
Baca gratis bab 1 sampai 10.
Danurwenda, pendekar muda yang sedang menanjak namanya dihadapkan pada pembunuhan berencana yang menjebak dirinya. Di saat sedang berjuang mengembalikan nama baiknya, Danurwenda terlibat jalinan asmara dengan putri senapati yang ternyata menyimpan sebuah rahasia.
Berhasilkah Danurwenda membersihkan namanya? Lalu rahasia apa yang ada pada putri senapati?
# Bab 1
Seekor kuda tampak berlari melintasi jalan yang membelah belantara rimbun. Di atas hewan tunggangan ini, seorang lelaki setengah baya agak berdiri mengapit punggung kuda jantan tersebut. Kedua tangannya menggenggam erat tali kekang.
Wajahnya menyiratkan kecemasan. Keringat sebesar biji jagung menetes di dahi. Dia tampak terburu-buru. Bukan karena dikejar waktu, tetapi sedang menyelamatkan diri dari kejaran beberapa orang yang memburunya.
Sementara itu, tiga orang yang wajahnya ditutupi topeng terbuat dari kayu tipis, berkelebat dari pohon ke pohon menggunakan ilmu meringankan tubuh. Mereka mengejar si penunggang kuda.
Dua orang di kanan dan satu lagi di kiri jalan. Hebatnya, meski kuda berlari begitu kencang, mereka bertiga mampu mengejar bagaikan elang yang terbang sambil meliuk-liuk.
Ketika jaraknya sudah semakin mendekat, sekitar lima tombak lagi bisa mengejar si penunggang kuda. Salah satu orang bertopeng melemparkan senjata berupa anak panah berukuran kecil.
Syutt!
Namun, naluri si penunggang kuda cukup kuat juga. Dia merundukkan badan, maka lewatlah senjata kecil itu hanya menemui tempat kosong.
Syutt!
Sekali lagi serangan datang dari sebelah kanan. Si penunggang kuda merebahkan badannya ke sebelah kiri punggung kuda. Selamat lagi untuk kedua kalinya.
Akan tetapi serangan terus berlanjut. Dalam situasi seperti itu tentu saja si penunggang kuda tidak bisa bergerak bebas. Selain menyelamatkan diri, juga harus mengendalikan kuda dan menjaga barang penting yang dibawanya di balik baju.
Sampai suatu ketika akhirnya tiga orang bertopeng kayu memilih untuk melukai hewan tunggangannya.
Syutt! Cepp!
Anak panah kecil itu tepat mengenai paha kanan kaki depan. Tak ayal lagi kuda ini langsung tersungkur.
Sementara si penunggang kuda sudah waspada. Sebelum kudanya terjungkal dia sudah melenting ke atas setinggi dua tombak dari punggung kuda. Dia lalu bersalto satu kali guna menyeimbangkan diri.
Begitu mendarat di tanah, posisinya sudah dikepung tiga orang bertopeng yang kini sudah menggenggam senjata masing-masing berupa golok.
Kejap berikutnya tiga serangan beruntun memburu si penunggang kuda ke tiga titik berbahaya pada tubuhnya. Namun, lelaki setengah baya ini mampu menghindari ketiganya dengan sekali berkelit.
Sayangnya si penunggang kuda tidak membawa senjata yang bisa melindungi dan mungkin bisa menyerang balik. Sehingga dia lebih banyak menghindar saja.
Tetapi tentu saja hal itu tidak bisa bertahan lama. Selain karena tenaganya yang mulai menurun, gerakannya juga melambat. Akibatnya senjata lawan berhasil menggoreskan luka di kulitnya.
Srett!
Meski tipis, tapi terasa perih karena bercampur keringat dan ini sangat menggangu konsentrasinya. Akhirnya sabetan demi sabetan menghujani badannya.
Darah menetes dari luka-lukanya yang menguak. Pandangan lelaki setengah baya ini mulai kabur, kepalanya juga terasa berat.
Sementara tiga orang bertopeng ini sepertinya tidak mau memberi ampun. Mereka memang berniat menghabisi si penunggang kuda.
Namun, di saat-saat genting seperti itu tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat bersama sebuah pukulan jarak jauh yang terbentuk dari kumpulan tenaga dalam.
Wutt! Blasss!
Tiga golok yang hampir menebas leher, dada dan perut terpental kembali bagaikan menghantam dinding tak kasat mata.
Seorang pemuda tampan tampak sudah merangkul si penunggang kuda yang hendak roboh karena kelelahan.
"Danurwenda!" seru salah seorang bertopeng kayu.
"Berani sekali kau ikut campur!" maki yang lainnya.
"Gawat, kita menghadapi lawan yang tangguh!" bisik yang satunya lagi.
Danurwenda tampak tenang saja mendudukkan si penunggang kuda ke pinggir jalan. Dia belum melakukan apa pun ketika tiga orang bertopeng menyerbunya.
Namun, begitu satu jangkauan lagi senjata mereka menemui sasaran.
Plakk!
Tiga senjata mereka terlepas dari genggaman. Wajah ketiganya seketika pucat.
"Edan, gerakannya sangat cepat sekali!" ujar salah seorang bertopeng.
"Benar, padahal tadi dia masih membelakangi kita!" sahut yang lain.
"Mau main curang, hah!" hardik Danurwenda.
Danurwenda seorang pendekar muda yang memiliki tubuh gagah ideal. Tidak terlalu kekar, juga tidak kurus. Bentuk wajah yang lonjong dengan garis sempurna membentuk pesona yang memikat kaum wanita.
Tiga orang bertopeng pantang menyerah, mereka kembali menyerang Danurwenda. Namun, permainan jurus mereka dapat diimbangi si pendekar muda yang asal-usulnya cukup misterius ini.
Di dunia persilatan tidak ada yang tahu dari mana Danurwenda berasal. Orang tua, guru dan dari perguruan mana lahir sebagai pendekar, belum ada yang tahu.
"Kepung tiga arah!" ucap salah seorang bertopeng.
Sekarang mereka lebih ke penasaran ingin menjajal kemampuan pendekar muda tersebut.
"Kenapa cuma tiga, bukannya ada delapan arah?"
Danurwenda masih bisa bersikap konyol dengan raut wajah seperti linglung. Kini dia diserang dari tiga arah. Kadang datang secara bersamaan, ada pula menyerang dengan cara bergantian.
Walaupun demikian ternyata si pemuda masih mampu mengimbangi tiga lawannya. Jurusnya selalu tidak mudah ditebak.
"Kau tahu jurusnya yang ini?" tanya salah seorang bertopeng kepada temannya ketika mereka saling bertukar tempat.
"Seperti kata orang, jurusnya tidak bisa dikenali!" jawab temannya sambil berpindah tempat, lalu dia memberi isyarat kepada temannya dengan kedipan mata.
Maka lawan yang berada di belakang dengan cepat melemparkan senjata rahasia anak panah kecil ke arah leher Danurwenda.
Wutt! Tepp!
Senjata tersebut terjepit di antara dua jari tangan Danurwenda yang bergerak cepat ke belakang begitu merasakan ada kesiur angin menerpa lehernya.
Si pemuda tersenyum tipis sambil mengacungkan dua jari yang menjepit senjata itu.
"Mau curang lagi?"
"Jurus Jepitan Jari Dewa, ternyata bukan omong kosong!" seru si topeng yang melemparkan senjata tadi.
Hebatnya lagi, sekejap kemudian senjata itu meluncur balik ke arah si pemilik. Kontan saja dia tak bisa menghindar karena saking cepatnya luncuran senjata tersebut.
Crepp!
"Ukh...!"
Anak panah kecil ini tepat menancap di tengah-tengah kening. Si topeng yang satu ini langsung roboh.
Dua temannya terkejut bukan main. Nama besar Danurwenda memang bukan cuma isapan jempol belaka. Namun, sepertinya mereka belum putus asa.
"Kurang ajar, terima pembalasan kami!" teriak si topeng di sebelah kanan.
"Aku kira kalian yang akan menyusul dia!" balas Danurwenda. Pertarungan pun berlanjut.
Dalam satu kesempatan, dua orang bertopeng berhasil memungut kembali senjatanya lalu segera digunakan untuk menyerbu Danurwenda.
Seperti tadi, mereka akhirnya merasakan Jurus Jepitan Jari Dewa. Ujung golok mereka terjepit jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan Danurwenda tanpa tergores sedikit pun.
Lebih terkejut lagi keduanya tidak bisa melepaskan senjata masing-masing dari jepitan tersebut.
"Edan, kuat sekali!" Si topeng satu kerahkan seluruh tenaganya, tapi tiada hasil.
Tidak ada cara lain akhirnya mereka melepaskan genggamannya lalu melemparkan senjata anak panah kecil sebelum berbalik mengambil langkah seribu.
Trang! Trang!
Anak panah kecil itu ditangkis oleh golok yang masih terjepit di jari Danurwenda.
"Ini pembalasan bagi tukang curang!" Danurwenda lemparkan dua golok tersebut ke depan.
Wushh! Crepp! Crepp!
Lemparan golok lebih cepat dari gerakan lari mereka. Akhirnya keduanya roboh setelah punggung masing-masing tertembus senjatanya sendiri.
***
# Bab 2
Danurwenda segera berbalik menolong si penunggang kuda. Ternyata kondisinya semakin parah. Sepertinya sudah tidak kuat menahan luka-lukanya.
"Paman, bertahanlah. Aku akan membawa Paman ke tempat tabib!"
"Tidak perlu, Danurwenda!" Si penunggang kuda berkata dengan terpatah-patah karena menahan sakit.
"Jangan khawatir, Paman pasti bisa selamat!"
"Jangan repot-repot, tolong penuhi permintaanku... Ah!"
"Katakan, Paman!"
Si penunggang kuda mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kantung kain tipis, menandakan isinya juga tipis.
"Berikan ini langsung kepada Senapati Mandura!"
Danurwenda menerima bungkusan tersebut yang tidak memakan tempat andai disimpan di balik baju. Sementara si penunggang kuda sudah mulai kejang-kejang.
"Paman, paman!" Danurwenda tampak panik.
"Namaku ... Janitra, ah!"
Si penunggang kuda akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Tiba-tiba telinga Danurwenda menangkap suara angin berdesir dari belakangnya.
Danurwenda berjungkir balik satu kali ke depan lalu balik badan.
Tepp! Tepp!
Dua tangannya berhasil menjepit dua anak panah kecil, tetapi ternyata yang datang bukan hanya itu. Puluhan senjata lainnya melesat menyerbu Danurwenda.
Kontan saja Danurwenda tolakkan dua kaki ke tanah sehingga tubuhnya melenting ke atas sambil berputar. Segelombang angin menghempas dari badan si pemuda.
Werrrr!
Puluhan anak panah kecil berpentalan ke segala arah karena tidak mampu menembus gelombang angin yang merupakan pertahanan pelindung Danurwenda.
Danurwenda sudah mendarat dengan selamat, tatapannya begitu awas mencari si penyerang yang tidak menampakkan diri.
"Gelo, tidak ada orangnya!"
Kalau dilihat dari senjata tadi, sudah pasti si penyerang ini masih satu komplotan dengan orang bertopeng tadi.
"Hei, tunjukan wujudmu atau kau makhluk yang tak punya wujud?"
Beberapa saat Danurwenda menunggu serangan susulan, tapi tidak datang lagi setelah menunggu lama. Akhirnya si pemuda segera mengurus jasad si penunggang kuda yang bernama Janitra ini.
Dengan sebuah pukulan tenaga dalam, Danurwenda bisa membuat lubang besar di tanah. Lalu dia menguburkan Janitra di lubang tersebut.
Beberapa lama kemudian Danurwenda sudah melangkahkan kaki ke arah barat. Dia tetap waspada, siapa tahu si penyerang masih mengawasinya.
Danurwenda hendak ke Karang Kamulyan, kota raja baru dari kerajaan yang juga baru berdiri yaitu Galuh.
Sebelumnya masih bernama Kendan dan ibu kota atau kota rajanya tidak di sana. Namun, sejak Rahyang Wretikandayun menjadi Putra Mahkota, dia mulai membangun kota raja baru di Karang Kamulyan.
Akhirnya ketika Rahyang Wretikandayun naik tahta, pusat pemerintahan langsung dipindahkan ke Karang Kamulyan. Namun, belum sepenuhnya beres. Masih ada yang belum dibenahi.
Untuk itu di beberapa tempat di pinggiran wilayah Karang Kamulyan ditugaskan beberapa senapati untuk menjaga keamanan walaupun kemungkinan ada gangguan sangatlah kecil.
Salah satu senapati yang ditugaskan adalah Senapati Mandura yang namanya disebut Janitra sebelum meninggal tadi. Kepada senapati itulah Danurwenda harus menyampaikan amanat.
Semula Danurwenda ingin menggunakan kuda tunggangan yang dipakai Janitra, tetapi hewan itu sudah terluka oleh senjata anak panah kecil.
Untungnya tempat bertugas Senapati Mandura berada di batas kota sebelah timur, jadi tidak memerlukan perjalanan jauh.
"Ada yang tidak ingin benda ini sampai ke tangan senapati!" batin Danurwenda sambil meraba ikat pinggangnya.
"Benda ini pasti sangat penting. Aku hanya ketitipan, tidak boleh membuka isinya kecuali kalau sudah mendesak. Sesuai permintaannya harus menyerahkan langsung kepada senapati!"
Meski penasaran apa isi benda yang dititipkan Janitra, tetapi Danurwenda tidak mau berlaku lancang. Isinya pasti berurusan dengan kerajaan. Dia hanya bertugas menyampaikan saja.
***
Perbatasan kota sebelah timur letaknya di kaki sebuah gunung. Di sini Senapati Mandura ditugaskan. Terdapat sebuah rumah tinggal sementara untuk sang senapati. Sedangkan untuk prajurit di bawah pimpinannya tinggal di dalam barak.
Senapati Mandura seorang lelaki yang sudah berumur lima puluhan tahun. Sosoknya masih tampak gagah. Dia sudah mengabdi sejak kerajaan masih bernama Kendan dan belum pindah ibukotanya.
Di tempat tugas ini sang senapati didampingi beberapa bekel. Salah satunya adalah putra sulungnya sendiri yang bernama Sutasena yang baru berumur dua puluh lima tahun, tapi sudah mencapai pangkat bekel.
Tempat tugas sementara ini layaknya sebuah kediaman dilingkari oleh pagar pembatas terbuat dari batangan kayu kecil. Di depan gerbang atau pintu masuk tampak empat prajurit yang sedang kebagian tugas jaga.
"Lihat, ada seseorang yang hendak ke sini!" tunjuk salah satu prajurit.
"Masih muda, aku kira umurnya baru dua puluh dua tahun," ujar prajurit ke dua.
"Tapi dia cukup gagah dan tampan," sambung prajurit ke tiga.
"Sepertinya dia seorang pendekar kalau dilihat dari cara berpakaiannya." Prajurit yang pertama tadi berpendapat.
"Tapi terlalu rapi dan bersih. Biasanya seorang pendekar kurang memperhatikan penampilan!" Prajurit yang ke empat menanggapi.
"Benar juga, dia tidak membawa senjata yang menjadi ciri khas pendekar." Prajurit ke dua setuju pendapat prajurit ke empat.
"Kita lihat saja dia mau apa ke sini," kata prajurit ke tiga.
Sementara pemuda yang sedang mereka bicarakan sudah mendekat. Pemuda itu tidak lain adalah Danurwenda.
"Sampurasun!" Danurwenda memberi salam sambil menjura tanda hormat.
"Rampes, siapa kau dan mau apa?" tanya prajurit jaga ke empat.
"Saya Danurwenda, hendak bertemu dengan Gusti Senapati Mandura,"
"Ada keperluan apa? Kami mewakili Gusti Senapati, kau bisa menyampaikan saja kepada kami!" tanya penjaga yang ke tiga.
"Maaf, saya mendapat amanat dari seseorang yang bernama Janitra untuk menyampaikan langsung kepada Gusti Senapati," sanggah Danurwenda.
"Maksudmu Bekel Janitra?"selidik penjaga tadi.
"Mungkin begitu, sebab dia hanya menyebut namanya saja." Karena Danurwenda tidak mengerti tentang kepangkatan dalam prajurit.
"Di mana dia?" tanya prajurit pertama penasaran.
Sebagai pendekar jujur maka Danurwenda menceritakan kejadiannya secara rinci tanpa ada yang dikurangi.
Keempat prajurit jaga ini terkejut dan menyimpulkan bahwa Danurwenda memang seorang pendekar muda.
Lalu dari arah dalam datang seseorang. Dari tanda keprajuritannya, orang ini lebih tinggi pangkatnya dari empat penjaga.
"Rupanya pendekar muda Danurwenda yang singgah kemari!" ujar prajurit yang baru datang mengenali Danurwenda.
"Oh, Danurwenda!" gumam yang lain.
"Tuan ini siapa?" tanya Danurwenda.
"Beliau Bekel Sutasena putra Gusti Senapati Mandura!" Salah seorang menjelaskan.
Danurwenda segera menjura. Sementara salah seorang penjaga menjelaskan maksud kedatangan Danurwenda.
"Kalau begitu ikut aku, silakan!"
Sutasena langsung membawa Danurwenda ke rumah tinggal sang senapati yang letaknya di tengah-tengah.
Sampai di depan pintu, Sutasena mempersilakan Danurwenda masuk sendirian sesuai permintaannya yang ingin bertemu Senapati Mandura empat mata saja.
Ketika hendak masuk, sudut mata Danurwenda melihat sesuatu yang berkelebat di atas wuwungan. Sangat cepat sehingga tidak bisa melihat dengan jelas.
Si pemuda tingkatkan waspada, siapa tahu saja dia si penyerang yang menggunakan senjata anak panah kecil.
Begitu di dalam Danurwenda langsung memberi hormat kepada lelaki setengah baya dengan pakaian khas prajurit berpangkat tinggi.
Sang senapati baru saja meneguk minuman dalam gelas bambu. Dia melambaikan tangan satunya sebagai tanda menerima hormat.
"Saya...." Suara Danurwenda terputus.
***
# Bab 3
Tiba-tiba saja terdengar suara aneh mirip suara serangga malam di tengah hutan cukup santar.
Lebih mengejutkan lagi Senapati Mandura tiba-tiba menjerit kesakitan sambil memegang kepalanya. Wajahnya tampak memerah.
"Gusti Senapati, apa yang terjadi?" Danurwenda panik. Dia hendak memegang senapati, tetapi terasa hawa panas menyengat di udara yang membungkus tubuh sang senapati.
Danurwenda mundur beberapa tindak. Senapati Mandura roboh dengan muka gosong dan nyawanya lepas begitu saja. Setelah itu suara aneh mirip serangga hilang.
Dari luar, Sutasena yang mendengar suara jeritan ayahnya langsung menghambur masuk.
"Ayah!" teriak Sutasena tampak bergidik melihat kondisi ayahnya, lalu menuding ke arah Danurwenda. "Kau pembunuh!"
"Tidak, bukan aku!" Danurwenda mencoba tenang. Dia merasa telah dijebak.
Dia curiga pada suara mirip serangga tadi yang terdengar dari atas atap.
"Di dalam sini hanya ada kau. Kalau bukan kamu, siapa lagi pembunuhnya?"
"Tapi buk--"
"Prajurit, tangkap pembunuh ini!"
Dalam waktu singkat Danurwenda sudah dikepung belasan prajurit bersenjata lengkap. Tidak ada celah untuk kabur kecuali melawan.
Sedangkan dia tidak ingin melawan, sebab dia tidak merasa bersalah. Tetapi untuk bicara baik-baik pun tidak ada gunanya. Semua prajurit ini pasti akan menuruti perintah atasannya.
Lalu Danurwenda melihat ke langit-langit, hanya itulah jalan satu-satunya untuk menerobos ke luar. Dalam situasi seperti ini dia tidak bisa bertingkah konyol seperti sebelumnya.
Maka ketika beberapa senjata tombak menderu ke arahnya, Danurwenda tolakkan kaki ke lantai kuat-kuat sehingga tubuhnya meluncur ke atas menjebol atap rumah yang terbuat dari 'welit' atau rumbia.
Brass! Trakk!
Serangan tombak beradu sesama temannya sendiri. Sebagian prajurit sudah berlari keluar mengejar Danurwenda.
Pendekar muda itu mendarat indah di halaman belakang rumah. Ternyata di sini ada barak prajurit. Dia salah mengambil langkah.
Tadinya dia mengira kalau mengambil jalan depan akan sulit karena banyak prajurit. Ternyata jalan belakang juga tidak kalah banyak.
Karena prajurit yang sedang berkumpul di barak langsung siaga begitu mendengar teriakan perintah Bekel Sutasena. Lalu ada orang tak dikenal baru saja mendobrak atap.
Maka tidak salah lagi yang dimaksud pembunuh tadi adalah orang yang baru mendarat ini, yaitu Danurwenda.
Pecahlah pertarungan satu lawan banyak. Kali ini Danurwenda menggunakan salah satu ilmu andalannya yang bernama Hampang Awak.
Salah satu jenis ilmu meringankan tubuh yang biasanya digunakan untuk berlari cepat. Sesuai namanya, Hampang artinya ringan dan Awak artinya tubuh, tapi saat ini ilmu tersebut digunakan untuk gerak cepat menghindari serangan yang begitu banyak dari segala arah.
Seperti di awal Danurwenda tidak ingin melukai prajurit satu pun. Dia hanya ingin meloloskan diri karena merasa dijebak.
Dengan Ilmu Hampang Awak sosoknya berubah seperti angin yang bergerak cepat. Semua serangan dari puluhan prajurit tidak ada yang berhasil bersarang di badannya.
Selain itu dia mencari atau membuka celah agar ada jalan untuk melarikan diri. Dia tidak peduli seandainya nanti dicap buronan karena telah membunuh pejabat istana.
Setelah beberapa lama akhirnya Danurwenda bisa merangsek keluar dari kepungan prajurit. Begitu peluang terbuka, dia langsung melesat ke arah lereng gunung yang berada di belakang.
"Maaf, aku bukan pembunuh. Aku berjanji akan menemukan siapa pelaku sesungguhnya!" teriak Danurwenda.
Danurwenda melesat bagaikan cahaya, sosoknya langsung lenyap di balik rimbunnya pepohonan. Para prajurit termasuk Sutasena yang sudah ikut mengejar menjadi kebingungan. Jejak Danurwenda tidak dapat ditemukan.
Apalagi hari sebentar lagi malam. Suasana di tempat itu sudah tampak gelap.
***
Besoknya tersiar kabar bahwa pendekar muda yang sudah menorehkan namanya di dunia persilatan, Danurwenda menjadi buronan kerajaan karena telah membunuh Senapati Mandura.
Danurwenda tidak mungkin kembali ke rumahnya yang berada di sebuah desa kecil di dekat sungai Citarum. Pemuda ini sekarang berada di tempat persembunyian, di sebuah bukit sebelah utara perbatasan kota Karang Kamulyan.
"Suara aneh seperti serangga malam, sosok misterius di atas atap. Aku yakin dialah yang membunuh senapati. Entah ilmu apa yang dia gunakan, begitu senapati mendengarkannya langsung kesakitan dan tewas," gumam Danurwenda mengingat peristiwa kemarin.
"Ilmu itu jelas ditujukan kepada senapati sebab aku tidak terpengaruh sama sekali!"
Danurwenda harus menemukan sosok misterius itu demi mengembalikan nama baiknya. Tetapi dari mana dia memulainya?
Sedangkan saat ini dia sudah menjadi orang yang sangat dicari kerajaan. Kalau menyerahkan diri, dia tidak akan bisa membela diri.
Kesaksian Sutasena sudah cukup untuk menjebloskannya ke penjara atau bahkan dihukum penggal.
"Tidak, aku tidak bersalah dan aku harus membuktikannya!" tekad Danurwenda.
Lalu dia mengingat lagi rangkaian kejadiannya dimulai dari ketika menolong dan menerima permintaan seorang bekel bernama Janitra.
"Kelompok orang bertopeng itu tidak ingin Senapati Mandura tahu rahasia yang terkandung dalam benda yang dititipkan Bekel Janitra padaku.
"Sosok di atas atap yang mengeluarkan bunyi serangga malam pasti bagian dari kelompok orang bertopeng. Dia langsung membunuh senapati dengan ilmunya sekaligus menjebak dan memfitnahku!"
Berkali-kali Danurwenda menghela napas gelisah. Namanya sudah cukup dikenal di jagat kaum pendekar, tetapi baru kali ini dia menghadapi masalah yang cukup rumit menurutnya. Karena masih bingung harus mulai dari mana cara memecahkannya.
Sudah lama pendekar muda ini duduk di atas dahan pohon tinggi di puncak bukit lagi, sehingga dia bisa memandang ke tempat yang jauh dalam radius seratus tombak lebih.
Dari semua arah yang telah dia pandangi sejak pagi tadi, hanya ada satu jalan besar yang membentang dari arah utara ke selatan hingga sampai ke perbatasan kota.
Bola matanya yang awas dapat melihat sesuatu yang mencolok di ujung utara. Sebuah kereta kuda mewah dikawal beberapa prajurit berkuda di depan dan belakang.
"Yang di dalam kereta itu pasti orang penting, tapi...."
Danurwenda menangkap pergerakan lain jauh di depan kereta kuda tersebut. Beberapa orang tengah bersembunyi di balik pohon.
"Walah, mereka hendak menghadang rombongan itu!"
Danurwenda berdiri seimbang di atas dahan yang melintang. Kejap berikutnya sosok Danurwenda sudah melesat ke utara dengan Ilmu Hampang Awak, sosoknya seperti terbang. Padahal aslinya dia meloncat-loncat.
Ketika sedikit lagi mendarat, dia tolakkan lagi ujung kakinya ke tanah, pucuk daun atau ranting sehingga tubuhnya melesat lagi. Namun, karena jarak yang begitu jauh, dia tidak bisa mencegah terjadinya pencegatan rombongan yang mengawal kereta kuda.
Di sana sudah terjadi pertarungan antara prajurit pengawal dengan penghadang yang menutupi wajahnya dari hidung ke bawah dengan kain hitam dan bersenjata golok.
Mereka ternyata kawanan perampok yang memiliki kepandaian silat cukup tangguh sehingga prajurit yang mengawal kereta tampak terdesak. Bahkan ada yang sudah terluka kena bacokan golok. Termasuk kusir kereta kuda yang sepertinya tidak memiliki kepandaian bela diri sudah terkapar tak bernyawa sejak awal.
Salah seorang perampok naik dan hendak masuk ke saung kereta yang terdapat seorang gadis berparas cantik, tetapi di waktu yang tepat Danurwenda tiba langsung menendang orang ini sampai terpental jauh.
"Hahaha … jangan harap, ya!" ujar Danurwenda.
***
# Bab 4
Gadis berwajah lonjong dan bibir tipis ini terkejut dan takut melihat Danurwenda. Dia hendak berteriak, tetapi Danurwenda segera melintangkan telunjuk di bibirnya sambil merunduk.
"Tenang, aku akan menyelamatkan kamu!" ujar Danurwenda pelan dengan nada meyakinkan.
Tanpa ragu lagi Danurwenda membopong gadis bermata lentik dan leher jenjang ini. Si pemuda sempat menahan napas saat melihat bagian dada dan merasakan kulit mulus si gadis yang belum dikenalnya ini. Jantungnya mendadak berdebar kencang.
Kemudian pendekar muda ini segera membawa si gadis cantik dengan meloncat langsung dari kereta ke dalam hutan di sisi kanan jalan. Dia sempat melihat prajurit pengawal sudah berjatuhan tidak mampu melawan para perampok.
Si pemimpin rampok melihat sasarannya dibawa lari Danurwenda tampak menggeram marah. Segera dia berikan perintah.
"Kejar dia!"
Beberapa senjata tampak berseliweran ke atas mengejar sosok Danurwenda yang berkelebat sambil membopong gadis yang menjadi incaran perampok.
Tetapi semuanya tidak ada yang menemui sasaran. Lalu kawanan perampok ini segara mengejar. Sayangnya Danurwenda sangat cepat berkat Ilmu Hampang Awak. Sosoknya langsung lenyap dan para pengejar kehilangan jejak.
Si gadis merasakan jantungnya melayang ketika mendapati dirinya seolah terbang. Dia juga terpesona menatap wajah si pemuda yang cukup memikat hati.
Entah kenapa hatinya langsung percaya kalau di pemuda hendak menolongnya. Padahal belum mengenalnya. Mungkin karena Danurwenda tidak menutup wajahnya, jadi bukan bagian dari kelompok perampok itu.
Setelah jauh dari kejaran perampok, Danurwenda mendarat dengan indah lalu menurunkan gadis yang digendongnya.
"Aku kira mereka tidak akan menemukan kita, di sini sudah aman!"
Danurwenda mengajak si gadis duduk di bawah pohon rindang. Angin berhembus pelan terasa menyejukkan dan menghapus keringat setelah beberapa saat dibuat tegang.
"Terima kasih, tapi bagaimana dengan pengawalku?"
"Biarkan saja, aku yang akan mengantarmu. Oh, ya, kau pasti orang penting. Ke mana aku harus mengantarmu pulang?"
"Aku mendapat kabar bahwa ayahku telah dibunuh, jadi aku hendak mengunjungi tempat kerjanya. Di sana juga ada kakakku...."
"Tunggu," sela Danurwenda "siapa ayahmu?"
"Senapati Mandura,"
"Kebetulan sekali, jadi kau putrinya?"
"Iya, kebetulan bagaimana?" Si gadis berpakaian bagus yang menambah aura kecantikannya ini kerutkan kening.
"Siapa dulu namamu?" tanya Danurwenda dengan sedikit senyum membuat jantung si gadis berdetak cepat.
"Prabarini, kau siapa?"
"Aku Danurwenda!" Si pemuda tidak ragu menyebut namanya walau tahu seperti apa sikap si gadis nantinya.
Benar saja Prabarini langsung terkesiap. Wajahnya agak memerah dan secara refleks beringsut menjauh.
"Kau... pembunuh ayahku!" seru Prabarini. Kali ini dia seperti ketakutan. Kiranya lepas dari kejaran singa masuk ke kandang macan.
"Bukan!" tukas Danurwenda.
"Sudah banyak saksinya, bahkan kakakku sendiri yang menyaksikan. Kau masih mengelak?" Suara Prabarini agak meninggi.
"Aku dijebak!"
"Kalau begitu buktikan jika kau tidak bersalah!"
"Ini memang sulit, tapi sesungguhnya aku benar-benar tidak membunuh ayahmu. Aku kira kau juga tidak akan mengerti jika aku jelaskan,"
"Apa lagi yang ingin kau jelaskan?"
"Ini berkaitan dengan dunia kependekaran, aku takut kau tidak akan memahaminya,"
"Jelaskan saja, karena aku juga ingin tahu bagaimana ayahku tewas di tanganmu!"
Danurwenda mendesah keras, tapi dia mengerti apa yang dipikirkan Prabarini. Lalu dia menceritakan kejadiannya dimulai dari mendapatkan titipan dari Bekel Janitra sampai tewasnya Senapati Mandura oleh suara aneh seperti serangga malam.
"Aneh, seperti tidak masuk akal!" ujar Prabarini setelah Danurwenda selesai menjelaskan.
"Sudah kuduga, kau tidak akan mengerti,"
"Lalu apa rencanamu?" tanya si gadis bertubuh sintal ini.
"Kalau kau percaya padaku, akan aku cari orang yang mengeluarkan suara serangga itu. Dia pasti menggunakan semacam ilmu hitam!"
"Bagaimana kalau kau tertangkap lebih dulu sebelum membuktikan kebenarannya?"
Danurwenda terdiam. Perkataan Prabarini memang benar. Sedangkan dia sendiri masih buta siapa musuh yang telah mencemarkan nama baiknya ini.
"Tadinya aku berharap kau mau percaya dan mendukungku untuk membongkar siapa dalang sesungguhnya di balik kejadian ini!" harap Danurwenda.
Diam-diam Prabarini menatap bola mata si pemuda begitu dalam seperti hendak menelannya saja. Dari sorot mata Danurwenda yang sendu itu terdapat sinar kejujuran.
Di samping itu Danurwenda sudah terkenal sebagai pendekar beraliran lurus. Tidak ada motif untuk apa membunuh Senapati Mandura, kecuali dia pembunuh bayaran.
"Baiklah, karena kau sudah menolongku. Aku juga akan membantumu sesuai apa yang aku bisa!"
Wajah Danurwenda berubah cerah setelah murung beberapa saat.
"Terima kasih, walaupun aku belum tahu harus mulai dari mana. Tetapi aku kira bisa dimulai dengan memeriksa kembali jasad ayahmu,"
"Aku setuju, jasad ayahku tidak akan dikubur sebelum aku datang melayatnya untuk yang terakhir kali,"
"Terus, kenapa kamu cuma sendirian tidak bersama ibumu?"
"Ibuku sudah meninggal!"
"Oh, maaf!"
Akhirnya mereka berangkat menuju markas Senapati Mandura. Mungkin kali ini tidak secara terang-terangan sebab status Danurwenda masih buronan.
Ada perasaan lain dari sudut mereka sebagai manusia menuju dewasa. Di mana ada ketertarikan ketika melihat lawan jenis yang begitu membangkitkan gelora.
Usia Prabarini mungkin terpaut dua tahun lebih muda dari Danurwenda. Usia keduanya sudah memasuki masa-masa kasmaran.
Apalagi melihat wajah tampan dan perawakan gagah, juga paras jelita dengan tubuh mulus, kencang dan bentuk yang ideal bagi para wanita.
Sejenak terlupakan masalah yang sedang menimpa mereka ketika masing-masing menikmati pemandangan indah dari teman seperjalanan.
Namun, suasana hati yang berbunga-bunga itu menjadi terganggu ketika tiba-tiba saja mereka dihadang beberapa orang bertopeng. Topeng yang dikenakan mereka begitu tidak asing.
"Kalian lagi!" seru Danurwenda, "kenapa tidak sekalian majikan kalian yang muncul?"
Sebagai jawabannya sebuah serangan bersama dibangun orang bertopeng kayu yang berjumlah tujuh orang ini. Serangan yang bukan hanya mengincar Danurwenda, tapi juga Prabarini.
"Tetap di sini!" kata Danurwenda.
Ilmu Hampang Awak langsung diperagakan. Kali ini dipadukan dengan jurus yang lain yaitu *Benteng Seribu.*
Dengan ilmu Hampang Awak, Danurwenda bergerak ringan dan cepat dengan Prabarini sebagai porosnya. Lalu jurus Benteng Seribu adalah jurus pertahanan.
Tenaga dalam dialirkan pada tangan dari kepalan sampai siku. Tenaga dalam ini membuat kedua tangannya menjadi sekuat benteng yang terbuat dari batu gunung yang besar.
Dengan tangan yang kuat ini Danurwenda menangkis setiap serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya. Bahkan senjata anak panah kecil ciri khas kelompok ini tidak mempan terhadap tangan Danurwenda.
Takk! Trakk!
Setiap pukulan orang bertopeng seperti menghantam dinding batu dan senjata andalan mereka pun tak mampu memberikan hasil.
"Jangan harap bisa menyentuh kami, ya!" teriak si pemuda.
Danurwenda berputar mengelilingi Prabarini seperti pusaran angin. Tujuh orang bertopeng tidak dapat merangsek maju selalu tertahan Jurus Benteng Seribu.
"Sialan, jurus apa lagi ini?" dengkus salah seorang bertopeng.
"Pendekar satu ini memang tidak bisa ditebak!" sahut yang lain.
***
# Bab 5
Sementara biarpun keadaannya terlindungi, tapi tetap saja Prabarini panik. Wajahnya memucat. Sinar kecemasan memancar dari kedua matanya yang lentik.
"Tenang saja, tetap jangan bergerak!" Danurwenda menguatkan hati si gadis.
Sudah selayaknya laki-laki ingin tampil jadi pelindung bagi wanita. Bahkan lelaki yang paling bodoh atau tidak memiliki kemampuan beladiri juga akan melakukan tindakan yang heroik demi wanitanya.
Prabarini pun mulai kagum melihat Danurwenda yang seolah menjelma jadi dewa penolong. Sebelumnya dia hanya merasakan dibawa terbang saja oleh ilmu meringankan tubuh.
Beberapa lama keadaan tampak seperti itu. Tujuh orang bertopeng tidak bisa menembus pertahanan Danurwenda. Cukup membuat hati mereka dongkol.
"Gila, tujuh orang tidak bisa menembus jurus ini!" seru salah satu si topeng lagi.
Berikutnya Danurwenda tambah tenaga dalam lebih besar lagi ke sepasang tangannya. Sampai-sampai kulit tangannya memancarkan cahaya hitam. Masih dengan jurus Benteng Seribu, hanya ke tingkat yang lebih tinggi.
"Sekarang rasakan ini!" seru Danurwenda.
Dengan tangan yang lebih keras lagi, Danurwenda tidak hanya menangkis, tetapi tangkisan itu dijadikan serangan balasan.
Dess! Krakk! Krakk!
Tujuh orang bertopeng seperti memukul dinding batu. Tenaga yang sudah terlanjur dilepaskan tidak bisa dihentikan.
Akibatnya bagaikan burung terbang menabrakkan diri ke tebing, hancur tubuh sampai ke tulang-tulangnya.
Begitu juga yang dirasakan ketujuh orang bertopeng. Tangan mereka yang terkena hantaman jurus Benteng Seribu retak sampai ke tulang. Ketujuhnya terlempar lalu jatuh bergulingan.
"Hahaha … sekarang kalian jadi manusia cacat!" ejek Danurwenda.
Kalau sudah begini apa lagi yang diandalkan. Ibarat burung kalau sayapnya patah sebelah, maka tidak bisa terbang.
Akhirnya mereka memilih mundur. Danurwenda sudah berdiri gagah di samping Prabarini. Sedikit peluh terlihat menetes di dahi.
Prabarini menarik nafas lega setelah situasi menjadi aman. Gadis ini tidak berhenti mengagumi kepandaian Danurwenda.
"Mari kita lanjutkan!" ajak Danurwenda.
Tanpa bertanya lagi Prabarini mengikuti langkah Danurwenda di sebelahnya.
Untuk kembali ke perbatasan kota sebelah timur cukup jauh jarak yang akan di tempuh. Sementara tidak mungkin mereka akan melewati perbatasan sebelah utara.
Danurwenda sedang dicari pihak kerajaan. Prabarini yang merupakan putri Senapati Mandura berada di sisinya, ini akan menimbulkan persepsi lain.
Akhirnya sepasang pemuda ini memilih jalur lain asal tidak melewati kota raja. Mereka menapaki jalan-jalan kecil yang melewati hutan, bukit dan kaki gunung.
Ketika matahari hampir tenggelam di langit barat, si gadis dan pemuda ini sudah hampir sampai di tempat tujuan. Kira-kira sejauh seratus tombak lagi markas tugas Senapati Mandura berada.
"Penjagaan pasti sangat ketat," ujar Danurwenda.
Mereka tidak segera bergerak ke sana, tetapi berhenti dulu di tempat tersembunyi.
"Kalau aku yang datang pasti tidak akan mengalami hambatan!"
Sudah pasti orang-orang di sana terutama Sutasena sedang menantikan kedatangan Prabarini.
"Kau alihkan perhatian, aku akan coba menyusup dari belakang, dari arah lereng gunung!"
"Baiklah, kita berbeda jalan, tapi tetap dalam jangkauan penglihatan. Gelapnya malam tidak masalah buatmu, kan?"
"Tentu, bukan masalah!"
"Kalau begitu aku akan melewati jalan utama dan kau mengikuti dari tempat tersembunyi!"
"Baik!"
Prabarini mengambil jalan utama dan satu-satunya menuju markas tugas ayahnya yang kini dipimpin sang kakak sebagai pengganti.
Sementara Danurwenda mengambil jalur tersembunyi. Dia meloncat dari pohon ke pohon. Bahkan dia sudah melesat jauh mendekati markas tugas, tetapi masih bisa melihat sosok Prabarini.
Gadis cantik putri Senapati Mandura ini membiarkan keadaannya yang sedikit kotor karena keringat dan debu.
Awalnya dia dikawal, tapi begitu sampai cuma sendirian dengan kondisi yang cukup memprihatinkan bagi seorang puti senapati yang biasanya selalu dimanjakan dengan kemewahan.
Prajurit jaga yang mengenalinya sejak dari jauh langsung melakukan tindakan penjemputan.
"Itu Gusti Putri, astaga! Kenapa berjalan sendirian?"
Empat prajurit jaga langsung berlari mengawal meski jaraknya sudah dekat. Mereka langsung membawa masuk ke rumah tinggal.
Sang kakak tentu saja terkejut melihat adiknya dalam kondisi sedemikian rupa.
"Rayi, apa yang terjadi?"
Prabarini langsung duduk dengan wajah muram. Dia sengaja berjalan agak cepat agar nafasnya terlihat terengah-engah. Dia tidak segera menjawab pertanyaan kakaknya.
Sutasena mengerti, maka dia membiarkan saja adiknya menenangkan diri terlebih dahulu. Berjalan sendirian tanpa menaiki kereta kuda dan tidak ada pengawalan, sudah pasti terjadi sesuatu hal buruk padanya.
Setelah Prabarini membersihkan diri, barulah dia menceritakan kejadiannya. Bahwa rombongannya dihadang perampok. Semua pengawalnya tewas. Lalu dia berhasil melarikan diri dan selamat. Tentu saja tidak menceritakan tentang Danurwenda.
Sementara Danurwenda sudah berada di atas pohon paling besar yang tumbuh di halaman belakang. Di bawah pohon ini terdapat barak prajurit.
Penjagaan di sini tidak seketat di depan. Tidak ada yang bertugas di pagar pembatas yang berseberangan dengan lereng gunung. Hanya ada penjaga pintu belakang rumah sebanyak empat orang.
Setelah beberapa lama menunggu tampak Prabarini muncul dari pintu belakang. Pura-pura melihat keadaan. Prajurit jaga langsung memberi hormat. Danurwenda mengerti itu merupakan isyarat untuknya.
Maka dengan ilmu Hampang Awak si pemuda melayang ke atap rumah tanpa menimbulkan suara. Danurwenda mengintip sejenak ke bagian dalam. Mencari di mana jasad Senapati Mandura disemayamkan.
Kemudian dengan menggeser atap rumbia itu Danurwenda berhasil menyelinap ke dalam. Kini dia menggantung di langit-langit lalu bergerak ke atas kamar di mana jasad senapati disimpan.
Di sana tampak Prabarini sedang bersimpuh di samping jasad ayahnya ditemani Sutasena. Gadis ini terisak-isak, tentu saja merasa kehilangan atas kepergian ayahnya.
Danurwenda memperhatikan wajah gadis itu lekat-lekat. Lalu pandangannya beralih ke mayat senapati.
Wajah senapati tampak menghijau seperti lumut. Kadang-kadang seperti gosong. Tidak ada luka lain di seluruh tubuh kecuali di wajah saja.
Karena Prabarini tampak larut dalam kesedihan, maka Sutasena meninggalkannya sendirian. Padahal si gadis sengaja agar bisa memberikan kesempatan kepada Danurwenda.
Begitu Sutasena keluar, Prabarini menutup pintu rapat-rapat walau tidak dikunci. Danurwenda tahu gadis itu sadar dan tahu ada dirinya di atas langit-langit kamar.
Jlek!
Danurwenda mendarat indah di samping jasad senapati, lalu dia langsung duduk memeriksa ulang keadaan jasad senapati untuk memastikan sesuai dengan penglihatannya semula.
"Hanya ini yang bisa dijadikan petunjuk!" tunjuk Danurwenda ke wajah senapati. Suaranya sangat pelan hampir berbisik.
Dua remaja ini tetap merasa tegang karena sewaktu-waktu bisa saja Danurwenda ketahuan.
"Apa yang akan kau perbuat?"
"Ijinkan aku mengambil sedikit darahnya di bagian sini,"
"Untuk apa?"
"Memastikan dia terkena racun atau ilmu apa yang bersarang di wajahnya ini!"
"Cepatlah sebelum kakakku kembali lagi!"
Kemudian Danurwenda mencari alat untuk menggores sedikit kulit di wajah senapati. Dia menemukan pisau kecil dan bumbung bambu kecil sebesar jari tangan untuk menyimpan darah.
Tidak butuh waktu lama Danurwenda sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Nantinya akan dijadikan petunjuk. Untungnya darahnya belum membeku di bagian kulit yang menghijau ini.
"Sudah selesai!" ujar Danurwenda langsung menyimpan bumbung kecil itu ke balik ikat pinggangnya.
Brakk!
***
# Bab 6
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kasar. Sutasena masuk dengan wajah garang.
"Kurang ajar, lancang!"
Putra sulung sang senapati langsung menarik pedang lalu diayunkan dengan cepat ke leher Danurwenda.
Danurwenda mendorong Prabarini agar menjauh, lalu dia sendiri melengkungkan badan ke belakang seperti gerakan kayang.
Swukk!
Ayunan pedang lewat satu jengkal di atas tubuhnya, tetapi pedang itu berputar cepat kini bergerak menebas dari atas ke bawah.
Tepp!
Untungnya Danurwenda lebih cepat menahan tebasan pedang ini dengan Jurus Jepitan Jari Dewa. Lalu dihentakkan sedikit tangannya.
Plakk!
Pedang patah jadi dua, Sutasena terjengkang dua langkah. Lalu dia ambil sebilah golok yang tergantung di dinding kamar seraya langsung dibabatkan ke kepala Danurwenda.
Sayangnya Danurwenda sudah mundur mendekati Prabarini. Digendongnya gadis itu bagaikan mengangkat benda yang sangat ringan.
"Aku bawa adikmu sebagai jaminan!" kata Danurwenda.
Kemudian pendekar muda ini meloncat ke atas menerobos atap. Hebatnya satupun potongan atap itu tidak menyentuh Prabarini.
"Ada penculik, kejar dan tangkap dia!"
Serentak puluhan prajurit langsung mengepung ke sekeliling bangunan, tetapi sayang sosok Danurwenda sudah lenyap di kegelapan malam.
"Kurang ajar, dia lagi!" bentak Sutasena menyesali tidak bisa menangkap Danurwenda. "Segera edarkan kabar bahwa Danurwenda telah menculik putri senapati, sebagian yang lain tetap cari dia, mungkin saja masih sembunyi di sekitar sini!"
"Baik!"
Karena Sutasena anaknya Senapati Mandura, maka untuk sementara dia menggantikan posisi ayahnya sampai turun senapati baru.
Sementara itu, Danurwenda langsung membawa jauh Prabarini ke tempat yang tersembunyi. Walaupun gelap, tetapi Danurwenda mampu melihat dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian mata.
Untuk kedua kalinya Prabarini merasakan digendong yang menurutnya ada sensasi seperti terbang saat Danurwenda melesat menggunakan Ilmu Hampang Awak.
Setelah dirasa cukup aman, akhirnya Danurwenda mendarat dengan mantap. Prabarini masih keenakan dalam gendongan si pemuda sampai Danurwenda menurunkannya dengan pelan.
"Sudah aman," ujar Danurwenda.
"Gelap sekali di sini, aku tidak bisa melihat apapun," kata Prabarini.
"Nanti aku buat perapian. Sekarang, sampai urusan ini selesai kau harus tetap bersamaku."
Dalam waktu singkat Danurwenda sudah mengumpulkan ranting-ranting kering. Lalu dengan teknik mengubah tenaga dalam menjadi api, dia membakar ranting-ranting tersebut sehingga tempat itu menjadi terang. Kedua orang ini sudah duduk di dekat perapian.
"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Prabarini.
"Menemui Ki Candala, seorang ahli racun. Aku akan menanyakan darah ayahmu ini apakah mengandung racun atau tidak?"
"Baiklah, aku ikut rencanamu saja,"
"Kamu tenang saja, soal makan atau ganti baju biar aku yang tanggung. Biar begini juga aku bukan pendekar melarat!" Danurwenda menggerak-gerakkan kedua alisnya dan bibirnya sedikit melengkung.
"Tidak apa-apa, aku juga masih membawa bekal beberapa kepeng emas."
Prabarini menggeser duduknya hingga menempel dengan Danurwenda. Si pemuda sempat tersirap darahnya merasakan kulit hangat dan lembut.
"Api ini masih kurang hangat," ujar Prabarini, "aku ingin istirahat sambil bersandar di bahumu, boleh, kan?"
"Bo- boleh!"
Tetap saja Danurwenda gugup. Urusan kependekaran dengan urusan wanita sangat berbeda. Dia bisa tegas, keras atau kasar dalam menghadapi lawan, tetapi urusan wanita tidak seperti itu dan dia belum pengalaman.
Akhirnya dengan hati deg-degan Danurwenda membiarkan kepala Prabarini bersandar di bahunya sampai gadis ini terlelap.
Esok harinya di waktu 'Balebat' (subuh) kedua orang ini sudah siap berangkat. Danurwenda belum sempat pejamkan mata karena menahan perasaannya, tetapi hal ini sudah biasa baginya. Seorang pendekar sering 'lelaku' melek demi mendapatkan sebuah ilmu.
"Di mana tempat tinggal Ki Candala?" tanya Prabarini.
"Lumayan jauh di sebelah timur sana, di bukit Grongngong,"
Perjalanan mereka tentu saja tidak melalui jalan umum atau ramai, karena sudah tersiar kabar Danurwenda menculik putri senapati.
Ketika melewati sebuah pasar kecil, selain membeli makanan untuk bekal, mereka juga membeli caping agak lebar yang bisa menghalangi muka ketika dipakai.
Mereka juga membeli seekor kuda untuk tunggangan berdua agar lebih cepat sampai ke tempat tujuan.
Namun, belum setengah jalan mereka sudah mendapat hambatan.
"Mereka lagi, berapa banyak jumlah mereka? Sepertinya selalu mengikuti ke mana kita pergi!" umpat Danurwenda.
Kira-kira ada sebelas orang bertopeng kayu yang bentuknya mirip dengan orang-orang bertopeng kemarin. Sudah pasti mereka masih satu komplotan dengan yang terus mengincar Danurwenda atau Prabarini.
"Kau pergi duluan, biar aku atasi mereka!" Danurwenda kemudian menepuk pinggang kuda bersamaan dengan sosoknya melenting ke udara.
Kuda yang membawa Prabarini langsung lari menerobos barisan orang bertopeng. Beberapa di antara mereka hendak menghentikannya dengan segala cara.
Namun, Danurwenda tidak membiarkannya. Di atas udara dia lepaskan pukulan jarak jauh dari ilmunya yang lain.
"Awas kalian!" teriak si pemuda.
Wushh!
Dia menggunakan Ilmu *Pukulan Awan Seribu*. Dari kedua tangannya melesat puluhan gumpalan putih kecil sekali pukul, bentuknya seperti awan.
Dess! Dess! Dess!
Gumpalan putih ini menghantam beberapa orang yang hendak menghambat lari kuda sampai terjengkang kembali ke belakang.
Prabarini selamat, Danurwenda sudah menukik ke bawah sambil kembali memukulkan kedua tangan di udara.
Wushh! Wushh! Plak! Plak! Plak!
Belasan orang bertopeng kerepotan dihujani benda mirip awan putih berukuran segenggaman tangan ini. Soalnya benda ini begitu keras bagai batu.
Begitu mendarat, Danurwenda berlari ke depan sambil terus mengeluarkan ilmunya ini.
"Sial! Ilmunya selalu tak terduga!" rutuk salah seorang bertopeng.
"Hahaha... rasakan!" seru Danurwenda.
Orang-orang bertopeng dibuat tak berkutik, mereka memilih menjauh ketika Danurwenda mendekat.
Kali ini Danurwenda tidak memberikan serangan yang sampai membikin cacat, dia hanya memukul mundur lawan saja.
Setelah terbuka jalan, segera dia melesat dengan Ilmu Hampang Awak meninggalkan mereka karena ada yang lebih penting untuk segera dilakukan.
Prabarini terkejut tahu-tahu Danurwenda sudah duduk di belakangnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Danurwenda.
"Tadi aku panik karena tidak bisa mengendalikan kuda ini, lalu aku mencoba tenang membiarkan saja dia lari ke mana. Untungnya kau cepat datang."
"Baiklah, ayo kita lanjutkan!"
Jika dengan berjalan kaki membutuhkan waktu hingga tiga hari, maka dengan berkuda hanya membutuhkan satu hari lebih sedikit saja.
Bukit Grongngong tampak sepi karena jauh dari pemukiman warga. Danurwenda memacu kuda menaiki jalan kecil ke lereng bukit.
Saat itu hari sudah gelap, si kuda tidak bisa lagi berjalan di kegelapan. Akhirnya mereka berhenti lalu menambatkan kuda ke sebuah pohon.
"Mau digendong lagi?" tawar Danurwenda.
Si gadis tersenyum manja dengan tatapan penuh arti. Danurwenda langsung menggendongnya lagi, lalu melesat membelah gelapnya malam menuju lereng bukit.
Belum juga sampai ke sana, dari kejauhan sudah terdengar ribut-ribut seperti suara perkelahian.
"Ada apa, kenapa berhenti di sini?" tanya Prabarini yang pendengarannya tidak setajam telinga Danurwenda.
"Ada sesuatu yang terjadi di sana!"
***
# Bab 7
Danurwenda menggandeng tangan Prabarini, lalu melangkah mendekati tempat kejadian.
Di lereng bukit tanahnya sebagian ada yang mendatar terdapat sebuah rumah yang diterangi beberapa obor di setiap sudutnya.
Di halaman rumah itu tengah terjadi pertarungan beberapa orang bertopeng melawan beberapa laki-laki setengah baya.
"Mereka lagi!" dengus Danurwenda.
Tanpa pikir panjang, pemuda ini langsung berkelebat ke arena pertarungan seraya mengirimkan pukulan jarak jauh dari Ilmu Pukulan Awan Seribu.
"Enyahlah kalian!" teriak Danurwenda.
Wushh! Wushh! Dess! Dess!
Hujan awan kecil seketika membuat sekelompok orang bertopeng kayu ini kocar-kacir.
"Kurang ajar! Dia datang disaat yang tepat!" maki salah satu orang bertopeng.
Mereka mencoba terus bertahan dengan menghalau hujan awan kecil tersebut menggunakan senjata masing-masing.
Begitu Danurwenda sudah berada di antara para lelaki setengah baya, dia terus memukul mundur kelompok bertopeng, menghujani mereka dengan Pukulan Awan Seribu.
"Haha... Kalian belum merasakan ilmuku yang satu ini!" seru Danurwenda.
Wutt! Wushh!
Orang-orang bertopeng bagai terlempar ke bawah. Prabarini menyaksikan dengan menahan napas. Ilmu Danurwenda yang satu ini cukup dahsyat.
Diam-diam gadis putri senapati ini semakin mengagumi Danurwenda.
Akan tetapi ada satu orang bertopeng yang masih bertahan. Kuda-kudanya begitu kuat bagaikan tertanam ke tanah. Sementara kedua tangannya memukul setiap gumpalan awan kecil.
Desss! Desss!
Danurwenda terperangah melihatnya, lalu dia hentikan Pukulan Awan Seribu. Para lelaki setengah baya yang berjumlah lima orang juga sudah berdiri di belakang si pemuda.
"Kau yang terhebat di antara mereka rupanya!" ujar Danurwenda.
Satu orang bertopeng yang tersisa ini membuat gerakan menguatkan diri, lalu sosoknya menerjang ke arah Danurwenda. Senjata goloknya berkelebat cepat.
Wutt!
"Jepitan Jari Dewa!" seru Danurwenda dengan sedikit menyeringai.
Tapp!
Dua jari tangan kanan Danurwenda berhasil menjepit bilah golok tepat waktu, sehingga senjata tersebut tertahan kuat bagai menacap di batu.
Sementara si topeng, karena mengerahkan tenaga yang cukup besar akibatnya membuat aliran hawa sakti di dalam tubuhnya menjadi kacau, karena merasaka seperti menabrak dinding raksasa.
Krakk!
Tangan yang memegang golok pun mengalami keretakan tulang. Seketika tubuhnya langsung lunglai. Danurwenda semakin menyeringai lebar.
"Rasakan!"
Bukk! Brugg!
Si topeng yang tersisa ini tak berkutik lagi ketika sebuah tendangan menghantam perut lalu tubuhnya terpental dan jatuh setelah menghantam sebuah pohon.
***
Lima lelaki setengah baya ini ternyata bersaudara. Wajah mereka mirip satu sama lainnya. Mereka adalah pembantu Ki Candala.
Atas jasa Danurwenda yang menyingkirkan orang-orang bertopeng, akhirnya si pemuda bersama Prabarini diperbolehkan bertamu.
"Saya memang sengaja datang ke sini untuk menanyakan sesuatu," ungkap Danurwenda.
"Aku kira kalian hendak memesan racun," timpal Ki Candala yang sudah nampak garis-garis ketuaannya.
"Tentunya berkenaan dengan racun juga, Ki!"
"Ada yang terkena racun, siapa dan di mana orangnya?" Ki Candala seperti mendapat rejeki besar.
Kemudian Danurwenda segera mengeluarkan bumbung bambu kecil yang berisi darah Senapati Mandura, lalu menyodorkan kepada Ki Candala.
"Orangnya sudah meninggal, ini darah yang saya ambil di bagian tubuh yang terluka. Mohon Aki memeriksanya dan kalau ada racun, maka apa nama dan jenis racunnya?"
Ki Candala menerima bumbung bambu kecil itu, lalu menuangkan isinya di atas sebuah daun yang cukup lebar. Dia memperhatikan lekat-lekat darah yang sudah membeku itu.
Danurwenda dan Prabarini terkejut ketika dua jari Ki Candala berani menyentuh dan mengambil darah tersebut lalu mendekatkan ke mata.
"Hati-hati, Ki. Bisa terkena racun!" seru Danurwenda.
"Tidak akan!" Ki Candala seperti menggumam. "Racun ini akan bekerja kalau mendengar suara serangga malam."
"Serangga malam?" Danurwenda ingat sebelum Senapati Mandura tewas, terdengar suara aneh yang mirip serangga.
"Ya, ini namanya Racun Pepengeng!"
"Racun Pepengeng?" ulang Danurwenda berbarengan dengan Prabarini.
"Seperti aku bilang tadi, racun akan bekerja menyerang sasaran yang dituju bila ada suara serangga malam. Racun Pepengeng sangat ganas sekali, tidak ada yang bisa selamat dari racun ini. Bahkan aku pun belum atau tidak bisa membuat penawarnya!"
"Aki tahu siapa pemilik atau pembuat racun ini?" Kali ini Prabarini yang bertanya.
"Pantas saja...." Ki Candala malah berkata lain, membuat sepasang pemuda itu penasaran.
Lalu dia menjelaskan orang-orang bertopeng yang menyerang tadi rupanya bermaksud melenyapkan keterangan. Mereka tahu Danurwenda dan Prabarini akan menemuinya.
"Aki tahu siapa mereka?" tanya Danurwenda semakin penasaran.
"Aku menduga mereka suruhan atau mungkin kelompok Macan Ucul!"
"Macan Ucul?" ulang Danurwenda lagi. "Saya baru mendengar kelompok ini!"
"Kelompok Macan Ucul dipimpin oleh Birawayaksa, dialah satu-satunya yang bisa membuat Racun Pepengeng!"
Mulut Danurwenda terbuka, tapi tidak bersuara. Sedangkan Prabarini malah terkatup.
Sekarang sudah ada petunjuk sedikit tentang pelaku pembunuhan Senapati Mandura yang sebenarnya. Danurwenda cukup girang mendengarnya.
"Akhirnya!" ucap si pemuda tampan ini.
"Dia sangat kuat, kesaktiannya tidak bisa diukur. Apa kau hendak balas dendam atas kematian orang ini?" tanya Ki Candala.
"Saya dijebak. Aki tentu tahu cara meracuni sasarannya, bukan?"
Ki Candala tampak merenung beberapa saat, lalu angguk-angguk kepala. Keterangan Danurwenda yang sangat singkat tadi cukup membuat dia mengerti dan membayangkan bagaimana kejadiannya.
"Tapi dia sangat hebat!" ujar Ki Candala lagi.
"Saya tidak peduli, yang penting bisa membuktikan bahwa saya bukan pembunuh!"
"Baiklah, aku tidak akan ikut campur soal ini. Aku sudah memberikan keterangan,"
"Satu lagi, Ki!" kata Danurwenda.
"Ya?"
"Di mana markas Kelompok Macan Ucul?"
"Kalau itu mohon maaf, aku tidak mau celaka seperti tadi lagi. Silakan cari sendiri!"
"Oh, maaf!" Danurwenda garuk-garuk kepala bagian belakang.
"Kita cari keterangan di luar saja," kata Prabarini.
"Baiklah!" sahut Danurwenda.
"Nah, karena sudah larut malam, maka lebih baik kalian istirahat di sini saja. Biar besok pagi turun bukit!"
"Terima masih, Ki!" ucap Prabarini.
***
Pagi-pagi buta Danurwenda bersama Prabarini sudah meninggalkan bukit Gronggong. Mereka kembali menunggangi kuda yang sebelumnya ditambatkan di lereng bukit.
Sekarang Danurwenda akan mencari seseorang yang bernama Birawayaksa pemimpin Kelompok Macan Ucul.
Jadi, orang-orang bertopeng yang beberapa hari ini selalu mengganggu mereka merupakan anggota Kelompok Macan Ucul.
Untuk mengetahui markas mereka, maka harus menemukan orang-orang bertopeng tersebut. Baik itu memaksanya agar memberitahukan tempat mereka, atau diam-diam menguntit mereka sampai ke markasnya.
Akan tetapi, kapankah Danurwenda bertemu lagi dengan orang-orang Macam Ucul tersebut?
"Sekarang mereka pasti sudah tahu kita mencarinya, jadi tidak akan muncul di hadapanku!" tebak Danurwenda.
Seperti biasa, pemuda ini duduk di belakang Prabarini di atas punggung kuda.
"Aku akan membantumu menemukan markas mereka!" ujar Prabarini.
Ketika melewati sebuah jalan besar di perkampungan, sekitar sepuluh tombak ke depan ada sebuah perempatan jalan.
***
# Bab 8
Di tengah perempatan jalan itu tampak berdiri seorang lelaki tinggi besar berpakaian prajurit kerajaan Galuh dengan ciri pangkat yang cukup tinggi.
Lelaki tinggi besar ini memegang sebuah tombak di tangan kanannya. Panjang tombaknya ini melebihi tinggi badannya. Kalau diukur panjangnya kira-kira satu setengah tombak biasa.
Sudah tinggi besar, tombaknya lebih tinggi pula.
Danurwenda merasa ada yang tidak beres, sepertinya orang ini sengaja menghadangnya. Maka, lima tombak sebelum ke perempatan jalan, Danurwenda menghentikan kudanya.
"Kau tunggu di sini saja," katanya kepada Prabarini setelah menepikan kuda ke pinggir jalan. Gadis cantik itu masih duduk di atas kuda.
Kemudian Danurwenda melangkah mendekati orang tinggi besar yang membawa tombak tersebut. Dia berdiri sejauh tiga tombak dari orang itu.
Sementara warga desa yang berlalu-lalang tampak keheranan melihat dua orang saling berdiri di tengah jalan.
"Kau Danurwenda?" Sudah tinggi besar, suaranya besar juga bagai gemuruh angin. Terasa bergetar sampai ke dada Danurwenda, pertanda dilapisi tenaga dalam.
"Benar, kenapa repot-repot menghadangku di tengah jalan? Apa tidak ada tempat lain lagi?"
***
Orang tinggi besar ini menunjukkan muka dingin. Kedua matanya menyorot seperti elang. Hawa sakti memancar kuat dari tubuhnya.
"Aku Bardasora, senapati pengawal Rahyang Sempakwaja. Akan menangkapmu, pembunuh Senapati Mandura!"
Danurwenda pikir tidak bisa tawar menawar dengan si tinggi besar ini. Senapati pengawal bernama Bardasora ini pasti tidak akan menerima penjelasan tentang pembunuhan Senapati Mandura.
"Dan juga, kembalikan Putri Prabarini!"
Si pemuda hampir lupa bahwa dia juga dituduh sebagai penculik putri Senapati. Dia melirik sejenak ke arah gadis itu.
"Tidak perlu basa-basi, kau tahu sendiri, bukan?" Ucapan Danurwenda ini jelas merupakan tantangan.
Derrr!
Bardasora menghantamkan gagang tombak ke tanah sampai menimbulkan getaran. Hawa sakti semakin menyeruak seolah hendak mengikat tubuh Danurwenda.
Namun, bukan Danurwenda kalau tidak bisa melawan serangan tak kasat mata ini. Bardasora pun sudah menduganya, si pemuda ini memang bukan pendekar rendahan.
Maka, selanjutnya Bardasora angkat tombak lalu diputar-putar di atas kepala. Putarannya ini menghasilkan gelombang angin yang cukup besar.
Danurwenda malah tertawa. "Tidak tahu malu, pangkat senapati, badan tinggi besar pakai tombak lagi. Melawan orang yang lebih kecil!"
Bardasora mendengkus keras, lalu tancapkan tombak ke tanah. Yang menancap bukan mata tombak runcingnya, tapi ujung gagang yang tumpul amblas sampai dua jengkal.
Berikutnya senapati pengawal ini langsung mengirim serangan tangan kosong. Kedua tangan kekar dan panjang itu bergerak memukul membawa hempasan angin kuat.
Wajah Danurwenda yang jadi sasaran. Mundur satu langkah ternyata tidak cukup ruang untuk menghindar, maka dia tarik kepala hingga badannya melengkung ke belakang.
Wushh!
Hanya hempasan angin yang menenai muka Danurwenda. Rasanya seperti terkena hantaman beberapa daun.
"Gelo, kalau kena tinjunya langsung, bisa remuk wajahku!" batin Danurwenda.
Melihat ada pertarungan di tengah perempatan jalan, warga desa yang melintas tidak berani mendekati. Pancaran hawa sakti kedua petarung terasa seperti dinding penghalang.
Gerakan jurus Bardasora tampak kaku, tapi cepat. Bagaikan raksasa yang hendak menangkap mangsa.
Yang membuat Danurwenda bergidik adalah hempasan angin yang ditimbulkan dari setiap gerakan, seperti badai kecil, tapi mampu merobohkan pohon besar.
Untungnya Danurwenda bergerak lincah menggunakan perpaduan Ilmu Hampang Awak dengan Jurus Benteng Seribu.
Satu lawan yang tinggi besar ini seperti melawan lima orang biasa. Pendekar biasa tulangnya akan retak bila beradu dengan tangan Danurwenda, tetapi Bardasora sedikit pun tidak merasa kesakitan.
Si tinggi besar ini seperti memukul sebuah kayi saja. Dia terus mencecar Danurwenda dengan jurus ganasnya. Sedangkan lain lagi yang dirasakan pendekar muda yang asal-usulnya cukup misterius ini.
"Tangannya kuat sekali, seperti beradu dengan gagang tombak besi!" batin si pemuda lagi.
Beberapa jurus berlalu keduanya masih seimbang. Sejurus kemudian Bardasora jadi lebih mendominasi setelah mengubah jurusnya.
Otak Danurwenda bekerja bagaimana cara mengatasi si tangan kuat ini. Tentu saja dia tidak ingin tertangkap sebelum urusannya selesai. Dia harus mengungkap dan menangkap pembunuh Senapati Mandura yang sebenarnya.
Setelah melihat pola gerak lawan dan seberapa kuat sepasang tangan kekar itu, akhirnya Danurwenda mendapat akal. Dia seolah-olah membiarkan serangan lawan mengenai sasaran, tapi sekejap sebelum terpukul, kepalan tangan Danurwenda menghantam ke bagian pergelangan tangan, siku atau sambungan bahu.
Desss! Desss!
Cara ini ternyata membuahkan hasil. Sambungan sendi Bardasora terasa terlepas akibat hantaman ini. Tubuh si tinggi besar ini terasa tersengat.
Mau tak mau dia mengambil jarak. Seringai Danurwenda tampak mencuat di bibir dengan tatapan mata mengejek. Bardasora merasa si pemuda sudah satu langkah lebih unggul.
"Benar-benar tidak bisa dianggap remeh!" umpat Bardasora dalam hati.
Maka, tidak akan cara lagi selain menggunakan tombak andalannya. Bardasora ambil tombak dan siap menyerang lagi.
Sementara dalam pikiran Danurwenda hanya bagaimana cara lolos dari Bardasora. Dia tidak akan membunuh senapati pengawal ini, karena urusannya akan lebih rumit lagi.
Situasi kembali berubah begitu Bardasora menggunakan tombaknya. Dia bisa menyerang dari jarak jauh. Dengan begitu lawan tidak bisa mendekatinya.
Namun, Danurwenda selalu mendapat akal guna mengatasinya. Dengan Ilmu Hampang Awak, dia bisa meliuk di antara serangan tombak. Sosoknya mendekati lawan dengan cepat, lalu mengirim serangan.
Baik itu serangan betulan atau cuma tipuan, tujuannya untuk menyerang mental lawan. Walaupun dengan senjata tombak yang lebih panjang dari tombak biasa, tapi Danurwenda masih mampu merangsek dan memberikan perlawanan.
Lagi-lagi Bardasora terkejut mendapati lawannya yang banyak akal ini. Diam-diam dia merasa malu sendiri. Badan tinggi besar, menggunakan tombak lebih panjang dan tenaga lebih kuat, tetapi masih belum mampu merobohkan lawan yang lebih kecil.
Sambil terus meliuk dan merangsek mendekati lawan, Danurwenda naikkan Jurus Benteng Seribu ke tingkat yang lebih tinggi. Kedua tangan si pemuda berisi tenaga dalam lebih besar dari sebelumnya. Dia tidak takut lagi berbenturan dengan gagang tombak yang keras itu.
Krakk! Kraaak!
"Uedan! Tangannya jadi sekeras besi!" batin Bardasora saat tombaknya ditangkis tangan Danurwenda dengan tenang. Gagangnya tampam retak.
Wajah senapati pengawal ini mendadak pucat. Pasalnya tombak yang dia pakai adalah senjata andalannya. Kalau sampai rusak atau patah, tidak tahu apakah dia bisa memiliki senjata semacam ini lagi.
Padahal selama ini belum ada senjata yang menandingi tombaknya ini, tetapi tangan Danurwenda mudah meretakkannya. Pada saat itu pikirannya jadi tidak fokus, maka dengan mudah Danurwenda mendaratkan sebuah pukulan di dada si tinggi besar ini.
Degh!
Walaupun keras dan bertenaga besar, tetapi hanya mampu mendorong tiga langkah saja. Namun, Bardasora terus melangkah mundur menjauhi lawannya. Danurwenda berhenti menyerang, dari sikap lawannya sepertinya Bardasora tidak ingin melanjutkan pertarungan.
"Kau merusak tombakku, kali ini kau lolos. Tapi nanti setelah tombakku diperbaiki, kau tak kan kubiarkan hidup lagi!"
Bardasora membalik badan, lalu pergi. Secara tidak langsung dia menyatakan kalah dan mengakui keunggulan Danurwenda.
***
# Bab 9
Danurwenda menarik napas lega. Dia pun kembali ke tempat Prabarini. Gadis ini masih di atas kuda. Dari raut wajahnya tampak diselimuti kecemasan.
"Tidak apa-apa!" ujar Danurwenda sambil mengulas senyum.
Kemudian si pemuda naik ke punggung kuda, duduk di belakang si gadis lalu menggebah hewan tunggangan itu. Beberapa warga desa melihat kepergian sepasang pemuda ini dengan wajah bengong.
"Senapati pengawal keluarga istana terkenal tinggi-tinggi ilmunya, tapi kau bisa membuatnya mundur. Aku kagum sekaligus cemas!" ujar Prabarini.
"Aku mengerti, sebelum urusan ini terbongkar aku masih buronan kerajaan. Tapi aku tidak akan menyerah!"
Ketika mereka melewati jalan sepi, kebetulan sekali apa yang mereka cari kini tampam di depan mata.
Lima belas tombak di depan sana tampak tiga orang bertopeng khas Kelompok Macan Ucul sedang menghadang sepasang suami istri yang merupakan petani dan sedang dalam perjalanan pulang.
"Pucuk di cinta, ulam pun tiba!" ujar Danurwenda.
Sepasang petani itu tampak ketakutan sampai terlihat gemetar. Walau tidak terlihat wajahnya, tapi tiga orang bertopeng ini bertindak menekan mereka.
"Ampun, Ki Sanak. Kami tidak membawa apa-apa karena ladang kami belum panen!" Si petani lelaki memelas. Wajahnya sudah penuh peluh.
"Iya, Den. Kami hanya merapikan kebun kami. Lihat saja, tidak ada yang kami bawa!" timpal istrinya.
"Bohong, kalian pasti sudah menjualnya. Berikan kepeng hasil penjualannya!" Bentak salah satu orang bertopeng.
Sring!
Tiga golok sudah mengancam jiwa sepasang petani ini. Wajah keduanya semakin seputih kapas. Mereka saling pandang seolah sedang berdiskusi.
"Ayo cepat keluarkan, atau nyawa kalian sebagai gantinya!"
Akan tetapi sepasang petani ini menjadi kelu. Bingung dan takut. Apa yang harus mereka lakukan? Sedangkan mustahil kalau melawan.
"Ah, habisi saja mereka lalu ambil kepengnya!" teriak si topeng yang lain.
Kemudian dua di antaranya segera mengayunkan golok, menebas sepasang petani malang ini. Namun, tiba-tiba saja mereka terpental dan jatuh.
Satu orang bertopeng yang melihat kejadian itu terkejut bukan main. Dia melihat ada puluhan benda putih kecil berbentuk awan beterbangan menghujani dua temannya.
Itulah yang menyebabkan dua orang bertopeng tersebut terpental. Pukulan Awan Seribu telah dilontarkan Danurwenda dari atas kuda.
Baru saja dua orang tadi berdiri, tahu-tahu Danurwenda sudah berdiri di depan mereka dengan sesungging senyum tipis.
"Paman berdua segera selamatkan diri, biar saya yang urus mereka!" saran Danurwenda.
"Terima kasih, Anak muda!"
Sepasang petani itu segera berlalu dengan tergesa-gesa tanpa menoleh ke belakang lagi. Mereka hanya melihat ada seorang gadis di atas kuda yang sedang menunggu.
"Danurwenda?"
"Dia lagi!"
"Benar!" sahut Danurwenda, "sekarang aku tahu, kalian disebut Kelompok Macan Ucul!"
Kalau saja mereka tidak mengenakan topeng, maka akan terlihat wajah mereka yang pucat pasi. Mereka tahu sampai saat ini orang yang selalu mereka incar masih tampak perkasa.
Danurwenda masih dalam keadaan selamat, bahkan sudah banyak melenyapkan teman-teman mereka. Sekarang hanya bertiga, sudah pasti tidak akan mampu menghadapinya.
Akhirnya setelah berbicara dalam bahas isyarat, tiga anggota Kelompok Macan Ucul ini segera mengambil langkah seribu.
Danurwenda tampak melemparkan sesuatu ke arah bagian bawah tiga orang tersebut. Entah apa yang dilemparkannya. Setelah itu dia malah membiarkan mereka pergi.
"Kenapa kau membiarkan mereka kabur?" tanya Prabarini setelah membawa kuda mendekati Danurwenda.
"Aku melepaskan *Ilmu Napak Tilas*. Mereka akan meninggalkan jejak khusus dan hanya aku yang bisa melihatnya!"
Si gadis tampak terdiam memandang ke arah kepergian tiga orang tadi. Kalau misalnya salah seorang dari mereka dipaksa memberikan keterangan, pastinya tidak akan mau.
Walaupun entah kapan waktunya, mereka bertiga pasti ada saatnya pulang ke markas. Hebat juga cara yang dilakukan Danurwenda.
"Entah kehebatan apa lagi yang belum kau tunjukkan!" ujar Prabarini.
"Kita cari kedai untuk makan!" kata Danurwenda yang sudah kembali duduk di belakang Prabarini. Kemudian kuda pun berlari pelan setelah digebah.
Sepanjang jalan Danurwenda melihat jejak khusus yang ditinggalkan Ilmu Napak Tilas. Ternyata tiga orang itu tidak berjalan masuk ke perkebunan atau hutan. Mereka tetap di jalan utama yang menghubungkan antar desa itu.
Sampai memasuki sebuah desa dan menemukan kedai, tanda jejak itu tidak berhenti di sana, tapi terus mengikuti jalan besar. Berarti mereka tidak berhenti sedikit pun.
Danurwenda tidak khawatir kehilangan jejak mereka, maka dia memiliki singgah sebentar di kedai untuk mengisi perut.
Sepasang pemuda ini tampak semakin dekat saja. Prabarini yang memiliki paras cantik dengan tubuh yang indah, kulit bersih dan mulus menjadi daya tarik yang memikat setiap mata lelaki termasuk Danurwenda.
Begitu juga Danurwenda memiliki pesona tersendiri setelah kepiawaiannya mengolah gerak menjadi jurus dan mengeluarkan ilmu kesaktiannya. Prabarini tidak menutup diri bahwa dia tertarik terhadap Danurwenda.
Yang semula selalu bicara serius, kini sesekali diselipkan dengan candaan. Apalagi Danurwenda cukup pandai dalam bersenda gurau.
Ketika bertarung saja masih sempat berkata nyeleneh apalagi dalam keadaan santai seperti saat ini.
"Sebenarnya ada pertanyaan yang aku pendam dari pertama aku mengenal dirimu," kata Prabarini.
"Oh, ya. Apa itu?"
"Selama ini kau dikenal sebagai pendekar yang misterius. Tidak ada yang tahu asal-usulmu. Di dunia persilatan tiba-tiba terkenal begitu saja. Apakah aku boleh tahu asal-usulmu?"
Danurwenda tidak segera menjawab, pandangannya menerawang ke atas seperti hendak menembus langit dan menghela napas pelan.
"Kalau kau merasa keberatan, tidak perlu dijawab," ujar si gadis bertubuh sintal kemudian.
"Aku sendiri tidak tahu, siapa kedua orang tuaku. Bahkan guruku sendiri tidak pernah tahu!" jawab Danurwenda.
Prabarini kerutkan kening. Tidak mungkin pemuda ini ujug-ujug ada di dunia seperti dalam cerita legenda.
"Aneh, apa kau tidak ingat masa kecilmu?"
"Aku ingat," jawab Danurwenda, "sejak kecil aku hidup sebatang kara. Aku dibimbing, dididik dan digembleng oleh makhluk tanpa wujud yang hanya terdengar suaranya saja. Kemudian aku menganggap dia orang tua, juga guruku!"
Semakin aneh mendengar penuturan Danurwenda ini. Pendekar muda, tidak ada atau belum mendapat julukan atau gelar, tapi ilmunya tidak bisa disepelekan.
"Mungkinkah kau mendapat bimbingan langsung dari Sang Hyang?" ungkap Prabarini mengutarakan pemikirannya.
Kali ini Danurwenda yang mengerenyit sambil menatap si gadis yang cantik jelita ini.
"Aku baru terpikirkan sekarang!" ujar si pemuda.
Karena mendengar asal-usul yang aneh ini akhirnya Prabarini tidak membahasnya lagi. Beberapa saat kemudian mereka sudah meninggalkan kedai.
Danurwenda mengarahkan kuda agar mengikuti jejak yang ditinggalkan Ilmu Napak Tilas.
"Kenapa sepertinya kau tidak terburu-buru ingin menemukan markas Kelompok Macan Ucul?" tanya Prabarini.
"Aku ingat kata-kata Ki Candala, pemimpin mereka yang bernama Birawayaksa sangat kuat. Jadi aku harus mempersiapkan diri sematang mungkin, selain itu...."
"Selain itu apa?"
***
# Bab 10
"Aku ingin berlama-lama denganmu di saat-saat seperti ini!"
Kedua tangan Danurwenda yang memegang tali kekang kuda melingkar ke pinggang Prabarini. Gadis ini sedikit terkejut awalnya, tetapi dia malah membalas dengan menyandarkan tubuhnya ke dada Danurwenda.
"Kau sudah pandai merayu!"
Selanjutnya tidak ada kata-kata lagi yang keluar. Sepasang manusia ini larut dalam keindahan sepanjang jalan. Sebenarnya Danurwenda masih merasa gugup, tapi dia memberanikan diri. Kapan lagi dia menemukan kesempatan seperti ini?
Ditambah Prabarini juga sepertinya menyambut perasaannya. Inikah yang dinamakan kasmaran? Bagi Danurwenda inilah yang pertama kali dalam hidupnya. Ternyata begitu indah, berjuta rasanya.
Tiba-tiba kuda berhenti berjalan. Danurwenda menarik tali kekang karena mendengar sesuatu dari persimpangan jalan di depan sana. Lalu segera dia meminggirkan kuda, tapi tidak turun.
"Ada apa?" tanya Prabarini.
"Ada yang lewat di depan sana!" Danurwenda menunjuk ke persimpangan jalan.
Prabarini memandang ke arah sana, menunggu siapa yang akan lewat.
Tidak lama kemudian lewatlah dua orang lelaki menunggang kuda yang berjalan pelan. Pakaian mereka tampak sederhana seperti rakyat biasa, tapi kuda yang ditunggangi terlalu mewah untuk orang kasta rendah.
Tubuh keduanya terlihat tegap dan gagah, wajah bersih memancarkan kewibawaan. Jelas mereka bukan rakyat jelata, tapi orang berpangkat di istana.
"Kau kenal mereka?" tanya Danurwenda setelah melihat sinar mata Prabarini ketika menatap dua orang tadi.
"Mereka keluarga istana,"
"Oh..."
Danurwenda memang mempunyai teman yang mempunyai jabatan di kerajaan Galuh, tapi bukan berarti tahu tentang keluarga istana.
"Yang sebelah kanan adalah Sang Jalantara alias Raden Amara, putra bungsu Prabu Wretikandayun. Yang satu lagi kakaknya Rahyang Jantaka!"
"Rupanya putra raja, apa mereka juga turun tangan demi membalas kematian ayahmu?"
"Entahlah, tapi sepertinya mereka ada urusan lain. Mana mungkin kematian ayahku sampai melibatkan mereka. Oh, ya. Senapati pengawal yang kau hadapi adalah pengawal putra sulung Sang Prabu!"
"Ya, aku mendengar dia menyebut Rahyang Sempakwaja!"
"Di antara ketiga putra raja, Rahyang Sempakwaja yang paling sakti!"
Setelah dua putra raja berjalan jauh dan tak terlihat lagi sosok mereka, barulah Danurwenda dan Prabarini melanjutkan perjalanan. Sayangnya jejak Kelompok Macan Ucul yang terlihat juga searah dengan kedua putra raja tadi.
Maka, Danurwenda memelankan langkah kuda agar tidak menyusul dua orang kerabat istana Galuh itu.
Hingga sore tiba, sepasang manusia ini menemukan sebuah penginapan.
Mereka menyewa satu untuk berdua. Awalnya Danurwenda agak canggung, tapi melihat Prabarini tidak keberatan akhirnya dia merasa lega.
Di depan penginapan ada kedai yang cukup besar. Mereka tidak makan di kedai, tapi dibawa ke kamar sewaan. Untungnya di sini tidak ada yang mengenali mereka.
Di sisi lain ternyata dua putra raja juga menginap di sini, kebetulan kamarnya bersebelahan dengan kamar yang disewa Danurwenda.
Ketika malam menyapa, udara mulai terasa dingin. Dua manusia yang masih berdarah muda ini tampak canggung lagi, seolah baru pertama kali bertemu.
Soalnya ini pertama kalinya mereka berada dalam satu kamar. Sebelumnya mereka pernah istirahat di alam terbuka, lalu ketika di tempatnya Ki Candala juga tidur terpisah.
Sekarang hanya berdua saja. Mereka hanya bisa saling pandang tanpa bersuara.
Namun, tiba-tiba indra pendengaran Danurwenda yang kuat menangkap percakapan di kamar sebelah. Si pemuda memberi isyarat, dia mendadak berani mendekat ke Prabarini.
Danurwenda duduk di sebelah si gadis sampai saling menempel. Lalu dia genggam tangan Prabarini.
"Kita dengarkan pembicaraan mereka dulu!" bisik Danurwenda.
Prabarini hanya menaikkan kedua alisnya, sebab dia tidak bisa mendengar suara di kamar sebelah.
"Rayi, bagaimana dengan nasib Sena?"
"Kalau dia memang darah dagingku, maka aku akan merawatnya, Raka!"
"Mudah-mudahan bisa meredam kebencian Raka Jatmika,"
"Ini memang salahku yang masih mencintai Dinda Rababu. Padahal sudah tahu Dinda Rababu dijodohkan dengan Raka Jatmika. Meskipun aku dan dia sudah lebih dulu kenal dan menjalin hubungan, seharusnya aku mengalah atas keputusan Ayahanda!"
"Yang sudah terjadi biar menjadi pelajaran ke depan. Keputusan Rayi mengambil Sena adalah jalan terbaik daripada nanti anak itu menjadi terkucilkan,"
"Benar, Raka!"
"Sekarang sudah pasti kau akan menjadi Putra Mahkota yang akan mewarisi tahta Galuh, karena kedua kakakmu ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja. Kau harus mempersiapkan diri dari sekarang. Ketika menjadi raja nanti, kau punya kuasa menentukan nasib Sena!"
Dari percakapan tadi, Danurwenda dapat menyimpulkan. Bahwa Sang Jalantara alias Raden Amara sebelumnya telah memiliki kekasih bernama Rababu.
Akan tetapi entah bagaimana ceritanya justru Rababu dijodohkan dengan kakak tertuanya Jatmika atau Rahyang Sempakwaja.
Walaupun demikian rasa cinta mereka masih menggelora, sehingga terjadi perselingkuhan sampai melahirkan anak yang diberi nama Sena. Ternyata di dalam keluarga istana juga terjadi nirca atau skandal.
Di kamar sebelah sudah tidak terdengar percakapan lagi. Sementara Danurwenda masih memegang tangan lembut Prabarini. Dia baru sadar ketika gadis ini sedang menatapnya begitu dekat.
Awalnya Danurwenda agak gugup, tapi entah kenapa seperti ada dorongan dalam hatinya untuk membalas tatapan penuh arti itu.
Di dalam dada masing-masing terasa bergemuruh, bergejolak. Asmara menggelora membuncahkan nafsu yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Wajah mereka semakin dekat, sampai terasa hangatnya hembusan napas yang bercampur. Sesuatu yang berasal dari dalam terasa semakin mendorong kuat hingga akhirnya bibir mereka bertaut saling memagut.
Baik Danurwenda maupun Prabarini begitu merinding saat merasakan kelembutan yang indah tiada tara ini.
Karena saking nafsunya, mereka tampak menggebu-gebu hingga pakaian mereka tersingkap tidak karuan.
Keduanya baru berhenti ketika napas mereka seolah habis. Kembali sepasang manusia muda ini saling tatap.
Apalagi Danurwenda saat melihat tubuh bagian atas Prabarini terpampang karena pakaiannya melorot.
Sungguh indah tubuh gadis ini, terlihat begitu sempurna. Jantung Danurwenda semakin berdegup kencang. Sementara Prabarini malah melepas semua yang menempel di tubuhnya.
Ini juga pertama kalinya Danurwenda melihat tubuh wanita cantik tanpa sehelai benang.
Keduanya sudah diselimuti nafsu yang membara sehingga tidak mengindahkan lagi aturan adat yang berlaku.
Danurwenda berpikir, di antara pembesar istana saja ada skandal, lalu bagaimana dengan rakyat biasa seperti dirinya.
Maka selanjutnya dua insan yang dilanda kasmaran ini larut dalam kemesraan paling intim dalam hubungan antara dua jenis manusia. Meski di dalam aturan, hubungan seperti ini harus dilakukan setelah ada ikatan resmi.
Namun, mereka tidak peduli. Selagi ada kesempatan dan tidak menggangu orang lain, kenapa harus dilewatkan. Bukankah ini yang dinamakan surga dunia? Keindahan dan nikmatnya tiada tara.
Bersambung ...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
