Dia Pikir Dia Telah Dikutuk

0
0
Deskripsi

Mutia tak pernah berhasil untuk punya anak. Dua kali ia keguguran. Pada kehamilannya yang ketiga, anaknya berhasil dilahirkan. Tapi..

Sewaktu muda dulu, Mutia pernah berpacaran dengan Aldo. Usia hubungan mereka bertahan seperti umur bocah yang duduk di sekolah dasar. Keduanya berpacaran sejak masih kelas satu SMA. Takdir mempertemukan mereka dalam satu ruang kelas yang sama. Meski di tahun-tahun berikutnya Mutia dan Aldo tak lagi berada di kelas yang sama, toh mereka masih berada di satu sekolah yang sama. Mereka tetap bertemu setiap hari; selalu makan bersama di kantin sekolah selepas bel istirahat berdering; dan bila jam pulang sudah tiba, Mutia tahu Aldo pasti setia menunggunya di parkiran sekolah, duduk di atas motor bebeknya, dan menantinya dengan sabar di sana, tak peduli ia masih bergosip dengan teman sekelasnya.

Pada masa-masa itu, hubungan Mutia dan Aldo merupakan sebuah rahasia umum di seluruh penjuru sekolah. Keduanya tampak seperti Romeo dan Juliet; kemesraan keduanya seolah tak bisa ditandingi oleh pasangan lain di sekolah itu. Bahkan kepala sekolah yang baru—yang berganti saat keduanya kelas tiga—segera menyadari bahwa dua remaja itu adalah sepasang kekasih yang tengah dibakar asmara darah muda. Perasaan mereka tak bisa diusik. Rasa cinta keduanya menyala-nyala sebagaimana semangat yang mereka miliki.

“Kita akan selalu bersama. Tak peduli kita berada di tempat yang berbeda, hati kita akan selalu menyatu,” kata Aldo saat keduanya tengah menghabiskan senja sembari memandangi Gunung Putri Tidur.

Waktu itu, Mutia dan Aldo baru saja selesai konvoi lulusan SMA. Keduanya masih mengenakan pakaian sekolah putih-abu-abu yang penuh coretan cat. Mutia menggenggam tangan Aldo dengan mesra. Keduanya menyadari bahwa setelah ini mereka akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mutia dan Aldo pernah mendiskusikannya sebelum ini tentang di mana mereka akan kuliah.

“Aku ingin kuliah di kota ini,” kata Aldo. “Salah satu perguruan tinggi di Malang adalah tiga besar perguruan tinggi yang paling maju. Tak ada alasan untuk meninggalkan Malang,” Aldo mengambil jeda sejenak, kemudian berkata dengan penuh cinta kepada Mutia, “dan dirimu, Sayang.”

Hati Mutia dibuat luluh oleh kata-kata Aldo, dan ia pun juga bertekad harus masuk di salah satu perguruan tinggi di kota kelahirannya sebagaimana tekad Aldo. Pada akhirnya, Mutia dan Aldo sama-sama kuliah di Malang. Meskipun mereka tak lagi berada di lembaga pendidikan yang sama, tapi keduanya tetap berada di kota yang sama. Tak ada kesedihan yang melanda mereka.

“Lagi pula, kampus kita tetanggaan.” Tutur Aldo, dan Mutia tertawa karenanya.

Hubungan Mutia dan Aldo tetap terjaga selama bertahun-tahun kemudian—meskipun beberapa kali keduanya terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil, tetapi keduanya akan menyatu kembali setelah Mutia berkata dengan penuh kasih, “Aku sayang kamu,” kepada Aldo. Kemudian, Aldo lekas memeluk tubuh Mutia, dan cinta mereka membara lagi.

Mutia adalah yang kali pertama lulus dari perguruan tinggi. Sementara Aldo setengah tahun berikutnya, setelah selalu mendapatkan asupan semangat dari Mutia karena otaknya nyaris meledak saat menghadapi tugas akhir yang teramat rumit. Pada masa-masa itu, Mutia selalu berkata akan selalu ada jalan bagi manusia yang berusaha.

“Aku tahu lelakiku adalah laki-laki yang akan selalu berusaha,” tutur Mutia.

Mendengar hal itu dari perempuan yang sangat dicintainya, semangat Aldo berkobar-kobar bagaikan api neraka. Dan ia segera menyelesaikan tugas akhirnya setengah mati setelah itu.

Meskipun Mutia yang lebih dulu lulus dari perguruan tinggi, tetapi Aldo yang mendapatkan nasib mujur. Ia yang lebih dulu mendapatkan pekerjaan sebulan setelah diwisuda. Sejujurnya, Mutia amat bahagia melihat lelakinya mendapatkan pekerjaan. Namun di sisi lain, hati Mutia dibuat gundah gulana sebab Aldo akan tinggal di Jakarta. Aldo—dengan nasib mujurnya—diterima bekerja di instansi negara di ibu kota. Mutia akan dipisah jarak dengan lelakinya. Dan ia sungguh sulit membayangkan bagaimana rasanya tidak bertemu bahkan mungkin hanya seminggu saja. Mutia ingin mengungkapkan apa yang ia rasakan. Tetapi, ia tak mau menghalangi Aldo bekerja di tempat yang mapan. Mutia tak mau Aldo membatalkan pekerjaannya setelah mendengar keluh kesah darinya.

Akhirnya, keduanya benar-benar terpisah oleh jarak. Mutia dan Aldo tetap menjaga hubungannya dengan terus berkomunikasi.

“Ini adalah ujian terberat untuk hubungan kita, Sayang,” ucap Aldo di ujung telepon seminggu setelah perpisahan mereka di Stasiun Kota Baru.

Mutia membenarkan kata-kata Aldo. Berminggu-minggu dan berbulan-bulan setelahnya, Mutia menahan rindu yang membara di dadanya. Ia tak pernah merasakan rindu sehebat ini setelah sekian lama selalu bersama. Ia sekarang tahu tak berada di sisi Aldo betapa sangat menyakitkan.

“Tunggu aku hingga aku datang untuk melamarmu,” Aldo meyakinkan Mutia, masih dari sambungan telepon.

Tetapi, Mutia sungguh tak sanggup bertahan dengan hubungan yang terpisahkan oleh jarak. Ia selalu berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia bisa bertahan, tetapi ia juga selalu menemui kegagalan. Dan semua itu selalu berujung pada tangisan. Mutia berpikir ia tak bisa terus tersiksa seperti ini.

Petaka datang ketika Ridwan, kakak angkatan Mutia semasa di kampus dan diam-diam memendam rasa terhadap Mutia, tiba-tiba datang dan menyatakan bahwa ia ingin menikahi Mutia. Entah setan apa yang tengah bersemayam di dalam pikiran Mutia, ia berpikir bahwa Ridwan mungkin pangeran yang datang menolongnya dari jeratan rindu yang terus menyiksanya dan tak berkesudahan. Serta-merta Mutia mengiyakan lamaran Ridwan. Kenyataan Ridwa telah bekerja sebagai pegawai bank—selain keberadaan pemuda itu adalah seorang anak direktur kantor pajak—memuluskan langkahnya untuk mendapatkan restu dari orang tua Mutia. Secepat orang terlelap saat kelelahan, rencana hari pernikahan Mutia dan Ridwan lekas diputuskan.

Di sisi lain, Aldo tak tahu apa yang terjadi di Kota Malang. Di suatu malam yang dingin, kabar mematikan itu Aldo terima sendiri dari suara Mutia. Diiringi permintaan maaf yang berkali-kali, serta suara isak tangis yang tak terhenti, Mutia mengatakan bahwa ia tak bisa menunggu Aldo dan terus terpisah dengan jarak yang menyiksa. Aldo sempat naik pitam mendengar alasan Mutia.

“Kalau kau ingin aku bekerja di Malang, maka aku akan keluar dari kantorku sekarang juga!” kata Aldo penuh amarah.

Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Hari pernikahan Mutia dan Ridwan semakin hari semakin dekat. Pada masa-masa itu, Aldo berusaha memaafkan segalanya, memaafkan Mutia, memaafkan takdir, juga kenyataan. Ia berdamai dengan semuanya. Meskipun begitu, Aldo tak hadir di hari pernikahan Mutia. Bukan karena ia tak ingin hadir, tetapi murni karena pekerjaan negara yang tak bisa ditinggalkan. Sejujurnya, ia sungguh ingin berada di tengah-tengah pernikahan perempuan yang pernah dicintainya itu, dan mengucapkan selamat kepadanya.

Sementara Mutia pun begitu. Meski ada kekecewaan dengan tidak hadirnya Aldo di pernikahannya, ia mulai menikmati kehidupan barunya bersama Ridwan, lelakinya yang baru. Ia bahkan mulai membayangkan membangun hidup baru dengan Ridwan, memiliki anak-anak yang lucu, menjadi ibu dan istri yang baik, dan di suatu akhir pekan yang cerah, keluarga kecil itu akan pergi bertamasya ke pantai di selatan Kota Malang. Pasti sangat membahagiakan.

Namun, kehidupan berkeluarga mereka sungguh diuji dengan sesuatu yang hampir tak bisa diterima—setidaknya bagi Mutia. Hingga usia pernikahan mereka memasuki tahun ketujuh, mereka belum juga memiliki bayi mungil yang menggemaskan. Baik Mutia atau Ridwan sama sekali tidak mandul. Hanya saja, nasib baik belum memihak keluarga kecil itu. Dua kali Mutia hamil, dua kali pula perempuan itu harus rela keguguran.

“Tabahlah, istriku. Setelah ini, aku yakin kita pasti dikaruniai anak yang lucu,” kata Ridwan menenangkan istrinya sewaktu keguguran kedua.

Sepuluh bulan setelahnya, perut Mutia menggelembung lagi dan tampaknya tak menunggu waktu lama ia akan melahirkan. Akhirnya, kata Mutia dalam hati, setelah penantian yang panjang, aku akan memiliki anak. Bayi itu akhirnya keluar juga dari rahim Mutia diiringi tangis bahagia ibu dan ayahnya. Nahas bagi keluarga kecil itu, malaikat pencabut nyawa tega membawa roh bayi yang baru dilahirkan itu tiga jam setelah kelahirannya ke dunia. Mutia dibuat koma selama tiga hari dengan kenyataan itu. Selama itu, Ridwan terus menunggui di samping istrinya yang tak sadarkan diri.

Ketika akhirnya Mutia sadar, ia meminta Ridwan untuk meninggalkannya sendirian di kamar rumah sakit. Ridwan, dengan cinta dan kekhawatirannya, tentu saja menolak. Namun Mutia memaksa, dan Ridwan akhirnya luluh juga, kemudian pergi meninggalkan kamar. Setelah itu, Mutia memikirkan mengapa semua ini terjadi kepadanya. Ia menangis seorang diri. Mentalnya hancur berkeping-keping. Kebahagiaannya menjadi seorang ibu sungguh sesaat, hanya tiga jam. Setelahnya, ia bukan lagi seorang ibu, hal yang selalu menjadi impiannya. Ia tak tahu mengapa ia tak pernah berhasil memiliki seorang anak. Ia sungguh tak tahu. Mutia merasa bahwa ia mungkin mendapatkan kutukan.

Tiba-tiba pikirannya berkata, apakah kutukan ini menimpaku karena dulu aku meninggalkan Aldo? Pikiran Mutia jadi kalut. Ia tak menyangka bahwa keputusannya meninggalkan Aldo akan berbuah kutukan dan mengejarnya hingga saat ini. Mutia menangis sejadi-jadinya tanpa bersuara. Ia marah kepada dirinya sendiri. Kondisinya yang masih lemah semakin melemah dengan pikiran gila yang ada di dalam kepalanya. Hingga akhirnya, Ridwan menemukan istrinya sudah tak bernyawa, dengan bantal basah karena air mata.

Jasad Mutia kemudian dimakamkan di samping tiga anaknya.

Malang, 24 Agustus 2017

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Tak Ada Bintang-Bintang di Dalam Sel
0
0
Apa kira-kira yang dirasakan oleh orang yang dijatuhkan hukuman mati tapi hingga 30 puluh tahun lamanya eksekusi hukuman matinya tak kunjung dilaksanakan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan