
Abi hanya laki-laki seperti yang lain. Kehidupan kerasnya mengajarkan Abi untuk tidak pernah punya mimpi. Abi punya kekacauan dalam hidupnya. Abi mungkin bisa mengendalikan dunia. Tapi kalau di sana tidak ada Aruna, Abi bisa apa?
Lampu berkedip beberapa kali, mungkin sudah mau mati atau hanya sekadar untuk menakuti. Suhu dingin menyelimuti dinding-dinding sepi yang semakin merunduk karena takut oleh kegelapan, malam sudah semakin larut, mungkin juga sudah hampir pagi. Abi masih betah terduduk di sana. Usai mendapati fakta buku jarinya berdarah, Abi tidak beranjak untuk pergi dan pulang. Mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan mulai rapuh. Baru saja, dia berhasil menumbangkan anak musuhnya, diam-diam menusuknya dari dalam, berkhianat di atas ketulusannya.
Bukan soal Abi butuh banyak pengikut di dunia, tapi ini soal loyalitas dan harga diri. Pekerja kasar seperti dirinya, mencari sesuap nasi dengan menjadi pengamen jalanan, terbiasa oleh kerasnya aspal dan teriknya matahari, menimbun besar harga dirinya semakin keras. Di kamus hidupnya, Abi terbiasa dicaci dan dihina, sudah bukan kali pertama. Dia besar dalam lingkungan jahat, terbuang tanpa ada yang iba membuat Abi sudah punya cara menebalkan muka. Pengamen jalanan dari satu bus ke bus lain selalu jadi rutinitasnya, mencari rumah tempat berteduh dari satu kios ke kios lain juga sudah bukan sekali dua kali dia lakukan. Abi hapal jalanan Jakarta. Seluk beluk manis dan sepatnya. Kala siang Abi akan menilai Jakarta sebagai kota rezeki yang pemurah, tapi malam Jakarta hanya akan jadi medan penumpasan darah.
Harus ditegaskan. Abi besar di lingkungan yang keras. Bukan kali ini Abi harus meninju seseorang hingga bonyok, memiliki musuh hanya karena penghasilan, petak wilayah mengamen dia ambil karena baginya Jakarta itu kota pemurah. Abi sudah punya musuh sejak lama, mungkin sejak dirinya mulai mengisi kekosongan menyanyi di kafe malam kalau sedang diajak. Pendapatan mulai berubah. Abi mulai tidur di kontrakan sepetak bukan lagi kios tumpangan. Namun, dari semua badai yang dia lalui, Abi ingat ada satu rumah yang tidak pernah bisa dia tempati.
Rumah itu yang menjadi alasan Abi harus mau membuat tangannya kotor sekali lagi. Orang itu tidak mati, hanya pingsan, dan mungkin sedikit patah hidungnya. Tapi tindakan yang sudah orang itu lakukan tidak akan pernah bisa terbayar. Abi pandangi lampu berkedip itu dengan sedih. Bagaimana dia akan bertemu Aruna setelah ini? Janji yang dia buat pada perempuan Jawa manis itu sudah dilanggar. Perempuan yang dia temui dengan payung teduhnya, memberikan dirinya tumpangan berteduh dari hujan setelah mengamen. Aruna tahu siapa Abi, tapi Aruna tidak peduli.
“Gue nggak butuh payung lo.”
“Kamu mau ke terminal ‘kan? Saya juga sekalian ke sana. Bareng saja. Hujan sekarang tidak bagus, bikin demam.”
“Kenapa lo peduli sama gue?”
Aruna hanya tersenyum simpul dengan langkah terburu menghindari becek. “Karena kamu menolong saya dari copet tadi. Anggap saja ini sebagai bentuk rasa terima kasih saya ke kamu.”
Abi tersentuh. Dia sudah terbiasa dengar makian sepanjang hidupnya yang terbuang, namun perempuan itu malah mengatakan hal sederhana yang indah. Payung biru muda terlipat kala mereka berhasil berteduh di bawah warung Madura yang atapnya cukup besar. Abi lihat sedikit rambut panjang perempuan itu basah karena payung kecilnya terbagi bersama dia. Abi khawatir.
“Habis ini mau ngamen lagi?”
“Iya, setoran belum dapet banyak. Lo mau kerja?”
“Iya, saya penjaga perpustakaan daerah. Mampir kalau mau, Abang..”
“Abi. Panggil aja Abi.”
“Aruna. Panggil Runa juga boleh.” Gigi kelincinya menyapa semakin manis, darah Abi berdesir, dia tidak boleh terlalu lama memperhatikan. Aruna tersadar ada bus mendekat. “Saya duluan ya, Bang Abi.”
Abi mengangguk saja. Abang.. manis sekali.
Lalu, Abi selalu melihat perempuan itu, dengan payung yang sama menuju perpustakaan daerah tempatnya bekerja. Abi pernah sempat mampir walau saat datang dia dipandang aneh, penampilan urakan, wajah sumpek karena matahari bertemu Aruna yang manis dan rapi. Cantik nian. Abi sadar diri kalau dia akan selalu terlihat aneh di sebelah Aruna. Namun, Abi tidak bisa menolak, pada kenyataan dirinya mulai bergantung hidup pada perempuan itu.
Dan puncaknya, Abi tidak sadar kalau kehadirannya di hidup Aruna membawa banyak perubahan. Perempuan manis bergigi kelinci itu harus tahu kerasnya Jakarta. Abi tidak seharusnya mengirim Aruna ke kehidupannya, membuat Aruna kecewa, membuat patah hati dan masa depannya. Aruna diperkosa. Oleh musuh Abi yang sungguh gila. Tidak dapat membunuh Abi, mereka singkirkan apa yang Abi sayangi. Kehidupan Aruna yang indah.
Jalan Jakarta kalau hampir pagi selalu tampak lain. Abi harus pulang, tapi langkahnya justru membawa Abi kepada rumah kontrakan kecil milik Aruna yang gelap. Perempuan itu masih tertidur. Ini belum sepenuhnya pagi. Abi hanya mau pulang, pulang ke rumahnya dengan Aruna. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Ketika berjam-jam berlalu tanpa dia sadar, matahari mulai beranjak. Dan pintu rumah itu terbuka. Aruna terperanjat.
“Abang? Ngapain di sana?”
“Aruna.”
“Tangan Abang kenapa berdarah?” Aruna lupakan alasan Abi kemari, dia hanya menyentuh buku jari memerah itu. “Abang habis mukul orang?”
“Aruna, gue mau minta maaf. Gue belum bisa jadi laki-laki yang lo mau. Yang setidaknya punya kehidupan normal. Gue nggak bisa bertaruh rumah gue akan aman buat lo.”
Aruna merunduk sedih. “Kok Abang bilang gitu? Rumah Abang, rumahku juga.”
Abi menggeleng. “Rumah yang teraman buat lo adalah menjauh dari gue, Run. Gue kacau, berantakan. Gue nggak mau buat lo sakit lagi.”
Aruna merasakan tangan Abi terlepas dari genggamannya. Laki-laki itu mengambil jarak.
“Ada banyak cerita di luar, tapi gue Cuma mau punya satu rumah untuk tempat gue tulis cerita gue, Run. Rumah yang isinya ada lo. Bukan saat ini, Run. Nanti. Saat gue yang akan kasih lo payung teduh lebih dulu, payung yang akan melindungi lo dari semua hal. Gue akan buat payung itu.”
Aruna tahu itu salam perpisahan. Abi tersenyum di ujung kalimatnya dan pergi. Mungkin sungguh ingin mewujudkan mimpi besarnya yang tidak pernah ada sebelumnya. Abi hidup di lingkungan yang keras, dulu masih bisa napas saja sudah akan Abi syukuri. Tapi sekarang, Abi akan kerja keras. Lalu bertemu lagi dengan Aruna dan payung teduhnya. Menawarkan payung teduh dan rumah terbaik untuk bercerita. Mungkin akan sangat lama, karena Abi memulai semuanya dari awal, menjauh dari Aruna. Memupuk kembali tujuan hidupnya. Dan saat waktunya tiba, Abi sangat ingin membuat rumah bersama Aruna. Hanya ada dia dan Aruna saja.[]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
