
Asran hendak membersihkan kamar hotel seperti biasanya. Namun, kali ini ada kejutan yang menantinya di dalam.
Dingin Menusuk di Kamar Hotel
Udara di kamar bertukar dengan udara luar ketika pintu dibuka. Asran masuk dengan membawa peralatannya. Kulitnya segera bereaksi ketika ia masuk, suhu udara di dalam kamar disetel rendah sekali. Tak lama setelah ia berhasil memasukkan alat-alat kebersihannya, matanya tertuju pada sosok yang telentang di tempat tidur. Ada mayat di dalam kamar.
Perasaan panik menggedor kompartemen di kepalanya dan ia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya ketika mulutnya dengan serta-merta mengutuk situasi mencekam yang menghampirinya tiba-tiba. Asran segera menutup pintu kamar dan terpaku enam detik dalam diam, sementara tangannya masih memegang erat gagang pintu. Ia bergidik, namun segera ia memberanikan diri untuk berbalik dan memeriksa mayat itu.
Mayat seorang perempuan muda tergeletak di atas tempat tidur. Di sekelilingnya kain sprei kusut tak beraturan dan selimut dibiarkan bergelung di lantai, tepat di sisi tempat tidur. Ia hanya mengenakan gaun malam. Kakinya yang terjulur kaku terlihat lebih panjang dari seharusnya sebab gaun yang sangat pendek. Mata Asran menelusuri memar di tangannya, di lehernya. Terlihat bekas memar dan membiru di leher perempuan itu. Ada bekas perlawanan, baik di sekujur tubuhnya maupun di tempat tidur. Matanya membelalak ke atas, seakan ketakutan karena ada makhluk mengerikan yang hinggap di atas kepalanya, sementara rambutnya yang ikal panjang terurai menggurita di atas tempat tidur. Asran menghela nafas panjang. Baru kali ini sepanjang hidupnya ia menemukan mayat korban pembunuhan.
Asran mengamati sejenak mayat itu dari tempatnya duduk, di sisi tempat tidur. Dalam sunyi kamar, ia teringat kepada pamannya yang baru saja meninggal. Ada impresi yang tinggal pada diri Asran ketika ia menyaksikan jenazah pamannya dimandikan, kemudian dikafankan. Ada yang mencekik tenggorokan Asran ketika ia menatap kematian di hadapannya.
Di tempat ini, saat ini, Asran kembali merasakan sebuah perasaan hinggap di tengkuknya. Perasaan tak bernama yang hinggap ketika si hidup diingatkan kembali pada sebuah akhir bagi dirinya lewat kematian orang lain. Betapa sendiri mati itu, betapa sepi. Tak ada bedanya jika kita meninggal sendirian ataupun dikelilingi sanak famili, pikir Asran. Sakit dan nyeri sewaktu sekarat tentu akan ia rasa sendiri. Setelah beberapa waktu mengamati, Asran memanggil manajernya lewat interkom.
Parmin, sang manajer, berdiri diam beberapa saat setelah ia memasuki kamar. Ia segera tahu bahwa ada yang tidak beres, sebab nada bicara Asran yang terpatah-patah dan menekan dirinya untuk segera bergegas ke sana.
Di tempat ia menyandarkan punggungnya, dadanya berdegup kencang, mengkhianati sikap tubuhnya yang ia tenang-tenangkan. Parmin membayangkan banyak kemungkinan dari konsekuensi pembunuhan ini, sampai-sampai ia abai dengan udara dingin yang mengigit sampai ke tulang.
Dari semua kemungkinan, yang paling kentara terbayang di benaknya adalah kisah kotel berhantu, cerita-cerita tentang hotel yang dihindari pelanggan karena dicap berhantu. Ia tidak menyangka kejadian itu akan menimpanya, menimpa tempat ia bekerja.
Parmin mengemukakan isi pikirannya kepada Asran. Tentang mitos hantu dan hotel yang ditinggalkan pelanggannya, juga soal hantu yang mungkin nantinya betul-betul akan menghantui kamar itu dan mengganggu semua orang. Parmin lalu mengajak Asran untuk membuang mayat itu jauh-jauh. Sebab, apabila khalayak ramai mengetahui perihal pembunuhan tersebut, sudah tentu hal itu akan membuat sebagian orang takut untuk menginap di hotel ini.
Spontan Asran bereaksi terhadap pendapat Parmin yang ia nilai berlebihan. Ia berpikir kalau Parmin terlalu banyak menonton film horor, bahwa kekhawatiran Parmin sungguh mengada-ada. Namun satu hal yang pasti betul dari kata-kata Parmin adalah pembunuhan ini merupakan kabar buruk bagi hotel ini.
Ia kemudian memikirkan betul-betul argumen yang diberikan Parmin bahwa mereka harus menyingkirkan mayat itu tanpa ketahuan siapapun. Ia juga berpikir bahwa itu merupakan jalan paling ‘bersih’ yang bisa mereka lakukan. Menurut Parmin, melaporkannya ke polisi hanya akan mengundang media, dan hal itu akan mempengaruhi ketenangan para pemegang saham, kepercayaan pelanggan dan segala hal buruk akan muncul kemudian. Parmin juga meyakinkan Asran dengan menyebutkan soal manajemen resiko yang mengisyaratkan institusi untuk mengelola manajemen resiko dan menjaga nama baiknya di hadapan publik. Parmin meyakinkan Asran bahwa tindakan yang akan mereka lakukan adalah upaya yang masih terbilang baik untuk hotel tempat mereka bekerja.
Mereka berdua kembali panas berdebat soal pantas tidaknya membuang mayat itu begitu saja setelah Parmin menganjurkan solusi cerdiknya. Ia hendak membuang mayat tersebut di tempat yang jauh dari hotel, di sebuah sungai besar yang berada di wilayah perbukitan. Dua jam perjalanan adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ke tempat itu. Di sini, Asran kembali teringat pada jenazah pamannya yang baru saja dikuburkan. Hal tersebut membuatnya tidak nyaman; ia berusaha menentang maksud Parmin. Tapi Parmin memperkuat argumennya dengan masuk akal, dan menanyakan pada Asran apakah ia memiliki jalan keluar yang lebih baik. Tidak terpikir jalan keluar apapun di benak Asran.
Parmin memperhatikan Asran yang terdiam, kemudian dengan hati-hati mengemukakan rencananya untuk membuang mayat tersebut dengan membungkusnya dalam kantung plastik sampah berukuran besar, menyelundupkannya keluar menggunakan troli, kemudian membawanya ke mobil pribadi yang diparkir di samping tempat pembuangan. Parmin akan memarkir mobil pribadi miliknya di sebelah tempat pembuangan sampah dan Asran hanya perlu berpura-pura membuang sampah di tempat tersebut, kemudian memindahkan mayat itu ke mobil dengan hati-hati.
Tiba-tiba Asran merasa semua ini adalah tindakan yang salah. Ia mengemukakan keberatannya, bahwa tindakan yang akan mereka lakukan ini sangatlah keliru. Saat itulah Parmin mengeluarkan kartu as miliknya. "Kau masih mau bekerja di sini atau tidak? Kamu boleh tidak menyetujui saranku, tapi mulai besok kau tidak perlu datang lagi ke sini. Kembalilah jadi nelayan miskin di pulau kecil ini. Kau tahu kan, satu-satunya penghasil uang terbesar di pulau ini adalah hotel ini?"
Asran terdiam. Akhirnya dia menyetujui ide Parmin, lebih karena ia tidak bisa memikirkan jalan keluar yang lebih baik. Di berat hatinya ia tetap merasa hal tersebut tidak pantas untuk dilakukan. Tepat ketika Asran mengiyakan maksud Parmin, seseorang membuka kamar.
Erna, rekan Asran yang juga pegawai kebersihan berdiri di mulut kamar.
Matanya terbelalak menatap mayat terbaring di tempat tidur, ia mulai histeris dan mulai panik. Asran dan Parmin segera bereaksi begitu Erna mulai menangis dengan suara keras. Hal utama yang terpikir di benak mereka saat itu adalah membungkam Erna. Mereka menyeret Erna ke sofa, mendudukkannya dan berusaha keras menenangkan perempuan itu. Mereka bersahutan membentak perempuan itu, sambil terus memerintahkannya untuk diam.
Parmin mengiming-imingi Erna uang dan terus meyakinkan Erna dengan nada memaksa. Dia menangis histeris di sofa pojok kamar. Sekitar lima belas menit kemudian, Erna sudah dapat diajak bicara. Mereka terus berusaha membujuk perempuan itu, menjamin Erna untuk tutup mulut terhadap masalah ini. Erna mengangguk pelan, lalu pandangnya kosong, bengong seperti kena tenung. Ketika ia sudah lebih tenang, hawa dingin perlahan mengepung tengkuknya dan lengannya.
parmin mengabari Asran setelah ia memarkir mobil di tempat yang sudah disepakati. Sementara itu Asran sudah selesai membungkus mayat itu di plastik sampah besar, dengan membungkusnya terlebih dahulu dengan melilitkan sprei dan selimut sehingga menyamarkan bentuk tubuh manusia yang terbungkus di dalamnya.
Asran menggotong mayat ke troli. Ia menengok sebentar ke arah sofa. Di situ, Erna kembali sesenggukan, tenggelam dalam tangis tanpa suara. Setelah mendorong troli ke luar, ia kembali menoleh ke belakang. Ia menutup pintu dan meninggalkan Erna di dalam kamar.
Udara terasa gerah dan pengap di koridor hotel. Tak ingin menarik perhatian, ia mendorong troli sesantai mungkin. Hal yang terpenting saat itu bagi Asran adalah membuang bungkusan itu jauh-jauh dari sini, secepatnya, sebelum ada orang lain kalau ada yang tidak beres. Ia mendorong troli keluar dengan hati berdebar, menyusuri lorong, menuju kompartemen tersembungi tempat lift barang berada.
Lift barang terasa menyesakkan dengan segala debu dan dindingnya yang penuh goresan. Lift kematian, gumamnya dalam hati. Ia melamunkan bahwa kelak ketika ia mangkat, jiwanya akan diantar ke dunia lain melalui ruang semacam ini, di lift yang seperti ini, didorong oleh sesosok makhluk, sementara ia tergeletak tak berdaya.
Mobil melaju kencang ke atas bukit, malam menyamarkan sekeliling. Bulan baru membuat gelap pekat malam dan mengangkat tinggi air pasang, menuntun suara deras sungai ke telinga Parmin dan Asran. Suasana begitu sempurna, seakan mendukung rencana yang sedang dijalankan oleh mereka berdua.
Di mobil, Parmin kembali menjabarkan sisa rencana mereka, yaitu menggotongnya ke tepi jurang. Sambil mengamati sekeliling, Parmin dan Asran mengeluarkan mayat itu dari kantung plastik sampah dan melepaskan lilitan kain yang membungkusnya. Suara ribuan serangga malam ribut sekali di telinga mereka ketika mereka menggotong mayat itu ke tepian jurang.
“Sungainya tidak kelihatan dari sini”, kata Asran kepada Parmin. Malam terlalu gelap, mereka tidak dapat melihat sungai itu dari tempat mereka berdiri.
“Kamu dengar suara itu? Sepertinya, jika kita bisa melemparkannya sejauh lima meter, dia akan jatuh ke sungai.” Ujar Parmin.
“Sepertinya...” Asran mengulang kata itu dengan nada ragu.
“Sudah, sudah! Kamu jangan terlalu banyak berpikir. Sekarang, coba kita ayunkan bersama-sama, supaya kita bisa melemparnya cukup jauh.”
Parmin dan Asran memegang mayat itu di kaki dan lengannya, kemudian mengayunkannya tiga kali sebelum akhirnya Parmin berteriak “lempar!”
"Byur!” tubuh itu segera ditelan oleh suara deras air dan jeritan serangga gunung.
Asran dan Parmin berhasil membuang mayat itu tepat ke tengah sungai jauh di bawah jurang, dituntun suara gemuruh air yang sedang pasang. Rencana mereka berjalan mulus, besok mungkin mayat tersebut akan ditemukan di tempat yang jauh dari sini dan tentu saja, jauh dari hotel. Parmin mengapit lengan Asran, mengajaknya segera minggat dari tempat itu.
Semua rencana mereka tuntas.
Di perjalanan pulang, ada rasa pahit tertinggal di lidah. Pekat dan terus melekat di mulut Asran. Ia menurunkan kaca jendela, menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Dingin angin berhamburan mengombaki rambutnya yang pendek. Rasa pahit itu masih juga ia cecap. Untuk menghalaunya, ia menyibukkan diri dengan berpikir. Di kibar angin malam ia mulai melamun. Malam ini lebih dingin dari biasanya, mengingatkannya kembali pada suhu yang sangat dingin di dalam kamar. Mungkin si pelaku menurunkan suhu ruangan supaya mayat itu tidak cepat membusuk. Entah kalap seperti apa yang membuat orang mampu membunuh orang lain di sebuah kamar hotel, pikir Asran. Orang yang berpikir jernih tentu tidak akan melakukan tindakan yang demikian. Ia mudah saja dilacak kalau saja pihak hotel melapor ke yang berwajib. Kalau saja. Rasa pahit semakin mengepung lidah saat ia mengakui pada dirinya sendiri kalau ia baru saja membantu pembunuh itu lolos. Tapi, seperti kata Parmin, ini semua demi kebaikan Hotel tempat mereka bekerja. Apa jadinya kalau hotel sepi. Hal itu tentu akan jadi kabar buruk bagi para karyawan rendahan seperti dirinya. Asran meyakinkan dirinya kalau tindakannya sudah benar, sudah baik. Tentu saja ia pantas lega, sebab semua sudah berjalan dengan lancar.
Semua sempurna, kecuali satu hal. Asran teringat pada Erna yang masih kelewat emosional saat ia tinggalkan sendirian di dingin kamar itu. Di antara kelindan benang pikirannya, ia hendak memastikan Erna tetap bungkam, dengan cara apapun.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
