Gembel Metropolitan (Bab 1 - Bab 3)

0
0
Deskripsi

"Sudah bangkrut aja masih gaya! Ngapain minum kopi segala. Nggak tahu diri banget. Kerjaan bisanya cuma ngabisin duit suami doang!" 

Pagi-pagi telinga sudah dibakar dengan perkataan pedas adik iparku. Hanya karena aku duduk sambil menikmati secangkir kopi sebagai pembuka pagi. 

BAB 1  [Playing Victim]

"Sudah bangkrut aja masih gaya! Ngapain minum kopi segala. Nggak tahu diri banget. Kerjaan bisanya cuma ngabisin duit suami doang!" 

Pagi-pagi telinga sudah dibakar dengan perkataan pedas adik iparku. Hanya karena aku duduk sambil menikmati secangkir kopi sebagai pembuka pagi. 

Ia tidak melihat, pagi tadi aku sudah mencuci setumpuk pakaian kotor miliknya dan suaminya yang tukang korupsi itu. Belum lagi cucian piring yang menggunung. Dia pikir aku ini babunya apa. 

"Mas Zain aja nggak masalah. Kenapa kamu yang sewot?" jawabku ketus. Enak saja dia bilang aku ini kerjanya ngabisin duit suami doang. Nggak ngaca kalau dia itu parasit dalam rumah tangga kami.

"Gimana nggak sewot. Pagi-pagi bukannya bikin sarapan, malah ongkang-ongkang kaki sambil minum kopi. Enak sekali hidupmu. Berasa jadi ratu ya di rumah ini?" Perkataan Mita semakin pedas. Nggak sadar apa kalau perusahaanku hampir bangkrut karena ulah suaminya. 

"Ada apa pagi-pagi ribut?" Indra sang suami Ibu ratu akhirnya datang juga. Pagi ini akan ada drama khas micin di depanku.

"Sayang, di meja makan kok nggak ada makanan? Mas udah laper ini ... bentar lagi mau ngelamar kerja," ucapnya manja sembari mengusap-usap perutnya yang lebih mirip ikan buntal. Buncitnya ngalahin emak-emak hamil sembilan bulan. Aku sampai jijik mendengarnya. Belum lagi tingkahnya, bikin perutku mual saja.

Dua parasit nggak tahu diri memang cocok sekali. Pantas saja mereka berjodoh. Bukannya jodoh itu cerminan diri?

"Lihat aja, Kakak iparmu itu. Kerjanya ongkang-ongkang kaki doang. Biasanya, 'kan Mbok Nah yang masak. Sekarang kalau dia bangkrut, harusnya dia dong yang masak." Bibir tebal bergincu merah itu mencibir. 

"Enak saja. Ya kamu lah yang masak! Kamu sendiri, 'kan yang bilang kalau wanita itu kerjanya di kasur, sumur, dan dapur! Sekarang buktiin, dong! Jangan ngomong doang. Atau, jangan-jangan kamu ini bukan wanita, ya?" Aku membalas cibirannya tidak kalah sengit. 

Wajahnya langsung berubah merah padam. Kemudian pergi entah mau kemana. Suaminya yang sama-sama nggak jelas itu mengikutinya. 

'Bodo Amat! Kalau perlu pergi yang jauh dari rumah ini.'

Dulu saat aku masih kerja, ia selalu berkata seperti itu padaku. Memakiku habis-habisan saat mengangkat Mbok Nah sebagai pembantu. Kini aku berhentikan Mbok Minah dari rumah ini, dan memindahkannya di rumahku sendiri. 

Kupikir setelah tidak ada Mbok Nah ia akan sadar. Setidaknya nggak cuma tidur di kamar, dan mengandalkan uang hasil korupsi suaminya itu. 

Nyatanya dia masih saja nggak berubah. Malah memperlakukanku seperti babunya. Sedangkan Ia sibuk nongkrong di mal-mal bersama teman sosialitanya yang nggak jelas itu. 

"Adel! Mana makanannya!" 

Kuputar bola mata kesal. Kupikir tadi ia sudah enyah entah kemana. Eh, ternyata balik lagi. Kompak pula sama suaminya. 

"Iya, mana makanannya! Bukannya tadi kami sudah suruh kamu masak?" timpal Indra. 

Lagi-lagi aku hanya memutar bola mata. Bersikap seolah tidak mendengar suara apapun. Biarkan saja anjing terus menggonggong karena kelaparan.

"Adel Zain Atharya. Cepat masak untuk sarapan. Kamu kan sudah nggak kerja, nggak ngurus perusahaan pula. Jangan enak-enakan doang. Mas Indra sudah hampir telat. Nanti dia batal dapat kerjaan!" 

"Kamu, 'kan istrinya. Ngapain nyuruh aku." 

"Kalau kamu nggak mau, aku aduin sama Mas Zain. Lagian kamu tahu sendiri, aku lagi ngurusin Safina. Ia juga hampir telat pergi ke sekolah. Kamu yang ngerti dong sama aku." 

Wuih. Dramatis sekali nada bicaranya. Seolah-olah di sini aku yang salah. Rupanya ia mencoba playing victim denganku. Maaf sayang, kamu bukan tandinganku. 

"Aku nggak ngerti sama kamu? Jangan memutar balikkan fakta ya. Setiap hari ker ...."

"Adel Zain Atharya. Bersikap baik sama adik saya. Atau saya ceraikan kamu." Suara yang sangat familiar kudengar dari ponsel dalam genggaman Indra. 

Deg! 

"Tapi Mas. Mereka yang ...."

"Kamu jangan mau menang sendiri Adel. Adik iparmu sudah mencuci pakain milikmu juga, ia mengurus suami dan anaknya. Saya, 'kan lagi nggak di rumah. Harusnya kamu bisa dong, kalau hanya masak doang."

Apa aku nggak salah dengar. Mita mencucikan baju bajuku? Dia dan Indra memang keterlaluan.

Berani sekali mereka mengadu dombaku dan Mas Zain. Pasti sudah sejak tadi panggilan itu mereka lakukan. Jadi, mereka keluar untuk mengadu sama Mas Zain. Kurang asem, tunggu saja pembalasanku. 

Aku bukan wanita bodoh seperti yang mereka kira. Apalagi miskin dan ketergantungan.

Kalian tunggu saja tanggal mainnya.

***

Bersambung ....

 

BAB 2 [Tunggu Kejutan Dariku]

 [Saya pulang hari ini. Nggak nyangka kalau ternyata kamu berubah drastis Adel. Saya kecewa sama kamu.] 

Pesan dari Mas Zain. 

"Apa-apaan dia kirim pesan seperti ini. Bahasa bakunya nggak ilang lagi. Itu tandanya dia marah besar sama aku." Firasatku nggak enak. Seperti ada hawa jahat yang terus mengintai. Mungkin saat ini ia sudah melancarkan aksinya. 

Kubaca ulang pesan dari Mas Zain. Hatiku semakin yakin kalau Mita telah mencuci otaknya agar membenciku. Aku juga heran, kenapa Mas Zain bisa sangat percaya pada saudara tirinya itu.

Hidup bersama selama bertahun-tahun tapi kok tidak bisa melihat borok adik dan iparnya itu. Heran dah.

***

"Halo, Mbak. Suami adik iparmu melamar pekerjaan di sini?" Aida berkata lirih dari ujung telepon.

"Oh ya?" Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut. Setelah kabar perusahaan lamaku bangkrut dan si tukang korupsi itu di PHK. Perusahaan baruku masuk jajaran elite di kota ini. Wajar jika ia datang melamar. 

Gaji yang kuberikan tidak main-main di sana. Orang seperti Indra akan tergiur dengan gaji besar. 

"Iya, Mbak. Bagaimana ini? Apakah kita usir saja?" Ia terdengar cemas. Mungkin ia khawatir kalau penyamaranku akan terbongkar.

"Terima saja. Tapi awasi dia. Aku nggak mau kalau dia sampai korupsi lagi. Bisa-bisa perusahaanku benar-benar bangkrut lagi." Setelah beberapa detik berpikir. Kuputuskan untuk menerima si Indra. Setidaknya biarkan dia senang, meski sesaat. 

Permainan ini akan sangat menyenangkan. 

"Baik, Mbak."

"Ya sudah, kamu lanjutin aja. Masalah dia mau ditempatkan di mana. Nanti aku kabari lewat chat ya." 

"Siap." 

Aku tersenyum puas. Sepertinya keadaan memang berpihak kepadaku, Indra akan menikmati pekerjaan barunya atau ia hengkang dari kantorku. 

"Hihi." Aku terkikik geli membayangkannya. 

"Halooo! Hollaaa ...." 

"Jeng Mita."

"Yuhuuu!" 

Baru saja selesai ngurus suaminya. Lah sekarang gerombolan aneh mulai ngerusuh di rumah ini. 

"Nyari siapa?" tanyaku ketus. 

Bukan tanpa alasan. Selama ini, teman-teman Mita yang nggak jelas ini kerjaannya metik bunga-bunga di pekarangan. Jarinya bahkan lebih ganas dari ulat bulu. 

"Nyari Jeng Mita. Di mana dia?" Wanita berpakaian pink muda itu menatapku sinis. Sama seperti Mita, teman-temannya ini pun juga tidak menyukaiku. Bodo amat lah.

"Hemm. Sebentar, dia mungkin di kamar. Akan aku panggilkan."

"Oh, di kamar. Teman-teman, yuk serbu!" 

Tanpa bisa kucegah, lima orang bertubuh gempal itu menerobos masuk dan langsung menuju ke kamar Mita. 

Kalau ini rumah Mita saja, 'sih tidak masalah. Lah, ini kan rumahku juga. Nggak sopan banget main ngeloyor begitu saja.

"Mitaa!"

"Mita bukain dong." 

'Hemmm. Berisik sekali. Malas lah merhatiin mereka.' 

Semua pekerjaan sudah selesai. Masak pun sudah. Tapi hanya satu porsi untukku saja. Mita dan Indra? Bodo amat sama mereka. Di belakang sudah ada nasinya, mau makan pakai apa biar mereka pikir sendiri. Toh, mereka sudah dewasa. Punya anak pula.

Ini hari kedua aku pura-pura bangkrut. Selama dua hari aku hanya di rumah saja. Hal itu membuatku merasa bosan, aku sangat merindukan suasana kantor. 

Bagi setiap wanita yang biasanya sibuk bekerja, kini hanya diam di rumah saja pasti akan merasakan hal yang sama sepertiku. 

Untukku, bekerja bukanlah beban atau tuntutan. Melainkan hobi yang aku jalankan dengan suka rela dan bahagia. 

Perusahaanku bekerja di bagian kosmetik herbal. Aku memulainya sejak usia 20 tahun. Cabangnya bahkan sudah sampai ke manca negara. 

Perusahaan yang aku dirikan sejak masih muda itu terancam hancur karena orang tidak bertanggung jawab seperti Indra. Itu menjadi salah satu alasan kenapa aku melakukan sandiwara ini. 

"Adel! Adel!" 

'Hmmm.' 

Mita sama sekali tidak pernah membuat hidupku tenang. Baru saja merebahkan diri di atas kasur, pintu kamar sudah digedor-gedor. Mau apa sih dia. 

"Ya?"

"Buatkan minum 6 gelas. Teman-temanku sudah kehausan."

"Bikin saja sendiri. Itu kan teman kamu." 

"Kamu lah bikinin. Nggak enak kalau mereka aku tinggal di kamar. Kalau mereka macem-macem gimana?" Ia memasang wajah melas.

Kasihan sih. Tapi itu salah sendiri. 

"Itu, 'kan teman kamu. Nggak mungkinlah kalau macem-macem," jawabku malas.

"Siapa yang tahu." 

"Kalau nggak saling percaya, kenapa temenan? Dasar aneh." Kututup pintu kasar. Mengabaikan wajahnya yang merah padam. 

"Adel! Keluar kamu. Kalau enggak aku aduin sama Mas Zain. Dia akan menceraikanmu. Setelah itu kamu akan jadi gelandangan!" Makinya di luar pintu. 

'Aduin Mas Zain. Selalu saja begitu. Tunggu saja Mas Zain pulang. Aku ada kejutan spesial untukmu.' 

Aku tersenyum misterius, sayang sekali ia tidak bisa melihat. 

***

Bersambung ....

 

BAB 3 [Strawberry Pedas]

"Adel!" Mita berseru berang. 

Marah, sebal, kesal, mungin itu yang sedang ia rasakan. Melihat dia terus marah-marah dan mengancamku, ide luar biasa tiba-tiba muncul di benakku. 

"Baik, akan aku buatkan. Mau minum apa?" tanyaku saat membuka pintu. Ia baru saja berbalik saat aku mengatakannya. Wajahnya langsung berbinar penuh kemenangan. 

'Dia hanya nggak tahu rencanaku yang sebenarnya.' hatiku jauh lebih girang.

"Jus Strawberry. Di kulkas ada, kan?" 

"Oke."

"Aku tunggu di kamar. Jangan lama-lama." 

"Ya." 

Untung ada jus strawberry di kulkas. Kalau enggak, mau aku kasih tomat saja.

"Enam buah strawberry, enam buah cabai merah, dan enam sendok gula." Semua bahan sudah kumasukkan dalam blender. 

Tinggal menuangkan air, tutup blendernya, dan nyalakan. Empat elemen itu akan berubah menjadi jus yang sangat lezat. Jus yang akan membuat acara ngerumpi mereka makin berwarna dan fantastis.

"Adel! Lama banget, sih!" Nyonya besar sudah meneriakkan namaku dari kamarnya. 

"Silahkan." 

"Akhirnya datang juga. Duh, lelet banget, 'sih kamu! Pantes aja perusahaannya bangkrut. Kerjanya lelet begini." Mita menatapku tajam. Tatapan penuh intimidasi meremahkan. 

Dadaku bergemuruh hebat mendengar perkataannya. Sakit, tentu saja. Parasit dan pengacau yang nggak sadar diri. 

"Perusahaanku bangkrut juga karena ulah suamimu yang tukang korupsi itu. Jadi istri koruptor aja bangga. Nggak tahu malu banget!" Mulutnya pedas, aku bisa lebih pedas bahkan jauh lebih panas.

Beberapa temannya sampai membungkam mulut kaget saat aku mengucapkannya. Awalnya aku masih ingin menutupi. Demi menghormati ikatan kekeluargaan ini. Namun sikapnya sendiri yang selalu menyulut emosiku.

"Lancang ya kamu!"

"Kenapa? Nggak terima. Itu fakta. Bahkan, Mas Zain juga sudah tahu itu. Kalau bukan karena bujukan Mas Zain, sudah aku seret suamimu itu ke penjara. Biar saja dia membusuk di sana." 

"Kurang aj*r!" Ia mengayunkan tangannya ingin menamparku. 

"Jangan macam-macam denganku Mita, atau aku seret Indra ke penjara." Kutangkis tangannya cepat. Jangan harap ia bisa menamparku. 

Kutarik dan kupelintir tangannya, dan memaksanya bertekuk lutut di hadapan. "Jangan lupa, aku pernah menjadi juara pencak silat tingkat nasional."

"Lepasin Adel. Sakit tahu."

"Lain kali, jangan mencoba menyentuhku. Atau kubuat parah tulang-tulangmu," ucapku sebelum melepaskannya. 

Kukibaskan tangan dan mengedarkan pandangan sebelum meninggalkan kamarnya. 

'Berantakan sekali.' 

"Ajegile. Kakak ipar kamu garang banget. Nggak nyangka, kupikir dia akan mudah ditipu dan ditindas."

"Aku juga nggak nyangka dia bisa sebar-bar itu. Tapi jangan khawatir. Aku akan beri dia pelajaran saat Mas Zain pulang. Biar dia jadi gembel yang gelandangan di pinggir jalan setelah Mas Zain menceraikannya."

Masih sempat kudengar pembicaraan Mita dan temannya. Namun setelahnya aku berlalu tidak peduli. 

'Membuatku jadi gembel? Justru aku yang akan membuat dia dan suaminya itu jadi gembel. Kalau perlu mamanya yang sama-sama nggak tahu diri itu.'

"Mita!" 

Nah, kan. Baru saja dibahas orangnya sudah datang. 

"Mita di kamarnya, Bu." 

"Oh." 

Ia melenggang masuk melewatiku. Sejak pertama menikah dengan Mas Zain, ia sudah tidak menyukaiku. Namun setelah tahu aku orang kaya ia mulai bisa menerima, meskipun kadang masih bersikap ketus. 

Bagiku itu tidak masalah. Karena aku tidak pernah peduli apakah orang akan bersikap ramah padaku. Asal tidak menganggu ataupun merendahkanku. Apalagi sampai menghinaku, tidak akan ada ampun baginya. 

"Adel. Sini kamu." Ibu memanggilku dari kamar Mita. 

"Ada apa, Bu?" Aku masih ramah padanya. Siapa tahu ia masih bersikap sama meski tahu aku bangkrut. 

Plak! 

Mataku membeliak sempurna. Tamparan Ibu sakitnya sungguh terasa nyata. Aku berusaha untuk tidak terkejut. Karena selama ini ia tidak pernah menyukaiku. 

"Kenapa menamparku, Bu?" 

"Apa yang kamu lakukan pada anak saya? Kenapa dia sampai menangis?" 

"Apa yang aku lakukan? Tidak ada. Aku hanya memberitahunya, sikap sopan santun pada orang lain. Itu saja."

"Keterlaluan kamu. Kamu harusnya tahu seperti apa posisimu di rumah ini?"

"Aku istri sah dari Zain Atharya. Aku punya hak yang sama atas rumah ini."

"Big, No! Kamu hanya parasit di rumah ini. Zain itu anakku, aku yang merawatnya sejak kecil. Jadi hartanya adalah hakku. Gembel seperti kamu, nggak ada gunanya. Turuti semua kemauan Kita kalau kamu nggak mau jadi gelandangan." Ibu ingin menamparku lagi. Dengan gesit aku mengindar, tamparannya berakhir menyapu angin belaka.

"Kita lihat saja. Siapa yang sebenarnya parasit di rumah ini. Aku, atau Mita dan suaminya yang tidak tahu diri itu," ujarku pergi acuh tak acuh. 

Lebih baik aku pergi. Udara segar di luaran sana mungkin lebih menggoda daripada rumah ini.

***

Bersambung ....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Gembel Metropolitan (Bab 4 - Bab 6)
0
0
Mau kemana kamu? Pergi. Enak saja pergi. Nggak lihat cucian piring numpuk? Aku mengernyit heran. Baru pagi tadi aku mencuci semuanya. Mana mungkin numpuk lagi. Aku melangkah ke dapur, benar saja cucian menggunung di sana.Suruh saja Mita cuci piring. Itu juga pasti ulah dia, jawabku tidak peduli. Kemudian pergi meninggalkan rumah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan