
Berawal dari pertolongan di kantor polisi, hingga bantuan-bantuan lain yang Arkantara Prasadja beri, Rinjani Hanasta jatuh hati pada direktur agensinya sendiri. Berkat Arkan, Rinjani dapat beralih profesi dari staf kontrak Publik Relasi, menjadi staf tetap sebagai Junior Talent Manager untuk tujuh anggota Cloud—boyband ternama di Indonesia saat ini.
Tapi, sebagaimana bunga matahari hanya mampu terus menatap mentari, Rinjani sadar Arkan adalah langit, dan dirinya bumi. Hingga di satu kesempatan, Tuhan...

“Mbak Rinjani?” Sapaan ramah menyambut Rinjani yang baru turun dari motor matic-nya. Gadis itu melepas helm sebelum mengangkat wajah, menoleh ke asal suara. Pria berkisar empat puluh tahunan yang selama ini cukup sering menyapanya—tiap kali menanyakan perihal kontrak kerjasama Cloud dengan beberapa klien yang Rinjani urus—tampak berdiri di anak tangga dengan senyuman.
Usai meletakkan penutup kepala di atas kaca spion, Rinjani berjalan mendekati pria itu. “Pagi, Pak Devon. Maaf, ya, saya agak lama. Tadi sempat kesasar nyari gangnya. Baru pertama kali ke sini soalnya.” ujar Rinjani, tersenyum merasa bersalah.
Devon Hadyan menggeleng sejenak. “Enggak apa-apa, Mbak Rinjani. Saya tadi malah khawatir Mbak Jani enggak bakal nemu rumah ini. Memang susah, sih, alamatnya. Perumahannya punya banyak lorong.”
Rinjani berangguk-angguk setuju. Ia mengakui kesulitan itu setelah hampir satu jam menyusuri de Bava Hills, sebuah perumahan asri di daerah Kembangan, Jakarta Pusat. Pagi tadi, Devon yang menghubunginya lebih dulu setelah mendapatkan nomor telepon dari divisi publik relasi, mengirimkan alamat tempat tinggal Cloud.
“Karena kita mulai kerja sama ke depannya, Mbak Jani bisa panggil saya Bang Devon aja. Semua anak-anak manggil saya begitu juga soalnya.”
Rinjani mengangguk paham usai Devon menjelaskan sambil terkekeh. Gadis itu berusaha mengimbangi langkah Devon yang kini menuju pintu utama.
“Siap, Bang Devon!”
Devon tertawa kecil melihat reaksi penuh semangat gadis di sampingnya. Tangan kanan pria paruh baya itu sudah menggapai gagang pintu, namun dering ponsel menunda gerakannya untuk membuka. Rinjani ikut menghentikan langkah dan memilih berdiri di samping Devon yang sedang meraih ponsel dari saku celana.
“Mbak Jani masuk duluan aja. Saya terima telepon dulu dari Litz Radio.” Mendapatkan arahan tersebut, mau tidak mau Rinjani mengangguk. Meski ragu dan cemas untuk berkenalan dengan anggota Cloud tanpa kehadiran Devon, pada akhirnya Rinjani menekan knop pintu dan melangkah memasuki ruangan.
Ia sudah bertekad untuk memulai pekerjaan barunya dengan performa terbaik di hari pertama.
***
“AAAA!”
Teriakan histeris menyentak Devon. Spontan, ia menoleh ke arah pintu yang tertutup dengan debum keras, lalu tiba-tiba teriakan demi teriakan lain terdengar tumpang tindih memenuhi ruangan dalam.
Dahi Devon mengerut, ia bicara sejenak pada perwakilan Litz Radio yang tadi mengajaknya membahas jadwal siaran Cloud di esok hari, sebelum cepat-cepat masuk menuju ruang tamu. Pemandangan yang pertama kali menyapa matanya, membuat Devon terperangah.
Rinjani sedang berlari terbirit menaiki tangga, Zyandru sudah memanjat sofa, sementara Aarav, Kai, Liben, dan Djata berdiri di dekat meja ruang tengah dengan wajah melongo, memerhatikan Rinjani dan Zyan yang saling bersaing teriak hanya gara-gara tikus mainan yang kini sudah berada dalam genggaman Gesang, lelaki yang lantas menyengir saat matanya bersirobok dengan Devon.
“Lho?” Aarav lebih dulu bersuara, memulai keheranan pertama.
“Lho?” Kai menyambung keheranan kedua.
“Kok, yang muncul Kakak? Bukannya Gara?” Pertanyaan lanjutan dari Djata mencipta denyut di kepala Devon. Pria paruh baya itu lantas memegangi kepalanya dan menghela napas begitu Liben ikut menimbrung pertanyaan dengan suara kerasnya yang khas.
“Kaka ini siapa, eh?”
Seperti yang sudah-sudah, ketika orang awam bertemu dengan Liben yang mengeluarkan ciri khasnya ketika terkejut, sudah pasti orang tersebut akan bersikap seperti Rinjani sekarang—jatuh terduduk di anak tangga saking kagetnya.
Devon kembali menghela napas. Pasti Rinjani menganggap Liben baru saja berteriak marah padanya yang seakan lancang memasuki rumah.
“Kamu enggak apa-apa, Rinjani?” Devon mendekati Rinjani yang sudah setengah pucat. Dengan sedikit susah, gadis itu bangun dari duduknya dengan satu tangan berpegangan pada pembatas tangga. Wajah kian cemasnya menatap takut-takut pada Devon.
“Ma-maaf, Bang. Sa-saya cuma kaget.” Suara gadis itu lirih, seolah menahan tangis. Kalau sudah begini, yang bisa Devon lakukan hanya mendesah lelah kesekian kali. Tanpa perlu bertanya, Devon sudah tahu apa yang baru saja terjadi.
Mendesis geram, Devon segera berpaling menatap Gesang yang kini semakin melebarkan senyuman, hingga gigi-giginya yang berderet rapi terlihat. Tikus mainan di tangan Gesang tadi, sudah disembunyikan di belakang punggungnya sendiri.
Hening beberapa detik.
Sampai teriakan Devon bergema keras dalam ruangan, bertepatan dengan pintu yang menjeblak terbuka dari luar dan menampilkan wajah kejut Gara bersama permen lolipop di mulutnya.
“GESAAANG!” teriak Devon murka.
***
“A-A-ARGH! SA-SAKIT, BANG!”
Secara naluriah, ringisan Gesang menular pada Rinjani. Gadis yang duduk gelisah di sofa tunggal ruang tamu itu, kini menatap prihatin lelaki berkulit sawo matang yang sedang dijewer telinganya oleh Devon.
“Makanya jangan usil!” Lelaki bermata sipit yang masih asyik mengemut lolipopnya, duduk santai sambil meledek Gesang yang langsung melotot.
“Gara-gara lu juga, Gar!”
“Lu, sih, kualat! Mau ngerjain gue, malah kena Kak Rinjani, kan?!” Lelaki sipit yang Rinjani ketahui bernama Gara itu menyewot lagi.
“Tau, nih, Bang Gesang! Udah dibilangin hari ini kalem dulu, malah usil.” Kali ini Kai ikut menyahut. Bungsu Cloud yang berdasarkan penelusuran Rinjani menjelajahi laman biodata mereka di internet semalam, adalah member yang termasuk kaum penyabar, kini malah tersulut emosi, ikut-ikutan menghakimi Gesang.
Meski sejujurnya, Rinjani juga agak kesal, sih. Bisa-bisanya begitu ia masuk ke dalam rumah, seekor tikus yang dia kira makhluk hidup berjalan cepat menuju dirinya. Sebelum ia sanggup menyuarakan teriakan, tikus itu malah sudah menyentuh ujung jemari kakinya. Sontak saja, Rinjani yang takut pada hewan pengerat sejak kecil langsung berteriak histeris. Setelah menghentakkan kaki dengan mata terpejam agar tikus itu menjauh dari tubuhnya, Rinjani bergegas lari ke arah berlawanan—menuju bagian dalam rumah. Tapi, ia malah menubruk leader Cloud, Zyandru, yang tiba-tiba muncul dari dalam. Zyan sempat membuka mulut hendak bertanya, tapi ia juga ikut loncat saat melihat tikus di belakang Rinjani. Jadilah kemudian, mereka berdua lari kocar-kacir mengelilingi rumah.
“Kelewatan banget, sih, lo, Sang!” Zyan yang wajahnya masih merah padam kini duduk di antara Aarav dan Djata. Ia mendengus ketus saat menatap Gesang yang telinganya tidak lagi jadi korban pelintiran sang manajer. Devon sudah bergabung di samping Kai.
“Gue cuma membantu supaya lo kagak trauma lagi, Zyan! Masa’ leader Cloud takut sama tikus, sih.” sembur Gesang membalas.
“Mending gue lah! Daripada lo, anak street dance takut sama bawang merah! Gue kasih juga bawang merah satu karung di tempat tidur lo besok! Lihat aja!” berang Zyan.
Makin-makinlah Rinjani dibuat terperangah dengan pertengkaran di hadapannya. Ia tak pernah tahu jika anggota Cloud seheboh ini. Pantas saja Cloud dijuluki boyband Indonesia berkedok pelawak.
“Udah tahu asistennya Bang Dev mau datang, masih aja ngusili Bang Gara, sih, Bang! Kena batunya, kan, sekarang!” Kai menimpali, yang langsung disetujui oleh anggukkan berkali-kali dari Zyandru.
“Jewer lagi aja, Bang Dev! Jewer! Biar tau rasa!” Gara berkelakar.
“Gara! Kagak gue bagi kerupuk ya, lo!”
Anehnya, Gara serta merta Gara membuat gerakan mengunci mulut usai Gesang berseru seperti barusan.
Devon sudah beristighfar sambil memijit pelipis, Liben dan Gara tertawa, Kai dan Djata serempak bergeleng kepala, sementara Aarav memandang Rinjani prihatin.
“Maafin, Bang Gesang, ya, Kak Jani.” ujar Aarav.
Rinjani mengangguk. Dalam hati terenyuh melihat kepedulian Aarav. Media tidak berbohong dengan menyematkan predikat ‘soft boy’ pada Aarav.
Tidak mau masalah semakin diperpanjang, Rinjani segera berkata pada Devon. “Saya enggak apa-apa, kok, Bang. Masih sehat wal afiat.” Niat hati ingin bercanda untuk mencairkan suasana, tapi mendapati keheningan menyambut kalimatnya barusan, Rinjani meneguk ludah. Hancur sudah angannya untuk berkenalan dengan baik di hari pertama.
“Maafin aku, ya, Kak.” Tiba-tiba, Gesang berkata. Ia sudah duduk di samping Liben.
“Tapi, sumpah!” Gesang mengangkat jari telunjuk dan tengahnya yang diapit. “Tadi niatnya mau ngerjain Gara doang, Kak. Eh, rupanya Kak Jani duluan yang lewat pintu. Maaf, ya, Kak.”
Nada tulus dari suara Gesang membuat Rinjani tersenyum. “Iya. Enggak apa-apa, kok.”
“Kamu lihat sendiri, kan, Rinjani?” Devon tiba-tiba menimpali. “Saya kewalahan menghadapi tujuh orang ini. Baru hari pertama aja kamu hampir kena serangan jantung.”
Rinjani hanya bisa meringis sebagai tanggapan. Setelah hening beberapa detik, Devon bicara serius pada semua anggota Cloud. “Guys, mulai hari ini, Kak Rinjani wakil Abang buat kalian. Dia Junior Talent Manager baru di Monolithe dan kali ini, dia akan jadi manajer kalian juga. Segala hal yang berkaitan dengan Bang Devon, kalian bisa sampaikan ke Kak Jani. Jadi, tolong hormati Kak Jani. Anggap dia sebagai kakak, teman, sekaligus saudara juga untuk kalian semua, persis gimana kalian anggap Bang Devon selama ini. Ngerti, kan?”
Sahutan ‘ya’ serempak terdengar dari semua pemuda di ruangan ini.
“Rinjani...,” Suara Devon yang memanggilinya mengalihkan perhatian Rinjani dari wajah para anggota Cloud.
“selamat ikut repot, ya, sama anak-anak ini. Semoga kamu betah bersama kami.”
Belum sempat Rinjani mengucapkan terima kasih, ia sudah dikejutkan oleh letusan yang berasal dari convetti—benda yang sama sekali tidak ia tahu sejak kapan dipegang oleh Liben, dan sejak kapan juga, lelaki asal Papua itu mengambil benda yang kini menyeraki lantai dan meja ruang tengah dengan potongan kertas warna-warninya. Belum selesai keterkejutan, Rinjani makin melongo hingga spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan saat semua anggota Cloud berseru.
“SELAMAT DATANG KAK JANIII!”
Ada kehangatan yang merambati dada Rinjani. Disambut sebaik ini—minus keusilan Gesang tadi—membuatnya diam-diam mengusap kartu nama yang ia sembunyikan di saku cardigan rajut berwarna hitamnya. Sekuat mungkin gadis itu menahan bulir air yang sudah menumpuk di ujung mata.
Untuk kali pertama, Rinjani bekerja sebagai staf tetap di Monolithe Entertainment. Dan, firasat bahwa partner kerja barunya jauh lebih baik daripada Riko, membuat gadis itu bersyukur.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
