Please Deh, Aku Cuma Mau Pacaran!

0
0
Deskripsi

A dan B sudah lama berpacaran, tapi belum pernah sekalipun berkencan.

Ini adalah kisah tentang kencan pertama mereka.

Jatuh cinta memang hal yang manusiawi. Manisnya jatuh cinta kerap menjadi momen sakral dan topik yang seakan tak habis dikupas. Sudah tak terhitung lagi banyaknya lagu, puisi, novel, cerita, komik, bahkan gim yang bercerita tentang cinta.

Namun, apakah pengalaman merasakan cinta semanis semua angan yang terbingkai dalam untaian kata dan gambar?

Ini adalah kisah tentang dua insan. Sebut saja mereka si A dan si B. Terkadang nama sederhana jauh lebih mudah diingat dan dipahami dibandingkan nama modern seperti Uphie Abhubhu apalagi Watzittooya.

Tanpa deskripsi berprosa lembayung. Langsung saja ke intinya.

Si A dan si B adalah sepasang kekasih. Mereka teman satu sekolah. Keduanya selalu bersama. Namun, mereka bukanlah pasangan yang senang mengumbar kemesraan. Biarkan mereka menikmati momen-momen bersama. Cukup hanya mereka dan dunianya. Keluarga, teman, dan mata kamera CCTV para tetangga tidak usah tahu.

Begitulah kehidupan yang mereka jalani selama enam bulan bersama. Semua sedatar menjalani sekolah selama satu semester. Hingga suatu hari, si A pun bercerita di bawah bayang-bayang pohon kersen sekolah.

“Kamu nggak bosen gini-gini terus?”

Si B menyesap satu cup air minum dingin di tangannya. Berteduh di bawah pohon sambil menikmati minuman dingin dari kantin menjadi solusi untuk mengatasi pelajaran Olahraga di siang bolong seperti sekarang. Badannya sudah mendidih. Untung saja jam pelajaran Olahraga berakhir dengan istirahat. 

“Bosen apanya?”

“Kita pacaran, tapi kayak bukan pacaran. Berasa status pacaran itu seperti tempelan.”

“Terus maunya apa?” Pemuda di sisinya menunduk ke arah lapangan sekolah sambil menggoyang-goyangkan sepatunya. “Kamu mau kita pegangan tangan, mesra-mesraan, terus cium-ciuman kayak di film?”

Wajah gadis sepucat mayat itu tiba-tiba semerah daging ayam mentah.

“Bu-Bukan gitu juga! A-A-ku cu-cuma.”

Si B menoleh ke arah A. “Cuma apa?”

Si A menengadah ke arah langit yang tidak begitu cerah. Sejak tadi gumpalan awan setipis permen kapas yang saling berkejaran merintangi lapangan sekolah dari teriknya sinar matahari.

“Kadang aku mikir kayak gini di rumah. Kenapa sih orang-orang seneng banget pacaran? Perasaan nggak ada bedanya sama temenan biasa.”

Terkadang pacaran memang seperti pertemanan akrab di antara sepasang insan. Banyak orang yang memujanya sebagai momen sakral sebelum menapaki jenjang pernikahan. Namun, bagi mereka itu hal yang berbeda.

Si A dan si B sering pulang bersama karena memang rumahnya searah. Tidak ada pegangan tangan apalagi cumbu rayu mesra. Pembicaraan soal pelajaran di sekolah dan masalah pribadi mereka menjadi topik yang mengisi waktu perjalanan pulang. Sejak istirahat tadi, keduanya mendadak hening. Mereka berjalan melewati gerbang sekolah tanpa sepatah kata.

“Kamu ngambek gara-gara tadi?” tanya si A.

Si B membetulkan kacamatanya yang sedikit melorot. “Nggak kok.”

“Terus kenapa? Males pulang ke rumah?”

“Memangnya kamu yang sering kabur dari rumah karena takut dimarahin Mama?”

“Sariawan?”

Si B memelankan langkahnya. “Bukannya pas istirahat kamu pengen kita keliatan kayak orang pacaran?”

Si A tersipu. “Um. Iya sih. Aku pengen kita jalan-jalan ke mana gitu, tapi ‘kan kamu juga kerja. Aku nggak enak kalau maksain buat jalan-jalan.”

“Soal itu sih, hari Minggu ini aku libur.”

Si A mengerutkan kening. “Tumben. Cuti apa libur?”

“Tukeran shift. Harusnya aku masuk, tapi tukeran shift sama Abang yang nggak bisa ke toko kemaren. Jadi, Abang gantiin aku kerja Minggu nanti.”

Si B tersenyum ke arah A.

“Jadi, kita mau pergi ke mana?”

******

Dua sejoli menjalin cinta. Cinta sejati dari ... tunggu. Rasa-rasanya ini nyaris melanggar hak cipta. Lupakan saja. Mari kita kembali pada si A dan si B.

Senyuman penuh kebanggaan merekah di wajah si A. Kupingnya tidak perlu lagi panas dengan kicauan para murid di sepanjang lorong menuju kantin dan ruangan kelas. Akhirnya dia bisa membungkam pertanyaan mereka soal kejelasan statusnya dengan si B.

“Cie yang mojok,” goda si C, katanya teman si A. Teman apanya? Buktinya si C lebih mirip seorang biang gosip daripada seorang teman.

“Berisik,” cibir si A sambil mengunyah cilok yang baru saja dibelinya di kantin sekolah.

“Jadi, sekarang nggak usah kucing-kucingan lagi dong kalau mau pacaran.”

Si A mencebikkan bibir pada si C yang duduk di sebelahnya. “Adanya gara-gara mulut netijen macam kalian yang bikin si B itu jadi nggak nyaman.”

“Oh?” Si C mengambil sepotong buah dari rujak di atas meja kantin. “Jadi, kalian ceritanya pingin privasi nih? Saran sih ya. Hati-hati aja sama si narator. Kadang dia suka nyuruh kita ngelakuin hal yang nggak-nggak.”

“Adanya isi otakmu yang nggak-nggak!”

Si C tersenyum selagi si A makan dengan tergesa-gesa.

******

Hari Minggu hari yang panjang. Hari yang asyik buat ... ah, kenapa harus menulis kalimat yang nyaris melanggar hak cipta lagi.

Mari kita percepat cerita hingga hari Minggu. Toh jika menceritakan keseharian si A dan si B dari Senin sampai Jumat itu membosankan.

Pagi itu si A benar-benar bersiap untuk kencan pertamanya. Dia duduk di depan meja rias, memakai riasan terbaik agar tidak terlihat seperti mayat, dan tentu saja pakaian yang paling nyaman untuk berkencan. Sejak tadi dia terus bersenandung sambil mencoba-coba pakaian yang baru diambilnya dari dalam lemari.

“Kamu ngapain sih senyam-senyum depan kaca kayak gitu? Mau disangka orang sedeng?”

Kedatangan Mama dari belakang benar-benar persis jelangkung. Senyuman di wajah si A berubah dari melengkung ke atas menjadi ke bawah.

“Ngapain sih Mama masuk kamar orang seenaknya? Privasi tahu!”

“Mama abis beres-beres kamar kakakmu. Ini lagi. Masa sih kamar kakakmu dibiarin kotor gitu aja?”

“Abisnya Kakak itu orangnya slebor sama nyebelin.”

Mama duduk di atas ranjang kamarnya. “Hush. Nggak boleh kayak gitu. Biar kakakmu sekarang kerja di luar kota, setidaknya bantu-bantu beberes lah.”

Si A cemberut. “Iya deh, Ma.”

Mama meraba-raba setumpuk pakaian yang tergeletak di atas ranjang.

“Kamu mau ke mana sampai ngacak-ngacak baju kayak gini.”

“Kepo.”

“Pergi sama si B ya?” goda Mama. “Kalau mau kencan itu, bajunya yang mantes dikit. Malu lho diliatin sama orang. Apalagi kakakmu itu artis. Gimana kalau sampai ketahuan paparazzi kalau adiknya sering pakai baju seenaknya kayak preman pasar?”

“Iya deh, Ma. Iya!”

Setelah hampir satu jam bergulat di kamar dengan telinga panas, akhirnya si A bisa lepas dari campur tangan Mama. Dia pergi menuju tempat yang dijanjikan si B di pusat kota.

Konon ada sebuah restoran baru yang belum genap seminggu buka di pusat kota. Si B tahu kabar soal restoran itu dari teman kerjanya di toko. Si A mematung di depan restoran yang penuh dengan orang-orang. Dia mengamati sekelompok orang yang sejak tadi mengangkat berhala bernama ponsel di tangannya.

Sungguh. Kenapa harus ada ritual foto dan rekam video di hampir semua tempat yang A kunjungi? Bisakah sehari beraktivitas tanpa ponsel di tangan? Belum lagi si B tak kunjung datang. 

Untung saja si B datang juga. Bisa-bisa anjing galak di mulutnya menyalak siapa saja yang berada di sekitar.

“Kamu ke mana aja sih? Katanya janjian jam 10. Ini udah jam 11 tahu!” gerutu si A.

“Maaf. Tadi aku nyari kacamata dulu. Dikirain kacamatanya ada di atas meja. Tahunya malah masuk ke tong sampah. Untung Paman belum buang sampahnya ke luar.”

Si A tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun. Kok bisa sih kacamatanya sampe masuk ke tong sampah? Makanya. Kamu tuh periksa gih ke dokter mata. Udah tahu jalan sering nggak liat-liat terus matanya nambah burem kayak gitu. Untung kacamata. Gimana kalau duit di mesin kasir toko yang jatoh ke tong sampah?”

“Iya deh. Nanti aku periksa lagi ke dokter.”

Si A langsung mengajak si B ke restoran. Mereka sengaja duduk menjauh dari para pemuja berhala ponsel. Ada atau tidak ada makanan, ponsel selalu di tangan.

“Memangnya ponsel itu jauh lebih berharga daripada makanan apalagi oksigen? Makanan itu adanya dimakan, bukan difoto apalagi divideo. Gimana sih?” cibir si A yang duduk sambil menanti pesanan.

“Katanya sih bisa dapet makanan gratis kalau posting foto terus tag akun medsos restoran ini.”

“Tapi ya nggak gitu-gitu juga. Coba deh bayangin. Emang seru gitu,” si A memalingkan wajahnya dari hadapan si B, “kalau kita main ke mana kek terus kamunya main HP terus? Apa nggak kesel?”

Pesanan makanan yang mereka pesan kini sudah tiba. Si A dan si B saling bersitatap sesaat sebelum makan. Si B memang sekilas seperti pemuda berkacamata biasa, tapi punya karisma yang tidak dimiliki pemuda lain. Dia seakan bisa membaca pikiran A seperti sekarang. Buktinya saja dia sengaja meminta A duduk menjauh di lantai dua agar keluhannya tidak terdengar pengunjung lain di bawah sana.

“Kenapa?”

Si B menunduk ke arah nasi goreng pesanannya. 

“Kamu bener-bener cantik hari ini.”

“Cantik apanya? Ini Mama yang dandanin kok. Kenapa juga Mama harus nyuruh aku pakai baju kayak gini?”

“Tapi kamu cantik lho. Nggak boong. Coba deh kamu sesekali feminim kayak gini.”

Si A menggaruk kepala. Sebenarnya dia sedikit risih dengan gaun merah jambu yang Mama pilihkan. Dia juga tidak biasa dengan riasan tebal ala Mama. Toh si A sering berdandan sebatas untuk menyegarkan wajahnya yang sepucat mayat. Bukan berdandan layaknya seseorang hendak pergi ke acara undangan apalagi menjadi pengantin dalam undangan tersebut.

“Kamu seneng ya ngeliat aku kayak gini? Kakiku pegel tahu lama-lama berdiri pakai heels kayak gini. Gimana kalau kena varises?”

“Um. Maksudku. Aku seneng ngeliat kamu yang feminim kayak gini. Aku juga seneng ngeliat kamu yang berpakaian nyaman seperti biasa.”

Si A menyantap spaghetti pesanannya. 

“Maksudnya gimana sih?” 

“Aku pengen ngeliat kamu sesekali berpenampilan feminim, tapi tetep bikin kamu nyaman. Aku nggak mau liat kamu nyiksa diri cuma buat bikin aku seneng. Bukannya cantik juga bisa berawal dari rasa nyaman dan percaya diri?”

Si A semakin tersipu. Jantungnya berdebar jauh lebih kencang daripada deru mesin mobil balap. Kencan pertama mereka menjadi momen berkesan baginya. Dia menatap lekat si B yang menyantap nasi goreng perlahan.

Semakin berada di sisi B, dia merasa jauh lebih nyaman. Tidak salah jika hatinya kini tertaut pada pemuda berkacamata di depannya. Dia tidak pernah memaksa A untuk berubah sesuai keinginannya. Dia bisa menerima kondisi A apa adanya meski terkadang jauh lebih cerewet daripada Mama. 

Ah, andai saja mereka bisa lebih banyak waktu bersama seperti sekarang. Bukan hanya saat pulang sekolah apalagi mengerjakan PR bersama. Andai saja B tidak mengambil kerja sambilan sepulang sekolah, apa mereka akan bisa kencan seperti ini setiap saat? 

Suara sirene bergema dari luar restoran. Para pengunjung restoran tiba-tiba teralihkan dari ponsel dan makanan mereka. Gaung pembicaraan di antara mereka nyaris saja menimpali pengumuman yang muncul sesaat setelahnya.

“Perhatian! Perhatian! Alien telah memasuki kawasan sektor 4. Para penduduk yang berada di sektor 4 segera lekas mencari tempat evakuasi terdekat. Sekali lagi. Alien telah memasuki sektor 4. Jangan panik. Pasukan pemerintah sedang menuju ke sektor 4.”

Para pengunjung berhamburan meninggalkan restoran. Si A pun menggerutu.

“Heh narator kurang ajar! Kenapa sih ganggu orang yang lagi enak-enak kencan?”

Si B lalu menarik A. “Ngapain sih kita terus-terusan di sini? Ayo kita pergi!” 

“Ini lagi. Kenapa sih ceritanya jadi kayak gini? Apa si naratornya nggak tahu kalau dandan kayak gini doang lebih dari sejam?” 

Si B menggenggam tangan A. “Simpan keluhannya buat nanti aja. Lebih baik kita cari tempat aman lalu pulang bareng-bareng ya.” 

Si B lalu mempercepat langkahnya. Memang kencan pertama mereka berakhir kacau seperti ini, tapi setidaknya berakhir dengan si B yang tidak melepaskan genggaman tangan A.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Ketika Kakiku Tak Bisa Menapak
2
0
Sekelumit kisah anak manusia yang terlalu tenggelam dalam pikiran negatif. Menyepelekan kondisi badan sama saja dengan mengundang penyakit. Hal itu yang kini Nisa alami sekarang dengan cedera punggung yang terus membuatnya berpikiran negatif.Foto sampul:  89Stocker/Canva
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan