Markas Besar Oelama : Sejarah Kepemilikan Bangunan (2)

0
0
Deskripsi

Markas Besar Oelama yang terletak di Gang Satria, Kedungrejo, Waru, pernah berganti kepemilikan beberapa kali. Hingga kini, bangunan tersebut berada di bawah PBNU. Penemuan bangunan tersebut berkat jasa Gus Dur dan kyai Asep.

Dalam suatu acara di Jombang, Gus Dur kebetulan sedang duduk di bangku depan mimbar. Saat itu ia masih menjabat ketua PBNU. Gus Dur duduk didampingi kyai Asep Saifuddin Chalim, pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Siwalankerto, Surabaya.

Tiba-tiba pria yang kelak menjadi...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Markas Besar Oelama : Karomah Para Kiai (3)
0
0
Markas Besar Oelama di Waru, Sidoarjo, menyimpan berbagai kisah tentang karomah para kiai. Konon, di tempat tersebut para pejuang leluasa menyerang tentara Inggris yang tengah kebingungan.Bangunan tua yang telah rapuh dan keropos itu menyimpan berbagai kisah perjuangan para kiai dan santri. KH Bisri Syansuri menjadi pemimpin, didampingi oleh KH Wahab Hasbullah. Mereka berjuang ketika pertempuran 10 November pecah di Surabaya.“Para kiai dan santrinya kalau salat di lantai atas,” ujar Ahmad Gojali, yang diberi amanat PWNU Jawa Timur untuk menjaga bangunan tersebut. Ia memersilakan saya untuk melihat-lihat lokasi lantai dua tersebut.Tangga yang tersedia masih asli. Tak diubah sejak bangunan tersebut pertama kali dibangun pada 1939. Berbahan kayu, menempel di dinding bagian selatan dengan pegangan besi di sisi kanannya.  Ketika menapak anak tangga, terdengar suara derit. Was-was juga, sepertinya tangga itu tak kuat menahan beban. “Pelan-pelan saja. Jangan khawatir, aman kok,” ujar Gojali. Sampai di pertengahan anak tangga, terlihat dinding lantai dua tersebut yang mengelupas tak terawat. Batu batanya sebagai dasar bangunan itu terlihat menghitam.“Mandeg-mandeg! Wes tutuk kono ae!,” ujar Gojali ketika saya sampai di pucuk anak tangga teratas. Ia menyuruh berhenti dan tak mengizinkan untuk naik ke lantai dua karena kondisi lantai kayunya telah sangat rapuh.Lantainya memang terdiri dari kayu-kayu yang disejajarkan dari ujung utara hingga selatan. Terlihat berlubang-lubang, bahkan beberapa patah. Cukup gelap. Penerangan hanya berasal dari cahaya yang masuk dari celah-celah atap dan jendela kecil.“Ya disitu itu tempat Kiai Bisri atau Kiai Wahab memimpin salat berjamaah,” ujar Gojali dari bawah, setengah berteriak sambil menangkupkan tangannya ke bibir, membentuk corong.Tangga menuju lantai dua (source: Rizal Hanafi)Meski terkesan tak terawat, kotor, juga kayu-kayu yang serat-seratnya mengelupas, lantai dua tersebut sama sekali tak berkesan angker. Malah terasa sejuk dan adem. “Jelas sama sekali tidak seram, wong dulu yang salat di situ kiai-kiai setingkat wali,” ujar pria 52 tahun itu.Konon ketika menempati bangunan itu, Kiai Bisri dan Kiai Wahab ingin menjamin bahwa kegiatan salat mereka dapat tetap berjalan di tengah pertempuran 10 November. Maka sebelum salat, Kiai Bisri didampingi Kiai Wahab dan santri-santrinya, berjalan ke halaman bangunan. Saat itu tangan Kiai Bisri menggenggam butiran pasir. Ia berdoa, lalu menghembuskan napasnya di atas genggaman tangan itu.Kiai Bisri dengan tenang berjalan ke tiap sudut bangunan sembari menaburkan butiran pasir tersebut. Desingan peluru dan suara mortir tentara Inggris terdengar dari kejauhan. Para serdadu Inggris yang dibantu tentara Gurkha dari India, serta NICA, Belanda, itu rupanya telah dekat. Dengan tenang pula Kiai Bisri menyuruh semua orang untuk salat di lantai dua. “Aman, atas perlindungan Allah. Mari kita salat ashar dulu,” ujarnya, seperti diceritakan oleh Gojali. Pintu utama bangunan pun ditutup.Para santri yang berada di bangunan Markas Besar Oelama tersebut merupakan santri-santri yang linuwih pula. Kemampuan kanuragan mereka cukup tinggi. Ketika salat di lantai dua, terdengar derap sepatu tentara angkatan darat Inggris sedang berlalu-lalang di sekitar lokasi bangunan. Mereka semua tak terpengaruh dan terus melaksanakan salat hingga selesai.Suasana lantai dua (source: Rizal Hanafi)Usai salat, Kiai Bisri dan Kiai Wahab menuruni tangga dengan tenang, diikuti santri-santrinya. Para santri tersebut telah siap dengan senjata masing-masing.Ketika pintu dibuka, kedua kiai tersebut berdiri berdua di depan pintu. Anehnya, pasukan Inggris tak mengetahui keberadaan mereka. Bahkan hanya lalu-lalang biasa seperti tak ada apa-apa. “Ya itulah karomah Kiai Bisri. Pasir yang ditaburkannya tadi mengaburkan bangunan tersebut. Sehingga tentara Inggris seakan tak melihat apa-apa,” ujar Gojali.Dengan komando Kiai Bisri, para santri memekikkan takbir dan kalimat “Merdeka”. Mereka terlihat beringas menyerang para pasukan Inggris yang kaget karena kedatangan mereka yang tiba-tiba.Kiai Wahab yang dikenal kharismatik itu juga turut bertempur melawan Inggris. Ia bahkan maju dalam medan pertempuran paling depan. Berondongan peluru yang ditujukan padanya membuat para santrinya khawatir. Namun sang kiai sama sekali tak bergeming menghadapi persenjataan modern tentara Inggris. Itu pula yang membakar semangat juang para santrinya.Pasukan Hisbullah yang dikomandoi para kiai senior tersebut mampu membuat tentara Inggris dan antek-anteknya kewalahan. Mereka kalang-kabut melihat para kiai dan santri yang kebal peluru. “Jadi di sekitar sini dulu banyak bergelimpangan mayat-mayat tentara Inggris,” ujar Gojali sambil menunjuk areal jalan sempit Gang Satria yang terletak di depan bangunan tersebut.Gerakan para kiai dan santri yang turut berjuang di palagan Surabaya itu tak lepas dari resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur yang juga founding father Nahdlatul Ulama. Seruan yang membuat rakyat dari berbagai daerah, bahkan melebihi radius 94 kilometer sesuai resolusi tersebut, datang berbondong-bondong untuk mempertahankan Surabaya dan menghadapi ultimatum Inggris.Kisah mereka diabadikan dalam buku hasil penelitian panjang Rijal Mummaziq, aktivis NU, berjudul Surabaya Kota Pahlawan Santri.*Bersambung…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan