Aku akan selalu ada buat kamu.”Rey termenung mendengar ucapan Debby. Hatinya yang dingin tiba-tiba saja terasa hangat. Membuat Rey secara tidak sadar membalas genggaman tangan Debby. “Kamu harus selalu ada buat aku, Deborah.” Rey membawa genggaman tangan mereka dan mengecup punggung tangan Debby. “Karena aku bisa gila kalau nggak ada kamu disamping aku.” *** Sudah tiga bulan Debby dan Rey kembali menjalani masa-masa sekolah mereka setelah kecelakaan yang menimpa Rey, dan minggu depan mereka akan disibukkan dengan jadwal ujian kenaikan sekolah.Semenjak kembalinya Rey ke sekolah, jujur saja Debby merasakan ada hal yang aneh menimpanya. Entah mengapa, ini terasa seperti dia kembali ke zaman sekolah dasar dan menengah—dimana ia merasa dimusuhi oleh semua teman sekelasnya.Ketika dia merasa semuanya akan baik-baik saja, terlebih dia sempat menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman sekelasnya, sekarang mereka semua bersikap seolah-olah tidak mengenal Debby. Melihat hal tersebut tentu saja membuatnya sedih.Ditambah, dia juga telah kehilangan teman dekatnya—Tamara.Sampai saat ini, Debby dan Tamara tidak pernah lagi bertegur sapa, ataupun berbicara satu sama lain. Melihat teman-teman sekelasnya yang masih terlihat begitu akrab dengan Tamara, tentu saja membuat Debby sempat berpikir jika perilaku teman sekelasnya untuk menjauhinya adalah karena Tamara; membicarakan hal buruk mengenai Debby dan membuatnya tidak memiliki teman.Tapi Debby dengan cepat membuang pikiran tersebut jauh-jauh. Dia yakin, Tamara bukan tipe seseorang yang seperti itu. Tamara yang Debby kenal, tidak akan bertindak seperti itu… walaupun sampai sekarang, Debby masih belum mendapatkan jawaban atas tuduhan Tamara yang mengatakan jika Rey lah dalang yang menyebabkan dirinya mengalami kecelakaan tiga bulan lalu.“Kamu akhir-akhir ini kelihatan sedih.” Komentar Rey ketika Debby memasuki mobilnya. Hari ini jadwal Rey melakukan rehabilitasi, dan seperti biasa Debby akan ikut dan menunggu Rey di kedai kopi seberang tempat Rey melakukan rehabilitasi seraya membaca buku dan menunggunya sampai selesai.Debby mengedikkan bahunya dan menjawab, “Aku emang sedih.”“Kenapa?” Tanyanya terkejut. “Maaf kalau aku ada buat salah.”“Kamu nggak salah kok.” Balas Debby cepat seraya menggelengkan kepalanya pelan. “Aku cuma sedih sekarang nggak punya teman di kelas. Padahal dulu aku ada Tamara, Febby, dan teman-teman lainnya buat becanda. Sekarang… aku merasa dimusuhi satu kelas.”Rey mengulurkan tangannya dan mengelus puncak kepala Debby dengan lembut. “Kamu ada bikin salah?”Debby menggelengkan kepalanya. “Jujur, aku nggak tahu aku pernah bikin salah atau enggak. Tapi yang jelas, seenggaknya mereka kasih penjelasan ke aku dong, salahku dimana. Ini mereka tiba-tiba aja ngejauhin aku.”Rey menganggukkan kepalanya dan meraih Debby ke dalam pelukannya. “Kamu nggak usah pikirin mereka. Sebentar lagi kita kelas dua belas, habis itu lulus sekolah dan nggak akan ketemu mereka lagi. Kamu yang sabar ya.”Debby menganggukkan kepalanya seryaa balas memeluk Rey.“Kamu masih punya aku, Deb.”“I know. I’m so lucky to have you.” Debby melepaskan pelukannya dan menatap Rey dengan dalam. “Thank you.”Rey balas tersenyum dan menjawab, “Anytime.”“Oh ya Rey, aku sebenarnya penasaran satu hal…” Debby tiba-tiba kembali bersuara ketika Rey mulai melajukan mobilnya.Rey hanya bergumam sebagai respon untuk Debby melanjutkan ucapannya.“Hmm… sori banget kalau aku… ngungkit hal ini lagi… tapi…”Rey tersenyum kecil mendengarkan nada ragu di suara Debby. Rey seperti telah mengetahui arah pembicaraan Debby, namun terlihat pura-pura tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, Rey berkata, “Santai aja babe. Kamu mau nanya apa?”“Nggg… tentang kecelakaan Tamara…” Debby berdeham dan menatap lurus ke arah jalanan. Mendadak dia tidak berani menatap Rey. Tapi, dia harus memberanikan diri untuk bertanya. Rasa penasaran menggigit dirinya setiap hari. “Bukan kamu kan dalang dari kecelakaan yang dia alami?”Rey melirik Debby sekilas dari ujung matanya. Bibirnya sedikit terangkat ketika mendengar pertanyaan Debby yang sesuai dengan tebakannya. Rey sendiri telah memprediksi gelagat aneh yang tanpa Debby sadari berikan kepada Rey. Tentu saja hal itu membuat kepala Rey berpikir dengan cepat kira-kira masalah apa yang membuat kekasih kecilnya begitu cemas dan ragu untuk berbicara.“Atas dasar apa aku ngelakuin itu?” Bukannya menjawab, Rey malah balik bertanya. “She’s your close friend, kamu akan sedih kalau misalnya aku ngejahatin dia, kan?”Debby menganggukkan kepalanya sebagai jawaban untuk pertanyaan Rey yang terakhir. “Jadi, kamu nggak celakain dia kan?”“Aku nggak ada alasan untuk itu.” Jawab Rey dengan tegas, yang dibalas dengan raut lega dari Debby.Nggak ada alasan untuk nggak nyelakain dia maksudku, tambah Rey dalam hati.Sesampainya di lokasi yang mereka tuju, seperti biasa Debby akan pergi ke kedai kopi yang berada di seberang gedung tempat Rey melakukan rehabilitasinya. Debby akan duduk di sana selama dua jam dengan buku, tablet, dan charger untuk menghiburnya seraya menunggu sesi rehab Rey selesai.“No offense, tapi gue kepo banget.” Rey melirik seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya dan ikut memperhatikan Debby yang tengah sibuk membaca seraya menikmati minumannya. “Apa yang bikin lo suka sama dia? She’s not that pretty to be honest. Is she richer than you?”Rey memutar kedua bola matanya dan menjawab, “Shut the fuck up.”Seseorang yang disamping Rey tertawa mendengar balasan Rey. “Seriously, what makes her so special to you, man? I am honestly curious.”Rey mendengus dan membalikkan badannya untuk menatap seseorang yang tak diundang tersebut dengan malas. “It is not your fucking business, Ben.”Ben, lelaki yang satu grup rehabilitas dengan Rey, menatapnya dengan jahil. “Can you kindly answer my questions, Your Majesty Rey Barata?”“You seriously need some help.”“That’s why I’m here, aren’t I?”Rey hanya memutar kedua bola matanya dan melangkah masuk ke dalam ruangan kelas konsultasi mereka hari ini. Ben mengikutinya di belakang seraya tertawa kecil.Rey dan Ben jelas tipikal dua orang yang memiliki karakter yang berbeda. Rey dengan sikap cuek dan dingin, sedangkan Ben dengan sikapnya yang hangat dan ramah. Namun, keduanya tidak berbeda jauh; mereka jelas sama-sama membutuhkan bantuan profesional untuk menghadapi kelainan jiwa dan mental yang sedang mereka alami.“Jadi, apa lagi rencana lo buat kedepannya Rey?”“Bersabar.”“Maksudnya?”“Gue lagi nunggu hasil panen yang gue tanam beberapa bulan terakhir.” Sudut bibir Rey terangkat sedikit ketika menjawab. Membuatnya terlihat lebih dingin daripada biasanya. “Deborah sekarang cuma punya gue buat bersandar. Dan dari awal memang sudah seharusnya kayak gitu. Dia nggak butuh teman sekelasnya, ataupun orang lain. Dia cuma perlu gue seorang.”Ben tertawa mendengar jawaban Rey. “Gila juga lo sampe bisa bikin dia nggak punya temen. Kasian banget sumpah tuh cewek.”“Itu hukuman buat dia karena nggak prioritasin gue.” Jawab Rey dengan santai. “Apalagi semenjak dia deket sama Tamara, gue ngerasa dia bawa pengaruh buruk buat Debby.”Ben menaikkan kedua alisnya yang tebal. “Cewek yang lo tabrak itu?”Rey menganggukkan kepalanya. “Debby juga akhirnya tanya tentang insiden itu sama gue barusan.”“Terus lo jawab kalo lo yang nabrak?”“Goblok banget kalo gue bilang iya.” Rey mendengus. “Gue nggak menjawab iya atau enggak. Gue cuma kasih jawaban ambigu, yang mengarahkan kalo gue nggak nabrak temennya.”Ben kembali tertawa seraya menggelengkan kepalanya. “Gokil, manipulatif banget lo asli. Nggak heran gue ngerasa cocok sama lo, dan masuk ke tempat begini sama gue. Otak lo rusak ternyata bro.”Rey tersenyum dan menatap Ben dengan datar. “And the reason why I’m so obsessed with her… dia selalu memandang gue sebagai Reynaldi Barata. Dia juga baik, that makes her so easily manipulated, that’s why she needs me. Dia butuh gue untuk ngejaga dia dari orang-orang yang mau jahatin dia.”Ben menatap Rey dengan raut mencemooh. Sebelum Ben kembali berkomentar, Rey menambahkan, “Dan gue butuh dia untuk mengingatkan kalau gue perlu berakting jadi orang baik dan bertingkah manusiawi untuk berbaur di dunia yang membosankan ini. Selain itu, dia cantik di mata gue.”“Cukup cantik di mata gue aja udah cukup. Karena kalau sampe ada cowok lain yang bilang Debby cantik, gue nggak akan segan buat congkel matanya.” Tandas Rey.==========  Bab 15  “Stuck in this paradigm. Don’t believe in paradise.This must be what Hell is like. There’s got to be more, got to be more.Sick of this head of mine. Intrusive thoughts, they paralyze.Nirvana’s not as advertised. There’s got to be more, been here before.Life’s better on Saturn. Got to break this pattern of floating away.”Saturn by SZA.    Waktu seolah meluncur begitu cepat, tak terasa Debby kini telah memasuki tahun terakhirnya di SMA. Ia menginginkan kenangan manis yang seharusnya dimiliki oleh remaja seusianya—momen-momen ceria, tawa bersama teman, dan petualangan yang penuh makna. Sayangnya, semua itu terasa jauh darinya. Dalam setiap detik yang berlalu, Debby hanya memiliki dirinya sendiri dan Rey, yang selalu sabar menemaninya dalam kesunyian.Dulu, dia memiliki Tamara yang menjadi teman dekatnya di sekolah. Namun, setelah sebuah kejadian yang mengubah segalanya, Tamara menjauh, meninggalkan Debby dalam kesendirian.Debby duduk di bangkunya, memandangi jendela kelas yang menghadap ke halaman sekolah. Suara riuh rendah teman-temannya tidak begitu mengganggu pikirannya yang melayang jauh. Ia terjebak dalam lamunan, mengingat momen-momen sekolahnya sejak dibangku sekolah dasar, hingga sekolah menengah.Sebelum Debby mengetahui buku catatan miliki Rey, dia selalu bertanya di dalam hatinya, menyimpan rasa ingin tahu yang mendalam tentang siapa Rey sebenarnya—apakah di balik senyumnya yang menawan, penampilan Rey yang begitu tenang, ada cerita-cerita yang belum pernah ia dengar? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.Setelah Debby mengetahui isi buku catatan milik Rey, dia sama sekali akan menemukan kenyataan yang begitu kelam mengenai sahabatnya yang kini telah menjadi kekasihnya.Bunyi bel berdering, menandakan kelas berikutnya akan segera dimulai.Debby mengambil tote bag yang berisi pakaian olahraga dari laci mejanya. Berdiri dari tempatnya untuk berjalan menuju toilet perempuan, bersiap untuk berganti pakaian.Suara riuh yang sebelumnya memenuhi kamar mandi seketika hening saat Debby memasuki toilet. Teman sekelas perempuannya menatap Debby dengan tidak suka secara langsung. Debby hanya menatap mereka dengan datar dan segera memasuki salah satu bilik kamar mandi.Jika Debby boleh jujur, dia merasa sedih melihat perubahan sikap teman sekelasnya. Dia bahkan tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Tidak ada yang mau mengajaknya berbicara, atau memberitahu apa kesalahannya secara langsung.Masa sekolah yang seharusnya penuh warna dan kebahagiaan—seperti yang ia baca di dalam novel, ataupun yang ia tonton di televisi—justru dipenuhi dengan rasa kesepian dan kehilangan. Ia tahu bahwa semua ini bukanlah akhir, tapi tetap saja, perasaan itu menyentuh jiwanya, mengingatkan bahwa setiap senyuman yang dipaksa terasa hampa. Debby menghela napas dalam-dalam, berusaha menguatkan dirinya, berharap ada cahaya di ujung jalan yang gelap ini.Baru saja Debby selesai mengganti pakaiannya, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang sedikit menyakitkan mengenai kepalanya. Sensasi tersebut membuatnya termenung seketika. Sebelum ia sempat mengangkat kepalanya, tiba-tiba rasa sakit itu kembali menghantam, lebih kuat dari sebelumnya.Debby tentu saja dapat melihat dengan jelas warna kuning dan putih yang mencolok di lantai. Beberapa pecahan telur terlempar dari atas sela toilet tempatnya mengganti pakaian. Tak lama setelah itu, butiran berwarna putih dan beberapa cipratan air mengikut, mengenainya dengan sangat mengejutkan.Debby tertegun sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kecerobohan yang nampaknya disengaja itu mengusik ketenangannya, membuatnya lebih terasing. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya mengapa harus ada orang yang begitu jahat, dan mengapa dia harus menjadi sasaran.Debby menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh ketika terdengar suara tawa dari luar.Butuh beberapa detik keheningan sebelum tawa itu akhirnya menghilang. Setelah meyakinkan bahwa tidak ada orang lain di toilet, Debby membuka pintu bilik dan menatap tampilannya yang menyedihkan di cermin. Bayangannya tampak hancur, dengan sisa-sisa telur dan cipratan air di tubuhnya.Dia berjalan menuju wastafel, mencuci tangannya secara perlahan. Di tengah proses itu, beberapa butiran air matanya pun terjatuh, mengalir lembut di pipinya. Debby benar-benar merasa menyedihkan saat ini.Ketika Debby sibuk meratapi nasibnya, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, menampakkan Rey dengan raut cemas di wajahnya. Matanya yang penuh perhatian langsung menatap Debby dengan lembut.“Hey.” Sapa Rey dengan lembut, namun penuh khawatir. “Sorry I’m late.”Rey melangkah masuk dengan ragu. Seolah takut tindakannya akan menyakiti Debby yang kini terlihat begitu rapuh.“Aku… hanya sedikit kesal.” Balas Debby dengan pelan. Dia pun berusaha menyembunyikan air mata yang masih membasahi pipinya.“Everything is going to be alright.” Ujar Rey dengan lembut seraya menarik Debby ke dalam pelukannya.Debby membalas pelukannya, dan tangisnya semakin terisak. “I hate this,” ucap Debby sambil menyeka air mata yang tak kunjung berhenti. “Why do they hate me so much? What did I do wrong?” Suaranya pecah, penuh kepedihan.Rey mengusap punggung Debby, berusaha menenangkan. “You didn’t do anything wrong. It’s not your fault.” Suara Rey lembut, namun tegas, seolah ingin menyampaikan bahwa tidak ada yang salah dengan Debby. Ia melepaskan pelukan mereka dan menatap Debby tepat di kedua matanya. “Jangan pedulikan mereka, oke? You still have me, and I’ll always be by your side, forever.”Debby menganggukkan kepalanya, merasakan kehangatan dari kata-kata Rey. Melihat senyum lembut di wajah Rey, hatinya sedikit bergetar. Ia kembali mendekap Rey, merasakan ketenangan yang sangat dibutuhkannya. “Let’s go home,” kata Rey, dan Debby merasa ada harapan baru yang muncul dalam hati, seolah semua rasa sakit itu bisa teratasi bersama.  ***  Rey menatap Debby yang kini terlelap dengan damai di kamarnya. Debby terlihat begitu mungil dan rapuh, mengenakan kaos Rey yang kebesaran. Sudut bibir Rey terangkat melihat Debby yang terlihat begitu damai. Tangannya terulur untuk menyentuh lembut rambut Debby, berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga dan melindungi dari semua yang menyakiti.Dan semua itu dimulai dengan menjauhkan Debby dari teman-temannya. Membuatnya terkucilkan, dan hanya membutuhkan Rey di hidupnya.Rey merasakan getaran ponsel di saku celananya. Dia menatap layar ponselnya dan mendapati nomor yang sudah ia hafal tengah menghubunginya. Tanpa ragu, Rey segera menjawab panggilan telepon tersebut.“Kerja bagus.” Puji Rey. “Gue mau kalian terus ganggu dia sampai gue bilang berhenti.”“Lo yakin Rey mau ngejahatin cewek lo sendiri?” Tanya seseorang di ujung telepon.Rey berdecak tak suka ketika perintahnya dipertanyakan seperti ini. “Lo tinggal lakuin apa yang gue minta. Nggak usah banyak tanya, ngerti?”Suara deheman dari ujung telepon terdengar. “Oke.”“Dan jangan hubungin gue sampe gue sendiri yang nelpon lo, paham?”Tanpa menunggu jawaban, Rey segera memutuskan sambungan telepon tersebut.Rey menarik napas pendek dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Dia menundukkan diri untuk mengecup kening Debby dengan lembut. “I love you so much.”Setelah berkata demikian, Rey segera berdiri dan meninggalkan Debby sendiri di dalam kamarnya. Meninggalkan sang kekasih untuk beristirahat di dalam kamarnya.Beberapa menit setelah Rey meninggalkan kamarnya, kedua mata Debby seketika terbuka dengan sayu. Dia jelas mendengar jawaban Rey dengan seseorang melalui sambungan teleponnya. Dia memiliki beberapa asumsi mengenai apa yang baru saja di dengarnya—dan Debby masih yakin tidak yakin dengan apa yang dia dengar.Apakah mungkin? Batin Debby. Apakah mungkin kekasihnya yang menyuruh seseorang untuk menyakitinya seperti ini? Membuatnya dijauhi oleh semua orang? Ia menggelengkan kepalanya, menatap langit-langit kamar Rey dengan rasa pedih yang menyiksa. Jika apa yang dia dengar adalah kebenaran, maka ada kemungkinan apa yang Tamara infokan padanya juga benar.Jika sudah seperti ini, apa yang harus Debby lakukan? Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, membingungkan dan membebani.Astaga, mengapa kehidupannya di masa akhir SMA terasa begitu menyakitkan? Rasanya seperti terjebak di dalam neraka. Dengan segala pertanyaan yang menggantung, ia merasa semakin terpuruk mencari jalan keluar dari labirin kehidupannya yang suram.Ia pikir, dia sudah mengetahui dan mengenal Rey dengan baik. Tapi sepertinya, dia salah besar di bagian itu. Menyedihkan. ==========
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan