
Mature content 21+, Konten ini khusus untuk pembaca berusia 21 tahun ke atas dan mengandung materi dewasa.
Pembaca sangat disarankan untuk membaca dengan bijak.
Surat Cinta dari Masa Lalu" adalah kisah cinta yang rumit dan penuh misteri. Arielle, seorang wanita dengan masa lalu yang kelam, menemukan surat-surat cinta yang mengungkap rahasia besar tentang dirinya dan dua pria yang pernah dicintainya. Saat ingatannya mulai pulih, Arielle terjebak dalam cinta segitiga yang mematikan. Mampukah cinta...
Bab 1
Aroma kayu tua bercampur debu dan kenangan lama memenuhi ruang tamu rumah tua itu. Meski banyak tukang mondar mandiri, dan mengepak barang-barang, ada rasa kerinduan dalam diri Arielle.
Hari ini, rumah yang pernah ia tinggalli di masa kecil terasa lebih dingin dan sunyi dari biasanya. Ayahnya sudah tiada, dan rumah itu akan segera dilelang. Ibunya tidak sanggup tinggal di sana lagi. Sekarang, sebagai ahli waris satu-satunya, Arielle harus menyortir barang-barang peninggalan ayahnya—tugas yang tak pernah ia bayangkan akan begitu berat.
Ia berdiri di depan tangga, menatap ke atas ke arah kamarnya yang dulu. Sepertinya segalanya masih sama namun terasa tapi rasa asing menyelimuti tiap sudut rumah itu. Setelah pemakaman ayahnya, segalanya terasa surreal. Kepulangannya ke rumah tua ini setelah sekian lama, terutama setelah menikah dan tinggal di luar negeri bersama Lucien, membuatnya merasa terasing dari hidup lamanya. Ia mencoba tersenyum, mencoba fokus.
Ia sudah melakukan seminggu hanya untuk memilah barang-barang di Lantai dasar. Lantai dasar dari ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar ART, sampai kantor ayahnya.
"Ma, Mama yakin, nggak mau simpan barang-barang ini?" tanya Arielle sambil melihat ibunya yang duduk termenung di ruang tamu. Hari ini ibunya ikut ke rumah menemaninya memilah-milah barang.
Ibunya menggeleng, menatap kosong ke arah jendela. "Tidak, Arielle. Semua mengingatkanku pada ayahmu.."
Arielle mengangguk pelan. Sebagai istri, Arielle paham. Arielle sendiri tidak akan sanggup hidup jika Lucien meninggalkan dia. Arielle merasa sudah mendapatkan hidup yang sempurna bersama pria yang ia cintai. Lucien adalah segalanya. Lucien adalah pusat semestanya. Semua masalah dalam pernikahan mereka—kesenangan, keintiman, dan gairah yang Lucien tuntut darinya—adalah harga yang ia rasa pantas untuk kebahagiaan yang mereka miliki. Bahkan kehilangan ingatannya, bagian dari dirinya yang tak lagi ia pahami, terasa seolah tak penting lagi.
Namun, sekarang ia di sini, di rumah yang penuh kenangan, menghadapi masa lalu yang sudah lama ia coba tekan.
"Baik. Setelah lantai 1 kelar, kini beranjak lantai 2! Semangaaatt!! Aku mulai dari kamarku dulu.." katanya sambil melangkah ke arah tangga, meninggalkan ibunya yang masih terpaku dalam kesedihan.
Masuk ke dalam kamarnya, Arielle membuka jendela, membiarkan udara segar masuk, meski sejenak. Cahaya sore masuk, menerangi sudut-sudut ruangan yang berdebu.
“Woow..! Nothing changed. Dad, you’re so lazy..” Arielle geleng-geleng sambil bersiul. Ia melihat susunan kamarnya tidak berubah sama sekali dari terakhir kali ia masih tinggal disana.
Tangannya bergerak cepat, menyortir buku-buku lama, pakaian yang tak terpakai, dan barang-barang kenangan masa kecilnya. Hingga di salah satu sudut lemari tua, ia menemukan sebuah kotak kayu berukir yang terlihat sudah lama tak tersentuh.
"Apa ini...?" gumamnya pelan.
Dengan hati-hati, Arielle membuka kotak itu. Di dalamnya ada tumpukan surat-surat yang terlipat rapi dan beberapa buku. Kertasnya sudah menguning oleh waktu, dan tinta yang menuliskannya mulai memudar. Arielle mengambil salah satu surat dan membukanya perlahan. Tulisan tangan yang halus dan penuh emosi terpampang di depannya.
"Untuk Arielle, cintaku yang abadi..."
Matanya menyipit saat ia membaca baris-baris itu. Hatinya berdebar-debar, ia seperti melanggar privasi seseorang namun logikanya tidak paham, karena ini adalah kamarnya. Lalu, di bagian bawah surat, ia melihat nama itu.
"Raphaël." – lalu semuanya menjadi gelap.
***
“Arielle… Arielle, sayang… Sayang, apa kamu tidak apa-apa?”
Suara ibunya yang cemas membangunkannya dari kekosongan. Matanya berkedip beberapa kali sebelum ia menyadari bahwa dirinya terbaring di lantai kamar. Cahaya sore yang temaram menyelinap melalui celah tirai, membiaskan bayangan lembut di sekitar ruangan.
Ibunya berlutut di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran.
Arielle perlahan bangkit, menyandarkan punggungnya pada rak buku. Napasnya masih tersengal, dan tangannya terasa dingin. Saat itu, ia menyadari bahwa jari-jarinya masih menggenggam erat selembar kertas. Dengan refleks, ia meremas surat itu dalam genggamannya, seakan takut membiarkan siapa pun melihat isinya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada ibunya, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia belum siap. Ia bahkan masih berusaha memahami situasi ini dengan logikanya sendiri.
Ibunya menghela napas dan berdiri, mengusap lututnya yang sempat berlutut di lantai. “Apa kamu ingin Mama bantu merapikan kamarmu?” tanyanya, suaranya kembali lembut seperti biasa.
“Jangan!” Arielle menolak dengan cepat, hampir refleks. Lalu, ia segera menyesuaikan nada suaranya, mencoba terdengar lebih santai. “Biar aku saja, Ma. Really, I need some nostalgic moments with my youth.”
Ibunya menatapnya sebentar sebelum mengangguk kecil, menerima alasan itu tanpa banyak tanya. Sementara itu, Arielle bangkit dengan sedikit pusing, tetapi ia memaksa dirinya tetap tegak. Ia segera menyembunyikan kotak kayu itu ke sudut yang lebih aman sebelum beralih ke barang-barang lain—buku-buku lama, pakaian, serta pernak-pernik yang telah ia tumpuk di lantai.
Saat matahari mulai tenggelam di balik pepohonan, Arielle kembali ke ruang tamu. Dengan lelah, ia menjatuhkan dirinya ke kursi malas empuk di sudut ruangan—kursi milik ayahnya dulu. Jari-jarinya menyusuri lengan kursi, merasakan teksturnya yang sudah mulai usang. Ia masih merasa berat untuk melelangnya. Ada bagian dalam dirinya yang ingin membawa kursi itu pulang, tetapi ia tahu, Lucien mungkin tidak akan menyetujuinya. Mungkin aku bisa membujuknya nanti… pikirnya.
Tukang pengepak barang sudah pergi. Sebagian besar perabotan yang masih layak dijual telah diangkut, sementara barang-barang yang akan disumbangkan sudah dikemas dalam kotak-kotak bertuliskan Charity. Rumah itu kini terasa semakin kosong, semakin sunyi.
Namun, satu hal masih menghantui pikirannya.
Kotak kayu itu.
Tiba-tiba, ia bangkit dan bergegas ke lantai atas. Ibunya sedang sibuk menerima telepon di luar, memberinya kesempatan untuk bergerak tanpa dicurigai. Tanpa ragu, ia meraih kotak kayu itu dan memasukkannya ke dalam tas duffel. Setelah memastikan semuanya aman, ia berjalan santai menuruni tangga, seolah tidak terjadi apa-apa.
Di luar, ia membuka bagasi mobil dan meletakkan tas duffel itu di dalam. Namun, saat ia menutup pintu bagasi, suara ibunya terdengar dari belakang.
“Apa yang kamu bawa itu?”
Arielle berusaha tetap tenang. Ia menoleh dan tersenyum kecil. “Buku-buku novelku,” jawabnya ringan, mencoba menyembunyikan ketegangan di dadanya.
Ibunya menatapnya sejenak, seolah mencoba membaca ekspresinya, sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan ke sisi mobil. “Kamu sudah mengunci rumahnya?”
“Sudah,” jawab Arielle sambil masuk ke dalam mobil.
“Besok tukang pengepakan—”
“Sudah juga, Ma,” potong Arielle lembut. “Aku sudah meninggalkan petunjuk di atas kotak-kotak yang tersisa. Mereka sudah pegang kunci cadangan. Setelah semua terangkut, agen perumahan akan langsung memasang papan penjualan rumah.”
Ia melirik ibunya sekilas, mencari tanda-tanda keraguan di wajahnya. “Do I miss something?” tanyanya dengan tatapan bertanya.
Ibunya menatap lurus ke depan, lalu menghela napas. “Oke,” jawabnya kalem.
Tanpa menunggu lebih lama, Arielle menyalakan mesin dan melajukan mobilnya keluar dari pekarangan. Saat ia meninggalkan rumah itu, perasaannya terasa aneh. Tidak ada kelegaan, hanya kesadaran bahwa ini adalah akhir dari sebuah bab dalam hidupnya. Ia tahu, ia tidak akan pernah kembali ke rumah itu lagi.
Tapi yang belum ia sadari adalah, kotak kayu yang kini tergeletak di dalam tas duffel itu akan mengguncang kehidupannya lebih dari yang ia bayangkan.
***
Saat Arielle memasuki rumah kembali, ia langsung meminta izin untuk masuk kamar duluan kepada ibunya.
Begitu sampai, ia menutup pintu dan menguncinya, lalu bersandar sejenak, mengatur napas. Tangan gemetar saat meraih tas duffel dan menarik keluar kotak kayu yang tadi ia sembunyikan. Ia meletakkannya di atas ranjang, menatapnya sejenak, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan membuka tutupnya.
Tumpukan surat-surat di dalamnya tampak berdebu, tetapi masih dalam kondisi baik. Dengan hati-hati, ia mengambil satu dan membukanya.
Jakarta, 18 Januari 2007
“Arielle, maafkan aku.
Aku tahu aku tidak pantas menuliskan ini. Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai padamu, atau apakah kamu mau membacanya. Tapi aku harus mencoba. Aku harus mengatakan ini.
Maaf… untuk semuanya. Untuk pertengkaran terakhir kita. Untuk kata-kata yang tidak seharusnya aku ucapkan. Aku tidak bisa berhenti mengulang momen itu di kepalaku. Bagaimana aku seharusnya menahan diri, bagaimana aku seharusnya tetap berada di sisimu… dan bagaimana akhirnya aku malah menyakitimu.
Aku tidak bisa tidur, Arielle. Malam-malam terasa panjang tanpa suara tawamu, tanpa kamu mengomeliku karena lupa menaruh barang ke tempatnya atau lupa mengembalikan toilet seat. Aku terus bertanya-tanya… apakah aku penyebab semua ini?
Aku tidak mengharapkan kamu memaafkanku sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak akan berhenti menunggu kesempatan untuk memperbaiki semuanya, jika kamu masih mengizinkanku._
– Raphaël_
.
.
Surat itu terkirim beberapa minggu setelah kecelakaan. Arielle merasakan dadanya menghangat dan sekaligus terasa berat. Surat itu penuh dengan ketulusan—dan rasa bersalah. Kata-kata Raphaël seakan hidup, menyusup ke dalam pikirannya, membentuk gambaran yang masih buram.
Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami?
Tangannya bergerak sendiri, mengambil surat berikutnya
Jakarta, 12 April 2007
“Arielle,
Aku sudah membuat keputusan. Aku tidak bisa lagi tinggal di tempat ini.
Aku pikir aku cukup kuat untuk menunggu, untuk bertahan, tapi semakin lama, aku menyadari bahwa aku hanya memperpanjang rasa sakit yang aku sendiri tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.
Aku melihat Lucien… Aku melihat bagaimana dia ada di sisimu sekarang. Aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu saat ini. Aku adalah bayangan yang bahkan kamu tidak sadari keberadaannya.
Mungkin ini yang terbaik. Mungkin aku harus benar-benar pergi, agar tidak lagi berharap pada sesuatu yang tidak pasti.
Aku tidak tahu apakah aku akan kembali. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski tanpaku.
Tolong… jangan benci aku karena memilih menyerah._
– Raphaël_
.
.
Arielle merasakan jantungnya mencelos. Ia menggigit bibirnya, mencoba memahami kata-kata itu.
Lucien?
Raphaël menyebut nama suaminya. Ada sesuatu di sini—sesuatu yang belum sepenuhnya bisa ia tangkap.
Ia merasakan sesuatu di dalam dirinya berontak. Seharusnya aku ingat!
Matanya bergerak cepat ke dalam kotak, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa memberikan petunjuk lebih. Lalu, ia menemukan sebuah surat dengan lipatan yang lebih rapi dari yang lain, seolah ditulis dengan lebih hati-hati.
Tangan Arielle sedikit gemetar saat membukanya.
6 Desember 2008
“Arielle,
Setahun.
Aku masih mengingatmu. Aku masih mencintaimu.
Aku mencoba menjalani hidupku, mencoba melupakan, mencoba merelakan. Aku pikir waktu akan membuat segalanya lebih mudah. Tapi waktu hanya membuat semuanya lebih sunyi.
Kamu tahu? Aku masih ingat caramu menyelipkan rambut ke belakang telinga saat kau berbicara serius. Aku masih bisa mendengar suaramu di kepalaku, memanggil namaku seperti dulu. Aku bahkan masih bisa mencium wangi parfummu, entah apakah itu nyata atau hanya ilusi yang terus menghantuiku.
Aku ingin pulang.
Tapi aku tidak tahu apakah aku punya tempat lagi di sana. Aku tidak tahu apakah kamu ingin aku ada.
– Raphaël_
Arielle mengembuskan napas berat. Surat itu terasa berbeda—ada harapan, tetapi juga keputusasaan.
Raphaël masih mencintainya. Bahkan setelah semua ini.
Tapi yang lebih menyesakkan adalah… mengapa aku tidak mengingatnya?
Tangannya mencengkeram surat itu erat, seolah-olah dengan menggenggamnya, ia bisa menarik kembali sesuatu yang hilang dari pikirannya. Namun, yang ia dapatkan hanya kekosongan.
Arielle menutup kotak itu dengan terburu-buru, dadanya berdebar keras. Ia tidak bisa lagi membaca surat lainnya. Tidak malam ini.
Saat ia beranjak dari tempat tidur, ia melihat bayangannya di cermin di seberang ruangan. Mata yang menatap balik kepadanya bukan hanya matanya sendiri. Ada kebingungan, ada keresahan, ada sesuatu yang mengintai dari balik refleksi itu.
Siapa aku sebelum kecelakaan itu?
Ia tidak tahu.
Tapi kini, ia merasa bahwa bagian dari dirinya yang hilang perlahan-lahan mulai mencari jalan untuk kembali.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
