Dendam Anak Tiri (Part 1. Terkuaknya Sebuah Rahasia)

1
0
Deskripsi

"Maafkan Ibu sebelumnya karena sudah merahasiakan ini dari kamu. Sekarang Ibu rasa sudah waktunya buat kamu tahu semuanya ...." Alena mengernyit. Perasaannya semakin tak nyaman. "Ini tentang ayah kandung kamu,"

Alena tertegun.

Ayah kandungnya?

Kenapa tiba-tiba ibunya membicarakan itu?

Bukankah selama ini ibu sudah menceritakan yang sebenarnya tentang itu?

Apakah selama ini ibu menyembunyikan sesuatu tentang ayah kandungnya?

18 Tahun Kemudian.


"Jadi, Pak, saya di sini bekerja sebagai Cleaning Service?"

Raut wajah Alena seketika berubah kala pria dihadapannya mengatakan kalau dia terima di sini sebagai Cleaning Service. Tatakala dia dipanggil untuk datang ke perusahaan yang dimasuki surat lamaran kerja, dia pikir akan diterima dengan posisi yang bagus. Namun, ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Perasaan senang yang tadi dia rasakan seketika lenyap. Dan dia bertanya kembali untuk memastikan.

"Benar, Mbak. Bagaimana? Apakah Mbak terima?" Perubahan raut wajah Alena tentu terbaca oleh pria itu. 

"Saya terima, Pak," jawab Alena akhirnya. Meski awalnya dia sedikit kecewa karena fakta tidak sesuai dengan keinginannya, dia tetap menerima pekerjaan itu. Karena yang penting dia punya pekerjaan dan penghasilan sendiri setelah selama ini dia bersusah payah mencari pekerjaan ke sana ke mari.

"Bagus kalau begitu. Tugas Mbak di sini adalah bertanggungjawab untuk kebersihan seluruh area kantor ini dan kerjakan dengan teliti," jelas pria berjas di hadapannya yang merupakan direktur di perusahaan ini.

"Baik, Pak. Jadi kapan saya mulai bekerja?"

"Di sini pakai sistem shift, seminggu masuk pagi dan pulang sore. Seminggu lagi masuk sore dan pulang malam. Begitu setiap minggunya," terang sang direktur.  "Mulai besok kamu sudah boleh masuk. Besok pagi jam delapan kamu harus sudah ada di kantor dan pulang setengah empat sore," tambahnya.

"Baik, Pak."

"Oke."

"Kalau begitu saya permisi, ya, Pak. Terima kasih."

Pria itu mengangguk. Alena berdiri dan keluar dari ruangan tersebut.

Gadis itu mengehela napas lega seiring dengan langkahnya menuju keluar kantor. "Meskipun jadi CS nggak pa-pa, deh. Yang penting gue punya pekerjaan dan bisa bantuin Ibu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lagi pula gue cuman tamatan SMA. Seharusnya gue tahu diri. Ya, gue harus bersyukur." Perempuan itu lalu menengadah memandangi langit-langit kantor yang mewah, berdoa kepada penghuni langit. "Ya Allah makasih akhirnya hamba diterima bekerja dan hamba bakal punya penghasilan sendiri." Perempuan berusia delapan belas tahun itu lalu tersenyum dan mempercepat langkahnya keluar kantor. Tak sabar ingin cepat pulang ke rumah dan mengabari ibu tentang kabar gembira ini.


***


"Stop, Pak." Alena mengetuk langit-langit angkot yang dia tumpangi kala kendaraan itu telah mendekati gang sempit di mana rumahnya berada. Angkot itu berhenti. Alena turun setelah membayar biaya angkot pada supirnya.

Sepeninggal angkot, gadis itu melanjutkan perjalanannya memasuki gang sempit dengan berjalan kaki. Rumah kontrakan Alena berada di gang sempit. Yang mana gang itu hanya cukup dilewati dua motor yang berdampingan dengan rapat, tidak untuk mobil apalagi truk. Jalannya terbuat dari semen dan membentuk jalan setapak. Di sepanjang gang itu rumah-rumah kecil dan sederhana berjejer rapat.

"Assalamu'alaikum, Ibu!" Alena memanggil ibunya tatkala dia membuka pintu yang tidak dikunci. Gadis itu langsung masuk mencari ibunya. Namun, dia tak menemukan ibunya di rumah. Dia pun keheranan karena sebelum dia berangkat ke kantor tadi ibunya masih di rumah dan tidak ada rencana pergi ke mana-mana. Hari ini ibunya juga istirahat dari bekerja karena majikannya sekeluarga sedang ke luar kota.

"Ibu!" panggilnya lagi sambil masuk ke kamar, tapi ibunya juga tak ada di sana. "Apa Ibu main ke rumah tetangga?" gumamnya.

Alena pun keluar rumah. Bu Sari, tetangga sebelahnya yang tengah melayani pembeli nasi kuning menyadari keberadaan Alena. "Eh, Alena, tadi saya lihat Ibu kamu di bawa warga ke rumah sakit." Bu Sari langsung mengabarkan.

Alena syok. "Ibu masuk rumah sakit? Kok bisa?"

Bu Sari menggeleng. "Saya nggak tahu. Sebaiknya kamu segera susul ibumu ke rumah sakit."

Alena mengangguk. "Makasih, Bu, infonya."

"Iya."

Alena pun kembali mengunci pintunya. Dan segera menghubungi sahabatnya, Farah. "Farah lo lagi sibuk nggak? Tolongin antarin gue ke rumah sakit. Gue buru-buru, Ibu gue masuk rumah sakit," jelasnya begitu sambungan telepon diangkat lawan bicaranya. Wajah Alena terlihat panik.

"Ini gue baru pulang dari kampus. Gue langsung ke rumah lo, ya?"

"Iya, iya, gue tunggu di depan gang aja." Alena mematikan ponselnya dan memasukkannya ke saku jins. Buru-buru keluar gang menunggu jemputan Farah di depan.


***


Setelah menanyai ruangan ibunya di rawat melalui resepsionis, Alena dan Farah berjalan tergesa di sepanjang lorong rumah sakit menuju ruang tempat ibunya dirawat. Perasaan Alena kian cemas. Tiap detik waktu terasa berjalan sangat lambat. Membuatnya kian cepat memacu langkah agar cepat mengetahui keadaan ibunya.

Sesampainya di ruangan ibunya, Alena langsung menghampiri ibunya yang tampak terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Farah mengiringi Alena. Mereka berdua berdiri di sisi ranjang itu.

"Ibu ...." Alena membungkuk menatap ibunya dengan rasa khawatir yang menjadi. "Keadaan Ibu gimana? Kata dokter Ibu sakit apa? Kenapa bisa sampai masuk rumah sakit?" tanya Alena beruntun. Sementara Farah di samping Alena hanya diam memandang iba Leyla.

"Alena, Ibu mau cerita sesuatu sama kamu." Bukannya menjawab pertanyaan anaknya, Leyla malah bicara hal lain.

"Cerita apa, Bu?"

"Maafkan Ibu sebelumnya karena sudah merahasiakan ini dari kamu. Sekarang Ibu rasa sudah waktunya buat kamu tahu semuanya ...." Alena mengernyit. Perasaannya semakin tak nyaman. "Ini tentang ayah kandung kamu,"

Alena tertegun.

Ayah kandungnya?

Kenapa tiba-tiba ibunya membicarakan itu?

Bukankah selama ini ibu sudah menceritakan yang sebenarnya tentang itu?

Apakah selama ini ibu menyembunyikan sesuatu tentang ayah kandungnya?

"Sebenarnya ... Ibu bohong ... tentang Ayah kamu selama ini." Dengan susah payah, Leyla menuntaskan kalimatnya. Suaranya terdengar semakin melemah. "Ayah kamu ... nggak meninggalkan Ibu. Dia ada ... di dekat kamu."

"Bohong gimana, Bu?" Pikiran Alena mulai berspekulasi.

"Ayah kamu nggak meninggalkan Ibu seperti yang pernah Ibu ceritakan. Ayah sama Ibu nggak pernah menikah."

Alena tertegun.

Jadi ibu dan ayah tidak pernah menikah?

Itu artinya ibunya hamil di luar nikah dan dirinya adalah anak haram?

 "Kenapa bisa, Bu? Jadi siapa sebenarnya Ayah aku?"

Mata Leyla yang sedari tadi menatap Alena, beralih menatap langit-langit ruangan bercat putih bersih. "Ayah kamu adalah orang yang selama ini kamu anggap sebagai Kakek kamu. Bagaskara."

Alena lebih syok lagi. Kakek Bagaskara? Bukannya kakek Bagaskara itu suami nenek Rista, adik dari neneknya? Bagaimana bisa Bagaskara adalah ayahnya? Alena tak mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi.

"Ibu nggak bohong, 'kan, Bu?" Alena rasanya tak percaya.

Leyla menggeleng lemah. "Ceritanya rumit ...." Suara Leyla nyaris tak terdengar.

"Bagaimana itu bisa terjadi, Bu? Jelasin ke aku." Alena mendesak ibunya dengan rasa penasaran yang membesar. Sementara Farah yang mendengarnya kian membisu.

Leyla kembali menatap Alena. "Maafin Ibu, Alena ..." Leyla malah minta maaf membuat Alena makin tak mengerti. "Intinya Bagaskara adalah Ayah kandung kamu. Ibu nggak menikah dengannya karena ulah Rista. Rista itu jahat! Sangat jahat! Dia yang sudah merebut Ayah kamu dari Ibu! Dia wanita manipulatif. Munafik." Leyla menggebu-gebu. Meski lemah, intonasinya kian meninggi.

Alena diam, menunggu ibunya melanjutkan ucapan. Namun, tidak dengan pikirannya yang sibuk berspekulasi.

"Sekarang mereka hidup bahagia bersama anaknya, Alyssa. Mereka bahagia di atas penderitaan kita." Tangis Leyla pecah seketika. Tak dapat lagi menahan kesedihan yang kian menyesakkan hati. Peristiwa-peristiwa masa lalu mendadak berkelabat di ingatannya. "Seandainya dulu Ibu yang menikah dengan ayahmu. Nasib kamu tidak akan begini, Alena."

Alena berusaha untuk tidak menangis, meski tak dapat dimungkiri perasaannya sedih dan sakit mendengar cerita Ibu. "Ibu nggak boleh nangis," bisiknya.

"Kamu harus datangin mereka, kamu harus--" 

"Ibu jangan ngomongin itu dulu, Bu. Ibu fokus aja sama kesembuhan Ibu, ya?" Alena berusaha mengalihkan perhatian ibunya. Tapi Leyla malah menggeleng.

"Ibu mohon kamu harus datangin mereka ... minta pertanggungjawaban kepada mereka ...." Selepas mengucapkan kalimat itu, Leyla mendadak mengalami sakaratul maut. 

"Ibu!" Alena berteriak tertahan. Tak pernah terduga olehnya, di usianya yang masih sangat belia, dia melihat sendiri ibunya sakaratul maut, secepat itu.

"Laa ... ilaaha ...."

"Laa ... ilaaha ... illallaahh ...." Dengan air mata tak terbendung, Alena membantu ibunya mengucapkan dua kalimat syahadat. "Muhammadur Rasulullah ...."

Persis kalimat itu selesai dilisankan, Leyla menghembuskan napas terakhir. Tangis Alena pecah seketika. Tangannya menutup kedua mata sang ibu yang telah tak bernyawa "Ibu!!"

"Tante Leyla!" Farah yang sejak tadi terdiam akhirnya berseru. "Al, lo yang sabar, ya?" Farah mengusap bahu Alena.

Alena lantas menggeleng, tersadarkan sesuatu. "Ibu pasti belum meninggal. Ibu masih bisa diselamatkan!" Alena masih berharap semua ini tidak nyata. Yang dia lihat tadi hanyalah ilusi-nya. "Bu, bangun, Bu!"

"Al, Tante Leyla beneran udah meninggal."

Alena tak memedulikan Farah dan malah berlari menuju pintu, ke luar ruangan mencari dokter. "Dokter!"

Farah yang melihat itu tak bisa mencegah lagi.

"Dokter!" Suara Alena terdengar lantang di lorong depan ruangan itu. Mengundang perhatian pengunjung lain dan staf rumah sakit. Tak lama kemudian, dokter yang tadi menangani ibunya beserta seorang perawat pun datang.

"Ada apa, Mbak?" tanya perawat itu.

"Ibu saya! Ibu saya!" Alena kehilangan kata-kata. Melihat aksi Alena yang demikian, dokter dan perawat itu langsung bergegas masuk ke ruangan. Alena ikut masuk dan menyaksikan semua.

"Permisi."

Farah menepi.

Dokter memeriksa denyut nadi di tangan Leyla dengan kedua jarinya. Lantas menggeleng. "Innalillahi Wa'innailaihi Rajiun, Bu Leyla sudah tiada."

Alena menggeleng keras. "Nggak mungkin, Dok! Dokter pasti salah, periksa lagi, Dok! Atau coba lakukan sesuatu siapa tahu Ibu saya masih bisa sadar!"

"Maaf, tapi Ibu Anda sudah meninggal dunia," jelas dokter itu lagi.

 Alena menatap sang dokter tak percaya, lalu menghampiri ibunya yang terbaring kaku. "Ibu! Ibu kenapa tinggalin Alena, Ibu?! Ibu bangun!!" Alena mengguncangkan tubuh ibunya sekuat tenaga berharap ibunya bangun.

"Al, istighfar, Al. Tante Leyla udah nggak ada," bisik Farah. "Ikhlasin, Al."

Alena tak peduli dan terus berteriak histeris sambil mengguncang tubuh ibunya. Berharap ada keajaiban.

"Ibu!!" Alena terus menangis dan berteriak sampai akhirnya gadis itu jatuh pingsan.

"Alena!" Farah yang melihat itu langsung panik sekaligus bingung. Apa yang harus dia lakukan?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Dendam Anak Tiri (Part 2. Berkabung)
0
0
Saat liang itu sudah tertutup sempurna bersama batu nisan yang ditancapkan, Alena tiba-tiba bertekuk lutut di depan gundukan tanah itu, berteriak memanggil ibunya.Ibu! Jangan tinggalin aku, Bu! Aku mau ikut Ibu aja!Farah terkejut melihat aksi Alena. Juga para pelayat yang ada di sana. Farah ikut berjongkok di samping sahabatnya. Al, jangan begini, Al. Kasihan Ibu lo.Alena memandangi para pelayat yang berusaha mencegah aksinya. Buka kuburannya! Aku mau ikut Ibu! Tangannya meremasi butiran tanah kuburan itu tak peduli dengan tangannya yang hitam dan kotor.Di saat yang sama, keluarganya muncul di antara keramaian.Alena. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan