Badak Putih

1
0
Deskripsi

Sebagaimana anak-anak lainnya yang lahir dan tumbuh di Tebat Benawa, aku tidak pernah melihat dunia di balik kaki Gunung Dempu. Rasa penasaran akan bagaimana rupa orang-orang Belande justru menjalariku layaknya api melalap daun pisang kering. Kedatangan rombongan ambtenaar dari Pagaralam pada tiga hari lalu masih menjadi pembicaraan favorit ibu-ibu dusun saat mereka menumbuk biji-biji kopi dengan antan dan lesung di pagi buta.

Orang-orang dusunku tidak menyukai Belande. Mereka kera-kera berkulit putih, serakah, pembohong yang datang dari seberang lautan untuk menekuk adat-istiadat yang sudah ratusan tahun ditegakkan oleh puyang-puyang di Jagat Basemah. Setidaknya itu yang selalu diceritakan Bak, yang dia dengar dari Neknang, yang juga Neknang dengar dari baknya. Neknang dan keluarganya adalah orang dusun yang pertama kali mendengar kabar jatuhnya Kesultanan Palembang Darussalam di Ilir Sungai Musi. Mereka pulalah orang-orang yang pertama merasai transisi pemerintahan dari sultan ke residen, serta bagaimana dampaknya terhadap perdagangan orang-orang Ulu dan Ilir.

Tapi aku hanya anak-anak. Semua urusan orang dewasa itu biarlah kuserahkan kepada riye dan orang-orang tua lainnya di dusun untuk dipusingkan. Sebagaimana anak-anak lainnya yang lahir dan tumbuh di Tebat Benawa, aku tidak pernah melihat dunia di balik kaki Gunung Dempu. Rasa penasaran akan bagaimana rupa Belande itu justru menjalariku layaknya api melalap daun pisang kering. Kedatangan rombongan ambtenaar dari Pagaralam pada tiga hari lalu masih menjadi pembicaraan favorit ibu-ibu dusun saat mereka menumbuk biji-biji kopi dengan antan dan lesung di pagi buta.

“Kau sudah tahu Belande menginap di rumah Mang Kujang?” Komar, kakak sepupuku bertanya padauk di suatu pagi. Dia baru pulang dari dangau di tengah hutan dan kini menatap ke arah balai desa dengan penuh minat.

“Tentu kau sudah tahu. Tapi kau tahu mereka mau apa disini?” Komar bertanya lagi, usil. Aku menggeleng, ingin mendengar jawabannya secepat mungkin. “Mereka mau menangkap badak putih di Mudek Ayek.”

GILA! Seketika aku paham mengapa nenek moyangku membenci Belande. Para sesepuh di dusun kami pun bahkan tidak berani mandi atau buang air di mata air yang ada di Mudek Ayek karena takut kualat, sementara kera-kera putih ini sekonyong-konyong ingin menangkap badak putih penunggu hutan itu. Sungguh manusia-manusia tidak tahu adat.

“Katanya controleur dari Pagaralam mau mengambil rambut badak putih itu,” lanjut Komar. Kami berjalan melewati pematang sawah di depan rumah Mang Kandar hingga tiba di depan balai. Orang-orang dusun yang penasaran masih berdiri di muka balai, berusaha mencuri kesempatan untuk melihat makhluk-makhluk ajaib itu.

Tak lama setelah kami tiba, beberapa orang bertubuh tinggi besar berjalan turun dari serambi balai desa. Lima orang jumlahnya. Mereka berpakaian seragam putih, lengkap dengan sepatu bot tinggi serta topi berbentuk batok kelapa besar yang dibelah dua. Tiga orang di antara mereka menenteng bedil, sementara sisanya membawa ransel-ransel berukuran raksasa.

“Kami sudah peringatkan. Mudek Ayek berbeda dengan hutan lain. Badak itu memang ada, tapi kalian tidak bisa berbuat apa-apa untuk menangkapnya,” Mang Kujang, laki-laki paruh baya bertubuh tegap meneriaki mereka dari atas serambi. Rombongan berseragam ini berbalik dan menatap Mang Kujang, tapi hanya orang yang berdiri paling belakang dari mereka yang menjawab Mang Kujang.

“Kami paham, Mang. Kami pun tidak akan jauh-jauh datang kesini kalau bukan karena terpaksa,” laki-laki muda itu berbicara—mengejutkannya—menggunakan bahasa Basemah dengan lancarnya. “Anak gadis itu perlu diobati, dan tidak ada dokter di Pagaralam yang bisa mengobatinya. Sebagai seorang bapak, bagaimanalah perasaan Mang Kujang kalau anak mamang yang sakit? Mungkinkah hanya duduk berpangku tangan dan menanti ajal?”

Warga dusun berbisik-bisik dengan riuhnya. Mang Kujang menghela napas.

“Janji kami hanya mengantarkan dan menemani kalian sampai ke Mudek Ayek. Perihal urusan kalian dengan peliharaan puyang kami itu, kami tidak bertanggung jawab,” seru Mang Kujang. “Tapi ingat satu pesan kami,” Mang Kujang mengangkat telunjuknya ke udara. Semua orang di muka balai itu diam seketika. “Jika kalian diminta pergi oleh puyang kami, pergilah! Jangan lagi tinggal berlama-lama di Mudek Ayek!”

Aku menelan ludah. Jika riye sudah membawa-bawa puyang saat menakut-nakuti kami, anak-anak dusun, kami tahu itu ancaman yang sangat serius. Cukuplah Mak dan Bak menakut-nakutiku dengan cerita Maksumai, itu saja sudah cukup membuatku takut main terlalu jauh ke dalam hutan. Berurusan dengan sosok puyang Besemah yang keramat itu, lalu mati karena kualat, adalah hal terakhir yang kuinginkan terjadi dalam hidupku.

Pemuda Belande itu berbicara dengan seseorang di kelompoknya yang sepertinya merupakan Si Controleur, atasannya. Mereka lalu mengucap pamit kepada Mang Kujang, kemudian  berjalan meninggalkan dusun kami, diiringi beberapa orang pemuda yang menggotong tas dari kain dan menyandang kudhok di pinggang.

- - - - - - - - - -

Aku dan anak-anak dusun yang lainnya memberikan julukan baru bagi Belande: simpai. Beberapa dari orang Belande itu memang memiliki rambut berlebih di permukaan lengan dan wajah mereka. Meski kami sebut simpai, kami semua ragu para Belande akan bertahan lama di dalam Mudek Ayek selayaknya primata hutan. Kami kerap bertaruh berapa hari mereka akan bermalam di hutan sebelum mereka kembali lagi ke dusun kami, lalu menyungkurkan sujud ke kaki Mang Kujang, meminta maaf karena sudah lancang pada peliharaan puyang kami.

Namun dua hari berlalu, dan kabar tentang mereka belum pula muncul. Sebagai gantinya, dua orang pemuda dusun yang menemani Belande masuk Mudik Ayek tempo hari, kini justru  muncul dari ujung jalan dusun. Mereka berjalan cepat-cepat menuju rumah Mang Kujang. Aku dan anak-anak dusun lainnya iseng memanjat saka penyokong balai desa, berusaha mencuri dengar obrolan orang dewasa di dalam sana lewat jendela yang terbuka.

“Kami bertemu badak putih itu,” salah seorang pemuda itu bertutur dengan terengah-engah.

“Lantas? Apa yang mereka lakukan padanya?” suara yang berat itu tentu saja suara Mang Kujang. Terdengar bunyi decak di antara kalimat-kalimatnya—dia pasti tengah mengunyah sirih.

“Mereka menembak badak itu,” sambung pemuda yang lain.

“Lalu?” mang Kujang bertanya enteng, seolah sudah tahu kemana cerita itu akan berujung.

“Badak itu berdarah, tapi tidak jatuh,” pemuda yang terengah-engah itu melanjutkan cerita. “Malah, badak itu masih bisa berlari menjauh—dia berlari di atas bilah rotan yang merambat!!”

“Aku tebak sekarang, pasti controleur itu bermimpi aneh semalam?”

Kedua pemuda itu tidak menjawab.

“Kalian kembali saja kesana, lalu suruh mereka pergi dari Mudek Ayek. Puyang tidak suka peliharaannya diganggu.” Terdengar derap langkah di lantai papan balai desa itu, lalu sekonyong-konyong Mang Kujang meludahkan ampas sirih ke luar jendela. Aku yang terkejut langsung terjatuh dari tiang yang kupanjat, kemudian jatuh ke tanah dengan bunyi gelebab yang teredam lumpur. Anak-anak dusun yang ada disana menertawaiku habis-habisan.

“Rokan? Sedang apa kau disitu?”

Komar saat itu tengah berdiri di anak tangga balai desa, sepertinya terhenti di langkah pertamanya saat hendak naik. Tidak perlulah kujawab pertanyaannya. Lumpur yang menutupi separuh mukaku sudah cukup menceritakan apa yang barusan terjadi. Aku bertanya balik kepadanya.

“Adikku demam tinggi dari semalam. Aku mau pinjam kendaraan Mang Kujang untuk membawa dia ke dokter di Pagaralam,” dia menjawab cepat-cepat. “Bersihkan mukamu, temani aku menghadap Mang Kujang.”

Aku mendapat firasat tidak enak.

- - - - - - - - - -

Bukan kebiasaan warga dusun kami untuk membawa orang sakit ke dokter. Dokter adalah profesi junior di wilayah kami dibandingkan tabib atau dukun. Tetapi setelah semua ahli obat-obatan di sekitar Tebat Benawa menyerah dengan penyakit Gendis, adik Komar, kami melirik dokter di Pagaralam sebagai pilihan terakhir.

Siang itu juga kami meminjam jeep milik controleur yang dulu dititipkannya di balai desa,  untuk kami pakai membawa Gendis ke Pagaralam. Namun setibanya disana, demam Gendis justru makin tinggi. Kami langsung pulang ke Tebat Benawa pada petang hari, menembus jalanan hutan yang sudah gelap ditutupi malam segera setelah kami mendapatkan obat dari dokter.

“Ini bukan demam biasa,” gumam Mang Kujang, saat kami terbanting-banting di dalam mobil yang menerabas jalanan hutan yang terjal. Kretek di cerutu gadingnya mengepulkan asap berbau apek. “Apa yang adikmu perbuat sehari sebelumnya?”

Komar tidak paham maksud pertanyaan Mang Kujang.

“Sebelum pulang, dia mencuci pakaian di sungai,” jawab Komar.

“Dimana dia mencuci?” Mang Kujang mendelik Komar. Kami tidak bisa melihat mimic wajahnya yang terselubung kegelapan malam. Komar menggeleng, tidak tahu.

“Besok akan ada pemuda yang berangkat lagi ke Mudek Ayek untuk menyuruh Belande pulang ke Pagaralam. Kalian ikut saja mereka masuk ke hutan.” Mang Kujang berkata lagi. Kali ini aku bisa menerka bentuk mulut Mang Kujang di dalam kegelapan, saat dia mengisap asap di cerutunya.

“Tapi ... Kenapa, Mang?” tanya Komar takut-takut.

“Kita cari badak putih, minta rambutnya. Mungkin cuma itu obat untuk penyakit Gendis,” ujar Mang Kujang. “Tapi kali ini aku ikut. Sekalian, mau silaturahmi. Sudah lama tidak bertemu dengan dia.” Kami diam dengan ganjilnya, ragu dengan siapa yang Mang Kujang sebut “dia”.

Kemudian, gurat-gurat di wajah Mang Kujang tampak sejelas-jelasnya. Jeep sudah memasuki tanah lapang, meninggalkan hutan belantara di belakang kami. Bulan purnama melayang kuyu di atas awan kemerahan. Dadaku naik turun. Perasaan cemas, takut, juga antusias bertumbukan dengan liarnya di dalam sana. Dersik angin bertiup dari arah hutan Mudek Ayek, menyelusup di antara padang ilalang, lalu menyelinap ke dalam jeep kami yang merongrong lelah akibat perjalanan puluhan kilometer. Hanya satu aroma yang kukenali dari angin malam itu: petualangan.

- - - - - - - -

Matahari bahkan belum bangun betul saat kami meninggalkan rumah. Aku, Komar, Mang Kujang dan dua orang pemuda dusun lain pergi menyusuri bayang-bayang pohon yang tumbuh di tepi jalan setapak hutan saat arunika mulai bersinar. Bak menitipkan aku dan Komar kepada Mang Kujang. Kedua sahabat masa kecil itu berjabat tangan, lalu tertawa kuat sekali, seolah kami akan berangkat mancing kucur di lubuk sungai dan bersenang-senang seharian.

Beberapa kali aku dan Komar tersandung tunggul atau terantuk ranting kayu di sepanjang perjalanan. Mang Kujang berjalan paling depan, memimpin rombongan kecil kami dengan kudhok terhunus di tangan kanan dan cerutu gading tersulut di tangan kiri.

“Masih jauh? Dimana Belande itu tinggal?” Mang Kujang menyibak rerumpunan rotan dengan ujung kudhoknya.

“Mereka kemarin di Ringkeh, tapi katanya mau pindah lebih jauh ke dalam untuk mencari kubangan lumpur,” salah seorang pemuda dusun menjawab.

Mang Kujang jauh lebih tua dari kami semua yang ada di kelompok kecil itu, tetapi di belakangnya, justru kami lah yang tampak seperti orang sepuh. Dia terus saja berjalan, menghindari akar, melompati tunggul, memanjat bebatuan dan menebas semak, sembari  mulutnya tak henti menyembulkan asap bulat-bulat. Dia hanya berhenti sesekali untuk mengganti linting tembakau di cerutunya, atau menggantinya sama sekali dengan rempah sirih untuk dikunyah.

“Penat, kalian?” Tanyanya. Kami mengangguk. “Beginilah nenek moyang kalian dulu waktu berperang melawan Belande di Endikat. Dan sekarang anak-cucunya masuk jauh ke hutan untuk meminta Belande pergi dengan cara yang sopan. Konyol, tidak?” Mang Kujang seperti mencemooh dirinya sendiri. Aku memaksakan diri tersenyum.

Aku lega sekali karena akhirnya kami berpapasan dengan seseorang berambut pirang di tengah hutan itu. Kulit putih orang itu kini tak lagi putih, tapi merah kebiru-biruan. Hutan kami memanglah mimpi buruk bagi Belande dan saudara-saudara mereka dari tanah Eropa. Belande itu membawa kami ke dangau dan tenda yang mereka dirikan di tengah hutan, di antara pohon-pohon saga dan kelutum.

Mang Kujang kembali berjumpa dan bercakap dengan pemuda Belande yang jago berbahasa Besemah itu. Pemuda itu ternyata ambtenaar yang bekerja sebagai penerjemah di antara pejabat Hindia Belanda dan ambtenaar dari kalangan masyarakat Besemah. Dia menceritakan dengan singkat bagaimana hasil dari perburuan badak mereka.

“Sudah kubilang badak itu bukan untuk ditangkap,” Mang Kujang merokok dengan pongah di hadapan pemuda Belande, seolah orang-orang Belande itu adalah anak-anak desa ingusan yang tidak tahu apa-apa. “Aku kesini juga untuk mencari rambut badak putih, ada warga dusun yang sakit keras. Jadi bisalah kiranya kita bekerjasama untuk sementara waktu ini.”

Di pojok tenda, Si Controleur tampak pucat dan letih. Satu pekan berada di dalam hutan ternyata menguras mental dan tenaganya. Anaknya masih menunggu dengan penuh derita di Pagaralam, agar ayahnya pulang ke rumah dan membawakannya obat untuk mengobati penyakitnya. Jika Gendis, sepupuku tidak sedang sakit juga, maka aku mungkin tidak akan bisa merasai permasalahan Si Controleur dari sudut pandang yang sama.

Setelah bermufakat, kami memutuskan berangkat ke tiga titik mata air yang ada di Mudek Ayek: Puding, Ringkeh dan Basemah. Ketiga mata air tersebut adalah hulu yang mengairi Sungai Lematang, Sungai Endikat dan Sungai Enim. Ratusan manusia di Jagat Basemah menggantungkan hidupnya pada sungai-sungai tersebut. Jika badak putih benar-benar bertugas menjaga Mudek Ayek, maka ketiga mata air tersebut adalah tempat yang paling cocok untuk mulai mencarinya kembali.

Aku, dua orang pemuda Belande dan Mang Kujang pergi dalam satu kelompok yang sama. Di tengah perjalanan, Mang Kujang mengajakku bercerita.

“Menurutmu badak putih itu benar-benar ada atau tidak?” tanya Mang Kujang. Aku mengangguk cepat-cepat, tapi Mang Kujang memang tidak bisa ditebak.

“Bagaimana kalau sebenarnya tidak ada?” Aku terkesiap. Setelah segala usaha untuk mencarinya?

“Bagaimana kalau badak putih itu hanya cerita karangan puyang-puyang terdahulu agar hutan kita tidak dirusak?”

“Dirusak ... Oleh siapa, Mang?” Akhirnya aku bertanya balik. Mang Kujang berdesis ke arah pemuda Belande, lalu aku terkikik.

“Makhluk yang paling menakutkan di Jagat Besemah ini bukan Maksumai, raksasa, jin atau hantu, Rokan, tapi manusia. Cuma manusia yang bisa menebang pohon, meracuni sungai, memburu binatang sampai habis tak bersisa. Lalu saat Sungai Endikat, Lematang dan Enim sudah berhenti mengalir, baru mereka akan insyaf apa yang salah. Sen dan gulden sebanyak apapun tidak bisa dipakai membeli alam Basemah. Tidak akan bisa.”

“Manusia pikir mereka memiliki alam, lantas bebas mengambil segala isinya. Padahal kita tidak memiliki apa-apa. Manusia itu sendiri hanya tamu. Kita hanya menumpang singgah, menumpang hidup. Kita ini pengemis di Jagat Besemah. Tapi sekarang memang makin banyak tamu yang tidak tahu sopan santun, tidak tahu terima kasih.” Mang Kujang menekankan kata-kata terakhirnya, seolah sengaja agar pemuda Belande itu mendengarkan kata-katanya.

Mang Kujang memberi mereka aba-aba untuk berhenti. Terdengar suara ranting patah tepat dari depan mereka. Mang Kujang berbalik, menempelkan telunjuknya di depan bibir. Dia menyuruh orang-orang Belande tetap berada disitu lewat isyarat tangannya, namun menarikku maju mendekati semak-semak di depan kami, perlahan-lahan.

Dalam kondisi yang menakutkan itu, Mang Kujang tanpa disangka justru menyarungkan kudhoknya. Dia mengajakku memutari semak, lalu mengintip dari balik rumpun bambu kuning.

Aku terperanjat. Hewan itu berdiri tidak jauh dari kami, hanya beberapa depa. Badak putih itu tidak seperti badak—tidak seperti makhluk hidup. Dia lebih seperti patung yang diukir keluar dari sebongkah batu pualam raksasa. Aku tidak pernah melihat badak seumur hidupku, tapi aku yakin sekali badak tidak memiliki rambut—sementara makhluk di depan kami memiliki rambut putih yang lebat di sekujur tubuhnya. Sebilah gading besar panjang tumbuh dari atas tulang hidungnya.

Badak putih itu tidak melakukan apa-apa selain berdiri saja disana, tapi lutut kakiku lemas hanya dengan mengamatinya. Ada keagungan yang tidak bisa kujelaskan pada cara makhluk itu menampakkan diri. Itu adalah hari yang tidak akan kulupakan sampai kapanpun.

“Jadi badak putih itu ada atau tidak?” tanya Mang Kujang. Aku menelan ludah. Kukedipkan mataku berkali-kali. Badak itu tidak hilang. Dia tidak gaib. “Maju sana, ambil.”

Dengan keberanian yang tidak kukenali sumbernya, aku berjalan begitu saja menghampiri hewan itu. Tapi betapa kecewanya aku, karena dalam jarak beberapa kilan lagi, badak itu tiba-tiba menjelma menjadi makhluk hidup yang bisa bergerak. Dia berlari meninggalkanku  dengan kecepatan yang tidak kuduga. Kakinya hampir-hampir tampak melayang saat dia menerobos semak dan batang-batang kayu mati di hadapannya. Tepat di depan mataku, dari celah-celah jemariku, badak putih itu lenyap begitu saja.

Mang Kujang mendekatiku, lalu menyentuh bahuku dari belakang.

“Tengok,” dia menunjuk ke arah tanah. Beberapa helai rambut keperakan tampak bertaburan disana. Aku berjongkok, lalu meraup rambut-rambut putih itu dengan kedua tanganku. Halus. Mang Kujang mengeluarkan kantong dari kulit kerbau, lalu memasukkan rambut-rambut perak itu ke dalamnya.

“Beginilah rasanya waktu aku pertama kali bertemu dia,” bisik Mang Kujang, yang kemudian tersenyum—senyum puas, seperti senyum anak-anak saat pertama kali melihat pasar kalangan. Pertemuan pertamaku dengan badak putih itu adalah sekaligus pertemuan kedua Mang Kujang dengan badak putih yang sudah dia nantikan di sepanjang sisa hidupnya. Tanpa kuduga, sore itu Mang Kujang mewarisiku ambisi unik untuk kembali bertemu dengan badak putih penunggu Mudek Ayek.

Sepulang dari Mudek Ayek, Mang Kujang membagi rambut badak putih itu untuk Gendis dan Belande. Controleur yang lelah itu berkali-kali mempersembahkan terima kasih kepada Mang Kujang. Dia menyodorkan sepucuk pistol dan satu peti kayu kecil berisi uang emas gulden kepada Mang Kujang, yang dia tolak dengan sopan.

“Kami tidak butuh pistol, dan emas kalian tidak laku di hutan kami yang kaya. Pulang sana,” ujar Mang Kujang, kali ini sambil tertawa. Si pemuda Belande itu tampak tidak yakin apakah dia harus menerjemahkan kata-kata Mang Kujang tersebut untuk Si Controleur, tapi mereka akhirnya pamit dari Tebat Benawa dan tidak pernah muncul lagi.

Mang Kujang mencelupkan rambut-rambut halus badak putih itu ke dalam sebuah cangkir berisi air putih, lalu rambut tersebut larut dengan ajaibnya. Bak Komar meminumkan air itu kepada Gendis, yang kemudian langsung tertidur dengan pulas. Panas tubuh Gendis perlahan mulai turun selama dia tidur.

Mang Kujang mengantarku pulang ke rumah. Berbagai pertanyaan melayang-layang di kepalaku yang kecil.

“Apa benar rambut badak itu bisa menyembuhkan segala penyakit?” tanyaku pada Mang Kujang.

“Memangnya penyakit apa saja di dunia ini yang kamu tahu, Rokan?” Mang Kujang bertanya balik. Aku dengan polosnya menghitung menggunakan jari-jari tanganku. “Iri, tamak, benci, dengki, itu juga penyakit,” sambung Mang Kujang.

“Apa bisa disembuhkan dengan rambut badak putih?” tanyaku polos. Mang Kujang tertawa keras sekali. Kami sudah tiba di depan rumahku. Bak dan Mak melongokan kepala mereka dari serambi, menyapa Mang Kujang dan mengajaknya mampir sejenak.

“Mau berapa ratus badak putih yang rambutnya diambil, supaya manusia bisa sembuh dari semua penyakit itu?” Mang Kujang mengacak rambutku, lalu melambai ke arah Bak dan Mak, menolak ajakan mereka untuk singgah.

Sementara aku menatap Mang Kujang berjalan menjauh, pikiranku kembali terlempar kepada badak putih itu dan perburuan untuk mengambil rambut putihnya. Sampai Gunung Dempu gundul dan Mudek Ayek berhenti memancarkan mata air, manusia sepertinya tidak akan berhenti bersikap tamak. Mungkin sejak awal obat untuk menawar sifat tersebut tidak berasal dari makhluk lain seperti badak putih, tetapi ada di dalam diri manusia itu sendiri, pada kemampuannya untuk mencukupkan diri dan bersyukur.

 

Daftar Istilah :

  1. Bak: Ayah
  2. Neknang: nenek lanang; kakek
  3. Puyang: sebutan untuk kakek atau nenek moyang di Jagat Besemah
  4. Riye: kepala dusun atau kepala adat di sebuah tatanan pemerintahan dusun atau desa di wilayah Jagat Basemah (Pagar Alam, Lahat, Semendo, Muara Enim, Lintang)
  5. Ambtenaar: sebutan untuk pegawai pemerintahan Hindia-Belanda
  6. Controleur: Kontrolir; pejabat pemerintahan Hindia-Belanda di tingkat wilayah kewedanan
  7. Belande: sebutan orang Palembang Uluan untuk orang Belanda
  8. Jagat Basemah: Masyarakat kesatuan adat Basemah yang memiliki kesamaan genealogis karena diyakini berasal dari satu puyang, meliputi masyarakat yang bermukim di Pagar Alam, Lahat, Muara Enim, Empat Lawang dan Semendo.
  9. Kudhok: senjata tajam tradisional khas masyarakat Basemah
  10. Maksumai: sosok wanita jadi-jadian penghuni Gunung Dempo yang kerap menculik dan memangsa anak-anak manusia yang berkeliaran di luar rumah setelah petang
  11. Gunung Dempu: sebutan lama untuk Gunung Dempo

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bertukar Diari dengan Mahasiswa PPL
1
0
Hal yang membuatku ragu menyebut buku catatan tersebut sebagai diari adalah karena buku catatan tersebut tidak benar-benar pribadi sebagaimanana diari seharusnya. Sebaliknya, aku malah bangga sekali saat ada yang membacanya. Jika dihitung-hitung, mungkin separuh isi kelas IX.4 sudah turut menikmati kealayan isinya. Duh. Jika kalian juga generasi Y, kalian pasti paham bagaimana seorang anak SMP bisa begitu alay, begitu ingin diperhatikan. Menulis buku harian yang dibaca orang banyak jaman then kurang lebih sama seperti menulis status alay di sosial media jaman now, versi primitif dari sebuah ‘pencitraan’. Bahkan pada saat itu aku tak ambil pusing jika pengalaman-pengalaman pribadi yang kutulis di dalam diari tersebut turut dibaca oleh semua orang.“Apa itu dek?”, tanya kakak PPL seraya menunjuk diariku. Mungkin sampulnya yang kutempeli gambar karakter komik Tsubasa Reservoir Chronicle membuat perhatiannya tertaut.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan