
Kupikir aku tidak akan terkejut lagi atas semua tindak-tanduk bapakku yang semena-mena. Tapi salah. Siang itu sepulang dari sekolah, saat aku sedang duduk mengeringkan keringat di teras rumahku, sekonyong-konyong pulanglah bapakku sambil menenteng seekor binatang yang paling kutakuti sejak kecil: anjing.

“Tahu tidak kenapa kucing selalu ribut kalau mau kawin?”, tanya Ipul, salah seorang teman sekelasku. Pertanyaan itu menggantung, tidak ada yang tahu jawabannya. Seorang temanku yang tidak tahan justru bertanya balik : kenapa?
“Dulu waktu banjir di zaman Nabi Nuh, hewan-hewan di bumi dinaikkan ke atas bahtera secara berpasang-pasangan. Nah, selama berlayar, Nabi Nuh melarang hewan-hewan tersebut kawin di atas bahtera. Semua hewan menurut”, Ipul menatap kami satu per satu, seolah tengah mencari sesuatu. “Semuanya menurut, kecuali Si Anjing”, katanya, berhenti menatap berkeliling, seolah telah ia temukan makhluk bernama anjing itu di antara kami yang mendengarkannya.
“Si Anjing kawin dengan pasangannya, tapi dipergoki oleh Si Kucing. Si Kucing lalu mengadu kepada Nabi Nuh”. Aku berusaha membayangkan skenario tersebut di kepalaku, dengan Si Kucing mengenakan daster dan topi kain persis emak-emak tetangga yang suka bergosip dan mengadu domba. “Karena diadukan kepada Nabi Nuh, Si Anjing pun merasa malu dan terzolimi. Dia pun berdoa kepada Allah agar Si Kucing dan keturunannya mendapat pembalasan yang setimpal. Sejak saat itu, setiap kali hendak kawin, kucing pasti akan ribut, jadi semua orang yang mendengarnya tahu kalau mereka mau kawin”, Ipul tersenyum khidmat.
Aku melongo. Benarkah kisah tersebut? Sayangnya tak bisa kuklarifikasi langsung kepada Si Kucing, karena persoalan ini mungkin menyangkut martabat nenek moyang mereka. Satu hal yang kuyakini kebenarannya adalah, bahwa memang rivalitas antara kucing dan anjing sudah ada sejak zaman prasejarah. Jika Amerika Serikat punya Partai Republik dan Partai Demokrat yang menjadi pusat polarisasi politik dalam negerinya, maka Kingdom Animalia punya kucing dan anjing.
Semua orang yang kenal dekat denganku pasti tahu bahwa aku memelihara kucing sejak lama, dan seolah itu berarti aku pencinta kucing sejati. Namun kenyataan pahitnya adalah, aku dulu pernah memelihara seekor anjing, dan dengan sayangnya.
- - - - -
Selain keras kepala, sifat lain bapakku yang tidak kusuka adalah ia jarang bermusyawarah dalam mengambil keputusan. Beli ini, jual itu, gadai ini, pergi ke sana-sini. Suatu Ketika dia pernah menggadaikan sertifikat rumah kami. Di lain waktu, dia menjual sepeda motor kakak perempuanku. Beberapa tahun setelahnya, giliran emas ibuku yang dia gadai. Semua itu dia lakukan tentu saja tanpa izin maupun sepengetahuan kami sekeluarga. Hal-hal yang harusnya diputuskan bersama keluarga—karena keluarga, mau bagaimana pun, menjadi titik terakhir pengolahan limbah dari keputusannya yang keliru—sering kali justru ia putuskan sendiri tanpa tedeng aling-aling. Bayangkan saja bagaimana rasanya hidup sambil menjalani konsekuensi dari keputusan salah yang diambil orang lain.
Kupikir aku tidak akan terkejut lagi atas semua tindak-tanduk bapakku yang semena-mena. Tapi salah. Siang itu sepulang dari sekolah, saat aku sedang duduk mengeringkan keringat di teras rumahku, sekonyong-konyong pulanglah bapakku sambil menenteng seekor binatang yang paling kutakuti sejak kecil: anjing.
Anjing itu tidak besar, tapi sungguh rabun kalau aku menyebutnya kecil. Tubuhnya hitam dengan bulu dada kuning keemasan. Telinganya tegak. Ekornya yang melambai menghadap ke atas, tanda bahwa ia bebas rabies. Matanya hitam bak sepasang kumbang yang hinggap.

“Papa nemu anjing lepas. Peliharaan orang. Bagus, sayang kalau dibiarkan,” cetus bapakku. Aku terkesiap. Hah?
Kutatap anjing itu takut-takut. Ia diikat bapakku di tiang pintu garasi dengan rantai tipis, dan balik menatapku penuh curiga. Meski anjing kampung, tubuhnya memang cukup terawat. Bulunya hitam mengkilat, tidak seperti kunyuk bulukan yang sering mengejar orang di pinggir jalan. Bapakku bilang anjing itu muncul di pangkalan ojek dan terus berjalan mondar-mandir di sana, seperti kebingungan. Mungkin ia dibuang oleh majikannya.
Detik itu kuputuskan untuk tidak peduli pada keberadaan anjing tersebut, bahkan aku akan membencinya jika perlu. Saat itu aku belum tahu, bahwa hubungan yang diawali rasa benci terkadang bisa berakhir dengan sangat rumit.
- - - - -
Berhari-hari sejak anjing itu tiba di rumah, kami sekeluarga masih tidak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa. Maka bapakku lagi-lagi berinisiatif. Ia menamainya Helpin: Heli Pincang. “Heli”, dari lagu anak-anak tentang seekor anjing yang populer itu, lalu “Pincang” karena ia tak sengaja terserempet motor bapakku saat hendak keluar rumah sampai-sampai kakinya pincang. Nama yang sungguh tidak tertolong.
Waktu itu aku masih kelas 7 SMP, dan sholatku masih sering bolong-bolong. Tapi sejauh yang diketahui wawasan Islam anak SMP-ku, memelihara anjing itu haram hukumnya bagi seorang muslim. Beberapa ulama sepakat menasbihkan hukumnya menjadi makruh jika anjing tersebut dipelihara untuk satu dari tiga tujuan: untuk berburu, untuk menjaga kebun atau untuk menjaga ternak. Dan dari ketiga kondisi tersebut, menurutku Helpin tidak termasuk yang manapun.
Seperti hari-hari pertamaku, aku masih perang dingin dengan Helpin. Bapakku kali ini melepaskan rantai tipis yang melingkar di lehernya karena ia mulai berontak saat diikat. Dampaknya adalah, kami sekeluarga tidak bisa membuka pintu rumah dengan leluasa, karena Helpin selalu mencari-cari celah untuk masuk ke rumah—kami sepakat tidak membiarkannya masuk. Selain itu, Helpin mulai merusak tanaman-tanaman yang ada di halamanku. Anjing adalah hewan yang enerjik, dan itu sebabnya mereka perlu melepaskan energi ekstra mereka dengan aktivitas apa pun, walau itu berarti berak secara sporadis di halaman, mencakar-cakar daun pintu dan menggerayangi batang pohon palem. Konsekuensi lainnya dari memelihara anjing secara mendadak adalah, jumlah kunjungan tetangga dan keluarga jauh kami jadi menurun drastis. Helpin suka menggonggongi siapapun yang lewat di depan rumah kami, mau orang itu maling atau bukan. Maka jangankan bertamu, orang-orang akan berpikir berkali-kali jika hendak lewat di depan rumah kami.
Aku sangat takut pada anjing. Saat umurku enam tahun, seekor anjing besar tiba-tiba muncul begitu saja di pertigaan jalan dekat rumahku dan mengejarku sampai ke dalam pagar rumah. Aku yang terpojok kemudian melakukan hal yang, jika diingat lagi, sebenarnya tolol sekali: menggonggong balik ke arahnya. Tindakan itu terinspirasi tidak lain oleh iklan pasta gigi di televisi yang pernah kutonton, dimana aktor iklan yang ganteng menunjukkan gigi-giginya yang mengkilat karena rajin disikat dengan Close Up, sehingga si anjing galak yang mengejarnya tiba-tiba keder dan lari lintang-pukang. Sayangnya, anjing yang kugonggongi balik itu tidak pergi seperti di iklan, entah karena gigiku yang tidak mengkilat, karena pasta gigiku bukan Close Up, atau hanya karena iklan itu memang sejak awal tidak mendemonstrasikan cara mengusir anjing liar yang baik dan benar. Anjing itu baru kabur saat orangtuaku muncul dan mengusirnya. Hal yang pasti kurekam baik-baik dengan memori anak kecilku saat itu adalah: aku takut anjing. Takut sekali.
Terlepas dari urusan hukum fikih dan status najisnya, membawa anjing ke rumah dan melepas-liarkannya di halaman saja sudah cukup untuk disebut malapetaka bagiku. Namun seolah tak cukup disitu, kini aku dibebani tugas baru oleh bapakku: memberi makan Helpin 3 kali sehari. Itu artinya 3 kali sehari pula, aku harus berurusan dengan rasa takutku. 3 kali sehari, aku senam jantung. 3 kali sehari, aku belajar mengenal binatang najis yang bernama anjing ini, bukan dari buku ataupun internet, tapi dengan bertatap muka langsung dengannya. 3 kali dalam sehari, aku semakin mengenal dan memahami karakter Helpin. Dan sebaliknya, Helpin mulai mengenalku sebagai majikannya. Dia tidak lagi menggonggongiku dengan galak saat aku membuka pintu rumah, atau mengejarku saat aku akan keluar rumah.
- - - - - - - -
Helpin memang menyebalkan. Kehidupan keluarga kami di Jalan Tambun No.1462 tidak pernah sama lagi semenjak ia tinggal bersama kami. Bahkan untuk sekedar pergi ke warung atau berangkat sekolah, aku harus mengendap-endap keluar rumah—yang sialnya, selalu ketahuan. Sekali lagi kubilang, anjing adalah hewan yang sangat enerjik. Hampir mustahil Helpin muncul di hadapanku tanpa menaikkan kakinya ke tubuhku, berlari melingkar-lingkar di sekelilingku dan menempelkan ilernya di celanaku.
Namun meski menyebalkan, Helpin sejatinya adalah binatang yang periang. Ia seperti anak kecil yang perlu dan selalu ingin diajak bermain. Saat memeliharanya, untuk pertama kalinya aku bisa membuktikan langsung bahwa anjing memang hewan peliharaan yang setia, bukan hanya dengan menonton Air Buds atau film-film keluarga Amerika Serikat lainnya yang menjadikan anjing sebagai aktor utama. Helpin selalu mengikutiku ke warung saat aku membeli racun nyamuk atau racun bapakku—rokok. Awalnya aku risih dan takut, terutama takut Helpin akan menggigit orang lain, tapi aku terus berusaha membiasakan diri. Dan mengejutkannya, ia ternyata sangat jinak saat berada di tempat umum. Satu-satunya perbuatan tercela Helpin saat mengikutiku ke warung adalah mengencingi tiang listrik. Selebihnya, ternyata dia hewan yang sangat sopan dan penurut.
Dan untuk semua kesenangan sesaat karena memeliharanya, ada konsekuensi yang harus kutanggung setiap hari: aku harus membersihkan bekas ilernya dengan tujuh kali basuhan air dan satu kali basuhan tanah. Itu juga berarti setiap Jumat sebelum berangkat ke masjid, aku harus mengikatnya di garasi agar Helpin tidak mengikutiku ke masjid. Bagi orang non-muslim, mungkin hal-hal seperti ini terdengar bodoh. Tapi bagi orang muslim yang terpaksa memelihara anjing, apa lagi pilihannya? Pilihanku persis dua patah kata yang selalu tertulis di kotak snack dan makan siang: selamat menikmati. Selamat menikmati iler anjing, kesetiaan anjing dan kerepotan memeliharanya dalam satu paket. Selamat menikmati kesempatan mempraktikkan cara membersihkan diri dari najis mugholazhoh setiap saat.
- - - - -
Semua orang di rumahku punya bentuk hubungan mereka sendiri dengan Helpin. Bagi kakak dan emakku, Helpin sama sekali bukan teman favorit. Bagiku, Helpin adalah teman yang hiperaktif dan suka cari masalah, tipikal teman yang sebenarnya baik namun selalu kuhindari.
Bagi bapakku, Helpin adalah bawahan, ada garis tegas yang menggambarkan hierarki mereka. Satu-satunya anggota keluargaku yang memperlakukan Helpin seperti anggota keluarganya adalah kakak perempuanku yang biasa kupanggil Cek.
Saat aku kelas 7 SMP, Cek tengah berada di tahun-tahun terakhirnya di Fakultas Hukum Unsri. Dia menjalin hubungan mesra dengan binatang satu ini, selain dengan pacarnya. Cek satu-satunya orang di rumahku yang dengan senang hati—kalau bukan hobi—mengajak Helpin jalan-jalan sore, juga satu-satunya orang yang peduli untuk memandikan Helpin, dan satu-satunya orang yang bisa melepaskan Helpin yang badannya tersangkut di celah-celah pagar karena perutnya yang terlalu buncit.
Semakin hari, persahabatan anak manusia dan anak kunyuk ini semakin melampaui nalar. Helpin bisa mengenali bau Cek dari jarak ratusan meter, dan dia tahu kapan Cek akan pulang kuliah dan menginjakkan kakinya di ujung Jalan Tambun. Setiap Cek pulang, Helpin akan melompat bangun dari tidur siangnya dan mengejar sosok Cek di kejauhan, menyambutnya dengan gonggongan dan pelukan dramatis. Persis Hachiko saat Profesor Ueno berjalan keluar dari Stasiun Shibuya.
Berkat reputasinya yang sering menggonggongkan ‘kaing-kaing’ manja saat bermain bersama Cek, maka Cek memberi Helpin nama baru yang lebih imut : Nyut-nyut.
Helpin? Nyut-nyut? Oh, terserahlah. Kalau transplantasi alat vital adalah hal yang mungkin di masa kini, harusnya dua nama ini bukan hal yang mengherankan sama sekali.
- - - - -
Kehadiran Helpin di tengah-tengah keluargaku bukan hanya membantu mengatasi trauma masa kecilku dengan anjing, tetapi juga meluruskan sudut pandangku soal binatang setia ini. Helpin menunjukkan bahwa gonggongan dan salakan anjing peliharaan kepada orang asing merupakan bentuk proteksi anjing terhadap majikan yang ia hormati, dan berbeda dengan manusia, insting defensif tersebut tidak bisa dikompromikan dengan kordinasi (kopi, rokok dan nasi).
Dan lebih dari itu, kehadiran Helpin menyadarkanku jika persahabatan manusia dengan hewan peliharaan amatlah fana. Jika ada kemungkinan manusia dikumpulkan kembali bersama keluarganya di surga, maka tidak demikian dengan anjing atau pun binatang peliharaan lainnya. Anjing yang mati tidaklah diazab kubur, tidak pula menunggu di alam barzah sambil menyesali dosa-dosanya, apalagi sampai dihisab di Padang Mahsyar. Semua proses menggentarkan tersebut hanya diperuntukkan bagi manusia sebelum menuju salah satu dari dua tempat: surga atau neraka, yang tidak satu pun akan dikunjungi oleh anjing. Atau setidaknya itu yang pernah kudengar dari guru agama di sekolahku.
Bagi anjing dan hewan peliharaan apa pun, semua nikmat, kepedihan, kesenangan dan kesedihan terputus seketika saat mereka meregang nyawa. Tidak ada to be continued atau つづく di kehidupan lain. Mati berarti akhir dari segalanya. Maka jika sudah tiba waktunya nanti, Helpin akan mengalami kematian seperti yang dibayangkan oleh orang-orang ateis yang tidak percaya kehidupan akhirat.
Semua orang yang pernah menyaksikan kematian hewan peliharaan mereka pasti paham perasaan hampa tersebut. Salah satu dari semua orang itu adalah Cek.
Di suatu hari Minggu yang tenang, dua orang maling yang nekat tiba-tiba muncul dan mencoba membobol rumah tetanggaku di siang bolong. Helpin, mamalia pertama yang menyaksikan peristiwa tersebut, syukurnya berhasil mengusir maling nekat itu sebelum mereka bisa berbuat lebih jauh dari merusak gembok pagar. Mereka kabur dengan mengendarai sepeda motor, diikuti oleh gonggongan Helpin. Itu mungkin satu-satunya hari dimana Helpin menjadi pahlawan selama kami memeliharanya.
Namun semenjak saat itu, Helpin bertingkah laku aneh. Dia mogok makan dan sesekali muntah-muntah. Lalu, jika aku tidak salah menyimpulkan tabiatnya, Helpin menjadi pemurung. Dia tidak lagi menempel-nempelkan hidungnya di daun pintu dapur yang akan kami buka, atau mengikutiku ke warung, atau menggonggongi siapapun yang lewat di depan rumah kami. Dalam banyak kesempatan, dia hanya duduk beralaskan perutnya sendiri dan mengamati aku dan keluargaku yang keluar-masuk rumah, seolah ia hilang minat dengan segala urusan manusia yang selama ini selalu ingin dia ketahui. Puncak dari tingkah laku yang mencemaskan itu adalah, Helpin hilang selama 2 hari.
Beberapa hari setelah menghilang, Helpin ditemukan mati oleh bapakku di sepetak tanah kosong milik tetangga. Hanya bapakku dan temannya yang berkesempatan melihat jasad Helpin. Sepulangku dari sekolah, Helpin seolah tidak pernah tinggal sehari pun di rumahku. "Dibawa teman," ujar bapakku saat kutanya dimana Helpin dikuburkan. Entah apa temannya itu hendak menguburkan jasad Helpin dengan layak atau hanya membuangnya ke tumpukan sampah. Sama seperti alasan kemunculannya yang tidak jelas namun harus terpaksa kuterima, kini aku pun harus melepas Helpin dengan cara yang sama. Aku menuding bapakku, karena kali ini lagi-lagi dia seenaknya mengambil keputusan tanpa bermusyawarah. Akibatnya adalah aku bahkan tidak bisa melihat jasad hewan peliharaanku untuk terakhir kalinya sebelum dia dibawa pergi dari hidupku.
Tapi kekesalanku bagaikan kerikil jika dibandingkan apa yang dirasakan Cek. Sepulang kuliah, tidak ada lagi Nyut-nyut alias Helpin yang menyambutnya di ujung Jalan Tambun. Sesampainya di rumah, Cek hanya melepas sepatu, mencuci kaki, lalu mengunci dirinya dari siang hingga petang. Bukan perbuatan yang wajar bagi perempuan setegar dan sekeras dirinya. Hanya Tuhan dan Cek sendiri yang tahu kekalutan macam apa yang mencengkeramnya selama berjam-jam itu, di dalam kamarnya.

Sejak saat itu aku sadar bahwa kesedihan seseorang karena kematian hewan peliharaannya bukanlah hal yang berlebihan dan menggelikan. Sama sekali bukan.
Malamnya, obrolan mengenai Helpin berhamburan di atas meja makan rumah kami. Kami berasumsi bahwa sebelum berusaha membobol rumah tetangga kami, Si Maling sempat mengumpankan racun berbentuk makanan ke arah Helpin. Tentu saja kami butuh karakter antagonis untuk disalahkan dalam kematian Helpin yang malang, meski penyebab kematian Helpin sampai sekarang pun belum jelas.
Selain itu, kami beramai-ramai menyantap pujian-pujian untuk Helpin yang terhidang di atas meja makan itu. Helpin anak baik lah, anjing penurut lah, hewan setia lah. Baru saat jasadnya berkalang tanah, semua impresi positif tentang Helpin dapat bermunculan dengan lantang.
Mengapa demikian? Karena memang demikianlah manusia. Kita baru akan sadar betapa bermanfaatnya—dan betapa mahalnya—sebuah ponsel setelah ponsel tersebut digasak copet atau jatuh ke lubang kloset. Kondisi yang sama juga terjadi dengan Helpin yang sudah purna tugas dari keluarga kami. Baru setelah ia mati, semua orang tidak sungkan lagi menyebut-nyebut kebaikannya, dan dengan mudah melupakan semua problematika yang juga muncul karenanya. Semahal itulah pengakuan semua orang tentang kebaikan Helpin, seharga nyawa seekor anjing.
Aku tidak lama bersedih. Esoknya aku berangkat sekolah tanpa takut lagi celanaku digigit Helpin. Kebebasan yang kurindukan, namun terasa ganjil.
Di bagian terdalam hatiku, kubayangkan bagaimana jadinya jika aku tak pernah bertemu Helpin. Mungkin pemahamanku tentang anjing tidak akan pernah berubah. Mungkin hingga kini aku akan selalu melipir saat berpapasan dengan anjing kampung di jalanan. Mungkin selamanya aku akan terjebak sebatas pada kenyataan bahwa anjing hewan najis, tanpa berusaha untuk tahu lebih jauh. Tapi kemungkinan-kemungkinan tersebut ditepis kenyataan bahwa Tuhan mengirimi anjing kampung bernama Helpin ini untuk mengajariku bahwa pelajaran soal hidup dan mati bisa berasal dari segala jenis makhluk hidup, walau binatang itu najis sekali pun.
- - - - -
Belum tuntas aku menggambar makhluk berkaki empat itu, Pak Zul menyambar kertasku dan mengangkatnya ke atas, agar seisi kelas bisa melihatnya.
“Jago gambar, kau?” Pak Zul melirikku dari atas kertas itu. “Maju sana! Berdiri di depan kelas!”
Aku beranjak dari kursiku, lalu berjalan ke depan papan tulis putih tanpa perlawanan. Beberapa tawa cekikikan membuntuti Langkah-langkahku.
“Kenapa diam saja? Sudah pintar, kan?” Pak Zul menantangku. “Gak usah belajar! Ambil spidolmu, gambar itu papan tulis sampai penuh!”
Seisi kelas itu tidak lagi menyembunyikan tawanya. Aku berbalik ke arah papan tulis putih itu, mengambil sebatang spidol dan mulai menggambar, sementara Pak Zul menjelaskan kembali perbedaan cara membaca idgham bighunnah dengan ikhfa’
Mula-mulanya kepala dengan sepasang telinga yang tegak, lalu empat kaki, tubuh yang membelakangiku dan seutas ekor yang memanjang ke atas, tanda bahwa dia bebas rabies. Aku terdiam, berpikir sejenak, sebelum akhirnya kutambahkan sebatang kayu panjang dan buntalan kain di ujungnya, tersandar di bahu kanan hewan itu. Kuwarnai bulu-bulu tubuhnya dengan warna hitam, sementara bulu di perutnya kubiarkan tanpa warna. Lalu kugambar helaian rumput di kanan-kiri jalan setapak yang tengah ia lewati. Terakhir, dua ekor kupu-kupu yang terbang mengikutinya dari belakang. Papan tulis itu penuh oleh gambar Helpin yang sepertinya hendak mudik ke suatu tempat. Dari belakang bahuku, kudengar beberapa tawa mencemooh itu berubah jadi decak kagum.
“Apa yang kau gambar?” Pak Zul bertanya.
“Helpin,” bisikku. “Anjing yang sedang mudik ke Surga.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
