
Di hari ulang tahunnya, teman satu rumah Arion memberikannya makanan yang paling ia benci; Indomie Goreng.
Arion dewasa baru saja pulang dari kantor dan membuka pintu kontrakan ketika tiba-tiba lampu menyala dengan teriakan kompak dari ketiga teman serumahnya, “Happy Birthday, Arion!”
Yang ulang tahun hanya mengerjap bingung. Hemas, salah satu teman serumahnya, menarik tangannya masuk dan mendorongnya agar ia duduk di meja makan. Satu menara Indomie Goreng lengkap dengan aneka macam topping mengelilinginya serta lilin angka 2 dan 3 yang menyala memberikannya cahaya sambutan, mengingatkannya pada umur yang tak lagi muda. Ketiga teman serumahnya menyanyikan lagu ‘tiup lilin’ dengan suara sumbang sambil bertepuk tangan.
Arion mematung sebentar sebelum mematahkan euforia mereka bertiga, “gue benci Indomie Goreng.”
Lagu fals mereka berhenti perlahan. Suasana yang awalnya meriah jadi mendadak canggung.
Dengan gugup, Arion berdiri dari kursi kemudian menoleh ke arah teman-temannya, “maaf.”
Tanpa berani menunggu reaksi mereka, Arion menyabet kunci motornya untuk kabur dari kontrakan.
***
Arion kecil pernah menghabiskan isak dan air matanya di atas kapal yang membawa pergi mereka ke tengah laut, mengantarkan sisa sang kakak ke peristirahatan terakhirnya. Ibunya menepuk bahunya lembut untuk menyodorkan sepiring Indomie Goreng di depannya, “de, makan ji.”
Tanpa nyawa, Arion kecil memilin mie di antara garpunya dan memakannya perlahan. Ia berusaha mendapatkan kembali perasaan familiar yang biasanya menghangatkan hatinya, nemun nihil. Suapan itu membuat lidahnya kelu dan mati rasa. Arion kecil seakan bisa merasakan abu membakar pencernaannya.
Arion kecil mendorong piringnya menjauh sambil berkata, “dede benci Indomie Goreng.”
***
Arion dewasa baru berani mengarahkan kembali motornya ke kontrakan ketika hampir tengah malam, berharap penghuni yang lain telah terlelap. Lampu kamar dan ruang tamu yang telah dimatikan membuatnya sedikit lega. Namun yang mengejutkannya, harum Indomie Goreng matang adalah yang pertama ia cium setelah melangkahkan kaki masuk ke rumah.
“Dah balik lo, Yon?”
Suara Hemas menyambutnya dari dapur.
Dengan langkah perlahan Arion menghampiri teman satu kontrakannya itu, “lo… belum tidur?”
Hemas terkekeh, “kalo gue udah tidur berarti yang ngomong sama lo sekarang siapa? Masa dedemit?”
Arion mengganti pertanyaannya, “yang lain udah tidur?”
“Udah. Mereka habis bagi-bagi makanan ulang tahun lo ke tetangga,” Hemas meniriskan mie-nya dari panci dan mencampurnya dengan bumbu yang telah ia siapkan di piring, “mau Indomie Goreng nggak?”
Arion menghela nafas kasar, “kan udah gue bilang, gue benci—”
“Benci is a strong word. Gue nyaris nggak percaya seorang Arion yang kepala dingin bisa ngeluarin kata itu." Hemas terkekeh sembari menyodorkan sepiring Indomie Goreng lengkap dengan cabai, sawi, jamur, dan sosis sebagai pelengkapnya.
Arion mengerjap sebentar, menahan memori yang mulai bermunculan di otaknya. Sosok pria dengan senyum secerah matahari yang mengitarinya layaknya kaset rusak:
“Dede dengerin ya; Indomie Goreng yang enak itu harus ada cabe, sawi, jamur, sama sosis.”
“Kalau dede nilainya bagus nanti koko masakin Indomie-nya koko.”
“Dede jangan nangis, nanti kalau koko pulang tugas bakal koko bikinin Indomie-nya koko yang enak.”
“De, koko nggak tau kapan bisa balik pulang. Gimana kalo koko ajarin dede cara bikin Indomie-nya koko?”
Hembusan nafas Arion bergetar kala berusaha untuk tidak termakan perasaan lagi. Sudah bertahun-tahun lamanya semenjak percakapan itu, tetapi lukanya selalu terasa baru. Dengan suara parau Arion bertanya dingin, “lo tau dari mana?”
Hemas meletakkan piringnya di meja terdekat sebelum memilih kata-katanya dengan hati-hati, “gue takut kelakuan gue sama anak-anak tadi bikin lo tersinggung, makanya gue coba tanya nyokap lo.”
“Tanya nyokap gue?” Arion mengulang kesal, “cuma buat Indomie Goreng?!”
“Gue kenal lo, Arion,” Hemas melawan, “dan somehow gue ngerasa kalo ini udah lebih dari sekadar Indomie Goreng.”
Arion tidak menjawab.
“Nyokap lo cerita kalo lo nggak pernah mau makan mie lagi sejak kakak lo nggak ada.”
Arion menutup telinga, tidak ingin mendengar.
“Beliau cerita lo nggak mau dimasakin Indomie Goreng sama orang selain kakak lo—”
“Karena rasanya udah nggak pernah sama!” potong Arion, “dulu Indomie-nya koko selalu berasa manis dan gurih dan sawi dan jamur dan sosis dan… dan cinta tapi sejak koko nggak ada—”
Arion tercekat nafasnya sendiri.
“Sejak koko nggak ada… Indomie itu rasanya kayak abu,” mata Arion berkaca-kaca, “rasanya… kayak abunya yang gue sebar ke laut. Kayak… kayak jadi pengingat konstan kalo koko nggak akan bisa masakin gue lagi—gue nggak sanggup, Hemas.”
Hemas menepuk bahu Arion untuk memberinya kekuatan.
“Di lidah gue,” Arion mengakhiri, “Indomie Goreng itu rasanya duka.”
Hemas berhenti menepuk bahu Arion. Ia memikirkan kata-katanya sejenak sebelum membalas, “kalo gue jadi koko lo, gue kayaknya bakal sedih.”
Arion mendongak.
“Gue nggak tau sih ya, karena kebetulan gue belum pernah meninggal,” Hemas menggaruk tengkuknya canggung, “tapi gue kayaknya bakal ngerasa sedih kalau orang yang gue sayang mengasosiasikan kenangan tentang gue sebagai duka. Don’t get me wrong, semua orang punya cara dan durasi masing-masing buat berduka. Gue juga ngerasa kalo it’s okay to take baby steps ketika mau keluar dari masa berduka lo. It’s just… sad.”
Arion mengalihkan pandangan ke Indomie Goreng di meja.
“Gue nggak kenal koko lo, tapi gue yakin dia pasti sayang banget sama lo. Mana mungkin dia rela buang-buang tenaga buat masakin adeknya Indomie berbagai topping kalo nggak sayang, kan?” Hemas terkekeh, “jadi dia kayaknya bakal seneng kalo memori soal dia di otak lo akan tetep stay jadi memori yang baik, yang bikin lo senyum ketika doain dia, yang bikin lo menghargai waktu singkat kalian, yang bikin lo… jadi lo yang sekarang—"
Ceramah panjang lebar Hemas diputus oleh suara perut Arion.
Hemas tertawa menggoda, “laper lo?”
Arion mendelik kesal, “diem!”
Hemas mengangkat bahu dan berjalan pergi untuk kembali ke kamarnya, “gue mau tidur duluan. Gue nggak paksa lo buat makan Indomie-nya, santai aja.”
Arion masih terpaku di tempatnya.
“Oh ya,” Hemas menambahkan setelah mendorong kenop pintu kamarnya, “gue ngerasa nggak berhak certain ini ke Laksa sama Prabu. Rahasia lo aman di gue.” Hemas mengedipkan sebelah matanya sebelum masuk dan menutup pintu, meninggalkan Arion kalut sendirian dalam kenangan kecilnya.
Indomie Goreng di atas meja masih tercium harum mengundang.
Dengan gemetar, Arion menarik kursi untuk duduk dan menatap lekat-lekat piringnya. Matanya terpejam sebentar, menikmati kaset rusak dan sosok kakaknya yang kembali tersenyum mengitari kepalanya.
“Gampang kan, de, bikin Indomie-nya koko?”
Tangan Arion perlahan meraih garpu, memilin sedikit mie diantaranya, dan memasukkannya ke dalam mulut dengan hati-hati.
“Yang penting tiap dede makan Indomie-nya koko, dede selalu inget kalo koko nggak pernah nggak sayang sama dede.”
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, lidah Arion mengenali rasa manis dan gurih familiar dari mie itu.
“Soalnya, resep rahasia dari Indomie-nya koko itu cinta.”
Malam itu, Arion menangis sendirian di dapur.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰