
Lila menggeleng samar. Berusaha untuk tidak memikirkan Gio, ia malah teringat Papa. Apakah laki-laki memang diciptakan untuk datang menghangatkan kemudian pergi meninggalkan luka? Lila menghela napas panjang ketika merasakan sudut matanya tiba-tiba basah. Ah, Gio tentu saja bukan Papa. Gio bahkan hanya sahabatnya. Seharusnya ia tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa.
Bab 5 (Rasa Takut yang Teramat Asing)
Sepulang sekolah, Lila heran mendapati Gio tidak berseragam. Cowok itu malah mengenakan jersey club kebanggaan Surabaya, Persebaya.
"Nggak kerja?" Lila menghampiri Gio yang sedang bersandar di tiang konter sambil memainkan ponsel.
"Hari ini Persebaya menjamu Madura United dalam laga persahabatan, terlalu sayang untuk dilewatkan." Gio berujar sambil mengantongi ponselnya.
"Hai, Gi!"
Lila sedang menimbang-nimbang untuk menawarkan diri ikut atau tidak, ketika suara tadi tiba-tiba menyela.
Mereka menoleh, mendapati Mega yang baru saja mendorong pintu kemudian melangkah mendekat. Cewek itu juga mengenakan jersey, yang membuatnya terlihat lebih cute. "Udah nunggu dari tadi?" tanyanya setelah berdiri di samping Gio.
"Baru, kok. Aku habis beresin kerjaan dulu."
"Hai, La." Sepasang mata Mega berbinar cerah. "Mau ikut nggak?"
Emang boleh? Lila baru mau bertanya seperti itu, tapi Gio lebih dulu menyela.
"Dia nggak suka bola. Ntar di sana malah boring."
"Oh gitu. Ya ... sayang banget," komentar Mega, yang di mata Lila tampak sok prihatin.
Lila hanya nyengir tidak jelas. Sumpah, saat ini ia berharap banget Mama tiba-tiba muncul dan memberikan instruksi mendadak, penting bin urgent yang bisa membatalkan kepergian Gio.
"Lah, kamu masih di sini, Gi?" Nah, itu suara Mama. Ia baru keluar dari gudang persediaan bahan baku yang berdampingan dengan dapur. Ia menenteng keranjang berisi sampel buah yang tadi pagi dikirim salah satu pemasok. "Tante pikir kamu udah berangkat dari tadi."
"Tadi nungguin Mega dulu, Tan."
"O ... kalian pergi berdua?"
"Iya, Tan." Mega yang menjawab.
"Wah, have fun, ya."
What? Lila memekik dalam hati mendengar kalimat Mama. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan Mama mengenal Mega, tahu-tahu terlihat akrab. Lila mendadak mulas.
Mama melanjutkan langkahnya hendak masuk ke dapur. Namun sebelum mencapai pintu, ia kembali menoleh. "La, habis makan, turun bantuin Sandi sortir buah, ya." Mama membuka pintu dapur, mengabaikan Lila yang tiba-tiba gondok.
"Kerja yang bener, ya." Gio dengan iseng menepuk pelan pundak Lila.
Lila buru-buru menepisnya, kemudian mengambil langkah panjang-panjang menuju tangga yang berada di samping gudang. Kakinya mengentak-entak saat menaiki anak tangga satu per satu, membuat siapa pun bisa menebak kalau ia sedang bete.
Gio tertawa tanpa suara melihatnya.
***
ย
Lila benar-benar turun membantu Sandi menyortir buah sesuai instruksi Mama. Padahal biasanya ia selalu ngeyel. Kali ini ia mendadak patuh bukan karena ada maunya, hanya karena merasa terlalu payah melewati waktu sendirian dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan seputar apa yang dilakukan Gio dan Mega di luar sana. Lagipula, dengan menemani Sandi sortir buah, siapa tahu ia bisa mengorek informasi seputar kemunculan Mega yang tiba-tiba. Di Tamalatea ini Sandi yang paling dekat dengan Gio, barangkali Gio pernah cerita sesuatu.
"Duh, gimana, ya?" keluh Sandi sambi mengamati apel di tangannya.
Lila yang berhadapan dengan cowok berjabrik itu, mengernyit. "Gimana apanya?"
"Persebaya sama Madura United. Udah ada gol belum, ya?"
Jawaban itu sempat membuat Lila melongo sesaat. "Sampai segalau itu. Lagian, kenapa nggak ikutan nonton, sih?" Ya, kalau Sandi ikut sama mereka, Lila tidak akan segelisah ini.
Bahu Sandi merosot seketika. Ia tidak perlu menjelaskan sesuatu yang sudah teramat jelas.
"Nggak boleh sama Mama?"
Sandi hanya melayangkan tatapan teraniaya sebagai jawaban.
"Masa Gio boleh kamu nggak? Komplain, dong!"
Seketika Sandi terbelalak, kemudian buru-buru menggeleng. "Nggak! Bos udah baik banget mempekerjakanku di sini." Lagian, dari awal Sandi paham bagaimana posisi Gio di Tamalatea.
Diam-diam Lila salut dengan karyawan mamanya yang satu ini. Lagian, omongannya tadi tidak serius. Cara bercandanya terkadang memang seabsurd itu.
"Eh, kamu kenal Mega, nggak?"
"Mantannya Gio?"
"Jadi kamu kenal?" Tanpa sengaja, suara Lila naik satu oktaf.
"Dibilang kenal juga nggak, sih, tapi Gio pernah cerita."
"Cerita apa?" sambar Lila.
"Mm ...." Sandi pura-pura mikir. "Kepo, ya?" isengnya kemudian, disusul tawa renyah yang sukses bikin Lila dongkol.
Lila mendekat dan pura-pura ingin menyumbal mulut Sandi dengan sebiji apel. "Gio cerita apa?" kejarnya.
"Rahasia cowok."
Lila mengepalkan kedua tangannya saking gemasnya.
"Eh, apelnya rusak." Sandi buru-buru mengambil alih apel di tangan Lila.
Lila merengut.
"Aku boleh kasih saran nggak?" Tampang Sandi mendadak serius.
Lila mengernyit. "Apa?"
"Mending jujur pada diri sendiri sebelum terlambat."
"Maksudnya?"
"Tahu jelangkung, kan?"
Kerutan di kening Lila bertambah dalam.
"Datang tak diundang, pulang tak diantar. Nah, kehilangan juga suka datang tiba-tiba. Bedanya sama jelangkung, seringkali kehilangan memilih menetap, nggak pulang-pulang."
"Sumpah, aku nggak ngerti." Lila membenahi posisi duduknya, bermaksud kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Kamu sama Gio aneh. Udah kayak suami istri tapi ngakunya cuma sahabat."
Mendengar kalimat itu, gerakan tangan Lila terhenti. "Emang cuma sahabat, kok."
"Ingat, musim itu berubah-ubah. Perihal orang-orang baru yang datang di kehidupan kalian, kita nggak bisa tebak."
Lila pura-pura cuek, tapi pendengarannya dalam kondisi prima untuk menyimak.
"Gio nggak mungkin selamanya jadi pelayan di sini, kan? Suatu saat ia akan menemukan sesuatu yang bisa membuatnya lebih berkembang di luar sana. Saat itu tiba, ia siap melangkah pergi, mengubah apa-apa yang ada di sini menjadi rajut kenang. Termasuk kamu, jika masih seperti sekarang, bukan sesuatu yang bisa dibawanya ke mana pun."
Tiba-tiba Lila merasa takut. Tapi, entah ketakutan macam apa.
"Dan, kamu yakin, akan baik-baik saja ketika Gio tidak pernah lagi memberikanmu kejutan-kejutan kecil karena perhatiannya sudah berlabuh di tempat lain?"
Lila mencondongkan tubuhnya untuk menyentuh kening Sandi. "Kamu salah makan, ya? Ngelantur gitu."
Sandi buru-buru menepis tangan Lila, kemudian melanjutkan sisa pekerjaannya.
Sebenarnya Lila melakukan itu hanya sebagai pengalihan. Ia tidak ingin kata-kata Sandi lebih jauh mencemari sel-sel otaknya hingga terperangkap di sana. Bahkan dalam hati, ia tidak berani menjawab pertanyaan Sandi tadi. Kalaupun nyatanya ia tidak akan baik-baik saja, lalu apa? Statusnya harus pacaran dulu, ya, untuk bisa saling menjaga dan memiliki? Lila menggeleng samar. Sedikit pun ia belum pernah kepikiran akan membawa hatinya ke titik yang siap dirumitkan bumbu-bumbu pacaran. Bagi Lila, pacaran hanya akan mengacaukan masa mudanya yang sudah terstruktur dengan baik.
***
ย
Bahkan setelah selesai membantu pekerjaan Sandi, hingga langit senja ditelan gelap, Gio tidak kembali ke kafe. Membayangkan cowok itu sedang berada di suatu tempat bersama cewek yang pernah menghuni hatinya, membuat tarikan napas Lila terasa berat. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya. Bosan morecoki Mbak Mia dan karyawan Tamalatea lainnya, Lila membawa kegelisahannya ke kamar, untuk dinikmati sendiri.
Lila bersiap di depan piano. Biasanya, musik selalu bisa mengembalikan mood-nya. Sebelum memutuskan akan memainkan lagu apa, tatapan cewek penyuka warna pastel itu tertuju pada poster pianis-pianis dunia yang sengaja ia pasang di atas piano sebagai penyemangat. Tiap kali melihatnya, Lila selalu bergumam, suatu hari bisa seperti mereka. Tapi bagaimana bisa, jika sekarang ia mulai rapuh hanya karena cowok?
Kenapa baru sekarang?
Perihal ada cewek yang mencoba mendekati Gio, bukan perkara baru. Selama ini Lila tidak pernah terusik, menganggapnya angin lalu. Terbukti, tidak pernah ada yang bisa mengganggu kedekatan mereka selama ini. Tapi kali ini, kehadiran Mega sekali lagi berhasil menjejalkan rasa takut yang teramat asing di benak Lila. Apa karena Mega seseorang yang pernah berhasil memasuki hati Gio di masa lalu?
Lila menggeleng samar. Berusaha untuk tidak memikirkan Gio, ia malah teringat Papa. Apakah laki-laki memang diciptakan untuk datang menghangatkan kemudian pergi meninggalkan luka? Lila menghela napas panjang ketika merasakan sudut matanya tiba-tiba basah. Ah, Gio tentu saja bukan Papa. Gio bahkan hanya sahabatnya. Seharusnya ia tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa.
***
ย
ย
[Bersambung]
ย
ย
โค๏ธโค๏ธโค๏ธ
ย
Bab 6 (Upaya Jujur untuk Diri Sendiri)
Lila menuruni tangga sambil menarik napas secara teratur. Ia berharap udara baru pagi ini bisa menyegarkan pikirannya. Jam segini Tamalatea belum buka, tapi shift pagi sudah datang untuk siap-siap. Seperti biasa, sebelum mulai beraktivitas, mereka kumpul di salah satu meja untuk sarapan bareng. Mama tidak pernah melewatkan momen ini. Katanya, ini salah satu cara untuk menjaga kekompakan timnya. Biasanya sambil sarapan, Mama akan menyampaikan evaluasi kecil perihal kinerja mereka kemarin dan apa yang harus difokuskan hari ini.
"Selamat pagi, Manis," sapa Mbak Mia dengan nada dibuat-buat begitu melihat Lila. "Duduk sini," lanjutnya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.
Lila menurut. Selama ini ia memang selalu duduk di situ. "Ma, kapan aku boleh bawa mobil lagi?" tanya Lila dengan nada memelas sambil menyendok nasi goreng ke piringnya.
"Ntar nabrak lagi, loh."
"Baru hampir, Ma, belum nabrak." Lila sampai bosan mengatakan ini.
"Sama ajalah. Itu anak orang, loh, bukan anak ayam."
Mbak Mia terkikik. Lila langsung menyikutnya.
"Tapi masa nebeng terus sama Sari?"
"Malah bagus. Mama jadi nggak khawatir karena kamu berangkat sendiri. Mama juga udah ngomong ke Sari, dia nggak keberatan, kok. Malah katanya senang, ada teman ngobrol di jalan."
Lila memutar bola mata malas.
"Lagian tindakan kriminal semakin marak, loh. Kalau pergi berdua, kan, setidaknya bisa meminimalisir." Dengan semamgat 45, Mbak Mia mengompori, yang langsung dihadiahi pelototan oleh Lila. Perempuan berwajah bulat itu memasang tampang pura-pura takut, kemudian memenuhi mulutnya dengan nasi goreng.
Di tengah sarapan, ponsel Lila berdenting. Ia langsung meletakkan sendok untuk mengeceknya. Ternyata pesan dari Sari. Teman sekelasnya itu sudah ada di luar.
"Ma, aku berangkat, ya. Sari udah nunggu."
"Kamu kebiasaan meninggalkan makanan, deh." Hania melirik piring Lila. "Habisin aja dulu. Sari sekalian ajak sarapan bareng."
"Takut kena macet, Ma." Lila sudah bangkit dari kursinya, mencangklong tas punggungnya, kemudian memutari sisi kiri meja untuk mencium tangan mamanya.
Hania hanya bisa geleng-geleng.
"Eh, bentar, ada yang kelupaan," cegat Mbak Mia, yang tiba-tiba heboh sendiri.
Lila mengurungkan langkahnya. Ia membenahi letak tali tasnya sambil memandang bingung pergerakan Mbak Mia yang langsung meluncur ke belakang.
Sekembalinya, Mbak Mia membawa snack box mungil berwarna putih yang langsung disodorkan ke Lila. "Titipan dari Gio," katanya.
Lila menerimanya sambil mengernyit. Meski sangat penasaran, ia menolak membukanya di depan Mbak Mia. bisa-bisa perempuan itu heboh lagi.
"Makasih, Mbak," ujar Lila sebelum berbalik untuk mendorong pintu.
Mia mengangguk anggun ala-ala putri kerajaan.
Lila masuk ke mobil Sari sambil menjaga posisi snack box di tangannya tetap seimbang. Setelah duduk sempurna di samping kemudi, ia baru membukanya. Sesuai dugaan, snack box itu berisi dua cupcake dengan topping rainbow yang seolah mampu mengundang senyum siapa pun yang melihat. Buktinya, Lila kini tersenyum tanpa komando.
"Kamu bawa bekal?" tanya Sari sambil menginjak pedal gas perlahan-lahan.
Lila tidak merespons. Ia sibuk membaca pesan yang dituliskan Gio pada secarik kertas dalam snack box itu.
Anggap aja sebagai perayaan atas kemenangan Persebaya kemarin. Dan ... sebagai penebus karena kamu terpaksa tidak bisa melihat senyumku selama lebih dari 20 jam. Aku tahu kamu bakal kangen. Mengakulah! Semoga cupcake ini bisa jadi penawar.
Senyum Lila mengembang sempurna usai membaca pesan itu. Perasaannya sudah kembali ke titik sejahtera. Rasa-rasa aneh yang tadi malam menyiksanya sudah undur diri tanpa syarat. Kebersamaan Lila dan Gio selama ini memang terbentuk dari hal-hal receh seperti ini. Nyatanya, Lila cukup bahagia. Ia memang mendambakan hubungan yang statis. Tetap seperti sekarang, jangan mundur, tapi jangan juga maju terlalu jauh. Biarkan semesta menganggapnya egois, karena terkadang Lila pun merasakan hal yang sama.
"Dasar alay!" celetuk Lila sambil masih memandangi secarik kertas di tangannya.
"Siapa?" Sari menimpali tanpa mengalihkan fokus dari jalanan di depannya.
"Ini, pesan dari Gio bikin geli." Lila terkekeh pelan.
Kali ini Sari menoleh, bahkan sempat mencuri pandang ke dalam snack box di pangkuan Lila. "O ... jadi itu kue dari Gio?"
Lila mengangguk, meski belum tentu Sari sedang menatapnya.
"Ya ampun ... kalian itu sweet banget, sih. Dari dulu bisa banget bikin baper. Tapi sayang, sepasang penebar virus baper nyatanya cuma sahabatan." Tepat di kata terakhir, Sari menutup mulutnya demi menahan tawa.
Mengabaikan Sari yang mulai berulah, Lila memotret kertas pesan Gio, kemudian mengirimkannya ke si penulis tanpa caption.
Gio membalas beberapa detik kemudian.
Gio : Selamat menikmati.
Satu kalimat pendek itu diakhiri dengan emotion senyum dan peluk, membuat Lila seolah mendapatkan suplai energi tambahan untuk menjalani hari ini. Sebenarnya Lila penasaran Gio pulang jam berapa tadi malam. Tapi pertanyaan itu hanya bertahan di benaknya, tidak diketik di kolom reply.
Lila ingin mengantongi ponselnya, ketika pesan Gio kembali menggetarkan benda pipih itu.
Gio : Sebenarnya tadi malam mau aku anterin langsung ke atas. Tapi di ujung tangga, samar-samar aku dengar kamu main lagu itu lagi. Kupikir kamu tidak dalam kondisi baik untuk menerima kue itu.
Lagu itu yang dimaksud Gio adalah komposisi Tristesse, karya Frederic Chopin. Sewaktu masih mempelajarinya, Lila pernah memainkannya di depan Gio.
"Kok, kayak sedih, ya? Aku mendengarnya jadi gimana gitu," ungkap Gio.
"Tristesse ini memang berarti kesedihan. Tapi sebenarnya isinya bukan semata-mata kesedihan, ada juga nostalgia dan kecintaan sang musisi kepada tanah airnya, Polandia."
Gio manggut-manggut.
"Aku selalu memainkannya setiap kali merasa sedih." Lila menunduk, menatap jemari tangannya yang saling mengusik. "Irama sendunya seolah diciptakan untuk menemani setiap kesedihan di muka bumi ini. Agar siapa pun sadar, bahwa ia tidak sendiri, bahwa hidup ini memang tersusun dari beragam warna, salah satunya kesedihan."
Gio beranjak dari sofa yang didudukinya selama mendengar permainan Lila tadi. Ia belutut di depan cewek itu, kemudian menarik pelan kepalanya hingga berlabuh di pundaknya. Detik selanjutnya Lila terisak, membiarkan air matanya membasahi seragam cowok yang selalu ada di saat ia memang butuh penopang.
Gio diam saja, menunggu Lila menuntaskan tangisnya. Ia mengelus rambutnya perlahan. Tidak perlu bertanya kenapa, sebab Gio paham betul perkara yang selalu menjatuhkan Lila ke titik ini.
Lila mengirimkan balasan, sengaja ingin mengalihkan topik.
Lila : Habis nonton bola, kalian jalan ke mana lagi?
Tapi sebelum sempat dibaca Gio, Lila menarik pesannya. Setelah dibaca ulang, rasanya tidak pantas ia bertanya seperti itu. Mereka mau jalan ke mana pun, bukan urusannya.
Gio : Kok, dihapus?
Lila : Kepencet.
Gio : Eh, ntar malam jadi, kan, ke ulang tahun Gina?
Lila langsung mengetukkan ponsel ke keningnya. Astaga, ia hampir lupa acara nanti malam. Gina adalah adik tunggal Gio, yang di pertengahan malam nanti genap berusia sembilan tahun. Ia tidak seberuntung anak pada umumnya. Sejak lahir ia divonis lumpuh otak. Ia tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya dengan baik. Seluruh anggota keluarga menerima kondisi itu dengan lapang dada. Di tengah keterbatasan, mereka selalu mengupayakan yang terbaik untuk Gina.
Lila : Jadi, dong!
Gio : Sip!
Lila mengantongi kembali ponselnya, sambil berpikir akan memainkan lagu apa untuk Gina nanti malam. Pasalnya, ia pernah berjanji kepada anak itu, akan mempersembahkan lagu spesial di hari ulang tahunnya. Terlepas anak itu masih ingat atau tidak, Lila tetap harus menepatinya. Ketertarikan kepada pianolah, kesamaan yang paling mencolok antara Lila dan Gina. Ayahnya sampai membelikan piano bekas, padahal Gina tidak bisa memainkannya. Tapi sang ayah paham, putrinya cukup terhibur hanya dengan berada di sisi piano itu.
"Eh, ngomong-ngomong soal Gio, tadi malam aku lihat dia." Kalimat Sari sukses membuat Lila menoleh, menyudahi lamunannya di antara tumpukan judul lagu yang sedang dipertimbangkannya.
"Tapi kayaknya bukan, deh. Soalnya dia bareng cewek yang sepintas mirip Mega. Nggak mungkin banget, kan?" Sari menoleh meminta tanggapan. Lila malah pura-pura mengamati cupcake di pangkuannya. Tiba-tiba udara di sekitarnya terasa beku.
"Aku lihatnya sambil nyetir gitu, jadi nggak terlalu jelas. Pas mereka baru keluar dari salah satu toko pakaian. Tapi kalau memang bukan mereka, kebetulannya unik banget, ya, cowoknya mirip Gio, ceweknya mirip Mega. Aneh!" Sari jadi bingung sendiri.
"Bisa jadi memang mereka. Secara ... Mega di sini, kok." Lila susah payah menjejalkan kalimat itu, kemudian menelan ludah yang terasa pahit.
"Ha?" Sari melongo. "Serius? Bukannya lagi di London?"
"Katanya lagi liburan." Sumpah, sebenarnya Lila malas banget membahasnya.
"Terus, ngapain coba pake acara ngerecokin Gio?"
Lila hanya mengendikkan bahu saat Sari menoleh dengan mata setengah melotot.
"Ini gawat! Kamu harus segera bertindak."
"Gawat gimana?" Lila mengernyit.
"Kamu rela Gio jatuh ke pelukan Mega lagi?"
Lila bingung harus menjawab apa.
"Kamu ingat, kan, gimana cewek sok kecantikan itu mutusin Gio gitu aja beberapa tahun silam?"
Lila masih diam.
"Please, La, lima tahun udah cukup untuk berpura-pura. Ingat, tahun depan kita bukan anak SMA lagi, loh. Masa iya kamu sama Gio masih seolah lagi main teater, meranin putri dan pangeran?"
Lila menarik napas pelan-pelan. Cupcake di pangkuannya menjadi tumpuan pandangan. Semua kata-kata Sari terproses di benaknya.
"Kamu sama Gio butuh status."
Kali ini Lila menoleh sambil mengernyit. Status apa? Hari ini, esok dan entah sampai kapan, Gio adalah sahabatnya. Apakah itu belum cukup?
"Kalau sama aku pun kamu nggak mau jujur, minimal sama diri sendiri." Sari sengaja menggantung kalimatnya, seolah memberi ruang kepada Lila agar menyiapkan diri untuk menangkap kalimat selanjutnya. "Kamu cinta, kan, sama Gio?"
Lila buru-buru membuang pandangannya ke luar jendela. Gelombang menyesakkan tiba-tiba memenuhi dadanya. Dan, iya tidak punya jawaban dari pertanyaan Sari, bahkan untuk dirinya sendiri.
***
ย
ย
[Bersambung]
ย
ย
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
