
Sepasang kakak-beradik, Teteh dan Adek harus berkelana jauh dari ‘rumah’ demi mengejar pendidikan dan pengajaran di sebuah sekolah asrama terbaik di kota antah-berantah. Alasan itu yang awalnya dan selalu diyakini oleh keduanya. Namun, mereka tak tahu jika Ibu memiliki rahasia besar nan pilu dibalik pilihan sekolah kali ini.
Petualangan hidup mereka bertiga di dunia yang tidak ramah ini rupanya dihantam badai. Di sela-sela lara dan nestapa, mereka bertemankan Indomie yang menghangatkan jiwa. Lalu,...
“Teh, ‘kok, ibu lama?” tanya adikku lirih di tasik riuh pengeras suara peron dan deru kereta api. Kulirik sejenak laki-laki berusia tiga tahun lebih muda dariku ini.
Langit Kota Bandung semakin temaram dengan awan-awan berarak ke peraduan. Lamat-lamat, musala stasiun KAI DAOP 2 dan masjid-masjid di kawasan Kebon Jeruk mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran yang menemani kecemasan setiap orang di stasiun kereta api kelas A ini. Termasuk kami, dua anak yang sedang menanti.
“Sabar, Dek, mungkin ibu kejebak macet,” kulontarkan kalimat klise yang semoga dapat menjawab kerisauan hatinya.
Ia menggerutu lalu melangut, “harusnya Ibu jemput kita dua jam lalu.”
Diiringi suara azan maghrib, kutangkap sesosok familiar saat gerombolan orang memasuki ruang tunggu. Aku dan adik bersorak kegirangan melihat paras yang kami rindukan usai enam bulan tak bersua. Kami berlari menyambut Ibu yang juga berlarian dengan tangan terbuka lebar dan senyum sehangat mentari pagi.
Ibu segera menandatangani surat penjemputan bermeterai yang disodorkan Ka Iz, pembimbing konsulat sekaligus ketua rombongan kepulangan kami.
“Kita naik angkot dulu, ya?” Ibu berujar saat melihat Adek berhenti melangkah dan memandangi area parkir mobil. Tak dapat kujelaskan, kesedihan sekaligus penyesalan tersirat dalam nada bicara Ibu.
Setelah hampir dua jam bergelut dengan macet dan hujan, kami tiba di sebuah jalan kecil. Aneh, jalan ini asing bagiku dan Adek. Ini bukan jalan kompleks rumah yang kami tinggalkan beberapa bulan lalu.
“Malam ini, kita tidur di kos Ibu. Soalnya rumah Emak sama Abah jauh. Tempatnya deket, tinggal jalan lima ratus meter,” ucap Ibu memberi pengertian pada anak-anaknya. Benar saja, kami menyusuri jalanan yang sisi-sisinya dihiasi rumah dan ilalang secara bergantian
Kecil. Kamar indekos Ibu berukuran 3x4 meter namun sangat nyaman dengan barang-barang tersusun rapi. Ruangan ini dilengkapi kamar mandi 1x1 meter, meja dengan kompor dua tungku, buffet, wastafel, lemari plastik bersusun empat, rak kecil, dan kasur single-bed.
“Ibu gak sempat belanja. Jadi, kita makan ini dulu, ditambahin kol dan tomat” Ibu mengacungkan dua bungkus mi instan hijau muda yang amat memanjakan netra ke depan wajahku. ‘Indomie Rasa Soto’ begitulah kata-kata yang tertera di kemasannya.
“Waahhh, wanginya enak banget. Ibu masak apa?” Adek keluar dari kamar mandi menelusuri nikmatnya aroma Indomie.
Kami duduk di lantai mengelilingi panci mi dengan nasi di piring masing-masing. Sekilas, kupandangi wajah Ibu dengan ekor mata. Setetes kilauan jatuh dari sudut netranya di sela-sela seruputan kuah mie. Ibu buru-buru menghapusnya, seolah tak mau dilihat meski sudah kadung kupergoki.
Di subuh buta hari Sabtu, Ibu membangunkan kami dan memasak kembali nasi sisa semalam menjadi bubur keenceran untuk sarapan. Kami menaiki bus Madona yang suara knalpotnya kembang-kempis bak orang terkena asma selama lima jam demi menuju rumah Emak dan Abah di pelosok Kabupaten Bandung Barat.
------------------------------------------------------------------------------
“Tadi malam, Adek sama Teteh makan mi, enak. Rendang Emak apalagi,” celetuk Adek tanpa dosa diiringi delikan tajam Emak ke Ibu yang tersenyum masam.
Seusai makan siang, Abah mengajak cucunya melihat koleksi tanaman baru. Aku memilih beranjak ke dapur saat mereka asyik bercengkerama. Langkahku terhenti di balik dinding, “Barudak (anak-anak) udah tau kalian cerai beberapa tahun lalu dan bapaknya nikah sama selingkuhannya?” suara Emak tegas menyelidik. Aku tercekat.
“Belum, Mak,” jawab Ibu lirih seolah malas membahas hal yang justru membuatku penasaran.
“Har (hah), jeung eta awewe meuni pikaseubeuleun (itu perempuan menyebalkan), hak anak-anak diambil paksa, pan (kan) rumah seisinya, kendaraan, dan nafkah bulanan wajib dipenuhi Bambang. Emak heran, kamu teh meuni sabar pisan, lamun Emak, geus ngamuk dibawa sakalian ka pangadilan (Emak heran, kamu sabar sekali, kalau Emak, sudah marah-marah membawa mereka ke pengadilan).” Emak berapi-api mengeluarkan unek-uneknya. Tak tahan, aku segera berlalu.
Dari pintu kamar yang setengah terbuka, dapat kulihat punggung Ibu. Saat kuhampiri, beliau tengah melipat pakaian. Kudekap ia dari belakang dan membenamkan wajah di sela-sela rambut halusnya.
Ibu bertanya lembut, “ada apa, nih, tiba-tiba meluk?” Aku menggeleng. “Serius, gak ada udang dibalik batu?” lanjut Ibu. Aku menggeleng sekali lagi.
“Gak apa-apa, kangen aja. Emang Ibu gak?” hanya kalimat itu yang sanggup keluar dari mulutku.
“Kangenlah.” jawab Ibu singkat.
“Kenapa Ibu gak bilang kalau udah cerai sama Bapak?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga. Kaget, Ibu bungkam beberapa saat. Aku lalu duduk di hadapannya. Ibu menatapku lekat-lekat.
“Teteh tahu dari mana?”
“Aku gak sengaja denger Ibu sama Emak ngobrol.”
“Ibu minta maaf gak jujur dari lama. Ibu gak mau kalian patah hati karena perceraian orang tua” jawab Ibu pelan.
‘Jadi itu alasan Ibu tiba-tiba masukin Adek ke asrama. Padahal, dia udah masuk SMP,” tanyaku. Ibu hanya terdiam.
“Teh, Ibu boleh minta sesuatu?” Ibu menangkup wajah kecilku dengan kedua tangannya. “Rahasiakan hal ini dari Adek, ya? Biar Ibu yang kasih tau saat waktunya udah tepat.” Aku mengangguk.
Ibu menyeka air matanya, “hari Rabu depan, Teteh ulang tahun ke-15, Ibu gak ada di rumah. Soalnya gak libur.” Ibu berusaha membesarkan hatiku. Ya, semenjak bercerai, beliau harus mencari nafkah. Kendati lulusan S2 dengan karier mentereng sebelum berhenti bekerja karena permintaan Bapak, nyatanya kini Ibu kesulitan melamar pekerjaan. Banyak perusahaan menolaknya. Alasannya sungguh tak masuk akal, yakni karena beliau janda dengan dua anak. Beruntung, sebuah lembaga konseling menerimanya.
Kami menutup pembicaraan dengan berpelukan dan bertangisan. Tanganku refleks mengelus-elus punggung Ibu bak menyalurkan kekuatan.
------------------------------------------------------------------------------
Sepuluh tahun kemudian...
“Mau rasa apa?” aku berteriak ke Adek yang sedang mengisi panci dengan air dispenser.
“Mi goreng, dua.” jawabnya singkat berbaur deras hujan.
Kutangahkan wajah ke arah buffet berisi tumpukan mi yang baru kami beli tadi sore, lalu menyeret sebuah kursi. Baru saja menaikinya, setelapak tangan menyambar bungkusan Indomie Goreng berwarna putih itu.
“Lain kali, Teteh yang isi air.” ejeknya.
“Aduh, ini kenapa ribut-ribut di dapur?” Ibu menghampiri sambil membenarkan jilbab birunya.
“Aku gak kuat lapar, Ibu.” Adek menjawab sambil membuka bungkus mi.
Duduk melingkar di meja makan bundar, di depan kami tersaji mi favorit masing-masing. Empal Gentong untuk Ibu, Mie Goreng untuk Adek, dan Soto Banjar Limau Kuit untukku.
“Akhirnyaaa, makan Indomie sini lagi,” Adek menelusuri setiap inci aroma Indomie Goreng yang menggugah selera dengan hidungnya.
“Emang kenapa sama Indomie sini?” Tanya Ibu penasaran.
“Aku lupa ajak Ibu makan Indomie pas wisuda kemarin,” Adek berujar.
“Entah perasaanku aja atau gimana. Indomie Indonesia lebih gurih daripada yang dijual di Amerika dan Eropa. Bumbunya lebih berasa.” kujelaskan pada Ibu.
“Kurang micin, Bu, padahal, I Love Micin.” Adek terbahak lalu memasukkan gulungan mi ke dalam mulutnya.
“Oh, gitu. Bulan depan kita gak bisa makan bertiga kayak gini lagi. Teteh harus balik ke Amerika, kerja” Ibu berkata sendu.
“Ibu tenang aja, Adek gak kemana-mana. Perusahaan Teteh mungkin bisa kayak perusahaan Adek, ekspansi ke Indonesia.” Adek menenangkan keresahan Ibu yang harus kembali berpisah dengan putrinya.
Ibu terpaksa ‘puasa’ demi menabung dana pendidikan. Karenanya, kami berusaha keras mendapatkan beasiswa. Soal Bapak, Adek sudah legawa meski sempat mengurung diri selama seminggu saat diberitahu pertama kali. Selepas SMA, kami berkuliah ke luar negeri secara gratis. Aku ke benua Amerika merampungkan Sarjana dan Master Pendidikan, sementara Adek ke benua Eropa mengejar Bachelor of Architecture. Ibu dapat mengalokasikan tabungan untuk membeli rumah idaman yang sekarang menjadi atap kami bernaung dari panas dan hujan.
Di bawah guyuran hujan langit Kota Bandung, kami bertukar kisah tentang segala hal. Mulai dari uniknya rasa Indomie Soto Banjar Limau Kuit, momen konyol perkuliahan, hingga ingatan indah mendiang Abah dan Emak. Segenap #CeritadanRasa kami validasi di sela-sela bumbu Indomie yang menggetarkan hati. Kami sembuh dan bertumbuh bersama luka. Namun yang pasti, kami selalu menghadapinya bersama-sama.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
