
Sepasang kakak-beradik, Teteh dan Adek harus berkelana jauh dari ‘rumah’ demi mengejar pendidikan dan pengajaran di sebuah sekolah asrama terbaik di kota antah-berantah. Alasan itu yang awalnya dan selalu diyakini oleh keduanya. Namun, mereka tak tahu jika Ibu memiliki rahasia besar nan pilu dibalik pilihan sekolah kali ini.
Petualangan hidup mereka bertiga di dunia yang tidak ramah ini rupanya dihantam badai. Di sela-sela lara dan nestapa, mereka bertemankan Indomie yang menghangatkan jiwa. Lalu,...
“Teh, kok, ibu lama banget jemputnya,” tanya adikku lirih di tasik keriuhan pengeras suara peron yang memperingatkan para penjelajah malam untuk menjauhi area rel dan kerasnya deru kereta api. Kulirik sejenak laki-laki berusia tiga tahun lebih muda dariku ini. Langit Kota Bandung semakin temaram dengan awan-awan berarak beriringan ke peraduan. Sejurus kemudian, gemericik air jatuh membasahi bagian-bagian stasiun yang tak beratap. Lamat-lamat, mushala milik stasiun KAI DAOP 2 dan masjid-masjid di sekitar kawasan Kebon Jeruk berlomba-lomba mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran yang menemani kerinduan dan kecemasan setiap orang di stasiun kereta api kelas A ini. Termasuk kami, dua anak yang sedang menanti.
“Sabar, Dek, mungkin ibu kejebak macet. Kan, sekarang jam pulang kantor,” kulontarkan kalimat klise yang semoga dapat menjawab kerisauan hatinya.
Ia hanya menimpali dengan tidak sabar cenderung menggerutu, “iya, tapi ini udah mau maghrib, Teteh. Terus, tinggal kita berdua, yang lain udah dijemput dari tadi.”
“Siapa bilang tinggal kita berdua? Masih banyak orang, tuh. Ada yang baru turun dari kereta, ada juga yang baru mau berangkat. Lagian, malam hari di Kota Bandung rame, kok, apalagi sekarang weekend,” ujarku bersemangat berusaha memompa keceriaannya. Ia hanya melangut tak karuan. Sejujurnya, aku pun merasa cemas karena Ibu tak kunjung tiba menjemput kami. Mungkinkah beliau lupa dengan jadwal kepulangan dua buah hatinya setelah berbulan-bulan menimba ilmu di daerah antah-berantah? Atau Ibu sengaja ‘membuang’ kami, anak-anaknya? Ahh, pikiranku mulai liar tak terkendali entah kemana. Di seberang kursi ruang tunggu, kulihat Ka Iz, ketua rombongan kami menyentuh layar pipih beberapa kali lalu berdiri menghampiri kami.
Seolah memahami kecemasan dua kakak-beradik ini, ia berujar tanpa basa-basi, “Noora, mau ditelepon lagi mamanya?” Suara laki-laki yang berusia lima tahun lebih tua dariku ini bersimpati.
Kutanggahkan wajah kearahnya, “gak usah, Kak, makasih. Ibu udah tahu kalau kita pulang hari ini, udah di-chat juga tadi pas masih di kereta sama Pak Fawwas. Pasti beliau udah di jalan, cuma mungkin kena macet.” Ia hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan.
“Maaf, ya, Kak Iz jadi ikutan nungguin kita lama begini. Harusnya Kakak udah pulang dari dua jam lalu.” Aku merasa tak enak hati pada kakak kelas yang menjadi pembimbing rombongan konsulat kami untuk kepulangan liburan semester pertama ini.
Ia lalu duduk di bangku kosong di samping adikku, “santai, rumah Kakak deket sini, tinggal naik angkot gak sampai sepuluh menit. Di rumah juga belum ada orang jam segini mah, masih macet-macetan di jalan kena jebakan jam pulang kantor.” Ya, dari dulu, hiruk-pikuk kemacetan jalan dan gemerlapan suasana Kota Bandung memang dikenal begitu mesra setiap pagi dan sore harinya.
Diiringi suara adzan maghrib, segerombol orang memasuki pintu masuk ruang tunggu. Di antara belasan wajah penjemput itu, kutangkap sesosok familiar yang kukenali sejak pertama kali membuka mata di dunia ini. Aku dan adikku bersorak kegirangan melihat paras cantik perempuan yang kami rindukan setelah enam bulan tak berjumpa karena jarak asrama sekolah yang teramat jauh dari kota berjuluk Paris Van Java ini. Kami berdiri, berlari, menyambut ibu yang juga berlarian dengan tangan terbuka lebar dan senyum sehangat mentari pagi.
“Aahhh, bahagiaku, akhirnya Teteh dan Adek pulang. Ibu minta maaf telat jemput, tadi ada sedikit kerjaan dadakan, terus kena macet di jalan. Duh, Ibu banyak alasan, ya!” Kata demi kata berloncatan dari mulut perempuan yang hampir berusia paruh baya ini. Kami berpelukan dalam keharuan mendalam, menuntaskan rindu yang tertahan selama beberapa purnama ke belakang.
Di tengah suka cita, Kak Iz datang menghampiri kami sambil tergopoh-gopoh menarik dua koper yang masing-masing sebesar tumpukan dua kardus mie instan. “Mohon maap, Teteh, Aa, kopernya ketinggalan iniii...” Sambil tersenyum ramah, ia memecah kebersamaan kami bertiga. Aku tersadar, kami berdua meninggalkan koper di antara kursi ruang tunggu begitu saja.
“Oh, iya, Ibu, ini kenalin, Kak Iz, pembimbing konsulat yang jadi ketua rombongan kepulangan liburan semester sekarang,” aku memperkenalkan Kak Iz kepada Ibu.
“Salam, Ibu, saya Muhammad Izzam Dzulqarnain,” ujarnya singkat sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Tak berbeda jauh, Ibuku melakukan hal serupa.
Sembari mengeluarkan beberapa lembaran kertas dari tas selempang, ia melanjutkan kalimatnya, “Punten, Ibu boleh tandatangan surat penjemputan atas nama Noormaudya Zelmira Avicenna dan Averrous Emmeril Alfatih disini,” Kak Iz menyodorkan kertas bermaterai dan sebuah pulpen kepada ibu serta menunjukkan kolom tanda tangan dengan ibu jarinya.
“Nak, maaf, ya, saya ngerepotin karena telat jemput. Jadi, kamu juga ikutan telat pulang ke rumah,” Ibu segera menandatangi surat penjemputan sambil menghaturkan permintaan maaf.
“Gak apa-apa, Bu, daa rumah saya juga deket-deket sini, anak Andir, hehe...” Kak Iz berusaha memecah kecanggungan Ibu yang merasa bersalah karena telat menjemput anak sehingga merepotkan orang lain. Atas sarannya, kami bertiga memilih untuk menunaikan ibadah salat maghrib di masjid Ar-Raudhah sebelum menuju rumah masing-masing. Ibu, aku, Fatih, dan Kak Iz lalu mengucapkan kalimat perpisahan di pintu keluar Stasiun Bandung.
Berjalan ke area parkir, Ibu membantu Fatih menggeret koper. Langkahku mandek ketika melihat ibu terpaksa terdiam setelah melihat adikku berhenti melangkah. “Kok, mobil kita gak ada, Bu? Emang Ibu parkir dimana?” Pandangan anak kelas tujuh itu beredar mengitari parkiran.
“Eehhh, kita sekarang naik angkot dulu, ya? Teteh sama Adek gak apa-apa, kan kalau naik angkot? Seru, kok, apalagi sekarang weekend, banyak yang jalan-jalan,” Ibuku menjelaskan secara perlahan dengan rinci dan penuh kehati-hatian. Dari nada bicaranya, kutangkap sebersit kesedihan sekaligus penyesalan yang tak bisa kujelaskan.
“Ya, gak apa-apalah, Bu, yang penting nyampe rumah,” aku berusaha menenangkan kekhawatiran ibu. Sementara Fatih, hanya menganggukkan kepala diam seribu bahasa. Kami, tiga anak manusia ini berjalan ke arah jalan besar dan menunggu angkot ditemani rintik hujan.
Setelah hampir dua jam bergelut dengan macet dan hujan, kami turun dari angkot di depan sebuah jalan yang lebih kecil dari jalan raya. Aneh, jalan ini terasa asing bagiku dan Fatih. Ini bukan jalan komplek rumah yang kami tinggalkan enam bulan lalu. Melihat kebingungan dan kernyitan dahi di wajah kedua anaknya, Ibu langsung menenangkan kami berdua.
“Malam ini, kita tidur di kost Ibu dulu, ya. Soalnya rumah Emak sama Abah ‘kan jauh, dan udah gak ada kendaraan umum kalau jam segini. Tempat kost ibu udah deket, kok, tinggal jalan lima ratus meter,” ucap Ibu panjang lebar memberi pengertian pada anak-anaknya.
Rumah nenek dan kakek yang berada di pelosok Kabupaten Bandung Barat memang jauh dari pusat Kota Bandung. Tapi, kost Ibu kali ini tak kalah jauh dari Stasiun Bandung, ditambah macet yang sungguh bikin pening kepala. Akhirnya, kalimat keluhan berhamburan juga dari mulutku, “kok, ibu bilang kost, sih? Emang rumah kita kenapa, Bu? Ibu kalau ngomong yang jelas, dong. Aku udah laper dan capek banget ini.” Ujarku tak sabar menanti jawaban Ibu.
“Nanti Ibu jelasin pas udah sampai kost, ya...” Ibu berujar singkat. Kami lalu melangkah menyusuri jalanan yang sisi-sisinya dihiasi rumah dan ilalang secara bergantian.
Memasuki kawasan dua gedung tingkat dua yang berhadapan, dengan pintu berjejer rapi di depannya, mirip seperti asrama susun sekolah, kami menuju salah satu kamar yang berada di ujung gedung. Kuedarkan pandangan ke sekeliling serta setiap pintu dan jendela, ramai, banyak sekali orang yang tinggal disini. Beberapa anak kecil bermain di halaman antara gedung.
“Bu Ais, nembe uih? (Bu Ais, baru pulang?)’ Sebuah suara ramah menghentikan langkah kami. Kulirik asal muasal panggilan itu. Seorang perempuan muda berusia 20 tahunan berjalan ke arah kami.
“Eh, Rahma, baru pulang atau mau berangkat kerja, nih?” tanya Ibu tak kalah ramah.
Ia menunduk menyalami Ibu, “baru pulang, Bu, biasa, lemburan. Ini teh anak-anak Ibu yang suka diceritain tea?” Ia melirik ke arahku dan Fatih.
“Iya, Noora sama Fatih. Teteh, Adek, kenalin ini Teh Rahma, temen Ibu disini.” Aku dan Fatih bergantian menyalami perempuan berkulit kuning langsat nan ramah ini. Rupanya Teh Rahma seorang karyawati di sebuah restoran cepat saji yang buka selama 24 jam.
“Atuh Ibu sama anak-anak selamat istirahat. Pasti capek, apalagi Teh Noora sama Adek Fatih naik kereta seharian,” Teh Rahma segera mengakhiri pembicaraan karena tahu kelelahan yang kami rasakan. Aku, ibu dan Fatih pun undur diri.
Di depan sebuah kamar dengan satu pintu dan satu jendela yang berdampingan, Ibu mengeluarkan sebuah kunci berhias gantungan kunci dari kulit kerang berwarna putih gading. Saat pintu depan terbuka, kulihat ruangan seluas 3x4 meter. Kecil, namun seperti biasa, kamar ini cukup nyaman dengan barang-barang tersusun rapi khas Ibu. Di ujung, terdapat sebuah pintu lagi yang kuyakini sebagai kamar mandi. Di depannya, terdapat dapur mini yang terdiri dari meja dengan kompor dua tungku, beberapa buffet, dan wastafel. Di samping kamar mandi, lemari plastik bersusun empat dan rak kecil menempel ke dinding, lalu disusul kasur single bed. Ada pula sepasang meja dan kursi yang mungkin dipakai ibu bekerja di samping kasur.
Setelah mengunci pintu, perempuan yang melahirkanku dan Fatih menaruh koper berjejer di belakang pintu. Benar saja, Ibu menunjuk ruangan kecil di depan dapur mini saat kami berkata ingin mandi. Tanpa air hangat, di kamar mandi berukuran 1x1 meter yang dilengkapi toilet jongkok, satu kran, satu ember, dan satu gayung, kami bertiga bergantian membersihkan diri. Saat adikku tengah mandi, Ibu sibuk dengan peralatan masaknya. Setelah menekan tombol “cook” di magic com, beliau beralih ke dapur. Aku mengikutinya seraya bertanya apa yang akan dimasak Ibu.
“Ibu gak sempat belanja hari ini. Jadi, kita makan ini aja dulu, yaa...” Ibuku mengacungkan dua bungkus mie instan berwarna hijau muda yang amat eye catching ke depan mukaku. “Indomie, mie instan kuah, Rasa Soto’ begitulah kata-kata yang tertera di kemasannya.
“Hehe, iya, ibu tinggal punya dua. Kenyang, kok, kita makan pakai nasi. Ibu tambahin sayuran juga.” Ujar Ibu mengerti keraguanku dengan kelaparan kami dan dua bungkus Indomie.
“Waahhh, wanginnya enak banget. Ibu masak apa?” Fatih yang baru keluar dari kamar mandi bertanya sembari menelusuri nikmatnya aroma kuah Indomie Rasa Soto.
“Ibu masak mie instan, lho buat makan malam,” ujarku tak kalah bersemangat.
“Asyiikkk, boleh makan mie. Adik lapaaarrrr bangeeetttttt.”
“Iya, tapi maaf, Ibu cuma bisa tambahin kol sama tomat aja. Gak ada sosis, baso, atau telor.” Ibu berusaha membesarkan hati kedua anaknya.
Kami bertiga duduk di bawah mengelilingi panci berisi mie dengan nasi di piring masing-masing. Sekilas, kupandangi wajah Ibu dengan sudut mata. Setetes kilauan menetes dari matanya yang memerah di sela-sela seruputan kuah mie. Ibu buru-buru menghapusnya, seolah tak mau dilihat meski sudah kadung kupergoki. Setelah makan, aku dan adik berebut bercerita tentang serunya pengalaman sekolah sekaligus asrama sampai tertidur di atas kasur lipat.
Di subuh buta hari Sabtu, Ibu membangunkan kami untuk bersiap berangkat ke rumah nenek dan kakek. Kami sarapan dengan nasi sisa semalam yang ibu masak kembali menjadi bubur keenceran. Dengan jarak yang cukup jauh, kami menaiki bus bernama Madona yang suara knalpotnya kembang-kempis bak orang terkena asma. Ditemani AG alias angin gelebug, kami duduk selama enam jam di bangku bus berukuran tiga perempat ini.
Emak dan Abah yang sudah menantikan kedatangan kedua cucunya berhamburan keluar setelah mendengar suara ojek yang kami tumpangi. Mereka memelukku dan Fatih erat. Emak heboh menanyakan kabar sekaligus mengabari jika beliau sudah memasak rendang kesukaan Fatih.
“Tadi malam, Adek sama Teteh makan mie instan, Mak, enak juga, lho, rendang Emak apalagi,” celetuk Fatih tanpa dosa diiringi delikan tajam Emak ke Ibu yang hanya bisa tersenyum masam.
Seusai makan siang, Abah mengajak kami melihat koleksi tanaman dan ikan hias terbarunya di halaman belakang. Saat mereka asyik bercengkarama, aku pergi ke dapur. Langkahku terhenti di balik dinding, “Barudak (anak-anak) udah tau kalau bapak ibunya cerai dan bapaknya nikah lagi?” Suara Emak tegas menyelidik. Aku tercekat.
“Belum, Mak. Abdi (saya) gak tega bilangnya, takut hati mereka hancur,” jawab Ibu lirih seolah malas membahas hal yang justru membuatku penasaran.
“Har (hah), itu, kamu sama Bambang udah cerai dari beberapa tahun lalu, dia udah nikah sama selingkuhannya, jeung eta awewe teu baleg (dan itu perempuan gak benar), masa hak anak-anak diambil paksa, pan (kan) itu rumah seisinya, kendaraan, dan nafkah bulanan emang wajib dipenuhi Bambang atas perintah pengadilan. Kenapa kamu gak ngelaporin dua-duanya biar diproses sama pihak berwajib. Emak mah heran, kamu teh meuni sabar pisan, lamun Emak, geus ngamuk dibawa sakalian ka pangadilan (Emak heran, kamu sabar banget, kalau Emak, sudah marah bawa kasusnya ke pengadilan),” ujar Emak mengeluarkan unek-uneknya. Tak tahan, aku segera berlalu mengurungkan niar memasuki dapur.
Berjalan ke arah kamar dengan pintu terbuka, kulihat punggung Ibu yang selalu kuat memperjuangkan kami. Oh, rupanya beliau tengah melipat pakaian kami. Kupeluk punggung itu dari belakang dengan tangan melingkar di lehernya. Kubenamkan wajah di sela-sela rambut Ibu yang halus dan beraroma sampo bunga.
Dengan lembut ibu bertanya, “ada apa, nih, kok tiba-tiba meluk?” aku hanya menggeleng. “Serius, gak ada udang dibalik batu?” Ibu melanjutkan. Aku menggeleng sekali lagi.
“Gak apa-apa, aku kangen aja. Emang Ibu gak kangen?” Hanya kalimat itu yang sanggup keluar dari mulutku.
“Kangenlah.” Jawab Ibu singkat.
“Kok, Ibu gak bilang kalau Ibu sama Bapak udah cerai dari lama?” Akhirnya kalimat itu terlontar juga. Seperti kaget, ibu bungkam untuk beberapa saat. Aku bergerak dan duduk tepat di harapannya. Ibu menatapku lekat-lekat.
“Teteh tahu darimana?”
“Aku gak sengaja denger Ibu sama Emak ngobrol di dapur tadi.”
“Ibu minta maaf gak jujur dari lama. Ibu gak mau nama Bapak jelek di mata kalian.Mau gimana pun, Bapak orang tua Teteh dna Adik.” Jawab Ibu singkat namun padat.
‘Jadi itu alasan Ibu tiba-tiba masukin Adek ke asrama beberapa bulan lalu. Padahal, Adek udah masuk SMP di Bandung,” tanyaku. Ibu hanya terdiam.
“Teh, Ibu boleh minta sesuatu gak?” Ibu menangkup wajah kecilku dengan kedua tangannya. Aku mengangguk. “Rahasiakan hal ini dari Adek, ya? Biar Ibu yang kasih tau dia saat waktunya udah tepat.”
“Ibu tenang aja, kita berdua bakalan selalu ada buat Ibu,” Aku berujar.
Ibu menyeka air matanya, “Ibu tau, kok. Ohya, hari Rabu depan, pas hari ulang tahun ke-15 Teteh, maaf, ya, Ibu gak ada di rumah. Soalnya gak libur.” Ibu berusaha membesarkan hatiku. Ya, semenjak bercerai dengan Bapak, beliau harus kembali mencari nafkah di luar sana. Kendati Ibu lulusan S2 dengan karier mentereng sebelum berhenti bekerja karena permintaan Bapak, nyatanya kini ia kesulitan melamar pekerjaan. Banyak perusahaan dan sekolah yang menolaknya. Alasannya sungguh sepele serta tak masuk akal, hanya karena beliau janda dan memiliki dua anak. Beruntung, ada sebuah lembaga konseling mau menerimanya.
Kami menutup pembicaraan dengan saling berpelukan dan bertangisan. Tanpa disengaja, tanganku reflek mengelus-elus halus pungung Ibu bak menyalurkan semangat dan kekuataan.
Sepuluh tahun kemudian...
“Dek, mau rasa apa?” Aku bertanya setengah berteriak ke Fatih yang sedang mengisi panci dengan air dari dispenser.
“Mie goreng, dua.” Kalimat Fatih singkat berbaur dengan derasnya hujan di luar sana,
Kumenengadah melihat buffet berisi tumpukan mie yang kami beli tadi sore, lalu beralih menyeret kursi makan. Baru saja menaikinya, sebuah tangan menyambar bungkusan Indomie Goreng berwarna putih itu.
“Lain kali, Teteh yang isi air.” Fatih berujar dengan nada mengejek. Bak sebuah misteri dunia yang sukses bikin heran, mengapa adik selalu lebih tinggi daripada kakaknya. Aku hanya cengar-cengir sambil turun dari kursi.
“Haduh, ini kenapa ribut-ribut di dapur, Ibu lagi ngaji sampai berhenti.” Ibu menghampiri kami sambil membenarkan jilbab birunya.
“Aku gak kuat lapar, Ibu.” Fatih menjawab sambil membuka bungkus mie.
Kali ini, kami memadukan Indomie dengan sawi, wortel, baso ikan, sosis sapi, dan telur ceplok. Ibu membantu mengiris cabai rawit yang akan ditaburkan ka atas mie.
Duduk melingkar di meja makan bundar, di depan kami tersaji mie instan favorit masing-masing. Empal Gentong untuk Ibu, Mie Goreng untuk Fatih, dan Soto Banjar Limau Kuit untukku. Kulihat Fatih menelusuri setiap inci aroma Indomie Goreng yang menggugah selera dengan hidungnya.
“Akhirnyaaa, makan Indomie sini lagi,” sebuah kalimat yang terlontar dari mulutnya.
“Emang kenapa sama Indomie sini?” Tanya Ibu penasaran.
Fatih singkat menjawab, “Aku lupa ajak Ibu makan Indomie pas wisuda kemarin.”
“Ehm, gak tau yaa, entah perasaanku aja atau gimana. Indomie yang dijual di Indonesia itu lebih gurih daripada yang dijual di Amerika dan Eropa. Bumbunya lebih berasa gitu, deh!” Aku menjelaskan pada Ibu.
“Kurang micin, Bu, padahal, I Love Micin, haha...” Fatih tertawa lalu kembali memasukkan mie ke dalam mulutnya.
“Oh, gitu, toh. Ohya, baso sama sosisnya enak, gak?” Tanya Ibu.
“Kukira tadi nugget setengah jadi, Bu, bukan sosis, habis mirip nugget.” Fatih mengemukakan pendapatnya.
“Biar bentukannya mirip nugget, tapi rasa sama teksturnya sosis banget, kok, Bu. Emang Ibu cetak pakai apaan?” Aku keheranan dengan bentuk sosis kotak memanjang buatan Ibu.
Ibu berujar, “Pakai loyang kue brownis. Kalau mau, tinggal dibalur tepung roti aja, ya.” Kami berdua mengangguk mengiyakan perkataan Ibu.
“Ahh, bulan depan kita gak bisa makan bertiga kayak gini lagi. Teteh harus balik ke Amerika, kerja” Tiba-tiba Ibu berkata lirih.
“Ibu tenang aja, Adek ada di rumah, gak kemana-mana. Mungkin, perusahaan Teteh bisa kayak perusahaan Adek, ekspansi ke Indonesia. Biar Teteh kerjanya deket.” Fatih menenangkan kegalauan Ibu yang harus kembali berpisah dengan anaknya.
“Kayaknya susah, deh, kalau bidang pendidikan. Gak kayak Adek yang arsitektur.” Ujarku.
Mengetahui Ibu harus ‘puasa’ demi menabung dana pendidikan, aku dan Fatih berusaha sekeras mungkin mendapatkan beasiswa di sekolah. Persoalan Bapak, kini Fatih sudah lebih legowo meski sempat mengurung diri selama seminggu ketika pertama kali mengetahuinya. Selepas SMA, kami berdua mendapat rezeki besar. Yakni dapat berkuliah ke luar negeri secara gratis. Aku ke benua Amerika merampungkan Sarjana dan Master, sementara Fatih ke benua Eropa mengejar Strata 1. Ibu tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk pendidikan kami. Beliau dapat mengalihkan tabungan untuk membeli rumah idaman yang sekarang menjadi atap kami bernaung dari panas dan hujan.
“Eits, sekali lagi, Ibu tenang aja. Ada bodyguard pribadi yang jaga Teteh disana.’ Fatih berseloroh dengan tengilnya. Ibu menyambutnya dengan kernyitan di dahi.
“Teteh nyewa atau disediakan pengawal dari perusahaan.” Tanya Ibu penasaran.
Belum sempat kumenjawab, Fatih sudah menyahut lebih dulu, “bodyguard sukarela, Bu.” Ia tertawa puas. Ibu pun semakin penasaran.
“Ibu ingat Kak Iz? Yang pernah ibu temuin di Stasiun Bandung dulu?” Fatih memasang wajah jahil dengan mengangkat kedua alisnya. “Nah, itu dia pengawal pribadi yang sukarela jaga Teteh.” Aku mencolek perutnya setelah ia berkata demikian.
“Aduh, ada yang salting.” Ujar Fatih semakin jahil.
“Wah, wah, kok, Ibu gak tahu kalau Nak Izzam masih berhubungan sama Teteh>”
“Kita cuma temenan, kok, Bu. Kebetulan aja ketemu beberapa waktu lalu pas dia simposium ke universitasku. Ehh, ternyata dia ngelanjutin doktoralnya di Amerika.” Aku berusaha menjelaskan sambil menyeruput kuah Indomie Soto Banjar yang segar.
“Iya, temenan, tapi kalau lagi jalan bertiga, aku jadi obat nyamuk.” Ujar Fatih terbahak.
“Harus datang ke hadapan Ibu, tuh” Ibu ikut-ikutan menggodaku. Aku hanya tersenyum masam.
“Santai, Adek udah observasi selama ini. Dia anaknya baik, bertanggung jawab, dan santun banget,” Fatih mengeluarkan pendapatnya soal Ka Iz yang kini sudah berusia matang itu.
“Ibu gak punya syarat apa-apa. Yang penting pasangan kalian nanti, bisa saling menyayangi, melindungi, mendengarkan. Jangan sampai menyakiti satu sama lain. Teteh sama Adek harus bahagia.” Ujar Ibu penuh pengharapan. Kami hanya terdiam sembari membayangkan kesedihan dan penderitaan beliau selama ini.
Di tengah guyuran hujan langit Kota Bandung, kami bertiga bertukar cerita tentang berbagai hal. Mulai dari uniknya Indomie Soto Banjar Limau Kuit, momen konyol perkuliahan, hingga ingatan indah mendiang Abah dan Emak. Semua rasa kami validasi di sela-sela bumbu Indomie yang pekat dan mie kuning panjang. Setiap waktu, kami bertumbuh dan sembuh bersama luka. Namun yang pasti, kami selalu menghadapinya sama-sama.
Setelah menyerobot mangkuk mie-ku, Fatih kembali fokus pada piringnya yang kini hanya tersisa kuning telur yang selalu ia sisakan untuk terakhir kalinya. Di atas piring, ia memutar-mutar garpu dengan bagian telur favoritnya tertancap melibas bumbu Indomie Goreng yang tertinggal. Ya, ia tidak akan melewatkan sedikit pun bumbu mie yang gurih itu. Aku dan Ibu hanya terawat melihat kebiasaan menakjubkan Fatih setiap kali menghabiskan Indomie Goreng yang rasanya tidak ada duanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰