PTA 01 (Petualangan Teja Arum)

1
0
Deskripsi

Kisah seorang pendekar muda, gagah dan tampan yang memiliki kemampuan seperti detektif.

Dia mampu memecahkan setiap kasus yang ditemui dalam petualangannya.

Namun, siapa sangka ternyata dia murid seorang tokoh wanita tercantik di dunia persilatan. Siapakah wanita tersebut?

Ikuti Petualangan Teja Arum.

Baca gratis 10 bab pertama.

# Bab 1

"Itu dia orangnya, kejar dan tangkap, jangan sampai lolos!"

"Teja Arum, jangan kabur kau!"

Seorang pemuda berumur dua puluh tahun yang memiliki wajah tampan rupawan dengan badan gagah dan tegap terkejut mendengar teriakan menyebut namanya.

Belum sempat melihat siapa yang memanggilnya tadi, tahu-tahu langkahnya harus berhenti mendadak karena ada yang menghalangi jalannya.

Tiga orang laki-laki langsung mengepung pemuda dengan rambut lurus tergerai panjang hingga ke punggung ini. Bagian atasnya lebih menarik lagi dengan ikat kepala bercorak batik.

"Ada apa ini?" Teja Arum tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa tiga orang ini mengurungnya?

"Kembalikan pusakaku!" sentak salah satunya yang sudah paruh baya menyodorkan tangan dengan telapak terbuka ke atas disertai wajah bengis penuh kebencian.

"Pusaka apa yang dimaksud Paman Salya, aku tidak mengerti?"

"Jangan pura-pura bodoh, kau telah mencuri pusaka Cakra Keling. Cepat kembalikan atau kuhabisi kau!"

"Apa, aku mencuri? Buat apa, Paman?" Terkejut Teja Arum bagai disambar petir di siang bolong.

"Alah, jangan banyak bacot lagi. Maling tidak mungkin mengaku. Hajar dia, temukan pusakanya!" perintah lelaki yang dipanggil paman Salya ini kepada dua orang yang merupakan anak buahnya.

Paman Salya ini salah satu pendekar di desa Kamuning tempat tinggal Teja Arum. Kepandaian silatnya sudah tidak diragukan lagi. Begitu juga kedua anak buahnya ini.

Namun, Teja Arum juga bukan anak kemarin sore. Meski masih muda dia sudah memiliki beberapa jurus yang bisa diandalkan.

Dua anak buah paman Salya ini bahu membahu merobohkan Teja Arum dengan jurus andalannya. Sementara sang paman mencari kesempatan menyergap pemuda itu di saat ada celah.

Paman Salya memiliki sebuah pusaka yang disebut Cakra Keling. Sebuah senjata kecil yang berbentuk lingkaran pipih dengan sebuah lubang di tengahnya.

Tadi pagi dia kehilangan pusaka tersebut. Menurut salah seorang anak buahnya menyaksikan bahwa Teja Arum keluar dari rumah Paman Salya dari pintu belakang dengan cara mengendap-endap dan terburu-buru.

Sementara Teja Arum sendiri tidak merasa melakukannya. Jadi dia membela diri melawan dua anak buah Paman Salya ini.

Walaupun sudah memiliki kepandaian yang lumayan, tetapi menghadapi dua lawannya ini cukup kerepotan juga. Mungkin kalau cuma lawan satu orang, dia masih bisa mengatasi.

Warga desa hanya tahu Teja Arum sudah hidup sebatang kara sejak beberapa tahun silam, tapi tidak ada yang tahu dari mana dia belajar ilmu silat.

"Paman, sumpah, aku tidak mencuri pusaka Paman!" teriak Teja Arum membela diri dengan perkataan. Siapa tahu hati lelaki paruh baya ini sedikit luluh.

"Lumpuhkan saja maling tengik itu!" balas paman Salya menyuruh anak buahnya.

Teja Arum semakin terdesak karena jurus-jurus lawannya semakin sulit dihadapi dan juga menutup ruang geraknya.

Akhirnya dengan gerakan nekad pemuda ini memberanikan diri memapak serangan salah satunya demi mendapatkan peluang kabur.

Takk! Bett!

"Aku bukan pencuri, maaf, Paman. Aku sedang ada urusan penting. Lain waktu aku akan kembali membahasnya!" teriak Teja Arum.

Upaya nekadnya ini membuahkan hasil. Salah satu lawannya terdorong cukup jauh. Peluang terbuka, segera saja dia ambil langkah seribu dengan ilmu meringankan tubuh yang belum sempurna.

"Kurang ajar! Kalau tidak mencuri, kenapa lari? Kejar terus sampai dapat!"

Rambut panjang yang terlihat indah itu melambai-lambai ke belakang menambah pesona si pemuda ini ketika berlari menerobos angin.

Ketampanan dan kegagahannya ini membuat para gadis tergila-gila. Dia menjadi idaman setiap wanita. Begitulah pada umumnya yang terjadi terhadap lelaki semacam dia.

Teja Arum memang ada urusan yang lebih penting. Nanti kalau sudah beres dia berencana akan menemui paman Salya baik-baik membahas pusakanya yang hilang walaupun tidak tahu siapa sebenarnya yang telah mencurinya.

Akan tetapi pemuda tampan ini dihadapkan dengan masalah lain. Di depan sana tampak ada dua orang lagi yang sudah menghadang jalannya. Seorang lelaki setengah baya bersama pemuda yang umurnya sedikit lebih tua darinya.

"Berhenti!" seru lelaki setengah baya.

Teja Arum yang sedang terburu-buru terpaksa berhenti demi menghormati lelaki yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengannya. Namun, dari air muka lelaki itu menunjukkan rasa tidak suka. Wajah dingin. Bahkan benci.

"Paman Wira!" Teja Arum menjura.

Hatinya kebat-kebit. Paman Salya dan anak buahnya sebentar lagi pasti datang.

"Jangan mentang-mentang kau memiliki wajah tampan, lalu dengan seenaknya kau merayu istriku dan berbuat yang memalukan!" hardik paman Wira tiba-tiba. Benar saja, pamannya ini sedang dalam perasaan marah.

Karena ketampanannya juga banyak lelaki yang iri dengki padanya. Merasa tidak dianggap oleh wanita yang mereka inginkan, karena para wanita itu lebih mendambakan Teja Arum.

"Aku tidak mengerti apa maksud Paman!"

Lagi-lagi Teja Arum dibuat bingung untuk kedua kalinya.

"Keponakan laknat, masih tidak mau mengaku, hah!"

"Aku benar-benar tidak paham, Paman!"

"Kau telah meniduri istriku, masih mau menyangkal!"

"Ampun, Paman. Tidak mungkin aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Bagaimana bisa Paman menuduhku seperti itu?"

Pikiran Teja Arum jadi kacau. Sebelum- nya dituduh mencuri pusaka paman Salya. Sekarang paman Wira menuduh hal yang lebih keji lagi. Hari apa ini?

Kenapa hal buruk menimpanya bersamaan? Mimpi apa semalam? Apa karena wajah tampan ini sehingga banyak orang yang menginginkannya celaka?

Hari ini Teja Arum hendak menemui gurunya di lembah Ciputri untuk menerima gemblengan baru, tetapi dua masalah keburu menghambatnya.

"Istriku sendiri yang bilang padaku!" ujar paman Wira. "Tidak kusangka, kau pemuda bajingan!"

Pagi tadi paman Wira mendapat pengakuan dari istrinya sambil menangis bahwa Teja Arum telah merayunya sehingga dia mau diajak tidur malam tadi pada saat paman Wira sedang ikut meronda.

"Ti- tidak, aku tidak serendah itu, Paman. Ini fitnah!"

"Tutup mulut busukmu, ringkus dia, aku akan memberinya hukuman!"

Paman Wira memerintahkan pemuda di sebelah menangkap Teja Arum. Dia juga sebenarnya memiliki kanuragan yang tinggi, tapi demi wibawa dia menyuruh bawahannya.

Teja Arum tahu kehebatan pemuda yang mengabdi kepada pamannya ini. Akhirnya dia terpaksa melayani adu jurus dengan pemuda tersebut.

Sementara di belakang rombongan paman Salya dan dua anak buahnya telah sampai. Dia langsung menyuruh anak buahnya menangkap Teja Arum.

"Gawat, mati aku!" umpat Teja Arum.

Sementara paman Wira dan Salya tampak saling bicara. Keduanya saling mengutarakan apa yang telah menimpa masing-masing.

Paman Wira semakin murka setelah mendengar penuturan paman Salya. Sedangkan paman Salya merasa jijik mendengar perbuatan tidak bermoral yang dilakukan si pemuda tersebut.

"Ternyata dia berotak kotor!" ujar paman Salya.

"Ternyata dia panjang tangan!" ujar paman Wira juga.

Di sebelah sana Teja Arum sudah terdesak. Ilmu silatnya tidak mampu mengimbangi ketiga lawannya. Perasaannya semakin was-was.

"Sial, bagaimana kalau aku sampai tertangkap lalu dihukum atas perbuatan yang tidak pernah aku lakukan!" batin Teja Arum.

Ketika situasi sudah tidak menguntungkan buat Teja Arum. Ketika sudah merasa putus asa. Ketika hatinya berkata pasrah dan mungkin akan menyerah saja.

Tiba-tiba udara di sekitar tempat yang merupakan perbatasan desa itu berhembus kencang dan membawa aroma harum yang cukup menyengat menusuk hidung.

***

# Bab 2

Jika yang lain merasa pusing akibat bau wangi ini, lain lagi dengan Teja Arum. Dia tidak merasakan apa-apa malah tersenyum.

Lalu dari arah luar desa berkelebat satu sosok bayangan putih mendarat di belakang Teja Arum yang sedang terdesak. Semuanya langsung terpana ke arah sosok yang baru datang tersebut.

"Putri Bunga!"

Teja Arum langsung berlari sembunyi di belakang sosok yang baru datang ini seperti anak kecil yang meminta perlindungan kakaknya.

Seorang perempuan muda. Bahkan tampak lebih muda dari Teja Arum. Baru berumur tujuh belas tahun. Wajahnya sangat cantik putih anggun bagai bidadari.

Bentuknya lonjong mungil. Mata, alis, hidung dan bibirnya serasi dengan bentuk mukanya. Tubuhnya juga mungil berkulit putih lembut seperti salju. Walaupun begitu, tapi bentuknya serasi, indah dan mempesona setiap mata lelaki.

Tidak ada lelaki yang membantah kecantikannya dan juga kesaktiannya. Tidak ada yang tahu siapa nama aslinya. Dunia persilatan hanya tahu julukan gadis muda ini dengan sebutan Putri Bunga.

"Bibi, tolong, aku dikejar-kejar mereka. Aku difitnah yang tidak-tidak oleh mereka!" kata Teja Arum yang sikapnya juga mendadak berubah seperti anak kecil yang mengadu ke ibunya.

Orang-orang yang mengeroyok Teja Arum beberapa saat terpatung terpesona akan kecantikan Putri Bunga.

Kemudian paman Wira mendekat hingga berada di depan gadis yang mengenakan pakaian serba putih dan memendarkan cahaya yang membuat silau mata.

"Apa maksud Ni Sanak ikut campur urusan kami?" tanya paman Wira.

"Dia muridku!" jawab Putri Bunga dengan sikap ketus. Walau begitu kecantikannya semakin berkibar dan tidak ada yang protes dengan sikapnya.

Semua orang terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa Teja Arum yang usianya lebih tua menjadi murid Putri Bunga yang lebih muda tiga tahun.

Walaupun semua orang tahu kesaktian Putri Bunga sudah tersohor sejak lama. Namun, tidak ada yang tahu dari mana dia berasal, siapa gurunya atau orang tuanya.

Orang hanya tahu gadis muda cantik dan sakti ini tinggal sendirian di lembah Ciputri. Tidak ada pula yang berani menyambangi tempat itu. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu gadis ini.

"Aneh dan gila. Jadi kepandaian yang dimiliki pemuda bengal itu didapat dari perempuan ini!" gumam paman Salya di belakang sana.

"Maaf, saya baru tahu kalau dia adalah muridmu, Putri Bunga. Tetapi dia telah terlibat masalah dengan kami. Aku ingin dia mempertanggung jawabkannya!"

"Baik, tapi tidak dengan cara kekerasan!" Putri Bunga berbalik ke arah Teja Arum. "Selesaikan urusanmu!"

Dengan gugup dan bingung si pemuda terpaksa maju ke hadapan paman Wira, tapi tidak berani menatap mata lelaki setengah baya ini.

"Paman, sebaiknya panggil dulu Bibi ke sini. Sebelum menyelesaikan urusan ini, aku akan membereskan masalah dengan Paman Salya terlebih dahulu!"

Kemudian Teja Arum mendekati paman Salya. Dua orang anak buahnya segera mengikuti dari belakang dengan sikap siaga. Mereka tidak ingin lagi melepaskan pemuda tampan itu.

"Coba Paman jelaskan, bagaimana pusaka Cakra Keling bisa hilang?"

"Sudah kubilang anak buahku menyaksikan kau yang mencurinya!" bentak paman Salya marahnya minta ampun.

"Yang mana orangnya?"

"Ini!" Paman Salya menunjuk pada anak buah yang berdiri di sebelah kanan Teja Arum. "Katakan!"

"Ya, aku melihatmu keluar dari kamar Juragan. Setelah itu Cakra Keling hilang!" jawab orang ini dengan lancar dan lantang, tetapi sorot matanya tidak menatap ke arah paman Salya ataupun Teja Arum.

Dukk! Dugh! Dess!

Tidak diduga tiba-tiba Teja Arum langsung menyarangkan beberapa pukulan ke perut orang yang mengaku jadi saksi ini. Tidak tanggung-tanggung pula Teja Arum memukulnya dengan tenaga yang kuat.

Karena tidak ada persiapan, akibatnya orang ini terjengkang dan jatuh bergulingan. Pada saat bergulingan inilah sesuatu jatuh dari badannya.

Plakk!

Paman Salya kaget melihatnya serta merta langsung mengambil benda tersebut. Benda bulat pipih berlubang di tengahnya. Cakra Keling.

"Nah, sudah ketahuan pencurinya, Paman!"

Dugaan Teja Arum benar. Perkiraannya siapa yang bersaksi pertama kali berarti dia yang patut dicurigai. Apalagi setelah melihat sikap saat orang ini bicara tadi. Dia memiliki bakat dalam menganalisis.

Teja Arum berlalu kembali menuju paman Wira. Sementara paman Salya murka bukan main melihat kenyataan yang terjadi.

"Mundaran, kurang ajar kau, pengkhianat!"

Paman Salya dan satu anak buahnya kemudian menghajar Mundaran bertubi-tubi sampai orang itu menjerit-jerit minta ampun.

"Sekarang bagaimana pembelaanmu atas kasus ini?" tanya paman Wira setelah Teja Arum berada di hadapannya.

"Aku tidak menyangka, mungkin Bibi membatalkan kepergiannya ke kota raja yang membutuhkan waktu tujuh hari perjalanan. Karena ini baru tiga hari setelah Bibi berangkat ke sana,"

Teja Arum ingat tentang istri paman Wira yang tiga hari lalu berangkat ke kota raja. Dari sini dia mulai menduga-duga. Paman Wira juga terkesiap. Kenapa dia baru ingat sekarang? Ini jadi aneh dan janggal rasanya.

"Kemudian saat Bibi pulang, Paman sedang meronda. Karena lelah Bibi akhirnya tidur dan mungkin saja itu hanya mimpi, Paman!" lanjut Teja Arum menduga hal lain.

Ketika paman Wira hendak menggertak si pemuda karena omongannya melantur, istrinya datang dibawa pemuda bawahannya yang kini bertambah jadi dua.

Sementara Teja Arum langsung terperangah melihat ada perubahan pada orang yang dikenalnya ini. Alisnya naik, bibirnya melengkung.

"Wah, ternyata Bibi memang tidak jadi ke kota raja dan rupanya perjalanan selama tiga hari ini telah mengubah bentuk tubuh Bibi jadi kekar dan lebih tinggi dari Paman!" seru Teja Arum antusias.

Bola mata pemuda ini membeliak-beliak dengan sedikit nakal memperhatikan bibinya yang bertampang aneh.

Ini sangat mengagetkan wanita yang baru datang ini. Hal ini juga menyadarkan dua pembantu paman Wira. Mereka langsung men -cekal kedua tangan wanita tersebut kuat-kuat.

Ternyata kekar!

Paman Wira juga baru sadar perubahan yang terjadi atas istrinya. "Bagaimana mataku bisa tertipu!" umpatnya dalam hati.

Sementara wanita ini meronta hendak melepaskan diri, tetapi cengkraman dua pembantu paman Wira sangat kuat. Setelah menemukan kejanggalan itu, akhirnya paman Wira menampar keras wajah istrinya.

Plakk!

Seketika pada muka wanita ini terkelupas sebuah topeng tipis dari getah pohon. Paman Wira menarik topeng ini hingga mengelupas seluruhnya.

Tampaklah wajah aslinya, nyatanya dia seorang lelaki. Teja Arum sampai tak bisa menahan tawa melihat penampilannya.

"Rudapaksi!" seru paman Wira.

Dia merasa sangat malu, seorang pendekar sekelas dia bagaimana bisa tertipu oleh penampilan yang sebenarnya cukup mencolok ini.

"Bawa dia!" perintahnya.

Kemudian dua pemuda pembantu paman Wira segera menyeret Rudapaksi yang menampakkan wajah penuh kebencian ke arah Teja Arum.

"Teja, tunggu pembalasanku!" teriak Rudapaksi saat ditarik paksa. Kedua matanya berkilat-kilat mengandung aroma dendam.

Teja Arum kerutkan kening sambil garuk-garuk kecil dahinya dengan jari telunjuk, seperti orang sedang berpikir. Soalnya dia tidak tahu apa permasalahannya dengan Rudapaksi.

"Sudah selesai, cepat ke lembah!" Suara Putri Bunga terdengar pelan, tapi sosoknya sudah berkelebat jauh.

Teja Arum terkejut lalu berbalik.

***

# Bab 3

Pemuda tampan ini segera berlari mengejar gadis cantik yang tubuhnya menebarkan aroma harum itu.

"Bibi, gerakanmu cepat sekali!" seru Teja Arum sambil berlari.

"Orang-orang mengenalmu karena dua hal yang paling menonjol, yaitu aroma harum dan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna. Semoga aku juga bisa mewarisinya agar tidak kehabisan napas seperti ini!"

Setelah melewati jalan panjang dan berliku-liku, serta melintasi sebuah bukit. Akhirnya Teja Arum sampai di lembah Ciputri.

Pemuda ini menyeka peluh di dahinya sambil mengatur napas yang kembang kempis. Akan tetapi langsung terobati begitu melihat pemandangan indah yang membentang di depan matanya.

Lembah yang dipadati pepohonan rindang. Berhawa sangat sejuk dan nyaman membuat pemuda ini kerasan berada di dalamnya. Apalagi bersama wanita yang mungkin paling cantik yang pernah dia temui.

Waktu itu Teja Arum tidak sengaja melewati sisi lembah ini. Secara kebetulan pula dia terpeleset di sisi tebing dan jatuh. Kaki kanannya terkilir. Itulah pertemuan pertama dengan Putri Bunga, dua tahun yang lalu.

Kemudian karena melihat potensi yang ada di dalam diri Teja Arum saat merawat luka akibat terkilir, sang putri mengangkatnya menjadi murid.

Ini memang aneh, tetapi akan wajar setelah tahu ketinggian ilmu si gadis yang tidak terukur. Sedangkan Teja Arum tentu saja senang bukan main menjadi murid wanita tercantik itu.

Dia tidak peduli akan dibilang aneh. Namun, Putri Bunga memintanya agar jangan memberi tahu orang lain dulu kalau dia adalah gurunya.

Putri Bunga sudah menunggu di teras sebuah rumah kecil yang dindingnya dihiasi aneka macam bunga. Setiap kali memandang gurunya yang dia panggil 'bibi' atas permintaan si gadis sendiri, selalu terpesona tiada ujungnya.

Mungkin Teja Arum jatuh cinta terhadap gurunya, tapi tidak berani mengungkapkannya.

"Seperti yang sudah aku janjikan, aku akan menurunkan ilmu Tapak Harum!" kata Putri Bunga.

Teja Arum masih berdiri meresapi pesona sang guru.

"Putri Bunga, Tapak Harum," gumam Teja Arum pelan sekali hampir tak terdengar oleh telinga sendiri.

"Sudah siap!"

"Siap, Bibi!"

Ilmu Tapak Harum bukan hanya ilmu kanuragan semata, tetapi sepaket dengan yang lainnya. Seperti pembangkitan tenaga dalam, hawa sakti, sebelas energi cakra dan lain sebagainya.

Di dalamnya terdapat pula rangkaian jurus bertingkat dari yang rendah sampai tertinggi. Jurus-jurus inilah yang telah dipelajari Teja Arum sejak dua tahun belakangan. Sekarang tinggal memantapkan dan diisi dengan kekuatan batin.

Secara fisik Putri Bunga memang seorang gadis belia, tetapi dalam mendidik Teja Arum dia seperti orang dewasa yang sarat pengalaman.

Ada rumor mengatakan Putri Bunga adalah bidadari yang dibuang dari alam langit karena menjalani hukuman.

Dia diwajibkan berbuat segala macam kebaikan kepada makhluk di marcapada atau alam dunia untuk mendapatkan pengampunan sehingga bisa kembali ke kahyangan.

Ada juga selentingan kabar bahwa sebenarnya dia adalah wanita yang sudah berumur sangat tua, tetapi memiliki ilmu yang bisa tetap terlihat muda.

Dari dugaan keduanya itu, Teja Arum tidak pernah mendapat jawaban yang sebenarnya. Bukan karena wanita cantik itu tidak mau menjawab, tetapi lantaran si pemuda sendiri yang enggan bertanya.

Lebih cenderung ke segan sebenarnya. Teja Arum tidak mau lancang mengorek keterangan perihal guru cantiknya ini.

Sementara dari sisi si pemuda tampan idaman para gadis ini. Selain hal tersebut, dia memiliki kelebihan lain. Yaitu kecerdasan yang di atas rata-rata. Teja Arum mampu menyerap pelajaran dalam waktu singkat.

Jurus-jurus yang dipelajari seharusnya bisa dikuasai empat sampai lima tahun oleh orang biasa, ternyata dia mampu menguasainya dalam dua tahun saja. Putri Bunga tidak hanya memberikan ajaran ilmu silat atau kanuragan, tetapi juga moral atau budi pekerti.

Kadang-kadang si pemuda heran sendiri. Putri Bunga seperti orang yang sudah lama hidup di dunia, seperti dugaan yang kedua di atas.

Teja Arum juga mendapatkan pengetahuan tentang situasi dunia persilatan. Gurunya bagaikan jendela informasi dunia tersebut.

Dan satu lagi yang sangat jarang dimiliki oleh pendekar lain. Yaitu keahlian meramu obat, berbagai macam racun serta meracik penawarnya.

Dengan otak yang cerdas, semua pelajaran dilahap dengan mudah. Ingatannya kuat. Inilah yang membuat Putri Bunga tertarik menjadikannya murid.

"Sekarang saatnya kau akan mendapatkan yang selama ini sangat diinginkan!" kata Putri Bunga suatu hari setelah berlatih.

"Apa itu, Bibi?"

"Ilmu meringankan tubuh!"

"Wah, benar itu?"

Teja Arum begitu girang mendengarnya. Putri Bunga hanya membalas dengan senyuman. Senyum manis mempesona yang jarang dia lihat, karena si gadis lebih sering bersikap dingin dan ketus.

"Terima kasih, Bibi!" Teja Arum sampai bersimpuh dan menyembah saking senangnya.

***

Enam purnama kemudian.

Sosok Teja Arum semakin gagah dengan baju pangsi biru yang tidak longgar sehingga sedikit memperlihatkan bentuk tubuhnya yang kekar.

Celana komprang hitam yang pas di kaki menambah daya pikatnya terhadap orang yang memandangnya. Ditambah lagi belitan kain batik di pinggang yang menutupi hingga ke lutut.

Pemuda ini sedang dalam perjalanan kembali ke kampungnya. Putri Bunga telah meluluskan pelatihannya sehingga dia diperbolehkan terjun ke dunia persilatan.

"Selain kau sudah siap, dalam waktu yang tidak lama lagi kau akan dibutuhkan untuk memecahkan suatu masalah yang menimpa desamu!" Begitulah kata Putri Bunga sebelum dia pergi dari lembah Ciputri.

Maka selama perjalanan, Teja Arum selalu diliputi rasa cemas. Apa yang sedang terjadi di desa kelahirannya itu?

Langkah pemuda ini pun dipercepat. Bahkan ketika melewati tempat sepi dia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya.

Dia merasakan tubuhnya seringan kapas, tapi sekuat baja sehingga bisa melesat cepat membelah angin dalam waktu singkat puluhan tombak sudah dia lewati.

Hatinya semakin resah ketika sudah sampai masuk ke wilayah desa Kamuning tempat tinggalnya. Dia melihat ada beberapa rumah yang rusak.

Yang pertama dia tuju adalah rumah paman Wira, karena orang itu merupakan kerabat yang paling dekat dengannya.

Panik melanda seketika begitu melihat beberapa orang pembantu pamannya terkapar tak berkutik dan penuh luka di sekujur tubuh. Terdengar suara tangisan di dalam. Si pemuda langsung menerjang masuk.

"Bibi Winarti, apa yang terjadi?"

Teja Arum langsung berjongkok di samping bibinya yang sedang memangku paman Wira yang terkulai lemah.

Perasaan si pemuda semakin kacau setelah memeriksa nadi paman Wira tidak berdenyut lagi. Dia menghempas napas kecewa. Menyesali dirinya yang datang terlambat.

"Apa yang terjadi?" Sekali lagi Teja Arum bertanya dengan mata berkaca-kaca.

"Segerombolan orang datang mengacau desa ini," jawab bibi Winarti dengan tersedu-sedu.

"Perampok?"

Winarti menggeleng sambil menahan isak tangisnya.

"Siapa mereka?"

Dalam hati si pemuda berkata, "kalau bukan merampok lantas untuk apa mengacau?"

"Kelompok yang menjadi buronan kerajaan, dipimpin oleh Rana Weleng. Bahkan pamanmu dibunuh langsung olehnya!"

Teja Arum sangat terkejut mendengar nama ini. Putri Bunga pernah menceritakan tentang orang ini. Kenapa mereka mengacau di desa ini?

***

# Bab 4.

Teja Arum segera memeriksa luka-luka di tubuh paman Wira. Terutama luka yang menyebabkan kematian.

Menurut gurunya, Rana Weleng memiliki jurus satu tebasan pedang yang selalu tepat memutuskan urat nadi pada leher dan tidak sampai meneteskan darah.

"Benar, jurus 'Tebasan Satu Titik'. Berarti luka-luka yang lain bukan oleh Rana Weleng, mungkin anak buahnya!" gumam Teja Arum setelah menemukan apa yang dicarinya.

Kemudian dia juga memeriksa mayat pembantu paman Wira. Ternyata mereka terbunuh seperti biasa, hanya paman Wira yang dibunuh dengan jurus Tebasan Satu Titik.

"Biadab, apa salah Pamanku, apa salah desa kami!" geram Teja Arum.

Dibantu warga biasa yang tidak kena sasaran, Teja Arum membereskan semua mayat yang bergelimpangan. Terutama untuk paman Wira, mayatnya mendapat perlakuan yang lebih layak.

Setelah menelusuri ke seluruh desa, ternyata banyak tokoh-tokoh penting desa ini yang tewas. Termasuk paman Salya yang sempat berurusan dengannya perihal pusaka Cakra Keling.

Bahkan Ki Lurah juga jadi korban keganasan gerombolan buronan kerajaan yang dipimpin Rana Weleng.

Desa Kamuning termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Kendan yang dipimpin oleh Sang Kadiawan bergelar Rahyangta Dewaraja. Pada saat ini kerajaan Kendan masih menjadi bawahan Tarumanagara.

Konon katanya Rana Weleng adalah salah satu senapati Tarumanagara. Namun, dia kecewa karena pihak kerajaan lebih mengistimewakan pasukan Bhayangkara.

Pasukan Bhayangkara ini seluruh anggotanya adalah prajurit Indraprahasta, kerajaan bawahan yang telah berjasa besar dalam menumpas pemberontakan Cakrawarman.

Karena rasa kecewa ini, Rana Weleng memutuskan mengundurkan diri sebagai senapati. Sebelas prajurit yang selalu setia mengikutinya juga mengikuti langkahnya.

Namun, entah kenapa mereka malah dicap buronan kerajaan? Hal ini masih belum ada yang tahu penyebabnya.

Pada saat pikiran Teja Arum buntu akibat kejadian tragis yang menimpa desa ini, seorang lelaki sangat tua tampak menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.

"Kau yang bernama Teja Arum?"

"Benar, Ki sepuh Saloka,"

"Kau tahu aku?"

"Tentu saja karena sejak kecil aku tinggal di sini. Apa yang bisa saya bantu, Ki sepuh?"

"Aku melihat kau memiliki aura yang kuat. Sepertinya kau menyimpan suatu kekuatan. Bisakah kau mengabulkan permintaan orang tua ini?"

"Ki Saloka adalah sesepuh desa, saya sebagai warga tidak berani menolak perintah!"

"Bagus, anak muda. Setelah gugurnya orang-orang penting di desa ini, aku lihat hanya kau yang memiliki kekuatan. Temukan orang yang telah melakukan pembantaian ini dan minta pertanggungjawabannya!"

"Saya siap, Ki sepuh. Memang hal itu menjadi tujuan saya sekarang,"

"Laksanakan tugasmu!"

"Baik!" Teja Arum menjura

Ki sepuh Saloka berbalik lalu meninggalkan si pemuda.

Sejak percakapan dengan orang tua tadi, Teja Arum merasakan ada orang lain yang sedang mengintai atau menguping. Akan tetapi begitu berbalik badan, orang itu telah hilang.

Dari caranya bertindak, kemungkinan orang tadi mempunyai niat buruk. Kalau tidak, kenapa buru-buru menghilang.

Keesokan harinya Teja Arum sudah siap meninggalkan desa guna mencari Rana Weleng dan anak buahnya.

Perkataan Putri Bunga telah terbukti. Sekarang dia dibutuhkan untuk membalas dendam atas kejadian tragis yang menewaskan beberapa orang penting di desanya.

Ini adalah tantangan pertamanya sebagai orang yang disebut pendekar yang baru terjun ke dunia persilatan. Pemuda tampan ini mencoba untuk bersikap tenang, tidak terburu nafsu atau gegabah seperti yang diajarkan gurunya.

"Bibi Winarti, aku pergi!" pamit Teja Arum kepada bibinya yang kini menjadi janda.

Sang bibi melepas kepergian keponakan dengan wajah masih diliputi kesedihan yang mendalam. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya anggukan kecil saja.

***

Teja Arum kini sudah berada di sebuah kedai yang cukup besar. Rencananya yang pertama adalah mencari informasi tentang Rana Weleng. Biasanya di kedai selalu ada berbagai macam kabar atau keterangan. Dia duduk sendirian di satu meja.

Sementara tidak jauh darinya ada satu meja yang lebih besar yang dikelilingi empat lelaki setengah baya. Mereka terlibat percakapan yang sampai terdengar ke telinga Teja Arum.

"Kakang Barep, aku tidak mencuri patung Whisnu emas itu. Apa yang harus saya katakan untuk membuat Kakang percaya?" mohon salah satu dari mereka kepada seseorang yang dianggap paling tua.

"Kakang Talu, setelah kita berempat mengambil patung Whisnu emas dari kuburan itu, kaulah satu-satunya yang membawanya. Siapa yang akan percaya jika Kakang mengatakan itu hilang?" hardik yang lainnya kepada orang yang berkata tadi.

Rupanya orang yang bernama Talu ini sedang menjadi tertuduh atas pencurian sebuah benda yang berupa patung Whisnu emas.

"Katakan padaku, di mana menyembunyikannya?" tanya Barep yang paling tua.

"Sungguh, Kakang Barep. Aku tidak berani melakukannya, aku benar-benar tidak tahu!" sanggah Talu dengan wajah memelas.

"Kakang Talu, jika kau benar-benar mengambilnya, serahkan saja kepada Kakang Barep!" Lagi-lagi orang tadi mendesak Talu agar mengaku.

"Kakang Barep, bahkan jika kau membunuhku, aku masih belum tahu tentang itu!" Talu tetap keukeuh tidak mau mengaku, sepertinya dia sudah pasrah.

"Berhenti menyangkal, aku akan membunuhmu sekarang!" bentak orang tadi lagi yang mungkin lebih muda dari Talu karena menyebutnya kakang.

Orang ini sudah siap mengambil golok yang ada di pinggangnya. Para pengunjung kedai yang lain terpusatkan perhatiannya ke empat orang yang sedang cekcok ini.

"Aku tidak melakukannya, Bayan!" balas Talu tidak tahan lagi untuk menyentak, bahkan sepertinya sudah siap bila terjadi pertarungan.

Ketika orang bernama Bayan sudah menarik goloknya dan hendak membabat leher Talu, tiba-tiba satu suara berseru lantang.

"Tunggu, aku tahu di mana patung Whisnu emas itu!"

Itu adalah suara Teja Arum yang masih duduk membelakangi empat lelaki setengah baya ini. Serentak empat orang tersebut menoleh ke arah si pemuda.

"Rupanya kau mencuri dengar...!" hardik yang paling tua, Barep.

"Aku tidak mencuri, suara kalian sendiri yang terdengar ke seluruh ruangan ini!" sanggah Teja Arum.

"Lalu siapa kau, berani-beraninya bicara soal patung Whisnu emas?" tanya Bayan.

Keempat orang ini berdiri menghadap Teja Arum seperti hendak mengeroyok saja.

"Bukan siapa-siapa, tapi aku tahu di mana benda itu berada!" Teja Arum berdiri lalu menghadap ke arah mereka.

"Katakan!" perintah Barep setelah menilai penampilan si pemuda. Dia menemukan Teja Arum bukan pemuda sembarangan.

Aura kependekarannya begitu kuat. Sorot matanya tegas dan secara keseluruhan tampak memancarkan wibawa yang besar.

"Paman Talu tidak mengambil patung tersebut, salah satu dari kalian ada yang berbohong!"

"Kau mau mengadu domba kami, hah! Kakang Barep hati-hati!" tukas Bayan. Sikapnya lebih cenderung memprovokasi.

"Anak muda, lanjutkan!" kata Barep tidak menggubris adiknya.

"Ketika Paman semua datang ke kedai ini, aku menemukan bahwa salah satu dari kalian bertindak tidak biasa. Semua orang meletakan bumbung bambu di meja, tetapi Paman ini tidak, kenapa?" tunjuk Teja Arum kepada Bayan.

Orang bernama Bayan ini terkejut seraya meraba bumbung bambu yang menggantung di bahunya. Perasaannya menjadi tegang, dilihat dari wajahnya yang sedikit memerah dan seperti menahan rasa sakit.

Sementara tiga orang lainnya seperti menyadari sesuatu setelah melihat bumbung bambu masing-masing yang terletak di atas meja.

***

# Bab 5.

"Tadi Paman banyak minum, artinya Paman haus. Tetapi kenapa Paman tidak meminta pelayan untuk mengisi air? Itu menunjukkan bahwa bumbung bambu penuh air, tapi itu jelas bertolak belakang!" lanjut Teja Arum.

Mereka berempat sama-sama membawa bumbung bambu untuk bekal air minum di perjalanan. Walaupun tadi Teja Arum tidak melihat secara langsung, tapi gerak gerik keempat orang ini tak luput dari perhatiannya yang sesekali melirik dengan ekor matanya.

"Hehehe, aku hampir lupa masih menyimpan ini di pundakku!" kilah Bayan dengan senyum yang dipaksakan. Bola matanya pun tidak berani menatap yang lain, apalagi kepada Barep.

"Tapi Paman tidak lupa setiap mereka bicara tentang patung Whisnu emas, selalu menyentuh tali bumbung di bahu. Karena tali itu telah menyebabkan cacat, bekas luka di bahu Paman terlalu dalam," lanjut si pemuda lagi.

"Luka apa!" tukas Bayan sikapnya semakin gugup.

"Itu membuktikan bahwa bumbung bambu tidak berisi air, tapi sesuatu yang lebih berat dari air. Yang benar adalah patung emas itu ada di dalamnya!"

Benda berat itulah yang menyebabkan tali bumbung menekan kuat seperti mencekik sehingga menimbulkan luka di kulit bahu.

"Beraninya kau bicara sembarangan!" Bayan angkat goloknya hendak hendak menebas kepala Teja Arum.

Akan tetapi, orang ke empat yang dari tadi diam saja tiba-tiba bergerak menjambret bumbung bambu yang masih menggantung di bahu Bayan seraya langsung membantingnya ke lantai.

Brakk!

Bumbung bambu pecah dan mencelat sebuah benda  berat berguling ke lantai. Patung kecil berwarna kuning berbentuk rupa dewa Whisnu.

"Bayan, beraninya kau berbohong!" bentak Barep langsung naik pitam.

Pada saat itu Bayan hendak kabur, tapi orang keempat tadi langsung menyarangkan beberapa pukulan yang menyebabkan Bayan tersungkur. Orang ini segera menotok Bayan agar tidak bisa bergerak.

"Terima kasih, anak muda. Kau pintar menilai sikap seseorang!" puji Barep sambil menjura hormat.

"Ah, aku tidak pantas menerima pujian ini, Paman. Ini hanya kebetulan saja pemikiranku tidak meleset!" Teja Arum merendah.

Setelah mengucap terima kasih sekali lagi, Barep menyuruh Talu dan orang keempat membawa Bayan duluan ke luar karena dia hendak membayar makanan terlebih dahulu.

Sementara orang-orang lain di kedai tampak terkagum-kagum kepada Teja Arum. Termasuk seseorang yang dari tadi selalu memperhatikan si pemuda diam-diam.

Selepas kepergian empat orang tadi, suasana di dalam kedai kembali ramai dengan percakapan. Terutama membicarakan tentang gerombolan Rana Weleng yang mengacau di desa Kamuning.

Ternyata itu adalah kekacauan yang pertama dilakukan Rana Weleng. Di antara mereka -yang mengobrol ini- tidak pernah ada yang mendengar sebelumnya.

Anehnya setelah kejadian itu tidak ada seorang pun yang melihat ke mana gerombolan tersebut pergi. Mereka seperti langsung lenyap ditelan bumi.

Setelah merasa perutnya cukup terisi dan tidak ada lagi informasi yang dia inginkan, Teja Arum beranjak pergi.

Ketika sudah keluar dari perkampungan, melewati satu jalan yang sepi, Teja Arum terkejut melihat pemandangan kira-kira sepuluh tombak di depannya.

Sepasang bola matanya berputar ke kiri dan kanan. Pemuda ini melambatkan langkahnya. Sangat pelan. Hawa saktinya digunakan untuk melacak seseorang di sekitarnya.

Di depan sana empat lelaki setengah baya yang tadi ribut mengenai patung Whisnu emas tergeletak di tanah. Semuanya tampak tidak berkutik lagi.

"Apa mereka semua tewas?" batin Teja Arum sambil melangkah pelan.

Dia jelas bersikap waspada. Tidak mau gegabah langsung memeriksa mereka, sebab tidak melihat orang lain lagi selain mereka.

Padahal sekali kelebat saja pasti sudah sampai di tempat kejadian. Namun, pemuda tampan ini tetap melangkah pelan seolah-olah tempat yang dituju masih sangat jauh.

Dia menunggu. Menunggu seseorang, menunggu kejadian atau menunggu apa saja. Selain itu dia juga terus bersikap tenang seolah pemandangan di depan saja bukan suatu hal yang mengerikan.

Sudah setengah jalan belum juga datang yang ditunggu-tunggu. Suasana sepi. Suatu kebetulan hanya dia seorang yang lewat jalan itu.

Dari sini Teja Arum mulai memperhatikan keadaan empat orang itu. Semuanya kaku, tidak ada sedikitpun gerakan tanda-tanda masih hidup.

Dari sini juga tampak jelas tidak ada darah yang menggenang akibat luka sabetan senjata. Apa mereka mati karena pukulan yang sangat kuat? Sampai jarak dua tombak lagi, tidak ada kejadian apapun yang diduga-duga.

Teja Arum melakukan hal ini untuk pencegahan saja. Siapa tahu kalau dia cepat-cepat menghampiri mereka, tahu-tahu muncul orang lain dan menuduh dirinya sebagai pembunuh.

Ternyata hal itu tidak terjadi sampai langkahnya berjarak dua tombak dari korban pembunuhan tersebut.

Namun, si pemuda masih menunggu. Dia berhenti. Memperhatikan lagi kondisi empat orang itu. Dia mengamati orang yang paling dekat dengannya.

"Tebasan Satu Titik!" gumam Teja Arum setelah melihat satu tanda di leher orang tersebut. Pikirannya langsung tertuju pada satu orang yaitu Rana Weleng.

"Kenapa dia yang harus membunuh ke empat orang ini, bukan anak buahnya? Aku yakin dia mengincar patung Whisnu emas, tapi kenapa harus repot-repot mengotori tangan sendiri?"

Di kala sedang termenung seperti itu tiba-tiba Teja Arum merasakan ada kesiur angin menghembus tengkuknya. Dia langsung berbalik.

Wush!

Satu ujung pedang yang tajam nyaris menebas lehernya kalau dia tidak cepat menarik badannya. Hanya langkah mundur biasa, tidak ada gerakan indah lainnya.

Selanjutnya Teja Arum sadar, ternyata yang menyerangnya adalah seorang pemuda yang tampak seumuran dengannya.

Si tampan ini tidak sempat bicara karena pemuda lawannya sudah mengirim serangan susulan. Pedangnya berputar cepat memburu titik-titik bahaya di tubuhnya.

Dalam satu gerak, dua belas tempat jadi sasaran. Namun, gerakan Teja Arum lebih cepat lagi sehingga serangan tersebut tidak mengenai satupun sasarannya. Ini termasuk bagian dari jurus Tapak Harum. Jurus 'Langkah Bayangan' yang khusus untuk menghindar.

Gerakannya tidak ada yang aneh atau istimewa, hanya langkah-langkah biasa, tapi sangat cepat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam hitungan sepersekian kejap.

Sementara pemuda bersenjata pedang menjadi semakin penasaran. Jurus pedang andalan yang biasanya tidak mengecewakan dirinya, kini seolah dipermainkan begitu saja.

Maka pemuda ini mengubah jurus yang lebih ganas. Gerakan pedangnya semakin mematikan. Saking cepatnya, tidak bisa dilihat mata biasa.

Namun, dengan sikap tenang Teja Arum bisa menebak arah gerakan senjata lawan dari suara angin dan arah angin berhembus walaupun sangat tidak kentara.

"Gila, orang baru ini mampu mengimbangi jurus 'Pedang Menyulam Langit'-ku!" batin pemuda bersenjata pedang.

Yang di maksud orang baru di sini adalah Teja Arum sebagai pendatang baru di dunia persilatan karena pemuda bersenjata pedang ini baru melihatnya.

Berarti pemuda bersenjata pedang ini sudah lebih dulu lama malang melintang di jagat kaum pendekar. Sementara Teja Arum sudah mengumpulkan ingatannya.

Mengulang keterangan dari sang guru sebagai jendela informasi rimba persilatan guna mengenali lawannya ini.

Syuut!

Pedang meluncur deras dan cepat ke arah dada Teja Arum.

***

# Bab 6.

Pedang di tangan pemuda ini melesat cepat bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Dalam hitungan kurang dari sekejap seharusnya sudah bisa menembus dada lawannya.

Akan tetapi...

Tepp!

Pemuda bersenjata pedang terkejut bukan alang kepalang. Tubuhnya tertahan hampir saja oleng kalau genggaman pada pedangnya tidak kuat.

Sementara pedang andalannya pun tertahan. Terjepit di antara dua telapak tangan Teja Arum. Jepitan ini bagaikan dua gunung menghimpit.

Bagaimana Teja Arum bisa melakukannya, itu yang membuat tak habis pikir si pemuda bersenjata pedang.

"Dia bisa menangkap 'Tusukan Pedang Memanah', gila, siapa dia? Ini orang pertama yang mampu melakukannya!" batin pemuda bersenjata pedang.

Yang digunakan Teja Arum adalah jurus bertahan 'Tapak Menghimpit Angin'. Dia juga tidak menyangka akan berhasil. Antara tegang dan girang, sikapnya disembunyikan dalam ketenangan.

"Pendekar Pedang Sukma, kenapa menyerang saya?" tanya Teja Arum setelah mendapatkan ingatannya.

Dari ciri-ciri yang disebutkan gurunya, pemuda ini tidak salah lagi adalah Pendekar Pedang Sukma dengan senjata andalan sebuah pedang yang bernama sama.

Bentuk pedangnya biasa saja seperti pedang pada umumnya. Usia si pendekar juga mungkin seumuran dengan Teja Arum.

Hanya pengalamannya sudah lebih jauh dibanding Teja Arum yang mungkin masih dibilang anak kemarin sore. Namun, sudah mampu membuat kejutan.

"Kau mengenalku?" Pendekar Pedang Sukma menarik senjatanya setelah Teja Arum melepaskan jepitan telapak tangannya. Jujur saja kalau tidak dilepas mungkin tak bisa ditarik.

"Namamu sudah tersohor, orang akan mudah mengenalimu. Apalagi setelah melihat Pedang Sukma ini!"

"Siapa kau?"

"Teja Arum!"

Pendekar Pedang Sukma berpikir sejenak, barangkali dia pernah mendengar nama ini, tetapi tidak menemukan apapun. Teja Arum memang insan baru.

"Kenapa membunuh mereka?" tanya Pendekar Pedang Sukma sambil menunjuk ke arah empat mayat yang masih tergeletak di tanah.

"Kenapa kau datang lama sekali?" desah Teja Arum menyesalkan kehadiran Pendekar Pedang Sukma. "Akhirnya aku juga yang dituduh membunuh!"

"Heh, kau malah menyalahkan aku. Sudah jelas hanya kau seorang yang ada di dekat mereka. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau?" hardik Pendekar Pedang Sukma seraya bersiap menyerang lagi.

Teja Arum tetap tenang, dia mendekati empat mayat tersebut.

"Beginilah kalau hanya melihat akhir dari kejadian saja!" gerutu Teja Arum, lalu jongkok di sisi salah satu mayat.

Sementara Pendekar Pedang Sukma heran dengan sikap Teja Arum yang seolah tidak menganggapnya ada.

Ancamannya bagai angin lalu saja. Kalau sudah begini dia harus ekstra hati-hati, Tusukan Pedang Memanah saja bisa ditangkap.

Bukan mustahil Teja Arum memiliki jurus lain yang lebih ganas. Baru muncul saja sudah menjadi lawan yang sebanding.

"Lihatlah tanda itu!" Teja Arum menunjuk ke arah leher salah satu korban.

Pendekar Pedang Sukma terpaksa menyarungkan pedangnya, lalu menoleh lekat-lekat ke tempat yang ditunjuk Teja Arum. Dia langsung terkesiap.

"Tebasan Satu Titik!" seru Pendekar Pedang Sukma segera mengerti siapa yang punya kerjaan.

Teja Arum kembali berdiri lalu menoleh ke pemuda di sampingnya sambil mengangkat alisnya.

"Maafkan aku, ternyata salah menduga. Pantas saja kau tidak mau menyerang balik!" Pendekar Pedang Sukma menjura agak dalam menyesali kekeliruannya.

"Tidak apa-apa, salah paham memang sudah biasa!" sahut Teja Arum. "Apa kau orang dekat mereka?"

"Tidak, aku sama sekali tidak kenal mereka. Aku hanya tergerak saja kalau melihat kejahatan!"

"Tapi kau tahu Rana Weleng?"

"Pemimpin buronan kerajaan. Aku pernah melihatnya sekali sewaktu masih jadi senapati. Dia pendekar pedang yang hebat, aku ingin menguji keterampilan pedangku dengannya. Si Pedang Awan Angin!"

Kemudian Teja Arum menuturkan bahwa sebelumnya dia telah melihat empat orang ini di kedai. Dia juga menceritakan urusan empat orang ini mengenai patung Whisnu emas.

"Dia mengambil patung emas itu, pasti untuk suatu tujuan!" ujar Pendekar Pedang Sukma.

"Aku juga sedang mencarinya!" kata Teja Arum.

"Kau punya urusan dengannya?"

"Membalas dendam, dia dan gerombolannya telah mengacau di desaku dan membunuh tokoh-tokoh penting di sana, tapi aku belum pernah melihatnya!"

"Oh, jadi kau dari desa Kamuning?"

Teja Arum hanya mengangguk. Kedua- nya terdiam beberapa saat.

"Aku baru melihatmu. Pertemuan pertama yang mengesankan. Kau orang pertama yang mampu menahan dua jurusku. Aku jadi penasaran..."

"Aku bukan siapa-siapa, itu hanya keberuntungan saja!" sanggah Teja Arum merendah.

"Tidak usah merendah, aku senang mendapat lawan yang sepadan atau lebih kuat. Suatu saat kita akan mengadu kemampuan lagi, permisi!" Pendekar Pedang Sukma berkelebat lenyap setelah menjura, meninggalkan Teja Arum yang keheranan melihat sikapnya.

Teja Arum pun segera berlalu dari tempat itu sebelum datang lagi kesalahpahaman. Dia tidak peduli dengan kondisi empat mayat itu. Dia akan terus mencari informasi tentang Rana Weleng.

Setelah pemuda tampan murid Putri Bunga itu lenyap, seseorang yang sejak tadi mendekam keluar dari tempat persembunyiannya. Dia adalah orang yang selalu memperhatikan Teja Arum sewaktu di kedai.

Wushh!

Tiba-tiba dua tangannya di banting ke depan. Serangkum angin kuat menyapu bersih empat mayat hingga terpental masuk ke semak belukar.

Kemudian orang ini pun segera berkelebat menyusul Teja Arum.

***

Teja Arum sampai di sebuah tempat yang ramai. Beberapa kampung yang sedang bertransformasi menjadi kota.

Wilayah yang terletak di sebelah timur kota raja Kendan. Kota yang dinamakan Karang Kamulyan ini tengah dibangun oleh putra ke lima atau putra bungsu sekaligus putra mahkota raja Kendan Sang Kandiawan, Rahyang Wretikandayun yang kelak akan menggantikan posisi Sang Kandiawan.

"Bukan mustahil kota raja akan pindah ke sini nantinya!" gumam Teja Arum sambil berjalan seraya melihat-lihat tempat yang sedang didirikan bangunan.

Dari gurunya dia pernah mendengar beberapa kerajaan sering memindahkan pusat pemerintahan atau ibukota.

Selama melewati jalan kota ini, banyak perempuan baik itu gadis atau yang sudah berumur memperhatikan Teja Arum diam-diam.

Mereka ternganga melihat ketampanan si pemuda yang belum pernah dilihat sebelumnya. Akan tetapi Teja Arum tidak menyadari hal itu.

Semakin ke timur, keramaian makin berkurang. Teja Arum hendak menuju ke sebuah tempat yang bernama Bukit Gantung. Di sana dia ingin menemui seseorang.

"Bibi cantik bukan saja banyak ilmu kanuragan, tetapi juga gudang pengetahuan. Untungnya Bibi selalu memberikan keterangan lengkap mengenai tokoh-tokoh persilatan!" batin Teja Arum, sementara bibirnya sedikit melengkung.

Kalau dilihat dari sisi ini, dia yakin gurunya adalah bidadari yang turun ke bumi karena menjalani hukuman. Kalau hanya orang yang sudah sangat tua, tidak mungkin informasinya selengkap itu.

Bukit Gantung. Bukit kecil, tapi sangat rapat pepohonannya. Daunnya juga rimbun menghalangi cahaya surya masuk ke dalamnya. Jadi suasananya remang-remang kalau di siang hari.

Begitu memasuki lereng bukit, Teja Arum sudah merasakan aura yang pekat. Aura yang berasal dari seorang tokoh sakti yang mendiami puncak bukit ini.

Sesaat perasaan merinding melanda pemuda tampan ini. Semakin mendaki semakin kuat hawa saktinya. Tiba-tiba dia mendengar kesiur angin sangat halus dari arah depan!

***

# Bab 7.

Berkat ilmu Tapak Harum yang dia kuasai, seluruh indra yang dimiliki menjadi sangat peka. Termasuk seseorang yang selalu mengikutinya sejak keluar desa, dia dapat merasakannya.

Sekarang, walaupun kesiur angin itu masih jauh sampai belasan tombak, tapi dia sudah bisa mendengarnya sehingga langsung ada persiapan.

Tepp!

Dua jari tangan Teja Arum -telunjuk dan jari tengah- berhasil menangkap sebuah benda yang melesat bagai anak panah yang hendak menembus jantungnya.

Dia menangkapnya pada jarak satu jengkal di depan dadanya. Ternyata hanya sebatang ranting seukuran ibu jari tangan.

Namun, dengan melesat cepat seperti tadi, pastinya dilemparkan oleh seseorang dengan tenaga dalam tinggi.

Pemuda tampan murid wanita cantik ini baru beberapa tombak memasuki lereng bukit, tapi sudah mendapat ancaman.

Padahal dia punya maksud baik. Sejenak Teja Arum mematung setelah melemparkan sepotong ranting tadi.

"Sampurasun, maaf, saya telah tidak sopan memasuki tempat ini. Tapi saya bermaksud baik!" ucap Teja Arum pelan tidak dibantu dengan pengerahan tenaga dalam karena itu tidak akan sesuai dengan ucapannya.

Namun, sebagai balasannya berupa angin berhembus kuat membawa dedaunan terbang. Bukan sembarang terbang, daun-daun itu bergerak menghujani tubuh Teja Arum. Bagaikan ratusan pisau menyerbu dari berbagai arah.

Berkat gemblengan Putri Bunga pula, naluri si pemuda tampan ini menjadi kuat dan peka. Mendapat serangan seperti itu, secara spontan hawa saktinya mengalir dan tenaga dalamnya keluar diaplikasikan dalam bentuk gerakan dua tangan mengibas.

Blakk! Byarrr!

Ratusan daun yang bagai pisau tersebut runtuh sebelum mengenai tubuh Teja Arum. Tempat yang dia pijak bergetar beberapa saat. Pemuda ini tidak mengerti kenapa dirinya diserang begitu rupa, seolah dia telah berbuat salah.

"Kau akan menemui banyak keanehan yang tidak bisa dimengerti oleh akal, itulah dunia persilatan!" Begitulah salah satu wejangan guru cantiknya. Walaupun demikian tetap saja mengundang penasaran, apa sebab serangan ini? Dia harus tahu alasannya.

Sejurus kemudian Teja Arum merasakan hawa sakti yang lebih kuat dari sebelumnya ketika baru menaiki lereng bukit. Si penunggu bukit ini mungkin sudah berada di sekitarnya.

Hawa sakti ini bergerak berpindah-pindah. Kadang di depan, belakang juga samping kanan atau kiri pada jarak sekitar radius lima tombak. Akan tetapi pandangan Teja Arum tetap ke depan dengan terus bersikap tenang.

"Apapun yang kau hadapi, tetap tenang!" Terngiang lagi nasihat gurunya.

Kejap berikutnya dia merasakan hawa sakti itu datang dari belakang sangat kuat, tetapi tiba-tiba saja satu sosok muncul dari depan membawa serangan pukulan.

Desss!

Secara refleks telapak tangan Teja Arum menghadang pukulan tersebut. Inilah pertama kalinya mengeluarkan ilmu Tapak Harum.

Tubuh si pemuda sampai terpental lima langkah, beruntung masih bisa menyeimbangkan diri sehingga tidak sampai terjatuh.

Sementara sosok yang menyerangnya juga terdorong tiga langkah lalu terperangah atas apa yang terjadi. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan juga penasaran.

"Tapak Harum, apa hubunganmu dengan Putri Bunga?" tanya orang ini.

Dia telah meyakinkan diri bahwa ilmu yang digunakan si pemuda memang benar adanya, ditambah ada aroma harum setelah beradu tangan tadi semakin menguatkan bukti.

Teja Arum mengulas senyum sambil menjura. "Ki Jantur rupanya mengenal guru saya,"

Sekali lagi si penyerang yang bernama Ki Jantur ini terkesiap. Dalam pikirannya penuh tanya, bagaimana bisa wanita cantik bagai bidadari itu memiliki murid pemuda yang tampaknya lebih tua?

Tapi itu juga salah satu keanehan jagat persilatan. Akhirnya pikiran Ki Jantur mengembalikan pada dugaan-dugaan mengenai Putri Bunga yang selama ini beredar.

"Kau mengenalku, siapa namamu?"

"Ibarat kata orang buta sudah sering melihatnya, orang tuli mendengar kisahnya dan orang bisu membicarakan tentangnya. Begitulah nama Ki Jantur yang sudah tersohor..."

"Kau pintar merangkai kata!"

"Nama saya Teja Arum!"

Tiba-tiba Ki Jantur malah tertawa terbahak-bahak. Sementara Teja Arum kerutkan dahinya.

"Namamu seperti perempuan, apa itu pemberian gurumu?"

Si pemuda tercekat sejenak, lalu kembali mengumbar senyum ramah. "Itu pemberian orang tua saya,"

"Apa maksudmu datang ke sini?"

"Saya sedang mencari Rana Weleng,"

Ki Jantur terkejut lagi, lalu menatap Teja Arum penuh curiga. Dia tidak memikirkan bagaimana pemuda ini tahu kalau dia ada hubungan dengan Rana Weleng, tapi untuk apa mencarinya?

"Kau orang kerajaan yang diperintah untuk menangkapnya?" selidik Ki Jantur.

"Bukan!"

"Bukan, lantas siapa dan mau apa?"

"Saya hendak meminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dia lakukan..."

"Perbuatan apa?" potong Ki Jantur dengan suara lebih keras. Wajahnya menjadi bengis dan menyeramkan.

"Mengacau di desa saya, membunuh orang-orang penting di sana!"

Untuk kedua kalinya Ku Jantur tertawa lepas mengandung tenaga dalam sampai merontokkan daun-daun kering dan membuat burung-burung minggat dari pohon yang sedang didiaminya.

"Kau tahu aku sahabat dekatnya, apa kau tidak berpikir aku akan melindunginya? Sebelum menemukannya, kau sudah mampus duluan di tanganku!"

"Saya tahu, justru karena kau sahabatnya tentunya tidak ingin sahabatnya salah jalan. Sesama sahabat akan saling mengingatkan pada jalan kebenaran!"

"Bagus betul nasihatmu. Anak kemarin sore sudah sok berkata bijak!"

"Jadi Ki Jantur membela perbuatan salah yang telah dilakukan sahabat sendiri?" cela Teja Arum.

"Hm, salah atau benar, apakah sudah benar-benar jelas perkaranya?"

"Tentu saja, saksinya banyak!"

"Apa kau termasuk saksinya?"

Teja Arum terkesiap sejenak. "Memang saya tidak sempat menyaksikan karena datang terlambat, tapi orang-orang..."

"Bagaimana kalau mereka berdusta?" sela Ki Jantur.

"Bagaimana bisa mereka bersekongkol dalam menunjuk satu tersangka?" balas Teja Arum.

"Cukup! Sebaiknya kau selidiki dulu kebenarannya. Aku tahu betul watak sahabatku. Untuk saat ini aku akan membelanya kecuali kalau benar-benar terbukti dia bersalah. Silakan usut dulu sampai tuntas..."

"Tapi..."

"Atau kau hanya pulang tinggal nama!"

Teja Arum tidak dapat berkata-kata lagi. Dia sadar ilmunya masih rendah. Walaupun tadi bisa menahan serangan Ki Jantur, tapi kalau pertarungan dilanjutkan bukan mustahil dia akan menemui ajal.

Tetapi dia kesal juga, sudah jelas banyak saksinya, masih saja disangkal dan meminta bukti yang lebih kuat.

"Baiklah, saya akan terus mencari keadilan!"

Dengan perasaan dongkol Teja Arum akhirnya berbalik dan kembali melangkah menuruni lereng bukit. Sikap membela yang ditunjukkan Ki Jantur memang tidak salah. Seharusnya dia sudah tahu kejadiannya, tapi masih menyangkal.

Ada apa ini? Benarkah bibi Winarti berdusta dalam kesaksiannya? Teja Arum tidak putus asa, masih ada yang bisa dia temui guna mencari keberadaan Rana Weleng.

Mengingat pembunuhan yang terjadi atas empat orang yang membawa patung Whisnu emas, Rana Weleng pasti masih berkeliaran, tapi bagaimana menemukannya karena dia belum mengenalnya?

Sampai di bawah, Teja Arum merasakan orang yang selalu mengikutinya baru saja berkelebat pergi.

"Dia menunggu di bawah, tidak ikut naik. Siapa dia sebenarnya dan apa tujuannya?"

Teja Arum memandang ke arah timur. Tempat yang akan dia tuju selanjutnya. Si penguntit pasti membuntutinya ke sana  pula. Akan tetapi baru saja hendak melangkah, dia merasakan ada seseorang yang datang. Siapa lagi?

***

# Bab 8.

Teja Arum menunggu dengan sikap tenang. Lalu dari arah depan berkelebat dan mendarat satu sosok berpakaian serba hitam dan wajahnya ditutupi topeng tipis terbuat dari kayu.

"Ah, rupanya kau seorang pemalu sehingga menyembunyikan wajah di balik topeng," sapa Teja Arum seolah-olah sudah saling kenal saja.

Si hitam bertopeng kayu ini malah mengambil sikap kuda-kuda. Sebilah pedang panjang digenggam dua tangan terangkat sejajar dengan kepala dalam posisi siap menebas.

Sinar mentari sore menimpa bilah pedang tersebut hingga memantulkan cahaya yang menyilaukan. Hawa membunuh terpancar dari senjata panjang itu.

"Kau mencariku?" Suara si topeng terbungkam karena terhalang topengnya, tapi masih terdengar jelas ke telinga lawan bicaranya.

"Siapa kau, bagaimana aku bisa membenarkan kalau kau adalah orang yang aku cari?"

Dalam sikap tenangnya, Teja Arum sudah waspada. Ajaran silat dari gurunya kebanyakan tidak dibuka dengan sikap kuda-kuda atau sejenisnya.

Sikap pembuka jurusnya tidak kentara, orang mengira dia hanya sedang berdiri atau duduk biasa saja. Siapa tahu kalau di dalamnya telah menyiapkan sesuatu.

"Akulah yang kau cari saat ini!"

"Kalau begitu..."

Teja Arum tidak dapat meneruskan kata-katanya karena si hitam bertopeng kayu ini sudah bergerak bersama pedangnya menebas dari kanan ke kiri.

Wukk!

Ujung pedang yang tak terlihat mata biasa lewat satu jengkal di depan muka si pemuda yang sudah menindak satu langkah ke belakang pada saat yang tepat.

Walaupun tidak terkena sabetan pedang tersebut, tetapi hempasan angin yang ikut bersamanya terasa bagaikan kerikil menerpa wajahnya.

Dari sorot matanya, si topeng tampak terkejut mendapati serangan ganas yang selama ini tidak pernah meleset sekarang hanya menemui angin kosong saja.

Serangan berlanjut dengan gerakan cepat. Pedang berkelebat terlihat seperti gulungan cahaya yang mengurung si pemuda tampan murid wanita tercantik.

Dari setiap gerakan pedang, entah itu menebas atau menusuk, serangan intinya yaitu gerakan menebas dari kanan ke kiri yang ditujukan ke arah leher.

Jurus yang diperagakan si topeng ini tampak kaku, tapi sangat cepat. Setelah beberapa saat mencerna, akhirnya Teja Arum menemukan kalau jurus ini bukan dari tanah Nusantara ini.

Sang guru pernah menjelaskan bahwa jurus semacam ini berasal dari negeri seberang tempatnya para samurai berada dan jurus pedang hebat yang dimiliki Rana Weleng juga berasal dari sana.

"Apa!" batin Teja Arum terlonjak. Apa mungkin yang dia hadapi sekarang adalah Rana Weleng? Menurut gurunya, Rana Weleng adalah murid seorang samurai dari negeri matahari terbit.

Sampai lewat belasan jurus, Teja Arum hanya terus menghindar. Si pemuda juga heran, kenapa semudah ini dia bisa menghindar dari semua serangan lawan.

Pendekar Pedang Sukma bilang, Rana Weleng adalah pendekar pedang terkuat. Bertarung dengan Rana Weleng adalah salah satu cita-cita Pendekar Pedang Sukma guna mengukur sampai di mana kemampuannya.

"Kenapa seperti ini, apa mungkin dia Rana Weleng palsu?" pikir Teja Arum dalam hati.

Swukk!

Gerakan menebas leher dari arah kanan ke kiri inilah yang paling berbahaya. Kalau tidak menggunakan jurus Langkah Bayangan, maka sudah terpenggal lehernya.

Si pemuda tidak punya kesempatan menyerang balik. Selain karena tidak menggunakan senjata, juga karena serangan lawan yang begitu rapat mengurung ruang geraknya.

Namun, berkat jurus Langkah Bayangan si tampan ini selalu luput dari ancaman. Ini juga membuat Teja Arum semakin heran. Kenapa pendekar pedang terhebat seperti ini?

Di langit barat, matahari semakin mendekati peraduannya. Jagat sebentar lagi gelap. Sementara dua orang masih bertarung sudah melewati puluhan jurus.

Keduanya masih sama-sama kuat. Teja Arum menggunakan teknik pernapasan yang diajarkan gurunya supaya tidak lekas lelah atau kehabisan napas.

Sementara si topeng tidak terlihat bagaimana kondisinya karena wajahnya yang sembunyi di balik topeng kayu tipis. Namun, dari serangan pedangnya masih tetap seperti di awal-awal.

Sampai suatu saat, ketika Teja Arum tidak fokus karena pikiran yang berkecamuk. Satu tebasan andalan mengancam jiwanya.

Swukk! Tepp!

Untungnya dalam sepersekian kejap si pemuda langsung sadar. Dia memutar tubuh menghadap ke kiri, lalu menggerakkan sepasang telapak tangan seperti sedang menepuk lalat.

Ujung pedang terjepit di antara telapak tangan di waktu yang tepat sesuai perhitungan. Teja Arum merasa lega jurus Tapak Menghimpit Angin tidak mengecewakannya. Ini kedua kalinya setelah sebelumnya menahan serangan Pendekar Pedang Sukma.

Si topeng tertegun sejenak, terkejut mendapati hal yang tidak terduga ini. Setetes keringat tampak meleleh dari balik topeng di bagian dahinya.

Namun, si hitam bertopeng kayu ini tidak selemah Pendekar Pedang Sukma. Dalam hitungan kedip dia sudah menarik pedangnya kembali hingga terlepas.

Pada saat itulah peluang terbuka, Teja Arum memanfaatkannya dengan mengirimkan serangan tangan kosong yang mengarah pada sendi-sendi tangan dan bagian dada lawannya.

Serangan mendadak ini membuat si topeng hampir kehilangan fokus, tetapi pedangnya tidak bisa berbicara lagi. Karena setiap serangannya selalu dihalau pukulan lawan yang mengenai lengan atau sikunya.

Begitulah yang dilakukan Teja Arum. Mengantisipasi serangan pedang dengan memukul bagian pergelangan atau siku lawan dengan tangan kiri.

Sedangkan tangan kanan mengirimkan serangan tapak ke arah dada atau perut. Di sini tangan kiri lawan yang biasa ikut menggenggam gagang pedang menjadi sibuk menangkis serangan tersebut.

Situasi berubah, si topeng bersenjata pedang malah terdesak. Ini menjadi aneh kalau si topeng ini benar-benar Rana Weleng yang sedang dicari-cari Teja Arum.

Sementara Teja Arum semakin yakin kalau lawannya ini hanya mengaku-ngaku saja. Apa maksudnya?

Kalau dia orang yang selalu menguntitnya sejak keluar dari desa, kenapa tidak sejak awal menghadangnya? Kenapa pula mengaku-ngaku sebagai Rana Weleng?

Kalau memang dia Rana Weleng yang asli, tentunya tidak akan bersembunyi di balik topeng. Mungkin hanya kebetulan saja memiliki jurus yang berasal dari negeri seberang sana.

Mendapati situasi yang terdesak, si topeng berusaha mencari celah melebarkan jarak. Tangan kiri membuka jalan agar pedang di tangan kanan mendapat kesempatan.

Usahanya membuahkan hasil ketika gerakannya dipercepat dari sebelumnya membuat Teja Arum sedikit kehilangan ruang gerak.

Walau sedikit, tetapi cukup berpengaruh. Si topeng berhasil lepas dari kurungan serangan  Teja Arum. Pedangnya sudah kembali bebas menyerang.

"Dia sudah mengetahui inti jurusku. Tidak mungkin aku ulangi lagi, dia pasti dapat mematahkannya. Ternyata anak ingusan ini cukup bertaji juga. Lebih baik aku melapor saja!"

Si topeng kembali membuat serangan menebas dari kanan ke kiri, kali ini sambil meloncat ke depan sehingga mendapat daya dorong dan tebasan yang lebih kuat dari sebelumnya.

Teja Arum pun sudah siap menyambut dengan jurus Tapak Menghimpit Angin, tapi ternyata serangan ini hanya tipuan. Si topeng tidak menebaskan pedangnya, melainkan terus melesat ke atas meninggalkan tempat itu.

"Sialan!" maki Teja Arum seraya mengejar sosok lawannya yang berkelebat ke arah timur.

***

# Bab 9.

Inilah saatnya Teja Arum menggunakan ilmu meringankan tubuh yang menjadi ciri khas sang guru. Ilmu 'Lumpat Angin', begitu sang guru cantik memberi nama ilmu ini.

Belasan tombak di depan sana sosok si topeng masih dapat dilihatnya dengan jelas walau langit timur sudah mulai gelap.

Kalau dulu digunakan hanya untuk latihan sambil mengejar rusa yang berlari sangat cepat, sekarang dipraktekkan guna mengejar musuh.

Meski belum tahu siapa sebenarnya si topeng tersebut, tapi sudah pasti ada kaitannya dengan kejadian yang telah menimpa desanya.

Mungkin saja dia anak buah Rana Weleng, mengingat jurusnya mungkin saja orang ini telah mendapat gemblengan dari pimpinan buronan kerajaan tersebut.

Setidaknya kalau bisa mengejarnya dia akan dapat mengorek keterangan dari si topeng tersebut.

Wuss!

Sosok Teja Arum melesat mendekati lawan yang tengah dikejarnya. Beberapa kejap lagi jarak yang sekitar tujuh tombak dapat dilalui dengan cepat.

Namun, ketika satu jangkauan lagi dapat meraih punggung si topeng, tiba-tiba dari depan dan samping kanan kiri berhamburan puluhan anak panah menggagalkan usahanya.

Teja Arum terpaksa menarik mundur, melambatkan laju tubuhnya guna menghindari serbuan anak panah tersebut.

Dalam waktu seketika itu juga secara refleks dua tangannya yang telah terisi tenaga dalam mengibas seperti gerakan membuka pintu.

Byarr!

Puluhan anak panah kandas, terpental kembali sebelum menyentuh sasaran. Rupanya komplotan si topeng sudah menunggu di sini.

Pastinya sudah ada rencana dan persiapan sebelumnya. Si topeng ternyata tidak sendiri. Dugaan Teja Arum semakin kuat, mereka mungkin sebelas prajurit setia yang selalu mengikuti Rana Weleng.

Teja Arum yang sudah mendarat membanting kakinya karena sasaran telah lolos. Si topeng sudah lenyap entah ke mana.

Serbuan anak panah tadi memang untuk melindungi si topeng agar tidak tertangkap si pemuda tampan murid wanita tercantik itu.

"Jurig edan!" umpat Teja Arum sambil mendengkus kesal.

Dari mana orang itu tahu kalau dia sedang mencari Rana Weleng? Mungkin saja Ki Jantur sudah melaporkan hal ini, mengingat dia baru saja turun dari bukit Gantung.

Sedangkan Teja Arum sendiri belum tahu seperti apa sosok Rana Weleng. Sementara musuh sudah tahu dirinya, maka bahaya kini selalu mengancam dirinya.

Karena hari sudah gelap, maka Teja Arum mencari kampung terdekat untuk mencari tempat menginap malam ini.

Sebelum melangkah dia mengitarkan pandangan, mengenali tempat yang dia pijak sekarang. Dia akan tetap ke sebuah tempat yang menjadi tujuan berikutnya demi mendapatkan informasi tentang Rana Weleng.

Ketika memasuki sebuah desa, Teja Arum melihat seorang lelaki setengah baya tengah duduk lesu menyandar ke sebuah pohon.

Wajah lelaki ini tampak murung, sorot matanya menyiratkan sedang putus asa. Hati si pemuda jadi tergerak ingin tahu apa yang telah menimpa orang ini.

"Paman, hari sudah sareupna. Kenapa Paman masih duduk menyendiri di sini. Apa tidak takut sandekala?"

Lelaki setengah baya itu mengangkat wajahnya, menatap sendu ke arah pemuda tampan yang tidak dikenalnya.

"Kau siapa?" tanya lelaki ini pelan seperti orang kelelahan.

"Aku pengembara yang kemalaman, kiranya Paman bisa menunjukkan di mana ada penginapan?"

"Di desa ini tidak ada penginapan!"

"Kalau begitu, sudikah Paman menyediakan tempat bernaung untuk malam ini saja?"

Lelaki ini menatap Teja Arum agak lama sampai tidak berkedip. Menilai apakah pemuda ini orang baik. Ditatap seperti itu, Teja Arum mengulas senyum ramah.

"Aku sedang tidak ingin pulang, kau cari yang lain saja!"

"Apa yang terjadi kepada Paman, sudikah menceritakannya? Barangkali aku bisa membantu!"

"Apa kau yakin bisa membantu?'

"Bisa diputuskan kalau Paman memberitahukan masalahnya,"

Lelaki setengah baya ini menegakkan badannya yang masih duduk lalu menarik napas panjang. Teja Arum pun akhirnya duduk di sebelah orang ini.

"Aku ini seorang peternak kuda. Memang tidak banyak, hanya punya lima kuda saja. Ada satu kuda terbaik yang membuat Raden Kandayun tertarik dan ingin membelinya.

"Tetapi semalam, kuda itu hilang ada yang mencuri. Seorang pekati kuda yang bekerja padaku ditemukan tewas. Kemungkinan dibunuh si pencuri itu!"

Teja Arum mendengarkan sambil angguk-angguk kepala seraya jari telunjuknya mengusap-usap dahinya.

Lelaki ini jelas sangat gelisah. Bagaimana kalau si pembeli yang merupakan putra mahkota kerajaan Kendan itu datang. Apa alasan yang akan dikemukakan?

Orang ini menyebutnya Raden Kandayun, nama lengkapnya adalah Wretikandayun putra bungsu raja yang sedang membangun kota di Karang Kamulyan.

"Mudah-mudahan aku bisa membantu, tetapi aku mohon paman menunjukkan mayat pekati yang tewas itu serta menceritakan kejadiannya dengan jelas,"

Entah kenapa lelaki setengah baya ini seperti mendapat angin segar. Sebuah harapan, padahal dia baru mengenal Teja Arum.

"Baiklah, mari ikut ke rumahku. Oh, ya siapa namamu?"

"Teja Arum!"

"Panggil saja aku Wirya!"

Kedua orang ini berdiri. Kemudian Ki Wirya melangkah di depan membawa Teja Arum ke rumahnya yang berlokasi di pinggiran desa yang berbatasan dengan hutan.

Halaman depannya tidak luas, tapi di halaman belakang terdapat tanah luas berumput. Tanah ini sengaja disediakan untuk kuda-kuda peliharaan Ki Wirya untuk merumput.

Di ujung halaman yang berbatasan dengan hutan inilah terdapat istal atau kandang kuda.

Masih di lapangan rumput, di seberangnya, yaitu berdekatan dengan rumah Ki Wirya di pojok kiri ada rumah kecil. Suasana sudah gelap ketika Teja Arum sampai di sana. Ki Wirya membawa pemuda ini ke rumah kecil itu.

"Inilah rumah pekati yang tewas itu. Namanya Ki Tanu lebih tua sedikit umurnya dariku. Dia tinggal bersama istrinya di sini!"

Ki Wirya mengucap salam yang langsung disambut oleh istri Ki Tanu yang segera keluar dari dalam. Sepasang mata wanita tua ini tampak sembab bekas tangisan, wajahnya pun pucat.

Mereka dipersilakan masuk. Begitu di dalam tampaklah seorang lelaki tua yang sudah tak bernyawa tergeletak di atas bale bambu.

Cahaya damar cukup menerangi ruangan sehingga bisa melihat keadaan jasad Ki Tanu. Berarti sudah sejak tadi malam jasadnya lelaki tua ini belum dikebumikan. Kondisinya pun sudah kaku dan dingin.

"Aku tidak membutuhkan siapa yang telah membunuh Ki Tanu," kata Ki Wirya, "aku bisa menjamin kehidupan Nyi Rinah setelah ditinggal suaminya. Aku hanya ingin kuda itu ditemukan!"

Teja Arum membungkuk, memeriksa keadaan Ki Tanu. Dia menemukan beberapa bagian badan yang menghitam seperti bekas pukulan yang sangat kuat.

Kebanyakan di bagian dada kiri dan leher, sepertinya di bagian ini pukulannya lebih kuat daripada yang lain.

"Pada saat ditemukan, tangan kanannya menggenggam ini." Ki Wirya mengambil sesuatu yang disimpan menyelip di dinding rumah yang terbuat dari bilik, yaitu bidang yang terbuat dari anyaman bambu.

"Sembilu!" ucap Teja Arum. Dalam benaknya mencari jawaban yang berhubungan dengan kejadian ini.

Untuk apa Ki Tanu membawa sembilu?

"Kemungkinan Ki Tanu berusaha menyelamatkan kuda, tapi si pencuri memukulnya hingga tewas. Tentang sembilu ini, aku tidak tahu untuk apa dia membawanya. Kalau digunakan sebagai senjata untuk melawan pencuri, tentunya sangat tidak memadai!"

"Bisakah Paman tunjukkan di mana tempat kejadiannya?" pinta Teja Arum.

"Mungkin kau lelah dan butuh istirahat, jadi besok saja aku tunjukkan. Biar lebih jelas melihatnya!"

Teja Arum hanya mengangguk saja. Dia memang sudah kelelahan. Pemuda ini melihat sekeliling ruangan sebelum melangkah keluar mengikuti Ki Wirya.

Dia melihat sesuatu di tempat yang tidak terlihat oleh orang lain, tapi mengabaikannya karena harus istirahat.

***

# Bab 10

Keesokan harinya setelah menguburkan jasad si pekati, Teja Arum dibawa ke tempat ditemukannya Ki Tanu yang sudah jadi mayat.

Ki Wirya menuntun si pemuda ke dalam hutan di belakang rumah si peternak kuda tersebut. Sampai agak jauh ke dalam, Ki Wirya berhenti di depan sebuah tanah yang berlubang besar.

Lubangnya cukup dalam kira-kira sepunggung kuda dan juga cukup untuk membuat dua ekor kuda. Tanahnya yang becek tampak kentara banyak bekas jejak kaki kuda.

"Di lubang ini Ki Tanu tewas!" tunjuk Ki Wirya.

Teja Arum mengedarkan pandangan, memperhatikan tempat sekitar. Barangkali dia menemukan sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dan terakhir melihat ke dalam lubang.

"Baiklah, kalau Paman ada kesibukan lain, silakan kembali saja. Aku akan coba menyelidiki dan mudah-mudahan menemukan kuda Paman,"

"Baik, aku tunggu hasilnya. Tiga hari lagi Raden Kandayun akan datang mengambil kuda itu!"

"Oh, ya, Paman. Aku lupa menanyakan, bagaimana ciri-ciri kuda itu?"

"Warnanya coklat muda, ujung kakinya putih. Di lehernya ada sedikit rambut hitam legam!"

"Terima kasih, Ki!"

Ki Wirya berbalik meninggalkan Teja Arum sendirian. Si pemuda melompat ke dalam lubang. Matanya tajam memeriksa setiap jengkal tanah becek ini.

Pemuda tampan ini terkesiap begitu melihat sesuatu yang tertutup gundukan tanah becek. Segera tangannya meraih benda tersebut.

"Obor kecil!"

Teja Arum membersihkan benda ini lalu disimpan ke balik ikat pinggangnya. Dia meloncat naik lagi. Kemudian dia berjalan lebih ke dalam lagi memasuki hutan yang cukup lebat dan lembab ini.

Pandangannya mengikuti jejak kaki kuda baik yang jelas tercetak di tanah atau yang menempel di daun-daun kering yang berserakan.

Mencari Rana Weleng memang penting, tapi menolong Ki Wirya demi tidak mengecewakan putra mahkota Kendan. Ini termasuk perbuatan baik dalam membantu orang lain.

Tidak terasa Teja Arum sampai di ujung hutan. Di sebelah luar terdapat tanah kosong yang luas yang hanya ditumbuhi rerumputan seperti tanah di belakang rumah Ki Wirya.

Jejak kuda masih terlihat di atas tanah berumput ini, menuntun Teja Arum pada sebuah tempat yang merupakan istal atau kandang kuda.

"Kudanya pasti ada di sini!" gumam Teja Arum.

Dengan tenang dia melangkah ke peternakan kuda yang tampak lebih besar dari milik Ki Wirya ini. Ada sepuluh kuda di dalam kandang yang disimpan di ruang masing-masing.

Dua orang pekerja yang sedang memasukkan rumput ke dalam tempatnya langsung berhenti dan menghampiri Teja Arum.

"Kau siapa, ada perlu apa?"

"Saya ingin bertemu dengan pemilik peternakan ini!" jawab Teja Arum sambil memutar bola mata, melihat sekeliling tempat. Ternyata bukan hanya kuda yang diternak, tapi juga ada kambing dan kerbau yang tempatnya terpisah.

"Kau ingin membeli kuda, kerbau atau kambing?"

"Saya hanya ada perlu dengan majikan kalian!"

Dua orang ini saling pandang. Salah satunya menyuruh yang lain memanggil juragan mereka dengan anggukan kepala.

"Kau tunggu saja!" Orang ini kembali bekerja, sementara yang satunya menemui sang majikan.

Tidak lama kemudian si pekerja tadi datang lagi bersama lelaki setengah baya yang tampak seumuran dengan Ki Wirya.

Si peternak ini wajahnya tampak berewokan. Dengan ramah orang ini menyambut Teja Arum seraya membawanya ke rumah yang agak jauh dari kandang-kandang ternak ini.

Agak lama mereka di dalam. Entah apa yang dibicarakan. Ketika Teja Arum keluar, wajah si berewok tampak pucat seperti ketakutan. Sementara si pemuda menyeringai kecil.

Teja Arum meninggalkan peternakan ini. Kembali ke rumah Ki Wirya melalui hutan tadi. Sementara si berewok tampak bergegas pergi entah ke mana.

Dari si berewok, si pemuda ini sudah mendapatkan inti permasalahan yang sebenarnya. Dugaannya tidak meleset kalau kuda milik Ki Wirya disembunyikan di sana, tetapi dia tidak akan memberitahukan lebih dulu kepada pemiliknya.

Belum lama masuk kembali ke hutan, tiba-tiba telinga si tampan ini mendengar kesiur angin yang mencurigakan.

Nalurinya langsung waspada. Tidak lama kemudian dua benda melesat dari arah belakang mengincar leher dan kepala.

Sett! Cepp! Cepp!

Dua senjata kecil yang berupa pisau ini hanya mengenai pohon di depan Teja Arum. Sebab si tampan sudah lebih dulu bersalto ke atas kemudian mendarat dengan berbalik arah.

Dua orang lelaki bersenjata golok tampak bersiap menyerang. Teja Arum menduga mereka pasti pendekar bayaran.

"Kalian pendekar bayaran si berewok, ya?" cibir si tampan. "Huh, tak disangka kiranya dia hanya pura-pura takut di depan saja!"

Tidak banyak bicara lagi, dua lelaki bersenjata golok ini langsung memberikan serangan yang tidak tanggung-tanggung.

Dua golok berkelebat mengejar sasaran, ke arah perut dan leher. Teja Arum menggunakan jurus 'Langkah Bayangan'. Ini pertama kalinya menghadapi dua orang sekaligus.

Sosok pemuda tampan ini seperti bayangan yang tidak bisa disentuh. Ke mana pun dua golok bergerak, selalu menemui sasaran kosong.

Untungnya dua orang ini tingkat tenaga dalamnya masih biasa saja. Bukan termasuk pendekar yang sudah kawakan.

Entah kenapa si peternak berewok itu menyewa orang semacam ini? Lewat belasan jurus, Teja Arum masih mulus tak sedikit pun tergores senjata lawan. Sedangkan dua orang tersebut napasnya sudah mulai tidak teratur.

Namun, mereka tidak kehabisan akal. Secara tiba-tiba mereka melemparkan senjata rahasia berupa pisau kecil tadi guna mengecoh  Teja Arum.

Awalnya si pemuda sedikit kerepotan, tetapi beberapa kejap kemudian sudah bisa mengatasinya.

"Banyak mengulang, maka makin sempurna!" Terngiang suara petunjuk gurunya.

Benar, semakin sering digunakan sebuah jurus, maka akan semakin sempurna penguasaannya. Menghadapi dua orang ini, Teja Arum menganggapnya seperti latihan saja.

Sementara dua orang bersenjata golok ini semakin geram. Ternyata lawannya tidak bisa dianggap enteng.

Tidak menyangka mereka mendapatkan lawan yang seperti ini. Masih muda, tapi gerakannya sangat lincah bagaikan sudah lama berkecimpung di jagat kaum pendekar.

Sebenarnya Teja Arum hanya menggunakan akalnya saja. Dari awal dia membaca dan mencari inti gerakan jurus lawan.

Sehingga ke sininya bisa dengan mudah menebak gerakan kembangannya. Jadinya seolah-olah pemuda tampan ini sudah tahu sepuluh gerakan ke depannya.

Mendapati lawan yang begitu rumit, dua orang bersenjata golok semakin beringas.

Bersambung….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SAKA SINTING 01
1
0
Gratis bab 1 sampai 10.Dikhianati istrinya, difitnah saudaranya, ditambah kejadian tragis yang menimpa perguruannya membuat hatinya sangat terpukul sampai kehilangan akal sehingga menjadi orang setengah gila.Namun, dia mendapat ilmu langka secara tidak sengaja. Selain itu di dalam hatinya yang paling dasar, dia masih memiliki kesadaran sebagai manusia waras dan mempunyai tujuan yang harus dicapai dalam hidupnya.Maka dengan sifatnya yang agak gila dan didukung kekuatan barunya dia membalas dendan dan sakit hati serta membersihkan namanya yang sudah tercoreng di dunia persilatan.Ikuti kisahnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan