
“Heh! Kamu ngapain pegang-pegang bibir anak saya?!”
Tanpa gentar, Xavier menarik kembali tangannya. Ia menatap Anthony, lalu dengan santai mengemut ibu jarinya yang tadi menyapu bibir Violet. Senyumnya muncul, tenang tapi menggoda, penuh percaya diri.
“Saya cuma bantu bersihin sisa ciuman kami, Om,” ujarnya dengan nada ringan tapi jelas, seolah itu hal yang sangat wajar. “Soalnya... kalau masih ada sisa, takut saya nggak tahan dan nyosor lagi.”
Violet mengerjapkan kedua matanya. Xavier mengajak apa tadi? Pacaran? Dengan siapa? Violet?
“Ayo pacaran.” Xavier mengucapkannya sekali lagi. Kali ini, nadanya lebih tegas daripada sebelumnya. “Kamu bilang, ingin punya pacar, kan? Jadi, ayo kita pacaran.”
Astaga, tidak bisa kah Xavier berhenti berkata pacaran di hadapan Violet?
“Nggak.” Violet menolak. “Gue belum mau punya pacar.”
“Kenapa?”
“Hmm,” kedua mata Violet menatap ke arah lain, dia tidak bisa menatap kedua mata Xavier yang tengah menatapnya dengan intens. “Belum siap.”
“Belum siap?” Xavier bertanya dengan salah satu alisnya yang terangkat. “Bukannya tadi kamu nangis-nangis pengen punya pacar?”
“Itu tadi cuma emosi sesaat.” Jawabnya dengan cepat. “Biasa, cewek kalo mau datang bulan suka nggak jelas. Tolong dimaklumi, ya.”
“Oke.” Xavier membalas singkat tanpa mendebat ucapan Violet. Membuat perempuan itu menatap penuh curiga terhadap Xavier.
Sungguh, Xavier benar-benar terlihat berbeda malam ini. Sejak insiden ciuman itu, entah mengapa Violet merasa ada perubahan yang signifikan di dalam diri Xavier. Perubahan yang membuat Violet sedikit merasa… takut.
Membuatnya tidak siap untuk menghadapi apapun yang ada di depannya saat ini.
“Lo ke sini cuma mau ngasih bunga aja, kan?” Violet kembali bertanya. “Bunganya udah gue terima, jadi lo pulang sana. Takut kemalaman. Besok juga masih harus kuliah, kan.”
“Lo?” Xavier membeo.
Violet mengerjapkan kedua matanya. “Iya,sama kayak lo, gue juga besok ada kelas.”
Xavier mendengus. Jelas Violet salah menangkap apa yang dimaksud lelaki itu.
“Aku,” Xavier menunjuk dirinya sendiri. “Kamu,” kali ini dia menunjuk Violet di depan wajahnya. “Untuk ini aku nggak ada toleransi.”
“Hah?”
“Kamu tahu aku nggak sesabar itu, jadi biasakan dirimu mulai malam ini.” Putusnya secara sepihak.
“Hah?”
Sumpah, Violet merasa dirinya sangat bodoh malam ini. Otaknya benar-benar tidak bisa berpikir. Mulutnya bahkan hanya bisa menjawab hah setiap Xavier menyelesaikan ucapannya.
“You look cute.” Xavier tiba-tiba memuji, nadanya rendah namun tajam, seperti bisikan yang sengaja diciptakan untuk menggoda.
Kedua mata Violet membulat, ekspresinya campur aduk. Mulutnya bahkan sudah siap berkata hah sekali lagi. Namun, suaranya tak pernah sempat keluar.
Dalam sekejap, Xavier sudah menariknya lebih dekat, dan bibir mereka bertemu—bukan lagi ciuman sekilas seperti tadi siang, tapi dalam, dalam sekali, seolah ia ingin menyampaikan semua hal yang belum pernah ia ucapkan. Ciuman itu panas dan penuh penekanan. Bibir Xavier bergerak mantap, tak memberi ruang bagi Violet untuk berpikir, hanya merasakan. Napas mereka berpadu, memburu, melelehkan batas antara ingin dan butuh.
Tangan Xavier naik ke belakang leher Violet, menariknya lebih dekat, sementara tubuhnya seolah memberi perlindungan sekaligus tekanan yang membuat jantung Violet berdebar tanpa kendali. Ia membalas, dengan ragu di awal, tapi cepat terbakar oleh rasa yang tak terbendung. Hanya mereka berdua di dunia saat itu—dan dunia luar pun bisa runtuh tanpa mereka peduli.
Ketika mereka akhirnya melepaskan diri, napas mereka berat dan tak beraturan. Mata Xavier masih mengunci tatapan Violet, seolah enggan melepaskannya bahkan sedetikpun. Violet bisa merasakan panas di pipinya, di lehernya, bahkan sampai ke ujung jarinya. Tak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan. Tak perlu. Ciuman itu telah bicara lebih dari cukup. Ciuman itu... terlalu nyata, terlalu membekas, terlalu penuh rasa. Bahkan saat Xavier perlahan menyentuh pipinya dan tersenyum kecil, tubuhnya masih gemetar oleh sisa bara yang belum padam.
Xavier belum juga melepaskan tatapannya. Matanya menelusuri wajah Violet seolah hendak menghafal tiap detailnya—garis rahang yang halus, kelopak mata yang sedikit gemetar, bibir yang masih merah karena ciumannya.
“Berhenti ngeliatin gue—aku kayak gitu,” bisik Violet. Dia memutuskan untuk mengalah dengan keinginan Xavier, malas berdebat.
“Seperti apa?” Xavier memiringkan kepalanya sedikit, tangannya masih di pipi Violet, ibu jarinya menyapu ringan di bawah mata perempuan itu.
“Kayak… seseorang yang kelaparan,” lanjut Violet, napasnya mulai tak teratur lagi—bukan karena takut, tapi karena cara Xavier menyentuhnya seperti menyentuh rahasia yang ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri.
Xavier tertawa kecil mendengar ucapan Violet.
Baru saja Xavier hendak mendekatkan wajahnya untuk mencium Violet, suara gaduh yang samar terdengar dari arah tangga memecah momen itu. Ia refleks menoleh dan menemukan sosok pria berwajah tegang tengah menatap mereka dengan tajam.
Langkahnya cepat, nyaris tergesa, seolah setiap detik yang terbuang adalah pengkhianatan. Di belakangnya, wanita paruh baya itu tampak menahan lengan suaminya, suaranya pelan mencoba menenangkan, tapi jelas terlihat cemas.
“Saya bilang, saya akan memantau kamu dari CCTV, kan?!” bentak Anthony lantang. Pria paruh baya itu berdiri berkacak pinggang di hadapan Xavier, sorot matanya menyala penuh emosi. “Lepaskan tangan kamu dari pipi anak saya!”
Tanpa menunggu reaksi Xavier, Anthony segera mengulurkan tangan dan dengan cepat menyingkirkan tangan Xavier dari wajah Violet. Gerakannya tegas, nyaris kasar, membuat udara di antara mereka seolah membeku. Violet terpaku, sementara Xavier hanya menatap Anthony dengan tenang meski jelas terpojok.
“Anthony! Kamu ini apa-apaan, sih?” tegur Charlotte kepada sang suami. “Kamu ini kayak nggak pernah muda!”
“Sayang! Kamu kenapa belain laki-laki ini, sih?” protesnya. “Dia ini nggak baik buat Violet!”
Xavier tertawa kecil mendengar ucapan Anthony. Dia tidak baik untuk Violet, katanya? Yang benar saja.
Apa Anthony tidak tahu jika Xavier adalah tipe lelaki yang terbaik di kelasnya? Dia berbakat, memiliki segalanya, sangat sempurna untuk Violet.
“Kenapa kamu ketawa?!” bentak Anthony. Nada suaranya naik satu oktaf, terlihat tidak terima di tertawakan oleh Xavier.
Xavier hanya menggelengkan kepalanya. Benar-benar merasa konyol dengan sikap Anthony yang terlihat seperti anak kecil—seperti ibunya.
“Tujuan saya sudah selesai, saya rasa sudah waktunya pulang.” Xavier mengabaikan Anthony dan menatap Charlotte. “Saya pulang dulu ya, Tante.”
Charlotte menganggukkan kepalanya. “Terima kasih sudah mampir dan memberikan bunga untuk Violet. Tante senang sekali akhirnya ada laki-laki yang berkunjung ke rumah!”
“Ma!”
“Sayang!”
Suara protes yang keluar dari mulut Violet dan Anthony keluar bersamaan. Membuat Charlotte memutar kedua bola matanya melihat tingkah ayah-anak yang penuh drama.
“Jangan sungkan main ke rumah, ya! Tante dukung kamu, Xavier!”
“Nggak! Sungkan aja kamu kalo main ke sini, biar nggak usah mampir!” Anthony memotong.
Xavier hanya menggeleng pelan, seolah tak terusik oleh amarah yang sedang membara di hadapannya. Ia berdiri, lalu menatap Violet dengan pandangan lembut namun intens. Tangannya terulur, menyentuh bibir merah gadis itu yang masih tampak mengkilap, sisa dari ciuman mereka yang belum lama berlalu.
“Heh! Kamu ngapain pegang-pegang bibir anak saya?!”
Tanpa gentar, Xavier menarik kembali tangannya. Ia menatap Anthony, lalu dengan santai mengemut ibu jarinya yang tadi menyapu bibir Violet. Senyumnya muncul, tenang tapi menggoda, penuh percaya diri.
“Saya cuma bantu bersihin sisa ciuman kami, Om,” ujarnya dengan nada ringan tapi jelas, seolah itu hal yang sangat wajar. “Soalnya... kalau masih ada sisa, takut saya nggak tahan dan nyosor lagi.”
Violet langsung memalingkan wajah, pipinya memerah hebat. Sementara Anthony melangkah maju dengan napas yang mulai memburu, tangan mengepal, dan urat di lehernya menegang. Di belakangnya, Charlotte mulai panik, memeluk lengan suaminya lebih erat, mencoba menahan ledakan yang tinggal menunggu detik.
Melihat rahang Anthony yang sudah mengencang dan tatapan matanya yang nyaris tak bisa ditahan lagi, Xavier tahu dirinya sudah cukup bermain-main dengan ayah Violet. Dengan anggukan kecil yang sopan—meski tetap dengan senyum santainya—ia melangkah mundur perlahan.
“Saya pamit dulu, Om, Tante,” katanya datar namun tidak kehilangan kesantunan. Matanya sempat menoleh pada Violet, menatapnya sejenak—ada isyarat yang tak terucap di sana, semacam janji diam-diam yang hanya mereka berdua mengerti.
Tanpa menunggu jawaban, Xavier pun berbalik dan melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan atmosfer yang masih panas.
Violet hanya bisa berdiri terpaku, dada masih berdebar keras. Ketika kedua orang tuanya mulai berselisih paham di belakangnya—ibunya mencoba menenangkan, ayahnya masih ingin mengejar—Violet memilih naik ke kamarnya dalam diam.
Begitu pintu kamar tertutup, suasana berubah total. Hening. Aman. Hanya denting samar detak jam dinding yang terdengar.
Ia menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang.
Matanya tertumbuk pada bunga Lavender yang ada dipangkuannya. Bunga pemberian Xavier. Yang entah mengapa membuat Violet tersenyum kecil dibuatnya.
Ini adalah bunga lavender pertama yang pernah ia terima dari seorang laki-laki.
Bukan mawar merah seperti yang sering diberikan mantan-mantannya dulu—bunga yang mereka kira disukai semua perempuan, seolah satu jenis cinta yang cocok untuk semua hati. Mereka tak pernah bertanya, tak pernah benar-benar melihat.
Tapi Xavier berbeda.
Ia tak memilih bunga yang populer atau romantis menurut buku. Ia memilih Lavender karena memiliki warna yang sama seperti namanya—Violet.
Sesederhana itu. Sekaligus sedalam itu.
Dan entah kenapa, saat Violet menatap bunga itu sekarang, hatinya terasa hangat.
Senyum kecil muncul di wajahnya, sementara pipinya kembali merona pelan—tiba-tiba saja kilasan ciuman mereka kembali datang—sentuhan lembut di bibirnya, tatapan Xavier yang dalam, dan jempolnya yang menyeka sisa ciuman dengan ekspresi jahil. Pipi Violet langsung merona. Tangannya tanpa sadar menyentuh bibir sendiri, seolah ingin memastikan bahwa itu memang nyata.
“Astaga…” gumamnya pelan, menutup wajah dengan kedua tangan, malu sendiri tapi tak bisa menahan senyum. Jantungnya kembali berdebar, ciuman itu, manisnya masih tertinggal.
Suara ponselnya yang bergetar terdengar. Membuat Violet mencari ponselnya dan menemukan notifikasi sebuah pesan baru masuk.
Xavier Langham
Besok aku jemput kamu.
Kita ke kampus bareng.
Violet memutar kedua bola matanya. Lelaki itu masih tak gentar untuk memaksakan kehendaknya terhadap Violet.
Ponselnya kembali bergetar. Violet membukanya dan wajahnya terasa memanas seketika. Dia bersyukur tidak memiliki riwayat kelainan jantung. Jika punya, dia pasti sudah dibawa ke UGD oleh kedua orang tuanya.
Xavier Langham
Our second kiss.
It was so hot.
Kita harus melakukannya lagi lain kali.
===================
Nantikan Additional Chapter dari POV Xavier yaaa!!!!!!!!!
Clue: bakalan ada adegan 🥵🥵🥵
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
