Ketika Kakiku Tak Bisa Menapak

2
0
Deskripsi

Sekelumit kisah anak manusia yang terlalu tenggelam dalam pikiran negatif. 

Menyepelekan kondisi badan sama saja dengan mengundang penyakit. Hal itu yang kini Nisa alami sekarang dengan cedera punggung yang terus membuatnya berpikiran negatif.

Foto sampul:  89Stocker/Canva

Semula berawal dari olahraga di Sabtu pagi bersama dengan suamiku. Aku pergi ke sebuah stadion baru di dekat rumah. Jalanan di sana sangat mulus dan lengang. Biasanya kami berolahraga di sana saat akhir pekan. Kadang kami lari pagi bersama. Kadang pula bersepeda berdua seperti sekarang. Lalu seorang pengendara yang tengah belajar sepeda motor menggoyahkan keseimbanganku dari belakang. Punggungku encok sesaat sebelum terjatuh ke dalam selokan setinggi lutut orang dewasa di tepi jalan. Suamiku lantas meraih tanganku lalu berkata.

“Dek, kamu gak apa-apa?”

Aku mengangkat badan sepeda yang menindihku sembari membalas, “Gak apa-apa kok, Mas.”

Memang amat memalukan bagi wanita yang sudah berkeluarga sepertiku jatuh ke dalam selokan seperti ini. Wajahku merah padam sewaktu berpasang-pasang mata penduduk yang tengah berolahraga di sana menatapku yang tersungkur dengan baju berlumur lumpur dan sampah. Akhirnya aku dan Mas Bowo kembali ke rumah. Toh siapa juga yang mau berolahraga dengan pakaian sekotor ini?

******

Sudah dua hari badanku remuk redam setelah bangun tidur. Padahal aku selalu melakukan pemanasan setiap olahraga dan tidak melakukan aktivitas fisik berlebihan. Memang saat pandemi seperti ini aku lebih banyak duduk karena bekerja dari rumah. Aku lalu menunaikan kewajibanku seperti biasa: sholat, bersih-bersih rumah, lalu menyiapkan sarapan untuk Mas Bowo sebelum kembali bekerja.

“Dek, badanmu kenapa?” tanya Mas Bowo yang baru saja mengambil tumis tongkol kesukaannya di atas meja.

“Kayaknya kena masuk angin, Mas.”

“Jangan duduk mulu di lantai, Dek. Gimana kalo kena angin duduk?”

“Lah, Mas. Gimana aku bisa ngerjain desain pesenan klien kalo gak duduk?”

Selama ini aku bekerja dengan meja kecil setinggi lutut di kamar. Aku menuruti permintaan Mas Bowo. Kutaruh laptop di atas meja makan setelah Mas Bowo selesai sarapan. Aku lalu mengerjakan pesanan desain klien selama berjam-jam di sana.

Tak terasa isi kantung kemihku membludak pertanda harus melunasi setoran harian di kamar mandi. Badanku menegang sewaktu bangkit dari kursi meja makan. Rasa sakit menyengat dari punggung hingga ujung kakiku. Berjalan selangkah demi selangkah menuju kamar mandi saja kakiku terasa seperti terikat galon air minum. Bahkan untuk sekadar jongkok di atas kloset saja punggungku tertusuk-tusuk. Aku merintih sewaktu membayar lunas semuanya di sana.

Rasa sakit itu kembali muncul seperti siklus yang berulang. Bangun tidur dalam kondisi nyaman, tapi selalu tersiksa setelah bekerja dan ke kamar mandi. Kini rasa sakit itu turut mengganggu momen mesraku dengan Sang Pencipta. Punggungku memberat sewaktu hendak bangkit dari bersujud di hadapan-Nya. Bukan sehari dua hari aku seperti ini, melainkan seminggu lebih. 

Selama ini aku bersikap seakan baik-baik saja di hadapan Mas Bowo. Kehidupan kami belakangan ini memang sulit. Harga bahan pokok terus melambung, tapi rekening kami tak kunjung menggembung. Aku tak ingin menyusahkannya dengan memeriksakan diri ke dokter. Apa masih ada gaji kami yang tersisa untuk membayar uang kontrakan, uang sampah, membeli gas, token, pulsa, dan belanja sayuran setiap hari? Toh ini semua karena aku kurang olahraga saja. Namun, Tuhan berkehendak lain. Aku terjatuh saat mengepel lantai rumah kontrakan tempat kami tinggal.

“Dek Nisa!” seru Mas Bowo sembari membopongku ke kamar. Badanku benar-benar sekaku beton bertulang rumah tetanggaku yang tengah direnovasi di seberang jalan sana. Punggungku semakin tertusuk-tusuk. Otot-otot pahaku tertarik amat kencang seperti memakai pakaian ketat. Mas Bowo langsung membawaku ke rumah sakit dengan memanggil taksi daring.

Dokter memeriksa kondisiku sesampainya di UGD. Mas Bowo harap-harap cemas sambil menggenggam tanganku. Tangannya berkeringat dan terus gemetar.

“Gimana istri saya, Dok?” tanya Mas Bowo bernada tak tentu.

“Punggung istri Pak Bowo mengalami cedera serius. Sewaktu Bapak membawanya ke sini, memar di punggungnya semakin membesar. Kami harus memeriksa kondisinya lebih lanjut lewat rontgen.”

Dokter kembali memeriksaku secara menyeluruh. Dokter itu juga kemudian membentangkan hasil rontgen di hadapan Mas Bowo. Mas Bowo terus gemetar sambil memainkan jemarinya.

“Istri Bapak mengalami cedera punggung. Untung saja tidak ada retakan apalagi sampai patah. Sebaiknya istri Pak Bowo beristirahat dan mengurangi aktivitas berat. Datanglah ke sini dua minggu lagi untuk pemeriksaan berkala.”

Aku berjalan tertatih sewaktu meninggalkan ruangan dokter. Mas Bowo terus menunduk lalu memapahku sampai ke pintu masuk rumah sakit.

“Maafin Adek ya, Mas. Adek kira kalo ini cuma masuk angin sama bekas jatoh biasa.”

“Kenapa Dek Nisa gak bilang kalau punggungnya sakit? Kalau Dek Nisa bilang dari awal, masalahnya gak akan separah ini,” ucap Mas Bowo. Diamnya diriku justru membuat Mas Bowo terluka. Hatiku pedih sewaktu mendapati wajah Mas Bowo yang kusut selagi membantuku duduk pada taksi daring pesanannya.

******

Sudah seminggu aku terbaring di atas ranjang. Mas Bowo membelikanku meja lipat agar tetap bisa bekerja di atas ranjang. Mas Bowo juga selalu membantuku berjalan saat hendak pergi ke kamar mandi. Mas Bowo juga menggantikan semua pekerjaanku di rumah. Memasak, menyapu, mengepel, dan mencuci, semua Mas Bowo lakukan sendiri. Kubunuh kebosanan selama terbaring dengan membaca novel daring favoritku. Aku benar-benar tak berguna karena kebodohanku sendiri.

Punggungku masih tertusuk-tusuk saat berusaha bangun bahkan setelah minum obat. Seketika pikiranku melayang-layang tak karuan dibuatnya. Bagaimana jika diriku tak bisa lagi berjalan dan hanya menjadi beban bagi Mas Bowo? Bagaimana jika Mas Bowo tidak sayang lagi padaku seperti dulu? Tanpa sadar aku terisak sehabis sholat di atas ranjang. Mas Bowo yang baru saja selesai bekerja mendekapku lalu mengusap-usap punggungku.

“Kenapa, Dek?”

“Kalo Dek Nisa gak bisa jalan lagi, apa Mas Bowo masih cinta sama Adek?”

“Adek ngomong apa sih?”

“Adek takut kalo jadi beban buat Mas Bowo sama keluarga. Adek takut ditinggalin sama Mas.”

Mas Bowo menepuk jidatnya. “Astaghfirullah, Dek! Begini nih kalau kebanyakan baca novel soal pelakor sama poligami! Bawaannya suudzan terus.”

“Habisnya Adek takut, Mas! Buktinya banyak orang yang ditinggalin istrinya karena cacat.”

Mas Bowo menarik napasnya dalam-dalam. “Jangan ngomong gitu ah. Sama aja Dek Nisa gak percaya sama kuasa Gusti Allah. Sekarang mah Adek ikhtiar aja dulu. Minum obat sampai habis sama gerakin dikit-dikit kakinya biar gak kaku. Banyakin istirahat sama berdoa. Kalau Adek butuh apa-apa, Mas ada di sini.”

Mas Bowo benar. Aku terlalu berprasangka buruk karena cedera punggung yang membuatku tak bisa berjalan. Andai saja tidak menyepelekan hal ini, mungkin aku masih bisa membantu Mas Bowo di rumah. Aku lalu meminta maaf lalu Mas Bowo membalas dengan senyuman.

Hampir sebulan berlalu setelah aku jatuh dari sepeda. Mas Bowo menemaniku terapi di rumah sakit untuk memulihkan kondisi punggung dan kakiku. Rasa sakitnya sudah berkurang. Kakiku mulai bisa kembali berjalan meskipun selambat balita. Saat itu aku bersyukur atas nikmat kaki selagi sehat dan keberadaan suami seperti Mas Bowo.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Please Deh, Aku Cuma Mau Pacaran!
0
0
A dan B sudah lama berpacaran, tapi belum pernah sekalipun berkencan.Ini adalah kisah tentang kencan pertama mereka.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan