
1. EMMA AINSLEY BOLTON
2. PENYAMARAN YANG TERBONGKAR
3. KEJUTAN
4. ANCAMAN
5. CINTA MEMANG SEUNIK ITU
1. Emma Ainsley Bolton
Malam sudah sangat larut ketika Emma akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Ia menghela nafas lega ketika semua hal melelahkan yang menjadi tanggung jawabnya dan beberapa pelayan lainnya selesai sedikit lebih cepat. Setidaknya mereka masih punya waktu beberapa jam untuk beristirahat sebelum memulai kembali aktivitas di pagi hari.
Emma tersenyum sambil menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk meregangkan otot-otot terasa kaku setelah bekerja seharian.
Pesta pernikahan sudah berakhir beberapa jam yang lalu, tapi kesibukan di kediaman sang mempelai pria baru saja berakhir. Para pekerja bekerja keras membereskan sisa pesta dan kembali merapikan kediaman sang Earl, begitu pun dengan Emma.
Meskipun lelah, Emma sangat bahagia dengan apa yang terjadi saat ini. Ia sangat bahagia bisa menjadi saksi bagaimana sepasang manusia yang dikenalnya akhirnya bersatu dalam ikatan pernikahan.
Tapi dibalik kegembiraan yang Emma rasakan terselip rasa khawatir yang mengganggunya. Perasaan itu semakin kuat dirasakannya sejak pesta berlangsung. Ia khawatir dan takut kedua orang tuanya atau salah satu kenalan mereka juga menghadiri pesta pernikahan sang Earl. Hal itu bisa saja terjadi mengingat banyaknya tamu undangan yang hadir serta bagaimana megah dan mewahnya pesta pernikahan yang sang Earl persembahkan untuk sang istri.
Kekhawatiran itulah yang membuat Emma memilih berada di belakang sebagai pencuci piring. Hanya sebentar saja ia berada di tempat pesta. Itu pun hanya untuk melihat kebahagiaan yang dirasakan kedua pengantin serta memastikan tidak ada diantara orang-orang yang hadir merupakan salah satu kenalannya. Tapi sekarang Emma bisa menarik nafas lega karena kekhawatiran yang dirasakannya tidak terjadi. Ia aman, tidak ada yang melihat bahkan mengenalinya.
Sejujurnya Emma sangat merindukan kedua orang tuanya. Ia merindukan rumahnya. Ia merindukan kemewahan serta kemudahan yang didapatnya selama ini tapi ia tidak mungkin kembali sekarang. Ia butuh menikmati hidup sebelum terkurung dan menghabiskan sisa hidup bersama pria yang sama sekali tidak dicintainya.
Emma menghela nafas ketika mengingat pria yang ditunangkan dengannya. Pria yang menjadi alasan kenapa ia sampai melarikan diri dan bekerja sebagai seorang pelayan di kediaman Earl of Cambridge.
Emma pikir jika ia menjadi rakyat biasa tidak akan ada yang peduli padanya. Tidak akan ada yang mengenalinya dan mengira jika ia bekerja menjadi seorang pelayan. Dan itulah yang memang terjadi. Ia aman di kediaman Earl of Cambridge. Tidak ada yang mengenalnya hingga saat ini.
Sebenarnya tidak ada yang kurang dari tunangannya. Pria itu tampan, kaya raya, memiliki kedudukan tinggi serta disegani semua orang. Tapi semua hal baik yang pria itu miliki tidak menjamin Emma menyukai tunangannya itu. Emma tidak menyukai aura intimidasi pria itu serta tatapan meremehkan yang kerap kali pria itu arahkan kepadanya. Mungkin karena pria itu merasa dirinya tampan jadi menganggap semua wanita akan bertekuk lutut di hadapannya.
Sayangnya pria itu keliru. Emma sama sekali tidak tertarik padanya. Ketampanan serta kesempurnaan fisik yang dimilikinya tidak bisa serta merta membuat Emma jatuh cinta. Terbukti dengan apa yang dirasakannya pada sang tunangan. Emma sama sekali tidak jatuh cinta karena ia tidak menyukai sifat angkuh yang pria itu perlihatkan. Ia jauh lebih menyukai pria yang sopan dan lembut, pria yang bisa menghargai wanita, bukan pria arogan dan merasa paling unggul seperti sang tunangan.
Entah bagaimana kabar tunangannya itu saat ini, Emma berharap pria itu sudah menemukan wanita lain, jatuh cinta pada wanita tersebut lalu membatalkan hubungan mereka. Itu doanya setiap hari agar ia bisa kembali ke kediaman orang tuanya dengan tenang tanpa harus dipusingkan dengan pernikahan serta dapat menjalani aktivitas seperti sebelumnya.
“Apa yang sedang kau pikirkan Emma? Kenapa kau masih berada disana? Ayo kita masuk dan beristirahat.”
Emma tersentak dari lamunannya. Ia mengangguk lalu berjalan meninggalkan dapur menuju kastil bagian belakang tempat dimana kamarnya berada.
Seluruh kastil sudah sepi. Para tamu sudah beristirahat di kamar mereka masing-masing. Hanya ada beberapa pelayan yang masih berkeliaran untuk memastikan semua sudah rapi seperti sedia kala. Emma menjadi salah satu dari mereka dan syukurnya pekerjaannya sudah selesai beberapa saat lalu.
Langkah Emma terhenti ketika manik hazelnya menatap jendela kamar sang Earl. Ia tersenyum membayangkan kebahagiaan kedua pengantin yang kini sudah dipersatukan karena cinta yang mereka miliki.
Meskipun kehidupan pernikahan kerap kali tidak sesuai dengan harapan, tapi Emma yakin keduanya akan bahagia. Mereka memiliki cinta yang bisa menyatukan setiap perbedaan yang mungkin terjadi.
Pernikahan dengan cinta seperti inilah yang Emma inginkan. Ia ingin menghabiskan hidupnya dengan pria yang tepat. Pria yang bisa menerimanya apa adanya. Pria yang juga mencintainya, dan semua itu tidak ada dalam diri tunangannya.
Emma sudah meminta pelayan pribadinya untuk mencari tahu bagaimana sepak terjang tunangannya itu. Di luar sifat adil dan bijaksananya sebagai seorang pemimpin, pria itu adalah penjahat kelamin. Tidak sedikit wanita yang telah tidur dengannya dan Emma tidak ingin menjadi salah satu diantara mereka. Ia tidak ingin menjadi sumber kecemburuan para wanita-wanita masa lalu tunangannya itu. Ia juga tidak ingin dibanding-bandingkan dengan mereka.
Dan Emma sangat bersyukur pertunangan mereka hanya diketahui keluarga besar mereka saja. Tidak ada teman maupun kenalan yang diundang. Bukan karena kedua orang tuanya tidak ingin melakukannya, tapi karena itu permintaan pria yang menjadi tunangannya. Pria itu beralasan tidak ingin menempatkannya dalam masalah karena banyak orang yang tidak menyukainya, tapi Emma tahu alasan yang sebenarnya. Pria itu tidak ingin kehilangan pamornya diantara para wanita jika para wanita itu mengetahui statusnya yang sudah bertunangan.
Namun sejujurnya Emma sama sekali tidak peduli dengan semua hal aneh yang tunangannya inginkan. Ia menerima dan melakukan semua hal aneh yang pria itu inginkan karena ia juga tidak ingin pertunangan mereka diketahui khalayak ramai.
Emma menghela nafas. Ia kembali melanjutkan perjalanan menuju kamarnya, tapi ketika akan melangkah, Emma merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi. Ia berbalik, matanya awas mengamati sekitar tapi tidak ada hal mencurigakan yang ditemukannya. Suasana sudah sangat sunyi. Tidak ada orang lain selain dirinya. Mungkin semua itu hanya perasaannya saja, atau mungkin....
Emma bergidik. Ia kembali menatap sekeliling sebelum berlari dengan cepat menuju kamarnya dan tidak lagi menoleh ke belakang.
Meskipun bisa dikatakan pemberani, tapi Emma tetap saja takut dengan hal-hal seperti itu. Saking takutnya, Emma sama sekali tidak menyadari jika memang sedari tadi ada yang sedang memperhatikan dirinya. Tapi bukan makhluk tak kasat mata seperti yang Emma pikirkan melainkan seseorang yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Seseorang yang menjadi alasannya melarikan diri dan bersembunyi di kediaman sang Earl. Orang itu adalah tunangannya. Sang bangsawan terkemuka, Louis Eden Dexter, Earl of Chester.
2. Penyamaran Yang Terbongkar
Jika bukan demi menghadiri pernikahan sang sahabat Louis Eden Dexter, Earl of Chester, tidak ingin menghadiri sebuah pesta. Louis tidak terlalu menyukai pesta karena ia tidak terlalu suka berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak dikenalnya meskipun ia cukup nyaman di tengah keramaian seperti ini.
Meskipun begitu Louis cukup menikmati pesta pernikahan yang Carter adakan untuk sang istri. Pesta pernikahan indah ini pasti merupakan impian semua wanita dan Louis sangat terkejut mengetahui jika Carter-lah yang mempersiapkan sendiri semuanya. Carter merancang pesta yang indah dan menjadikannya kejutan untuk istrinya.
Sungguh wanita yang beruntung, pikir Louis. Bagaimana tidak, Carter adalah pria yang tidak mudah tertarik dengan wanita. Diantara dirinya dan William, Carter yang paling sedikit memiliki kisah dengan banyak wanita. Tapi ketika Carter menemukan wanita yang benar-benar diinginkannya, maka Carter akan menjadikannya ratu, seperti dulu Carter memperlakukan Eugene. Sayangnya Eugene tidak bisa mensyukuri apa yang sudah dimilikinya. Wanita itu mengkhianati cinta yang Carter berikan untuknya dan menurut Louis itu adalah hal yang sangat fatal.
Beruntung Carter berhasil melupakan Eugene dan akhirnya menemukan wanita yang dicintai dan mencintainya. Wanita yang sesuai dengan kriteria yang Carter inginkan. Sedangkan dirinya sampai sekarang belum juga menemukan wanita yang diinginkannya. Wanita tangguh dan pantas bersanding dengan dirinya dan tunangannya jelas bukan wanita yang selama ini Louis inginkan.
Mengingat sang tunangan mau tidak mau membuat Louis kesal. Kepergian wanita itu secara diam-diam membuat harga diri Louis terluka. Meskipun kedua orang tua tunangannya mengatakan kalau kepergian wanita itu tidak ada sangkut paut dengan dirinya, tapi Louis tahu kalau itu tidak benar.
Louis cukup pintar untuk tahu jika wanita itu sama seperti dirinya. Mereka sama-sama tidak menyukai perjodohan yang telah dilakukan. Wanita itu memang bersikap ramah padanya setiap kali mereka bertemu, tapi Louis dapat melihat apa yang sebenarnya wanita itu rasakan melalui matanya. Tidak ada tatapan memuja yang terpancar dari kedua manik hazel wanita itu seperti yang kerap Louis temukan pada wanita lain setiap kali berada di dekatnya.
Dan kepergian sang tunangan jelas sangat melukai harga diri Louis. Ini untuk pertama kali seorang wanita meninggalkannya terlebih. Seharusnya ia yang meninggalkan wanita itu terlebih dulu bukan malah sebaliknya.
Sialnya sekarang Louis harus berpura-pura peduli dengan kepergian sang tunangan di hadapan orang tua wanita itu serta ikut mencari keberadaan wanita itu yang sampai saat ini belum bisa ditemukan.
Sebenarnya jika Louis benar-benar melakukan pencarian tidak sulit baginya untuk menemukan sang tunangan. Ia memiliki banyak koneksi dan mata-mata yang tersebar dimana-mana, tapi semua itu tidak digunakannya karena ia memang tidak ingin menemukan wanita itu. Bagi Louis lebih baik wanita itu tidak kembali .
Tapi dibalik rasa syukur yang Louis rasakan atas kepergian wanita itu, sulit baginya untuk menerima apa yang telah wanita itu lakukan. Ia merasa tidak dihargai karena bukannya bicara, wanita itu justru melarikan diri dan tak kunjung kembali.
Meskipun tidak menginginkan sang tunangan kembali, Louis berjanji akan membuat sang tunangan menyesal karena telah melukai harga dirinya. Ia akan membalas apa yang telah wanita itu lakukan padanya dengan cara yang jauh lebih menyakitkan. Louis akan membuat wanita itu jatuh cinta padanya lalu mencampakkannya.
Sebuah rencana yang sangat ampuh untuk membuat suasana hati Louis menjadi lebih baik.
“Awas saja kau. Jika nanti kita bertemu, aku tidak akan melepaskanmu,” gumam Louis. Ia meminum anggur dalam gelasnya dan kembali menatap keramaian yang tengah berlangsung di depannya. Ia tersenyum melihat William dan Carter bersama pasangan mereka, lalu tatapannya beralih ke arah lain dan terhenti ketika ia melihat sosok mencurigakan yang mengintip dari balik tembok.
Louis melangkah. Rasa penasaran akan sosok yang sekelebat dilihatnya dari balik tembok membuatnya mengikuti wanita itu. Wanita yang beberapa saat lalu memenuhi pikirannya.
Louis tidak ingin mempercayai jika wanita yang tadi dilihatnya memanglah Emma, wanita yang tadi dipikirkannya, tapi postur tubuh, rambut hitam dan wajahnya yang sekelebat tertimpa cahaya bulan membuat Louis yakin jika wanita itu adalah Emma, sang tunangan yang telah menghilang.
Meskipun ragu, Louis tetap mengikuti instingnya meskipun ia terus menyangkal apa yang dilihatnya saat ini.
Tunangannya tidak mungkin bekerja sebagai seorang pelayan. Tunangannya terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan berat yang kerap para pelayan lakukan. Ia bahkan ragu jika Emma bisa berjalan sendiri tanpa didampingi pelayan pribadinya. Emma wanita yang lemah dan tidak bisa melakukan apa pun selain tertawa, merajut dan tentu saja menghadiri pesta-pesta mewah para bangsawan.
Tapi semua yang Louis pikirkan terbantahkan ketika sosok di depannya semakin jelas terlihat. Wanita itu... wanita yang berpakaian seperti pelayan itu memang tunangannya, wanita yang menghilang sejak beberapa bulan terakhir.
Louis tidak tahu apa lagi yang harus dipastikannya saat ia memutuskan untuk kembali mengikuti Emma dari kejauhan. Semua sudah jelas. Wanita itu memang benar Emma. Wanita itu berada di kastil sahabatnya dan melihat apa yang baru saja wanita itu lakukan, Louis tahu jika wanita itu bekerja sebagai seorang pelayan, atau lebih tepatnya menyamar sebagai seorang pelayan. Tidak heran jika kedua orang tuanya belum bisa menemukan putri mereka hingga saat ini.
Louis tiba-tiba tersenyum ketika menyadari kepintaran tunangannya. Wanita itu bersembunyi dengan cara yang tidak mungkin akan dipikirkan bangsawan mana pun. Untuk hal itu Louis cukup terkesan meskipun ia tidak terlalu menyukainya. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang wanita terhormat seperti Emma melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan seorang pelayan?
Louis mendengkus ketika memikirkan hal itu. Apapun alasan Emma bersembunyi sebagai seorang pelayan, wanita itu harus diberi pelajaran karena telah berani menginjak harga dirinya. Emma melarikan diri seolah dirinyalah yang menginginkan pertunangan mereka. Hal itu tidak bisa Louis terima.
Seharusnya Emma tidak perlu melarikan diri dari karena ia akan dengan senang hati membatalkan pertunangan mereka. Memangnya siapa yang mau menikah dengan wanita lemah seperti Emma?
Lagi-lagi Louis mendengkus ketika melihat Emma dari kejauhan. Ia bisa membayangkan bagaimana marahnya kedua orang tua wanita itu jika mereka tahu apa yang sedang putri mereka lakukan selama ini dan Louis sangat tidak sabar untuk memberitahu keduanya.
Louis melangkah lebar. Ia hendak mendekati Emma yang berdiri tidak jauh darinya, tapi langkahnya terhenti ketika sebuah ide cemerlang muncul dalam pikirannya.
Emma telah membuat harga dirinya terluka dan sialnya wanita itu juga membuatnya harus berpura-pura ikut bersimpati dan mencari keberadaannya. Untuk semua itu Louis akan memberi sedikit pelajaran untuk Emma. Sedikit membalaskan kekesalannya pada Emma sepertinya akan sangat menyenangkan. Wanita itu pantas mendapatkannya.
Berbekal ide itu Louis mengurungkan niatnya untuk memberi kejutan pada Emma malam ini juga. Ia memilih besok. Louis ingin melihat lebih jelas bagaimana ekspresi Emma ketika melihatnya besok dan ia benar-benar tidak sabar menanti esok hari tiba.
.
3. Kejutan
Matahari belum sepenuhnya muncul ketika Emma bersama para pelayan di kediaman Earl of Cambridge memulai aktivitas mereka. Mereka memasak banyak untuk sarapan para bangsawan yang menghadiri pernikahan sang majikan. Rata-rata mereka semua menginap dan akan mulai pulang setelah mereka sarapan. Setelah semua masakan selesai, para pelayan mengatur meja makan, menempatkan makanan-makanan terbaik untuk sang majikan dan para tamu undangan.
Kali ini Emma ikut mengatur meja. Emma tidak khawatir para tamu akan melihatnya karena ia tahu para bangsawan itu tidak akan keluar kamar sebelum sarapan dimulai.
Setelah memastikan semua selesai, Emma bersama pelayan lainnya kembali ke dapur guna menyiapkan air hangat untuk mereka menikmati teh nantinya.
Emma menghela nafas lega ketika tidak lama setelah sarapan dan menikmati teh hangat, para bangsawan mulai meninggalkan kastil Cambridge. Bukan Emma tidak suka melihat para tamu yang datang hanya saja ia sedikit khawatir jika ada dari para tamu itu yang mengenali dirinya. Ia lelah harus terus bersembunyi di dapur. Ia belum ingin kembali dan bertemu lagi dengan tunangannya yang sombong.
Untungnya apa yang Emma khawatirkan tidak terjadi. Para tamu sudah kembali. Tidak ada yang mengenalinya. Hidupnya akan kembali aman. Ia bebas berkeliaran di kastil lagi tanpa harus mengkhawatirkan apa pun.
Emma bersenandung kecil sambil membereskan piring-piring kotor. Ia senang karena hidupnya di kastil Cambridge akan kembali damai.
“Sepertinya kau senang sekali, apa terjadi sesuatu?” tanya pelayan yang bertugas membersihkan piring kotor bersama Emma.
“Aku senang karena akhirnya pekerjaan kita sudah selesai dan para tamu sudah kembali ke kediaman mereka masing-masing.”
“Kau benar, untungnya semua berjalan lancar,” kata pelayan lainnya. “Kau tahu sampai sekarang aku tidak menyangka jika Lady Lara sebenarnya adalah seorang bangsawan. Rasanya masih sulit untuk mempercayai hal itu.”
“Aku mengerti. Tidak banyak bangsawan yang mau melakukan pekerjaan berat seperti yang Lady Lara lakukan selama ini,” kata Emma.
“Bukan hanya karena itu, tapi para bangsawan memang tidak pantas melakukan pekerjaan seperti itu. Mereka terlahir untuk dilayani, berbeda dengan kita yang dari lahir memang sudah ditakdirkan untuk melayani mereka,” pelayan lainnya ikut menimpali.
“Jangan berkecil hati. Kita mungkin tidak bisa mengubah takdir yang telah Tuhan gariskan untuk kita sejak dalam kandungan tapi kita bisa hidup lebih baik dengan mendapatkan majikan yang baik seperti His Lordship dan istrinya,” hibur Emma.
Bekerja sebagai seorang pelayan membuatnya mengerti akan apa yang para pelayan itu rasakan. Tapi Emma juga sadar ia tidak bisa mengubah takdir seseorang. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menjalani hidup dan tidak terlalu banyak mengeluh, Mengeluh hanya akan menciptakan rasa sakit yang akan berdampak pada kesehatan.
“Kau benar. Tuhan sudah menggariskan jalan hidup kita masing-masing,” jawab pelayan lainnya.
“Emma, Her Ladyship memanggilmu. Beliau minta kau ke ruang santai,” seorang pelayan mendatangi dapur dan memberitahu Emma perintah Lara padanya.
“Baiklah. Terima kasih.”
Emma mengelap tangannya dan melangkah menuju ruang santai dimana Lara tengah menunggunya. Sesampainya Emma di ruang santai, Emma tidak mendapati Lara maupun Carter disana. Hanya ada seorang pria yang tengah berdiri menghadap jendela, membelakangi dirinya.
Tubuh tegap pria itu membuat perasaan Emma tidak nyaman. Bukan karena ia khawatir pria itu akan berbuat jahat padanya –Emma yakin pria itu tidak akan berani melakukan apapun padanya disini– hanya saja sosok itu terasa sangat familiar. Aura intimidasi yang menguar diseluruh ruangan membuat Emma yakin jika pria itu adalah orang yang ia kenali atau mungkin orang yang tidak ingin ia jumpai.
Tidak ingin berlama-lama dengan semua pemikiran yang justru membuatnya semakin tidak nyaman, Emma mendekat tapi tetap menjaga jarak aman untuk dirinya dan menyapa pria itu.
“Maaf My Lord, saya datang kemari karena Her Ladyship memanggil saya, apa Lady Lara disini?”
Pria itu bergeming, membuat Emma semakin merasa tidak nyaman.
“My Lord,” Emma kembali memanggil tapi karena tidak kunjung mendapat jawaban Emma memutuskan untuk pergi. “Maafkan saya karena mungkin saya salah mendengar apa yang rekan saya sampaikan tadi. Jika memang anda tidak membutuhkan bantuan saya, saya permisi, My Lord.”
Emma hendak melangkah tapi gerakannya seketika terhenti ketika mendengar suara yang sudah cukup lama tidak pernah didengarnya, suara yang tidak ia harapkan untuk di dengarnya lagi, suara yang sialnya sangat ia kenali pemiliknya.
“Emma Ainsley Bolton,” Louis berbalik. Ia tersenyum lebar ketika mendapati wajah terkejut Emma. Tidak sia-sia ia menunggu cukup lama hanya untuk memberikan kejutan tak terduga ini pada Emma. “Sebuah kejutan melihatmu ada disini, Emma Ainsley Bolton. Senang bisa bertemu lagi denganmu, tunanganku yang cantik.”
Emma melangkah mundur. Ia menggeleng. Mencoba untuk menyangkal apa yang saat ini di lihatnya, tapi sosok pria itu masih berdiri tegak di depannya. “Tidak mungkin,” gumamnya.
Louis memiringkan kepalanya. Ia tersenyum penuh kemenangan melihat wajah terkejut Emma. Semua sudah direncanakannya dengan matang sepanjang malam. Ia juga sudah menjelaskan semuanya pada Carter dan Lara mengenai Emma. Mereka sepakat membantunya. Itulah kenapa ia bisa membuat kejutan ini untuk Emma.
“Kenapa wajahmu pucat, sayangku? Apa kau tidak suka bertemu tunanganmu setelah kau menghilang begitu saja?”
Louis mendekat, sementara Emma melangkah mundur. Setiap kali Louis mengambil langkah ke arahnya, Emma akan melangkah mundur guna menghindari pria itu, tapi langkah Emma terhenti ketika tubuhnya membentur pintu di belakangnya. Tidak ada peluang bagi Emma untuk melarikan diri ketika Louis sudah berada di depannya. Louis juga meletakkan kedua tangan di kedua sisi kepala Emma, mengurung wanita itu dalam jangkauannya.
“Kenapa, Emma? Kau takut padaku?”
Emma memejamkan mata. Ia menghela nafas beberapa kali guna meredakan keterkejutan yang saat ini dirasakannya.
Emma sama sekali tidak takut pada Louis. Ia lebih takut jika Louis memberitahu kedua orang tuanya tentang dimana ia bersembunyi dan apa yang selama ini dilakukannya. Kedua orang tuanya pasti akan sangat marah jika mengetahui dirinya menjadi seorang pelayan. Hal itu sama saja dengan mencoreng harga diri mereka sebagai seorang bangsawan besar.
“Aku sama sekali tidak takut padamu,” balas Emma. Ia membuka mata, menatap manik hijau Louis dengan berani. Hal yang selama ini tidak pernah dilakukannya. Sekali lagi bukan karena Emma takut pada Louis tapi semua itu karena ajaran sang Mama. Mamanya melarang Emma untuk menatap Louis langsung karena menurut sang Mama hal itu tidak sopan dan sebagai anak yang baik, Emma hanya bisa menurut. Tapi sekarang kedua orang tuanya tidak ada, jadi Emma tidak perlu lagi bersikap sopan pada Louis. “Aku justru muak melihatmu ada disini,” tambah Emma.
Emma tidak mengada-ada. Ia memang muak melihat Louis ada di depannya. Louis adalah alasan kenapa ia memutuskan untuk pergi. Louis adalah pria yang sangat tidak disukainya. Pria itu angkuh dan sombong, dan Emma tidak ingin lagi berpura-pura dihadapan pria itu.
Louis meletakkan sebelah tangan di dadanya. Ia memang wajah sedih mendengar ucapan kasar Emma. “Kau melukai hatiku, My Lady,” ucapnya dramatis.
“Jangan main-main denganku, My Lord. Katakan apa yang kau inginkan dan segera pergi dari tempat ini.”
“Aku tidak tertarik untuk mengikuti apa yang kau inginkan, My Lady,” Louis menunduk hingga wajahnya dan Emma sejajar. “Tidak ada yang bisa memerintahku apalagi kau. Aku tidak akan kemana-kemana tanpa dirimu dan itu artinya kau harus ikut kembali bersamaku.”
Emma mendekus. “Kau pikir aku bersedia ikut bersamamu? Jangan mimpi.”
“Apa ini wujud aslimu yang sebenarnya, My Lady?” sindir Louis. Ia memang tidak menyukai Emma yang dinilainya lemah, tapi bukan berarti ia menyukai Emma yang pembangkan seperti ini.
“Bukan urusanmu.”
“Akan menjadi urusanku karena kau adalah tunanganku.”
“Aku rasa kau tidak menginginkan pertunangan kita,” kata Emma telak. Ia bisa melihat hal itu melalui sorot mata serta sikap Louis padanya selama ini. Meskipun tidak mengatakan secara gamblang tapi Emma bisa melihat kalau Louis kerap kali menunjukkan rasa muak yang pria itu rasakan dihadapannya.
“Kau benar, aku memang tidak menginginkan pertunangan kita. Aku tidak menyukai wanita lemah sepertimu, tapi kepergianmu tidak bisa aku maklumi, kau tahu kenapa?” Louis menatap Emma tajam. “Karena kepergianmu membuat harga diriku jatuh dan aku pikir sedikit membalas atas apa yang telah kau lakukan kepadaku terdengar cukup adil.”
“Kau pikir bisa membalasku? Jangan mimpi kau.”
“Aku bisa melakukan apa pun untuk membalaskan sakit hatiku, My Lady dan aku sangat tidak sabar untuk melakukannya terhadapmu.”
“Kau mengancamku?” desis Emma.
“Aku lebih suka menyebutnya pembalasan.”
“Persetan dengan apa yang kau katakan. Aku tidak takut dengan ancamanmu,” Emma mendorong tubuh Louis tapi pria itu tetap berdiri kokoh dihadapannya. “Menyingkir dari hadapanmu.”
Louis melangkah mundur. Ia melipat kedua tangan di dada ketika melihat Emma yang hendak membuka pintu. Louis tidak mencegah Emma pergi, tapi apa yang ia katakan selanjutnya cukup untuk menghentikan apapun yang hendak Emma lakukan.
“Aku penasaran bagaimana reaksi kedua orang tuamu yang selama ini sangat menjunjung kehormatan mereka sebagai seorang bangsawan seandainya mereka tahu apa yang telah putri mereka lakukan selama ini.”
Emma berbalik. Wajahnya merah padam karena marah. “Jangan main-main denganku, My Lord.”
“Apa aku terlihat sedang main-main, My Lady?” tanya Louis tenang, terlalu tenang hingga Emma tahu jika pria itu memang tidak sedang bermain-main dengan apa yang dikatakannya.
4. Ancaman
Emma pikir begitu acara pernikahan Carter dan Lara selesai dan para tamu mulai kembali ke kediaman mereka masing-masing, hidupnya akan kembali aman dan damai seperti sebelumnya. Ia tidak harus diliputi perasaan khawatir dan terus bersembunyi di dapur sepanjang hari hanya untuk menghindari orang-orang yang mungkin mengenali dirinya dan keluarganya, tapi ternyata apa yang terjadi saat ini bertolak belakang dengan apa yang Emma pikirkan.
Emma mungkin bisa menghindari semua orang –yang kemungkinan besar mengenalnya dan kedua orang tuanya– tapi ternyata ia tidak bisa menghindar dari satu-satunya orang yang paling dihindarinya, satu-satunya orang yang sangat tidak ingin ditemuinya lagi. Orang itu kini berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan tatapan angkuh seperti yang terakhir kali Emma ingat. Tatapan yang membuat Emma muak.
Dari awal bertemu dengan Louis Eden Dexter, Earl of Chester –pria yang ternyata sudah sejak kecil di tunangkan dengannya– Emma tidak menyukai pria itu. Ia tidak suka dengan sikap angkuh yang pria itu tunjukkan, dan ketidaksukaan Emma semakin diperparah begitu ia mengetahui bagaimana sepak terjang Louis selama ini.
Terkadang Emma bertanya-tanya apa kedua orang tuanya tidak tahu bagaimana kelakukan Louis selama ini? Apa mereka menutup mata atas semua itu hanya karena Louis adalah bangsawan yang sangat terpandang dan dekat dengan keluarga kerajaan? Apa mereka mengabaikan betapa brengseknya Louis yang kerap kali mempermainkan wanita hanya karena pria itu adalah pahlawan saat di peperangan Inggris melawan Prancis? Atau semua karena sang Papa berhutang budi kepada Papa Louis yang pernah menyelamatkannya saat mereka sama-sama menjadi seorang tentara dulu?
Apapun alasannya, seharusnya kedua orang tuanya tidak memaksakan perjodohan yang sama sekali tidak Emma inginkan.
Penolakan Emma bukan karena cinta. Bagi Emma cinta tidak terlalu penting. Fakta bahwa sulitnya menemukan cinta dalam pergaulan bangsawan membuat Emma tidak berharap banyak akan cinta. Ia hanya menginginkan seorang pria yang setidaknya menghargainya dan hal itu jelas tidak ia dapatkan dari Louis.
Sayangnya Emma tidak cukup berani untuk menyuarakan keinginannya kepada kedua orang tuanya. Ia terlalu menyayangi keduanya dan tidak ingin membuat mereka kecewa. Itulah kenapa Emma pergi dengan sebelumnya meninggalkan surat untuk kedua orang tuanya. Emma ingin mencari tempat dimana ia bisa menenangkan diri dan berdamai dengan diri sendiri, karena Emma tahu ia tidak bisa membatalkan perjodohannya dengan Louis kecuali pria itu sendiri yang melakukannya.
Emma sangat menyayangi kedua orang tuanya meskipun mereka cenderung keras, kaku dan juga sangat konservatif. Bagaimanapun juga kedua orang tuanya sudah merawat dan membesarkannya dengan baik. Mereka juga melindunginya dari segala hal buruk yang ada di dunia. Emma pikir menerima perjodohan itu adalah salah satu cara untuk membahagiakan keduanya. Itulah kenapa Emma menerima perjodohannya dengan Louis meskipun ia tidak mengenal pria itu sebelumnya.
Louis adalah pilihan orang tuanya, pria itu pasti sangat baik hingga sang Papa memilih Louis menjadi calon suaminya. Sayangnya apa yang Emma pikirkan sangat bertolak belakang dengan kenyataan. Ketika ia bertemu dengan Louis untuk pertama kali di hari pertunangan mereka ia langsung tidak menyukai Louis. Sikap angkuh Louis menjadi faktor utama. Apalagi setelah ia mengetahui semua hal tentang Louis dari pelayan suruhannya.
Emma butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan diri. Itulah kenapa ia memutuskan untuk pergi sementara waktu. Akan tetapi di tengah usahanya menenangkan diri dan mencoba menerima perjodohannya dengan Louis, pria itu justru hadir di depannya dan mengancamnya.
Louis tahu kelemahannya adalah kedua orang tuanya. Emma tidak mungkin membiarkan Louis melukai hati keduanya dengan fakta jika ia bekerja sebagai pelayan di kediaman Cambridge. Papanya pasti akan sangat kecewa jika mengetahui putri yang selama ini dijaganya layaknya wanita bangsawan pada umumnya justru melakukan pekerjaan seorang pelayan. Emma tidak bisa membayangkan kesedihan kedua orang tuanya jika mengetahui apa yang dilakukannya selama ini. Jika sudah seperti ini, tidak ada pilihan lain bagi Emma selain mengikuti apa pun yang Louis inginkan darinya.
Emma menatap Louis tajam. Pria itu tampan. Semua orang yang pernah bertemu dengan Louis Eden Dexter tidak akan meragukan betapa tampannya pria itu. Semua wanita pasti akan tergila-gila jika berhadapan dengan Louis seperti ini, tapi hal itu tidak berlaku bagi Emma. Ia tidak menyukai pria angkuh seperti Louis, apalagi pria itu juga pemain wanita.
“Jadi, apa yang kau inginkan dariku?” tanya Emma sinis.
Louis memiringkan kepala, menatap Emma dengan tatapan mengejek. “Jadi, kau menyerah?”
“Bukan urusanmu, katakan saja apa yang kau inginkan dariku.”
Louis terkekeh. “Aku tidak menyangka akan semudah ini memenangkan pertarungan ini denganmu. Aku pikir kau akan tetap melawanku. Ternyata nyalimu tidak sebesar perkiraanku.”
Emma menghela nafas. Jika Louis ingin membuatnya semakin kesal dan muak, maka pria itu berhasil melakukannya, tapi Emma tidak akan membiarkan Louis merasa menang. Ia tidak akan menunjukkan kekalahannya. Ia tidak akan membiarkan Louis mendapatkan apa yang pria itu inginkan darinya.
“Melawanmu hanya akan menghabiskan tenagaku dan aku tidak ingin membuang percuma tenagaku,” Emma tersenyum. “Jadi kau bisa mengatakan apa yang kau inginkan dariku agar aku tidak harus melihatmu lagi.”
“Keinginan yang sangat melukaiku, My Lady dan sayangnya aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu itu.”
“Kalau begitu katakan saja apa yang kau inginkan.”
Louis mendekat. Ia menunduk tepat dihadapan Emma. Manik hijaunya bertemu dengan manik hazel Emma. Tatapan tajam Emma yang sejak tadi mengarah padanya sama sekali tidak berkurang saat mereka berada dalam jarak yang sangat dekat.
Louis cukup terkesan melihat perubahan Emma saat ini. Emma sangat pemberani, terlihat berbeda dengan Emma yang selama ini dilihat Louis.
“Kau tahu, sebenarnya aku tidak masalah jika kau pergi, tapi apa yang kau lakukan itu sangat melukai harga diriku sebagai seorang pria. Kau membuat seolah-olah aku tidak cukup pantas untuk menjadi calon suamimu, dan meskipun aku juga tidak menginginkan perjodohan kita terjadi, keputusanmu untuk melarikan diri membuatku sangat marah. Jadi aku ingin kau mendapatkan balasan atas kesalahan yang telah kau lakukan.”
“Jadi kau juga tidak setuju dengan pertunangan kita?” tanya Emma. Ada nada bahagia yang terselip dari nada bicaranya dan Louis jelas bisa menangkap hal itu.
“Sama sekali tidak,” Louis hendak mengelus pipi Emma, tapi Emma dengan cepat menjauhkan wajahnya dari Louis. Bukannya marah, Louis justru tertawa melihat apa yang Emma lakukan.
“Kau tahu, tadinya aku berniat membatalkan pertunangan kita karena dari awal aku juga tidak menginginkannya. Aku tidak menyukai wanita lemah seperti dirimu. Untuk menjadi istriku, kau jelas bukan wanita yang aku inginkan, tapi melihat apa yang telah kau lakukan dan sikapmu tadi, aku memutuskan untuk membatalkan niatku itu, setidaknya tidak dalam waktu dekat.”
“Apa maksudmu?” tanya Emma waspada. Perasaannya mendadak tidak enak ketika melihat bagaimana Louis menatapnya.
“Aku tidak akan membatalkan pertunangan kita dan kau akan kembali pulang denganku. Tidak ke kediaman kedua orang tuamu tapi ke kediamanku,” kata Louis tegas. Ia kembali menambahkan sebelum Emma sempat menyuarakan penolakan. “Aku tidak menerima penolakan, My Lady. Aku yakin kau tahu apa yang bisa aku lakukan untuk membawamu bersamaku.”
Emma mengepalkan kedua tangannya. Mulutnya tertutup rapat. Ia ingin memaki Louis tapi Emma berusaha sekuat mungkin menahan diri.
Emma tahu maksud ucapan Louis. Ia tidak perlu mempertanyakan apa yang akan Louis lakukan karena semua terlihat jelas dari kedua mata pria itu. Pria itu tidak sedang membual dengan apa yang dikatakannya.
5. Cinta Memang Seunik Itu
“Jadi kau akan benar-benar pergi?” Lara menatap Emma sedih. Emma memberitahunya jika wanita itu akan berhenti bekerja di kediamannya dan sebagai orang yang paling dekat dengannya tentu saja kepergian Emma membuat Lara sedih. Ingin rasanya ia menahan Emma untuk tidak pergi, tapi Lara juga sadar bahwa ia tidak memiliki hak apapun terhadap kehidupan Emma. Bahkan sekalipun Emma hanyalah seorang pelayan, Lara tetap tidak ingin memaksakan keinginannya terhadap Emma.
“Iya, aku harus kembali ke desaku. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan disana dan aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja,” dusta Emma. Emma memang akan meninggalkan Cambridge tapi bukan kembali ke tempat tinggalnya sendiri melainkan ke tempat tinggal Louis, persis seperti yang pria itu katakan padanya.
Membayangkan harus tinggal bersama Louis membuat Emma bergidik, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Ancaman Louis tidak bisa diabaikannya begitu saja.
“Kau tahu Emma, aku sangat ingin menahanmu untuk tetap disini, kau orang yang paling dekat denganku sejak dulu, kau sahabatku, rasanya sangat berat membiarkanmu pergi. Aku pasti akan sangat kehilangan jika kau pergi, tapi aku juga sadar kalau aku tidak boleh egois dan memaksakan keinginanku terhadapmu. Jika memang itu keinginanmu, maka aku tidak akan memaksamu untuk tetap tinggal disini. Sesekali datangnya berkunjung kemari atau jika urusanmu sudah selesai kembalilah. Selalu ada tempat untukmu disini dan aku pastikan saat kau kembali nanti, kau akan mendapatkan tempat yang berbeda.”
Karena Lara sudah tahu siapa Emma yang sebenarnya. Carter memberitahunya apa yang Louis katakan, dan siapa sangka jika dirinya Emma memiliki latar belakang yang sama? Mereka sama-sama seorang bangsawan yang menyamar menjadi seorang pelayan. Bedanya, Lara melakukannya untuk membalaskan dendamnya terhadap Carter dan mencari tahu kematian Barbara sedangkan Emma melakukannya untuk bersembunyi. Tapi meskipun sudah mengetahui semua hal tentang Emma, Lara tidak ingin mengatakannya kepada Emma. Ia harus bersikap tidak tahu apa-apa seperti yang Carter katakan.
Emma mengangguk. “Aku akan mengunjungimu begitu semua urusanku selesai,” kata Emma santai. Keduanya sepakat jika hanya berdua seperti ini mereka akan berbicara layaknya seorang teman seperti ketika mereka sama-sama menjadi seorang pelayan dulunya.
“Baiklah. Aku mengizinkanmu pergi, Emma. Hati-hati di jalan dan jangan lupa mengabariku jika kau sudah sampai di tempat tujuanmu.”
“Pasti,” Emma memeluk Lara. “Semoga kau selalu bahagia, Lara.”
“Doa yang sama untukmu, Emma” balas Lara.
Keduanya berpelukan cukup lama sebelum Emma meninggalkan kastil Cambridge. Jika boleh memilih, Emma lebih suka tinggal di kastil Cambridge, tapi ia tidak memiliki pilihan. Louis mengancamnya dan Emma tahu bahwa apa yang Louis katakan bukan hanya sekedar omong kosong. Louis pasti akan melakukan ancamannya jika ia tidak segera mengikuti permainan yang pria itu lakukan.
**
Louis berdiri menatap jendela dihadapannya. Manik hijaunya mengamati Emma yang tengah berjalan melintasi halaman depan menuju sebuah kereta kuda yang telah disiapkannya. Kereta kuda sederhana seperti yang Emma inginkan. Emma bersikeras tidak ingin memakai kereta kuda miliknya agar tidak ada yang tahu siapa dirinya.
Sebuah keinginan yang membuat Louis muak, tapi ia tidak bisa menolak permintaan Emma. Wanita itu cukup pandai beradu pendapat dan Louis memutuskan mengalah agar perdebatan mereka tidak semakin berlarut-larut, toh di tengah jalan nanti Louis sudah menyiapkan kereta kuda lainnya untuk mereka naiki bersama menuju Winchester.
Louis terkekeh. Ia bisa membayangkan bagaimana kesalnya Emma ketika nanti kereta kudanya diganti. Emma pasti akan sangat marah tapi wanita itu pasti tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti apa yang diinginkannya.
“Aku tidak pernah melihatmu sesenang ini sebelumnya,” Carter mendekat. Ia ikut tersenyum ketika mengetahui apa yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Louis. “Aku tidak menyangka jika Emma memiliki status sosial yang sama dengan kita dan yang lebih mengejutkan, wanita itu adalah tunanganmu. Ternyata Emma jauh lebih pandai menyembunyikan jati dirinya dari pada Lara.”
Carter memiliki insting yang kuat. Bahkan saat bertemu Lara di kediamannya, ia langsung tahu jika Lara berbeda, tapi tidak dengan Emma. Entah karena ia yang memang tidak terlalu memperhatikan Emma atau karena Emma yang terlalu pandai menyembunyikan jati dirinya.
“Kau tidak menyadarinya karena sejak awal kau tidak pernah bersinggungan dengan Emma dan tidak pernah menjadikannya fokus utamamu. Aku mengenalmu dengan baik, kawan. Kau tidak akan pernah melewatkan detail jika hal itu bersinggungan denganmu,” kata Louis.
“Kau benar. Carter tidak pernah melewatkan detail jika dia sudah menjadikan segala sesuatu fokusnya,” sahut William yang juga tengah bersama mereka di ruang kerja Carter.
William dan Georgiana memang masih berada di kastil Carter. Keduanya memutuskan untuk menikmati waktu di kastil Cambridge selama beberapa hari ke depan sebelum kembali ke kediaman mereka.
“Kau terlalu memuji, Will, membuatku besar kepala.”
“Aku sama sekali tidak memujimu,” balas William ketus, sementara Carter tertawa. “Jadi apa rencanamu sekarang?” tanya William. Ia dan Carter sudah mendengar cerita Louis tentang Emma jadi mereka penasaran apa yang akan Louis lakukan selanjutnya.
“Tentu saja membawa wanita itu ke tempatku dan memberinya pelajaran. Wanita itu harus menerima balasan atas apa yang telah dilakukannya.”
“Berhati-hatilah. Benci bisa berubah menjadi cinta. Kita memiliki bukti nyata disini,” ledek William. Ia melirik Carter yang membalas dengan senyuman kepuasan.
“Itu berlaku hanya untuk Carter, tidak untukku. Lagi pula aku tidak membenci Emma, aku hanya tidak menyukainya.”
“Tidak ada yang tidak mungkin jika cinta sudah mendatangimu,” balas Carter.
“Terserah kalian saja. Yang pasti apa yang kalian pikirkan tidak akan terjadi. Kalian jauh lebih tahu wanita seperti apa yang selama ini aku inginkan. Aku tidak menyukai wanita lemah. Aku membutuhkan wanita yang tangguh untuk menjadi istriku.”
“Tapi Emma tidak terlihat lemah seperti yang kau ceritakan pada kami,” William ikut menatap Emma melalui jendela. Melihat Emma yang menyamar sebagai seorang pelayan membuatnya tidak yakin dengan penilaian Louis sebelumnya.
“Kau tidak pernah bersamanya dan kau juga tidak mengenalnya sama sekali,” sahut Louis ketus. Ia sedikit tidak suka mendengar pujian William terhadap Emma.
“Aku harap suatu saat ini bisa mengenalnya.”
Louis mendekus. Ia menghabiskan brendi di gelasnya dan menyerahkannya pada Carter. “Aku harus segera pergi. Kereta sudah menungguku.”
“Berhati-hatilah di jalan. Kabari aku jika kau sudah sampai di kediamanmu.”
“Pasti,” Louis memeluk Carter lalu memeluk William. “Sampai bertemu di lain waktu.”
“Berhati-hatilah,” balas William.
Louis mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruang kerja Carter. Dadanya bergemuruh. Adrenalinnya berpacu seiring langkah kakinya yang terus berjalan menuju pintu utama.
Louis benar-benar tidak sabar bertemu Emma dan membalas semua perbuatan Emma. Pelarian yang Emma lakukan benar-benar membuatnya tersinggung dan ia sudah tidak sabar membalas perbuatan Emma.
Sementara itu di ruang kerjanya, Carter dan William kembali membicarakan Louis dan Emma yang menurut keduanya merupakan pasangan yang serasi.
“Aku tidak menyangka jika tunangan yang Louis bicarakan semalam bekerja di tempatmu sebagai seorang pelayan. Sebuah kejutan mengingat kisah cintamu dan Louis ternyata memiliki sedikit kesamaan.”
“Kata orang ketika kita bersahabat dengan seseorang terkadang kita juga bisa memiliki nasib yang sama.”
“Aku lebih percaya jika semua yang terjadi adalah takdir Tuhan.”
“Aku tidak bisa mengelak kalau kau sudah membawa Tuhan dalam pembicaraan kita.”
William tertawa. “Memang seharusnya seperti itu, bukan?”
Carter mengangguk. “Menurutmu apa yang akan terjadi pada Louis dan Emma kedepannya?”
“Tidak pernah ada yang tahu tentang nasib seseorang, tapi jika kau meminta pendapatku, aku pikir Louis akan memiliki akhir kisah yang hampir sama denganmu.”
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
“Bukankah kau merasakannya, Carter. Cinta hadir karena terbiasa, atau mungkin lebih tepatnya cinta hadir karena hatimu sudah menemukan wanita yang sebenarnya diinginkannya selama ini, dan aku pikir Louis juga akan seperti itu. Awalnya mungkin Louis berpikir tindakannya saat ini hanya karena dia ingin memberi Emma pelajaran atas apa yang telah wanita itu lakukan, tapi aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Jika dari awal Louis benar-benar tidak mempedulikan Emma, dia pasti tidak akan membuang-buang waktu dengan mempertahankan pertunangan mereka. Sekarang Louis bahkan membawa Emma kembali bersamanya dengan alasan untuk membalas perbuatan Emma padahal aku sangat yakin bukan hanya itu alasan yang sebenarnya. Hanya saja Louis belum menyadari apa yang dirasakannya.”
Carter terdiam mencerna ucapan William, sesaat kemudian dia tersenyum ketika mengingat bagaimana sifat Louis yang sebenarnya. Louis tidak pernah mau terlibat urusan apapun dengan orang yang tidak disukainya, tapi berbeda dengan Emma.
“Aku pikir apa yang kau katakan benar. Cepat atau lambat Louis pasti menyadari apa yang dia rasakan kepada Emma. Atau kalaupun dia belum menyukai Emma, aku rasa hal itu tidak akan bertahan lama, Emma wanita yang menarik. Melihat bagaimana Emma bisa melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya dia lakukan, aku pikir tidak sulit bagi Emma untuk membuat Louis jatuh cinta padanya.”
“Iya, kau benar. Benci dan cinta memang sangat tipis. Terkadang kita sulit membedakan apakah yang kita rasakan itu benci atau cinta,” William menatap Carter, kemudian tersenyum. “Bukankah cinta memang seunik itu?”
Keduanya bertatapan kemudian tertawa, menertawakan peperangan batin yang nanti akan dirasakan Louis.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
