MY LADY PART 1-5

1
0
Deskripsi

1. Georgiana Spencer

2. William Cavendish

3. Desakan Menikah

4. Pertemuan Tak Disengaja

5. Menemukanmu

1. Georgiana Spencer

 

 

 

Georgiana menghela napas lelah ketika kedua matanya terbuka pagi ini. Ia menatap langit-langit kamar yang kini ditempatinya dengan perasaan tidak nyaman.

Bukan tanpa sebab Georgiana merasakan hal itu. Pasalnya ia tidak sedang berada di kamarnya di Skotlandia, melainkan di salah satu kamar di townhouse keluarga Spencer yang ada di London. Tempat yang sebenarnya sangat tidak ingin di datangi Georgiana lagi dalam hidupnya.

London atau lebih tepatnya Inggris menyimpan begitu banyak kenangan menyakitkan bagi Georgiana. Di tempat ini kehidupan menyedihkan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya terjadi padanya. Kehilangan kesempatan menikah untuk selamanya dan juga mendapat julukan paling menyakitkan dalam hidupnya.

Pembawa sial. Pembawa bencana. Pembawa kutukan.

Georgiana tahu ada lebih banyak lagi julukan yang disematkan orang-orang pada dirinya. Tapi diantara semua itu, Georgiana pikir ketiga julukan tadi adalah julukan yang paling mendekati kebenaran mengingat bagaimana awal mula semua kutukan itu disematkan padanya.

Pembawa sial, pembawa bencana dan pembawa kutukan.

Hal itulah yang melatarbelakangi Georgiana meninggalkan Inggris atau lebih tepatnya melarikan diri dan menetap di kampung halaman sang Mama di Skotlandia. Memilih tinggal seorang diri, jauh dari keluarga dan kerabat demi menghindari pergunjingan yang menimpa keluarganya.

Berat memang, tapi Georgiana tidak sanggup jika keluarganya ikut terseret karena dirinya dan menjadi cemoohan orang-orang. Cukup sang Papa yang meninggal karena terus memikirkannya, Georgiana tidak ingin ada orang lain yang meninggal lagi karena dirinya.

Orang-orang sering kali mengatakan bahwa lari dari kenyataan adalah hal paling pengecut yang dilakukan manusia dan Georgiana tidak menampik hal itu. Ia memang pengecut. Keputusan yang diambilnya di masa lalu merupakan bukti betapa pengecut dirinya. Apa yang terjadi pada hidupnya benar-benar membuatnya terguncang dan Georgiana tidak ingin hal yang sama kembali terulang.

Georgiana menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan kesal. Jika bukan karena permintaan sang Mama, ia tentu tidak akan kembali ke London dan berburu calon suami seperti wanita-wanita bangsawan lainnya. Meskipun pada akhirnya tidak akan ada satu orang pun yang memilihnya. Ia yakin, semua orang tahu siapa dirinya.

Dengan enggan Georgiana bersandar di atas kepala ranjang ketika mendengar suara pintu kamarnya yang diketuk. Tidak lama setelahnya, Martha sang pelayan pribadi masuk, meminta izin untuk menyiapkan air mandinya diikuti beberapa pelayan lain yang membawa air hangat untuknya.

“Air mandi anda telah siap, My Lady,” Martha berdiri di pinggir ranjang. Bersiap membantu Georgiana yang akan memulai paginya dengan membersihkan diri.

“Aku akan mandi sendiri, Martha. Aku ingin berendam sebentar. Kau bisa menungguku di sini dan siapkan pakaian yang akan aku kenakan nanti.”

“Baik, My Lady.”

Martha langsung menyingkir dan menyiapkan pakaian yang akan dikenakan Georgiana, sementara sang Majikan berjalan menuju kamar mandi. Melakukan ritual paginya dengan berendam air hangat.

Georgiana butuh waktu. Bukan untuk berpikir atau menyesali keputusan yang saat ini diambilnya karena ia tahu penyesalan tidak akan mengubah apa pun. Keputusan sudah diambil dan kini saatnya ia menjalaninya. Demi sang Mama yang sudah tidak lagi muda. Ia butuh waktu untuk menguatkan diri menghadapi segala kemungkinan yang nanti akan terjadi padanya.

Ketika air mulai dingin, Georgiana beranjak keluar, mengeringkan tubuhnya dan kembali ke kamar dimana Martha tengah menunggunya.

Gaun berwarna biru gelap menjadi pilihan Martha untuk dikenakannya pagi itu. Tidak lupa Martha membantunya bersiap sebelum ia melangkah turun menuju ruang makan di mana sang Mama pasti sudah menunggunya di sana.

Georgiana menatap pintu di depannya dengan perasaan campur aduk. Setelah memberi isyarat agar pelayan mengumumkan kedatangannya barulah Georgiana melangkah masuk ke dalam.

Senyum meneduhkan milik sang Mama yang menyambut kedatangannya membuat perasaan Georgiana menjadi lebih baik. Ia tersenyum, mencium pipi keriput sang Mama lalu duduk di sampingnya.

“Bagaimana tidurmu, sayang? Mama harap kau bisa beristirahat dengan nyaman.”

“Sangat nyenyak, Mama,” dusta Georgiana. Nyatanya Georgiana kesulitan tidur meskipun tubuhnya terasa sangat lelah setelah perjalanan panjang dari Skotlandia ke London. “Bagaimana dengan Mama?”

“Tidak pernah senyenyak ini sejak kepergianmu.”

Georgiana menatap sang Mama dengan perasaan bersalah. “Maafkan aku, Mama.”

Diana menepuk punggung tangan Georgiana. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, sayang. Apa yang terjadi bukan salahmu. Semua itu takdir. Kau hanya berusaha melindungi dirimu dengan menjauh. Jika berada di posisimu, Mama juga pasti akan melakukan hal yang sama.”

“Tapi pada akhirnya karena keegoisanku, aku meninggalkan Mama sendirian,” Georgiana menggenggam erat tangan sang Mama. “Sekali lagi maafkan aku, Mama.”

“Mama ulangi sekali lagi, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau sama sekali tidak bersalah. Kau juga tidak egois. Kau berhak melindungi dirimu dengan cara apapun yang membuatmu nyaman.”

Diana tersenyum lembut. Tidak ada kemarahan yang terpancar dari raut wajahnya. Wanita itu menatap Georgiana dengan tatapan penuh kasih sayang seperti yang selama ini selalu dilayangkannya pada sang putri.

 “Justru Mama-lah yang seharusnya meminta maaf padamu karena memaksamu kembali padahal Mama tahu hal itu sangat berat untuk kau lakukan.”

“Mama....”

Diana menggeleng, mengisyaratkan Georgiana untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya.

“Di sini Mama-lah yang egois karena memaksamu kembali tanpa memikirkan perasaanmu. Mama tahu ini sulit dan tidak mudah untukmu, tapi Mama juga tidak akan tenang jika Mama tidak melakukannya. Waktu Mama mungkin tidak akan lama lagi, Mama ingin melihatmu menemukan pria yang mencintaimu sebelum Mama pergi. Mama tidak akan pernah tenang jika kau tidak memiliki seseorang yang akan menjagamu.”

“Mama tidak boleh berkata seperti itu. Ada Alger yang akan selalu menjagaku, Mama.”

“Alger sudah menikah, Georgiana. Kakakmu sudah memiliki keluarganya sendiri dan dia sudah tentu akan mengutamakan keluarganya dibanding dirimu. Jadi sudah saatnya kau juga melakukan hal yang sama. Memiliki keluargamu sendiri.”

Tatapan Georgiana berubah sendu. “Mama tahu betapa inginnya aku melakukan hal yang sama dan Mama juga tahu apa yang membuatku pada akhirnya tidak memiliki impian itu lagi dalam hidupku.”

Diana menatap manik hijau Georgiana yang serupa dengan miliknya. Ia melihat kesedihan dan keputusasaan di sana. Diana sangat mengerti kenapa hal itu sampai terjadi. Tapi bukankah semua sudah lama berlalu? Sudah tiga tahun sejak Georgiana meninggalkan Inggris dan ia yakin rumor tentang sang putri tidak akan sekencang sebelumnya.

Kali ini, Diana yakin akan ada pria yang menjatuhkan pilihannya pada Georgiana, tanpa mempedulikan rumor apa pun tentang sang putri.

“Mama tahu, tapi lakukan sekali ini saja,” Diana memelas. “Jika season ini kau tidak juga menemukan pria yang ingin menikahimu, Mama tidak akan lagi memaksamu untuk menikah. Kau bebas menjalani hidupmu seperti yang kau inginkan.”

“Apa Mama yakin?”

“Mama yakin,” Diana menjawab tegas. “Jika berburu suami membuatmu terluka, Mama tidak akan memaksamu lagi. Mama memang ingin kau memiliki keluargamu sendiri, tapi jika itu membuatmu tersiksa, Mama tidak akan memaksamu untuk melakukannya lagi. Hanya kali ini saja. Setelah itu Mama tidak akan ikut campur lagi dengan kehidupanmu. Mama harap kau tidak merasa tertekan karena permintaan Mama.”

“Tertekan tidak, mungkin lebih tepatnya takut,” Georgiana menghela nafas. “Aku tidak akan berbohong dengan mengatakan kalau aku tidak takut. Aku takut, Mama. Aku takut kembali ke masyarakat dan kembali mengulang kejadian menyakitkan di masa lalu.”

Diana memeluk Georgiana. “Mama akan mendampingimu. Mama akan selalu berada di sampingmu. Jangan khawatir.”

Georgiana mengurai pelukan sang Mama dan tersenyum pada sang Mama yang juga balas tersenyum padanya.

“Aku tahu Mama tidak akan meninggalkanku sendirian.”

“Iya, Mama tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian.”

Georgiana mengangguk. Semua demi sang Mama. Meskipun tidak mudah, Georgiana akan melakukannya. Ia tidak ingin mengecewakan sang Mama untuk kesekian kalinya.

 

 

 

 

 

  2. William Cavendish

Kedua tangan William berada di kedua sisi pinggang ramping wanita yang saat tengah bergerak di atas tubuhnya. Membantu sang wanita terus bergerak untuk mencapai kenikmatannya sendiri.

Erangan, desahan dan kata-kata kotor yang wanita itu keluarkan dari bibirnya yang seksi membuat William tersenyum penuh kepuasan. Wanita itu sangat menikmati pergulatan mereka. Membuatnya lupa akan tata krama dan sopan santun yang beberapa saat lalu wanita itu perlihatkan dihadapannya.

Bukan hal mengejutkan bagi William mendapati seorang wanita bangsawan berubah liar saat mereka bersama. Entah sudah berapa kali ia melihat para wanita yang bersamanya berubah liar bak kuda yang belum dijinakkan ketika mereka menghabiskan malam bersama. Dan ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.

Bagi William, wajar para wanita itu berubah menjadi liar karena kegiatan yang mereka lakukan memang tidak menuntut kesopanan. Setiap orang berhak berubah menjadi apa pun yang mereka inginkan ketika sedang memuaskan hasratnya, begitu dengan para wanita bangsawan. Ia justru semakin bergairah jika wanita yang bersamanya semakin liar dan tak terkontrol seperti yang wanita itu tunjukkan saat ini.

Pekikan tertahan dan tubuh yang bergetar hebat menunjukkan jika wanita itu baru saja mencapai puncak yang sedari tadi di dakinya. William tersenyum lebar. Merasakan kepuasan dalam dirinya menyaksikan sang partner mencapai puncaknya.

William tidak bergerak. Ia membiarkan partnernya menikmati pencapaiannya sebelum ia memulai pendakian untuk meraih puncaknya sendiri.

Tubuh wanita itu terkulai lemas di atas tubuh kekar William. Ia membiarkan sang wanita sedikit lebih tenang sebelum mencium wanita itu lama, membangkitkan kembali gairah sang wanita yang beberapa saat lalu mencapai klimaksnya.

Setelah berhasil membangkitkan kembali gairah sang wanita, William dengan cepat membalik posisi mereka. Kini wanita cantik bertubuh indah itu berada di bawahnya. Berbaring dengan tubuh setengah telanjang dan mata yang sayu menatapnya penuh gairah.

“Giliranku, My Lady.”

Wanita itu belum sempat menjawab ketika William menyentuhkan miliknya dengan milik sang wanita. Memukul-mukulnya beberapa kali sebelum melesak masuk ke dalam kehangatan yang wanita itu tawarkan padanya.

Wanita itu tercekat ketika William mulai bergerak. Awalnya pelan, tapi semakin lama semakin cepat, keras dan kuat. Terasa menyentuh dinding kewanitaannya yang membuat sang wanita tidak sanggup menahan erangannya.

Erangan William dan sang wanita bersatu, melebur bersama suara hiruk pikuk pesta di luar sana. Keduanya tidak segan menyuarakan apa yang mereka rasakan karena tidak akan ada yang mendengar. Semua orang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing begitu pun dengan William dan wanita yang saat ini tengah bersamanya.

Wanita itu sontak membuka matanya ketika Willam tiba-tiba menghentikan gerakannya dan mencabut miliknya. “My Lord,” protes wanita itu.

William yang melihat wajah kesal wanita itu justru terkekeh. Ia menundukkan wajahnya dan menjilat milik sang wanita sebelum membalik tubuh wanita itu. Memposisikannya membelakangi dirinya.

“Aku tidak mungkin berhenti di tengah perjalanannya, My Lady,” William memukul bokong putih di hadapannya, membuat sang wanita melenguh penuh kenikmatan.

William membungkuk, menjilat telinga sang wanita sebelum berbisik di telinga wanita itu. “Aku tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang seharusnya aku dapatkan, My Lady,” bisiknya dengan suara rendah. William menggigit cuping wanita itu membuat wanita itu memekik. Bukan karena sakit tapi karena bergairah.

“Wanita liar,” William kembali memukul bokong sang wanita dengan kedua tangannya, memberikan rasa perih yang anehnya bukan membuat wanita itu kesakitan, tapi justru semakin bergairah.

“My Lord...” napas wanita itu terengah. Gairah membuat kepalanya pusing. Ia menginginkan lebih dan William harus memberikannya sekarang juga. “Aku mohon,” pintanya. Ia menoleh pada William yang tengah menatap bokongnya.

“Apa yang kau inginkan, My Lady?”

“Masuki aku. Berikan aku kenikmatan yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, My Lord. Aku mohon,” pinta sang wanita itu tanpa merasa malu sama sekali.

“Kau akan mendapatkannya.”

Ucapan William disambut teriakan nyaring wanita itu ketika William tiba-tiba mendesak masuk dan mulai menggerakkan miliknya di dalam tubuh sang wanita. Berpacu dengan waktu yang tersedia demi meraih kenikmatannya sendiri dan memberikan kenikmatan yang sama untuk sang wanita.

Tidak lama setelahnya, William menggeram keras merasakan puncak yang sedari tadi di cari menerjangnya. Ia dengan cepat menarik diri dari tubuh wanita itu, menumpahkan cairan kenikmatannya di atas bokong putih yang terlihat sangat menggoda.

William menghela napas beberapa kali setelah kenikmatan itu perlahan meninggalkannya. Ia mengambil sapu tangannya, membersihkan miliknya dan memakai kembali celananya, lalu membantu sang wanita membersihkan diri.

William memang pemain wanita, tapi ia tidak pernah meninggalkan partnernya begitu saja tanpa menunjukkan betapa berharganya mereka. Bagi William, setiap wanita harus diperlakukan dengan terhormat dan hal itulah yang kerap kali membuat para wanita berharap lebih padanya.

Dengan perlahan William membersihkan cairan miliknya dari bokong sang wanita, lalu beralih membersihkan milik wanita itu yang kembali terengah ketika William menyentuh miliknya.

Setelahnya William menurunkan rok wanita itu, dan membantu wanita itu merapikan pakaian dan penampilannya.

“Malam yang indah,” jemari besar William mengelus pipi merah wanita itu. “Kau sangat mempesona, My Lady. Terima kasih untuk malam yang indah ini.”

“Aku tidak keberatan mengulanginya lagi denganmu, My Lord.”

William tersenyum. Sayangnya ia sangat jarang bahkan nyaris tidak pernah tidur sebanyak dua kali dengan wanita yang sama. William tidak ingin membuat para wanita itu berharap lebih dan merasa istimewa hanya karena mereka kembali melakukannya untuk yang kedua kalinya.

“Aku akan selalu mengingat ucapanmu itu, My Lady,” William mengecup punggung tangan wanita itu dan berdiri. “Aku akan kembali ke pesta. Jika kau masih merasa lelah, kau bisa beristirahat lebih lama disini. Tidak akan ada yang datang kemari, aku akan pastikan itu.”

William kembali mencium bibir wanita yang tidak ia ketahui namanya itu untuk terakhir kali sebelum berjalan keluar, meninggalkan wanita itu sendirian.

Wajah wanita itu memerah. Ia tahu alasan kenapa William memintanya untuk beristirahat sedikit lebih lama. Pasalnya selama pergumulan mereka, ia sudah berkali-kali mendapat puncaknya. Bahkan ketika William mencapai puncaknya tadi, wanita itu kembali merasakan hal yang sama.

William benar-benar pria yang hebat dan sangat mengerti apa yang wanita inginkan. Tidak heran banyak wanita yang ingin menjadi rekan tidur pria itu meskipun hanya sekali. Dan wanita itu merasa sangat beruntung karena bisa tidur dengan William Cavendish, Marquess of Chester yang mempesona dan menggairahkan.

 

 

 

 

 

3. Desakan Menikah

 

 

 

William bangun begitu mendengar pintu kamarnya terbuka. Ia bergegas ke kamar mandi setelah Hans selesai menyiapkan air mandinya. Ia memutuskan untuk berendam, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah menghabiskan malam dengan seorang wanita semalam.

Bukan kali pertama William melakukan aktivitas menguras tenaga dan keringat itu di tengah-tengah pesta yang dihadirinya. Entah sudah berapa kali ia bercinta dengan para wanita yang tertarik padanya dan membuatnya tertarik, dan seperti biasa, ia selalu merasa puas dengan apa yang dilakukannya bersama para wanita itu. Mereka berpengalaman sama seperti dirinya. Jadi tidak ada yang tidak puas dalam hubungan kilat itu.

Katakanlah William bajingan, penjahat kelamin, pemain wanita atau apa pun istilah lain yang bisa menggambarkan betapa buruk dirinya, tapi William tidak peduli. Selama ini ia melakukannya atas dasar suka sama suka dan tanpa paksaan. Para wanita itu menginginkannya dan hubungan satu malam itu akan terjadi jika ia juga menginginkan mereka. Jika tidak, tidak peduli bagaimanapun cara para wanita itu merayunya, William tidak akan peduli.

Satu lagi pantangan bagi William yakni bermalam dengan wanita yang telah berstatus seorang istri. Ia tidak akan mengotori dirinya dengan menyentuh wanita orang lain. Alasannya sangat sederhana, William tidak ingin wanitanya nanti di sentuh pria lain.

Meskipun sampai sekarang, William tidak pernah benar-benar memiliki wanita yang akan dipertahankannya agar tidak di sentuh pria lain. Kasarnya, belum ada wanita yang bisa membuat William jatuh cinta dan merasa memiliki wanita itu hingga ia akan dengan suka rela menghentikan semua petualangan yang selama ini dilakukannya.

Terkadang, ada kalanya William merasa jenuh dengan rutinitas yang selama ini dilakukannya, tapi ia tidak memiliki keimanan yang cukup kuat hingga membuatnya mampu menolak tawaran menggiurkan yang para wanita itu lempar kan padanya. Bagi William, selama ia masih lajang dan tidak memiliki siapa pun untuk di jaga hati dan perasaannya, maka tidak ada yang harus dikhawatirkannya.

Sesederhana itu memang pikiran William tentang seorang wanita dan kelakuannya selama ini. Bagi William, hidup sudah cukup berat dan ia tidak ingin menambahnya lagi dengan hal-hal yang memberatkan pikirannya.

William beranjak keluar dari bak setelah air mandinya terasa dingin. Ia membiarkan Hans mengeringkan tubuh kekarnya dan berjalan keluar kamar mandi, memakai pakaiannya dibantu sang pelayan pribadi. Setelah semuanya beres, William melangkah menuju ruang makan. Sarapan bersama kedua orang tuanya dan berbincang sebentar sebelum memulai rutinitas hari itu.

“Selamat pagi wanita tercantik dalam hidupku,” William mengecup pipi sang Mama sebelum duduk di samping wanita yang selama ini selalu mendukung semua keputusannya.

“Sepertinya kau sangat bahagia pagi ini.”

“Bukankah kita harus selalu bahagia menyambut hari karena Tuhan masih memberikan kita waktu untuk bernapas, Mama?” William mengedip, lalu mengambil menu sarapannya. “Benar begitu kan, Papa?” tanyanya ketika manik hitamnya beradu dengan manik serupa milik sang Papa.

Barclay mendengkus. “Papa setuju dengan ucapanmu tapi tidak dengan kelakuanmu.” kata Barclay tegas.

“Kelakuanku yang mana, Papa?” tanya William polos, padahal sebenarnya ia sangat tahu apa yang Papanya maksudkan.

Barclay melepaskan sendoknya, menatap William tajam. “Jangan bersikap bodoh seperti itu, Will, kau tahu sikap bodohmu itu hanya mempan pada Mamamu, bukan Papa. Lagi pula kau sudah tidak pantas melakukanny, ingat usiamu sudah tidak lagi muda.”

William terkekeh. “Aku lupa kalau Papa pernah muda.”

“Dan kau belum pernah tua,” sindir Barclay pada putra semata wayangnya. Ia tahu bagaimana liarnya William di luar sana tapi Barclay tidak bisa membatasi atau melarang apa yang William lakukan. William sudah sangat dewasa, putranya tahu apa yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri. Dan bukan hal yang aneh jika seorang pria berhubungan dengan banyak wanita. Selama William tidak menimbulkan masalah, Barclay tidak memiliki alasan yang bisa digunakannya untuk menghentikan kelakuan sang putra.

“Aku pasti akan tua seiring bertambahnya usia, Papa.”

“Karena itulah kau harus segera menikah,” Alma dengan cepat mengambil kesempatan yang ada untuk kembali mendesak William segera menikah. 

“Aku belum menemukan wanita yang tepat menjadi istriku, Mama.”

“Wanita seperti apa yang kau inginkan, Will? Sudah banyak wanita yang kau temui selama ini, apa diantara mereka tidak ada satu pun yang menarik perhatianmu untuk menjadikan mereka lebih dari sekedar teman tidurmu?” tanya Alma kesal.

“Sejujurnya, iya,” jawab William dengan santai.

Alma menatap William. “Wanita seperti apa yang kau inginkan untuk menjadi pendampingmu, Will? Katakan pada Mama, Mama pasti akan membantumu mencari wanita seperti yang kau inginkan.”

“Sejujurnya aku tidak tahu. Aku pikir hatiku akan menunjukkan padaku wanita mana yang diinginkannya saat kami bertemu nanti.”

“Papa tidak percaya pemain wanita sepertimu masih mempercayai apa yang hatimu katakan,” ledek Barclay.

William tertawa. “Nyatanya memang seperti itu, Papa. Bukankah kita harus mempercayai apa yang hati kita katakan?”

“Papa tidak ingin menyetujui ucapanmu, tapi Papa senang karena setidaknya kau masih menjadikan hatimu sebagai panduan untuk menentukan wanita yang kau inginkan.”

“Menikah bukan perkara mudah bagiku. Aku bisa saja menikah dengan wanita mana saja yang aku temui, tapi aku tidak ingin menjalani pernikahan yang hanya bertujuan untuk memperoleh keturunan seperti yang kebanyakan dilakukan para bangsawan lainnya. Aku ingin memiliki pernikahan yang hangat dan penuh cinta seperti pernikahan Mama dan Papa. Aku ingin menikah dengan wanita yang aku cintai, wanita yang aku yakini akan menjadi sumber kebahagiaanku. Tapi sayangnya sampai saat ini aku belum menemukan wanita yang bisa membuatku jatuh cinta dan berpikir untuk menikah. Itulah kenapa sampai sekarang aku belum menikah. Bukan karena aku tidak ingin menikah, tapi karena aku belum menemukan orang yang tepat.”

Barclay mengangguk. Dalam sebuah pernikahan cinta memang menjadi salah satu hal yang diperlukan. Meskipun mungkin tidak bisa menjamin keberlangsungan pernikahan tersebut, tapi dengan adanya cinta setidaknya pernikahan yang kelak akan dijalani William dan calon istrinya bisa berjalan lebih baik daripada pernikahan yang tidak dilandasi cinta. Ia dan Alma mengalaminya, dan Barclay sangat memahami keinginan William mengenai hal itu.

“Semoga kau bisa segera menemukan wanita yang membuatmu menginginkan sebuah pernikahan dalam hidupmu. Ketika kau sudah menemukannya, jangan pernah lepaskan dia.”

“Aku pasti akan melakukannya, Papa. Aku yakin sebentar lagi akan menemukannya.”

“Jika kau sudah menemukannya kau harus mengenalkannya pada Mama dan Papa.”

“Sudah pasti, Mama. Kalian adalah orang pertama yang akan aku kenalkan pada wanita pilihanku. Tapi aku minta pada Mama dan Papa, agar merestui siapa pun wanita yang kelak membuatku menginginkan sebuah pernikahan.”

“Apakah Mama dan Papa memiliki alasan untuk tidak menyetujui keputusanmu, Will?” Alma menatap sang putra penuh kasih sayang. “Kau adalah putra kami satu-satunya. Saat ini, keinginan terbesar kami adalah melihatmu menikah dengan wanita yang kau cintai dan bisa membuatmu bahagia seperti yang Mama dan Papa jalani selama ini. Jika nanti kau menemukan wanita yang kau cintai, Mama dan Papa sudah tentu akan menyetujui keputusanmu, benar begitu kan, sayang?” Alma menatap sang suami yang duduk di sampingnya.

“Apa yang Mamamu katakan benar. Kau sudah sangat dewasa untuk bisa memilih dan memilah apa yang baik dan buruk bagi dirimu. Mama dan Papa hanya berharap kau bisa segera menemukan wanita yang kelak akan membuatmu jatuh cinta agar kau bisa membina rumah tangga seperti yang kau inginkan selama ini.”

“Terima kasih atas dukungan kalian. Aku pasti akan segera menemukan wanita itu. firasatku tidak pernah meleset, Papa.”

Barclay mengangguk. “Kalau begitu buktikan pada Papa dan Mama. Hentikan kebiasaanmu bermain dengan para wanita itu untuk sementara dan fokuslah pada pencarianmu pada wanita yang kau inginkan. Begitu kau mendapatkannya, maka bawalah wanita itu kemari.”

“Aku pasti akan membawanya pada kalian begitu aku bertemu dengannya. Aku berjanji.”

“Mama harap bisa mendengar kabar baik di desa nanti,” kata Alma yang memang hari itu memutuskan untuk kembali ke desa bersama sang suami.

“Pasti Mama.”

William menatap kedua orang tuanya penuh keyakinan. Ia pasti akan membawa wanita pilihannya ketika ia sudah menemukannya. Ia akan memperkenalkannya pada kedua orang tuanya dan meminta restu mereka.

William tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan waktu yang dimilikinya. Jika nanti ia berhasil menemukan wanita yang diinginkannya, William akan segera menjadikan wanita itu miliknya bagaimanapun caranya. Lagi pula ia yakin tidak akan ada wanita yang akan menolak seorang William Cavendish sang Marquess yang mempesona.

Sayangnya William lupa bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan dengan mudah. Butuh perjuangan dan kerja keras untuk mendapatkan apa yang selama ini kita inginkan, termasuk dengan William sendiri. Karena pada kenyataanya, tidak ada yang mudah jika sudah menyangkut hati dan perasaan.

 

4. Pertemuan Yang Tak Disengaja

 

 

 

Georgiana menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan perasaan campur aduk. Bukan karena ia terlihat jelek dengan dandanan dan pakaian yang saat ini dikenakannya, tapi ia merasa seperti terlempar kembali ke beberapa tahun yang lalu.

Tahun-tahun dimana ia masih memandang dunia dengan begitu positif dan optimis. Tahun-tahun dimana ia selalu bersemangat dan antusias untuk menghadiri setiap pesta dansa yang diadakan. Tahun-tahun dimana ia merasa bahwa hidupnya akan selalu baik-baik saja.

Seorang gadis lugu yang baru beranjak dewasa dan dengan penuh keyakinan serta percaya diri ikut berburu calon suami bersama puluhan wanita muda lainnya.

Seperti itulah penggambaran diri Georgiana dulu. Ia hanyalah seorang gadis lugu yang sangat percaya akan menemukan pria yang kelak akan mencintainya dan menikahinya. Dan memang begitulah kenyataannya. Georgiana menemukan pria yang tertarik padanya. Mereka saling mengenal satu sama lain hingga memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Sebuah pernikahan yang selama ini diimpikan Georgiana.

Hanya saja apa yang terjadi selanjutnya tidaklah seindah yang Georgiana impikan selama ini. Impiannya hancur ketika ia mendapati sang calon suami meninggal dengan cara mengenaskan. Dan ketika hal yang sama kembali terulang untuk yang ketiga kalinya, Georgiana merasa hidupnya tidak lagi baik-baik saja.

Georgiana tidak lagi bisa menjadi Georgiana yang sama dengan Georgiana yang dulu. Wanita muda yang selalu memandang dunia dengan optimisme yang luar biasa besar. Wanita muda yang selalu tersenyum lebar dengan manik hijaunya yang sewarna zamrud berbinar indah. Yang tersisa hanyalah Georgiana –sang wanita dewasa yang tidak lagi bisa menegakkan kepalanya di hadapan semua orang. Wanita dewasa yang tidak lagi memiliki kepercayaan diri seperti yang dulu melekat padanya.

Sejak saat itu, Georgiana memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan para bangsawan dan memilih melarikan diri ke Skotlandia. Menetap di sana untuk waktu yang tidak bisa ia tentukan dan memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.

Skotlandia adalah tempat ternyaman yang selama ini selalu bisa memberinya ketenangan. Tidak ada julukan-julukan buruk yang disematkan orang-orang di sana padanya. Tidak ada tatapan-tatapan menghakimi yang kerap kali diterimanya  seperti saat ia berada di London. Skotlandia merupakan rumah yang akan selalu didatanginya setiap kali ia membutuhkan waktu untuk menyendiri, merefleksikan diri serta mengobati dirinya yang terluka.

Jika boleh memilih, Georgiana ingin selamanya menetap di Skotlandia, menjauh dari kehidupan para bangsawan yang selama ini menjadi dunianya. Sayangnya hal itu tidak bisa dilakukan Georgiana selamanya ketika sang Mama memintanya untuk kembali dan menjalani hidupnya seperti dulu.

Georgiana bisa saja menolak keinginan Mamanya tapi setelah mendengar tentang kesehatan sang Mama yang sedang tidak baik-baik saja, Georgiana tidak memiliki pilihan selain kembali. Ia tidak boleh egois. Mamanya merindukannya dan ia harus kembali demi wanita yang selama ini sudah berkorban begitu banyak untuknya.

“Kau sangat cantik, sayang.”

Suara lembut penuh kekaguman yang terdengar memenuhi telinganya membuat Georgiana mengalihkan pandangan dan menemukan sang Mama tengah berdiri di sampingnya, menatapnya dengan penuh kekaguman.

Georgiana buru-buru menyembunyikan kegundahan yang dirasakannya. Ia tersenyum pada sang Mama yang berdiri di sampingnya. “Terima kasih, tapi pujian Mama terlalu berlebihan.”

“Mama tidak sedang memujimu, tapi Mama mengatakan yang sebenarnya,” Diana meraih kedua bahu Georgiana, memutarnya kembali menghadap cermin. “Lihatlah dirimu, sayangku. Kau sangat cantik. Gaun ini semakin memperlihatkan betapa mempesonanya dirimu. Memperjelas manik hijaumu yang seindah zamrud. Dan jangan lupakan rambut pirangmu yang bercahaya, terlihat begitu indah dan lembut. Kau benar-benar sangat mempesona. Mama yakin akan ada banyak para pria yang tertarik padamu nanti.”

“Mama jangan terlalu berlebihan. Akan ada banyak wanita cantik di pesta nanti dan aku bukan satu-satunya wanita yang akan bisa membuat para pria itu tertarik, Mama.”

“Memang benar, tapi pesonamu akan mampu melakukan hal itu, percayalah.”

“Aku pikir para pria akan lebih tertarik pada wanita muda dari pada perawan tua sepertiku, Mama.”

Diana berdecak. “Siapa bilang kau sudah tua? Usiamu baru saja dua puluh dua tahun. Tidak akan ada yang mengataimu tuah. Kau masih sangat muda untuk berada di tengah-tengah pesta dan berburu suami seperti wanita lainnya.”

Georgiana tersenyum lembut mendengar ucapan sang Mama yang penuh optimisme, meskipun kesedihan tergambar jelas dari kedua manik hijaunya yang indah.

Jika bisa memilih, Georgiana akan memilih untuk melarikan diri, menghilang saat ini juga agar tidak harus menghadiri pesta dansa dimana ia akan menjadi tontonan semua orang. Mengeluarkan semua pesona yang dimilikinya demi mendapatkan calon suami impian. Sayang, Georgiana tidak bisa melakukan semua itu. Ada perasaan sang Mama yang harus dijaganya. Ada nama baik keluarga yang saat ini tengah dipertaruhkan.

Tidak mudah memang menjalani apa yang saat ini dialaminya mengingat masa lalu dan julukan yang melekat erat pada dirinya. Tapi harapan dan keinginan sang Mama jelas jauh lebih berharga dari apa yang dirasakannya.

Georgiana pernah menghilang, memilih meninggalkan semuanya dan sang Mama tidak sekalipun melarangnya. Dan sekarang ketika Mamanya meminta untuk kembali dan mencari calon suami, apa Georgiana sanggup untuk menolaknya? Tentu saja tidak. Ia tidak sanggup menyakiti sang Mama lebih dari yang telah dilakukannya selama ini.

“Apa yang kau pikirkan, sayang?” tanya Diana ketika menyadari perubahan raut wajah Georgiana.

Georgiana tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Bukan hal yang penting, Mama. Aku hanya sedikit gugup.”

Georgiana tidak sepenuhnya berbohong. Selain karena ketakutannya yang akan berhadapan dengan banyak orang sebentar lagi, ia juga gugup karena setelah sekian lama kembali menghadiri pesta dansa dan berburu suami seperti gadis muda lainnya. Meskipun ia mungkin tidak akan benar-benar melakukannya.

Iya, Georgiana tidak akan benar-benar melakukan apa yang seharusnya seorang wanita lakukan ketika berburu calon suami. Ia hanya akan ada di sana, menghadiri pesta seperti yang sang Mama inginkan karena ia tidak memiliki kepercayaan diri sebesar itu untuk berburu calon suami setelah semua yang telah menimpa para calon suaminya terdahulu.

“Tidak perlu gugup. Mama akan selalu mendampingimu. Mama tidak akan meninggalkanmu.”

“Aku tahu, terima kasih, Mama,” Georgiana tersenyum.

“Kalau begitu mari kita berangkat. Mama sudah tidak sabar melihat semua orang terpesona padamu.”

Georgiana mengangguk. Ia sudah tidak lagi bisa menghindar. Dari awal, begitu ia menginjakkan kaki kembali di London, kesempatan untuk menghindar jelas sudah tidak lagi tersisa untuknya. Pilihannya hanyalah menghadapi dan berusaha menerima apa pun yang nanti akan ditemuinya di pesta dansa.

 

 

**

 

 

Pesta itu berjalan meriah, persis seperti yang Georgiana ingat sejak bertahun-tahun yang lalu ia menghadirinya. Tidak ada yang berubah.

Ada begitu banyak makanan, minuman, serta para pemain musik yang mempesona. Ada begitu banyak para wanita muda dan mempesona serta pria bangsawan yang tengah berburu pasangan. Satu-satunya yang berubah tentu saja dirinya. Ia yang kini berdiri di sudut ruangannya jelas bukan lagi dirinya yang dulu. Dirinya yang begitu energik, bersemangat dan terbuka. Dirinya yang dulu selalu memandang dunia dengan pandangan positif tanpa ada kesedihan di dalamnya.

Selain semua itu, tatapan semua orang terarah padanya ketika penerima tamu mengumumkan kedatangannya dengan sang Mama juga semakin memperlihatkan perbedaan yang saat ini tengah dihadapinya.

Tatapan yang tertuju padanya jelas bukan tatapan terpesona seperti yang beberapa tahun lalu diterimanya, tapi tatapan terkejut dan tidak percaya. Seolah kemunculannya kembali sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh semua orang. Jangankan semua orang, dirinya sendiri pun tidak bisa mempercayai keberadaannya di tengah-tengah pesta dansa yang saat ini tengah berlangsung.

Georgiana tidak nyaman. Ia merasa seperti orang asing di tengah-tengah pulau tak berpenghuni. Sepi, sendiri dan terasingkan meskipun hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Ia hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian dalam arti yang tidak sebenarnya.

 Dengan perlahan, Georgiana memilih menjauh dari sang Mama dan teman-temannya. Berdiri seorang diri di sudut paling sepi dan sedikit gelap guna menghindari tatapan penasaran setiap orang yang mungkin saja sudah mengenal siapa dirinya dan seperti apa reputasinya selama ini.

Georgiana menghela napas. Tidak mudah menjadi dirinya saat ini, tapi ia sadar bahwa semua ini adalah takdir yang telah Tuhan gariskan untuknya. Ia tidak ingin menyerah pada kehidupan dan menyakiti orang-orang yang mencintainya terutama sang Mama dan Alger. Mereka adalah keluarganya yang tersisa, jadi ia ingin terus bertahan demi keluarganya.

Bosan dengan hiruk pikuk suasana pesta yang membuat kepalanya berdenyut, Georgiana kembali menyelinap keluar dari aula menuju taman. Mencari udara segar adalah pilihan paling tepat untuk melegakan paru-parunya yang terasa sesak. Tapi baru saja hendak menginjakkan kaki di bagian luar aula, sebuah tubuh tegap dan kekar sekeras tembok menghalangi jalannya.

Georgiana nyaris terhuyung jika saja tangan kekar itu tidak segera meraih pinggangnya, menahan tubuhnya sebelum terhempas ke lantai. Lebih sialnya lagi, gelasnya terhempas ke lantai sementara cairannya mengenai pakaian yang pria itu kenakan.

Georgiana mengangkat wajahnya, hendak menyampaikan permohonan maaf pada siapa pun yang saat ini tengah menahan tubuhnya. Tapi ketika kedua matanya bertemu dengan mata pria itu, dunia di sekitar Georgiana seolah terhenti. Suara-suara yang sebelumnya terdengar begitu ramai dan memekakan telinga seolah tidak lagi terdengar. Mulutnya yang sudah siap dengan segudang kalimat permohonan maaf serta ucapan terima kasih kehilangan suaranya.

Tatapan pria itu mengalihkan dunia Georgiana. Menyedot seluruh atensinya, membuat Georgiana menemukan dirinya terpaku di tempatnya bak sebuah patung. Hanya mampu memandang tanpa sanggup melakukan apa pun.

 

 

 

 

5. Menemukanmu

 

 

 

William ingat kalau ia sudah menyanggupi untuk berhenti bersenang-senang dengan wanita yang ditemuinya dan fokus pada pencariannya dalam menemukan calon istri pada kedua orang tuanya. Sayangnya, dalam pelaksanaannya tidaklah semudah yang ia kira sebelumnya, atau mungkin memang dirinya yang tidak benar-benar ingin mengakhiri petualangannya.

Godaan yang datang silih berganti membuat William luluh. Ia menerima isyarat dari seorang wanita berambut pirang yang sejak tadi berusaha menarik perhatiannya. Dan sekarang disinilah ia berada. Di sudut taman tempat pesta dansa yang dihadirinya tengah berlangsung bersama wanita itu.

Ketika seorang wanita dan pria yang sudah sama-sama tertarik, berduaan di tempat yang sepi dan gelap, apa yang terjadi selanjutnya tentu sangat bisa di prediksi siapa pun.

William bukan tidak sanggup menahan godaan. Ia hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ditawarkan padanya. Wanita itu menginginkannya dan William berbaik hati memenuhi fantasi wanita itu terhadap dirinya.

Wanita itu menahan desahannya dengan menutup mulut menggunakan telapak tangan ketika William melesak masuk ke dalam tubuhnya. Tubuhnya yang membelakangi William bersandar pada sebatang pohon besar itu terguncang ketika William mulai memompa dirinya. Melesakkan diri ke dalam tubuh wanita itu tanpa perlu menahan diri lebih lama lagi. Tidak cukup banyak waktu untuk menahan diri dan William tidak ingin melakukannya.

Setelah cukup lama bekerja keras dan beberapa kali membuat wanita itu mencapai puncaknya, William merasakan puncak yang hendak dicapainya mendekat. Ia menarik diri dan menumpahkan cairan miliknya di bokong indah wanita itu. Helaan napas penuh kelegaan menyertai cairan kenikmatan miliknya yang keluar membasahi bokong wanita itu.

William kembali merapikan penampilannya lalu membersihkan bokong mulus wanita itu dari cairannya dan menurunkan kembali gaun yang sebelumnya ia naikkan. Ia membungkuk, berbisik sensual di telinga wanita itu. “Terima kasih, My Lady. Malam yang sangat indah.”

Wanita itu membalik tubuhnya. Menatap William dengan tatapan penuh kepuasan dan juga pengharapan. “Justru aku yang berterima kasih atas kenikmatan yang baru saja kau berikan padaku, My Lord.”

Jemari wanita itu terangkat. Membuat gerakan abstrak di dada bidang William yang keras dan kokoh. Mencoba kembali membuat William terangsang dengan sentuhan sensualnya.

Jika bisa memilih, wanita itu sangat ingin merasakan keliatan kulit William langsung tanpa penghalang. Berbaring di atas ranjang besar yang empuk tanpa mengenakan sehelai benang pun. Membiarkan tubuh telanjang mereka menyatu, melekat seperti lem. Tapi keadaan jelas tidak memungkinkan dan ia cukup beruntung karena bisa merasakan William yang begitu perkasa di dalam dirinya.

“Aku tidak keberatan jika kau menginginkanku lagi, My Lord,” bisiknya dengan suara sensual yang sengaja digunakannya untuk menarik William. Ia sudah mencobanya beberapa saat lalu dan itu berhasil karena William tertarik padanya. Tapi wanita itu harus menahan kekecewaannya ketika William tidak merespon apa yang diinginkannya kali ini.

“Terima kasih banyak atas tawaranmu, My Lady. Aku pasti akan mencarimu jika aku membutuhkanmu lagi,” William meraih jari lentik itu, membawanya ke mulut dan menempelkan bibirnya di punggung tangan selembut sutra milik wanita itu. “Sekali lagi terima kasih untuk malam ini. Senang bertemu denganmu. Sayangnya kita harus berpisah sebelum ada orang yang menemukan kita disini.”

Wanita itu ingin menahan William lebih lama lagi. Ia justru tidak keberatan jika ada yang melihatnya tengah bersama William karena memang itulah yang diharapkannya. Tapi ia juga sadar, William adalah bangsawan yang sudah sangat berpengalaman dan tidak mungkin baginya untuk menahan William terus bersamanya. Jadi ketika William melangkah pergi, wanita itu hanya bisa menghentakkan kaki kesal karena rencananya untuk mendapatkan William sebagai calon suaminya gagal total.

William tersenyum kecut ketika mulai menjauh dari sosok wanita yang beberapa saat lalu memberinya kepuasan. Ia tidak banyak berkomentar mendengar tawaran wanita itu, tawaran yang kerap kali dilontarkan para wanita –yang sialnya tidak ia ketahui namanya– yang menghabiskan malam bersamanya.

Jika saja salah satu diantara mereka adalah wanita yang selama ini di carinya, William tidak akan menunggu mereka menawarkan diri, tapi ia-lah yang akan langsung menawarkan dirinya sendiri. Sayangnya sampai saat ini, belum ada satu pun dari wanita yang pernah ditemuinya bisa membuatnya melakukan hal itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang mampu membuat hatinya bergetar karena keinginan untuk memiliki.

Entah dimana wanita yang diinginkannya itu saat ini berada, tapi yang pasti, William tidak akan menyerah dan terus mencari. Ia yakin wanita impiannya akan datang dan ketika hal itu terjadi, William tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya untuk menjadikan wanita itu miliknya.

William terlalu sibuk dengan pikirannya yang dipenuhi hal-hal apa saja yang akan dilakukannya ketika nanti ia bertemu dengan wanita yang sanggup menjungkir-balikkan hatinya hingga tidak sempat menghindar ketika seorang wanita yang hendak keluar dari aula menabrak tubuhnya.

Suara gelas yang terjatuh serta pekikan kaget dari wanita itu berhasil menyadarkan William dari apa yang terjadi. Ia dengan sigap menahan pinggang ramping itu, menahan tubuh wanita yang menabraknya itu agar tidak terhempas di lantai yang keras.

William menunduk, berniat menanyakan keadaan wanita itu, tapi mulutnya yang sebelumnya terbuka mendadak tak sanggup mengeluarkan kata-kata ketika ia menatap keindahan yang saat ini berada di hadapannya. Dan seakan semua itu belum cukup menyihirnya, ketika manik hijau nan mempesona seperti zamrud berkilauan itu beradu dengan manik gelap sekelam malam miliknya, William menemukan dirinya terperosok dalam keindahan yang pertama kali dilihatnya. Membuatnya tidak sanggup mengalihkan tatapannya sedikit pun dari wanita itu.

Sepasang manik hijau berkilauan itu menyihir William. Membuat jantungnya berdetak kencang, membuat tubuhnya membeku seperti patung dan membuat William kesulitan untuk memutus kontak mata mereka.

Demi Tuhan, hanya dalam hitungan detik, William dengan penuh keyakinan mampu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa inilah wanita yang selama ini dicarinya. Inilah wanita yang selama ini diinginkannya. Inilah wanita yang selama ini ditunggunya. Inilah wanita yang bisa dijadikannya alasan untuk menghentikan kelakuannya bermain dengan wanita diluar sana. Inilah wanita yang selama ini diimpikannya. Wanita yang akan dijadikan istri, pendamping dan teman hidupnya.

Oh Tuhan, siapa wanita ini? Apakah dia seorang malaikat yang Tuhan turunkan untuknya? Kenapa mereka baru bertemu sekarang?

“Maaf, bisakah anda melepaskan tangan anda dari pinggangnya saya, My Lord?”

Bukannya melepaskan pinggang wanita itu seperti yang wanita itu katakan, William justru memejamkan mata ketika mendengar suara wanita itu. Suaranya terdengar begitu lembut dan menenangkan saat memasuki telinganya. Suara paling lembut setelah suara sang Mama yang selama ini selalu di dengar William sepanjang usianya.

Oh suara ini... suara ini terdengar seperti suara malaikat. Suara lembut itu mampu menggetarkan sekujur tubuhnya. Menumbuhkan rasa kepemilikan yang begitu besar dalam dirinya. Rasa posesif dan menggebu yang baru pertama kali dirasakan William sepanjang hidupnya.

Georgiana meletakkan tangannya di dada bidang William, berniat mendorong tubuh itu menjauh darinya ketika ia tidak mendapati respon dari pria asing yang tengah mendekap tubuhnya.

Tapi gerakan tangannya terhenti ketika bertemu dengan dada bidang itu. Detakan jantung milik sang pria membuat tubuh Georgiana terpaku. Ia yakin tidak salah dengar. Ia yakin itu suara jantung pria asing itu. Ia yakin itu bukan detak jantungnya. Tapi kenapa? Itulah pertanyaan yang pada akhirnya meluncur begitu saja dari bibir penuh milik Georgiana.

William yang tahu maksud pertanyaan sang wanita yang sama sekali belum ia ketahui namanya itu menekan telapak Georgiana yang berada di dadanya dengan sebelah tangannya. Manik kelam miliknya memaku manik hijau zamrud milik Georgiana lalu tanpa berpikir resiko dari ucapannya, William dengan lantang menjawab pertanyaan wanita itu.

“Karenamu. Jantung ini berdetak karena aku akhirnya menemukanmu, My Lady.”

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
My Lady
Selanjutnya MY LADY – PART 6
0
0
6. Taktik William
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan