
"Om, nikah yuk!"
"Anak kecil kaya kamu itu seharusnya kuliah, supaya masa depanmu cerah. Ini malah mau mengajak menikah."
"Buat apa kuliah, Om? Kalau cita-cita Naya enggak harus pakai gelar sarjana?"
"Memangnya cita-cita kamu apa?"
"Menikah sama Om Steven dan menjadi Ibu dari anak-anaknya Om Steven."
Selama tiga puluh tiga tahun Steven hidup di muka bumi ini, selama itu pula Steven berpikir bila hidupnya itu serasa damai dan tenang. Namun semua itu berubah, setelah dirinya bertemu dengan gadis belia...
Part 11
Keesokannya, seperti biasa Kanaya membawa rantang makan siang untuk Steven lagi. Berbeda dengan hari sebelumnya, yang Kanaya harus ke ruangan Steven untuk memberikan makan siang lelaki ini. Kini Kanaya justru melihat sosok Steven yang tersenyum hangat di depan pintu kantor, membuat Kanaya tak percaya bila lelaki itu bisa berada di sana, entah sedang ingin melakukan apa.
"Om Steven?" panggilnya bersemangat lalu berlari ke arah lelaki itu.
"Om Steven kok bisa ada di sini?" tanyanya setelah sampai di hadapan Steven tepat.
"Memangnya kenapa?" tanya lelaki itu terdengar tak habis pikir, yang justru berhasil mengukir senyuman di bibir Kanaya.
"Kan biasanya Om Steven ada di ruangannya, kok sekarang ada di depan pintu? Tumben." Seolah belum puas mendengar jawaban Steven, Kanaya kembali bertanya dengan nada yang sama, membuat Steven menatap lelah ke arahnya.
"Ini kan kantor saya, jadi terserah saya mau ke mana." Steven menjawab seadanya yang hanya diangguki oleh Kanaya.
"Om enggak lagi menunggu Kak Aulia kan?" tanya Kanaya yang entah tiba-tiba terdengar kecewa.
"Enggak tuh. Memangnya kenapa?" tanya Steven sok acuh, yang anehnya justru membuat Kanaya tersenyum merekah mendengarnya.
"Berarti Om Steven lagi menunggu Naya," ujar gadis itu bersemangat, membuat Steven tersenyum tipis melihat tingkah lakunya.
"Percaya diri banget ya kamu?" jawab Steven dengan masih mempertahankan senyum manisnya.
"Iya dong, Om. Kalau enggak percaya diri, Naya mana mau mengejar-ngejar cintanya Om Steven yang jelas-jelas enggak suka sama Naya."
"Itu sih, namanya juga kamu enggak punya malu," jawab Steven dengan tertawa kecil, membuat Kanaya tersenyum hambar dan menatap datar ke arahnya.
"Hm, jahat." Kanaya mengalihkan pandangannya, merasa kesal dengan jawaban Steven yang seenaknya. Walau hatinya tak sepenuhnya marah, Kanaya justru berakting merajuk, berharap Steven mau peduli dengannya.
"Kamu marah? Saya kan cuma bercanda," tanya Steven terdengar tak percaya, meski bibirnya masih saja tersenyum melihat tingkah laku Kanaya yang aneh. Sedangkan Kanaya justru terdiam, tanpa mau menatap ke arah Steven yang terus menatap ke arahnya.
"Iya," jawab Kanaya singkat.
"Ya sudah, saya minta maaf ya." Steven berujar pasrah, merasa harus mengalah dengan Kanaya yang memang belum sepenuhnya dewasa.
"Enggak mau," jawab Kanaya dengan nada yang sama, yang kali ini ditanggapi keheranan oleh Steven yang tidak biasanya melihat Kanaya begitu merajuk hingga sampai seperti itu.
"Terus saya harus bagaimana?" tanya Steven dengan nada lelah, merasa sudah sangat pasrah dengan apa yang akan Kanaya inginkan.
"Traktir Naya es krim," jawab gadis itu terdengar memohon sembari menatap sendu ke arah Steven yang berdecap malas mendengar permintaannya.
"Harus banget ya traktir kamu es krim?" tanya Steven terdengar malas, yang langsung diangguki oleh Kanaya.
"Iya dong, Om. Naya lagi mau makan es krim nih," jawabnya sembari merengkuh lengan Steven, selayaknya anak yang memelas demi bisa dituruti oleh orang tuanya.
"Terus makan siang saya bagaimana?" sindir Steven sembari melirik ke arah rantang yang Kanaya pegang, yang langsung ditatap tak percaya oleh empunya.
"Oh iya. Om Steven kan belum makan ya?" gumamnya bingung sembari menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal, yang diam-diam ditanggapi senyuman oleh Steven.
"Ya sudah, Om makan siang dulu. Tapi nanti Naya traktir es krim ya?" ujar gadis itu kembali merajuk yang membuat Steven gemas ingin mencubit pipinya sangking lucunya Kanaya saat memelas seperti saat ini.
"Iya-iya, bawel." Dan benar, Steven benar-benar mencubit pipi Kanaya begitu gemas, hingga empunya merasa kesakitan karena ulahnya.
"Aduh sakit, Om." Kanaya mengelus-elus pipinya, merasa tak percaya dengan kelakuan Steven yang sering mencubit pipinya sekarang.
"Katanya kamu suka kalau saya mencubit pipi kamu," jawab Steven mengingatkan, yang memang kemarin Steven pernah mencubit pipi Kanaya, tapi empunya itu justru menginginkannya kembali.
"Iya sih, Om. Tapi lama-lama kok sakit ya?" jawab Kanaya polos, membuat Steven menghembuskan nafas lelahnya, merasa harus maklum dengan tingkah laku Kanaya.
"Ya sudah, mana rantang makannya. Saya akan makan di kantin kantor saja," ujar Steven sembari menjulurkan tangannya ke arah Kanaya, berniat ingin meminta rantang makan siangnya.
"Ini, Om. Tapi Naya ikut Om makan siang ya?" Mendengar permintaan Kanaya itu, Steven kembali dibuat tersenyum, karena memang dirinya sangat menginginkan bila Kanaya mau menemani makan siangnya lagi seperti kemarin.
"Iya," jawab Steven terdengar malas, walau hatinya sangat bahagia bisa ditemani Kanaya lagi kali ini.
"Yaaei," sorak Kanaya bersemangat diiringi senyum manis dari bibirnya, yang entah kenapa membuat Steven gemas ingin mengecupnya. Namun tak lama pikiran itu langsung dienyahkan oleh Steven yang merasa konyol, bisa berpikir mesum seperti itu, padahal hanya karena melihat tawa Kanaya yang menawan. Di dalam hati, Steven menggerutuki kebodohannya sendiri, merasa harus membersihkan pikiran kotor di otaknya.
"Ayo, Om!" Kanaya tiba-tiba menggandeng lengan Steven, membuat empunya terdiam menatap rengkuhan itu. Seolah ada listrik yang menyengat, jantungnya dibuat berdebar tak karuan.
"Eh, iya." Bukannya menarik lengannya, Steven justru membiarkan tangan Kanaya merengkuhnya. Entah apa yamg sebenarnya sedang Steven inginkan, rasanya hanya Steve berpikir lebih nyaman di dekat gadis itu.
"Tapi kantinnya itu sebelah mana, Om?" Kanaya berujar bingung, yang tak membuat Steven tersadar dari pemikiran aneh di otaknya.
"Om," panggil Kanaya lagi setelah tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya yang pertama.
"Iya, kenapa?" tanya Steven sembari berusaha bersikap setenang mungkin.
"Kantinnya sebelah mana? Naya kan enggak tahu," jawab gadis itu terdengar lesu, yang lagi-lagi mampu membuat Steven tersenyum tipis melihatnya.
"Di samping gedung sana!" jawab Steven sembari menunjuk ke arah samping gedung kantornya.
"Ya sudah yuk, Om. Kita ke sana!" Kanaya kembali merengkuh lengan Steven, yang membedakannya kali ini Kanaya lebih hangat merengkuhnya dan bahkan kepala gadis itu tak sungkan-sungkan disenderkan di lengan Steven.
Gelisah, Steven benar-benar dibuat tak karuan oleh kelakuan sederhana yang saat ini sedang Kanaya lakukan. Padahal gadis itu hanya merengkuh lengannya dengan sedikit menyenderkan kepalanya, tapi kenapa rasanya Steven dibuat ingin memeluk hangat tubuhnya, berharap bisa menyalurkan kerinduannya.
"Itu ya, Om tempatnya?" tanya Kanaya sembari menunjuk ke arah kantin, yang sepertinya cukup lengkap isinya. Sedangkan Steven lagi-lagi tak mendengarkan ucapan Kanaya, karena fokus lelaki itu seolah dialihkan oleh setiap perlakuan yang Kanaya berikan padanya. Membuat Kanaya yang melihat itu dibuat bingung, merasa heran dengan kediaman Steven yang tidak seperti biasanya itu.
"Om Steven," panggilnya sembari melambaikan tangannya di depan wajah lelaki itu, membuat Steven seketika mengerjapkan matanya begitu kaku setelah tersadar dari renungannya.
"Apalagi?" tanya Steven dengan berusaha bersikap sewajarnya.
"Om Steven kenapa? Kok banyak bengong sekarang? Om lagi sakit ya?" tanya Kanaya Khawatir sembari menyentuh kening Steven yang memang sedikit hangat. Sedangkan Steven justru dibuat mematung di tempatnya dengan apa yang sedang Kanaya lakukan pada wajahnya.
"Eh, iya. Eh enggak kok," jawab Steven ambigu membuat Kanaya menyerngit heran melihat tingkah laku Steven yang lain dari biasanya.
"Kayanya Om banyak pekerjaan ya, makanya Om sampai kepikiran. Kalau begitu, ayo Om makan siang, supaya Om bisa semangat lagi." Tanpa mau menunggu persetujuan Steven, Kanaya menarik lengannya begitu saja ke arah kantin. Sedangkan Steven hanya terdiam, merasa pasrah dengan apa yang sedang Kanaya lakukan.
Sesampainya di kantin, Kanaya mengarahkan tubuh Steven untuk duduk di kursi kantin. Dengan sigap, Kanaya membuka rantang makannya lalu menggesernya di hadapan Steven. Membuat lelaki itu lagi-lagi dibuat merasa aneh, merasa kagum sekaligus ingin menolak kekaguman itu akan sosok Kanaya. Walau semua berakhir sama, Steven tak kunjung bisa melakukannya.
"Silakan dimakan, Om. Jangan banyak kerja terus, Om! Sekali-kali Om juga harus beristirahat. Jangan sampai sakit, karena kesehatan itu sangat penting."
"Iya, bawel," jawab Steven singkat, seolah enggan mengiyakan ucapan gadis itu, meski hatinya serasa menghangat karena sudah diperhatikan oleh gadis itu.
"Oh iya, kamu masih mau es krim enggak?" tanya Steven sembari melahap makanannya.
"Iya, Om. Naya masih mau es krim, memangnya kenapa, Om?" tanya Kanaya antusias.
"Di kantin ini juga jual es krim, kamu ambil saja, nanti saya yang akan bayar semuanya," jawab Steven yakin, yang langsung ditanggapi senyuman oleh Kanaya.
"Serius, Om?"
"Iya."
"Asyik," sorak Kanaya yang langsung berjalan ke arah penjaga kantin, membuat Steven tersenyum bahagia dengan sesekali menggeleng maklum melihat tingkah laku Kanaya. Sampai Steven kembali menyantap makanannya, membiarkan Kanaya dengan segala tingkah lakunya. Tak lama, Kanaya datang membawa beberapa es krim contong, ditemani senyum manis dari bibirnya.
"Kanaya ambil ini ya, Om."
"Iya," jawab Steven sembari tersenyum manis lalu menyantap kembali makanannya dengan sesekali melirik Kanaya yang tengah memakan es krimnya.
"Kanaya," panggil Steven yang sebenarnya cukup ragu ingin mengatakan keinginannya.
"Iya, Om. Ada apa?"
"Kamu mau enggak kalau setelah ini kamu ikut saya ke rumah orang tua saya?" ujar Steven terdengar tak yakin, membuat Kanaya terdiam, merasa tak percaya dengan apa yang baru Steven katakan.
"Om Steven ... mau mengajak Naya ke rumah orang tuanya Om? Serius?" tanya Kanaya ragu.
"Iya, kamu mau enggak?"
"Naya belum siap ketemu calon mertua, Om." Kanaya menjawab tak yakin, yang entah bagaimana bisa memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, pikir Steven mulai malas.
"Calon mertua siapa yang kamu maksud?" tanya Steven tak habis pikir, membuat Kanaya menyengir mendengarnya.
"Kan orang tuanya Om Steven itu calon mertuanya Naya," jawabnya kaku, masih belum mempercayai dengan keinginan Steven untuk mengajaknya ke rumah orang tuanya.
"Idih, GR." Steven menjawab tak terima, yang kali ini ditanggapi ekspresi cemberut oleh Kanaya.
"Kita lihat aja nanti, pasti orang tuanya Om Steven bakal menjadi mertuanya Naya." Gadis itu menjawab yakin, yang diam-diam ditanggapi senyuman oleh Steven.
"Terserah kamu saja, tapi yang pasti orang tua saya ingin bertemu dengan kamu." Steven menjawab sok acuh sembari kembali melahap makanannya.
"Ada perlu apa ya, Om? Kalau untuk melamar Naya buat Om Steven, Naya sih siap-siap aja." Mendengar jawaban Kanaya yang selalu konyol itu rasanya Steven juga gemas dengan tingkah lakunya, dan berakhir dengan perasaan ingin mencubit pipi gadis itu.
"Astaga," gumam Steven frustrasi yang justru ditanggapi senyuman polos oleh Kanaya.
"Orang tua saya ingin bertemu sama kamu itu bukan karena mereka ingin melamar kamu buat saya, tapi mereka cuma ingin bisa kenal dan akrab dengan seseorang yang selalu mengirimi saya makan siang, yaitu kamu." Steven menjelaskan semuanya dengan nada lelah, merasa harus memiliki tingkat kesabaran yang cukup tinggi untuk menghadapi tingkah laku Kanaya itu.
"Oh, gitu ya, Om? Berarti Om sering cerita tentang Naya ke orang tuanya Om ya? Aduh, Naya jadi tersipu." Kanaya menyentuh kedua pipinya diiringi senyum manis dari bibirnya, yang lagi-lagi membuat Steven tak percaya dengan tanggapannya.
"Siapa juga yang sering cerita tentang kamu ke orang tua saya?" sahut Steven sinis, tanpa mau menatap ke arah Kanaya yang sudah menurunkan tangannya dari pipinya.
"Terus, orang tua Om Steven bisa tahu dari mana tentang Naya yang sering mengirimi Om makan siang?" tanya Kanaya sarkastik, yang hanya direspons tenang oleh Steven.
"Gara-gara masakan pare buatan kamu kemarin, saya terpaksa harus membawanya pulang, karena saya tidak menyukainya. Itu lah kenapa orang tua saya bisa tahu tentang kamu, karena mereka tanya tentang rantang makanan yang saya bawa. Jadi saya terpaksa harus mengatakan sebenarnya, kalau kamu sering mengirimi saya makanan. Begitu," jawab Steven dengan nada tenang, yang direspons kediaman oleh Kanaya yang merasa cukup kecewa dengan alasan Steven mengajaknya ke rumahnya, walau Kanaya juga tidak bisa memungkiri bila hatinya cukup dibuat menghangat kala orang tuanya Steven sendiri yang justru ingin bertemu dengannya, membuat Kanaya merasa memiliki kesempatan yang lebih bagus untuk bisa mendekati Steven, melalui orang tuanya.
"Kalau begitu, Naya mau, Om."
"Tapi, apa kamu tidak sibuk? Bukannya kamu harus mengurusi adik-adikmu di panti, terus sorenya juga kamu harus bekerja." Steven berujar ragu, yang langsung digelengi oleh Kanaya.
"Enggak, Om. Naya sore ini enggak bekerja kok, Naya mau ambil cuti semalam. Kalau masalah anak-anak panti, Ibu pasti bisa mengerti Naya kalau sudah tahu penjelasannya."
"Oke, kalau begitu setelah ini kita ke rumah orang tua saya," ujar Steven yang langsung diangguki mantap oleh Kanaya.
"Siap, Om."
Part 12
Di perjalanan ke rumah orang tua Steven, sedari tadi yang Kanaya lakukan justru hanya terdiam, dengan menatap ke arah luar lewat jendela mobil. Entah apa yang sebenarnya sedang Kanaya pikirkan sekarang, rasanya Steven dibuat penasaran dengan tingkah lakunya yang tidak biasanya bungkam seperti saat ini. Membuat Steven khawatir, bila gadis itu sedang memikirkan hal buruk tentangnya, bila mengingat keinginannya untuk mengenalkan Kanaya pada orang tuanya. Mungkin saja, Kanaya justru berpikir bila dia akan dicelakai atau semacamnya oleh Steven sendiri, membuat Steven buru-buru ingin menanyakan keadaan gadis itu.
"Kanaya," panggilnya yang langsung ditoleh oleh pemilik namanya.
"Iya, Om. Ada apa?"
"Kamu kenapa? Kok diam aja dari tadi? Apa ada yang kamu khawatirkan?" tanya Steven sembari fokus menyetir, dengan sesekali melirik ke arah wajah Kanaya.
"Enggak kok, Om. Naya diam itu cuma mau menikmati perjalanan ini, karena untuk yang pertama kalinya kita bisa semobil lagi." Kanaya menjawab sendu sembari mengalihkan pandangannya kembali ke arah luar. Sedangkan Steven justru mengerutkan keningnya, merasa ada yang ganjal dengan ucapan Kanaya kali ini.
"Semobil lagi? Memangnya sebelum ini, kita pernah semobil? Tapi kapan?" tanya Steven tak habis pikir, yang langsung ditatap kaku oleh Kanaya.
"Ma-maksudnya Naya, eh itu, di mimpinya Naya. Dulu Naya pernah mimpi semobil sama Om Steven, eh sekarang malah jadi kenyataan. Keren kan, Om?" jawab Kanaya kaku, diiringi senyum canggung dari bibirnya.
"Ada-ada saja sih kamu," jawab Steven keheranan yang hanya ditanggapi cengiran oleh Kanaya yang akhirnya bisa menghembuskan nafas leganya, karena Steven mau mempercayai kebohongannya.
Di dalam hati, Kanaya benar-benar merasa bodoh, karena bisa keceplosan tentang masa lalu mereka yang pernah semobil. Walau pada akhirnya Kanaya bisa bernafas lega, karena Steven tidak semakin mencurigainya, tapi sebisanya Kanaya harus berusaha menjaga identitasnya, yang akan Kanaya bongkar setelah Steven bisa mencintainya. Kanaya hanya takut, kalau Steven tahu dirinya adalah anak kecil yang dia tolong delapan tahun yang lalu, Steven justru tidak mau mendekatinya dalam artian mencintainya.
"Sebentar lagi kita sampai di rumah orang tua saya, kamu jangan buat mereka jengkel ya, seperti kamu melakukannya ke saya." Steven mewanti-wanti dengan nada kesal bila mengingat kelakuan Kanaya yang terkadang sering membuatnya jengkel. Sedangkan Kanaya yang mendengar itu hanya mengangguk mengerti, diiringi senyum manis dari bibirnya.
"Iya dong, Om. Naya kan mau ambil hati calon mertua, supaya kita bisa direstui sama mereka." Kanaya menjawab ngawur, yang justru ditatap tak percaya oleh Steven yang cukup lelah dengan tingkah lakunya.
"Baru saja saya bilang, eh sekarang kamu malah buat saya jengkel." Steven berujar tak habis pikir yang dicengiri kembali oleh Kanaya.
"Maaf, Om." Kanaya menjawab bersalah, yang hanya digelengi maklum oleh Steven.
Keduanya kembali terdiam melakukan aktivitas masing-masing, hingga saat mobil yang Steven kendarai berhenti di depan rumah mewah nan megah, membuat Kanaya yang melihatnya seketika melemah, merasa tak percaya bila keluarga Steven begitu kaya.
Di saat seperti ini, Kanaya justru dibuat bungkam, merasa tak yakin dengan rencananya yang akan membuat Steven jatuh cinta padanya, dengan begitu mereka bisa menikah. Jujur saja, setelah melihat semua ini, Kanaya merasa tak pantas bila disandingkan dengan Steven, karena ia hanya seorang gadis panti asuhan, yang tak memiliki keluarga, apalagi seperti orang tua Steven yang kaya.
"Ini rumah orang tua saya," ujar Steven sembari menunjuk ke arah rumah tersebut yang hanya ditoleh kaku oleh Kanaya.
"Ini rumah orang tuanya Om Steven?" tanya Kanaya terdengar tak memiliki semangat, sedangkan Steven langsung mengangguk untuk mengiyakan.
"Iya, kenapa?"
"Enggak apa-apa." Kanaya menjawab lelah dan rasa bersalah itu mulai hinggap di perasaannya, dan seharusnya ia sadar dari dulu, bila Steven itu bukanlah lelaki sembarangan. Dia lelaki kaya yang memiliki bisnis luar biasa berkembang hebat, sebenarnya hal itu juga yang sempat terpikirkan oleh Kanaya, bila Steven adalah lelaki dari keluarga kaya, tapi tak pernah Kanaya duga bila Steven terlalu jauh untuk ia jangkau, karena Kanaya bukan siapa-siapa di dunia ini.
"Om," panggil Kanaya ragu.
"Iya, kenapa?"
"Naya pulang aja ya? Om Steven enggak usah mengantarkan Naya, karena Naya akan naik taksi sendiri," ujarnya terdengar lemah, membuat Steven keheranan dengan tingkah laku Kanaya hari ini, yang kian aneh sedari tadi.
"Kita sudah sampai dan kamu malah mau pulang?" tanya Steven tak habis pikir, meski sebenarnya ia merasa khawatir dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan Kanaya kali ini.
"Naya minta maaf, Om. Tapi Naya memang enggak pantas ke rumahnya Om Steven, kan Naya cuma gadis panti asuhan. Nanti, orang tuanya Om malah menghina Naya, karena Om mau berteman dengan Naya apalagi Om juga mau makan masakan Naya." Kanaya menjawab lemah yang hanya ditanggapi senyum hambar oleh Steven, yang merasa tak habis pikir dengan jalan pemikiran Kanaya yang terlalu sempit. Bagaimana mungkin orang tuanya akan menghina Kanaya? Padahal Steven sendiri yang sudah mengatakannya pada mereka, bila Kanaya memang gadis panti asuhan, lalu apa yang salah dengan pertemuan mereka sekarang.
"Orang tua saya sudah tahu, kalau kamu itu gadis panti asuhan. Jadi, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, apalagi orang tua saya sendiri yang menginginkan kamu untuk menemuinya." Steven mencoba menjelaskan dengan nada biasa saja, namun di hatinya ia sangat berharap bila Kanaya mau mengurungkan niatnya untuk pulang sekarang.
"Tapi, Om. Naya kan ...."
"Sudah enggak usah banyak alasan, lebih baik kamu ikut saya menemui orang tua saya, karena mereka sudah menunggu kamu lama." Steven membuka sabuk pengamannya Kanaya, hingga saat tangannya terulur untuk mengembalikan sabuk itu pada tempatnya, namun tatapannya justru tertatih pada mata bening Kanaya yang menyorotnya penuh bersalah.
Aneh, Steven seolah terperangkap dengan tatapan indah itu, membuat jantungnya tak karuan hanya dengan memandangnya. Sampai saat tatapannya teralih lebih bawah lagi, di mana ada bibir tipis Kanaya yang begitu menggiurkannya. Bibir ranum yang memerah alami, membuat tubuh Steven terasa panas agar bisa bertahan dari godaan itu, godaan yang seolah mampu memerintah otak Steven agar segera mengecup bibir gadis itu.
Begitupun dengan Kanaya, gadis itu seolah tidak ingin menghembuskan nafasnya sangking dekatnya wajah Steven di depan wajahnya. Bibirnya mengunci rapat, seolah tidak bisa mengatakan apa-apa apalagi ucapan konyol dan ngawur seperti biasanya. Yang bisa Kanaya lakukan sekarang hanya bisa terdiam dengan memainkan jari-jari tangannya begitu gelisah, jantungnya berdebar tak karuan, merasa bingung dengan posisinya sekarang.
"O-om?" panggilnya lirih dan gelisah, dengan sesekali mengerjapkan matanya takut-takut.
"Eh ...." Steven memundurkan wajahnya, setelah sadar dari tindakan bodohnya. Bagaimana mungkin dirinya bisa semesum itu dengan Kanaya, gadis kecil yang bahkan usianya sangat jauh lebih muda darinya.
"Ayo kita keluar!" ujar Steven sembari membuka pintu mobilnya lalu turun dari sana, meninggalkan Kanaya yang akhirnya bisa bernafas lega. Walau di dalam hati, ia sendiri masih bingung dengan apa yang sebenarnya Steven mau lakukan tadi. Tanpa mau berpikir panjang lagi, Kanaya membuka pintu mobil itu lalu segera turun dan menghampiri Steven yang berdiri menunggunya.
"Ayo, Om!" cicit Kanaya canggung begitupun dengan Steven yang hanya mengangguk kaku, yang belum bisa melupakan kebodohannya di mobil tadi.
"Iya," jawanya singkat lalu berjalan lebih dulu ke arah rumahnya, sedangkan Kanaya hanya mengangguk lalu berjalan di belakang lelaki itu.
Sesampainya di ruang tamu, Kanaya dan Steven langsung disambut oleh kedatangan lelaki dan wanita paru baya yang tersenyum hangat ke arah Keduanya. Membuat Kanaya dibuat terdiam dengan langkahnya yang mulai memelan, merasa tidak pantas berada di sana seolah ketakutannya tentang orang tua Steven yang tidak menyukainya akan menjadi kenyataan.
"Ma, Pa. Ini Kanaya, yang Steve ceritakan kemarin." Entah kenapa Steven justru memperkenalkan Kanaya dengan nada hangat, seolah bangga bisa membawa gadis itu di hadapan orang tuanya.
"Salam kenal, Tante, Om. Saya Kanaya," ujar Kanaya sembari menyalami ke dua orang tua Steven, membuat keduanya tersenyum melihat Kanaya yang cukup sopan di mata mereka.
"Kamu ternyata cantik ya?" ujar mama Steven sembari mengelus puncak kepala Kanaya yang terdiam kaku di tempatnya, merasa bingung harus bersikap bagaimana sekarang.
"Eh, terima kasih, Tante. Tante juga cantik," balasnya kaku, sembari tersenyum canggung ke arah mamanya Steven.
"Terima kasih ya, Sayang. Kalau begitu, kita ngobrol di ruang keluarga yuk!" Wanita itu menggiring tubuh Kanaya yang hanya bisa mengangguk kaku, dengan sesekali melirik ke arah Steven yang justru tersenyum manis melihat mamanya begitu hangat menerima Kanaya.
"Kamu mau minum apa?" tanya mamanya Steven ke arah Kanaya setelah semua orang sudah duduk di ruang keluarga.
"Enggak usah repot-repot, Tante. Tadi Naya ditraktir es krim sama Om Steven," jawab Kanaya sopan sembari menunjuk ke arah Steven yang hanya menaikan salah satu alisnya.
"Oh iya? Tapi kamu kok panggil Steven dengan sebutan Om sih?" tanya wanita itu terdengar merajuk.
"Kan Om Steven jauh lebih tua dari Naya, Tante."
"Iya sih, Tante juga kadang merasa Steven itu kok tua banget ya, tapi belum nikah-nikah." Wanita itu menjawab sendu. Membuat Kanaya tersenyum kecil mendengarnya, tapi tidak dengan Steven yang menatap tak percaya ke arah mamanya yang entah sadar ataupun tidak, tapi dari ucapan wanita itu menyimpan makna merendahkannya, padahal putra kandungnya sendiri.
"Apa sih, Ma? Ngomongnya kok kaya begitu?" sahut Steven tak terima, yang justru ditatap acuh oleh mamanya.
"Memang kenyataannya kok, kalau kamu itu sudah tua tapi enggak laku-laku." Wanita itu menjawab seenaknya.
"Bukannya enggak laku-laku, Ma. Stevenya aja yang belum mendapatkan yang cocok, kalau cuma wanita di luaran sana sudah pasti banyak yang mau kalau diajak nikah sama Steve." Putranya itu menjawab tak suka, yang hanya ditatap sinis oleh mamanya yang kembali menoleh ke arah Kanaya.
"Bilang aja kalau enggak normal, ya kan Naya?" ujar wanita itu ke arah Kanaya yang hanya bisa tersenyum canggung menanggapinya, sedangkan Steven justru dibuat semakin tak percaya dengan apa yang baru mamanya katakan.
"Ma," tegur Steven.
"Apa? Kamu enggak terima? Kalau kamu merasa normal, harusnya kamu bisa dong cari wanita yang bisa kamu nikahi," jawab wanita itu seakan-akan ingin mengompori suasana karena ada Kanaya.
"Kan Steve sudah bilang yang kemarin, Ma." Putranya itu menjawab penuh arti, sembari menatap ke arah mamanya dengan sorot mata intimidasi.
"Oke, Mama paham." Wanita itu menjawab santai sembari tersenyum penuh arti. Bagaimana mungkin ia bisa lupa, bila putranya baru kemarin mengatakan bila dirinya nyaman dengan sosok Kanaya, namun dipersulit oleh Steven sendiri yang tidak ingin mencintai Kanaya karena beda usia yang cukup jauh.
"Kalau begitu, Steve mau mandi dulu," pamitnya kaku tanpa mau menatap ke arah Kanaya yang sedari tadi hanya bisa terdiam, tanpa bisa mengerti maksud dari ucapan Steven dan mamanya tersebut.
"Iya, mandi sana! Biar wangi kalau mau dekat-dekat sama Kanaya," jawab mamanya sembari tersenyum penuh arti, yang hanya ditatap datar oleh putranya.
"Hm," jawabnya acuh, merasa kesal juga dengan tingkah laku mamanya yang sering sekali membuatnya jengkel dengan sifat menggodanya itu.
Tanpa mau berpikir panjang lagi, Steven berjalan ke arah lantai atas, meninggalkan Kanaya dengan mamanya. Di dalam hati, Steven sangat berharap bila orang tuanya akan bisa akrab dengan Kanaya, meski Steven sendiri tidak tahu itu karena apa ia bisa menginginkannya.
Sesampainya di lantai atas, Steven justru dibuat keheranan karena ada adiknya, Stevan, berada di kamarnya, tengah berjalan keluar kamar. Membuat Steven segera ingin menemuinya, dan menanyakan maksud adiknya pulang yang tidak seperti biasanya itu.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Steven setelah berhadap-hadapan dengan adiknya.
"Lah memangnya kenapa, Kak? Ini masih rumahnya Papa dan Mama kan? Orang tua kita enggak lagi bangkrut kan, Kak? Kita enggak lagi diusir sama pegawai bank, karena harus bayar hutang dengan menyita rumah ini kan, Kak?" tanya Stevan khawatir, membuat bibir Steven seketika menganga tak percaya mendengar rentetan tuduhan yang adiknya katakan.
"Ngawur," sungutnya sembari mendorong kepala adiknya hingga terjengkang ke belakang.
"Wadaow," keluhnya.
"Kalau ngomong itu pakai otak, ya kali rumah kita disita bank."
"Lah terus kenapa Kakak masih tanya Evan kenapa ada di sini? Ya jelas lah karena Evan lagi mau pulang ke rumah." Adiknya itu berujar tak habis pikir, membuat Steven geram mendengarnya.
"Iya, Kakak tahu. Tapi kenapa harus pulang sekarang? Perasaan, kamu baru pulang kemarin." Mendengar ucapan kakaknya itu, Stevan langsung menyengir memperlihatkan gigi-gigi putihnya.
"Evan mau ketemu sama Kanaya, Kak," jawabnya terdengar mengejek, yang seketika membuat Steven syok mendengar jawaban adiknya itu.
"Apa kamu bilang? Kamu mau ketemu Kanaya?" tanya Steven sembari melototkan matanya, merasa tidak terima bila adiknya sengaja pulang justru hanya karena ingin bertemu dengan Kanaya.
"Iya, memangnya kenapa sih, Kak? Kata Mama, siang ini Kanaya mau ke rumah, makanya Evan pulang, supaya bisa ketemu sama dia." Adiknya itu menjawab lugas dan tenang, tapi tidak dengan Steven yang langsung mendorong tubuh adiknya untuk kembali ke kamarnya.
"Kamu enggak usah ketemu sama Kanaya," ujar Steven dengan semakin menggiring tubuh adiknya kembali ke kamar.
"Loh kenapa, Kak?" tanya Stevan kebingungan dengan apa yang sedang kakaknya lakukan padanya sekarang.
"Pokonya enggak boleh." Steven mengambil kunci kamar adiknya lalu menutup kembali pintu tersebut dan menguncinya rapat-rapat.
"LOH, KAK. EVAN KOK DIKUNCI DI KAMAR, KAK? WOI, KAK. JANGAN BERCANDA DONG!" teriak Stevan dengan menggedor-gedor pintu kamar, yang hanya ditatap puas oleh Steven yang sudah berhasil mengunci adiknya supaya tidak membuat onar.
"BAIK-BAIK YA KAMU DI DALAM. ENGGAK USAH KELUAR, SAMPAI MALAM. OKEY!" jawab Steven seenaknya.
"ENGGAK, KAK. EVAN ENGGAK MAU. TOLONG DIBUKA DONG, KAK. MASA KAKAK ENGGAK KASIHAN SAMA ADIKMU SATU-SATUNYA INI?" teriakan adiknya itu tidak lagi Steven khiraukan, karena Steven langsung ke kamarnya sendiri, berniat memandikan tubuhnya tanpa mau repot-repot memikirkan nasib adiknya.
Part 13
Setelah mandi dan berganti baju dengan pakaian kasual, Steven langsung turun ke lantai bawah, berniat ingin menemui Kanaya yang ia tinggal bersama orangtuanya. Entah kenapa, Steven merasa bersalah karena meninggalkan gadis itu sendiri bersama dengan mamanya, yang tentunya masih asing untuk Kanaya bisa akrab.
Dengan cepat, Steven melangkahkan kakinya hingga saat tubuhnya sudah berada di ruang keluarga, matanya justru melihat Kanaya begitu asyik menonton tv dengan mamanya. Dua wanita itu begitu terlihat akrab, dengan sesekali tertawa hal lucu di film yang mereka tonton. Membuat Steven seketika tersenyum tipis, merasa lega karena Kanaya seperti nyaman berada di samping mamanya.
Dengan sedikit tenang, Steven kembali melangkahkan kakinya ke arah ruang keluarga, berniat ingin menyapa keduanya. Walau Steven harus memasang ekspresi biasa, demi bisa menutupi perasaannya yang entah bagaimana bisa sebahagia itu hanya karena ada Kanaya di rumahnya dan akrab dengan orang tuanya.
"Steve," panggil mamanya setelah menyadari kehadiran putranya itu, yang turut ditatap oleh Kanaya yang juga baru menyadari kehadiran lelaki itu. Namun tatapan Kanaya justru dibuat terkagum kala matanya melihat Steven dengan pakaian kasualnya, membuat lelaki itu terlihat lain dari biasanya yang selalu pakai kemeja atau jas kerja. Bukan hal buruk sebenarnya untuk penampilan Steven saat ini, karena justru di mata Kanaya, Steven terlihat lebih muda dari usianya. Membuat lelaki itu lebih menawan dan tampan, hingga karismanya sangat jelas bisa Kanaya lihat.
"Kamu sudah mandi?" tanya mamanya, yang langsung menyadarkan Kanaya yang sempat dibuat kagum dengan pesona Steven.
"Iya sudah lah, Ma." Steven mendudukan tubuhnya di samping Kanaya, membuat gadis itu dibuat gugup tidak seperti biasanya.
"Papa ke mana, Ma?" tanya Steven setelah menyadari tidak ada papanya di sana.
"Papa pergi ke kamar, lagi ngambek karena Mama sama Kanaya menonton film ini, tapi Papa enggak suka. Padahal film ini kan lucu, dari tadi aja Mama sama Kanaya tertawa terus, ya kan, Sayang?" ujar wanita itu sembari meminta persetujuan Kanaya, yang langsung mengangguk untuk menyetujuinya.
"Iya, Tante. Sayang banget tadi Om pergi, padahal kan filmnya lucu." Kanaya menyahut setuju.
"Ya sudah, Mama ke Papa dulu sana! Nanti Papa tambah ngambek loh," ujar Steven menakuti, membuat mamanya berpikir kali ini.
"Iya juga sih, ya sudah kalau begitu Tante ke Om dulu ya, Sayang? Nanti Tante enggak dapat uang shopping kalau Om marah," pamitnya ke arah Kanaya yang hanya bisa mengangguk kaku untuk menjawabnya, karena tidak itu berarti dirinya dengan Steven akan berduaan di ruang keluarga, membuat Kanaya semakin dibuat gugup dengan posisinya.
"I-iya, Tante." Kanaya menjawab terpaksa, membuat Steven tersenyum melihat mamanya yang mau-maunya ditakut-takuti.
"Sebentar lagi, Tante balik kok. Kamu jangan khawatir! Tante enggak akan membiarkan kamu lama-lama sama bujang lapuk, nanti kamu diapa-apain lagi," sindir wanita itu sembari melirik sinis ke arah Steven, yang hanya bisa tersenyum hambar mendengar ucapan mamanya yang selalu saja merendahkannya.
"Iya, Tante." Kanaya menjawab lega diiringi senyum tipis dari bibirnya, karena mamanya Steven itu ternyata bisa memahami ketakutannya.
"Memangnya kamu takut dekat-dekat sama saya?" tanya Steven tiba-tiba setelah matanya melihat sosok mamanya menjauh dari tempat mereka. Sedangkan Kanaya yang sempat terkejut itu hanya menatap kaku ke arah Steven, merasa bingung harus menjawab apa, karena sebenarnya ia cukup takut bila Steven berbuat mesum, tapi bila mengingat janjinya yang harus Kanaya tepati, sepertinya Kanaya juga harus memantapkan hati dan mentalnya andai saja Steven benar-benar berbuat yang tidak-tidak dengannya.
"Enggak kok, Om. Naya malah senang bisa dekat sama Om," jawab Kanaya sembari merengkuh lengan Steven, ditemani dengan dentuman hebat dari jantungnya, karena Kanaya sendiri sadar bila saat ini ia justru terlihat ingin menggoda Steven.
Sedangkan Steven yang tadinya sempat berniat ingin menggoda Kanaya, kali ini justru dibuat terdiam kaku di tempatnya, karena Kanaya justru merengkuh lengannya, seolah tidak memiliki ketakutan apapun di posisinya sekarang.
"Oh iya?" tanya Steven yang sebenarnya bingung harus menanggapi bagaimana ucapan Kanaya yang nyatanya tidak takut berdekatan dengannya.
"Iya dong, Om." Kanaya menjawab ceria, meski rasanya jantung dan hatinya serasa ingin keluar dari tubuhnya.
"Kalau begitu, coba kamu tatap saya!" pinta Steven yang justru ingin kembali berniat menggoda Kanaya, setelah mendengar jawaban gadis itu yang sepertinya memang tidak takut bila berdekatan dengannya padahal mereka hanya berdua di tempat itu, sama saat Steven menggoda Kanaya di ruangan kerjanya dulu.
Di balik tundukannya itu, Kanaya memejamkan matanya, merasa tak percaya dengan apa yang baru Steven perintahkan padanya. Lelaki itu ingin Kanaya mau menatapnya, yang benar saja, mana mungkin Kanaya bisa melakukannya sedangkan detak jantungnya terus saja bergemuruh sesak di dadanya.
"Ayo, kamu tatap saya! Kalau kamu tidak berani, berarti kamu takut suka sama saya." Steven kembali berujar dengan nada mengejek, seolah menikmati permainan yang ia buat sekarang, membuat Kanaya dibuat gelisah meski pada akhirnya ia berusaha memantapkan hatinya untuk bisa melakukan apa yang Steven inginkan. Mungkin, dengan melakukan itu, Steven bisa menyukainya, pikir Kanaya.
"Kenapa Naya harus takut suka sama Om Steven? Kan Naya memang sudah cinta sama Om Steven," jawab Kanaya menantang sembari menatap tulus ke arah Steven yang kali ini berhasil dibuat kaku dengan jarak di antara wajah mereka.
"Om enggak percaya ya?" tanya Kanaya dengan semakin mendekatkan wajahnya ke arah Steven, berniat ingin menggoda balik lelaki itu.
"Eh," gumam Steven dengan nafas memburuh, merasa sudah cukup frustrasi karena Kanaya benar-benar melakukannya dari apa yang Steven duga.
"Bagaimana caranya, Om. Supaya Om percaya kalau Naya cinta sama Om?" Naya semakin mendekatkan wajahnya dikit demi sedikit hingga hidung mereka bergesekan, membuat Steven benar-benar tak karuan ingin menolak godaan itu, namun justru otaknya menginginkannya.
"Menurutmu dengan cara bagaimana?" tanya Steven dingin, berusaha untuk mengimbangi kelakuan Kanaya yang memabukkan. Sedangkan gadis itu justru terdiam, setelah menghentikan laju wajahnya.
"Om boleh mengambil keperawanannya Naya," ujar Kanaya cepat dengan menatap yakin ke arah Steven yang langsung memundurkan wajahnya.
"Apa kamu bilang?" tanya Steven tak percaya dengan apa yang baru Kanaya ucapkan, rasanya ia tidak yakin kalau Kanaya bisa mengucapkan kalimat itu. Namun bila dilihat dari sorot mata Kanaya yang penuh keyakinan itu, rasanya Steven juga tidak bisa melihat kebohongan itu dari matanya.
"Ayo, Om. Kita bercinta sekali saja, kalaupun Om tidak bisa mencintai Naya, setidaknya Om harus mau mengambil keperawanan Naya." Kanaya kembali berujar dengan nada yang sama, membuat Steven tak karuan di tempatnya.
"Kamu bercanda kan?" tanya Steven semakin tak percaya bila Kanaya justru mengatakan hal itu dengan ekspresi dan intonasi suara yang begitu serius.
"Enggak, Om. Kanaya sangat-sangat serius. Bila dilihat dari keluarga ini, sepertinya Om tidak mungkin bisa mencintai Naya apalagi sampai kita menikah. Karena Naya cuma gadis panti asuhan dan Om Steven dari keluarga orang kaya, Naya sangat sadar hal itu Om. Tapi setidaknya, biarkan Naya memberikan ...."
"Kamu ngomong apa sih? Saya tidak pernah memandang kamu rendahan karena status kamu yang hanya seorang gadis panti asuhan. Saya juga tidak pernah berpikir, bila saya akan mengambil sesuatu milik berhargamu itu lalu meninggalkanmu begitu saja." Steven menjawab cepat, merasa tak habis pikir dengan pemikiran Kanaya yang aneh. Sedangkan Kanaya sendiri hanya terdiam, merasa dilema dengan posisinya, terlebih lagi karena dirinya sudah terlanjur janji untuk memberikan keperawanannya pada penolongnya, yaitu Steven. Tapi Kanaya juga sangat sadar, bila pangkat dan derajat mereka sangat jauh bila untuk dibandingkan.
"Lebih baik, kamu saya antar pulang. Sepertinya kamu butuh istirahat yang cukup, supaya kamu bisa menenangkan pikiran kamu." Steven mendirikan tubuhnya sembari menatap Kanaya yang hanya tertunduk lalu mengangguk lesu.
"Maaf, Om." Setidaknya hanya kalimat itu yang hanya bisa Kanaya katakan, karena ia sendiri tidak mungkin mengatakan alasannya mengapa ia ingin memberikan keperawanannya pada Steven, penolong hidupnya.
"Sudahlah," jawab Steven lelah lalu berjalan ke arah pintu, sedangkan Kanaya yang belum berpamitan dengan mamanya Steven itu hanya bisa menoleh ke arah tangga, berharap wanita itu segera datang seperti pada janjinya tadi.
"Om, Naya mau berpamitan dengan Tante dulu." Kanaya berujar lirih, sembari menatap redup ke arah Steven yang menoleh.
"Enggak usah! Nanti saya akan menjelaskannya ke Mama saya, kamu akan saya antar dulu supaya bisa cepat istirahat." Tanpa permisi, Steven menarik lengan Kanaya untuk segera mengikuti langkahnya.
Di sisi lain, suara gedoran pintu dan teriakan Stevan sampai terdengar di kamar orang tuanya, membuat Mama dan papanya itu buru-buru menghampirinya. Merasa khawatir dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di kamar putra keduanya itu.
"KAK STEVE. BUKA DONG KAMARNYA EVAN?! EVAN KAN JUGA MAU KENAL SAMA KANAYA," teriaknya kesal di balik pintu kamarnya, membuat orang tuanya dibuat keheranan dengan tingkah laku putranya itu.
"Kamu kenapa sih, Evan? Teriak-teriak enggak jelas, memangnya kamu pikir ini hutan apa?" tanya mamanya tak habis pikir setelah cukup jauh berlari bersama dengan suaminya untuk menghampiri kamar putranya tersebut.
"Ma, Kak Steve sudah mengunci kamarnya Evan. Tolong dong, Ma, kamarnya Evan dibuka!" jawab putranya memelas membuat kedua orang tuanya saling bertatapan, merasa tak percaya dengan apa yang baru putra mereka katakan.
"Steve mengunci kamu di kamar?" tanya wanita itu terdengar tak percaya.
"Iya, Ma. Ayo dong, Ma. Bukain!" mohon Stevan memelas, sedangkan orang tuanya justru tersenyum hambar, merasa tak percaya bila putra pertama mereka begitu tega mengunci adiknya sendiri di kamar.
"Iya, tunggu!" jawab mamanya malas.
"Pa, ambil kunci serep dikamar dong, Pa. Kasihan itu si Evan," ujar wanita itu ke arah suaminya yang tengah menghembuskan nafas beratnya, merasa lelah juga dengan tingkah laku putra-putra mereka.
"Iya, sebentar!" jawabnya lalu berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil kunci serep, yang memang berada di kamar mereka.
Tak butuh lama, pria paru baya itu datang kembali sembari membawa beberapa kunci yang langsung ia gunakan untuk membuka kunci kamar putranya. Setelah dibuka, Stevan langsung keluar dengan mimik wajah kekesalan.
"Astaga, Evan. Kok bisa-bisanya kamu dikurung sama kakak kamu," ujar wanita itu tak habis pikir sembari menggelengkan kepalanya begitu lemah.
"Enggak tahu, Ma. Evan kan cuma bilang ke Kak Steve, kalau Evan juga mau kenal sama gadis yang namanya Kanaya itu, tapi Kak Steve malah menggiring Evan ke kamar terus pintunya dikunci," jawabnya terdengar masih kesal.
"Steve itu ada-ada saja sih, Pa? Masa adiknya dikurung cuma karena mau ketemu Kanaya, memangnya dia pikir adiknya itu orang utan apa?" ujar wanita itu ke arah suaminya dengan nada tak habis pikir.
"Ya enggak usah disamain sama orang utan juga kali," gerutu Stevan semakin kesal, yang tidak dihiraukan oleh mamanya.
"Mungkin Steve enggak mau kalau Kanaya bisa dekat sama Evan," jawab pria itu acuh yang langsung ditanggapi senyum syok oleh istrinya.
"Berarti Steve cemburu ya, Pa?"
"Mungkin," jawab suaminya singkat.
"Sudah tua tapi masih cemburu sama adiknya, pakai dikurung segala lagi di kamar," gerutu putra mereka kesal.
"Oh ya, sekarang Kanayanya mana?" tanya Stevan antusias, seolah kekesalannya seketika menghilang saat ingin menjalankan rencananya.
"Di bawah sama Kak Steve. Memangnya kenapa? Kamu mau mengganggu mereka, hm?" tebak mamanya, yang langsung dicengiri oleh Stevan.
"Iya, Ma. Evan bakal buat Kak Steve cemburu sampai guling-guling ke lantai," jawab Stevan bersemangat.
"Ide bagus," jawab mamanya menyetujui, yang hanya ditatap tak percaya oleh suaminya. Walau pada akhirnya tak banyak yang pria itu lakukan selain membiarkan istri dan putranya bertingkah laku seenaknya.
"Kalau begitu, Evan mau mengganggu mereka dulu ya, Ma?" Stevan mengacungkan jempolnya yang turut diacungi oleh mamanya.
"Semoga berhasil," doanya menyemangati, yang hanya diangguki oleh Stevan yang lalu turun tangga, meninggalkan orang tuanya dengan ekspresi berbeda.
"Loh, Ma. Kanaya sama Kak Steve ke mana?" teriak Stevan setelah tidak ada seorang pun di ruang keluarga rumahnya, membuat mamanya itu buru-buru datang untuk menghampirinya.
"Lah, kok mereka sudah enggak ada ya?" tanya wanita itu keheranan, padahal ia merasa tidak lama meninggalkan mereka.
"Mungkin Kanaya sudah pulang dan Steve yang mengantarkannya," tebak pria paru baya itu terdengar santai
"Yaaaah, masa sudah pulang sih Kanayanya? Enggak seru," gerutu Stevan kecewa, merasa kesal dengan kakaknya yang sepertinya sangat tidak mau kalau Kanaya ia dekati. Di saat sudah seperti ini, Stevan justru memiliki semangat lebih untuk membuat kakaknya cemburu di lain waktu.
Part 14
Di dalam mobil, Kanaya dan Steven masih sama-sama terdiam. Keduanya tidak berbicara sedikitpun, meski mobil yang mereka tumpangi terus melaju. Membuat Steven kebingungan harus bersikap bagaimana lagi sekarang, untuk mencairkan suasana beku di antara mereka.
"Eh, setelah ini kita belok ke mana?" tanya Steven sembari melirik ragu ke arah Kanaya.
"Belok kiri, Om. Nanti kalau sudah sampai tempatnya, Kanaya kasih tahu lagi." Kanaya menjawab kaku tanpa mau menatap ke arah Steven yang hanya bisa mengangguk.
Keduanya kembali terdiam, membiarkan suasana canggung membunuh mereka secara perlahan-lahan, sangking anehnya suasana yang sedang mereka alami sekarang. Sampai saat Kanaya melihat jalan yang sebentar lagi akan membawanya pulang, Kanaya bersiap-siap untuk memberitahunya ke Steven.
"Nanti ada papan yang tulisannya panti asuhan kasih bunda, Om berhenti ya. Itu tempat tinggal Naya," ujar Kanaya sembari menunjuk ke arah jalan lalu menatap ke arah Steven yang hanya terdiam kali ini, merasa kehilangan dengan pertemuan mereka yang cukup singkat hari ini, rasanya Steven hanya tidak rela bila Kanaya pergi dan jauh dari jangkauannya. Sedangkan Kanaya justru turut terdiam, memikirkan Steven yang sepertinya sedang marah dengannya karena aksi konyolnya tadi, membuat Kanaya merasa sangat bersalah meski ia sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena memang itu janjinya sendiri.
"Apa itu yang kamu maksud," tunjuk Steven sembari menunjuk ke arah papan besar yang bertuliskan seperti yang tadi Kanaya ucapkan.
"Iya, Om." Kanaya menjawab lirih yang lagi-lagi ditanggapi kediaman oleh Steven.
"Kita sudah sampai," ujar Steven terdengar dingin tanpa mau menatap ke arah Kanaya, setelah memberhentikan laju mobilnya di sisi jalan.
"Iya, Om. Kanaya akan keluar, tapi sebelumnya Naya mau minta maaf dulu sama Om, kalau ucapan Naya tadi menyinggung perasaannya Om." Kanaya berujar lirih sembari tertunduk takut ke arah Steven.
"Kenapa kamu bisa berbicara seperti itu? Alasan apa yang mendasari kamu untuk melakukannya? Apa, Kanaya?" tanya Steven sembari menatap tajam ke arah Kanaya yang merasa bingung di balik tundukan wajahnya.
"Naya kan sudah bilang, kalau Naya itu cinta sama Om Steven," jawabnya tulus meski belum mau menatap langsung ke arah Steven.
"Apa cuma karena cinta, kamu bisa berpikir untuk menyerahkan mahkotamu begitu saja ke pria yang kamu cintai?" tanya Steven yang kali ini terdengar tak habis pikir.
"Bukan begitu, Om. Naya cuma mau melakukan yang terbaik buat Om Steven, meskipun Naya tahu kalau kita juga enggak mungkin bisa bersama." Kanaya menghembuskan nafas beratnya, berharap bisa melegakan perasaannya yang terasa sesak di dadanya.
"Naya sadar kok, Om. Naya itu enggak pantas bersanding sama Om, karena Naya cuma gadis panti asuhan. Naya enggak punya keluarga, Naya enggak punya asal-usul yang jelas, Naya juga bukan orang kaya. Tapi setidaknya, Om terima tawaran Naya ya? Setelah itu, Naya akan benar-benar pergi dari kehidupan Om Steven untuk selama-lamanya." Kanaya menatap tulus ke arah Steven, mata beningnya yang selalu terpancar aurah kebahagiaan itu kini berair, Kanaya menangis entah karena apa, Steven sendiri bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada gadis itu.
"Kalau saya tidak mau, bagaimana?" tanya Steven terdengar dingin, membuat Kanaya kembali tertunduk setelah mendengar penolakan dari lelaki yang dicintainya itu.
"Sebegitu rendahnya ya Naya di mata Om? Sampai Om enggak mau menyentuh Naya, Om jijik sama Naya?" Tangisnya kembali pecah saat menanyakan pertanyaan itu, hatinya terasa sesak karena Steven menolak tawarannya itu kemungkinan besarnya karena ia memang terlalu rendah.
"Saya tidak mau menerimanya karena saya sangat menghargai kamu. Saya sendiri masih bingung, kenapa kamu menawarkan hal itu pada saya? Sedangkan kita saja baru kenal. Kalau untuk alasan kamu yang mencintai saya, rasanya itu tidak masuk akal, Kanaya." Steven merengkuh tangan Kanaya, berharap gadis itu mau mengerti perasaanya yang memang belum bisa memahami maksudnya.
"Apa kamu juga akan seperti ini, dengan lelaki yang akan kamu cintai nanti? Menawarkan tubuh kamu demi bisa membuktikan cinta kamu, begitu?" tanya Steven yang kali ini terdengar lebih lirih, merasa harus berhati-hati menanyakan pertanyaan sensitif itu.
"Enggak, Om." Kanaya menjawab tegas meski dengan nada yang cukup lirih.
"Lalu alasan apa yang mendasari kamu melakukan tindakan bodoh ini, hm?" tanya Steven mulai frustrasi.
"Naya enggak bisa mengatakannya, Om. Tapi Naya mohon sama Om untuk mau melakukannya sekali saja dengan Naya, setelah itu Naya janji akan benar-benar pergi dari kehidupan Om." Kanaya terus saja menundukan wajahnya, tanpa mau berani menatap ke arah Steven yang dibuat terdiam dengan ucapan Kanaya kali ini, merasa bingung dan tak habis pikir di waktu yang sama.
Kenapa Kanaya justru menawarkan keperawanannya? Sedangkan gadis itu juga tidak mau melakukan hal yang sama dengan lelaki yang dia akan cintai nanti. Rasanya Steven benar-benar tidak memiliki jawaban yang masuk akal, kenapa Kanaya mau melakukan hal konyol itu. Terlebih lagi, kenapa harus dirinya yang Kanaya pilih untuk mengambil mahkotanya. Setidaknya pertanyaan semacam itu yang terus hinggap di otak Steven, membuatnya penasaran dengan jawabannya. Walau Steven juga tidak memungkiri, bila hatinya bahagia bisa diperlakukan istimewa oleh Kanaya.
Di keheningan yang menerpa mereka, dengan perlahan Steven melepaskan rengkuhan tangannya di tangan Kanaya. Lalu memijit pelan keningnya yang terasa cukup pusing, merasakan semua masalah yang terjadi di hidupnya.
"Maaf, Kanaya. Saya tidak mungkin melakukan hal itu denganmu," ujar Steven terdengar bersalah, membuat Kanaya kian terisak di tundukan wajahnya. Rasanya Kanaya tidak bisa berpikir apa-apa lagi sekarang, selain memikirkan bagaimana ia harus memenuhi janjinya sendiri nanti.
"Sebelum kamu menjadi istri saya," lanjut Steven sembari tersenyum tipis, menatap redup ke arah Kanaya yang mulai menghentikan tangisnya. Dengan cepat, Kanaya menghapus air mata di pipinya, lalu menatap ke arah Steven dengan sorot mata tak percaya.
"Apa tadi Om bilang?" tanyanya memastikan, meski hatinya sangat mengharapkan bila Steven tidak mempermainkannya lagi kali ini.
"Saya akan melakukan hal itu, dengan satu syarat, yaitu kamu harus menjadi istri saya." Steven menghapus sisa-sisa air mata di pipi Kanaya, lalu menyelipkan anak rambut di telinga empunya.
"Om ... serius?" tanya Kanaya yang sebenarnya tidak ingin berharap, tapi hatinya justru sangat menginginkan hal itu benar-benar menjadi kenyataan.
"Iya, saya akan menikahi kamu." Steven menjawab mantap.
"Tapi dengan alasan apa? Apa karena Om cuma kasihan sama Naya? Jadi Om berniat untuk menikahi Naya," tanyanya terdengar sendu, merasa semua ucapan Steven memang terlalu cepat dan aneh, bila melihat sikap acuhnya yang terkadang suka kesal dengan tingkah laku Kanaya sendiri.
"Naya," panggil Steven sembari merengkuh kedua tangan Kanaya begitu lembut, hingga empunya memiringkan tubuhnya untuk menghadap ke arahnya.
"Saya ingin menikahi kamu, karena saya sudah menyukai kamu sejak awal. Mungkin belum sepenuhnya cinta, tapi saya sedang berusaha melakukannya, karena saya yakin kamu adalah jodoh saya. Mungkin, perbedaan usia kita yang sempat membuat saya ragu untuk menyukai kamu. Saya juga sudah berusaha melawan rasa itu, tapi saya justru semakin menikmatinya. Itu lah kenapa, saya ingin menikahi kamu, karena saya tidak mau terus-terusan melawan sesuatu yang sebenarnya membuat saya bahagia, yaitu berada di dekat kamu." Steven berujar tulus sembari membelai punggung tangan Kanaya secara perlahan dengan jari jempolnya, sedangkan Kanaya mulai tersenyum merekah meski air matanya kian tumpah karena tangisan air matanya.
"Terima kasih, karena Om sudah mau berusaha mencintai Naya." Tanpa permisi sebelumnya, Kanaya memeluk tubuh Steven, menyalurkan rasa haru sekaligus rasa bahagia yang bersemayam di hatinya. Sedangkan Steven yang sempat menegang karena ulah Kanaya itu langsung tersenyum, merasa bahagia juga bisa mengatakan perasaannya ke gadis itu. Terlihat dari kedua tangannya yang terangkat, lalu merengkuh balik tubuh Kanaya dan membelai pelan puncak kepalanya.
"Saya yang harusnya berterima kasih, karena kamu mau menerima saya sedangkan usia kita sangat beda jauh," ujar Steven tulus, membuat Kanaya melepaskan rengkuhan tangannya lalu menatap lekat ke arah Steven.
"Oh iya?" goda Kanaya sok kaget, membuat Steven gemas dengan tingkah lakunya.
"Iya, bawel." Dengan gemas Steven menjewer pipi Kanaya, hingga empunya merasa kesakitan karena ulahnya.
"Sakit, Om." Kanaya berujar kesal sembari mengelus pipinya secara perlahan.
"Makanya enggak usah sok kaget! Sudah tahu usia kita memang beda jauh, tapi kamu malah mendekati saya dengan cara konyolmu itu." Steven menggerutu sebal meski bibirnya justru tersenyum sembari menatap tulus ke arah Kanaya yang tersenyum.
"Masih sakit enggak pipinya?" tanya Steven khawatir sembari mengelus pelan pipi Kanaya.
"Masih, Om." Bukannya menjauh, Kanaya justru memberikan pipinya ke arah Steven, berharap lelaki itu terus mau membelainya, membuat Steven tersenyum tulus melihat Kanaya yang memang selalu manja. Namun bukannya terus mengelus pipi gadis itu, Steven justru mengecupnya singkat, membuat empunya mengerjapkan matanya begitu kaget, merasa tak percaya dengan apa yang baru Steven lakukan pada pipinya.
"Om," tegurnya sembari menatap ragu ke arah Steven yang masih mempertahankan senyum manisnya.
"Kenapa, hm?" tanya Steven tenang lalu mengecup singkat bibir Kanaya, membuat empunya semakin dibuat tak percaya dengan apa yang Steven lakukan pada bibirnya, lelaki itu menciumnya, rasanya Kanaya benar-benar bisa dibuat frustrasi hanya dengan Steven melakukan hal itu.
"Enggak apa-apa," jawab Kanaya kaku lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba untuk menetralisir detak jantungnya yang kian berdebar tak karuan.
"Oh enggak apa-apa? Berarti saya boleh melakukannya lagi kan?" Tanpa mau menunggu jawaban gadis itu, Steven langsung mengarahkan wajah Kanaya untuk segera menoleh ke arahnya lalu melumat bibirnya begitu lahap, membuat empunya dibuat kaku di tempatnya. Tidak banyak yang bisa Kanaya lakukan selain terdiam, menikmati setiap perlakuan yang Steven lakukan pada bibirnya. Hingga saat lelaki itu menghentikan ciumannya, lalu menatap ke arah Kanaya dengan sorot mata binar kebahagiaan diiringi senyum manis dari bibirnya.
"Naya keluar dulu ya, Om." Kanaya berujar kaku sembari menunjuk ke arah rumah sederhana yang cukup luas di belakangnya.
"Iya, tapi besok kamu harus tetap membawakan saya makan siang." Steven berujar tenang meski ada ketegasan dari nada suaranya.
"I-iya, Om. Naya pasti akan terus membawakan Om makan siang kok," jawabnya lirih, merasa gelisah karena hubungan mereka yang sekarang sudah berbeda.
"Tapi, Om. Sekarang kita hubungannya apa ya? Apa kita resmi pacaran?" tanya Kanaya yang sebenarnya sangat berusaha memberanikan diri untuk bertanya.
"Kamu itu milik saya," jawab Steven seenaknya.
"Kok gitu?" tanya Kanaya tak habis pikir, bukannya menjawab hubungan apa yang sebenarnya sedang mereka jalani, Steven justru mengatakan kepemilikan. Menyebalkan, pikir Kanaya.
"Iya, supaya kamu tidak bisa memutuskan saya dengan mudah, sebelum saya menikahi kamu." Steven menjawab kian seenaknya, membuat Kanaya semakin sebal menatapnya karena ucapannya meski bibirnya justru tersenyum bahagia mendengarnya.
"Kalau begitu, Naya pergi dulu ya, Om. Terima kasih sudah mengantarkan Naya pulang," ujar Kanaya tulus sembari membuka pintu mobil Steven, diiringi senyum tipis ke arah empunya yang mengangguk.
"Iya," jawabnya singkat tanpa mau melunturkan senyum manis dari bibirnya.
"Hati-hati ya, Om." Kanaya kembali berujar sebelum pada akhirnya menutup kembali pintu mobil Steven lalu berjalan ke arah rumah panti.
Setelah Kanaya sudah benar-benar pergi, Steven hanya bisa menghembuskan nafas gusarnya, merasa tak percaya bila dirinya dan Kanaya saat ini sudah mengerti perasaan satu sama lain. Kanaya sudah tahu perasaannya, begitupun dengan gadis itu. Rasanya, Steven hanya belum bisa mempercayai hal itu, karena ia sendiri memang belum yakin dengan perasaannya sendiri. Tapi memang Steven harus mengakui, bila perasaannya itu berbeda ke Kanaya, perasaannya lebih kuat dari Steven ke wanita lain.
Sebelum menghidupkan kembali mobilnya, Steven menatap rumah sederhana yang bertuliskan panti asuhan kasih bunda itu dengan sorot mata lega, karena Kanaya bisa pulang dengan selamat. Namun otaknya justru merasa tak asing dengan tempat itu, seolah Steven pernah ke sana entah kapan.
"Kok aku kaya pernah ke panti asuhan itu? Tapi kapan?" Steven bergumam heran, meski pada akhirnya ia tak mau terus memikirkannya, karena masih banyak pekerjaannya yang lebih penting untuk dikerjakan.
Part 15
Keesokannya, Kanaya datang ke kantornya Steven, dengan membawa rantang makanan untuk makan siang lelaki itu seperti biasanya. Entah kenapa, sekarang Kanaya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya sejak kemarin, sejak Steven mengantarkannya pulang, yang konyolnya membuat Kanaya terus tersenyum sampai ibu panti keheranan dengan tingkah lakunya.
Begitupun dengan saat ini, bibirnya terus saja merekah, seolah bayangan Steven menyatakan perasaannya kemarin itu selalu membuatnya bahagia. Tapi setidaknya Kanaya masih waras untuk menyadari hal-hal di sekitarnya, termasuk seorang satpam yang biasa disapanya.
"Pagi, Pak Satpam." Kanaya melambaikan tangannya ke arah lelaki berkulit hitam itu dengan senyum ceria di bibirnya, namun justru ditatap malas oleh sang satpam.
"Ini sudah siang, Non," jawabnya terdengar lelah yang langsung dicengiri oleh Kanaya yang baru saja sadar kebodohannya.
"Oh iya, Pak. Saya lupa, maaf."
"Ya sudah lah," jawab sang satpam dengan nada yang sama.
"Kalau begitu, Naya ke ruangannya Pak Steven dulu, Pak."
"Iya." Satpam itu hanya mengangguk, merasa cukup heran dengan hubungan apa yang sebenarnya Kanaya jalin dengan bosnya itu. Walau pada akhirnya, si satpam itu mencoba mengacuhkannya, tak mau terus memikirkannya.
Di sisi lain, entah kenapa sekarang Kanaya justru dibuat berdebar-debar karena untuk yang pertama kalinya, Kanaya datang ke kantornya Steven dengan status yang lebih dekat lagi dengan lelaki itu. Bisa dikatakan mereka sudah berpacaran resmi, membuat Kanaya dibuat malu sendiri terlihat dari pipinya yang memerah, sangking gugupnya.
Dengan perasaan yang masih gusar, Kanaya menghembuskan nafas beratnya lalu mengetuk pintu ruangan Steven dan menunggu tanggapan dari empunya. Dan itu benar, karena tidak lama dari itu, suara Steven untuk menyuruhnya masuk itu terdengar hingga di tempat Kanaya, yang lagi-lagi membuat Kanaya menghembuskan nafas gusarnya, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau.
"Hai, Om." Kanaya menyapa hangat ke arah lelaki yang masih fokus dengan laptopnya. Sedangkan Steven yang baru menoleh itu seketika tersenyum merekah, melihat kedatangan Kanaya yang sangat diharapkannya.
"Sini kamu!" pintanya yang langsung diangguki patuh oleh Kanaya.
"Om, makan siang yuk!" Kanaya menunjukan rantang makanannya ditemani senyum manis dari bibirnya, yang hanya bisa ditatap bersalah oleh Steven.
"Saya masih sibuk. Kemarin kan saya pulang siang, jadi sekarang banyak pekerjaan." Steven menjawab bersalah sembari kembali fokus dengan pekerjaannya, yang hanya ditatap sendu oleh Kanaya yang memang harus mengerti pekerjaan Steven yang cukup menyita waktu.
"Kalau begitu, Naya ke sofa dulu ya," ujarnya sembari menunjuk ke arah sofa yang masih berada di ruangan Steven.
"Tunggu!" pinta Steven sembari menarik lengan Kanaya hingga tubuh empunya berada di pangkuannya, membuat Kanaya yang sempat syok itu seketika meringkukan tubuhnya, kala tangan kekar Steven merengkuhnya begitu posesif.
"Om ...." Kanaya mencoba melepaskan diri, yang langsung ditahan oleh Steven sendiri.
"Temani saya dulu, sebentar lagi juga saya selesai mengerjakan ini," jawab Steven santai sembari masih fokus dengan layar monitornya, tanpa memperdulikan bagaimana Kanaya begitu kaku dengan posisi mereka saat ini.
"Tapi kan Naya bisa duduk di tempat lain, Om?" jawab Kanaya kaku, merasa bingung harus bagaimana lagi menghadapi Steven, karena pada dasarnya posisi mereka saat ini membuat Kanaya benar-benar merasa tak nyaman.
"Jangan cerewet!" jawab Steven dingin yang lagi-lagi tanpa mau mengalihkan pandangannya dari layar monitor. Membuat Kanaya hanya bisa pasrah, terlihat dari caranya menghembuskan nafas beratnya.
"Om kerjanya masih lama enggak?" Tidak ada lima menit Kanaya terdiam, tak membuat gadis itu betah berada di pangkuan Steven, karena jantungnya yang terus saja bergelojak di dadanya itu membuatnya ingin segera pergi dari sana.
"Sebentar," jawab Steven acuh. Membuat Kanaya terpaksa harus menunggu lagi, merasa kesal juga dengan kelakuan Steven yang seenaknya.
"Akhirnya selesai juga," gumam Steven lega setelah menyelesaikan pekerjaannya, membuat Kanaya bisa tersenyum puas karena sebentar lagi tubuhnya akan terbebas.
"Sudah selesai ya, Om? Kalau begitu, Naya boleh pindah tempat kan?"
"Enggak boleh," jawab Steven cepat sembari kian merengkuh perut rata Kanaya, membuat empunya semakin kelimpukkan dengan tingkah lakunya.
"Tapi, Om kan harus makan siang," jawab Kanaya beralasan, yang tak dihiraukan oleh Steven yang justru menyenderkan kepalanya di punggung Kanaya.
"Saya capek," jawab Steven terdengar lelah membuat Kanaya merasa kasihan juga dengan kondisi lelaki itu.
"Kalau begitu, Om makan aja dulu!" Kanaya mendirikan tubuhnya yang lagi-lagi ditahan oleh Steven yang masih ingin menyenderkan kepalanya di punggung gadis itu Membuat Kanaya memejamkan matanya, merasa tak percaya dengan tingkah laku Steven yang tidak akan mungkin tahu bagaimana jantungnya begitu hebat berdebar karena ulahnya.
"Sebentar, Naya!" Steven berujar geram di belakang punggung gadis itu, membuat Kanaya mau tak mau harus lebih bersabar lagi untuk menunggu Steven mau menghentikan aksinya.
"Kanaya," panggilnya.
"Iya, Om."
"Besok kan hari libur, biasanya kamu ke mana?" tanya Steven, yang kali ini direspon keheranan oleh Kanaya.
"Enggak ke mana-mana sih, Om. Memangnya kenapa?"
"Besok, saya mau mengajak kamu ke rumah orang tua saya lagi. Kamu mau enggak?" Mendengar itu, Kanaya mengangguk mengerti dengan maksud Steven menanyakan ke mana ia akan pergi bila di hari libur.
"Naya mau kok, Om. Tapi jam berapa?"
"Mungkin pagi, karena sorenya saya mau mengajak kamu ke suatu tempat." Mendengar itu, Kanaya dibuat menyerngit heran dengan keinginan Steven yang akan mengajaknya ke suatu tempat tersebut.
"Ke mana, Om?" tanya Kanaya sembari menolehkan wajahnya ke arah Steven yang masih bersandar di punggungnya.
"Kamu biasanya suka ke mana? Atau tempat apa yang ingin kamu singgahi?" tanya Steven setelah mengangkat kepalanya dari punggung Kanaya.
"Ke mana ya, Om? Naya biasanya enggak terlalu suka pergi ke tempat ramai sih," jawab Kanaya sembari berpirkir tempat seperti apa yang sebenarnya ingin ia singgahi.
"Sama, saya juga enggak terlalu suka tempat ramai. Tapi saya cuma mau mengajak kamu ke tempat yang kamu sukai, setidaknya kita pernah berkencan sebelum menikah." Steven menjawab jujur diiringi senyum tipis saat menatap Kanaya yang tersipu malu.
"Em, bagaimana kalau ke taman kota?"
"Ngapain?" tanya Steven tak habis pikir.
"Piknik," jawab Kanaya bersemangat, yang kali ini membuat Steven kagum dengan sosok Kanaya yang selalu saja sederhana, padahal Steven menawarkan ke tempat yang Kanaya sukai, yang bisa saja Kanaya mengatakan ingin ke suatu tempat yang jauh dan mewah, tapi gadis itu justru tidak melakukannya.
"Boleh, tapi kamu yang masak sama Mama ya di rumah," jawab Steven yang justru ditatap ragu oleh Kanaya.
"Harus ya, Om, masak sama Mamanya Om? Naya cuma sungkan aja kalau masak sama beliau, takutnya Mamanya Om Steven kurang cocok dengan masakan Naya." Kanaya menjawab ragu, membuat Steven menggeleng pelan mendengar jawabannya, merasa maklum dengan Kanaya yang mungkin belum sepenuhnya mengenal mamanya yang supel dan hangat.
"Mama saya itu orangnya menyenangkan kok, kamu juga pasti bisa melihatnya sendiri kemarin. Jadi, kamu tidak perlu mengkhawatirkan tanggapan apa yang akan Mama saya berikan untuk masakan kamu." Mendengar ucapan Steven itu, entah kenapa Kanaya dibuat merasa lega karena memang kemarin mamanya Steven itu cukup ramah dengannya.
"Iya, Om. Naya mau kok," jawabnya sembari berusaha meyakinkan dirinya bila besok semua akan baik-baik saja.
"Kalau begitu, Om Steven sekarang makan ya." Dengan cepat Kanaya mendirikan tubuhnya lalu pergi dari pangkuan Steven, di saat tangan lelaki itu mulai lengah kala merengkuhnya, membuat Steven dibuat tak percaya dengan kelakuan Kanaya yang beraninya pergi dari pangkuannya.
"Kamu kok pergi dari pangkuan saya?" tanya Steven dingin yang ditanggapi cengiran oleh Kanaya.
"Maaf, Om. Naya pikir, cuma kurang pantas aja kalau kita seperti itu di kantor." Kanaya menjawab seadanya sembari tersenyum ragu ke arah Steven yang seperti ingin marah dengannya.
"Oke," jawab Steven singkat lalu menegakkan punggungnya sejajar dengan mejanya.
"Om makan ya?" tawar Kanaya dengan senyum cerianya setelah Steven mau mengerti keinginannya.
"Hm," jawab Steven singkat, sedangkan Kanaya mulai melunturkan senyumnya walau tangannya terus saja membuka rantangnya, untuk menyiapkan Steven makan siang.
"Om marah?"
"Enggak tuh," jawab Steven acuh, lalu menarik rantang makannya yang berisikan nasi lalu mengambil lauk-pauknya.
"Kok cuek sih jawabnya, Om? Berarti Om lagi marah nih," ujar Kanaya merajuk, yang hanya ditatap acuh oleh Steven yang kembali fokus pada makanannya.
"Senyum dong, Om!" pinta Kanaya sembari tersenyum lebar ke arah Steven.
"Saya enggak mau tuh," jawab Steven dengan nada yang sama, membuat Kanaya cemberut mendengarnya.
"Kalau begitu, Naya minta cium dong, Om!" ujarnya lagi sembari memajukan wajahnya ke arah Steven yang terdiam menatapnya, walau itu tak lama karena Steven langsung memajukan wajahnya berniat mencium bibir gadis itu.
"Om, Naya ke toilet dulu ya," ujar Kanaya seenaknya lalu pergi begitu saja, meninggalkan Steven yang tersenyum hambar melihat Kanaya yang baru saja menipunya.
"Gadis menyebalkan," umpatnya geram merasa tak percaya bila dirinya baru saja dibohongi oleh gadis itu, walau pada akhirnya Steven tersenyum maklum merasakan kenakalan Kanaya yang cukup menyebalkan menurutnya.
"Awas ya kalau balik nanti, saya enggak akan membiarkan kamu bernafas dengan ciuman saya," gerutu Steven sebal setelah Kanaya benar-benar pergi dari ruangannya, berniat ke toilet yang entah benar atau tidaknya.
Tak mau berpikir panjang lagi, Steven kembali memakan makanannya, sampai saat suara tapakan sepatu hak tinggi seseorang terdengar di telinganya, membuatnya segera menoleh ke asal suara dan mendapati Aulia tengah berjalan ke arahnya.
"Hai, Steve," sapa wanita itu terdengar hangat sembari melambaikan tangannya ke arah Steven yang terdiam melihat kehadirannya.
"Aulia, kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Steven sembari mendirikan tubuhnya, merasa khawatir dengan kedatangan Aulia yang mungkin saja akan membuat Kanaya salah paham lagi dengannya.
"Memangnya kenapa, Steve? Aku kan sedang merindukanmu," jawab Aulia santai seolah sudah lupa dengan kejadian kemarin, di mana ia sempat diusir dan ditolak oleh Steven.
"Merindukanku sebagai apa? Teman atau lelaki yang kamu sukai?" tanya Steven gelisah dengan sesekali melirik ke arah pintu ruangannya, berharap Kanaya tak datang dalam waktu dekat ini.
"Kamu selalu saja berpura-pura, Steve?" Aulia berjalam mendekat ke arah tubuh Steven lalu menyentuh dada bidang lelaki itu dan membelainya secara perlahan.
"Memangnya kamu tidak capek menolakku, hm? Apa sih kurangnya aku di mata kamu?" tanyanya lagi sembari mengalungkan ke dua tangannya di leher Steven yang langsung diturunkan oleh lelaki itu.
"Lebih baik kamu pergi saja dari sini!" perintah Steven terdengar dingin dan tenang, walau sebenarnya hatinya merasa sangat geram dengan apa yang sedang Aulia lakukan padanya sekarang.
"Kenapa, Sayang?" Tanpa diduga Steven, perlakuan Aulia semakin berani terlihat dari tangannya yang kembali bermain di tubuh lelaki itu.
"Kamu apa-apaan sih, Aulia?" sentak Steven mulai geram dengan menarik tangan wanita itu dari tubuhnya.
"Memangnya aku kenapa? Aku tidak melakukan hal buruk denganmu kan? Terus apa yang salah?" tanya Aulia tak habis pikir. Membuat Steven kehilangan kesabarannya, karena teman baiknya itu mulai melakukan hal menjijikan lagi padanya, yaitu menggodanya lagi seolah dirinya wanita rendahan.
"Aku mohon sama kamu, Aulia. Lebih baik kamu pergi saja dari sini, karena aku tidak ingin membuat kekasihku salah paham lagi denganmu." Steven berujar tegas, membuat Aulia menyerngitkan keningnya, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja Steven katakan.
"Apa? Kekasih? Kamu sudah punya kekasih, Steve?" tanya Aulia terdengar tak percaya, sedangkan Steven justru mengangguk mantap.
"Iya, bahkan dia akan menjadi istriku." Steven menjawab dengan nada yang sama, seolah tidak ada kebohongan dari ucapannya.
"Oh iya? Lalu siapa wanita itu, Steve? Apa dia anak kecil yang kemarin itu, hm?" tanya Aulia sinis diiringi senyum meremehkan dari bibirnya.
"Kamu tidak akan benar-benar menikahi anak kecil kan, Steve? Apa kamu tidak malu melakukannya, hm?" lanjut Aulia kian sinis, merasa kemenangan karena dirinya ternyata lebih segalanya dari gadis yang Steven katakan akan menjadi istrinya tersebut.
"Kalau memang iya, kenapa?" tanya Steven sarkastik, diiringi senyum sinis dari bibirnya, membuat Aulia bungkam di tempatnya.
"Kamu bercanda kan, Steve?" tanya Aulia yang masih belum percaya dengan pengakuan Steven yang cukup tiba-tiba.
"Aku memang akan menikahi anak kecil itu, karena aku memang mencintainya. Jadi jangan pernah meremehkan dia, apalagi mengatakan kata malu di depanku! Karena kamu, lebih tidak punya malu dariku." Steven menjawab tenang nan tegas, membuat Aulia geram dibuatnya.
"KENAPA KAMU BISA MENCINTAINYA, STEVE? KENAPA?!" sentaknya sembari memukul tubuh Steven dengan keras, berharap bisa menyalurkan kemarahannya pada lelaki itu.
"Sedangkan aku, yang sejak dulu menunggu kamu untuk bisa mencintaiku, justru kamu campakkan?" Aulia bertanya tak percaya diiringi air mata yang berderai jatuh membasahi wajahnya.
"Sejak dulu aku juga sudah menjelaskan semuanya kan? Kalau aku tidak mungkin bisa mencintai kamu, karena memang aku tidak bisa melakukannya. Kamu bukan wanita yang aku inginkan, Aulia. Jadi aku mohon untuk kamu bisa mengerti, bila kita memang tidak bisa bersama." Steven berujar tegas membuat Aulia hanya bisa terdiam menangis tanpa bisa berbuat banyak, selain hanya dengan terdiam meratapi kisah cintanya yang tragis.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
