Sleep With The Billionaire _ Chapter 1

0
0
Deskripsi

“Berita buruknya, aku mungkin tidak akan pernah melepaskanmu.” _Darren Raveno.

Lana Sharin melelang keperawanannya di sebuah kelab malam mewah. Seorang pria bernama Darren Raveno membelinya dengan harga mahal untuk satu malam penuh gairah.

Tidak ada kesempatan kedua bagi Lana untuk melarikan diri dari Darren Raveno....

Hay, hallo. Ini adalah novel pertama saya di Karyakarsa. Mohon dukungannya.

Oh, ya. Novel ini berawal dari Wattpad, buat kalian yang mau baca di sana juga bisa, tapi untuk full Version tetap hanya ada di Karyakarsa, ya. Kalian juga bisa dapatkan ceritanya di Playstore atau bukunya. Untuk buku cetak, kalian bisa hubungi aku. Informasi bisa cek di BIO aku, ya.

Selamat membaca dan semoga suka.

Best regards,

Arthea.


CHAPTER 1

 

“Kita aka mulai dengan harga $10.000 untuknya!  She is still virgin. Siapa cepat, dia dapat!” Pemandu kelab malam mulai meneriakkan harga pertama pertama untuk first lelang yang berlangsung.

 

Hottest Club. Kelab malam mewah yang berada di tengah kota Seattle. Terkenal dengan acara pelelangan yang mereka sungguhkan setiap satu bulan sekali. Kelab elite yang hanya didatangi oleh para pengusaha kaya, CEO, pejabat, orang-orang penting yang tentunya memiliki kekuasaan yang tinggi.

 

Beberapa dari mereka datang untuk bersenang-senang, dan yang lainnya sibuk menawar dengan harga yang mampu mereka keluarkan untuk barang lelangannya.

 

Mewah dan berkelas. Para pelanggan biasanya duduk di kursi yang sudah tersedia. Mereka disajikan alkohol pilihan yang dituangkan secara pribadi oleh para pelayan pria yang memakai setejan jas rapi.

 

“$25.000!”

 

“$30.000!”

 

“$40.000!”

 

“$65.000!!”

 

Beberapa pria mulai mengangkat papan nomor mereka ke udara sambil meneriakkan harga yang mereka tawar.

 

Kelab malam

 

“Wow! $65.000! Penawaran tertinggi jatuh ke tangan pelanggan berpapan nomor 25 yang ada di sana!” Pemandu kelab menunjuk pria dengan papan nomor 25 yang duduk di kursi hangatnya. Pria itu tampak sangat puas dengan nominal yang disebutkannya. “Ada yang ingin menawar lebih tinggi lagi?!” tawar sang pemandu kelab.

 

“$79.000!!!” teriak pelanggan dengan papan nomor 11.

 

“Sial!” Pelanggan dengan papan nomor 25 mengumpat kesal saat pelanggan lain menawar lebih tinggi.

 

“Okay! $79.000! Sangat menarik karena pelelangan ini semakin membuat malam ini memanas….”

 

“Aku akan mengambilnya! $100.000!! tidak ada yang bisa melawanku!” seru pelanggan dengan papan nomor 05.

 

“Waah!! Pria itu menawar seharga $100.000. Apakah ada yang bisa mengalahkannya?!” serunya dengan senyum tipis yang menyertai pelelangan yang dipandunya. “Ada lagi?! Jika tidak ada yang―”

 

“$110.000!!”

 

Yes, didit! Masih ada yang mau memiliki gadis ini rupanya! Siapa lagi yang akan menawar? Jangan buang waktu kalian untuk gadis memesona sepertinya!!”

 

Lana Sharin. Wanita dengan paras cantik bak seorang peri. Kulitnya seputih susu, dengan tubuh ramping dan tinggi yang membuat dirinya tampak begitu memesona. Rambutnya pirang memanjang, terurai dengan sangat indah hingga sampai ke pinggang.

 

“Akan kubayar $150.000!!” Pria yang menawar $100.000 kembali menyerukan nominal yang lebih besar.

 

“Baik! Sepertinya pelanggan dengan papan nomor 25 sangat tertarik dengan gadis ini! Ada lagi?!”

 

Tidak ada lagi seruan nominal dari para pengujung pria yang berada di dalam kelab ternama tersebut. Bisikan-bisikan para pengunjung berikut gerutuan karena tak mampu menawar harga lebih tinggi membuat mereka menghela napas kesal. Sayangnya, uang mereka tidak sebanyak yang dimiliki para pengusaha kaya itu.

 

Tubuh Lana gemetaran di balik pakaian minim yang ia kenakan. Ia mencengkram tangannya sendiri, yang sudah berkeringat, karena rasa takut, gugup, dan gelisah yang bercampur menjadi satu.

 

Lana langsung menjadi pusat perhatian bagi para pengunjung pria yang ada di sana ketika ia melangkahkan kakinya ke atas panggung. Sorak pemandu yang memperkenalkan dirinya disambut antusias oleh mereka. Apalagi saat pemandu itu menyebutkan bahwa Lana gadis yang masih perawan. Di atas sana, Lana seperti barang yang dijajakan di depan para pembeli. Satu demi satu pengunjung mulai menawarkan sejumlah nominal saat pemandu mulai membuka pelelangan untuk mendapatkannya.

 

Meski Lana menundukkan kepalanya, tapi Lana tahu jika para pria di hadapannya itu tengah memandanginya. Tatapan lapar seolah Lana sasaran empuk bagi mereka. Membayangkannya saja membuat Lana sangat jijik. Pikiran-pikiran kotor para pria itu seolah tergambar jelas di benak Lana.

 

Tidak butuh waktu lama bagi Lana untuk berakhir di ranjang bersama pria asing yang membelinya untuk satu malam ini. Ya. Satu malam yang akan membuat Lana kehilangan keperawanannya. Setidaknya itu bisa membuat Lana keluar dari kesulitan yang dialaminya.

 

$150.000?!

 

Itu nominal yang sangat besar bagi Lana. Satu tarikan rasa penasaran membuat Lana langsung melirik ke arah pria yang menyebut nominal tersebut.

 

Pria dengan setelan jas hitam tampak tersenyum puas, dan sialnya, mata mereka saling beradu ketika Lana tak sengaja melirik pria asing tersebut. Tampak sudut bibirnya menyunggingkan seringai saat Lana kedapatan menatapnya.

 

Ya, Tuhan … apakah Lana akan tidur dengan pria asing itu?

 

Pria dengan kulit kecoklatan yang tampak gagah dengan setelan jas mahalnya. Usianya jauh lebih muda daripada para pengunjung lain yang notabenenya berumur empat puluhan ke atas. Jika dilihat sekilas, sepertinya pria itu berusia pertengahan tiga puluhan.

 

Lana meremas tangannya saat tidak ada seruan lagi dari para pengunjung untuk menawar dengan harga yang lebih tinggi. Sepertinya, Lana akan benar-benar berakhir tidur dengan pria berambut keriting itu. Setidaknya, pria itu bukan pria tua bangka yang sudah beristri.

 

Lana tiba-tiba diserang kepanikan.

 

Lana menelan ludahnya dengan susah payah. Persetan dengan semua kemungkinan itu! Lana hanya ingin semua ini cepat berakhir dan ia bisa mendapatkan uang yang sangat ia butuhkan untuk perawatan ayahnya yang sedang koma.

 

“$200.000!!”

 

Ini gila!

 

Siapa pria tidak waras yang berani menawar harga yang tidak lazim hanya untuk satu malam bersama seorang wanita?

 

Sudah dipastikan pria itu pengusaha kaya raya dengan segala aset yang dimilikinya. Orang gila mana yang akan mengeluarkan uangnya hanya menghabiskan satu malam bersama seorang wanita?

 

“Baiklah! Penawaran terakhir sebesar $200.000! apakah ada yang berani untuk menawar lebih tinggi lagi?! Suaranya tampak sangat sumringah. Jumlah yang jauh dari perkirannya membuat pemandu pelelangan itu melirik Lana yang berdiri gemetaran di dekatnya. Dalam hati, itu jumlah yang pantas untuk didapatkan oleh wanita sememesona Lana. Pria itu bahkan tergiur untuk memilikinya. Tapi sayang, ia hanya petugas pemandu kelab di tempatnya bekerja.

 

Terdengar gerutuan dari beberapa meja. Mereka terlihat terbebani dengan nominal akhir yang di luar kendali mereka. Tidak ada yang berani mengeluarkan uang lebih dari yang mereka miliki. Bahkan pria berambut keriting yang tadinya sempat percaya diri akan memiliki Lana, kini meringis saat ada pesaing lain yang berhasil membuatnya kalah telak.

 

Ini penawaran mutlak yang tidak bisa dilakukan oleh pengunjung lainnya.

 

“Baiklah! Sepertinya tidak ada yang bisa melakukan penawaran sebesar yang dilakukan pelanggan dengan papan nomor 22!”

 

Lana menarik napasnya saat pemandu itu mulai mengakhiri pelelangannya. Apakah ia akan berakhir di tangan pria gila itu?

 

“Siapapun dia! Wanita ini terjual dengan harga $200.000! selamat!!”

 

Lana menelan ludahnya dengan susah payah. Tiba-tiba saja, tenggorokannya terasa begitu kering. Perasaan gelisah menggerogotinya tak kala terdengar suara palu yang dipukul menandakan pelelangan dirinya sudah berakhir.

 

$200.000.

 

Nominal yang sangat banyak. Jauh dari apa yang Lana bayangkan sebelumnya. Saat dirinya ditarik pergi dari panggung, Lana baru menyadari bahwa ia belum sempat melihat siapa pria yang tadi sudah berhasil membelinya.

 

Semoga saja ia bukan pria tua bangka yang sudah beristri.

 

***

 

“Itu nominal yang sangat banyak hanya untuk menghabiskan satu malam bersama seorang wanita,” gerutuan dari pria berbadan tinggi tegap itu terpusat pada satu lelaki yang duduk di sampingnya dengan gaya santai. Tampak begitu menikmati sesi pelelangan yang baru saja ia ikuti.

 

Secara nalar. $200.000 memang nominal yang sangat besar untuk dibuang sia-sia.

 

“Kau bisa mendapatkan wanita perawan di luar sana dengan mudah tanpa harus mengeluarkan uang sebanyak itu,” pria berkacamata itu kembali menggerutu untuk ke sekian kalinya.

 

Lelaki yang dimarahi hanya diam seoalh tidak menanggapi celotehannya. Ekor matanya sibuk menangkap seorang wanita yang ditarik pergi dari atas panggung.

 

“Apa kau tidak mendengarkanku?” timpalnya lagi, saat semua perkataannya sama sekali tidak digubris. “Apa kau sedang beramal?”

 

Sikap santainya menunjukkan bahwa pria ini tidak begitu peduli dengan rengekan dari pria yang duduk di sampingnya. Saat bayangan Lana telah pergi, ia mengalihkan pandangannya untuk menatap sepasang mata cokelat yang tengah menatapnya dengan jengkel.

 

“Urus pembayarannya dan bawakan wanita itu kepadaku,” kata pria itu dengan santainya, “aku akan menunggu di mobil,” imbuhnya.

 

Pria bermata cokelat itu berdecak kesal. “$200.000 hanya untuk satu malam yang singkat,” ia menggerutu sambil beranjak dari kursi yang didudukinya.

 

“Lakukan saja,” perintahnya dengan acuh tak acuh.

 

“Tentu saja. Lagipula itu semua adalah uangmu,” timpalnya, “aku hanya sekretaris yang bertugas melakukan semua perintahmu.”

 

Sekretaris itu kemudian pergi tanpa memprotes lagi.

 

“Let’s see….”

***

Tubuh Lana merespon suara pintu yang dibuka dan langsung berdiri dari sofa yang didudukinya. Matanya bergerak tak tenang ketika seorang pria bertubuh tegap dengan setelan jas rapi masuk dengan langkah kaki yang ringan.

 

Pria asing itu memberi seulas senyum tak kala memasuki ruangan kecil yang digunakan Lana untuk menunggu pria yang sudah membelinya.

 

Lana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sorot matanya jelas tengah memerhatikan penampilan pria di hadapannya itu dari atas hingga bawah kakinya. Satu yang pasti. Pria itu tampan dengan penampilan maskulin yang memperlihatkan karakter pengusaha kaya.

 

“Kau … orang yang membeliku?” Suara Lana begitu pelan seperti secarik perkamen yang di balik. Rasa gugup semakin melanda dirinya. Ia tak kuasa meremas tangannya yang terus berkeringat dingin dan gemetar hebat.

 

“Sayangnya, bukan. Aku tidak sudi mengeluarkan uang banyak hanya untuk melewatkan satu malam bersama seorang wanita. Meskipun dia masih perawan.”

 

“Lalu, di mana pria yang sudah membeliku?” tanya Lana dengan suara pelan.

 

“Dia menunggumu di mobil. Aku datang kemari untuk membawamu kepadanya,” jawab pria itu acuh tak acuh. “Apakah pihak kelab sudah memberitahumu ketentuan yang berlaku?” tanya pria itu.

 

“Iya. Aku akan mendapatkan uangku segera setelah aku melewati satu malam bersama pria yang membeliku,” jawab Lana dengan bibir bergetar.

 

“Bagus. Aku harap malam ini tidak mengecewakan.”

 

“Apa maksudmu?” Suara Lana ketus. Ucapan pria itu terdengar seperti sedang mengejeknya.

 

“Darren membayarmu mahal. Jelas dia perlu mendapatkan timbal balik, sesuai dengan harga yang diberikan. $200.000 bukanlah uang yang sedikit, Nona.”

 

Darren?

 

Apakah Darren nama pria yang sudah membelinya?

 

“Aku tahu.” Lana tersenyum getir. “Kau tidak perlu menyindirku seperti itu.”

 

“Benarkah? Aku meragukannya.”

 

“Kapan kau akan membawaku menemuinya?” tanyanya jengkel.

 

“Sekarang juga.” Pria itu menatapnya dingin. “Ikuti aku,” perintahnya kemudian.

 

Lana menelan ludahnya dengan susah payah saat pria itu berbalik dengan perintah bernada dingin. Ia langsung merampas tas lusuh miliknya yang ada di atas meja dan bergegas mengikuti pria itu.

 

Dalam benaknya, Lana hanya berharap pria yang membelinya tidak lebih buruk dari pria dingin ini.

 

Keluar dari area kelab, Lana dibawa mendekati satu mobil yang terpakir di samping bangunan. Mobil berwarna merah dengan kaca berwarna senada yang membuat Lana tidak bisa melihat bagian dalam mobil. Jelas sekali kalau pria yang sudah membelinya tengah menungguinya di dalam sana.

 

Saat pria yang menjemputnya membuka pintu mobil, Lana bisa melihat seorang pria sedang duduk di kursi penumpang. Tampak begitu santai tengah memandang keluar. Lebih tepatnya memandangi Lana yang berdiri tepat di depan pintu mobil.

 

Pria itu sekitar berumur 30 tahunan. Tampan dan menawan. Lana bisa menebak kalau pria itu menyembunyikan otot kekar dari balik setelan jas mewah yang melekat di tubuhnya. Wajahnya terkesan dingin, namun berwibawa.

 

“Kau terlalu lama, Rafael. Apa yang kau lakukan hingga membuatku harus menunggu begitu lama?”

 

Suaranya berat dan dingin. Ada nada kesal yang tersirat di setiap kata yang dilontarkan pria tersebut. Dalam hati, Lana sedikit merasa senang karena pria dingin, yang ternyata bernama Rafael tersebut mendapat sedikit amukan dari tuannya.

 

“Maaf.”

 

Darren melirik Rafael dengan sorot mata enggan, lalu beralih menatap Lana yang masih berdiri mematung.

 

“Masuklah,” perintah Darren melirik kursi kosong di sampingnya. “Jangan buang-buang waktuku hanya untuk hal yang tidak penting.”

 

Satu kalimat yang ingin diutarakan Lana. Mereka berdua sama saja!

 

Apakah sudah penyakit bawaan kalau setiap orang kaya selalu bertindak angkuh dan menyebalkan?

 

“Kenapa masih diam saja? tidak ingin masuk ke dalam mobil?” Darren mengeryit dengan kesal saat mendapati Lana masih berdiri mematung. “Atau perlu kutarik dengan paksa?”

 

Lana nyaris terkejut dengan ungkapan yang dilontarkan Darren. Pria ini jauh lebih mengerikan dibandingkan pria bernama Rafael.

 

“Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri,” Lana buru-buru menjawab. 

 

Mereka sampai di depan gerbang pintu rumah mewah dengan lahan yang luas. Meski Lana belum memasuki rumah itu, tapi Lana bisa tahu hanya dengan sekali melihat. Jelas bahwa ukuran rumah itu sangat besar hingga bisa menampung puluhan orang atau mungkin ratusan?

 

Rafael segera turun untuk membukakan pintu Darren dan Lana mengikutinya, tapi dari sisi pintu yang berlawanan.

 

“Katakan pada Miranda untuk mengganti jadwal rapat menjadi siang hari. Aku akan menghubungimu untuk memberitahu kapan kau harus menjemputku,” kata Darren. Ia kemudian melirik Lana yang kini sudah berdiri beberapa langkah darinya. Sepertinya memberi jarak atau memberi waktu baginya untuk berbicara dengan Rafael?

 

“Baik.”

 

“Kau sudah boleh pergi, Rafael.”

 

Rafael mengangguk paham. Sebelum masuk kembali ke dalam mobil, ekor matanya menangkap pergerakan tangan Darren yang meraih tangan Lana. Satu tarikan lembut bagi Darren untuk membawa Lana masuk ke dalam rumah mewahnya.

 

Rafael masih tidak habis pikir. Kenapa Darren mau mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk satu malam bersama wanita yang menurutnya tidak menarik sama sekali.

 

Keduanya sampai di halaman depan rumah bergaya eropa modern, dengan warna putih yang mendominasi. Halaman rumah itu luas dengan air mancur yang menyala di bagian tengah. Dua halaman samping dipenuhi bunga dan tanaman yang sengaja dirawat, mengarah ke taman belakang.

 

Lana masuk ke dalam rumah dengan perasaan was-was. Ia meremas tas lusuhnya erat-erat semenjak memasuki rumah mewah milik Darren. Kedua matanya bergerak tak tenang menoleh ke sana ke mari seperti maling yang memastikan tidak ada penghuni yang berada di rumah itu.

 

“Tidak ada orang di rumah ini.” Darren yang berada di belakang Lana seolah mengerti gerak-gerik wanita itu.

 

Lana berbalik. “Kau tinggal sendirian di rumah sebesar ini?”

 

“Jika pelayan tidak dihitung. Secara teknis, ya.”

 

“Lalu … orangtuamu―”

 

“Kita sedang tidak melakukan acara kencan buta. Sesi perkenalan tidak berlaku untuk hubungan satu malam,” kata Darren, “dan tentu saja … kita tidak membutuhkan semua itu di atas tempat tidur.”

 

Entah sejak kapan, Darren sudah berdiri begitu dekat. Kedua tangan pria itu sudah mendarat di pinggangnya. Begitu mulus sampai Lana tidak menyadarinya hingga remasan kecil dari tangan Darren tidak membuatnya sadar akan jarak yang mulai menipis di antara mereka berdua.

 

Napas Lana tertahan di tenggorokan. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mendaratkan kedua tangannya di dada bidang Darren. Menekannya di sana dengan harapan pria itu mau sedikit lebih bersabar karena ia masih belum siap untuk melakukannya secepat ini. Terlebih di sini. Di ruangan yang besar tanpa adanya ranjang empuk seperti adegan-adegan romantis dalam film dewasa. Tentu itu hanya bagian kecilnya saja.

 

“Siapa namamu?” bisik Darren.

 

“L-Lana,” ujar Lana dengan suara terbata-bata. Ia benar-benar tidak berdaya saat Darren melingkarkan lengan di seputar tubuh Lana, memeluknya.

 

“Nama yang bagus,” komentar.

 

“T-terima kasih.”

 

“Kau tidak akan berbalik menanyakan namaku?”

 

Lana sedikit mendongak agar bisa menatap wajah Darren. “Kupikir kau tidak suka perkenalan.”

 

Darren terkekeh. “Iya. Itu benar.” Ada tatapan aneh di wajah Darren yang membuat Lana gelisah. “Darren Raveno. Pastikan kau mengingat nama itu dengan baik, Lana,” gumam Darren, dan meraih kepala Lana dengan kedua tangan, lalu menciumnya dengan keras. Lana menerima tekanan bibir Darren sambil terkesiap, masih mati rasa oleh kesadaran bahwa ini benar-benar terjadi. Semua terjadi dengan sangat cepat―tidak ada waktu untuk berpikir.

***

Malam ini, Lana membutuhkan keberanian untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia bergerak sangat pelan ke kamar tidur. Punggung Darren menghadap ke arahnya. Pria itu sedang sibuk melepas jam tangan dan dasi yang melekat di jas mahalnya, menaruhnya di atas meja kecil yang berada di samping tempat tidur.

 

Lana tidak bersuara saat bergerak telanjang kaki menuju pinggiran tempat tidur. Ia berdiri seperti patung menunggu Darren menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak tahu apapun tentang masalah seperti ini. Ia bingung dan tidak tahu harus memulai atau melakukannya seperti apa.

 

Saat Darren berbalik dengan jas yang sudah dilepaskan, kedua mata Lana membelalak kaget. Kondisi Darren yang hanya menyisakan kemeja putih tulang dengan semua kancing yang terbuka membuat tubuh kekarnya yang indah terekspos begitu saja.

 

“Kau tidak akan melepaskan pakaianmu? Atau … aku perlu melakukannya untukmu?”

 

“A-apa?” Lana terkejut. Hampir meloncat ke belakang saat Darren mengulurkan tangannya seolah ingin membantunya membuka pakaian yang ia kenakan.

 

Darren mengerutkan keningnya. “Kau menolak?”

 

“Aku tidak mungkin berani menolak―”

 

“Kalau begitu biarkan aku membantumu melepaskan pakaianmu,” potong Darren tak sabaran.

 

Lengan Darren yang telanjang sampai ke siku dan dibalut otot yang kencang mulai terulur ke area punggung Lana untuk menarik resleting hingga ke bawah. Dress berwarna hitam yang tampak seperti baju tidur itu dengan mudahnya terlepas dari tubuh ramping Lana. Kini, Lana hanya berdiri dengan pakaian dalam yang masih melekat di tubuhnya.

 

Perfect,” bisik Darren, “kau punya tubuh yang bagus yang mampu membuat semua pria berfantasi liar, Lana,” katanya seraya mengusap leher hingga ke area lengannya.

 

Lana sempurna untuk gambaran wanita menawan yang polos. Kulitnya putih, semulus porselen. Jenis wanita penurut, tapi mampu membangkang. Oh, ya Tuhan, lihat bagaimana mata itu berkedip ketakutan saat menatap wajah dingin Darren.

 

Sempurna!

 

Lana bergidik ngeri saat Darren memandanginya dari atas hingga ke bawah. Jarak mereka semakin lenyap seiring dengan mendekatnya tubuh Darren. Menghapus setiap jarak hingga Lana bisa merasakan napas hangat dari Darren.

 

Saat Darren mendaratkan ciuman di bibir Lana, wanita itu tersentak kaget. Sontak membuat Darren mengeryitkan dahinya.

 

“M-maaf. Ini pertama kalinya….”

 

“Ah, aku melupakan satu hal yang penting,” kata Darren kembali teringat. “Kau belum pernah berciuman?”

 

Lana menggelengkan kepalanya sebaga jawaban. Semburat kemerahan langsung muncul di kedua pipinya.

 

“Satu kali pun?”

 

“Tidak pernah sekali pun.”

 

Darren terdiam dan sikap pria itu langsung membuat Lana ketakutan. Lana takut kalau pria itu jadi tidak tertarik dengannya karena ia tidak memiliki pengalaman dan membatalkan kesepakatan malam ini.

 

“Aku akan berusaha!” seru Lana. “Kau bisa menyuruhku melakukan apapun dan aku akan melakukannya sesuai perintahmu. Please, jangan membatalkannya,” katanya dengan wajah memohon.

 

“Kau pikir aku akan membanalkan kesepakatan ini?”

 

“Iya. Bukankah semua laki-laki menyukai wanita yang berpengalaman? Aku akan berusaha melakukan yang terbaik dan membuatmu senang.”

 

Darren terkekeh. “Well, baiklah. Kita lihat sebarapa mahir dirimu dalam membuatku senang.”

 

Lana menunggu dengan perasaan tidak tenang. Kedua matanya memperhatikan Darren yang berjalan ke arah ranjang dan duduk di sana.

 

“Kemarilah,” kata Darren, memberitahu Lana untuk duduk di pangkuannya.

 

Dengan gugup, Lana mendekati Darren dan duduk di pangkuan Darren. Pria itu langsung melingkarkan kedua tangannya di seputar pinggang Lana hingga membuatnya tersentak kaget.

 

“Aku ingin kau menggodaku,” kata Darren.

 

“A-apa?”

 

“Meski kau tidak berpengalaman, aku yakin kau pernah melihat adegan dewasa entah di keseharian atau televisi, Lana.”

 

“Y-ya,” jawab Lana ragu.

 

“Kalau begitu lakukan seperti apa yang pernah kau lihat. Aku ingin tahu apa kau bisa membuatku bereaksi dengan apa yang kau lakukan,” kata Darren.

 

Lana gugup setengah mati. Ia mencoba membuat dirinya nyaman saat duduk di pangkuan Darren. Kedua tangannya berada di antara leher Darren dan menekannya di sana. Ia menatap Darren dengan seksama. Pria itu punya tampilan wajah yang sempurna dengan betuk tubuh yang menggoda. Lana yakin, Darren pasti sudah memiliki banyak wanita sebelum dengan dirinya.

 

Pandangan mata Lana tertuju pada bibir Darren. Ia berpikir untuk mencium Darren dengan caranya sendiri. Ciuman Lana kaku, seperti papan kayu. Darren sama sekali tak bereaksi apapun selain hanya diam.

 

Darren menghela napas panjang.

 

“Kita lewatkan sesi belajar kita,” ujar Darren sembari melepaskan ciuman Lana. “Aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan dan kau akan memberikannya dengan suka rela.”

 

Darren menarik tubuh Lana kembali. Bibirnya bertemu dengan bibir Lana secara sekilas, bergetar terhadap sentuhan yang cepat itu. Kedua tangannya meremas pundak Darren sekuat mungkin. Kedua matanya terpejam saat menerima ciuman yang begitu penuh hasrat. Lidah Darren telah menyapu ke dalam mulutnya. Lidahnya memilin dan menarik milik Lana ke dalam mulutnya untuk merasakannya.

 

Sambil tak henti menciumi Lana, perlahan-lahan Darren mengangkat tubuh Lana dan membaringkannya ke atas tempat tidur. Lana terbaring telentang, datar di bawah tubuh Darren yang sudah bertelanjang dada.

 

Tangan lincah Darren menyusup ke area punggung Lana, melepaskan bra berwarna hitam dan meleparkannya ke lantai. Lana terkesiap kaget seketika tubuhnya menjadi tontonan menarik bagi Darren. Sepasang mata gelap itu seperti sedang melahap dirinya hanya dari tatapan matanya saja.

 

Shit!”

 

Satu kata umpatan yang keluar dari mulut Darren bersamaan dengan terdengarnya suara panggilan masuk dari ponsel Lana. Pria itu melempar ke arah tas Lana yang tergeletak di lantai, dan wanita itu langsung mengangkat kepalanya untuk ikut melihat.

 

“Itu ponselku,” kata Lana memberitahu. “Maaf, tapi bisakah―”

 

“Satu gerakan darimu untuk meraih ponsel sialan itu, maka kesepakatan kita berakhir di saat itu juga,” sela Darren penuh dengan nada ancaman.

 

Suara dering ponsel milik Lana terus terdengar hingga beberapa saat. Dan di waktu yang sama juga, Lana tidak berani menggerakkan tubuhnya sama sekali. Kedua matanya bergerak tak tenang ke arah ponsel dan Darren secara bergantian.

 

Suara dering pun berhenti.

 

Good girl.” Darren tersenyum menyeringai. “Cukup fokus kepadaku dan biarkan aku mendapatkan apa yang menjadi milikku,” Darren berbisik di telinga Lana dengan suara yang begitu menggoda.

 

Darren mengunci bibir Lana rapat-rapat dengan ciumannya, menarik tubuhnya lebih erat. Rasa panas menjalar di seluruh tubuh Lana hingga membuatnya kehilangan kewarasannya. Jemari Darren yang mahir terus merayu sampai Lana menggeliat bingung.

 

Lana menggeliat dan mengerang tertahan di atas sprei yang sudah berantakan saat Darren menyatukan tubuh mereka. Tubuh Lana menegang saat merasakan Darren memasukinya … lalu ia menegang dengan wajah merah sementara Darren  terus mencari irama yang pas. Darren segera mengetahuinya ketika Lana otomatis merengkuhnya semakin dekat.

 

***

 

Bingung dan kesal, Darren segera melompat dari tempat tidur. Ia berjalan cepat ke kamar mandi dan membuka pintunya dengan sangat keras.

 

Tidak ada seorangpun di sana!

 

Tidak ada tas, tidak ada pakaian yang tergeletak, bahkan tidak ada wanita itu!

 

“Sialan!”

 

Ini bukan yang Darren inginkan!

 

Ia membayar mahal bukan untuk melihat wanita itu melarikan diri ketika ia bangun di pagi harinya!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sleep With The Billionaire _ Chapter 2
1
0
“Berita buruknya, aku mungkin tidak akan pernah melepaskanmu.” _Darren Raveno.Lana Sharin melelang keperawanannya di sebuah kelab malam mewah. Seorang pria bernama Darren Raveno membelinya dengan harga mahal untuk satu malam penuh gairah.Tidak ada kesempatan kedua bagi Lana untuk melarikan diri dari Darren Raveno....
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan