
Jarak dari rumah Kakek Seiji ke rumah Akira hanya beberapa blok. Meski demikian, Ryoko memacu kendaraannya dengan cepat, tapi tetap hati-hati. Belum sampai di sana saja firasatnya sudah begitu buruk.
Satu belokan lagi dan ia akan tiba di rumah Akira. Ia sengaja datang dari utara karena itu adalah rute terpendek dan jalanan desa tidak ramai. Setelah berbelok, mobil Ryoko melambat. Mobil terpakir aman di pinggir jalan dan ia buru-buru keluar.
“Tidak ... tidak!” Ryoko menggumam cemas ketika ia disambut...
Pembunuhan di Musim Semi
0
0
13
Berlanjut
Ryoko Takamatsu kabur ke rumah kakek dan neneknya di kota Tsukuba karena menolak perjodohan yang diatur oleh ibunya. Bukannya kedamaian yang ia temukan, ia justru terjebak dalam kasus pembunuhan yang sudah lama tidak juga terpecahkan dan tragedi mengerikan di sebuah SMA swasta di kota itu.Ada begitu banyak kejadian yang menambah kusut pikiran Ryoko. Ia juga mendapat kejutan dengan kehadiran calon suaminya di Tsukuba. Keteguhan Ryoko diuji saat ia jadi korban penyerangan di sebuah kuil. Namun, ia tidak mundur sedikit pun. Ryoko yakin pembunuhnya ada di antara beberapa orang yang bersinggungan dengannya di kota itu.Bisakah Ryoko menelusuri jejak pembunuhan di masa lalu dan mengungkap identitas si pelaku yang menyeret dirinya dan seisi warga kota dalam ketakutan dan kecemasan? Ataukah Ryoko justru akan terjebak dalam kebuntuan seperti para penyelidik terdahulu? ***
"Pasti bisa! Aku adalah detektif wanita paling andal yang pernah ada! Serahkan padaku!" ucap Ryoko Takamatsu penuh percaya diri.
Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
DetektifInvestigasiKasusKriminalitasPembunuhanTragediWanita TangguhRomansaHukumDendamCintaAozi Rie
Selanjutnya
Bab 9 Pembunuhan di Musim Semi
0
0
Seluruh tubuh Ryoko terkunci oleh pria itu. Usahanya untuk membebaskan diri tidak berjalan sesuai keinginannya. Kepalanya jadi pening luar biasa dan matanya perih karena menahan tangis. Dalam situasi genting itu, ia masih bisa berpikir. Yang pertama ia lakukan adalah merekam ciri-ciri penyerangnya. Dia lebih tinggi dariku. Badannya kekar. Jaket kaos dan celana panjang kain. Wajahnya—tidak ada jenggot dan cambang. Tubuhnya wangi!Ryoko masih tenggelam dalam pikirannya yang rumit. Ini pasti pencuri yang berharap bisa jadi model majalah pria maskulin. Atau model yang bangkrut dan kepepet butuh uang hingga harus mencuri? Aduh, bagaimana kalau orang ini adalah pemerkosa? Atau pembunuh? Tidak!“Hei! Aku akan melepaskanmu. Jangan teriak! Kau mengerti?” Pria yang menyelinap ke kamar Ryoko itu melonggarkan sedikit kunciannya di badan Ryoko.“Tolong!” teriak Ryoko yang merasa ada sedikit kesempatan.“Sudah kubilang jangan teriak!” hardik penyusup itu.“Aku—kau mau apa?” tanya Ryoko galak seakan-akan posisinya seimbang dengan penyusup itu.“Aku mau bicara,” jawab penyusup itu. Suaranya pelan, tapi mantap.“Hah?” Ryoko meringis takjub bercampur heran. Tangannya dengan gesit menyambar ponsel yang ada di dekat kakinya. Ia berhasil menyalakan layar ponsel itu. Cahaya itulah yang ia gunakan untuk menyinari wajah si penyusup.“Ugh, silau!” protes si penyusup sambil menjauhkan ponsel itu dari wajahnya.“Kau!” Ryoko mendorong dan mundur dengan cepat. “Manajer gila, tukang kuntit, maling ciuman, penyusup mesum!” teriaknya keras dan cepat. Tanpa berpikir panjang, Ryoko melempar pria itu dengan benda pertama yang bisa digapainya.“Ryusei. Namaku Ryusei. Berapa kali aku harus menyebutnya?” Penyusup yang ternyata adalah Ryusei, si manajer kafe Piroro, berdecak kesal karena dituduh macam-macam oleh Ryoko. Tangannya menarik benda yang tersangkut di kepalanya. Seringainya keluar. “Wah, wah, wah, pakaian dalammu seksi juga,” ucapnya geli sambil iseng mengayunnya di depan wajah Ryoko.“Ah, cowok mesum!” Ryoko melempar lagi, tapi kali ini dengan sebuah buku yang tebalnya hampir delapan sentimeter. Buku itu tidak mengenai Ryusei.“Stop! Tidak bisakah kau sedikit tenang?”“Tenang? Kau menyusup--” Ryoko melihat jam di ponselnya. “Ini lewat tengah malam!”“Aku terpaksa!” sahut Ryusei kesal. “Kau yang membuatku terpaksa melakukan ini.”“Jangan banyak alasan. Keluar dari rumahku!” seru Ryoko. Kali ini di tangannya ada pot kecil berisi kaktus mini.“Tu-tunggu! Akan kujelaskan,” sahut Ryusei gusar. Ia tidak mau wajahnya jadi korban lemparan gadis itu.“Aku mendengarkan. Cepat bicara!”Ryusei berbicara pelan. Alasan yang ia miliki sangat banyak. Ryoko pasti tidak akan mempercayainya.“Kau bicara atau tidur? Suaramu terlalu kecil.” Ryoko mulai terserang stres berlipat ganda. Ia paling tidak suka kalau tidurnya terganggu.“Kau terlalu jauh. Mendekatlah.” Bulu-bulu d badan Ryoko merinding. Ia teringat adegan saat serigala jahat menyuruh si Tudung Merah mendekatinya. “Jangan harap aku mau!” tolaknya keras.“Ya sudah. Hei, aku tidak akan berbuat kasar atau mesum. Kalau memang mau, sudah satu jam yang lalu kulakukan.”“Satu jam yang lalu?” Ryoko merasa mual. Dia menontonku tidur? Orang aneh!Ryusei bangkit dan mendekati Ryoko yang waspada. “Aku bukan pria jahat. Ada alasan khusus untuk ini.”Ucapan Ryusei sulit dipercaya oleh Ryoko. Jika ia salah membuat penilaian, maka celakalah yang akan ia temui. Ryoko bergeser pelan dan hati-hati.“Baiklah, aku akan duduk di sini saja,” ucap Ryusei. Ia duduk bersila di depan Ryoko. “Aku diminta untuk menjagamu.”“Oleh siapa?” tanya Ryoko. “Ibumu,” jawab Ryusei. “Dan ibuku,” tambahnya.Ryoko terperangah. “Ibuku? Ibumu?” Ia tertawa aneh. “Kau pasti bercanda.”“Tidak,” jawab Ryusei. Ia sudah kembali ke mode dinginnya. Tangannya mengulurkan ponselnya.Ryoko ragu sesaat, tapi rasa penasaran memaksanya mendekat dan mengulurkan tangan. Ia kesal sekali karena lupa menyuruh Ryusei menyalakan lampu kamar.“Ryu—!” Ryoko terpekik karena Ryusei tiba-tiba menariknya hingga jatuh ke pangkuan pria itu. Kemarahan Ryoko tidak terbendung. Ia ingin menghajar pria itu walau mungkin tidak akan berhasil seperti harapannya.“Diam, ada orang di luar,” bisik Ryusei di telinga Ryoko.Peringatan Ryusei menambah kewaspadaan Ryoko. Gadis itu lupa kalau ia sedang berada di pangkuan Ryusei dan hanya memakai gaun tidur yang pendek dan tipis. Telinganya berusaha menangkap suara dari luar.“Ada orang,” gumam Ryoko. “Pencuri?”“Mungkin,” jawab Ryusei. “Semoga dia tidak membawa senjata api,” gumamnya.Ryoko mendongak. Senjata api terdengar berlebihan, tapi itu bisa saja terjadi. Ryusei memberi tanda agar Ryoko tetap tenang. “Sayang. Bukan di situ. Aduh!” seru Ryusei.“Kau kenapa?” tanya Ryoko gusar.“Dia akan pergi kalau mendengar ada laki-laki bersamamu,” jawab Ryusei dengan bisikan. “Kau cerdas,” puji Ryoko tanpa sadar. Pencuri itu pasti sudah mengamati dan mengira Ryoko sendirian. Ryusei menarik Ryoko sampai ikut berdiri dengannya. Mereka harus membuat keributan. Ryusei tidak mau membahayakan Ryoko dengan menyerang penyusup itu. Sekuat apa pun dirinya, tidak akan bertahan lama jika berhadapan dengan senjata api.“Aku lapar sekali. Masakkan sesuatu, Sayang,” pinta Ryusei manja.Lagi-lagi Ryoko merinding karena pria itu jauh dari citra pria yang suka bermanja-manja. “Ada piza di kulkas. Itu saja, ya?” Ryoko berusaha mengimbangi sandiwara Ryuse.Ryusei sengaja menabrak pintu kamar. “Hati-hati, Sayang! Kau ini ceroboh sekali! Kutemani ke dapur.” Jika dugaannya benar, pencuri itu pasti sudah kabur.Ryoko tertawa geli. “Ayo, kita ke dapur!” serunya.Ryusei menyambar pajangan berbentuk menara Eiffel untuk berjaga-jaga. Ia keluar lebih dulu. Seperti yang ia kira, tidak ada siapa pun di luar. Namun, Ryusei belum puas jika belum memeriksa seisi rumah.“Sepertinya aman,” ucap Ryusei. Rumah itu cukup luas dan hanya terdiri dari satu lantai. Setelah berkeliling memeriksa, ia yakin penyususp itu sudah hilang. Ryusei mengunci pintu belakang yang jadi jalan masuk si penyusup. “Ingat pasang kunci pengaman kapan pun kau seorang diri di rumah,” pesannya pada Ryoko.“Ya, aku mengantuk sekali tadi.” Ryoko meletakkan dua kaleng minuman dingin di atas meja dapur. Satu dibukanya lalu ia menenggak isinya dengan rakus. “Hari ini luar biasa gila,” gumamnya.Ryusei meminum bagiannya. Ia menyeringai saat melihat Ryoko yang masih memakai gaun tidur. Ia lekas membuka jaketnya dan menggunakannya untuk menutupi tubuh Ryoko.“Oh, terima kasih.” Ryoko bisa merasakan pipinya memanas karena malu. Ah, ini gila!“Sekarang kau mengerti kan kenapa aku menyuruhmu pergi dari sini?” tanya Ryusei.“Maksudmu pencuri tadi?” Ryoko meringis karena ia lebih ketakutan saat melihat Ryusei, dibandingkan saat menyadari kehadiran pencuri itu. “Kurasa cuma kebetulan.”“Kebetulan? Ryoko, kau keras kepala. Tidak hanya pencuri tadi. Kau menyelidi kasus Gen Kazama, hampir terlibat kasus pemerasan, kematian remaja itu dan pencuri tadi. Itu tidak cukup untuk membuatmu sadar bahwa kau dalam bahaya?” “Aku tahu, tapi bukan berarti aku harus kabur. Kau tidak punya hak untuk melarangku melakukan apa yang aku suka dan inginkan,” ucap Ryoko tegas.“Katakan itu pada ibumu,” ucap Ryusei dingin.“Ibuku tidak meributkan hal seperti ini. Siapa kau sebenarnya? Setahuku Ibu sangat berhati-hati bergaul dengan pria mana pun.”Ryusei menghabiskan minumannya. Setelah meletakkan kaleng kosong ke tempatnya semula, ia menatap tajam Ryoko yang terbungkus jaketnya yang terlalu besar untuk gadis itu.“Aku calon suamimu. Mulai sekarang kau harus menurutiku.” “A-apa?” Dunia Ryoko yang penuh bunga-bunga indah musim semi mendadak berubah jadi musim dingin yang mengerikan. Ia bisa melihat sebuah danau es yang bergerak seolah memanggilnya untuk terjun dan tidak kembali lagi. “Aku menolak keras!” serunya histeris.“Wahai Sayangku, kau tidak akan bisa kabur dari yang satu ini,” ucap Ryusei. Seringai jahatnya diikuti oleh tawa puas.
***Alarm pukul enam berbunyi. Ryoko enggan membuka mata karena hidupnya sudah berubah tragis sejak semalam. Walau kesadarannya belum pulih penuh, ia tidak mungkin lupa kejadian dini hari tadi.Dalam sekejap, Ryoko dihadapkan pada kenyataan bahwa ia memiliki seorang calon suami. Ibunya rupanya tidak bercanda saat mengatakan akan menjodohkannya. “Seharusnya aku mendengarkan ucapan Ibu dengan serius,” ucapnya kesal. Setelah menguap kecil, Ryoko memaksa dirinya untuk duduk. Jika dibiarkan, ia pasti akan melanjutkan tidurnya.Ryoko tidak melihat Ryusei dan itu kabar bagus baginya. Setelah perdebatan dan sejuta penolakan langsung dan tidak langsung dari Ryoko dini hari tadi, ia berharap pria itu lenyap dari rumahnya. Mengusirnya juga sudah Ryoko lakukan, tapi pria itu seperti batu dan tidak bergerak sedikit pun.Ryusei juga memaksa untuk tidur di kamar Ryoko. Itu lebih aman, katanya. Hanya karena lelah, maka Ryoko membiarkan saja pria itu menggelar kasur lipat di dalam kamarnya. “Mungkin dia sudah pergi. Semoga! Aku mohon!” Ryoko merapikan piamanya lalu keluar kamar. Ryusei tidak terlihat di mana pun. “Aku bebas!” teriaknya di ruang tamu.Tiba-tiba pintu depan terbuka. Ryusei masuk dengan santai.“Mandi, sarapan. Kita ke rumah Akira,” ucap Ryusei sambil merapikan rambutnya yang sedikit basah. Selagi Ryoko tertidur, ia bangun, mandi dan menyiapkan sarapan. Kesehariannya memang seperti itu, selalu teratur dan sibuk.“Sepertinya mimpi buruk ini akan berlangsung lama,” gumam Ryoko. Ia ingin protes, tapi kemungkinan bahwa Ryusei akan menahannya seharian di rumah membuatnya cemas. Pria itu bisa melakukannya karena ia punya badan dan tenaga yang besar serta izin khusus dari ibu Ryoko.Sarapan ringkas Ryoko dan Ryusei selesai dalam lima belas menit. Lima menit kemudian mereka sudah ada di dalam mobil yang melaju ke rumah Akira. Ryoko sudah pasti datang ke acara penghormatan untuk Akira karena kemarin ia bertemu orang tuanya, sedangkan Ryusei ikut sebbagai pengawal.“Ryoko, kuingatkan sekali lagi, jangan cari masalah,” ucap Ryusei saat membantu Ryoko turun dari mobil.“Tuan Ryusei, ada satu hal yang perlu kau ingat. Aku tidak pernah cari masalah, tapi masalahlah yang selalu mencariku,” sahut Ryoko ketus. Itu adalah kenyataan. “Lima belas menit. Kutunggu di mobil.” Ryusei tidak punya kaitan dengan Akira, tapi ia datang untuk mendoakan jiwa dari orang yang pergi di usia begitu muda itu.Ryoko tidak menyahut. Ia cuma cemberut lalu mengikuti orang-orang yang berjalan menuju ruangan besar di sebelah barat rumah Akira. Sebagian besar yang datang adalah murid-murid SMA Asano. Sepertinya mereka berangkat dari sekolah bersama guru-guru mereka.Di dalam gedung orang-orang mengambil tempat masing-masing. Mereka bergiliran maju dan mendoakan mendiang Akira. Sebagai orang yang bertemu dengan Akira di hari terakhirnya, Ryoko memendam kesedihan tersendiri. Usai berdoa, ia tidak kembali ke area duduk. Ryoko keluar dari gedung itu. Niatnya untuk kembali ke mobil terhenti karena suara perdebatan di dekat gedung. Ryoko melongok penasaran. Di taman kecil di samping gedung, tiga orang remaja sedang saling dorong sambil berbicara dengan nada gusar. Ryoko mengenali ketiganya sebagai pelaku perisakan Akira di dekat kafe Piroro dulu.“Tidakkah lebih baik jika kalian masuk dan mendoakan Akira?” Ryoko menatap kasihan ketiganya. “Itu lebih baik daripada ribut berseteru di sini. Setidaknya hari ini kalian bisa meminta maaf atas semua yang pernah kalian lakukan padanya,” tambah Ryoko.Ketiga remaja itu tersentak kaget. Mereka masih mengingat Ryoko yang menghentikan aksi perisakan mereka dulu. Semuanya menunduk.“Kalau kalian punya sedikit perasaan, akuilah bahwa kalian salah. Mintalah maaf dengan tulus dan jangan ulangi kesalahan yang sama. Dengan begitu kalian benar-benar menamatkan kisah Akira.” Ryoko tersenyum tulus. Saat ini menurutnya sudah tidak perlu lagi menebalkan rasa malu dan cemas ketiga remaja itu.“Bibi, maafkan kami. Terima kasih!” ucap remaja yang bertubuh paling besar. Ia membungkuk hormat pada Ryoko. Kedua orang temannya mengikutinya.Ryoko mengangguk lega. Air mata yang membasahi pipi mereka meyakinkannya bahwa ketiganya sudah mendapat satu pelajaran hidup yang sangat berharga hari ini.“Ah, mereka bisa manis juga,” ucap Ryoko saat ketiga remaja itu sudah jauh darinya. Ryoko membalik badan dan menatap taman kecil yang indah itu. “Tu-tunggu dulu! Bibi? Aku masih gadis, bukan bibi-bibi!” protesnya kesal. Ryoko menunduk melihat pakaiannya. “Pasti karena pakaian berkabung ini,” gumamnya.“Maafkan anak-anak nakal itu. Mereka terlalu kecil untuk mengerti keindahan seorang perempuan,” ucap seseorang di belakang Ryoko.“Ah, Ichiro-san. Tidak, aku rasa mereka anak-anak yang baik.” tanya Ryoko. Ia diam sebentar. “Kenapa kau ada di sini?” tanya Ryoko.“Akira murid di sekolahku. Aku guru olahraga di SMA Asano.” Ichiro menarik pelan dasinya. Pakaian formal selalu menyiksanya.“Wah, aku tidak tahu kalau kau guru SMA.”“Aku terlalu keren untuk jadi guru SMA?” tanya Ichiro geli.“Sepertinya begitu.” Ryoko tersenyum. Kalau Ibu mau menjodohkanku, harusnya dengan pria ramah dan asyik seperti ini, bukan dengan monster es itu!Ichiro tertawa pelan. “Aku tidak tahu kau kenal Akira. Kalian akrab?” tanyanya penasaran.“Aku bertemu Akira saat ia berdebat dengan tiga temannya tadi.”“Berdebat. Kau baik sekali mau melindungi ketiga tukang onar itu.”Ryoko menghela nafas perlahan. “Mereka masih punya banyak waktu untuk memperbaikinya.”“Aku sangat setuju. Apa kau sibuk malam ini?”“Sepertinya tidak. Ada apa?” tanya Ryoko. Senyum Ichiro membuatnya ikut tersenyum.“Aku ingin mengajakmu makan malam. Bukan di rumahku. Ada tempat makan yang bagus sekali. Aku ingin bersosialisasi dengan orang dewasa. Tahu sendiri kan, hari-hariku penuh dengan bocah-bocah yang berisik.”Ryoko tertawa sambil menutup mulutnya. “Aku mengerti. Pasti berat sekali. Baiklah, aku terima ajakanmu,” ucapnya manis.“Wow! Aku beruntung! Mau kuantar pulang?” tanya Ichiro.“Oh, tidak perlu. Kau masih harus mengawasi bocah-bocah itu, bukan? Kebetulan ada sopir yang mengantarku,” sahut Ryoko. Ia tertawa dalam hati. Ryusei pasti mengamuk kalau tahu dirinya dianggap sopir.“Ah, begitu.” Ada nada kecewa dalam suara Ichiro. “Baiklah, aku jemput jam enam.”“Oke!” Ryoko lagi-lagi tersenyum. Sepertinya aku terpikat olehnya. Tolong!Makan malam dengan Ichiro terdengar seperti sebuah kencan. Ryoko berlalu dengan tubuh yang terasa seringan kapas. Seumpama ia tidak sedang berada di lingkungan yang penuh duka, ia pasti sudah melompat-lompat dan menari bahagia. Mobil kakek Ryoko masih ada di tempatnya terparkir. Ryusei dini hari tadi ke rumah kakek Ryoko dengan sepeda motor. Ryoko masuk lalu duduk manis. Benaknya masih penuh dengan senyum Ichiro.“Ehem! Nona, kau nekat sekali mau menyelingkuhiku,” ucap seseorang dengan suara sedingin es. “Sejak kapan aku jadi sopirmu?”Ryoko terkejut dan lekas menoleh. Ryusei sedang menyeringai sambil bersedekap. Ya ampun, aku lupa kalau si monster es masih ada di sini! Tolong hapus saja dia dari kisah ini! Aku mohon!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan