Kirana; Karena Janji Harus Ditepati - CHAPTER 1

2
0
Deskripsi

Kecelakaan yang menimpa Nimas memupuskan harapannya. Akankah para dewata berwelas asih mengabulkan doa-doanya?

Kicau burung-burung di atas dahan terdengar riuh menyambut pagi di desa Kamujan. Dari dalam rumah, asap tipis mengepul keluar dari dapur. Aroma ubi rebus dan sambal tempe merebak, menghangatkan ruangan sekaligus menandakan mulainya kesibukan pagi itu.

Seperti biasa, Nimas menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan segera berangkat ke sawah. Ia harus bergegas agar matahari belum terlalu tinggi ketika suaminya berangkat.

“Pak, sudah siap semua. Ayo makan dulu.” Nimas memanggil Arga yang sedang membersihkan peralatan bertani di luar.

“Iya, aku selesai sebentar lagi, Bu.” 

Mereka pun kemudian duduk berdua di dipan besar yang terletak di dapur, menyantap ubi rebus dan sambal tempe yang telah terhidang. Semangkuk air jahe hangat diteguk habis oleh Arga. Setelah selesai, Arga pun segera mengikat golok di pinggang, mengambil keranjang bambu dan berpamitan.

“Hari ini aku membantu Pak Pukan membersihkan kebunnya. Tanaman mentimunnya besar-besar kulihat kemarin. Mudah-mudahan bagus panennya nanti,” kata Arga sambil bergegas. 

Sepeninggal suaminya, Nimas segera membereskan piring, dan mencuci peralatan makan.

“Aduh...” selagi menunduk Nimas merasakan punggungnya sedikit nyeri. Ia pun langsung duduk bersandar, teringat ucapan Ki Lamis. Tabib tua itu menyuruhnya agar tak bekerja terlalu keras supaya cedera punggungnya pulih. Gerakan perempuan itu menjadi begitu terbatas setelah kejadian hari itu.

Tiga tahun telah berlalu. Nimas bersyukur bahwa mereka semua selamat dari para perampok, meski ada kenyataan pahit yang harus ditelan. Cedera punggungnya memang bisa pulih, namun Ki Lamis mengatakan ada kemungkinan hal itu dapat membuat Nimas akan sulit punya keturunan. Inilah yang membuat Nimas sedih bukan kepalang.

Ia dan Arga menikah empat tahun lalu, dan hingga kini belum juga dikaruniai keturunan. Perempuan-perempuan desa Kamujan biasanya langsung hamil tak lama setelah menikah, namun tidak demikian dengan dirinya. Keresahannya semakin menjadi tatkala para tetangga mulai bergunjing. Beruntung suaminya memahami dan terus menghibur serta memberi semangat agar tak putus asa.

Hanya saja, kecelakaan pedati pada hari itu membuat peluang memiliki buah hati semakin tipis. Ki Lamis, tabib desa Kamujan, sudah memberi ramuan obat agar kondisinya membaik, namun hasilnya nihil. Nimas tak juga hamil, dan mungkin tidak akan pernah. Perempuan berusia akhir dua puluhan itu mulai menitikkan air mata. Ia begitu sedih.

“Duh, gusti. Kesalahan apa yang pernah kulakukan di masa lalu hingga aku harus menerima keadaan ini?” ucap Nimas lirih.

*****

 

Malam tiba di desa Kamujan. Alunan suara binatang malam mulai terdengar meriah di luar sana. Hujan yang turun sore tadi memancing serangga dan binatang-binatang pemburunya keluar dari persembunyian. 

Di dalam rumah, Nimas duduk di tepi tempat tidur, mulai menitikkan air mata lagi. Arga yang mengetahui musabab kesedihan istrinya mencoba menenangkan.

“Sudah, Bu. Jangan bersedih lagi.”

“Iya, Pak. Aku sudah berusaha, tapi kadang-kadang jika ingat bahwa kita tidak akan memiliki anak, aku tak dapat menahan diri untuk tidak menangis.”

“Aku mengerti, Bu. Sudah lama kita memimpikan seorang anak. Anak yang akan membawa nama kita, meneruskan usaha kita, menumbuhkan sayuran di ladang, menjaga rumah ini ketika kita sudah tiada.” ujar Arga. Hati lelaki desa ini pun sama gundahnya dengan istrinya, tapi ia menahan diri untuk menguatkan Nimas. Genggaman tangannya makin erat.

“Mari kita berdoa, semoga para dewa berbaik hati mengubah keadaan kita ini.” katanya sambil mempersiapkan bokor kecil untuk membakar dupa dan kemenyan.

“Kita tak pernah berhenti berdoa sejak kejadian itu, Pak... tapi para dewa tak pernah mendengar permohonan kita.”

“Jangan putus asa, Bu. Ayo kita berdoa lagi.” ujar Arga membujuk istrinya. Nimas pun menurut. Mereka kemudian bersimpuh di samping tempat tidur, melantunkan doa, mengajukan permohonan, dan berharap para dewa di kayangan mendengarkan serta mengabulkannya permintaan mereka kali ini. Doa lirih yang dibasuh air mata.

Sesaat setelah doa mereka lantunkan, malam seketika berubah menjadi sangat hening. Bulan perlahan tertutup awan, dan angin dingin bertiup ke arah Utara, membawa alunan doa yang mereka panjatkan menuju ke suatu tempat... ke  sebuah tempat yang jauh sekali, di mana tak pernah ada manusia yang berani mendekat.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kirana; Karena Janji Harus Ditepati - CHAPTER 2
2
0
Raja Jobuta tak sabar menunggu ramalan kejayaan kerajaannya terwujud. Apa yang akan dilakukannya untuk mempercepat takdirnya menjadi raja paling berkuasa sejagad raya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan