
Bab 21
“Katakan siapa orangnya! Kau tidak bisa main-main dengan hal seperti ini!” Detektif Machida maju selangkah. Wajahnya memerah karena geram. Tatapannya yang tajam tertuju pada Ryoko.
“Saya tidak bermain-main, Detektif Machida. Sungguh, saya sangat ingin menyebut nama orang itu sekarang juga, tapi coba Anda lihat baik-baik, semua yang ada di sini adalah orang -orang yang terpaksa bersinggungan dengan kedua kasus tersebut. Mereka tidak pernah ingin terlibat dalam hal keji seperti itu dan karenanya...
Pembunuhan di Musim Semi
0
0
13
Berlanjut
Ryoko Takamatsu kabur ke rumah kakek dan neneknya di kota Tsukuba karena menolak perjodohan yang diatur oleh ibunya. Bukannya kedamaian yang ia temukan, ia justru terjebak dalam kasus pembunuhan yang sudah lama tidak juga terpecahkan dan tragedi mengerikan di sebuah SMA swasta di kota itu.Ada begitu banyak kejadian yang menambah kusut pikiran Ryoko. Ia juga mendapat kejutan dengan kehadiran calon suaminya di Tsukuba. Keteguhan Ryoko diuji saat ia jadi korban penyerangan di sebuah kuil. Namun, ia tidak mundur sedikit pun. Ryoko yakin pembunuhnya ada di antara beberapa orang yang bersinggungan dengannya di kota itu.Bisakah Ryoko menelusuri jejak pembunuhan di masa lalu dan mengungkap identitas si pelaku yang menyeret dirinya dan seisi warga kota dalam ketakutan dan kecemasan? Ataukah Ryoko justru akan terjebak dalam kebuntuan seperti para penyelidik terdahulu? ***
"Pasti bisa! Aku adalah detektif wanita paling andal yang pernah ada! Serahkan padaku!" ucap Ryoko Takamatsu penuh percaya diri.
Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
DetektifHukumInvestigasiKasusKriminalitasPembunuhanRomansaTragediWanita TangguhDendamCintaAozi Rie
Sebelumnya
Bab 16 - 20 Pembunuhan di Musim Semi
0
0
Bab 16
“Aku sudah memintamu menjaganya. Itu artinya kau tidak boleh menjauh darinya walau sedetik!” bentak Ryusei. Telunjuknya menekan dada Ichiro. Ia ingin sekali meninju pria yang lebih muda darinya itu karena sangat lalai.“Maaf!” Ichiro tidak bisa berkata lain karena ia memang lengah dan ceroboh hingga Ryoko terluka.Ryusei duduk di samping kasur lipat Ryoko. Dokter sudah datang dan memeriksa gadis itu. Sejauh ini tidak ada yang mengkhawatirkan, tapi mereka diminta waspada karena efek dari benturan di kepala bisa saja muncul belakangan. Ryusei mendengus kesal.“Kalian berdua sudah selesai?” tanya Ryoko pelan. Ryusei dianggapnya terlalu berlebihan karena terus memarahi Ichiro. Pria itu juga memaksanya berbaring di tempat tidur, padahal Ryoko yakin sakitnya hanya terasa dari bahu ke atas. Berada di tengah-tengah dua pria yang sedang meributkannya sangat menyiksanya.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Ryusei pada Ryoko untuk kelima kalinya.“Aku tidak apa-apa. Beruntung Ichiro segera menemukanku. Karena suara Ichiro, orang itu kabur,” jawab Ryoko.“Apa kau mengenalinya? Suaranya, mungkin?” tanya Ichiro.“Tidak. Dia tidak bicara sama sekali. Di sana juga sangat gelap. Aku dicekik dari belakang dan saat memberontak, dia membenturkan kepalaku ke tiang lampu taman.” Ryoko meringis. Kepalanya berdenyut-denyut. Jari-jariny menyentuh plester luka yang menempel di keningnya. “Ryoko, apa ada yang kau inginkan? Aku akan mencarinya untukmu,” ucap Ichiro.“Tidak, Ichiro. Jangan cemas begitu. Aku tidak apa-apa,” sahut Ryoko.“Ryoko hanya perlu istirahat. Ichiro, kau pulang saja.” Ryusei tidak hanya mengusir dengan kata-katanya, tapi juga dengan tatapan tajamnya.“Jangan sembarangan mengusir orang! Ini rumahku!” protes Ryoko.“Aku pengawalmu! Siapapun yang membahayakanmu harus kutendang jauh-jauh,” sahut Ryusei galak.“Sadis!” keluh Ryoko.“Baiklah, aku pergi dulu. Aku jenguk besok pagi, ya,” ucap Ichiro manis pada si gadis yang baru saja mendapat musibah.Ryoko mengangguk. Tangannya melambai lemah ke arah punggung Ichiro yang tak lama kemudian menghilang dari kamarnya.“Apa kau akan terus di sini?” tanya Ryoko pada Ryusei yang duduk dengan sikap sempurna. Entah kenapa aku merasa seperti sedang dijaga oleh samurai. Ganti pakaiannya dan beri dua buah pedang, maka Ryusei akan jadi samurai yang keren, tapi tetap saja menyebalkan!“Aku tetap di sini,” sahut Ryusei. “Makan malam dulu, lalu minum obatmu.”“Terserah kau saja,” sahut Ryoko malas. “Uh, sakit,” keluhnya.“Kalau tahu sakit, jangan nekat,” sahut Ryusei dingin. “Baru ditinggal sebentar sudah celaka.” Ia geram sekali karena Ryoko terluka. Bekas cekikan di lehernya menunjukkan bahwa pelakunya tidak main-main. Terlambat sedikit saja, Ryoko bisa tewas ditangan penjahat itu.“Sebentar? Kau pergi sepanjang hari! Kencannya terlalu seru, ya? Gadis itu tidak mau melepaskanmu?” cemooh Ryoko.“Siapa yang kencan? Bukannya kau yang sedang sibuk berselingkuh dengan si Ichiro?” Ryusei tidak menunggu balasan dari Ryoko. Ia keluar sebentar, lalu kembali dengan satu nampan berisi makanan dan minuman.“Aku tidak selingkuh. Kita tidak punya komitmen apa pun!” Ryoko menegaskan dengan matanya yang melotot. Sudut pandangannya kemudian turun ke nampan. “Bubur? Tidak ada soba atau udon atau unagidon?” Ryoko tidak tertarik pada makanan yang ada di dekatnya.“Kau baru saja dicekik. Bubur lebih mudah ditelan.” Ryoko menggerutu pelan. Ia mulai makan tanpa suara. Seperti yang Ryusei katakan, bubur itu tertelan dengan mudahnya. Ia menyesal telah menghina makanan itu tadi.“Maafkan aku, Bubur. Kau enak!” Ryoko menyuap lagi penuh semangat.Ryusei tersenyum tipis. “Makan yang cukup, supaya kau lekas tinggi,” ganggu Ryusei sambil menepuk-nepuk pelan puncak kepala Ryoko.Ryoko menggeram kesal. “Untuk ukuran cewek Jepang, aku ini tinggi,” sahut Ryoko tersinggung.“Egomu jauh lebih tinggi dari badanmu,” balas Ryusei. “Kau sudah jadian dengan Ichiro?” tanyanya penasaran.“Jadian? Dari mana ceritanya aku bisa jadian dengannya?” Ryoko meletakkan mangkuk bubur. “Lalu untuk apa kalian ke kuil? Biasanya muda-mudi ke kuil itu di musim semi karena mau menyatakan cinta.” Ryusei meringis. Jangan bilang kalau dia tidak tahu sama sekali!“Ya ampun! Pantas Ichiro menanyaiku tadi!” Ryoko terperangah.Ryusei tertawa lepas. “Itu bukti kalau kau terlalu polos, Nona. Berhenti bertingkah aneh.”Ryoko tidak suka ditertawakan, tapi tawa Ryusei terdengar merdu di telinganya hingga bisa menguapkan marahnya. “Ada yang kuperiksa di sana. Ryusei, kau pasti akan terkejut. Dengarkan baik baik.” Bukannya langsung bicara, Ryoko malah sibuk memeriksa luka di keningnya dengan cermin kecil.Kesabaran Ryusei benar-benar diuji. Ia menunggu sambil meneguk tehnya. “Apa aku harus menunggu luka di jidatmu itu sembuh baru bisa sampai ke bagian inti ceritamu?” tanyanya setelah teh di cangkirnya habis.“Oh, maaf! Aku mendadak amnesia tadi,” sahut Ryoko geli. Bukan amnesia! Aku baru saja mendapat ide gila! “Lalu?”“Aku ke kuil itu karena ingin memastikan tentang jimat. Kau ingat jimat yang hilang diambil pencuri? Mika punya jimat yang sama. Rasanya aneh sekali ada yang mau mencuri jimat, padahal di sini masih ada barang-barang lain yang lebih berharga.”“Kurasa kita bisa menemukan jimat yang sama di seluruh kota ini. Itu tidak dibuat berdasarkan pesanan, bukan?” tanya Ryusei.“Tidak, tapi di sini menariknya. Menurut catatan penjualan jimat di kuil itu, jimat yang seperti itu hanya ada tiga buah dan terjual pada sore hari, itu sebelum aku mengambil salah satunya dari kotak hadiah Gen Kazama sebelum malam. Ibu Mika mengambilnya yang satunya lebih dulu dariku, jam lima kurang lima belas.”“Apa pentingnya jimat itu Ryoko? Kau membuatku pusing.”“Tidakkah kau mengerti? Jimat itu sangat penting karena dibeli oleh orang yang seluruh aktivitasnya di hari itu sangat penting untuk kita ketahui.” Ryoko mengaktifkan layar ponselnya. Setelah mengetuk dan menggeser berkali-kali, ia menunjukkan layar ponselnya pada Ryusei. “Lihat baik-baik.”Ryusei memperhatikan foto di depannya dengan seksama. Matanya berhenti di satu titik.“Jimat itu! Akira memiliki jimat yang sama!” seru Ryusei takjub.“Ya! Akhirnya kau mengerti.” Ryoko tersenyum bangga karena pengawalnya itu punya otak yang cukup besar.“Tidak juga. Di mana letak pentingnya, Ryoko?”“Ah, kau ini!” Ryoko mengacak rambutnya karena stres. “Foto itu adalah bukti bahwa Akira yang membeli jimat-jimat itu. Apakah kenyataan bahwa jimat itu tidak ada di rumah Akira setelah ia ditemukan meninggal dan jimatku juga diambil seseorang tidak mengusikmu?” tanya Ryoko.“Maksudmu, seseorang menginginkan jimat-jimat itu? Apa dia seorang kolektor jimat? Ah, tidak. Kau ingin mengatakan bahwa ada sesuatu dengan jimat-jimat itu.”“Ya! Ya! Kau cerdas! Syukurlah!” Ryoko tersenyum lebar.“Apa maksudmu dengan ‘syukurlah’? Aku ini lulusan terbaik di universitasku!” Ryusei tidak ragu menjewer telinga Ryoko meski gadis itu sedang sakit.“I-iya.” Ryoko merengut. “Begini intinya. Setelah bertemu denganku di mal, Akira pergi ke kuil untuk berdoa dan membeli jimat-jimat itu. Aku rasa dia ingin memberikannya kepada orang tuanya dan menyimpan satu untuk dirinya sendiri. Namun, entah bagaimana dia bertemu dengan seseorang. Orang itu adalah orang yang mengubah Akira menjadi anak yang ‘nakal’. Si pembunuh! Apa kau–““Si pembunuh?” Ryusei seketika duduk tegak.“Jangan memotong ucapanku!” protes Ryoko galak. Ia mengatur nafas lalu melanjutkan. “Ya, si pembunuh Gen Kazama. Akira pasti sangat syok. Saatnya tidak tepat karena ia sudah mulai insaf, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia menyimpan rahasia itu begitu lama dan ia ketakutan.”Ryusei mengangguk-angguk. Musim semi yang indah rasanya tidak cocok disandingkan dengan momen bertemu seorang pembunuh.“Karena itulah,” lanjut Ryoko, “Akira batal memberikan jimat-jimat itu pada kedua orang tuanya. Dalam penyesalan dan ketakutannya, ia malah pergi ke rumah nomor dua puluh tiga lalu menaruh dua buah jimat di kotak hadiah itu.”“Apa menurutmu Akira sempat berbicara dengan si pembunuh?” tanya Ryusei.“Aku rasa begitu, meski aku tidak yakin mengapa si pembunuh tidak menyerangnya.” Ryoko menghela nafas seolah baru saja terbebas dari beban yang sangat berat. Aku berasumsi bahwa pembunuh itu tidak mengenali Akira.“Pembunuh itu mungkin mencari sesuatu di jimat-jimat itu. Menurutmu apa yang ada di dalamnya?”“Entahlah. Bisa jadi tidak ada apa-apa,” jawab Ryoko. Ryoko tenggelam dalam tumpukan besar teori dan ide terkait Akira dan si pembunuh yang sampai sekarang bebas berkeliaran.“Cukup sampai di sana, Ryoko. Kau harus pulih dulu. Besok kita ke rumah sakit untuk memeriksa kondisimu,” ucap Ryusei.“Tidak, tidak perlu ke rumah sakit. Aku cuma kekenyangan dan mengantuk,” sahut Ryoko.“Tidurlah. Aku akan mengambil kasur dan bantal sebentar,” ucap Ryusei.“Kau mau tidur di sini?” tanya Ryoko syok.“Aku akan tidur di mana kau tidur. Tenang saja, tidurku rapi. Kau yang perlu dikhawatirkan,” sahut Ryusei.“Bercanda! Kau pikir aku mau menempel padamu? Tidak akan! Letakkan kasurmu jauh-jauh.” Ryoko berbaring lalu menaikkan selimutnya. Tidur sekamar dengan pria itu membuatnya stres.Ryusei tersenyum geli. Ia membereskan bekas makan Ryoko lalu membawanya ke dapur. Setelah selesai, ia makan sambil menjaga Ryoko dari luar kamar. Dua puluh menit kemudian, Ryusei masuk ke kamar Ryoko dengan kasur lipat, bantal dan selimut di kedua tangannya. Semua pintu dan jendela sudah ia periksa ulang. Sistem keamanan baru di rumah itu juga sudah ia pastikan aktif.“Kau belum tidur?” tanya Ryusei usai menggelar kasur lipatnya sambil memeriksa ulang piamanya yang terpasang rapi.“Aku tidak bisa tidur. Kepalaku penuh dengan banyak hal,” jawab Ryoko. Karena keningnya sakit, ia terpaksa tidur menghadap atas.“Mau mendengarkan musik klasik supaya bisa cepat tidur?” Ryoko menyeringai. Monster Es dan musik klasik! Sangat cocok!“Tidak, terima kasih. Aku biasanya dinyanyikan lagu Jepang oleh Nenek,” sahut Ryoko. Tiba-tiba ia merindukan neneknya yang tegas dan galak.“Lagu apa?” tanya Ryusei.“Inu no Omawari-san,” jawab Ryoko manis. “Wan wan wan waaan, wan wan wan waan!” “Serius? Di antara semua lagu, kenapa harus itu?” Ryusei menggerutu.Ryoko membuang muka. Ia punya kisah seru di balik lagu anak-anak yang satu itu. “Baiklah. Tutup matamu,” suruh Ryusei. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu mulai menyanyikan lagu itu.Bukannya tidur, Ryoko malah melotot melihat Ryusei yang menyanyi dengan penuh penghayatan. Mo–monster es bisa menyanyi!“Tutup matamu. Tidur!” perintah Ryusei di tengah nyanyiannya. Kau kira aku ini bahan tontonan? Ryusei Minamoto seharusnya tidak menyanyikan lagu ini, apalagi untuk gadis tengil sepertinya.Ryoko menarik selimut sampai menutupi kepalanya. Ia tidak bisa tidak tertawa. Ryusei menyanyi lagu ceria, tapi dengan wajah serius. Setelah puas tertawa, Ryoko benar-benar memejamkan matanya.Telapak tangan Ryusei bergerak mengurut lehernya. Lagu itu sudah diulangnya berkali-kali. Jika diteruskan, ia yakin suara dan kewarasannya akan berkurang. Ia mendekati Ryoko yang tidak bersuara di balik selimut tebalnya dan menyibak sedikit selimut itu. Gadis itu tertidur sangat lelap.“Tidurlah, Gadis Nakal. Semoga besok hari yang damai dan menyenangkan menyapa kita semua,” ucap Ryusei. Ia kembali ke kasurnya sendiri. Setelah mematikan lampu, ia berbaring. Ryusei tertidur setelah tanpa sadar mengulangi lagu tadi beberapa kali di dalam hatinya. Wan wan wan waaan, wan wan wan waan!
***Ichiro yang terusir dari rumah Ryoko sudah sampai di rumahnya. Ada sebuah mobil parkir di dekat gerbang. Seorang pria setengah bersandar di mobil itu.Pria itu mendekati mobil Ichiro. Senyumnya terkembang. “Kau ke mana saja? Aku menunggu dari tadi. Ichi, aku boleh menginap di sini malam ini?” tanya pria itu.Ichiro menyisir rambutnya dengan jari. ” Daisuke, maaf, aku harus istirahat. Lain kali saja,” jawab Ichiro. Ini dia biang kerok yang merusak acaraku dengan Ryoko. Gara-gara teleponnya, aku jadi tidak awas dan Ryoko celaka.Daisuke, pria yang perawakannya lebih kecil dari Ichiro itu, tampak kecewa. Namun, tiba-tiba senyumnya muncul lagi. “Baiklah. Aku pulang dulu. Besok sekolah masih libur. Bisa bantu aku membeli beberapa alat tulis di mal?”“Aku belum bisa janji. Ah, tidak. Daisuke, aku tidak bisa membantumu besok. Aku sangat perlu istirahat,” ucap Ichiro dengan penekanan di kalimat terakhirnya.“Oh, oke. Aku mengerti. Aku pergi,” sahut Daisuke. “Hei, malamnya ada acara seru di Club Florence. Kabari kalau kau bisa!” serunya. Sesaat kemudian Daisuke sudah menyalakan mobilnya dan meninggalkan tempat itu.Kepala Ichiro tersandar malas. Untuk sesaat ia rasanya enggan untuk masuk ke rumahnya sendiri. Mengabaikan semua kelelahannya, Ichiro akhirnya turun juga dari mobilnya. Gerbang rumahnya tidak dikunci, jadi ia hanya perlu menarik gerendelnya lalu menggesernya kuat ke kanan.Mobil Ichiro baru saja terparkir dan ia akan menutup gerbang saat sebuah cahaya terang menyinari jalan di depan rumahnya. Sebuah mobil berhenti diikuti pengemudinya yang turun tergesa-gesa.“Mayumi-san?” Ichiro heran melihat Mayumi mendatanginya. “Ichiro-san, apa aku boleh masuk? Aku perlu teman bicara,” ucap Mayumi dengan suara yang sedikit bergetar.“Ya, tentu! Masuklah. Biar aku yang memarkir mobilmu,” sahut Ichiro.“Terima kasih!” Mayumi menghela nafas lega.Usai memarkir mobil, Ichiro menutup gerbang. Kali ini ia menggemboknya.“Ichiro-san, aku rasa aku tahu siapa yang meracuni warga sekolah kita,” ucap Mayumi pelan saat mereka berjalan berdampingan menuju rumah.Ichiro refleks menghentikan jalannya. “Kau tahu?” tanyanya takjub.“Ya. Setelah kotak obat pencahar yang jadi bukti bahwa aku tidak bersalah diperiksa, polisi masih menanyai beberapa hal kepadaku. Saat itulah aku teringat sesuatu. Dia–dia yang menaruh racun di dispenser-dispenser itu!” Mayumi tengadah, menatap lekat-lekat wajah Ichiro yang sepertinya tidak percaya pada ucapannya.“Dia itu–siapa?” tanya Ichiro.“Chisato! Mendiang Chisato!” sahut Mayumi dengan suara tertahan.“Apa?” Ichiro benar-benar tidak mempercayainya. Chisato Shibata adalah perempuan paling taat hukum yang pernah dikenalnya.“Sungguh! Aku ingat–ada–di–” Mayumi memegang kepalanya dan limbung ke depan.“Mayumi-san!” Ichiro bertambah panik. “Kau harus istirahat,” ucapnya. Ia lekas mengangkat tubuh Mayumi dan menggendongnya ke dalam rumah.Mayumi dibaringkan di tempat tidur di kamar tamu. Gadis itu sangat lemah hingga tidak merespon panggilan Ichiro.“Ya ampun! Ichiro, Ichiro! Dalam dua puluh empat jam ada dua perempuan yang terkapar dan harus kau gendong.” Ichiro mendesah. “Kurasa aku harusnya jadi petugas palang merah,” ucapnya konyol.Ichiro menelepon dokter kenalannya. Ia yakin Mayumi yang stres dan letih baru saja diizinkan pulang oleh pihak kepolisian, tapi memaksa untuk mendatanginya. “Gadis-gadis jaman sekarang nekat semua,” gumamnya. Ichiro duduk di tepi tempat tidur dan merapikan rambut Mayumi yang tergerai. “Kau akan baik-baik saja, Mayumi. Aku janji!” ucapnya sambil menggenggam tangan gadis itu.
Bab 17
Jam pintar di pergelangan tangan Ryusei bergetar beberapa kali. Alarm pada benda itu disetel untuk menyala jam lima pagi. Rutinitas Ryusei sangat padat, jadi ia harus bersiap pagi-pagi sekali.Ketika kedua matanya terbuka, yang ia lihat adalah tumpukan rambut hitam yang bergelung-gelung dan tebal. Ryoko sedang menempel erat di badannya. Dengan bantuan sedikit cahaya dari ponselnya, Ryusei bisa melihat kasur gadis itu kosong.“Hei, Nona, bangun! Kau invasi ke wilayahku,” ucap Ryusei sambil mengacak rambut Ryoko.Ryoko tentu saja tidak menyahut, karena ia tertidur lelap. Dengkurnya menegaskan kalau gadis itu tidak akan bangun selama beberapa waktu ke depan. “Awas kalau kau tuduh aku mesum,” gumam Ryusei. Ia memeriksa luka di kening Ryoko. Plesternya terpasang dengan baik. “Aman. Baiklah, kita tidur sebentar lagi,” ucapnya lalu memejamkan mata. Tangannya refleks menahan badan Ryoko yang bergeser turun dari dadanya. Ryoko ternyata tdak hanya melakukan invasi ke kasur lipat Ryusei. Tanpa sadar ia juga menindih, mendorong, bahkan tidur telungkup di atas dada Ryusei.“Ya ampun! Aku penasaran melihat pria gila mana yang nantinya menikah dengan gadis ini.” Ryusei menurunkan Ryoko dari dadanya dan mengembalikannya ke kasurnya sendiri lalu menyelimutinya.Ryusei urung tidur lagi karena ponselnya terus bergetar. Ada panggilan dari Ichiro.“Mau apa dia pagi-pagi?” Ryusei menerima panggilan itu. “Kau mau apa?” Sambil merapikan rambutnya, Ryusei mendengarkan ucapan Ichiro. “Apa? Kubukakan sekarang,” ucapnya.Ryusei keluar dari kamar tidur Ryoko. Masih dengan piamanya, ia keluar dari pintu utama. Mobil Ichiro sudah terparkir rapi di halaman. Pria itu datang bersama seseorang.“Ichiro, Nona Okamura, selamat pagi,” sapa Ryusei. “Sebaiknya kita bicara di dalam.”“Mayumi saja. Selamat pagi,” balas Mayumi Okamura.Ichiro dan Mayumi mengikuti Ryusei. Di belakang mereka, gerbang tertutup otomatis.Ketiganya baru masuk ke ruang tamu dan Ryoko yang berantakan sudah ada di sana. “Ichiro, aku lapar,” ucap Ryoko. Gadis itu kebingungan melihat Ichiro dan Mayumi. “Kalian berdua habis kencan?” tanyanya pada Mayumi dan Ichiro.Ichiro dan Mayumi akan menjawab, tapi perut mereka yang lebih dulu berbunyi. Keduanya meringis. Karena buru-buru, mereka tidak terpikir untuk sarapan dulu.“Kita berkumpul di dapur saja,” ucap Ryusei. Semua setuju. Mereka masuk ke dapur dan mengambil tempat di kursi-kursi yang mengelilingi sebuah meja bulat. Kakek dan nenek Ryoko lebih sering makan di sana dibandingkan di ruang makan mereka.Ryoko duduk manis sambil menjalin sebagian rambutnya. Ia menoleh sebentar ke arah Mayumi, lalu kembali sibuk memeriksa dirinya sendiri. Meski aksi Ryoko menyerahkan kotak berisi obat pencahar ke kepolisian sangat membantu membersihkan nama baik Mayumi, ia tidak gegabah untuk memulai percakapan dengannya.Mayumi curi-curi pandang ke sebelah kanannya. Ryoko masih berpiama dan plester di kepalanya masih menempel. Ichiro menceritakan tentang insiden yang mencelakai Ryoko semalam saat ia tersadar. Warna biru yang melingkar di lehernya juga pasti karena kejadian itu, tebak nya Mayumi merasa malu karena selalu ketus pada Ryoko. Ia membuang muka.Hampir lima menit berlalu. Ryusei dan Ichiro membentuk tim yang solid di dapur. Mayumi masih menghindari bertatapan dengan Ryoko, sedangkan Ryoko sibuk mengurai sebagian rambutnya yang kusut. “Oh, ya ampun! Aku tidak tahan lagi!” seru Mayumi. Ia berdiri dan mendekati Ryoko. “Memangnya kau tidak pernah merapikan rambutmu sebelum dan sesudah tidur, ya?” tanyanya galak. Ryoko meringis. Merapikan rambut sebelum dan sesudah tidur adalah aktivitas yang dianggapnya membuang-buang waktu. Rambutnya yang sepunggung biasanya ia sisir dengan jari saja.“Maaf, aku bukan gadis yang pandai menjaga penampilan,” sahut Ryoko lirih. Ibu dan neneknya adalah dua perempuan super yang cantik dan anggun. Terkadang Ryoko mengira mungkin burung bangau keliru menaruhnya di rumah keluarga Takamatsu.“Tidak bisa begitu. Penampilanmu di pagi hari adalah salah satu nilai plus buat menarik perhatian lelaki incaranmu–atau pacarmu–atau siapa saja yang lewat,” ucap Mayumi gemas.“Aku rasa kau bicara pada perempuan yang salah, Mayumi. Ryoko adalah gadis aksi, bukan gadis seksi,” sela Ryusei.Ichiro tertawa mendengar ucapan Ryusei yang menohok.“Tega! Kalian semua kuusir!” Ryoko cepat berdiri dan berkacak pinggang. “Tunggu dulu, selesaikan masaknya!” ucapnya saat melihat Ryusei dan Ichiro mulai melepaskan celemek mereka.Ichiro menghampiri Ryoko lalu menepuk-nepuk puncak kepalanya. “Kau usir pun aku tidak akan pergi karena aku pengawalmu,” ucapnya tegas.“Aku tahu.” Ryoko cemberut dan duduk kembali. Ryusei menyentil hidung Ryoko lalu kembali sibuk bersama Ichiro.Ryoko menoleh ke sampingnya. Mayumi masih serius merapikan rambutnya. “Aku senang namamu sudah dibersihkan,” ucapnya tulus.Mayumi melepas jalinan rambut Ryoko yang baru saja selesai dibuatnya. Ia mundur selangkah. “Aku salah sudah bersikap tidak baik padamu. Begitu pun, kau masih mau menolongku. Ryoko-san, terima kasih!” Mayumi membungkuk dalam-dalam.“Ah, tidak! Jangan begitu! Aku hanya melakukan yang seharusnya.” Ryoko memaksa gadis yang lebih tua darinya itu untuk berdiri tegak. “Rambutku sudah beres? Ayo duduk. Kita harus mengawasi dua pria itu dengan serius atau kita tidak bisa sarapan enak pagi ini,” ucapnya ceria.Mayumi tertawa kecil. Tadinya ia menolak ajakan Ichiro untuk ke rumah Ryoko karena khawatir akan direndahkan oleh gadis itu. Namun, Ryoko ternyata bukan perempuan yang senang mengusik maupun mempermalukan orang lain. Ia pun mengangguk dan duduk di samping Ryoko.“Kalian lama sekali! Aku tidak cacingan, tapi perutku protees harus diisi,” ucap Ryoko dengan nada memaksa.“Be-ri-sik!” hardik Ryusei. “Bukankah seharusnya kalian berdua yang menyiapkan sarapan?”“Ya, ya, harusnya begitu,” ucap Ichiro membela Ryusei. Spatula di tangannya berputar lalu menunjuk bergiliran kedua gadis itu. “Aku baru saja celaka, mana bisa memasak,” sahut Ryoko sambil cemberut.“Dan kau, apa alasanmu?” tanya Ryusei pada Mayumi yang tertawa geli melihat Ryoko cemberut sambil memainkan sendok dan garpu.“Aku sakit! Sungguh!” sahut Mayumi. Tangannya lekas naik ke pelipisnya. Ia mendesis kesakitan.Ichiro tertawa lepas. Kedua gadis yang sebelumnya tidak akur sekarang malah menyusun kekuatan untuk melawan Ryusei dan dirinya.Keempat orang yang berkumpul sepagi itu akhirnya tertawa ramai. Mereka belum sampai pada pembahasan cerita Mayumi, tapi setidaknya kebekuan di antara mereka sudah meleleh.Sarapan yang lezat tandas dalam waktu singkat. Tanpa dikemukakan pun, semua orang memang kelaparan. Ryoko menghabiskan potongan acar lobak terakhir lalu mengucapkan terima kasih dengan khidmat.“Lezat sekali. Aku rasa aku sebaiknya tetap sakit sampai minggu depan,” gurau Ryoko.“Apa aku boleh mengungsi ke sini?” tanya Mayumi.“Tentu saja!” sahut Ryoko.Ryusei dan Ichiro serempak menggelengkan kepala. Kedua gadis itu sangat konyol.“Oh, kalian datang pagi-pagi apakah mau mengumumkan kalau kalian jadian?” tanya Ryoko.Mayumi dan Ichiro yang sedang meneguk jus jeruk masing-masing sampai terbatuk-batuk mendengar pertanyaan itu. “Tidak!” jawab keduanya serempak.“Ah, kukira begitu. Kalian terlalu pagi untuk datang bertamu jadi kupikir kalian semalam .... Bukan begitu, Ryusei?” tanya Ryoko pada Ryusei yang pura-pura bodoh.“Mungkin,” jawab Ryusei.“Tidak! Aku semalam ke rumah Ichiro karena ada yang ingin kuberitahukan,” ucap Mayumi gugup. Ia sangat menyukai Ichiro, tapi rasanya itu tidak perlu dibahas sekarang.“Panggilannya akrab sekali,” celetuk Ryoko curiga.“Ryoko!” Mayumi cemberut.“Abaikan gadis konyol ini. Katakan kenapa kalian mengganggu pagi yang damai di tempat ini.” Ryusei menghabiskan kopinya. Ia satu-satunya yang sarapan hanya dengan roti panggang dan secangkir kopi.“Mayumi semalam memberi tahu kalau ia yakin bahwa pelaku peracunan adalah guru di SMA Asano.” Ichiro berbicara dengan nada serius karena topiknya sangat serius.Ryoko dan Ryusei membelalak. Ryusei juga baru tahu karena tadi Ichiro hanya mengatakan bahwa ada informasi mengenai tragedi di SMA Asano.“Ya. Aku suda mengatakannya pada detektif-detektif itu, tapi mereka sepertinya tidak percaya. Karena tidak tahu harus bicara pada siapa, aku mendatangi Ichiro dan malah pingsan di sana.” Mayumi menunduk. Keletihan kembali menguasai dirinya.“Astaga!” Ryoko terpana.“Dokter sudah memeriksa Mayumi. Setelah ini ia harus istirahat penuh. Kurasa kau harus mengambil cuti,” ucap Ichiro pada Mayumi.“Lakukan itu,” ucap Ryoko pada Mayumi. “Lalu, siapa tersangkanya?” “Chisato Shibata,” jawab Mayumi.“Mendiang Chisato Shibata?” tanya Ryusei dan Ryoko serempak.“Ada alasan khusus yang membawaku pada kesimpulan itu. Dia membeli dua kotak pencahar yang mereknya sama dan memberikan satu padaku. Aku tidak memintanya, tapi katanya lebih baik menyimpannya untuk berjaga-jaga.” Mayumi menarik dan menghela nafasnya dengan cepat. “Setelah kematian Akira, kami, maksudku semua guru sering membahasnya. Semua sangat sedih dan menyayangkan kejadian tragis itu. Aku adalah wali kelas Akira dan tentu saja aku tahu betapa pintarnya anak itu. Aku yakin ia bisa mengikuti jejak ayahnya yang seorang dokter.”“Chisato Shibata adalah wali kelas ketiga murid yang selalu mengganggu Akira, bukan?” tanya Ryusei.“Ya. Seandainya ada yang ingin membalas kematian Akira, meskipun kita semua tahu bahwa itu adalah murni kecelakaan, harusnya aku yang jadi wali kelasnya, bukan?” Mayumi mendesah sedih.Ichiro mendeham pelan. “Tapi, jika dipikir-pikir, tidak aneh kalau Chisato yang melakukannya. Ia sangat tegas dan disiplin. Murid-muridnya tidak hanya diajari pelajaran yang ia pegang, tapi juga dibentuk untuk memahami etika. Sejauh ini bisa dibilang kalau Yasuo dan kedua temannya adalah kegagalan terbesarnya.” “Itu bisa jadi motifnya,” ucap Ryoko.“Ada hal lain yang kau ingat?” tanya Ryusei.“Sehari sebelum peracunan, Chisato bertingkah aneh,” jawab Mayumi. “Ichiro, apa kau menyadarinya?” tanya Mayumi pada Ichiro yang mengangguk-angguk.“Tentu saja. Selama bekerja dengannya, baru kali itu aku melihatnya berpenampilan–ehem–sedikit seksi.”“Sedikit seksi itu maksudnya seperti apa?” tanya Ryoko. Ia adalah yang termuda di antara mereka berempat. Standar seksi mereka tentu berbeda.“Rambutnya digelung agak tinggi, kacamatanya diganti dengan lensa kontak dan roknya di atas lutut,” jawab Ichiro.“Yang begitu itu ‘seksi’?” tanya Ryoko. Menurutnya penjabaran Ichiro biasa saja.“Untuk ukuran Chisato Shibata, itu sangat seksi. Dia biasanya seperti ini.” Mayumi memperlihatkan foto di layar ponselnya pada Ryoko.“Oh, oke, sangat jelas. Perubahan penampilan bisa jadi karena perubahan suasana hati. Apa dia sedang dekat dengan seseorang?” tanya Ryoko. Ia setuju kalau seksi versi Chisato Shibata memang jauh sekali dengan penampilan sehari-harinya di sekolah.Ichiro dan Mayumi berpandangan. Keduanya kemudian serempak menggeleng.“Dua minggu terakhir sebelum kematiannya, dia juga sering ke klub dan yang lebih aneh, ia selalu mengunggah foto, video atau ceritanya di media sosial.” Mayumi lagi-lagi menunjukkan ponselnya kepada Ryoko. “Setahuku ini satu-satunya media sosial yang ia punya.”“Chisato tidak minum alkohol. Kurasa baru-baru ini ia mencobanya,” tambah Ichiro.Ryoko dan Ryusei melihat unggahan Chisato dengan serius. Perempuan lajang yang berusia dua puluh sembilan tahun itu terlihat ceria. Bahkan di beberapa video ia sepertinya sedang mabuk.“Apa sikapnya di sekolah juga berubah?” tanya Ryoko.“Sebenarnya–sehari sebelum meninggal, Chisato membuatku ketakutan,” jawab Mayumi. “Dia mengatakan dengan lantang bahwa Yasuo dan teman-temannya harus diberi pelajaran. Racuni saja, supaya mati dan lekas bertemu Akira. Dia juga mencemoohku, mengatakan kalau aku ini wali kelas yang tidak berguna karena tidak bisa melindungi Akira.”“Itu sangat–frontal,” ucap Ryoko.“Aku rasa dia sedang punya masalah pribadi yang berat.” Ichiro menatap foto di ponsel Mayumi. Foto itu diambil di awal bulan April. Semua guru diwajibkan hadir karena foto bersama adalah bagian dari tradisi di SMP-SMA Asano.“Aku juga mengira begitu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Tidak, ia mengatakan ini: Lelaki yang tak jantan adalah manusia paling menyedihkan di dunia ini. Dia lebih cocok jadi perempuan.” Mayumi refleks menggenggam tangan Ichiro. “Kau juga mendengarnya, bukan?”“Aku mendengarnya. Rasanya semua orang di ruang guru juga mendengarnya. Dia tidak berucap, tapi berseru,” jawab Ichiro.“Bagaimana reaksi guru-guru saat itu? Semua guru ada di meja masing-masing?” tanya Ryoko.“Mereka cuma tertawa dan menggodanya. Waktu itu ada Nozomi Kuroki, Heiji Okazaki, dan Rina Koizumi.” Mayumi tidak menyangka satu dari mereka yang ada di ruangan itu akan berpulang begitu cepat.“Guru-guru yang lain ke mana?” tanya Ryusei.“Ada rapat dengan Kepala Sekolah. Mereka baru kembali setengah jam setelahnya,” jawab Ichiro.Ryusei menatap Ryoko yang jiwanya seperti sedang terbang jauh meninggalkan mereka. “Ryoko,” panggil Ryusei.“Ah, maaf. Aku sepertinya butuh berbaring, Ryusei,” sahut Ryoko. “Kepalaku–““Astaga! Kita ke rumah sakit.”“Tidak, aku cuma perlu–““Sekarang!” bentak Ryusei. “Kalian tunggu di sini! Jangan ke mana-mana!” perintah Ryusei pada Mayumi dan Ichiro yang ikut cemas.Ichiro dan Mayumi cuma mengangguk. Mereka takjub melihat betapa gesitnya Ryusei mengurus keperluan Ryoko dan dalam sekejap sudah menggendongnya ke mobil.“Ichiro, Ryusei itu siapanya Ryoko?” tanya Mayumi. Mobil yang berisi Ryoko dan Ryusei menjauh dengan cepat dan lenyap setelah membelok ke kiri.“Pengawalnya,” jawab Ichiro.“Wah, keren sekali,” ucap Mayumi. “Apa Ryoko semacam putri bangsawan?” Kepalanya mendongak melihat Ichiro.“Kenapa? Kau iri? Apa aku harus mengirim CV untuk jadi pengawalmu?” goda Ichiro.Wajah Mayumi yang pucat seketika memerah. “A-aku mau ke kamar mandi,” ucapnya cepat-cepat lalu kabur ke dalam rumah.Ichiro tertawa geli. “Aku bukan pemeran utama di cerita ini, tapi kuberi tahu sesuatu, aku suka melihat gadis-gadis yang pipinya memerah karena malu. Apa itu aneh?” ucapnya pada dirinya sendiri. Ia tertawa lagi.
Bab 18
Rumah Sakit Tsukuba Miyajima berdiri megah di atas lahan yang sangat luas. Rumah sakit milik swasta itu memiliki unit gawat darurat dan menerima pasien dengan kategori mulai dari penyakit ringan hingga yang sangat berat. Fasilitas dan keandalan dokter-dokternya tidak diragukan lagi. Ketika SMA Asano dilanda krisis karena keracunan masal, tim dari rumah sakit itulah yang pertama turun tangan.Ryusei duduk di depan ruang pemeriksaan dengan wajah tegang. Ryoko sempat muntah tadi di perjalanan. Ia sangat khawatir.Setelah menunggu selama hampir setengah jam, Ryoko keluar bersama dokter yang memeriksanya. Gadis itu membungkuk sopan pada sang dokter lalu menghampiri Ryusei.“Bagaimana? Apa kau perlu penanganan khusus?” tanya Ryusei.“Akan kujelaskan di mobil,” jawab Ryoko dingin.Ryusei tidak menyukai nada bicara Ryoko. Sepertinya ada yang disembunyikan oleh gadis itu. “Dokter tidak mungkin membiarkannnya pergi jika ada yang membahayakan jiwanya. Atau jangan-jangan kondisinya terlalu parah?” gumamnya.“Kau sedang apa? Ayo cepat! Kita punya urusan penting!” seru Ryoko tertahan. Satu-satunya yang bisa Ryusei lakukan adalah mengimbangi jalan Ryoko. Ketika mereka membelok ke arah yang berlawanan dengan jalur keluar, Ryusei menyeringai. Gadis itu mengabaikannya karena ia punya rencana lain.“Ryoko, kau bohong kalau kau sakit?” tanya Ryusei dengan lebih banyak nada menuduh dibandingkan bertanya.“Tidak. Aku memang sakit, tapi itu tidak penting sekarang.” Mata Ryoko bergerak mencari sesuatu. “Ah, itu dia!” serunya gembira.“Bangsal Darurat? Astaga! Jangan bilang kalau–““Ayo!” Ryoko menarik tangan Ryusei. Mereka tiba di bangsal itu tanpa masalah. Dari jendela, isi bangsal terlihat jelas. Ruangan itu sudah bersih dari semua kekacauan karena limpahan pasien dari SMA Asano.“Di sini mereka dirawat,” ucap Ryoko pelan. Seorang perawat yang kebetulan lewat dihentikan oleh Ryoko. Ryoko menanyakan situasi hari itu dan si perawat yang kebetulan berjaga saat itu memberinya informasi dengan penuh semangat.“Mengerikan! Sangat mengerikan! Ini yang pertama kali terjadi di Tsukuba. Kami tidak punya cukup orang untuk mengurus mereka, tapi syukurlah ada guru-guru yang sigap membantu.” Perawat montok yang memiliki lesung pipi itu berbicara cepat, tapi jelas.“Wah, beruntung sekali,” ucap Ryoko. “Siapa saja guru-guru yang baik hati itu?” “Ibu Kuroki dan Ibu Shibata. Sangat menyedihkan, tentang Ibu Shibata, maksud saya. Dia tidak henti berkeliling dan memeriksa murid-murid yang sakit. Sungguh disayangkan orang sebaik itu mati muda. ”“Apa dia mengatakan sesuatu pada mereka?” tanya Ryusei.“Ya. Ia terus meminta maaf dan berkata semua ini adalah salahnya. Saya tidak paham maksudnya. Mungkin ia merasa salah sebagai guru yang tidak bisa menjaga murid-muridnya.”“Anda sangat penuh empati. Terima kasih atas kerja kerasnya,” ucap Ryusei.Ryoko ikut menyatakan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum dan mengangguk.Perawat itu balas mengangguk lalu pergi dengan wajah sedih. Hari itu adalah hari yang jika bisa, sangat ingin ia hapus dari memorinya. Hari yang penuh kekalutan dan kesedihan.Ryoko dan Ryusei berjalan melewati pintu kedatangan. Mereka tidak berbicara sampai tiba di dekat mobil yang terparkir.Ryusei tidak langsung masuk ke mobil. Ia malah bersedekap di depan Ryoko.“Apa?” tanya Ryoko polos.“Kau belum menjelaskan kondisimu. Apa aku perlu khawatir?” tanya Ryusei.Ryoko menunduk lalu menatap Ryusei dengan wajah bingung. “Ryusei, sebenarnya aku–““Kau kenapa?” tanya Ryusei sambil memajukan wajahnya.“Aku–aku hamil. Apa yang sudah kau lakukan padaku semalam? Kau jahat! Laki-laki mesum!” seru Ryoko sambil memukuli dada Ryusei.“Hamil?” Ryoko mengeluh pelan karena pukuan Ryoko keras juga. Ia tertawa pelan. “Kau bercanda, kan?”“Tidak. Ada bayi di sini,” jawab Ryoko lirih.Ryusei Menggeram kesal dan gemas. “Bagaimana kau bisa hamil? Aku tidak menyentuhmu. Oh, seingatku kau yang sibuk menarik, mendorong dan menindihku. Seharusnya aku yang hamil!” Ryusei mengangkat tubuh Ryoko tanpa peringatan hingga gadis itu terpekik.“Kau–Ryusei, kau mau apa?” Ryoko panik.“Mau buat anak yang banyak di mobil,” sahut Ryusei diikuti seringai jahatnya.“A! Tidak! Jangan macam-macam!” Ryoko berontak sekuat tenaga.“Satu macam saja. Ibumu dan ibuku akan sangat gembira karena akan mendapat cucu. Kira-kira berapa lama kau hamil? Kalau kita buat hari ini, mungkin kau bisa melahirkan minggu depan,” ucap Ryusei konyol.“Kau gila! Aku cuma bercanda!” Ryoko mendesah berat tanda menyerah.“Gadis konyol!” Ryusei membuka pintu mobil lalu mendudukkan Ryoko. Ia tidak lekas pergi ke kursi pengemudi, tapi terus menatap Ryoko. Tangannya menyentuh pipi Ryoko. “Jadi, kondisimu bagaimana?”“Dokter bilang tidak ada masalah.” Ryoko menunduk karena tidak sanggup melawan tatapan tajam Ryusei.“Kau muntah tadi. Itu tidak apa-apa?” tanya Ryusei.“Terlalu banyak acar lobak kurasa,” jawab Ryoko malu.Ryusei berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Jangan-jangan ada bayi lobak di perutmu,” gurau Ryusei.“Ah, kau menyebalkan!” Ryoko cemberut.Ryusei akhirnya masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi. “Ayo pulang, sebelum kedua orang aneh itu mengacaukan rumah,” ucapnya.“Tidak, kita punya tempat pemberhentian lain. Rumah Akira. Ibunya menelepon dan memintaku ke sana,” ucap Ryoko.“Ada apa?”“Dia tidak mengatakan apa pun selain mengundangku.”“Baiklah. Kita ke rumah Akira.”“Oh, sebelum itu aku akan menelepon Paman Yamada. Kurasa detektif-detektif Tsukuba perlu sedikit motivasi untuk memeriksa Chisato Shibata.” Ryoko tersenyum.Kedua mata Ryusei menyipit. “Kau manis, tapi jahil dan aneh. Bagaimana nasibku kalau menikah denganmu?” Ryusei menyalakan mesin mobil.“Kau pasti bahagia, tapi aku yang pasti akan menderita,” jawab Ryoko asal.“Baiklah, Ayo menikah! Aku ingin melihatmu menderita selamanya,” ucap Ryusei. Ia tertawa pelan.Ryoko meninju lengan Ryusei lalu bersedekap dan memejamkan mata. Ia perlu istirahat singkat. Sepuluh menit lebih dari cukup untuk menyegarkan otaknya.
***Kembali ke rumah Akira membangkitkan kembali kenangan Ryoko tentang remaja laki-laki itu. Akira punya segalanya. Segalanya berarti potensi pribadi, yaitu wajah yang tampan, tubuh yang sehat dan otak yang pintar. Keluarganya juga bukan keluarga sembarangan dan mereka memberinya dukungan penuh. Satu-satunya yang tidak dimiliki oleh Akira hanya kesempatan untuk hidup lebih lama. Sayangnya, urusan yang satu itu tidak bisa ditawar-tawar.“Sebenarnya kami ingin kembali ke kampung halaman kami di Hokkaido, tapi–ya, itu sedikit dilematis. Berkumpul di tengah orang-orang yang mengenal Akira pasti akan menyita banyak emosi,” ucap ayah Akira. Ia melanjutkan dengan nada sedih. “Jadi, kami putuskan untuk ke luar negeri. Kebetulan rumah sakit tempatku bekerja memiliki kerjasama dengan rumah sakit di Jerman.”“Kami tidak bisa tinggal di sini—untuk saat ini. Rasanya berat sekali,” ucap ibu Akira. Kedua matanya berkaca-kaca. Saputangannya sudah basah sebagian.“Akira pasti menginginkan yang terbaik untuk Anda berdua,” ucap Ryusei. “Apakah rumah ini akan dijual?”“Tidak. Akira besar di sini. Kami akan kembali begitu merasa lebih tenang. Untuk sementara, kami akan minta seorang sahabat untuk mengurusnya.” Ayah Akira meletakkan kacamatanya di pangkuannya. Kesedihan karena kehilangan putra satu-satunya menyerangnya tanpa ampun, begitu juga istrinya. Hanya kenangan akan Akiralah yang membuat mereka bertahan dan berjuang membangun semangat hidup mereka.“Kami harus semangat untuk bagian Akira juga,” tambah ibu Akira. “Ryoko-san, apakah–apakah Akira terlihat sedih atau mungkin marah waktu bertemu denganmu?”Ryoko tersenyum. Ibu Akira pasti ingin sekali menanyakan itu karena Ryoko, seperti yang diketahui oleh orang-orang, adalah yang terakhir bertemu dengan Akira. “Dia sangat ceria. Saya rasa dia bersemangat untuk menyelesaikan sekolahnya,” jawab Ryoko. Sampai saat ini, hanya dirinya dan Ryusei yang mengetahui email Akira untuknya. Sebaiknya tetap begitu untuk sementara waktu.“Begitukah? Syukurlah,” ucap ibu Akira. Ia menoleh dan tersenyum pada suaminya yang menggapai lalu menggenggam tangannya. “Akira pasti damai di sana.”“Ya.” Ayah Akira adalah seorang dokter, jadi ia tahu betul bahwa tidak ada permainan kotor dalam kematian putranya. Telunjuknya menyeka sudut matanya yang basah.“Maaf, apakah saya boleh melihat kamar Akira?” Ryoko belum mendapat kesempatan memasuki kamar remaja itu. Ia berharap ada petunjuk di sana. Pasti ada sesuatu yang bisa memperjelas kasus ini, pikirnya.“Tentu. Mari ikut saya,” ucap ibu Akira.Kamar Akira jauh dari bayangan tentang kamar remaja laki-laki. Tidak ada peralatan olahraga satu pun di sana. Bola basebal pun tidak ada. Akira sepertinya lebih tertarik pada hal-hal berbau teknologi. Tempat tidur yang empuk dan berkualitas tinggi, sofa besar, penyejuk ruangan dan sebuah minibar melengkapi kamar itu. Di seberang tempat tidurnya ada meja belajar dan di sisi yang lain ada lemari buku besar dan televisi layar datar berukuran lima puluh inci. Di bawah TV ada pemutar video dan playstation. Akira adalah raja di kamarnya sendiri.Perhatian Ryoko tertuju pada sebuah buku catatan kecil di atas meja. Ada tulisan tangan Akira di lembar pertamanya. Tangan Ryokoa iseng membuka acak beberapa halaman berikutnya.“Silahkan ambil benda mana saja yang Anda suka,” ucap ibu Akira.“Benarkah?” Ryoko tidak menolak karena harapannya mendapat petunjuk baru sangat besar. “Benda yang paling tua dan paling Akira sayangi yang mana?” tanyanya.Ibu Akira tersenyum. Ia melangkah ke rak buku. Setelah memindahkan beberapa buah ensiklopedia tebal, tangannya meraih sesuatu di belakan deretan buku cerita dunia.“Ini adalah benda kesayangannya. Akira membelinya dari tabungannya sendiri.” Ibu Akira mengulurkan sebuah celengan berbentuk kotak dan berwarna hitam. “Celengan ini punya pin, tapi tentu saja kami tidak tahu apa PIN-nya,” ucapnya geli.“Saya boleh minta ini?” Ryoko khawatir benda itu memiliki nilai sentimental yang sangat tinggi bagi kedua orang tua Akira.Ibu Akira tersenyum. “Boleh. Akira, dia past menganggap Anda spesial. Terima kasih karena telah menolongnya.”“Tidak, Akira anak yang hebat. Dia bisa mengurus dirinya sendiri.” Ryoko menatap celengan hitam yang ada di kedua tangannya. Celengan itu berat. “Apakah ada orang lain yang Anda izinkan mengambil barang-barang Akira sebelum ini?” tanya Ryoko penasaran.“Ya. Ada. Mendiang Chisato Shibata kemari setelah acara berkabung untuk Akira. Ia datang untuk meminta maaf atas kelakuan ketiga muridnya yang selalu mengganggu Akira. Saya tidak terlalu memusingkan itu. Bagi saya dan ayahnya, itu adalah bagian untuk pembelajaran Akira. Akira juga tidak pernah mengeluh meski sering sekali pulang dalam keadaan terluka. Hari itu saya menawarkan hal yang sama pada Ibu Chisato. Dia senang sekali.”“Apa yang diambilnya?” tanya Ryoko.“Sebuah jimat. Setelah beberapa tahun, baru kali ini saya melihat Akira pulang membawa jimat dari kuil.” Ia mendesah berat. “Sebenarnya saya ingin menyimpannya, tapi Ibu Chisato memohon agar boleh memilikinya.”Ryoko mengangguk-angguk pelan. Chisato Shibata selalu ada dalam jejak kematian Gen Kazama. Aku perlu bukti yang kuat. Bukti yang tidak terbantahkan bahwa dialah yang melakukan pembunuhan lima tahun yang lalu.“Ya ampun, Ryoko-san, kenapa semua ini bisa terjadi? Akiraku–lalu murid-murid dan guru SMA Asano yang meninggal itu. Yasuo yang celaka. Apakah ini memang kutukan?” tanya ibu Akira.“Kutukan?” tanya Ryoko heran. Tidak pernah ada yang menyebut mengenai kutukan padanya. “Ibu Chisato mengatakan kalau ini kutukan karena arwah Gen Kazama tidak tenang di alam sana. Seseorang di sini pasti pelakunya. Saya–saya tidak tahu kaitannya dengan Akira. Akira nakal, tapi dia anak yang baik!”Sebagai orang tua yang penuh dedikasi merawat dan mendidik anak mereka, kedua orang tua Akira merasa sangat kecolongan saat mengetahui Akira terlibat kasus pemerasan. Masalah itu sudah diselesaikan dengan baik oleh pihak-pihak yang terkait. Uang yang diterima oleh Akira juga sudah dikembalikan. Emi Matsubara yang nekat membunuh kucing tetangganya dan diperas oleh Akira justru menangis dan meminta maaf saat mendengar Akira meninggal dunia. Perempuan itu berkata bahwa ia membenci Akira, tapi tidak pernah menginginkan kematiannya.Ryoko lekas meletakkan celengan di atas meja. Tanpa ragu ia memeluk ibu Akira yang menangis sesenggukan dengan lembut.“Akira anak yang baik!” ucap Ryoko tegas. “Tidak ada yang namanya kutukan. Yang ada hanya seorang pembunuh yang begitu keji,” sahut Ryoko dengan suara bergetar.
***Rumah Chisato Shibata berada kurang dari satu kilometer di sebelah timur rumah Akira. Rumah itu adalah bagian dari kumpulan rumah tua dan tidak begitu luas, tapi pembagian ruangnya sangat jelas. Dua buah mobil polisi terparkir di halamannya yang sama sekali tidak memiliki pagar maupun tembok. Detektif Hideaki Machida dan Detektif Aoi Sasaki sedang memeriksa bagian belakang rumah. Mereka berkali-kali menghela nafas kesal.“Dua orang itu benar-benar merepotkan. Bagaimana mereka bisa tercemplung dalam urusan in?” Detektif Machida menggerutu. Ia tidak menyukai Ryusei dan Ryoko.Detektif Sasaki yang berdiri di sampingnya cuma bisa meringis. Seniornya mendapat telepon dari Detektif Yamada beberapa menit yang lalu. Itulah yang menyeret mereka ke rumah Chisato Shibata.“Tidak seperti rumah pembunuh,” komentar Detektif Sasaki. “Lain ceritanya kalau di sini ada ruang rahasia atau ruang bawah tanah. Mereka sudah memeriksa rancang bangun rumah itu. Tidak ada yang mencurigakan.“Gudang itu masih baru. Sepertinya dibangun satu atau dua tahun belakangan ini,” ucap Detektif Sasaki. “Aku berani bertaruh semua barang bukti yang memberatkannya pasti sudah lenyap. Ia punya lima tahun untuk menyingkirkannya.”“Bisa jadi, kecuali dia maniak yang suka mengoleksi barang bukti kejahatannya,” sahut Detektif Machida.Seseorang berlari menghampiri kedua detektif itu. Wajahnya terlihat cerah ceria.“Ada apa, Shun?” tanya Detektif Machida.“Kami menemukan pisaunya! Pisau yang terakhir!” jawab Shun Kumagai, salah satu detektif junior di kepolisian Tsukuba, dengan mata yang berbinar-binar.“Kau bercanda,” gumam Detektif Sasaki tidak percaya.“Tidak! Lihatlah sendiri!” Detektif Kumagai mendahului berlari ke samping rumah. Di dekat sana sudah ada petugas forensik yang sibuk mengumpulkan bukti-bukti.“Ini pisaunya?” tanya Detektif Sasaki. Di hadapannya, di atas sebuah alas plastik berwarna biru, sebuah pisau kecil yang gagangnya terbuat dari kayu dan memiliki ukiran mewah teronggok rapi dengan label sebuah merek produsen pisau ternama. Pisau itu terbungkus plastik. Noda darah yang telah kering terlihat jelas.“Di mana kalian menemukannya?” tanya Detektif Machida.“Di sebelah sini,” jawab Detektif Kumagai. “Saya tadi sedang memeriksa bagian belakang rumpun bunga kamelia putih itu dan melihat batu yang menonjol keluar dari bagian bawah dasar bangunan. Saya baru kali ini melihat yang seperti itu, jadi saya segera memeriksanya.”“Kerja bagus, Shun!” puji Detektif Sasaki.Detektif Kumigai berbunga-bunga mendapat pujian dari idola seluruh pria lajang di kepolisian Tsukuba. “Lalu?” tanya Detektif Machida.“Oh, batu itu bisa ditarik dengan mudah. Ada sebotol shochu di sana bersama pisau itu. Shocu itu sedang diperiksa petugas forensik. Bisa jadi istrinya tidak suka ia minum arak jadi ia menyembunyikannya di sana.” Detektif Kumagai“Tidak seorang pun mengingatnya. Lalu, pembunuh Gen Kazama menemukannya dan menjadikannya tempat pembuangan pisau itu.” Detektif Machida mengangguk-angguk. Ia berjalan ke dekat dua orang petugas forensik. “Temukan apa pun yang bisa mengarahkan kita pada pembunuhnya!” perintahnya.“Siap!” sahut kedua petugas forensik itu.Detektif Machida menggeram pelan saat ingat betapa gigihnya Mayumi Okamura memberi tahu mereka soal Chisato Shibata. Dan kami mengabaikannya. Suatu kesalahan besar!
Bab 19
Ryoko dan Ryusei tiba di rumah sebelum tengah hari. Mereka menemukan Mayumi yang tertidur menyamping di atas kasur lipat dan Ichiro yang sedang menonton TV di ruang tamu. Setelah meletakkan barang bawaan masing-masing, keduanya duduk di dekat Ichiro.“Ada yang seru?” tanya Ryusei.Ryoko meletakkan dua kotak besar berisi kue-kue. Karena sebelum pulang mereka juga membeli minuman segar di kafe, Ryoko tidak perlu membuat teh.Ichiro meminum es teh kiwi lalu mengambil sebuah donat berukuran besar dengan toping keju. “Polisi memeriksa rumah Chisato,” sahutnya. Ia menghela nafas berat. “Ini akibatnya kalau nekat membeli dan pindah ke rumah yang jadi TKP pembunuhan. Jejak kematiannya mengikutimu ke mana-mana.”“Kurasa tidak separah itu,” sahut Ryoko. “Setidaknya pembunuh itu tidak kembali dan–membunuhmu,” tambahnya.“Kau kejam sekali!” seru Ichiro, syok luar biasa.“Maksudku, itu suatu kemungkinan, bukan?” Ryoko meringis.“Aku juga berpikir sama dengan Ryoko. Kau sangat beruntung masih bernafas hingga hari ini,” ucap Ryusei.Mayumi terbangun mendengar suara orang-orang yang ramai berbincang. Setelah mengusap wajah dan merapikan rambutnya, ia duduk di dekat Ryoko. “Maaf, aku mengantuk sekali. Kasurnya kuangkut,” ucapnya.“Aku yang mengangkut kasurnya,” ralat Ichiro.“Ya, kau benar. Terima kasih,” sahut Mayumi geli.Ryoko menyodorkan gelas plastik berisi es teh stroberi pada Mayumi. “Kau bisa tenang sekarang karena polisi sedang memeriksa rumah Chisato Shibata.”“Benarkah?” tanya Mayumi. “Ini sangat tidak menyenangkan. Ironis. Maksudku, kami rekan kerja dan selama itu ia sangat baik.”“Manusia selalu penuh dengan kejutan,” sahut Ryusei yang kemudian menatap Ichiro. “Sepertinya kau belum bisa menerima kalau Chisato adalah tersangka pembunuh Gen Kazama, Ichiro,” ucap Ryusei pada Ichiro yang terpekur hingga potongan donatnya jatuh di atas tatami. Ryusei membereskan donat itu.“Maaf,” ucap Ichiro yang tersadar. “Sangat sulit membayangkan ia melakukan hal keji itu. Perempuan yang rela pulang naik taksi dan meninggalkan mobilnya di mal karena tidak menemukan dompet berisi SIM-nya, rasanya bukan gambaran seorang pembunuh.” Kenangan mendiang Chisato memenuhi benaknya. Ichiro menganggapnya sebagai seorang kakak perempun yang tegas.“Aku juga berpikir begitu,” ucap Mayumi. “Tapi–” Mayumi mendesah, tidak tahu harus berkata apa lagi.“Sebaiknya kita tunggu pemberitahuan resmi dari yang berwajib.” Ryusei menoleh karena Ryoko tiba-tiba menempel padanya. “Kau mengantuk?” tanyanya pada Ryoko.“Uh, ya. Maaf. Aku meminum obat tadi setelah makan sepotong kecil roti,” jawab Ryoko.“Sepotong kecil? Kau menghabiskan porsi tiga orang,” olok Ryusei. Ryusei membersihkan tangannya dengan tisu basah. Ia memutar badannya karena akan mengangkat tubuh Ryoko.“Aku bisa jalan sendiri ke kamarku,” ucap Ryoko sengit.“Cobalah!” Ryusei mundur sedikit.Seperti yang Ryusei duga, Ryoko tidak bisa berjalan sendiri. Baru mencoba bangun saja ia sudah ambruk.“Kau keras kepala, Nona. Untung kau punya pengawal sekeren aku,” ucap Ryusei. Ia menggendong Ryoko kekamarnya.Ryoko menyeringai. “Mayumi, kau boleh mengadopsi pria ini. Gratis!” seru Ryoko. Tubuhnya boleh saja lemah, tapi mulutnya masih bisa mengomel dan menggerutu kesal.“Benarkah?” Kedua mata Mayumi berbinar senang.“Hei! Aku masih ada di sini!” protes Ichiro yang merasa tersaingi oleh Ryusei. Mayumi keterlaluan! Bukannya dia yang selalu mengejar-ngejarku? Apa pesonaku luntur?“Apa?” tanya Mayumi. “Kau kenapa?”“Tidak ada. Aku mau menelepon sebentar,” ucap Ichiro ketus.Mayumi mengangkat kedua bahunya saat Ichiro keluar ke halaman. “Mungkin dia masih syok karena urusan Chisato. Ah, Chisato, kenapa kau bisa seperti itu?” Mayumi mengeluarkan ponselnya. Jempolnya memilih sebuah folder dalam memori ponselnya. Seketika galeri foto-foto bersama guru-guru SMA Asano terpampang di layarnya. “Pasti ada yang salah,” gumamnya.
***Dua hari kemudian, berita mengejutkan menggemparkan seluruh Jepang. Dalam siaran persnya, juru bicara Kepolisian Kota Tsukuba menyatakan bahwa pembunuhan keji yang terjadi lima tahun lalu dan kasus peracunan di SMA Asano dilakukan oleh Chisato Sibata. Bukti-bukti utama telah ditemukan di kediamannya. Semua warga kota Tsukuba tidak bisa mempercayainya. Mereka yang mengenal Chisato Shibata secara pribadi menolak untuk mengakuinya. Namun, tidak ada seorang pun yang berani maju dan membelanya.Warga kota Tsukuba satu per satu mendatangi tiga tempat penting yang menjadi penanda kedua kasus itu, yaitu SMA Asano, rumah nomor dua puluh tiga dan rumah Chisato Shibata. Karena kemudian pihak sekolah mengabarkan akan mengadakan acara berkabung masal besok, maka semua akhirnya fokus pada kasus Gen Kazama. Dalam satu jam setelah siaran pers itu, warga kota berdesakan memenuhi jalan-jalan yang menuju ke sana. Suasana duka seperti saat peringatan hari kematian Gen Kazama pun terulang.“Syukurlah! Jiwanya terlalu lama tidak tenang di sana.”“Sekarang dia bisa beristirahat dalam damai.”“Ibu Guru Shibata? Aku tidak percaya!”“Bu Guru Chisato tidak mungkin melakukan itu! Dia orang baik!”Perdebatan berlangsung seru karena pro dan kontra status Chisato Shibata sebagai si pembunuh. Pihak keluarga Shibata yang tersisa setelah kematiannya hanya kakek dan neneknya yang sudah sangat tua dan tinggal di Prefektur Shimane. Mereka menangis dan berkali-kali memohon maaf pada semua orang dalam sebuah liputan televisi swasta. Aoki, Bibi Yasue, Katsuo dan Yuki yang selama bertahun-tahun terus mengawal kasus pembunuhan Gen Kazama berinisiatif menyiapkan beberapa buah meja dilengkapi foto dan tempat dupa di depan rumah nomor dua puluh tiga yang kini jadi milik Ichiro. Mereka berempat berangkulan dan menangis sambil berdoa untuk kedamaian mendiang Gen Kazama.Setelah semua keperluan untuk belasungkawa siap, mereka berempat menepi ke area hutan kecil. Tidak banyak orang yang parkir di sana. Karena ini adalah kejadian luar biasa, warga-warga yang memiliki halaman terbuka maupun tanah kosong di sekitar rumah lama Gen Kazama mengizinkan orang-orang yang datang berdoa untuk parkir di sana.“Ichiro-san pasti sangat lega,” ucap Katsuo. “Seperti biasa dia tidak ada di rumah saat ramai-ramai begini.”“Ya. Ryoko-san menelepon. Katanya ia, Ichiro-san dan teman-temannya sedang berlibur ke pemandian air panas. Ichiro-san juga perlu liburan. Pasti berat menanggung nama buruk dari tempat yang—menyedihkan. Ah, aku juga perlu liburan!” Yuki tersenyum. “Aha, itu pacarku yang aneh sudah datang!” Yuki melambai pada seorang pria yang berusaha melewati orang-orang.“Wah, Yuki-chan, aku turut senang kau bisa melewati masa-masa sulit dan menemukan cinta!” Bibi Yasue meneteskan air mata. Ia sendiri tidak sekuat yang dikira oleh orang-orang. Badannya rapuh dari dalam. Begitu mendapat kabar bahwa pembunuh Gen Kazuma sudah diketahui, ia langsung menelepon rumah sakit besar di Tokyo dan mendaftarkan diri untuk operasi pengangkatan tumor ususnya. “Sekarang kita semua bisa tenang.”Aoki mengangguk. “Mungkin aku akan menikah tahun ini,” ucapnya santai.“Benarkah?” Yuki, Bibi Yasue dan Katsuo berseru takjub. Mereka turut gembira mendengarnya.“Ya, begitu rencananya,” sahut Aoki sambil tertawa malu.“Katsuo, bagaimana denganmu?” tanya Bibi Yasue. “Aku akan ke Hawaii. Sepupuku punya usaha di sana. Hanya satu bulan, untuk berlibur. Aku lebih suka di sini,” sahut Katsuo.“Bagus. Kita bisa melanjutkan hidup seperti yang kita mau. Gen, selamat jalan,” ucap Bibi Yasue sambil menatap langit biru di atas sana.Aoki, Yuki dan Katsuo mengucapkan kalimat perpisahan pada Gen Kazama di dalam hati masing-masing. Akhirnya musim semi yang damai benar-benar tiba.
***Mika dan Tomoko keluar dari kafe Fuchsia yang ada di pinggir kota dengan wajah gembira. Berita di televisi sangat mengejutkan. Selain itu, semua grup media sosial mereka juga membahasnya.“Kita harus segera ke sana, Tomoko!” Mika setengah berlari sambil menarik Tomoko yang masih sibuk melihat unggahan orang-orang di media sosialnya.“Tidak! Kita harus ke rumah Hikari!” tolak Tomoko.“Oh, ya ampun! Hikari juga pasti akan ke tempat Pak Guru Gen. Ayo cepat!”Tomoko mengikuti Mika yang berjalan ke jalan. “Mika, mobilnya di depan, bukan di belakang!” “Astaga! Aku lupa!” Mika menepuk keningnya.Alih-alih masuk kembali ke Fuchsia, kedua gadis itu malah berlari menyusuri jalan belakang. Baru saja membelok, mereka dikejutkan oleh kehadiran seseorang berpakain serba hitam dan memakai topeng karet salah satu karakter pahlawan super di komik Jepang.“Serahkan dompet kalian!” seru orang itu galak.Mika dan Tomoko malah tertawa. “Dia bercanda, kan?” Tomoko meringis.“Kau siapa? Aku bisa karate!” Mika memasang kuda-kuda karatenya.“Gadis-gadis konyol, serahkan dompet kalian!” seru pria itu lebih keras. Sebuah pisau lipat tiba-tiba sudah ada di tangannya.“Mika, aku takut!” Tomoko merapat pada Mika.“Tenang, Tomoko. Lebih baik berikan dompet kita.” Mika memutuskan mengambil jalan aman. Ia mengeluarkan dompetnya dari saku jaketnya yang besar sekali. “Cuma ada dua ribu yen di sana,” ucap Mika pada penjahat itu.“Tolong, jangan ambil ponselku,” ucap Tomoko ketakutan. Ia juga terpaksa mengulurkan dompetnya. Ponselnya ada di dalam sana.Penjahat itu dengan cepat memeriksa dompet Mika dan Tomoko. Ia melempar ponsel Tomoko sembarangan lalu kabur dengan kedua barang hasil rampasannya.Tomoko yang anggun dan anti kekerasan dengan sigap melompat dan menangkap ponselnya yang hampir menyentuh aspal. “Ponselku tersayang!” serunya bahagia.Mika meringis. Tomoko adalah gadis kaya raya. Setidaknya ada seratus ribu yen di dompetnya, tapi ia hanya memikirkan ponselnya.“Mika, kau kenapa?” tanya Tomoko yang sudah puas menciumi ponselnya. Mika berdiri di tempatnya tanpa kata-kata sambil menatap langit.“Tomoko, kita dirampok siang bolong!” teriak Mika frustrasi. “Astaga, kau benar! Polisi! Kita harus ke pos polisi terdekat!” seru Tomoko yang juga baru sadar.
***Hotel Kamiyama di kaki Gunung Tsukuba berdiri anggun di antara keindahan alam di sekelilingnya. Arsitektur hotel itu adalah campuran dari pengaruh dunia modern dan Jepang kuno. Siapa pun yang pernah menginap di sana pasti ingin kembali. Di awal tahun ini, hotel itu masuk dalam kategori Lima Puluh Besar Hotel Pemandian Air Panas Terbaik di Jepang.Ryoko dan Mayumi keluar dari kolam air panas dengan ekspresi ceria. Setelah berhari-hari mendapat tekanan berat serta tubuh yang tidak bisa diajak kompromi karena letih, sekarang mereka seperti terlahir kembali. Keduanya mengeringkan diri lalu mengganti handuk dengan yukata.“Kalian sudah selesai?” tanya Ryusei. Ia dan Ichiro sudah berpakaian rapi sejak tadi. Meskipun mereka jauh dari rumah Ichiro yang saat ini mungkin sedang dipenuhi orang-orang yang datang berdoa untuk Gen Kazama, Ryusei merasa tetap harus menjaga Ryoko. Karena itu juga mereka meminta sebuah kamar super luas yang bisa menampung mereka berempat.“Ya. Segar sekali! Kita datang ke tempat yang tepat,” sahut Ryoko.“Aku seketika lupa pada wajah menyebalkan Detektif Machida,” gurau Mayumi.Ryoko, Ryusei dan Ichiro serempak tertawa. Mayumi adalah korban yang tak terduga dari kasus peracunan di SMA Asano.“Kita kembali besok?” tanya Mayumi.Ryoko hendak menjawab, tapi ponselnya bergetar karena notifikasi pesan yang masuk. Pesan itu dari Mika. Ryoko-san, aku dan Tomoko dirampok orangdi siang bolong! Aku kesal sekali!Senyum Ryoko terkembang. Pesan itu sudah ia tunggu selama dua hari ini.“Tidak, kita kembali sore ini agar tiba sebelum malam. Kita akan mengadakan acara berkabung tertutup dan doa bersama untuk mendiang Gen Kazama dan kelima orang korban keracunan SMA Asano,” jawab Ryoko atas pertanyaan Mayumi.“Aku akan menyuruh orang untuk membersihkan rumah. Apa akan banyak yang datang?” tanya Ichiro yang menyetujui ide itu. Ia tidak keberatan rumahnya dijadikan tempat acara.“Tidak banyak. Tidak perlu repot, Ichiro. Acaranya di rumah Akira,” jawab Ryoko.Ryusei menatap Ryoko lekat-lekat. Firasatnya mengatakan ada yang tengah direncanakan oleh gadis itu. Dan dia menyembunyikannya dariku. Gadis nakal!Ryoko mengerti arti tatapan Ryusei. Ketika pelayan datang membawakan hidangan sore hari, ia keluar ke balkon. Seperti yang diharapkannya, Ryusei mengikutinya.“Katakan, agar aku bisa bersiap,” ucap Ryusei pelan. Wajah Ryoko tidak lagi pucat seperti kemarin, tapi ia tetap khawatir.“Kita akan menangkap iblis berwujud manusia,” sahut Ryoko. Ia lalu berbisik pelan di telinga Ryusei.Ryusei terkejut, tapi berusaha menyembunyikannya. Tatapannya beralih dari wajah Ryoko yang serius ke pemandangan pegunungan yang turut menyemarakkan musim semi. Sepertinya aku perlu menyiapkan baju zirah dan kedua pedangku. Menangkap iblis tidak pernah mudah!
Bab 20
Pukul 18:30 di rumah keluarga Yoshino.Kedua pasangan Yoshino menyambut tamu-tamu dengan ramah sembari menyembunyikan kesedihan mereka. Orang-orang yang mereka undang itu adalah bagian dari cerita hidup mendiang putra kesayangan mereka, Akira. Para undangan ada yang datang sendiri-sendiri dan berkelompok. Semua mengenakan pakaian hitam, karena malam ini adalah malam berkabung. Yang pertama datang adalah Kepala Sekolah dan sebagian guru-guru SMA Asano. Tidak semua diundang, dengan alasan itu adalah acara tertutup dan kehadiran beberapa orang dari pihak sekolah sudah cukup untuk mewakili. Ibu Kepala Sekolah tidak hentinya mendesah berat. Tahun ini menjadi tahun terberatnya.Kelompok berikutnya adalah Aoki, Bibi Yasue, Katsuo dan Yuki. Keempat orang yang diliputi perasaan gembira karena kasus Gen Kazama telah tuntas, kini kembali menunjukkan wajah duka. Mereka berbelasungkawa dan menyesalkan tragisnya nasib Akira dan para korban peracunan di SMA Asano.Ichiro, Mayumi dan Daisuke muncul hampir bersamaan. Di belakang mereka ada Ryoko dan Ryusei. Mereka saling sapa lalu menyalami tuan rumah. “Ruang makan sudah siap. Silahkan,” ucap ibu Akira. Khusus malam ini, ia mengerahkan jasa katering untuk membantunya menjamu para tamu.Ryusei, Ryoko dan Mayumi mengangguk dan tersenyum. Mereka berjalan tanpa berkata-kata.“Kami menyusul,” ucap Daisuke. Ia menarik Ichiro dan mengajaknya berbicara di dekat pintu.“Apa lagi, Daisuke?” tanya Ichiro. Pria yang lebih tua darinya itu terus mengiriminya bom pesan selama ia dan Mayumi berlibur ke pemandian air panas. Daisuke sebenarnya tergolong pandai bergaul, tapi kalau sudah merasa dekat dengan satu orang, ia akan terus terikat dengan orang itu. Itulah yang kadang-kadang membuat Ichiro kesal.“Kau pacaran dengan Mayumi?” tanya Daisuke dengan nada menyelidik.“Tidak, tapi sepertinya akan pacaran dengannya.” Ichiro tersenyum. Beberapa hari terakhir ia melihat sisi lain yang berbeda dari Mayumi. “Mayumi manis,” tambahnya.“Kau sudah tidur dengannya?” tanya Daisuke dengan mata menyipit curiga.“Hei! Pertanyaan apa itu? Itu terlalu pribadi dan ingat, kau tidak punya hak mencampurinya. Oh, kalau kau sangat penasaran, kuberi tahu,” ucap Ichiro diikuti seringai geli, “aku sudah tidur dengannya.” Ichiro tertawa dalam hati. Tidur yang ia maksud bukan tidur intim berdua, tapi tidur beramai-ramai di kamar hotel bersama Mayumi, Ryusei dan Ryoko. Itu seperti acara berkemah ramai-ramai.“Kau–serius?” Daisuke terkejut. Selama ini yang ia tahu Ichiro sangat pemilih.“Serius,” jawab Ichiro. “Itu bukan masalah besar. Lagi pula tidak ada larangan berkencan dengan sesama guru di tempat kerja kita. Kau juga harus segera mencari gadismu sendiri.” “Gadisku—“ Daisuke tertawa kecil. “Ya, aku rasa begitu.”Ichiro mendorong Daisuke agar segera mengikuti pelayan dan Ryoko yang cukup jauh di depan mereka.Ruang makan yang disiapkan oleh keluarga Yoshino begitu mewah. Tidak ada cacat yang terlihat. Standar perjamuan mereka sangat tinggi.Selama makan malam dengan menu lengkap yang sangat lezat, mereka hanya berbincang ringan. Tidak ada yang menyebut-nyebut Akira maupun korban peracunan, apalagi Gen Kazama. Semua orang sangat pandai menjaga etika mereka.Usai makan malam, mereka semua pindah ke area santai di samping rumah. Area santai itu adalah bangunan yang keempat dindingnya terbuat dari kaca tebal. Satu set sofa dan kuri-kursi berpunggung tinggi sudah siap, begitu juga minuman segar dan makanan ringan. Kolam renang yang jadi saksi hembusan nafas terakhir Akira berada tidak jauh dari sana. Selain Ryoko, tidak seorang pun yang sanggup melihat ke arah kolam.“Maaf undangannya sangat mendadak,” ucap ayah Akira. “Setelah acara berkabung d sekolah besok, kami akan berangkat ke luar negeri.”“Terima kasih sudah mau datang,” tambah ibu Akira.“Anda berdua akan pindah?” tanya Ibu Kepala Sekolah.“Untuk sementara waktu. Seharusnya tidak perlu disebutkan lagi, tapi–ya, kami perlu menenangkan diri,” jawab ayah Akira.“Kami sangat mengerti. Maaf, kami tidak bisa membantu apa-apa,” ucap Ibu Kepala Sekolah sedih.“Semua sangat baik. Justru kami harus banyak berterima kasih. Untuk Akira—terima kasih sudah mencurahkan perhatian—dia pasti sangat terbantu dengan kebaikan semua orang.” Ibu Akira mengusap air matanya. “Ibu, Akira pasti sedih kalau Ibu menangis terus,” ucap ayah Akira yang merangkul istrinya itu untuk menenangkannya.“Ah, ya. Maaf,” ucap ibu Akira. Hening sesaat karena semua orang sedang mengingat Akira. “Tapi sekarang kita bisa sedikit tenang karena kasus SMA Asano sudah terpecahkan. Murid-murid bisa bersekolah kembali,” ucap Ibu Kuroki memecah keheningan. Ia masih ingat betapa menderitanya dirinya waktu keracunan. Seseorang terus menyemangatinya. Sungguh tidak disangka-sangka, justru orang itulah penjahatnya. Tidak hanya meracuni warga sekolah, dia juga membunuh Gen Kazama. Oh, Chisato! Ada apa denganmu?“Begitu juga dengan kasus pembunuhan lima tahun yang lalu. Akhirnya selesai juga,” ucap Bibi Yasue. Chisato Shibata adalah tetangganya. Gadis berusia dua puluh sembilan tahun itu tinggal di rumah kedua orang tuanya sejak mereka meninggal karena kecelakaan sekitar enam tahun lalu. Dia tidak seperti seorang pembunuh.Tiba-tiba saja Ibu Kepala Sekolah berdiri. Permpuan yang sudah seperempat abad mmerintah di SMA Asano itu berpegangan pada punggung kursi. “Ini mimpi buruk. Tidak, tidak! Aku tidak percaya Chisato melakukan itu semua!” ucapnya tegas.“Ibu Kepala Sekolah—“ Ibu Kuroki memalingkan wajahnya. Ia mengerti perasaan pimpinannya itu. Mereka ingin membela Chisato, tapi tidak tahu harus bagaimana.“Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Dia—dia sudah pergi. Jujur, dengan situasi seperti ini, aku sangat bersyukur dia sudah pergi,” ucap Mayumi.“Aku juga berpikir begitu,” ucap Ichiro. Jika Chisato masih hidup, dengan rangkaian kejahatannya, ia tidak akan bertahan lama. Hukuman mati adalah ganjaran atas perbuatannya.“Bisakah kita tidak membahasnya? Berbicara tentang keburukan orang yang sudah meninggal sangat—sangat tidak baik.” Daisuke menghela nafas berat. Perempuan selalu saja bergosip di mana-mana. Ini acara berkabung.“Kau pasti senang karena tidak ada yang mengganggumu,” ucap Ibu Kuroki sinis pada Daisuke. “Aku kira kalian akan pacaran.” Ia lalu tertawa geli.“Jangan bergosip! Kami cuma teman,” sahut Daisuke.“Tapi, aku juga tidak mengira Chisato bisa melakukan perbuatan gila itu. Dia terlihat kalem dan baik.” Aoki mencoba mengingat-ingat berapa kali ia bersinggungan dengan Chisato. “Setahuku dia selalu baik.”“Orang yang terlihat kalem biasanya banyak muslihatnya. Contohnya, Ichiro. Diam-diam dia ini tukang rayu perempuan,” olok Katsuo. Ia dan Ichiro akrab karena mereka selalu bertemu di pusat kebugaran milik Ichiro.“Aku tidak seperti itu,” protes Ichiro.Dua orang pelayan datang membawakan mereka tambahan minuman dan makanan kecil. Mereka lekas undur diri setelah semua terhidang di atas meja.“Jadi, siapa saja yang merasa bahwa Chisato Shibata bukan pembunuh?” tanya Ryoko tiba-tiba saat orang-orang sedang menyesap minuman masing-masing.Semua menoleh ke arah Ryoko. Mereka refleks menoleh ke kiri dan kanan, seakan-akan ingin membaca jawaban dari orang yang ada di dekatnya. Karena tidak ada yang bicara, mereka serempak melihat lagi ke arah Ryoko.“Angkat tangan kalian. Aku hanya penasaran,” ucap Ryoko. “Oh, aku dan Ryusei bisa dibilang orang luar, jadi kami hanya tukang hitung.”Ibu Kepala Sekolah yang paling pertama mengangkat tangannya. Setelah tiga detik, semua orang, selain Ryusei dan Ryoko, sudah ikut mengangkat tangan mereka.“Luar biasa! Mendiang Chisato pasti sangat bahagia kalau tahu semua orang sangat mempercayainya,” ucap Ryoko. Sesuai dengan dugaanku!“Tapi, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membersihkan nama baiknya. Polisi menghilang selama lima tahun, lalu tiba-tiba menunjuk orang yang sudah meninggal sebagai pelaku dua kejahatan sekaligus. Tidakkah itu sangat konyol?” Katsuo membanting gelasnya. Ia diam sebentar. “Maaf, aku terlalu emosi.”“Tidak, Katsuo. Kau benar. Hal yang paling mudah untuk menyembunyikan identitas si pembunuh adalah dengan menuduh orang lain yang melakukannya. Semuanya akan lebih sempurna jika orang yang dituduh sudah meninggal. Yah, bagaimanapun juga, dia sudah tidak bisa membela dirinya sendiri, bukan?” Ryoko tersenyum tipis.Keheningan terasa lebih dalam dan pekat. Semua yang ada di ruangan berdinding kaca itu sedang berusaha mencerna ucapan gadis yang sejak tadi diam dan menyimak ucapan-ucapan mereka.“Ryoko-san, apa maksudmu Chisato Shibata bukan pelakunya?” tanya Yuki. Otaknya yang lambat mendadak berubah penuh energi dan lancar memroses semua kata-kata Ryoko.“Kalau bukan Chisato Shibata, berarti pembunuhnya masih—” Wajah Bibi Yasue memucat.Ryoko berdiri dan menatap berkeliling lalu berhenti saat matanya menangkap wajah Mayumi Okamura. Semua orang serempak melihat ke arah Mayumi yang nampak gugup.“A-aku? Tidak, aku tidak melakukan apa-apa! Ryoko!” Mayumi Okamura dilanda kepanikan.“Aku tahu! Kau memang sangat mencurigakan!” seru Daisuke sambil menunjuk ke arah Mayumi. Kau tidak pantas bersama Ichiro. Dasar pembunuh!Ryoko mendesah. “Aku yakin kalian akan sulit mempercayai ini, tapi jika kalian bersabar, aku dengan senang hati akan memberi tahu siapa pembunuhnya.” Seorang pelayan laki-laki masuk dan berbisik pada Ryoko. Ryoko mengangguk. Pelayan itu keluar dari ruangan. Tidak berapa lama ada dua orang baru muncul bersama pelayan tadi.“Tinggalkan kami,” ucap Ryoko pada pelayan itu. Pelayan itu mengagguk lalu pergi.“Apa dia pelayan kita?” tanya ibu Akira pada suaminya. Ia tidak mengenal pelayan baru itu. Suaminya menjawab dengan gelengan kepala tanda tidak tahu.“Perkenalkan, ini Detektif Hideaki Machida dan Detektif Aoi Sasaki yang menangani kedua kasus yang kita bicarakan. Kehadiran mereka sangat penting untuk memperjelas kasus-kasus tersebut.” Ryoko mempersilakan keduanya untuk mengambil tempat. Ia tersenyum saat keduanya memilih berdiri saja.“Ryoko-san, ini ada apa sebenarnya?” tanya ayah Akira.“Ayah dan ibu Akira, aku minta maaf karena tidak memberitahukan hal ini sebelumnya pada kalian. Aku minta agar diizinkan mengambil alih tempat dan waktu sebentar saja,” ucap Ryoko.“Tapi–untuk apa?” tanya ibu Akira bingung“Aku akan membongkar kedua kasus mengerikan yang menyeret kita semua untuk berkumpul di sini malam ini. Oh, aku punya satu petunjuk: Pembunuhnya ada di sini.”Kalimat terakhir Ryoko membuat semua orang terkejut, termasuk kedua orang detektif yang baru datang. Pekik tertahan terdengar bersamaan dengan bisik-bisik yang kian besar.Ryusei yang duduk hanya berjarak beberapa kursi dari Ryoko menyeringai melihat reaksi semua orang. Tanpa menoleh, ia bisa memastikan ada dua orang perempuan yang baru saja menjatuhkan gelas moktail mereka. Nona Detektif, pembukaan yang sempurna!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan